Disain dan Pengujian Metering Device untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator)
ABDUL AZIS S
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Disain dan Pengujian Metering Device untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2011
Abdul Azis S NIM F151080051
ABSTRACT
Abdul Azis S. Design and Testing of Metering Device for Variable Rate Granular Fertilizer Applicator). Supervised by RADITE P.A SETIAWAN and I DEWA MADE SUBRATA. Uniform rate of fertilizer applicator (URA) practice is disregarding the productive potential of the various areas within the field. Thus, some area is less fertilized and other is over fertilized. It is also an important issue recently that nitrogen from fertilizers may be subjected to lost into atmosphere or enters streams through surface or subsurface drainage (leaching). The place with overfertilization will be a potential source of pollution in the form of ammonia (NH3), nitrite (NO2) and nitrate (NO3) which may hazard people health. Therefore, a contemporary issue is how to give an effective dose at the accurate position and right time for optimum growth of crops while preserving the environment without causing economic losses. Variable rate of fertilizer applicator (VRA) is a solution to overcome the negative impact of URA. It can control the appropriate of fertilizer dosage and location of application in the field. The objective of this research is to design a metering device for variable rate granular fertilizer applicator. In this research, the metering device was equipped with two rotor, which could be operated as single rotor or double rotor. The dose of granular fertilizer could be controlled by the rotation of the rotor. The rotation of the rotor was controlled using digital PID algorithm. The result of variable rate fertilizer testing of the metering device using single rotor indicated that the rate of urea, SP36 and NPK are 0.84, 0.96 and 1.2 g/rotation respectively. The testing using double rotor indicated that the rate of urea, SP-36 and NPK are 1.14, 2.22 and 2.1 g/rotation respectively. All results showed that the prototype of metering device can control fertilizer dose of urea, SP-36 and NPK fertilizer precisely. Keyword: granular applicator, metering device, PID controller, variable rate.
RINGKASAN ABDUL AZIS S. Disain dan Pengujian Metering Device untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator). Dibimbing oleh RADITE P. A SETIAWAN dan I DEWA MADE SUBRATA. Teknologi perlakuan seragam atau URT (Uniform Rate Technology) memberikan perlakuan yang sama terhadap lahan pertanian tanpa memperhatikan kondisi tanah baik sifat kimia maupun sifat fisik dan struktur tanah. Perlakuan seragam dalam kegiatan pemupukan meliputi perlakuan dosis, waktu dan lokasi. Perlakuan dosis pupuk seragam tidak memperhatikan produktivitas lahan. Sehingga menyebabkan respon penerimaaan dosis pupuk akan berbeda-beda. Akan terdapat tanaman yang menerima dosis pupuk kurang dari yang dibutuhkan dan terdapat pula tanaman yang akan menerima dosis melebihi dosis yang dibutuhkan. Pemupukan yang kurang dari dosis yang dibutuhkan tanaman mengakibatkan pemenuhan kebutuhan tanaman akan unsur hara tidak tercapai sehingga pertumbuhan tanaman tidak akan optimal. Sedangkan kelebihan dosis akan berdampak buruk bagi lingkungan dan tanaman. Unsur nitrogen dari pupuk sebagian akan terlepas ke atmosfir dan sebagian lagi akan mengalir dipermukaan tanah atau dibawah permukaan tanah sehingga lahan yang overdosis akan berpotensi menjadi sumber polusi dalam bentuk amoniak (NH3), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (FAO, 2000 dalam Radite, 2001). Salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menggantikan teknologi URT khususnya pada perlakuan pemupukan adalah teknologi perlakuan tidak seragam atau VRT (Variable-Rate Technology). VRT akan mampu menghasilkan perlakuan yang tepat berdasarkan kebutuhan tanaman. Perlakuan yang tepat mencakup tepat waktu, tepat dosis dan tepat lokasi. Perlakuan tepat dosis memerlukan peralatan VRA (Variable Rate Applicator) yang dapat mengontrol dosis penggunaan pupuk dan pestisida. VRA memerlukan metering device yang dapat mengontrol dosis pupuk yang digunakan. Tujuan penelitian adalah untuk mendisain sebuah metering device yang dapat mengontrol jumlah penjatahan pupuk granular yang dosisnya dapat dikontrol secara elektronik, menguji respon kontrol dari prototipe metering device dan menguji kinerja prototipe metering device dengan menggunakan 3 jenis pupuk pada berbagai dosis pemupukan. Prosedur penelitian mencakup; 1) Studi pustaka, 2) Inventarisasi alat dan bahan serta pembuatan rangkaian pendukung, 3) Perancangan dan pemrograman mikrokontroller, 4) Kalibrasi motor, 5) Identifikasi sistem, 6) Pengujian dengan stair-step response, 7) Pengujian dengan pupuk granular, 8) Pengolahan data. Hasil kalibrasi kecepatan putar motor menunjukkan hubungan antara tegangan input motor dengan kecepatan putar motor adalah linier dengan R2 = 0.999 dengan persamaan korelasi y = 162.9x – 95.48. Semakin besar tegangan input yang diberikan, maka semakin besar kecepatan putar motor. Nilai K, T dan d yang diperoleh dari pengeplotan menggunakan model g (t ) 1 e
xi
K (t d ) T
untuk
t > d dan g(t) = 0 untuk t < d (Radite, 2010). Hasil pengeplotan menggunakan metode least square diperoleh nilai K = 1.82, T = 0.075 dan d = 0.03. Hasil pengujian dengan stair-step response menunjukkan bahwa pengujian dengan kontrol PID memberikan respon yang cukup baik, dimana kecepatan putaran motor mendekati nilai set-point yang dikehendaki Pengujian metering device dengan satu rotor memberikan laju aliran pupuk urea, SP-36 dan NPK untuk set-point 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm berturut turut sebesar 5.546, 12.11, 17.84, 23.66 dan 29.64 g/s; 7.54, 15.2, 22.09, 28.91 dan 33.27 g/s; 8.4, 16.25, 24.62, 32.42 dan 40.5 g/s sedangkan pengujian metering device dengan dua rotor memberikan laju aliran pupuk, SP-36 dan NPK untuk setpoint 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm berturut-turut sebesar 7.846, 15.46, 23.04, 30.76 dan 39.92 g/s; 23.33, 39.24, 54.34, 68.92 dan 82.54 g/s; 22.92, 38.48, 51.34, 66.53 dan 78.80 g/s. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa kenaikan laju keluaran pupuk proporsional dengan kenaikan putaran rotor. Dengan demikian dosisi pupuk dapat dikontrol melalui pengontrolan putaran rotor. Prototipe sistem Metering device yang dihasilkan dapat mengontrol keluaran pupuk urea, SP-36 dan NPK secara presisi dengan variasi kecepatan motor antara 400 sampai 2000 rpm. Kata kunci: Kontrol PID, Laju aliran pupuk, Perlakuan seragam, Tepat dosis
xii
DISAIN DAN PENGUJIAN METERING DEVICE UNTUK UNIT PEMUPUK BUTIRAN LAJU VARIABEL (VARIABLE RATE GRANULAR FERTILIZER APPLICATOR)
ABDUL AZIS S
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 xiii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si
xiv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah dengan judul Desain dan Pengujian Metering Device untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator) berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan November 2010 di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB, Bogor. Penelitian ini dibiayai dari program IM-HERE 2010. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Radite P.A Setiawan, M.Agr selaku pembimbing pertama atas segala bimbingan, arahan dan masukannya selama proses penelitian berlangsung hingga penulisan tesis ini selesai dan Bapak Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr selaku pembimbing kedua atas segala koreksi, bimbingan dan arahannya dalam menyusun tesis ini serta Bapak Dr. Ir. I Wayan Astika, MS sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Radite P.A Setiawan, M.Agr selaku ketua peneliti pada Program IM-HERE tahun 2010 atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis menjadi bagian dalam penelitian. Teman-teman TMP 2008 atas dukungan dan semangatnya. Staf, laboran dan teknisi laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Fateta IPB. Kedua orang tua Bapak H. Samaila HS dan Ibu Hj. Yasseng atas segala pengorbanan yang tak ternilai yang diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Abdul Azis S
xv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangkep pada tanggal 09 Desember 1982. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara, putra dari pasangan H. Samaila HS dan Hj. Yasseng. Penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMU Negeri 1 Pangkep dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin (UNHAS) melalui jalus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknik Pertanian dan lulus sebagai Sarjana Teknik Pertanian pada tahun 2006. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten berbagai mata kuliah, diantaranya: tahun 2003/2004 menjadi asisten Biologi Dasar, 2004/2005 menjadi asisten mata kuliah elektronika, ekonomi teknik dan teknik kontrol dan instrumentasi dan 2005/2006 menjadi asisten teknik kontrol dan instrumentasi, Pertengahan Agustus 2008 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, program studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB.
xvi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR........................................................................................................ xix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xxii I. PENDAHULUAN..........................................................................................................1 1.1 Latar belakang...........................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................3 1.3 Tujuan dan Kegunaan................................................................................................3 1.3.1 Tujuan................................................................................................................3 1.3.2 Kegunaan...........................................................................................................4 II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................5 2.1 Pupuk dan Pemupukan ..............................................................................................5 2.1.1 Sifat Fisik dan Mekanis Pupuk Granular...........................................................5 2.1.2 Aplikasi Pupuk Granular ...................................................................................6 2.2 Pertanian presisi (Precision farming)........................................................................9 2.3 Metering Device dan Hopper ..................................................................................11 2.4 Motor DC dan Motor Servo ....................................................................................14 2.5 Rotary Encoder .......................................................................................................16 2.6 Mikrokontroller dan Smart Peripheral Controller (SPC) .......................................16 2.7 EMS 30A H-Bridge.................................................................................................19 2.8 Pengendalian Kecepatan Motor ..............................................................................21 2.9 Proporsional Integral Derivatif (PID)......................................................................22 2.9.1 Kontrol Proporsional (Proportional Control) .................................................22 2.9.2 Kontrol Proporsional Integral (Proportional Integral Control) ......................23 2.9.3 Kontrol PID (Proportional Integral Derivative Control)................................24 III.METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................................26 3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................................................26 3.2 Alat dan Bahan........................................................................................................26 3.3 Tahapan Penelitian ..................................................................................................26 3.3.1 Studi Pustaka ...................................................................................................27 3.3.2 Inventarisasi Peralatan dan Pembuatan Rangkaian Pendukung ......................28 xvii
3.3.3 Pendekatan Disain Fungsional.........................................................................28 3.3.4 Pendekatan Disain Struktural ..........................................................................29 3.3.5 Perancangan dan Pemrograman Mikrokontroller............................................32 3.3.6 Kalibrasi Kecepatan Motor dengan PWM.......................................................33 3.3.7 Pengujian dengan Loop Terbuka .....................................................................33 3.3.8 Pengujian dengan Stair-Step Response............................................................35 3.3.9 Pengujian dengan Pupuk Granular ..................................................................36 3.4 Persamaan-Persamaan Kontrol...........................................................................37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................39 4.1 Hasil Rancangan Metering Device..........................................................................39 4.1.1 Rotor................................................................................................................39 4.1.2 Casing Rotor....................................................................................................40 4.1.3 Hopper.............................................................................................................41 4.2 Kalibrasi Motor DC Servo ......................................................................................42 4.3 Pengujian Karakteristik Pupuk Granular.................................................................44 4.4 Identifikasi Sistem...................................................................................................44 4.5 Pengujian dengan Stair-Step Response ...................................................................45 4.5.1 Pengujian Stair-Step Response tanpa Kontrol PID..........................................45 4.5.2 Penalaan Stair-Step Response dengan Kontrol PID ........................................46 4.6 Pengujian dengan Pupuk Granular..........................................................................49 4.6.1 Pengujian dengan Kontrol PID........................................................................50 4.6.2 Pengujian Tanpa Kontrol.................................................................................56 4.6.3 Dosis Pemupukan ............................................................................................60 V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................61 5.1 Kesimpulan.............................................................................................................61 5.2 Saran.......................................................................................................................61 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................62 LAMPIRAN ......................................................................................................................64
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 (a) Metering device tipe auger dan (b). Mekanisme penyaluran bahan ..........12 Gambar 2 Metering device tipe edge-cell ........................................................................12 Gambar 3 Metering device tipe belt. ................................................................................12 Gambar 4 Metering device tipe positif feed fluted roll .....................................................13 Gambar 5 Bentuk dari sebuah metering device ................................................................14 Gambar 6 Prinsip kerja rotary encoder ............................................................................16 Gambar 7 SPC motor controlller dan mikrokontroller DT-51 minimum system .............19 Gambar 8 EMS 30A H-Bridge .........................................................................................20 Gambar 9 Bentuk tegangan PWM dan tegangan ekivalen liniernya................................22 Gambar 10 Diagram blok kontrol proporsional (kontrol P) .............................................22 Gambar 11 Diagram blok kontrol Integral (kontrol I)......................................................23 Gambar 12 Diagram blok kontrol proporsional-integral (P-I)..........................................24 Gambar 13 Diagram blok konrol PID ..............................................................................24 Gambar 14 Bagan alir tahapan penelitian.........................................................................27 Gambar 15 Gambar metering device akhir.......................................................................30 Gambar 16 Dimensi dan ukuran hopper...........................................................................31 Gambar 17 Sistem pengendalian motor DC dengan loop terbuka....................................34 Gambar 18 Grafik penentuan nilai K, T dan d .................................................................34 Gambar 19 Diagram skematik pengontrolan motor DC dengan control PID...................36 Gambar 20 Hasil rancangan rotor ....................................................................................39 Gambar 21 Hasil rancangan metering device ...................................................................40 Gambar 22 Hasil rancangan casing rotor..........................................................................40 Gambar 23 Lubang masukan pupuk ke rotor...................................................................41 Gambar 24 Pemasangan rotor pada casing rotor.............................................................41 Gambar 25 Hasil rancangan hopper .................................................................................42 Gambar 26 Metering device dan hopper ..........................................................................42 Gambar 27 Grafik hubungan antara tegangan input motor (volt) dengan kecepatan putar (RPM)..............................................................................................................43 Gambar 28 Grafik hubungan nilai PWM dengan tegangan input motor (volt) ................43 Gambar 29 Grafik pengujian identifikasi sistem..............................................................45 Gambar 30 Grafik pengujian stair-step response tanpa kontrol PID ...............................46 Gambar 31 Grafik penalaan Stair-step response dengan konstanta Zeigler-Nichols. .......46 Gambar 32 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 800; 10,000 dan 30,000 ...........................................................................................48 Gambar 33 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 400; 5,000 dan 15,000 .......................................................................................................48 Gambar 34 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 500; 5,000 dan 30,000 .......................................................................................................48
xix
Gambar 35 Grafik hasil penalaan konstanta PID masing-masing 500; 15,000 dan 20,000 .........................................................................................................................49 Gambar 36 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk (kanan)...................................51 Gambar 37 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) ........................52 Gambar 38 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)..........................53 Gambar 39 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea(kanan) ............................55 Gambar 40 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) ........................55 Gambar 41 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)..........................55 Gambar 42 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea (kanan) ...........................57 Gambar 43 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) ........................57 Gambar 44 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)..........................58 Gambar 45 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea (kanan) ...........................59 Gambar 46 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) .......59 Gambar 47 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan)..........................60
xx
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Karakteristik pupuk Amonium Sulfat ((NH4)2SO4)...............................................5 Tabel 2 Karakteristik fisik pupuk NPK ..............................................................................6 Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia pupuk TSP ..............................................................6 Tabel 4 Rekomendasi umum pemupukan nitrogen pada tanaman padi sawah ..................7 Tabel 5 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah.........................................7 Tabel 6 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah.........................................8 Tabel 7 Anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk tunggal. ..................................................................................................................9 Tabel 8 Tabel kebenaran dari modul H-Bridge ................................................................21 Tabel 9 Kriteria Zeighler dan Nichols..............................................................................34 Tabel 10 Distribusi ukuran dan massa jenis pupuk urea, SP-36 dan NPK.......................44
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Perhitungan volume metering device teoritis................................................64 Lampiran 2 Perhitungan dosis pemupukan urea...............................................................66 Lampiran 3 Perhitungan dosis pemupukan SP-36............................................................67 Lampiran 4 Perhitungan dosis pemupukan NPK .............................................................68 Lampiran 5 Bagan alir sistem pengontrolan.....................................................................69 Lampiran 6 Tabel hasil kalibrasi kecepatan motor DC ....................................................71 Lampiran 7 Tabel kombinasi konstanta P, I dan D untuk penalaan PID..........................72 Lampiran 8 Tabel hasil pengujian distribusi ukuran pupuk NPK , SP-36 dan urea. ........73 Lampiran 9 Tabel hasil pengukuran massa dan volume pupuk granular. ........................74 Lampiran 10 Tabel hasil identifikasi sistem.....................................................................75 Lampiran 11 Tabel hasil pengujian metering device dengan satu rotor...........................77 Lampiran 12 Tabel hasil pengujian metering device dengan dua rotor. ..........................78 Lampiran 13 Bahasa program kontrol dengan PID ..........................................................79 Lampiran 14 Bahasa program pembacaan putaran motor ................................................89
xxii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sistem pertanian di Indonesia masih menerapkan teknologi perlakuan seragam atau URT (Uniform Rate Technology). Teknologi ini memberikan perlakuan yang sama terhadap lahan pertanian tanpa memperhatikan kondisi tanah baik sifat kimia seperti kandungan hara/nutrisi dan pH tanah maupun sifat fisik seperti tekstur dan struktur tanah. Perlakuan budidaya pertanian meliputi pengolahan tanah, penanaman dan pemeliharaan (pemupukan dan pengendalian hama). Teknologi ini banyak digunakan karena murah dan mudah dilakukan bahkan relatif tidak memerlukan aplikasi peralatan tertentu. Teknologi perlakuan seragam dalam kegiatan pemupukan meliputi dosis, waktu dan lokasi. Perlakuan dosis pupuk seragam tidak memperhatikan produktivitas lahan. Sehingga menyebabkan respon penerimaaan dosis pupuk akan berbeda-beda. Akan terdapat tanaman yang menerima dosis pupuk kurang dari yang dibutuhkan dan terdapat pula tanaman yang akan menerima dosis melebihi dosis yang dibutuhkan. Pemupukan
yang
kurang
dari
dosis
yang
dibutuhkan
tanaman
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan tanaman akan unsur hara tidak tercapai sehingga pertumbuhan tanaman tidak akan optimal. Perlakuan ini tentunya tidak akan berhasil untuk mencapai tingkat produksi yang optimal. Sedangkan kelebihan dosis akan berdampak buruk bagi lingkungan dan tanaman. Unsur nitrogen dari pupuk sebagian akan terlepas ke atmosfir dan sebagian lagi akan mengalir dipermukaan tanah atau dibawah permukaan tanah sehingga lahan yang overdosis akan berpotensi menjadi sumber polusi dalam bentuk amoniak (NH3), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (FAO, 2000 dalam Radite, 2001). Menurut Reijntjes at al. (1992) penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dapat menggangu kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik sehingga menyebabakan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan panen. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral Nitrogen yang menyebabkan pengasaman dan menurunkan pH tanah. Selain itu,
1
penggunaan pupuk buatan di negara maju dan negara berkembang memberikan andil pada resiko global yang muncul dari pelepasan nitrogen oksida pada atmosfer dan lapisan di atasnya. Pada lapisan stratosfer, N2O akan menipiskan lapisan ozon dengan menyerap gelombang sinar infra merah tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah kaca) dan mengganggu kestabilan iklim. Menurut Sutedjo (2008), akibat yang dapat ditimbulkan dari pemupukan dengan dosis yang berlebihan antara lain kematian tanaman yang dibudidayakan, timbulnya gejala-gejala penyakit pada tanaman yang masih muda, kerusakan fisik tanah dan tidak ekonomis. Sedangkan menurut Tan Kim (1994), penggunaan unsur P yang berlebihan akan sangat berbahaya bagi tanah dan lingkungan, karena sebagian besar akan terlarut ke dalam sungai atau danau. Jika akumulasi unsur P dan ion nitrat sangat besar pada danau akan menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang tidak diinginkan menjadi tidak terkendali. Proses ini sering disebut dengan proses eutrophication. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menggantikan teknologi URT adalah teknologi perlakuan tidak seragam atau VRT (Variable Rate Technology). Teknologi ini merupakan salah satu bagian dari sistem pertanian presisi (precision farming) yang sekarang ini menjadi sistem pertanian yang banyak dikembangkan di negara maju. Tekonolgi VRT
akan mampu
menghasilkan perlakuan yang tepat berdasarkan kebutuhan tanaman. Perlakuan yang tepat mencakup tiga hal penting, yaitu memberikan aplikasi yang tepat waktu, tepat dosis dan tepat lokasi. Aplikasi tepat waktu memerlukan analisi tanah dan tanaman dalam menentukan jenis dan kadar unsur hara yang terkandung dalam tanaman serta jenis dan kadar unsur hara yang terkandung dalam tanah yang masih mampu diserap oleh tanaman sehingga kedua data ini dapat menjadi dasar penentuan dosis yang harus diberikan. Aplikasi tepat lokasi memerlukan teknologi DGPS (Differential Global Position System) dan GIS (Geographic Information Sistem) yang berfungsi sebagai navigator dalam menentukan posisi mesin saat bekerja di atas lahan dan memetakan lahan berdasarkan hasil uji kandungan hara. Sedangkan tepat dosis memerlukan peralatan VRA (Variable Rate Aplicator) yang dapat mengontrol dosis penggunaan pupuk dan pestisida.
