ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
PRIMA MASHITA PATRIOTIKA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
September 2011
Prima Mashita Patriotika NIM. H141070071
ABSTRACT PRIMA M. PATRIOTIKA,The Analysis Of Factors That Influence Human Development Index In West Java, Under Direction of DEDI B. HAKIM and BAMBANG JUANDA. Human Development Index (HDI) is a measure for the quality of human development. The increas development will have an impact on improving the quality of economic growth. The United Nations Development Programme (UNDP) since 1990 has used the HDI to measures achievement of human development process. Human Development Index devided in three aspects: longevity, knowledge and decent living. This study examines the factors that influence human development index in West Java province and discussed the policy implications compared to the reality that occure in this province.The study was conducted in West Java province by using secondary data derived from BPS and Bappeda Jawa Barat from 20052009. This study used panel data regression model to determine the factors that influence human development index and used descriptive analysis to discuss policy implication. This study showsed GDP per capita, poverty, education facilities, teacher, health fascilities, health care, and infrastructure significantly influence the human development index. Factors above should be priority to improve so that West Java would achieve higher HDI.This study also found that Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, and Kabupaten Purwakarta have the lowest HDI in West Java Province. Keyword: HDI, West Java, PDRB per capita, poverty, education facilities, health facilities, health care, infrastructure
RINGKASAN PRIMA M. PATRIOTIKA, Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Dibimbing oleh DEDI B. HAKIM dan BAMBANG JUANDA. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan komponen utama pembangunan ekonomi. Dampak pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan pembangunan manusia yang baik, pembangunan negara dapat tercapai dan derajat sosial bangsa akan meningkat sehingga mendorong pembangunan manusia yang berkualitas. IPM memiliki tiga aspek yaitu berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran perkapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah). Penelitian ini membahas faktor apa saja yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia di Jawa Barat dan bagaimana efektivitas kebijakan yang dibuat Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam peningkatan IPM dalam selang tahun 2005-2009. Faktor yang dimasukkan dalam penelitian ini meliputi indikator pembangunan daerah, indikator kemiskinan, indikator pendidikan, dan indikator kesehatan. Dari indikator-indikator tersebut ditetapkan variabel-variabel independent yang diuji dalam mempengaruhi IPM yaitu jumlah penduduk miskin, PDRB per kapita, rasio jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 5-14 tahun, rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP, rasio jumlah sarana kesehatan terhadap jumlah penduduk, rasio jumlah pelayan kesehatan terhadap penduduk, dan rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk. Dengan menggunakan metode regresi berganda dengan model panel data yang terdiri dari 25 unit cross section yaitu Kabupaten/ Kota di provinsi Jawa Barat dan 5 unit time series yaitu tahun 2005-2009, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa seluruh faktor-faktor yang dianalisis berpengaruh secara signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di Jawa Barat. Berdasarkan hasil regresi tersebut diketahui seluruh faktor-faktor yang dianalisis yaitu PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur berpengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia di Jawa Barat. Selain itu, dari penelitian ini disimpulkan Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta merupakan daerah yang memiliki IPM rendah di Provinsi Jawa Barat, dengan demikian kebijakan di daerah-daerah ini belum efektif dijalankan. Kelima kabupaten ini perlu menekankan kebijakan pada PDRB per kapita yang tergolong rendah dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi.
© HAK CIPTA MILIK IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
PRIMA MASHITA PATRIOTIKA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi lmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Parulian Hutagaol, Ph.D
Judul Penelitian Nama NIM
: Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat : Prima Mashita Patriotika : H151070071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi B Hakim, M.Ec Ketua
Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc, Agr
Tanggal Ujian: 21 September 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas segala pedoman dan teladan kejujuran dalam menulis karya ilmiah ini. Tesis yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat”, merupakan sumbangan pemikiran penulis dalam rangka melihat potensi kependudukan yang potensial dikembangkan di Provinsi Jawa Barat dan dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai syarat dalam memenuhi gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Bambang Juanda, Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Bapak Parulian Hutagaol, Ph.D dan Ibu Dr. Sri Mulatsih sebagai dosen penguji, Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi dan Ibu Lukytawati Anggraeni, PhD selaku Sekretaris Program Studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Asdep Dukungan Informatika Sekretariat Negara Bapak Hasudungan Simatupang, Kabid Basis Data Kebijakan: Bapak Hamidi Rahmat, Kasubbid Ekonomi: Ibu Irma Dwi Santi, dan rekan-rekan kerja di Sekretariat Negara yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Terima Kasih yang tak terhingga juga penulis berikan kepada keluarga Solver Abdi Muzacky, Intan Yustisiawati dan Winner Jihad Akbar serta orang tua tercinta Alm. Abdul Jalal dan Alm. Noorcholissiyah. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga dihaturkan untuk semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis sangat mengharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan untuk kemajuan bangsa, negara, dan umat. Dan semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor,
September 2011
Prima Mashita Patriotika
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Prima Mashita Patriotika lahir pada tanggal 4 Mei 1985 di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Abdul Jalal dan Noorcholissiyah. Penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar di SDN 06 pagi, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 98 Jakarta. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 109 Jakarta.Tahun 2007 lulus sebagai Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Di tahun yang sama penulis melanjutkan studinya pada Magister Sains Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di Sekretariat Negara RI sejak tahun 2008.
i
DAFTAR ISI Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian BAB II
BAB III
Halaman i iii iv v 1 1 6 13 13 13
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi 2.1.2 Modal Manusia dalam Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi 2.1.3 Pendidikan 2.1.4 Kesehatan 2.1.5 Pendapatan per Kapita 2.1.6 Indeks Pembangunan Manusia 2.1.7 Kemiskinandan Pembangunan Manusia 2.1.8 Kebijakan Pro Poor Growth 2.1.9 Pembangunan Infrastruktur dalam Pembangunan Manusia 2.1.10 Analisis Panel Data 2.2 Penelitian-PenelitianTerdahulu 2.3 KerangkaPemikiran
15
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.4 Spesifikasi Panel Data 3.5 Pengujian Model dan Hipotesis 3.5.1 Uji F 3.5.2 Uji T 3.5.3 Uji Statistik R2 3.5.4 Multikolinearitas 3.5.5 Heteroskedastisitas 3.5.6 Autokorelasi
46 46 46 46 47 50 50 52 52 53 53 54
15 15 17 21 22 23 24 27 29 30 32 40 44
i
BAB IV
PROFIL PROVINSI JAWA BARAT 4.1 Geografi 4.2 Populasi 4.3 Capaian IPM Jawa Barat Hingga Tahun 2009 4.4 Kebijakan Jawa Barat dalam Meningkatkan IPM
56 58 59 60 63
BAB V
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Panel Data 5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia 5.2.1 PDRB Per Kapita 5.2.2 Kemiskinan 5.2.3 Pendidikan 5.2.4 Kesehatan 5.2.5 Sarana Infrastruktur 5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM di tiap Kabupaten/Kota 5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota dengan Nilai IPM Terendah dalam Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
66
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
66 67 67 68 71 73 75 77 85 88 88 88 89
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 IPM 33 Provinsi di Indonesia Tabel 2.2 Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia Tabel 2.3 Dimensi dan Indikator Kemiskinan Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian Terdahulu Tabel 3.1 Definisi Data dalamTabel Tabel 3.2 Variabel dalam Penelitian Tabel 4.1 Monografi Provinsi Jawa Barat Tabel 4.2 PerkembanganIndeks Pembangunan Manusia IPM beserta Komponennya di ProvinsiJawa Barat tahun 2004-2009 Tabel 5.1 Hasil Regresi Data Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Miskin dan Kota di Indonesia Tabel 5.3 Efek Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM untuk Tiap Kabupaten/Kota Tabel 5.4 Pengelompokan Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai IPM Tabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM Terendah di Jawa Barat
Halaman 5 27 25 42 47 48 57 61 66 70 77 79 85
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk Pulau Jawa Tahun 2005-2009 2 Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau JawaTahun 2005-2009 3 Gambar 1.3 Kepadatan Penduduk Pulau Jawa tahun 2005-2009 3 Gambar 1.4 Pergerakan IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009 6 Gambar 1.5 Pergerakan IPM Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 8 2007-2009 Gambar 1.6 PersentaseAngka Melek Huruf di Provinsi Jawa Barat Tahun 9 2005-2009 Gambar 1.7 Rata-Rata Lama Sekolah di ProvinsiJawa Barat tahun 200510 2009 Gambar 1.8 Jumlah SD dan SMP di Jawa Barat tahun 2005-2009 10 Gambar 1.9 Angka Harapan Hidup Jawa Barat Tahun 2005-2009 11 Gambar 1.10 Jumlah Puskesmas di Jawa Barat Tahun 2005-2009 12 Gambar 1.11 Pengeluaran Per Kapita Jawa Barat Tahun 2005-2009 12 Gambar 2.1 Hubungan Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi 20 Gambar 2.2 Alur Konsep IPM 26 Gambar 2.3 Hubungan Infrastruktur dengan Pembangunan Manusia 30 Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran 45 Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Barat 58 Gambar 4.2 Jumlah Penduduk Jawa Barat Berdasarkan Jenis Kelamin 59 Gambar 4.3 LajuPertumbuhan Penduduk Jawa Barat 60 Gambar 4.4 Pergerakan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat tahun 2004-2008 61 Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per Kapita di Jawa Barat 68 Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa barat tahun 200470 2009 Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa barat tahun 2004-2009 72 Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat tahun 2004-2009 73 Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa Barat tahun 200574 2009 Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009 75 Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat tahun 77 2005-2009 74 Gambar 5.8 Pembagian Daerah Berdasarkan IPM 80 Gambar 5.9 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa Barat 81 Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di jawa Barat tahun 82 2005-2009 Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadapPenduduk SD 83 dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2005-2009 Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk Kabupaten/ 84 Kota di Jawa Barat tahun 2005-2009
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Jawa Barat 92 Tahun 2005-2009 Lampiran 2. PDRB perkapita Provinsi Jawa Barat atas HargaKonstan 2000 93 menurut Kabupaten/ Kota Lampiran 3. Rasio Jumlah Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat 94 Pertama terhadap Jumlah Penduduk Usia Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertamadi Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009 Lampiran 4. Rasio Jumlah Guru SD dan SMP terhadap Jumlah Murid SD 95 dan SMP di Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009 Lampiran 5. Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk Menurut 96 Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009 Lampiran 6. Rasio Jumlah Dokter dan Bidan terhadap Jumlah Penduduk di 97 Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ Kota Tahun 20052009 Lampiran 7. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Penduduk di Provinsi 98 Jawa Barat menurut Kabupaten/ kota tahun 2005-2009 Lampiran 8. Hasil Output Regresi Data Panel dengan Eviews 6.0 99
v
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong maupun penghambat pembangunan. Peubah ini dipandang sebagai faktor pendorong pertambahan jumlah tenaga kerja dari masa ke masa. Selanjutnya, pertambahan penduduk dan pemberian pendidikan kepada mereka sebelum menjadi tenaga kerja, membuat masyarakat memperoleh tenaga ahli, terampil, terdidik, dan juga enterpreneur yang berpendidikan. Selain itu, perkembangan penduduk juga merupakan perluasan pasar. Luas pasar barangbarang dan jasa ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk. Dengan demikian, apabila penduduk bertambah dengan sendirinya luas pasar akan bertambah pula. Karena perannya ini, maka perkembangan penduduk akan merupakan pendorong bagi sektor produksi untuk meningkatkan kegiatannya. Dan akhirnya, pertambahan penduduk dapat menciptakan dorongan untuk mengembangkan teknologi. Pertambahan penduduk, di sisi lain dapat juga menjadi penghambat pembangunan. Pertambahan penduduk menghambat ketika produktivitas sangat rendah sementara terdapat banyak pengangguran. Dengan adanya kedua keadaan ini, pertambahan penduduk tidak akan menaikkan produktivitas secara signifikan namun justru dapat menurunkan pendapatan perkapita. Keadaan bertambah buruk saat jumlah penduduk sudah sangat berlebihan. Pertambahan penduduk menimbulkan implikasi yang tidak mendukung terhadap tingkat tabungan, penanaman modal, pembagian pendapatan, migrasi penduduk, kemampuan mengekspor
dan
beberapa
faktor
lain
yang
mempengaruhi
laju
pertumbuhan.Dengan demikian perlunya pengelolaan yang tepat dalam menyikapi pertambahan penduduk. Sehingga pertambahan penduduk menjadi modal dalam pembangunan dan bukan menjadi beban atau permasalahan yang justru merugikan dan menghambat pembangunan. 1
Pengelolaan penduduk yang ekstra hati-hati harus diterapkan di Jawa Barat dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang pesat dapat menimbulkan social costseperti pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi terpadat di Indonesia. Letaknya yang startegis dan dekat dengan Ibu Kota Jakarta membuat Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lain (Gambar 1.1) 45,00 Jumlah penduduk (Juta)
40,00 35,00 30,00 25,00
Jawa Barat
20,00
Jawa Tengah
15,00
Jawa Timur
10,00 5,00 0,00 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk di Pulau JawaTahun 2005-2009 Sumber: BPS (2010) Gambar 1.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Provinsi Jawa barat selalu lebih banyak dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.Terdapat lebih dari 40 juta jiwa penduduk yang tinggal di Jawa Barat.Selain itu, laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat juga sangat pesat.Pada tahun 2009, laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat mencapai 1,68 persen jauh lebih tinggi dari pada Jawa Tengah yang hanya sebesar 0,57 persen dan Jawa Timur sebesar 0,83 persen (Gambar 1.2).
2
Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1
Jawa Barat
0,8
Jawa Tengah
0,6
Jawa Timur
0,4 0,2 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa Tahun 2005- 2009 Sumber: BPS (2010) Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat juga lebih tinggi dari pada di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.Pada tahun 2009, kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat sebesar 1.124 orang/km2 lebih tinggi dari kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Tengah (1.002 orang/km2) dan Provinsi Jawa Timur (798 orang/km2). Keadaan ini dapat digambarkan pada Gambar 1.3 sebagai berikut: Rata-rata Kepadatan penduduk (Orang/km2)
1400 1200 1000 800 Jawa Barat
600
Jawa Tengah
400
Jawa Timur
200 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.3 Kepadatan Penduduk Pulau Jawa Tahun 2005-2009 Sumber: BPS (2010)
3
Paparan diatas menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki modal manusia yang potensial untuk dikembangkan.Modal manusia ini kemudian haruslah diolah hingga menjadi modal manusia yang berkualitas sehingga modal manusia dapat menjadi faktor pendukung pembangunan di provinsi Jawa Barat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan indikator kualitas pembangunan manusia melalui Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang pencapaiannya tergantung pada derajat kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Indeks ini dikembangkan oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq pada tahun 1990 dan digunakan oleh United Development Program (UNDP) pada laporan tahunannya sejak tahun 1993. UNDP memasukkan pembangunan manusia sebagai komponen utama dalam pembangunan ekonomi.Pembangunan manusia (human development) dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice ofpeople), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan” dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Di antara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Di antara pilihan lain yang tak kalah pentingnya adalah kebebasan politik, jaminan atas hak asasi manusia dan harga diri. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan peningkatan kemampuan manusia, seperti
meningkatkan kesehatan dan
pendidikan. Pembangunan manusia juga mementingkan apa yang bisa dilakukan oleh manusia dengan kemampuan yang dimilikinya, untuk menikmati kehidupan, melakukan kegiatan produktif, atau ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya, dan sosial politik. Pembangunan manusia harus menyeimbangkan berbagai aspek tersebut. Jawa
Barat
masih
harus
meningkatkan
IPM-nya
dalam
konsep
pembangunan manusia. Pada tahun 2009, Jawa Barat menempati urutan 15 dari 33 provinsi, dengan angka IPM 71,64. Berikut dapat dilihat Peringkat IPM tahun 2009 untuk tiap-tiap provinsi di Indonesia pada Tabel 1.1.
4
Tabel 1.1 IPM 33 Provinsi di Indonesia
DKI Jakarta Sulawesi Utara
Tahun 2009 IPM Ranking 77,36 1 75,68 2
Riau
75,6
3
Yogyakarta
75,23
4
Kalimantan Timur
75,11
5
Kepulauan Riau Kalimantan Tengah
74,54 74,36
6 7
Sumatera Utara
73,8
8
Sumatera Barat
73,44
9
Sumatera Selatan
72,61
10
Bangka Belitung
72,55
11
Bengkulu Jambi
72,55 72,45
12 13
Jawa Tengah
72,1
14
Jawa Barat
71,64
15
Bali Nanggroe Aceh Darussalam
71,52
16
71,31
17
Provinsi
Sumber: BPS (2010)
Provinsi Jawa Timur Maluku Sulawesi Selatan Lampung Sulawesi Tengah Banten Gorontalo Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Sulawesi Barat Kalimantan Barat Maluku Utara Irian Jaya Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Papua Indonesia (BPS)
Tahun 2009 IPM Ranking 71,06 18 70,96 19 70,94
20
70,93
21
70,7
22
70,06 69,79
23 24
69,52
25
69,3
26
69,18
27
68,79
28
68,63 68,58
29 30
66,6
31
64,66
32
64,53
33
71,76
Makin tinggi nilai IPM berarti makin baik kondisi sumber daya manusia di suatu daerah.Dari Tabel 1.1 terlihat bahwa IPM Jawa Barat masih jauh tertinggal dari IPM DKI Jakarta. Padahal sebagai Provinsi penopang ibu kota Jakarta, kualitas sumber daya manusia di Provinsi Jawa Barat perlu diperhatikan karena dapat menjadi potensi pembangunan daerah dan juga menopang pembangunan Ibu Kota Jakarta. Bahkan pada jangka panjang akan memajukan pembangunan Indonesia. Dampak pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dalam mengentaskan kemiskinan, nilai pembangunan manusia tidak boleh dikesampingkan. Dengan pembangunan manusia yang baik, pembangunan negara dapat tercapai dan derajatsosial bangsa akan meningkat sehingga mendorong pembangunan manusia yang berkualitas.
