PENGEMBANGAN MODEL PENDUGA CURAH HUJAN BULANAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM PADA TIGA POLA HUJAN DI INDONESIA
MAMENUN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Model Penduga Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Satelit TRMM Pada Tiga Pola Hujan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
ABSTRACT MAMENUN. The Development of Model Estimation for Monthly Precipitation Using TRMM Satellite Data on Three Rainfall Regions within Indonesia. Under supervision of HIDAYAT PAWITAN DAN ARDHASENA SOPAHELUWAKAN. Rainfall is one of the atmosphere parameters which is quite difficult to predict because of its very high variability on space and time. The recent development of rainfall observation technology nowadays is using rainfall satellite. This satellite has near real time rainfall monitoring, wide coverage and fast access. In this study, climatological analysis of rainfall pattern, statistical analysis to evaluate and validate TRMM data using selected ground stations and TRMM data, development of correction factor for TRMM data and monthly rainfall prediction using ARIMA model, have been done in three regions with different rainfall pattern. Those areas are monsoonal pattern in Lampung, East Java and Kalimantan Selatan; equatorial pattern in North Sumatera and West Kalimantan; and local pattern in Maluku. The validation analysis showed very high correlation with the gauge data for monsoonal pattern area (>0.80), high correlation for equatorial (>0.60) and local pattern area (>0.75). Each pattern area has a correction equation. In general, the error of corrected TRMM data decreased for monsoonal, equatorial and local pattern. The model of monthly rainfall prediction has been developed for corrected TRMM data with 95% level significance. The verification of model showed high coefficient correlation (r) in local pattern and monsoonal pattern, but lower on equatorial pattern. Keywords; TRMM, rainfall pattern, validation, ARIMA model.
RINGKASAN MAMENUN. Pengembangan Model Penduga Hujan Bulanan Menggunakan Data Satelit TRMM pada Tiga Pola Hujan di Indonesia. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN DAN ARDHASENA SOPAHELUWAKAN. Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Penggunaan satelit hujan dalam mengukur intensitas hujan untuk monitoring hujan terus mengalami perkembangan. Kelebihan satelit dalam mengukur intensitas hujan dibandingkan dengan stasiun hujan observasi di permukaan, yaitu memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi dan mencakup wilayah yang luas (± 770 Km2), data near realtime, akses cepat, dan ekonomis. Hal tersebut dapat mengatasi permasalahan data observasi hujan yang tidak lengkap, data kosong dan tidak akurat akibat kesalahan pengukuran atau kesalahan waktu memasukkan data, serta mengatasi permasalahan tidak ada data pengamatan terutama di wilayah yang tidak mempunyai stasiun pengamatan hujan. Di Indonesia, terdapat tiga wilayah hujan dengan pola berbeda di Indonesia, yaitu: (1) wilayah A (pola muson) yang dipengaruhi oleh muson basah barat laut dan muson kering tenggara; (2) Wilayah B (pola equatorial) yang dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone); (3) Wilayah C (pola lokal) yang dipengaruhi oleh kondisi lokal. TRMM merupakan satelit polar orbiting milik JAXANASA yang pertama kali diluncurkan pada bulan November tahun 1997. Satelit TRMM mempunyai resolusi cukup tinggi, yaitu resolusi temporal hingga 3 jam-an, dan resolusi spasial 0.25o x 0.25o (770 Km2). Pada penelitian ini, digunakan satelit TRMM tipe 3B42RT yang bersifat near real time, dimana dilakukan evaluasi dan validasi data satelit TRMM terhadap data observasi dan dilakukan pembangunan model penduga curah hujan bulanan dari data satelit TRMM pada tiga pola hujan di Indonesia. Analisis klimatologis selama 30 tahun (1981-2010) dilakukan untuk mengetahui pola hujan di masing-masing wilayah studi (Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Maluku). Selanjutnya dilakukan pemilihan stasiun hujan observasi berdasarkan kriteria ketersediaan data >75%, dalam satu grid TRMM mempunyai lebih dari satu stasiun hujan, dan sebaran stasiun cukup rapat. Grid TRMM dipilih dengan ukuran blok 2x2 sesuai dengan ketersediaan data hujan observasi. Evaluasi dan validasi data hujan satelit TRMM terhadap data hujan observasi dilakukan pada tiga pola hujan berbeda, yaitu pola muson, equatorial dan lokal. Evaluasi dilakukan terhadap data hujan satelit TRMM per grid dengan tiga dan satu stasiun, serta dilakukan terhadap blok grid berukuran 2x2. Evaluasi dan validasi dilakukan menggunakan analisis kurva massa ganda untuk melihat kontinuitas data, nilai korelasi untuk membandingkan sebaran data, parameter (MAE), (RMSE), dan relatif bias. Selanjutnya dilakukan penyusunan persamaan koreksi data satelit TRMM, dimana data TRMM terkoreksi digunakan untuk penyusunan model penduga hujan bulanan menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Berdasarkan analisis klimatologis, diperoleh bahwa pola hujan muson terdapat di wilayah Lampung, Jawa Tmur, dan Kalimantan Selatan; pola hujan equatorial terdapat di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat; sedangkan pola hujan lokal terdapat di
Maluku. Hasil perbandingan data satelit TRMM dengan grid berukuran 1x1 dan 2x2 terhadap data hujan observasi di wilayah pola hujan muson dan lokal diperoleh bahwa nilai korelasi pada grid 2x2 mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan grid berukuran 1x1. Sedangkan nilai RMSE pada grid 2x2 mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan grid berukuran 1x1. Di wilayah Maluku, perbandingan dilakukan antara grid berukuran 1x1 dengan rata-rata 3 grid berukuran 1x1 dengan masing-masing satu stasiun. Nilai korelasi dan RMSE pada wilayah Maluku menunjukkan pada ratarata 3 grid mempunyai nilai korelasi lebih tinggi dan nilai RMSE lebih rendah dibandingkan dengan satu grid. Berdasarkan hasil tersebut, digunakan grid 2x2 untuk melakukan evaluasi, penyusunan persamaan koreksi dan penyusunan model penduga hujan bulanan dari data satelit TRMM terkoreksi. Evaluasi data hujan satelit TRMM terhadap data observasi pada wilayah hujan muson, data satelit TRMM menunjukkan performa cukup baik secara pola maupun intensitas hujan. Intensitas hujan overestimate terjadi pada musim hujan namun pada musim kemarau cukup mendekati data observasi. Pada wilayah equatorial, data satelit TRMM menunjukkan overestimate yang cukup besar pada musim hujan dan cukup mendekati data pengamatan observasi pada musim peralihan dan musim kemarau. Sedangkan di wilayah lokal, intensitas hujan satelit TRMM cenderung underestimate pada musim hujan dan cukup dekat dengan data observasi pada musim kemarau. Persamaan faktor koreksi di wilayah hujan muson dan equatorial mempunyai bentuk geometrik, sedangkan untuk di wilayah hujan lokal mempunyai bentuk persamaan linier. Faktor koreksi di wilayah pola hujan muson, equatorial dan lokal untuk data satelit TRMM, menghasilkan penurunan nilai galat yang dihasilkan oleh data TRMM terhadap data observasi. Selain itu, penggunaan faktor koreksi juga meningkatkan nilai koefisien korelasi antara data satelit TRMM dengan data observasi. Secara intra-seasonal di wilayah muson dan equatorial, pola hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda antar lokasi. Di wilayah pola hujan muson yaitu Lampung dan Jawa Timur, satelit TRMM terkoreksi menghasilkan intensitas hujan yang lebih mendekati hujan observasi di musim kemarau. Sedangkan di wilayah Kalimantan Selatan, intensitas hujan satelit TRMM terkoreksi di musim kemarau menjadi overestimate. Pada wilayah pola hujan equatorial, hasil koreksi satelit TRMM menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua lokasi dimana di Kalimantan Barat, hujan satelit TRMM terkoreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi pada musim kemarau. Sedangkan di Sumatera Utara, walaupun terdapat penurunan intensitas hujan setelah dikoreksi, intensitas hujan satelit TRMM masih menunjukan overestimate. Di wilayah pola hujan lokal, hasil koreksi data satelit TRMM menunjukkan intensitas hujan lebih mendekati hujan observasi terutama pada musim hujan,sedangkan pada musim kemarau menjadi overestimate. Pendugaan curah hujan bulanan data satelit TRMM menggunakan model ARIMA menunjukkan performa berbeda-beda di tiga wilayah pola hujan. Hasil verifikasi model prediksi terhadap data TRMM terkoreksi di wilayah pola hujan muson dan lokal, diperoleh nilai korelasi cukup tinggi, namun sebaliknya di wilayah pola hujan equatorial. Sedangkan pada verifikasi model penduga hujan ARIMA terhadap data observasi, wilayah pola hujan lokal mempunyai nilai korelasi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pola hujan muson dan lokal.
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MODEL PENDUGA CURAH HUJAN BULANAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM PADA TIGA POLA HUJAN DI INDONESIA
MAMENUN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yuli Suharnoto (Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian IPB)
PRAKATA Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih yang sangat besar penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr.Ardhasena Sopaheluwakan, M.Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan, bimbingan, dan berbagai masukan dalam penyusunan, pengolahan serta hasil dari penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Edvin Aldrian, B.Eng. M.Sc selaku kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, BMKG atas support dana dan berbagai arahan serta masukan yang sangat bermanfaat, Ronald Vernimmen (Deltares) atas diskusinya, Suami tercinta; Alimatul Rahim atas cinta, kasih sayang, dan support yang sangat besar kepada penulis, staf dan rekan – rekan program pasca sarjana Klimatologi Terapan - IPB, serta rekan-rekan di Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara – BMKG atas masukan dan dukungannya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Pendugaan Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Satelit TRMM pada Tiga Pola Hujan di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam menduga data hujan bulanan di wilayah Indonesia, terutama di wilayah yang tidak terdapat stasiun pengamatan hujan permukaan dengan menggunakan data satelit hujan yang telah divalidasi dan dikoreksi. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna sehingga masih membutuhkan untuk tambahan masukan, saran, kritik maupun perbaikan yang membangun sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh orang lain dan masyarakat umum. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk khalayak luas.
Bogor, Januari 2013
Mamenun
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Mei 1978 sebagai putri bungsu dari enam bersaudara, anak dari pasangan H. Ma’mun (alm) dan Hj. Mamah (alm). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar tahun 1991 dari sekolah Madrasah Ibtidayah TAMMAS Jakarta. Pada tahun yang sama masuk Madrasah Tsanawiyah Negeri 11 Jakarta dan selesai tahun 1994. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Umum Negeri 33 Jakarta dan lulus tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB, dan diterima di Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Institut Pertanian Bogor. Tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan ke program master pada program studi Klimatologi Terapan - Institut Pertanian Bogor dengan support dana dari Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sejak tahun 2005 dan menjadi Peneliti Pertama pada Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara – BMKG pada tahun 2010. Bidang penelitian yang dipilih penulis adalah ilmu klimatologi. Beberapa karya ilmiah telah penulis hasilkan antara lain: ‘Analisis Indeks Kebasahan Menggunakan Data Satelit’ dan ‘Kesesuaian Agroklimat Tanaman Padi dan Jagung di Semarang – Jawa Tengah’ yang keduanya diterbitkan pada Buletin Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tahun 2009, ‘Penentuan Tingkat Rawan Kekeringan Pada Lahan Sawah di Pulau Lombok’ yang diterbitkan pada Jurnal MEGASAINS tahun 2011, dan tahun 2012 karya ilmiah berjudul ‘Evaluation and Bias Correction of Satellite Rainfall Data for Drought Monitoring in Indonesia’ pada Jurnal online; Hydrological and Earth System Sciences. Saat ini, juga terdapat karya ilmiah yang sedang dalam proses terbit pada Jurnal Meteorologi dan Geofisika yang berjudul ‘Prediksi Anomali Curah Hujan Bulanan di Wilayah Makassar Menggunakan Teknik Statistical Downscaling’.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI....................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL............................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xvi
1.
2.
3.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Tujuan ................................................................................................ .. 1.3. Manfaat ................................................................................................. 1.4. Asumsi ..................................................................................................
1 5 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Hujan di Indonesia ....................................................................... 2.1.1. Pola Muson (Wilayah A) .......................................................... 2.1.2. Pola Equatorial (Wilayah B) ..................................................... 2.1.3. Pola Lokal (Wilayah C) ............................................................ 2.2. Satelit Hujan TRMM ........................................................................... 2.2.1. Karakteristik Satelit TRMM ..................................................... 2.2.2. Instrumentasi dan Sensor Satelit TRMM.................................. 2.2.3. Data Produk TRMM ................................................................. 2.3. Aplikasi Validasi Data Satelit TRMM................................................. 2.4. Model Persamaan Regresi dan Metode Kuadrat Terkecil ................... 2.5. Model Prediksi Arima (Autoregressive Integrated Moving Average). 2.6. Kriteria Pemilihan Model .....................................................................
6 8 9 10 11 11 13 15 18 20 21 24
METODOLOGI 3.1. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... 3.2. Data dan Alat ........................................................................................ 3.3. Metode Penelitian ................................................................................. 3.3.1. Analisis Klimatologis untuk Pola Hujan................................... 3.3.2. Ekstraksi Data Satelit TRMM................................................... 3.3.3. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM............................... 3.3.4. Analisis Hubungan dan Validasi Data Hujan Observasi dan Satelit TRMM ........................................................................... 3.3.5. Penentuan Faktor Koreksi untuk Data TRMM .........................
25 26 27 27 27 28 29 30
xii
3.3.6. Pendugaan Curah Hujan Bulanan Menggunakan Metode ARIMA..................................................................................... 31 3.3.7. Verifikasi Model Penduga Curah Hujan Terpilih..................... 35 4.
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat dan Pola Hujan Wilayah Studi .................................................... 4.1.1. Pola Hujan Muson (Wilayah A) ............................................... 4.1.2. Pola Hujan Equatorial (Wilayah B).......................................... 4.1.3. Pola Hujan Lokal (Wilayah C) ................................................. 4.1.4. Pola Hujan Berbeda dengan Variasi Musiman Tidak Jelas...... 4.2. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM .......................................... 4.2.1. Wilayah Pola Hujan Muson...................................................... 4.2.2. Wilayah Pola Hujan Equatorial ................................................ 4.2.3. Wilayah Pola Hujan Lokal ....................................................... 4.3. Evaluasi Data Hujan TRMM Terhadap Data Hujan Observasi Menggunakan Analisis Grid 1x1.......................................................... 4.4. Evaluasi Data Hujan TRMM Terhadap Data Hujan Observasi Menggunakan Blok Grid 2x2 ............................................................... 4.4.1. Evaluasi Kurva Massa Ganda................................................... 4.4.2. Pola Hujan Observasi dan Satelit TRMM ................................ 4.4.3. Analisis Statistik data Satelit TRMM dan Data Observasi ..... 4.5. Perbandingan Evaluasi Data Hujan TRMM dan Hujan Observasi Menggunakan Grid 1x1 dan Grid 2x2.................................................. 4.6. Analisis Faktor Koreksi dan Perbandingan Curah Hujan TRMM Sebelum dan Setelah Koreksi............................................................... 4.6.1. Analisis Faktor Koreksi Data Satelit TRMM ........................... 4.6.2. Perbandingan Curah Hujan TRMM Sebelum dan Sesudah Koreksi ..................................................................................... 4.7. Model Penduga Curah Hujan Bulanan TRMM.................................... 4.7.1. Hasil keluaran model ARIMA untuk masing-masing Wilayah 4.7.2. Verifikasi model ARIMA terhadap data TRMM terkorekasi dan observasi tahun 2010 ......................................................... 4.8. Pembahasan .........................................................................................
37 38 38 39 40 41 42 47 50 52 57 57 60 65 66 68 68 70 76 76 78 82
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan........................................................................................... 86 5.2. Saran .................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 89
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pembagian Wilayah Pola Hujan di Indonesia .............................................. 6 Pola Puncak Musim pada Tiga Wilayah Hujan.... ........................................ 7 Pembagian Tipe Hujan di Wilayah Indonesia ............................................... 8 Wilayah yang dipengaruhi oleh Muson Berdasarkan Ramage 1971............. 9 Orbit Satelit TRMM ...................................................................................... 12 Instrumen Satelit TRMM. ............................................................................. 13 Produk dan Proses Data TRMM versi 6 untuk Semua Level........................ 16 Skema Proses dan Output TRMM Level 3 .................................................... 17 Karakteristik Produk Data TRMM near real time (3B42RT) dan Post Product (3B42 dan 3B43)………… .............................................................. 18 10. Wilayah Studi Dengan Tiga Pola Hujan; Muson, Equatorial dan Lokal ...... 25 11. Diagram Alir Penelitian................................................................................. 36 12. Pola Hujan Muson di Kalimantan selatan, Lampung, Jawa Timur dan Sebagian Wilayah Maluku ............................................................................ 38 13. Pola Hujan Equatorial di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat ................. 39 14. Pola Hujan Lokal di Maluku ......................................................................... 40 15. Pola Hujan Wilayah Gorontalo ..................................................................... 40 16. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Lampung ..................... 43 17. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Jawa Timur ................. 45 18. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Kalimantan Selatan ..... 46 19. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Sumatera Utara ........... 48 20. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Kalimantan Barat ........ 49 21. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Maluku........................ 51 22. Hasil Pemilihan Stasiun dan Grid TRMM untuk Validasi dan Model Penduga Hujan Bulanan ................................................................................ 51 23. Perbandingan Intensitas Hujan Bulanan Data TRMM dengan Hujan Observasi Dalam Satu Grid dari Satu Stasiun dan Rata-Rata 3 Stasiun di Wilayah Pola Hujan Muson .......................................................................... 53 24. Perbandingan Intensitas Hujan Bulanan Data TRMM dengan Hujan Observasi Dalam Satu Grid menggunakan Satu Stasiun dan Rata-Rata 3 Stasiun di wilayah Pola Hujan Equatorial ................................. 55 25. Perbandingan Intensitas Hujan Bulanan Data TRMM dengan Hujan Observasi Stasiun Amahai di Wilayah Pola Hujan Lokal............................. 57 26. Kurva Massa Ganda curah hujan Observasi dan TRMM di Seluruh Wilayah periode 2003-2009......................................................................................... 58 27. Scatterplot Curah hujan Bulanan Observasi terhadap Sateli TRMM Periode 2003-2009 di Setiap Wilayah ........................................................................ 60
xiv
28. Plot Perbandingan Curah Hujan Bulanan Observasi dan Satelit TRMM Periode 2003-2009 Wilayah pola Hujan Muson........................................... 29. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah Pola Hujan Muson ..................... 30. Plot Perbandingan Curah Hujan Bulanan Observasi dan Satelit TRMM Periode 2003-2009 Wilayah pola Hujan Equatorial ..................................... 31. Perbandingan Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah pola Hujan Equatorial .................................................................................. 32. Perbandingan Curah Hujan Bulanan Observasi dan Satelit TRMM Periode 2003-2009 Wilayah Pola Hujan Lokal ......................................................... 33. Perbandingan Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Observasi dan Satelit TRMM di Wilayah Pola Hujan Lokal .......................................................... 34. Perbandingan Nilai Korelasi dan RMSE antara Data Hujan TRMM Grid Ukuran 1x1 dan 2x2 di Setiap Wilayah ....................................................... 35. Perbandingan Pola Hujan Observasi, TRMM Sebelum dikoreksi (TRMM) dan Setelah dikoreksi (TRMM Koreksi) di Wilayah Pola Hujan Monsun... 36. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi,TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan Muson....... 37. Perbandingan Pola Hujan Observasi, TRMM Sebelum dikoreksi (TRMM) dan Setelah dikoreksi (TRMM Koreksi) di Wilayah Pola Hujan Equatorial 38. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi,TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan equatorial . 39. Perbandingan pola hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi (TRMM) dan setelah dikoreksi (TRMM koreksi) di wilayah pola hujan lokal .......... 40. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi,TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan lokal .......... 41. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap hujan TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan……………………………………………………... 42. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat ……………………………………………………………………... 43. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Maluku …………….…………...
61 62 63 63 64 65 68 71 72 74 74 75 75
80
81 82
xv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik Utama Satelit TRMM .............................................................. 12 2. Jumlah dan Persentase Ketersediaan Data Klimatologis Stasiun Periode 1981-2010 ................................................................................... 37 3. Perbandingan Jumlah Stasiun dan Grid TRMM Hasil Pemeriksaan dan pemilihan Stasiun .......................................................................................... 41 4. Rekapitulasi Tiga Stasiun Hujan dan Grid yang Digunakan Untuk Evaluasi Hujan Dalam Satu Grid (Ukuran 1x1)........................................................... 52 5. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, MAE dan Relatif Bias Untuk Data Observasi dan TRMM Grid 1x1 di Wilayah Pola Hujan Muson .................. 54 6. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, MAE dan Relatif Bias Untuk Data Observasi dan TRMM Grid 1x1 di Wilayah Pola Hujan Equatorial............. 56 7. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, MAE dan Relatif Bias Untuk Data Stasiun Amahai dan TRMM Grid 1x1 di Wilayah Pola Hujan Lokal .......... 57 8. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, dan Relatif Bias untuk Data observasi dan TRMM Periode 2003-2009 di Masing-Masing Wilayah ..................... 65 9. Perbandingan Nilai Koefisien Determinasi Masing-Masing Bentuk Persamaan Regresi ....................................................................................... 69 10. Bentuk Persamaan Regresi dan Faktor Koreksi TRMM............................... 69 11. Perbandingan CH tahunan, RMSE, koefisien korelasi, MAE dan relatif bias antara data TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi pada seluruh wilayah.............................................................................................. 70 12. Hasil model ARIMA, koefisien model dan nilai p-value di masing-masing wilayah .......................................................................................................... 77 13. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias ) data hujan prediksi dengan TRMM terkoreksi tahun 2010 78 14. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias ) data hujan prediksi dengan data hujan observasi tahun 2010 ..................................................................................................... 79
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambaran Tampilan Software Delft-FEWS/DEWS untuk ekstraksi data satelit TRMM 3B42RT ............................................................................ 94 a. Tampilan spasial untuk curah hujan bulanan wilayah Indonesia dari data TRMM3B42RT.................................................................................. 94 b. Data Viewer untuk data curah hujan bulanan pada grid 14891 wilayah Jawa Timur periode 2002-2011 ................................................................. 95 2. Daftar stasiun untuk analisis klimatologis periode 1981-2010……………....96 3. Daftar stasiun terpilih dengan ketersediaan data >75% periode 2003-2009... 97 4. Daftar stasiun terpilih untuk validasi data satelit TRMM…………………...101 5. Hasil analisis ARIMA menggunakan Minitab 15…………………………...102
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan curah hujan di wilayah maritim tropis seperti Indonesia. Hal ini disebabkan karena dinamika atmosfer di atas wilayah Indonesia sangat kompleks, peristiwa konventif yang aktif, dan pengaruh topografi dengan relief pegunungan serta pergerakan muson Asia serta Australia (Tjasyono 2008; Aldrian & Susanto 2003). Selain itu, keragaman hujan di Indonesia juga dipengaruhi anomali suhu permukaan laut di kawasan laut Indonesia, kawasan Pasifik dan Samudera Hindia. Di wilayah Ambon, kondisi anomali Suhu Permukaan Laut (SST) Indonesia berperan terhadap sangat berperan terhadap maju-mundur awal musim hujan dan panjang-pendek musim (Swarinoto et al. 2009). Demikian halnya dengan anomali SST Nino 3.4 menunjukkan hal yang signifikan terhadap awal musim hujan di Ambon (Swarinoto et al. 2009). Hal-hal tersebut menyebabkan pendugaan dan prediksi hujan di Indonesia mempunyai kesulitan yang cukup tinggi. Di Indonesia, hujan merupakan parameter iklim yang sangat berpengaruh terhadap berbagai sektor. Sektor pertanian misalnya, curah hujan mempengaruhi sistem pertanian karena produktivitas pertanian sangat bergantung pada ketersediaan air yang cukup. Ketersediaan air menjadi faktor yang menyebabkan sawah menjadi sangat rentan mengalami gagal panen terutama untuk lahan sawah tadah hujan yang sistem pengairannya hanya menggantungkan pada hujan secara alamiah. Selain itu, pendugaan hujan pada skala musim, terutama musim hujan juga menjadi informasi sangat penting untuk kebutuhan perencanaan pertanian seperti penentuan masa tanam dan kalender tanam, serta penentuan pola tanam (Moron 2009). Pada sektor sumber daya air/hidrologi, curah hujan merupakan input utama dalam ketersediaan air di alam yang disimpan dalam waduk, danau, sungai, maupun air tanah. Sehingga input curah hujan yang akurat menjadi sangat penting dalam pemodelan hidrologi (Su 2008).
2
Fenomena iklim seperti intensitas hujan yang ekstrim juga dapat menjadi pemicu terjadinya bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Bencana tersebut menimbulkan kerusakan dan kerugian cukup besar, ditambah daya dukung lingkungan yang buruk dan sistem alam yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, hujan menjadi salah satu parameter iklim yang sangat penting dalam antisipasi bencana alam di wilayah Indonesia. Sehingga, kebutuhan ketepatan analisis dan pendugaan hujan atau prediksi di wilayah Indonesia menjadi tinggi. Hal ini memerlukan berbagai penelitian dengan beragam metode analisis untuk mendapatkan hasil analisa dan pendugaan hujan dengan tepat. Di Indonesia, kajian tentang pengembangan teknologi peramalan cuaca/iklim (dalam hal ini curah hujan) telah banyak dilakukan, terutama model yang bersifat stokastik (Boer 2005). Teknik analisis yang digunakan antara lain analisis time series, Fourier regression, fractal analysis dan neural network. Dalam kaitan dengan analisis iklim terutama curah hujan, kendala dan permasalahan yang masih sering dihadapi adalah minimnya ketersediaan data hujan observasi di permukaan baik cakupan spasial maupun temporal. Kendala dan permasalahan tersebut antara lain yaitu time series data hujan kurang panjang dan tidak lengkap/kosong, jumlah stasiun hujan masih kurang tersebar merata (Su 2008), kurang tenaga pengamat di stasiun hujan, sistem pengamatan dan pemasukan data masih manual, pengumpulan data dari lokal/daerah tertentu ke tingkat pusat yang masih terhambat dan berjalan lambat, dan format data yang belum standar. Kendala dan permasalahan tersebut menyebabkan data pengamatan hujan di permukaan masih sulit diperoleh dengan cepat dan membutuhkan pemeriksaan kualitas data sebelum dapat digunakan secara langsung untuk analisa lebih lanjut. Terkait dengan kendala dan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan metode alternatif dalam pendugaan hujan untuk mengatasi keterbatasan data hujan observasi. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah pemanfaatan data satelit hujan yang saat ini semakin mengalami perkembangan guna menghasilkan keluaran informasi hujan yang lebih akurat terutama di wilayah dimana pengamatan hujan permukaan sangat jarang (Su 2008).
