PRODUKTIVITAS RUMPUT LAPANG DAN PALATABILITAS KULIT PISANG NANGKA (Musa paradisiaca L) UNTUK PAKAN TAMBAHAN PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DI PENANGKARAN
SUNARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produktivitas Rumput Lapang dan Palatabilitas Kulit Pisang Nangka (Musa paradisiaca L) untuk Pakan Tambahan pada Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Penangkaran, adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain baik yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada bagian daftar pustaka dari tesis ini.
Bogor, Mei 2006
Sunarno NRP: E 051040235
ABSTRACT SUNARNO. Grass Productivity and Nangka Banana's Peels (Musa paradisiaca L) Palatability as Additional Feed for Timor Deers (Cervus timorensis de Blainville) in Captivity. Under the Supervision of MACHMUD THOHARI and LIN NURIAH GINOGA. Feed is the most important factors which determines the success of the captive deer management. The availability of forage is important for deer in captivity. For ensuring the stock of grass, it should be calculated the grass productivity and the carrying capacity. In captive, The productivity of forage is important to support the daily need of deers. On the other side the availability of concentrate feed which is palatable is important to support the protein reguirement of timor deers. The objective of the research is to measure productivity of grass and the carrying capacity of the site and to know the palatability of banana peels as additional feed for timor deer. Five grass species were consumed by the deers in captive site as follows: Axonophus compresus (0,87), Imperata cylindrica (0,79), Andropogon acicularus (0,71), Cynodon dactylon (0,62) and Cyperus rotundus (0,29). According to the palatability level, the grass productivity during rainy seasons is 111,10 kg/ha/day and 55,50 kg/ha/day during dry seasons. The carrying capacity during rainy seasons is 21,3 deers/ha and 10,6 deers/ha in the dry seasons. It means that there were insufficient of food in both seasons. So that it is necesary to supply additional feed. A randomized block design was implemented for this experiment. The statistical analisys shows that giving additional feed with banana peels ingredient through F test gives significant affect (P<0,05) againts its palatability index. Additional feed with banana peels ingredient has higher palatability index (T1, T2, T3) compared to additional feed without banana peels ingridient (T0) with significant differences (P>0,05). However, the palatability index is decreasing as the use of banana peels ingridient increased (T2 and T3).
ABSTRAK SUNARNO. Produktivitas Rumput Lapang dan Palatabilitas Kulit Pisang Nangka (Musa paradisiaca L) untuk Pakan Tambahan pada Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Penangkaran. Dibimbing oleh MACHMUD THOHARI and LIN NURIAH GINOGA. Pakan merupkan faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan dalam pengelolaan penangkaran rusa. Ketersediaan hijauan sangat penting bagi rusa di penangkaran. Untuk mengetahui ketersediaan pakan hijauan atau rumput maka perlu dihitung produktivitas rumput dan daya dukungnya. Di penangkaran, produktivitas hijauan sangat penting, untuk memenuhi kebutuhan pakan harian. Di lain pihak penggunaan pakan konsentrat penting untuk mendukung kebutuhan protein pada rusa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat produktivitas rumput dan daya dukungg lahan penggembalaan dan mengetahui palatabilitas kulit pisang nangka sebagai pakan tambahan pada rusa timor. Lima spesies rumput yang dimakan rusa di penangkaran adalah sebagai berikut: Axonophus compresus (0,87), Imperata cylindrica (0,79), Andropogon acicularus (0,71), Cynodon dactylon (0,62) and Cyperus rotundus (0,29). Dengan memperhatikan tingkat palatabilitas rumput, produktivitas rumput selama musim hujan adalah 111,10 kg/ha/hari dan selama musim kemarau adalah 55,50 kg/ha/hari. Daya dukung selama musim hujan adalah 21,3 ekor/ha dan selama musim kemarau adalah 10,6 ekor/ha. Ini berarti terjadi kekurangan ketersediaan pakan pada kedua musim. Oleh karena itu perlu pemberian pakan tambahan. Hasil analisis statistik dari uji coba pemberian pakan tambahan dengan campuran kulit pisang, melalui uji F dengan Rancangan Acak Kelompok, menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap indeks palatabilitasnya. Pakan tambahan dengan campuran kulit pisang (T1, T2, T3) indeks palatabilitasnya lebih tinggi dibanding pakan tambahan tanpa kulit pisang (T0) dengan perbedaan yang nyata (P<0,05). Namun terjadi penurunan indeks palatabilitas sejalan dengan peningkatan penggunaan kulit pisang sebagai campuran pakan tambahan (pada T2 dan T3).
© Hak cipta milik S u n a r n o, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotocopy , mikrofilm dan sebagainya.
PRODUKTIVITAS RUMPUT LAPANG DAN PALATABILITAS KULIT PISANG NANGKA (Musa paradisiaca L) UNTUK PAKAN TAMBAHAN PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DI PENANGKARAN
SUNARNO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Produktivitas Rumput Lapang dan Palatabilitas Kulit Pisang Nangka (Musa paradisiaca L) untuk Pakan Tambahan pada Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Penangkaran
Nama
: Sunarno
NRP
: E 051040235
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sub Program Studi
: Konservasi Biodiversitas
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Ketua
Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc. F
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 10 Mei 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian
dan penulisan tesis ini dengan judul “Produktivitas Rumput Lapang Palatabilitas Kulit Pisang Tambahan
dan
Nangka (Musa paradisiaca L) untuk Pakan
pada Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di
Penangkaran”. Penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada yang
terhormat Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA, selaku ketua
komisi
pemb imbing dan yang terhormat Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga M.Si, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing dan selalu memberi dorongan serta masukan kepada penulis mulai dari pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada
Bapak
Dr. Ir.Yanto Santosa, DEA. Selaku Ketua Sub
Program Studi, Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta yang telah memberi kesempatan dan membiayai penulis dalam menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kepala Pusat Pengembangan Penataran Guru Pertanian yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Khusus untuk ayah (almarhum), ibu, istri dan anak-anak tercinta serta seluruh keluarga, ucapan terima kasih penulis sampaikan atas dorongan dan doa restunya. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batang, Jawa Tengah pada tanggal 07 Oktober 1963. Merupakan anak ke 6 dari 7 bersaudara, dari ayah Soeparman (Almarhum) dan Ibu Rochati Fatimah. Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Batang. Pada tahun 1983 penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro dan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada tahun 1988. Sejak tahun 1989 hingga tahun 1998 penulis bekerja di Industri Pakan Ternak, PT. Buana Superior Feedmill. Pada tahun 1998 sampai tahun 2001 penulis sempat berwiraswasta di bidang perikanan, budidaya ikan dengan sistim Jaring Apung di Bendungan Cirata Cianjur. Sejak tahun 2001 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Pusat Pengembangan Penataran Guru PertanianCianjur Departemen Pendidikan Nasional, sebagai Instruktor di bidang Peternakan. Pada tahun 2004, penulis mendapat bea siswa dari Departemen Pendidikan Nasional
untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Sub Program Studi
Konservasi Biodiversitas, Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Emi Sri Wandaning Astuti, pada tahun 1991 dan dikaruniai
tiga
orang
anak,
yaitu
Adhitama
Narastyawan dan Anggoro Rizky Narastyawan
Narastyawan,
Mahardhika
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang....................................................................................... Perumusan Masalah............................................................................... Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................. Tujuan ................................................................................................... Manfaat.................................................................................................. Hipotesis................................................................................................
1 3 4 6 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Bio-Ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis) Sistematika.................................................................................... Morfologi...................................................................................... Daerah Penyebaran....................................................................... Habitat.......................................................................................... Perilaku......................................................................................... Penangkaran Rusa Timor Landasan Kebijakan...................................................................... Perijinan........................................................................................ Teknis Penangkaran...................................................................... Palatabilitas Pakan ................................................................................. Produktivitas Hijauan dan Daya Dukung............................................... Produktivitas Hijauan................................................................... Daya Dukung................................................................................
7 7 8 9 10 11 12 13 28 29 29 30
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat PPPG Pertanian Cianjur............................................... Letak Geografis...................................................................................... Sejarah Singkat Lokasi Penangkaran..................................................... Keadaan Penangkaran Rusa...................................................................
32 33 33 33
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat................................................................................. Alat dan Bahan....................................................................................... Data yang Diukur................................................................................... Prosedur Pengumpulan Data.................................................................. Analisis Data..........................................................................................
35 35 35 37 43
HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Rumput-Rumputan...........................................
45
Palatabilitas Rumput.............................................................................. Produktivitas Rumput............................................................................ Daya Dukung Lahan Penggembalaan.................................................... Kandungan Nutrisi Rumput................................................................... Palatabilitas Pakan Tambahan................................................................ Pengelolaan Pakan Tambahan............................................................... Kandungan Nutrisi Pakan Tambahan....................................................
47 48 51 53 53 57 58
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan............................................................................................ 60 Saran....................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
62
LAMPIRAN.................................................................................................
65
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Daerah penyebaran rusa timor (Cervus timorensis) di Indonesia........
9
2.
Kandungan nutrisi dedak padi .............................................................
21
3.
Kandungan nutrisi berbagai jenis kulit pisang mentah dan masak, hasil analisis proksimat (% bahan kering)............................................
22
4.
Kandungan nutrisi umbi ubi jalar dan singkong ............…………….
25
5.
Jenis-jenis pohon yang tumbuh di lokasi penangkaran ......................
34
6.
Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian 37
7.
Komposisi pakan tambahan pada setiap perlakuan (% bahan kering)................................................................................................... 40
8.
Penempatan perlakuan (T) dan kelompok waktu pengamatan (K) dalam percobaan...................................................................................
40
Jenis rumput dan leguminosa yang ditemukan di lokasi penelitian...............................................................................................
45
10. Jenis rumput dan leguminosa yang ditemukan di lokasi penelitian serta indeks palatabilitasnya (IP).......................................................
47
11. Rata-rata produktivitas rumput pada setiap petak contoh di lokasi penelitian (bahan segar).................................. .....................................
49
9.
12
Kandungan nutrisi beberapa jenis rumput yang tumbuh di lokasi penelitian...............................................................................................
53
13. Rata-rata jumlah pakan tambahan dari setiap perlakuan yang dikonsumsi rusa per hari (kg bahan kering )........................................
54
14. Indeks palatabilitas pakan tambahan dari setiap perlakuan pada rusa........................................................................................................
55
15. Hasil uji LSD indeks palatabilitas pakan tambahan.............................
56
16. Perbandingan antara kebutuhan pakan tambahan dan konsumsi pakan tambahan dari keempat perlakuan yang dicobakan...................
58
17
Perhitungan konsumsi pakan tambahan dan kebutuhan pakan tambahan per tahun (kg bahan kering) ...............................................
58
18
Hasil perhitungan kandungan nutrisi pakan tambahan yang digunakan dalam penelitian..................................................................
59
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Kerangka pemikiran penelitian.……………………………...............
5
2.
Prosedur perijinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988.....................
13
3. Kulit pisang nangka mentah (limbah dari pabrik keripik pisang) yang digunakan sebagai salah satu bahan pakan dalam penelitian...... petak contoh pemanenan rumput pada lahan penggembalaan.....................................................................................
36
4. Distribusi
5. Petak contoh dipagar, supaya rumput tidak diganggu/dimakan rusa
38
selama pengukuran produktivitas.........................................................
39
6. Bahan pakan tambahan sebelum dicacah.............................................
41
7. Bahan pakan tambahan setelah dicacah...............................................
41
8
Bahan-bahan pakan tambahan setelah dicampur.................................
42
9
Tempat pakan tambahan yang dilengkapi dengan papan bersilang agar pakan tidak mudah ditumpah oleh rusa........................................
42
10 Suasana rusa mengkonsumsi pakan tambahan..................................... 43 11 Diagram batang jumlah pakan tambahan dari setiap perlakuan yang dikonsumsi rusa per hari untuk 15 ekor (kg bahan kering)... ..............
54
12 Grafik indeks palatabilitas (IP) pakan tambahan dari setiap perlakuan pada rusa..............................................................................
55
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Denah lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian Cianjur...................
65
2.
Surat hasil analisis proksimat bahan pakan tambahan dan rumput......
66
3.
Data palatabilitas rumput pada 20 petak contoh ...............................
68
4.
Data produktivitas rumput ..................................................................
70
5.
Konsumsi pakan tambahan (kg bahan kering)...................................
74
6.
Indeks palatabilitas pakan tambahan (Nilai 0-1)..................................
75
7.
Analisis statistik indeks palatabilitas pakan tambahan .......................
76
8.
Perhitungan kandungan nutrisi pakan perlakuan ................................
89
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang dimiliki bangsa Indonesia pada hakekatnya mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai modal dasar bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu keberadaannya
harus dikelola dengan baik serta dimanfaatkan secara lestari
demi kesejahteraan bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa mendatang. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
merupakan satu kesatuan
sistem kehidupan yang saling tergantung dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sehingga terjadinya kerusakan atau kepunahan pada salah satu komponen akan berakibat terganggunya ekosistem secara keseluruhan. Untuk menjaga sumberdaya alam hayati dan ekosis temnya dari kerusakan
dan agar dapat
dimanfaatkan secara lestari, maka diperlukan upaya-upaya konservasi melalui tiga kegiatan yaitu (1) perlindungan
sistem penyangga kehidupan (2) pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Thohari, 2005) Kegiatan konservasi, dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui dua program, yaitu konservasi in situ, merupakan dilaksanakan di habitatnya
kegiatan konservasi yang
dan konservasi ex situ, merupakan kegiatan
konservasi yang dilaksanakan di luar habitatnya. Salah satu bentuk konservasi ex situ adalah penangkaran. Penangkaran menjadi sangat penting karena memiliki dua fungsi utama, yaitu (1) fungsi ekologis (perlindungan dan pengawetan jenis dan plasma nutfah
dalam menunjang peningkatan populasi alami melalui
pemulihan populasi /restocking hasil pembiakan), (2) fungsi sosio ekonomi dan sosio budaya (pemanfaatan bagi kesejahteraan umat manusia) (Thohari, 2005). Rusa
timor
(Cervus
timorensis),
merupakan
salah
satu
dari
keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia, yang kondisinya di alam mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat kegiatan manusia, baik dalam bentuk perburua n liar maupun pengrusakan habitat. Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan satwa liar yang daya adaptasinya sangat tinggi, mudah
2
dalam hal reproduksi serta mudah dalam penyediaan pakannya. Namun karena di alam
terjadi pemanfaatan yang berlebihan, sehingga
dikhawatirkan terjadi
kepunahan, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, rusa timor termasuk salah satu jenis satwa liar yang dilindungi. Di sisi lain, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkat pula tuntutan kebutuhan penduduk yang salah satunya adalah kebutuhan protein hewani. Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam hayati, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 404 / Kpts / DT. 210 / 6 / 2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwa liar yang potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak. Pemanfaatan yang dapat dikembangkan adalah
sebagai obyek rekreasi,
karkas/dagingnya sebagai sumber protein
hewani, ranggah keras sebagai barang hiasan, ranggah muda/velvet sebagai bahan obat-obatan dan kulitnya sebagai bahan baku industri kerajinan. Dalam rangka pengembangan pemanfaatan dan mencegah rusa timor dari kepunahan, maka dapat dilakukan dengan cara “penangkaran”. Penangkaran merupakan upaya populasinya
pengembangbiakan yang bertujuan untuk memperbanyak
dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya, sehingga
kelestarian populasi di alam dapat dipertahankan (Thohari, 1987). Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian adalah Instansi di bawah Departemen Pend idikan Nasional yang bertugas dalam bidang peningkatan kualitas sumberdaya manusia bagi guru SMK Pertanian khususnya dan masyarakat luas pada umumnya melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Dalam rangka pengembangan materi diklat dan sebagai bentuk PPPG Pertanian dalam upaya
pelestarian
pemanfaatannya, maka salah satu
langkah
rusa timor serta
peranserta
pengembangan
yang telah dilakukan dan tengah
dikembangkan adalah kegiatan usaha penangkaran. Keberhasilan usaha penangkaran rusa salah satunya ditentukan oleh faktor pakan. Rusa termasuk golongan satwa ruminansia dengan pakan utama berupa hijauan/rumput,
oleh karena itu ketersediaan rumput dalam suatu usaha
penangkaran menjadi sangat penting. Penangkaran rusa dengan sistem pedok, kebutuha n rumput sebagai pakan utama disediakan dalam bentuk lahan penggembalaan dan rusa dibiarkan merumput sepanjang waktu.