2
Dalam penelitian ini, teknologi VRT akan diterapkan dalam kasus pemupukan dan akan didesain untuk aplikasi pengontrolan dosis pupuk granular (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator). Untuk itu, diperlukan sebuah metering device yang dapat digunakan untuk mengatur keluaran pupuk granular yang digunakan. 1.2 Rumusan Masalah Penggunaan sistem pertanian URT terutama dalam pemupukan tidak mampu memberikan aplikasi pemupukan yang tepat berdasarkan waktu, dosis dan lokasi sehingga hasil pemupukan tidak akan memberikan hasil yang optimal dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tanaman, lingkungan dan manusia. Pemupukan dengan dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air tanah, meracuni mikroorganisme tanah, dan memberikan andil pada resiko pemanasan global (global warming) yang muncul dari pelepasan nitrogen oksida pada atmosfer dan lapisan di atasnya. Selain itu, menyebabkan pemupukan tidak efektif dan efisien. Sistem VRT merupakan salah satu pilihan teknologi untuk menggantikan sistem URT. Teknologi VRT dalam aplikasi pemupukan harus dilengkapi dengan DGPS dan VRA. VRA memerlukan komponen yang dapat mengontrol dosis pupuk yang digunakan. salah satu komponen yang dapat digunakan adalah metering device. Oleh karena itu. Penelitian ini penting dilakukan untuk memperoleh sebuah metering device yang dapat dikontrol secara elektronik dan dapat diaplikasikan untuk mengontrol dosis pupuk granular. 1.3 Tujuan dan Kegunaan 1.3.1 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Mendesain sebuah metering device yang dapat mengontrol jumlah penjatahan pupuk granular yang dosisnya dapat dikontrol secara elektronik 2. Menguji respon kontrol dari prototipe metering device 3. Menguji kinerja prototipe metering device dengan menggunakan 3 jenis pupuk pada berbagai dosis pemupukan
3
1.3.2 Kegunaan Metering device ini dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi Variable Rate Granular Applicator setelah dilengkapi peralatan pendeteksi posisi di lahan (DGPS) dan sensor pendeteksi kandungan unsur hara tanah dan tanaman serta merupakan peralatan yang penting bagi aplikasi pertanian presisi (Precision Farming) di Indonesia.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk dan Pemupukan 2.1.1 Sifat Fisik dan Mekanis Pupuk Granular 2.1.1.1 Pupuk Urea Pupuk urea terbuat dari gas amoniak dan gas asam arang. Persenyawaan kedua zat ini melahirkan pupuk urea dengan kandungan N hingga mencapai 46%. Urea termasuk pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air). Pada kelembaban 73%, pupuk ini sudah mampu menarik uap air dari udara. Oleh karena itu, urea mudah larut dalam air dan mudah diserap oleh tanaman. Kalau diberikan ke tanah, pupuk ini akan mudah berubah menjadi amoniak dan karbondioksida. Padahal kedua zat ini berupa gas yang mudah menguap. Sifat lainnya ialah mudah tercuci oleh air dan mudah terbakar oleh sinar matahari (Marsono dan Pinus Lingga, 2008). Karakteristik pupuk Amonium Sulfat ((NH4)2SO4) menurut Honeywell International Inc (2008) seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik pupuk Amonium Sulfat ((NH4)2SO4) Kandungan kimia % Nitrogen Sulfur Asam bebas (H2SO4) Kadar air Rumus kimia
21 min 24 min 0.1 max 1.0 max (NH4)2SO4
Berat molekul
132.14
Angle of repose
35o
2.1.1.2 Pupuk NPK Pupuk NPK merupakan salah satu pupuk majemuk yang mengandung unsur Nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K) dengan kadar yang beragam. Jenis dan kadar unsur yang dikandungnya berdasarkan negara asalnya. Seperti amafoska I (12-24-12) dari Amerika Serikat, nitrofoska I (17.5-13-22) dari Jerman, compound fertilizer (14-12-9) dari Jepang dan NPK Holland (15-15-15)
5
dari Belanda (Lingga Pinus dan Marsono, 2008). Beberapa sifat fisik dari pupuk NPK seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik fisik pupuk NPK Karakteristik fisik Bulk density Kg/m3 850 - 1000 Angle of repose Degree 32o color Red/pink Sumber : Zakłady Chemiczne „Police” SA 2.1.1.3 Pupuk TSP Pupuk TSP (triplesuperfosfat) merupakan pengganti DS saat hubungan Indonesia dengan Belanda kurang baik. TSP didatangkan dari Amerika Serikat. Kadar P2O5 46 – 48% dan umumnya berwarna abu-abu. Bentuknya berupa butiran (granulated) dan memiliki sifat larut dalam air serta reaksi fisiologinya netral (Lingga Pinus dan Marsono, 2008). Karakteristik fisik dan kimia pupuk TSP seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia pupuk TSP Sifat kimia % Phospat (P2O5) H2O Sulfur Besi (Fe2O3) Aluminium (Al2O3) Magnesium (MgO) pH Asam sitrat Bulk density
48.1 1.0 3.2 1.7 1.6 0.9 2.7 2.0 1100 kg/m3
Indeks keseragaman
55
Angle of repose
31o – 33o
2.1.2 Aplikasi Pupuk Granular Perhitungan kebutuhan pupuk urea seperti ditunjukkan pada Tabel 4 didasarkan pada tingkat produktivitas padi sawah. Pada tingkat produktivitas rendah (<5 t/ha) dibutuhkan urea 200 kg/ha. Pada tingkat produktivitas sedang (56 t/ha) dibutuhkan urea 250-300 kg/ha. Sedangkan pada tingkat produktivitas tinggi (>6 t/ha) dibutuhkan urea 300-400 kg/ha. Pada daerah yang memiliki data 6
produktivitas padi dengan perlakuan tanpa pemupukan N, kebutuhan pupuk urea dapat dihitung dengan menggunakan Tabel 1. Misalnya, apabila tanaman padi di suatu lokasi menghasilkan gabah sebanyak 3 t/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target hasil adalah 6 t/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan adalah sekitar 325 kg tanpa penggunaan bagan warna daun (BWD) dan 250 kg dengan BWD (Deptan, 2007). Status P dan K tanah dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Dari masing-masing kelas status P dan K tanah sawah telah dibuatkan rekomendasi pemupukan P (dalam bentuk SP-36) dan K (dalam bentuk KCl). Tabel 5 dan 6 memuat rekomendasi umum pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah (Deptan, 2007). Tabel 4 Rekomendasi umum pemupukan nitrogen pada tanaman padi sawah Target kenaikan rekomendasi Rekomendasi Teknologi yang (kg/ha)produksi dari tanpa (kg/ha) digunakan pupuk N N Urea Konvensional 125 275 Menggunakan BWD 2,5 t/ha 90 200
3,0 t/ha
3,5 t/ha
Menggunakan BWD + 2 t pupuk kandang/ha
75
175
Konvensional
145
325
Menggunakan BWD
112
250
Menggunakan BWD + 2 t pupuk kandang/ha
100
225
Konvensional
170
375
Menggunakan BWD
135
300
Menggunakan BWD + 2 t pupuk kandang/ha
125
275
Tabel 5 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah Kelas status hara Kadar hara P tanah Takaran rekomendasi P tanah terekstrak HCl 25% (kg SP-36/ha) (mg P2O5/100 g) Rendah < 20 100 Sedang
20 – 40
75
Tinggi
> 40
50
7
Tabel 6 Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah Kadar hara K tanah Takaran rekomendasi Kelas status hara K terekstrak HCl 25% pemupukan K (kg tanah (mg K2O/100 g) KCl/ha) Rendah
< 20
100
Sedang
10 – 20
50
Tinggi
> 20
50
Hasil penelitian dari PT Pusri menunjukkan bahwa tanah dengan tanaman padi yang kadar hara fosfatnya (P) rendah harus dipupuk 100 kg SP-36 per ha, yang kadar hara P-nya sedang dipupuk 75 kg SP-36 per ha dan yang P-nya tinggi dipupuk dengan 50 kg SP-36 per ha. jadi dosis SP-36 untuk lahan sawah berbedabeda, tergantung kandungan hara P dalam tanah. Tanah yang kadar hara kaliumnya (K) rendah, dipupuk 100 kg KCl per ha, sedang kadar K-nya sedang sampai tinggi, cukup dipupuk 50 kg KCl per ha. Table 7 menunjukkan dosis anjuran pupuk SP-36 dan KCl untuk padi sawah berdasarkan status hara fosfat (P) dan kalium (K) pada lahan sawah. Untuk hara N tidak dilakukan pembuatan peta status hara N karena umumnya kadar N tanah di Indonesian rendah, sehingga secara umum harus dipupuk 250-300 kg urea per ha. Hara N, P dan K yang ditambahkan ke dalam tanah harus dalam jumlah yang tepat. Jenis tanah, tingkat ketersediaan hara dalam tanah, kondisi iklim, varietas padi sawah yang ditanam dan cara pemberian pupuk akan sangat menentukan ketetapan jenis dan dosis pupuk yang harus ditambahkan. Untuk menghasilkan padi sawah sebanyak 3 t/ha, dibutuhkan hara sekitar 54 kg N, 60 kg P2O5 dan 55 kg K2O/ha/musim (Djaenuddin et al. 2000 dalam BPPT-Sulbar, 2009). Sebagai pembanding, hasil penelitian Idris et al. (2002) dalam BPPTSulbar (2009) menunjukkan bahwa pemupukan 90 kg N, 72 kg P2O5 dan 50 kg K2O/ha/musim menghasilkan gabah kering giling (GKG) 5.4 t/ha/musim. Kelebihan atau kekurangan hara tersebut akan mempengaruhi efisiensi hara akibat terganggunya absorbsi hara dalam tanah dan metabolisme tanaman
8
Tabel 7 Anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk tunggal. Kelas status hara tanah Anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi P Rendah Sedang Tinggi
K Rendah Sedang Tinggi Rendah sedang Tinggi Rendah sedang Tinggi
Urea 250 250 250 250 250 250 250 250 250
SP-36 100 100 100 75 75 75 50 50 50
KCl 100 50 50 100 50 50 100 50 50
2.2 Pertanian presisi (Precision farming) Menurut Searcy (1997) pertanian presisi (precision farming) merupakan salah satu cara penggunaan informasi lahan untuk mengatur input produksi secara tepat. Cara ini digunakan untuk mengetahui karakteristik tanah dan tanaman dan untuk mengoptimalkan input produksi sampai pada porsi yang terkecil. Filosopi dari pertanian presisi adalah bahwa input produksi seperti pupuk, pestisida dan lainnya harus diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sesuai dengan lokasi yang membutuhkan. Menurut Arnholt, et al. (2001) bahwa pertanian presisi merupakan sistem pertanian yang didesain untuk memberikan data dan informasi bagi petani sehingga dapat membantu dalam membuat suatu keputusan-keputusan pengolahan tanah berdasarkan lokasi. Dengan informasi ini, pertanian dapat menjadi lebih efisien, memungkinkan penggunaan biaya yang lebih kecil dan lebih menguntungkan. Terdapat dua metode untuk mengaplikasikan pertanian presisi atau pertanian yang berorientasi lokasi (site-specific farming). Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan dapat digunakan untuk saling melengkapi atau dapat dikombinasikan (Morgan, 1999 dalam Radite, 2001). Metode pertama, map-based mencakup beberapa tahap: pembuatan grid sampling
sebuah lahan, analisis
laboratorium terhadap sampel tanah, penentuan peta berdasarkan lokasi pada peralatan dan terakhir penggunaan peta yang telah dibuat untuk mengontrol variable-rate applicator. Pembuatan sampel dan penentuan posisi menggunakan DGPS (differential global positioning system). DGPS ini digunakan untuk
9
menentukan lokasi pemupukan. Metode kedua adalah sensor-based. Sensor yang digunakan adalah yang bersifat real-time dan menggunakan kontrol berumpan balik untuk mengukur kandungan hara. Signal kandungan hara tanah atau karaktristik pemanenan digunakan untuk mengontrol variable-rate aplicator. Metode kedua tidak memerlukan sebuah GPS. Pertanian presisi telah mejadi perhatian akhir-akhir ini karena berpotensi untuk meningkatkan hasil panen dan mengurangi input produksi. Pengurangan input seperti nitrat tidak hanya mengurangi biaya produksi tetapi juga meminimalisir pengaruh buruk terhadap lingkungan seperti kandungan nitrat dalam air tanah (Ehsani et al. 1999). Tetapi, pertanian presisi memerlukan data tentang tanah dan hasil panen sangat banyak sehingga memerlukan biaya yang mahal, waktu yang lama dan membosankan. Kenyataannya, dengan menggunakan sensor, data tanah dan tanaman secara cepat dan murah dapat diperoleh dan pengetahuan tentang hubungan antara parameter jenis tanah, tanaman, lingkungan dan panen yang menjadi faktor utama di dalam penerapan teknik pertanian presisi. Ehsani et al. (1999) dan Upadyaya (1993) menyimpulkan bahwa teknik optik adalah sangat mungkin untuk menentukan kandungan nitrat dalam tanah dengan cepat. Penelitian Ehsani et al. (1999) mempelajari kemungkinan penggunaan spektrum near-infrared untuk menentukan kandungan nitrat dalam tanah. Pengujian dilakukan di laboratorium dan di lahan menggunakan dua jenis tanah untuk mendemonstrasikan spectrum NIR yang sesuai untuk mengukur kandungan nitrat dalam tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa pengukuran kandungan nitrat tanah bisa dilakukan dengan menggunakan spektrum NIR pada selang 1800 – 2300 nm, tetapi kalibrasi site-specific diperlukan untuk memetakan variasi nitrat pada daerah yang luas. Variable-rate technology (VRT) dan sistem aplikasi yang terintegrasi memberikan pengertian bahwa aplikasi pemupukan diberikan hanya dalam jumlah atau dosis tertentu berdasarkan lokasi yang membutuhkan. Secara argonomi, sistem variable-rate memberikan pengertian bahwa terget pemupukan didasarkan atas hasil pengujian tanah dan berhubungan dengan sistem informasi kandungan hara tanah. Secara ekonomi, sistem variable rate berhubungan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pemupukan pada suatu areal pertanian. Pendekatan
10
lingkungan, sistem varible-rate membantu untuk mencegah pemupukan yang berlebihan
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
masalah
lingkungan
(Wollenhaupt, et al, 1993 dalam Radite, 2001) Menurut survei yang dilakukan oleh Arnholt, et al. (2001) di Ohio menunjukkan bahwa penerapan pertanian presisi (precision farming) merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan keuntungan petani. Komponen sistem pertanian presisi yang banyak diterapkan adalah grid soil sampling dan VRT. Aplikasi VRT untuk pupuk Phospor (P) dan Potasium (K) digunakan lebih dari 60% kelompok tani, sedangkan hanya sekitar 15% kelompok tani yang menggunakan VRT untuk pupuk Nitrogen (N) dan hanya sedikit petani yang menggunakannya untuk pupuk mikro. Tidak ada petani yang menggunakan VRT untuk pestisida dan penanaman biji-bijian. 2.3 Metering Device dan Hopper Terdapat banyak jenis metering device yang telah dikembangkan untuk memperoleh aksi pengukuran (metering) yang konsisten dan seragam. Alat-alat tersebut umumnya dijalankan oleh ground wheel. Metering akan berhenti ketika ground wheel berhenti atau terangkat dari permukaan tanah. Metering device secara umum digolongkan kedalam dua jenis, yaitu aliran positif (positive flow) dan aliran grafitasi (gravity flow). Auger-type metering device seperti pada Gambar 1a memiliki sebuah pipa close-fitting auger dan auger (ulir) memiliki perpindahan per putaran yang relatif besar. Loose-fitting atau floating-auger seperti ditunjukkan pada Gambar 1b secara luas digunakan dalam penanganan hasil pertanian. Diameter dalam dari tabung adalah sekitar 12.5 mm lebih besar dibandingkan dengan diameter ulir (auger). Daerah diantara dua ulir digunakan untuk memindahkan bahan ke ujung hopper, dimana ujung hopper berada pada ujung tabung atau menjatuhkan melalui pembuka outlet. Edge-cell metering device ditunjukkan pada Gambar 2 . Jarak pemasangan roda metering diharapkan berada disepanjang hopper dan digerakkan dengan sebuah poros. Lebar rotor berkisar antara 6 mm – 32 mm dan bekerja dengan kisaran kecepatan berbeda. Laju pengeluaran dari rotor dikendalikan dengan merubah kecepatan rotor. 11
Gambar 1 (a) Metering device tipe auger dan (b). Mekanisme penyaluran bahan (Srivastava, et al. 1994).
Gambar 2 Metering device tipe edge-cell (Srivastava, et al. 1994). Belt-type metering device adalah jenis metering device yang digunakan ketika diperlukan laju putaran yang relatif besar dan menggunakan hopper yang besar (Gambar 3). Beberapa unit memiliki kawat belt datar (umumnya terbuat dari stailess steel) yang memindahkan bahan disepanjang dasar hopper. Laju keluaran dikontrol melalui pintu yang dapat disetel dan berada di atas belt.
Gambar 3 Metering device tipe belt (Srivastava, et al. 1994). Metering device yang umum digunakan untuk aplikasi pestisida granular terdiri dari sebuah ground-driven vane atau rotor bergalur (fluted rotor) yang dipasang di atas lubang pembuangan yang dapat disetel seperti pada Gambar 4 . 12
Hopper yang digunakan umumnya mempunyai dua atau empat lubang pengeluaran yang dapat digunakan secara terpisah atau bersamaan. Rotor tepasang di dasar hopper sehingga memungkinkan menutup lubang hopper ketika rotor tidak berputar. Idealnya, laju pengeluaran harus proporsional dengan kecepatan rotor sehingga laju aplikasi tidak akan dipengaruhi kecepatan maju. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hal ini tidak berlaku, laju keluaran tidak proporsioanl dengan kecepatan maju. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik aliran bahan yang menyebabkan galur rotor tidak terisi sempurna (Srivastava, et al. 1994).
Gambar 4 Metering device tipe positif feed fluted roll (Srivastava, et al. 1994). Setiap hopper untuk pemupukan dibagi menjadi dua bagian sub-hopper. Bagian yang lebih besar merupakan bagian pupuk granular dan bagian yang lebih kecil merupakan tempat pestisida atau herbisida. Kedua bagian tersebut didesain dengan masing-masing outlet yang terpasang pada metering device seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Pada bagian bawah dari hopper didesain dengan kemiringan tertentu sehingga memudahkan pupuk granular mengalir dengan bebas ke dalam metering device tanpa menggunakan sebuah pengaduk. Setiap rotor dari metering device terdiri dari dua feeder pupuk dan satu feeder untuk pestisida dan terbuat dari karet. Feeder untuk pupuk memiliki paling sedikit 6 buah vanes (sirip) seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Kedua Feeder pupuk tidak dipasang dalam satu garis tetapi bergeser sekitar setengah dari sudut vanes, sehingga mempunyai fase tunda sekitar 30o. Susunan bertujuan untuk mengurangi puncak torsi dari motor dan fluktuasi keluaran pupuk ketika kedua feeder dioperasikan bersamaan (Radite, 2001).
13
Gambar 5 Bentuk dari sebuah metering device (Radite, 2001). 2.4 Motor DC dan Motor Servo Motor DC (direct current) adalah motor yang menggunakan sumber tegangan searah. Terdapat beberapa jenis motor DC yang tersedia, diantaranya adalah motor DC dengan koil medan dan motor DC dengan magnet permanen. Motor DC dengan koil medan membutuhkan arus yang lebih besar dari motor magnet permanen untuk mengatur medan magnet pada koil magnet. Oleh karena itu, koil medan magnet mempunyai rentang kecepatan yang lebih luas dan torsi yang lebih besar. Motor DC magnet permanen tidak dapat mengubah besarnya medan magnet sehingga rentang torsi dan kecepatannya kecil (Joni dan Budi, 2006) Motor DC Servo (DC-SV) pada dasarnya adalah motor DC magnet permanen (DC-MP) dengan kualifikasi khusus yang sesuai dengan aplikasi servoing di dalam teknik kontrol. Dalam kamus Oxford, istilah servo diartikan sebagai “a mechanism that controls a larger mechanism”. Sebuah motor DC-SV harus memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi perubahan yang sangat cepat dalam hal posisi, kecepatan dan akselerasi. Motor DC-SV juga dikehendaki handal beroperasi dalam lingkup torsi yang berubah-ubah. Beberapa tipe motor DC-SV yang dijual bersama paket drivernya telah memiliki rangkaian kontrol kecepatan yang menyatu di dalamnya. Putaran motor tidak lagi berdasarkan tegangan supplay ke motor, namun berdasarkan tegangan input khusus yang berfungsi sebagai referensi kecepatan output (Pitowarno Endra, 2006).
