JENIS DAN TINGKAT ABNORMALITAS PRIMER PADA SPERMATOZOA SAPI PEJANTAN DI BEBERAPA BALAI INSEMINASI BUATAN DI INDONESIA
MUHAMMAD RIYADHI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan Dibeberapa Balai Inseminasi Buatan di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Muhammad Riyadhi B352080021
ABSTRACT MUHAMMAD RIYADHI. The Type and Primary Abnormality Level of Bulls Sperm at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia. Under supervision of BAMBANG PURWANTARA and R. IIS ARIFIANTINI Sperm abnormalities have long been associated with male infertility and sterility in most species studied. Therefore, it is very important to evaluate the level of sperm abnormalities in semen. The objective of this study was to investigate the type and sperm abnormality level (primary abnormality) of bull’s semen at several artificial inseminations centre (AIC) in Indonesia. A total of 164 bulls from 13 AI centers and AI laboratory were used in this study, comprised of 70 Simmental, 30 Limousine, 12 Brahman, 22 Bali, 3 Brahman-Angus cross, 2 Angus, 1 Ongole, 1 Ongole cross (PO), 1 Simmental-Brahman cross and 22 Friesian Holstein (FH) bulls, respectively. An ejaculate from each bull were smeared and stained with carbolfluchsin-eosin (well known as Williams staining method). The type of morphological abnormalities were recorded from 500 cells on each sample. There were found 13 types of primary sperm abnormalities such as: pearshaped, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, underdeveloped, round head, variable size (macro and microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, and diadem. The level of primary sperm abnormalities affected by age in Simmental and Limousine bulls. The sperm abnormalities in bulls ≥9 years old was significantly higher (p<0.05) compared to of those 2 and 4 years old. On the other hand, ages did not affect the level of sperm abnormalities in Brahman and Bali, as well as in dairy cattle (FH). It was observed that Bos taurus bulls showed higher level of primary sperm abnormality (p<0.05) compared to Bos indicus. However, no significant differences were found (p>0.05) on the total number of primary sperm abnormalities among Simmental, Limousine, FH, Brahman and Bali cattle bulls. However pearshape type of abnormality was the most frequently found in all sample, and showed higher (p<0.05) in Simmental bulls if compared to Bali cattle and FH bulls semen. Among AIC, the higher level of primary sperm abnormalities was ranging from1.58% (AIC: A) to 8.57% (AIC: H). Based on conception rate value, it was found a negative correlation between the level of primary sperm and fertility (r = -0.95, p<0.05). In conclusion, the level of primary sperm abnormality of bulls semen at AIC was remained low, but by individual evaluation, there were 11 bulls (6.7%) indicated ≥10% primary sperm abnormalities. It is suggested that evaluation on sperm morphology to detect sperm abnormality has to be performed prior to sperm production and distribution. Key word : Primary Sperm abnormality, bulls cattle, Williams stain, fertility.
RINGKASAN MUHAMMAD RIYADHI. Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan di Beberapa Balai Inseminasi Buatan di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA dan R. IIS ARIFIANTINI. Balai inseminasi buatan (BIB) sebagai penghasil sumber bibit (berupa semen beku) harus mampu memproduksi semen beku berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, pejantan-pejantan yang terdapat di BIB harus berasal dari bibit yang unggul dan melalui seleksi yang ketat. Seleksi mutu bibit tersebut dapat dilakukan berdasarkan uji zuriat (progeny test). Sementara itu, untuk melihat kapasitas reproduksi pejantan dapat digunakan seleksi individu menggunakan teknik breeding soundness evaluation (BSE). Breeding soundness evaluation adalah suatu prosedur seleksi untuk menilai kemampuan fertilitas pejantan yang dapat dilakukan secara cepat dan ekonomis. Evaluasi yang dilakukan dalam BSE meliputi pengamatan fisik dan reproduksi secara umum, pengukuran lingkar skrotum serta motilitas dan morfologi spermatozoa. Secara umum analisis semen yang dilakukan meliputi pemeriksaan konsentrasi, motilitas dan morfologi spermatozoa. Pemeriksaan konsentrasi dan motilitas secara umum telah dilakukan dengan baik di BIB. Namun demikian, untuk pemeriksaan morfologi spermatozoa, abnormal selama ini tidak pernah dilaksanakan. Padahal telah banyak dilaporkan bahwa morfologi spermatozoa yang abnormal akan mempengaruhi fertilitas. Sampel semen diperoleh dari 164 ekor pejantan sapi yang berasal dari 13 BIB dan satu laboratorium IB. Pejantan yang dievaluasi berada pada kisaran umur 2 sampai 13 tahun (rata-rata 5.4±3.0 tahun). Pengambilan sampel semen berupa preparat ulas dilakukan di masing-masing BIB dan dikirimkan ke laboratorium. Pewarnaan dilakukan menggunakan pewarnaan carbolfluchsin-eosin (Williams stain). Morfologi spermatozoa diamati melalui mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x, dengan mengevaluasi kelainan bentuk kepala spermatozoa dari sekitar 500 spermatozoa pada setiap pemeriksaaan. Semua abnormalitas yang ditemukan pada saat pengamatan dicatat dan diklasifikasikan. Pada penelitian ini, evaluasi abnormalitas spermatozoa lebih ditekankan pada abnormalitas primer (abnormalitas pada bagian kepala), dengan pertimbangan bahwa abnormalitas sekunder dan tersier yang umumnya terdapat pada bagian ekor spermatozoa akan terseleksi pada saat penilaian motilitas atau gerakan individu. Sementara itu, abnormalitas spermatozoa primer seperti microcephalic, pearshape serta narrow at the base, umumnya mempunyai gerakan motilitas yang normal. Untuk melihat adanya korelasi antara abnormalitas primer spermatozoa terhadap fertilitas seekor pejantan, dilakukan dengan cara menelusuri pencatatan hasil inseminasi dari pejantan-pejantan yang diuji abnormalitas spermatozoanya. Selanjutnya angka konsepsi (conception rate atau CR) ditetapkan dengan menghitung jumlah sapi yang bunting dari hasil inseminasi pertama yang dinyatakan dalam ukuran persentase kebuntingan. Analisis statistik terhadap data disajikan dalam bentuk rataan dan standard error of means (SEM). Data abnormalitas diolah menggunakan analisis sidik ragam dengan software Minitab versi 14.0. Untuk melihat adanya korelasi antara abnormalitas dan fertilitas digunakan analisis korelasi. Dari hasil pengamatan
abnomalitas primer spermatozoa ditemukan 13 jenis kelainan, yaitu pearshape, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, underdeveloped, round head, variable size (macrocephalus/ microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head dan diadem. Berdasarkan bangsa sapi potong dan sebaran umur dari kelompok sapi dengan jumlah sampel lebih dari 10 ekor, abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditemukan pada sapi-sapi yang berumur sembilan tahun keatas. Abnormalitas tertinggi berturut-turut pada sapi Simmental, Limousine dan Bali masing-masing 7.93, 7.49 dan 2.35%. Sementara itu, pada sapi Brahman ditemukan pada pejantan yang berumur dua tahun (3.30%). Selain itu ditemukan juga tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% pada umur kurang dari sembilan tahun. Analisis statistik menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa pejantan Simmental yang berumur ≥9 tahun berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan yang berumur 2-3 tahun tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan pejantan jenis yang sama pada umur 4-6 tahun. Akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa pejantan Simmental yang berumur ≥9 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berumur 4-6 tahun. Pada sapi Limousine yang berumur ≥9 tahun, tingkat abnormalitas primer spermatozoanya berbeda nyata (p<0.05) dengan pejantan Limousin dengan umur 3-4 tahun. Akan tetapi pada sapi Brahman umur dua, enam dan sembilan tahun keatas serta sapi Bali yang berumur tiga, empat dan sembilan tahun keatas, masing-masing tidak berbeda nyata (p>0.05). Pengamatan abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah, menunjukkan abnormalitas primer spermatozoa tertinggi dilaporkan pada umur dua tahun (6.53%) dan terendah pada umur tiga tahun (2.24%). Analisis sidik ragam menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah umur dua tahun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur sembilan tahun. Namun demikian, tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada umur dua tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur tiga dan sembilan tahun. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0.05), jumlah abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10 ekor), dengan jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine, FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12, 2.60±1.01 dan 1.85±0.64%. Dari 13 jenis abnormalitas primer spermatozoa, bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi Dari 13 jenis abnormalitas primer spermatozoa, bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi, dan secara umum tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara 12 jenis abnormalitas primer spermatozoa lainnya. Jenis abnormalitas spermatozoa pearshape pada sapi Simmental berbeda nyata (p<0.05) dengan sapi Bali dan FH, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Limousine dan Brahman. Namun demikian abnormalitas primer spermatozoa pearshape sapi Limousine dan Brahman tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Bali dan Friesian Holstein. Berdasarkan pengelompokkan B.taurus (Simmental, Limousine, Angus dan FH) dan B.indicus hanya berasal dari Brahman. Tanpa membedakan umur, abnormalitas primer spermatozoa sapi B.taurus lebih tinggi (6.81%) dibandingkan dengan B.indicus (3.13%).
Berdasarkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa antar BIB, menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi BIB H (8.57%), sedangkan terendah pada BIB A (1.58±%). Tingkat abnormalitas primer spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan BIB A, C, E, G, J, K, L, dan N, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M. Terdapat korelasi negatif (r=-0,95, p<0,05) antara tingkat abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas dengan parameter berupa angka konsepsi atau conception rate (CR). Dari hasil penelitian ini, dipandang perlu untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut adanya pengaruh abnormalitas primer spermatozoa terhadap kinerja genetik (perkembangan dan pertumbuhan) dari pedet yang dilahirkan. Kata kunci : Abnormalitas primer spermatozoa, sapi jantan, pewarnaan Williams, fertilitas.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
JENIS DAN TINGKAT ABNORMALITAS PRIMER PADA SPERMATOZOA SAPI PEJANTAN DI BEBERAPA BALAI INSEMINASI BUATAN DI INDONESIA
MUHAMMAD RIYADHI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Drh. Tuty L. Yusuf, MS
Judul Tesis
: Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan Di Beberapa Balai Inseminasi Buatan Di Indonesia
Nama
: Muhammad Riyadhi
NRP
: B352080021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Drh. Bambang Purwantara, MSc Ketua
Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, MSi Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Prof. Dr. Drh. Iman Supriatna
Tanggal Ujian: 26 Juli 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, sehingga akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan Salam tercurah kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta muslimin dan muslimat. Tesis ini disusun sebagai suatu syarat akhir bagi calon Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun tema yang akan diangkat dalam penelitian berjudul “Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan di Beberapa Balai Inseminasi Buatan di Indonesia”. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing; Dr. drh. Bambang Purwantara, MSc. dan Dr. dra. R. Iis Arifiantini, MSi., yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran demi mewujudkan penyusunan hasil karya ilmiah yang baik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada penguji luar komisi Ibu Prof. Dr.drh. Tuty L. Yusuf MS. dan ketua Mayor Biologi Reproduksi Bapak Prof. Dr.drh. Iman Supriatna atas kritik dan saran yang sangat bermanfaat. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya tidak lupa penulis sampaikan kepada Istri, anak, kedua Orang tua yang selalu memberikan dorongan moril, inspirasi, dan materil kepada penulis selama menempuh pendidikan di program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu angkatan mayor Biologi Reproduksi 2008 (Gholib, Hasbi, Danang, Sri, Juli, dan Reni) serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan tenaga, fasilitas dan pikirannya. Selanjutnya ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas bantuan penelitian melalui program Hibah Kompetisi Dikti, serta seluruh BIB yang berpartisipasi, sehingga penelitian ini akhirnya bisa terlaksana. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang reproduksi.
