STUDI IN-VITRO DAN IN-VIVO EFEK RADIOPROTEKTIF ROSELA (Hibiscus sabdariffa Linn.) TERHADAP RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
MOKHAMAD FAKHRUL ULUM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i
STUDI IN-VITRO DAN IN-VIVO EFEK RADIOPROTEKTIF ROSELA (Hibiscus sabdariffa Linn.) TERHADAP RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
OLEH
MOKHAMAD FAKHRUL ULUM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Mokhamad Fakhrul Ulum NRP: B351090021
iii
iv
ABSTRACT The purpose of this study is to determine the natural radioprotective effect of ethanolic extract of roselle (Hibiscus sabdariffa L.) through the in-vitro and invivo study of mice that were exposed by ionizing radiation from recurrent radiodiagnostic. In in-vitro study, splenic lymphocytes were cultured in different concentration of ethanolic extract of roselle. Splenic lymphocytes were divided in two groups; with radiation exposure and without radiation exposure. The numbers of lymphocyte were calculated at 1, 2 and 3 days after radiation of each group. In in-vivo study, mice supplemented with ethanolic extract of roselle dose 50 mg/kg body weight prior to radiation for 60 days and 30 days after recovery for clinical and pathological evaluation. Radiation from radiodiagnostic radiography exposure performs repeated every 2 days. Forty eight adult mice were divided in 4 groups; control (K), radiation (P), roselle (R) and roselle with radiation (RP). Clinical data were collected for live survival, body weight, and peripheral blood characteristic. Pathological data were collected for relative organ weight and histopathological finding of bone marrow and spleen at 4 and 8 weeks after radiation; 8 and 12 weeks after 30 days recovery. The in-vitro study clearly showed that roselle enhances the splenic lymphocyte proliferation and maintained amount of cells (p<0.05). The in-vivo study showed that roselle maintained peripheral blood characteristic (p<0.05), however did not affect the mice live survival and body weight (p>0.05). Pathological evaluation showed that relative organ weight, hematopoietic bone marrow cells, and white pulpa area of spleen were significant different between groups (p<0.05). Key word: in-vitro, in-vivo, radioprotective, ethanolic roselle ecxtract, ionizing radiation.
v
vi
RINGKASAN Mokhamad Fakhrul Ulum. Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang. Dibimbing oleh Deni Noviana dan Sri Estuningsih Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat proteksi bahan alam ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) secara in-vitro dan in-vivo terhadap paparan radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang. Penelitian dilakukan dengan 2 tahap yaitu secara in-vitro pada kultur sel limfosit dari organ limpa mencit yang dilakukan splenectomy dan secara in-vivo pada hewan coba mencit. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) diperoleh dari petani rosela di Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Bunga dikeringkan dengan sinar matahari dan dihaluskan. Serbuk halus bunga rosela sebanyak 200 gram diekstrak dengan 96% etanol pada suhu 40⁰C melalui 2 tahap masing-masing 500 ml. Ekstrak dievaporasi hingga kering menjadi ekstrak dasar dan dikeringkan dengan freez drying hingga menjadi kristal. Proses ekstraksi dilakukan di Balitro, proses evaporasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi FPIK IPB dan uji fitokimia dilakukan di Biofarmaka IPB. Proses radiasi dosis rendah berulang diberikan dengan mesin Diagnostic X-Ray. Faktor paparan pada mesin x-ray menggunakan kVp 80, mAs 12 pada ±1 detik dengan dosis 0.2 mSv/paparan dan jarak sumber radiasi pada berkas sinar utama hingga dasar secara tegak lurus 100 cm. Dosis radiasi dimonitor dengan dosimeter digital pada setiap paparan. Tahap in-vitro melalui kultur sel limfosit limpa mencit dengan konsentrasi rosela berbeda pada kelompok tanpa radiasi dan radiasi. Mencit dibius terlebih dahulu dengan kombinasi ketamin dosis 30 mg/kg berat badan dan xylazin dosis 5mg/kg berat badan secara intraperitoneal. Setelah terbius, secara aseptis dilakukan pengambilan limpa. Limpa diproses untuk diambil sel limfositnya dan selanjutnya diproses untuk dikultur pada media penumbuh. Jumlah sel limfosit diamati pada setiap dosis radiasi hari ke-1, 2 dan 3. Kultur sel limfosit dibagi dalam 4 kelompok sesuai konsentrasi ekstrak berbeda yaitu, 0 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml dan 100 µg/ml dengan 6 ulangan pada masing-masing kelompok. Radiasi dilakukan dengan selang 12-24 jam sebagai waktu pemulihan sel dari radiasi. Jumlah sel dihitung setiap perlakuan dengan hemositometer pada mikroskop inverted. Tahap in-vivo melalui suplementasi rosela dosis 50 mg/kg berat badan peroral sebelum dipapar radiasi selama 60 hari berselang dan pemulihan selama 30 hari. Mencit jantan dewasa sebanyak 48 ekor dibagi dalam 4 kelompok; kontrol (K), radiasi (P), rosela (R), dan rosela radiasi (RP). Data klinis diamati pada daya hidup, berat badan, dan gambaran darah perifer. Mencit dibius terlebih dahulu untuk pengambilan darah perifer dengan kombinasi ketamin dosis 30 mg/kg berat badan dan xylazin dosis 5mg/kg berat badan secara intraperitoneal. Darah perifer diambil dengan pipa mikrohematokrit melalui vena pada sinus retroorbitalis setelah mencit terbius. Euthanasia kemudian dilakukan untuk penimbangan berat organ dan pengambilan sampel organ pada pemeriksaan histopatologis. Organ dipisahkan dan ditimbang pada berat organ. Tulang femur vii
dibersihkan dari otot dan tendon, kedua ujungnya dipotong. Selanjutnya organ dan tulang dimasukkan dalam BNF 10% selama 2 x 24 jam. Dekalsifikasi tulang dengan larutan 5% asam nitrat selama 2-3 hari hingga lunak. Jaringan didehidrasi pada konsentrasi bertingkat mulai konsentrasi 70% hingga absolut. Jaringan ditanam dalam blok parafin dan dipotong setebal 5µm dengan mikrotom untuk diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE). Data patologis diamati pada berat relatif organ, gambaran histopatologis sumsum tulang, limpa, lambung dan kolon minggu ke-4 dan 8 setelah radiasi; minggu ke-8 dan 12 setelah pemulihan. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Uji Biofarmaka LPPM IPB menunjukkan bahwa ekstrak etanol rosela mengandung alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid. Hasil in-vitro menunjukkan ekstrak etanol rosela meningkatkan proliferasi sel dan mempertahankan jumlah sel yang lebih baik (p<0.05). Ekstrak etanol rosela yang ditambahkan pada media penumbuh secara in-vitro dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit yang dipapar dengan radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang. Hasil in-vivo menunjukkan secara klinis rosela dapat menjaga gambaran darah sebagaimana kontrol (p<0.05) tetapi tidak mempengaruhi daya hidup dan berat badan (p>0.05). Hasil patologis pada berat relatif organ, kondisi sel hematopoetik sumsum tulang, dan pulpa putih limpa berbeda nyata (p<0.05). Ekstrak rosela juga dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang secara in-vivo dengan mempertahankan kondisi dan jumlah sel berada dalam kondisi normal. Gambaran secara klinis terlihat pada profil darah perifer dan secara mikroskopis pada sel-sel penyusun sumsum tulang dan organ limpa sebagaimana pada kondisi kontrol. Saran yang dapat diberikan adalah perlunya pemeriksaan pada organ lain yang sensitif radiasi serta pengujian secara klinis untuk pasien dan pekerja pada instalasi radiologi sebagai bahan radioprotektif yang dikembangkan menjadi suplemen antiradiasi.
