PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PNPM MANDIRI PERKOTAAN
LAPORAN UJI PETIK PERIODE TRIWULAN I (SIKLUS MASYARAKAT & PEMBUKUAN BKM)
TAHUN 2015
Konsultan Manajemen Pusat Wilayah-2
LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT PERIODE TRIWULAN I TAHUN 2015 A. Pendahuluan Lokasi sasaran PNPM Mandiri Perkotaan Wil-2 dengan komposisi menurut kategori tahun siklus (2015) adalah: 1,632 kel sebagai tahun-2, 2,863 kel tahun-3, dan 2,128 kel tahun-4. Sehingga total kelurahan adalah 6.623. Uji petik (spotcheck) adalah serangkaian kegiatan supervisi yang dilaksanakan dalam rangka pengendalian kualitas terhadap pelaksanaan Program PNPM Perkotaan, meliputi siklus pengembangan masyarakat atau kegiatan Program lainnya. Kegiatan uji petik dilakukan dengan datang langsung ke lapangan, untuk mendapatkan informasi yang akurat dari sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data/informasi dilakukan melalui i). wawancara dan diskusi dengan anggota BKM, relawan, KSM, warga masyarakat, aparat kelurahan, dan sebagainya, ii). pemeriksaan dokumen/arsip yang merupakan bukti pelaksanaan kegiatan, dan iii). observasi dan pemeriksaan kondisi lapang terhadap hasil-hasil kegiatan Program. Berdasarkan temuantemuan yang ditemukan dari pelaksanaan kegiatan dilapangan selanjutnya dilakukan proses pengolahan, hasilnya dirumuskan sebagai bahan umpan balik untuk perbaikan dan bahan penyusunan laporan bulanan dan triwulanan. Proporsi pelaksanaan uji petik disetiap tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten telah diatur dalam TOR Konsultan KMP dan OSP, sejumlah pembiayaan dari program dan masuk dalam kontrak Manajemen KMP/OSP dialokasikan khusus untuk mendukung kegiatan uji petik. Dalam TOR Konsultan menjelaskan bahwa cakupan kelurahan yang harus diuji petik oleh KMP adalah minimal 1% dari seluruh lokasi Program atau sekitar 66 setiap triwulan, sedangkan untuk OSP bervariasi antara 3%-10% dari lokasi dampingan, sedangkan untuk OSP-5 dan OSP-6 sebesar 3% dari lokasi dampingannya. Untuk OSP-7 dan OSP-9 ditetapkan sebesar 10%, serta OSP 10 dan OSP 8 sebanyak minimal 5%. Jadi total wilayah 2
jumlah kelurahan yang harus dikunjungi totalnya mencapai 279 kel/desa. Kewajiban
melaksanakan uji petik siklus di tingkat Korkot adalah minimal sejumlah 50% dari lokasi dampingan atau sekitar 3.313 kel/desa per-triwulan. Untuk merekam dinamika pelaksanaan supervisi siklus masyarakat dan hasil-hasilnya maka sejak periode Triwulan I Tahun 2014 secara resmi dipergunakan sebuah aplikasi uji petik dan dapat diakses oleh user (pelaku) melalui web p2kp.org melalui link berikut: http://www.p2kp.org/UjiPetik/. Dinamika pelaksanaan uji petik/supervisi siklus masyarakat tersebut diumpan balik kepada OSP setiap dua minggu dan analisisnya dipaparkan dalam laporan bulanan dan triwulan uji petik KMP. Laporan triwulan disusun untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang: sebaran lokasi, serta analisis hasil supervisi dari sisi capaian kuantitas dan kualitasnya. 2|Halaman
B. Realisasi Kegiatan Uji Petik Siklus Masyarakat Triwulan I tahun 2015
Pelaksanaan kegiatan uji petik siklus ditugaskan kepada pelaku masing-masing tingkatan (KMP, OSP, Korkot) sesuai dengan proporsinya, namun pada periode Triwulan I 2015 untuk tingkat KMP capaian pelaksanaan masih nol. Capaian yang demikian disebabkan masih ada persoalan dukungan pembiayaan. Ditingkat OSP Provinsi dan Korkot secara umum juga mengalami hal yang sama terkait persoalan dukungan pembiayaan, namun uji petik masih bisa dilakukan tanpa menggunakan pembiayaan khusus uji petik. Berikut ini hasil pelaksanaan supervisi siklus masyarakat, data ini merupakan akumulasi supervisi yang dilakukan oleh pelaku tingkat OSP, dan Korkot. Dari data SIM Uji petik menu rekap siklus masyarakat dapat ditunjukkan bahwa kegiatan uji petik siklus yang pada periode Triwulan I 2015 seluruhnya menjangkau 1.023 kel/desa yang tersebar di sejumlah 110 kota/kabupaten. Capaian dan sebaran siklus yang diuji petik ditingkat OSP dan Korkot dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Progres Uji Petik Siklus Triwulan I Tahun 2015 Kunjungan no
Provinsi
Total kota
Total Kel
Jml Kota
Siklus Program
Jml Kel
RK
PS
BKM
KSM
PJM
BLM
TP
RWT
Persen
1
NAD
12
426
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.00
2
JATENG
35
2003
35
658
0
1
16
113
68
480
31
324
32.85
3
DIY
4
178
4
25
0
0
0
0
0
13
1
14
14.04
4
JATIM
36
1865
19
27
0
0
2
0
0
4
18
7
1.45
5
BALI
5
130
3
29
0
0
0
0
0
24
0
8
22.31
6
NTB
6
219
3
12
0
0
0
4
0
12
1
0
5.48
7
NTT
9
130
9
77
0
0
0
11
0
58
0
41
59.23
8
KALTENG
2
41
2
18
0
0
0
1
0
0
0
17
43.90
9
KALSEL
10
239
3
8
0
0
0
0
5
0
0
3
3.35
10
KALTIM
6
143
3
4
0
0
0
1
1
1
1
0
2.80
11
KALTARA
4
38
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
2.63
12
SULUT
7
307
6
61
0
8
2
2
6
24
6
25
19.87
13
SULTENG
3
58
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1.72
14
SULSEL
14
321
9
50
0
0
5
0
3
11
12
31
15.58
15
SULTRA
4
129
3
28
0
0
0
0
7
23
0
23
21.71
16
GORONTALO
2
73
2
3
0
0
0
0
0
0
0
4
4.11
17
SULBAR
2
17
2
7
0
0
0
0
0
5
0
10
41.18
18
MALUKU
3
84
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.00
19
MALUT
2
149
2
3
0
3
0
0
0
3
1
0
2.01
20
PAPUA BARAT
2
41
2
3
0
0
3
0
0
0
0
0
7.32
21
PAPUA
1
39
1
8
0
0
0
0
0
4
0
6
20.51
169
6630
110
1023
0
12
28
132
90
663
71
514
15.43
Sumber: Menu Rekap Siklus Masyarakat dari aplikasi uji petik.
