KAJIAN KEBIASAAN MAKANAN DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK REPRODUKSI IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) PADA HABITAT YANG BERBEDA Dl LINGKUNGAN DANAU MELINTANG KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TlMUR
MOH. MUSTAKIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTlTUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kebiasaan Makanan dan Kaitannya dengan Aspek Reproduksi Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) pada Habitat yang Berbeda di Lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan Tirnur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belurn diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber infonnasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalarn teks dan dicantumkan dalam Daflar Pustaka di bagian &r tesis ini.
Moh. Mustakim NIM C151060091
ABSTRACT
MOH, MSTAKIM. Study on Feeding Habit and its Correlatron with Reproductive Aspect of Climbing Perch (Anabus testudineus Bloch) on Different Habitats in Melintang Lake Area Kutai Kartanegara East Kalimantan. Under direction of M. MUKHLIS KAMAL, RIDWAN AFFANDI, and MAS TRI DJOKO SUNARNO. The Melintang Lake area which have three habitat types, namely swamp, river, and lake are the habitat for the climbing perch one of economically important species in that region. The aim of the research was to know feeding habit, grow, and reproductive aspect so to know the correlation between feeding habit and reproductive aspect of the climbing perch (A.testudinars). The research was conducted h r n Nopember 2007 until January 2008 at. Data were collected monthly by using several of traditional fishing gears, such as :gill net, lift net, and trap net. Anatomy digestive track and index of preponderance analysis showed that climbing perch is omnivore which tend to be carnivore. The value of prediction growth coeficient (K) and length growth maximum (L) was different on each station. Swamp value K and L, (0,73 years"and 21430 mm), River (0,66 and 204,23), and Lake (130 year-' and 200,55). Based on GSI and gonad development percentage it is indicated that fish spawn in Nopember until Januari which peak season found on December. The first maturity male fish varied from 106-110 mm and female fish 960-1 12 mrn. Fecundity varied from 6.944-48.414 eggs. Analysis on histology gonad and size eggs distribution indicated to partial spawning of such fish. This research showed that climbing perch could grow and rejmduce of in swamp, rivers, and lake habitat but Lake is more appropriate than others. Principles component analysis showed there was a positif correlation between environmental of waters condition and feeding habit with the reproduction aspect.
Key word: Feeding habit, grow, reproductive aspect, climbing perch, different habitat, Melintsng Lake.
RINGKASAN MOH. MUSTAKIM. Kajian Kebiasaan Makanan dan Kaitannya dengan Aspek Reproduksi Zkan Betok (Anabas testudineus Bloch) pada Habitat yang Berbeda di Lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Dibimbing oleh. M. MUKHLIS KAMAL, RIDWAN AFFANDI, dan MAS TRI DJOKO SUNARNO. Lingkungan Danau Melintang terdiri dari beberapa tipe habitat seperti rawa, sungai dan danau. Ikan betok merupakan salah satu jenis ikan yang ditemukan di tiga habitat tersebut di atas, Ikan ini mempunyai nilai ekonomis tinggi dan disukai di Kalimantan. Saat ini populasi ikan betok diduga mengalami penurunan akibat tingginya usaha penangkapan. Melihat adanya berbagai tekanan terhadap populasi ikan betok di atas, dilchawatirkan pada masa yang akan datang keberadaan ikan betok di lingkungan Danau Melintang akan terancam. Oleh sebab itu jenis ikan ini perlu dilestarikan keberadaannya dengan cara mendapatkan informasi data tentang aspek biologinya Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makanan, pertumbuhan dan reproduksi serta mengkaji keterkaitan antara kebiasaan makanan dengan aspek reproduksi ikan betok pada habitat yang berbeda. Penelitian ini memberikan inforrnasi untuk dijadikan salah satu dasar dalam, (I) pengelolaan sumberdaya ikan betok agar dapat dimanfmtkan secara optimal dan berkesinarnbungau, (2) upaya domestikasi dengan hijuan melakukan restocking untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas populasi ikan hetok, d m (3) domestikasi ke arah pengembangan budidaya. Pelaksanaan penelitian untuk pengumpulan data terdiri dari d m tahap, yaitu penelitian di lapangan d m pengamatan serta analisis di laboratorium. Kondisi kuali- air masing-masing habitat sebagai data penunjang penelitian diamati d m diukur. Pcngmatan dan pengukuran parameter kualitas air dilakukan di imitu dan laboratoriun untuk setiap daerah terpilih, bemamaan dengan waktu pcngarnbilan c o n t h ikan. Sedangkm koieksi ikan contoh dilah~kansetiap bdan dengan mengpnakan alat tangkap vanp dipersunakan oleh nelavan setempat, seperti iarinn insang. perangkap (trawl). dan tanghi. Peranqkap (kcblatj diopemsikan d i habitat rawa yang di pasang pada daerahdaerah yang azak terbuka, selama satu hari satu malam, tan-gkul dioperasikan di habitat sungai denisan umpan sisa makanan dan ptongan daging ikan. Gillnet dipamnrr di habitat danau pada waktu sore hari dan di angkat pada waktu pagi harinva. ikan hasil tangkapan dipisahkan berdasarkan habitat pengamatan. Sampel ikan diambil sekurang-kurangnya 10 %, secara acak mulai yang terkecil sampai yang terbesar. Sebagian sampel ikan dibedah di lapangan dan diambil gonadnva Gonad iantan dan betina kemudian difiksasi dengan larutan Bouin dan dimasukkan ke ddam botol film untuk keperluan analisis histologis di laboratoriun. Untuk keperluan pengukuran diameter telur di laboratorium, gonad betina diawetkan dengan formalin 4%. kemudian dimasukkan ke botol film. Sampel ikan y a n tidak dibedah di lapangan. segera diawetkan dalam larutan formalin 10% dan dimasukkan ke dalam toples kedap udara kemudian diberi label, untuk selanjutnya dianalisis di lahnrat~ri~lm.
Pengamatan di lahratorium meliputi pengukuran panjang total clan bob& ikan dengan menggunakan papan ukur dengan ketelitian 0,01 dan timbangan digital dengan ketelitian 0,01, kebiasaan makanan dengan menganalisis secasa makroanatomis saluran pencemaan ikan dan analisis isi lambung (indeks bagian terbesar), serta pengarnatan beberapa aspek reproduksi seperti penentuan jenis kelamin, tingkat kematangan gonad (secara maltrokospis dan mikrokospis), indeks kematangan gonad (KG), ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, dan pola sebaran diameter telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ikan betok termasuk ikan omnivora yang cenderung ke kamivora. Makanan utamanya adalah; insekta, makanan laimya adalah; ikan, krustase, serasah (tumbuhan) dan plankton.Pola pertumbuhan ikan betok jantan di habitat rawa adalah isometrik sedangkan ikan betina alometrik, di sungai dan di danau pola pertumbuhan ikan jantan dan betina adalah: alometrik. B e r b k a n dugaan parameter pertumbuhan von bertalanfi diperoleh nilai (K dan L)di rawa: 0,73 th-I dan 2 14, 2 mm, sungaj: 0,66 th clan 204,23 mm, dan danau: 1,30 th-' dan 200,55 mm. Faktor kondisi ikan betok di habitat rawa lebih tinggi dibandingkan habitat sungai dan danau. Ikan W o k memijah sepanjang musim penghujan dan puncak pemi'jahannya pada bdan Demnber, dengan ukuran pertama kali matang gonad di habitat r a w pada ikan jantan 106-107 mm dan betina 96-97 rnm, di habitat sungai ikan jantan 109-110 mm dan betina 112 mm, di habitat danau ikan jantan 106- 107 mm, dan betina 109-110 mm. Fekunditas ikan betok di rawa berkisar antara 744047097, di sungti 6.944-48414 clan di danau 6188-44764. Pola pemijahan ikan betok h i f a t partial spawning. Habitat yang paling baik bagi ikan betok untuk tumbuh dan ber-reproduksi adalah habitat danau Terdapat keterkaitan (korelasi positif) antam kondisi lingkungan perairan dengan kebiasaan makanan, pertumbuhan dan aspek reproduksi ikan betok.
-'
Kata kunci: Kebiasaan makanan, pertumbuhan, aspek reproduksi, ikan betok, habitat yang berbeda, Danau Melintang
O Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang I . Dzlmung mngutip sebagian atau s e l d h a tulis ini tanpa rnenpnfumkun atou menyebuth sumber a Pengufipn h n y u untuk kepentingun pendidikcm, penelitiun, karyu ilmiuh, penuyusunan lupran, penuhsan kritik utuu tiryauan suatu mc~~alah 6. P e n g u t i p tidak m m g i h kepiwingan yang wajar l P 3 2. Dilurung mengumumhn dan rnemperbunyuk sebugiun lrtuu seluruh k-uryu tulis dalam bentuk a p a p tanpa izin IPB
KAJIAN KEBIASAAN MAKANAN DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK REPRODUKSI IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) PADA HABITAT YANG BERBEDA Dl LlNGKUNGAN DANAU MELlNTANG KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TlMUR
MOH. MUSTAKIM
TESlS Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Departemen Perikanan dan llmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
: Kajian Kebiasaan Makanan dan Kaitannya dengan Aspek Reproduksi
Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) pada Habitat yang Berbeda di Lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur Nama
: Moh. Mustakim
NRP
: C151060091
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Ketua
u Dr. Ir. ~ i d d a ~ff&di. n DEA Aw3gota
Dr. Ir. Mas Tri Dioko Sunamo, MS A%gota
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Tanggal Ujian: 3 1 Juli 2008
Tanggal Lulus:
1 3 4U G 2008
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Kajian Kebiasaan Makanan dan Kaitannya dengan Aspek Reproduksi Ikan Betok (Anabas testudines Bloch) pada Habitat yang Berbeda di Lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada Bapak: Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc (selaku Ketua Komisi Pembimbing), Dr. Ir, Ridwan Affandi, DEA (selaku Anggota Komisi Pembimbing I), dan Dr. Ir. Mas Tri Djoko Sunamo, MS (selaku Anggota Komisi Pembimbing 11) yang telah banyak memberi saran dan bimbingan serta evaluasi sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Demikian juga ucapan terima kasih saya haturkan kepada Ibu Dr. Ir. Yunizar Emawati, MS selaku penguji luar komisi, Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, Ms selaku Ketua Program Studi Ilmu Perairan (AIR) dan para staf pengajar yang telah berperan dalam menambah wawasan, pengetahuan dan keilmuan selama saya menempuh masa perkuliahan. Dengan penuh rasa cinta yang mendalam penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada isteri tercinta, Yuli Anggeraini dan ananda tersayang Muhammad Nabil yang dengan sabar dan setia menemani dan selalu memherikan semangat, doa dan motivasi selama menjalani studi ini, tidak lupa juga saya ucapakan terima kasih kepada yang saya horrnati ibu mertua, ibunda Hapipah dan semua keluarga rercinta. Saya hanya bisa berdoa semoga semua pengcrbanan yang telah diberikan mendapat ridho dari Allah SWT, d i n . Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2008
Moh. Mustakirn.
RWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 04 Juli 1974 dari seorang ayah tercinta yang bernama Masngut (Alm) clan ibu Pardiyah (Alm) dengan sembilan orang kakak yang senantiasa saling menyayangi. Penulis adalah putra bungsu dari sepuluh bersaudara. Riwayat studi penulis diawali dengan memasuki sekolah dasar di SDN I1 Banjarjo pada tahun 1981 dan lulus tahun 1987, selanjutnya SMPN I1 Bojonegoro lulus pada tahun 1990, SMAN IV Bojonegoro lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1995 penulis diterima sebagai mahasiswa melalui jalur UMPTN di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman di Samarinda, kemudian melanjutkan studi Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor di Program Studi Ilmu Perairan pada tahun 2006.
DAFTAR IS1
DAFTARISI
......................................................................................................
x
.............................................................................................xii ... DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xlii
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
......................................................................................xiv
I. PENDAWULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Pendekatan Masalah ................................................................................. 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 4 I1.TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 2.1. Klasifikasi Ikan Betok ............................................................................. 2.2. Tipologi Lingkungan dan Komunitas Ikan di Danau Melintang ................ 2.3. Distribusi Ikan ........................................................................................... 2.5. Kebiasaan Makanan................................................................................... 2.4. Pertumbuhan ............................................................................................. 2.6. Reproduksi Ikan ........................................................................................ 2.7. Seksualitas. Perkembangan Gonad, dan Fekunditas ................................... 2.8. Sifat Fisika, Kimia dan Biologi Air ..........................................................
.
111. METODOLOGI............................................................................................. 18 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 18 3.2. Metode Pengumpulan Data......................................................................... 19 .. 3.2.1. Penehtian di Lapangan......................................................................... 19 3.2.2. Pengamatan di Laboratorium .......................................................... 21 3.3. Analisis Data ....................................................................................... 21 3.3.1. Kebiasaan Makaaan............................................................................. 21 3.3.2. Pertumbuh...................................................................................... 22 3.3.3. Aspek Reproduksi................................................................................ 23 3.3.4. Kerapatan Tanaman Air .......................................................................25 3.3.5. Indeks Keanekarqpmn Plankton........................................................ 25 3.3.6. Indeks Dominansi ................................................................................ 26 3.3.7. Kondisi Kualitas Perairan .................................................................. 26 3.3.8. Hubungan Kualitas perairan dengan Aspek Biologi Ikan Betok (A . restudinem) .......................................................................................... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 29 4.1. Hail .......................................................................................................... 29 4.1.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 29 4.1.2. Distribusi Hasil Tangkapan.................................................................. 32 ......................... 32 4.1 .3. Komposisi Hasil Tangkagan ...................................., 4.1.4. Kebiasaan Makanan............................................................................ 35
4.1.5. Pertumbuhan ......................... . . . ......................................................... 40 4.1.6. Aspek Reproduksi ................................................................................... 43 4.1.7. Keterkaitan antara Kualitas Perairan dengan Aspek Biologi lkan Betok ( A. testudinew) ....................................................................................... 54 ........ 58 ..................... . 4.2. Pembahasan........., . . . . 4.2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian........................................................... 58 4.2.2. Distribusi dan Komposisi Hasil Tangkapan ........................................... 59 4.2.3. Kebiasaan Makanan................................................................................ 61 4.2.4. Pertumbuhan ............................................................................................ 63 4.2.5. Aspek Repduksi .................................................................................... 67 4.2.6. Keterkaitan mtara Kualitas Peraim dengan Aspek Biologi 3km Ektok (A. testzdinew) ....................................................................................... 74
V. KESIMPULAN DAN SARAN....................... .... ............................................. 77 5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 77
5.2. Saran .............................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 78
DAFTAR TABEL Halaman
1. Parameter, metode, alat, dan tempat pengukuran contoh kualitas air ................. 2. Rerata kualitas air tiap bulan di masing-masing habitat penelitian di lingkungan Danau Melintang selama penelitian ................................................ 3. Skor kondisi kualitas perairan di masing-masing habitat pengamatan di lingkungan Danau Melintang........................................................................... 4. Pengukuran biometrik ikan betok (A. testudineus) ...........................................
5. Komposisi jenis makanan ikan betok (A. testudineus) berdasarkan tingkat kematangan gonad............................................................................................ 6. Hubungan panjang dan bobot ikan betok (A. testudineus) ................................ 7. Nilai War kondisi ikan betok (A. testudineus) jantan dan betina di masingmasing habitat selaaa penelitian ...................................................................... 8. Faktor kondisi ikan betok (A. testudineus)jantan dan betina di masing-masing habitat berdasarkan tingkat kernatangan gonad ................................................. 9. Analisis Chi kuadrat pada nisbah kelamin di masing-masing habitat selama penelitian ......................................................................................................... 10. Nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan betok (A. testudineus) di masing-masing habitat selama penelitian .......................................................... 11. Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad pada ikan betok (A. testudineus) .....................................................................................................
1. Skema pendekatan masalah pengelolaan sumberdaya ikan betok (A. testudineus) .....................................................................................................
.
2. Ikan betok (A. testudineus) ............................... ........... . ... ...... . ..,. . ..... 3. Peta lokasi penelitian dan habitat pengarnbilan sampel air dan ikan .................. 4. Persentase kerapatan tumbuhan air di masing-rnasing habitat selama penelitian ....................................................................................................... .
.
4 5
18
30
5. Distribusi hasil tangkapan ikan betok (A. testudineus) di masing-masing habitat selarna penelitian ................................................................................ 32 6. Hubungan kerapatan tumbuhan . . air dengan jumlah ikan yang tertangkap di masing-masing habitat peneblan. ................................................................... 60 7. Distribusi jumlah selang ukuran panjang ikan betok (A. testdineus) Z jantan dan ,? betina di masing-masing habitat.. .........................................................
35
...............
36
9. Spekturn makanan ikan betok (A. testudineus) di masing- masing habitat penelitian ............................ ............. ............................. ....... ........................
38
8. Struktur anatomi insang dan pence;maan ikan betok (A. testudineus)
.
.
10. Kurva pertumbuhan panjang ikan betok (A testudineus) di masing-masing habitatpenelitian ........................................................................................ 42 11. Nisbah kelamin ikan betok (A. testudineus) di masing-masing habitat .............. 43 12. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok (A. testudineus) jantan dan betina di masing-masing habitat selama penelitian............................................ 44
13. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok (A. testudineus) jantan dan betina berdasarkan selang ukuan panjang (mm) di masing-masing habitat penelitian ...................................................................................................... 14. Hubungan berat gonad, bobot ikan, dan panjang total dengan fekunditas ikan betok (A. testdineus)................................................................................... 15. Ukwan dan sebaran diameter telur ikan betok (A. testudineus) ' K G I11 dan IV di masing-masing habitat ............................................................................. 16. Struktur histologis testes ikan betok (A. testdineus) ....................................... 17. Struktur histologis ovarium ikan betok (A. testdineus) ................................... 18. Grafik analisis komponen utama parameter fisika, kimia, dan biologi lingkaran korelasi antar habitat pada sumbu 1 dan 2. ...................................... 19. Grafik analisis kornponen utama parameter aspek biologi ikan pada TKG IV lingkaran korelasi antar habitat pada sumbu 1 dan 2. ....................................... 20. Skema rnatrik korelasi antar variabel kondisi lingkungan Danau Melintang
48 51 52
53 54
56 57
dengan aspek biologi ikan betok (A. testudineus) ............................................. 58
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Foto lokasi penelitian habitat rawa, habitat sungai, clan habitat danau di lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara ..............................................
2. Tingkat kematangan gonad ikan ....................................................................... 3. Pembuatan preparat histologi gonad dengan metode mikroteknik ..................... 4. Data klimatologi di Kalimantan Timur. ............................................................
5. Rerata jenis dan jumlah plankton masing-masing habitat di lingkungan Danau Melintang ......................................................................................................... 6. Analisis regresi limier twnbuhan air dengan hasil tangkapan di masing-masing habitat selama penelitian ..................................................................................
7. Komposisi jenis makanan ikan betok (A. testudineus) berdasarkan TKG di masing-masing habitat......................................................................................
8. Hasid uji t terhadap nilai b hubungan panjang berat ikan di masing-masing babitat .............................................................................................................. 9. Analisis ragam hubungan panjang total dan bobot ikan betok (A. testudineus) jantan clan betina di habitat ram ...................................................................... 10. Analisis ragarn hubungan panjang total dan bobot ikan betok (A. testudineus)
jantan dan betina di habitat sungai ....................................................................
11. Analisis ragam hubungan panjang total dan bobot ikan betok (A. testudineus) jantan dan b e t i i di habitat danau .....................................................................
12. Hasil perhitungan dugaan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan von bertulunfi.. ...................................................................................................... 13. Nilai rata-rata W o r kondisi ikan betok (A. testudineus) jantan dan betina
berdasarkan selang ukuran panjang .................................................................. 14. A d i s i s Chi kuadrat pada nisbah kelamin ikan yang matang gonad (TKG IV) setiap bulan ......................................................................................................
15. Indeks kematangan gonad berdasarkan tingkat kematangan gonad di masingrnasing habitat .................................................................................................. 16. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertama kali matang g o d
ikan betok (A. testudineus)jantan di habitat rawa ............................................. 17. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertanr;l kali matang gonad ikan betok (A. testudineus) betina di habitat rawa ............................................. 18. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan betok (A. testudineus)jantan di habitat sungai .......................................... 19. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertarna kali matang gonad ikan betok (A. testdineus) betina di habitat w a i ...........................................
20. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan betok (A. estudineus)jantan di habitat danau.............................................
2 1. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertama kaii rnatang gonad ikan betok (A. testudineus) betina di habitat danau ........................................... 103
22. Hasil perhitungan fekunditas ikan betok (A. testudineus) di masing-masing habitat .............................................................................................................. 104 23. Analisis regresi : Fekunditas dengan berat gonad, bobot dan panjang total ikan betok (A. testudineus) di habitat rawa ....................................................... 105 24. Analisis regresi: fekunditas dengan berat gonad, berat total dan panjang total ikan betok (A. testudineus) di habitat sungai ..................................................... 106 25. Analisis regresi: fekunditas dengan berat gonad, bobot ikan dan panjang total ikan betok (A. testudineus) di habitat danau.................................................. 107 26. Hasil analisis komponen utama (PCA) antara habitat pengamatan dengan karakteristik habitat clan aspek biologi ikan betok (A. testudineus) .................. 109
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perairan daratan (inland waters) merupakan gabungan dari berbagai ekosistem perairan yang ada di daratan. Potensi dan pengelolaan perairan tersebut dipandang penting karena letak geografisnya yang berkaitan erat dengan berbagai
aktifitas manusia. Perairan daratan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lothik) dan perairan menggenang (lenthik). Perairan mengalir adalah perairan yang mempunyai massa air yang bergerak terus menerus ke arah tertentu, mengalir dari daerah pedalaman sampai ke laut, termasuk semua sungai dengan segala ukuran. Perairan menggenang meliputi rawa, waduk, kolam, dan danau (Ewusie, 1990).
Salah satu ekosistem perairan daratan yang unik adalah ekosistem lahan
basah (wet land). Sebutan lahan basah menunjukkan suatu keadaan daIarn ha1 mana wilayah ini seldu basah dengan curah hujan > 2.000 mm per tahun dan merniliki 6-7 bdan basah serta ditumbuhi vegetasi rurnput dm tanaman air dalam kondisi selalu tergenang (Noor, 2007) Daerah Mahakam Tengab (DMT)yang terletak pada koordinat 116"-1 17" BT dan O0-30" LS rnerupakan salah satu daerah 1-
basah terbesar di
Kalimantan (Budiono et al., 2005). Daerah lahan basah tersebut terdiri dari tiga
danau besar (Jempang, Melintang dan Semayang) dan beberapa danau kecil, rawa garnbut dan anak sungai utama. Daerah tersebut terletak di Provinsi Kalimantan
Timur dalam wilayah ekologi Paparan Sunda. Lingkungan Danau Melintang terdiri dari beberapa tipe habitat seperti rawa, sungai dan danau. Pada saat musim kemarau volume air sangat kecil, sedangkan pada musirn penghujan air meluap menggenangi daerah paparan danau, rawa, daratan, dan alur-alur sungai. Kondisi
ini rnengakibatkan beragamnya habitat yang tersedia bagi organisme akuatik (Welcomrne, 1985). Besarnya keragaman habitat di kawasan tersebut mempunyai peranan penting bagi ikan untuk mencari makan, berkembangbiak dan pengasuhan anak-anak ikan, termasuk betok (A. testudineus). Ikan betok merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang umum ditemukan di rawa-rawa, sawah, sungai kecil dan parit-parit, juga pada kolam-kolam yang
medapatkan air banjir atau berhubtmgan dengan saluran air terbuka. lkan ini
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan disukai di Kalimantan, sehingga permintaan terhadap ikan tersebut cukup tinggi. Hingga saat ini, upaya untuk memenuhi permintaan pasar masih sepenuhnya tergantung pada hasil tangkapan di darn, karena kegiatan budidaya ikan betok masih belurn intensif dilakukan, Semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan-ikan di lingkungan
Danau Melintang termasuk ikan betok, menyebabkan penurunan populasinya. Hal ini terbukti dengan berkurangnya hasil tangkapan nelayan di daerah tersebut. Pada tahun 2000 hasil tangkapan ikan adalah 14.850 ton dan menjadi 9200 ton pada tahun 2005 (Syachraini et al., 2005). Selain itu penggunaan alat tangkap yang
tidak rarnah lingkungan seperti keblat dan p e r u b h kondisi lingkungan seperti meningkatnya kekeruhan (Pollnac dan Malvestuto, 1991) memberikan andil dan pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan-ikan di daerah tersebut termasuk ikan betok. Melihat adanya berbagai tekanan terhadap kelangsungan hidup dan populasi
ikan betok di atas, dikhawatirkan pada masa yang akan datang keberadaan ikan betok di lingkungan Danau Melintang akan terancam. Oleh sebab itu jenis ikan ini perlu dilestarikan keberadaannya dengan cara mengelola perairan yang menjadi habitat ikan tersebut. Melihat uraian tersebut, maka perlu dikaji fsktor-faktor yang berkaitan dengan kebiasaan makanan, pertumbuhan, dan aspek reproduksi ikan betok, sebagai dasar untuk pengelolaannya agar supaya tidak tejadi penurunan populasi ikan tersebut. Pendekatan melalui kajian aspek biologi ini merupakan langkah awal sebagai upaya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan agar pernanfaatannya dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan.
