STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR
EDY WIBOWO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008 Edy Wibowo NRP A153054125
ABSTRACT EDY WIBOWO. Strategic Planning Of General Policy Of Local Government Budgeting (APBD) To Increase The Quality Of Human Development In Bogor District. Under Direction of SRI HARTOYO and SAID RUSLI. Main goal of many countries in the world is to give prosperity to their people through development. However some countries have been fighting for their goal for many years. Indonesia is one of some countries in the world with the situation mentioned above. According to UNDP (2005), Human Development Index (HDI) of Indonesia is 68,7 and is placed Indonesia in 110 among 117 countries in the world. The low HDI level of Indonesia is very disappointing. Since 1999 when the decentralization era in Indonesia has been declared, every local government has responsibility to increase HDI as well as central government. Main source of local government in this case is development budget or Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD). The problem raised is how to manage APBD in order to fit the goal. This study was carried out to plan the strategies that produce programs which are suitable for optimizing HDI growth. This study was carried out in Bogor District and uses it as a case study. According to mathematical method (multiple regression), real public expenditure in APBD is significantly influenced HDI (Alfa = 0.05). HDI will increase 0.019 point if real public expenditure is increase Rp. 1 billion. During 19972006, proportion of real public and officer expenditure in Bogor’s APBD was unbalanced (i.e. 32.1 percent : 67.9 percent). This unbalanced proportion of APBD expenditure has caused non optimum of HDI growth. Shortfall reduction analysis of HDI also showed that HDI growth in Bogor was very low. Some strategic planning and programs have been chosen to improve HDI growth by using SWOT and AHP analysis. Best strategy for developing education sector in Bogor is S-T strategy. Alternative programs which match for this strategy are : free study cost for elementary and junior high school level, building and reconstruction of school facilities. Best strategy for developing health sector is S-T strategy. Alternative programs in charge are : free cost health service especially for the poor, building and reconstruction of health facilities. Best strategy for economic sector is also S-T strategy and the suitable programs are : investment aid of small scale business as well as training and motivating unskilled labor force. Key words :
strategic planning of general policy of APBD, human development index
RINGKASAN EDY WIBOWO. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SAID RUSLI. Tujuan utama pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap negara adalah menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Hanya saja setelah sekian lama mendeklarasikan kemerdekaannya, tidak semua negara berhasil mencapai tujuan yang diinginkannya. Berbagai macam kendala dihadapi oleh setiap negara dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat mewujudkan tujuan bernegara tersebut setelah merdeka selama lebih kurang 62 tahun. Dalam hal pelaksanaan pembangunan manusia, Indonesia masih dalam tahap memulai sehingga belum memberikan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan angka IPM 68,7, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 67,7 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (urutan 61, IPM : 79,6), Thailand (urutan 73, IPM : 77,8), Filipina (urutan 84, IPM : 75,8) dan Vietnam (urutan 108, IPM : 70,4). Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, maka upaya meningkatkan IPM selain menjadi tanggung jawab pemerintah pusat juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Salah satu modal dasar utama bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia adalah dana pembangunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kecenderungan yang terjadi di tiap-tiap daerah di Indonesia adalah bahwa peningkatan APBD tidak serta merta menaikkan angka IPM secara optimal. Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia juga cenderung kurang optimal dalam memanfaatan APBD untuk kepentingan peningkatan IPM. Pada tahun 2000 APBD Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp. 250,27 milyar dan pada tahun 2005 menjadi Rp. 1,32 triliun. Pada tahun 2000 angka IPM Kab. Bogor adalah sebesar 63,32 dan pada tahun 2006 menjadi 69,45 poin. Jika dilihat pertambahan kenaikan (increment), maka terjadi kecenderungan menurun dari 3,38 poin pada tahun 2000 menjadi 1,04 poin di tahun 2006. Untuk dapat memanfaatkan APBD secara optimal bagi kenaikan angka IPM diperlukan tahapan-tahapan perencanaan APBD yang baik terutama dalam hal penyusunan program dan kegiatan dalam APBD atau yang biasa disebut sebagai kebijakan umum APBD. Tahapan yang harus dilakukan dalam hal ini adalah mengetahui faktor-faktor apa saja yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan IPM. Seperti diketahui angka IPM terdiri dari tiga komponen yaitu (1) indeks pendidikan yang dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH), (2) indeks kesehatan yang dipengaruhi oleh angka harapan hidup (AHH) dan (3) indeks daya beli yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita per tahun. Pengetahuan akan faktor-faktor tersebut di atas akan mengarahkan kita pada penentuan fokus program dan kegiatan dalam APBD. Program-program yang dihasilkan tersebut kemudian ditentukan skala prioritasnya. Program-program yang menjadi prioritas inilah kemudian yang dijadikan sebagai program yang dicantumkan dalam kebijakan umum APBD.
Berdasarkan metode reduksi Shortfall yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan IPM di Kabupaten Bogor sejak tahun 1997-2006 ternyata diketahui bahwa angka reduksi Shortfall tahun 1997-2006 di Kabupaten Bogor adalah sebesar 1,37 poin. Menurut UNDP angka reduksi Shortfall Kabupaten Bogor termasuk dalam kategori pertumbuhan IPM lambat. Hal ini menujukkan bahwa pengelolaan pembangunan di Kabupaten Bogor belum sepenuhnya berhasil meningkatkan IPM secara optimal. Metode analisis regresi berganda yang digunakan untuk mengetahui pengaruh belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap IPM di Kabupaten Bogor memperlihatkan bahwa belanja publik riil dan belanja aparatur riil berpengaruh nyata terhadap IPM pada alfa = 0,05 (nilai p-value ANOVA = 0,00143) dengan koefisien determinasi sebesar 0,8874. Belanja publik berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,05 dan belanja aparatur berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,1. Daya ungkit belanja publik terhadap IPM menurut hasil analisis regresi berganda adalah sebesar 0,019 poin untuk setiap kenaikan Rp. 1 milyar belanja publik riil. Kecenderungan selama ini proporsi belanja publik dan belanja aparatur di Kabupaten Bogor tidak seimbang. Proporsi belanja aparatur dan belanja publik sejak 1997-2006 adalah rata-rata sebesar 67,9 persen berbanding 32,1 persen. Inilah salah satu penyebab kurang optimalnya pertumbuhan IPM di Kabupaten Bogor. Metode analisis SWOT yang dilakukan terhadap komponen IPM berupa pendidikan, kesehatan dan perekonomian memperlihatkan bahwa strategi pembangunan yang dapat diterapkan di sektor pendidikan dan sektor perekonomian adalah strategi diversifikasi (strategi S-T). Adapun strategi pembangunan yang dapat diterapkan untuk sektor kesehatan adalah berupa pilihan strategi diversifikasi (strategi S-T) atau strategi progresif (strategi S-O). Strategi S-T yang dapat dilakukan untuk sektor pendidikan adalah menyeimbangkan rasio guru dan siswa terutama untuk tingkat SLTP dan SLTA dengan menambah jumlah siswa SLTP dan SLTA, meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, memberikan subsidi pendidikan untuk mengatasi daya beli yang rendah, dan mengurangi angka putus sekolah. Strategi S-T untuk sektor kesehatan yang dapat dilakukan adalah menekan tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan, meningkatkan cakupan pelayanan persalinan medis, memberikan subsidi kesehatan untuk mengatasi daya beli yang rendah, dan meningkatkan kelembagaan masyarakat di sektor kesehatan. Strategi S-T yang dapat diterapkan untuk sektor perekonomian adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ketersediaan SDM tenaga kerja, menaikkan tingkat pendapatan masyarakat dan meningkatkan kelembagaan masyarakat di sektor perekonomian. Berdasarkan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang ditujukan untuk menentukan prioritas pembangunan daerah diketahui bahwa pelaku pembangunan yang paling dominan adalah aparatur dibanding masyarakat dan swasta. Berdasarkan kendala pembangunan daerah, maka faktor yang paling berpengaruh berturut-turut adalah aspek aparatur, biaya, kebijakan, manfaat dan partisipasi masyarakat. Program-program pembangunan yang dapat dijadikan rekomendasi berdasarkan AHP adalah : pelayanan kesehatan gratis, penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP, pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil menengah (KUKM), pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja, pembangunan sarana kesehatan dan penyelenggaraan perijinan investasi satu atap. Kata kunci : perancangan kebijakan umum APBD, Indeks Pembangunan Manusia
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR
EDY WIBOWO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc
Judul Tugas Akhir : Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor Nama : Edy Wibowo NRP : A 153054125
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Ketua
Ir. Said Rusli, M.A. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc
Tanggal Ujian : 7 Juli 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah berupa kajian pembangunan daerah ini adalah optimalisasi pemanfaatan APBD untuk meningkatkan pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Bogor. Adapun judul yang digunakan adalah Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Melalui prakata ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. dan Bapak Ir. Said Rusli, M.A. selaku dosen pembimbing, serta segenap staf pengajar dan karyawan di Program Studi Manajamen Pembangunan Daerah (MPD) yang dipimpin oleh Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MPD Bogor angkatan ke-2 (2006-2007) atas kekompakannya selama ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Bapak (Alm) Marsono dan Ibu Markeri serta adik-adik tercinta atas dukungan moral dan do’a yang diberikan. Hal yang sama juga penulis sampaiakan untuk istri tercinta Widyastuti, STp dan anak-anak : Ahmad Syamil Fiddin, Asma Khoirunnisa, Ahmad Faqih dan Aisyah Syahidatunnisa atas do’a dan kebersamaannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2008 Edy Wibowo
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Januari 1971 dari ayah (Alm) Marsono dan ibu Markeri. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Jakarta dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di SMA Negeri 18 Jakarta pada tahun 1989. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 1994 sebagai Sarjana Teknologi Pertanian dengan keahlian di bidang Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah bekerja sebagai peneliti pada PT Intidaya Agrolestari yang bergerak di bidang agribisnis. Penulis saat ini bekerja sebagai Anggota DPRD Kabupaten Bogor periode 2004-2009 dari fraksi PKS dan menjabat sebagai Sekretaris Komisi B (bidang ekonomi dan keuangan). Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor.
ii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................... ix I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................................ 6 1.3. Tujuan ..................................................................................................................... 8 1.4. Manfaat Kajian ........................................................................................................ 8 II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 9 2.1. Definisi Pembangunan ........................................................................................... 9 2.2. Pergeseran Paradigma Pembangunan .................................................................. 10 2.3. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia .............................................................. 14 2.4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ................................................................. 15 2.5. Peran Pemerintah Dan Pemerintah Daerah ....................................................... 19 III. METODOLOGI................................................................................................... 22 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................... 22 3.2. Metode Penelitian Dan Kajian .............................................................................. 31 3.2.1. Lokasi Penelitian Dan Kajian ............................................................................ 31 3.2.2. Metode Pengolahan Dan Analisis Data ........................................................... 31 3.2.2.1. Metode Analisis Regresi Berganda................................................................ 32 3.2.2.2. Metode Reduksi Shortfall.................................................................................. 33 3.2.2.3. Metode Statistika Deskriptif .......................................................................... 34 3.3. Metode Perancangan Program ............................................................................. 34 3.3.1. Metode Analisis SWOT .................................................................................... 35 3.3.2. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ...................................................... 37 IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BOGOR
40
4.1. Kondisi Wilayah ...................................................................................................... 40 4.2. Keadaan Penduduk ................................................................................................ 44
iii
Halaman 4.3. Kondisi Sosial Budaya ............................................................................................ 46 4.4. Kondisi Perekonomian .......................................................................................... 48 4.5. Kondisi Pemerintahan Di Kabupaten Bogor ..................................................... 50 4.6. Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor ................................................... 52 4.7. Penyusunan Kebijakan Umum APBD Di Kabupaten Bogor........................... 55 V. KAJIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KAB. BOGOR..................... 57 5.1. Pengaruh Belanja Publik dan Belanja Aparatur Terhadap IPM Kab. Bogor . 57 5.2. Pertumbuhan IPM Di Kabupaten Bogor ........................................................... 60 5.2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pendidikan .......................................... 62 5.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Kesehatan ........................................... 72 5.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perekonomian ....................................... 80 VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH ................................................. 91 6.1. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD ................................................. 91 6.2. Rekomendasi Program Pembangunan.................................................................. 96 6.2.1. Program Sektor Pendidikan ............................................................................... 96 6.2.2. Program Sektor Kesehatan ................................................................................ 100 6.2.3. Program Sektor Perekonomian ......................................................................... 103 6.3. Penentuan Prioritas Pembangunan ..................................................................... 106 6.3.1. Prioritas Pembangunan Sektor Pendidikan ..................................................... 111 6.3.2. Prioritas Pembangunan Sektor Kesehatan ....................................................... 114 6.3.3. Prioritas Pembangunan Sektor Perekonomian ............................................... 115 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 119 7.1. Kesimpulan .............................................................................................................. 119 7.2. Saran ......................................................................................................................... 120 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 122 LAMPIRAN.................................................................................................................... 125
iv
DAFTAR TABEL Halaman
1
Indeks Pembangunan Manusia Di Indonesia Tahun 2005 .................
3
2
Perkembangan Realisasi APBD Dan IPM Di Kabupaten Bogor ......
7
3
Keterkaitan Millenium Development Goal Dan Pembangunan Manusia
16
4
Nilai Maksimum Dan Minimum Komponen IPM ...............................
18
5
Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun 2004 dan IPM Tahun 2005 ......
21
6
Klasifikasi Pertumbuhan IPM Menurut UNDP ...................................
34
7
Faktor Strategi Eksternal dan Faktor Strategi Internal .........................
36
8
Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP ...................................
38
9
Komposisi Kecamatan Dan Penduduk Berdasarkan Tingkat Perkembangan Wilayahnya .......................................................................
44
10
Komposisi Penduduk Kab. Bogor Berdasarkan Usia Tahun 2005 ...
46
11
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Di Kabupaten Bogor .......
49
12
Dinas Daerah Dan Lembaga Teknis Daerah Di Kabupaten Bogor ..
51
13
Perkembangan IPM Kabupaten Bogor Tahun 1997-2005 ..................
54
14
Prosentase Realisasi APBD Untuk Bidang-bidang Prioritas Di Kabupaten Bogor ......................................................................................
56
Realisasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Dalam APBD Kab. Bogor ..........................................................................................................
57
15 16
17 18 19
Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh Belanja Aparatur Dan Belanja Publik Dalam APBD Terhadap IPM di Kab. Bogor ....................
60
Perkembangan Jumlah Siswa Di Kabupaten Bogor Tahun 2001 – 2005 .............................................................................................................
63
Perkembangan Jumlah Ruang Kelas dan Kondisinya di Kab. Bogor Pada Tahun 2001-2005 .............................................................................
67
Perkembangan Jumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dan Penanganan Buta Huruf di Kab. Bogor Pada Tahun 2001-2005
70
v
Halaman
20
Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kab. Bogor Pada Tahun 2001-2005 .......................................................................................
74
Perkembangan Jumlah Tenaga Medis Di Kab. Bogor Pada Tahun 2001-2005 ....................................................................................................
75
Perkembangan JumlahPersalinan Di Kab. Bogor Pada Tahun 2001 – 2005 ..........................................................................................................
76
Perkembangan Rumah Tangga Yang Memiliki Sarana Air Bersih Dan Jamban Keluarga Di Kab. Bogor Pada Tahun 2001-2005 .........
79
Perkembangan Jumlah Posyandu Di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005 …………………………………………………………
80
Perkembangan Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005 ……………………………………..
81
26
Beberapa Jenis Perijinan Investasi Di Kabupaten Bogor …………..
88
27
Perkembangan Infrastruktur Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005. …………………………………………………
89
28
Analisis SWOT Sektor Pendidikan Di Kab. Bogor
92
29
Analisis SWOT Sektor Kesehatan di Kabupaten Bogor …………...
94
30
Analisis SWOT Sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor ……….
95
31
Rekomendasi Program Pembangunan Daerah Di Kabupaten Bogor
107
32
Faktor Yang Berpengaruh Dalam Program Pembangunan Di Kab. Bogor ..........................................................................................................
109
33
Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan ..............
111
34
Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Kesehatan ...............
114
35
Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Perekonomian ........
116
36
Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan, Kesehatan dan Perekonomian di Kabupaten Bogor Berdasarkan AHP .............................................................................................................
118
21 22 23 24 25
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Korelasi DAU Per Kapita Dan IPM Di Tiap Propinsi Di Indonesia ...
4
2
Korelasi DAU Per Kapita Dan IPM Tiap Kabupaten/Kota Di Inonesia ...........................................................................................................
5
3
Perkembangan APBD Dan IPM Di Kabupaten Bogor ..........................
6
4
Bagan Alir Penetapan Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ....
17
5
Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Derajat Pendidikan .......................................................................................................
23
Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Derajat Kesehatan ........................................................................................................
26
7
Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Daya Beli ..........
28
8
Kerangka Pemikiran Pemanfaatan APBD Untuk Meningkatkan IPM
30
9
Matriks Pilihan Strategi Dalam Analisis SWOT
37
10
Hirarki Pemilihan Program Pembangunan Di Kabupaten Bogor .........
39
11
Peta Kabupaten/ Kota Di Jawa Barat ........................................................
40
12
Kecamatan-kecamatan Di Kabupaten Bogor ...........................................
41
13
Pemanfaatan Ruang Di Kabupaten Bogor ................................................
42
14
Jaringan Jalan Di Kabupaten Bogor ...........................................................
43
15
Piramida Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2005 ...............................
45
16
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Di Kabupaten Bogor ....................
49
17
Persentase Realisasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Kab. Bogor
58
18
Perkembangan Angka Partisipasi Murni di Kab. Bogor Tahun 20012005 …………………………………………………………………
62
Perkembangan Jumlah Putus Sekolah di Kab. Bogor Tahun 20012005 …………………………………………………………………
64
20
Perkembangan Jumlah Buta Huruf di Kab. Bogor Tahun 2001-2005
65
21
Perkembangan Jumlah Guru di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 …….
66
22
Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Rata-rata Lama Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun 1998-2006 ……………………..
69
6
19
vii
Halaman
23
Realisasi Belanja Pendidikan APBD Kab. Bogor Tahun 2001-2005 …
71
24
Angka Kematian Bayi dan Jumlah Kematian Ibu di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 ……………………………………………………
73
25
Tingkat Gizi Balita di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 ………………...
77
26
Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Angka Harapan Hidup di Kab. Bogor Tahun 1996-2006. …………………..
78
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005 …………………………………………………………..
82
Diagram Pencar Hubungan Antara PDRB Dengan Daya Beli di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 …………………………………………….
84
27 28 29
Perkembangan Jumlah Lulusan SLTP dan SLTA di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005 ……………………………………………………
85
30
Perkembangan Jumlah Investasi Di Kabupaten Bogor Tahun 20012005 …………………………………………………………………
86
31
Perkembangan Jumlah Perusahaan Di Kabupaten Bogor Tahun 20012005 …………………………………………………………………
87
32
Hasil AHP Terhadap Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor
108
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh Belanja Aparatur Dan Belanja Publik Terhadap IPM ......................................................................
125
2
Kuesioner Analisis SWOT Pembangunan Manusia Di Kab. Bogor
126
3
Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Pendidikan Di Kab. Bogor .....................................................................................................
127
Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Kesehatan Di Kab. Bogor .....................................................................................................
128
Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Ekonomi Di Kab. Bogor .....................................................................................................
129
Prioritas Pelaku Pembangunan Dan Aspek Penunjang Keberhasilan Pembangunan Yang Paling Berpengaruh Berdasarkan Metode AHP
130
7
Prioritas Program Sektor Pendidikan Berdasarkan Metode AHP ........
131
8
Prioritas Program Sektor Kesehatan Berdasarkan Metode AHP ..........
132
9
Prioritas Program Sektor Perekonomian Berdasarkan Metode AHP ....
133
4 5 6
ix
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Tujuan utama pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap negara adalah
menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Hanya saja setelah sekian lama mendeklarasikan kemerdekaannya, tidak semua negara berhasil mencapai tujuan yang diinginkannya. Berbagai macam kendala dihadapi oleh setiap negara dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat mewujudkan tujuan bernegara tersebut setelah merdeka selama lebih kurang 62 tahun. Dalam perjalanannya, pembangunan di Indonesia terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan paradigma pembangunan di berbagai belahan dunia. Pada kurun 1970-an pemerintah menekankan pada adanya pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan. Menurut Dumairy (1996) perkonomian Indonesia pada era tersebut tumbuh rata-rata 7 persen per tahun.
Investasi meningkat dengan laju yang
menggembirakan dari 11 persen menjadi 24 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama dua periode pembangunan lima tahun (PELITA) yaitu dari 1969-1974 dan 1974-1979.
Perekonomian Indonesia saat itu sangat menggantungkan pada
sumber utama penerimaan devisa dari minyak bumi sebanyak hampir 80 persen. Pada tahap selanjutnya terjadi pergeseran arah pembangunan ke arah pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan karena ternyata pertumbuhan ekonomi malah menimbulkan kesenjangan yang tajam antara golongan kaya dan golongan miskin.
Pada kurun 1980-an
pemerintah bekerja keras menciptakan
pemerataan pendapatan. Pemerintah secara dominan menerapkan program-program pembangunan kepada daerah-daerah miskin dan pelosok-pelosok desa untuk
1
2 mengejar ketertinggalan. Lama kelamaan pendekatan terpusat (centralized) ini menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah yang akibatnya pembangunan menjadi beban pemerintah.
Kesadaran akan hal ini melahirkan
pendekatan pembangunan yang lain yaitu pendekatan pembangunan manusia yang menekankan pada tercapainya perkembangan manusia (human growth) melalui pelayanan sosial, pemberdayaan dan sebagainya.
Hasil akhir dari pembangunan
manusia adalah lahirnya manusia yang mandiri dan mampu berkontribusi terhadap keberlanjutan pembangunan nasional secara umum. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan indikator kualitas pembangunan manusia melalui human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM) yang pencapaiannya tergantung pada derajat kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh United Nation Development Program (UNDP) pada laporan tahunannya. Dalam hal pelaksanaan konsep pembangunan manusia, Indonesia masih dalam tahap memulai sehingga belum memberikan hasil yang mamuaskan. Pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan angka IPM 68,7, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 67,7 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (urutan 61, IPM : 79,6), Thailand (urutan 73, IPM : 77,8), Filipina (urutan 84, IPM : 75,8) dan Vietnam (urutan 108, IPM : 70,4). Tentu saja keadaan ini perlu diperbaiki mengingat beberapa negara yang lebih belakangan merdeka dibanding Indonesia berada pada urutan di atas Indonesia seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina. Oleh karena itu diperlukan upaya yang serius untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Indonesia.
2
3 Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia1, maka upaya meningkatkan IPM selain menjadi tanggung jawab pemerintah pusat juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Berdasarkan Laporan
Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2005, daerah di Indonesia yang memiliki angka IPM terbesar adalah DKI Jakarta yaitu sebesar 76,1 dan daerah dengan angka IPM terkecil adalah Papua yaitu sebesar 62,1. Gambaran lengkap IPM seluruh propinsi di Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia Tahun 2005 No
Propinsi
IPM 2005
No
Propinsi
IPM 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
DKI Jakarta Sulawesi Utara Riau DI Yogyakarta Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sumatera Utara Sumatera Barat Bengkulu Jambi Kep. Bangka Belitung Sumatera Selatan Jawa Barat Bali Jawa Tengah
76.10 74.20 73.60 73.50 73.20 72.90 72.00 71.20 71.10 71.00 70.70 70.20 69.90 69.80 69.80
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Maluku Nanggroe Aceh D. Lampung Banten Sulawesi Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Maluku Utara Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Papua
69.20 69.00 68.80 68.80 68.50 68.40 68.10 67.50 67.50 67.40 67.00 66.20 63.60 62.40 62.10
Sumber : BPS (2005)
Salah satu modal dasar utama bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia yang indikatornya adalah IPM adalah dana pembangunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kecenderungan yang terjadi di tiap-tiap daerah di Indonesia adalah bahwa _______________________ 1) Otonomi Daerah diundangkan melalui paket paket UU Otonomi Daerah (UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
3
4 peningkatan APBD tidak serta merta menaikkan angka IPM secara optimal. Sebagai gambaran dapat dilihat pada grafik di bawah ini di mana dana alokasi umum (DAU) per kapita sebagai salah satu komponen APBD yang dikucurkan oleh pemerintah pusat kepada masing-masing propinsi memiliki korelasi yang sangat rendah dengan peningkatan IPM (Gambar 1).
1,800.00
Rp. x 1000 Papua
D A U P e r K a p it a 2 0 0 4
1,600.00 1,400.00 1,200.00
Maluk u
1,000.00
Kaltim
800.00
NTT
600.00 400.00 200.00
NTB 2
R = 0.1556
Jawa Barat
Jak arta
50.00
55.00
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
I PM 2 0 0 5
Gambar 1. Korelasi DAU per kapita dan IPM di Tiap Propinsi di Indonesia (Diolah dari data DAU 2004 dan IPM 2005) Kondisi yang sama juga terjadi dengan DAU per kapita yang dikucurkan pemerintah pusat kepada masing-masing kabupaten/kota di Indonesia. Korelasi antara DAU per kapita dengan angka IPM sangat rendah sekali. Daerah dengan DAU per kapita tinggi tetapi menghasilkan IPM yang rendah adalah Kab. Nabire dan daerah yang kondisinya sebaliknya adalah Kota Bekasi. Gambaran korelasi DAU per kapita dengan peningkatan angka IPM untuk masing-masing kabupaten / kota di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.
4
5 DAU per kapita 2500
2500 Kab. Natuna
2000 2000
Kab. Nabire Kab. Bulungan
Kota Padang Panjang
DAUPC
1500 1500
1000 1000
Kab. Bogor Kab. Jayawijaya 500 500 2
R = 6E-06
IPM
0
Kota Sampang Kota Bekasi
0 40
40
45
50
45
50
55
55
60
60
HDI
65
65
70
70
75
75
80
80
Gambar 2. Korelasi DAU per kapita dan IPM Tiap Kabupaten/ Kota di Indonesia (Siregar, 2007) Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia juga memiliki kecenderungan yang sama dalam memanfaatan APBD untuk kepentingan peningkatan IPM.
Secara umum sejak tahun 2000 hingga tahun 2006 terjadi
peningkatan APBD tetapi pada saat bersamaan pertambahan angka IPM yang dihasilkan cenderung menurun.
Rata-rata kenaikan belanja APBD adalah sebesar
Rp. 154,73 miliar per tahun. Peningkatan juga terjadi pada APBD riil (berdasarkan harga konstan atau telah disesuaikan dengan menghilangkan pengaruh inflasinya). Rata-rata kenaikan belanja APBD riil adalah sebesar Rp. 31,48 miliar per tahun. Perkembangan APBD dan pencapaian IPM Kab. Bogor tahun 2000-2006 dapat dilihat pada Gambar 3.
5
6
1,317.21
1,400.00
APBD 82
1,200.00
1,039.36 974.44
1,000.00 803.16
800.00 563.15 600.00 400.00 200.00 -
659.40 250.27 250.27
689.62
666.68
603.43
502.82 66.73
77
APBD riil 723.74
69.45 67.65
67.81
68.1
68.41
2002
2003
2004
2005
IPM
Rp (Miliar)
822.27
72
67
IPM 62
63.32 2001
2006
Gambar 3. Perkembangan APBD dan IPM di Kab. Bogor (Pemda Kab. Bogor, 2000-2006) Situasi seperti di atas menggambarkan bahwa pemanfaatan APBD di Kab. Bogor tidak dapat menaikkan angka IPM secara optimal. Untuk mengatasi keadaan tersebut diperlukan perbaikan-perbaikan dalam pemanfaatan APBD di Kab. Bogor. Pertanyaan penting yang harus dijawab dalam hal ini adalah bagaimana memanfaatkan APBD untuk menaikkan angka IPM secara optimal.
