KAJIAN POTENSI DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KECAMATAN JAILOLO SELATAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT
MOCHTAR MUHAMMAD TAHER
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan dan
ini
saya
menyatakan
bahwa
tesis
Kajian
Potensi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan
Kabupaten Halmahera Barat adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Mochtar Muhammad Taher C252070161
ABSTRACT MOCHTAR MUHAMMAD TAHER, Study of Potential and Mangrove Ecosystem Management In South Jailolo District Of West Halmahera. Under direction of M. MUKHLIS KAMAL and ZAIRION Mangrove ecosystem in South Jailolo District has many functions for coastal area. This is a concern because the extent of mangrove ecosystems decreases from year to year due to the exploitation and conversion for various purposes without considering the ecological functions and physical function of mangrove ecosystems. This research aim to describe about potential and existing condition of mangrove ecosystem and also to give directive policy strategic for Management of mangrove ecosystem in this area. This study aims to determine the condition of mangrove ecosystems in the District of South Jailolo, assessing the potential ecological and economic impacts of mangrove ecosystems and how big a reduction in mangrove area over the past 17 years, and then set the strategy of sustainable management of mangrove ecosystems This research use primary and secondary data. Primer data gathering done by sampling, field observation, quistioner, and open interview ended and in depth interview in the research area. Secondary data gathering by unravel various literature, and related institution. Although the reduction in mangrove forest area is still in small quantities, to maintain the sustainability and ecological function it needs to management strategies. Results of analysis for management strategies found that is conservation to preserve the mangrove ecosystem area (34%), managing the mangrove ecosystem as ecotourism (32%), conservation of mangrove land as aquaculture area (21%) and make local regulations for the management of mangrove ecosystems (13%) Key word
: mangrove ecosystem, degradation, sustainable use, management policy.
RINGKASAN MOCHTAR MUHAMMMAD TAHER, Kajian Potensi dan Pengelolaan ekosistem Mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. Dibimbing oleh M.MUKHLIS KAMAL dan ZAIRION Ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat mempunyai peranan penting bagi keberlanjutan kawasan pesisir dan laut di sekitarnya. Namun hal ini menjadi perhatian karena luasan ekosistem mangrove semakin berkurang dari tahun ke tahun akibat dari eksploitasi dan konversi untuk berbagai tujuan tanpa mempertimbangkan fungsi ekologis dan fungsi fisik dari ekosistem mangrove. Penelitian ini dilaksanankan selama 6 (enam) bulan yaitu mulai bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009, bertempat di ekosistem mangrove Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan saat ini, mengkaji potensi ekologis dan ekonomi dari ekosistem mangrove dan seberapa besar terjadinya pengurangan luasan mangrove selama kurun waktu 17 tahun. Sehingga dengan demikian akan diketahui seberapa besar tingkat kerusakan dan kemudian menentukan strategi pengeloaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Jailolo. Dari data diperoleh melalui sampling, pengamatan lapangan, data citra satelit dan informasi responden, hasil studi menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan luas hutan mangrove sebesar 187 ha dalam kurun waktu 17 tahun (1990-2007). Walaupun pengurangan luas hutan mangrove masih dalam jumlah yang kecil, namun untuk tetap mempertahankan keberlanjutan dan fungsi ekologisnya maka perlu dilakukan strategi pengelolaan sebelum terjadi pengurangan jumlah yang lebih besar lagi. Hasil analisis untuk strategi pengelolaan didapatkan hasil yaitu konservasi untuk tetap mempertahankan luas ekosistem mangrove (34%), mengelola ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata (32%), konservasi lahan mangrove sebagai kawasan budidaya (21%) dan membuat peraturan daerah untuk pengelolaan ekosistem mangrove (13%) Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data, diketahui bahwa tingkat pengambilan cerucuk adalah 32.400 batang / tahun dengan nilai manfaat langsung Rp.113.400.000,- sedangkan untuk pengambilan kayu bakar adalah sebesar sebesar 8.388 ikat pertahun, dimana pada satu ikat kayu terdiri dari 12 batang dengan nilai manfaat langsung pertahun sebesar Rp.58.716.000,-. Berdasarkan tabulasi data dan perhitungan persentase tentang persepsi masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan didapatkan nilai rata – rata 54,61 % dengan demikian maka persepsi masyarakt tentang pengelolaan ekosistem adalah baik. Walaupun melalui perhitungan kuisioner termasuk nilai baik, namun nilai ini juga merupakan nilai yang memprihatinkan, karena apabila nilai rata-ratanya dibawah 50%, maka maka nilai ini sudah masuk pada kategori kurang baik. Kata Kunci
: Ekosistem mangrove, degradasi, pemanfaatan berkelanjutan, manejemen kebijakan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. pendidikan, penelitian, a. Pengutipan hanya untuk kepentingan penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN POTENSI DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KECAMATAN JAILOLO SELATAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT
MOCHTAR MUHAMMAD TAHER
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
Judul Tesis
: Kajian Potensi dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat
Nama
: Mochtar Muhammad Taher
NIM
: C252070161
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua
Ir. Zairion, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 28 September 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulisan tesis dengan judul Kajian Potensi dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa
Bapak
Ir.
Zairion,
terima kasih
Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc
yang sebesar-besarnya kepada dan
penulis sampaikan
M.Sc
selaku
komisi
pembimbing
serta
Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi SPL atas semua perhatian, bimbingan dan arahan sehingga terselesaikannya tulisan ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ternate atas izin, tugas belajar dan
bantuan
Pemerintah Daerah Kota
dana pendidikan , Pemerintah
Daerah Halmahera Barat serta Pemerintah Provinsi Maluku atas bantuan dana penelitian selama penulis menempuh terima kasih juga disampaikan
pendidikan
kepada
Pascasarjana. Ungkapan
kedua orang tuaku
tercinta
Drs. Lutfi Muhammad Taher (Almarhum) dan Ibu Nuraini Lutfi , Isteri dan anakku tercinta Alwiah Alhadar, SE dan Muhammad Zaky Amani serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan motivasi yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 7 Agustus 1975 di Jailolo Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara dengan Ayah Drs. Lutfi Muhammad Taher (almarhum) dan Ibu Nuraini Lutfi. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah Dasar di SD Islamiyah III Ternate pada tahun 1987, kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri I Ternate dan selesai pada tahun 1990. Tahun 1993 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 4 Ternate. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate, pada Fakultas Pertanian,
Jurusan
Manajemen
Sumberdaya
Perikanan
(MSP)
Penulis
menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis diterima dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kota Ternate dan ditempatkan pada Dinas Kelautan dan Perikanan, kemudian pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan tugas belajar untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah Kota Ternate.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
..................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR
..................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
v
1. PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang ...................................................................................... Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan dan Manfaat ............................................................................... Kerangka Pemikiran ..............................................................................
1 2 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Mangrove ............................................................................... 2.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove ............................................................. 2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Mangrove .............................................. 2.4. Peranan Mangrove bagi Biota laut ...................................................... 2.5. Asosiasi Mangrove Dengan Biota Laut ................................................. 2.6. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove.......... 2.7. Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove ................................................. 2.8. Kerusakan Ekosistem Mangrove .......................................................... 2.9. Pentingnya Pengelolaan Ekosistem Mangrove..................................... 2.10.Masyarakat Pesisir .............................................................................. 2.10.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir ................................................ 2.10.2. Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Hutan Mangrove ........... 2.10.3. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove …………………………………………. 2.11. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove .......................................
6 7 8 10 11 11 15 19 22 22 22 23 24 25
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 3.2. Metode Pengumpulan Data ................................................................... 3.2.1. Data Primer ................................................................................... 3.2.2. Data Sekunder ............................................................................. 3.3. Data Sosial Ekonomi Masyarakat dan Strategi Pengelolaan ………… 3.4. Analisa Data ........................................................................................... 3.4.1. Analisis Ekologis Mangrove........................................................ 3.4.2. Analisis Data Luasan Mangrove ................................................. i
27 27 29 30 30 31 31
3.4.3. Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove .................................
35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 4.1.1. Kondisi Fisik Wilayah.................................................................. 4.1.2. Penggunaan Lahan....................................................................... 4.1.3. Kependudukan ............................................................................ 4.1.4. Kondisi Fisik Kecamatan Jailolo ................................................. 4.1.5. Pasang Surut …………………………………………………… 4.1.6. Aksesibilitas …………………………………………………… 4.1.7. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat …………………………..
36 36 37 37 39 41 42 42
4.2. Ekosistem Mangrove.............................................................................. 4.2.1. Luas Ekosistem Mangrove Kecamatan Jailolo Selatan……….... 4.2.2. Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove di Lokasi Penelitian … 4.2.3. Kerapatan Jenis, Frekuensi Jenis dan Penutupan Jenis ………. 4.2.4. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Lokasi Penelitian …………... 4.2.5. Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi ………………..
43 43 48 51 53 54
4.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Ekosistem Mangrove ...........................
56
4.4. Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar ……………………………….
57
4.5. Strategi Pengelolaan Ekosistem mangrove…………….........................
58
4. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... LAMPIRAN ......................................................................................................
ii
61 66
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove ....... 18 2. Contoh beberapa alternatif pengelolaan ekosistem mangrove ……….. 25
3. Titik lokasi pengambilan sampel ……………………………………... 28 4. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin................................. 38 5. Jumlah, kepadatan dan distribusi penduduk …………………………..
39
6. Rangkuman data klimatologi tahunan...........................................
40
7. Penurunan jumlah luas hutan mangrove……………………………..
44
8. Komposisi jenis mangrove yang terdapat pada lokasi penelitian.......
49
9. Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun I…………….
49
10. Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun II…………….
50
11. Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun III……………. 50 12. Analisis vegetasi mangrove di stasiun I ...…………………………….. 52 13. Analisis vegetasi mangrove di stasiun II ……………………………… 52 14. Analisis vegetasi mangrove di stasiun III …………………………… 53 15. Keanekaragaman jenis, dominasi jenis dan keseragaman mangrove di stasiun I ……………………………………………….. 55 16. Keanekaragaman jenis, dominasi jenis dan keseragaman mangrove di stasiun II ……………………………………………….. 55 17. Keanekaragaman jenis, dominasi jenis dan keseragaman mangrove di stasiun III ……………………………………………….. 55 18. Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove………. 57
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian ..............................................................
5
2. Lokasi Penelitian ..........................................................................
27
3. Skema penempatan petak contoh……………………………………
28
4. Prediksi sirkulasi pasang surut bulan September 2009……………….
41
5. Peta penyebaran dan luas mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan tahun 2007…………………………………………………………….
45
6. Peta penyebaran dan luas mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Tahun 2001 …………………………………………………………..
46
7. Peta penyebaran dan luas mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Tahun 1990 ……………………………………………………………. 47 8. Goal Skenario Keputusan .................................................................
58
9. Respect goal skenario keputusan terhadap pemerintah masyarakat dan LSM .............................................................................. 58 10. Skenario Pengelolaan Ekosistem Mangrove………………………... 59
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Tabel inventarisasi survey mangrove ..................................................
2.
Tabel Isian Pengamatan Parameter Fisik Dan Kimia Ekosistem Mangrove………………………………………………..
3.
66
67
Tabel isian pengamatan terhadap fauna teresterial dan fauna aquatik yang ditemukan .....................................................
67
4.
Pedoman wawancara penelitian ekosistem mangrove ...................
68
5.
Tabel Isian Manfaat Langsung Kayu Bakar ..................................
73
6.
Hasil pengamatan dan pengukuran pada stasiun I ………………...
74
7.
Hasil pengamatan dan pengukuran pada stasiun II ………………..
76
8.
Hasil pengamatan dan pengukuran pada stasiun III………………..
78
9.
Komposisi jenis fauna akuatik di Kecamatan Jailolo Selatan ..........
80
1 0 . Jenis jenis mangrove yang ditemukan dilokasi penelitian …………
82
1 1 . Pengambilan Data di Lokasi Penelitian ………………………….....
84
1 2 . Goal skenario keputusan ……………………………………………
85
1 3 . Hirarki strategi pengelolaan ekosistem mangrove …………………
87
1 4 . Matriks perbandingan pengelolaan ekosistem mangrove ………….
88
v
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki peranan yang sangat penting bagi
lingkungan pesisir, baik dari segi fisik, ekologis, dan ekonominya. Oleh karena nilai sosial ekonominya, maka ekosistem mangrove banyak dimanfaatkan dan dikonversi untuk berbagai keperluan (DKP 2007).
Menurut Tarigan (2008)
Perairan Indonesia dengan garis pantai lebih dari 80.000 km mempunyai hutan mangrove sangat luas yaitu 4,2 juta ha.
Hutan mangrove umumnya terdapat di
seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang air (pasang surut) yang merembes pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai. Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis penting sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin, tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lainlain. Mengingat nilai ekonomis pantai dan hutan mangrove yang tidak sedikit, maka kawasan ini menjadi sasaran berbagai aktivitas yang bersifat eksploitatif (IUCN 2007) Kecamatan
Jailolo Selatan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten
Halmahera Barat yang memiliki luas mangrove cukup besar jika dibandingkan dengan Kecamatan lainnya di Kabupaten Halmahera Barat. Seiring dengan berkembangnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun maka sebagian mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan akhir-akhir ini telah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, dan lokasi pembangunan lainnya. Walaupun belum ada data yang akurat tentang luasan mangrove yang telah dikonversi untuk berbagai kepentingan, tapi berdasarkan informasi dari masyarakat setempat serta pengamatan langsung dilapangan menunjukan bahwa aktifitas-aktifitas maupun fasilitas yang dibangun tersebut berada pada kawasan sekitar mangrove. Selain itu pada beberapa lokasi terjadinya
2
eksploitasi oleh penduduk sekitarnya untuk keperluan pembangunan perumahan dan untuk kebutuhan kayu bakar. Kejadian seperti ini apabila dibiarkan serta tidak dibatasi dan tidak dikelola dengan baik maka dikhawatirkan dalam jangka waktu yang lama, hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan akan habis. Habisnya hutan mangrove ini tentunya akan mengganggu keseimbangan ekologi pada wilayah pesisir di sekitarnya. Dari hasil pengamatan secara langsung di lokasi penelitian menunjukan bahwa mangrove yang ada di Kecamatan Jailolo Selatan pada beberapa tempat tertentu lebih didominasi oleh jenis anakan. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pemanfaatannya cukup tinggi sehingga mangrove jenis pohon hanya sedikit yang terlihat dibandingkan dengan jenis anakan. Sampai dengan saat ini, penelitian-penelitian mengenai ekosistem mangrove di Kabupaten Halmahera Barat pada umumnya dan khususnya pada Kecamatan Jailolo Selatan masih sangat sedikit. Penelitian-penelitian tersebut hanya sebatas pada analisa vegetasi dan zonasi hutan mangrove. Penelitian yang terfokus pada mengkaji potensi untuk pengelolaan
ekosistem mangrove, termasuk
ekologi dan ekonominya sampai saat ini belum dilakukan.
kajian
Menyadari akan
pentingnya fungsi dan manfaat ekosistem mangrove, baik langsung maupun tidak langsung maka ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan perlu dikaji potensinya saat ini dan selanjutnya ditentukan strategi pengelolaan untuk keberlanjutannya.
1.2. Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Jailolo Selatan dari tahun ke tahun dan berkembangnya pembangunan daerah
mendorong
pemanfaatan sumber daya alam pesisir secara langsung
yang
adanya berlebihan
termasuk mangrove. sehingga luasan mangrove dengan cepat menjadi berkurang. Permasalahan ini terlihat nyata dari berubahnya status mangrove menjadi lahan pemukiman, pertambakan dan lokasi pembangunan daerah berupa jalan dan sarana lainnya. Melalui berbagai kegiatan dan eksploitasi yang berlangsung di sekitar ekosistem mangrove maupun di sekitarnya, pada akhirnya akan menekan keberadaan ekosistem mangrove dan ekosistem lainnya yang berada dikawasan pesisir. Tingkat kerusakan dan konversi lahan vegetasi mangrove sebagian besar
3
disebabkan oleh penebangan untuk kepentingan rumah tangga seperti kayu bakar, bahan bangunan rumah penduduk, dan konversi lahan untuk pertambakan. Berbagai dampak negatif yang mulai dirasakan oleh masyarakat Kecamatan Jailolo selatan khususnya pada daerah sekitar hutan mangrove diantaranya adalah pada tempat – tempat tertentu apabila terjadi air pasang maka kenaikan muka air laut sudah melebihi dari batas sebelumnya. Selain itu apabila pada waktu terjadinya musim ombak besar, air laut dengan mudah masuk sampai mendekati pemukiman penduduk. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove serta kurangnnya pemahaman mereka tentang fungsi dan
manfaat
mangrove
merupakan
salah
satu
masalah
dalam
usaha
menyelamatkan ekosistem mangrove. Oleh karena itu maka beberapa permasalahan yang perlu dikaji adalah: 1) Belum tersedianya data dan informasi mengenai kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan saat ini yang meliputi data vegetasi, luas mangrove, potensi, dominasi jenis dan keragaman jenis. 2) Seberapa besar tingkat kerusakan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan 3) Belum adannya alternatif pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Jailolo Selatan. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui
kondisi
ekosistem
mangrove
saat
ini
di
Kecamatan
Jailolo Selatan. 2) Menganalisis tingkat kerusakan dan mengkaji potensi ekosistem mangrove pada Kecamatan Jailolo Selatan. 3) Menentukan alternatif pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dasar dan bahan masukan bagi Pemerintah Daerah, masyarakat dan stakeholders di Kabupaten Halmahera Barat dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
4
1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian Keberadaan mangrove di Kecamatan Jailolo selatan mempunyai fungsi dan manfaat yang besar terhadap kelestarian lingkungan pesisir disekitarnya, tetapi didalam pemanfaatan dan penggunaan lahan baik oleh masyarakat sekitarnya maupun kegiatan pembangunan daerah setempat kurang memperhatikan dampakdampak yang akan terjadi terhadap ekosistem mangrove. terjadinya
pengurangan
luas
mangrove
di
Kecamatan
Hal ini berakibat Jailolo
Selatan.