3
Penggunaan satelit hujan dalam mengukur intensitas hujan untuk monitoring hujan terus mengalami perkembangan, bahkan juga digunakan untuk mengetahui hujan ekstrim (Curtis et al. 2007) dan monitoring kejadian siklon tropis (Kubota 2010). Sejak tahun 1980-an, teknologi pendugaan curah hujan dari satelit mulai mengembangkan radiometer gelombang mikro pasif (Passive microwave radiometer) yang mampu mengukur pantulan dari air hujan dan hamburan oleh salju dan awan es. Hingga saat ini, teknologi satelit dikembangkan dengan menggunakan metode kombinasi (blended method) yang menggabungkan data-data dari satelit yang membawa sensor infra merah dan sensor gelombang mikro. Kelebihan satelit dalam mengukur intensitas hujan dibandingkan dengan stasiun hujan observasi di permukaan antara lain memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi dan mencakup wilayah yang luas ± 770 Km2 (Su 2008; Huffman 2007), data near realtime (Huffman 2011), akses cepat, dan ekonomis karena data dapat diunduh secara gratis. Hal tersebut dapat mengatasi permasalahan data observasi hujan yang tidak lengkap, data kosong dan tidak akurat akibat kesalahan pengukuran atau kesalahan waktu memasukkan data, serta mengatasi permasalahan tidak ada data pengamatan, terutama di wilayah yang tidak mempunyai stasiun pengamatan hujan. Namun demikian, ketersediaan data satelit mulai tersedia antara tahun 1996 hingga tahun 1998 (Huffman 2007; Ozawa 2011). Selain itu, penggunaan data satelit tersebut juga perlu dilakukan validasi dan koreksi dengan data observasi permukaan agar dapat dievaluasi sejauh mana keakuratan keluaran data satelit terhadap data observasi di permukaan (Vernimmen et al. 2012; As-syakur et al. 2011; Rozante 2010). Sehingga, pada tahap analisis lanjutan galat pada data satelit dapat dikurangi dan data dapat lebih diandalkan.. Studi validasi dan koreksi data satelit telah dilakukan untuk studi typhoon Morakot taun 2009 menggunakan data hujan GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) di daerah aliran sungai Kaoping, Taiwan (Ozawa 2011). Dalam studi tersebut, dihasilkan formula koreksi data GSMaP dan digunakan untuk daerah aliran sungai Kaoping yang mempunyai tipe hujan sama namun tidak dapat diaplikasikan untuk seluruh wilayah Taiwan. Evaluasi keluaran data hujan
4
CMORPH (Climate Prediction Center Morphing Method) untuk interpolasi data hujan permukaan telah dilakukan di wilayah Indonesia (Oktaviani 2008). Pada studi tersebut juga dihasilkan model yang mampu mengisi data hilang 2-3 bulan dengan cukup baik. Pengembangan pemanfaatan data satelit dilakukan dengan membangun algoritma perhitungan curah hujan berbasis satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) yang disebut PERSIANN/ Precipitation Estimation from
Remotely
Sensed
Information
Using
Artifical
Neural
Networks
(Hong et al. 2005). PERSIANN didasarkan pada sensor Inframerah dan di-adjust dengan TRMM Microwave Imager. Studi validasi PERSIANN telah dilakukan menggunakan data stasiun hujan untuk skala harian dan bulanan menggunakan analisis statistik, korelasi, root mean square error (RMSE), bias, skill score, deteksi peluang (POD) dan False Alarm Ratio (FAR) (Hong et al. 2005). Kalibrasi data satelit TRMM (Tropical Rainfal Measuring Mission) telah dilakukan di wilayah Arab Saudi dimana ketepatan luaran data hujan satelit skala bulanan terhadap data hujan observasi lebih tinggi dibandingkan dengan skala harian (Almazroui 2011). Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model penduga curah hujan bulanan dari data satelit TRMM di wilayah Indonesia. TRMM merupakan satelit polar orbiting milik JAXA-NASA yang pertama kali diluncurkan pada bulan November tahun 1997 (Kummerow et al. 2000). Data satelit TRMM digunakan dalam penelitian ini karena mampu memonitor curah hujan di wilayah dimana data pengamatan curah hujan observasi kurang lengkap dan stasiun pengamatan hujan observasi cukup jarang (Kummerow et al. 2000; Su 2008). Selain itu, data hujan keluaran satelit TRMM menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan data hujan CMORPH dan PERSIANN untuk wilayah Indonesia (Vernimmen et al. 2012). Satelit TRMM mempunyai resolusi cukup tinggi, yaitu resolusi temporal hingga 3 jam-an, dan resolusi spasial 0.25o x 0.25o. Pada penelitian ini, digunakan data hujan keluaran satelit TRMM yang bersifat near realtime (mendekati waktu sebenarnya), sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk menduga curah hujan permukaan dengan lebih cepat dan tepat, terutama di wilayah di mana jumlah stasiun hujan sedikit.
5
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: -
Melakukan evaluasi dan validasi keluaran data TRMM dengan data hujan observasi permukaan pada tiga pola hujan berbeda di Indonesia
-
Menyusun model pendugaan curah hujan bulanan dari data TRMM pada tiga pola hujan di wilayah Indonesia.
1.3. Manfaat Pengembangan model pendugaan curah hujan yang dihasilkan dari data satelit TRMM dan divalidasi dengan data hujan observasi permukaan diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Mampu mengisi deret data hujan yang hilang atau kosong. 2. Mampu menduga curah hujan di wilayah yang tidak mempunyai stasiun hujan atau di stasiun hujan yang tidak mempunyai informasi hujan, sehingga data yang diduga dari model dapat digunakan untuk mendukung tujuan aplikasi lainnya seperti penyusunan strategi pertanian, monitoring bencana banjir serta kekeringan.
1.4. Asumsi Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa setiap stasiun hujan di wilayah dengan pola hujan sama, mempunyai bulan-bulan musim kemarau dan musim hujan yang sama.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Hujan di Indonesia Wilayah Indonesia mempunyai keragaman curah hujan cukup tinggi. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan pola hujan yang berbeda di wilayah Indonesia. Perbedaan pola hujan tersebut dipengaruhi oleh kondisi muson (monsoon), ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone), dan kondisi lokal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aldrian dan Susanto (2003), pola hujan di wilayah Indonesia secara dominan dibagi menjadi tiga, yaitu Wilayah A (dikenal dengan pola monsoonal/muson), Wilayah B (pola equatorial) dan Wilayah C (pola lokal). Gambaran tiga pola hujan di wilayah Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Pembagian wilayah pola hujan di Indonesia (Aldrian & Susanto 2003)
7
Gambar 2. Pola puncak musim di tiga wilayah hujan (Aldrian & Susanto 2003).
Penelitian lain dilakukan Hamada et al. (2002), pembagian wilayah hujan di Indonesia didasarkan pada kriteria variasi tahunan (C1) dan semi tahunan (C2) yang dibagi menjadi tipe I dan II, serta kriteria maksimum jumlah hujan rata-rata lima harian (pentad) selama bulan September-Februari atau Maret-Agustus, menjadi tipe A dan B (Gambar 3). Berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh lima tipe hujan, yaitu; 1. Tipe A-I; Siklus tahunan dominan (C1>C2), maksimum hujan terjadi selama September – Februari (selama pentad 14-49); 2. Tipe A-II; Siklus semi-tahunan dominan (C2>C1), maksimum hujan terjadi bulan September – Februari (selama pentad 14-49); 3. Tipe B-I; Siklus tahunan dominan (C1>C2), maksimum hujan terjadi selama Juli-Agustus atau Maret-Juni (selama pentad 1-13 atau 50-73); 4. Tipe B-II; Siklus semi-tahunan dominan (C2>C1), maksimum hujan terjadi bulan Juli-Agustus dan Maret-Juni (selama pentad 1-13 atau 50-73), 5. Tipe C; Musim hujan dan kemarau tidak jelas.
8
Gambar 3. Pembagian tipe hujan di wilayah Indonesia (Hamada et al. 2002)
2.1.1. Pola Muson (Wilayah A) Pola hujan muson dipengaruhi kuat oleh dua muson yang melalui wilayah Indonesia, yaitu muson basah barat laut dan muson kering tenggara serta berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut. Muson pada dasarnya disebabkan karena efek pemanasan yang berbeda antara benua/daratan dan lautan di sekitarnya yang berubah secara musiman. Angin muson berbalik arah secara musiman yang disebabkan karena perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan tersebut. Pada musim panas, karena sifat-sifat termalnya, daratan mempunyai suhu lebih tinggi dibandingkan lautan di sekitarnya. Makin tinggi suhu udara, makin kecil massa jenisnya sehingga semakin rendah tekanan permukaan. Pada musim panas ini, daratan merupakan pusat rendah dan angin bertiup dari lautan ke daratan tersebut. Sebaliknya pada musim dingin, suhu daratan lebih rendah dibanding lautan sehingga daratan menjadi pusat tekanan tinggi dan sirkulasi udara berlangsung dari daratan ke lautan. Pergerakan semu matahari dapat membalikkan arah gaya gradien tekanan dari daratan ke lautan yang menghasilkan perubahan arah angin muson akibat perbedaan pemanasan antara belahan bumi utara dan selatan. Muson barat yang terjadi pada saat belahan bumi utara mengalami musim dingin dimana angin bertiup dari wilayah utara (Siberia) menuju Australia yang melalui Indonesia dari arah barat daya, membawa udara lembab sehingga terjadi periode musim hujan di wilayah Indonesia. Sebaliknya pada musim panas di belahan bumi utara, angin
9
bertiup dari Australia menuju ke benua Asia (arah tenggara). Pada periode ini, wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Wilayah yang dipengaruhi oleh kondisi muson ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Wilayah yang dipengaruhi oleh muson berdasarkan Ramage 1971 (Linacre et al. 2008). Wilayah Indonesia dengan pola hujan muson (wilayah A) meliputi wilayah Indonesia bagian selatan dari Sumatera Selatan hingga kepulauan Timor, Kalimantan selatan, Sulawesi dan sebagian Irian Jaya (Aldrian & Susanto 2003). Wilayah A mempunyai satu puncak musim dan dipengaruhi kuat oleh dua muson, yaitu muson basah barat laut dari November hingga Maret (NDJFM) dan muson kering tenggara dari Mei hingga September (MJJAS). Akibatnya terdapat perbedaan yang jelas antara musim kemarau (curah hujan bulanan di bawah 150 mm) dan musim hujan (curah hujan bulanan di atas 150 mm). Menurut BMKG, Selama tiga bulan Desember-Januari-Februari (DJF) curah hujan yang terjadi relatif tinggi; disebut musim hujan, dan selama tiga bulan juga curah hujan cukup rendah yaitu Juni-Juli-Agustus (JJA); disebut musim kemarau. Sedangkan enam bulan sisanya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau).
2.1.2. Pola Equatorial (Wilayah B) Pola hujan semi-monsoonal atau equatorial berhubungan dengan pergerakan ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone) atau titik equinox (kulminasi) matahari. ITCZ merupakan pertemuan aliran udara dari sirkulasi Hadley yang terdapat di
10
tiap belahan bumi dimana pada bagian bawah setiap sel Hadley udara mengalir menuju ke khatulistiwa. Di ITCZ, kedua aliran dari belahan bumi utara dan selatan bertemu, kemudian naik ke atas dan menimbulkan awan serta curahan. Bahang laten yang dilepaskan selama penaikan udara ini merupakan energi yang diperlukan untuk melanjutkan seluruh sirkulasi sel Hadley. Wilayah Indonesia yang mempunyai pola hujan equatorial (wilayah B) meliputi wilayah barat daya Indonesia, termasuk bagian utara Sumatera dan sebagian Kalimantan dengan dua puncak musim, pada bulan Oktober-November dan Maret-Mei (Aldrian & Susanto 2003). Dua puncak musim tersebut berhubungan dengan pergerakan ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone) atau titik equinox (kulminasi) matahari.
2.1.3. Pola lokal (Wilayah C) Pola hujan lokal atau kebalikan dari pola hujan muson mempunyai satu puncak musim pada Juni–Juli dan satu palung pada Nopember - Pebruari (Aldrian & Susanto 2003). Wilayah C mempunyai pola lokal dimana pola hujannya dipengaruhi oleh kondisi lokal. Wilayah dengan pola hujan lokal (Wilayah C) terdapat di Maluku. Pada wilayah ini, curah hujan juga dipengaruhi oleh kondisi lautan dimana di sepanjang selatan Maluku merupakan jalur Arus Laut Indonesia (Arlindo) yaitu lintasan massa air hangat dari kawasan Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui laut Indonesia (Aldrian & Susanto 2003). Arlindo di Maluku membawa arus laut dari daerah kolam hangat (warm pool) yang berlokasi di kepulauan Irian Jaya bagian timur laut. Oleh karena itu, suhu permukaan laut di Maluku ditentukan oleh kondisi di daerah kolam hangat tersebut. Selama musim hujan (Nopember hingga Maret), posisi matahari berada di belahan bumi bagian selatan. Arlindo membawa massa air yang lebih dingin dari kolam hangat ke laut Maluku. Suhu muka laut yang lebih dingin tersebut menghalangi pembentukan zona konvektif. Sebaliknya, selama musim kemarau (Maret-September) suhu muka laut yang lebih hangat meningkatkan zona konvektif, sehingga puncak hujan terjadi pada bulan Mei hingga Juli (Aldrian & Susanto 2003).
11
2.2. Satelit Hujan TRMM Satelit TRMM diluncurkan pertama kali pada tanggal 27 Nopember 1997 hingga saat ini untuk tujuan studi karakteristik dan mekanisme curah hujan di wilayah tropis. Satelit TRMM merupakan satelit orbit polar yang membawa instrumen/sensor khusus; SSM/I (Special Sensor Microwave/Imager) yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mengatasi keterbatasan pengamatan teknologi radar cuaca. Sensor ini disebut juga sebagai detektor pasif karena mampu menerima energi microwave yang diemisikan secara alami dari permukaan bumi. Variasi jumlah energi yang diterima pada frekuensi berbeda dapat diinterpretasikan dalam hal unit curah hujan yang jatuh dekat permukaan ketika satelit berada di atasnya. Perkembangan teknologi pengukuran curah hujan global melalui satelit kemudian ditingkatkan melalui joint program antara Amerika Serikat (U.S) dan Jepang (Japanese Tropical Rainfall Measuring Mission). Satelit ini membawa detektor pasif microwave yang telah dikembangkan dan merupakan satelit pertama yang memiliki radar cuaca aktif, disebut Precipitation Radar (PR). Sebagai satelit pertama dengan radar curah hujan yang digunakan untuk mengukur curah hujan, TRMM secara tidak langsung mengukur curah hujan dengan menggunakan beberapa sensor microwave pasif (Li 2010). Prinsip dasar perhitungan curah hujan menggunakan satelit TRMM adalah didasarkan pada model hubungan antara radiasi gelombang mikro (microwave) dan jumlah air di dalam awan menggunakan hukum Planck (Li 2010).
2.2.1. Karakteristik satelit TRMM Satelit TRMM diluncurkan dengan peluncur Roket H-II dengan ketinggian jelajah ±350 km atau menjadi 405 km sejak 24 Agustus 2001. Satelit ini mengorbit pada wilayah tropis dengan cakupan 50o LU-50o LS menggunakan orbit circular (non-sunsynchronous) dengan sudut inklinasi ±35o. Proyeksi yang digunakan pada TRMM adalah proyeksi geografi, equiretangular projection, dan WGS84. Ilustrasi orbit satelit TRMM ditunjukkan pada Gambar 5.
12
Gambar 5. Orbit satelit TRMM (sumber: http://earthobservatory.nasa.gov/Features/TRMM Data satelit TRMM mempunyai resolusi spasial sebesar 0.25o x 0.25o atau sekitar 27.75 km x 27.75 km untuk setiap grid. Sedangkan untuk resolusi temporal hingga pengamatan 3 jam-an, dimana setiap pengamatan tersebut dapat di-rescale menjadi data harian dan bulanan. Pengamatan hujan resolusi 3 jam-an pada satelit TRMM antara lain untuk tipe 3B40RT, 3B42, 3B42RT (Huffman 2011). Karakteristik utama satelit TRMM ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik utama satelit TRMM Karakteritik
Keterangan
Peluncur Berat Waktu peluncuran Ketinggian Orbit Inklinasi Frekuensi orbit bumi Wilayah cakupan Ukuran Berat
Roket H-II ± 3,62 ton 28 November, 1997 jam 6:54 am (JST) ± 350 km (405 km sejak 24 Agustus 2001) Orbit circular (non-sun-synchronous) ± 35o Setiap 90 menit, 16 kali setiap hari 35o LU–35o LS panjang 5,1 m, diameter 3,7 m Total: 3,524 kg, bahan bakar: 890 kg, berat kering: 2,634 kg ± 850 W Via TDRS 3 tahun dan 2 bulan Precipitation Radar (PR) TRMM Microwave Imager (TMI) Visible Infrared Scanner (VIRS) Clouds and Earth’s Radiant Energy System (CERES)
Power Transmisi data Design masa aktif Instrumen
Sumber : (Kubota 2010).
13
2.2.2. Instrumentasi dan Sensor Satelit TRMM Satelit TRMM dalam pengoperasiannya membawa lima sensor utama yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible Infrared Scanner), LIS (Lighting Imaging Sensor) dan CERES (Clouds and Earth’s Radiant Energy System). Setiap instrumen menyediakan set data yang unik yang digunakan untuk mempelajari lebih jauh sirkulasi atmosfer, cuaca dan iklim (Christian 2000). Skema instrumen satelit TRMM ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Instrumen satelit TRMM (sumber :http://trmm.gsfc.nasa.gov )
PR merupakan radar pertama yang didesain secara spesifik untuk monitoring hujan yang dioperasikan dari angkasa (Kummerow et al. 2000). Seperti radar cuaca di permukaan bumi, PR memancarkan energi elektromagnetik dan mengukur energi yang direfleksikan dari hujan di bawah atmosfer, ketika mengorbit bumi. PR mampu mendeteksi ukuran butiran hujan, kecepatan dan ketinggian. PR merupakan instrumen pertama yang dibangun untuk menyediakan peta tiga dimensi struktur badai. TMI merupakan suatu multi-channel passive microwave radiometer yang diluncurkan sejak December 1997 (Huffman et al. 2011). TMI beroperasi pada
14
lima frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 37,0; dan 85,5 GHz polarisasi ganda dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI dapat diekstraks data integrated column precipitation content, air cair dalam awan (cloud liquid water), es awan (cloud ice), intensitas hujan, tipe hujan seperti hujan stratiform atau hujan konvektif. TMI merupakan instrumen passive TRMM untuk menyediakan data dengan resolusi tinggi dan juga untuk mendapatkan data suhu permukaan laut (Kummerow et al. 2000). Sensor TMI mempunyai kemiripan dengan sensor SSM/I DMSP (Special Sensor Microwave/Imager, Defense Meteorological Satellite Program). VIRS digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan, dan temperatur puncak awan. Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS adalah 2.2 km. Instrumen VIRS telah digunakan untuk menghubungkan observasi TRMM secara detil dengan data satelit geostasionari yang telah tersedia (Kummerow et al. 2000). Sensor ini juga mempunyai peran penting dalam interpretasi awal hasil dari instrumen CERES. Teknik infrared sebenarnya mempunyai error cukup signifikan dalam menghitung curah hujan secara langsung, namun ketika digunakan dengan menggabungkan sensor ini dengan sensor lain di luar satelit TRMM atau dengan data dari platform orbit yang lain, data VIRS mampu meningkatkan ketepatan perhitungan curah hujan TRMM (Funk et al. 2006). LIS dan CERES adalah instrumen Earth Observing System (EOS) pada TRMM yang digunakan untuk mengukur total upwelling energi radiant. Secara spesifik, LIS dalam kombinasinya dengan predecessor-nya, Optical Transient Detector (OTD), digunakan untuk mengukur tingkat, distribusi dan variabilitas aktivitas petir pada skala global (Christian et al. 2000). Pengukuran aktivitas petir ini dimanfaatkan dalam membangun kombinasi algoritma untuk mengetahui kelistrikan, fisikamikro, dan kinematik dari thunderstorm tropis. Secara keseluruhan, LIS ditujukan untuk mendeteksi dan melokalisasi petir selama sehari semalam dengan tingkat keakuratan yang tinggi, mencatat waktu kejadian dan mengukur energi radian. Melalui perbandingan antara data LIS dengan data dari instrumen lain pada TRMM, dimungkinkan untuk diketahui hubungan aktivitas petir dan beberapa parameter iklim yang penting termasuk curah hujan, panas
15
laten dan konveksi (Christian et al. 2000). Sedangkan Sensor CERES merupakan bagian dari EOS yang digunakan untuk menyediakan data dari Earth Radiation Budget Experiment (ERBE) untuk mengukur fluks radiasi di lapisan atas atmosfer (top-of-atmosfer/TOA), perhitungan yang akurat fluks radiasi pada TOA dan permukaan bumi, dan menyediakan properti awan yang terkait dengan fluks radiasi dari permukaan ke TOA (Wielicki et al. 1998).
2.2.3.
Data Produk TRMM
Dataset produk TRMM secara formal dikenal dengan nama TRMM multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) dengan mengkombinasikan perhitungan hujan dari lima sensor utama dan analisis menggunakan data obervasi permukaan. TMPA ditujukan untuk menyediakan estimasi hujan dengan tepat pada setiap grid box dan setiap waktu pengamatan (Su 2008). Secara garis besar, produk keluaran TRMM dibagi menjadi 3 level, yaitu level 1, level 2 dan level 3. Produk pada level 1 merupakan raw data yang telah dikalibrasi dan di-geolocated. Produk level 2 merupakan penurunan dari parameter-parameter geofisika yang sama dengan sumber data pada level 1 baik dari sisi resolusi dan lokasinya. Sedangkan data pada Level 3, keluaran data mengacu pada produk-produk hujan secara klimatologis, yaitu hasil rata-rata parameter hujan yang telah dipetakan ke dalam grid yang seragam baik spasial maupun waktu. Produk level 3 ini telah diproses lebih lanjut oleh pemilik data sehingga keluaran produk dapat langsung digunakan oleh user (Gambar 7). Pada Level 3, data satelit TRMM mempunyai resolusi spasial sebesar 0.25o x 0.25o atau sekitar 27.75 km x 27.75 km untuk setiap grid dengan cakupan luasan wilayah antara 50o LU hingga 50o LS. Sedangkan untuk resolusi temporalnya hingga pengamatan 3 jam-an, dimana setiap pengamatan tersebut dapat di-rescale menjadi data harian dan bulanan. Pengamatan hujan resolusi 3 jam-an pada satelit TRMM antara lain untuk tipe 3B40RT, 3B42, 3B42RT. Produk tipe 3B42RT merupakan produk gabungan antara microwave, microwave calibrated infrared (IR) dan combined microwave–IR. Produk tersebut mempunyai resolusi 3 jam-an pada jam pengamatan sinoptik (00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, dan 21 UTC) dengan data near real-time dan dimulai pada akhir Januari
16
2002 (Huffman 2007). Keseluruhan area cakupan yaitu 1440 x 480 grid boxes (0360o BT, 60o LU-LS) dengan grid center pertama pada (0.125o BT, 59.875o LS). Unit satuan data hujan dari satelit TRMM adalah mm/jam. Perhitungan yang valid terdapat pada kisaran lintang 50oLU-50oLS (Huffman et al. 2011). Data TRMM near real time menggunakan curah hujan TMI (TRMM Microwave Imager) sebagai kalibrator (Su 2008).
Gambar 7. Produk dan Proses Data TRMM versi 6 untuk semua level (sumber : http://disc.gsfc.nasa.gov)
17
Selain produk near real time, data TRMM juga mempunyai post-product yang telah dilakukan kalibrasi dan validasi menggunakan data observasi. Data post-product dikalibrasi menggunakan TCI (TRMM Combined Instrument) (Su 2008) yang tidak tersedia dalam near real time (Huffman 2007). Post-product ini juga divalidasi menggunakan data analisis stasiun bulanan menggunakan CAMS (The Climate Assessment and Monitoring System) dengan resolusi 0.5ox0.5o untuk penyesuaian initial process (IP) perhitungan data TRMM/TMPA; dan produk bulanan dari Global Precipitation Climatology Center (GPCC) dengan resolusi 1ox1o , digunakan untuk penyesuaian reprocessed (RP) data TRMM/TMPA. RP TMPA dimulai 1 Januari 1998 dan berakhir tahun 2005, sedangkan IP TMPA dimulai bulan April 2005 hingga saat ini (Su 2008). Gambaran skema proses dan output data TRMM pada Level 3 ditunjukkan pada Gambar 8, sedangkan karakteristik produk data TRMM near-real time (3B42RT) dan post-product (3B42 dan 3B43) ditunjukkan pada Gambar 9.
Infrared obs - GOES - Meteosat - GMS
3jam /0.25o
Microwave obs - TMI 3jam - SSMI /0.25o - AMSU-B - AMSU-E
TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA3B42RT 3jam/0.25o
Monthly station data Monthly 3B43
Daily 3B42
TRMM Radar (PR)
Gambar 8. Skema Proses dan Output TRMM Level 3 (Funk et al. 2006)
18
Gambar 9. Karakteristik produk data TRMM near real time (3B42RT) dan postproduct (3B42 dan 3B43) (http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/precipitation).