3
Perumusan Masalah Permasalahan yang sering dihadapi dalam usaha penangkaran rusa adalah ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitasnya. Agar kegiatan usaha penangkaran dapat berjalan dengan efisien maka faktor pakan harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Berkaitan dengan ketersediaan pakan, maka rumput sebagai pakan utama
yang tumbuh di lahan penggembalaan perlu
diketahui tingkat produktivitasnya. Dengan mengetahui tingkat produktivitasnya maka dapat diketahui jumlah pakan hijauan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan pakan rusa yang ditangkarkan. Sebagaimana umumnya rumput di daerah tropis, rumput liar yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan memiliki tingkat produktivitas dan kandungan nutrisi yang rendah. Rendahnya produktivitas menyebabkan adanya keterbatasan dalam penyediaan pakan. Untuk menanggulangi kekurangan pakan tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian pakan tambahan. pakan tambahan
Beberapa jenis bahan
antara lain umbi- umbian, sayur-sayuran, limbah industri dan
limbah pertanian. Pemberian pakan tambahan hanya memperhatikan jumlah dan kandungan nutrisi saja belum cukup, tetapi juga perlu memperhatikan faktor palatabilitasnya. Palatabilitas merupakan aspek makan yang lebih menentukan dari pada nilai gizinya (McIlroy, 1964). Pemberian pakan tambahan hendaknya memanfaatkan keanekaragaman bahan pakan yang terdapat di lingkungan sekitar, sesuai dengan potensi wilayah masing- masing ditempat usaha penangkaran rusa dijalankan. Pemanfaatan bahan pakan tersebut merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap pakan hijauan yang tidak kontinyu sepanjang tahun sebagai akibat keterbatasan dalam tingkat produktivitasnya. Oleh karena itu tambahan harus
memperhatikan
penggunaan bahan pakan
pada beberapa pertimbangan
antara lain
palatabilitas, mudah dalam memperolehnya, harga relatif murah, tersedia dalam jumlah yang cukup secara kontinyu sepanjang tahun serta nilai gizinya. Selama ini di lahan penggembalaan usaha penangkaran rusa milik PPPG Pertanian-Cianjur belum pernah dilakukan penghitungan produktivitas, sehingga belum dapat diketahui daya dukungnya. Pakan tambahan yang diberikan berupa dedak dengan campuran ubi kayu dan atau ubi jalar dengan komposisi yang
4
tidak
standar,
sehingga
cenderung menyebabkan biaya pakan yang relatif
tinggi. Sementara itu di daerah sekitar PPPG Pertanian banyak terdapat limbah industri pertanian, yang cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan rusa. Salah satu jenis limbah
industri pertanian tersebut adalah kulit pisang
nangka (limbah dari perusahaan keripik pisang). Selama ini kulit pisang nangka tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya dibuang begitu saja. Dari kandungan nutrisinya kulit pisang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif. Namun pemanfaatan kulit pisang sebagai pakan memiliki kendala karena adanya zat tanin yang dapat mengurangi palatabilitasnya. Kerangka Pemikiran Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha penangkaran. Mengingat bervariasinya jenis serta tingkat produktivitas rumput (sebagai pakan utama) yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan, sebagai sumber pakan utama, hijauan yang tumbuh
maka
di lahan penggembalaan
perlu diketahui produktivitas serta daya dukungnya. Dengan adanya keterbatasan dalam hal produktivitas hijauan, maka kekurangan pakan hijauan harus dipenuhi dengan cara pemberian pakan tambahan. Kulit pisang nangka, merupakan salah satu jenis limbah industri pertanian yang ketersediaannya cukup melimpah dan memiliki nilai gizi cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk mendukung penyediaan pakan bagi usaha penangkaran rusa. Pemanfaatan kulit pisang nangka sebagai salah satu bahan pakan untuk campuran pakan tambahan, berarti menambah keanekaragaman jenis bahan pakan yang dapat diberikan, diharapkan disatu sisi
dapat meningkatkan
daya guna limbah industri pertanian, mengurangi ketergant ungan terhadap jenis bahan pakan
yang lain
serta dapat menghemat
biaya pakan. Mengingat
palatabilitas merupakan hal yang sangat penting, maka sebelum
dimanfaatkan
perlu dikaji tingkat palatabilitas pakan tambahan dengan campuran kulit pisang. Berdasarkan uraian, maka di lokasi penangkaran rusa timor, PPPG Pertanian Cianjur, perlu dilakukan studi tentang produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan dan daya dukungnya serta tingkat palatabilitas pakan tambahan
dengan
tingkat campuran kulit pisang
berbeda . Alur kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
yang
5
Teknis Penangkaran Lokasi, Perkandangan, Bibit, Reproduksi, Recording,
Kesehatan,
Pakan
Pemanenan
Pakan Utama hijauan/rumput
T0 Ubi Jalar Ubi Kayu D. Padi K. Pisang
Pakan Tambahan
T1 5% 5% 90% 0%
T2
Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 80% K. Pisang 10%
Palatabilitas, Produktivitas, Nilai Gizi Daya Dukung
Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 70% K. Pisang 20%
Palatabilitas Nilai Gizi
Palatabilitas dan nilai Gizi Pakan Cukup
PENANGKARAN RUSA
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
T3 Ubi Jalar 5% Ubi Kayu 5% D. Padi 60% K. Pisang 30%
6
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengukur tingkat produktivitas rumput di lahan penggembalaan serta daya dukungnya. 2. Mengukur tingkat palatabilitas pakan tambahan dengan campuran kulit pisang nangka Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pentingnya produktivitas rumput yang tumbuh di lokasi penangkaran serta palatabilitas pakan tambahan yang terdiri atas campuran kulit pisang, dedak, ubi kayu dan ubi jalar, dalam mendukung usaha penangkaran rusa timor. Berdasarkan hal tersebut hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang
pakan rusa timor dan dapat digunakan
sebagai dasar
pertimbangan dalam kebijakan pengelolaan penangkaran rusa timor di PPPG Pertanian khususnya dan penangkaran rusa pada umumnya. Hipotesis Tingkat kandungan
kulit pisang dalam campuran pakan tambahan
berbanding terbalik dengan tingkat palatabilitasnya.
7
TINJAUAN PUSTAKA Bio-Ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis) Sistematika Menurut Schroder (1976), rusa merupakan satwa yang termasuk anggota Phillum Chordata, Sub Phillum Vertebrata, Klas Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia dan Famili Cervidae. Famili Cervidae terbagi menjadi 6 Sub Famili, yaitu Rangiferinae, Alcinae, Hydropotinae, Odocoilinae, Cervinae dan Muntiacinae. Dua Sub Famili yang disebut terakhir merupakan Sub Famili yang terdapat di Indonesia. Sub Famili Cervinae terbagi menjadi dua Genus yaitu Genus Cervus dan Genus Axis. Genus Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (rusa timor) dan Cervus unicolor (rusa sambar), sedangkan Genus Axis adalah Axis kuhlii. Genus dari Sub Famili Muntiacinae Muntiacus
terdiri dari dua spesies, yaitu Muntiacus muntjak
adalah
(kijang) dan
Muntiacus atherodes (kijang kuning). Saat ini rusa timor yang ada di Indonesia dikenal ada 8 sub spesies, yaitu (1) C. t. russa Muller & Schlegal, 1839, (2) C. t. laronesiotis nov, (3) C. t. renschi Sody, 1932, (4) C. t. timorensis Blainville, 1822, (5) C. t. macassarius Heude, 1896, (6) C. t. djongga nov, (7) C. t. molucentis Quoi et Gaimard, 1830 dan (8) C. t. floresiensis Heude, 1896.
Morfologi Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), rusa timor merupakan rusa tropis terbesar kedua setelah rusa sambar. Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki banyak keunikan yaitu sebagai kelompok rusa yang mempunyai banyak anak jenis (sub spesies), sebagai rusa dengan nama daerah yang cukup beragam dan sebagai rusa yang paling luas tersebar di luar negeri. Dikatakan juga bahwa pemberian nama lokal yang cukup beragam ini tergantung pada daerah asalnya. Di pulau Jawa dikenal sebagai rusa jawa, di pulau Timor dikenal sebagai rusa timor, di Sulawesi dikenal dengan nama rusa jonga dan di kepulauan
Maluku dikenal sebagai rusa maluku. Namun nama yang paling
umum dipakai dalam bahasa Indonesia adalah rusa timor.
8
Menurut Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1991), rusa timor dewasa memiliki panjang badan dengan kepala kira-kira 120-130 cm, panjang ekor 10-30 cm, tinggi bahu dapat mencapai 100 cm untuk rusa betina dan 110 cm rusa jantan, sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg. Dradjat (2002), mengatakan bahwa rusa timor memiliki warna bulu coklat dengan warna bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Berat badan rusa jantan dapat mencapai 103-155 kg dan berat badan rusa betina adalah 45-50 kg. Menurut
Semiadi dan Nugraha (2004), rusa timor memiliki warna
bulu yang bervariasi antara coklat kemerahan hingga abu-abu kecoklatan. Berat badan bervariasi
antara 40-120 kg, tergantung pada anak jenisnya (sub
spesiesnya). Dikatakan juga bahwa
setelah melalui seleksi dan sistem
pemeliharaan yang optimal di tingkat peternakan, rusa timor yang diimpor dari Kaledonia Baru ke Malaysia mampu mencapai berat badan 120-140 kg pada yang jantan dan 70-90 kg pada yang betina. Menurut Dradjat (2002), untuk membedakan rusa jantan dan rusa betina, ciri utamanya adalah rusa jantan memiliki ranggah sedangkan rusa betina tidak memiliki ranggah, ranggah tumbuh pertama kali pada umur 8 bulan. Rusa dewasa memiliki ranggah yang bercabang tiga, dengan ujung-ujungnya yang runcing, kasar dan beralur memanjang dari pangkal hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80-90 cm, tapi ada yang mencapai 111,5 cm (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991).
Daerah Penyebaran Rusa timor yang dikenal di Indonesia terdiri atas 8 sub spesies, memiliki daerah penyebaran yang luas, serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah habitatnya berada. Penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Kalimantan, Irian dan Kepulauan Maluku, Rusa Timor merupakan rusa yang diintroduksikan. Pada tahun 1680, diintroduksikan dari Jawa ke Kalimantan, sedangkan pada tahun 1913-1920, diintroduksikan dari Halmahera ke Irian dan pada tahun 1855, diintroduksikan dari pulau Seram ke Pulau Aru (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1991). Daerah penyebaran rusa timor di Indonesia, tertera pada Tabel 1.
9
Tabel 1 Daerah penyebaran rusa timor (Cervus timorensis) di Indonesia No
Sub spesies
Daerah penyebaran
1.
C. t. Timorensis
Timor, roti, Alor, Pantar, Semau, P. Rusa dan P. Kambing.
2.
C. t. Russa
Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Ambon (Introduksi)
3.
C. t. laronesiotes
P. Peucang (Ujung Kulon).
4.
C. t. Renschi
Bali
5.
C. t. Floresiensis
Lombok, Sumbawa, Rinca, Adonare, Solor dan Sumba.
6.
C. t. macassaricus
Sulawesi, Bangai dan Selayar
7.
C. t. Jonga
Muna dan Buton
8.
C. t. moluccensis
Sula, Ternate, Mareh,
Komodo, Flores,
Sumber: Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1991)
Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), pada jaman penjajahan Belanda, rusa timor banyak disebar ke luar habitat aslinya. Disamping diintroduksikan ke pulau Papua dan pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur, rusa timor juga dikirim ke luar negeri, diantaranya ke Australia (1868-1912), Brasil (akhir abad ke 19), Kepulauan Komoro (1870), Madagaskar (1928), Selandia Baru (1907; melalui negara Kaledonia Baru), Mauritius (1639), Kaledonia Baru (1870), Kepulauan Reunion (abad 17), Papua New Guinea (1990), Malaysia (1985) dan Thailand (1990). Kenyataan ini menjadikan rusa timor merupakan rusa yang paling luas tersebar di luar negeri. Dikatakan juga bahwa di habitat baru tersebut, sebagian besar rusa timor dapat berkembang sangat baik, bahkan mampu menjadi tulang punggung industri peternakan rusa asal daerah tropis. Habitat Menurut Alikodra (2002), habitat adalah kawasan yang terdiri atas komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiak bagi satwaliar. Dikatakan pula bahwa satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.
10
Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (Schroder, 1976). Padang rumput dan daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, hutan serta semak belukar merupakan tempat berlindung. Rusa di habitat alami memerlukan tempat berlindung untuk berteduh dari panas dan hujan, untuk melindungi diri dari predator serta untuk istirahat dan tidur. Dibanding jenis rusa yang lain, rusa timor lebih mampu beradaptasi di daerah kering, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik rusa timor mampu berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya. Perilaku 1. Perilaku Berkelompok Rusa timor umumnya hidup berkelompok antara 3-4 ekor sampai 20 ekor, namun jika berada di padang penggembalaan terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75-100 ekor. Kelompok rusa timor sering terdiri atas induk dan anak baik yang masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusarusa muda. Menjelang musim kawin kelompok rusa betina
rusa jantan berangsur-angsur mendekati
(Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan
Institut
Pertanian Bogor, 1991). Di dalam kelo mpok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa,
biasanya
memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. menghadapi ancaman bahaya, pemimpin
Dalam keadaan darurat atau kelompok akan diambil alih oleh
induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap kelompoknya, sedangkan pejantan umumnya
panik dan menyelamatkan diri
masing- masing. meninggalkan kelompoknya (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991). 2. Perilaku Makan Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal,
11
rusa timor mampu berubah sifat menjadi nocturnal dalam proses adaptasinya (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor, 1991).
Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari makanan dan air,
makan serta beristirahat. Sebagaimana herbivora pada umumnya, rusa
menghabiskan waktu berjam-jam untuk
makan
dan
diselingi perjalanan-
perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air. Rusa digolongkan sebagai intermediate feeders, yaitu satwa pemakan tumbuhan jenis semak (browser) dan rerumputan (grazer). Bagian tumbuhan yang dapat dimakan rusa antara lain dedaunan, batang atau ranting yang lunak, rumput, umbi-umbian dan buah-buahan (Ever, 2001) dalam Feriyanto (2002). Aktivitas makan dimulai ketika rusa menemukan makanan dan memakannya sampai berhenti melakukan aktivitas tersebut. Kegiatan makan dapat dilakukan bersama-sama dengan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk aktivitas makan, rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 1991). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), hewan ruminansia memiliki pola merumput yang berkorelasi dengan tidak adanya gigi seri bagian atas. Rumput dililit dengan lidah dan akhirnya tergigit antara gigi seri bagian bawah dan rahang atas, kemudian kepala disentakkan ke depan sehingga rumput terpotong. Dikatakan juga bahwa setelah makan biasanya akan berbaring dan berulang-ulang
mengeluarkan rumput dari lambungnya ke rongga mulut,
kemudian dikunyah dan ditelan lagi. Penangkaran Rusa Timor Landasan Kebijakan Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian populasi di alam dapat dipertahankan (Thohari, 1987).
12
Peraturan perundangan yang menjadi dasar kebijakan dalam kegiatan penangkaran satwa liar umumnya dan penangkaran rusa timor khususnya adalah : 1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. Undang-Undang No. 4 tahun 1994, tentang Keanekaragaman Hayati 3. Undang-Undang No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 4. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL 5. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983, yang mengatur tentang pemberian ijin menangkap/mengambil, memiliki, memelihara dan mengangkut baik di dalam negeri maupun ke luar negeri satwa liar dan tumbuhan alam. 6. Peraturan Pemerintah N0. 7 tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. 7. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999, tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa 8. Undang-Undang No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan
Perijinan Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988, tentang Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh Surat Ijin Usaha Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam adalah sebagai berikut: 1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kanwil Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Ijin Usaha Perdaganga n dan SITU (Surat Ijin Tempat Usaha) dari Departemen Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran. 2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I. 3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA. 4. Dirjen PHPA mengeluarkan ijin usaha penangkaran yang berlaku selama maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlakunya.
13
Secara lengkap alur prosedur perijinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam dapat dilihat pada Gambar 2.
PEMOHON (Peroranga n, Badan Usaha, Koperasi, Lembaga Ilmiah, Lembaga Konservasi)
NON KOMERSIAL
KOMERSIAL
Dilampiri dengan: 1. Surat tidak keberatan dari lurah setempat 2. SIUP 3. Berita acara pemeriksaan dari Balai/Sub Balai KSDA 4. Akta Pendirian Perusahaan
Dilampiri dengan: 1. SIUP dan SITU 2. Berita acara pemeriksaan dari Balai/Sub Balai KSDA 3. Akta Pendirian Perusahaan
Kepala Kantor Wilayah DEPHUTBUN
Direktur Jenderal PHPA
Ijin Usaha Penangkaran Non Komersial
Ijin Usaha Penangkaran Komersial
Gambar 2 Prosedur perijinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 Teknis Penangkaran 1. Adaptasi Secara alami rusa timor
dikenal sebagai satwa
yang memiliki
kemampuan beradaptasi yang tinggi. Rusa ini mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru, dilingkungan yang banyak terdapat aktivitas manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi pakan jelek sekalipun (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan IPB, 1991). Sedangkan menurut
Vos (1982), rusa dapat cepat
beradaptasi dengan kehadiran manusia dengan perlengkapannya ketika mereka tertarik dengan bahan makanan yang cocok. Namun demikian agar dapat
14
diperoleh manfaat yang optimal perlu dilakukan penanganan dan latihan yang baik dan teratur untuk mencegah
kemungkinan-kemungkinan
yang
tidak
diinginkan seperti stres, penyakit dan kematian. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempermudah penanganan rusa yang baru masuk ke tempat penangkaran adalah dengan cara menempatkan rusa pada kandang yang gelap dan relatif tidak luas/ di kandang karantina. Pengadaptasian ini dilakukan selama 1-2 minggu. Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan memperlihatkan tanda-tanda tertentu, seperti bendera atau suara (Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan IPB, 1991) 2. Perkembangbiakan Menurut Schroder (1976), rusa timor betina mencapai dewasa kelamin umur 7-9 bulan. Umur berbiak pertama (minimum breeding age) 15-18 bulan dan umur tertua dapat berkembangbiak (maximum breeding age) adalah 15-18 tahun. Lama menyusui anak 2-3 bulan dan yang paling lama 5 bulan. Rusa jantan mulai pubertas pada umur 9-15 bulan dan menjadi fertil pada umur 16 bulan. Dalam usaha penangkaran, aspek perkembangbiakan memegang peranan penting, karena pada dasarnya keberhasilan penangkaran sangat ditentukan oleh keberhasilan reproduksinya. Menurut Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan IPB (1991), ada tiga cara pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu: a. Secara alamiah, Membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur tangan manusia. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), imbangan kelamin untuk rusa tropis adalah 1 : 6-10, tetapi pada pemeliharaan yang lebih intensif dapat digunakan imbangan kelamin 1 : 20. b. Secara semi alamiah Sistem perkawinan rusa diatur oleh manusia, antara lain dengan mengatur nisbah kelamin
individu jantan dan individu betina selama
musim kawin, atau dengan cara merangsang birahi rusa betina melalui pemberian preparat hormon reproduksi, misalnya hormon prostaglandin. Pada sistem ini rusa dikelompokkan menurut kelas umur dan jenis
15
kelamin, masing- masing diletakkan dalam pedok terpisah. Jantan dewasa dicampur dengan betina dewasa hanya selama musim kawin saja. c. Secara inseminasi buatan Sistem perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan rusa jantan yang dipelihara, hanya beberapa pejant an yang memiliki kualitas sangat baik sebagai pemacek saja yang dipelihara. Rusa pejantan selanjutnya ditampung semennya, kemudian dengan
perlakuan tertentu
dapat
dilakukan inseminasi buatan atau AI (Artificial Insemination). Sistem perkawinan secara buatan
pada rusa diawali pada tahun 1980 untuk
kepentingan penelitian. Kemudian berkembang secara luas sejalan dengan perkembangan industri pembibitan rusa. Saat ini kegiatan Inseminasi Buatan pada rusa di Indonesiaa masih sebatas untuk tujuan penelitian. 3. Perkandangan Semiadi dan Nugraha (2004) mengatakan bahwa, penangkaran rusa skala besar dengan tujuan pemeliharaan sudah diarahkan pada usaha penangkaran secara komersial, maka pemeliharaan dapat diterapkan dengan sistem pedok, yaitu dengan cara dilepas atau ditempatkan pada suatu lahan terbuka dengan luasan tertentu yang hanya dibatasi dengan pagar keliling.
Mengingat pedok bukan
hanya berfungsi sebagai kandang, tetapi juga sebagai tempat mencari makan,maka dalam pedok harus tersedia padang penggembalaan sebagai sumber pakan hijauan dan rusa diberi kebebasan untuk merumput sepanjang waktu. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam penangkaran sistem pedok ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: a. Lokasi Pedok Penentuan lokasi pedok memegang peranan penting demi kelancaran aktifitas yang berkaitan dengan kegiatan penangkaran. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: - Tempat tinggal, untuk penjagaan keamanan dan pengawasan yang intensif kegiatan penangkaran - Akses jalan untuk mempermudah transportasi baik masuk maupun keluar lokasi penangkaran.