5
1.2 Perumusan Masalah Pentingnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang telah dipaparkan diatas memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk yang besar di Jawa Barat tidak bisa diabaikan. Diperlukan kebijakan pembangunan manusia yang tepat sehingga Jawa Barat dapat memaksimalkan potensi modal manusia dalam pembangunan era globalisasi.Pembangunan manusia dilakukan dengan berbagai kebijakan seperti dengan membangun pendidikan yang baik agar lulusan sekolah mempunyai kualitas yang baik. Selain itu juga dengan membangun fasilitasfasilitas kesehatan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Penggunaan konsep IPMmembuat pembangunan manusia tak hanya terpusat pada besarnya penghasilan. Namun memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi) dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/ PPP, penghasilan). Indeks pembangunan manusia di Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke tahun, namun nilai IPM di Jawa Barat belum dapat menembus nilai 80 dimana pada nilai tersebut, IPM dikategorikan tinggi. Pergerakan IPM Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 1.4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa IPM Provinsi Jawa Barat konsisten meningkat, namun dengan besaran yang tidak terlalu besar. Pada Tahun 2009 IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 71,64 naik dari tahun 2008 sebesar 0,52 poin. 72,0
71,64
71,5 71,12
IPM
71,0 70,5 70,0
69,9
70,32
70,71
69,5 69,0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.4 Pergerakan IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009 Sumber: Bappeda Jawa Barat(2010) 6
Jawa Barat menetapkan target IPM mencapai 80 pada tahun 2025 dan menetapkan visi sebagai provinsi termaju di Indonesia. Dengan target tersebut Pemerintah Provinsi harus mendorong peningkatan kualitas di sektor pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Peningkatan di salah satu sektor tersebut dapat mendorong peningkatan IPM. Peningkatan dalam sektor tersebut meliputi akses masyarakat terhadap pendidikan yang mudah, yakni dari segi menjangkau dan mengenyam pendidikan. Akses terhadap kesehatan juga sangat menentukan peningkatan IPM. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana kesehatan di setiap Kabupaten/kota akan mendukung peningkatan IPM Jawa Barat. Selain itu, yang tidak bisa dilepaskan dari peningkatan IPM adalah daya beli masyarakat. Daya beli menandakan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk dalam mengakses pendidikan dan kesehatan. Perbedaan karakteristik tiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat juga sangat mempengaruhi pemenuhan target tersebut. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah luas yang memiliki 26 kabupaten/ kota dengan angka IPM yang berbedabeda (Gambar 1.5). Dengan demikian diperlukan penerapankebijakan yang berbeda untuk tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.Namun dengan adanya otonomi daerah yang dimulai tahun 1999, Pemerintah Provinsi hanya berperan sebagai pengawas dan Pemerintah Kabupaten/Kota lebih memiliki kewenangan dalam peningkatan kesejahteraan daerah masing-masing. Gambar 1.5 memperlihatkan pergerakan nilai IPM untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat untuk selang tahun 2007-2009. Terlihat bahwa IPM untuk daerah kota memiliki kecenderungan lebih tinggi daripada wilayah kabupaten. Daerah-daerah yang letaknya lebih dekat dengan Ibu Kota Jakarta juga memiliki perkembangan lebih cepat pada IPM daripada daerah-daerah yang letaknya lebih jauh dari Ibu Kota Jakarta. Bukan hanya letak daerah saja yang mempengaruhi perbedaan nilai IPM kabupaten/kota di Jawa Barat, faktor-faktor lain berupa geografis daerah, karakteristis budaya, dan kearifan lokal secara langsung maupun tidak sangat mempengaruhi IPM tiap kabupaten/kota yang selanjutnya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam membuat kebijakan di daerah tersebut.
7
Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Bandung
Kabupaten/Kota di jawa Barat
Kota Sukabumi Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Karawang Kab. Purwakarta Kab. Subang
2009
Kab. Indramayu
2008
Kab. Sumedang
2007
Kab. Majalengka Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Ciamis Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Sukabumi Kab. Bogor 60,00
65,00
70,00
75,00
80,00
IPM
Gambar 1.5 Pergerakan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2009 Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010) Kebijakan-kebijakan dalam rangka peningkatan IPM meliputi sektor pendidikan, sektor kesehatan dan sektor perekonomian. Pada sektor pendidikan, Provinsi Jawa Barat membuat misi meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Kualitas pendidikan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari indikator pendidikan berupa angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
8
Kedua indikator tersebut merupakan komponen penyusun IPM dalam sektor pendidikan. Angka melek huruf di Provinsi Jawa Barat sudah tergolong tinggi. Terlihat dari Gambar 1.6 pada tahun 2009 angka melek huruf Provinsi Jawa Barat telah mencapai 95,98 persen. Meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 95,53 persen. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk provinsi Jawa Barat yang buta huruf masih ada sebesar 4,02 persen.
Angka Melek Huruf (Persen)
96,5 96,0
95,98
95,5
95,32
95,0 94,5
95,53
94,91 94,6
94,0 93,5 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.6Persentase Angka Melek Huruf di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009 Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010) Pendidikan memang merupakan hal penting dalam membangun negara. Kesadaran inilah yang mendorong Pemerintah Pusat menetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 Bab IV pasal 6 ayat 1 mengenai hak dan kewajiban warga negara berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun mengikuti pendidikan dasar. Pada Pasal 11 ayat 2 dinyatakan bahwa Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negaraberusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Dengan demikian, seharusnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. Rata-rata lama bersekolah juga menjadi indikator pendidikan dikarenakan rata-rata lama bersekolah dapat menjadi cerminan tingkat drop out murid.Gambar 1.6 memaparkan pergerakan rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat. Pada 9
tahun 2009, rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat mencapai 7,72 tahun. Angka ini tergolong masih rendah karena angka maksimal rata-rata lama sekolah
Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun)
yang ditetapkan oleh BPS adalah 15 tahun. 7,8 7,72
7,7 7,6 7,5 7,4 7,3
7,50
7,50
7,50
7,4
7,2 7,1 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.7Rata-Rata Lama Sekolah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009 Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010) Program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah pusat, harus mendorong pemerintah daerah menggiatkan pembangunan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas.Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan merupakan kebijakan tepat untuk memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan. Pembangunan sekolah akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan angka melek huruf dan peningkatan partisipasi bersekolah.Pada tahun 2009 jumlah SD dan SMP sebanyak 29.600 sekolah meningkat dari tahun 2008 yang sebesar 28.130 sekolah (Gambar 1.8). Jumlah sekolah SD dan SMp (ribu)
35,00 30,00 25,00
29,60 22,76
20,00
22,88
27,18
28,13
15,00 10,00 5,00 0,00 2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 1.8 Jumlah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2005-2009 Sumber: BPS (2010) 10
Sektor kesehatan juga menjadi fokus dalam peningkatan IPM di Jawa Barat. Tolak ukur kondisi kesehatan di Jawa Barat salah satunya bisa dilihat dari angka harapan hidupnya. Provinsi Jawa Barat memiliki angka harapan hidup sebesar 68 tahun pada tahun 2009. Dibandingkan dengan nilai maksimal IPM menurut UNDP sebesar 85 tahun, usia harapan hidup di Jawa Barat masih termasuk rendah. Namun tren meningkatnya usia harapan hidup tiap tahun di Provinsi Jawa Barat menandakan adanya perbaikan di sektor pendidikan di provinsi ini. (Gambar 1.9)
Angka Harapan Hidup (Tahun)
68,2 68,0
68,00
67,8
67,80
67,6
67,60
67,4
67,40 67,2
67,2 67,0 66,8
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.9 Angka Harapan Hidup Jawa Barat Tahun 2005-2009 Sumber: BPS, 2010 Perbaikan sektor kesehatan juga terlihat dari jumlah sarana prasarana kesehatan yang meningkat di Jawa Barat. Pada tahun 2009, jumlah puskesmas di Jawa Barat sebanyak 3.337 Puskesmas yang terdiri dari puskesmas umum, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling (Gambar 1.10). Dengan meningkatnya jumlah puskesmas, akses masyarakat terhadap sarana kesehatan pun akan meningkat.
11
3400 3337
Jumlah Puskesmas
3300 3230
3200 3100
3094 3031
3000
2985
2900 2800 2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 1.10 Jumlah Puskesmas di Jawa Barat Tahun 2005-2009 Sumber: BPS (2010) Sektor perekonomian juga menjadi penentu peningkatan IPM. Dalam penghitungan IPM, komponen pengeluaran per kapita menjadi indikator. Pendapatan per kapita mencerminkan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat akan menentukan akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup yang menyangkut kualitas hidup termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Di Jawa Barat pengeluaran per kapita masyarakat adalah Rp 628.710,- pada tahun 2009 (Gambar 1.11). Jumlah ini masih dibawah standar maksimal yang ditetapkan
Pengeluaran Per Kapita (Ribu Rp)
oleh UNDP yakni sebesar Rp 732.720,-. 630,0 628,0 626,0 624,0 622,0 620,0 618,0 616,0 614,0
628,71 626,81 623,64 619,7
2005
621,11
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1.11 Pengeluaran Per Kapita Jawa Barat Tahun 2005-2009 Sumber: BPS (2010)
12
Berdasarkan paparan di atas, terdapat bebarapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa Barat 2. Bagaimana implikasi kebijakan peningkatan sumber daya manusia dengan realitas yang terjadi di provinsi Jawa Barat. 1.3 Tujuan Panelitian Tujuan dari penelitian ini dapat dijabarkan menjadi dua poin sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa Barat 2. Mengkaji implikasi kebijakan peningkatan sumber daya manusia dengan realitas yang terjadi di provinsi Jawa Barat 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan arahan dan sebagai dasar pertimbangan antara lain: 1. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam perumusan dan perencanaan kebijakan pembangunan daerah baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia. 2. Sebagai informasi dan studi pustaka kepada masyarakat, pemerintah, praktisi dan akademisi, khususnya tentang kajian pembangunan manusia di Jawa Barat. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup dan penelitian meliputi beberapa hal. Pertama, memberikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia yang meliputi tiga aspek besar dalam penghitungan indeks pembangunan manusia yakni peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowladge), dan hidup layak (decent living). Adapun peluang hidup diukur dengan pendekatan kesehatan meliputi ketersediaan sarana kesehatan dan pelayan kesehatan. Sementara aspek pengetahuan diukur dengan pendekatan pendidikan yaitu ketersedian sekolah dasar dan menengah di
13
suatu wilayah. Sedangkan untuk aspek hidup layak memakai pendekatan variabel kemiskinan dan variabel PDRB per kapita. Selain ketiga aspek tersebut, dimasukkan juga sarana infrastruktur yang dapat menunjang perekonomian suatu wilayah. Dengan memasukkan sarana infrastruktur dengan pendekatan panjang jalan, diduga akan memberikan pengeruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini hanya meneliti Provinsi Jawa Barat yang meliputi 25 Kabupaten Kota. Adapun Kabupaten Bandung Barat yang baru terbentuk tahun 2007 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandungtidak menjadi objek penelitian terkait dengan ketersedian data. Penelitian ini juga meneliti kebijakankebijakan yang diterapkan Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 20052009 dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.
14
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori-Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Simon Kuznet menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2003). Sementara Robinson Tarigan menekankan pertumbuhan ekonomi dalam sisi kewilayahan dimana pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut. Menurut pandangan kaum historis, diantaranya Friedrich List dan Rostow, pertumbuhan ekonomi merupakan tahapan proses tumbuhnya perekonomian mulai dari perekonomian bersifat tradisional yang bergerak di sektor pertanian dimana produksi bersifat subsisten, hingga akhirnya menuju perekonomian modern yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Menurut pandangan ekonom klasik seperti Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan John Stuart Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan, empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan. Jumlah penduduk sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan
ekonomi
dimana
penduduk
sebagai
penggerak
perekonomian. Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah tidak berarti pembangunan di daerah tersebut menjadi lebih baik. Jumlah penduduk yang berlebihan justru akan menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Jumlah stok barang modal menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang selanjutnya akan diperjualbelikan. Sementaraluas tanah dan kekayaan merupakan pendukung kegiatan-kegiatan perekonomian. Tingkat teknologi tidak bisa
15
dilepaskan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dikarenakan teknologi dapat menentukan efektivitas dan efisiensi kegiatan ekonomi. Keempat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tersebut dapat menentukan perkembangan kegiatan perekonomian. Menurut Kuncoro, 2003 suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menitik beratkan pada capaiaan yang lebih baik dari sebelumnya berkenaan dengan kualitas dan kuantitas kegiatan perekonomian suatu wilayah. Schumpeter
menyatakan
bahwa
faktor
utama
yang
menyebabkan
perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah inovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur. Inovasi yang diperlukan dalam perkembangan ekonomi adalah inovasi yang memberikan perbaikan dalam poses produksi sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas kegiatan-kegiatan ekonomi. Menurut Todaro (2003: hal 92-98), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu : 1. Akumulasi modal “termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah/(lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal manusia, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap angka produksi.” 2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. “Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif
16
dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.” 3. Kemajuan Teknologi. “Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni : a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama. b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.” 2.1.2 Modal Manusia dalam Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Manusia merupakan aset berharga dalam pembangunan dan juga merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Todaro dan Smith (2003) dimana pembangunan memiliki tiga nilai inti yaitu tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan kemerdekaan
atau
kebebasan
(freedom).
Kemampuan
hidup
diartikan
kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup. Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu : (1) Produktifitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas,
17
masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatankesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.Dengan peningkatan kemampuan, kreatifitas dan produktifitas manusia akan meningkat sehingga mereka menjadi agen pertumbuhan yang efektif. Pertumbuhan ekonomi harus dikombinasikan dengan pemerataan hasil-hasilnya. Pemerataan kesempatan harus tersedia baik, semua orang, perempuan maupun laki-laki harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). UNDP membahas pembangunan manusia dengan menghubungannyadengan model sosial dan reproduksi sosial. Pembangunan manusia merupakan model sosial, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang dapat mengembangkan kemampuan pekerja, petani dan pengusaha sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dengan teknologi dan penelitian serta pengembangan produk. Produk ini kemudian menjadi komposisi output yang berkualitas yang dapat diekspor. Kekuatan timbal balik antar pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia tidak terlepas dari kebijakan institusi dan pemerintah. Kebijakan ini yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menentukan distribusi sumberdaya
18
swasta dan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi disusun oleh tiga faktor penting yaitu tabungan luar negeri, modal fisik, dan tabungan dalam negeri. Makin baik tiga faktor ini akan menentukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menguatkan kredibelitas institusi dan pemerintah. Komitmen pemerintah dalam pendistribusian sumber daya dilakukan melalui dua saluran, yakni dari kebijakan pengeluaran pemerintah yang ditujukan pada prioritas sosial seperti pembangunan infrastruktur dan melalui kegiatan pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan individu rumah tangga seperti pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Keduanya bermuara di tempat sama yakni model sosial yang selanjutnya dapat membangun manusia yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dengan sasaran pengeluaran rumah tangga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan yaitu dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang merupakan jembatan antar pengeluaran pemerintah dan pengeluaran rumah tangga (Gambar 2.1). Model UNDP ini telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian. Teori-teori bahwa pembangunan ditentukan oleh modal manusia banyak disebut-sebut oleh pakar-pakar ekonomi. Adam Smith tak hanya mengangkat tentang kebijakan laissez-faire, tetapi juga sangat memperhatikan tentang pembangunan. Smith pun berpendapat bahwa faktor penentu pembangunan adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meninggikan tingkat spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Sebagai akibat dari spesialisasi yang terjadi, maka tingkat kegiatan ekonomi akan bertambah tinggi.
19
Pembangunan Manusia
Reproduksi Sosial
Model Sosial, LSM, dan Organisasi kemasyarakatan
Kemampuan Pekerja dan petani pengusaha Manajer
Produk R&D dan Teknologi
Pengeluaran prioritas sosial
Pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar Kegiatan dan pengeluaran rumah tangga
Kebijaksanaan dan pengeluaran pemerintah
Distribusi sumber daya swasta dan masyarakat Komposisi output dan ekspor Institusi dan pemerintah
Ketenagakerjaan
Pertumbuhan Ekonomi
Tabungan Luar negeri
Modal Fisik
Tabungan dalam negeri
Gambar 2.1 Hubungan Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi Sumber: UNDP (1996)
20
2.1.3 Pendidikan Menurut Schweke (2004), pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berguna bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Dalam upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development), sektor pendidikan memainkan peranan yang sangat strategis khususnya dalam mendorong akumulasi modal yang dapat mendukung proses produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi,World Commision on Environmental and Development, 1997 dalam McKeown (Satria, 2008), bahwa sustainable development adalah: “Sustainable development is development that meets the needs of thepresent without comprimising the ability of future generations to meet their ownneeds.” Dalam konteks ini, pendidikan dianggap sebagai alat untuk mencapai target yang berkelanjutan, karena dengan pendidikan aktivitas pembangunan dapat tercapai, sehingga peluang untuk meningkatkan kualitas hidup di masa depan akan lebih baik. Di sisi lain, dengan pendidikan, usaha
pembangunan
yang
lebih
hijau
(greener
development)
dengan
memperhatikan aspek-aspek lingkungan juga mudah tercapai. Analisis atas investasi dalam bidang pendidikan menyatu dalam pendekatan modal manusia. Modal manusia (human capital) adalah istilah yang sering digunakan oleh para ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia yang lain yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut ditingkatkan. Pendidikan memainkan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan
21
kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro, 2003). Memasuki abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledgebased economymenjadi semakin dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal:Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang.1 2.1.4 Kesehatan Laporan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan tahun 2001 dalam Atmawikarta(2002) menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai sentral pembangunan. Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang, dimana proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan berhasilnya tinggal landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat didukung oleh terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi. Dengan demikian menurut Atmawikarta (2002), terdapat korelasi yang kuat antara tingkat kesehatan yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara statistik diperkirakan bahwa setiap peningkatan 10 persen dari angka harapan hidup (AHH) waktu lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 0,3–0,4 persen pertahun, jika faktor-faktor pertumbuhan lainnya tetap. Dengan demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara negara-negara 1
(Amich Alhumami- Kompas, 6/8/2004)
22
maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negara-negara sedang berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar 1,6 persen, dan pengaruh ini akan terakumulasi terus menerus. Peningkatan kesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah panjangnya usia sangatlah penting. Dalam membandingkan tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat, dapat merujuk pada angka harapan hidup. Di negaranegara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata hidup lebih lama, dengan demikian secara ekonomis mempunyai peluang untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih panjang, cenderung untuk menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan dan menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan investasi akan meningkat, dan pada selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 2.1.5 Pendapatan Per Kapita Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita suatu masyarakat terus-menerus bertambah dalam jangka panjang. Menurut Sukirno (2006), pendapatan perkapita dapat digunakan untuk tiga tujuan berikut: (i) menentukan tingkat kesejahteraan yang dicapai suatu negara pada suatu tahun tertentu; (ii) menggambarkan tingkat kelajuan atau kecepatan pembangunan ekonomi dunia dan di berbagai negara; dan (iii) menunjukkan jurang pembangunan di antara berbagai negara. Merujuk pada penggunaan pendapatan perkapita tersebut, maka pendapatan per kapita dapat digunakan dalam mengukur daya beli masyarakat yang kemudian berkaitan dengan kesejahteraan yang dicapai dalam suatu negara. Pendapatan perkapita didefinisikan sebagai besarnya pendapatan rata–rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita. Produk domestik bruto per kapita atau produk domestik regional bruto per kapita pada skala daerah dapat digunakan sebagai pengukur pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena lebih tepat mencerminkan kesejahteraan penduduk suatu negara daripada nilai PDB atau PDRB saja. Produk domestik
23
bruto per kapita baik di tingkat nasional maupun di daerah adalah jumlah PDB nasional atau PRDB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk di negara maupun di daerah yang bersangkutan, atau dapat disebut juga sebagai PDB atau PDRB rata-rata (Prastyo, 2010). Bank Dunia menggunakan Produk Nasional Bruto (PNB), bukan PDB sebagai alat ukur perkembangan ekonomi suatu negara, yaitu dengan memperhitungkan pendapatan bersih dan faktor produksi milik orang asing. Walaupun PDB atau PNB per kapita merupakan alat pengukur yang lebih baik, namun tetap belum mencerminkan kesejahteraan penduduk secara tepat, karena PDB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya dirasakan oleh setiap orang di suatu negara. Dapat saja angka-angka rata-rata tersebut tinggi, namun sesungguhnya ada penduduk atau sekolompok penduduk yang tidak menerima pendapatan sama sekali. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan unsur
distribusi
pendapatan
di
antara
penduduksuatunegara.
