PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan Laser-Induced Fluorescence adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2008 Ariny Prasetya NRP A451064024
PENGEMBANGAN METODE DETEKSI CEPAT Aspergillus flavus Link. DAN Fusarium sp. PADA BENIH PADI MENGGUNAKAN LASER-INDUCED FLUORESCENCE
ARINY PRASETYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT ARINY PRASETYA. The Development of Rapid Detection Method for Aspergillus flavus Link. and Fusarium sp. on Rice Seed Using Laser-Induced Fluorescence. BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO dan AKHIRUDDIN MADDU. Rice as a food crop provides high economical value in Indonesia and many other countries. Seed is one of important commodity which is being constraint factor in rice production system. Seed quality will determine the value of an agricultural production, because of that seed is a commodity which has high economical value. The rice crop is known to be attacked by many microbial infections or contaminations. Fungi have been reported to cause more diseases of rice than any other group of pathogens. Fusarium sp. is one of fungi that infects rice crop in field, while Aspergillus flavus Link. spoils rice grains in storage. Seed health tetsting is done in order to prevent or to minimize risks caused by seed-borne pathogens. Ideally, the seed health testing should be accurate, specific, sensitive, fast, practical, cheap, and reliable. One of potential technology can be developed as detection method is laser-induced fluorescence. This study is aimed to develop rapid detection protocol by laser-induced fluorescence mechanism. The result of the this study is expected in the future fluorescence spectroscopy using laser light could be used as easy, cheap, fast, and accurate seed health testing method. The research was conducted in Mycology Laboratory of Plant Protection Department and Biophysics Laboratory Physics Department, Bogor Agricultural Institute, started from April 2008 until November 2008. This research covered (1) research preparation to obtain pure isolates of A. flavus and Fusarium sp., (2) calibration of laser-induced fluorescence which covered measurement wavelength of metabolite produced by A. flavus and Fusarium sp.; and laser-induced fluorescence calibration of metabolite of A. flavus and Fusarium sp. as standard fungi metabolite, and (3) detection of A. flavus and Fusarium sp. on rice seed which covered fungi growth media modification as standard media to measure the wavelength of fungi metabolite; and laser-induced fluorescence application to detect A. flavus and Fusarium sp. on PDA media. The result of this study showed that laser induced fluorescence could detect fluorescence emission of metabolite of A. flavus and Fusarium sp. after rice seeds were incubated for 4 days. Metabolite of A. flavus produced blue fluorescence at 424-427 nm and metabolite of Fusarium sp. produced blue fluorescence at 427 nm when exposed to violet light (405 nm). A. flavus and Fuarium sp. displayed typical fluorescence emission spectra which differ from fluorescence emission spectra of growth medium PDA (448 nm and 485 nm). The results indicate that specific fluorescence emission spectra have been identified which permit detection method of fungal infection on rice seed using laser-induced fluorescence. Keywords: rice seed, detection, Aspergillus flavus, Fusarium sp., laser-induced fluorescence
RINGKASAN ARINY PRASETYA. Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan Laser-Induced Fluorescence. BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO dan AKHIRUDDIN MADDU. Padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sebagai komoditas politik. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencapai target produksi padi sehingga dapat mengimbangi kenaikan konsumsi beras sebesar 2% yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi beras per kapita. Benih merupakan salah satu komponen utama yang menjadi faktor pembatas dalam sistem produksi padi. Kualitas benih akan menentukan nilai ekonomi suatu produksi pertanian, sehingga benih merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Dewasa ini telah dilaporkan berbagai mikroorganisme penyebab penyakit pada tanaman padi terbawa dan tertular melalui benih. Cendawan merupakan kelompok mikroorganisme penyebab penyakit (patogen) utama pada padi. Fusarium sp. merupakan salah satu cendawan patogen yang terbawa benih dan menimbulkan penyakit saat padi ditanam di lapang, sedangkan Aspergillus flavus Link. merupakan salah satu cendawan yang merusak benih di penyimpanan. Salah satu langkah utama untuk mencegah atau mengurangi resiko akibat penyakit atau patogen terbawa benih adalah dilakukan pengujian kesehatan benih. Persyaratan utama dalam pengujian kesehatan benih adalah akurat, spesifik, sensitif, cepat, praktis, murah, dan dapat dipercaya. Salah satu teknologi yang sangat potensial dikembangkan untuk deteksi cendawan patogen terbawa benih adalah laser-induced fluorescence. Pemanfaatan fluorescen menggunakan sinar laser (laser-induced fluorescence) untuk deteksi cendawan patogen tumbuhan dikembangkan karena cendawan patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu yang akan menghasilkan emisi fluorescen sangat spesifik apabila dikenai cahaya near ultraviolet atau ultraviolet. Proses fluorescen diawali oleh adanya absorbsi energi cahaya oleh suatu molekul. Selanjutnya, molekul akan memanfaatkan tambahan energi tersebut untuk mengangkat elektron sehingga mencapai keadaan tereksitasi. Molekul akan melepaskan sisa energi, salah satunya, dengan memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan protokol deteksi cepat cendawan patogen tumbuhan melalui mekanisme laser-induced fluorescence. Hasil penelitian ini diharapkan di masa depan spektroskopi fluorescen menggunakan sinar laser dapat dimanfaatkan sebagai metode pengujian kesehatan benih yang cepat, mudah, murah, dan akurat. Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman dan Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor, dari April 2008 hingga November 2008. Penelitian ini meliputi (1) persiapan penelitian untuk mendapatkan isolat murni A. flavus dan Fusarium sp., (2) kalibrasi laserinduced fluorescence, meliputi pengukuran panjang gelombang metabolit yang dihasilkan dari isolat cendawan A. flavus dan Fusarium sp.; dan kalibrasi laserinduced fluorescence metabolit A. flavus dan Fusarium sp. sebagai metabolit cendawan standar, dan (3) deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada benih padi, meliputi modifikasi media tumbuh cendawan sebagai media standar untuk pengukuran panjang gelombang metabolit cendawan dan aplikasi laser-induced fluorescence untuk deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada media PDA.
Hasil penelitian adalah laser-induced fluorescence dapat mendeteksi metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada benih padi setelah diinkubasikan selama empat hari. Metabolit A. flavus menghasilkan fluorescen biru pada panjang gelombang 424-427 nm, sedangkan metabolit Fusarium sp. menghasilkan fluorescen biru pada panjang gelombang 427 nm ketika dipapari sinar laser violet (405 nm). A. flavus dan Fusarium sp. memiliki spektrum emisi fluorescen tertentu yang berbeda dengan spektrum emisi fluorescen media PDA (448 nm dan 485 nm). Aplikasi laser-induced fluorescence berpotensi untuk dikembangkan sebagai dasar metode deteksi cepat cendawan patogen tumbuhan yang cepat, mudah, spesifik, tidak merusak, dan akurat. Kata kunci: benih padi, deteksi, Aspergillus flavus, Fusarium sp., laser-induced fluorescence
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN METODE DETEKSI CEPAT Aspergillus flavus Link. DAN Fusarium sp. PADA BENIH PADI MENGGUNAKAN LASER-INDUCED FLOURESCENCE
ARINY PRASETYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Proteksi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis :
Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan Laser-Induced Flourescence
Nama
:
Ariny Prasetya
NRP
:
A451064024
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bonny P.W. Soekarno, MS. Ketua
Dr. Akhiruddin Maddu, S.Si, M.Si. Anggota
Diketahui Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MS. Tanggal ujian: 22 Desember 2008
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal lulus: 14 Januari 2009
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan LaserInduced Fluorescence ” dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan sekolah pascasarjana di Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Akhiruddin Maddu, S.Si, M,Si. selaku anggota komisi pembimbing, dan Dina, S.TP., M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Desember 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 1980. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Asril Agus (alm.) dan Bustanidar Badar. Tahun 1998, penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tangerang dan melanjutkan pendidikan di Universitas Andalas, Fakultas Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan di Padang tahun 1998-2002. Tahun 2007, penulis mendapat ijin belajar dari Badan Karantina Pertanian untuk mengikuti program S2 pada program studi Entomologi-Fitopatologi di Departemen Proteksi Tanaman-Institut Pertanian Bogor. Penulis menjadi pegawai negeri sipil di Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian pada tahun 2002. Penulis ditugaskan pertama kali di Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I SSK II Pekanbaru dan dimutasikan ke Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I Soekarno-Hatta, sekarang menjadi Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, pada tahun 2004. Penulis menikah dengan Asep Orien Mubasyirin, ST pada tahun 2006 dan dikaruniai putra bernama Rafif Alifio Musabbihin pada tahun 2006.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ...................................................................................
Halaman xiv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xv
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................
1
Tujuan ..........................................................................................
4
Manfaat ........................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
5
Cendawan Patogen pada Benih Padi ..........................................
5
Deteksi Cendawan Patogen .........................................................
9
Spektroskopi Fluorescen ..............................................................
12
BAHAN DAN METODE .........................................................................
15
Tempat dan Waktu .......................................................................
15
Bahan dan Alat .............................................................................
15
Metode .........................................................................................
15
Persiapan Penelitian ...........................................................
15
Kalibrasi Laser-Induced Fluorescence ................................
16
Deteksi Aspergillus flavus dan Fusarium sp. pada Benih Padi ...........................................................................
17
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
18
Hasil ...............................................................................................
18
Pembahasan ..................................................................................