1.2.
Perumusan Masalah Kabupaten Bogor adalah salah satu daerah otonom di Indonesia yang
memiliki kewajiban untuk meningkatkan angka IPM-nya melalui pemanfaatan APBD dengan sebaik-baiknya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah bahwa
peningkatan besaran APBD dari Rp. 250,27 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp. 1,32 triliun pada tahun 2005 memang telah menaikkan angka IPM Kab. Bogor dari 63,32 pada tahun 2000 menjadi 69,45 pada tahun 2006, namun pertambahan kenaikan (increment) angka IPM tiap tahunnya ternyata cenderung menurun dari 3,38 poin pada tahun 2000 menjadi 1,04 poin di tahun 2006 (Tabel 2).
6
7 Tabel 2. Perkembangan Realisasi APBD dan IPM Kab. Bogor (Pemda Kab. Bogor (2006) Realisasi Belanja APBD (Rp. Juta) Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
APBD ∆ APBD 250.272,85 563.153,90 312.881,05 822.278,97 259.119,14 803.164,13 (19.108,91) 974.437,94 171.273,81 1.039.365,47 64.923,86 1.317.209,23 277.847,43
APBD riil 250.272,85 502.815,98 659.400,99 603.429,10 689.623,45 666.684,93 723.741,34
∆ APBD
Indeks Pembangunan Manusia IPM ∆ IPM
riil 252.543,13 156.585,01 (55.971,90) 86.194,36 (22.938,53) 57.056,41
63,32 66,73 67,65 67,81 68,10 68,41 69.45
3.41 0.92 0.16 0.29 0.31 1.04
Keterangan : Tahun dasar dalam memperhitungkan inflasi adalah tahun 2000 Untuk dapat memanfaatkan APBD secara optimal bagi kenaikan angka IPM diperlukan tahapan-tahapan perencanaan APBD yang baik terutama dalam hal penyusunan program dan kegiatan dalam APBD yang tertuang dalam Kebijakan Umum APBD. Seperti diketahui angka IPM terdiri dari tiga komponen yaitu (1) indeks pendidikan yang dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH), (2) indeks kesehatan yang dipengaruhi oleh angka harapan hidup (AHH) dan (3) indeks daya beli yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita per tahun. Tahap pertama yang harus diketahui dalam hal ini adalah faktorfaktor apa sajakah yang secara langsung mempengaruhi RLS, AMH, AHH dan daya beli. Pengetahuan akan faktor-faktor yang mempengaruhi langsung kenaikan angka IPM akan mengarahkan pada penentuan fokus program dalam APBD. Pada tahap selanjutnya, program-program tersebut kemudian ditentukan skala prioritasnya berdasarkan aspek-aspek tertentu yang penting dalam pelaksanaannya.
Dengan
adanya program dan skala prioritasnya masing-masing, maka kemudian dapat
7
8 ditentukan Kebijakan Umum APBD seperti apa yang cocok untuk tiap-tiap sektor yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
1.3.
Tujuan Tujuan penyusunan kajian pembangunan daerah yang berjudul Strategi
Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor adalah untuk : 1. Mengkaji hubungan pemanfaatan APBD dengan peningkatan kualitas hidup manusia di Kabupaten Bogor. 2. Merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup manusia di Kabupaten Bogor. 3. Merumuskan strategi perencanaan dan program-program yang tepat dalam Kebijakan Umum APBD untuk mendorong peningkatan pembangunan manusia yang optimal di Kabupaten Bogor.
1.4.
Manfaat Kajian Manfaat yang diharapkan dari kajian yang berjudul Strategi Perancangan
Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor ini adalah untuk : 1. Membantu upaya optimalisasi pemanfaatan APBD untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor. 2. Memberikan informasi bagi daerah lain mengenai strategi perancangan APBD yang dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia.
8
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Pembangunan Secara normatif pembangunan diartikan sebagai proses yang memungkinkan
masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusionalnya dalam mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka, berkelanjutan, adil dan merata (Korten 1990; Suryadi 2001). Pembangunan merupakan proses yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan (Suryono, 2001). Dalam UU 25/2004 tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
dinyatakan
bahwa
pembangunan nasional diartikan sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Adapun tujuan
bernegara secara umum adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan dapat juga dilihat dari sisi administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi.
Administrasi pembangunan berkaitan dengan
manajemen pembangunan sedangkan pembangunan administrasi adalah perbaikan organisasi pemerintah dalam membangun. Menurut Kartasasmita (1997), dalam analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi manajemen pembangunan yaitu perencanaan, pengerahan sumberdaya, pengerahan pembangunan oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan, serta evaluasi dan pengawasan.
Adapun
pembangunan adminsitrasi adalah keadaan yang memungkinkan tercapainya efektifitas penggunaan sumberdaya.
9
10
2.2.
Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Suryadi (2001), dalam perkembangannya, pembangunan yang
dilakukan negara-negara di dunia mengalami beberapa pergeseran paradigma. Dalam kurun 1960-1970 berkembang paradigma pertumbuhan (growth). Pada kurun 19701980 berlaku paradigma kesejahteraan (welfare) dan pada kurun 1980-1990 berkembang paradigma pembangunan manusia (people centered development). Adapun di era 2000-an seperti saat ini, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan suatu millenium development goals yang dideklarasikan pada September 2000. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, menekankan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara dan peningkatan pendapatan masyarakat. Alat ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara yang utama adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Menurut Mankiw (2003), GDP adalah nilai pasar semua barang jadi dan jasa yang diproduksi sebuah negara selama kurun waktu tertentu.
Untuk menggambarkan keterkaitannya dengan jumlah
penduduk, sering dipakai ukuran PDB per kapita atau lebih populer disebut pendapatan per kapita. Setelah berjalan sekian lama ternyata pertumbuhan ekonomi menimbulkan persoalan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan.
Sejak itu
beralihlah paradigma pembangunan kepada pembangunan kesejahteraan yang menekankan pada perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Dalam perjalanannya konsep pembangunan ini malah
menimbulkan pengaruh dominan dari pemerintah di tiap-tiap negara. Kritik yang muncul terhadap konsep pemerataan pendapatan nasional adalah pelaksanaannya yang sentralistik sehingga menimbulkan ketergantungan rakyat dengan pemerintah
10
11 atau ketergantungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat atau juga ketergantungan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Pada gilirannya konsep ini tidak menimbulkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) karena adanya ketergantungan (Suryadi, 2001). Suryadi (2001) menjelaskan bahwa kesadaran untuk lebih menekankan pada adanya proses pembangunan berkelanjutan memunculkan paradgima pembangunan manusia pada era 1900-an. Paradigma pembangunan manusia pada dasarnya adalah pembangunan yang menekankan pada pembangunan yang berkelanjutan yang didukung oleh pendekatan pembangunan manusia (human development) melalui aksiaksi pelayanan sosial (social service), pembelajaran sosial (social learning), pemberdayaan (empowerment), peningkatan kapasitas (capacity building) dan peningkatan kelembagaan (institutional building). Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini dapat dikatagerokian dalam beberapa periode yaitu periode orde lama (1945-1966), periode orde baru (1966-1998) dan periode reformasi (1998-sekarang). Menurut Dumairy (1996) selama dua puluh tahun pertama sejak merdeka pembangunan di Indonesia berjalan relatif kurang menggembirakan. Hal tersebut terjadi karena seringnya pergantian kabinet akibat adanya ketidakstabilan politik pada masa itu.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan dengan laju 6,9
persen dalam periode 1952-1958 turun secara drastis menjadi tinggal 1,9 persen pada periode 1960-1965. Dampak kemerosotan pembangunan yang terjadi pada masa tersebut berujung pada pergantian kekuasaan pemerintahan dari orde lama kepada orde baru. Pada masa orde baru dicanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sejak 1969 dengan titik tekan pada adanya trilogi pembangunan yaitu
11
12 stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dalam PELITA I (1969-1974) prioritas pertama diarahkan pada stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
Pada PELITA II (1974-1979) sasaran
dibalik menjadi pertumbuhan ekonomi yang menempati prioritas pertama. Selama dua PELITA ini kinerja perekonomian Indonesia sangat memuaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era tersebut rata-rata mencapai 7 persen per tahun. Investasi meningkat dengan laju yang menggembirakan dari 11 persen menjadi 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hanya saja dominasi perekonomian pada waktu itu ditopang oleh hanya satu sumber utama yaitu minyak bumi. Sumber utama penerimaan devisa saat itu sebanyak 80 persen berasal dari minyak bumi (Dumairy, 1996). Selama kurun dua pelita pertama ternyata terjadi ketidakmerataan pendapatan nasional dan regional. Secara nasional pada akhir PELITA II diketahui angka Gini Ratio Indonesia sebagai indikator pemerataan pendapatan mencapai 0,504. Koefisien Gini Ratio berkisar antara 0 – 1. Nilai Gini Ratio mendekati nol berarti distribusi pendapatan semakin baik dan jika mendekati 1 berarti distribusi semakin jelek.
Secara regional berlangsung pula ketidakmerataan distribusi
pendapatan antar lapisan masyarakat dan juga antara wilayah di Pulau Jawa dengan Luar Jawa (Dumairy, 1996) Kesadaran pentingnya pemerataan pembangunan muncul pada rencana pembangunan Indonesia selanjutnya terutama sejak PELITA III (1979-1983). Pada masa ini pemerintah banyak mempersiapkan proyek-proyek pembangunan di berbagai daerah dengan tetap menempatkan kendali pembangunan pada pemerintah pusat di Jakarta. Salah satu wujud keberhasilan pembangunan adalah tercapainya swasembada beras tahun 1984.
Banyak saluran irigasi dan areal pertanian yang
12
13 dibangun serempak untuk mencapai prestasi terebut. Hal yang sama juga dilakukan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan dibangunnya banyak sekolah-sekolah dasar berdasarkan Insturksi Presiden (INPRES) dan juga Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Pada PELITA IV (1983-1987), target pertumbuhan
ditetapkan hanya 5 persen per tahun, lebih rendah dari pada periode sebelumnya sebesar 6 persen per tahun. Pada masa ini peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan mulai ditingkatkan dengan adanya deregulasi dan debirokratisasi. Pada PELITA V (1988-1993) pertumbuhan ekonomi mencapai 6,7 persen per tahun. Paket deregulasi dan debirokratisasi tetap dilanjutkan sehingga dapat meningkatkan ekspor komoditas non migas. Pada PELITA VI (1994-1999) pemerintah mengalami persoalan beban utang luar negeri yang sangat berat yang merupakan akumulasi pembiayaan pembangunan tahun-tahun sebelumnya (Dumairy, 1996). Terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997 mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah memerintah selama kurang lebih 32 tahun. Persoalan yang ditinggalkan pemeritahan orde baru yang paling memberatkan adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 1998 yaitu sebesar -6,21 persen (Bappenas, 1998). Pemerintah saat ini menyadari kelemahan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dan mulai menerapkan pendekatan pembangunan yang lain.
Salah satu pendekatan
pembangunan yang diterapkan adalah pendekatan pembangunan manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Salah satu misi
pembangunan yang tertuang dalam GBHN tahun 1999-2004 adalah perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.
13
14
2.3.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan manusia adalah terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia.
Menurut Todaro dan Smith (2003) pembangunan
memiliki tiga nilai inti yaitu tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Kemampuan hidup diartikan kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup. Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan minimal yang diperlukan manusia untuk hidup dengan layak. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan akan pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan. Kebutuhan dasar di atas dapat dibuat bertingkat tergantung urgensinya. Menurut Sumardjo (2007), Asian Bank Development (ADB) telah menetapkan bahwa hierarki kebutuhan dasar tersebut diawali dengan kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) seperti kebutuhan akan makanan dan gizi, kesehatan, sanitasi dan air bersih serta kebutuhan akan pakaian yang layak.
Pada tahap selanjutnya adalah kebutuhan akan keamanan
(security) yang meliputi perumahan, pekerjaan, pendapatan dan kedamaian.
Pada
tahap akhir terdapat kebutuhan untuk berkembang (enabling) yang meliputi pendidikan dasar, partisipasi, peranan keluarga dan psikososial. Konsep tingkat kebutuhan manusia yang terkenal adalah yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Kebutuhan manusia menurut pendapat Maslow bertingkattingkat. Tingkatan kebutuhan tersebut secara berurut adalah (1) kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tidur, berkeluarga dan kebutuhan dasar lainnya, (2) kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan akan kasih sayang, (4) kebutuhan
14
15 akan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, dan (5) kebutuhan akan aktualisasi diri (Flippo, 1990). Kesadaran akan perlunya pemahaman mengenai kebutuhan dasar manusia sangat penting. Setiap pemerintahan wajib mendahulukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebelum memenuhi kebutuhan yang lainnya. Perserikatan Bangsabangsa (PBB) juga telah menetapkan perlunya pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebagai bagian dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB yang dibuat pada tanggal 10 Desember 1948. Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah menetapkan satu kebijakan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004.
Pendekatan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam pembangunan saat ini telah diakui di tingkat internasional.
PBB dalam hal ini telah menetapkan suatu tujuan
pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) pada September 2000.
Tujuan pembangunan milenium pada intinya bertumpu pada konsep
pembangunan manusia.
Melalui delapan tujuan yang ditetapkan dalam MDGs,
pembangunan manusia seutuhnya diharapkan dapat dicapai.
Keterkaitan antara
tujuan MDGs dengan pembangunan manusia dapat dilihat pada Tabel 3.
2.4.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Satu kesulitan yang ditemukan dalam penerapan konsep pembangunan
manusia adalah dalam hal mengukur tingkat keberhasilan pembangunan. Hal ini terjadi karena konsep tersebut menempatkan manusia sebagai pusat dari keseluruhan proses pembangunan.
Pembangunan manusia mencakup hampir semua aspek
15
16 kehidupan manusia mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, kesetaraan jender, kesempatan memperoleh pekerjaan, gizi anak, hingga kemampuan untuk membaca dan menulis bagi orang dewasa.
Untuk keperluan mengukur hasil-hasil
pembangunan manusia, PBB melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan sebuah tolok ukur khusus yang dikenal sebagai human development index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya (UNDP, 2003). Tabel 3. Keterkaitan Millenium Development Goals dengan Pembangunan Manusia
Millenium Development Goals Indikator Pembangunan Manusia Hidup yang sehat dan usia yang Tujuan 4,5,6 : menunrunkan angka kematian panjang anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan menangani penyakit utama Pendidikan yang memadai Tujuan 2,3 : menuntaskan pendidikan dasar, kesetaraan jender dalam pendidikan, dan memberdayakan wanita Standar kehidupan yang layak Tujuan 1 : mengurangi kemiskinan dan kelaparan Kondisi Penting Untuk Keterkaitan dengan Millenium Pembangunan Manusia Development Goals Kebebasan politik dan sosial dalam Tidak termasuk tujuan tetapi termasuk kehidupan bermasyarakat sasaran yang penting dalam MDG Kelestarian Lingkungan Tujuan 7 : menjamin kelestarian lingkungan Kesetaraan – terutama kesetaraan Tujuan 3 : mempromosikan kesetaraan jender jender dan pemberdayaan wanita Menyelaraskan lingkungan ekonomi Tujuan 8 : memperkuat kemitraan negara global kaya dan negara miskin Sumber : UNDP (2003) Menurut UNDP (2003), IPM pada dasarnya adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktorfaktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia.
Nilai IPM menunjukkan
pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni:
16
17 1. Usia yang panjang dan sehat, diukur dengan angka harapan hidup (AHH), 2. Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis atau angka melek huruf (AMH) dengan pembobotan dua per tiga serta angka partisipasi kasar atau ratarata lama sekolah (RLS) dengan pembobotan satu per tiga 3. Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS.
Gambar 4. Bagan Alir penetapan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM )
Metodologi penghitungan angka IPM pada dasarnya cukup mudah. Pertama kali harus diketahui data berupa : angka harapan hidup (AHH) dalam satuan tahun, angka melek huruf (AMH) dalam persentase penduduk, angka rata-rata lama sekolah (RLS) dalam satuan tahun dan angka pengeluaran per kapita dalam satuan mata uang. Masing-masing data ini kemudian diubah menjadi indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya berli dengan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan oleh UNDP sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
17
18 Tabel 4. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Komponen IPM Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Konsumsi Per Kapita
Nilai Maksimum 85
Nilai Minimum 25
Keterangan Standar UNDP
100
0
Standar UNDP
15
0
Standar UNDP
732.720
300.000
Standar UNDP yang disesuaikan
Sumber : BPS Kab. Bogor (2005) Untuk memudahkan penjelasan dimisalkan data awal komponen IPM diketahui sebagai berikut : AHH : 67,8 tahun, AMH : 90,1%, RLS : 7 tahun dan konsumsi per kapita : Rp. 576.300 per bulan. Indeks dihitung dengan rumus :
Indeks x(i) = [x(i) – x(i) min] / [x(i) maks – x(i) min] Dengan demikian indeks kesehatan diperoleh sebesar : (67,8 – 25) / (85 – 25) = 0,713. Indeks pendidikan ditentukan oleh dua komponen yaitu AMH dan RLS dengan proporsi 2/3 untuk AMH dan 1/3 untuk RLS. Oleh karena itu indeks pendidikan diperoleh sebesar : {(2/3) x [(90,1 – 0) / (100 – 0)]} + {(1/3) x [(7 - 0) / (15 – 0)]} = 0,756. Adapun indeks daya beli diperoleh sebesar : (576,3 – 300) / (732,7 – 300) = 0,636. Angka IPM dihitung dengan persamaan :
IPM = (1/3) x (indeks kesehatan + indeks pendidikan + indeks daya beli) maka diperoleh IPM = (1/3) x [0,713 + 0,756 + 0,632] = 0,701.
Untuk
memudahkan pembacaan angka IPM tersebut kemudian dikalikan 100 sehingga dinyatakan IPM sebesar = 70,10, (BPS Kab. Bogor, 2005). Penghitungan yang lebih rumit diperlukan pada waktu menentukan besaran AHH, AMH, RLS dan daya beli.
18
19 Penghitungan akan bertambah rumit jika data dasar yang diperlukan berkenaan dengan komponen-komponen tersebut kurang tersedia sebagaimana sering terjadi di Indonesia.
2.5.
Peran Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Indikator yang terdapat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu
indikator pendidikan, kesehatan dan daya beli merupakan indikator yang menggambarkan keberhasilan pembangunan sosial ekonomi di satu wilayah. Penerapan otonomi daerah di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1999 telah memberikan beban tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya peningkatan angka IPM. Berdasarkan UU 22/99 yang telah diperbaharui oleh UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan meliputi penanganan bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pertanian dalam arti luas, perindustrian dan perdagangan, transportasi dan sebagainya. Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian yang besar pada upaya peningkatan angka IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pemerintah RI memberikan Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada tiap daerah untuk keperluan pembangunan daerah. Menurut salah satu ketentuan yang ditetapkan dalam PP 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan pasal 40 disebutkan : 1. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. 2. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
19
20 3. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 4. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH). 5. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Menurut ketentuan di atas tertulis jelas bahwa pemberian Dana Perimbangan dari pemerintah pusat salah satunya adalah dalam rangka meningkatkan angka IPM di tiap daerah.
Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa sejak tahun 1999
pemerintah pusat telah mengalokasikan dan menyalurkan DAU kepada setiap propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan. Pada tahun 2004, pemerintah mengalokasikan DAU untuk 32 propinsi di Indonesia sebesar Rp. 80,3 triliun. Alokasi DAU tersebut menghasilkan angka IPM Indonesia tahun 2005 sebesar 68,7. IPM tersebut adalah IPM kumulatif dari seluruh IPM yang ada di tiap daerah. Menurut Siregar (2007) pada kenyataannya korelasi antara DAU per kapita dengan pertumbuhan angka IPM sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa DAU tidak banyak digunakan untuk menghasilkan program-program pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menunjang pertumbuhan angka IPM. Besaran DAU per kapita tahun 2004 dan angka IPM yang dicapai tahun 2005 untuk 30 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
20
21 Tabel 5.
Dana Alokasi Umum (DAU) per kapita (Rp. Ribu) tahun 2004 dan IPM tahun 2005
No
Propinsi
1 Papua 2 Maluku 3 Kalimantan Tengah 4 Maluku Utara 5 Gorontalo 6 Sulawesi Tengah Nusa Tenggara 7 Timur 8 Sulawesi Tenggara 9 Aceh 10 Sulawesi Utara 11 B e n g k u l u 12 J a m b i Kep. Bangka 13 Belitung 14 Kalimantan Timur 15 Sumatera Barat
DAU/ Kapita
IPM 2005
No
1,559.79
62.10
16
985.98
69.20
17
942.59
73.20
18
880.64
67.00
19
821.89
67.50
20
704.53
68.50
21
673.15
63.60
22
648.47
67.50
23
632.88
69.00
24
625.09
74.20
25
622.57
71.10
26
620.03
71.00
27
603.05
70.70
28
601.32
72.90
29
600.91
71.20
30
Propinsi Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Bali Sulawesi Selatan DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Lampung Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Banten DKI Jakarta
DAU/ Kapita
IPM 2005
538.42
67.40
517.89
66.20
515.84
69.80
515.16
68.10
462.47
73.50
394.33
62.40
360.07
72.00
347.89
73.60
345.36
70.20
340.03
68.80
312.40
69.80
293.86
68.40
215.41
69.90
191.36
68.80
85.47
76.10
Sumber : Depkeu (2004), diolah
21
22
BAB III. METODOLOGI 3.1.
Kerangka Pemikiran Peningkatan APBD idealnya dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD untuk meningkatkan IPM secara optimal salah satunya ditentukan oleh alokasi APBD untuk kepentingan pelayanan publik terutama untuk pelayanan pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Oleh karena itu hal utama yang harus diketahui adalah pengaruh alokasi APBD terutama belanja aparatur dan belanja publik terhadap kenaikan IPM. Kajian terdahulu yang dilakukan Cardiman (2006) memperlihatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari alokasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD dengan angka IPM di Kota Bekasi. Pengaruh belanja publik dan belanja aparatur terhadap angka IPM bersifat positif. Kajian pembangunan daerah ini disusun untuk mengetahui pengaruh alokasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap kenaikan angka IPM Kab. Bogor. Setelah kita mengetahui pengaruh alokasi APBD terhadap IPM, maka hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana alokasi APBD tersebut digunakan. Jika alokasi untuk sektor kesehatan, pendidikan dan perekonomian digunakan untuk membiayai program-program yang berdampak langsung terhadap angka IPM, maka kenaikan IPM dapat optimal.
Angka IPM sangat dipengaruhi oleh angka rata-rata
lama sekolah (RLS), angka melek huruf (AMH), angka harapan hidup (AHH) dan daya beli per kapita. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006), banyak faktor yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan angka IPM. Faktorfaktor tersebut dapat diuraikan berdasarkan masing-masing indeks pendidikan,
22
23 kesehatan dan daya beli. Selain penyebab langsung, terdapat juga penyebab tidak langsung level 1 dan level 2 serta penyebab mendasar. Jika pengaruh masing-masing faktor terhadap masing-masing komponen IPM dapat diketahui, maka pembiayaan program-program APBD yang berkaitan langsung dengan hal tersebut dapat meningkatkan angka IPM secara optimal.
Gambaran mengenai faktor-faktor
penyebab langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan derajat pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli serta kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7.
IPM DERAJAT PENDIDIKAN INDIKATOR
RATA-RATA LAMA SEKOLAH
PENYEBAB LANGSUNG
PARTISIPASI PENDIDIKAN (SD, SMP, SMA)
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 1
KUANTITAS GURU
ANGKA MELEK HURUF DROP OUT KUALITAS GURU
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 2
KUALITAS SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
KUANTITAS SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
BIAYA PENDIDIKAN
PENEYBAB MENDASAR
DAYA BELI (KEMISKINAN)
MOTIVASI DUKUNGAN KELUARGA
KELEMBAGAAN MASYARAKAT
AKSESIBILITAS (JARAK/JALAN)
ALOKASI ANGGARAN
Gambar 5. Penyebab langsung dan tidak langsung perubahan derajat pendidikan (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa indikator peningkatan derajat pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf. (AMH). Besar kecilnya angka rata-rata lama sekolah dipengaruhi langsung oleh tingkat
23
24 partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal (jenjang SD, SLTP dan SLTA). Ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat partisipasi sekolah adalah angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM).2
Angka melek
huruf dipengaruhi secara langsung oleh banyaknya siswa yang putus sekolah dan juga banyaknya jumlah penduduk buta huruf. Secara umum penyebab tidak langsung yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah kuantitas dan kualitas guru. Semakin baik kuantitas dan kualitas guru maka akan semakin meningkatkan partisipasi dan menurunkan jumlah putus sekolah. Penyebab tidak langsung yang lain adalah kuantitas dan kualitas sarana pendidikan, biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana pendidikan. Faktor kuantitas dan kualitas sarana pendidikan menentukan dalam hal ketersediaan daya tampung sekolah. Semakin banyak dan semakin baik sarana pendidikan akan meningkatkan partisipasi sekolah dan mengurangi angka putus sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada faktor kemudahan menjangkau sarana sekolah. Semakin mudah sarana sekolah dijangkau oleh masyarakat akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan angka putus sekolah. Penyebab mendasar yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah daya beli, dukungan keluarga, kelembagaan di masyarakat dan alokasi anggaran pendidikan. Penyebab mendasar daya beli mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah terutama dalam hal biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana pendidikan. _______________________ 2) Ada tiga jenis APK yaitu APK SD, APK SLTP dan APK SLTA. APK SD adalah rasio jumlah murid sekolah SD semua umur dengan jumlah anak umur 7-12 tahun, APK SLTP adalah rasio jumlah murid SLTP semua umur dengan jumlah anak umur 13-15 SD dan APK SLTA adalah rasio jumlah murid SLTA semua umur dengan jumlah anak umur 16-18 tahun. Angka partisipasi murni juga ada tiga yaitu APM SD, APM SLTP dan APM SLTA. APM SD adalah rasio jumlah murid SD umur 7-12 tahun dengan jumlah anak umur 7-12 tahun, APM SLTP adalah rasio jumlah murid SLTP umur 13-15 tahun dengan jumlah anak umur 13-15 tahun, dan APM SLTA adalah jumlah murid SLTA umur 16-18 tahun dengan jumlah anak umur 16-18 tahun.
24
25 Masyarakat yang memiliki daya beli rendah tidak mampu menyediakan biaya pendidikan yang memadai dan biaya transportasi untuk sekolah anak-anaknya. Faktor dukungan keluarga berkaitan erat dengan faktor daya beli. Dukungan keluarga yang lemah dalam menyekolahkan anak-anaknya umumnya terjadi pada keluarga yang memiliki daya beli rendah. Mereka lebih menginginkan anak-anaknya bekerja dari pada menempuh pendidikan. Pada keluarga yang memilik daya beli relatif baik, motivasi keluarga untuk menyekolahkan anak-anaknya relatif tinggi. Adapun faktor kelembagaan masyarakat lebih berkaitan dengan penyediaan pendidikan non formal untuk menampung siswa yang putus sekolah. Semakin baik kelembagaan di masyarakat akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menekan buta huruf. Kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sejenis partisipasi masyarakat untuk membantu sektor pendidikan terutama untuk menyelenggarakan berbagai macam jenis pendidikan non formal seperti pendidikan buta aksara, SLTP terbuka dan lain sebagainya. Penyebab mendasar alokasi anggaran pemerintah berkaitan dengan kemampuan pemerintah menyediakan sarana pendidikan yang memadai bagi masyarakat baik kuantitas maupun kualitasnya.