Dengan
memperhatikan unsur distribusi pendapatan itu, maka PDB atau PNB per kapita yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang lebih merata akan mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik daripada bila pendapatan per kapitanya tinggi namun ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Meskipun demikian, demi sederhananya pengukuran, pendapatan per kapita tetap merupakan alat pengukur yang unggul dibanding dengan alat-alat pengukur yang lain (Prastyo, 2010). 2.1.6 Indeks Pembangunan Manusia Perkembangan manusia secara berkelanjutan merupakan hal penting yang perlu diukur dengan pengukuran indikator komposit yang cukup representatif. Ukuran pembangunan manusia yang populer adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP dalam laporannya pada Human development Report tahun 1997. UNDP berupaya menggantikan ukuran kemiskinan “pendapatan” Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan “manusia”. Satuan inilah yang kemudian dinamakan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Indeks-HPI atau populer juga dengan Indeks Pembangunan Manusia. Menurut UNDP, kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan hilangnya tiga
24
hal utama, yaitu kehidupan yang diukur dari harapan hidup penduduknya. Di negara-negara miskin lebih dari 30 persen penduduknya cenderung memiliki harapan hidup tidak lebih dari 40 tahun. Kemiskinan juga dihitung dari pendidikan dasar yang diukur melalui persentase penduduk dewasa yang buta huruf dan keseluruhan ketetapan ekonomi yang diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase anak dibawah 5 tahun yang kekurangan berat badan. Angka HPI yang rendah berarti menunjukkan hal yang bagus (yakni, sedikitnya persentase penduduk yang mengalami kehilangan 3 hal tersebut). Sementara HPI yang lebih tinggi menunjukkan kehilangan yang lebih besar. Dengan kata lain Indeks pembangunan mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagimanusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuranyang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitandengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak(decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah angka melek hurufpenduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran perkapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalamrupiah).Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitungmenggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan ratarata lama sekolah yang dihitung berdasarkan data Suseda. Sebagai catatan, UNDP dalam publikasi tahunan Human Development Report (HDR). Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP percapita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk
25
keperluan perbandingan antar negara. Secara singkat konsep IPM dapat digambarkan sebagai berikut: IPM
Dimensi
Umur Panjang dan Hidup Sehat Harapan Hidup saat lahir
Indikator
Dimension Indeks
Indeks Harapan Hidup
Pengetahuan
Standar Kehidupan Layak Tingkat Rata-rata Pengeluaran Melek lamanya riil perkapita Huruf bersekolah (PPP rupiah) Dewasa (MYS) (Lit) Indeks Pendapatan Indeks Pendidikan
Gambar 2.2Alur Konsep IPM Sumber: BPS, 2010
Indeks Pembangunan Manusia
BPS memberikan ilustrasi penghitungan IPM sebagai berikut: IPM = 1/3 (X(1) + X(2) + X(3))
(1)
Dimana: X(1)
: Indeks harapan hidup
X(2)
: Indeks pedidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks ratarata lama sekolah)
X(3)
: Indeks standar hidup layak
Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut: Indeks X(i) = (X(i) – X (i) min) / X(i)maks – X(i)min)
(2)
Dimana: X(i)
: Indikator ke-i
X(i)maks : Nilai maksimum X(i) X(i)min : Nilai minimum X(i) Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel di bawah ini:
26
Tabel 2.1 Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia Indeks Komponen Nilai Nilai Catatan IPM Maksimum Minimum (X(1)) (1) (2) (3) (4) Angka Harapan 85 25 Sesuai standar global Hidup (UNDP) Angka Melek 100 0 Sesuai standar global Huruf (UNDP) Rata-rata Lama 15 0 Sesuai standar global Sekolah (UNDP) Konsumsi per 732.720a) 300.000b) UNDP menggunakan PDB Kapita yang per kapita riil yang disesuaikan 1996 disesuaikan. Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/ unit/ tahun untuk provinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkitson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1993-2018 b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk provinsi yang memiliki angka terendah tahun 1990 di daerah pedesaan Sulawesi Selatan dan tahun 2000 di Irian Jaya. 2.1.7 Kemiskinan dan Pembangunan Manusia BPS mendefinisikan kemiskinan dengan kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Sementara Chambers mengartikan kemiskinan sebagai keadaan kekuranganuang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dengan demikian, kemiskinan memiliki arti luas sebagai suatu konsep yang terintegrasi dengan memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan(proper),
2) ketidakberdayaan
(powerless), 3) kerentanan
menghadapi situasidarurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan(isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Prasetyo, 2010). 27
Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu: a.
Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.
b.
Kemiskinan
relatif,
kondisi
miskin
karena
pengaruh
kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. c.
Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d.
Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan. Sementara BPS menjabarkan kemiskinan melalui indikator dan dimensi
kemiskinan sebagai berikut:
28
Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Kemiskinan Kebutuhan Dasar 1. Konsumsi
Contoh Indikator a. Persentase penduduk dibawah Garis Kemiskinan b. Indeks Kedalaman Kemiskinan c. Indeks Keparahan Kemiskinan Persentase pengeluaran makanan d. Persentase penduduk dengan konsumsi energi < 2100 kkal perkapita perhari e. Persentase balita kurang gizi
2. Kesehatan
a. Persentase penduduk meninggal sebelum 40 tahun b. Persentase penduduk tanpa akses pada pelayanan kesehatan dasar c. Angka Kematian Bayi
3. Pendidikan Dasar
a. Persentase penduduk usia 7-15 tahun tidak sekolah b. Persentase penduduk dewasa buta huruf a. Persentase penduduk penganggur terbuka b. Persentase penduduk setengah penganggur c. Persentase pekerja sektor informal a. Persentase rumahtangga tanpa akses pada listrik b. Persentase rumahtangga dengan lantai tanah c. Persentase penduduk dengan luas lantai < 10 m2 a. Persentase penduduk tanpa akses pada air bersih b. Persentase penduduk tanpa jamban sendiri
4. Ketenagakerjaan
5. Perumahan
6. Air dan Sanitasi
Sumber: BPS (2004) 2.1.8 Kebijakan Pro Poor Growth
Pro poor growth merupakan hubungan timbal balik antara tiga unsur: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketidakmerataan. Tingkat kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh level dan perubahan ketidakmerataan (Suparno, 2010).
29
Revalion (1998) mendefinisikan pro poor growth sebagai peningkatan PDB yang menurunkan kemiskinan. Menurut Zepeda (2004) definisi ini masih sangat luas, implikasinya sebagian besar pertumbuhan ekonomi di dunia tergolong sebagai pro poor growthselama terjadi penurunan kemiskinan walaupun distribusi pendapatan memburuk. Sedangkan badan-badan internasional seperti PBB, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), UNDP, dan Bank Dunia lebih sering menggunakan pro poor growth sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih menguntungkan penduduk miskin dan memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki situasi ekonomi mereka seperti dikemukakan Kakwani (2004). 2.1.9 Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Manusia Pembangunan ekonomi atau lebih tepatnya pertumbuhan ekonomi merupakan
prasyarat
bagi
tercapainya
pembangunan
manusia,
karena
pembangunan ekonomi terjamin peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan
melalui
penciptaan
kesempatan
kerja.
Dengan
demikian,
pembangunan infrastruktur tidak dapat diabaikkan karena merupakan faktor utama dalam peningkatan produktivitas (Gambar 2.3). Aspek Pembangunan Manusia
Pendidikan
Kesehatan
Ekonomi (pendapatan) Infrastruktur Gambar 2.3 Hubungan Infrastruktur dengan Pembangunan Manusia Infrastruktur yang baik adalah sektor pendukung yang sangat penting dalam setiap aktivitas agar berlangsung efektif dan efisien. Pembangunan akan tercapai jika didukung oleh infrastruktur yang memadai yang diindikasikan dengan kualitas layanan sarana dan prasarana yang baik (Indratno, 2008).
30
Infrastruktur pembangunan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni infrastruktur ekonomi dan infrasturktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997). Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi
maupun
dalam
menunjang
distribusi
komoditi
ekonomi.
Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Sebagaimana teori Lewis, kondisi pareto optimal akan tercapai bila terjadi mobilitas faktor-faktor produksi (labour) tanpa hambatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 2007). Daerah-daerah yang memiliki tingkat mobilitas faktor-faktor produksi antar daerah rendah akan menyebabkan pertumbuhan ekonominya rendah. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan
31
tinggi menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi di daerah yang bersangkutan memiliki mobilitas antar daerah yang rendah. Infrastruktur dapat digolongkan sebagai modal atau capital. Infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital, berbeda dengan modal yang berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga sekaligus meningkatkan produktifitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas. Teori Wagner menyebutkan adanya keterkaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Teori ini menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan tumbuh lebih cepat dari GDP, dengan kata lain elastisitas pengeluaran pemerintah terhadap GDP lebih besar dari satu. Dalam, suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat. Dasar dari teori Wagner
ini
adalah
pengamatan
empiris
dari
negara-negara
maju
(Mangkoesoebroto, 2001). Pengeluaran pemerintah akan meningkat guna membiayai tuntutan masyarakat akan kemudahan mobilitas untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dalam Yanuar (2006) dijelaskan ada dua kendala utama dalam pengadaan infrastruktur. Yang pertama adalah adanya kemungkinan terjadinya kegagalan pasar (market failure), dan yang kedua adalah menyangkut aspek pembiayaan. Dalam pengadaan infrastruktur dibutuhkan dana investasi yang besar dan pengadaan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang. Kegagalan pasar terjadi, karena beberapa jenis infrastruktur memiliki manfaat yang tidak hanya dapat dinikmati atau dirasakan secara pribadi akan tetapi juga dapat dirasakan orang lain. Dengan adanya kendala tersebut, maka pengadaan infrastruktur dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pemerintah dengan dana yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui pengeluaran pembangunan. 2.1.10
Analisis Panel Data
Ketersediaan data seringkali menjadi kendala dalam dalam suatu penelitian. Data dengan series yang pendek menjadi permasalahan dalam pengolahan data
32
time series karena akan mempengaruhi validitas analisis sebagai konsekuensi minimnya jumlah data. Permasalahan lain juga terjadi apabila penelitian memiliki jumlah unit cross section yang terbatas sehingga menyulitkan analisis prilaku dari model yang diteliti. Teori ekonometrika memberikan solusi untuk permasalah tersebut. Salah satunya dengan menggunakan data panel (Pooled data). Menurut Gujarati (2003) data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section. Baltagi (2005) mengemukakan kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel: 1. Dapat mengendalikan keheterogenan individu atau unit cross section; 2. Dapat memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas diantara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien; 3. Panel data lebih baik untuk studi dynamic of adjustment; 4. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series; 5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model prilaku (behavioral models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section atau time series. Analisis menggunakan data panel adalah kombinasi antara data deret waktu dan kerat lintang. Jika T adalah jumlah observasi dan n adalah jumlah unit cross section, maka panel data terjadi jika T 1 dan n 1. Jika observasi untuk setiap unit cross section sama banyaknya disebut balance panels sedangkan jika tidak sama banyak disebut unbalance panels (Johnston, 2000). Proses mengkombinasi data cross section dan time series untuk membentuk panel disebut pooling. Bentuk panel data dapat dinotasikan sebagai berikut: Yit=
Nilai variabel terikat (dependent variabel)
untuk setiap unit
individu (cross section) i pada periode t
33
dimana i = 1, 2, …. ,n dan t = 1, 2,… ,T j
Nilai variabel bebas (independent variabel) atau disebut juga
Xit =
variabel penjelas ke-j untuk unit individu (cross section) i pada waktu t. K merupakan indeks variabel penjelas j = 1,…,K Dalam bentuk matrik, cara umum dalam mengelompokkan data dalam unitunit sebagai berikut : y i1 y yi i 2 y iT
X I11 1 X X i i2 1 X iT
X i21 X i22 X iT2
X iK1 X iK2 X iTK
i1 ……..(3.1) i i 2 iT
Dimana it berarti disturbance term untuk unit ke-i pada waktu t. Seringkali data tersebut mempunyai bentuk sebagai berikut : y1 y y 2 yn
X1 X X 2 X n
1 2 n
...…….(3.2)
Dimana y = nT x 1, X = nT x k, dan = nT x 1. Sehingga Model linear standar dapat diperlihatkan sebagai berikut : y X
dimana
1 2 k
.………………………..(3.3) ………….……………(3.4)
Pada persamaan di atas secara sederhana dapat dilakukan perhitungan dengan mengasumsikan bahwa it ~ (0,2) untuk semua i dan t. Untuk semua individual yang ditentukan, observasi tidak terjadi serial korelasi. Dan lintas individu dan waktu terjadi homokedastisitas pada galatnya. Analisis panel data memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan
34
efek acak (random effect). Ketiga pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) Pendekatan kuadrat terkecil merupakan pendekatan pengolahan panel data yag paling sederhana. Pendekatan ini biasa diterapkan pada data berbentuk pool.Jika efek individu konstan sepanjang waktu dan spesifik terhadap setiap unit cross section maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Apabila nilai individunya sama untuk setiap unit cross sectionnya, maka OLS pendekatan kuadrat terkecil akan menghasilkan setimasi yang konsisten dan efisien untuk variabel-variabelnya.Persamaannya dapat ditulis seperti berikut: =∝ +
+
untuk i = 1,2,….,N dan t = 1,2,…,T
(3.5)
adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah time series (periode waktu). Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, maka proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross sectiondapat dilakukan. b. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect) Terdapat kasus dimana intersep dan slope dianggap konstan untuk tiap cross section dan time series. Oleh karena itu diperlukan metode dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas cross section maupun time series. Pendekatan dengan memasukkan variabel boneka inilah yang disebut model efek tetap (fixed effect) atau sering disebut juga Least Square Dummy Variable atau Covariance model. Persamaan untuk pendekatan ini dapat ditulis: =∝ +
dimana:
+ ∑
∝
+
...................………………....(3.6)
= Variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i ∝
= intercept yang berubah-ubah untuk antar cross section unit = variabel bebas j di waktu t untuk cross section i 35
= parameter untuk variabel ke j = komponen error di waktu t untuk unit cross section i Model telah ditambahkan sebanyak (N-1) variabel boneka (Di) dan menghilangkan satu sisanya untuk menghindari terjadinya kolinearitas sempurna antar variabel penjelas. Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. Namun pengurangan degree of freedom ini akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi. Keputusan memasukkan variabel boneka harus berdasarkan pertimbangan statistik yaitu dengan menggunakan statistik F. Statistik F ini berusaha memperbandingkan antara nilai jumlah kuadrat dari error dari proses pendugaan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang telah memasukkan variabel boneka. Rumusan uji F adalah sebagai berikut: =
,
/(
/(
)
)
………………………
(3.6)
dimana ESS1 dan ESS2 adalah jumlah kuadrat sisa dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa dan model efek tetap, sedangkan statistik F mengikuti distribusi F dengan derajat bebas NT-1 dan NT-N-K. Nilai statistik F uji inilah yang kemudian diperbandingkan dengan nilai statistik F tabel yang akan menentukan pilihan model yang akan digunakan. c.