25
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
29
Kesimpulan .....................................................................................
29
Saran ..............................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
31
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kandungan air biji padi pada kelembaban relatif 65% sampai 90% dan kecenderungan cendawan yang muncul ................................. 2. Cendawan pada benih padi varietas Cisantana, metode kertas blotter dengan deep freezing ..........................................................
DAFTAR GAMBAR
9 18
Halaman 1. Skema proses fluorescen .................................................................
13
2. Skema aplikasi ......................................
fluorescence
17
3. Grafik fluorescen metabolit A. flavus (A), grafik fluorescen Fusarium sp. (B) ...............................................................................
19
laser-induced
20
4. Grafik fluorescen media PDB ........................................................... 5. Grafik fluorescen metabolit A. flavus (A): 10-1(a), 10-2(b), 10-3(c), 10-4(d), 10-5(e), 10-6(f), 10-7(g), 10-8(h); grafik fluorescen metabolit Fusarium sp. (B): 10-1(a), 10-2(b), 10-3(c), 10-4(d), 10-5(e) ................. 6. Media PDA (A.a), media PDA yang ditumbuhi Fusarium sp. (A.b), media PDA yang ditumbuhi A. flavus (A.c); Eksitasi laser violet (405 nm) pada metabolit cendawan (B) ............................................ 7. Grafik fluorescen metabolit A. flavus, inkubasi hari ke-4 (A), Grafik fluorescen metabolit A. flavus, inkubasi hari ke-6 ............................ 8. Grafik fluorescen ...........................
Fusarium
sp.,
inkubasi
hari
ke-6
9. Grafik fluorescen media PDA ...........................................................
PENDAHULUAN
21
23 23 24 25
Latar Belakang Padi merupakan komoditas pangan yang memiliki peranan cukup besar, karena padi merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia (AAK 1990). Produksi padi tahun 2006 diperkirakan mencapai 54,66 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 35,53 juta ton beras (asumsi rendemen 65%).
Tetapi, pertumbuhan atau kenaikan produksi padi periode
2001-2006 sebesar 0,9% merupakan angka paling kecil dibandingkan dengan pertumbuhan periode 1990-2000 sebesar 1,47% per tahun dan periode 19801990 sebesar 4,34% per tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
produksi padi nasional tidak dapat mengimbangi kenaikan konsumsi beras sebesar 2% yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi beras per kapita (Muchtadi 2008). Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencapai target produksi padi agar kebutuhan beras nasional terpenuhi, seperti menerapkan intensifikasi pertanian. Hal ini dilakukan mengingat beras bukan hanya sekedar komoditas pangan, tetapi juga merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitivitas politik, ekonomi, dan kerawanan sosial yang tinggi ( Andoko 2007). Salah satu komponen utama sistem produksi padi adalah benih.
Kualitas benih akan
menentukan nilai ekonomi suatu produksi pertanian, sehingga benih merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (Hidayat 2006). Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor penentu dalam budidaya dan produksi padi. benih.
Sebagian penyakit tersebut terbawa dan tertular melalui
Cendawan, bakteri, virus, dan nematoda merupakan mikroorganisme
yang paling sering terdeteksi terbawa benih padi (Agarwal et al. 1989; Mew & Gonzales 2002).
Menurut Rennie & Cockerrel (2006), organisme penyebab
penyakit dapat terbawa atau berada dalam benih, dimana pada kondisi lingkungan yang sesuai dapat menyebabkan penyakit pada saat benih berkecambah atau tanaman dewasa. Patogen dan penyakit terbawa benih harus mendapat perhatian dalam proses produksi pertanian karena sering menimbulkan kerugian dalam berbagai hal: (1) Inokulum patogen terbawa benih dapat menurunkan daya berkecambah benih, meningkatkan kematian bibit/tanaman muda berupa pre-emergence atau post-emergence serta meningkatkan perkembangan penyakit (tingkat keparahan penyakit) di lapang.
Gangguan tersebut pada akhirnya akan menurunkan
produksi dalam kualitas dan kuantitas, (2) Benih sebagai pembawa suatu
patogen baru atau strain patogen baru ke suatu tempat sehingga akan menimbulkan ledakan suatu penyakit (outbreak) di tempat tersebut, dan (3) Benih yang terinfeksi atau membawa patogen sering terkontaminasi oleh toksin (mikotoksin) yang dihasilkan oleh patogen dan dapat merubah nilai nutrisi benih tersebut (Soekarno 2003). Patogen yang terbawa benih (seedborne pathogen) sekarang ini banyak mendapat
perhatian,
karena
penggunaan
benih
bebas
patogen
dapat
mengurangi biaya penanggulangan penyakit di lapangan dan mengurangi populasi patogen tersebut di musim berikutnya (Sutakaria 1982). Oleh sebab itu, penggunaan benih padi yang baik dan sehat mutlak diperlukan, mengingat peranan padi sebagai komoditas pangan yang bernilai strategis bagi penduduk Indonesia. Cendawan merupakan kelompok patogen utama yang dapat terbawa benih atau
ditransmisikan
melalui
benih.
Cendawan
yang
merusak
benih
dikelompokkan menjadi cendawan lapang dan cendawan penyimpanan. Cendawan lapang menyerang benih selama perkembangan atau pematangan tetapi sebelum panen, sedangkan cendawan penyimpanan biasanya merusak benih sesudah panen apabila kelembaban udara dan suhu cukup tinggi (Agarwal & Sinclair 1997; Martinus 2003). Pada benih padi, menurut Mew & Gonzales (2002), terdapat lebih dari 80 jenis cendawan dan sekitar 20 spesies cendawan patogen terdeteksi dari benih padi pada satu kali pemeriksaan. Beberapa cendawan patogen terbawa benih yang merugikan secara ekonomi pada tanaman padi antara lain Alternaria padwickii (Ganguly) Ellis, Ephelis oryzae Syd., Pyricularia oryzae Cav., Fusarium moniliforme Sheld., dan Rhizoctonia solani Kühn (Agarwal et al. 1989; Agarwal & Sinclair 1997; Mew & Gonzales 2002).
Cendawan patogen terbawa benih tersebut diketahui
menyebabkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Di daerah Asia tropis, tingkat infeksi A. padwickii sebesar 80% sampai 90% (Mew & Gonzales 2002). Kehilangan hasil padi akibat F. moniliforme telah dilaporkan sekitar 15% di India, 20% sampai 50% di Jepang, dan 3,7% sampai 14,6% di Thailand. R. solani telah menyebabkan kehilangan hasil sekitar 25% di Jepang.
Sementara itu,
P. oryzae telah menyebabkan kelaparan di India dan kehilangan hasil 50% sampai 90% produksi padi. Di Indonesia, serangan P. oryzae dapat mencapai sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia (Ou 1975; Agarwal & Sinclair 1997; Utami et al. 2005).
Fusarium semitectum Berk. & Rav.
dilaporkan menyebabkan busuk kering pada benih padi di Amerika Serikat, dan juga menyebabkan busuk buah pada pisang, mentimum, melon, dan tomat (Nath et al. 1970). Infeksi cendawan penyimpanan pada benih padi dapat terjadi selama proses transportasi, penanganan, dan penyimpanan benih. Cendawan tersebut biasanya tidak berperan dalam perkembangan penyakit benih tetapi berperan dalam kerusakan benih.
Kelompok cendawan penyimpanan yang sering
merusak benih padi adalah beberapa spesies dari Aspergillus dan Penicillium. Aspergillus dan Penicillium menyerang benih atau butiran apabila kadar air di atas 16% dan suhu rendah (Agarwal & Sinclair 1997; Anonim 2003; Martinus 2003). Salah satu langkah utama untuk mencegah atau mengurangi resiko akibat penyakit atau patogen terbawa benih adalah dilakukan pengujian kesehatan benih.
Persyaratan utama dalam pengujian kesehatan benih adalah akurat,
spesifik, sensitif, cepat, praktis, murah, dan dapat dipercaya (Ball & Reeves 1991 dalam Maude 1996; Agarwal & Sinclair 1997). Muschick (2002) menyatakan bahwa hasil pengujian benih, pada dasarnya, diharapkan dapat menggambarkan secara tepat rata-rata kualitas dari suatu lot benih dan dapat diulang di laboratorium yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhi keakuratan hasil pengujian benih yaitu metode pengujian kesehatan benih yang digunakan oleh suatu laboratorium. Menurut Misra et al. (1994), metode pengujian kesehatan benih yang biasa digunakan pada benih padi adalah metode kertas blotter, metode media agar, pencucian benih, dan pengujian gejala. Metode kertas blotter merupakan metode standar untuk mendeteksi cendawan patogen terbawa benih padi dan benih lainnya. Metode ini juga telah lama dan sampai saat ini masih digunakan di laboratorium pengujian di Indonesia, seperti laboratorium karantina tumbuhan. Seiring dengan kemajuan teknologi, deteksi dan identifikasi cendawan patogen terbawa benih telah mengarah pada pendekatan molekuler berdasarkan DNA dan atribut fisiologis lainnya. Salah satu teknologi yang sangat potensial dikembangkan untuk deteksi cendawan patogen terbawa benih adalah spektroskopi fluorescen. Pemanfaatan spektroskopi fluorescen dengan sinar laser (laser-induced fluorescence) untuk deteksi cendawan patogen tumbuhan dikembangkan karena cendawan patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu yang akan menghasilkan emisi
fluorescen yang sangat spesifik, apabila dikenai cahaya near ultraviolet atau ultraviolet. Proses fluorescen diawali dengan absorpsi energi cahaya oleh suatu molekul.