Semakin besar alokasi anggaran
pembangunan untuk sektor pendidikan maka akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan angka buta huruf. Alokasi anggaran yang dimaksud bukan hanya untuk penyediaan sarana pendidikan tetapi juga untuk perbaikan kesejahteraan guru termasuk penyediaan subsidi bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
25
26
IPM DERAJAT KESEHATAN ANGKA HARAPAN HIDUP
INDIKATOR
ANGKA KEMATIAN BAYI PENYEBAB LANGSUNG
ANGKA KEMATIAN IBU
GIZI BALITA
GIZI IBU
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 1
KUANTITAS PELAYANAN KONSUMSI MEDIS MAKANAN BERGIZI
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 2
JUMLAH TENAGA MEDIS DAN NON
PENEYBAB MENDASAR
KONDISI SANITASI LINGKUNGAN
PENYAKIT INFEKSI IKUTAN
DISTRIBUSI SARANA DAN PRASARANA KESEHATAN
KESADARAN KEMISKINAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT
PERSALINAN DIBANTU TENAGA KESEHATAN KEMAMPUAN MEMBIAYAI KESEHATAN
KELEMBAGAAN MASYARAKAT
AKSESIBILITAS THD SARANA KESEHATAN
HORIZONTAL CAUSALITY
Gambar 6. Penyebab langsung dan penyebab tidak langsung perubahan derajat kesehatan (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa derajat kesehatan memiliki indikator tunggal yaitu angka harapan hidup (AHH). Angka harapan hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah angka harapan hidup waktu lahir yaitu perkiraan ratarata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Besaran AHH dipengaruhi oleh angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu saat melahirkan (AKI). Angka kematian bayi adalah besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan per seribu kelahiran hidup. Penyebab langsung yang mempengaruhi AKB antara lain adalah tingkat gizi balita sedangkan penyebab yang mempengaruhi AKI adalah tingkat gizi ibu saat mengandung. Semakin baik tingkat gizi dipastikan akan semakin mengurangi AKB
26
27 dan AKI. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi AKB dan AKI adalah jumlah pelayanan medis, pelayanan gizi, penanggulangan penyakit dan penanganan persalinan.
Semakin baik berbagai pelayanan kesehatan yang diperlukan akan
semakin menekan AKB dan AKI. Penyebab tidak langsung lain yang mempengaruhi AKB dan AKI adalah ketersediaan tenaga medis, sebaran sarana dan prasarana kesehatan serta kemampuan masyarakat untuk membiayai layanan kesehatan. Faktor ketersediaan tenaga medis yang memadai dan sebaran sarana kesehatan yang merata ke setiap wilayah akan semakin mengurangi AKB dan AKI.
Adapun faktor kemampuan membiayai
kesehatan adalah juga faktor yang sangat penting. Semakin baik daya beli masyarakat maka akan semakin mudah membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan. Penyebab mendasar dari semua hal yang mempengaruhi derajat kesehatan sebenarnya adalah budaya hidup sehat dan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan tempat tinggal.
Penyebab mendasar lainnya adalah kemiskinan, kelembagaan
masyarakat dan kemudahan menjangkau fasilitas kesehatan. Kemiskinan dan budaya hidup sehat saling mempengaruhi satu sama lain. Semakin tinggi kemiskinan akan semakin sulit budaya hidup sehat diterapkan. Penyebab mendasar kelembagaan di masyarakat sebetulnya berkaitan erat dengan budaya hidup sehat. Pada masyarakat yang budaya hidup sehatnya baik, kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan akan mudah terbentuk. Nilai-nilai seperti kewajiban menjaga kebersihan, membuang sampah pada tempatnya hingga pembentukan lembaga sosial yang mengurusi soal kesehatan adalah contoh kelembagaan kesehatan yang ada di masyarakat.
27
28
IPM DAYA BELI INDIKATOR PENYEBAB LANGSUNG
KONSUMSI PER KAPITA TINGKAT PENDAPATAN)
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 1
PERTUMBUHAN EKONOMI
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 2
PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM
PENEYBAB MENDASAR
KEMISKINAN
SERAPAN TENAGA KERJA
KUALITAS SDM
KUALITAS INFRASTRUKTUR WILAYAH
DISTRIBUSI PENDAPATAN
IKLIM INVESTASI
KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT
LAJU INVESTASI
ENTREPRENEURSHIP
AKSES THD LEMBAGA EKONOMI
KONDISI MAKRO NASIONAL
Gambar 7. Penyebab langsung dan penyebab tidak langsung perubahan daya beli (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa daya beli memiliki indikator tunggal berupa konsumsi per kapita.
Semakin tingginya konsumsi per kapita semakin
memperlihatkan tingginya daya beli. Penyebab langsung yang mempengaruhi daya beli adalah besarnya tingkat pendapatan masyarakat dan serapan tenaga kerja. Masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan memadai akan meningkatkan jumlah konsumsi per kapita. Hal yang sama juga terjadi pada penyebab berupa serapan tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri akan semakin meningkatkan jumlah masyarakat yang berpenghasilan sehingga otomatis akan berpeluang meningkatkan jumlah konsumsi per kapita. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah pertumbuhan ekonomi, kualitas sumber daya manusia dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi sangat berkaitan erat dengan konsumsi per kapita. Adanya
28
29 pertumbuhan ekonomi berarti adanya kenaikan angka Produk Domestik Bruto (PDB).
Salah satu komponen pembentuk PDB adalah konsumsi masyarakat di
samping terdapat komponen lain seperti belanja pemerintah, investasi swasta dan selisih ekspor-impor. Penyebab tidak langsung kualitas sumber daya manusia berkaitan erat dengan peluang serapan tenaga kerja. Semakin baik kualitas SDM yang ada akan semakin meningkatkan serapan tenaga kerja. Penyebab berupa distribusi pendapatan berperan dalam meningkatkan pemerataan pendapatan yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi.
Semakin baik distribusi pendapatan akan berpeluang meningkatkan
konsumsi per kapita.
Jika distribusi pendapatan kurang baik maka ada
kecenderungan pada masyarakat berpenghasilan tinggi untuk menabung dari pada mengeluarkan konsumsi. Penyebab tidak langsug lainnya yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah pemanfaatan sumber daya alam (SDA), tingkat investasi. Pemanfaatan SDA berkaitan erat dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semakin baik pemanfaatan SDA akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada penyebab berupa tingkat investasi.
Semakin baik iklim
investasi maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penyebab mendasar yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah kemiskinan, kualitas infrastruktur wilayah, kelembagaan ekonomi masyarakat dan kewirausahaan masyarakat serta kemudahan menjangkau permodalan. Kemiskinan yang tinggi dipastikan akan menyebabkan rendahnya konsumsi per kapita. Rendahnya kualtias dan kuantitas infrastruktur wilayah seperti jalan dan jembatan juga akan menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Kualitas dan kuantitas infrastruktur yang baik akan memperlancar arus barang dan jasa yang berarti juga
29
30 meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penyebab berupa kelembagaan masyarakat di sektor ekonomi, motivasi kewirausahaan di masayarakt dan kemudahan menjangkau permodalan sangat berkaitan erat. Motivasi wirausaha akan lahir jika kelembagaan ekonomi di masyarakat berjalan dengan baik dan juga adanya kemudahan menjangkau permodalan yang diperlukan dalam wirausaha. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat pendidikan, kesehatan dan daya beli di atas adalah faktor-faktor yang akan dibahas dalam penelitian ini. Setelah faktor-faktor penting yang mempengaruhi masing-masing komponen dalam IPM diketahui, maka kajian dilanjutkan dengan menentukan prioritas program pembangunan untuk masing-masing sektor. Hasil akhir dari kajian yang dilakukan adalah rekomendasi program pembangunan yang dapat dibiayai oleh APBD. Secara umum kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini adalah seperti Gambar 8.
APBD Kesehatan
Perekonomian
Pendidikan
AHH
AMH
Gizi buruk Tkt. Imunisasi Kemiskinan, dll
PKBM Peserta PKBM
RLS
Kemiskinan, dll
Daya tampung Tkt. Kelulusan Kemiskinan, dll
Lainnya
PPP Lapangan Kerja Tkt. Kemiskinan Tkt. Investasi, dll
Strategi Perancangan APBD dengan AHP (Analytical Hierarchy Process)
APBD berorientasi IPM Gambar 8. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan APBD Untuk Meningkatkan IPM
30
31
3.2.
Metode Penelitian Dan Kajian Metode yang digunakan dalam kajian pembangunan daerah ini meliputi
metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data serta metode perancangan program. Hasil akhir dari kajian pembangunan daerah ini adalah berupa rekomendasi program dan kebijakan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah terutama berkaitan dengan strategi perancangan APBD yang dapat mengoptimalkan peningkatan kualitas pembangunan manusia. Ukuran yang digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia dalam hal ini adalah indeks pembangunan manusia (IPM).
3.2.1. Lokasi Penelitian dan Kajian Lokasi pelaksanaan penelitian dan kajian ini adalah di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kajian ini dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan. Adapun unit analisis yang menjadi sasaran penelitian adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Aspek yang dikaji adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejak tahun 1997 sampai 2006 dan pertumbuhan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sejak tahun 1997 sampai 2006.
3.2.2. Metode Pengolahan Dan Analisis Data Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang berasal dari BPS Kab. Bogor, Pemda Kab. Bogor dan BAPPEDA Kab. Bogor serta instansi teknis yang ada di Kabupaten Bogor seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Bagian Perekonomian Kab. Bogor. Untuk mengetahui pengaruh APBD terhadap IPM digunakan metode analisis regresi
31
32 berganda (multiple regression). Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan IPM digunakan metode reduksi Shortfall yang ditetapkan oleh United Nation Development Program (UNDP). Adapun untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor dugaan terhadap indeks kesehatan, indeks pendidikan dan daya beli, dilakukan metode penyajian menggunakan statistika deskriptif.
3.2.2.1.
Metode Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang digunakan untuk menduga nilai variabel terikat (dependent) dengan menggunakan lebih dari satu variabel bebas (independent). Parameter penting yang dihasilkan dari analisis regresi berganda yang bermanfaat untuk mengambil kesimpulan adalah : (1) koefisien determinasi yang menggambarkan persentase keragaman variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas di mana nilai koefisien determinasi semakin mendekati 100% berarti semakin baik, (2) selang kepercayaan model yang menggambarkan tingkat perbedaan nyata (signifikan) dari persamaan yang digunakan yang nilainya biasanya adalah 90 – 95% (alfa : 0,1 atau alfa : 0,05), (3) nilai intersep dan nilai koefisien model beserta selang kepercayaannya masing-masing yang menggambarkan berapa nilai intersep dan nilai koefisien masing-masing variabel bebas beserta selang kepercayaannya di mana nilai-nilai ini kemudian dapat disusun menjadi sebuah persamaan regresi berganda. Untuk mengetahui pengaruh realisasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap IPM dilakukan analisis regresi berganda dengan variabel terikat angka IPM dan variabel bebasnya adalah realisasi belanja publik dan realisasi belanja aparatur dalam APBD.
Angka realisasi belanja publik dan belanja aparatur
dalam APBD yang digunakan adalah angka realisasi belanja yang sudah dihilangkan pengaruh inflasinya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
32
33 Y(t) = ßo + ß1 A(t) + ß2 B(t) + ε(t) ….. ……………….. ( 1) Di mana : Y(t) A(t) B(t) ßo ßi, i = 1,2,3
: : : : :
Indeks Pembangunan Manusia Tahun ke-t Realisasi Belanja Aparatur Tahun ke-t Realisasi Belanja Publik Tahun ke-t Koefisien Intersep Parameter Regresi
ε(t)
: Error term
3.2.2.2. Metode Reduksi Shortfall Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi Shortfall per tahun. Ukuran ini secara sederhana menujukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal yaitu IPM = 100 (BPS Kab. Bogor, 2005). Prosedur perhitungan reduksi Shortfall dirumuskan sebagai berikut : (IPM t+n – IPM t) x 100
1/n
R= (IPM ideal – IPM t) ............................................................................................................................ (2) Di mana : IPM t IPM t+n IPM ideal
: : :
IPM pada tahun t IPM pada tahun t+n 100
Untuk menentukan klasifikasi pertumbuhan IPM, UNDP telah menetapkan tiga klasifikasi. Klasifikasi tersebut terdiri dari klasifikasi pertumbuhan IPM cepat, pertumbuhan IPM sedang dan pertumbuhan IPM lambat.
Rincian ketentuan
mengenai klasifikasi pertumbuhan IPM yang ditetapkan oleh UNDP dapat dilihat pada Tabel 6.
33
34 Tabel 6. Klasifikasi Pertumbuhan IPM Menurut UNDP Klasifikasi Pertumbuhan IPM
Angka Reduksi Shortfall
Cepat Sedang Lambat
R > 1,70 1,50 < R < 1,70 R < 1,50
Sumber : BPS Kab. Bogor (2005)
3.2.2.3. Metode Statistika Deskriptif Metode statistika deskriptif dalam kajian ini digunaka untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi IPM baik sektor pendidikan, kesehatan maupun perekonomian.
Statistika deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat (Walpole, 1992). Beberapa metode statistika deskriptif yang digunakan adalah : penyajian data dalam bentuk grafik, penentuan nilai rata-rata, penentuan trend atau kemiringan data, dan beberapa metode statistika deskriptif lainnya.
3.3. Metode Perancangan Program Perancangan program merupakan tahap penyampaian hasil kajian kepada para stakeholder pembangunan daerah yang meliputi unsur pemerintahan, masayarakat dan pihak swasta. Respon dari para stakeholder dihimpun sedemikian rupa sehingga menjadi strategi penerapan hasil kajian. Respon para stakeholder juga diperlukan untuk menentukan prioritas program pembangunan daerah yang akan disusun dalam kajian. Pemaparan atau sosialisasi program disampaikan kepada beberapa pihak di lingkungan Pemda Kab. Bogor dan juga masyarakat untuk mendapat tanggapan. Jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak 12 orang terdiri dari unsur
34
35 Pemerintah Kab. Bogor terutama dari BAPPEDA, anggota DPRD Kab. Bogor terutama pimpinan komisi, masyarakat terutama akademisi dan pihak swasta terutama kontraktor dan perusahaan swasta.. Data respon para stakeholder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT untuk menentukan strategi perencanaan pembangunan dan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun prioritas program pembangunan daerah yang dapat dibiayai oleh APBD.
3.3.1.
Metode Analisis SWOT Metode analisis SWOT pertama kali dikembangkan oleh Albert Humphrey
dari Stanfrod University AS pada tahun 1960. Metode analisis SWOT merupakan metode yang ditujukan untuk menyusun strategi perencanaan (strategic planning) bagi program dan kegiatan organisasi yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal organisasi yang bersangkutan.
Kondisi internal organisasi dikelompokkan dalam
kategori S (strength atau kekuatan) dan W (weakness atau kelemahan).
Kondisi
eksternal organisasi dikelompokkan dalam kategori O (opportunity atau peluang) dan T (threat atau ancaman). Metode analisis SWOT terdiri dari beberapa tahap pengerjaan yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan.
Tahap
pengumpulan data yang merupakan tahap sangat penting dalam analisis. Semakin akurat data yang digunakan maka akan semakin tepat keputusan yang akan dibuat. Data yang dikumpulkan diusahakan berkaitan dengan data keadaan internal organisasi dan juga keadaan eksternal yang berpengaruh terhadap organisasi. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dalam matriks faktor strategi internal dan matriks faktor strategi eksternal. Bentuk matriks adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7.
35
36 Tabel 7. Faktor Strategi Eksternal dan Faktor Strategi Internal Faktor Strategi Internal Kekuatan 1. 2. ... Total Kekuatan Kelemahan 1. 2. ... Total Kelemahan TOTAL FAKTOR INTERNAL Faktor Strategi Eksternal Peluang 1. 2. ... Total Peluang Ancaman 1. 2. ... Total Ancaman TOTAL FAKTOR EKSTERNAL
Bobot
Rating
Bobot x Rating
1,0 Bobot
Rating
Bobot x Rating
1,0
Sumber : Rangkuti (2001) Pengisian matrik dimulai dengan mengisi kolom faktor strategi internal dan eksternal yang disesuaikan dengan kelompok kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman. Bobot masing-masing faktor ditetapkan dengan skala 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting) berdasarkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis organisasi. Semua penjumlahan angka bobot tidak boleh melebihi 1,0 pada faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun faktor eksternal (peluang dan ancaman). Pengisian rating masing-masing faktor ditetapkan dengan skala 4 (sangat baik) sampai 1 (buruk) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi.
36
37 Tahap analisis dimulai dengan menghitung perkalian bobot dengan rating dari faktor-faktor internal dan eksternal.
Berdasarkan nilai perkalian tersebut dapat
ditentukan komponen yang paling besar nilainya pada faktor internal dan faktor eksternal. Masing-masing komponen yang memiliki nilai terbesar tersebut dijadikan sebagai komponen yang paling berpengaruh dalam organisasi. Tahap pengambilan keputusan dilakukan dengan membuat matrik strategi SWOT dan menetapkan pilihan strategi berdasarkan komponen yang paling berpengaruh baik dari faktor internal maupun eksternal. Matriks strategi SWOT dapat dilihat pada Gambar 9.
Faktor Internal Strengts (S) atau Kekuatan
Weakness (W) atau Kelemahan
Strategi S-O atau Progresif
Strategi W-O atau Korektif
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strategi S-T atau Diversifikasi
Strategi W-T atau Defensif
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
mengatasi kelemahan untuk menghindari ancaman
Faktor Eksternal
Opportunities (O) atau Peluang
Threats (T) atau Ancaman
Sumber : Rangkuti (2001) Gambar 9. Matriks Pilihan Strategi Dalam Analisis SWOT
3.3.2. Metode Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode analisa yang digunakan untuk mengambil keputusan yang komplek dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L.
37
38 Saaty pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain : (1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan, (2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias), (3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan. Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menerapkan AHP adalah : 1. menentukan hirarki yaitu merumuskan persoalan dalam bentuk struktur berupa diagram pohon yang terdiri dari tujuan, kriteria dan alternatif. 2. tahap menetapkan prioritas yaitu menentukan prioritas dari masing-masing kriteria atau sub kriteria dengan membandingkannya satu sama lain.
Untuk
melakukan pembandingan digunakan skala banding seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP Intensitas 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen lainnya Elemen yang satu lebih penting dibanding elemen lainnya Elemen yang satu jelas lebih penting dibanding elemen lainnya Elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Sumber : Saaty (1988) 3. tahap sintesis yaitu penyatuan keputusan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas tiap elemen. 4. tahap
mempertimbangkan
konsistensi
untuk
menjamin
semua
elemen
dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis.
38
39 Metode AHP dalam kajian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak EXPERT CHIOICE 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc.
Pengambilan
keputusan dalam kajian ini dilakukan untuk tiga sektor yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi atau daya beli. Hasil akhir dari keputusan yang dibuat dengan AHP adalah rekomendasi program APBD yang menjadi prioritas untuk masing-masing sektor.
Hirarki pemilihan program pembangunan yang digunakan
dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor
Pelaku Pembangunan
Kendala Pembangunan
Alternatif Pembangunan
Pemerintahan Daerah
Aspek Biaya
Aspek Kebijakan
Program Bid. Pendidikan
Swasta
Aspek Aparatur
Program Bid. Kesehatan
Masyarakat
Aspek Manfaat
Aspek Partisipasi
Program Bid. Ekonomi
Gambar 10. Hirarki Pemilihan Program Pembangunan Di Kabupaten Bogor
39
40
BAB IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BOGOR 4.1.
Kondisi Wilayah Kabupaten Bogor adalah salah satu dari 25 kabupaten/kota yang ada di
Propinsi Jawa barat. Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah sebesar 291.658 Ha. Secara geografis letak Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok dan Kab. Tangerang Propinsi Banten di sebelah Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Karawang, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Lebak.
Meski tidak berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, namun jarak
antara pusat Kabupaten Bogor dengan Jakarta hanya sekitar 60 km yang dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang satu jam. Keadaan ini memperlihatkan letak strategis Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga ibukota negara (Gambar 11). Jakarta Bekasi Karawang Bogor Cianjur
Sukabumi
Subang
Purwa karta
Indramayu Cirebon
Bandung
Garut
Maja Sumedang leng ka
Kuningan
Tasik malaya
Ciamis
Gambar 11. Peta Kabupaten/Kota di Jawa Barat
40
41 Wilayah Kabupaten Bogor ditinjau dari aspek fisik memiliki ketinggian tempat antara 50-2.500 m dpl (di atas permukaan laut). Oleh karena itu willayah Kabupaten Bogor terdiri dari dataran rendah, dataran menengah dan dataran tinggi. Komposisi wilayah berdasarkan ketinggian adalah dataran rendah (29,28%), dataran menengah (42,62%) dan dataran tinggi (28,39%). Salah satu ciri khas dari Kabupaten Bogor adalah curah hujan tahunannya yang relatif tinggi yaitu antara 2.500-5.000 mm per tahun dengan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai Maret. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 411 desa dan 17 kelurahan. Ibukota Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Cibinong yang letaknya relatif tepat di tengah wilayah Kabupaten Bogor. Gambaran lokasi ibukota Kabupaten Bogor dan kecamatan-kecamatan lainnya dapat dilihat pada Gambar 12.
Pada tahun 2005 tercatat jumlah Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Kabupaten Bogor sebanyak 13.509 RT dan 3.454 RW. Tajur Halang
Leuwi Sadeng
Tanjung Sari Tenjolaya
Cigombong
Ibu Kota Kab. Bogor
Gambar 12. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bogor (Setda Kab. Bogor, 2006)
41
42 Pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor sebagian besar didominasi oleh kawasan budidaya terbatas dan kawasan budidaya yang terletak di bagian Tengah dan Utara. Kawasan budidaya terbatas di bagian tengah diperuntukkan sebagian besar untuk pemukiman dan pertanian sedangkan kawasan budidaya diperuntukkan bagi pemukiman dan industri. Kawasan non budidaya yang terletak di bagian Selatan sebagian besar adalah kawasan yang dilindungi dan hanya sedikit yang diperuntukkan bagi pemukiman dan pertanian. Gambaran pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 13.
Kawasan budidaya Kawasan budidaya terbatas Kawasan non budidaya
Gambar 13. Pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor (Bappeda Kab. Bogor, 2006)
Pola pemanfaatan ruang seperti disajikan di atas membawa konsekuensi pada beberapa hal salah satunya adalah dalam penyediaan infrastruktur jalan. Hingga tahun 2005 panjang jalan di Kabupaten Bogor tercatat sebesar 1.507,52 km. Infrastruktur jalan berangsur-angsur berkurang volume keluasannya dari kawasan budi daya, budidaya terbatas hingga kawasan non budidaya. Infrastruktur jalan relatif
42
43 lebih baik di kawasan budidaya daripada di kawasan budidaya terbatas. Demikian halnya dengan kawasan budidaya terbatas dan kawasan non budidaya. Hal ini dapat difahami karena sebagian besar penduduk tinggal di kawasan budidaya dan budidaya terbatas (Gambar 14).
Jalan Negara Jalan Kabupaten
Gambar 14. Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor (Bappeda Kab. Bogor, 2006)
Dalam perjalanannya, pembangunan di Kabupaten Bogor tidak sepenuhnya menghasilkan pemerataan di tiap-tiap kecamatan. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006) terdapat sekitar 8 kecamatan yang relatif tertinggal dari segi tingkat perkembangan wilayahnya, 21 kecamatan yang masuk kategori berkembang dan 11 kecamatan yang masuk kategori maju. Pembagian kecamatan berdasarkan tingkat perkembangan wilayahnya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.
43
44 Tabel 9.
Komposisi Kecamatan dan Perkembangan Wilayahnya
Kategori Kurang
Penduduk
Berdasarkan
Jumlah Penduduk
Kategori Berkembang
Jumlah Penduduk
Rumpin Cigudeg Sukajaya Nanggung Pamijahan Sk. makmur Cariu Tanjung Sari
122.804 112.839 56.178 85.393 132.077 72.584 50.815 51.934
Parung Panjang Tenjo Jasinga Leuwiliang Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Tamansari Cijeruk Caringin Ciawi Sukaraja Bb. Madang Kemang Ranca Bungur Ciseeng Gn Sindur Klapanunggal Jonggol Cigombong Leuwisadeng
92.102 62.770 94.512 109.420 123.316 141.551 53.806 83.505 72.604 107.496 92.733 149.008 84.346 77.547 48.751 86.250 79.317 74.060 107.120 76.303 70.768
Cileungsi Gn Putri Citeureup Cibinong Bojong Gede Parung Dramaga Ciomas Mg. Mendung Cisarua Tajur Halang
167.163 201.413 174.916 247.135 157.782 87.224 96.453 124.472 90.395 105.908 76.164
JUMLAH
684.624
1.887.285
JUMLAH
1.529.025
JUMLAH
Kategori Maju
Tingkat
Jumlah Penduduk
Sumber : (Bappeda Kab. Bogor, 2006)
4.2.
Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2005 mencapai 3.700.187
jiwa dengan komposisi laki-laki 1.880.515 jiwa dan wanita 1.819.672 jiwa (BPS Kab. Bogor, 2005). Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur memperlihatkan mayoritas penduduk Kabupaten Bogor berusia antara 5-14 tahun.
Berdasarkan
struktur penduduk maka piramida penduduk Kabupaten Bogor termasuk kedalam pola constrictive yang ditandai dengan penduduk yang berada dalam kelompok umur termuda jumlahnya sedikit. Secara umum terdapat tiga pola piramida penduduk yaitu pola constrictive, expansive dan stationary (Rusli, 2007). Ciri piramida penduduk yang
44
45 expanisve adalah sebagian besar penduduk berada dalam kelompok umur muda. Adapun ciri constrictive adalah penduduk yang berada dalam kelompok umur termuda jumlahnya sedikit. Piramida berbentuk stationary memperlihatkan keadaan jumlah penduduk dalam tiap kelompok umur relatif sama banyaknya kecuali pada kelompok umur tertentu. Secara empiris, piramida penduduk berubah dari struktur expansive ke arah stationary. 60 + 55- 59 50- 54 45- 49 40- 44 35- 39 30- 34 25- 29 20- 24 15- 19 10- 14 5- 9 0- 4 (250,000) (200,000)
(150,000) (100,000)
(50,000)
Laki- laki
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Perempuan
Gambar 15. Piramida penduduk Kab. Bogor tahun 2005 Menurut BPS Kabupaten Bogor (2005), penduduk Kabupaten Bogor tergolong penduduk muda menuju transisi. Hal ini diperlihatkan oleh panjang batang piramida untuk kelompok umur 0-4, 5-9 dan 10-14 tahun yang sedikit lebih panjang dari kelompok umur lainnya. Hal ini berarti ada kecenderungan komposisi penduduk di masa depan akan semakin didominasi oleh penduduk usia produktif. Perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan atau sex ratio di Kabupaten Bogor adalah sebesar 103,34. Hal ini berarti jumlah penduduk laki-laki lebih besar dari jumlah penduduk perempuan. Komposisi penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2005 berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 10.