Pendekatan Efek Acak ( Random Effect) Keputusan memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap akan dapat menimbulkan konsekuensi. Penambahan ini akan mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi keefisienan dari parameter yang diestimasi. Dengan demikian, dalam model data panel diperkenalkan pendekatan ketiga yakni model efek acak (random effect). Dalam pendekatan ini, parameter-parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Karena hal ini, model efek acak sering disebut juga model komponen error (error component model). Bentuk model efek acak adalah: =∝ + =
dimana:
+
+
+
……………………………………….(3.7) ………………………………………………
(3.8)
36
~
~
~
(0,
(0,
(0,
) = komponen cross section error ) = komponen time series error ) = komponen error kombinasi
Dengan menggunakan model efek acak ini, maka dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang terjadi di model efek tetap. Dengan demikian parameter akan menjadi lebih efisien. Pemilihan antara model efek tetap dengan efek acak dapat ditentukan secara teoritis. Menurut Gujarati (2003) beberapa pertimbangan untuk menentukan apakah FEM atau ECM adalah: a. Jika T (jumlah data deret waktu) adalah besar dan N (jumlah unit kerat lintang) adalah kecil, maka sedikit perbedaan dalam nilai parameter yang dihitung dengan FEM dan ECM. Oleh karena itu maka yang dipilih berdasarkan perhitungan yang tepat. Pada sebab ini maka FEM lebih disenangi. b. Ketika N besar dan T kecil, menghasilkan dua metode yang secara signifikan berbeda. Mengingat bahwa ECM 1i = 1 + i, dimana i adalah komponen acak dari kerat lintang, padahal di FEM kita memperlakukan 1i sebagai fixed
bukan acak (random). Pada kasus terakhir, statistik
inferen adalah merupakan kondisi pengamatan unit kerat lintang di dalam sampel. Hal ini tepat jika kita percaya bahwa individu atau kerat lintang, unit di dalam sampel bukanlah acak yang ditarik dari sampel yang besar. Pada kasus itu, FEM lebih tepat. Namun jika unit kerat lintang dalam sampel yang diperhatikan ditarik secara acak, maka ECM yang lebih tepat, untuk kasus statistik inferensia maka tidak bersyarat. c. Jika komponen galat individu i dan satu atau lebih regressors berkorelasi, kemudian estimator ECM akan bias, sebaliknya estimator FEM adalah tidak bias. d. Jika N besar dan T kecil, dan jika asumsi pokok yang mendasari bagi ECM dipegang, maka ECM lebih efisien dibandingkan FEM. Jika tidak dapat ditentukan secara teoritis dampak dari gangguannya, maka model efek acak dipilih jika data diambil dari sampel individu yang 37
merupakan sampel acak dari populasi yang lebih besar, dengan kata lain menarik kesimpulan suatu populasi atau hanya meliputi beberapa individu. Namun jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik digunakan model efek tetap. Cara lain dengan menggunakan ukuran relatif jumlah individu dan rentang waktu yang digunakan untuk jumlah individu yang tetap, semakin panjang waktu semakin kecil perbedaan hasil estimasi antara model efek tetap dan model efek acak, Jika jangka waktu cukup panjang maka dapat dipilih model efek tetap dengan alasan lebih mudah dikerjakan. d. Uji Chow Beberapa buku menyebut uji Chow dengan pengujian F statistik. Uji Chow digunakan untuk memilih model yang digunakan pooled least square atau fixed effect. Terkadang asumsi bahwa setiap cross section memiliki prilaku yang sama cenderung tidak realistis memingat bisa saja setiap unit cross section memiliki prilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesa sebagai berikut: H0= Model Pooled Least Square H1 = Model Fixed Effect (Unrestricted) Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan menggunakan F Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow (Baltagi, 2001): CHOW =
(
dimana: RRSS
/(
)/ (
)
)
………………………………………… (3.9)
= Restricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least Square
URSS
= Unrestricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect
N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas 38
Pengujian ini mengikuti distribusi F statistik yaitu FN-1,NT-N-K. Jika nilai Chow Statistics (F stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut uji Chow karena memiliki kemiripan dengan uji Chow yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter. e.
Uji Hausman Pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu digunakan untuk memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik. Alat ujinya dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: E(τi xit) = 0
………………..(3.10)
atau REM adalah model yang tepat H1: E(τi xit)≠ 0
………………..(3.11)
atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM )’ (MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM )
~ χ2
(k)
………………………………………………………………..….(3.12) dimana: M= matriks kovarians untuk parameter β k = degrees of freedom Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya
39
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian tentang pembangunan manusia telah dilakukan oleh Cahyadi (2005). Cahyadi meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia di provinsi Bali. Teknik pengolahan data yang dilakukan adalah dengan model ekonometrika OLS dengan data panel yang terdiri dari 9 kabupaten/ kota dengan tahun analisis 1996,1999, dan 2002. Variabel terikat yang digunakan adalah indeks pembangunan manusia, sedangkan untuk variabel bebas digunakan PDRB, investasi bruto,realisasi anggaran pembangunan sosial, rata-rata pengeluaran rumah tangga sebulan, jumlah penduduk miskin, rasio jumlah murid SD terhadap jumlah ruangan kelas SD, rasio jumlah sarana kesehatan terhadap jumlah penduduk, dan persentase rumah tangga yang mempunyai akses air bersih. Hasil dari penelitian tersebut adalah jumlah penduduk miskin berpengaruh signifikan negatif terhadap IPM, anggaran pembangunan sosial sebagai indikator pembiayaan pembangunan manusia dan persentase rumah tangga yang mempunyai akses air bersih sebagai indikator kesehatan yang juga digunakan sebagai proksi distribusi pendapatan berpengaruh signifikan secara positif terhadap IPM dan bersifat inelastis. Sedangkan rata-rata pengeluaran rumah tangga sebagai indikator pembiayaan pembangunan manusia, PDRB, investasi, rasio sarana prasarana pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan secara positif terhadap IPM dan bersifat elastis. Kajian tentang IPM juga telah dilakukan oleh Alam (2006) dengan studi kasus Kabupaten Bekasi. Penelitian ini berfokus pada ketimpangan pendapatan antar kecamatan di Kabupaten Bekasi pada tahun 1996-2004, kemajuan ekonomi antar kecamatan, serta menganalisis faktor-faktor sosial dan ekonomi yang mempengaruhi IPM di Kabupaten Bekasi. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan Analisis Weighted Coefficient Variation (CVw)atau Williamson (Iw) Nilai indeks berkisar antara nol dan satu. Alat Analisis yang kedua adalah TipelogiKlaasen dengan melihat perbandingan antara laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan PDRB per kapitakecamatan terhadap angka LPE dan PDRB perkapita rata-rata Kabupaten. Sedangkan alat Analisisselanjutnya adalah regresi data panel dengan IPM sebagai Variabel babas, dan variabel terikatnya terdiridari: PDRB per kapita kecamatan; Sarana pendidikan (jumlah gedung SD dan MI); Rasio guruSD
40
dan MI; ]umlah sarana kesehatan kecamatan; Rasio Tenaga Medis per 1000 penduduk; KepadatanPenduduk kecamatan; dan Akses penduduk terhadap air bersih. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan PDRB, rasio guru terhadap murid SD, kepadatan penduduk, dan rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih signifikan mempengaruhi IPM di kabupaten Bekasi dan disparitas pendapatan yang tinggi di Kabupaten Bekasi tidak serta merta menyebabkan tingginya disparitas IPM. Muhammad
(2010)
juga
melakukan
penelitian
tentang
indeks
pembangunan manusia. Muhammad mengkaji pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) terhadap indeks pembangunan manusia di Pakistan. Variabel yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah FDI, IPM, Ekspor-impor dan real GDP. Penelitian ini menghasilkan FDI berpengaruh signifikan terhadap IPM dimana kenaikan IPM menyebabkan kesempatan kerja meningkat dan menaikkan standar hidup.
Ekspor impor atau balance of trade berpengaruh signifikan
terhadap HDI dimana standar hidup meningkat dikarenakan banyaknya ekspor. Sementara real GDP justru tidak berpengaruh terhadap IPM Peningkatan RGDP justru menyebakan makin tingginya kesenjangan sosial karena pergerakan sumber daya yang tidak efektif dan kegagalan pemerintah terhadap kebijakan fiskal. Penelitian tentang Indeks Pembangunan Manusia juga dilakukan oleh Yanuarta (2009). Penelitian Yanuarta mengaitkan alokasi anggaran pembangunan dengan peningkatan indeks pembangunan manusia di Kabupaten Lampung Barat. Metode analisis yang digunakan adalah dengan regresi berganda dengan memasukkan variabel-variabel berupa belanja pembangunan sektor pendidikan, belanja sektor kesehatan, dan belanja sektor perekonomian. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan Belanja pembangunan, belanja pendidikan, dan belanja kesehatan mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM. Prioritas utama pembangunan sektor pendidikan adalah program sekolah gratis, rehabilitasi sekolah, pemerataan guru, peningkatan kompetisi guru, pengadaan sarana pendidikan, pembentukan PKBM, pembangunan sekolah, peningkatan insentif guru, dan pendidikan D2 bagi guru SD. Prioritas pembangunan dalam bidang kesehatan adalah pengobatan gratis, revitalisasi posyandu, dan pengadaan dokter danbidan.
41
Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian Terdahulu No Nama Tahun Lokasi 1 Cahyadi 2005 Bali
Model Model 1: IPM = α10 + α11 LOGPDRB + α12 APSOS + α13 LOGPDDMISKIN + α14 RTAKSESAIR + ε 15 Model 2 : IPM = α20 + α21 LOGPENGLRT + α22 APSOS + α23 LOGPDDKMISKIN + α24 LOGSRPEN + α25 LOGSRNKES + α26 LOGINV + ε27 Model 3: IPM = α30 + α31APSOS + α32 LOGPDDKMISKIN + α33LOGSRNPEN + ε34
2
Alam, Jauharul
2006
Kabupaten Bekasi
IPM= f (PDRB per kapita, jumlah gedung SD/MI, rasio guru terhadap murid SD/MI, jumlah sarana kesehatan, rasio tenaga medis, rumah tangga yang dapat mengakses air bersih, kepadatan penduduk)
3
Muhammad, Sulaiman
2010
Pakistan
ΔHDI = α + β1 ΔFDI + β2 Δ (Ex-Im) + β3 ΔRGDP + β4µt-1 + εt
Hasil 1. Penduduk miskin berpengaruh signifikan negatif terhadap IPM 2. Anggaran pembangunan sosial sebagai indikator pembiayaan pembangunan manusia dan persentase rumah tangga yang mempunyai akses air bersih sebagai indikator kesehatan yang juga digunakan sebagai proksi distribusi pendapatan berpengaruh signifikan secara positif terhadap IPM dan bersifat inelastis. 3. Pengeluran rumah tangga, PDRB, investasi, sarana pendidikan, sarana kesehatan berpengaruh signifikan secara positif terhadap IPM dan bersifat elastis. 1. PDRB, rasio guru terhadap murid SD, kepadatan penduduk, dan rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih signifikan mempengaruhi IPM di kabupaten Bekasi 2. Disparitas pendapatan yang tinggi di Kabupaten Bekasi tidak serta merta menyebabkan tingginya disparitas IPM 1. FDI berpengaruh signifikan terhadap HDI dimana kenaikan HDI menyebabkan kesempatan kerja meningkat dan menaikkan standar hidup.
42
4
Yanuarta, Hendra
2009
Lampung Barat
IPMt = β0 + β1Pendidikant-1 + β2Kesehatant-1 + β3Ekonomit-1 +εt IPt = β0 + β1Sarprast-1 + β2Buku t-1 + β3Gurut-1 + β4Oprst-1 + β5 iswat-1 + εt
2. (Ex-IM) atau balance of trade berpengaruh signifikan terhadap HDI dimana standar hidup meningkat dikarenakan banyaknya ekspor. 3. GDP riil tidak signifikan terhadap HDI. Peningkatan GDP riil justru menyebakan makin tingginya kesenjangan sosial karena pergerakan sumber daya yang tidak efektif dan kegagalan pemerintah terhadap kebijakan fiskal. 1. Belanja pembangunan, belanja pendidikan, dan belanja kesehatan mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM. 2. Prioritas utama pembangunan sektor pendidikan adalah program sekolah gratis, rehabilitasi sekolah, pemerataan guru, peningkatan kompetisi guru, pengadaan sarana pendidikan, pembentukan PKBM, pembangunan sekolah, peningkatan insentif guru, dan pendidikan D2 bagi guru SD. Prioritas pembangunan dalam bidang kesehatan adalah pengobatan gratis, revitalisasi posyandu, pengadaan dokter dan bidan. Sementara prioritas utama bidang perekonomian adalah diklat angkatan kerja.
43
2.3 Kerangka Pemikiran Indeks pembangunan mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagimanusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuranyang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitandengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak(decent living). Dalam mencapai indeks pembangunan yang berkualitas terdapat faktorfaktor penghambat dan faktor pendukung. Faktor penghambat diantaranya adalah tingkat kemiskinan, sementara faktor pendukung adalah sarana infrastruktur. Dengan demikian kebijakan yang efektif sangat menentukan peningkatan IPM sehingga faktor penghambat tidak mempengaruhi laju IPM di suatu daerah. Kebijakan pemerintah terdiri dari pro growth dan pro poor, dimana tiap-tiap kebijakan tersebut mempunyai fokus yang berbeda. Kebijakan pro growth salah satunya adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan infrastruktur. Perbaikan infrastruktur ini akan meningkatkan investasi sehingga akan membuka lapangan pekerjaan yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita bagi masyarakat. Pendapatan perkapita ini akan memudahkan masyarakat mengakses pendidikan dan kesehatan yang selanjutnya meningkatkan indeks pembangunan manusia. Kebijakan pro poor terdiri dari jaminan sosial dan
pelayanan sosial.
Pelayanan sosial dilakukan dengan membangun sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan. Sementara Jaminan sosial lebih menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Dengan demikian jaminan sosial dan pelayanan sosial ini dapat meningkatkan pembangunan manusia. Pembangunan manusia menyatukan antara aspek produksi dan distribusi komoditas,
serta
peningkatan
dan
pemanfaatan
kemampuan
manusia.
Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor.
44
Kesehatan
Pendidikan
Pendapatan
Indeks Pembangunan Manusia
Faktor Penghambat: Kemiskinan
Faktor Pendukung: Sarana Infrastruktur
Efektivitas Kebijakan
Pro Growth
Pembangunan Infrastruktur
Pro Poor
Jaminan Sosial
Pelayanan Sosial
Meningkatkan Investasi Membuka Lapangan Pekerjaan
Meningkatkan Pendapatan perkapita
Gambar: 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran
45
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lakukan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data tahun 2005 sampai dengan data tahun 2009. Pemilihan dilakukan secara sengaja (purposive) melihat provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dengan geografis yang strategis dan kaya akan sumber daya alam akan tetapi kemiskinan dan ketimpangan masih relatif tinggi. 3.2 Jenis dan Sumber data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari BPS, situs Provinsi Jawa Barat, penelitian-penelitian terdahulu, jurnal-jurnal, dan bahan literatur sebagai pelengkap. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks pembangunan manusia, jumlah penduduk miskin, PDRB per kapita, jumlah SD dan SMP, jumlah guru, jumlah murid jumlah puskesmas, jumlah rumah sakit, dan jumlah pelayan kesehatan, dan panjang jalan. 3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat keadaan sumber daya manusia di Jawa Barat dan bagaimana implementasi kebijakan pemerintah daerah dengan realitas keadaan pembangunan manusia di Jawa Barat. Sementara analisis kuantitatif digunakan dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia di Jawa Barat, dan seberapa besar sarana prasarana pendidikan dan kesehatan mempengaruhi pembangunan manusia di provinsi tersebut. Data yang digunakan adalah data panel atau pooled data (pooling cross section-time series regression) dengan unit cross section-nya 25 kabupaten/kota dan unit time series yang digunakan adalah tahun 2005,2006, 2007, 2008dan 2009.
46
3.4 Spesifikasi Model Panel Data Spesifikasi model data panel dalam mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa Barat didasarkan dan dimodifikasi dari model umum yang digunakan Cahyadi (2005) yaitu: PM = f( IPD, IPPM, IKEM, IPEN, IKES) Dimana: PM
= Pembangunan Manusia
IPD
= Indikator Pembangunan Daerah
IPPM
= Indikator Pembiayaan Pembangunan
IKEM
= Indikator Kemiskinan
IPEN
= Indikator Pendidikan
IKES
= Indikator Kesehatan
Tabel 3.1 Definisi Data dalam Tabel No. 1.
Indikator Pembangunan Manusia
2.
Pembangunan Daerah
3.
Pembiayaan Pembangunan
4.
Kemiskinan
5.
Pendidikan
6.
Kesehatan
Variabel Tingkat Pembangunan Manusia: diwakili dengan menggunakan variabel indeks pembangunan manusia (IPM) tiap Kab/Kota di Jawa Barat Faktor pendapatan daerah, yakni diwakili dengan menggunakan variabel PDRB tiap kab/kota di Jawa Barat Faktor peran pemerintah daerah yakni dapat diwakilkan dengan variabel Realisasi anggaran tiap kab/kota di Jawa Barat Faktor kemiskinan daerah, dapat diwakilkan dengan variabel Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Faktor Sarana Pendidikan, dapat dilihat dari rasio jumlah sekolah dengan penduduk di tiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Faktor Pelayan Pendidikan, dapat dilihat dari rasio guru terhadap murid sekolaha tiap kab/kota di Jawa Barat. Fator Sarana Kesehatan, dapat dilihat dari rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk di tiap Kab/ Kota di Jawa Barat. Faktor Pelayan Kesehatan, dapat dilihat dari rasio jumlah dokter, bidan dan perawat terhadap penduduk di tiap Kab/kota di Jawa Barat
Keterangan Variabel Terikat
Variabel Bebas Variabel Bebas
Variabel Bebas Variabel Bebas
Variabel Bebas
47
Dengan dasar model umum diatas, penulis memodifikasi dan memasukkan variabel-variabel sebagai berikut: Tabel. 3.2 Variabel dalam Penelitian No. Variabel ID 1. Indeks IPM Pembangunan Manusia 2. PDRB per kapita PDRBk
Satuan %
Sumber BPS
Keterangan
Rp
BPS
POV
%
BPS
SRNPEN
sekolah per orang
BPS
GR
guru per orang
BPS
PDRB perkapita menurut tahun dasar 2000 Persentase tingkat kemiskinan Rasio Jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 514 tahun. Rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP. Rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk Rasio Jumlah Dokter, Perawat, dan Bidan terhadap jumlah penduduk Rasio Panjang Jalan Raya terhadap jumlah penduduk
3.