Selanjutnya, molekul akan mengakomodasi tambahan energi untuk
mengangkat elektron sehingga mencapai keadaan tereksitasi. Tambahan energi tersebut dapat dilepaskan melalui beberapa cara. Salah satunya, molekul akan melepaskan sisa energi dengan memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen. Chen et al. (2005) menggunakan spektrometer luminescen dari lightinduced delayed luminescence (DL) untuk mendeteksi kontaminasi aflatoksin B1 (AfB1) yang dihasilkan A. flavus pada kacang tanah. Spektrometer luminescen akan menghasilkan DL dan spektrum fluorescen dari kacang tanah yang terkontaminasi A. flavus.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan protokol deteksi cepat cendawan patogen tumbuhan melalui mekanisme laser-induced fluorescence.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan di masa depan spektroskopi fluorescen dengan sinar laser dapat dimanfaatkan sebagai metode pengujian kesehatan benih yang cepat, mudah, spesifik, murah, dan akurat.
TINJAUAN PUSTAKA
Cendawan Patogen pada Benih Padi Di Indonesia, padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sebagai komoditas politik. Nilai ekonomi padi terletak pada harga jual padi yang masih mendorong petani menanam padi. Sebagai bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan padi sebagai tanaman pangan utama yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Beras seringkali
dijadikan
alat
tawar-menawar
politik
pemerintah
untuk
mempertahankan kekuasaannya. Nilai strategis padi tersebut mendorong pemerintah
untuk
mengupayakan
ketersediaan
beras
nasional
secara
kesinambungan. Oleh karena itu, padi harus selalu diupayakan dalam stabilitas produksinya. Benih merupakan salah satu komponen utama yang menjadi faktor pembatas dalam sistem produksi pertanian.
Selain mutu genetis dan mutu
fisiologis, kesehatan benih termasuk pula sebagai kriteria kualitas benih. Kesehatan
benih
menggambarkan
potensi
mikroorganisme penyebab penyakit tanaman.
benih
sebagai
pembawa
Dewasa ini telah diketahui
berbagai mikroorganisme yang terbawa benih mampu menimbulkan penyakit ketika benih berkecambah, tanaman muda, dan tanaman dewasa (Soekarno 2003; Hidayat 2006). Kelompok mikroorganisme yang dapat terbawa benih atau ditransmisikan melalui benih diantaranya adalah cendawan. Cendawan yang merusak benih dikelompokkan menjadi cendawan lapang dan cendawan penyimpanan. Cendawan lapang menyerang benih selama perkembangan atau pematangan tetapi sebelum panen, sedangkan cendawan penyimpanan biasanya merusak benih sesudah panen apabila kelembaban udara dan suhu cukup tinggi (Agarwal & Sinclair 1997; Martinus 2003). Cendawan patogen terbawa benih padi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu, (a) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada daun padi, (b) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada batang, pelepah, dan akar padi, dan (c) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada biji dan influorescen (Agarwal et al. 1989; Mew & Gonzales 2002). Penyakit paling penting yang disebabkan oleh cendawan patogen terbawa benih tersebut, menurut Webster & Gunnell (1992), antara lain blas, hawar pelepah, busuk akar, dan penyakit pada pembibitan karena menghancurkan tanaman apabila lingkungan dan kondisi pertanaman sesuai bagi perkembangan penyakit.
Mew & Gonzales (2002) menyebutkan bahwa cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada daun padi adalah Alternaria padwickii (Ganguly) Ellis, Bipolaris oryzae (Breda de Haan) Shoem. sinonim Drechslera oryzae (Breda de Haan) Subram. & Jain, Cercospora janseana (Racib.) Const. sinonim C. oryzae Miyake, Microdochium oryzae (Hasioka & Yokogi) Samuels & Hallet sinonim Gerlachia oryzae (Hasioka & Yokogi) W. Gams., dan Pyricularia oryzae Cav.
Webster & Gunnell (1992) menambahkan cendawan patogen terbawa
benih yang menyebabkan penyakit minor pada daun padi, antara lain Entyloma oryzae Syd. & P. Syd., D. gigantea (Heald & F.A. Wolf), Sclerophthora macrospora (Sacc.) Thirumalachar, C. G. Shaw & Narasimhan, Mycovellosiella oryzae (Deighton & Shaw) Deighton, Ascochyta oryzae Cattaneo, Puccinia graminis f. sp. oryzae, dan Uromyces coronatus Yosh. A. padwickii menyebabkan bercak daun stackburn. Infeksi cendawan ini pada benih menyebabkan perubahan warna biji, menurunkan daya kecambah, dan mengurangi kualitas benih.
Cendawan ini bertahan dalam tanah, pada
benih, dan pada sisa tanaman sakit sebagai sklerotium dan miselium. Infeksi terjadi melalui konidia yang terbawa angin. Infeksi umumnya terjadi melalui luka, tetapi A. padwickii dapat juga mempenetrasi glume secara langsung dan menginfeksi kernel yang belum masak. Infeksi pada benih sering menyebabkan infeksi pada pembibitan yang mengakibatkan hawar bibit (Webster & Gunnell 1992; Mew & Gonzales 2002). P. oryzae (blas) merupakan penyebab kelaparan di Jepang selama tahun 1930-an.
Di Philipina, kerugian akibat blas diperkirakan lebih dari 50%.
Serangan P. oryzae dapat mencapai sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia (Agarwal & Sinclair 1997; Utami et al. 2005). Penyakit blas telah menyebar dan dikenal di semua negara penanam padi, kurang lebih ada 85 negara di dunia. Kemampuan cendawan penyebab penyakit blas menghasilkan konidia yang berjumlah sangat banyak, menyebabkan penularannya ke tanaman di sekitarnya sangat cepat. Sifat cendawan mampu terbawa benih memungkinkan dapat tersebarkan melewati jarak dan waktu yang jauh (Kuyek 2000). Fusarium moniliforme Sheld. dan Sarocladium oryzae (Sawada) W. Gams. & D. Hawks. merupakan cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada batang, pelepah, dan akar padi (Mew & Gonzales 2002).
Selain itu,
Webster & Gunnell (1992) menyebutkan pula Magnaporthe salvinii (Cattaneo)
R. Krause & R. K. Webster, Rhizoctonia solani Kuhn, R. oryzae-sativac (Sawada) Mordue, Cylindrocladium scoparium Morg., Gaeumannomyces graminis (Sacc.) Arx & D. Oliver var. graminis, dan Myrothecium verrucaria (Albertini & Schwein) penyebab penyakit pada pelepah padi. Kehilangan hasil padi akibat F. moniliforme telah dilaporkan sekitar 15% di India, 20% sampai 50% di Jepang, dan 3,7% sampai 14,6% di Thailand (Agarwal & Sinclair 1997). F. moniliforme menyebabkan hawar bibit, busuk kaki, kerdil, dan hipertropi (penyakit bakanae). Penyakit bakanae merupakan penyakit yang paling penting di wilayah Asia (Booth 1971). F. moniliforme berada pada embrio, glume, palea, dan lemma (Agarwal et al. 1989). Hawar pelepah, yang disebabkan oleh R. solani, merupakan penyakit kedua terpenting setelah blas di Jepang, Cina, Taiwan, Sri Lanka, dan Amerika Serikat. Kehilangan hasil akibat infeksi R. solani diperkirakan mencapai 30% sampai 40% di Jepang, 25% sampai 50% di Philipina, dan 50% di Amerika Serikat (Agarwal et al. 1989). Sklerotia R. solani dapat bertahan dalam tanah mulai dari beberapa bulan sampai satu atau dua tahun, tergantung kelembaban dan suhu (Ou 1975). Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada biji padi dan influorescen antara lain Curvularia sp., Fusarium solani (Mart.) Sacc., Nigrospora sp., Phoma sorghina (Sacc.) Boerema et al., Pinatubo oryzae Manandhar & Mew, dan Tilletia barclayana (Bref.) Sacc. & Syd. (Mew & Gonzales 2002). Agarwal et al. (1989) menambahkan pula Ustilagonoidea virens (Cooke) Tak., Ephelis oryzae Syd., dan F. gramineum Schwabe. Fusarium semitectum Berk. & Rav. dilaporkan menyebabkan busuk kering pada benih padi di Amerika Serikat, dan juga menyebabkan busuk buah pada pisang, mentimum, melon, dan tomat (Nath et al. 1970). Penyakit false smut merupakan salah satu penyakit pada biji padi yang disebabkan oleh U. virens. Cendawan ini menyerang ovari pada fase awal pembungaan, tetapi dapat juga menyerang biji yang masak. U. virens dapat bertahan sebagai sklerotium atau pseudomorph.
Penyakit false smut telah dilaporkan pernah menimbulkan
epidemi di India, Burma, Peru, dan Philipina (Webster & Gunnell 1992). Penyakit udbatta telah dilaporkan merupakan penyakit yang cukup penting di India, Cina, Hong Kong, New Caledonia, dan Afrika Barat.