viii
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ix
x
STUDI IN-VITRO DAN IN-VIVO EFEK RADIOPROTEKTIF ROSELA (Hibiscus sabdariffa Linn.) TERHADAP RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
OLEH
MOKHAMAD FAKHRUL ULUM
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 xi
Penguji Luar: Drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D.
xii
HALAMAN PENGESAHAN Judul penelitian : Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang Nama
: Mokhamad Fakhrul Ulum
NRP
: B351090021
Mayor
: Ilmu Bomedis Hewan (IBH)
Strata
: Magister Sains (S2)
Menyetujui Komisi Pembimbing
Drh. Deni Noviana, Ph.D Ketua
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
xiii
xiv
PRAKATA Puji syukur alhamdulillah akhirnya penyusunan tugas akhir (thesis) dalam studi pascasarjana jenjang S2 mayor Ilmu Biomedis Hewan di IPB ini dapat diselesaikan. Thesis berjudul “Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang” dibawah bimbingan Drh. Deni Noviana, Ph.D dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet dapat ditulis menjadi karya ilmiah. Penelitian ini dibiayai dari dana penelitian Hibah Bersaing DIKTI RI melalui LPPM IPB selama 2 tahun (2010-2011) secara berturut-turut yang penulis usulkan beserta dengan pembimbing dalam 1 tim penelitian. Penelitian tentang bahan herbal sebagai agen proteksi radiasi internal terhadap kerusakan pada jaringan normal akibat paparan radiasi ionisasi dilakukan secara in-vitro dan secara in-vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian agen ekstrak etanol rosela baik secara in-vitro dan in-vivo dapat membantu sel-sel jaringan untuk berproliferasi dan memperbaiki diri dari kerusakan dan kematian akibat paparan radiasi berulang dari sarana radiodiagnostik. Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam proses penelitian dan penyusunan makalah ini, masukan, saran, dan kritikan yang membangun untuk kebaikan dan kesempurnaan dimasa yang akan datang dengan lapang dada akan diterima dengan sebaik-baiknya. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmiah dan membawa kemaslahatan umat manusia. Harapan kedepan penelitian ini dapat dilanjutkan hingga dapat menjadi produk suplemen anti radiasi secara komersial untuk meningkatkan kesehatan manusia dan hewan.
Bogor, Februari 2012 Penyusun
xv
xvi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan pada 24 Oktober 1982 dari keluarga sederhana pasangan Zaenal Arifin dengan Zunanik Nur Arifah di Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Penulis merupakan anak ke-2 dari 3 bersudara, dimana anak pertama sudah almarhum. Penulis sudah dikaruniai 2 (dua) orang anak Shofia Fakharany (putri) tahun 2009 dan Mokhamad Zaini Ilmi Ghozaly (putra) tahun 2010 dari pernikahannya dengan Tia Irmayanty Amalianingsih tahun 2008. Tamat Taman Kanak-Kanak PKK Dumpiagung I Kembangbahu Lamongan tahun 1987, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Katemas II Kembangbahu Lamongan tahun 1989 dan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Mantup Lamongan tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Unggulan Darul ‘Ulum 2 – BPP Teknologi di Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso Peterongan Jombang tahun 1998. Pendidikan tingkat sarjana (S1) ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2001, melanjutkan pendidikan profesi dokter hewan di Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) tahun 2005. Kesempatan jenjang pascasarjana (S2) di Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor tahun 2009 pada Major Ilmu Biomedis Hewan dan lulus tahun 2012. Penulis bekerja sebagai Asisten Dosen di Bagian Bedah dan Radiologi; Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi; Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2007.
xvii
xviii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ……………………….…………………….……..
Hal xxi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………….……..
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
xxvii
PENDAHULUAN ………………………...…………………………. Latar Belakang …………………………………………………….. Hipotesa …………………………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………….. Manfaat Penelitian …………………………………………………
1 1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA …………………..……………..………….. Radiasi Sinar X ……………………………………………………. Pembentukan Sinar X ……………………………………………... Interaksi Radiasi dengan Material ………………………………… Pemanfaatan Sinar X dalam Dunia Medis ………………………… Efek Radiasi Ionisasi ……………………………………………… Dosis Radiasi ……………………………………………………… Batas Dosis Radiasi Ionisasi ………………………………………. Proteksi Radiasi Ionisasi …………………………………………... Pengembangan Radioproteksi dari Bahan Alami …………………. Antioksidan ………………………………………………………... Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) ………………………………... Phyto Kimia ……………………………………………………….. Pemanfaatan Rosela dalam Dunia Medis …………………………. Kultur Jaringan ……………………………………………………. Hewan Percobaan …………………………………………………. Sistem Hematopoetik ……………………………………………… Darah ……………………………………………………………… Sumsum Tulang …………………………………………………… Limpa ………………………………………………………………
4 4 5 6 9 11 16 19 20 23 32 35 36 38 38 40 41 41 43 45
BAHAN DAN METODE ………....……………..………………….. Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………... Bahan dan Alat ……………………………………………………. Metode Penelitian …………………………………………………. Prosedur Penelitian In-vitro ……………………………………….. Prosedur Penelitian In-vivo ………………………………………... Analisis dan Penyajian Data ……………………………………….
47 47 47 48 49 56 63
xix
HASIL DAN PEMBAHASAN ..…………..………………………… Uji Fitokimia Ekstrak Etanol Rosela ……………………………… Kultur Sel Limfosit ………………………………………………... Daya Hidup ………………………………………………………... Berat Badan ……………………………………………………….. Gambaran Karakteristik Darah Perifer ……………………………. Berat Organ ………………………………………………………... Gambaran Histopatologi Sumsum Tulang ………………………... Gambaran Histopatologi Organ Limpa……………………………. Mekanisme Radioproteksi Berbahan Herbal Alam ………………..
64 64 65 70 71 73 84 95 105 109
SIMPULAN DAN SARAN ……..………………...…………..……..
118
DAFTAR PUSTAKA …………………………...……………………
119
LAMPIRAN ….…………...………………………………………….