3|Halaman
Dari progres tersebut menunjukkan bahwa supervisi siklus masyarakat yang paling tinggi capaiannya adalah pemanfaatan BLM dengan capaian sebesar 663 kelurahan RWT (rembug warga tahunan) sebanyak 514 kelurahan, disusul KSM sebanyak 132 kelurahan, dan PJM sebanyak 90 kelurahan. KMP telah menetapkan untuk Triwulan I tahun 2015 berfokus pada siklus BLM, PJM, dan RWT, capaian yang jumlahnya cukup signifikan adalah siklus BLM dan RWT. Dari pencapaian jumlah kel/desa yang dikunjungi untuk masing-masing siklus oleh pelaku Konsultan (OSP-Korkot) menunjukan bahwa pencapaian kegiatan uji petik siklus belum optimal untuk memenuhi target sebagaimana yang telah ditetapkan dalam TOR. Ditingkat KMP, OSP dan Korkot, pada bulan Januari, sampai pertengahan akhir Maret
masih
terkendala dukungan pembiayaan dari manajemen. Data aplikasi menunjukkan pelaksanaan uji petik ditingkat Korkot masih menyisakan 49 kota lebih yang belum menunjukkan ada progres kegiatan. Capaian yang demikian tentu memerlukan perhatian serius dari semua pihak, karena terkait pelaksanaan tugas utama masing masing tingkat konsultan untuk menjamin kualitas pelaksanaan siklus masyarakat. Kalau tidak dilakukan maka jaminan kualitas terhadap hasil pelaksanaan siklus masyarakat dampingan melahirkan persoalan tentang akurasi dan kualitas pelaksanaan kegiatan.
C. Capaian Substansi Siklus Hasil Supervisi Pelaksanaan sebuah siklus mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan oleh program: Petunjuk Teknis Pelaksanaan Siklus. Didalamnya menjelaskan substansi siklus yang menyangkut tujuan pelaksanaan, tata cara pelaksanaan, alur pelaksanaan (persiapan, pelaksana, dan pelaporan), serta output dari pelaksanaan. Pelaksanaannya menggunakan instrumen yang sudah ditetapkan oleh KMP yaitu sama untuk tingkat KMP-OSP-Korkot utamanya pada bagian kuantitatifnya. Sesuai surat KMP yang telah disampaiakn kepada OSP maka untuk Triwulan I tahun 2015 berfokus pada siklus BLM, dan RWT. Pengukuran pelaksanaan siklus masyarakat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang mencakup keseluruhan substansi penting dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga ke output yang seharusnya terjadi dari hasil pelaksanaan kegiatan siklus. Hasil skoring penilaian selanjutnya diformulasi dengan bobot per butir kegiatan yang telah ditetapkan sehingga hasil keseluruhan dari pengukuran dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelaksanaan dari sebuah siklus. Kategori kualitas dan rentang nilai yang digunakan adalah sbb : a. Kurang, apabila skor akhir hasil supervisi antara 0 s/d 55 b. Cukup, apabila skor akhir hasil supervisi antara 56 s/d 70 c. Baik, apabila skor akhir hasil supervisi antara 71 s/d 100
4|Halaman
Pada pelaksanaan kegiatan uji petik siklus ini, menggunakan metode irisan lokasi, yaitu kelurahan tertentu akan ditetapkan sebagai lokasi yang diuji petik oleh pelaku. Lokasi irisan ini berangkat dari 1% lokasi KMP yang menimpa lokasi 3 s/d10% OSP dan menimpa juga lokasi 50% Korkot, hal ini berarti lokasi uji petik KMP harus pada lokasi uji petik OSP dan Tim Korkot dalam satu triwulan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk uji akurasi dari hasil uji petik yang tentunya akan mempengaruhi tingkat kepercayaan data/hasil terhadap keseluruhan hasil uji petik siklus secara nasional. Pada laporan uji petik triwulan I ini; data perbandingan capaian hasil instrumen KMP, OSP dan Korkot belum bisa disajikan karena data hasil uji petik dilokasi irisan belum memadai. 1. Hasil Uji Petik Siklus Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan dengan memanfaatkan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dilakukan oleh masyarakat kelurahan secara menerus untuk setiap tahun, secara umum hampir semua lokasi program telah dialokasikan sejumlah dana yang dipergunakan untuk kegiatan TRIDAYA yang meliputi bidang Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan (SEL). Masyarakat melakukan serangkaian kegiatan yang mengacu pada petunjuk Teknis pemanfaatan dana BLM. Capaian terkait proses dan hasilnya uji petik oleh pelaku ditingkat OSP, dan Korkot dipaparkan pada tabel dibawah ini : Tabel-3 Hasil Pencapaian Per-Butir Pertanyaan Instrumen (603 kelurahan) Terpenuhi (kel/desa)
Persen
Apakah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat sebelum pencairan dan pemanfaatan BLM? Apakah dilakukan pembekalan terhadap LKM dan UP-UP tentang pendampingan kegiatan BLM? Apakah dilakukan pembekalan kepada KSM/panitia yang akan melaksanakan kegiatan pemanfaatan BLM? Apakah dilakukan publikasi tantang pelaksanaan kegiatan yang dibiayai BLM pada 5 titik strategis? Apakah LKM melakukan pengambilan keputusan pembiayaan kegiatan KSM (RPD) melalui rapat yang kuorum?
506
84 %
485
80 %
463
77 %
280
46 %
474
79 %
6
Apakah BLM yang diterima KSM sesuai dgn proposal yg disetujui
514
85 %
7
Butir
Pertanyaan Instrumen
1 2 3 4 5
Apakah penyerahan dana BLM dari LKM disaksikan seluruh anggota KSM/Panitia?
437
72 %
8
Apakah tidak ada pemotongan dana BLM yang diterima KSM/Panitia dari LKM
487
81 %
9
Apakah antara proposal dan LPJ kegiatan mempunyai kesesuaian?
481
80 %
10
Apakah kegiatan yang dibiayai sesuai antara proposal - renta – PJM Pronangkis? Apakah penerima manfaat BLM adalah warga miskin yang masuk dalam daftar PS2? Apakah syarat pencairan BLM: BKM telah terbentuk secara sah dengan minimum 30% pemilih dewasa ditingkat basis terpenuhi?