14
Berdasarkan cara merangkainya, motor DC dengan koil medan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu jenis seri, jenis shunt dan jenis gabungan. Motor DC jenis seri yang terbuat dari sedikit lilitan kawat besar yang dihubungkan seri dengan jangkar. Jenis motor DC ini mempunyai karakteristik torsi awal dan variasi kecepatan yang tinggi. Ini berarti bahwa motor dapat memulai menggerakkan beban yang sangat berat, tetapi kecepatan akan bertambah bila beban turun. Motor DC dapat membangkit torsi awal yang besar karena arus yang sama melewati jangkar juga melewati medan. Jadi jangkar membutuhkan arus yang lebih banyak (untuk membangkitkan torsi lebih besar) dan arus ini juga melewati medan (untuk menambah kekuatan medan). Oleh karena itu motor DC berputar cepat dengan beban ringan dan berputar lambat pada saat beban ditambahkan. Sifat istimewa dari motor DC seri adalah kemampuannya untuk memulai pergerakan pada beban yang berat. Motor DC jenis shunt, kumparan medan shunt dibuat dengan banyak lilitan kawat kecil, sehingga akan memiliki tahanan yang tinggi. Motor shunt memiliki rangkaian jangkar dan medan yang dihubungkan secara paralel yang akan memberikan kekuatan medan dan kecepatan motor yang sangat konstan. Motor shunt digunakan pada suatu sistem yang memerlukan pengaturan kecepatan yang baik (konstan). Dengan menambah rheostat yang dipasang seri dengan rangkaian medan shunt, kecepatan motor dapat dikontrol di atas kecepatan dasar. Kecepatan motor akan berbanding terbalik dengan arus medan. Ini berarti motor shunt akan berputar cepat dengan arus medan rendah, dan bertambah pada saat arus ditambahkan. Motor DC jenis gabungan (compound) menggunakan lilitan seri dan lilitan shunt yang umumnya dihubungkan dengan medan-medannya. Hubungan dua lilitan ini menghasilkan karakteristik pada motor medan shunt dan motor medan seri. Kecepatan motor tersebut bervariasi lebih sedikit dibandingakn motor shunt, tetapi tidak sebanyak motor seri. Motor seri jenis gabungan juga mempunyai torsi yang agak besar, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan motor shunt, tetapi sedikit lebih kecil dibandingkan dengan motor seri. Keistimewaan dari cara penggabungan ini membuat motor jenis ini akan memberikan variasi penggunaan yang luas (Joni dan Budi, 2006)
15
2.5 Rotary Encoder Untuk pengukuran posisi putaran yang lebih presisi dapat menggunakan rotary/shaft encoder. Secara umum prinsip kerja rotay encoder dapat di ilustrasikan seperti pada Gambar 6. Dua buah sensor optis (Channel A/Ā dan Channel B/ B) pendeteksi “hitam dan putih” digunakan sebagai acuan untuk menentukan arah gerakan, searah jarum jam (clock-wise, CW) atau berlawanan arah jarum jam (counter clock-wise, CCW). Sedangkan jumlah pulsa (baik A atau B) dapat dihitung (menggunakan prinsip counter) sebagai banyak langkah yang ditempuh. Dengan demikian arah gerakan dan posisi dapat dideteksi dengan baik oleh rotary encoder (Pitowarno Endra, 2006).
Gambar 6 Prinsip kerja rotary encoder Biasanya encoder ini dipasang segaris dengan poros (shaft) motor. Gear box, sendi atau bagian berputar lainnya. Bebarapa tipe encoder memiliki poros berlubang (hollow shaft encoder) yang didesain untuk sistem sambungan langsung ke poros obyek yang dideteksi. 2.6 Mikrokontroller dan Smart Peripheral Controller (SPC) DT-51 merupakan development tools yang terdiri dari 2 bagian terintegrasi yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Komponen utama perangkat keras DT51 ialah mikrokontroler 89C51 yang merupakan salah satu turunan keluarga MCS-51 Intel dan telah menjadi salah satu standar industri dunia. Selain mikrokontroler, DT51 dilengkapi pula dengan EEPROM yang memungkinkan DT51 bekerja dalam mode stand-alone (bekerja sendiri tanpa komputer). Selain komponen-komponen tersebut masih banyak fungsi-fungsi lain pada DT51, antara lain : timer, counter, RS-232 serial port, Programmable peripheral interface (PPI), serta LCD port. Perangkat lunak DT51 terdiri dari Downloader DT-51L dan Debugger DT51D. Downloader berfungsi untuk mentransfer user program dari PC (Portable Computer) ke DT51, sedangkan debugger akan membantu user
16
untuk melacak kesalahan program. Mikrokontroler 89C51 adalah komponen utama dari DT51. Instruksi dan pin out 89C51 kompatibel dengan standar industri MCS-51. 89C51 mempunyai spesifikasi standar sebagai berikut : o CPU 8 bit yang dioptimasi untuk aplikasi kontrol o 4 Kbytes flash programmable and erasable read only memory (PEROM) o 128 bytes internal RAM o 2 buah 16 bit Timer / Counter o Serial Port yang dapat diprogram o 5 sumber interupt dengan 2 level prioritas o On-chip oscillator o 32 jalur input output yang dapat diprogram o 64K program memori o 64K data memori Smart peripheral motor controller / SPC motor controller merupakan sebuah modul pengendali motor DC dan motor stepper yang mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran 4 buah motor DC atau 2 buah motor stepper. Modul ini dilengkapi dengan pengendali PID (proportional integral differential) untuk kendali motor DC yang bisa diatur (tuning) sendiri oleh pengguna. Selain itu modul SPC motor controller ini juga dilengkapi dengan kemampuan microstepping untuk motor stepper sehingga gerakan motor stepper dapat lebih mulus dan tidak patah-patah tanpa mengurangi kemampuan torsi motor stepper. Spesifikasi SPC motor controller sebagai berikut : o Daya diperoleh dari sumber catu daya dengan tegangan 9 – 12 Volt. o Mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran 4 motor DC atau 2 buah motor stepper. o Umpan balik speed encoder (frekuensi maksimum 10 kHz). o Mampu mendeteksi perubahan kecepatan dengan ketelitian hingga 0,1RPS (rotation per second) atau 6 RPM (rotation per minute). o Kendali motor DC dapat dilakukan secara close loop PID maupun open loop. o Parameter PID, toleransi kesalahan, dan waktu sampling dapat diatur.
17
o Mendukung tipe step (untuk motor stepper): fullstep, halfstep, microstep4, microstep8, microstep16, dan microstep32. o Kecepatan motor stepper sampai dengan 255 PPS (pulse per second). o Gerak motor stepper dengan ketelitian sampai dengan 0,1º (tergantung tipe step dan ketelitian motor stepper). o Tersedia antarmuka UART RS232/TTL, I2C, dan Lebar Pulsa. o Pin input/output kompatibel dengan level tegangan TTL dan CMOS. o Kompatibel dengan modul-modul EMS H-Bridge. o Terdapat 4 set output PWM (pulse width modulation) 8-bit dengan frekuensi 600 Hz. o Terdapat 4 kanal ADC 8-bit dengan tegangan referensi 5 Volt dan sampling rate maksimum 25 kHz. o Terdapat 4 pin general purpose input/output (GP I/O). Jika modul SPC motor controller digunakan untuk mengendalikan motor DC, selain antarmuka UART dan IC, terdapat antarmuka lebar pulsa yang dapat digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran motor DC. Pada modul SPC motor controller terdapat 4 jalur input lebar pulsa, dimana tiap jalur dapat mengendalikan 1 motor DC. Tiap jalur dapat menerima pulsa (pulsa positif / logika High) dengan lebar 2 ms – 22 ms, dengan frekuensi maksimum 40 Hz. Motor akan berhenti jika pulsa yang diberikan memiliki lebar 12 ms. Jika pulsa yang diberikan (misal: pada jalur 1) memiliki lebar 2 ms, maka motor DC (yang terhubung pada output ke-1) akan dikendalikan agar berputar pada kecepatan maksimumnya searah dengan jarum jam (dengan kendali PID). Sebaliknya, jika pulsa yang diberikan memiliki lebar 22 ms, maka motor DC (yang terhubung pada output ke-1) akan dikendalikan agar berputar pada kecepatan maksimumnya berlawanan arah dengan jarum jam. Mulai lebar pulsa 2 ms sampai dengan 12 ms, setpoint kecepatan akan berubah secara linier mulai dari kecepatan maksimum sampai dengan berhenti total. Demikian juga, mulai lebar pulsa 12 ms sampai dengan 22 ms, setpoint kecepatan akan berubah secara linier mulai dari berhenti total sampai dengan kecepatan maksimum, tetapi pada arah putaran motor sebaliknya. Kecepatan maksimum putaran motor diatur melalui parameter <maxspeed> melalui
18
antarmuka yang lain. Untuk lebar pulsa antara 2 ms sampai dengan 12 ms, setpoint kecepatan yang diberikan ke kendali motor sebesar: =
−
∗
………………[1]
Untuk lebar pulsa antara 12 ms sampai dengan 22 ms, setpoint kecepatan yang diberikan ke kendali motor sebesar : =
−
∗
………………[2]
Modul SPC motor controller mampu menangkap perubahan lebar pulsa sebesar 40 μs. Jadi mulai lebar pulsa 2 ms sampai dengan 22 ms, total dibagi menjadi 500 level perubahan setpoint.
Gambar 7 SPC motor controlller dan mikrokontroller DT-51 minimum system 2.7 EMS 30A H-Bridge EMS 30 A H-Bridge merupakan driver H-Bridge berbasis VNH3SP30 yang didisain untuk menghasilkan drive 2 arah dengan arus kontinyu sampai dengan 30 A pada tegangan 5,5 Volt sampai 36 Volt (IC VNH2SP30 hanya sampai 16 V). Modul ini dilengkapi dengan rangkaian sensor arus beban yang dapat digunakan sebagai umpan balik ke pengendali. Modul ini mampu men-drive beban-beban induktif seperti misalnya relay, solenoida, motor DC, motor stepper, dan berbagai macam beban lainnya. Spesifikasi dari EMS 30 A H-Bridge adalah sebagai berikut: o Terdiri dari 1 driver full H-Bridge. Tersedia rangkaian current sense untuk IC VNH2SP30. o Mampu melewatkan arus kontinyu 30 A. o Range tegangan output untuk beban: 5,5 V sampai 36 V (IC VNH2SP30 hanya sampai 16 V). 19
o Input kompatibel dengan level tegangan TTL danCMOS. o Jalur catu daya input (VCC) terpisah dari jalur catu daya untuk beban (V Mot). o Output tri-state. o Frekuensi PWM sampai dengan 20 KHz. o Fault Detection. o Proteksi hubungan singkat proteksi overtemperature o Undervoltage dan overvoltage shutdown o Reverse Battery Protection. o alur catu daya input (logika) terpisah dari jalur catu daya untuk beban. o Desain PCB standar industri dengan bahan 2 layer FR4 dan plated through hole (PTH). o Kompatibel dengan SPC Gamepad Interface serta mendukung sistem mikrokontroler.
Gambar 8 EMS 30A H-Bridge
20
Prinsip kerja dari EMS 30A H-Bridge seperti ditunjukkan pada tabel kebenaran dari modul H-Bridge Tabel 8 Tabel kebenaran dari modul H-Bridge
Keterangan: H= High X = don’t care
L = Low Z = High impedance (Tri state)
2.8 Pengendalian Kecepatan Motor Kontrol kecepatan motor dapat dilakukan dengan pengontrolan tegangan yang diberikan pada lilitan jangkar. Metode ini dilakukan dengan memvariasikan tegangan masukan motor. Metode yang lebih baik adalah menggunakan modulasi lebar pulsa (PWM, pulse width modulation). Metode ini pada dasarnya melibatkan sebuah sumber tegangan DC konstan, serta sebuah rangkaian elektronika untuk memotong-motong tegangan sedemikian rupa sehingga nilai rata-rata tegangan yang dihasilkan dapat bervariasi (Bolton W. 2004) Pulse Width Modulation (PWM) adalah salah satu teknik manipulasi dalam pengemudian motor (perangkat elektornik berarus besar lainnya) yang menggunakan prinsip cut-off dan saturasi. Transistor atau komponen switching didesain bekerja dengan karakteristik mirip “linier” namun sebenarnya menggunakan teknik ON-OFF. Gambar 9 mengilustrasikan sinyal PWM versus tegangan ekivalen liniernya (Pitowarno Endra, 2006).
21
Gambar 9 Bentuk tegangan PWM dan tegangan ekivalen liniernya Terdapat banyak jenis driver/kontrol yang dapat digunakan untuk mengontrol kecepatan motor DC seperti resistive type, transistor copper, modulasi lebar pulsa (PWM) dan sebagainya. Tetapi PWM lebih banyak digunakan dengan berbagai alasan. Driver PWM bekerja menggunakan gelombang persegi dengan variabel rasio on/off dan rata-rata waktu dapat divariasi antara 0 – 100%. (Radite, 2001) 2.9 Proporsional Integral Derivatif (PID) 2.9.1 Kontrol Proporsional (Proportional Control) Kontrol
proporsional merupakan metode pengontrolan yang dapat
membandingkan
nilai
keluaran
kontrol
dengan
nilai
kesalahan
secara
proporsional. Artinya, elemen pengoreksi dari sebuah sistem kontrol akan menerima sebuah sinyal yang proporsional dengan nilai koreksi yang dikehendaki (Bolton W, 2004) e
r +
Kp
u
H(s)
y
-
Gambar 10 Diagram blok kontrol proporsional (kontrol P) Gambar 10 menunjukkan bahwa r adalah input, e adalah error, u adalah sinyal keluaran kontroller dan Kp adalah konstanta proporsional. Kp berlaku sebagai gain (penguat) saja tanpa memberian efek dinamik kepada kinerja kontroler. Jika dinyatakan dalam suatu persamaan, maka diperoleh: u K P e ……………………………………………………………..(3)
22
Menurut Pitowarno Endra (2006), penggunaan kontrol P memiliki berbagai keterbatasan karena sifat kontrol yang tidak dinamik. Walaupun dalam aplikasi dasar sederhana, kontrol P mampu untuk mencapai konvergensi meskipun error keadaan tenangnya (steady-state error) relatif besar. 2.9.2 Kontrol Proporsional Integral (Proportional Integral Control) Menurut Bolton W (2004), kontrol integral merupakan kecepatan perubahan keluaran kontrol I yang proporsional dengan kesalahan masukan dari sinyal e. menurut Pitowarno Endra (2006) bahwa kontrol integral berfungsi untuk menurunkan steady-state error yang dihasilkan oleh kontrol proporsional, sehingga kontrol I selalu dikombinasikan dengan kontrol P. ( )= ∫
( )
….......................................................(4)
Ki adalah konstanta Integral, sehingga, ( )=
…………………………………………………...(5)
Jika e(T) mendekati konstan maka u(t) akan menjadi sangat besar sehingga diharapkan dapat memperbaiki kesalahan, jika e(t) mendekati nol maka efek kontrol I semakin kecil. Kontrol I dapat memperbaiki respon steady-state, namun pemilihan Ki yang tidak tepat dapat menyeabkan respon transien yang tinggi sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem. Pemilihan Ki yang sangat tinggi dapat menyebabkan keluaran akan berosilasi (Pitowarno Endra, 2006) e
r +
u
Ki/s
H(s)
y
Gambar 11 Diagram blok kontrol Integral (kontrol I) Dengan sifat dasar kontrol P yang cenderung konvergen dan I yang dapat memperbaiki respon steady-state maka kombinasi P-I dapat memberikan hasil yang lebih baik. Dalam diagram blok dapat dinyatakan seperti pada Gambar 12, Sehingga persamaan keluaran ontrolnya dapat dinyatakan dalam, =
. ( )+
∫
……………………………………(6)
23
Kp +
e
r + -
u
H(s)
y
+
Ki/s
Gambar 12 Diagram blok kontrol proporsional-integral (P-I) 2.9.3 Kontrol PID (Proportional Integral Derivative Control) Menurut Pitowarno Endra (2006), kontrol PID merupakan kombinasi dari kontrol proporsional (P), integral (I) dan Derivative (D) sehingga akan diperoleh kontrol yang dapat menghasilkan respon yang terbaik. Kp r +
e(t)
+ u
Kp
H(s)
c
+
Ki/s
Gambar 13 Diagram blok konrol PID Sistem umpan balik (feedback) didesain untuk menghasilkan sebuah kemampuan untuk melakukan koreksi terhadap proses yang dikontrol sehingga diperoleh sebuah variable proses (output) yang terukur (c) mendekati sebuah nilai yang diinginkan (r) atau nilai set-point seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Hampir semua keluaran kontrol berumpan balik ditentukan oleh nilai error antara set-point dan nilai variabel proses yang terukur. Error terjadi ketika terjadi perubahan pada set-point secara sengaja atau ketika terjadi perubahan variabel proses akibat terjadinya perubahan beban proses secara tiba-tiba. Error e(t) adalah perbedaan antara set-point SP(t) dan hasil pengkuran PV(t) dan dapat dituliskan e(t) = SP(t) – PV(t). Algoritma PID digunakan untuk sistem kontrol loop tertutup dan juga menjadi dasar untuk banyak algoritma kontrol tingkat lanjut. PID di dalam kontroller digunakan untuk mengatur beberapa variabel proses sehingga mendekati nilai set-point. Secara teori, keluaran kontrol C(t) dapat ditulis sebagai berikut: ( )=
( )+
∫ ( )
( )
+ 24
+
…………………………(7)
Bentuk khusus algoritma PID dikenel dengan istilah ‘posisional’ PID kontrol karena signal kontrol dihitung berdasarkan referensi dari data sebelumnya (Co). jika variabel proses berubah-ubah secara cepat terhadap waktu seperti yang sering terjadi pada metering granular fertilizer, persamaan 7 tidak dapat digunakan karena derivative error (de(t)/dt) akan menjadi variabel yang kacau dan menyebabkan performa sistem menjadi buruk. Oleh karena itu, dalam aplikasi biasanya lebih sering menggunakan penurunan variabel proses PV(t) daripada error e(t), sehingga dapat dituliskan dalam persamaan ( )=
( )+
∫ ( )
( )
−
+
………………………..(8)
Dalam persamaan 8 melibatkan tiga konstanta yang dapat diatur nilainya dan ditambahkan secara bersamaan untuk menghasilkan keluaran kontrol C(t). dalam persamaan ini, Kp adalah konstanta proporsional, KI adalah konstanta integral dan KD adalah konstanta derivative. Jika error yang dihasilkan besar atau error berubah-ubah secara cepat maka kontroller akan berusaha untuk membuat koreksi dengan menghasilkan sebuah nilai keluaran yang besar. Sebaliknya jika variabel proses sudah sama dengan set-point untuk beberapa waktu maka kontroller akan berhenti dengan sendirinya. Jika TS adalah interval sampel, maka persamaan PID untuk kecepatan kontrol dapat di tulis dalam bentuk persamaan 9 (Tham, 1999 dalam Radite P.A.S, 2001): ( ) = ( − 1)
[ ( ) − ( − 1)] +
( )−
25
( )
(
)
(
)
……...(9)
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai November 2010 di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan antara lain: 1. Hardware : o laptop o DT-51 minimum system o Smart Peripheral Motor Controller (SPC motor controller) o EMC 30 A H-Bridge o Motor DC servo o Optic rotary encoder o Kabel USB to RS232 o Timbangan digital 2. Software: o MicroC-51 o DT-51 windows downloader 3. Prototipe: o Metering device o Hopper 4. Alat bantu: o Wadah o Rangkaian elektronika pendukung o Stop watch 3.3 Tahapan Penelitian Secara umum, prosedur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat tahapan, yaitu
pemrograman mikrokontroller, pengujian awal, desain
hopper dan pengujian akhir, seperti ditunjukkan pada Gambar 15.