140
xx
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
25
26
27
Data berbagai jenis gelombang elektromagnetik ……………………... Kontribusi terbesar pada dosis efektif kumulatif radiasi ionisasi dari prosedur pencitraan radiologi …………………………………………. Efek radiasi ionisasi berdasarkan waktu ……………………………… Jenis dosis dan rumus perhitungan ……………………………………. Unit dosis radiasi ……………………………………………………… Dosis efektif radiasi ionisasi dari pencitraan prosedur medis ………… Tingkat paparan radiasi rendah, sedang dan tinggi pada annual dosis efektif dari pencitraan prosedur medis di Arizona, Dallas, Orlando, South Florida dan Wisconsin USA pada 1000 orang …………………. Kontribusi relatif pada tiap jaringan dan organ terhadap kemungkinan terjadinya kanker dan kerusakan total ………………………………… Resiko kumulatif menurut NCRP dan ICRP pada batas paparan …….. Tanaman yang memiliki efek radioproteksi …………………………... Tanaman yang memiliki efek radioproteksi (lanjutan) ……………….. Tanaman yang memiliki efek radioproteksi (lanjutan) ……………….. Tanaman yang memiliki efek radioproteksi (lanjutan) ……………….. Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam …………... Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam (lanjutan) ... Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam …………… Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam (lanjutan) .. Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam (lanjutan) .. Komponen senyawa fenolik utama pada tanaman ……………………. Kandungan senyawa kimia dalam bunga rosela ……………………… Kandungan gizi bunga rosela segar per 100 gram ……………………. Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan media ekstraksi berbeda ……………………………………………………… Uji fitokimia ekstrak etanol Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ………… Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) konsentrasi berbeda pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan radiasi berbeda .……………………………………………………….. Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada daya hidup mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ……………………………… Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat badan mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ………….…………………… Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah leukosit, persentase premature leukosit, agranulosit dan granulosit mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ………………………………………. xxi
Hal 5 10 12 17 17 18
18 19 20 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 36 37 37 64
68
70
71
74
28 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah trombosit mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari …………………………. 29 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada karakteristik sel darah merah mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ………..... 30 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada sel darah tepi mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari .......................................................... 31 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ sistem pencernaan mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari .….. 32 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ sistem sirkulasi mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ..……………… 33 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ sistem urogenital mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ………… 34 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ hati dan limpa mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ……………….. 35 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ* mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ..................................... 36 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada perubahan morfologi sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ..………... 37 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ….……… 38 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada ukuran dan persentase area sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari.. 39 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari................. 40 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada perubahan morfologi luasan pulpa limpa mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari..
xxii
78
81
83
85
87
90
92
94
96
97
101
104
106
DAFTAR GAMBAR Hal 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Berbagai jenis radiasi dalam kemampuannya dalam melewati atau menembus material …………………………………………………….. Gelombang elektromagnetik dengan frekuensi (Hz) dan panjang (m) yang berbeda …………………………………………………………… Proses pembentukan sinar-X …………………………………………… Interaksi sinar-X dengan material ………………………………..…….. Interaksi sinar-X dengan material yang dipapar ……………………….. Proses terjadinya fotodisintregasi ………………………………………. Jalur penetrasi sinar-X dalam material …………………………………. Proses radiolitik pada air dimana terlihat perkembangan secara kimiawi elektron dengan energy 4-keV pada lintasan media ……………………. Skematis kemungkinan yang terjadi pada jaringan atau sel yang terpapar radiasi ionisasi…………………………………………………. Respon jaringan dan organ terhadap radiasi ionisasi …………………... Efek yang ditimbulkan oleh radiasi ionisasi pada jaringan ……..……… Berbagai unit pelindung radiasi eksternal berlapis Pb dan unit monitoring radiasi individu …………………………………………….. Struktur antioksidan ……………………………………………………. Struktur dasar flavonoids (C6-C3-C6) dan sistem penomoran atom karbon pada struktur intinya ……………………………………………. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ………………………………. Bidang-bidang aplikasi metode kultur sel/jaringan.................................. Mencit laboratorium strain ddy ………………………………………… Perkiraan jumlah darah normal mamalia ………………………………. Komponen darah perifer ……………………………………………….. Sumsum tulang …………………………………………………………. Histopatologi sumsum tulang dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosine. Posisi organ limpa dalam rongga abdomen ……………………………. Histopatologi limpa dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosine (HE) ….. Media kultur ……………………………………………………………. Bahan untuk formulasi media penumbuh ……………………………… Prosedur splenectomy pada mencit …………………………………….. Preparasi sel limfosit dari limpa mencit ………………………………... Skematis proses preparasi sel limfosit dari limpa mencit ……………… Bagan pembuatan media penumbuh dengan konsentrasi ekstrak rosela berbeda …………………………………………………………………. Posisi pengaturan kelompok konsentrasi dan ulangan perlakuan pada tissue culture plate ………………………………...…………………… Proses paparan radiasi radiodiagnosti sinar-X …………………………. Proses perhitungan sel limfosit pada setiap kelompok perlakuan ……… Proses pencekokan / suplementasi ekstrak etanol rosela dan NaCl fisiologis 0.9%......................................................................................... Proses radiasi ionisasi radiodiagnostik pada mencit penelitian ………... Pengambilan data klinis dan histopatologis……………………………..
xxiii
4 5 6 7 8 9 12 13 15 16 21 23 33 34 35 39 40 42 43 44 44 45 46 49 50 51 52 52 53 54 55 56 57 58 58
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
49
50
51
52
53
54
55
56
57 58
Proses pengambilan darah tepi mencit …………………………………. Proses pembuatan preparat ulas darah mencit …………………………. Proses nekropsi ………………………………………………………… Organ dalam larutan BNF 10%.............................................................. Proses embedding sampel organ dalam paraffin ………………………. Proses pemotongan blok parafin dan pewarnaan ………………………. Perangkat elektronik untuk pengolahan foto histopatologi ……………. Pengamatan mikroskopis secara kasar suspensi sel limfosit pada media kultur …………………………………………………………………… Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-1 total radiasi 0.2 mSv………………………………………………………………….. Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-2 total radiasi 0.6 mSv………………………………………………………………….. Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-3 total radiasi 1.2 mSv………………………………………………………………….. Pengaruh pemberian ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan konsentrasi berbeda ……... Pengaruh pemberian ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan konsentrasi berbeda tanpa radiasi dan dengan radiasi ……………………………………………… Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Berat Badan (BB) mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari …………………….. Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap karakteristik sel darah putih mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ……………. Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) karakteristik trombosit mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari …………………….. Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap parameter sel darah merah mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari…………….. Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) sistem pencernaan mencit ………………………………… Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) sistem sirkulasi mencit …………………………………… Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) sistem urogenitalis mencit………………………………… Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) organ hati dan limpa mencit. ……………………………... Histopatologi sumsum tulang mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 2.9 mSv …………………………………….. Histopatologi sumsum tulang mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 5.3 mSv ……………………………………. xxiv