11 12 13
504
84 %
483
80 %
504
84 %
Apakah syarat pencairan BLM: BKM telah melaksanakan RWT terpenuhi? Apakah syarat pemanfaatan BLM: hasil audit tahun sebelumnya minimal wajar dengan pengecualian (qualified Opinion) terpenuhi?
493
82 %
14
508
84 %
15
Apakah dokumen lengkap pencairan BLM tersedia?
484
80 %
Dari 603 kel/desa yang dikunjungi oleh seluruh pelaku ditingkat (OSP, Korkot) hasilnya terekam pada menu rekap uji petik per kategori. Hasil rekap menunjukan bahwa sebanyak 498 kel/desa (83%) pencapaian substansinya berkualitas baik, sebanyak 24 kel/desa (4%) berkualitas sedang, dan sebanyak 81 kel/desa (13%) termasuk berkualitas kurang. 5|Halaman
Data terhadap kelengkapan hasil uji per-butir pertanyaaan pada instrumen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dapat dilihat dalam tabel berikut : a. Persiapan Kegiatan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Capaian pada: butir 1, dilakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat sebelum pencairan dan pemanfaatan BLM?, sejumlah 84% kelurahan telah tercapai, sehingga sisanya sebesar 16% kelurahan saja yang belum tercapai. Untuk butir 2, dilakukan pembekalan terhadap LKM dan UP-UP tentang pendampingan kegiatan BLM? Sebesar 80% kelurahan telah tercapai dan sisanya sebesar 20 % kelurahan yang belum tercapai. Capaian butir 3, dilakukan pembekalan kepada KSM/panitia yang akan melaksanakan kegiatan pemanfaatan BLM?, sejumlah 77% kelurahan tercapai, sisanya 23% kelurahan saja yang belum tercapai. Capaian pada butir 4: dilakukan publikasi tantang pelaksanaan kegiatan yang dibiayai BLM pada 5 titik strategis? sejumlah 46% kelurahan telah tercapai, sehingga sisanya sebesar 64% kelurahan yang belum tercapai. Pekerjaan persiapan kegiatan siklus merupakan stimulan dari pelaksanaan agenda siklus yang sesungguhnya, karena fungsi strategisnya yang demikian maka mempersiapkan personil terkait termasuk panitia dalam lembaga pelaksana kegiatan perlu keseriusan tinggi. Perhatian pada aspek pemahaman, kemauan dan kemampuan pelaku masyarakat agar kompeten untuk melaksanakan tahapan siklus, wajib dipastikan oleh pendamping sehingga hasil yang ditunjukkan butir: 1, 2, 3 dan 4 yang menyisakan 16, 20, 33, dan 64 kelurahan tidak tercapai. apabila hal yang pokok masih
belum
optimal
tercapai,
mempengaruhi
kualitas
siklus
maka
BLM
dampaknya
dikelurahan
juga
tersebut.
cukup
signifikan
Kelurahan
yang
perlakuanya belum optimal rentan akan terjadi implementasi kegiatan yang menyimpang, peyalahgunaan dana BLM, salah sasaran, dst. Publikasi dan sosialisasi apabila belum menjadi agenda milik masyarakat, dan diamanatkan dalam AD BKM, lalu ditegaskan melalui program kerja tahunan, dll masih rawan untuk tidak dilaksanakan. Tantangan besarnya adalah bagaimana kegiatan seperti ini tidak terus menjadi bagian dari kegiatan program yang didukung pembiayaan, tapi didorong menjadi agenda masyarakat yang pelaksanaannya melalui pembahasan yang intensif dikomunitas.Tentu melembagakan kegiatan publikasi dan sosialisasi terkait materi apapun masih memerlukan kerja keras di tingkat implementasinya. b. Pelaksanaan Pelaksanaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Dari 11 butir instrumen pelaksanaan BLM, pada butir 8: tidak ada pemotongan dana BLM yang diterima KSM/Panitia dari LKM perlu mendapatkan perhatian secara 6|Halaman
khususuntuk dikendalikan. Dengan capaian sejumlah 81% kelurahan dinyatakan sesuai, sedangkan sisanya 19% kelurahan tidak tercapai. Hal ini berarti telah terjadi dugaan pemotongan dana BLM yang diterima KSM/Panitia disejumlah 118 kelurahan. Perilaku negatif berupa pengutipan dana, pemotongan dana, dll yang muncul dalam salah satu pelaksanaan program tidak boleh ditoleransi dan diberikan ruang sedikitpun. Karena sejak awal substansi yang kita tegakkan adalah pencarian orang baik pada lembaganya, memperjelas mekanisme pengambilan keputusan, dokumen yang jelas dan terinci dll. Namun salah satu faktor terjadinya pemotongan dana adalah kurangnya transparansi LKM melalui UP-UP nya terhadap masyarakat khususnya kepada anggota Panitia/KSM. Hal ini bisa jadi ketidaktahuan akan mekanisme yang seharusnya dilakukan, karena pelaku juga sudah banyak berganti, dll sedangkan pendamping belum optimal membekali dengan substansi yang harus diperhatikan oleh pelaku. Keberhasilan melakukan perubahan sosial juga bisa dijadikan ukuran apabila kejadian yang demikian memang dibiarkan tanpa penanganan serius oleh kelembagaan yang ada. Capaian pada butir 7: penyerahan dana BLM dari LKM disaksikan seluruh anggota KSM/Panitia?, Sejumlah 72% kelurahan tercapai, sedangkan sisanya 28% kelurahan tidak tercapai. Mekanisme yang sudah dipersiapkan oleh program agar pembelajaran transparansi dilakukan oleh BKM dalam memfasilitasi masyarakat miskin sehingga BKM semakin mendapatkan kepercayaan yang kokoh dari masyarakatnya. Pemahaman pelaku yang menganggap kegiatan ini tidak penting untuk dilakukan menyebabkan praktik tidak optimal menegakkan transparansi kepada masyarakat sehingga sejumlah 28% kelurahan tidak sesuai. Perhatian oleh pelaku pendamping masyarakat untuk melembagakan mekanisme membangun transparansi yang baik menjadi dipertanyakan kembali, dan hal demikian harus segera ditindak lanjuti. Capaian paling tinggi terjadi pada butir 6; BLM yang diterima KSM sesuai dgn proposal yg disetujui, sebesar 85% kelurahan tercapai. Sisanya sebesar 15% kelurahan tidak tercapai.
