KETAHANAN KELUARGA, PENGASUHAN, DAN INTERVENSI PSIKOSOSIAL, SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL REMAJA PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BEKASI
SITI NURHIDAYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin Di Kota Bekasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2013
SitiNurhidayah NIM I251100011
RINGKASAN SITI NURHIDAYAH. Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin di Kota Bekasi. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan MELLY LATIFAH Kemiskinan merupakan salah satu penyebab stres bagi keluarga, dan khususnya anak. Kualitas lingkungan pengasuhan menjadi tidak maksimal ketika partisipasi orang tua dalam mendorong perkembangan anak sangat minim, oleh karena itu upaya peningkatan ketahanan keluarga menjadi faktor yang cukup penting. Keterbatasan keluarga miskin dalam menjalankan fungsinya membutuhkan dukungan eksternal berupa dukungan ekonomi dan dukungan sosial. Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh ketahanan keluarga, pengasuhan, dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja. Disain penelitian ini adalah control group pretest – posttest design. Responden adalah remaja pada keluarga miskin di Kota Bekasi yang diambil secara random sampling. Jumlah total contoh 96 yang terdiri dari 48 kelompok perlakuan dan 48 kelompok kontrol. Data yang dikumpulkan dari contoh meliputi karakteristik remaja (usia, pendidikan dan jenis kelamin), peer group, paparan media dan perkembangan psikososial. Perkembangan psikososial diambil saat baseline (sebelum dilakukan intervensi psikososial) dan saat endline (setelah dilakukan intervensi psikososial). Data yang diambil dari ibu contoh meliputi ketahanan keluarga dan pengasuhan (dimensi kehangatan, dimensi emosi, dan dimensi arahan). Karakteristik remaja, karakteristik keluarga diolah dan dianalis dengan menggunakan analisis diskriptif. Uji beda menggunakan independent sampel test. Kemajuan antara kondisi baseline dan endline pada kelompok perlakuan menggunakan uji paired sampel t-test. Uji hubungan variabel dengan menggunakan Spearman correlation dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja dengan menggunakan uji regresi berganda. Analisis pengaruh intervensi (sebagai variabel independen) terhadap perubahan perkembangan psikososial pada saat endline menggunakan uji regresi linier. Tahapan penelitian meliputi: 1) persiapan; 2) pengumpulan data dan intervensi; 3) analisis data dan penulisan. Kegiatan intervensi dilaksanakan selama tujuh kali pertemuan (±17.5 jam) dalam kurun waktu 2 bulan. Program intervensi psikososial dirancang dan disusun dalam sebuah modul. Pada setiap pertemuan intervensi diawali dengan pretest dan diakhiri dengan posttest. Berdasarkan sebaran karakteristik remaja, usia contoh berkisar antara 13-18 tahun dengan persentase sebesar 59,3% pada usia 13 sampai 15 tahun dan 40,6% pada usia 16-18 tahun. Jumlah laki-laki 47 orang atau 49% dan perempuan 49 orang atau 51%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan contoh cukup bervariasi 37.5 % contoh tamat SD dan 36.5 % tidak tamat SMP. Terdapat 15.6% contoh tidak tamat SD dan 9.4% tidak sekolah.Usia ibu79.2% berada pada rentang dewasa madya. Pendidikan orang tua contoh persentase terbesar (49.0% ibu dan 44.80% ayah) tamat SD. Pekerjaan ibu contoh bekerja sebagai pemulung (49.0%), dan pekerjaan ayah persentase terbesar menjadi buruh (34.4%) dan pemulung (31.3%). Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh Rp219.522,8 lebih rendah dari pendapatan perkapita menurut BPS Jawa Barat tahun 2012 untuk daerah perkotaan sebesar Rp249.170,0.
Pencapaian ketahanan keluarga sebagian besar pada taraf sedang (83%). Praktik pengasuhan orang tua contoh ditinjau dari dimensi kehangatan, dimensi emosi dan dimensi arahan masih dalam taraf rendah. Lebih dari setengah (58.3%) pengaruh peer group dalam kategori rendah. Paparan media yang didapatkan oleh remaja dalam penelitian ini lebih dari setengah (54.2%) kategori sedang. Hasil uji korelasi usia remaja berhubungan dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja (r=0.418, p<0.01). Pendidikan remaja memiliki hubungan yang nyata dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja (r=0.656,p<0.01). Penelitian ini membuktikan bahwa ketahanan keluarga memiliki keterkaitan dengan perkembangan psikososial remaja disemua tahap (r=0.522, p<0.01). Selanjutnya dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa pengasuhan orang tua dimensi kehangatan, dimensi pelatih emosi dan dimensi arahan mempunyai hubungan dengan perkembangan psikososial remaja. Peran teman sebaya bila terjadi konformitas akan cenderung ke arah tekanan negatif. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara konformitas teman sebaya dengan perkembangan psikososial remaja (r=-0.270, p<0.01. Paparan media memiliki hubungan positif dengan semua tahap perkembangan psikososial (r=0.338, p<0.01). Pada penelitian ini setelah dilakukan intervensi ditemukan bahwa terdapat perbedaan perkembangan psikososial antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan memiliki rerata lebih tinggi dari kelompok kontrol (p<0.05). Penelitian ini juga menemukan terdapat kemajuan pencapaian tahap perkembangan psikososial sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi (p<0.05). Hasil uji regresi berganda pada saat baseline menunjukkan bahwa usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, konformitas teman sebaya, dan paparan media merupakan variabel yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja (R square= 0.628). Pendidikan remaja dan ketahanan fisik keluarga konsisten mempengaruhi setiap tahap perkembangan psikososial (trust – identity). Saat endline variabel yang berpengaruh terhadap perkembangan psikososial adalah usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial (R square = 0.740). Hasil uji regresi linier dengan intervensi sebagai variabel independen menunjukkan bahwa intervensi berpengaruh nyata pada semua tahap perkembangan psikososial (trust – identity). Kontribusi intervensi pada total perkembangan psikososial sebesar 36.4% dalam peningkatan pencapaian perkembangan psikososial remaja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi sebagai model dukungan sosial keluarga sangat berpengaruh terhadap peningkatan perkembangan psikososial remaja. Penelitian ini menguatkan hasil penelitian tentang pengaruh usia remaja, paparan media dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan psikososial remaja serta mendukung konsep ekologi keluarga bahwa dukungan sosial langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilakukan penelitian sejenis dengan menambah durasi waktu intervensi psikososial. Modul intervensi dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bagi pemerintah, yayasan dan LSM yang mendampingi remaja. Kata Kunci: ketahanan keluarga, intervensi psikososial, pengasuhan, perkembangan psikososial remaja.
SUMMARY
SITI NURHIDAYAH. Family Strengthening, Parenting and Psychosocial Intervention and Its Effect on Adolescent Psychosocial Development on Poor Families in Bekasi. Supervised by EUIS SUNARTI and MELLY LATIFAH. Poverty is one cause of family stress, especially for children. Parents will give worse environmental quality of parenting when the participation of parents in encouraging the development of children is minimal, then efforts to improve family strengthening is quite important factor. Limitations of poor families in carrying out its functions require external support in the form of economic and social support. Psychosocial intervention is a form of social support. This research aimed to analyze the influence of family strengthening, parenting and psychosocial interventions for adolescent psychosocial development. The design of this study is “the control group pretest - posttest design”. Respondents in this research were adolescent from poor families in Bekasi taken by random sampling. Total number of 96 adolescents consisting of 48 adolescents as experimental group and 48 adolescents as control group. Data consisted of adolescent characteristics (age, education and gender), peer conformity, media exposure and psychosocial development. Psychosocial development were taken at the beginning of the research/baseline (before psychosocial intervention applied) and at the end of the research/endline (after psychosocial interventions applied). The data that taken from the adolescent mother including family strengthening and parenting (warmth dimension, emotion dimension, and referrals dimension). Adolescent characteristics and family characteristics were processed and analyzed using descriptive analysis. Progress between baseline and endline conditions in the experimental group using paired sample t-test. Relationship test variables using Spearman correlation and to analyze the factors that influence adolescent psychosocial development using regression test. Analysis the effect of the intervention (the independent variable) in changes on adolescent psychosocial development at the end of research using linear regression analysis. The stages of research: 1) preparation; 2) data collection and intervention; 3) data analysis and writing. Interventions carried out during seven meetings (± 17.5 hours) within a period of 2 months. Psychosocial intervention program designed and structured in a module. At each intervention meeting begins with a pretest and ended with posttest. Based on the distribution of adolescents characteristics, the age of adolescent ranged from 13-18 years with a percent age of 59.3 percent at age 13 to 15 years old and 40.6 percent at age 16-18 years old. Adolescent in this research consisting 47 boys or 49 percent and 49 girls or 51 percent. The results showed that the level of adolescent education was varied, 37.5 percent of adolescent completed primary school and 36.5 percent did not completed junior high school education. There is a 15.6 percent of adolescent did not completed primary school education and 9.4 percent of adolescent were uneducated. 79.2 percent mother of adolescents were in the age range of middle adulthood. The largest percentage of adolescent parent education were in level completed primary school education (49.0 percent of adolescent mother and 44.8 percent of adolescent father). Most of mother of adolescents work as scavengers (49.0%), and the greatest percentage of adolescent father were work as laborers (34.4%) and scavengers (31.3%). The average of adolescent family income per capita was Rp 219.522,8. It was lower than the per capita income according to West Java BPS in 2012 for urban areas (Rp249.170,0).
Achievement of family strengthening largely on the level of moderate (83%). Parenting practices in terms of the dimensions of warmth, emotion and referrals were still in a low level. More than half (58.3%) of peer conformity were in the low category. In this study, more than half (54.2%) adolescents were in medium category on obtaining media exposure. The results of correlation test showed that adolescents age was related to adolescent psychosocial development (r=0.418, p< 0.01). Adolescent education had a significant connection with the achievement of adolescent psychosocial development (r=0.65, p<0.01). This research proved that family strengthening was related to the psychosocial development of adolescents in all stages (r=0.522, p<0.01). Furthermore, in this research also proved that the parenting dimensions of warmth, emotion and referrals had relationships with adolescent psychosocial development. The role of peers in the event of conformity would tend towards the negative pressure. This research found that there was a negative correlation between peer conformity with adolescent psychosocial development (r=-0.270, p< 0.01). Exposure of media had a positive relationship with all stages of psychosocial development (r=0.338, p< 0.01). After the psychosocial intervention applied in experimental group, this research showed that there were differences in psychosocial development between the control group and the experimental group. Experimental group had higher average than the control group (p<0.05). This research also found there was progress towards stages of psychosocial development before and after the intervention applied (p<0.05). Regression test results at baseline (before the psychosocial intervention applied) showed that adolescent age, adolescent education, physical strengthening of family, peer conformity, and media exposure were influencing adolescent psychosocial development (R square=0.628). Adolescent education and family physical strengthening consistently affect every stages of psychosocial development (trust-identity). When endline (after the psychosocial intervention applied) variables that affect the psychosocial development were adolescent age, adolescent education, family physical strengthening, peer conformity, media exposure and psychosocial interventions (R square=0.740). Results of linear regression with psychosocial intervention as the independent variables showed that intervention significantly influenced at all stages of psychosocial development (trustidentity). Psychosocial intervention contribution were 36.4 percent, which increasing adolescent psychosocial development. The results showed that psychosocial interventions as a model of family social support significantly influenced the increasing of adolescent psychosocial development. This study corroborate the results of research about the effects of adolescent age, media exposure and parenting style on adolescent psychosocial development and supports the concept of family ecology which explain that social support directly or indirectly affect the well-being of parents, the integrity of the family, parent-child interaction, as well as the development and behavior of children. Based on the results of this research, it could be done similar research by increasing the duration of psychosocial interventions. Intervention modules could be used as an alternative for the government, foundations and non-governmental organization (NGO) whose accompany adolescent in the research. Keywords : family strengthening , parenting , psychosocial interventions, adolescent psychosocial development.
© HakCiptamilik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KETAHANAN KELUARGA, PENGASUHAN, DAN INTERVENSI PSIKOSOSIAL, SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL REMAJA PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BEKASI
SITI NURHIDAYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Tin Herawati, S.P., M.Si.
Judul tesis
:
Nama NRP
: :
Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin di Kota Bekasi Siti Nurhidayah I251100011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. Ketua
Ir. Melly Latifah, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc,Agr
Tanggal Ujian :10 Juni 2013
Tanggal Lulus :
Judul tesis
Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin di Kota Bekasi
Nama NRP
Siti Nurhidayah 1251100011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. Ketua
Ir. Melly Latifah, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
~RifJl~~bi~ · Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc
Tanggal Ujian :10 Juni 2013
TanggalLulus:
12 NOV 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin di Kota Bekasi” yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains dalam bidang keahlian Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Melly Latifah, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah menjadi inspirasi, memberikan kesempatan, arahan, bimbingan, dan wawasan pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis selama penyusunan tesis ini. 2. Dr. Tin Herawati, SP., M.Si. dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. atas kesediaan dan waktunya untuk menjadi penguji pada ujian tesis. 3. Rekan-rekan fasilitator (Abas Asrom, Agus Setiawan, Antonius, Ayu Azhar, Iik Marina, Lilis, Agus Candra dan Rahmat Yukardi) yang telah membantu penulis melaksanakan intervensi psikososial. 4. Jajaran pemerintahan kelurahan Margahayu, Kelurahan Harapan Jaya, Mas Adi, dan Bang Andi atas bantuanya mendampingi penulis dalam pengambilan data. 5. Seluruh keluarga, terutama suami Hudori, anak-anak tercinta Fida, Wardah, Syauqi, keluarga besar Ibunda Endri Ris Hartati, dan Bapak Chotib Abbas yang telah mencurahkan, kasih sayang, do’a dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi pascasarjana. 6. Teman-teman dosen program studi Psikologi FISIP Unisma Bekasi atas segala perhatian, pengertian dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 7. Teman-teman IKA angkatan 2010 yang selalu saling mendukung dan mengisi hari-hari indah penuh makna selama menjalani studi serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan semangat bagi penulis. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat.Terima Kasih
Bogor, Juni 2013 Siti Nurhidayah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xiii xv xvi
PENDAHULUAN Latar belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga PendekatanTeori Keluarga Pendekatan Teori Ekologi Keluarga Ketahanan Keluarga Pengasuhan Perkembangan Psikososial Remaja Intervensi Psikososial
6 6 7 8 10 12 16 18
KERANGKA PEMIKIRAN
20
METODE PENELITIAN Disain Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Subyek Penelitian Kegiatan Intervensi Alur dan Prosedur Penelitian Tenik Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisa Data Definisi Operasional
22 22 22 23 25 25 27 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Remaja dan Keluarga Ketahanan Keluarga Pengasuhan Konformitas Teman Sebaya Paparan Media Perkembangan Psikososial Intervensi Psikososial Hubungan antara Variabel Penelitian dengan Perkembangan Psikososial Analisis Perbedaan Perkembangan Psiososial Remaja
33 33 38 43 50 51 52 57 63 72
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial Remaja Pembahasan Umum Keterbatasan Penelitian
75 83 87
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
88 88
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
90 96
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Control group pretest – posttest design Data dan cara pengumpulan data Nilai alpha cronbach instrumen penelitian yang digunakan Pengolahan data karakteritik remaja, keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan dan perkembangan psikososial Persamaan regresi linier berganda dengan Y1 perkembangan psikososial baseline Persamaan regresi linier berganda dengan Y2 perkembangan psikososial endline Persamaan regresi linier Sebaran contoh berdasarkan pendidikan, aktifitas dan kelompok Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan kelompok Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Rata-rata, kisaran, standar deviasi dan kontribusi pendapatan ibu, ayah dan anggota keluarga lain Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan fisik keluarga Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan sosial keluarga Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan psikologis keluarga Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi kehangatan tipe warmth acceptance Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi kehangatan tipe hostility/aggression, neglect/indefference dan undifferentiated rejection Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi emosi tipe pelatih emosi Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi emosi tipe mengabaikan emosi, tidak menyetujui dan laizzez-faire Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe authori tarian Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe permissive Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe authoritative Sebaran contoh berdasarkan item konformitas teman sebaya Sebaran contoh berdasarkan konformitas teman sebaya, jenis kelamin dan kelompok Sebaran contoh berdasarkan jenis dan rerata waktu paparan media Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap trust Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap autonomy Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap initiative
22 26 27 28 29 30 30 34 35 36 37 37 39 40 42 43 44
45 47 47 48 49 50 51 52 53 54 55
29. Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap industry 30. Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap identity 31. Sskor pretest - posttest materi pendahuluan dalam intervensi psikososial 32. Sebaran contoh dalam mengungkapkan harapannya terhadap orang tua 33. Sebaran contoh dalam pengungkapan pencapaian harapan 34. Sebaran skor pretest - posttest pertemuan keempat dalam intervensi psikososial 35. Sebaran skor pretest - posttest pertemuan kelima dalam intervensi psikososial 36. Sebaran skor pretest - posttest pertemuan keenam dalam intervensi psikososial 37. Sebaran skor pretest - posttest pertemuan ketujuh dalam intervensi psikososial 38. Rataan kehadiran, rataan nilai dan p-value hasil uji beda hasil pretest dan posttest peserta intervensi psikososial 39. Koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan ketahanan keluarga 40. Koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan pengasuhan 41. Koefisien korelasi karakteristik remaja dengan konformitas teman sebaya dan paparan media 42. Koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan tahapan perkembangan psikososial 43. Koefisien korelasi antar komponen ketahanan keluarga 44. Koefisien korelasi antar dimensi pengasuhan 45. Koefisien korelasi antar tahap perkembangan psikososial 46. Koefisien korelasi ketahanan keluarga dan pengasuhan 47. Koefisien korelasi ketahanan keluarga, pengasuhan, teman sebaya dan perkembangan psikososial 48. Nilai value hasil uji beda t test dan Uji paired sample test tahap perkembangan psikososial sebelum dan sesudah intervensi 49. Hasil analisis regresi ganda variabel-variabel yang mempengaruhi model 1- 6 50. Hasil analisis regresi ganda variabel-variabel yang mempengaruhi model 7- 12 51. Hasil uji regresi linier dengan intervensi sebagai variabel independen (x) 52. Verifikasi pengaruh intervensi psikososial terhadap perilaku remaja
55 56 58 59 60 60 61 62 62 63 64 65 66 67 68 68 69 69 70 74 76 81 82 86
DAFTAR GAMBAR 1. Hubungan anak dengan lingkungannya (model ekologi dari Bronfenbrenner 1979) 2. Kerangka pemikiran ketahanan keluarga, pengasuhan, dan intervensi psikososial, serta pengaruhnya terhadap perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin 3. Kerangka penarikan contoh 4. Bagan instruksional intervensi psikososial 5. Alur dan prosedur penelitian 6. Sebaran contoh berdasarkan usia, kelompok dan jenis kelamin 7. Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua 8. Sebaran contoh berdasarkan kategori pencapaian ketahanan keluarga 9. Sebaran contoh berdasarkan pencapaian dimensi pengasuhan orang tua 10. Sebaran contoh berdasarkan jenis paparan media 11. Pendapat contoh tentang pengaruh media 12. Sebaran contoh berdasarkan kategori tahap perkembangan psikososial pada kondisi baseline dan endline
Halaman 7 21
23 24 25 34 35 43 48 51 52 57
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
halaman 97 98
8
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua Sebaran contoh berdasarkan kategori setiap komponen ketahanan keluarga dan p-value Sebaran contoh berdasarkan kategori praktek pengasuhan warm dimension dan p-value Sebaran contoh berdasarkan kategori praktek pengasuhan dimensi emosi dan p-value Sebaran contoh berdasarkan kategori praktek pengasuhan dimensi arahan dan p-value Sebaran contoh berdasarkan kategori setiap dimensi pengasuhan keluarga dan p-value Matrik hasil uji korelasi antar variabel
9
Peta lokasi penelitian di Kecamatan Bekasi Timur
104
10 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Bekasi Utara
105
4 5 6 7
99 100 101 102 103
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Proses transformasi masyarakat dunia abad 21 saat ini dipengaruhi oleh lima perkembangan penting yaitu kependudukan, tehnologi, ekonomi, lingkungan hidup dan politik. Saat ini laju informasi berjalan dengan sangat cepat. Segala sesuatu yang terjadi di seantero dunia dapat diakses dan diketahui dalam hitungan detik. Begitu juga masalah-masalah budaya, ilmu pengetahuan, teknologi berkembang pesat, dan persaingan hampir dalam seluruh segmen kehidupan terjadi dan terbuka lebar. Pada zaman atau era seperti ini dibutuhkan pribadipribadi yang tangguh dan mempunyai kemandirian tinggi dalam rangka mengarungi kehidupannya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah keluarga yang mampu membimbing dan mendidik anak atau remaja yang mandiri dan bertanggungjawab atas masa depannya (Sidi & Setiadi 2008). Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan baik secara biologis, kognitif maupun psikososial (Papalia et al. 2004). Pencarian identitas diri menjadi perhatian utama dalam masa remaja. Berdasarkan tahap perkembangan psikososial Erik Erikson remaja mulai mengembangkan gambaran yang koheren mengenai diri termasuk peran sertanya dalam masyarakat. Tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman, dan peran yang mereka miliki, serta memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Santrock 2002). Keluarga sebagai unit terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh, dan dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Hingga nantinya sang anak atau remaja siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan mampu mengemban amanat besar sebagai penerus estafet perjuangan bangsa. Kemiskinan yang dialami keluarga mengakibatkan keluarga berada pada kondisi rentan terhadap masalah, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan masalah sosial lainnya, sehingga keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Kemiskinan menyebabkan keluarga kurang memperhatikan perkembangan anak. Keluarga yang miskin akan cenderung menerapkan pengasuhan yang negatif dan kurang efektif (Papalia et al. 2009). Masalah kemiskinan akan menurunkan kemampuan keluarga untuk melakukan investasi terhadap anak pada akhirnya akan memperburuk kesejahteraan keluarga dan anak di masa depan. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu perkembangan psikososial anak perlu diteliti karena pengasuhan memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan anak (Collin et al. 2000). Hasil penelitian Bernard 1981, Enright et al. 1980 & Marcia 1980 yang diacu Santrock (2003) menunjukkan terdapat hubungan antara perkembangan identitas remaja dengan pola pengasuhan orang tua. Remaja dengan orang tua authoritative menunjukkan perkembangan psikososial yang lebih baik, kompetensi akademik, jauh dari perilaku kenakalan dan terhindar dari simptom somatik (Steinberg et al. dalam Huver et al. 2010).
2
Hasil penelitian Sunarti (2008) semakin tinggi/baik ketahanan keluarga mempraktikkan pengasuhan (dimensi emosi, dimensi arahan, dan lingkungan pengasuhan) yang semakin baik. Keterbatasan keluarga miskin dalam menjalankan fungsinya membutuhkan dukungan eksternal berupa dukungan ekonomi dan dukungan sosial. Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Menurut Black & Khirisnakumar 1998; Brooks-Gunn et al 1997; Leventhal & BrooksGunn 2000 yang diacu oleh Papalia et al. 2009) bahwa kehadiran orang dewasa yang terdidik dan bekerja, yang dapat membina komunitas miskin memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan oleh remaja. Intervensi adalah salah satu dukungan formal yang dibutuhkan dalam pendekatan model ekologi keluarga. Berdasarkan pemaparan tersebut maka penelitian ini meneliti pengaruh ketahanan keluarga, pengasuhan dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin Rumusan Masalah Kemiskinan merupakan salah satu indikator dalam melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tahun 2009 Kota Bekasi memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 75,81 diatas rata-rata IPM Jawa Barat yaitu 71,64 (BPS 2011). Namun sebagai kota yang berdampingan dengan kota metropolitan Kota Bekasi masih terdapat 15% penduduk (350.473 dari 2.336.489 jiwa) atau sekitar 87. 618 keluarga miskin (Bapeda Kota Bekasi 2010). Secara alami anak memiliki nilai psikis dan materi sehingga orang tua menganggap anak merupakan nilai investasi di masa depan yang paling efisien. Perwujudan investasi pada anak dengan memberikan pengasuhan yang baik, perawatan, sekolah dan pemenuhan kebutuhan makan anak yang baik. Namun pada kenyataannya, dalam kondisi yang serba kekurangan orang tua tidak mampu menyekolahkan anak karena faktor kemiskinan dan masih rendahnya tingkat kesadaran dan motivasi orang tua untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan anak ataupun melakukan stimulasi bagi perkembangan psikososial mereka. Anak yang berasal dari keluarga miskin kemungkinan mengalami hambatan perkembangan lebih besar dibandingkan dengan anak yang hidup pada keluarga tidak miskin karena ketersediaan waktu dan finansial yang terbatas untuk memfasilitasi perkembangan anak (Hartoyo 1998). Kemiskinan merupakan salah satu penyebab stress bagi keluarga dan khususnya anak. Anak yang berasal dari keluarga miskin lebih mungkin mengalami kejadian yang mengancam dan tidak bisa dikontrol. Tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang berbahaya, tugas-tugas tambahan yang memberatkan, dan juga ketidakpastian ekonomi merupakan stressor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum miskin. Kondisi demikian mempengaruhi perilaku sosial remaja. Di sisi lain remaja juga dihadapkan dengan lingkungan di luar keluarganya yaitu pengaruh teman sebaya dan media. Remaja harus menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Teman sebaya bagi remaja memberikan pengalaman baik bersifat positif maupun negatif. Media sebagai alat bagi remaja untuk melakukan sosialisasi
3
dimana mereka dapat memandang dunia secara menyeluruh. Remaja menggunakan media sebagai hiburan, mendapatkan informasi terutama topik yang enggan dibicarakan orang tua, sensasi, menanggulangi kesulitan, mengurangi kelelahan dan ketidakbahagiaan, model peran jenis kelamin serta untuk mendapatkan jatidiri budaya orang muda. Puslitbang Depsos (2004) melakukan penelitian mengenai kenakalan remaja yang dikategorikan sebagai perilaku negatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari responden yang digunakan seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa, kenakalan yang mengarah pada pelanggaran dan kejahatan serta kenakalan khusus seperti hubungan seks di luar nikah dan menyalahgunakan narkotika. Penelitian Puspitawati (2009) tentang perilaku sosial remaja di Kota Bogor menemukan kenakalan kriminal antara lain bergerombol saat pergi/pulang sekolah, mencoret-coret tembok milik umum/orang lain, berpesta pora sampai malam, berkelahi dan secara sengaja merusak benda milik orang lain. Adanya berbagai perilaku negatif yang ditampilkan oleh remaja yang telah dipaparkan di atas berkaitan dengan defusi identitas remaja (Erikson 2010). Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Oleh karena itu, salah satu poin yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan remaja tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya. Hal ini yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas. Kualitas lingkungan pengasuhan menjadi tidak maksimal ketika partisipasi orang tua dalam mendorong perkembangan anak sangat minim.Terbatasnya waktu dalam interaksi keluarga dan persediaan material yang minim ditambah tekanan ekonomi saat ini yang membuat tidak sedikit orang tua lebih mementingkan bekerja daripada meluangkan waktunya untuk anak. Sehingga tidak mengherankan apabila di Kota Bekasi terdapat permasalahan sosial yang ditunjukkan dengan adanya 497 anak terlantar, 158 anak nakal, dan 215 pengguna narkoba (BPS Jawa Barat 2010). Mengingat pentingnya peran keluarga dalam perkembangan anak sebagai dasar pembangunan sumber daya manusia maka menjadi penting upaya peningkatan ketahanan keluarga yaitu meningkatkan kemampauan keluarga dalam perolehan dan pengelolaan sumberdaya serta pengelolaan masalah keluarga untuk mencapai kesejahteraan anggotanya (Sunarti 2008). Keterbatasan keluarga miskin dalam menjalankan fungsinya membutuhkan dukungan eksternal berupa dukungan ekonomi dan dukungan sosial. Salah satu upaya pemerintah untuk mempertahankan fungsi-fungsi keluarga agar mampu berjalan dengan baik adalah dengan program pengentasan kemiskinan yang bersifat eksplisit atau langsung menyentuh aspek penguatan fungsi keluarga secara ekonomi dan programprogram yang secara implisit bertujuan mengurangi angka kemiskinan seperti Program Pengembangan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Programprogram pemerintah tersebut secara konseptual sangat baik, namun kadangkala implementasinya tidak tepat sasaran. Seperti hasil penelitian Apriyanti dan
4
Hendarto (2011) penerima pinjaman dari PNPM Mandiri berasal dari keluarga mampu dan kurangnya tenaga pembimbing dalam program tersebut. Berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga miskin membuat fungsi keluarga untuk memberikan stimulasi psikososial anak mengalami keterbatasan. Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Kehadiran orang dewasa yang terdidik dan bekerja, yang dapat membina komunitas miskin memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan oleh remaja. Oleh karena itu dipandang penting untuk mengkaji ketahanan keluarga, pengasuhan. intervensi psikososial dan pengaruhnya terhadap perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin. Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Adakah hubungan karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan , konformitas teman sebaya, dan paparan media dengan perkembangan psikososial remaja? 2. Adakah perbedaan perkembangan psikososial remaja sebelum dan sesudah intervensi psikososial? 3. Adakah pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja? Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pengaruh ketahanan keluarga, pengasuhan, dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja Tujuan Khusus: Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menganalisis hubungan karakteristik remaja, karakteristik keluarga ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya dan paparan media dengan perkembangan psikososial remaja 2. Menganalisis perbedaan perkembangan psikososial remaja sebelum dan sesudah intervensi psikososial 3. Menganalisis pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang berharga bagi semua pihak terkait. Bagi orang tua, penelitian ini dapat memberikan gambaran untuk dapat memberikan pengasuhan yang positif yang dapat mendukung perkembangan psikososial remaja. Bagi lembaga swadaya masyarakat dapat memberikan gambaran program pendampingan untuk mendukung perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin. Bagi Pemerintah atau instansi terkait dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam meningkatkan ketahanan keluarga bagi keluarga
5
miskin. Bagi peneliti dapat mendapatkan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin
6
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Megawangi (2007) menyatakan bahwa keluarga dimiliki sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan sosialisasi anak, serta mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam masyarakat. Fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996) menyebutkan ada delapan fungsi keluarga yang meliputi fungsifungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yang terdiri atas fungsi; (a) keagamaan, (b) sosial, (c) budaya, (d) cinta kasih, (e) perlindungan, (f) reproduksi, (g) sosialisasi dan pendidikan, (h) ekonomi, dan (1) pembinaan lingkungan.
Teori Struktural Fungsional Levy diacu dalam Megawangi (2005) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi diantaranya adalah 1) Diferensiasi, peran, yaitu alokasi peran atau tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga. 2) Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. Fungsi sosial (konsep peran sosial) menggambarkan peran dari masingmasing individu atau kelompok menurut status sosialnya. Parsons dan Bales (1955) dan Rice dan Tucker (1986) membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu 1) Peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga, 2) Peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency). Keluarga yang fungsional adalah keluarga yang berfungsi stabil, harmoni dan sempurna dari segala segi termasuk dari segi kerjasama, persatuan, hormat menghormati, bersikap positif, senantiasa seimbang, disenangi, dan mudah gaul
7
antara satu sama lain. Sebaliknya keluarga yang tidak fungsional adalah keluarga yang tidak berfungsi, senantiasa mempunyai masalah seperti tidak puas, kacau balau, tidak menunjukkan sikap kerjasama, individualistik dan selalu poraporanda. Secara garis besar, keluarga yang tidak fungsional adalah keluarga yang tidak menghormati orang tua maupun yang muda dan tidak memiliki nilai-nilai moral yang baik karena selalu bersikap negatif sepanjang kehidupan. Saxton (1990) menyatakan, bahwa keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan, dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal yang negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tanpa ada peran dan fungsi keluarga, maka generasi muda tidak akan mempunyai karakter dan perilaku yang baik di kemudian hari. Berdasarkan kajian yang telah diuraikan di atas Teori Struktural Fungsional menyangkut urusan aturan, peran, fungsi dan tanggung jawab para anggota keluarga menempatkan orang tua pada fungsi dan peran sebagai pelindung, pemimpin bagi anak-anaknya. Apabila keluarga mempunyai struktur yang kokoh dan menjalankan semua fungsinya dengan optimal, maka akan menghasilkan outcome yang baik pada seluruh anggota, keluarganya baik secara fisik, sosial dan psikologis. Ekologi Keluarga Bronfenbrenner (1979) mengemukakan teori ekologi yang menyatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya. Anak merupakan pusat dari lingkaran, dikelilingi oleh berbagai lingkaran sistem interaksi yang terdiri dari sistem mikro, sistem meso, sistem ekso, dan sistem makro yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Gambar 1. Hubungan Anak dengan Lingkungannya (Model Ekologi dari Bronfenbrenner 1979)
8
Sistem meso adalah lingkaran yang ditunjukkan dengan interaksi antar komponen dalam sistem mikro anak. Perkembangan anak amat dipengaruhi oleh keserasian hubungan antar komponen dalam sistem mikronya. Sebagai contoh, hubungan antara rumah dan sekolah, guru dan orang tua. Prinsip utama dari sistem meso adalah semakin kuat dan saling mengisi interaksi antar komponen dalam sistem meso, semakin besar pengaruh dan hasilnya pada perkembangan anak. Sistem ekso merupakan lingkaran yang menunjukkan sistem sosial yang lebih besar dan anak tidak langsung berperan di dalamnya tetapi interaksi komponen sistem ini seperti dalam bentuk keputusan pada tataran lembaga yang mempunyai hubungan dengan anak berpengaruh terhadap perkembangan anak. Keputusan-keputusan dari tempat kerja orang tua, komite sekolah, atau lembaga perencanaan adalah contoh dari sistem ekso yang dapat memengaruhi anak, baik positif maupun negatif meskipun anak tidak langsung terlibat dalam lembagalembaga tersebut. Contoh lain adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang terjadi di lingkungan tempat tinggal anak yang dapat berpengaruh pada kesulitan anak untuk tidur. Sistem makro adalah lingkaran terluar dari lingkungan anak. Lingkaran ini terdiri dari nila-nilai budaya, hukum dan peraturan perundangan, adat kebiasaan, kebijakan sosial dan lain sebagainya. Seluruh komponen dari sistem ini juga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Media massa seperti tayangan TV yang termasuk sistem makro mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap perkembangan anak. Sejalan dengan hal ini, Jack (2000) menyatakan bahwa perkembangan anak dan remaja serta perubahan kehidupan dalam masa dewasa merupakan hasil dari sekumpulan hal yang kompleks dari faktor interaksi yang terjadi pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Perkembangan psikososial berhubungan dengan peran faktor sosial, budaya dan pengalaman individu (Feist & Feist 2006). Hal ini sejalan dengan teori ekologi yang menekankan bahwa seorang anak tidak dianggap terpisah dari lingkungannya melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan di mana dia berada. Ketahanan Keluarga McCubbin dan McCubbin (1988) mendefinisikan ketahanan keluarga sebagai karakteristik, dimensi, dan sifat keluarga yang membantu keluarga menjadi resisten terhadap gangguan dalam menghadapi perubahan dan adaptif menghadapi situasi krisis. Walsh (1996) mengemukakan bahwa ketahanan keluarga adalah proses berkembang dari waktu ke waktu dan mendorong keluarga untuk mengatasi stres dan meningkatkan ketahanan. Perspektif ekologi digunakan untuk menjelaskan bagaimana keluarga beradaptasi dan coping pada tingkat yang berbeda, mulai dari anggota keluarga untuk bagaimana keluarga secara keseluruhan dapat membantu anggota keluarga lain (Walsh 2002). Selain perspektif ekologi dan perkembangan, teori sistem keluarga mencakup fungsi keluarga dipengaruhi oleh tahap siklus hidup dan isu-isu yang belum terselesaikan terkait dengan generasi tahapan tertentu yang dapat menciptakan konteks untuk stresor (Walsh, 2002). Banyak faktor memprediksi tingkat ketahanan dan adaptasi keluarga, misalnya tingkat kerentanan, tipe keluarga, sumber daya, stressor
9
penilaian, pemecahan masalah dan mengatasi keterampilan, dan pandangan keseluruhan hidup (McCubbin dan McCubbin 1988). Ketahanan keluarga menurut Sunarti (2001) kemampuan keluarga untuk mengelola sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seiring dengan masalah yang dihadapi keluarga. Komponen ketahanan keluarga meliputi ketahanan fisik, ketahanan sosial dan ketahanan psikologi keluarga. Ketahanan keluarga pada keluarga miskin merupakan salah satu kekuatan agar keluarga tersebut mampu menghadapi multi problem (Souse et al. 2006). Keluarga miskin memiliki kecenderungan untuk dihadapkan pada masalah dan tekanan yang sangat besar. Kemampuan keluarga miskin untuk bertahan dalam menghadapi masalah tergantung dari kekuatan keluarga tersebut. Keluarga yang miskin bukan tidak mungkin memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Hal ini tergantung dari kesadaran dan kemauan keluarga miskin untuk bangkit dari keterpurukan. Ketahanan keluarga miskin dapat dibangkitkan melalui usaha-usaha para pengembang masyarakat dalam mengintervensi keluarga miskin. Katahanan Fisik Ketahanan fisik berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga, yaitu kemampuan anggota keluarga dalam memperoleh sumberdaya ekonomi dari luar sistem, untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Keluarga akan tahan secara fisik jika terbebas dari masalah ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan fisik keluarga. Indikator ketahanan fisik keluarga adalah pendapatan per kapita keluarga yang melebihi dari kebutuhan fisik minimum, dan atau lebih dari satu orang anggota keluarga bekerja dan memperoleh sumberdaya ekonomi melebihi kebutuhan fisik minimum (Sunarti, 2001) Ketahanan Sosial Ketahanan sosial merupakan kekuatan keluarga dalam penerapan nilai agama, pemeliharaan ikatan dan komitmen, komunikasi efektif, pembagian peran dan penerimaan peran, penetapan tujuan, serta dorongan untuk maju, yang akan menjadi kekuatan dalam menghadapi masalah keluarga (termasuk masalah perkawinan) dan memiliki hubungan sosial yang sehat. Keluarga akan memiliki ketahanan sosial yang tinggi jika memiliki sumberdaya non fisik yang baik, memiliki mekanisme penanggulangan masalah yang baik, untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Berorientasi pada nilai-nilai agama, efektif dalam berkomunikasi, senantiasa memelihara dan meningkatkan komitmen keluarga, memelihara hubungan sosial, serta memiliki penanggulangan krisis merupakan indikator ketahanan sosial keluarga. Syarat untuk terwujudnya ketahanan sosial berkaitan dengan optimalisasi fungsi keluarga. Selain itu, kematangan pribadi yang merupakan hasil dari proses perkembangan dan pendidikan, melalui sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai merupakan syarat lain untuk terwujudnya ketahanan sosial (Sunarti 2001). Ketahanan Psikologis Ketahanan psikologis merupakan kemampuan anggota keluarga untuk mengelola emosinya sehingga menghasilkan konsep diri yang positif. Kemampuan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah non fisik keluarga.