1.2. Pendekatan Masalah. Populasi ikan betok di lingkungan Danau Melintang cendemg menurun, ha1 ini diduga karena adanya berbagai tekanan seperti tingginya usaha penangkapan clan perubahan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan di Danau Melintang sangat dipengaruhi oleh perubahan musim "dinamika hidrologi", ketika musim kemarau panjarlg, air hanya dijurnpai di badan sungai, rawa lebak, clan
danau, saat itu kualitas dan kuantitas perairan di lingkungan Danau Meiintang sangat ekstrim dan usaha penangkapan sangat intensif karena keterbatasan ruang
gerak dan habitat ikan betok. Pada m u s h penghujan air meluap menggenangi daerah paparan danau, daratan, rawa (rapak), dan alur-alur sungai. Saat i t -terjadi perubahan kuantitas dan kualitas air serta ketersediaan makanan dari ekstrirn menjadi lebih baik bagi ikan-ikan di setiap habitat di lingkungan Danau Melintang tersebut. Hal ini berpengaruh terhadap proses-proses pertumbuhan reproduksinya. Agar proses pertumbuhan reproduksi dapat berjalan dengan baik, maka perlu adanya pengelolaan sumberdaya ikan Langkah yang dikedepankan untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya ikan betok adalah sebagai berikut: (1) Pembatasan upaya penangkapan, (2) Pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap, (3) Pengaturan musim penangkapan, clan (4) Pengaturan lokasi penangkapan. Untuk dapat mengelola sumberdaya ikan di lingkungan di Danau Melintang dibutuhkan i n f o m i yang lengkap, terutama tentang aspek ekologi dan biologi ikan tersebut. Lebih jelasnya, kerangka pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1. 13. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makanan, pertumbuhaa
clan reproduksi serta mengetahui keterkaitan antara kebiasaan makanan dengan aspek reproduksi ikan betok pada habitat yang berbeda di lingkungan Danau Melintang Kalirnantan Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk dijadikan
dasar dalam, (1) pengelolaan sumberdaya ikan betok agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan, (2) upaya domesGkasi agar nantinya dapat melakukan restocking untuk memperbaiki kualitas dm kuantitas populasi ikan betok, dan (3) upaya domestikasi yang mengarah kepengembangan budidaya.
rL---l Pengelolaan Sumberdaya
Pengaturan ukuran ikan yang ditangkap
-
4
I
Pengaturan musim ~enangka~
Pengaturan lokasi ~nangka~an
Pembatasan
4
4
4
Tempat memijah
Potensi reproduksi dm Pols pemijahan
en^B k a ~
-
4
Ukuran pertama matang gonad
Musirn pemijaban
t Hubungan antara panjang ikan dengan TKG
Hubungan antara waktu dengan TKG
Dinarnika hidrologi dan Kualitas air
.
t Pelacakan waktu ikan memijah
t
t . --b
..
t
t
t Pelacakan ukuran pertama kali matang gonad
-
t
Sampling ikan pada berbagai Wit
Hubungan fekunditas dengan ukuran ikan
t
t
Pelacakan lokasi ikan memijah
Penghitungau jumlah Fekunditas
I
Reproduksi ikan betok
t Distribusi u k m diameter telur ikan
t Pengukuran diameter telur
t
t Kebiasaan makanan ikan betok
Gambar 1. Skema pendekatan masalah pengelolaan sumberdaya ikan betok (A. testudineus)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifiiisi Ikan Betok
Betok adalah nama sejenis ikan yang umumnya hidup liar di perairan tawar.
Ikan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti bethok atau bethik (Jawa.), puyu (Malaysia) atau pepuyuk (Bahasa Banjar). Dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai climbing gouramy atau climbing perch, merujuk pada kemampuannya memanjat ke daratan. Narna ilrniabnya adalah Anabas testudineus (Bloch, 1792). Klasiftkasi ilmiah ikan betok adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Labyrinthici Sub ordo: Anabantoidei Famili: Anabantidae Genus: Anabas Spesies: A. testudineus D XVII-XVIII 8-10, P I 13-14. V 15, A VIII-XI 9-11, C 17, LL 28-32
(Kottelat et al., 1993.) Ikan ini umumnya berukuran kecil dengan panjang maksimum sekitar 25 cm, narnun kebanyakan lebih kecil. Berkepala besar dan bersisik keras dan kaku. Sisik bagian atas tubuh (dorsal) berwarna gelap kehitaman agak atau kecoklatan atau kehijauan. Sisik bagian samping (lateral) kekuningan, terutama di sebelah bawah, dengan garis-garis gelap melintzing yang samar dan talc beraturan. Sebuah bintik hitam (terkadang tak jelas kelihatan) terdapat di ujung belakang tutup
insang. Sisik pada belakang tutup insang bergerigi tajam seperti duri
(http:llwikipedia.~~miinfo/ikan betowhtml) (Gambar 2).
Gambar 2. Ikan betok (A. testudineus) (Koleksi foto: Mustakim, 2008)
&an betok umumnya ditemukan di rawa-rawa, sawah, sungai kecil dan parit-parit, serta di kolam-kolam yang mendapatkan air banjir atau berhubungan dengan saluran air terbuka. Ikan ini memangsa aneka serangga dan hewan-hewan
air yang berukuran kecil. Ikan betok jarang dipelihara orang, dan lebih sering ditangkap sebagai ikan liar. Dalam keadaan normal, sebagaimana ikan umumnya, betok bernafas dalam air dengan insang. Akan tetapi seperti ikan gabus dan lele, betok juga merniliki kemampuan untuk mengambil oksigen langsung dari udara karena adanya organ labirin (labyrinth organ) yang terdapat pada bagian atas rongga insang. Alat pernapasan tarnbahan ini sangat berguna manakala ikan mengalami kekeringan, dan ikan harus berpindah ke tempat lain yang masih berair (http://www.fishbase.org/Summary/speciesSum.php/O7 September 2007)
Ikan betok mampu merayap naik dan berjalan di daratan dengan menggunakan tutup insang yang dapat dikernbangkan, dan berlaku sebagai semacam 'kaki depan'. Narnun tentu saja ikan ini tidak dapat terlalu lama bertahan di daratan, dan hams mendapatkan air dalam beberapa jam. Ikan ini menyebar luas, mulai dari India, Tiongkok hingga Asia Tenggara dan Kepulauan Nusantara
di
sebelah
Barat
Garis
Wallace
(http:l~.fishbase.org~Summary/species. Summary.phpl07 September 2007)
2.2, Tipologi Lingkungan dan Komunitas Ikan di Danau Melintang Lingkungan Danau Melintang merupakan salah satu tipe ekologi lahan basah (wet land) yang berada di Daerah Mahakam Tengah (DMT). Daerah tersebut mempunyai ekosistem yang sangat beragam, baik secara spasial maupun temporal. Sebagai bagian dari ekosistem sungai, daerah ini dicirikan oleh fluktuasi
air antara musirn kemarau dan penghujan yang sangat bervariasi sepanjang tahun. Habitat yang ada di sekitar Danau Melintang terdiri dari daerah lothik, yaitu alur sungai (rivers channel) baik yang besar maupun yang kecil; daerah Ienthik yaitu
daerah rawa, dan danau atau genangan yang semi perrnanen maupun permanen. Lingkungan Danau Melintang bertipe paparan banjir. Pada saat musim penghujan luas paparan banjir tersebut mencapai 165.800 ha dengan kedalaman maksimum sekitar 6,s m serta fluktuasi permukaan tahunan mencapai 4,5 m (LIPI, 2004 dalam UNMUL, 2006).
Pada saat musim penghujan air meluap menggenangi daerah paparan danau, rawa, daratan, dm alur-alur sungai. Kondisi ini mengakibatkan beragarnnya habitat yang tersedia. Besarnya keragaman habitat yang tersedia memungkinkan banyak spesies ikan memanfaatkan daerah ini dalam berbagai cara untuk menunjang proses kehidupan mereka seperti untuk pemijahan (Copp, 1989; Lim et al,, 2004 dalam Simanjuntak, 2007), pengasuhan anak-anak ikan (Riberio et al.,
2004; Sommer et al., 2004 dalam Simanjuntak, 2007). Penggenangan dalam waktu yang lama &an mengakibatkan kekayaan spesies ikan khususnya kelimpahan ikan di daerah genangan. Vegetasi yang tergenangi akan meningkatkan kelimpahan ikan dengan menciptakan struktur habitat yang komplek dan menyediakan lebih banyak makanan serta perlindungan bagi anak-anak ikan (Simanjuntak, 2007). Kondisi ini sering ditemui pada tipe ekologi rawa banjiran. Dalam konteks ekologi, daerah rawa banjiran termasuk lahan basah (Notohadiprawiro,1979; Andriese, 1988; Mitsch dan Gosselink, 1993 dalam
Noor, 2007), Pengertian iahan basah mempunyai cakupan lebih luas lagi, menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2007),
yaitu sernua badan
perairan (danau, waduk, sungai, rawa, tarnbak), persawahan (irigasi, tadah hujan, pasang surut) dan kawasan pantai yang mempunyai kedalaman air minimal 6 meter. Daerah rawa banjiran merupakan salah sat- tipe ekosistem yang produktif
bagi @anan
air tawar (Welcomme, 1985). Komunitas ikan yang berasosiasi di
rawa banjiran dapat dikelompokan menjadi dua yaitu, (1) ikan-ikan peruaya (whitefish) yakni ikan-ikan yang beruaya ke daerah tersebut pada saat musim
penghujan, untuk memijah, mencari makan dan perbesaran anak-an& ikan, kelompok ikan ini diantaranya adalah dari farnili Cyprinidae dan Pangasidae. Kelompok, (2) ikan-ikan yang penetap (resident fish), yakni spesies ikan yang telah beradaptasi dan tahan pada kondisi oksigen rendah, di daerah Asia Tenggara disebut blackfish. Ikan ini tetap bertahan pada rawa banjiran saat musim kernmu.
Ikan yang termasuk dalam kategori ini, yaitu sebagian besar ikan Siluridae, Ophiochepalidae (Channidae), Anabantidae, Osteoglossidae, d m ikan Polyteridae (Welcomme, 1979).
Haryono (2006) dan UNMUL (2006) menyatakan bahwa, lingkungan Danau Melintang memiliki kekayaan iktiofauna dengan ditemukannya beragam spesies, antara lain: Barbichthys laevis, Barbodes collingwoodi, Osteochilus kappni,
Thynichthys vaillanti, Rasbora sp, Chela oxygastroides, Pangasius sp, Anabas testudineus, Hemibragus nemurus, Trichogaster trichopterus, T. pectoralis, Pristolepisfasciata, Oxyoleotris marmorata, Helostoma teminckii, Macrognuthus aculeatus, Clarias sp, Ophiocepalus striatus, Ophiocepalus sp. Tingginya keragaman fauna ikan yang ditemukan merupakan ciri dinamika ekologi sebagai respon ikan terhadap heterogenitas habitat (Agostinho et al., 2000).
2.3. Distribusi Ikan Pada umumnya ikan-ikan perairan umum seperti sungai, danau, dan rawa berdistribusi pada perairan yang bisa ditolerii oleh ikan tersebut. Ikan-ikan yang hidup di danau clan rawa banjiran juga akan melakukan ruaya apabila kondisi perairannya memburuk, mencari tempat yang lebih bagus kondisi
kualitas
perairannya Faktor-Wor yang mempengaruhi ikan dalarn ~nelakukanruaya pemijahan, dibagi dalam dua kelompok, yaitu faktor eksternal dan fhktor internal. Faktor eksternal ialah W o r lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung
herperan dalam aktivitas ruaya ikan. seperti suhu, intensitas cahaya matahari, air hujan (menimbulkan arus), dan perubahan tinggi perm* menjadi rangsangan ikan untuk beruaya.
perairan dapat
Faktor internal ialah faktor yang
ter&pat di dalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain- lain yang berhubungan dengan faktor eksternal tadi (Effendie, 2002). 2.4. Kebiasaan Makanan Umumnya rnakanan yang pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya, ialah plankton bersel tunggal dan berukuran kecil. Jika pertama kali ikan itu menemukan makanan berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya. Dalam mengelompokan &an berdasarkan rnakanan, ada ikan sebagai pemakan plankton, pernakan tumbuhan, pemakan dasar, pemakan detritus, &an buas dan ikan pernakan campuran Menurut Effendie (2002), berdasarkan jumlah variasi dari macam-macam
rnakanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi euryphagic yaitu ikan pernakan
bemacam-macam makanan; Stenophagic, ikan pemakan yang macamnya sedikit atau sempit; dan monophagic, ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja. Kebanyakan cara ikan mencari makanan dengan menggunakan mata. Pembauan dan persentuhan digunakan juga untuk mencari makanan terutarna oleh ikan pemakan dasar dalam perairan yang kekurangan cahaya atau dalam perairan keruh. Pada umumnya ikan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap kebiasaan makannya serta dalam memanfaatkan rnakanan yang tersedia. Menurut Bhukaswan (1980), variasi distribusi ikan di suatu perairan berhubungan dengan kebiasaan makan dan ketersediaan makanan. 2.5. Pertumbuhan
Perhunbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi, dan lingkungan. Laju pertumbuhan yang cepat menunjukkan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup yang sesuai. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan ukuran (panjang, dan bobot ikan) selama waktu tertentu. Pertumbuhan dari segi energi juga dapat diartikan sebagai perubahan jaringan somatik dan reproduksi dilihat dari kalori yang tersimpan. Definisi pertumbuhan dari segi energi berguna untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pertmibuhan ikan, yaitu asupan energi dari rnakanan,
keluaran energi untuk metabolisme, keluaran energi untuk
pertumbuhan, dan keluaran energi melalui ekskresi (Brett dan Groves, 1979
dalam Moyle dan Cech, 2004). Pertumbuhan dalam individu acidah pertambahan jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis (Effendie, 1997).
Pada muianya, saat ukuran ikan kecil, ukufan ikan mulai meningkat secara lambat. Akan tetapi kemudian, laju pertumbuhan semakin cepat. Setelah waktu tertentu, laju pertumbuhan kembali meningkat dengan larnbat sampai akhirnya tetap pada suatu garis asimtotik. Sebagian besar ikan memiliki kemampuan untuk menemkan pertumbuhan selama hidup bila kondisi iingkungannya sesuai dan ketersediaan makanan cukup baik, walaupun pada umur tua pertumbuhan ikan hanya sedikit. Ikan tidak memiliki limit tertentu untuk membatasi pertumbuhan (undetenninate growth) (Effendie, 1997).
Secara urnurn pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit (Effendie, 1997), serta umur dan maturitas (Moyle dan Cech, 2004). Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jurnlah dan ukuran makanan yang tersedia, jurnlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley, 1972), kadar amonia di perairan, dan salinitas (Moyle dan Cech,
2004). Pertumbuhan ikan bersifat sangat labil (Weatherley, 1972). 2.6. Reproduksi Ikan
Ikan yang ukuran tububnya kecil dan masa hidupnya singkat, akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebii muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang lebih besar dm umurnya yang lebii panjang (Lagler et al., 1977). Pemijahan buatan pada ikan liar masih menghadapi banyak kendala diantaranya ikan yang mernijah di habitatnya tidak dapat memijah di kolarn-kolam. Hal tersebut terjadi karena masih kurangnya penelitian mengenal siklus reproduksi khususnya ikan-ikan di Indonesia di habitat alamiahnya. Faktor-faktor yang mengontrol siklus reproduksi ikan di perairan terdiri dari faktor fisika, kimia dan biologi. Ikan yang hidup di daerah tropis, faktor fisika utama yang mengontrol siklus reproduksi adalah arus, suhu dan substrat. Faktor kimia adalah gas-gas terlarut, pH, nitrogen dan metabolitnya serta zat buangan yang berbahaya bagi kehidupan ikan diperairan. Faktor biologi yang mengontrol siklus reproduksi ikan dibagi menjadi faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi faktor fisiologis individu dan respon terhadap berbagai faktor lingkungan, selanjutnya faktor luar adalah patogen, predator dan kompetisi sesama spesies ikan tertentu atau dengan spesies lain. Induk yang siap memijah adalah induk yang telah melakukan fase pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk fase dorman (Woynarovich dan Horvath, 1980). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur (yolk) dalarn sel teiur. dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ketengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat
(dorman). Menurut Lam (1985), bila rangsangan diberikan pada saat ini akan
menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Effendie (2002) menyatakan, bilarnana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit
atresia. Ikan air tawar di daerah tropis memiliki waktu musim pemijahan yang lebih panjang. Setiap individu dapat memijah pada waktu yang berlainan dengan individu lainnya, tetapi masih terlihat adanya puncak-puncak musim pemijahan dalam setiap periode waktu tertentu, yaitu biasanya terjadi pada saat m u s h penghujan (Welcomrne, 1985). Lama pemijahan pada ikan dapat diduga dari
ukuran diameter telur. Jika waktu pemijahan pendek, semua telur masak yang terdapat dalam ovarium berukuran sama dimana ukuran ini berbeda dengan
ukuran telur pada saat folikel masih muda. Tetapi bila waktu pemijahan tersebut terus menerus pada kisaran waktu yang lama, maka ukuran telur yang berada dalam ovarium berbeda-beda (Hoar, 1957). Menurut Selman dan Wallace (1981), bila dihubungkan dengan periode waktu pemijahan dengan oosit yang berada dalam ovarium, maka ovarium ikan dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu sinkronisrne total (seluruh oosit berada pada tingkat perkembangan atau stadia yang sama), sinkronisme kelompok (sedikitnya ada dua populasi yang berada dalam stadia yang sama) dan tidak ada sinkronisrne atau metakrom (oosit terdiri
dari semua tingkat perkembangan). 2.7. Seksualitas, Perkembangan Gonad, dan Fekunditas
Perbedaan jenis kelamin pada ikan dapat diidentifikasi dengan cara mengamati ciri-ciri seksual sekunder dan primer. Ciri-ciri seksual sekunder diidentifikasi dengan mengarnati bentuk luar tubuh clan pelengkapnya. Seksual primer adalah mengarnati organ yang secara langsung berhubungan dengan proses reproduksi yaitu ovarium dengan pembuluhnya pada ikan betina
dan testis
dengan pembuluhnya pada ikan jantan (Effendie, 1997). Pola seksual dan nisbah kelamin ikan sangat menentukan keberhasilan
proses reproduksi. Nisbah kelamin antara ikan jantan dengan ikan betina yang
ideal adalah mengikuti pola 1:1. Penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1:1 dapat timbul dari faktor yang mencakup perbedaan distribusi, aktifitas, dan gerakan ikan (Turkmen et al., 2002). Nikolsky (1963) menambahkan bahwa, jika ketersediaan makanan berlimpah maka ikan betina akan lebih dominan, sebaliknya ikan jantan dominan saat ketersediaan makanan berkurang. Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar energi hasil metabolisme ikan akan tertuju untuk perkembangan gonad atau pertumbuhan gonad (Effendie, 2002). Perkembangan gonad ikan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ikan sehingga faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan gonad. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin (sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (garnet maturation). Pada hewan vertebrata termasuk ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah mempakan periode dimana ikan yang muda memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Hal ini terjadi dengan teraktivasinya axis hipotalamuspituitary- gonad (Amer et al., 2001).
Perkembangan gonad pada ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad hingga mencapai tingkat dewasa kelamin dan tahap pematangan produksi seksual. Tahap pertumbuhan berlangsung sejak ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin, sedangkan tahap pematangan berlangsung setelah ikan dewasa. Tahap pernatangan akan terus beriangsung dan berkesinambungan selama h g s i reproduksi ikan berjalan normal (Lagler, et al., 1977) Pada proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad akan semakin bertambah berat diimbangi dengan bertambah besar ukurannya (Effendie, 2002). Selama
perkembangan gonad oosit dikelilingi oleh lapisan sel-sel folikel yang membentuk dua lapisan, yaitu lapisan grandosa di sebelah dalarn yang menempel dengan oosit dan lapisan teka di sebelah luarnya (Nagahama, 1987). Sel folikel pada pinggiran oosit berperan penting dalam penyerapan material lipoprotein yang
berasd dari hati kedalam oosit.
Pada saat proses perkembangan dan pematangan gonad ikan maka sebagian besar energi pertumbuhan akan dialihkan dari perkembangan sel somatis menjadi perturnbuhan sel garnet. Sehingga pada saat ikan sudah matang gonad, bobot gonad pada ikan betina beratnya dapat mencapai 10-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan antara 510% dari berat tubuhnya (Effendi, 1979). Secara kuantitatif tingkat perkembangan gonad ini dapat dihitung dengan mengunakan Gonadal Somatic Index (GSI). Semakin tinggi perkembangan gonad maka perbandingan antara berat tubuh dan gonad semakin besar yang diperlihatkan dengan nilai GSI yang besar, semakin besar nilai GSI maka dapat dijadikan indikator semakin dekatnya waktu pernijahan. Fekunditas merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting
untuk pembentukan ovulasi dengan dinamikanya. Dari nilai fekunditas dapat ditaksir jumlah an& ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan jumlah ikan
ddam kelas umur yang bersangkutan. Fekunditas adalah jurnlab telur ikan betina sebelum dikeluarkan pada waktu akan memijah. Secara terperinci Wootton (1992) mendefkisikan tentang fekunditas yaitu, pada ikan yang berbiak setahun sekali, fekunditas adalah jumlah telur yang diproduksi per tahun. Sebelurnnya Nikolsky
(1 963) menyatakan bahwa fekunditas individu adalah jumlah telur yang terdapat di dalam ovarium &an. Menentukan fekunditas ikan sebaiknya dilakukan pada tingkat kematangan gonad IV dan yang paling baik sesaat sebelum tejadinya pernijahan. Nilai fekunditas dari suatu spesies ikan dipengaruhi olen beberapa faktor, antara lain ketersediaan makanan, ukuran ikan (panjang dan berat) dan faktor lingkungan (Effendie, 2002). 2.8. Sifat Fisika, kimia ,dan Biologi Air
Bagi biota air terutama ikan, air berfkgsi sebagai media, baik media internal maupun ekstemal. Sebagai media internal, air b e h g s i sebagai bahan baku untuk reaksi di dalam tubuh, pengangkutan bahan makanan keseiuruh tubuh, pengangkutan sisa metabolisme, dan pengaturan atau penyangga suhu tubuh. Sementara sebagai media eksternal, air berfimgsi sebagai habitatnya. Oleh karena itu peran air sangat esensial, maka kualitas dan kuantitasnyapun dijaga sesuai kebutuhan ikan. Fluktuasi air sangat berpengaruh terhadap keberadaan suatu jenis ikan di suatu perairan. Pada musim penghujan, tinggi air sangat berfluktuasi yang
berpengaruh terhadap keberadaan benih ikan
clan ketersediaan makanan.
Fluktuasi air juga mempengaruhi proses-proses reproduksi ikan pada saat tertentu seperti pada musim penghujan ikan banyak berada di daerah banjiran untuk berbagai kepentingan seperti mencari makan, mijah dm sebagai kawasan habitat anakan. Kedalaman air mempengaruhi temperatur, kandungan oksigen, ruang gerak dan media untuk kehidupan produsen primer maupun sekunder. Suhu air berpengaruh terhadap sintasan, reproduksi, pertumbuhan organisme muda dan kompetisi (Krebs, 1985). Naiknya suhu air menyebabkan pengurangan konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat metabolisme organisme yang hidup di perairan dm semakin meningkat kebutuhan oksigen, tetapi kemampuan haemoglobin untuk mengikat oksigen sernakin berkurang. Walk et al., (2000) menyatakan bahwa suhu tinggi akan berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis pada beberapa jenis ikan dan menurunkan kelimpahannya di perairan. Sejalan dengan itu Pescod (1973) mengemukakan bahwa perubahan suhu di perairan yang mengalir tidak boleh melebiihi 28OC. Bagi ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu perairan pada musirn penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Suhu juga mempengaruhi distribusi ikan dan kelimpahan makanan di suatu perairan. Rifai (1983) mengemukakan bahwa distribusi ikan akan berubah jika suhu perairan di sekitarnya berubah. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan yang disebabkan oleh bahan organik seperti plankton clan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur dan pasir halus. Kekeruhan tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan, daya lihat organisme akuatik serta dapat mengharnbat penetrasi cahaya di dalam air. Oksigen terlarut dibutuhkan untuk respirasi plankton (65%), respirasi ikan (20%) dan juga organisme dasar. Oksigen terlarut di badan air dari hasil fotosintesis plankton (90-95%), dan sisanya diksi dari udara. Pada danau eutrofik tinggi, rendahnya oksigen terlarut dan meningkatnya C@ dapat menyebabkan
LODOS (Low Dissolved Oxigen), stres ekologi pada ikan, tidak stabilnya ekologi (Schimttou, 1991). Konsentrasi oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk kedalam air (Effendi, 2000). Parameter pH air menunjukkan reaksi basa atau asam terhadap titk netral pH
7,O (Schmittou, 1991). Nilai pH berkaitan erat dengan CO2 bebas d m alkalinitas. Semakin tinggi pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah konsentrasi C02 bebas. Nilai pH juga mempengarubi toksisitas suatu senyawa
kirnia. Pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang talc terionisasi dan bersifat toksik. Arnonia talc terionisasi lebih mudah diserap tubuh oranisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut dalam Effendi,
2000). Nilai pH perairan berfluktuasi pada siklus siang harildiurnal secara primer dipengaruhi oleh konsentrasi C 0 2 , kepadatan fitoplankton, alkalinitas total dan tingkat kesadahan (Schmittou, 1991). Alkalinitas berperan sebagai buffer perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Tingkat produktivitas perairan sebenamya tidak berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas.
Alkalinitas yang baik berkisar antara 30 -500 mgL CaC03, jika > 40 mg/L CaC03 disebut perairan sadah dan jika < 40 mg/L CaC03 disebut perairan dengan kesadahan sedang (Effendi, 2000). Senyawa nitrat dan fosfat merupakan zat hara yang dapat dijadikan sebagai petunjuk kesuburan perairan d m dibutuhkan organisme dalam perturnbuhan dan perkembangan hidupnya. Salah satu organisme yang mengkonsurnsi zat hara adalah fitoplankton. Menurut Nybakken (1992) zat-zat organik utama yang yang diperlukan fitoplankton untuk perturnbuhan dan perkembangbiakan adalah nitrogen (sebagai nitrat) dan fosfor (sebagai fosfat). Kandungan fosfat yang rendah diperoleh pada lapisan permukaan ,dan yang tertinggi dijumpai pada perairan yang lebih dalam. Hal ini umumnya terjadi pada laut dalam sedangkan di laut dangkal sangat dipengaruhi pengadukan air laut dan organisme yang mengkonsurnsi zat hara tersebut. Kadar fosfat yang tinggi dan
.
melebihi kebutuhan normal organisme nabati akan menyebabkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang &an merangsang terjadinya blooming.