Ketidaksesuaian antara BLM yang diterima dengan
proposalnya memang dieprlukan perbaikan kondisi dengan perhatian oleh pelaku agar memfasilitasi penyusunan proposal dengan benar, dan hal yang perlu dicermati dan ditindaklanjuti sehingga didapatkan faktor penyebab yang sebenarnya, apakah karena faktor teknis administrasi saja atau ada potensi peyalahgunaan dana, dll. Pada umumnya proposal yang diputuskan berbeda dengan nilai dan rincian proposal yang diajukan masyarakat tidak ditindaklanjuti perbaikan proposalnya sesuai nilai keputusan LKM. Kondisi ketidaksesuaian memerlukan perhatian dari LKM dan pendimpingnya sehingga fasilitasi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan tidak menyisakan permasalahan baru. 7|Halaman
Dari 11 butir instrumen yang digunakan, capaian yang paling rendah kelurahan terjadi pada butir 9 yaitu: Apakah antara proposal dan LPJ kegiatan mempunyai kesesuaian?. Capaian sejumlah 80% kelurahan, dengan demikian sejumlah 20% kelurahan yang ditemukan menunjukkan gejala ketidaksesuaian. Penyusunan proposal dan LPJ adalah salah satu indikator peningkatan kapasitas yang terjadi di masyarakat, sehingga Fenomena ini tentu akan menjadi catatan khusus bagi pelaku terkait untuk melakukan evaluasi serius dan memfasilitasi penguatan pemahaman dan strategi pelaksanaan kegiatan agar butir ini bisa terlaksana dengan baik di masyarakat. c. Pelaporan/Administrasi Capaian butir 15, Apakah dokumen lengkap pencairan BLM tersedia?, hasilnya sebesar 80% Kelurahan telah tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa administrasi dokumen pencairan BLM sudah cukup baik, tetapi menyisakan 20% kelurahan yang tidak ditemukan dokumennya, hal ini tentu harus menjadi perhatian dari para pendamping agar tertib administrasi juga dijadikan salah satu output dari pemberdayaan yang dilakukan. Kelembagaan BKM sudah waktunya diberikan pembelajaran yang berkualitas termasuk dalam hal administrasi keungan dan kegaiatan. Harapan ke depan para personil pelaku dimasyarakat faham tupoksinya dan sudah mengurangi ketergantungan terhadap peran fasilitator dalam segala aspek. Salah satu bukti keberdayaan masyarakat adalah kemampuan mendampingi pengadministrasian kegiatan dan keuangan sehingga menjadi lembaga yang akuntable dan transparan. 1.1 Rekomendasi a. Siklus BLM Capaian hasil siklus BLM yang tersebut memerlukan tindak lanjut dari segenap pelaku program terkait, sebagai berikut: 1. OSP memastikan Korkot terkait melakukan penguatan pengembangan kapasitas (CB) siklus BLM pada kelurahan yang tidak melakukan pembekalan kepada KSM/panitia. TF segera memfasilitasi ulang kegiatan tersebut kepada masyarakat, sehingga pemanfaatn dala BLM bisa sesuai dengan petunjuk teknis pemanfaatan dana BLM. Kualitas output pembekalan juga harus dipastikan sehingga didapatkan peningkatan kapasitas KSM dan Panitia agar mereka mampu berperan optimal. Salah satu fungsi fasilitator adalah memastikan pelaku masyarakat meningkat kapasitasnya, kemudian mereka mau dan mampu melaksanakan kegiatan pemanfaatan dana BLM dengan baik. Sudah harus diakhiri model fasilitasi dengan jalan pintas seperti mengambil alih beban yang harusnya menjadi tanggungjawab KSM dan Panitia (misal menyusun proposal, membuat RAB, membuat LPJ, gambar, dll), karena hal ini sama dengan merebut ruang belajar masyarakat dalam melaksanakan kegiatan nangkis, dan semakin menjauhkan mereka dari keberdayaan. 8|Halaman
2. OSP memastikan Korkot terkait menindaklanjuti temuan tentang: BLM yang diterima KSM belum sesuai dgn proposal yg disetujui. TF segera melakukan identifikasi terhadap temuan tersebut, diperjelas penyebabnya apakah faktor administrasi atau mengarah
pada penyimpangan penggunaan dana BLM. OSP memastikan tindak lanjutnya benar terjadi masing-masing kelurahan dan buktinya di konsolidasi ditingkat Korkot untuk diperiksa pada saat melakukan uji petik periode berikutnya. 3. OSP memastikan Korkot terkait menindaklanjuti temuan tentang: terjadinya praktik pemotongan dana BLM yang diterima KSM/Panitia dari LKM. TF segera melakukan identifikasi dan menjelaskan dengan laporan tertulis untuk bahan analisis oleh OSP. Demikian juga dengan memasukkanya dalam aplikasi PPM yang ada apabila nyata terjadi tindakan pemotongan dana. Bila terjadi praktik penyimpangan dana BLM
maka penanganan serius dengan tindakan tegas harus segera dilakukan, agar tidak menjadi semakin besar dan merusak kepercayaan yang sedang tumbuh dimasyarakat. 4. OSP memastikan Tim Korkot terkait melakukan perbaikan administrasi/ pelaporan pelaksanaan siklus Pemanfaatan BLM, Memastikan TF melakukan pembelajaran yang baik termasuk dalam penataan administrasi di tingkat BKM/LKM. Kapasitas menyusun administrasi kegiatan dan keuangan adalah wujud keberhasilan dalam melakukan pemberdayaan di masyarakat. Hal ini tentu menjadi tantangan agar tidak terulang pada pelaksanaan siklus beberapa bulan kedepan. 2. Hasil Siklus Rembug Warga Tahunan (RWT) Rembug Warga Tahunan (RWT) dilakukan oleh masyarakat
kelurahan secara rutin
setiap tahun, tepatnya diakhir tahun sebagai musyawarah tertinggi di LKM sebagai forum melakukan evaluasi program, pengesahan dan penyampaian tentang perkembangan kelembagaan, perencanaan nangkis, dan keuangan. Masyarakat melakukan serangkaian kegiatan yang agendanya sudah ditentukan, diperlukan persiapan yang khusus dari pelaku agar rembug bisa berjalan sesuai tujuannya. Dari 486 kel/desa yang dikunjungi oleh seluruh level pelaku (OSP, Korkot) yang bisa diolah dan didapatkan kategorinya menunjukan bahwa sebanyak 325 kel/desa (67%) pencapaian substansinya berkualitas baik, sebanyak 100 kel/desa (20%) berkualitas sedang, dan sebanyak 61 kel/desa (13%) termasuk berkualitas kurang. Capaian detail per-butir pertanyaan pada kegiatan rembug masyarakat dapat dilihat dalam tabel berikut : 9|Halaman
Tabel-3 Hasil Pencapaian Per-Item Pertanyaan Instrumen Item
Pertanyaan Instrumen
Terpenuhi (kel/desa) 430
Persen
1
dilakukan pembentukkan Panitia Pelaksana RWT?
