PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pembuatan Biodiesel Karet dan Biodiesel Sawit dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2013
Sabinazan Musadhaz NIM F351090051
i
ABSTRACT SABINAZAN MUSADHAZ. Production of Rubberseed Biodiesel and Palm Biodiesel using Ultrasonic Instrument and Characteristics of Its Blending. Under direction of DWI SETYANINGSIH and DJENI HENDRA Biodiesel is one of known alternative fuel, obtained by oil processing, for example from rubberseed oil and palm oil. Conventionally, biodiesel obtained by reacted oil with methanol for 1 hour at temperature of 65 oC with mechanical stirring, using homogenous catalyst such as NaOH. Homogeneous catalysts dissolve fully in the glycerol layer and partially in the biodiesel layer during the triglyceride transesterification process. Heterogeneous (solid) catalysts, such as CaO, can prevent contamination, making product separation much easier. Moreover, the reaction time of conventional methods can be shortened by applying ultrasonic energy. This research consists of several stages, aimed to obtain biodiesel yield from transesterification using homogenous and heterogenous catalyst, to produce rubberseed biodiesel and palm biodiesel by applying ultrasonic energy, and then obtain the characteristics of palm biodiesel, rubberseed biodiesel, and mix of both. The result showed that the transesterification process using heterogenous catalyst need longer time and give the lower biodiesel yield than the transesterification using homogenous catalyst. Ultrasonic transesterification of palm oil gives a greater yield then the conventional stirring methods, which ultrasonic transesterification yield range between 96.52% to 98.03% and the acid number range from 0.50 mg KOH/g sample to 0.63 mg KOH/g sample. Ultrasonic esterification succeeded in reducing acid value of rubber seed oil in a shorter time, which is smaller than acid value by 30 minute conventional esterification. Ultrasonic transesterification only succeeded to form biodiesel from rubberseed oil that has gone through the 30 minutes ultrasonic esterification (78.84% yield) and through an 1 hour conventional esterification (91.55% yield). Rubberseed biodiesel, palm methyl ester, and a blended of both meets the SNI-04-7182-2006 on the characteristics of acid value, density, viscosity, and cloud point. The iodine number of rubberseed biodiesel was still above the standard, but blending palm methyl ester to rubberseed biodiesel can reduce the iodine number of blended biodiesel to meet the standards. Production cost analysis at biodiesel blended (25% palm methyl ester ini rubberseed biodiesel) resulted : ultrasonic methods still more expensive than conventional methods. Keywords : Biodiesel, rubberseed oil, palm oil, catalyst, ultrasonic, blending characteristics.
ii
RINGKASAN SABINAZAN MUSADHAZ. Pembuatan Biodiesel Karet dan Biodiesel Sawit dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan DJENI HENDRA. Menipisnya jumlah bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi kebutuhan energi dunia menyebabkan peningkatan pada pengembangan penelitian mengenai pembuatan bahan bakar alternatif pengganti BBM. Salah satunya adalah pembuatan biodiesel sebagai pengganti solar, yang diperoleh dari reaksi transesterifikasi minyak nabati. Selama ini reaksi transesterifikasi antara minyak (trigliserida) dan metanol berlangsung secara konvensional menggunakan metode pengadukan mekanis, selama 1 jam, pada suhu 60-65 oC. Penggunaan pengaduk mekanis yang memakan waktu cukup lama ini sebenarnya dapat diganti dengan menerapkan gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik dapat memperkecil ukuran droplet minyak dan metanol menjadi lebih kecil daripada droplet yang dihasilkan dari metode konvensional menggunakan pengaduk mekanis. Ukuran droplet yang lebih kecil tersebut akan menyebabkan kontak yang lebih intens di antara kedua reaktan, sehingga dapat mempercepat waktu reaksi. Katalis yang umum digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis homogen, seperti NaOH. Penggunaan katalis homogen ini menyebabkan biodiesel dan gliserol yang dihasilkan cenderung mengandung sisa-sisa NaOH (dianggap sebagai pengotor). Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba melakukan reaksi transesterifikasi menggunakan katalis heterogen (CaO) yang sifatnya lebih mudah dipisahkan pada tahap pemurnian biodiesel. Sawit dan karet selama ini telah menjadi komoditas perkebunan unggulan dari Indonesia. Kedua komoditas tersebut menjadikan Indonesia sebagai tiga besar eksportir sawit dan karet ke pasar global. Minyak biji karet dan minyak sawit yang produksinya cukup melimpah sangat potensial jika diolah menjadi biodiesel. Minyak biji karet mengandung asam-asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi sehingga jika diolah menjadi biodiesel akan memiliki titik tuang dan titik kabut yang rendah, sehingga lebih mampu bertahan untuk digunakan pada musim dingin. Namun, tingginya ester asam-asam lemak tidak jenuh tersebut juga menyebabkan rendahnya stabilitas oksidatif dan tingginya bilangan iod biodiesel biji karet (menjadi tidak sesuai standar SNI Biodiesel, SNI-04-7182-2006). Di sisi lain, selama ini kualitas biodiesel sawit telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh SNI Biodiesel, tetapi biodiesel sawit memiliki titik kabut dan titik tuang yang cukup tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kelancaran aliran biodiesel sawit di dalam filter, pompa, dan injektor sehingga akan menyulitkan dalam pengoperasian mesin di musim dingin. Penurunan titik kabut biodiesel sawit dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya melalui pencampuran dengan biodiesel biji karet. Selain itu, adanya perlakuan pencampuran juga akan membantu dalam meningkatkan stabilitas oksidatif maupun penurunan bilangan iod biodiesel biji karet akibat meningkatnya jumlah ester asam-asam lemak jenuh yang diberikan dari biodiesel sawit. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu dimulai dari tahap pengepressan dan degumming minyak biji karet, penelitian mengenai penggunaan katalis heterogen CaO dalam reaksi transesterifikasi olein sawit, penggunaan
iii
instrumen ultrasonik pada pembuatan biodiesel dari minyak biji karet dan olein sawit, pencampuran biodiesel biji karet dan biodiesel sawit, karakterisasi masingmasing biodiesel (biodiesel biji karet dan biodiesel sawit), serta karakterisasi campuran biodiesel biji karet dan biodiesel sawit. Selain itu telah dilakukan pula analisis kelayakan terhadap pabrik pengolahan biodiesel (campuran biodiesel biji karet dan sawit) yang proses produksinya menggunakan metode ultrasonik. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium, diperoleh hasil bahwa transesterifikasi dengan katalis CaO perlakuan kalsinasi 800 oC dan 900 oC selama 2 jam berhasil membentuk biodiesel. Namun, biodiesel yang diperoleh memiliki rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan yang menggunakan katalis NaOH. Secara berturut-turut, rendemen biodiesel menggunakan CaO yang dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 800 oC dan 900 oC adalah sebesar 81,32% dan 63,13%. Penggunaan gelombang ultrasonik pada transesterifikasi olein sawit dengan parameter waktu dan amplitudo ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata (pada taraf α = 5%) terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel. Namun, dibandingkan dengan metode konvensional, aplikasi ultrasonik memberikan rendemen biodiesel yang lebih tinggi pada waktu yang lebih singkat dan suhu yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan aplikasi ultrasonik mampu menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan energi mekanis yang dihasilkan dari metode konvensional. Aplikasi gelombang ultrasonik pada esterifikasi minyak biji karet dengan faktor perlakuan waktu esterifikasi (15; 22,5; dan 30 menit) ternyata memberikan hasil bahwa waktu perlakuan 30 menit memberikan hasil penurunan bilangan asam dan ALB yang paling kecil. Nilai ini bahkan lebih kecil dibandingkan dengan esterifikasi metode konvensional selama 30 menit. Namun, ketika dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi ultrasonik, ternyata rendemen minyak biji karet hasil esterifikasi ultrasonik 30 menit masih terbilang cukup rendah (78,84%). Rendemen biodiesel biji karet yang diproses dari minyak biji karet yang telah melalui esteerifikasi konvensional 1 jam dilanjutkan transesterifikasi ultrasonik memberikan hasil yang lebih tinggi, yaitu 91,55%. Penelitian diakhiri dengan melakukan penambahan metil ester sawit ke dalam biodiesel biji karet (dengan persentase penambahan metil ester sawit sebesar 25%, 50%, dan 75%). Setelah itu dilakukan analisis terhadap beberapa karakteristik biodiesel, dan diperoleh hasil bahwa biodiesel biji karet murni, metil ester sawit murni, dan campuran kedua biodiesel tersebut memiliki karakteristik bilangan asam, densitas, viskositas, dan titik kabut yang memenuhi standar SNI04-7182-2006. Bilangan iod biodiesel biji karet murni masih berada di atas standar, tetapi adanya penambahan metil ester sawit ke dalam biodiesel biji karet berhasil menurunkan bilangan iod campuran biodiesel menjadi sesuai standar. Perhitungan harga pokok produksi (HPP) yang dilakukan terhadap kedua metode tersebut (metode ultrasonik dan metode konvensional) memberikan hasil bahwa metode ultrasonik masih lebih mahal biaya produksinya dibandingkan dengan metode konvensional. HPP produksi biodiesel dengan metode ultrasonik adalah sebesar Rp 7.507 per liter sedangkan HPP produksi biodiesel dengan metode konvensional adalah sebesar Rp 6.714 per liter.
iv
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjuauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
v
vi
PEMBUATAN BIODIESEL KARET DAN BIODIESEL SAWIT DENGAN INSTRUMEN ULTRASONIK SERTA KARAKTERISTIK CAMPURANNYA
SABINAZAN MUSADHAZ
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP, MT
viii
Judul Tesis : Pembuatan Biodiesel Karet dan Biodiesel Sawit dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya Nama : Sabinazan Musadhaz NIM : F351090051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si Ketua
Ir. Djeni Hendra, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
Tanggal Ujian : 8 Maret 2013
Tanggal Lulus :
ix
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan segala karunia-Nya sehingga penulis dapat membuat dan menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini adalah biodiesel, dengan judul Pembuatan Biodiesel Karet dan Biodiesel Sawit dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si serta Bapak Ir. Djeni Hendra, M.Si yang telah banyak memberikan saran, arahan, dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP, MT sebagai penguji luar komisi atas segala saran atas perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan pula kepada ibu Dr. Titi Candra Sunarti, M.Si atas masukannya untuk perbaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada para dosen, teman-teman sesama mahasiswa Pasca Sarjana, laboran dan teknisi laboratorium, serta kepada Bapak Ali (Puslit Kehutanan) yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang dalam penulis sampaikan kepada Ayahanda Muhammad Sadik Aziz dan Ibunda Bibinoor atas segala do’a, nasehat, dan motivasi yang selalu diberikan sepanjang hidup penulis. Kepada suamiku Dito Cahya Renaldi serta ananda Muhammad Ghazwan Ar-Rasyid dan Muhammad Azfar Aziz atas segala pengertian dan kasih sayangnya selama penulis menempuh perkuliahan. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada saudaraku Alperizada dan Medhanita, serta Papa Totok Darussalam dan Mama Lilik Hertantini atas dukungannya kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Sabinazan Musadhaz
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Pontianak pada tanggal 14 Juli 1986 dari Bapak Ir. M. Sadik Aziz, MM dan ibu Bibinoor. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan SD, SMP, dan SMA penulis tempuh di kota Pontianak. Tahun 2004 penulis lulus dari SMAN 1 Pontianak dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, lulus pada tahun 2008. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas yang sama, pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
.......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi 1
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 4 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
3
Biodiesel ................................................................................................ Karet ...................................................................................................... Sawit ..................................................................................................... Ultrasonik ............................................................................................. Titik Kabut Biodiesel ........................................................................... Stabilitas Oksidatif Biodiesel ...............................................................
5 13 17 21 23 26
BAHAN DAN METODE ........................................................................... 28 3.1 Bahan dan Alat ..................................................................................... 3.2 Metode Penelitian ................................................................................. 3.2.1 Penyiapan Minyak Biji Karet ........................................................ 3.2.2 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis NaOH dan Katalis Heterogen CaO .......................................................... 3.2.3 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ........................................................................... 3.2.4 Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ........................................................................... 3.2.5 Transesterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ........................................................................... 3.2.6 Aplikasi Metil Ester Sawit ke dalam Biodiesel Biji Karet ............ 3.3 Rancangan Percobaan ...........................................................................
4
5
28 28 28 30 31 32 33 35 35
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 38 4.1 Penyiapan Minyak Biji Karet ............................................................... 4.2 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis Homogen NaOH dan Katalis Heterogen CaO ................................................... 4.3 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ................................................................................ 4.4 Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ................................................................................ 4.5 Transesterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ................................................................................ 4.6 Aplikasi Metil Ester Sawit pada Biodiesel Biji Karet ........................ 4.6.1 Bilangan Asam ............................................................................ xii
38 40 43 47 48 50 51
5
4.6.2 Viskositas Kinematik .................................................................. 4.6.3 Densitas ...................................................................................... 4.6.4 Bilangan Iod................................................................................ 4.6.5. Stabilitas Oksidatif ..................................................................... 4.6.6. Titik Tuang dan Titik Kabut ....................................................... 4.7 Perhitungan Harga Pokok Produksi Biodiesel Karet dengan Aplikasi Metil Ester Sawit menggunakan Metode Ultrasonik dan Metode Konvensional ................................................................
52 54 55 56 58
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................
62
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 5.2 Saran ...................................................................................................
62 63
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
64
LAMPIRAN ..............................................................................................
71
xiii
60
DAFTAR TABEL Halaman Parameter umum kualitas biodiesel yang diatur oleh standar beberapa negara .......................................................................................
11
2
Standardisasi biodiesel ............................................................................
12
3
Penelitian terdahulu tentang biodiesel biji karet .....................................
14
4
Ekstraksi dan pengolahan minyak dari biji karet ....................................
15
5
Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet dan minyak sawit ...........................................................................................
16
6
Karakteristik minyak biji karet ...............................................................
16
7
Produksi dan pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain ...............................................................................................
17
Karakteristik minyak sawit, biodiesel sawit dan Petrodiesel (Diesel No.2) ...........................................................................................
19
Penelitian terdahulu tentang biodiesel sawit ...........................................
20
10 Sifat masing-masing metil ester asam lemak ..........................................
25
11 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO ................
41
12 Bilangan asam dan ALB minyak biji karet hasil esterifikasi ..................
47
13 Hasil transesterifikasi ultrasonik minyak biji karet hasil esterifikasi ......
49
14 Karakteristik biodiesel biji karet dan biodiesel sawit sebelum dilakukan pencampuran ............................................................
51
1
8 9
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Reaksi transesterifikasi dengan bantuan katalis basa .............................
8
2
Pohon karet dan biji karet ......................................................................
14
3
Pie chart pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain ........
17
4
Penampang biji sawit .............................................................................
18
5
Pengaruh faktor waktu dan amplitudo terhadap input energi ...............
22
6
Transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO dan NaOH ....
31
7
Pembuatan biodiesel karet dan biodiesel sawit dengan metode ultrasonik dan konvensional ..................................................................
34
Pengaruh faktor % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik terhadap besar energi (J) yang dihasilkan .............................
44
Pengaruh faktor % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik terhadap rendemen biodiesel sawit .......................................
45
10 Pengaruh faktor % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik terhadap bilangan asam biodiesel sawit ...............................
46
11 Bilangan asam biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit .....................................................................................
52
12 Viskositas biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit .....................................................................................
53
13 Densitas biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit .....................................................................................
54
14 Bilangan iod biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit .....................................................................................
56
15 Stabilitas oksidatif (jam) biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ................................................................
57
16 Titik tuang biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit .....................................................................................
59
17 Titik kabut biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit .....................................................................................
59
8 9
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Prosedur Analisis .................................................................................
73
a. Analisis kadar asam lemak bebas ........................................................
73
b. Perhitungan rendemen biodiesel .........................................................
73
c. Analisis bilangan asam biodiesel ........................................................
74
d. Analisis bilangan iod ..........................................................................
74
e. Analisis viskositas kinematik biodiesel pada 40oC ............................
75
f. Analisis titik kabut dan titik tuang biodiesel ......................................
76
g. Analisis stabilitas oksidatif biodiesel metode Rancimat ....................
80
2
Biji karet utuh yang belum dikupas .......................................................
82
3
Biji karet setelah dikupas .......................................................................
82
4
Ekstraksi dan degumming minyak biji karet ..........................................
83
5
Kadar air biji karet setelah dua kali penjemuran ....................................
84
6
Persentase minyak biji karet hasil pengempaan .....................................
84
7
Bilangan asam dan kadar asam lemak bebas (ALB) minyak biji karet setelah dikempa .......................................................................
84
Proses dekantasi setelah degumming minyak menggunakan asam fosfat .............................................................................................
85
Proses pencucian pada proses degumming .............................................
85
10 Alat sentrifugasi untuk memisahkan gum ..............................................
86
11 Nilai bilangan asam dan kadar asam lemak bebas minyak biji karet hasil degumming dan sentrifugasi ...........................................
86
12 Rendemen minyak biji karet setelah degumming dan sentrifugasi ........
86
13 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO yang telah dikalsinasi .....................................................................
87
14 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis NaOH ............
87
15 Reaksi transesterifikasi menggunakan instrumen ultrasonik .................
88
16 Data perhitungan energi pada transesterifikasi ultrasonik olein sawit ...
88
17 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ....................................................................................
89
1
8 9
18 Hasil esterifikasi minyak biji karet menggunakan Ultrasonic Probe Instrument dengan amplitudo sebesar 40% ................................. 19 Karakteristik biodiesel biji karet dan biodiesel sawit sebelum dan setelah dilakukan pencampuran .......................................................
xvi
89 90
20 Perhitungan kapasitas produksi biodiesel biji karet dan metil ester sawit per hari menggunakan metode ultrasonik.............................
91
21 Perhitungan kapasitas produksi biodiesel biji karet dan metil ester sawit per hari menggunakan metode konvensional ......................
92
22 Asumsi banyaknya biji karet yang mampu dihasilkan per hari dari Desa Nanga Jetak, Sintang, Kalbar .........................................
94
23 Perhitungan biaya produksi minyak biji karet .......................................
94
24 Neraca massa pengolahan minyak biji karet ..........................................
95
25 Asumsi untuk analisis harga pokok produksi campuran biodiesel ........
96
26 Biaya investasi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ..................................................................................
97
27 Biaya investasi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional .............................................................................
98
28 Biaya penyusutan untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ..................................................................................
99
29 Biaya penyusutan untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional .............................................................................
100
30 Biaya variabel untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ..................................................................................
100
31 Biaya variabel untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional .............................................................................
101
32 Biaya tetap untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ..................................................................................
102
33 Biaya tetap untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional .............................................................................
103
34 Biaya operasional untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ..................................................................................
104
35 Biaya operasional untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional .............................................................................
104
36 Perhitungan harga pokok produksi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ......................................................
105
37 Perhitungan harga pokok produksi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional .................................................
105
38 Spesifikasi instrumen ultrasonik merk Hielscher Tipe UIP500hd ........
106
39 Flow chart proses produksi biodiesel dengan instrumen ultrasonik ...............................................................................................
108
xvii
PEMBUATAN BIODIESEL KARET DAN BIODIESEL SAWIT DENGAN INSTRUMEN ULTRASONIK SERTA KARAKTERISTIK CAMPURANNYA
SABINAZAN MUSADHAZ
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
xviii
1
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan Bakar Fosil (BBF) berupa minyak bumi, batu bara, dan gas alam telah menjadi kebutuhan energi global terbesar. Konsumsi terhadap BBF tersebut diperkirakan oleh Energy Information Administration (bagian dari Departemen Energi AS) akan meningkat 57% dari tahun 2002 hingga 2025. Padahal, di sisi lain ternyata cadangan minyak sumber BBF semakin berkurang. Berdasarkan laporan dari Congressional Research Service (CRS) kepada Komisi Energi, jika tidak ada perubahan pola konsumsi, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 30-50 tahun lagi (Prihandana & Hendroko 2007). Berangkat dari hal tersebut, pemerintah di seluruh dunia menjadi semakin peduli pada upaya-upaya mengurangi penggunaan BBF. Salah satu alternatif yang telah dilakukan adalah dengan menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai pengganti BBF, yang sifatnya lebih terbarukan karena diproduksi dari tanaman. BBN tersebut dapat dibagi menjadi biodiesel, bioetanol, biogas, dan biobriket. Biodiesel merupakan BBN yang diolah dari minyak/lemak. Indonesia sebagai negara agraris memiliki beberapa tanaman penghasil minyak/lemak, misalnya tanaman sawit dan karet. Sawit dan karet selama ini telah menjadi komoditas perkebunan unggulan dari Indonesia. Kedua komoditas tersebut menjadikan Indonesia sebagai tiga besar eksportir sawit dan karet ke pasar global. Tahun 2011, Indonesia memproduksi 2,8 juta ton karet/tahun dengan luas areal 3,4 juta hektar (Kementan 2011). Menurut Suparno et al. (2010), produksi biji karet Indonesia adalah sebesar 1500 kg/ha/tahun, sehingga dapat dihitung potensi biji karet Indonesia tidak kurang dari 5,1 juta ton per tahun. Menurut Soerawidjadja et al. (2005), biji karet mengandung 40-50% minyak, sehingga dapat dihitung potensi minyak biji karet Indonesia adalah sekitar 2,04 - 2,55 juta ton per tahun. Namun, potensi minyak biji karet sebesar itu masih belum termanfaatkan secara maksimal. Minyak biji karet mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 79,45% (Abdullah & Salimon 2009) sehingga jika diolah menjadi biodiesel akan memiliki titik tuang dan titik kabut yang rendah, dan lebih mampu bertahan untuk
2
digunakan pada musim dingin. Namun, karena tingginya ester asam-asam lemak tidak jenuh yang dikandungnya, menyebabkan stabilitas oksidatif biodiesel biji karet menjadi lebih rendah, serta bilangan iod-nya menjadi cukup tinggi (di atas standar SNI Biodiesel) (Prihandana & Hendroko 2007). Selama ini kualitas biodiesel sawit telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh SNI Biodiesel (SNI-04-7182-2006). Namun, permasalahan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan ekspor biodiesel sawit adalah titik kabut yang tidak sesuai jika biodiesel tersebut diekspor ke negara bermusim dingin. Berbeda dengan minyak solar yang memiliki titik kabut mencapai -16 oC hingga -31 oC (Dunn 2005), biodiesel sawit memiliki titik kabut sekitar 12 oC dan titik tuang sekitar 8-9 oC (Sundaryono 2011; Aziz et al. 2011). Hal ini dapat mempengaruhi kelancaran aliran biodiesel sawit di dalam filter, pompa, dan injektor sehingga akan menyulitkan dalam pengoperasian mesin di musim dingin (Dunn 2005). Penurunan titik kabut biodiesel sawit dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya melalui pencampuran dengan solar ataupun dengan biodiesel lain. Pencampuran biodiesel sawit dengan biodiesel biji karet diharapkan dapat meningkatkan komposisi ester asam lemak tidak jenuh di dalam biodiesel sawit hasil pencampuran. Tingginya komposisi ester asam lemak tidak jenuh berikatan rangkap akan membantu biodiesel sawit menjadi lebih tahan terhadap kristalisasi atau pemadatan pada suhu dingin. Hal ini berimbas pada penurunan titik kabut biodiesel sawit. Selain itu, adanya perlakuan pencampuran juga akan membantu dalam meningkatkan stabilitas oksidatif maupun penurunan bilangan iod biodiesel biji karet akibat meningkatnya jumlah ester asam-asam lemak jenuh yang diberikan dari biodiesel sawit. Proses transesterifikasi pada prinsipnya adalah mereaksikan metanol dengan minyak (dibantu dengan katalis basa) sehingga terbentuk metil ester dan gliserol. Menurut Wu et al. (2007), metanol, dan katalis basa berupa alkoksida maupun alkali bersifat tidak terlalu larut di dalam minyak dan laju reaksi transesterifikasi hanya dibatasi pada daerah antar muka metanol-minyak. Oleh sebab itu, secara konvensional reaksi transesterifikasi membutuhkan agitasi mekanis menggunakan pengaduk propeller maupun magnetic stirrer yang akan mengecilkan ukuran droplet metanol maupun minyak. Semakin tinggi kecepatan putaran pengadukan,
3
semakin kecil ukuran droplet reaktan, sehingga meningkatkan jumlah area antar muka metanol-minyak (Wu et al. 2007). Metode konvensional menggunakan pengadukan mekanis umumnya memakan waktu cukup lama (sekitar 1 jam) dan sebenarnya dapat dipersingkat dengan bantuan energi ultrasonik. Menurut Wu et al. (2007), gelombang ultrasonik yang dirambatkan pada cairan akan menimbulkan peregangan dan pemampatan pada ruang antar cairan, yang selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya gelembung mikro. Gelembung mikro bersifat sangat tidak stabil, berumur sangat singkat (kurang dari 1 x 10-7 detik), dan ketika gelembung tersebut pecah, proses pecahnya gelembung mikro ini membantu mengecilkan ukuran droplet metanol maupun droplet minyak menjadi lebih kecil (42% lebih kecil daripada droplet hasil metode pengadukan konvensional). Hal ini menyebabkan jumlah area antar muka kedua fase reaktan (metanol dan minyak) bertambah banyak, sehingga membantu proses emulsifikasi dan transfer massa yang sangat cepat di antara kedua reaktan tersebut (Sampayo & Javier 2005; Ji et al. 2006; Wu et al. 2007). Selanjutnya akan menyebabkan proses pembentukan metil ester (biodiesel) yang lebih cepat dibandingkan dengan metode konvensional. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh jenis katalis (homogen dan heterogen) terhadap rendemen biodiesel sawit 2) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh suhu dan waktu kalsinasi CaO terhadap rendemen biodiesel sawit 3) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh waktu dan persentase amplitudo pemaparan gelombang ultrasonik pada transesterifikasi olein sawit terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel yang dihasilkan 4) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh waktu pemaparan gelombang ultrasonik dan pada esterifikasi-transesterifikasi minyak biji karet terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel yang dihasilkan 5) Mendapatkan informasi mengenai karakteristik metil ester sawit, biodiesel biji karet, dan campuran keduanya.