59 60 60 61 62 62 63 65 65 66 67 69
69
72
76
79
82
86
88
91
93 98 99
59
60
61
62 63 64 65 66 67 68 69
Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap sumsum tulang mencit …………………………………………………………… Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap sumsum tulang mencit …………………………………………………………… Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap limpa mencit ………………………………………………….……………….. Histopatologi limpa mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 2.9 mSv ………………….……….…………………. Histopatologi limpa mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 5.3 mSv ………………………….………………….. Tahapan kejadian yang mengikuti paparan radiasi …………………….. Mekanisme kerusakan secara langsung dan tidak langsung oleh radiasi ionisasi pada jaringan…………………………………………………… Mekanisme kerja herbal sebagai bahan radioprotektif. X, pemutusan rantai oleh antioksidan alami dari tanaman atau herbal………………… Mekanisme radioprotektif antioksidan. X, pemutusan rantai oleh antioksidan alami dari tanaman atau herbal…………………………….. Mekanisme radioprotektif tanaman herbal terhadap radiasi ionisasi …... Perbandingan struktur antioksidan yang larut lemak (lipofilik) dan larut air (hidrofilik)……………………………………………………………
xxv
99
101
107 108 109 110 111 114 114 115 116
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5 6
Hal Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan kultur sel limfosit ……….…... 140 Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan berat badan ………………….. 141 Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan gambaran darah perifer ……… 142 Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan berat relatif organ …………… 150 Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan histopatologi sumsum tulang ... 156 Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan histopatologi organ limpa …… 160
xxvii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak ditemukan sinar-x oleh Wilhelm Conrad Röntgen tahun 1895 dan radioaktif oleh Hendry Becquerel tahun 1896, bidang radiologi dunia medis berkembang dengan pesat melalui radiodiagnostik maupun radioterapi. Berbagai penyakit dan kelainan organ dapat cepat terdeteksi melalui radiodiagnostik dan dilakukan terapi melalui radioterapi. Efek negatif dari kemudahan ini ternyata menyebabkan kerusakan pada jaringan karena adanya pengaruh radiasi ionisasi (McCurnin & Bassert 2006). Pengaruh yang sangat besar akan tampak pada jaringan yang sangat aktif membelah seperti usus dan sumsum tulang, sebaliknya pada jaringan yang tidak aktf membelah seperti otot dan tulang akan memperlihatkan sedikit pengaruhnya (Thrall 2002). Sinar-X dapat menyebabkan kerusakan yang terjadi secara langsung disebut dengan deterministic effect dan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa stochastick effect. Kerusakan oleh radiasi ionisasi akan menyebabkan terjadinya apoptosis pada sel. Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh radiasi dapat terlihat diantaranya pada kromosom (Mozdarani et al. 2002), DNA (Reynolds & Schecker 1995), sel darah putih perifer (Rask et al. 2008), yang menyebabkan leukemia (Szkanderova et al. 2003), eritema pada kulit hingga nekrosa (Gerber et al. 2007), pertumbuhan tumor (Reynolds & Schecker 1995; Thrall 2002),
katarak
(Yoshinaga et al. 2005) serta kelainan genetik yang nantinya akan diwariskan (Wright & Coates 2006). Lembaga tenaga nuklir dunia IAEA (International Atomic Energy Agency) dan lembaga proteksi radiasi dunia ICRP (International Commission on Radiological Protection) memberikan rekomendasi dan pengawasan dalam penggunaan energi radiasi karena efek samping radiasi ionisasi (IAEA 2002; ICRP 2007). Penggunaan sarana radiasi ionisasi di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum & Noviana 2008). Berdasarkan PP No. 33 tahun 2007 tentang keselamatan radiasi pengion dan keamanan sumber radioaktif mengatur tentang perlindungan fisik terhadap radiasi eksternal antara lain dengan menggunakan pelapis timbal (Pb) bagi setiap pekerja radiasi berupa
2
apron, pelindung tiroid, dan kaca mata berlapis Pb. Dinding ruang radiasi juga harus dilapisi Pb dengan ketebalan minimal 2.7 mm untuk menyerap radiasi agar tidak menembus keluar ruangan. Perlindungan secara biologis terhadap radiasi ionisasi internal yang merupakan efek negatif dari radiofarmakologi maupun radioterapi juga menjadi permasalahan tersendiri. Efek samping yang terjadi secara internal tidak dapat diatasi dengan memberikan perlindungan fisik berlapis Pb. Perlindungan biologis secara internal juga diberikan untuk melindungi pasien terhadap efek samping ini. Penelitian tentang perlindungan biologis internal sebagai radioprotektif berbahan tanaman dan herbal sudah banyak dilaporkan (Jagetia 2007). Berbagai laporan penelitian radioprotektif berbahan tanaman dan herbal seperti halnya sprulina (Zhang et al. 2001), ginseng (Lee et al. 2010), dan mint (Baliga & Rao 2010). Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tamanan tropis dan di Indonesia dikenal dengan sebutan Rosela. Masyarakat biasa menggunakan bunga rosela sebagai teh merah sebagai pelepas dahaga dan dipercaya memiliki khasiat sebagai bahan obat. Laporan penelitian tentang manfaat Rosela sebagai hepatoprotektif (Wang et al. 2000), anti hipertensi (Mozaffari-Khosravi et al. 2009), pengobatan infeksi saluran perkemihan (Olaleye 2007), antipiretik (Reanmongkol & Itharat 2007). Bunga rosela mengandung alkaloid, citric acid, anthocyanin, l-ascorbic acid, dan flavonoid (Hirunpanich et al. 2005). Kandungan vitamin C pada bunga rosela varietas merah sebesar 32.14 mg/100g sedangkan varietas hijau sebesar 27.5 mg/100g (Ogunlesi et al. 2010). Vitamin C memiliki aktifitas sebagai antioksidan dalam menetralkan kerusakan oleh radiasi (Noviana et al. 2010b). Antioksidan yang dikandung bunga rosela dapat menetralkan radikal bebas dalam tubuh (Kijparkorn et al. 2009; Hirunpanich et al. 2005). Potensi antioksidan dalam tanaman rosela menjadi bahan aktif yang bermanfaat sebagai bahan radioprotektif sehingga perlu untuk dilakukan penelitian. Penelitian tentang potensi radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang secara in-vitro pada kultur sel limfosit dan invivo pada mencit belum pernah dilaporkan.
3
Hipotesa 1. Tidak ada efek proteksi oleh pemberian suplemen ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik. 2. Ada efek proteksi oleh pemberian suplemen ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik.
Tujuan Penelitian Mengetahui efek radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) secara in-vitro terhadap kultur sel limfosit dan secara in-vivo pada daya hidup, berat badan, gambaran profil sel darah perifer, berat relatif organ, sumsum tulang, limpa mencit yang di radiasi dengan sarana radiodiagnostik secara berulang.
Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi tambahan tentang manfaat rosela sebagai herbal radioproteksi dalam dunia medis. 2. Suplemen anti radiasi (radioprotektif) berbahan rosela yang nantinya dapat diberikan baik kepada pasien maupun pekerja radiasi.
4
TINJAUAN PUSTAKA Radiasi Sinar-X Radiasi adalah pemancaran/pengeluaran dan perambatan energi menembus ruang atau sebuah substansi dalam bentuk gelombang atau partikel. Partikel radiasi terdiri dari atom atau sub-atom dimana mempunyai massa dan bergerak, menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Gambar 1). Beberapa contoh dari partikel radiasi adalah elektron, beta, alpha, photon & neutron (Anonimous 2011a).
Gambar 1 Berbagai jenis radiasi dalam kemampuannya dalam melewati atau menembus material. Sumber: Anonimous 2011b.
Radiasi merupakan proses dimana energi bergerak melalui media atau ruang. Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis, yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi. Radiasi ionisasi didefinisikan sebagai suatu radiasi yang memiliki energi yang cukup untuk memindahkan elektron dari molekulnya serta mampu merusak ikatan kimia. Radiasi ionisasi merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x dan sinar- atau partikel subatom berupa proton, neutron, dan partikel- (NRC 2006). Sinar-x merupakan sinar tidak tampak yang pertama kali ditemukan oleh Wilhelm Conrad Röntgen tahun 1895 dan disebut dengan sinar Röntgen. Radiasi ionisasi sinar-x termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik. Panjang sinar-x 10-0.01 nm, frekuensi 30 petahertz - 30 exahertz (30 × 1015 Hz to 30 × 1018 Hz) dan memiliki energi 120 eV - 120 keV (Tabel 1). Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultra violet (Gambar 2) (Thrall 2002; Wallace 2009).