2.3. Aplikasi Validasi Data Satelit TRMM Validasi dan kalibrasi data satelit TRMM dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan data hujan dari satelit terhadap data observasi di permukaan. Studi ini dilakukan untuk berbagai tujuan lanjutan seperti pemanfaatan data satelit untuk monitoring banjir pada daerah aliran sungai, variasi spasial dan temporal curah hujan (Varikoden et al. 2010), prediksi hidrologi pada daerah aliran sungai (Su 2008), frekuensi curah hujan ekstrim (Curtis 2007), monitoring siklon tropis, pendugaan curah hujan pada wilayah dimana data stasiun sedikit/tidak ada (Verworn 2010; Rozante 2010), dan sebagainya. Studi kalibrasi data satelit TRMM telah dilakukan di wilayah Saudi Arabia menggunakan analisis persamaan regresi yang diujikan terhadap data hujan harian dan bulanan dimana slope /kemiringan
garis
dan
konstanta
regresi
menjadi
faktor
kalibrasi
(Almazroui 2010). Hasil penelitian menunjukan bahwa data hujan TRMM mampu mengikuti tren data pengamatan permukaan, walaupun terdapat beberapa pengamatan yang overestimate atau underestimate. Namun, untuk skala bulanan,
19
koefisien korelasi antara data hujan TRMM dengan data hujan pengamatan permukaan mencapai 0.90 pada selang kepercayaan 99%. Sedangkan studi validasi data satelit TRMM terhadap data observasi permukaan telah banyak dilakukan (Su 2008; Hughes 2006; Li 2010). Penelitian evaluasi keluaran data satelit hujan terhadap data observasi permukaan
di
Indonesia,
telah
dilakukan
menggunakan
data
hujan
CMORPH/Climate Prediction Center Morphing Method (Oktavariani 2008), GSMap/Global Satellite Mapping of Precipitation dan TRMM (Wibowo 2010; As-Syakur 2011). Evaluasi keluaran data hujan TRMM harian dan bulanan terhadap data hujan observasi permukaan dilakukan pada wilayah Jakarta - Bogor yang dibedakan berdasarkan wilayah pantai, daratan, pegunungan, dan keseluruhan wilayah kajian. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa data satelit TRMM harian di wilayah pantai dan keseluruhan Jakarta - Bogor mempunyai korelasi lebih dari 60%. Sedangkan untuk data bulanan, korelasi data hujan TRMM terhadap data hujan observasi mempunyai korelasi minimum 60% untuk wilayah pegunungan, pantai, daratan, dan keseluruhan (Wibowo 2010). Validasi luaran data hujan bulanan dari satelit TRMM PR (Preciptation Radar) level 3A25 telah dikaji untuk wilayah Indonesia (Prasetia et al. 2011). Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa data luaran TRMM undersetimate dibandingkan data hujan observasi, kecuali di wilayah dengan tipe hujan antimonsoonal dimana data luaran TRMM overestimate dibandingkan data hujan observasi. Sedangkan As-Syakur et al. (2011) telah membandingkan keluaran data TRMM harian (3B42) dan bulanan (3B43) dengan data observasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa pada skala bulanan dan musiman, hubungan curah hujan TRMM dibandingkan observasi mempunyai performa yang lebih baik dibandingkan skala harian. Namun pada skala harian dengan analisis titik ke titik stasiun, menunjukkan korelasi yang rendah dibandingkan dengan hasil rata-rata data stasiun. Pada variasi intra-annual, hasil analisis statistika menunjukkan bahwa korelasi tinggi diperoleh pada musim kemarau, dan sebaliknya diperoleh pada musim hujan. Analisis validasi satelit TRMM di wilayah Indonesia juga dilakukan oleh Vernimmen et al. (2012) untuk curah hujan bulanan. Pada penelitian tersebut
20
dilakukan perbandingan antara keluaran data satelit hujan TRMM, CMORPH dan PERSIANN (Precipitation Estimation from Remotely Sensed Information Using Artificial Neural Networks) serta perhitungan bias koreksi dan error masingmasing produk. Hasil analisis menunjukkan bahwa data TRMM mempunyai performa yang lebih baik terhadap pengamatan observasi permukaan terutama pada musim kemarau dan variasi tahunan di wilayah Indonesia. Selain itu, juga dihasilkan faktor koreksi untuk data TRMM dimana setelah dilakukan koreksi bias, fraksi variansi pada log-transformasi untuk data hujan bulanan meningkat dari 0.78 menjadi 0.93. Demikian halnya dengan nilai determinasi menjadi meningkat setelah dilakukan koreksi bias (Vernimmen et al. 2012).
2.4. Model Persamaan Regresi dan Metode Kuadrat Terkecil Model persamaan regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dan dapat dinyatakan dalam bentuk suatu fungsi, misalnya Y=f(X). Bentuk persamaan sederhana regresi linier sebagai berikut: =
+
+ ,
…(1)
dimana (a) dan (b) merupakan parameter-parameter yang harus diestimasi, (a) menunjukkan intersep Y populasi, sedangkan (b) menunjukkan koefisien kemiringan populasi. Pada umumnya model regresi terdiri dari suatu himpunan asumsi-asumsi tentang distribusi galat (error)
, dan hubungan antara X dan Y.
X merupakan variabel bebas (independent variabel) dengan nilai harapan (expected value) sama dengan nol dan ragam =
, untuk semua nilai X. Selain
itu, X dianggap konstan dari contoh ke contoh dan Y merupakan fungsi linier Xi. Selain persamaan regresi linier, model regresi juga dapat berbentuk non linier. Beberapa pola persamaan regresi dengan satu variabel bebas yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi adalah sebagai berikut: 1. Model eksponensial ; Y = a.bX 2. Model geometrik; Y = a (x)
b
…(2) …(3)
3. Model hiperbola; Y = 1/(a+bX) atau Y=a+b/X
…(4)
4. Model parabola; Y = a + bX1 + cX2
…(5)
dengan a dan b adalah parameter – parameter yang harus dihitung.
21
Metode kuadrat terkecil (least square method) adalah suatu metode yang digunakan untuk menghitung βo dan β1, sedemikian rupa sehingga jumlah kuadrat kesalahan memiliki nilai terkecil atau minimum. Dengan bahasa matematik, dapat dinyatakan sebagai berikut: Yi = a + bXi +
, i = 1, 2, …..n
ε = Y − (a + bX ) ∑
= ∑[
−( +
i= galat (error) i )] = jumlah kesalahan kuadrat
…(6) …(7) …(8)
Metode kuadrat terkecil selain digunakan untuk memperkirakan parameter sebagai koefisien dari suatu hubungan linear, dapat juga digunakan untuk yang bukan linier atau bentuk hubungan lainnya.
2.5. Model Prediksi ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) Model prediksi ARIMA pertama kali dikembangkan oleh George Box dan Gwylim Jenkins (1976) dan sering disebut sebagai model Box-Jenkins. Model
ARIMA merupakan model yang dibangun berdasarkan proses Autoregressive (AR) berorde p dan proses rata-rata bergerak (Moving Average, MA) berorde q yang mengalami pembedaan (Differencing) sebanyak d kali pada pola data yang stasioner maupun tidak stasioner. Proses differencing terutama dilakukan pada data-data yang tidak stasioner. Dalam pengembangannya dikenal pula model musiman ARIMA (p,d,q)(P,D,Q)s dengan P, D, Q, dan s masing-masing menunjukkan orde AR musiman, pembedaan musiman sebanyak D kali, orde MA musiman, dan panjang musiman (s periode). Proses autoregressive (AR) dan proses moving average (MA) dinyatakan oleh persamaan sebagai berikut (Montgomery et al. 2008); -
Proses Autoregreesive (AR) Yt 1 .Yt 1 2 .Yt 2 p .Yt p et
dimana :
= suatu konstanta
1 , 2 , , p = koefisien autoregresif ke-1, ke-2 hingga ke- p et
= nilai galat (kesalahan) pada saat t berdistribusi normal
... (9)
22
-
Proses moving average (MA) Yt et 1 .et 1 2 .et 2 q .et q
dimana :
... (10)
= suatu konstanta
1 , 2 , , p = koefisien rata-rata bergerak ke-1, ke-2 hingga ke- q et
= nilai galat (kesalahan)
Berdasarkan Otok (2009), model autoregressive (AR) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara suatu nilai pada waktu saat ini (Zt) dan nilai pada waktu yang telah lalu (Zt-k) yang ditambahkan dengan nilai acak. Sedangkan model Moving Average (MA) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara nilai pada saat ini (Zt) dengan nilai sisaan di waktu lampau (at-k dengan k=1,2…). Model ARIMA (p,d,q) merupakan gabungan antara AR(p) dan MA(q), dengan pola data yang tidak stasioner dan d pembedaan (differencing). Bentuk ARIMA(p,d,q) adalah sebagai berikut (Otok 2009): Øp (B)(1-B)dZt = θq(B)ɑt,
…(11)
di mana p adalah orde AR, q adalah orde MA, d adalah orde pembedaan, dan Øp = (1- Ø1B – Ø2B2-……… - ØpBp)
…(12)
Øq = (1- Ø1B – Ø2B2-……… - ØqBq)
…(13)
Secara umum model ARIMA untuk pola data musiman yang dituliskan sebagai ARIMA(p,d,q)(P,D,Q)s, adalah sebagai berikut: Øp(B) Øp(Bs)(1-B)d(1-Bs)DZt
=
Øq (B)ΘQ(Bs) ɑt, dimana s = periode
musiman, Øp (Bs) = (1- Ø1Bs – Ø2B2s - ……… - ØpBps), s
s
ΘQ(B ) =(1- Θ1B - Θ2B2s - ……..-
ΘQBQs).
…(14) …(15)
Pemodelan ARIMA pada dasarnya meliputi tiga tahapan yang harus dilakukan secara berurutan (Montgomery et al. 2008), yaitu : 1. Identifikasi model; dilakukan antara lain dengan membuat plot deret berkala (time series) atau scatterplot suatu data, identifikasi stasioner data, dan penyusunan parameter-parameter model dengan menggunakan metode Autokorelasi (Autocorrelation function/ACF) dan Autokorelasi Parsial (Parsial Autocorrelation/PACF).
23
2. Estimasi (penaksiran) parameter; komponen-komponen Autoregresif (AR) dan rata-rata bergerak (MA) untuk melihat apakah komponenkomponen tersebut secara signifikan memberikan kontribusi pada model atau salah satunya dapat dihilangkan 3. Pengujian dan penerapan model, untuk menduga series data beberapa periode ke depan. Pada tahap ini dilakukan pula analisis nilai galat (residual analysis) untuk melihat apakah nilai galat bersifat acak (random) dan berdistribusi normal yang mengindikasikan model yang baik. Salah satu kriteria model prakiraan yang baik adalah nilai galat diasumsikan berdistribusi normal dengan rata–rata nol dan variansi konstan. Pemanfaatan model ARIMA untuk prediksi curah hujan telah banyak dilakukan
(Otok
2009;
Tresnawati
2010;
Mauludiyanto
et
al.
2009;
Somvanshi et al. 2006). Sifat data curah hujan yang umumnya tidak stasioner dan mempunyai pola musiman, perlu dilakukan proses differensiasi yang bertujuan untuk menstasionerkan data non-stasioner, kemudian dengan melihat hasil pada Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) didapat derajat (q) untuk MA dan derajat (q) untuk AR (Tresnawati 2010). Pemanfaatan model ARIMA dalam prediksi baik curah hujan maupun parameter lainnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Korelasi hasil prediksi suhu muka laut di Kawasan Nino 3.4 menggunakan model ARIMA menunjukkan korelasi dengan data observasi cukup baik, yaitu sebesar 64% di wilayah Purbalingga Jawa Tengah (Tresnawati 2010). Hasil tersebut kemudian digunakan sebagai input prediksi curah hujan menggunakan Kalman Filter, dimana hasil prediksi menunjukkan korelasi koefisien model antara 70% - 89%. Aplikasi Model ARIMA untuk prediksi curah hujan tahunan di wilayah Malaysia juga telah dilakukan (Somvanshi et al. 2006). Hasil prediksi menunjukkan hasil yang cukup baik dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9535 dan nilai RMSE sebesar 35.882. Sedangkan Mauludiyanto et al. (2009), menggunakan model V ARIMA untuk memprediksi pengaruh jarak antar titik – titik stasiun pengamatan hujan dengan mengidentifikasi beberapa parameter yang tidak signifikan (outlier). Hasil model menunjukkan bahwa jarak antar stasiun hujan > 1
24
km, maka data curah hujan diantara 2 stasiun hujan tidak saling berpengaruh. Sebaliknya jika jarak antar stasiun < 1 km, maka hasil perekaman data curah hujan saling mempengaruhi.
2.6. Kriteria Pemilihan Model Pemilihan model dilakukan setelah diperoleh beberapa model persamaan yang telah dibangun. Pemilihan ini bertujuan untuk mendapatkan model terbaik dari model-model yang telah diperoleh dimana parameter duga yang diperoleh akan dijadikan sebagai faktor koreksi data satelit TRMM. Perbandingan dan pemilihan model matematik dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan nilai galat model, seperti nilai RMSE (Root Mean Square Error), MAE (Mean Absolute Error) dan nilai bias relatif.
25
III. METODOLOGI
3.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi evaluasi dan validasi data curah hujan bulanan keluaran satelit TRMM terhadap data observasi dan pembangunan model persamaan untuk pendugaan curah hujan bulanan yang mengintegrasikan data hujan satelit TRMM dengan data hujan permukaan di wilayah dengan tiga pola hujan berbeda, yaitu Wilayah A (pola muson), Wilayah B (pola equatorial) dan Wilayah C (pola lokal) (Aldrian & Susanto 2003; Prasetia 2012). Wilayah tersebut yaitu : - Wilayah Lampung, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan; mewakili Wilayah A (pola muson); - Wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat; mewakili Wilayah B (pola equatorial); - Wilayah Maluku dan Gorontalo; mewakili Wilayah C (pola Lokal). Secara spasial, wilayah studi ditunjukkan pada Gambar 10 dengan gambaran seluruh grid satelit TRMM pada masing-masing wilayah.
Gambar 10. Wilayah studi dengan tiga pola hujan; Muson, Equatorial dan Lokal.
26
3.2. Data dan Alat Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat notebook dengan software pengolahan data Matlab, ArcGis 9.3, Software FEWS/DEWS, Minitab 15, Microsoft Excel, dan Microsoft Word. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data curah hujan 3 jam-an dari satelit TRMM tipe 3B42RT versi 5 (periode 2003-2008) dan versi 6 (periode 2009-2010) yang bersifat Near Real-Time. Data satelit 3B42RT berbentuk grid dengan resolusi spasial 0.25o x 0.25o, pengamatan pada pukul 00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, 21 UTC. Format
data
berbentuk
binary
dan
dapat
diunduh
dari
ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/TRMM/Gridded/DrivedProducts/
.
Periode data yang digunakan yaitu: -
Periode pengamatan tahun 2003-2009, digunakan untuk evaluasi dan validasi data TRMM, dan membangun model penduga hujan bulanan
-
Data tahun 2010, digunakan untuk verifikasi model penduga yang dibangun.
2. Data curah hujan bulanan permukaan dari stasiun hujan yang mewakili tiga tipe wilayah dengan pola hujan berbeda (Sumber data: BMKG). Sedangkan untuk periode pengamatan data yang digunakan yaitu : -
Periode pengamatan 30 tahun (1981-2010); digunakan untuk mengetahui pola hujan secara klimatologis di setiap wilayah studi (Lampiran 2).
-
Periode pengamatan tahun 2003–2009; digunakan untuk evaluasi dan validasi data TRMM dan untuk membangun model penduga curah hujan bulanan
-
Data tahun 2010; digunakan sebagai data training untuk verifikasi model penduga data hujan yang telah dibangun.
Periode tahun 2003-2010 digunakan karena data satelit TRMM 3B42RT mulai ada sejak bulan Pebruari 2002 hingga sekarang. Data curah hujan diperoleh dari stasiun hujan terpilih yang ditunjukkan pada Lampiran 4. 3. Data koordinat stasiun hujan (sumber: BMKG) dan Peta Batas Adminitrasi (Sumber: Bakosurtanal).
27
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Analisis klimatologis untuk pola hujan Analisis klimatologis dilakukan dengan menggunakan data hujan bulanan selama 30 tahun (1981-2010) untuk mengetahui pola hujan di masing-masing wilayah studi. Analisis yang dilakukan yaitu dengan menghitung curah hujan ratarata bulanan selama 30 tahun kemudian membuat plot pada grafik curah hujan rata-rata bulanan. Pada analisis tersebut, digunakan persamaan sebagai berikut:
Dengan,
= ∑
…(16)
= curah hujan rata-rata bulanan N = jumlah data Xi = curah hujan bulan ke-i
3.3.2. Ekstraksi Data Satelit TRMM Pengolahan data diawali dengan mengunduh data satelit TRMM resolusi 3 jam-an dari ftp penyimpanan. Data TRMM tersimpan dalam format binary (*.bin) dalam bentuk .zip file, sehingga harus diekstraksi terlebih dahulu agar dapat dibaca oleh perangkat lunak pengolah data hujan untuk dapat digunakan pada proses selanjutnya. Ekstraksi data satelit TRMM format binary dilakukan dengan merubah format binary menjadi ASCII file menggunakan program Matlab. Selanjutnya data dengan format ASCII, diimport ke dalam software (perangkat lunak) FEWS/DEWS (Flood Early Warning System/Drought Early Warning System) untuk merubah data 3 jam-an menjadi data harian. Data harian diperoleh dari data 3 jam-an dimana data tersebut diakumulasi mulai pengamatan jam 00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, dan 21 UTC, hingga menjadi data harian. Selanjutnya untuk analisa bulanan, data hujan harian diakumulasi selama satu bulan sehingga diperoleh data hujan bulanan. Reduksi data grid TRMM dilakukan sesuai dengan domain wilayah Indonesia, yaitu lintang 7.12o LU–10.62o LS dan bujur 95.12o BT–156.12o BT, dilakukan di dalam software FEWS/DEWS yang dikembangkan oleh BMKG dan Deltares (Belanda). Selanjutnya dari sistem tersebut, data hujan satelit TRMM resolusi bulanan diekstrak untuk masing-masing wilayah studi. Gambaran mengenai software FEWS/DEWS, ditunjukkan pada Lampiran 1.
28
3.3.3. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM Pemilihan stasiun hujan ditujukan untuk menentukan stasiun – stasiun pada suatu grid TRMM tertentu di wilayah studi yang akan digunakan untuk validasi data satelit TRMM. Kemudian data satelit TRMM yang telah divalidasi akan digunakan untuk membangun model penduga curah hujan bulanan. Pemilihan stasiun hujan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Tahap 1; Pada tahapan pertama, dilakukan pengumpulan seluruh data stasiun hujan dan data curah hujan di wilayah studi, pemeriksaan koordinat dan status keaktifan stasiun hujan, pembuatan peta plot data stasiun hujan dan grid TRMM untuk mengetahui sebaran stasiun hujan secara spasial, dan pemeriksaan data time series hujan baik pada stasiun tertentu maupun terhadap stasiun hujan lainnya. 2. Tahap 2; Pada tahapan kedua, analisis dilakukan untuk memperoleh persentase coverage data (ketersediaan) data di setiap stasiun pada periode 2003-2009. Persentase yang digunakan adalah lebih dari 75% untuk dapat merepresentasikan kondisi hujan pada tiap stasiun periode bulanan. Time series data yang kurang lengkap dapat diterima untuk analisis hujan bulanan dengan coverage data sedikitnya 70%. Selain itu dilakukan
kendali
mutu
(quality
control)
data
menggunakan
perbandingan terhadap data hujan antar stasiun lainnya. 3. Tahap 3; pada tahapan ketiga, analisis dilakukan untuk pemilihan stasiun hujan dengan ketersediaan data >75% yang akan digunakan untuk validasi data TRMM. Pemilihan stasiun dilakukan berdasarkan pertimbangan dalam satu grid TRMM, terdapat lebih dari satu stasiun hujan untuk dapat merepresentasikan hujan dalam luasan satu grid. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa luas satu grid TRMM cukup luas yaitu 770 km2 (0.25o x 0.25o atau sekitar 27.75 x 27.75 km), sedangkan satu stasiun hujan mewakili wilayah 7 hingga 10 km dari titik stasiun hujan tersebut. Khusus untuk wilayah kepulauan seperti Maluku, dimana jumlah stasiun hujan sangat sedikit, maka grid dengan satu stasiun akan tetap digunakan untuk analisis. Pertimbangan selanjutnya adalah letak antar stasiun hujan dalam satu grid TRMM cukup
29
menyebar, dan pemeriksaan kualitas data apakah terdapat data pencilan atau data ekstrim. 4. Pemilihan grid TRMM dilakukan sejalan dengan pemilihan stasiun hujan, dimana grid yang digunakan adalah grid dengan stasiun hujan terpilih. Ukuran grid yang digunakan mempunyai ukuran sama, yaitu 1x1, 2x2, dan seterusnya tergantung pada ketersediaan data stasiun hujan permukaan.
3.3.4. Analisis Hubungan dan Validasi Data Hujan Observasi dan Satelite TRMM Dalam pengolahan data hujan observasi dari stasiun hujan permukaan dan dari satelit TRMM, dihitung nilai rata-rata pada kedua data tersebut. Untuk data hujan observasi dari stasiun hujan di masing-masing wilayah studi, digunakan nilai rata-rata aritmatika dari seluruh stasiun hujan, menggunakan persamaan: = ∑
…(17)
Sedangkan data hujan satelit TRMM, digunakan persamaan rata-rata terboboti (weighted average) dimana dalam setiap grid terdapat lebih dari satu stasiun hujan. Persamaan rata-rata terboboti tersebut dinyatakan dengan rumus:
Dimana
= ∑
…(18)
= Curah hujan rata-rata bulanan
xi = Data curah hujan bulan ke-i pada grid cell ke-j nij = Jumlah stasiun hujan pada grid cell ke-j n = Total jumlah stasiun hujan yang digunakan Analisis pola hubungan antara data observasi dengan data TRMM dilakukan untuk
mengetahui
sejauh
mana
kemampuan
data
TRMM
dalam
merepresentasikan pola data observasi. Analisis ini juga dilakukan untuk eksplorasi terhadap data sebelum pendugaan model dan diagnostik terhadap penduga model untuk mengetahui pola hubungan antar peubah bebas (X) dengan peubah tak bebas (Y) dengan membuat plot tebaran pasangan data (X,Y). Sedangkan diagnostik penduga model dilakukan melalui analisis residual untuk memeriksa apakah asumsi-asumsi yang mendasari model regresi terpenuhi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain kenormalan (normality), kehomogenan ragam
30
(homoscedascity), keacakan (randomness), dan kebebasan (independence). Analisis statistika yang digunakan sebagai berikut: 1. Kurva massa ganda; kurva massa ganda digunakan untuk melihat time series data yang digunakan untuk analisis bersifat kontinu atau tidak. 2. Korelasi; dilakukan untuk melihat kuat tidaknya hubungan x dan y diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi (r). =
∑
∑ ∑
(∑ )
∑
∑
...(19)
(∑ )
dengan x = data CH satelit TRMM, y = CH satelit observasi 3. Galat; merupakan perbedaan rata-rata antara data TRMM dengan data observasi, menggunakan persamaan: -
-
Root Mean Square Error/(RMSE (akar kuadrat galat) ∑
=
( )−
()
…(20)
Mean Absolute Error/MAE (rata-rata galat mutlak); = ∑
-
|
=
∑
( )− ∑
()
()
( )|
()
…(21) 100
…(22)
3.3.5. Penentuan Faktor Koreksi untuk Data TRMM Penentuan faktor koreksi untuk data satelit TRMM dilakukan mengetahui besarnya parameter a dan b sebagai faktor koreksi pada persamaan garis antara data observasi dengan data satelit TRMM menggunakan metode kuadrat terkecil (least square method). Pada metode ini dicari nilai galat atau jumlah kuadrat galat (JKG) paling kecil/minimal yang dihasilkan dari masing-masing persamaan regresi, dimana semakin minimum nilai galat atau JKG akan semakin baik model persamaannya. Persamaan dasar yang digunakan sebagai berikut: =‖
− (
Dimana : ε
…(23)
= galat model/RMSE
CHobs
= curah hujan observasi
CHTRMM
= curah hujan satelit TRMM
a,b,c,… (
; , , … )‖
= parameter (sebagai faktor koreksi)
; , , … ) = fungsi model persamaan regresi yang diuji.
31
Kondisi minimum akan tercapai apabila syarat berikut terpenuhi; ∇
,
=0
atau
= 0,
atau min JKG = min ∑ = min ∑
= min ∑
[
= 0 …. −Ŷ
….(24) ….(25) ….(26)
−( +
)]
….(27)
Bentuk persamaan regresi yang digunakan ditentukan dengan melihat pola series data hujan observasi dan data TRMM di seluruh lokasi studi, dan nilai determinasi (R2) tertinggi yang dihasilkan pada masing-masing persamaan. Bentuk persamaan regresi yang dapat digunakan antara lain: -
Model regresi linier ;
-
Model geometrik;
-
Model logaritmik;
-
Model eksponensial;
=
=
= =
+
dimana Yi = Data hujan observasi (mm)
+
+
+
…(28)
( )+
…(30)
+
…(29)
…(31)
Xi = Data hujan satelit TRMM (mm) a = Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak b = Kemiringan / gradien. Selanjutnya dihitung nilai korelasi atau koefisien determinasi, RMSE, MAE dan realtif bias antara data hujan observasi, data hujan TRMM sebelum koreksi dan data hujan TRMM setelah koreksi. Hal tersebut untuk mengetahui tingkat keakuratan hasil sebelum dan sesudah dilakukan koreksi terhadap data hujan TRMM.
3.3.6. Pendugaan Curah Hujan Bulanan Menggunakan Metode ARIMA Pembangunan model penduga curah hujan bulanan dilakukan setelah diperoleh faktor koreksi dan TRMM terkoreksi untuk wilayah dengan pola hujan muson, equatorial dan lokal. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode prediksi untuk data deret berkala (time series), yaitu ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Penyusunan pemodelan ARIMA adalah sebagai berikut:
32
1. Fungsi Autokorelasi (Autocorelation Function/ACF), Fungsi ACF menyatakan korelasi antara deret berkala dengan deret berkala itu sendiri dengan selisi waktu 0,1,2 periode atau lebih yang digambarkan dengan alat correlogram. Koefisien autokorelasi dihitung menggunakan persamaan: nk
rk
(Y t 1
t
Y )(Yt k Y )
n
(Y t 1
t
... (32)
Y )
2
Dimana : rk = koefisien autokorelasi pada lag k Y = rata–rata (mean) observasi Data Yt diasumsikan mempunyai rata–rata (mean) dan ragam yang stasioner. Time lag menunjukkan jarak diantara dua observasi. Jika n adalah banyaknya observasi pada suatu deret, maka banyaknya lag pada correlogram ditentukan: -
Terdapat n/4 lag untuk series <= 240 observasi
-
Terdapat
n 45 untuk series >240 observasi.
Koefisien Autokorelasi untuk suatu deret bilangan acak harus nol. Hal ini dapat dicapai dengan asumsi bahwa ukuran contoh tidak terbatas. Koefisien autokorelasi dari data acak mempunyai sebaran penarikan contoh yang mendekati kurva normal dengan rata–rata nol dan galat standar 1
n
. Suatu deret data dapat
disimpulkan bersifat acak apabila koefisien korelasi yang dihitung berada di dalam batas tersebut (Makridakis, S., et.al., 1999 dalam Soetamto, 2007). Jika suatu Autokorelasi pada lag k terletak diluar interval tersebut, maka dikatakan nilai Autokorelasi pada lag tersebut signifikan tidak sama dengan nol (nilai rk berasal dari populasi yang mempunyai nilai Autokorelasi signifikan tidak sama dengan nol).
2. Fungsi Autokorelasi Parsial (Parsial Autocorelation Function/PACF) Pada series Yt yang berkorelasi dengan Yt 1 (dinotasikan dengan ), maka Yt akan berkorelasi dengan Yt 2 (dinotasikan dengan 2 ). Derajat korelasi antara Yt dan
33
Yt 2 dapat ditentukan setelah penentuan korelasi orde pertama. Hal ini akan menghasilkan Fungsi Autokorelasi Parsial (Partial Autocorrelation Function, PACF) yang dapat ditentukan dengan menggunakan dua metode dasar, yaitu meregresikan Yt dengan Yt 1 , Yt 2 , , Yt k sedemikian hingga koefisien PACF kk untuk lag k merupakan koefisien dari Yt k dan yang kedua, menghitung koefisien–koefisien secara rekursif.