Bogor, Juli 2010 Muhammad Riyadhi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Barabai, Kalimantan Selatan pada tanggal 1 Desember 1973 dari ayah Drs. HM. Fahmi dan ibu Hj. Habibah. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi pada perguruan tinggi yang sama diperoleh dari Beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Lambung Mangkurat sejak tahun 2006 sampai sekarang. Pada tahun 2007 penulis menikah dengan Nur Fitriah, SPd.I dan dikaruniai satu orang putra yang bernama Ahmad Saddad Al Khairi.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ........................................................................................... Kerangka Pemikiran................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian .....................................................................................
1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 4 Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi ............. Fisiologi Semen ........................................................................................ Morfologi Spermatozoa ............................................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa ............... Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi ........................
4 5 5 9 10
METODE PENELITIAN .............................................................................. 14 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 14 Metode ....................................................................................................... 14 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 16 Abnomalitas Primer Spermatozoa ............................................................. Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Potong Berdasarkan Umur Sapi ............................................................................. Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Perah Berdasarkan Umur Sapi ............................................................................. Jumlah dan Jenis Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa sapi ............................................................................................... Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa antara bos taurus dan Bos indicus ................................................................................................ Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antar BIB ............................ Korelasi Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Terhadap Fertilitas ....................................................................................................
16 22 24 25 27 28 31
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 33 Kesimpulan ................................................................................................ 33 Saran ......................................................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 34 LAMPIRAN ................................................................................................... 38
DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik dan Komponen Kimia Semen Beberapa Hewan Ternak ................................................................................................. 6 2. Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan 11 3. Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB .................... 16 4. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada 4 bangsa sapi potong berdasarkan sebaran umur ...................................................... 23 5. Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan ................ 26 6. Abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bos taurus dan bos indicus..................................................................................... 28 7. Abnormalitas primer spermatozoa antar BIB ..................................... 29
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Struktur sel spermatozoa sapi .............................................................. Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi ............................... Membran Plasma Spermatozoa ........................................................... Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa ........................ Abnormalitas primer sapi perah di BIB Indonesia ............................. Korelasi tingkat abnormalitas primer dengan fertilitas .......................
6 7 8 17 24 31
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4.
Rekapitulasi sampel dari 13 BIB dan satu laboratorium IB ................ Cara pembuatan preparat ulas semen segar ........................................ Larutan stok dan cara pembuatan Williams ........................................ Langkah-langkah pewarnaan Williams ...............................................
39 43 44 45
PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah (Otda) telah mendorong berdirinya Balai Inseminasi Buatan (BIB) diberbagai provinsi yang dikenal dengan nama Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD). Sampai dengan tahun 2008 ini telah berdiri BIBD dalam struktur Unit Pelaksana Teknis (UPT) perbibitan daerah di 14 provinsi, yaitu tiga BIBD: Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Bali diarahkan untuk proses akreditasi, serta 11 BIBD: Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DIY, Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur diarahkan sebagai penguatan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BIB nasional (Dirjennak 2008). Berdirinya 14 BIBD ini selanjutnya memperkuat dua BIB tingkat nasional yang telah lama berdiri, yakni BIB Lembang dan BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan) Singosari Malang. Balai inseminasi buatan daerah didirikan dengan tujuan untuk menunjang produksi dan distribusi semen beku agar dapat lebih menjangkau seluruh wilayah Indonesia, dalam rangka meningkatkan kualitas ternak. Salah satu tugas utama BIB adalah menyediakan sumber bibit berupa semen beku yang berasal dari pejantan yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu dilakukan seleksi terhadap pejantan-pejantan yang akan digunakan. Dasar seleksi pemilihan pejantan unggul dapat dilakukan dengan menggunakan silsilah tetuanya atau menggunakan sapi-sapi yang telah dinyatakan melalui uji zuriat (progeny test). Uji
kapasitas
reproduksinya
dapat
dilakukan
melalui
seleksi
individu
menggunakan teknik breeding soundness evaluation (BSE) atau disebut juga BBSE (bull breeding soundness evaluation) (Alexander 2008). Breeding soundness evaluation adalah suatu prosedur seleksi pejantan yang dengan tepat, cepat dan ekonomis untuk melihat kemampuan fertilitas (Spitzer 2000). Aplikasi BSE telah dilakukan pada berbagai ternak diantaranya pada domba (Bagley 2009), babi (Shipley 1999), kuda (Griffin 2000) dan sapi (McPeake & Pennington 2009). Format evaluasi yang digunakan dalam BSE meliputi tiga bagian, yaitu pengamatan fisik, meliputi pengamatan genitalia
eksternal dan eksplorasi rektal, pengukuran lingkar skrotum serta koleksi dan analisis semen. Analisis semen yang umum dilakukan dalam pelaksanaan BSE meliputi konsentrasi spermatozoa per mililiter, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa (Bagley 2009; Shipley 1999; Griffin 2000; LeaMaster & DuPonte 2007; McPeake & Pennington 2009), gerakan massa (Fitzpatrick et al. 2002) serta keutuhan tudung akrosom (Hoflack et al. 2006) Di Indonesia pengujian motilitas dan konsentrasi spermatozoa sudah dilakukan dengan baik. Di beberapa BIB bahkan sudah dilengkapi dengan peralatan yang canggih, yakni dengan alat bantu komputer (Sperm Vision). Namun demikian analisis morfologi spermatozoa sampai sejauh ini masih belum dilakukan secara rutin, meskipun pada BIB yang telah lebih dahulu berdiri. Pada penelitian ini, evaluasi abnormalitas spermatozoa lebih ditekankan pada abnormalitas primer (abnormalitas pada bagian kepala). Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa abnormalitas sekunder dan tersier yang umumnya terdapat pada bagian ekor spermatozoa akan terseleksi pada saat penilaian motilitas atau gerakan individu, sementara abnormalitas primer spermatozoa seperti microcephalic, pearshape serta narrow at the base, mempunyai gerakan motilitas spermatozoa yang normal. Jika pengujian morfologi spermatozoa tidak dilakukan dengan benar maka dikhawatirkan semen cair ataupun beku dengan tingkat abnormalitas primer yang tinggi akan didistribusikan dan diinseminasikan, sehingga tentunya hal ini akan dapat mengurangi keberhasilan fertilisasi yang pada akhirnya akan menurunkan keberhasilan program inseminasi buatan. Kerangka Pemikiran Abnormalitas spermatozoa berdasarkan kejadiannya dibedakan menjadi abnormalitas primer dan sekunder, sedangkan berdasarkan dampaknya terhadap fertilitas dibedakan menjadi abnormalitas mayor dan minor. Abnormalitas sekunder umumnya terjadi pada bagian ekor dan akan mudah terseleksi pada saat pengujian motilitas, sedangkan abnormalitas primer terjadi pada bagian kepala dan sebagian bersifat genetik dan berdampak mayor terhadap fertilitas. Dengan banyaknya laporan yang menghubungkan korelasi antara tingkat abnormalitas
spermatozoa dengan fertilitas, maka penelitian jenis dan tingkat abnormalitas primer pada spermatozoa sapi pejantan di beberapa BIB di Indonesia dilakukan Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi tingkat morfologi spermatozoa, khususnya abnormalitas primer pada sapi-sapi yang ada di berbagai BIBD yang ada di Indonesia. 2. Membandingkan jenis abnormalitas spermatozoa yang terdapat pada berbagai jenis sapi pejantan yang ada di BIBD. 3. Membandingkan tingkat abnormalitas spermatozoa berdasarkan umur pejantan. 4. Mengevaluasi korelasi abnormalitas spermatozoa primer terhadap fertilitas. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat membantu dalam menentukan tingkat abnormalitas spermatozoa pada sapi-sapi yang ada di BIBD dan memberikan rekomendasi untuk penanganan sapi pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas yang tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi Inseminasi buatan merupakan bioteknologi yang pertama diterapkan untuk meningkatkan genetik dan reproduksi pada hewan ternak. Sejalan dengan perkembangan waktu, penerapan IB melibatkan berbagai metode seperti pengelolaan pejantan dan koleksi semen, evaluasi, preservasi serta inseminasi (Foote 2002). Selain itu keberhasilan IB juga tidak lepas dari faktor betina, seperti deteksi estrus dan kontrol siklus estrus. Untuk menjaga kualitas genetik dan menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan seleksi calon-calon pejantan sebelum digunakan atau dikoleksi semennya. Balai inseminasi buatan Lembang mengelompokan pejantan dalam tiga kategori, yaitu proven bull (keunggulan sudah terbukti berdasarkan produksi dari anak-anaknya), register bull (keunggulan didasarkan pada catatan produksi (susu dan pertambahan berat badan) dari tiga generasi diatasnya), serta performances bull (keunggulan berdasarkan tampilan individu pejantan tersebut) (Tumbuh Agribisnis Indonesia 2008). Sementara itu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) sapi perah Batu Raden menerapkan seleksi berdasarkan; berat sapih (weaning weight), berat setahun (yearling weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat, dengan metode seleksi dilakukan secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat melampaui salah satu kriteria tersebut di atas, akan disingkirkan sebagai calon pejantan elit (BBPTU 2009). Cara lain untuk seleksi atau melihat potensi pejantan yang biasa dilakukan di luar negeri dengan menggunakan metode breeding soundness evaluation (BSE). Breeding soundness evaluation merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan. Breeding soundness evaluation atau bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah dilakukan dan relative tidak mahal serta sangat berguna untuk peternakan. Society for Theriogenology (SFT) menggunakan standar BBSE yang diadopsi pada tahun 1993, empat katagori standar minimum yang harus dipenuhi seekor pejantan, yaitu pemeriksaan kesehatan dan organ reproduksi secara umum,
indeks lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai umurnya, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa (Alexander 2008). Untuk dapat digunakan dalam program breeding, seekor pejantan harus melebihi nilai minimum dari ketentuan yang ditetapkan. Menurut Godfrey dan Dodson (2005), minimum lingkar skrotum seekor sapi ditetapkan berdasarkan umur, dimana minimal berukuran 30 cm pada umur 12-15 bulan, dengan morfologi spermatozoa normal sekurang-kurangnya 70%, dan sedikitnya 30% spermatozoa memiliki motilitas progresif. Lebih lengkap lagi Alexander (2008) menguraikan batasan minimum BSE yang harus dipenuhi seekor pejantan sapi adalah; lingkar skrotum, 30 cm (umur < 15 bulan), 31 cm (umur 15-18 bulan), 32 cm (umur 18-21 bulan), 33 cm (umur 21-24 bulan), dan 34 cm (> 24 bulan); morfologi spermatozoa (≥ 70% spermatozoa normal); motilitas spermatozoa (≥ 30% motilitas individu). Fisiologi Semen Semen terdiri atas sel spermatozoa (gamet jantan) dan campuran antara cairan seluler dan sekresi-sekresi kelenjar asesoris (plasma seminalis) yang berasal dari saluran reproduksi jantan (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa dibentuk didalam tubuli seminiferi testes dan selanjutnya mengalami proses penyempurnaan untuk kemudian disimpan pada epididimis, sedangkan plasma seminalis merupakan cairan dengan pH basa serta banyak mengandung bahanbahan kimia yang diperlukan bagi spermatozoa. Karakteristik dan komponen kimia dari beberapa hewan ternak tersaji dalam Tabel 1. Morfologi Spermatozoa Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri atas bagian kepala berbentuk datar dan ekor yang mengandung mitokondria yang penting bagi pergerakan sel, dimana diantara kepala dan ekor dihubungkan oleh bagian yang disebut leher (Garner & Hafez 2000)(Gambar 1). Komponen utama kepala adalah nukleus, yang tersusun atas kromatin, dengan 60% bagian anterior kepala diliputi akrosom; bagian belakang kepala diliputi oleh tudung nuklear (Salisbury et al. 1978) (Gambar 2). Hubungan antara anterior dan posterior disebut cincin nuklear.