Penyakit ini
disebabkan oleh E. oryzae. Di India, kehilangan hasil akibat penyakit ini sekitar
10% sampai 11% (Agarwal et al. 1989). Patogen ini terbawa benih secara internal. Infeksi dimulai pada saat panikel mulai muncul (Kato et al. 1998). Berbagai faktor yang mempengaruhi siklus infeksi adalah kondisi cuaca, kultur teknis, ketahanan atau kerentanan varietas tanaman, virulensi patogen, dan jumlah inokulum yang dihasilkan untuk penyebaran sekunder serta efisiensi inokulum (Mew & Gonzales 2002). Menurut Agarwal & Sinclair (1997), apabila suatu patogen itu terbawa benih, maka ia harus menginfeksi atau menginfestasi benih dengan inokulum yang mampu menyebabkan penyakit pada tanaman setelah penanaman. Setelah padi dipanen dan dikeringkan, kelompok cendawan yang berbeda akan berkembang saat penyimpanan atau disebut cendawan penyimpanan. Biji padi jarang sekali terinfeksi cendawan penyimpanan selama di lapangan. Cendawan penyimpanan tumbuh pada kelembaban relatif kurang dari 95%. Bahkan, cendawan penyimpanan ini dapat tumbuh dan berkembang pada kelembaban relatif 70% dimana tidak ada kandungan air bebas dan suhu rendah (Anonim 2003). Beberapa spesies Aspergillus dan Penicillium merupakan cendawan penyimpanan yang umum dijumpai pada benih padi (Tabel 1). Setiap spesies Aspergillus dan Penicillium memerlukan kelembaban relatif yang berbeda, sehingga perkembangan cendawan tersebut menjadi indikator kandungan air dari biji yang disimpan (Anonim 2003). Cendawan penyimpanan tidak berperan dalam perkembangan penyakit benih tetapi
berperan dalam
kerusakan benih.
Cendawan
berkembang pada benih tanpa adanya air bebas.
ini
mampu
Peranan cendawan
penyimpanan terhadap kerusakan benih agak sulit diketahui. Sekitar 4% dari benih yang disimpan hilang setiap tahun. Kehilangan hasil lebih banyak terjadi di daerah tropis karena kelembaban yang tinggi, curah hujan tinggi, dan cara penyimpanan serta suhu yang jelek (Martinus 2003).
Tabel 1 Kandungan air biji padi pada kelembaban relatif 65% sampai 90% dan kecenderungan cendawan yang muncul
Kelembaban relatif
Kandungan air biji
Cendawan
(%)
(%)
70-75 75-80
14.0-15.0 14.5-15.0
A. restrictus, A. glaucus A. candidus, A. restrictus,
80-85
16.0-18.0
A. glaucus A. flavus, A. candidus,
85-90
18.0-20.0
A. restrictus, A. glaucus Penicillium, A. flavus, A. candidus, A. restrictus, A. glaucus
Sumber: Christensen & Sauer 1982 dalam Anonim 2003.
Kerugian
yang
diakibatkan
cendawan
menurunnya perkecambahan dan pemanasan.
penyimpanan
antara
lain
Menurut Anonim (2003),
viabilitas benih akan menurun karena melemahnya atau matinya embrio benih yang diawali dengan perubahan warna. perubahan warna terdeteksi.
Benih tidak berkecambah apabila
Menurunnya viabilitas benih tergantung pada
cendawan penyimpanan. Aspergillus flavus Link. dapat membunuh keseluruhan lot benih yang terinfeksi apabila benih disimpan selama tiga bulan. A. flavus berkembang pada kadar air benih antara 16% sampai 18%.
Cendawan ini
menyebabkan perubahan warna, pemanasan yang cepat, dan mematikan kecambah. Pemanasan pada benih padi yang disimpan terjadi apabila sebagian benih yang disimpan lembab dan kadar air yang tinggi akibat kebocoran tempat penyimpanan atau aktifitas serangga atau peningkatan suhu benih yang disimpan.
Deteksi Cendawan Patogen Soekarno (2003) menyebutkan bahwa metode deteksi dan identifikasi patogen merupakan salah satu komponen yang menentukan tingkat efektifitas atau keberhasilan pengendalian patogen terbawa benih.
Oleh karena itu,
metode deteksi dan identifikasi yang cepat dan akurat merupakan prasyarat tingkat keberhasilan pengendalian suatu patogen. Keberhasilan deteksi patogen terbawa benih tergantung proses ekstraksi dan isolasi patogen.
Sejumlah
patogen terbawa benih mudah dikenali karena menunjukkan gejala dan atau membentuk struktur khusus pada benih, namun kebanyakan patogen sulit dikenali sehingga perlu dilakukan isolasi terlebih dahulu.
Neergaard
(1977)
mengemukakan
tujuan
dan
maksud
pengujian
kesehatan benih sebagai berikut: a. Untuk maksud karantina sebagai usaha mencegah masuknya penyakit baru dari negara lain atau mencegah meluasnya penyakit di dalam negeri atau ke negara lain. b. Untuk sertifikasi benih sebagai usaha menghilangkan atau mengurangi patogen terbawa benih. c. Untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan tanaman di persemaian maupun di lapang. d. Mengevaluasi kualitas biji yang akan disimpan untuk keperluan konsumsi atau untuk penanaman. e. Untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan perawatan benih sebelum diadakan penanaman atau penyimpanan benih. f.
Mengevaluasi efek fungisida untuk keperluan perawatan benih.
g. Usaha mengadakan survei patogen terbawa benih, sehingga dapat diketahui penyebaran terutama yang dapat menginfeksi dan menginfestasi biji. Metode pengujian kesehatan benih yang digunakan tergantung pada jenis benih dan jenis patogen yang terbawa benih tersebut. Penentuan metode yang digunakan bertujuan agar deteksi dan identifikasi patogen terbawa benih dapat dilakukan dengan mudah, sehingga untuk menguji kesehatan suatu contoh benih mungkin hanya digunakan satu metode atau beberapa metode pengujian. Beberapa
metode
pengujian
kesehatan
benih
untuk
pemeriksaan
cendawan patogen terbawa benih antara lain pemeriksaan langsung benih kering, pencucian benih, inkubasi dengan kertas blotter, inkubasi pada media agar, pengujian gejala kecambah, dan penghitungan embrio (Mathur et al. 1989; Agarwal & Sinclair 1997). Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga cara pengujian kesehatan benih dapat dipilih salah satu atau lebih sesuai tujuan dari pengujian kesehatan benih. Pada pengujian kesehatan benih padi, metode yang sering digunakan adalah metode inkubasi dengan kertas blotter, media agar, pencucian benih, dan pengujian gejala kecambah (Surachmat & Suwanda 1984; Misra & Mew 1994; Mew & Gonzales 2002). Saat ini telah dikembangkan metode deteksi patogen terbawa benih padi dengan pendekatan karakter molekuler berdasarkan sifat protein seperti serologi dan berdasarkan sifat asam nukleat seperti hibridisasi
DNA/RNA dan Polymerase Chain Reaction (PCR)/Reverse Trancription-PCR (RT-PCR). Pemeriksaan langsung benih kering merupakan metode pengujian kesehatan benih yang dapat dilaksanakan untuk mendeteksi cendawan patogen terbawa benih, berdasarkan perubahan karakteristik warna dari benih atau perubahan ukuran dan bentuk benih.
Cara pemeriksaan tersebut dapat
memberikan informasi yang cepat terhadap status kesehatan contoh benih. Tetapi dalam kebanyakan kasus, pemeriksaan langsung benih kering tidak dapat diterima sebagai satu-satunya cara pemeriksaan benih karena ketiadaan gejala atau struktur cendawan pada atau dalam benih tidak langsung menunjukkan bahwa benih bebas dari infeksi patogen, sedangkan adanya gejala tidak selalu menunjukkan keberadaan inokulum patogen yang aktif (Mathur et al. 1989). Metode
pencucian
benih
merupakan
prosedur
yang
cepat
untuk
mendeteksi spora spesifik dari cendawan patogen yang terbawa di permukaan benih, seperti P. oryzae, D. oryzae dan Trichoconis padwickii (A. padwickii) pada benih padi. Identifikasi dengan metode ini hanya berdasarkan karakteristik spora dimana pada beberapa kasus sulit karena parameter lain, seperti lokasi dan karakteristik massa spora, gejala pada tanaman inang, penting pula untuk identifikasi spesies cendawan (Surachmat & Suwanda 1984; Mathur et al 1989). Metode kertas hisap (blotter test) dan metode agar digunakan secara luas untuk mendeteksi cendawan, karena prinsip metode tersebut memberikan kondisi optimal untuk struktur perkembangbiakan lain dari cendawan patogen terbawa benih. Kelemahan metode kertas hisap adalah tingkat perkecambahan benih yang tinggi dan pertumbuhan saprofit yang cepat. Sedangkan metode agar, menurut Mathur et al. (1989), membutuhkan waktu dan biaya dalam menyiapkan media agar sehingga hanya digunakan untuk pengujian kesehatan benih yang sulit dideteksi dengan metode kertas hisap. Prinsip metode pengujian gejala kecambah adalah menumbuhkan benih uji pada media tumbuh tertentu kemudian diamati gejala penyakit yang timbul pada kecambah.
Pada beberapa kasus, kecambah bahkan mungkin mati akibat
inokulum patogen terbawa benih. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit pada fase kecambah seperti Alternaria, Fusarium, Drechslera, Pyricularia (Surachmat & Suwanda 1984; Mathur et al. 1989). Metode
deteksi
cendawan
melalui
pendekatan
merupakan kemajuan dalam pengujian kesehatan benih.
karakter
molekuler
Metode ini mampu
memberikan hasil pengujian yang cepat dan akurat.