Kemiskinan
4.
Sarana Pendidikan
5.
Jumlah Guru
6.
Sarana Kesehatan
SRNKES
puskesmas per orang
BPS
7.
Pelayan Kesehatan
PKES
pelayan kesehatan per orang
BPS
8.
Sarana Infrastruktur
SRNINF
km per orang
BPS
48
Variabel PDRB per kapita dapat digunakan sebagai gambaran rata-rata pendapatan yang dihasilkan oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. PDRB per kapita diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk. Dihipotesiskan bahwa PDRB per kapita berhubungan positif dengan IPM, dimana makin besar pendapatan per kapita masyarakat di suatu wilayah maka IPM di wilayah tersebut akan membaik. Jumlah penduduk miskin dimasukkan dalam permodelan dikarenakan erat kaitannya dengan pembangunan manusia di suatu wilayah. Diduga hubungan antara jumlah penduduk miskin dan indeks pembangunan bersifat negatif, artinya jika penduduk miskin di suatu wilayah meningkat, maka indeks pembangunan manusia di wilayah tersebut akan menurun. Jumlah SekolahDasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dimasukkan untuk melihat hubungan sarana prasarana pendidikan dalam mempengaruhi IPM. Adapun tingkat SD dan SMP diperhitungkan sebagai jenjang minimal dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak sehingga dapat berpengaruh positif terhadap IPM.Rasio antara guru SD dan SMP terhadap murid dimasukkan dalam model untuk melihat ketercukupan pengajar dalam mendidik murid sehingga tercapai pendidikan yang meningkatkan kualitas. Jumlah Puskesmas, jumlah rumah sakit, dan jumlah pelayan kesehatan merupakan variabel-variabel yang menunjukkan prasarana kesehatan. Jumlah pelayan kesehatan disini adalah jumlah dokter, perawat, dan bidan. Diduga ketiga variabel ini berhubungan positif terhadap IPM, artinya makin banyak jumlah puskesmas, rumah sakit, dan pelayan kesehatan, maka IPM akan meningkat. Rasio jumlah dokter dan perawat terhadap penduduk dimasukkan dalam model untuk melihat ketercukupan pelayan kesehatan dalam melayani penduduk, sehingga akses kesehatan di dapat oleh semua lapisan masyarakat. Sarana infrastruktur tidak dapat dilepaskan dalam mengukur IPM. Sarana infrastruktur diukur dengan panjang jalan kabupaten/kota. Sarana infrastruktur yang baik dapat menopang kelancaran masyarakat dalam mengakses saranasarana pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian infrastruktur yang baik akan mendukung peningkatan IPM.
49
Dengan
demikian
spesifikasi
dalam
mengkaji
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembangunan manusia dapat dirumuskan sebagai berikut: LNIPMit = α + β1LNPDRBkit+ β2LNPOVit+ β3LNSRNPENit +β4LNGRit + β5LNSRNKESit + β6LNPKES + β7LNSRNINFit +uit Dimana: LNIPMit
=
Natural logaritma dari indeks pembangunan manusia untuk kabupaten/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPovit
=
Natural logaritma jumlah penduduk miskin untuk kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPDRBkit
=
Natural logaritma PDRB perkapita menurut tahun dasar 2000 untuk kab/kota ke-i pada tahun ke-t (Rp)
LNSRNPENit
=
Natural logaritma Rasio Jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 5-14 tahun kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNGRit
=
Natural logaritma Rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNSRNKESit
=
Natural logaritma Rasio jumlah sarana kesehatan (Puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling) terhadap jumlah penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPKESit
= Natural logaritma Rasio jumlah pelayan kesehatan (dokter umum, dokter gigi, dan bidan) terhadap penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNSRNIINFit
=
Natural logaritma Rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
uit
=
Error term
3.5 Pengujian Model dan Hipotesis Permodelan diatas harus diuji terlebih dahulu dengan kriteria ekonomi dan pengujian statistik. Pengujian dengan kriteria ekonomi dapat dilakukan dengan melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas. Dengan demikian
50
sebelum dilakukan estimasi model perlu dibuat hipotesis agar dapat dibandingkan dengan hasil estimasi. Hipotesis tersebut dapat menjadi dasar kesesuaian hasil estimasi. Sedangkan untuk pengujian berdasarkan kriteria statistik dapat dilakukan dengan cara uji koefisien regresi (uji t) dan uji statistik R2. 3.5.1 Uji F Uji F ditujukan untuk mengetahui apakah variable-variabel independen secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap variable dependennya atau tidak. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan uji F adalah sebagai berikut: 1. Perumusan hipotesis Ho:
=
H1:
>
Dimana:
(atau (atau
/
≤
) > 1)
adalah keragaman dari model regresi,
adalah
keragaman sisaan. 2. Penghitungan nilai F-statistik. F-statistik ini dapat diperoleh dari perhitungan komputer atau dengan manual. Secara manual, penghitungan F dirumuskan sebagai berikut: Fhit = KTR/KTS~ F (dbr, dbe) KTR = kuadrat terkecil regresi KTS = kuadrat terkecil sisa/ galat Dapat ditunjukkan : Fk-1,n-k = Dimana: dbr = derajat bebas dari model regresi (k-1) dbe = derajat bebas total model dikurangi derajat bebas model regresi (n-k) Bandingkan F-statistik dengan F-tabel pada α (taraf nyata 5%). Bisa juga dilakukan dengan membandingkan probabilitas F-Statistik dengan α (taraf nyata 5%). 3. Jika F-statistik > F-tabel pada α atau prob (F-statistic) < α (0,05), maka terima H1, artinya, variable-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variable dependennya. 51
3.5.2 Uji t Uji t dalam beberapa buku disebut juga uji statistik parsial. Uji dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing parameter bebas yang dipakai berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas. Dalam Ramanathan (1998), langkah-langkah analisisnya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perumusan Hipotesis H0 : β = 0artinya perubahan X tidak tidak mempengaruhi Y H1 : β ≠ 0artinya perubahan X mempengaruhi Y 2. Penghitungan nilai t-statistik. T-statistik ini dapat diperoleh dari perhitungan komputer atau dengan menggunakan cara manual. Formula untuk menghitung t-statistik secara manual dalam Juanda (2009) adalah: =
(
dimana
)
= ( /∑
̅)
= koefisien yang diestimasi = standard error untuk = Nilai Slope = satuan perubahan Y akibat perubahan X
KTG
= kuadrat tengah galat
3. a. Bandingkan dengan t-tabel yaitu nilai t pada df n-k dan taraf nyata α untuk one-tailed test dan α/2 untuk two-tailed test. b. Uji t-statistik juga dapat dilakukan dengan pendekatan p-value, p-value adalah peluang nilai t lebih besar dari tc 4. a. Tolak hipotesis nol jika | thit| > t* artinya variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai variabel tidak bebas. b. Tolak H0 atau dapat disimpulkan bahwa koefisien adalah signifikan jika p-value lebih kecil dari taraf nyata α (one-tailed test) atau α/2 (two-tailed t-test). Taraf nyata yang digunakan pada peneletian ini adalah lima persen (5%). 3.5.3 Uji Statistik R2 Nilai R2 menunjukkan persentase variabel tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik model karena semakin besar keragaman peubah dependen yang dapat dijelaskan oleh peubah
52
independen. Perhitungan R2 dapat dilakukan dengan mengikuti rumus berikut (Ramanathan, 1998): =1−
∑(
∑
Dimana:
− )
= 1−
=
ESS
= Error Sum Square atau Jumlah Kuadrat Terkecil
RSS
= Regression Sum Square atau Jumlah Kuadrat Regresi
TSS
= Total Sum Square atau Jumlah Kuadrat Total = Variabel pengganggu (error term) dari model yang diestimasi = estimated y = Variabel dependen rata-rata
3.5.4 Multikolinearitas Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel bebas dalam persamaan regresi berganda (Ramanathan, 1998). Gejala multikolinearitas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 2003). Uji formal untuk menentukan ada atau tidaknya multikolinearitas dilakukan jika terdapat suatu keraguan apakah nilai koefisien determinasi termasuk tinggi atau tidak. Akan tetapi jika suatu model sudah ditetapkan memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi, uji formal menentukan multikolinearitas dapat dideteksi dari dampak yang ditimbulkan akibat adanya multikolinearitas (Nachrowi, 2006). Multikolinearitas dalam pooled data dapat diatasi dengan memberikan pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan (Gujarati, 2003). 3.5.5
Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ε t) sama atau homogen. Dengan pengertian lain, Var (εi) = E (εi2) = σ2 untuk setiap pengamatan ke-i dan peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini
53
disebut homoskedastisitas (homoscedasticity). Jika ragam tidak sama atau Var (εi) = E (εi2) = σi2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, maka dikatakan bahwa ada masalah heteroskedatisitas (Juanda, 2009). Apabila asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi maka akan menyebabkan dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan masih konsisten, tapi standar errornya bias ke bawah. Hal ini menyebabkan penduga OLS tidak efisien lagi. Heteroskedatisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dibandingkan dengan sum square residual unweighted statistics maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. Masalah heteroskedatisitas dapat diatasi dengan metode white heteroskedasticity yang diestimasi dengan GLS. 3.5.6
Autokorelasi
Asumsi lain dalam persamaan linear adalah tidak adanya autokorelasi yakni korelasi serial antara sisaan (εt) tidak ada. Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau Cov (εi, εj) = E (εi, εj) = 0 untuk semua i≠j, dan dikenal juga sebagai bebas serial (serial independence) (Juanda, 2009). Masalah autokorlasi ini akan membuat model menjadi tidak efisien meskipun nasih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standard error dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate. Sehingga R2 akan besar dan uji-t serta uji-F menjadi tidak valid. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan dua variabel yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Bila OLS digunakan, maka akan terlihat koefisien signifikan dan R 2 yang besar atau disebut juga sebagai regresi lancung atau palsu (Nachrowi, 2006). Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin Watson (DW) yaitu dengan membandingkan nilai DW dari model dengan DWtabel. Jika d < dL, maka terjadi autokorelasi. Jika d > 4 – dL, maka ada autokorelasi dan jika du < d < du-4, dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi. dL disini merupakan symbol untuk DW tabel dan d adalah DW hasil perhitungan. Untuk mengatasi permasalahan ini bisa dilakukan dengan metode pembedaan tingkat pertama (The first-difference methode) (Nachrowi, 2006).
54
Metode Pembedaan Pertama (The first-difference methode) memberikan sebuah kriteria untuk menggunakan metode ini jika statistik DW lebih kecil dibandingkan dengan R2. Pada metode pembeda pertama tersebut dapat diasumsikan bahwa ρ mendekati satu atau diasumsikan mempunyai autokorelasi yang kuat. Akan tetapi jika diinginkan nilai ρ yang lebih tepat, ρ dapat diestimasi berdasarkan Durbin Watson dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
=1−
2
= estimasi koefisien korelasi = statistik Durbin-Watson
Kemudian data variabel bebas dan variabel terikat ditransformasikan dengan cara: ∗
∗
=
=
−
−
Setelah ditransformasikan dapat dilakukan estimasi dengan metode Least Square biasa.
55
IV.
PROFIL PROVINSI JAWA BARAT
Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang(1968); Kota Tangerang (1993); Kota Bekasi(1996); Kota Cilegon dan Kota Depok(1999). Dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut sumber daya air, sumber daya alam dan pemanfaatan lahan, sumber daya hutan, sumber daya pesisir dan laut serta sumber daya perekonomian. Dalam kurun waktu 1994-1999, secara kuantitatif jumlah Wilayah Pembantu Gubernur tetap 5 wilayah dengan tediri dari : 20 kabupaten dan 5 kotamadya, dan tahun 1999 jumlah kotamadya bertambah menjadi 8 kotamadya. Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kotip Depok
pada
tahun
1999
berubah
status
menjadi
kota
otonom.
Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi: Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/Kota Tangerang serta Kota Cilegon.Tahun 2007 terbentuk Kabupaten Bandung Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandung. Dengan adanya pemekaran ini, Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 Kabupaten dan 9 Kotamadya. Kepadatan penduduk terendah di Provinsi Jawa Barat terdapat pada Kabupaten Sukabumi dengan kepadatan penduduk 562 orang/km2 dan kepadatan tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan kepadatan14.228 orang/km2. Sementara itu, kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah
56
terkecil adalah Kota Cirebon dengan luas 40,16 km2 dan yang memiliki wilayah terluas adalah Kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah 4.160,75 km2. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Provinsi Jawa Barat berada di Kabupaten Bekasi dengan laju pertumbuhan sebesar 4,69 persen dan laju pertumbuhan terendah terdapat di Kabupaten Majalengka sebesar 0,40 persen. Untuk jumlah penduduk terbanyak berada di Kabupaten Bogor sebanyak 4.763.200 orang dan jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat di Kota Cirebon sebanyak 2.065.142 orang (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Monografi Provinsi Jawa Barat Kabupaten/Kota 01. Bogor 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i 17. Bandung Barat Kota/city 18 Bogor 19 Sukabumi 20. Bandung 21. Cirebon 22. Bekasi 23. Depok 24. Cimahi 25. Tasikmalaya 26. Banjar Jawa Barat
4.763.200 2.339.348 2.168.514 3.174.499 2.401.248 1.675.544 1.531.359 1.037.558 2.065.142 1.166.733 1.091.323 1.663.516 1.462.356 851.566 2.125.234 2.629.551 1.513.634
Laju Pertumbuhan penduduk (%) 3,13 1,22 1,10 2,56 1,60 0,88 0,47 0,53 0,68 0,40 1,21 0,46 0,96 1,99 1,76 4,69 1,99
949.066 299.247 2.393.633 295.764 2.336.489 1.736.565 541.139 634.424 175,165 43.021,826
2,39 1,73 1,15 0,84 3,48 4,30 2,06 1,86 1,14 1,89
Jumlah Penduduk (orang)
Sumber : BPS Jawa Barat, 2010
Luas Wilayah (km2)
Kepadatan penduduk (Orang/km2)
2.997,13 4.160,75 3.594,65 1.756,65 3.094,40 2.702,85 2.740,76 1.189,60 1.071,05 1.343,93 1.560,49 2.092,10 2.164,48 989,89 1.914,16 1.269,51 1.335,60
1.589 562 603 1.807 776 619 558 872 1.928 868 699 795 675 860 1.110 2.071 1.184
111,73 48,96 168,23 40,16 213,58 199,44 41,20 184,38 130,86 37.173,97
8.494 6.112 14.228 7.364 10.939 8.707 13.134 3.440 1.338 1.157
57
4.1 Geografi Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda); luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha. Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah.
Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Barat
58
4.2 Populasi Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawarsa 1990 - 2000 mencapai angka 2,17 %.Sedangkan pada tahun 2003, jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38.059.540 jiwa dengan kepadatan penduduknya mencapai rata-rata 1.064 jiwa per kilometer persegi. Menurut Hasil Angka Sementara SensusPenduduk (SP) Jumlah penduduk Jawa Baratpada tahun 2010 mencapai 43 021 826 jiwadengan jumlah penduduk laki-laki yang lebih banyak dari pada penduduk perempuan (Gambar 4.2).Bedasarkan periode Sensus per sepuluh tahunpada tahun 1980 sebesar 23,4 juta, tahun 1990sebesar 29,4 juta dan pada tahun 2000mencapai 35,7 juta.Sex rasio hasil angka sementara sensuspada tahun 2010 sebesar 103,46 naik biladibandingkan tahun 2000 sebesar 102,11ataupun tahun 1990 sebesar 100,97 persen. 20,56
2009
20,12
2008
19,85
Tahun
2007
19,69
2005
19,31
2004 2003
20,80 20,48
20,16
2006
18,81
21,28
20,58
20,27
19,83
19,32
Jumlah Penduduk (Ribu Jiwa) Penduduk Perempuan
Penduduk laki-laki
Gambar 4.2 Jumlah Penduduk Jawa Barat berdasarkan jenis kelamin Sumber: BPS (2010) Jumlah penduduk di Jawa Barat memang selalu meningkat setiap tahunnya, tetapi pertumbuhan penduduk tiap tahun relatif menurun. Hal ini menandakan kebijakan pengendalian laju penduduk telah berhasil diterapkan di Provinsi Jawa 59
Barat. Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa memiliki tren menurun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. Namun pada tahun 2009 laju pertumbuhan penduduk meningkat menjadi 1,89 persen. Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
1,95 1,9
1,89
1,85 1,8
1,81
1,75
1,81
1,7
1,75
1,75
2006
2007
1,71
1,65 1,6 2004
2005
2008
2009
Tahun
Gambar 4.3Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Sumber: BPS (2010) Peningkatan laju pertumbuhan yang cukup signifikan di tahun 2009 dibandingkan tahun 2008 yakni 0,18 persen harus diwaspadai. Dengan laju pertumbuhan yang meningkat, Jawa Barat yang telah menjadi provinsi terpadat di Pulau Jawa akan mengalami masalah-masalah krusial seperti peningkatan kemiskinan, peningkatan pengangguran, dan peningkatan kriminalitas yang pada jangka panjang akan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi.