16
- Topografi Rusa lebih menyukai topografi yang berbukit dengan variasi topografi lainnya. Akan tetapi pembuatan pedok pada lokasi yang topografinya berbukit
biayanya relatif lebih mahal dibanding dengan pembuatan
pedok di tempat yang datar. - Ada naungan Rusa menyenangi daerah yang memiliki naungan. Naungan bisa berupa naungan alami maupun naungan buatan. Naungan alami berupa semak dan pohon
yang tumbuh di dalam pedok atau pohon yang ditanam
dibalik pagar. Naungan ini berfungsi untuk berlindung pada saat induk melahirkan dan berlindung dari sinar matahari pada saat beristirahat. - Ada sumber air Mengingat pentingnya air bagi kehidupan maka
pedok harus
ditempatkan pada lokasi yang memiliki sumber air b. Bentuk Pedok Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan kondisi topografi. Pedok yang bentuknya memanjang akan mempermudah dalam hal penggiringan, sedangkan pedok berbentuk persegi akan mengurangi rusa bergerombol pada satu sisi, sehingga mengurangi terjadinya erosi atau kerusakan lahan penggembalaan. c. Luasan Pedok Penentuan
luas
pedok
harus
mempertimbangkan
rencana
pengelompokan serta jumlah rusa yang ditangkarkan. Pembuatan pedok yang ideal ukurannya 1,5-2 ha. Bahkan ada pedok berukuran kecil yaitu antara 200-500 m². Secara garis besar, kepadatan rusa di padang rumput adalah 12-15 ekor/hektar untuk rusa dewasa atau 15-20 ekor/hektar untuk rusa remaja (< 2 tahun). d. Pintu dan Jalan/Gang Pedok Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju ke pedok yang lain atau gang (raceway). Gang disini adalah jalan dengan 22,5 m yang berfungsi untuk menghubungkan pedok satu dengan pedok lainnya.
17
e. Pagar Pagar berfungsi sebagai pembatas antar pedok atau sebagai pembatas atara pedok dengan areal di luar penangkaran. Bahan pagar terbuat dari
kawat campuran baja dengn diameter 2.5 mm
atau
menggunakan kawat harmonika diameter 3,5 mm, tinggi pagar 2,0 m dan tiang pancang dibuat setiap jarak 2 m. f.
Jenis dan Jumlah Pedok Jenis dan jumlah pedok dapat dikembangkan sesuai dengan peruntukannya antara lain pedok karantina, pedok induk, pedok jantan pedok anak dan pedok terminal. Jumlah pedok dalam suatu penangkaran rusa sangat berpengaruh terhadap efisiensi manajemen penggembalaan (Tuckwell, 1998).
4. Padang Rumput dan Kebun Rumput Usaha penangkaran rusa tidak terlepas dari penyediaan rumput sebagai pakan utama. Penyediaan rumput dapat
berasal dari padang rumput/padang
penggembalaan. Dengan padang penggembalaan rusa diberi kebebasan untuk merumput sepanjang waktu. Menurut Smith (1971) dalam Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan IPB (1991), padang rumput adalah suatu lahan yang didominasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama oleh jenis rumput-rumputan dan tumbuhan herba lainnya. Dikatakan juga bahwa padang rumput merupakan sumber pakan hijauan yang utama bagi satwa herbivora. Beberapa jenis rumput dan kacang-kacangan padang penggembalaan di daerah tropis antara lain
Axonopus compressus (rumput pahit), Brachiaria
brizantha (signal grass), Paspalum dilatatum (rumput australia), Brachiaria mutica (rumput kolonjono), Digitaria decumbes (rumput pangola),
Cynodon
dactylon (rumput kawat), Calopogonium mucunoides (kalopo) dan Centrosema pubescens (centro) (McIlroy, 1964). Selain padang penggembalaan sumber pakan hijauan dapat berasal dari kebun rumput. Kebun rumput digunakan untuk melengkapi kekurangan rumput yang terdapat di padang penggembalaan. Selain itu juga merupakan salah satu
18
cara untuk mengurangi tekanan penggembalaan padang rumput, karena jumlah satwa yang berlebih atau karena musim kemarau (McIlroy, 1964). Beberapa jenis rumput potong
unggul yang biasa di tanam di kebun
rumput antara lain Pennisetum purpureum (rumput gajah), Panicum maximum (rumput benggala), Setaria sphacelata (rumput padi), Eechaena mexicana (rumput mexico) (Semiadi dan Nugraha, 2004). 5. Pakan Rusa Menurut Alikodra (2002), semua organisme memerlukan sumber energi. Satwaliar dalam memperoleh energi memerlukan perantara organisme lain sesuai dengan posisinya dalam rantai makanan. Satwaliar beranekaragam
akan
lebih
mudah
menyesuaikan
yang makanannya diri
dengan
keadaan
lingkungannya. Satwaliar memerlukan energi untuk proses-proses metabolisme dasar dan tambahan kalori untuk melakukan aktivitas hariannya. Dikatakan juga bahwa kebutuhan energi untuk metabolisme dasar erat hubungannya dengan luas permukaan tubuh yang merupakan fungsi dari berat badannya. a. Jenis Bahan Pakan Menurut Dradjat (2002), rusa merupakan ruminansia dengan cara makan grazing (makan rumput), browsing (makan daun-daunan semak di hutan), makan biji-bijian dan makan jamur. Dikatakan juga bahwa di penangkaran pakan rusa lebih bervariasi, pakan yang biasa disukai sapi, domba dan kambing tentu disukai rusa, disamping itu rusa makan bibi-bijian, pelet, jagung, kentang dan buahbuahan.
Secara alami kesukaan rusa terhadap jenis pakan berbeda-beda
tergantung jenis rusanya. Rusa timor lebih dominan mengkonsumsi
rumput-
rumputan, hal ini karena dipengaruhi habitat asli rusa timor yang berupa padang savanna. Terlepas apa yang menjadi pakan utamanya, rusa timor hampir menyukai segala jenis hijauan dan pakan tambahan. Oleh karena itu rusa timor dikenal sebagai rusa yang mudah dalam hal penyediaan pakannya, serta mampu beradaptasi dengan mudah apabila terjadi perubahan pakan (Semiadi dan Nugraha, 2004). Persediaan pakan rusa banyak terdapat di padang rumput yang dikenal dengan nama padang penggembalaan atau grazing area (Schroder, 1976). Jenis
19
rumput untuk padang penggembalaan dengan sendirinya merupakan jenis yang disukai rusa, cepat tumbuh, tahan terhadap injakan rusa, tahan api dan tahan kekeringan. Dalam suatu padang penggembalaan tidak semua jenis rumput memiliki sifat-sifat seperti di atas, kecuali padang penggembalaan buatan, memang telah dipilih jenis-jenis rumput yang memenuhi persyaratan tersebut (Alikodra, 1979). Prasetyonohadi (1986) menyatakan bahwa di Pulau Moyo, rumput yang disukai rusa adalah Paspalum longifolium, Imperata cylindrica, Eragrostis sp, Cenchrus brownii, Paspalum sp, Cyperus rotundus dan Cynodon dactylon. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), dalam usaha penangkaran, meskipun rusa menyukai segala bentuk hijauan, namun akan lebih baik apabila rusa diberi pakan hijauan berupa rumput dan leguminosa unggul. Beberapa jenis rumput unggul antara lain Pennisetum purpureum, Panicum maximum, Setaria sphacelata, Brachiaria brizantha, Paspalum dilatatum, Brachiaria mutica, sedangkan beberapa jenis leguminosa unggul antara lain Stylosanthes guyanensis dan Leucaena leucocephala. Dikatakan juga bahwa selain pakan hijauan sebagai tambahannya dapat diberikan konsentrat, sayur-sayuran, umbi- umbian atau limbah pertanian dan limbah industri. Menurut Vos (1982), jenis-jenis pakan tambahan untuk rusa antara lain oats (sejenis gandum), wijen, biji bunga matahari, kentang dan umbi- umbian lainnya. Bahan pakan tersebut merupakan bahan pakan sebagai sumber energi dan merupakan bahan pakan tambahan yang sesuai/cocok. Pada umumnya pakan tambahan diberikan dalam bentuk campuran. a. 1. Dedak Padi. Dedak padi merupakan salah satu jenis limbah pertanian yang potensial untuk pakan ternak. Menurut Direktorat Bina Produksi dan Fakultas Peternakan IPB (1985), dedak padi merupakan hasil samping dari proses penggilingan atau penumbukan padi. Dikatakan juga bahwa dari proses penggilingan padi/gabah, biasanya diperoleh dedak sekitar 4% dari total padi/gabah yang digiling.
Dari hasil penelitian, dedak
memiliki komposisi kimia yang bervariasi, hal ini dimungkinkan karena perbedaan varietas, perbedaan asal tanaman dan cara penggilingan.
20
Menurut Andini dan Suharni (1997), berdasarkan kualitasnya dedak padi dibedakan menjadi 4 macam yaitu (1) Dedak kasar, yaitu dedak yang tersusun atas pecahan kulit gabah (sekam)
dan sedikit
tercampur pecahan beras, memiliki kandungan protein serta daya cerna yang sangat rendah. (2) Dedak halus kampung,yaitu dedak yang berasal dari hasil samping penumbukan padi secara tradisional yang tersusun atas pecahan kulit gabah (sekam), kulit ari dan pecahan beras. (3) Dedak halus pabrik, yaitu hasil ikutan penggilingan padi untuk memperopeh asah,
banyak
beras
mengandung protein dan vitamin B1. (4) Bekatul,
yaitu hasil ikutan penggilingan padi yang masih banyak mengandung pecahan-pecahan
beras yang halus (menir). Kandungan nutrisi dari
keempat jenis dedak tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan nutrisi dedak padi* Jenis dedak No
Nutrisi Dedak kasar
Dedak halus kampung
Dedak halus pabrik
Bekatul
86,0
86,0
86,0
86,0
7,6
9,9
13,8
14,0
27,8
19,8
11,6
6,0
3,7
4,9
14,1
12,4
1
Bahan kering (%)
2
Protein kasar (% BK)
3
Serat kasar (% BK)
4
Lemak kasar (% BK)
5
BETN (% BK)
44,6
50,8
48,7
58,6
6
Abu (% BK)
16,3
14,6
11,8
9,0
* Sumber: Andini dan Suharni (1997) Pemanfaatan dedak padi sebagai bahan pakan ternak telah lama digunakan baik untuk ternak unggas, ruminansia maupun jenis ternak lainnya. Hasil survei menunjukkan bahwa penggunaan dedak padi di dalam pakan unggas dapat mencapai 10-100%, untuk ternak babi 9100%, untuk ternak sapi potong 20-100% dan sapi perah 20-96% (Direktorat Bina Produksi dan Fakultas Peternakan IPB, 1985). Selain untuk jenis-jenis ternak di atas,
dedak padi juga telah
dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pakan tambahan dalam usaha
21
penangkaran rusa. Rusa timor di penangkaran milik Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang, selain hijauan sebagai pakan utamanya, juga diberi pakan tambahan berupa dedak padi sebanyak 0,5 kg per ekor dengan frekuensi pemberian 1-3 kali per minggu (Takandjandji dan Garsetiasih, 2002). Demikian juga rusa di penangkaran milik PT. Perhutani KPH Bogor, Jawa Barat, pakan tambahan yang diberikan salah satunya adalah dedak padi (PT. Perhutani KPH Bogor, 2002). a. 2. Kulit Pisang. Menurut Kartasaputra (1988) dalam
Subur (1992),
tanaman
pisang merupakan tanaman herba raksasa dengan tinggi mencapai 3,57,5 m atau lebih. Tumbuh tersebar
dari daerah
Afrika Barat sampai
Pasifik atau banyak tumbuh di daerah dataran rendah tropis basah dengan ketinggian sampai 1000 m di atas permukaan laut dengan suhu optimal 27 dan curah hujan tahunan rata-rata 2000-25000 mm. Ochse et al (1961) dalam Robetson (1993), mengklasifikasikan pisang menjadi 2
(dua)
bagian besar, yaitu a) Pisang yang dapat dimakan langsung (banana), terdiri atas dua varietas, yaitu (1) Musa paradisiaca var sapientum (L) Kuntze (M. sapientum var paradisica Baker), (2) Musa nana Lour (M. chinensis Sweet, M. cavendishii Lamb). b) Pisang yang umumnya dimakan setelah dimasak dahulu (plantain), yaitu Musa paradisica l. Berbagai
jenis
evolusi dan penyerbukan tahun.
pisang yang
ada
ini disebabkan
karena
silang yang telah berlangsung bertahun-
Pisang-pisang yang ada sekarang, dahulu berasal dari pisang liar
dan berbiji yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana (Valmayor et al, 1991) dalam Robetson (1993). Jachja (1991) dalam Subur (1992) menyatakan bahwa secara keseluruhan tanaman pisang terdiri atas: bonggol 19,22%, batang 58,59%, daun 3,63% dan buah 18,56%. Dari 18,56% berupa buah tersebut 1/3 (sepertiga) nya adalah kulit, merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang pada umumnya belum dimanfaatkan secara nyata, hanya
22
dibuang sebagai limbah. Padahal kandungan nutrisi kulit pisang cukup berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Kandungan nutrisi berbagai jenis kulit pisang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan nutrisi berbagai jenis kulit pisang (mentah dan masak), hasil analisis proksimat (% bahan kering)* Kandungan nutrisi
Jenis kulit pisang
BK
Abu
PK
LK
SK
BETN
Ambon (mentah) (masak)
10,85 12,24
13,85 17,43
6,43 8,71
7,68 7,66
11,56 12,42
60,48 53,78
Batu
(mentah) (masak)
9,40 10,00
10,64 15,22
4,51 6,41
10,65 10,38
20,64 24,78
53,56 43,21
Mas
(mentah) (masak)
14,22 18,72
14,72 17,37
5,27 8,66
3,84 5,75
9,91 18,52
66,26 49,70
Nangka (mentah) (masak)
10,80 11,01
9,84 17,17
7,00 7,84
3,51 3,45
7,85 12,14
71,80 57,40
Uli
13,75 14,37
13,14 14,30
8,83 9,68
2,69 5,65
7,36 12,22
67,98 58,19
(mentah) (masak)
* Sumber: Robetson (1993)
Munadjim (1988) dalam Subur (1992), menyatakan bahwa kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai pakan kambing, babi, sapi, kelinci, kuda dan yang lainnya. Dikatakan juga bahwa sebelum diberikan kepada ternak kulit pisang perlu dipotong-potong/dicacah menjadi ukuran kecil,
kemudian
dicampur dedak
atau
bahan
pakan
yang lain.
Pencampuran ini bertujuan untuk melengkapi kandungan nutrisi yang dibutuhkan, dan pemotongan/pencacahan
kulit pisang bertujuan agar
pencampuran dapat merata/homogen. Pemanfaatan kulit pisang sebagai bahan pakan ternak merupakan bentuk pendayagunaan salah satu jenis limbah industri pertanian dan merupakan demikian
keanekaragaman jumlah
penyediaan
bahan
pakan.
Namun
limbah kulit pisang tidak semuanya efektif sebagai
limbah yang berpotensi untuk dimanfaatkan, mengingat kulit buah pisang tersebut berasal dari beberapa daerah penghasil buah pisang dan perbedaan cara konsumen dalam memanfaatkan buah pisang (Parakkasi, 1990).
23
Potensi limbah kulit pisang ini lebih jelas jumlahnya dapat diperoleh dari industri pengolahan pisang, diantaranya industri sale dan industri keripik pisang (Jachja et al., 1991) dalam Subur (1992). Disamping memiliki kandungn nutrisi yang tinggi, pemanfaatan kulit pisang sebagai pakan ternak memiliki kelemahan. Chicco dan Shultz (1977) dalam Robetson (1993), menyatakan bahwa didalam kulit pisang terdapat senyawa tanin yang dapat
mengurangi palatabilitasnya.
Dikatakan pula bahwa tanin dalam kulit pisang akan berkurang dengan masaknya buah pisang tersebut. Widodo (2005), menyatakan bahwa senyawa tanin dalam pakan menyebabkan ternak kurang menyukainya karena rasa sepat yang disebabkan adanya interaksi tanin dengan protein saliva, sehingga mempengaruhi konsumsi pakannya. a. 3. Ubi Jalar. Menurut Rubatzky (1995) dalam Sunarwati (2001), ubi jalar (Ipomea batatas) berasal dari daerah tropika Amerika, di wilayah yang meliputi Panama, bagian Utara Amerika Selatan dan Hindia Barat. Ubi jalar dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 2500 m di atas permukaan laut (Kay, 1973) dalam Sunarwati (2001). Indonesia merupakan penghasil ubi jalar terbesar kedua setelah China, dengan produksi nasional 1,8 juta ton per tahun 1995 (Rubatzky, 1995) dalam Sunarwati (2001), dengan produksi rata-rata di tingkat petani Indonesia sekitar 9 ton umbi segar per hektar, sedangkan dari usaha tani intensif sebesar 30 ton umbi segar per tahun (Nasri dan Zulkifli, 1995) dalam Sunarwati (2001). Ubi jalar disamping sebagai tanaman pangan, juga dapat digunakan sebagai pakan ternak dan pemanfaatannya tidak terbatas pada daunnya saja tetapi juga umbinya. Pemanfaatan umbi ubi jalar sebagai pakan ternak biasanya sebagai pakan tambahan yang pemberiannya dicampur dengan bahan pakan yang lain
(Dewan Redaksi Bhratara, 1994).
Sunarwati
(2001) menyatakan bahwa sebelum diberikan ke ternak umbi ubi jalar dipotong-potong dahulu, sedangkan daunnya dapat diberikan langsung. Pemanfaatan umbi ubi jalar sebagai bahan pakan juga telah dilakukan di
24
tempat penangkaran rusa. Salah satu penangkaran rusa ya ng memberikan pakan tambahan berupa umbi ubi jalar adalah panangkaran rusa milik PT Perhutan KPH. Bogor, Jawa Barat (PT Perhutani KPH Bogor, 2002). Berdasarkan kandungan nutrisinya, ubi jalar memiliki keunggulan. Walaupun kandungan protein relatif rendah, namun kualitasnya tinggi, yaitu 2/3 (dua per tiga) dari kandungan proteinnya terdiri dari protein globulin yang banyak mengandung asam amino esensial (Onwueme, 1978) dalam Rahmatiillah (2005). a. 4. Singkong. Singkong atau ubi kayu termasuk jenis
tanaman yang dapat
tumbuh di daerah-daerah subur maupun kurang subur, pada ketinggian 500-1500 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan berkisar antara 500-1500 mm dan suhu optimum 25°-27° C (Grace, 1977) dalam Purwani (1992). Singkong disamping sebagai bahan makanan manusia juga dapat dimanfaatkan
sebagai
bahan pakan ternak.