4
1.3. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari : 1) Perbandingan proses transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis NaOH dan katalis CaO yang telah dikalsinasi pada suhu dan waktu tertentu 2) Pengaruh amplitudo dan waktu pemaparan gelombang ultrasonik pada reaksi transesterifikasi olein sawit 3) Pengaruh waktu pemaparan gelombang ultrasonik pada reaksi esterifikasi ultrasonik minyak biji karet 4) Analisa rendemen, bilangan asam, dan ALB biodiesel biji karet yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi ultrasonik 5) Karakterisasi biodiesel biji karet, metil ester sawit, dan campuran keduanya.
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiesel Biodiesel (fatty acid methyl ester / FAME) merupakan bioenergi, atau bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel atau solar, yang diproduksi dari minyak nabati maupun hewani. Minyak nabati umumnya lebih sering digunakan karena lebih murah dan lebih cepat diperbaharui. Minyak nabati bersifat lebih kental dan angka setananya lebih rendah dibandingkan dengan solar, sehingga lebih sulit untuk diaplikasikan langsung ke dalam mesin diesel. Oleh sebab itu, perlu diubah menjadi biodiesel, sehingga viskositasnya menjadi lebih rendah daripada minyak nabati, serta angka setananya menjadi meningkat (Gerpen & Knothe 2005). Proses umum yang digunakan untuk mengubah minyak nabati menjadi biodiesel adalah dengan melakukan reaksi transesterifikasi, baik menggunakan katalis asam maupun katalis basa, tergantung dari kandungan asam lemak bebas dalam minyak. Selain itu, telah dikembangkan beberapa metode baru dalam produksi biodiesel. Diantaranya dengan proses non-katalitik (menggunakan metanol superkritik), proses in-situ, serta penggunaan katalis biologis / enzimatis (Joelianingsih et al. 2006). Menurut Kinast (2003), berdasarkan kandungan asam lemak bebas (ALB / free fatty acid) di dalamnya, minyak nabati dapat dibagi menjadi tiga, sebagai berikut : -
Refined oils, yaitu minyak nabati yang telah dimurnikan sehingga kandungan ALB-nya turun mencapai kurang dari 1,5%.
-
Minyak nabati yang kandungan ALB-nya kurang dari 4%.
-
Minyak nabati dengan kandungan ALB lebih tinggi dari 20%.
Minyak yang memiliki kandungan ALB sangat rendah (kurang dari 0.5%) dapat diolah menggunakan 1 tahap reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa. Jika ALB minyak mencapai di atas 2%, reaksi menggunakan katalis basa tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan ALB akan bereaksi dengan katalis basa. Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan ALB melalui transesterifikasi
6
menggunakan katalis asam, atau biasa disebut reaksi esterifikasi (Gerpen & Knothe 2005). Metode
esterifikasi
menggunakan
katalis
asam
bertujuan
untuk
mengkonversi asam lemak bebas (ALB) dari minyak menjadi metil ester, dan kemudian mengkonversi trigliserida (reaksi lambat) menjadi metil ester. Hal ini dapat terjadi, karena ALB bereaksi dengan metanol membentuk metil ester dan air. Jika metode ini tidak dilakukan (melainkan dengan melangsungkan transesterifikasi berkatalis basa), ALB yang ada akan bereaksi dengan katalis basa sehingga akan menurunkan aktivitas katalitik. Selain itu, reaksi antara ALB dengan katalis basa akan membentuk emulsi sabun, bahkan pada konsentrasi ALB >5% akan terjadi pembentukan gel (Canacki & Gerpen 1999). Emulsi sabun tersebut akan menyulitkan dalam proses pemisahan metil ester dengan gliserol sehingga mengurangi yield biodiesel yang dihasilkan. Selain itu, jika ALB masih terdapat di dalam biodiesel, akan meningkatkan nilai bilangan asam di atas standar, sehingga dapat mengakibatkan korosi pada mesin diesel.
ALB
(Reaksi konversi asam lemak bebas menjadi alkil ester)
ALB
(Reaksi penyabunan)
Katalis
yang digunakan pada metode esterifikasi adalah katalis asam,
misalnya H2SO4 ataupun HCl (Gerpen & Knothe 2005; Hambali et al., 2007a). Katalis asam tersebut selain mengesterifikasi asam lemak bebas juga mengkonversi trigliserida menjadi metil ester tetapi dengan kecepatan yang lebih
7
rendah dibandingkan transesterifikasi menggunakan katalis basa (Freedman et al. 1984). Menurut Rachmaniah (2004) penggunaan katalis asam klorida pro-analis (5% b/b) pada reaksi esterifikasi minyak dedak padi (yang tinggi kandungan asam oleat dan asam linoleat-nya) dengan ALB tinggi (15%, 60%, dan 70%) akan membantu dalam mempercepat reaksi esterifikasi asam lemak menjadi metil ester. Di sisi lain, konversi trigliserida menjadi metil ester pada minyak tersebut berlangsung lebih lambat. Keseluruhan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan esterifikasi terhadap minyak dedak padi menggunakan katalis asam klorida tersebut hanya 60 menit, dengan konversi ALB menjadi metil ester mencapai 98% dengan semakin tingginya jumlah ALB di dalam minyak (ALB mencapai 70%). Metode transesterifikasi bertujuan untuk mengkonversi trigliserida menjadi alkil ester. Reaksi ini berlangsung lambat tanpa bantuan katalis. Hal ini disebabkan sifat metanol dan minyak yang tidak dapat bercampur (immiscible), oleh sebab itu dibutuhkan katalis yang bertindak dalam menyediakan ion untuk pertukaran ion antara kedua fase metanol dan minyak serta menurunkan energi aktivasi, sehingga reaksi berlangsung lebih cepat (Altic 2010). Katalis basa yang umum digunakan dalam transesterifikasi adalah NaOH dan KOH. Katalis NaOH lebih mudah diperoleh dan lebih murah, serta menghasilkan waktu reaksi yang lebih singkat dibandingkan penggunaan katalis KOH (Vicente et al. 2004). Secara skematis reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Singh (2008), reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester terbagi menjadi tiga reaksi, dengan monogliserida dan digliserida sebagai hasil reaksi parsial. Pertama-tama, trigliserida bereaksi dengan metanol membentuk digliserida dan metil ester pertama. Hal ini dapat terjadi diawali dengan pembentukan katalis yang telah terprotonasi (BH+) dan metoksida (RO-) hasil reaksi metanol dan katalis basa. Setelah reaksi di atas terjadi, selanjutnya serangan nukleofilik dari metoksida menyerang trigliserida untuk reaksi membentuk metil ester dan digliserida. Hal ini juga berlangsung kepada digliserida untuk reaksi serupa, membentuk metil ester dan monogliserida serta kepada monogliserida untuk membentuk metil ester dan gliserol. Hasil akhir yang diperoleh adalah tiga
8
molekul metil ester dan 1 molekul gliserol dari reaksi 1 molekul trigliserida dan 3 molekul metanol.
Gambar 1 Reaksi transesterifikasi dengan bantuan katalis basa (Singh 2008).
Selain katalis homogen yang sudah dijelaskan di atas, terdapat jenis katalis heterogen yang sifatnya berbeda fase dengan reaktan maupun produk, serta dapat digunakan berulang kali. Katalis heterogen tersebut umumnya berasal dari senyawa kimia Golongan IIA pada unsur periodik kimia, seperti Mg, Ca, Sr, dan Ba. Kekuatan ion yang disumbangkan oleh senyawa oksidanya berturut-turut meningkat mulai dari yang paling lemah adalah oksida Mg < Ca < Sr < Ba (D’Cruz et al. 2007). Penggunaan katalis heterogen memungkinkan output dari proses produksi biodiesel lebih ramah lingkungan, tidak membutuhkan banyak air pencuci, dan menghasilkan gliserol yang lebih bersih. Serio et al. (2006) melakukan transesterifikasi minyak kedelai pada suhu 100 oC, dan menghasilkan rendemen lebih dari 45% untuk katalis MgO dan lebih dari 75% untuk katalis hidrotalsit terkalsinasi. Rendemen biodiesel meningkat hingga lebih dari 95% untuk kedua katalis tersebut ketika suhu reaksi ditingkatkan menjadi 200 oC. Zhu et al. (2006) memperoleh rendemen biodiesel minyak jarak
9
pagar sebesar 93% dari hasil 3,5 jam transesterifikasi suhu 70 oC, rasio molar metanol : minyak 9:1, menggunakan 1,5% katalis CaO yang direndam ammonium nitrat dilanjutkan kalsinasi 900 oC. Nazir (2011) memperoleh rendemen biodiesel jarak sebesar 95% dari hasil transesterifikasi selama 2 jam pada suhu 65 oC, rasio molar metanol : minyak (12:1), dan menggunakan 2,5% katalis CaO (hasil pembakaran batu kapur CaCO3 selama 1,5 jam pada suhu 900 oC). Reaksi transesterifikasi menggunakan katalis CaO dapat dilihat seperti di bawah ini (Sari et al. 2011) :
............(1)
............(2)
............ (3)
10
.......................... (4)
Alkohol digunakan sebagai pereaksi untuk membentuk alkil ester. Alkil ester yang terbentuk dapat berupa metil ester, etil ester, dan sebagainya tergantung dari jenis alkohol yang digunakan. Jika alkohol yang digunakan adalah metanol (metil alkohol) maka biodiesel / alkil ester yang terbentuk berupa metil ester. Kelarutan minyak di dalam alkohol meningkat dengan semakin panjangnya jumlah atom karbon alkohol, namun jenis alkohol yang umum digunakan dalam produksi biodiesel adalah alkohol rantai pendek, yaitu etanol dan metanol. Kedua jenis alkohol tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Penggunaan metanol mampu menghasilkan biodiesel dengan rendemen dan kemurnian yang paling tinggi karena reaktivitasnya yang tinggi (disebabkan rantainya paling pendek dibandingkan jenis alkohol yang lain), lebih cepat bereaksi dibandingkan etanol, murah, dan dapat dengan mudah dipisahkan dari gliserol (Sivakrasam & Saravanan 2007; Özgul-Ÿucel & Turkay 2003; Joshi et al. 2010). Selain itu, metanol memiliki afinitas yang rendah terhadap penyerapan uap air udara, serta kadar airnya mudah dipisahkan melalui distilasi sederhana sehingga lebih mudah diperoleh dalam bentuk anhidrat. Namun, metanol bersifat lebih toksik dibandingkan etanol, serta kurang ramah lingkungan dibandingkan etanol (Singh 2008). Etanol sebagai reaktan dalam pembentukan biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan metanol, yaitu adanya atom karbon tambahan menyebabkan biodiesel yang dihasilkan memiliki bilangan setana yang lebih tinggi. Adapun kekurangan dari penggunaan etanol adalah menyebabkan sulitnya pemisahan fase
11
gliserol dari fase etil ester, lebih sensitif dalam menyerap uap air, serta tingkat konversi yang lebih rendah dibandingkan metanol (Singh 2008). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, biodiesel dapat diolah dari beragam jenis minyak nabati. Menurut Mittelbach (1996), jenis minyak yang digunakan akan mempengaruhi beberapa parameter biodiesel, seperti densitas, bilangan setana, dan kandungan sulfur. Oleh karena itu, untuk menjamin keseragaman kualitas biodiesel yang dihasilkan, dan agar tidak mengganggu kinerja mesin diesel, pemerintah beberapa negara telah menerbitkan standar biodiesel (lihat Tabel 1). Standar yang mengatur parameter mutu biodiesel di Indonesia dijelaskan dalam SNI Biodiesel (SNI-04-7182-2006). Standar tersebut mengacu pada standar biodiesel internasional yaitu ASTM D6751 dan EN 14214, (lihat Tabel 2).
Tabel 1 Parameter umum kualitas biodiesel yang diatur oleh standar beberapa negara (Meher et al. 2006) No.
Parameter
Austria
Republik
Perancis
Czech (CSN)
Y7Jerman
Italia
Amerika
(awqDIN)
(UNI)
Serikat (ASTM)
1
Densitas (15 oC, g/cm3)
2
Viskositas o
(40
2
C, mm /s)
0,85 – 0,89
0,87 – 0,89
0,87 - 0,89
0,875 – 0,89
0,86 – 0,90
-
3,5 – 5,0
3,5 – 5,0
3,5 – 5,0
3,5 – 5,0
3,5 – 5,0
1,9 -6,0
100
110
100
130
3
Titik nyala (oC)
100
110
4
o
CFPP ( C)
0/-5
-5
-
0-10/-20
-
-
5
Titik tuang (oC)
-
-
-10
-
0/-5
-
6
Bilangan setana
≥ 49
≥ 48
≥ 49
≥ 49
-
≥ 47
7
Bilangan asam
≤ 0,8
≤ 0,5
≤ 0,5
≤ 0,5
≤ 0,5
≤ 0,8
0,05
0,05
-
0,05
-
0,05
(mg KOH/g) 8
Residu
karbon
(CCR, %)
12
Tabel 2 Standardisasi biodiesel Parameter Densitas (40oC)
Unit kg/m3
SNIa 850 – 890
ASTMb -
Metode ASTM D 1298
Viskositas (40oC)
mm2/s (cSt)
2,3 – 6,0
1,9 – 6,0
ASTM D 445
-
min. 51
Min. 47
ASTM D 613
min. 100
Min.130
max. 18
Laporan konsumen
max. no 3
Max. no 3
Angka setana Titik nyala (mangkok tertutup)
o
Titik kabut
o
C C
Korosi lempeng tembaga (3jam, 50oC) Residu karbon
ASTM D 93 ASTM D 2500 ASTM D 130
% berat
- sampel - 10% ampas distilasi Air & Sedimen*
% volum
Abu tersulfatkan
% berat
ASTM D 4530
Belerang
ppm (mg/kg)
Fosfor
ppm (mg/kg)
Bilangan asam (NA)
mg KOH/gr
max. 0,05 max. 0,3
Max. 0,05
Max. 0,05
Max. 0,05
ASTM D 2709 atau ASTM D 1796
Max. 0,02
Max. 0,02
ASTM D 874
Max. 100
Total belerang max. 0,05
Max.10
10
Max. 0,8
Max. 0,8
AOCS Cd 3d-63 atau ASTM D 664
Max. 0,02
0,02
AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584
Max. 0,24
0,24
AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584
ASTM D 5453 atau ASTM D 1266 AOCS Ca 12-55
Gliserol bebas
% berat
Gliserol total (Gttl)
% berat
Kadar ester alkil**
% berat
Min. 96,5
-
Dihitung
g I2/100g
Max. 115
-
AOCS Cd 1-25
Angka iodium
Uji Halphen Negatif Negatif Keterangan tabel : * = dapat dipisahkan, kandungan sedimen maksimum 0,01 % - vol 100 ( N S N A 4,57Gttl ) NS
** = kandungan ester (% berat) = Ns = bilangan penyabunan, mg KOH/gr biodiesel, metode AOCS Cd 3-25 NA = bilangan asam, mg KOH/gr biodiesel, metode AOCS Cd 3d-63 Gttl = gliserol total, % mass, AOCS Ca 14-56 Sumber : a BSN (2006) b Mittelbach & Remschmidt (2006)
AOCS Cb 1-25
13
2.2. Karet (Hevea brasiliensis) Karet alam (lateks) merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia. Pada tahun 2011, Indonesia memproduksi 2,8 juta ton karet/tahun (dengan luas areal 3,4 juta hektar), berada di peringkat kedua setelah Thailand, dan disusul Malaysia pada peringkat ketiga (Kementan 2011). Ketiganya memasok 70% dari kebutuhan karet alam dunia (Prihandana dan Hendroko 2007). Walaupun produksi karet Indonesia termasuk ke dalam tiga besar dunia, harga karet saat ini sangat rendah, yaitu mencapai 5,5 kali lebih murah dibandingkan tahun 1960. Hal ini menyebabkan pendapatan petani karet menjadi sangat kecil (Prihandana dan Hendroko 2007). Selama ini para petani hanya mengandalkan pada produksi getah, padahal bagian-bagian karet yang lain dapat pula diolah menjadi produk yang lebih bernilai ekonomi, antara lain kayu yang dapat diolah menjadi perabotan dan meubel, serta biji karet sebagai bahan baku biodiesel. Biji karet merupakan hasil produksi dari pohon karet kelompok umur menghasilkan. Umumnya pohon karet berbuah setelah umur 4-5 tahun dan berbuah sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu buah pertama pada bulan Januari hingga Maret, dan buah kedua pada bulan Oktober hingga Desember. Bobot biji karet berkisar antara 2-4 gram dan berukuran 2.5 cm hingga 3 cm, tergantung varietas, umur biji, dan kadar air. Menurut (Ramadhas et al. 2005), biji karet berbentuk bulat telur, dan rata pada salah satu sisinya (lihat Gambar 2). Menurut Nadaradjah (1969) diacu dalam Aliem (2008), biji karet terdiri atas 45-50% kulit biji dan 50-55% daging biji. Sumber biji karet yang potensial dapat diperoleh di perkebunan-perkebunan besar, karena perkebunan tersebut memiliki tanaman dengan kondisi terawat, topografi yang relatif datar, dan kebun yang bersih dari gulma, sehingga lebih mudah dalam pengumpulan biji karet (Tazora 2011). Menurut Suparno et al. (2010), produksi biji karet Indonesia sebesar 1500 kg/ha/tahun, dan jika dihitung dengan luas areal kebun karet Indonesia pada tahun 2011 (3,4 hektar) maka diperoleh hasil potensi biji karet Indonesia sebesar 5,1 juta ton per tahun.
14
Gambar 2 Pohon karet dan biji karet.
Selama ini potensi biji karet sebanyak itu hanya dibuang begitu saja, padahal biji karet mengandung minyak sebesar 40-50% dari berat kering (Soerawidjadja et al. 2005). Minyak dari biji karet tersebut belum potensial untuk dijadikan sebagai minyak makan. Hal ini dikarenakan adanya asam linolenat yang cukup tinggi sehingga menimbulkan bau yang tidak enak (Fachrie 2010). Oleh karena itu, minyak biji karet tersebut sangat potensial jika diolah menjadi biodiesel.
Tabel 3 Penelitian terdahulu tentang biodiesel biji karet Peneliti
Metodologi
Katalis
Suhu
Darismayanti (2007)
Pembuatan dengan metode konvensional esterifikasi – transesterifikasi
H2SO4 , KOH
50oC
Hermiyawan & Andriana (2007)
Pembuatan dengan metode konvensional esterifikasi – transesterifikasi
H2SO4 , NaOH
40 s/d 65oC
Yuliani & Primasari (2007)
Pembuatan dengan metode konvensional esterifikasi – transesterifikasi
H2SO4 , NaOH
60oC
Susila (2009)
Non-katalis Superheated metanol pada tekanan atmosfer
tidak dipakai
270 s/d 290 o C
Sari & Wahyuni (2010)
Evaluasi perancangan pabrik biodiesel biji karet
H2SO4 , NaOH
-
Hasil Rendemen biodiesel tertinggi (96,38%) diperoleh melalui esterifikasi 150 menit pada molar rasio metanol : minyak 6:1, serta transesterifikasi 40 menit Rendemen biodiesel tertinggi diperoleh melalui reaksi transesterifikasi pada suhu 60oC dengan konsentrasi NaOH 0,6% berat minyak Rendemen biodiesel tertinggi diperoleh melalui esterifikasi pada suhu 60oC dengan konsentrasi H2SO4 0,5% berat minyak. Minyak tanpa degumming serta memiliki kadar ALB tinggi dengan metode superheated metanol dapat langsung dilakukan transesterifikasi. Terbaik : 290oC, rasio mol metanol : minyak = 160:1 577,37 ton biji karet/hari, menghasilkan 133,14 ton biodiesel /hari
15
Minyak yang diperoleh dari biji karet cenderung mengandung gum. Gum merupakan suspensi koloid serupa getah, yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, dan resin. Sebelum dilakukan esterifikasi maupun transesterifikasi, gum tersebut perlu dihilangkan dari minyak dengan cara degumming. Hal ini dikarenakan gum tersebut dapat menghambat kelancaran proses esterifikasitransesterifikasi. Pengaruh gum terhadap proses esterifikasi-transesterifikasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika setelah dilakukan proses esterifikasi ternyata masih terdapat sejumlah asam lemak bebas yang belum terkonversi menjadi alkil ester, maka asam lemak bebas tersebut akan bereaksi dengan katalis basa dan membentuk sabun. Sabun yang terbentuk akan menyerap gum sehingga menambah jumlah partikel emulsi (Ketaren 2008). Akibatnya, proses pemisahan sabun dari biodiesel akan semakin terhambat serta rendemen biodiesel yang dihasilkan akan semakin berkurang.
Tabel 4 Ekstraksi dan pengolahan minyak dari biji karet Tahap 1.
Perlakuan Penjemuran
Input Biji karet
Output Biji karet kering
Tujuan Mengurangi kadar air dalam biji, sehingga mencegah kenaikan kadar asam lemak bebas
2.
Penghancuran
Biji karet utuh kering
Hancuran biji karet
Memudahkan pemasukan dan pengempaan biji karet di dalam mesin pengempa
3.
Pengempaan (hidraulik maupun berulir)
Biji karet, (tekanan maks.20 ton, 60-70 oC)
Minyak, ampas biji karet
Mengeluarkan minyak dari jaringan dalam bahan dengan cara memberikan tekanan
4.
Degumming
Minyak, asam fosfat, (suhu 70-80 oC)
Minyak yang telah terpisah dari gum
Menghilangkan sifat emulsifier dari zat-zat terlarut (gum), seperti fosfolipid, glukosida, protein, dan resin
Menurut Abdullah dan Salimon (2009), minyak biji karet sedikit sekali mengandung asam lemak jenuh. Dibandingkan dengan minyak sawit, sebagian besar komposisi minyak biji karet tersusun oleh asam lemak tak jenuh berikatan
16
rangkap (lihat Tabel 5). Hal ini menyebabkan minyak biji karet memiliki stabilitas oksidatif yang rendah dan bilangan iod yang cukup tinggi, yaitu sebesar 142,6 g I2/100g, sehingga biodiesel yang diolah dari minyak biji karet akan memiliki angka iodium yang tidak memenuhi SNI Biodiesel (Ikwuagwu et al. 2000; Prihandana & Hendroko 2007).
Tabel 5 Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet dan minyak sawit Asam Lemak Minyak biji karet* Minyak sawit** 8,56 41 – 47 Palmitat (16 : 0) 10,56 3,7 - 5,6 Stearat (18 : 0) Total asam lemak jenuh 19,12 45,3 - 55,4 22,95 38,2 – 43,5 Oleat (18 : 1) 37,28 6,6 – 11,9 Linoleat (18 : 2) 19,22 0 – 0,5 Linolenat (18 : 3) Total asam lemak tak jenuh 79,45 44,8 – 57,3 Sumber : *Abdullah & Salimon (2009) **Crabbe et al. (2001)
Tabel 6 Karakteristik minyak biji karet (Ikwuagwu et al. (2000)) Karakteristik Hasil o 3 Densitas (15 C, g/cm ) 0,918 Viskositas (30 oC, mm2/s) 37,85 Bilangan asam (mg KOH/g) 1 Bilangan iod (g I2/100 g) 142,6 Titik kabut (oC) -1,0 Walaupun demikian, biodiesel minyak biji karet tetap dapat dimanfaatkan. Hal ini dilakukan antara lain dengan mencampurkan biodiesel biji karet dengan biodiesel sawit yang tinggi ester asam lemak jenuh. Pencampuran ini diharapkan dapat meningkatkan stabilitas oksidatif dan menurunkan bilangan iod biodiesel biji karet. Selain itu, diharapkan pula pencampuran dengan biodiesel biji karet ini akan menambahkan jumlah ester asam lemak tak jenuh pada biodiesel sawit. Penambahan ester asam lemak tak jenuh berikatan rangkap tersebut akan membantu dalam menurunkan titik kabut biodiesel sawit disebabkan sulitnya struktur ikatan rangkap dalam membentuk kisi kristal (Ming et al. 2005).
17
2.3. Sawit Sawit merupakan komoditas perkebunan primadona Indonesia, yang berhasil menjadikan Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak sawit nomor satu di dunia. Kementerian Pertanian tahun 2011 menyebutkan, Indonesia menguasai 44,5% pasar sawit dunia dengan volume produksi mencapai 19,1 juta ton pada 2010, mengungguli Malaysia yang menempati posisi kedua dengan pangsa 41,3% dengan volume produksi 17,73 juta ton (Tim Redaksi 2012). Sebanyak 90% minyak sawit Indonesia diekspor dalam bentuk CPO (crude palm oil) dan 10% dalam bentuk produk-produk turunan dari sawit sebagai bahan baku industri oleokimia (Pardamean 2008).
Ekuador
Lainnya
Gambar 3 Pie chart pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain (Tim Redaksi 2012).