4.3 Capaian IPM Jawa Barat Hingga Tahun 2009 Berbagai program dan kebijakan dibuat oleh Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Pergerakan IPM Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 2004-2009 pun meningkat. Meski meningkat, IPM Provinsi Jawa Barat tidak mencapai target pada tahun 2009. Target yang tercantum dalam bukuLKPJ Gubernur adalah sebesar 72,39. Namun pada tahun 2009 IPM hanya mencapai 71,64. Hal ini dapat ditunjukkan melalui data dan grafik sebagai berikut:
60
Tabel 4.2 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia IPM Beserta Komponennya di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 – 2009 Indeks No Indikator 2009 2004 2005 2006 2007 2008 Angka 1 Harapan 66,7 67,2 67,40 67,60 67,80 68 Hidup Angka Melek 2 94,0 94,6 94,91 95,32 95,53 95,98 Huruf Rata – rata 3 7,2 7,4 7,50 7,50 7,50 7,72 Lama Sekolah Pengeluaran 4 616,1 619,7 621,11 623,64 626,81 628,71 perkapita Indeks 5 Pembangunan 69,1 69,9 70,32 70,71 71,12 71,64 Manusia Sumber: BPS (2010) Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, IPM menunjukkan tren peningkatan. Hal tersebut menggambarkan secara jangka panjang perkembangan dari tiga dimensi dasar pembangunan manusia Jawa Barat, yaitu angka harapan hidup, persentase melek huruf orang dewasa, angka partisipasi sekolah bagi anak, dan GDP per kapita cenderung meningkat. Secara grafik, IPM Jawa Barat tahun 2004-2009 dapat digambarkan sebagai berikut: 71,64
69,90
70,32
70,71
71,12
69,10
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar: 4.4Pergerakan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat Tahun 2004-2008 Sumber: BPS (2010) Peningkatan IPM ini sebagai dampak dari meningkatnya komponenkomponen penyusun IPM. Pada tahun 2010 diprediksikan IPM Jawa Barat akan meningkat lebih dari 0,5 poin, seiring dengan meningkatnya berbagai fasilitas dan 61
sarana pendidikan serta kesehatan yang menjadi prioritas pembangunan di Jawa Barat. Indeks Pendidikan (IP) sebagai salah satu komponen utama dalam IPM merupakan nilai rata-rata dari variabel angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Indeks Pendidikan pada tahun 2009 mencapai angka 81,14 meningkat dari tahun 2008 yang mencapai angka 80,35. Angka Melek Huruf (AMH) yang menggambarkan proporsi penduduk usia 15 Tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis (latin dan huruf lainnya) sebagai salah satu variabel dari indeks pendidikan di samping variabel rata-rata lama sekolah(RLS), pada periode Tahun 2006–2009 mengalami peningkatan walaupun relatif kecil. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sampai dengan Tahun 2009, telah terjadi peningkatan terhadap kemampuan baca masyarakat. Pada tahun 2009 AMH Jawa Barat telah mencapai 95,98%.Sementara untuk nilai Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang menggambarkan lamanya penduduk usia 15 Tahun ke atas yang bersekolah (dalam Tahun), pada tahun 2009 mencapai 7,72 tahun, jika dikonversikan pada tingkat kelulusan, maka rata-rata tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat adalah tidak tamat SLTP atau baru mencapai kelas 1 SLTP. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pencapaian RLS maksimal 15 Tahun, masih memerlukan rentang waktu yang cukup lama dan biaya yang besar. Indeks Kesehatan mempresentasikan derajat kesehatan masyarakat suatu wilayah pada periode waktu tertentu, yang diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir (AHHe0). Pada tahun 2009, indeks kesehatan Jawa Barat mencapai angka 71,67 meningkat 0,34 poin dari tahun 2008 yang mencapai 71,33 poin. Angka tersebut merupakan gambaran kinerja pembangunan kesehatan yang dilihat dari meningkatkan angka harapan hidup masyarakat Jawa Barat yangmencapai 68 Tahun pada tahun 2009 dari 67,8 tahun pada tahun 2008. Indeks
Daya
Beli
Masyarakat
sebagai
komponen
utama
IPM
merupakanindikator dengan fluktuasi perubahan yang dinamis, sebab indeks ini sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal Jawa Barat, seperti kebijakan fiskal dan moneter. Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap dinamika naik turunnya kekuatan daya beli masyarakat, yaitu faktor pendapatan dan inflasi (tingginya harga barang dan jasa). Pada tahun 2009, indeks daya beli meningkat
62
sebesar 0,44 poin dari tahun 2008 yaitu mencapai 62,10 poin dari angka 61,66 poin. Angka ini dipengaruhi oleh nilai Paritas Daya Beli masayarakat Jawa Barat yang ada tahun 2009 mencapai Rp. 628,71. 4.4Kebijakan Jawa Barat dalam Meningkatkan IPM Jawa Barat membuat beberapa kebijakan dalam rangka terus meningkatkan Indeks Pembangunan Manusianya. Kebijakan-kebijakan tersebut bermula pada tahun 2003 dimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat program akselerasi IPM generasi pertama dengan leading sector berbasis kelompok masyarakat. Pada tahun ini digulirkan program “Raksa Desa” untuk mendorong perekonomian pedesaan melalui pemberian bantuan permodalan bergulir dan pembangunan atau perbaikan infrastruktur pedesaan. Sementara itu dalam bidang pendidikan dan kesehatan, digulirkan program “Desa Cerdas” dan “Desa Sehat” dimana implementasinya kurang optimal. Pada tahun 2005, digulirkan program akselerasi IPM generasi ke-2 dengan leading sector Pemerintah Kabupaten/ Kota yang berbasis multistakeholder. Program akselerasi IPM generasi ke-2 ini membuat sebuah program yang melibatkan seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat. Program tersebut adalah Pendanaan Kompetisi Akselerasi Peningkatan IPM (PPK-IPM). Melalui PPK-IPM
Pemerintah
Provinsi
Jawa
Barat
memfasilitasi
Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menggalang peran serta stakeholders pembangunan di daerahnya
masing-masing
untuk
bersama-sama
menyusun
strategi
dan
menjalankan upaya-upaya peningkatan IPM di Kabupaten/Kota masingmasing.Strategi dan upaya tersebut dituangkan ke dalam sebuah proposal dan diajukan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, untuk kemudian dinilai dan diseleksi oleh sebuah Tim Reviewer Independen yang terdiri unsur Perguruan Tinggi, Konsultan, LSM dan masyarakat profesional, serta unsur Pemerintah Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur.Proposal yang dinilai layak serta Pemerintah Kabupaten/Kota dan stakeholdersnya yang dinilai memiliki kesiapan dan komitmen yang kuat dalam upaya peningkatan IPM, akan dipilih dan ditetapkan sebagai Kabupaten/Kota yang berhak mendapatkan dana stimulan antara 15 sampai dengan 25 milyar rupiah per tahun per Kabupaten/Kota, selama dua tahun. Kegiatan ini mulai di implementasikan pada tahun 2006. Pada tahun 63
2006 juga diterapkan kebijakan 10 Kabupaten dengan IPM terendah, yakni memberi perhatian khusus kepada 10 Kabupaten dengan IPM terendah dengan jalan memprioritaskan program dan kegiatan sektoral yang terkait dengan IPM untuk diarahkan ke 10 Kabupaten tersebut. Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus melakukan komitmen dalam meningkatkan IPM. Upaya yang dilakukan yakni dengan pemerataan pendidikan di Jawa Barat melalui kegiatan Akselerasi Penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun, yang pada tahun 2008 memasuki tahun atau fase yang ke-4. Pada tahun ini juga dibuat MoU Role Sharing Pendanaan Peningkatan Sarana dan Prasarana
Pendidikan
Dasar.
Beasiswa
juga
diberikan
kepadasiswa
SMP/MTs/PKBM yang berasal dari keluarga tidak mampu, upaya tersebut diharapkan telah optimal memenuhi sasaran. Selain itu, upaya Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun di kabupaten/kota Jawa Barat telah menjadi agenda stakeholders terkait, baik dalam tataran perencanaan maupun pelaksanaannya. Komitmen dalam bidang kesehatan pada tahun 2008 lebih difokuskan pada pelayanan kesehatan dasar yang masih belum mencapai standar pelayanan minimal (SPM), prasarana pelayanan kesehatan dasar belum dapat diakses sepenuhnya oleh masyarakat terutama penduduk miskin, tenaga kesehatanbelum merata terutama di perdesaan, masih munculnya kasus-kasus penyakit seperti DBD, diare, suspect flu burung, gizi buruk dan peran serta masyarakat belum menunjukkan yang lebih baik, terutama dalam pemahaman terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Di samping itu juga, kesehatan lingkungan, air bersih dan sanitasi perumahan masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan.Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memfokuskan kebijakan dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas kesehatan sehingga permasalahan diatas dapat diatasi. Pada bidang pendidikan tahun 2010 telah
diprioritaskan untuk
menciptakan sumber daya manusia Jawa Barat yang Mandiri dan Dinamis serta berdaya Saing, dengan sasaran : tuntasnya pemberantasan Buta Aksara dalam rangka Jabar bebas Buta Aksara; meningkatnya angka partisipasi jenjang pendidikan dasar dan menengah; meningkatnya angka yang melanjutkan antar jenjang dalam rangka Jabar Bebas Putus Jenjang Sekolah; meningkatnya mutu
64
pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional; meningkatnya kompetensi dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan. Beberapa upaya yang dilakukan adalah melalui penuntasan dan pemeliharaan Bebas Buta Aksara melalui Program Keaksaraan Fungsional (KF); BOS Provinsi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; pengadaan Paket Buku Teks Pelajaran untuk Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah; peningkatan Kesejahteraan Guru PNS, Non PNS dan Guru Bantu Negeri/Swasta Daerah Terpencil dan Perbatasan; bantuan Baju Seragam Sekolah untuk Siswa SD/MI dan SMP/MTs dari Keluarga Tidak Mampu; pembinaan dan pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah bertaraf Internasional (SBI) jenjang SD, SMP, SMA dan SMK; Revitalisasi Sarana dan Prasarana Daerah Khusus; rehabilitasi pembinaan Kelembagaan dan Peningkatan Mutu SD-SMP Satu Atap; pembinaan SMP Terbuka; beasiswa Reguler, Satu Siklus, Tahun Pertama dan Tugas Akhir bagi Mahasiswa Berprestasi dari Keluarga Tidak Mampu; peningkatan Sarana dan Prasarana SMA/SMK Dalam Rangka Pencanangan Wajib Belajar 12 Tahun; peningkatan RLS Melalui Program Paket B dan C berbasis life skill; perluasan Peningkatan
Layanan
PAUD
Non
Formal;
pendidikan
dan
pelatihan
kewirausahaan bagi Siswa SMA/SMK; optimalisasi Pendidikan Kejuruan melalui Pemberdayaan Lembaga Tri Partit Bidang Pendidikan; Sertifikasi Guru dan Siswa Pendidikan Menengah Kejuruan; rehabilitasi bangunan sekolah yang mengalami kerusakan berat akibat bencana gempa bumi Jawa Barat 2009. Pada bidang kesehatan beberapa kegiatan difokuskan pada peningkatan prilaku hidup bersih dan sehat, pencegahan penyakit serta kualitas pelayanan kesehatan dasar, dengan sasaran : menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian anak; meningkatkan pengendalian, pencegahan penyakit menular; meningkatkan prilaku hidup bersih dan sehat; meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan; meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dasar, dan penanganan gizi buruk. Kegiatan yang telah dilakukan adalah: peningkatan kualitas tenaga kesehatan melalui fasilitasi dan bimbingan teknis; peningkatan kuantitas sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan; perbaikan sanitasi, screening penderita dan Pengobatan TB paru; pendidikan kesehatan mengenai PHBS dan gizi masyarakat.
65
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat selama tahun 2004-2008. Tabel 5.1 menyajikan hasil estimasi regresi dari model data panel. Pada model data panel, koefisien estimasi yang disajikan merupakan hasil dari dua metode estimasi, yaitu Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penggunaan kedua metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan serta validitas kedua metode estimasi yang digunakan. Tabel 5.1 Hasil Regeresi Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Variabel (1)
C LNPDRBK LNPOV LNSRNPEN LNGR LNSRNKES LNPKES LNSRNINF Hausman Test F-Statistic Adjusted R-Squared
FEM Koefisien P-Value (2) (3) 4,195010 0,0000 0,006177 0,0000 -0,008545 0,0883 0,014065 0,0248 0,014856 0,0000 0,005097 0,0130 0,003635 0,0000 0,013470 0,0130 34,660205 0,0000 339,7745 0,0000 0,988331
REM Koefisien P-Value (4) (5) 4,284716 0,0000 0,007869 0,0280 -0,025559 0,0000 0,016927 0,0000 0,091829 0,7192 -0,013509 0,0768 0,006641 0,0877 0,005178 0,3393 14,84418 0,438684
0,0000
Dari hasil regresi data panel tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan metode REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman (34.6602) yang signifikan terhadap taraf uji 10 persen dengan p-value 0,0000, artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah penjelas dengan komponen error. 66
Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang ditunjukkan dengan nilai statistik uji F (339,7745) dan p-value0,00. Nilai adjusted R2bernilai 0,988331yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur sebesar 98,83 persen, sedangkan sisanya 1,17 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model. Model FEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pembobotan pada cross section (Panel EGLS /Cross-section weights). Hal ini dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section.Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 5.1, semua variabel yang diuji signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Selain itu bentuk natural logaritma dari model dilakukan untuk memudahkan mengukur elastisitas antar variabel. Dengan demikian koefisien parameter dari hasil regresi tersebut juga menunjukkan elastisitas dari variabel-variabel yang dimasukkan dalam model. 5.2 Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia 5.2.1 PDRB per kapita Berdasarkan tabel 5.1, PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien PDRB per kapita adalah 0,006177yang berarti kenaikan 1 persen PDRB per kapita akan menaikan IPM sebesar 0,006177, dengan asumsi cateris paribus. PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. PDRB per kapita juga menggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten/ kota. Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks Pembangunan Manusia. PDRB per kapita di Jawa Barat dalam selang waktu 2005-2009 mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam
67
daya beli masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Meski nilai ini masih bersifat kasar karena PDRB per kapita tidak dapat mencerminkan pemerataan pendapatan. Menurut Adiyas (2008), PDRB per kapita di suatu daerah yang besarnya diatas Rp. 2 juta sudah dapat dikatakan tinggi dan sebaliknya
apabila
besarnya
dibawah
Rp.
2
juta
dikatakan
rendah.Berdasarkan hal itu, PDRB per kapita di Jawa Barat pada tahun 2009 yang berada pada posisi Rp. 6,96 juta dianggap tinggi (Gambar 5.1). Dengan nilai yang tergolong tinggi tersebut, maka penduduk Provinsi Jawa Barat memiliki daya beli yang tinggi. Dengan daya beli yang tinggi penduduk Jawa Barat memiliki kemampuan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan sehingga IPM di Jawa Barat dapat meningkat. 7,50
PDRB per kapita (Rp Juta)
7,00 6,55
6,50
6,77
6,96
6,24
6,00 5,53
5,50 5,00 4,50 4,00
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per kapita di Jawa Barat Tahun 2005-2009. Sumber: BPS 2010
5.2.2 Kemiskinan Hasil
regresi
Tabel
5.1
menununjukkan
tingkat
kemiskinan
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat kemiskinan berpengaruh negatif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien tingkat kemiskinan adalah -0,008545 yang berarti kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan akan menurunkan IPM sebesar 0,008545, dengan asumsi cateris paribus.
68
Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan, kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja, kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas). Dengan
demikian
kemiskinan
merupakan
hambatan
dalam
meningkatkan IPM, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan IPM terganggu. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Dengan demikian ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks pembangunan manusia menjadi rendah. Jawa Barat masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 adalah sebesar 11,58 persen dari jumlah penduduk Jawa Barat, menurun dari tahun 2008 yang mencapai angka 11,74 persen (Gambar 5.2). Tingkat kemiskinan ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan dibawah Garis Kemiskinan.
69
Persentase Kemiskinan
15,00 14,49
14,00 13,00
13,55
13,06
12,74
12,00
11,58
11,00 10,00 9,00 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 20042009. Sumber: BPS: 2010 Meski persentase angka kemiskinan di Jawa Barat terus menurun, namun angka tersebut masih dianggap tinggi. Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat terdiri dari kemiskinan perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2009, kemiskinan di perkotaan mencapai 2,53 juta orang dan di pedesaan mencapai 2,45 juta orang. angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan menurun 1 dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat. Tabel. 5.2 Jumlah Penduduk Miskin Desa dan Kota di Indonesia
70
5.2.3 Pendidikan Sarana pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat sarana pendidikan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana pendidikan adalah 0,014065yang berarti kenaikan 1 persen sarana pendidikan akan menaikkan IPM sebesar 0,014065, dengan asumsi cateris paribus. Dalam model ini, sarana pendidikan merupakan penghitungan rasio dari jumlah sekolah SD dan SMP terhadap penduduk usia sekolah SD dan SMP. Hal ini dikarenakan adanya program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah.Pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan peningkatan IPM. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Todaro(2003) dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sarana pendidikan, tetapi terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan juga rasio jumlah guru terhadap jumlah murid. Rasio jumlah guru terhadap jumlah murid mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,0000. Nilai koefisien rasio jumlah guru-murid adalah 0,014856yang berarti kenaikan 1 persen rasio jumlah guru-murid akan menaikkan IPM sebesar 0,014856, dengan asumsi cateris paribus. Dengan demikian investasi pendidikan berupa pembangunan sekolah harus juga diikuti dengan mendorong partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Biaya murah terhadap pendidikan juga sangat menentukan tingkat partisipasi masyarakat untuk bersekolah. Dengan meningkatnya partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum.
Pencapaian
pendidikan
pada
semua
level
niscaya
akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan
71
merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Di Provinsi Jawa Barat, sektor pendidikan merupakan variabel yang memiliki pengaruh yang yang paling besar terhadap indeks pembangunan manusia diantara variabel-variabel lain yang diuji dalam penelitian ini. Angka melek huruf di Jawa Barat memang sudah cukup tinggi, yaitu pada tahun 2009 sebesar 95,98 persen. Begitu juga dengan angka lama sekolah yang menunjukkan angka sedikitnya drop out di Provinsi Jawa Barat yang sudah cukup baikyaitu 7,72 tahun. Keadaan ini merupakan dampak dari dilakukannya perbaikan sarana prasarana pendidikan di Jawa Barat. Pada Gambar 5.3 terlihat bahwa jumlah sekolah SD dan SMP pada tahun 2009 meningkat dari tahun 2008. Pada tahun 2009 banyaknya jumlah sekolah SD dan SMP sebesar 23.110 sekolah.
Jumlah sekolah SD dan SMP (ribu)
23,20 23,11
23,10 23,00 22,90 22,80
22,87
22,88
22,76
22,90
22,70 22,60 22,50 2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 20042009. Sumber: BPS: 2010 Jumlah guru juga menjadi penentu peningkatan IPM. Jumlah guru yang memadai akan dapat menjamin adanya kegiatan belajar yang berkualitas, sehingga murid mendapatkan transfer ilmu yang optimal.