10
Kemampuan mengelola emosi dan konsep diri yang baik menjadi kunci dalam menghadapi masalah-masalah keluarga yang bersifat non fisik. Oleh sebab itu, indikator dari ketahanan psikologis adalah anggota memilki konsep diri dan emosi yang positif. Masalah non fisik seperti konflik dengan suami dan keluarga, serta kehilangan (materi, atau orang terdekat), sebagai stressor, akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis jika individu tidak mampu mengendalikan emosi yang negatif tersebut. Sama halnya dengan ketahanan sosial, syarat utama untuk tercapainya ketahanan psikologis adalah kepribadian yang matang dan kecerdasan emosi dari suami istri (Sunarti 2001). Pengasuhan Interaksi yang berlangsung antara anak dengan orang tua dalam bentuk pemberian kasih sayang, pemberian pemenuhan kebutuhan anak, pengarahan dan perlindungan, adalah suatu bentuk pengasuhan. Beberapa ahli menyatakan bahwa pengasuhan seperti sebuah proses interaksi yang terus menerus, seperti yang dikatakan Berns (1997): “parenting involves a continuous of interaction that affects both the parents and the children”. Parenting adalah tugas yang disandang oleh pasangan suami istri ketika mereka sudah mempunyai keturunan. Parenting tidak sama dengan parenthood. Parenthood menurut shanock yang dikutip oleh Andayani & Koentjoro (2004) adalah masa menjadi orang tua dengan kewajiban memenuhi kebutuhan anak yang selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangannya. Parenting dilain pihak adalah suatu tugas yang berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya secara fisik dan psikologis. Parenting ini menurut Shanock dalam Andayani & Koentjoro (2004) adalah suatu hubungan yang intens berdasarkan kebutuhan yang berubah secara pelan sejalan dengan perkembangan anak. Orang tua berkewajiban memberikan pengasuhan yang baik kepada anaknya. Dalam memberikan pendidikan pada anak, orang tua harus berorientasi pada kasih sayang dan memberikan pengawasan serta dorongan. Pengawasan orang tua harus dikurangi pada masa remaja dini dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk melatih pengendalian diri. Mengurangi pengawasan bukan berarti, mengurangi perhatian pada anak karena pada masa remaja kehangatan orang tua, bimbingan dan saran sangat diperlukan (Gunarsa & Gunarsa 2004). Pengasuhan anak dapat dilakukan dengan beberapa tipe pengasuhan antara lain tipe pengasuhan dari dimensi kehangatan (Warmth Dimension), dimensi emosi (Emotional Dimension), dan dimensi pengarahan (Direction Dimension) (Sunarti 2004). Dimensi Kehangatan (Warmth Dimension) Pada praktik pengasuhan anak, Conger (1996) menjelaskan pengasuhan orang tua pada anak berupa kehangatan dan dukungan (warmth and support) dan indikator-indikator variabel pengasuhan dimensi kehangatan (warmth) terdiri atas empat indikator yaitu peduli, cinta, menghargai dan membantu (merujuk pada Melby, Ge, Conger, & Warner, 1995; Conger et al. 1996)
11
Menurut Rohner (1986) diacu dalam Sunarti (2004), pola asuh dari dimensi kehangatan dapat diekspresikan menjadi dalam dua bentuk antara lain: Pertama bentuk penerimaan orang tua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan kehangatan, kasih sayang, kepedulian, perhatian, kenyamanan, pemeliharaan, dukungan dan perwujudan cinta sederhana lainnya yang dirasakan orang tua dan diekspresikan langsung terhadap anak mereka baik secara fisik maupun verbal. Ekspresi fisik berupa pelukan, ciuman, belaian, usapan dan tindakan-tindakan lain yang menunjukkan rasa kasih, sedangkan ekspresi verbal berupa penghargaan, pujian dan pengucapan kata-kata yang baik terhadap anak. Kedua penolakan orang tua (parental rejection) yang merupakan tipe pengasuhan orang tua yang memberikan penolakan terhadap keberadaan anak dengan cara dingin dan kurang kasih sayang (cold and unaffectionate), penyerangan (hostile and aggressive), penyia-nyiaan dan pengabaian (indifference and neglect), dan keyakinan individu mengenai orang tua yang tidak peduli, tidak menghargai, tidak sayang atau tidak cinta (undifferentiated rejected). Dimensi Emosional (Emotional Dimension) Gottman dan DeClaire (1997) menyatakan pengasuhan adalah interaksi antara orang tua dan anaknya. Tipe pengasuhan orang tua sangat berpengaruh terhadap emosi anak. Berkaitan dengan beberapa pengasuhan emosial orang tua, Gottman dan DeClaire (1997) membagi tipe pengasuhan emosi kedalam empat kelompok yaitu orang tua mengabaikan, orang tua tidak menyetujui, orang tua laissez-faire, dan orang tua pelatih emosi. Keempat tipe pengasuhan dimensi emosi dijelaskan oleh Gottman dan DeClaire (1997) sebagai berikut: Orang tua dengan gaya pengabai emosi tidak memiliki kesadaran dan kemampuan mengatasi emosi anak, takut mengalami emosi yang lepas kendali, tidak tahu teknik untuk mengatasi emosi negatif anak, dan percaya bahwa emosi negatif sebagai cerminan buruknya keterampilan pengasuhan. Gaya pengasuhan tidak menyetujui emosi ditunjukkan dengan menyangkal atau meremehkan emosi negatif anak namun tidak menyetujui perbuatan anak. Orang tua dengan gaya laissez-faire sebenarnya menerima ungkapan dan ekspresi emosi anak, namun gagal dalam memberitahukan kepada anak bagaimana mengatasi perasaan yang mereka alami. Berbeda dengan tiga gaya sebelumnya orang tua pelatih emosi menyadari emosi diri dan anaknya, memiliki kemampuan atas kesadaran diri tersebut untuk belajar mensosialisasikan anak. Dimensi Arahan (Direction Dimension) Arahan dan bimbingan yang baik membantu anak untuk dapat mengontrol dirinya sendiri, memiliki tanggung jawab, dan membantu anak dalam membuat pilihan yang bijaksana (Sunarti 2004). Povop dan Povop (1997) menjelaskan peran orang tua sebagai pelindung dan penguasa dalam menegakkan peraturan, pemandu dan pembina dalam meningkatkan keterampilan, dan konselor dalam mengarahkan moral. Baumrind (Hetherington dan Parke 1989) lebih menyoroti segi pelimpahan kekuasaan antara orang tua dan anak pada pengasuhan. Menurut Baumrind (1967) pola asuh dimensi arahan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu otoriter (Authoritarian), permisif (permissive) dan demokrasi (Authoritative), Otoriter (Authoritarian) merupakan orang tua yang menuntut dan
12
mengendalikan yang semata-mata menunjukkan kekuasaan mereka, yang tanpa kehangatan (mengontrol anak dengan peraturan ketat), pengasuhai atau komunikasi dua arah. Penerapan pola asuh ini juga biasanya disertai dengan hukuman fisik. Permisif (permissive) adalah orang tua dalam posisi “lepas tangan”, anak diberi kebebasan penuh untuk bertingkah laku sesuai kehendaknya. Orang tua tidak memberikan hukuman malahan lebih menerima dan menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orang tua sendiri longgar. Demokrasi (Authoritative) adalah orang tua tetap memberi peraturan hangat dengan menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak. Proses interaksi itu terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orang tua dan anak-anak, sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya pada orang tua. Berdasarkan kajian tiga dimensi pengasuhan menunjukkan bahwa pengasuhan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Collin, Macobby,Steinberg, Hetherington & Bornstein (2000) menyatakan bahwa pengasuhan memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan anak. Remaja dengan orang tua authoritative menunjukkan perkembangan psikososial yang lebih baik, kompetensi akademik, jauh dari perilaku kenakalan dan terhindar dari simptom somatik (Steinberg et al. dalam Huver et.al. 2010). Orang tua yang permisif yang memberikan sedikit arahan kepada remaja dan membiarkan remaja membuat keputusannya sendiri mendorong terjadinya identity diffusion pada diri remaja (Bernard 1981, Enright et al. 1980 & Marcia 1980 dalam Santrock 2003). Hasil penelitian Sunarti (2008) semakin tinggi/baik ketahanan keluarga mempraktikkan pengasuhan (dimensi emosi, dimensi arahan, dan lingkungan pengasuhan) yang semakin baik. Perkembangan Psikososial Remaja Perkembangan kepribadian individu terdapat beberapa teori, salah satunya adalah teori dari paham psikoanalisis. Sigmund Freud sebagai tokoh utama dalam psikoanalisa bahwa struktur kepribadian terdiri dari id, ego dan superego. Ego adalah bagian eksekutif dari kepribadian yang berusaha menyeimbangkan tuntutan dari id (nafsu) dan superego (nilai-nilai). Berbeda dengan Freud, menurut Erik Erikson ego merupakan kekuatan positif yang menciptakan identitas diri, sebagai sebuah pengertian tentang “aku”. Ego sebagai pusat kepribadian membantu beradaptasi dengan beragam konflik dan krisis kehidupan serta menjaga dari kehilangan individualitas terhadap daya-daya sosial (Feist & Feist 2006). Penekanan Erikson terhadap faktor-faktor sosial dan historis berkebalikan dengan sudut pandang Freud yang kebanyakan bersifat biologis. Erikson meyakini faktor sosial, pengasuhan anak, dan budaya (adat istiadat, keyakinan, pengalaman, sikap dan nilai) mempengaruhi perilaku, pemikiran dan pengembangan kepribadian (Feist & Feist 2006). Dia percaya bahwa individu memiliki krisis pada satu waktu atau yang lain dalam hidup dan bahwa krisis ini tidak selalu mewakili negatif tetapi dapat menjadi kekuatan pendorong ke arah resolusi positif (Feist & Feist 2006).
13
Erikson membagi rentang kehidupan manusia ke dalam delapan tahap, dimulai pada masa bayi dan berakhir dalam penuaan dan kematian. Masingmasing tahap perkembangan ditandai dengan krisis yang unik atau konflik. Setiap tahap mengandung dilema, dimana orang tersebut ditantang oleh situasi baru dan keadaan. Kegagalan untuk menyelesaikan dilema menunjukkan bahwa orang tersebut mungkin menghadapi beberapa kesulitan di kemudian hari. Resolusi dilema dianggap sebagai gerakan menuju kematangan kontekstual emosional. Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia” yaitu trust vs mistrust , otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu, inisiatif vs rasa bersalah, produktifitas vs inferioritas, identitas vs kekacauan identitas, keintiman vs keterisolasian, generativitas vs stagnasi dan integritas vs rasa putus asa (Erikson 2010). Feist & Feist (2006) memberikan petunjuk untuk mudah memahami kedelapan tahap perkembangan psikososial Erikson dengan mengerti tujuh prinsip. Pertama, pertumbuhan berjalan menurut prinsip epigenetik, yaitu satu bagian komponen sebelumnya dan memiliki waktunya sendiri untuk muncul namun, tidak pernah menghilangkan sepenuhnya komponen sebelumnya. Kedua, di setiap tahap kehidupan terdapat sebuah interaksi hal-hal yang berlawanan yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik (konflik). Ketiga, di setiap tahap konflik antara sintonik dan distonik menghasilkan kualitas ego yang disebut Erikson kekuatan dasar (basic strength). Keempat, kekuatan dasar yang terlalu kecil di setiap tahapan akan menghasilkan patologi inti (core pathologi) di tahapan tersebut. Kelima, meskipun Erikson menyebutkan kedelapan tahapan ini sebagai tahap-tahap psikososial, dia tidak pernah melepaskan keberadaan aspek biologis perkembangan manusia. Keenam, peristiwa di tahapan sebelumnya bukan satu-satunya penyebab perkembangan kepribadian berikutnya. Identitas ego dibentuk oleh multiplisitas konflik dan peristiwa-masa lalu, masa kini, dan antisipasi masa depan. Ketujuh, selama tahap perkembangan, khususnya dari masa remaja perkembangan kepribadian dicirikan dengan sebuah krisis identitas, yang disebut Erikson sebuah titik balik. Krisis identitas bukan peristiwa yang membawa bencana melainkan kesempatan untuk mengembangkan sikap penyesuaian diri yang mungkin bersifat adaptif maupun maladaptif (Feist & Feist 2006). Lima tahap yang pertama dari delapan perkembangan psikososial remaja yaitu trust vs mistrust, otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu, inisiatif vs rasa bersalah, produktifitas vs inferioritas, identitas vs kekacauan identitas. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan) Tahap ini berlangsung pada tahun pertama kehidupan. Rasa percaya tumbuh dari adanya perasaaan akan kenyamanan secara fisik dan rendahnya ketakutan serta kecemasan tentang masa depan. Rasa percaya pada masa bayi membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup (Santrock 2003). Konflik tak terelakkan antara rasa percaya mendasar dan rasa tidak percaya mendasar menghasilkan krisis psikososial pertama manusia. Jika berhasil menyelesaikan krisis akan mendapatkan kekuatan yang pertama yaitu –harapan (Feist & Feist 2006). Menurut Erikson dalam Papalia et al. (2003) harapan adalah
14
keyakinan bahwa individu dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan yang mereka inginkan. Inner trust (rasa percaya dalam diri membentuk pondasi yang kukuh untuk masa-masa sulit yang akan datang. Bila mistrust lebih dominan, anak akan memandang dunia tidak ramah dan tidak terduga serta mengalami masalah menjalin hubungan. Bila tidak mengembangkan cukup harapan maka akan menunjukkan antithesis dari harapan yaitu penarikan diri. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu Tahap perkembangan kedua yang terjadi pada akhir masa bayi dan todller (usia 1-3 tahun). Setelah mengembangkan rasa percaya kepada pengasuhnya, anak mulai menemukan bahwa tingkah lakunya adalah milik mereka sendiri. Anak mulai menampilkan kemandirian (otonomi). Anak menjadi sadar tentang kemauannya sendiri. Kalau anak dikekang atau dihukum terlalu keras anak akan mengembangkan perasaan malu dan ragu-ragu (Erikson dalam Santrock 2003). Kekuatan dasar kehendak atau kemauan berkembang dari penyelesaian krisis otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Kehendak yang tidak adekuat akan terekspresikan sebagai kompulsi sebagai patologi inti masa kanak-kanak awal. Kehendak yang terlalu sedikit dan kompulsisivitas yang terlalu banyak akan terbawa ke dalam usia bermain sebagai lemahnya tujuan, dan ke dalam usia sekolah sebagai kurangnya rasa percaya diri (Feist & Feist 2006). Inisiatif vs Rasa Bersalah Tahap ketiga ini terjadi pada`masa sekolah. Ketika anak prasekolah memasuki dunia sosial yang lebih luas, mereka lebih menghadapi tantangan dibandingkan ketika masa bayi. Tingkah laku aktif dan terarah diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Anak diminta bertanggungjawab atas badannya, tingkah lakunya, dan permainannya. Mengembangkan rasa tanggungjawab akan meningkatkan inisiatif (Santrock 2003). Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan mungkin timbul pada anak yang tidak bertanggungjawab dan anak yang dibentuk menjadi pencemas. Namun Erikson dalam Santrock (2003) percaya bahwa kebanyakan rasa bersalah dikompensasikan dengan perasaan berprestasi. Anak yang belajar mengatur kedua dorongan yang bertentangan (inisiatif dan rasa bersalah) akan mengembangkan sebuah kebajikan yaitu tujuan, keberanian untuk membayangkan dan mengejar sebuah tujuan tanpa dikekang oleh perasaan bersalah atau ketakutan terhadap hukuman (Erikson dalam Papalia et al. 2009). Produktifitas vs Inferioritas Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Pada masa ini pertumbuhan sosial besar-besaran. Produktifitas adalah sebuah kegigihan yang produktif, sebuah keinginan untuk tetap sibuk dengan sesuatu dan menyelesaikan sebuah pekerjaan. Menurut Erikson (Papalia et al. 2009) faktor penentu utama harga diri adalah pandangan anak mengenai kemampuan mereka untuk pekerjaan yang produktif. Anak-anak usia sekolah belajar untuk belajar dan bermain dalam aktivitas yang diarahkan untuk memperoleh kemampuan–kemampuan bekerja dan belajar
15
aturan-aturan kerjasama. Jika dapat belajar melakukan hal-hal dengan baik mereka akan mengembangkan perasaan produktif. Namun bila tidak akan berkembang perasaan inferioritas (Feist & Feist 2006). Konflik produktifitas versus inferioritas anak usia sekolah mengembangkan kekuatan dasar kompetensi, yaitu kepercayaan diri menggunakan kemampuan fisik dan kognitif untuk menyelesaikan tugas. Kompetensi menjadi dasar bagi partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif (Erikson dalam Feist & Feist 2006). Selanjutnya menurut Erikson jika perjuangan antara produktifitas dan inferioritas terlalu mengarah kepada inferoritas atau produktifitas yang berlebihan, anak-anak akan cenderung mudah menyerah dan mundur ke tahap sebelumnya. Mereka terlalu asyik dengan fantasi genitalnya atau menghabiskan waktu dalam permainan yang tidak produktif. Regresi ini disebut kelembaman/inersia. Orang tua sangat mempengaruhi keyakinan tentang kompetensi. Dalam suatu penelitian longitudinal terhadap 514 anak kelas menengah di AS, keyakinan orang tua mengenai keahlian anak mereka dalam matematika dan olahraga berhubungan erat dengan keyakinan anak. Ini terutama mengenai keyakinan ayah mengenai keahlian olahraga (Fredericks & Eccles 2002 dalam Papalia et al. 2009). Identitas vs Kekacauan Identitas Tahap kelima merupakan tahap adolescence (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencarian identitas ego mencapai sebuah klimaks selama masa remaja ketika remaja berjuang untuk menemukan siapa mereka. Dalam pencarian ini remaja menggunakan beragam gambar-gambar dirinya yang sudah diterima atau ditolak sebelumnya. Menurut Erikson (Feist & Feist 2006) identitas muncul dari dua sumber: Pertama, afirmasi atau penolakan remaja terhadap identifikasi kanak-kanak. Kedua, konteks historis dan sosial mereka yang mendukung konformitas bagi standar-standar tertentu. Anak muda sering kali menolak standar orang tua, lebih menyukai penilaian teman sekelompok atau geng sebayanya. Kebingungan identitas adalah sindrom masalah yang mencakup gambar gambar diri yang terpecah belah, sebuah ketidakmampuan membangun keintiman perasaan kemendesakan waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas-tugas yang diisyaratkan dan penolakan terhadap standar keluarga atau komunitas (Feist & Feist 2006). Jika sanggup mengembangkan proporsi identitas dan kebingungan identitas dengan tepat maka akan mucul kekuatan dasar yaitu kesetiaan (fidelity) atau keyakinan penuh pada prinsip ideologi tertentu, kemampuan untuk memutuskan, bagaimana bersikap, percaya dengan rekan-rekan remaja atau orang dewasa yang memberikan nasihat tentang tujuan dan aspirasi serta keyakinan pada pilihan mengenai pekerjaan yang cocok (Feist & Feist 2006). Kebalikan dari kesetiaan menurut Erikson adalah penolakan peran. Penolakan peran dapat mengambil bentuk kepengecutan (diffidence) atau perlawanan (defiance). Kepengecutan adalah kekurangan kepercayaan diri atau keyakinan diri ekstern yang terekspresikan sebagai sikap malu-malu atau keengganan mengekspresikan diri. Sebaliknya perlawanan adalah tindakan pemberontakan terhadap otoritas (Feist & Feist 2006).
16
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan maka setiap tahap perkembangan psikososial memiliki indikator pencapaian dan aspek yang mempengaruhi. Penelitian Cooper (1985) mengungkapkan bahwa pembentukan identitas didorong oleh hubungan keluarga yang individual, yaitu yang mendukung remaja untuk mengembangkan pandangannya sendiri, dan juga hubungan yang mengikat yang memberikan landasan yang aman bagi remaja untuk mengekplorasi dunia sosial. Hauser & Bowlds (1990) memberikan tekanan pada proses keluarga yang mendorong proses perkembangan identitas remaja. Gaya interaksi keluarga yang memberikan hak pada remaja untuk bertanya dan untuk menjadi seseorang yang berbeda, dalam suatu konteks dukungan dan mutualisme, mendorong pola perkembangan identitas yang sehat.
Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980), sedangkan secara psikologis, adolescence mempunyai arti yang lebih luas, dimana dijelaskan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada di tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Sedangkan menurut Chaplin (2001) remaja adalah periode antara pubertas dan kedewasaan. Usia yang diperkirakan 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduksi. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai melepaskan diri secara emosional dari orang dewasa (Clarke&Friedman dalam Agustiani 2006). Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Tugas-tugas perkembangan remaja pada umumnya, menurut Garrison (Mappiare 1982), yaitu : Pertama menerima keadaan jasmani. Para remaja diharapkan dapat menerima keadaan diri sebagaimana adanya diri mereka sendiri, bukan hayalan dan impian. Kedua memperoleh hubungan baru dan lebih matang dengan teman-teman sebaya antara dua jenis kelamin. Remaja dapat mencari dan memperoleh teman-teman baru dan menjadi matang berhubungan dengan teman sebaya lawan jenis dalam kelompok-kelompok mereka. Dan sangat penting dalam hal ini, bahwa seorang remaja haruslah mendapatkan penerimaan dari kelompok teman sebaya lawan jenis ataupun sama jenis agar ia memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga. Menerima keadaan sesuai jenis kelamin dan belajar hidup seperti kaumnya. Masa remaja diharapkan mereka menerima keadaan diri sebagai pria atau wanita dengan sifat dan tanggung jawab kaumnya masing-masing.
17
Dimana remaja pria bersifat maskulin dan remaja wanita bersifat feminin. Ketiga memperoleh kebebasan emosional dari orang tua / orang dewasalainnya. Remaja diharapkan tidak memiliki ketergantungan emosional seperti dalam masa kanakkanak. Karena jika remaja masih memiliki perasaan bergantung, hal ini tentu saja akan menimbulkan kesukaran-kesukaran baginya dalam masa dewasa. Keempat memperoleh kesanggupan berdiri sendiri dalam hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi / keuangan. Remaja diharapkan dapat belajar untuk terlepas dari bantuan ekonomis orang tua dengan mendapatkan pekerjaan (jangka pendek) dan mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja tetap (jangka panjang). Dan remaja diharapkan memiliki keterampilan dalam pengaturan pengeluaran uang. Kelima mendapatkan perangkat nilai-nilai hidup dan falsafah hidup. Remaja diharapkan memiliki standar-standar pikiran, sikap-perasaan, dan perilaku yang dapat menuntun dan mewarnai berbagai aspek kehidupannya dalam masa dewasa dan masa selanjutnya. Remaja dan teman sebaya Berkaitan dengan hubungan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan orang di luar lingkungan keluarga, seperti meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (peer group). Teman sebaya adalah anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock 2003). Horrocks dan Benimoff (Hurlock 1994) berpendapat bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri-ciri utamanya adalah timbul persahabatan. Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri (Monks et al. 2004) . Dalam kondisi seperti ini, dapat dikatakan bahwa motivasi untuk menuruti ajakan dan aturan kelompok cukup tinggi pada remaja, karena menganggap aturan kelompok adalah yang paling benar serta ditandai dengan berbagai usaha yang dilakukan remaja agar diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok. Kondisi emosional yang labil pada remaja juga turut mendorong individu untuk lebih mudah melakukan konformitas. Menurut Remplein (Monks et al. 2004) masa remaja merupakan masa krisis yang ditunjukan oleh adanya kepekaan dan labilitas tinggi, penuh gejolak dan ketidakseimbangan emosi. Hurlock (1994) menjelaskan kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sebaya menyebabkan remaja melakukan perubahan dalam sikap dan perilaku sesuai dengan perilaku anggota kelompok teman sebaya. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau berperilaku agresif, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa mempedulikan akibatnya bagi diri mereka sendiri. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Berdnt (Shaffer 1994) diketahui bahwa konformitas terhadap kelompok teman sebaya dalam perilaku anti sosial
18
meningkat tajam pada usia 15 tahun, sehingga pada usia ini jika standar atau norma kelompok tidak sesuai dengan norma dan tuntutan sosial, maka peluang remaja yang mudah terpengaruh teman sebaya akan semakin kecil untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja dan Media Televisi dan media lain perkembangan selama 30 tahun terakhir memiliki pengaruh yang lebih besar pada remaja. Kemampuan persuasif televisi ternyata mengejutkan. Seiring dengan perkembangannya, banyak remaja sekarang menghabiskan lebih banyak waktu di depan televisi daripada dengan orang tua mereka maupun di dalam kelas. Radio, kaset, musik rock, dan video musik adalah media-media lain yang memiliki pengaruh penting di dalam hidup banyak remaja (Santrock 2003). Fungsi dan kegunaan media bagi remaja menurut Arnett (1994) antara lain sebagai hiburan, mendapatkan informasi terutama topik yang enggan dibicarakan orang tua, sensasi, menanggulangi kesulitan dan mengurangi kelelahan dan ketidakbahagiaan, model peran jenis kelamin dan untuk mendapatkan jatidiri budaya orang muda. Apabila jumlah waktu yang dihabiskan untuk suatu kegiatan tersebut maka tidak ada keraguan bahwa media massa memainkan peranan penting di dalam kehidupan remaja (Fine, Mortimer & Roberts dalam Santrock 2003). Kaitan remaja dengan media yang paling banyak dibicarakan adalah pengaruh televisi dengan tingkat kekerasan remaja. Seperti yang diungkapkan Comstock & Paik 1991, Condry 1989, Eron 1993, Gerbner et al. (Santrock 2003) menyimpulkan bahwa kekerasan TV dapat mempengaruhi perilaku agresif atau antisosial anak dan remaja. Intervensi Psikososial Komposisi sebuah lingkungan miskin di sekitar tempat tinggal dapat mempengaruhi perkembangan anak. Faktor yang paling kuat adalah pendapatan per kapita dan modal sosial bahwa kehadiran orang dewasa yang terdidik dan bekerja, yang dapat membina basis ekonomi komunitas tersebut serta memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan oleh anak (Black & Khirisnakumar 1998; Brooks-Gunn et al. 1997; Leventhal & Brooks-Gunn 2000 yang diacu oleh Papalia et al. 2009). Conrad dan Novick 1996 yang diacu Sunarti (2007) mengembangkan atau menggunakan model ekologi keluarga sebagai pendekatan dan praktik dukungan sosial (social support) bagi keluarga. Dukungan sosial langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak (Dunst dan Trivette 1988 dalam Sunarti 2007). Salah satu modal sosial dalam masyarakat miskin adalah adanya intervensi yang diartikan sebagai campur tangan dalam suatu masalah (Editorial Jurnal Intervensi 2009). Intervensi merupakan salah satu dukungan formal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam membantu keberfungsian keluarga (Sunarti 2007). Intervensi psikososial dapat diartikan sebagai suatu campur tangan terhadap masalah perilaku sosial dengan menggunakan psikologi. Intervensi psikososial juga diartikan sebagai program yang menggabungkan
19
teknik yang bertujuan untuk mengurangi tekanan psikososial, dengan mengurangi kecemasan dan meningkatkan kematangan dan kegiatan sosial (Bessell & Amoss 2007). Jenis program intervensi psikososial sangat beragam sesuai dengan tujuan. Jenis-jenis intervensi psikososial antara lain, pengembangan kepribadian remaja, pelatihan keterampilan psikologik, mengurangi kekerasan dan agresi, meningkatkan perilaku interpersonal, post traumatic stress disorder dan lain-lain. Menurut Goldstein 1981 (Ramdhani 1993) prinsipnya pelatihan keterampilan psikologik ini dapat dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu: (1) Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik, detil, dan sering. (2) Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang diperankan model. (3) Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik ini harus diberikan segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia menjalankan langkah-langkah pelatihan. (4) Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari. Pelatihan pengembangan kepribadian dapat dilakukan dengan cara bermain peran, menirukan model yang diperankan video, menirukan model yang diperankan teman sebaya, dan setting in-vivo (Bulkeley dan Cramer, 1990). Berdasarkan durasi waktu intervensi metode intervensi psikososial mengacu pada penelitian Bavolek (1999) tentang program “helping Your Child Succed” selama 10-20 jam menggunakan ceramah, diskusi dan pengalaman belajar dengan hasil terdapat peningkatan sikap dan pengetahuan pengasuhan pada orang tua beresiko. Penelitian Sunarti (2009) memberikan penguatan kepada ibu, kader dan wanita yang belum menikah untuk memperbaiki status gizi anak balita melalui penyuluhan selama tiga bulan dengan perincian 12 kali pertemuan dengan durasi 90 menit dengan hasil terjadi peningkatan kepedulian para responden untuk memperbaiki status gizi anak balita. Penelitian Hidayah & Rachmawati (2009) tentang efektifitas pelatihan keterampilan sosial terhadap penyesuaian diri sosial pada 18 anak berbakat intelektual di program akselerasi selama 12 jam bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penyesuaian diri sosial sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan keterampilan sosial. Demikian pula penelitian Supradewi (2008) tentang efektifitas pelatihan dzikir terhadap penuruna afek negatif pada mahasiswa. Pelatihan Dzikir dilaksanakan empat kali (seminggu dua kali) selama 30 menit dan posttest dilakukan setelah 4 minggu setelah pelatihan. Hasil dari penelitian menemukan bahwa pelatihan dzikir berpengaruh dalam menurunkan tingkat afek negatif mahasiswa.
20
KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis struktural fungsional yang melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang dan harmonis dan berkelanjutan. Konsep struktur meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Pendekatan struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam pengelolaan, masalah dan stress. Ketahanan keluarga meliputi tiga komponen yaitu ketahanan fisik, sosial dan psikologi. Ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Ketahanan fisik keluarga akan menentukan daya beli rumah tangga, hygiene dan sanitasi lingkungan rumah. Daya beli rumah tangga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan keluarga. Sedangkan ketahanan sosial dan psikologi sangat mendukung proses kepribadian pasangan suami istri yang akhirnya akan berpengaruh pada proses pengasuhan anak. Remaja yang memiliki orang tua yang demokratis mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan keluarga, akan lebih cepat mencapai identity achievement. Orang tua yang otokratis akan mengontrol tingkah laku remaja tanpa memberi suatu kesempatan untuk mengekspresikan pendapat, mendorong terjadinya identity foreclosure pada remaja. Orang tua permisif yang memberikan sedikit arahan kepada remaja dan membiarkan remaja membuat keputusannya sendiri mendorong terjadinya identity diffusion pada diri remaja. Pembentukan identitas didorong oleh hubungan keluarga yang individual, yaitu yang mendukung remaja untuk mengembangkan pandangannya sendiri, dan juga hubungan yang mengikat, memberikan landasan yang aman bagi remaja untuk mengekplorasi dunia sosial. Gaya interaksi keluarga yang memberikan hak pada remaja untuk bertanya dan untuk menjadi seseorang yang berbeda, dalam suatu konteks dukungan dan mutualisme, mendorong pola perkembangan identitas yang sehat. Lingkungan yang lebih luas adalah interaksi remaja dengan teman sebaya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman sebaya, khususnya dengan teman dekat atau kelompok-kelompok kecil dibandingkan dengan orang tua, saudara, atau orang dewasa yang lain. Remaja usia belasan tahun ini menghadapi tekanan untuk mengikuti semua ketentuan-ketentuan dari kelompok dan akan menanggung resiko diasingkan apabila mereka gagal untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut. Konformitas terhadap kelompok teman sebaya dalam perilaku anti sosial meningkat tajam pada usia 15 tahun, sehingga pada usia ini jika standar atau norma kelompok tidak sesuai dengan norma dan tuntutan sosial, maka peluang remaja yang mudah terpengaruh teman sebaya akan semakin kecil untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja mendapatkan informasi, sensasi, menanggulangi kesulitan dan mengurangi kelelahan dan ketidakbahagiaan, model peran jenis kelamin dan untuk mendapatkan jatidiri budaya orang muda melalui media. Jumlah waktu
21
yang dihabiskan untuk suatu kegiatan tersebut akan memainkann pe peranan penting bahwa media massaa mempengaruhi m kehidupan remaja. Keterbatasan n keluarga miskin dalam menjalank nkan fungsinya membutuhkan dukun ungan eksternal berupa dukungan ekonomi mi dan dukungan sosial. Intervensi psik sikososial adalah salah satu bentuk dukungan n so sosial. Kehadiran orang dewasa yang g terdidik dan bekerja, dapat membina kom komunitas miskin memberikan dukungan dukunga sosial dan model yang dapat dijadikan kan panutan oleh remaja. Intervensi adalah ada salah satu dukungan formal yang dibut dibutuhkan dalam pendekatan model ekologi ekol keluarga.