5
Tabel 1 Data berbagai jenis gelombang elektromagnetik* Panjang Gelombang Radio 600 m - 0.187 m Microwave 187 mm - 1 mm Sub-millimeter 539 - 616 µm Far Infrared 40 - 350 µm Mid Infrared 5 - 40 µm Near Infrared 1 - 5 µm Optical 380 - 780 nm Ultraviolet 10 - 400 nm X-ray 10 - 0.01 nm Gamma-ray 0.01 - 0.000006 nm "Cosmic-ray" 10 - 0.000006 nm Band
Frekuensi (Hz)
Suhu (K)
6
30 - 1.6x10 1 - 300 106 487 - 556x106 300x106 - 30x1012 30 - 120x1012 120 - 440x1012 400 - 790x1012 750x1012 - 30x1015 30x1015 - 100x1018 100x1018 - 3,862x1021 30x1015 - 3,862x1021
11.6 - 140 140 - 740 740 - 3,000 106 - 108
Energi Quantum (eV) 2x10-9 - 0.6x10-5 0.6x10-5 - 0.1x10-2 2.0x10-3 - 2.3x10-3 3.1x10-2 - 0.35x10-2 3.1x10-2 - 2.5x10-1 2.5x10-1 - 1.2 1.59 - 3.3 3.1 – 124 124 - 1.24x105 1.24x105 - 2.07x108 124 - 2.07x108
*Sumber: Wallace 2009
Gambar 2 Gelombang elektromagnetik dengan frekuensi (Hz) dan panjang (m) yang berbeda. Sumber: Anonimous 2011c.
Pembentukan Sinar-X Sinar-X dibentuk dalam tabung (chamber) Rontgen hampa udara. Kumparan anoda molybdenum memijar saat dialiri dengan arus listrik dan terbentuk awan elektron. Selanjutnya diberikan tegangan berbeda antara anoda dengan katoda. Perbedaan tegangan menggerakkan elektron-elektron dengan kecepatan tinggi dari katoda ke anoda. Tumbukan elektron pada anoda yang terbuat dari tungsten carbide akan menghasilkan 99% energi panas dan 1% yang akan menjadi sinar-X. Semakin tinggi nomor atom katoda maka makin tinggi kecepatan elektron, sehingga semakin besar daya tembus sinar-X yang terjadi. Sinar-X yang terbentuk pada tegangan 100 kV kurang dari 1% dan sebagian besar berubah menjadi panas. Panas pada tabung dapat didinginkan dengan minyak emersi atau air (Gambar 3). Jenis sinar-X yang terbentuk terdiri atas sinar-X
6
karakteristik dan sinar-X Bremsstrahlung (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005; Anonimous 2011). Sinar-X karakteristik dan Bremsstrahlung terbentuk secara bersamaan saat elektron menumbuk anoda. Sifat sinar-X karakteristik bersifat diskret (terputusputus) dengan panjang gelombang tergantung dari bahan atau material pada anoda (Gambar 3B). Sinar-X karakteristik tidak bernilai diagnostik dan biasanya tidak keluar dari mesin sumber sinar-X karena tersaring oleh lempeng alumunium (Gambar 3A). Sinar-X Bremsstrahlung bersifat kontinyu (tidak terputus) dan dapat melewati filter alumunium sehingga memiliki nilai diagnostik (Faddegon et al. 2008).
Gambar 3 Proses pembentukan sinar-X. A. Skematis proses terbentuknya sinar-X, B. Jenis sinar-X yang terbentuk berdasarkan intensitas dan panjang gelombangnya. Sumber: Anonimous 2011d.
Sinar-x dan - sedikit menyebabkan ionisasi karena menghasilkan elektron bergerak cepat sehingga hanya sedikit ionisasi yang terjadi saat melalui sebuah sel. Dengan demikian dalam penggolongan linear energy transfer (LET), sinar-x dan -
termasuk dalam golongan radiasi LET-rendah (low-LET radiation).
Sebaliknya, partikel dengan ukuran yang lebih besar menyebabkan ionisasi yang lebih besar saat melalui sel sehingga digolongkan dalam radiasi LET-tinggi (highLET radiation) (NRC 2006). Interaksi Radiasi dengan Material Interaksi radiasi (foton) dengan material yang dilewati menghasilkan beberapa interaksi berupa pembelokan, penyerapan dan diteruskan keluar dari media yang dilewati (Gambar 4). Secara detail proses tersebut dibedakan menjadi
7
(1) coherent scattering, (2) photo electric, (3) Compton scattering, (4) pair production, (5) photo-disintegration (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005).
Gambar 4 Interaksi sinar-X dengan material. A. Kemungkinan perjalanan sinar-X dalam pencitraan. B. Interaksi sinar-X dengan material. Sumber: Seibert & Boone 2005.
Coherent scattering. Coherent scattering terjadi pada foton saat terkena objek atau material, terjadi perubahan sudut tetapi tidak mengalami perubahan energi baik penyerapan maupun penambahan (Gambar 5A). Kejadian ini sangat kecil sekitar 5% pada sinar-x pada pasien yang dipapar radiasi baik untuk radiodiagnostik maupun radioterapi (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005). Photoelectric effect. Photoelectric effect terjadi pada saat semua energi foton diserap oleh material dan menyebabkan elektron lintasan dalam berpindah atau lepas dari lintasannya menghasilkan fotoelektron bebas. Fotoelektron bebas yang terlepas akan digantikan oleh elektron dari kulit luar dalam struktur atom. Perbedaan jumlah energi dari elektron yang menggantikan akan diimbangi dengan melepaskan energi berupa foton karakteristik yang memiliki energi lebih rendah dari foton asalnya (Gambar 5C). Foton karakteristik dan fotoelektron bebas akan menyebabkan peningkatan jumlah dosis serap radiasi pada pasien. Foton karakteristik dan fotoelektron bebas akan mengakibatkan ionisasi pada jaringan yang terpapar. Kejadian ini menyebabkan kerusakan struktur atom menjadi tidak stabil. Jaringan yang terpapar akan menjadi terionisasi oleh proses ini (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005).
8
Gambar 5 Interaksi sinar-X dengan material yang dipapar. A. Rayleigh scatter atau Coherent scattering, B. Compton effect, C. Photoelectric effect, Compton scatter dan Pair production. Sumber: MPCN 1995.
Compton scattering. Compton scattering terjadi pada saat foton berinteraksi dengan elektron pada lapisan terluar struktur atom. Elektron akan terlepas (recoil electron) karena tumbukan oleh foton disertai dengan pembelokan arah foton. Foton yang dibelokkan mengalami penurunan energi karena tumbukan (Gambar 5B). Foton berenergi lebih rendah dan elektron recoil yang terlepas akan menyebabkan tumbukan pada atom lainnya. Atom pada kejadian ini akan menjadi tidak stabil karena ionisasi dan menyebabkan peningkatan jumlah dosis serap radiasi pada pasien (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005). Pair production. Pair production terjadi pada saat foton berenergi tinggi melalui atom dan energi yang dimiliki cukup untuk mengeluarkan inti atom dari struktur atom menjadi pasangan elektron dan positron (Gambar 5C). Struktur atom akan langsung rusak saat kehilangan inti atomnya. Begitu juga dalam jaringan yang dilalui foton berenergi tinggi ini akan langsung mengalami kerusakan atau kematian sel (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005).
9
Gambar 6 Proses terjadinya fotodisintregasi. Sumber: Anonimous 2001e.