Hal ini
memungkinkan terjadinya keadaan air yang an-aerob sehingga akan menyebabkan kematian massal oragnisme perairan terutarna ikan ( Wardojo, 1975). Dampak yang merugikan dari melimpahnya konsentrasi unsur hara fosfat dan nitrat di suatu perairan adalah, terjadinya alga bloom di Waduk Karang Kates (Brahrnana et al., 2002).
Tingginya kadar total nitrogen dan fosfat yang
merupakan bahan nutrisi utarna ganggang. Populasi ganggang yang sangat padat di waduk karang kates tersebar di pinggir-pinggir periran waduk terutama di bagian teluknya.
Ganggang yang terperangkap tersebut membentuk lapisan-
lapisan. Dari hasil pengamatan di lapangan lapisan ganggang yng terbentuk tersebut mencapai ketebalan 5-15 cm. dan terjadi pembusukan yang mengakibatkan terbentuknya H2S,CHs yang beracun bagi organisme air termasuk
ikan. Adapun ditinjau dari sifat biologi air, plankton merupakan organime yang memegang peranan penting bagi proses-proses jaring makanan. Plankton merupakan organisme yang melayang bebas dalam air serta lemah daya renangnya. Hal ini menyebabkan pergerakan plankton sangat dipengaruhi oleh pergerakan air (Nybakken, 1992). Plankton dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, fitoplankton dan zooplankton. Kehidupan plankton terkait erat dengan kondisi lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya, dan unsur hara sebagai sumber rnakanan. Perbedaan komposisi plankton pada suatu perairan disebabkan oleh daya toleransi dari masing-masing plankton tersebut pada keadaan lingkungan. Pada interval waktu tertentu beberapa genus atau spesies plankton secara bergantian mendominasi dalam suatu perairan. Hal ini juga tergantung pada keadaan musim. Komposisi spesies, jumlah, nilai penting, jurnlah sel, volume dari masing-masing plankton adalah parameter yang mencerminkan stabilitas komunitas bersangkutan (Nybakken, 1992). Penurunan kualitas .- .-. . habitat terjadi akibat penebangan hutan di hulu sungai -..
yang
menyebabkan
sedimentasi, pencemaran
dari
limbah
perusahaan
pertambangan dan pertanian serta penangkapan ikan ilegal yang mempengaruhi perkembangbiakan clan kelangsungan hidup jenis ikan tersebut. Sedimentasi dapat
merangsang pertumbuhan tumbuhan air di sungai dan danau-danau karena tingginya kandungan unsur hara. Tanarnan air yang berlebihan akan menyebabkan penwnan kandungan oksigen di dalam air dan meningkatkan kadar asam akibat proses pembusukan. Penebangan pohon akan rneningkatkan laju arus perrnukaan dan mengurangi
naungan, dengan demikian meningkatkan kapasitas sungai untuk rnenyerap panas. Di perairan yang lebih tenang, khususnya danau dan rawa di dataran rendab, yang suhunya lebih tinggi, oksigen yang lebih sedikit dan hara yang lebih banyak, akan menyebabkan eutrofikasi dan meningkatkan kadar asam, sehingga menjadikan habitat tersebut h a n g cocok untuk jenis-jenis ikan putih seperti suku Cyprinidae dan jika terjadi peningkatan yang b e r l e b i i maka kemungkinan jenis-jenis ikan hitam pun tidak akan mampu bertahan hidup. Temperatur tinggi akan meningkatkan kebutuhan ikan akan oksigen, namun akan men&
daya serap
haemglobin terhadap oksigen. Selama musim kemarau, ha1 tersebut dapat menyebabkan kematian massal (Santiapillai dan Suprahman, 1984). Peningkatan sedimentasi akibat peaebangan hutan riparian juga memberikan dampak langsung terhadap perikanan karena kandungan endapan dan zat besi dapat mempengaruhi insang jenis ikan tertentu, dan akan mati akibat kekurangan oksigen (MacKinnon et at., 1997). Selanjutnya pada bagian sungai yang berarus pelan, endapan lumpur dapat menekan sumber makanan (plankton), telur-telur,
dan sarang telur, seperti halnya penurunan kedalaman dan lebar pada danau (MacKinnon et al., 1997).
111. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Nopember 2007 hingga Januari 2008 di perairan Daerah Mahakam Tengah khususnya lingkungan Danau Melintang. Analisis sampel ikan dilakukan di Laboratorium Ekobiologi Fakultas Perikanan dan Ilrnu Kelautan Ikan Institut Pertanian Bogor. Adapun analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Falrultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda. Stasiun penelitian ditentubn berdasatkan pertimbangan-pertimbangan kamkteristik
habitat
masing-masing stasiun,
pelaksanaan, yaitu mendapatkan Monnasi
dan efisiensi operasiond
dari nelayan setempat W t a n
dengan lokasi penangkapan ikan dan tempat ikan betok melakukan pemijahan. Berdasarkanpertimbangan tersebut, ditdapkan 3 =tat
3, data primer diolah 2007). Stasiun I
pewfitian yaitu, (Gambar
: Habitat rawa
Stasiun II
: Habitat sungai
Stasim III
: Habitat danau
Gambar 3. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan sampel air dan ikan
Habitat rawa yang dijadikan sebagai stasiun I memiliki karakteristik seperti kerapatan tumbuhan air yang tinggi, warna air yang jernih kehitaman, kedalaman yang relatif dangkal dan airnya stagnan. Habitat sungai sebagai stasiun I1 dicirikan dengan adanya aliran air, dan warna air keruh sedangkan habitat danau memiliki ciri-ciri sifat airnya yang stagnan dan warna air mirip dengan habitat sungai.
3.2. Metode Pengumpulan Data Pelaksanaan penelitian untuk pengumpulan data terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian di lapangan dan pengamatan serta analisis di laboratorium
3.2.1. Penelitian di Lapangan Kondisi kualitas air masing-masing habitat sebagai data penunjang penelitian diamati dan diukur. Pengarnatan dan pengukuran parameter kualitas air dilakukan untuk setiap daerah terpilih, bersamaan dengan waktu pengambilan contoh ikan Pengukuran parameter suhu, kekeruhan, pH, dan oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan water checker merk horriba, sampling tumbuhan air dilakukan di setiap titik pengambilan sampel yang terdapat tumbuhan air, pendataan dilakukan dengan cara rnemperkirakan persentase luas penutupan area transek 1 x 1 m. Pengambilan sampel plankton dengan cara mengarnbil air sampel sebanyak 50 liter yang disariig dengan plankton net ukuran 25 pm, selanjutnya air saringan tersebut diawetkan dengan formalin 4%.
Adapun pengukuran
parameter kualitas air yang diamati beserta metode dan alat yang digunakan dalam penelitian disajikan pa& Tabel 1. Untuk menentukan indeks kualitas perairan di setiap habitat pengamatan digunakan cara skoring. Hasil pengukuran parameter fisika-kirnia air yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu air untuk menopang kehidupan organisme akuatik berdasarkan Kep. Gubemur No. 339 Tahun 1988, UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dan PP No 8 2 2001. Kondisi ideal kerapatan tumbuhan air dilakukan berdasarkan hubungan antara kelimpahan ikan yang tertangkap dengan persentase kerapatan. Adapun kondisi ideal kualitas plankton dilakukan dengan pendekatan indeks keanekaragaman jenis (H') menurut Shannon-Wienner clan indeks dominansi berdasarkan (Odum, 1998 dalam Maknun 2005).
Tabel 1. Parameter, metode, alat, dm tempat pengukuran contoh kualitas air Parameter Fisika Air * Suhu Kedalaman Kekeruhan Kimia Air
Satuan
PO, Biologi Air ~ G b u h a nair Plankton
Lokasi
oc cm NTU
Pembacaan skala (water chekker) Visual, Tali penduga Pembacaan skala (water chekker)
Insitu Insitu Insitu
-
Pembacaan skala (water chekker) Pembacaan skala (water chekker) Titrimetric Spectrophotometric Spectrophotometric
lnsitu Insitu
PH Oksigen Terlarut Alkalinitas NO;
Metode dan Alat
Mg/l Mg/l Mgll Mgll
%Id Transek 1 x 1 m Ind/l Plankton net ukuran 25 pm
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Insitu Laboratorium
Penangkapan ikan dilakukan setiap bulan dengan menggunakan alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan setempat, seperti jaring insang, perangkap (trawl), clan tangkul. Perangkap (keblat) dioperasikan di habitat rawa yang di pasang pada daerah-daerah yang agak terbuka, selama satu hari satu rnalam. Tangkul dioperasikan di habitat sungai dengan umpan sisa makanan dan potongan daging ikan Gillnet dipasang di habitat danau pada waktu sore hari dan diangkat pada waktu pagi harinya
Ikan hasil tangkapan dipisahkan berdasarkan habitat pengarnataa Sampel ikan diambil sekurang-hgnya 10 %, secara acak mulai yang terkecil sarnpai yang terbesar. Sebagian sampel ikan dibedah di lapangan dan diambil gonadnya. Gonad ikan jantan dan betina kemudian difiksasi dengan larutan Bouin dan dimasukkan ke dalam botol film untuk keperluan analisis histologis di laboratoriun. Untuk keperluan pengukuran diameter telur di laboratorium, gonad ikan betina diawetkan dengan formalin 4%, kemudian dimasukkan ke botol film. Sampel ikan yang tidak dibedah di lapangan, segera diawetkan dalam larutan formalin 10% dan dimasukkan ke dalam toples kedap udara clan diberi label, untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium.
3.2.2. Pengamatan di Laboratorium Pengarnatan di laboratorium meliputi pengukuran panjang total dan bobot ikan dengan menggunakan papan ukur dengan ketelitian 0,l dan timbangan dengan ketelitian 0,Ol. Kebiasaan makanan dianalisis secara malcroanatomis saluran pencernaan ikan dan isi lambung. Pengamatan beberapa aspek reproduksi seperti penentuan jenis kelamin, tingkat kematangan gonad (secara makrokospis dan mikrokospis), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang gonad, Fekunditas, dan pola sebarm diameter telur.
3.3. Analisis Data 3.3.1. Kebiasaan Makanan 3.3.1.1. Struktur Saluran Pencernaan Analisis struktm saluran pencernaan dilakukan pengamatan secara makroanatomi, dengan mengarnati posisi mulut, bentuk gigi, struktur tapis insang, faring, bentuk larnbung dan panjang usus. Rasio panjang usus dihitung dengan rumus sebagai berikut:
PU PT
Rasio panjang usus (%) = -x 100 Keterangan : PU = Panjang total ikan (mm)
PT = Panjang usus ikan (mm) 3.3.1.2. Komposisi Isi Lambung Analisis komposisi isi larnbung dilakukan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance) oleh Natarajan dan Jhingran (1961)
dalam Effendie (1979), Yaitu: IP =
ViOi
2
KO~
Keterangan : Vi
Oi
C VixOi IP
= persentase volume satu rnacam makanan (%) = persentase
fiekuensi kejadian satu macam makanan (%)
= fiekuensi kejadian seluruh macam makanan (%) = Index of Preponderance (%)
33.2. Pertumbuhan 33.2.1. Hubungan Panjang total dan Bobot ikan Analisis hubungan panjang bobot ikan menggunakan uji regresi, dengan rumus sebagai berikut (Effendie 1979): W = aL Keterangan: W = Berat tubuh ikan (gram)
L
= Panjang ikan (mm),a dan b = konstanta
Uji t dilakukan terhadap nilai b untuk mengetahui apakah b=3 (isomertik) atau b#3 (alometrik).
3.3.2.2. Dugaan Pertumbuhan Pertumbuhan panjang ikan dapat dihitung dengan model von Bertalanffi sebagai berikut (Sparre clan Venema, 1999).
Keterangan: L, = Panjang ikan pada umur ke-t (mrn) L,
= Panjang maksimal (rnm)
K = Koefisien perturnbuhan (t -' ) to = Umur hipotesis ikan pada panjang no1 (tahun)
Nilai L, dan K didapatkan dari hasil penghitungan dengan metode ELEFAN 1 yang terdapat dalarn program FISAT 11. Nilai to dapat diduga dengan persamaan berikut (Utomo, 2002). Log -(to)
= -0,3922
- 0,2752Log L, - 1,038 Log K
3.3.2.3. Faktor Kondisi Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan Ponderal Index,
untuk pertumbuhan isometrik (b=3) faktor kondisi (KTL) dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979):
Sedangkan jika pertumbuhan tersebut bersifat allometrik (b#3), maka faktor kondisi dapat dihitung dengan rumusnya (Effendie, 1979):
3.3.3. Aspek Reproduksi 3.3.3.1 Nisbah kelamin Nisbah kelamin diketahui berdasarkan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap sampling yang dilakukan. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan sampel ikan tersebut. Untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, dilakukan uji Chi kuadrat (X2) sebagai berikut (Sugiyono, 2001):
Keterangan : X2
=
Nilai Chi kuadrat
f0
=
Nilai ikan yang diobservasi
F
=
Nilai ynng harapan
S
=
J d a h pengamatan
Apabila nilai X2& Xzbb cops),
maka Ho ditolak yang berarti nisbah
(0,051 HOditerima, yang berarti kelamin tidak seimbang, sedangkan jika X2hit<XZtab
nisbah kelamin seimbang. 33.3.2. Tingkat Kematangan Gonad Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan jantan dan betina ditentukan secara morfologis mencakup warm, bentuk, dan ukuran gonad. Perkembangan gonad secara kualitatif ditentukan dengan mengamati TKG I-V berdasarkan morfologi gonad, mengacu kepada deskripsi menurut Effendie (1 979) (Lampiran 2).
3.3.33. Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad (IKG) diketahui dengan pengukwan bobot ikan dan berat gonad ikan jantan dan ikan betina menggunakan timbangan O h s yang mempunyai ketelitian 0,01. Indeks kernatangan gonad diukur dari semua ikan hasil tangkapan. Pengukuran IKG dilakukan di laboratorium. Pengukuran indeks kematangan gonad dihitung dengan cara membandingkan berat gonad terhadap
bobot ikan dengan rumus (Effendie, 1997) :
IKG = (Bg :B t ) x 100 Keterangan : IKG
= Indeks kematangan gonad (%)
Bg
= Berat gonad (g)
Bt
= Bobot ikan (g)
3.3.3.4. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad dengan menggunakan metode Sperrnan Karber (Udupa, 1986 dalam Najarnuddin st al., 2004). Kriteria matang gonad adalah pada TKG 111, IV, dan V. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
X LogM = X , + - - ( x C p i ) 2 Keterangan :
Xk
= Logaritma nilai tengah pada saat &an matang gonad 100%
X
=
Selisih logaritma nilai tengah kelas
Xi
=
Logaritma nilai tengah kelas
pi Ri
= =
ri/ni Jurnlah ikan rnatang gonad pada kelas ke i
Ni
=
Jumlah ikan pada kelas ke i
Qi
=
iePi
,,,/='
Pada selang kepercayaan 95% yaitu = m k 2,
3.3.3.5. Fekunditas Fekunditas diasumsikan sebagai jurnlah telur yang terdapat dalam ovari ikan yang telah mencapai TKG IV. Cara rnendapatkan telur yaitu dengan mengambil telur dari ikan betina, dengan mengangkat seluruh gonadnya dari dalam perut ikan yang telah diawetkan. Fekunditas dapat dihitung dengan metode gravimetrik dengan rumus (Effendie, 1997:
Keterangan
:F
=
Fekunditas (butir)
G
=
Berat gonad (g)
Q
=
Gonad contoh (g)
N
=
Jumlah telur tiap gonad contoh
3.3.3.6. Diameter dan Pola Sebaran Telur Sampel telur diukur pada bagian anterior, tengah, dan posterior dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikromter pembesaran 10x4 kali. Pola sebaran diameter telur dianalisis secara diskriptif dengan melihat modus penyebarannya Apabila terlihat dua modus penyebaran, pola pernijahannya berlangsung dalam waktu yang panjang atau telur yang dikeluarkan sebagiansebagian (partial spawning). Jika terdapat penyebaran ukuran satu rnodus, pola pemijahan berlangsung dalam waktu yang singkat (total spawning) (Effendie,
2002). 3.33.7. Analisis Histologis Analisis secara histologis gonad ikan sampel dilakukan untuk mengetahui tingkat kematangan gonad secara histologis dan pola pemijahannya. Untuk keperluan pengarnatan histologi tersebut, dilakukan pengambilan g o d ikan jantan dan betina yang masih segar. Gonad ikan difiksasi dengan larutan Bouin, kemudian dianalisis di laboratorium dengan proses jaringan (agar bisa dipotong 5-
7 mikron), pernotongan jaringan, dan pewarnaan menggunakan haemotoxylin dan eosin. (Lampiran 3).
3.3.4. Kerapatan Tumbuhan Air Kerapatan jenis turnbuhan air dihitung berdasarkan pada luas penutupannya yaitu :
C = a/A x 100 Keterangan:
C
= Persentase penutupan suatu jenis (%)
a
= Penutupan jenis
A
= Luas transek (m2)
ke-i (%)
33.5. Indeks Keanekaragaman Plankton Indeks
keanekaragarnan (diversitas)
Shannon-Wiever
yaitu
suatu
perhitungan rnaternatik yang menggarnbarkan sejumlah spesies serta total individu
yang ada dalam satu komunitas. Indeks keanekaragaman Shannon dan Wiever dapat dihitung sebagai berikut (Parson et al., 1977):
Keterangan : H'
=
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiever
Pi
=ni/N
Ni
=
Jurnlah individu jenis ke-i
Ni
=
Jurnlah seluruh individu
Dengan kriteria : H' = 0 - 1 Keanekaragarnan jenis rendah
H'
= 1 - 3 Keanekaragarnanjenis
H'
=
sedang
> 3 Keanekaragamanjenis tinggi
3.3.6. Indeks Dominansi Indeks
dominansi dihitung berdasarkan
Indekr
Simpson dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Lagendre dan Lagendre, 1983):
Keterangan : Indeks dorninansi Simpson : Jumlah individu jenis ke-i : Jumlah total individu
Jika nilai C berkisar mendekati 0 maka komunitas fitiplankton tidak ada spesies yang secara ekstrirn mendominasi, ha1 ini menunjukkan kondisi struktur komunitas dalam keadaan stabil. Tetapi bila C mendekati nilai 1 di dalam struktur komunitas fitoplankton terdapat spesies yang mendominasi, ha1 ini menunjukkan struktur komunitas fitoplankton dalam keadaan labil (Odum, 1994). 3.3.7. Kondisi Kualitas Perairan.
Untuk menentukan kondisi kualitas perairan di setiap habitat pengamatan digunakan cara skoring. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia air yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu air untuk menopang kehidupan organisme akuatik berdasarkan Kep. Gubernur No. 339 Tahun 1988,
UNESCOIWHOT[JNEP, 1992 dan PP No 82/ 2001, sedangkan kondisi ideal kerapatan tumbuhan air dilakukan berdasarkan hubungan antara kelirnpahan ikan yang tertangkap dengan persentase kerapatan. Adapun kondisi ideal kualitas plankton dilakukan dengan pendekatan indeks keanekaragarnan jenis (H') menurut Shannon-Wienner dan indeks dominansi berdasarkan (Odum, 1994 dalam Maknun 2005).
Tahapan analisis data untuk menentukan kualitas perairan dengan cara skoring adalah sebagai berikut: 1. Dari data hasil pengukuran parameter di seluruh habitat pengamatan ditentukan nilai rataan minimum dan rnaksimum yang tercatat selarna penelitian, selanjutnya ditentukan nilai jangkauannya, dan nilai jangkauan ini dibagi menjadi 5 interval yang sarna. Titik optimum ditentukan berdasarkan baku mutu air untuk kehidupan biota yang telah ditentukan. 2. Setiap interval tersebut diberi skor 1-5. Titik optimum diberi skor 5.
Semakin jauh dengan nilai optimum, sernakin berkurang skornya lebih jelasnya dapat dilihat cara pemberian skor di bawah ini: Titik optimum
3. Selanjutnya, nilai rataan parameter yang diukur di setiap habitat pengamatan dikaji termasuk ke dalam interval yang mana, dengan skor yang ditetapkan di atas.
4. Jumlah skor setiap parameter yang dinilai di setiap habitat pengarnatan dihitung
dan
ditentukan
status
kualitas
perairannya
dengan
membandingkan terhadap nilai rataan kualitas perairan dari 3 habitat pengarnatan.
5. Jika nilai jumlah skor I nilai rataan kualitas perairan 3 habitat pengamatan termasuk di dalam kategori yang rendah, jika jumlah skor > dari nilai rataan kualitas perairan 3 habitat pengamatan terrnasuk dalam kategori tinggi.
33.8. Hubungan Kualitas perairan dengan Aspek Biologi Ikan Betok (A. testudineus) Determinasi sebaran karakteristik parameter kualitas air antar habitat menggunakan suatu pendekatan analisis multivariat yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principles Components Analysis, PCA) (Lagendre dan Lagendre, 1983). Untuk melihat keterkaitan antara parameter kualitas air dan kebiasaan rnakanan dengan aspek reproduksi, dilakukan secara diskriptif berupa analisis data mat& korelasi, dengan mengasumsikan dan membandingkan interprestasi dari hasil analisis komponen utama. Hasil rnatrik korelasi, dari data yang diolah diinterprestasikan dengan membuat skema. Korelasi positif antara prediktor dan respon diberi tanda (+) dan negatif diberi tanda (-). Untuk membedakan besarnya korelasi positif dan negatif antara prediktor terhadap respon diberi tanda (++) dan (--). Adapun pengoiahan data analisis komponen utama (PCA) dilakukan menggunakan program k o ~ u t e STATISTICA-release r 6.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dari hasil pengamatan kondisi lokasi penelitian di lingkungan Danau Melintang pada umumnya, dapat dikategorikan menjadi beberapa habitat akuatik utama, yaitu: habitat rawa, sungai, dan danau. Pada waktu musim kemarau masing-masing habitat terpisah oleh dataran yang lebih tinggi, akan tetapi pada waktu musim penghujan ketiga habitat tersebut menjadi satu dikarenakan terjadinya banjir. Kondisi ini bisa berlangsung kurang lebih sekitar 3 bulan. ~ e s k i ~ ketiga u n habitat tersebut menjadi satu akan tetapi pada titik-titik tertentu masing-rnasing habitat masih mencirikan kekhasan habitat aslinya. Rata-rata curah hujan pada tahun 2006 adalah 240,59 rnm dan pada tahun 2007 berkisar 235,26 rnm (Lampiran 4). Fluktuasi tingkat curah hujan tersebut sangat mempengaruhi paras muka air di lingkungan Danau Melintang. Pada bulan-bulan sampling selarna penelitian, terlihat adanya pola peningkatan curah hujan dari bulan Nopember ke bulan Desember dm menurun ketika rnasuk pada bulan Januari. Kondisi ini relevan dengan hasil pengukuran kedalarnan masingmasing habitat. Hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian di rnasing-masing habitat dapat dilihat pada Tabel 2. Suhu air di habitat rawa berkisar antara 29,8530,2"C, sungai 28-29,7"C, dan danau 28-29,9"C. Kedalaman air di setiap habitat
selama penelitian terdapat beberapa perbedaan. Kedalaman terendah terjadi pada bulan Nopember, tepatnya di habitat rawa dengan kedalaman rata-rata 0,63 m, di sungai 2,34 m, dan danau 157 m. Adapun kedalaman tertinggi terjadi pada bulan Desember, di rawa kedalarnan rata-rata pada bulan tersebut adalah 0,97 m, sungai 4,27 m, dan danau 3,68 m. Kekeruhan selarna penelitian cukup bervariasi, nilai rata-rata kekeruhan tertinggi ditemui di habitat sungai yaitu 106,67 NTU, kemudian danau 99,33 NTU,dan terendah terjadi di rawa yaitu 52,33 NTU. Nilai pH selama penelitian terdapat perbedaan terutama di habitat rawa dengan sungai dan danau. Kisaran nilai pH secara berurutan ($54-5,87), (6,Ol637) dan (6,18-6,78). Dari hasil pengamatan oksigen terlarut di rawa berkisar antara 1$7-2,12 mglk sungai ,75475 rngll, dan di danau berkisar antara 3,13-
3,68 mg/l. Hasil pengukuran alkanitas di habitat rawa berkisar antara 7,s-9-19 mg/l, di sung& 14,&15,4 mg/l, dm di habitat danau berkisar antara 12,6-16,7 mg/l. Hasil pengukuran nitrat di habitat rawa berkisar antara 0,0184,022
ma,di
sungai 1,6-3 mg/l, dan di daaau &ah 2-32 mfl. Di habitat rawa nilai fmfat berkisar antara 0,0124,03 mg/l, sungai addah 0,018-0,028 @, dan di danau
berkisar antara 0,O 1 5-0,03 mfl. Dari hasil pengamatan tumbuhan air, terlihat persentase penutupan tumbuhan air t e g g i tadapat di M t a t rawa dengan keqatan berkissu 70-8576,
di sungai 25-35%, dan danau 5 W ?(Gambar 4 ).
Gambar 4.
Persentase kerapatan tumbuhan air di masing-masing habitat selama penelitian
Plankton yang ditemukan dilokasi penelitian tercatat ada 12 jenis, yang
terdiri dari 5 jenis fitoplankton dan 7 jenis zooplankton (Lampiran 5). Dari 5 jenis fitoplankton yang termasuk kelas Chlorophywae ada 1 jenis, Cyanophyceae ada I
jenis, dstn Crysophyceae ada 3 jenis. Sedangkan zooplankton terdiri dari 3 kelas yaitu, kelas Mastigophora ada 4 jenis, kelas Rotatoria ada 1 jenis, dan Cntstaceae ada 2 jenis. Jumlah individu plankton di habitat rawa &ah
882 bd.4, sungai
1134 W, dan plankton yang didapat di danau berjumlah 2268 indl 1. Indeks keanekamgaman plankton tednggi terdapat di habitat danau dengan nilai iwieks sekitar 226 dan terendah terdapat di rawa dengan nilai indeks 1,81.