Gambar 2. K Kerangka pemikiran ketahanan keluarga, pe pengasuhan, da intervensi psikososial, serta pengaruhnya dan ya terhadap pe perkembangan psikososial remaja pada keluarg arga miskin
22
METODE PENELITIAN Disain Penelitian Disain penelitian ini adalah Control Group Pretest – Posttest Design (Isaac,S & W.B. Michael 1990) disebut sebagai dengan modifikasi pemilihan kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan dengan quasi-eksperimental sesuai dengan kerangka contoh yang ditentukan. Tabel 1 Control Group Pretest – Posttest Design Kelompok Pre-test Perlakuan
Post-test
Perlakuan
T1
X
T2
Kontrol
T1
-
T2
Keterangan: T1=perkembangan psikososial awal pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, T2=perkembangan psikososial setelah perlakuan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, X= perlakuan intervensi perkembangan psikososial
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dengan dua pusat berkumpulnya remaja pada keluarga miskin berdasarkan data penerima Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Bapeda Kota Bekasi tahun 2010 yaitu di kelurahan Margahayu Kecamatan Bekasi Timur dan di Kelurahan Harapan Jaya di Kecamatan Bekasi Utara. Lokasi penelitian aksi dipilih secara sengaja (purposive) dengan maksud untuk keterjaminan pemenuhan aktivitas dan agenda penelitian yang membutuhkan intensitas yang tinggi. Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai bulan Oktober 2012. Uji coba instrumen dan modul intervensi psikososial dilaksanakan pada bulan Maret-April. Data baseline diambil pada akhir bulan Mei, pelaksanaan eksperimen dilakukan pada bulan Juni sampai Juli, selanjutnya pengambilan data endline dilakukan pada akhir bulan Agustus. Subyek Penelitian Populasi contoh dalam penelitian ini adalah remaja yang berasal dari keluarga miskin yang tinggal di Kota Bekasi. Remaja yang dipilih adalah remaja yang berusia antara 13 – 18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan secara acak sederhana dari dua daerah yang telah ditetapkan. Jumlah contoh di daerah Kelurahan Harapan Jaya 54 orang dan di Kelurahan Margahayu 50 orang. Jumlah contoh seluruhnya berjumlah 104 orang remaja. Setiap subyek yang terpilih diberikan surat kesediaan untuk menjadi responden penelitian yang diketahui oleh tokoh wilayah setempat (ustaz, ketua RT atau ketua RW). Kerangka penarikan contoh dijelaskan pada Gambar 3. Pada saat pelaksanaan penelitian terdapat empat responden dari kelompok perlakuan yang tidak dapat diolah datanya. Tiga responden lebih dari 3 kali tidak hadir intervensi, satu responden data ibu tidak didapatkan dan satu responden data
23
endline tidak ada.. Oleh O karena itu kelompok kontrol juga di dikurangi empat responden . Sehingga ngga jumlah contoh dalam penelitian ini 48 ke kelompok kontrol dan 48 kelompok perlakuan. perl
Gambar 3. Kerangka penarikan contoh Kegiatan Intervensi Psikososial Program inter ntervensi psikososial dirancang dan disusun un dalam sebuah modul. Materi dalam m modul disusun secara sistematis berdasarka rkan konsep utama lima tahapan perkemba mbangan psikososial trust, autonomy, initiativ ative, industry dan identity. Setiap materi ma merupakan pengembangan tahapann perkembangan psikososial disusun dengan de tujuan instruksional yang jelas (Gam ambar 4). Metode intervensi yang diguna unakan dengan pendekatan experience learni arning (belajar dari pengalaman) dengan n melalui role playing, performance feed back dan transfer of learning. Setiap konsep pengembangan tahap psikososial diberikan kan dengan durasi antara 120 sampai 135 menit dalam setiap minggu selama 7 (tujuh) ujuh) minggu. Pada setiap pertemuan inte ntervensi diawali dengan pretest dan diakhiri ri ddengan posttest. Instrumen pretest dan posttes disusun berdasarkan tujuan materii se setiap pertemuan. Jumlah item instrume ument pretest dan posttest terdiri dari lima item em dengan pilihan respon/jawaban ya dan tidak. Fasilitor yang ang memberikan intervensi adalah lulusann dan mahasiswa semester akhir prog ogram studi psikologi yang telah memiliki ki se sertifikat sebagai trainer /fasilitator untuk unt remaja. Sebelum dilakukan uji coba m modul fasilitator diberikan pelatihan “ttraining for trainer” intervensi psikososial. Uji coba modul odul intervensi psikososial dilakukan untuk meng engetahui apakah prosedur meliputi durasi dur waktu pada masing-masing sesi, ka kalimat instruksi, metode serta materi ri bisa dipahami oleh fasilitator dan peserta. a. Pelaksanaan uji
24
coba dilakukan pada tanggal 31 Maret sampai 2 April 2012 di Gedung H Lantai 2 Universitas Islam “45” Bekasi. Responden uji coba adalah penghuni Panti Asuhan Aisyiah Daerah Kota Bekasi 19 orang (laki-laki 8 orang dan perempuan 11 orang). Usia responden antara 14 tahun sampai 16 tahun. Hasil uji coba mendapatkan informasi perlunya menambah alat bantu, jumlah fasilitator, diskusi pendalaman materi dilakukan dalam kelompok kecil (3-5 orang), penambahan games yang menarik sehingga peserta akan termotivasi untuk hadir pada pertemuan berikutnya. IT’S ME
Peserta Memahami Identitas Diri
Peserta memiliki kepercayaan atas dukungan orang lain BEKERJA TUNTAS
GAWANG KEHIDUPAN
HARAPANKU
SUNGAI KEHIDUPAN
OTONOMI
Memahami arti penting kemandirian dan kegigihan dalam pencapaian kehendak
Peserta Memiliki Harapan
Memahami arti penting kepercayaan terhadap diri sendiri
INISIATIF
Memahami arti penting menetapkan tujuan hidup Memahami arti penting “memulai”
Peserta Memiliki Kehendak
Memahami peran pikiran dan keyakinan dalam menghadapi situasi /masalah
INDUSTRI
Memahami arti penting ketekunan Memahami karakteristik dapat dipercaya oleh orang lain
Peserta Memiliki Tujuan Hidup
Memahami perilaku benar dan salah Membedakan kata hati dan nafsu
AKU BISA
Peserta memahami resiko setiap perbuatan
Peserta Memahami Setiap Individu Mempunyai Kompetensi
Memahami kelebihan/sisi positif dalam diri Memahami arti penting potensi diri
IDENTITAS
PERCAYA
Memahami arti penting kepercayaan terhadap orang lain
Penerimaan diri atas kelebihan dan kekurangan diri dan orang lain
Mengungkapkan kelebihan dan kelemahan diri
Memahami pengalaman hidup diri dan orang lain
Peserta memahami arti penting mengenal diri
Gambar 4 Bagan instruksional intervensi psikososial Kegiatan intervensi psikososial dilaksanakan dalam dua kelompok. Kelompok pertama berjumlah 23 contoh di rumah singgah Sanggar Anak
25
Matahari dan kelom ompok kedua berjumlah 25 contoh di Mushol Mushola Salsabila di pemukiman bantaran an kali k Bekasi. Alur dan Prosedur Penelitian Alur dan prosedurr penelitian pe meliputi persiapan, pengukurann dan pemberian perlakuan, pengukur ukuran pada tahap endline, pengolahan data ata dan terakhir pembuatan laporan. n. Alur A dan prosedur ini digambarkan melalui bagan di bawah ini (Gambar 5)
Gambar 5 Alur dan prosedur penelitian
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dikum dalam penelitian ini terdiri dann da data primer dan data sekunder. Data ta primer meliputi karakteristik contoh (usia, usia, jenis kelamin, pendidikan, teman sebaya seba dan paparan media yang diterima remaj aja), karakteristik orang tua, ketahanan nan fisik, ketahanan sosial, ketahanan psikolog kologis, pengasuhan dan perkembangan psikososial psi baseline dan endline. Keseluruh uruhan data primer tersebut dikumpulkan kan melalui alat bantu kuisioner. Data sekunde sekunder meliputi gambaran umum loka okasi dan kondisi lingkungan. Secara lengkapp ri rincian jenis data dan cara pengumpulan pulan data disajikan dalam Tabel 2.
26
Tabel 2
Data dan cara pengumpulan data
No
Jenis data Jenis Kelamin Nominal Pendidikan Ordinal usia Rasio Usia ibu Rasio Usia ayah Rasio Pendidikan ibu Ordinal Pendidikan ayah Ordinal Pendapatan per kapita Rasio
Variabel
1
Karakteristik Remaja
2
Karakteristik Keluarga
3
Paparan media Konformitas Teman sebaya Ketahanan Keluarga
Ketahanan Fisik Ketahanan Sosial
Pengasuhan
Dimensi Emosi
4 5
6
Ordinal Kuisioner Ordinal Kuisioner Ordinal Wawancara Ordinal menggunakan Ketahanan Psikologis Ordinal instrument (Ibu)
Dimensi Kehangatan
Dimensi Arahan
7
Perkembangan Psikososial
Cara Pengukuran Instrumen & Responden Kuisioner Kuisioner (Remaja) karakteristik remaja Wawancara Kuisioner (ibu) karakteristik keluarga
Trust Autonomy Initiative Industry Identity
Instrumen Instrumen Instrumen Ketahanan Keluarga (Sunarti,2006)
Ordinal Wawancara Pengembangan menggunakan Kuisioner instrument (Ibu) Gottman & DeClaire (Latifah 2006) Ordinal Pengembangan PARQ dari Rohner (Sunarti 2008) Ordinal Pengembangan PAQ (Buri 1991) Ordinal Self report Pengembangan (remaja) diambil The Erikson saat baseline Psychosocial (sebelum Inventory Scale intervensi dan (EPSI) endline (sesudah (Rosenthal et al intervensi) 1981)
Kualitas instrumen dilakukan uji reliabilitas kuisioner dengan metode Cronbach’s Alpha. Pelaksanaan uji coba kuisioner remaja dilaksanakan pada tanggal 3 April 2012 dengan responden 30 siswa Madrasah Aliyah Muhammadiyah 03 Bekasi. Kuisioner untuk ibu dilaksanakan pada tanggal 10 – 12 April 2012 dengan responden 12 ibu majelis taklim Mujahiddin Kranji. Tabel 3 menyajikan hasil uji reliabilitas masing-masing instrumen.
27
Tabel 3 Nilai alpha cronbach instrumen penelitian yang digunakan No
Instrumen
1
Ketahanan keluarga Ketahanan Fisik Ketahanan Sosial Ketahanan Psikologis Pengasuhan Dimensi Kehangatan Dimensi Emosi Dimensi Arahan Perkembangan Psikososial Trust Autonomy Intiative Industry Identity Konformitas Teman Sebaya Paparan media
2
3
4 5
Jumlah item
Uji validitas
Alpha Cronbach ( )
29 29 29
0.301 - 0.632** 0.271 - 0.601** 0.177 – 0.612**
0.721 0.768 0.723
23 29 30
0.129 - 0.655** 0.143 - 0.621** 0.139 - 0.744**
0.754 0.688 0.825
12 12 12 12 12 12 6
0.283 - 0.728** 0.318*- 0.738** 0.153 - 0.542** 0.181 - 0.529** 0.298 - 0.728** 0.381**-- 0.728** 0.315* - 0.734**
0.735 0.738 0.727 0.669 0.710 0.858 0.771
Pengolahan dan Analisa Data Data yang diperoleh diolah melalui proses coding, sorting, entry, cleaning dan analisis data. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dan cara pengolahannya dirangkum dalam Tabel 4. Untuk menyamakan satuan yang digunakan maka semua skor yang diperoleh dikonversi dalam bentuk persen (0-100). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: X – nilai minimum X
Y =
x 100 Nilai Maksimum X – nilai minimum X
Keterangan : Y= skor dalam persen; X= skor yang diperoleh untuk setiap contoh Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan skor skala ketahanan keluarga, pengasuhan, teman sebaya, paparan media dan perkembangan psikososial menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kategori jenjang ini bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar 2009). Secara umum pengkategorian yang digunakan adalah rendah (skor < 33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor 66.8-100). Namun terdapat kategori yang berdasarkan cut-off point dengan skor < 80 rendah dan >80 tinggi.
28
Tabel 4 Pengolahan data karakteritik remaja, keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya, paparan media dan perkembangan psikososial Variabel Respon jawaban / Pemberian Skor Karakteristik Remaja Jenis Kelamin 1. Laki-laki, 2. Perempuan Usia Remaja
13 tahun - 18 Tahun
Pendidikan
1. Tidak Tamat SD, 2. Tamat SD, 3. Tidak Tamat SMP, 4. Tamat SMP, 5.Tidak Tamat SMA, 6.Tamat SMA
Karakteristik Keluarga Usia ibu dan ayah
1. Dewasa muda (20-40), 2. Dewasa madya (41-65) 3. Dewasa lanjut (> 65 tahun)
Pendidikan ibu dan ayah
1. Tidak Tamat SD, 2. Tamat SD, 3. Tidak Tamat SMP, 4. Tamat SMP, 5.Tidak Tamat SMA, 6.Tamat SMA
Pendapatan per kapita
Pendapatan keluarga dibagi jumlah anggota keluarga
Ketahanan Keluarga (Ketahanan Fisik, Ketahanan Sosial ,Ketahanan Psikologis)
Ya: 1, Tidak : 0 Skor tertinggi setiap komponen 29, skor terendah 0. Semakin tinggi skor menunjukkan semakin tinggi ketahanan keluarga
Pengasuhan (Dimensi Emosi, Dimensi Kehangatan, Dimensi Arahan)
Untuk mendapatkan skor tiap tipe pengasuhan dalam setiap dimensi Sesuai : 1, Tidak Sesuai : 0 Untuk mendapatkan skor total setiap dimensi item positif. Sesuai: 1, tidak sesuai : 0, dan item negatif sesuai : 0 dan tidak sesuai : 1 Semakin tinggi skor total dimensi pengasuhan maka semakin baik orang tua melakukan pengasuhan dalam dimensi tersebut
Konformitas Teman sebaya
Ya : 2, Tidak : 1
Paparan Media
Ya : 2, Tidak : 1
Perkembangan Psikososial (Trust, Autonomy, Initiative, Industry, Identity)
Item positif: Selalu: 4, Sering: 3, Pernah: 2, Tidak pernah :1 Item negatif: Selalu: 1, Sering: 2, Pernah : 3, Tidak pernah :4 Semakin tinggi skor menunjukkan semakin tinggi tahap perkembangan psikososial remaja
Selanjutnya karakteristik remaja, karakteristik keluarga diolah dan dianalis dengan menggunakan analisa diskriptif. Perbedaan antara variabel pada kelompok kontrol dan perlakuan menggunakan independent sampel test. Kemajuan antara kondisi baseline dan endline menggunakan uji paired sampel ttest. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja. Terdapat dua peubah
29
dependen yaitu perkembangan psikososial pada baseline dan perkembangan psikososial pada endline. Masing-masing model memiliki enam model turunan yaitu: (1) tahap trust, (2) tahap authonomy, (3) tahap inisiative, (4) tahap industry (5) tahap identity, dan (6) total perkembangan psikososial. Adapun model persamaan regresi linier berganda dengan Y perkembangan psikososial pada saat baseline disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Persamaan regresi linier berganda dengan Y1 perkembangan psikososial baseline Variabel Dependen Model Persamaan Regresi Linier Berganda Perkembangan Psikososial Baseline (Y1)
Y1.1
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+
Y1.2
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+
Y1.3
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+
4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+
8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+
1 D 1+
Y1.4
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+
Y1.5
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+
Y1.6
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+
4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+
8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+
1 D 1+
Keterangan: Y1.1=trust saat baseline,Y1.2=authonomy saat baseline,Y1.3= inistiative saat baseline ,Y1.4 =industry saat baseline, Y1.5 =identity saat baseline, Y1.6 =total psikososial saat baseline, = konstanta, (1-18)=koefisien regresi, X1.1.=usia remaja, X1.2= pendidikan remaja, X2.1= usia ibu, X2.2= usia ayah, X2.3= pendidikan ibu, X2.4= pendidikan ayah, X2.5= pendapatan per kapita, X2.6=besar keluarga, X3.1=ketahanan fisik, X3.2=ketahanan sosial, X3.3=ketahanan psikologis, X4.1=pengasuhan dimensi kehangatan, X4.2=pengasuhan dimensi emosi, X4.3=pengasuhan dimensi arahan, X5=paparan media, X6=konformitas teman sebaya, 1 =koefisien dummy, =error, D1 = Kelompok, D1=1perlakuan, D1=0kontrol
Model persamaan regresi linier berganda dengan Y perkembangan psikososial pada saat endline disajikan pada Tabel 6.
30
Tabel 6 Persamaan regresi linier berganda dengan Y2 perkembangan psikososial endline Variabel Dependen Model Persamaan Regresi Linier Berganda Perkembangan Psikososial Endline (Y2)
Y2.1
=
+ 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+ Y2.2 = + 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+ Y2.3 = + 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+ Y2.4 = + 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+ Y2.5 = + 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+ Y2.6 = + 1 X 1.1 + 2 X1.3+ 3.X1.4+ 4 X1.5+ 5 X2.1+ 6 X2.2+ 7 X2.3+ 8 X2.4+ 9 X2.5+ 10X2.6+ 11 X3.1+ 12 X3.2 + 13X3.3+ 14 X4.1+ 15 X4.2+ 16 X4.3+ 17 X5+ 18 X6+ 1 D 1+ Keterangan: Y1.1=trust saat endline,Y1.2=authonomy saat endline,Y1.3= inistiative saat endline ,Y1.4 =industry saat endline, Y1.5 =identity saat endline, Y1.6 =total psikososial saat endline, = konstanta, (1-18)=koefisien regresi,
X1.1.=usia remaja, X1.2= pendidikan remaja, X2.1= usia ibu, X2.2= usia ayah, X2.3= pendidikan ibu, X2.4= pendidikan ayah, X2.5= pendapatan per kapita, X2.6=besar keluarga, X3.1=ketahanan fisik, X3.2=ketahanan sosial, X3.3=ketahanan psikologis, X4.1=pengasuhan dimensi kehangatan, X4.2=pengasuhan dimensi emosi, X4.3=pengasuhan dimensi arahan, X5=paparan media, X6=konformitas teman sebaya, 1 =koefisien dummy, =error, D1 = Kelompok, D1=1perlakuan, D1=0kontrol Analisis pengaruh intervensi (sebagai variabel independen) terhadap perubahan perkembangan psikososial pada saat endline menggunakan uji regresi linier. Adapun model persamaan regresi linier yang digunakan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Persamaan regresi linier Variabel Dependen Tahap Perkembangan Psikososial (Y)
Keterangan:
Model Persamaan Regresi Linier Y1 = + X+ Y2 = + X+ Y3 = + X+ Y4 = + X+ Y5 = + X+ Y6 = + X+ Y1=trust saat endline, Y2 =authonomy saat endline, Y3 = inistiative saat endlin,e Y4 = industry saat endline, Y5= identity saat endline, Y6 =total psikososial saat endline, =konstanta, =koefisien regresi, X=intervensi, =Error
31
Definisi Operasional Remaja adalah individu yang berusia di atas 15 sampai 20 tahun. Pendidikan remaja adalah pendidikan formal yang pernah diikuti oleh remaja. Keluarga sekelompok orang yaitu suami/ayah, istri/ibu dan anak yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah ataupun adopsi. Keluarga miskin adalah keluarga yang dikategorikan miskin yang datanya berasal dari data penerima Jaminan Kesehatan Daerah yang diterbitkan oleh Bapeda Kota Bekasi tahun 2010. Ketahanan keluarga adalah kemampuan keluarga untuk mengelola sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seiring dengan masalah yang dihadapi keluarga. Ketahanan fisik adalah kemampuan keluarga untuk bertahan secara fisik yang diukur berdasarkan pendapatan keluarga, satu atau lebih anggota keluarga lain yang bekerja, serta kemampuan keluarga dalam memenuhi maupun menanggulani kebutuhan fisik keluarga. Ketahanan sosial adalah kemampuan keluarga bertahan secara sosial yang diukur melalui orientasi keluarga terhadap nilai agama, efektifitas komunikasi, tingkat komitmen keluarga, hubungan sosial, dan mekanisme koping keluarga. Ketahanan psikologis adalah kemampuan keluarga bertahan secara psikologis yang diukur melalui konsep diri dan pengendalian emosi yang dimiliki oleh ibu yang diasumsikan mewakili konsep diri dan pengendalian emosi keluarga. Pengasuhan adalah interaksi yang berlangsung antara anak dengan orang tua dalam bentuk pemberian kasih sayang, pemberian pemenuhan kebutuhan anak, pengarahan dan perlindungan serta pelatihan yang diterapkan orang tua dalam meningkatkan perkembangan psikososial remaja. Pengasuhan dimensi kehangatan adalah praktik pengasuhan otangtua dengan tipe penerimaan orang tua (parental acceptance) dan penolakan orang tua (parental rejection) dalam bentuk penyerangan (hostile and aggressive), penyia-nyiaan dan pengabaian (indifference and neglect), dan tidak sayang atau tidak cinta (undifferentiated rejected). Pengasuhan dimensi emosi adalah praktik pengasuhan orang tua dengan tipe mengabaikan, orang tua tidak menyetujui, orang tua laissez faire, dan orang tua pelatih emosi. Pengasuhan dimensi arahan adalah pelimpahan kekuasaan antara orang tua dan anak yang terdiri dari tiga jenis, yaitu otoriter (Authoritarian), permisif (permissive) dan demokrasi (Authoritative). Perkembangan psikososial adalah tahapan perkembangan psikososial remaja yang diukur melalui pencapaian tahapan trust, autonomy, initiative, industry dan identity. Perkembangan psikososial tahap trust adalah perkembangan rasa percaya dan mampu membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup. Perkembangan psikososial tahap autonomy adalah perkembangan kemandirian dan kesadaran tentang kemauannya sendiri.
32
Perkembangan psikososial tahap initiative adalah perkembangan dalam mengembangkan rasa tanggungjawab dan inisiatif serta keberanian untuk membayangkan dan mengejar sebuah tujuan. Perkembangan psikososial tahap industry adalah perkembangan untuk gigih, merasa mampu dan berkeinginan untuk menyelesaikan pekerjaan. Perkembangan psikososial tahap identity adalah perkembangan menemukan siapa diri dan tumbuhnya keyakinan penuh pada prinsip tertentu, kemampuan untuk memutuskan, bagaimana bersikap, percaya dengan rekan-rekan remaja atau orang dewasa. Paparan media adalah adalah waktu yang dihabiskan remaja melihat televisi dan media lain untuk mendapatkan informasi, hiburan, model peran jenis kelamin dan untuk mendapatkan jatidiri budaya orang muda. Konformitas teman sebaya adalah pengaruh dari remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kelurahan Margahayu Kecamatan Bekasi Timur dan Kelurahan Harapan Jaya Kecamatan Bekasi Utara (Lampiran 8 dan 9). Berdasarkan data Bekasi dalam Angka (2010) Kecamatan Bekasi Timur memiliki luas wilayah 13.49 Km2, jumlah penduduk 247.357 jiwa dan 4.966 diataranya masuk keluarga prasejahtera (praKS). Pusat berkumpulnya keluarga miskin di Kecamatan Bekasi Timur terdapat di Kelurahan Margahayu yaitu 1274 keluarga miskin (Bapeda Kota Bekasi 2010). Kecamatan Bekasi Utara memiliki luas wilayah 19.65 Km2, jumlah penduduk 308.593 dan 4.546 diantaranya masuk keluarga prasejahtera (PraKS) (Bekasi dalam Angka 2010). Kelompok Keluarga miskin di Kecamatan Bekasi Utara terdapat di Kelurahan Harapan Jaya sebanyak 607 keluarga (Bapeda Kota Bekasi 2010). Keluarga miskin di dua kelurahan tersebut mengelompok membentuk pemukiman yang terkesan kumuh dan jauh dari kata layak huni. Keluarga tersebut sebagian besar menempati sepanjang bantaran/pinggir Kali Bekasi yang berdekatan dengan stasiun kereta api, terminal dan pasar. Sebagian lagi menempati lahan yang dijadikan tempat pembuangan sampah sementara. Tempat intervensi psikososial dilakukan di dua tempat yaitu di rumah singgah Sanggar Anak Matahari di dekat Stasiun Bekasi dan Mushola Salsabila di pemukiman bantaran kali Bekasi. Tempat pengambilan data ibu dan remaja kelompok kontrol dilakukan di rumah Ketua RT dan Ketua RW masing-masing kelurahan. Karakteristik Remaja dan Keluarga Usia dan Jenis Kelamin contoh Usia contoh berkisar antara 13-18 tahun dengan persentase sebesar 59,3 persen pada usia 13 sampai 15 tahun dan 40,6 persen pada usia 16-18 tahun (Gambar 6 ). Arnet (2007) mengelompokkan remaja dalam tiga periode yaitu early adolescence (10-14 tahun), late adolescence (15-18 tahun dan emerging adulthood (18-25 tahun), sedangkan Hurlock (1993) menyatakan bahwa kelompok remaja tengah (madya) yaitu remaja yang berusia antara 13 atau 14 tahun sampai 17 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usia contoh berada dalam periode early adolencence dan late adolencence (Arnet 2007) atau kelompok remaja madya (Hurlock 1993). Berdasarkan jenis kelamin seperti yang terlihat pada Gambar 6 tersebar merata pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Jumlah laki-laki 47 orang atau 49 persen dan perempuan 49 orang atau 51 persen jumlah laki-laki untuk kelompok kontrol 25 orang dan pada kelompok perlakuan 22 orang sedangkan perempuan pada kelompok kontrol 23 orang dan pada kelompok perlakuan 26 orang. Tingkat pendidikan contoh Pendidikan memberikan kontribusi terhadap prestasi dalam tugas kognitif maupun perkembangan sosial remaja (Cole & Cole; Frarnham-Diggory 1990 dalam Santrock 2003). Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan
34
mempengaruhi dan membentuk pola, cara dan karakter berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penentu dalam perkembangan psikososial remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan contoh cukup bervariasi. Persentase terbesar 37.5 persen contoh tamat SD dan 36.5 persen tidak tamat SMP. Terdapat 15.6 persen contoh tidak tamat SD dan 9.4 persen tidak sekolah (Tabel 8). Gambaran tentang sebaran pendidikan menunjukkan bahwa masih terdapat warga negara yang belum mendapatkan pendidikan dasar 9 tahun. 70 60 50 40 30 20 10 0
59.3 51.4 48.6 40.7 28.1 21.8
31.2
29.9 20.2
18.8
Usia
31.2
13 – 15 tahun
17.8
16 – 18 tahun
Kontrol Perlakuan
Total
Pr
Lk
Total
Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan usia, kelompok dan jenis kelamin Aktifitas yang dilakukan contoh yang bersekolah baik di sekolah formal maupun sekolah persamaan sebesar 90.6 persen dan dari jumlah tersebut yang murni beraktifitas sebagai pelajar hanya 17.7 persen. Selebihnya aktifitas contoh membantu orang tua mencari nafkah dengan menjadi pedagang asongan, pengamen, pemulung dan lain-lain seperti buruh angkut atau penjaga warnet. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan, aktifitas dan sekolah Karakteristik Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Tamat SMP Tamat SMP Total Aktifitas Pedagang Asongan Pengamen Pemulung Pelajar Lain-lain Total Sekolah Sekolah Formal Persamaan Tidak Sekolah Total
Kelompok Perlakuan
Kontrol
Total
jumlah
%
jumlah
%
jumlah
%
7 17 20 4 48
7.3 17.7 20.8 4.2 50
8 19 15 6 48
8.3 19.8 15.6 6.3 50
15 36 35 10 96
15.6 37.5 36.5 10.4 100
5 14 15 9 5 48
5.2 14.6 15.6 9.4 5.2 50
6 16 16 8 2 48
6.3 16.7 16.7 8.3 2.1 50
11 30 31 17 7 96
11.5 31.3 32.3 17.7 7.3 100
37 6 5 48
38.5 6.3 5.2 50
37 7 4 48
38.5 7.3 4.2 50
74 13 9 96
77.1 13.5 9.4 100
35
Usia Ayah
Perlakuan
Usia Ibu
Usia ibu dan ayah Usia ibu dan ayah dikategorikan berdasarkan Hurlock (1993), yaitu usia 18-40 tahun dikategorikan sebagai dewasa awal, usia 41-60 tahun dikategorikan sebagai dewasa madya, dan lebih 60 tahun dikategorikan sebagai dewasa lanjut. Usia ibu berkaitan dengan usia produktif kerja. Selain itu usia ibu berkaitan dengan masa subur untuk bereproduksi. Gambar 7 menunjukkan bahwa lebih dari tigaperempat ibu dan ayah (79.2% dan 88%) berada pada rentang dewasa madya. Gambaran tentang sebaran usia ini menunjukkan bahwa orang tua contoh sebagian besar berada dalam usia produktif.