Tabel 7 Produksi dan pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain (Tim Redaksi 2012) Negara Volume (per 1000 ton) Persentase (%) Indonesia 19100 44,5 Malaysia 17735 41,3 Thailand 1160 2,7 Nigeria 860 2,0 Kolombia 800 1,9 Ekuador 420 0,9 Papua Nugini 400 0,9 Cote d’Ivoire 330 0,8 Lainnya 2100 4,9 Total 42904 100
18
Menurut Pahan (2008) dan Sunarko (2009), buah kelapa sawit dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu eksokarp (kulit buah), mesokarp (sabut), endokarp (cangkang biji), mesosperm (daging biji/inti/kernel), dan embrio (lembaga). Minyak dapat diperoleh dari bagian sabut dan dari bagian inti (kernel). Soerawidjaja et al. (2005) menyatakan, hasil pengepresan minyak dari sabut sawit akan menghasilkan minyak sawit kasar (crude palm oil / CPO) sebesar 45-70% (% berat kering) sedangkan bagian inti/kernel sawit akan menghasilkan minyak inti sawit (palm kernel oil / PKO) sebesar 45-54% (% berat kering). Selama ini, yang lebih umum diperdagangkan sebagai minyak sawit adalah CPO, bukan PKO.
Eksokarp (kulit buah) Mesokarp (sabut) Endokarp (cangkang) Mesosperm (inti/kernel)
Gambar 4 Penampang biji sawit.
Minyak sawit (CPO) memiliki kandungan asam-asam lemak penyusun yang dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan kandungan asam lemak penyusunnya, minyak sawit mengandung asam lemak jenuh yang sebagian besar tersusun oleh asam palmitat dan asam stearat, sedangkan asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit sebagian besar tersusun oleh asam oleat dan asam linoleat. Komponen asam lemak tidak jenuh akan memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan asam lemak jenuh. Hal ini mengakibatkan trigliserida yang mengandung lebih banyak asam lemak tidak jenuh akan cenderung berbentuk cair (minyak). Sebaliknya, trigliserida yang mengandung lebih banyak asam lemak jenuh akan cenderung berbentuk padat (lemak) akibat proses kristalisasi pada suhu rendah dari asam lemak jenuh tersebut (Ketaren 2008).
19
Tabel 8
Karakteristik minyak sawit, biodiesel sawit dan Petrodiesel (Diesel No.2) Minyak Karakteristik Biodiesel sawit Diesel No.2a sawit Densitas (kg/m3) 889,6 – 891 864,42a (25 oC) 853,97 (25 oC) (50 oC)b Viskositas (mm2/detik) 36,8-39,6 4,71a (40 oC) 4,33 (40 oC) (38oC)c CFPP (oC) 1d 12a -6 o d a Titik kabut ( C) 13 16 -5 Bilangan iod (g I2/100 g) 50-55b 45-62e a b c Sumber : Benjumea et al. (2008); Knothe (2002); Mittelbach (1996); d Mittelbach & Remschmidt (2006); eHambali et al. (2007b); Adanya asam lemak jenuh mencapai 45,3 – 55,4% dari total penyusun minyak sawit akan mengakibatkan alkil ester (biodiesel) dari minyak sawit tersebut turut mempunyai kecenderungan memadat pada suhu rendah, dan berimbas pada tingginya titik kabut biodiesel sawit tersebut. Menurut Benjumea et al. (2008), biodiesel sawit memiliki titik kabut sebesar 16 oC, yakni lebih tinggi dibandingkan titik kabut petrodiesel (lihat Tabel 8). Adanya pencampuran dengan biodiesel karet yang tinggi kandungan ester asam lemak tak jenuh diharapkan dapat meningkatkan jumlah ester asam lemak tak jenuh dari biodiesel sawit hasil pencampuran. Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan titik kabut biodiesel sawit tersebut.
20
Tabel 9 Penelitian terdahulu tentang biodiesel sawit Peneliti Crabbe et al. (2001)
Kalam dan Masjuki (2002)
Benjumea et al. (2008)
Metode Esterifikasi dengan katalis H2SO4 pada beberapa variabel rasio molar metanol : minyak (3:1 sampai 40:1), konsentrasi H2SO4 (1% sampai 5% v/w), suhu (70, 80, dan 90 oC), dan waktu (3,6,9,12, dan 24 jam) Variabel campuran minyak diesel pada 100% biodiesel, 100% petrodiesel, campuran 7,5% biodiesel + 92,5% petrodiesel, campuran 15% biodiesel + 85% petrodiesel Transesterifikasi konvensional biodiesel sawit (60 oC, rasio molar metanol : minyak 12:1), NaOH 0,6% minyak, 1 jam.
Suirta (2009)
Esterifikasi (metanol & katalis H2SO4 dengan pengadukan tanpa pemanasan selama 1 jam kemudian didiamkan 24 jam)transesterifikasi (suhu 55 oC, katalis natrium metoksida, pengadukan 2,5 jam)
Abdullah et al. (2010)
Transesterifikasi 50 ml minyak dengan 12,8 ml metanol (rasio mol 6:1) dan bantuan 20 ml kopelarut (petroleum benzin teknis), suhu 60 oC, pada variasi jumlah katalis KOH dan NaOH
Hasil Kondisi optimal = rasio molar metanol : minyak 40:1, H2SO4 5% (v/w), suhu 95 oC, selama 9 jam, memberikan rendemen ester sebesar 97%. Semua variabel campuran diesel memenuhi standar pada viskositas, angka setana, dan densitas.
Viskositas (40 oC), dan angka setana memenuhi standar ASTM, dengan densitas (25 oC), titik kabut, CFPP, berturut - turut sebesar 864,42 kg/m3, 16 o C, dan 12 oC. Analisis GCMS menunjukkan 6 senyawa metil ester (metil miristat, metil palmitat, metil linoleat, metil oleat, metil stearat, dan metil arakhidat), serta biodiesel memenuhi standar Jerman DIN 51606 dalam densitas, viskositas, bilangan asam dan bilangan iod Kondisi optimum katalis KOH diperoleh pada konsentrasi 1,5% (w/v minyak) sedangkan NaOH pada konsentrasi 1,25% (w/v minyak). Karakterisasi biodiesel pada kedua kondisi tersebut menunjukkan angka asam, viskositas, dan densitas memenuhi standar ASTM.
21
2.4. Ultrasonik Ultrasonik merupakan gelombang bunyi yang termasuk gelombang longitudinal, dengan frekuensi di atas 20.000 Hz. Frekuensi tersebut tidak dapat didengar oleh telinga manusia, karena manusia hanya mampu mendengar suara dengan frekuensi di antara 20 – 20.000 Hz. Gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi yang dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas, serta menyebabkan vibrasi/getaran molekul-molekul zat yang saling beradu satu sama lain (Bueche 1986; Resnick & Halliday 1992). Gelombang ultrasonik yang dirambatkan pada cairan akan menimbulkan gelombang ekspansi (tekanan negatif) dan gelombang kompresi (tekanan positif). Ekspansi dan kompresi secara berulang-ulang ini menimbulkan energi getaran (kavitasi) dan membentuk gelembung gas berukuran mikro (Singh 2008). Gelembung mikro menyimpan energi yang besar dalam bentuk tegangan permukaan, di mana besarnya tegangan permukaan berbanding terbalik dengan jari-jari gelembung. Semakin kecil diameter gelembung, semakin besar energi tegangan permukaannya (Susilo 2008). Gelembung mikro bersifat sangat tidak stabil, berumur sangat singkat (kurang dari 1/10.000.000 detik), dan menghasilkan panas lebih dari 5000 K dengan tekanan berkisar 1000 atm ketika gelembung tersebut pecah (Darylianty 2007). Pecahnya gelembung mikro bertegangan tinggi juga membantu mengecilkan ukuran droplet metanol dan droplet minyak menjadi 42% lebih kecil dibandingkan ukuran droplet yang dihasilkan melalui metode pengadukan konvensional. Hal ini pada akhirnya menyebabkan jumlah area antar muka metanol-minyak akan bertambah, sehingga membantu proses transfer massa serta emulsifikasi di antara kedua cairan immiscible tersebut (Sampayo & Javier 2005; Ji et al. 2006; Wu et al. 2007). Banyak keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan energi ultrasonik dalam produksi biodiesel. Selain menambah input energi ke dalam sistem reaksi (Altic 2010), penggunaan energi ultrasonik memiliki keuntungan sebagai berikut : memperkecil ukuran droplet sehingga meningkatkan luas antar muka antar cairan immiscible metanol-minyak, mengurangi waktu reaksi, meningkatkan efisiensi katalitik, lebih mudah diterapkan dalam skala industri, dan lebih siap
22
diaplikasikan untuk produksi biodiesel sistem kontinyu (Mason 1999; Stavarache 2003; Wu et al. 2007). Pengolahan biodiesel menggunakan gelombang ultrasonik pertama kali dilaporkan oleh Stavarache (2003), yaitu secara dramatis dapat mempersingkat waktu transesterifikasi dengan tetap menghasilkan rendemen yang tinggi. Altic (2010) menyatakan bahwa irradiasi ultrasonik memiliki kemampuan dalam memberikan input energi kinetik sehingga meningkatkan laju reaksi esterifikasi pada brown grease (ALB 85,35%). Menurut Singh (2008), besarnya energi yang dihasilkan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor amplitudo dibandingkan dengan
Input Energi (W.det)
faktor waktu pemaparan (lihat Gambar 7).
Waktu, menit Amplitudo, %
Gambar 5 Pengaruh faktor waktu dan amplitudo terhadap input energi (alat ultrasonik dijalankan pada frekuensi 24 kHz, daya 400 W (Singh 2008)).
Colucci et al. (2005) menghasilkan biodiesel minyak kedelai dalam waktu tiga sampai lima kali lebih singkat dibandingkan transesterifikasi metode pengadukan mekanis. Biodiesel minyak kedelai yang dihasilkan melalui metode ultrasonik menghasilkan rendemen >99% pada perlakuan 15 menit, suhu 40 oC, dan katalis KOH 1,5%. Ultrasonik juga bekerja baik dan lebih singkat pada reaksi transesterifikasi menggunakan katalis enzim tanpa mengganggu karakteristik enzim (Shah et al. 2005; Wu & Zong 2005).
23
Hasil penelitian Susilo (2008) juga menunjukkan gelombang ultrasonik meningkatkan laju transesterifikasi minyak nabati menjadi biodiesel. Konversi minyak nabati menjadi biodiesel dengan penggunaan gelombang ultrasonik lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pengaduk mekanis. Konversi dapat mencapai 100% dengan waktu proses 1 menit (Susilo 2008). Konversi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pengaduk mekanis yang hanya mampu pada kisaran konversi sekitar 96% dengan waktu proses antara 30 menit hingga 2 jam. Menurut Susilo, peningkatan laju reaksi transesterifikasi tersebut tidak hanya disebabkan kenaikan suhu proses secara makro, tetapi juga karena adanya kavitasi dan timbulnya bintik panas (hot spot) akibat pecahnya gelembung mikro. Armenta et al. (2007) telah mencoba melakukan penelitian penggunaan variasi instrumen ultrasonik (bath dan probe). Penelitian tersebut dilakukan pada beberapa konsentrasi katalis KOH, perbandingannya dengan katalis Sodium metoksida, dalam suhu 20 oC dan 60 oC, serta pada parameter waktu 10 – 90 menit.
Hasilnya
adalah,
penggunaan
instrumen
ultrasonik
tipe
probe
menghasilkan rendemen biodiesel dalam kisaran yang tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan dari tipe bath. Katalis sodium metoksida dalam konsentrasi yang lebih kecil mampu menghasilkan rendemen yang lebih besar. Penggunaan suhu 60 o
C menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan suhu 20 oC, serta
semakin lama waktu ultrasonik, semakin besar rendemen yang dihasilkan.
2.5. Titik Kabut Biodiesel Meskipun memiliki beberapa kelebihan sebagai pengganti bahan bakar diesel, biodiesel memiliki kelemahan terkait dengan cuaca dingin. Menurut Dunn (2005), biodiesel kedelai terbukti membentuk kristal ketika suhu mendekati 02oC. Kristalisasi tersebut mengakibatkan penyumbatan pada filter mesin sehingga mempengaruhi aliran bahan bakar, yang kemudian akan mengakibatkan mesin diesel sulit dihidupkan. Secara umum, pendinginan akan mengakibatkan pembentukan inti kristal, yang semakin membesar seiring penurunan suhu tersebut. Kisaran suhu dimana kristal tersebut dapat dilihat oleh mata (diameter ≥ 0,5 µm) disebut sebagai titik
24
kabut/titik awan (cloud point / CP). Disebut demikian karena adanya kristal tersebut menyebabkan penampakan menyerupai kabut atau awan. Jika penurunan suhu terus berlanjut, pada suhu tertentu (disebut sebagai titik tuang / pour point / PP) kristal akan mencapai diameter 0,5-1 mm. Kristal besar tersebut satu sama lain akan ber-aglomerasi, sehingga mampu menyumbat filter mesin (Dunn 2005). Titik penyumbatan filter dingin (cold plugging filter point / CFPP) merupakan temperatur terendah dimana 20 mL bahan bakar masih dapat mengalir melalui filter tertentu selama 60 detik (Dunn 2005). CFPP umum digunakan di Eropa, khususnya Eropa Barat, sedangkan yang umum digunakan di Amerika Utara adalah LTFT / Low-Temperature Flow Test. LTFT digunakan untuk mengetahui suhu tertinggi dimana bahan bakar gagal melewati filter standar ketika dilakukan pendinginan. CFPP dan LTFT memiliki hubungan yang linear terhadap titik kabut. Penurunan titik kabut merupakan kunci untuk memperbaiki sifat-sifat aliran bahan bakar mesin diesel pada temperatur rendah. Kekeruhan biodiesel pada titik kabut disebabkan oleh metil ester dari asam lemak jenuh yang berantai tunggal mengalami kristalisasi. Sifat-sifat masingmasing metil ester asam lemak, kaitannya dengan titik leleh dan beberapa parameter lain dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa untuk jumlah atom C yang sama, metil ester dari asam lemak jenuh memiliki titik leleh yang jauh lebih tinggi dibandingkan metil ester dari asam lemak tak jenuh. Tingginya titik leleh tersebut berpengaruh pada tingginya titik kabut dari metil ester asam lemak jenuh (Joelianingsih et al. 2008). Menurut Ming et al. (2005), hal ini dikarenakan struktur metil ester dari asam lemak jenuh lebih mudah dan seragam dalam menyusun kristal yang kompak. Berbeda dengan asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap pada rantai penyusunnya. Adanya ikatan rangkap (dengan isomer cis) membuat struktur molekul membengkok sehingga satu sama lain menjadi lebih sulit dalam membentuk kristal. Akibatnya, metil ester asam lemak tidak jenuh memiliki titik kabut lebih rendah.
25
Tabel 10 Sifat masing-masing metil ester asam lemak Ester
Nilai kalor
Titik leleh
Angka
Viskositas cSt
Densitas g/cc
Bil. iodium
MJ/kg*
oC**
setana**
(40oC)**
(40oC)**
(g I2/100g)**
Ester asam lemak jenuh Kaprilat
-
-34
33,6
1,16
0,859
-
Kaprat
-
-12
47,9
1,69
0,856
-
Laurat
-
5
60,8
2,38
0,853
-
Miristat
-
18,5
73,5
3,23
0,867
-
Palmitat
39,4
30,5
85,9
4,32
0,851
-
Stearat
40,1
39,1
101
5,61
0,850
-
Arakhidat
-
48
-
†
0,849
-
Behenat
-
54
-
†
-
-
Lignoserat
-
-
-
†
-
-
-
-
51,0
-
-
94,55
Oleat
39,9
-20
59,3
4,45
0,860
85,60
Linoleat
39,7
-35
38,0
3,64
0,872
172,4
Linolenat
-
-52
20,0
3,27
0,883
260,3
Gadoleat
-
-
-
-
-
78,2
Erusat
-
33
76,0
7,21
0,856
76,0
Ester asam lemak tidak jenuh Palmitoleat
Keterangan : † pada suhu ≥ 40oC berbentuk padat (bukan cairan) Sel yang kosong menunjukkan tidak/belum ada data Sumber : * Clements (1988) diacu dalam Joelianingsih et al. (2008) **Soerawidjaja (2006)
Kristalisasi biodiesel pada suhu rendah dapat diatasi dengan melakukan pemanasan sebelum menuju ruang pembakaran, ataupun dengan melakukan penurunan titik kabut. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menurunkan titik kabut biodiesel. Pertama, melakukan pencampuran (blending) antara biodiesel yang bertitik kabut tinggi dengan biodiesel bertitik kabut rendah, maupun blending antara biodiesel dengan solar. Kedua, melakukan pendinginan (winterization) sehingga ester asam lemak jenuh biodiesel dapat dikurangi. Ketiga,
melakukan
modifikasi
struktur
kimia
biodiesel
baik
melalui
transesterifikasi menggunakan alkohol berantai karbon lebih panjang, maupun dengan penambahan additif penurun titik kabut (Ming et al. 2005; Knothe dan Steidley 2005; dan Park et al. 2007).
26
Pencampuran (blending) antara biodiesel yang memiliki titik kabut tinggi (seperti biodiesel sawit) dengan biodiesel bertitik kabut rendah (seperti biodiesel biji karet) didasarkan pada sifat metil ester tersebut. Diharapkan dengan adanya pencampuran, terjadi penambahan kandungan metil ester berikatan rangkap (isomer cis) seperti metil oleat dan metil linoleat dari biodiesel biji karet ke dalam biodiesel sawit. Dengan demikian, metil ester jenuh dalam biodiesel sawit akan sulit membentuk kristal akibat adanya halangan dari struktur molekul metil ester tidak jenuh berikatan rangkap.
2.6. Stabilitas Oksidatif Biodiesel Semua bahan bakar, baik solar maupun biodiesel, mudah terdegradasi seiring waktu penyimpanan. Degradasi ini umumnya terjadi akibat reaksi oksidasi, yang terlihat dari peningkatan bilangan asam dan viskositas (akibat peningkatan jumlah gum dan sedimen) dari bahan bakar tersebut (Salley et al. 2011). Proses oksidasi pada biodiesel dimulai dengan reaksi pembentukan hidroperoksida melalui adisi molekul oksigen pada ikatan rangkap atom karbon dalam asam lemak tidak jenuh. Selama reaksi oksidasi tersebut berlangsung, peroksida terpecah menjadi aldehid dan asam-asam berantai pendek. Peroksida juga dapat memicu terbentuknya radikal bebas, yang memudahkan terbentuknya polimerisasi dan crosslinking di antara sesama molekul karbon berikatan rangkap (C = C). Oleh karena yang dirusak dalam reaksi oksidasi ini adalah ikatan rangkap (C=C), maka banyaknya ikatan rangkap pada atom karbon penyusun ester asam lemak dapat dijadikan acuan mudahnya biodiesel tersebut teroksidasi. Sebagai contoh, molekul yang mengandung dua buah ikatan rangkap C=C akan mempunyai kestabilan oksidatif setengah kali dari molekul yang mengandung satu buah ikatan rangkap (Salley et al. 2011). Menurut Salley et al. (2011), nilai kestabilan biodiesel terhadap reaksi oksidasi dapat dilihat dari besarnya bilangan iod dari biodiesel tersebut. Namun, stabilitas oksidatif yang dilihat dari bilangan iod ini masih merupakan gambaran kasar. Nilai stabilitas oksidatif dapat diperjelas lagi menggunakan metode Rancimat (uji stabilitas oksidatif yang dipercepat) pada suhu pengukuran yang lebih tinggi dari suhu ruang.
27
Stabilitas oksidatif yang dianalisis dengan Rancimat (metode EN 14112) nilainya harus lebih besar dari 3 jam periode induksi berdasarkan standar ASTM D6751, atau lebih besar dari 6 jam periode induksi berdasarkan standar IS 15607 (Jain & Sharma 2012). Sebanyak sepuluh sampel biodiesel (tidak disebutkan asal minyak yang digunakan) yang diuji oleh Salley et al. (2011) pada tahun 2006 menggunakan standar EN 14112, memiliki nilai periode induksi dalam rentang 0,43 sampai 4,26 jam.
28
BAHAN DAN METODE
3.1. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet dari kebun karet milik PTPN XIII di Desa Nanga Jetak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu juga dibutuhkan olein sawit (merk Bimoli) untuk keperluan pembuatan biodiesel sawit. Bahan lain yang dibutuhkan adalah bahan untuk proses ekstraksi dan degumming minyak (akuades dan H3PO4), bahan untuk reaksi esterifikasi minyak biji karet (metanol dan HCl), serta bahan untuk reaksi transesterifikasi (metanol dan NaOH). Bahan-bahan lainnya dibutuhkan pula untuk melakukan analisis bilangan asam, bilangan iod, dan stabilitas oksidatif. Alat yang dibutuhkan yaitu alat untuk ekstraksi dan degumming minyak biji karet (hot hydraulic press, wadah, dan corong pemisah). Kemudian alat untuk melangsungkan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi yaitu ultrasonic probe instrument, labu leher tiga, pengaduk magnetik, termometer, dan hot plate. Alatalat lainnya juga diperlukan untuk melakukan analisis bilangan asam, bilangan iod, stabilitas oksidatif (menggunakan Metrohm Rancimat Model 743), titik tuang, titik kabut, viskositas, dan densitas.
3.2. Metode Penelitian Tahap penelitian dimulai dengan melakukan persiapan minyak biji karet, kemudian melakukn pemilihan katalis (NaOH atau CaO) yang paling tepat untuk reaksi transesterifikasi, melakukan transesterifikasi minyak biji karet dan olein sawit dengan bantuan ultrasonic probe instrument, serta diakhiri dengan melakukan penambahan metil ester sawit ke dalam biodiesel biji karet.
3.2.1. Penyiapan Minyak Biji Karet Minyak biji karet diperoleh dengan melakukan ekstraksi dilanjutkan degumming. Ekstraksi minyak dari dalam biji karet, dimulai dengan penjemuran biji karet menggunakan sinar matahari selama 1 minggu. Pengeringan merupakan
29
tahap yang sangat penting sebelum dilakukan ekstraksi minyak dari dalam biji karet yang bertujuan mengeluarkan air, sehingga mengurangi resiko terjadinya reaksi hidrolisis minyak. Biji karet yang dipanen dari kebun karet di Desa Nanga Jetak, Kabupaten Sintang, Kalbar dikeringkan oleh petani selama 7 hari, dari pukul 8 pagi hingga pukul 3 sore, dengan kondisi biji utuh (kulit biji belum dikupas) sebelum dikirim ke lokasi penelitian di Bogor. Setelah biji sampai di tempat penelitian (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor), biji dikupas dan dijemur kembali selama 2 hari. Biji karet kering yang telah dijemur kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill. Selanjutnya, hancuran biji karet dikempa menggunakan hot hydraulic press bertekanan 20 ton/cm2 pada suhu 70 oC sehingga minyak dapat keluar dari biji. Minyak biji karet yang dihasilkan selanjutnya ditimbang, sehingga diperoleh rendemen minyak kasar berdasarkan berat daging biji karet. Minyak biji karet hasil pengempaan kemudian dibersihkan dari gum. Degumming minyak biji karet dilakukan dengan memanaskan minyak hingga tercapai suhu 80oC. Setelah itu dilakukan penambahan larutan 30% asam fosfat (H3PO4) sebanyak 0,3% (v/b). Pemanasan terus dipertahankan pada suhu 80oC selama 15 menit, sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya dilakukan dekantasi selama 24 jam menggunakan corong pemisah agar gum mengendap dan terpisah dari minyak. Setelah 24 jam, dilakukan pemisahan gum dan pencucian dengan akudes bersuhu 60-70oC. Akuades akan turun dari bagian permukaan atas minyak sambil menyebar mengikat gum. Setelah itu didiamkan agar air dengan gum yang terikat dapat turun dan terpisah dari minyak. Pencucian ini dilakukan beberapa kali sampai pH air cucian terakhir netral (sama dengan pH akuades). Setelah itu dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan gum dan air yang masih terikat di dalam minyak. Minyak biji karet yang telah bersih kemudian dipanaskan di atas hot plate pada suhu 105oC selama 20 menit sambil diaduk dengan magnetic stirrer untuk menguapkan sisa-sisa air pencuci. Selanjutnya dilakukan analisis bilangan asam terhadap minyak biji karet yang telah di-degumming.