26
Mulai Studi pustaka Inventarisasi peralatan dan pembuatan rangkaian pendukung Perancangan dan pemrograman mikrokontrol Pengujian dengan loop terbuka Disain metering device dan hopper Identifikasi sistem: K, T, d Menentukan konstanta PID Kp, Ki, Kd Pengujian dengan beban: 1. Pengujian modul pada metering device 2. Pengujian dengan pupuk granular tanpa kontrol dan dengan kontrol
Pengujian tanpa beban: 1. Pengujian dengan loop tertutup 2. Tuning: Kp, Ki, Kd 3. Pengujian dengan stair-step response
Pengolahan data
Selesai Gambar 14 Bagan alir tahapan penelitian 3.3.1 Studi Pustaka Pada tahap ini dilakukan pengumpulan berbagai informasi baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan lingkup penelitian yang akan dilakukan, seperti:
Karakteristik pupuk granular dan cara pengaplikasiannya
Jenis dan mekanisme sistem metering device dan hopper
Jenis dan komponen-komponen sistem pengendalian
27
3.3.2 Inventarisasi Peralatan dan Pembuatan Rangkaian Pendukung Peralatan yang akan digunakan terdiri dari peralatan utama dan peralatan pendukung. Peralatan utama seperti modul SPC motor controller, modul DT-51 minimum system, modul EMS 30A H-Bridge. Sedangkan peralatan pendukung seperti power supply dan peralatan bengkel. Pembuatan rangkaian pendukung antara lain rangkaian optic rotary encoder dan sistem pensaklaran. 3.3.3 Pendekatan Disain Fungsional Pengembangan perancangan sistem pengendalian pemupukan diawali dengan melakukan pendekatan disain fungsional. Prototipe alat yang akan dibuat diharapkan mampu melakukan pengendalian keluaran pupuk sesuai yang dikehendaki dan harus dapat diaplikasikan untuk pupuk granular seperti urea, SP36 dan NPK. Untuk memperoleh sistem yang dapat melakukan kerja seperti di atas, maka diperlukan tiga unit komponen utama, yaitu 1) Unit penjatah pupuk granular, 2) Unit pengendalian dan 3) Unit pemrosesan data Unit penjatah pupuk granular. Unit penjatah pupuk granular berfungsi untuk menjatah pupuk granular sesuai dengan kebutuhan. Komponen-komponen yang digunakan antara lain:
Motor DC jenis servo berfungsi untuk menggerakkan metering device
Metering device berfungsi untuk mengatur penjatahan pupuk granular sesuai dengan kebutuhan. Fungsi ini diperoleh dengan mengatur kecepatan putaran motor DC
Hopper berfungsi untuk menampung pupuk granular sebelum masuk ke metering device Unit pengendalian. Unit pengendalian berfungsi untuk mengendalikan
sistem sesuai dengan tujuan pengendalian yang dikehendaki, unit ini terdiri dari:
DT-51 minimum system merupakan development tools yang terdiri dari 2 bagian terintegrasi yaitu perangkat keras dan perangkat lunak yang berfungsi untuk mengontrol arah dan putaran motor DC
Modul SPC motor controller merupakan sebuah modul pengendali motor DC dan motor stepper yang mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan
28
dan arah putaran 4 buah motor DC atau 2 buah motor stepper. Modul ini dilengkapi dengan pengendali PID (Proportional Integral Differential) untuk kendali motor DC yang bisa diatur (tuning) sendiri oleh pengguna
EMS 30A H-Bridge merupakan driver H-Bridge berbasis VNH3SP30 yang berfungsi sebagai driver motor DC.
Rangkaian Rotary encoder berfungsi untuk mengukur kecepatan putar (RPM) motor DC Unit pemrosesan data. Unit pemrosesan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebuah laptop yang berfungsi untuk mengirim program ke modul microkontroller DT-51 minsys, menerima, memproses dan menampilkan data kecepatan putar motor dari hasil pengujian. 3.3.4 Pendekatan Disain Struktural Pendekatan disain struktural digunakan untuk menentukan bentuk dan dimensi dari metering device dan hopper yang akan dibuat. Metering device dan hopper harus terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah berkarat karena akan diaplikasikan dengan pupuk granular yang memiliki keasaman yang tinggi. Oleh karena itu, bahan yang digunakan untuk membuat metering device dan hopper adalah akrilik. 3.3.3.1 Rotor Rotor dirancang dengan menggunakan bahan akrilik setebal 5 mm. Panjang rotor yang dirancang adalah 20 mm yang diperoleh dari empat susunan akrilik. Rotor memiliki 6 alur pupuk. Dimensi dan ukuran rancangan rotor ditunjukkan pada Gambar 15. Ukuran diameter luar rotor 5.8 cm dan diameter dalam 3.26 cm. rotor yang dirancang sebanyak dua buah dengan bentuk dan ukuran yang sama. Kedua rotor tidak dipasang dalam satu garis tetapi bergeser sekitar setengah dari sudut rotor, sehingga mempunyai fase tunda sekitar 30o. Hal ini
bertujuan untuk
mengurangi puncak torsi dari motor dan fluktuasi keluaran pupuk ketika kedua rotor dioperasikan bersamaan. Dalam pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan satu rotor dan dua rotor sekaligus dengan cara menutup atau membuka sekat yang terpasang di atas lubang rotor. Berdasarkan hasil
29
perhitungan lampiran 1, diperoleh volume teoritis pupuk yang keluar dari metering device untuk satu rotor sebesar 26.52 cm3/rotasi.
Gambar 15 Gambar metering device akhir Laju aliran pupuk yang keluar dari metering device dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Q=
(10S W DS ) ……………………………………………………………(10) Nm
Dimana : Q
= Laju aliran pupuk dari metering device (g/s)
S
= Kecepatan aplikator (m/s)
W
= Lebar aplikasi untuk satu metering device (m)
DS
= Dosis pemupukan (kg/ha)
Nm
= Kecepatan putar motor (rps)
3.3.3.2 Hopper Hopper didisain dengan bahan akrilik setebal 5 mm. akrilik dipilih karena kuat dan tahan terhadap karat yang disebabkan oleh pupuk. Ukuran dan dimensi hopper yang dirancang seperti pada Gambar 16. Posisi hopper terletak di atas metering device. Agar pupuk dapat meluncur ke metering device, maka dasar hopper dibuat miring dengan kemiringan melebihi sudut curah pupuk yang digunakan. Berdasarkan Honeywell International Inc (2008) dan Zakłady Chemiczne „Police” SA (2009) bahwa sudut curah pupuk urea, TSP dan NPK
30
masing-masing sebesar 350, 310 – 330 dan 320. Oleh karena itu, sudut kemiringan hopper dirancang sekitar 450.
Gambar 16 Dimensi dan ukuran hopper 3.3.3.3 Motor dan Kontroller Motor yang digunakan dalam penelitian ini adalah motor DC jenis servo. Pemilihan jenis motor ini didasarkan pada beberapa kehandalan yang dimiliki. Menurut Pitowarno Endra (2006), Sebuah motor DC servo (DC-SV) memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi perubahan yang sangat cepat dalam hal posisi, kecepatan dan akselerasi. Motor DC-SV juga dikehendaki handal beroperasi dalam lingkup torsi yang berubah-ubah. Spesifikasi motor adalah arus 2.6 A dan tegangan input maksimal 22 V. Putaran maksimum mencapai 2600 rpm. Selain itu, motor ini telah dilengkapi dengan pereduksi putaran atau gear box dengan perbandingan 1/20. Untuk mengukur putaran motor maka dipasang optical rotary encoder dengan keluaran 30 pulsa perputaran. Modul kontroller yang digunakan terdiri dari modul mikrokontroller DT51 minimum system ver 3.0, Smart Peripheral Motor Controller (SPC Motor Controller), EMS 30 A H-Bridge sebagai driver motor dan Liquid Crystal Display (LCD) 2 x 20 untuk menampilkan hasil pengukuran. Mikrokontroller DT-51 minsys memiliki spesifikasi CPU 8 bit yang dioptimasi untuk aplikasi kontrol, 4 Kbytes Flash Programmable and Erasable Read Only Memory (PEROM), 128 bytes Internal RAM, 2 buah 16 bit Timer / Counter, Serial Port yang dapat diprogram, 5 sumber interupt dengan 2 level
31
prioritas, On-chip oscillator, 32 jalur input output yang dapat diprogram, 64K memori program, 64K memori data. SPC motor controller memiliki spesifikasi Mampu digunakan untuk mengendalikan kecepatan dan arah putaran 4 motor DC atau 2 buah motor stepper, umpan balik speed encoder (frekuensi maksimum 10 kHz), mampu mendeteksi perubahan kecepatan dengan ketelitian hingga 0,1 RPS (rotation per second) atau 6 RPM (rotation per minute), kendali motor DC dapat dilakukan secara close loop PID maupun open loop, parameter PID, toleransi kesalahan, dan waktu sampling dapat diatur, tersedia antarmuka UART RS232/TTL, I2C, dan lebar pulsa, pin Input/Output kompatibel dengan level tegangan TTL dan CMOS, kompatibel dengan modul-modul EMS H-Bridge, terdapat 4 set output PWM (Pulse Width Modulation) 8-bit dengan frekuensi 600 Hz, terdapat 4 kanal ADC 8-bit dengan tegangan referensi 5 Volt dan sampling rate maksimum 25 kHz, terdapat 4 pin General Purpose Input/Output (GP I/O). Spesifikasi dari EMS 30 A H-Bridge adalah terdiri dari 1 driver full HBridge, mampu melewatkan arus kontinyu 30 A, range tegangan output untuk beban: 5,5 V sampai 36 V (IC VNH2SP30 hanya sampai 16 V), input kompatibel dengan level tegangan TTL dan CMOS, jalur catu daya input (VCC) terpisah dari jalur catu daya untuk beban (V Mot), frekuensi PWM sampai dengan 20 KHz, kompatibel
dengan
SPC
Gamepad
Interface
serta
mendukung
sistem
mikrokontroler. 3.3.5 Perancangan dan Pemrograman Mikrokontroller Perancangan dan pemrograman mikrokontroller meliputi pemilihan bahasa pemrograman, penulisan, kompilasi dan proses download program ke modul mikrokontroller. Bahasa pemrograman yang akan digunakan adalah bahasa C. Pemilihan bahasa C didasarkan oleh beberapa keunggulan yang dimiliki, diantaranya merupakan bahasa yang powerful, fleksibel dan portable sehingga dapat dijalankan dibeberapa sistem operasi yang berbeda (Joni I. M dan Raharjo. B, 2006). Algoritma program seperti ditunjukkan pada lampiran 5. Kode-kode bahasa C ditulis dalam sebuah editor dalam program notepad. Program yang dihasilkan pada tahap ini masih berekstensi .c. dan dinamakan source code. Dengan menggunakan compiler microC-51, source code akan diubah menjadi 32
object code dengan ekstensi .obj. Hasil kerja compiler akan dilanjutkan ke sebuah linker dan menghasilkan file dengan ekstensi .bin atau .hex. Kedua file ini yang selanjutnya dapat didownloadkan ke modul mikrokontroller. 3.3.6 Kalibrasi Kecepatan Motor dengan PWM Kalibrasi kecepatan motor dilakukan tanpa beban untuk melihat hubungan antara nilai PWM dengan putaran motor dan hubungan antara tegangan input motor dengan putaran motor. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan perintah PWM. Nilai PWM yang digunakan berkisar antara 0% sampai 100% atau PWM 0 sampai 255 dengan interval 10 satuan PWM. Tegangan catu daya yang digunakan adalah 14.64 volt. Tegangan input motor adalah tegangan yang keluar dari pin V-mot EMS 30A H-Bridge. Mula-mula motor dijalankan dengan PWM 10, kemudian tegangan V-mot dari EMS 30 H-Bridge diukur dengan menggunakan voltmeter digital sedangkan putaran motor diukur dengan menggunakan tachometer. Prosedur ini dilakukan untuk nilai PWM 20 sampai PWM 255. Hasil kalibrasi kemudian diplotkan kedalam suatu grafik hubungan antara PWM dengan putaran motor dan tegangan input motor dengan putaran motor. Kemudian dilakukan analisis regresi. 3.3.7 Pengujian dengan Loop Terbuka Setelah pembuatan program selesai, kemudian dilakukan pengujian sistem kontrol dengan menggunakan motor DC. Pengujian awal dilakukan tanpa beban untuk menguji kinerja sistem kontrol yang telah dibuat. Pengujian awal dilakukan dengan menggunakan pengendalian sistem loop terbuka, skema sistem pengendalian dengan loop terbuka ditunjukkan pada Gambar 17. Kecepatan putaran motor DC dikendalikan dengan menggunakan set-point PWM (Pulse Width Modulation). Nilai PWM yang digunakan adalah 50, 100, 150, 200 dan 250. Hasil pengujian merupakan sebuah sinyal tangga dengan ukuran yang dinyatakan sebagai persentase perubahan K. Selanjutnya diamati respon keluaran yang dikontrol yaitu kecepatan putaran motor, sebagai persentase terhadap jangkauan skala penuh terhadap masukan. Grafik yang menggambarkan relasi antara variabel terhadap waktu diplotkan seperti ditunjukkan pada Gambar 18. Garis tangen digambarkan untuk mendapatkan gradien maksimum dari grafik
33
yang diGambarkan. Waktu antara titik mulainya sinyal uji dan titik dimana garis tangen ini memotong sumbu waktu disebut sebagai jeda/ketertinggalan (d). Nilai dari gradien maksimum adalah T, yang dinyatakan sebagai persentase perubahan nilai variabel yang ditentukan per menit. Data pengujian yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan atau mengidentifikasi parameterparameter sistem yaitu gain (K), time constant (T) dan dead time (d). ketiga parameter ini selanjutnya digunakan untuk menentukan konstanta PID awal yang akan digunakan. Set-point DT-51
SPC motor kontroller
EMS 30A H-bridge
keluaran Motor DC
Gambar 17 Sistem pengendalian motor DC dengan loop terbuka
Nilai terukur (K)
Nilai akhir 63 %
Nilai awal
d
T
Gambar 18 Grafik penentuan nilai K, T dan d Penentuan nilai konstanta PID awal dilakukan dengan menggunakan metode Zeighler dan Nichols. Nilai konstanta K, T dan d yang diperoleh dari pengujian loop terbuka akan digunakan untuk menentukan nilai Kp, Ki dan Kd dengan memasukkan kepersamaan Zeighler dan Nichols pada tabel 6. Tabel 9 Kriteria Zeighler dan Nichols Tipe pengontrol Kp
Ki
P
K/dT
PI
0.9K/dT
3.3T
PID
1.2K/dT
2T
Sumber: Bolton W, 2004
34
Kd
0.5T
3.3.8 Pengujian dengan Stair-Step Response Pengujian dengan stair-step response dilakukan untuk melihat performa dan respon sistem dalam mengikuti step set-point yang diberikan, baik step naik maupun turun. Pengujian stair-step response dilakukan tanpa menggunakan beban pupuk. Pengujian dilakukan dengan menggunakan dua perlakuan, yaitu pengujian tanpa kontrol PID dan pengujian dengan kontrol PID. 3.3.8.1 Pengujian tanpa Kontrol PID Pengujian tanpa kontrol PID dilakukan dengan menggunakan kontrol loop terbuka (open loop control). Artinya tidak ada umpan balik (feedback) keluaran terhadap masukan sehingga tidak ada koreksi terhadap kesalahan (error) yang terjadi. Pengujian dialakukan dengan menggunakan set-point kecepatan putar motor, yaitu; 400, 800, 1200, 1600, 2000, 0, 2000, 1600, 1200, 800, 400 dan 0 rpm. Putaran motor diukur oleh optic speed encoder yang selanjutnya dibaca oleh SPC motor controller. Hasil pembacaan putaran motor kemudian dikirim ke laptop melalui jalur komunikasi serial RS232 kemudian ditampilkan melalui program hyperterminal, 3.3.8.2 Pengujian dengan Kontrol PID Pengujian dengan kontrol PID dilakukan sebagai proses penalaan (tuning.) Penalaan digunakan untuk menggambarkan metode-metode yang digunakan serta untuk memilih pengaturan pengontrol terbaik untuk mendapatkan unjuk kerja tertentu (Bolton, W. 2004). Penalaan dilakukan melalui pengujian sistem dengan loop tertutup seperti pada Gambar 20, periode sampling diatur 60 ms dan frekuensi sampling 16.7 Hz. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 11 nilai set-point masing-masing 400, 800, 1200, 1600, 2000, 0, 2000, 1600, 1200, 800, 400 rpm, kemudian dilakukan pengujian sistem dengan beberapa kombinasi nilai P, I dan D tiap kombinasi PID dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Kecepatan putar motor diukur dengan menggunakan optic speed encoder kemudian dibaca oleh SPC motor kontroller hasil pembacaan putaran motor ditampilkan menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial RS232 antara mikrokontroller DT-51 minimum system dengan komputer. Nilai
35
konstanta PID yang digunakan untuk pengontrolan sistem adalah
yang
menghasilkan keluaran paling mendekati nilai set-poin. GP (S)
+ -
kontrol PWM
+
Σ
Σ
+
( )
motor
.
Gambar 19 Diagram skematik pengontrolan motor DC dengan control PID 3.3.9 Pengujian dengan Pupuk Granular 3.3.9.1 Pengujian dengan Kontrol PID Pengujian dengan kontrol PID dibagi dalam dua kali pengujian, yaitu pengujian metering device dengan menggunakan satu rotor dan menggunakan dua rotor. Kedua pengujian ini dilakukan pada masing-masing pupuk granular. Nilai konstanta PID yang digunakan adalah berturut-turut 500; 15,000 dan 20,000, sedangkan periode sampling diatur sebesar 60 ms. Nilai set-point yang digunakan adalah 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm. Masing-masing nilai set-point dijalankan selama 5, 10, 15, 20 dan 25 menit dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk masing-masing nilai set-point dan waktu pengujian. Pupuk yang keluar dari metering device ditampung dalam suatu wadah dan berat pupuk yang keluar ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Kecepatan putar motor untuk masing-masing perlakuan diukur dengan menggunakan optic speed encoder kemudian ditampilkan
menggunakan program hyperterminal
melalui komunikasi serial RS232. 3.3.8.2 Pengujian tanpa Kontrol PID Pengujian dengan tanpa kontrol PID mengunakan dua perlakuan, yaitu pengujian metering device dengan menggunakan satu rotor dan menggunakan dua rotor. Kedua pengujian ini dilakukan pada masing-masing pupuk granular. Pengujian tanpa kontrol dilakukan dengan menggunakan kontrol loop terbuka
36
(open loop control). Artinya tidak melibatkan rutin-rutin PID dan tidak ada umpan balik (feedback) keluaran terhadap masukan. Nilai set-point yang digunakan dalam pengujian tanpa kontrol adalah PWM 50, 100, 150, 200 dan 250. Nilai ini setara dengan 751, 1637, 1947, 2139 dan 2203 rpm. Sedangkan periode sampling diatur sebesar 60 ms. Masing-masing nilai set-point dijalankan selama 5, 10, 15, 20 dan 25 menit dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk masingmasing nilai set-point dan waktu pengujian. Pupuk yang keluar dari metering device ditampung dalam suatu wadah dan berat pupuk yang keluar ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Kecepatan putar motor untuk masingmasing perlakuan diukur dengan menggunakan optic speed encoder kemudian ditampilkan
menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial
RS232 antara mikrokontroller DT-51 minsys dengan laptop. 3.4 Persamaan-Persamaan Kontrol
3.4.1 Perhitungan nilai PWM Kecepatan
maksimum
putaran
motor
diatur
melalui
parameter
<maxspeed> melalui antarmuka yang lain. Untuk lebar pulsa antara 2 ms sampai dengan 12 ms, setpoint kecepatan yang diberikan ke kendali motor sebesar: =
−
∗
…………………(12)
Untuk lebar pulsa antara 12 ms sampai dengan 22 ms, setpoint kecepatan yang diberikan ke kendali motor sebesar : =
−
∗
………………..(13)
3.4.2 Perhitungan Ketelitian Optic Speed Encoder Ketelitian
encoder
minimum
yang
diperlukan
dapat
dihitung
menggunakan persamaan berikut:
hole =
∗(
………………………………………………(14)
)
hole pada persamaan di atas merupakan ketelitian encoder minimum yang diperlukan. MinSpeed adalah kecepatan minimum (dalam satuan RPS) yang ingin dibaca
37
3.4.3 Persamaan Kontrol PID e(t) = SP(t) − PV(t)
C(t) = K e(t) + K dt
e(t)dt + K
de(t) dt
d(C(t)) d(e(t)) d e(t) =K + K e(t) + K dt dt dt
C(t) − C(t − 1) e(t) − e(t − 1) d (SP(t) − PV(t)) =K + K e(t) + K dt dt dt
[−PV(t) + 2PV(t − 1) − PV(t − 2)] C(t) − C(t − 1) e(t) − e(t − 1) =K + K e(t) + K dt dt dt C(t) = C(t − 1) + K [e(t) − e(t − 1)] + K Te(t) − K
PV(t) − 2PV(t − 1) + PV(t − 2) dt
C(t) = C(t − 1) + Kp [e(t) − e(t − 1) ] + K_I Te(t) − K_D/T [PV(t) − 2PV(t −
1) + PV(t − 2) ]………………………………………………………..(15)
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Rancangan Metering Device 4.1.1 Rotor Hasil rancangan rotor ditunjukkan seperti pada Gambar 20. Rotor terbuat dari bahan akrilik dengan ukuran diameter luar rotor 5.8 cm dan memiliki enam buah alur yang berfungsi sebagai pengambil dan penyalur pupuk granular. Bentuk alur adalah setengah lingkaran dengan diameter 2.6 cm. Pada bagian poros rotor dipasang besi berongga dengan diameter luar 1.25 cm dan diameter dalam 1.8 cm. Pemasangan besi ini bertujuan untuk menguatkan posisi rotor ketika dipasang pada poros motor.