Perlakuan
46.88 3.13
Kontrol
44.79 5.21 Dewasa madya (41-65) 38.5
Dewasa muda (20-40)
11.5
Kontrol
40.6 9.4 0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua Pendidikan orang tua Persentase terbesar diantara orang tua contoh (49.0% ibu dan 44.80% ayah) umumnya hanya tamat SD. Hanya sebagian kecil yang tamat SMP (7.3% ibu dan 15.6 ayah). Terdapat ayah contoh melanjutkan tingkat SMA namun tidak selesai (5.2%). Terdapat sejumlah kecil yang tidak tamat SD (11.5% ibu dan 2.1% ayah) (Tabel 9). Rendahnya pendidikan ini tentunya berpengaruh terhadap peluang mendapatkan pekerjaan. Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan pendidikan orang tua Karakteristik Pendidikan Ibu Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Tamat SMP Tamat SMP Total Pendidikan Ayah Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Tamat SMP Tamat SMP Tidak Tamat SMA Total
Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan n % n %
Total n
%
8 21 16 3 48
8.3 21.9 16.7 3.1 50
3 26 15 4 48
3.1 27.1 15.6 4.2 50
11 47 31 7 96
11.5 49.0 32.3 7.3 100
1 22 14 8 3 48
1.0 22.9 14.6 8.3 3.1 50
1 21 17 7 2 48
1.0 21.9 17.7 7.3 2.1 50
2 43 31 15 5 96
2.1 44.8 32.3 15.6 5.2 100
36
Pendidikan orang tua (suami-istri) merupakan salah satu faktor yang diukur dalam ketahanan sosial. Menurut Sunarti (2001), keluarga dengan suami atau istri yang bersekolah ≥9 tahun (wajib belajar), maka akan memiliki ketahanan sosial yang lebih baik dibandingkan yang tidak sekolah atau pendidikannya <9 tahun. Menggunakan ukuran tamat pendidikan dasar 9 tahun sebagai batas, maka ternyata ada sejumlah 92.7 persen ibu dan 79.2 persen ayah yang pendidikannya masih dianggap kurang. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu gambaran sebaran pendidikan orang tua contoh berpengaruh terhadap ketahanan sosial keluarga. Pekerjaan orang tua Pekerjaan suami bukan merupakan sumber utama pendapatan keluarga contoh. Suami dan istri sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan anggota keluarga lain merupakan sumber pendapatan tambahan keluarga. Tabel 10 menunjukkan bahwa ibu bekerja sebagai pemulung (49.0%), buruh (10.4%), pedagang (8.3 %) dan pengamen (7.3 %). Sebagian kecil ibu tidak bekerja (25.0%). Sedangkan pekerjaan cukup bervariasi dengan persentase terbesar menjadi buruh (34.4%) dan pemulung (31.3%). Semua jenis pekerjaan orang tua contoh adalah pekerjaan yang mengandalkan kekuatan tenaga untuk mendapatkan upah yang tidak memiliki standar khusus seperti di perusahaan. Ibu yang bekerja sebagai pemulung bekerja di pagi dan sore hari, jenis pekerjaan lain seperti buruh, pedagang dan pengamen melakukan pekerjaannya dari pagi hingga sore hari. Oleh karena itu waktu bersama anak terbatas sehingga kehilangan kesempatan untuk mengasuh anaknya yang masih kecil dan berkomunikasi dengan anak remaja. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua Jenis Pekerjaan Orang tua Ibu Tidak Bekerja Pedagang Buruh Pemulung Pengamen Total Ayah Tidak Bekerja Pedagang Petani Buruh Tukang becak Sopir Pemulung Pengamen Total
Kelompok Kontrol jumlah %
Kelompok Perlakuan jumlah %
Total jumlah %
11 5 3 26 3 48
11.5 5.2 3.1 27.1 3.1 50
13 3 7 21 4 48
13.5 3.1 7.3 21.9 4.2 50
24 8 10 7 49
25.0 8.3 10.4 49.0 7.3 100
0 5 2 17 4 0 16 4 48
0.0 5.2 2.1 17.7 4.2 0.0 16.7 4.2 50
1 3 1 16 2 1 14 10 48
1.0 3.1 1.0 16.7 2.1 1.0 14.6 10.4 50
1 8 3 33 6 1 30 14 96
1.0 8.3 3.1 34.4 6.3 1.0 31.3 14.6 100
Besar keluarga Jumlah anggota keluarga menentukan ukuran (besaran) keluarga. Besar keluarga menurut Hurlock (1993) dibagi menjadi tiga kreteria, yaitu keluarga
37
kecil (≤4 orang), keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang, dan keluarga besar (≥8 orang). Tabel 11 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan besar anggota keluarga terdapat 37.5 persen memiliki anggota ≤ 4 orang dan lebih setengahnya 33.3 persen memiliki anggota keluarga 5-6 orang dan 29.2 persen memiliki anggota keluarga >6 orang. Hal ini menunjukkan terdapat kecenderungan keluarga contoh memiliki anggota keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak. Artinya kesadaran keluarga akan pentingnya keluarga berencana masih kurang. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga ≤ 4 orang (kecil) 5-6 orang (sedang) > 6 orang (besar) Total Rata-rata
Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan Total jumlah % jumlah % jumlah % 24 25.0 12 12.5 36 37.5 13 13.5 19 19.8 32 33.3 11 11.5 17 17.7 28 29.2 48 50 48 50 49 100 5.54
Pendapatan per kapita Status sosial ekonomi (socioeconomic status-SSE) meliputi pendapatan, pendidikan dan pekerjaan memiliki kaitan terhadap proses perkembangan anak. Kemiskinan secara tidak langsung berdampak pada di mana keluarga tinggal, keadaan emosi orang tua, praktik pola asuh, dan suasana yang diciptakan di rumah (Feldman 2009). Tabel 12 menggambarkan kontribusi penopang ekonomi keluarga tidak dapat diabaikan. Ibu contoh memberikan sumbangan pendapatan sebesar Rp498,750,0 (42.6%), Ayah menyumbang Rp528.854,2 (45.2%) dan anggota keluarga lain Rp142.500,0 (12.2%). Ibu contoh yang bekerja akan kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan anak remaja. Namun di kalangan masyarakat bawah, hal ini masih lebih baik dibandingkan contoh yang tidak bekerja dan akhirnya hidup penuh kemiskinan. Tabel 12 Rata-rata, kisaran, standar deviasi dan kontribusi pendapatan ibu, Ayah dan anggota keluarga lain Anggota Kelurga Ibu Ayah Anggota lain Total PerKapita
Mean (Rp)
Kelompok Kontrol Min/Mak (Rp)
SD
Mean (Rp)
Kelompok Perlakuan Min/Mak (Rp)
SD
496.88 526.00
200.00/855.00 0/900.00
133.73 225.63
489.50 531.46
150.00/800.00 0/840.00
139.87 228.51
138.33
0/745.00
202.44
142.50
0/800.00
201.59
1.161.21
680.00/2.170.00
314.34
1.163.46
700.00/2.200.00
309.71
216.60
112.00/350.00
461.11
219.31
171.00/333.00
391.44
Rata-rata pendapatan per kapita Rp219.522,8 lebih rendah dari pendapatan per kapita menurut BPS Jawa Barat tahun 2012 untuk daerah perkotaan sebesar Rp249.170,0. Sebaran pendapatan per kapita tersebut menunjukkan bahwa 74.0 persen dalam kategori miskin dan 26.0 persen tidak miskin. Namun demikian apabila ditinjau dari status rumah keluarga yang terkategori tidak miskin
38
menempati rumah pada lahan kosong/liar sehingga sewaktu-waktu akan terancam tergusur/terusir karena menempati rumah di atas lahan tidak resmi. Rumah keluarga contoh yang dihuni memiliki bentuk yang sangat sederhana dan jauh dari anggapan memadai sebagai tempat tinggal. Hamparan puluhan rumah yang saling berhimpit hanya ditemukan dua kamar mandi umum,selebihnya menggunakan sungai sebagai sarana MCK. Kreteria rumah sehat bangunan rumah minimal memiliki luas 8 meter persegi. Luas rumah keluarga contoh 100% kurang dari 7 meter persegi dengan bahan bangunan seadanya. Perabot rumahtangga yang dimiliki oleh keluarga contoh umumnya sangat terbatas. Ketahanan Keluarga Ketahanan fisik keluarga Ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Keluarga akan tahan secara fisik jika terbebas dari masalah ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan fisik keluarga (Sunarti 2001). Ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan ketahanan sosial keluarga (Sunarti 2001), terutama karena pada item anggota keluarga lain saling mendukung untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan fisik keluarga harus didukung ketahanan sosial sehingga ketahanan keluarga semakin kuat. Gambaran ketahanan fisik keluarga ditunjukkan oleh beberapa indikator sumberdaya fisik keluarga, masalah dan penanggulangan masalah fisik keluarga, dan kesejahteraan fisik keluarga. Hasil identifikasi ketahanan fisik keluarga contoh menunjukkan bahwa terdapat anggota keluarga memiliki Askes/Askeskin untuk pengobatan 64.6 persen namun 85.4 persen mengaku mengalami kesulitan dalam membayar biaya pengobatan. Masalah atau kesulitan keuangan dialami contoh sebesar 77.1% persen. Penanggulangan masalah keluarga diantaranya adalah penanggulangan ketika kesulitan ekonomi 51.0 persen. Pada umumnya keluarga mampu membeli pakaian minimal satu tahun sekali 75.0 persen. Setiap anggota keluarga yang sakit dibawa ke tempat pengobatan moderen 69.8 persen dan mampu menyekolahkan anak usia sekolah 61.3 persen (Tabel 13). Gambar 8 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh memiliki ketahanan fisik keluarga dalam kategori sedang (83.3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Sunarti (2008) setengah (58.25%) contoh tingkat ketahanan fisik keluarga buruh pemetik teh dalam kategori sedang dan penelitian Ginanjarsari (2010) bahwa tingkat ketahanan fisik keluarga pada keluarga miskin pada kategori sedang (86.7%) yang menggambarkan bahwa keluarga miskin cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum keluarga. Sebagian kecil keluarga contoh memiliki ketahanan fisik keluarga dalam kategori rendah (16.7%) dan contoh tidak ada yang mencapai ketahanan fisik keluarga kategori tinggi (0.0%).
39
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan fisik keluarga No
Item ketahanan fisik keluarga
1
Keluarga ibu mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari 2 Keluarga ibu mengalami kesulitan dalam membayar biaya pengobatan 3 Keluarga ibu mampu membiayai pendidikan wajar 9 tahun 4 Keluarga ibu mengalami kesulitan keuangan 5 Ibu mengalami gangguan kesehatan/kecelakaan serius (6 bulan terakhir) 6 Anak ibu mengalami gangguan kesehatan/kecelakaan serius (6 bulan terakhir) 7 Suami ibu mengalami gangguan kesehatan/kecelakaan serius (6 bulan terakhir) 8 Suami kehilangan pekerjaan (3 bulan terakhir) 9 Keluarga ibu mampu menanggulangi kesulitan pangan selama ini 10 Keluarga ibu mampu menanggulangi kesulitan ekonomi 11 Anggota keluarga ibu memiliki Askes/Askeskin untuk pengobatan 12 Keluarga besar ibu membantu pekerjaan rumah tangga Ibu 13 Keluarga besar ibu membantu kesulitan ekonomi Ibu 14 Tetangga membantu pekerjaan rumah tangga ibu 15 Tetangga membantu masalah ekonomi keluarga ibu 16 Frekwensi makan utama (nasi+lauk-pauk) ibu dalam sehari sebanyak 3x atau lebih 17 Anggota keluarga makan buah setiap hari 18 Anggota keluarga minum susu setiap hari 19 Anggota keluarga mampu membeli pakaian minimal satu tahun sekali 20 Setiap anggota keluarga yang sakit dibawa ke tempat pengobatan modern 21 Anak usia sekolah Ibu mampu bersekolah di sekolah yang formal 22 ibu yakin tetangga membantu, jika ibu mengalami kesulitan ekonomi 23 Seminggu terakhir ibu pernah membantu tetangga yang kesulitan 24 Pendapatan per kapita lebih dari garis kemiskinan 25 Kepemilikan kendaraan bermotor 26 Kepemilikan kamar mandi 27 Luas rumah perorang > 7 m 28 Rumah milik sendiri 29 Kepemilikan pekarangan / lahan potensial Total skor
Ya (%) KK KP Total (n=48) (n=48) (n=96) 43.8
43.8
43.8
85.4
85.4
85.4
47.9 77.1 12.5
47.9 77.1 14.6
47.9 77.1 13.5
8.3
12.5
10.4
20.8
16.7
18.8
12.5 47.9
6.3 50.0
9.4 49.0
52.1 66.7
50.0 62.5
51.0 64.6
22.9 20.8 31.3 25.0 31.3
25.0 31.3 33.3 18.8 33.3
24.0 26.0 32.3 21.9 32.3
0.0 0.0 75.0
0.0 0.0 75.0
0.0 0.0 75.0
72.9
66.7
69.8
60.4
62.5
61.5
37.5
33.3
35.4
41.7
45.8
43.8
25.0 4.2 33.3 0.0 0.0 0.0 457
16.7 4.2 12.5 0.0 0.0 0.0 444
20.8 4.2 22.9 0.0 0.0 0.0 903
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Ketahanan Sosial keluarga Gambaran ketahanan sosial keluarga (Tabel 14) ditunjukkan oleh indikator keluarga dalam penetapan tujuan, pembagian peran, komunikasi, komitmen keluarga, hubungan sosial, nilai dan agama. Keluarga contoh memiliki tujuan atau cita-cita (77.1%) dan melakukan perencanaan keuangan (55.2%). Terdapat
40
musyawarah dalam pengambilan keputusan (85.4%) dan saling mendukung untuk meningkatkan pendapatan keluarga (90.6%) serta telah terjalin sikap saling menghargai antar anggota keluarga (81.3%). Keluarga juga mampu melihat sisi baik dari setiap kejadian (71.9%), memiliki kepercayaan terhadap takdir (71.9%) dan bekerjasama dalam menyelesaikan masalah (84.4%). Ibu contoh memandang bahwa keutuhan keluarga itu sangat penting (83.35), mengurus anak itu sangat penting (92.7%), keberadaan anak itu sangat penting (83.3%) namun juga berpendapat bahwa pekerjaan suami itu sangat penting (89.6%). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan sosial keluarga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Item ketahanan sosial keluarga Keluarga ibu memiliki cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai Keluarga ibu melakukan perencanaan keuangan Keluarga ibu melakukan musyawarah dalam pengambilan keputusan Ada pembagian tugas dalam keluarga Setiap anggota keluarga menerima dengan senang hati pembagian tugas Keluarga saling mendukung untuk meningkatkan pendapatan keluarga Sikap saling menghargai antar anggota keluarga telah terjalin Setiap anggota keluarga saling menerima kekurangan & kelebihan masing-masing Keluarga sering berkomunikasi di sore hari Keluarga sering berkomunikasi saat akan tidur Keluarga sering berkomunikasi saat menonton TV Anggota keluarga memiliki waktu berkumpul setiap hari Keluarga memiliki kepercayaan terhadap takdir Keluarga mampu melihat sisi baik dari setiap kejadian Keluarga bekerjasama dalam menyelesaikan masalah Keluarga ibu berinisiatif meminta nasehat kepada orang yang dipercaya Ibu meyakini bahwa keutuhan keluarga itu sangat penting Ibu yakin bahwa pekerjaan suami itu sangat penting Ibu yakin bahwa mengurus anak itu sangat penting Ibu yakin bahwa keberadaan anak itu sangat penting Ibu bercerita berbagi beban dengan orang yang dipercaya Keluarga ibu sudah mampu beribadah dengan khusyuk/lebih banyak Keluarga besar memberi nasehat / membantu masalah perkawinan Tetangga atau lingkungan member nasehat/membantu masalah perkawinan Keluarga besar membantu memperhatikan perkembangan anak Ada peran keluarga besar dalam proses tumbuh kembang anak Tetangga/ lingkungan membantu dalam proses tumbuh kembang anak Pendidikan terakhir suami (≥ 9 tahun Pendidikan terakhir istri (≥ 9 tahun
Total skor
Ya(%) KK KP Total (n=48) (n=48) (n=96) 77.1 77.1 77.1 58.3 52.1 55.2 87.5 83.3 85.4 52.1 43.8
50.0 43.8
51.0 43.8
89.6
91.7
90.6
87.5 68.8
75.0 70.8
81.3 69.8
54.2 45.8 45.8 39.6 72.9 89.6 91.7 37.5
60.4 50.0 43.8 41.7 70.8 54.2 77.1 27.1
57.3 47.9 44.8 40.6 71.9 71.9 84.4 32.3
79.2 87.5 93.8 87.5 22.9 39.6
87.5 91.7 91.7 79.2 25.0 56.3
83.3 89.6 92.7 83.3 24.0 47.9
39.6
41.7
40.6
14.6
10.4
12.5
12.5 0.0 27.1
12.5 0.0 25.0
12.5 0.0 26.0
25.0 6.3 757
29.2 8.3 733
27.1 7.3 1490
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
41
Upaya saat menghadapi masalah adalah beribadah dengan khusyuk/lebih banyak (47.9%) dan meyakini keluarga besar memberi nasehat / membantu masalah perkawinan (40.6%). Peran tetangga dan keluarga besar dalam proses tumbuh kembang anak berada dalam persentase kecil (12.5% dan 27.1%). Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya sikap individual di daerah perkotaan. Indikator ketahanan sosial lainnya adalah lama pendidikan formal suami dan istri yang sebagian besar hanya mengenyam tingkat pendidikan dasar dan hanya sedikit (19.2% dan 5.2%) suami istri yang memiliki lama pendidikan formal lebih besar atau sama dengan sembilan tahun Keluarga akan memiliki ketahanan sosial yang tinggi jika memiliki sumberdaya non fisik yang baik, memiliki mekanisme penanggulangan masalah yang baik untuk memenuhi kebutuhan sosialnya (Sunarti 2001). Hasil penelitiannya ini menunjukkan bahwa 96.9 persen contoh memiliki ketahanan sosial keluarga dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa contoh belum bisa memenuhi kebutuhan sosialnya dengan optimal, terkait pemenuhan sumberdaya nonfisik terutama dalam peran lingkungan dan keluarga besar dalam membantu masalah perkawinan dan perhatian terhadap perkembangan anak serta pendidikan kelurga yang masih rendah (Gambar 8). 120.0 100.0
96.9
94.8
91.7
83.3
80.0 Rendah
60.0
Sedang
40.0 20.0
Tinggi
16.7 0.0
0.0
3.1
1.0
4.2
5.9
2.4
0.0 KK Fisik
KK Sosial
KK Psikologis
KK Total
Gambar 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori pencapaian ketahanan keluarga Ketahanan psikologis keluarga Hasil identifikasi dan elaborasi ketahanan psikologis keluarga menunjukkan gambaran konflik, masalah dan kehilangan, emosi dan konsep diri ibu, dan dukungan suami terhadap ibu (Tabel 15). Masalah yang dialami ibu contoh dalam 6 bulan terakhir bertengkar dengan pasangan (70.8%), ibu merasa kesulitan dalam mengasuh anak (49.0%), kehilangan anggota keluarga ibu (6 bulan terakhir) (31.3%) dan kehilangan keluarga/kerabat ibu (20.8%). Selain itu emosi negatif yang dirasakan ibu contoh diantaranya adalah merasa kesal pada pasangan 68.8%, kesal terhadap diri sendiri karena merasa tidak berdaya (34.4%) dan memendam rasa bersalah dalam mengasuh anak (40.6%). Terkait dengan emosi marah ini, ibu rasa marah kepada pasangan (63.5%), dan marah kepada keluarga besar (38.5%). Terkait dengan kepuasan yang ibu contoh rasakan adalah puas terhadap pendapatan sekarang (55.2%), terhadap makanan yang dikonsumsi selama ini (74.0%), pakaian yang ibu miliki (75.0%), dan hubungan ibu dengan mertua (76.0%). Separuh ibu contoh merasa
42
cemas dengan masa depan (50.0%). Apabila dikaitkan dengan konsep diri ibu contoh sudah merasa keluarga ibu disukai oleh tetangga (89.6%), merasa menjadi pasangan yang baik (81.3%), sudah merasa menjadi anak yang baik (52.1%), sudah merasa menjadi ibu yang baik (35.4%), insan beragama yang baik (39.6%), menjadi tetangga yang baik (54.2%) dan menjadi warga masyarakat yang baik (62.5%). Dukungan suami ditunjukkan dengan meringankan pekerjaan rumah istri (55.2%) dan menjaga perasaan istri (59.4%). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan psikologis keluarga No 1 2
Item ketahanan psikologis keluarga
Ada perasaan kesal pada pasangan Ada perasaan takut dicerai pasangan Ada perasaan kesal terhadap diri sendiri karena merasa 3 tidak berdaya 4 Ibu memendam rasa bersalah dalam mengasuh anak 5 Ibu memendam rasa marah kepada pasangan 6 Ibu memendam rasa marah kepada keluarga besar 7 Ibu merasa puas terhadap pendapatan sekarang Ibu merasa puas terhadap makanan yang dikonsumsi 8 selama ini 9 Ibu merasa puas terhadap pakaian yang ibu miliki 10 Ibu merasa puas terhadap hubungan ibu dengan mertua 11 Ibu merasa cemas terhadap kehidupan masa depan Ibu merasa telah menjadi pasangan yang baik bagi 12 pasangan ibu 13 Ibu merasa telah menjadi anak yang baik untuk ibu ibu Ibu merasa telah menjadi orang tua yang baik bagi anak14 anak ibu 15 Ibu merasa telah menjadi insane beragama yang baik 16 Ibu merasa telah menjadi tetangga yang baik 17 Ibu merasa telah menjadi warga masyarakat yang baik 18 Suami sudah meringankan pekerjaan rumah istri 19 Suami mampu menjaga perasaan istri 20 Suami sudah mampu menjadi imam yang baik 21 Suami sering menyenangkan istri Keluarga ibu senang mengikuti kegiatan 22 kemasyarakatan 23 Ibu merasa keluarga ibu disukai oleh tetangga 24 Ibu merasa senang membantu tetangga/orang lain Ibu pernah bertengkar dengan pasangan (6 bulan 25 terakhir) Ibu pernah bertengkar dengan keluarga besar (6 bulan 26 terakhir) 27 Ibu merasa kesulitan dalam mengasuh anak Ibu baru kehilangan anggota keluarga ibu (6 bulan 28 terakhir) Ibu baru kehilangan keluarga/ kerabat ibu (6 bulan 29 terakhir) Total skor
KK (n=48) 68.8 12.5
Ya(%) KP (n=48) 68.8 25
Total (n=96) 68.8 18.8
33.3 39.6 62.5 58.3 50
35.4 41.7 64.6 64.6 60.4
34.4 40.6 63.5 61.5 55.2
77.1 77.1 72.9 52.1
70.8 72.9 79.2 47.9
74 75 76 50
75 47.9
87.5 56.3
81.3 52.1
29.2 29.2 50 68.8 58.3 58.3 75 45.8
41.7 50 58.3 56.3 52.1 60.4 68.8 37.5
35.4 39.6 54.2 62.5 55.2 59.4 71.9 41.7
81.3 87.5 87.5
77.1 91.7 91.7
79.2 89.6 89.6
70.8
70.8
70.8
41.7 47.9
33.3 50
37.5 49
35.4
27.1
31.3
14.6 772
27.1 801
20.8 1573
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
43
Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar (94.8%) memiliki ketahanan psikologis keluarga pada kategori sedang (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang bersifat fisik terutama pendapatan per kapita berkaitan dengan ketahanan psikologis keluarga. Rekapan kategori pencapaian ketahanan keluarga disajikan dalam Lampiran 2. Di antara ketiga ketahanan keluarga, ketahanan sosial memiliki ratarata pencapaian yang paling tinggi sementara ketahanan fisik memiliki rata-rata pencapaian yang paling rendah. Ketahanan fisik yang rendah diimbangi oleh item ketahanan sosial yang dikembangkan dan dipelihara dari nilai-nilai kemasyarakatan. Demikian juga nilai-nilai dan dimensi ketahanan psikologis yang turut menyeimbangkan rendahnya ketahanan fisik sehingga keluarga sebagai sistem tetap berjalan dan bertahan. Hasil uji beda ketahanan keluarga berdasarkan kelompok disajikan dalam Lampiran 2 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketahanan keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pengasuhan Pengasuhan dimensi kehangatan Pengasuhan dimensi kehangatan dibagi dalam empat kategori yaitu penerimaan (acceptance), penolakan (hostility/agression), pengabaian (neglect/indifference), dan permusuhan (undifferentiated/rejection). Tabel 16 merupakan hasil elaborasi praktik pengasuhan dimensi kehangatan tipe penerimaan. Pada tipe penerimaan dengan persentase terbesar pada mencoba membuat anak bahagia (91.7%), namun hanya 27.1 persen ibu peduli tentang apa yang anak pikirkan dan menyukai untuk membicarakannya. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi kehangatan tipe warmth acceptance Sesuai (%) No 1 2 3
Item Tipe Pengasuhan Warmth Acceptance
Mengatakan hal-hal baik tentang anak Mendengarkan apa yang anak katakan Mendorong anak berteman dan mencoba melakukan hal yang menyenangkan 4 Memuji anak di depan orang lain 5 Berbicara kepada anak dengan cara yang hangat dan penuh cinta 6 Sangat tertarik dengan apa yang dikerjakan anak 7 Mencoba membantu anak ketika takut atau bingung 8 Peduli tentang apa yang anak pikirkan dan menyukai untuk membicarakannya 9 Mencoba membuat anak merasa lebih baik ketika terluka atau sakit 10 Mencoba membuat anak bahagia Total skor
KK (n=48)
KP (n=48)
Total (n=96)
64.6 66.7 77.1
68.8 50.0 64.6
66.7 58.3 70.8
29.2 25.0 45.8 79.2 25.0
33.3 31.3 50.0 87.5 29.2
31.3 28.1 47.9 83.3 27.1
91.7
79.2
85.4
87.5 311
95.8 217
91.7 528
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan Tabel 17 menunjukkan gambaran tipe pengasuhan kutub yang berbeda dengan tipe pengasuhan penerimaan. Pada tipe pengasuhan penolakan dengan persentase terbesar pada mengomeli anak ketika nakal (80.2%). Tipe pengabaian
44
terdapat praktik pengasuhan dimana ibu tidak memperhatikan siapa teman anak (89.6%), sedangkan dalam tipe permusuhan persentase terbesar ibu cenderung menganggap kesalahan anak sendiri bila anak berada dalam kesulitan (80.2%). Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi kehangatan tipe hostility/aggression, neglect/indefference dan undifferentiated rejection Sesuai (%) Item tipe pengasuhan Hostility/aggression
KK (n=48)
KP (n=48)
Total (n=96)
Mengomeli anak ketika nakal Memperlakukan anak dengan kasar Mudah marah kepada anak Menakuti / mengancam anak ketika ia berbuat sesuatu yang salah Merasa anak lain lebih baik daripada anak saya, apapun yang anak saya lakukan Total skor Item tipe pengasuhan Neglect/Indefference 1 Melupakan hal-hal yang seharusnya dilakukan 2 Merasa sibuk untuk menjawab pertanyaan anak 3 Tidak memperhatikan siapa teman anak 4 Tidak memperdulikan anak ketika ia meminta bantuan Total skor Item tipe pengasuhan Undifferentiated Rejection 1 Menganggap itu kesalahan anak sendiri ketika berada dalam kesulitan 2 Membuat anak merasa tidak dicintai lagi jika berperilaku menyimpang 3 Mengelukan tentang anak kepada orang lain ketika tidak mematuhi 4 Mengatakan kepada anak betapa malunya ketika berperilaku menyimpang Total skor
91.7 45.8 31.3 33.3 43.8
68.8 27.1 64.6 45.8 27.1
80.2 36.5 47.9 39.6 35.4
113
116
229
47.9 45.8 97.9 16.7 104
87.5 47.9 81.3 18.8 106
67.7 46.9 89.6 17.7 210
79.2
81.3
80.2
27.1
45.8
36.5
27.1
33.3
30.2
52.1
43.8
47.9
91
96
187
1 2 3 4 5
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan Hasil analisis kategori praktik pengasuhan dimensi kehangatan disajikan dalam Lampiran 3. Data tersebut menunjukkan bahwa contoh telah mempraktikkan pengasuhan penerimaan (72.9%), namun masih tinggi dalam mempraktikkan pengasuhan penolakan (90.6%), pengabaian (68.8%), dan permusuhan (70.8%). Hasil analis total dari keempat praktik pengasuhan dari pengasuhan dimensi kehangatan menunjukkan bahwa 53.10 persen ibu contoh masih mempraktikkan pengasuhan dimensi kehangatan terkategori rendah (Gambar 10). Analisis ekologis dampak kemiskinan dari Vonny Mclodyd yang diacu Papalia et al. (2009) mengindikasikan bahwa tekanan psikologis pada orang dewasa berpengaruh terhadap pengasuhan anak, dan akhirnya terhadap masalah emosional, perilaku dan akademik anak-anak. Pengasuhan dimensi emosi Gaya pengasuhan orang tua sangat berpengaruh terhadap emosi anak (Gottman dan DeClaire 1997) yang diklasifikasikan menjadi empat yaitu orang tua yang mengabaikan, orang tua yang menyetujui, orang tua laissez faire dan orang tua pelatih emosi. Gaya orang tua yang mengabaikan adalah orang tua yang
45
tidak menghiraukan, mengabaikan atau meremehkan emosi-emosi negatif anak. Oran tua yang tidak menyetujui merupakan orang tua yang bersifat kritis terhadap perasaan-perasaan negatif anak dan sering memarahi, mencela, mengecam atau menghukum ketika anak mengungkapkan emosinya. Orang tua laissez faire menerima emosi anak dan berempati dengan anak, tetapi tidak memberikan bimbingan dan menentukan batas-batas pada tingkah laku anak. Orang tua pelatih emosi menerima dan tidak meremehkan ungkapan emosi anak, serta memberikan batasan terhadap tingkah laku anak, mengajarkan anak mengatur perasaannya, menemukan ungkapan-ungkapan yang tepat terhadap emosi anak dan memecahkan masalah. Tabel 18 merupakan hasil elaborasi praktik pengasuhan dimensi pelatih emosi. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi emosi tipe pelatih emosi No 1
Item tipe pelatih emosi
Mencari tahu penyebab anak remaja sedih merupakan hal yang penting 2 Mencari tahu penyebab anak remaja sedih 3 Anak remaja mempunyai hak untuk marah 4 Bersikap memahami anak remaja yang sedih 5 Meluangkan waktu menyelami perasaan anak remaja yang marah 6 Ketika anak remaja sedih kesempatan akrab dengannya 7 Anak remaja marah tidak untuk membela dirinya 8 Ketika anak remaja saya sedih waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah 9 Menolong anak remaja mencari tahu penyebab ia marah 10 Anak remaja belajar dari rasa marah yang dialaminya Total skor
Sesuai (%) KK KP Total (n=48) (n=48) (n=96) 95.8 100.0 97.9 77.1 39.6 43.8 25.0
75.0 27.1 29.2 35.4
76.0 33.3 36.5 30.2
45.8
58.3
52.1
60.4 62.5
68.8 31.3
64.6 46.9
52.1
35.4
43.8
31.3 247
64.6 261
47.9 508
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan Pada tipe pelatih emosi dengan persentase terbesar pada mencari tahu penyebab anak remaja sedih merupakan hal yang penting (97.9%) dan sudah diiringi dengan mencari tahu penyebab anak remaja sedih (7.0%), dan memandang ketika anak remaja sedih kesempatan untuk akrab (52.1%), namun hanya 36.5 persen ibu contoh yang berusaha memahami anak remaja sedih. Hal yang berbeda saat anak remaja marah hanya 30.2 persen ibu meluangkan waktu menyelami perasaan anak remaja yang marah dan 33.3 persen menganggap anak remaja mempunyai hak untuk marah. Tabel 19 menunjukkan kutub yang berlawanan dengan tipe pelatih emosi. Tipe mengabaikan emosi 88.5 persen menunjukkan bahwa ibu lebih menyukai anak remaja yang bahagia. Hal tersebut sepertinya berimbas pada pendapat ibu anak remaja sedih karena melihat sisi kurang dari hidupnya (85.4%). Pada tipe tidak menyetujui emosi ibu merasa cemas anak remaja cenderung mengamuk ketika marah (80.2%), namun ibu menganggap bahwa anak remaja yang marah adalah
46
anak yang nakal (70.8%). Berbeda dengan tipe laizzez-faire bahwa 68.8 persen ibu menganggap remaja yang sedih harus dihibur. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi emosi tipe mengabaikan emosi, tidak menyetujui dan laizzez-faire Sesuai (%) Item tipe pengasuhan mengabaikan emosi
KK (n=48) 89.6
KP (n=48) 87.5
Total (n=96) 88.5
Anak remaja sedih karena melihat sisi kurang dari hidupnya Kemarahan anak remaja bukan hal yang serius Kesedihan anak remaja bukan masalah besar Boleh marah asal terkendali Saya membantu anak remaja yang bersedih Keheranan pada anak remaja yang marah karena tidak menerima keadaan 8 Saya tidak punya waktu bersedih 9 Kesedihan harus di atasi bukan disimpan 10 Menolong anak remaja mengatasi kesedihannya dengan cepat Total skor Item tipe tidak menyetujui emosi 1 Anak remaja yang marah pantas dikucilkan
89.6 45.8 43.8 70.8 70.8 39.6
81.3 60.4 45.8 68.8 70.8 45.8
85.4 53.1 44.8 69.8 70.8 42.7
89.6 66.7 33.3 292
79.2 35.4 66.7 317
84.4 51.0 50.0 609
64.6
68.8
66.7
2
Ketika anak remaja sedang marah, adalah waktu yang tepat untuk memukulnya 3 Anak remaja yang marah adalah anak yang nakal 4 Anak remaja yang pura-pura sedih adalah anak yang keras kepala 5 Cemas akan anak remaja cenderung mengamuk ketika marah 6 Anak remaja marah untuk mendaparkan keinginanya 7 Ungkapan marah oleh anak remaja sama dengan mengamuk 8 Orang yang marah itu lepas kendali 9 Anak remaja pura-pura sedih untuk mendapatkan perhatian 10 Saya marah dan dada saya terasa meledak Total skor Item tipe laizzez-faire 1 Kita harus mengungkapkan rasa marah
60.4
31.3
45.8
70.8 31.3
70.8 66.7
70.8 49.0
79.2 47.9 60.4 52.1 52.1 64.6 287
81.3 70.8 66.7 31.3 41.7 62.5 276
80.2 59.4 63.5 41.7 46.9 63.5 563
56.3
56.3
56.3
2
60.4
66.7
63.5
47.9 62.5 66.7 47.9
60.4 43.8 70.8 58.3
54.2 53.1 68.8 53.1
25.0
35.4
30.2
58.3 58.3 233
47.9 52.1 234
53.1 55.2 467
1
Lebih menyukai anak remaja yang bahagia
2 3 4 5 6 7
Hikmah dibalik kesedihan adalah boleh mengungkapkan kesedihan itu 3 Yakin ada cara mengubah kesedihan itu 4 Menyayangi anak remaja yang sedih walau apapun yang terjadi 5 Anak remaja yang sedih harus dihibur 6 Menyayangi anak remaja yang marah walau apapun yang terjadi 7 Hikmah di balik kemarahan adalah boleh mengungkapkan rasa marah 8 Tidak yakin apa yang anak remaja inginkan bila sedang marah 9 Tidak tahu apa yang anak remaja inginkan bila sedang sedih Total skor
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan Hasil analisis kategorisasi praktik pengasuhan dimensi emosi menunjukkan sebagian kecil contoh mempraktikkan pengasuhan pelatih emosi (5.2%), lebih dari setengah contoh mengabaikan emosi (63.5%), tidak menyetujui ketika anak mengungkapkan emosi (61.5%), dan tipe laissez faire (55.2%) dalam
47
Lampiran 4. Hasil analisis total dari keempat praktik pengasuhan dari pengasuhan dimensi emosi menunjukkan bahwa 84.4 persen ibu contoh masih mempraktikkan pengasuhan dimensi kehangatan terkategori rendah (Gambar 9). Gambaran praktik pengasuhan dimensi emosi menunjukkan bahwa pengasuhan orang tua masih jauh dari pengasuhan pelatihan emosi. Anak yang diasuh orang tua dengan pelatihan emosi akan menjadi lebih baik dalam bidang-bidang kerja akademis, keterampilan bergaul, kesejahteraan emosional dan kesejahteraan jasmaniah (Sunarti 2008). Pengasuhan dimensi arahan Baumrind (1991) diacu oleh Santrock (2003) terdapat tiga jenis gaya pengasuhan orang tua yaitu gaya pengasuhan otoriter, gaya pengasuhan permisif dan gaya pengasuhan otoritatif. Penelitian Baumrind menganalisis pola-pola pengasuhan dan kecakapan sosial dalam masa remaja bahwa perhatian dan dukungan orang tua berkaitan dengan kecakapan sosial remaja. Tabel 20 menunjukkan elaborasi pengasuhan dimensi arahan tipe authoritarian. Pada penelitian ini ditemukan bahwa 71.9 persen ibu menyuruh anak/remaja untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan keinginan tanpa boleh membantah dan 68.8 persen menggunakan hukuman sebagai alat utama dalam menanamkan disiplin kepada anak/remaja. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe authoritarian No 1
Item Tipe Authoritarian