Pemanfaatan singkong
sebagai pakan dapat dilakukan secara langsung maupun dalam bentuk limbahnya. Menurut Coursey dan Holiday (1974) dalam Purwani (1992), bahwa kandungan BETN ubi kayu lebih tinggi, namun kandungan protein kasar dan ekstrak eternya lebih rendah. Dikatakan juga bahwa defisiensi protein dapat diatasi dengan cara mencampurnya dengan bahan pakan sumber protein. Kandungan nutrisi umbi ubi
jalar dan singkong,
tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan nutrisi umbi ubi jalar dan singkong * No
Nutrisi
Ubi Jalar
Singkong
1
Bahan kering (%)
25,0
30,0
2
Protein kasar (% BK)
4,8
3,3
3
Serat kasar (% BK)
6,0
5,4
4
Ekstrak eter (Lemak) (% BK)
2,0
0,7
5
BETN (% BK)
83,2
87,3
6
Abu (% BK)
4,2
3,3
Sumber: Andiani dan Suharni (1997)
25
Penggunaan ketela pohon sebagai bahan pakan perlu kehati-hatian, karena ada varietas-varietas tertentu yang mengandung asam sianida (HCN)
yang
dapat
menyebabkan
keracunan
pada
ternak
yang
mengkonsumsinya (Andini dan Suharni, 1997). Namun untuk kelompok hewan ruminansia mampu
mentolerir asam sianida yang masuk ke
dalam tubuhnya sampai 15-20 mg per kg bobot badannya, hal ini karena melalui proses pencernaan yang terjadi di dalam rumennya, mampu menetralisir asam sianida tersebut. (Arora, 1983). b. Kebutuhan Pakan dan Nutrisi Kebutuhan pakan dapat diartikan sebagai kebutuhan akan kalori setiap hari. Energi sangat diperlukan untuk hidup dan pertumbuhan, menggantikan bagian-bagian tubuh yang rusak dan untuk reproduksi. Rusa membutuhkan kalori berkisar antara 6.000-10.000 kalori setiap harinya (Dasman, 1964) dalam (Hasiholan, 1995). Menurut Sutrisno (1930) yang dikutip oleh Hasiholan (1995), rusa dewasa di pulau Timor membutuhkan pakan 5,7 kg (bahan segar) per ekor per hari. Hasil penelitian
Hasiholan (1995), menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan
harian rusa dewasa di tempat penangkaran, Balai Penelitian Kehutanan Kupang adalah 5,2 kg (bahan segar) setara dengan 0,55 kg (bahan kering). Teddy (1998) menyatakan, bahwa konsumsi makan harian rusa dewasa di penangkaran Perum Perhutani, Jonggol, Jawa Barat adalah 5,88 kg (bahan segar). Menurut Anggorodi (1979), bahan pakan harus dapat menyediakan zat makanan yang berguna untuk membangun, menggantikan bagian-bagian sel tubuh dan menciptakan hasil- hasil produksi serta memberikan energi untuk prosesproses tersebut. Zat makanan atau nut risi adalah penyusun atau group penyusun bahan makanan yang umumnya mempunyai kombinasi kimia yang serupa atau sama yang diperlukan oleh makhluk hidup. Nutrisi yang dimaksud adalah protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin (Parakkasi, 1990). Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), secara garis besar pada setiap jenis pakan nutrisi yang terkandung dapat dikelompokkan menjadi air, protein, lemak, energi mineral serta vitamin. Air, protein, lemak dan energi disebut sebagai nutrisi makro karena tingkat kebutuhannya yang besar, sedangkan yang lain disebut
26
sebagai nutrisi mikro karena tingkat kebutuhannya yang relatif lebih kecil. Dikatakan juga bahwa dalam pengutaraan kebutuhan nutrisi, nilai kebutuhan ditampilkan dalam unit bahan kering (BK) atau Dry Matter (DM), yaitu kondisi dimana kandungan air telah dihilangkan sama sekali (sekitar 95-97%) lewat pemanasan. Pengutaraan dengan cara demikian sangat tepat, mengingat unsur air dalam setiap bahan pakan sangat bervariasi. Air merupakan komponen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Di dalam tubuh air mempunyai fungsi antara lain untuk mengontrol suhu tubuh, mengangkut dan melarutkan zat nutrisi, membantu proses reaksi kimiawi dalam tubuh (metabolisme) dan sebagai pelumas diantara persend ian (Semiadi dan Nugraha, 2004). Protein deperlukan oleh setiap bentuk kehidupan, karena protein merupakan struktur dasar pembentuk semua jaringan tubuh yang terdiri dari jaringan otot, tulang, syaraf, kulit, sel darah, rambut, kuku dan ranggah. Protein merupakan suatu bahan organik komplek yang tersusun atas asam amino. Asam amino merupakan asam organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino (NH2). Asam amino dibedakan menjadi 2 macam yaitu asam amino esensial (utama) dan asam amino non esensial (sekunder). Asam amino esensial sangat dibutuhkan dan tidak dapat disintesa oleh tubuh
hewan, sehingga harus
disediakan dari pakan, sedangkan asam amino non esensial dapat dibentuk dari asam amino yang lainnya oleh tubuh hewan, sehingga keberadaannya dalam pakan tidak terlalu dikhawatirkan (Semiadi dan Nugraha, 2004). Rusa timor yang digembalakan di padang penggembalaan berkualitas rendah dengan kandungan protein sekitar 35-40 g/kg BK dan gros energi 290-310 kilo joule/ kg BK, menyebabkan kehilangan bobot badan 5% dari bobot badan awal, sedangkan pada padang penggembalaan yang mengandung protein 80-90 g/kg BK dan gros energi 500-645 kilo joule/kg BK dapat memberikan kenaikan bobot badan 10% dari bobot badan awal (Semiadi dan Nugraha, 2004). Lemak merupakan hasil dari penimbunan kelebihan energi. Disamping berfungsi sebagai cadangan energi, lemak berfungsi sebagai pelarut beberapa jenis vitamin yang hanya dapat larut dalam lemak. Lemak mengandung nilai kalori 2,25 lebih tinggi dari kelompok karbohidrat. Jika terjadi kelebihan energi, maka
27
pertama kali akan ditimbun di daerah alat pencernaan dan ginjal. Jika kelebihan lemak terus berlangsung maka berikutnya akan ditimbun diantara jaringan otot/daging (inter muscular fat), di bawah kulit (sub cutan fat), atau di bawah daging (intra muscular fat) (Semiadi dan Nugraha, 2004). Energi, dibutuhkan satwa untuk menjalankan semua proses metabolisme, pergerakan otot dan pembentukan jaringan baru. Dalam pembagiannya, energi dibedakan menjadi 4 kategori: (1)
gross energy (gros energi), yaitu total
kandungan energi yang ada di dalam suatu bahan pakan. (2) Digestible energy (Energi tercerna), yaitu bagian dari gross dikurangi dengan nilai energi yang terkandung dalam kotoran, (3) metabolisable energy (energi metabolic), yaitu bagian dari energi yang tersisa setelah energi tercerna dikurangi energi yang terkandung dalam urine dan gas metan. Energi inilah yang sebenarnya digunakan untuk berbagai aktivitas, tumbuh, menjadi gemuk, untuk perkembangan anak di dalam kandungan, serta produksi susu, (4) net energy, yaitu bagian dari energi metabolic yang digunakan untuk pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi lagi, bilamana energi yang tersisa sebagai energi metabolic masih cukup banyak (Kartadisastra, 1997) dan (Semiadi dan Nugraha 2004). Mineral, merupakan unsur anorganik yang umumnya dibutuhkan dalam jumlah kecil dibandingkan kebutuhan protein, lemak maupun air. Dalam jaringan tubuh mineral berfungsi sebagai pembentuk tulang, gigi, rambut, kuku dan ranggah, serta untuk pembentukan jaringan lunak dan sel darah merah. Mineral juga berfungsi sebagai
penyeimbang tekanan osmosis cairan tubuh melalui
bentuk ion- ionnya, berperan dalam pembentukan enzim dan hormon, serta sebagai komponen suatu vitamin (Semiadi dan Nugraha, 2004). Vitamin merupakan
senyawa organik yang dibutuhkan
untuk
pertumbuhan normal dan kehidupan. Sesuai dengan sifat pelarutannya, vitamin dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K), dan sisanya adalah vitamin yang larut dalam air (Anggorodi, 1979). Kebutuhan
vitamin secara alami banyak diperoleh dari tumbuhan atau buah-
buahan yang masih segar, namun pemberian tambahan vitamin masih dimungkinkan terutama pada rusa yang sakit, dengan cara pakan, air minum
dicampur dengan
maupun melalui suntikan (Semiadi dan Nugraha, 2004).
28
Palatabilitas Pakan Menurut Ivins (1952) dalam McIlroy (1964), palatabilitas adalah hasil keseluruhan faktor-faktor yang menentukan suatu makanan sampai pada tingkat menarik bagi satwa, dengan demikian palatabilitas dapat dianggap sebagai penghubung antara rumput dengan satwa yang merumput dan beberapa ahli menganggap bahwa palatabilitas merupakan suatu aspek makan yang lebih menentukan dari pada nilai gizi makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa sering kali dibuktikan sapi lebih menyukai rumput asli dari pada rumput hasil seleksi, meskipun produktivitas dan nilai gizi rumput asli lebih rendah. Menurut Trippensee
(1948)
dalam
Prasetyonohadi
(1986),
palatabilitas pakan hijauan di suatu padang penggembalaan dapat diketahui dengan cara melakukan pengamatan pada petak-petak contoh berukuran 1m x 1m (1m²). Jenis-jenis rumput yang terdapat di setiap petak contoh dicatat. Disamping itu juga diamati dan dicatat jenis-jenis rumput bekas direnggut/dimakan
rusa
pada setiap petak contoh. Selanjutnya jumlah petak contoh diketemukannya spesies tertentu bekas dimakan rusa dibagi dengan seluruh jumlah petak contoh terdapatnya spesies tersebut diperoleh nilai indeks palatabilitas (IP). Hasil penelitian Prasetyonohadi (1986) menunjukkan bahwa diantara jenis-jenis rumput yang tumbuh
di padang rumput Suaka Margasatwa Pulau
Moyo ada 7 jenis yang dimakan rusa dengan tingkat palatabilitas yang berbeda, yaitu Paspalum longifolium (0,98 ), Imperata cylindrica (0,86), Eragrostis sp (0,85), Cenchrus brawnii (0,75), Paspalum sp (0,50 ), Ciperus rotundus (0,25 ) dan Cynodon dactylon (0,20). Hasil penelitian Hasiholan (1995), diantara jenisjenis rumput yang tumbuh di Taman Buru Pulau Ndana ada 3 jenis yang dimakan rusa dengan tingkat palatabilitas sebagai berikut: Digitaria sanguinalis (0,97), Panicum sp (0,95) dan Fimbristylis annua (0,1). Menurut Arora (1983), jika suatu pakan tertentu kurang palatabilitasnya dibandingkan
dengan
pakan
yang
lain, akan membatasi konsumsinya.
(Kartadisastra,1997) menyatakan bahw palatabilitas merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya, hal inilah yang
29
menumbuhkan daya tarik dan merangsang satwa untuk mengkonsumsinya. Parakkasi (1999), menyatakan bahwa tingkat konsumsi suatu pakan dapat pula disamakan dengan palatabilitas atau menggambarkan palatabilitas. Dikatakan juga bahwa tingkat konsumsi (Voluntary Feed Intake /VFI) adalah jumlah pakan yang terkonsumsi oleh hewan bila pakan tersebut diberikan secara ad libitum.
Produktivitas Hijauan dan Daya Dukung Produktivitas Hijauan. Menurut McIlroy (1964),
padang rumput merupakan sumber hijauan
makanan ternak, baik bagi ternak domestik/piaraan maupun yang liar, sehingga pada umumnya oleh para peternak sedapat mungkin dijaga dengan tujuan agar keadaannya sejauh mungkin tetap produktif. Dikatakan juga bahwa produktivitas suatu
padang
rumput
di
berbagai
tempat
berbeda-beda, karena
dipengaruhi banyak faktor, antara lain: a) Persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembangbiak secara vegetatif. b) Agresivitas (daya saing), yaitu kemampuan memenangkan persaingan dengan spesies-spesies lain yang tumbuh bersama. c) Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat. d) Sifat tahan kering dan tahan dingin. e) Penyebaran produksi musiman. f) Kemampuan menghasilkan biji yang dapat tumbuh dengan baik atau dapat dikembangkan secara vegetatif dengan murah. g) Kesuburan tanah. h) Keadaan iklim. Hasiholan (1995), menyatakan bahwa produktivitas rumput di Taman Buru Pulau Ndana pada musim kemarau adalah 6,9 kg /ha/hari dan pada musim hujan 13,8 kg/ha/hari (bahan segar). Sedangkan produktivitas rumput lahan penggembalaan penangkaran rusa Perum Perhutani KPH Bogor di Jonggol pada musim hujan adalah 49,53 kg/ha/hari dan pada musim kemarau adalah 24,76 kg/ha/hari. (Teddy, 1998).
30
Castle, (1955) dalam McIlroy (1964) mengatakan bahwa produktivitas padang rumput dapat dihitung dengan cara pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai cuplikan (sample), menimbangnya dan kemudian dihitung produksi per unit luas padang rumput bersangkutan. Dikatakan juga bahwa untuk mengetahui kuantitas dan kualitas nya, maka sebagian rumput yang dipotong dianalisa untuk mengetahui berapa banyak tersedia bahan kering, protein kasar dan sebagainya yang dapat disajikan dalam penggembalaan. Samford (1960) dalam McIlroy (1964) menyataka bahwa dalam melakukan pendugaan produksi, terdapat beberapa sumber-sumber kesalahan, yaitu: a) Variasi produksi antar petak b) Kesalahan acak (random sampling) dalam menduga produksi c) Kesalahan acak dalam menduga sisa hijauan yang tidak dimakan. d) Kesalahan dalam pemotongan, penimbangan dan sebagainya sehingga menyebabkan bias dalam pendugaan produksi dan sisa. Namun penghitungan produktivitas rumput dengan teknik pemotongan hijauan adalah cepat dan mudah serta mampu memberikan keterangan-keterangan yang berfaedah bilamana proses pengambilan cuplikan telah distandardisasikan secara tepat. Menurut Susetyo (1980), produktivitas rumput per tahun per satuan luas tertentu merupakan panen kumulatif yang dihasilkan dari beberapa kali pemotongan, yaitu produksi pada musim hujan dan
produksi pada musim
kemarau yang jumlahnya ½ dari produksi pada musim hujan. Daya Dukung Secara umum, suatu wilayah dapat menampung sejumlah satwaliar sesuai dengan daya dukungnya. Pada jumlah satwa yang masih sedikit, besarnya populasi relatif kecil dan persaingan diantara individupun sangat kecil. Besarnya populasi ini akan berkembang terus sehingga persaingan diantara anggotanya semakin ketat, pada akhirnya
akan dicapai suatu keadaan dimana besarnya
populasi tidak akan bertambah lagi. Keadaan ini dikenal sebagai batas daya dukung kawasan (Alikodra, 2002). Menurut Wiersum (1973) dalam
Hasiholan (1995), pengertian daya
dukung adalah banyaknya satwa yang dapat ditampung di suatu areal pada situasi dan kondisi tertentu. Dasman (1964) dalam Hasiholan (1995) mengatakan bahwa
31
habitat hanya dapat menampung jumlah satwa pada suatu batas tertentu, sehingga daya dukung menyatakan fungsi dari habitat. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai daya dukung kuantitatif suatu habitat adalah berdasarkan potensi makanannya (Alikodra, 2002). Menurut Susetyo (1980), daya dukung diketahui dengan jalan membagi produksi rumput/hijauan per hari dengan kebutuhan rumput/hijauan per ekor per hari, akan tetapi
tidak semua hijauan tersebut tersedia bagi satwa,
sebagian
tanaman harus ada yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan kembali. Sebagian tanaman yang dapat dimakan/tersedia untuk satwa tersebut dinamakan proper use. Selanjutnya dikatakan bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah keadaan topografi lapangan, karena hal ini sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use lapangan datar dan bergelombang (dengan kemiringan 0º-5º) adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit (kemiringan 5º-23º) adalah 40%-45%, dan pada lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23º) proper use nya adalah 25%-30%.
32
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Singkat PPPG Pertanian. Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian atau VEDCA (Vocational Education Development Center for Agriculture) adalah lembaga pemerintah di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dalam bidang pendidikan dan pelatihan. PPPG Pertanian mulai dirintis pada tahun 1989 melalui dana APBN dan bantuan luar negeri khususnya ADB (Asian Development Bank). Ditetapkan secara resmi berdasarkan SK MENDIKBUD RI No. 0529/0/1990, tanggal 14 Agustus 1990 dan
diresmikan pada tanggal 09 Maret 1991 oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan waktu itu, Prof. Dr. Fuad Hasan. Sebagai lembaga pengembangan diklat, PPPG Pertanian berperan dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang pertanian bagi guru SMK Pertanian khususnya dan masyarakat pada umumnya, secara umum memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai berikut: 1. Menjadi lembaga pemikir (think thank) bagi Direktorat Pendidikan Menengah Kejur uan, dalam pengembangan pendidikan menengah kejuruan pertanian. 2. Menjadi lembaga pelayan, pembina dan pembimbing dalam peningkatan mutu lembaga pelaksana pendidikan. 3. Sebagai pelaksana dan pengembang program pendidikan dan latihan dalam bidang kejuruan pertanian. 4. Mengembangkan lembaga VEDCA agar mampu melaksanakan peran fungsi dan tugas di atas, sesuai atau relevan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan masyarakat. 5. Melakukan kerjasama dalam dunia usaha atau dunia industri dan departemen terkait dalam rangka turut meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia Indonesia melalui penataran magang, kerja proyek serta menumbuhkan dan mengembangkan unit produksi.