Pengurangan luas mangrove ini terjadi akibat dari kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan mangrove secara langsung untuk kepentingan kayu bakar, perahu, tiang rumah, pembukaan areal pemukiman, budidaya tambak dan pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Jailolo Selatan (75%) bermukim pada kawasan pesisir akan mendorong terus tingkat pemanfaatan dan eksploitasi sumberdaya yang ada di kawasan pesisir. Pemanfaatan yang berlebihan akan mengakibatkan ekosistem mangrove mengalami kerusakan . Pada dasarnya konversi dan pemanfaatan mangrove tidak terlepas dari maksud untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Namun disatu sisi untuk pertimbangan jangka panjang maka kegiatan tersebut harus tetap memperhatikan aspek ekologis yang mempunyai peranan sangat penting. Melihat dari permasalahan permasalahan yang terjadi di Kecamatan Jailolo Selatan, maka perlu di lakukan penelitian untuk mengkaji potensi yang meliputi sumberdaya mangrove, parameter biofisik mangrove, dan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Adapun output yang dihasilkan dari seluruh rangkaian penelitian ini adalah rekomendasi untuk strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Jailolo Selatan (Gambar 1).
5
Ekosistem Mangrove Kecamatan Jailolo Selatan
Pemanfaatan dan Eksploitasi
Manfaat Penting Terhadap Lingkungan Pesisir
Masyarakat
Pembangunan Daerah
Pemerintah
Degradasi Ekosistem Mangrove
Kajian Potensi
Sumberdaya Mangrove
Parameter Biofisik Mangrove
Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Ekosistem Mangrove Yang Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.
Sosial Ekonomi Masyarakat
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Mangrove Asal kata "mangrove" menurut Macnae (1968) dalam Noor et al. (1999) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu,
menurut Mastaller (1997)
dalam Noor et al. (1999) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangimangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Melana et al. (2000) mendefenisikan mangrove adalah sebuah tipe hutan yang tumbuh disepanjang pantai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, berada pada wilayah pantai yang dangkal serta meluas sampai pada sungai yang kadar airnya agak asin, serta saling berinteraksi dan berasosiasi dengan aquatic fauna, faktor-faktor sosial dan fisik dari lingkungan pantai. Kathiresan dan Bingham (2001) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Pada dasarnya,
menurut
Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui tentang komunitas mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang tidak termasuk mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove. Selain itu Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan pasang surut)
hutan
bakau,
yang
merupakan
karakteristiknya terdapat di daerah tropika.
formasi
tumbuhan
litoral
yang
7
2.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove Menurut Mukhtasor (2007) secara ekologis hutan mangrove mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi bermacam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil, dan berkembang biak. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa, baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara, penghasil sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomis, vegetasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tannin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut serta penyerap logam berat dan pestisida yang mencemari laut. Akar mangrove, jenis Avicennia marina (biasa disebut dengan pohon apiapi), dapat digunakan sebagai indikator biologis pada lingkungan yang tercemar logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui monitoring secara berkala
(MacFarlane et al. 2003). Spesies Avicennia
menunjukkan toleransi yang lebih besar dan dapat mengakumulasi banyak jenis logam berat daripada spesies mangrove yang lain (Thomas dan Eong, 1984; Peng, et al., 1997; dalam MacFarlane et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan oleh MacFarlane et al. (2003), bahwa peningkatan akumulasi logam ini dikarenakan adanya translokasi penyerapan udara melalui lenti sel ke akar. Selain itu, penurunan pH sedimen ditemukan dapat meningkatkan akumulasi logam pada akar avicennia. Peningkatan konsentrasi logam berat pada sedimen menghasilkan tingkat akumulasi logam berat yang lebih besar juga pada akar dan daun avicennia. Yim dan Tam (1999) dalam MacFarlane et. al (2003), menemukan bahwa hanya sedikit logam berat yang terakumulasi pada daun dan banyak yang terserap dan terakumulasi di batang dan akar avicennia. Pada akar, Cu dapat terakumulasi 1,66 kali lebih besar daripada yang terkandung pada sedimen. Sedangkan Zn terakumulasi pada akar 1,21 kali lebih besar dari pada yang terkandung pada sedimen.
8
Liyanage (2004) mengemukakan bahwa nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan manfaat langsungnya, antara lain menurunkan tingkat erosi dipantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi pencemaran produksi bahan organik, sebagai sumber makanan, sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan beberapa biota jenis biota laut. Menurut Melana et al. (2000)
terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove
ditinjau dari ekologi dan ekonomi yaitu : 1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan ,udang dan kepiting serta mendukung produksi perikanan diwilayah pesisir. 2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan hewan estuari dan peraira pesisir. 3) Mangrove melindungi daerah sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan. 4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik didaerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam air. 5) Dari segi estetika mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis satwa-satwa lainnya. 6) Mangrove merupakan sumber untuk bahan bakar kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih dapat dipanen dan dijual, ikan, udang dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung pada untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sebagai sumber tannin, alkohol dan obat-obatan.
2.3.
Zonasi dan Struktur Vegetasi Mangrove Menurut Noor et al. (1999) mangrove pada umumya tumbuh dalam 4
(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing - masing zona diuraikan sebagai berikut :
9
a) Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur. b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum dan X moluccensis. c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir
tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan. d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove sebenamya. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Ficus retusa, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus moluccensis. Menurut Bengen (2001)
penyebaran dan zonasi hutan mangrove
tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : -
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
-
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
-
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
10
-
Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
2.4.
Peranan Mangrove Bagi Biota Laut Clark (1996) mengemukakan bahwa secara ekologis,
ekosistem
mangrove memainkan peran penting di daerah pesisir. Peran yang sangat menonjol adalah mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Mangrove disamping melengkapi pangan untuk biota laut, juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk biota tersebut, dimana sebagaian besar biota laut (ikan, udang dan kepiting) yang bernilai ekonomis penting hidup di daerah mangrove. Menurut Parawansa (2007)
gambaran umum mengenai peranan suatu
habitat mangrove bagi biota laut dapat dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah vegetasi (termasuk kotoran sisa/ tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove. Kusmana (2000) mengemukakan bahwa Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas alga di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan laut, dan limbah organik terlarut (dissolvedorganic compound) dari laut dan daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove. Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat dilihat dari produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali lipat produktivitas- Serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7 ton/ha per tahun. Kondisi habitat mangrove seperti ini mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.
11
Sebagian besar hutan mangrove mempunyai toleransi yang rendah terhadap garam, tetapi pada daerah mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar mangrove dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam (Ball et al. 1997) 2.5.
Asosiasi Mangrove Dengan Biota Laut Menurut Saravanan et al. (2008) mangrove adalah daerah perikanan yang
lebih subur, mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan dari dataran lumpur dan dapat dimanfaatkan oleh hewan-hewan laut seperti ikan kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Mangrove selain melengkapi kebutuhan pangan untuk biota laut, juga mampu untuk menciptakan iklim yang cocok untuk biota tersebut. Sebagian besar jenis biota laut (ikan udang dan kepiting) yang bernilai ekonomis penting hidup didaerah mangrove. Nontji (2007) juga mengemukakan bahwa daun mangrove yang gugur segera menjadi bahan makanan berbagai jenis hewan air atau dihancurkan terlebih dahulu oleh bakteri dan fungi (jamur) dan kemudian menjadi bahan penting bagi cacing, krustasea. Selain itu beberapa produk perikanan di indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting berhubungan erat dengan ekosistem mangrove, seperti udang (Penaeus), kepiting (Scylla serrata)
dan tiram
(Crassostrea) selain itu ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove, misalnya bandeng dan belanak 2.6. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove Dahuri (2003) mengindentifikasi beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove yaitu: 1) Konversi kawasan hutan mangrove secara tak terkendali menjadi tambak,
pemukiman, dan kawasan industri. 2) Terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kegiatan pembangunan. 3) Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan
lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (renewable capacity). 4) Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri, dan rumah tangga.
12
5) Pengendapan akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang baik. 6) Proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur
hara) ke dalam ekosistem hutan mangrove. 7) Proyek pembangunan yang dapat menghalangi atau mengurangi sirkulasi
arus pasang surut. Sedangkan Kusmana (2005) bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove
(struktur, fungsi, komposisi dan distribusi
spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut: 1)
Fisiografi pantai Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.
2) Iklim
a. Cahaya Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal
bagi
mangrove.
Kisaran
intensitas
cahaya
optimal
pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari.
untuk
Pada saat
masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan: – Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit
Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata. – Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera
gymnorrhiza. – Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit
Rhizopora
mucronata,
Rhizophora
apiculata
dan
Bruguiera
gymnorrhiza. b. Curah hujan Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies
13
mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan rata-rata 1500 – 3000 mm/thn. c. Suhu udara Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi. d. Angin Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan
karakteristik
fisiologis
abnormal,
namun
demikian
diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman. 3) Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. 4) Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang. 5) Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur didaerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh didaerah dengan salinitas yang tinggi. 6) Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan
14
dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar antara 1,7 - 3,4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya 4,4 mg/1. 7) Tanah
Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut. 8) Nutrient
Nutrient mangrove dibagi atas nutrient in-organik dan detritus organic. Nutrient in-organic penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic melalui beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari authochathonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochathaonous (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut). 9) Proteksi
Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari gelombang, yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dll. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa factor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut.
15
Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1981) dalam Bengen (2004) dibagi sebagai berikut: a) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ppt: -
Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh.
-
Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marinna), Sonneratia sp. dan Dominan Rhizophora sp.
-
Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp, Bruguiera sp.
-
Area yang tergenang hanya beberapa dalam setahun, Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup.
b) Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0 -10 ppt : -
Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi Nipah.
-
Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan.
2.7 . Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove Menurut Supriharyono (2000) bahwa faktor-faktor pembatas lingkungan mangrove diantaranya adalah berupa faktor fisika kimia dan adanya aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya yaitu: 2.7.1. Faktor Fisika Kimia Mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi yang tinggi. Mereka tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan tinggi, fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anaerob (tanpa udara). Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akarakarnya. Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar mereka dari atmosfer. Walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkugan yang buruk, akan tetapi mangrove
16
mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik kimia di lingkungannya. 2.7.2. Aktivitas Manusia a. Pencemaran Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan. b. Konversi Lahan Hutan (1) Budidaya Perikanan Konversi mangrove untuk bididaya perikanan, terutama untuk tambak ikan menyebabkan terdegradasinya mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas. (2) Pertanian Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas sawah dan perkebunan kelapa. Ini
dilakukan oleh penduduk dikawasan
pesisir. (3) Jalan Raya, Industri serta Jalur dan Pembangkit Listrik Area mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. Industri perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga telah mengkonversi hutan ini dalain areal yang cukup luas. (4) Produksi Garam Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini
17
merupakan areal mangrove yang dikonversi yang tingkat kerusakannya bersifat bersifat irreversible. (5) Perkotaan Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi pemukiman, mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain. (6) Pertambangan Pertambangan, terutama minyak bumi cukup banyak dilakukan di areal mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran dan pemukiman pekerja.
Minyak yang mencemari
mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove. (7) Penggalian Pasir Penggalian
pasir
menyebabkan
kerusakan
pada
ekosistem
mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas c. Penebangan (Pemanenan Hasil Hutan) Yang Berlebihan Penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar mangrove. Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove dapat dilihat pada tabel 1:
18
Tabel 1. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove
No
Kegiatan
Dampak potensial
1.
Tebang habis
a. berubah komposisi tumbuhan mangrove b. tidak berfungsi daerah mencari makanan dan pengasuhan
2.
Penggalian alian air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi
a. peningkatan salinitas mangrove b. menurun tingkat kesuburan hutan
3.
Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman dan lain-lain.
a. mengancam regenerasi stok ikan dan
4.
Pembuangan sampah cair
a. Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S
5.
Pembuangan sampah padat
a. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat
6.
Pencemaran minyak tumpahan Penebangan dan ekstraksi mineral, baik didalam hutan maupun didaratan sekitar mangrove
a. Kematian pohon mangrove
7.
Sumber: Bengen, (2001)
udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove b. terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove c. pendangkalan perairan pantai d. erosi garis pantai dan intrusi garam.
a. Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga memusnahkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan). b. Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.
19
2.8. Kerusakan Ekosistem Mangrove Menurut Saparinto (2007) Beberapa hal utama yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem mangrove adalah: a. Tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. b. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lalu yang bersifat sangat sektoral c. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove d. Kemiskinan masyarakat pesisir. Lebih lanjut dikemukakan oleh Saparinto (2007)
tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi yaitu: a. Rusak berat, yaitu ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam suatu wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan menurunnya kualitas tanah. b. Rusak sedang, yaitu ditandai dengan masih sedikit hutan mangrove dalam suatu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan intrusi air laut yang terjadi tidak terlalu parah. c. Tidak rusak, yaitu kondisi hutan mangrove masih terjaga dengan baik dan lestari. Sedangkan sebab-sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia adalah : a.
Penambangan mineral Penambangan mineral, telah berkembang di kawasan pesisir Penambangan dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ke dan dalam mangrove. Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat. Terhentinya sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan
20
pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktivitas dan kernampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula produktivitas ikan. b.
Pembelokan aliran air tawar Mangrove untuk hidupnya tidak mutlak memerlukan air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini keperluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali. Aliran air tawar ke mangrove mungkin diubah oleh berbagai kegiatan di daerah hulu. Perubahan perubahan dalam pemanfaatan lahan pertanian dan lahan hutan (misalnya pembalakan) dapat mengubah volume, waktu dan kualitas air yang memasuki mangrove. Jalan - jalan yang dibuat tegak lurus terhadap arah aliran air tawar dapat mengganggu proses-proses yang berjalan dalam ekosistem mangrove.
Efek yang paling merusak adalah pengurangan
masukan air secara besar-besaran yang disebabkan oleh penggunaan air oleh manusia, seperti pembelokan aliran air dari daerah hulu melalui saluran irigasi. Sama halnya kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan volume dan keteraturan aliran air secara besar-besaran (misalnya bendungan dan pengatur banjir) mempunyai dampak yang merusak. c.
Eksploitasi Hutan Eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran yang dilakukan untuk keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksploitasi ini dilakukan dengan tebang habis. Kegiatan eksploitasi hutan mangrove perlu dilakukan secara hati-hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalah ekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
d.
Konversi Lahan Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian
21
dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif. Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan pantai dan sekitarnya. selain itu kehadiran saluran-saluran drainase dapat mengubah sistem hidrologi air tawar didaerah mangrove yang masih utuh yang terletak kearah laut dan hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif. e.
Tumpahan Minyak Angkutan minyak bumi dan hasil-hasil olahannya dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur-jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove (misalnya Selat Malaka) dan kebocoran serta pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negatif yang nyata terhadap mangrove. Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan (pepagan, akar tunjang, akar napas) yang mempunyai fungsi dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohon-pohon mangrove di tempat tempat yang paling berpengaruh terjadi 4 - 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racunyang terkandung dalam minyak.
f.
Pembuangan Limbah Kegiatan pertanian, Agro industri, industri kimia dan rumah tangga menghasilkan limbah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut akan membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik, yang terdapat didalam juga, tetapi kehadiran dalam jumlah yang berlebihan dalam lingkungan aquatik, menyebabkan bahan itu tidak dapat terurai secara alami, dan
g.