Tabel 2. Rerata parameter fisika dan kimia air tiap bulan di masing-masing habitat penelitian di lingkungan Danau Melintang Parameter
Habitat sungai
Habitat rawa
Satuan
Habitat danau
N'7
D'7
J'8
Rata-rata
N'7
0'7
J'S
Rata-rata
N'7
D'7
3'8
Rata-rata
O C
30,2
29,85
29,85
29,97
29,70
28,O
29,34
29,Ol
29,90
28,O
29,20
29,03
Kekeruhan
NTU
52
52
53
52,33
107
109
104
106,67
97
102
99
99,33
PH
Skala
534
$86
5,87
5,76
6,Ol
6,57
6,57
6,38
6'18
6,78
6,78
6,58
Oksigen Terlarut
Mg/l
1,97
2,12
2'12
2,07
3,75
3,75
4,75
4,08
3,63
3,13
3,68
3,48
Alkalinitas
Mg/l
7,5
8,15
9,19
8,28
14,8
15,4
15,3
15,17
12,6
16,7
16,4
15,23
NO;
Mg/l
0,018
0,022
0,021
0,02
1,6
3
2,9
3,OO
0,2
3,3
2,4
1,97
Suhu
Keterangan :N'7; Nopember 2007, D'7; Desember 2007,J'8; Januari 2008
Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di setiap habitat selanjutnya dibandjngkan dengan baku mutu air sesuai untuk menopang kehidupan biota air berdasarkan Kep. Gubernur No. 339 Tahun 1988, UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dan PP No 82/ 2001 (Tabel 3). Skor tertinggi kerapatan tumbuhan air, diberikan
terbadap persentase kernpatan tumbuhan air dengan hasil tangkapan ikan tedmqak Kondisi ideal kualitas plankton dilakukan dengan pendekatan indeks keanekamgaman jenis (£3') menunrt Shannon-Wienner dan indeks dominansi berdasarkan (Odum, 1998 &urn
Maknun, 2005). Hasil skoring tertinggi
diperoleh di habitat danau dengan nilai skor 32 kemudian di sungai sebesar 27 dan tc:dhir di habitat ram sebesar 24. Sedangkan skor rata-rata dari ketiga habitat Tabel 3. Skor kondisi kualitas pentiran di masing-masing habitat di lingkungan Danau Melintang -
Parameter
Rawa Skor Suhu Kekeruhan pH Oksigen terlarut Auralinitas Nitrat Fosfat Tumbuhan air Keanekaragaman Daminani JumJab Total Rataan = 27,3
0.18
Nilai rata-rata parameter Sungai Skor Danau
1 24
R
0.17
2 27
S
0.12
~akuNutu
p
Skor
4 32
0-8
T
Ket :Jika nilai jumlah total < Nilai rataan, maka termasuk kategori rendah (R) Jika nilai jumiah total iNilai rataan, maka termasuk katcgori sedang (S) Jika nilai jumlah total >Nilai rataao,makatermasuk kzrtegori tinggi (T)
4.13. Distribusi Easil Tangkapan
Jumlah sampel ikan betok yang dikumpulkan selama penelitian di tip habitat sebanyak 431 ekor. Hasil tangkapan terbesar terdapat di habitat rawa dengan total sampel 216 ekor yang terdiri dari 128 ikan jantan dan 88 ikan betina. Di sungai sampel ikan yang diperoleh berjwnlah 80 ikan. Hasil tangkapan
cukup seimbang selama penelitian, yakni 40 ikan jantan dan 40 betina Di danau berpmiah 135 ekor terdiri dari 72 ikan jantan dan 63 betina (Gambar 5).
1
-
Habitat Habitat Habitat Habitat Habitat Habitat Habitsa Habitat Habitat l s u l w l w ,
a sup.-
I s m l O u ~
Gambar 5. Distribusi hasil tangkapan ikan betok (A. testudineus) di masingmasing habitat selama penelitian Hasil analisis regresi l i e r a n t m junlah hasil tangkapan dengan persentase
kerapatan tumbuhan air di masing-masing habitat menunjukkan adanya korelasi psitic dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,955 (Gambar 6, Lampiran 6).
0
1 0
I
I
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Penentarre penutupantanaman air antara jmwntase kerapatan tumbuhan
Gambar 6. Hubungan air dengan hasil tangkapan di masing-masing habitat selama penelitian. 4.13. Komposisi Hasil Tangkapan
B e r k k a n komposisi kelas ukuran panjang dari seluruh sampel yang diperoleh selama penelitian, kelas ukuran panjang ikan jantan berkisar antara 72-
195 mm h g k a n pada ikan betina 71-1 96 mm (Gambar 7). Secara keseluruhan
distribusi selang ukuran panjang ikan jantan dan betina terlihat cukup seimbang. Sebaran berdasarkan hasil tangkapan yang diperoleh di rnasing-masing habitat setiap bulan, terlihat adanya pegeseran dominasi pada selang ukuran panjang tertentu Di habitat rawa, ikan jantan yang tertangkap pada bulan Nopember didominasi oleh selang ukuran yang berkisar antara 91-130 rnm, sedangkan ikan betina 91- 120 mrn. Bulan Desember, dominasi hasil tangkapan berdasarkan selang
ukuran panjang ikan jantan relatif stabil, akan tetapi pada ikan betina terliit adanya pergeseran dominasi yang cukup mencolok yaitu, didapatkannya hasil
-
tangkapan yang cukup banyak pada kisaran 131 150 mm yang berarti terjadinya pergeseran dominasi ukuran panjang yang lebih besar dari hasil tangkapan bulan sebelwnnya. Selanjutnya pada bulan Januari, diperoleh ukuran ikan jantan
-
maupun betina pada kisaran yang lebih kecil yaitu 111 130 mm.
Di habitat sungai, sampling yang dilakukan di bulan Nopember didominasi
ikan jantan yang berukuran antara 111-130 mm dan betina 121-130 mm. Bulan Desember, sebagian besar hasil tangkapan ikan jantan berukuran antara 121-150
mrn sedangkan ikan betina ukurannya terlihat berfluktuasi, dengan hasil tangkapan paling banyak pada kisaran 121-130 mm. Pada bulan Januari ikan yang diperoleh relatif sedikit, dengan dorninasi ukuran yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan di bulan Desember terutarna pada ikan betina. Distribusi ukuran panjang ikan yang diperoleh di habitat danau mempunyai
pola pergesemn selang ukuran yang mirip dengan h a b i t rawa dan sungai, yaitu didapatkannya hasil tangkapan terbesar pada selang ukuran antara 110-130 mm di bulan Nopember. Bulan Desember ukuran yang tertangkap didominasi pada selang panjang ikan jantan berkisar antara 110-140 mm dan betina 121-170 mm. Bulan Januari berkisar antara 111-130 rnm, baik ikan jantan maupun betina. Secara keseluruhan, di setiap habitat terlihat adanya pola sebaran selang ukuran
panjang tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Ikanjantan
E 4
Sebng ukum, prnjrng(rm)
Sing ukunn panjmg (mm)
Gambar 7. Distribusi u k m panjang ikan betok (A. testudineus)jantan dan betina di masing-masing habitat selarna penelitian
4.1.4.1. Struktur Anatomi Saluran Pencernaan
Kajian makroanatomis alat pencemaan ikan betok diuraikan sebagai berikut (Gambar 8). Let& mdut di ujung depan kepala (terminal), ikan mempunyai gigi dan lidah. Gigi ikan bagian bawah berbentuk runcing, sedangkan bagian atas lebih kecil dibandingkan gigi bagian bawah. Faring terletak antara insang sebelab kanan
dan kiri, faring mempunyai geligi yang berguna untuk menggerus makanan yang masuk. Tapis insang ikan betok berbentuk pendek dan besar.
A
B
Garnbar 8. Struktur anatomi insang dan pencernaan ikan betok (A. testudineus) A: posisi mulut; B: bentuk gigi; C: bentuk insang, 1. tapis insang, 2. daun insang; D: saluran pencernaan, 1. esophagus, 2 pars fundus, 3. kaeka pilorik, 4. usus depan, 5. usus tengah, 6. usus belakang, 7. anus.
Esophagus ikan betok merupakan saluran pendek lanjutan dari faring dan berhubungan dengan larnbung. Lambung berbentuk seperti kantung sederhana, di dekat lambung ditemukan dua kaeka pilorik, kaeka pilorik biasanya bermanfaat
dalam proses pencernaan clan penyerapan makanan. Usus ikan dibagi menjadi tiga
bagian yaitu bagian depan, tengah, dan belakang, struktur usus ikan betok memiliki satu lipatan. Berdasarkan pengukuran panjang usus pada ikan betok, di habitat rawa ikan dengan panjang total berkisar 103-149 mm rataan 124,9 mm, panjang ususnya 64127 mm rataan 92,3 mm, dan panjang usus relatif 57-86 rataan 73%. Di habitat sungai panjang total berkisar 110-146 mm rataan 128,l mm, panjang ususnya 69110 rnm rataan 92,3 mm,clan panjang usus relatifhya 53-79 rataan 71%. Di danau panjang total ikan berkisar 99-141 mm rataan 121,3 mm, panjang usus 57-107
mm rataan 84,6 mm, dan panjang usus relatifnva 53-81 rataan 70% (Tabel 4). Tabel 4. Pengukuran biometrik ikan betok (A. testudineus) Parameter
Panjang usus Relative (%)
Habitat rawa
Habitat sungai
Habitat danau
Kisaran
Rataan*SD
Kisaran
Rataan*SD
Kisaran
Rataan*SD
57-86
73*0,09
53-79
71*0,09
53-8 1
7&0,08
4.1.4.2. Komposisi Jenis Makanan
Berdasarkan analisis isi lambung di masing-masing habitat diperoleh hasil yang berfluktuasi (Gambar 9). Jenis-janis makanan yang diperoleh adalah invertebrata (insekta dan krustase), ikan, serasah (tumbuhan), dan plankton (Chloropyceae, Euglena acus, Nitzschia). Di habitat rawa jenis rnakanan yang domiuan adalah invertebrata jenis insekta dengan kisaran antara 30,4-65,83% dan persentase tertinggi ditemukan pada bulan Nopember, ikan 10-47% dengan persentase tertinggi pada bulan Januari, tumbuhan berkisar antara 8-46,8% persentase tertinggi ditemukan pada bulan Desember. Sedangan di habitat sungai jenis makanan invertebrata (insekta dan krustase) 28,l-65,5% dan 11-12,16%, tertinggi ditemukan pada bulan Nopember, ikan 13,l-47,7%, dan turnbuhan 5,13-14%. Analisis isi lambung juga dilakukan pada ikan yang tertangkap di habitat danau, jenis makanannya harnpir sarna dengan di sungai. Kornposisi dan jenis makanan yang diperoleh adalah sebagai berikut: makanan berupa invertebrata (insekta dan krustase) berkisar antara 31,7-54,2% dan 9,l-13,5% dengan
komposisi terbesar diperoleh pada bulan Nopember, ikan 162-38,41 dengan komposisi terbanyak ditemukan pada bulan Januari, dan tumbuhan 10,6-23,5%, terbesar ditemukan pada bulan Desember. Komposisi dan jenis makanan berupa plankton seperti Chloropyceae, Euglena acus; Nitzschia di habitat danau relatif
sama dengan rawa dan sungai. Persentase jenis makanan tersebut tergolong kecil, diduga jenis makanan tersebut merupakan rnakanan tambahan.
Habitat rawa 100%
80%
E5
60%
40% M% 0%
Habitat songai 1-
80%
Z
-
6096
4096 209b 096
Habitat danan 100%
80%
Z
=
80% 40%
2W6 0%
W07
Jan' OB
Bulan sampling
Gambar 9. Spektum makamn ikan betok (A. testdineus) di masing- masing habitat penelitian
Kebiasaan makanan ikan betok berdasarkan tingkat kematangan gonad, setiap habitat di lingkungan Danau Melintang memiliki komposisi rnakanan yang berbeda-beda, dari hasil yang diperoleh terlihat ada pola peningkatan makanan berupa invertebrata (insekta dan krustase), seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad (Tabel 5). Hasil pengamatan isi larnbung pada ikan betok di habitat rawa rnenunjukkan adanya pola peningkatan komposisi jenis makanan, berupa invertebrata (insekta dan krustase) pada TKG I-TKG IV dengan kisaran antara 36,4-47,46% clan turun pada TKG V dengan nilai Index of Preponderance (IP) 32%. Jenis dan kornposisi
makanan lainnya terlihat bervariasi, secara rinci kisaran nilai IP adalah sebagai berikut: jenis rnakanan berupa ikan berkisar antara 15,23-28, serasah berkisar antara 20,54-44%, dan jenis-jenis makanan lainnya mempunyai komposisi relatif rendah. Habitat sungai dan danau analisa isi lambung hanya dilakukan pada tingkat kematangan gonad antara TKG I-TKG IV. Hal ini dikarenakan semua sampel ikan yang diperoleh pada TKG V lambungnya kosong. Komposisi dan jenis makanan pada kisaran TKG I-TKG IV adalah sebagai berikut: di habitat sungai, jenis clan komposisi invertebrata berkisar antara 36,2-69,46%, ikan berkisar 18,5941,4%
dan komposisi tumbuhan berkisar antara 6,61-25,7%, sedangkan di danau komposisi invertebrata berkisar antara 12,1247,28%, ikan
20,2-56,2%, dan
tumbuhan berkisar antara 9,99-44,44%. sedangkan jenis makanan berupa plankton, di habitat sungai dan habitat danau komposisinya relatif kecil. Secara m u m komposisi jenis makanan ikan betok berdasarkan tingkat kematangan gonad dapat dikategorikan jenis makanan berupa hewan dan tumbuhan. Kecenderungan komposisi hewan lebih dominan dan meningkat seiring dengan meningkatnya TKG sebaliknya, ko~nposisitumbuhan relatif turun
(Lampiran 7). Berdasarkan komposisi dan jenis makanan tersebut dapat mengindikasikan terhadap pengelompolcan ikan betok ke dalarn jenis ikan herbivor, karnivor, atau ornnivor.
Tabel 5. Komposisi jenis makanan ikan betok (A. testudineus) ber-kan Habitat
Rawa
Sungai
Danau
TKG I I1 I11 IV V I I1 I11 IV
Invertebrata 36,4 37,12 4497 47,46 32 36,2 40,49 55,19 69,46
v I I1 111
tingkat kematangan gonad
Index of Preponderance (%) . Ikan Tumbuhan Plankton 15,23 21,79 28,43 27,46 18,33 28,3 41,4 31,7 18,29
-
-
42,6 31,5 22,79 20,54 44 25,7 18,ll 9,39 6,61
26,23 12,5 48,16
20,21 56,25 3 1,61
4444 26,25 17,02
-
4.74
6,Q
2,41 4,08 5,67 7,8
-
Lain-lain 1,03 2,69 1,4 0,46
-
2
-
3,28 4,86
0,44 0,78
8,49
0,63
5 2.85
0,36
-
-
-
Pertumbuban
4.1.5.
4.1.5.1. Hubungan Panjang Total dan Bobot ikan
Di habitat rawa, hubungan panjang dan bobot ikan jantan nilai deterrninan
(R2)0,93 dan betina nilai
w)0,94. Di habitat sungai untuk ikan jantan diperoleh
hasil (R2) sebesar 0,817 dan betina 0,882 sedangkan di habitat danau nilai (RZ) sebesar 0,912 untuk ikan jantan dan betina sebesar (0,974) (Tabel 6). Nilai (R2) dari hubungan panjang clan bobot ikan jantan dan ikan betina relatif cukup besar, besarnya nilai tersebut yang mendekati 1, menunjukkan bahwa keragaman yang dipengaruhi oleh faktor lain cukup kecil dan hubungan antara panjang total clan bobot ikan sangat era-. Tabel 6. Hubungan panjang clan bobot ikan betok (A. testudineus) 8.W
-inntan
Dua betian
Dari hasil hubungan panjang dan bobot ikan diperoleh nilai b, nilai b adalah indikator pertumbuhan yang mnggambarkau kecenderungan pertambahan panjang dan bobot ikan. Di habitat rawa ikan jantan memiliki nilai b = 3,00967 dan betina memiliki nilai b = 2,7793, sungai ikan jantan memiliki nilai b = 2,4848
dan betina nilai b = 2,9783, dan di danau nilai b pada ikan jantan 2,7362 dan betina 2,8702. Hasil uji t yang dilakukan pada ikan jantan dan betina di setiap habitat menunjukkan bahwa, nilai b pada ikan jantan dan betina secara keselumban adaiah thit > tab (b f3). Secara urnurn, pola pertumbuhannya alometrik kecuali ikan jantan di habitat rawa yakni thit < tbb (b=3) hasil p e r h g a n uji t dapat dilihat
pada Lampiran 8, dan hasil analisis ragam pada Lampiran 9-1 1. Berdasarkan uji t tersebut pola perturnbuhan ikan betok jantan di habitat rawa adalah isometrik.
Dugaan Laju Pertumbuhan
4.1.5.2.
Hail analisis perhunbuhan (K dan L,)
dengan Metode ELEFAN 1
menunjukkan bahwa, koefisien perhunbuhan dan dugaan panjang asirntotik ikan betok di habitat rawa, sungai, dan danau secara berumtan sebagai berikut: (0,731tahun dan 214,20 mm; 0,661tahun dan 204,23 rnm; 1,301tahun dan 200,55).
f0 loo
-.
aS. 50
-
Gambar 10. Kurva pertumbuhan panjang ikan betok (A. testudineus) di masingmasing habitat
Pada Gambar 10, terlihat adanya kecenderungan pertumbuhan yang meningkat pesat pada umur antara 1-2 tahun, terutama di habitat danau, rawa, dan terakhir sungai, hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 12. Nilai to ikan betok yang peroleh dari hasil perhitungan persamaan Pauly cukup variatif di setiap habitat. Di habitat rawa sebesar -0,13 tahun, sungai -0,14 tahun dan -0,072 tahun diperoleh di danau. Dari hasil perhitungan dugaan pertumbuhan panjang (K, L, dan t ~ )didapat persamaan pertumbuhan panjang ikan betok di habitat rawa yaitu Lt
=
214,2 (1-e"73(t+0~139, sungai Lt = 204,23 (1-e-0,66(t+0,14)), dan danau Lt
=
200,55 (1-e-1,3(t+0,072)). 4.1.53.
Faktor Kondisi
Faktor kolidisi Ban betok ikan jantan di habitat rawa dihitung dengan rumus faktor kondisi yang mengacu pada pola pertumbuhan isometrik, sedangkan faktor kondisi ikan betina menggunakan rumus faktor kondisi mengacu pada pola pertumbuhan alometrik demikian j u g di habitat sungai dan danau.
Secara detail hasil perhitungan faktor kondisi ikan betok jantan dan betina tertera pada Tabel 7. Faktor kondisi ikan betok selalu berfluktuasi, baik jantan rnaupun betina. Secara keseluruhan selarna penelitian didapatkan kisaran nilai rata-rata faktor kondisi ikan jantan 0,98-1,89 dan betina berkisar 0,90-1,12. Faktor kondisi di rnasing-masing habitat rnenunjukkan adanya perbedaan, kisaran rata-rata faktor kondisi ikan jantan di habitat rawa 1,6-1,89 dan betina 0,97-112, sungai ikan jantan 0,99-1,06 dan betina 0,89-106, dan danau ikan jantan 0,981,02 sedangkan betina 0,99- 1,02. Tabel 7. Nilai faktor kondisi ikan betok (A. testudineus)jantan dan betina di masingmasing habitat selama penelitian
Habitat
Sungai Danau
Bulan
Januari'O8 NopemberYO7 Desember'O7 Januari'O8 Nopember'07 Desember'O7 Januari'O8
Faktor Kondisi
* * * * *
1,89 429 0,99 0,09 1,OO & 0,08 1,M 0,37 1,02 0,12 1,02 0,09 0,98 0,12
*
* * * * * *
1,12 0,13 1,03 0,15 1,06 0,07 0,89 422 1,OO k Oy08 0,99 0,07 1,02 0,08
Faktor kondisi masing-masing selang ukuran panjang ditunjukkan pada Lampiran 13. Kisaran rata-rata W o r kondisi ikan jantan berdasarkan selang
ukuran panjang di habitat rawa adalah 1,58-2,42 dan betina 0,72- 1,11, di sungai
ikan jantan 0,85- 1,11 dan bet& 0'72-1,12, sedangkan di danau faktor kondisi ikan jantan berkisar 0,68-1,27 dan betii 0,90-1,16. Nilai faktor kondisi ikan betok pada selang 70-80 mm menunjukkan nilai yang cukup tinggi terutama pada ikan jantan di habitat rawa dan danau, sedangkan di sungai tidak ditemui, karena selama penelitian dilakukan tidak diperoleh hasil tangkapan pada kisaran selang ukuran panjang tersebut. Faktor kondisi kemudian turun pada selang 81-90 rnm, selanjutnya meningkat kembali di selang ukuran 111-130 rnrn. Pada selang ukuran terpanjang nilai faktor kondisi mencapai nilai terendah dari semua selang ukuran. Fluktuasi nilai W o r kondisi ini diduga karena proses pertumbuhan setiap selang ukuran yang berbeda
Nilai faktor kondisi ikan betok jantan clan betina terlihat berfluktuasi di setiap tingkat kematangan gonad (Tabel 8). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa nilai faktor kondisi pada ikan betok diduga tidak terpengaruh oleh perkembangan gonad. Tabel 8.
Faktor kondisi ikan betok (A. testdineus) jantan dan betina di masing-masing habitat berdasarkan tingkat kematangan gonad
TKG
Sex
Faktor kondisi Habitat sungai
Habitat rawa
N Jantan
I
22
Rataan
k
SD N
1,75&0,27
11 111 Iv V 1 11 111 Iv
5
34 1,71 0,20 4 43 1,70*0,17 16 24 1,82 0,27 13 5 1,75fO,ll 2 Betina 10 1,00*0,16 2 11 0,92 0,07 2 19 1,03*0,14 13 42 1,02 0,14 20 V 6 1,03*0,09 3 Keterangan :N = Jumlah sampel ikan
*
Rataan
k
SD
Habitat danau
N
Rataan
k
SD
0,90*0,14
12
0,98*0,18
1,29 k 0,57 0,99*0,ll 1,OO It 0,09 1,06fO,ll 1,05 *0,15 0,90 0,23 0,97*0,22 1,06 0,08 0,93f0,18
11 25 23 1
0,99 f O,11 1,03=t0,07 1,02 k 0,08 0,76 A 0 1,OOk 0,11 0,97 k 0,06 1,03*0,10 1,OO 0,07 0,93&0,07
* *
5
6 12 37 3
*
4.1.6. Aspek Reproduksi 4.1.6.1. Nisbah KeIamin Hasil pengumpulan sampel ikan selama penelitian, diperoleh ikan sebanyak
431 ekor dengan perincian total ikan jantan berjumlah 240 ekor (56%) dan ikan betina 191 ekor (44%), dengan perbandingan 1,26 : 1. Sebaran nisbah kelamin tiap bulan antar habitat bervariasi. Di habitat rawa pada bulan Nopember, nisbah kelarnin tidak seimbang, (2,l:l) dan pada bulan Desember sampai Januari nisbah kelamin seimbang mendekati 1:1 (1,2: 1 dan 1,2:1). Habitat sungai nisbah kelamin antara bulan Nopember- Januari seimbang (0,s: 1, 1:1, dan 1,14:1) dan di danau nisbah kelamin jantan dan betina seimbang (0,85: 1, 1,22: 1, dan 1,39:1) (Garnbar
11). Uji Chi Kuadrat pada taraf kepercayaan 95% terhadap nisbah kelamin
keseluruhan di masing-masing habitat selarna penelitian. Has3 uji Chi kuadrat menunjunkan bahwa, nisbah kelamin secara umum ditemukan seimbang, kecuali di habitat rawa nisbah kelamin ditemukan tidak seimbang pada bulan Nopember
(Tabel 9). <
Habitat m a 25
-
g 22 f 1.5-
% *
\
\*
i .,: 0
+ 12
I
I
Nop'O7
Des'O7
JmW
Habitat sungai 2,s
7
h
2V
E
'g
1,s -
B
2
1-
3 2
0,s -
C
0
.
-
-$
I
I
Nop'O7
2.5
+ 1.14
Des'O7
Jan'08
Habitat danrru
-
2-
f
1.5
9
I0,5 -
0
-
*-
1.39
-. Nop'O7
Des'O7
Jan'OB
Gambar 11. Nisbah kelamin ikan betok (A. teshrdinars) di masing-masing habitat
Dari data yang diperoleh, rnenunjukkan adanya pergeseran nisbah kelamin di habitat rawa pada bulan Nopember tidak seimbang, dan pada bulan berikutnya seimbang. Terjadinya perubahan nisbah kelamin, di habitat yang sama dimun-
adanya pengaruh faktor-Wor seperti berlangsungnya proses
Tabel 9. Analisis Chi kuadrat pada nisbah kelamin di masing-masing habitat selarna penelitian HabitatBulan Rawa Nopember'07 Desember'07 JanuariYO8 Sungai NopemberY07 Desember'O7 Januari'08 Danau Nopember'07 Desember'07 Januari'08
Analisis "Chi khuadrat"
Keterangan
x%i(9,~) t >x2tab (3,841)
XZha (0,62) <x2tab(3,841) &(0.60) <x2a(3,841)
tidak seimbang sehbang seimbang
XZba (0,44) <xtsb (3,841) ) x2tab (3.84 1) X%it( 0 , ~ < X%it(0,44) <x2tab (3,841)
seimbang seimbang seimbang
X%it(022) <X2tab(3,841) x2hit (030) < xZtab(3,841) xZhi(1.14) i < x2tab(3,841)
seirnbang seimbang seimbang
Nisbah kelamin ikan yang matang gonad pada TKG IV setiap bulan cukup bervariasi terutama di habitat rawa dm danau Berdasarkan uji Chi kuadrat di habitat rawa dan danau ditemukan penyimpangan nisbah kelamin dari perbandingan seimbang yang terjadi pada bulan Januari. Adapun di habitat sungai selama penelitian ditemukan nisbah kelamin yang seimbang (Lampiran 14). 4.1.6.2. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Sebaran Tingkat Kematangan Gonad (TKG)pada ikan jantan dan betina dari TKG I
-
TKG IV di setiap habitat hampir selalu dijumpai pada setiap bulan
penelitian (Garnbar 12). Ikan yang berTKG IV selalu diperoleh setiap bulan di masing-masing habitat, dan tertinggi ditemukan pada bulan Desember. Terdapatnya TKG IV pada setiap bulan menunjukkan bahwa musim pernijahan sedang berlangsung.