33
Letak Geografis PPPG Pertanian terletak di jalan raya jangari Km. 14 (dari arah kota Cianjur). Secara administrasi pemerintahan termasuk Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur
wilayah Desa Sukajadi
Jawa Barat. Menempati areal
seluas ± 54,4 ha, terletak pada ketinggian 280 di atas permukaan laut. Suhu udara berkisar antara 23°-30° C, dengan curah hujan 2000-2500 mm per tahun. Peta lokasi tertera pada Lampiran 1. Sejarah Singkat Lokasi Penangkaran Informasi tertulis tentang sejarah singkat lokasi penangkaran tidak ada. Sejarah singkat pemanfaatan lokasi penangkaran rusa diperoleh berdasarkan hasil wawancara antara penulis dengan Bapak Amang
Suryana,
karyawan PPPG Pertanian juga sebagai penduduk setempat sejak
salah seorang
yang telah bekerja
pembangunan proyek kantor PPPG Pertanian dan akhirnya menjadi
karyawan PPPG Pertanian. Berdasarkan
hasil
wawancara,
lahan lokasi
penangkaran rusa milik PPPG Pertanian Cianjur, awalnya sekitar tahun 1975 sampai dengan tahun 1989 merupakan lahan kebun jeruk siem (Citrus nabilis Var microrpa) seluas + 5 (lima) hektar. Pada saat pembangunan Kantor PPPG Pertanian
tahun 1989, tanaman pohon jeruk diganti dengan tanaman pohon
rambutan (Naphaleum lappaceum). Tahun 2004, pada saat dirintis uji coba penangkaran rusa Kepala PPPG Pertanian Cianjur mengijinkan di lahan kebun rambutan tersebut juga sebagai lokasi penangkaran rusa, yang letaknya di depan kantor dengan pertimbangan bahwa salah satu tujuan penangkaran rusa tersebut adalah untuk mendukung keindahan lingkungan kantor PPPG Pertanian Cianjur. Pada saat pembuatan kandang/pedok, tanaman rambutan tetap dipertahankan, karena
disamping sebagai tanaman buah-buahan
juga dimanfaatkan sebagai
naungan (shelter) untuk rusa yang ditangkarkan. Keadaan Penangkaran Rusa Unit Ujicoba Penangkaran Rusa milik PPPG Pertanian, berada di bawah tanggung jawab Departemen Peternakan PPPG Pertanian. Penangkaran dilakukan dengan sistem pedok. Pedok terletak di depan kantor sisi sebelah kiri, seluruhnya
34
menempati areal seluas ± 12.900 m². Rusa yang ditangkarkan ada 2 jenis, yaitu rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa totol (Axis axis). Denah lokasi tertera pada Lampiran 1. Unit ujicoba penangkaran rusa ini dirintis pada awal tahun 2004. Tahap pertama
pada
bulan Maret 2004, dibangun pedok seluas ± 5400 m² dan
ditangkarkan rusa timor sebanyak 7 ekor (2 jantan dan 5 betina). Bibit rusa berasal dari penangkaran rusa milik PT Perhutani KPH Bogor Jawa Barat . Pada awal tahun 2005 dilakukan pembuatan pedok tahap kedua, seluas ± 2000 m², untuk penangkaran rusa totol. Bibit rusa totol merupakan bantuan dari Istana Presiden Bogor, sebanyak 15 ekor (7 ekor jantan dan 8 ekor betina). Pada akhir tahun 2005 dilakukan pembuatan pedok tahap ketiga seluas ± 5500 m². Saat ini pemanfaatan pedok tersebut adalah 5400 m² untuk rus a timor dan 7500 m² untuk rusa totol. Pada penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah penangkaran rusa timor dengan luas pedok 5400 m². Pagar pedok terbuat dari pagar besi BRC berdiameter 0,6-0,7 cm, tinggi 190 cm. Tiang pagar terbuat dari pipa air dengan diameter 2 inci. Di dalam lahan pedok penangkaran dilengkapi dengan gudang dan ruang pengawasan seluas 17,5 m² (3,5 m x 5 m), kandang karantina 100 m² (10 m x 10 m) dan tempat pakan/tempat minum. Di dalam lahan pedok penangkaran juga terdapat beberapa jenis
pohon
yang
berfungsi sebagai naungan (shelter). Khusus
pohon
rambutan, untuk menghindari kerusakan akibat aktivitas rusa mengasah ranggah, setiap pohon dipagar keliling berbentuk lingkaran.
Jenis-jenis pohon tersebut
tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis-jenis pohon yang tumbuh di lokasi penangkaran No 1 2 3 4 5
Nama lokal Beringin Lengkeng Rambutan Palem Raja Jambu Biji
Nama pohon Nama ilmiah Ficus benjamina Naphaleum longan Naphaleum lappaceum Roystonea regia Psidium guajava, Linn
Jumlah 1 4 67 8 1
35
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama ± 3,5 bulan, mulai bulan September 2005 sampai dengan bulan Desember 2005, di lokasi penangkaran rusa milik Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian Cianjur. Pengukuran terhadap produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di lahan penggembalaan dilakukan pada tanggal 11 Oktober-10 Desember 2005. Sedangkan percobaan palatabilitas pakan tambahan dilakukan pada tanggal 1 September-17 Desember 2005. Denah lokasi penelitian pada Lampiran 1. Alat dan Bahan Alat
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas meteran, gunting,
kalkulator, timbangan (triple beam balance merek OHAUS, kapasitas 2610 g dengan kepekaan 1 g), dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timor
bambu, kantong plastik, ember plastik, alat tulis, rusa
(Cervus timorensis) sebanyak 15 ekor yang terdiri atas 8 ekor betina (5
ekor dewasa, 1 ekor remaja dan 2 ekor anak) dan 7 ekor jantan (2 ekor dewasa, 2 ekor remaja dan 3 ekor anak),
rumput yang tumbuh di dalam
lokasi
penangkaran, bahan pakan tambahan yang terdiri dari dedak padi (berasal dari pabrik penggilingan padi jalan raya Gunteng Desa Bojong
Kecamatan
Karangtengah), ubi jalar (berasal dari daerah sentra ubi jalar, Desa Sahbandar, Kecamatan Karangtengah), ubi kayu (berasal dari daerah pertanian Cikangkung, Desa Sukajadi, Kecamatan Karangtengah) dan kulit pisang nangka yang masih mentah (berasal dari perusahaan keripik pisang “Sari Udang Jaya”, Desa Mekar Galih, Kecamatan Cikalong Kulon, Cianjur). Data yang Diukur Palatabilitas Pakan Hijauan di Lahan Penggembalaan Palatabilitas pakan hijauan diketahui dengan pendekatan pengamatan adanya bekas renggutan/gigitan rusa terhadap jenis-jenis pakan hijauan pada petak-petak contoh di lahan penggembalaan. Data tersebut terdiri atas:
36
a. Jenis- jenis hijauan pakan yang diketemukan di dalam petak contoh b. Bekas renggutan rusa yang diketemukan pada jenis-jenis hijauan pakan pada petak-petak contoh.
Gambar 3 Kulit pisang nangka mentah (limbah dari pabrik keripik pisang) yang digunakan sebagai salah satu bahan pakan dalam penelitian. Produktivitas Hijauan dan Daya Dukung Produktivitas hijauan yang tumbuh di dalam lokasi penangkaran (pedok) dihitung dengan cara pemotongan rumput pada petak-petak contoh berukuran 1m x 1m. Dari data produktivitas selanjutnya dapat dihitung daya dukungnya. Untuk menghitung produktivitas rumput dan daya dukung, maka data yang dikumpulkan terdiri atas: a. Luas lahan penggembalaan b. Curah hujan c. Berat massa rumput yang dipotong d. Kandungan nutrisi hijauan Palatabilitas Pakan Tambahan Pengukuran tingkat palatabilitas pakan tambahan pendekatan jumlah pakan yang dikonsumsi. Untuk
dilakukan dengan
menghitung
tingkat
palatabilitas pakan tambahan, maka data yang dikumpulkan meliputi : a. Kandungan nutrisi bahan pakan b. Jumlah pakan yang diberikan,
37
c. Jumlah pakan sisa d. Jumlah pakan yang dikonsumsi. Bahan pakan tambahan terdiri atas ubi jalar, ubi kayu (singkong), kulit pisang nangka (mentah) dan dedak padi. Untuk mengetahui kandungan nutrisi bahan pakan, sebelum pelaksanaan percobaan dilakukan analisis proksimat terhadap bahan-bahan pakan tersebut. Analisis proksimat
dilakukan di
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Data kandungan nutrisi bahan pakan
tertera pada Tabel 6. Surat hasil
analisis proksimat bahan pakan tambahan, tertera pada Lampiran 2. Tabel 6 Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian Kandungan nutrisi Bahan pakan
Air
Bahan kering
Prot. kasar
%
BETN
Serat kasar
Lemak kasar
Abu
---- % bahan kering ----
Ubi jalar
65,88
34,12
3,05
90,79
2,58
0,65
2,93
Singkong
66,88
33,12
5,10
89,77
2,05
1,36
1,72
Kulit pisang
76,57
23,43
6,49
64,53
17,29
0,85
10,84
Dedak
13,61
86,39
10,74
38,44
23,22
11,85
15,75
Sumber:
Hasil analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 2005.
Prosedur Pengumpulan Data Palatabilitas Hijauan Pakan Untuk mengamati palatabilitas hijauan pakan yang tumbuh di lahan penggembalaan, digunakan petak-petak contoh berukuran 1m x 1m = 1 m² sebanyak 20 buah. Jenis-jenis rumput yang terdapat di
setiap petak contoh
dicatat. Disamping itu juga diamati dan dicatat jenis-jenis rumput yang bekas dimakan dalam
rusa
pada
Prasetyonohadi
setiap
petak contoh.
(1986),
Menurut
Trippensee (1948)
besarnya palatabilitas (tingkat kesukaan)
terhadap hijauan pakan dihitung dengan rumus sebagai berikut:
38
X
P=
Y P
= Palatabilitas (tingkat kesukaan yang nilainya berkisar antara 0-1).
X
= Jumlah petak contoh ditemukan spesies X dan dimakan rusa.
Y
= Jumlah seluruh petak contoh terdapatnya spesies X
Produktivitas Hijauan Pakan. Pengukuran produktivitas hijauan pakan penggembalaan
yang tumbuh di
lahan
dilakukan dengan cara pemanenan hijauan pakan pada suatu
petak contoh. Prosedurnya sebagai berikut: a. Petak contoh berjumlah 12 buah, masing- masing berukuran 1 x 1 m². b. Penempatan petak contoh dilakukan secara sistematis, disesuaikan dengan luas lahan. Dimulai dari titik pertama yang sudah ditentukan (berada pada posisi paling dekat dengan pagar kandang). c. Petak contoh selanjutnya terbagi menjadi tiga baris, setiap baris terdiri atas 4 petak contoh. Masing- masing petak contoh berjarak 16 m. Distribusi ke 12 petak contoh tertera pada Gambar 4. d. Setiap petak contoh dipagar dengan bambu, dengan tujuan agar hijauan yang ada di dalamnya tidak diganggu atau dimakan rusa dan
dapat
tumbuh kembali untuk dipotong pada waktu berikutnya.
U *
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Gambar 4 Distribusi petak contoh penggembalaan
pemanenan rumput pada
lahan
39
Gambar 5 Petak contoh dipagar, supaya rumput tidak diganggu/ dimakan rusa selama pengukuran produktivitas e. Rumput di dalam petak contoh dipotong pada batas permukaan tanah dan diidentifikasi setiap jenisnya. Rumput dibiarkan tumbuh kembali. f. Rumput di dalam petak contoh dipotong kembali sampai 3 kali untuk mengetahui produktivitasnya. Selang waktu setiap pemotongan 20 hari. g. Rumput hasil pemotongan dipisahkan setiap jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda. Kantong plastik diberi label (nomor petak contoh dan jenis rumput). h. Setiap jenis rumput dari setiap petak contoh selanjutnya ditimbang. Penimbangan menggunakan timbangan triple beam (triple beam balance), dengan kapasitas timbang 2610 g, dengan kepekaan 1 g. i.
Data yang telah diperoleh selanjutnya dicatat pada tally sheet.
Palatabilitas Pakan Tambahan Percobaan palatabilitas pakan tambahan ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan. Setiap pakan perlakuan menggunakan kulit pisang dengan persentase yang berbeda. Kulit pisang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang nangka (mentah), yang merupakan limbah industri keripik pisang. Komposisi masing masing campuran pakan (perlakuan) didasarkan pada kandungan bahan keringnya, tertera pada Tabel 7.
40
Tabel 7 Komposisi pakan tambahan pada setiap perlakuan (% bahan kering) Perlakuan
Bahan pakan
No 1 2 3 4
Ubi jalar Singkong Dedak Kulit pisang
T0
T1
T2
T3
5 5 90 0
5 5 80 10
5 5 70 20
5 5 60 30
Masing- masing perlakuan (T) terdiri atas 3 kelompok waktu pengamatan (K), artinya setiap perlakuan diberikan dalam 3 kelompok waktu pengamatan yang
berbeda.
Setiap kelompok waktu pengamatan
dari setiap perlakuan,
dilakukan selama 9 hari (3 hari untuk penyesuaian rusa terhadap pakan perlakuan dan 6 hari untuk pengambilan data), sehingga secara keseluruhan membutuhkan waktu 108 hari (4 perlakuan x 3 kelompok waktu pengamatan x 9 hari). Penempatan setiap kelompok waktu penga matan dari setiap perlakuan dilakukan secara acak, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Penempatan perlakuan (T) dan kelompok waktu pengamatan (K) dalam percobaan Kelompok waktu pengamatan
I
II
III
Perlakuan
Pelaksanaan (9 hari ke)
T0
T1
T2
T3
1
-
T1 K 1
-
-
2
T0 K1
-
-
-
3
-
-
-
T3 K 1
4
-
-
T2 K 1
-
5
-
T1 K 2
-
-
6
-
-
-
T3 K 2
7
-
-
T2 K2
-
8
T0 K 2
-
-
-
9
-
-
-
T3 K 3
10
T0 K 3
-
-
-
11
-
-
T2 K 3
-
12
-
T1 K 3
-
-
41
Prosedur
pelaksanaan
percobaan untuk memperoleh data dilakukan
sebagai berikut: 1. Jumlah pakan tambahan yang diberikan, dalam perbandingan bahan kering. 2. Pemberian pakan tambahan dilakukan secara ad libitum 3.
Pemberian pakan tambahan dilakukan 2 (dua) kali sehari yaitu: §
Pagi (jam 08.00) = 0,5 bagian dari jumlah pemberian per hari
§
Siang (jam 12.00) = 0,5 bagian dari jumlah pemberian per hari
4. Sebelum diberikan, bahan pakan yang terdiri dari kulit pisang, ubi jalar dan ketela pohon dicacah dengan ukuran sekitar < 2 cm,
Singkong/Ubi Kayu
Kulit pisang nangka
Ubi jalar
Gambar 6 Bahan pakan tambahan sebelum dicacah
Singkong/Ubi Kayu
Kulit pisang nangka
Ubi jalar
Gambar 7 Bahan pakan tambahan setelah dicacah 5. Bahan pakan ditimbang sesuai dengan komposisi setiap pakan perlakuan, kemudian dicampur sampai rata, dan siap untuk diberikan.
dimasukkan ke dalam tempat pakan
42
Gambar 8 Bahan-bahan pakan tambahan setelah dicampur 6. Untuk menghindari resiko pakan tambahan ditumpahkan rusa, maka tempat pakan tambahan (ember) dimodifikasi dengan diberi papan bersilang yang ditempelkan pada bagian bawah tempat pakan.
Gambar 9 Tempat pakan tambahan yang dilengkapi dengan papan bersilang agar pakan tidak mudah ditumpah oleh rusa 7. Untuk meminimalkan kemungkinan diantara rusa berebut pakan, maka pakan perlakuan ditempatkan pada 8 buah tempat pakan. 8. Sisa pakan diambil setelah 4 jam dari
waktu pemberian pakan dan
ditimbang. 9. Jumlah pakan yang dikonsumsi diperoleh dari selisih antara pakan yang disediakan dengan pakan yang tersisa.
43
Gambar 10 Suasana rusa mengkonsumsi pakan tambahan 10. Jumlah pakan yang dikonsumsi dibagi dengan
jumlah pakan yang
diberikan, diperoleh nilai indeks palatabilitas (IP). Jumlah pakan yang dikonsumsi IP
= Jumlah pakan yang diberikan
11. Nilai indeks palatabilitas berkisar antara 0-1 12. Data jumlah pakan yang dikonsumsi dan perhitungan indek palatabilitas dari setiap perlakuan dicatat pada tally sheet. Analisis Data Palatabilitas Hijauan Pakan Palatabilitas masing- masing jenis hijauan pakan yang tumbuh di lahan penggembalaan ditunjukkan dengan nilai antara 0-1. Jenis hijauan pakan yang paling disukai nilai palatabilitasnya mendekati 1 dan hijauan pakan yang paling tidak disukai nilai palatabilitasnya mendekati 0. Dengan nilai palatabilitas ini dapat diketahui jenis-jenis hijauan pakan yang disukai rusa sebagai sumber pakan hijauan dan selanjutnya digunakan sebagai dasar perhitungan produktivitas hijauan pakan. Produktivitas Hijauan Pakan Perhitungan produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di dalam lahan penggembalaan digunakan rumus (Alikodra, 2002):
44
P
p =
L
l
P = Produksi rumput seluruh areal pedok L = Luas pedok p = Produksi rumput seluruh petak contoh l
= Luas seluruh petak contoh.
Produktivitas hijauan pakan pada musim hujan adalah 2 x produktivitas pada musim kemarau (Susetyo, 1980). Dengan pendekatan jumlah bulan musim hujan dan jumlah bulan musim kemarau dalam satu tahunnya dapat diketahui produktivitas per tahun. Berdasarkan hasil analisis kandungan bahan kering, produktivitas dapat dikonversikan ke dalam bentuk bahan kering. Daya Dukung Daya dukung lokasi penangkaran (pedok) dihitung dengan pendekatan ketersediaan pakan. Berdasarkan hasil perhitungan produktivitas hijauan pakan per hari, asumsi jumlah kebutuhan pakan rusa per ekor per hari dan proper use factor, maka daya dukungnya dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Produksi hijauan per hari x luas lahan Daya Dukung
= Kebutuhan makan satwa per ekor per hari
Palatabilitas Pakan Tambahan Data jumlah pakan tambahan yang dikonsumsi untuk masing- masing perlakuan dirangkum dalam bentuk tabulasi. Selanjutnya dengan melakukan pembagian antara jumlah pakan tambahan yang dikonsumsi dengan jumlah pakan tambahan yang diberikan dapat diperoleh angka indek palatabilitas pakan tambahan. Untuk mengetahui
pengaruh penambahan kulit pisang nangka
terhadap palatabilitas pakan tambahan dari setiap perlakuan, data
dianalisis
dengan analisis sidik ragam atau Analisis of Varian (ANOVA). Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berpengaruh nyata dilakukan uji LSD (Least Significant Difference) pada taraf kepercayaan 95% (Johnson and Bhattacharyya, 1992).
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Rumput -Rumputan Lokasi penangkaran rusa timor milik PPPG Pertanian Cianjur merupakan lahan yang didominasi oleh rumput-rumputan, meskipun terdapat juga jenis-jenis tumbuhan lain. Di lahan penangkaran tersebut termasuk miskin keanekaragaman rumputnya, hal ini karena lahan sebelumnya telah dimanfaatkan sejak lama sebagai lahan kebun jeruk.