Menyuruh anak/remaja untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan keinginan tanpa boleh membantah. 2 Menggunakan hukuman sebagai alat utama dalam menanamkan disiplin kepada anak/remaja 3 Mengontrol secara ketat segala rencana atau kegiatan yang anak lakukan. 4 Tidak pernah memberi kesempatan kepada anak untuk menyatakan pendapat. 5 Membatasi pergaulan anak dengan aturan yang ketat 6 Menuntut anak untuk mencapai prestasi yang baik 7 Membatasi anak dalam berinisiatif mengatur masa depan. 8 Tersinggung atau marah bila anak/remaja menentang perintah. 9 Memaksa anak untuk mengikuti les tambahan tanpa memperhatikan kegiatan yang lain. 10 Memberi hukuman tanpa memberi kesempatan kepada anak/remaja untuk menjelaskan duduk permasalahannya. Total skor
KK (n=48) 72.9
Sesuai (%) KP Total (n=48) (n=96) 70.8 71.9
70.8
66.7
68.8
43.8
45.8
44.8
29.2
35.4
32.3
25.0
35.4
30.2
41.7 27.1
58.3 25.0
50.0 26.0
60.4
68.8
64.6
18.8
10.4
14.6
68.8
52.1
60.4
229
215
444
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
48
Tabel 21 menggambarkan pengasuhan tipe permissive, menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu (60.4%) membiarkan anak/remaja membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa memberikan arahan/bimbingan. Berbeda dengan tipe authoritative sebagian besar (97.9%) memberikan tanggung jawab kepada anak/remaja untuk mengerjakan tugas-tugas di rumah dan 88.5 persen selalu mendukung kegiatan anak/remaja yang positif (Tabel 22). Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe permissive Sesuai %
Item tipe permissive
No 1 2 3 4
Membebaskan pergaulan anak/remaja tanpa batasan. Selalu mengalah dan mengikuti keinginan anak/remaja. Tidak menetapkan aturan apapun di rumah. Tidak menuntut anak/remaja untuk berperilaku baik sehari-hari di rumah. 5 Tidak pernah memberikan sanksi/hukuman apapun kepada anak/remaja. 6 Suka membela anak/remaja meskipun anak/remaja melakukan kesalahan. 7 Tidak menaruh harapan-harapan tertentu terhadap masa depan pendidikan anak/remaja. 8 Tidak mau campur tangan terhadap masalah yang anak/remaja hadapi. 9 Tidak marah walaupun anak/remaja membantah apa yang saya katakan. 10 Membiarkan anak/remaja membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa memberikan arahan/bimbingan. Total skor
KK (n=48) 18.8 58.3 31.3 35.4
KP (n=48) 25.0 31.3 29.2 66.7
Total (n=96) 21.9 44.8 30.2 51.0
50.0
31.3
40.6
47.9
45.8
46.9
35.4
33.3
34.4
52.1
41.7
46.9
22.9
43.8
33.3
58.3
62.5
60.4
288
198
486
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah (54.2%) ibu contoh melakukan pengasuhan otoritatif pada kategori sedang dan 35.4 persen pada kategori tinggi, namun mereka juga menerapkan gaya pengasuhan otoriter (50.0%) dan permisif (59.4%) dalam Lampiran 5. 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
89.6
84.4 53.1
49.3150.69
46.9
rendah 15.6
Dimensi Kehangatan
Dimensi Emosi
sedang 10.4
tinggi
Dimensi Arahan Total Pengasuhan
Gambar 9 Sebaran contoh berdasarkan pencapaian pengasuhan orang tua
49
Hasil analisis total dari ketiga praktik pengasuhan dari pengasuhan dimensi arahan menunjukkan bahwa 89.6 persen ibu contoh mempraktikkan pengasuhan dimensi arahan terkategori sedang, dan 10.4 persen ibu contoh yang mempraktikkan pengasuhan dimensi arahan dengan kategori rendah (Gambar 10). Jika dilihat berdasarkan pengasuhan ibu contoh secara total maka ibu contoh memiliki kategori sedang (50.69%) dan kategori rendah (49.31%). Hal ini menggambarkan bahwa pengasuhan orang tua contoh belum efektif baik ditinjau dari dimensi kehangatan, dimensi emosi dan dimensi arahan. Menurut Zevalkinki (2007) faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orang tua. Hasil uji beda dimensi pengasuhan orang tua contoh bedasarkan kelompok menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dimensi pengasuhan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa contoh dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mendapatkan praktik pengasuhan yang sama dari berbagai dimensi pengasuhan. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe authoritative Sesuai (%)
KK KP No Item tipe authoritative (n=48) (n=48) 1 Ddapat berdiskusi tentang apapun juga dengan 45.8 31.3 anak/remaja. 2 Menetapkan aturan namun bersedia mendengarkan 75.0 75.0 pendapat anak/remaja dan mendiskusikan aturanaturan tersebut. 3 Menanggapi setiap persoalan anak/remaja dengan 43.8 66.7 kehangatan. 4 Memberikan sanksi sesuai dengan perbuatan 85.4 85.4 anak/remaja. 5 Selalu memotivasi anak/remaja untuk memiliki cita- 79.2 89.6 cita yang tinggi. 6 Bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat saya 83.3 68.8 dengan anak/remaja. 7 Memberi kesempatan kepada anak/remaja untuk 81.3 81.3 memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuannya. 8 Memberikan tanggung jawab kepada anak/remaja 97.9 97.9 untuk mengerjakan tugas-tugas di rumah. 9 tanpa ragu bekerja sama dengan anak/remaja dalam 62.5 64.6 memutuskan masalah penting menyangkut masa depan anak/remaja. 10 Selalu mendukung kegiatan anak/remaja yang 91.7 85.4 positif. Total skor 361 356
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Total (n=96) 38.5 75.0
55.2 85.4 84.4 76.0 81.3
97.9 63.5
88.5 717
50
Konformitas Teman Sebaya Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga (Santrok 2003). Horrocks dan Benimoff (Hurlock 1994) berpendapat bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri-ciri utamanya adalah timbul persahabatan. Penelitian menemukan (Tabel 23) bahwa lebih dari setengah (57.3%) contoh selalu siap sedia apabila diajak teman. Sepertiga contoh berpendapat teman-teman mendorong kegiatan bermanfaat (35.4%), lebih peduli kepentingan teman (35.4%), lebih mendengarkan teman dibanding orang tua (39.6%) dan bila teman berkelahi akan ikut berkelahi (32.3%). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Pada penelitian ini 26.0 persen contoh bertemu lebih dari 4.5 jam sehari. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan item konformitas teman sebaya No
Item konformitas teman sebaya
1 2
Setiap diajak pergi oleh teman-teman, saya selalu siap sedia Teman-teman mendorong saya untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat Jika teman-teman saya berkelahi maka saya akan ikut berkelahi tanpa harus tahu mengenai alasannya Saya lebih perduli terhadap kepentingan teman-teman saya dibanding dengan kepentingan yang lainnya, bahkan kepentingan saya sendiri Saya akan melakukan apa saja yang penting teman-teman tidak memusuhi saya Apabila saya punya masalah, lebih baik saya menceritakannya kepada teman-teman saya daripada orang tua atau keluarga saya Saya lebih senang berada diantara teman-teman saya dibanding dengan keluarga saya Saya lebih mendengarkan perkataan teman-teman saya dibanding dengan orang tua saya Berteman Lebih dari 2 tahun dan bertemu > 4.5 jam sehari Memakai atribut kelompok
3 4
5 6
7 8 9 10
Total skor
KK (n=48) 72.92 37.50
Sesuai % KP Total (n=48) (n=96) 41.67 57.29 33.33 35.42
31.25
33.33
32.29
37.50
33.33
35.42
18.75
12.50
15.63
18.75
25.00
21.88
25.00
33.33
29.17
45.83
33.33
39.58
18.75 20.83
33.33 14.58
26.04 17.71
814
771
1585
Keterangan: KK=Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri (Monks et al. 2004). Penelitian ini menemukan
51
bahwa lebih dari setengah (58.3%) konformitas teman sebaya dalam kategori rendah, 40.6 persen sedang dan hanya 1.0 persen dalam kategori tinggi. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan konformitas teman sebaya Kategori Konformitas Teman Sebaya Rendah Sedang Tinggi Total value
Kelompok Perlakuan 32.3 17.7 50 0.125
Kontrol 26.0 22.9 1.0 50
Total 58.3 40.6 1.0 100.0
Keterangan: *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p≤0.05 Paparan Media Media sebagai alat bagi remaja untuk melakukan sosialisasi dimana mereka dapat memandang dunia secara menyeluruh. Pada penelitian ini ditemukan bahwa remaja sebagaian besar menggunakan media televisi (90.63%) dan internet (85.42%) (Gambar 10). Tabel 25 menunjukkan sebaran jenis dan rerata waktu paparan media. Berdasarkan rata-rata waktu media yang terpapar pada remaja sebagian besar diperoleh dari televisi (90.63%) dengan durasi 1-3 jam setiap hari. Televisi memiliki potensi pengaruh, baik yang positif maupun negatif. Banyak studi yang telah dilakukan untuk melihat dampak televisi pada masyarakat, khususnya pada anak-anak dan remaja. Tingkat perkembangan anak merupakan faktor kritis di dalam menentukan apakah media akan berpengaruh negatif atau positif. Pada penelitian ini menemukan bahwa remaja menganggap televisi berdampak positif sebesar 54.17 persen dan yang menganggap memiliki dampak buruk sebesar 19.79 persen (Gambar 11). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
46.88 43.75
41.67
43.75
Perlakuan Kontrol
13.54 9.38
televisi
radio
7.29 7.29
koran
internet
Gambar 10 Sebaran contoh berdasarkan jenis paparan media Persentase terbesar paparan media yang kedua berdasarkan waktu adalah penggunaan internet (90.63%) dengan durasi waktu 3-6 jam dalam 1 minggu. Walaupun paparan tersebut masih merupakan hal yang relatif baru tidak diragukan lagi bahwa kehadiran dan pertumbuhan teknologi internet menjadi salah satu
52
fenomena sosial yang paling menarik perhatian saat remaja saat ini tidak terkecuali remaja pada keluarga misikin. Tabel 25 Sebaran jenis dan rerata waktu paparan Jenis Paparan Media jumlah % (n=96) 87 90.63 21 21.88 14 14.58 87 90.63
Jenis Media Televisi Radio Koran /majalah Internet
Rata-rata waktu 1-3 jam setiap hari 9-12 jam dalam 1 minggu 9-12 jam dalam 1 minggu 3-6 jam dalam 1 minggu
Durasi waktu yang digunakan bila dikaitkan dengan apa yang diakses di internet semakin lama seorang pengguna mengakses internet maka akan mempengaruhi pola perilakunya (Kusumaardhiati 2011). Pada penelitian ini menemukan bahwa remaja menganggap internet sebagai media yang berpengaruh positif (17.71%) sedangkan yang menanggapi internet sebagai media yang berpengaruh negatif sebanyak 77.08 persen (Gambar 11). 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
77.08 54.17 Pengaruh Posistif 19.79
Televisi
Pengaruh Negatif 0
3.13
Radio
Koran / majalah
Internet
Gambar 11 Pendapat contoh tentang pengaruh jenis media Perkembangan Psikososial Kepribadian menurut Erikson dalam Papalia et al. (2009) dipengaruhi oleh masyarakat dan melalui serangkaian krisis. Erikson mengambil sudut pandang rentang kehidupan bahwa perkembangan ego adalah sepanjang hidup. Teori kepribadian Erikson disebut perkembangan psikososial (psychosocial development) yang mencakup delapan tahap perkembangan. Penelitian ini menggunakan lima tahap perkembangan psikososial. Trust Individu mengembangkan rasa percaya dan membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup (Erikson dalam Santrock 2003). Pada penelitian ini gambaran perkembangan tahap trust pada kondisi baseline (sebelum mendapatkan intervensi psikososial)
53
sebagian besar contoh memiliki komponen trust di atas 50 persen, bahkan terdapat tiga komponen yang dimiliki contoh di bawah 50 persen (Tabel 26). Saat kondisi baseline belum ada komponen yang dimiliki contoh lebih dari 75 persen. Komponen tersebut terpenuhi saat kondisi endline (sesudah mendapatkan intervensi psikososial) pada komponen menganggap dunia adalah sebuah tempat yang penuh harapan (81.3%) dan menyukai pada setiap orang yang dikenal (75.0%). Pada saat endline semua komponen trust dapat terpenuhi di atas 50 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa waktu dan interaksi contoh di dalam lingkungan sosial dapat menurunkan maupun meningkatkan rasa percaya dan harapan remaja terhadap dunia sekelilingnya. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap trust (%) No 1 2 3
Komponen Tahap Trust
Baseline KK KP 52.1 49.3 69.4 69.4
Dapat mengontrol diri saat marah Dunia adalah sebuah tempat yang penuh harapan Tidak khawatir kehilangan kontrol diri saat 55.6 mengalami kekecewaan 4 Tidak ragu terhadap kemampuan yang dimiliki 54.9 5 Orang lain bisa memahami keadaan 49.3 6 Percaya bahwa hal-hal yang baik akan berlangsung 46.5 lama 7 Suka pada semua orang yang dikenal 62.4 8 Dunia dan orang di dalamnya pada dasarnya baik 47.2 9 Suka bila orang lain meminta bantuan tenaga atau 50.7 pikiran 10 Merasa hal yang buruk akan terjadi pada diri 53.5 11 Merasa sama baiknya dengan orang lain 54.2 12 Orang yang sulit percaya dengan orang lain 59.0 1537 Total skor Keterangan: KK= Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Endline KK KP 52.7 72.9 64.6 81.3
50.7
56.9
70.1
51.4 45.8
54.9 50.7
70.8 66.7
46.5
52.8
65.3
72.9 41.0
63.9 52.1
75.0 70.1
50.0
51.4
68.1
52.8 52.1 55.6
52.1 51.4 54.9
64.6 65.3 69.4
1557
1564
1682
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (89.6%) memiliki perkembangan psikososial tahap trust dalam kategori sedang yang relatif tersebar merata baik berdasarkan kondisi baseline-endline. Kategori tinggi meningkat dari kondisi baseline 4.2 persen menjadi 8.3 persen pada kondisi endline (Gambar12 ). Autonomy Pada tahap autonomy individu mengembangkan keseimbangan antara kemandirian serta mencukupi kebutuhan diri (Erikson dalam Papalia et al. 2003). Pada penelitian ini gambaran perkembangan tahap autonomy contoh pada kondisi baseline memiliki komponen autonomy di atas 50 persen, namun masih terdapat tiga komponen di bawah 50 persen. Saat kondisi baseline belum ada komponen yang dimiliki contoh lebih dari 75 persen. Komponen tersebut terpenuhi saat kondisi endline (Tabel 27). Tujuh komponen autonomy telah tercapai (di atas 75%) namun terdapat tiga komponen saat kondisi endline belum terpenuhi yaitu menerima segala sesuatu sebagaimana adanya (74.3%), mengetahui kapan untuk menyenangkan
54
diri sendiri dan kapan menyenangkan orang lain (71.5%), tidak malu dengan keadaan saat ini (73.6%), memutuskan sendiri bila memilih sesuatu (69.4%), dan orang yang gigih dalam mencapai sesuatu (68.8%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa diatas tigaperempat contoh (88.5%) memiliki perkembangan psikososial tahap autonomy kategori sedang. Kategori tinggi terdapat pada kondisi baseline (4.2%) dan terjadi perubahan saat kondisi endline sebesar 19.8 persen (Gambar 12). Tabel 27
Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap autonomy (%)
No
Komponen Tahap Autonomy
1 2 3 4
Menerima segala sesuatu sebagaimana adanya Melakukan sesuatu dengan berpikir dulu Bangkit dari kehidupan sekarang Mengetahui kapan untuk menyenangkan diri sendiri dan kapan menyenangkan orang lain Yakin dengan kemampuan yang dimiliki akan berhasil mencapai harapan Tidak malu dengan keadaan saat ini Tidak mengantungkan hidup pada orang lain Memutuskan sendiri bila memilih sesuatu Orang yang gigih dalam mencapai sesuatu Keberhasilan dipengaruhi cara berpikir Dapat memfokuskan jalan hidup Menyukai kebebasan dan tidak ingin terikat
5
6 7 8 9 10 11 12 Total skor
Baseline KK KP 51.4 52.1 64.6 59.0 65.3 58.3 54.9 53.5
Endline KK KP 51.4 74.3 54.9 75.0 56.9 80.6 59.0 71.5
48.6
45.8
53.5
75.0
51.4 67.4 50.0 49.3 55.6 56.9 38.2
49.3 64.6 47.9 43.8 52.1 54.9 42.4
53.5 58.3 46.5 52.8 52.1 59.0 47.9
73.6 78.5 69.4 68.8 77.1 76.4 81.3
1650
1682
1701
2035
Keterangan: KK= Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Initiative Perkembangan psikososial tahap initiative ini individu mengembangkan inisiatif ketika mencoba berbagai kegiatan baru dan tidak diliputi rasa bersalah (Erikson dalam Papalia et al. 2003). Pada penelitian ini gambaran perkembangan tahap initiative contoh pada kondisi baseline sebagian besar contoh memiliki komponen initiative di bawah 50 persen. Saat kondisi baseline belum ada komponen yang dimiliki contoh lebih dari 75 persen (Tabel 28). Komponen tersebut terpenuhi saat kondisi endline. Empat komponen saat kondisi endline belum terpenuhi (<75%) yaitu menjadi yang orang pertama dalam mengeluarkan ide-ide baru (74.3%), tidak merasa ada yang kurang dalam penampilan diri saya (71.5%), orang energik yang melakukan banyak hal (73.6%), mencoba untuk memperbaiki diri, bila tahu salah (69.4%), petualangan/kegiatan baru membuat semangat (68.8%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa diatas tigaperempat contoh memiliki perkembangan psikososial tahap initiative kategori sedang (79.2%). Kategori tinggi terdapat pada kondisi baseline (2.1%) dan terjadi perubahan saat kondisi endline menjadi 27.1 persen (Gambar 12 ).
55
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap initiative (%) No
Komponen Tahap Initiative
1 2 3 4 5 6 7
Menjadi yang pertama dalam mengeluarkan ide-ide baru Memiliki kemampuan yang kebanyakan dimiliki orang lain Tidak mengandalkan orang lain untuk memberi saya ide Tidak merasa ada yang kurang dalam penampilan diri saya. Tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hal yang benar Orang energik yang melakukan banyak hal Mampu menahan diri melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan 8 Mencoba untuk memperbaiki diri, bila tahu salah. 9 Petualangan/kegiatan baru membuat semangat 10 Mencari tahu tentang hal-hal atau tempat baru 11 Pengikut bukan pemimpin 12 Mampu menahan diri saat akan melakukan perbuatan buruk Total skor
Baseline KK KP 42.4 42.4 49.3 47.9 39.6 45.1 43.1 47.9 47.9 50.7 39.6 40.3 38.9 44.4
Endline KK KP 51.4 74.3 54.9 75.0 56.9 80.6 59.0 71.5 53.5 75.0 53.5 73.6 58.3 78.5
52.8 49.3 56.9 55.6 47.9 1571
46.5 52.8 52.1 59.0 47.9 1713
52.1 52.1 56.9 56.3 44.4 1578
69.4 68.8 77.1 76.4 81.3 2038
Keterangan: KK= Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Industry Perkembangan psikososial tahap industry individu harus belajar berbagai keterampilan budaya atau menghadapi perasaan tidak mampu (Erikson dalam Papalia et al. 2003). Pada penelitian ini gambaran perkembangan tahap industry contoh pada kondisi baseline sebagian besar contoh memiliki komponen industry di bawah 50%, hanya tiga komponen yang berada di atas 50 persen yang dimiliki contoh (Tabel 29). Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap industry (%) No 1
Komponen Tahap Industry
Bersemangat jika yang diharapkan tidak menjadi kenyataan. 2 Berani mencoba bukan karena takut gagal 3 Tidak menunda sampai besok apa yang harus dikerjakan hari ini 4 Seorang pekerja keras 5 Merasa saya orang yang berguna bagi orang lain 6 Berusaha keras untuk mencapai tujuan saya 7 Orang yang rajin 8 Tidak membuang waktu dengan kegiatan yang tidak berguna 9 Tetap berlatih walaupun teman-teman mengejek 10 Menyiapkan diri sebelum mengerjakan tugas 11 Menuntaskan pekerjaan sampai selesai 12 Yakin bahwa segala masalah dapat diselesaikan. Total skor
Baseline KK KP 36.1 43.1
Endline KK KP 34.0 63.9
44.4 41.0
46.5 52.1
45.8 40.3
64.6 70.1
41.0 43.1 47.9 34.7 41.0
37.5 38.2 45.8 46.5 47.9
44.4 38.9 42.4 36.8 43.8
65.3 65.3 60.4 66.0 64.6
45.1 47.2 40.3 49.3
51.4 50.7 44.4 52.1
44.4 43.1 50.0 50.7
67.4 66.0 68.1 77.1
1649
1660
1665
1928
Keterangan: KK= Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Saat kondisi endline terjadi perubahan namun tidak ada komponen yang dimiliki contoh lebih dari 75 persen. Bahkan perkembangan tahap industry yang dimiliki contoh kelompok kontrol terjadi penurunan pada komponen bersemangat, jika yang diharapkan tidak menjadi kenyataan (36.1% menjadi 34.0%).
56
Peningkatan perkembangan tahap industry pada contoh kelompok perlakuan terlihat cukup besar pada komponen menganggap diri seorang pekerja keras (37.5% menjadi 65.5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa diatas separuh contoh (66.7%) memiliki perkembangan psikososial tahap industry kategori sedang. Kategori tinggi terdapat pada kondisi baseline (3.1%) dan terjadi perubahan saat kondisi endline menjadi 18.8 persen ( Gambar 12). Identity Pada perkembangan psikososial tahap ini remaja harus menentukan kesendiriannya sendiri (Erikson dalam Papalia et al. 2003). Pencarian identitas ego mencapai sebuah klimaks selama masa remaja ketika remaja berjuang untuk menemukan siapa mereka. Pada penelitian ini gambaran perkembangan tahap identity contoh pada kondisi baseline sebagian besar contoh memiliki komponen identity di bawah 50 persen bahkan tidak ada komponen yang dicapai sampai 50 persen, komponen yang paling rendah adalah ketika bersama orang lain menjadi pemimpin mereka (20.8%) (Tabel 30). Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahap identity (%) No 1 2 3 4 5 6 7
Komponen Tahap Identity
Mampu mengatasi kekurangan/kelemahan Ketika bersama orang lain menjadi pemimpin mereka Orang yang tergolong sopan Mempunyai tujuan yang jelas untuk menjadi apa nanti Merasa diri jelas dalam memegang prinsip Hal-hal penting terlihat jelas Orang yang jujur. Mampu memutuskan apa yang ingin dilakukan dengan 8 hidup 9 Suka diri dan bangga dengan apa yang diperjuangkan Memiliki rasa yang kuat tentang apa artinya menjadi 10 perempuan / laki-laki 11 Dapat membedakan perbuatan baik dan buruk 12 Merasa dilibatkan (diajak) dalam melaksanakan kegiatan Total skor
Baseline KK KP 38.2 42.4 24.3 20.8 27.8 36.8 34.0 42.4 27.1 34.0 33.3 34.7 34.0 29.2
Endline KK KP 51.4 74.3 54.9 75.0 56.9 80.6 59.0 71.5 53.5 75.0 53.5 73.6 58.3 78.5
34.0
35.4
46.5
69.4
33.3
36.1
52.8
68.8
47.2
47.9
52.1
77.1
30.6 41.7 1510
33.3 44.4 1516
59.0 47.9 1540
76.4 81.3 1929
Keterangan: KK= Kelompok Kontrol; KP=Kelompok Perlakuan
Pada kondisi endline terdapat tujuh komponen di atas 75 persen dimiliki contoh pada kelompok perlakuan. Lima komponen yang masih berada di bawah 75 persen adalah mampu mengatasi kekurangan/kelemahan (74.3%), mempunyai tujuan yang jelas untuk menjadi apa nanti (71.5%), hal-hal penting terlihat jelas (73.6%), mampu memutuskan apa yang ingin dilakukan dengan hidup(69.4%) dan suka diri dan bangga dengan apa yang diperjuangkan (68.8%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa diatas separuh contoh (58.3%) memiliki perkembangan psikososial tahap identity kategori sedang. Kategori tinggi terdapat pada kondisi baseline (1.0%) dan terjadi perubahan saat kondisi endline menjadi 17.7 persen (Gambar 12). Jika dilihat pencapaian perkembangan psikososial total terkategori sedang baik saat baseline maupun endline yaitu (72.3% dan 76.5%). Kategori tinggi
57
terdapat pada kondisi baseline (2.9 %) dan terjadi perubahan saat kondisi endline (19.2%)(Gambar 12). 45 40 39.8 36.5 40 36.7 35 30 25 20 15 12.1 10.6 10 8.5 10 1.9 1.7 1.3 1 5 0
38.8 33.5
35
37.3
16.5
Rendah 9
8.5
2.7
5 0
10.2 3.5
Sedang Tinggi
Gambar 12 Sebaran contoh berdasarkan kategori tahap perkembangan psikososial pada kondisi baseline dan endline Intervensi Psikososial Kemiskinan dapat membahayakan kesejahteraan fisik, kognitif dan psikososial anak-anak dan keluarga. Intervensi psikososial menjadi modal sosial dengan memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan dan inspirasi oleh remaja (Papalia et al. 2003). Penelitian ini memberikan intervensi psikososial dengan pelatihan pengembangan psikososial remaja yang mengacu tahap-tahap psikososial Erik Erikson (Trust – Identity). Pertemuan pertama dan kedua merupakan tahap pendahuluan dalam intervensi psikososial. Hasil elaborasi intervensi psikososial pada tahap pendahuluan diarahkan untuk memahami arti penting mengenal diri dengan tujuan khusus mengungkapkan rasa nyaman dan tidak selama hidup, mengungkapkan kelebihan dan kekurangan dan memahami penerimaan diri atas kelebihan dan kekurangan. Pengungkapan diri dalam kelompok membuat remaja dapat merasakan adanya universalitas, artinya remaja menjadi sadar bahwa ada orang lain yang mengalami masalah serupa dengan dirinya. Hal ini membuat remaja merasa bukan hanya dirinya saja yang menderita hal tersebut (Yalom, 1975). Perasaan ini akan meningkatkan pembukaan diri (Meichenbaum, 1979) dan akan memberikan motivasi untuk berubah yang lebih besar. Tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat perubahan pemahaman selama pelatihan berlangsung dengan hasil uji beda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.01) antara pretest dan posttest. Perubahan yang cukup besar terdapat pada pernyataan contoh “terasa sulit mengungkapkan sesuatu yang buruk dari diri”, awalnya hanya 10.42 persen kemudian berubah menjadi 97.9 persen. Demikian pula dengan pemahaman tentang “dunia dan orang di dalamnya pada dasarnya baik” awalnya hanya 29.2 persen kemudian setelah pelatihan berubah menjadi 93.8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa contoh mulai ada perubahan persepsi dalam memandang dunia dan kesediaan untuk membuka diri.
58
Pertemuan ketiga dalam intervensi psikososial ini mengembangkan tahap pertama dalam perkembangan psikososial yaitu trust. Tahap ini kekuatan dasarnya (basic strength) adalah memiliki harapan. Indikator perilaku pada tahap ini adalah memiliki harapan, optimis, kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap orang lain. Tabel 31 Sebaran skor pretest - posttest materi pendahuluan dalam intervensi psikososial Item pretest-posttets
Pretest ya %
Pertemuan pertama Kehidupan manusia terdapat hal yang menyenangkan dan 38 79.17 tidak menyenangkan 34 70.83 2 Kehidupan manusia ada awal dan akhir 5 10.42 3 Terasa sulit mengungkapkan sesuatu yang buruk dari diri 24 50 4 Terasa sulit mengungkapkan kelebihan (hal yang baik) dari diri sendiri 41 85.42 5 Merenungkan pengalaman hidup kita itu adalah sesuatu yang penting Mean-SD (persen) 59.17± 82.4 Pertemuan kedua 47 97.9 1 Aku tidak malu dengan pengalaman burukku 31 64.6 2 Saya tidak dapat mengontrol diri saya saat saya marah 42 87.5 3 Setiap orang mempunyai pengalaman yang menyenangkan 14 29.2 4 Dunia dan orang di dalamnya pada dasarnya baik 46 95.8 5 Saya akan bangkit dari kehidupan yang buruk 75± 78.5 Mean-SD (persen) 1
Posttest ya % 48
100
48 47 45
100 97.9 93.8
48
100
98.3 ± 27.9 48 46 47
100 95.8 97.9
45 93.8 48 100 97.5 ± 39.27
Hasil dari penelitian contoh mampu mengungkapkan kepercayaannya terhadap ibu dan ayahnya. Ungkapan contoh antara lain dirangkum dalam Tabel 32 menunjukkan bahwa contoh memiliki harapan agar orang tua menyayangi, percaya, bersikap baik, jujur, dan pernyataan kebanggaan terhadap orang tuanya. Pernyataan tentang kepercayaan terhadap diri sendiri sebagian besar menggambarkan harapan menjadi orang yang berguna, sukses, mengejar cita-cita, membanggakan orang tua, lulus sekolah dan harapan terhadap diri sendiri untuk semangat, percaya diri, tidak malas, tidak bolos sekolah, tidak jahat terhadap teman, tidak membohongi diri sendiri dan mandiri. Harapan contoh tentang orang lain terhadap dirinya terungkap dari pernyataan contoh yang sebagian besar menuliskan orang lain percaya, menghargai, jujur, bisa membantu, baik dan sopan, memotivasi, mau berteman, mengerti, dan tidak mengejek. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Jupp et al. (1990) yang melakukan penelitian terhadap anak-anak pemalu dan terisolasi sosial yang diberi paket pelatihan menunjukkan bahwa konsep diri anak meningkat, demikian pula kemampuan tingkah laku sosialnya juga meningkat. Menurut Erikson dalam Papalia et al. (2003) harapan adalah keyakinan bahwa individu dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan yang mereka inginkan). Harapan akan menjadi sebuah keyakinan untuk dicapai bila disadari atau adanya kesengajaan untuk dipikirkan. Ginzberg dalam Santrock (2003) percaya bahwa dalam perkembangan pemilihan karir remaja mulai mengevaluasi minat 11 hingga 12 tahun kemudian mengevaluasi kemampuan mereka 13 sampai
59
14 tahun dan sampai mengevaluasi prestasi mereka 15 hingga 16 tahun serta lebih realistis pada usia 17 dan 18 tahun. Oleh karena itu dalam intervensi psikososial ini contoh membuat harapan saat usia 21 tahun. Persentase tertinggi contoh menyatakan harapan untuk memiliki ijasah SMA (43.8%), menjadi karyawan (33.3%), menjadi mahasiswa (14.6), dan terdapat contoh yang memiliki harapan berkaitan dengan fisik yaitu memiliki motor (4.2%) dan pindah rumah (4.2%). Tabel 32 Sebaran contoh dalam mengungkapkan harapannya terhadap orang tua Kalimat ungkapan harapan Aku percaya bila ibu……… Sayang aku, menyayangiku, baik denganku Sayang aku walaupun sering memarahiku Hebat, terbaik, istimewa Senang mempunyai anak sepertiku Yakin kalau aku bisa sukses Berbicara padaku Orang yang paling berharga Mau berbicara jujur Meyakinkan aku Pasti bisa mendidik anak-anaknya Tidak memukulku Akanberubah Akan membantu bapak bekerja Tidak menyuruh aku bekerja Total Aku percaya bila ayah… Menyayangi ibuku Kepala rumah tangga yang baik Menyayangiku, sayangi aku Membahagiakan anak-anaknya Baik, senang Membelikan mainan mobil buat adikku Bangga padaku Kerja keras untuk membayar sekolahku Tidak memukulku Orang yang bertanggungjawab Mencari nafkah Bisa mendidik aku dengan benar Peduli padaku Jujur padaku Total
frekwensi
%
12 2 3 4 3 2 1 3 2 2 5 2 5 2 48
25.0 4.2 6.3 8.3 6.3 4.2 2.1 6.3 4.2 4.2 10.4 4.2 10.4 4.2 100
5 8 5 3 2 1 4 3 5 2 5 1 2 2 48
10.4 16.7 10.4 6.3 4.2 2.1 8.3 6.3 10.4 4.2 10.4 2.1 4.2 4.2 100
Pertemuan keempat dalam intervensi psikososial adalah pengembangan tahap Autonomy. Kekuatan dasar pada tahap ini adalah kehendak. Tujuan khusus dalam pengembangan tahap autonomy pertama memahami peran pikiran dan keyakinan dalam menghadapi situasi/masalah, kedua memahami arti penting kemandirian dan kegigihan dalam pencapaian kehendak. Indikator perilaku dalam tahap ini adalah kegigihan dalam mencapai sesuatu, kemandirian, keyakinan diri, tidak malu dan tidak ragu-ragu. Menurut Erikson dalam Feist & Feist (2006) otonomi akan berkembang jika lingkungan mengizinkan sejumlah pengekspresian diri sehingga kekuatan kehendak muncul secara adekuat.
60
Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh menampilkan keyakinan sebagai kekuatan pikiran dan kegigihan dalam menyelesaikan beberapa games. Pemaknaan games maupun role play dilakukan dalam kelompok kecil sehingga apabila ada persoalan akan terbahas secara mendalam. Kebiasaan kurang baik yang melekat pada sebagain besar contoh adalah mengejek/meledek atas kegagalan/keberhasilan teman. Oleh karena itu diberikan stimulasi untuk menunjukkan rasa empati atas kegagalan teman dan penghargaan atas keberhasilan teman. Tabel 33 menunjukkan hasil elaborasi pengungkapan contoh dalam pencapaian kehendak. Tabel 33 Sebaran contoh dalam pengungkapan pencapaian harapan Kalimat ungkapan pencapaian harapan Aku akan mencapai harapanku bila……… Berjuang Gigih Mempunyai uang Sekolah Berusaha terus Punya kesempatan Semangat Berlatih terus menerus Total
n
%
5 6 10 9 4 3 6 5 48
10.42 12.50 20.83 18.75 8.33 6.25 12.50 10.42 100.00
Perubahan pendapat pada contoh berkaitan dengan peran pikiran , keyakinan, kemandirian, dan kegigihan dalam pencapaian kehendak nampak dalam skor pretes-posttest (Tabel 34). Awalnya contoh beranggapan bahwa peran pikiran tidak menentukan keberhasilan, namun setelah pelatihan contoh meyakini bahwa peran pikiran mempengaruhi keberhasilan dalam pencapaian kehendak. Tabel 34 Sebaran skor pretest - posttest pertemuan keempat dalam intervensi psikososial Pretest Posttest Item pretest-posttets ya % ya % 1 Orang cacat tidak akan berhasil dalam hidupnya 37 77.08 48 100.00 2 Saya mengantungkan hidup saya pada orang lain 38 79.17 45 93.75 3 Saya yakin dengan kemampuan yang saya miliki 36 75.00 47 97.92 4 Keberhasilan dipengaruhi cara berpikir kita 33 68.75 48 100.00 5 Saya orang yang gigih dalam mencapai sesuatu 40 83.33 45 93.75 Mean-SD (persen) 76.67± 78.7 97.08 ± 39.27
Pertemuan kelima dalam intervensi psikososial adalah mengembangkan tahap inisiatif. Tujuan khusus pada tahap ini adalah memahami perilaku benar dan salah, membedakan kata hati dan nafsu, memahami arti penting menetapkan tujuan hidup, dan memahami arti penting “memulai”. Hasil penelitian remaja dalam kelompok perlakuan ini melakukan identifikasi sifat dan perilaku yang baik/buruk dan benar/salah. Remaja diberikan latihan pengenalan membedakan perilaku yang berangkat dari kata hati/nurani dengan nafsu melalui permainan kelompok. Permainan tersebut juga menunjukkan pentingnya menetapkan tujuan dan cepat memulai suatu pekerjaan.