88%
2
dilakukan pembekalan terhadap panitia pelaksana RWT?
434
89%
3
pembekalan mengacu/ menggunakan kepada petunjuk teknis RWT?
425
87%
4
BKM/LKM telah menyampaikan laporan tahunan dalam RWT?
422
87%
5
dilakukan pembahasan/ penetapan (perubahan) Anggaran Dasar BKM/LKM dalam RWT
222
46%
6
BKM/LKM menyampaikan Rencana Kerja setahun kedepan dalam RWT
375
77%
7
RWT dilakukan penetapan PJM Pronangkis dan atau Rencana Tahunan (Renta) PJM
395
81%
8
RWT Menetapkan hasil-hasil kegiatan Tinjauan Partisipatif (keuangan, kelembagaan, dan program)
389
80%
9
RWT disampaikan laporan hasil audit keuangan BKM/LKM (auditor independen) periode tahun lalu
371
76%
10
peserta RWT adalah nama yang menjadi utusan warga hasil pemilu basis (RT/ RW/ Lingkungan).
315
65%
11
dokumen laporan hasil pelaksanaan kegiatan RWT tersedia
354
73%
a. Persiapan Kegiatan RWT Dari 486 kelurahan yang hasil uji petik/supervisinya terekam dalam aplikasi didapatkan capaian sebagai berikut: butir 1, dilakukan pembentukkan Panitia Pelaksana RWT hasilnya sejumlah 95% kelurahan yang sudah sesuai, capaian ini berarti sisanya sebesar 5% kelurahan tanpa melakukan pembentukan panitia pada saat pelaksanaan RWT. Untuk butir 2, dilakukan pembekalan oleh Faskel kepada Panitia Pelaksana RWT hasilnya didapatkan sejumlah 89% kelurahan telah sesuai, ini berarti hanya 11% kelurahan sisanya melakukan kegiatan RWT tanpa melakukan pembekalan terhadap panitia pelaksana. Untuk capaian butir 3, pembekalan mengacu/ menggunakan petunjuk teknis, hasilnya sejumlah 87% kelurahan yang sudah sesuai, sisanya sebesar 13% kelurahan mengaku belum menggunakan petunjuk teknis sebagai acuan pelaksanaan kegiatan Pekerjaan persiapan siklus merupakan inti dari pelaksanaan siklus yang penting untuk diperhatikan oleh pelaku program, karena fungsi strategisnya sebagai pembuka pintu gerbang pelaksanaan kegiatan. Persiapanadalah ajang untuk mempersiapkan personil dan lembaga pelaksana, pada aspek pemahaman, 10 | H a l a m a n
kemauan dan kemampuan agar siap dan kompeten untuk melaksanakan tahapan siklus. Capaian pada butir: 1,2, dan 3 menunjukkan bahwa hal yang pokok masih belum mampu tercapai secara optimal disemua lokasi kegiatan siklus. Dengan rentang 5-13% kelurahan yang tidak tercapai dampaknya akan signifikan mempengaruhi kualitas siklus RWT dikelurahan tersebut. Kelurahan cukup rentan terjadi implementasi kegiatan dengan kualitas yang kurang bagus bahkan menyimpang, dst. Meskipun prosentase 5-13% menunjukkan sebagian besar lokasi siklus sudah dapat melaksanakan RWT dengan cukup baik. Aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan dari pelaku konsultan dalam memfasilitasi pengorganisasian masyarakat masih membutuhkan penguatan khususnya pemahaman substansi yang ada dipetunjuk teknis. Kualitas pengembangan kapasitas siklus harus dijamin dan dikendalikan dengan baik oleh pelaku pada masing-masing tingkatan karena memegang sehingga kualitas pembelajaran yang dilakukan masyarakat dapat dipastikan menjadi output dari kegiatan siklus yang dilakukan. b. Pelaksanaan Rembug Warga Dari 11 butir instrumen yang digunakan sejumlah 7 butir merupakan butir tentang pelaksanaan kegiatan siklus RWT, capaian yang paling rendah 46%
kelurahan
terjadi pada butir 5 yaitu: dilakukan pembahasan/ penetapan (perubahan) Anggaran Dasar BKM/LKM. Kelurahan yang tidak melakukan pembahasan/ penetapan AD LKM cukup besar yaitu 54% kelurahan. Hal ini tentu harus menjadi catatan khusus bagi pelaku terkait untuk melakukan penguatan strategi agar kegiatan ini bisa menjadi lebih baik capaiannya dan landasan hukum di LKM juga semakin kokoh. Kebutuhan pengaturan beberapa kegiatan LKM belum mampu ditangkap pelaku untuk diberikan payung hukum berupa pasal—pasal dalam AD LKM. Kelemahan yang kita sadari adalah ragam aturan program berupa Juknis, POB, dll isinya tentu memerlukan penyaringan dan hasilnya diakomodasi dalam aturan masyarakat belum berjalan dengan baik. Capaian paling tinggi dalam pelaksanaan siklus RWT terjadi pada butir 7 RWT dilakukan penetapan
PJM Pronangkis dan atau Rencana Tahunan (Renta) PJM,
sebesar 81% kelurahan. Hal ini juga bermakna bahwa pada kelurahan sisanya sebesar 19% tidak melakukan penetapan
PJM Pronangkis dan atau Rencana
Tahunan (Renta) PJM dalam pelaksanaan RWT-nya. Hal ini sekaligus peringatan bagi para pelaku agar tidak lagi abai pada salah satu substansi RWT ini agar pada waktu mendatang dijadikan output wajib dari kagiatan RWT, apalagi mengingat RWT adalah kegiatan rutin tahunan.