Gambar 20 Hasil rancangan rotor Rotor yang dirancang sebanyak dua buah dengan bentuk dan ukuran yang sama. Kedua rotor dipasang pada poros motor DC seperti ditunjukkan pada Gambar 21. Kedua rotor tidak dipasang dalam satu garis tetapi bergeser sekitar setengah dari sudut rotor yang lain, sehingga mempunyai fase tunda sekitar 30o. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi puncak torsi dari motor dan fluktuasi
keluaran pupuk ketika kedua rotor dioperasikan bersamaan. Spesifikasi motor DC servo yang digunakan adalah tegangan maksimum 22 volt dengan arus 2.6 A dan mampu berputar pada kecepatan maksimum 2600 rpm. Motor ini telah dilengkapi dengan pereduksi putaran atau gear box dengan perbandingan 1/20. Untuk mengukur putaran motor maka dipasang optical rotary encoder dengan keluaran 30 pulsa perputaran.
39
Gambar 21 Hasil rancangan metering device 4.1.2 Casing Rotor Casing rotor yang dirancang terbuat dari pipa paralon seperti ditunjukkan pada Gambar 22. Ukuran diameter dalam 5.9 cm. Pada bagian atas terdapat lubang masukan pupuk dengan ukuran 5.4 x 4.5 cm, sedangkan pada bagian bawah terdapat lubang pengeluaran pupuk dengan ukuran 5.4 x 4.5 cm. Pada lubang masukan dipasang sebuah sekat yang dapat dibuka dan ditutup yang berfungsi untuk mengatur jumlah rotor yang digunakan. Posisi sekat pada lubang masukan terletak diantara rotor seperti ditunjukkan pada Gambar 23.
Gambar 22 Hasil rancangan casing rotor Cara pemasangan rotor pada casing rotor ditunjukkan seperti pada Gambar 24. Terdapat celah antara diameter luar rotor dengan diameter dalam casing rotor sebesar 0.5 mm. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya gesekan antara rotor dengan casing rotor pada saat dijalankan.
40
Gambar 23 Lubang masukan pupuk ke rotor
Gambar 24 Pemasangan rotor pada casing rotor 4.1.3 Hopper Hopper terbuat dari bahan akrilik setebal 5 mm seperti ditunjukkan pada Gambar 25 . Hopper berfungsi sebagai wadah penampung pupuk granular sebelum masuk ke rotor. Ukurangar dimensi hopper adalah 30 x 28 x 40 cm dan mampu menampung
pupuk granular sebanyak 30 liter. Agar pupuk dapat
meluncur dengan lancar ke rotor ketika digunakan, maka dasar hopper dibuat miring dengan kemiringan melebihi sudut curah pupuk yang digunakan. Sudut kemiringan hopper dirancang 450. Pada dasar hopper dibuat lubang dengan ukuran 5.4 x 4.5 cm yang berfungsi sebagai lubang keluaran pupuk dari hopper ke rotor. Posisi hopper dipasang di atas rotor seperti ditunjukkan pada Gambar 26, sehingga memungkinkan pupuk mengalir ke rotor secara gravitasi.
41
Gambar 25 Hasil rancangan hopper
Gambar 26 Metering device dan hopper 4.2 Kalibrasi Motor DC Servo Hasil kalibrasi putaran motor seperti ditunjukkan pada Gambar 27. Berdasarkan grafik tersebut,
tegangan input motor berkorelasi linier dengan
42
kecepatan putarnya dengan nilai R2 = 0.999 dan persamaan korelasinya y = 162.9x – 95.48. Semakin besar tegangan input yang diberikan , maka semakin besar kecepatan putar motor. Gambar 28 menunjukkan bahwa hubungan antara nilai PWM dengan kecepatan putar motor tidak linier tetapi polinomial orde 3 dengan R2 = 0.9878. Persamaan korelasi yang diperoleh y = 0.0002x3 - 0.1407x2 + 31.9236x 264.7055
Kecepatan (RPM)
2500 y = 162.9x - 95.48 R² = 0.999
2000 1500 1000 500 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Tegangan (volt) Gambar 27 Grafik hubungan antara tegangan input motor (volt) dengan kecepatan putar (RPM)
Kecepatan putar (RPM)
3000 y = 0.0002x3 - 0.1407x2 + 31.9236x - 264.7055 R² = 0.9878
2500 2000 1500 1000 500 0 0
50
100
150
200
250
300
PWM Gambar 28 Grafik hubungan nilai PWM dengan tegangan input motor (volt)
43
4.3 Pengujian Karakteristik Pupuk Granular Pengujian karakteristik pupuk granular dilakukan untuk mengetahui sebaran ukuran pupuk urea, SP-36 dan NPK serta untuk mengetahui massa jenis pupuk tersebut. Karakteristik pupuk granuler hasil pengujian ditunjukkan pada tabel 10. Ketiga jenis pupuk ini memiliki nilai bulk density masing-masing 0.635 g/cm3, 1.009 g/cm3 dan 0.908 g/cm3. Demikian juga distribusi keseragaman ukuran berbeda-beda dimana urea memiliki distribusi ukuran paling seragam sebesar 75.7% dengan ukuran 1.4 – 2.36 mm, sedangkan pupuk SP-36 dan NPK memiliki distribusi ukuran masing-masing 22.27% dan 57.40% dengan ukuran masing-masing 2.36 – 4.6 mm dan 1.4 – 2.36 mm. Tabel 10 Distribusi ukuran dan massa jenis pupuk urea, SP-36 dan NPK Distribusi ukuran partikel pupuk (%) Massa jenis Jenis pupuk Urea SP-36 NPK
>4.76 mm 4.76 – 2.36 mm 2.36 – 1.4 mm <1.4mm 9.2 2.81
3.13 55.27 39.7
75.7 35.53 57.40
21.13 -
(g/cm3) 0.635 1.009 0.908
4.4 Identifikasi Sistem Perancangan sebuah pengontrol untuk suatu aplikasi tertentu meliputi langkah-langkah pemilihan mode kontrol yang akan digunakan serta pengaturan mode control. Ini berarti penentuan apakah control proporsional, proporsional plus derivatif, proporsional plus integral atau proporsional plus integral plus derivatif yang akan digunakan, dan pemilihan nilai KP, KI, dan KD yang bersesuain. Langkah ini akan menentukan bagaimana sistem akan bereaksi terhadap sebuah gangguan atau perubahan nilai pengaturan, seberapa cepat sistem menanggapi perubahan yang terjadi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untk mencapai keadaan tunak setelah terajadi gangguan atau perubahan nilai pengaturan, serta apakan terdapat error keadaan tunak atau tidak (Bolton, W. 2004) Metode yang digunakan untuk menentukan konstanta proporsional (P), Integral (I) dan diferensial (D) adalah metode Ziegler-Nichols. Metode ini berdasarkan pada pengujian sistem dengan loop terbuka sehingga tidak ada aksi kontrol. Pengujian sistem dilakukan menggunakan perintah PWM dengan lima kali step yaitu PWM 50, 100, 150, 200 dan 250 dengan periode sampling 60 ms
44
(16.7 Hz). Nilai keceptan putar motor yang terbaca oleh speed encoder direkam secara real time menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial RS232 antara microcontroller DT-51 minimum system dengan komputer. Grafik hasil pengujian setelah diolah ditunjukkan pada Gambar 29. Nilai K, T dan d yang diperoleh dari pengeplotan menggunakan model g (t ) 1 e
K (t d ) T
untuk t > d dan
g(t) = 0 untuk t < d (Radite, 2010). Hasil pengeplotan dengan metode least square diperoleh nilai K = 1.82, T = 0.075 dan d = 0.03. Dengan
menggunakan
persamaan Ziegler-Nichols maka diperoleh nilai konstanta P, I dan D masingmasing 1,030; 169 dan 67,647. Nilai PID ini yang menjadi parameter acuan dalam melakukan penalaan atau tuning. 1.2 Gain
1
PWM 50
0.8
g(t) 1 - e g (t ) 0 t
K - t d T
0.6 0.4
t>d
PWM 100 PWM 150 PWM 200 PWM 250
0.2
Model
0 0
0.5
1 1.5 Waktu (s)
2
Gambar 29 Grafik pengujian identifikasi sistem 4.5 Pengujian dengan Stair-Step Response 4.5.1 Pengujian Stair-Step Response tanpa Kontrol PID Pengujian tanpa kontrol dilakukan dengan menggunakan kontrol loop terbuka tanpa melibatkan rutin-rutin PID. Pengujian ini dilakukan untuk melihat respon kecepatan motor terhadap nilai set-point yang diberikan apabila motor dijalankan tanpa kontrol. Periode sampling yang diatur 60 ms dan frekuensi sampling 16.7 Hz. Nilai set-point yang digunakan 400, 800, 1200, 1600, 2000, 0, 2000, 1600, 1200, 800, 400 rpm. Hasil pengujian tanpa kontrol ditunjukkan pada Gambar 30.
45
Gambar 30 Grafik pengujian stair-step response tanpa kontrol PID Gambar 30 menunjukkan bahwa kecepatan putaran motor tidak mampu mengikuti set-point yang diberikan baik pada saat step naik maupun turun. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya umpan balik keluaran terhadap masukan sehingga tidak koreksi sistem terhadap error yang terjadi. 4.5.2 Penalaan Stair-Step Response dengan Kontrol PID Penalaan (tuning) digunakan untuk menggambarkan metode-metode yang digunakan serta untuk memilih pengaturan pengontrol terbaik untuk mendapatkan unjuk kerja tertentu (Bolton, W. 2004). Penalaan dilakukan melalui pengujian sistem dengan loop tertutup, periode sampling 60 ms, frekuensi sampling 16.7 Hz dan dilakukan dengan menggunakan 11 nilai set-point masing-masing 400, 800, 1200, 1600, 2000, 0, 2000, 1600, 1200, 800, 400 rpm. Hasil penalaan stair-step response dengan menggunakan konstanta PID awal hasil pengujian dengan metode Zeigler-Nichols ditunjukkan pada Gambar 31. Putaran motor (rpm)
2400
Pengukuran
2000
Diharapkan
1600 1200 800 400 0 0
20
40 60 Waktu (s)
80
100
Gambar 31 Grafik penalaan Stair-step response dengan konstanta ZeiglerNichols.
46
Gambar 31 menunjukkan bahwa terdapat kesalahan keadaan tunak (steady state error) yang cukup besar yang disebabkan oleh konstanta proporsional yang digunakan terlalu kecil. Menurut Pitowarno Endra (2006) bahwa semakin kecil Kp maka offset atau steady state error semakin besar. Putaran motor 400, 800 dan 1200 rpm masih mampu mencapai nilai set-point yang digunakan. Akan tetapi pada putaran tinggi yaitu 1600 rpm dan 2000 rpm, putaran motor berosilasi di atas nilai set-point. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konstanta Zeigler-Nichols tidak cukup presisi dalam mengontrol putaran motor, sehingga perlu dilakukan penalaan dengan beberapa kombinasi PID. Penalaan dengan beberapa kombinasi nilai P, I dan D seperti pada tabel lampiran 7. Terdapat 28 kombinasi PID yang digunakan, tiap kombinasi PID dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Gambar 32 menunjukkan grafik hasil penalaan dengan nilai PID berturut-turut sebesar 800; 10,000 dan 30,000. Grafik tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat steady state error yang cukub besar yang disebabkan oleh konstantan Kp yang masih kecil. Selain itu, pada set-point 2000 rpm, putaran motor berosilasi di atas set-point. Grafik hasil penalaan dengan konstanta PID berturut-turut 400; 5,000 dan 15,000 ditunjukkan pada Gambar 33. Grafik tersebut memperlihatkan respon sistem yang cukup baik dalam mengikuti step set-point. Namun terjadi osilasi yang cukup besar pada saat mulai. Hal ini disebabkan oleh nilai konstanta Kp yang besar, seperti yang dikemukakan oleh Pitowarno Endra (2006) bahwa penggunaan nilai Kp yang terlalu besar akan menyebabkan osilasi pada saat mulai. Selain itu, osilasi pada saat mulai juga dapat disebabkan oleh pemilihan Ki yang yang terlalu besar juga dapat menyebabkan terjadinya osilasi pada saat mulai. Gambar 34 memperlihatkan hasil penalaan konstanta PID masing-masing 500; 5,000 dan 30,000. Grafik tersebut menunjukkan bahwa pemilihan konstanta P sebesar 500 mampu memberikan respon yang cukup baik dan mengurangi osilasi yang terjadi. Namun terjadi respon yang kurang baik pada kecepatan tinggi, yaitu pada set-point 2000 rpm. Dimana pada set-point ini terjadi steady state error yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh pemilihan konstanta I dan P yang belum tepat.
47
Putaran motor (rpm)
2400 Pengukuran 2000
Diharapkan
1600 1200 800 400 0 0
8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 Waktu (s)
Gambar 32 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 800; 10,000 dan 30,000
Putaran motor (rpm)
2400 Pengukuran 2000
Diharapkan
1600 1200 800 400 0 0
8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 Waktu (s)
Gambar 33 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 400; 5,000 dan 15,000 2400 Pengukuran Putaran motor (rpm)
2000
Diharapkan
1600 1200 800 400 0 0
8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 Waktu (s)
Gambar 34 Grafik hasil penalaan PID dengan konstanta PID masing-masing 500; 5,000 dan 30,000
48
2400
Pengukuran Diharapkan
Putaran motor (rpm)
2000 1600 1200 800 400 0 0
8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 Waktu (s)
Gambar 35 Grafik hasil penalaan konstanta PID masing-masing 500; 15,000 dan 20,000 Nilai konstanta PID yang digunakan untuk pengontrolan sistem adalah yang menghasilkan keluaran paling mendekati nilai set-poin. Dari beberapa kombinasi nilai PID yang diujikan, diperoleh nilai PID yang memberikan pengontrolan terbaik masing-masing 500; 15,000 dan 20,000. Grafik hasil pengujian dengan menggunakan stair-step respon diperlihatkan pada Gambar 35. Gambar 35 menunjukkan bahwa pemilihan konstanta PID sebesar 500; 15,000 dan 20,000 memberikan respon yang baik terhadap semua nilai set-poin yang diberikan baik pada step naik maupun turun. Demikian pula kesalahan keadaan tunak berkurang dibandingkan hasil panalaan lainnya. Namun masih terjadi osilasi yang disebabkan oleh pemilihan konstanta P dan I yang belum tepat. 4.6 Pengujian dengan Pupuk Granular Sistem metering device yang dibuat memiliki dua rotor. Kedua rotor ini dapat dioperasikan bersamaan dengan membuka sekat lubang masukan metering device. Selain itu, sistem juga dapat dioperasikan menggunakan satu rotor dengan cara menutup sekat penutup lubang metering device. Pengujian dengan menggunakan pupuk granular menggunakan tiga jenis pupuk, yaitu urea, SP-36 dan NPK. Ketiga jenis pupuk ini memiliki nilai bulk density yang berbeda-beda dimana nilainya masing-masing 0.635 g/cm3, 1.009 g/cm3 dan 0.908 g/cm3. Demikian juga distribusi keseragaman ukuran berbeda-beda dimana urea memiliki distribusi ukuran paling seragam sebesar 75.7% dengan ukuran 1.4 – 2.36 mm,
49
sedangkan pupuk SP-36 dan NPK memiliki distribusi ukuran masing-masing 22.27% dan 57.40% dengan ukuran masing-masing 2.36 – 4.6 mm dan 1.4 – 2.36 mm. 4.6.1 Pengujian dengan Kontrol PID Menurut Pitowarno Endra (2006), kontrol PID merupakan kombinasi dari kontrol proporsional (P), integral (I) dan Derivative (D) sehingga akan diperoleh kontrol yang dapat menghasilkan respon yang terbaik. Kontrol proporsional (Kp) akan memberikan efek mengurangi waktu naik, tetapi tidak menghapus waktu naik, tetapi tidak menghapus kesalahan keadaan tunak. Kontrol integral (Ki) akan memberikan efek menghapus kesalahan keadaan tunak, tetapi akan berakibat memburuknya respon transien. Kontrol derivatif akan meberikan efek meningkatnya stabilitas sistem, mengurangi overshoot dan menaikkan respon transien. Pengujian dengan kontrol PID dibagi dalam dua kali pengujian, yaitu pengujian metering device dengan menggunakan satu rotor dan menggunakan dua rotor. Kedua pengujian ini dilakukan pada masing-masing pupuk granular. Nilai konstanta PID yang digunakan adalah berturut-turut 500; 15,000 dan 20,000, sedangkan periode sampling diatur sebesar 60 ms dengan frekuensi sampling 16.7 Hz. Nilai set-point yang digunakan adalah 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm. Masing-masing nilai set-point dijalankan selama 5, 10, 15, 20 dan 25 detik dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk masing-masing nilai set-point dan waktu. Pupuk yang keluar dari metering device ditampung dalam suatu wadah yang diletakkan di atas timbangan digital. Kecepatan putar motor direkam menggunakan program hyperterminal melalui komunikasi serial RS232. 4.4.1.1 Pengujian Metering Device dengan Satu Rotor (Single Rotor) Pengujian dengan satu rotor dengan menggunakan pupuk urea ditunjukkan pada Gambar 36. Gambar 36 kiri menunjukkan grafik hubungan antara waktu dengan berat pupuk urea yang keluar menunjukkan hubungan yang linier untuk masing-masing nilai set-point. Dimana pada set-point 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm diperoleh nilai R2 masing-masing sebesar 0.997, 0.998, 0.998, 0.998 dan 0.998. Sedangkan kecepatan keluaran pupuk (rate) dari rotor untuk masing-
50
masing nilai set-point berturut-turut sebesar 5.546, 12.11, 17.84, 23.66 dan 29.64 g/s. Gambar 36 juga menunjukkan bahwa kenaikan nilai set-point proporsional terhadap kenaikan berat pupuk yang keluar dari rotor. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang dirancang cukup baik untuk diaplikasikan dengan
800
400 rpm
y = 29.64x + 8.8 R² = 0.998
800 rpm 1200 rpm
600
y = 23.66x + 8.133 R² = 0.998
1600 rpm 2000 rpm
400
y = 17.84x + 7.166 R² = 0.998 y = 12.11x + 1.433 R² = 0.998
200
y = 5.546x + 6.666 R² = 0.997
0 0
5
10
15
20
25
30
35 laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
menggunakan pupuk urea. y = 0.015x - 0.101 R² = 0.999
30 25 20 15 10 5 0 0
400
800 1200 1600 2000 Putaran (rpm)
Waktu (s)
Gambar 36 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk (kanan) Gambar 36 kanan menunjukkan grafik hubungan antara putaran motor dengan kecepatan keluaran pupuk (rate) dari rotor. Grafik tersebut menunjukkan bahwa putaran motor berkorelasi linier dengan kecepatan keluaran pupuk dengan nilai R2 = 0.999 dengan persamaan korelasi y = 0.015x – 0.101. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk keluar dari rotor dengan kecepatan aliran 0.015 g/s untuk satu satuan putaran motor. Hasil pengujian sistem dengan pupuk SP-36 ditunjukkan pada Gambar 37. Gambar 37 kiri menunjukkan grafik hubungan antara waktu dengan berat pupuk SP-36 yang keluar dari rotor. Grafik tersebut menunjukkan bahwa berat pupuk yang keluar dari rotor berkorelasi linier dengan waktu perputaran motor untuk semua nilai set-point yang digunakan. Dimana
pada set-point 400, 800, 1200,
1600 dan 2000 rpm menghasilkan nilai R2 masing-masing 0.999, 0.998, 0.998, 0.999 dan 0.991. Sedangkan kecepatan aliran pupuk dari rotor untuk masingmasing nilai set-point berturut-turut sebesar 7.54, 15.2, 22.09, 28.91 dan 33.27 g/s. Kenaikan nilai set-point proporsional terhadap kenaikan berat pupuk SP-36 yang keluar dari rotor. Gambar 37 kanan menunjukkan grafik hubungan antara putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36, dimana antara putaran motor 51
berkorelasi linier dengan laju aliran pupuk dengan nilai R2 = 0.992 dengan persamaan korelasi y = 0.016x + 2.283. Hal ini menunjukkan bahwa laju aliran pupuk SP-36 yang keluar dari rotor sebesar 0.016 g/s/rotasi. 400 rpm 800 rpm 1200 rpm 1600 rpm 2000 rpm
800.0 600.0
y = 28.91x + 36.5 R² = 0.999 y = 22.09x + 24.46 R² = 0.998
400.0 y = 15.2x + 13.26 R² = 0.998
200.0
y = 7.54x + 7.033 R² = 0.999
0.0 0
5
10
40
y = 33.27x + 68.9 R² = 0.991
15 20 Waktu (s)
25
30
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
1000.0
y = 0.016x + 2.283 R² = 0.992
35 30 25 20 15 10 5 0 0
400
800
1200 1600 2000
Putaran (rpm)
Gambar 37 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) Hasil pengujian dengan menggunakan pupuk NPK ditunjukkan pada Gambar 38. Waktu perputaran motor berkorelasi linier dengan berat pupuk NPK yang keluar dari rotor untuk semua nilai set-point dengan nilai R2 berturut-turut sebesar 0.997, 0.999, 0.998, 0.998 dan 0.998. sedangkan laju aliran pupuk NPK untuk masing-masing nilai set-point berturut-turut sebesar 8.4, 16.25, 24.62, 32.42 dan 40.5 g/s. Kenaikan nilai set-point proporsional terhadap kenaikan berat pupuk NPK yang keluar dari rotor. Demikian pula putaran motor berkorelasi linier dengan laju aliran pupuk dengan nilai R2 = 0.999 dengan persamaan korelasi y = 0.020x + 0.379. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk NPK akan keluar dari rotor dengan laju aliran 0.020 g/s/rotasi.