Jenis rumput-rumputan
yang ditemukan dalam
inventarisasi tertera pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis rumput dan leguminosa yang ditemukan di lokasi penelitian* No
Jenis
Terdapat dalam
Frekuensi
Frekuensi Relatif (%)
1
Axonophus compresus
16 petak
0,80
20,51
2
Imperata cylindrica
14 petak
0,70
17,95
3
Andropogon acicularus
17 petak
0,85
21,79
4
Cynodon dactylon
13 petak
0,65
16,67
5
Cyperus rotundus
7 petak
0,35
8,97
6
Erogrostis sp
2 petak
0,10
2,56
7
Calopogonium mucunoides
2 petak
0,10
2,56
8
Centrocema pubescens
2 petak
0,10
2,56
9
Blumea chinensis
5 petak
0,25
6,40
3,90
100,00
Jumlah * Keterangan: Jumlah petak contoh 20 buah
Rendahnya keanekaragaman jenis-jenis rumput ini dikarenakan adanya kegiatan pengelolaan kebun jeruk yang intensif baik dalam bentuk pengolahan tanah maupun pemberantasan tanaman liar dengan menggunakan herbisida. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardi (2005), bahwa
dalam bercocok tanam,
rumput-rumputan merupakan tumbuhan liar yang dapat mengakibatkan kerugian besar bagi tanaman yang dibudidayakan, karena merupakan saingan yang berat
46
bagi tanaman budidaya dalam hal mendapatkan air dan unsur- unsur makanan serta bentuk persaingan lainnya,
sehingga dapat menyebabkan tanaman budidaya
menjadi terdesak dan bahkan mati. Dikatakan juga bahwa upaya pemberantasan tumbuhan liar dapat dilakukan antara lain dengan cara
pengolahan tanah,
pemupukan dan penggunaan bibit uggul serta dengan cara penggunaan herbisida. Jenis-jenis rumput yang ditemukan di lahan penggembalaan tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil penelitian Teddy (1995) di lokasi penangkaran rusa
PT. Perhutani KPH Bogor yang terletak di daerah Cariu,
Jonggol, yang mencapai 13 jenis. Lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil penelitian Prasetyonohadi (1986) di padang rumput Suaka Margasatwa Pulau Moyo, yang mencapai 33 jenis dan jauh lebih sedikit jika dibandingkan denga n hasil penelitian Sumanto (2006) di penangkaran rusa kampus IPB-Darmaga, Bogor, yang mencapai 65 jenis. Namun jenis-jenis tersebut ada kesamaan dengan jenis-jenis yang ditemukan di lokasi penangkaran PT. Perhutani KPH Bogor, seperti Axonophus compresus, Cyperus rotundus, Centrocema pubescens dan Blumea chinensis. Sedangkan jenis-jenis yang sama dengan yang ditemukan di padang rumput Suaka Margasatwa Pulau Moyo antara lain Axonophus compresus, Cynodon dactylon, Imperata cylindrica, Cyperus rotundus dan Eragrostis sp. Sedangkan jenis-jenis yang sama dengan yang ditemukan di penangkaran rusa kampus IPBDarmaga Bogor, adalah Andropogon acicularus, Axonophus compresus, Cynodon dactylon, Imperata cylindrica, Cyperus rotundus, Eragrostis sp, Calopogonium mucunoides, Centrocema pubescens dan Blumea chinensis Dominasi jenis acicularus (16,67%),
dilihat dari frekuensi relatifnya yaitu Andropogon
(21,79%), Axonophus compresus (20,51%), Cynodon dactylon Imperata
cylindrica
(17,95%), Cyperus
Eragrostis sp (2,56%), Calopogonium mucunoides
rotundus (8,97%),
(2,56%), Centrocema
pubescens (2,56%) dan Blumea chinensis (6,40%). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Prasetyonohadi (1986),
bahwa berdasarkan frekuensi relatifnya,
dominasi jenis rumput-rumputan di padang rumput suaka margasatwa Pulau Moyo dari yang tertinggi sampai yang tersendah adalah Paspalum longifolium (13,69%), Tephrosia noctilfora (10,08%), Eupatorium odoratum (9,7%),
47
Euphorbia hirta (5,51), Phillanthus urinaria (4,56), Jussieua linifolia (4,18), Paspalum sp (3,99) dan Imperata sylindrica (3,99%).
Palatabilitas Rumput Diantara jenis rumput-rumputan yang diketemukan dari 20 buah petak contoh yang diletakkan secara acak, hanya 5 jenis yang diketahui ada bekas dimakan rusa. Lima jenis rumput tersebut memiliki indeks palatabilitas berbedabeda. Secara berurutan
indeks
terbesar sampai yang terkecil
palatabilitas jenis rumput tersebut dari yang
tertera pada Tabel 10. Data lengkap tertera pada
Lampiran 3. Tabel 10 Jenis rumput dan leguminosa yang ditemukan di lokasi penelitian serta indeks palatabilitasnya (IP) No
Jenis
Terdapat dalam
Tanda-tanda dimakan rusa terdapat pada petak nomor 1,3,5,6,8,9,11,12,14, 15,16,17,18, 20 (14 petak)
IP
1
Axonophus compresus
16 petak
2
Imperata cylindrica
14 petak
1,2,3,6,12,14,15,16, 17,19,20 (11 petak)
0,786
3
Andropogon acicularus
17 petak
2,4,6,7,8,9,10,11,13, 16,18,20 (12 petak)
0,706
4
Cynodon dactylon
13 petak
5
Cyperus rotundus
7 petak
6
Eragrostis sp
2 petak
-
-
7
Calopogonium mucunoides
2 petak
-
-
8
Centrocema pubescens
2 petak
-
9
Blumea chinensis
5 petak
-
3,4,7,10,12,13,18,19 (8 petak) 4 dan 15 (2 petak)
0,875
0,615 0,286
-
Keterangan: Jumlah petak contoh 20 buah. Berdasarkan data indeks palatabilitas yang tercantum pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa tidak semua jenis hijauan yang tumbuh di lahan penggembalaan
48
disukai rusa. Jenis rumput dengan
indeks palatabilitas tertinggi berarti
merupakan jenis yang paling disukai rusa dan jenis rumput dengan indeks palatabilitas rendah berarti merupakan jenis yang paling tidak disukai rusa. Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa secara berurutan jenis rumput yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai adalah Axonophus compresus, Imperata cylindrica, Andropogon acicularus, Cynodon dactylon dan Cyperus rotundus.
Produktivitas Rumput Pengukuran produktivitas rumput
sebanyak 3 periode pemanenan/
pemotongan, yang dilakukan dalam bulan Oktober-Desember 2005, pada saat itu di lokasi penelitian tengah berlangsung musim hujan. Berat basah rumput hasil pemotongan I adalah 271,07 g, III 324,58 g, sehingga
pemotongan II 277,33 g dan
rata-rata produktivitas seluruh jenis
3 periode pemotongan adalah
pemotongan rumput untuk
14,55 g/m² /hari atau 145,50 kg/ha/hari. Data
produktivitas rumput tertera pada Tabel 11, sedangkan data produktivitas setiap pemanenan/pemotongan secara lengkap tertera pada Lampiran 4. Hasil perhitungan produktivitas rumput ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Teddy (1998) di lokasi penangkaran rusa di daerah Jonggol milik Perum Perhutani Kabupaten Bogor, yaitu 49,53 kg/ha/hari. Juga lebih tiggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Hasiholan (1995) di padang rumput Taman Buru
pulau Ndana, yaitu
mungkin karena kondisi tanah di lokasi
13,8 kg/ha/hari. Perbedaan ini
penangkaran rusa PPPG Pertanian-
Cianjur lebih subur jika dibandingkan dengan kondisi tanah di lokasi penangkaran rusa di Jonggol maupun di padang rumput Taman Buru Pulau Ndana. Hal ini sesuai dengan pendapat McIlroy (1964), bahwa Produktivitas rumput di berbagai tempat berbeda-beda dan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu: a. Persistensi
(daya tahan),
yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan
berkembang biak secara vegetataif b. Agresivitas (daya saing), yaitu kemampuan memenangkan persaingan dengan species-species lain yang tumbuh bersama; c. Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat; d. Sifat tahan kering dan tahan dingin;
49
e. Penyebaran produksi musiman; f. Kemampuan menghasilkan biji yang dapat tumbuh dengan baik atau dapat dikembangkan secara vegetatif dengan mudah; g. Kesuburan tanah (terutama kandungan nitrogen); h. Iklim. Tabel
11 Rata-rata produktivitas rumput pada setiap petak contoh di lokasi penelitian (bahan segar) Produksi rumput Nomor petak contoh
Tanpa indeks palatabilitas
Dengan indeks palatabilitas
g /m² / 20 hari 1
379,67
292,98
2
151,00
116,27
3
191,33
148,04
4
203,67
139,82
5
630,00
488,13
6
501,67
387,15
7
237,00
186,73
8
146,00
103,69
9
184,00
133,37
10
250,67
194,24
11
279,01
216,66
12
338,00
258,18
3.492,02
2.666,26
Rata-rata
291,00
222,19
Rata-rata g /m² /hari
14,55
11,11
Jumlah
Dengan mempertimbangkan
indeks palatabilitas masing- masing jenis
rumput, maka produktivitas rumput di lahan penggembalaan, lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian, Cianjur adalah 11,11 g/m²/hari atau 111,10 kg/ha/hari. Rata-rata kandungan bahan kering beberapa jenis rumput yang tumbuh di lahan penggembalaan adalah 23,71% (Lampiran 2). Berdasarkan kandungan bahan kering tersebut, produktivitas rumput dapat dikonversikan kedalam bentuk bahan kering yaitu: 23,71% x 11,11 g/m²/hari = 2,63 g/m²/hari atau 26,30 kg/ha/hari.
50
Data produktivitas rumput dengan mempertimbangkan faktor indeks palatabilitas selanjutnya dijadikan dasar perhitungan untuk mengetahui produksi rumput di lahan penggembalaan dan daya dukungnya. Menurut Susetyo (1980), produktivitas hijauan pada musim hujan dua kali produktivitas hijauan pada musim kemarau. Pengukuran produktivitas rumput di lahan penggembalaan, lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian Cianjur dilakukan pada saat musim hujan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka produktivitas rumput pada musim kemarau adalah ½ x produktivitas musim hujan = ½ x 11,11 g/m²/har = 5,55 g/m²/hari atau 55,55 kg/ha/hari (bahan segar) Luas lahan penggembalaan seluruhnya 5.400 m². Di dalamnya dilengkapi dengan gudang dan ruang pengawasan seluas 17,5 m² (3,5 m x 5 m), kandang karantina 100 m² (10 m x 10 m). Khusus pohon rambutan, untuk menghindari kerusakan akibat aktivitas rusa mengasah ranggah, setiap pohon dipagar keliling berbentuk lingkaran dengan
diameter ± 2 m. Jadi lahan yang dipagari untuk
setiap pohon rambutan adalah 3,14 m dan untuk 67 pohon mencapai 210, 38 m². Dengan adanya pemanfaatan lahan pedok penangkaran untuk gudang, kandang karantina dan pemagaran pohon rambutan, maka luas lahan untuk penggembalaan berkurang menjadi: 5400 m² -17,5 m²-100 m²-210,38 m² = 5072,12 m². Sehingga produksi rumput di lahan penggembalaan tersebut adalah: 1. Produksi pada musim hujan: a. Dalam bentuk bahan segar: 11,11 g/m²/hari x 5072,12 m² = 56.351,25 g/hari atau 56,3 kg/hari b. Dalam bentuk bahan kering: 23,71% x 56,3 kg/hari = 13,3 kg/hari 2. Produksi pada musim kemarau: a. Dalam bentuk bahan segar: 5,55 g/m²/hari x 5072,12 m² = 28.150,27 g/hari atau 28,1 kg/hari b. Dalam bentuk bahan kering 23,71% x 28,1 kg/hari = 6,7 kg/hari Berdasarkan data curah hujan 9 tahun terakhir (tahun 1997-2005), yang diperoleh dari Dinas Pengelola Sumberdaya Air dan Pertambangan
Kabupaten
51
Cianjur, pada lokasi penelitian yang terletak di Desa Sukajadi Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, rata-rata musim hujan berlangsung selama 7,8 bulan
dan musim kemarau berlangsung selama 4,2
bulan untuk setiap
tahunnya. Dengan pendekatan jumlah bulan musim hujan dan jumlah bulan musim kemarau tersebut,
produksi rumput di lahan penggembalaan, lokasi
penangkaran PPPG Pertanian-Cianjur selama satu tahun adalah: 1. Dalam bentuk bahan segar = (7,8 bulan x 30 hari x 56,3 kg/hari) + (4,2 bulan x 30 hari x 28,1 kg/hari) = 13.174,2 kg + 3.540,6 kg = 16.714,8 kg 2. Dalam bentuk bahan kering 23,71% x 16.714,8 kg = 3.963,1 kg
Daya Dukung Lahan Penggembalaan Menurut Wiersum (1973) yang dikutip oleh Hasiholan (1995), daya dukung adalah banyaknya satwa yang dapat ditampung di suatu areal pada situasi dan kondisi tertentu. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai daya dukung kuantitatif suatu habitat adalah berdasarkan potensi makanannya (Alikodra, 2002). Hijauan pakan yang tumbuh di suatu padang penggembalaan merupakan salah satu komponen habitat yang berfungsi sebagai sumber pakan hijauan bagi satwa. Menurut Susetyo (1980), hijauan pakan tersebut tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan kembali. Jumlah hijauan yang tersedia untuk pakan satwa tersebut dinamakan proper use. Kondisi lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian Cianjur adalah datar, sehingga semua rumput di lahan penggembalaan
tersebut dapat
diakses (direnggut/dimakan rusa), sehingga dalam perhitungan daya dukung tidak perlu ada faktor koreksi lagi selain indeks palatabilitasnya. Untuk mengetahui nilai daya dukung lahan penggembalaan, selain produktivitas hijauan juga perlu diketahui jumlah kebutuhan pakan rusa per ekor per hari. Kebutuhan pakan rusa per ekor per hari menggunakan hasil penelitian Hasiholan (1995), yang menyatakan bahwa kebutuhan pakan rusa dewasa adalah 5200 g/ekor/hari (bahan segar). Berdasarkan data tersebut di atas, maka
52
daya dukung lahan penggembalaan lokasi penangkaran rusa PPPG PertanianCianjur adalah sebagai berikut: 1. Daya dukung pada musim hujan 11,11 g/m²/hari x 5072,12 m² 5200 g/ekor/hari
=
10,8 ekor
=
5,4 ekor
2. Daya dukung pada musim kemarau 5,55 g/m² /hari x 5072,12 m² 5200 g/ekor/hari Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa lahan penggembalaan di lokasi
penangkaran rusa
PPPG Pertanian, Cianjur dengan populasi rusa
sebanyak 15 ekor, telah melampaui daya dukungnya, yaitu pada musim hujan 4,2 ekor dan pada musim kemarau 9,6 ekor.
Hal ini berarti terjadi kekurangan
ketersediaan pakan. Menurut Hasiholan (1995), kebutuhan pakan rusa timor dewasa adalah 5,20 kg/ekor/hari (bahan segar). Rata-rata kandungan bahan kering rumput adalah 23,71%, maka kekurangan ketersediaan pakan adalah: 1. Pada musim hujan: 5,2 kg x 4,2 ekor = 21,8 kg/hari (bahan segar) atau 23,71% x 21,8 kg/hari = 5,2 kg/hari (bahan kering) Selama musim hujan
berlangsung
(sekitar 7,8 bulan),
kekurangan
ketersediaan pakan adalah: 21,8 kg x 7,8 bulan x 30 hari = 5.101,2 kg (bahan segar) atau 23,71% x 5.101,2 kg = 1.209,5 kg (bahan kering). 2. Pada musim kemarau 5,2 kg x 9,6 ekor = 49,9 kg/hari (bahan segar) atau 23,71% x 49,9 kg/hari = 11,8 kg/hari (bahan kering) Selama musim kemarau berlangsung (sekitar 4,2 bulan),
kekurangan
ketersediaan pakan adalah: 49,9 kg x 4,2 bulan x 30 hari = 6.287,4 kg (bahan segar) atau 23,71% x 6.287,4 = 1.490,7 kg (bahan kering).
53
Sehingga untuk
waktu
1 (satu) tahun (musim hujan dan musim kemarau),
kekurangan ketersediaan pakan sebanyak : 5.101,2 kg + 6.287,4 kg = 11.388,6 kg (bahan segar) atau 1.209,5 kg + 1.490,7 kg = 2.700,2 kg (bahan kering).
Kandungan Nutrisi Rumput Berdasarkan hasil analisis proksimat kandungan nutrisi beberapa jenis rumput yang tumbuh di lahan penggembalaan lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian-Cianjur adalah sebagai berikut: Tabel 12 Kandungan nutrisi penelitian*
beberapa jenis rumput yang tumbuh di lokasi
Imperata cylindrica
% 22,79
Kandungan nutrisi Prot. Serat Abu Lemak kasar kasar % bahan kering 12,06 12,81 33,70 1,76
Andropogon acicularus
31,68
12,25
9,75
38,89
0,25
38,86
Cynodon dactylon
22,59
9,56
10,49
34,62
1,06
44,27
Axonophus compresus
17,80
10,62
12,98
30,22
3,54
42,64
Jenis rumput
Sumber:
BK
BETN 39,67
Hasil analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, 2006
Dari data tersebut di atas dapat diketahui bahwa kandungan nutrisi rumput yang tumbuh di lahan penggembalaan lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian Cianjur lebih baik (kandungan protein lebih tinggi dan kandungan serat kasar lebih rendah) dari hasil penelitian Hasiholan (1995), yang menyatakan bahwa rata-rata kandungan nutrisi makanan rusa adalah sebagai berikut: Abu 6,74%, protein 6,97%, serat kasar 40,06%, lemak 2,53% dan BETN 43,69%. Palatabilitas
Pakan Tambahan
Data jumlah pakan tambahan yang dikonsumsi (dalam bentuk bahan kering) untuk masing- masing perlakuan dari setiap kelompok waktu pengamatan tertera pada Lampiran 5. Hasil perhitungan rata-rata jumlah yang
dikonsumsi
bahan
kering
untuk masing masing perlakuan tertera pada Tabel 13.
54
Tabel 13
Rata-rata jumlah pakan tambahan dari setiap perlakua n dikonsumsi rusa per hari (kg bahan kering)*
T0
Ulangan waktu pengamatan 1 2 3 4,975 5,187 5,293
T1
6,524
6,862
T2
6,278
T3
Perlakuan
Jumlah
yang
Rata-rata
15,455
5,152
6,930
20,316
6,772
6,494
6,744
19,516
6,505
5,641
6,176
6,270
18,087
6,029
Jumlah
23,418
24,719
25,237
Rata-rata
5,854
6,180
6,309
Catatan : Jumlah konsumsi untuk 15 ekor rusa.