3. Pemeriksaan Stasioner Data Data yang layak digunakan dalam pemodelan ARIMA adalah data yang memenuhi asumsi stasioneritas baik rata–rata (mean) maupun ragamnya. Data yang tidak stasioner masih mengandung trend, pola musiman atau pola sistematis lainnya yang harus dihilangkan terlebih dahulu. Trend dan pola musiman akan mengakibatkan nilai time series yang berbeda. Data stasioner diperoleh apabila tidak terbukti adanya perubahan rata-rata dari waktu ke waktu, dan tidak memperlihatkan adanya perubahan variansi yang jelas dari waktu ke waktu. Data yang tidak stasioner dapat diatasi dengan melakukan proses pembedaan (differencing) terhadap series data yang rata–ratanya belum stasioner dengan cara mengurangkan setiap data, Yt , dengan data pada periode sebelumnya, Yt 1 .
4. Proses Autoregresif (Autoregressive, AR) Jika data merupakan fungsi dari p observasi masa lalu yang dinyatakan dengan persamaan (Montgomery et al. 2008): Yt 1 .Yt 1 2 .Yt 2 p .Yt p et
dimana :
... (33)
= suatu konstanta
1 , 2 , , p = koefisien autoregresif ke-1, ke-2 hingga ke- p et
= nilai galat (kesalahan) pada saat t berdistribusi normal
independen dengan rata–rata nol dan variansi konstan atau et ~ N (0, 2 ) , maka
Yt
merupakan suatu proses Autoregresif (Autoregressive, AR) orde p atau
disebut juga model AR ( p ) atau ARIMA ( p ,0,0) .
34
5. Proses Rata-Rata Bergerak (Moving Average, MA) Jika data merupakan fungsi dari q galat (kesalahan) masa lalu yang dinyatakan dengan persamaan (Montgomery et al. 2008): Yt et 1 .et 1 2 .et 2 q .et q
dimana :
... (34)
= suatu konstanta
1 , 2 , , p = koefisien rata-rata bergerak ke-1, ke-2 hingga ke- q et
= nilai galat (kesalahan)
pada saat t berdistribusi normal independen dengan rata–rata nol dan variansi konstan atau et ~ N (0, 2 ) , maka Yt merupakan suatu proses rata– rata bergerak (Moving Average, MA) orde q atau disebut juga model MA(q ) atau ARIMA (0,0, q ) . Pada model ini terdapat kombinasi linier antara nilai yang lalu dan nilai mendatang.
6. Model ARIMA Model ARMA ( p , q ) atau ARIMA ( p,0, q ) dari suatu time series
Yt
adalah model yang terbentuk dari proses AR ( p ) dan MA(q ) sedemikian hingga untuk setiap t berlaku: Yt 1 .Yt 1 2 .Yt 2 p .Yt p et 1 .et 1 2 .et 2 q .et q
... (35)
dengan et ~ N (0, 2 ) . Series data pada model ini tidak mengalami pembedaan (sudah mencapai kondisi stasioner tanpa melalui pembedaan). Model ini ditandai dengan ACF dan PACF yang bergerak perlahan–lahan menuju nol. Notasi umum yang digunakan untuk model musiman adalah sebagai berikut: ARIMA( p, d , q )( P, D, Q ) s orde non musiman
orde musiman
Dimana : p = orde proses autoregresif non musiman
d = tingkat pembedaan (differencing) q = orde proses rata-rata bergerak non musiman P = orde proses autoregresif musiman D = tingkat pembedaan musiman
35
Q = orde proses rata-rata bergerak musiman
s = jumlah periode musim
3.3.7. Verifikasi Model Penduga Curah Hujan Pada tahap ini, verifikasi ditujukan untuk menguji sejauh mana ketepatan model ARIMA dalam menduga data hujan observasi di permukaan. Verifikasi ini dilakukan untuk wilayah studi dengan tiga pola hujan berbeda. Data yang digunakan untuk verifikasi model penduga terpilih adalah data TRMM yang telah dikoreksi dan data curah hujan observasi tahun 2010. Selanjutnya dilakukan analisis keakuratan hasil verifikasi model penduga terpilih terhadap data observasi di permukaan menggunakan nilai p-value pada tingkat signifikansi 95%, homogenitas dan pola galat yang diperoleh model. Diagram alir tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 11.
36
Gambar 11. Diagram alir penelitian
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat dan Pola Hujan Wilayah Studi Analisis klimatologi dilakukan untuk mengetahui pola hujan pada masing – masing wilayah studi menggunakan data hujan observasi selama 30 tahun (1981-2010). Rekapitulasi jumlah stasiun dan persentase ketersediaan data untuk analisis klimatologis ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Stasiun dan persentase ketersediaan data hujan klimatologis stasiun periode 1981- 2010 No
Pola Hujan
1
Muson (Wilayah A)
2
Equatorial (Wilayah B)
3
Lokal (Wilayah C) Pola lain
4
Wilayah
Jumlah stasiun 6 3 6 3 5 6
Persentase ketersediaan data (%) 85 – 96 94 – 99 90 – 99 93 - 99 89 – 100 86 - 97
CH rata-rata tahunan (mm) 2034 1790 2174 2021 2172 3037
1. Lampung 2. Jawa Timur 3. Kalimantan Selatan 4. Maluku bag selatan 1. Sumatera Utara 2. Kalimantan Barat Maluku - Ambon
3
90 - 95
2464
Gorontalo
3
89 – 93
1418
Berdasarkan Tabel 2, jumlah stasiun hujan yang digunakan pada masingmasing wilayah berbeda tergantung pada ketersediaan data. Wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan berturut-turut menggunakan 6, 3, dan 6 stasiun hujan dengan presentase ketersediaan data antara 85%-99%. Pada wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, jumlah stasiun yang digunakan masing-masing adalah 5 dan 6 stasiun dengan persentase ketersediaan data antara 86%-100%. Untuk wilayah Maluku, jumlah stasiun hujan yang digunakan adalah 6 stasiun dengan ketersediaan data > 90%. Pada wilayah Maluku, terdapat dua pola hujan yang berbeda, yaitu sebagian wilayah Maluku – Ambon (ditunjukkan oleh 3 stasiun) menunjukkan pola lokal, dan sebagian wilayah Maluku bagian selatan (3 stasiun) menunjukkan pola muson dengan ketersediaan data antara 90-99%. Sedangkan untuk wilayah Gorontalo mempunyai pola hujan berbeda dari pola muson, equatorial dan lokal. Pada wilayah Gorontalo digunakan 3 stasiun dengan ketersediaan data 89-99 %.
38
4.1.1. Pola hujan muson (Wilayah A) Pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan sebagian Maluku terutama di bagian selatan, pola hujan menunjukkan pola hujan muson dimana terdapat satu kali puncak musim hujan dan satu kali puncak musim kemarau
(Gambar
10).
Hal
ini
sesuai
dengan
penelitian
Aldrian dan Susanto (2003) yang menunjukkan bahwa pada ketiga wilayah tersebut masuk dalam wilayah hujan A (pola hujan muson). Berdasarkan kriteria operasional yang digunakan BMKG, yaitu total hujan bulanan sebesar 150 mm atau lebih, maka pada wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, rata-rata panjang musim hujan berlangsung selama 6 bulan (November-April), dan musim kemarau berlangsung selama 6 bulan (Mei-Oktober). Puncak total hujan berlangsung pada bulan Januari, sedangkan lembah total hujan bulanan (musim kering) umumnya berlangsung pada bulan Agustus (Gambar 12). Jumlah curah hujan rata-rata tahunan pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan sebagian Maluku berturut-turut yaitu sebesar 2034 mm, 1790 mm, 2174 mm dan 2021 mm. 450
Kalimantan Selatan Lampung Jawa Timur Maluku
400 350
CH (mm)
300 250 200 150 100 50 0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 12. Pola hujan muson di Kalimantan Selatan, Lampung, Jawa Timur dan sebagian wilayah Maluku.
4.1.2. Pola hujan Equatorial (Wilayah B) Pada wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat diperoleh pola hujan equatorial dengan dua periode puncak hujan yaitu pada bulan Maret-Mei dan Oktober-Nopember (Gambar 13). Pada wilayah Sumatera Utara, puncak hujan terjadi pada bulan Mei dan Oktober dengan intensitas hujan >150 mm, sedangkan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan April dan Nopember dengan instensitas
39
>250 mm. Curah hujan tahunan rata-rata selama 30 tahun di Sumatera Utara sebesar 2168 mm, dan Kalimantan Barat sebesar 3037 mm. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Hamada et al. (2002) dimana di wilayah dekat equator, fase siklus tahunan maksimum terjadi pada bulan September-Nopember terutama di wilayah Kalimantan Barat. Di wilayah equator tersebut, curah hujan tinggi sepanjang tahun dengan dua kali puncak hujan selama periode September-Januari dan April-Mei. 400 350 300
Sumatera Utara Kalimantan Barat
CH (mm)
250 200 150 100 50 0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 13. Pola hujan equatorial di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat.
4.1.3. Pola hujan lokal (Wilayah C) Di wilayah Maluku, hasil analisis data klimatologis menunjukan bahwa beberapa stasiun di wilayah Maluku mempunyai pola hujan lokal dengan satu kali puncak musim hujan (Gambar 14) dan pola muson (Gambar 12). Stasiun-stasiun yang mempunyai pola hujan lokal yaitu Stasiun Meteorologi (Stamet) Kairatu, Stamet Amahai, dan Stamet Pattimura-Ambon. Sedangkan stasiun dengan pola hujan muson yaitu Stamet Namlea, Saumlaki, dan Dumatubun Tual. Puncak musim hujan di Maluku dengan tipe lokal terjadi sekitar pertengah tahun yaitu pada bulan Juni-Juli (Aldrian & Susanto 2003; Swarinoto et al. 2009). Hal ini menunjukkan pada saat wilayah lain dengan pola hujan muson mencapai lembah (musim kering), wilayah Ambon mengalami puncak hujan. Berdasarkan kriteria operasional BMKG (curah hujan pada musim hujan >150 mm/bulan), rerata panjang musim hujan di Maluku terjadi selama enam bulan yaitu pada bulan April hingga September (Swarinoto et al. 2009) dan satu palung bulan Nopember-Pebruari (Aldrian & Susanto 2003) yang ditunjukkan pada Gambar 14. Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Maluku adalah sebesar 2464 mm.
40
Puncak hujan di wilayah Maluku mungkin disebabkan oleh efek orografik yaitu kemiringan arah datangnya angin pada punggung gunung arah tenggara selama bulan Juni-Juli-Agustus (Hamada et al. 2002). 450 400 350
Maluku
CH (mm)
300 250 200 150 100 50 0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 14. Pola hujan lokal di Maluku.
4.1.4. Pola hujan berbeda dengan variasi musiman tidak jelas Pola hujan berbeda diperoleh di wilayah Gorontalo dimana pola hujan mempunyai pola yang berbeda dari pola muson, equatorial dan lokal (Gambar 15). Menurut Hamada et al. (2002), terdapat pola hujan berbeda di Indonesia yaitu ditemui di wilayah- wilayah dengan variasi musim hujan dan kemarau yang tidak jelas. Sedangkan di dalam penelitian Aldrian dan Susanto (2003), terdapat sebagian wilayah Gorontalo yang tidak masuk dalam tiga pola hujan dominan Indonesia (Gambar 1). 450 400 350
Gorontalo
CH (mm)
300 250 200 150 100 50 0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 15. Pola hujan wilayah Gorontalo.
Di wilayah Gorontalo, curah hujan tahunannya tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 1418 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada bulan Januari – Juni hanya berkisar 150 mm. Pada wilayah tersebut, curah hujan mengalami penurunan
41
terjadi mulai bulan Juli hingga September, dan mulai mengalami peningkatan pada bulan Oktober (Gambar 15). Pada analisis selanjutnya, wilayah Gorontalo dengan pola hujan berbeda tidak digunakan dalam tahapan validasi dan koreksi data satelit TRMM.
4.2. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM Pemeriksaan dan analisis data stasiun hujan dan grid TRMM di seluruh wilayah studi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu membuat plot secara spasial seluruh stasiun dan grid TRMM yang ada di wilayah studi (analisis tahap 1), memilih stasiun hujan dengan ketersediaan data lebih dari 75 % (analisis tahap 2) dan memilih stasiun serta grid TRMM yang akan digunakan untuk membangun model persamaan penduga hujan bulanan (analisis tahap 3). Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan kendali mutu (quality control) data hujan pada analisis tahap 2 menggunakan cross validation. Hasil pemeriksaan dan pemilihan stasiun hujan dan Grid TRMM di masing-masing wilayah studi ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diperoleh bahwa untuk setiap wilayah (kecuali Maluku) dipilih grid dengan ukuran sama yaitu 2 x 2 (4 grid). Daftar stasiun dan grid TRMM terpilih ditunjukkan pada Lampiran 4.
Tabel 3. Perbandingan jumlah stasiun dan grid TRMM hasil pemeriksaan dan pemilihan stasiun No
Wilayah Pola hujan
Analisis Tahap 1
Analisis Tahap 2
Analisis Tahap 3
Total stasiun
Grid
Sta. terpilih
21
14
4
1
Lampung
Muson
59
27
Sta. terpilih (>75%) 38
2
Jawa Timur
Muson
172
44
40
20
9
4
3
Kalimantan selatan
Muson
78
27
64
24
17
4
4
Sumatera Utara
Equatorial
88
46
39
22
7
4
5
Kalimantan Barat Maluku
Equatorial
87
48
31
26
7
4
Lokal
7
7
7
7
3
3
6
Grid
Grid
Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM, dilakukan dengan pertimbangan bahwa di dalam setiap grid TRMM terdiri dari satu stasiun hujan. Hal tersebut
42
disebabkan karena luasan area per grid cukup luas, yaitu 0.25o x 0.25o atau sekitar 27.75 km x 27.5 km atau 770 km2. Sedangkan hujan badai di wilayah tropis cenderung terjadi secara lokal atau kurang dari 10 km (Vernimmen et al. 2012). Sehingga dengan semakin banyak stasiun hujan di dalam satu grid, diharapkan semakin dapat merepresentasikan hujan pada setiap grid. Namun untuk wilayah kepulauan, kriteria tersebut sulit dilakukan karena jumlah stasiun pengamatan hujan permukaan sangat sedikit. Sehingga khusus untuk wilayah kepulauan, dalam hal ini wilayah Maluku, digunakan satu stasiun pada setiap grid TRMM.
4.2.1. Wilayah pola hujan muson a. Lampung Hasil analisis pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM di wilayah Lampung secara spasial ditunjukkan pada Gambar 16. Gambar 16 (a), (b) dan (c) berturutturut menunjukkan proses pemilihan stasiun hujan dimana dimulai dengan jumlah total stasiun hujan yang ada di Lampung (Gambar 16a), plot stasiun hujan dengan ketersediaan data lebih dari 75 % (Gambar 16b), dan stasiun hujan terpilih yang akan digunakan untuk validasi data TRMM dimana data TRMM yang telah divalidasi digunakan sebagai input dalam pembangunan model penduga hujan bulanan (Gambar 16c). Di wilayah Lampung, total stasiun hujan secara keseluruhan berjumlah 59 stasiun dengan 27 grid TRMM, namun hanya terdapat 38 stasiun hujan dengan ketersediaan data lebih dari 75% dengan jumlah grid sebanyak 21 grid. Setelah dilakukan pemilihan, stasiun terpilih untuk validasi data TRMM adalah sebanyak 14 stasiun dengan 4 grid (Tabel 3). Stasiun-stasiun terpilih tersebut mempunyai ketinggian antara 1 mdpl (meter di atas permukaan laut) hingga 78 mdpl.
43
(a)
(b)
(c)
Gambar 16. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM wilayah Lampung (a) Seluruh stasiun hujan, (b) stasiun hujan dengan ketersediaan data >75%, (c) stasiun terpilih untuk model.
44
b. Jawa Timur Di wilayah Jawa Timur, jumlah stasiun hujan cukup banyak yaitu sebanyak 172 stasiun dengan jumlah grid TRMM sebanyak 44 grid. Namun berdasarkan ketersediaan data lebih dari 75%, hanya diperoleh 40 stasiun hujan. Sedangkan jumlah stasiun hujan hasil pemilihan yang akan digunakan untuk validasi data satelit TRMM adalah sebanyak 9 stasiun dengan grid TRMM sebanyak 4 grid (Tabel 3). Kisaran ketinggian stasiun terpilih berada pada ketinggian antara 78 mdpl hingga 1082 mdpl (Lampiran 4). Sebaran stasiun hujan di wilayah Jawa Timur pada berbagai tahap disajikan secara spasial pada Gambar 17.
(a)
(b)
45
(c)
Gambar 17. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM wilayah Jawa Timur (a) Seluruh stasiun hujan, (b) stasiun hujan dengan ketersediaan data >75%, (c) stasiun terpilih untuk model.
c. Kalimantan Selatan Pada wilayah ini Kalimantan Selatan, total stasiun hujan secara keseluruhan berjumlah 78 stasiun dengan jumlah grid TRMM sebanyak 27 grid, namun setelah dilakukan pemeriksaan ketersediaan data lebih dari 75%, diperoleh jumlah stasiun sebanyak 64 stasiun dengan jumlah grid sebanyak 24 grid. Selanjutnya stasiun yang digunakan untuk validasi data TRMM adalah sebanyak 17 stasiun dengan jumlah grid sebanyak 4 grid (Tabel 3). Stasiun tersebut terletak di wilayah jauh dari pantai dengan ketinggian stasiun antara 6 hingga 62 mdpl (Lampiran 4). Sebaran stasiun hujan baik secara keseluruhan maupun hasil pemilihan ditunjukkan pada Gambar 18.
46
(a)
(b)
(c)
Gambar 18. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM wilayah Kalimantan Selatan (a) Seluruh stasiun hujan, (b) stasiun hujan dengan ketersediaan data >75%, (c) stasiun terpilih untuk model.
47
4.2.2. Wilayah pola hujan equatorial a. Sumatera Utara Sumatera Utara mempunyai pola hujan equatorial dengan total jumlah stasiun hujan sebanyak 88 stasiun. Berdasarkan kriteria ketersediaan data >75% (analisis tahap 2), diperoleh jumlah stasiun sebanyak 39 stasiun dengan jumlah grid TRMM sebanyak 22 grid. Namun, pada tahapan selanjutnya dimana dilakukan pemilihan stasiun yang akan digunakan untuk validasi data satelit TRMM, diperoleh 7 stasiun hujan dengan 4 grid TRMM (Tabel 2). Secara spasial, sebaran stasiun hujan dan grid TRMM diperlihatkan dalam Gambar 19. (a)
(b)
48
(c)
Gambar 19. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM wilayah Sumatera Utara (a)Seluruh stasiun hujan, (b) stasiun hujan dengan ketersediaan data >75%, (c) stasiun terpilih untuk model. b. Kalimantan Barat Pada wilayah Kalimantan Barat, secara keseluruhan total stasiun hujan berjumlah 87 stasiun dengan jumlah grid TRMM sebanyak 48 grid, namun setelah dilakukan pemeriksaan ketersediaan data lebih dari 75%, diperoleh jumlah stasiun sebanyak 39 dengan jumlah grid 26 buah. Selanjutnya stasiun yang digunakan untuk validasi data TRMM dan pembangunan model adalah sebanyak 7 stasiun dengan jumlah grid sebanyak 4 grid (Tabel 3). Stasiun tersebut terletak pada ketinggian stasiun antara 1 hingga 44 mdpl (Lampiran 4). Sebaran stasiun hujan secara keseluruhan dan hasil pemilihan stasiun ditunjukkan pada Gambar 20.
49
(a)
(b)
(c)
Gambar 20. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM wilayah Kalimantan Barat, (a) Seluruh stasiun hujan, (b) stasiun hujan dengan ketersediaan data >75%, (c) stasiun terpilih untuk model.
50
4.2.3. Wilayah pola hujan lokal Wilayah Maluku mempunyai stasiun hujan secara keseluruhan berjumlah 7 stasiun. Berdasarkan analisis ketersediaan data selama periode 2003-2009 seluruh stasiun hujan di wilayah Maluku mempunyai ketersediaan data >75%. stasiun hujan dengan 7 grid TRMM. Selanjutnya untuk validasi data TRMM, dipilih 3 stasiun hujan dengan 3 grid TRMM (Tabel 3). Secara spasial, sebaran stasiun hujan dan grid TRMM diperlihatkan pada Gambar 21. Di wilayah Maluku yang merupakan wilayah kepulauan, jumlah stasiun hujan di permukaan sangat sedikit, sehingga pada setiap grid TRMM, hanya terdapat satu stasiun hujan. Ketinggian tempat pada masing-masing stasiun berada pada kisaran ketinggian 5 mdpl – 15.4 mdpl. (a)
(b)
51
(c)
Gambar 21. Pemilihan stasiun hujan dan grid TRMM wilayah Maluku (a)Seluruh stasiun hujan, (b) stasiun hujan dengan ketersediaan data >75% dengan dua pola hujan; muson dan lokal, (c) stasiun terpilih untuk model mewakili pola hujan lokal. Hasil pemilihan stasiun dan Grid TRMM ukuran 2x2 secara spasial ditunjukkan pada Gambar 22.
Gambar 22. Hasil pemilihan stasiun dan grid TRMM untuk validasi dan model penduga hujan bulanan.
52
4.3. Evaluasi data hujan TRMM terhadap data hujan observasi menggunakan analisis grid 1x1 Evaluasi data hujan TRMM terhadap data hujan observasi dilakukan untuk mengetahui perbandingan curah hujan hasil keluaran satelit TRMM dengan curah hujan observasi. Evaluasi dilakukan terhadap data hujan satelit TRMM menggunakan grid berukuran 1x1 yang dibandingkan dengan data hujan observasi dari satu stasiun dan data hujan rata-rata tiga stasiun dalam satu grid yang sama. Rekapitulasi grid dan stasiun yang digunakan untuk evaluasi per grid berukuran 1x1 ditunjukkan pada Tabel 4. Pada analisis berikutnya, digunakan istilah overestimate jika besaran curah hujan hasil keluaran dari satelit TRMM melebihi curah hujan hasil dari stasiun pengamatan hujan. Sebaliknya, digunakan istilah underestimate jika besaran curah hujan hasil keluaran dari satelit TRMM lebih rendah dibandingkan besaran curah hujan hasil dari stasiun pengamatan hujan. Pada kondisi curah hujan TRMM menunjukkan intensitas yang sama/hampir sama dengan curah hujan observasi (±10%) digunakan istilah mendekati/cukup mendekati (approximately equal) (Almazroui 2011).
Tabel 4. Rekapitulasi tiga stasiun hujan dan grid yang digunakan untuk evaluasi hujan dalam satu grid (ukuran 1x1) No Wilayah 1. Lampung
Pola Hujan Muson
Grid 3 Stasiun 12144 1. Staklim Masgar
2.
Jawa Timur
Muson
15137
3.
Kalimantan Selatan
Muson
9715
4.
Sumatera Utara
Equatorial
4216
5
Kalimantan Barat
Equatorial
7221
6.
Maluku
Lokal
10508
2. Metro Selatan 3. Stamet Branti 1. Stageof Karangkates 2. Doko 3. Birowo 1. Angkinang 2. Pantai Hambawang 3. Telaga Langsat 1. Kbn. Bangun 2. Kb. Pagar Jawa 3. SMPK Marihat 1. Stamet Supadio 2. Rasau Jaya 3. Sui Ambawang 1. Staklim Amahai
53
-
Pola hujan muson
Hasil perbandingan curah hujan antara data satelit TRMM dengan data hujan observasi pada grid berukuran 1x1 untuk satu stasiun dan rata-rata 3 stasiun pada grid yang sama di wilayah hujan muson ditunjukkan pada Gambar 23. Sedangkan hasil analisis statistika yang ditunjukkan dengan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias disajikan pada Tabel 4. 1200
CH (mm)
TRMM Observasi rata-rata 3 sta Staklim Masgar Sta Metro Selatan
Lampung
1000 800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
1200
Jan-08
Jan-09 TRMM Observasi rata-rata 3 sta Stageof Karangkates Sta Doko Sta Birowo
Jawa Timur
1000 CH (mm)
Jan-07
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
1200
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09 TRMM Observasi rata-rata 3 sta Sta Benua Lawas Sta Kelua
Kalimantan Selatan
1000 CH (mm)
Jan-05
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 23. Perbandingan intenstitas hujan bulanan data TRMM dengan hujan observasi dalam satu grid dari satu stasiun dan rata-rata 3 stasiun di wilayah pola hujan muson.
Berdasarkan Gambar 23, ditunjukkan bahwa intensitas hujan satelit TRMM mengikuti pola hujan observasi dari masing-masing stasiun dan rata-rata tiga
54
stasiun. Di Wilayah Lampung, hujan keluaran satelit TRMM menunjukkan intensitas yang overestimate pada periode sebelum tahun 2005 dan pada saat musim hujan. Di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, secara umum menunjukkan data TRMM mengikuti pola hujan observasi, baik dari masingmasing stasiun maupun dari rata-rata tiga stasiun. Namun, pada analisis menggunakan satu stasiun ditunjukkan bahwa intensitas hujan di setiap stasiun mempunyai kecenderungan overestimate, underestimate atau mendekati hujan observasi yang berbeda-beda. Sehingga pada intensitas hujan hasil rata-rata tiga stasiun, menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan dengan hujan TRMM.