30
3.2.2. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis NaOH dan Katalis Heterogen CaO Sebelum dilakukan transesterifikasi dengan bantuan Ultrasonic Probe Instrument, dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengetahui katalis yang lebih tepat digunakan. Dua macam katalis yang dibandingkan adalah katalis homogen NaOH, dan katalis heterogen CaO. CaO perlu dikalsinasi sebelum digunakan sebagai katalis. Proses kalsinasi dilakukan menggunakan tanur, dengan faktor waktu kalsinasi selama 1 dan 2 jam, dan suhu tanur yang digunakan adalah sebesar 600oC, 700oC, 800oC, dan 900oC. Katalis CaO yang telah dikalsinasi kemudian didinginkan dan digunakan untuk proses transesterifikasi metode konvensional (menggunakan hot plate dan pengaduk magnetic stirrer, pada suhu 65 oC) pada olein sawit. Proses transesterifikasi katalis heterogen mengacu pada metode yang dilakukan oleh Nazir (2011). Transesterifikasi tersebut dilakukan dengan cara melarutkan katalis CaO (2,5% berat minyak) ke dalam metanol (28:1) dan dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirrer (panjang 50 mm) selama 20 menit agar CaO larut sempurna, baru kemudian ditambahkan minyak goreng sawit (100 g) dan suhu dinaikkan hingga tercapai suhu 65oC. Suhu tersebut dipertahankan selama proses reaksi (2,5 jam). Biodiesel yang dihasilkan kemudian dipisahkan dari endapan katalis CaO menggunakan pompa vakum. Hal ini dilakukan dengan menambahkan kertas saring di corong porselen, sehingga diharapkan yang jatuh ke dalam erlenmeyer hanya campuran biodiesel dan gliserol. Selanjutnya campuran tersebut dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan dilakukan dekantasi sehingga biodiesel terpisah dari gliserol. Adapun proses transesterifikasi minyak sawit menggunakan katalis NaOH (0,5% berat minyak) dilakukan dengan memanaskan minyak goreng sawit hingga 65oC, kemudian ditambahkan campuran larutan NaOH di dalam metanol (rasio molar metanol : minyak 6:1). Setelah itu dipanaskan kembali hingga tercapai suhu 65 oC, dan dipertahankan selama 1 jam. Hasil yang diperoleh setelah pemanasan tersebut berupa campuran biodiesel dan gliserol. Selanjutnya campuran tersebut
31
dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan dilakukan dekantasi 24 jam sehingga biodiesel terpisah dari gliserol. CaCO3
Kalsinasi t = 1 & 2 jam, T = 600, 700, 800, 900 oC
CaO
Olein sawit Metanol
NaOH
Transesterifikasi konvensional olein sawit
Olein sawit Metanol
Transesterifikasi konvensional olein sawit
Biodiesel Sawit
Biodiesel Sawit
Analisis rendemen biodiesel
Analisis rendemen biodiesel
Gambar 6 Transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO dan NaOH.
3.2.3. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Berdasarkan hasil analisa kadar asam lemak bebas (ALB) yang terkandung di dalamnya, olein sawit mengandung ALB sebesar 0,08% sehingga dapat langsung diproses menggunakan reaksi transesterifikasi. Reaksi tersebut dilangsungkan dengan bantuan Ultrasonic Probe Instrument merk Cole Palmer (daya 130 W, frekuensi 20 kHz) selama 10, 20, dan 30 menit, pada faktor amplitudo 30%, 35%, dan 40%. Transesterifikasi
ini
dilakukan
dengan
memanaskan
olein
sawit
menggunakan hot plate hingga suhu 45 oC di dalam gelas piala ukuran 250 ml merk IWAKI Pyrex. Selanjutnya ditambahkan campuran larutan NaOH (0,5% berat minyak) di dalam metanol (rasio molar 6:1), dan dilakukan pengadukan 1 menit menggunakan magnetic stirrer agar metanol, minyak, dan NaOH menyebar. Gelas piala berisi campuran ketiga bahan tersebut kemudian diangkat dari hot plate, dan diletakkan di tempat datar. Selanjutnya probe ultrasonik dimasukkan ke
32
tengah – tengah larutan, alat ultrasonik diatur pada faktor waktu dan amplitudo yang dikehendaki, lalu alat ultrasonik tersebut dijalankan. Setelah mencapai waktu yang ditetapkan, campuran biodiesel dan gliserol yang dihasilkan dipindahkan ke corong pemisah, dan dilakukan dekantasi selama 24 jam. Biodiesel yang dihasilkan kemudian dicuci dengan akuades hangat beberapa kali hingga pH air pencucian terakhir sama dengan pH akuades. Selanjutnya dilakukan pengeringan sisa-sisa metanol dan air cucian menggunakan hotplate pada suhu 105 oC selama 10 menit. Biodiesel sawit yang dihasilkan selanjutnya dianalisis rendemen dan bilangan asamnya. Energi yang dihasilkan untuk setiap faktor perlakuan dihitung dengan rumus sebagai berikut : 𝑃1 𝑃2
𝐴 2
= 𝐴1 2 .............................................. (1) 2
E = P.t ............................................... (2)
Dengan : P = Daya (W) A = % Amplitudo E = Energi (W.det) t = waktu (detik)
Selain itu, dilakukan pula transesterifikasi olein sawit menggunakan metode konvensional sebagai bahan pembanding, pada suhu 65 oC selama 1 jam dan suhu 45 oC selama 30 menit di atas hot plate disertai pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Rasio katalis NaOH dan metanol yang digunakan pada metode konvensional persis sama seperti pada proses transesterifikasi ultrasonik. Biodiesel sawit yang diperoleh kemudian dianalisis rendemennya.
3.2.4. Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Amplitudo terbaik yang diperoleh dari hasil reaksi transesterifikasi minyak goreng sawit menggunakan ultrasonik, digunakan pada proses esterifikasi minyak
33
biji karet. Waktu perlakuan esterifikasi ultrasonik ditetapkan pada 15 menit, 22,5 menit, dan 30 menit. Reaksi esterifikasi minyak biji karet menggunakan bantuan ultrasonic probe instrument dilakukan dengan memanaskan minyak biji karet menggunakan hot plate hingga suhu 45 oC di dalam gelas piala ukuran 250 ml merk IWAKI Pyrex. Selanjutnya ditambahkan campuran larutan HCl (1% berat minyak) di dalam metanol (rasio 20 : 1 ALB), dan dilakukan pengadukan 1 menit menggunakan magnetic stirrer agar metanol, minyak, dan HCl menyebar serta suhu meningkat kembali mencapai 45 oC. Gelas piala berisi campuran ketiga bahan tersebut kemudian diangkat dari hot plate, dan diletakkan di tempat datar. Selanjutnya probe ultrasonik dimasukkan ke tengah – tengah larutan, dan alat ultrasonik diatur pada amplitudo serta waktu yang dikehendaki, lalu alat ultrasonik tersebut dijalankan. Setelah mencapai waktu yang ditetapkan, campuran minyak, metanol, dan HCl dipindahkan ke corong pemisah, lalu dilakukan dekantasi selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pemisahan minyak dari fase metanol, dan dilakukan analisis bilangan asam dari minyak biji karet yang dihasilkan. Selain itu, dilakukan pula proses esterifikasi minyak biji karet menggunakan metode konvensional sebagai bahan pembanding. Proses konvensional tersebut dilakukan menggunakan rasio katalis HCl dan rasio metanol yang sama seperti yang diterapkan pada proses esterifikasi menggunakan ultrasonik. Pertama kali, minyak biji karet dipanaskan hingga 65 oC, kemudian ditambahkan campuran larutan HCl di dalam metanol. Setelah itu campuran dipanaskan kembali hingga tercapai suhu 65 oC, dan dipertahankan selama 1 jam sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya campuran dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan dilakukan dekantasi 24 jam sehingga fase metanol terpisah dari minyak biji karet. Minyak biji karet yang dihasilkan kemudian dianalisis bilangan asamnya.
3.2.5. Transesterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Minyak biji karet yang telah melewati tahap esterifikasi menggunakan ultrasonic probe instrument maupun dengan metode konvensional selanjutnya di-
34
transesterifikasi menggunakan ultrasonic probe instrument (suhu 45 oC, selama 15 menit, pada amplitudo 40%). Perlakuan ultrasonik tersebut dilakukan dengan memanaskan minyak biji karet menggunakan hot plate hingga suhu 45 oC di dalam gelas piala ukuran 250 ml merk IWAKI Pyrex. Selanjutnya ditambahkan campuran larutan NaOH (0,5% berat minyak) di dalam metanol (rasio molar 6:1), dan dilakukan pengadukan 1 menit menggunakan magnetic stirrer agar metanol, minyak, dan NaOH menyebar serta suhu meningkat kembali mencapai 45 oC. Gelas piala berisi campuran ketiga bahan tersebut kemudian diangkat dari hot plate, dan diletakkan di tempat datar. Selanjutnya dimasukkan probe ultrasonik ke tengah – tengah larutan, alat ultrasonik diatur pada faktor waktu 15 menit, dan pada amplitudo sebesar 40%, lalu alat ultrasonik dijalankan. Campuran biodiesel dan gliserol yang dihasilkan didekantasi selama 24 jam dalam corong pemisah. Biodiesel yang dihasilkan kemudian dicuci (water washing) dan dilakukan pengeringan sisa metanol dan air cucian menggunakan hotplate (105 oC, 10 menit). Minyak biji karet
Esterifikasi ultrasonik (Amplitudo 40%, 15; 22,5; 30 menit)
Esterifikasi konvensional (30 dan 60 menit)
Analisis bilangan asam & ALB minyak biji karet
Analisis bilangan asam & ALB minyak biji karet
Transesterifikasi ultrasonik (Amplitudo 40%, 15 menit)
Transesterifikasi ultrasonik (Amplitudo 40%, 15 menit)
Olein sawit
Transesterifikasi ultrasonik (%Amplitudo = 30, 35, 40 t = 10, 20, 30 menit)
Transesterifikasi konvensional (65oC 1jam)
Biodiesel sawit
Biodiesel sawit
Biodiesel biji karet
Biodiesel biji karet
Analisis rendemen & bilangan asam
Analisis rendemen & bilangan asam
Analisis rendemen, bilangan asam & ALB
Analisis rendemen, bilangan asam & ALB
Gambar 7
Pembuatan biodiesel karet dan biodiesel sawit dengan metode ultrasonik dan konvensional.
35
3.2.6. Aplikasi Metil Ester Sawit ke dalam Biodiesel Biji Karet Metil ester sawit ditambahkan ke dalam biodiesel biji karet pada persentase metil ester sebesar 25%, 50%, dan 75%. Metil ester sawit dan biodiesel biji karet sebelum dilakukan pencampuran, serta biodiesel biji karet yang telah ditambahkan metil ester sawit, dianalisis karakteristiknya. Karakteristik yang dianalisis berupa bilangan asam, titik tuang, titik kabut, stabilitas oksidatif, densitas (suhu pengukuran 15 oC dan 40 oC), viskositas (40 oC), dan bilangan iod.
3.3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan pada penelitian pendahuluan penggunaan katalis CaO dilakukan dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Waktu kalsinasi (faktor W) dilakukan dalam dua taraf (W1 = 1 jam, dan W2 = 2 jam) sedangkan suhu kalsinasi (faktor S) dilakukan dalam empat taraf (S1 = 600 oC, S2 = 700 oC, S3 = 800 oC, dan S4 = 900 oC). Masing-masing taraf perlakuan akan diulang sebanyak dua kali, dan dimodelkan sebagai berikut : Yijk = µ + Wi + Sj + εijk
(i = 1,2 ; j = 1,2,3,4 ; dan k = 1,2)
Dengan : Yijk
= variabel respon (rendemen biodiesel)
µ
= rataan umum rendemen biodiesel
Wi
= pengaruh waktu kalsinasi ke-i
Sj
= pengaruh suhu kalsinasi ke-j
εijk
= pengaruh acak (galat perlakuan) dari waktu kalsinasi ke-i, suhu kalsinasi ke-j, dan ulangan ke-k
Rancangan percobaan pada penelitian transesterifikasi olein sawit dengan bantuan ultrasonik adalah rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor perlakuan dilangsungkan pada kombinasi faktor amplitudo ultrasonik sebesar 30% (A1), 35% (A2), dan 40% (A3) dan faktor waktu sebesar 10 menit (B1), 20 menit (B2), dan 30 menit (B3). Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak dua kali, dan dimodelkan sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + εijk
(i = 1,2,3 ; j = 1,2,3 ; dan k = 1,2)
36
Dengan : Yijk
= variabel respon (rendemen biodiesel dan nilai bilangan asam)
µ
= rataan umum rendemen biodiesel dan nilai bilangan asam
Ai
= pengaruh % amplitudo ke-i
Bj
= pengaruh waktu ultrasonik ke-j
εijk
= pengaruh acak (galat perlakuan) dari % amplitudo ke-i, waktu ultrasonik ke-j, dan ulangan ke-k
Rancangan percobaan pada penelitian esterifikasi minyak biji karet dengan bantuan ultrasonik adalah rancangan acak lengkap satu faktor. Faktor perlakuan (waktu) dilangsungkan dalam tiga taraf (15 menit, 22,5 menit, dan 30 menit). Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak dua kali, dan dimodelkan sebagai berikut : Yij = µ + Ti + εij
(i = 1,2,3 dan j = 1,2)
Dengan : Yij = variabel respon (nilai bilangan asam) µ
= rataan umum bilangan asam
Ti = pengaruh waktu ultrasonik ke-i εij = pengaruh acak (galat perlakuan) dari waktu ultrasonik ke-i dan ulangan ke-j
Rancangan percobaan pada proses pencampuran biodiesel merupakan rancangan acak lengkap satu perlakuan yaitu faktor rasio biodiesel minyak biji karet terhadap biodiesel sawit, dan dilakukan dalam lima taraf rasio biodiesel sawit : biodiesel biji karet (R1 = 0:100, R2 = 25:75, R3=50:50, R4 = 75:25, dan R5 = 100:0). Setiap taraf akan diulang sebanyak dua kali. Pengaruh rasio campuran biodiesel terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan dimodelkan sebagai berikut : Yij = µ + Ri + εij
(i = 1,2,3 dan j = 1,2)
37
Dengan : Yij = variabel respon (karakteristik biodiesel hasil pencampuran) µ
= rataan umum karakteristik biodiesel sawit hasil pencampuran
Ri = pengaruh rasio biodiesel sawit terhadap biodiesel minyak biji karet ke-i εij = pengaruh acak (galat perlakuan) dari rasio biodiesel sawit terhadap biodiesel minyak biji karet ke-i dan ulangan ke-j
38
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penyiapan Minyak Biji Karet Pengeringan merupakan tahap yang sangat penting sebelum dilakukan ekstraksi minyak dari dalam biji karet. Pengeringan bertujuan mengeluarkan air, sehingga mengurangi resiko terjadinya reaksi hidrolisis minyak. Menurut Suparno et al. (2008), kadar air biji karet utuh (belum dikupas) setelah dijemur 2-3 hari adalah maksimum 10%. Penjemuran biji karet utuh pada penelitian ini mampu mengurangi kadar air hingga 7,22% disebabkan karena penjemuran dilakukan cukup lama, yaitu selama 7 hari, dengan durasi 7 jam sehari, sehingga cukup banyak air yang dapat menguap keluar dari dalam biji karet. Nilai kadar air yang diperoleh hampir sama dengan penelitian terhadap kadar air biji karet dari Desa Nanga Jetak yang telah dilakukan pula oleh Siahaan (2009), dengan hasil kadar air sebesar 7,91% (penjemuran selama 7 hari). Air di dalam biji karet akan memicu terjadinya reaksi hidrolisis membentuk asam lemak bebas. Reaksi hidrolisis ini dipercepat dengan adanya panas. Pengempaan umumnya dilakukan pada suhu tinggi (sekitar 70 oC), sehingga dapat memicu reaksi hidrolisis yang lebih cepat. Jika hal ini terjadi, maka jumlah ALB dalam minyak akan meningkat drastis. Oleh sebab itu, menurut Hambali et al. (2007b), sebelum dilakukan pengempaan, kadar air biji harus diturunkan menjadi sekitar 5-7%. Adanya pengeringan kembali selama 2 hari setelah biji karet dikupas mampu mengurangi kadar air hingga mencapai kisaran tersebut (yaitu sebesar 6,30%), sehingga biji karet dapat dikempa. Biji karet kering yang telah terpisah dari cangkangnya kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill, dan selanjutnya dikempa. Mesin kempa hidrolik yang digunakan pada penelitian ini beroperasi pada suhu ±70 oC dan tekanan 20 ton/cm2. Adanya pemanasan pada proses pengempaan akan membantu dalam meningkatkan rendemen minyak yang dihasilkan. Menurut Andayani (2008), pemanasan akan mengurangi afinitas minyak dengan permukaan bahan, serta menyebabkan terjadinya penggumpalan protein sehingga memberi ruang pada minyak untuk keluar pada saat pengempaan.
39
Pengempaan yang dilakukan terhadap hancuran daging biji karet menghasilkan minyak dengan persentase sebesar 20,48% (v/b) terhadap berat daging biji. Hal ini sesuai dengan laporan Aliem (2008) yang menyimpulkan bahwa rendemen minyak biji karet dari mesin kempa bertekanan 20 ton akan menghasilkan rendemen dengan kisaran 11,60% – 22,28%. Berdasarkan kandungan minyak yang terdapat di dalam daging biji karet, yaitu sebesar 44,50% (Siahaan 2009), mesin kempa hidrolik manual pada penelitian ini ternyata mampu mengeluarkan 46,01% minyak dari total kandungan minyak dalam biji karet. Setelah minyak biji karet diperoleh, dilakukan analisis bilangan asam dan kadar asam lemak bebas di dalam minyak. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 7 yaitu sebesar 20,19 mg KOH/g minyak untuk bilangan asam, dan sebesar 10,08% untuk kadar asam lemak bebas (ALB). Kedua nilai yang telah diperoleh tersebut menunjukkan bahwa minyak biji karet memiliki asam lemak bebas yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan biji karet yang diperoleh berasal dari biji karet yang telah lama jatuh dari pohon, sehingga terjadi reaksi hidrolisis yang memicu proses kerusakan minyak dan pembentukan ALB. Minyak biji karet yang diperoleh dari proses pengempaan hidrolik selanjutnya di-degumming. Hal ini dilakukan untuk membersihkan minyak dari kotoran-kotoran berupa gum. Gum merupakan suspensi koloid serupa getah, yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, dan resin (Ketaren 2008). Degumming dilakukan dengan memanaskan minyak biji karet dengan asam fosfat, yang dilanjutkan dengan dekantasi 24 jam di dalam corong pemisah untuk memisahkan gum dari minyak. Gum yang berwarna hitam pekat mengendap di bagian bawah sehingga mudah untuk dibuang. Minyak yang telah dipisahkan fase gum-nya selanjutnya dicuci dengan air bersuhu 60 - 70 oC berkali-kali agar gum yang tersisa keluar bersama air pencuci. Selama proses pencucian, terbentuk emulsi minyak-gum-air yang berwarna putih dan cenderung sukar memisah (Lampiran 9). Menurut Ketaren (2008), gum yang masih tersisa akan menambah partikel emulsi di dalam minyak, oleh sebab itu diperlukan proses sentrifugasi untuk memisahkan gum yang tersisa. Sentrifugasi sebaiknya dilakukan pada suhu 32 – 50 oC agar kekentalan minyak berkurang sehingga gum mudah terpisah. Alat sentrifugasi yang tersedia
40
pada penelitian ini hanya memungkinkan untuk melakukan sentrifugasi pada suhu 4 oC. Walaupun kekentalan minyak tidak berkurang pada suhu tersebut, kekuatan gaya sentrifugal mampu menarik lendir gum dan air sehingga terpisah dari fase minyak. Lendir gum dan air yang berada di bagian bawah tabung sentrifuse menyisakan minyak biji karet yang lebih bersih. Selain itu, proses sentrifugasi pada suhu 4 oC juga otomatis membersihkan minyak dari lemak-lemak jenuh yang memadat pada suhu tersebut. Rendemen minyak biji karet yang dihasilkan setelah proses degumming dilanjutkan sentrifugasi adalah sebesar 80,06%. Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Tazora (2011) yang menghasilkan rendemen sebesar 83,44%. Hal ini dimungkinkan karena penelitian ini menggunakan tahapan sentrifugasi yang memisahkan kotoran dan asam-asam lemak jenuh lebih banyak dibandingkan Tazora (2011) yang tidak menggunakan metode sentrifugasi. Kadar ALB minyak biji karet setelah dipisahkan fase gum dan disentrifugasi (10,96%) sedikit meningkat bila dibandingkan dengan kadar ALB minyak sebelum
di-degumming
(10,08%).
Menurut
Ketaren
(2008) degumming
(dilanjutkan sentrifugasi) pada prinsipnya hanya bertujuan untuk memisahkan gum dari minyak dan tidak mengurangi jumlah asam lemak bebas di dalam minyak. Adanya peningkatan sebesar 0,88% tersebut diperkirakan berasal dari residu asam fosfat yang masih tertinggal pada proses degumming. Kadar ALB minyak biji karet setelah degumming pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Tazora (2011), yang menghasilkan minyak biji karet setelah degumming dengan kadar ALB 13,01%. Oleh karena karena kadar ALB minyak biji karet yang dihasilkan >5%, maka perlu dilakukan esterifikasi untuk menurunkan kadar ALB minyak biji karet tersebut, sebelum dilakukan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa.
4.2. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis Homogen NaOH dan Katalis Heterogen CaO Pengaruh kombinasi faktor waktu dan suhu kalsinasi pada katalis CaO ditetapkan pada faktor waktu kalsinasi selama 1 dan 2 jam, sedangkan suhu tanur yang digunakan adalah sebesar 600oC, 700oC, 800oC, dan 900oC. Katalis CaO
41
yang telah dikalsinasi kemudian didinginkan dan digunakan untuk proses transesterifikasi metode konvensional pada olein sawit. Pertimbangan penggunaan olein sawit dikarenakan terbatasnya jumlah minyak biji karet untuk penelitian ini. Hasil yang diperoleh dari tahap penelitian ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan katalis pada tahapan penelitian selanjutnya. Berdasarkan data pada Tabel 11, terlihat bahwa proses kalsinasi CaO hanya berhasil memperoleh biodiesel pada kombinasi perlakuan kalsinasi 800 oC dan 900 oC selama 2 jam. Namun, biodiesel yang diperoleh mempunyai kelemahan masing-masing. Proses pencucian pada biodiesel yang diperoleh dari penggunaan CaO kalsinasi 800 oC selama 2 jam membentuk emulsi yang sangat kuat dengan air pencuci, sedangkan dari CaO kalsinasi 900 oC 2 jam selain membentuk emulsi juga terdapat gumpalan putih yang cukup banyak (±20 g) di bagian fase biodiesel.
Tabel 11 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO Perlakuan kalsinasi CaO Waktu Rendemen (%) 1 jam
-
2 jam
-
1 jam
-
2 jam
-
1 jam
-
2 jam
81,32
1 jam
-
o
600 C
700 oC
800 oC
900 oC
2 jam
63,13
*) kondisi transesterifikasi : 65 oC, CaO 2,5% berat minyak, 2,5jam, rasio molar metanol : minyak = 28:1
Nazir (2011) melaporkan bahwa aktivasi kapur tohor CaCO3 (seperti yang digunakan pada penelitian ini) menjadi CaO melalui proses kalsinasi menggunakan tanur pada suhu tinggi akan meningkatkan kekuatan basa dan luas permukaan dari kapur tohor tersebut. Secara berturut-turut luas permukaan kapur
42
tohor (CaCO3) sebelum kalsinasi dan CaO setelah kalsinasi adalah sebesar 10 m2/g dan 13 m2/g sedangkan kekuatan basanya secara berturut-turut adalah sebesar 7,2-9,3 dan 15,0-18,4. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu kalsinasi, akan semakin meningkatkan luas permukaan dan kekuatan basa dari CaO yang dihasilkan. Selain itu, kalsinasi akan menghilangkan pengotor (mineral pengganggu) yang berupa oksida logam sehingga daya tukar ion dan daya adsorpsi menjadi optimal. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan sifat katalitik dari CaO sehingga akan menyebabkan peningkatan pada rendemen biodiesel. Perlakuan kalsinasi pada suhu 600 oC dan 700 oC ternyata masih belum mampu untuk meningkatkan sifat katalitik CaO, begitupun pada perlakuan kalsinasi 800 oC dan 900 oC selama 1 jam. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya biodiesel dari transesterifikasi menggunakan CaO hasil kalsinasi pada perlakuan tersebut. Transesterifikasi olein sawit menggunakan CaO hasil kalsinasi 800 oC selama 2 jam telah mampu menghasilkan biodiesel dengan rendemen sebesar 81,32%. Ketika dilakukan pencucian, terjadi pembentukan emulsi antara biodiesel dengan air pencuci. Menurut Huaping et al. (2006), metode pencucian air untuk memurnikan biodiesel yang disintesis menggunakan katalis CaO hanya mampu menghilangkan separuh ion kalsium. Ion kalsium yang masih tertinggal di dalam biodiesel,
bersama
menyebabkan
reaksi
metanol
akan
transesterifikasi
membentuk belum
anion
terhenti
metoksida, dengan
yang
sempurna.
Transesterifikasi yang masih berlanjut, dan disertai dengan reaksi balik, akan membentuk ALB. Jika ALB ini beraksi dengan katalis yang masih tersisa, akan menyebabkan terbentuknya sabun dan memicu terjadinya emulsi yang dapat mengurangi rendemen biodiesel. Biodiesel yang dihasilkan dari penggunaan katalis CaO kalsinasi 900 oC selama 2 jam selain membentuk emulsi pada saat dilakukan pencucian, juga terdapat gumpalan putih yang cukup banyak. Gumpalan putih tersebut diperkirakan merupakan sisa katalis CaO hasil kalsinasi 900 oC 2 jam yang sangat halus sehingga tidak ikut tersaring pada proses pemisahan CaO dari biodiesel menggunakan pompa vakum. Katalis CaO hasil kalsinasi 900 oC yang tidak ikut tersaring tersebut menyelimuti dan mengurung cairan biodiesel yang berada di
43
bagian bawah corong pemisah sehingga mengurangi rendemen yang dihasilkan. Hal ini dapat dihindari dengan menerapkan pemisahan menggunakan sentrifugasi (seperti yang dilakukan oleh Nazir 2011) sehingga CaO yang tersisa dapat terpisah secara sempurna dari fase biodiesel. Diharapkan hal ini akan meningkatkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Konversi pereaksi menjadi produk sangat tergantung pada perpindahan fisik pereaksi ke sisi aktif katalis, sedangkan kecepatan reaksi ditentukan oleh reaksi yang terjadi di permukaan dan adanya transfer massa. Katalis NaOH memiliki fase yang sama dengan reaktan (cair-cair) dibandingkan katalis CaO (cair-padat) serta luas permukaannya lebih besar dibandingkan CaO, sehingga lebih mudah bagi reaktan untuk berpindah dan kontak dengan katalis NaOH (Singh 2008). Oleh sebab itu, konversi reaktan menjadi produk pada transesterifikasi menggunakan katalis NaOH menjadi lebih tinggi. Rendemen biodiesel hasil transesterifikasi menggunakan katalis NaOH pada penelitian ini adalah sebesar 95%.