Tabel 1 Karakteristik dan komponen kimia semen beberapa hewan ternak Komponen Volume (ml) Konsentrasi spermatozoa (106/ml) Spermatozoa/ejakulat (109) Motilitas (%) Morfologi normal (%) Protein (g/100 ml) pH Fruktosa Sorbitol Asam sitrat Inositol Glyceryl phosphoryl choline (GPC) Ergitionin Sodium Potassium Kalsium Magnesium Chlorida
Sapi 5-8 800-2000
Domba 0.8-1.2 2000-3000
Hewan ternak Babi 150-200 200-300
Kuda 60-100 150-300
Ayam 0.2-0.5 3000-7000
5-15
1.6-3.6
30-60
5-15
0.06-3.5
40-75 65-95 6.8 6.4-7.8 460-600 10-140 620-806 25-46 100-500
60-80 80-95 5.0 5.9-7.3 250 26-170 110-260 7-14 1100-2100
50-80 70-90 3.7 7.3-7.8 9 6-18 173 380-630 110-240
40-75 60-90 1.0 7.2-7.8 2 20-60 8-53 20-47 40-100
60-80 85-90 1.8-2.8 7.2-7.6 4 0-10 16-20 0-40
0 225±13 155±6 40±2 8±0.3 174-320
0 178±11 89±4 6±2 6±0.8 86
17 587 197 6 5-14 260-430
40-110 257 103 26 9 448
0-2 352 61 10 14 147
(Sumber; Hafez & Hafez 2000) *Nilai rataan komponen kimia (mg/100ml±S.E)
Dibagian tengah dan ekor dibagi menjadi tiga daerah. Dimulai dari bagian anterior adalah bagian tengah, bagian yang lebih tipis adalah bagian utama ekor, dan bagian yang sangat tipis merupakan bagian ujung.
Bagian utama ekor,
merupakan pusat metabolisme, dihubungkan dengan bagian kepala spermatozoa dengan suatu segmen yang sangat pendek yang disebut ekor. Kepala
Akrosom Leher
Bagian tengah
Annulus Bagian utama
Bagian ujung
Gambar 1 Struktur sel spermatozoa sapi. Potongan melintang dari bagian tengah, utama dan ujung memperlihatkan serat-serat axonema yang dilapisi oleh mitokondria pada bagian tengah, pembungkus berserabut pada bagian utama dan serabut aksonema pada bagian ujung
(Sumber; Barth & Oko 1989)
Rigi apikal akrosom
Akrosom Nukleus
Selubung postacrosomal
Membran sel
Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi (Sumber; Saacke & Almquist 1964)
Kepala Spermatozoa Pada hewan ruminan, kepala spermatozoa berbentuk oval, datar/flat, dengan nukleus terdiri atas kromatin yang kompak. Kromatin yang sangat padat mengandung deoksiribonuklead asid (DNA) kromosom. Jumlah kromosom yang terdapat pada spermatozoa adalah haploid atau setengah dari jumlah DNA sel somatik pada spesies yang sama, yang dihasilkan dari pembelahan miosis yang terjadi selama pembentukan spermatozoa (Ball & Peters 2004). Membran Plasma Membran plasma atau disebut juga plasmalemma merupakan bagian yang mengandung sedikit sisa sitoplasma dan meliputi seluruh permukaan spermatozoa dan merupakan bagian luar spermatozoa juga berfungsi sebagai sebagai tempat keluar-masuknya cairan seluler (Garner & Hafez 2000). Bagian utama membran spermatozoa terdiri atas lipoprotein yang tersusun ganda (Gambar 3). Menurut Salisbury et al. (1978) membran plasma pada sapi mengandung 31.1% lipoprotein. Pentingnya fungsi membran plasma pada spermatozoa dikarenakan keutuhan membran plasma akan menjadi tolak ukur bagi keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan sel telur. Menurut Colenbrander et al. (1992) kerusakan membran pada bagian tengah spermatozoa akan menyebabkan produksi ATP terhenti sehingga spermatozoa tidak bisa bergerak. Sementara Flesch dan Gadella
(2000) menyatakan membran plasma akan mengalami modifikasi sehingga menyebabkan spermatozoa menjadi lebih aktif atau yang disebut dengan kapasitasi untuk proses fertilisasi.
Gambar 3 Membran plasma spermatozoa (Sumber; Amann & Graham 1993 dalam Morel 1999)
Akrosom Akrosom terletak pada bagian ujung anterior dari nukleus, yang menutupi spermatozoa. Akrosom merupakan kantong membran dengan lapisan ganda, yang melapisi nukleus selama tahap akhir pembentukkan spermatozoa, mengandung unsur-unsur enzim yang penting, seperti akrosin, hialuronidase, dan berbagai enzim hidrolisis lain yang berperan dalam proses fertilisasi.
Pada akrosom
terdapat bagian equatorial (equatorial segmen) yang merupakan bagian akrosom yang penting dari spermatozoon, bagian ini terdapat di sepanjang anterior dari daerah
setelah
akrosom
(post
acrosomal
region),
yang
menginisiasi
penggabungan dengan membran oosit selama fertilisasi (Garner & Hafez 2000). Ekor Sperma Ekor spermatozoa terbagi atas bagian leher (neck), tengah (middle), utama (principal), dan bagian ujung (end piece). Pada bagian tengah serta seluruh ekor terdiri atas aksonema. Aksonema merupakan tersusun dari sembilan pasang mikrotubulus secara radial mengelilingi dua pusat filamen. Di dalam bagian
tengah ini tersusun 9+2 mikrotubulus yang di bagian luar dibungkus oleh sembilan lapisan kasar atau serabut tebal yang berhubungan dengan sembilan pasang aksonema (Garner & Hafez 2000). Selanjutnya aksonema dan serabut tebal ini di bagian periper dilapisi oleh sejumlah mitokondria, yang merupakan sumber energi yang diperlukan bagi spermatozoa untuk motilitasnya (Silva & Gadella 2006) Bagian utama (principal piece) merupakan lanjutan dari annulus sampai mendekati ujung ekor, dibagian tengahnya disusun oleh aksonema yang berhubungan dengan serabut tebal. Selanjutnya bagian ujung ekor (end piece), merupakan bagian posterior dari pembungkus berserabut, yang terdiri hanya bagian aksonema yang dibungkus oleh membran plasma (Ball & Peters 2004). Protoplasmik atau sitoplasmik droplet biasanya dilepaskan pada saat spermatozoa diejakulasikan, yang merupakan sisa sitoplasma. Pada beberapa spesies, abnormal ejakulasi spermatozoa, droplet dapat tertahan didaerah leher sering disebut proksimal droplet, dan pada bagian yang mendekati annulus disebut distal droplet (Garner & Hafez 2000). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa Tingginya persentase abnormalitas spermatozoa dapat berpengaruh terhadap peningkatan fertilitas (Al-Makhzoomi 2008). Abnormalitas spermatozoa merupakan kelainan struktur spermatozoa dari struktur normal yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, genetik atau kombinasi dari keduanya (Chenoweth 2005). Faktor Lingkungan Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar.
Miller et al. (1982) menemukan adanya peningkatan
abnormalitas spermatozoa jenis diadem diakibatkan oleh obat-obatan, ketidak seimbangan hormonal dan stress. Sementara Barth dan Oko (1989) menemukan kurangnya pakan dan keadaan iklim yang terlalu ekstrim dapat berpengaruh terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa tersebut. Sedangkan Dada et al. (2001) juga menemukan adanya peningkatan abnormalitas spermatozoa thick
coiled tail, amorphous head, pinpoint head, narrow, dilated midpiece dan short thick tail pada orang-orang yang bekerja dengan temperatur tinggi. Faktor Genetik Menurut Chenoweth (2005), ada beberapa katagori kelainan spermatozoa bersifat genetik yaitu, kelainan pada akrosom (KA defect, ruffled dan incomplete acrosome), kepala (abnormal DNA condensation, decapitated (disintegrated) sperm defect, round head, rolled-head, nuclear crest, dan giant head syndrome), kelainan pada midpiece (dag, pseudo-droplet, dan corkscrew midpiece defect) dan kelainan pada ekor spermatozoa (coiled tails, tail stump defect, dan primary ciliary dyskinesia (immotile cilia syndrome)). Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi Pada dasarnya analisis semen bertujuan mengukur kemampuan pejantan dalam menghasilkan semen yang berkualitas. Beberapa analisis tersebut diantaranya adalah; 1) Kapasitas produksi semen seekor pejantan yang biasanya digambarkan dengan pengukuran lingkar skrotum atau melalui pengukuran volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa, 2) Viabilitas spermatozoa yang diukur melalui pengamatan motilitas, rasio hidup/mati. Pada kasus semen beku umumnya diamati persentase tudung akrosom utuh, dan 3) Persentase spermatozoa yang memiliki struktur anatomi normal (morfologi), dimana parameter ini secara umum akan saling berhubungan (Barth & Oko 1989). Untuk mengetahui bagaimana batasan struktur normal dan abnormalitas spermatozoa, Barth dan Oko (1989), menyimpulkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh William pada tahun 1920 dan Lagerlof pada 1934, yaitu ; 1) Ukuran kepala spermatozoa dari pejantan-pejantan yang mempunyai fertilitas yang baik benarbenar seragam, 2) Pada pejantan-pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas >17% tidak mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi, dan 3) Jumlah yang diijinkan bagi abnormalitas spermatozoa dalam satu ejakulat bergantung besarnya jenis abnormalitas yang ada. Hubungan antara abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal dan internal. Adanya pengaruh faktor eksternal
terhadap
peningkatan
abnormalitas
spermatozoa
harus
dapat
dikendalikan dan ditangani. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi abnormalitas spermatozoa diantaranya adalah teknik penampungan. Penelitian yang dilakukan oleh Arifiantini dan Ferdian (2004) menemukan bahwa koleksi semen dengan teknik masase pada kerbau lumpur menghasilkan abnormalitas spermatozoa sebesar 31.86%. Pengaruh faktor internal yang mempengaruhi fertilitas dapat dikontrol ketika melakukan analisis semen di laboratorium. Hal ini dimaksudkan agar dapat semakin meningkatkan kualitas spermatozoa yang akan digunakan dalam program breeding. Abnormalitas sel spermatozoa dapat terjadi pada saat pembentukkan spermatozoa dan selama penanganan semen (baik selama dan setelah koleksi). Abnormalitas
spermatozoa
dapat
dihasilkan
oleh
kegagalan
proses
spermatogenesis atau spermiogenesis yang disebabkan faktor genetik, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai.