Tabel 5. Perbandingan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias untuk data observasi dan TRMM grid 1x1 di wilayah pola hujan muson. CH Obs Lampung Grid 1x1, 3 sta Sta. Masgar Sta. Metro Selatan Sta. Branti Jawa Timur Grid 1x1, 3 sta Sta. Birowo Sta. Doko Sta. Karang Kates Kalimantan Selatan Grid 1x1, 3 sta Sta. Banu Lawas Sta. Kelua Sta. Paringin
CH TRMM
RMSE
r
R2
MAE
Rel.bias (%)
2054 2126 2196 1889
2442 2442 2442 2442
98 94 142 133
0.88 0.87 0.84 0.71
0.77 0.75 0.71 0.50
0.07 0.11 0.16 0.03
18.86 14.86 30.71 29.24
2098 2174 2386 1733
1698 1698 1698 1698
74 78 114 88
0.93 0.88 0.87 0.91
0.86 0.78 0.76 0.83
0.01 0.01 0.01 0.01
-19.07 -2.04 -28.86 -21.91
2129 2385 2184 1724
2176 2176 2176 2176
89 107 108 120
0.75 0.70 0.91 0.66
0.57 0.49 0.83 0.44
0.26 0.11 0.46 0.20
2.18 -8.76 1.18 31.41
Perbandingan hasil analisis statistik (nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias) antara data hujan TRMM dengan hujan dari setiap stasiun dan ratarata tuga stasiun pada wilayah pola hujan muson ditunjukkan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 ditunjukkan bahwa di wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, nilai korelasi dan RMSE antara hujan rata-rata dari tiga stasiun dengan hujan TRMM mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi (berturut-turut: 0.88, 0.93, 0.75) dan nilai RMSE yang lebih rendah (98 mm, 74 mm, dan 89 mm) dibandingkan dengan hujan dari satu stasiun (nilai korelasi; 0.71-0.87, 0.88-0.91, 0.66-0.71; nilai RMSE: 94-142 mm, 78-114 mm, dan 107-120 mm). Kecuali pada stasiun Kelua-Kalimantan Selatan mempunyai nilai
55
korelasi yang lebih tinggi (0.91) dibandingkan dengan nilai korelasi rata-rata tiga stasiun (0.75). -
Pola hujan equatorial
Hasil perbandingan curah hujan antara data satelit TRMM dengan data hujan observasi pada grid berukuran 1x1 untuk satu stasiun dan rata-rata 3 stasiun pada grid yang sama di wilayah hujan equatorial ditunjukkan pada Gambar 24. Sedangkan hasil analisis statistika yang ditunjukkan dengan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias disajikan pada Tabel 5. 1200 1000 CH (mm)
TRMM Observasi rata-rata 3 sta Sta Kbn Bangur Sta Pagar Jawa Sta SMPK Marihat
Sumatera Utara
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
1200
Jan-08
Jan-09 TRMM Observasi rata-rata 3 sta Stamet Supadio Sta Rasau Jaya Sta Sui Ambawang
Kalimantan Barat
1000 CH (mm)
Jan-07
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 24. Perbandingan intenstitas hujan bulanan data TRMM dengan hujan observasi dalam satu grid dari satu stasiun dan rata-rata 3 stasiun di wilayah pola hujan equatorial.
Berdasarkan Gambar 24, ditunjukkan bahwa intensitas hujan dari TRMM di wilayah pola hujan equatorial cenderung overestimate sepanjang tahun, terutama pada musim hujan. Intensitas hujan observasi pada setiap stasiun di wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat menunjukkan pola yang berbedabeda bila dibandingkan dengan hujan TRMM. Pada stasiun Pager Jawa dan stasiun
Marihat
-
Sumatera
Utara,
menunjukkan
pola
yang
berbeda
56
dalammengikuti hujan TRMM, yaitu cenderung underestimate pada stasiun Pager Jawa karena banyaknya intensitas hujan yang nol. Sehingga, analisis menggunakan nilai rata-rata tiga stasiun menjadi lebih stabil dalam mengikuti pola hujan TRMM. Berdasarkan perbandingan analisis statistika yang ditunjukkan dengan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias di wilayah pola hujan equatorial (Tabel 6), dapat diperlihatkan bahwa nilai korelasi antara intensitas hujan satelit TRMM dengan inensitas hujan pada grid 1x1 dengan rata-rata tiga stasiun mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi (Sumatera Utara: 0.60, dan Kalimantan Barat: 0.76) dibandingkan dengan nilai korelasi dari setiap stasiun (Sumatera Utara: 0.35-0.59; dan Kalimantan Barat: 0.59-0.72). Demikian halnya dengan nilai RMSE, hasil analisis rata-rata tiga stasiun menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai RMSE pada setiap stasiun, kecuali stasiun Marihat-Sumatera Utara mempunyai nilai RMSE (140) yang lebih rendah dibandingkan rata-rata tiga stasiun (150). Hal tersebut menujukkan bahwa di wilayah pola hujan equatorial, perbandingan hujan satelit TRMM pada grid 1x1 terhadap hujan hasil rata-rata tiga stasiun mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hujan dari satu stasiun.
Tabel 6. Perbandingan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias untuk data observasi dan TRMM grid 1x1 di wilayah pola hujan equatorial. CH Obs Sumatera Utara Grid 1x1, 3 sta Sta. Marihat Sta. Bangun Sta. Pagar Jaya Kalimantan Barat Grid 1x1, 3 sta Sta. Supadio Sta. Rasau Jaya Sta. Liu Ambawang
-
CH TRMM
RMSE
r
2593 2468 2105 3101
3669 3669 3669 3669
150 140 173 237
0.60 0.59 0.46 0.35
3001 3138 2780 3076
3420 3420 3420 3420
112 116 145 178
0.76 0.72 0.72 0.59
R2
MAE
Rel.bias (%)
0.36 0.34 0.21 0.13
0.50 0.23 1.45 0.17
41.47 18.32 50.67 102.48
0.58 0.52 0.52 0.35
2.61 2.30 2.91 4.77
13.95 8.98 30.84 23.33
Pola hujan lokal
Pada wilayah Maluku, perbandingan curah hujan antara data satelit TRMM dengan data hujan observasi pada grid berukuran 1x1 untuk satu stasiun dan rata-
57
rata 3 stasiun pada grid yang sama tidak dapat dilakukan karena keterbatasan stasiun hujan observasi. Sehingga analisis hanya dilakukan untuk satu stasiun pada satu grid yang ditunjukkan pada Gambar 25. Sedangkan hasil analisis statistika yang ditunjukkan dengan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan Gambar 25 dan Tabel 7 ditunjukkan bahwa pada puncak musim hujan, umumnya intensitas hujan dari satelit TRMM mempunyai kecenderungan underestimate dibandingkan dengan hujan observasi. Namun nilai korelasi data satelit TRMM dengan hujan observasi menunjukkan nilai yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0.7. 1400 Stamet Amahai
1000 CH (mm)
Maluku
TRMM
1200
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 25. Perbandingan intenstitas hujan bulanan data TRMM dengan hujan observasi stasiun Amahai di wilayah pola hujan lokal.
Tabel 7. Perbandingan nilai korelasi, RMSE, MAE, relatif bias data observasi stasiun Amahai dan TRMM grid 1x1 di wilayah pola hujan lokal. CH Obs
CH TRMM
RMSE
1644
178
r
R2
MAE
Rel.bias (%)
1.34
-25.85
Maluku Grid 1x1, stamet Amahai
2217
0.70
0.50
4.4. Evaluasi data hujan TRMM terhadap data hujan observasi menggunakan blok grid 2x2 4.4.1. Evaluasi Kurva massa ganda Evaluasi dan validasi data hujan TRMM dilakukan dengan menggunakan blok grid TRMM berukuran 2 x 2 untuk wilayah hujan muson dan equatorial, sedangkan wilayah hujan lokal hanya menggunakan satu grid karena keterbatasan
58
data hujan obervasi. Daftar stasiun untuk analisis data TRMM grid 2x2 diperlihatkan pada Lampiran 3. Selanjutnya untuk melihat kontinuitas data dan gambaran besarnya bias antara data observasi dan data satelit TRMM, dilakukan analisis kurva massa ganda di setiap wilayah studi (Gambar 25). Kurva Massa Ganda (Jawa Timur)
Kurva Massa Ganda (Lampung) 24000 TRMM 1:1
20000
TRMM 1:1
20000
Observasi (mm)
Observasi((mm)
24000
16000
16000
12000
12000 8000 4000 0
8000 4000 0
0
4000
8000
12000
16000
20000
24000
0
4000
8000
Satelit TRMM [mm]
Observasi (mm)
Observasi (mm)
24000
TRMM 1:1
20000 16000
16000
12000
12000 8000 4000 0
8000 4000 0
0
4000
8000
12000
16000
20000
24000
0
4000
8000
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda (Maluku) 24000 TRMM 1:1
20000
Observasi(mm)
TRMM 1:1
20000
12000 16000 20000 24000
Satelit TRMM [mm]
Kurva Massa Ganda (Kalimantan Barat)
24000
Observasi (mm)
20000
24000
TRMM 1:1
20000
16000
Kurva Massa Ganda (Sumatera Utara)
Kurva Massa Ganda (Kalimantan Selatan)
24000
12000
Satelit TRMM [mm]
16000
16000
12000
12000 8000 4000
8000 4000 0
0 0
4000
8000
12000
16000
20000
24000
Satelit TRMM [mm]
0
4000
8000
12000
16000
20000
24000
Satelit TRMM [mm]
Gambar 26. Kurva massa ganda curah hujan observasi dan TRMM di seluruh wilayah periode 2003-2009.
Berdasarkan Gambar 26, ditunjukkan bahwa pada masing-masing lokasi terdapat bias atau perbedaan antara data satelit TRMM terhadap data observasi. Di wilayah dengan pola hujan muson (Lampung dan Kalimantan Selatan), intensitas hujan dari data satelit TRMM cenderung lebih tinggi (overestimate) dibandingkan hujan observasi, sedangkan untuk wilayah Jawa Timur cenderung
59
lebih rendah (underestimate). Di wilayah equatorial (Sumatera Utara dan Kalimantan Barat) data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan overestimate, sedangkan di wilayah lokal (Maluku) menunjukkan kebalikannya, yaitu underestimate. Berdasarkan Gambar 26, juga dapat ditunjukkan adanya breaking point atau titik perubahan pada kisaran nilai antara 4000-6000, yang terdapat mulai pengamatan sekitar awal tahun 2005 dan cenderung lebih stabil setelah tahun 2005.
Hal
tersebut
juga
ditemukan
pada
penelitian
Su
(2008)
dan
Vernimmen et al. (2012) dimana pada pengamatan hujan pada satelit near real time, menunjukkan performa yang lebih baik terutama untuk model hidrologi setelah tahun 2005. Perubahan ini dimungkinkan karena adanya penggabungan tambahan dalam perhitungan intensitas hujan, yaitu dari instrumen satelit AMSU-B dan AMSR-E (Huffman & David 2011). Gambaran diagram pencar (scatterplot) antara data hujan satelit TRMM dengan hujan observasi di seluruh wilayah (Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara dan Maluku) ditunjukkan pada Gambar 27. 1200
1200
r=0.88
800 600 400
800 600 400 200
Lampung
200
r=0.94
1000
Observasi (mm))
Observasi (mm)
1000
Jawa Timur
0
0 0
200
400
600
800
1000
0
1200
200
Satelit TRMM(mm)
600
800
1000
1200
Satelit TRMM (mm)
1200
1200
r=0.83
800 600 400 200
Kalimantan Selatan 200
400
600
800
1000
Satelit TRMM (mm)
800 600 400 200
Sumatera Utara
0
0 0
r=0.69
1000
Observasi (mm)
1000
Observasi (mm)
400
1200
0
200
400
600
800
Satelit TRMM (mm))
1000
1200
60
1200
1200
r=0.78
r=0.78
1000
Observasi (mm))
Observasi (mm)
1000 800 600 400 200
Kalimantan Barat
800 600 400 200
0
Maluku
0 0
200
400
600
800
1000
1200
0
200
Satelit TRMM (mm)
400
600
800
1000
1200
Satelit TRMM (mm)
Gambar 27. Scatterplot curah hujan bulanan observasi terhadap satelit TRMM periode 2003-2009 di setiap wilayah.
4.4.2. Pola hujan observasi dan satelit TRMM Berdasarkan stasiun yang telah terpilih sebagaimana tersebut di atas, dilakukan perbandingan antara data curah hujan dari stasiun hujan terhadap data satelit TRMM di setiap wilayah studi. Pada masing-masing wilayah dengan pola hujan berbeda, data satelit TRMM menunjukkan performa berbeda terhadap data observasi. a. Wilayah pola hujan muson Pada wilayah dengan pola hujan muson, secara time series selama pengamatan 7 tahun, data satelit hujan TRMM menunjukkan performa yang bagus dimana pola hujannya mengikuti pola hujan observasi. Data satelit menunjukkan intensitas hujan lebih tinggi (overestimate) umumnya terjadi pada musim hujan (September-April), terutama untuk wilayah Lampung, sedangkan pada musim kemarau, data satelit menunjukkan intensitas hujan yang cukup tepat terhadap data hujan observasi (Gambar 28). Sedangkan pada bulan puncak hujan (bulan Desember-Januari) di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, hujan dari satelit TRMM menunjukkan intensitas yang lebih rendah (underestimate) dibandingkan intensitas hujan data observasi.
61
1200 CH Observasi CH TRMM
CH(mm)
1000
Lampung
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
1200
Jan-08
CH Observasi CH TRMM
1000
CH(mm)
Jan-07
Jan-09
Jawa Timur
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
1200
CH Observasi CH TRMM
1000
CH(mm)
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Kalimantan Selatan
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 28. Plot perbandingan curah hujan bulanan observasi dan satelit TRMM periode 2003-2009 wilayah pola hujan muson.
Berdasarkan analisis intra-seasonal yang ditunjukkan pada Gambar 29, dihasilkan perbandingan curah hujan rata-rata bulanan data observasi terhadap data satelit TRMM. Pada Gambar 29 ditunjukkan bahwa data satelit TRMM mempunyai pola yang mengikuti pola hujan observasi dan mempunyai intensitas yang cukup mendekati hujan observasi. Curah hujan satelit cenderung overestimate terutama diperoleh pada musim hujan (Nopember-Maret) dimana curah hujan cukup tinggi. Di wilayah Lampung, curah hujan satelit menunjukkan kecenderungan overestimate pada musim hujan, dan sebaliknya underestimate pada musim kemarau (April-September). Pada wilayah Jawa Timur, curah hujan
62
satelit overestimate terutama terjadi pada musim-musim peralihan (Maret-April) dan (September-Oktober), sedangkan pada musim hujan dan kemarau cukup mendekati hujan observasi. Sedangkan wilayah Kalimantan Selatan, intensitas hujan satelit underestimate pada musim peralihan dan musim kemarau, sedangkan pada musim hujan, cukup mendekati (Gambar 29). Sehingga, pada wilayah hujan muson, secara konsisten ditunjukkan curah hujan satelit TRMM cenderung underestimate pada musim kemarau. 450
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan TRMM
400 350 300
350
CH (mm)
CH (mm)
250
200
200
150 50
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan…
400 300
250
100
450
150
Lampung
100 50
0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des 450 400
CH (mm)
350
Jawa Timur
0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
300 250 200 150 100 50 0
Kalimantan Selatan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Gambar 29. Curah hujan rata-rata bulanan wilayah pola hujan muson.
b. Wilayah pola hujan equatorial Berdasarkan analisis hujan tahunan, pada wilayah dengan pola hujan equatorial, data satelit TRMM menunjukkan pola yang mengikuti pengamatan hujan observasi, namun intensitas hujan cenderung overestimate dibandingkan dengan data observasi hampir sepanjang tahun (Gambar 30). Pada wilayah Sumatera Utara, intensitas hujan dari pengamatan satelit menunjukkan nilai yang lebih tinggi sepanjang tahun dibandingkan dengan observasi, baik musim hujan maupun musim kemarau. Di wilayah Kalimantan Barat, secara umum intensitas hujan dari pengamatan satelit cenderung overestimate pada dua puncak hujan (April-Mei) dan (Oktober-Nopember), sedangkan pada bulan-bulan peralihan
63
musim (Agustus-September, Desember-Januari, dan Maret-April) hingga musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari) menunjukkan intensitas hujan data TRMM cukup mendekati hujan observasi. 1200
CH Observasi CH TRMM
CH(mm)
1000
Sumatera Utara
800 600 400 200 0
Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
1200
CH(mm)
Kalimantan Barat
CH Observasi CH TRMM
1000 800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 30. Plot perbandingan curah hujan bulanan observasi dan satelit TRMM periode 2003-2009 wilayah pola hujan equatorial. 600 500
300 200
0
Sumatera Utara Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
CH rata-rata bulanan obs CH rata-rata bulanan TRMM
500
CH (mm)
CH (mm)
400
100
600
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
400 300 200 100
Kalimantan Barat
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Gambar 31. Perbandingan curah hujan rata - rata bulanan observasi dan satelit TRMM di wilayah pola hujan equatorial.
Pada analisis menggunakan rata-rata bulanan (intra-seasonal) yang ditunjukkan pada Gambar 31, diperoleh bahwa di wilayah dengan pola hujan equatorial, curah hujan satelit TRMM mempunyai intensitas hujan overestimate dibandingkan hujan observasi pada dua puncak musim hujan (April-Mei) dan
64
(Oktober-Nopember). Namun pada musim
kemarau (Juni-Agustus) dan
(Desember-Pebruari), intensitas hujan satelit TRMM cukup mendekati hujan observasi terutama di wilayah Kalimantan Barat. Namun untuk wilayah Sumatera Utara, pada musim kemarau intensitas hujan satelit TRMM menunjukkan kecenderungan overestimate dibandingkan hujan observasi.
c. Wilayah Pola hujan lokal Hasil perbandingan curah hujan bulanan periode tahun 2003-2009 dan curah hujan rata- rata bulanan antara data hujan satelit TRMM dengan data hujan observasi di wilayah pola hujan lokal (Maluku) diperlihatkan pada Gambar 32. Di wilayah Maluku dengan pola hujan lokal, dimana puncak hujan terjadi secara berkebalikan dengan pola muson yaitu bulan Juni-Juli, intensitas hujan pengamatan satelit TRMM menunjukkan kecenderungan underestimate pada musim-musim peralihan hingga puncak musim hujan, sebaliknya pada musim kering, menunjukkan intensitas yang cukup mendekati pengamatan hujan dari observasi. Hal tersebut juga ditunjukkan pada analisis intra-seasonal yang ditunjukkan pada Gambar 33, dimana intensitas hujan pada musim hujan (JuniJuli) di wilayah lokal menunjukkan kecenderungan underestimate dibandingkan dengan hujan observasi. Sedangkan pada musim kemarau (Nopember-Maret), intensitas hujan satelit TRMM cukup mendekati hujan observasi.
1200
CH Bulanan Observasi CH Bulanan TRMM
CH(mm)
1000 800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 32. Perbandingan curah hujan bulanan observasi dan satelit TRMM periode 2003-2009 wilayah pola hujan lokal.
65
600
CH Rata-rata bulanan obs CH Rata-rata bulanan TRMM
CH (mm)
500 400 300 200 100 0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Gambar 33. Perbandingan curah hujan rata-rata bulanan observasi dan satelit TRMM di wilayah pola hujan lokal.
4.4.3. Analisis statistik data satelit TRMM dengan data observasi Dalam mengevaluasi dan validasi data satelit TRMM, dilakukan analisis statistika yang terdiri dari perhitungan nilai korelasi, RMSE (Root Mean Square Error), MAE (Mean Absolute Error), dan relatif bias yang mempresentasikan sejauh mana ketepatan data hujan satelit TRMM terhadap data hujan observasi dari stasiun hujan terpilih. Perbandingan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias pada masing-masing wilayah hujan untuk time series periode 2003-2009 diberikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perbandingan nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias untuk data observasi dan TRMM periode 2003-2009 di masing-masing wilayah. No
Wilayah
CH Tahunan TRMM 2217
r
R2
84
0.88
0.77
17
Relatif Bias (%) -10
58
0.94
0.89
20
12
TRM M-Obs
RMSE
203 -244
MAE
1
Lampung
Obs 2014
2
Jawa Timur
2037
1792
3
Kalimantan Selatan
2160
2193
33
63
0.83
0.69
3
-2
4
Sumatera Utara
2171
3563
1392
158
0.69
0.47
116
-64
5
Kalimantan Barat
3012
3253
240
97
0.78
0.60
20
8
6
Maluku
2552
1542
-1011
173
0.78
0.61
84
-40
Berdasarkan analisis tahunan (Tabel 8) dapat ditunjukkan bahwa nilai korelasi antara data satelit TRMM terhadap observasi pada wilayah hujan muson sangat tinggi, yaitu 0.83-0.94, diikuti di wilayah lokal (0.78) dan equatorial (0.69-0.78). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara data observasi dan data satelit TRMM. Nilai RMSE di wilayah dengan pola
66
hujan muson mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan wilayah pola hujan equatorial dan lokal. Di wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan nilai RMSE berturut-turut sebesar 58 mm, 63 mm dan 84 mm, selanjutnya di wilayah Kalimantan Barat dan Sumatera Utara adalah sebesar 97 mm dan 158 mm, sedangkan di Maluku sebesar 173 mm. Demikian halnya dengan nilai MAE dan relatif bias, di wilayah pola hujan muson mempunyai nilai MAE yang lebih rendah dibandingkan dua pola hujan lainnya, berturut-turut yaitu wilayah Kalimantan Selatan (3 mm), Lampung (17 mm), Jawa Timur (20 mm), Kalimantan Barat (20 mm), Maluku (84 mm), Sumatera Utara (116 mm).\
4.5. Perbandingan evaluasi data hujan TRMM dan hujan observasi menggunakan grid 1x1 dan grid 2x2 Hasil perbandingan antara evaluasi data hujan observasi dengan data hujan TRMM menggunakan grid ukuran 1x1 dengan satu stasiun dan rata-rata tiga stasiun, dan menggunakan grid ukuran 2x2 dengan jumlah stasiun seperti tertera pada Tabel 3, disajikan pada Gambar 34. Berdasarkan Gambar 34, ditunjukkan bahwa nilai korelasi antara huajn TRMM grid 2x2, secara umum mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan grid berukuran 1x1 baik di wilayah hujan muson, equatorial maupun lokal. Di wilayah Lampung, nilai korelasi grid ukuran 2x2 lebih tinggi yaitu 0.88 (88%) dibandingkan dengan grid ukuran 1x1 menggunakan satu stasiun dan rata-rata tiga stasiun, yaitu 71-88%. Di Wilayah Jawa Timur, nilai korelasi grid ukuran 2x2 lebih tinggi yaitu sebesar 94% dibandingkan dengan grid ukuran 1x1, yatu 87-93%. Demikian halnya di Kalimantan Selatan, grid ukuran 2x2 mempunyai nilai korelasi lebih tinggi yaitu 83% dibandingkan grid ukuran 1x1 yaitu 66-75% (kecuali stasiun Marihat mempunyai korelasi cukup tinggi sebesar 91%). Di wilayah pola hujan equatorial, yaitu Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, grid ukuran 2x2 juga menunjukkan nilai korelasi yang lebih tinggi (berturut-turut: 69% dan 78%) dibandingkan dengan grid ukuran 1x1 (berturut-turut: 35%-60%, dan 59-76%). Nilai RMSE pada perbandingan data hujan observasi dengan hujan satelit TRMM grid 1x1 dan 2x2 menunjukkan bahwa nilai RMSE pada grid 2x2 mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan grid ukuran 1x1 di
67
wilayah pola hujan muson, equatorial, dan lokal. Di wilayah pola hujan muson yaitu Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, nilai RMSE pada grid 2x2 menunjukkan nilai lebih rendah (berturut-turut: Lampung (84), Jawa Timur (58), dan Kalimantan Selatan (63)) dibandingkan grid 1x1 (Lampung: 94-142 mm; Jawa Timur: 74-114 mm; dan Kalimantan Selatan: 89-120 mm). Di wilayah pola hujan equatorial-Kalimantan Barat, nilai RMSE grid 2x2 lebih rendah (97 mm) dibandingkan grid1x1 (112-178 mm). Sedangkan di Sumatera Utara, nilai RMSE paling rendah ditunjukkan pada grid 1x1 di stasiun Marihat (140 mm), dan nilai RMSE pada grid2x2 sebesar 158 mm. Di wilayah Maluku, curah hujan observasi dibandingkan terhadap grid ukuran 1x1 dengan satu stasiun dan rata-rata 3 grid 1x1 dengan masing-masing satu stasiun. Nilai korelasi pada hasil rata-rata 3 grid mempunyai nilai yang lebih tinggi (77.9 %) dibandingkan dengan satu grid 1x1 (70.4 %), dan nilai RMSE hasil rata-rata tiga grid mempunyai nilai yang lebih rendah (173 mm) dibandingkan dengan satu grid 1x1 (178 mm).
80
Sta. Masgar
Sta. Metro Selatan
Sta. Branti
grid 2x2
RMSE
98
94
142
133
84
r (%)
88
87
84
71
88
240
RMSE
0
Grid 1x1, 3 sta
240
Kalimantan Selatan
160
160
80
80
0
0
Grid 1x1, 3 sta
Sta. Banu Lawas
Sta. Kelua
Sta. Paringin
grid 2x2
RMSE
89
107
108
120
63
r (%)
75
70
91
66
83
160
160
80
80
0
0
Grid 1x1, 3 sta
Sta. Birowo
Sta. Doko
Sta. Karang Kates
grid 2x2
RMSE
74
78
114
88
58
r (%)
93
88
87
91
94
240
240
Sumatera Utara
RMSE
0
Koef. Korelasi (r, dlm %)
80
240
Jawa Timur
RMSE
160
Koef. Korelasi (r, dlm %)
RMSE
160
240
Koef. Korelasi (r, dlm %)
240
Lampung
Koef. Korelasi (r, dlm %)
240
160
160
80
80
0
0
Grid 1x1, 3 sta
Sta. Marihat
Sta. Bangun
Sta. Pagar Jaya
grid 2x2
RMSE
150
140
173
237
158
r (%)
60
59
46
35
69
68
160
80
80
0
RMSE
160
240
240
Maluku
160
160
80
80
0
0
Grid 1x1, 3 sta
Sta. Supadio
Sta. Rasau Jaya
Sta. Liu Ambaw ang
grid 2x2
RMSE
112
116
145
178
97
RMSE
178
173
r (%)
76
72
72
59
78
r (%)
70.4
77.9
Grid 1x1, stamet Amahai
Grid 1x1, 3 sta, 3 grid
Koef. Korelasi (r, dlm %)
240
Kalimantan Barat
Koef. Korelasi (r, dlm %)
RMSE
240
0
Gambar 34. Perbandingan nilai korelasi (%) dan RMSE antara data hujan TRMM grid ukuran 1x1 dan 2x2 di setiap wilayah.
Berdasarkan hasil analisis perbandingan data hujan observasi dengan data TRMM grid 1x1 dan 2x2, secara umum diperoleh bahwa analisis menggunakan grid TRMM 2x2 mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan TRMM grid 1x1, sehingga untuk proses selanjutnya, grid TRMM dengan ukuran 2x2 digunakan untuk menentukan faktor koreksi hujan satelit TRMM dan penyusunan model penduga curah hujan bulanan di masing-masing wilayah pola hujan.
4.6. Analisis faktor koreksi dan perbandingan curah hujan TRMM sebelum dan setelah koreksi 4.6.1.
Analisis faktor koreksi data satelit TRMM
Faktor koreksi untuk data hujan satelit TRMM diperoleh berdasarkan diagram pencar (scatterplot) data observasi dan satelit TRMM (Gambar 27) dan hasil peritungan nilai koefisien determinasi (R2) pada setiap bentuk persamaan linier, geometrik, eksponensial dan logaritmik (Tabel 9). Pada Tabel 9, ditunjukkan bahwa di wilayah pola hujan muson, nilai R2 lebih tinggi terdapat persamaan geometrik, yaitu Lampung (0.825) dan Kalimantan Selatan sebesar (0.792), kecuali wilayah Jawa Timur mempunyai nilai R2 lebih tinggi pada persaman linear (0.89). Namun untuk wilayah pola hujan muson, persamaan regresi yang digunakan sebagai persamaan koreksi adalah persamaan geometrik, karena dua wilayah (Lampung dan Kalimantan Selatan) mmpunyai koefisien determinasi lebih tinggi pada persamaan geometrik.