4.3. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Menurut Altic (2010), sonikasi memberikan keuntungan tambahan dalam bentuk input energi. Cara menghitung besarnya energi yang dihasilkan dari pemaparan gelombang ultrasonik, pada amplitudo dan waktu tertentu dalam suatu 1
medium, telah dijelaskan oleh Giancoli (2001). Energi dihitung sebagai E = kA2, 2 dengan A adalah amplitudo (baik secara transversal maupun longitudinal) dan k adalah konstanta (tetapan). Daya (Watt) didefinisikan sebagai energi per satuan waktu, sehingga daya dapat dihitung sebagai P = =
1 2
kA2/ t. Berdasarkan rumus
tersebut, dengan asumsi konstanta k dianggap tetap, maka diketahui bahwa daya sebanding dengan kuadrat amplitudo. Setelah mengetahui besarnya daya pada amplitudo tertentu, maka besarnya energi ultrasonik dapat diperoleh dengan mengalikan daya dengan waktu, dan diperoleh data seperti yang terlihat pada Gambar 8 (data hasil perhitungan energi disajikan pada Lampiran 16). Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa semakin tinggi amplitudo yang digunakan dan semakin lama waktu pemaparan gelombang ultrasonik, besar energi yang diberikan (Joule) menjadi semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan
44
pendapat Singh (2008) yang juga menyatakan hal serupa (lihat hasil penelitian Singh (2008) pada Gambar 5).
40000
37440
35000 28665
Energi (J)
30000 24960
25000 19110
20000 15000 10000
21060
14040
12480 9555 7020
5000 0 10 menit
20 menit 30%
35%
30 menit
40%
Gambar 8 Energi (J) yang dihasilkan pada berbagai % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik. Besarnya energi yang diberikan dari pemaparan gelombang ultrasonik pada penelitian ini berkisar dari 7,02 kJ hingga 37,44 kJ (Gambar 8), lebih besar dibandingkan energi aktifasi yang umum dibutuhkan untuk memulai reaksi transesterifikasi. Utami et al. (2007) melaporkan bahwa pembuatan biodiesel sawit membutuhkan energi aktifasi sebesar 6,2 kJ. Sahirman (2009) melaporkan energi aktifasi yang dibutuhkan untuk memulai reaksi transesterifikasi pada pembuatan biodiesel nyamplung adalah sebesar 3,87 kJ. Lebih besarnya energi yang dihasilkan dari pemaparan gelombang ultrasonik dibandingkan energi aktifasi akan menyebabkan reaksi transesterifikasi dimulai dengan lebih cepat. Rendemen biodiesel sawit dari transesterifikasi ultrasonik pada penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, dengan kisaran antara 96,52% hingga 98,03% (lihat Gambar 9). Ini artinya, energi yang diberikan pada semua kombinasi perlakuan telah memenuhi kebutuhan energi aktivasi untuk memulai dan menjalankan reaksi transesterifikasi sehingga pembentukan metil ester berjalan cukup sempurna.
45
98,5 98,03 98
Rendemen(%)
97,64 97,37
97,5
97,77
97,46
97,38
97,24 97
97 96,52 96,5 96 95,5 10 menit
20 menit 30%
35%
30 menit
40%
Gambar 9 Rendemen biodiesel sawit pada berbagai % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik (frekuensi 20 kHz, daya 130 W, suhu 45 oC, rasio mol metanol: minyak 6:1, konsentrasi katalis NaOH 0,5% minyak). Biodiesel sawit yang dihasilkan dari transesterifikasi ultrasonik pada penelitian ini memiliki nilai bilangan asam cukup rendah, yaitu pada kisaran 0,50 sampai 0,63 mg KOH/g sampel (lihat Gambar 10). Jika dibandingkan dengan nilai bilangan asam bahan baku olein sawit yang digunakan (0,16 mg KOH/g sampel) terjadi kenaikan nilai bilangan asam. Hal ini dapat terjadi akibat dari reaksi transesterifikasi yang bersifat reversibel membentuk ALB kembali. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hasil perhitungan energi yang dihasilkan dari gelombang ultrasonik pada penelitian ini jauh lebih besar dari kebutuhan akan energi aktivasi. Sisa energi tersebut akan membantu terjadinya reaksi reversibel dari metil ester menjadi ALB. Jika dibandingkan dengan metode konvensional, penggunaan energi ultrasonik memberikan rendemen biodiesel yang lebih tinggi. Rendemen biodiesel yang dihasilkan dari metode konvensional, pada suhu 65 oC dan waktu yang lebih lama (1 jam) hanya memberikan hasil sebesar 95%. Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak melakukan pembuatan biodiesel dengan metode konvensional pada suhu 45 oC selama 30 menit. Namun, berdasarkan teori umum bahwa rendemen biodiesel akan berkurang dengan menurunnya waktu dan suhu
46
transesterifikasi konvensional, dapat diperkirakan bahwa rendemen biodiesel pada waktu dan suhu tersebut akan jauh lebih rendah dari 95%. Ini artinya, akan terdapat
perbedaan
yang
signifikan
antara
rendemen
biodiesel
hasil
transesterifikasi ultrasonik dengan transesterifikasi konvensional pada suhu dan waktu yang sama (45 oC selama 30 menit).
Bilangan asam (mg KOH/g sampel)
0,7 0,6
0,63
0,62
0,63
0,63
0,56
0,62 0,56
0,56
0,5 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 10 menit
20 menit 30%
35%
30 menit
40%
Gambar 10 Bilangan asam biodiesel sawit pada berbagai % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik (frekuensi 20 kHz, daya 130 W, suhu 45 oC, rasio mol metanol : minyak 6:1, konsentrasi katalis NaOH 0,5% minyak). Menurut Wu et al. (2007), aplikasi ultrasonik akan menurunkan ukuran droplet campuran alkohol-minyak menjadi lebih kecil dibandingkan metode konvensional. Mengecilnya ukuran droplet tersebut akan meningkatkan jumlah antar muka metanol-minyak sehingga akan meningkatkan jumlah reaktan yang saling kontak dan bereaksi. Hal ini menyebabkan konversi trigliserida menjadi metil ester pada metode ultrasonik menjadi lebih besar dibandingkan dengan metode konvensional. Dengan kata lain, rendemen biodiesel hasil transesterifikasi ultrasonik akan lebih besar dibandingkan dengan hasil transesterifikasi konvensional.
47
4.4. Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Berdasarkan hasil penelitian pada transesterifikasi ultrasonik terhadap olein sawit, diketahui bahwa amplitudo 40% selama 10 menit mampu menghasilkan rendemen sebesar 96,47% dan bilangan asam paling kecil yaitu sebesar 0,5 mg KOH / g sampel. Oleh sebab itu, untuk reaksi esterifikasi ultrasonik minyak biji karet dilakukan dengan menggunakan amplitudo sebesar 40%, dengan faktor waktu perlakuan selama 15 menit, 22,5 menit, dan 30 menit.
Tabel 12 Bilangan asam dan ALB minyak biji karet hasil esterifikasi Bilangan Asam Asam Lemak Bebas (mg KOH/ g sampel) (%) 15 6,95 a 3,47 a Ultrasonik 22,5 6,43 ab 3,21 ab 30 5,19 b 2,59 b 30 21,47 10,72 Konvensional 60 0,99 0,50 Keterangan : ALB minyak biji karet sebelum esterifikasi sebesar 12,42%; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Duncan). Metode
Waktu (menit)
Setelah esterifikasi ultrasonik dijalankan, diketahui bahwa waktu perlakuan berpengaruh nyata terhadap penurunan bilangan asam minyak biji karet. Waktu perlakuan 30 menit memberikan penurunan bilangan asam dan ALB yang terkecil, dengan pengaruh penurunan bilangan asam dan ALB yang berbeda dibandingkan waktu perlakuan 15 menit. Kadar ALB minyak biji karet hasil esterifikasi ultrasonik (suhu 45±1 oC, selama 15-30 menit) sudah lebih kecil dibandingkan esterifikasi metode konvensional (suhu 65 oC) selama 30 menit. Artinya, untuk rentang waktu dan suhu yang lebih rendah, terdapat lebih banyak ALB yang terkonversi menjadi biodiesel pada minyak biji karet yang di-esterifikasi dengan metode ultrasonik. Jika dibandingkan dengan metode konvensional, energi yang lebih besar yang dihasilkan dari penggunaan gelombang ultrasonik, akan membantu mengecilkan ukuran droplet reaktan sehingga transfer massa dapat berlangsung lebih cepat. Ini artinya reaksi ALB dengan metanol terjadi dalam waktu yang lebih awal. Oleh karena itu, selama 15 menit pertama ALB telah banyak bereaksi dengan metanol dan turun drastis hingga 3,47%. Namun, selama menit-menit
48
berikutnya hingga 30 menit reaksi, ternyata nilai ALB tidak mengalami penurunan yang cukup jauh. Hal ini dimungkinkan karena energi ultrasonik yang ada tidak hanya digunakan untuk mengkonversi ALB (yang telah jauh berkurang jumlahnya) menjadi biodiesel, melainkan juga digunakan untuk membantu terjadinya reaksi balik dari metil ester menjadi ALB kembali. Jika dibandingkan dengan metode pengadukan konvensional, hingga 30 menit pertama, ALB minyak biji karet hasil metode konvensional hanya berkurang sekitar 1,7%, jauh lebih kecil dibandingkan pengurangan ALB hasil esterifikasi ultrasonik. Ini artinya selama 30 menit pertama, energi yang dihasilkan dari metode konvensional masih cukup kecil untuk mengkonversi ALB menjadi biodiesel. Namun, ketika reaksi dilanjutkan hingga 60 menit, terlihat bahwa ALB turun cukup signifikan hingga mencapai 0,50%. Ini artinya pada metode konvensional setelah hampir keseluruhan ALB terkonversi menjadi biodiesel, tidak (atau sedikit sekali) terjadi reaksi balik jika dibandingkan dengan metode ultrasonik. 4.5. Transesterifikasi Minyak Biji Karet menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Minyak biji karet yang telah melalui reaksi esterifikasi ultrasonik lalu dilanjutkan transesterifikasi ultrasonik, ternyata tidak semuanya berhasil membentuk biodiesel. Transesterifikasi ultrasonik hanya berhasil membentuk biodiesel dari minyak biji karet yang telah melalui reaksi esterifikasi ultrasonik 30 menit dan yang telah melalui reaksi esterifikasi konvensional 1 jam. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa rendemen biodiesel biji karet yang sebelumnya telah melalui reaksi esterifikasi konvensional 1 jam jauh lebih tinggi dibandingkan rendemen biodiesel biji karet yang sebelumnya telah melalui reaksi esterifikasi ultrasonik 30 menit. Hal ini dikarenakan minyak biji karet yang melalui esterifikasi ultrasonik 30 menit mengandung ALB > 2%. Adanya ALB > 2% akan memicu reaksi antara katalis basa dengan ALB membentuk sabun, sehingga mengurangi rendemen biodiesel (Gerpen & Knothe 2005).
49
Tabel 13 Hasil transesterifikasi ultrasonik minyak biji karet hasil esterifikasi Kondisi perlakuan esterifikasi sebelumnya Metode ultrasonik, 15 menit (ALB minyak = 3,47%)
Hasil transesterifikasi ultrasonik Tidak terbentuk penggumpalan
biodiesel,
terjadi
Metode ultrasonik, 22,5 menit (ALB minyak = 3,21%)
Tidak terbentuk penggumpalan
biodiesel,
terjadi
Metode ultrasonik, 30 menit (ALB minyak = 2,59%)
Terbentuk biodiesel, rendemen 78,84%, bilangan asam 0,25 mg KOH/ g sampel dan ALB sebesar 0,13%
Metode konvensional, 1 jam (ALB minyak = 0,50%)
Terbentuk biodiesel, rendemen sebesar 91,55%, bilangan asam sebesar 0,25 mg KOH/g sampel dan ALB sebesar 0,12%
Pembentukan sabun yang mengurangi rendemen biodiesel pada metode transesterifikasi ultrasonik dari minyak biji karet hasil esterifikasi ultrasonik 30 menit (ALB minyak 2,59%) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembentukan sabun sejatinya dihasilkan dari reaksi netralisasi ALB maupun reaksi penyabunan (saponifikasi) trigliserida (Mitsui 1997). Mula-mula reaksi penyabunan berjalan lambat, karena minyak dan larutan alkali bersifat immiscible atau tidak saling larut. Namun, adanya ALB sebesar 2,59% akan membantu mengawali pembentukan sabun. Setelah terbentuk sabun, maka kecepatan reaksi akan meningkat dan selanjutnya reaksi penyabunan bersifat sebagai autokatalitik. Di sisi lain, penggunaan energi ultrasonik menyebabkan cepatnya penguraian ALB dari molekul trigiserida. Sifat autokatalitik yang telah berlangsung, disertai lebih kuatnya ion Na+ berikatan dengan asam lemak akan mengakibatkan ALB dari trigliserida cenderung bereaksi dengan NaOH dibandingkan dengan CH3 dari metanol. Hal ini menyebabkan sabun yang terbentuk menjadi cukup banyak dan mengurangi rendemen biodiesel yang dihasilkan. ((C17H35COO)3C3H5) + 3NaOH 3C17H35COONa + C3H5(OH)3 Minyak / lemak basa Sabun gliserol (Reaksi saponifikasi)
50
RCOOH + NaOH RCOONa + H2O ALB Basa Sabun Air (Reaksi netralisasi)
Minyak biji karet yang telah melalui esterifikasi ultrasonik selama 15 dan 22,5 menit, dan kemudian dilanjutkan dengan transesterifikasi ultrasonik ternyata tidak berhasil membentuk fase gliserol di bagian bawah, melainkan terbentuk fase menyerupai gliserol yang berada di atas fase biodiesel, dan setelah di-dekantasi selama 24 jam fase yang menyerupai gliserol tersebut perlahan-lahan turun melewati fase biodiesel yang menggumpal (membentuk gel). Menurut Canacki dan Gerpen (1999), pada reaksi transesterifikasi konvensional, jika konsentrasi ALB > 5%, katalis basa akan bereaksi dengan ALB tersebut sehingga membentuk gel. Perlakuan ultrasonik pada penelitian ini ternyata menyebabkan katalis basa bereaksi lebih awal dengan ALB pada konsentrasi ALB > 3%. Hal ini dimungkinkan karena energi yang besar dari penggunaan gelombang ultrasonik akan membantu terbentuknya droplet reaktan yang lebih kecil sehingga emulsifikasi dan transfer massa menjadi lebih intensif (Wu et al. 2007; Altic 2010). Akibatnya, memudahkan terjadinya reaksi antara ALB dan NaOH sehingga menghasilkan pembentukan gel yang lebih awal.
4.6. Aplikasi Metil Ester Sawit pada Biodiesel Biji Karet Biodiesel memiliki beberapa parameter penting yang telah diatur di dalam beberapa standar nasional maupun internasional. Menurut Mittelbach (1996), jenis minyak yang digunakan akan mempengaruhi nilai densitas, bilangan setana, dan kandungan sulfur dari biodiesel yang dihasilkan, sedangkan trigliserida yang tidak ikut bereaksi selama proses transesterifikasi akan mempengaruhi viskositas biodiesel. Biodiesel biji karet maupun metil ester sawit, seperti yang telah dijelaskan di pendahuluan, memiliki karakteristik yang berbeda. Masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan yang dapat diperbaiki satu sama lain dengan melakukan pencampuran terhadap keduanya. Karakteristik biodiesel biji karet dan metil ester sawit sebelum dilakukan pencampuran dapat dilihat pada Tabel 14.
51
Berdasarkan data pada Tabel 14 terlihat bahwa untuk karakteristik bilangan asam, viskositas, densitas, dan titik kabut, biodiesel biji karet memenuhi persyaratan SNI-04-7182-2006 untuk kepentingan pemakaian dalam negeri dan memenuhi persyaratan ASTM dari pemerintah Amerika Serikat, untuk kepentingan pemakaian di luar negeri. Namun, biodiesel karet tersebut tidak memenuhi standar bilangan iod dan stabilitas oksidatif yang disyaratkan,
Tabel 14 Karakteristik biodiesel biji karet dan biodiesel sawit sebelum dilakukan pencampuran Karakteristik
Biodiesel biji
Metil ester
SNI-04-7182-
karet
sawit
2006
0,25
0,24
Maks. 0,8
Maks. 0,8
3,3
3,1
2,3 – 6,0
1,9 – 6,0
0,89
0,88
-
-
870
860
850 – 890
-
0,35
5,84
-
3
122,4
58,1
Maks. 115
-
3
12
-
-
9
18
Maks. 18
Laporan
Bilangan asam (mg
ASTM D6751
KOH/g) Viskositas (40oC, 2
mm /s) Densitas (15oC, g/cm3) Densitas (40oC, 3
kg/m ) Stabilitas oksidatif (jam) Bilangan Iod (g I2/100g) Titik Tuang (oC) Titik Kabut (oC)
konsumen
4.6.1. Bilangan Asam Bilangan asam menunjukkan banyaknya kandungan asam lemak bebas dan mineral-mineral asam di dalam biodiesel (Tazora 2011). Menurut SNI maupun ASTM, bilangan asam dibatasi maksimal 0,8 mg KOH/g sampel, dikarenakan semakin lama penyimpanan, biodiesel akan mengalami kontak dengan udara dan uap air sehingga mengalami degradasi yang akan semakin meningkatkan nilai
52
bilangan asam. Hal ini selanjutnya akan berimbas pada terjadinya korosi di dalam mesin diesel. Berdasarkan data pada Gambar 11, diketahui bahwa nilai bilangan asam dari kelima sampel berkisar antara 0,24 sampai 0,25 mg KOH/g sampel, artinya masih berada dalam batas yang disyaratkan SNI dan ASTM. Nilai bilangan asam biodiesel karet tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tazora (2011) dan Fachrie (2010) yaitu sebesar 0,29 mg KOH/g sampel dan 0,22 mg KOH/g sampel. Nilai bilangan asam metil ester sawit yang dihasilkan juga tak berbeda jauh dengan hasil penelitian Kasim (2010) yaitu sebesar 0,22 mg KOH/g sampel. Bilangan asam metil ester sawit tidak berbeda jauh dengan bilangan asam biodiesel karet, sehingga proses pencampuran metil ester sawit ke dalam biodiesel karet tidak berpengaruh terhadap nilai bilangan asam biodiesel karet hasil pencampuran.
Bilangan asam (mg KOH/g sampel)
0,26
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,24 0,24
0,23 0
25
50
75
100
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 11 Bilangan asam biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester
4.6.2. Viskositas Kinematik Viskositas kinematik biodiesel (yang diukur pada suhu 40
o
C) pada
penelitian ini masih berada di dalam kisaran yang telah ditetapkan ASTM D 67512003 yaitu antara 1,9 – 6,0 mm2/s serta yang ditetapkan SNI 04-7182-2006 yaitu
53
antara 2,3 - 6,0 mm2/s. Kisaran tersebut dimaksudkan untuk menjamin kemudahan biodiesel disemprotkan ke dalam mesin pembakaran, sehingga memudahkan proses atomisasi. Jika viskositas terlalu rendah, akan mengakibatkan kebocoran pada pompa injeksi bahan bakar. Semakin tinggi viskositas kinematik biodiesel, semakin baik sifat lubrikasinya terhadap mesin, namun viskositas yang terlalu tinggi akan mempersulit proses atomisasi serta cenderung menghasilkan deposit pada tangki pembakaran (Knothe 2004). Viskositas kinematik dari biodiesel karet, biodiesel sawit, serta campuran keduanya dapat dilihat pada Gambar 12.
6
Batas SNI
Viskositas (mm2/s)
5 4
3,3
3,3
3,1
3,1
3,1
50
75
100
3 2
Batas SNI
1 0 0
25
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 12 Viskositas biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester
Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006), semakin tinggi tingkat kejenuhan minyak pembentuk biodiesel, dan semakin panjang rantai karbonnya, akan semakin tinggi viskositas biodiesel tersebut. Jika mengacu pada pendapat tersebut, maka viskositas metil ester sawit akan lebih tinggi daripada biodiesel karet. Namun, perlu diingat bahwa di dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan metil ester sawit berasal dari olein sawit yang telah melewati tahap pemurnian lebih baik dibandingkan minyak biji karet. Minyak biji karet pada dasarnya mengandung polimer (resin) yang cukup tinggi
54
dibandingkan olein sawit sehingga keberadaan polimer tersebut sangat berpengaruh dalam meningkatkan viskositas biodiesel biji karet yang dihasilkan.
4.6.3. Densitas Densitas biodiesel umumnya lebih tinggi dibandingkan solar (Tazora 2011). Densitas biodiesel karet, metil ester sawit, serta campuran keduanya, yang diukur pada suhu 15 oC dan pada suhu 40 oC dapat dilihat pada Gambar 13. Semua campuran biodiesel yang diujikan memiliki densitas yang memenuhi standar SNI 04-7182-2006. Densitas biodiesel karet tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Fachrie (2010) yang mengukur densitas biodiesel karet pada suhu 15 oC yaitu sebesar 0,887 g/ml, hasil penelitian Tazora (2011) yang mengukur densitas biodiesel karet pada suhu 40 oC yaitu sebesar 870,8 kg/m3, serta yang dilaporkan Ramadhas et al. (2005) yaitu sebesar 874 kg/m3. Biodiesel sawit yang dihasilkan juga tidak berbeda jauh densitasnya dengan yang dilaporkan Tantra et al. (2011) yaitu sebesar 860-885 kg/m3 pada suhu pengukuran 40 oC.
0,9
0,89
0,89 Batas SNI
Densitas (g/cm3)
0,89 0,88
0,87
0,88
0,88
0,88
0,86
0,86
0,86
0,87
0,87 0,86
Batas SNI
0,85 0,84 0,83 0
25
50
75
100
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 13 Densitas biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester, dengan suhu pengukuran 15 oC ( ) dan 40 oC ( ) Metil ester sawit memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan biodiesel karet. Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006), semakin pendek rantai karbon biodiesel, dan semakin banyak jumlah ikatan rangkap pada ester
55
asam lemaknya, maka densitas akan semakin tinggi. Oleh sebab itu, metil ester sawit yang memiliki ikatan rangkap lebih sedikit, memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan biodiesel karet yang banyak mengandung ikatan rangkap. Hal ini juga berlaku pada biodiesel campuran, yaitu semakin banyak proporsi metil ester sawit yang ditambahkan, akan semakin berkurang jumlah ikatan rangkap dalam biodiesel campuran, sehingga densitas biodiesel campuran tersebut akan semakin rendah.
4.6.4. Bilangan Iod Nilai bilangan iod berkaitan dengan tingkat ketidakjenuhan ester-ester asam lemak penyusun biodiesel. Sampel yang memiliki tingkat ketidakjenuhan yang tinggi (mengandung ikatan rangkap yang banyak) akan mengikat iod dalam jumlah besar, sehingga nilai bilangan iod-nya menjadi lebih tinggi. Berdasarkan analisis bilangan iod-nya, biodiesel karet pada penelitian ini memiliki bilangan iod yang paling tinggi (122,4 g I2/100 g) dan belum memenuhi standar SNI. Hal ini dikarenakan komposisi ester asam lemak penyusun biodiesel karet mengandung lebih banyak ikatan rangkap (tidak jenuh) dibandingkan metil esteer sawit (Crabbe et al. 2001; Abdullah & Salimon 2009). Adanya proses pencampuran dengan metil ester sawit akan mengubah komposisi ester asam lemak dari biodiesel campuran. Penambahan metil ester sawit akan meningkatkan jumlah ester asam lemak jenuh sehingga berhasil menurunkan nilai bilangan iod biodiesel karet, seperti terlihat pada ketiga rasio pencampuran (lihat Gambar 14). Bilangan iod yang tinggi berkorelasi dengan stabilitas oksidatif yang rendah. Artinya, semakin tinggi bilangan iod, semakin rentan biodiesel terhadap reaksi oksidasi, sehingga akan cenderung menyebabkan terjadinya polimerisasi yang akan membentuk endapan pada mesin. Oleh sebab itu, SNI-04-7182-2006 (BSN 2006) telah menetapkan standar bilangan iod tidak boleh lebih dari 115 g I2/100 g sampel.