Selain itu juga dapat disebabkan
karena penanganan semen yang tidak benar. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat tingkat abnormalitas spermatozoa yang terdapat pada beberapa sapi pejantan (Tabel 2). Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa, yang apabila tinggi ditemukan pada satu individu akan berpengaruh besar terhadap tingkat fertilitas individu tersebut, seperti pada abnormalitas inti aneuploid, kandungan gen yang abnormal atau perubahan struktur, dapat menurunkan fertiltas pejantan dan masih belum dapat diketahui melalui pengamatan secara morfologi (Salisbury et al. 1978). Tabel 2 Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan Friesian1) 2.5
Hereford2) 3.3
SRB/SLB3) 6.1±2.8
Friesian3) 5.34±1.3
Detached head
2.5
5.7
1.6±2.2
-
-
-
Coiled tail
1.6
1.9
-
-
-
-
Nuclear pouches
-
-
0.1±0.5
-
-
-
Abnormalitas akrosom
-
-
0.8±0.9
-
-
30
2.7
2.9
1.4±1.6
-
-
-
Abnormalitas midpiece
-
-
1.1±0.9
-
-
-
Loose head
-
-
-
-
-
-
5.7
5.2
-
-
-
-
-
-
1.2±1.7
11.35±2.2
9.38±1.9
1
14.9
19.1
12.3
16.40±2.7
13.45±2.8
35
Jenis abnormalitas (%) Abnormalitas kepala
Proximal droplet
Abnormalitas minor Abnormalitas ekor Total Abnormalitas (%)
Sahiwal3) 4.3±1.4
Sim4) 4
Sumber ; 1) Willmington (1981) di dalam Ball dan Peters (2004), 2) Söderquist et al. (1996), 3. Sarder (2004), 4. Bart (1986), SRB = Swedish Red and White, SLB = Swedish Holstein, Sim = Simmental
Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti maupun laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa terbagi dalam dua katagori, yakni berdasarkan sekuen proses proses pembentukan spermatozoa (primer dan sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas. Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi. Pengelompokkan kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap fertilitas jantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas, sebaliknya kelainan yang bersifat minor dampaknya kecil pada fertilitas. Sementara itu Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke dalam tiga katagori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan pada ekor). McPeake dan Pennington (2009), mengelompokkan abnormalitas dalam dua katagori, yaitu primer (yang meliputi abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas midpiece dan tightly coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan ekor yang membengkok). Di Amerika dan Eropah kajian morfologi (abnormalitas) spermatozoa telah banyak dilaporkan (Barth & Oko 1989; Ax et al. 2000). Pada pejantan sapi potong dan perah ( Soderquist et al. 1996; Sarder 2004; Rocha et al. 2006; AlMakhzoomi et al. 2007; Freneau et al. 2009),
kuda (Morrell et al. 2008),
rodensia (dasyprocta leprorina) (Mollineau et al. 2008), ruminansia kecil (capricornis sumatraensis) (Suwanpugdee et al. 2009), anjing (Freshman, 2002), dan sterlet (golongan ikan) (Psenicka et al. 2009). Pada beberapa ternak, morfologi
spermatozoa
yang
abnormal
telah
banyak
dilaporkan
akan
mempengaruhi fertilitas (Jasko et al. 1990; Chenoweth 2005). Spermatozoa yang abnormal kemungkinan tidak dapat digunakan untuk membuahi oosit. Menurut Salisbury et al. (1978) kemampuan membuahi seekor pejantan tergantung perbandingan antara spermatozoa normal dan abnormal dalam semen, akan tetapi penurunan fertilitas tidak selalu berhubungan dengan morfologi abnormal spermatozoa. Beberapa kelainan abnormalitas spermatozoa
dapat ditemukan dalam satu ejakulat dan telah diinterpretasikan berbeda-beda antar peneliti dan laboratorium, demikian juga untuk tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas. Berbagai kemungkinan morfologi abnormalitas primer dapat ditemui dalam melakukan pengamatan morfologi. Adapun abnormalitas morfologi primer yang mungkin teramati meliputi tapered head, micro dan macrocephalic, head less, amorphous, double head, dan immature sperm (Ax et al. 2000), selain itu jenis abnormalitas kepala lainnya dapat pula teramati seperti underdeveloped, knobbed acrosome defect, diadem defect, pearshape, narrow at the base, narrow, abnormal contour, detached head, dan abaxial implantation (Salisbury et al. 1978).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Sebanyak 164 sampel semen dari pejantan sapi potong dan perah diperoleh dari 13 BIB ditambah 1 laboratorium IB yang ada di Indonesia (Lampiran 1). Evaluasi terhadap sampel dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan, pewarnaan, dan pengamatan sampel serta koleksi data di lapangan dimulai pada bulan Juli sampai Desember 2009. Metode Pengambilan Sampel Semen Pengambilan sampel dilakukan di masing-masing BIB/D untuk kemudian dilakukan pewarnaan. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan protokol yang diberikan (Lampiran 2), yaitu satu tetes semen diletakkan diatas gelas objek pertama, selanjutnya empat tetes NaCl fisiologis diteteskan diatas gelas objek dan dihomogenkan dengan menggunakan batang pengaduk. Dengan menggunakan gelas objek kedua, sudut-sudut objek gelas tersebut ditempelkan pada campuran semen-NaCl dan ditempatkan pada permukaan objek gelas ketiga dan dibuat preparat ulas (smear) tipis. Preparat ulas yang telah terbentuk selanjutnya dikering-udarakan, diberi kode pejantan dan ditempatkan pada kotak objek gelas. Pewarnaan Sampel Sampel diberi pewarnaan dengan metode Williams menggunakan carbolfluchsin-eosin yang dikembangkan pada tahun 1920 dan dimodifikasi oleh Lagerlof pada tahun 1934 (Kavak et al. 2004). Sebelum melakukan pewarnaan terlebih dahulu disiapkan larutan stok Williams dan pembuatan pewarna Williams (Lampiran 3). Selanjutnya setelah itu dilakukan pewarnaan Williams (Lampiran 4), dengan cara sebagai berikut : preparat sampel ulas semen yang berasal dari BIB/BIBD difiksasi menggunakan bunsen selama ± 1 menit. Selanjutnya sample dicuci dengan alkohol absolut selama 4 menit, dan dikering udarakan. Setelah itu preparat dimasukkan ke dalam larutan chloramin 0.5% selama 2 menit sampai
mukus (lendir) hilang dan ulasan terlihat jernih. Berikutnya preparat dicuci dengan distilled water, alkohol 95% dan diwarnai dengan larutan Williams selama 8-10 menit. Tahap akhir preparat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pengamatan Morfologi Spermatozoa Morfologi spermatozoa sebanyak 500 sel diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x dan 1000x (Olympus CH20) dan untuk dokumentasi digunakan mikroskop perbesaran 1000x (Nikon Eclipse E600) dilengkapi dengan peralatan GrabeeXplus + USB 2.0 AV Grabber.
Semua jenis abnormalitas
spermatozoa yang ditemukan diklasifikasikan dan didokumentasikan. Klasifikasi jenis morfologi abnormalitas kepala dilakukan berdasarkan Al-Makhzoomi et al. (2008). Tingkat abnormalitas spermatozoa dikelompokkan menjadi 0-3%, >3-6% (rendah), >6-9% (sedang) dan >9% (tinggi). Analisis Korelasi Abnormalitas Spermatozoa dan Fertilitas Data fertilitas diperoleh langsung di lapangan berdasarkan pencatatan hasil IB pertama (persentase sapi betina bunting dari IB pertama) selama 2-3 tahun dari pejantan-pejantan yang terlibat dalam penelitian. Ada delapan ekor pejantan yang dapat ditelusuri recording IB dengan 186 ekor betina. Dari delapan ekor pejantan tersebut dikelompokkan sesuai dengan tingkat abnormalitas primer spermatozoa, sebagai berikut ; 0-3%, >3-6%, >6-9%, dan >9%. Hasil IB pertama tersebut selanjutnya dihitung nilai conception rate, yakni jumlah betina yang bunting dari hasil IB pertama dibagi jumlah pelayanan (IB) dikali 100%. Analisis Statistik Data disajikan dalam bentuk rataan dan simpangan baku.
Data
abnormalitas diolah menggunakan sidik ragam dengan software Minitab versi 14.0. Untuk melihat korelasi antara tingkat abnormalitas dan conception rate dipergunakan analisis korelasi ( Iriawan & Astuti 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel semen sapi yang diuji dalam penelitian ini berasal dari 13 (76.47%) BIB ditambah satu laboratorium IB dari total 17 BIB/BIBD yang ada di Indonesia, dengan jumlah total sapi jantan 164 ekor. Sapi-sapi tersebut terdiri atas jenis Simmental, Limousine, Brahman, Bali, Brangus, Angus, Ongole, Peranakan Ongole (PO), peranakan Simmental Brahman (Simbrah) dan Friesian Holstein atau FH (Tabel 3). Dari jumlah tersebut jenis Simmental merupakan sapi yang paling banyak (42.68%) sedangkan PO, Ongole dan Simbrah jenis yang paling sedikit masing-masing hanya satu ekor (0.61%). Tabel 3 Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB Bangsa Sapi
Jumlah (ekor)
(%)
Simmental
70
42,68
Limousine
30
18,29
Bali
22
13,42
FH
22
13,42
Brahman
12
7,32
Brangus
3
1,83
Angus
2
1,22
Simbrah
1
0,61
PO
1
0,61
Ongole
1
0,61
Jumlah
164
100%
Abnormalitas Primer Spermatozoa Abnomalitas primer merupakan kelainan yang bersifat serius dikarenakan terjadi pada proses spermatogenesis dan beberapa kelainan dapat diturunkan (Chenoweth 2005), sehingga apabila ditemukan dalam jumlah tinggi pada semen, maka pejantan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai sumber bibit. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 13 jenis kelainan spermatozoa primer yaitu pearshape, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, undeveloped, round head, variable size (macrocephalus/microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, dan diadem (Gambar 4).
Bentuk kepala pearshape atau pyriform dalam Barth et al. (1992) disebut juga narrow at the base. Akan tetapi berdasarkan derajat penyempitan pada bagian post acrosome regional, bentuk pearshape dibedakan dengan kelainan yang berbentuk seperti buah pear di mana daerah akrosom (anterior) tampak penuh berisi kromatin atau membesar, sedangkan post acrosome sempit sedikit memanjang dengan batas jelas antara daerah anterior dan posterior. a
b
c
d
e
f
g
h
i
Gambar 4 Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa (Pewarnaan Williams) a) Bentuk sperma normal, b) Pearshape, c) Narrow at the base, d) Abnormal contour, e) Undeveloped f) Round head, g) Abaxial, h) Microsephalus dengan KA defect, i) Detached head
Pada penelitian ini tanpa melihat bangsa sapi terdapat 2.02% dan 0.34% abnormalitas pearshape dan narrow at the base. Penelitian yang dilakukan oleh Sarder (2004) terhadap enam kelompok bangsa sapi menemukan tingkat abnormalitas pearshape lebih rendah dari hasil penelitian ini yaitu hanya 0.79%, sebaliknya jumlah kelainan narrow at the base justru lebih tinggi yaitu 1.71%. Al-Makhzoomi et al. (2007) melaporkan tingkat abnormalitas pearshape dan narrow at the base yang cukup tinggi yaitu 6.5% dan 4.3% pada pejantan sapi perah Swedia. Menurut Barth et al. (1992) kelainan pearshape dan narrow at the base ini biasa ditemukan pada semen seekor pejantan sapi dengan jumlah yang bervariasi dan tidak mempengaruhi fertilitas sepanjang derajat penyimpitan yang tidak terlalu parah. Sebelumnya Barth dan Oko (1989) juga melaporkan kelainan pearshape dalam jumlah yang tinggi dapat menurunkan fertilitas. Kelainan ini bersifat genetik, hal ini terbukti sapi jantan keturunan dari tetua dengan tingkat abnormalitas pearshape yang tinggi memperlihatkan gambaran semen yang sama dengan tetuanya (Barth & Oko 1989) Bentuk kepala narrow (tapered) merupakan jenis kelainan kepala dimana daerah akrosom dan postacrosome mengalami penyempitan akibat perkembangan yang tidak sempurna pada saat spermatosit primer. Pada bentuk narrow, kepala spermatozoa terlihat lebih kecil dan panjang daripada kepala normal tanpa batas yang jelas. Bentuk narrow ini hampir sama dengan bentuk pearshape, akan tetapi bagian nukleus pada bentuk narrow terlihat lebih menyempit atau memanjang. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk narrow ditemukan sebesar 0.21% lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan Sarder (2004) dan Al-Makhzoomi et al. (2008), masing-masing sebesar 1.03% dan 0.4%. Bentuk narrow yang tidak terlalu sempit didaerah postregional acrosome serta tidak disertai kelainan pada spermatogenesis tidak menurunkan fertilitas (Barth et al. 1992). Abnormal contour dan undeveloped. Kedua istilah ini oleh Barth dan Oko (1989) disebut teratoid spermatozoa yaitu spermatozoa yang mengalami aberasi struktur yang menyebabkan spermatozoa tidak dapat melakukan fungsinya dalam fertilisasi. Abnormal contour merupakan kelainan bentuk spermatozoa yang
secara keseluruhan tidak normal, baik pada bagian kepala maupun ekor. Sedangkan undeveloped merupakan spermatozoa yang tidak mengalami perkembangan sehingga dapat berbentuk kecil, ekor pendek dan dengan pemeriksaan lanjut diperoleh bahwa sel tersebut tidak disusun oleh materi genetik yang lengkap (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini abnormalitas bentuk abnormal contour dan undeveloped ditemukan sebesar 0.14% dan 0.16%. menyatakan bahwa bentuk
Laporan sebelumnya
abnormal contour ditemukan sebesar 0.3% (Al-
Makhzoomi et al. 2008), dan abnormalitas bentuk undeveloped sebesar 0.13% (Sarder 2004) sampai dengan 0.7% (Al-Makhzoomi et al. 2008). Besarnya variasi abnormalitas teratoid spermatozoa dipengaruhi oleh genetik, dimana hal ini didasarkan oleh penelitian yang dilakukan Barth dan Oko (1989) pada sapi Charolais dengan tingkat teratoid dari 1-2,5 x 106 per ml semen, tanpa ada latar belakang kecelakaan, penyakit dan stress. Round head adalah abnormalitas pada kepala spermatozoa, dimana kepala spermatozoa berbentuk bulat tanpa ada batas akrosom.