52
45
400 rpm
y = 40.5x - 4.7 R² = 0.998
800 rpm
1000.0
1200 rpm 800.0
1600 rpm
600.0
2000 rpm
y = 32.42x + 0.8 R² = 0.998 y = 24.62x + 0.333 R² = 0.998 y = 16.25x + 2.2 R² = 0.999
400.0 200.0
y = 8.4x - 5.2 R² = 0.997
0.0
Laju a keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
1200.0
y = 0.020x + 0.379 R² = 0.999
40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
30
400
800
1200 1600 2000
Putaran (rpm)
Gambar 38 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan) Hasil pengujian dengan ketiga jenis pupuk menunjukkan bahwa pengujian dengan pupuk NPK memiliki laju aliran paling besar dibandingkan dengan pupuk SP-36 dan urea. Hal ini disebabkan oleh bulk densty pupuk NPK lebih besar dibandingkan dengan pupuk urea dan memiliki distribusi ukuran lebih kecil dibandingkan dengan pupuk SP-36. Pupuk urea memiliki laju aliran paling kecil. Hal ini disebabkan oleh pupuk urea bersifat lebih higroskopis dan memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan pupuk SP-36 dan NPK sehingga pupuk urea lebih mudah lengket pada alur rotor yang menyebabkan pupuk yang jatuh dari rotor menjadi lebih sedikit dibandingkan pupuk SP-36 dan NPK. Selain itu, hasil pengujian menunjukkan bahwa sistem cukup baik diaplikasikan dengan pupuk urea, SP-36 dan NPK. 4.4.1.2 Pengujian Metering Device dengan Dua Rotor (Double Rotor) Hasil pengujian dengan menggunakan dua rotor untuk masing-masing pupuk urea, SP-36 dan NPK berturut-turut ditunjukkan pada Gambar 39, 40 dan 41. Grafik hubungan antara waktu dengan berat pupuk urea, SP-36 dan NPK yang keluar dari rotor berkorelasi linier. Untuk nilai set-point 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm dengan pupuk urea memberikan nilai R2 berturut-turut sebesar 0.999, 0.999, 0.999, 0.999 dan 1. Laju keluaran pupuk urea berturut-turut sebesar 7.846, 15.46, 23.04, 30.76 dan 39.92 g/s. Grafik hubungan antara putaran motor dengan laju aliran pupuk menunjukkan korelasi linier dengan nilai R2 = 0.999 dan persamaan korelasinya y = 0.019x – 0.046. 53
Grafik pengujian dengan pupuk SP-36 menunjukkan korelasi linier antara waktu dengan berat pupuk SP-36 yang keluar dari rotor untuk masing-masing nilai set-point. Nilai R2 yang diperoleh masing-masing sebesar 0.999, 0.999, 1, 0.999 dan 0.999. Laju aliran pupuk masing-masing sebesar 23.33, 39.24, 54.34, 68.92 dan 82.54 g/s. Grafik hubungan antara putaran motor dengan laju aliran pupuk SP-36 menunjukkan korelasi linier dengan R2 = 0.999 dengan persamaan korelasi y = 0.038x + 9.557 Grafik pengujian dengan pupuk NPK menunjukkan korelasi linier antara waktu dengan berat pupuk yang keluar dari rotor untuk masing-masing nilai setpoint, dimana nilai R2 yang diperoleh masing-masing sebesar 0.997, 0.999, 1, 0.999 dan 0.999. Laju aliran pupuk NPK masing-masing sebesar 22.92, 38.48, 51.34, 66.53 dan 78.80 g/s. Grafik hubungan antara putaran motor dengan laju aliran pupuk NPK menunjukkan korelasi linier dengan R2 = 0.998 dengan persamaan korelasi y = 0.035x + 9.968 Berdasarkan pengujian dengan satu rotor dan dua rotor menunjukkan bahwa terjadi kanaikan laju aliran pupuk urea sebesar 1.4 g/s, pupuk SP-36 sebesar 2.3 g/s dan pupuk NPK sebesar 1.8 g/s. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan laju aliran pupuk urea berbeda dari yang diharapkan, dimana dengan menggunakan dua rotor diharapkan terjadi kenaikan laju aliran pupuk sebesar dua kali laju aliran dengan satu rotor. Hal ini disebabkan oleh penggunaan dua rotor menyebabkan terjadi penurunan kecepatan putaran motor sehingga volume pupuk yang keluar untuk satu putaran berkurang. Selain itu, pupuk urea memiliki kadar air yang tinggi menyebabkan mudah lengket di permukaan alur rotor sehingga dapat mengurangi volume pupuk yang keluar. Sedangkan kenaikan laju aliran pupuk SP-36 dan NPK sudah mendekati kenaikan yang diharapkan.
54
1000.0
800 rpm
y = 38.92x + 55.7 R² = 1
1200 rpm
y = 30.76x + 50.63 R² = 0.999
800.0
1600 rpm
600.0
2000 rpm
y = 23.04x + 39.4 R² = 0.999
400.0
y = 15.46x + 24.6 R² = 0.999
200.0
y = 7.846x + 9.566 R² = 0.999
45 Laju keluaran pupuk (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
400 rpm
1200.0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
35 30 25 20 15 10 5 0
0.0 0
y = 0.019x + 0.046 R² = 0.999
40
0
30
400 800 1200 1600 2000 Putaran motor (rpm)
Gambar 39 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea(kanan) 90
400 rpm
y = 82.54x + 60.26 R² = 0.999
800 rpm
2000.0 1600.0
1600 rpm
y = 54.34x + 29.23 R² = 1
2000 rpm
1200.0
70
y = 68.92x + 50.2 R² = 0.999
1200 rpm
800.0
y = 39.24x + 16.33 R² = 0.999
400.0
y = 23.33x - 16.66 R² = 0.999
60
0.0 0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
y = 0.038x + 9.557 R² = 0.999
80
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
2400.0
50 40 30 20 10 0 0
30
400
800
1200 1600 2000
Putaran (rpm)
2400.0
90
400 rpm y = 78.80x + 66.43 R² = 0.999
800 rpm
2000.0
1200 rpm 1600.0
y = 66.53x + 34.46 R² = 0.999
1600 rpm
1200.0
y = 51.34x + 36.86 R² = 1
2000 rpm
800.0
y = 38.48x - 6 R² = 0.999
400.0
y = 22.92x - 35.06 R² = 0.997
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
Gambar 40 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) y = 0.035x + 9.968 R² = 0.998
80 70 60 50 40 30 20 10 0
0.0 0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
30
0
400
800 1200 1600 2000 Putaran (rpm)
Gambar 41 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan) 55
4.6.2 Pengujian Tanpa Kontrol Pengujian tanpa kontrol dilakukan untuk melihat perbedaan perilaku sistem jika dioperasikan tanpa pengendalian. Perbedaan prosedur pengujian antara dengan kontrol dan tanpa kontrol hanya terlatek pada nilai set-point yang digunakan. pengujian dengan kontrol menggunakan putaran sebagai set-point sedangkan pengujian tanpa kontrol menggunakan PWM. Nilai set-point yang digunakan dalam pengujian tanpa kontrol adalah PWM 50, 100, 150, 200 dan 250. Nilai ini setara dengan 751, 1637, 1947, 2139 dan 2203 rpm. 4.6.2.1 Pengujian dengan Satu Metering Device (Single Metering Device) Grafik hasil pengujian tanpa kontrol dengan satu metering device untuk masing-masing pupuk urea, SP-36 dan NPK ditunjukkan pada Gambar 42, 43 dan 44. Hasil pengujian dengan pupuk urea (Gambar 42) memperlihatkan bahwa berat pupuk yang keluar dari metering device untuk masing-masing nilai set-point PWM berkorelasi linier dengan waktu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai masingmasing koefisien korelasi sebesar 0.987, 0.988, 0.997, 0.997 dan 0.994. Laju aliran pupuk urea masing-masing sebesar 4.253, 9.713, 12.07, 13.24 dan 13.95 g/s. Grafik hubungan antara putaran motor dengan laju aliran pupuk urea yang keluar dari metering device menunjukkan hubungan yang linier dengan nilai R2 = 0.997 Hasil pengujian dengan pupuk SP-36 (Gambar 43) menunjukkan bahwa pada nilai PWM 150, 200 dan 250 atau setara dengan 1947, 2139 dan 2203 rpm, motor masih mampu merespon dengan baik perintah yang diberikan. Hal ini ditunjukkan oleh grafik hubungan antara waktu dengan berat pupuk yang keluar berkorelasi linier dengan nilai R2 masing-masing sebesar 0.998, 0.008 dan 0.994. Laju aliran pupuk masing-masing sebesar 25.30, 33.18 dan 38.78 g/s. Sedangkan pada nilai PWM 100 atau setara dengan 1637 rpm menunjukkan bahwa motor tidak mampu mempertahankan kecepatannya, hal ini ditunjukkan oleh grafik hubungan antara waktu dengan berat pupuk SP-36 yang keluar dari metering device, dimana penambahan waktu tidak menyebabkan kenaikan berat pupuk yang keluar secara signifikan, bahkan pada waktu 15 detik berat pupuk yang keluar lebih sediki dibandingkan 10 detik. Untuk nilai PWM 50 atau setara dengan 751 rpm terlihat bahwa metering device tidak berputar sehingga tidak ada
56
pupuk SP-36 yang keluar dari metering device. Hal ini disebabkan oleh torsi motor yang tidak cukup kuat untuk memutar metering device akibat beban pupuk SP-36 yang memenuhi alur metering. Hasil pengujian dengan pupuk NPK (Gambar 44) menunjukkan bahwa grafik hubungan antara waktu dengan berat pupuk yang keluar untuk PWM 100, 150, 200 dan 250 berkorelasi linier dengan R2 masing-masing sebesar 0.941, 0.972, 0.996 dan 0.999. Laju aliran pupuk NPK masing-masing sebesar 19.23, 27.66, 32.46 dan 35.91 g/s. Sedangkan pengujian dengan nilai PWM 50 menunjukkan bahwa motor tidak cukup kuat untuk memutar metering device sehingga pupuk NPK yang keluar sangat sedikit dan tidak terjadi kenaikan berat
PWM 50
400
y = 13.95x + 38.83 R² = 0.994
PWM 100 PWM 150
300
y = 13.24x + 38.6 R² = 0.997 y = 12.07x + 36.76 R² = 0.997 y = 9.713x + 31.16 R² = 0.988
PWM 200 PWM 250
200
100
16 Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
pupuk. y = 0.006x - 0.501 R² = 0.999
12 8 4
y = 4.253x + 14.73 R² = 0.987
0 0
0 0
5
10
15
20
25 30 Waktu (s)
500 1000 1500 2000 2500 Putaran (rpm)
Gambar 42 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea (kanan) 50
PWM 50 y = 38.78x + 11.53 R² = 0.994
PWM 100
1000.0
PWM 150
800.0
y = 33.18x + 34.76 R² = 0.998
PWM 200 PWM 250
600.0
y = 25.30x + 55.46 R² = 0.998
400.0
y = 6.813x + 107.8 R² = 0.678
200.0
y = -0.033x + 2.366 R² = 0.040
0.0 0
5
10 15 20 Waktu (s)
25
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
1200.0
40 30 20 10 0 -10
30
y = 0.020x - 3.662 R² = 0.962
0
500 1000 1500 2000 2500 Putaran (rpm)
Gambar 43 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan) 57
40
PWM 50 y = 35.91x + 10.3 R² = 0.999
PWM 100 800.0
PWM 150
y = 32.46x + 16.16 R² = 0.996
PWM 200
600.0
PWM 250
y = 27.66x + 14.36 R² = 0.972
400.0
y = 19.23x + 0.433 R² = 0.941
200.0
y = -0.333x + 17.53 R² = 0.129
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
1000.0
30 20 10 0 0
0.0 0
5
10
15
20
25
30
y = 0.018x - 1.041 R² = 0.998
-10
Waktu (s)
500 1000 1500 2000 2500 Putaran (rpm)
Gambar 44 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan) 4.6.2.2 Pengujian dengan Dua Metering Device (Double Metering Device) Grafik hasil pengujian dengan menggunakan dua metering device untuk masing-masing pupuk urea, SP-36 dan NPK ditunjukkan pada Gambar 45, 46 dan 47. Hasil pengujian dengan pupuk urea (Gambar 45) menunjukkan bahwa motor masih mampu memutar metering device dengan baik untuk semua nilai PWM dan menghasilkan grafik linier antara waktu dengan berat pupuk urea yang keluar dari metering device. Laju aliran pupuk untuk masing-masing nilai PWM berturutturut sebesar 11.29, 22.06, 27.6, 29.5 dan 31.02 g/s. Grafik hubungan antara nilai PWM dengan laju aliran pupuk urea menghasilkan persamaan korelasi y = 0.013x + 0.867 dengan R2 = 0.994. Hasil pengujian dengan pupuk SP-36 (Gambar 46) menunjukkan bahwa pada nilai PWM 50 dan 100 atau setara dengan 751 dan 1637 rpm, motor tidak cukup kuat untuk memutar metering device sehingga tidak terjadi kenaikan berat pupuk yang keluar dari metering device secara signifikan, bahkan untuk nilai PWM 50, metering device tidak berputar. Sedangkan pengujian dengan nilai PWM 150, 200 dan 250 atau setara dengan 1947, 2139 dan 2203 rpm, diperoleh grafik korelasi yang linier antara waktu dengan berat pupuk yang keluar. Laju aliran pupuk berturut-turut sebesar 65.39, 72.32 dan 78.60 g/s. Hasil pengujian dengan pupuk NPK (Gambar 47) menunjukkan bahwa pada PWM 50 (751 rpm) torsi motor tidak mampu memutar metering device
58
sehingga tidak ada pupuk yang keluar dari metering device. Sedangkan pada PWM 100, 150, 200 dan 250 diperoleh hubungan linier antara waktu dengan berat pupuk yang keluar dengan nilai R2 masing-masing sebesar 0.988, 0.999, 0.999 dan 0.998. laju aliran pupuk NPK yang keluar dari metering device masingmasing sebesar 48.43, 67.4, 74.64 dan 81.56 g/s. 35
PWM 50 PWM 100
800.0
y = 31.02x + 83.93 R² = 0.998
PWM 150
y = 29.5x + 82.76 R² = 0.999
PWM 200 600.0
PWM 250
y = 27.6x + 67.06 R² = 0.999
400.0
y = 22.06x + 57.1 R² = 0.999
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
1000.0
y = 11.29x - 10.26 R² = 0.997
200.0
y = 0.012x + 3.822 R² = 0.997
30 25 20 15 10 5 0
0.0 0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
0
30
500 1000 1500 2000 2500 Putaran (rpm)
Gambar 45 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk urea (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk urea (kanan)
PWM 50 y = 78.60x + 96.1 R² = 0.999
PWM 100
2000.0
PWM 150 1600.0
y = 72.32x + 53.36 R² = 0.999
PWM 200 PWM 250
1200.0
y = 65.39x - 83.3 R² = 0.978
800.0
y = 0.773x + 120.9 R² = 0.004
400.0
y = 0.013x + 2.666 R² = 0.000
0.0 0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
30
Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
2400.0
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 0.044x + 0.337 R² = 0.958
0
500 1000 1500 2000 2500 Putaran (rpm)
Gambar 46 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk SP-36 (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk SP-36 (kanan)
59
100
PWM 50 y = 81.56x + 67.73 R² = 0.998
PWM 100
2000.0
PWM 150
1600.0
y = 74.64x + 66.76 R² = 0.999
PWM 200 PWM 250
1200.0
y = 67.4x + 20.86 R² = 0.999
800.0
y = 48.43x - 32.76 R² = 0.988
400.0
y = 0.093x + 0.866 R² = 0.145
0.0 0
5
10
15 20 Waktu (s)
25
30
y = 0.040x + 3.510 R² = 0.984
80 Laju keluaran (g/s)
Berat keluaran pupuk (g)
2400.0
60 40 20 0 0
500 1000 1500 2000 2500 Putaran (rpm)
Gambar 47 Grafik hubungan waktu dengan keluaran pupuk NPK (kiri), grafik hubungan putaran motor dengan kecepatan aliran pupuk NPK (kanan) Berdasarkan hasil pengujian tanpa kontrol untuk pupuk SP-36 dan NPK menunjukkan bahwa torsi motor tidak cukup kuat untuk memutar metering device pada PWM 50 dan 100. Sedangkan pada PWM 150, 200 dan 250, torsi motor masih kuat dalam memutar metering device. Pengujian dengan pupuk urea, motor DC yang digunakan cukup kuat memutar metering device untuk semua nilai setpoint PWM. Hal ini disebabkan ukuran dari pupuk urea lebih kecil dan seragam serta lebih mudah hancur, sedangkan pupuk SP-36 dan NPK memiliki ukuran yang lebih besar dan tidak seragam serta memiliki tekstur yang keras. 4.6.3 Dosis Pemupukan Hasil rancangan metering device akan diaplikasikan pada tanaman padi. Jika diasumsikan jarak antar baris tanaman padi (lebar aplikasi) 30 cm dan kecepatan maju aplikator (traktor) adalah 1.8 km/jam atau 0.5 m/s, laju keluaran urea dengan menggunakan satu rotor sebesar 0.84 g/rotasi, maka akan diperoleh dosis pemupukan sebesar 56 kg/ha. Jika digunakan empat unit metering device maka akan diperoleh dosis pemupukan sebesar 224 kg/ha. Sedangkan dengan menggunakan dua rotor dimana laju keluaran urea sebesar 1.14 g/rotasi, maka diperoleh dosis pemupukan sebesar 76 kg/ha, sehingga dengan menggunakan empat unit metering device maka diperoleh dosis pemupukan sebesar 304 kg/ha. Dengan demikian, dosis pemupukan yang dianjurkan sebesar 250 kg/ha (Deptan 2007) dapat tercapai dengan menggunakan empat unit metering device dengan satu rotor. 60
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil rancangan dan pengujian metering device, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Prototipe metering device yang dirancang memiliki dua buah rotor yang dapat dioperasikan terpisah maupun bersamaan dan berfungsi untuk mengeluarkan pupuk dari hopper. 2. Kecepatan putaran rotor dapat dikontrol dengan baik dengan menggunakan kontrol PID. 3. Prototipe sistem Metering device dapat mengontrol laju keluaran pupuk urea, SP-36 dan NPK secara presisi. 4. Perubahan kecepatan putaran rotor proporsional dengan perubahan laju aliran pupuk urea, SP-36 dan NPK. Dengan demikian dosis pupuk dapat dikontrol melalui pengontrolan putaran rotor. 5. Pengujian metering device dengan satu rotor memberikan laju aliran pupuk urea, SP-36 dan NPK untuk set-point 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm berturut turut sebesar 5.546, 12.11, 17.84, 23.66 dan 29.64 g/s; 7.54, 15.2, 22.09, 28.91 dan 33.27 g/s; 8.4, 16.25, 24.62, 32.42 dan 40.5 g/s. 6. Pengujian metering device dengan dua rotor memberikan laju aliran pupuk, SP-36 dan NPK untuk set-point 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 rpm berturutturut sebesar 7.846, 15.46, 23.04, 30.76 dan 39.92 g/s; 23.33, 39.24, 54.34, 68.92 dan 82.54 g/s; 22.92, 38.48, 51.34, 66.53 dan 78.80 g/s. 5.2 Saran Metering
device
yang
dihasilkan
memiliki
beberapa
kelemahan
diantaranya masih terjadi gesekan antara rotor dengan casing rotor
yang
sisebabkan putaran rotor yang tidak center, sehingga dibutuhkan modifikasi pada bagian sambungan poros motor dengan poros rotor
61
DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2009. Pengembangan Pertanian Pemupukan Berimbang. Palembang: PT. Pupuk Sriwijaya. [terhubung berkala]. http://www.pusri.co.id/ indexC0301.php [26 Oktober 2009] Arnholt M. et al. 2001. Adoption and Use of Precision Farming Technologies: A Survey of Central Ohio Precision Farmers. USA: OHIO State. [terhubung berkala]. http://www.iasri.res.in/ebook. [15 Juni 2009] Bolton. W. 2004.. Sistem Instrumentasi dan Sistem Kontrol. Soni Astranto, penerjemah; Gugi Sagara dan Lemeda Simarmata, editor; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Instrumentation and Control System. BPPT-Sulbar. 2009. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah. Sumatera Barat. [terhubung berkala]. http://www.amarta.net, [26 Oktober 2009] Deptan. 2007. Rekomendasi Pemupukan N, P dan K pada Padi Sawah Spesifik Lokasi: Peraturan Menteri Pertanian No 40/Permentan/OT.140/04/2007. Jakarta. Ehsani M. R et al. 2000. Quantitative Measurement of Soil Nitrate Content Using Mid Infrared Diffuse Reflectance Spectroscopy. An ASAE Meeting Presentation. Paper No. 001046 Honeywell International Inc. 2008. Honeywell N Ammonium Sulfate. [terhubung berkala]. http://www51.honeywell.com, [3 Desember 2009] Joni I. M dan Budi Raharjo. 2006. Pemrograman C dan Implementasinya. Bandung: Penerbit Informatika. Pitowarno. E. 2006. Robotika: Desain, Kontrol dan Kecerdasan Buatan. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta. Radite, P.A.S, W. Hermawan, B. Budiyanto, dan Abdul Azis. 2010. Development of Variable Rate Fertilizer Applicator Module Based on 8bit Embedded System AFITA 2010 Int’l Conf.,”The Quality Information for Competitive Agricultural Based Production System and Commerce, IICC Bogor, Oct 4-6, page 93-98. Radite. P.A.S. 2001. Development of Variable Rate Granular Aplicator for Paddy Field. Research report on Precision Agriculture Research Project. BRAIN-Kyoto University, Japan. Reijntjes C. et al. 1992. Farming for the Future, an Introduction to Low-ExternalInput and Sustainable Agriculture. The Macmillan Prss LTD. Terjemahan. Sukoco Y. 1999. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit Kanusius. Jakarta Searcy SW. 1997. Precision Farming: A New Approach to Crop Management. Texas: Texas Agricultural Extension Service. College Station. [terhubung
62
berkala]. 2009]
http://txprecag.tamu.edu/content/pub/pf-ncm.pdf,
[15
Juni
Srivastava AK, Goering CE, Rohrbach RP. 1994. Engineering Principle of Agricultural Machine. USA: American Society of Agriculture Enginering Sutedjo M. M. 2008. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Syafri Edi. 2010. Disain Mesin Penanam Jagung Terintegrasi dengan Penggerak Traktor Roda Dua. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tan Kim H. 1994., Enviromental Soil Science. New York : Marcel Dekker. Zakłady Chemiczne “Police” SA .2009. Safety Data Sheet of NPK Fertilizer. [terhubung berkala] http://www.agrow.com.au/assets/ pdf/TSP_2009 .pdf [l 2 Desember 2010]
63
LAMPIRAN Lampiran 1 Perhitungan volume metering device teoritis
Diketahui :
R = AC = 2.14 cm r = QE = 1.3 cm AD = 1.14 cm PQ = 1.64 cm DE = 0.86 cm β = 1.26 rad α = 1.43 rad
Dicari : luas PQBC Penyelesaian : 1. Menghitung luas ABC, dimana sisi AB = AC = R = 2.14 cm dengan persamaan: 1.26 × 2.14 = 2.89 2 2 2. Menghitung luas segitiga APQ, dimana sisi AP = AQ = PQ = 1.3 cm dengan =
×
=
persaman : ∆
=
∆
= 1.202
∆
×
× cos ( ) × sin( ) 2 2 2 1.64 73 73 = 1.14 × × 1.64 × cos × 1.64 × sin 2 2 2
64
3. Menghitung luas PQE, dimana PE = QE = PQ = r = 1.3 dengan persamaa: =
2
×
=
1.43 × 1.3 = 1.21 2
4. Menghitung luas segitiga PQE dengan persamaan =
∆
×
= 1.3 × cos
∆
× ×
× 1.3 × sin
= 0.69
5. Menghitung luas PQ, dimana luas PQ adalah selisih antara luas PQE dengan luas segitiga PQE, −
=
∆
= 1.21 − 0.69 = 0.52
2
6. Menghitung luas APQ, dimana luas APQ merupakan selisih antara luas segitiga APQ dengan PQ =
∆
−
= 1.202 − 0.52 = 0.68
7. Menghitung luas PQBC, merupakan selisih antara luas ABC dengan luas APQ
=
−
= .