56
Bilangan iod (g I2/100 g sampel)
130 122,4
120 110
Batas SNI
106,8
100 91,8
90 80
70,8
70 60
58,1
50 40 0
25
50
75
100
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 14 Bilangan iod biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester
4.6.5. Stabilitas Oksidatif Nilai stabilitas oksidatif biodiesel berbeda-beda tergantung pada ester asam lemak penyusun biodiesel tersebut. Menurut Ketaren (2008), semakin banyak jumlah ikatan rangkap pada molekul trigliserida, semakin rentan trigliserida tersebut terhadap proses oksidasi. Umumnya penyebab terjadinya proses oksidasi adalah keberadaan udara, pemanasan, kandungan logam, air, dan hidroperoksida pada biodiesel. Serangan oksigen pada ikatan rangkap akan membentuk hidroperoksida tidak jenuh, yang selajutnya akan memicu pembentukan aldehid, asam jenuh, dan senyawa-senyawa polimer, sehingga mengurangi kualitas biodiesel
sepanjang
penyimpanannya
Senyawa-senyawa
ini
juga
akan
menyebabkan sifat korosif pada mesin diesel, dan membentuk deposit yang akan menghambat aliran bahan bakar menuju ruang pembakaran (Mittelbach & Remschmidt 2006). Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa metil ester sawit memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi dibandingkan biodiesel karet murni maupun biodiesel campuran. Semakin banyak rasio metil ester sawit yang dicampurkan, semakin tinggi stabilitas oksidatif dari biodiesel campuran tersebut. Biodiesel karet memiliki stabilitas oksidatif yang rendah dikarenakan mengandung lebih
57
banyak ester asam lemak tidak jenuh berikatan rangkap. Menurut Abdullah dan Salimon (2009), minyak biji karet mengandung 79,45% asam lemak tidak jenuh, sedangkan minyak sawit menurut Crabbe et al. (2001) sedikit mengandung ikatan rangkap (44,8-57,3%) sehingga cenderung lebih stabil dan lebih tahan dari serangan oksigen. 7
Stabilitas oksidatif
6
IS 15607
5,84
5 4 ASTM D6751
3 2,11
2 1,3
1
0,79 0,35
0 0
25
50
75
100
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 15 Stabilitas oksidatif (jam) biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester Adanya metil ester berikatan rangkap (khususnya tiga ikatan rangkap, seperti pada metil ester linolenat) akan memicu terjadinya reaksi oksidasi yang lebih mudah. Berdasarkan data pada Gambar 20, terlihat bahwa terjadi penurunan stabilitas oksidatif metil ester sawit yang cukup drastis ketika metil ester sawit tersebut dicampurkan ke dalam biodiesel karet. Hal ini dimungkinkan karena metil ester sawit yang tidak mengandung metil ester linolenat (atau hanya 0,5% (Crabbe et al. 2001)) dicampurkan dengan biodiesel karet yang mengandung metil ester linolenat cukup tinggi (sebesar 19,22% (Abdullah & Salimon 2009)). Di dalam biodiesel karet maupun campuran metil ester sawit di dalam biodiesel karet, terjadi reaksi oksidasi sebagai berikut. Ketika metil ester asam lemak tak jenuh (dari biodiesel karet) kontak dengan panas, cahaya, ion metal, atau oksigen, maka akan terbentuk radikal bebas (reaksi inisiasi). Radikal bebas ini akan membentuk radikal peroksida dengan sangat cepat (pada energi aktivasi hampir nol) sehingga konsentrasi radikal peroksida akan jauh lebih besar daripada radikal bebas. Radikal peroksida yang terbentuk akan memicu pembentukan
58
radikal bebas yang baru dan selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan berulang. Hal ini menjadi alasan mengapa terjadi penurunan stabilitas oksidatif yang cukup drastis dari metil ester murni ketika 25% metil ester sawit dicampurkan dengan 75% biodiesel karet yang tinggi kandungan metil ester asam lemak tak jenuh.
4.6.6. Titik Tuang dan Titik Kabut Menurut Zuleta et al. (2012), semakin tinggi nilai stabilitas oksidatif dari biodiesel, pada penelitian ini contohnya adalah metil ester sawit, ternyata akan semakin buruk karakteristik biodiesel tersebut pada suhu rendah. Suhu yang rendah akan mengakibatkan pembentukan inti kristal, yang diameternya semakin membesar seiring dengan penurunan suhu lingkungan. Awalnya, pada suhu tertentu (yang disebut sebagai titik kabut/titik awan) kristal tersebut dapat dilihat oleh mata (diameter ≥ 0,5µm) Jika penurunan suhu terus berlanjut, pada suhu tertentu (disebut sebagai titik tuang) kristal akan mencapai diameter 0,5-1 mm. Kristal besar tersebut satu sama lain akan ber-aglomerasi, sehingga mampu menyumbat filter mesin (Dunn 2005). Kekeruhan biodiesel pada titik kabut maupun memadatnya biodiesel pada titik tuang disebabkan oleh metil ester dari asam lemak jenuh yang berantai tunggal mengalami kristalisasi. Menurut Ming et al. (2005), hal ini dikarenakan struktur metil ester dari asam lemak jenuh lebih mudah dan seragam dalam menyusun kristal yang kompak. Berbeda dengan asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap pada rantai penyusunnya, adanya ikatan rangkap (dengan isomer cis) membuat struktur molekul membengkok sehingga satu sama lain menjadi lebih sulit dalam membentuk kristal. Akibatnya, metil ester asam lemak tidak jenuh memiliki titik tuang dan titik kabut lebih rendah. Sesuai dengan pendapat Ming et al. (2005) di atas, metil ester sawit yang mengandung ester asam lemak jenuh paling banyak, pada akhirnya memiliki titik kabut dan titik tuang yang paling tinggi, sedangkan biodiesel karet yang ester asam lemak jenuhnya paling sedikit akan memiliki titik kabut dan titik tuang yang paling rendah. Semakin rendah komposisi metil ester sawit di dalam campuran, akan semakin rendah kandungan ester asam lemak jenuh dari campuran tersebut. Ini artinya, dengan mereduksi jumlah ester asam lemak jenuh melalui
59
penambahan ester asam lemak tak jenuh dari biodiesel karet, akan menurunkan nilai titik tuang dan titik kabut metil ester sawit (Indrayati 2009). 14
Titik Tuang (oC)
12
12
10 8 6
6
4 3
3
3
2 0 0
25
50
75
100
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 16 Titik tuang biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester
20
Titik Kabut (oC)
18
18
Batas SNI
16 14
14
12 11 10 9
9
8 0
25
50
75
100
Persentase metil ester sawit di dalam biodiesel karet
Gambar 17 Titik kabut biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester
60
4.7. Perhitungan Harga Pokok Produksi Biodiesel Karet dengan Aplikasi Metil Ester Sawit menggunakan Metode Ultrasonik dan Metode Konvensional Secara sederhana, untuk melihat metode mana yang lebih murah diantara metode ultrasonik maupun metode konvensional, dapat dilakukan dengan menghitung harga pokok produksi (HPP). Penulis melakukan perhitungan HPP campuran biodiesel pada penelitian ini dengan berdasarkan pada asumsi sebagai berikut : biji karet diperoleh dari kebun karet di Desa Nanga Jetak (Sintang, Kalbar) dan pabrik didirikan di dekat kebun tersebut. Potensi biji karet dari desa tersebut sebesar 153,9 ton per hari dan potensi minyak biji karet sebesar 15,39 kiloliter per hari (Lampiran 22). Potensi sebesar itu memungkinkan pabrik dapat berjalan dengan lancar untuk kapasitas produksi sebesar 600 L minyak biji karet per hari. Setiap hari dilakukan produksi terhadap 600 L minyak biji karet dan 160 L olein sawit untuk produksi metode ultrasonik, serta sebesar 600 L minyak biji karet dan 200 L olein sawit untuk produksi metode konvensional. Total diperlukan waktu running mencapai 14 jam untuk produksi biodiesel dengan metode ultrasonik, dan 16 jam untuk produksi biodiesel dengan metode konvensional. Perbedaan peralatan proses yang digunakan untuk produksi metode konvensional dengan metode ultrasonik hanya terletak pada instrumen ultrasonik (untuk metode ultrasonik) dan pengaduk propeller (untuk metode konvensional). Tangki reaktor yang digunakan pada metode ultrasonik adalah sebanyak 1 buah. Instrumen ultrasonik yang digunakan sebanyak 1 buah, (Merk Hielscher Tipe UIP500hd) seharga USD 9.370 atau setara Rp 89 juta (asumsi kurs 1USD = Rp 9500). Kapasitas produksi metode ultrasonik ditetapkan berdasarkan kisaran kapasitas yang dapat dijalankan oleh instrumen ultrasonik (Merk Hielscher Tipe UIP500hd) yaitu sebesar 0,25 – 2 L per menit. Lampiran 39 memperlihatkan flow chart sederhana untuk produksi biodiesel menggunakan instrumen ultrasonik merk Hielscher Tipe UIP500hd. Adapun tangki reaktor yang digunakan untuk memproduksi biodiesel dengan metode ultrasonik adalah sebanyak 2 buah, dengan kapasitas tangki sama dengan kapasitas tangki yang digunakan untuk melangsungkan metode ultrasonik. Masing-masing tangki reaktor metode konvensional ditambahkan 1 unit pengaduk propeller.
61
HPP per liter biodiesel (campuran 25% metil ester sawit di dalam biodiesel karet) merupakan kumpulan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi satu liter campuran biodiesel tersebut. Di dalam penelitian ini, HPP dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : HPP
=
Biaya tetap tahun berjalan + biaya variabel tahun berjalan Kapasitas penjualan tahun berjalan
Biaya tetap untuk memproduksi campuran biodiesel diperoleh dari total penjumlahan dari biaya pemasaran, biaya administrasi, biaya pemeliharaan, asuransi, dan penyusutan (lihat Lampiran 32-33). Biaya penyusutan sendiri diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung biaya investasi (Lampiran 26-29). Biaya variabel yang dibutuhkan untuk memproduksi campuran biodiesel meliputi biaya bahan baku dan pendukung, biaya utilitas, dan tenaga kerja langsung (Lampiran 30-31). Kapasitas penjualan diasumsikan sebesar 100% dari keseluruhan campuran biodiesel yang dihasilkan pada tahun berjalan. Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, diperoleh bahwa HPP campuran biodiesel menggunakan metode konvensional (Rp 6.714 per liter) lebih murah dibandingkan HPP menggunakan metode ultrasonik (Rp 7.507 per liter).
62
SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan (1) Katalis heterogen CaO perlakuan kalsinasi 800 oC dan 900 oC selama 2 jam berhasil membentuk biodiesel. Namun, biodiesel yang diperoleh memiliki rendemen
yang
rendah.
Secara
berturut-turut,
rendemen
biodiesel
menggunakan CaO yang dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 800 oC dan 900 oC adalah sebesar 81,32% dan 63,13%. Jauh lebih kecil dari rendemen yang dihasilkan menggunakan katalis NaOH (rendemen 95%). (2) Parameter
waktu
dan
amplitudo
ultrasonik
yang
digunakan
pada
transesterifikasi olein sawit tidak memberikan pengaruh yang nyata (pada taraf α = 5%) terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel. Namun, dibandingkan dengan metode konvensional aplikasi ultrasonik memberikan rendemen biodiesel yang lebih tinggi pada waktu yang lebih singkat dan suhu yang lebih rendah. (3) Waktu perlakuan esterifikasi ultrasonik berpengaruh nyata (pada taraf α = 5%) terhadap penurunan bilangan asam dan ALB minyak biji karet, dengan waktu perlakuan 30 menit memberikan hasil penurunan bilangan asam dan ALB yang paling kecil. (4) Transesterifikasi ultrasonik berhasil membentuk biodiesel dari minyak biji karet yang sebelumnya telah melalui reaksi esterifikasi ultrasonik 30 menit dan yang sebelumnya telah melalui reaksi esterifikasi konvensional 1 jam, dengan rendemen biodiesel dari minyak biji karet yang telah melalui reaksi esterifikasi konvensional lebih tinggi dibandingkan yang telah melalui reaksi esterifikasi ultrasonik 30 menit. (5) Biodiesel biji karet, biodiesel sawit, dan campuran kedua biodiesel tersebut memiliki karakteristik bilangan asam, densitas, viskositas, dan titik kabut yang memenuhi standar SNI-04-7182-2006. Bilangan iod biodiesel biji karet masih berada di atas standar, dan adanya pencampuran biodiesel sawit terhadap biodiesel biji karet berhasil menurunkan bilangan iod campuran biodiesel menjadi sesuai standar.
63
(6) Berdasarkan perhitungan harga pokok produksi, pembuatan campuran biodiesel (25% metil ester sawit di dalam biodiesel karet) dengan metode ultrasonik (Rp 7.507 per liter) lebih mahal dibandingkan dengan metode konvensional (Rp 6.714 per liter).
5.2. Saran (1) Perlu dilakukan penelitian mengenai batas maksimal bilangan asam minyak yang memungkinkan untuk dilakukan reaksi transesterifikasi dengan bantuan ultrasonik. (2) Perlu dilakukan penelitian mengenai reaksi transesterifikasi ultrasonik dalam rentang amplitudo yang lebih besar (dari 0 sampai 100%) dan dalam rentang waktu yang lebih kecil (per 5 menit).
64
DAFTAR PUSTAKA Abdullah BM, Salimon J. 2009. Physicochemical characteristics of Malaysian rubber (Hevea brasiliensis) seed oil. Eur J Sci Res 31:437-445. Abdullah, Jaya JD, Rodiansono. 2010. Optimasi jumlah katalis KOH dan NaOH pada pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit menggunakan kopelarut. Sains dan Terapan Kimia 4(1):79-89. Aliem MI. 2008. Optimasi pengempaan biji karet dan sifat fisiko kimia minyak biji karet (Hevea brasiliensis) untuk penyamakan kulit [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Altic LEP. 2010. Characterization of esterification reaction in high free fatty acid oils [tesis]. Florida Selatan: Departemen Teknik Mesin, University of South Florida. [terhubung berkala]. www.search.proquest.com [25 September 2012]. Andayani GN. 2008. Pengaruh pengeringan terhadap sifat fisiko-kimia minyak biji karet (Hevea brasiliensis) untuk penyamakan kulit [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Armenta RE, Vinatoru M, Burja AM, Kralovec JA, Barrow CJ. 2007. Transesterification of fish oil to produce fatty acid ethyl esters using ultrasonic energy. J Am Oil Chem Soc 84:1045-1052. Aziz I, Nurbayti S, Ulum B. 2011. Pembuatan produk biodiesel dari minyak goreng bekas dengan cara esterifikasi dan transesterifikasi. Valensi 2(3): 443-448. Benjumea P, Agudelo J, Agudelo A. 2008. Basic properties of palm oil biodiesel – diesel blends. Fuel 87:2069-2075. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI Biodiesel (SNI-04-7182-2006). Jakarta BSN. Bueche JF. 1986. Introduction to Physics for Scientists and Engineers. Ed ke-6. New York : McGraw-Hill Book Company. Canakci M, Gerpen J van. 1999. Biodiesel production via acid catalysis. Trans ASAE 42:1203-1210. Colucci JA, Borrero EE, Alape F. 2005. Biodiesel from an alkaline transesterification reaction of soybean oil using ultrasonic mixing. J Am Oil Chem Soc 82:525-530. Crabbe E, Nolasco-Hipolito C, Kobayashi G, Sonomoto K, Ishizaki A. 2001. Biodiesel production from crude palm oil and evaluation of butanol extraction and fuel properties. Process Biochem 37:65-71.
65
D’Cruz A, Kulkarni MG, Meher LC, Dalai AK. 2007. Synthesis of biodiesel from canola oil using heterogenous base catalyst. J Am Oil Chem Soc 84:937943. Darismayanti EN. 2007. Pengaruh jumlah reaktan dan waktu reaksi pada pembuatan biodiesel dari biji karet (Hevea brasiliensis) dengan proses transesterifikasi [skripsi]. Surabaya : Jurusan Teknik Kimia, ITS. Darylianty D. 3 Feb 2007. Ultrasonik: cara baru dalam pengolahan air? Enviro ITB 3 Feb 2007. [terhubung berkala]. http://enviro-online.blogspot.com/ [22 Desember 2012]. Dunn R. O. 2005. Cold weather properties and performance of biodiesel. Di dalam : Knothe G, Gerpen J van, Krahl Jürgen, editor. The Biodiesel Handbook. Illinois : AOCS Press. hlm 91-129. Fachrie MYM. 2010. Sintesis dan karakterisasi biodiesel dari minyak biji karet (Hevea brasiliensis) melalui proses estrans (esterifikasi-transesterifikasi) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Freedman B, Pryde EH, Mounts TL. 1984. Variables affecting the yields of fatty esters from transesterified vegetable oils. J Am Oil Chem 61(10):16381643. Gerpen J van, Knothe G. 2005. Basics of the transesterification reaction. Di dalam : Knothe G, Gerpen J van, Krahl Jürgen, editor. The Biodiesel Handbook. Illinois: AOCS Press. hlm 34-49. Giancoli DC. 2001. Fisika. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2007a. Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agro Media. Hambali E et al. 2007b. Jarak pagar, tanaman penghasil biodiesel. Jakarta: Penebar Swadaya. Hermiyawan M, Andriana T. 2007. Pengaruh jumlah katalis alkali dan temperatur reaksi transesterifikasi pada pembuatan biodiesel dari biji karet [skripsi]. Surabaya : Jurusan Teknik Kimia, ITS. Huaping Z, Zongbin WU, Yuanxiong C, Ping Z, Shijie D, Xiaohua L, Zongqiang M. 2006. Preparation of biodiesel catalyzed by solid super base of calcium oxide and its refining process. Chin J Catal 27(5): 391-396. Ikwuagwu OE, Ononogbu IC, Njoku OU. 2000. Production of biodiesel using rubber (Hevea brasiliensis) seed oil. J Industrial Crops and Products 12:57-62. Indrayati R. 2009. Perbaikan karakteristik biodiesel jarak pagar pada suhu rendah melalui kombinasi campuran dengan berbagai jenis minyak nabati [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
66
Jain S, Sharma MP. 2012. Oxidation, thermal, and storage stability studies of jatropha curcas biodiesel, research article. International Scholarly Research Network Renewable Energy, Article ID 861293, doi : 10.5402/2012/861293. Ji J, Wang J, Li Y, Yu Y, Xu Z. 2006. Preparation of biodiesel with the help of ultrasonic and hydrodynamic cavitation. Ultrasonics 44:411–414. Joelianingsih, Tambunan AH, Hiroshi Nabetani, Yasuyuki S, Abdullah K. 2006. Perkembangan proses pembuatan biodiesel sebagai bahan bakar nabati (BBN). J Keteknikan Pertanian 20(3): 205-216. Joelianingsih, Tambunan AH, Soerawidjaya TH, Yasuyuki S, Abdullah K. 2008. Prediksi kualitas biodiesel berdasarkan komposisi asam lemak bahan mentah (minyak-lemak). J Keteknikan Pertanian 22(1):1-6. Joshi H, Moser BR, Toler J, Walker T. 2010. Preparation and fuel properties of mixtures of soybean oil methyl and ethyl esters. J Biomass and Bioenergy 34:14-20. Kalam MA, Masjuki HH. 2002. Biodiesel from palmoil – an analysis of its properties and potential. J Biomass and Bioenergy 23:471-479. Kasim R. 2010. Desain esterifikasi menggunakan katalis zeolit pada proses pembuatan biodiesel dari crude palm oil (CPO) melalui metode dua tahap esterifikasi – transesterifikasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2011. Statistik Direktorat Jenderal Perkebunan. Luas perkebunan dan produksi karet alam Indonesia 20062011. Jakarta: Kementan. Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UIPress. Kinast JA. 2003. Production of biodiesel from multiple feedstocks and properties of biodiesel/diesel blends. Final report. Colorado : National Renewable Energy Laboratory. Knothe G. 2002. Structure indices in fatty acid chemistry: How relevant is the iodine value? J Am Oil Chem Soc 77 :865-871. Knothe G. 2004. Viscosity of biodiesel. Di dalam : Knothe G, Gerpen J van, Krahl Jürgen, editor. The Biodiesel Handbook. Illinois: AOCS Press. hlm 89-90. Knothe G, Steidley KR. 2005. Kinematic viscosity of biodiesel fuel components and related compounds. Influence of compound structure and comparison to petrodiesel fuel components. Fuel 84:1059-1065. Mason TJ. 1999. Sonochemistry 1,2,3. Oxford University Press.
67
Meher LC, Sagar DV, Naik SN. 2006. Technical aspects of biodiesel production by transesterification – a review. Renew Sustain Energy Rev 10: 248-268. Ming TC, Ramli N, Lye OT, Said M, Kasil Z. 2005. Strategies for decreasing the pour point and cloud point of palm oil products. Eur J Lipid Sci technol 107:505-512. Mitsui T. 1997. New Cosmetic Scients. New York: Elsevier. Mittelbach M. 1996. Diesel fuel derived from vegetable oils, VI : specification and quality control of biodiesel. J Bioresource Technol 56:7-11. Mittelbach M, Remschmidt C. 2006. Biodiesel : The Comprehensive Handbook. Ed ke-3. Austria: Boersedruck Ges.m.b.H. Nazir N. 2011. Pengembangan proses pembuatan biodiesel jarak pagar (Jatropha curcas L.) melalui transesterifikasi in situ, katalis heterogen, dan detoksifikasi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Özgul-Yucel S, Turkay S. 2003. FA monoalkylesters from rice bran oil by in situ esterification. J Am Oil Chem Soc 80: 81-84. Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta : Penebar Swadaya. Pardamean M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit. Jakarta : Agromedia Pustaka. Park JY et al. 2007. Blending effects of biodiesel on oxidation and low temperature flow properties, J Bioresource Technol 99:1196-1203. Prihandana R, Hendroko R. 2007. Energi Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya. Rachmaniah O. 2004. Transesterifikasi minyak mentah dedak padi menjadi biodiesel dengan katalis asam [tesis]. Surabaya : Jurusan Teknik Kimia FTI, ITS. Ramadhas AS, Mulareedharan C, Jayaraj S. 2005. Performance and emission evaluation of a diesel engine fueled with methyl esters of rubber seed oil. Renew Energy 30 : 1789 – 1800. Resnick R, Halliday D. 1992. Physiscs. Ed ke-4. New York : John Wiley & Sons. Sahirman. 2009. Perancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Salley SO, Tang H, Simon Ng KY. 2011. Improved oxidative stability of biodiesel fuels : antioxidant research and development. Final Report (Report No : MIOH UTC AF4p2-5 2011 – Final MDOT Report No : RC1545). Detroit: Wayne State University.
68
Sampayo B, Javier C. 2005. Estudio del comportamiento de una burbuja dentrso del proceso de produccion de biodiesel mediante mezclado ultrasonico [tesis]. Mayaguez: University of Puerto Rico. [terhubung berkala]. www.search.proquest.com [25 September 2012]. Sari RE, Wahyuni S. 2010. Pabrik biodiesel dari biji karet (Hevea brasiliensis) dengan proses double stage transesterifikasi [tugas akhir]. Surabaya : Jurusan Teknik Kimia, ITS. Sari TI, Said M, Summa AW, Sari AK. 2011. Katalis basa heterogen campuran CaO dan SrO pada reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional AvoER ke-3; Palembang 26-27 Oktober 2011. Palembang: Fakultas Teknik, UNSRI. Serio MD et al. 2006. Transesterification of soybean oil to biodiesel by using heterogeneous basic catalysts. Ind Eng Chem Res 45: 3009-3014. Shah S, Sharma A, Gupta MN. 2005. Extraction of oil from Jatropha curcas L. seed kernels by combination of ultrasonication and aqueous enzymatic oil extraction. J Bioresource Technol 96:121-123. Siahaan S. 2009. Potensi pemanfaatan limbah biji karet (Hevea brassiliensis) sebagai sumber energi alternatif biokerosin untuk keperluan rumah tangga (studi kasus di Desa Nanga Jetak Kec.Dedai Kab.Sintang Propinsi Kalimantan Barat) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Singh AK. 2008. Development of heterogenously catalyzed chemical process to produce biodiesel [disertasi]. Mississipi: Mississipi State University. [terhubung berkala]. www.search.proquest.com [25 September 2012]. Sivakrasam S, Saravanan CG. 2007. Optimazation of transesterification process for biodiesel in a compression ignition engine. Energy and Fuels 21: 29983993. Soerawidjadja TH, Brodjonegoro TP, Reksowardojo IK. 2005. Prospek, Status, dan Tantangan Penegakan Industri Biodiesel di Indonesia. Bandung: Kelompok Riset Biodiesel, ITB. Soerawidjaja TH. 2006. Fondasi-fondasi ilmiah dan keteknikan dari teknologi pembuatan biodiesel [abstrak]. Di dalam: Seminar Nasional “Biodiesel Sebagai Energi Alternatif Masa Depan”. Yogyakarta: UGM. Stavarache C. 2003. Conversion of vegetable oils to biodiesel using ultrasonic irradiation. Chemistry Letters, 716-717 (2003). [terhubung berkala]. www.search.proquest.com [25 September 2012]. Suirta IW. 2009. Preparasi biodiesel dari minyak jelantah kelapa sawit. J Kim 3(1):1-6. Sunarko. 2009. Budi Daya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem Kemitraan. Jakarta : Agromedia Pustaka.