11 | H a l a m a n
Capaian pada Butir 10: peserta RWT adalah nama yang menjadi utusan warga hasil pemilu basis (RT/ RW/ Lingkungan) sebesar 65% saja, hal ini sekaligus menegaskan masih ada 35% kelurahan yang kelembagaannya masih rawan dan memerlukan penguatan segera. Ketika utusan rembug masyarakat dengan mudah diganti-ganti oleh orang lain yang ditunjuk RT/RW atau pemimpin basis lainnya tanpa melalui pemilihan basis seperti yang ditetapkan di AD LKM, maka hal ini jelas melanggar aturan tersebut. Kondisi ini menegaskan bahwa pemilu LKM dengan pemilu tingkat basis yang dilakukan secara tertutup dengan kartu suara adalah penting, dan kualitas pelaksanaan bisa dirunut dari tidak tercapainya butir 10 RWT ini. c. Pelaporan/Administrasi Capaian butir 11, laporan hasil pelaksanaan kegiatan RWT sebesar 73% Kelurahan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan, dan kemampuan panitia dalam melaksanakan tahapan menyusun pelaporan sudah belum merata karena mrenyisakan 27% kelurahan belum ditemukan dokumen laporan seperti yang dimaksudkan dalam petunjuk teknis. Fenomena ini tentu tidak boleh diabaikan dan masih membutuhkan perhatian pelaku terkait agar performanya pada masa mendatang bisa lebih baik lagi. Rekomendasi Capaian hasil siklus RWT tersebut memerlukan tindak lanjut dari segenap pelaku program terkait, sebagai berikut: 1. Capaian terhadap persiapan siklus RWT sudah baik, namun kekurangannya juga masih perlu perhatian serius yaitu: 12% siklus dilaksanakan tanpa pembentukkan panitia, 11% siklus dilakukan tanpa pembekalan, dan 13% pembekalan dilakukan tidak menggunakan Juknis siklus. Capain ini meningkat prosentasenya dibandingkan dengan capain siklus RWT tahun 2013. Belum meratanya efektifitas pengendalian kualitas dibeberapa korkot memberikan kontribusi akan terjadinya hal tersebut. Tingkat pemahaman dan ketrampilan pelaku konsultan TF dan panitia RWT menjadi faktor yang mempengaruhi langsung terhadap capaian ini, maka perbaikanya diperlukan
adanya
perbaikan
sistem
pengendalian
kualitas
khususnya
pengembangan kapasitas terkait siklus masyarakat. Pembekalan tidak hanya dikendalikan sudah atau belum saja, namun unit input seperti pelatihan juga harus mengendalikan kualitas fasilitasinya. Korkot harus menjamin pemahaman dan ketrampilan pelaku masyarakat dapat meningkat sehingga pelaksanaan kegiatan siklus RWT bisa dilaksanakan sesuai petunjuk teknis dan mampu mencapai tujuannya.
12 | H a l a m a n
2. RWT merupakan kegiatan siklus yang juga merupakan forum tertinggi di LKM untuk mengevaluasi dan menetapkan kebijakan tahunan, sehingga outputnya harus dipastikan yaitu terwujud kelembagaan LKM yang transparan, akuntable dan mempunyai dukungan basis yang kokoh. Dalam pelaksanaan siklus capaian paling rendah hanya 46% kelurahan: dilakukan pembahasan/ penetapan (perubahan) Anggaran Dasar BKM/LKM. Output penting ini terlewatkan oleh 54% Kelurahan sehingga tidak melakukan pembahasan/ penetapan AD LKM dalam RWTnya. Hal demikian harus menjadi catatan khusus pelaku agar melakukan penguatan terhadap strategi pelaksanaan kegiatan agar lebih baik capaiannya pada waktu mendatang. Penguatan kelembagaan LKM dengan memperkuat AD LKM masih memerlukan perbaikan yang serius dengan memberikan pemahaman tentang betapa pentingnya LKM menyerap aturan program menjadi aturan masyarakat. Mekanisme RWT dengan membahas AD LKM diperuntukkan untuk mengakomodasi hal tersebut, namun disayangkan hal demikian belum terjadi. Gejala yang samadidapatkan sejak tahun 2013 tapi tidak menunjukkan perbaikan, sehingga semakin meningkat, tentu ini sebuah tantangan terhadap kualitas yang memberikan pemahaman dan ketrampilan kepada masyarakat.
13 | H a l a m a n
LAPORAN UJI PETIK PEMBUKUAN BKM TRIWULAN KE-1 TAHUN 2015 UNIT MANAJEMEN KEUANGAN – KMP WILAYAH 2
A. PENDAHULUAN Uji petik adalah bentuk kegiatan pengendalian yang dilakukan dengan kunjungan langsung kelapangan atau ke obyek yang menjadi sumber data/informasi primer, Kegiatan uji petik pembukuan dilakukan dengan membadingkan data SIM yang merupakan hasil penilaian kinerja pembukuan yang dilakukan setiap bulan oleh fasilitator ekonomi dengan hasil kunjungan yang dilakukan oleh TA MK/Askot MK pada periode bulan yang sama, harapannya diperoleh gambaran akurasi dan validitas data serta terjadinya capacity building jika ada pemahaman substansi yang berbeda. Kegiatan uji petik dilakukan secara berjenjang, karena itu uji petik di desain dengan standarisasi pada sisi instrumen, waktu pelaksanaan, lokasi sampling, metode penggalian informasi, sumber informasi (pelaku yang dikonfirmasi), maupun dokumen pembuktiannya sehingga objektifitas dan validitas dari hasil uji petik dapat dipertahankan lebih "stabil". Kegiatan pengendalian dalam bentuk uji petik langsung ke lapangan selama ini sudah berjalan diseluruh tingkatan manajemen dengan metode dan pengelolaan uji petik yang cukup baik, namun demikian seiring dengan pengalaman pengendaliaan serta tuntutan para pihak yang terus berkembang maka metodologi uji petik juga mengalami penyempurnaan agar pengelolaan kegiatannya dapat lebih dioptimalkan dan hasil-hasilnya dapat lebih didayagunakan untuk upaya-upaya perbaikan pelaksanaan program secara menerus. Telah dijelaskan dalam TOR Uji Petik, bahwa KMP (unit Manajemen Keuangan) berkewajiban melakukan uji petik tematik Pembukuan bersamaan dengan pelaksanaan uji petik siklus masyarakat minimal di 1% lokasi sasaran program setiap triwulan, sementara untuk proporsi kewajiban uji petik OSP (TA dan SUB TA Manajemen Keuangan) bervariasi 3%-10% jumlah kelurahan per-triwulan, dan Korkot/Askot ekonomi Ekonomi dengan proporsi 50% per-bulan berbagi dengan Askot Infrastruktur, sederhananya Askot MK minimal melakukan uji petik pembukuan di 25% lokasi dampingan tingkat Kota/Kabupaten. Pelaporan hasil uji petik tematik/khusus ekonomi dilakukan dengan upload/input melalui SIM uji petik (http://p2kp.org/ujipetik/) baik yang dilakukan oleh KMP, OSP maupun Korkot (Askot Manajemen Keuangan) terhadap hal tersebut telah dikeluarkan surat KMP Nomor : 32/NMC/PNPM-Perkotaan/II/2015. Laporan ini merupakan gambaran kegiatan uji petik pembukuan secara nasional baik yang dilakukan oleh KMP, OSP maupun Korkot (Askot MK) selama periode bulan Januari – Maret 2015 (Triwulan ke-1).