Kebakaran Hutan
22
2.9. Pentingnya Pengelolaan Ekosistem Mangrove Vannucci
(2004)
mengemukakan bahwa
pengelolaan sumber daya
ekosistem mangrove secara berkelanjutan sangat signifikan untuk dilaksanakan secara
serius.
Apabila hal ini tidak diperhatikan dengan baik maka akan
berdampak negatif tidak hanya pada ekosistem mangrove saja tetapi ekosistem pesisir sekitarnya serta dapat memepengaruhi sistem pesisir secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena mangrove merupakan komponen utama
yang
melindungi pesisir tropis serta mempunyai peranan fisik, kimia dan biologi yang sangat penting.
Selanjutnya menurut Moberg dan Ronnback (2003)
dalam
Alongi (2009), ekosistem mangrove menyediakan sejumlah besar barang dan jasa bernilai sosial ekonomi yang dimanfaatkan oleh manusia, baik secara komersial maupun untuk kepentingan langsung hidup manusia. 2.10. Masyarakat Pesisir 2.10.1.Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: a) Masyarakat Perairan, yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak hidup dilingkungan perairan daripada darat, berpidah- pindah dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil. b) Masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat. c) Masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut. Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau
23
peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada pengetahuan lautan. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997)
dibedakan
menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan sebagai nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai. Kusumastanto
(2002)
memberikan
gambaran
karakteristik
umum
masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak rusak. 2.10.2 Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Hutan Mangrove Menurut Raharjo (1999) dalam Tuwo (2011) kemiskinan adalah ciri yang sangat menonjol dari kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya nelayan. Secara umum
nelayan lebih miskin dibandingkan petani. Hal ini
terutama disebabkan oleh : 1) Tantangan alam yang dihadapai oleh nelayan sangat berat termasuk faktor musim 2) Pola kerja yang homogen dan bergantung hanya pada satu sumber penghasilan 3) Keterbatasan penguasaan modal, perahu dan alat tangkap 4) Keadaan pemukiman perumahan yang tidak memadai 5) Karakteristik sosial ekonomi belum mengarah pada sektor jasa lingkungan
24
2.10.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Menurut Wardojo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung pembangunan, biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak
rakyat untuk ikut
menentukan arah dan tujuan pembangunan di wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil dari pembagunan. Tulungen et al. (2003) berpendapat bahwa dalam mengembangkan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat, rasa kepemilikan dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya pesisir mereka perlu dikembangkan.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa sistem
pengelolaan yang sentralistik tidaklah efektif dalam mengelola sumberdaya pesisir pada suatu tatanan yang berkelanjutan.
Kepemilikan dan tanggung jawab
masyarakat atas sumberdaya mereka sendiri. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat juga merupakan satu proses pemberdayaan masyarakat pesisir secara politik dan secara ekonomi sehingga mereka dapat mempertegas haknya dan memperoleh akses yang benar dan kontrol dalam pengelolaan atas sumberdaya pesisir mereka. Idealnya,
prakarsa dan usaha
menggerakkan proses ini haruslah datang dari masyarakat itu sendiri. Biasanya, dengan kondisi masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengawali suatu proses perubahan dari diri mereka sendiri. Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat dikenal di beberapa daerah di Indonesia seperti di beberapa desa pesisir di Kabupaten Minahasa,
yang telah
mengembangkan rencana pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat, daerah perlindungan laut dan daerah perlindungan mangrove, serta aturan-aturan tingkat desa tentang pengelolaan
25
sumberdaya pesisir. Contoh lain juga dapat dikenal melalui pengelolaan mangrove di Sinjai, Sulawesi Selatan. 2.11. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang mernberlikan ruang kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 2
Tabel 2. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pilihan Pengelolaan Kawasan lindung Kawasan kehutanan subsistem
Kawasan hutan komersial Akua-silvikultur
Budidaya perairan semi-intensif
Budidaya perairan intensif Pemanfaatan hutan komersial dan budidaya perairan semi intensif Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan budidaya perairan semi intensif Konversi ekosistem mangrove Sumber : Adrianto (2004).
Deskripsi Larangan pemanfaatan produktif Pengelolaan kawasan hutan mangrove oleh masyarakat; pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi semi intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi intensif Pemanfaatan ganda dengan tujuan memaksimalkan manfaat dari hutan mangrove dan perikanan Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat lokal dan perikanan Konversi kawasan mangrove menjadi peruntukan lain
26
Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem/sistem/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agara fungsinya dapat lestari. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan.
27
3. METODE PENELITIAN 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan yaitu mulai bulan Juli
sampai dengan bulan Desember 2009 di ekosistem mangrove Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 2.
G.Pasir
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Kecamatan Jailolo Selatan)
3.1.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data meliputi data ekosistem mangrove dan luas hutan
mangrove, data vegetasi mangrove (jumlah, jenis dan diameter pohon mangrove), aspek fisika kimia lingkungan mangrove (suhu, salinitas, pH dan jenis substrat). Data luas hutan mangrove didapatkan dari Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1990, 2001 dan 2007. Penarikan sampel untuk data vegetasi dan aspek fisika kimia lingkungan mangrove terbagi atas 3 stasiun pengamatan, dimana pada masingmasing stasiun terdiri dari 2 jalur transek tegak lurus garis pantai ke arah darat. Pengambilan data vegetasi untuk tingkat semai (diameter < 2 cm) dilakukan pada petak 2 x 2 m2, pancang (diameter 2 - 10 cm) pada petak 5 x 5 m2, dan pohon
28
(diameter ≥ 10 cm) pada petak 10 x 10 m2 Sebagaimana terlihat pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Skema penempatan petak contoh (Bengen, 2004)
Data nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove dan tambak didapatkan melalui kuisioner yang diberikan kepada masyarakat. Data
sosial
ekonomi
dikumpulkan
melalui
data
observasi,
wawancara/kuisioner, diskusi dan penelusuran berbagai pustaka/dokumen. Data sosial ekonomi yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data penduduk dan riwayatnya, tingkat pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk, tingkat pemanfaatan mangrove oleh masyarakat, sarana prasarana, serta pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Untuk data strategi pengelolaan ekosistem mangrove, di ambil dari 5 responden terpilih yang diharapkan dapat memberikan masukan
dalam pengelolaan ekosistem
mangrove. 5 responden tersebut terdiri dari kalangan
pemerintah 2 orang,
masyarakat 2 orang dan LSM 1 orang Dalam Penelitian ini ada terdapat 6 titik pengambilan sampel yaitu : Tabel 3. Titik lokasi pengambilan sampel No
Jalur
Titik Pengambilan Sampel
Sampai Dengan
1
1 (satu)
127°30'4,671"E 0°52'55,256"N
127°30'5,23"E 0°52'48,816"N
2
2 (dua)
127°30'20,529"E 0°52'52,742"N
127°30'20,531"E 0°52'46,022"N
3
3 (tiga)
127°32'29,608"E 0°52'47,193"N
127°32'29,611"E 0°52'40,472"N
4
4 (empat)
127°32'42,683"E 0°52'47,758"N
127°32'42,963"E 0°52'41,318"N
5
5 (lima)
127°33'5,778"E 0°52'33,206"N
127°33'5,224"E 0°52'27,045"N
6
6 (enam)
127°33'21,909"E 0°52'43,013"N
127°33'21,911"E 0°52'36,572"N
29
3.2.1. Data Primer Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah : - Biofisik wilayah yang meliputi: luas lahan mangrove, jenis-jenis mangrove, kerapatan, frekuensi dan penutupan mangrove, kondisi ekologi ekosistem mangrove (aspek fisik, kimia dan biologi) - Identitas responden (umur, pendapatan, lama tinggal, tingkat pendidikan dan pekerjaan), kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan mangrove bagi masyarakat serta aktifitas masyarakat dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Data primer dikumpulkan melalui observasi, kuisioner dan wawancara terbuka langsung (open-ended) dilokasi penelitian. Untuk melakukan pengambilan sampel terhadap ekosistem mangrove, terlebih dahulu melakukan penentuan stasiun pengamatan. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus mewakili wilayah kajian, dan juga dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan kajian. Pengambilan contoh untuk data vegetasi dilakukan pada 4 lokasi / Desa, dimana pada setiap Desa terdiri dari 1 stasiun pengamatan dan pada setiap stasiun terdiri dari 3 lintasan. Pada masing masing stasiun pengamatan terdapat 3 lintasan dimana pada masing-masing lintasan terdapat petakan / kuadrat berukuran 10 x 10 meter. Jumlah kuadrat pada masing-masing lintasan disesuaikan dengan kondisi yang ada dengan maksimal 10 kuadrat pada tiap lintasan Penentuan contoh untuk data vegetasi ini digunakan metode garis berpetak, pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola yaitu: -
Pengambilan untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m dan diameter < 2 cm) dilakukan pada petak 2 x 2 meter,
-
Pancang/ Anakan (pemudaan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm) dilakukan pada petak 5 x 5 meter,
-
Pohon (diameter > 10 cm) dilakukan pada petak 10 x 10 meter.
30
Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masingmasing spesies yang ada dalam setiap petak atau plot contoh serta mengidentifikasi jenis mangrove dan mengukur diameter dan tinggi pohon. Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pancang dan semai serta jenis pohon, data diameter pohon (untuk tingkat pancang dan pohon) dan tinggi pohon (untuk tingkat semai). Adapun arah pengamatan tegak lurus dari pinggir laut atau pantai ke arah darat. Pengukuran parameter lingkungan (suhu, salinitas dan pH) dilakukan pada setiap jalur / lintasan pengukurannya dilaksanakan pada siang hari dengan menggunakan Thermometer. Pengukuran salinitas dilakukan pada saat surut dengan menggunakan Refraktometer, dan pengukuran pH dengan menggunakan pH meter. 3.2.2 Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti hasil penelitian sebelumnya, publikasi ilmiah, peraturan perundangan dan data data daerah yang sudah dipublikasikan.
Data-data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai
berikut : -
Kondisi geomorfologi Kecamatan Jailolo Selatan yang meliputi :Geologi, topografi,
-
Kondisi tanah dan kondisi substrat
-
Dinamika hidrooseanografi menyangkut karakteristik (tinggi) pasang surut, suhu dan salinitas
-
Kondisi sosial ekonomi budaya dan kelembagaan yang meliputi kependudukan, mata pencaharian, pendidikan dan tingkat ketergantungan terhadap ekosistem mangrove
3.3
Data Sosial Ekonomi Masyarakat dan Strategi Pengelolaan Data
sosial
ekonomi
dikumpulkan
melalui
data
observasi,
wawancara/kuisioner, diskusi dan penelusuran berbagai pustaka/dokumen. Data sosial ekonomi yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data penduduk dan riwayatnya, tingkat pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk, tingkat pemanfaatan mangrove oleh masyarakat, sarana prasarana, serta
31
pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Untuk data strategi pengelolaan ekosistem mangrove di ambil dari 5 responden terpilih yang diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove. 5 responden tersebut terdiri dari kalangan pemerintah 2 orang, masyarakat 2 orang dan LSM 1 orang. 3.4
Analisa Data
3.4.1 Analisis Ekologis Mangrove Pendekatan ekologis dalam kajian potensi dan pengelolaan ekosistem rnangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat pada penelitian ini menggunakan beberapa parameter ekologis (Bengen, 2004) yaitu: a) Kerapatan Jenis (Di), yaitu jumlah individu jenis i dalam suatu unit area yang diukur
Keterangan :
Di Ni A
= Kerapatan Jenis ke-i = Jumlah total individu dari jenis i = Luas area total pengambilan contoh
b) Kerapatan relatif jenis (RDi) yaitu perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah tegakan seluruh jenis (∑n)
Keterangan :
RDi Di
= Kerapatan relatif jenis ke-i (%) = jumlah tegakan jenis ke-i = Jumlah tegakan seluruh jenis
c) Frekuensi Jenis (Fi) adalah jumlah peluang ditemukan jenis i dalam petak Contoh/ Plot yang diamati
32
Keterangan :
Fi Pi
= Frekuensi jenis ke-i = jumlah petak contoh ditemukan jenis ke-i = Jumlah total petak contoh yang diamati
d) Frekuensi relatif jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis (Fi) dan jumlah frekuensi dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (∑F)
Keterangan :
RFi Fi
= Frekuensi relatif jenis (%) = Frekuensi jenis ke-i = Jumlah frekuensi seluruh jenis
e) Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area
Keterangan :
Ci BA
= = ð = DBH =
A
Penutupan jenis ke i ð DBH2 / 4 (dalam cm2) 3,14 Diameter pohon dari jenis ke i (cm) diameter batang diukur setinggi 1,3 m dari permukaan tanah = Luas areal total pengambila contoh
f) Penutupan relatif jenis (RCi) yaitu perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas total area seluruh jenis (∑C)
Keterangan :
RCi Ci
= Penutupan relatif jenis (%) = Luas area penutupan jenis ke-i = Luas total seluruh jenis
g) Nilai Penting Jenis Indeks Nilai Penting Jenis (INPi), adalah jumlah nilai kerapatan relatif, Frekuensi relatif (RFi) dan Penutupan relatif jenis (RCi)
33
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai peranan ataupun pengaruh suatu jenis mangrove pada lokasi penelitian Indeks Keanekaragaman Untuk menentukan keanekaragaman jenis yang ada disekitar ekosistem mangrove (Odum, 1993) adalah :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener N = Jumlah total individu dalam komunitas ni = Jumlah individu spesies atau jenis ke i pi = Proporsi individu spesies ke i (ni/N) I
= 1,2,3, ..............,s
s
= Jumlah genera
Keseragaman Untuk mengetahui keseragaman jenis maka dipakai metode (Odum, 1993) adalah :
E = Indeks keseragaman H’ = Indeks keanekaragaman s = Jumlah genera Dari perbandingan ini, didapat suatu nilai yang besarnya 0 dan 1, yang bermakna : (1) Semakin kecil indeks keseragaman (E) akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, artinya bahwa penyebaran jumlah individu setiap
spesies
mendominasi populasi tersebut dan (2) semakin besar nilai indeks keseragaman (E) maka populasi menunjukan keseragaman, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda nyata Odum (1971), dalam Schaduw (2008).
34
Dominasi Dalam menghitung dominasi jenis mangrove digunakan Indeks Simpson (Krebs, 1989) yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Keterangan : D Pi ni N i s
= = = = = =
Indeks Dominasi ni / N Jumlah individu spesies ke i Jumlah total individu semua spesies 1,2,3....................., s Jumlah genera
Nilai D berkisar antara 0 – 1. Jika Nilai D mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendekati, Dan jika nilai D mendekati 1, berarti ada salah satu genus atau spesies yang mendominasi.
3.4.2. Analisis Data Luasan Mangrove Untuk menghitung luas mangrove yang ada pada Kecamatan Jailolo Selatan, digunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dari tahun 2007, tahun 2001 dan tahun 1990. Untuk melihat perubahan luasan mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat dengan kombinasi warna RGB 542. Tahapan pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ meliputi: (1) koreksi geometrik, (2) koreksi radiometrik, dan (3) intepretasi tutupan lahan mangrove. kemudian diolah dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan software ArcView 3.3. Analisis spasial ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau deskripsi spasial wilayah pesisir Kecamatan Jailolo Selatan serta melihat luasnya penyebaran mangrove.
35
3.4.3. Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam analisis pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab permasalahan dalam pengelolaan secara deskriptif melalui wawancara kuisioner. Metode analisis data digunakan untuk mengidentifiksi dan menganalisis kebijakan yang telah dilakukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan adalah dengan menggunakan metode AHP (Analytic Hierarchy Process) yang mengacu pada Saaty (1993). Menurut Marimin dan Maghfiroh (2010), Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel
diberi nilai numerik secara
subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variael yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan breperan untuk mempengaruhi pada hasil tersebut.
Selanjutnya Forman and Selly (2002)
mengemukakan bahwa tahap-tahap dalam menganalisis AHP dapat diproses dengan meggunakan bantuan software expert choice 2000.
36
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Jailolo Selatan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten
Halmahera Barat yang secara geografis terletak diantara 10 06’ Lintang Utara sampai 00 46’ Lintang Selatan dan 1250 18’ Bujur Timur sampai 1270 12’ Bujur Timur.
Secara administratif, Kecamatan Jailolo Selatan memiliki batas-batas
sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sahu.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Tengah
Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Jailolo.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jailolo dan Laut Maluku. Kecamatan Jailolo Selatan mempunyai luas wilayah sekitar 3.33372,29
Ha dan berdasarkan data tahun 2007 Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari 18 Desa. Sedangkan jumlah desa yang berada pada wilayah pesisir ada 7 Desa.