Menurut Chenoweth
(2005) kebanyakan kepala spermatozoa mempunyai kantung tanpa disertai pembentukkan akrosom. Pada penelitian ini abnormalitas round head ditemukan sebesar 0.06%. Abnormalitas round head jarang dilaporkan pada pejantan sapi (Chenoweth 2005), tetapi sering ditemukan pada spermatozoa manusia (Jones et al. 2003). Variable size, merupakan istilah untuk abnormalitas pada spermatozoa memiliki ukuran kepala lebih besar (macrocephalus) atau lebih kecil (microcephalus) dari ukuran normal spermatozoa umumnya pada spesies tersebut. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk macrocephalus dan microcephalus ditemukan masing-masing sebesar 0.03% dan 0.12%. Penelitian sebelumnya oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) menemukan abnormalitas variable size sebesar 1.4%. Menurut Barth dan Oko (1989) ukuran kepala spermatozoa yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran normal akan mempengaruhi kandungan kromosom inti pada kepala, sehingga dapat lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan normal, dimana selanjutnya akan menyebabkan tidak terdapat atau berlebihnya kromosom. Tinggi rendahnya kejadian abnormalitas variable size
dipengaruhi oleh genetik, dimana tingkat abnormalitas macrocephalus pada khususnya, ditemukan lebih tinggi pada sapi-sapi inbreeding dibandingkan persilangan (Salisbury & Baker 1966). Double head adalah kejadian dimana kepala spermatozoa memiliki dua kepala dengan satu ekor. Kedua kepala tersebut dapat berukuran serupa atau berbeda.
Pada penelitian ini tingkat kejadian double head ditemukan paling
sedikit dari abnormalitas jenis lainnya, yaitu sebesar 0.01%. Kejadian ini pernah dilaporkan pada babi yang menderita demam (pyrexia) (Kojima 1973). Penyebab utama kejadian ini adalah abnormalitas pada saat proses miosis spermatogenesis (Zukerman et al. 1986). Abaxial merupakan bentuk abnormalitas dimana posisi ekor spermatozoa tidak terletak dibagian tengah. Ekor yang seharusnya terletak menempel pada bagian tengah kepala, bergeser ke arah samping dengan membentuk fosa implantasi baru sebagai tempat pertautan ekor. Pada penelitian yang dilakukan, abnormalitas abaxial ditemukan sebesar 0.13%.
Menurut Barth (1989)
abnormalitas abaxial merupakan gambaran normal yang biasa ditemukan pada semen kuda dan babi, cenderung bersifat genetik, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap fertilitas (Barth & Oko 1989), sehingga dikatagorikan sebagai suatu bentuk variasi dari spermatozoa normal pada sapi (Barth 1989). Knobbed acrosome (KA) defect. merupakan kelainan yang terjadi pada bagian akrosom spermatozoa, dimana bentuk kepala tidak mulus tetapi seperti ada lekukan ke arah dalam atau ke arah luar. Barth (1986) pernah melaporkan persentase KA defect yang sangat tinggi yaitu 25-100% pada 16 dari 2054 ekor sapi potong serta pada bangsa Charolais.
Sebelumnya Donald dan Hancock
(1953) melaporkan bahwa KA defect yang tinggi pada FH berhubungan erat dengan autosomal seks resesif. Kelainan ini disebabkan oleh berlebihnya matriks akrosomal dan pelipatan bagian akrosom sampai ke bagian apeks dari kepala spermatozoa dan kejadian disebabkan keterlambatan pembentukkan fase akrosomal saat spermiogenesis (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas KA defect ditemukan sebesar 0.16%, angka ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu 0.2% (Al-Makhzoomi et al. 2008) tetapi lebih rendah dari laporan
Söderquist et al. (1996) sebesar 0.8% pada jenis sapi yang sama. Menurut Chenoweth (2005) peningkatan KA defect pada semen sapi pejantan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Detached head adalah keadaan dimana kepala spermatozoa patah atau sampai terlepas dari bagian leher dan ekor. Pada penelitian ini abnormalitas detached head sebesar 0.02%. Penelitian yang dilakukan oleh Söderquist et al. (1996) pada sapi perah Swedia melaporkan jumlah yang lebih tinggi, yaitu 1.6%. Kejadian detached head biasanya dihubungkan dengan hipoplasia testikular, akan tetapi apabila ditemukan dalam jumlah tinggi dapat disebabkan oleh pengaruh genetik (Barth & Oko 1989). Diadem merupakan jenis abnormalitas spermatozoa dimana terlihat seperti ada lubang-lubang yang ditemukan di daerah nukleus posterior sampai apikal akrosom, batas selubung acrosome atau diseluruh kepala spermatozoa, akan tetapi lebih sering terdapat pada bagian apeks nukleus yang disebabkan invaginasi membran nuklear ke dalam nukleoplasma. Lubang tersebut juga terlihat sebagai sebuah kantung, sehingga beberapa peneliti menamakan diadem dengan pouches, craters dan nuclear vacuoles (Barth & Oko 1989).
Pada penelitian ini,
abnormalitas diadem ditemukan sebesar 0.18%. Hasil ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu sebesar 0.1% sampai dengan 0.2% (Söderquist et al. 1996; Al-Makhzoomi et al. 2008). Menurut Barth dan Oko (1989) jumlah spermatozoa dengan kelainan diadem ini dapat meningkat akibat stress karena cedera, kekurangan pakan, kondisi iklim yang ekstrim, serta beberapa kondisi lain yang tidak mendukung. Abnormalitas jenis diadem cenderung menyebabkan infertilitas, pejantan yang mempunyai
fertilitas
yang
rendah
ternyata
pada
semennya
ditemukan
abnormalitas diadem >80% (Miller et al. 1982). Berdasarkan hasil penelitian maka abnormalitas primer spermatozoa secara umum dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dada et al. (2001) menyatakan abnormalitas spermatozoa akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap proses pembuahan. Ada dua kemungkinan yang terjadi terhadap kemampuan
fertilitas
seekor
pejantan
dengan
persentase
abnormalitas
spermatozoa yang tinggi, pertama spermatozoa tidak dapat mencapai tempat
fertilisasi dan kedua spermatozoa tidak dapat membuahi sel telur atau mempertahankan perkembangan tahap awal embrio (Chenoweth 2005). Selain itu ditemukan juga beberapa abnormalitas primer spermatozoa yang apabila ditemukan tinggi di dalam semen akan dapat menurunkan fertilitas, akan tetapi abnormalitas morfologi spermatozoa dan fertilitas berbeda-beda antar bangsa (Al-Makhzoomi et al. 2007). Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Potong Berdasarkan Umur Sapi Berdasarkan bangsa sapi potong dan sebaran umur dari kelompok sapi dengan jumlah sampel lebih dari 10 ekor, ternyata tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditemukan pada sapi-sapi yang berumur sembilan tahun ke atas yaitu pada sapi Simmental, Limousine dan Bali berturut-turut adalah 7.93, 7.49 dan 2.35%, sedangkan pada sapi Brahman ditemukan pada umur dua tahun (3.30%). Tetapi ditemukan juga tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% pada umur kurang dari sembilan tahun (Tabel 4). Tingkat abnormalitas primer spermatozoa sapi Simmental yang berumur ≥9 tahun berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 2-3 tahun tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur 4-6 tahun. Akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang berumur ≥9 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan 4-6 tahun. Pada sapi Limousine berumur ≥9 tahun, tingkat abnormalitas primer spermatozoa berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 3-4 tahun. Pada sapi Brahman umur 2, 6 dan 9 tahun keatas serta Bali yang berumur 3, 4, 6 dan 9 tahun keatas, masing-masing tidak berbeda nyata (p>0.05). Tingginya abnormalitas primer spermatozoa pada sapi-sapi Simmental, dan Limousine yang berumur ≥9 tahun dapat disebabkan oleh terjadinya degenerasi sel pada saluran reproduksi jantan karena pengaruh penuaan. Sebelumnya Dowsett dan Knott (1996) melaporkan terjadinya peningkatan abnormalitas spermatozoa pada kuda berumur >11 tahun yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan proses spermatogenesis dan fungsi epididimis. Pernyataan ini diperkuat oleh Söderquist et al. (1996) bahwa terdapat pengaruh umur yang sangat signifikan terhadap abnormalitas primer spermatozoa dan total abnormalitas spermatozoa. Al-Makhzoomi et al. (2007) menyatakan bahwa
tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% akan dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Oleh karena itu sangat tepat jika batasan umur penggunaan pejantan untuk produksi semen beku di Indonesia telah ditetapkan antara umur 6-7 tahun (Dirjennak 2007). Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi Brahman dan sapi Bali kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah sampel yang diamati pada masing-masing umur sapi-sapi tersebut. Tabel 4 Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada empat bangsa sapi potong berdasarkan sebaran umur Bangsa Simmental
Umur (tahun) 2
Jumlah (ekor) 15
Bali
1.0-7.4
12
3.52±0.76
1.0-10.8
4
6
5.33±1.65abc
1.6-13.8
5
9
5.87±1.37 abc
2.0-14.4
7
ab
1.0-15.6
a
6.20±2.03
≥9
9
7.93±1.08
4.2-13.4
3
11
2.51±0.58b
0.6-5.6
4
4
1.15±0.45b
0.4-2.4
7
a
2.6-16.8
a
1.6-5.0
a
≥9 Brahman
bc
(Range %)
3
6
Limousine
Abnormalitas [mean± SEM (%)] 2.76±0.49c
2
2
7.49±1.97 3.30±1.70
6
2
1.50±0.10
1.4 -1.6
≥9
3
2.60±0.12a
2.4–2.8
3
4
1.40±0.74a
0.4-3.6
2
a
0.8-1.6
a
4
1.20±0.40
6
4
1.30±0.17
1.0-1.8
≥9
4
2.35±0.46a
1.2-3.4
Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05)
Pada penelitian ini tingginya abnormalitas primer spermatozoa yang ditemukan pada sapi Brahman berumur dua tahun mungkin dipengaruhi oleh jumlah sampel pada sapi Brahman tersebut. Jumlah sampel pada masing-masing umur berkisar antara 2-3 ekor.
Ditemukannya tingkat abnormalitas primer
spermatozoa yang tinggi pada pejantan umur produksi 3-5 tahun telah diprediksi sebelumnya, dikarenakan sapi-sapi pejantan yang terdapat di BIB, hampir tidak
dilakukan evaluasi abnormalitas spermatozoa sebelumnya.