69
Sundaryono A. 2011. Karakteristik biodiesel dan blending biodiesel dari oil losses limbah cair pabrik minyak kelapa sawit. J Tek Ind Pert 21(1): 34-40. Suparno O, Kartika IA, dan Muslich. 2008. Rekayasa proses penyamakan kulit menggunakan minyak biji karet. Laporan akhir penelitian hibah bersaing Dikti 2008. Bogor: IPB. Suparno O, Sofyan K, Aliem MI. 2010. Penentuan kondisi terbaik pengempaan dalam produksi minyak biji karet (Hevea brasiliensis) untuk penyamakan kulit. J Tek Ind Pert 19(2):100-109. Susila IW. 2009. Pengembangan proses produksi biodiesel biji karet metode nonkatalis superheated methanol pada tekanan atmosfer. J Teknik Mesin 11(2):115-124. Susilo B. 2008. Model kinetika transesterifikasi minyak kelapa sawit menjadi biodiesel dengan gelombang ultrasonik [disertasi]. Malang : Universitas Brawijaya. Tantra HD, E Tandean, N Indraswati, S Ismadji. 2011. Katalis dari limbah kerang batik (phapia undulata) untuk pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia; Surabaya, 2011. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia, ITS. Tazora Z. 2011. Peningkatan mutu biodiesel dari minyak biji karet melalui pencampuran dengan biodiesel dari minyak jarak pagar [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tim Redaksi. 15 Oktober 2012. Indonesia – Malaysia kuasai 90% produksi sawit dunia. [terhubung berkala]. http://www.duniaindustri.com/beritaagroindustri-indonesia/1249-indonesia-malaysia-kuasai-90-produksisawit-dunia.html [11 Februari 2013]. Utami TS, Arbianti R, Nurhasman D. 2007. Kinetika reaksi transesterifikasi CPO terhadap mutu methyl palmitat dalam reaktor tumpak. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia; Surabaya, 2007. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia, ITS. Vicente G, Martinez M, Aracil J. 2004. Integrated biodiesel production: a comparison of different homogenous catalysts systems. J Bioresource Technol 92:297-305. Wu H, Zong M. 2005. Effect of ultrasonic irradiation on enzymatic transesterification of waste oil to biodiesel. Fuel Chemistry 50(2):773-774. Wu P, Yang Y, Colucci JA, Grulke EA. 2007. Effect of ultrasonication on droplet size in biodiesel mixtures. J Am Oil Chem Soc 84:877-884. Yuliani F, Primasari M. 2007. Pengaruh katalis asam dan temperatur reaksi pada esterifikasi pembuatan biodiesel dari biji karet [skripsi]. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia, ITS.
70
Zhu H et al. 2006. Preparation of biodiesel catalyzed by solid super base of calcium oxide and its refining process. Chin J Catal 27(5):391-396. Zuleta EC, Rios LA, Benjumea PN. 2012. Oxidative stability and cold flow behavior of palm, sacha-inchi, jatropha, and castor oil biodiesel blends. (abstrak). Fuel Processing Technol 102: 96-101.
71
72
LAMPIRAN
74
Lampiran 1. Prosedur Analisis a. Analisis kadar asam lemak bebas (SNI 01-3555-1998) Sampel ditimbang sebanyak 2-5 g di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ke dalam sampel ditambahkan etanol netral 95% sebanyak 50 ml. Kemudian dipanaskan di penangas air selama 10 menit sambil diaduk. Selanjutnya ditambahkan 3-5 tetes indicator fenolftalein, dan dititrasi dengan larutan standar KOH 0,1 N hingga berwarna merah muda konstan (tidak berubah selama 15 detik). Jumlah KOH yang digunakan untuk titrasi dicatat untuk menghitung kadar asam lemak bebas. Kadar ALB (%) =
𝑀𝑥𝐴𝑥𝑁 10 𝐺
%
Keterangan : A = jumlah ml KOH untuktitrasi N = Normalitas larutan KOH yang digunakan G = bobot sampel (g) M= bobot molekul asam lemak dominan, yaitu 280 mol/g untuk asam linoleat
Bilangan Asam (mg KOH/g sampel) =
𝑀𝑟𝑥𝐴𝑥𝑁 𝐺
Keterangan : Mr = Berat molekul KOH = 56,1 A = jumlah ml KOH untuktitrasi N = Normalitas larutan KOH yang digunakan G = bobot sampel (g)
b. Perhitungan rendemen biodiesel Rendemen biodiesel yang terbentuk di akhir proses transesterifikasi (setelah tahap pencucian dan pengeringan) dihitung dengan rumus sebagai berikut : 𝑊𝑏
Rendemen biodiesel = 𝑊𝑚 x 100% Keterangan : Wb = Bobot biodiesel (g) Wm = Bobot minyak sebelum transesterifikasi (g)
75
c. Analisis bilangan asam biodiesel (FBI-A01-03) Prosedur analisis bilangan asam adalah sebagai berikut : 1) Sebanyak 19 – 21 ± 0.05 g sampel biodiesel ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml 2) Sebanyak 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan (50%-v dietil eter + 50%-v etanol 95%-v, atau 50%-v toluen + 50%-v etanol 95%-v, atau 50%v toluen + 50%-v isopropanol) ditambahkan ke dalam erlenmeyer 3) Dalam keadaan teraduk kuat, titrasi dengan larutan KOH alkoholik sampai warna kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan pada no.2 di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan sedikitnya 15 detik. Volume titran dicatat.
Bilangan asam =
56.1 𝑥𝑉𝑥𝑁 𝑚
Keterangan : V = Volume titran (KOH alkoholik) yang dibutuhkan (ml) N = Normalitas larutan KOH alkoholik m = bobot biodiesel (g)
Nilai bilangan asam (mg KOH/g biodiesel) yang dilaporkan dibulatkan sampai dua angka di belakang koma.
d. Analisis bilangan iod(AOCS Cd 1-25) Ditimbang sejumlah contoh (ketelitian ± 0.001 g) berdasarkan bilangan iod dari contoh tersebut ke dalam erlenmeyer 500 ml bertutup.
Nilai bilangan iod
Contoh (g)
Nilai bilangan iod
Contoh (g)
<5
3,00
51-100
0,2
5-20
1,00
101-150
0,13
21-50
0,4
151-200
0,1
76
Ditambahkan 15 ml karbontetraklorida dengan menggunakan gelas ukur untuk melarutkan lemak. Kocok putar labu hingga sampel larut sempurna. Selanjutnya ditambahkan dengan tepat 25 ml larutan wijs menggunakan pipet gondok dan erlenmeyer tersebut ditutup. Kocok putar labu agar isinya tercampur sempurna kemudian disimpan selama 1-2 jam dalam tempat atau ruang gelap bersuhu 25 ± 5 oC. Untuk contoh yang mempunyai bilangan iod di atas 50 disimpan selama 2 jam. Ditambahkan 10 ml larutan KI 20% (atau 20 ml larutan KI 10%) dan 150 ml air suling. Erlenmeyer ditutup dengan segera kemudian diaduk
dan
dititrasi
dengan
larutan
Na-tiosulfat
0,1
N
yang
sudah
distandarkanserta larutan kanji sebagai indikator. Bersamaan dengan analisis di atas, lakukan analisis blanko (tanpa perlakuan awal berupa penambahan sampel).
Bilangan iod (g I2/100g) =
12,69 𝑥𝑁𝑥 (𝐵−𝐶) 𝑚
Keterangan : B = volume Na2S2O3 yang diperlukan untuk titrasi blanko (ml) C = volume Na2S2O3 yang diperlukan untuk titrasi sampel (ml) N = normalitas larutan standar Na2S2O3 m = bobot sampel (g)
e. Analisis viskositas kinematik biodiesel pada 40oC (ASTM D 445) Viskositas kinematik diukur dengan alat viskosimeter Otswald yang telah dikalibrasi sampai volume cairan tertentu mengalir di bawah pengaruh gravitasi pada suhu yang ditentukan dimana contoh masih dapat mengalir dalam pipa viskosimeter kering. Viskosimeter dipilih yang bersih dan kering. Viskosimeter yang telah diisi contoh ditempatkan dalam bak dan didiamkan sampai suhu air bak dan cairan sama (40oC ± 0,02 oC). Contoh dipompa ke dalam kapiler dan dibiarkan turun serta dihitung waktu yang dibutuhkan sampel untuk mengalir dari tanda tera atas sampai tanda tera bawah (diukur dalam detik sampai ketelitian 0,1 detik). Bila dua
77
pengukuran bersesuaian maka digunakan rata-ratanya di antara penetapan yang berturutan. Viskositas kinematik dihitung dengan rumus sebagai berikut : V=Cxt Keterangan : V : viskositas kinematik mm2/detik C : konstanta kalibrasi dari viskosimeter (mm2/detik)/detik t : waktu alir rata-rata (detik)
f. Analisis titik kabut (ASTM D 2500) dan titik tuang (ASTM D 97-98) biodiesel Alat : 1. Tabung sampel, berbentuk silinder, bagian dasar rata, diameter luar 33,2 mmdan tinggi 115 sampai 125 mm 2. Termometer, dengan rentang suhu-38 sampai +50°C (untuk High cloud and pour biodiesel), atau -80 sampai +20°C (untuk Low cloud and pour biodiesel) 3. Cork, untuk mengatur posisi tabung sampel 4. Jacket, dari bahan metal atau gelas, kedap air, bagian dasar rata, denganukuran tinggi 115 mm, diameter dalam 44,2 – 45,8 mm. Jacket harus disanggadengan penyangga yang kuat untuk menghindari getaran dari cooling bath 5. Disk, dengan tebal 6 mm, diletakkan pada dasar jacket untuk menyanggatabung sampel 6. Gasket, bentuk cincin dengan ketebalan 5 mm, untuk memantapkan posisitabung sampel dalam jacket. Tujuan pemasangan gasket adalah untukmencegah tabung sampel menyentuh dinding jacket 7. Coling bath, untuk mendinginkan sampel. Suhu bath dipertahankan dengan menggunakan pendingin sebagai berikut: a. Air dan es untuk suhu 10°C b. Es dan kristal NaCl untuk suhu -12°C c. Es dan kristal CaCl2 untuk suhu -26°C
78
d. Aseton, metanol atau etanol yang didinginkan dengan campuran es– garam sampai -12°C, dan dengan CO2 padat (es kering) untuk mencapai suhu yang diinginkan (sampai -57°C)
ProsedurPengujian Titik Awan : 1. Kondisikan sampel pada suhu minimal 14°C di atas titik awan yang diperkirakan. Buang uap air yang tersisa dengan cara penyaringan dengan kertas saring sampai sampel benar-benar kering. 2. Tuangkan sampel ke dalam tabung sampel 3. Tutup tabung sampel dengan cork (dan termometer) dengan posisi termometer menyentuh dasar dan sejajar dengan tabung sampel 4. Letakkan disk di dasar jacket, lalu letakkan jacket dalam medium pendingin minimal sepuluh menit sebelum pengujian. Disk, jacket, dan bagian dalam jacket harus dikeringkan sebelum digunakan. Gasket diletakkan 250 mm dari dasar jacket, lalu masukkan botol sampel ke dalam jacket. 5. Pertahankan suhu pendingin pada suhu -1 sampai 2 °C. 6. Pada setiap perubahan suhu termometer 1 °C , keluarkan tabung sampel dari jacket dengan cepat, amati apakah terbentuk awan kristal, lalu kembalikan ke dalam jacket. Langkah ini harus dilakukan dalam waktu tiga detik. Apabila awan kristal belum terbentuk sampai suhu 10 °C , pindahkan jacket dan tabung sampel ke dalam pendingin kedua dan seterusnya dengan rentang suhu sebagai berikut: Suhu Sampel (°C)
Suhu Bath (°C)
+27
0
+9
-18
-6
-33
-24
-51
-42
-69
7. Titik awan adalah suhu pada saat terbentuk awan kristal pada bagian dasar tabung sampel, dengan pendekatan suhu sebesar 1 °C.
79
Prosedur Pengujian Titik Tuang : 1. Masukkan sampel minyak ke dalam tabung sampel. Sebelumnya, panaskan minyak dalam water bath sehingga cukup cair untuk dituangkan ke dalam tabung sampel. Apabila sebelumnya sampel telah dipanaskan pada suhu di atas 45°C, maka diamkan sampel pada suhu ruang selama 24 jam sebelum pengujian. 2. Tutup tabung sampel dengan cork (dan termometer). Posisi termometer koaksial dengan tabung sampel, dan termometer terendam dalam sampel, dengan kapilernya terletak 3 mm di bawah permukaan sampel. 3. Pengujian titik tuang: a. Apabila titik tuang sampel di atas -33 °C, panaskan sampel tanpa pengadukan 9 °C di atas perkiraan titik tuang, minimum sampai 45 °C dalam water bath yang dipertahankan pada suhu 12 °C di atas titik tuang (minimal 48 °C). Pindahkan tabung sampel ke dalam water bath yang dipertahankan pada suhu 54 °C dan mulai amati titik tuang, b. Apabila titik tuang di bawah -33 °C, panaskan sampel tanpa pengadukan sampai suhu 45 °C dalam bath yang dipertahankan pada suhu 48 °C dan dinginkan sampai 12 °C dalam air yang dipertahankan pada suhu 6 °C. 4. Keringkan disk, gasket, dan bagian dalam jacket. Letakkan disk pada dasar jacket, dan gasket di sekeliling tabung sampel sekitar 25 mm dari dasar. Masukkan tabung sampel ke dalam jacket. 5.Dinginkan sampel hingga terbentuk cairan kental, jaga agar sampel tidak terganggu oleh pergeseran termometer. 6. Lakukan pengamatan pada rentang suhu 3°C. Pengamatan mulai dilakukan pada suhu 9 °C di atas perkiraan titik tuang. a. Setiap 3 °C, keluarkan tabung sampel dari dalam jacket, sisihkan uap air yang menempel pada dinding tabung, miringkan tabung dan perhatikan apakah terjadi pergerakan sampel dalam tabung. Prosedur ini harus dilakukan dalam waktu tiga detik. b. Apabila sampel tidak berhenti mengalir pada suhu 27 °C, pindahkan tabung sampel ke dalam bath yang memiliki suhu lebih rendah dengan rentang sebagai berikut:
80
Suhu Sampel (°C)
Suhu Bath (°C)
+27
0
+9
-18
-6
-33
-24
-51
-42
-69
c. Pada saat sampel dalam tabung mulai tidak mengalir, letakkan tabung pada posisi horizontal selama lima detik dan amati dengan teliti. Apabila terjadi pergerakan sampel, kembalikan tabung kedalam jacket dan teruskan pengujian. 7. Lanjutkan pengujian sampai sampel dalam tabung tidak mengalami pergerakan ketika diletakkan pada posisi horizontal selama 5 detik. Pada saat itu, suhu yang terbaca pada termometer merupakan titik tuang sampel.
81
Peralatan uji titik awan dan titik tuang
g. Analisis stabilitas oksidatif biodiesel metode Rancimat (EN 14112) Stabilitas oksidatif biodiesel dianalisis menggunakan Metrohm Rancimat Model 743, mengacu pada standar EN 14112.Peralatan Metrohm Rancimat diatur pada settingan sebagai berikut : 1. Sampel dimasukkan ke dalam tabung vessel pada kisaran 2 – 12 mL
82
2. Foam barrier diletakkan untuk menyangga tabung pemasukan gas agar tetap pada tempatnya, dan atur pada posisi seperti di bawah ini :
3. Settingan diatur pada parameter suhu 110 oC, aliran gas 10 L/jam, delta T 0,9 oC dan stop criteria di 6 jam (6 h), conductivity 200 uS/cm 4. Jumlah sampel yang digunakan : 3 ± 0,01 g 5. Jumlah air yang digunakan : 50 mL 6. Desain :
83
Lampiran 2. Biji karet utuh yang belum dikupas
Lampiran 3. Biji karet setelah dikupas
84
Lampiran 4. Ekstraksi dan degumming minyak biji karet Biji karet segar
Penjemuran sinar matahari, 1 minggu
Penghancuran dengan hammer mill Bungkil
Pengempaan dengan hot hydraulic press, 70oC
Minyak kasar biji karet
Pemanasan hingga 80oC
Penambahan larutan 30% H3PO4 sebanyak 0,3% (v/b) minyak
Pemanasan disertai pengadukan, 80oC, 15 menit
Dekantasi selama 24 jam
Gum
Pencucian dan sentrifugasi
Pengeringan dari sisa air pencuci
Minyak biji karet hasil degumming
85
Lampiran 5. Kadar air biji karet setelah dua kali penjemuran
ulangan 1 2 3
Kadar air setelah dijemur 7 hari, belum dikupas berat berat biji (g) berat biji (g) berat air yang cawan sebelum setelah menguap (g) kosong (g) dioven dioven 2,079 2,934 2,724 0,21 1,991 3,008 2,791 0,217 1,993 3,033 2,812 0,221 Rerata
kadar air (%) 7,16 7,21 7,29 7,22
Kadar air setelah dikupas dan dijemur kembali selama 2 hari berat berat biji (g) berat biji (g) berat air yang kadar Ulangan cawan sebelum setelah menguap (g) air (%) kosong (g) dioven dioven 1 1,837 3,117 2,915 0,202 6,48 2 1,821 3,004 2,811 0,193 6,42 3 2,103 3,043 2,861 0,182 5,98 Rerata 6,30 Lampiran 6. Persentase minyak biji karet hasil pengempaan Hancuran daging biji (kg) 1 7 2 7 3 6 Rerata
Ulangan
Bungkil Persentase (kg) bungkil (%) 5,2 74,29 5,1 72,86 4,4 73,33 73,49
minyak Persentase (L) minyak (% v/b) 1,4 20 1,5 21,43 1,2 20,00 20,48
Lampiran 7. Bilangan asam dan kadar asam lemak bebas (ALB) minyak biji karet setelah dikempa Ulangan 1 2
Berat minyak (g) 2,082 2,087 Rerata
Volume titran (ml) 7,5 7,5
Bil. asam (mg KOH/g) 20,21 20,16 20,19
Kadar ALB (%) 10,09 10,06 10,08
86
Lampiran 8. Proses dekantasi setelah degumming minyak menggunakan asam fosfat
Lampiran 9. Proses pencucian pada proses degumming
87
Lampiran 10. Alat sentrifugasi untuk memisahkan gum
Lampiran 11. Nilai bilangan asam dan kadar asam lemak bebas minyak biji karet hasil degumming dan sentrifugasi Bilangan Asam* Kadar ALB (%) Ulangan Rerata Ulangan Rerata 10,82 Minyak setelah dipisahkan fase 21,68 21,72 10,85 gum (belum disentrifugasi) 21,77 10,87 21,78 10,87 Minyak setelah disentrifugasi 21,96 10,96 22,13 11,05 * keterangan : nilai bilangan asam dinyatakan dalam satuan mg KOH / g minyak Bahan
Lampiran 12. Rendemen minyak biji karet setelah degumming dan sentrifugasi Ulangan 1 2 3
minyakbijikaretkasar (g) 180,1 180,1 180 Rerata
minyaksetelah degumming (g) 144,08 144,53 143,87
rendemen (%) 80 80,25 79,93 80,06
88
Lampiran 13. Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO yang telah dikalsinasi Kombinasi perlakuan
Ulangan
600oC, 1jam
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
600oC, 2jam 700oC, 1jam 700oC, 2jam 800oC, 1jam 800oC, 2jam 900oC, 1jam 900oC, 2jam
Yield Biodiesel (%)
Rerata Yield Biodiesel (%) Olein sawit tidak berhasil terkonversi menjadi biodiesel Olein sawit tidak berhasil terkonversi menjadi biodiesel Olein sawit tidak berhasil terkonversi menjadi biodiesel Olein sawit tidak berhasil terkonversi menjadi biodiesel Olein sawit tidak berhasil terkonversi menjadi biodiesel
82,50* 80,13*
81,32* Olein sawit tidak berhasil terkonversi menjadi biodiesel
62,39** 63,87**
63,13**
Keterangan : *Crude biodiesel belum dicuci **Crude biodiesel, sebelumnya mengandung ±20 gram gumpalan putih yang kemudian dibuang
Lampiran14. Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis NaOH Minyak awal 100 g
Ulangan 1 2
Fase Biodiesel
Fase gliserol
98,50 g
99,32 g Rerata rendemen biodiesel murni
Biodiesel murni
16,80 g
94,61 g
16,98 g
95,38 g 95,00 %
89
Lampiran 15. Reaksi transesterifikasi menggunakan instrumen ultrasonik
Lampiran 16. Data perhitungan energi (J) pada transesterifikasi ultrasonik olein sawit Amplitudo Daya (W) Waktu (detik) Energi (J) 0,3 11,7 600 7020 0,3 11,7 1200 14040 0,3 11,7 1800 21060 0,35 15,925 600 9555 0,35 15,925 1200 19110 0,35 15,925 1800 28665 0,4 20,8 600 12480 0,4 20,8 1200 24960 0,4 20,8 1800 37440
90
Lampiran 17. Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan Ultrasonic Probe Instrument Rerata Rerata Rendemen Bil. Perlakuan Ulangan Biodiesel Bil. Biodiesel (%) Asam (%) Asam 1 96,71 0,50 A1B1 96,52 0,56 2 96,33 0,63 1 97,95 0,62 A1B2 97,24 0,62 2 96,53 0,63 1 97,44 0,62 A1B3 98,03 0,62 2 98,61 0,62 1 97,81 0,62 A2B1 97,37 0,63 2 96,92 0,63 1 98,01 0,63 A2B2 97,64 0,63 2 97,26 0,63 1 96,95 0,62 A2B3 97,00 0,56 2 97,04 0,50 1 97,79 0,50 A3B1 97,46 0,50 2 97,13 0,50 1 98,26 0,63 A3B2 97,77 0,63 2 97,27 0,63 1 98,05 0,62 A3B3 97,38 0,56 2 96,7 0,50 Lampiran 18. Hasil esterifikasi minyak biji karet menggunakan Ultrasonic Probe Instrument dengan amplitudo sebesar 40%* Rerata Rerata Bil. ALB Perlakuan Ulangan Bil. ALB Asam (%) Asam (%) 7,08 3,53 1 15 menit 6,95 3,47 6,83 3,41 2 6,38 3,19 1 22,5 menit 6,43 3,21 6,49 3,24 2 5,68 2,83 1 30 menit 5,19 2,59 4,71 2,35 2 *) minyak biji karet sebelum esterifikasi memiliki bilangan asam sebesar 24,88 mg KOH/g sampel dan ALB sebesar 12,42 %
91
Lampiran 19. Karakteristik biodiesel biji karet dan metil ester sawit sebelum dan setelah dilakukan pencampuran Karakteristik Bilangan
Rasio biodiesel karet : sawit 100:0
75:25
50:50
25:75
0:100
0,25
0,25
0,25
0,25
0,24
3,3
3,3
3,1
3,1
3,1
0,89
0,89
0,88
0,88
0,88
870
870
860
860
860
0,35
0,79
1,30
2,11
5,84
122,4
106,8
91,8
70,8
58,1
3
3
3
6
12
9
9
11
14
18
asam(mg KOH/g) Viskositas o
2
(40 C,mm /s) Densitas (15oC, g/cm3) Densitas (40oC, kg/m3) Stabilitas oksidatif (jam) Bilangan Iod (g I2/100g) TitikTuang (oC) o
TitikKabut ( C)
92
Lampiran 20. Perhitungan kapasitas produksi biodiesel biji karet dan metil ester sawit per hari menggunakan metode ultrasonik
Kapasitas alat = 2 L/menit
Kapasitas produksi = 60 L minyak/30 menit = 80 L minyak/40 menit
Asumsi minyak biji karet yang diproduksi per hari sebanyak 600 L dan olein sawit sebanyak 160 L.
Reaktor berkapasitas 90 L (mampu memproduksi hingga 80 L minyak per batch), digunakan secara bergantian untuk reaksi esterifikasi minyak biji karet, transesterifikasi minyak biji karet, dan transesterifikasi olein sawit. Rincian penggunaan reaktor tersebut untuk produksi biodiesel karet yaitu per batch berlangsung selama 30 menit untuk esterifikasi 60 L minyak biji karet (dengan persiapan selama 5 menit untuk setiap batch), dan dilakukan dalam 10 kali batch, sehingga keseluruhan 600 L minyak biji karet diesterifikasi dalam 350 menit. Minyak biji karet yang telah di-esterifikasi didekantasi selama 80 menit di dalam dekanter 1 berkapasitas 800 L, untuk memisahkan minyak biji karet dari metanol dan sisa katalis asam. Selama dilakukan dekantasi terhadap minyak biji karet hasil esterifikasi, dilakukan proses transesterifikasi olein sawit menggunakan reaktor yang sama (yang
digunakan
untuk
esterifikasi
minyak
biji
karet
sebelumnya).
Transesterifikasi olein sawit dilakukan dalam 2 batch dan masing-masing batch dijalankan selama 40 menit (dengan persiapan selama 5 menit untuk setiap batch) untuk memproses 80 L olein sawit per batch. Total diperlukan waktu 90 menit untuk transesterifikasi 160 L olein sawit per hari. Olein sawit yang telah ditransesterifikasi kemudian didiamkan selama 40 menit di dekanter 2 berkapasitas 200 L untuk memisahkan gliserol dari biodiesel sawit. Setelah transesterifikasi olein sawit selesai dilakukan, reaktor yang sama digunakan untuk memproses minyak biji karet yang telah di-esterifikasi sebelumnya. Minyak biji karet yang telah terpisah dari metanol dan katalis asam (di dekanter 1) dialirkan kembali ke dalam reaktor. Setiap batch transesterifikasi dilakukan selama 30 menit (dengan persiapan selama 5 menit untuk setiap batch)
93
untuk mengolah 60 L minyak biji karet. Total dilakukan 10 kali batch transesterifikasi, sehingga diperlukan waktu 350 menit untuk menghasilkan 473 L biodiesel biji karet setiap harinya (asumsi rendemen sebesar 78,84%). Biodiesel yang dihasilkan didiamkan di dalam dekanter selama 40 menit untuk memisahkan gliserol dari biodiesel biji karet. Total keseluruhan waktu produksi per hari = (350 + 90 + 350 + 40) = 830 menit atau selama 13 jam 50 menit. Pekerja dibagi menjadi dua shift per hari, dengan jatah masing-masing shift selama 7 jam. Asumsi rendemen biodiesel sebesar 78,84% untuk biodiesel biji karet dan sebesar 97% untuk metil ester sawit, maka kapasitas produksi di atas akan menghasilkan 473 L biodiesel biji karet per hari, dan 155 L metil ester sawit per hari untuk keperluan pencampuran biodiesel karet : sawit sebesar 75:25. Keseluruhan dihasilkan campuran biodiesel sebanyak 628 L. Biodiesel biji karet dan metil ester sawit yang dihasilkan kemudian dicampur dan dikemas dalam jerigen kapasitas 5 L, sehingga dihasilkan 125 jerigen campuran biodiesel per hari.