Pola sebaran TKG b e r k k a n selang ukuran panjang di masing-masing habitat, menunjukkan bahwa semakin panjang selang ukuran,s e m a h sedikit ikan yang berTKG I. Pada selang ukuran panjang yang besar ini, lebih didominasi oleh ikan yang berTKG III hingga K G V (Cambar 13). l b n jantan
lkan bcttna
Gambar 12. Persentase tingkat kematanp gonad ikan betok (A. tesfiuzineeus) jantan dan betina di masing-masing habitat selama penelitian. Distribusi selang ukuran panjang berdasarkan tingkat k e r n a m gonad di semua habitat secara rinci diuraikan sebagai berikut. lkan jantan dan betina pada selang ukuran 70-100 mm di habitat sungai dan danau didomiaasi oleh TKG I dan
11 k e c d i di sungai. Karena selang ukum terkecil ikan jantan yang diperoleh berkisar 101-110 mm, dan ikan betina selang ukuran terkecil yang diperoleh
adalah 80-90 mm. Selanjutnya pada selang ukuran 91-1 10 mm mulai terlihat adanya ikan-ikan yang berTKG III dan TKG IV,terutama di habitat rawa d m
danau Pada selang ukuran yang lebih panjang antara 111-2 10 mm seams merata mulai didominasi oleh berTKG 111 dan N serta sebagian V di setiap habitat
lkan Jantan 100 00 a0 70
100 90
Habitat
8
a
lkan betlna
60 70
60
60
so
2
40 30
30 20 I0 n
20 10 0
100
tm
100 90 80 70 60
30 20 10 0
60 40 30 20 10
90
Habitat sungai
8
80 70
g:
0
100 90 80 70 60
so 40 30 20 10
Selang ukuran panJang (mm)
Solrng ukuran prnjrnfl (mm)
Gambar 13. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok (A. testudineus)jantan dan betina berdasarkan selang ukuran panjang (mm) di masing-masing habitat.
4.1.63. Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) ikan betok dari hasil pengamatan terlihat bahwa, ikan betina memiliki IKG yang lebih besar dibandingkan ikan jantan.
Kisaran IKG tertinggi pada ikan jantan antara 0,61-1,03% yang diperoleh di habitat danau, dan &an betina 1,77-5,02% dengan nilai terendah pada bulan Nopember di habitat rawa, sedangkan nilai tertinggi pada bulan Desember di habitat danau. (Tabel 10). Secara wnum, nilai IKG tertinggi disetiap habitat ditemui pada bulan Desember.
Hal ini mengindikasikan bahwa proses-proses atau musim pemijahan mencapai puncaknya pada bulan tersebut. Tabel 10. Nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan betok (A. testudineus) di masing-masing habitat selama penelitian Habitat
Bulan
Indeks Kematangan Gonad (%) JanSD Betina rt SD
Sungai
Januari'O8 Nopember'07 Desember'07
0,69 f 0,41 0,91 0,56 0,97 0,36
* *
427 2,16 3,77 3,16 3,90 223
Danau
~ekmber'07
1,03 0,53
*
5,02 k 2,93
*
* * *
Nilai IKG berdasarkan TKG di setiap habitat menunjukkan adanya variasi. Di habitat rawa nil& IKG ikan jantan 0,30-1,42 dan betina 0,52-5,92 di sungai ikan jantan 0,30-1,42 dan betina 0,60-5,49, dan di danau ikanjantan 028-1,39 dan betina 037-5,80. Secara umum terlihat bahwa nilai IKG berdasarkan tingkat kematangan gonad pada ikan jantan lebii kecil dibandingkan dengan ikan betha. IKG setiap jenis ikan biasanya meningkat seiring dengan tingkat kematangan gonad, dernikian halnya pada ikan betok. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa K G ikan jantan dan betina meningkat sejalan dengan meningkatnya kematangan gonad (TKG IV)dan
turun ketika memasuki TKG V. Kondisi ini terjadi di setiap habitat selama penelitian (Lampiran 15).
4.1.6.4. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad, menggunakan metoda analisis Sperman Karber (Udupa, 1986 dalam Najamuddin, 2004) tercanhun pada Lampiran 16-21. Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa ukuran pertama kali
matang gonad di masing-masing habitat menunjukkan adanya perbedaan antara ikan jantan dm betina (Tabel 11). U k m pertama kali matang gonad ikan jantan dan betina sebagai berikut: habitat rawa ikan jantan ukwan pertama kali matang gonad berkisar 106-107 mm dan betina 96-97 rnm, sungai ikan jantan 109-1 10 mm dan betina 1 12 mm, danau ikan jantan 106-107 mm dan betina 109-1 10 mm. Tabel 11. Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad pada ikan betok (A. testudineus) Jenis kelamin Habitat rawa Habitat sungai Habitat danau
Kisaran (mm)
Kisaran (mm)
Kisaran (mm)
4.1.6.5. Fekunditas Fekunditas yang diamati pada ikan betok (A. testudineus) selama penelitian dari bulan Nopember hingga Januari berkisar antara 6188-48414 butir dengan nilai rata-rata 17904, fekunditas di habitat rawa berkisar antara 7440-47097, sungai
6.944-48414 dan danau 6188-44764 (Lampiran 22). Hasil penghitungan fekunditas, menunjukkan bahwa nilai rata-rata fekunditas tertinggi terdapat pada ikan yang hidup di habitat sungai ,kemudian danau ,dan terakh.di rawa. Dari hasil analisis regresi linier diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r). di habitat rawa, berat gonad dengan fekunditas nilai R2 clan r
(0,9366, 0,968), berat total dengan fekunditas (0,5905, 0,768), dan panjang total dengan fekunditas (0,4823, 0,694). Di habitat sungai hubungan antara berat gonad dan fekunditas (0,8588, 0,927), bobot ikan dan fekunditas (0,63, 0,79) dan panjang
total dengan fekunditas (0,4034,0,635), sedangkan di habitat danau hubungan berat gonad dengan fekunditas (0,9231, 0,961), bobot ikan dengan fekunditas (0,708,
0,841), panjang total dengan fekunditas (0,699, 0,836) (Gambar 15). Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 23-25.
Habitat rawa .,. .- ..-
Habitat sungai
50000
.B 40000
5-pmooo
2 lmo 0
Garnbar 14. Hubungan berat gonad, bobot ikan, dm panjang total dengan fekunditas ikan betok (A. testudineus).
Habitat danau
4.1,6.6,
Diameter dan Pola Sebamn Telur
Diameter telm TKG 111 dan TKG IV diamati dari sepuluh ikan betina di
setiap habitat . Diameter telur pada TKG 111 berkisar antara 200475~clan TKG
IV 300-950 p. Hasil pengukuran diameter telur di setiap habitat, menunjukkan perbedaan &wan yang tidak terldu menmlok (Gambar 15). Di habitat rawa, sun@, dan danau diameter telur TKG 111 dan TKG IV secara berurutan addah:
(200-625 pm dan 375-875 pm), (200625pn dan 300-800pn), dan (275475pm dan 300-925 pm). Diameter telur TKG IV ukurannya lebih besar di banding TKG 111. modus sebaran diameter telur di dominasi ukuran lebih dari satu BerarEi
sebaran diameter klur ikan betok heterogen TKG I1T
TKG IV
Gambar 15. Sebaran diameter telur ikan betok (A. restudimu~) berTKG 111 dan IV di masing-masing habitat.
4.1.6.7.
Strnktur Histologis Gonad
Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) secara histologis pada testes dan ovarium dapat dilihat pada Gambar 16-17. Pada perkembangan histologis testes terlihat TKG I terdapat adanya spermutogonia, TKG I1 secara histologis testes lebih berkembang dibandingkan TKG I, jaringan ikat sudah mulai berkurang dan sudah terbentuk spermatosit primer yang dibasilkan dari pembelahan spermatogonia secara meiosis.
Keterangan: Sg: Spmmtogonium, Sp:Spermatosit primer, Ss: Spermatosit sekmder, st: Spermatid
Gambar 16. Struktur histologis testes ikan betok (A. testzui'ineus) Pada TKG 111, secara histologis terlibat telah terbentuknya spermatosit sekunder dan ukurannya lebih kecil dibandingkan spermatosit primer, tahap ini jaringan ikat gonad terlihat lebih sedikit, spermatosit sekunder mulai mendekati lumen TKG IV testes mempunyai struktur histologis yang didominasi oleh spermatid yang merupakan hasil pembelahan secara meiosis dari spermatosit, tingkat perkembangan ini proses pembentukan spermatozoa mulai berjalan, tingkat ini dinamakan pematangan (maturing).
Struktur histologis TKG I pada ovum didominasi oleh oosit stadia awal (oogonium) yang bersifat basofil. Kjesbu dan Kryvl (1989) menyatakan bahwa 75% oosit stadia awal pada TKG I terdiri atas sitoplasrna. TKG I1 ovum dipenuhi oosit bernukleus lebih besar daaipada TKG I, oogonia mulai berkembang menjadi oosit primer dan mulai terlihat vakuola pada perifer. Pada tahapan ini gonad masih belum matang (Sukendi, 2001 dalam Hukom et ul., 2006).
Keterangan: Og:Oogonium, Op:Oosit primer, 0s: Oosit sekunder, Ov:ovum,
N: Nukleus, V: Vakoula, FYG, Fusionof yolk globule (butiran kuning tehzr)
Gambar 17. Struktur histolopis ovarium ikan betok (A. testudinezw.) TKG 111 struktur histologis oosit sudah mulai terlihat adanya granula
kuning telur, dan oosit primer berkembang menjadi oosit sekunder bakal ovum. Nagaharna (1983) &lam Nasution (2004) menyatakan ada tiga macam yaitu butiran minyak, vesikula kuning telur dan globul kuning telur. Oosit primer mulai berkembang menjadi oosit sekunder, ukuran nukleus juga semakin berkembang,
pada tahapan ini mulai terjadi proses vitellogenesis yang ditandai dengan
terbentuknya butir kuning telur dan butir dengan jumlah yang masih sedikit. Bowers (1992) dalam Nasution, (2004) menyebutkan stadia ini sebagai tahap pembentukan globul kuning telur (yolk vesicle) yang dinamakan fase akumulasi kuning telur.
TKG IV oosit sekunder telah berkembang menjadi ovum. Butir kuning telur
dan minyak sernakin banyak yang menyebar dari sekitar inti sel sampai ke tepi, butir-butir minyak terlihat seperti bercak-bercak yang berwarna putih. Butir-butir lemak semakin bertarnbah besar melalui proses vitellogenesis yang diawali dengan pembentukan vakoula kemudian diikuti dengan munculnya globul-globul kuning telur: karena itu oosit membengkak secara rnencolok (Ernawati, 1999
d a l m Hukom et al., 2006). Menurut Fisher dan Kane (2000) secara histologis
TKG IV terdapat butir-butir halus kuning t e k dan vakoula dengan ukuran yang besar di dalam oviplasrn. Euvitelline mulai terlihat jelas di sepanjang selaput inti, sedangkan chorion terlihat di bawahfolliculm ephithelium. 4.1.7.
Keterkaitan antan Kuaiitas Perairan dengan Aspek Biologi Ikan Betok (A. testudineus)
Analisis komponen utama (PCA) digunakan untuk melihat penyebaran
bedasarkan habitat pengamatan (Gambar 18). Parameter fisika, kimia dan biologi air yang digunakan untuk melihat sebaran berdasarkan habitat adaiah nilai rataratanya. Hasil analisis komponen utama yang dilakukan, terhadap matrik koreiasi memunculkan surnbu-sumbu fdctorial rnengekstraksi secara progresif mengenai informasi maksimum dari karakteristik fisika kimia pada sumbu, diukur dari besarnya akar ciri yang dihasilkan. Akar ciri tersebut rnemungkinkan untuk mengevalusi besarnya ragam yang dijelaskan oleh setiap sumbu. Hasil analisis komponen utama rnemperlihatkan sebagian besar kontnibusi dari ke 2 sumbu terpusat pada sumbu 1 dan 2 (F1 clan F2) yang masing-masing sumbu menjelaskan 82,96%clan 17,04% dari ragarn total. Analisis komponen utarna juga dilakukan pada karakteristik biologi ikan di rnasing-masing habitat penelitian (Garnbar 19), direpresentasikan oleh ikan ber-
TKG IV pada selang ukuran panjang 1 10-130 rnrn dengan asurnsi pada TKG clan kesmgaman selang ukuran panjang tersebut, aspek reproduksi dapat dianalisis lebih mnyeluruh dan proporsionaL Berdasarkm Gambar 1 8 dapat ditelaah bahwa
d i s i s komponen utama rnampu menjelaskm 63,95% pada sumbu 1 dan 36,05 pada sumbu 2, d i m terlihat adanya korelasi antar variabel dengan variabel dan variabel dengan habitat.
pn,~&ion of the variables on the factmplene ( 1 x 2)
I
-1 ,o
-0.5
0.0 Factor 1 :82,-
-
p r o j e i o n d t h e c a s e 5 o n t h e ~ p l a n e (f x 2) Cases with sum d a s i n n square = 0,00
23
- - - - - - - -
2.0
i
I I I I I I
Sungai O
1.5 1.o
0,s 0.0
!
Raws
--------------!
0
I
-0.5 -1 ,O
I I
,
Danau
i i
0
-1.5
i
I
-2,o 25 -4
-
3
-
-2
-1
0
1
------.---.--2
3
4
5
Keterangan: S = Suhu Ked = Kedalaman Kek = Kekeruhan pH = Derajad keasaman OT = Oksigen terlarut Al = Alkalinitas N = Nitrat TA = Tumbuhan air H = Indeks keanekaragarnan plankton ID = lndeks Dominansi
Gambar 18. Grafik analisis komponen utama dari parameter fisika, kimia, dan biologi air dengan lingkaran korelasi antar habitat pada sumbu 1 dan 2.
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) r
1,o
-
. .,,,'
.__.I.-.--
-,._ .. DT
--T----.I
p /
d!
8
/ /
-03.
I
a-'
\
---%-
-1.0
-1 ,o
-0.5
0.0
0.5
1.0
o m
Factor 1 : 63.95%
pr0jectii)n of the cas88 on the factor-pbne ( 1 x 2) Cases mith sum of cosine square 2= 0,00
I
Factor 1:63.95%
1
Keterangan: Lhghngan = Indeks kualitas lingkungm; Hewan = Komposisi makamn berupa hewan; Twnbuhan = Komposisi makanan bempa t u m m nilai b = Indikator pertumbuban; FK = Faktor kondisi; K: Koefisien pemnnbuban; UMG = Ukuran pertama kali matang gonad; K G = Indeks kematangan gonad; Fekunditas = Jumlah telur DT = Diameter telur.
Gambar 19. Grafik analisis komponen utarna dari beberapa parameter aspek biologi ikan berTKG IV dengan lingkaran korelasi antar habitat pada sumbu 1 dm 2. Keterkaitan antara kondisi lingkungan dan kebiasaan rnakanan dengan kondisi clan fisik aspek reproduksi diinterprestasikan dalam bentuk skerna
(Garnbar 20) yang diolah dari hasil analisis rnatrik korelasi (Lampiran 26).
,
-
++
*
Nilai b
Faktor kondisi
A
A
+
Kebiasaan ndman
*
w
Koefisien pertumbuhan A
+
Kondisi lingkungan perairan Danau Melintang
+
4
++
p=-~*,w."~" A
++
I
+
+
.c
+
+ v
v
Fekunditas
IKG A
+
-T /
A
++
1 .
-
++ !
-
!
I
I
++
-
Keterangan: Prediktor = kondisi lingkungan perairan dan kebiasaan makanan Respon = Kondisi fisik dan aspek reproduksi = Korelasi positif (semakin meningkatnya nilai prediktor maka nilai respon akan meningkat) (+) = Korelasi positif, dengan nilai korelasi lebih tinggi dari (+) (++) = Korelasi negatif, semakii meningkatnya nilai prediktor, maka nilai respon akan turun ((
hrnbar 20. Skema matrik korelasi antar variabel kondisi lingkungan danau Melintang dengan aspek biologi ikan betok (A. testudineus)
4.2. Pembahasan 4-2-1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Proses hidrologi rnempengaruhi komponen biotik dan abiotik dalam suatu ekosistem (Timchenko, 1994). Salah satu contohnya, yang terjadi di Sungai Desnia Ukraina. Danau rawa banjiran Sungai Desnia m e m p e n m kualitas perairan dan kondisi ekosistem sungai. Hal ini juga terjadi di lingkungan Danau Melintang- Hasil penilaian secara skoring di masing-masing habitat penelitian menunjukkan bahwa, di habitat rawa memiliki nilai di bawah skor rata-rata kuaiitas perairan tiga habitat pengamatan, sehingga dimasukkan dalam kategori
k d s i kualitas perairannya rendah, di habitat sun@ kondisi perajrasmya h
g
dan danau termasuk dalam kategori kondisi kualitas pmirannya tinggi, karena
memiliki nilai di atas rata-mta skor semua habitat. Walaupun basil skoring menunjukkan adanya perbedaan, narnun kondisi lingkungan perairan di Danau Melintang tidak ditemukan perbedaan yang terlalu mencolok. Tejadinya perbedaan dan variasi kondisi kualitas perairan yang tidak terlalu mencolok setiap habitat di lingkungan Danau Melintang selama penelitian, terkait dengm perubahan musim dan curah hujan, di mana penggenangan yang tinggi
akan cenderung menghomogenkan parameter fisika, kirnia, dan biologi air antara habitat rawa, sungai, dan danau (Agostinho et al., 2000). Selmjutnya, dinamika
kadteristik fisika, kimia, dan biologi perairan secara periodik akan
rnempengaruhi komunitas ikan (Penczak et al., 2004). 4.2.2. Distribnsi dan Komposisi Hasil Tangkapan
Distribusi hasil tangkapan terbanyak secara berurutan ditemukan di habitat rawa, kemudian danau, dan terakhir sungai. Hal ini diduga karena habitat tersebut mernil~kikerapatan vegetasi yang berbeda-bed% kenyataan ini diperkuat dengan andisis regresi yang dilakukannya antara persentase kerapatan tumbuhan air dengan komposisi hasil tangkapan. Hasil analisis regresi linier tersebut
mentmjukkan, adanya korelasi positif (r
=
0,9555). Berarti terdapat hubungan
yang sangat erat antara kerapatan turnbuhan air dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. Kelirnpahan populasi ikan dengan kerapatan tumbuban air juga ditemui pada ikan Telrnatherina ladigesi di Danau Towuti Sulawesi Selatan yang
mempunyai korelasi positif atau keeratan hubungan yang cukup signifrkan terutarna pada waktu melakukan pemijahan (Nasution, 2000). Distribusi ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor Krebs (1985) menyatakan bahwa distribusi ikan dipengaruhi oleh tingkah laku ikan dalam memilih habitat dan hubungan antara ikan tersebut dengan organisme lain. Demikian pula halnya dengan ikan betok. Penczak (1995) menyatakan, fluktuasi kelimpahan ikan yang berhubungan dengan keberadaan tumbuhan air, juga ditemui di Sungai Warta Polandia. Indikasinya adalah menurumya hasil tangkapan ikan jenis phytophil,
lithophil, psamophil, pelagophil, dan jenis lain seperti belut, yang dikaitkan dengan hilangnya jenis-jenis tumbuhan termasuk akar-akar yang tenggelam di sungai tersebut.
Dari sebaran selang ukuran panjang ikan yang banyak tertangkap terlihat ada dua kelompok selang ukuran panjang terbesar di habitat sungai yaitu, 110-130 mm dart 131-150 mm. Perbedaan kelimpahan ikan pada ukuran yang berbeda dikarenakan awal m u s h pemijahannya berbeda pada setiap habitat, sehingga ikan
dari hasil pemijahan
yang lebih dulu, selanjutnya pada waktu yang sama
ditemukan dalam ukuran yang lebih besar. Penelitian Satria clan Kartamihardja (2002) menunjukkan, hasil tangkapan ikan payangka terdapat 2 kelompok populasi, dua kelompok populasi tersebut merupakan hasil pemijahan sebelumnya yang telah berkembang hingga mencapai
ukuran yang besar. Hal ini lazim ditemukan pada jenis-jenis ikan di daerah tropis yang memijah 2 sampi 3 kali selama musim pernijahan (Satria, 1991 dalum Satria dan Kartamihmdja, 2002)
Dari sebaran selang ukuran panjang yang tertangkap di setiap habitat, terlihat bahwa selang ukuran antara 111-130 mm pada ikan jantan dan betina merupakan hasil tangkapan paling besar jumlabnya diperoleh selama penelitian.
Semakin panjang selang ukuran ikan yang ditemukan semakin berkurang, kondisi ini terliht seragam. Sedikitnya ukuran terbesar ditemukan, meIlandakan bahwa populasi ikan betok mulai tertekan. Secara keseluruhan, hasil tan-
ikan betok pda selang ukuran panjang
rnaksimum adalah 190-200 mm, diperoleh di setiap habitat relatif sedikit. Di samping itu, selama penelitian juga tidak ditemukan ukuran t e r k yang
tertangkap sesuai literatur yaitu, pada ukuran 250 mrn (www. Fishbase, 2008). Kondisi ini diduga sumberdaya &an betok di lingkungan danau Melintang sudah mengalami over eksploitasi. 4.2.3. Kebiasaan Makanan 4.23.1. Struktur Anatomi Saluran Pencemaan Bentuk gigi ikan betok berbentuk runcing dan tajam, ini merupakan bentuk gigi ikan predator, tapis insang &an betok tidak berhgsi sebagi alat penyaring makan karena berbentuk jarang dan pendek, sedangkan faring &an betok mempunyai geligi yang berfungsi untuk menggerus rnakanan. Menurut Effendie (2002), bentuk faring yang memiliki geligi di kategorikan ikan omnivor,
euryphagus, dan sebagai pemakan yang opotunistik di dalam suatu daerah ekologi yang bennacam-macam. Usus ikan betok memiliki tiga bagian dengan satu lipatan, struktur usus yang memiliki satu lipatan menurut Kuperman dan Kuz'mina (1994) dalam Yusfianti. et al. (2006) dapat digolongkan ke dalam ikan jenis kanrivor. Bentuk usus ikan
betok yang memiliki dua kaeka pilorik, sama seperti ikan jenis salmonids dan gadoids (Jobling, 1993, bentuk ini biasanya dimiliki ikan-ikan omnivor Panjang usus ikan betok, dari hasil pengukuran tidak pernah melebihi panjang total tubuhnya, menandakan ikan betok merupakan jenis ikan kamivora. Menurut Affandi et al. (1992), panjang usus ikan karnivora umumnya lebih pendek dibandkg panjang total tubuhnya. Hal ini terkait dengan proses pencemaan yang relatif lebih cepat karena makanannya berupa daging. 4.2.3.2. Komposisi Jenis Makanan
Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh tersedianya makanan, dati makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jurnlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lama rnasa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut (Effendie, 2002). Dari makanan yang diambilnya akan mempengaruhi pertumbuhan baik sornatik maupun gonadik serta keberhasilan hidupnya.
Komposisi dan jenis makanan ikan betok (A. testudineus) cukup variatif, mencakup jenis makanan berupa hewan (insekta, ikan, dan krustase), serasah (potongan tumbuhan air) dan plankton, dengan kornposisi terbesar makanannya berupa hewan Jenis makanan ikan betok tidak jauh berbeda dengan penelitian
Trung (1999) dalam Trieu dan Long (2002) yang menyatakan bahwa, ikan A. testudineus mengkonsumsi makanan berupa insekta, tumbuhan air, krustase, detritus, dan cacing. Samuel et al. (2002) menarnbahkan, dari analisis isi lambung ikan betok di Danau Arang-Arang Jambi, komposisi clan jenis makanannya berupa: cacing, ikan dan detritus. Dari komposisi dan jenis makanan berupa
hewan dan tumbuhan, dapat rnenunjukkan bahwa ikan betok adalah jenis ikm omnivora. Perubahan pola konsumsi jenis &anan
berup invertebrata cenderung
menurun dari bulan Nopember hingga Januari di setiap habii. Hal ini diduga terkait dengan ketersediaan makanan selain invertebrata seperti ika.. Karena saat itu bertepatan pada musirn penghujan dirnana ikan-ikan di daerah tropis melakukan pemijahan, t
e
e di liigkungan danau Melintang. Adanya proses
pemijahan, tentunya jumlah anak-anak ikan semakin bertambah banyak. Hal ini berdampak pada pola konsumsi pada ikan betok dari jenis rnakanan berupa invertebrata ke jenis makanan berupa ikan. Sesuai dengan pendapat Effendie (2002) yang menyatakan Mwa, terjadinya perubahan pola kebiasaan makanan ditentukan oleh penyebaran organisme sebagai rnakanan ikan, ketersediaan makawn, faktor pilihan dari ikan itu sendiri, dan faktor fisik lingkungan.
Secara spesifrk memang terlihat adanya perbedaan jenis makanan ikan betok, akan tetapi ditinjau dari jenis makanan berupa hewan dan tumbuhan secara umum terlihat adanya persamaan. Steel (1970) dalam Effendie (2002)
menambahkan perbedaan lokasi dan habitat pada satu spesies ikan akan berpengaruh pada kebiasaan makanannya
Umumnya makanan yang pertama kali datang dari luar untuk semua jenis
ikan dalam mengawali hidupnya adalah plankton yang beTukuran kecil. Semakin besar ikan rnaka kebutuhan akan makanan disesuaikan dengan kebutuhan yang berkaitan dengan proses perkembangan gonad, karena salah satu tingkah laku sebelum pemijahan pada ikan adalah aktifitas mencari makan (Effendie, 2002).