Namun, metode ini
memerlukan bahan yang mahal. Upaya untuk mengembangkan metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen yang cepat, mudah, murah, dan akurat perlu dilakukan.
Cendawan
patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu. Metabolit yang dihasilkan cendawan tersebut akan menghasilkan emisi fluorescen sangat spesifik apabila dikenai cahaya near ultraviolet atau ultraviolet.
Oleh karena itu, teknologi
spektroskopi fluorescen sangat potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif metode pengujian kesehatan benih. De Champrode (2007) menyatakan bahwa pengujian dengan fluorescen dapat dilakukan tanpa biaya mahal tiap sampel, selektif, sensitif, dan akurat.
Spektroskopi Fluorescen Spektroskopi fluorescen merupakan salah satu teknik spektroskopi yang telah digunakan secara luas dalam bidang biokimia dan biofisika molekuler saat ini.
Spektroskopi fluorescen cukup terkenal karena sensitivitasnya terhadap
perubahan dinamika dan struktural biokimia dan biofisika, meskipun pengukuran fluorescen tidak memberikan informasi struktural yang terinci (Royer 1995). Menurut Royer (1995), terdapat empat persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam spektroskopi fluorescen yaitu: 1. Prinsip Frank-Condon: inti tidak berubah selama transisi elektronik, dan juga eksitasi terjadi sampai tingkat keadaan elektronik tereksitasi secara vibrasi. 2. Emisi terjadi dari tingkat vibrasi terendah pada keadaan singlet tereksitasi terendah karena relaksasi dari tingkat vibrasi tereksitasi lebih cepat dibandingkan emisi. 3. The
Stokes
shift:
emisi
selalu
merupakan
energi
yang
lebih
rendah daripada absorbsi karena relaksasi inti pada keadaan tereksitasi. 4. The mirror image rule: emisi spectrum merupakan bayangan cermin dari pita absorbsi energi terendah. Molekul memiliki berbagai keadaan yang menunjukkan beberapa tingkat energi. Spektroskopi fluorescen pada dasarnya berhubungan dengan keadaan elektronik dan vibrasi. Secara umum, spesies yang diuji akan memiliki keadaan elektronik dasar (suatu keadaan berenergi rendah) dan keadaan elektronik tereksitasi pada tingkat energi lebih tinggi. Di dalam setiap keadaan elektronik tersebut terdapat berbagai keadaan vibrasi (Anonim 2008).
Pada spektroskopi fluorescen (Gambar 1), suatu molekul terlebih dahulu dieksitasi oleh adanya absorbsi cahaya dari suatu sinar dari keadaan elektronik dasar ke salah satu dari berbagai keadaan vibrasi pada keadaan elektronik tereksitasi. Molekul akan kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat melalui tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan elektronik dasar sambil memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen. Hal ini disebabkan energi telah diabsorbsi dan mencapai salah satu tingkat vibrasi tertinggi pada keadaan tereksitasi.
Cahaya yang dipancarkan akan memiliki
frekuensi dan energi yang berbeda dengan cahaya yang diserap.
Struktur
tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya, dapat ditentukan melalui analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada spektroskopi fluorescen (Bass 2000; Anonim 2008).
Keadaaan elektronik tereksitasi
Energi (eV)
Absorbsi
Keadaan elektronik dasar
Relaksasi vibrasi
Fluorescen
Gambar 1 Skema Proses Fluorescen
Kebanyakan molekul menempati tingkat vibrasi terendah dari keadaan dasar elektronik pada suhu kamar, dan pada absorbsi cahaya molekul-molekul tersebut diangkat untuk mencapai keadaan tereksitasi. mengakibatkan
molekul
mencapai
berbagai
berhubungan dengan setiap keadaan elektronik.
sub-tingkat
Eksitasi dapat vibrasi
yang
Oleh karena energi yang
diabsorbsi memiliki kuanta tersendiri, maka proses tersebut menghasilkan rangkaian pita absorbsi yang berbeda (Bass 2000).
Fluorescen telah menyediakan banyak informasi terkait biomolekul dan dinamikanya.
Fluorescen telah banyak digunakan untuk memonitor proses
polimerasi, mendeteksi basa nitrogen pada DNA, mengukur koefisien difusi, dan menginvestigasi daerah pengikat antibodi. Spektroskopi fluorescen telah banyak pula digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa organik dan inorganik. Teknik spektroskopi fluorescen ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai dasar metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen tumbuhan. Bergkvist (1989) menyatakan bahwa pemanfaatan fluorescen dengan cahaya near ultraviolet untuk deteksi cendawan patogen tidak cukup untuk digunakan sendiri, namun fluorescen dapat menjadi bagian dari metode pengujian kesehatan benih untuk memfasilitasi deteksi cendawan patogen. Metode deteksi cendawan patogen dengan memanfaatkan fluorescen memiliki kelebihan, antara lain cepat, mudah, dan murah.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman dan Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor, dari April 2008 hingga November 2008.
Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan antara lain benih padi varietas Cisantana, media Potato Dextrosa Agar (PDA), media Potato Dextrose Broth (PDB), isolat A. flavus, isolat Fusarium sp., streptomycin, kertas membran nitrat selulosa Whatman 0,2 µm, dan kertas membran nitrat selulosa Whatman 0,45 µm. Peralatan yang digunakan meliputi mikroskop stereo binokuler, mikroskop majemuk binokuler, autoklaf, cork borer, shaker, vacuum pump, cuvette plastik, spektrofluoremeter USB 4000-FL merk Ocean Optics, laser violet (405 nm), cuvette holder, fiber optik, dan komputer dengan software Spectrasuite Ocean Optics.
Metode Persiapan Penelitian Isolat murni.
Sebanyak 200 benih padi direndam dalam larutan natrium
hipoklorit 1% selama 3 menit dan dibilas dengan akuades selama 1 menit sebanyak dua kali. Selanjutnya, benih disemai di atas tiga lembar kertas saring yang telah dilembabkan dengan akuades dalam cawan petri plastik.
Jumlah
benih yang disemai sebanyak 25 benih untuk setiap cawan. Cawan tersebut diletakkan dalam ruang inkubasi di bawah penyinaran lampu near ultraviolet (NUV) dengan pengaturan penyinaran selama 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian.
Pada hari ke-2 inkubasi, cawan dipindahkan ke freezer
dengan suhu -20 °C selama 24 jam. Inkubasi di dalam freezer bertujuan untuk mematikan daya tumbuh benih sehingga memudahkan dalam pengamatan. Selanjutnya, cawan dipindahkan kembali ke ruang inkubasi selama lima hari berikutnya (Mathur et al. 1989; Mew & Gonzales 2002). Setelah selesai inkubasi, dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop stereo binokuler dan mikroskop majemuk binokuler. Cendawan A. flavus dan
Fusarium sp. yang tumbuh kemudian dimurnikan pada media PDA untuk mendapatkan isolat murni cendawan.
Kalibrasi Laser-Induced Fluorescence Pengukuran panjang gelombang metabolit yang dihasilkan dari isolat cendawan A. flavus dan Fusarium sp. Isolat murni cendawan A. flavus dan Fusarium sp. diambil sebanyak dua lingkaran cork borer dan ditumbuhkan dalam tabung erlenmeyer yang berisi 100 ml media PDB. Media PDB di-shaker selama dua minggu. Selanjutnya, suspensi cendawan tersebut disaring dengan vaccum pump untuk mendapatkan metabolit cendawan A. flavus dan Fusarium sp. Suspensi cendawan disaring sebanyak dua kali penyaringan.
Penyaringan
pertama dilakukan menggunakan kertas membran nitrat selulosa Whatman 0,45 µm sebanyak dua lembar dan penyaringan kedua dilakukan menggunakan kertas membran nitrat selulosa Whatman 0,2 µm sebanyak dua lembar. Metabolit yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette plastik. Cuvette plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan sinar laser violet pada panjang gelombang 405 nm.
Panjang gelombang emisi
fluorescen
sp.,
metabolit
A.
flavus
dan
Fusarium
selanjutnya
diukur
menggunakan Spectrofluoremeter USB 4000-FL. Kalibrasi
laser-induced
flourescence
metabolit
A.
flavus
dan
Fusarium sp. sebagai metabolit cendawan standar. Metabolit A. flavus dan Fusarium sp. dimasukkan dalam akuades untuk dilakukan pengenceran. Pengenceran dilakukan hingga didapatkan konsentrasi metabolit 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, 10-7, 10-8, 10-9, dan 10-10. Hal ini dilakukan untuk memperoleh panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan standar. Setelah itu, masing-masing metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada berbagai konsentrasi tersebut diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette plastik. Cuvette plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan sinar laser violet pada panjang gelombang 405 nm.
Panjang gelombang emisi fluorescen
metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada berbagai konsentrasi diukur dan dikalibrasi menggunakan Spectrofluoremeter USB 4000-FL.
Deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada Benih Padi
Modifikasi media tumbuh cendawan sebagai media standar untuk pengukuran panjang gelombang metabolit cendawan. Benih padi direndam dalam akuades selama 24 jam, dimaksudkan untuk merangsang perkecambahan benih pada media tumbuh.