4.1.1. Kondisi Fisik Wilayah 4.1.1.1. Topografi Kondisi fisiografi Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari 22.233,1 Ha berupa bukit/gunung, perbukitan seluas 6.311,2 Ha, dataran tinggi seluas 2.642 Ha, dan daratan pantai seluas 2.186 Ha. Bila dilihat dari kemiringan lahan maka Kecamatan Jailolo Selatan memiliki kelerengan dibawah 3% seluas 2.186 Ha, kelerengan 3 – 8 % seluas 2.642 Ha, kelerengan 15 – 40 % seluas 6.311,2 Ha, dan kelerengan diatas 40% seluas 22.233.1 Ha. Daratan dengan kemiringan lereng 0-10% berada di bagian barat wilayah kecamatan, sedangkan daratan dengan kemiringan diatas 40% berada di bagian timur wilayah kecamatan yaitu Desa Akelamokao. 4.1.1.2. Karakteristik Tanah Tanah yang merupakan hasil pelapukan dari batuan yang meliputi semua bahan di permukaan kulit bumi, dipengaruhi proses-proses geologi dan iklim. Jenis tanah di Kecamatan Jailolo Selatan terdiri dari tanah aluvial dan latosol.
37
4.1.2. Penggunaan Lahan Berdasarkan data Bappeda Halmahera Barat dan Pemerintah Kecamatan Jailolo Selatan, penggunaan lahan di Kecamatan Jailolo Selatan didominasi oleh penggunaan lahan tidak terbangun, yaitu berupa lahan pertanian, kebun kelapa, kebun campuran, hutan. Jenis penggunaan hutan tersebut adalah hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Sebagian besar merupakan jenis hutan produksi yaitu sekitar 55.83% dari total luas hutan di Kecamatan Jailolo Selatan, dimana 8.82 % berupa hutan produksi terbatas, 15.32% berupa hutan produksi tetap dan 31.68% berupa hutan produksi yang dapat di konversi. Sedangkan hutan lindung di Kawasan Jailolo Selatan seluas 14741.74 Ha atau sekitar 44.17 % dari luas total hutan yang ada. Sedangkan peruntukan lahan terbangun hanya memiliki porsi yang kecil bila dibandingkan dengan total luas wilayah. Penggunaan lahan terbangun yang ada meliputi kawasan pusat kota, kawasan perumahan, kawasan perdagangan, dan kawasan industri pengolahan kayu. Di Kawasan Kecamatan Jailolo Selatan terdapat kawasan konservasi yaitu Tanah Putih, yang terletak sekitar 12 km dari Sidangoli. Kawasan ini telah lama menjadi tujuan ekowisata terutama pengamat burung. Di kawasan Tanah Putih ini terdapat species endemik Halmahera dan burung terutama burung Bidadari (Semioptera wallaci). Namun belakangan ini populasi beberapa specias mulai menurun, nilai keanekaragaman hayati telah rusak oleh kegiatan masyarakat di Sidangoli. Kawasan konservasi lainnya adalah rawa sagu yang terdapat di Desa Sidangoli Dehe
4.1.3. Kependudukan Penduduk merupakan faktor penting pada perkembangan suatu wilayah dan merupakan pelaku kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut. Kecamatan Jailolo Selatan memiliki jumlah penduduk pada tahun 2007 sebesar 19.592 jiwa yang tersebar di 18 wilayah desa. Berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk adalah wanita. Pada Tabel 4 di bawah, dapat dilihat jumlah penduduk Kecamatan Jailolo Selatan pada masing-masing desa.
38
Tabel. 4
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Kecamatan Jailolo selatan tahun 2008
No.
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Sidangoli Gam Sidangoli Dehe Domato Akejailolo Biamaahi Tuguraci Akeara Akelaha Bangkit Rahmat Dodinga Braha Tabadamai Tewe Toniku Rioribati Moiso Gamlenge Tataleka Total
Pria (Jiwa) 3125 987 361 142 414 305 707 156 393 461 272 304 221 400 155 383 315 318 9419
Wanita (Jiwa) 3961 1030 442 134 417 279 662 165 351 440 238 274 229 359 155 429 320 288 10.173
Jumlah Kepala Keluarga 1065 413 207 58 231 152 302 94 235 218 120 127 108 180 126 170 149 153 4.108
Total (Jiwa) 7.086 2.017 803 276 831 584 1.369 321 744 901 510 578 450 759 310 812 635 606 19.592
Sumber : Kantor Kecamtaan Jailolo Selatan 2008
Berdasarkan sebaran/distribusi penduduk, persentase sebaran penduduk terbesar berada di Desa Sidangoli Gam yaitu sebesar 36% sedangkan di desa-desa lainnya sebaran penduduk hanya dibawah 10%. Bila dilihat kepadatan penduduknya, maka kepadatan penduduk Kecamatan Jailolo Selatan ini adalah sekitar 2 jiwa/ha atau dengan kata lain sebanyak 200 jiwa penduduk menempati 100 Ha lahan. Kepadatan tertinggi terdapat di Desa Sidangoli Gam yaitu sekitar 7 jiwa/Ha atau 700 jiwa/100 Ha, beberapa desa baru yang merupakan hasil pemekaran belum diperoleh data akurat mengenai luasannya sehingga belum diketahui tingkat kepadatannya. Pada Tabel 5 dapat dilihat dengan jelas distribusi penduduk pada masing-masing desa.
39
Tabel 5 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jumlah, kepadatan dan distribusi penduduk Kecamatan Jailolo Selatan tahun 2008 Desa
Jumlah KK
Total (Jiwa)
Luas (Ha)
Kepadatan (Jiwa/Ha)
Distribusi Penduduk (%)
Sidangoli Gam Sidangoli Dehe Domato Akejailolo Biamaahi Tuguraci Akeara Akelaha Bangkit Rahmat Dodinga Braha Tabadamai Tewe Toniku Rioribati Moiso Gamlenge Tataleka
1065 413 207 58 231 152 302 94 235 218 120 127 108 180 126 170 149 153
7.086 2.017 803 276 831 584 1.369 321 744 901 510 578 450 759 310 812 635 606
1026,22 1896,22 985,19 801,24 595,16 462,77 334,55 305,23
7 1 1 0 1 1 4 1
560,72
2
488,76 820,32
1 1
927,13 808,19
1 1
36 10 4 1 4 3 7 2 4 5 3 3 2 4 2 4 3 3
Total
4.108
19.592
10.011,7
2
100
Sumber : Kantor Kecamatan Jailolo Selatan, 2008
4.1.4. Kondisi Fisik Kecamatan Jailolo Selatan Kondisi iklim di daerah ini sangat dipengaruhi oleh lautannya. Di laut Halmahera keadaan musimnya tidak teratur, hampir setiap bulannya terjadi hujan, dimana pada musim tenggara pada bulan Mei – Oktober dengan angin selatan, musim barat pada bulan Desember – Pebruari dengan angin barat laut, sedangkan pancaroba terjadi pada bulan April dan November. Curah hujan juga bervariasi antara 1000 – 2500 mm/tahun. Kondisi iklim di Kecamatan Jailolo Selatan termasuk dalam gugus Pulau Halmahera dipengaruhi oleh laut Maluku dan Laut Halmahera. Musim ini adalah musim kemarau sedangkan musim barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Maret. Musim hujan pada bulan Desember sampai bulan Pebruari dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. Musim pancaroba berlangsung dalam bulan April. Pada bulan April sampai September bertiup angin Timur. Angin kencang bertiup pada bulan Desember dan Pebruari diikuti dengan hujan
40
deras dan laut yang bergelora (BMG Babullah Ternate, 2009). Berikut ini data klimatologi rata-rata bulanan selama tahun 2009, yang dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini. Tabel 6. Rangkuman Data Klimatologi Tahunan Curah Hujan Suhu Udara (0C)
Bulam
Rata-rata Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
27,68
Max 30,43
Min 24,93
Jumlah (mm) 220
Hari Hujan 22
27,08 27,15 27,52 27,48 27,17 27,02 26,78 27,22 27,57 27,25 27,33
30,37 30,67 30,80 31,07 30,57 30,30 30,23 30,63 31,33 30,50 30,63
23,80 23,63 24,23 23,90 23,77 23,73 23,33 23,80 23,80 24,00 24,03
178 240 194 245 240 120 63 153 163 382 248
14 22 15 17 20 19 18 14 19 24 22
P Matahari (%)
Tekanan Udara (minibar)
Kelembab an Udara (%)
Kec. Angin (knot/det)
45 53
1 018.5 1 009.7
83,70
6,10
56 58 63 64 71 84 93 91 69 54
1 010.2 1 011.1 1 012.4 1 012.9 1 014.0 1 014.4 1 013.9 1 012.4 1 010 6 1 009.7
75,28 83,94 80,47 84,22 82,18 82,01 82,19 78,98 84,30 83,10 85,57
4,59 3,97 3,95 3,24 2,88 3,46 3,23 3,60 3,27 2,99 3,63
Sumber : BMG Stasiun Meteorologi Babbullah Ternate (2009)
Bentuk lahannya terdiri dari dua kelas, yakni dataran dan berbukit dengan kelas lereng datar (0 – 3%) dan landai/berombak (3 – 8%). Bentuk lahan dataran umumnya terdapat di daerah pesisir pantai dengan vegetasi yang mendominasi adalah mangrove, sedangkan bentuk lahan berbukit terdapat memanjang di tengah pulau dan memiliki tanah yang subur sebagai tempat masyarakat untuk bercocok tanam dan pemukiman penduduk. Penggunaan lahan daratan pesisir dan pantai di Kecamatan Jailolo Selatan meliputi hutan primer, hutan sekunder, belukar, ladang, kebun campuran, tanah kosong, dan pemukiman. Penggunaan lahan perairan pesisir meliputi pantai berpasir, rataan pantai berpasir, rataan pantai bervegetasi hutan mangrove, rataan terumbu karang, tepi terumbu, perairan penangkapan dan budidaya laut. Material pantai umumnya didominasi oleh pasir putih keabu-abuan yang halus dengan substrat dasar perairan berpasir di sisi utara teluk dan karang di sisi timur, barat dan selatan.
41
4.1.5. Pasang Surut. Berdasarkan data pasang surut (tide tables) Hidro-Oseanografi TNI-AL 2009 dan hasil penelitian Marus (2007) diketahui bahwa
di Kecamatan Jailolo
Selatan mempunyai pasang surut yang mengalami satu kali pasang dan satu kali surut. Pada saat pasang tertinggi daerah mangrove mengalami genangan 60 – 110 cm. Pasang surut di perairan Kecamatan Jailolo Selatan memiliki tipe yang sama dengan daerah lainnya di gugusan Pulau Halmahera yaitu digolongkan sebagai Pasang Surut Campuran dengan dominasi Pasang Surut Ganda (predominantly semi diurnal tide) . Ciri utama tipe pasang surut ini adalah terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dimana pasang pertama selalu lebih besar dari pasang kedua. Tunggang air (tidal range) perairan Kecamatan Jailolo Selatan 0.3 – 1.6 meter. Tunggang air yang demikian dapat
umumnya berkisar antara
menyebabkan bagian perairan yang lebih dangkal akan muncul ke permukaan. Peristiwa (Pasang Surut Terendah) yang terjadi selama bulan September 2009 atau pada saat melakukan penelitian. Kondisi ini terjadi pada tanggal 6, 7, 19, 20 dan 21 September 2009, jam 01.00 - 02.00 WIT dini hari dan pada siang hari terjadi pada tanggal 18, 19 dan 20 September 2009,
jam 012.00 - 13.00 WIT,
(TNI-AL, 2009) Kondisi pasang surut berdasarkan ramalam pasut bulan September
Ketinggian Air (m)
seperti ditunjukkan pada Gambar 4. 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
September 2009 Gambar 4. Prediksi Sirkulasi Pasang Surut Bulan September 2009
25
27
29
1
42
4.1.6. Aksesibilitas Untuk menuju ke Kecamatan Jailolo Selatan dapat digunakan dengan menggunakan transportasi laut maupun darat. Transportasi laut digunakan apabila perjalanan ditempuh dari Kota Ternate ke Kecamatan Jailolo Selatan dengan waktu tempuh + 45 menit dengan menggunakan transportasi speed boat, Kapal Fery
ataupun motor tempel. Sedangkan perjalanan dengan menggunakan
transportasi darat apabila perjalanan ditempuh dari Jailolo Ibukota Kabupaten Halmahera Barat dengan waktu tempuh + 1 jam. Pada umumnya pengunjung diluar wilayah Provinsi Maluku Utara yang berkunjung di Kecamatan Jailolo Selatan harus melalui Kota Ternate,
karena Kota Ternate merupakan pusat
transportasi di Provinsi Maluku Utara.
4.1.7. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Salah satu ciri dari masyarakat Kecamatan Jailolo Selatan adalah sebagaian besar penduduknya mermukim pada daerah pesisir dengan mata pencaharian sebagai petani dan nelayan dan sebagian lagi pedagang. Penduduk dengan bermata pencaharian sebagai pedagang sebagian besar berasal dari luar daerah. Penduduk asli yang mendiami Kecamatan Jailolo Selatan berasal dari penduduk asli Halmahera Barat dan para pendatang dari suku Tidore dan Ternate Sangihe
Talaud
(Sulawesi
Utara),
Bugis
(Sulawesi
Selatan),
Kendari
(Sulawesi Tenggara). Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih diterapkan di Kecamatan Jailolo Selatan hingga saat ini adalah kegiatan sou ngolo (obat laut) merupakan suatu tradisi dalam menjaga dan melastarikan sumberdaya pesisir dan laut. Tradisi ini biasa dilakukan sebelum para nelayan menggunakan perahunya untuk melaut. Tradisi ini diharapkan agar dalam melakukan aktifitas ke laut (mancing dan lai-lain) mendapat keberkahan dan rezeki yang banyak berupa hasil tangkapan ikan dan tradisi ini juga diharapkan agar para nelayan tidak menangkap lebih dari kapasitas dan kondisi pasar ketika hasilnya didaratkan. Pemberlakuan tradisi dimaksudkan selain dari mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapan, juga dapat memberikan perlindungan terhadap eksploitasi sumberdaya sehingga ketersediaannya tetap berkelanjutan dan menghindari terjadinya kelangkaan sumberdaya.
43
Sarana-sarana yang terdapat di Kecamatan Jailolo Selatan adalah, sarana pendidikan terdiri dari 1 (satu) Taman Kanak-Kanak (TK), 5 unit Sekolah Dasar (SD), 3 unit Sekolah Menengah Pertama swasta (1 unit SMP Negeri dan 2 unit SMP swasta) dan 1unit SMU. Untuk sampai ke jenjang yang lebih tinggi seperti SMA/SMK Negeri dan Perguruan Tinggi, masyarakat setempat biasanya melanjutkan studi ke Kota Jailolo dan Ternate yang merupakan ibukota kabupaten dan atau Kota Ternate.
Sarana perekonomian di Kecamatan Jailolo Selatan
berupa 1 unit pasar, 1 unit Koperasi (Koperasi TKBM Pelabuhan Sidangoli), 2 unit Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (KUB Sehati dan KUB Mari Bersama), 21 Toko dan 30 Kios/warung. 4.2.
Ekosistem Mangrove Ekosistem hutan mangrove dilokasi penelitian merupakan komunitas
yang tumbuh secara alami. Ekosistem ini pada umumnya berada dekat pada daerah pemukiman penduduk sehingga rentan terhadap eksploitasi dan pemanfaatannya. Ekosistem mangrove secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Mata pencaharaian masyarakat lokal sangat terkait dengan
keberadaan hutan mangrove pada wilayah ini seperti nelayan, petani dan pedagang. Dengan keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Jailolo Selatan yang dekat dengan pemukiman penduduk maka dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kepentingan lokasi pemukiman baru, pemanfaatan kayu bakar dan konversi lahan untuk tambak. Besarnya eksploitasi dan pemanfaatan mangrove yang tidak diimbangi dengan rehabilitasi mengakibatkan luasan mangrove menjadi berkurang.