61
Hasil elaborasi pendapat contoh mengenai pemahaman diri dalam perilaku baik buruk dan inisiatif ditunjukkan dalam Tabel 35. Awal pertemuan hanya 77.08 persen contoh merasa sebagai orang yang energik dalam melakukan banyak hal, namun setelah akhir pertemuan berubah menjadi 100 persen. Proses pelatihan mengajak contoh untuk memvisualisasikan cita-cita di masa akan datang melalui gambar dan membayangkan dalam pikiran. Tabel 35 Sebaran skor pretest - posttest pertemuan kelima dalam intervensi psikososial Pretest Posttest Item pretest-posttets ya % ya % 1 Saya sulit melakukan hal yang benar 39 81.25 45 93.75 2 Saya memiliki ide baru 38 79.16 47 97.91 3 Saya orang energik yang melakukan banyak hal 37 77.08 48 100.00 38 79.16 45 93.75 4 Saya mampu menahan diri saat akan melakukan perbuatan buruk 5 Saya semangat melakukan petualangan/kegiatan baru 42 87.5 48 100.00 Mean-SD (persen) 80.83± 78.7 97.08 ± 39.27
Pertemuan keenam intervensi psikososial mengembangkan tahap industry. Kekuatan dasar tahap ini adalah kompeten dengan indikator perilaku kegigihan dalam menyelesaikan pekerjaan/tugas, kepercayaan diri menggunakan kemampuan fisik dan kognitif, ketekunan, dan adanya tanggungjawab. Remaja dalam kelompok perlakuan melakukan elaborasi tentang kesuksesan dan kegagalan baik dalam penyelesain tugas mandiri maupun kelompok. Remaja mendapatkan model dari public figure yang saat ini sukses. Remaja juga didekatkan dengan model dari kalangan mereka yang dianggap sukses melewati krisis atau kesulitan hidup. Perubahan pemahaman contoh tentang arti kesuksesan dan kegagalan ditunjukkan dalam Tabel 36. Hal yang menarik pada pertemuan keenam adalah contoh menganggap sukses dan gagal disebabkan oleh nasib atau takdir. Proses pelatihan mengajak contoh untuk memahami keyakinan, ketekunan, menuntaskan pekerjaan adalah faktor yang menentukan kesuksesan, sehingga pendapat contoh berubah dari 27 persen menjadi 100 persen bahwa sukses dan gagal tidak tergantung nasib dan takdir. Contoh juga diminta untuk menggali potensi dan kelemahan diri. Bersama teman dan fasilitator contoh didorong untuk merencanakan bagaimana mengasah potensi dan mengatasi kelemahan diri. Pertemuan ketujuh sebagai tahap akhir dari intervensi psikososial ini adalah pengembangan identitas. Tujuan khusus pelatihan ini adalah contoh memahami prinsip/nilai yang diyakini, memiliki keyakinan atas pilihan pekerjaan, memiliki kepercayaan atas dukungan orang lain, dan memahami resiko setiap perbuatan. Remaja bingung untuk mendapatkan solusi dari pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep identitas (siapa saya, apakah yang ada pada diri saya, apa yang akan saya lakukan dengan hidup saya, apakah yang berbeda dengan diri saya dan bagaimanakah cara saya melakukan sesuatu sendiri? namun menurut Erikson dalam Santrock (2003) pertanyaan-pertanyaan itu penting bagi usaha memahami perkembangan remaja.
62
Tabel 36 Sebaran skor pretest - posttest pertemuan keenam dalam intervensi psikososial Item pretest-posttets 1 2
Sukses dan gagal tidak tergantung nasib dan takdir Saya membuang waktu dengan kegiatan yang tidak berguna 3 Saya yakin segala masalah dapat diselesaikan 4 Saya merasa orang yang berguna bagi orang lain 5 Saya tetap berlatih (mencoba) walaupun temanteman mengejekk saya Mean-SD (persen)
Pretest ya % 27 56.25
Posttest ya % 48 100.00
38 38 39
79.17 79.17 81.25
47 43 46
97.92 89.58 95.83
42
87.50
46
95.83
76.67± 72.7
95.83 ± 28.57
Hasil elaborasi pada tahap identitas contoh mengalami perubahan dalam berpendapat mengenai dirinya (Tabel 37). Contoh dalam kelompok perlakuan juga menetapkan modal yang harus dimiliki untuk sukses adalah jujur (25%), tanggungjawab (20.8%), kreatif (20.8%), disiplin (14.6%), mandiri (10.4%) dan ramah (6.3%). Sedangkan pekerjaan yang diinginkan berdagang (20.8%), pegawai (20.8%), guru/ustaz (18.8%), menghibur orang (6.3%), polisi (6.3%), ahli bangunan (6.3), bertani & berternak (4.2%), pemain sepakbola (4.2%), dokter (2.1%) dan lainnya (10.4%). Perubahan yang nampak menonjol adalah saat mempresentasikan portopolio “it’s me”. Remaja terlihat antusias, percaya diri, terbuka menyampaikan pengalaman hidup, potensi yang dimiliki, rencana tindakan mengatasi kelemahan, harapan, dan cita-cita. Tabel 37 Sebaran skor pretest - posttest pertemuan ketujuh dalam intervensi psikososial Item pretest-posttets 1. Saya dilibatkan (diajak) dalam melaksanakan kegiatan 2. Saya mampu mengatasi kekurangan/kelemahan saya 3. Saya suka dengan diri saya dan saya suka dengan apa yang saya perjuangkan 4. Aku adalah laki-laki dan akan menikah dengan perempuan 5. Aku adalah perempuan maka aku akan menikah dengan laki-laki 6. Aku mempunyai tujuan hidup yang jelas Mean-SD (persen)
Pretest ya %
Posttest ya %
36
75.0
48
100.0
40 37
83.3 77.1
48 48
100.0 100.0
22
45.8
22
45.8
26
54.2
26
54.2
41
85.4
48
100.0
70.1± 62.4
83.3 ± 26.6
Rataan nilai peserta intervensi setiap pertemuan pada sebelum dan sesudah intervensi (pretest-posttest) disajikan dalam Tabel 38. Rata-rata nilai paling tinggi adalah saat minggu kelima dengan pretest 3.95 dan posttest 4.89. Nilai pretest dan posttest peserta berbeda secara nyata, setelah intervensi terjadi peningkatan nilai test secara nyata pada level 1 persen.
63
Tabel 38 Rataan kehadiran, rataan nilai dan p-value hasil uji beda hasil pretest dan posttest peserta intervensi psikososial Minggu 1 2 3 4 5 6 7
Kehadiran (n=48) (%) 100 95.83 97.92 93.75 97.92 95.83 100
Rataan Nilai pretest posttest 3.47 4.08 3.16 4.68 3.08 4.31 3.95 4.85 3.95 4.89 3.83 4.85 3.95 4.87
Hasil uji beda p-value 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Hubungan antara Variabel Penelitian dengan Perkembangan Psikososial Uji korelasi Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah karakteristik remaja (usia, pendidikan), karakteristik keluarga (usia ibu, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pendapatan per kapita), ketahanan keluarga, pengasuhan, teman sebaya, paparan media dan perkembangan psikososial remaja. Karakteristik remaja, karakteristik keluarga dan ketahanan keluarga Tabel 39 menyajikan data hasil uji korelasi karakteristik remaja, karakteristik keluarga dengan komponen ketahanan keluarga. Berdasarkan hasil uji korelasi antara karakteristik remaja dengan komponen ketahanan keluarga terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan remaja dengan ketahanan sosial keluarga (r=0.438,p<0.01), dan ketahanan psikologis keluarga (r=0.331,p<0.01) menunjukkan bahwa kecenderungan keluarga yang memiliki pendidikan anak/remaja akan memiliki ketahanan sosial keluarga dan ketahanan psikologis keluarga yang tinggi pula. Kesulitan pada keluarga miskin salah satunya adalah kemampuan dalam menyekolahkan anak. Oleh karena itu memiliki anak berpendidikan merupakan sebuah nilai sosial bagi orang tua. Seperti pendapat Hoffman dan Hoffman yang diacu Santrock (2007) bahwa anak merupakan sebuah nilai sosial bagi orang tua sebagai pencegah perceraian dan meningkatkan status sosial keluarga. Penelitian ini menemukan bahwa 61.3 persen menyatakan mampu menyekolahkan anak usia sekolah di sekolah formal dan 92.7 persen menganggap mengurus anak adalah sangat penting. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh memiliki dorongan untuk maju dan memiliki sumberdaya non fisik sebagai salah satu indikator ketahanan sosial. Hal yang sebaliknya akan terjadi apabila orang tua tidak mampu menyekolahkan anak, maka akan menimbulkan rasa bersalah dan merasa tidak mampu mengurus anak. Seperti hasil penelitian ini menemukan bahwa 40.6 persen ibu contoh merasa bersalah dalam mengurus anak dan ibu contoh yang merasa menjadi orang tua yang baik hanya 35.4 persen. Rasa bersalah dapat menyebabkan stressor dan berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis. Syarat utama ketahanan psikologis adalah kepribadian yang matang dan kecerdasan emosi orang tua/suami istri (Sunarti 2001). Pada Tabel 39 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan ketahanan sosial keluarga
64
(r=0.594,p<0.01), dan pendidikan ayah dengan ketahanan sosial keluarga (r=0.304,p<0.01). Hal ini menunjukkan kecenderungan keluarga yang memiliki ibu yang berpendidikan, dan ayah yang berpendidikan akan memiliki ketahanan sosial keluarga yang tinggi pula. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitriani (2010) dan Ginanjarsari (2010) bahwa lama pendidikan suami-istri berhubungan dengan ketahanan sosial keluarga. Pendidikan suami istri merupakan sumberdaya non fisik keluarga. Syarat kondisi ketahanan sosial keluarga yang kuat yaitu kepribadia pasangan yang mature, yang merupakan hasil dari proses perkembangan, pendidikan melalui sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai (Sunarti 2001). Tabel 39 menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara ketahanan fisik keluarga dengan pendapatan per kapita (r=0.464,p<0.01). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita keluarga yang tinggi akan sejalan dengan meningkatnya ketahanan fisik keluarga. Penelitian ini menemukan pendapatan per kapita keluarga berasal dari istri sebesar 42.6 persen, suami 45.2 persen dan anggota yang lain 12.2 persen. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Herawati (2012) bahwa status suami dan istri yang bekerja dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap ketahanan keluarga. Menurut Sunarti (2001) syarat kondisi keluarga yang memiliki ketahanan yang kuat adalah keluarga yang memiliki kualitas sumberdaya manusia yang baik, yaitu yang memiliki kemampuan dasar, dan keterampilan untuk bekerja. Indikator keluarga yang memiliki ketahanan yang tinggi adalah keluarga yang memiliki pendapatan per kapita melebihi kebutuhan fisik minimum. Tabel 39 Nilai koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan ketahanan keluarga Karakteristik Karakteristik remaja Usia Remaja Pendidikan Karakteristik Keluarga Pendidikan ibu Pendidikan ayah Pendapatan per kapita Usia ibu Besar Keluarga
Ketahanan Keluarga Ketahanan Ketahanan Ketahanan Fisik Sosial Psikologis
Total Ketahanan Keluarga
0.083 0.166
0.116 0.438**
0.023 0.331**
0.061 0.381**
0.151 0.251* 0.464** -0.136 0.014
0.594** 0.304** 0.087 -0.016 -0.041
0.134 0.091 0.058 -0.146 0.011
0.339** 0.252* 0.279** -0.136 -0.033
Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05 Usia remaja dan usia ibu tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan komponen ketahanan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya usia anak/remaja dan usia ibu tidak berarti meningkatkan pencapaian komponen ketahanan keluarga. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Ginanjarsari (2010) bahwa usia istri dan suami tidak berkorelasi positif dengan komponen ketahanan keluarga. Besar keluarga tidak berhubungan dengan kompenen ketahanan keluarga. Temuan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Herawati (2012) bahwa karakteristik demografi dengan indikator jumlah anggota keluarga memberikan
65
pengaruh negatif terhadap ketahanan keluarga yang berarti semakin tinggi jumlah anggota keluarga maka ketahanan keluarga semakin menurun. Karakteristik remaja, karakteristik keluarga dan pengasuhan Tabel 40 menyajikan data hasil uji korelasi karakteristik remaja, karakteristik keluarga dengan dimensi pengasuhan ibu. Berdasarkan hasil uji korelasi antara karakteristik remaja dengan dimensi pengasuhan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan remaja dengan pengasuhan ibu dimensi kehangatan(r=0.261,p<0.05), dimensi pelatih emosi (r=0.454,p<0.01), dan pengasuhan ibu dimensi arahan (r=0.354,p<0.01) menunjukkan bahwa kecenderungan ibu yang memiliki pendidikan anak/remaja akan memiliki pengasuhan dimensi sebagai pelatih emosi dan pengasuhan dimensi arahan yang tinggi pula. Pada penelitian ini ditemukan pendidikan contoh 10.4 persen (10 remaja) tamat SMP, 60 persen diantara mendapatkan pengasuhan dimensi kehangatan dalam kategori sedang, 30 persen mendapatkan pengasuhan dimensi emosi, dan 100 persen mendapatkan pengasuhan dimensi arahan. Karakteristik keluarga meliputi usia ibu, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pendapatan per kapita dan besar keluarga. Hasil uji korelasi (Tabel 40) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik keluarga dengan dimensi pengasuhan orang tua. Ini berarti semakin tinggi pendidikan ibu, pendidikan ayah, pendapatan ibu pendapatan per kapita, dan besar keluarga tidak berarti berhubungan dengan peningkatan dimensi pengasuhan. Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang sama yaitu tingkat pendidikan, usia orang tua, besar keluarga dengan gaya pengasuhan (Ruhidawati 2005; Wulandari 2009; Putri 2012: Pasaribu 2012). Tidak terdapatnya hubungan dimungkinkan adanya beragamnya usia, tingkat pendidikan, dan kategori besar keluarga pada satu gaya pengasuhan yang sama. Tabel 40 Nilai koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan pengasuhan Karakteristik
Dimensi Kehangatan
Pengasuhan Dimensi Pelatih Emosi
Dimensi Arahan
Karakteristik remaja Usia Remaja 0.045 0.043 0.020 * ** ** 0.261 0.454 0.354 Pendidikan Karakteristik Keluarga Pendidikan ibu -0.109 0.084 0.001 Pendidikan ayah -0.086 0-.003 -0.015 Pendapatan per kapita 0.016 -0.059 0.074 Besar Keluarga 0.155 0.157 0.057 Usia ibu -0.060 0.139 0.026 Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05
Total Pengasuhan
0.025 0.356** -0.004 -.031 -.0.005 0.055 0.051
Karakteristik remaja , konformitas teman sebaya dan paparan media Tabel 41 menyajikan data hasil uji korelasi karakteristik remaja dengan konformitas teman sebaya dan paparan media. Uji korelasi menunjukkan hubungan yang nyata antara usia dengan konformitas teman sebaya (r=0.254; p<0.05) yang mengandung arti bahwa semakin tinggi usia contoh maka akan
66
semakin tinggi mendapatkan konformitas teman sebaya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Berndt 1979 yang diacu Santrock (2003) tentang konformitas teman sebaya dari kelas 3 hingga 12 menemukan bahwa konformitas remaja terhadap tingkah laku sosial dari teman sebaya jauh lebih kuat pada kelas sebelumnya. Tabel 41 juga menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara usia dengan paparan media (r=0.245; p<0.05) yang mengandung arti bahwa semakin tinggi usia contoh maka akan semakin tinggi terpapar media. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya bahwa penggunaan media musik, radio, video musik meningkat hingga 4 sampai 6 jam sehari dipertengahan masa remaja (Fine, Mortimer, & Roberts 1990; Larson, Kubey, & Colleti 1989 dalam Santrock 2003). Remaja juga lebih banyak menggunakan media cetak dibandingkan anakanak (Santrock 2003). Tabel 41 Nilai koefisien korelasi karakteristik remaja dengan konformitas teman sebaya dan paparan media Karakteristik Remaja Usia Remaja Pendidikan
Konformitas Teman Sebaya 0.254* -0.131
Paparan Media 0.245* 0.187
Keterangan: * signifikan pada p<0.05 Karakteristik remaja, karakteritik keluarga dan perkembangan psikososial Tabel 42 menyajikan data uji korelasi karakteristik remaja, karakteristik keluarga dan perkembangan psikososial. Berdasarkan hasil analisis korelasi pearson diketahui bahwa usia remaja memiliki hubungan signifikan dengan perkembangan psikososial pada tahap trust (r=0.304,p<0.01), autonomy (r=0.336),p<0.01), initiative (r=0.422,p<0.01), industry (r=0.402,p<0.01), identity (r=0.415,p<0.01), total perkembangan psikososial (r=0.418,p<0.01). Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan usia seiring dengan meningkatnya pencapaian perkembangan psikososial di setiap tahap. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rasalwati (2012) tentang persepsi remaja terhadap gaya pengasuhan, paparan media dan perkembangan psikososial remaja di Kota Bandung bahwa terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan perkembangan identity (r=0.128; p<0.05), perkembangan autonomy (r=0.226; p<0.01), perkembangan intimacy (r=0.331; p<0.01), perkembangan sexuality (r=0.251; p<0.01) dan perkembangan achievement (r=0.252; p<0.01). Hal ini mengandung makna bahwa semakin tinggi usia remaja, maka akan semakin baik perkembangan psikososialnya dari tahap trust, autonomy , initiative , industry dan identity. Tabel 42 menunjukkan pendidikan contoh memiliki hubungan signifikan dengan tahapan perkembangan psikososial tahap trust (r=0.601; p<0.01), autonomy (r=0.723; p<0.01), initiative (r=0.586; p<0.01), industry (r=0.592; p<0.01), identity (r=0.495; p<0.01) dan total perkembangan psikososial (r=0.656; p<0.01). Hal ini sejalan dengan penelitian Whitebourne et al. (2009) bahwa tingkat pendidikan atau pencapaian pendidikan sebelumnya mempengaruhi perkembangan psikososal.
67
Tabel 42 Koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan tahapan perkembangan psikososial Karakteristik Karakteristik remaja Usia Remaja Pendidikan Karakteristik Keluarga Pendidikan ibu Pendidikan ayah Pendapatan per kapita
Total
Trust
Autonomy
Initiative
Industry
Identity
0.304** 0.601**
0.336** 0.723**
0.422** 0.586**
0.402** 0.592**
0.415** 0.495**
0.418** 0.656**
0.233* 0.119 0.084
0.285* 0.190 0.053
0.241* 0.129 0.170
0.298** 0.161 0.076
0.381** 0.165 0.105
0.323** 0.170 0.107
Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05 Hasil korelasi karakteristik keluarga dengan perkembangan psikososial menunjukkan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan posistif yang signifikan dengan tahap perkembangan psikososial remaja trust - indentity. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi tingkat pencapaian tahap perkembangan psikososial remaja. Hasil penelitian Raviv et al. 2009 yang diacu Herawati (2012) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh pada tingkat upah wanita dan status ekonomi keluarga. Penelitian ini menemukan terdapat 41.67 persen ibu lulus Sekolah Dasar dan tidak lulus Sekolah Menengah Pertama memiliki pendapatan rata-rata Rp510.256 (di atas pendapatan rata-rata Rp498.750;n=96), 15.38 persen diantaranya menjadi pedagang. Menurut Hoffan 1989 yang diacu Santrock (2003) ibu yang bekerja memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki pekerjaan yang lebih tinggi dan memiliki pekerjaan yang dicita-citakan daripada anak perempuan dari ibu rumah tangga biasa. Hubungan ketahanan keluarga, pengasuhan, teman sebaya, dan paparan media dengan perkembangan psikososial Pada pembahasan hubungan ketahanan keluarga, pengasuhan dan perkembangan psikososial remaja terlebih dahulu melakukan uji korelasi antara komponen ketahanan keluarga, antar dimensi pengasuhan dan antar tahap perkembangan psikososial. Hubungan antar komponen ketahanan keluarga. Hubungan antar komponen ketahanan keluarga dapat dilihat dalam Tabel 43. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ketahanan fisik dan ketahanan sosial keluarga (r=0.246, p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan fisik yang tinggi seiring dengan pertambahan ketahanan sosial anggota keluarga. Hal ini diduga karena item ketahanan sosial anggota keluarga saling mendukung untuk meningkatkan pendapatan erat kaitannya dengan ketahanan fisik keluarga ada satu atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk meningkatkan pendapatan keluarga (Sunarti 2001). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ginanjarsari (2010) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketahanan fisik dengan ketahanan sosial keluarga (r=0.398, p<0.01).
68
Tabel 43 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara ketahanan sosial dengan ketahanan psikologis keluarga (r=0.298, p<0.01). Hubungan antara ketahanan sosial dan ketahanan psikologis keluarga berhubungan dengan sumberdaya nonfisik keluarga, seperti kematangan emosi dan pendidikan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ginanjarsari (2010) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketahanan sosial dan ketahanan psikologis keluarga ((r=0.437, p<0.01). Tabel 43. Koefisien korelasi antar komponen ketahan keluarga Variabel Ketahanan Sosial Ketahanan Psikologis
Ketahanan Fisik .246* 0.181
Ketahanan Sosial .298**
Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05 Hubungan antar dimensi pengasuhan. Hasil uji hubungan antara tiga dimensi pengasuhan remaja disajikan pada Tabel 44. Berdasarkan hasil uji hubungan tersebut diperoleh pengasuhan dimensi pelatih emosi berhubungan nyata dengan pengasuhan dimensi pengarahan (r=0.688,p<0.01). Hal ini bermakna bahwa pengasuhan dimensi pelatih emosi akan meningkatkan pengasuhan dimensi pengarahan. Tabel 44
Koefisien korelasi antar dimensi pengasuhan
Dimensi Pengasuhan
Dimensi Kehangatan
Dimensi Kehangatan Dimensi Pengarahan Dimensi Melatih Emosi
1 0.702** 0.621**
Dimensi Pengarahan
Dimensi Melatih Emosi
1 0.688**
1
Keterangan ** signifikan pada p<0.01 Demikian pula pengasuhan dimensi kehangatan dengan dimensi pengarahan (r=0.702, p<0.01) dan dimensi melatih emosi (r=0.621,p<0.01). Hal ini menunjukkan seiring peningkatan ibu memberikan penerimaan dan kehangatan maka ibu semakin efektif dalam pengasuhan dimensi arahan dan dimensi melatih emosi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Skinner, Johnson, Snyder (2005) bahwa terdapat interkorelasi antara pengasuhan warm dimention dengan dimention structure (r=0.71, p<0.001) , autonomy support dimention (r=0.77, p<0.001) . Hubungan antar tahapan perkembangan psikososial. Hasil uji hubungan antara lima tahapan perkembangan psikososial remaja disajikan pada Tabel 45. Berdasarkan hasil uji hubungan tersebut diperoleh bahwa terdapat hubungan signifikan antara tahapan trust dengan autonomy (r=0.788, p<0.01), initiative (r=0.748, p<0.01), industry (r=0.677, p<0.01),dan identity (r=0.651, p<0.01) yang berarti seiring remaja mencapai perkembangan psikososial tahap trust maka remaja semakin tinggi pula pencapaian perkembangan psikososial tahap autonomy, initiative, industry dan identity. Tabel 45 juga menunjukkan perkembangan psikososial tahap autonomy dengan initiative (r=0.849, p<0.01), industry (r=0.814, p<0.01),dan identity (r=0.698, p<0.01). Hal ini menunjukkan bahwa seiring pencapaian remaja pada
69
perkembangan psikososial tahap initiative maka semakin tinggi pula pencapaian perkembangan psikososial tahap industry dan identity . Berdasarkan uji korelasi menunjukkan pula bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara perkembangan psikososial tahap industry dengan perkembangan psikososial tahap identity yang artinya perkembangan psikososial tahap industry semakin baik maka perkembangan psikososial tahap identity juga akan semakin baik. Tabel 45 Koefisien korelasi antar tahap perkembangan psikososial Variabel Autonomy Initiative Trust 0.788** 0.748** 0.849** Autonomy Initiative Industry Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05
Industry 0.677** 0.814** 0.869**
Identity 0.651** 0.698** 0.796** 0.860**
Hubungan yang signifikan antar tahapan perkembangan psikososial sesuai dengan penelitian Rosenthal et al. (1981) terhadap 622 remaja bahwa terdapat hubungan yang signifikan (inter korelasi) antar tahapan mulai dari trust sampai intimacy. Ketahanan keluarga dengan pengasuhan Tabel 46 menyajikan koefisien korelasi antara ketahanan keluarga dan pengasuhan. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara ketahanan sosial keluarga dan pengasuhan dimensi kehangatan (r=0.205,p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan sosial keluarga yang dimiliki ibu akan sejalan dengan pengasuhan ibu dalam dimensi kehangatan. Ketahanan sosial merupakan kekuatan keluarga dalam penerapan nilai agama, pemeliharaan ikatan dan komitmen, komunikasi efektif, pembagian peran dan penerimaan peran, penetapan tujuan serta dorongan untuk maju yang akan menjadi kekuatan dalam menghadapi masalah keluarga. Syarat terwujudnya ketahanan sosial berkaitan dengan optimalisasi fungsi keluarga adalah adanya kematangan kepribadian (Sunarti 2001). Kematangan kepribadian orang tua (ibu) akan berpengaruh terhadap cara orang tua melakukan proses pengasuhan. Hal ini sesuai dengan penelitian Clarke (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa tipe kepribadian ibu yang Conscientiousness terdapat korelasi positif dengan pengasuhan Positive Parenting dan Involvement, berkorelasi negatif dengan pengasuhan Poor Monitoring, Inconsistent Discipline, dan Corporal Punishment. Tabel 46 Koefisien korelasi ketahanan keluarga dan pengasuhan Pengasuhan Dimensi Dimensi Kehangatan Pengarahan Ketahanan Psikologis 0.063 0.134 * Ketahanan Sosial 0.205 0.132 Ketahanan Fisik 0.073 0.001 Ketahanan Keluarga 0.16 0.198 Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05 Variabel
Dimensi Melatih Emosi 0.044 0.135 0.084 0.031
70
Ketahanan keluarga secara total tidak berhubungan dengan dimensi pengasuhan ibu. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Sunarti (2004) bahwa terdapat hubungan ketahanan keluarga dengan pengasuhan dimensi arahan dan pengasuhan dimensi emosi. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar ibu contoh menganggap mengurus anak itu penting (92.7%), namun praktik pengasuhan dimensi kehangatan terkategori rendah 53.1 persen, pengasuhan dimensi emosi terkategori rendah 84.4 persen dan pengasuhan dimensi arahan terkategori sedang 89.6 persen. Hal itu menunjukkan bahwa persepsi tentang pentingnya mengurus anak belum selaras dengan praktik pengasuhan yang efektif. Ketahanan keluarga dengan perkembangan psikososial Hasil uji korelasi pada Tabel 47 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara komponen ketahanan keluarga dengan tahapan perkembangan psikososial remaja. Ketahanan psikologis keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan psikososial tahap Autonomy, Initiative, Industry, Identity, hal ini menunjukkan bahwa ketahanan psikologis yang dimiliki keluarga akan sejalan dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja tahap Autonomy, Initiative, Industry, Identity. Ketahanan psikologis keluarga yang tinggi ditunjukkan dengan adanya adanya konsep diri dan emosi yang positif (Sunarti 2001). Kondisi tersebut dibutuhkan remaja untuk tumbuhnya kemandirian, tanggungjawab, kegigihan dan kesanggupan dalam pemilihan identitas diri. Ketahanan sosial dan ketahanan fisik keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan semua tahap perkembangan psikososial. Hal ini bermakna bahwa peningkatan ketahanan fisik dan ketahanan sosial keluarga akan sejalan dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja di semua tahap (trustidentity). Hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa pencapaian remaja untuk dapat memiliki kepercayaan, kemandirian, tanggungjawa, gigih dan yakin dengan identitas diri berkaitan dengan ketahanan keluarga dalam semua komponen. Seperti penelitian Lazarus (2004) terhadap anak-anak korban tragedi 11 September di USA bahwa terdapat hubungan antara ketahanan keluarga dengan penyesuaian diri. Tabel 47 Koefisien korelasi Ketahanan keluarga, pengasuhan, teman sebaya dan perkembangan psikososial Trust
Autonomy
Initiative
Industry
Identity
Ketahanan Keluarga
0.382**
0.474**
0.487**
0.485**
0.520**
Total Perkembangan Psikososial 0.522**
Ketahanan Psikologis Ketahanan Sosial Ketahanan Fisik Pengasuhan Dimensi Kehangatan Dimensi Melatih Emosi Dimensi Arahan Teman Sebaya Paparan Media
0.184
0.274**
0.269**
0.280**
0.335**
0.301**
0.320** 0.346** 0.378** 0.226* 0.325** 0.330** -0.133 0.253*
0.403** 0.337** 0.277** 0.149 0.338** 0.180 -0.236* 0.288**
0.372** 0.397** 0.276* 0.231* 0.205* 0.244* -0.342** 0.337**
0.378** 0.369** 0.281* 0.149 0.225* 0.140 -0.273** 0.359**
0.387** 0.374** 0.148 0.034 0.180 0.101 -0.232* 0.283**
0.412** 0.403** 0.277** 0.167 0.276** 0.210* -0.270** 0.338**
Variabel
Keterangan ** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05
71
Pengasuhan dengan perkembangan psikososial Berdasarkan Tabel 47 pengasuhan dimensi kehangatan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perkembangan psikososial tahap trust (r=0.231, p<0.05) dan inisiative (r=0.231, p<0.05). Hal ini mengandung makna bahwa pengasuhan dimensi kehangatan yang ditunjukkan oleh orang tua sejalan dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja tahap trust dan inisiative. Menurut Erikson dalam Santrock (2003) bahwa anak mempelajari rasa percaya apabila diasuh dengan cara yang konsisten dan suasana yang hangat. Demikian pula pengembangan rasa tanggungjawba dan prakarsa (inisiatif) akan terhambat bila anak tidak diberikan rasa kepercayaan, penerimaan dan dibuat merasa sangat cemas. Menurut Rohner yang diacu Hastuti (2008) orang tua yang menerapkan pengasuhan dimensi acceptance atau rejection (PARQ) berhubungan dengan kepribadian anak. Orang tua yang hostility (bermusuhan pada anak), indifference (ketiadaan peran orang tua), undifferential rejection (penolakan terhadap anak) berhubungan positif signifikan dengan agresifitas, tisak percaya diri, merasa tak mampu, tidak bertanggungjawa, ketidakstabilan emosi dan pandangan negatif. Hal ini senada dengan penelitian Skinner, Johnson, Snyder (2005) tentang Correlations Between Six Dimensions of Adolescent Report of Parenting and Selected Adolescent Outcomes terhadap 1247 remaja bahwa terdapat korelasi antara Pengasuhan dimensi kehangatan (warm dimention) dengan academic competence, commitment to school,social competence, mastery dan self-worth serta berkorelasi negatif dengan problem behaviors Tabel 47 juga menunjukkan bahwa pengasuhan dimensi pelatih emosi mempunyai hubungan yang nyata dengan perkembangan psikososial tahap trust (r=0.325, p<0.01) , authonomy, (r=0.338, p<0.01), inisiative (r=0.205, p<0.01), industry (r=0.225,p<0.05) dan total perkembangan psikososial (r=0.276,p<0.01). Menurut Gottman et al. dalam Hastuti (2008) bentuk pengasuhan pelatih emosi erat dengan kepercayaan atau trust anak terhadap emosinya, kemampuan anak mengatur emosi dan menyelesaikan suatu masalah. Sedangkan pengasuhan dimensi arahan memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan psikososial tahap trust (r=0.330, p<0.01) dan inisiative (r=0.244, p<0.05) serta total perkembangan psikososial (r=0.210, p<0.05). Hal ini bermakna bahwa pengasuhan orang tua dimensi arahan (membuat peraturan dan menyayangi anak) erat kaitannya dengan trust (kepercayaan) dan tanggungjawab remaja. Hal ini senada dengan penelitian Pasaribu (2012) bahwa gaya pengasuhan otoritatif berhubungan nyata dengan karakter remaja (jujur dan tanggunjawab). Pada penelitian ini ditemukan tidak ada korelasi antara tiga dimensi pengasuhan dengan perkembangan psikososial tahap identity. Menurut Erik Erikson dalam Santrock (2003) tahap identity lebih menekankan pada pertanyaan remaja tentang persepsi dan harapan budaya masing-masing dan tentang perkembangan posisi otonomi berdasarkan di mana remaja berada. Hal ini telah dibuktikan oleh Romano (2004) bahwa terdapat korelasi yang lemah antara dimensi pengasuhan penerimaan, penolakan dan pemberian kontrol dengan pencapain identity achievement.
72
Konformitas teman sebaya dengan perkembangan psikososial Berdasarkan hasil korelasi antara konformitas teman sebaya dengan perkembangan psikososial tahap remaja autonomy (r=-0.236,p<.0.01), initiative (r=-0.342,p<.0.01), industry (r=-0.273,p<.0.01), identity (r=-0.232,p<.0.01) (Tabel 47 ) menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan. Hal ini mengandung makna bahwa semakin tinggi tingkat konformitas teman sebaya semakin rendah capaian dalam tahapan perkembangan psikososial remaja. Demikian pula hubungan yang signifikan antara teman sebaya dengan total perkembangan psikososial (r=-0.270,p<.0.01) menunjukkan bahwa semakin tinggi konformitas teman sebaya maka akan rendah pula perkembangan psikososial remaja atau sebaliknya semakin rendah konformitas teman sebaya maka semakin tinggi perkembangan psikososial remaja. Pembahasan sebelumnya menjelaskan bahwa konformitas terhadap teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif. Remaja yang terlibat dengan tingkah laku sebagai konformitas yang negatif akan menggunakan sikapsikap yang negatif dalam kelompoknya (Santrock 2003). Penelitian ini mengungkap konformitas teman sebaya yang negatif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian longitudinal Clarke (2008) terhadap 811 tentang perkembangan psikososial dan perilaku bermasalah remaja. Pada penelitiannya tersebut Clarke meneliti tentang pembelajaran sosial dari teman sebaya (social learning from peers) yang berisi penguatan dan tekanan dari teman sebaya ditemukan bahwa social learning from peers mempunyai hubungan negatif dengan perkembangan psikososial remaja. Berbeda dengan remaja yang berada pada konformitas yang positif berakibat pada keterlibatan aktivitas sosial yang baik (Santrok 2003). Hal ini telah dibuktikan Maulida (2012) bahwa konformitas peer group memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kecerdasan emosi dan self esteem. Paparan media dengan perkembangan psikososial Berdasarkan hasil korelasi antara paparan media dengan perkembangan psikososial tahap remaja trust (r=0.253, p<.0.05), autonomy (r=0.288, p<.0.01), initiative (r=0.337, p<.0.01), industry (r=0.359, p<.0.01), identity (r=-0.283, p<.0.01) dan total perkembangan sosial (r=0.338, p<.0.01) (Tabel 47) menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan. Hal ini mengandung arti bahwa seiring remaja terpapar dengan media akan sejalan dengan peningkatan capaian perkembangan psikososial remaja. Hal ini mendukung pendapat Arnett 1994 bahwa fungsi media remaja akan mendapatkan hiburan, informasi, sensasi, menanggulani kesulitan, mendapatkan model peran berdasar jenis kelamin dan jati diri budaya orang muda.