45
46 Tabel 10. Komposisi Penduduk Kab. Bogor Berdasarkan Usia Tahun 2005 Kelompok Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60 + Jumlah
Laki-laki 186,849 206,003 205,354 182,732 172,155 165,311 156,842 150,127 129,120 106,938 86,210 63,023 69,851 1,880,515
Perempuan 190,321 200,457 193,837 174,070 175,949 165,754 157,146 140,004 120,109 93,494 74,372 58,195 75,964 1,819,672
Jumlah 377,170 406,460 399,191 356,802 348,104 331,065 313,988 290,131 249,229 200,432 160,582 121,218 145,815 3,700,187
Prosentase 10.19% 10.98% 10.79% 9.64% 9.41% 8.95% 8.49% 7.84% 6.74% 5.42% 4.34% 3.28% 3.94% 100.00%
Sex Ratio 98.18% 102.77% 105.94% 104.98% 97.84% 99.73% 99.81% 107.23% 107.50% 114.38% 115.92% 108.30% 91.95% 103.34%
Sumber : BPS Kab. Bogor (2005) Problem Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam masalah penduduk saat ini adalah dalam hal besarnya jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang mencapai angka 3.700.187 jiwa pada tahun 2005 merupakan jumlah penduduk terbesar ke dua di Propinsi Jawa Barat yang total penduduknya berjumlah 38.886.975 jiwa (BPS, 2005).
Tingginya jumlah
penduduk Kabupaten Bogor di samping berasal dari pertambahan kelahiran juga berasal dari adanya perpindahan penduduk dari daerah lain.
Laju pertumbuhan
penduduk Kabupaten Bogor secara umum untuk periode 2004 -2005 relatif tinggi yaitu 3,94% (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
4.3.
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Bogor dari sisi sosial budaya adalah tipikal masyarakat
Jawa Barat yang sangat menjaga kerukunan dan mempertahankan tradisi turun
46
47 temurun dengan baik. Hal ini terwujud dalam semboyan Kabupaten Bogor yaitu “Prayoga Tohaga Sayaga” yang memiliki makna masyarakat Kabupaten Bogor yang mengutamakan persatuan, kekokohan dan kekuatan pendirian serta perjuangan untuk selalu siap siaga menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai cita-cita yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Kondisi sosial budaya masyarakat Kabupaten Bogor dalam perjalanannya mengalami perubahan-perubahan akibat pengaruh dari daerah sekitarnya. Masyarakat yang tinggal di wilayah bagian Utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta mengalami perubahan sosial menjadi lebih terbuka terhadap perkembangan dan mengarah kepada tipikal masyarakat perkotaan. Masyarakat yang tinggal di wilayah bagian Selatan (berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi), wilayah bagian Timur (berbatasan dengan Kab. Cianjur) dan wilayah bagian Barat (berbatasan dengan Propinsi Banten) cenderung lebih rentan terhadap perubahan dan mengarah pada tipikal masyarakat pedesaan. Kabupaten Bogor dari segi sejarah dan budaya tercatat sebagai wilayah tempat berdirinya Kerajaan Tarumanegara pada akhir abad ke 5M. Peninggalan bersejarah berupa prasasti terdapat di beberapa wilayah seperti Prasasti Ciaruteun (Kec. Ciampea), Prasasti Kebun Kopi (Kec. Cibungbulang) dan Prasasti Jambu (Kec. Leuwiliang).
Pada abad-abad selanjutnya muncul kerajaan-kerajaan di wilayah
Kabupaten Bogor seperti Kerajaan Sunda, Pajajaran Galuh dan Kawali. Hari lahir Kabupaten Bogor yang ditetapkan pada tanggal 3 Juni 1482 bertepatan dengan pelantikan Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja melalui upacara Kedabhakti. Jika dihitung dari waktu tersebut, maka pada tahun 2007 usia Kabupaten Bogor sudah mencapai 525 tahun.
47
48 Secara umum dari segi pendidikan, masyarakat Kabupaten Bogor mayoritas berpendidikan dasar dan menengah. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006), pada tahun 2006, penduduk Kabupaten Bogor berpendidikan SD (42,92%), SLTP (30,96%), SLTA (13,03%), Diploma dan Sarjana (2,80%) tidak sekolah (3,15%) dan belum sekolah (5,49%). Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan akan pendidikan di Kabupaten Bogor sangat penting untuk diperhatikan.
4.4.
Kondisi Perekonomian Penduduk Kabupaten Bogor secara umum merasakan adanya dampak
pertumbuhan ekonomi sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2005) laju pertumbuhan ekonomi (LPE) di Kabupaten Bogor terus meningkat sejak tahun 1999 hingga 2004.
Keadaan ini
menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor relatif baik. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh angka Produk Domestik Bruto (PDRB) yang cenderung meningkat sejak tahun 2002 hingga 2004. Angka PDRB riil Kabupaten Bogor meningkat dari sebesar Rp. 18,23 Triliun (2002) menjadi Rp. 21,89 Triliun (2004). Gambaran perkembangan LPE di Kabupaten Bogor sejak tahun 1994 – 2004 dapat dilihat pada Gambar 16. Secara umum perkembangan LPE di Kabupaten Bogor dapat dikatakan sedang menguat kembali sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun 19971998. Pada waktu krisis ekonomi terjadi, LPE di Kabupaten Bogor sempat mencapai – 23,6% untuk kemudian berangsur-angsur membaik hingga tahun 1999 mencapai angka 1,6%. Jika kita melihat kecenderungan LPE di Kabupaten Bogor sejak 1999, maka terdapat kecenderungan menaik meski belum mencapai angka seperti pada LPE tahun 1994 yang menembus angka 9.9%.
48
49
15.0
9.9 10.0
8.7
10.8
7
LPE (%)
5.0 0.0 1993 -5.0
1994
1995
1996
1997
1998
1.6
2.9
2.9
4.5
1999
2000
2001
2002
4.5
2003
2004
2005
-10.0 -15.0
-15.4
-20.0
-23.6
-25.0 -30.0
Gambar 16.
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) di Kabupaten Bogor (Bappeda Kab. Bogor, 2005)
Hal yang berkebalikan terjadi pada aspek pemerataan ekonomi. Kenaikan LPE ternyata tidak diikuti dengan adanya pemerataan ekonomi di Kabupaten Bogor. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor. Pada kurun 2002 – 2006. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor meningkat cukup tajam dari 451.300 jiwa pada tahun 2000 menjadi 1.157.391 jiwa pada tahun 2006 atau sebesar 27,5% dari total penduduk.
Perkembangan
jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor No
Indikator
1
Jumlah penduduk (jiwa)
2
Laju pertumbuhan penduduk (%)
5
Jumlah penduduk miskin (jiwa)
2002
Realisasi Kinerja 2003 2004
2005
2006
3.249.781
3.791.784
3.945.411
4.100.934
4.215.585
0,67
5,3
4,05
3,94
2,79
451.300
1.019.077
1.001.805
1.084.718
1.157.391
Sumber : Bappeda Kab. Bogor (2006)
49
50 Rendahnya dampak positif kenaikan LPE terhadap kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat difahami karena ternyata struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor sekunder dan sektor tersier.
Sektor primer adalah sektor ekonomi yang
berpotensi menyerap banyak tenaga kerja di pedesaan yaitu berupa sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sektor primer adalah juga sektor pekerjaan yang paling mudah untuk dilakukan oleh masyarakat tanpa keahlian tertentu. Sektor sekunder terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas, air bersih dan sektor bangunan. Adapun sektor tersier terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan jasa-jasa lainnya. Pada tahun 2004 kontribusi sektor sekunder terhadap perekonomian sebesar 61,42%, sektor tersier sebesar 27,32% dan sektor primer sebesar 11,26%.
4.5.
Kondisi Pemerintahan Di Kabupaten Bogor Pemerintahan Kabupaten Bogor terdiri dari unsur eksekutif berupa
Pemerintah Daerah Kab. Bogor, unsur legislatif berupa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Bogor dan unsur yudikatif yang terdiri dari unsur Kejaksaan, Pengadilan serta Kepolisian. Pemrintah Daerah Kab. Bogor dipimpin oleh Bupati Bogor yang dibantu oleh Sekretaris Daerah yang membawahi beberapa Dinas dan Lembaga Teknis Daerah.
Struktur pemerintah daerah beberapa kali mengalami
perubahan sehubungan dengan adanya perubahan atruan dari pemerintah pusat. Nama-nama dinas dan lembaga teknis daerah yang ada di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 12.
50
51 Tabel 12. Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Kab. Bogor Dinas Daerah Kab. Bogor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Dinas Pertanian dan Kehutanan Dinas Peternakan dan Perikanan Dinas Pertambangan dan Energi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Dinas Perhubungan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Dinas Bina Marga dan Pengairan Dinas Cipta Karya Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Dinas Pendapatan Daerah
Lembaga Teknis Daerah Kab. Bogor 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Badan Pengawas Pembangunan Daerah 3. Badan Pendidikan dan Pelatihan 4. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial 5. Kantor Koperasi dan UKM 6. Kantor Penanaman Modal Daerah 7. Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah 8. Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat 9. Rumah Sakit Daerah Cibinong 10. Rumah Sakit Daerah Ciawi
Sumber : Sekretariat Daerah Kab. Bogor (2006) Unsur legislatif di Kabupaten Bogor ditempati oleh DPRD Kab. Bogor yang terdiri dari 45 anggota DPRD. Fungsi DPRD sesuai dengan aturan perundangundangan adalah melakukan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Fungsi
legislasi adalah fungsi DPRD untuk membentuk peraturan daerah bersama eksekutif. Fungsi anggaran adalah fungsi DPRD untuk menyusun Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama eskeutif.
Adapun fungsi pengawasan DPRD
adalah fungsi DPRD dalam mengawasi jalannya roda pembangunan oleh eksekutif. Pada perode 2004 – 2009, DPRD Kab. Bogor memiliki empat komisi yang terdiri dari Komisi A (bidang pemerintahan dan hukum), Komisi B (bidang ekonomi dan keuangan), Komisi C (bidang pembangunan) dan Komisi D (bidang kesejahteraan sosial).
Tugas komisi-komisi ini adalah mengawasi kebijakan
pembangunan daerah oleh pemerintah daerah sesuai dengan bidang tugas masing-
51
52 masing. Dalam prakteknya masing-masing komisi mengadakan kooridansi dengan dinas-dinas terkait. DPRD Kab. Bogor juga memiliki panita anggaran legislatif yang bertugas untuk merancang isi APBD bersama dengan panitia anggaran eksekutif. Panitia anggaran kedua belah pihak inilah yang menentukan alokasi anggaran untuk sektor-sektor pembangunan setelah menerima aspirasi dari maysarakat.
Untuk
membahas peraturan daerah dan kebijakan lainnya, DPRD dapat membentuk panitia legislasi dan panitia khusus. DPRD juga memiliki Badan Kehormatan yang berfungsi mengawasi kinerja dan pelanggaran kode etik oleh anggota DPRD.
4.6.
Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor Pembangunan manusia di Kabupaten Bogor mulai dilaksanakan secara
seksama sejak tahun 2001 atau dua tahun sejak diterapkannya otonomi daerah tahun 1999. Hal ini ditandai dengan disusunya Perda No 2 tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda) tahun 2002-2006 yang menetapkan visi Kabupaten Bogor yaitu “Terwujudnya Masyarakat yang Maju, Mandiri, Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa”. Visi tersebut mengandung makna mewujudkan masyarakat Kabupaten Bogor ke arah yang lebih baik atau menuju peradaban yang lebih tinggi dengan mengoptimalkan segala potensi daerah yang telah dimiliki sesuai dengan kemampuan daerah sendiri untuk mencapai kondisi aman, sentosa, makmur dengan berlandaskan keyakinan, kepercayaan, ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Visi ini kemudian diperkuat dengan disusunya visi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor secara khusus yaitu “Tercapainya Pelayanan Prima demi Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bogor yang Maju, Mandiri, Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa”.
52
53 Kata kunci yang berkenaan dengan pernyataan visi di atas, adalah : tercapainya pelayanan prima, yang merupakan wujud nyata dari upaya pengelolaan dan pemberian pelayanan terbaik (excellent service), bermutu dan berkualitas untuk semua jenis pelayanan dari Pemerintah Kabupaten Bogor kepada masyarakat. Indikator pelayanan prima yang diharapkan adalah adanya pelayanan yang lebih baik (better), lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan memenuhi tuntutan kepuasan publik (public satisfaction). Visi di atas juga menjelaskan komitmen yang kuat untuk mencapai peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan tertuangnya kata-kata mandiri, dan sejahtera. Kata mandiri menyiratkan perlunya pemberdayaan (empowerment) sementara sejahtera mengandung makna perlunya peningkatan daya beli, pendidikan dan kesehatan. Visi tersebut dijabarkan dalam misi sebagai berikut : 1. Melakukan Reformasi Pelayanan Publik menuju Tata Pemerintahan yang Baik 2. Meningkatkan Profesionalisme Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 3. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan; 4. Menumbuhkembangkan Potensi Industri, Pertanian dan Pariwisata secara Optimal dan Lestari; 5. Meningkatkan Kualitas dan Menata Sarana, Prasarana dan Infrastruktur Wilayah; 6. Memajukan Kehidupan Keagamaan dan Kondisi Sosial Kemasyarakatan. Pembangunan manusia di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001 telah mengalami kemajuan meskipun belum terlalu optimal.
Indikator pembangunan
manusia berupa angka IPM Kabupaten Bogor relatif terus meningkat sejak tahun 2001. Perkembangan IPM Kabupaten Bogor dari tahun 1997 hingga 2006 dapat dilihat pada Tabel 13.
53
Tabel 13. Perkembangan IPM Kabupaten Bogor Tahun 1997-2006 Komponen
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
AMH (%)
89,07
92,04
90,77
89,5
90,78
92,8
92,8
93,22
93,87
94,28
RLS (tahun)
6,275
7,35
6,625
5,9
5,9
6,1
6,18
6,26
6,32
6,9
AHH (tahun)
61,9
64,5
64,95
65,4
66,38
66,8
66,82
66,94
66,99
67,2
554,85
534,00
524,65
515,30
549,20
550,4
551,52
552,45
553,60
558,87
Indeks kesehatan
61,50
65,83
66,58
67,33
68,97
69,67
69,70
69,90
69,98
70,33
Indeks pendidikan
73,32
77,69
75,24
72,78
73,63
75,42
75,60
76,06
76,62
78,19
Indeks melek huruf 86,10%
92,04%
86,10%
89,50%
90,78%
92,80%
92,80%
93,22%
93,87%
94,28%
Indeks lama sekolah 41,83%
49,00%
44,17%
39,33%
39,33%
40,67%
41,20%
41,73%
42,13%
46,00%
PPP (Rp. ribu)
Indeks daya beli
58,90
54,08
51,92
49,76
57,59
57,87
58,13
58,34
58,61
59,83
IPM
64,57
65,87
64,58
63,32
66,73
67,65
67,81
68,10
68,41
69,45
Sumber : Bappeda Kab. Bogor (2006)
54
55
4.7.
Penyusunan Kebijakan Umum APBD Di Kabupaten Bogor Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Secara
umum dokumen APBD terdiri dari ringkasan umum APBD (yang memuat gambaran pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah), rincian APBD untuk setiap organisasi perangkat daerah, dan rincian APBD berdasarkan sektor pembangunan. Programprogram pembangunan daerah biasanya dicantumkan dalam rincian APBD berdasarkan sektor pembangunan. Semenjak diterapkanya prinsip anggaran berbasis kinerja, maka penyusunan APBD oleh pantia angaran eksekutif dan legislatif diawali dengan pembahasan mengenai Kebijakan Umum APBD (KU-APBD). Menurut PP 58/2005, KU-APBD adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode satu tahun. Kebijakan yang berkaitan dengan belanja berisi rencana umum program pembangunan daerah yang akan dikerjakan selama satu tahun ke depan. Bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun KU-APBD adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran dari visi dan misi kepala daerah sebelum memangku jabatan. Apabila KU-APBD telah ditetapkan, maka selanjutnya dilakukan penyusunan Prioritas dan Plafon Anggran Sementara (PPAS). Berdasarkan KU-APBD dan PPAS inilah proses penyusunan APBD dilakukan pada tahap-tahap selanjutnya. Penyusunan KU-APBD di Kabupaten Bogor dilakukan berdasarkan penjabaran dari visi dan misi pemerintah daerah yang telah ditetapkan. Berdasarkan visi dan misi tersebut telah disusun berbagai program dan kegiatan pembangunan
56 daerah untuk 16 bidang yang meliputi : (1) bidang administrasi umum pemerintahan, (2) bidang pertanian, (3) bidang perikanan dan peternakan, (4) bidang pertambangan dan energi, (5) bidang perindustrian dan perdagangan, (6) bidang perkoperasian, (7) bidang ketenagakerjaan, (8) bidang penanaman modal, (9) bidang kesehatan, (10) bidang penataan ruang, (11) bidang pendidikan dan kebudayaan, (12) bidang sosial, (13) bidang pekerjaan umum, (14) bidang perhubungan, (15) bidang kependudukan dan (16) bidang kepariwisataan. pembangunan
daerah
Secara umum sejak tahun 2000, prioritas
Kabupaten
Bogor
diarahkan
untuk
meningkatkan
pembangunan di bidang pekerjaan umum (infrastruktur), pendidikan, kesehatan dan perekonomian (meliputi pertanian, peternakan dan perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdangangan, perkoperasian, penanaman modal, perhubungan dan kepariwisataan).
Hal ini dapat dilihat dari realisasi APBD
Kabupaten Bogor yang memberikan porsi cukup besar untuk bidang-bidang yang diprioritaskan. Prosentase realisasi APBD Kabupaten Bogor sejak tahun 2002-2006 untuk bidang yang diprioritaskan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase Realisasi APBD Untuk Bidang-bidang Prioritas Di Kab. Bogor Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata2
Pendidikan Kesehatan 8.18% 24.12% 21.04% 15.01% 15.25% 19.36% 17.90% 17.26%
5.59% 7.91% 13.20% 20.76% 19.28% 18.22% 19.54% 14.93%
Ekonomi 43.46% 9.10% 11.13% 3.78% 4.62% 5.25% 9.50% 12.41%
Sumber : Pemda Kab. Bogor (2000-2006), diolah
Infrastruktur
Lain-lain
31.21% 38.22% 40.63% 48.31% 58.90% 54.89% 51.75% 46.27%
11.55% 20.66% 14.00% 12.14% 1.95% 2.28% 1.30% 9.13%
57
BAB V. KAJIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR 5.1.
Pengaruh Belanja Publik Dan Belanja Aparatur Terhadap IPM Kabupaten Bogor Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor secara
nominal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 realisasi APBD Kabupaten Bogor sebesar Rp. 148,8 milyar dan pada tahun 2006 bertambah menjadi Rp. 1,3 triliun. Rata-rata kenaikan realisasi APBD nominal di Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp. 129,8 milyar per tahun atau sebesar 31,29 persen. Kenaikan realisasi APBD Kab. Bogor jika dihitung secara riil dengan menghilangkan faktor inflasi, maka didapat angka persentase kenaikan rata-rata sebesar 14,60 persen per tahun. Total realisasi belanja APBD Kabupaten Bogor secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Realisasi Belanja Aparatur dan Publik Dalam APBD Kab. Bogor (Pemda Kab. Bogor, 2006)
Tahun
Belanja APBD (Rp. Juta)
Indeks Harga Konsumen*
Belanja APBD Riil (Rp. Juta)
1997
148.801,80
50,7
293,494.67
1998
176.650,81
80,0
220,813.51
1999
234.129,75
96,3
243,125.39
2000
250.272,85
100
250,272.85
2001
563.153,90
112
502,815.98
2002
822.273,04
124,7
659,400.99
2003
803.164,13
133,1
603,429.10
2004
974.437,94
141,3
689,623.45
2005
1.039,361,80
155,9
666,684.93
2006
1.317,209,23
182,0
723,741.34
Keterangan : *) Tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000
58 Komponen belanja dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) secara umum terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja yang diperuntukkan bagi program dan kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Belanja aparatur adalah belanja yang diperuntukkan bagi aparatur pemerintah seperti belanja operasional kantor, gaji dan tunjangan, pengadaan fasilitas dan operasional kantor. Belanja publik pada waktu sebelum otonomi daerah disebut sebagai belanja pembangunan sedangkan belanja aparatur sering disebut sebagai belanja rutin. Selama periode 1997-2006 proporsi belanja aparatur dengan belanja publik rata-rata sebesar 67,9 persen berbanding 32,1 persen. Proporsi belanja aparatur dan belanja publik di Kabupaten Bogor adalah seperti terlihat pada Gambar 17.
100.0% 90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
B. Publik
55.4%
49.1%
31.3%
27.3%
26.7%
29.2%
18.9%
21.7%
29.0%
32.6%
B. Aparatur
44.6%
50.9%
68.7%
72.7%
73.3%
70.8%
81.1%
78.3%
71.0%
67.4%
Gambar 17. Persentase Realisasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Kab. Bogor
59 Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa telah terjadi ketidakseimbangan proporsi belanja aparatur dan belanja publik di Kabupaten Bogor. Salah satu alasan ketimpangan ini adalah besarnya jumlah pegawai pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang mencapai 19.666 orang pada tahun 2005. Besarnya jumlah pegawai menyebabkan besarnya jumlah gaji dan tunjangan yang harus disediakan. Hal lain yang juga mempengaruhi ketimpangan proporsi belanja adalah besarnya organisasi perangkat daerah yang harus dibiayai yang meliputi 27 instansi di kabupaten (kantor bupati, DPRD, Sekretariat Daerah dan 24 dinas/badan/kantor), 40 kantor kecamatan dan 17 kantor kelurahan.
Jumlah pegawai dan perangkat daerah yang besar di
Kabupaten Bogor tersebut terutama terjadi sejak otonomi daerah diberlakukan. Tahun 1999. Peningkatan proporsi belanja publik sangat diharapkan untuk meningkatkan IPM di Kabupaten Bogor. Belanja publik diyakini berpengaruh terhadap pencapaian IPM karena belanja publik berkaitan langsung dengan program-program pembangunan. Hasil analisis regresi berganda dengan menggunakan persamaan (1) memperlihatkan bahwa belanja pubik dan belanja aparatur berpengaruh positif terhadap IPM. Hasil analisis selengkapnya memperlihatkan bahwa belanja publik dan belanja aparatur berpengaruh nyata terhadap IPM pada alfa = 0,05 (nilai p-value ANOVA = 0,00143) dengan koefisien determinasi sebesar 0,8874. Belanja publik berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,05 dan belanja aparatur berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,1. Daya ungkit belanja publik terhadap IPM menurut hasil analisis regresi berganda adalah sebesar 0,019 poin untuk setiap kenaikan Rp. 1 milyar belanja publik riil. Hasil lengkap analisis regresi pengaruh belanja APBD terhadap IPM di Kab. Bogor dapat dilihat pada Tabel 16.
60
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh Belanja Aparatur dan Belanja Publik Dalam APBD Terhadap IPM di Kab. Bogor Variabel Bebas Intersep A (Belanja Aparatur) B (Belanja Publik)
Koefisien
t-hitung
p-value
62,188
84,842
1,806 x 10-10
0,005 0,019
2,304 2,738
0.061 0.034
R2 : 0.887
5.2.
Pertumbuhan Indeks Pembangunan (IPM) Manusia Di Kab. Bogor. Angka IPM Kabupaten Bogor selama periode 1997-2006 belum mengalami
kenaikan yang optimal. Berdasarkan perhitungan dengan metode reduksi Shortfall diketahui besarnya angka reduksi Shortfall tahun 1997-2006 di Kabupaten Bogor adalah 1,37. Metode reduksi Shortfall adalah metode umum yang digunakan untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu tertentu. Ukuran ini secara sederhana menujukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal yaitu IPM = 100. Menurut UNDP angka reduksi Shortfall Kabupaten Bogor termasuk dalam kategori pertumbuhan IPM lambat.
Hal ini menujukkan bahwa pengelolaan
pembangunan di Kabupaten Bogor belum sepenuhnya berhasil meningkatkan IPM secara optimal. Peningkatan angka IPM sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi komponennya.
Komponen IPM sebagaimana difahami terdiri dari indeks
pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks pendidikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH).
61 Indeks kesehatan dipengaruhi oleh angka harapan hidup (AHH) dan indeks daya beli dipengaruhi oleh daya beli per kapita. Perkembangan komponen IPM berupa angka RLS menunjukkan adanya peningkatan dari 6,275 tahun (1997) menjadi 6,90 tahun (2006) dengan kenaikan ratarata per tahun sebesar 0,17 tahun. Angka melek huruf (AMH) sebagai indikator pembangunan di bidang pendidikan di Kabupaten Bogor juga menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Angka melek huruf Kabupaten Bogor pada tahun 1997 tercatat sebesar 89,07 persen dan pada tahun 2006 mencapai 94,28 persen. Rata-rata kenaikan AMH di Kabupaten Bogor adalah sebesar 0,82 persen. Hal yang sama juga terjadi pada komponen AHH yang meningkat dari 61,0 tahun (1997) menjadi 67,2 tahun (2006) dengan rata-rata kenaikan AHH per tahun adalah sebesar 0,79 tahun. Hal yang berbeda terjadi pada komponen daya beli di Kabupaten Bogor. Pada periode 1997-2006 daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari Rp. 554.850 per kapita per bulan menjadi Rp. 558.870 per kapita per bulan. Namun demikian jika dihitung rata-rata pertumbuhan daya beli per tahun akan memperlihatkan hasil yang negatif sebesar minus Rp 1.683 per kapita per bulan. Kenyataan tersebut di atas memperlihatkan bahwa titik lemah perkembangan komponen IPM di Kabupaten Bogor secara umum terletak pada komponen RLS dan daya beli. Rata-rata pertumbuhan tahunan RLS di Kabupaten Bogor relatif rendah karena tidak mencapai 0,5 tahun.
Demikian halnya dengan daya beli yang
menunjukkan rata-rata pertumbuhan tahunan negatif.
Kondisi ini tentu saja
memperlihatkan pentingnya fokus pembangunan di Kabupaten Bogor tertuju pada peningkatan RLS dan daya beli di samping mempertahankan pertumbuhan komponen IPM lainnya.