Adanya pengaruh
genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan, memungkinkan abnormalitas spermatozoa dapat ditemukan pada umur yang lebih muda. Kejadian abnormalitas spermatozoa juga tidak berhubungan dengan penampilan kesehatan secara umum, sehingga tidak mudah dideteksi tanpa melalui analisis semen di laboratorium. Penelitian yang dilakukan oleh Miller et al. (1982) menemukan bahwa tingginya abnormalitas spermatozoa terkadang tidak ditunjukkan oleh adanya perubahan anatomi atau gangguan fungsional organ reproduksi, akan tetapi menunjukkan tingkat fertilitas yang rendah. Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Perah Berdasarkan Umur Sapi Pengamatan
abnormalitas
primer
spermatozoa
pada
sapi
perah
dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur (Gambar 5), dimana jumlah sampel dari masing-masing kelompok, yaitu umur 2 tahun 3 ekor, 3 tahun 14 ekor dan 9 tahun keatas 2 ekor. Hasil analisis menunjukkan abnormalitas primer spermatozoa tertinggi pada umur 2 tahun (6.53%) dan terendah pada umur 3 tahun (2.24%). Berdasarkan analisis sidik ragam, tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah umur 2 tahun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur ≥9 tahun, akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada umur 2 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur 3 dan ≥9 tahun. 18 16 14 Abnormalitas (%)
12 10 8 6.53
6 4
2.4
2.24
2 0 -2
1
2
3
-4 -6 Um ur (tahun)
Gambar 5 Abnormalitas primer sapi perah di BIB Indonesia Keterangan ; 1= umur 2 thn, 2=umur 3 thn, 3=umur ≥9 thn
Menurut Al-Makhzoomi et al. (2008) menemukan adanya korelasi antara abnormalitas primer spermatozoa >10% dengan fertilitas pada sapi perah Swedia. Pada penelitian ini, abnormalitas primer spermatozoa secara individu ditemukan sebesar 18.2% pada pejantan umur 2 tahun. Tingginya abnormalitas primer spermatozoa umur 2 tahun menunjukkan adanya kemungkinan abnormalitas primer dapat terjadi pada umur muda. Selain itu abnormalitas individu seekor pejantan juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti stress (Barth & Oko 1989; Söderquist et al. 1996), genetik dan gangguan pada tubuli seminiferi (Barth & Oko 1989). Secara umum pejantan di BIB dipelihara dengan nutrisi pakan, perkandangan dan perawatan kesehatan yang baik, serta telah melalui tahapan seleksi yang cukup ketat, sehingga sudah selayaknya abnormalitas primer spermatozoa ditemukan dalam jumlah rendah. Ditemukannya individu yang diproduksi semennya dengan abnormalitas primer lolos dalam proses produksi dan distribusi menunjukkan pengamatan morfologi spermatozoa penting dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya penelitian yang menemukan abnormalitas primer spermatozoa >10% berkorelasi dengan fertilitas, diantaranya pada anjing (Freshman 2002) dan pada sapi perah (Al-Makhzoomi et al. 2007; Al-Makhzoomi et al. 2008). Selain itu juga akan menurunkan keberhasilan program inseminasi buatan (Sarder 2004; Saacke 2008). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh peningkatan umur terhadap tingginya abnormalitas primer spermatozoa, meskipun menurut Söderquist et al. (1996) terdapat korelasi antara peningkatan umur dengan jumlah abnormalitas primer spermatozoa. Hal ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel pada umur ≥9 tahun, sehingga tidak memperlihatkan adanya korelasi tersebut. Jumlah dan Jenis Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa Sapi Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0.05), jumlah abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10 ekor), dimana jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine, FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12, 2.60±1.01 dan 1.85±0.64%. Berdasarkan jenis abnormalitas primer spermatozoa,
bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi dan bentuk pearshape pada Simmental tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan Limousine serta Brahman, akan tetapi lebih tinggi (p<0.05) jika dibanding dengan Bali dan Friesian Holstein. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara 12 jenis abnormalitas primer spermatozoa lainnya (Tabel 5). Tabel 5 Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan Jenis Abnormalitas
Bangsa Sapi Rataan
Pearshape
Bali (n=22) 0.87±0.23bA
Simmental (n=70) 2.81±0.36aA
Limousine (n=30) 2.13±0.67abA
Brahman (n=12) 1.38±0.46abA
FH (n=22) 0.86±0.22bA
2.02±0.22
Narrow at the base
0.05±0.03bB
0.51±0.10aB
0.26±0.07abB
0.10±0.04bB
0.29±0.14abBC
0.34±0.05
Narrow
0.17±0.04bB
0.20±0.03bC
0.15±0.03bB
0.10±0.06bB
0.42±0.14aB
0.21±0.03
aB
aC
aB
aB
aBC
Abnormal contour
0.14±0.10
0.17±0.02
0.06±0.03
0.08±0.04
0.19±0.12
0.14±0.03
Underdevelope
0.06±0.02aB
0.17±0.05aC
0.27±0.09aB
0.03±0.02aB
0.16±0.12aBC
0.16±0.03
Round head
0.01±0.01aB
0.07±0.03aC
0.11±0.05aB
0.03±0.03aB
0.04±0.02aC
0.06±0.02
bB
bC
bB
aB
abC
Macrocephalus
0.04±0.02
0.01±0.01
0.03±0.01
0.10±0.06
0.06±0.02
0.03±0.01
Microcephalus
0.05±0.02aB
0.16±0.04aC
0.09±0.03aB
0.08±0.03aB
0.15±0.12aBC
0.12±0.02
Double head
0.01±0.01aB
0.01±0.01aC
0.01±0.01aB
0.00±0.00aB
0.03±0.02aC
0.01±0.00
bC
bB
aB
abB
bBC
Abaxial
0.15±0.07
0.11±0.03
0.07±0.03
0.30±0.11
0.13±0.07
0.13±0.02
KA defect
0.15±0.05aB
0.13±0.04aC
0.20±0.12aB
0.15±0.04aB
0.17±0.04aBC
0.16±0.03
aB
aC
aB
aB
aC
Detached head
0.00±0.00
0.02±0.01
0.04±0.03
0.00±0.00
0.01±0.01
0.02±0.01
Diadem
0.14±0.04aB
0.21±0.04aC
0.14±0.06aB
0.23±0.12aB
0.14±0.07aBC
0.18±0.03
Total
1.85±0.64a
4.58±0.75 a
3.56±1.22 a
2.60±1.01 a
2.65±1.12 a
Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM (%); Huruf kecil untuk baris dan huruf kapital untuk kolom ; Huruf berbeda mengikuti angka pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)
Jenis abnormalitas spermatozoa pearshape pada sapi Simmental berbeda nyata (p<0.05) dengan sapi Bali dan FH, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Limousine dan Brahman. Namun demikian abnormalitas primer spermatozoa pearshape sapi Limousine dan Brahman tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Bali dan Friesian Holstein. Abnormalitas pearshape merupakan jenis yang lebih sering ditemukan pada semen seekor pejantan. Sarder (2004) pada sapi-sapi perah di Bangladesh, melaporkan abnormalitas pearshape berkisar antara 0.35±0.2% sampai dengan 0.93±0.1%, sedangkan Al-Makhzoomi et al. (2008) pada sapi-sapi perah Swedia berkisar antara 1.2±0.6-20.7±5.5%. Barth dan Oko (1989) menyatakan bahwa
abnormalitas pearshape biasa ditemukan dalam jumlah kecil pada semen sapi pejantan dengan fertilitas yang baik. Tingginya abnormalitas pearshape pada individu pejantan harus ditindak lanjuti dengan evaluasi berkala dan pengamatan yang intensif mengingat laporan penelitian sebelumnya oleh Barth dan Oko (1989), jenis abnormalitas ini dapat menurunkan fertilitas apabila ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) yang menemukan korelasi negatif abnormalitas pearshape terhadap tingkat fertilitas. Pada kebanyakan kasus abnormalitas spermatozoa bentuk pearshape, disebabkan oleh kondisi abnormal akibat perubahan fungsi testis, seperti gangguan pengaturan temperatur testis atau gangguan hormonal (Barth & Oko 1989). Beberapa peneliti melaporkan kelainan ini bersifat genetik (Barth et al. 1992; Chenoweth 2005).
Tingginya perbedaan abnormalitas spermatozoa
pearshape pada berbagai jenis sapi dapat disebabkan oleh tingginya variasi jumlah sampel yang diamati, seperti keseragaman umur, lingkar skrotum, bangsa sapi dan berat badan, hal ini dapat terlihat dari tingginya ragam hasil. Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antara bos taurus dan bos indicus Sapi-sapi yang ada dibalai IB Indonesia, selain sapi bali (bos sondaicus) terdapat sapi-sapi bukan asli Indonesia seperti Bos taurus (FH, Simmental, Limousine dan Angus) dan Bos indicus (Brahman dan Ongole).
Sapi-sapi
tersebut didatangkan untuk tujuan meningkatkan kualitas genetik. Pada penelitian ini, berdasarkan pengelompokkan B.taurus meliputi Simmental, Limousine, Angus dan FH sebanyak 34 ekor sedangkan B.indicus hanya berasal dari Brahman sebanyak delapan
ekor (Tabel 6).
Dari hasil
tersebut, tanpa membedakan umur, abnormalitas primer spermatozoa sapi B.taurus lebih tinggi (6.81%) dibandingkan dengan B.indicus (3.13%). Hasil sidik ragam tingkat abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan B.taurus dan B.indicus terdapat perbedaan nyata (p<0.05) dimana tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada B.taurus lebih tinggi dibandingkan dengan B.indicus, hasil ini menguatkan laporan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sarder (2004), yang juga menemukan perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer dan
total abnormalitas spermatozoa antara sapi Friesian (B.taurus) dan sapi Sahiwal (B.indicus).
Sebelumnya Söderquist et al. (1996) telah melaporkan adanya
pengaruh bangsa dan umur terhadap tingkat abnormalitas spermatozoa. Tabel 6 abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bos taurus dan bos indicus No.
Jenis sapi
Jumlah (ekor)
Total abnormalitas (%)
Bos Taurus 34 6.81±0.79a Range (1.4-18.2) Bos Indicus 8 3.13±0.76b 2 Range (1.4-7.6) Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM (%) Huruf yang sama mengikuti angka pada lajur yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05) 1
Hansen (2004) menemukan sapi-sapi dari golongan B.indicus mempunyai daya tahan selular terhadap peningkatan temperatur dibandingkan dengan B.taurus, sehingga heat stress tidak begitu berpengaruh terhadap B.indicus dibandingkan dengan B.taurus. Setchell (1978), diacu dalam Hansen (2004) menyatakan heat stress dapat meningkatkan temperatur testis, sehingga lebih lanjut berakibat mengganggu proses spermatogenesis.
Brito et al. (2004)
membandingkan antara anatomi testis antara B.indicus dan B.taurus hasilnya ternyata B.indicus mempunyai arteri testis yang lebih panjang dengan ketebalan jarak dinding arteri dan vena lebih tipis serta lebih dekat, sehingga proses termoregulatoris testis dapat lebih baik sehingga temperatur testis lebih rendah dibandingkan dengan B.taurus. Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antar BIB Sampel semen sapi pejantan dari beberapa BIB yang dipergunakan untuk melakukan pengamatan abnormalitas primer spermatozoa berasal dari sapi-sapi yang berumur 5.4±3.0 tahun. Dari 164 sampel semen yang diamati 11 ekor (6.7%) menunjukkan abnormalitas spermatozoa primer >10% terdiri atas sapi potong 10 ekor dan sapi FH 1 ekor. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditunjukkan oleh BIB H (8.57%), sedangkan terendah ditunjukkan oleh BIB A (1.58±%) (Tabel 7).