− .
= .
Jadi luas satu alur rotor = 2.21 cm2, rotor yang dirancang memiliki enam buah alur (n) dengan panjang (Pr) 2 cm, sehingga volume satu rotor per rotasi adalah: =
× ×
= 2.21 × 2 × 6 = 26.52
65
3/
Lampiran 2 Perhitungan dosis pemupukan urea a. Dosis pemupukan untuk satu rotor Diketahui
:
Lebar aplikasi (W)
= 0.3 m
Kecepatan maju (S)
= 0.5 m/s
Laju urea (V)
= 0.84 g/rotasi
Ditanyakan
=
=
: Dosis pemupukan (Ds) × .
. × .
= 5.6 /
Jadi dosis pemupukan untuk satu unit metering device = 5.6 × 10
= 56
/
Dosis pemupukan untuk empat unit metering device = 224 kg/ha b. Dosis pemupukan untuk dua rotor Diketahui
:
Lebar aplikasi (W)
= 0.3 m
Kecepatan maju (S)
= 0.5 m/s
Laju urea (V)
= 1.14 g/rotasi
Ditanyakan
=
=
: Dosis pemupukan (Ds) × .
. × .
= 7.6 /
Jadi dosis pemupukan untuk satu unit metering device = 5.6 × 10
= 76
/
Dosis pemupukan untuk empat unit metering device = 304 kg/ha
66
Lampiran 3 Perhitungan dosis pemupukan SP-36 a. Dosis pemupukan untuk satu rotor Diketahui
:
Lebar aplikasi (W)
= 0.3 m
Kecepatan maju (S)
= 0.5 m/s
Laju urea (V)
= 0.96 g/rotasi
Ditanyakan
=
=
: Dosis pemupukan (Ds) × .
. × .
= 6.4 /
Jadi dosis pemupukan untuk satu unit metering device = 6.4 × 10
= 64
/
Dosis pemupukan untuk empat unit metering device = 256 kg/ha b. Dosis pemupukan untuk dua rotor Diketahui
:
Lebar aplikasi (W)
= 0.3 m
Kecepatan maju (S)
= 0.5 m/s
Laju urea (V)
= 2.22 g/rotasi
Ditanyakan
=
=
: Dosis pemupukan (Ds) × .
. × .
= 14.8 /
Jadi dosis pemupukan untuk satu unit metering device = 14.8 × 10
= 148
/
Dosis pemupukan untuk empat unit metering device = 592 kg/ha
67
Lampiran 4 Perhitungan dosis pemupukan NPK a. Dosis pemupukan untuk satu rotor Diketahui
:
Lebar aplikasi (W)
= 0.3 m
Kecepatan maju (S)
= 0.5 m/s
Laju urea (V)
= 0.96 g/rotasi
Ditanyakan
=
=
: Dosis pemupukan (Ds) × .
. × .
= 6.4 /
Jadi dosis pemupukan untuk satu unit metering device = 6.4 × 10
= 64
/
Dosis pemupukan untuk empat unit metering device = 256 kg/ha b. Dosis pemupukan untuk dua rotor Diketahui
:
Lebar aplikasi (W)
= 0.3 m
Kecepatan maju (S)
= 0.5 m/s
Laju urea (V)
= 2.1 g/rotasi
Ditanyakan
= =
: Dosis pemupukan (Ds) ×
.
. × .
= 14 /
Jadi dosis pemupukan untuk satu unit metering device = 14 × 10
= 140
/
Dosis pemupukan untuk empat unit metering device = 560 kg/ha
68
Lampiran 5 Bagan alir sistem pengontrolan
69
70
Lampiran 6 Tabel hasil kalibrasi kecepatan motor DC PWM
Tegangan Volt
RPM
0
0
0
10
0.63
0
20
1.23
96.6
30
3.12
406.9
40
5.06
727.6
50
6.76
1007
60
8.22
1257
70
9.32
1434
80
9.91
1525
90
10.93
1691
100
11.46
1783
110
11.94
1854
120
12.35
1925
130
12.67
1976
140
12.94
2022
150
13.18
2056
160
13.37
2090
170
13.54
2115
180
13.67
2135
190
13.83
2156
200
13.94
2170
210
14.03
2187
220
14.13
2203
230
14.23
2217
240
14.32
2222
250
14.44
2240
255
14.64
2273
71
Lampiran 7 Tabel kombinasi konstanta P, I dan D untuk penalaan PID P
I
D
400
5,000
20,000
500
10,000
15,000
800
15,000
10,000
72
Lampiran 8 Tabel hasil pengujian distribusi ukuran pupuk NPK , SP-36 dan urea. 1. Hasil pengujian distribusi ukuran pupuk NPK Ayakan I (mesh 4)
Ayakan II (mesh 8)
(4.76 mm)
(2.36 mm)
1000
47
477
476
583
9
174
400
500
11
209
280
Berat awal
sisa
2. Hasil pengujian distribusi ukuran pupuk SP-36 Ayakan I (mesh 4)
Ayakan II (mesh 8)
(4.76 mm)
(2.36 mm)
500
66
307
127
500
39
250
211
500
33
272
195
Berat awal
sisa
3. Hasil pengujian distribusi ukuran pupuk SP-36 ayakan I (mesh 8)
ayakan II (mesh 14)
(2.36 mm)
(1.4 mm)
500
15
380
105
500
17
387
96
500
15
369
116
berat awal
73
sisa
Lampiran 9 Tabel hasil pengukuran massa dan volume pupuk granular. Urea Volume massa (ml) (g) 650.79 418
SP-36 volume massa (ml) (g) 650.79 655
NPK volume massa (ml) (g) 650.79 602
417
657
599
414
654
588
413
660
576
415
656
590
74
Massa jenis air (g/ml)
0.996
Lampiran 10 Tabel hasil identifikasi sistem Waktu (s) 0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24 0.28 0.32 0.36 0.4 0.44 0.48 0.52 0.56 0.6 0.64 0.68 0.72 0.76 0.8 0.84 0.88 0.92 0.96 1 1.04 1.08 1.12 1.16 1.2 1.24 1.28 1.32 1.36 1.4 1.44 1.48 1.52 1.56 1.6 1.64
PWM50 (rpm) 0 38.4 268.8 396.8 512 563.2 640 665.6 665.6 691.2 691.2 704 729.6 704 716.8 704 704 742.4 755.2 729.6 755.2 780.8 780.8 768 755.2 742.4 768 780.8 755.2 742.4 742.4 742.4 780.8 768 768 742.4 755.2 780.8 755.2 755.2 755.2 742.4
PWM100 (rpm) 0 204.8 729.6 1024 1254.4 1395.2 1446.4 1523.2 1561.6 1561.6 1625.6 1612.8 1638.4 1587.2 1612.8 1651.2 1625.6 1612.8 1638.4 1638.4 1664 1587.2 1676.8 1638.4 1651.2 1612.8 1625.6 1651.2 1651.2 1651.2 1612.8 1664 1664 1638.4 1625.6 1638.4 1651.2 1638.4 1625.6 1625.6 1651.2 1651.2
PWM150 (rpm) 0 204.8 1062.4 1472 1689.6 1779.2 1804.8 1894.4 1868.8 1932.8 1932.8 1932.8 1907.2 1945.6 1958.4 1907.2 1932.8 1932.8 1958.4 1945.6 1945.6 1971.2 1958.4 1958.4 1958.4 1932.8 1932.8 1907.2 1932.8 1958.4 1996.8 1958.4 1958.4 1945.6 1945.6 1958.4 1920 1868.8 1932.8 1945.6 1958.4 1984
75
PWM200 (rpm) 0 192 1356.8 1804.8 1984 2099.2 2137.6 2086.4 2112 2150.4 2176 2124.8 2086.4 2176 2163.2 2124.8 2112 2163.2 2176 2137.6 2099.2 2150.4 2176 2112 2112 2176 2188.8 2112 2099.2 2163.2 2176 2124.8 2099.2 2150.4 2163.2 2163.2 2060.8 2176 2163.2 2112 2112 2137.6
PWM250 (rpm) 0 537.6 1702.4 2086.4 2188.8 2163.2 2240 2176 2214.4 2188.8 2227.2 2188.8 2227.2 2214.4 2214.4 2163.2 2227.2 2201.6 2201.6 2188.8 2201.6 2227.2 2176 2201.6 2163.2 2214.4 2188.8 2227.2 2163.2 2240 2188.8 2227.2 2176 2227.2 2176 2214.4 2150.4 2240 2201.6 2227.2 2201.6 2201.6
Lanjutan lampiran 7 Waktu (s) 1.68 1.72 1.76 1.8 1.84 1.88 1.92 1.96 2 2.04 2.08 2.12 2.16 2.2 2.24 2.28 2.32 2.36 2.4 2.44 2.48 2.52 2.56 2.6 2.64 2.68 2.72 2.76 2.8 2.84 2.88 2.92 2.96 3 3.04 3.08 3.12 3.16
PWM50 (rpm) 755.2 768 755.2 729.6 768 755.2 768 742.4 729.6 742.4 742.4 780.8 755.2 755.2 755.2 729.6 768 768 742.4 742.4 742.4 768 780.8 742.4 742.4 768 742.4 729.6 742.4 742.4 716.8 755.2 742.4 755.2 755.2 780.8 768 780.8
PWM100 (rpm) 1625.6 1638.4 1625.6 1638.4 1600 1651.2 1625.6 1664 1600 1600 1651.2 1651.2 1651.2 1600 1651.2 1664 1664 1638.4 1651.2 1676.8 1638.4 1625.6 1676.8 1651.2 1651.2 1587.2 1651.2 1625.6 1651.2 1600 1625.6 1651.2 1676.8 1625.6 1625.6 1625.6 1638.4 1651.2
PWM150 (rpm) 1958.4 1958.4 1958.4 1932.8 1932.8 1907.2 1920 1932.8 1958.4 1996.8 1958.4 1945.6 1958.4 1958.4 1945.6 1945.6 1932.8 1971.2 1945.6 1958.4 1958.4 1984 1958.4 1984 1945.6 1932.8 1920 1958.4 1932.8 1945.6 1971.2 1971.2 1971.2 1958.4 1958.4 1920 1958.4 1945.6
76
PWM200 (rpm) 2176 2150.4 2124.8 2137.6 2163.2 2150.4 2112 2124.8 2163.2 2137.6 2124.8 2112 2188.8 2163.2 2112 2112 2176 2137.6 2137.6 2112 2163.2 2176 2124.8 2099.2 2163.2 2176 2124.8 2099.2 2176 2150.4 2137.6 2099.2 2176 2176 2112 2086.4 2163.2 2150.4
PWM250 (rpm) 2188.8 2227.2 2188.8 2214.4 2201.6 2240 2201.6 2201.6 2176 2214.4 2214.4 2201.6 2201.6 2214.4 2201.6 2214.4 2227.2 2163.2 2227.2 2201.6 2214.4 2188.8 2214.4 2188.8 2240 2201.6 2240 2150.4 2240 2201.6 2227.2 2163.2 2214.4 2214.4 2240 2150.4 2227.2 2163.2
Lampiran 11 Tabel hasil pengujian metering device dengan satu rotor. Hasil Pengujian dengan Pupuk Urea (g) 400 rpm Waktu (s) UL1 UL2 UL3
800 rpm
1200 rpm
1600 rpm
2000 rpm
Ratarata
UL1
UL2
UL3
Ratarata
UL1
UL2
UL3
Ratarata
UL1
UL2
UL3
Ratarata
UL1
UL2
UL3
Ratarata
5
36
34
32
34.00
68
67
60
65.00
103
98
103
101.33
133
136
133
134.00
167
166
166
166.33
10
64
60
63
62.33
123
120
124
122.33
186
182
185
184.33
242
244
240
242.00
303
299
299
300.33
15
90
89
87
88.67
180
176
180
178.67
268
268
269
268.33
354
355
354
354.33
443
441
444
442.67
20
119
122
122
121.00
240
244
240
241.33
360
361
363
361.33
478
478
476
477.33
603
594
604
600.33
25
153
155
122
143.33
308
311
306
308.33
462
458
457
459.00
609
606
609
608.00
756
759
758
757.67
Hasil Pengujian dengan Pupuk SP-36 (g) 5
40
46
46
44.00
88
87
85
86.67
133
129
131
131.00
174
176
174
174.67
209
215
219
214.33
10
82
82
80
81.33
163
166
161
163.33
248
245
240
244.33
329
329
325
327.67
400
407
408
405.00
15
121
126
120
122.33
240
248
251
246.33
368
369
360
365.67
478
475
487
480.00
584
602
596
594.00
20
159
163
157
159.67
320
325
325
323.33
464
466
467
465.67
615
610
619
614.67
756
763
749
756.00
25
192
192
196
193.33
383
386
391
386.67
575
571
572
572.67
753
759
750
754.00
931
932
749
870.67
Hasil Pengujian dengan Pupuk NPK (g) 5
42
39
39
40.00
82
89
88
86.33
120
133
129
127.33
174
170
171
171.67
207
200
198
201.67
10
81
75
76
77.33
159
165
166
163.33
249
246
245
246.67
321
323
319
321.00
403
405
398
402.00
15
122
120
107
116.33
240
244
248
244.00
365
370
363
366.00
487
479
480
482.00
601
606
598
601.67
20
168
161
161
163.33
324
324
324
324.00
484
484
486
484.67
643
629
639
637.00
786
790
785
787.00
25
212
204
205
207.00
417
413
407
412.33
627
626
619
624.00
822
830
821
824.33
1018
1017
1030
1021.67
77
Lampiran 12 Tabel hasil pengujian metering device dengan dua rotor. Hasil Pengujian dengan Pupuk Urea (g) 400 rpm Waktu (s) UL1 UL2 UL3 5
47
48
47
800 rpm Ratarata
UL1 UL2
1200 rpm
UL3
Ratarata
UL1
UL2
UL3
1600 rpm Ratarata
UL1
UL2
UL3
2000 rpm Ratarata
UL1
UL2
UL3
Ratarata
47.33 101
99
101
100.33
151
153
153
152.33
200
203
205
202.67
245
248
251
248.00
10
91
92
88
90.33 182
182
182
182.00
272
270
272
271.33
360
357
360
359.00
447
447
446
446.67
15
130
125
127
127.33 257
256
259
257.33
387
388
388
387.67
518
514
513
515.00
643
639
641
641.00
20
166
166
164
165.33 331
330
331
330.67
500
500
498
499.33
663
670
663
665.33
835
839
833
835.67
25
206
207
205
206.00 411
414
413
412.67
616
616
611
614.33
820
818
818
818.67
1023 1027 1030 1026.67
393
401
402
398.67
490
479
485
484.67
741
742
736.33
873
877
861
870.33
Hasil Pengujian dengan Pupuk SP-36 (g) 5
80
107
120
102.33 222
224
226
224.00
301
318
289
302.67
10
223
212
224
219.67 401
399
405
401.67
578
568
572
572.67
726
15
328
316
326
323.33 594
577
606
592.33
844
834
846
841.33
1071 1081 1071 1074.33 1307 1266 1294 1289.00
20
439
457
459
451.67 809
804
792
801.67
1107 1096 1142 1115.00 1437 1445 1443 1441.67 1717 1741 1731 1729.67
25
564
567
578
569.67 996
1015 1004
1005.00 1384 1396 1390 1390.00 1752 1772 1783 1769.00 2120 2135 2101 2118.67
Hasil Pengujian dengan Pupuk NPK (g) 5
69
63
75
69.00 202
172
193
189.00
296
290
297
294.33
10
201
214
215
210.00 382
383
387
384.00
555
547
547
15
303
311
303
305.67 569
560
555
561.33
813
807
797
20
415
421
436
424.00 758
752
762
757.33
1074 1055 1068 1065.67 1357 1355 1366 1359.33 1653 1658 1638 1649.67
25
529
543
533
535.00 987
966
940
964.33
1317 1322 1321 1320.00 1709 1709 1707 1708.33 2036 2033 2035 2034.67
78
381
377
376
378.00
467
465
469
467.00
549.67
702
696
682
693.33
845
843
846
844.67
805.67
1037 1014 1019 1023.33 1251 1251 1238 1246.67
Lampiran 13 Bahasa program kontrol dengan PID /* Program kontrol SPC Motor Controller Modifikasi 05 Sept 2010 by Radite */ #include #include <stdio.h> //MakeWiz -> Components Tab -> Add Source File -> ENG_I2C.s51 #include "ENG_I2C.h" // Low-Level Routines //Hubungan DT-51 LCMS dengan SPC DC MOTOR //Hubungkan VMotor pada modul SPC DC MOTOR dengan power supply +12VDC // jika menggunakan Motor DC 12 volt #define USE_ASSEMBLY (1) #asm .export SDA,SCL SDA= P1.4 //Pin SDA = P3.2 SCL= P1.5 //Pin SCL = P3.3 #endasm //Hubungan DT-51 LCMS dengan PC //Pin P1.0 (TXD) --- converter --- RX (DB9 pin 2) //Pin P1.1 (RXD) --- converter --- TX (DB9 pin 3) //GND --- GND (DB9 pin 5) near unsigned char GateTime, PWM1, DCControl; near unsigned int Input1; #define ADDR_SPC 0xE0 #define ADDR_SPCDC 0xEE
//Address SPC MOTOR CONTROLLER //Address SPC DC MOTOR
#define InitLCD 0x0740 #define CommandLCD 0x07B0 #define WriteLCD 0x07D0 #define ReadLCD 0x07F0 #define ReadAddrLCD 0x0820 //unsigned char SetDDRAM @ 0x0850; #define SetDDRAM 0x0850 #define SetCGRAM 0x0870 //Command
79
#define Display_clr 0x01 #define Cursor_home 0x02 #define Display_off 0x08 #define Cursor_off 0x0C #define Cursor_on 0x0E #define Cursor_blink 0x0F #define CurShLeft 0x10 #define CurShRight 0x14 #define Disp_Sh_left 0x18 #define Disp_Sh_right 0x1C #define Cursor_inc 0x06 /* #define SPC_w 0xEE #define Cmd_PWM 0x20 #define SPC_r 0xEF #define Cmd_control 0x40 */ unsigned char ppi_init @ 0x2003; unsigned char portc @ 0x2002; unsigned char porta @ 0x2000; extern near unsigned char ACC;
void DelayXus(void); //void delay5ms(void); void delay50ms(void); unsigned char keyscan(void); void Serial_Out(unsigned char Data); void initlcd(void); void disp_clear(void); void disp_off(void); void Kirim_Karakter(void); void Posisi_Awal(void); void GeserCursor_Kiri(void); void GeserCursor_Kanan(void); void GeserDisplay_Kanan(void); void GeserDisplay_Kiri(void); void Baris2(void); void KirimPesan_LCD(unsigned char *msg); void PrintString(const char *msg); void initlcd(void){ 80
#asm lcall InitLCD #endasm _wait_ms(5); disp_clear(); } void disp_clear(void) { #asm mov A,#0x01 lcall CommandLCD #endasm _wait_ms(50); } void Posisi_Awal(void){ unsigned char i; #asm mov A,#Cursor_home lcall CommandLCD #endasm for (i=0;i<10;i++) _wait_ms(50); } void GeserCursor_Kanan(void){ unsigned char i; #asm mov A,#CurShRight lcall CommandLCD #endasm for (i=0;i<5;i++) _wait_ms(50); } void GeserCursor_Kiri(void){ #asm mov A,#CurShLeft lcall CommandLCD #endasm _wait_ms(5); } void tulis_data(unsigned char v1, unsigned char v2) { ACC = v1; 81