4.2.1. Luas Ekosistem Mangrove Kecamatan Jailolo Selatan Berdasarkan pengukuran potensi luas hutan mangrove yang dilakukan dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dengan kombinasi warna RGB 453 tahun 2007 didapatkan luas hutan mangrove sebesar 1.208 ha. Sedangkan untuk tahun 2001 adalah sebesar 1.277 ha dan untuk tahun 1990 adalah sebesar 1.395 ha, (gambar 5,6 dan 7). Dilihat dari luasan mangrove di Kecamatan Jailolo selatan yang berubah dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2007 jelas terjadi
44
pengurangan luas hutan mangrove sebesar 187 ha. Dengan demikian maka ratarata dalam setahun terjadi pengurangan luas hutan mangrove sebesar 11 ha Tabel 7 Penurunan jumlah luas hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan
Waktu Periode
Penurunan Luas Mangrove
Rata – rata pertahun
1990 – 2007 (17 tahun)
187 ha
11,00
1990 – 2001 (11 tahun)
118 ha
10,73
45
Gosong Pasir
Gambar 5. Peta penyebaran dan luas mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan tahun 2007
46
Gosong Pasir
Gambar 6. Peta penyebaran dan luas mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan tahun 2001
47
Gosong Pasir
Gambar 7. Peta penyebaran dan luas mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan tahun 1990
4.2.2. Struktur Vegetasi Mangrove di Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi mangrove di lokasi penelitian, didapatkan kondisi vegetasi mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan terdiri atas 5 famili dan terdiri dari 9 spesies. Famili mangrove tersebut adalah Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Meliaceae, Combretaceae dan Myrsinaceae. Sedangkan untuk spesies mangrove yang ada di lokasi penelitian adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum, Lumnitzera littorea, Aegiceras floridum. Penyebaran jenis mangrove pada lokasi penelitian terlihat tidak merata. Pada jalur 1 dan 2 terdapat 7 jenis mangrove, pada jalur 3 dan 4 terdapat 7 jenis mangrove namun dengan komposisi jenis yang berbeda. Sedangkan pada jalur 5 dan 6 hanya terdapat 6 jenis mangrove dan terdapat 1 jenis mangrove yaitu Aegiceras floridum yang hanya ada pada jalur 5 dan 6. Ditemukannya mangrove jenis Aegiceras floridum pada jalur 5 dan 6 karena pada jalur ini lebih didominasi oleh substrat berpasir yang bercampur dengan sedikit substrat karang sehingga memungkinkan jenis ini untuk tumbuh pada jalur 5 dan 6. Pada jalur 1 dan 2 ditemukan mangrove jenis Lumnitzera littorea dimana jenis ini tidak ditemukan Pada jalur lainnya. Hal ini disebabkan karena pada jalur 1 dan 2 lebih didominasi oleh substrat halus dan berlumpur sehingga jenis Lumnitzera littorea dapat tumbuh subur. Komposisi jenis mangrove yang terdapat pada Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya didominasi oleh famili
Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan
famili.Meliaceae, tetapi dari ketiga famili yang ditemukan tersebut,
famili
Rhizophoraceae yang paling banyak ditemukan. Hal ini disebabkan karena sebagaian besar substrat yang ada pada lokasi penelitian didominasi oleh substrat berlumpur.dan.lumpur.berpasir. Komposisi jenis mangrove selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini.
49 Tabel 8 Komposisi jenis mangrove yang tersebar pada lokasi penelitian Distribusi Jalur 3 - 4 √
Rhizophora stylosa
Nama Lokal Soki-soki
Jalur 1- 2 √
Rhizophora apiculata
Soki-soki
√
√
√
Rhizophora mucronata
Soki-soki
-
√
-
Bruguiera gymnorrhiza
Dau
√
√
√
Ceriops tagal
Ting
√
√
-
Sonneratiaceae
Sonneratia alba
Posi-posi
√
√
√
Meliaceae
Xylocarpus granatum
Kira-kira
√
√
√
Combretaceae
Lumnitzera littorea
Cengkeh
√
-
-
Myrsinaceae
Aegiceras floridum
Rica-rica
-
-
√
Famili
Rhizophoraceae
Jenis Mangrove
Jalur 5 – 6 √
√ : Ditemukan - : Tidak ditemukan
Dari hasil pengamatan pada tiga stasiun pengamatan
pada lokasi
penelitian, total individu yang masuk dalam garis berpetak sebanyak 767 individu dengan perincian pada stasiun I 325 individu, stasiun II 259 individu dan pada stasiun III 183 individu sebagaimana terlihat pada tabel 8, 9 dan 10. Pada tabel 9 dibawah ini terlihat bahwa pada stasiun I memiliki jumlah individu 325. Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan stasiun II dan III. Walaupun memiliki jumlah individu yang tinggi, pada stasiun I lebih didominasi oleh kategori semai sebesar 179. Hal ini menunjukan pada stasiun 1 termasuk tempat yang memiliki daerah yang cukup subur sehingga kemampuan untuk tumbuh kembali terlihat tinggi pada nilai semai stasiun I. Tabel 9 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun I No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Sonneratia alba Lumnitzera littorea Xylocarpus granatum Total
Pohon 11 20 6 6 8 6 9 66
Kategori Anakan 15 19 2 14 10 6 14 80
Semai 57 38 16 34 3 7 24 179
Jumlah 83 77 24 54 21 19 47 325
50 Pada Tabel 10 dibawah ini terlihat bahwa pada stasiun II mempunyai jumlah individu yang lebih kecil dari stasiun I yaitu 259, namun mempunyai nilai kategori pohon yang sama dengan atasiun I yaitu 66.
Tabel 10 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun II No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Sonneratia alba Xylocarpus granatum Total
Pohon 15 10 6 13 10 3 9 66
Kategori Anakan 11 6 9 3 10 2 7 48
Semai 42 22 19 29 17 2 14 145
Jumlah 68 38 34 45 37 7 30 259
Berdasarkan pengamatan pada stasiun III, terlihat bahwa stasiun III meliliki jumlah individu yang paling sedikit dibandingkan stasiun I dan II (Tabel 11). Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini selain memiliki dominasi substrat berpasir bercampur
patahan
karang,
pada
umumnya
masyarakat
lebih
banyak
memanfaatkan mangrove pada lokasi ini untuk kepentingan kayu bakar dan lainlainnya. Selain itu karena jumlah penduduk yang sebagian besar berdekatan dengan lokasi ini menyebabkan mereka lebih banyak mengeksploitasi karena akses ke lokasi ini yan lebih dekat. Tabel 11 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun III No 1 2 3 4 5 6
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba Xylocarpus granatum Aegiceras floridum Total
Pohon 15 12 4 16 6 1 54
Kategori Anakan 12 9 2 2 7 1 33
Semai 27 37 18 3 7 4 96
Jumlah 54 58 24 21 20 6 183
Setelah dilakukan penarikan sampel dan pengamatan, dari ketiga stasiun pengamatan didapatkan mangrove yang mempunyai jumlah individu terbesar yaitu pada stasiun I dengan jumlah individu 325. Jumlah yang banyak pada stasiun I ini disebabkan karena tingkat eksploitasi oleh masyarakat sekitar masih
51 sedikit dan karena lokasinya yang tidak berdekatan langsung dengan pemukiman penduduk
sekitarnya,
mengakibatkan
penduduk
lebih
memilih
untuk
memanfaatkan mangrove yang berada lebih dekat dengan pemukimannnya, baik untuk kepentingan kayu bakar, kayu perahu dan kayu untuk untuk pancang rumah. Pada stasiun I terlihat juga bahwa jumlah individu kategori anakan dan semai berjumlah cukup besar yaitu anakan 80 individu dan semaian 179 individu. Ini jelas menunjukan bahwa substrat yang ada pada stasiun I cukup subur dan daerahnya secara alami masih terlindung, sehingga kemampuan mangrove untuk tumbuh kembali cukup tinggi dapat dilihat dari jumlah anakan dan semaian. Jenis mangrove yang paling tinggi individunya adalah jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa, karena pada stasiun I ini pada umumnya didominasi oleh jenis substrat pasir berlumpur. Sehigga kedua jenis mangrove ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan lingkungannnya. Pada stasiun II dan III terlihat bahwa jumlah individunya lebih sedikit dari stasiun I, yaitu pada stasiun II berjumlah 259 individu dan stasiun III 183 individu.
Sedangkan
jenis
mangrove
yang
mendominasi
pada
kedua
stasiun penelitian ini adalah jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza. Keempat jenis yang mendominasi pada lokasi penelitian diatas adalah masuk dalam famili Rhizophoraceae. Dengan demikian maka secara umum pada lokasi penelitian baik pada stasiun I, II dan III didominasi oleh famili Rhizophoraceae. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada lokasi penelitian berjenis substrat lumpur berpasir dan pasir berlumpur. Berkurangnya jumlah individu yang terdapat pada stasiun II dan III ini karena sebagian besar masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya lebih cenderung memanfaatkan mangrove pada lokasi tersebut.
4.2.3. Kerapatan Jenis, Penutupan Jenis, Frekuensi Jenis dan Nilai Penting Menurut Skilleter dan Warren (1999) dalam Schaduw (2008) Kerapatan pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya, ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan bagi biota yang hidup didalamnya seperti ikan dan moluska. Kerapatan vegetasi mangrove dalam
52 suatu ekosistem memberikan perlindungan terhadap biota yang menepati tempat ini dari faktor alam dan hewan predator. Selain itu kepadatan makropita memengaruhi pertumbuhan ikan. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh hewan predator dan pemanfaatan yang berlebihan. Melihat akan kedua studi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kerapatan mempunyai manfaat tak langsung yang berarti bagi organisme yang ada didalamnya Berdasarkan kajian potensi ekologis ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan didapatkan hasil total kerapatan jenis (Di) pada pada ketiga stasiun pengamatan adalah 0,767 dimana stasiun I mempunyai nilai nilai kerapatan jenis tertinggi yaitu 0,325 kemudian disusul stasiun dengan nilai 0,259 dan pada satasiun II dan 0,183 pada stasiun III (Tabel 12, 13, dan 14) Tabel 12 Analisis vegetasi mangrove di stasiun I No.
Jenis Mangrove
Di
RDi
Fi
RFi
Ci
RCi
NP
1
Rhizophora apiculata
0.083
25.538
0.500
15.152
19.603
9.760
50.450
2
0.077
23.692
0.800
24.242
36.597
18.221
66.155
3
Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza
0.024
7.385
0.400
12.121
16.100
8.016
27.522
4
Ceriops tagal
0.054
16.615
0.400
12.121
4.340
2.161
30.897
5
Sonneratia alba
0.021
6.462
0.500
15.152
105.445
52.498
74.111
6
Lumnitzera littorea
0.019
5.846
0.300
9.091
3.741
1.863
16.800
7
Xylocarpus granatum
0.047
14.462
0.400
12.121
15.030
7.483
34.066
0.325
100.000
3.300
100.000
200.856
100.000
300.000
Total
Tabel 13 Analisa vegetasi mangrove di stasiun II No.
Jenis Mangrove
Di
RDi
Fi
RFi
Ci
RCi
NP
1
Rhizophora apiculata
0.068
26.255
0.900
25.714
57.364
20.316
72.286
2
Rhizophora stylosa
0.038
14.672
0.300
8.571
29.040
10.285
33.528
3
Rhizophora mucronata
0.034
13.127
0.400
11.429
20.909
7.405
31.961
4
Bruguiera gymnorrhiza
0.045
17.375
0.700
20.000
42.815
15.164
52.538
5
Ceriops tagal
0.037
14.286
0.600
17.143
11.236
3.979
35.408
6
Sonneratia alba
0.007
2.703
0.300
8.571
108.919
38.576
49.850
7
Xylocarpus granatum
0.030
11.583
0.300
8.571
12.069
4.274
24.429
0.259
100.000
3.500
100.000
282.352
100.000
300.000
Total
Dari hasil analisis pada tabel 12, 13 dan 14 yang terdapat pada ketiga stasiun, Rhizophora apiculata memiliki kerapatan relatif yang paling tinggi pada stasiun I dan II. Pada stasiun I
25,538 stasiun II 26,255 dan pada stasiun III
29,508. Pada stasiun III terlihat bahwa walaupun kerapatan (Di) sangat kecil,
53 tetapi nilai kerapatan relatif (RDi) dari jenis Rhizophora apiculata paling tinggi dari ketiga stasiun pengamatan. Tabel 14 Analisa vegetasi mangrove di stasiun III No.
Jenis Mangrove
Di
RDi
Fi
RFi
Ci
RCi
NP
1
Rhizophora apiculata
0.054
29.508
0.700
26.923
43.067
11.915
68.346
2
Rhizophora stylosa
0.058
31.694
0.500
19.231
30.626
8.473
59.398
3
Bruguiera gymnorrhiza
0.024
13.115
0.300
11.538
21.453
5.935
30.588
4
Sonneratia alba
0.021
11.475
0.800
30.769
246.787
68.275
110.520
5
Xylocarpus granatum
0.020
10.929
0.200
7.692
18.819
5.206
23.828
6
Aegiceras floridum
0.006
3.279
0.100
3.846
0.707
0.196
7.320
0.183
100.000
2.600
100.000
361.459
100.000
300.000
Total
Nilai dari frekuensi relatif (RFi) adalah nilai yang menggambarkan penyebaran suatu spesies pada suatu ekosistem. Dari hasil yang terlihat pada tabel 12, 13 dan 14, nilai frekuensi relatif tertinggi (RFi) terdapat pada stasiun III yaitu jenis Sonneratia alba dengan nilai 30.769 kemudian Rhizophora apiculata dengan nilai frekuensi relatif (RFi) 26.923. untuk nilai terendah terdapat pada juga pada stasiun III yaitu pada jenis Xylocarpus granatum dengan nilai 7.692 dan jenis Aegiceras floridum dengan nilai sebesar 3.846. Nilai penting suatu jenis berkisar dari
0 – 300. Nilai penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai peranan ataupun pengaruh suatu jenis mangrove pada suatu lokasi penelitian. Dari analisis data didapatkan bahwa jenis mangrove yang memiliki nilai tertinggi yaitu jenis Sonneratia alba pada stasiun III dengan nilai sebesar 110.520, kemudian jenis Sonneratia alba pada stasiun I dengan nilai sebesar 74.111 dan jenis Rhizophora apiculata pada stasiun II dengan nilai penting sebesar 72.286. 4.2.4. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Lokasi Penelitian Lewis (2005) mengemukakan bahwa Faktor-faktor lingkungan juga mempengaruhi dan menunjang ekosistem mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisik dan kimia ekosistem mangrove Kecamatan Jailolo Selatan (lampiran 10,11 dan 12), kondisi suhu air di ekosistem mangrove Kecamatan Jailolo Selatan adalah berkisar dari 28,00 C – 31,00 C sedangkan kisaran salinitas yaitu antara 30%0 - 34%0 . pH air
54 berkisar antara 8,0 – 8,6. Untuk pH tanah yaitu antara 6,0 – 6,8 dan DO bernilai antara 6,11 – 6,21. Menurut Noor et al. (1999) mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas. Mereka dapat juga bertahan pada lingkungan pantai yang seringkali tidak digenangi air laut. Chapman (1975), dalam Kustanti (2011) mengemukakan bahwa faktor abiotik yang baik sebagai syarat utama terbentuknya hutan mangrove adalah suhu udara, substrat lumpur, daerah payau, arus air laut, perlindungan, air laut dan tepi laut yang dangkal. Setelah dilakukan pengamatan dan pengukuran pada lokasi lokasi penelitian, baik untuk konsisi fisik maupun kimia perairan, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi pada lokasi penelitian secara umum masih dalam kondisi baik. Hal ini didukung karena daerah penelitian masuk dalam wilayah teluk sehingga masih terlindungi secara fisik.
4.2.5. Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Menurut Leksono (2007), ukuran keanekaragaman mempunyai fungsi penting
dalam
program
pemantauan
perubahan-perubahan
ekosistem
Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menentukan struktur komunitas, semakin banyak jumlah spesies dengan tingkat jumlah individu yang sama atau mendekati sama, maka semakin tinggi heteroginitasnya. Sebaliknya jika jumlah spesiesnya sangat sedikit dan terdapat jumlah individu yang besar antar spesies maka semakin rendah pula heterogenitas suatu komunitas. Keanekaragaman yang rendah mencerminkan adanya dominasi suatu spesies Berdasarkan hasil analisis pada ketiga stasiun penelitian, stasiun II memiliki total nilai keanekaragaman jenis
1,829.
nilai ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai pada 2 stasiun lainnya., yaitu pada stasiun I dengan nilai 1,803 dan pada stasiun II dengan nilai 1,593. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stasiun yang lebih tinggi heteroginitasnya adalah stasiun 2 (tabel 15, 16 dan 17). Untuk dominasi jenis, nilai yang tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai 0,231 kemudian pada stasiun I dengan total nilainya 0,183 dan stasiun II dengan nilai 0,172. Dari hasil ini dapat disimpulkan pada stasiun III walaupun
55 dengan jumlah individu yang sangat kecil yaitu 183, tetapi karena perbedaan besarnya jumlah antara satu jenis dengan jenis yang yang lainnya tidak terlalu jauh sehingga sehingga pada stasiun III mempunyai nilai dominasi yang tinggi. Tabel 15
Keanekaragaman Jenis, Dominasi Jenis dan Keseragaman Mangrove di stasiun I
No . 1 2 3 4 5 6 7
Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Sonneratia alba Lumnitzera littorea Xylocarpus granatum Total
Tabel 16 No. 1 2 3 4 5 6 7
Spesies
Jumlah
Jumlah
individu (ni)
Total (N) 259 259 259 259 259 259 259
Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Sonneratia alba Xylocarpus granatum Total
No.