Tabel 7 abnormalitas primer spermatozoa antar BIB BIB
Jumlah sample (ekor)
A
10
B C D E F G H
23 66 4 7 4 13 7
Abnormalitas (%) 1.58 ± 0.94e
Kisaran (%) 0.4-3.4
abcd
0.8-18.2
de
0.2-12.0
abc
3.4-10.0
bcde
1.2-13.0
ab
1.2-10.8
4.70 ± 4.34
2.67 ± 2.09 6.80 ± 3.29 4.46 ± 3.96
7.95 ± 10.63
de
0.2-8.2
a
2.2-16.8
abcd
1.2-15.6
2.48 ± 2.50
8.57 ± 5.03
I
10
J
6
2.48 ± 2.96de
0.4-8.0
5
cde
1.2-6.0
de
1.0-2.8
K L
3
M
3
N
3
5.60 ± 4.58
2.88 ± 2.19
2.13 ± 0.99
5.40 ± 6.25abcde de
1.73 ± 0.46
1.4-12.6 1.2-2.0
Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat abnormalitas antara balai inseminasi buatan. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan BIB A, C, E, G, J, K, L, dan N. Selanjutnya tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M, namun tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H masih lebih tinggi dari BIB tersebut. Dari hasil penelitian ini ditemukan 42.85% BIB memiliki sapi-sapi dengan tingkat abnormalitas primer spermatozoa ≥10%. Kondisi ini dapat disebabkan karena pengamatan morfologi spermatozoa saat evaluasi semen tidak dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena evaluasi morfologi spermatozoa belum secara tegas disampaikan pada petunjuk teknis pengawasan mutu semen beku sapi dan kerbau, ataupun yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4869.1-2005) yang merupakan peraturan dari Direktur Jenderal Peternakan (Dirjennak)(BSN 2005). Padahal jika dicermati di dalam SNI tersebut telah tercantum sumber pustaka yang menyebutkan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa sapi harus kurang dari 20%. Sebab lain adalah keterbatasan Sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan evaluasi tersebut.
Ditemukannya abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi pada sapi yang dikoleksi semennya untuk produksi semen beku, menunjukkan terdapatnya semen beku (straw) yang diproduksi dan didistribusi mempunyai abnormalitas primer spermatozoa. Penemuan tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi di BIB ini, menunjukkan sudah saatnya evaluasi morfologi abnormalitas spermatozoa dilakukan dan dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi semen pada petunjuk teknis produksi semen beku. Menurut Al-Makhzoomi et al. (2008) evaluasi morfologi spermatozoa pada pejantan di BIB sangat penting dilakukan secara rutin (setiap 2 sampai dengan 3 bulan sekali untuk melihat pengaruh nyata perubahan musim) sehingga dapat diketahui setiap kemungkinan terjadinya abnormalitas spermatozoa. Seharusnya evaluasi morfologi spermatozoa dilakukan saat pejantan untuk pertama kali memasuki BIB, jika ada perubahan dalam komposisi pakan atau jika sapi tersebut sakit dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka kemungkinan semen dari pejantan dengan abnormalitas yang tinggi akan diproduksi dan strawnya akan distribusikan, sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi keberhasilan inseminasi serta menurunkan kualitas pedet yang dilahirkan dan akan mempengaruhi peningkatan populasi ternak. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya produksi semen beku dari pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas tinggi, perlu dilakukan program seleksi pejantan yang lebih ketat dan juga peningkatan kualitas SDM yang bekerja di balai inseminasi buatan. Program seleksi dapat mengacu pada standar-standar yang telah dipergunakan diberbagai negara dengan tingkat keberhasilan IB yang tinggi, diantaranya melalui metode BSE dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi ternak sapi di Indonesia. Dari paparan diatas secara keseluruhan tanpa melihat faktor individu, tingkat abnormalitas primer spermatozoa masih tergolong rendah dan semen umumnya layak untuk diproduksi. Tetapi secara individu terlihat ada 11 ekor yang seharusnya tidak digunakan sebagai sumber bibit, mengingat tujuan inseminasi buatan adalah untuk meningkatkan kualitas genetik dan efisiensi reproduksi pejantan (Ax et al. 2000; Foote 2002), sehingga sapi-sapi dengan
tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi harus dikeluarkan dari balai inseminasi buatan. Korelasi Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Terhadap Fertilitas Angka konsepsi (CR) adalah jumlah sapi yang bunting dari hasil inseminasi yang pertama dinyatakan dalam bentuk persen. Pada penelitian ini hasil inseminasi pada 186 ekor betina dari delapan ekor pejantan terdapat korelasi negatif sebesar (r = -0.95, p<0.05) (Gambar 6). Terdapatnya korelasi negatif antara tingkat abnormalitas primer dengan CR ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat abnormalitas pada semen sapi tersebut, maka ada kecenderungan terjadi penurunan conception rate. Pada penelitian ini tidak membedakan jenis kelainan abnormalitas. Al Makhzoomi et al 2008 melaporkan adanya korelasi negatif abnormalitas primer spermatozoa terhadap fertilitas (r = -0.23, p<0.05) akan tetapi dengan parameter yang berbeda pada penelitian ini menggunakan CR sedangkan peneliti tersebut menggunakan non return rate (NRR) yaitu jumlah sapi-sapi yang tidak kembali minta kawin sampai dengan umur 56 hari setelah inseminasi, sehingga nilai korelasinya berbeda. 60 55
r = - 0,952, p Value = 0,048
Nilai CR (%)
50 45 40 35 30 25 0
1 0-3
2 >3-6
3 >6-9
4 >9
5
Tingkat Abnormalitas (%)
Gambar 6 korelasi tingkat abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas
Kelainan pada kepala spermatozoa akan mempengaruhi kemampuan spermatozoa untuk melakukan fertilisasi, atau kemungkinan fertilisasi dengan sel telur dapat terjadi akan tetapi selanjutnya tidak dapat berkembang membentuk
embrio lebih lanjut (Hawk 1988). Dengan alasan inilah, maka nilai CR dijadikan sebagai dasar untuk mengukur korelasi abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas. Al-Makhzoomi et al. (2008), melaporkan korelasi antara jenis morfologi yang ditemukan dengan fertilitas. Hasilnya ternyata terdapat korelasi negatif abnormalitas spermatozoa pearshape (r = -0.55, p<0.01), loose head (r = -0.32, p<0.01), double coiled tails (r = -0.21, p<0.05) dan variable size (r = -0.27, p<0.05). Sebelumnya Al Makhzoomi et al. (2007) juga telah melaporkan korelasi negatif antara morfologi spermatozoa abnormal pada kepala dengan fertilitas, umummnya terjadi pada tingkat abnormalitas diatas 10%. Sedikitnya jumlah betina dalam pengujian korelasi abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh data dilapangan. Sebenarnya dari BIB sudah ada kerjasama operasional (KSO) dengan pengguna (pemerintah daerah, koperasi pegawai negeri dan pihak swasta) akan tetapi kenyataannya dilapangan pencatatan keberhasilan IB tidak dilakukan, sehingga peneliti kesulitan untuk mendapatkan data fertilitas. Selain itu juga beberapa inseminator belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi kebuntingan sehingga pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan oleh orang yang berbeda. Perbedaan petugas dan tidak tertibnya pencatatan dilapangan ini menyebabkan sulitnya penghitungan angka konsepsi dari betina sebagai akseptor IB dengan menggunakan semen beku yang telah teruji morfologinya pada penelitian sebelumnya Sulitnya mencari data keberhasilan program inseminasi ini juga telah dilaporkan oleh Prasojo et al. (2010), dimana hasil penelitiannya menunjukkan hanya 7.43% data hasil IB yang lengkap. Oleh karena itu, untuk ke depannya akan menjadi suatu catatan khusus bagi penyelenggaraan program tentang pentingnya pencatatan kegiatan, sehingga tolak ukur keberhasilan IB dapat dilihat secara nyata dan penelitian terhadap keberhasilan pelaksanaan dilapangan dapat dilakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitiaan dapat disimpulkan 1. Sebanyak 11 ekor pejantan yang berasal dari 42.85% BIB yang menjadi sampel penelitian memiliki abnormalitas primer spermatozoa ≥10%. 2. Tanpa membedakan umur, abnormalitas primer spermatozoa pada B.taurus lebih tinggi dibandingkan B.indicus. Ada kecenderungan terjadi peningkatan abnormalitas primer spermatozoa pada sapi-sapi umur sembilan tahun keatas 3. Tidak terdapat perbedaan tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi yang diuji 4. Jenis abnormalitas pearshape merupakan jenis abnormalitas yang paling banyak ditemukan pada sapi-sapi di BIB 5. Terdapat korelasi antara tingkat abnormalitas primer spermatozoa terhadap fertilitas. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Perlu
dilakukan
pengujian
morfologi
spermatozoa
(normalitas/
abnormalitas) pada sapi-sapi yang ada di balai inseminasi buatan 2. Perlunya evaluasi morfologi spermatozoa ditambahkan dalam petunjuk teknis produksi semen beku di Indonesia 3. Hasil perhitungan evaluasi morfologi spermatozoa dijadikan sebagai faktor pengali dalam pengenceran semen beku di BIB Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Alexander JH. 2008. Bull breeding soundness evaluation: A practitioner’s perspective. Theriogenology 70:469–472 Al-Makhzoomi A, Lundeheim N, Haard M, Rodriguez-Martinez H. 2007. Sperm morphology and fertility of progeny-tested AI Swedish dairy bull. J of Anim and Vet Advances 8: 975-980. Al-Makhzoomi A, Lundeheim N, Haard M, Rodriguez-Martinez H. 2008. Sperm morphology and fertility of progeny-tested AI dairy bull in Sweden. Theriogenology 70: 682-691. Arifiantini RI, Ferdian F. 2006. Tinjauan Aspek Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kerbau Rawa (Bubalus Bubalis) yang Dikoleksi dengan Teknik Masase. Jurnal Veteriner l7 (2): 83-91. Ax RL et al. 2000. Semen Evaluation. Di dalam: Hafez, E.S.E & B. Hafez, editor. Reproduction in Farm Animal. 7th ed . USA: Lippincot Wiliams dan Wilkins. Bagley CV. 2009. Breeding soundness examination of rams cooperative extension work Utah State University http://extension.usu.edu/files/publications/factsheet/AH_Sheep_02.pdf (1 November 2009) Balai besar pembibitan ternak unggul sapi perah. http://www.bbptusapiperah.org/?page_id=13 (6 oktober 2009) Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in cattle. 3rded. UK: Blackwell Publishing. Barth AD. 1986. The knobbed acrosome defect in beef bulls: case report. Can Vet J 27 (10):379-384 Barth AD. 1989. Abaxial tail attachment of bovine spermatozoa and its effect on fertility. Can Vet J 30:656-662 Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal morphology of bovine spermatozoa. Iowa: Iowa State University Press. Barth AD, Bowman PA, Bo GA, Mapletoft RJ. 1992. Effect of narrow sperm head shape on fertility in cattle. Can Vet J 33:31-39 Brito LF, Silva AE, Barbosa RT, Kastelic JP. 2004. Testicular thermoregulation in Bos indicus, crossbred and Bos taurus bulls: relationship with scrotal, testicular vascular cone and testicular morphology, and effects on semen quality and sperm production. Theriogenology 61: 511–528. Chenoweth PJ. 2005. Genetic Sperm Defect. Theriogenology 64: 457-468 Colenbrander B, Brouwers JFHM, Neild DM, Stout TAE da Silva P, Gadella BM. 2002. Capacitation dependent lipid rearrangements in the plasma membrane of equine sperm. Theriogenology 58 : 341-345 Dada R, Gupta NP, Kucheria K. 2001. Deterioration of sperm morphology in men exposed to high temperature. J Anat Soc India 50:107-111