62
5.2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pendidikan Kualitas pembangunan di sektor pendidikan berdasarkan pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh besarnya rata-rata lama sekolah (RLS) yang ditempuh oleh masyarakat dan besarnya angka melek huruf (AMH) yang terjadi di masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah tingkat partisipasi pendidikan, tingkat putus sekolah, kuantitas dan kualitas guru, kuantitas dan
kualitas sarana sekolah, biaya pendidikan, kemudahan menjangkau sarana
pendidikan, daya beli, dukungan keluarga, kelembagaan masyarakat dan alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah, (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Tingkat partisipasi pendidikan di Kab. Bogor dapat dilihat salah satunya dari angka partisipasi murni (APM). Pada periode tahun 2001-2005, APM untuk semua jenjang pendidikan di Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan. Ratarata pertumbuhan APM selama lima tahun adalah sebesar 3,53 persen untuk SD, 2,61 persen untuk SLTP dan 3,65 persen untuk SLTA. Perkembangan APM Kabupaten Bogor tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Gambar 18. 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
2001
2002
2003
2004
2005
APM SD
84.67%
87.26%
93.05%
97.64%
98.80%
APM SLTP
55.50%
57.57%
54.15%
59.72%
65.93%
APM SLTA
12.31%
19.42%
25.72%
26.22%
26.93%
Gambar 18. Perkembangan Angka Partisipasi Murni di Kab. Bogor Tahun 20012005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
63 Angka Partisipasi Murni adalah angka yang menunjukkan persentase jumlah anak pada usia tertentu yang selayaknya sekolah. Angka maksimal dari APM adalah 100 persen yang menggambarkan bahwa seluruh anak usia sekolah telah memasuki bangku sekolah sesuai jenjangnya. Angka partisipasi murni tertinggi di Kabupaten Bogor adalah APM SD sebesar 98,8 persen pada tahun 2005. Kondisi yang kurang menggembirakan terjadi pada APM SLTP yang hanya mencapai 65,9 persen dan APM SLTA yang hanya 26,9 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebanyak 34,1 persen anak usia 13-15 tahun yang tidak memasuki jenjang SLTP dan sebanyak 73.1 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak memasuki jenjang SLTA. Perkembangan jumlah siswa di Kabupaten Bogor untuk masing-masing jenjang pendidikan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Perkembangan Jumlah Siswa Di Kabupaten Bogor Tahun 2001 - 2005 Jumlah Siswa
2001
2002
2003
2004
2005
Tingkat SD
425.371
440.887
472.810
500.325
507.799
Tingkat SLTP
121.562
127.372
133.460
133.463
148.803
Tingkat SLTA
22.587
38.156
54.110
58.053
62.002
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Perkembangan jumlah siswa putus sekolah di Kabupaten Bogor tahun 20012005 berfluktuasi yaitu berkisar antara 5.182 – 6.500 siswa SD, dan 88 -1.642 siswa SLTP, serta 26 – 802 siswa SLTA. Besarnya jumlah siswa putus sekolah pada dasarnya memperkecil Angka Partisipasi Murni (APM). Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah adalah dengan menaikkan APM. Perkembangan jumlah siswa putus sekolah di Kabupaten Bogor pada tahun 20012005 dapat dilihat pada Gambar 19.
64
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
2001
2002
2003
2004
2005
DO SD
6113
5654
5229
6500
5182
DO SLTP
1642
845
435
1546
88
DO SLTA
802
422
222
222
26
Gambar 19. Perkembangan Jumlah Putus Sekolah di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
Data lain yang penting diperhatikan berkaitan dengan angka melek huruf (AMH) adalah jumlah penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor. Adanya penduduk yang buta huruf secara langsung mempengaruhi AMH. Semakin banyak penduduk yang buta huruf akan semakin mengurangi nilai AMH. Penduduk yang buta huruf dapat berasal dari tiga kelompok yaitu : penduduk usia lanjut yang sama sekali tidak pernah sekolah, anak usia 7-12 tahun yang tidak memasuki jenjang SD yang ditunjukkan dari APM yang belum mencapai 100 persen, atau dari anak yang putus sekolah di tingkat SD terutama di tahun-tahun awal (kelas 1 – 3). Oleh karena itu program pemberantasan buta huruf harus dapat menjangkau ketiga kelompok dimaksud. Perkembangan jumlah penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor pada tahun 2001 – 2005 dapat dilihat pada Gambar 20.
65
32716
33000
31836
32000
30896
31000
29856
30000 28456
29000 28000 27000 26000 2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 20. Perkembangan Jumlah Buta Huruf di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Perkembangan jumlah guru di Kabupaten Bogor pada periode 2001 – 2005 memperlihatkan kecenderungan peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Rata-rata kenaikan jumlah guru adalah sebesar 2,16 persen (guru SD), 9,81 persen (guru SLTP) dan 10,85 persen (guru SLTA). Jika dihitung berdasarkan rasio guru dan siswa untuk masing-masing tingkatan maka diperoleh angka rasio guru dan siswa rata-rata selama 2001-2005 sebesar 1 : 32 untuk tingkat SD, 1 : 15 untuk tingkat SLTP, dan 1 : 10 untuk tingkat SLTA. Keadaan ini memperlihatkan bahwa dari segi jumlah guru sebetulnya tidak ada permasalahan yang berarti terutama untuk guru di tingkat SLTP dan SLTA. Rasio ideal jumlah guru dengan siswa untuk tingkat SLTP dan SLTA paling tidak sama dengan rasio guru dan siswa di tingkat SD. Oleh karena itu rasio guru dan siswa di tingkat SLTP serta SLTA harus dapat dikurangi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil rasio guru dan siswa di tingkat SLTP dan SLTA adalah dengan jalan menambah jumlah siswa yang bersekolah di SLTP dan SLTA. Perkembangan jumlah guru di Kabupaten Bogor pada 2001 – 2005 dapat dilihat pada Gambar 21.
66
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
2001
2002
2003
2004
2005
14023
14051
14079
14930
15259
Gur u SLTP
8018
8034
8050
8552
11340
Gur u SLTA
4185
3837
4275
4297
6006
Gur u SD
Gambar 21. Perkembangan Jumlah Guru di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Faktor berikutnya yang penting untuk diperhatikan karena pengaruhnya yang besar terhadap angka rata-rata lama sekolah (RLS) adalah kuantitas dan kualitas sarana sekolah. Salah satu persoalan yang menyebabkan rendahnya APM SLTP adalah daya tampung sekolah di tingkat SLTP. Daya tampung SLTP yang terbatas dapat menyebabkan banyak siswa lulusan SD tidak dapat bersekolah di tingkat SLTP. Perkembangan jumlah ruang kelas untuk masing-masing tingkatan dengan kondisinya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 18. Ukuran yang dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan daya tampung sekolah adalah rasio ruang kelas dengan siswa pada masing-masing tingkatan. Berdasarkan data tahun 2001 – 2005 diketahui bahwa angka rata-rata rasio ruang kelas dengan siswa adalah sebesar 1 : 46 untuk tingkat SD, 1 : 64 untuk tingkat SLTP dan 1 : 39 untuk tingkat SLTA. Berdasarkan data rasio ruang kelas dan siswa
67 diketahui bahwa telah terjadi kekurangan jumlah ruang kelas di tingkat SLTP karena rasionya paling rendah. Tabel 18. Perkembangan Jumlah Ruang Kelas dan Kondisinya di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005. Uraian Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SLTA Ruang Kelas SD Baik Rusak Ringan Rusak Berat Ruang Kelas SLTP Baik Rusak Ringan Rusak Berat Ruang Kelas SLTA Baik Rusak Ringan Rusak Berat
2001 2075 412 252 8994 3134 2742 3118 1562 1144 384 34 1160 1105 38 17
2002 2075 414 253 9637 3358 2938 3341 1834 1343 451 40 1169 1113 39 17
2003 2075 414 253 10326 3598 3148 3580 2152 1576 529 47 1178 1122 39 17
2004 2153 415 250 11064 4522 3044 3498 2526 2062 378 86 1187 1131 39 17
2005 2157 471 265 11086 3501 3185 4400 2577 1673 689 215 1318 1262 50 6
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Cara lain untuk melihat adanya kekurangan jumlah ruang kelas SLTP adalah dengan membandingkan jumlah siswa kelas 6 SD dan jumlah siswa kelas 1 SLTP. Jika diasumsikan seluruh siswa kelas 6 akan masuk ke kelas 1 SLTP, maka selama tahun 2001-2005 di Kabupaten Bogor terdapat rata-rata 33.929 siswa kelas 6 SD yang tidak tertampung di SLTP.3 Besarnya jumlah siswa SD yang tidak tertampung inilah salah satu yang menyebabkan angka rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor hingga tahun 2005 masih berada di bawah 7.
Untuk mengatasi hal tersebut
diperlukan upaya yang sungguh-sungguh guna menambah jumlah SLTP atau menambah jumlah ruang kelas SLTP.
_______________________ 3) Untuk memperkirakan jumlah siswa kelas 6 SD adalah dengan membagi jumlah seluruh siswa SD di setiap tahun dengan angka 6 (jumlah tingkatan dalam SD) dan untuk memperkirakan jumlah siswa kelas 1 SLTP adalah dengan membagi jumlah seluruh siswa SLTP di setiap tahun dengan angka 3 (jumlah tingkatan dalam SLTP).
68 Faktor penting lainnya yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah faktor yang dipengaruhi persoalan ekonomi yang di dalamnya termasuk faktor daya beli, biaya pendidikan dan juga faktor motivasi atau dukungan keluarga.
Daya beli
masyarakat yang rendah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menjangkau biaya pendidikan yang dibutuhkan. Ada kecenderungan selama ini bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan akan semakin meningkat biaya pendidikan yang diperlukan. Hal ini terjadi karena fasilitas yang diperlukan untuk belajar di tingkat SLTP dan SLTA lebih mahal dibandingkan di tingkat SD. Penyebab lainnya adalah kenyataan bahwa lokasi SLTP dan SLTA umumnya terdapat di perkotaan sehingga diperlukan biaya transportasi untuk menjangkaunya.
Semua keadaan ini menyebabkan motivasi
keluarga untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi menjadi berkurang. Daya beli masyarakat Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun 2001-2005 dengan kenaikan rata-rata sebesar 1,1 persen per tahun. Besarnya daya beli masyarakat pada tahun 2005 adalah sebesar Rp. 553.600 per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR), nilai tersebut sebetulnya relatif kecil.
Upah minimum regional adalah batasan minimal gaji yang harus
diberikan oleh perusahaan terhadap karyawannya. Nilai UMR dihitung berdasarkan nilai kebutuhan minimum regional yang menggambarkan besarnya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Sebagai gambaran UMR Kabupaten Bogor tahun 2005 adalah sebesar Rp. 665.500 per jiwa per bulan.
Dengan nilai daya beli
masyarakat yang berada di bawah UMR berarti bahwa terdapat komponen kebutuhan hidup minimal yang tidak dapat dipenuhi oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Bogor. Salah satu komponen kebutuhan hidup tersebut dapat dipastikan adalah biaya pendidikan.
69 Jika kita perharikan Gambar 5 yang menjelaskan tentang penyebab langsung dan tidak langsung perubahan derajat pendidikan, maka daya beli adalah penyebab mendasar yang paling utama yang mempengaruhi derajat pendidikan.
Untuk
mengetahui besarnya pengaruh daya beli terhadap derajat pendidikan dapat digunakan analisa korelasi antara daya beli dengan indeks pendidikan. Diagram pencar hubungan antara daya beli dengan indeks pendidikan dapat dilihat pada Gambar 22.
8
Rata Lama Sekolah
7.5
2006
7
1998
6.5
1999
6 5.5
1997
2000
1996
2001
5 4.5 4 510
520
530
540
550
560
570
580
Daya Beli
Gambar 22. Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Rata-rata Lama Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun 1998-2006 Berdasarkan Gambar 22 dapat dikemukakan dua fakta yaitu : daya beli memiliki korelasi yang rendah dengan rata-rata lama sekolah (RLS) pada tahun 19962000 (koefisien korelasi = - 0,5235). Daya beli kemudian memiliki korelasi yang tinggi dengan RLS pada tahun 2001-2006. Kondisi tersebut salah satunya terjadi karena pada tahun 1998 krisis ekonomi melanda Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Pengaruh daya beli yang melemah terhadap sektor pendidikan dapat dilihat
70 dari terjadinya korelasi negatif antara daya beli dengan RLS hingga tahun 2000. Pada tahun 2001-2006 perekonomian Indonesia mulai membaik yang berdampak pada kenaikan daya beli. Daya beli yang meningkat berpengaruh positif terhadap sektor pendidikan.
Kenyataan tersebut menggambarkan besarnya pengaruh daya beli
terhadap sektor pendidikan. Peran faktor kelembagaan masyarakat di sektor pendidikan di Kabupaten Bogor salah satunya ditandai dengan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Fungsi PKBM yang selama ini dijalankan adalah menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf, kegiatan belajar (Kejar) Paket A untuk anak putus sekolah tingkat SD, Kejar Paket B untuk tingkat SLTP dan Kejar Paket C untuk tingkat SLTA. Perkembangan PKBM dan cakupan pemberantasan buta huruf di Kabupaten Bogor tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Perkembangan Jumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dan Penanganan Buta Huruf di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005. Uraian Jumlah Buta Huruf Buta Huruf Tertangani Jumlah PKBM
2001
2002
2003
2004
2005
32.716
31.836
30.896
29.856
28.456
880
940
1040
1400
9220
41
59
66
73
66
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa secara umum persentase penanganan penduduk buta huruf masih sangat kecil yaitu rata-rata sebesar 9,22 persen selama tahun 2001-2005. Cakupan penanganan buta huruf oleh PKBM selama periode 2001-2005 meningkat dari 21 siswa menjadi 140 siswa setiap unit PKBM. Rata-rata cakupan pelayanan PKBM selama 2001-2005 adalah sebesar 42 siswa untuk setiap
71 unit PKBM. Untuk menuntaskan buta huruf di Kabupaten Bogor harus dilakukan peningkatan jumlah PKBM. Jika diinginkan cakupan pelayanan PKBM tetap sebesar 42 siswa per unit PKBM, maka jumlah PKBM yang dibutuhkan sebanyak 454 unit untuk menuntaskan 19.236 penduduk buta huruf. Jika cakupan pelayanan setiap unit PKBM ditingkatkan menjadi 100 siswa, maka jumlah PKBM yang diperlukan adalah sebanyak 192 unit. Faktor mendasar berupa alokasi anggaran pendidikan yang diberikan oleh Pemda Kabupaten Bogor relatif berpengaruh terhadap derajat pendidikan terutama berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah. Selama tahun 2001-2005, persentase realisasi anggaran pendidikan dalam APBD Kabupaten Bogor rata-rata sebesar 4,87 persen dari seluruh total APBD. Perkembangan realisasi belanja sektor pendidikan dalam APBD Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 23.
70.00 60.00
Rp. Milyar
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
2001
2002
2003
2004
2005
B. Pd d k
36.23
50.57
22.79
32.21
58.44
B. Pd d k - inf lasi
32.35
40.55
17.12
22.80
37.49
Gambar 23. Realisasi Belanja Pendidikan APBD Kab. Bogor Tahun 2001-2005 (Pemda Kab. Bogor, 2006).
72 Berdasarkan Gambar 23 dapat diketahui bahwa realisasi anggaran pendidikan di Kabupaten Bogor sangat berfluktuasi. Jika dilihat berdasarkan realisasi belanja pendidikan menurut harga berlaku maka terdapat kecenderungan peningkatan. Namun jika dilihat berdasarkan realisasi belanja pendidikan setelah pengaruh inflasi dihilangkan (menurut harga konstan), maka terdapat kecenderungan penurunan realisasi anggaran pendidikan. Jika dilihat dari besarnya APBD Kabupaten Bogor, peningkatan anggaran pendidikan sebenarnya bukan masalah.
Anggaran publik
sektor pendidikan (di luar gaji guru) dalam APBD Kabupaten Bogor selama tahun 2001-2005 rata-rata sebesar 4,87 persen dari total APBD.
5.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Kesehatan Kualitas pembangunan di sektor kesehatan menurut pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh indikator tunggal berupa angka harapan hidup (AHH). Angka harapan hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah angka harapan hidup waktu lahir yaitu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Besaran AHH dipengaruhi oleh angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu saat melahirkan (AKI). Angka kematian bayi adalah besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan per seribu kelahiran hidup.
Kematian ibu adalah
kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi AHH adalah angka kematian bayi (AKB), angka kematian
73 ibu (AKI), jumlah pelayanan medis, tingkat gizi balita, penanganan persalinan, jumlah tenaga kesehatan, daya beli, kualitas lingkungan, dan kelembagaan masyarakat. Angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Bogor tahun 2001-2005 cenderung mengalami penurunan dari 52,74 menjadi 42,42 kematian per 1000 kelahiran. Angka ini relatif mendekati AKB di tingkat nasional. Pada tahun 2000 AKB Kabupaten Bogor sebesar 52,74 dan AKB di tingkat nasional sebesar 52,0 kematian per 1000 kelahiran. Keadaan tersebut menunjukkan adanya upaya yang baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam menekan AKB. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan kematian ibu adalah dengan mengetahui jumlah kematian ibu karena kehamilan dan melahirkan. Jumlah kematian ibu di Kabupaten Bogor pada tahun 2001-2005 relatif tidak banyak mengalami perubahan yang mencolok. Rata-rata jumlah kematian ibu karena kehamilan pada 2001-2005 adalah sebesar 62,4 orang. Perkembangan AKB dan jumlah kematian ibu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 24.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
1
2
3
4
5
Angka Kematian Bayi
52.74
52.74
43.55
43.5
42.42
Jml Kematian Ibu
77.00
39.00
66.00
80.00
50.00
Gambar 24. Angka Kematian Bayi dan Jumlah Kematian Ibu di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
74 Faktor lain yang mempengaruhi angka harapan hidup (AHH) adalah jumlah pelayanan medis atau fasilitas kesehatan. Semakin banyak tersedia fasilitas kesehatan, maka AHH akan semakin meningkat.
Perkembangan fasilitas kesehatan di
Kabupaten Bogor sejak 2001-2005 cenderung meningkat. Fasilitas kesehatan yang dimaksud dalam hal ini adalah praktek dokter umum dan spesialis, bidan, rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan rumah bersalin. Perkembangan jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor pada 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005 Fasilitas Kesehatan Puskesmas Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Dokter Praktek Umum Dokter Praktetk Spesialis Rumah Sakit Rumah Bersalin Total
2001 101 63 16 123 34 6 0 343
2002 101 73 16 112 52 7 82 443
2003 101 73 18 359 52 7 90 700
2004 101 77 37 548 92 8 90 953
2005 101 77 31 934 50 8 90 1291
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan. Rata-rata kenaikan jumlah fasilitas kesehatan selama 2001-2005 adalah sebesar 264 fasilitas setiap tahun. Fasilitas kesehatan yang paling dominan adalah dokter praktek umum. Jika dilihat berdasarkan tingkatan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan kepada masyarakat, maka tingkatan pertama adalah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling. Tingkatan pelayanan yang selanjutnya adalah dokter praktek umum dan spesialis. Tingkatan pelayanan yang paling akhir adalah rumah bersalin dan rumah sakit. Perkembangan fasilitas kesehatan dasar di
75 Kabupaten Bogor relatif tidak meningkat.
Perkembangan fasilitas kesehatan
menengah terutama dokter meningkat cukup berarti dan perkembangan fasilitas kesehatan lanjutan relatif tidak meningkat.
Untuk meningkatkan kualitas
pembangunan sektor kesehatan, maka penyediaan fasilitas kesehatan dasar harus diperbanyak karena dibutuhkan untuk mencegah memburuknya penyakit dan kematian. Perkembangan jumlah tenaga medis selama 2001-2005 memperlihatkan adanya peningkatan. Jika dihitung berdasarkan rasio jumlah tenaga medis dengan jumlah penduduk, maka diperoleh : rasio jumlah dokter dengan penduduk sebesar 1 : 17.953 orang, dan rasio jumlah perawat dengan penduduk sebesar 1: 9.225. Rasio jumlah bidan dengan penduduk perempuan jika diketahui sex ratio sebesar 103,34% maka diperoleh angka sebesar 1 : 2.192 (Tabel 21). Tabel 21. Perkembangan Jumlah Tenaga Medis Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005 Uraian
2001
2002
2003
2004
2005
Jml Penduduk Dokter Umum Dokter Gigi Perawat Bidan
3.352.490 112 57 273 823
3.599.462 123 60 360 823
3.791.784 123 60 360 823
3.945.411 184 56 418 850
4.100.934 216 63 654 882
Rasio T. Medis dg Pddk 1 : 17.953 1 : 9.225 1 : 2.192
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Rasio jumlah dokter dengan penduduk di Kabupaten Bogor sangat jauh dari jumlah rasio ideal. Rasio ideal dokter dengan penduduk adalah sebesar 1 : 2.500.4 Rasio jumlah bidan dengan penduduk perempuan di Kabupaten Bogor yang sebesar _______________________ 4) Rasio ideal menurut Indikator Indonesia Sehat 2010 sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No 1202/MENKES/VIII/2003.
76 1 : 2192 juga relatif kurang jika dibandingkan dengan rasio ideal yaitu 1 : 1.000. Berdasarkan persentase pelayanan persalinan yang dilakukan oleh bidan terlihat pula bahwa cakupan pelayan persalinan belum mencapai 100 persen. Jumlah persentase pelayanan persalinan oleh bidan di Kabupaten Bogor pada tahun 2001-2005 cenderung tetap yaitu berkisar 57 – 63 persen. Beberapa faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pelayanan persalinan oleh bidan adalah faktor ekonomi seperti daya beli yang rendah dan faktor budaya berupa masih diminatinya persalinan oleh tenaga persalinan tradisional (sunda : paraji). Penanganan persalinan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya peristiwa kematian ibu melahirkan.
Perkembangan jumlah persalinan yang ditangani oleh
tenaga medis di Kabupaten Bogor pada tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perkembangan Jumlah Persalinan Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005 Uraian Jml persalinan Jml persalinan Medis Persentase
2001
2002
2003
2004
2005
100.974
70.830
110.085
112.544
107.622
57.656
43.137
67.702
71.147
64.578
57,10%
60,90%
61,50%
63,22%
60,00%
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Berdasarkan tingkat gizi selama tahun 2001-2005 dapat dikatakan bahwa secara umum balita yang ada di Kabupaten Bogor relatif memiliki tingkat gizi yang baik. Persentase balita yang bergizi baik dan lebih pada tahun 2001-2005 rata-rata sebesar 88,19 persen. Namun demikian persentase balita bergizi kurang dan buruk selama periode yang sama ternyata relatif masih tinggi yaitu sebesar 11,81 persen. Jika ditinjau dari keinginan untuk menekan jumlah balita penderita gizi buruk dan
77 kurang, angka persentase sebesar 11,81 persen relatif tinggi karena berada di atas 10 persen.
Tingkat gizi buruk dan kurang yang terjadi selama 2001-2005 juga
memperlihatkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun.
Kondisi tersebut
menuntut adanya perbaikan dalam hal penanganan gizi balita di Kabupaten Bogor. Tingkat gizi balita di Kabupaten Bogor selama tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Gambar 25.
500000 400000 300000 200000 100000 0 Jm l Balit a Gizi Bu r u k Gizi Ku r an g Gizi Baik Gizi Leb ih
2001
2002
2003
2004
2005
330538
379077
473193
476462
480642
3292
3847
4099
5226
4313
38876
48867
43917
46812
50043
285304
324219
323219
350037
407577
3066
2144
1 0 1 95 8
74387
18709
Gambar 25. Tingkat Gizi Balita di Kab. Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Faktor mendasar yang diduga mempengaruhi kualitas pembangunan sektor kesehatan adalah daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang semakin baik akan semakin mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengetahui pengaruh daya beli terhadap sektor kesehatan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan menggunakan diagram pencar.
Diagram pencar
78 pengaruh daya beli terhadap sektor kesehatan terutama angka harapan hidup (AHH) di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan Gambar 26 dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Bogor daya beli relatif tidak begitu berpengaruh terhadap angka harapan hidup (koefisien korelasi = -0,30). Namun jika dilihat dari tahun 2001-2006, daya beli memiliki korelasi yang tinggi dengan angka harapan hidup (koefisien korelasi = 0,8721). Semakin tinggi daya beli akan semakin tinggi angka harapan hidup. Hal ini dapat difahami karena dengan adanya daya beli yang tinggi maka masyarakat dapat membiayai kebutuhan kesehatan yang diperlukan.
74
2006
An g k a Har ap an Hid u p
64 54
2000
1999
2001
1998
1997
1996
44 34 24 14 4 510
520
530
540
550
560
570
580
Daya Beli
Gambar 26. Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Angka Harapan Hidup di Kab. Bogor Tahun 1996-2006. Faktor
kualitas
lingkungan
diduga
berpengaruh
terhadap
kualitas
pembangunan sektor kesehatan terutama berkaitan dengan faktor budaya hidup sehat. Indikator dari adanya budaya hidup sehat di bidang kesehatan yang baik adalah meningkatnya kualitas lingkungan. Perkembangan kualtias lingkungan hidup
79 sehat di Kabupaten Bogor salah satunya dapat dilihat dari kondisi rumah tangga yang memiliki sarana air bersih dan jamban keluarga (Tabel 23.) Tabel 23. Perkembangan Rumah Tangga Yang Memiliki Sarana Air Bersih Dan Jamban Keluarga Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005 Indikator Lingkungan
2001
2002
2003
2004
2005
Rumah dengan Sarana Air Bersih
331.449
332.543
387.911
400.449 502.051
Rumah dengan Jamban Keluarga
232.950
233.749
275.451
283.121 343.922
Jumlah Rumah Tangga
615.619
617.077
716.761
736.526 892.377
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Sejak tahun 2001-2005 jumlah rumah tangga yang memiliki sarana air bersih dan jamban keluarga cenderung meningkat. Rata-rata peningkatan jumlah sarana air bersih dan jamban keluarga mencapai 42.651 rumah tangga (11,4 persen per tahun) dan 27.743 rumah tangga (10,61 persen per tahun). Jika dilihat dari persentase kepemilikan sarana air bersih dan jamban keluarga, maka persentase kepemilikan sarana air bersih di Kabupaten Bogor rata-rata adalah sebesar 54,5 persen dari rumah tangga yang ada. Adapun persentase kepemilikan jamban di Kabupaten Bogor adalah sebesar 38,23 persen. Jika diasumsikan kepemilikan sarana air bersih juga mencakup kepemilikan jamban dan sebaliknya, maka paling tidak di Kabupaten Bogor masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki sarana air bersih sekaligus jamban sebesar rata-rata 50.953 rumah tangga atau sekitar 7,02 persen. Faktor kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan salah satunya dapat dilihat dari partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pos pelayanan kesehatan terpadu (posyandu).
Posyandu adalah bentuk partisipasi
masyarakat untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara swakelola terutama pelayanan kesehatan untuk balita. Semakin banyak jumlah posyandu menunjukkan
80 semakin
meningkatnya
kelembagaan
masyarakat
di
bidang
kesehatan.
Perkembanguan jumlah posyandu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perkembangan Jumlah Posyandu Di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005 Uraian Jumlah Balita Jumlah Posyandu Rasio Posyandu dan Balita
2001
2002
2003
2004
2005
330.538
379.077
473.193
476.462
480.642
3.815
3.825
3.923
3.923
3.924
1 : 86,64
1 : 99,11 1 : 120,63 1 : 121,45 1 : 122,49
Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Selama periode 2001-2005 jumlah posyandu tidak mengalami peningkatan yang berarti. Jika dihitung berdasarkan rasio jumlah posyandu dengan jumlah balita yang ada maka diperoleh angka rata-rata rasio sebesar 1 : 110. Angka rasio ini relatif kecil karena setiap posyandu harus menangani lebih dari 100 balita. Jika diasumsikan pelayanan di posyandu memerlukan 3 menit per balita, maka diperlukan sekitar 300 menit atau 5 jam setiap kali mengadakan pelayanan.
Pelayanan posyandu yang
optimal diharapkan hanya berlangsung selama 2,5-3 jam.
Untuk itu diperlukan
penambahan jumlah posyandu sebanyak dua kali lipat dari jumlah yang ada sehingga rasionya menjadi 1 : 50.
5.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perekonomian Kualitas pembangunan di sektor perekonomian menurut pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh indikator tunggal berupa daya beli. Daya beli yang dimaksud dalam hal ini adalah besarnya kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan hidup sehar-hari sehingga dapat hidup secara layak. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya beli antara lain adalah : tingkat pendapatan masyarakat, serapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, ketersediaan sumber daya
81 manusia, tingkat investasi, pelayanan perijinan investasi, kondisi infrastruktur, dan kelembagaan masyarakat. Berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun 2001-2005 diketahui bahwa tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor relatif stabil jika dihitung berdasarkan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan. Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat selama 2001-2005 adalah sebesar Rp. 5.597.250 per kapita per tahun atau Rp. 466.438 per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan daya beli, maka tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor ternyata sedikit di bawah rata-rata daya beli (Rp. 551.434 per kapita per bulan). Tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor jika dihitung berdasarkan PDRB harga berlaku menunjukkan adanya peningkatan.