72
Dengan demikian hal ini akan memberi dampak lulusan-lulusan sekolah yang berkualitas yang dapat bersaing di dunia kerja dan akan memberikan kemudahan dalam penguasaan teknologi
yang selanjutnya dapat
meningkatkan produktivitas suatu daerah.Provinsi Jawa Barat pada tiap tahun menambah jumlah. Pada tahun 2009, jumlah guru di Provinsi Jawa Barat sebesar 286.200 ribu orang yang meningkat sebesar 3.100 orang dari tahun 2008. Jumlah Guru SD dan SMP (ribu orang)
350,0 300,0
286,2
283,1
250,0 215,8
200,0
207,2 157,5
150,0 100,0 50,0 0,0 2005/2006
2006/2007
2007/2008
2008/2009
2009/2010
Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010 5.2.4 Kesehatan Dalam Penelitian ini digunakan dua variabel dalam mengukur kesehatan. Variabel tersebut adalah sarana kesehatan dan pelayan kesehatan.
Kedua
variabel
tersebut
berpengaruh
nyata
terhadap
peningkatan IPM di Jawa Barat. Berdasarkan tabel 5.1, sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana kesehatan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana kesehatan adalah 0,005097yang berarti kenaikan 1 persen sarana kesehatan akan menaikan IPM sebesar 0,005097, dengan asumsi cateris paribus. Pelayan kesehatan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Pelayan kesehatan berpengaruh positif terhadap
73
peningkatan IPM. Nilai koefisien pelayan kesehatan adalah 0,003635yang berarti kenaikan 1 persen pelayan kesehatan akan menaikan IPM sebesar 0,003635, dengan asumsi cateris paribus. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bappenas yang menyatakan bahwa penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan (input) penting dalam menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan kata lain, kesehatan merupakan faktor penting pembentukan modal manusia dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sejarah juga menulis tentang keberhasilan negara-negara dunia dalam keberhasilan pembangunan ekonomi melalui perbaikan kesehatan. Hal ini antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan Amerika Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Mereka melakukan teroboson di bidang kesehatan dengan pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi masyarakatnya. Perkembangan sarana prasarana kesehatan di Jawa Barat tergolong mengalami peningkatan. Jumlah dokter, perawat, dan bidan selalu bertambah tiap tahun. Pada tahun 2009, pelayan kesehatan di Jawa Barat
Jumlah Pelayan Kesahatan (orang)
mencapai 11.423 orang dan Puskesmas mencapai 3.337 puskesmas. 12000
11423
10000 8000
8509
8909
8745
9563
6000 4000 2000 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009.Sumber: BPS, 2010 74
3400 3337
Jumlah Puskesmas
3300 3230
3200 3100 3000
3094 3031 2985
2900 2800 2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009 Sumber: BPS, 2010 5.2.5 Sarana Infrastruktur Sarana infrastruktur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana infrastruktur berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana infrastruktur adalah 0,013470yang berarti kenaikan 1 persen sarana infrastruktur akan menaikan IPM sebesar 0,013470, dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Bappenas (2003) dimana ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan 75
orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan
infrastruktur akan mendorong terjadinya
peningkatan
produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan. Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan menjadi lebih rendah. Dengan demikian pendapatan masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan. Pada
pembangunan
bidang
fisik,
telah
cukup
banyak
dilakukanprogram dan kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, meliputi sub bidang infrastruktur wilayah,tata ruang, energi dan lingkungan hidup.Mengenai pembangunan Infrastruktur Wilayah, meliputi infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi, serta saranadan prasarana permukiman, kondisinya masih mengalami beberapakendala terkait beberapa isu pelayanan infrastuktur wilayah.Pada aspek infrastruktur jalan, dengan berbagai upaya yang telahdilakukan selama tahun 2009, panjang jalan telah mencapai 22.760 km. Panjang jalan ini telah meningkat dari tahun 2008.
76
23,00
Panjang Jalan (ribu km)
22,76 22,50 22,00 21,75
21,74
21,72 21,50 21,29 21,00 20,50 2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009. Sumber: BPS, 2010 5.2.6 Pengaruh
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
IPM
di
Tiap
Kabupaten/Kota Dengan menggunakan FEM dapat dilihat pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi IPM untuk tiap kabupaten/kota. Perbedaan pengaruh tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
5.3.
Efek Faktor-Faktor yang mempengaruhi IPM Kabupaten/Kota Kabupaten/ Kota Efek No. Kabupaten/ Kota Kab. Bogor -0,005033 14 Kab, Purwakarta Kab. Sukabumi -0,026213 15 Kab, Karawang Kab. Cianjur -0,055834 16 Kab, Bekasi Kab. Bandung 0,026304 17 Kota Bogor Kab. Garut -0,006282 18 Kota Sukabumi Kab. Tasikmalaya 0,001231 19 Kota Bandung Kab. Ciamis -0,020846 20 Kota Cirebon Kab. Kuningan -0,015696 21 Kota Bekasi Kab. Cirebon -0,035562 22 Kota Depok Kab. Majalengka -0,037271 23 Kota Cimahi Kab. Sumedang -0,010724 24 Kota Tasikmalaya Kab. Indramayu -0,070364 25 Kota Banjar Kab. Subang -0,021119
untuk
tiap
Efek -0,026428 -0,044478 0,010700 0,037081 0,027045 0,046248 0,017119 0,066792 0,102490 0,058633 0,012271 -0,030061
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi IPM memberikan efek yang berbeda-beda untuk setiap Kabupaten/ Kota di 77
Jawa Barat. Efek individu dalam model menunjukkan adanya perbedaan karakteristik indeks pembangunan manusia tiap kabupaten/kota di Jawa Barat
dan
dimasukkan
sebagai
bagian
dari
intersep
dalam
dibagi
melalui
menginterprestasikan model untuk tiap kabupaten/kota. Adanya
perbedaan
karakteristik
juga
dapat
pengelompokan besaran IPM tiap Kabupaten/ Kota di Jawa Barat. Pengelompokan ini diperlukan karena banyaknya jumlah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat, hal ini juga berkaitan dengan karakteristik yang berbeda di tiap kabupaten/kota sehingga kebijakan yang diterapkan untuk tiap daerah tersebut juga akan berbeda. Di Provinsi Jawa Barat besaran IPM tiap kabupaten/kota berada dalam selang 67,39-78,61. Dengan demkian pengelompokan berdasarkan selang IPM tersebut dapat dibuat sebagai berikut: IPM rendah
= Nilai IPM yang kurang dari 70
IPM sedang
= Nilai IPM yang lebih besar dari 70 namun kurang dari 75
IPM tinggi
= Nilai IPM yang lebih besar dari 75
Dengan pengelompokan tersebut, maka kabupaten/kota di Jawa Barat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
78
Tabel 5.4. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai IPM Rendah Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
Min: 3,22 Rata-rata: 4,66 Max: 8,28 Min: 10,48 Rata-rata: 14,02 Max: 18,22 Min: 2,63 Rata-rata: 3,51 Max: 4,34 Min: 4,44 Rata-rata: 5,12 Max: 5,87 Min: 8,05 Rata-rata: 10,67 Max: 12,10 Min: 2,29 Rata-rata: 3,47 Max: 4,38 Min: 3,54 Rata-rata: 6,71 Max: 8,80
IPM Sedang Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Min: 2,74 Rata-rata: 7,14 Max: 24,24 Min: 4,50 Rata-rata: 12,15 Max: 23,55 Min: 2,03 Rata-rata: 3,31 Max: 4,81 Min: 2,65 Rata-rata: 4,69 Max: 6,68 Min: 2,07 Rata-rata: 8,23 Max: 13,74 Min: 1,42 Rata-rata: 2,89 Max: 4,68 Min: 0,41 Rata-rata: 6,00 Max: 12,37
Dimana X1 = PDRB per kapita (Rp juta)
Tinggi Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok
Min: 4,11 Rata-rata: 9,13 Max: 19,97 Min: 13,06 Rata-rata: 7,73 Max: 2,93 Min: 2,45 Rata-rata: 3,23 Max: 4,64 Min: 3,96 Rata-rata: 5,33 Max: 6,04 Min: 2,57 Rata-rata: 11,78 Max: 20,62 Min: 1,34 Rata-rata: 3,27 Max: 7,10 Min: 2,58 Rata-rata: 3,81 Max: 4,87
X2 = Tingkat kemiskinan (persen) X3 = Rasio sarana pendidikan (1/100.000) sekolah per orang) X4 = Rasio jumlah guru (1/100) guru per murid) X5 = Rasio sarana kesehatan (1/100.000 puskesmas per orang) X6 = Rasio jumlah tenaga medis (1/10.000 tenaga medis per orang) X7 = Rasio sarana infrastruktur
79
Dari klasifikasi tersebut terlihat bahwa sebagian besar dari kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki IPM sedang yakni IPM diantara 70 sampai dengan 75. Sementara kabupaten/kota dengan IPM rendah dimiliki oleh Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara daerah yang memiliki IPM tinggi, dimiliki oleh Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Klasifikasi berdasarkan nilai IPM ini dapat dipetakan dalam Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Pembagian daerah berdasarkan nilai IPM Dengan perbedaan IPM, maka PDRB per kapita untuk tiap kabupaten/kota juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat dari Gambar 5.9. Pendapatan per kapita untuk daerah ekstrim rendah memiliki PDRB per kapita rendah.Dari Gambar 5.9 dapat dilihat bahwa Kabupaten Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi meski IPM di Kabupaten tersebut tergolong sedang. Kota Cirebon juga memiliki PDRB per kapita yang tinggi dan Kota Cirebon termasuk dalam daerah dengan IPM tinggi. Sementara Daerah dengan IPM rendah memiliki karakteristik yang sama dimana Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,
80
dan Kabupaten Sumedang memiliki PDRB per kapita yang cenderung rendah.Hanya Kabupaten Purwakarta saja yang meski tergolong IPM rendah namun memiliki PDRB per kapita sedang. Hal ini dikarenakan daerah dengan IPM rendah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat mengakses sektor pendidikan dan kesehatan.
Daerah dengan IPM Tinggi
Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor
Daerah dengan IPM Sedang
Kab. Bekasi Kab. Karawang
2009
Kab. Subang
2008
Kab. Indramayu
2007
Kab. Majalengka
2006
Kab. Ciamis
2005
Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kab. Purwakarta Daerah dengan IPM Rendah
Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
Gambar 5.9 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan di kabupaten/kota dengan IPM rendah memiliki persentasi kemiskinan yang
81
tinggi. Sementara Kota Tasikmalaya memiliki kemiskinan yang tinggi padahal Kota Tasikmalaya merupakan daerah dengan IPM sedang. Keadaan ini dipicu oleh terjadinya bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi pada tahun 2008. Bencana ini menyebabkan kemiskinan di Kota Tasikmalaya meningkat tajam di tahun 2008. Kota Depok
Daerah dengan IPM Tinggi
Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. B e k a s i
Daerah dengan IPM Sedang
Kab. Karawang
2009
Kab. Subang
2008
Kab. Indramayu
2007
Kab. Majalengka
2006
Kab. C i a m i s
2005
Kab. Tasikmalaya Kab. G a r u t Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. B o g o r Kab. Purwakarta Daerah dengan IPM Rendah
Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 Sementara
untuk
sarana
dan
prasarana
pendidikan,
setiap
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat telah memiliki sarana prasarana 82
pendidikan yang memadai. Pada Gambar 5.11 terlihat rasio antara jumlah sekolah dengan jumlah penduduk usia sekolah memiliki nilai yang cukup tinggi.Hal ini bermakna bahwa ketersediaan bangunan sekolah SD dan SMP sudah dapat menampung penduduk usia sekolah SD dan SMP untuk tiap kabupaten/kota. Dari Gambar 5.11, diketahui Kota Cirebon memiliki rasio jumlah sekolah terhadap penduduk usia sekolah yang paling tinggi yaitu sebesar 4,64. Kota Depok Kota Bekasi
Daerah dengan IPM Tinggi
Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Karawang
Daerah dengan IPM Sedang
Kab. Subang Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. Ciamis Kab. Tasikmalaya
2009 2008 2007 2006 2005
Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kab. Purwakarta Kab. Sumedang Daerah dengan IPM Rendah
Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000
Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadap Penduduk SD dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 83
Kota Depok Daerah dengan IPM Tinggi
Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Karawang
Daerah dengan IPM Sedang
2009
Kab. Subang
2008
Kab. Indramayu
2007
Kab. Majalengka
2006
Kab. Ciamis
2005
Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kab. Purwakarta Daerah dengan IPM Rendah
Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,00
5,00
10,00 15,00 20,00 25,00
Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 Jumlah sarana prasarana kesehatan di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat juga sudah tergolong bagus dan sudah memadai. Namun di daerahdaerah seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bandung, jumlah puskesmas masih tergolong rendah.
84
5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota Dengan Nilai IPM Terendah Dalam Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Barat sudah terlihat dalam bahasan sebelumnya. Daerah dengan IPM yang rendah perlu menjadi perhatian. Hal ini penting untuk mencapai target Provinsi Jawa Barat untuk menjadi provinsi termaju pada tahun 2025. Dari paparan diatas, dapat dipetakan karakteristik daerah-daerah dengan IPM terendah. Karakteristik tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM terendah di Provinsi Jawa Barat Variabel PDRB Per Kapita Kemiskinan Sarana Pendidikan Jumlah Guru Sarana Kesehatan Pelayan Kesehatan Sarana Infrastruktur
Kab. Sukabumi R
Kab. Kuningan R
Kab. Cirebon R
Kab. Sumedang R
Kab. Purwakarta S
T S
T S
T S
S T
S T
R S
R S
R S
R S
R S
R
S
S
S
S
S
R
S
S
S
Ket: R = Rendah
S = Sedang
T= Tinggi
Tabel 5.5 diatas memperlihatkan bahwa semua daerah yang memiliki IPM terendah di Jawa Barat juga memiliki PDRB per kapita yang rendah. Kemiskinan di daerah ini juga cenderung tinggi, terlihat di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Cirebon. Selain itu, permasalahan yang terjadi di daerah dengan IPM rendah di Provinsi Jawa Barat adalah karena rasio jumlah guru yang rendah. Jumlah guru SD dan SMP di kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta belum memadai dalam melakukan pengajaran terhadap jumlah penduduk usia sekolah di daerah tersebut. Kebijakan-kebijakan yang perlu diterapkan dalam mengangkat IPM ke lima kabupaten ini dapat difokuskan pada PDRB per kapita dan kemiskinan. Kedua variabel tersebut memang berkaitan. Ketika PDRB per kapita ditingkatnya maka kemiskinan pun akan menurun. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang bisa
85
direkomendasikan untuk Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Cirebon adalah: 1.
Program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah. Program ini
dapat mendorong pemerataan
pendapatan.Program ini juga akan berdampak pada peningkatan lapangan pekerjaan dan selanjutnya meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan demikian program ini akan efektif untuk meningkatkan pendapatan per kapita sekaligus mengurangi persentase kemiskinan. 2.
Penanganan pengangguran, yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih bersifat padat karya bukan padat modal.Penanganan terhadap pengangguran mutlak dilakukan, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan yang bersifat padat karya. Pemberian pendidikan terhadap angkatan kerja juga sangat dibutuhkan agar dapat meningkatkan ketersediaan angkatan kerja yang siap bekerja ataupun dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sehingga akan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja dan memperoleh pekerjaan. Pada akhirnya tujuan meningkatkan daya beli masyarakat.
3.
Program pembangunan infrastruktur sangat penting dilakukan, terutama di Kabupaten Kuningan yang memiliki sarana infrastruktur rendah. Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu kabupaten-kabupaten dengan IPM rendah harus membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi. Kemudahan pengurusan ijin investasi perlu diperhatikan. Perbaikan infrastruktur sebagai dukungan terhadap investasi juga mutlak dilakukan. Program perbaikan infrastruktur yang dapat dilakukan adalah dengan pembangunan serta perbaikan jalan dan jembatan. Dengan program ini akan memberikan kelancaran arus distribusi barang dan jasa serta meningkatkan produktivitas barang dan jasa.
4.
Pengadaan guru agar ketersediaan guru memadai untuk menciptkan pelayanan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia.
86
5.
Untuk Kabupaten Sukabumi, diperlukan lebih banyak tenaga medis untuk memberikan akses kesehatan yang lebih memadai kepada penduduk di kabupaten tersebut. Perekruitan Dokter dan Bidan sangat berpengaruh terhadap penurunan angka kematian bayi dan dapat meningkatkan harapan hidup di Kabupaten Sukabumi.
87
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Seluruh Faktor-faktor yang dianalisis yaitu PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastrukturberpengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia di Jawa Barat. 2. Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta merupakan daerah yang memiliki IPM rendah di Provinsi Jawa Barat, dengan demikian kebijakan di daerah-daerah ini belum efektif dijalankan. Kelima kabupaten ini perlu menekankan kebijakan pada PDRB per kapita yang tergolong rendah dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi. 6.2 Saran 1. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini masih bersifat makro sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut dengan mengambil variebelvariabel lain yang bisa lebih menggambarkan tingkat IPM di Jawa Barat serta memasukkan ketidakmerataan sarana-prasarana kesehatan dan pendidikan antara Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. 2. Pemerataan pembangunan di Jawa Barat masih harus terus ditingkatkan. Perhatian khusus harus diperhatikan pada daerah-daerah yang memiliki IPM terendah seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta Selain itu, diperlukan tinjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan di Provinsi Jawa Barat dan pembuatan Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Manusia yang memuat data yang terus dapat diperbarui dan dapat dipergunakan untuk melakukan perencanaan, pelasanaan, dan evaluasi kebijakan yang berkesinambungan.