[Dirjennak] Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Produksi dan Distribusi Semen Beku. Jakarta: Departemen Pertanian. [Dirjennak] Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Jakarta: Departemen Pertanian. Donald HP, Hancock JL. 1953. Evidence of a gene-controlled sterility in bulls. J Agric Sci (Camb) 43: 178. Dowsett KF, Knott LM. 1996. The influence of Age and breed on stallion semen. Theriogenology 46:397-412. Fitzpatrick LA et al. 2002. Bull selection and use in northern Australia Part 2. Semen traits. Anim Reprod Sci 71:39–49 Flesch FM, Gadell BM. 2000. Dynamics of the mammalian sperm plasma membrane in the process of fertilization. Biochimica et Biophysica Acta 1469: 197-235 Foote RH. 2002. The history of artificial insemination:Selected notes and notables. J Anim Sci 80:1-10 Freneau GE, Chenoweth PJ, Ellis R, Rupp G. 2009. Sperm morphology of beef bulls evaluated by two different methods. Anim Repro Sci 3898:1-6 Freshman JL. 2002. Semen collection and evaluation. Clinical Techniques in Small Animal Practice 17:104-107 Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and seminal plasma. . Di dalam: Hafez, E.S.E & B. Hafez, editor. Reproduction in Farm Animal. 7th ed. USA: Lippincot Wiliams dan Wilkins. Godfrey RW, Dodson RE. 2005. Breeding soundness evaluations of Senepol bulls in the US Virgin Islands. Theriogenology 63:831-840. Griffin P. 2000. The breeding soundness examination in the stallion J. of Equine Vet Sci. 20: 168-171 Hansen PJ. 2004. Physiological and cellular adaptations of zebu cattle to thermal stress. Anim Repro Sci. 82-83:349-360. Hawk HW. 1988. Gamete transport in the superovulated cow. Theriogenology 29:125-142. Hoflack G et al. 2006. Breeding soundness and libido examination of Belgian Blue and Holstein Friesian artificial insemination bulls in Belgium and The Netherlands. Theriogenology 66: 207–216. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah data statistik dengan mudah menggunakan minitab 14. Yogyakarta: Andi Offset. Jasko DJ, Lein DH, Foote RH. 1990. Determination of the relationship between sperm morphologic classifications and fertility in stallions: 66 cases (19871988). JAVMA 197 (3): 389-394
Jones IL, Aziz N, Seshadri S, Douglas A, Howard P. 2003. Sperm chromosomal abnormalities are linked to sperm morphologic deformities. Fertil and Sterility 79:212-215. Kavak A, Lundeheim N, Aidnik M, Einarsson S. 2004. Sperm morphology in Estonian and Tori breed stallions. Act Vet Scand 45:11-18. Kojima Y. 1973. Boar spermatozoa with multiple head. J Reprod Fertil 35:537539 LeaMaster BR., Du Ponte WM. 2007. Bull Power:Examination of Beef Cattle Bulls for Breeding Soundness Department of Human Nutrition, Food and Animal Sciences College of Tropical Agriculture and Human Resources (CTAHR) http://www2.ctahr.hawaii.edu/oc/freepubs/pdf/LM-17.pdf (1 November 2009) McPeake SR, Pennington JA. Breeding soundness evaluation for beef and dairy bulls. http://www.uaex.edu/other_areas/publications/pdf/fsa-3046.pdf (1 November 2009) Miller DM, Hrudka F, Cates WF, Mapletoft RJ. 1982. Infertility in a bull with a nuclear sperm defect; A case report. Theriogenology 17:611-621 Mollineau WM, Adogwa AO, Garcia GW. 2008. Spermatozoal morphologies and fructose and citric acid concentrations in agouti (Dasyprocta leprorina) semen. Anim Repro Sci 105:378-383. Morel DMCG. 1999. Equine Artificial Insemination. Wallingford: Publishing.
CABI
Morrell JM, et al. 2008. Sperm morphology and chromatin integrity in Swedish warmblood stallions and their relationship to pregnancy rates. Acta Vet Scand 50:1-7. Prasojo G, Arifiantini I, Mohamad K. 2010. Korelasi antara lama kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi Bali. J Vet 11:41-45. Psenicka M, Vancova M, Koubek P, Tesitel J, Linhart O. 2009. Fine structure and morphology of starlet (Acipenser ruthenus L. 1758) spermatozoa and acrosin localization. Anim Repro Sci 111:3-16 Rocha A, Oliveira E, Vilhena MJ, Diaz J, Sousa M. 2006. A novel apical midpiece defect in the spermatozoa of a bull without an apparent decrease in motility and fertility-a case study. Theriogenology 66:913-922. Saacke RG, Almquist JO. 1964. Ultrastucture of bovine spermatozoa, I. the head of normal ejaculate sperm, II. the neck and tail of normal ejaculated sperm. Am J Anat 115:143-84. Di dalam Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal morphology of bovine spermatozoa. Iowa: Iowa State University Press. Saacke RG. 2008. Sperm morphology: Its relevance to compensable and uncompensable traits in semen. Theriogenology 70:473–478 Salisbury GW, Baker FN. 1966. Frequency of Occurence of Diploid Bovine Spermatozoa. J Reprod Fertil 11:477-480
Sarder MJU. 2004. Morphological sperm abnormalities of different breeds of AI bull and its impact on conception rate of cows in AI programme. Bangl J Vet Med 2:129-135. Setchell BP. 1978. The Mammalian Testis. Ithaca: Cornell University Press. Di dalam Hansen PJ. 2004. Physiological and cellular adaptations of zebu cattle to thermal stress. Anim Repro Sci 82-83:349-360. Shipley CF. 1999. Breeding soundness examination of the boar. Swine Health Prod 7: 117–120 Silva PFN, Gadella BM. 2006. Detection of damage in mammalian sperm cells. Theriogenology 65:958–978 Söderquist L, Janson L, Haard M, Einarsson S. 1996. Influence of season, age, breed and some other factors on the variation in sperm morphological abnormalities in swedish dairy A.I. bulls. Anim Repro Sci 44: 91-98. Spitzer JC. 2000. Bull breeding evaluation: current status. USA:International Veterinary Information Service. Suwanpugdee A et al. 2009. Semen characteristic and sperm morphology of serow (Capricornis sumatraensis). Anim Repro Sci 71:576-585. Tumbuh. 2008. Penyediaan bibit unggul. http://peternakantumbuh.blogspot.com/ 2008/10/penyediaan-bibit-unggul.html (6 oktober 2009) Zukerman Z et al. 1986. A high proportion of double-headed and double-tailed sperm in semen of a human male. A case report. Andrologia 18:495-501.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Rekapitulasi sampel dari 13 BIB dan 1 laboratorium IB No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama/No. Pejantan Rambo/60726 Rowan/60727 Style/60728 Charles/60729 Napolemp/60730 Nappitul/60731 Charge/60732 Valentino/60733 P. Biaro Delon Naruto Van Basten Laskar Sambrota Barcha Raka 60651 60652 60653 60654 60655 60656 Tangor Sagola/60625 Maldo Bejo Batupang Whesky 60547 60548 60549 60550 Bule Chintala Guz/60415 Neptune/60416 World Class/60417 Focus/60418 Yupiter/60419 Uranus/60420 Mars/60421 Hansa/60422 Ajoo Loktabat Yannis
Breed Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental
Umur (thn) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2.5 2.5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5.11 6
Total Abn 3.4 1.4 3.6 1.4 2 6.6 1 2.4 2.4 2.8 1.2 2 1.2 2.6 7.4 10 4.8 2.6 1.8 1.6 1.2 3.2 10.8 3 5.2 3.6 1 3.4 1.6 3.4 4.8 6 13 3.2 14.4 4.2 0.8 2.4 7.6 10 5.2 2 2.6 4.4 15.6
No
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
Nama/No. Pejantan Yalumba Yersi Siboka Putra Go Brayen Hasdan 60045 60040 60039 60041 60042 60044 Piero Rustu Umarmaya 69919 69921 69935 69926 69920 69923 69938 Lapakkanna 69833 69713 Yosman 80638 80639 80640 80641 80642 80033 80637
Saijaan Barus
Alaban Kulim 80535 80536 Bazoka Kometo Lasano 80030 80031 Rivaldo
Breed Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Simmental Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin
Umur (thn) 6 6 6 6 6 6.5 9 9 9 9 9 9 9 9 9 10 10 10 10 10 10 10 10 11 12 2.5 3 3 3 3 3 3 3
3 3
3.2 3.5 4 4 4 4 6 9 9 9
Total Abn 9 5.2 1.6 1 1.8 9.2 2.2 4.6 12 3.6 3.8 3.2 9 13.4 8 4.2 4 1 6 1.2 4 5.4 1.4 2.8 8.8 2 0.6 0.8 0.8 0.8 2.2 2.4 3.2 6 3.6 1.6 5.6 0.6 0.4 1.2 2.4 4.6 2.6 6.6 16.8
No
91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135
Nama/No. Pejantan Vanadium/80004 Vinry/80006 Landali 89917 89918 89919 89926 Londreng 89712 Lazzo 40784 40782 Kimi 40681 Boma Brago/40311 Laksamana Carlos Iwal/40002 Kenya/40003 49862 Vicenzo Basudewa Hida Emsa Tana Bononza Nitih Mansa Bagus Mertasari Sail Nala/10304 Bani Brani Kuta Brancah Astambul Karbani Sultan Banuarsa Arikuta Metro Kertalaba Bruno
Breed Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Limousin Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Brahman Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Angus
Umur (thn) 9 9 9 10 10 10 10 10 12 2 2 2 3 5 6 6 8 9 9 11 3 3 3 3 4 4 4 5 5 6 6 6 6 6 7 7.9 9 9 9 10 10 10 2
Total Abn 4.8 5 2.2 4 1 1.2 0.2 12.6 2.6 8.2 5 1.6 7.6 1.2 2 1.6 1.4 2.2 2.6 2.8 2.4 0.8 1 0.4 0.6 3.6 4.8 0.8 1.6 7.2 1.6 1.2 1 1.2 1.8 0.2 2 1.2 3.4 2.6 0.4 1.2 2.2 0.8 8.2
No 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164
Nama/No. Pejantan 170605 20244 140631 Arfa Aryo Segentar Sintuk 307100 307101 P11 30686 30687 30691 30692 30693 30694 30695 30696 30697 30698 30699 30185 30084 39970 39677 Top Wine J/30706 Vandit/30604 Famous/30605 Ramayana
Breed Angus Ongole Brangus Brangus Brangus Simbrah PO FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH FH
Umur (thn) 3 7 3 4 6 5 5 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 8 9 10 13 2 3 3 -
Total Abn 2.4 1.2 3.8 0.6 1.2 6.6 1.2 0.6 0.8 2 1.2 2.2 5.8 1.6 1.8 1.4 1.2 1.4 1.8 1.6 2.4 0.4 1.6 3.2 1 18.2 4.8 2.2 1
Lampiran 2 Cara pembuatan preparat ulas semen segar
Lampiran 3 Larutan stok dan cara pembuatan larutan Williams LARUTAN STOK WILLIAMS 1. 10 g basic Fuchsin dalam 100 ml Alc.95% 2. Saturated bluish eosin dalam alc.95% 3. Basic Fuchsin dalam larutan Fenol ; 10 ml larutan no.1 dan 170 ml larutan fenol 5% Pembuatan larutan Williams ; Campurkan dua bagian larutan no.3 dan satu bagian larutan no.2. biarkan selama 14 hari, dan disaring sebelum digunakan.
Lampiran 4 Langkah-langkah pewarnaan Williams
1
Preparat ulas semen segar 4
Dikering udarakan
2
Fixasi dengan bunsen 5
Chloramin 0,5%, 1-2 menit 8
7
Distilled water 10
Ditiriskan 13
Dikering udarakan
Ditiriskan 11
3
Alkohol absolut, 4 menit 6
Ditiriskan 9
Alkohol 95% 12
Larutan Williams, 8-10 menit Cuci dengan air mengalir 14
Diperiksa dengan mikroskop Pembesaran 400x