Selanjutnya, benih padi disterilisasi permukaan
dalam natrium hipoklorit 1% selama 3 menit dan dibilas dengan akuades selama 1 menit sebanyak dua kali. Benih tersebut ditumbuhkan pada cuvette plastik yang berisi 1,5 ml media tumbuh PDA yang ditambahkan Streptomycin. Jumlah benih yang ditanam adalah satu biji tiap cuvette plastik. Penumbuhan benih ini bertujuan untuk menghasilkan metabolit cendawan. Aplikasi laser-induced fluorescence untuk deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada Media PDA.
Metabolit yang dihasilkan A. flavus dan
Fusarium sp. pada kecambah benih tersebut dieksitasi dengan sinar laser violet pada panjang gelombang 405 nm.
Gambar 2 menunjukkan skema aplikasi
laser-induced fluorescence. Panjang gelombang emisi fluorescen metabolit A. flavus
dan
Fusarium
sp.
pada
media
PDA
diukur
menggunakan
Spectrofluoremeter USB 4000-FL. Pengamatan dilakukan pada saat kecambah berumur dua hari, empat hari, dan enam hari.
Software: Ocean Optics Laser Violet 405 nm
Spektrofluoremeter USB 4000-FL Fiber optik Sampel uji Gambar 2 Skema Aplikasi Laser-Induced Fluorescence
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL Isolat Murni Cendawan Hasil intersepsi cendawan pada benih padi varietas Cisantana setelah diinkubasi satu minggu dengan metode kertas blotter dengan deep freezing, seperti tercantum pada Tabel 2.
Hasil identifikasi cendawan memperlihatkan
pertumbuhan cendawan, baik cendawan lapang maupun cendawan gudang. Cendawan A. flavus dan Fusarium sp. yang didapatkan kemudian diisolasi dan dimurnikan pada media PDA untuk digunakan pada perlakuan selanjutnya.
Tabel 2 Cendawan pada benih padi varietas Cisantana, metode kertas blotter dengan deep freezing No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Cendawan Alternaria padwickii Nigrospora sp. Curvularia lunata Fusarium sp. Drechslera sp. Cladosporium sp. Trichoderma sp. Rhizoctonia sp. Cylindrocarpon sp. Cephalosporium sp. Gloeosporium sp. Aspergillus flavus Penicillium sp.
Infeksi (%) 9 6 7.5 3.5 0.5 1 0.5 0.5 3 2.5 0.5 0.5 0.5
Pengukuran Panjang Gelombang Metabolit yang Dihasilkan dari Isolat Cendawan A. flavus dan Fusarium sp. A. flavus dan Fusarium sp. yang masing-masing dibiakkan dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml media PDB, diinkubasikan dengan cara di-shaker pada kecepatan 120 rpm selama dua minggu pada suhu ruang.
Metabolit
cendawan diperoleh dengan menyaring suspensi cendawan menggunakan vaccum pump. Masing-masing metabolit A. flavus dan Fusarium sp. dieksitasi dengan sinar laser violet pada panjang gelombang 405 nm. Panjang gelombang
emisi
fluorescen
metabolit
kedua
cendawan
diukur
menggunakan
Spectrofluoremeter USB 4000-FL. Hasil pengukuran panjang gelombang emisi
5000
10000
4000
8000 Intensitas fluorescen
Intensitas fluorescen
fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. seperti terlihat pada Gambar 3.
3000 2000 1000 0 450
550
650
750
850
6000
4000 2000 0 450
950
Panjang gelombang (nm)
550
600
650
700
750
Panjang gelombang (nm)
(A)
Gambar 3
500
(B)
Grafik Fluorescen Metabolit A. flavus (A), Grafik Fluorescen Fusarium sp. (B)
Eksitasi metabolit A. flavus dengan sinar laser violet (405 nm) menghasilkan emisi fluorescen pada panjang gelombang 518 nm.
Metabolit
Fusarium sp. yang dieksitasi dengan sinar laser violet (405 nm) menghasilkan emisi fluorescen pada panjang gelombang 534 nm. Gambar 3 menunjukkan bahwa metabolit A. flavus dan Fusarium sp. memberikan emisi fluorescen hijau (green fluorescence). Untuk melihat pengaruh media PDB terhadap emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit A. flavus dan Fusarium sp. maka media PDB dieksitasi dengan sinar laser violet (405 nm).
Gambar 4 menunjukkan media PDB
menghasilkan emisi fluorescen pada panjang gelombang 513 nm.
Emisi
fluorescen media PDB menunjukkan emisi fluorescen hijau. Hal ini menunjukkan bahwa media PDB memberikan pengaruh terhadap emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit A. flavus dan Fusarium sp.
Intensitas fluorescen
3000
2000
1000
0 450
500
550
600
650
700
750
Panjang gelombang (nm)
Gambar 4 Grafik Fluorescen Media PDB
Kalibrasi Laser-Induced Fluorescence Metabolit A. flavus dan Fusarium sp. sebagai Metabolit Cendawan Standar Masing-masing metabolit cendawan
yang
diperoleh dilakukan
seri
pengenceran mulai 10-1 sampai 10-10 untuk mendapatkan gambaran mengenai panjang
gelombang emisi
Fusarium sp.
fluorescen metabolit
standar
A.
flavus dan
Masing-masing metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada
berbagai konsentrasi tersebut dieksitasi dengan sinar laser violet pada panjang gelombang 405 nm dan diukur panjang gelombang emisi fluorescen metabolit menggunakan Spectrofluoremeter USB 4000-FL. Eksitasi sinar laser violet (405 nm) terhadap metabolit A. flavus dan Fusarium sp. memberikan emisi fluorescen hijau.
Hasil pengukuran panjang
gelombang emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada beberapa konsentrasi seperti terlihat pada Gambar 5.
6000
8000 a
7000
d e
4000
f
3000
g h
2000 1000 500
550
600
650
700
750
4000
c d
3000
e
2000 1000 0 450
Panjang gelom bang (nm )
(A)
Gambar 5
a b
Intensitas fluorescen
Intensitas fluorescen
c
5000
0 450
5000
b
6000
500
550
600
650
700
750
Panjang gelombang (nm)
(B)
Grafik Fluorescen Metabolit A. flavus (A): 10-1(a), 10-2(b), 10-3(c), 10-4(d), 10-5(e), 10-6(f), 10-7(g), 10-8(h); Grafik Fluorescen Metabolit Fusarium sp. (B): 10-1(a), 10-2(b), 10-3(c), 10-4(d), 10-5(e)
Gambar 5 memperlihatkan bahwa pengenceran mempengaruhi intensitas fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. namun panjang gelombang emisi fluorescen metabolit kedua cendawan konsisten.
Metabolit A. flavus -8
menunjukkan emisi fluorescen sampai pada konsentrasi 10 dan menghasilkan emisi fluorescen pada kisaran panjang gelombang 516-518 nm.
Metabolit
Fusarium sp. menunjukkan emisi fluorescen sampai pada konsentrasi 10-5 dan menghasilkan emisi fluorescen pada kisaran panjang gelombang 527-534 nm. Hal ini berarti panjang gelombang emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp., baik sebelum maupun sesudah pengenceran, merupakan bias dari panjang gelombang emisi fluorescen media PDB.
Modifikasi Media Tumbuh Cendawan sebagai Media Standar untuk Pengukuran Panjang Gelombang Metabolit Cendawan Oleh karena media PDB memberikan bias terhadap panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan, maka dilakukan modifikasi media tumbuh untuk menentukan panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan. Modifikasi media tumbuh dilakukan untuk menghindari bias panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan terhadap panjang gelombang emisi fluorescen media tumbuh. Sehingga, media PDA selanjutnya digunakan untuk menumbuhkan cendawan dan menghasilkan metabolit cendawan.
Benih padi direndam dalam akuades selama 24 jam dan disterilisasi permukaan menggunakan natrium hipoklorit 1% selama 3 menit, kemudian dibilas dengan akuades selama 1 menit sebanyak dua kali.
Benih tersebut
ditumbuhkan pada cuvette plastik yang berisi 1,5 ml media tumbuh PDA yang telah ditambahkan streptomycin.
Penumbuhan benih ini bertujuan untuk
menghasilkan metabolit cendawan, dimana emisi fluorescen yang dipancarkan metabolit cendawan berbeda dengan media tumbuhnya (PDA). Benih yang diinkubasikan menunjukkan perkecambahan dan pertumbuhan cendawan pada inkubasi hari ke-3.
Pengamatan hingga inkubasi hari ke-6
menunjukkan kemunculan cendawan lapang dan cendawan gudang. Cendawan yang tumbuh pada benih padi menghasilkan metabolit dan panjang gelombang emisi fluorescen metabolit diukur menggunakan Spectrofluoremeter USB 4000FL mulai inkubasi hari ke-4.
Aplikasi laser-induced fluorescence selanjutnya
dilakukan terhadap metabolit yang dihasilkan A. flavus dan Fusarium sp. pada benih padi yang diinkubasikan.
Aplikasi Laser-Induced Fluorescence untuk Deteksi A. flavus dan Fusarium sp. Inkubasi benih pada hari ke-2 belum menunjukkan perkecambahan benih dan pertumbuhan cendawan, sehingga aplikasi laser-induced fluorescence belum dilakukan. Aplikasi laser-induced fluorescence dilakukan pada inkubasi hari-4 dan hari ke-6 (Gambar 6). Sinar laser violet (405 nm) dipancarkan ke metabolit yang dihasilkan cendawan sehingga diperoleh panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan. Emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. diukur dengan Spectrofluoremeter USB 4000-FL untuk ditentukan panjang gelombangnya.