Photodisintegration
atau
disebut
juga
dengan
phototransmutation
merupakan proses fisika yang terjadi saat foton berenergi tinggi (Gambar 6) berinteraksi dengan inti atom dan menyebabkan eksitasi dan hancur hingga terbentuk partikel sub-atom. Komponen inti atom sperti proton dan neutron akan keluar atau terlepas dari inti dan keluar dari struktur atom (Seibert & Boone 2005; Encyclopædia Britannica 2011). Pemanfaatan Sinar-X dalam Dunia Medis Energi radiasi sudah dimanfaatkan sebagai sarana radiodiagnostik sekaligus juga sebagai radioterapi. Ahli radiologi memanfaatkan sinar-X berupa gambaran diagnostik untuk mendeteksi berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang. Dalam dunia kedokteran hewan, sinar-x ini mulai dimanfaatkan sejak tahun 1970 (Thrall 2002; McCurnin & Bassert 2006). Thomas Edison
kemudian
mengembangkan
alat
fluoroskopi
sebagai
sarana
radiodiagnostik pada tahun 1896 (NRC 2006). Hendry Baquerel tahun 1896 menemukan radioaktivitas atau disebut radioaktif yang menghitamkan film berupa kabut (fog) saat diletakkan berdekatan dengan Uranium. Marrie dan Piere Currie selanjutnya memurnikan unsur Uranium ini pada tahun 1898 (NRC 2006). Radioaktifitas selanjutnya dimanfaatkan secara medis untuk terapi radiasi pada pasien yang menderita kanker untuk meningkatkan daya hidup.
10
Pencitraan radiologi pada dunia medis di Amerika (USA, United State of Amerika) meliputi wilayah Arizona, Dallas, Orlando, South Florida dan Wisconsin sebagaimana dalam Tabel 2. Dosis efektif pada paparan radiasi ionisasi dalam pencitraan radiologi memberikan kontribusi dosis efektif yang cukup besar mulai 0.02 - 15.6 mSv dengan persentase 0.6-22.1% (Fazel et al. 2009)
Tabel 2 Kontribusi terbesar pada dosis efektif kumulatif radiasi ionisasi dari prosedur pencitraan radiologi* Rata-rata Dosis Efektif (mSv) 1 Pencitraan perfusi myocardi 15.60 2 CT regio abdomen 8.00 3 CT regio pelvis 6.00 4 CT regio thorak 7.00 5 Diagnosa kateterisasi jantung 7.00 6 Radiografi tulang spina lumbal 1.50 7 Mammografi 0.40 8 CT angiografi regio thorak (noncoronary) 15.00 9 Serial saluran cerna bagian atas 6.00 10 CT regio kepala atau otak 2.00 11 Intervensi koronari perkutan 15.00 12 Pencitraan tulang secara nuklir 6.30 13 Radiografi abdomen 0.70 14 CT regio tulang spina leher 6.00 15 CT regio tulang spina lumbal 6.00 16 Radiografi thorak 0.02 17 Thyroid uptake 1.90 18 Intravenous urography 3.00 19 CT regio leher 3.00 20 Cardiac resting ventriculography 7.80 *Sumber: Mettler et al. (2008) dalam Fazel et al. (2009) No
Prosedur Pencitraan Radiologi
Annual Dosis Efektif/orang (mSv) 0.54 0.45 0.30 0.18 0.11 0.08 0.08 0.08 0.06 0.05 0.04 0.04 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01
Persentase (%) 22.1 18.3 12.2 7.5 4.6 3.3 3.1 3.1 2.4 2.0 1.8 1.4 1.1 0.8 0.7 0.7 0.7 0.6 0.6 0.6
Terapi radiasi atau disebut radioterapi telah digunakan lebih dari 100 tahun. Pertamakali sinar-X dimanfaatkan sebagai terapi radiasi untuk kanker dilakukan oleh Emil Grube (AAAS 1957). Radioterapi merupakan metode yang digunakan untuk mengkontrol keganasan dan memperpanjang harapan hidup pasien yang menderita kanker. Radioterapi merupakan metode yang cukup handal dalam terapi kanker. Manfaat yang cukup besar ini disertai dengan efek samping dengan derajat yang bervariasi. Terapi sitotoksik dalam melawan kanker dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan normal yang berada disekitar kanker saat proses pengobatan berlangsung (Hendry et al. 2006).
11
Efek Radiasi Ionisasi Akhir Desember 1895 dan awal Januari 1896 Dr Otto Walkhoff seorang dokter gigi Jerman adalah orang pertama yang menggunakan sinar-X pada foto gigi premolar bawah dengan waktu penyinaran 25 menit, selanjutnya seorang ahli fisika Walter Koenig menjadikan waktu penyinaran 9 menit dan sekarang waktu penyinaran menjadi 1/10 second atau sekitar 6 impulses (Anonimous 2011a). William Rollins adalah orang yang mengerjakan intraoral radiograf pada tahun 1896 mengalami cedera disebabkan efek pekerjaan dimana kulit tangannya terbakar. Karena kejadian inilah beliau merekomendasikan untuk memakai tabir/pelindung baik pada tabung, pada pasien maupun radiografer. Korban lain adalah dr Max Hermann Knoch (dr Knoch) orang Belanda yang bekerja sebagai ahli radiologi di Indonesia. Ia bekerja tanpa menggunakan pelindung saat mengoperasikan mesin sinar-X. Dr Knoch menderita kelainan cukup berat tahun 1904 berupa luka yang tak kunjung sembuh pada kedua belah tangannya. Lama kelamaan tangan kiri dan kanan jadi nekrosis kemudian diamputasi dan akhirnya meninggal karena sudah metastase ke paru (Anonimous 2011a). Selain itu juga, asisten penelitian Thomas Alfa Edison, Mr Dally menderita penyakit degeneratif pada kulit yang berkembang menjadi karsinoma (NRC 2006). Perangkat radiologi dengan sumber energi radiasi ionisasi ini baik dalam radiodiagnostik maupun radioterapi mempunyai efek samping terhadap sel normal (Bentzen et al. 2003). Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi terbentuknya kanker adalah 50 mSv (Thrall 2002). Sinar-x membentuk radikal bebas secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang terpapar. Elektron bebas yang terbentuk oleh proses ionisasi keluar dan menyebabkan kerusakan sel yang dilewatinya (NRC 2006). Jalur yang dilewati sinar-x pada jaringan membentuk kluster cukup banyak sehingga kerusakan yang terjadi juga cukup banyak. Sinar-x dengan dosis energi 1 Sv dapat membentuk sekitar ∼100 kluster pada saat melewati jaringan (Gambar 7).
12
Gambar 7 Jalur penetrasi sinar-X dalam material. A. Jalur primer dan sekunder yang dilewati oleh elektron menyebabkan terbentuknya kluster ionisasi. Pengukuran jalur lintasan elektron dilakukan pada nukleus berukuran 8µm, terlihat pembesaran arah lintasan terhadap nukleus. B. Proses kerusakan yang disebabkan oleh kluster jalur elektron. Tanda panah menunjukkan kerusakan area molekul DNA yang dilewati jalur kluster (NRC 2006).
Kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi dapat terjadi secara langsung (direct effect) dan secara tidak langsung (in-direct effect) pada sel yang terpapar. Kerusakan yang terjadi secara langsung disebabkan oleh radiasi ionisasi sendiri, sedangkan kerusakan secara tidak langsung disebabkan oleh radikal bebas yang terbentuk oleh ionisasi (Turner 2007). Tabel 3 Efek radiasi ionisasi berdasarkan waktu* Waktu Tingkat Fisik ≤ 10-15 detik Tingkat Pre-kimia ∼10-15 hingga ∼10-12 detik Tingkat Kimia ∼10-12 hingga ∼10-6 detik
Tingkat Biologi ≤10-3 detik ≤1detik Beberapa menit Beberapa hari Beberapa minggu Beberapa tahun
* Sumber: Turner (2007)
Kejadian Terbentuk H2O+, H2O* dan elektron-elektron sub-eksitasi, e-, pada daerah paparan (≤ 0.1µm) H3O+ berubah menjadi OH, e-aq, H, dan H2 H3O+ berubah menjadi OH, e-aq, dan H memanjang dan reaksi satu dengan lainnya secara menyeluruh. Reaksi akan terjadi secara lengkap hingga ∼10-6 detik pada jalur lintasan yang dilalui. Reaksi radikal dengan molekul biologi secara penuh Perubahan biokimia Pembelahan sel terpengaruh Sistem pencernaan (gastrointestinal) dan system syaraf pusat mengalami perubahan Perkembangan fibrosis pada paru-paru Berkembang menjadi katarak dan kanker; perubahan genetik pada keturunan
13
Tubuh terdiri dari ∼70-85% komponen air (Thrall 2002), ∼10-20% komponen protein, ∼10% komponen karbohidrat dan ∼2-3% tersusun oleh komponen lemak (Turner 2007). Radiasi ionisasi akan merubah susunan molekul air membentuk radikal bebas secara aktif (Tabel 3). Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan baik yang langsung terpapar maupun jaringan normal yang berada di sekitar (Thrall 2002). Elektron sekunder yang terbentuk dalam air memiliki energi ∼10-70 eV. Energi ini akan berkurang dengan cepat (≤10-15 detik) menjadi energi sub-eksitasi (∼7.4 eV). Energi sub-eksitasi pada jalurnya akan mengubah air menjadi H2O+, H2O* dan elektron sub-eksitasi yang bebas (Turner 2007). Proses radiolitik pada molekul air sebagaimana pada Gambar 8.
Gambar 8 Proses radiolitik pada air dimana terlihat perkembangan secara kimiawi elektron dengan energy 4-keV pada lintasan media. Pada daerah lintasan, terjadi proses radiolitik yang memecah molekul air menjadi OH, H3O+, e-aq dan H berdasarkan waktu tempuhnya. Sumber: Turner (2007).
Efek radiasi memiliki sifat kumulatif, dimana setiap pemaparan baru akan ditambahkan kepada pemaparan sebelumnya untuk menentukan dosis total dan kemungkinan efeknya pada tubuh. Semakin tinggi dosis atau dosis totalnya, maka semakin besar kemungkinan timbulnya resiko. Efek kumulatif berbeda dengan efek jangka panjang dimana efek jangka pendek tidak terlihat dan efek jangka panjang menjadi subklinis (Nieder et al. 2000).
14
Efek samping radioterapi terdiri atas beberapa tahapan, diantaranya adalah 1) efek akut, 2) efek tertunda, 3) efek akumulasi, 4) efek pada sistem reproduksi dan 5) efek kecelakaan radioterapi. Efek samping dengan kejadian yang akut dapat berupa kerusakan permukaan epitel (kulit mukosa mulut, faring, mukosa usus dan ureter), perlukaan pada mulut dan esophagus (Hall 2000), gangguan pencernaan, udema, infertil atau tidak subur (Gutfeld et al. 2007). Efek tertunda dapat berupa fibrosis, epilasi, kekeringan mukosa dan epitel, lymphedema (Meek 1998), kanker, penyakit jantung (Taylor et al. 2007), dan proktitis. Efek pada sistem reproduksi menyebabkan teratogenik pada janin usia 2 minggu awal fertilisasi, dengan dosis tinggi dapat menyebabkan anomali, kegagalan pertumbuhan dan terjadi penurunan mental yang berkembang menjadi leukemia pada bayi lahir dan menjadi tumor disaat dewasa (Arnon et al. 2001). Kecelakaan sarana radioterapi juga dapat menyebabkan kematian karena kelebihan dosis paparan. Hal ini telah terjadi tahun 1985-1987 pada alat Therac6® dan Therac-20® tercatat 6 kecelakaan dimana pasien menerima dosis 100x lipat dan 2 orang meninggal secara langsung karena kelebihan dosis. Tahun 20052010 terjadi kelebihan paparan pada 76 pasien kanker otak yang menjalani radioterapi Therac-25® di Rumah Sakit di Missouri karena kesalahan kalibrasi (Bogdanich & Ruiz 2010). Semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah oleh jaringan akan mengakibatkan perubahan atau kerusakan (McCurnin & Bassert 2006). Sinar-X membentuk radikal bebas secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang terpapar. Tubuh terdiri dari 70% komponen air dan radiasi ionisasi akan merubah susunan molekul air membentuk radikal bebas secara aktif. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan (Thrall 2002). Radikal bebas merupakan struktur atom yang tidak stabil karena mengalami kerusakan elektron pada lapisan kulit luarnya. Kerusakan atau hilangnya elektron menyebabkan atom menjadi tidak stabil dan sangat reaktif dalam reaksi kimia berupa oksidasi. Radikal bebas merusak tubuh dengan mengambil elektron dari atom lain yang berakibat pada terjadinya kerusakan sel, protein dan struktur DNA.
15
Kerusakan yang disebabkan oleh energi radiasi sinar-x dapat dibedakan dalam dua kategori, diantaranya adalah efek deterministic dan efek stochastic (Gambar 9). Efek biologi yang langsung terjadi disebut dengan deterministic effect dan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa stochastic effect (Little 2003).
Gambar 9 Skematis kemungkinan yang terjadi pada jaringan atau sel yang terpapar radiasi ionisasi. Sumber: Rothkamm et al. 2007.
Kecelakaan stokastik dapat menginduksi kanker karena kegagalan perbaikan DNA pada sel. Hal ini mengakibatkan transformasi/perubahan secara genetik. Tingkat kerusakan akan meningkat seiring dengan energi radiasi yang diserap oleh organ dan jaringan berbeda, akan tetapi tingkat keparahannya tergantung pada total dosis yang diterima (Little 2003; Thierry-Chef et al. 2008; Hall 2009; NRC 2006 ). Kecelakaan deterministik dalam jumlah besar berpengaruh pada selsel reproduksi yang menjadi steril. Hal ini tidak terlihat secara klinis hingga selsel yang rusak membelah dan berdifferensiasi dalam jumlah besar (Balter et al. 2010).
16
Gambar 10 Respon jaringan dan organ terhadap radiasi ionisasi. A. Frekuensi perubahan secara klinis patologis yang meningkat seiring dengan bertambahnya dosis terhadap populasi individu dengan variasi tingkat sensitifitas berbeda, B. Hubungan dosis-keparahan pada sub-populasi individu dengan variasi sensitifitas berbeda. Sumber: Hendry et al. (2006)
Jaringan dan organ merespon dosis radiasi dengan variasi yang berbeda (Gambar 10). Secara umum hubungan antara dosis dengan kejadian membentuk kurva sigmoid (huruf S) pada peningkatan dosis paparan dan frekuensi. Kelainan patologis meningkat seiring dengan individu yang lebih sensitif (kurva a pada Gambar 10), sedangkan pada individu yang kurang sensitif memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah (kurva b, c, dan d pada Gambar 10) (Hendry et al. 2006).