88
DAFTAR PUSTAKA
Adiyas. 2008. Perekonomian Indonesia. Universitas Marcubuana. Jakarta. Alam, Jauharul. 2006. Disparitas Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Bekasi.[Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Depok. Atmawikarta, Arum. 2002. Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi. Bappenas. Jakarta. Baltagi, Badi H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. John Willey & Sons, Ltd. England. BPS dan Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2004. Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2004 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ______________________________. 2005. Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2005 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ______________________________. 2006. Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2006 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ______________________________. 2006. Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2006. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ______________________________. 2007. Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2007 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. BPS-Bappenas and UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001: Toward a New Consensus, Democracy and Human Development in Indonesia. Jakarta. BPS Provinsi Jawa Barat. 2006. Jawa Barat dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ___________________. Jawa Barat dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ___________________. Jawa Barat dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ___________________. Jawa Barat dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat. ___________________. Jawa Barat dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat.
89
BPS-UNDP-Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah. 1996. Indeks Pembangunan Manusia Daerah tingkat II Tahun 1990-1996. Jakarta. Cahyadhi, Putu Eka. 2005. Pelacakan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kab/Kota di Provinsi Bali). [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Depok. Dornbusch, et al. 2008. Makroekonomi. PT Media Global Edukasi. Jakarta. Gujarati, D. 2003. Essensial of Econometrics. Irwin McGraw-Hill. Singapore. Indratno, Imam. 2008. Indeks Pembangunan Desa Sebagai Ukuran Keberhasilan Pengembangan Perdesaan [Makalah]. Universitas Islam Bandung. Bandung. Jhingan, M.L. 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo. Jakarta. Johnston, Jack dan John Dinardo. 2000. Econometric Method. Irwin McGrawHill. Singapore. Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kakwani, et all. 2004. Pro Poor Growth: Concept and Measurement with country case study. UNDP. Brazil. Kuncoro, Mudrajat. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Mankiw. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga. Jakarta. Mangkoesoebroto. 2001. Ekonomi Publik. BPFE, UGM. Yogyakarta Maqin, Abdul. 2007. Indeks Pembangunan Manusia: Tinjauan Teoritis, Empiris di Jawa Barat [Makalah Pelatihan Program pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM). Sumedang. Muhammad, Sulaiman D, et all. 2010. Impact of Globalization on HDI (Human develoment Index): Case Study of Pakistan.European Journal of Social Science-Volume 13, Number 1 (2010). Nachrowi, D dan Hardius Usman. 2006. Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. LP Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia. Jakarta. Pindyck, R.S dan Rubinfeld D.L. 1998. Econometric Models and Economic Forecast. Irwin McGraw-Hill. Singapore. Prasetyo, Agus. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus 35 Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah). [Tesis]. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang. Ramanathan, Ramu. 1998. Statistical Menthods in Econometrics. Emerald Group Publishing. England.
90
Ramelan,Rahardi. 1997. Kemitraan pemerintah-swasta dalam pembangunan infrastruktur di indonesia. Koperasi Jasa Profesi LPPN. Indonesia. Revalion, Martin. 1998. Poverty Line in Theory and Parctice: Living Standars Measurement Study. World Bank: Working Paper no.13. Satria, Dian. 2008. Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan.http://www.diassatria.web.id/wp.content/uploads/2008/12/jurnalindefsubsidi.pdf.
Sukirno, Sudiro. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Kencana. Jakarta. Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap perekonomian di Indonesia. [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suharto, Edi. 2007. Merentas Kebijakan Sosial Pro Poor: Menggagas Pelayanan Sosial yang Berkeadilan. UGM. Yogyakarta. Todaro dan Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta. Wibowo, E. 2008. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia di Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yanuar. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yanuarta, H. 2009. Strategi Alokasi Anggaran Pembangunan dalam Rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lampung. [Tesis]. Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yudhoyono, S.B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia: Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi? BrightenPress. Bogor. Zepeda, Eduardo. 2004. Pro-Poor Growth: What is It? IPC-IG Collection. Brazil.
91
LAMPIRAN Lampiran 1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Jawa Barat Tahun 2005-2009 (persen) Tahun Kabupaten/ Kota 2005 2006 2007 2008 2009 01. B o g o r 69,2 69,73 70,08 70,66 71,09 02. Sukabumi 68,7 68,88 69,21 69,66 70,14 03. Cianjur 66,8 67,1 67,65 68,17 68,6 04. Bandung 72,4 72,62 72,97 73,41 73,77 05. G a r u t 68,7 69,46 69,99 70,52 70,96 06. Tasikmalaya 70,4 70,86 71,24 71,35 71,75 07. C i a m i s 69,3 69,8 70,14 70,57 70,92 08. Kuningan 68,5 69,21 69,7 70,12 70,4 09. Cirebon 66 66,32 67,3 67,7 68,17 10. Majalengka 66,9 68,41 68,94 69,4 69,93 11. Sumedang 70,2 70,56 71,3 71,68 72,13 12. Indramayu 63 65,26 66,22 66,78 67,39 13. Subang 68,2 69,86 70,03 70,43 70,78 14. Purwakarta 68,6 68,86 69,88 70,31 70,7 15. Karawang 66,4 66,95 68,45 69,06 69,44 16. B e k a s i 70,4 70,72 71,55 72,1 72,44 Kota 17. B o g o r 74,3 74,57 74,73 75,16 74,49 18. Sukabumi 72,4 73 73,66 74,17 75,6 19. Bandung 74,3 74,52 74,86 75,35 74,59 20. Cirebon 73,7 73,8 73,87 74,26 75,99 21. Bekasi 74,6 74,82 75,31 75,73 78,61 22. Depok 77,1 77,67 77,89 78,36 75,12 23. Cimahi 73,1 73,35 74,42 74,79 73,89 24. Tasikmalaya 72,1 72,27 72,75 73,35 70,9 25. Banjar 69,4 69,64 70,17 70,61 71,64 Sumber: BPS
92
Lampiran 2. PDRB Perkapita Provinsi Jawa Barat atas Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten tahun 2005-2009 (Juta Rupiah) Tahun Kabupaten/ Kota 2005 2006 2007 2008 2009 Kab/Reg. 01. Bogor 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i Kota/City 17. Bogor 18. Sukabumi 19. Bandung 20. Cirebon 21. Bekasi 22. Depok 23. Cimahi 24. Tasikmalaya 25. Banjar Sumber: BPS
6,11 3,20 3,25 5,34 3,78 2,56 3,82 2,92 3,01 2,97 4,22 7,00 4,24 7,45 7,29 7,03
6,30 3,30 3,32 4,01 3,84 2,59 3,91 0,30 3,12 3,08 4,31 7,10 4,34 7,60 7,66 21,99
6,52 3,42 3,42 6,15 3,94 2,63 4,05 3,04 3,25 3,21 4,42 7,22 4,44 7,76 7,92 22,87
6,75 3,52 3,52 6,31 4,03 2,66 4,20 3,11 3,36 3,34 4,53 7,30 4,59 8,03 8,31 23,75
6,96 3,64 3,64 6,52 4,17 2,74 4,35 3,22 3,48 3,46 4,68 7,55 4,76 8,28 8,58 24,24
4,22 4,94 9,23 17,50 5,89 3,46 10,37 4,96 3,39
4,42 5,12 9,84 18,20 6,10 3,64 10,60 5,07 3,48
4,63 5,35 10,55 18,98 6,36 3,84 10,87 5,26 3,58
4,85 5,58 11,29 19,48 6,60 4,03 11,10 5,45 3,67
4,95 5,71 11,65 19,97 6,73 4,11 11,25 5,65 3,80
93
Lampiran 3. Jumlah Rasio Jumlah Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama terhadap Jumlah Penduduk Usia Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertamadi Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten Tahun 2005-2009 (1/100.000 sekolah/orang)
Kabupaten/ Kota 01. Bogor 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i Kota/City 17. Bogor 18. Sukabumi 19. Bandung 20. Cirebon 21. Bekasi 22. Depok 23. Cimahi 24. Tasikmalaya 25. Banjar Jawa Barat
2005 2,010 2,757 2,470 2,847 2,949 3,418 4,219 3,417 2,204 4,111 3,389 3,013 3,671 3,096 2,968 1,977
2006 1,894 2,700 2,846 2,717 3,085 3,273 3,928 3,496 2,139 3,823 3,596 2,842 3,653 2,742 2,684 1,978
Tahun 2007 2,155 2,876 2,967 2,920 2,848 3,424 4,140 3,943 2,307 4,312 3,874 2,514 3,885 2,492 2,522 2,015
2008 2,404 3,007 3,060 2,797 3,143 3,665 4,302 4,127 2,509 4,541 4,106 3,208 4,043 3,056 3,157 2,610
2009 2,530 3,127 3,197 2,947 3,242 3,787 4,469 4,257 2,627 4,805 4,336 3,306 4,234 3,214 3,281 2,648
2,401 2,721 2,780 3,362 1,849 1,862 2,449 2,305 2,953 2,843
2,363 2,648 2,842 3,575 1,982 1,983 1,849 2,638 3,059 2,683
3,069 2,330 2,578 3,529 2,171 1,863 1,279 2,766 3,171 3,423
2,917 3,059 2,657 4,410 2,315 2,347 1,904 2,985 3,350 2,974
3,048 3,236 2,868 4,644 2,585 2,445 2,026 3,064 3,541 3,110
Sumber: BPS
94
Lampiran 4. Rasio Jumlah Guru SD dan SMP terhadap Jumlah Murid SD dan SMPdi Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009 (1/100 guru per murid) Tahun Kabupaten/ Kota 2005 2006 2007 2008 2009 01. Bogor 2,734 7,503 4,176 3,519 3,103 02. Sukabumi 3,357 8,719 3,398 4,127 4,444 03. Cianjur 3,316 11,642 12,100 4,219 4,749 04. Bandung 3,270 7,515 3,684 5,106 4,374 05. G a r u t 3,873 7,702 3,494 4,912 4,821 06. Tasikmalaya 4,881 6,546 2,567 5,930 6,259 07. C i a m i s 5,830 13,700 5,921 6,883 5,772 08. Kuningan 5,255 12,186 5,807 6,404 5,873 09. Cirebon 3,089 6,871 3,124 4,125 4,543 10. Majalengka 3,937 11,316 5,012 5,836 6,681 11. Sumedang 5,460 10,980 6,077 6,587 5,621 12. Indramayu 3,698 8,823 3,809 4,456 4,693 13. Subang 4,097 6,373 0,780 5,137 5,127 14. Purwakarta 3,682 7,937 3,851 4,780 4,976 15. Karawang 3,264 6,633 3,304 1,701 3,675 16. B e k a s i 2,924 4,742 2,469 3,431 2,800 Kota/City 17. Bogor 6,009 7,496 14,444 5,429 4,624 18. Sukabumi 4,519 6,334 5,200 5,006 6,024 19. Bandung 4,906 6,752 4,219 4,312 4,726 20. Cirebon 4,203 6,452 4,735 5,405 6,043 21. Bekasi 3,354 11,291 5,679 4,922 3,959 22. Depok 4,259 7,635 5,387 6,171 5,285 23. Cimahi 4,557 7,407 3,347 5,566 5,073 24. Tasikmalaya 5,329 9,911 6,258 5,661 2,651 25. Banjar 5,045 9,561 5,196 9,219 5,939 Jawa Barat 3,804 7,667 2,715 4,557 4,521 Sumber: BPS
95
Lampiran 5. Rasio Jumlah Puskesmas terhadap penduduk di Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009
Kabupaten / Kota 01. B o g o r 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i Kota/City 17. B o g o r 18. Sukabumi 19. Bandung 20. Cirebon 21. Bekasi 22. Depok 23. Cimahi 24. Tasikmalaya 25. Banjar Jawa Barat
2005 5,00 9,21 8,53 5,56 8,83 12,22 12,96 11,58 7,02 11,83 10,96 8,07 10,20 11,29 6,70 4,91
2006 4,86 8,39 8,47 5,34 8,46 11,99 11,95 11,80 8,20 12,69 11,74 8,66 9,30 10,19 6,55 4,82
6,16 17,03 3,45 17,79 3,26 2,77 3,04 7,57 9,79 7,47
7,48 16,63 3,59 17,87 3,19 3,52 3,56 7,70 8,47 7,44
(1/100.000 puskesmas per orang) Tahun 2007 2008 2009 4,73 4,93 4,87 8,77 8,70 10,03 8,93 8,99 9,41 7,74 6,55 6,19 8,85 8,66 9,38 11,55 12,88 12,96 12,86 12,77 13,74 11,75 12,21 12,10 8,09 7,98 8,05 12,62 12,64 11,16 11,06 10,84 11,10 8,52 8,44 9,14 9,25 10,77 10,70 10,65 10,99 12,09 6,66 6,58 5,39 4,87 4,77 5,99 6,58 16,63 3,55 17,90 3,12 3,68 3,47 7,69 10,51 7,46
6,50 16,02 3,51 19,40 3,05 3,84 3,57 7,53 10,29 7,65
6,81 19,58 2,07 27,62 2,57 4,37 8,76 2,81 32,26 0,06
Sumber: BPS
96
Lampiran 6. Rasio Jumlah Pelayan Kesehatan terhadap Jumlah Pendudukdi Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009
Kabupaten/ Kota 01. B o g o r 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i Kota 17. B o g o r 18. Sukabumi 19. Bandung 20. Cirebon 21. Bekasi 22. Depok 23. Cimahi 24. Tasikmalaya 25. Banjar
2005 1,800 1,573 1,939 1,414 1,736 2,480 3,124 3,510 2,993 2,543 2,558 2,431 2,708 2,297 2,135 1,838 2,581 4,761 1,654 6,795 0,917 0,728 1,519 6,042 5,473
(1/10.000 pelayan kesehatan per orang) Tahun 2006 2007 2008 2009 1,878 1,689 2,045 2,171 1,754 1,045 1,419 2,293 1,520 1,629 2,212 2,275 1,475 1,448 1,489 1,997 1,987 1,795 2,039 2,552 1,618 2,595 2,142 3,183 4,434 3,089 3,269 3,992 3,638 3,752 4,161 4,380 3,879 2,811 2,842 3,188 3,297 4,426 4,196 4,159 2,642 3,111 3,262 3,575 2,536 3,375 2,749 2,418 2,671 2,255 2,940 3,323 2,752 2,969 3,284 3,895 2,506 2,002 1,699 2,858 1,933 2,520 2,384 2,456 2,372 3,088 3,050 9,567 1,480 1,464 1,462 2,130 2,033
2,298 2,993 1,476 5,646 1,473 1,331 1,368 2,658 2,822
2,282 2,845 1,414 7,090 1,461 1,377 1,597 2,904 2,926
2,646 3,081 1,888 7,102 1,567 1,344 1,424 4,201 4,678
Sumber: BPS
97
Lampiran 7. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Barat Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 (1/10.000 km per orang)
Kabupaten / Kota 01. B o g o r 02. Sukabumi 03. Cianjur 04. Bandung 05. G a r u t 06. Tasikmalaya 07. C i a m i s 08. Kuningan 09. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. B e k a s i Kota/City 17. B o g o r 18. Sukabumi 19. Bandung 20. Cirebon 21. Bekasi 22. Depok 23. Cimahi 24. Tasikmalaya 25. Banjar Jawa Barat Sumber: BPS
2005 3,68 7,10 0,43 7,66 4,92 6,21 5,00 3,79 3,04 5,75 7,09 4,45 7,22 8,67 13,09 4,81
2006 3,58 5,87 5,00 7,43 3,49 6,11 4,87 3,72 3,00 5,79 7,30 4,45 7,32 9,05 4,24 4,65
Tahun 2007 3,49 5,83 0,45 10,75 3,41 5,94 4,81 3,65 2,97 5,75 7,16 4,44 7,23 9,01 12,73 4,56
6,83 5,79 5,07 5,94 1,54 3,16 2,17 10,85 12,50 5,43
8,64 4,84 4,80 4,99 4,79 3,61 1,97 10,57 12,25 5,23
9,17 4,14 4,99 5,10 2,70 3,44 2,43 10,42 10,49 5,24
2008 37,12 7,60 0,42 10,48 3,34 7,09 4,81 3,58 2,94 5,91 7,02 4,40 7,14 8,90 12,50 4,46
2009 3,93 7,54 0,41 8,93 3,31 7,01 4,78 3,54 2,91 5,87 6,96 4,37 7,09 8,80 12,37 4,37
8,55 4,08 4,96 4,95 2,64 3,28 2,40 10,22 10,27 8,94
8,37 4,57 4,91 4,87 2,58 3,22 2,17 10,17 11,01 5,33
98
Lampiran 8, Hasil Output Regresi data Panel dengan Eviews 6.0 FEM Dependent Variable: LNIPM Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/27/11 Time: 14:12 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 25 Total panel (balanced) observations: 125 Linear estimation after one-step weighting matrix White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPDRBK LNPKES LNPOV LNGR LNSRNINF LNSRNKES LNSRNPEN C
0.006177 0.003635 -0.008545 0.014856 0.013470 0.005097 0.014065 4.195010
0.001245 0.000794 0.004960 0.002719 0.005321 0.002754 0.006164 0.021840
4.961399 4.576748 -1.722774 5.464718 2.531621 1.850652 2.281837 192.0829
0.0000 0.0000 0.0883 0.0000 0.0130 0.0674 0.0248 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.991248 0.988331 0.008418 339.7745 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
7.929682 6.651694 0.006590 1.363965
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.965404 0.007463
Mean dependent var Durbin-Watson stat
4.264595 1.219967
99
REM Dependent Variable: LNIPM Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/27/11 Time: 14:16 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 25 Total panel (balanced) observations: 125 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPDRBK LNPKES LNPOV LNGR LNSRNINF LNSRNKES LNSRNPEN C
0.007869 0.006641 -0.025559 0.016927 0.005178 -0.013509 0.006048 4.284716
0.003537 0.004212 0.004421 0.003511 0.005396 0.007566 0.009229 0.019983
2.224846 1.576668 -5.781458 4.821173 0.959506 -1.785483 0.655323 214.4206
0.0280 0.1176 0.0000 0.0000 0.3393 0.0768 0.5135 0.0000
Effects Specification Cross-section random Idiosyncratic random
S.D.
Rho
0.021775 0.008898
0.8569 0.1431
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.470371 0.438684 0.009894 14.84418 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.766645 0.013206 0.011454 1.005897
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.550092 0.097053
Mean dependent var Durbin-Watson stat
4.264595 0.118713
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ06 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
34.660205
7
0.0000
100