(A) Gambar 6
(B)
Media PDA (A.a), Media PDA yang Ditumbuhi Fusarium sp. (A.b), Media PDA yang Ditumbuhi A. flavus (A.c); Eksitasi Laser Violet (405 nm) pada Metabolit Cendawan (B)
Metabolit yang dihasilkan A. flavus diukur pada inkubasi hari ke-4 dan hari ke-6 (Gambar 7).
Hasil pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen
metabolit A. flavus memberikan emisi fluorescen pada kisaran panjang gelombang 424-427 nm. Emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit A. flavus merupakan fluorescen biru (blue fluorescence). Fluorescen biru yang dihasilkan metabolit A. flavus diduga merupakan emisi fluorescen aflatoksin B.
6000
4000
a
3000
b
Intensitas fluorescen
Intensitas fluorescen
5000
c
2000 1000 0 380
420
460
500
540
Panjang gelombang (nm)
(A)
Gambar 7
580
5000
a
4000
b
3000
c
2000 1000 0 380
420
460
500
540
580
Panjang gelombang (nm)
(B)
Grafik Fluorescen Metabolit A. flavus, Inkubasi Hari ke-4 (A), Grafik Fluorescen Metabolit A. flavus, Inkubasi Hari ke-6 (B)
Pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen metabolit Fusarium sp. baru dilakukan pada inkubasi hari ke-6, karena pada inkubasi hari ke-4 belum menunjukkan adanya pertumbuhan konidia Fusarium sp. yang sempurna (Gambar 8).
Emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit Fusarium sp.
merupakan fluorescen biru pada panjang gelombang 427 nm. Emisi fluorescen ini diduga merupakan emisi fluorescen dari salah satu metabolit yang dihasilkan Fusarium sp.
Intensitas fluorescen
4000
3000
2000
1000
0 380
420
460
500
540
580
Panjang gelombang (nm)
Gambar 8 Grafik Fluorescen Fusarium sp, Inkubasi Hari ke-6 Untuk melihat pengaruh media PDA terhadap emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit A. flavus dan Fusarium sp. maka media PDA dieksitasi dengan sinar laser violet (405 nm).
Gambar 9 menunjukkan media PDA
menghasilkan emisi fluorescen yang berbeda dengan emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. Media PDA memberikan emisi fluorescen hijau biru (blue-green fluorescence) pada panjang gelombang 448 nm dan fluorescen hijau pada panjang gelombang 485 nm. Hal ini kemungkinan komposisi agar pada media PDA memberikan pengaruh terhadap emisi fluorescen yang dihasilkan, sehingga media PDA memiliki dua puncak panjang gelombang emisi fluorescen.
10000
Intensitas fluorescen
8000 6000 4000 2000 0 410
450
490
530
570
610
Panjang gelombang (nm)
Gambar 9 Grafik Fluorescen Media PDA
PEMBAHASAN Hasil pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. yang dibiakkan pada media PDB menunjukkan bahwa media PDB memberikan pengaruh terhadap emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit kedua cendawan tersebut.
Emisi fluorescen hijau yang semula diduga
dipendarkan oleh metabolit A. flavus (panjang gelombang 518 nm) dan Fusarium sp. (panjang gelombang 534 nm) merupakan bias dari emisi fluorescen media PDB, dimana media PDB menghasilkan fluorescen hijau (panjang gelombang 513 nm).
Fluorescen hijau yang dihasilkan media PDB diduga
merupakan emisi fluorescen protein yang terkandung dalam media PDB. Pengenceran metabolit A. flavus dan Fusarium sp. mempengaruhi intensitas fluorescen metabolit.
Semakin rendah konsentrasi metabolit pada
media PDB maka semakin rendah intensitas fluorescen metabolit.
Meskipun
demikian, pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen metabolit kedua cendawan memberikan panjang gelombang emisi fluorescen yang konsisten. Diduga media PDB mempengaruhi emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit dari kedua cendawan, baik sebelum maupun sesudah dilakukan pengenceran. Hal ini dimungkinkan terjadi karena konsentrasi metabolit di dalam media PDB rendah sehingga emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. didominasi oleh emisi fluorescen media PDB.
Pengenceran metabolit kedua
cendawan kemungkinan menurunkan konsentrasi metabolit di dalam media PDB. Oleh karena itu, pengenceran metabolit tidak memberikan gambaran mengenai
panjang
gelombang emisi
fluorescen metabolit
standar
A.
flavus dan
Fusarium sp. Untuk menghindari bias panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan terhadap panjang gelombang emisi fluorescen media tumbuh maka dilakukan modifikasi media tumbuh. Modifikasi media tumbuh cendawan yaitu menumbuhkan benih padi yang telah direndam dalam akuades selama 24 jam pada media PDA.
Selanjutnya, media PDA dijadikan media standar untuk
mengukur panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan. Inkubasi benih padi pada media PDA merangsang pertumbuhan cendawan dan terbentuknya metabolit.
Metabolit yang dihasilkan masing-masing cendawan
berada di sekitar titik tumbuh benih memberikan panjang gelombang emisi fluorescen yang berbeda dengan panjang gelombang emisi fluorescen media PDA. Aplikasi laser-induced fluorescence menunjukkan metabolit yang dihasilkan A. flavus dan Fusarium sp. memiliki panjang gelombang emisi fluorescen tertentu. Pada laser-induced fluorescence, metabolit cendawan terlebih dahulu dieksitasi oleh adanya absorbsi cahaya dari sinar laser violet dan menghasilkan emisi dalam bentuk emisi fluorescen. Menurut Bass (2000), adanya absorbsi cahaya dari suatu sinar oleh suatu molekul dari keadaan elektronik dasar menjadi salah satu dari berbagai keadaan vibrasi pada keadaan elektronik tereksitasi menyebabkan molekul kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat. Kehilangan sisa energi terjadi melalui tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan elektronik dasar sambil memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen. Metabolit yang dihasilkan A. flavus menghasilkan emisi fluorescen biru pada kisaran panjang gelombang 424-427 nm. Fluorescen biru yang dihasilkan metabolit A. flavus diduga merupakan emisi fluorescen aflatoksin B. Anonim (2004) menyatakan aflatoksin B dinamakan berdasarkan fluorescen biru yang dipancarkannya.
Aflatoksin memiliki penyerapan cahaya maksimum pada
panjang gelombang 360 nm, dimana aflatoksin B memberikan fluorescen biru pada panjang gelombang 425 nm. Menurut Abbas (2005), aflatoksin B1 dan B2 menghasilkan fluorescen biru pada panjang gelombang sekitar 450 nm ketika dipapari sinar ultraviolet (365 nm). Duran (2006) menyatakan emisi fluorescen aflatoksin B1 yaitu <450 nm pada suhu kamar.
Hasil pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen metabolit Fusarium sp. menghasilkan emisi fluorescen pada panjang gelombang 427 nm dan merupakan fluorescen biru.
Panjang gelombang emisi fluorescen metabolit
tersebut dimungkinkan merupakan panjang gelombang emisi fluorescen salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan Fusarium sp.
Menurut Leslie &
Summerell (2006), F. semitectum diketahui menghasilkan apicidin, beauvericin, equisetin,
fusapyrone,
moniliformin,
sambutoxin,
trichothecenes,
dan
zearalenone. Singh et al. (1991) menyebutkan bahwa F. solani menghasilkan napthoquinones dan asam fusarat. Hasil pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada media PDA memperlihatkan bahwa aplikasi laserinduced fluorescence dapat dikembangkan sebagai salah satu metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen tumbuhan berdasarkan metabolit yang dihasilkan cendawan.
Pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen
metabolit cendawan pada media PDA memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas dibandingkan pada media PDB. PDA merupakan media tumbuh yang berbentuk padat, sehingga metabolit cendawan akan lebih terkonsentrasi pada tempat tertentu.
Oleh karena itu, pengukuran panjang gelombang emisi
fluorescen metabolit cendawan dapat lebih jelas. Leslie & Summerell (2006) menyatakan bahwa, selain karakter morfologi dari suatu spesies cendawan, metabolit sekunder dan mikotoksin dapat pula digunakan sebagai karakter identifikasi sekunder. Pemanfaatan laser-induced fluorescence menunjukkan bahwa emisi fluorescen yang dihasilkan metabolit cendawan adalah spesifik. Meskipun pada pengukuran yang dilakukan panjang gelombang emisi fluorescen metabolit A. flavus berimpitan dengan panjang gelombang emisi fluorescen metabolit Fusarium sp. Aplikasi laser-induced fluorescence yang dilakukan pada inkubasi benih mulai hari ke-4 memperlihatkan bahwa laser-induced fluorescence dapat dikembangkan sebagai metode deteksi cepat cendawan patogen tumbuhan. Hal ini dimungkinkan karena, menurut Misra et al. (1994), metode standar pengujian kesehatan benih untuk cendawan memerlukan waktu inkubasi 6-8 hari pada kertas blotter dan media agar untuk dapat diidentifikasi secara morfologi. Dengan demikian, deteksi cendawan patogen tumbuhan menggunakan laserinduced fluorescence lebih cepat dibandingkan dengan metode standar pada kertas blotter (blotter test).