Konsumsi Pakan Perlakuan (BK) 8,000 6,000
6,772
6,505
6,029
T1
T2
T3
5,152
Konsumsi 4,000 Pakan (kg) 2,000 0 T0
Perlakuan Gambar 11 Diagram batang jumlah pakan tambahan dari setiap perlakuan yang dikonsumsi rusa per hari untuk 15 ekor (kg bahan kering) Tabel 13 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah bahan kering
pakan tambahan yang dikonsumsi per hari adalah T0 (5,152),
T1 (6,772), T2 (6,505) dan T3 (6,029). Jumlah bahan kering pakan tambahan yang dikonsumsi tersebut selanjutnya dibagi dengan jumlah bahan kering pakan tambahan yang diberikan (untuk 15 ekor rusa) yaitu 9,9 kg, sehingga diperoleh angka indeks palatabilitas yang nilainya berkisar antara 0-1. Data indeks palatabilitas
untuk masing- masing perlakuan dari setiap kelompok waktu
pengamatan tertera pada Lampiran 6 dan rata-rata indeks palatabilitas pakan tambahan untuk masing- masing perlakuan tertera pada Tabel 14.
55
Tabel 14 Ideks palatabilitas pakan tambahan dari setiap perlakuan pada rusa Kelompok waktu pengamatan 1 2 3
Perlakuan
0,502 0,659 0,634 0,570 2,365
0,524 0,693 0,656 0,624 2,497
0,535 0,7 0,682 0,633 2,549
Rata-rata
0,591
0,624
0,637
Indek Palatabilitas
T0 T1 T2 T3 Jumlah
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0.684
Jumlah
Rata-rata
1,561 2,052 1,971 1,827
0,520 0,684 0,657 0,609
0.657
0.609
0.52
T0
T1
T2
T3
Perlakuan Gambar 12 Grafik indeks palatabilitas (I P) perlakuan pada rusa Tabel 14
pakan tambahan dari setiap
dan Gambar 12 menunjukkan bahwa rata-rata indeks
palatabilitas pakan tambahan
(perlakuan) mulai
yang
terendah adalah T0
(0,520), T3 (0,609), T2 (0,657) dan yang tertinggi adalah T1 (0,684). Dari nilai indeks palatabilitas tersebut dapat diketahui bahwa pakan tambahan yang paling disukai adalah T1 (dengan campuran kulit pisang nangka 10%), kemudian T2 (kulit pisang 20%), T3 (kulit pisang 30%) dan T0 (tanpa kulit pisang). Hasil analisis statistik melalui uji F, menunjukan bahwa pengaruh perlakuan
terhadap indeks palatabilitas pakan tambahan berbeda nyata
(significant) (P<0,05), sedangkan pengaruh kelompok waktu pengamatan terhadap indeks palatabilitas tidak berbeda nyata (non significant). Perhitungan analisis statistik tertera pada Lampiran 7.
56
Hasil uji Least Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa indeks palatabilitas pakan tambahan T1 lebih tinggi dibanding T0, dengan perbedaan yang nyata (significant). Demikian juga indeks palatabilitas T2 terhadap T0 dan T3 terhadap T0. Indeks palatabilitas T3 lebih rendah dibanding T1 dengan tingkat perbedaan yang nyata. Sedangkan Indeks palatabilitas T3 lebih rendah dibanding T2, demikian juga indeks palatabilitas T2 terhadap T1, dengan perbedaan yang tidak nyata (non significant). Hasil Uji LSD tertera pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil uji LSD indeks palatabilitas pakan tambahan. Perlakuan
Rata-rata
T0 T1 T2 T3
0,520 0,684 0,657 0,609
Selisih dengan T1
T0 0,164* 0,137* 0,089*
0,027 0,075*
T2
0,048
Menurut Kartadisastra (1997), palatabilitas pakan dipengruhi oleh sifat fisik dan kimiawi pakan, yang dicerminkan oleh organoleptiknya antara lain kenampakan, bau, rasa (hambar, manis, asin, pahit), dan teksturnya. Palatabilitas pakan tambahan tanpa
campuran kulit pisang (T0) lebih
rendah dari pada palatabilitas pakan tambahan yang menggunakan kulit pisang, hal ini karena pada perlakuan T0 penggunaan dedak paling tinggi yaitu 90%, sedangkan
perlakuan T1 80%, T2 70% dan T3 60% dari total komposisi
pakan (Tabel 8). Sementara jenis dedaknya berdasarkan hasil analisis proksimat (Tabel 7), memiliki kandungan serat kasar yang tinggi (23,22%), sehingga pakan perlakuan T0 memiliki kandungan serat kasar yang paling tinggi yaitu 21,129% dibanding dengan pakan perlakuan T1 20,536%, T2 19,943% dan T3 19,350%. Hal ini menyebabkan indeks palatabilitasnya paling rendah. Kecenderungan menurunnya indeks palatabilitas pada T2 dan T3 karena adanya pengaruh senyawa tanin yang terkandung di dalam kulit pisang yang digunakan sebagai campuran pakan tambahan (T1, T2, dan T3). Hal ini sesuai dengan pendapat Chicco dan Shultz (1977) dalam Robetson (1993), bahwa adanya tanin dalam kulit pisang mengurangi palatabilitasnya. Semakin banyak
penggunaan kulit pisang nangka (mentah)
sebagai
campuran pakan tambahan semakin tinggi pula kandungan senyawa tanin dalam
57
pakan tambahan tersebut, sehingga semakin rendah palatabilitasnya. Kandungan tanin dalam pakan menyebabkan ternak kurang menyukainya karena rasa sepat yang disebabkan
adanya interaksi tanin dengan protein saliva, sehingga
mempengaruhi konsumsi pakannya (Widodo, 2005). Pengelolaan Pakan Tambahan Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam usaha penangkaran rusa adalah ketersediaan pakan. Rusa merupakan hewan ruminansia dan pakan hijauan adalah pakan utamanya. Pakan adalah faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan rusa (Takandjandji dan Garsetiasih, 2002). Keterbatasan tingkat produktivitas hijauan pakan, berarti terbatas pula ketersediaan hijauan pakan sebagai sumber pakan utama rusa. Untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangbiakan rusa yang ditangkarkan, maka kekurangan ketersediaan pakan hijauan harus dipenuhi, salah satunya dengan cara pemberian pakan tambahan. Pakan tambahan yang dapat diberikan antara lain berupa konsentrat, sayur-sayuran, ubi- ubian atau limbah pertanian dan limbah industri (Semiadi dan Nugroho, 2004). Namun demikian untuk mendapatkan bahan pakan tambahan yang ekonomis, tinggi kandungan gizinya, tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah dalam pengadaannya, maka perlu memanfaatkan potensi lokal yang ada. Berdasarkan hasil perhitungan daya dukung, lahan penggembalaan lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian-Cianjur, telah melampaui daya dukungnya, yang berarti terjadi kekurangan ketersediaan pakan. Kekurangan ketersediaan pakan hijauan per hari (untuk 15 ekor rusa) pada musim hujan mencapai 5,2 kg (bahan kering), sehingga untuk musim hujan rata-rata konsumsi pakan tambahan per hari dari setiap perlakuan telah dapat memenuhi kekurangan ketersediaan pakan hijauan tersebut kecuali perlakuan T0, sebagaimana tertera pada Tabel 16. Kekurangan ketersediaan pakan hijauan per hari (untuk 15 ekor rusa) pada musim kemarau, kemarau memenuhi
rata-rata
mencapai 11,8 kg (bahan kering), sehingga untuk musim konsumsi
kekurangan
pakan tambahan
per hari
belum
dapat
ketersediaan pakan hijauan, hal ini karena tingkat
produktivitas rumput pada musim kemarau ½ dari produktivitas pada musim hujan, sehingga ketersediaan pakan hijauan pada musim kemarau lebih rendah,
58
berarti kekurangan ketersediaan pakan hijauan pada musim kemarau lebih tinggi dibanding pada musim hujan, sebagaimana tertera pada Tabel 16. Tabel 16 Perbandingan antara kebutuhan pakan tambahan dan konsumsi pakan tambahan dari keempat perlakuan yang dicobakan. Jenis Pakan T0 T1 T2 T3
Konsumsi (kg/hari) 5,152 6,772 6,505 6,029
Musim hujan Kebutuhan +/(kg/hari) (kg/hari) 5,2 - 0,05 5,2 + 1,57 5,2 + 1,30 5,2 + 0,83
Musim kemarau Kebutuhan +/(kg/hari) (kg/hari) 11,8 - 6,65 11,8 - 5,03 11,8 - 5,29 11,8 - 5,77
Keterangan : + = lebih – = kurang Kekurangan ketersediaan pakan hijauan selama 1 (satu) tahun mencapai 2.700,2 kg (bahan kering). Perhitungan konsumsi pakan tambahan setiap perlakuan selama satu tahun belum dapat memenuhi
kekurangan ketersediaan
pakan hijauan selama 1 (satu) tahun tersebut, hal ini karena produktivitas rumput pada musim kemarau ½ dari
produktivitas pada musim hujan, sehingga secara
keseluruhan mempengaruhi ketersediaan pakan hijauan selama 1 (satu) tahun. Perhitungannya tertera pada Tabel 17. Tabel 17 Perhitungan konsumsi pakan tambahan tambahan per tahun (kg bahan kering). No 1 2 3 4
Jenis Pakan T0 T1 T2 T3
Konsumsi pakan per tahun (kg) 5,152 x 360 hari = 1.854,7 6,772 x 360 hari = 2.437,9 6,505 x 360 hari = 2.341,8 6,029 x 360 hari = 2.170,4
dan kebutuhan pakan
Kebutuhan pakan per tahun (kg) 2.700,2 2.700,2 2.700,2 2.700,2
Kekurangan (kg) 845,5 262,3 358,4 529,8
Kandungan Nutrisi Pakan Tambahan Berdasarkan hasil analisis proksimat bahan pakan tambahan yang tertera pada Tabel 6 dan komposisi pakan tambahan masing- masing perlakuan yang tertera pada Tabel 7, maka kandungan nutrisi pakan tambahan dapat dihitung sebagaimana tertera pada Tabel 18. Perhitungannya tertera pada Lampiran 8
59
Tabel 18 Hasil perhitungan kandungan nutrisi pakan tambahan yang digunakan dalam penelitian.
Perlakuan
Bahan kering
Air
Kandungan nutrisi Prot. Serat BETN kasar kasar
% T0
25,84
T1
39,45
T2
49,23
T3
56,00
Lemak kasar
Abu
% bahan kering 74,16
10,073
43,615
21,129
10,765
14,407
60,55
9,648
46,225
20,536
9,665
13,916
50,77
9,223
48,835
19,943
8,567
13,425
8,798
51,445
19,350
7,465
12,934
44,00
Pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa kandungan nutrisi ke 4 macam campuran pakan tambahan juga lebih baik dari pada hasil penelitian Hasiholan (1995) yang menyatakan bahwa kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan rusa adalah Abu 6,74%, protein 6,97%, serat kasar 40,06%, lemak 2,53% dan BETN 43,69%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ke 4 macam campuran pakan tambahan tersebut dari kandungan nutrisi layak untuk memenuhi kekurangan ketersediaan pakan hijauan (rumput). Dilihat dari kandungan protein, pakan tambahan memiliki kandungan protein kasar dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah T0 (10,073), T1 (9,648), T2 (9,223) dan T3 (8,798). Kandungan protein ke empat macam pakan tambahan tersebut telah sesuai dengan kebutuhan protein pada rusa. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) yang dikutip Teddy (1998), bahwa kandungan protein sekitar 8% adalah baik untuk kebutuhan konsumsi rusa. Demikian juga dikatakan Semiadi
dan Nugraha (2004), bahwa pakan
dengan kandungan protein kasar 80-90 gram per kg (bahan kering), sudah dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sekitar 10% dari bobot awalnya.
60
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah: 1. Produksi rumput lahan penggembalaan (seluas 5072,12 m²) di penangkaran rusa PPPG Pertanian-Cianjur pada musim hujan 56,3 kg/hari dan produksi pada musim kemarau 28,1 kg/hari. 2. Produksi rumput tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan bagi seluruh rusa yang ada di penangkaran. Jumlah rusa pada saat ini 15 ekor, telah melampaui daya dukungnya, yaitu pada
musim hujan 4,2 ekor dan
musim kemarau 9,6 ekor. Dengan demikian terjadi kekurangan ketersediaan pakan, pada musim hujan 21,8 kg/hari (bahan segar) atau 5,2 kg/hari (bahan kering)
dan pada musim kemarau
49,9 kg/hari (bahan segar) atau 11,8
kg/hari (bahan kering), maka pemberian pakan tambahan adalah tepat dan perlu untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangbiakan rusa yang ditangkarkan. 3. Palatabilitas pakan tambahan dengan campuran kulit pisang nangka lebih tinggi dari pada pakan tambahan tanpa campuran kulit pisang, namun indeks palatabilitas semakin rendah sejalan dengan peningkatan penggunaan kulit pisang sebagai campuran pakan tambahan. Saran 1. Untuk memenuhi kekurangan pakan hijauan maka langkah- langkah yang dapat diambil antara lain: a. Meningkatkan produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di lahan penggembalaan dengan cara mengganti tanaman rumput alam dengan rumput budidaya, yang memiliki keunggulan dalam hal produksi dan tahan injakan, misalnya Brachiaria brizantha dan Brachiaria ruziziensis. b. Menambah luasan pedok,
sekaligus direncanakan
penerapan
sistem
penggembalaan bergilir untuk menjamin rumput berproduksi secara optimal.
61
c. Membangun kebun rumput di luar lokasi penangkaran dengan jenis-jenis rumput unggul, misalnya Pennisetum purpureum, Pannicum maximum atau Setaria sphacelata d. Pemberian pakan tambahan dengan memanfaatkan potensi lokal, artinya memanfaatkan bahan-bahan pakan yang memang tersedia secara kontinyu di sekitar lokasi penangkaran. 2. Sebagai
salah satu jenis limbah, kulit pisang cukup
potensial untuk
digunakan sebagai campuran dalam pemberian pakan tambahan. Agar lebih optimal dalam penggunaannya perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengolahan kulit pisang untuk peningkatan nilai gizinya, kandungan tanin, serta sejauh mana dapat memberikan pengaruh dalam bentuk penampilan produksinya. 3. Untuk kepentingan informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, hendaknya PPPG Pertanian-Cianjur membuat sejarah singkat tentang PPPG Pertanian-Cianjur secara umum termasuk keberadaan penangkaran rusa.
62
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H. S., 2002. Pengelolaan Satwaliar (Jilid 1). Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Andiani A. L. dan Suharni S., 1997. Hijauan dan Bahan Pakan dalam Budidaya Ternak Kecil (Modul Kuliah). Universitas Terbuka. Jakarta. Anggorodi, R. 1979.
Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.
Arora, S. P., 1983. Microbial Digestion in Ruminants. By Indian Council of Agricultural Research, New Delhi. (Terjemahan). Murwani, R., 1995. Pencernaan Microba pada Ruminansia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Dewan Redaksi Bhratara, 1994. Peternakan Hewan Menyusui. Penerbit Bhratara. Jakarta. Direktorat Bina Produksi Peternakan dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, (1985). Laporan Inventarisasi Potensi dan Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Proyek Pembinaan Peternakan Pusat. Dradjat, A. S. 2002. Satwa Harapan. Budidaya Rusa. Mataram Universityu Press. Mataram. Nusa Tenggara Barat. Hasiholan, W. 1995. Daya Dukung Habitat dan Penentuan Target Pemanenan Satwa Buru (Cervus timorensis de Blainville) Di Taman Buru Pulau Ndana. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. (Tidak diterbitkan). Johnson R.A. dan Bhattacharyya G.K. 1992. Statistic Principles and Methods. Second Edition. John Wiley & Sons. Inc. New York. Kartadisastra, H.R., 1997. Penyediaan & Pengelolaan, Pakan Ternak Ruminansia (Sapi, Kerbau, Domba dan Kambing). Penerbit Kanisius. Yogyakarta. McIlroy. R. C., 1964. An Intruduction to Tropical Grassland Husbandry. Oxford Univ. Press. (Terjemahan) Susetyo, et al, 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Paradnya Paramita. Jakarta. Parakkasi, A., 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit ANGKASA. Bandung. Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 1991. Studi Kelayakan dan Perancangan Tapak. Penangkaran Rusa di
63
BKPH Jonggol, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Kerjasama antara Direksi Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Diterbitkan). Perum Perhutani KPH Bogor, 2002. Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol KPB Bogor. Perum Perhutani. KPH Bogor. (Tidak Diterbitkan). Prasetyonohadi, D. 1986. Telaah Tentang Daya Dukung Padang Rumput Di Suaka Margasatwa Pulau Moyo Sebagai Habitat Rusa (Cervus timorensis de Blainville). Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. (Tidak diterbitkan). Purwani, L. 1992. Pengaruh Pemakaian Biomasa Ubi Kayu dalam Dua Macam Bentuk Ransum Terhadap Performans Ayam Broiler Betina. (Karya Ilmiah). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Diterbitkan) Rahmatillah, I., 2005. Sifat Fisik Daging Kelinci Lepas Sapih yang Diberi Ransum pelet Ubi Jalar dengan Penambahan Urea dan DL-Methionin. (Skripsi). Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Robetson, E., 1993. Evaluasi Nutrisi, Korela si Vegetatif, dan Kemungkinan Kulit Pisang Sebagai Makanan Ternak Ruminansia Menggunakan Teknik In Vitro dan In Situ. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Semiadi, G. dan T. P. Nugraha., 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Bogor
Tropis.
Subur, R., 1992. Uji Nilai Nutrisi Dengan Teknik In–Vitro dan In–Situ Terhadap Silase Limbah Kulit Buah Pisang (Musa sp). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Diterbitkan). Suhardi. 2005. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sumanto. 2006. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cevus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming: Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga. Sunarwati, I. A. T., 2001. Pengaruh Pemberian Pellet Ubi Jalar (Ipomea batatas (L.) Lam) Terhadap Performans Kelinci Persilangan Lepas Sapih. (Skripsi). Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susetyo, B., 1980. Padang Penggembalaan. Suatu Pengantar Pada Kuliah Pengelolaan Pastura dan Padang Rumput. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
64
Takandjandji, M. dan R. Garsetiasih, 2002. Pengembangan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) dan Permasalahannya di Nusa Tenggara Timur. Proseding Seminar Nasional Bioekoligi dan Konservasi Ungulata. PSIHIPB; Puslit- Biologi; LIPI; Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Dephut, Bogor. Teddy. 1998. Analisis Faktor – Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Penangkaran Rusa: Studi Kasus Di Penangkaran Rusa Perum Perhutani. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thohari, M. 1987. Upaya Penangkaran Satwa Liar. Media Konservasi (Volume 1, no 3, April 1987). Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 21-26. Thohari, M. 2005. Manajemen dan Teknologi Konservasi Eksitu Satwaliar. (Materi Kuliah). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tuckwell C. 1998. Pasture Assessment and Grazing Management. (Deer Industry Manual). Rural Industries Research and Development Corporation & Deer Products and Development Company. Barton Act. Vos D. A. 1982. Deer Frming. Guidelines on Practical Aspects. The Wildlife and Forest Conservation Branch Forest Resources Division. Food and Agriculture Organization of The Unitet Nations. Rome. Widodo W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. U M M Press. Malang. Yerex, D. and I. Spiers, 1991. Modern Deer Farm Management. Printed by GP Books. Wellington, New Zealand.