Lampiran 21. Perhitungan kapasitas produksi biodiesel biji karet dan metil ester sawit per hari menggunakan metode konvensional
Kapasitas reaktor = 60 L/jam (sistem batch)
Kapasitas produksi (2 reaktor) = 120 L/jam
Asumsi minyak biji karet yang diproduksi per hari sebanyak 600 L dan olein sawit sebanyak 200 L.
Reaktor digunakan secara bergantian untuk reaksi esterifikasi minyak biji karet, transesterifikasi minyak biji karet, dan transesterifikasi olein sawit. Rincian penggunaan reaktor tersebut untuk produksi biodiesel karet yaitu per batch berlangsung selama 60 menit untuk esterifikasi 60 L minyak biji karet (dengan persiapan selama 10 menit untuk setiap batch), dan dilakukan dalam 10 batch. Reaktor yang digunakan sebanyak dua buah, sehingga masing-masing reaktor
94
digunakan untuk 5 batch. Ini artinya keseluruhan 600 L minyak biji karet diesterifikasi dalam 350 menit. Minyak biji karet yang telah di-esterifikasi didekantasi selama 60 menit di dalam dekanter 1 berkapasitas 800 L, untuk memisahkan minyak biji karet dari metanol dan sisa katalis asam. Selama dilakukan dekantasi terhadap minyak biji karet hasil esterifikasi, dilakukan proses transesterifikasi olein sawit menggunakan reaktor yang sama (yang
digunakan
untuk
esterifikasi
minyak
biji
karet
sebelumnya).
Transesterifikasi olein sawit dilakukan dalam 4 batch (masing-masing reaktor digunakan untuk 2 batch) dan setiap batch dijalankan selama 60 menit (dengan persiapan selama 10 menit untuk setiap batch) untuk memproses 50 L olein sawit per batch. Total diperlukan waktu 140 menit untuk transesterifikasi 200 L olein sawit per hari. Olein sawit yang telah ditransesterifikasi kemudian didiamkan selama 120 menit di dekanter 2 berkapasitas 200 L untuk memisahkan gliserol dari biodiesel sawit. Setelah transesterifikasi olein sawit selesai dilakukan, reaktor yang sama digunakan kembali untuk memproses minyak biji karet yang telah di-esterifikasi sebelumnya. Minyak biji karet yang telah terpisah dari metanol dan katalis asam (di dekanter 1) dialirkan kembali ke dalam reaktor. Setiap batch transesterifikasi dilakukan selama 60 menit (dengan persiapan selama 10 menit untuk setiap batch) untuk mengolah 60 L minyak biji karet. Total dilakukan 10 kali batch transesterifikasi (5 batch untuk setiap reaktor), sehingga diperlukan total waktu 350 menit. Biodiesel yang dihasilkan didiamkan di dalam dekanter selama 120 menit untuk memisahkan gliserol dari biodiesel biji karet. Total keseluruhan waktu produksi per hari = (350 + 140 + 350 + 120) = 960 menit atau selama 16 jam. Pekerja dibagi menjadi dua shift per hari, dengan jatah masing-masing shift selama 8 jam. Asumsi rendemen biodiesel sebesar 95% untuk biodiesel biji karet dan untuk metil ester sawit, maka kapasitas produksi di atas akan menghasilkan 570 L biodiesel biji karet per hari, dan 190 L metil ester sawit per hari untuk keperluan pencampuran biodiesel karet : sawit sebesar 75:25. Keseluruhan
95
dihasilkan campuran biodiesel sebanyak 760 L. Biodiesel biji karet dan metil ester sawit yang dihasilkan kemudian dicampur dan dikemas dalam jerigen kapasitas 5 L, sehingga dihasilkan 152 jerigen campuran biodiesel per hari.
Lampiran 22. Asumsi banyaknya biji karet yang mampu dihasilkan per hari dari Desa Nanga Jetak, Sintang, Kalbar Luas kebun karet : 27 ribu hektar (Siahaan 2009) Luas kebun dengan tanaman menghasilkan = 57% = 0,57 x 27 ribu hektar = 15390 ha Produksi biji karet per hektar : 1500 kg/ha/tahun (Suparno et al. 2010) = 125 kg/ha/bulan = 10 kg/ha/hari Potensi produksi biji karet di kebun karet Nanga Jetak per hari = 15390 x 10kg = 153,9 ton/hari Potensi daging biji karet per hari = 50% x 153,9 ton = 76,95 ton/hari Potensi minyak biji karet = 20% x 76,95 = 15,39 kiloliter/hari Kesimpulan : Jumlah biji karet yang dihasilkan di kebun karet Nanga Jetak sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minyak biji karet sebesar 600 L per hari.
Lampiran 23. Perhitungan biaya produksi minyak biji karet Jumlah minyak biji karet yang dibutuhkan per hari = 600 L Jumlah biji karet yang harus dikumpulkan per hari = 6500 kg Asumsi tiap buruh mampu mengumpulkan 203 kg biji karet per hari, maka jumlah buruh kebun yang dibutuhkan= 32 orang. Jika upah buruh per hari Rp 10.000, maka biaya upah per hari= Rp 320.000 Pengolahan minyak biji karet (degumming) membutuhkan 2,24 L asam fosfat. Asumsi harga per liter asam fosfat Rp 13.000 (Sanday 2011), maka biaya asam fosfat yang dibutuhkan = Rp 13.000 x 2,24 = Rp 29.120 per hari
96
Asumsi air pencuci diperoleh secara gratis, maka keseluruhan proses produksi dan pengolahan minyak biji karet sebanyak 600 L membutuhkan biaya sebesar Rp 349.120 atau dengan kata lain harga minyak biji karet adalah sebesar Rp 582/L.
Lampiran 24. Neraca massa pengolahan minyak biji karet Biji karet 100% 6500 kg
Proses Pengupasan 60% 3900 kg
Tempurung 40% 2600 kg
Proses Pengeringan 93,70% 3654 kg
Uap air 6,30% 245,7 kg
Proses Penghancuran 100% 3654 kg
Proses Pengempaan
Bungkil 73,49% 2685 kg
Minyak biji karet kasar 748,34 L
Larutan as. fosfat 0,3% 2,24 L
Degumming &Sentrifugasi 80,06% 600 L
Minyak biji karet 600 L
Gum & kotoran 19,94% 149,22 kg
97
Lampiran 25. Asumsi untuk analisis harga pokok produksi campuran biodiesel No
Asumsi
Satuan
Nilai / Jumlah Ultrasonik
Konvensional
1
Periode proyek
Tahun
15
15
2
Bulan kerja per tahun
Bulan
12
12
3
Jumlah hari kerja per bulan
Hari
28
28
4
Jumlah hari kerja per tahun
Hari
336
336
5
Nilai sisa bangunan dari nilai awal
%
70
70
Nilai sisa tanah dari nilai awal Nilai sisa mesin dan peralatan dari nilai awal
%
100
100
%
10
10
%
20
20
9
Nilai sisa kendaraan Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan dari harga
%
0,5
0,5
10
Asuransi
%
0,5
0,5
11
Kapasitas produksi : Biodiesel biji karet
Liter/hari
473
570
Metil ester sawit
Liter/hari
155
190
a. Tahun 1
%
80
80
b. Tahun 2
%
90
90
c. Tahun 3 dan seterusnya
%
100
100
a. Minyak biji karet (600 L/hari) b. Metanol (48,78% dari minyak biji karet)
Rupiah/L
582
582
Rupiah/L
6000
6000
c. HCl (1% dari minyak biji karet) d. NaOH (0,5% dari minyak biji karet)
Rupiah/kg
1700
1700
Rupiah/kg
20000
20000
e. Olein sawit
Rupiah/L
7900
7900
f. Metanol (22,66% dari olein sawit)
Rupiah/L
6000
6000
g. NaOH (0,5% dari olein sawit)
Rupiah/kg
20000
20000
L/hari
10
10
6 7 8
12
13
16
Target kapasitas produksi :
Kebutuhan dan harga bahan baku
Kebutuhan bahan bakar Solar
17
Jumlah kemasan (jerigen 5L)
18
Harga kemasan
Unit/hari
125
152
Rupiah/unit
1300
1300
19
Pajak a. Pajak penghasilan
%
10
10
b. Pajak Bumi & Bangunan
%
2,5
2,5
c. Pajak kendaraan
%
1,4
1,4
2
20
Lahan pabrik (tanah) milik sendiri
m
1000
1000
21 22
Reaktor ultrasonik Tangki Stok Campuran Metanol – Katalis dipergunakan secara bergantian
Reaktor
1
1
Tangki
1
1
98
Lampiran 26. Biaya investasi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik (dalam ribuan Rupiah) No 1
Komponen Biaya
Satuan
Jumlah
Harga /satuan
1
35.000
Sub total 1
-
Mesin dan Peralatan Proses Mesin Pengempa Instrumen Ultrasonik (UIP500hd Hielscher; 500W, 20kHz) Tangki campuran Metanol dan katalis (170L)
Unit
1
3.000
3000
300
Unit
1
89.000
89000
8900
Unit
1
700
700
70
Tangki Reaktor Tangki Penampung Biodiesel Karet (500L) Tangki Penampung Metil Ester Sawit (160L) Tangki Penampung Gliserol (70L)
Unit
1
350
350
35
Unit
1
1.800
1800
180
Unit
1
600
600
60
Unit
1
300
300
30
Tangki Stok Air (1000 L) Dekanter Biodiesel Biji Karet (800 L) Dekanter Metil Ester Sawit (200 L)
Unit
1
2.600
2600
260
Unit
1
2.000
2000
200
Unit
1
500
500
50
Heat Exchanger
Unit
1
5.000
5000
500
Pompa
Unit
1
3.500
3500
350
109350
10935
Peralatan Umum Generator
Unit
2
2.000
4000
-
Instalasi Listrik
Paket
1
8.000
8000
-
Instalasi Hydrant
Paket
1
2.000
2000
-
Pemipaan
Paket
1
10.000
10000
-
Sub Total 3 4
35000 35000
Sub Total 2 3
Nilai sisa
Persiapan a. Perizinan
2
Nilai total
24000
Investasi Bangunan Kantor
m2
130
200
26000
18200
Ruang Pengolahan
m2
500
100
50000
35000
Pengolahan limbah
m2
100
75
7500
5250
Gudang
m2
75
50
3750
2625
Mushola
m2
25
80
2000
1400
Pos Satpam
m2
6
75
450
315
99
Area Parkir & Jalan
m2
100
1000
Sub Total 4 5
164
-
106100
62790
Peralatan Kantor Meja dan Kursi Kantor
Unit
12
100
1200
120
Komputer
Unit
10
2.000
20000
2000
Mesin Fotocopy
Unit
1
8.000
8000
800
AC
Unit
3
2.000
6000
600
35200
3520
Sub Total 5 6
16400
Kendaraan Mobil Operasi
Unit
1
120.000
120000
24000
Truck
Unit
2
55.000
110000
22000
Sub Total 6
230000
46000
Jumlah
539650
Lampiran 27. Biaya investasi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional (dalam ribuan Rupiah) No 1
Komponen Biaya
Satuan
Jumlah
Harga /satuan
Nilai sisa
Persiapan a. Perizinan
1
35.000
Sub total 1 2
Nilai total
35000
-
35000
Mesin dan Peralatan Proses Mesin Pengempa
Unit
1
3.000
3000
300
Pengaduk propeller Tangki campuran Metanol dan katalis (170L)
Unit
2
500
1000
100
Unit
1
700
700
70
Tangki Reaktor Tangki Penampung Biodiesel Karet (600L) Tangki Penampung Metil Ester Sawit (200L)
Unit
2
350
700
70
Unit
1
1.800
1800
180
Unit
1
600
600
60
Tangki Penampung Gliserol
Unit
1
300
300
30
Tangki Stok Air (1000 L) Dekanter Biodiesel Biji Karet (800 L) Dekanter Metil Ester Sawit (300 L)
Unit
1
2.600
2600
260
Unit
1
2.000
2000
200
Unit
1
500
500
50
Heat Exchanger
Unit
1
5.000
5000
500
Pompa
Unit
1
3.500
3500
350
21700
2170
Sub Total 2
100
3
Peralatan Umum Generator
Unit
2
2.000
4000
-
Instalasi Listrik
Paket
1
8.000
8000
-
Instalasi Hydrant
Paket
1
2.000
2000
-
Pemipaan
Paket
1
10.000
10000
-
Sub Total 3 4
24000
Investasi Bangunan Kantor
m2
130
200
26000
18200
Ruang Pengolahan
m2
500
100
50000
35000
Pengolahan limbah
m2
100
75
7500
5250
Gudang
m2
75
50
3750
2625
Mushola
m2
25
80
2000
1400
Pos Satpam
m2
6
75
450
315
Area Parkir & Jalan
m2
164
100
16400
1000
Sub Total 4 5
106100
62790
Peralatan Kantor Meja dan Kursi Kantor
Unit
12
100
1200
120
Komputer
Unit
10
2.000
20000
2000
Mesin Fotocopy
Unit
1
8.000
8000
800
AC
Unit
3
2.000
6000
600
35200
3520
Sub Total 5 6
-
Kendaraan Mobil Operasi
Unit
1
120.000
120000
24000
Truck
Unit
2
55.000
110000
22000
Sub Total 6
230000
46000
Jumlah
539650
Lampiran 28. Biaya penyusutan untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik (dalam ribuan rupiah) Jenis
Nilai awal
Nilai sisa
Umur ekonomis (tahun)
Penyusutan (tahun)
Mesin dan Peralatan
109350
10935
15
6561
Bangunan
106100
62790
15
2887,333333
35200
3520
15
2112
Kendaraan
230000
46000
15
12266,66667
Total
480650
123245
Peralatan kantor
23827
101
Lampiran 29. Biaya penyusutan untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional (dalam ribuan rupiah) Jenis
Nilai awal
Mesin dan Peralatan Bangunan Peralatan kantor
Nilai sisa
Umur ekonomis (tahun)
Penyusutan (tahun)
21700
2170
15
1302
106100
62790
15
2887,333333
35200
3520
15
2112
Kendaraan
230000
46000
15
12266,66667
Total
393000
114480
Lampiran 30.
Biaya variabel untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik (dalam ribuan rupiah) Unit
Jumlah Fisik
Biaya per Unit
Jumlah biaya 1 tahun
a. Minyak biji karet
L
600
0,582
117331,2
b. Olein sawit
L
160
7,9
424704
c. Metanol
L
329
6
664050,2
d. HCl
kg
6
1,7
3427,2
e. NaOH
kg
3,8
20
25536
f. Kemasan jerigen 5L
unit
125
1,3
54600
No
1
18568
Deskripsi
Bahan Baku dan Bahan Pendukung
Subtotal 2
1289648,6
Utilitas a. Solar untuk kendaraan
liter/hari
10
6,5
21840
b. Listrik untuk mesin pabrik
per bulan
1
2000
24000
Subtotal 3
45840
Tenaga kerja langsung Operator
orang/bulan
2
900
21600
Pekerja pabrik
orang/bulan
5
600
36000
Subtotal Total Biaya Variabel
57600 1393088,6
102
Lampiran 31.
Unit
Jumlah Fisik
Biaya per Unit
Jumlah biaya 1 tahun
a. Minyak biji karet
L
600
0,582
117331,2
b. Olein sawit
L
200
7,9
530880
c. Metanol
L
338
6
681408
d. HCl
Kg
6
1,7
3427,2
e. NaOH
Kg
4
20
26880
f. Kemasan jerigen 5L
Unit
152
1,3
66393,6
No
1
Biaya variabel untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional (dalam ribuan rupiah)
Deskripsi
Bahan Baku dan Bahan Pendukung
Subtotal 2
1426320,0
Utilitas a. Solar untuk kendaraan
liter/hari
10
6,5
21840
b. Listrik untuk mesin pabrik
per bulan
1
2000
24000
Subtotal 3
45840
Tenaga kerja langsung Operator
orang/bulan
2
900
21600
Pekerja pabrik
orang/bulan
5
600
36000
Subtotal Total Biaya Variabel
57600 1.529.760
103
Lampiran 32. Biaya Tetap untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik (dalam ribuan rupiah) No 1
2
Uraian
Jumlah
Unit
Biaya Per Unit
Total Biaya 1Tahun
Biaya Pemasaran Tetap a. Promosi
1
per bulan
1500
18000
b. Gaji Staff pemasaran
2
orang/bulan
1300
31200
Subtotal Biaya Administrasi Umum Tetap
49200
a. Gaji Pegawai Tetap Non Produksi Manager pabrik Staff keuangan dan administrasi
1
orang/bulan
3000
36000
1
orang/bulan
1300
15600
Security
2
orang/bulan
800
19200
Sopir
2
orang/bulan
800
19200
Office boy
2
orang/bulan
500
12000
b. Internet, telepon dan fax
1
per bulan
300
3600
d. Listrik (non produksi)
1
per bulan
100
1200
e. Alat Tulis Kantor
1
per bulan
120
1440
f. Pajak PBB
1
Paket
5473
g. Pajak kendaraan
3
Unit
3220
Subtotal 3
Pemeliharaan
116933 1
per tahun
1
per tahun
Subtotal 4
Asuransi
546,75
Subtotal 5
Penyusutan Subtotal Total biaya tetap
546,75 546,75 546,75
1
per tahun
23827 23827 191.053,5
104
Lampiran 33. Biaya Tetap untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional (dalam ribuan rupiah) No 1
2
Uraian
Jumlah
Unit
Biaya Per Unit
Total Biaya 1Tahun
Biaya Pemasaran Tetap a. Promosi
1
per bulan
1500
18000
b. Gaji Staff pemasaran
2
orang/bulan
1300
31200
Subtotal Biaya Administrasi Umum Tetap
49200
a. Gaji Pegawai Tetap Non Produksi Manager pabrik Staff keuangan dan administrasi
1
orang/bulan
3000
36000
1
orang/bulan
1300
15600
Security
2
orang/bulan
800
19200
Sopir
2
orang/bulan
800
19200
Office boy
2
orang/bulan
500
12000
b. Internet, telepon dan fax
1
per bulan
300
3600
d. Listrik (non produksi)
1
per bulan
100
1200
e. Alat Tulis Kantor
1
per bulan
120
1440
f. Pajak PBB
1
paket
5473
g. Pajak kendaraan
3
unit
3220
Subtotal 3
Pemeliharaan
116933 1
per tahun
1
per tahun
Subtotal 4
Asuransi
108,5
Subtotal 5
Penyusutan Subtotal Total biaya tetap
108,5 108,5 108,5
1
per tahun
18568 18568 184.918
105
Lampiran 34. Biaya operasional untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik (dalam ribuan rupiah)
Komponen 1.Biaya Tetap Biaya pemasaran tetap Biaya Administrasi Umum Biaya Pemeliharaan Asuransi Biaya Penyusutan Total Biaya Tetap 2. Biaya Variabel Biaya Bahan baku dan pendukung Biaya utilitas Tenaga kerja langsung Total biaya variabel Biaya total
Tahun 3 dan seterusnya 100%
Tahun 1
Tahun 2
80%
90%
39360 93546,4 437,4 437,4 19061,6 152842,8
44280 105239,7 492,075 492,075 21444,3 171948,2
49200 116933 546,75 546,75 23827 191053,5
1031719 36672 46080 1114471 1267314
1160684 41256 51840 1253780 1425728
1289648,6 45840 57600 1393088,6 1584142,1
Lampiran 35. Biaya operasional untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional (dalam ribuan rupiah)
Komponen 1.Biaya Tetap Biaya pemasaran tetap Biaya Administrasi Umum Biaya Pemeliharaan Asuransi Biaya Penyusutan Total Biaya Tetap 2. Biaya Variabel Biaya Bahan baku dan pendukung Biaya utilitas Tenaga kerja langsung Total biaya variabel Biaya total
Tahun 1
Tahun 2
80%
90%
Tahun 3 dan seterusnya 100%
39360 93546,4 86,8 86,8 14854,4 147934,4
44280 105239,7 97,65 97,65 16711,2 166426,2
49200 116933 108,5 108,5 18568 184918
1141056 36672 46080 1223808 1371742
1283688 41256 51840 1376784 1543210
1426320,0 45840 57600 1529760,0 1714678,0
106
Lampiran 36. Perhitungan Harga pokok produksi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik HPP tahun pertama
= Biaya tetap tahun pertama + biaya variabel tahun pertama Kapasitas penjualan tahun pertama = 1.267.314.000/(628L x 0,8 x 28 x 12) = Rp 7.507 per liter
HPP tahun kedua
= Biaya tetap tahun kedua + biaya variabel tahun kedua Kapasitas penjualan tahun kedua = 1.425.728.000/(628L x 0,9 x 28 x 12) = Rp 7.507 per liter
HPP tahun ketiga dst = Biaya tetap tahun ketiga + biaya variabel tahun ketiga Kapasitas penjualan tahun ketiga = 1.584.142.100/(628L x 28 x 12) = Rp 7.507 per liter
Lampiran 37. Perhitungan Harga Pokok Produksi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional HPP tahun pertama
= Biaya tetap tahun pertama + biaya variabel tahun pertama Kapasitas penjualan tahun pertama = 1.371.742.000/(760L x 0,8 x 28 x 12) = Rp 6.714 per liter
HPP tahun kedua
= Biaya tetap tahun kedua + biaya variabel tahun kedua Kapasitas penjualan tahun kedua = 1.543.210.000/(760L x 0,9 x 28 x 12) = Rp 6.714 per liter
HPP tahun ketiga dst = Biaya tetap tahun ketiga + biaya variabel tahun ketiga Kapasitas penjualan tahun ketiga = 1.714.678.000/(760L x 28 x 12) = Rp 6.714 per liter
107
Lampiran 38. Spesifikasi instrumen ultrasonik merk Hielscher TipeUIP500hd (sumber : www.Hielscher.com)
Transducer
Sonothrode / probe Beaker Generator
Transducer
Flow cell (untuk proses kontinyu lebih dari 5 liter)
Instrumen bekerja pada daya 500 W dan frekuensi 20 kHz. Produsen instrumen ultrasonik tersebut (Hielscher) mengklaim bahwa instrumen ini dapat dijalankan secara steady state non stop 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Namun, untuk kelangsungan dalam jangka panjang, instrumen hanya akan digunakan total tidak lebih dari 13 jam 10 menit sehari, selama 6 hari seminggu. Jeda istirahat diterapkan untuk maintenance dan perawatan alat. Aksesoris alat yang mendukung produksi biodiesel : booster dan flow cell (dapat disertakan pada paket penjualan)
108
Untuk produksi lebih dari 5 Liter bahan baku, disarankan menggunakan flow cell sehingga bahan dapat dialirkan selama waktu tertentu (0,25 hingga 2 liter per menit). Instrumen ini dapat dijalankan selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sehingga kapasitas maksimum yang dapat diproses menggunakan alat ini adalah mencapai 0,5 hingga 3 m3 bahan baku per hari. Transducer yang digunakan menggunakan transducer dengan grade IP65, sehingga tahan terhadap percikan air maupun lingkungan yang berdebu. Efisiensi energi yang dialirkan mulai dari masukan energi (power input) terhadap alat, hingga energi yang dihasilkan mencapai bahan baku adalah sebesar 80-90%. Transducer dihubungkan ke generator menggunakan kabel berukuran 3m. Hal ini memungkinkan transducer ditempatkan di lokasi yang berkabut, berdebu, lembab, dsb sedangkan generator ditempatkan di area yang lebih terjaga. Instrumen UIP500hd ini dapat dioperasikan secara kontinyu pada daya 500 W (amplitudo 100%). Amplitudo dapat diubah secara mudah mulai dari 50% hingga 100% melalui panel depan yang terdapat di generator. Sekali dilakukan pengaturan terhadap persentase amplitudo, maka besaran amplitudo tersebut akan tetap bertahan secara konstan, baik untuk penggunaan di media udara (gas), air, minyak, polimer, dispersi, ataupun emulsi. Ukuran Transducer: (panjang x lebar x tinggi) 340x185x153mm, berat 4.5kg Ukuran Generator: (panjang x lebar x tinggi) 363x365x153mm, berat 5.5kg Tersedia dalam 2 tipe masukan tegangan listrik :115 Volts, AC, single phase, 8A, 50-60Hz serta 230 Volts, AC, single phase, 4A, 50-60Hz Info kontak perusahaan : Hielscher Ultrasonics GmbH Warthestr. 21 14513 Teltow, Germany Tel.: +49 3328 437 420 Fax: +49 3328 437 444 Email:
[email protected]
98
Lampiran 39. Flow chart proses produksi biodiesel dengan instrumen ultrasonik (sumber : www.Hielscher.com)
ke Dekanter (2L/min)
109
111