Jumlah Total (N) 325 325 325 325 325 325 325
Keanekaragaman Jenis (H') (ni/N) Ln (ni/N) H' -0.255 -1.365 0.349 -0.237 -1.440 0.341 -0.074 -2.606 0.192 -0.166 -1.795 0.298 -0.065 -2.739 0.177 -0.058 -2.839 0.166 -0.145 -1.934 0.280 1.803
Dominasi Jenis 0.065 0.056 0.005 0.028 0.004 0.003 0.021 0.183
Keseragaman
H' = Hmax=
1.803 1.946
0.927
Keanekaragaman Jenis, Dominasi Jenis dan Keseragaman Mangrove di stasiun II
Tabel 17
1 2 3 4 5 6
Jumlah individu (ni) 83 77 24 54 21 19 47 325
Spesies
68 38 34 45 37 7 30 259
Keanekaragaman Jenis (H') - (ni/N) -0.263 -0.147 -0.131 -0.174 -0.143 -0.027 -0.116
Ln (ni/N) -1.337 -1.919 -2.030 -1.750 -1.946 -3.611 -2.156
H' 0.351 0.282 0.267 0.304 0.278 0.098 0.250 1.829
Dominasi Jenis 0.069 0.022 0.017 0.030 0.020 0.001 0.013 0.172
Keseragaman
H' = Hmax =
1.829 1.946
0.940
Keanekaragaman Jenis, Dominasi Jenis dan Keseragaman Mangrove di stasiun III
Spesies
Jumlah
Jumlah
individu (ni)
Total (N) 183 183 183 183 183 183
Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba Xylocarpus granatum Aegiceras floridum Total
Pada penelitian
54 58 24 21 20 6 183
Keanekaragaman Jenis (H') - (ni/N) -0.295 -0.317 -0.131 -0.115 -0.109 -0.033
Ln (ni/N) -1.221 -1.149 -2.031 -2.165 -2.214 -3.418
H' 0.360 0.364 0.266 0.248 0.242 0.112 1.593
Dominasi Jenis 0.087 0.100 0.017 0.013 0.012 0.001
Keseragaman
H' = Hmax =
0.231
ini hasil analisis terhadap vegetasi mangrove di
Kecamatan Jailolo Selatan menunjukan indeks keanekaragam baik pada staasiun I, II dan III yang masih rendah. Rendahnya keanekaragam jenis ini karena jumlah spesies yang sedikit serta jenis substrat yang secara umum hampir sama. Selain itu pada stasiun II dan III ekosistemnya bisa dikatakan rentan terhadap kegiatan yang datang dari manusia maupun gejala alam.
0.889
1.593 1.792
56 Keanekaragaman spesies adalah jumlah spesies yang beragam yang hidup disuatu lokasi tertentu.
Indeks keanekaragaman hayati telah dikembangkan
terutama untuk menunjukan keanekaragaman spesies pada tiga skala geografis yang
berbeda
pada
tingkat
yang
paling
sederhana,
keanekaragaman
didefinisikan sebagai jumlah speises yang ditemukan dalam komunitas. Menurut DITR (2007), Keanekaragaman spesies merujuk kepada keragaman spesies-spesies yang hidup. Keanekaragaman ekosistem berkaitan dengan keragaman habitat, komunitas biotik, dan proses-proses ekologis, serta keanekaragaman yang ada di dalam ekosistem-ekosistem
dalam bentuk
perbedaan-perbedaan habitat dan keragaman proses-proses ekologis. Perubahan secara evolusi menghasilkan proses diversifikasi terus menerus di dalam makhluk hidup. Keanekaragaman hayati meningkat ketika variasi genetik baru dihasilkan, spesies
baru
berevolusi
keanekaragaman
atau ketika
satu ekosistem
baru terbentuk
hayati akan berkurang dengan berkurangnya spesies, satu
spesies punah atau satu ekosistem hilang maupun rusak. Konsep ini menekankan sifat keterkaitan dunia kehidupan dan proses-prosesnya
4.3.
Persepsi Masyarakat Terhadap Ekosistem Mangrove Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dihitung
dari hasil kuisioner dengan menggunakan rating scale. Kategori tingkat nilai (N) terdiri dari sangat baik jika bernilai lebih dari 75 %, baik jika bernilai 50% – 75%, kurang baik jika bernilai 25% - 50% dan buruk jika bernilai 0% - 25% . Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan didapatkan dari perhitungan kuisioner di lapangan yang diberikan kepada 40 orang responden. 40 orang responden ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar ekosistem mangrove Kecamatan jailolo selatan. Dalam kuisioner yang diberikan terdiri dari 7 kelompok pertanyaan yang terdiri dari pemahaman masyarakat terhadap mangrove dan manfaatnya, partisipasi dalam pengelolaan ekosistem
mangrove,
pandangan
pihak
pemerintah
tentang
mangrove,
persepsi/pandangan tentang status mangrove saat ini , persepsi tentang rencana penetapan kawasan konservasi, persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap mangrove dan persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove.
57 Berdasarkan tabulasi data dan perhitungan persentase tentang persepsi masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan didapatkan nilai rata – rata 54,61 % dengan demikian maka persepsi masyarakt tentang pengelolaan ekosistem adalah baik. Walaupun melalui perhitungan kuisioner termasuk nilai baik, namun nilai ini juga merupakan nilai yang memprihatinkan, karena apabila nilai rata-ratanya dibawah 50%, maka maka nilai ini sudah masuk pada kategori kurang baik. Dari hasil kuisioner terlihat bahwa pada umumnya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan sudah memahami akan pentingnya manfaat dari hutan mangrove. Namun yang menjadi
kendala dan permasalahan
sehingga terus
dilakukannya
pemanfaatan secara langsung yaitu karena kurangnya lapangan pekerjaan sehingga sebagian masyarakat masih menjual kayu mangrove untuk keperluan kayu bakar dan kebutuhan lainnya. Tabel 17 No
Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove Pandangan mansyarakat terhadap pengelolaan
Persentase (%)
ekosistem mangrove 1.
Pemahaman mangrove dan manfaatnya
71,15
2.
Partisipasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove
55,13
3.
Persepsi / pandangan pihak pemerintah tentang mangrove
63,92
4.
Persepsi tentang pandangan status mangrove saat ini
42,42
5.
Persepsi tentang rencana penetapan kawasan konservasi
43,13
6.
Persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap mangrove
36,40
7.
Persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove
71,50
Rata rata
4.4.
54,61
Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data, diketahui bahwa tingkat
pengambilan cerucuk adalah 32.400 batang / tahun dengan nilai manfaat langsung Rp.113.400.000,-
sedangkan untuk pengambilan kayu bakar adalah sebesar
sebesar 8.388 ikat pertahun, dimana pada satu ikat kayu terdiri dari 12 batang dengan nilai manfaat langsung pertahun sebesar Rp.58.716.000,-
58 Peningkatan pembangunan yang terjadi diwilayah pesisir Kecamatan Jailolo Selatan berdampak terhadap peningkatan jumlah penduduk di wilayah ini. Hal ini menyebabkan beberapa masyarakat tertentu yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai bahan tiang pancang rumah, kayu bakar dan Kayu perahu. 4.5.
Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk tetap mempertahankan keberlanjutan ekosistem mangrove di
Kecamatan Jailolo Selatan, maka diperlukan suatu strategi pengelolaan. Metode yang di pakai dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan AHP (Analytic Hierarchy Process) yang mengacu pada Saaty (1993). Skala 1- 9 ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen disetiap level hierarki, terhadap suatu elemen yang berada dilevel atasnya. Selanjutnnya hasil dari nilai-nilai tersebut di analisis dengan menggunakan bantuan software expert choice 2000.
Gambar 8 Goal Skenario Keputusan
Gambar 9 Respect goal skenario keputusan terhadap pemerintah masyarakat dan LSM
Kamali and
Hashim (2010) mengemukakan bahwa pemerintah dan
stakeholders mempunyai peranan penting dalam upaya melindungi dan
59 memulihkan ekosistem mangrove. Pada pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Jailolo Selatan dari ke 3 aktor yang ada sebagian besar responden lebih memilih masyarakat dengan nilai 44, 3% kemudian disusul dengan LSM 38,7% dan Pemerintah 16,9%. Dipilihnya masyarakat sebagi aktor yang paling berperan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan karena masyarakat adalah objek yang tinggal langsung disekitar kawasan mangrove. Mereka dan berperan sebagai pelindung dalam pengelolaan ekosistem mangrove ataupun dapat berperan sebagi perusak ekosistem mangrove
Gambar 10. Skenario Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Hasil ahir dalam strategi pengelolaan ekosistem mangrove didapatkan 4 skenario dengan nilai masing-masing sebagai berikut 1. Konservasi untuk mempertahankan luasan ekosistem mangrove 34% 2. Konversi lahan mangrove sebagai kawasan budidaya 21% 3. Membuat peraturan daerah untuk pengelolaan ekosistem mangrove 13% 4. Mengelola ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata 32
60
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan
Jailolo dari tahun
1990
sampai dengan tahun 2007 telah
mengalami penurunan luas sebesar 11 h pertahun, ini adalah jumlah cukup memprihatinkan sehingga perlu dikelola untuk tetap mempertahankan keberlanjutannya 2. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan AHP maka, selain pemanfaatan mangrove oleh masyarakat setempat, diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek konservasi, mengelola sebagai kawasan ekowisata serta payung hukum berupa peraturan daerah dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. 3. Dari hasil kuisioner terlihat bahwa pada umumnya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan sudah memahami akan pentingnya manfaat dari hutan mangrove. Namun yang menjadi kendala dan permasalahan sehingga terus dilakukannya pemanfaatan secara langsung yaitu karena kurangnya lapangan pekerjaan sehingga sebagian masyarakat masih menjual kayu mangrove untuk keperluan kayu bakar dan kebutuhan lainnya. 5.2
Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan terkait dengan kajian sosial ekonomi dan kesesuaian lahan untuk pemanfaatan daerah ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Jailolo Selatan. 2. Selain pemerintah sebagai fasilitator, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan masyarakat setempat dan semua unsur stakeholders
61 DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L. 2004. Ekonomi dalam Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor Alongi DM. 2009. Queensland
The Energetics of Mangrove Forests. Springer Science.
[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Meteorologi Babbulah Ternate. 2009. Ikhtisar Data Klimatologi Bulanan Tahun 2008. Ternate Ball MC, Cochrane MJ, Rawson HM. 1997. Growth and Water Use of The Mangrove Rhizopora apiculata and R. Stylosa in Response to Salinity and Humidity Under Ambient and Elevated Concentration of Atsmospheric CO2. Plant, Cell and Environmental 20. Barton DN. 1994. Economic Factor and Valuation of Tropical Coastal Resources. University of Bergen, Norway Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor Clark JR. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishher. Washintong DC. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Cetakan kedua. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta [DITR] Departmen of Industri Tourim and Resources, 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati, Praktek Unggulan Program Pembangunan berkelanjutan untuk Industri Pertambangan. (Reviewed by: Hendry Baiquni). Global Village Translations. Sidney. Australia [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Direktorat Bina Pesisir. Jakarta
62 Forman EH, Selly MA. 2002. Decision By Objectives (How to convince others that you are right) World Scientific Publishing Company. George Washington University. Washington DC. [IUCN] International Union for Conservationof Nature and Natural Resources And Mangrove Action Project - Indonesia. 2007. Kebijakan Untuk Mangrove - Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN Publications Services. Cambridge. United Kingdom Harahap N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya Dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta Hidro-Oseanografi TNI AL. 2009. Daftar Pasang Surut (Tide Tables) Kepulauan Indonesia Tahun 2009. TNI AL. Jakarta. Kamali B, Hashim R. 2010. Mangrove restoration without planting. Ecological Engineering 37 (2011) 387–391 Kathiresan K, Bingham BL. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Advances in Marine Biology Vol 40: 81-251. Centre of Advanced Study in Marine Biology. Annamalai University. India. Kustanti A, 2011. Manajemen Hutan Mangrove .(Penyunting : Kusmana C) IPB Press. Bogor Kovach JM. 1999. Assesing Mangrove Use at The Local Scale. J Lanscape and Urban Planning 43: 201-208 Krebs JC. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York. Kusmana C. 2000. Pemanfaatan Mangrove Bagi Masyarakat Yang Berkelanjutan. IPB. Bogor Kusmana C. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor Kusumastanto T. 2002. Reposisi Ocean Policy Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Disampaikan Dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan, FPIK IPB. Bogor Leksono AS. 2007. Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif. Bayu Media Publishing. Malang Lewis RR. 2005. Ecological Engineering for Successful Management and Restoration Of Mangrove Forests. Ecological Engineering 24 (2005) 403–418
63 Liyanage S. 2004. Pilot Project : Participatory management of Seguwanthive mangrove Habitat in Puttlam Districs, Srilanka. Forest Departement Sampathpaya, Srilanka. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok Marimin, Maghfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press. Bogor. Marus I, 2007. Produksi, Laju dekomposisi Serasah dan Zonasi Hutan Mangrove di Perairan Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. [Tesis]. Manado: Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulang. Manado Mastaller M. 1997. Mangrove: The Forgotten Forest Between Land and Sea. Kuala Lumpur, Malaysia. Melana DM, Atchue J, Yao CE, Edwards R, Melena EE, and Gonzales HI. 2000. Mangrove Management Handbook. Department of Environment and Natural Resources, Manila, Philippines through the Coastal Resource Management Project, Cebu City, Philippines.
MacFarlane GR. Pulkownik GR, Burched MD. 2003. Accumulation and Distribution of Heavy Metals in Grey Mangrove, Avicennia marina (Forsk). Vierh : Biological indication Potential. Environmental Pollution 123: 139151. Alsevier Science Ltd. Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. PT Pradnya Paramita. Jakarta Noor YS, Khazali M, Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi 2007. Djambatan. Jakarta. Nunes et al. 2001. Economic Valuation of Biodiversity : sense or nonsense. Ecological Econoomics 39 : 203 -222. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta. Odum EP. 1993. Dasar Dasar Ekologi. Saminan T, Penerjemah. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Purba J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
64 Parawansa I. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta Secara Berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Kompleks). Terjemahan. PT. Pustaka Binama Pressindo. Jakarta. Sanim B. 1997. Metode Valuasi Sumberdaya dan Jasa-Jasa Lingkungan. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, 25 November 1996 – 9 Januari 1997. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Istitut Pertanian Bogor. Bogor. Saparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Price. Semarang Saravanan KR, Ilangovan K, Khan AB. 2008. Floristic and Macro Faunal Diversity of Pondicherry Mangroves, South India. Tropical Ecology 49(1): 91-94, 2008. International Society for Tropical Ecology. India. Saru A. 2007. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Schaduw JNW. 2008. Pelestarian Ekosistem Mangrove Pada Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko Kecamatan Sinosayang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunoto N. 1997. Sistem Masyarakat Pesisir dan Strategi Pengembangannya. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Angkatan I. PKSPL-IPB dan Ditjen Bangda Depdagri. Bogor Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Tarigan MS. 2008. Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Teluk Pising Utara Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Makara Sains vol. 12 no. 2 November 2008: 108-112. [TNI-AL] Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut, Dinas Hidrologi dan Occeanografi. 2009. Daftar Tabel pasng Surut (Tide Tables) Kepulauan Indonesia Tahun 2009. Jakarta
65 Tulungen JJ, Kasmidi M, Rotinsulu C, Dimpudus M, Tangkilisan N. 2003. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat; Seri PSWPBM, Dalam Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003, M. Knight, S. Tighe (editor); Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. 103 halaman. Tuwo A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut Pendekatan ekologi, Sosial ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Surabaya. Vannucci M. 2004 Mangrove management and conservation : present and future. United Nations University Press. Tokyo. Wardojo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian Untuk meningkatkan Partisipasi Masyarakat . Dalam: Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong abad XXI. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta. Wightman GM. 1989. Mangrove of the Northern Territory. Northern Territory Botanical Bulletin No.7. Conservation Commission of the Northern Territory, Palmerston, NT, Australia.