14 | H a l a m a n
B. REALISASI KEGIATAN UJI PETIK Realaisasi kegiatan uji petik pembukuan dilaksanakan periode 1 Januari 2015 s/d 31 Maret 2015 dengan melakukan kunjungan ke Sekretariat BKM dan UPK untuk melihat dan melakukan supervisi terhadap pengelolaan keuangan secara keseluruhan adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan uji petik tematik pembukuan yang dilakukan oleh KMP (Unit Manajemen Keuangan) ke Kelurahan/Desa sasaran tidak terjadi/tidak dilakukan karena beberapa kendala teknis dan non teknis, namun masa transisi keberlanjutan program menjadi yang paling dominan. 2. Kegiatan Uji Petik tematik pembukuan yang dilakukan oleh OSP (TA dan Sub TA Manajemen Keuangan) secara nasional terjadi di 1,4% Kelurahan dampingan untuk pembukuan Sekretariat dan 1,3% untuk pembukuan UPK, namun demikian terdapat 6 Provinsi yang tidak melakukan/melaporkan kegiatan uji petik yaitu : a. b. c. d. e. f.
Provinsi Bali Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Utara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Maluku Provinsi Papua
3. Kegiatan uji petik khusus ekonomi (pembukuan) yang dilakukan oleh Askot Manajemen Keuangan secara nasional dilakukan pada 14,2% kelurahan dampingan untuk pembukuan Sekretariat dan 14% kelurahan untuk pembukuan UPK. Terdapat 4 Provinsi yang Askot MK tidak sekalipun melakukan/melaporkan uji petik yaitu di Provinsi : a. b. c. d.
Provinsi Aceh Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Papua Provinsi Papua Barat
Jumlah kunjungan ke lokasi dampingan (sampel) antar provinsi tidak sama baik yang dilakukan OSP mapun Askot MK, tentunya terdapat perbedaan kendala dalam pemenuhan kegiatan uji petik tematik/khusus. Berikut adalah 5 Provinsi tertinggi dalam melaksanakan uji petik dalam periode ini : No 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat OSP Provinsi Sulawesi Barat DI Yogyakarta Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Gorontalo
% Sampel 11,76% 7,78% 6,20% 5,54% 5,48%
No 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Korkot/Askot MK Provinsi % Sampel Sulawesi Barat 94,12% Jawa Tengah 28,91% Maluku Utara 26,85% NTT 23,85% Sulawesi Utara 20,85%
Perbandingan masing-masong provinsi, kegiatan uji petik yang dilakukan oleh KMP, OSP dan Askot MK seperti dalam tabel berikut :
15 | H a l a m a n
Tabel 1 Jumlah Kelurahan Uji Petik Nasional – Pembukuan Sekretariat Periode : Januari – Maret 2015
Tabel 2 Jumlah Kelurahan Uji Petik Nasional – Pembukuan UPK Periode : Januari – Maret 2015
16 | H a l a m a n
Secara umum realisasi pelaksanaan uji petik triwulan ke-1 Tahun 2015 belum maksimal dilakukan oleh OSP dan Askot MK namun demikian secara pengendalian kegiatan uji petik khusus/tematik pembukuan periode saat ini lebih baik dari periode sebelumnya, salah satu indikatornya adalah telah dilakukan perencanaan terpadu dibawah koordinasi tim Monev KMP dan pelaporan telah menggunakan SIM uji petik.
C. ANALISA HASIL UJI PETIK Analisa hasil uji petik menjadi bagian terpenting dalan memperoleh gambaran secara utuh tentang hasil kegiatan uji petik pembukuan yang telah dilakukan oleh KMP, OSP maupun Askot Manajemen Keuangan. Harapannya melalui kegiatan uji petik khusus ini tingkat akurasi data kinerja pembukuan semakin akurat dari bulan ke bulan serta adanya peningkatan pemahaman substansi pendamping dan masyarakat secara nerjenjang.. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sampel uji petik pembukuan Sekretariat yang dilakukan oleh OSP (TA dan Sub TA MK) sejumlah 1,4% (94 Kelurahan) dan sejumlah 14,2% (944 Kelurahan) yang dilakukan oleh skot MK. Sedangkan sampel uji petik pembukuan UPK yang dilakukan oleh OSP (TA dan Sub TA MK) sejumlah 1,3% (89 Kelurahan) dan sejumlah 14% (925 Kelurahan) dilakukan oleh Askot MK, Dari sejumlah sampel tersebut diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Akurasi Hasil Uji Petik Salah satu hasil yang yang dapat dianalisa adalah akurasi uji petik terhadap pengukuran kinerja pembukuan yang dilakukan oleh fasilitator ekonomi dan melaporkannya melalui SIM MK dengan hasil uji petik yang dilakukan oleh askot MK maupun TA MK (sebagai supervisor Faskel ekonomi), hasilnya adalah seperti dalam grafik berikut :
17 | H a l a m a n
Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa pada kegiatan uji petik khusus (pembukuan) triwulan ke-1 Tahun 2015, tingkat akurasi pengukuran kinerja pembukuan sekretariat (75,2%) lebih tinggi dibanding UPK tanpa PAR (67,7%). Mengetahui tingkat akurasi uji petik yang dilakukan oleh TA MK maupun Askot MK menjadi penting, karena selain daat mengukur validitas data yang dilaporkan oleh faskel ekonomi melalui SIM MK juga dapat menggambarkan adanya pemahaman yang masih ada perbedaan terhadap substansi dan mekanisme pengukuran kinerja pembukuan diantara pendamping sesuai jenjang penugasan terhadap serta dapat mengetahui penerapan prosedur pengukuran kinerja yang dilakukan. Jika melihat KPI pelaporan data melalui SIM seharusnya adalah 90% Akurat, dengan melihat hasil uji petik yang dilakukan oleh TA MK dan Askot MK masih dibawah target tersebut. Untuk Sekreariat masih kurang 24,8% dan UPK 32,7%.