69
Nilai koefisien determinasi tertinggi untuk wilayah hujan equatorial (Sumatera Utara dan Kalimantan Barat), diperoleh pada bentuk persamaan geometrik (berturut-turut sebesar 0.54 dan 0.641). Hal ini menunjukkan bahwa keragaman dari peubah respon (data TRMM) dapat dijelaskan oleh bentuk persamaan geometrik sebesar 54% dan 64.1%. Sedangkan di wilayah lokal, nilai R2 tertinggi terdapat pada bentuk persamaan linear sebesar 0.606 (Tabel 9). Hasil ini kemudian digunakan untuk menentukan faktor koreksi (nilai a dan b) untuk data TRMM dimana di wilayah pola hujan muson dan equatorial digunakan bentuk persamaan geometrik, sedangkan bentuk persamaan linear digunakan untuk pola hujan lokal.
Tabel. 9. Perbandingan nilai koefisien determinasi masing-masing bentuk persamaan regresi Lokasi
Nilai R2 Linier
Geometrik
Eksponensial
Logaritmik
Lampung
0.772
0.824
0.365
0.487
Jawa Timur
0.89
0.795
0.437
0.597
Kalimantan Selatan
0.694
0.792
0.668
0.611
Sumatera Utara
0.473
0.54
0.4762
0.484
Kalimantan Barat
0.601
0.641
0.512
0.565
Maluku
0.606
0.404
0.443
0.258
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode kuadrat terkecil, diperoleh bentuk persamaan regresi dengan nilai a dan b sebagai faktor koreksi yang ditunjukan pada Tabel 10. Persamaan koreksi yang dihasilkan menggunakan stasiun hujan dan grid TRMM terpilih (Tabel 10).
Tabel 10. Bentuk persamaan regresi dan faktor koreksi TRMM Pola hujan
Nilai a
Nilai b
Bentuk persamaan regresi
Muson
7.094
0.625
Y=7.094 X0.625
Equatorial
6.849
0.605
Y=6.849 X0.605
Lokal
0.118
1.672
Y=0.118+1.672X
Keterangan Y = CH TRMM terkoreksi; X = CH TRMM
70
4.6.2. Perbandingan curah hujan TRMM sebelum dan sesudah koreksi Hasil perbandingan curah hujan TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi pada setiap wilayah dengan pola hujan masing-masing disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11 diperoleh bahwa pada umumnya nilai RMSE TRMM setelah koreksi mengalami penurunan dibandingkan sebelum dikoreksi, kecuali wilayah Jawa Timur. Sedangkan untuk nilai korelasi (r) umumnya mengalami peningkatan kecuali wilayah Maluku yang mengalami penurunan sebesar 0.01 mm.
Tabel 11. Perbandingan CH tahunan, RMSE, koefisien korelasi, MAE dan relatif bias antara data TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi pada seluruh wilayah TRMM No
1 2 3 4 5 6
Wilayah
Lampung Jawa Timur Kalimantan Selatan Sumatera Utara Kalimantan Barat Maluku
-
CH Obs (mm/thn)
TRMMCH RMSE (mm/thn) Obs
TRMM Koreksi r
MAE
Relatif Bias
CH (mm/thn)
TRMMRMSE Obs
r
MAE
Relatif Bias
Perbandingan RMSE
2014 2037
2217 1792
203 -244
84 58
0.88 0.94
17 20
10 -12
1999 1587
-15 -449
50 69
0.90 0.95
1 37
-1 -22
-34 11
2160
2193
33
63
0.83
3
2
2083
-77
61
0.84
6
-4
-2
2171
3563
1392
158
0.69
116
64
2500
329
66
0.70
27
15
-92
3012
3253
240
97
0.78
20
8
2346
-666
87
0.79
56
-22
-10
2552
1542
-1011
154
0.79
78
-37
2579
26
135
0.78
2
1
-19
Pola hujan muson
Berdasarkan Tabel 11 ditunjukkan bahwa jumlah curah hujan tahunan hasil keluaran TRMM di wilayah dengan pola hujan muson, umumnya mengalami penurunan setelah dikoreksi. Jumlah curah hujan tahunan TRMM di wilayah Lampung, mengalami penurunan dari 2217 mm/thn menjadi 1999 mm/thn. Penurunan jumlah curah hujan tahunan keluaran TRMM juga terdapat di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, berturut-turut yaitu dari 1792 mm/thn menjadi 1587 mm/thn dan dari 2193 mm/thn menjadi 2083 mm/thn. Hasil koreksi data satelit TRMM di wilayah hujan muson menunjukkan terdapat penurunan nilai RMSE untuk wilayah Lampung dan Kalimantan Selatan berturut-turut sebesar 34 dan 2 mm (Tabel 11). Sedangkan untuk Jawa Timur, diperoleh peningkatan nilai RMSE sebesar 11 mm. Namun untuk koefisien korelasi, terdapat peningkatan setelah data TRMM dikoreksi untuk wilayah
71
Lampung sebesar 0.02 (2%), Jawa Timur sebesar 0.01 (1%), dan Kalimantan Selatan sebesar 0.01 (1%). Nilai MAE dan relatif bias di Wilayah Lampung setelah dikoreksi, mengalami penurunan sebesar 16 mm dan 9 %. Di wilayah Jawa Timur, nilai MAE dan relatif bias mengalami peningkatan yaitu masingmasing sebesar 17 mm dan 10 %, demikian halnya di wilayah Kalimantan Selatan nilai MAE dan relatif bias juga meningkat masing-masing sebesar 3 mm dan 2 % (Tabel 11). Perbandingan plot curah hujan TRMM sebelum dan sesudah koreksi di wilayah dengan pola hujan muson untuk periode 2003-2009 ditunjukkan pada Gambar 35, sedangkan untuk rata-rata bulanan ditunjukkan pada Gambar 36. 1200
Lampung
CH (mm)
1000
CH obs CH TRMM TRMM terkoreksi
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
1200
Jan-07
Jan-08
Jan-09 CH obs CH TRMM TRMM terkoreksi
Jawa Timur
1000
CH (mm)
Jan-06
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
1200
Jan-07
Jan-08
Kalimantan Selatan
1000
CH (mm)
Jan-06
Jan-09 CH obs CH TRMM TRMM terkoreksi
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 35. Perbandingan pola hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi (TRMM) dan setelah dikoreksi (TRMM terkoreksi) di wilayah pola hujan muson.
72
Berdasarkan Gambar 35 dapat diilihat bahwa pada wilayah pola hujan muson, intensitas hujan keluaran data TRMM setelah dikoreksi mengalami penurunan dan lebih mendekati intensitas hujan data observasi baik TRMM sebelum dikoreksi maupun hujan observasi. Hal ini terutama terjadi pada musim kering (Mei-September) baik di wilayah Lampung, Jawa Timur maupun Kalimantan Selatan. Sedangkan berdasarkan Gambar 36 dimana terlihat curah hujan rata-rata bulanan di wilayah pola hujan muson, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi terutama pada saat musim kemarau (Mei-September). Namun, pada wilayah Kalimantan selatan, intensitas hujan satelit TRMM pada musim kemarau menjadi overestimate setelah dikoreksi.
Pada musim hujan, di wilayah Lampung,
intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi, menjadi lebih mendekati hujan observasi. Namun di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, intensitas hujan satelit TRMM setelah dikoreksi menjadi underestimate. 600 500
600
CH Obs CH TRMM TRMM terkoreksi
Lampung
500
CH Obs CH TRMM TRMM terkoreksi
400
CH (mm)
CH (mm)
400
Jawa Timur
300
300
200
200
100
100
0
0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
500
CH (mm)
400
Kalimantan Selatan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
CH Obs CH TRMM TRMM terkoreksi
300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 36. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan muson.
73
-
Pola hujan equatorial
Pada wilayah dengan pola hujan equatorial, jumlah curah hujan tahunan satelit TRMM umumnya mengalami penurunan yaitu di wilayah Sumatera Utara menurun dari 3563 mm/thn menjadi 2500 mm/thn dan di wilayah Kalimantan Barat menurun dari 3253 mm/thn menjadi 2346 mm/thn (Tabel 11). Pada nilai RMSE, hasil koreksi menunjukkan penurunan RMSE sebesar 27 mm di Sumatera Utara dan 56 mm di Kalimantan Barat. Sedangkan untuk nilai koefisien korelasi, hasil koreksi menunjukkan terjadinya peningkatan koefisien korelasi dari 0.69 menjadi 0.70 atau meningkat sebesar 0.01 (1%) di Sumatera Utara, dan meningkat dari 0.78 menjadi 0.79 atau meningkat sebesar 0.01 (1%) di Kalimantan Barat. Grafik sebaran plot curah hujan observasi, TRMM sebelum koreksi dan TRMM setelah koreksi periode 2003-2009 ditunjukkan pada Gambar 37, sedangkan untuk rata-rata bulanan ditunjukkan pada Gambar 38. Berdasarkan Gambar 37 diperoleh bahwa intensitas hujan sepanjang tahun dari satelit TRMM menunjukkan lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama di wilayah Sumatera Utara. Jumlah curah hujan tahunan dari satelit TRMM setelah dikoreksi mengalami penurunan cukup signifikan, yaitu menurun dari 3563 mm/thn menjadi 2500 mm/thn di Sumatera Utara dan dari 3253 mm/thn menjadi 2346 mm/thn di Kalimantan Barat (Tabel 11). Sedangkan berdasarkan analisis rata-rata bulanan (Gambar 38), intensitas hujan satelit TRMM menjadi lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama pada musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari). Secara keseluruhan, pada wilayah pola hujan equatorial, data satelit TRMM setelah koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi baik pada musim hujan (April-Mei) dan (OktoberNopember) maupun musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari). 1200 1000
CH (mm)
CH obs CH TRMM TRMM terkoreksi
Sumatera Utara
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
74
1200
CH (mm)
CH obs CH TRMM TRMM terkoreksi
Kalimantan Barat
1000 800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 37. Perbandingan pola hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi (TRMM) dan setelah dikoreksi (TRMM koreksi) di wilayah pola hujan equatorial. 600 500
600
CH Obs CH TRMM TRMM terkoreksi
Sumatera Utara
500
CH Obs CH TRMM TRMM terkoreksi
400
CH (mm)
CH (mm)
400
Kalimantan Barat
300
300
200
200
100
100
0
0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 38. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan equatorial.
-
Pola hujan lokal
Di wilayah hujan lokal (Maluku), hasil koreksi data satelit TRMM menunjukkan nilai RMSE, MAE dan relatif bias mengalami penurunan (Tabel 11). Berdasarkan Tabel 11 ditunjukkan bahwa nilai RMSE sesudah koreksi mengalami penurunan dari 154 mm menjadi 135 mm atau sebesar 20 mm. Nilai MAE dan relatif bias juga menunjukkan penurunan, yaitu nilai MAE menurun dari 78 mm menjadi 2 mm dan nilai relatif bias menurun dari 37 % menjadi 19 %. Jumlah curah hujan tahunan sebelum koreksi dan sesudah koreksi di Maluku mengalami peningkatan dari 1542 mm/tahun menjadi 2579 mm/tahun yang mendekati curah hujan tahunan observasi sebesar 2552 mm/tahun. Grafik
75
pola hujan observasi, TRMM sebelum dan sesudah koreksi di wilayah pola hujan lokal untuk periode 2003-2009 ditunjukkan pada Gambar 39, dan untuk rata-rata bulanan ditunjukkan pada Gambar 40. Berdasarkan Gambar 39 dapat ditunjukkan bahwa di wilayah pola hujan lokal, secara keseluruhan intensitas hujan data satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menunjukkan lebih mendekati hujan observasi pada puncak musim hujan (Juni-Juli) pada beberapa periode pengamatan, namun menjadi overestimate pada musim kemarau pada beberapa pengamatan. Sedangkan berdasarkan Gambar 40, dapat ditunjukkan bahwa pada puncak musim hujan (Juni-Juli), hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menunjukkan intensitas yang lebih mendekati hujan observasi, sedangkan pada musim kemarau (Nopember-April), intensitas hujan data satelit TRMM menunjukkan overestimate dibandingkan hujan observasi. 1200
CH Obs CH TRMM TRMM terkoreksi
CH (mm)
1000
Maluku
800 600 400 200 0 Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Gambar 39. Perbandingan pola hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi (TRMM) dan setelah dikoreksi (TRMM koreksi) di wilayah pola hujan lokal. 600 500
Maluku
CH Obs CH TRMM CH TRMM terkoreksi
CH (mm)
400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 40. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan lokal.
76
4.7. Model penduga curah hujan bulanan TRMM 4.7.1.
Hasil keluaran model ARIMA untuk masing-masing wilayah
Model penduga curah hujan bulanan di masing-masing wilayah pada tiga pola hujan berbeda dibangun menggunakan data satelit TRMM yang telah dikoreksi. Model disusun untuk memprediksi curah hujan 12 bulan ke depan dengan tingkat kepercayaan 95% dengan beberapa kali iterasi untuk mendapatkan model terbaik. Grafik ACF dan PACF yang digunakan adalah setelah dilakukan pembedaan (differencing) secara musiman (seasonal) yaitu 12 bulan, dimana pada data asli dan pembedaan
pertama, grafik ACF dan PACF masih
mengandung pola musiman. Grafik ACF dan PACF model ARIMA yang dihasilkan pada masing-masing wilayah diberikan pada Lampiran 5. Hasil model ARIMA(p,d,q)(P,D,Q)s
untuk
prediksi
hujan
bulanan
tahun
2010
di
masing-masing wilayah studi ditunjukkan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, dapat ditunjukkan model pendugaan curah hujan untuk 12 bulan ke depan pada setiap wilayah, mempunyai bentuk model berbeda-beda. Namun secara keseluruhan, p-value yang dihasilkan <0.05 yang menunjukkan bahwa model signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dengan lag musiman yaitu lag ke-12. Seluruh model mengalami pembedaan (differencing) pada lag ke-1 dan ke-12. Pada wilayah Lampung dan Jawa Timur, pola pemodelan ARIMA menunjukkan tidak ada komponen autoregressive (AR) yang masuk dalam model baik pada non musiman maupun musiman. Sedangkan komponen moving average (MA) siginifikan terhadap model pada lag non musiman (MA) dan musiman (SMA) orde 1 yang menunjukkan kombinasi linear antara nilai yang telah lalu dengan nilai mendatang. Koefisien MA dan SMA di wilayah Lampung berturut-turut adalah sebesar 0.8205 dan 0.6950. Sedangkan di Jawa Timur, koefisien MA dan SMA berturut-turut adalah sebesar 0.9084 dan 0.6899. Di wilayah Sumatera Utara, komponen AR pada lag musiman dan non musiman menunjukkan signifikan pada lag ke-1 dengan koefisien AR dan SMA masing-masing sebesar -0.4853 dan -0.5161. Sedangkan untuk Kalimantan Barat, komponen AR pada lag musiman signifikan pada lag ke-1 (SAR=-0.2739) dan tidak signifikan pada lag non musiman. Namun, komponen MA signifikan pada
77
lag ke-1 baik non musiman maupun musiman dengan koefisien non musiman sebesar 0.8715 dan musiman 0.8525. Pada wilayah Maluku, pola pemodelan ARIMA menunjukkan tidak ada komponen autoregressive (AR) yang masuk dalam model baik pada non musiman maupun musiman. Sedangkan komponen moving average (MA) siginifikan terhadap model pada lag non musiman (MA) dan musiman (SMA) orde 1 dengan koefisien MA dan SMA masing-masing sebesar 0.9756 dan 0.8042.
Tabel 12. Hasil model ARIMA, koefisien model dan nilai p-value di masingmasing wilayah Wilayah Lampung
Model ARIMA ARIMA(0,1,1)( 0,1,1)12
Jawa Timur
ARIMA(0,1,1)(0,1,1)12
Kalimantan Selatan
ARIMA(1,1,0)(1,1,0) 12
Sumatera Utara
ARIMA(1,1,0)(1,1,0) 12
Kalimantan Barat
ARIMA(0,1,1)(1,1,1) 12
Maluku
ARIMA(0,1,1)(0,1,1) 12
Coef MA = 0.8205 SMA= 0.6950 MA= 0.9084 SMA= 0.6899 AR= -0.5237 SAR= -0.6661 AR=-0.4853 SAR=-0.5161 SAR = -0.2739 MA = 0.8715 SMA=0.8525 MA = 0.9756 SMA=0.8042
P-Value 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Pengujian model ARIMA yang dihasilkan juga dilakukan dengan uji visual kenormalan galat, homogenitas, dan uji sisaan berdistribusi normal (Lampiran 6). Masing-masing model ARIMA yang dihasilkan di setiap wilayah menunjukkan histogram galat mempunyai sebaran yang mendekati nol, nilai galat dan probabilitas normalnya membentuk pola garis lurus atau mendekati garis lurus dan plot nilai dugaan TRMM (Ŷ) dengan galat menyebar secara acak dan tidak membentuk pola tertentu dengan lebar pita yang ampir sama (ragam galat bersifat homogen). Hasil tersebut menunjukkan bahwa model ARIMA memenuhi kriteria penerimaan model.
78
4.7.2. Verifikasi model ARIMA terhadap data TRMM terkoreksi dan observasi tahun 2010. Hasil pendugaan atau prediksi curah hujan bulanan TRMM terkoreksi menggunakan model ARIMA perlu dilakukan verifikasi model untuk mengetahui sejauh mana ketepatan hasil prediksi terhadap data observasi. Hasil verifikasi model antara data prediksi hujan dengan data TRMM terkoreksi dan data prediksi hujan dengan data observasi tahun 2010 ditunjukkan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa nilai RMSE antara data hasil prediksi dengan TRMM terkoreksi pada seluruh lokasi cukup tinggi >40 mm. Sedangkan nilai koefisien korelasi (r) bervariasi antar wilayah. Nilai r tertinggi diperoleh di wilayah hujan lokal (0.98), diikuti pola muson yaitu Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Lampung masing – masing sebesar 0.81, 0.70 dan 0.62. Sedangkan di wilayah hujan equatorial, nilai koefisien korelasi (r) tidak cukup besar, yaitu Sumatera Utara sebesar 0.33 dan Kalimantan Barat sebesar 0.17.
Tabel 13. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias) data hujan prediksi dengan TRMM terkoreksi tahun 2010 No
Wilayah
CH TRMM terkoreksi (mm/thn)
TRMM Prediksi CH Thn
TRMM Pred-TRMM Kor
RMSE
r
MAE
Relatif Bias (%)
1
Lampung
2856
2114
-741
90
0.62
62
26
2
Jawa Timur
3186
1527
-1658
159
0.70
138
52
3
Kalimantan Selatan
2940
2609
-331
41
0.81
28
11
4
Sumatera Utara
2438
2760
-290
68
0.33
27
-13
5
Kalimantan Barat
2686
2431
-254
51
0.17
21
10
6
Maluku
2579
3193
614
55
0.98
51
-24
Perbandingan hasil prediksi curah hujan bulanan TRMM di setiap wilayah terhadap curah hujan observasi (Tabel 14), menunjukkan nilai RMSE dan selisih hujan tahunan yang lebih besar dibandingkan perbandingan hasil prediksi curah
79
hujan bulanan TRMM terhadap curah hujan TRMM terkoreksi (Tabel 9). Sedangkan nilai koefisien korelasi cukup bervariasi di mana di wilayah hujan lokal dan equatorial, nilai koefisien korelasi pada Tabel 10 lebih kecil dibandingkan Tabel 9 (wilayah lokal (0.54), wilayah equatorial (0.16 dan 0.01). Berdasarkan Tabel 14, diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi (r) tertinggi terdapat di wilayah pola hujan muson (Kalimantan Selatan sebesar 0.87, Jawa Timur sebesar 0.71, dan Lampung 0.56). Di wilayah tipe hujan lokal diperoleh nilai r sebesar 0.54, sedangkan di wilayah pola hujan equatorial mempunyai nilai r sangat kecil yaitu Sumatera Utara sebesar 0.16 dan Kalimantan Barat sebesar 0.10. Nilai RMSE di seluruh wilayah menunjukkan nilai cukup besar (>40 mm), dan nilai MAE juga menunjukkan nilai cukup besar untuk wilayah hujan muson (yaitu Lampung: 56 mm, Jawa Timur: 145 mm, dan Kalimantan Selatan: 27 mm) dan equatorial (Sumatera Utara: 19 mm, Kalimantan Barat: 100 mm) dan cukup kecil untuk wilayah lokal (Maluku: 11 mm).
Tabel 14. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias) data hujan prediksi dengan data hujan observasi tahun 2010 No
Wilayah
CH Obs (mm/ thn)
TRMM Prediksi CH (mm/Thn)
RMSE
r
MAE
Relatif Bias (%)
TRMMObs
1
Lampung
2783
2114
-669
92
0.56
56
24
2
Jawa Timur
3266
1527
-1739
172
0.71
145
53
3
Kalimantan Selatan
2938
2609
-329
43
0.87
27
11
4
Sumatera Utara
2537
2760
-388
114
0.16
19
-9
5
Kalimantan Barat
3632
2431
-1200
133
0.10
100
33
6
Maluku
3325
3193
-132
183
0.54
11
4
Perbandingan hasil verifikasi antara data prediksi hujan tahun 2010 dengan data TRMM terkorekasi dan data hujan observasi tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 41 (wilayah pola hujan muson), Gambar 42 (wilayah pola hujan equatorial), dan Gambar 43 (wilayah pola hujan lokal).
80
800
Lampung
700
CH (mm)
600
Observasi TRMM terkoreksi TRMM Prediksi
500 400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun 800
Jawa Timur
700
CH (mm)
600
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Observasi TRMM terkoreksi TRMM Prediksi
500 400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun 800 700
Kalimantan Selatan
CH (mm)
600
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Observasi TRMM terkoreksi TRMM Prediksi
500 400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 41. Plot perbandingan hasil prediksi hujan bulanan terhadap hujan TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Lampung, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan Berdasarkan Gambar 41, curah hujan hasil prediksi di setiap wilayah menunjukkan pola yang sama dengan curah hujan TRMM terkoreksi dan curah hujan observasi. Namun garis intensitas hujan pada hasil prediksi umumnya menunjukkan lebih rendah dibandingkan dengan data verifikasinya (TRMM terkoreksi dan observasi), kecuali bulan April dan Nopember di wilayah Jawa Timur, serta bulan Pebruari di Kalimantan Selatan menunjukkan nilai lebih tinggi.
81
800 700
Sumatera Utara
CH (mm)
600
Observasi TRMM terkoreksi TRMM Prediksi
500 400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun 800 700
Kalimantan Barat
CH (mm)
600
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Observas i
500 400 300 200 100 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agus Sep Okt Nop Des
Gambar 42. Plot perbandingan hasil prediksi hujan bulanan terhadap hujan TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Di wilayah pola hujan equatorial (Gambar 42) ditunjukkan bahwa plot hasil prediksi hujan mempunyai pola yang sama pada bulan Juni-Juli-Agustus dan Desember (wilayah Sumatera Utara) terhadap hujan TRMM terkoreksi dan hujan observasi (data verifikasi). Pada bulan puncak musim hujan di kedua wilayah ini, hasil prediksi menunjukkan intensitas hujan yang berkebalikan/lebih rendah dibandingkan data verifikasi, sehingga kondisi tersebut yang menyebabkan nilai koefisien korelasi antara data hujan prediksi terhadap data verifikasi menjadi sangat kecil. Di wilayah pola hujan lokal (Maluku), plot intensitas hujan hasil prediksi mengikuti pola intensitas hujan data observasi (Gambar 43). Namun jumlah intensitas hujan hasil prediksi menunjukkan intensitas lebih rendah pada bulan Mei-September dan lebih tinggi pada bulan Oktober – April dibandingkan data verifikasi. Pada verifikasi menggunakan data hujan TRMM terkoreksi, intensitas hujan hasil prediksi menunjukkan pola yang sama, namun mempunyai intensitas hujan yang lebih tinggi sepanjang tahun.
82
800 700
Maluku
Observasi TRMM terkoreksi TRMM prediksi
CH (mm)
600 500 400 300 200 100 0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus Sep
Okt
Nop
Des
Gambar 43. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Maluku 4.8.