Komposisi dan jenis makanan ikan betok di masing-masing habitat berdasarkan tingkat perkembangan gonad, memiliki pola yang sama. Jenis
rnalcanan berupa hewan (insekta, ikan dan krustase) terliiat selalu meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya perkembangan gonad, ha1 ini diduga zat-zat seperti lernak (kolesterol) dan protein yang terkandung dalam tubuh invertebrata dan ikan sangat di butuhkan dalam perkembangan gonad. Perbedaan makanan pada saat ikan muda dan dewasa dipengaruhi kondisi fisiologis ikan Semakin dewasa ikan, rnaka kebutuhan akan zat kolesterol untuk kebutuhan merangsang hormon steroid yang berperan dalam proses pematangan gonad. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut ikan mengkonsumsi invertebrata
(insekta dm krustase) yang banyak mengandung kolesterol. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa pada saat ikan akan memijah, ikan akan merubah komposisi makanannya dan selanjutnya akan kembali normal
setelah melakukan pemijahan. 4.2.4. Pertumbuhan
4.2.4.1. Hubungan Panjang dan Bobot Ikan Dari hasil hubungan panjang total dm bobot ikan, diperheh nilai b di masing-masing habitat. Nilai b biasanya berkisar antara 2,s-4, namun kebanyakan nilai b mendekati pada nilai 3 Lagler et aI. (1977) daiam Sulistiono et al. (2001). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa, ikan jantan di habitat rawa nilai b = 3 (isometrik), yang berarti pertumbuhan panjang seimbang dengan jmtumbuhan bobot ikan. Hal ini diduga sampel &an jantan yang diperoleh rawa, tergobng ikan yang rnasih kecil sehingga pertumbuhan panjang dan beratnya relatif seimbang. Di samping itu, kondisi habitat yang banyak terdapat tumbuhan merupakan
&ah satu faktor yang mempengaruhi gemk renang dan aktifitas ikan. Hal ini berpengaruh pada pertambahan ukuran panjang yang relatif tidak terlalu cepat.
Ikan betina di habitat rawa mempunyai pola pertwnbuhan alometrik yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding pertumbuhan bobot, sedangkan
ikan jantan dan betina di habitat sungai dan danau pola
pertumbuhannya alometrik.
Perbedaan pola perturnbuhan ikan betok, juga ditemui pada ikan jenis lain. Hasil penelitian Sinaga et al. (2000) dalam Makmur (2003) di Sungai Banjaran, pola pertumbuhan ikan gabus alometrik dan isometrik, Kartamhardja (1994)
dalam Makmur (2003) menambahkan bahwa, ikan gabus di Kedung Ombo pola pertumbuhanya bersifat alometrik. Pola pertumbuhan yang berbeda antar habitat dan jenis kelarnin, diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan (waktu penangkapan), perbedaan umur, persediaan rnakanan, perkembangan gonad, penyakit dan tekanan parasit (Turkmen et al., 2002). Sournakil (1996) menambahkan, adanya perbedaan pola pertumbuhan pada ikan, kemungkinan karena perbedam tingkat kematangan gonad, mush, dan kesuburan perairan Sebagian besar pola pertumbuhan ikan
betok yang diperoleh selama penelitkin di lingkmgan Danau Melintang bersifat alometrik. Kondisi ini sama dengan pola perturnbuhan ikan betok yang terdapat di Danau Arang-Arang (Samuel et al., 2002). 4.2.4.2. Dugaan Laju Pertumbuhan Persamaan pertumbuban Von Bertalanfl yang ditampilkan &lam betuk
kurva pertwnbuhan ikan betok di setiap habitat mencapai ukuran panjang maksimurn yang berbeda-beda, habitat rawa &) = 214, 20, sungai (L) = 204, 23, dm danau &)
= 200,55.
Bila dihubungkan dengan hasil tangkapan di atas
yang sebagian besar berukuran 111-130 mm diduga umurnya berkisar antara 1-2
tahun. Berdasarkan nilai koefisien pertumbuhan (K), ikan betok yang berada di habitat danau lebih cepat rne~lcapaipanjang asimtotik. Peningkatan nilai K menunjukkan peningkatan kecepatan ikan rnencapai panjang asimtotik sebingga
ikan yang memiliki nilai K lebih besar umumnya merniliki siklus hidup yang lebih s w a t (Harahap dan Djamali 2005) Nilai koefisien pertumbuhan (K) juga menunjukkan adanya perbedaan di habitat rawa, sungai dan danau. Di habitat danau nilai (K) lebih tinggi dibandingkan habitat lainnya, ha1 ini terkait dengan kondisi lingkungan perairan dari hasil skoring yang menunjukkan bahwa, danau merniliki kondisi perairan yang lebih bagus dibandingkan habitat rawa clan sungai, sehingga berdarnpak pada tinggiiya nilai (K). Menurut Weatherley (1972), perbedaan nilai (K) dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti makanan, suhu, dan kondisi lingkungan. Selain faktor lingkungan, diduga kelirnpahan makanan yang cukup besar berdarnpak pada pertumbuhannya cepat (Sulistiono et al., 2001). Perbedaan dugaan panjang maksirnurn dan koefisien perturnbuhan (Ldan
K) juga terjadi pada ikan gabus yang ditemukan di lokasi berbeda, di Waduk Kedung Ombo 669,3 rnrn dan 0,40 th-' Kartamihardja (1994) dalam Makrnur (2003), di danau Tondano 457 dan 1,lo th-' , dan di rawa banjiran sungai Musi 722,8 dan 1,36 th-' (Makmur 2003). 4.2.4.3.
Faktor Kondisi
Faktor kondisi adalah derivat penting dari perturnbuhan. Faktor kondisi atau
Indeks Ponderd sering disebut fbktor K.Faktor kondisi ini rnenunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival clan reproduksi (Effendie, 2002). Di dalam penggunaan secara kornersil, kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia. Jadi kondisi ini dapat mernberikan keterangan baik secara biologis maupun secara komersil.
Nilai faktor kondisi ikan betok selalu berfluktuasi di masing-masing habitat,
baik ikan jantan maupun betina. Selarna penelitian diperoleh kisaran nilai rata-rata
ikan jantan 0,98-1,89, sedangkan fkktor kondisi ikan betina berkisar antara 0,891,12 (Tabel 9). Nilai faktor kondisi ikan betok jantan relatif lebih tinggi dibandingkan ikan betina. Kondisi ini sama dengan ikan Anabantidae jenis Sandelia bainsi. Secara mum faktor kondisi ikan jantan lebih besar dl'bandingkan
ikan betina karena energi yang diperoleh ikan betina diinvestasikan lebih besar
untuk perkembangan gonad (Mayekiso dan Hecht, 1990). Secara umum, nilai faktor kondisi ikan jantan dan ikan betina di habitat rawa
lebih tinggi dibandingkan lainnya. Hal ini terkait dengan kondisi habitat rawa yang pada m u s h kernarau merupakan habitat yang sangat ekstrim, ketika masuk m u s h penghujan kondisi lingkungannya berubah rnenjadi lebih mend-
bagi
pertumbuhan. Kondisi ini diduga berdampak pada ikan betok di habitat rawa
masuk dalam fase recovery growth, dimana pada fbse ini pertumbuhan relatif lebih cepat dibaoding pada kondisi normal. Sementara menurut Patub (1963) dalam Bahri (2000) rnenyatakan bahwa, nilai War kondisi pada jenis ikan relatif
sama berarti daya dukung lingkungan perairan dirnana ikan melangsungkan kehidupannya dan bereproduksi relatif seimbang. Dari pernyataan tersebut, diduga kondisi lingkungan perairan di habitat rawa, sungai, dan danau relatif tidak seimbang yang pada akhirnya memunculkan perbedaan faktor kondisi. Selang ukuran terkecil memiliki nilai faktor kondisi paling tinggi dibandingkan selang ukuran lainnya, yang kemudian turun ketika masuk ke selang berikutnya, selanjutnya meningkat lagi pada selang ukuran yang lebih tinggi, lalu turun dan mencapai nilai terendah pada selang ukuran terpanjang. Pola fluktuasi ini terjadi di semua habitat. Adanya keseragaman pola fluktuasi ini diduga adanya pengaruh dari faktor pertumbuhan setiap selang W a n ikan. Dimana tejadi pertumbuhan yang p e s t ketika umur dan selang ukuran ikan yang masih muda
dm relatif stagnan ketika mencapai ukuran terbesar.
Pada ikan-ikan ukuran kecil pertumbuhan lebih ke arah perturnbuhan somatik sehingga secara fisik tubuh ikan lebih cepat berkembang sedangkan ikan berukuran besar adalah ikan yang mulai matang gonad sehingga energi yang diperoleh dari makanan dipergudan untuk pertumbuhan gonad. Pola fluktuasi nilai faktor kondisi ikan betok sama dengan ikan kurisi (Nemiptem tambuloides
Blkr). Ikan kurisi tersebut mempunyai nilai faktor kondisi tinggi pada ukuran kecil dan mencapai nilai faktor kondisi terendah pada selang ukuran terbesar (Sjafei dan Robiyani, 2001). Nilai faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berfluktuasi untuk tiap tingkat kematangan gonad, keadaan tersebut menunjukkan bahwa nilai faktor kondisi pada ikan betok diduga tidak terpengaruh oleh perkembangan gonad. Menurut Nikolsky (1963), &or
kondisi ikan tidak dipengaruhi oleh tingkat
kematangan gonad, tetapi lebih lebih berpengaruh kepada faktor fisik ikan itu
sendiri. Ditambahkan oleh Weatherley (1972), bahwa perubaban faktor kondisi ikan selama pertumbuhan lebii dikarenakan oleh perubaban proporsi tubuh
daripada oleh perubahan ukuran gonad. Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan adalah ketersediaan makanan m
s
dan
kuantitasnya) yang berfluktuasi di sungai dm rawa banjiran (Riberio et al., 2004). Sumber energi utama digunakan untuk perkernbangan g o d selama musim
reproduksi (Lizama dan Ambrosia, 2002), perbedaan ukuran dan urnur ikan (Enchina dan Granado-Lorencio, 1997).
4.2.5. Aspek Reproduksi 4.2.5.1. Nisbah Kelamin Dalam suatu populasi, apabila nisbah kelamin tidak seimbang maka perkembangan populasinya akan terhambat. Ketidakseimbangan nisbah kelamin jantan dan betina bisa mengakibatkan terganggunya ikan berkembang sampai pada fase rekruitmen, sehingga dapat terjadi penurunan populasi. Penyebab ketidakseimbangan ini diduga karena pengaruh tingkah laku, m u s h pemijahan,
ukuran pertama kali matang gonad dan pertumbuhan. Nisbah kelamin antar habitat cukup bervariasi, kondisi ini lazim ditemukan pada ikan-ikan di daerah tropis. Nisbah kelamin keseluruhan selama penelitian, menunjukkan ketidakseimbangan hanya ditemukan di habitat rawa pada buian Nopember, kondisi ini diperkirakan merupakan persiapan musim pemijahan
dimana ikan jantan yang ber-TKG 1-111 teridentifibi lebih dominan di habitat rawa, seiring dengan berjalannya waktu tahapan perkembangan gonad terus meningkat hingga mencapai TKG IV dan puncaknya terjadi pada bulan
Desember. Nisbah kelamin pada TKG IV ketidakseimbangan hanya ditemukan di
habiit rawa dan danau pada bulan Januari, bal ini diduga karena pengaruh pasca p u d musirn pemijahan yang telab terjadi pada bulan Desember. Hal yang memrik untuk dikaji adalah di habitat sungai, selama penelitian berlangsung ditemukan nisbah kelarni. yang selalu seimbang, diduga kondisi ini disebabkan
ukuran pertama kali matang gonad ikan jantan dan betina tidak terlalu berbeda. Perbedaan ukuran dan jumlah salah satu jenis kelamin dalam populasi disebabkan adaqa perbedaan p l a pertumbuhan, perbedaan umur pertama kali matang gonad,
dan adanya bertarnbahnya jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah a& (Nikolsky, 1969). Penyimpangan nisbah kelamin dari pola seirnbang dapat timbul dari berbagai faktor yang mencakup perbedaan distribusi, ahifitas dan gerakan ikan
(Turkmen
et
al., 2002).
Fryer dan Iles (1972) rnenarnbahkan, terjadinya
ketidakseimbangan nisbah kelamin disebabkan adanya perbedaan pertumbuhan, ini terjadi pada populasi Chichlid di danau AMca dirnana terjadi
ketidakseimbangan nisbah kelamin dikarenakan secara umurn pertumbuhan ikan jantan lebih cepat dibanding ikan betina. Menurut (Mendoza et al., 2005), terjadinya ketidakseimbangan juga dipengaruhi perbedaan tingkah laku clan migrasi, seperti halnya ikan Oreochromis niloticus jantan, setelah membuahi telur yang dikeluarkan oleh ikan betina, ikan jantan bermigrasi ke area rnakanan, sedangkan ikan betina berlindung dari ancarnan predator di area yang lebih dalam dan terdapat tumbuhan bawah air.
4.2.5.2.
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Tingkat kernatangan gonad (TKG) dapat dipergunakan sebagai penduga
status reproduksi ikan, umur dan ukuran pertama kali matang gonad, proporsi jumlah stok yang secara produktif matang dengan pernabaman tentang siklus reproduksi bagi s a t - populasi atau spesies. Pola s e h TKG di masing-masing habiiat menunjukkan bahwa, ikan betok musim penijahannnya terjadi pada waktu musim penghujan Hal ini terlihat dengan ditemukannya ikan betok yang ber-TKG 111dan IV antara bulan Nopember 2007 hkgga Januari 2008. Menurut Welcomme (1985) yang menyatakan bahwa, musim pemijahan pada kebanyakan spesies ikan di daerah tropis adalah pada musim penghujan, karena pada saat itu air melimpah babkan cenderung banjir. Melimpahuya air pada suatu perairan akan
mempengaruhi berubahnya ketinggian permukaan air yang akan merangsang ikan
untuk melakukan pemijahan (Lagler, 1972).
Pwlcak pemijahan ikan betok di lingkungan Danau Melintang diperkirakan terjadi pada bulan Desember, karena pada bulan tersebut jumlah persentase hasil tangkapan didominasi oleh ikan betok yang ber-TKG 111, IVYdan V. B e r k k a n selang ukuran panjang total pada masing-masing habitat menunjulckan, semakin
panjang selang ukuran semakin rneningkat tahapan perkembangan gonad pada ikan betok, karena semakin panjang ukuran maka ikan semakin dewasa dan pada
fase ini ikan mulai mengalami perturnbuhan gonad. Menurut Lagler (1977)
tahapan tingkat kernatangan gonad pada ikan, dipengaruhi oleh umur, ukuran, dan hngsi fisiologis individu.
4.2.5.3. Indeks Kematangan Gonad (MG)
Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad (pertumbuhan gonadik). Pada masa tersebut gonad semakin berkembang siring dengan meningkatnya tingkat kematangan gonadnya. Gonad ikan akan berkembang mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah, kemudian gonad ikan menurun secara cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan betok jantan secara umum lebih rendah dibandingkan ikan betina. Hal ini sarna dengan
penelitian (Biusing, 1998) yang menyatakan bahwa, sebagian besar ikan betina memiliki IKG yang lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Setiap bulan terlihat, hasil pengukuran IKG ikan betok jantan dan betina di setiap habitat masuk pada kisaran
ikan ber-TKG 111 dan nilai IKG tertinggi
ditemukan pada bulan Desember. Dari hasil tersebut, diduga ikan betok memijah selama penelitian dilakukan, dengan puncak pemijahan berlangsung pada bulan Desember. Kondisi ini juga dipahami karena ada keterkaitan dengan hidrodinamika yang terjadi di lingkungan danau Melintang, dirnana paras muka air yang diindikasikan dengan terjadinya perubahan kedalaman di setiap habitat pada bulan Desember meningkat (tertinggi selama penelitian) karena curah hujan di daerah tersebut relatif cukup tinggi. Keterkaitan antara peningkatan paras muka air dengan IKG juga ditemui pada ikan selais (Ompok hypophhrhalmus
BLKR) di perairan rawa banjiran Sungai Musi, dimana terjadinya peningkatan
muka air diiringi dengan meningkatnya persentase IKG (Sirnanjuntak, 2007). Pemantauan perubahan IKG dari waktu ke waktu, dapat digunakan untuk mengetahui m u s h memijah pada ikan (Effendie 1997). Sernakin meningkat tahap kematangan pada ikan betok diikuti pula dengan meningkatnya nilai IKGnya dan mencapai nilai tertinggi pada saat &an matang gonad (TKG IV) kemudian menurun setelah ikan melakukan pemijahan (TKG V). Terjadinya p e n m nilai IKG pada TKG V disebabkan karena pada tahap
tersebut isi gonad sebagian besar telah dikeluarkan sewaktu terjadinya pemijahan
clan pada saat itu IKG hampir sama dengan TKG I dan TKG 11. penurunan IKG juga terjadi pada jenis ikan cat fish Silurus glanis jantan clan betina di Waduk Menzelet Turki. Setelah m u s h pemijahan pada bulan Mei-Agustus, nilai IKG
ditemui pada kisaran terendah terjadi pada bulan Agustus (Ahmet dan Kara, 2004). 4.2.5.4.
Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
Ukuran pertama kali ikan matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan, pengaruh lingkungan terhadap perturnbuhan dan strategi reproduksinya. Tiap spesies ikan tidak sarna ukuran pertama kali matang gonad, bahkan ikan-ikan pada spesies yang sama juga akan tidak sama pada kondisi d m letak geografi yang berbeda Fujaya (2004) menarnbahkan, bahwa kondisi lingkungan akan mempengaruhi h o m n endokrin untuk rnenghasilkan hormon-hormon yang mendukung proses perkembangan gonad clan pernijahan. Umumnya ikan akan terus menerus mexnijah setelah pertama kali matang gonad, namun tergantung kepada daur pemijahannya, ada yang satu kali dalam setahun, dan lebih sekali dalam setahua Di alam, pemijahan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (ekstemal), misalkan: hujan, habitat, oksigen terlarut, daya hantar listrik, cahaya, suhu, kirnia dan fisika air serta waktu Variasi ukuran
pertama kali matang gonad terhadap ikan jantan maupun betina bergantung pada kondisi lingkungan yang sesuai. Pada lingkungan yang tidak sesuai untuk tumbuh
dan mempertahankan sintasan, ikan-ikan cenderung akan menangguhkan pernijahan. Perbedaan ukuran pertama kali matang gonad bisa terjadi pada satu spesies ikan yang merniliki jenis kelamin berbeda. Hal ini juga terjadi di setiap habitat di lingkungan Danau Melintang. Ukuran pertama kali matang gonad terbesar ikan jantan dan betina ditemukan di habitat sungai, sedangkan ikan betina yang terendah terdapat di habitat rawa, adapun ikan jantan relatif sarna antara habitat rawa dan danau. Secara urnum terlihat ukuran pertam kali matang gonad ikan jantan tidak terlalu berbeda, sedang ikan betina ukuran pertama kali matang gonad selalu berbeda di masing-rnasing habitat. Hal ini di duga ikan betok jantan lebh toleran terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda d i h d i n g ikan betina. Adanya perbedaan ukuran pertarna kali matang gonad pada spesies ikan yang sama, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ukuran pertama kali matang gonad mungkin dipengaruhi kelimpahan clan ketersediaan makanan, suhu, periode
cahaya (Photoperiode), dan W o r lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky, 1963; Mendoza et al., 2005). Perbedaan ukuran pertama kali matang gonad juga ditemukan pada ikan famili Anabantidae jenis Sandelia bainsii, ikan jantan mencapai ukuran pertama kali matang gonad pada ukuran 80-90 rnm sedangkan i
. betina 60-69 rnm
(Mayekiso dan Hecht, 1990). Ditambahkan oleh Ahmet et al., (2004) ukuran
pertama kali rnatang gonad jenis &an cat fish Silurus glanis di Waduk Menzelet Turki, ditemukan berbeda antara ikan jantan dan betina. Pada ikan jantan kisaran
ukuran pertama kali matang gonad adalah pada selang ukuran panjang 80-85 cm clan pada ukuran 83 cm ditemukan sudah mencapai matang gonad, sedangkan pada ikan betina pada selang ukuran panjang 85-90 ukuran pertama kali matang gonadnya adalah ikan yang berukuran 86 cm
Masalah yang sangat menarik untuk ditelaah adalah di habitat rawa, u k m pertarna kali matang gonad ikan betina relatif lebih rendah dibandingkan habitat lainnya Hal ini diduga adanya pengaruh aktifitas penangkapan cukup intensif yang dilakukan oleh nelayan setempat, karena di daerah tersebut kondisi lingkungannya dangkal dan kerapatan tumbuhan air yang tinggi sehingga memudahkan nelayan mendapatkao hasil tangkapan ikan betok lebih banyak dibandingkan habitat lainnya. Sebagai M e g i adaptasi reproduksi ikan betok di habitat raw untuk mempertahan populasinya maka ikan betina mencapai ukuran pertama kali matang gonad lebih awal. Beberapa W o r lain yang rnenyebabkan tejadinya perbedaan ukuran pertama kali matang gonad adalah sifat genetik popubi perbedaan 1a.u m b u h a n , dan kualitas perairan (Paugy, 2002), p e r m wilayah dan tekanan penangkapan (Reynolds et al., 2001). 4.2.5.5.
Fekunditas
Fekunditas pada satu jenis ikan dalam satu populasi tidak sama, sebab-sebab variasi ini berhubungan dengan komposisi umur, faktor lingkungan seperti persediaan rnakaoan, kepadatan populasi, suhu perairan, oksigen terlarut. Apabila satu populasi dalam beberapa tahun jurnlahnya semakin berkurang, akibat eksploitasi (mortalitas), ha1 ini berarti akan memperbaiki persediaan makanan
untuk populasi yang tersisa dan berpengaruh pada jumlah fekunditas akan
semakin bertambah sedangkan ketika populasi tadi masih lengkap berpengaruh terhadap menurunnya fekunditas (Effendie, 2002). Fekunditas yang diperoleh selama penelitian berfluktuasi. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan habitat, kondisi kualitas perairan,
ukuran berat gonad, bobot ikan, panjang total, umur, dan kebiasaan makanan Selama penelitian fekunditas rata-rata tertinggi diperoleh di habitat sungai, kemudian danau, dan terakhir di rawa. Fekunditas &an betok di lingkungan danau Melintang lebih tinggi dibandingkan ikan betok yang ditemukan di danau ArangArang Jambi yang berkisar 12.300-12.725 butir telur (Samuel et al., 2002) perbedaan fekunditas ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan
perah.an. Dibandingkan ikan Anabantidae lainnya, fekunditas A. testudineus relatif lebih tinggi dibandingkan S. bainsii (Chanchal dm Pandry, 1980), Ctenopoma kingsleyae (Albaret, 1982). Perbedaan fekunditas juga ditemui pada jenis ikan lainya, menurut Makmur (2003) bahwa, ada perbedaan fekunditas ikan gabus di
daerah banjiran Sungai Musi dengan fekunditas ikan gabus di Waduk Kedung Ombo. Variasi fekunditas antar populasi ikan dipengmhi oleh faktor lingkungan, antara lain: suhu air, kelimpahan rnakanan, dan jenis spesies yang berbeda (Ahmet dan Kara, 2004). Fekunditas yang tinggi pada jenis ikan, diduga merupakan mekanisme dan strategi untuk meningkatkan jumlah telur serta laju pertumbuhan larva ikan (Bagenal, 1973) Korelasi yang tinggi antara fekunditas dengan berat gonad, berat total, dan panjang total merupakan ha1 yang umum diharapkan terjadi (Minto clan Nolan, 2006). Secara umum terlihat bahwa nilai (R2, r) di masing-masing habitat, hubungan antara fekunditas dengan berat gonad, bobot ikan dan panjang total mempunyai korelasi positif, korelasi positif tersebut dapat digunakan sebagai suatu model prediksi fekunditas yang baik. hubungan antara bobot ikan dan
panjang total dengan fekunditas di habitat danau terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan habitat rawa dan sungai, diduga ha1 ini disebabkan persediaan makanan berlimpah dan kondisi Iingkungan cukup baik di habitat danau. Hal ini terbukti dari hasil analisis kondisi lingkungan perairan dengan skoring, dim-
di habitat
danau mempunyai kondisi yang lebih bagus dihudingkan habitat lainya.
Kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang baik merupakan sumber energi potensial, pertumbuhan gonadik maupun sornatik (Fujaya, 2004).
4.2.5.6. Pola Sebaran Diameter Telur Ukuran diameter telur pada TKG I11 terlihat lebih kecil dibandingkan pada
TKG IV. Secara keseluruhan ukuran diameter telur ikan betok berkisar antara 200 - 925 pm, ukuran ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Isriansyah dan Sukarti (2007) hasil pengukuran diperoleh diameter telur ikan betok berkisar
antara 250-975 p n Sebaran diameter telur ikan betok pada TKG 111, terlihat pola sebaran yang didominasi pada dua modus diameter telur yang cukup mencolok. Pada TKG IV
secara umum pola sebaran pada selang ukuran tertentu mulai berkurang, akan tetapi pada dasarnya masing terlihat adanya dua modus diameter telur yang berbeda. Dari sebaran diameter tehn yang mengindikasikan adanya dua modus, dapat dinyatakan bahwa diameter telur ikan betok penyebarannya tidak merata
(heterogen), ini menunjukkan bahwa ikan betok memijah dengan pola pernijahan sebagian-sebagian (partial spawning). Menurut Anonim (2003) ikan betok memijah sepanjang musim penghujan, pada saat itu ikan betok mampu memijah 2 -3 kali Pola sebaran diameter tehn yang memiliki dua puncak pada ikan betok
sama dengan ikan gabus (Chana sttiatus) dimana ikan gabus mempunyai pola pemijabanpartial spawnning Makmur, 2003). 4.2.5.7.