Lampiran 1. Tabel Inventarisasi Survei Mangrove
Nama Lokasi/ Desa Stasiun Pengamatan Tanggal Inventarisasi Posisi GPS
No
: : : :
Pohon
No Plot
Transek
SP
IND
Anakan
DB
SP
IND
Semai
DB
SP
Keterangan SP IND DB Pohon Anakan
: : : : :
Semai
:
Kode Jenis Mangrove Jumlah tegakan tumbuhan mangrove Diameter batang pohon mangrove Diameter > 4 cm Diameter < 4 cm Tinggi > 1 cm Tinggi < 1cm
IND
Tipe Substrat
DB
Dampak (0 – 4)
67
Lampiran 2. Tabel Isian Pengamatan Parameter Fisik Dan Kimia Ekosistem Mangrove
Nama Lokasi/ Desa Stasiun Pengamatan Tanggal Posisi GPS
No
: : : : Parameter Fisik dan Kimia Parairan Ekosistem mangrove
Jalur/ Plot
Suhu
kekeruhan
pH
Salinitas
Keterangan DO
1
Lampiran 03. Tabel Isian Pengamatan Terhadap Fauna Teresterial Dan Fauna Aquatik Yang Ditemukan Nama Lokasi/ Desa Stasiun Pengamatan Tanggal Waktu / jam Pengamatan
No
Fauna teresterial
Fauna Aquatik
: : : :
Nama Latin (spesies)
Nama Lokal
Jumlah yang ditemukan waktu pengamatan
Keterangan
68 Lampiran 04. Pedoman Wawancara Penelitian Ekosistem Mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan KUISIONER A. Identitas Responden / 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan Terakhir Agama Suku Alamat Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Jumlah anggota keluarga Pendapatan (Rp) Pengeluaran Rumah Tangga (Rp)
: ................................................................... : ................................................................... : .................................................................... : .................................................................... : .................................................................... : .................................................................... : ..................................................................... : ..................................................................... : ..................................................................... : ..................................................................... : ...................................................... per bulan. : ........................................................ per bulan.
B.
Pemahaman Tentang Hutan Mangrove dan Manfaatnya 1. Apakah anda mengerti dengan istilah ekosistem mangrove mangrove? (a) sangat mengerti (b) mengerti
(c) kurang mengerti
(d) tidak mengerti
2. Menurut anda bagaimana keadaan hutan mangrove wilayah ini? (a) sangat baik
(b) baik
(c) sedang
(d) rusak
3. Setujukah anda bila hutan mangrove wilayah ini dilestarikan? (a) sangat setuju (b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
4. Bagaimana pandangan anda, jika diadakan rehabilitasi terhadap mangrove? (a) sangat setuju (b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
5. Setujukah anda bila hutan mangrove wilayah ini lestari dapat membawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya? (a.) sangat setuju 6.
(b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
Mengertikah anda, fungsi dan manfaat dari hutan mangrove adalah sebagai tempat hidup, tempat berkembang dan tempat memijah ikan? (a) sangat mengerti (b) mengerti
(c) kurang mengerti (d) tidak mengerti
penjelasan .................................................................................................................................. 7. Bagaimana menurut anda bahwa dalam pelestarian hutan mangrove perlu dilakukan dengan pengawasan (a) sangat setuju
(b.)setuju
(c) kurang setuju
(d)Tidak setuju
69 8. Apakah ada peraturan desa/adat yang mengatur tentang pemanfaatan hutan mangrove demi kelestariannya (a) banyak
(b) ada
(c) Tidak ada
(d) tidak tahu
Penjelasan: ................................................................................................................................... ......................................................................................................................... 9. Apakah anda setuju dengan peraturan Desa tersebut ? (a) sangat setuju
(b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak tahu
Penjelasan: ................................................................................................................................... ........................................................................................................................
C. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove 1. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pelestarian dan pengelolaan mangrove (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) yang difasilitasi oleh pemerintah atau lembaga lain? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) Tidak tahu
penjelasan: ..................................................................................................................................... ........................................................................................................................... 2. Apakah anda pernah melakukan penanaman/pemeliharaan mangrove atas kehendak sendiri? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
Penjelasan: ..................................................................................................................................... ..................................................................................................................................... 3. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove (pelaksanaan rehabilitasi) yang digerakan atau difasilitasi oleh pemerintah atau LSM? (a) sering sekali
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
4. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove dalam evaluasi pelaksanaan rehabilitasi yang digerakan atau difasilitasi pemerintah atau LSM? (a) sering sekali
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
5. Apakah di desa ini sering dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh pemerintah?
70 (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
6. Apakah di Desa ini sering dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh LSM? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak- pernah
(d) tidak tahu
7. Bagaimana menurut anda bahwa dalam pelestarian hutan mangrove perlu dilakukan dengan pengawasan? (a) sangat setuju 8. Setujukah anda
(b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
bila pemerintah melakukan program pembinaan kepada
masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat dapat berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove? (a) sangat setuju
D.
(b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
Keterlibatan Pemerintah Dalam Pelestarian Hutan Mangrove 1. Menurut anda pernahkah pemerintah atau LSM memprogramkan/ melaksanakan pelestarian hutan mangrove? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
2. Menurut anda adakah peraturan pemerintah yang membatasi jumlah penebangan dan ukuran kayu mangrove yang boleh ditebang? (a) banyak
(b) ada
(c) tidak ada
(d) tidak tahu
Penjelasan: .................................................................................................................................... ......................................................................................................................... 3. Menurut anda pernahkah pemerintah mengadakan penyuluhan/ pelatihan/ pembinaan kepada masyarakat tentang lingkungan hidup? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
Penjelasan: .................................................................................................................................... .......................................................................................................................... 4. Menurut anda pernahkah LSM mengadakan penyuluhan/pelatihan/pembinaan kepada masyarakat tentang lingkungan hidup? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
Penjelasan: .................................................................................................................................... .........................................................................................................................
71 5. Bagaimana menurut anda pembangunan sarana dan prasarana kesiapan infrastruktur di desa ini? (a) sangat baik
(b) baik
(c) kurang baik
(d) buruk
Penjelasan: .................................................................................................................................... .......................................................................................................................... 6. Bagaimana menurut anda bila ada suatu ketetapan peraturan daerah yang mengatur tentang pelestarian hutan mangrove? (a) sangat setuju
(b) setuju
(c) tidak setuju
(d) tidak tahu
7. Menurut anda bagaimana kebijakan serta koordinasi instansi terkait dengan masyarakat dalam bidang pelestarian hutan mangrove? (a) sangat baik
(b) baik
(c) kurang baik
(d) buruk
Penjelasan: .................................................................................................................................... .......................................................................................................................... 8. Menurut anda bagaimana dengan bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah untuk pelestarian mangrove di desa ini? (a) sangat baik
(b) baik
(c) kurang baik
(d) buruk
Penjelasan: .................................................................................................................................... .......................................................................................................................... E.
Kelompok Yang Berupaya Memberi Berbagai Bentuk Pelayanan 1. Adakah wadah atau organisasi yang memberikan pelayanan berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove? (a) banyak
(b) ada
(c) tidak ada
(c) tidak tahu
2. Wadah atau organisasi apa saja yang di desa ini? (a) wadah nelayan (b) wadah petani
(c) tidak ada sama sekali
lainnya (sebutkan): ...................................................................................................
3. Apakah wadah/organisasi tersebut bermanfaat bagi anda? (a) sangat bermanfaat 4. Menurut
anda
(b) bermanfaat (c) kurang bermanfaat (d) biasa saja
apakah
keberadaan
wadah
organisasi
dapat
membantu
usaha/kehidupan ekonomi anda? (a) sangat membantu
(b) membantu (c) tidak membantu
(d) tidak tahu
5. Agar wadah/organisasi yang memberikan pelayanan yang berkaitan dengan
72 pengelolaan mangrove dapat efektif dengan baik maka:
F.
(a) perlu keterlibatan semua pihak
(b) cukup masyarakat saja
(c) cukup pemerintah saja
(d) tidak tahu
Manfaat Ekosistem Mangrove Bagi Masyarakat 1. Apakah anda setuju bahwa dengan tetap lestarinya hutan mangrove di kawasan ini dapat membawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya? (a) sangat setuju
(b) setuju (c) kurang setuju
(d) tidak setuju
2. Manfaat yang anda peroleh dari hutan mangrove diantaranya adalah menangkap udang, kepiting . ikan dengan mudah! (a) sangat setuju 3.
(b) setuju
(c) kurang setuiu
(d) tidak setuju
Pernahkah anda memanfaatkan mangrove sebagai bahan kayu bakar, bangunan, arang? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
4. Pernahkah anda memanfaatkan mangrove sebagai bahan baku obat-obatan atau lainnya? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
5. Setujukah anda bahwa fungsi dari ekosistem mangrove diantaranya sebagai pelindung pantai dari abrasi, angin badai, penangkap sedimen, limpur, per,Aitn gelombang? (a) sangat setuju
(b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
6. Setujukah anda bahwa fungsi dari ekosistem mangrove diantaranya juga sebagai tempat hidup ikan, tempat memijah dan tempat mencari makan? (a) setuju
(b) setuju
(c) kurang setuju
(d) tidak setuju
7. Pernahkah anda mencari kepiting atau kerang di mangrove? (a) sering
(b) kurang
(c) tidak pernah
(d) tidak tahu
8. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan, kepiting, dan udang? (a) sangat berpengaruh
(b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh (d) tidak tahu
9. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil budidaya tambak? (a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh (d) tidak tahu 10. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil budidaya kerang? (a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh (d) tidak tahu
73 Lampiran 05. Tabel Isian Manfaat Langsung Hasil Kayu Bakar Manfaat
Responden
Frekuensi /Tahun
Produksi/ frekuensi (Batang
JUMLAH Rata -rata
Produksi/ Tahun (Batang)
Harga (Rp/Batang)
Nilai Manfaat (Rp/Thn)
Lampiran 6. Hasil pengamatan pada stasiun I Pohon Jalur 1
Plot 1
2
3
4
5
Jenis Mangrove Rhizophora apiculata
Jlh Indv. 3
Sonneratia alba Rhizophora stylosa
1 2
Bruguiera gymnorrhiza
2
Rhizophora stylosa
2
Sonneratia alba
3
Ceriops tagal
2
DHB 60 50
3.5
70 150 50 60
3.5 5 4 4
50 40 45 36 22 54 85 25
4 4.5 3 3.4 3 5.4 6 3
30
3.1 3 3.5 3 7
Lumnitzera littorea
2
Xylocarpus granatum
1
25 27 38
Sonneratia alba
1
180
Rhizophora apiculata
2
Rhizophora stylosa
3
Bruguiera gymnorrhiza
2
Rhizophora stylosa Ceriops tagal
1 1
Tinggi (meter) 4
20 50 60 35 45
3.3 5 4 3 3.3
36 65 45 27
3 4 4.3 3
Anakan Jlh Indv. 2
Semaian
Tipe
Jlh Indv.
Substrat
15
Pasir Pasir bercampur patahan karang
Parameter Lingkungan pH pH Salinitas Air Tanah 29 30 8,0 6.5
Suhu
Fauna Do
Teresterial
Aquatik
6,17 serangga
Littorina scabra
burung
2
5
Pasir berlumpur
29
30
8,0
6.0
6,12
32
34
8.2
6.4
6,12
2 6
10
5 Lumpur berpasir
4
3
5
9 2
4
12
2
4
4
2
6 3
Cerihidea cingulata Terebralia palustris
29
30
8.6
6.8
6,15
30
30
8.0
6.2
6,10
Pasir berlumpur
Pasir berlumpur
Telescopium telescopium Cerihidea cingulata Terebralia palustris
75 Lanjutan Lampiran 6 Jalur
Plot
2
1
2
3
4
5
Jenis Mangrove Sonneratia alba
Jlh Indv. 1
Rhizophora apiculata
2
Rhizophora stylosa
2
Bruguiera gymnorrhiza
Pohon Tinggi DHB (meter) 200 6.6
Anakan Jlh Indv. 2
Semaian
Tipe
Jlh Indv.
Substrat
32
22 50 80 55
3 4 4 3.3
4
10
1
6
1
80
6
2
5
Rhizophora stylosa Ceriops tagal Rhizophora apicullata
1 1 2
60 35 36 56
4.3 4 3 4
2 2 2
22 12
Lumnitzera littorea
2
Xylocarpus granatum
2
Rhizophora stylosa
3
Rhizophora apiculata
2
31 23 26 34 46 50 22 34 50
4 3.4 3 3 4 5 2.6 2.5 2.4
Ceriops tagal
2
23 39
4 3.7
4
Bruguiera gymnorrhiza
1
67
5.6
2
Xylocarpus granatum
2 1
4 5 6
5
Sooneratia alba
70 89 120
Lumnitzera littorea
1
31
4
Xylocarpus granatum
2
Rhizophora stylosa
3
25 30 46 50 22
3 3 4 5 2.6
2 2
5
1
10
3
8
1
Suhu
Parameter Lingkungan pH pH Salinitas Air Tanah 33 8,2 6.5
Fauna Do
Teresterial
6,16
serangga
Pasir berlumpur
Aquatik
Telescopium telescopium Polymesoda erosa
lumpur berpasir
30
33
8.2
6.8
6,11
Littorina scabra
lumpur berpasir
30
34
8.6
6.8
6,18
Telescopium telescopium Cerihidea cingulata Terebralia palustris
Pasir berlumpur
30
30
8.0
6.2
6,14
serangga
Telescopium telescopium Polymesoda erosa Polymesoda bengalensis
1
2 2
5
1
10
lumpur berpasir
30
34
8.6
6.8
6,14
Telescopium telescopium Cerihidea cingulata Terebralia palustris
76 Lampiran 7. Hasil pengamatan pada stasiun II Jalur
Plot
1
1
2
3
4
5
Jenis Mangrove Rhizophora stylosa
Jlh Indv. 3
Sonneratia alba Rhizophora apiculata
1 2
Bruguiera gymnorrhiza
2
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Ceriops tagal
1 1 1
Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata
1 2
Rhizophora mucronata
3
Ceriops tagal
3
Bruguiera gymnorrhiza
2
Rhizophora apiculata Xylocarpus granatum
1 2
Bruguiera gymnorrhiza
2
Rhizophora apiculata Ceriops tagal Xylocarpus granatum
1 1 3
Pohon Tinggi DHB (meter) 70 3 50 3.5 66 3.5 250 6.2 56 4 78 5 50 65 80 69 35
6 5 4.3 6.8 4
89 56 47 45 69 90 20
5 3 3.4 6 6.8 5 3
31 23 78 80 76 45 56
3.1 3.4 5.2 4 3 3.5
50 65 76 27 25 45 38
6 5 5 4 3.5 2 3
Anakan Jlh Indv. 2
1 2
Semaian Jlh Indv. 10
Tipe Substrat
Suhu
Parameter Lingkungan pH Salinitas Do Air 33 8,0 16,23
Fauna pH Tanah 6.0
Aquatik
30
lumpur berpasir
30
33
8.2
16,21
6.8
Nerita exuvia littorina scabra Telebraria sulcata
Pasir berlumpur
30
33
8,0
16,17
6.0
Nerita exuvia littorina scabra Telescopium telescopium
32
34
8.2
16,17
6.4
littorina scabra
5
3
Teresterial
Pasir
5
Nerita maxima Turbo breneus Nerita albicilia littorina scabra Nerita undulata Cipraea talpa
1 2
4
8 2
6
3
4
2
Lumpur Lumpur berpasir
Nerita costata Polymesoda erosa
6
1
3
2 1
4 6 6
lumpur berpasir
30
32
8.0
16,16
6.2
Telescopium telescopium Polymesoda erosa Nerita albicilia Nerita undulata
77
Lanjutan Lampiran 7 Jalur 2
Plot 1
2
3
4
5
Jenis Mangrove Sonneratia alba
Jlh Indv. 1
Rhizophora stylosa
3
Rhizophora apiculata
1
Ceriops tagal
2
Bruguiera gymnorrhiza
1
Rhizophora apiculata
2
Sonneratia alba
1
Rhizophora stylosa
4
Rhizophora apiculata
1
Ceriops tagal
2
Bruguiera gymnorrhiza
1
Rhizophora apiculata
2
Rhizophora mucronata
Pohon Tinggi DHB (meter) 145 6.6
Anakan Jlh Indv. 2
Semaian
Tipe
Jlh Indv.