Rata-rata tingkat pendapatan
masyarakat berdasarkan PDRB harga berlaku adalah sebesar Rp. 576.432 per kapita per bulan. Nilai ini berada sedikit di atas rata-rata daya beli (Rp. 551.434 per kapita per bulan). Perkembangan tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Perkembangan Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Kabupaten Bogor Pada Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Uraian
2001
2002
2003
2004
2005
PDRB Konstan* (juta)
19.061.073 19.904.551 20.873.933 22.024.881 23.306.783
PDRB Berlaku (juta)
20.081.744 22.401.085 25.243.625 28.689.924 34.625.212
Jumlah Penduduk
3.352.490
3.599.462
3.791.784
3.945.411
4.100.934
Tkt Pendapatan (Konstan)
5.685.647
5.529.868
5.505.043
5.582.405
5.683.286
Tkt Pendapatan (Berlaku)
5.990.098
6.223.454
6.657.453
7.271.720
8.443.250
Keterangan : Tahun dasar perhitungan PDRB adalah tahun 2000. Faktor lain yang berpengaruh terhadap daya beli adalah tingkat penyerapan tenaga kerja. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penyerapan
82 tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor formal yaitu di semua perusahaan yang ada di Kabupaten Bogor. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Kabupaten Bogor dari tahun 2001-2005 menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata serapan tenaga kerja untuk industri menengah dan besar adalah 34.667 orang per tahun dan jumlah serapan tenaga kerja untuk industri kecil 15.865 orang per tahun. Rata-rata kenaikan jumlah tenaga kerja per tahun adalah 20,67 persen untuk industri menengah dan besar serta 5,61 persen untuk industri kecil (Gambar 27).
50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
1
2
3
4
5
Industri Mngh & Besar
22552
25528
34679
43521
47056
Industri Kecil
13778
15275
16242
16931
17101
Gambar 27. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun 20012005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Daya serap tenaga kerja di sektor industri yang merupakan sektor sekunder dalam PDRB terhadap total angkatan kerja5 di Kabupaten Bogor sebenarnya relatif kecil yaitu berkisar antara 1,69 – 2,44 persen. Menurut BPS (2000), jumlah tenaga kerja di sektor industri di Indonesia tahun 2000 mencapai 7,58 juta orang atau sekitar _______________________ 5) Jumlah angkatan kerja di Kabupaten Bogor tahun 2001-2005 berkisar antara 2.148.611 – 2.618.289 orang. Angka ini diperoleh dari total jumlah penduduk berusia 15 – 59 tahun yang proporsinya dihitung berdasarkan komposisi penduduk tahun 2005.
83 8,19 persen dari seluruh total angkatan kerja (92,5 juta orang). Daya serap tenaga kerja yang lebih besar dapat dipastikan berasal dari sektor lainnya terutama sektor primer (pertanian dan pertambangan). Daya serap tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tahun 2000 mencapai 43,6 juta orang atau sekitar 47,13 persen dari total angkatan kerja di Indonesia (BPS, 2000). Dengan menggunakan persentase yang sama, diperkirakan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian di Kabupaten Bogor dapat mencapai jumlah antara 1,01 – 1,24 juta orang. Faktor berikutnya yang berpengaruh terhadap daya beli adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di daerah ditandai dengan meningkatnya PDRB dari tahun ke tahun. Angka PDRB menggambarkan nilai pasar seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di satu daerah selama kurun waktu tertentu. Berdasarkan Tabel 26, angka PDRB di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001-2005 menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata kenaikan PDRB selama 2001-2005 adalah sebesar 5,16 persen (harga konstan) dan 14,64 persen (harga berlaku). Tingkat hubungan antara PDRB dengan daya beli dapat dilihat pada diagram pencar (Gambar 28). Analisis korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa korelasi antara PDRB dengan daya beli cukup tinggi yaitu sebesar 0,994 (PDRB harga konstan) dan 0,978 (PDRB harga berlaku). Hal ini memperlihatkan bahwa PDRB memiliki pengaruh yang kuat terhadap daya beli.
Angka PDRB sebagaimana
diketahui adalah ukuran yang menggambarkan nilai pasar seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk di satu daerah pada kurun waktu tertentu. Angka PDRB secara matematis terdiri dari komponen belanja pemerintah, konsumsi masyarakat, belanja swasta (investasi) dan selisih ekspor – impor. Angka PDRB selain menggambarkan produksi sekaligus juga menggambarkan konsumsi seluruh penduduk.
84
Daya Beli (Rp/ bln)
554000 553000 552000 551000 550000 549000 548000 0
10000000
20000000
30000000
40000000
PDRB (Rp. Jut a) PDRB Riil
PDRB Nominal
Gambar 28. Diagram Pencar Hubungan Antara PDRB Dengan Daya Beli di Kab. Bogor Tahun 2001-2005. Faktor ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berperan cukup penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.
Semakin banyak tersedia SDM yang
memadai terutama dari segi pendidikan dan keterampilan akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sumber daya manusia yang memiliki pendidikan dan
keterampilan yang tinggi akan mudah mendapatkan pekerjaan atau berwirausaha menciptakan lapangan kerja sendiri. Pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan ketersediaan SDM adalah dengan melihat jumlah lulusan sekolah formal terutama tingkat SLTP dan SLTA.
Jumlah lulusan SLTP dan SLTA di
Kabupaten Bogor pada 2001-2005 cenderung meningkat. Rata-rata kenaikan jumlah lulusan SLTA sekitar 31,21 persen setiap tahun dan rata-rata kenaikan jumlah lulusan SLTP sekitar 5,26 persen setiap tahun. Perkembangan jumlah lulusan SLTP dan SLTA dapat dilihat pada Gambar 29.
85
160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0
2001
2002
2003
2004
2005
mur id SLTA
22587
38156
54110
58053
62002
Lulusan SLTA
3745
6326
8971
9625
10279
121562
127372
133460
133463
148803
19825
20773
21765
21766
24268
mur id SLTP
Lulusan SLTP
Gambar 29. Perkembangan Jumlah Lulusan SLTP dan SLTA di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006)
Faktor berikutnya yang mempengaruhi daya beli adalah tingkat investasi. Investasi merupakan salah satu komponen PDRB yang cukup penting. Peningkatan investasi di satu daerah akan meningkatkan PDRB yang berarti terjadi pertumbuhan ekonomi.
Investasi dalam kaitannya dengan PDRB sering disebut sebagai
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB). Peningkatan investasi dapat dipastikan akan berdampak pada terciptanya sejumlah lapangan pekerjaan baru yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan pengangguran. Perkembangan investasi di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001-2005 menunjukkan adanya peningkatan. Jumlah investasi di Kabupaten Bogor pada 20012005 berkisar antara Rp. 1,6 – 2,15 triliun. Nilai investasi tersebut masih jauh dibawah nilai investasi tingkat nasional tahun 2005 yang mencapai Rp. 599,8 triliun.
86 Rata-rata pertambahan investasi di Kabupaten Bogor adalah sebesar 7,68 persen per tahun. Jika dibandingkan dengan angka PDRB, maka pada tahun 2005 rasio investasi dengan PDRB sebesar 9,23 persen (harga konstan) dan 6,21 persen (harga berlaku). Angka tersebut masih berada di bawah rata-rata investasi di tingkat nasional tahun 2005 yang mencapai rasio sebesar 9,93 persen dari PDB harga konstan. Perkembangan investasi di Kabupaten Bogor pada 2001-2005 dapat dilihat pada Gambar 30.
2,500.00
Rp . M iliar
2,000.00 1,500.00 1,000.00 500.00 Ind . Mngh & Besar Ind . Kecil Tot al Invest asi
2001
2002
2003
2004
2005
1,566.68
1,703.48
1,888.43
1,993.06
2,102.21
34.79
38.40
43.82
47.00
48.98
1,601.48
1,741.88
1,932.25
2,040.07
2,151.19
Gambar 30. Perkembangan Jumlah Investasi Di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
Berkembangnya investasi di satu daerah sangat ditentukan oleh beberapa hal yang mendukung iklim investasi antara lain prosedur perijinan investasi, kondisi infrastruktur wilayah, kondisi keamanan wilayah dan sebagainya. Prosedur perijinan yang semakin mudah dan cepat dapat mendorong meningkatnya investasi di satu daerah. Prosedur perijinan investasi di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari seberapa
87 banyak pemerintah daerah mengeluarkan perijinan yang diperlukan bagi berdirinya satu usaha secara formal. Pada tahun 2001-2005 jumlah perusahaan yang berdiri secara formal di Kabupaten Bogor menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata jumlah perusahaan yang berdiri di Kabupaten Bogor pada tahun 2001-2005 adalah sebanyak 1541 perusahaan. Adapun peningkatan jumlah perusahaan yang berdiri selama 2001-2005 adalah 140 perusahaan setiap tahun atau sebanyak 7,82 persen. Perkembangan jumlah perusahaan di Kabupaten Bogor pada tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Gambar 31.
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Ind. Mngh & Besar
2001
2002
2003
2004
2005
349
380
455
497
538
Ind. Kecil
876
1083
1096
1186
1245
Total Unit Usaha
1225
1463
1551
1683
1783
Gambar 31. Perkembangan Jumlah Perusahaan Di Kabupaten Bogor Tahun 20012005 (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
Prosedur perijinan investasi di Kabupaten Bogor selama ini relatif rumit. Hal tersebut terjadi karena masih banyaknya jumlah perijinan dan masih tersebarnya beragam perijinan dimaksud ke berbagai instansi yang ada di Kabupaten Bogor.
88 Paling tidak terdapat 10 jenis perijinan yang berkaitan dengan investasi yang harus ditempuh oleh investor seperti dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Beberapa Jenis Perijinan Investasi Di Kabupaten Bogor No
Instansi Berwenang
1
Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
2
Dinas Cipta Karya
3
Sekretariat Daerah
4
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
5
Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan
7
Dinas Pertambangan dan Energi
8
Dinas Pariwisata
9
Dinas Perhubungan
10
Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Jenis Perijinan Ijin Pemanfaatan Penggunaan Tanah (IPPT), Ijin Pengelolaan Lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Pemasangan Reklame (jika berkaitan dengan pemasangan papan nama perusahaan) Ijin Gangguan, Ijin Lokasi, Ijin Pemanfaatan Kekayaan Daerah (jika memanfaatkan aset pemda) Ijin Tanda Daftar Perusahaan, Ijin Usaha Perdagangan (jika berkaitan dengan usaha perdagangan) Ijin Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan (jika berkaitan dengan usaha di bidang pertanian) Ijin Usaha Pertambangan Daerah, Rencana Eksploitasi Tambang (jka berkaitan dengan usaha di bidang pertambangan) Ijin Usaha Pariwisata, Ijin Usaha Jasa Pariwisata (jika berkaitan dengan usaha di bidang pariwisata) Ijin Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (jika berkaitan dengan penggunaan kendaraan bermotor niaga) Ijin Tenaga Kerja Asing (jika berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing)
Sumber : Pemda Kab. Bogor (2007), diolah Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempermudah prosedur perijinan di Kabupaten Bogor adalah dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perijinan yang mengelola pelayanan perijinan dalam satu atap. Ada dua model pelayanan perijinan yang dapat diterapkan yaitu : menyatukan ijin-ijin yang berkaitan dengan investasi yang selama ini diberikan oleh berbagai instansi di daerah ke dalam
89 satu instansi atau hanya mengkoordinasikan perijinan investasi oleh satu instansi namun wewenang perijinan tetap tersebar di berbagai instansi.6 Faktor yang mendukung investasi selanjutnya yang cukup penting adalah keadaan infrastruktur wilayah terutama jalan raya. Keadaan infrastruktur jalan di Kabupaten Bogor selama 2001-2005 relatif tidak banyak bertambah dari segi panjang jalan. Jumlah panjang jalan di Kabupaten Bogor sejak tahun 2002 hingga 2005 masih tetap sepanjang 1,507,5 km. Kondisi jalan rata-rata 39,47 persen dalam keadaan baik, 16,24 persen dalam keadaan sedang, 13,63 persen dalam keadaan rusak ringan dan 30,87 persen dalam keadaan rusak berat. Perkembangan keadaan infrastruktur jalan di Kabupaten Bogor pada tahun 2001 – 2005 dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perkembangan Infrastruktur Di Kabupaten Bogor Tahun 2001-2005. Kondisi Jalan
2002
2003
2004
2005
Jumlah (Ruas)
385
388
392
414
Panjang (Km)
1.506,57
1.506,57
1.506,57
1.507,52
487,58
623,45
525,33
742,71
32,36%
41,38%
34,87%
49,27%
250,97
246,23
207,55
274,35
16,66%
16,34%
13,78%
18,20%
273,75
165,89
216,21
165,72
Rusak Ringan (%)
18,17%
11,01%
14,35%
10,99%
Rusak Berat (Km)
494,27
471,00
547,48
347,81
32,81%
31,26%
36,34%
23,07%
Baik (Km) Baik (%) Sedang (Km) Sedang (%) Rusak Ringan (Km)
Rusak Berat (%)
Sumber : Bappeda Kab. Bogor (2006)
_______________________ 6) Ketentuan mengenai UPT Perijinan satu atap telah diatur dalam PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 47 yang menyatakan : Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu. Unit pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan.
90 Faktor berikutnya yang mempengaruhi daya beli masyarakat adalah faktor kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan perekonomian.
Kelembagaan
masyarakat di sektor ekonomi salah satunya dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam bidang ekonomi. Salah satu indikator keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan perekonomian adalah berdirinya koperasi di satu daerah. Koperasi adalah badan usaha yang paling mudah dibentuk oleh masyarakat yang dapat digunakan untuk mengakses berbagai macam fasilitas yang diberikan oleh pemerintah terutama permodalan dan pelatihan keterampilan. Berdasarkan data pada tahun 2005, jumlah koperasi di Kabupaten Bogor mencapai 1.425 unit koperasi. Rasio jumlah koperasi yang ada jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja sebagai patokan adalah 1 : 1.844. Rasio ini relatif kecil jika dibandingkan dengan rasio yang sama di tingkat nasional pada tahun 2003 yang mencapai 1 : 897. Rasio tersebut diperoleh dari perbandingan jumlah koperasi di Indonesia tahun 2003 sebanyak 123.181 unit (Depkop, 2005) dan jumlah angkatan kerja tahun 2003 yang diperkirakan oleh Bappenas sebesar 102,8 juta orang. Dengan keadaan tersebut berarti di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 diperkirakan terdapat kekurangan koperasi sekitar 1.726 koperasi hingga menjadi 3.151 koperasi atau kekurangan sekitar 121,1 persen.
91
BAB VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 6.1.
Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Kebijakan umum APBD merupakan gambaran umum mengenai kebijakan
pembangunan yang akan dijalankan dengan menggunakan APBD sebagai sumber pendanaan.
Gambaran umum kebijakan yang disusun meliputi kebijakan untuk
memperoleh pendapatan daerah, kebijakan belanja daerah dan pembiayaan daerah. Kebijakan yang berkaitan dengan belanja daerah sangat penting terutama dalam rangka meningkatkan kualitas pembangunan manusia di setiap daerah. Kebijakan umum APBD yang berkaitan dengan belanja daerah harus ditetapkan dengan strategi yang tepat.
Hal tersebut berkaitan dengan adanya
sejumlah kendala seperti ketersediaan dana APBD yang terbatas, waktu pelaksanaan APBD yang singkat (1 tahun) dan lain sebagainya. Strategi perancangan kebijakan umum APBD harus dapat menciptakan kebijakan belanja daerah yang efektif meskipun terdapat sejumlah kendala yang mesti dihadapi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyusun strategi perancangan kebijakan umum APBD adalah analisis SWOT. Metode analisis SWOT yang digunakan untuk menyusun strategi perancangan kebijakan umum APBD di Kabupaten Bogor menggunakan data dan informasi yang telah dikaji dalam bab sebelumnya. Hasil kajian tersebut menjadi bahan masukkan bagi penetapan faktorfaktor internal dan eksternal yang akan dianalisis dengan analisis SWOT. Bahan masukan yang lainnya berasal dari kuesioner yang diberikan kepada responden yang merupakan stakeholder pembangunan di Kabupaten Bogor. Analisis SWOT pada kajian ini ditujukan untuk menetapkan strategi perancangan kebijakan umum APBD di sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
92 Berdasarkan kajian terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan kualitas pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian di Kabupaten Bogor dapat diketahui bahwa masing-masing faktor memiliki keadaan yang berbeda-beda. Untuk keperluan analisis SWOT, masing-masing faktor dikelompokkan dalam kelompok SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman). Penilaian dari para stakeholder terhadap faktor-faktor yang dimuat dalam kuesioner SWOT (Lampiran 2) menjadi masukan untuk penentuan strategi perancangan kebijakan umum APBD di Kabupaten Bogor. Penilaian para stakeholder yang menjadi responden terhadap faktor-faktor internal yang berpengaruh dalam pembangunan di sektor pendidikan memperlihatkan bahwa unsur kekuatan lebih dominan dari pada unsur kelemahan. Penilaian terhadap faktor-faktor eksternal memperlihatkan bahwa unsur ancaman lebih besar dari pada unsur peluang.
Rekapitulasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sektor
pendidikan di Kabupaten Bogor setelah dikelompokkan berdasarkan analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Analisis SWOT Sektor Pendidikan di Kabupaten Bogor. K o m p o n e n Kekuatan Rasio Guru dan siswa memadai Alokasi anggaran pendidikan memadai Kelemahan APM SLTP dan SLTA kurang Rasio ruang kelas dan siswa SLTP kurang Peluang Kelembagaan masyarakat yang potensial Aksesibilitas sarana SD yang baik Ancaman Daya beli masyarakat rendah Putus sekolah yang masih tinggi
Bobot
Rating
Nilai
0,20 0,30
4 3
0,80 0,90
0,35 0,15
3 3
1,05 0,45
0,25 0,10
3 4
0,75 0,40
0,45 0,20
4 2
1,80 0,40
93 Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa sektor pendidikan di Kabupaten Bogor memiliki unsur kekuatan dengan nilai 1,7 poin, unsur kelemahan dengan nilai 1,5 poin, unsur peluang dengan nilai 1,15 poin, dan unsur ancaman dengan nilai 2,2 poin. Hasil ini memperlihatkan bahwa unsur internal yang lebih besar adalah unsur kekuatan dan unsur eksternal yang lebih besar adalah unsur ancaman. Pada situasi tersebut strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sektor pendidikan di Kabupaten Bogor adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi. Strategi diversifikasi ditujukan untuk memanfaatkan kekuatan yang ada dalam menghadapi ancaman. Kekuatan yang dapat dioptimalkan antara lain adalah : menyeimbangkan rasio guru dan siswa terutama untuk tingkat SLTP dan SLTA di mana pada saat ini masih banyak guru di kedua tingkatan ini yang kekurangan jam mengajar, meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan. Ancaman yang harus ditanggulangi antara lain adalah : meningkatkan daya beli masyarakat dan menekan angka putus sekolah. Hasil penilaian responden terhadap pembangunan sektor kesehatan agak berbeda dengan sektor pendidikan.
Penilaian responden terhadap faktor-faktor
internal yang berpengaruh di sektor kesehatan memperlihatkan bahwa unsur kekuatan lebih dominan dari pada unsur kelemahan. Penilaian terhadap faktor-faktor eksternal memperlihatkan bahwa unsur ancaman memiliki nilai yang sama dengan unsur peluang.
Keadaan terebut memungkinkan diterapkannya dua strategi
perencanaan pembangunan di sektor kesehatan.
Rekapitulasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pembangunan sektor kesehatan di Kabupaten Bogor setelah dikelompokkan berdasarkan komponen SWOT dapat dilihat pada Tabel 29.
94 Tabel 29. Analisis SWOT Sektor Kesehatan di Kabupaten Bogor. K o m p o n e n Kekuatan Angka kematian bayi dan ibu yang kecil Jumlah persalinan medis yang memadai Kelemahan Fasilitas kesehatan yang kurang memadai Jumlah tenaga medis yang kurang memadai Peluang Tingkat gizi balita yang relatif baik Kualitas lingkungan hidup yang relatif baik Ancaman Daya beli masyarakat rendah Kelembagaan masyarakat yang kurang
Bobot
Rating
Nilai
0,35 0,25
3 3
1.05 0.75
0,20 0,20
3 3
0.6 0.6
0,35 0,15
3 3
1.05 0.45
0,25 0,25
4 2
1 0.5
Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap sektor kesehatan di Kabupaten Bogor diketahui bahwa unsur kekuatan memiliki nilai 1,80 poin, unsur kelemahan memiliki nilai 1,20 poin, unsur peluang dan ancaman masing-masing memiliki nilai 1,50 poin. Keadaan ini menggambarkan bahwa unsur internal yang dominan adalah kekuatan dan unsur eksternal memiliki nilai yang sama antara peluang dan ancaman. Pada situasi seperti ini strategi yang dapat diterapkan untuk membangun sektor kesehatan di Kabupaten Bogor dapat berupa strategi S-T atau strategi diversifikasi dan strategi S-O atau strategi progresif secara bersamaan.
Strategi diversifikasi
ditujukan untuk memanfaatkan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman sedangkan strategi progresif ditujukan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna memanfaatkan peluang yang tersedia. Kekuatan sektor kesehatan di Kabupaten Bogor yang dapat dimanfaatkan antara lain adalah keberhasilan pemerintah daerah menekan angka kematian bayi dan ibu serta keberhasilan dalam meningkatkan pelayanan persalinan secara medis. Peluang sektor kesehatan yang dapat dimanfaatkan adalah tingkat gizi balita yang relatif baik serta adanya keinginan masyarakat untuk menjaga kondisi lingkungan
95 hidup.
Unsur ancaman di sektor kesehatan yang harus ditanggulangi adalah
rendahnya daya beli masyarakat yang mempengaruhi biaya kesehatan dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kelembagaan sektor kesehatan seperti penyediaan posyandu. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
sektor
perekonomian
masyarakat
sebagaimana telah dikaji dalam bab sebelumnya juga umum memiliki keadaan yang berbeda satu sama lain.
Beberapa faktor terlihat memiliki kecenderungan yang
posistif antara lain adalah pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan SDM, tetapi beberapa faktor lainnya memiliki kecenderungan negatif. Rekapitulasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli di Kabupaten Bogor setelah dikelompokkan berdasarkan analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Analisis SWOT Sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor. K o m p o n e n Kekuatan Pertumbuhan Ekonomi yang meningkat Ketersediaan SDM yang memadai Kelemahan Penyerapan tenaga kerja yang relatif kecil Pelayanan perijinan yang kurang optimal Peluang Tingkat investasi yang relatif baik Kondisi infrastuktur yang relatif baik Ancaman Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah Kelembagaan masyarakat yang kurang
Bobot
Rating
Nilai
0,35 0,20
4 3
1.40 0.60
0,20 0,25
3 4
0.60 1.00
0,25 0,25
3 3
0.75 0.75
0,25 0,25
4 3
1.00 0.75
Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap sektor perekonomian di Kabupaten Bogor dapat diketahui bahwa unsur kekuatan memiliki nilai 2,00 poin, unsur kelemahan memiliki nilai 1,60 poin, unsur peluang memiliki nilai 1,50 poin dan unsur ancaman memiliki 1,75 poin. Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa unsur internal yang dominan adalah kekuatan dan unsur eksternal yang
96 dominan adalah kelemahan.
Pada situasi tersebut, strategi yang tepat untuk
diterapkan dalam pembangunan perekonomian di Kabupaten Bogor adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi. Strategi diversifikasi ditujukan untuk mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki berupa pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan SDM yang memadai untuk menghadapi ancaman yang ada berupa tingkat pendapatan yang rendah dan aspek kelembagaan masyarakat di bidang ekonomi yang relatif kurang berkembang.
6.2. Rekomendasi Program Pembangunan Hasil analisis SWOT memperlihatkan bahwa secara umum strategi yang tepat untuk pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian adalah strategi S-T.
Pada sektor kesehatan dapat juga diterapkan strategi S-O. Strategi-strategi
tersebut menekankan pada pemanfaatan unsur kekuatan di masing-masing sektor untuk menghadapi persoalan berupa ancaman.
Pada dasaranya stratagei S-T
menekankan pada adanya diversifikasi atau keragaman program untuk mengatasi ancaman. Untuk itu diperlukan adanya kreativitas atau terobosan dalam membuat program dan kegiatan di sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
6.2.1. Program Sektor Pendidikan Berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi yang layak diterapkan pada sektor pendidikan
adalah
strategi
S-T
atau
diversifikasi
yang
bertujuan
untuk
mengoptimalkan kekuatan yang ada guna menghadapi sejumlah ancaman. Kekuatan yang dimiliki dalam hal ini adalah ketersediaan guru dan potensi anggaran pemerintah yang dapat disediakan untuk membangun sektor pendidikan. Adapun ancaman yang ada adalah faktor daya beli masyarakat yang rendah dan angka putus sekolah yang
97 relatif cukup tinggi.
Program pembangunan sektor pendidikan yang dapat
direkomendasikan dalam hal ini adalah : 1. program sekolah bebas biaya (gratis) untuk siswa SD/ SLTP, 2. program sekolah SD-SLTP satu atap atau pendidikan dasar sembilan tahun, 3. program pembentukan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola, 4. prorgram pembentukan PKBM plus keterampilan, 5. program pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung sekolah. Program sekolah gratis SD-SLTP adalah program yang dimaksudkan untuk menanggulangi hambatan daya beli masyarakat yang rendah.