2. Aspek terendah dalam pengukuran kinerja pembukuan Hal yang menjadi penyebab hasil pengukuran kinerja Sangat Baik, Memadai atau Tidak Memadai adalah tergantung pemenuhan item dalam setiap aspek pengukuran kinerja. Jika seluruh item dapat terpenuhi maka kinerja akan menjadi Sangat Baik begitu juga sebaliknya.
a) Pembukuan Sekretariat Dari sampel uji petik pembukuan sekretariat yang dilakukan oleh OSP (1,4%) dan sejumlah 14,2% oleh Askot MK diperoleh hasil pemenuhan item aspek pengukuran kinerja pembukuan sebagai berikut :
18 | H a l a m a n
Dari 11 item pengukuran kinerja Sekretariat yang harus dipenuhi, 3 aspek terendah dalam pemenuhannya adalah : 1) Laporan bulanan dipasang di lima titik stategis selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya, pemenuhannya sebesar 75,2% 2) Seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran dicatat dan diarsipkan sesuai tanggal transaksi, pemenuhannya sebesar 88,4% 3) Laporan disajikan sebelum tanggal 5 bulan berikutnya, pemenuhannya sebesar 89,7% b). Pembukuan UPK tanpa PAR Dari sampel uji petik pembukuan UPK yang dilakukan oleh OSP (TA dan Sub TA MK) sejumlah 1,3% (89 Kelurahan) dan sejumlah 14% (925 Kelurahan), diperoleh hasil pemenuhan item aspek pengukuran kinerja pembukuan sebagai berikut :
19 | H a l a m a n
Dari 9 item pengukuran kinerja UPK tanpa PAR yang harus dipenuhi, 3 aspek terendah dalam pemenuhannya adalah : 1) Laporan bulanan dipasang di lima titik stategis selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya, pemenuhannya sebesar 64,8%; 2) Dana operasional tunai tidak lebih dari Rp. 1.500.000, pemenuhannya sebesar 75,8%; 3) Seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran dicatat dan diarsipkan sesuai tanggal transaksi, pemenuhannya sebesar 76,9% Data detil hasil analisis data uji petik dapat di lihat pada lampiran laporan ini
D. KESIMPULAN Mencermati uraian sebelumnya, maka beberapa kesimpulan yang dapat dinyatakan adalah : 1.
Kegiatan uji petik siklus/tematik pembukuan yang dilakukan oleh KMP tidak terjadi karena beberapa kendala, namun masa transisi keberlanjutan program menjadi yang paling dominan.
2.
Masih terdapat 6 Provinsi tidak melakukan/melaporkan kegiatan uji petik tematik pembukuan sekretariat dan 4 Provinsi pembukuan UPK periode Januari 2015 – Maret 2015. Prosentase uji petik yang dilakukan oleh TA MK OSP kurang dari 3% dan pelaksanaan kegiatan tidak merata diseluruh Provinsi. Prosentase uji petik yang dilakukan oleh Askot MK baru terpenuhi 14% dari 25% yang ditargetkan sesuai ketentuan yang ada. Akurasi uji petik pembukuan sekretariat sebesar 75,2% dan pembukuan UPK tanpa PAR sebesar 67,7%. Terdapat 3 aspek terendah dalam pengukuran kinerja pembukuan sekretariat, yaitu : a). Laporan bulanan dipasang di lima titik stategis selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya, pemenuhannya sebesar 75,2%, b). Seluruh transaksi
3. 4. 5. 6.
20 | H a l a m a n
penerimaan dan pengeluaran dicatat dan diarsipkan sesuai tanggal transaksi, pemenuhannya sebesar 88,4%, c). Laporan disajikan sebelum tanggal 5 bulan berikutnya, pemenuhannya sebesar 89,7% 7. Terdapat 3 aspek terendah dalam pengukuran kinerja pembukuan UPK adalah a). Laporan bulanan dipasang di lima titik stategis selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya, pemenuhannya sebesar 64,8%, b). Dana operasional tunai tidak lebih dari Rp. 1.500.000, pemenuhannya sebesar 75,8%, c). Seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran dicatat dan diarsipkan sesuai tanggal transaksi, pemenuhannya sebesar 76,9% 8. Kegiatan uji petik tematik/khusus belum menjadi kebutuhan pendamping dalam kerangka pengendalian hasil kegiatan, hal tersebut terbukti beberpa provinsi dan kabupaten tidak melakukannya dengan alasan tidak ada pendanaan. Dalam EGM telah disepakati ada dan tidak ada EGM kegiatan berkunjung (monitoring/supervisi) ke wilayah dampingan menjadi kewajiban yang harus dilakukan sebagai upaya pemastian prosedur dilakukan oleh pendamping level bawahnya dan prosedur dipahami utuh oleh masyarakat. 9. Pelaporan hasil uji petik tematik/khusus pembukuan melalui SIM Uji petik perlu disosialisasikan lbih baik lagi ke OSP, hal tersebut wajar karena baru triwulan ke1 tahun ini menggunakan pelaporan melalui aplikasi SIM Uji Petik. 10. Kegiatan uji petik tematik/khusus belum mendapat dukungan yang baik dari Manajemeen OSP, terlihat sebagian besar kegiatan uji petik khusus dilakukan secara swadaya walaupun di kontrak OSP alokasi dana tersedia.
E. RENCANA TINDAK LANJUT Beberapa rencana tindak lanjut yang patut dikuatkan untuk pendampingan dan pengendalian uji petik adalah : 1.
KMP melakukan penguatan mekanisme monitoring dan supervisi sesuai POB uji petik berbasis pada pengukuran kinerja pembukuan sesuai dengan pedoman teknis pengukuran kinerja pembukuan serta melakukan teleconference sebagai proses proaktif pada Provinsi dan Kota/Kabupaten yang tidak melaksanakan/melaporkan uji petik;
2.
Meminta kepada TA MK OSP dan Askot MK melalui surat KMP untuk melakukan penguatan kapasitas tentang pengukuran kinera pembukuan khususnya terhadap pemenuhan item terendah agar dapat meningkatkan kinerja pembukuan dengan pemahaman yang sama.
3.
Meminta TL OSP agar membuat perencanaan yang matang tentang kegiatan uji petik terpadu dengan pemilihan lokasi, metode yang telah ditentukan dalam TOR Uji Petik. Hal ini perlu dilakukan agar tujuan uji petik dapat efektif.
21 | H a l a m a n