A. flavus, Fusarium sp., dan cendawan patogen tumbuhan lainnya memproduksi metabolit tertentu dan akan menghasilkan spektrum emisi fluorescen yang spesifik.
Agarwal & Sinclair (1997) menyatakan bahwa
persyaratan utama dalam pengujian kesehatan benih adalah akurat, spesifik, sensitif, cepat, praktis, murah, dan dapat dipercaya. Kelebihan metode deteksi cendawan menggunakan laser-induced fluorescence antara lain waktu yang dibutuhkan untuk deteksi lebih cepat dibandingkan metode blotter test, tidak merusak morfologi cendawan, mudah untuk mengaplikasikan alat fluorescen dengan sinar laser, dan memberikan hasil deteksi berupa panjang gelombang emisi fluorescen yang spesifik dan akurat untuk setiap jenis metabolit cendawan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Inkubasi A. flavus dan Fusarium sp. pada media PDB untuk menghasilkan metabolit cendawan memberikan panjang gelombang emisi fluorescen yang bias. Hal ini ditunjukkan pada emisi fluorescen kedua metabolit cendawan sama dengan emisi fluorescen media PDB, yaitu fluorescen hijau.
Pengenceran
metabolit kedua cendawan menurunkan konsentrasi metabolit di dalam media PDB sehingga intensitas fluorescen semakin rendah. Meskipun demikian, panjang gelombang emisi fluorescen metabolit kedua cendawan tetap konsisten. Dengan demikian panjang gelombang emisi fluorescen kedua metabolit bias karena didominasi oleh panjang gelombang emisi fluorescen media PDB, baik sebelum maupun sesudah pengenceran. Untuk menghindari bias tersebut maka dilakukan modifikasi media tumbuh menggunakan media PDA. PDA merupakan media tumbuh padat sehingga metabolit cendawan yang berada di sekitar titik tumbuh benih akan terakumulasi sehingga pada pengukuran panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan tidak dipengaruhi oleh panjang gelombang emisi fluorescen media PDA.
Hal ini
bertujuan agar diperoleh panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan yang spesifik guna dijadikan dasar metode deteksi cepat cendawan patogen tumbuhan. Aplikasi laser-induced fluorescence pada inkubasi benih hari ke-4 memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk deteksi cendawan menggunakan laser-induced fluorescence lebih cepat dibandingkan metode standar pada kertas blotter. Selain itu, A. flavus dan Fusarium sp., serta cendawan patogen lainnya memproduksi metabolit tertentu dan akan menghasilkan emisi fluorescen yang spesifik. Oleh karena itu, aplikasi laser-induced fluorescence berpotensi untuk dikembangkan sebagai dasar metode deteksi cepat cendawan patogen terbawa benih tanaman.
Saran
1. Pemanfaatan laser-induced fluorescence dapat dikembangkan untuk mendeteksi cendawan berdasarkan metabolit sekunder dan mikotoksin yang dihasilkan cendawan.
2. Perlu penelitian lebih lanjut menggunakan aflatoksin dan metabolit sekunder Fusarium sp. standar agar diperoleh validitas data mengenai panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan.
3. Penelitian perlu dilakukan menggunakan media tumbuh lainnya sehingga akan memberikan data mengenai potensi laser-induced fluorescence lebih spesifik dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA AAK. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisius. Abbas HK. 2005. Aflatoxin and Food Safety. Boca Raton: CRC Press, Inc. Agarwal VK, Sinclair JB. 1997. Principles of Seed Pathology. Edisi kedua. Boca Rotan, Florida: CRC Press, Inc. Agarwal PC, Mortensen CN, Mathur SB. 1989. Seed-borne Diseases and Seed Health Testing of Rice. Denmark: Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries. Andoko A. 2007. Budidaya Padi secara Organik. Jakarta: Penebar Swadaya. Anonim. 2004. Aflatoxin detection using blak-ray ultraviolet lamps. http://www.coleparmer.com/techinfo/techinfo.asp?htmfile=e-new_LAB_0704.htm[31 Juli 2008]. Anonim. 2003. Managing rice decay during storage. http://www.plantsciensces.ucdavis.edu/uccerice/quality/rwq2003/c8ricedecay2003.pdf [23 April 2008]. Anonim. 2008. Flourescence spectroscopy. http://www.wikipedia.com [3 Juli 2008]. Bass D. 2000. An introduction to fluorescence spectroscopy. http://homepages.wmich.edu/rsung/files/introflour.pdf [3 Juli 2008]. Bergkvist G. 1989. Evaluation of sorghum bicolor seed-health testing procedures. http://www.vaxteko.nu/html/sll/slu/arb_rapp_ulandsavd [31 Juli 2008]. Booth C. 1971. The Genus Fusarium. England: Commonwealth Mycological Institute. Chen WL, Xing D, Chen WG. 2005. Rapid detection of Aspergillus flavus contamination in peanut with novel delayed luminescence spectra. J Photochemistry and Photobiology 81: 1361-1365. De Champrode M, Bazzicalupo P, De Napoli L, Montesarchio D, Di Fabio G, et al. 2007. A new competitive fluorescence assay for the detection of patulin toxin. Anal Chem 79: 751-757. Duran TR, Barragan IS, Fernadez JMC, Medel AS. 2006. Solid-supported room temperature phosphorescence from aflatoxins for analytical detection of Aspergillus spp. strains. The Analyst 131: 785-787. Hidayat SH. 2006. Arti penting mikroorganisme pembawa penyakit. Modul Pelatihan Teknis Uji Serologi; Jakarta, 6-11 Maret 2006. Jakarta: BUS Karantina Tumbuhan dan BBKT Tanjung Priok. Kato H, Ohata K, Kauraw LP, Lee YH. 1988. Fungal diseases of rice seed. Rice Seed Health. Proceedings of the International workshop on Rice Seed Health; Manila, 16-20 Maret 1987. Philippines: The International Rice Research Institute. hlm 151-162. Kuyek D. 2000. Blast, biotech and big business: Implications of corporate strategies on rice research in Asia. http://grain.org/briefings_files/blast [8 Mei 2007].
Leslie JF, Summerell BA. 2006. Fusarium Laboratory Manual. USA: Blackwell Publishing. Maude RB. 1996. Seedborne Diseases and Their Control: Principles and Practice. Wallindford, UK: CAB International. Martinus. 2003. Andalas.
Patologi Benih dan Jamur Gudang.
Padang: Universitas
Mathur SB, Singh K, Hansen HJ. 1989. A Working Manual on Some Seedborne Fungal Diseases. Denmark: Danish Government Institute of Seed Pathology. Misra JK, Merca SD, Mew TW. 1994. Fungi. Di dalam: Mew TW, Misra JK, editor. A Manual of Rice Seed Health Testing. Philippines: International Rice Research Institute. hlm 25-28. Muchtadi TR. 2008. Program peningkatan produksi beras 2 juta ton/tahun. www.drn.go.id [22 April 2008]. Mew TW, Gonzales P. 2002. A Handbook of Rice Seedborne Fungi. Los Banos (Phillipines): International Rice Research Institute, and Enfield, N.H. (USA): Science Publishers, Inc. Muschick MFW. 2002. The concept of seed quality-seed testing: Strategy and international co-operation. ASIAN SEED 2002; Ho Chi Minh City-Vietnam, 18-21 November 2002. Vietnam: The Asia and Pacific Seed Association. hlm 1-12. Nath R, Neergaard P, Mathur SB. 1970. Identification of Fusarium Spesies on Seeds as They Occur in Blotter Test. Denmark: Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries. Neergaard P. 1977. Seed Pathology. Volume kesatu. London: The Macmillan Press Ltd. Ou SH. 1975. A Handbook of Rice in the Tropics. Edisi kedua. Philippines: The International Rice Research Institute. Rennie WJ, Cockerell V. 2006. Seedborne diseases. Di dalam: Cooke BM, Jones DG, Kaye B, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. Edisi kedua. The Netherlands: Springer. hlm 357-372. Royer CA. 1995. Approaches to teaching flourescence spectroscopy. Biophysical Journal 68: 1191-1195. Singh K, Frisvad JC, Thrane U, Mathur SB. 1991. An Illustrated Manual on Identification of Some Seed-borne Aspergilli, Fusaria, Penicillia and their mycotoxins. Denmark: Danish Government institute of Seed Pathology for Developing Countries. Soekarno PWS. 2003. Pengujian kesehatan benih: Peluang, tantangan, dan taruhan. Modul Pelatihan Pengujian Kesehatan Benih; Jakarta, 4 Agustus 2003. Jakarta: Badan Karantina Pertanian. Surachmat, Suwanda. 1984. Karantina Pertanian.
Pengujian Kesehatan Benih.
Jakarta: Balai
Sutakaria J. 1982. Penyakit Benih dan Pengujian Kesehatan Benih. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Utami DW, Moeljopawiro S, Aswidinnoor H, Setiawan A, Hanarida I. 2005. Gen pengendali sifat ketahanan penyakit blas (Pyricularia grisea Sacc.) pada spesies padi liar Oryza rufipogon Griff. dan padi budi daya IR64. J AgroBiogen 1(1): 1-6. Webster RK, Gunnell PS. 1992. Compedium of Rice Diseases. USA: APS Press.