Lampiran 1 Denah lokasi penangkaran rusa PPPG Pertanian Cianjur
LOKASI PENANGKARAN RUSA TIMOR 80 m x 67,5 m (5400 m²)
65
66
LAMPIRAN 2 SURAT KETERANGAN HASIL ANALISIS PROKSIMAT BAHAN PAKAN TAMBAHAN DARI FAKULTAS PETERNAKAN, IPB BOGOR.
67
Lampiran 3 Data indeks palatabilitas
hijauan pakan rusa (rumput)
Jenis hijauan No Nama lokal 1
Pahit
Nama ilmiah Axonophus compresus
pada
20
buah petak contoh
Terdapat dalam
Bekas dimakan rusa (pada petak contoh nomor)
Indeks palatabilitas
Frekuensi
Frekuensi relatif
16 petak
(1, 3, 5, 6, 8, 9, 11, 12,
0,875
0,80
20,51
14, 15, 16,17, 18, 20) 14 petak 2
Alang-alang
Imperata cylindrica
14 petak
(1, 2, 3, 6, 12, 14, 15, 16, 17, 19, 20) 11 Petak
0,786
0,70
17,95
3
Dom-doman
Andropogon acicularus
17 petak
(2, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 16, 18, 20) 12 petak
0,706
0,85
21,79
4
Kakawatan
Cynodon dactylon
13 petak
(3, 4, 7, 10, 12, 13, 18, 19) 8 petak
0,615
0,65
16,67
5
Teki
Cyperus rotundus
7 petak
(4, 15) 2 petak
0,286
0,35
8,97
6 7 8 9
Jampang merak Kalotrok Kakacangan Babandotan
Eragrostis sp Calopogonium mucunoides Centrocema pubescens Blumea chinensis
2 petak 2 petak 2 petak 5 petak
-
0 0 0 0
0,10 0,10 0,10 0,25
2,56 2,56 2,56 6,40
Jum l a h
3,90
68
Keterangan: 1. Perhitungan Indek palatabilitas : Jumlah petak contoh diketemukannya spesies tertentu dan ada bekas dimakan rusa Indek Palatabilitas (IP)
= Jumlah petak contoh diketemukannya spesies tersebut
2. Frekuensi Jumlah petak contoh diketemukannya spesies tertentu Frekuensi
= Jumlah seluruh petak contoh
3. Frekuensi Relatif Frekuensi spesies tertentu Frekuensi Relatif
=
Jumlah frekuensi seluruh spesies
69
Lampiran 4. Data produktivitas rumput No Petak
1
Jenis hijauan Nama lokal
Nama ilmiah
II
III
Rata-rata
Rata-rata x IP
Axonophus compresus
186
130
160
158,67
0,875
138,836
Alang-alang
Imperata cylindrica
138
102
120
120,00
0,786
94,320
Dom-doman
Andropogon acicularus
60
65
96
73,67
0,706
52,011
Teki
Cyperus rotundus
25
23
34
27,33
0,286
7,816
409
320
410
379,67
292,983
Pahit
Axonophus compresus
72
42
39
51,00
0,875
44,625
Alang-alang
Imperata cylindrica
59
38
30
42,33
0,786
33,271
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
34
19
24
25,67
0,615
15,785
Dom-doman
Andropogon acicularus
41
26
29
32,00
0,706
22,592
206
125
122
151,00
Sub jumlah
3
I
(IP) Indeks Palatabilitas
Pahit
Sub jumlah
2
Hasil pemotongan setiap 20 hari (g)
116,273
Pahit
Axonophus compresus
63
72
63
66,00
0,875
57,750
Alang-alang
Imperata cylindrica
52
57
68
59,00
0,786
46,374
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
35
21
40
32,00
0,615
19,68
Dom-doman
Andropogon acicularus
27
37
39
34,33
0,706
24,237
177
187
210
191,33
Sub jumlah
148,041
70
No Petak
4
Jenis hijauan Nama lokal
Nama Latin
II
III
Rata-rata
Rata-rata x IP
Cyperus rotundus
28
36
40
34,67
0,286
9,916
Pahitan
Axonophus compresus
69
81
101
83,67
0,875
73,211
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
37
38
42
39,00
0,615
23,985
Dom-doman
Andropogon acicularus
50
40
49
46,33
0,706
32,709
184
195
232
203,67
139,821
Pahitan
Axonophus compresus
204
239
257
233,33
0,875
204,164
Alang-alang
Imperata cylindrica
175
176
161
170,67
0,786
134,147
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
89
128
104
107,00
0,615
65,805
Dom-doman
Andropogon acicularus
112
123
122
119,00
0,706
84,014
580
666
644
630,00
Sub jumlah
6
I
(IP) Indeks palatabilitas
Teki
Sub jumlah
5
Hasil pemotongan setiap 20 hari (g)
488,130
Pahitan
Axonophus compresus
160
171
190
173,67
0,875
151,961
Alang-alang
Imperata cylindrica
140
126
152
139,33
0,786
109,513
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
66
80
102
82,67
0,615
50,842
Dom-doman
Andropogon acicularus
91
103
124
106,00
0,706
74,836
457
480
568
501,67
Sub jumlah
387,152
71
No Petak
7
Jenis hijauan Nama lokal
Nama ilmiah
Pahitan
Axonophus compresus
I 89
Alang-alang
Imperata cylindrica
67
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers Sub jumlah
8
Rata-rata
(IP) Indeks palatabilitas
Rata-rata x IP
II 107
III 117
104,33
0,875
91,289
81
95
81,00
0,786
63,666
45
78
51,67
0,615
31,777
188
233
290
237,00
32
186,732
Teki
Cyperus rotundus
21
25
30
25,33
0,286
7,244
Pahitan
Axonophus compresus
36
38
49
41,00
0,875
35,875
Alang-alang
Imperata cylindrica
58
47
57
54,00
0,786
42,444
Dom-doman
Andropogon acicularus
26
23
28
25,67
0,706
18,123
141
133
164
146,00
Sub jumlah
9
Hasil pemotongan setiap 20 hari (g)
103,686
Pahitan
Axonophus compresus
47
59
82
62,67
0,875
54,836
Teki
Cyperus rotundus
20
18
25
21,00
0,286
6,006
Alang-alang
Imperata cylindrica
39
34
69
47,33
0,786
37,201
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
21
18
30
23,00
0,615
14,145
Dom-doman
Andropogon acicularus
24
31
35
30,00
0,706
21,180
151
160
241
184,00
Sub jumlah
133,368
72
No Petak
10
Jenis hijauan Nama lokal
Nama ilmiah
II
III
Rata-rata
Rata-rata x IP
Axonophus compresus
68
87
111
88,67
0,875
77,586
Alang-alang
Imperata cylindrica
54
62
97
71,00
0,786
55,806
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
21
29
62
37,33
0,615
22,958
Dom-doman
Andropogon acicularus
32
58
71
53,67
0,706
37,891
175
236
341
250,67
103
93
109
101,67
0,875
88,961
194,241
Pahitan
Axonophus compresus
Alang-alang
Imperata cylindrica
69
74
93
78,67
0,786
61,835
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
36
41
48
41,67
0,615
25,627
Dom-doman
Andropogon acicularus
49
55
67
57,00
0,706
40,242
257
263
317
279,01
98
86
103
95,67
0,875
83,711
105
99
115
106,33
0,786
83,575
Sub jumlah
12
I
(IP) Indek palatabilitas
Pahitan
Sub jumlah
11
Hasil pemotongan setiap 20 hari (g)
216,665
Pahitan
Axonophus compresus
Alang-alang
Imperata cylindrica
Kakawatan
Cynodon dactylon Pers
52
65
52
56,33
0,615
34,643
Dom-doman
Andropogon acicularus
73
80
86
79,67
0,706
56,247
328
330
356
338,00
258,176
Jumlah
3.253
3.328
3.895
3492,02
2665,317
Rata-rata
271,08
277,33
324,58
291,00
222,110
Sub jumlah
73
Lampiran 5 Konsumsi pakan tambahan (Kg bahan kering)* Pencatatan data (hari ke ) Perlakuan
Kelompok waktu pengamatan K1
T0 K2 K3 K1 T1 K2 K3 K1 T2 K2 K3 K1 T3 K2 K3
Jumlah
Rata rata
1
2
3
4
5
6
4,495
5,019
5,931
5,089
5,019
4,297
29,850
4,975
4,712
5,237
5,207
4,524
6,138
5,306
31,124
5,187
4,812
5,287
6,257
5,415
5,346
4,633
31,759
5,293
6,405
7,049
6,168
6,554
7,029
5,940
39,145
6,524
7,207
6,673
6,682
6,772
6,504
7,336
41,174
6,862
6,910
7,376
6,742
7,128
7,009
6,415
41,580
6,930
6,534
5,980
6,247
5,792
6,356
6,752
37,661
6,278
6,405
6,227
6,772
6,989
6,712
5,861
38,966
6,494
6,405
6,527
6,871
7,088
6,722
6,851
40,461
6,744
5,890
5,455
6,271
5,485
6,039
4,762
33,848
5,641
6,574
5,821
6,366
5,702
5,831
6,762
37,056
6,176
6,405
6,049
5,801
6,386
6,296
6,682
37,619
6,270
Catatan: * Konsumsi untuk 15 ekor rusa.
74
Lampiran 6 Indeks palatabilitas pakan tambahan ( Nilai = 0 – 1) Pencatatan data (hari ke ) Perlakuan
Kelompok Waktu Pengamatan K1
T0 K2 K3 K1 T1 K2 K3 K1 T2 K2 K3 K1 T3 K2 K3
Jumlah
Rata rata
1
2
3
4
5
6
0,545
0,504
0,599
0,514
0,507
0,434
3,012
0,502
0,476
0,529
0,526
0,457
0,620
0,536
3,144
0,524
0,487
0,534
0,632
0,547
0,540
0,468
3,208
0,535
0,647
0,712
0,623
0,662
0,710
0,600
3,954
0,659
0,728
0,674
0,675
0,684
0,657
0,741
4,159
0,693
0,698
0,745
0,681
0,720
0,708
0,648
4,200
0,700
0,660
0,604
0,631
0,585
0,642
0,682
3,804
0,634
0,647
0,629
0,684
0,706
0,678
0,,592
3,936
0,656
0,647
0,659
0,694
0,716
0,679
0,692
4,087
0,681
0,595
0,551
0,628
0,554
0,610
0,481
3,419
0,570
0,664
0,588
0,643
0,576
0,589
0,683
3,743
0,624
0,647
0,611
0,586
0,645
0,636
0,675
3,800
0,633
75
76
Lampiran 7 Analisis statistik indeks palatabilitas pakan tambahan Kelompok waktu pengamatan Perlakuan
Yi
Rata rata
1
2
3
T0
0,502
0,524
0,535
1,561
0,520
T1
0,659
0,693
0,700
2,052
0,684
T2
0,634
0,656
0,681
1,971
0,657
T3
0,570
0,624
0,633
1,827
0,609
Jumlah
2,365
2,497
2,549
7,411
FK
=
JKT
=
7,411² 12
JKK
54,9229 12
= 4,5769
(0,502² + 0,524² + 0,535 ² + ........ + 0,663² ) – 4,5769 4,6324
JKP
=
- 4,5769
=
0,0555
=
(1,561² + 2,052 ² + 1,971 ² + 1,827 ²) 3
=
13,8702 3
=
(2,365² + 2,497² + 2,549 ²) 4
=
18,3256 4
- 4,5769
- 4,5769
=
0,0465
- 4,5769
=
0,0045
JKG = 0,0555 - 0,0465 - 0,0045 = 0,0045 TABEL ANOVA
- 4,5769
77
Sumber
db
JK
KT
F hitung
F tabel (0,05)
Perlakuan
3
0,0465
0,0155
20,6667
4,76
Waktu Pengamatan
2
0,0045
0,0022
2,9333
5,14
Galat
6
0,0045
0,00075
Total
12
0,0555
Karena F hitung pada perlakuan > F tabel, maka H 0 ditolak, artinya minimal ada satu perlakuan yang berpengaruh nyata (significant) terhadap palatabilitas pakan tambahan, pada a = 0,05. Sedangkan F hitung pada kelompok waktu pengamatan
< F tabel, maka H 0 diterima, artinya kelompok waktu
pengamatan tidak berpengaruh nyata terhadap palatabilitas pakan tambahan, pada a = 0,05. Untuk mengetahui perlakuan mana yang berpengaruh nyata terhadap indek palatabilitas pakan tambahan, maka dilakukan uji LSD.
UJI LSD
t
v
= t a / 2 ; (dbg).
2 KTG b
=
0,025 ;
6
.
v
2 x 0,00075 3
=
2,447 x 0,0224
= 0,0548 a. ¦ Y1. - Y2. ¦ = ¦ 0,520 - 0,684 ¦ =
0,164 *
>
LSD
78
b. ¦ Y1. - Y3. ¦ = ¦ 0,520 - 0,657 ¦ =
0,137 *
>
LSD
c. ¦ Y1. - Y4. ¦ = ¦ 0,520 - 0,609 ¦ =
0,089 *
>
LSD
d. ¦ Y2. - Y3. ¦ = ¦ 0,684 - 0,657 ¦ =
0,027
<
LSD
e. ¦ Y2. - Y4. ¦ = ¦ 0,684 - 0,609 ¦ =
0,075 *
>
LSD
e. ¦ Y3. - Y4. ¦ = ¦ 0,657 - 0,609 ¦ =
0,048
<
LSD
79
Lampiran 8 Perhitungan kandungan nutrisi pakan tambahan T0 Protein 1. Dedak : 10,74/100 x 0,594/0,660 x 100% = 9,666% 2. Singkong/Ubi Kayu : 5,10/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,255% 3. Ubi Jalar : 3,05/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,152% + Jumlah
= 10,073%
Bahan Ekstrak Tiada N (BETN) 1. Dedak : 38,43/100 x 0,594/0,660 x 100% = 34,587% 2. Singkong/Ubi Kayu : 89,77/100 x 0,033/0,660 x 100% = 4,488% 3. Ubi Jalar : 90,80/100 x 0,033/0,660 x 100% = 4,540% + Jumlah
= 43,615%
Serat Kasar (SK) 1. Dedak : 23,22/100 x 0,594/0,660 x 100% = 20,898% 2. Singkong/Ubi Kayu : 2,05/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,102% 3. Ubi Jalar : 2,58/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,129% + Jumlah
= 21,129%
Lemak Kasar (SK) 1. Dedak : 11,85/100 x 0,594/0,660 x 100% = 10,665% 2. Singkong/Ubi Kayu : 1,36/100 x 0,033/0,600 x 100% = 0,068% 3. Ubi Jalar : 0,64/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,032% + Jumlah
= 10,765%
Abu 1. Dedak : 15,75/100 x 0,594/0,660 x 100% = 14,175% 2. Singkong/Ubi Kayu : 1,72/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,086% 3. Ubi Jalar : 2,93/100 x 0,033/0,660 x 100% = 0,146% + Jumlah
= 14,407%
80
T1 Protein 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 10,74/100 : 5,10/100 : 3,05/100 : 6,49/100
x x x x
0,528/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,066/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 8,592% = 0,255% = 0,152% = 0,649% +
Jumlah
= 9,648%
Bahan Ekstrak Tiada N (BETN) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 38,43/100 : 89,77/100 : 90,80/100 : 64,53/100
x x x x
0,528/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,066/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 30,744% = 4,488% = 4,540% = 6,453% +
Jumlah
= 46,225%
Serat Kasar (SK) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 23,22/100 : 2,05/100 : 2,58/100 : 17,29/100
x x x x
0,528/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,066/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 18,576% = 0,102% = 0,129% = 1,729% +
Jumlah
= 20,536%
Lemak Kasar (SK) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 11,85/100 : 1,36/100 : 0,64/100 : 0,85/100
x x x x
0,528/0,660 0,033/0,600 0,033/0,660 0,066/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 9,480% = 0,068% = 0,032% = 0,085% +
Jumlah
= 9,665%
Abu 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 15,75/100 : 1,72/100 : 2,93/100 : 10,84/100
x x x x
0,528/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,066/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 12,600% = 0,086% = 0,146% = 1,084% +
Jumlah
= 13,916%
81
T2 Protein 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 10,74/100 : 5,10/100 : 3,05/100 : 6,49/100
x x x x
0,462/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,132/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 7,518% = 0,255% = 0,152% = 1,298% +
Jumlah
= 9,223%
Bahan Ekstrak Tiada N (BETN) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 38,43/100 : 89,77/100 : 90,80/100 : 64,53/100
x x x x
0,462/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,132/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= = = =
26,901% 4,488% 4,540% 12,906% +
Jumlah
= 48,835%
Serat Kasar (SK) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 23,22/100 : 2,05/100 : 2,58/100 : 17,29/100
x x x x
0,462/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,132/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 16,254% = 0,102% = 0,129% = 3,458% +
Jumlah
= 19,943%
Lemak Kasar (SK) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 11,85/100 : 1,36/100 : 0,64/100 : 0,85/100
x x x x
0,462/0,660 0,033/0,600 0,033/0,660 0,132/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 8,295% = 0,068% = 0,032% = 0,172% +
Jumlah
= 8,567%
Abu 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 15,75/100 : 1,72/100 : 2,93/100 : 10,84/100
x x x x
0,462/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,132/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 11,025% = 0,086% = 0,146% = 2,168% +
Jumlah
= 13,425%
82
T3 Protein 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 10,74/100 : 5,10/100 : 3,05/100 : 6,49/100
x x x x
0,396/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,198/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 6,444% = 0,255% = 0,152% = 1,947% +
Jumlah
= 8,798%
Bahan Ekstrak Tiada N (BETN) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 38,43/100 : 89,77/100 : 90,80/100 : 64,53/100
x x x x
0,396/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,198/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= = = =
23,058% 4,488% 4,540% 19,359% +
Jumlah
= 51,445%
Serat Kasar (SK) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 23,22/100 : 2,05/100 : 2,58/100 : 17,29/100
x x x x
0,396/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,198/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 13,932% = 0,102% = 0,129% = 5,187% +
Jumlah
= 19,350%
Lemak Kasar (SK) 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 11,85/100 : 1,36/100 : 0,64/100 : 0,85/100
x x x x
0,396/0,660 0,033/0,600 0,033/0,660 0,198/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= 7,110% = 0,068% = 0,032% = 0,255% +
Jumlah
= 7,465%
Abu 1. 2. 3. 4.
Dedak Singkong/Ubi Kayu Ubi Jalar Kulit Pisang
: 15,75/100 : 1,72/100 : 2,93/100 : 10,84/100
x x x x
0,396/0,660 0,033/0,660 0,033/0,660 0,198/0,660
x x x x
100% 100% 100% 100%
= = = =
9,450% 0,086% 0,146% 3,252% +
Jumlah
= 12,934%