Program tersebut
diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi murni (APM) di Kabupaten Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor hingga saat ini belum sepenuhnya dapat memberlakukan pendidikan gratis. Adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat untuk siswa SD dan SLTP baik sekolah negeri maupun swasta belum mampu menghapuskan adanya pungutan untuk siswa. Penyebab hal ini antara lain adalah : (1) penggelembungan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) oleh pihak sekolah yang membuat alokasi BOS tidak mencukupi sehingga kekurangannya tetap dimintakan kepada orang tua siswa dan (2) pungutan uang pembangunan yang dipaksakan kepada orang tua siswa terutama pada saat pendaftaran siswa baru. Untuk mengatasi hal ini diperlukan komitmen pemerintah daerah dalam mengawal pelaksanaan program pendidikan gratis. Kebutuhan anggaran penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP di Kabupaten Bogor relatif besar. Komponen pembiayaan sekolah SD-SLTP yang harus disediakan pemerintah antara lain adalah : biaya operasional sekolah (BOS) setiap bulan dan
98 biaya pendaftaran siswa baru. Komponen biaya operasional sekolah saat ini telah disediakan oleh pemerintah pusat melalui program BOS tahun 2007 yang besarannya adalah Rp. 235.000/siswa/tahun untuk siswa SD dan Rp. 354.000/siswa/tahun untuk siswa SLTP. Perkiraan besarnya kebutuhan BOS yang disediakan pemerintah pusat untuk seluruh siswa SD dan SLTP di Kabupaten Bogor tahun 2007 sekitar Rp. 179,6 milyar dengan rincian Rp. 126,1 milyar untuk siswa SD dan Rp. 53,5 milyar untuk siswa SLTP. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dapat pula menganggarkan tambahan BOS sesuai kemampuan keuangan daerah. Komponen biaya pendaftaran siswa baru sebetulnya adalah komponen biaya yang dapat dihilangkan jika ada kemauan dari pemerintah daerah untuk mencegah sekolah melakukan pungutan. Hanya saja pihak sekolah bersama dengan komite sekolah yang merupakan perwakilan orang tua siswa sering menyepakati adanya pungutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas pelengkap sekolah. Berdasarkan pengamatan peruntukan biaya pendaftaran umumnya dilakukan untuk pembelian seragam sekolah, buku pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan penambahan fasilitas sekolah. Beberapa komponen biaya pendaftaran sebetulnya dapat dihilangkan seperti biaya pengadaan seragam sekolah yang dapat dilakukan secara mandiri oleh orang tua siswa. Biaya kegiatan ekstrakurikuer sebetulnya sudah ditanggulangi oleh BOS karena termasuk operasional sekolah. Pemerintah daerah dapat membantu biaya pengadaan buku pelajaran dan penambahan fasilitas sekolah. Perkiraan besaran anggaran yang diperlukan untuk membebaskan biaya pendaftaran sekolah di Kabupaten Bogor adalah sekitar Rp. 28,6 milyar. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi 2.157 SD dan 471 SLTP dengan ketentuan Rp. 10 juta untuk SD dan Rp. 15 juta untuk SLTP. Anggaran tersebut dapat menghapuskan pungutan biaya pendaftaran siswa baru terutama untuk sekolah negeri yang menjadi
99 tanggung jawab pemerintah. Pungutan masih dimungkinkan untuk sekolah swasta sesuai dengan kemampuan orang tua siswa karena sekolah swasta relatif mandiri dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Program penggabungan sekolah SD-SLTP dalam satu atap di mana siswa belajar selama sembilan tahun ditujukan salah satunya untuk mengurangi beban biaya transportasi. Salah satu penyebab banyaknya siswa lulusan SD yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang SLTP adalah karena lokasi SLTP yang jauh untuk dijangkau sehingga memerlukan biaya transportasi.
Apabila siswa lulusan SD terus dapat
melanjutkan sekolahnya ke jenjang SLTP di tempat yang sama, maka hal ini dapat mengurangi tingkat putus sekolah. Program peningkatan partisipasi sekolah non formal untuk menanggulangi angka buta huruf yang dapat direkomendasikan dalam hal ini antara lain adalah penyelenggaraan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola yang mendekatkan PKBM dengan tempat tinggal penduduk buta huruf. Penyelenggaraan PKBM di Kabupaten Bogor selama ini masih mengandalkan pada inisatif masyarakat terutama dalam penyediaan tempat belajar. Pemerintah daerah dalam hal ini hanya memfasilitasi bahan pelajaran dan bantuan sebagian dana operasional PKBM. Untuk dapat menyelenggarakan PKBM sistem jemput bola, pemerintah daerah harus menentukan lokasi PKBM di wilayah yang banyak penduduk buta hurufnya dan mudah dijangkau. Program lain yang dapat dilakukan adalah penyelenggaraan PKBM plus yang selain menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf juga menyertakan program peningkatan penghasilan. Program ini mensinergikan pemberantasan buta huruf dan peningkatan pendapatan (daya beli). Perpaduan dua hal ini diharapkan dapat menarik minat penduduk yang buta huruf untuk belajar di PKBM.
100 Program pembangunan dan rehabilitasi sekolah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan daya tampung sekolah, mengoptimalkan rasio ruang kelas dan siswa, serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana pendidikan. Program ini sangat mungkin untuk diterapkan karena anggaran pendidikan dalam APBD masih dapat ditingkatkan. Kebutuhan pembangunan dan perbaikan seluruh ruang kelas yang rusak berat di Kabupaten Bogor diperkirakan sebanyak 5.000 ruang kelas mulai dari jenjang SD hingga SLTA. Jika diasumsikan biaya untuk memperbaiki ruang kelas adalah sebesar Rp. 100 juta, maka diperlukan sekitar Rp. 500 milyar untuk menyelesaikan semua kerusakan. Jika pertambahan ruang kelas yang rusak berat sebesar 6 persen atau 300 ruang kelas per tahun, maka diperlukan anggaran sebesar Rp. 280 milyar per tahun selama dua tahun untuk memperbaiki seluruh ruang kelas yang rusak.
6.2.2. Program Sektor Kesehatan Strategi pembangunan sektor kesehatan yang dapat diterapkan berdasarkan hasil analisis SWOT adalah strategi S-T (diversifikasi) atau strategi S-O (progresif). Strategi tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna menghadapi sejumlah ancaman dan juga untuk memanfaatkan peluang yang tersedia. Program pembangunan sektor kesehatan yang direkomendasikan adalah : 1. program imunisasi dasar gratis, 2. program pemberian makanan tambahan gratis, 3. program revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu), 4. program pelayanan kesehatan gratis untuk keluarga miskin dan berpenghasilan rendah. 5. program pembangunan dan rehabilitasi sarana kesehatan milik pemerintah.
101 Program sektor kesehatan di Kabupaten Bogor yang selama ini dilakukan berkaitan dengan imunisasi adalah program pengembangan imunisasi (PPI) untuk balita seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerrin), Hepatitis B, Polio, DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) dan Campak serta imunisasi non PPI seperti HIB (Haemophillus Influenza type B), MMR (Measles, Mumps, Rubella) , Tifoid, Hepatitis A dan Varisela. Pelayanan imunisasi tersebut sebagian diberikan secara gratis dan sebagian dikenakan biaya di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) atau pos pelayanan terpadu (posyandu). Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan imunisasi lebih sering terjadi karena hambatan budaya daripada ekonomi.
Sebagian orang tua tidak
menginginkan anaknya diimunisasi karena dampak sementaranya seperti balita menjadi panas dan gejala lainnya. Hambatan budaya lainnya adalah ketidakfahaman tentang manfaat imunisasi dan juga kerumitan-kerumitan dalam pelaksanaan imunisasi. Solusi yang direkomendasikan untuk meningkatkan cakupan imunisasi di Kabupaten Bogor antara lain adalah peningkatan sosialisasi tentang pentingnya imunisasi dan juga pemberian imunisasi dasar atau imunisasi PPI secara gratis. Program penanganan gizi balita di Kabupaten Bogor salah satunya dilakukan melalui pemberian makanan tambahan (PMT). Hambatan yang selama ini terjadi pada program ini antara lain adalah adanya kecenderungan balita kurang menyukai jenis makanan tambahan yang diberikan sehingga program tidak efektif. Hal yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi persoalan ini misalnya dengan fortifikasi bahan makanan yang biasa dimakan balita. Fortifikasi yang diberikan adalah berupa zat gizi yang dibuat secara khusus dalam bentuk bubuk. Dengan cara ini balita tidak harus mengubah jenis makanannya tetapi cukup ditambah zat fortifikasi. Program pemberian makanan tambahan gratis diharapkan dapat meningkatkan gizi balita yang ada di Kabupaten Bogor.
102 Sarana yang dapat digunakan untuk melaksanakan program peningkatan cakupan imunisasi dan pelayanan gizi balita di atas adalah posyandu.
Rasio jumlah
posyandu dengan jumlah balita juga sangat kecil yaitu 1 : 110. Keadaan ini diduga menjadi sebab mengapa peningkatan indeks kesehatan di Kabupaten Bogor kurang optimal. Untuk itu hal yang dapat direkomendasikan adalah peningkatan jumlah posyandu di Kabupaten Bogor melalui program revitalisasi posyandu. Program
pelayanan
kesehatan
gratis
untuk
keluarga
miskin
dan
berpenghasilan rendah layak direkomendasikan dalam rangka membantu mereka memperoleh pelayanan kesehatan. Program ini perlu dilaksanakan karena daya beli yang rendah masih menjadi ancaman di sektor kesehatan. Program lain yang juga layak direkomendasikan adalah pembangunan dan rehabilitasi sarana kesehatan. Hal terebut perlu dilakukan karena jumlah fasilitas kesehatan yang kurang memadai masih menjadi kelemahan mendasar di sektor kesehatan di Kabupaten Bogor. Komponen anggaran yang diperlukan untuk program kesehatan gratis terdiri dari biaya pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan pelayanan rujukan di rumah sakit. Anggran operasional pelayanan dasar diperkirakan sebesar Rp. 5 milyar per tahun untuk 209 puskesmas/pustu/pusling. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata retribusi kesehatan per tahun yang selama ini diperoleh di Kabupaten Bogor. Anggaran pelayanan rujukan untuk 1,1 juta keluarga miskin selama ini ditanggung oleh pemerintah pusat melalui asuransi keluarga miskin (askeskin) dengan premi sebesar Rp. 60.000/jiwa/tahun. Oleh karena itu anggaran yang harus disediakan dalam hal ini hanya untuk sekitar 2 juta penduduk berpenghasilan rendah dalam bentuk asuransi kesehatan daerah (askesda). Perkiraan anggaran yang diperlukan dalam hal ini adalah Rp. 120 milyar per tahun untuk premi sebesar Rp. 60.000/jiwa/tahun.
103
6.2.3. Program Sektor Perekonomian Strategi pembangunan sektor perekonomian yang dapat diterapkan berdasarkan hasil analisis SWOT adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi. Strategi tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna menghadapi sejumlah ancaman dan juga untuk memanfaatkan peluang yang tersedia. Program pembangunan sektor perekonomian yang dapat direkomendasikan dalam hal ini adalah : 1. program pendidikan dan pelatihan angkatan kerja, 2. program pelayanan perijinan investasi satu atap, 3. program pembangunan infrastruktur perekonomian, 4. prorgram pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah, 5. program pengembangan pertanian terpadu. Ketersediaan SDM yang memadai adalah salah satu kekuatan yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor di sektor perekonomian.
Untuk mengoptimalkan
pemanfaatan SDM tersebut maka dibutuhkan program semacam pemberian pendidikan dan pelatihan terutama kepada penduduk yang masuk kelompok angkatan kerja. Hal tersebut perlu dilakukan karena meningkatnya ketersediaan SDM yang siap untuk bekerja atau SDM yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri akan memberi peluang meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja dan memperoleh penghasilan. Pada akhirnya hal tersebut akan akan berpengaruh positif terhadap daya beli. Untuk tahap awal, program pendidikan dan pelatihan difokuskan untuk melatih lulusan SLTA dan penduduk yang belum bekerja. Perkiraan jumlah lulusan
104 SLTA setiap tahun adalah 10.000 siswa dan jumlah pengangguran setiap tahun adalah 200.000 orang. Untuk itu diperlukan program pendidikan dan pelatihan harus dapat melayani sekitar 210.000 orang. Jika diasumsikan biaya pendidikan dan pelatihan yang diperlukan sebesar Rp. 100.000 per orang, maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 21 milyar per tahun. Kenyataan bahwa pengaruh investasi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor menunjukkan pentingnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi. Salah satu program yang perlu dilakukan adalah pemberian pelayanan perijinan investasi satu atap. Peningkatan investasi dipastikan akan mendorong peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaann bagi masyarakat.
Pada akhirnya hal tersebut akan akan
memberikan peluang bagi meningkatnya daya beli masyarakat. Peluang peningkatan investasi perlu juga didukung oleh ketersediaan infrasturktur wilayah yang memadai. Kondisi infrastuktur wilayah di Kabupaten Bogor yang relatif memadai perlu senantiasa ditingkatkan untuk menunjang iklim investasi.
Program pemerintah yang dapat diterapkan dalam hal ini adalah
pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur wilayah terutama jalan dan jembatan. Program tersebut selain mendorong tumbuhnya investasi, secara langsung juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi infrastruktur yang baik di satu daerah akan memperlancar arus barang dan jasa sehingga dapat memberikan peluang adanya peningkatan produksi barang dan jasa. Peningkatan produksi barang dan jasa adalah berarti juga peningkatan pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang diperlukan untuk perbaikan infrastruktur ditentukan oleh banyaknya infrastruktur yang rusak terutama rusak ringan dan berat. Panjang jalan yang rusak ringan dan berat di Kabupaten Bogor tahun 2005 sebesar 513,53 km.
105 Biaya yang diperlukan untuk memperbaiki jalan yang rusak kurang lebih Rp. 200.000 per meter jalan. Anggaran yang diperlukan untuk memperbaiki jalan di Kabupaten Bogor diperkirakan sebesar Rp. 102.706.000.000.
Anggaran ini akan bertambah
besar jika anggaran perbaikan jembatan dan juga anggaran pemeliharaan rutin jalan dimasukkan dalam komponen perbaikan infrastruktur. Program pemerintah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perekonomian adalah program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil-menengah (KUKM). Program tersebut diharapkan dapat mendorong tumbuhnya KUKM di Kabupaten Bogor. Peningkatan jumlah KUKM akan berdampak pada peningkatan jumlah lapangan pekerjaan dan jumlah orang yang berpenghasilan. Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh positif terhadap daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor. Anggaran yang diperlukan untuk membantu KUKM di Kabupaten Bogor ditentukan oleh seberapa besar jumlah KUKM di Kabupaten Bogor dan juga seberapa besar bantuan modal akan diberikan. Jumlah KUKM di Kabupaten Bogor berdasarkan data tahun 2005 diketahui sebanyak 2.670 unit terdiri dari industri kecil dan koperasi. Jika diinginkan adanya rasio ideal koperasi dengan angkatan kerja, maka diperlukan tambahan sebanyak 1.725 unit koperasi. Total KUKM yang harus dibantu permodalannya di Kabupaten Bogor kurang lebih 4.395 unit. Anggaran yang diperlukan untuk membantu permodalan seluruh KUKM di Kabupaten Bogor diperkirakan sebesar Rp. 21.975.000.000 dengan asumsi bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp. 5 juta per unit KUKM. Anggaran tersebut dapat diperkecil jika pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan lembaga keuangan seperti Bank Jabar dan lembaga keuangan lainnya.
106 Kenyataan bahwa faktor pertumbuhan ekonomi menjadi unsur kekuatan dan faktor penyerapan tenaga kerja menjadi kelemahan menunjukkan perlunya pemerintah daerah Kabupaten Bogor melaksanakan program yang mensinergikan kedua hal di atas. Program yang direkomendasikan dalam hal ini adalah program pengembangan pertanian secara terpadu. Sebagaimana diketahui, sektor pertanian adalah sektor primer yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Bogor. Sebagai sektor primer maka sektor pertanian adalah sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar dibanding sektor sekunder dan sektor tersier.
Arah dari program pengembangan
pertanian dalam hal ini adalah untuk meningkatkan daya beli para petani di Kabupaten Bogor.
6.3. Penentuan Prioritas Pembangunan Penentuan prioritas pembangunan daerah dilakukan untuk menetapkan beberapa prioritas program pembangunan yang berorientasi pada peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) secara optimal. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan terdapat beberapa alternatif program pembangunan yang layak untuk didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor. Program-program tersebut tersebar dalam sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 31. Program-program di atas perlu ditentukan prioritasnya satu sama lain. Untuk menentukan priritas diperlukan penilaian dengan menggunakan beberapa variabel. Variabel-variabel tersebut adalah : (1) aspek biaya yang diperlukan, (2) aspek pembuatan kebijakan, (3) aspek kesiapan aparatur, (4) aspek kemanfaatan bagi masyarakat dan (5) aspek partisipasi masyarakat.
107 Tabel 31. Rekomendasi Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor Sektor
Pendidikan
Kesehatan
Perekonomian
Rekomendasi Progam Pembangunan Daerah Sekolah gratis untuk tingkat SD-SMP Sekolah SD-SMP satu atap atau sekolah 9 tahun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sistem jemput bola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat plus keterampilan Pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah Pelayanan imunisasi dasar gratis Pemberian makanan tambahan gratis Revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu) Pelayanan kesehatan gratis untuk keluarga miskin Pembangunan dan rehabilitasi sarana kesehatan pemerintah Pendidikan dan pelatihan angkatan kerja Pelayanan perijinan investasi satu atap Pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur wilayah Pemberian bantuan permodalan bagi KUKM Pengembangan pertanian terpadu
Tinjauan terhadap aspek biaya ditekankan pada besar kecilnya pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan program pembangunan. Semakin rendah biaya yang diperlukan berarti semakin prioritas program tersebut.
Aspek pembuatan
kebijakan menekankan pada sejauh mana kemauan institusi eksekutif dan legislatif dalam membuat kebijakan yang mendukung program tersebut.
Aspek kesiapan
aparatur menekankan pada kesiapan aparatur pemerintah dalam mendukung program dimaksud. Aspek kemanfaatan bagi masyarakat menekankan pada besar kecilnya manfaat program bagi masyarakat. Semakin besar manfaat program bagi mayarakat akan semakin prioritas program tersebut.
Aspek partisipasi menekankan pada
sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung program yang ditetapkan. Secara umum hirarki pemilihan program pembangunan daerah yang telah diproses dengan program EXPERT CHOICE 2000 adalah seperti pada Gambar 32.
108
Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor
Pelaku Pembangunan
Swasta
Pemerintahan Daerah
0,105
0,637
Kendala Pembangunan
Aspek Biaya
Aspek Kebijakan
0,257
Alternatif Pembangunan
Bid. Pendidikan Sekolah gratis (0,346) Sarana sekolah (0,206) PKBM jpt bola (0,172) Sekolah 1 atap (0,150) PKBM plus (0,126)
Masyarakat
0,195
Aspek Aparatur 0,385
0,258
Aspek Manfaat
Aspek Partisipasi
0,109
Bid. Kesehatan
Bid. Ekonomi
Kesehatan gratis (0,360) Sarana kesehatan (0,234) Rev. posyandu (0,196) Imunisasi gratis (0,166) PMT gratis (0,044)
Permodalan KUKM (0,293) Diklat Angk. Kerja (0,254) Perijinan 1 atap (0,215) Pemb. infrastuktur (0,162) Pertanian Terpadu (0,076)
Gambar 32. Hasil AHP Terhadap Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor
Berdasarkan hasil analisis dengan metode AHP diketahui bahwa urutan pelaku pembangunan yang paling berpengaruh adalah : pemerintah daerah (nilai 0,637), masyarakat (nilai 0,258) dan swasta (nilai 0,105). Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pembangunan. Keberhasilan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagian besar merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara periodik menetapkan program-program pembangunan termasuk anggarannya.
0,053
Besar kecilnya porsi anggaran pembangunan sektor
pendidikan, kesehatan dan perekonomian ditetapkan oleh pemerintah melalui mekanisme tetentu yang tidak mudah diakses oleh pihak swasta maupun masyarakat. Pemerintah pusat dalam hal ini telah mengalokasikan anggaran pembangunan dalam
109 bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) kepada setiap pemerintah daerah yang ditujukan untuk membantu pencapaian IPM. Pelaksanaan
program-program
pembangunan
sebagian
besar
juga
dilaksanakan oleh aparat pemerintah. Adapun swasta dan masyarakat memiliki peran dalam pembangunan yang tidak sebesar porsi yang dimiliki oleh pemerintah. Pihak swasta umumnya berperan dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah terutama proyek infrastruktur.
Pihak swasta juga berperan dalam menyediakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat.
Adapun pihak masyarakat memiliki peran sebagai
pendukung keberhasilan progam pembangunan. Hal yang diharapkan dari pihak masyarakat yang paling penting adalah partisipasi dalam pembangunan. Kurangnya partisipasi dari masyarakat akan menyebabkan kegagalan program pembangunan. Hasil analisis dengan AHP memperlihatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam keberhasilan program pembangunan menurut ketiga pelaku pembangunan daerah (pemerintah daerah, swasta dan masyarakat) adalah aspek aparatur. Adapun faktor yang paling rendah pengaruhnya adalah faktor partisipasi. Secara lengkap urutan faktor yang berpengaruh dalam pembangunan daerah adalah seperti Tabel 32. Tabel 32. Faktor Yang Berpengaruh Dalam Program Pembangunan di Kab. Bogor Urutan 1 2 3 4 5 Peran
Aspek
Nilai AHP 0.385 0.257 0.195 0.109 0.053
Aparatur Biaya Kebijakan Kemanfaatan Partisipasi aparatur
pemerintah
dalam
melaksanakan
program-program
pembangunan sangat besar. Keberhasilan pencapaian target pembangunan daerah
110 berupa IPM sangat dipengaruhi oleh kesiapan aparatur pemerintahan. Pada sektor pendidikan aparatur pemerintah berperan mulai dari tingkat sekolah yaitu para guru dan kepala sekolah hingga aparatur di tingkat Dinas Pendidikan.
Pada sektor
kesehatan aparatur pemerintaan berperan mulai dari tingkat petugas kesehatan dan dokter serta bidan di Puskesmas hingga aparatur di tingkat Dinas Kesehatan serta Rumah Sakit Umum Daerah.
Adapun pada sektor perekonomian, aparatur
pemerintah berperan mulai dari petugas penyuluh di lapangan hingga aparat di berbagai dinas yang membidangi sektor perekonomian. Menurut catatan Sekretariat Daerah Kab. Bogor (2006), jumlah aparatur pemerintahan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Bogor berjumlah 16.925 orang dan yang berstatus tenaga kontrak berjumlah 2.741 orang.
Jenjang pendidikan aparatur pemerintah
di Kabupaten Bogor adalah SD (2,9%), SLTP (3,7%), Diploma (47,3%) dan Sarjana (26,7%). Faktor biaya dan kebijkan menempati urutan berikutnya dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Semakin mencukupinya anggaran yang disediakan untuk melaksanakan program pembangunan akan semakin besar peluang tercapainya target pembangunan.
Alokasi terbesar dari belanja publik umumnya disediakan untuk
sektor ekonomi dan infrastruktur yaitu berkisar antara 47 – 75 persen. Pada aspek kebijakan, Pemerintah Kabupaten Bogor sampai saat ini belum membuat peraturan daerah (PERDA) yang berkaitan secara khusus dengan pengelolaan pendidikan, kesehatan maupun perekonomian. Adapun perda yang pernah dibuat adalah sebatas perda pembentukan dinas pendidikan, dinas kesehatan dan dinas-dinas yang berhubungan dengan sektor perekonomian. Perda ini perlu ditunjang dengan perda khusus seperti perda pengelolaan pendidikan atau perda pelayanan kesehatan dan perda tentang pengelolaan perekonomian masyarakat.
111 Aspek kemanfaatan program dan aspek partisipasi menempati urutan terbawah dari faktor-faktor yang berpengaruh pada pembangunan daerah. Hal ini memperlihatkan bahwa bagi para pelaku pembangunan aspek kemanfaatan dan partisipasi masyarakat relatif kurang berpengaruh dibanding aspek lainnya. Aspek kemanfaatan pada dasarnya meninjau sejauh mana program yang digulirkan bermanfaat bagi masyarakat (aspek outcome) sedangkan aspek partisipasi melihat sejauhmana program yang akan digulirkan mendapat respon dari masyarakat secara luas.
6.3.1. Prioritas Pembangunan Sektor Pendidikan Hasil analisis dengan AHP untuk menentukan prioritas pembangunan daerah di sektor pendidikan memperlihatkan bahwa progam penyelenggaraan sekolah gratis dari tingkat SD-SLTP menempati prioritas pertama.
Urutan berikutnya adalah
program pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah, program pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola, program penyelenggaraan SD-SLTP satu atap (9 tahun), dan program PKBM plus keterampilan. Uraian selengkapnya dari prioritas program pembangunan sektor pendidikan dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan Urutan 1 2 3 4 5
Program Pembangunan Penyelenggaraan Sekolah Gratis SD-SLTP Pembangunan Dan Rehabilitasi Gedung Sekolah Penyelenggaraan PKBM Sistem Jemput Bola Penyelenggaraan SD-SLTP Satu Atap (9 Tahun) Penyelenggaraan PKBM Plus Keterampilan
Nilai AHP 0,346 0,206 0,172 0,150 0,126
Penetapan penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP menjadi prioritas pembangunan sektor pendidikan merupakan hal yang sangat tepat. Berdasarkan
112 kajian sebelumnya diketahui bahwa faktor penting bagi tercapainya peningkatan derajat pendidikan adalah daya beli masyarakat. Penyelenggaraan sekolah gratis atau bebas biaya mulai dari jenjang SD hingga SLTP adalah solusi mengatasi rendahnya partisipasi sekolah formal dan tingginya angka putus sekolah. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor hingga saat ini belum mampu menyelenggarakan program pendidikan gratis untuk jenjang SD-SLTP
terutama di sekolah negeri milik
pemerintah meskipun sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat disebabkan antara lain oleh mentalitas aparatur yang masih sering melakukan pungutan-pungutan kepada siswa. Menurut para pelaku pembangunan (pemerintah daerah, swasta dan masyarakat), program pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah menjadi prioritas kedua setelah program penyelenggaraan sekolah gratis. Penetapan prioritas tersebut disebabkan oleh adanya pemahaman umum bahwa gedung sekolah masih merupakan satu-satunya tempat penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang formal.
Banyaknya gedung-gedung sekolah yang rusak menandakan kurangnya
pembangunan pada sektor pendidikan. Prioritas pembangunan berikutnya yang harus dilakukan adalah program penyelenggaraan PKBM sistem jemput bola. Program ini sebetulnya adalah program pengentasan buta huruf yang berarti juga program peningkatan angka melek huruf (AMH). Program ini relatif berpengaruh terhadap derajat pendidikan terutama dalam meningkatkan angka melek huruf (AMH). Pemerintah Kabupaten Bogor selama ini belum optimal dalam menyelenggarakan program dimaksud karena masih mengandalkan pada inisiatif masyarakat dalam penyediaan tempat belajar. Pemerintah Kabupaten Bogor semestinya membentuk PKBM di lokasi-lokasi yang jumlah penduduk buta hurufnya tinggi.
113 Program penyelenggaraan SD-SLTP satu atap atau progam pendidikan dasar 9 tahun adalah solusi untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah. Selama ini sering ditemui siswa yang sudah lulus SD (6 tahun) tidak melanjutkan ke jenjang SLTP karena hambatan biaya dan jarak sekolah yang bertambah jauh. Rasio jumlah lulusan SD dengan daya tampung SLTP sangat tidak seimbang. Penetapan progam penyelenggaraan SD-SLTP satu atap meski ditempatkan sebagai prioritas ke empat sebetulnya adalah program yang penting. Kendala terbesar dari program tersebut adalah kendala kebijakan dan kesiapan aparatur. Terdapat sejumlah kebijakan yang harus dibuat di daerah termasuk di pusat untuk mengakomodasi program tersebut. Pengguliran progam SD-SLTP satu atap secara ideal dapat berarti penghapusan jenjang sekolah SLTP sehingga sangat mungkin mendapat penolakan dari berbagai pihak. Hal yang paling mungkin dilakukan sebagai tahap uji coba adalah pengguliran SD-SLTP satu atap di lokasi tertentu yang akses transportasinya terbatas. Program penyelenggaraan PKBM plus keterampilan yang ditempatkan sebagai prioritas terakhir adalah program pengentasan buta huruf yang digabungkan dengan pendidikan keterampilan. Program tersebut diadakan untuk menggabungkan kebutuhan peserta PKBM yang mayoritas usia produktif.
Perpaduan kegiatan
pemberantasan buta huruf dan pelatihan keterampilan untuk meningkatakan pendapatan diharapkan dapat menarik minat masyarakat yang buta huruf untuk belajar di PKBM. Program seperti ini belum optimal dilaksanakan di Kabupaten Bogor karena jumlahnya masih sangat terbatas. Jumlah PKBM secara keseluruhan di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 adalah sebanyak 66 unit dengan jumlah penduduk buta huruf sebanyak 28.456 orang.