#asm lcall SetDDRAM #endasm ACC = v2; #asm lcall WriteLCD #endasm _wait_ms(5); }
void Baris2(void){ #asm mov A,#40H lcall CommandLCD #endasm _wait_ms(5); } void LCD_senddata(unsigned char var){ #asm lcall WriteLCD #endasm _wait_ms(50); } void LCD_sendstring(unsigned char *var){ while(*var) //till string ends LCD_senddata(*var++); //send characters one by one } void disp_off(void) { #asm mov A,#0x08 lcall CommandLCD #endasm _wait_ms(50); } void init232(void){ TMOD=(TMOD&0x0F)|0x20; //Timer 1 Mode 2 (Auto reload) 82
SCON=0x52;
//Serial Mode 1 (8-bit UART), REN=1 (Receiver Enable) // TI=1 (Transmit buffer empty) PCON=PCON&0x7F; //SMOD=0 (Double baud rate disable) TH1=0xFD; //9600 bps (11,059 MHz) ET1=0; //Disable Timer 1 interrupt TR1=1; //Timer 1 Run } void set_mode(void){ i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(0xE0); i2c_setbyte(0x02); i2c_setbyte(0x00); i2c_sendstop(); _wait_ms(4);
// Mulait Condition // Tulis ke modul SPC Motor Controller // Perintah "Set mode" // mode motor DC controller // Stop Condition // delay 4ms
} void auto_run(unsigned char AR){ i2c_sendmulait(); // Mulait Condition i2c_setbyte(0xE0); // Tulis ke modul SPC Motor Controller i2c_setbyte(0x03); // Perintah "auto run" i2c_setbyte(0x02); // untuk motor DC ke-3 i2c_setbyte(AR); // auto run disable i2c_sendstop(); // Stop Condition _wait_ms(1); // cukup 10us // cek_ack(); // printf("auto_run sukses\n"); } void set_parameter(void){ //unsigned int temp4,temp5,temp6,temp7,temp8,temp9,temp10; i2c_sendmulait(); // Mulait Condition i2c_setbyte(0xE0); // Tulis ke modul SPC MOTOR CONTROLLER i2c_setbyte(0x04); // Perintah “Set Motor Parameter” i2c_setbyte(0x02); // Untuk Motor DC ke-3 // 2400rpm=40rps= 400d=0x190 2200rpm= 0x016E i2c_setbyte(0x01); // Max Speed MSB 3600rpm =60rps= 600 desimal = 0x0258) i2c_setbyte(0x6E); // Max Speed LSB i2c_setbyte(0x00);
// PulPerRot MSB (116d= 0074, 30d= 001E) 83
i2c_setbyte(0x1E); i2c_sendstop(); _wait_ms(4);
// PulPerRot LSB // Stop Condition // delay 4ms
} void direction(void){ i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(0xE0); i2c_setbyte(0x05); i2c_setbyte(0x02); i2c_setbyte(1); i2c_sendstop(); _wait_ms(1); }
// Mulait Condition // Tulis ke modul SPC Motor Controller // Perintah "Set Motor Direction" // untuk motor DC ke-3 // arah cw=0, ccw=1 // Stop Condition // cukup 10us
void set_PID(void){ i2c_sendmulait(); // Mulait Condition i2c_setbyte(0xE0); // Tulis ke modul SPC MOTOR CONTROLLER i2c_setbyte(0x0D); // Perintah “Set PID Parameter” i2c_setbyte(0x02); // Untuk Motor DC ke-3 //Kp= 100/P Ki= 10/I Kd= 1000/D //50rb=0xC350, 40rb= 9C40, 30rb= 7530, 20rb= 4E20, 15rb= 3A98, // 5rb= 0x13884 3rb= 0BB8, 2rb5= 09C4, 2rb= 07D0, 1rb= 03E8 i2c_setbyte(0x01); // Kp MSB (10 desimal = 0x000A) i2c_setbyte(0xF4); // Kp LSB i2c_setbyte(0x3A); i2c_setbyte(0x98);
// Ki MSB (10,000 desimal = 0x2710) // Ki LSB
i2c_setbyte(0x4E); i2c_setbyte(0x20);
// Kd MSB (200 desimal = 0x00C8) // Kd LSB
i2c_setbyte(0x01); // Toleransi Error //1000ms=03E8, 100=0064, 60=003C, 40=0028, 30=001E, 10=000A i2c_setbyte(0x00); // T sampling MSB (1000ms=0x03E8, 100=0x0064, 40=0x0028, 30=0x001E, 10=0x000A i2c_setbyte(0x3C); // T Sampling LSB (60ms= 003C) i2c_sendstop(); _wait_ms(27);
// Stop Condition // delay 27 ms
} 84
void set_poin(unsigned int set_rps){ unsigned char rps_l, rps_h; rps_h= set_rps>>8; rps_l= set_rps; i2c_sendmulait(); // Mulait Condition i2c_setbyte(0xE0); // Tulis ke modul SPC MOTOR CONTROLLER i2c_setbyte(0x0B); // Perintah “Set Setpoint” i2c_setbyte(0x02); // Untuk Motor DC ke-3 i2c_setbyte(rps_h); // Setpoint MSB (200 desimal = 0x00C8) i2c_setbyte(rps_l); // Setpoint LSB i2c_sendstop(); // Stop Condition _wait_ms(1); // cukup delay 10 us // cek_ack(); // printf("\set_poin%3u %3u %3u\n",set_rps, rps_h, rps_l); // printf("\nprs =%u %x %x\n", set_rps, rps_h, rps_l); printf("\n"); } void set_PWM(unsigned char pwm){ i2c_sendmulait(); // Mulait Condition i2c_setbyte(0xE0); // Tulis ke modul SPC Motor Controller i2c_setbyte(0x0E); // Perintah "set PWM" i2c_setbyte(0x02); // Pilihr Mode motor DC i2c_setbyte(pwm); // Pilih PWM level i2c_sendstop(); // Stop Condition _wait_ms(1); // cukup 10us } void tulis_digit(unsigned int input){ unsigned int temp1,input1,input2,input3,input4,input5; input1=(input*1)/10000; input2=(input*1-input1*10000)/1000; input3=(input*1-input1*10000-input2*1000)/100; input4=(input*1-input1*10000-input2*1000-input3*100)/10; input5=(input*1-input1*10000-input2*1000-input3*100-input4*10); input1=input1+0x30; tulis_data(0x01,input1); input2=input2+0x30; tulis_data(0x02,input2); input3=input3+0x30; tulis_data(0x03,input3); input4=input4+0x30; tulis_data(0x04,input4); input5=input5+0x30; tulis_data(0x05,input5); // tulis_data(0x03,0x2e); 85
// }
tulis_data(0x05,0x43);
unsigned int GetInput1 (unsigned char addr){ unsigned int input; i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr&0xFE); i2c_setbyte(0x50); //Command Input i2c_setbyte(0x00); //Input 1 i2c_sendstop(); i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr|0x01); //address SPC DC MOTOR (I2C Read) input=i2c_getbytew(); //Ambil InputL1 + kirim Ack input|=i2c_getbytew()<<8; //Ambil InputH1 + kirim Nack i2c_sendstop(); return input; } void SetGateTime (unsigned char addr, unsigned char GT){ i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr&0xFE); i2c_setbyte(0x10); //Command GateTime i2c_setbyte(GT); //GateTime i2c_sendstop(); } void SetControl (unsigned char addr, unsigned char DCCtrl) { i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr&0xFE); i2c_setbyte(0x40); //Command Control i2c_setbyte(DCCtrl); //DC Control i2c_sendstop(); } void spcDC_init(void){ DCControl=0x42; //DCControl= 44H; Motor DC 1: Run, CCW, Input aktif SetControl(ADDR_SPCDC,DCControl); _wait_ms(5); GateTime=0x02; //GateTime= 02H; Time= 31,25ms, Resolusi= 1Hz SetGateTime(ADDR_SPCDC, GateTime); 86
_wait_ms(5); } void spcMC_init(void){ set_parameter(); direction(); // set_PID(); set_PWM(0); } void main(void){ unsigned char ip, ir,Inputlast; unsigned int pwm[12]; pwm[0]=66; pwm[1]=133;pwm[2]=200;pwm[3]=267;pwm[4]=334; //pwm[5]=0; pwm[6]=334; pwm[7]=267;pwm[8]=200;pwm[9]=133;pwm[10]=66; pwm[11]=0; // i2c_init; auto_run(0); spcMC_init(); initlcd(); _wait_ms(5); LCD_sendstring(" VRT Controller"); GeserCursor_Kanan();GeserCursor_Kiri(); Posisi_Awal();Baris2(); GeserCursor_Kanan();GeserCursor_Kiri(); LCD_sendstring(" Riset I-MHERE IPB "); disp_clear(); init232(); _wait_ms(10); spcDC_init(); ppi_init = 0x81; _wait_ms(10); printf("\n Begin Test\n"); porta=0x80;_wait_ms(10); /* for(ip=0;ip<255;ip+=50){ set_PWM(ip); tulis_digit(ip); _wait_ms(2000); Input1= GetInput1(ADDR_SPCDC); printf("%u\n", Input1); }
87
set_PWM(0); tulis_digit(ip); _wait_ms(2000); */ printf("**SpcM3co mulai *****\n"); // //
ir=4; tulis_digit(pwm[ir]); for(ir=1;ir<2;ir++){ set_poin(pwm[ir]); set_PID(); auto_run(1); for(ip=0;ip<50;ip++){ _wait_ms(97); }
// //
_wait_ms(5000); porta=0x00;_wait_ms(1000); } porta=0x00;_wait_ms(1000); printf("**SpcM3co Selesai *****\n"); // _wait_ms(8000); // porta=0x00;_wait_ms(1000); }
88
Lampiran 14 Bahasa program pembacaan putaran motor #include #include <stdio.h> //MakeWiz -> Components Tab -> Add Source File -> ENG_I2C.s51 #include "ENG_I2C.h" // Low-Level Routines //Hubungan DT-51 LCMS dengan SPC DC MOTOR //Hubungkan VMotor pada modul SPC DC MOTOR dengan power supply +12VDC // jika menggunakan Motor DC 12 volt #asm .export SDA,SCL SDA=P1.4 //Pin SDA = P3.2 SCL=P1.5 //Pin SCL = P3.3 #endasm //Hubungan DT-51 LCMS dengan PC //Pin P1.0 (TXD) --- converter --- RX (DB9 pin 2) //Pin P1.1 (RXD) --- converter --- TX (DB9 pin 3) //GND --- GND (DB9 pin 5) near unsigned char GateTime, PWM1, DCControl; near unsigned int Input1; #define ADDR_SPCDC 0xEE
//Address SPC DC MOTOR
#define USE_ASSEMBLY (1) #define InitLCD 0x0740 #define CommandLCD 0x07B0 #define WriteLCD 0x07D0 #define ReadLCD 0x07F0 #define ReadAddrLCD 0x0820 //unsigned char SetDDRAM @ 0x0850; #define SetDDRAM 0x0850 #define SetCGRAM 0x0870 //Command #define Display_clr 0x01 #define Cursor_home 0x02
89
#define Display_off 0x08 #define Cursor_off 0x0C #define Cursor_on 0x0E #define Cursor_blink 0x0F #define CurShLeft 0x10 #define CurShRight 0x14 #define Disp_Sh_left 0x18 #define Disp_Sh_right 0x1C #define Cursor_inc 0x06 /*#define SPC_w 0xEE #define Cmd_PWM 0x20 #define SPC_r 0xEF #define Cmd_control 0x40*/ unsigned char ppi_init @ 0x2003; unsigned char portc @ 0x2002; unsigned char portb @ 0x2001; unsigned char porta @ 0x2000; extern near unsigned char ACC; //void delay5ms(void); void delay50ms(void); unsigned char keyscan(void); void Serial_Out(unsigned char Data); void initlcd(void); void disp_clear(void); void disp_off(void); void Kirim_Karakter(void); void Posisi_Awal(void); void GeserCursor_Kiri(void); void GeserCursor_Kanan(void); void GeserDisplay_Kanan(void); void GeserDisplay_Kiri(void); void Baris2(void); void KirimPesan_LCD(unsigned char *msg); void PrintString(const char *msg); void initlcd(void){ #asm lcall InitLCD #endasm; _wait_ms(5); disp_clear(); } 90
void disp_clear(void) { #asm mov A,#0x01 lcall CommandLCD #endasm _wait_ms(50); } void Posisi_Awal(void){ unsigned char i; #asm mov A,#Cursor_home lcall CommandLCD #endasm; for (i=0;i<10;i++) _wait_ms(50); } void GeserCursor_Kanan(void){ unsigned char i; #asm mov A,#CurShRight lcall CommandLCD #endasm; for (i=0;i<5;i++) _wait_ms(50); } void GeserCursor_Kiri(void){ #asm mov A,#CurShLeft lcall CommandLCD #endasm; _wait_ms(5); } void tulis_data(unsigned int v1, unsigned int v2) { ACC = v1; #asm lcall SetDDRAM #endasm; ACC = v2; #asm 91
lcall WriteLCD #endasm; _wait_ms(5); } void Baris2(void){ #asm mov A,#40H lcall CommandLCD #endasm; _wait_ms(5); } void LCD_senddata(unsigned char var){ #asm lcall WriteLCD #endasm _wait_ms(50); } void LCD_sendstring(unsigned char *var){ while(*var) //till string ends LCD_senddata(*var++); //send characters one by one } void disp_off(void) { #asm mov A,#0x08 lcall CommandLCD #endasm _wait_ms(50); } void init232(void){ TMOD=(TMOD&0x0F)|0x20; //Timer 1 Mode 2 (Auto reload) SCON=0x52; //Serial Mode 1 (8-bit UART), REN=1 (Receiver Enable) // TI=1 (Transmit buffer empty) PCON=PCON&0x7F; //SMOD=0 (Double baud rate disable) TH1=0xFD; //9600 bps (11,059 MHz) ET1=0; //Disable Timer 1 interrupt TR1=1; //Timer 1 Run _wait_ms(100); 92
} void init_counter(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD; TMOD = TMOD & 0xF0 | 0x05; TH0 = 255; TL0 = 156; TR0 = 1; } void init_timer(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD; TMOD = TMOD & 0x0F | 0x10; TH1 = 0xED; TL1 = 0xFF; TR1 = 1; TF1 = 0; // while (!TF0); // TR1 = 0; TMOD = Temp; } void delay5ms(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD; TMOD = 0x21; TH0 = 0xED; TL0 = 0xFF; TR0 = 1; TF0 = 0; while (!TF0); TR0 = 0; TMOD = Temp; } void cek_ack(void){ unsigned char tempa,tempb; do{ i2c_sendmulait(); // Mulait Condition i2c_setbyte(0xE1); // Baca ke modul SPC MOTOR CONTROLLER 93
tempa=i2c_receiveack(); //tempa= i2c_receivebyte(); //i2c_sendack(); i2c_sendstop(); } while(tempa!=0x00); } void SetGateTime (unsigned char addr, unsigned char GT) { i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr&0xFE); i2c_setbyte(0x10); //Command GateTime i2c_setbyte(GT); //GateTime i2c_sendstop(); } void SetControl (unsigned char addr, unsigned char DCCtrl) { i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr&0xFE); i2c_setbyte(0x40); //Command Control i2c_setbyte(DCCtrl); //DC Control i2c_sendstop(); _wait_ms(1); } unsigned int GetInput1 (unsigned char addr) { unsigned int input, input1, input2; i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr&0xFE); i2c_setbyte(0x50); //Command Input i2c_setbyte(0x00); //In2put 1 i2c_sendstop(); i2c_sendmulait(); i2c_setbyte(addr|0x01); //address SPC DC MOTOR (I2C Read) input = i2c_getbytew(); //Ambil InputL1 + kirim Ack input|= i2c_getbytew()<<8; //Ambil InputH1 + kirim Nack 94
i2c_sendstop(); //
input= input2*256+input1; return input;
} void main(void){ unsigned int il; unsigned int Input1; // unsigned int temp1,temp2,temp3, nilaih,nilaiL; // unsigned int rps; // unsigned char pwm=0, nilai=0; // // //
ppi_init = 0x80; _wait_ms(100); initlcd(); init232(); DCControl=0x40; //DCControl= 42H; Motor DC 1: Run, CCW, Input aktif SetControl(ADDR_SPCDC,DCControl); _wait_ms(10); GateTime=0x02; //GateTime= 02H; Time= 1000ms, 02h= 31,25ms SetGateTime(ADDR_SPCDC, GateTime); _wait_ms(5); ppi_init = 0x83; _wait_ms(10); while((portb<<4)!=0x80); printf("%x\n", portb<<4); printf("*** mulai pengukuran ***\n"); for(il=0;il<250;il++){ Input1= GetInput1(ADDR_SPCDC); printf("%u \n", Input1*2); _wait_ms(91); } printf("*** akhir pengukuran ***\n"); portb=0x00; _wait_ms(1000);
}
95
96