Pembahasan a. Evaluasi dan validasi data satelit TRMM dengan data hujan observasi Evaluasi data satelit TRMM menggunakan grid berukuran 1x1 dan 2x2
dengan data hujan observasi pada pola hujan muson, equatorial dan lokal mempunyai hasil yang berbeda. Berdasarkan analisis statistika yang ditunjukkan oleh nilai korelasi, RMSE, MAE dan relatif bias menunjukkan bahwa evaluasi data satelit TRMM menggunakan grid berukuran 1x1 dengan analisis rata-rata tiga stasiun menunjukkan nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan grid 1x1 dengan satu stasiun. Selanjutnya grid TRMM berukuran 2x2 mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan grid 1x1. Demikian halnya dengan nilai RMSE, diperoleh bahwa nilai RMSE pada analisis grid 1x1 dengan analisis menggunakan rata-rata hujan dari tiga stasiun mempunyai nilai RMSE yang lebih rendah dibandingkan grid 1x1 dengan satu stasiun, selanjutnya nilai RMSE pada grid TRMM berukuran 2x2 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan grid TRMM berukuran 1x1. Hal tersebut secara umum berlaku pada tiga pola hujan; muson, equatorial dan lokal. Sehingga dengan semakin banyak grid TRMM yang digunakan pada suatu wilayah, pendugaan hujan yang diperoleh semakin dekat dengan data observasi. Evaluasi dan perbandingan antara data curah hujan dari pengamatan satelit TRMM grid 2x2 dan data observasi permukaan pada tiga pola hujan berbeda menunjukkan performa berbeda. Pada wilayah dengan pola hujan muson dimana variasi musiman dipengaruhi oleh kejadian muson barat dan tenggara, data satelit
83
TRMM menunjukkan hasil yang cukup tepat baik dari sisi pola bulanannya maupun dari intensitas hujan. Umumnya, hujan overestimate di wilayah pola hujan muson terdapat pada musim hujan dan cukup mendekati pengamatan observasi pada musim kemarau dan musim peralihan (Prasetia (2012); Vernimmen et al. (2012); As-syakur eta al. (2011)). Hal ini dimungkinkan karena pengaruh kejadian muson yang relatif stabil sepanjang tahun di wilayah Indonesia. Berbeda dengan dua wilayah pola hujan lainnya, yaitu pola equatorial dan lokal, data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan overestimate yang cukup tinggi (walaupun pola bulanan mengikuti pola observasi). Hal ini dimungkinkan akibat variasi dan intensitas hujan yang cukup tinggi dimana tipe hujan konvektif dan stratiform juga cukup tinggi. Namun pada musim kemarau, pada pola equatorial dan lokal, intensitas hujan dari satelit TRMM menunjukkan cukup mendekati intensitas hujan observasi. Hal tersebut disebabkan karena jumlah pantulan hujan yang ditangkap oleh sensor TRMM pada musim kemarau lebih sedikit akibat intensitas hujan yang lebih rendah sehingga hasil pengukurannya lebih mudah dilakukan.
b. Persamaan koreksi data satelit TRMM Bentuk persamaan koreksi yang dihasilkan untuk wilayah pola hujan muson dan equatorial adalah bentuk geometrik sedangkan untuk pola hujan anti muson adalah bentuk linier. Di wilayah pola hujan muson, menunjukkan TRMM setelah dikoreksi menunjukkan hasil yang cukup baik, yaitu nilai RMSE dan bias menurun. Sedangkan koefisien korelasi meningkat dimana curah hujan TRMM yang overestimate menjadi lebih mendekati hujan observasi. Demikian halnya di wilayah hujan equatorial, dimana hujan TRMM sebelum koreksi cenderung overestimate. Namun setelah dikoreksi, intensitas hujan TRMM menjadi lebih mendekati hujan observasi. Di wilayah Maluku, nilai RMSE dan bias setelah dikoreksi juga mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengoreksi TRMM, galat yang dihasilkan dari data TRMM dapat dikurangi sehingga data TRMM terkoreksi lebih mendekati data observasi. Berdasarkan gambaran pola hujan tahunan (periode 2003-2009) dan ratarata bulanan (ditunjukkan pada Gambar 35-40), diperoleh bahwa intensitas hujan
84
data satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi untuk masing-masing wilayah pola hujan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada wilayah pola hujan muson, hasil perbandingan hujan tahunan menunjukkan intensitas hujan keluaran data TRMM setelah dikoreksi mengalami penurunan dan lebih mendekati intensitas hujan data observasi baik TRMM sebelum dikoreksi maupun hujan observasi. Hal ini terutama terjadi pada musim kemarau (Mei-September) baik di wilayah Lampung, Jawa Timur maupun Kalimantan Selatan. Demikian juga berdasarkan analisis intra-seasonal yang ditunjukkan dengan analisis rata-rata bulanan ditunjukkan bahwa di wilayah pola hujan muson, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi terutama pada saat musim kemarau (Mei-September). Namun, pada wilayah Kalimantan selatan, intensitas hujan satelit TRMM pada musim kemarau menjadi overestimate setelah dikoreksi. Pada musim hujan, di wilayah Lampung, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi, menjadi lebih mendekati hujan observasi. Namun di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, pada musim hujan intensitas hujan satelit TRMM setelah dikoreksi menjadi lebih rendah (underestimate) dibandingkan hujan observasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan satu faktor koreksi untuk lokasi berbeda pada pola hujan muson, menghasilkan keluaran yang tidak konsisten pada lokasi studi terutama di wilayah Kalimantan Selatan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Pada wilayah hujan equatorial, evaluasi hujan data satelit TRMM pada skala tahunan setelah dilakukan koreksi menunjukkan bahwa hujan satelit TRMM lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama di wilayah Sumatera Utara baik pada musim kemarau dan musim hujan, walaupun masih cenderung overestimate. Sedangkan berdasarkan analisis rata-rata bulanan, intensitas hujan satelit TRMM menjadi lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama pada musim kemarau (Juni-Agustus) dan (DesemberPebruari). Secara keseluruhan, pada wilayah pola hujan equatorial, data satelit TRMM setelah koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi terutama pada musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari). Namun, hal tersebut juga menunjukkan hasil koreksi data satelit TRMM menggunakan satu faktor
85
koreksi tidak menunjukkan hasil yang konsisten pada kedua lokasi (Sumatera Utara dan Kalimantan Barat) di wilayah pola hujan equatorial. Pada wilayah pola hujan lokal, secara intra-seasonal ditunjukkan bahwa pada puncak musim hujan (Juni-Juli), hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menunjukkan intensitas yang lebih mendekati hujan observasi, sedangkan pada musim kemarau (Nopember-April), intensitas hujan data satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menunjukkan overestimate dibandingkan hujan observasi.
c. Model Penduga curah hujan bulanan satelit TRMM dan verifikasi model ARIMA Pendugaan curah hujan satelit TRMM menggunakan model ARIMA menunjukkan performa model yang berbeda-beda. Pemanfaatan model ARIMA untuk pendugaan curah hujan menghasilkan model yang cukup baik (Tresnawati 2010), namun bila dibandingkan dengan model non linear dengan multi-input transfer model, hasil prediksi hujan mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan hasil model ARIMA (Otok 2009). Hasil verifikasi prediksi curah hujan bulanan tahun 2010 terhadap data TRMM terkoreksi menunjukkan di wilayah pola hujan muson dan lokal, koefisien korelasi yang dihasilkan cukup tinggi yaitu >60%. Sedangkan di wilayah pola hujan equatorial, nilai koefisien korelasi hanya berkisar antara 17-33%. Hasil perbandingan curah hujan prediksi terhadap data hujan observasi juga menunjukkan bahwa model ARIMA mempunyai performa cukup baik di wilayah pola hujan lokal dan muson dengan nilai koefisien korelasi >50%. Sebaliknya, hasil prediksi hujan bulanan di wilayah dengan pola hujan equatorial menunjukkan hasil verifikasi dengan koefiesin korelasi yang sangat kecil (antara 10-16%). Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah dengan pola hujan equatorial cukup sulit dilakukan prediksi menggunakan data TRMM. Wilayah ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ dimana terjadi pertemuan aliran udara dari sirkulasi Hadley pada tiap belahan bumi dan mengalir menuju khatulistiwa. Sehingga pada wilayah ini, curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun. Selain itu, pada intensitas hujan yang tinggi, sensor satelit menangkap pantulan hujan lebih tinggi.
86
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Evaluasi dan validasi data satelit TRMM dilakukan menggunakan stasiun hujan terpilih untuk menghasilkan validasi yang tepat, dimana semakin banyak stasiun hujan pada setiap grid, semakin baik untuk melakukan evaluasi dan validasi satelit TRMM. Perbandingan evaluasi data satelit TRMM menggunakan grid 2x2 terhadap hujan observasi mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dan nilai RMSE lebih rendah dibandingkan dengan grid ukuran 1x1. Selain itu, pada hasil perbandingan grid TRMM ukuran 2x2 dengan hujan observasi menunjukkan nilai RMSE yang lebih rendah dibandingkan dengan grid TRMM ukuran 1x1. Evaluasi data satelit TRMM menggunakan grid 2x2 terhadap data observasi pada setiap wilayah menunjukkan hasil yang berbeda baik secara pola maupun intensitas hujan. Di wilayah pola hujan muson, secara konsisten pada musim kemarau (April-September), data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan cukup tepat terhadap data hujan observasi, sedangkan pada musim hujan (Nopember-Maret), data satelit TRMM menunjukkan intensitas overestimate terhadap data hujan observasi. Pada wilayah equatorial, data satelit TRMM menunjukkan overestimate yang cukup besar pada puncak musim hujan (AprilMei) dan (Oktober-Nopember), namun menunjukkan performa berbeda di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat pada musim peralihan dan musim kemarau. Sedangkan di wilayah lokal, intensitas hujan satelit TRMM cenderung underestimate pada musim hujan dan cukup dekat dengan data observasi pada musim kemarau. Persamaan faktor koreksi di wilayah hujan muson dan equatorial mempunyai bentuk geometrik, sedangkan untuk di wilayah hujan lokal mempunyai bentuk persamaan linier dengan masing-masing pola hujan mempunyai satu faktor koreksi. Hasil koreksi data satelit TRMM di wilayah pola hujan muson, equatorial dan lokal untuk data satelit TRMM, menghasilkan penurunan nilai galat data TRMM terhadap data observasi. Selain itu, penggunaan faktor koreksi juga meningkatkan nilai koefisien korelasi antara data satelit TRMM dengan data observasi pada seluruh wilayah studi, kecuali Jawa Timur.
87
Secara intra-seasonal di wilayah muson dan equatorial, pola hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda antar lokasi. Di wilayah pola hujan muson yaitu Lampung dan Jawa Timur, satelit TRMM terkoreksi menghasilkan intensitas hujan yang lebih mendekati hujan observasi di musim kemarau. Sedangkan di wilayah Kalimantan Selatan, intensitas hujan satelit TRMM terkoreksi di musim kemarau menjadi overestimate. Pada wilayah pola hujan equatorial, hasil koreksi satelit TRMM menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua lokasi (Sumatera Utara dan Kalimantan Barat) dimana di Kalimantan Barat, hujan satelit TRMM terkoreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi pada musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari). Sedangkan di Sumatera Utara, walaupun terdapat penurunan intensitas hujan setelah dikoreksi, intensitas hujan satelit TRMM masih menunjukan overestimate. Di wilayah pola hujan lokal, hasil koreksi data satelit TRMM menunjukkan intensitas hujan lebih mendekati hujan observasi terutama pada musim hujan (Juni-Juli), sedangkan pada musim kemarau menjadi overestimate. Pendugaan curah hujan bulanan data satelit TRMM menggunakan model ARIMA menunjukkan performa berbeda-beda di tiga wilayah pola hujan. Hasil verifikasi model prediksi terhadap data TRMM terkoreksi di wilayah pola hujan muson dan lokal, diperoleh nilai korelasi cukup tinggi, namun sebaliknya di wilayah pola hujan equatorial. Sedangkan pada verifikasi model penduga hujan ARIMA terhadap data observasi, wilayah pola hujan lokal mempunyai nilai korelasi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pola hujan muson dan lokal.
5.2. Saran 1. Perlu dilakukan evaluasi dan validasi data satelit TRMM pada skala waktu pengamatan yang lebih tinggi, yaitu dasarian (10 harian) dengan dilakukan pembedaan analisis secara musiman, sehingga diharapkan hasil koreksi data satelit TRMM lebih mendekati hujan observasi. 2. Perlu dilakukan uji persamaan regresi yang dihasilkan untuk mengoreksi data TRMM di wilayah lain dengan pola hujan yang sama.
88
3. Perlu dilakukan uji model prediksi time series lainnya, seperti Jaringan Saraf Tiruan, multi-input transfer function, dan sebagainya untuk meningkatkan keakuratan hasil prediksi hujan menggunakan data satelit TRMM.
89
DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Int. Journal of Climatology 23: 1435–1452. Almazroui M. 2011. Calibration of TRMM Rainfall Climatology over Saudi Arabia during 1998–2009. Atmospheric Research 99: 400-4014. As-Syakur AR, Tanaka T, Prasetia R, Swardika IK, Kasa IW. 2011. Comparison of TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) Products and Daily-Monthly Gauge Data Over Bali. Int. Journal of Remote Sensing 32: 8969-8982. Boer, R. 2005. Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengurangi Risiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam Seminar ‘Pelembagaan Pemanfaatan Informasi Ramalan Iklim Untuk Mengatasi Dampak Bencana Iklim’; Kupang, 21-22 Juni 2005. Characteristic of TRMM data. http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/precipitation. (diakses
tanggal 14 feb 2012). Christian HJ, Blakeslee RJ, Boccipio DJ, Koshak WJ, Goodman SJ, Mach DM. 2000. Science Data Validation Plan for the Lightning Imaging Sensor (LIS). National Aeronautics and Space Administration-NASA.
Curtis S, Salahuddin A, Adler RF, Huffman GJ, Gu G, Hong Y. 2007. Precipitation Extremes Estimated by GPCP and TRMM: ENSO Relationship. Journal of Hydrometeorology 8: 678-689. Funk C, Ederer G, Pedreros D. 2006. Tropical Rainfall Measuring Mission. UCSB Climate Hazard Group. http://www.drought.gov/imageserver/NIDIS/workshops/remotesensing/abstracts/ch ris_funk.pdf. Di akses tanggal 10 Februari 2012.
Hamada JL, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia and their Link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan 80:285-310. Hong Y, Hsu KL, Sooroshian S, Gao X. 2005. Improved Representation of Diurnal Variability of Rainfall Retrieved from the Tropical Rainfall Measurement Mission Microwave Imager Adjusted Precipitation Estimation from Remotely Sensed Information Using Artificial Neural Network (PERSIANN) System. Journal of Geophysical Research 110: D06102, doi:10.1029/2004JD005301.
90
Huffman GJ, Adler RF, Bolvin DT, Gu G, Nelkon EJ, Bowman KP, Hong Y, Stocker EF, Wolff DB. 2007. The TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis (TMPA): Quasi-Global, Multiyear, Combined-Sensor Precipitation Estimates at Fines Scales. Journal of Hydrometeorlogy 8:38-55. Huffman GJ, Bolvin TB. 2011. Real Time TRMM Multi-Satellite Precipitation Analysis Data Set Documentation. Laboratory for Atmosphere, NASA Goddard Space Flight Center and Science Systems and Applications, Inc. sumber: ftp://meso-a.gsfc.nasa.gov/pub/trmmdocs/rt/3B4XRT.doc.pdf. dikses pada 22 Pebruari 2011 dan 31 Oktober 2011. Huffman GJ, David T.B. 2011. TRMM and Other Data Precipitation Data Set Documentation. Laboratory for Atmosphere, NASA Goddard Space Flight Center and Science Systems and Applications, Inc. Hughes DA. 2006. Comparison of Satellite Rainfall Data with Observations from Gauging Station Networks. Journal of Hydrology 327: 399-410. Kubota T. 2010. Rainfall Observation from Space-Applications of Tropical Rainfall Measring Mission (TRMM) and Global Precipitation Measrurement (GPM) Mission). International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Scence XXXVIII; Part 8, Kyoto Japan. Kummerow C, Simpson J, Thiele O, Barnes W, Chang TC, Stocker E, Adler RF, ou A, Kakar R, Wentz F, Ashcroft P, Kozu T, Hong Y, Okamoto K, Iguci T, Kuroiwa H, Im E, Haddad Z, uffman G, Ferrier B, Olson WS, Zipser E, Smith EA, Wilheit T, North G, Krishnamurti T, Nakamura K. 2000. The Status of the Tropical Rainfall Measuring Misson (TRMM) after Two Years in Orbit. American Meteorology Society. Journal of Meteorology 39:19561982. Li M, Shao Q. 2010. An Improved Statistical Approach to Merge Satellite Rainfall Estimates and Raingauge Data. Journal of Hydrology 385: 51-64. Linacre E, Geerts B. 2008. Monsoons and Zenithal Rain. http://wwwdas.uwyo.edu/~geerts/cwx/notes/chap12/monsoon.html. diakses tanggal 28 Juli 2012.
Makmur EES, Tjasyono B, Ratag MA. 2008. Intercomparison of Observations and NCEP/NCAR Analysis: Wavelet Time-Frequency Analysis of Moonson Variabilities in the Maritime Continen Region. Di dalam: Proceedings of the International Symposium on Equatorial Mooson System. Hlm 21-28.
91
Mauludiyanto A, Hendrantoro G, Hery MP, Suhartono. 2009. Pemodelan VARIMA Dengan Efek Deteksi Outlier Terhadap Data Curah Hujan. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi: Yogyakarta. Montgomery DC, Jennings CL, Kulahci M. 2008. Introduction to Time Series Analysis and Forecasting. Wiley-Intersciences, USA. Moron V, Robertson AW, Boer R. 2009. Spatial Coherence and Seasonal Predictability of Monsuun Onset Over Indonesia. Journal of Climate 22:840-850. NASA Earth Observatory. Tropical Rainfall http://earthobservatory.nasa.gov/Features/TRMM. 6 Agustus 2011.
Measuring Diakses
Mission. tanggal
NASA. Orbit Tropical Rainfall Measuring Mission. http://kids.earth.nasa.gov/trmm . Diakses tanggal 6 Agustus 2011. Oktavariani D. 2008. Evaluasi Ketepatan Luaran Data CMORPH Untuk Interpolasi Data Hujan di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Otok, BW., Suhartono. 2009. Development of Rainfall Forecasting Model in Indonesia by Using ASTAR, Transfer Function, and ARIMA Methods. European Journal of Scientific Reasearch 38:386-395. Ozawa G, Inomata H, Shiraishi Y, Fukami K. 2011. Applicability of GSMaP Correction Method to Typhoon “Morakot” in Taiwan. Annual Journal of Hydraulic Engineering, JSCE 55. Prasetia R, Osawa T, Adhyana IWS, As-syakur AR. 2011. Validation of Monthly Rainfall Based on the TRMM Precipitation Radar Satellite Data Over Region of Indonesia. Di dalam: Proceeding of the 2nd CreSOS International Sysposium on South East Asia Environmental Problems and Satellite Remote Sensing; Denpasar, 21-22 Pebruari 2011. Rozante JR, Moreira S, De Gonzales LSG, Vila DA. 2010. Combining TRMM and Surface Observations of Precipitation Technique and Validation over South America. Weather and Forecasting 25:885-894. Soetamto, Ulfa AM. 2007. Modul Peningkatan Akurasi Prakiraan Musim: Materi I ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Disampaikan pada Diklat Teknis Analisa dan Pengolahan Data Klimat dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
92
Somvanshi V K, Pandey OP, Agrawal PK, Alanker NV, Prakash MR, Chand R. 2006. Modelling and Prediction of Rainfall Using Artificial Neural Network and ARIMA techniques. J. Ind.Geophysics Union 10: 141-151. Su F, Hong Y, Lettenmaier DP. 2008. Evaluation of Multi-satellite Precpitation Analysis (TMPA) and Its Utility in Hydrologic Prediction in the La Plata Basin. Journal of Hydrometeorology 9; 622-640. Swarinoto Y, Makmur EES. 2009. Simulasi Prediksi Probabilitas Musim Hujan dan Panjang Musim Hujan di Ambon. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 5:349-353. Tjasyono B, R. Gernowo, Haridjono, SB, Ina J. 2008. The Character of Rainfall in the Indonesian Monsoon. Di dalam: Proceeding of the International Symposium on Equatorial Monsoon System 5:8-17. Tresnawati R, Nuraini TA, Hanggoro W. 2010. Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Metode Kalman Filter dengan Prediktor SST Nino 3.4 Diprediksi. Jurnal Meteorologi dan Geofisika II:106-115. Wibowo YA. 2010. Evaluasi Curah Hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan Curah Hujan Permukaan Wilayah Jakarta-Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Wielicki BA, Barkstrom BR, Baum BA, Charlock TP, Green RN, Kratz DP, Lee RB, Minnis P, Smith GL, Wong T, Young DF, Cess RD, Coakley JA, Crommelynack DAH, Donner L, KAndel R, King MD, Miller AJ, Ramanathan V, Randall DA, Stowe LL, Welch RM. 1998. Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES): Algoritma Overview. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing 36(4).
Varikoden H, Samah AA, Babu CA. 2010. Spatial and Temporal Characteristics of Rain Intensity in the Peninsular Malaysia Using TRMM Rain Rate. Journal of Hydrology 387:312-319. Vernimmen RRE, Hooijer A, Mamenun, Aldrian E, Van Dijk AIJM. 2012. Evaluation and Bias Correction of Sattellite Rainfall Data for Drought Monitoring in Indonesia. Hydrology and Earth System Science 16:133-146. Verworn A, Haberlandt U. 2010. Spatial Interpolation of Hourly Rainfall-Effect of Additional Information, Variogram Inference dan Storm Properties. Hydrology and Earth System Science 15:569-584.
LAMPIRAN
94
Lampiran 1. Gambaran Tampilan Software FEWS/DEWS untuk ekstraksi data satelit TRMM3B42RT. Sistem
FEWS/DEWS
merupakan
program
berbasis
komputer
yang
dikembangkan dibawah Joint Cooperation Program (JCP) antara BMKG, PusAir, KNMI, dan Deltares sejak tahun 2010. Produk informasi yang dihasilkan dari JCP tersebut adalah pembangunan Sistem Peringatan Dini Banjir dan Kekeringan (FEWS/DEWS) dimana salah satu input data yang digunakan adalah data satelit TRMM 3B42RT. FEWS/DEWS dikembangkan dengan memasukan berbagai input data dan analisis hidrometeorologi dan klimatologi untuk analisis banjir dan kekeringan. Contoh tampilan spasial dan data viewer untuk data TRMM3B42RT resolusi bulanan ditunjukkan pada gambar berikut. (a) Tampilan spasial untuk curah hujan bulanan wilayah Indonesia dari data TRMM3B42RT
Grid 14891
95
(b). Data viewer untuk data curah hujan bulanan pada grid 14891 wilayah Jawa Timur periode 2002-2011. Data viewer (daftar grid seluruh Indonesia
Tampilan data tabular CH TRMM grid 1489 (Jawa Timur), format .csv
Tampilan grafik CH TRMM grid 14891 (Jawa Timur)
96
Lampiran 2. Daftar stasiun untuk analisis klimatologis periode 1981-2010 No
1
Propinsi
Lampung
Stasiun
1. 2. 3.
2
Jawa Timur
3
Kalimantan Selatan
4. 5. 6. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
4
Sumatera Utara
5
Kalimanta n Barat
6
Maluku
4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. a.
b.