Substrat
1
4
Suhu 28
Parameter Lingkungan pH Do Air 30 8.0 16,19
Salinitas
Fauna pH Tanah 6.2
Lumpur berpasir
Teresterial Burung
Aquatik Nerita maxima
60 78 84 80
6.2 5 3 3
31 23 82
4 3.4 5.2
3
5
46 89 235
4 5 7
3
2
43 50 57 30 80
6.2 5 4 3 3
3
8
Pasir Pasir berlumpur
23 39 67
4 3.7 5.6
4
lumpur berpasir
30
32
8.0
16,21
6.2
Telebraria sulcata littorina scabra Polymesoda erosa
4 5 6
5
1
70 89 67
1
1
Ceriops tagal
1
23
4
2
3
Pasir berlumpur
30
32
8.0
16,20
6.2
Bruguiera gymnorrhiza
4
5.6
Rhizophora apiculata
2
Rhizophora mucronata Xylocarpus granatum
1 1
67 45 32 44 70 89 50 45
Telebraria sulcata littorina scabra Polymesoda erosa
4 5 6 3.5
Turbo breneus Nerita albicilia Nerita undulata
1
2
lumpur berpasir
32
34
8.6
16,18
6.8
littorina scabra Nerita costata Polymesoda erosa Nerita exuvia littorina scabra
29
30
8.2
16,17
6.8
Cyclina sinensis Nerita costata Telebraria sulcata
2
2
5
20
1 4
15 2
78
Lampiran 8. Hasil pengamatan pada stasiun III Jalur 1
Plot 1
2
3
4
5
Jenis Mangrove
Pohon
Aegiceras floridum Sonneratia alba
Jlh Indv. 1 3
Rhizophora stylosa
2
Rhizophora apiculata
2
Rhizophora stylosa
2
Xylocarpus granatum
4
Rhizophora apiculata Sonneratia alba
1 2
Rhizophora apiculata
3
Bruguiera gymnorrhiza
2
Sonneratia alba
2
Sonneratia alba
2
Rhizophora stylosa
3
DHB 30 120 200 80 65 58
Tinggi (meter) 3 4 6 3.5 3.5 3
40 30 50 65 75 60 50 47 36 90 40 220 80 75 100 110 98 80 90
3.4 3.3 4 5 3.4 3.5 4 3 3 6.6 4 7 4.3 4 5 6 5.6 6 5
250 22 40 60 70
7 2 3.5 3 4
Anakan Jlh Indv. 1
Semaian
Tipe
Jlh Indv.
Substrat
4
2
4
1
2
2
6
5
7
Parameter Lingkungan pH Do Air
Suhu
Salinitas
Pasir Pasir Berlumpur Pasir bercampur Patahan karang
29
30
Lumpur berpasir
30
33
30
32
29
30
30
32
Fauna
6,15
pH Tanah 6.0
8.4
6.15
6.3
8.3
6,18
6.2
Tereblaria sulcata Littorina scabra
6,20
6.0
Tereblaria sulcata Chicoreus capucinus Clypeomorus coralium Cerithium kobelti Clypeomorus columna ikan glodok
6,21
6.2
8,0
Teresterial Serangga Kadal
Lumpur berpasir
Aquatik Telescopium telescopium littorina scabra Turbo breneus Tereblaria sulcata Plagiocardium pseudulatum Turbo Cidaris Nerita albicilia Clypeomorus moniliferus Trochus stellatus Nassarius reeanus Ventricolaria rugatina Clypeomorus coralium ikan glodok Tereblaria sulcata Chicoreus capucinus Clypeomorus columna ikan glodok
3
3
9
8,0
Pasir Berlumpur Lumpur berpasir 2
12
2
1
2 2
4
Pasir Pasir Berlumpur Pasir bercampurPatahan Karang
8.3
burung
Telescopium telescopium Turbo breneus Tereblaria sulcata Nerita albicilia Clypeomorus coralium ikan glodok
79 Lanjutan lampiran 8 Jalur 2
Plot 1
2
3
4
5
Jenis Mangrove Rhizophora apiculata
Jlh Indv. 3
Pohon Tinggi DHB (meter) 22 2.5 45 4 70
4
Sonneratia alba
3
120 88 75
6 5 3.4
Rhizophora apiculata
4
34 56
2.5 4
70 56
4
Rhizophora stylosa
3
40 50 80
6 5 3.4
Sonneratia alba
1
220
7
Rhizophora stylosa
2
40 50
3.5 3
Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera gymnorrhiza
1 1
50 210
5.5 4
1
45
5
Xylocarpus granatum
2
65 50
4 4
Rhizophora apiculata Sonneratia alba
1 2
70 40 65
5.5 4 4
Bruguiera gymnorrhiza
1
60
5
Anakan Jlh Indv. 2
Semaian Jlh Indv.
Tipe Substrat
5
Suhu 30
Parameter Lingkungan pH Salinitas Do Air 34 8 6,10
Fauna pH Tanah 6.6
Teresterial
Pasir Berlumpur Lumpur berpasir
5
Aquatik Telescopium telescopium littorina scabra Turbo breneus Turbo Cidaris Nerita albicilia
8 30
34
8
6,18
6.6
30
33
8.4
6,20
6.3
Telescopium telescopium littorina scabra
Pasir Berlumpur
3
23
Lumpur berpasir
Lumpur berpasir
Lumpur berpasir
1 2
30
34
8.4
6,16
6.3
3
Telescopium telescopium
serangga
littorina scabra Turbo breneus Tereblaria sulcata Plagiocardium pseudulatum Turbo Cidaris Nerita albicilia Clypeomorus moniliferus Clypeomorus coralium ikan glodok
ikan glodok Tereblaria sulcata Littorina scabra
2
30 Pasir berlumpur
3
burung
34
8
6,18
6.6
Tereblaria sulcata Littorina scabra Nerita albicilia
80 Lampiran 9. Komposisi jenis fauna akuatik di Kecamatan Jailolo Selatan Stasiun I No
Famili
Ordo
Genus
Spesies
1
Potamididae
Mesogastropoda
Tereblaria
Tereblaria palustris
2
Cerithiidae
Mesogastropoda
Cerithium
Cerithidae singulata
3
Littorinidae
Mesogastropoda
Littorina
Littorina scabra
4
Corbicalidae
Corbicalidea
Polymesoda
Polymesoda erosa
Stasiun II No
Famili
Ordo
Genus
Spesies
1
Cerithiidae
Mesogastropoda
Clypeomorus
Clypeomorus moniliferus
2
Cerithiidae
Mesogastropoda
Clypeomorus
Clypeomorus coralium
3
Cerithiidae
Mesogastropoda
Clypeomorus
Clypeomorus columna
4
Cerithiidae
Mesogastropoda
Cerithium
Cerithium kobelti
5
Littorinidae
Mesogastropoda
Littorina
Littorina scabra
6
Neritidae
Mesogastropoda
Nerita
Nerita albicilia
7
Potamididae
Mesogastropoda
Telescopium
Telescopium telescopium
8
Potamididae
Mesogastropoda
Telescopium
Tereblaria sulcata
9
Turbinidae
Mesogastropoda
Turbo
Turbo breneus
10
Turbinidae
Mesogastropoda
Turbo
Turbo Cidaris
11
Muricidae
Neogastropoda
Murex
Chicoreus capucinus
12
Nassarius
Neogastropoda
Nassarius
Nassarius reeanus
13
Trochidae
Archaegastropoda Trochus
Trochus stellatus Plagiocardium
14
Cardiidae
Cardiidea
Plagiocardium pseudulatum
15
Veneridae
Veneridea
Ventricolaria
Ventricolaria rugatina
81 Lanjutan Lampiran 9 Stasiun III
No
Famili
Ordo
Genus
Spesies
1
Cipraeidae
Mesogastropoda
Cyraea
Cypraea talpa
2
Littorinidae
Mesogastropoda
Littorina
littorina scabra
3
Neritidae
Mesogastropoda
Nerita
Nerita maxima
4
Neritidae
Mesogastropoda
Nerita
Nerita albicilia
5
Neritidae
Mesogastropoda
Nerita
Nerita undulata
6
Neritidae
Mesogastropoda
Nerita
Nerita exuvia
7
Neritidae
Mesogastropoda
Nerita
Nerita costata
8
Turbinidae
Mesogastropoda
Turbo
Turbo breneus
9
Veneridae
Veneridea
Cylina
Cyclina sinensis
82
Lampiran 10. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian
Rhizophora stylosa
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Bruguiera gymnorrhiza
Lumnitzera littorea
Ceriops tagal
83
Xylocarpus granatum
Sonneratia alba
Aegiceras floridum
84 Lampiran 11. Pengambilan Data di Lokasi Penelitian
85 Lampiran 12. Goal Skenario Keputusan
86
87
Lampiran 13. Hirarki strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo Selatan
88 Lampiran 14. Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PEM) yang berkelanjutan di Kecamatan Jailolo Selatan
Responden 1 (Masyarakat) PEM
Masyarakat
Masyarakat
Pemerintah 1
Pemerintah
LSM
3
1/3
1
1
LSM
1
Responden 2 (Masyarakat) PEM
Masyarakat
Masyarakat
Pemerintah 1
Pemerintah
LSM
3
1/3
1
1/3
LSM
1
Responden 3 (Pemerintah) PEM
Masyarakat
Masyarakat
Pemerintah 1
Pemerintah
LSM
5
3
1
1/5
LSM
1
Responden 4 (Pemerintah) PEM
Masyarakat
Masyarakat
Pemerintah 1
Pemerintah
LSM
5
1/3
1
1/5
LSM
1
Responden 5 (LSM) PEM Masyarakat Pemerintah LSM
Masyarakat
Pemerintah 1
LSM
1/3
5
1
5 1
89
Matriks Penilaian Perbandingan Dari Responden Terhadap Masyarakat Responden 1 (Masyarakat) Masyarakat
PPDLK
PPDLK
TLPDT 1
1/3
TLPDT
1
Responden 2 (Masyarakat) Masyarakat
PPDLK
PPDLK
TLPDT 1
3
TLPDT
1
Responden 3 (Pemerintah) Masyarakat
PPDLK
PPDLK
TLPDT 1
1/3
TLPDT
1
Responden 4 (Pemerintah) Masyarakat
PPDLK
PPDLK
TLPDT 1
1/5
TLPDT
1
Responden 5 (LSM) Masyarakat PPDLK TLPDT
PPDLK
TLPDT 1
1/3 1
90
Matriks Penilaian Perbandingan dari para responden Terhadap Pemerintah
Responden 1 (Masyarakat) PEMERINTAH
PPL
PPL
PPEM 1
PPEM
PLPDI 3
1/3
1
1/3
PLPDI
1
Responden 2 (Masyarakat) PEMERINTAH
PPL
PPL
PPEM 1
PPEM PLPDI
PLPDI 3
3
1
3 1
Responden 3 (Pemerintah) PEMERINTAH
PPL
PPL
PPEM 1
PPEM PLPDI
PLPDI 7
3
1
1/3 1
Responden 4 (Pemerintah) PEMERINTAH
PPL
PPL
PPEM 1
PPEM PLPDI
PLPDI 3
3
1
5 1
Responden 5 (LSM) PEMERINTAH PPL PPEM PLPDI
PPL
PPEM 1
PLPDI 5 1
1/5 1
91
Matriks Penilaian Perbandingan dari para responden Terhadap LSM
Responden 1 (Masyarakat) LSM
MFEEM
MFEEM
KLP 1
KLP
3 1
Responden 2 (Masyarakat) LSM
MFEEM
MFEEM
KLP 1
KLP
3 1
Responden 3 (Pemerintah) LSM
MFEEM
MFEEM
KLP 1 1/3
KLP
1
Responden 4 (Pemerintah) LSM
MFEEM
MFEEM
KLP 1 1/5
KLP
1
Responden 5 (LSM) LSM MFEEM KLP
MFEEM
KLP 1
5 1
92
Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Peningkatan Pendapatan dan Lapangan Kerja (PPDLK)
Responden 1 (Masyarakat) PPDLK
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1
Skenario 2 1 1
Skenario 3 3 3 1
Skenario 4 3 3 5 1
Responden 2 (Masyarakat) PPDLK
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1
Skenario 2 3 1
Skenario 3 3 3 1
Skenario 4 5 1/3 1/7 1
Responden 3 (Pemerintah) PPDLK
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1
Skenario 2 5 1
Skenario 3 3 5 1
Skenario 4 7 1/5 1/5 1
Responden 4 (Pemerintah) PPDLK
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1
Skenario 2 3 1
Skenario 3 5 5 1
Skenario 4 7 1/7 1/3 1
Responden 5 (LSM) PPDLK Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 1 1
Skenario 2 5 1
Skenario 3 5 3 1
Skenario 4 3 1/5 1 1
93
Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Tersedianya Lahan Pemukiman dan Tambak (TLPDT) Responden 1 (Masyarakat) TLPDT
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3
1
5 1
3 1/3 1
Skenario 4 1 1/3 1/3 1
Responden 2 (Masyarakat) TLPDT
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3
1
1 1
1 5 1
Skenario 4 1 1/3 1 1
Responden 3 (Pemerintah) TLPDT
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3
1 1/3 1
3 5 1
Skenario 4 1/3 1/3 1/5 1
Responden 4 (Pemerintah) TLPDT
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3
1
3 1
5 7 1
Skenario 4 3 1/3 1 1
Responden 5 (LSM) TLPDT Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 1
Skenario 2 Skenario 3
1 1/3 1
1 1 1
Skenario 4 1/3 1/5 1 1
94 Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Pengaturan Penggunaan Lahan (PPL)
Responden 1 Masyarakat) PPL Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 2 (Masyarakat) PPL Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 1 1
Skenario 2 1/3 1
Skenario 4 7 1 9 1 1 1 1
Skenario 3 Skenario 4 1/3 1 7 1/3 1/3 1 1
Responden 3 (Pemerintah) PPL Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 1/5 1 Skenario 2 1 Skenario 3 Skenario 4 Responden 4 (Pemerintah) PPL Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 1 1 Skenario 2 1 Skenario 3 Skenario 4 Responden 5 (LSM) PPL Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 3
Skenario 2 1/5 1
Skenario 3
Skenario 4 7 3 9 1/5 1/3 1 1
Skenario 3
Skenario 4 7 5 7 1/5 1 1 1
Skenario 3
Skenario 4 1/3 1 5 1/7 1 1 1
95 Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Pengaturan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PPEM)
Responden 1 (Masyarakat) PPEM
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3 1/3
1
1
1 3 1
Skenario 4 1 1/3 1 1
Responden 2 (Masyarakat) PPEM
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3 1/5
1
1
3 3 1
Skenario 4 1 1/5 1 1
Responden 3 (Pemerintah) PPEM
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 3 1/5
1
1
7 5 1
Skenario 4 3 1/7 1 1
Responden 4 (Pemerintah) PPEM
Skenario 1
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1
Skenario 2 Skenario 3 1/3 1
7 1 1
Skenario 4 5 1/5 1/3 1
Responden 5 (LSM) PPEM Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 1 1
Skenario 2 Skenario 3 1/5
1/3
1
3 1
Skenario 4 1 1/7 1 1
96 Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Penyediaan Lahan Pemukiman dan Infrastruktur (PLPDI)
Responden 1 (Masyarakat) PLPDI Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 2 (Masyarakat) PLPDI Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2
Skenario 3
5 1
3 1/3 1
Skenario 2
Skenario 3
5 1
3 3 1
Responden 3 (Pemerintah) PLPDI Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 1 1 Skenario 2 1 Skenario 3 Skenario 4 Responden 4 (Pemerintah) PLPDI Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 3 1 Skenario 2 1 Skenario 3 Skenario 4 Responden 5 (LSM) PLPDI Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 3 3 3 1
Skenario 3 5 7 1
Skenario 2 5
Skenario 3 5
1
3 1
Skenario 4 7 1 3 1
Skenario 4 5 1/3 3 1
Skenario 4 3 3 1 1
Skenario 4 7 1/7 1 1
Skenario 4 1 1/5 3 1
97 Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Mempertahankan Fungsi Ekologis Ekosistem Mangrove (MFEEM)
Responden 1 (Masyarakat) MFEEM Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 2 (Masyarakat) MFEEM Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 5 1
Skenario 2 5 1
Responden 3 (Pemerintah) MFEEM Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 5 1 Skenario 2 1 Skenario 3 Skenario 4 Responden 4 (Pemerintah) MFEEM Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 5 1 Skenario 2 1 Skenario 3 Skenario 4 Responden 5 (LSM) MFEEM Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 5 1
Skenario 3 1 7 1
Skenario 3 1 7 1
Skenario 3 7 5 1
Skenario 3 5 7 1
Skenario 3 1 3 1
Skenario 4 1/3 7 1 1
Skenario 4 1/3 5 1 1
Skenario 4 5 5 3 1
Skenario 4 7 7 5 1
Skenario 4 1/3 7 3 1
98 Data matriks Penilaian Perbandingan terhadap Kelestarian Lingkungan Pesisir (KLP)
Responden 1 (Masyarakat) KLP Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 2 (Masyarakat) KLP Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 3 (Pemerintah) KLP Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 4 (Pemerintah) KLP Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Responden 5 (LSM) KLP Skenario 1 Skenario 1 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario 2 1/5
Skenario 3 1/3
1
5 1
Skenario 2 1/5
Skenario 3 1/3
1
5 1
Skenario 2 1/3 1
Skenario 2 1/3
Skenario 3 7 5 1
Skenario 3
Skenario 4 1 5 3 1
Skenario 4 1 5 3 1
Skenario 4 5 5 1 1
1
5 7 1
Skenario 4 5 7 1 1
Skenario 2 1/5
Skenario 3 1/3
Skenario 4 1/3
1
3 1
3 3 1