Analisis Perbedaan Perkembangan Psikososial Remaja Sebaran rataan tahap perkembangan psikososial antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan serta sebaran hasil analisis perbedaan uji t-test dan Uji paired sample t-test disajikan dalam Tabel 48. Berdasarkan Tabel 48 diketahui bahwa tidak ada perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap trust saat kondisi baseline pada kelompok kontrol dan perlakuan. Saat kondisi endline terdapat perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap trust yang
73
ditunjukkan p<0.10, skor rata-rata contoh kelompok perlakuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari contoh kelompok kontrol. Uji paired sample t test pada contoh kelompok perlakuan menunjukkan skor t=-8.413 (p<0.05) yang artinya terdapat perbedaan perkembangan psikososial tahap trust antara baseline (sebelum mendapatkan intervensi psikososial) dan endline (sesudah mendapatkan intervensi psikososial) skor perkembangan trust lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti intervensi psikososial yang ditunjukkan dengan skor rata-rata endline 37.2 dan saat baseline 31.1. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam skor ratarata perkembangan tahap autonomy saat kondisi baseline pada kelompok kontrol dan perlakuan. Kondisi endline terdapat perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap autonomy yang ditunjukkan p<0.05, skor rata-rata contoh kelompok perlakuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari contoh kelompok kontrol. Uji paired sample t test pada contoh kelompok perlakuan menunjukkan skor t=-29.665 (p<0.05) yang artinya terdapat perbedaan perkembangan psikososial tahap autonomy antara baseline (sebelum mendapatkan intervensi psikososial) dan endline (sesudah mendapatkan intervensi psikososial) skor perkembangan autonomy lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti intervensi psikososial yang ditunjukkan dengan skor rata-rata endline 39.0 dan saat baseline 31.6. Berbeda dengan dua tahap sebelumnya bahwa terdapat perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap initiative saat kondisi baseline pada kelompok kontrol dan perlakuan (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok perlakuan sebelumnya telah memiliki pencapaian tahap perkembangan inistiatif yang lebih baik daripada pada kelompok kontrol. Saat kondisi endline terdapat perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap initiative yang ditunjukkan p<0.05, skor rata-rata contoh kelompok perlakuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari contoh kelompok kontrol. Hasil uji paired sample t test pada contoh kelompok perlakuan menunjukkan skor t=-0.667 (p>0.05) yang artinya tidak terdapat perbedaan perkembangan psikososial tahap initiative sebelum mendapatkan intervensi psikososial dan sesudah mendapatkan intervensi psikososial. Skor perkembangan initiative tidak nyata berbeda antara sebelum mengikuti intervensi psikososial yang ditunjukkan dengan skor rata-rata endline 38.1 dan saat baseline 39.1. Hasil uji di atas menunjukkan intervensi pada tahap ini tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada peningkatan inisiatif remaja. Menurut Erikson (Feist & Feist 2006) tahap inisiatif adalah tahap seorang individu nampak semangat yang meluap-luap, tampak menjadi dirinya sendiri namun terdapat perasaan bersalah atas tindakan-tindakan yang menimbulkan kecemasan. Jones (2011) melalui penelitiannya yang berjudul Psychosocial Development and First Substance Use in Third and Fourth Grade Students: A Short-Term Longitudinal menemukan bahwa selama lima bulan terjadi peningkatan perkembangan tahap (Trust +7.9%, Autonomy +6.4%, initiative +5.0%, industry +5.8%, and identity +4.9%). Penemuan Jones tersebut menunjukkan bahwa tahap inisiative terdapat sebuah kesulitan tersendiri dibandingkan tahap authonomy. Berdasarkan Tabel 48 diketahui bahwa tidak ada perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap industry saat kondisi baseline pada kelompok kontrol dan perlakuan. Namun saat kondisi endline terdapat perbedaan dalam skor
74
rata-rata perkembangan tahap industry yang ditunjukkan p<0.05, skor rata-rata contoh kelompok perlakuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari contoh kelompok kontrol. Uji paired sample t test pada contoh kelompok perlakuan menunjukkan skor t=-8.229 (p<0.05) yang artinya terdapat perbedaan perkembangan psikososial tahap industry antara baseline (sebelum mendapatkan intervensi psikososial) dan endline (sesudah mendapatkan intervensi psikososial) Skor perkembangan industry lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti intervensi psikososial yang ditunjukkan dengan skor rata-rata endline 36.67 dan saat baseline 29.42. Tabel 48 Nilai value hasil uji beda t test dan Uji paired sample test tahap perkembangan psikososial sebelum dan sesudah intervensi Uji paired sample t-test kondisi baselineendline pada kelompok perlakuan
Tahap
KK
KP
value Baseline
KK
KP
value Endline
Trust Autonomy initiative Industry identity Total
31.9
31.1
0.449
31.6
37.2
0.100*
= 0.000**
30.7
31.6
0.461
31.3
39.0
0,000**
= 0.000**
32.8
38.1
0,000**
33.2
39.1
0,000**
= 0.506
27.79
29.42
0.249
28.77
36.67
0,000**
= 0.000**
24.5
26.4
0.218
26.9
36.5
0.000**
= 0.000**
58
59
0.555
60
76
0.000**
= 0.000**
Keterangan KK=Kontrol; KP=Perlakuan; *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p<0.05
Hasil uji perbedaan diketahui bahwa tidak ada perbedaan dalam skor ratarata perkembangan tahap identity saat kondisi baseline pada kelompok kontrol dan perlakuan. Saat kondisi endline terdapat perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan tahap identity yang ditunjukkan p<0.05, skor rata-rata contoh kelompok perlakuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari contoh kelompok kontrol. Uji paired sample t test pada contoh kelompok perlakuan menunjukkan skor t=-10.613 (p<0.05) yang artinya terdapat perbedaan perkembangan psikososial tahap identity antara baseline (sebelum mendapatkan intervensi psikososial) dan endline (sesudah mendapatkan intervensi psikososial). Skor perkembangan identity lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti intervensi psikososial yang ditunjukkan dengan skor rata-rata endline 36.5 dan saat baseline 26.4. Pada total perkembangan psikososial tidak ada perbedaan dalam skor ratarata (total) saat kondisi baseline pada kelompok kontrol dan perlakuan (Tabel 48). Saat endline terdapat perbedaan dalam skor rata-rata perkembangan psikososial yang ditunjukkan p<0.05, skor rata-rata contoh kelompok perlakuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari contoh kelompok kontrol. Uji paired sample t test pada contoh kelompok perlakuan menunjukkan skor t=-15.987 (p<0.05) yang artinya terdapat perbedaan perkembangan psikososial antara baseline (sebelum mendapatkan intervensi psikososial) dan endline (sesudah mendapatkan intervensi psikososial). Skor rata-rata perkembangan psikososial lebih tinggi dibandingkan
75
sebelum mengikuti intervensi psikososial yang ditunjukkan dengan skor rata-rata endline 76 dan saat baseline 59. Program intervensi psikososial dalam penelitian ini pada dasarnya adalah memberikan pelatihan yang meningkatkan kesadaran diri, self regulation, motivasi dan keterampilan sosial. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nastasa & David (2011) bahwa terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan pencapaian kesadaran diri, self regulation, motivasi dan keterampilan sosial setelah dan sebelum pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial adalah karakteristik individu (usia remaja dan pendidikan), karakteristik keluarga (usia ibu, usia ayah, pendidikan ibu, pendidikan ayah, besar keluarga, pendapatan per kapita keluarga), ketahanan keluarga dan komponennya, pengasuhan dimensi kehangatan, dimensi pelatih emosi, dimensi arahan, konformitas teman sebaya dan paparan media. Model analisis regresi berganda ini dilakukan untuk memperjelas faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial pada setiap tahap. Hasil analisis model 1-6 disajikan dalam Tabel dan model 7-12 dalam Tabel 49. Model 1 sampai model 6 menganalisis pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya dan paparan media terhadap perkembangan sosial tahap trust – indentity pada kondisi baseline yaitu kondisi sebelum adanya intervensi psikososial. Model 1 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial tahap trust saat baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan pada tahap trust adalah pendidikan ( =0.422,p<0.01) dan ketahanan fisik keluarga ( =0.303,p<0.01). Nilai R square hasil analisis tersebut adalah 0.509 yang berarti 50.9 persen tahap trust dipengaruhi oleh faktorfaktor tersebut, sedangkan sebesar 49.1 persen perkembangan psikososial tahap trust dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Pendidikan remaja mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap trust yang bermakna bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pencapaian perkembangan psikososial tahap trust. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (89.6%) contoh memiliki perkembangan psikososial tahap trust kategori sedang, kategori rendah (6.8%) dan kategori tinggi (4.2%), sedangkan tingkat pendidikan contoh persentase terbesar 37.5 persen tamat SD dan 36.5 persen tidak tamat SMP. Hasil penelitian ini sesuai penelitian Whitebourne et al. (2009) bahwa tingkat pendidikan atau pencapaian pendidikan sebelumnya mempengaruhi perkembangan psikososial. Menurut Erikson (Feist & Feist 2006) pada tahap trust rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi cara dan pola berpikir, persepsi, pemahaman serta kepribadian seseorang (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Pendidikan bagi remaja pada keluarga miskin merupakan sumberdaya yang berarti bagi mereka. Seperti pendapat Berns (2004) bahwa pendidikan memberikan manfaat penting dalam peningkatan kapasitas berpikir, prestasi bagi anak dalam komunitas marginal.
76
Tabel 49 Hasil analisis regresi ganda variabel-variabel yang mempengaruhi model 1- 6 Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Variabel /sig /sig / sig /sig /sig (Constant) Usia remaja (Tahun) Pendidikan remaja KK Fisik Paparan Media Teman sebaya Usia ibu (Tahun) Usia ayah (Tahun) Pendidikan ibu Pendidikan ayah Besar keluarga (orang) Pendapatan Per kapita KK Psikologi KK Sosial Dimensi Kehangatan Dimensi Emosi Dimensi Arahan Kelompok 1= Perlakuan 0=Kontrol Uji F/p R Square Udjusted R Square
Keterangan
.985 .158/.064
.719 .168/.210
Model 6 / sig
643
.758
.362
.599
.253/.002
.243/.005
.290/.002
.051/.001
.422/.000
.554/.000
.400/.000
.416/.000
.271/.002
.449/.000
.303/.005 .154/.090
.245/.006 .149/.048
.241/.012 .238/.004
.237/.018 .266/.002
.269/.016 .146/.124
.285/.002 .211/.008
-.036/.676
-.097/.173
-.207/.008
-.151/.065
-.172/.058
-.150/.047
.097/.518
.140/.260
.286/.035
.159/.261
.003/.986
.146/.265
-.123/.437
-.112/.393
-.182/.200
-.174/.243
-.033/.841
-.135/.326
-.088/.444
-.129/.179
-.029/.775
-.011/.918
.152/.209
-.014/.889
.011/.912
.053/.516
-.032/.716
-.008/.930
-.053/.603
-.009/.917
-.116/.238
-.067/.413
.019/.829
.050/.589
-.036/.727
-.029/.734
-.137/.197
-.121/.170
.023/.808
-.050/.621
-.047/.674
-.071/.443
.029/.752 .126/.301
.055/.475 .184/.069
.058/.487 .130/.231
.061/.482 .126/.269
.177/.071 .062/.627
.089/.272 .136/.200
.070/.509
.101/.254
.185/.055
.144/.153
-.047/.674
.096/.302
.095/.371
.172/.053
-.006/.947
.096/.341
.122/.274
.107/.247
.115/.316
-.139/.146
-.031/.766
-.160/.141
-.027/.824
-.060/.550
-.107/.217
.036/.616
-.020/.795
-.017/.835
-.041/.647
-.032/.674
4.764 /.000 .509
9.026/.000 .663
7.059/.000 .606
5.925/.000 .564
3.925/.000 .461
7.756/.000 .628
.402
.590
.520
.468
.344
.547
** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05; Model 1= trust saat baseline; model 2=authonomy saat baseline; model 3= inistiative saat baseline; model 4= industry saat baseline; model 5 =identity saat aseline; model 6=total psikososial saat baseline; KK=Ketahanan keluarga
Ketahanan fisik keluarga mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap trust yang bermakna bahwa semakin tinggi ketahanan fisik keluarga maka semakin baik pencapaian perkembangan psikososial tahap trust. Menurut Erikson (Santrock 2003) bahwa rasa percaya tumbuh dari adanya perasaan akan kenyamanan fisik dan rendahnya rasa ketakutan serta kecemasan tentang masa depan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketahanan fisik keluarga contoh pada kategori sedang (83.3%) dan kategori rendah (16.7%). Remaja sangat rentan dengan berbagai permasalahan baik fisik maupun psikososial. Kondisi ekonomi memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Seperti hasil penelitian Dashiff et al.
77
(2009) kesadaran remaja akan kesulitan ekonomi yang dialami oleh keluarganya juga diasosiasikan dengan perasaan putus asa, malu, dan inferior. Model 2 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial tahap autonomy saat baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan pada tahap autonomy adalah pendidikan ( =0.554,p<0.01) dan ketahanan fisik keluarga ( =0.245,p<0.01). Nilai R square hasil analisis tersebut adalah 0.663 yang berarti 66.3 persen autonomy dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan sebesar 33.7 persen perkembangan psikososial tahap autonomy dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Pendidikan remaja mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap autonomy yang bermakna bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pencapaian perkembangan psikososial tahap autonomy. Menurut Erikson (Santrock 2003) tahap autonomy ditunjukkan dengan rasa kemandirian dan menyadari kemampuan sendiri, namun juga sekaligus menjadi waktu timbulnya rasa malu dan ragu-ragu. Ekspresi dari otonomy ditunjukkan melalui kehendak diri (self will) sebagai suatu hal yang normal, usaha yang sehat untuk mandiri dapat membantu anak mempelajari kendali diri (self control) dan menambah rasa kompeten (Santrock 2003). Rasa kompeten dimiliki oleh individu yang memiliki pengalaman pendidikan. Melalui analisis item tahap trust menemukan bahwa 61.8 persen remaja menyatakan bahwa melakukan sesuatu dengan berpikir dulu dan 53.85 persen menyatakan remaja keberhasilan dipengaruhi cara berpikir. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman mendapatkan pendidikan mempengaruhi cara dan pola berpikir, persepsi, pemahaman serta kepribadian seseorang. Ketahanan fisik keluarga mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap autonomy yang bermakna bahwa semakin tinggi ketahanan fisik keluarga maka semakin baik pencapaian perkembangan psikososial tahap autonomy. Menurut Erikson (Feist & Feist 2006) otonomi berkembang dari rasa percaya mendasar (trust), jika rasa percaya mendasar sudah terbangun maka akan belajar untuk memiliki keyakinan pada diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan kenyamanan secara fisik masih dominan sehingga kondisi ekonomi keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Model 3 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial tahap inisiative saat baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan pada tahap inisiative adalah usia remaja ( =0.253,p<0.01) pendidikan ( =0.400,p<0.01), ketahanan fisik keluarga ( =0.241,p<0.05), paparan media ( =0.238,p<0.01) dan konformitas teman sebaya ( =-0.207,p<0.01). Nilai R square hasil analisis tersebut adalah 0.606 yang berarti 60.6 persen tahap inisiative dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan sebesar 39.4 persen perkembangan psikososial tahap inisiative dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Usia remaja mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap inisiative yang bermakna bahwa semakin bertambah usia remaja maka semakin baik pencapaian perkembangan psikososial tahap inisiative. Seiring berjalannya waktu remaja lebih banyak menghadapi tantangan dan diminta lebih berinisiatif dan bertanggungjawab
78
(Santrock 2003). Erikson menekankan bahwa krisis pada tahun sebelumnya tidak berhenti mempengaruhi usia berikutnya, kematangan dan pengaruh lingkungan yang positif akan mempengaruhi resolusi dalam menghadapi krisis (Fist & Fist 2008). Usia contoh cukup beragam berkisar antara 13-18 tahun dan capaian perkembangan psikososial tahap inisiative 79.2 persen pada kategori sedang, kategori tinggi 2.1 persen. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Rosenthal et al. (1981) bahwa siswa yang lebih tua mencapai perkembangan psikososial tahap inisitive lebih tinggi dan positif daripada siswa yang lebih muda. Seperti pada model 1 dan model 2 pendidikan dan ketahanan fisik keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan psikososial tahap inisiative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan pencapaian ketahanan fisik keluarga maka akan semakin baik pencapaian perkembangan psikososial tahap inisiative. Tahap inisiative menuntut individu untuk memahami perilaku benar dan salah, membedakan kata hati dan nafsu serta memahami arti penting memulai/berinisiatif (Feist & Feist 2006). Pandangan Freud, superego terdiri dari dua komponen utama yaitu ego ideal dan kata hati yang meningkatkan perkembangan perasaan moral pada anak-anak dan remaja (Santrock 2003). Setiap pendidikan baik pada sekolah formal maupun non formal memberikan pendidikan moral melalui kurikulum yang tersembunyi (John Dewey dalam Santrock 2003) artinya setiap anak remaja yang mengenyam pendidikan secara tidak langsung telah belajar mana perilaku yang benar dan salah. Berdasarkan analisis aktifitas contoh ditemukan bahwa 81.6 persen sekolah dan 9.4 persen tidak sekolah. Penelitian ini mendukung pendapat Edelstein (2004) bahwa faktor yang mempengaruhi pengembangan ego dan kematangan adalah tingkat pendidikan dan locus of control internal. Paparan media mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap inisiative yang bermakna bahwa tingkat terpaparnya remaja oleh media berpengaruh terhadap peningkatan pencapaian perkembangan psikososial tahap inisiative. Melalui media remaja mendapatkan informasi dan inspirasi dalam menanggulani kesulitan. Remaja dalam penelitian ini menghabiskan waktu 1-3 jam dengan menonton televisi (90.63%) dan menganggap televisi berdampak positif sebesar 54.17 persen. Televisi dipandang sebagai jendela dunia karena banyak informasi yang diserap oleh remaja. Menurut Clifford et al. 1995 yang diacu Santrock (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa aspek positif dari pengaruh televisi terhadap remaja. Konformitas teman sebaya mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap inisiative. Hal ini menunjukkan konformitas teman sebaya berpengaruh negatif terhadap perkembangan psikososial tahap inisiative, berkurangnya konformitas akan meningkatkan pencapaian perkembangan psikososial tahap inisiative. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa konformitas teman sebaya dalam penelitian ini adalah konformitas negatif yang dilakukan oleh teman-teman remaja. Proses pencapaian tahap inisiative selain mengidentifikasikan diri kepada orang tua anak remaja juga mengembangkan kemampuan bahasa, keingintahuan, imajinasi dan kemampuan menetapkan tujuan (Feist & Feist 2006). Konformitas muncul ketika remaja meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan (Santrock 2003).
79
Melalui analisis item ditemukan bahwa lebih dari separuh contoh (57.3 %) selalu siap sedia apabila diajak pergi oleh teman-temannya dan lebih mendengarkan perkataan teman-teman dibanding dengan orang tua (39.6%). Tekanan mengikuti teman sebaya sangat kuat daripada kemampuan menetapkan tujuan. Seperti hasil analisis item perkembangan psikososial tahap inisiative bahwa lebih dari separuh remaja menyatakan sebagai pengikut bukan pemimpin (55.95%). Hal ini menunjukkan pengaruh korformitas teman sebaya menurunkan pencapaian perkembangan psikososial tahap initiative. Model 4 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial tahap industry saat baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan pada tahap industry adalah usia remaja ( =0.243,p<0.01), pendidikan ( =0.416,p<0.01), ketahanan fisik keluarga ( =0.237,p<0.05) dan paparan media ( =0.266,p<0.01). Nilai R square hasil analisis tersebut adalah 0.564 yang berarti 56.4 persen tahap industry dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan sebesar 43.6 persen perkembangan psikososial tahap industry dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Tahap industry mengharapkan individu untuk memiliki kegigihan yang produktif dengan karakteristik perilaku menuntaskan pekerjaan, keinginan untuk tetap sibuk, dan merasa kompeten (Erikson dalam Feist & Feist 2006). Selanjutnya menurut Feist & Feist (2006) tahap industry merupakan masa individu belajar untuk memperoleh kemampuan bekerja dan belajar aturan-aturan kerjasama. Oleh karena itu usia, pendidikan, ketahanan fisik keluarga dan paparan media menjadi faktor penting yang berpengaruh pada perkembangan psikososial tahap industry. Model 5 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial tahap identity saat baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan pada tahap identity adalah usia remaja ( =0.290,p<0.01), pendidikan ( =0.272,p<0.05), dan ketahanan fisik keluarga ( =0.269,p<0.05). Nilai R square hasil analisis tersebut adalah 0.461 yang berarti 46.1 persen tahap identity dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan sebesar 53.9 persen perkembangan psikososial tahap identity dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Perkembangan psikososial tahap identity diharapkan remaja menemukan diri mereka itu siapa dan tujuan hidupnya (Erikson dalam Santrock 2013). Usia, pendidikan dan ketahanan fisik menjadi faktor penting yang mempengaruhi tahap identity. Bertambahnya usia berpengaruh pada perkembangan psikososial tahap identity (Rosenthal 1998, Domino 2002 dan Rasalwati 2012). Tingkat pendidikan mempengaruhi pencapaian perkembangan psikososial tahap identity dan tahap sebelumnya (Whitebourne et al. 2009). Ketahanan fisik keluarga berpengaruh terhadap tingkat pencapaian perkembangan psikososial tahap identity. Hal ini sesuai penelitian Phiney & Alipuria yang diacu Santrock (2003) bahwa kaum muda yang hidup dalam situasi ekonomi rendah (keluarga miskin) tidak terdapat dukungan untuk mengembangkan identitas positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunarti (2008) bahwa bahwa penguatan ketahanan keluarga menjadi prasyarat penting dalam perkembangan kognitif, sosial dan emosi anak. Model 6 adalah model yang menganalisis faktor-faktor total perkembangan psikososial pada saat baseline. Hasil penelitian menunjukkan
80
bahwa faktor yang berpengaruh signifikan perkembangan psikososial total adalah usia remaja ( =0.05,p<0.01), pendidikan ( =0.449,p<0.01), ketahanan fisik keluarga ( =0.285,p<0.01), paparan media ( =0.211,p<0.01) dan konformitas teman sebaya =-0.150,p<0.05). Total perkembangan psikososial merupakan akumulasi dari tahap-tahapa sebelumnya (trust-identity) sesuai prinsip epigenetic perkembangan satu tahap muncul namun tidak menghilangkan tahap sebelumnya. Apabila dilihat dari nilai maka faktor yang cukup berpengaruh adalah pendidikan dan ketahanan fisik keluarga. Dua faktor ini juga konsisten berpengaruh di setiap tahap. Lokasi penelitian adalah keluarga miskin yang membentuk sebuah komunitas/pemukiman kumuh. Sebagian besar remaja pada keluarga tersebut dapat menempuh pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama karena tidak dipungut biaya (gratis). Pendidikan adalah salah satu aspek penting yang harus dipenuhi dalam ketahanan fisik keluarga. Faktor laten ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga yaitu kemampuan anggota keluarga dalam memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan (Sunarti 2001). Dibandingkan dengan faktor pendidikan dan ketahanan fisik keluarga faktor usia dan paparan media tidak cukup nyata berpengaruh terhadap perkembangan psikososial remaja, namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa perkembangan psikososial dipengaruhi usia dan paparan media (Rasalwati 2012). Salah satu karakteristik capaian perkembangan psikososial remaja adalah kemampuan dalam penyesuaian diri. Penelitian ini menemukan bahwa konformitas teman sebaya memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap perkembangan psikososial remaja. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusdiyati, Halimah dan Faisaluddin (2011) bahwa remaja yang mendapatkan konformitas (pengaruh negatif) dari teman sebaya mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Nilai R square model 6 adalah 0.628 yang berarti 62.8 persen total perkembangan psikososial dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Tabel 49), sedangkan sebesar 37.2 persen perkembangan psikososial dipengaruhi oleh faktorfaktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Perkembangan psikososial Erik Erikson menekankan faktor budaya dan masyarakat. Keluarga (orang tua) contoh adalah keluarga yang sudah tinggal di Kota Bekasi sekitar 10-20 tahun, sebagian besar mereka bukan penduduk asli melainkan pendatang dari luar Bekasi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, NTB, NTT, dan Maluku. Karakteristik kehidupan urban di Indonesia cenderung bersifat kompetitif, egosentris, sifat hubungan antar personal yang lebih dititikberatkan pada pertimbangan keuntungan secara ekonomis, sangat mempengaruhi tata nilai di dalam kehidupan dan hubungan sosial masyarakatnya (Sarwono, 1996). Menurut Erikson (Feist & Feist 2006) anak-anak akan mencapai identitas ego yang positif apabila orang tua konsisten dengan nilai budaya yang kuat dan masyarakatnya membantu pembentukan kepribadian tersebut. Oleh karena itu apabila ditinjau dari pendekatan ekologi masih terdapat faktor lain yang belum teramati dalam penelitian ini adalah peran pemerintah, generalitas perkembangan remaja, dan budaya. Tabel 50 menunjukkan model 7-12 yang menganalisis pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan,
81
konformitas teman sebaya, paparan media dan kelompok (intervensi psikososial) terhadap perkembangan psikososial tahap trust – indentity pada kondisi endline yaitu kondisi setelah adanya intervensi psikososial. Dalam analisis ini kelompok sebagai dummy variable (0= kelompok kontrol, 1=kelompok perlakuan). Tabel 50 Hasil analisis regresi ganda variabel-variabel yang mempengaruhi model 7-12 Variabel (Constant) Usia remaja (Tahun) Pendidikan remaja KK Fisik Paparan Media Kelompok 1= Perlakuan 0= Kontrol Konformitas Teman sebaya Usia ibu (Tahun) Usia ayah (Tahun) Pendidikan ibu Pendidikan ayah Besar keluarga (Orang) Pendapatan Per kapita KK Psikologi KK Sosial Dimensi Kehangatan Dimensi Emosi Dimensi Arahan Uji F/p R Square Udjusted R Square
Keterangan
Model 7 /sig
Model 8 /sig
Model 9 / sig
Model 10 /sig
Model 11 /sig
Model 12 / sig
.920
.648
.334
.631
.235
.440
.158/.064
.151/.017
.256/.000
.177/0.20
.199/.009
.097/.134
.345/.001
.457/.000
.295/.001
.345/.000
.159/.097
.333/.000
.244/.014 .170/.046
.199/.008 .159/.014
.156/.054 .241/.001
.186/.033 .248/.01
.202/.027 .133/.087
.209/.007 .204/.002
.434/.000
.524/.000
.533/.000
.466/.000
.546/.000
.540/.000
-.003/.974
-.079/.196
-.092/.162
-.085/.226
-.111/.132
-.084/.178
.111/.430
.128/.228
.199/.083
.134/.276
.021/.867
.124/.255
-.175/.236
-.119/.287
-.135/
-.170/.191
-.031/.816
-.130/.261
-.144/.184
-.125/.127
.034/.698
-.050/.593
.089/.367
-.030/.719
.027/.772
.032/.642
-.055/.464
.031/.701
-.041/.622
-.005/.945
-.110/.231
-.030/.662
.082/
.030/.713
-.005/.954
.000/.994
-.091/.359
-.066/.382
.027/.737
-.024/.786
-.034/.712
-.036/.640
-.017/.849 .162/.154
.034/.601 .161/.062
.036/.613 .132/.155
.034/.653 .132/.185
.136/.089 .086/.406
.054/.420 .140/.113
.075/.450
.117/.122
.185/.025
.152/.085
.002/.983
.112/.150
.095/.342
.077/.307
.033/.683
.078/.372
.115/.209
.085/.271
.034/.748
-.104/.200
-.150/.090
-.149/.115
-.060/.542
-.098/.243
6.104/.000 .571
14.131/.000 .755
11.515/.000 .715
9.306/.000 .670
8.15/.000 .640
13.078/.000 .740
.477
.701
.653
.590
.562
.689
** signifikan pada p<0.01; * signifikan pada p<0.05: Model 7= trust saat endline; model 8=authonomy saat endline; model 9= inistiative saat endline; model 10= industry saat endline; model 11 = identity saat endline; model 12= total psikososial saat endline; KK=Ketahanan Keluarga
Variabel-variabel yang berpengaruh dalam model 7-12 adalah usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, paparan media, konformitas teman sebaya dan intervensi psikososial. Faktor usia remaja mempengaruhi model 8, model 9 dan model 11 yaitu tahap perkembangan
82
authonomy, initiative, dan identity. Pendidikan masih berpengaruh pada model 7, model 8, model 9, model 10 dan model 12 yaitu tahap perkembangan trust, authonomy, initiative, industry dan total perkembangan psikososial. Faktor ketahanan fisik menjadi faktor berpengaruh pada model 7, model 8, model 10, model 11 dan model 12 yaitu tahap perkembangan trust, authonomy, industry, identity dan total perkembangan psikososial. Faktor intervensi psikososial yang ditunjukkan oleh variabel dummy menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan psikososial di setiap model (model 7-12). Intervensi psikososial sebagai program yang menggabungkan teknik yang bertujuan untuk mengurangi tekanan psikososial, dengan mengurangi kecemasan , meningkatkan kematangan dan aktivitas sosial (Bessell & Amoss 2007). Teknik intervensi psikososial umumnya adalah pemberian pelatihan, konseling dan psikoterapi. Penelitian ini menemukan bahwa intervensi mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan psikososial tahap trust ( =0.434,p<0.01), authonomy ( =0.524,p<0.01), initiative ( =0.533,p<0.01), industry ( =0.466,p<0.01), identity ( =0.546,p<0.01), dan total perkembangan psikososial ( =0.540,p<0.01), hal ini menunjukkan bahwa intervensi psikososial mampu meningkatkan pencapaian tahap perkembangan psikososial remaja. Penelitian ini mendukung penelitian Stravinsky et al. (1987) bahwa pelatihan keterampilan sosial efektif berpengaruh terhadap peningkatan kinerja responden penderita disfungsi sosial. Demikian pula dengan penelitian Ramdhani (1993) bahwa pelatihan keterampilan sosial meningkatkan konsep diri dan perilaku sosial pada remaja. Tabel 51 hasil analisis regresi linier untuk mengelaborasi pengaruh intervensi (sebagai variabel independen) terhadap perubahan perkembangan psikososial remaja. Hasil uji regresi linier menunjukkan beberapa hasil penting yaitu bahwa intervensi berpengaruh nyata pada semua tahap perkembangan psikososial. Model yang terbaik adalah model ke lima (Udjusted R Square = 0.389) dengan kontribusi terhadap perkembangan psikososial tahap identity sebesar 39.5 persen (R Square= 0.395). Tabel 51 Hasil uji regresi linier dengan intervensi sebagai variabel independen (X) Variabel Dependen (Y) Model Y1 Model Y2 Model Y3 Model Y4 Model Y5 Model Y6 Keterangan
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model Summary
Adjusted R Square 5.563 1.053 0.478 0.000 0.229 0.221 8.062 1.203 0.569 0.000 0.323 0.316 9.479 1.295 0.602 0.000 0.363 0.356 8.562 1.393 0.535 0.000 0.287 0.279 11.250 1.436 0.628 0.000 0.395 0.389 42.917 5.770 0.609 0.000 0.371 0.364 signifikan pada p<0.01; *signifikan pada p<0.05; Model Y1= trust saat endline; model Y2=authonomy saat endline; model 3=inistiative saat endline; model Y4= industry saat endline; model Y5 =identity saat endline; model Y6= total psikososial saat endline Std. Error
Beta
Sig.
R Square
83
Apabila dilihat perkembangan psikososial secara keseluruhan intervensi memiliki kontribusi sebesar 36.4 persen ((R Square= 0.364) dalam peningkatan pencapaian perkembangan psikososial remaja. Program intervensi psikososial melalui pelatihan ini mendukung penelitian sebelumnya tentang efektifitas perubahan perilaku melalui pelatihan keterampilan psikososial (Stravinsky et al. 1987, Juup et al. 1990, Ramdhani 1993, dan Nastasa & David 2011).