Tulung Buyut PU Pengairan Pringsewu PU Pengairan Pajaresuk Taman Bogo Rejosari Jabung Stamet Juanda Stamet Perak I Stageof Karangkates Staklim Banjarbaru Sei Pandan Murung Pundak Maburai Angkinang CLS/Baringin Anjir Pasar Staklim Sampali Stamet Polonia SMPK Marihat Stamar Belawan Kebun Bulu Cina Stamet Siantan Stamet Supadio SMPK Anjungan Stamet Ketapang Stamet Sintang Stamet Nanga Pinoh Pola anti-monsun 1. Staklim Kairatu 2. Stamet Amahai 3. Stamet Pattimura Pola monsun 1. Stamet Namlea 2. Stamet Saumlaki 3. Stamet Dumatubun Tual
No. Sta
Lintang
220A 230C
-4.64 -5.21
230E
Bujur
Keting gian (mdpl)
Rerata CH tahunan (mm)
Keterse -diaan data (%)
104.7 104.58
55 125
2646 1746
96 95
-5.35
104.97
142
1712
95
228F 242 250E 96935
-5.033 -5.294 -5.450 -7.384 -7.224 -8.158
105.55 105.16 104.87 112.78 112.72 112.45
20 79 20 2.8 10 271
2429 1741 1931 1944 1486 1939
93 85 87 99 94 95
308I
-3.462
114.84
55
2394
99
303c 300c
-2.470 -2.276
115.18 115.39
7 48
2033 2116
96 90
304a 306h 306g 96031 96035 144C 96033 127 273i 273 272h 285 281 283c
-2.712 -2.914 -3.149 3.630 3.563 2.917 3.80 3.70 -0.075 -0.146 -0.419 -1.818 -0.066 -0.348
115.30 114.94 114.51 98.79 98.68 99.08 98.70 98.57 109.19 109.41 109.17 109.97 111.47 111.76
18 10 3 25 27 369 3 2 2 3 9 30 40
2301 2229 1971 2003 2128 2925 2052 1734 2831 2886 3014 3109 3154 3226
96 90 92 100 100 100 89 93 93 97 86 97 96 90
-3.343
128.35
5
2073
95
97722
-3.337
128.92
10
2469
90
97714
-3.650
127.96
15.4
2849
91
97700
-3.266
127.09
24
1496
93
97900
-7.968
131.31
10
1895
99
97810
-5.637
132.74
2672
98
97
Lampiran 3. Daftar stasiun hujan terpilih dengan ketersediaan data >75% periode 2003-2009. No
Stasiun
No. Stasiun
Lintang
Bujur
Keting gian (mdpl)
Grid TRMM
Ketersedia an data 2003-2009 (%)
Rerata CH tahunan (mm)
-5.23
105.18
61
12144
100
1889
227Z 228T 22bV 227C 227V 228 228I 228F 228N
-5.17 -5.09 -5.09 -5.05 -5.21 -5.06 -5.10 -5.03 -5.07
105.17 105.20 105.29 105.43 105.30 105.36 105.25 105.55 105.67
12144 12144 12145 12145 12145 12145 12145 12146 12146
100 86 89 100 100 100 81 86 98
2126 2206 1857 2332 1834 1797 2661 2152 2064
231a
-5.45
104.73
12389
100
2542
232 236 250E 230D 229B 230B 230E
-5.48 -5.45 -5.45 -5.35 -5.35 -5.35 -5.35
104.62 104.87 104.87 104.97 104.90 104.97 104.97
12389 12390 12390 12390 12390 12390 12390
100 86 100 94 100 94 94
2099 1164 1607 1495 1600 1698 1632
241 242 242B 227x 240
-5.28 -5.29 -5.31 -5.30 -5.27 -5.47
105.21 105.16 105.17 105.06 105.30 105.33
12391 12391 12391 12391 12392 12392
100 100 100 100 100 100
1733 1749 1637 1859 2604 1843
218l 227A 220A 225i 225E 225Q,H 225R 227N 228R 219D 230C
-4.38 -4.31 -4.64 -4.72 -4.75 -4.85 -4.78 -4.85 -4.98 -5.02 -5.21
104.42 105.07 104.70 104.98 105.35 104.70 105.00 105.21 105.43 104.23 104.58
876 125
11400 11403 11648 11649 11651 11895 11897 11897 11898 12140 12142
88 86 98 100 86 85 77 100 86 100 100
2454 1929 3011 2285 2315 2066 1905 2084 1945 2076 1405
236C 250O 219
-5.47 -5.58 -5.32
105.78 105.52 104.01
12
12394 12640 12387
100 100 100
1815 3182 1764
113.92 112.72 112.47 112.78 111.91 112.58 112.14 112.43 114.37 113.03
-7.04 -7.22 -7.49 -7.38 -7.70 -7.90 -7.55 -7.50 -8.21 -7.74
14891 14644 14396 14398 14641 14150 14642 14396 14150 14646
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1583 3756 1351 1987 1697 1343 1704 1843 1431 1374
1. Lampung 1
Stamet Branti/Raden Inten 2 Staklim Masgar 3 Metro Selatan 4 Banjar Sari 5 Bendungan Garongan 6 Kibang 7 Ganti Warno (BP3) 8 simbar waringin 9 Taman Bogo 10 Nusantara Tropical Fruits /NTF 11 BBP Hortikultura gisting atas 12 Kota Agung 13 Karya Tani 14 Jabung WZ/Adi Rejo 15 Pengairan Panjerejo 16 Panutan 17 podorejo 18 PU Pengairan Pajaresuk 19 Candi Mas induk 20 Rejosari 21 Rejosari 22 Roworejo 23 Trikora Jati Agung 24 Stamet Maritim Lampung 25 Way Tuba 26 PTPN VII Bekri 27 tulung buyut 28 Tata Karya 29 Wirata Agung 30 Cahaya Negeri 31 Semuli Jaya 32 GGPC 33 Raman Utara 34 Sekincau 35 PU PENGAIRAN Pringsewu 36 Sekampung 37 Sidodadi 38 Biha 2. Jawa Timur 1 Staklim KarangPloso 2 Stageof Tretes 3 Tampung 4 Stamet Juanda 5 Berbek 6 StametMaritimPerak 2 7 Kertosono 8 Wates Swh 9 Stamet Perak 1 10 Cukur Gondang
75 76 52
95 20
608
20 100 100 142 130 79 87
1
30 55 30
75
18 10 83 2.8 97 68 225 118
98
11 Wates Kediri 12 Pujon 13 Bend.Selorejo 14 Semen 15 Stageof Sawahan 16 Tugu 17 Pagerwojo 18 Bendungan Wlingi 19 Stageof Karangkates 20 Doko 21 Birowo 22 Tangkil 23 Wagir 24 Poncokusumo 25 Dampit 26 bintoro 81-09 27 dam pono 28 dam sembah 29 wirolegi 30 Ajung 31 cumedak 81-09 32 jatian 33 ledok ombo 34 pakusari 35 sukorejo 36 sukowono 37 sumber jambe 38 suren 39 Kampak 40 tempurejo 3. Kalimantan Selatan 1 Muara Uya 2 Muara Harus 3 Murung Pudak/Pembataan 4 Haruai 5 Upau 6 Sei Pandan 7 Banjang 8 Banua Lawas 9 Batu Mandi 10 Kelua 11 Murung Pundak/Maburai 12 Paringin 13 Juai 14 Babirik 15 Negara/Daha Selatan 16 Angkinang 17 Pandawan 18 Batu Benawa 19 Ilung 20 Hantakan 21 Kasarangan 22 Pantai Hambawang/SMPK Pantai Hambawang 23 Telaga Langsat 24 CLS/Baringin 25 Sei Raya/SMPK sungai raya 26 Lok Paikat 27 Bakarangan 28 Bungur
112.13 112.48 112.33 112.35 112.74 111.61 111.80 112.25 112.45 112.36 112.33 112.66 112.54 112.81 112.75 113.70 113.64 113.69 113.72 113.82 113.93 113.77 113.87 113.77 113.83 113.83 113.90 113.85 111.67 113.70
-7.92 -7.81 -7.85 -8.00 -7.21 -8.05 -8.05 -8.18 -8.16 -8.08 -8.23 -8.06 -8.00 -8.02 -8.20 -8.13 -8.15 -8.16 -8.20 -8.13 -8.10 -8.15 -8.14 -8.18 -8.08 -8.06 -8.07 -8.16 -8.29 -8.34
14889 14890 14890 14890 14641 15134 15135 15136 15137 15137 15137 15138 15138 15139 15139 15142 15142 15142 15142 15143 15143 15143 15143 15143 15143 15143 15143 15143 15381 15389
100 100 98 100 85 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 89 89 89 89 89 89 89 89 89 89 89 89 89 100 89
1663 1699 1324 3171 2498 1336 1877 1470 2174 2386 1733 1723 2271 1912 2008 2379 2389 2660 1636 2103 3009 1734 1791 1933 1967 2002 2366 1716 1309 1698
300 a 301 b
-1.89 -2.25 -2.18
115.60 115.32 115.43
60 15 25
8975 9221 9221
100 79 94
2417 1736 1855
300 303 c 303 a 302 300 c
-2.07 -2.10 -2.47 -2.41 -2.31 -2.43 -2.27 -2.28
115.52 115.58 115.18 115.29 115.26 115.42 115.30 115.40
73 49 7 14 21 14 17 48
9222 9222 9467 9468 9468 9468 9468 9468
100 100 100 100 100 100 100 93
1513 1558 1728 1748 2385 2547 2153 1618
302 a 302 c 303 b 305 b 304 a 305 h 305 d
-2.38 -2.30 -2.54 -2.65 -2.71 -2.57 -2.63 -2.52 -2.64 -2.62 -2.64
115.47 115.55 115.14 115.13 115.30 115.35 115.43 115.43 115.47 115.30 115.34
60 39 6 7 18 20 34 20 62 9 17
9468 9469 9714 9714 9715 9715 9715 9715 9715 9715 9715
100 100 100 100 100 82 82 82 82 86 86
1656 2544 1759 2459 2550 1607 1949 2180 2249 2070 2407
Kls/21 306h 304
-2.73 -2.91 -2.86
115.34 114.94 115.24
30 10 18
9715 9960 9961
100 92 100
2492 3020 2339
306 d -
-2.90 -2.93 -2.98
115.22 115.14 115.16
14 21 24
9961 9961 9961
89 93 87
1511 1915 1551
1082 64 17 169 550 305 271 195 78 480 1120 430
136
99
29 30 31
Kalumpang Simpur Tapin Tengah/ PK. Hilir 32 Rantau/TapinUtara/Ra ntau Kiwa 33 Padang Batung 34 Kandangan 35 Anjir Pasar 36 Barambai/ Kolam Kanan 37 Mandastana/ Puntik 38 Lawa/Danau Salak 39 Tapin Selatan 40 Gambut 41 Banjarmasin Utara 42 Kertak Hanyar 43 Danau Salak/Gn.Sari 44 Atayo/Danau salak 45 Lawa Baru/Danau Salak 46 Munggu/Danau Salak 47 Martapura Kota 48 Mataraman 49 Salam Besaran/Danau Salak/Salam 50 Pengaron 51 Kampung Baru 52 Kurau 53 Tambang Ulang 54 DAS Aranio/Aranio 55 Jorong 56 Kintap 57 Tabunganen 58 Tamban Sari Baru/Tamban/Koanda 59 Sei Tabuk/GD. Hirang/SMPK Sei Tabuk 60 Staklim Banjarbaru 61 Stamet Syamsudin Noor 62 Sungkai/ Simpang Empat/BatuBalian 63 Takisung 64 Stamet Stagen 4. Sumatera Utara 1 stamar belawan 2 BBI tanjung selamat 3 BBU asam kumbang 4 kebun bulu cina 5 kebun kelambir lima 6 kebun sei semayang emplasmen 7 kebun tandem hilir 8 pg sei semayang 9 Stamet polonia 10 tuntungan 11 BPP batang kuis 12 kebun klumpang 13 staklim sampali 14 kebun rambutan 15 kebun bandar khalipa 16 17
camat lau baleng BPP sinabung
305 c 306 l
-2.82 -2.80 -2.98
115.17 115.23 115.11
14 18 12
9961 9961 9961
99 93 98
2279 2295 1720
306
-2.95
115.20
19
9961
96
2299
305 a 304 b 306g 306k
-2.79 -2.79 -3.15 -3.06
115.31 115.26 114.51 114.66
24 17 3 2
9962 9962 10206 10206
99 81 100 76
1765 2122 2566 2535
306 l 306 e 312 e 312 312 b 28308F 308 d 308 k
-3.19 -3.25 -3.02 -3.41 -3.29 -3.37 -3.47 -3.38 -3.27
114.65 115.01 115.15 114.67 114.60 114.66 114.98 114.94 114.98
1 52 28 15 22 12 12 28 58
10206 10208 10208 10453 10453 10453 10454 10454 10454
100 100 95 100 100 100 100 96 100
2445 1930 1938 1561 2581 2246 2169 2174 2263
308 g 308 Kls/22 -
-3.30 -3.41 -3.33 -3.38
114.95 114.85 114.99 115.01
51 20 22 36
10454 10454 10454 10455
94 94 100 96
1969 1785 2255 2015
307 308 m 311 f 311e 309 311 c 312 d
-3.30 -3.50 -3.68 -3.69 -3.52 -3.97 -3.86 -3.42 -3.34
115.09 114.64 114.65 114.73 115.01 114.92 115.29 114.43 114.50
52 16 19 19 40 30 27 -1 1
10455 10700 10700 10700 10702 10948 10950 10452 10452
76 100 95 100 95 92 90 100 79
2244 2312 1584 2542 2167 2509 2618 2057 2037
303 f
-3.33
114.68
6
10453
100
2331
308 l 308 b
-3.46 -3.44
114.84 114.75
55 32
10454 10454
100 100
2355 2467
307 d
-3.28
115.06
35
10455
100
2707
309 a 310 l
-3.89 -3.30
114.64 116.17
20 12
10947 10459
88 100
2250 2292
-
3226 3473 3473 3473 3473 3473
100 100 100 100 100 100
2043 2086 1934 1743 1457 1810
3473 3473 3473 3473 3474 3474 3474 3722 3723
100 100 100 100 76 100 100 93 100
2281 1711 2573 2029 1005 1495 2255 1615 1586
3965 3966
92 82
1619 1438
96033 123 G 127 125 B 128 A
3.80 3.57 3.58 3.70 3.63 3.61
98.70 98.58 98.62 98.57 98.60 98.53
124 128 96035 96037 127 M 96031 140 F MDN 29 137F 132 G
3.70 3.58 3.56 3.50 3.60 3.65 3.62 3.38 3.45
98.58 98.58 98.68 98.56 98.78 98.82 98.79 99.17 99.27
3.10 3.14
98.09 98.32
52 86
176 755
100
18 camat juhar 19 tiga pancur 20 SMPK kuta gadung 21 tongkoh 22 kbn. Laras afd 1 23 kbn. Dolok ilir2 24 kbn mayang afd 1 25 bpp sei muka 26 kbn. Tinjowan 27 kbn. Sidamanik 28 kbn. Bangun 29 kbn. Pagar jawa 30 smpk marihat 31 seikopas 32 seidadap 33 BPP kota pinang 34 stamet pinang sori 35 gabe hutaraja 36 bpp lae hole 37 BPP ujung bandar 38 kbn.merbau selatan 39 kbn. Membang muda 5. Kalimantan Barat 1 Tebas 2 Sambas 3 Selakau 4 Semelagi 5 Pehauman 6 Menjalin 7 Karangan 8 Pangsuma Puttusibau 9 Supadio 10 Siantan 11 SMPK Anjungan 12 Sungai Kunyit 13 Toho 14 Sei Pinyuh 15 Rasau Jaya 16 Sui Ambawang 17 Ketapang 18 Sei Besar 19 Kendawangan 20 Baning 21 Sintang 22 Parindu 23 Paloh 24 Samalantan 25 Sanggau Ledo 26 Bengkayang 27 Nanga Pinoh 28 Mandor 29 Terentang 30 Sekadau Hulu/Rawa 31 Sukadana 6. Maluku 1 Staklim Kairatu 2 Stamet Amahai 3 Stamet Namlea 4 Stamet Pattimura Ambon 5 Stamet Bandaneira 6 Stamet Sanana 7 Stamet Saumlaki
132 F 132 A 138 E 142 A 142 B 142 C 143.G 144 H 144 G 144 C 145 B 72 F 96073 84 C 149F 149A 149 F
3.02 3.18 3.17 3.18 3.10 3.13 3.08 3.13 3.08 2.86 2.90 2.88 2.92 2.86 2.92 1.89 1.74 2.09 2.67 2.08 2.27 2.55
98.28 98.50 98.51 98.50 99.18 99.20 99.40 99.55 99.52 98.92 99.13 99.18 99.08 99.41 99.67 100.09 98.78 99.00 98.42 99.86 99.83 99.67
677 1134 1363 1250
271 271h 271b 270i 272g 272e 272f 273 273i 272h 272d 272c 272e 273b 273f 285 285h 285d 281a 281 279f 270f 271c 271g 272a 283c 272a 273d 279d 284f
1.21 1.44 1.06 0.93 -0.32 -0.46 -0.58 0.84 -0.15 -0.07 0.42 0.52 -0.43 -0.28 -0.24 -0.03 -1.82 0.04 -2.38 0.06 0.07 0.26 1.72 0.80 1.14 1.81 -0.35 0.32 0.37 -0.13 -0.66
109.12 109.33 110.00 109.06 109.66 109.33 109.38 112.95 109.41 109.19 109.17 108.92 109.27 109.06 109.36 109.41 109.97 110.10 110.33 111.50 111.47 110.31 109.29 109.20 109.70 109.49 111.76 109.34 109.65 110.88 110.07
1 2 1 1 27 18 44 43 2 2 3 1 16 1 2 1 9 2 2 29 30 31 3 3 4 19 40 9 2 20 2
97722 97700 97714
-3.34 -3.34 -3.27 -3.65
128.35 128.92 127.10 127.97
97790 97600 97900
-4.52 -2.06 -7.97
129.91 125.97 131.31
18 892
369 189 28 1200 32 41 -
5 10 15.4 15 24
3966 3966 3967 3967 3969 3969 3970 3971 3971 4215 4216 4216 4216 4217 4218 5208 5450 4957 4460 4960 4713 4465
92 83 80 100 81 76 100 100 80 100 100 88 100 79 82 80 100 100 100 89 80 100
1162 1967 1585 2485 1363 1734 1423 1631 1407 2778 2411 2057 3072 1878 1439 4206 4300 2490 2637 2285 2295 2245
5985 5739 5988 6232 7469 7468 7715 6247 7221 7220 6726 6478 7468 7467 7221 7221 8952 6977 9448 6982 6982 6731 5492 6232 5987 5245 7478 6727 6728 7227 7718
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 98 94 100 96 95 99 98 96 100 90 100 100 100 100 100 100 99 100 100 86 99
3025 2810 2782 3110 3390 3591 3724 4146 3138 2882 3249 2779 2782 2854 2744 3147 3196 3322 2750 4189 3191 3065 3013 4994 3937 2742 3564 3288 2926 3221 4015
10508 10510 10503 10753
100 100 100 100
2205 2533 1561 2831
11749 9263 14966
100 70 100
2206 1442
101
Lampiran 4. Daftar stasiun terpilih untuk validasi dan koreksi data satelit TRMM No
Stasiun
1. Lampung 1 Stamet Branti/Raden Inten 2 Staklim Masgar 3 Metro Selatan 4 Banjar Sari 5 Bendungan Garongan 6 Kibang 7 Ganti Warno (BP3) 8 simbar waringin 9 Candi Mas induk 10 Rejosari 11 Rejosari 12 Roworejo 13 Trikora Jati Agung 14 Stamet Maritim 2. Jawa Timur 1 Staklim KarangPloso 2 Pujon 3 Bend.Selorejo 4 Semen 5 Stageof Karangkates 6 Doko 7 Birowo 8 Tangkil 9 Wagir 3. Kalimantan Selatan 1 Sei Pandan 2 Banjang 3 Banua Lawas 4 Batu Mandi 5 Kelua 6 Murung Pundak/Maburai 7 Paringin 8 Babirik 9 Negara/Daha Selatan 10 Angkinang 11 Pandawan 12 Batu Benawa 13 Ilung 14 Hantakan 15 Kasarangan 16 Pantai Hambawang/SMPK Pantai Hambawang 17 Telaga Langsat 4. Sumatera Utara 1 kbn. Laras afd 1 2 kbn. Dolok ilir2 3 kbn mayang afd 1 4 kbn. Bangun 5 kbn. Pagar jawa 6 smpk marihat 7 Sei kopas 5. Kalimantan Barat 1 Siantan 2 Supadio 3 Rasau Jaya 4 Sui Ambawang 5 Sei Pinyuh 6 Menjalin 7 Toho 6. Maluku 1 Staklim Kairatu 2 Stamet Amahai 3 Stamet Pattimura
No. Sta.
Lintang
Bujur
Keting gian (mdpl)
Grid TRMM
Ketersediaan data 20032009 (%)
Rerata CH tahunan (mm)
-5.23
105.18
61
12144
100
1889
-5.17 -5.09 -5.09 -5.05 -5.21 -5.06 -5.10 -5.28 -5.29 -5.31 -5.30 -5.27 -5.47
105.17 105.20 105.29 105.43 105.30 105.36 105.25 105.21 105.16 105.17 105.06 105.30 105.33
12144 12144 12145 12145 12145 12145 12145 12391 12391 12391 12391 12392 12392
100 86 89 100 100 100 81 100 100 100 100 100 100
2126 2206 1857 2332 1834 1797 2661 1733 1749 1637 1859 2604 1843
113.92 112.48 112.33 112.35 112.45 112.36 112.33 112.66 112.54
-7.04 -7.81 -7.85 -8.00 -8.16 -8.08 -8.23 -8.06 -8.00
18 1082 64
195 78 480
14891 14890 14890 14890 15137 15137 15137 15138 15138
100 100 98 100 100 100 100 100 100
1583 1699 1324 3171 2174 2386 1733 1723 2271
303 c 303 a 302 300 c
-2.47 -2.41 -2.31 -2.43 -2.27 -2.28
115.18 115.29 115.26 115.42 115.30 115.40
7 14 21 14 17 48
9467 9468 9468 9468 9468 9468
100 100 100 100 100 93
1728 1748 2385 2547 2153 1618
302 a 303 b 305 b 304 a 305 h 305 d
-2.38 -2.54 -2.65 -2.71 -2.57 -2.63 -2.52 -2.64 -2.62 -2.64
115.47 115.14 115.13 115.30 115.35 115.43 115.43 115.47 115.30 115.34
60 6 7 18 20 34 20 62 9 17
9468 9714 9714 9715 9715 9715 9715 9715 9715 9715
100 100 100 100 82 82 82 82 86 86
1656 1759 2459 2550 1607 1949 2180 2249 2070 2407
Kls/21
-2.73
115.34
30
9715
100
2492
81 76 100 100 88 100 79
1363 1734 1423 2411 2057 3072 1878
100 100 95 99 96 100 100
2882 3138 2744 3147 2854 3591 2782
100 100 100
2205 2533 2831
227Z 228T 22bV 227C 227V 228 228I 241 242 242B 227x 240
75 76 52
95 130 79 87
1
271
142 A 142 B 142 C 144 H 144 G 144 C -
3.10 3.13 3.08 2.90 2.88 2.92 2.86
99.18 99.20 99.40 99.13 99.18 99.08 99.41
369 189
3969 3969 3970 4216 4216 4216 4217
273 273i 273b 273f 272e 272e 272c
-0.15 -0.07 -0.24 -0.03 -0.28 -0.46 -0.43
109.41 109.19 109.36 109.41 109.06 109.33 109.27
2 3 2 1 1 18 16
7220 7221 7221 7221 7467 7468 7468
97722 97714
-3.34 -3.34 -3.65
128.35 128.92 127.97
5 10 15.4
10508 10510 10753
102
Lampiran 5. Hasil analisis ARIMA menggunakan Minitab 15 1.
Wilayah Pola Hujan Monsun a. Lampung Partial Autocorrelation Function for Diff 12
Autocorrelation Function for Diff 12
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
1.0
0.8 Partial Autocorrelation
0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
1
50
5
10
15
25 Lag
30
35
40
45
50
Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals
(response is TRMM Koreksi)
(response is TRMM Koreksi)
14
200
12
150
10
100
8
50
Residual
Frequency
20
6
0
4
-50
2
-100 -150
0
-100
-50
0
50
100
150
0
Residual
100
200 Fitted Value
300
400
Time Series Plot for TRMM Koreksi
Normal Probability Plot of the Residuals
(with forecasts and their 95% confidence limits)
(response is TRMM Koreksi)
99.9
400
99
300 TRMM Koreksi
Percent
95 90 80 70 60 50 40 30 20
200 100
10 5
0
1 0.1
-100 -200
-100
0 Residual
100
200
1
12
24
36
48 Time
60
72
84
Final Estimates of Parameters Type MA 1 SMA 12
Coef 0.8205 0.6950
SE Coef 0.0662 0.1117
T 12.40 6.22
P 0.000 0.000
Differencing: 1 regular, 1 seasonal of order 12 Number of observations: Original series 84, after differencing 71 Residuals: SS = 252799 (backforecasts excluded) MS = 3664 DF = 69
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 6.4 10 0.777
24 11.0 22 0.975
36 20.6 34 0.966
48 33.9 46 0.907
96
103
b. Jawa Timur Autocorrelation Function for Diff 12
Autocorrelation Function for Diff 12
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
0.2 0.0 -0.2 -0.4
0.2 0.0 -0.2 -0.4
-0.6
-0.6
-0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
50
1
5
10
15
25 Lag
30
35
40
45
50
Versus Fits
Histogram
(response is TRMM JATIM)
(response is TRMM JATIM)
150
18
100
16 14
50 Residual
12 Frequency
20
10 8 6
0 -50 -100
4
-150
2
-200
0
-150
-100
-50 0 Residual
50
0
100
50
100
150 200 Fitted Value
250
300
350
Time Series Plot for TRMM Koreksi
Normal Probability Plot
(with forecasts and their 95% confidence limits)
(response is TRMM JATIM)
400
99.9 99
300
95
TRMM Koreksi
Percent
90 80 70 60 50 40 30 20
200 100 0
10 5
-100
1 0.1
-200 -200
-100
0 Residual
100
200
1
12
24
36
48 Time
60
72
84
Final Estimates of Parameters Type MA 1 SMA 12
Coef 0.9084 0.6899
SE Coef 0.0604 0.1156
T 15.03 5.97
P 0.000 0.000
Differencing: 1 regular, 1 seasonal of order 12 Number of observations: Original series 84, after differencing 71 Residuals: SS = 284557 (backforecasts excluded) MS = 4124 DF = 69
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 13.0 10 0.221
24 23.0 22 0.405
36 28.9 34 0.716
48 49.9 46 0.319
96
104
c. Kalimantan Selatan Partial Autocorrelation Function for DIFF 12
Autocorrelation Function for DIFF 12
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
1.0
0.8 Partial Autocorrelation
0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
1
50
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
50
Versus Fits
(response is TRMM Koreksi)
Histogram
(response is TRMM Koreksi)
200
18
150
16 14
100 Residual
Frequency
12 10 8 6
50 0 -50
4
-100
2 0
-150 -100
-50
0
50
100
0
150
50
100
150 200 Fitted Value
Residual
300
350
Time Series Plot for TRMM Koreksi
Normal Probability Plot
(with forecasts and their 95% confidence limits)
(response is TRMM Koreksi)
600
99.9 99
500
95
400 TRMM Koreksi
90
Percent
250
80 70 60 50 40 30 20 10 5
300 200 100 0
1 0.1
-100 -200
-100
0 Residual
100
1
200
12
24
36
48 Time
60
72
Final Estimates of Parameters Type AR 1 SAR 12
Coef -0.5237 -0.6661
SE Coef 0.1123 0.1022
T -4.66 -6.52
P 0.000 0.000
Differencing: 1 regular, 1 seasonal of order 12 Number of observations: Original series 84, after differencing 71 Residuals: SS = 231370 (backforecasts excluded) MS = 3353 DF = 69 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 14.6 10 0.147
24 34.0 22 0.049
36 46.1 34 0.081
48 79.0 46 0.002
84
96
105
2.
Wilayah Pola Hujan Equatorial a. Sumatera Utara Autocorrelation Function for DIFF 12
Partial Autocorrelation Function for DIFF 12
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-1.0
-1.0
1
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
50
1
5
10
Histogram
15
20
25 Lag
30
35
40
45
50
Versus Fits
(response is TRMM Koreksi)
(response is TRMM Koreksi)
14 100 12 50 Residual
Frequency
10 8 6
0 -50
4 -100
2
-150
0
-120
-60
0 Residual
60
120
100
150
200 Fitted Value
250
300
350
Time Series Plot for TRMM Koreksi
Normal Probability Plot
(with forecasts and their 95% confidence limits)
(response is TRMM Koreksi)
600
99.9
500
99
400 TRMM Koreksi
Percent
95 90 80 70 60 50 40 30 20
200 100 0
10 5
-100
1 0.1
300
-200 -200
-100
0 Residual
100
200
1
12
24
36
48 Time
60
72
84
Final Estimates of Parameters Type AR 1 SAR 12
Coef -0.4853 -0.5161
SE Coef 0.1053 0.1221
T -4.61 -4.23
P 0.000 0.000
Differencing: 1 regular, 1 seasonal of order 12 Number of observations: Original series 84, after differencing 71 Residuals: SS = 254768 (backforecasts excluded) MS = 3692 DF = 69
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 21.0 10 0.021
24 39.0 22 0.014
36 57.6 34 0.007
48 80.8 46 0.001
96
106
b. Kalimantan Barat Autocorrelation Function for DIFF 12
Partial Autocorrelation Function for DIFF 12
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
1.0
0.8
0.8 Partial Autocorrelation
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-1.0
-1.0
1
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
50
1
5
10
15
25 Lag
30
35
40
45
50
Versus Fits
Histogram
(response is TRMM Koreksi)
(response is TRMM Koreksi)
150
14 12
100
10
50 Residual
Frequency
20
8 6
0 -50
4
-100
2
-150
0
-120
-60
0 Residual
60
100
120
150
200 Fitted Value
250
300
Time Series Plot for TRMM Koreksi
Normal Probability Plot
(with forecasts and their 95% confidence limits)
(response is TRMM Koreksi)
400
99.9 99
300 TRMM Koreksi
Percent
95 90 80 70 60 50 40 30 20 10
200
100
5 1 0.1
0 -200
-100
0 Residual
100
200
1
12
24
36
48 Time
60
72
84
Final Estimates of Parameters Type SAR 12 MA 1 SMA 12
Coef -0.2739 0.8715 0.8525
SE Coef 0.1355 0.0585 0.1124
T -2.02 14.89 7.58
P 0.047 0.000 0.000
Differencing: 1 regular, 1 seasonal of order 12 Number of observations: Original series 84, after differencing 71 Residuals: SS = 246951 (backforecasts excluded) MS = 3632 DF = 68
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 7.6 9 0.575
24 21.3 21 0.442
36 35.7 33 0.341
48 44.5 45 0.492
96
107
Wilayah Pola Hujan Lokal
3.
Maluku Partial Autocorrelation Function for Diff 12
Autocorrelation Function for Diff 12
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
1.0
Autocorrelation
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
5
10
15
20
25 Lag
30
35
40
45
1
50
5
10
Histogram of the Residuals
20
25 Lag
30
35
40
45
50
Residuals Versus the Fitted Values
(response is TRMM koreksi)
(response is TRMM koreksi)
25
800
20
600
15
Residual
Frequency
15
10
400 200 0
5
-200 -400
0
-200
0
200 Residual
400
600
800
100
200
400
500
Time Series Plot for TRMM koreksi
Normal Probability Plot of the Residuals
(with forecasts and their 95% confidence limits)
(response is TRMM koreksi)
1200
99.9 99
900 TRMM koreksi
95 90
Percent
300 Fitted Value
80 70 60 50 40 30 20
600
300
10 5
0
1 0.1
-500
-250
0
250 Residual
500
750
1000
1
12
24
36
48 Time
60
72
84
Final Estimates of Parameters Type MA 1 SMA 12
Coef 0.9767 0.8044
SE Coef 0.0408 0.1058
T 23.92 7.60
P 0.000 0.000
Differencing: 1 regular, 1 seasonal of order 12 Number of observations: Original series 84, after differencing 71 Residuals: SS = 1909982 (backforecasts excluded) MS = 27681 DF = 69
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 5.8 10 0.835
24 19.8 22 0.593
36 39.5 34 0.239
48 50.6 46 0.295
96