Struktur Histologis Gonad
Secara umwn histologi gonad betina pada TKG IV menunjukan adanya oosit pada perkembangan stadia I sampai IV, sehingga dari komposisi tersebut gonad ikan betok betina dinyatakan tidak homogen Menurut Effendie (1997), tidak homogemya telur pada tahapan matang gonad (mature) ada hubungannya dengan fkkuensi dan lama musim pemijahan. Nagahama (1993) menambahkan, terdapst komposisi oosit pada TKG 4 yang tidak homogen, termasuk ke dalam tipe asinkron (metakrom) atau tidak sinkron Ditinjau dari struktur histologis gonad ikan betina diduga ikan ini melakukan pernijahan secara berbhap Gpartial spawning), dimana telur dengan oosit yang rnasuk pada TKG IV akan dikeluatkan (mijah), dan oosit TKG 111tems
berkembang sampai mencapai tingkat matang (mature) dan apabila sudah mencapai tingkat matang rnaka telur akan dikeluarkan, dernikan seterusnya sampai ovum mencapai jumlah minimal atau habis. Pola sebaran komposisi oosit yang tidak homogen juga ditemukan pada jenis
ikan lain, seperti ikan gabus (Cham striata Bloch) h i 1 penelitian (Makmur, 2003) dan juga terjadi pada ikan rainbow selebensis (Telmatherim celebensis Boulenger) (Nation, 2004). Kedua jenis ikan tersebut pola pemijahannya adalah partial spawning. Berdasarkan jumlah fekunditas yang tinggi, pola sebaran diameter telur yang heterogen, dan komposisi oosit yang asinkron, rnaka ikan betok diduga mempunyai strategi pemijahan yang periodik (periodic strategists) yakni, ikan dengan ukuran agak besar, rnemiliii fekunditas yang tinggi, tidak mengasuh anaknya (absence of parental care), memijah pada awal musim penghujan, dengan waktu pemijahan yang panjang (Paugy, 2002). 4.2.6.
Keterkaitan antara Kualitas Perairan dengan Aspek Biologi Ikan Betok (A. testudineus)
Dari hasil analisis komponen utama terlihat bahwa di habitat rawa terlihat terdapat korelasi pada surnbu 1 (positif) yang dicirikan oleh suhu dan kerapatan
tumbuhan air yang tinggi. habitat sungai dan danau berkorelasi pada sumbu 1 (negatif) yang dicirikan oleh variabel kedalaman, kekeruhan, pH, Oksigen terlarut,
Miniitas, nitrat, dan keanekaragaman plankton yang tinggi Dari analisis korelasi antar variabel terlihat bahwa di sungai mempunyai korelasi lebih tinggi dibandingkan habitat danau, kecuali parameter biologi yakni keanekaragaman plankton. Keanekaragaman plankton adalah salab satu indikator status perairan, dimana kondisi keanekaragaman plankton yang tinggi, cukup baik bagi kehidupan organisme air seperti ikan dan hewan air lainnya, dalam rangkaian jaring-jaring I-nahm
Analisis komponen utama juga dilakukan pada karakteristik biologi ikan di masing-masing habitat penelitian (Garnbar 18). Berdasarkan analisis komponen utama habitat rawa terletak terletak pada sumbu 1 (negatif) yang dicirikan dengan komposisi rnakanan berupa tumbuhan yang tinggi, habitat sungai terletak pada sumbu 2 (negatif) yang dicirikan dengan komposisi xnakanan berupa hewan, nilai b dan Mar kondisi. habitat danau terletak di sumbu 1 positii yang dicirikan
dengan nilai koefisien pertumbuhan, indeks kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur. Kondisi ini dapat dip-
bahwa habitat danau kondisi
lingkungannya lebii baii dibandingkan habitat rawa dan sungai yang berpengaruh terhadap pembelanjaan energi yang efisien untuk pertumbuhan somatik dan gonadik sehingga nilai koefisien pertumbuhan dan aspek reprodukasi relatif lebih tinggi dibandingkan habitat lainnya. Kondisi lingkungan dan komposisi jenis makanan secara umum memberikan korelasi positif pada aspek reproduksi dan kondisi fisik (pertumbuhan) ikan betok (Gambar 19), perhitungan korelasi matrik dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) dapat dilihat pada Lampiran 25.
Hal ini terkait dengan kelimpahan makanan dan kondiii li~~gkunganyang merupakan sumber energi potensial, pertumbuhan gonad& maupun sornatik (Fujaya, 2004). Faktor fisik seperti nilai b diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan
(waktu penangkapan), perbedaan umur, persediaan makanan, perkembangan gonad, penyakit dan tekanan parasit (Turkmen et al., 2002). Soumakil (1996) menambahkan, adanya perkdaan nilai b pada ikan, kemungkinan karena
perbedaan tingkat kematangan gonad, musim, clan kesuburan perairan; Perbedaan nilai K, menurut Weatherley (1972) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti makarm, suhu, dan kondisi lingkungan. Selain &tor
lingkungan diduga
kelimpahan rnakanan yang cukup besar berdampak pada pertumbuhannya cepat (Sulistiono et al., 2001);
nilai faktor kondisi ikan dipengaruhi fluktuasi
ketersediaan makanan (kualitas dan kuantitasnya) yang Mulctuasi di sungai clan
ram banjiran (Riberio et al., 2004). Ukuran pert-
kali matang gonad dipengaruhi kelimpahan dan
ketersediaan makanan, suhu, periode cahaya (Photoperiode), dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky, 1963; Mendoza et al., 2005). Fekunditas dipengaruhi oleh &tor lingkungan, antara lain: suhu air, kelimpahan makanan, dan jenis spesies yang berbeda (Ahmet dan
Kara, 2004). Fekunditas yang tinggi pada jenis ikan, diduga merupakan mekanisme dan strategi untuk meningkatkan jurnlah telur serta laju pertumbuhan
larva ikan (Bagenal, 1966). Telur ikan betok berbentuk bulat, traasparan dan
menyebar di permukaan air (Muhammad et al., 2001) sehingga sangat rentan terhadap mortalitas yang diakibatkan kondisi lingkungan perairan dan predator. Survival embrio dan ukuran diameter tehu sangat d i p e n g h oleh kondisi lingkungan, predator, ukuran induk, pengalaman mernijah, dan sifat genetik (Bunn, 2000).
Dari data keselumhan yang diperoleh selama penelitian berkaitan dengan
aspek biologi dapat disimpulkan bahwa, ikan betok rnarnpu tumbuh dan berreprodukasi dengan baik di habitat rawa, sungai, dan danau. Akan tetapi diduga di
danau merupakan habitat paling baii bagi ikan betok untuk tumbuh dan berreprodukasi, karena kondisi lingkungan perairannya dapat dinyatakan lebih baik dibandingkan habitat lainnya. Secara umum, kondisi l i n w a n dan komposisi jenis makanan memberikan korelasi positif pada setiap variabel. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin bagus kondisi lingkungan dan berkualitasnya komposisi jenis makanan, maka proses pertumbuhan dan aspek reproduksi berjalan dengan baik.
V. KESlMPULAN DAN SARAN
5.1, k i m p u l a n lkan betok termasuk ikan omnivora yang cenderung ke kamivora. Makanan utamanya adalah; i n s e w makanan lainnya adalah, ikan, krustase, serasah
(tumbuhan) dan plankton. Pola pertumbuhan ikan betok jantan di habitat rawa adalah isometrik
sedangkan ikan betina alometrik, di sungai dan di danau pola pertumbuhan ikan jantan dm betina adalah: alometrik. Berdasarkan dugaan parameter peltumbuhan Yon BertuZunz diperoleh nilai (K dan L,) di rawa: 0,73 th-' dan 214, 2 mm, sw:
0,66 th
-' dm 204,23 mm, dan danau: 120 th -' dan 200,55 mm. F
h r
konQsi ikan betok di habitat rawa lebih tinggi dibandingkan habitat sungai dan
danau. lkan betok mernijah sepanjang musim jxnghujan dan puncak pemijahannya pada bulan Desember, dengan ukuran pertama kali matang gonad di habitat rawa pada ikan jantan 106-107 mrn d m betina 96-97 mrn, di habitat sun& ikan jantan
109-110 mm dan betina 1 12 mm, di habitat danau ikan jantan 106- 107 mm,d m
betirra 109-110 mm. Fekunditas ikan betok di rawa berkisar antara 7440-47097, di sungai 6.944-48414 d m di danau 6188-44764. Pola pemijahan ikan betok bersifat purtiul .~pwning.
Habitat yang paling baik bagi ikan betok untuk tumbuh dan ber-reproduksi adalah habitat danau. Terdapat keterkaitan (korelasi positif) antara kondisi
lingkungan perairan dengan kebiasaan makanan, pertwnbuhan dan aspek repmduksi ikan betok. 5.2. Saran
1. Dalam r w k a upaya pengelolaan sumberdaya ikan betok, disarankan untuk dilakukan pembatasan penangkapan terutama pada puncak musim
pemijahan (Desember). 2. Perlu kajian yang lebih mendalam dengan pendekatan penelitian eksperimental mengenai pengaruh kuaiitas air terhadap komposisi
makanan aspek-aspek reproduksi tenrtama di habitat rawa
DAFTAR PUSTAKA Agostinho AA, Thomaz SM, Minte-vera CV, Winemiller KO. 2000. Biodiversity in the high Parana rivers floodplain. Pp:89-118. in:Gopal B, Junk WJ, Davis JA (Eds). Biodiversity in wetland:assessment, function and conservation. Volume I. Backhuys Publishers. Laeiden. The Netherland Affandi R, Syafei DS, Rahardjo MI?,Sulistiono. 1992. Fisiologi Ikan. Pencemaan dan Penyerapan Makanan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. 160 hal. Ahmet ALP, Kara C. 2004. Reproductive biology in a Native European catfish, Silurus glanis L., 1758, population in Menzelet Reservoir Turk. J Vet Anim Sci 28: 613-622. Albaret JJ. 1982. Reproduction et fecondite des poissons d'eau douce de C6te d'ivoire. Rev. FIydrobiol. Trop. 15 (4) : 347-37 1. Arner MA, Mura T, Miura C, Yamauchi K. 2001. Involvement of sex steroid hormones in the early stages of spermatogenesis in Japanese Huchen (Hucho penyi). Biolgy of Reproduction 65:105 7-1066. Anonim. 2003. Teknik pembenihan ikan betok (Ambas testudineus Bloch). Jumal Departemen Perikanan. 19-40. Bagenal TR. 1973. Fish fecundity and its relations with stock and recruitment. Mw.164 : 164-198. Rapp. P.4. vun. Cons. perm. int. -lor. Bahri F. 2000. Studi mengenai aspek reproduksi ikan belut sawah (Monopterus albus) di Kecamatan Parung Kab. Bogor Jawa Barat. (Skripsi) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilrnu Kelautan IPB. Bhukaswan T. 1980. Mangement of Asian reservoir fisheries. FAO. Technical Paper. (207): 69 p. Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Ponds and Fish Culture Elsevier. Scientific Publishing. New York Brahmana SS, Syarnsul B. 2002. Pengaruh nitrogen dan fosfat terhadap alga bloom di Waduk Karangkates. Buletin Pusair. XI (18): 23-28. Budiono, Danielle K, Rafidha A. 2005. Keanekaragamn hayati danau dan lahan basah di Daerah Mahakarn Tengah (DMT) Kalirnantan Timur. Indonesia. Yayasan Rasi. 13 hal.
Bunn NA, Fox CJ, Webb T. 2000.A literature review of stuides on fish egg mortality : Implication for the estimation of spawning stock biomass by the annual egg production method. Science series technical report. Lowestoft. 3 7 ~ Chanchal AK, Pandry FIN. 1978. Studies on some aspects of the biology of Anabus testudineus (Teleostei :Anabantidae). Mafsya; 4 : 15-19. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Effendi H. 2000. Telaah Kualitas air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112 hal. Encina L, Granado LC. 1997. Seasonal change in condition nutrition, gonad maturity and energy content in barbel, Barbus sclateri, inhabiting a fluctuating rivers. Environmental Biology of Fishes 50: 75-84 Ewusie JY. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung. 369 hal. Fisher DJ, Kane AS. 2000. Atlas of fathead minnow normal histology. Aquatic Pathobiology Center. University of Maryland. 29 p Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikaa Dasar Perikanan.Rineka Cipta. Jakarta. 179 hal.
Pengembangan
Teknologi
Gunarso W. 1989. Bahan Pengajaran Mikroteknik. Departernen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Harahap TSR, Djamali A. 2005. Pertumbuhan ikan terbang (Hirzmdichthys oxycephaius) di Perairan Binuangeun Banten. Junta1 Iktiologi Indonesia 5(2):49-54. Haryono. 2006. Iktiofauna di Danau Semayang-Melintang kawasan Mahakam Tengah. .KalimantanTimur. Jumal Iktiologi Indonesia. 6(1):75-78. Hoar WS. 1957. Gonad reproduction .Pp; 287-317. in M. Brown (Ed). The physiology of fishes volume I. The Publisher. New York Hukom FD, AffBndi R, Silalahi S, Angelika I. 2006. Fekunditas dan pola perkembangan gonad ikan tajuk emas (Pristipmoides rnultidens, Day 1871) di perairan Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Jwnal Ikhtiologi Indonesia 6 (I): 67- 74.
Isriansyah, Sukarti K. 2007. Efektifitas suplementasi L-Askorbil-2-monofosfat magnesium dalam ransum terhadap proses rematurasi dan kualitas telur ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch). Seminar penelitian Dosen Much Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. Samarinda. Jobling M. 1995. Environmental Biology of Fishes. Fisheries Science. University of Tromama. Norway. Chapman & Hall. 455 p.
Khan M A, Hoda SMS. 1998. Some aspects of reproductive biology of Euryglossa orientalis (Bl. & Schn.) in North Arabian Sea Along the Coast l of Zoology 22 :241-249 of Karachi. Pakistan. Tr. .
Kjesbu OS, Kryui H. 1986. Oogenesis in cod, Gadus morhua L. Studied by light and electro microscop. J Fish Biol34: 735-746 Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi (ikan air tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi ). Periplus Editions- Proyek EMDI. Jakarta .
Krebs C J. 1985. Ecology. The experimental analysis of distriiion and abudance. Third Edition. Harper Collin Publisher. New York 86-88 p. Lagendre L, Lagendre P. 1983. Numerical Ecology. Elsivier Scientific Publishers. London. Lagler KF, Bardach JE, Miller RH, Passino DRM. 1977. Ichtyology. John Wiley. & Sons. Inc Toronto. Canada. Lagler, KF.1972. Fresh Water Fisheries Biology. 2nd Edition. W.M.C. Brown. Company Publisher. Dubuque Iowa. Lam TJ. 1985. Induced spawning in fish. Proceeding for workshop held in Tungkang Marine laboratory. Taiwan. April 22-24. 1985. Reproduction in culture of miIkfish. 14-56. Lizarna MAP,Ambrosio AM. 2002. Condition factor in nine species of fish of the Characidae family in the upper Param River floodplain. Brazil. Braz. J Biol. 62 (1): 113-124. MacKinnon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 1997. The Ecology of Kalirnantan The Ecology of Indonesia Series 3. Oxford University Press: 152.
Maknun, D. 2005. Kualitas Sedimen, Kondisi Redoks, dan Struktur Komunitas Meiofauna di perairan Teluk Jobokuto Jepara. (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana. Insititut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasikan)
Makmur S. 2003. Biologi reproduksi, makanan, dan pertumbuhan ikan gabus (Channa striata Bloch) di daerah banjiran Sungai Musi Sumatera Selatan.
(Tesis). Bogor: Program Pascasarjana. Insititut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasikan). Mayekiso M, Hecht T. 1990.The feeding and reproductive biology of a South African Anabantid fish Sandelia bainsii. Hydrobiol. Trop. 23 (3): 2 19-230 Mendoza PB, Mirquez G, Ugarte S, Noguera R 2005. Reproductive biology of Oreochromis niloticus (Perciformes: Cichlidae) at Erniliano Zapata dam. Morelos. Mexico Rev. Biol. Trop. 53 (3-4): 5 15-522. Minto C, Nolan CP. 2006. Fecundity and maturity of orange roughy (Hoplostethus atlanticus Collett 1889) on the Porcupine Bank. Northeast Atlantic. Environmental Biology of Fishes 77: 39-50 Moyle PB, Cech Joseph Jr. 2004. Fishes: An Introduction to Ichtyology. 5* edition. New Jersey: Prentice-Hall. Inc.
Muhammad, Sanusi H, Ambas I. 2001. Pengaruh donor dan dosis kelenjar hipofisa terhadap ovulasi dan daya tetas telur ikan betok (Anabas testudineus Bloch). J Sci dan Tech. 2 (2) : 14-22. Nagahama Y. 1987. Gonadotrophin action on gametogenesis and steroidogenesis in teleostei gonads. Zoological Science. 4: 209-222. Najamuddin, Achmar M, Budirnawan, Yusran NI. 2004. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan layang deles (Decqterus macrosoma Bleeker). j. Sains & teknologi. 4 (1): 1-8. Nasution SH. 2004. Distribusi dan perkembangan gonad ikan endemik rainbow (Telmatherina boulenger) di W u Towuti Sulawesi selatan. (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana. Insititut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasikan) Nasution SH. 2000. Ikan Hias Air Tawar Rainbow. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta 96 hal. Nikolsky GV. 1969. Theory of Fish Population Dynamics as the Biological Background for Rational Exploitation and Management of Fisheries Resource.Oliver and Boys Publisher United Kingdom London 323p. Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. Academy Press. New York. Noor M. 2007. rawa Lebak. Ekologi, P e d a a t a n , dan Pengembangannya. PT. Raja Grafindo Persacla. Jakarta. 274 hal. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta 448 hal.
Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.
Paugy D. 2002. Reproduction strategies of fishes in a tropical temporary stream of the Upper Senegal Basin. Baoule River in Mali. Aquatic Living Resources. 15: 25-35 Parson TR, Takahashi M, Hargrave B. 1977. Biological Oceaonoghraphy Processes. Pergamon Press. Oxford. New York. Penzcak T et al. 2004. Fish assemblage changes relative to environmental factors and time in the Warta River, Poland, and its oxbow lake. Jumal of Fish Biology 64: 483-501. Penzcak T. 1995. Effects of removal and regeneration of bankside vegetation on fish population dynamics in the Warta river, Poland. Hydrobiologia 303: 207-2 10. Pescod MB. 1973. Investigation of rational effluent and stream standards for Countries ATT. Bangkok. 59 p. Pollnac RB, Malvestuto SP. 1991. Biological and sosio economic conditions for the development and management of riverine fisheries resources o h the Kapuas and Musi rivers, p:24-37. In.. Pollnac RB, Baeiley C, Purnomo A. 1992. Contribution To Fishery Development Policy in Indonesia. The Central Reseacrh Institute for Fisheries. Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of Agriculture. Jakarta Reynolds JD, Jennings S, Dulvy NK. 2001. Life history of fishes and population responses to exploitasi pp: 148-168. Ribeiro F, Crain PK, Moyle PB. 2004. Variation in condition factor and growth in young of years fishes in floodplain and riverine habitats of the Commnes River. California Hjdobiologia 527: 77-84. Rifai SA. 1983. Biologi Perikanan 2. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan Dekdikbud. Samuel, Adjie S, Nasution Z. 2002. Aspek lingkungan dan biologi ikan di danau Arang-Arang Prop. Jambi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (1): 113. Santiapillai C, Suprahaman H. 1984. An ecological study of the riverine habitats in the Way Kambas Game Reserve. WWF, Bogor. Satria S, brtamihardja ES. 2002. Distribusi panjang total dan kebiasaan rnakan yuwana ikan payangka (Ophiocara porocephala). Jumal Penelitian Perikanan Indonesia 8 (1):41-50.
Schrnittou HR. 1991. Cage culture: A method of fish production in Indonesia. Fisheries Research and Development Project. Central Research Institute for Fisheries. Jakarta. pp 52 - 53. Selman K., Wallace A. 1981. Cellular aspect of oocyte growth in teleost. Zoological Sciences. 1 :297-535. Simanjuntak CPH. 2007. Reproduksi ikan selais, Ompok hypophthalmus (BLEEKER) berkaitan dengan perubahan hidromorphologi perairan di rawa banjiran sungai Karnpar Kiri (Tesis). Bogor. Program Pascasarjana. IPB. (tidak dipublikasikan) Sjafei DS, Robiyani. 2001. Kebiasaan makanan dan faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Bkr) di perairan Teluk Labuan Banten Jumal Ikhtiologi Indonesia 1 (2):7-11. Soumokil A. 1996. Telaah beberapa parameter populasi ikan mornar putih (Decapterus russelli) di perairan Kecamatan Amahai. Maluku Tengah dan alternatif pengelolaannya Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perilcanan, penerjemah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perilcanan Sugiono. 2001. Statistik Nonparametrik untuk Peneliti CV. Alfabeta. Bandung. 158 hal. Sulistiono, Arwani R, Azis KA. 2001. Pertumbuhan &an belanak (Mugil dussumieri) di perairan Ujung Pangkah Jawa Timur. Jumal Ikhtiologi liulonesia. 1 (2):39-47. Syachraini, Daniel K, Budiono. 2005. Survei penilaian sosial ekonorni nelayan pada daerah danau-danau dan lahan basah Mahakam Tengah di Kalimantan Timur, Indonesia. Yayasan Rasi 19 hal. Tirnchenko VM. 1994. Ecological hydrology and its applications in Ukraine. Hy&obiological Journal. 30(5):70-79. Trieu NV, Long DN. 2002. Seed production technology of climbing perch (Anabas testudineus):A study on the larval rearing. Institute for aquaculture and fisheries sciences. College of Agriculture. Can the University. 12 p. Turkrnen M, Erdogan 0,Yildirim A, Akyurt I. 2002. Reproductive tactics, age and growth of Capoeta capoeta umbla Heckel 1834 fiom the Aslcale Region of the Karsu rivers. Turkey. Fisheries Research. 54: 317-328.
UNMUL, 2006. Evaluasi sumberdaya perilcanan di danau Jempang, Semayang dan Melintang. 99 hal. Utomo AD. 2002. Pertumbuhan clan biologi reproduksi udang galah (Macrobrachiurn rosenbergii) di sungai Lempuing Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 8(1):15-26. Walks DJ, Li HW, Reeves GH. 2000. Trout. Summer flows and irrigation canals: A study of habitat condition and trout population within A complex system management and ecology of river fisheries. University of Hull. United Kingdom p 1 1 5-126. Wardoyo STH. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. IPB. Bogor. Weatherley LA. 1972. Growth and Ecology of Fish Population Academic Press. Inc. London 293p. Weng JS, Liu KM, Lee SC, Tsai WS. 2005. Reproductive biology of the blue sprat Spratelloides gracilis in the waters around Penghu, Central Taiwan Strait. ZooIogical Studies 44(4):475-486. Welcomme RL. 1985. River fisheries. FAO. Fisheries Technical Paper 262-330p Welcomme RL. 1979. Fisheries ecology of flood plain rivers. Longman. New York. USA. pp 50-53. Wootton RJ. 1992. Fish Ecology. Blackie and Son. Ltd. London. Woynarovich E, Horvath L. 1980. The artificial propagation of warm water finish a manual for ekstention. FAO. Fisheries Technical Paper No. 20 FIR/.20. Y u s h t i , Koeswaming S, ARandi R, Nurhidayat. 2006. Anatomi alat pencemaan ikan buntal pisang (Tetraodon 1-2). Jurnal lktiologi Indonesia. 6 (1): 1 1 21.
Lampiran 1. Foto lokasi penelitian habitat rawa, habitat sungai, dan habitat danau di lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara
Habitat rawa
Habitat sungai
Habitat danau
Lampiran 2. Tingkat kematangan gonad ikan Betina Tingkat I
I1
1 ,
I
I11
I
IV
II
Ikan muda Gonad seperti sepasang benang yang meman.ng pads siii lateral rongga peritoneum bagian depan, berwarna beningdan permukaan licin. Masa Perkembangan Gonad berukuran lebih besar, berwarna putih kekuningan, telur-telur belum bisa dilihat -mtu persatu dengan mata telanjang Dewasa Gonad mengisi hampir setengah rongga peritoneum, telurtelur mulai terlihat dengan rnata telanjang berupa butiran ha& gonad berwarna kunjng kehijauan. Matang Gonad mengisi sebagian besar ruang peritoneum wama menjadi hijau kecoklatan dan lebih gelap. Telur-telur jelas telihat dengan butiran-butiran yang jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat 111.
Jantan
1
I1
Gonad berupa sepasang benang tetapi jauh lebih pendek dibandingkan ovarium ikan betina pada stadium yang sama clan berwarna jernih Gonad berwarna put& susu dan terlihat dibandingkan pada lebih gonad tingkat 1.Gonad mengisi hampir setengah peritoneum, berwama putih -susu dan mengisi sbagiau besar peritoneum. Gonad makin besar clan pejal bemamd putih susu - dan mengisi sebagian besar peritoneum.
Mijah Gonad masih seperti pada Gonad bagian anal telah tingkat IV, sebagian gonad kempes kosong dan lebih lembut. karena sebagian telur telah mengalami 1 oviposisi (rnijah). 1 Sumber :Effendie (1 979)
II I
V
I
1
Lampiran 3. Pembuatan preparat histologi gonad dengan metode mikroteknik (Gunarso, 1989) 1. fiksasi Gonad diambil dan dicuci dengan NaCl fisiologis 0,65%, difiksasi ke dalam larutan bouin (15 cc asam pikrat jenuh
+ 5 cc formalin + 1 cc asarn cuka pekat)
selama 24 jam lalu dicuci dengan alkohol70% sarnpai warm kuning pada gonad hilang. Gonad dapat disirnpan dalam larutan alkohol7W untuk beberapa waktu larnanya sebelum proses dehidrasi.
2. Dehidrasi Organ direndam dalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90%, dan 95%) masingmasing selama 2 jam dm dipindahkan ke dalam allcoho11OW! sebanyak 4
kali masing-masing selama 1 jam. 3. Clearing Organ direndam dalam alkohol 1W !