114
6.3.2. Prioritas Pembangunan Sektor Kesehatan Hasil analisis dengan AHP untuk menentukan prioritas pembangunan daerah di sektor kesehatan memperlihatkan bahwa progam pelayanan kesehatan gratis menempati prioritas pertama.
Urutan berikutnya adalah program pembangunan
sarana kesehatan, program revitalisasi pos pelayanan terpadu (Posyandu), program pemberian imunisasi gratis dan program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi balita. Uraian selengkapnya dari prioritas program pembangunan sektor kesehatan dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Kesehatan Urutan 1 2 3 4 5
Program Pembangunan Pelayanan Kesehatan Gratis Pembangunan Sarana Kesehatan Revitalisasi Posyandu Pemberian Imunisasi gratis Pemberian Makanan Tambahan Bagi Balita
Penetapan
progam
pelayanan
kesehatan
Nilai AHP 0,360 0,234 0,196 0,166 0,044 gratis
menjadi
prioritas
pembangunan sektor kesehatan memperlihatkan bahwa bagi para pelaku pembangunan, aspek ekonomi menjadi alasan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Program pelayanan kesehatan gratis yang dilaksanakan di Kabupaten Bogor selama ini ditujukan untuk masyarakat miskin atau masyarakat berpenghasilan rendah. Program ini cukup berhasil membantu masyarakat miskin untuk mendapat pelayanan kesehatan secara maksimal mulai dari puskesmas hingga rumah sakit. Program pembangunan sarana kesehatan yang ditetapkan pada prioritas kedua sejalan dengan hasil kajisan sebelumnya yang menempatkan faktor sarana kesehatan sebagai faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap AHH. Pembangunan sarana kesehatan dalam hal ini meliputi puskesmas, puskesmas
115 pembantu (pustu), puskesmas keliling, rumah sakit, praktek dokter umum, rumah bersalin dan sebagainya. Jumlah sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001-2005 cenderung mengalami peningkatan. Program revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu) yang berupa pembentukan dan pengaktifan posyandu di setiap pelosok desa pada dasarnya adalah program yang menunjang tercapainya AHH secara optimal. Posyandu adalah tempat dilaksanakannya berbagai pelayanan kesehatan untuk ibu dan balita seperti imunisasi dan pemberian makanan tambahan bergizi. Program ini bersama dengan program pemberian imunisasi gratis dan program pemberian makanan tambahan untuk balita secara nyata berpengaruh terhadap AHH.
Program revitalisasi posyandu yang
diselenggarakan di Kabupaten Bogor belum berlangsung secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan jumlah posyandu di Kabupaten Bogor yang relatif tetap dari tahun 2001– 2005.
6.3.3. Prioritas Pembangunan Sektor Perekonomian Hasil analisis dengan AHP untuk menentukan prioritas pembangunan daerah di sektor perekonomian memperlihatkan bahwa progam pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil - menengah (KUKM) menempati prioritas pertama. Urutan berikutnya adalah program pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja, program penyelenggaraan perijinan investasi satu atap, program pembangunan infrastruktur ekonomi dan program pengembangan pertanian. Uraian selengkapnya dari prioritas program pembangunan sektor perekonomian dapat dilihat pada Tabel 35.
116 Tabel 35. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Perekonomian Urutan 1 2 3 4 5
Program Pembangunan Pemberian Bantuan Permodalan Bagi KUKM Pendidikan Dan Pelatihan Bagi Angkatan Kerja Penyelenggaraan Perijinan Investasi Satu Atap Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Pengembangan Pertanian Terpadu
Nilai AHP 0,293 0,254 0,215 0,162 0,076
Menurut para pelaku pembangunan, program yang menjadi prioritas di sektor perekonomian di Kabupaten Bogor adalah pemberian bantuan permodalan bagi KUKM.
Program ini adalah juga salah satu bentuk program pengembangan
ekonomi lokal karena pelaku KUKM sebagian besar adalah masyarakat yang tinggal di wilayah yang bersangkutan. Bantuan permodalan yang digulirkan kepada KUKM akan memperbesar kapasitas usaha yang berarti juga meningkatkan jumlah barang dan jasa yang diproduksi.
Peningkatan jumlah barang dan jasa adalah berarti
peningkatan nilai produk domestik reginonal bruto (PDRB) yang berarti terjadi pertumbuhan ekonomi. Pada sisi lain pemberian bantuan permodalan bagi KUKM juga akan berdampak pada peningkatan jumlah lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Selama ini program pemberian bantuan permodalan kepada KUKM di Kabupaten Bogor masih terbatas jumlahnya. Pengelolaan KUKM di Kabupaten Bogor juga masih dilakukan oleh instansi setingkat kantor yaitu oleh Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang memiliki kewenangan terbatas. Program selanjutnya yang dianggap prioritas adalah program pendidikan dan pelatihan untuk angkatan kerja.
Program ini sebenarnya adalah program untuk
mempersiapkan penduduk yang masuk kategori angkatan kerja agar memiliki keterampilan sehingga dapat diserap oleh sektor industri. Program pendidikan dan pelatihan untuk angkatan kerja di Kabupaten Bogor selama ini masih terbatas
117 jumlahnya. Program ini ditangani oleh Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang baru memiliki satu unit Balai Latihan Kerja (BLK). Program yang cukup penting untuk dilaksanakan selanjutnya adalah program penyelenggaraan perijinan satu atap. Pelayanan perijinan investasi satu atap perlu dilakukan untuk mengatasi kendala rendahnya minat investasi di Kabupaten Bogor. Menurut Pemda Kab. Bogor (2006) jumlah macam perijinan yang berkaitan dengan investasi di Kabupaten Bogor adalah sebanyak 18 jenis perijinan yang dikelola oleh 10 instansi.
Hal ini tentu saja menjadi kendala bagi investor untuk mengurus
perijinan investasi. Program pelayanan perijinan investasi satu atap diharapkan dapat mempersingkat waktu pelayanan perijinan sehingga lebih mempermudah para investor. Perbaikan pelayanan perijinan investasi akan meningkatkan laju investasi di Kabupaten Bogor. Peningkatan investasi berarti peningkatan lapangan pekerjaan yang dengan demikian berarti juga terjadi peningkatan serapan tenaga kerja. Banyaknya masyarakat yang bekerja secara langsung akan berdampak pada peningkatan daya beli. Program pembangunan infrastruktur wilayah menempati urutan prioritas berrikutnya untuk dilaksanakan. Infrastruktur wilayah yang memadai akan membuat arus barang dan jasa menjadi lancar sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi secara langsung akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan akhirnya daya beli juga akan meningkat. Program pembangunan infrastruktur di Kabupaten Bogor sebetulnya telah berjalan dengan baik dan senantiasa mengalami peningkatan. Alokasi APBD untuk pembangunan infrastruktur dan perekonomian berkisar antara 47 – 75 persen dari belanja publik. Program terakhir yang menjadi prioritas pembangunan sektor perekonomian adalah progam pengembangan pertanian. Sektor pertanian adalah sektor primer yang
118 menjadi salah satu penyumbang nilai produk domestik regional bruto (PDRB). Sektor pertanian adalah juga sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja terutama di pedesaan. Program pengembangan pertanian yang berjalan dengan baik akan meningkatkan serapan tenaga kerja di pedesaan. Jumlah penduduk miskin yang dominan di Kabupaten Bogor terdapat di wilayah pedesaan.
Sebagian besar
penduduk miskin tersebut adalah juga pengangguran atau pekerja tidak tetap. Kategori penduduk seperti inilah yang akan tersentuh dengan program pengembangan pertanian secara terpadu dengan tujuan peningkatan daya beli. Dengan menggunakan AHP dapat diketahui urutan-urutan program pembangunan yang menjadi prioritas di ke tiga sektor sekaligus. Penentuan program berdasarkan prioritas tersebut diperlukan apabila terjadi keterbatasan APBD yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor.
Urutan-urutan program
pembangunan untuk kesemua sektor baik pendidikan, kesehatan dan perekonomian dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan, Kesehatan dan Perekonomian di Kabupaten Bogor Berdasarkan AHP Program Pembangunan Pelayanan Kesehatan Gratis Penyelenggaraan Sekolah Gratis SD-SLTP Pemberian Bantuan Permodalan Bagi KUKM Pendidikan Dan Pelatihan Bagi Angkatan Kerja Pembangunan Sarana Kesehatan Penyelenggaraan Perijinan Investasi Satu Atap Pembangunan Dan Rehabilitasi Gedung Sekolah Revitalisasi Posyandu Penyelenggaraan PKBM Sistem Jemput Bola Pemberian Imunisasi gratis Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Penyelenggaraan SD-SLTP Satu Atap (9 Tahun) Penyelenggaraan PKBM Plus Keterampilan Pengembangan Pertanian Terpadu Pemberian Makanan Tambahan Bagi Balita
Nilai AHP 0,360 0,346 0,293 0,254 0,234 0,215 0,206 0,196 0,172 0,166 0,162 0,150 0,126 0,076 0,044
119
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Kesimpulan Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tolok ukur kesejahteraan yang digunakan adalah angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tiga komponen yang digunakan dalam IPM adalah rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH); angka harapan hidup (AHH); dan daya beli. Untuk mengoptimalkan pencapaian IPM, pemerintah pusat dalam hal ini telah memberikan Dana Alokasi Umum (DAU) kepada tiap propinsi dan kabupaten/kota. Namun dalam perjalanannya tidak semua daerah dapat memanfaatkan DAU secara optimal untuk meningkatkan angka IPM. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor selama era otonomi daerah telah mendapat alokasi DAU yang cukup besar dan cenderung meningkat. Peningkatan alokasi DAU yang dimasukkan dalam APBD ternyata tidak diikuti dengan peningkatan IPM secara optimal. Pertambahan (increment) angka IPM pada tahun 2000-2006 cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan kajian hal ini disebabkan karena alokasi belanja publik yang relatif kecil dibanding belanja aparatur. Hasil analisis regresi berganda memperlihatkan bahwa pengaruh belanja publik terhadap IPM sangat signifikan pada taraf 0,05. Daya ungkit belanja publik terhadap IPM adalah sebesar 0,019 poin untuk setiap pertambahan Rp. 1 milyar belanja publik riil. Hasil analisis SWOT memperlihatkan bahwa strategi perencanaan yang optimal bagi sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi dengan cara mengoptimalkan kekuatan untuk menanggulangi ancaman. Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) memperlihatkan bahwa menurut para pelaku pembangunan di Kabupaten Bogor (pemerintah daerah, swasta dan
120 masyarakat)
prioritas
program
pembangunan
sektor
pendidikan
adalah
:
penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP, pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah, penyelenggaraan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola,
penyelenggaraan
SD-SLTP
satu
atap
(pendidikan
dasar
9
tahun),
penyelenggaraan PKBM plus keterampilan. Prioritas program pembangunan sektor kesehatan adalah : pelayanan kesehatan gratis, pembangunan sarana kesehatan, revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu), pemberian imunisasi gratis dan pemberian makanan tambahan bagi balita. Adapun prioritas program pembangunan untuk sektor perekonomian berturut-turut adalah : pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil - menengah (KUKM), pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja, penyelenggaraan perijinan investasi satu atap, pembangunan infrastruktur ekonomi dan pengembangan pertanian.
7.2.
Saran Kajian pembangunan daerah yang dilaksanakan ini merupakan kajian awal
yang berkaitan dengan strategi perancanan program pembangunan yang akan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Bogor. Untuk lebih menyempurnakan hasil kajian ini disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk masing-masing sektor yang berhubungan dengan IPM terutama untuk menentukan rincian kegiatan dari program-program yang telah direkomendasikan. 2. Perlu dilakukan kajian sejenis di daerah lain dengan data yang lebih beragam terutama untuk mengakomodasi faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap IPM.
121 Pemerintah daerah Kabupaten Bogor pada dasarnya telah memiliki analisis yang tepat berkaitan dengan rencana peningkatan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor. Hasil analisis tersebut salah satunya tercantum dalam bentuk diagram penyebab langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi derajat pendidikan, kesehatan dan daya beli. Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor antara lain : 1. Perlu dibuat kegiatan kajian peningkatan kualitas pembangunan manusia oleh Bappeda Kabupaten Bogor yang memuat strategi perencanaan pembangunan dan penentuan prioritas program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan IPM di Kabupaten Bogor. 2. Perlu dibuat sebuah Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Manusia di Kabupaten Bogor yang memuat data dan informasi yang berkaitan dengan pembangunan manusia yang dapat diperbaharui dan dipergunakan setiap saat baik untuk perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi secara berkesinambungan. 3. Program dan kegiatan yang ditetapkan dalam Kebijakan Umum APBD sebaiknya mengacu pada hasil kajian yang telah dilakukan terutama yang berkaitan dengan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian. 4. Perlu senantiasa dilakukan koordinasi antara berbagai instansi yang berperan dalam keberhasilan pembangunan manusia di Kabupaten Bogor baik yang berhubungan dengan pendataan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya sehingga peningkatan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor dapat terwujud.
122
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2005. Penyusunan Masterplan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. Bogor : Bappeda Kab. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2006. Program Pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) Akselerasi Pencapaian IPM Jawa Barat. Bogor : Bappeda Kab. Bogor. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. 1998. Perkembangan Ekonomi Indonesia. http://www.bappenas.go.id/ index.php?module=ContentExpress&func=print&ceid=325. 16 Desember 2007.
Badan Pusat Statistik. 2000. Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik. 2005. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2005. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005. Bogor : BPS Kab. Bogor. Cardiman. 2006. Strategi Alokasi Belanja Publik Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Tugas Akhir. Bogor: Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2004. Keputusan Preseiden Republik Indonesia No 109 Tahun 2003 Tentang Dana Alokasi Umum Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun 2004. Jakarta : Depkeu RI. Departemen Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia. 2005. Koperasi Indonesia Periode 2003-2004. Jakarta : Depkop dan UKM RI. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kartasasmita, G. 1997. Administrasi Pembangunan : Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Korten, DC. 1990. Getting to the 21st Century: Voluntary Action and the Global Agenda. Connecticut : Kumarian Press Inc. Mankiw, NG. 2003. Pengantar Ekonomi, Edisi ke-2, Jilid ke-2. Haris M, penerjemah; Wisnu CK, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Principles Of Economics.
123 Flippo, EB. 1990. Manajemen Personalia, Edisi ke-6, Jilid ke-2. Masud M, penerjemah; Sirait A, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Personel Management. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 2/2001 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2000. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 21/2002 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2001. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2002. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2003. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 21/2004 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2003. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2004. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 5/2005 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2004. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2005. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 6/2006 Tentang Pertangungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2005. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2006. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Pertangungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2006. Bogor : Pemda Kab. Bogor. Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT Gramdedia Pustaka Utama. Rusli, S. 2007. Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia. Bogor : Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Komplek. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo. Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. 2006. Selayang Pandang Kabupaten Bogor. Bogor : Setda Kab. Bogor. Siregar, H. 2007. Metode Analisis Kebijakan Pembangunan Daerah. Bogor : Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB.
124 Sumardjo. 2007. Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia. Bogor : Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB. Suryadi. 2001. Paradigma Pembangunan dan Kapabilitas Aparatur. Makalah Badan Diklat Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Suryono, A. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Malang : UM-Press. Todaro, M. P. dan S.C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi, Edisi ke-8. Haris M, penerjemah; Wisnu CK, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Economic Development. United Nation Development Program. 2003. Human Development Report. Oxford University Press.
New York :
Walpole, R.E. 1982. Pengantar Statistik Edisi Ke-3. Bambang S, penerjemah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Introduction To Statistics.
125
L A M P I R A N
126 Lampiran 1. Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh B. Aparatur dan B. Publik Terhadap IPM Tahun IPM 1997 64,57 1998 65,87 1999 64,58 2000 63,32 2001 66,7 2002 67,7 2003 67,81 2004 68,1 2005 68,41 2006 69,45 *) Pengaruh Inflasi Sudah Dihilangkan
B. Aparatur/ Rutin*) 130,836 112,421 167,041 182,064 368,696 466,632 489,362 540,133 473,026 487,668
B. Publik/ Pembangunan*) 162,658 108,393 76,084 68,208 134,120 192,769 114,068 149,490 193,659 236,073
SUMMARY OUTPUT B. PUBLIK DAN B. APARATUR TERHADAP IPM Regression Statistics Multiple R 0,9419951 R Square 0,8873547 Adjusted R Square 0,8498063 Standard Error 0,7627365 Observations 9 ANOVA Regression Residual Total
df 2 6 8
SS 27,4969537 3,490601854 30,98755556
MS 13,74847685 0,581766976
F 23,63227448
Intercept B. Aparatur B. Publik
Coefficients 62,18805 0,0054923 0,0190076
Standard Error 0,732982917 0,002383979 0,006941008
t Stat 84,84242749 2,303847683 2,738442776
P-value 1,80582E-10 0,060779074 0,033805405
Lower 95% 60,39450541 -0,000341062 0,002023518
Upper 95% 63,98159458 0,01132571 0,035991587
Lower 95.0% 60,39450541 -0,00034106 0,002023518
Significance F 0,001429351
Upper 95.0% 63,98159458 0,01132571 0,035991587
127
128 Lampiran 3. Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Pendidikan di Kab. Bogor Nama Responden : Pekerjaan : 1. Berilah isian Tabel 1 dengan skala 1 - 9 berdasarkan prioritas yang anda utamakan 2. Berilah isian pada Tabel 2 dengan men-check list faktor pada kolom yang anda anggap lebih penting dari faktor pada baris Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program pemerintah daerah Biaya Kebijakan Aparatur
Kemanfaatan
Partisipasi
Kebijakan
Aparatur
Kemanfaatan
PKBM Jemput Bola
PKBM Plus
Rehab gedung
PKBM Jemput Bola
PKBM Plus
PKBM Plus
Rehab gedung
PKBM Jemput Bola
PKBM Plus
PKBM Plus
Rehab gedung
PKBM Jemput Bola
PKBM Plus
PKBM Plus
Rehab gedung
PKBM Jemput Bola
PKBM Plus
PKBM Plus
Rehab gedung
PKBM Jemput Bola
PKBM Plus
Tabel 2. Perbandingan antar faktor berdasarkan prioritas Biaya Biaya Kebijakan Aparatur Kemanfaatan Partisipasi Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek BIAYA Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas BIAYA Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap PKBM Jemput Bola PKBM Plus Rehab gedung Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek KEBIJAKAN Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap
PKBM Jemput Bola
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas KEBIJAKAN Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap PKBM Jemput Bola PKBM Plus Rehab gedung Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek APARATUR Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap
PKBM Jemput Bola
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas APARATUR Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap PKBM Jemput Bola PKBM Plus Rehab gedung Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek KEMANFAATAN Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap PKBM Jemput Bola
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas KEMANFAATAN Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap PKBM Jemput Bola PKBM Plus Rehab gedung Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek PARTISIPASI Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap
PKBM Jemput Bola
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas PARTISIPASI Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap Sekolah gratis SD-SMP SD-SMP satu atap PKBM Jemput Bola PKBM Plus Rehab gedung
Partisipasi
Rehab gedung
Rehab gedung
Rehab gedung
Rehab gedung
Rehab gedung
129 Lampiran 4. Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Kesehatan di Kab. Bogor Nama Responden : Pekerjaan : 1. Berilah isian Tabel 1 dengan skala 1 - 9 berdasarkan prioritas yang anda utamakan 2. Berilah isian pada Tabel 2 dengan men-check list faktor pada kolom yang anda anggap lebih penting dari faktor pada baris Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program pemerintah daerah Biaya Kebijakan Aparatur Kemanfaatan
Tabel 2. Perbandingan antar faktor berdasarkan prioritas Biaya Kebijakan Biaya Kebijakan Aparatur Kemanfaatan Partisipasi Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek BIAYA Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis
Makanan Tambahan
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas BIAYA Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Sarana Kesehatan Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek KEBIJAKAN Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis
Makanan Tambahan
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas KEBIJAKAN Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Sarana Kesehatan Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek APARATUR Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis
Makanan Tambahan
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas APARATUR Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Sarana Kesehatan Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek KEMANFAATAN Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan
Partisipasi
Aparatur
Kemanfaatan
Kesehatan Gratis
Sarana Kesehatan
Makanan Tambahan Kesehatan Gratis
Kesehatan Gratis
Kesehatan Gratis
Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas KEMANFAATAN Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Sarana Kesehatan Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek PARTISIPASI Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan
Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan
Makanan Tambahan Kesehatan Gratis
Kesehatan Gratis
Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan
Makanan Tambahan Kesehatan Gratis
Kesehatan Gratis
Partisipasi
Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas PARTISIPASI Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Revitalisasi Posyandu Imunisasi Gratis Makanan Tambahan Kesehatan Gratis Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan
130 Lampiran 5. Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Ekonomi di Kab. Bogor Nama Responden : Pekerjaan : 1. Berilah isian Tabel 1 dengan skala 1 - 9 berdasarkan prioritas yang anda utamakan 2. Berilah isian pada Tabel 2 dengan men-check list faktor pada kolom yang anda anggap lebih penting dari faktor pada baris Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program pemerintah daerah Biaya Kebijakan Aparatur
Kemanfaatan
Partisipasi
Kebijakan
Aparatur
Kemanfaatan
Infrastruktur ekonomi
Perijinan satu atap
Pengembangan Pertanian
Tabel 2. Perbandingan antar faktor berdasarkan prioritas Biaya Biaya Kebijakan Aparatur Kemanfaatan Partisipasi Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek BIAYA Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas BIAYA Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Perijinan satu atap Pengembangan Pertanian Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek KEBIJAKAN Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan
Infrastruktur ekonomi
Perijinan satu atap
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas KEBIJAKAN Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Perijinan satu atap Pengembangan Pertanian Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek APARATUR Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan
Infrastruktur ekonomi
Perijinan satu atap
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas APARATUR Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Perijinan satu atap Pengembangan Pertanian Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek KEMANFAATAN Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi
Perijinan satu atap
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas KEMANFAATAN Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Perijinan satu atap Pengembangan Pertanian Tabel 1. Prioritas berdasarkan aspek PARTISIPASI Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan
Infrastruktur ekonomi
Perijinan satu atap
Tabel 2. Perbandingan antar program berdasarkan prioritas PARTISIPASI Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Diklat angkatan kerja Bantuan Permodalan Infrastruktur ekonomi Perijinan satu atap Pengembangan Pertanian
Perijinan satu atap
Partisipasi
Pengembangan Pertanian
Pengembangan Pertanian
Perijinan satu atap
Pengembangan Pertanian
Pengembangan Pertanian
Perijinan satu atap
Pengembangan Pertanian
Pengembangan Pertanian
Perijinan satu atap
Pengembangan Pertanian
Pengembangan Pertanian
Perijinan satu atap
Pengembangan Pertanian
131
Lampiran 6.
Priortias Pelaku Pembangunan dan Aspek Penunjang Keberhasilan Pembangunan Yang Paling Berpengaruh Berdasarkan Metode AHP
Priorities with respect to: Goal: Prioritas Program Pendidi...
Pemerintahan Daerah
Pengusaha Swasta Masyarakat Inconsistency = 0.04 with 0 missing judgments.
.637 .105
.258
Priorities with respect to: Goal: Prioritas Program Pendidika >Pemerintahan Daerah
Aspek Biaya
Aspek Kebijakan Aspek Aparatur Aspek Kemanfaatan Aspek Partisipasi Inconsistency = 0.05 with 0 missing judgments.
.129 .063
.513 .261 .033
Priorities with respect to: Goal: Prioritas Program Pendidika >Pengusaha Swasta
Aspek Biaya Aspek Kebijakan Aspek Aparatur Aspek Kemanfaatan Aspek Partisipasi Inconsistency = 0.05 with 0 missing judgments.
.129 .261 .513 .033 .063
Priorities with respect to: Goal: Prioritas Program Pendidika >Masyarakat
Aspek Biaya
Aspek Kebijakan Aspek Aparatur Aspek Kemanfaatan Aspek Partisipasi Inconsistency = 0.05 with 0 missing judgments.
.513 .261
.129 .033 .063
132
Lampiran 7. Priortias Program Sektor Pendidikan Berdasarkan Metode AHP Model Nam e: PENDIDIKAN
Treeview
Goal: Prioritas Program Pendidikan Pemerintahan Daerah (L: .637) Aspek Biaya (L: .129) Aspek Kebijakan (L: .063) Aspek Aparatur (L: .513) Aspek Kemanfaatan (L: .261) Aspek Partisipasi (L: .033) Pengusaha Swasta (L: .105) Aspek Biaya (L: .129) Aspek Kebijakan (L: .261) Aspek Aparatur (L: .513) Aspek Kemanfaatan (L: .033) Aspek Partisipasi (L: .063) Masyarakat (L: .258) Aspek Biaya (L: .513) Aspek Kebijakan (L: .261) Aspek Aparatur (L: .129) Aspek Kemanfaatan (L: .033) Aspek Partisipasi (L: .063)
Alternatives
Se k ola h Gr at is SD - SM P Se k ola h SD- SM P Sa t u At ap PKBM Sist e m Je m put Bola PKBM Plus Ke t r a m pila n Pem ba ng una n Ged ung Se k ola h
* Distributive mode
Edy Wibowo
.3 4 6 .1 5 0 .1 7 2 .1 2 6 .2 0 6
133 Lampiran 8. Priortias Program Sektor Kesehatan Berdasarkan Metode AHP Model Name: KESEHATAN
Treeview
Goal: Prioritas Program Kesehatan Pemerintahan Daerah (L: .637) Aspek Biaya (L: .129) Aspek Kebijakan (L: .063) Aspek Aparatur (L: .513) Aspek Kemanfaatan (L: .261) Aspek Partisipasi (L: .033) Pengusaha Swasta (L: .105) Aspek Biaya (L: .129) Aspek Kebijakan (L: .261) Aspek Aparatur (L: .513) Aspek Kemanfaatan (L: .033) Aspek Partisipasi (L: .063) Masyarakat (L: .258) Aspek Biaya (L: .513) Aspek Kebijakan (L: .261) Aspek Aparatur (L: .129) Aspek Kemanfaatan (L: .033) Aspek Partisipasi (L: .063)
Alternatives
Re vit a lisa si Posy a ndu I m unisa si Gr a t is Pem be r ia n M a k an an Ta m ba ha n Ke se ha t a n Gr a t is Pem ba ng una n Sa r a na Keseha t an
* Ideal mode
Edy Wibowo
.1 9 6 .1 6 6 .0 4 4 .3 6 0 .2 3 4
134 Lampiran 9. Priortias Program Sektor Perekonomian Berdasarkan Metode AHP Model Nam e: EKONOMI
Treeview
Goal: Prioritas Program Ekonomi Pemerintahan Daerah (L: .637) Aspek Biaya (L: .129) Aspek Kebijakan (L: .063) Aspek Aparatur (L: .513) Aspek Kemanfaatan (L: .261) Aspek Partisipasi (L: .033) Pengusaha Swasta (L: .105) Aspek Biaya (L: .129) Aspek Kebijakan (L: .261) Aspek Aparatur (L: .513) Aspek Kemanfaatan (L: .033) Aspek Partisipasi (L: .063) Masyarakat (L: .258) Aspek Biaya (L: .513) Aspek Kebijakan (L: .261) Aspek Aparatur (L: .129) Aspek Kemanfaatan (L: .033) Aspek Partisipasi (L: .063)
Alternatives
Dikla t Angk a t a n Ke r ja Ba nt ua n M oda l Pem ba ng una n I nf r a st r u kt ur Per ijina n Sat u Ata p Pen gem b an ga n Pe r t a nia n
* Ideal mode
.2 5 4 .2 9 3 .1 6 2 .2 1 5 .0 7 6
Edy Wibowo