Pembahasan Umum Konsep perkembangan psikososial Erik H Erikson mampu memicu riset dalam kategori di atas rata-rata (Feist & Feist 2006). Beberapa peneliti mencoba menganalisis semua tahap perkembangan psikoanalisis (Rosenthal et al. 1981, Hawley, G. A. 1988, Domino & Affonso1990, Whitebourne et al. 2009 dan Jones 2010) dan beberapa peneliti lain meneliti tahap tertentu dari perkembangan psikososial Erik Erikson (Marcia 1966, La voie 1976, Mc Adams 1999, Romano & Joyce 2004, dan Markstrom 2008). Di Indonesia penelitian tentang perkembangan psikososial Erik Erikson yang menganalisis setiap tahap perkembangan tidak banyak, sebagian besar hanya meneliti salah satu tahap perkembangan seperti identity atau identitas ego. Pada awalnya penelitian tentang psikososial berfokus pada penyusunan alat ukur tahap perkembangan psikososial (Rosenthal et al. 1981). Penelitian Rosenthal juga terdapat kajian tentang konsep perkembangan kepribadian yang hampir sama dengan perkembangan psikososial Erik Erikson yaitu kematangan kepribadian Greenberger dan Solencer tahun 1974. Kemiripan konseptual juga terdapat pada konsep perkembangan psikososial menurut Steinberg (2009). Oleh karena itu dalam penelitian ini instrumen yang digunakan memiliki sifat psikometrik yang terbaik untuk populasi remaja. Bukti empiris menunjukkan bahwa perkembangan psikososial dipengaruhi oleh keunikan individu (nature) dan pengaruh sosial (nurture) (Feist & Feist 2006). Berbagai penelitian telah dilakukan kaitan antara karakteristik individu, faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor internal individu dengan perkembangan psikososial baik keseluruhan maupun tahap tertentu (Jones 2010). Perkembangan psikososial adalah perkembangan kepribadian yang dibagi dalam, dalam delapan tahapan perkembangan psikososial manusia yaitu trust, autonomy, initiative, industry, identity, Intimacy, generativity dan integrity (Feist & Feist 2006). Identitas merupakan waktu di mana beberapa perubahan yang drastis terjadi dalam semua bidang perkembangan individu. Setelah masa ini, remaja tidak memiliki pengalaman perubahan kapasitas dan kebutuhan yang besar dalam aspek fisik dan psikologis. Remaja diharapkan mulai mendefinisikan minatnya dalam batas-batas pilihan karir, pendidikan selanjutnya, keterampilan berusaha dan membangun sebuah keluarga. Keberhasilan remaja melampaui ke empat tahap sebelumnya akan memperoleh kepercayaan, kemandirian, kapabilitas untuk berperilaku sesuai dengan apa yang telah didefinisikannya dan memperluas kompetensi dalam menampilkan keterampilan-keterampilan tertentu. Dinamika perkembangan menurut Erikson sendiri, identitas dianggap penting ketika individu memasuki masa remaja, namun demikian identias diri ini bukanlah suatu entitas
84
yang menetap melainkan terus mencari bentuk hingga biasanya individu matang identitas dirinya begitu lepas dari masa dewasa awal. Proses pencapaian perkembangan psikososial ini tidak terlepas dari karakteristik individu dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilandasi oleh pendekatan teori struktural fungsional dan teori ekologi keluarga yang menekankan bahwa keseimbangan sistem dalam keluarga dan kestabilan sistem lingkungan sosial dalam masyarakat mempengaruhi perkembangan anak. Ketahanan keluarga merupakan aspek penting yang dikaji dalam penelitian ini. Ditinjau dari komponen ketahanan keluarga ditemukan berbagai permasalahan dalam keluarga. Kategori ketahanan fisik keluarga masih rendah karena keluarga memiliki ketahanan fisik yang tersebar dalam kategori rendah dan sedang. Masalah lain yang dimiliki keluarga adalah masih kurang optimalnya ketahanan sosial keluarga, bahkan sebagian besar keluarga termasuk dalam kategori sedang. Dukungan sosial dan pendidikan suami istri merupakan indikator penting dari ketahanan sosial, dan hasil temuan memperlihatkan dukungan tetangga dan keluarga besar dalam kategori rendah, lama pendidikan formal yang ditempuh orang tua juga dalam kategori rendah. Kondisi ini menunjukkan dukungan tetangga dan keluarga besar kurang dapat diandalkan dalam memecahkan masalah fisik maupun non fisik. Demikian pula pendidikan kurang menunjang orang tua dalam kemampuan memahami mekanisme dan penanggulangan permasalahan keluarga. Ditinjau dari dimensi pengasuhan orang tua melakukan praktik pengasuhan kategori kurang baik dalam dimensi pengasuhan kehangatan, dimensi pelatih emosi dan dimensi arahan. Penelitian ini menemukan bahwa persepsi tentang arti penting anak belum diiringi dengan praktik pengasuhan yang tepat. Kondisi ini menyebabkan hubungan orang tua dengan anak tidak sesuai dengan kebutuhan perkembangan psikososial anak remaja. Kategori pencapaian perkembangan psikososial remaja belum optimal, bahwa sebagian besar perkembangan psikososial remaja tersebar dalam kategori sedang dan rendah. Lingkungan adalah faktor penting dalam perkembangan psikososial remaja. Apabila lingkungan tidak mendukung dan apabila remaja menemukan kesulitan untuk menampilkan peran, maka hasilnya dapat menjadi suatu pendefinisian yang salah tentang konsep identitas diri yang oleh Erikson disebut identity diffusion. Keluarga sebagai unit terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh, dan dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Kemiskinan menyebabkan keluarga kurang memperhatikan perkembangan anak. Keluarga yang miskin akan cenderung menerapkan pengasuhan yang negatif dan kurang efektif (Papalia et al. 2009). Masalah kemiskinan akan menurunkan kemampuan keluarga untuk melakukan investasi terhadap anak pada akhirnya akan memperburuk kesejahteraan keluarga dan anak di masa depan. Ketahanan keluarga baik ketahanan fisik, sosial dan psikologis dibutuhkan agar keluarga mampu mengelola sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seiring dengan masalah yang dihadapi keluarga (Sunarti 2001). Penelitian ini membuktikan bahwa ketahanan keluarga memiliki keterkaitan dengan perkembangan psikososial remaja di semua tahap (trustidentity). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ketahanan keluarga sejalan
85
dengan peningkatan pencapaian perkembangan psikososial remaja. Ketahanan fisik keluarga menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan psikososial. Kemiskinan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan fisik keluarga sehingga keluarga tidak dapat memberikan kebutuhan fisik minimum. Menurut Najman et al. (2010) bahwa anak yang mengalami paparan kemiskinan sampai usia 14 tahun memiliki hubungan dengan tingkat kecemasan dan depresi. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan pengasuhan dalam dimensi kehangatan, dimensi emosi dan dimensi arahan dengan perkembangan psikososial. Seperti pendapat Brooks (2011) bahwa orang tua paling efektif membantu anak untuk mengembangkan kontrol diri dan pengaturan diri ketika orang tua bersikap hangat dan peka, memiliki hubungan yang harmonis dengan anak dan mendukung dengan lembut, namun tegas dalam mendorong anak mengembangkan strategi menghadapi sesuatu. Selain keluarga, teman sebaya adalah faktor eksternal yang erat kaitannya dengan perkembangan remaja. Teman sebaya memainkan peranan penting dalam mempromosikan perkembangan psikososial. Aspek identitas remaja, teman sebaya menyediakan model dan umpan balik yang remaja tidak mendapatkan dari orang dewasa. Dalam konteks peer groups, remaja dapat mencoba-coba peranan yang berbeda, kepribadian dan eksperimen dengan identitas yang berbeda dengan lebih mudah dibanding ketika ia berada dalam rumah. Meskipun demikian teman sebaya terdapat peran positif tapi juga sekaligus negatif. Peran teman sebaya bila terjadi konformitas akan cenderung ke arah tekanan negatif. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara konformitas teman sebaya dengan perkembangan psikososial remaja. Artinya konformitas teman sebaya kurang mendukung pencapaian perkembangan psikososial remaja terutama tahap authonomy, initiative, industry dan identity. Paparan media tidak dapat dilepaskan dalam perkembangan psikososial remaja (Santrock 2003). Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan paparan media yang mengandung arti bahwa semakin tinggi usia contoh maka akan semakin tinggi terpapar media. Demikian pula kaitannya dengan perkembangan psikososial remaja ditemukan bahwa paparan media memiliki hubungan positif yang signifikan dengan semua tahap perkembangan psikososial. Hal ini mengandung makna bahwa seiring remaja terpapar dengan media (televisi, radio, majalah/koran dan internet) maka terjadi peningkatan capaian perkembangan psikososial remaja. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga adalah stressor yang mempengaruhi ketahanan keluarga sehingga kemiskinan dapat membahayakan kesejahteraan fisik, kognitif dan psikososial anak-anak dan keluarga. Dukungan sosial dari keluarga besar, teman dan komunitas merupakan salah satu dimensi yang meningkatkan ketahanan keluarga (MCcubbin dkk. dalam Puspita dkk. 2011). Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial bagi perkembangan remaja. Penelitian ini setelah dilakukan intervensi ditemukan bahwa terdapat perbedaan perkembangan psikososial antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan memiliki rerata lebih tinggi dari kelompok kontrol. Penelitian ini juga menemukan kemajuan pencapaian tahap perkembangan psikososial sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi.
86
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial sebelum dilakukan intervensi adalah usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, konformitas teman sebaya, dan paparan media. Pendidikan remaja dan ketahanan fisik keluarga konsisten mempengaruhi perkembangan psikososial tahap trust – identity. Hasil ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga merupakan faktor penting dalam kesejahteraan anak. Faktor laten ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga yaitu kemampuan anggota keluarga dalam memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan (Sunarti 2001) Faktor yang secara konsisten mempengaruhi perkembangan psikososial setelah intervensi adalah intervensi psikososial. Penelitian ini membuktikan bahwa model dukungan sosial keluarga sangat berpengaruh terhadap peningkatan perkembangan psikososial remaja. Penelitian ini mendukung pernyataan Dunst dan Trivette 1988 yang diacu oleh Sunarti (2007) bahwa dukungan sosial langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak. Verifikasi pengaruh intervensi terhadap perilaku remaja dari kelompok kontrol yang diambil secara isidententil ditunjukkan dalam Tabel 52. Sumber informasi yang diperoleh berasal dari sekolah, guru tempat remaja mengaji, ketua RT dan pemilik warnet. Hasil verifikasi tersebut menggambarkan kemajuan perilaku remaja setelah mengikuti program intervensi psikososial. Menurut pihak sekolah remaja menjadi lebih rapi dalam berpakaian, tidak membuat gaduh kelas, dan terdapat peningkatan dalam mengerjakan tugas sekolah. Menurut guru mengaji remaja terlihat lebih sopan, semangat dan merubah penampilan yang awalnya tomboy (mirip lakilaki) baik gaya rambut dan pakaian berubah memakai busana muslim. Hal yang menarik adalah bahwa enam remaja di RT 02 RW 01 Kelurahan Margahayu berhasil lulus mengikuti training menjadi Cleaning Service di Bekasi Jansen serta tiga remaja yang putus sekolah di RT 01 RW 01 Kelurahan Margahayu mendaftar sekolah persamaan paket B. Tabel 52 Verifikasi pengaruh intervensi psikososial terhadap perilaku remaja No 1
Sumber Sekolah
2
Guru Mengaji
3
Ketua RT
4
Pemilik Warnet
Perilaku yang ditunjukkan Lebih rapi dalam berpakaian Tidak membuat gaduh di kelas Terdapat peningkatan dalam membuat tugas atau PR Lebih sopan Lebih semangat Perubahan cara berpakaian (tidak tomboy lagi) Tidak ikut begadang 6 orang mengikuti training menjadi Cleaning Service di Jansen 3 orang mendaftar sekolah persamaan Paket B Berkurang main game on line
Berdasarkan temuan di atas modul intervensi psikososial tersebut dapat digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mendukung program peningkatan
87
ketahanan keluarga seperti hasil review literature yang telah dilakukan Kalil (2003) tentang ketahanan keluarga dan perkembangan anak. Hasil penelitian ini juga mendukung konsep Conrad dan Novick (Sunarti 2007) yang mengembangkan model ekologi keluarga, termasuk di dalamnya pengembangan layanan “Family Crisis Center”. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini berfokus pada karakteristik remaja, kondisi keluarga, kondisi lingkungan (konformitas teman sebaya dan paparan media). Kematangan contoh pada kelompok perlakuan (maturation treat) yang terjadi seiring berjalannya waktu tidak dapat dikontrol dalam penelitian seperti yang kerap terjadi dalam penelitian one group pretest-posttest (Shaughnessy et al. 2007). Demikian pula modul intervensi psikososial yang disusun dalam penelitian ini belum pernah dilakukan dalam penelitian sebelumnya.
88
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ketahanan keluarga contoh dalam semua komponen baik ketahanan fisik, ketahanan sosial dan ketahanan psikologis berada pada kategori sedang. Sebagian besar orang tua contoh mengasuh dengan dimensi kehangatan, dimensi emosi dan dimensi arahan dalam kategori rendah. Sebagian besar orang tua masih melakukan praktik pengasuhan penolakan, tidak melatih emosi dan otoriter. Lebih dari separuh contoh memiliki konformitas teman sebaya dalam kategori rendah dan paparan media yang didapatkan contoh berada pada tahap sedang. Pendidikan remaja berhubungan positif dengan pengasuhan dimensi pelatih emosi. Usia dan pendidikan remaja berhubungan positif dengan perkembangan psikososial remaja. Pendidikan remaja, pendidikan ibu, pendidikan ayah serta pendapatan per-kapita berhubungan positif dengan ketahanan keluarga. Tidak ditemukan hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengasuhan dan perkembangan psikososial. Ketahanan sosial keluarga berhubungan positif dengan pengasuhan dimensi kehangatan. Ketahanan keluarga berhubungan positif dengan perkembangan psikososial. Pengasuhan dimensi melatih emosi dan dimensi arahan berhubungan positif dengan perkembangan psikososial. Konformitas teman sebaya berhubungan negatif dengan perkembangan psikososial. Paparan media memiliki hubungan positif dengan perkembangan psikososial. Terdapat perbedaan perkembangan psikososial pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Skor perkembangan psikososial tahap trust, authonomy, initiative, industry dan identity setelah intervensi lebih tinggi dari sebelum intervensi psikososial dilakukan. Variabel-variabel yang berpengaruh positif terhadap perkembangan psikososial sebelum dilakukan intervensi adalah usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, dan paparan media. Konformitas teman sebaya memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan psikososial. Setelah dilakukan intervensi variabel yang berpengaruh adalah usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, paparan media , teman sebaya dan intervensi psikososial. Intervensi psikososial sebagai variabel independen berpengaruh nyata pada semua tahap perkembangan psikososial. Penelitian ini menguatkan hasil penelitian tentang pengaruh usia remaja, paparan media dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan psikososial remaja. Penelitian ini juga mendukung konsep ekologi keluarga bahwa dukungan sosial langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tuaanak, serta perkembangan dan perilaku anak. Oleh karena itu modul intervensi psikososial dapat dipergunakan sebagai instrumen yang mendukung pengembangan model ekologi keluarga.
Saran Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh antara ketahanan keluarga, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial dengan
89
perkembangan psikososial. Oleh karena itu disarankan beberapa hal kepada peneliti, orang tua, remaja, masyarakat dan pemerintah serta lembaga terkait dalam rangka meningkatkan pencapaian perkembangan psikososial remaja. Bagi peneliti, untuk mendapatkan pengaruh yang lebih besar pada perkembangan psikososial maka periode pemberian intevensi perlu ditambah. Penelitian juga dapat dilakukan pada remaja bukan dari keluarga miskin. Bagi orang tua, perlu memperkuat ketahanan keluarga secara fisik maupun non fisik. Orang tua perlu memberikan perhatian, bimbingan dan dukungan yang lebih maksimal kepada para remaja agar remaja dapat memiliki identitas sebagai remaja yang percaya diri, memegang prinsip hidup serta memiliki cita-cita untuk masa depannya. Mengingat konformitas teman sebaya menghambat perkembangan psikososial remaja maka diharapkan remaja memilih teman yang mendukung remaja pada kegiatan yang positif. Pihak komunitas sekitar dapat memberikan kesempatan kepada remaja dari keluarga miskin diikutsertakan kegiatan sosial kemasyarakatan. Bagi pemerintah dapat menyusun kebijakan dalam meningkatkan ketahanan keluarga melalui program intervensi psikososial. Bagi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dapat menggunakan modul intervensi psikososial untuk memberikan dukungan sosial bagi keluarga miskin.
90
DAFTAR PUSTAKA Andayani & Koentjoro. 2004. Peran Ayah menuju Coparenting. Yogyakarta: CV Citra Media. Agustiani, H. 2006. Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama. Apriyanti dan Hendarto. 2011. Analisis Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan Kota Semarang [Tesis]. Semarang: Fakultas Ekonomi UNDIP. Arnett, JJ. 2007. Adolescen And Emerging Adulthood: A Cultural Approach. New Jersey: Pearson Education. Astari, Nasoetion dan Dwiriani. 2005. Hubungan karakteristik Keluarga dan pengasuhan dengan Kejadian Shunting Anak usia 6-12 Bulan.Media Gizi dan Keluarga. FEMA –IPB. 29(2): 40-46. Alfian IN & Suminar DR. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Remaja Akhir Pada Berbagai Status Identitas Ego Dengan Jenis Kelamin Sebagai Kovariabel. Insan Media Psikologi.Vol 5 No. 2. 87-109. Azwar S. 2009. Sikap Manusia, Teori dan Pengukuran. Jakarta: Pustaka Pelajar. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat.2010. Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Bekasi. 2010. Data Peserta Jamkesda Tahun 2010. Bekasi: BAPPEDA Kota Bekasi -----------.2011. Kota Bekasi dalam Angka: Data Primer Kota Bekasi. Bekasi: BAPPEDA Kota Bekasi Bavolek. 1990. Changes In Parenting Attitudes and Knowledge Among Inmates Andother At-Risk Populations After Afamily Nurturing Program. Journal Children and Youth Services Revie: 30 (2008) 79 – 89. Baumrind, D. 1991. Parenting styles and adolescent development. Di dalam: Brooks-Gunn J, Lerner R, Peterson AC, editor. The encyclopedia of adolescence. New York: Garland. hlm 746-758. Berns, RM. 2004. Child, Family, School, Community : Socialization and Support. Belmont, CA : Wadsworth/Thomson Learning, Inc. ___________. 1997. Child, Family, School, Community Socialization and Support. USA: Harcourt Brace College Publishers. Boss, P. 1999. Family stress management: A contextual approach . Newbury Park, C.A.: Sage Publications. Bronfenbrenner, U. 1979. The Changing American Child: A Speculative Analysis. Di dalam Reference Papers on Child and Youth. Washington DC. Buri J.R. 1991. Handbook Of Family Measurement Techniques: Parental Authority Questionnaire. http://books.google.co.id/books. Bulkeley, R. and Cramer, D. 1990. Social Skills Training with Young Adolescent, Journal of Youth and Adolescence: 19, (5), 451-463 [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2009. Profil Hasil Pendataan Keluarga. Jakarta (ID): BKKBN Chaplin J.P. 2001. Dictionary of Psychology. New York: dell Publising Co.Inc.
91
Clark, L. A., Kochanska, G. & Ready, R. 2000. Mothers’ Personality And Its Interaction With Child Temperament As Predictors Of Parenting Behavior. Journal of Personality and Social Psychology: 79(2):274–285. Collin, Macobby, Steinberg, Hetherington & Bornstein. 2000. Contemporary research on parenting. The Case For Nature And Nurture. National Institute Of Child Health And Human Development . USA: University of Minnesota. Conger RD,Elder GH. 1994. Families in Trouble Times: Adapting to Change in Rural America. New York: aldine de Gruter. Dashiff, C., DiMicco, W., Myers, B., Sheppard, K. 2009. Poverty and Adolescent Mental Health. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing. Vol 22, 23-32. doi: 10.1111/j.1744- 6171.2008.00166.x. Domino G. & Affonso. 1990. A Personality Measure of Erikson's.Life Stages: The Inventory of Psychosocial Balance. Journal of Personality Assessment : 576-588.Copyright o 1990, Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Edelstein W. 2004. Many are Called, but Few are Chosen: Moving Beyond the Modal Levels in Normal Development. Di dalam: Lapsley Daniel K, Narvacz Darcia, editor. Moral Development, Self, and Indentity. New London: Lawrence Erlbaum Associates. Erikson. 2010. Childhood and Society. terjemahan, Yogyakarta(ID). Pustaka Pelajar Feist J & Feist GJ. 2006. Theoriest of Personality. New York (USA): McGraw Hill. Compannies. Ginanjarsari G. 2012. Hubungan antara Tipologi Kelaurga dengan Komponen Keluarga pada Keluarga Miskin dan Tidak Miskin [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Gottman, J. & Declaire, J. 1997. Raising an Emotionally Intelligent Child: The Heart of Parenting. New York: Fireside. Gunarsa SD & SY.Gunarsa. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja dan Keluarga. Jakarta (ID): BPK Gunung Mulya. Hartoyo. 1998. Investing Children Study of Rural Families in Indonesia [Disertasi]. Virginia (US): Virginia Tech Blacksburg. Hastuti D. 2008. Pengasuhan: teori dan Prinsip Serta Aplikasinya di Indonesia.Bogor: Departemen IKK Fakultas Ekologi Manusia IPB. Hawley, G. A. 1988. Measures of Psychosocial Development. Odessa, Florida: Psychological Assessment Resources, Inc. Hetherington, E.M. and Parke, R.D.1993. Child Psychology a Contemporary Viewpoint. Tokyo: Mc. Grawhill Kogakusha.Ltd. Herawati T. 2012. Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Ketahanan Keluarga Peserta Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan (Kasus di Kabupaten Bogor) [Desertasi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hidayah & Rachmawati. 2009. Efektifitas Pelatihan Keterampilan Sosial terhadap Penyesuaian Diri Sosial pada Anak Berbakat Intelektual di program Akselerasi. Gifted Review Jurnal Keberbakatan & Kreativitas. Himpsi.Vol 3 No 2. 1-22.
92
Hurlock, Elizabeth H. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit Airlangga. Huver et al. 2010. Personality and parenting style in parents of adolescents. Journal of Adolescence: 33. 395–402. Isaac,S & W.B. Michael. 1990. Handbook in Research and Evaluation: A Collection of Principles,Methods, and Strategies Useful in the Planning, Design, and Evaluation of Studies in Education and the Behavioral Sciences. Second Edition. California: Edit Publishers. Jack, G. 2000. Ecological influences on parenting and child development. Social Sciences British. Journal of Social Work : Volume 30, Issue 6. Jones Randall M. 2011. Psychosocial Development and First Substance Use in Thirdand Fourth Grade Students: A Short-Term Longitudinal Study. Child Development Research Volume 2011. Article ID 916020.6 pages. Jupp, J.J., and Griffiths, M.D. 1990. Self-Concept Changes in Shy, Isolated Adolescent Following Sosial Skills Training Emphasising Role Plays, dalam Australian Psychologist, 25, (2), 165 – 177. Kalil Ariel. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes A Review of the Literature. Te Manatu- Whakahiato Ora: Centre for Social Research and Evaluation, Ministry of Social Development. Klein,D and White,J. 1996.Family Theories An Introduction. London New Delhi: Sage Production. Lazarus Amber. 2004. Relationships Among Indicators of Child and Family Resilience and Adjustment Following the September 11, 2001 Tragedy . The Emory Center for Myth and Ritual in American Life. Working Paper No. 36. Markstrom CA & Iborra A. 2003. Adolescent Identity Formation and Ritesof Passage: The Navajo Kinaalda Ceremony for Girls .Journal Of Research On Adolescence. 13(4), 399–425. Maulida S. 2012. Analisis tingkat Kecerdasan Emosi, Self Esteem, Konformitas kepada Peer Group, dan Kenakalan Remaja[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. McCubbin, H. I. & McCubbin, M. A. (1988). Typologies Of Resilient Families: Emerging Oles Of Social Class And Ethnicity. Family Relations: 37, 247-254. Melby.J.N., Conger.R.D., Ge,X. & Warner T.D. 1995. The Use Of Struktursl Equation Modeling In Assessing The Quality Of Marital Observation. Journal of Family Psychology 9.280-293 Michelson, L., Sugai, P.D., Wood, R.P, and Kazdin, E.A. 1985. Social Skills Assesment and Training with Children. New York: Plenum Press. Megawangi R. 2005. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung (ID): PT Mizan pustaka. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditono, S.R., 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Najman, etc.2010.Family Poverty Over the Early Life Course and Recurrent Adolescent and Young Adult Anxiety and Depression: A longitudinal Study. American Journal of Public Health, Vol 100, No. 9.
93
Nastasa And David. 2011. Development Of Emotional Intelligence – An Experientialist Approach. International Conference Of Afases. Scientific Paper. Transilvania University Of Braşov, Romania. Papalia DE, SW Olds, RD Feldman. 2009. Perkembangan Manusia. edisi 10, Marswendy B, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Humanika, Terjemahan dari: Human Development, ed 10th. Parson, T. & Bales. R. F. 1955. Family Socialization and Interaction Process. New York: The Free Press. Pasaribu 2013. Pengaruh Gaya Pengasuhan Dan Metode Sosialisasi Orang tua Terhadap Karakter Siswa SMA Di Kota Bogor. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Priatini Woro. 2006. Pengaruh Pengasuhan, lingkungan sekolah dan peran teman sebaya terhadap kecerdasan emosional remaja. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Puspitawati H. 2009. Keterikatan Sistem Keluarga dan Sekolah Terhadap Kenakalan Pelajar, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Puspita, J.N., Pudjiati, S.R.R., & Handayani, E. 2011. Family resiliency in families who have child with cancer. Dalam Yulianto, A. (Ed.) Proceeding of The International Conference on Psychology of Resilience 2011. Depok: LPSP3 UI. Putri HA. 2012. Gaya Pengasuhan, Interaksi Ayah-Remaja, Kelekatan, dan Kepuasan Ayah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ramdhani, N. 1993. Perubahan Perilaku dan Konsep Diri pada Remaja yang Sulit Bergaul Setelah Menjalani Pelatihan Ketrampilan Sosial, Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Rasalwati Uke Hani. 2012. Ekologi Pengasuhan Anak : Persepsi Remaja terhadap Gaya Pengasuhan, Paparan Media dan Perkembangan Psikososial Remaja di Kota Bandung. [Desertasi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Rice A & Tucker S. 1986. Family Life Management New York. 6thed. Macmilland. Romano.J.J. 2004. Dimention of Parenting and Identity Development in Late Adolescence. [Tesis]. Human Development Blackburg. Virginia. Rosenthal DA.,GurneyRM., Moore SM,. 1981. From Trust to Intimacy: A New Inventory for Examining Erikson's Stages of Psychosocial Development. Journal of Youth and Adolescence: Vol. 10, No. 6, 525-544 Ruhidawati C. 2005. Pengaruh Pola Pengasuhan, Kelompok Teman Sebaya dan Aktivitas Remaja Terhadap Kemandirian [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarwono, S Wirawan. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Simandjuntak, B., Pasaribu, IL. 1984. Pengantar Psikologi Perkembangan. Bandung: Tarsito. Santrock JW. 2002. A Topical Approach to Life Span Development. University of Texas. Mc craw Hill. ---------------. 2007. Perkembangan Anak.edisi kesebelas jilid 2, Rahmawati M, A Kuswanti, penerjemah; Hardani W, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga, Terjemahan dari: Child Development, elevent edition.
94
---------------. 2003. Perkembangan Remaja. edisi keenam, Adelar Shinto B, saragih S, penerjemah; Kristiaji WC., Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga, Terjemahan dari: Adolescence, Sixth edition. Saxton L. 1990. The Individual, Marriage, and the Family. 7th Edition. USA: Wadsworth, Inc. Sidi Ieda PS. dan Setiadi Bernadette N. 2008. Manusia Indonesia Abad 21 yang berkualitas Tinggi Ditinjau dari Sudut Pandang Psikologi. Jakarta: Himpsi. Steinberg L. 1990. Autonomy, Conflict And Harmony In The Family Relationship. Di dalam: Feldman SS, Elliot GR, editor. At The Threshold: The Developing Adolescent. Cambridge: Harvard University Press. hlm 255-276. Shaughnessy et al. 2006. Research Methods in Psychology.McGraw Hill.New York. Streitmatter, Janice. 1993. Gender differences in identity development: An examination of longitudinal data. Adolescence Journal, Vol 28(109), 1993: 55-66. http://psycnet.apa.org/psycinfo/1993-25259-001 Sousa L. C Ribeiro, S Rodrigues. 2006. Are Practiioners-Incorporating A Strengths-Focused Approach When Working With Multi Problem poor Families. Journal of Community & Applied Social psychology: 17, 53-66 Sunarti E. et al. 2003. Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga (Measurement of Family Strengh) Media Gizi dan Keluarga. FEMA –IPB. 27(1): 1-11 Sunarti E. 2001. Studi Ketahanan keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan (Disertasi). Bogor (ID). Departemen Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian IPB ________. 2007. Ekologi Keluarga. Di dalam: Soeryo Adiwibowo, editor. Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. ________. 2008. Keragaan Pemetik Teh Wanita: Sosial Ekonomi, Ketahanan Keluarga, Konsumsi Pangan, Pertumbuhan dan Perkembangan Anak [Laporan Penelitian]. Institut Pertanian Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. ________. 2009. Care Empowerment To Mothers, Cadres, and Pre-Married Women to Improve Children Nutritional Status. [Laporan Penelitian]. Institut Pertanian Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Supradewi R. 2008. Efektifitas pelatihan Dzikir untuk menurunkanAfek Negatif pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi: Program Studi psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan kalijaga Vol I.No2. 199 – 215 Walsh, F. 1996. The Concept Of Family Resilience: Crisis And Challenge. Family Process: 35(3), 261-281. --------------. 2002. A Family Resilience Framework: Innovative Practice Applications. Family Relations: 51(2), 130-137 Whitbourne, Susan Krauss, Sneed, Joel R, Sayer, Aline. 2009. Psychosocial Development From College Through Midlife: A 34-Year Sequential Study. Journal of Developmental Psychology: Vol 45(5), Sep 2009, 13281340.
95
Whakaaro Te Puna. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes: An Overview of the Research Literature, Social Policy. Journal Of New Zealand , Issue 20 June 2003. Wulandari A. 2009. Analisis Persepsi Gaya Pengasuhan Orang tua, Keterampilan Sosial, Prestasi Akademik, dan Self Esteem Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Yallom, LD,. 1975. The Theory and Practice of Group Psychotherapy. New York: Basic Book Inc.
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua Kelompok Karakteristik Kontrol Perlakuan n % n % Usia Ibu Dewasa muda (20-40) 9 9.4 11 11.5 Dewasa madya (41-65) 39 40.6 37 38.5 Dewasa lanjut (> 65 tahun) 0 0.0 0 0.0 Total 48 50 48 50 Rata-rata (tahun) 45.76 Usia Ayah Dewasa muda (20-40) 5 5.21 3 3.13 Dewasa madya (41-65) 43 44.79 45 46.88 Dewasa lanjut (> 65 tahun) 0 0.00 0 0 Total 48 50 48 50 Rata-rata (tahun) 48.92 Pendidikan Ibu Tidak Tamat SD 8 8.3 3 3.1 Tamat SD 21 21.9 26 27.1 Tidak Tamat SMP 16 16.7 15 15.6 Tamat SMP 3 3.1 4 4.2 Total 48 50 48 50 Pendidikan Ayah Tidak Tamat SD 1 1.0 1 1.0 Tamat SD 22 22.9 21 21.9 Tidak Tamat SMP 14 14.6 17 17.7 Tamat SMP 8 8.3 7 7.3 Tidak Tamat SMA 3 3.1 2 2.1 Total 48 50 48 50
Total n
%
20 76 0 96
20.8 79.2 0.0 100.0
8 88 0 96
5 43 0 48
11 47 31 7 96
11.5 49.0 32.3 7.3 100
2 43 31 15 5 96
2.1 44.8 32.3 15.6 5.2 100
98
Lampiran 2 Sebaran contoh bedasarkan kategori dan p-value setiap komponen ketahanan keluarga Komponen Ketahanan keluarga Ketahanan fisik Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Ketahanan sosial Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Ketahanan psikologis Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Ketahanan Keluarga total Rendah Sedang Tinggi Total p-value
Kelompok Kontrol jumlah %
Perlakuan jumlah %
Total jumlah
%
7 7.3 9 9.4 41 42.7 39 40.6 0 0.0 0 0.0 48 50 48 50 11.63±1.32 11.10±1.34 0.132
16 80 0 96
16.7 83.3 0.0 100.0
0 0.0 0 0.0 46 47.9 47 49.0 2 2.1 1 1.0 48 50 48 50 16.72±1.96 16.02±1.77 0.391
0 93 3 96
0.0 96.9 3.1 100.0
1 1.0 0 0.0 46 47.9 45 46.9 1 1.0 3 3.1 48 50 48 50 15.37±1.61 15.66±1.70 0.105
1 91 4 96
1.0 94.8 4.2 100.0
3 3 3 3 44 46 44 46 1.00 1.03 1.33 1.37 48 50 48 50 43.63±3.40 42.70±3,51 0.292
6 88 2.33 96
6 92 2.43 100
Keterangan: *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p≤0.05
99
Lampiran 3 Sebaran contoh berdasarkan kategori dan p-value praktik pengasuhan warm dimension Kelompok Total Dimensi Kontrol Perlakuan jumlah % jumlah % jumlah % Warmth Accepatnce Rendah 10 10.4 9 9.4 19 19.8 Sedang 34 35.4 36 37.5 70 72.9 Tinggi 4 4.2 3 3.1 7 7.3 Total 48 50 48 50 96 100.0 Hostility/Agresion Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 5 5.2 4 4.2 9 9.4 Tinggi 43 44.8 44 45.8 87 90.6 Total 48 50 48 50 96 100.0 Neglect/Indefference Rendah 1 1.0 0 0.0 1 1.0 Sedang 16 16.7 13 13.5 29 30.2 Tinggi 31 32.3 35 36.5 66 68.8 Total 48 50 48 50 96 100.0 Undifferentiated Rejection Rendah 1 1.0 1 1.0 2 2.1 Sedang 13 13.5 13 13.5 26 27.1 Tinggi 34 35.4 34 35.4 68 70.8 Total 48 50 48 50 96 100.0 Total warm dimention 28 23 51 Rendah 29.17 23.96 53.13 20 25 45 Sedang 20.83 26.04 46.88 Tinggi 0 0 0 0 0 0 Total 48 50 48 50 Mean±SD 7.39±1.50 7.38±1.20 p-value 0.949 Keterangan: *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p≤0.05
96
100.0
100
Sebaran contoh berdasarkan kategori dan p-value praktik pengasuhan dimensi emosi Kelompok Total Dimensi Kontrol Perlakuan jumlah % jumlah % jumlah % Mengabaikan Rendah 1 1.0 0 0.0 1 1.0 Sedang 20 20.8 14 14.6 34 35.4 Tinggi 27 28.1 34 35.4 61 63.5 Total 48 50 48 50 96 100.0 Tidak menyetujui Rendah 0 0.0 1 1.0 1 1.0 Sedang 18 18.8 18 18.8 36 37.5 Tinggi 30 31.3 29 30.2 59 61.5 Total 48 50 48 50 96 100.0 laissez faire Rendah 0 0.0 1 1.0 1 1.0 Sedang 21 21.9 21 21.9 42 43.8 Tinggi 27 28.1 26 27.1 53 55.2 Total 48 50 48 50 96 100.0 Pelatih emosi Rendah 29 30.2 23 24.0 52 54.2 Sedang 17 17.7 22 22.9 39 40.6 Tinggi 2 2.1 3 3.1 5 5.2 Total 48 50 48 50 96 100.0 Total dimensi emosi 43 38 81 Rendah 44.79 39.58 84.38 5 10 15 Sedang 5.21 10.42 15.63 Tinggi 0 0 0 0 0 0 Total 48 50 48 50 96 100.0 Mean±SD 11.17±2.16 11.16±2.17 p-value 0.949 Keterangan: *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p≤0.05 Lampiran 4
101
Sebaran contoh berdasarkan kategori dan p-value praktik pengasuhan dimensi arahan Kelompok Total Dimensi Kontrol Perlakuan jumlah % jumlah % jumlah % Otoriter Rendah 0 0.0 2 2.1 2 2.1 Sedang 21 21.9 27 28.1 48 50.0 Tinggi 27 28.1 19 19.8 46 47.9 Total 48 50 48 50 96 100.0 Permisif Rendah 0 0.0 1 1.0 1 1.0 Sedang 28 29.2 29 30.2 57 59.4 Tinggi 20 20.8 18 18.8 38 39.6 Total 48 50 48 50 96 100.0 Otoritatif Rendah 5 5.2 5 5.2 10 10.4 Sedang 24 25.0 28 29.2 52 54.2 Tinggi 19 19.8 15 15.6 34 35.4 Total 48 50 48 50 96 100.0 Total dimensi arahan 4 6 10 Rendah 4.17 6.25 10.42 44 42 86 Sedang 45.83 43.75 89.58 Tinggi 0 0 0 0 0 0 Total 48 50 48 50 96 100.0 Mean±SD 12.71±2.76 12.86±2.05 p-value 0.925 Keterangan: *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p≤0.05 Lampiran 5
102
Lampiran 6 Sebaran contoh berdasarkan kategori dan p-value setiap dimensi pengasuhan keluarga Dimensi
Kelompok
Pengasuhan
Kontrol
jumlah Dimensi Kehangatan 28 Rendah 20 Sedang Tinggi 0 Total Mean±SD p-value Dimensi Emosi Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Dimensi Arahan Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD
Perlakuan %
jumlah
%
jumlah
%
29.17 20.83 0
23
51
0
23.96 26.04 0
0
53.13 46.88 0
50
48
50
96
100
81
0
84.38 15.63 0
96
100
10
0
10.42 89.58 0
96
100
40
0
41.67 58.33 0
96
100
48
25
7.39±1.50
45
7.38±1.20 0.949
43
38
0
44.79 5.21 0
0
39.58 10.42 0
48
50
48
50
5
11.17±2.16
10
15
11.16±2.17 0.949
4
6 42
0
4.17 45.83 0
0
6.25 43.75 0
48
50
48
50
44
12.71±2.76
p-value Total Pengasuhan 20 Rendah 28 Sedang Tinggi 0 Total
Total
48
86
12.86±2.05 0.925
20.83 29.17 0
22
0
22.92 27.08 0
50
48
50
31.19±5.58
26
31.38±4.50
p-value 0.936 Keterangan: *signifikan pada p≤ 0.10; **signifikan pada p<0.05
56