+ xylol(1: l), kemudian ke dalam xylol I, 11,
dan I11 masing-masing selama 45 menit. 4. Infiltring Organ direndam dalam xylol
+ parafm (1: 1) selama 45 menit pada suhu 60°C
kemudian direndam ke dalam parafin I, 11, clan I11 rnasing-masing selama 45 menit. 5. Embiding Organ direndam ke dalam balok parafin cair pada suhu 60°C sampai parafm mengeras selama 24 jam. 6. Pernotongan
Spesimen dipotong setebal 5 mikron dengan menggunakan rnikrotom, ditempelkan pada gelas obyek yang telah ditetesi ewid, direnggangkan di atas pemanas dan dikeringkan 24 jam pada suhu 45°C. 7. Deparafinisasi Preparat direndam berturut-turut (xylol I, 11, allcohol 100% I, 100% 11, 95%, 90% 85%, 80%, 70%, dan 50%) masing-rnasing 2 menit dan dicuci sarnpai berwarna putih.
8. Pewarnaan
Preparat direndam &lam larutan haernotoxyli selama 2 menit, dicuci dengan air keran mengalir, direndam dalam larutan eosin selama 2 menit dan dicuci kembali dengan air mengalir. 9. Dehidrasi
Preparat direndam bertunrt-turut di dalam alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95% I, 95% II,100% I, dan 100% I1 masing-masing selama 1 menit. 10. Clearing
Preparat direndam ke dalam xylol I dan xylol I1 masing-masing selama 1 menit. 11. Penutupan dengan kaca penutup
Preparat diberi zat perekat canda balsem, ditutup dengan kaca penutup, dikeringkan selarna 10 menit. Preparat diberi label sesuai dengan keperluan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad (testis dan ovarium) yang dapat diamati di bawah rnikroskop setiap saat.
Lampiran 4. Data klimatologi di Kalimantan Timu INFORMAS1 KLlMATOLOGl STASIUN METEOROLOGI BALIKPAPAN TAHUN 2006 1 2007 Tahun 2006
Musim
Musim Barat Peralihan B - T Musim Timur
-
Peralihan T B
.
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des
Curah Penyinaran Kelembaban Hujan (mm) 229,l 375 165,8 385,3 2445 610,2 80,9 93,9 253,6 12 122,l 314,7
Matahari (%) 30,3 45,4 545 38,6 40,3 31,4 55,3 67 63,1 53 42,3 41,2
Udara (%) 86 85 82 87 86 80 84 83 84 81 85 86
Kec. Angin rata-rata (knot) 5 6 5 5 5 6 9 9 8 7 5 5
Tahun 2007 Bulan Jan Feb Mar APr Mei Jun Jul Agst SeP Okt NoP Des
Curah Penyinaran Kelembaban hujan
Matahari
(mm)
(%)
275,7 258 144,2 198,8 250,3 377,9 392,8 198,8 335,8 97,7 88 205,l
36 24 49 34 54 30 32,8 43 56,9 52,9 37,2 29,9
Udara (%) 84 86 84 84 87 88 88 86 84 86 87 87
Kec. Angin rata-rata (knot) 5 5 5 5 4 5 5 6 6 5 5 5
Lampiran 5. Rerata jenis clan jumlah plankton masing-masing habitat lingkungan Danau Melintang No Jenis Plankton A Phytoplankton 1 Chlorophyceae Gonatozygon aculeatum 2
Habitat rawa
Habitat sungai
Habitat danau
-
-
126
63
-
63
-
63
882 7 1.81 0.93 0.18
1134 8 1.92 0.92 0.17
189 126 2268 12 2.26 0.91 0.12
Cyanophyceae Aphanocapsa pulchra
Crysophyceae Nitzschia sp Navicula sp Surirela tenera B Zooplankton 1 Mastigophora Euglena acus Euglena oxyuris Phacus longicauda Phacus undulates 3
2
Rotatoria Brachionus calyciflotus
Crustaceae Acanthocyclops sp Cyclops sp Jumlah Ind. Planktonlliter Jumlah Taksa Jumlah Keanekaragaman(H') Jumlah Keseragaman (E') lndeks Dominan (D') 3
di
-
-
Lampiran 6. Analisis regresi linier tumbuhan air dengan hasil tangkapan di masing-masing habitat selama penelitian Model regresi Hasil tangkapan = - 2,20 + 0,920 tanaman air Coef
SE Coef
T
-2,200 0,9200
6,282 0,108 1
-0,35 8,51
Predictor Constant Tanaman air
P 0,736 0,000
Analisis ragam antara tanaaan air dengan hasil tangkapan Swnber
DF
SS
Regression Residual Error Total
1
7
3 150,s 304,4 3454,9
8
MS 3150,s 43,s
F
P
72,45
0,Ooo
Lampiran 7. Komposisi jenis rnakanan ikan betok (A. testudineus) berdasarkan TKG di masing-masing habitat
Habitat
TKG
Hewan
Tumbuhan
Tidak teridentifikasi
Rawa
I I1 I11 IV V I I1
55,96 64,97 74,8 78,23 56 643
43,Ol 32,34 23,8 21,31 44 333
1,03 2,69 174 0746
Sungai
111 IV
v Danau
I I1 111 IV
v
2
Lampiran 8. Hasil uji t terhadap nilai b hubungan panjang berat ikan di masingrnasing habitat Habitat Rawa Jantan Betina Sungai Jantan Betina Danau Jantan Betina
Nilai b
Db
t hit
t bb (0,05)
Kesimpulan
3,Ol 2,78
126 86
1,33 2,09
1,645 1,645
tn
2,49 2,98
38 38
2,47 4,88
1,645 1,645
2,74 2,87
70 61
4,33 7,75
1,645 1,645
*
** ** ** **
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata, * = beda nyata, ** = sangat berbeda nyata
Lampiran 9. Analisis ragam hubungan panjang total clan bobot ikan betok (A. testudineus)jantan dan betina di habitat rawa 1. Ikan jantan Model regresi Berat Total = - 60,O
+ 0,764 panjang total
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
Constant -60,008 3,202 - 18,74 Panjang Total 0,76371 0,02688 28,4 1 S = 4,62552 R-Sq = 86,5% R-Sq(adj) = 86,4%
0,m 0,000
Analisis ragam antara panjang total versus bobot ikan Sumber
DF
SS
MS
F
P
Regression Residual Error Total
1 126 127
17274 2696 19970
17274 21
807,36
0,000
2. Ikan betina Model regresi Berat Total = - 53,7
+ 0,734 panjang total
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
Constant -53,684 2,907 -18,46 Panjang Total 0,7344 1 0,02320 31,65 S = 4,59888 R-Sq = 92,1% R-Sq(adj) = 92,0%
O,ooo 0,oOo
Aaalisis ragarn antara panjang total versus bobot ikan Sumber
DF
SS
MS
Regression Residual Error Total
1 86 87
21190 1819 23009
21190 21
F 1001,92
P 0,000
Lampiran 10. Analisis ragam hubungan panjang total dan bobot ikan betok (A. testudineus) jantan dan betina di habitat sungai 1. Ikan jantan Model regresi Berat Total = - 61,6 + 0,772 panjang total Predictor
Coef
T
SE Coef
P
O,ooo
Constant -61,575 6,284 -9,80 Panjang Total 0,77215 0,04602 16,78 S = 6,32109 R-Sq = 88,1% R-Sq(adj) = 87,8%
0,000
Analisis ragam antara panjang total versus bobot ikan Sumber
DF
SS
MS
F
P
Regression Residual Error Total
1 38 39
1 1248 1518 12767
11248 40
281,52
0,000
2. Ikan betina Model regresi Berat Total = - 74,4 + 0,874 panjang total
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
Constant -74,448 5,332 -13,96 Panjang Tota 1 0,87360 0,03800 2239 S = 5,42762 R-Sq = 93,3% R-Sq(adj) = 93,1%
0,000 0,000
Analisis ragam antara panjang total versus bobot ikan Sumber
DF
SS
MS
F
Regression Residual Error Total
1 38 39
15570 1 1 19 16690
15570 29
528,55
P
0,000
Lampiran 11. Analisis ragam hubungan panjang total dan bobot ikan betok (A. testudineus) jantan dan betina di habitat danau
1. Ikan jantan Model regresi Berat Total = - 49,6 + 0,670 panjang total Predictor
Coef
SE Coef
P
T
Constant -49,598 2,694 -18,41 Panjang Total 0,67006 0,02226 30,lO S = 2,9291 1 R-Sq = 92,8% R-Sq(adj) = 92,7%
0,000 0,000
Analiiis ragam antara panjang total versus bobot ikan Sumber
DF
SS
MS
F
P
Regression Residual Error Total
1 70 71
7771,5 600,6 8372,l
7771,5 8,6
905,80
0,oOo
2. Ikan betina
Model regresi Berat Total = - 67,8 + 0,842 panjang total Predictor
Coef
SE Coef
P
T
Panjang Total 0,84230 0,02583 32,60 S = 4,14041 R-Sq = 94,6% R-Sq(adj) = 94,5%
0,000
Analisis ragam antara panjang total versus bobot ikan Sumber
DF
Regression Residual Error Total
1 61 62
SS
MS
18224 1046 19269
18224 17
F 1063,04
P 0,000
Lampiran 12. Hasil perhitungan dugaan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan von bertalanfi
Umur
Stasiun pengamatan I (rawa) I1 (sungai) I11 (danau)
Lampiran 13. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan betok (A. testudineus)jantan dan betina berdasarkan selang ukwanpanjang.
Ikanjantan (8)
Habit
Selang ukuran panjang (mm)
Rawa
70-80 2,42*0,22
81-90 1,58*0,04
Sungai
0
0
Danau
1,27*0,11
0,84*0
91-100 1,67*0,13
101-110 1,64*0,08
111-120 1,62*0,13
121-130 1,82*0,23
131-140 1,87*0,27
141-150 1,79*0,22
151-160 1,59*0,09
161-170 0
171-180 0
181-190 0
191-200 0
0
0,86*0,20
1,05*0,45
1,07*0,18
1,00*0,13
1,03*0,08
l,ll*O,OO
1,00*0,12
1,01*0,03
0,94&0
0,85iO
0,68*0,09
0,98&0,04
0,98*0,09
1,05Lt0,05
1,06*0,06
1 ,O1*0,06
0
0
0
0
0,76*0
0,79*0
0,72iO
Habitat
Ikan betina ($2) Rawa
1 1 1 013
0,85&0,01
0,88&0,04
0,91i0,08
1,01*0,07
1,1 l*O,12
1,08*0,14
0,98*0,09
0,97*0,02
0,91*0
0
Sungai
0
0
0,94*0,06
1,11*0,25
0,81*0,07
1,06i=0,10 1,08rt0,08
1,08&0,12
1,12-+0,05 1,03*0,03
0,96*0
0 0,72*0,02
Danau
1,16*0
1,04*0
0,90rt0,03
0,94&0,04
0,95*0,03
1,04*0,07
1,04*0,13
1 ,O1*0,03
0,90*0
0
1 ,O1&0,05
0,96*0,02
0
Lampiran 14. Analisis Chi kuadrat pada nisbah kelamin ikan yang matang gonad (TKG IV) setiap bulan Jumlah (ekor) X2hitung Jantan Betina Rawa Nopember 6 4 0,2 " Desember 11 18 1,689655 Januari 3 19 10.71429* Sungai Nopember 5 7 0,333333" Desember 6 11 1,470588 rn Januari 1 2 0,333333 rn Danau Nopember 7 11 0,888889 rn Desember 14 16 0,133333 rn Januari 2 10 5,333333* Keterangan: Nilai X2h 1 = 3,841 (tn) Nilai X2hitang < X2e l= tidak berbeda nyata (nisbah kelamin seimbang) (*) Nilai X2hituag> X2 = berbeda nyata (nisbah kelamin tidak seimbang)
Habitat
Bulan
Lampiran 15. Indeks kematangan gonad berdasarkan tingkat kematangan gonad di rnasing-rnasinghabitat
Jenis TKG Kelarnin Jantan
Betina
Habitat rawa
IKG (%) Habitat sungai
Habitat danau
I
Kisaran 0,19-0,40
Rataan f SD 0,30 f 0,06
Kisaran 0,14-0,47
Rataan A SD 0,30 i 0,ll
0,21-0,39
Rataan k SD 0,28 A 0,06
V
0,25-0,43
0,32 A 0,07
0,23-0,47
0,35 It 0,17
0,43
0,43 f 0
I
0,30-0,97
0,57 k 0,21
0,60-0,67
0,64 It 0,OS
0,3 1-0,48
0,37 A 0,07
Kisaran
Lampiran 16. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan betok (A. testudineus)jantan habitat rawa Kelas (mm) 70-80
Tengah Log. Kelas T. kelas 75 1,87506
Total
Juml ikan 2
Pi (%) 0
Matang 0
X
3.535 146
128
pi*qilni1 0
qi 1
0.41 498 5.464854
M
0.024702
2,028895 106,8796 0,004254 0,1278 106,752 107,007
Var Mm Max
Lampiran 17. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertam kali matang gonad ikan betok (A. testudineus) betina habitat rawa Kelas 70-80
ela as 75
Log. T. kiias 1,87506
190-200 Total rata-rata
195
2,29004
Tengah
Juml ikan MG 4 0
1
1
X
Pi (%) 0
1 8,585714
M V Min Max
pi*qilni-l
q~
1
0
0,02287 0 0 0,41498 4,414286 0,288899 0,034582 1,9836 96,298 0,0497 0,437 95,86 96,74
Lampiran 18. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertarna kali matang gonad ikan betok (A. testudineus)jantan habitat sungai Tengah Kelas
Log. T. kelas
Juml
100-110
105
2,02119
180-190 190-200
185 195
Kelas
Total
ikan 3
MG 1
Pi (%) 0,333333
2,26717 2,29004
1 I
1 1
1 1
2,199583
40
31
8,433333
ratada M V Min Max
X
qi
pi*qi/ni-1
0,666667
0,111111
0,02414 0,02287
0 0
0 0
0,26885
1,566667
0,187778
0,05377 2,040333 0,013573
109,73 0,228 109,503 109,996
Lampiran 19. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertarna kali matang gonad ikan betok (A. testudineus) b e t h habitat sungai Tengah Kelas
Log. T. kelas
Juml
Kelas
190-200
195
2,29004
2
Total
ikan
40
MG Pi(%)
2
X
qi
pi*qi/ni-l
1
0,02287
0
0
8
0,3 1232
3
0
0,03 1232
rata-rata
M Min
2,051405
112,365 112,365
Lampiran 20. Distribusi panjang total clan perhitungan ukuran pertarna kali matang gonad ikan betok (A. estudineus)jantan habitat danau Kelas 70-80
Tengah Kelas 75
Log. T. kelas 1,87506
Juml ikan 2
MG 0
Pi (%)
X
0
Rata-rata
M Var Min Max
0,063843 2,028799 0,007213
qi 1
pi*qi/ni-1 0
106,84 0,167 106,67 107,007
Lampiran 21. Distribusi panjang total dan perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan betok (A. testudineus)betina habitat danau Kelas 70-80
170-180 Total Rata-rata
Tengah
Loa. T.
Juml ikan
MG
75
1,87506
1
0
1735
2,24303
1
I
K ~ Lk2as
Pi (96) 0
I 7,033333 M Var Min Max
X
91 1
0,02555 0 0,36797 3,966667 0,036797 2,0401 109,67 0,018204 0,264 109,4 1 109,93
pi*qi/ni-1 0
0
0,134444
Lampiran 22. Hasil perhitungan fekunditas ikan betok (A. testudineus) di masing-masing habitat
No
Habitat rawa Panjang (-)
I
104
Habitat sungai
Fekunditas (butir)
Panjang
7520
120
(mm)
Fekunditas (butir) 19902
Habitat danau Panjang
(-1 109
Fekunditas (butir) 6188
Lampiran 23. Analisis Regresi :Fekunditas dengan berat gonad, bobot dan panjang total ikan betok (A. testudineus) habitat rawa
Model regresi (I) Fekunditas = - 30 + 6321 berat gonad Predictor Coef Constant -29,8 Berat Gonad 6320,55
SE Coef 246,9 82,73
T P -O,12 0,905 76,40 0,000
Analisis ragam fekunditas; berat gonad Sumber DF Regression 1 Residual Error 39 Total 40
SS MS F P 3111825337 3111825337 5836,59 0,000 20260014 533158 3132085351
Model regresi (I) Fekunditas = - 3849 + 461 bobot ikan Predictor Coef Coostant -3849 Berat Total 461,41
SE Coef 2982 63,79
T -1,29 7,23
P 0,205 0,000
Analisis ragam fekunditas, bobot ikan
Sumber Regression Residual Error Total
DF SS MS F 1 1814261981 1814261981 52,32 38 1317823370 34679562 39 3132085351
P 0,000
Model regresi (I) Fekunditas = 30760 + 3563 panjang total
-
Predictor
Coef -30760 Panjang Total 3562,6 Constant
SE Coef 6922
T -444
P 0,m
Lanjutan lampiran 23.Analisis ragam fekunditas; panjang total Sumber Regression Residual Error Total
DF
SS 1 1 74493171 3 38 1387153638 39 3 132085351
F P 47,80 0,000
MS 1744931713 36504043
Lampiran 24. Analisis Regresi: Fekunditas dengan berat gonad, berat total dan panjang total ikan betok (A. testudineus) habitat sungai "
Fekunditas = - 37il+ 8076 Berat Gonad Predictor Coef Constant -3751 Berat Gonad 8076,O
SE Coef 2482 794,l
P 0,149 0,000
T -1,51 10,17
Analisis ragam fekunditas; berat gonad Sumber DF Regression 1 ~GidualError 17 Total 18
SS MS 1807933243 1807933243 2971 58424 17479907 2105091667
F 103.43
Model regresi (11) Fekunditas = - 1181 + 403 bobot ikan Predictor Constant Berat Total
Coef -1 181 403,O
SE Coef 6458 1 19,7
T -0,18 3,37
P 0,857 0,004
A d i s i s ragam fekunditas, bobot ikan
Sumber DF SS MS Regression 1 842431053 842431053 Residual Error 17 1262660614 742741 54 Total 18 2105091667
F 1 1.34
P 0.004
P 0.000
Lanjutan lampiran 24. Model regresi (11) Fekunditas = - 4 1812 + 430 panjang total Predictor Coef Constant -41812 Panjang Total 430,4
SE Coef 18200 126,9
T P -2,30 0,035 3,39 0,003
M i s ragam fekunditas; panjang total Sumber Regression Residual Error Total
DF 1 17 18
SS MS F 849134899 849134899 11,49 1255956768 73879810 2105091667
P 0,003
Lampiran 25. Analisis Regresi: Fekunditas dengan berat gonad, bobot ikan dan panjang total ikan betok (A. testdineus) habitat danau Model regresi (111) Fekunditas = 465 + 6152 berat gonad Predictor Constant
Sumber Regression Residual Error Total
Coef 464,7
SE Coef 334,l
DF SS 1 3522654965 34 31075041 35 3553730006
T 1,39
P 0,173
MS F 3522654965 3854,23 913972
Model regresi (111) Fekunditas = - 4226 + 513 bobot ikan Predictor Constant Berat Total
Coef -4226 5 13,42
SE Coef 2687
T -1.57
P 0.125
P 0,000
Lanjutan Lampiran 25. Analisis ragam fekunditas; bobot ikan Sumber DF SS MS F P 1 25 16192791 25 16192791 82,46 0,000 Regression Residual Error 34 1037537215 305 15800 Total 35 3553730006 Model regresi (111) Fekunditas = - 46961 + 490 panjang total Predictor Coef Constant -4696 1 Panjang Total 490,26
SE Coef
T
P
7448 55,17
-6,31
0,000
Analisis ragarn fekunditas; panjang total Sumber Regression Residual Error Total
DF 1 34 35
SS
MS
F
2484029495 2484029495 78,95 10697005 11 31461780 3553730006
P 0,000
Lampiran 26. Hasil analisis komponen utarna (PCA) antara habitat pengamatan dengan karakteristik habitat dan aspek biologi ikan betok (A. testudineus) A. Nilai rata-rata fisika, kimia, dan biologi Air. Habitat Suhu Raws Sungai Danau
29,97 29,oi 29,03
Kedalaman Kekeruhan 034 3,15 2,67
53,67 106,67 99,33
pH 5,76 6,38 6,58
Oksigen Tumbuhan Indeks Indeks terlarut Alkalinitas Nitrat Phospat air keanekaragarnan dominansi 2,07 4,08 3,48
B. Akar ciri dan persentase varians (ragam) pada sumbu Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative 1 9,295694 2 1,704306
84,50630 9,29569 15,49370 11,00000
84,5063 100,0000
C. Korelasi habitat pengamatan dengan sumbu Factor 1 Factor 2 1 3,51950 0,03678 2 -1,83415 1,28671 3 -1,68535 -1,32349
8,28 15,17 15,23
0,02
3 I,Q?
0,02 O,O2 o,o2
78,33 30 55
1,81 1,92 2,26
0,18 0,17 0,12
D. Korelasi matrik antar variabel (kualitas air) S
ked
1,000000 -0,983852 ked -0,983852 1,000000 kek -0,993965 0,997549 DHL -0,999936 0,985818 pH -0,967838 0,907182 OT -0,961942 0,995317 ALK -0,999669 0,978920 N -0,946373 0,988916 TA 0,865166 -0,940952 H -0,675779 0,532939 ID 0,614337 -0,463193 S
kek
DHL
PH
OT
ALK
-0,993965 -0,999936 -0,967838 -0,961942 -0,999669 0,997549 0,985818 0,907182 0,995317 0,978920 1,000000 0,995144 0,934398 0,986113 0,990812 0,995144 1,000000 0,964924 0,964979 0,999313 0,934398 0,964924 1,000000 0,862261 0,973992 0,986113 0,964979 0,862261 1,000000 0,954591 0,990812 0,999313 0,973992 0,954591 1,000000 0,976103 0,949975 0,834657 0,998638 0,937745 -0,914958 -0,870795 -0,711179 -0,969272 -0,851973 0,590839 0,667379 0,839481 0,448645 0,694525 -0,524070 -0,605352 -0,793082 -0,375349 -0,634440
N -0,946373 0,988916 0,976103 0,949975 0,834657 0,998638 0,937745 1,000000 -0,980788 0,401398 -0,326470
TA
H
0,865166 -0,675779 -0,940952 0,532939 -0,914958 0,590839 -0,870795 0,667379 -0,711179 0,839481 -0,969272 0,448645 -0,851973 0,694525 -0,980788 0,401398 1,000000 -0,215013 -0,215013 1,000000 0,135809 -0,996764
ID
0,614337 -0,463193 -0,524070 -0,605352 -0,793082 -0,375349 -0,634440 -0,326470 0,135809 -0,996764 1,000000
E. Korelasi variabel dengan surnbu Factor 1 S
ked
kek DHL pH OT ALK N TA H ID
Factor 2
0,999981 0,006174 -0,984939 0,172904 -0,994623 0,103563 -0,999987 0,005163 -0,966266 -0,963611 -0,999491 -0,948350 0,868245 -0,671215
-0,257546 0,267307 -0,031908 0,317227 -0,496135 -0,741263 0,609454 0,792822
A. Nilai rata-rata beberapa parameter aspek biologi ikan betok (A. testudineus)
I I
Habitat IKL Rawa Sungai Danau
24 27 32
K e b h
mm Nilai b
Hewan
tumbuhan
69,88 78,51 83,Ol
28,93 20,98 16,25
2,7793 2,9783 2,8702
FK
K
IKG
Fekunditas
UMG
Diameter telur
1,02 1,06 1,OO
0,73 0,66 1,3
6924 634 7,o
13275 16445 16644
96 112 110
602 590 612
B. Akar ciri dan persentase varians (ragam) pada surnbu Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative
1 6,395049 2 3,604951
63,95049 6,39505 36,04951 10,00000
63,9505 100,0000
C. Korelasi habitat pengamatan dengan sumbu Factor I Factor 2
1 -2,56404 1,06902 2 -0,00187 -2,13569 3 2,56591 1,06668
D. Korelasi matrik antar variabel (biologi ikan) IKL
Hewan Tumbuhan
IKL 1,000000 0,948290 Hewan 0,948290 1,000000 T ~ b u h a n -0,958551 -0,999420 Nilai b 0,324413 0,607877
Nilai b
FK
K
IKG
Fekunditas
UMG
Diameter telur
-0,958551 0,324413 0,558957 0,886040 0,966678 0,817186 0,709571
0,576557
-0,999420 0,607877 -0,153221 0,694471 0,835437 0,957874 0,896534
0,287403
1,000000 -0,580478 0,186793 -0,718576 -0,853672 -0,947536 -0,880925
-0,319862
-0,580478 1,000000 0,691515 -0,149169 0,071455 0,810306 0,896718
-0,585825
FK
0,558957 -0,153221 0,186793 0,691515 1,000000 -0,817433 -0,671103 0,137031 0,300376
-0,990536
K
0,886940 0,694471 -0,718576 -0,149169 -0,817433 1,000000 0,975625 0,458577 0,303887
0,888757
IKG
0,966678 0,835437 -0,853672 0,071455 -0,671103 0,975625 1,000000 0,642409 0,505545
0,766506
Fekunditas
0,817186 0,957874 -0,947536 0.810306 0,137031 0,458577 0,642409 1,000000 0,985984
0,000224
UMG
0,709571 0,896534 -0,880925 0,896718 0,300376 0,303887 0,505545 0,985984 1,000000
-0,166618
Diameter telur 0,576557 0,287403 -0,319862 -0,585825 -0,990536 0,888757 0,766508 0,000224 -0,166618
1,000000
E. Korelasi variabel dengan surnbu Factor 1 Factor 2
IKL Hewan Tumbuhan Nilai b FK K IKG Fekunditas
0,993481 0,978291 -0,984783 0,430131
0,113998 -0,207234 0,173791 -0,902767
-0,354682 -0,934987 0,828504 0,559984 0,931194 0,364525 0,877565 -0,479458
UMG 0,785272 -0,619150 Diameter telur 0,479655 0.877457