Dosis Radiasi Dosis paparan radiasi diukur berdasarkan jumlah dosis radiasi yang diserap (absorbed dose). Dosis serap merupakan sejumlah energi yang melalui suatu masa pada tubuh atau organ yang terpapar radiasi. Satuan dosis dinyatakan dengan joule per kilogram (J/kg). Terdapat beberapa jenis dosis diantaranya adalah dosis serap (absorbed dose), dosis ekivalen (equivalent dose), dosis efektif (effective dose), dosis berat (weighted dose). Dosis ekivalen berkaitan dengan resiko yang disebabkan oleh radiasi, sedangkan jika berdasarkan pada resiko organ maka dosis
17
efektif yang digunakan. Satuan yang digunakan untuk dosis ekivalen, dosis efektif dan dosis berat adalah Sievert (Sv). Sedangkan untuk dosis serap satuan yang digunakan adalah Gray (Gy) (Tabel 4). Jumlah atau kuantitas radiasi antara Sievert dan Gray adalah sama (Tabel 5), tetapi penggunaannya yang berbeda. Satuan Sv digunakan dalam radiasi dosis rendah (low-LET radiation) sedangkan Gy digunakan pada radiasi dosis tinggi (high-LET radiation). Low-LET radiation berkisar antara 0-100mSv (NRC 2006; Turner 2007). Tabel 4 Jenis dosis dan rumus perhitungan* Dosis Dosis paparan Dosis serap
Satuan Roentgen Gray
Simbol R Gy
Dosis ekivalen
Sievert
Sv
Rumus perhitungan R = Q/ m; 1R = 2.58 x 10-4 C/kg 1 Gy = 1 J/kg = 107erg/103g = 104erg/g = 100 rad 1 R = 2.58 x 10-4 C/kg x 33.97 J/C = 8.76 x 10-3 J/kg (udara) 1 R = 9.5 x 10-3 J/kg (jaringan lunak) H=QD; 1 Sv = 100 rem
* Sumber: Turner (2007)
Tabel 5 Unit dosis radiasi* Unita Becquerel (SI) Curie Gray (SI) Rad Sievert (SI) Rem
Simbol Bq Ci Gy Rad Sv rem
Faktor konversi 1 disintegration/s = 2.7 x 10-11 Ci 3.7 x 1010 disintegration/s = 3.7 x 1010 Bq 1 J/kg = 100 rads 0.01 Gy = 100 erg/g 1 J/kg = 100 rem 0.01 Sv
Dosis ekivalen = dosis serap x Q (faktor kualitas); Gray merupakan nama khusus (J/kg) yang digunakan untuk dosis serap; sievert merupakan nama khusus (J/kg) yang digunakan untuk dosis ekivalen. aUnit Internasional di singkat dengan SI; * Sumber: NRC (2006)
Radiodiagnostik merupakan sarana pencitraan pada kedokteran nuklir. Fazel et al. (2009) melaporkan bahwa paparan radiasi yang bersumber dari sarana ini secara akumulatif atau berulang pada pasien di USA rata-rata 2.4 mSv. Dosis paparan terjadi pada 68.8% dari 952 420 orang (Tabel 6).
18
Tabel 6 Dosis efektif radiasi ionisasi dari pencitraan prosedur medis* Karakteristik Semus subjek Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur 18-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50-54 tahun 55-59 tahun 60-64 tahun Wilayah Arizona Dallas Orlando South Florida Wisconsin
Total subjek [jumlah] 952,420
Subjek yang menjalani prosedur [jumlah (%)] 655,613 (68.8)
Annual dosis efektif (mSv) [rataan±deviasi] 2.4±6.0
453,078 499,342
262,552 (57.9) 393,061 (78.7)
2.3±6.1 2.6±5.9
233,586 118,365 144,728 146,703 131,209 115,520 62,309
115,696 (49.5) 77,746 (65.7) 104,398 (72.1) 109,827 (74.9) 102,559 (78.2) 91,879 (79.5) 53,517 (85.9)
1.0±3.5 1.6±4.5 2.0±5.1 2.6±6.0 3.3±6.9 4.1±7.9 5.2±9.1
180,046 298,747 133,561 170,466 169,600
127,106 (70.6) 204,953 (68.6) 90,206 (67.5) 124,261 (72.9) 109,087 (64.3)
2.5±6.0 2.3±6.0 2.8±6.5 2.8±6.2 2.0±5.3
*Sumber: Fazel et al. (2009)
Hasil penelitian Fazel et al.
(2009) menyatakan bahwa dosis paparan
kumulatif tahunan diterima bervariasi dari ≤ 3 mSv/tahun hingga >50 mSv/tahun (Tabel 7). Data ini diambil dari rumah sakit yang melakukan pelayanan radiologi di 5 wilayah di USA. Rata-rata paparan medis pencitraan radiologi pernah dialami sekitar 59-88% dari 1 000 populasi. Tabel 7 Tingkat paparan radiasi berbeda pada annual dosis efektif dari pencitraan medis di USA pada 1000 orang* Karakteristik Semua subjek Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur 18-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50-54 tahun 55-59 tahun 60-64 tahun Wilayah Arizona Dallas Orlando South Florida Wisconsin
Dosis rendah Dosis sedang Dosis tinggi Dosis sangat tinggi (≤3 mSv/tahun) (>3-20 mSv/tahun) (>20-50 mSv/tahun) (>50 mSv/tahun) 785.7 193.8 18.6 1.9 796.0 776.4
182.8 203.8
19.4 17.9
1.8 1.9
895.9 845.5 809.3 770.4 719.0 668.4 598.2
98.7 145.2 177.5 209.2 252.2 289.7 343.4
4.9 8.5 12.0 18.4 26.2 38.4 52.7
0.5 0.8 1.2 2.0 2.7 3.5 5.7
853.7 860.7 836.8 814.9 884.1
132.3 125.2 147.6 168.5 105.6
12.8 12.7 14.4 15.4 9.4
1.1 1.4 1.2 1.2 0.9
*Sumber: Fazel et al. (2009)
19
Batas Dosis Radiasi Ionisasi Di Indonesia penggunaan sinar-x berada dalam pengawasan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum & Noviana 2008). Disamping memiliki nilai positif sebagai sarana radiodiagnostik, radiasi ionisasi sinar-x dapat menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan tubuh yang terpapar. Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi terbentuknya kanker adalah 50mSv (Thrall 2002). Badan Pengawas Nuklir Amerika Serikat atau disebut NRC (Nuclear Regulatory Commission) membatasi jumlah dosis okupasional orang dewasa tidak boleh > 50 mSv/tahun (Thrall 2002; NCRP 2004). Hal ini juga di Indonesia, oleh BAPETEN mengatur bahwa dosis maksimal pekerja radiasi adalah 20 mSv ratarata dalam 5 tahun (SK Ka BAPETEN No 01 tahun 1999; PP No 33 tahun 2007; Ulum & Noviana 2008).
Tabel 8 Kontribusi relatif pada tiap jaringan dan organ terhadap kemungkinan terjadinya kanker dan kerusakan total* Organ Kantung kemih Sumsum tulang Permukaan tulang Payudara Esofagus Kolon Hati Paru-paru Ovarium Kulit Lambung Tiroid Lainnya Total Gonad Total akhir
* Sumber: NCRP (1993)
Kemungkinan terjadi kanker Total Kerusakan (10-2/Sv) (10-2/Sv) Populasi Pekerja Radiasi Populasi Pekerja Radiasi 0.30 0.24 0.29 0.23 0.50 0.40 1.04 0.83 0.05 0.04 0.07 0.06 0.20 0.16 0.36 0.29 0.30 0.24 0.24 0.19 0.85 0.68 1.03 0.82 0.15 0.12 0.16 0.13 0.85 0.68 0.80 0.64 0.10 0.08 0.15 0.12 0.02 0.02 0.04 0.03 1.10 0.88 1.00 0.80 0.08 0.06 0.15 0.12 0.50 0.40 0.59 0.47 5.00 4.00 5.92 4.73 Kemungkinan terjadi efek genetik yang parah 1.00 0.60 1.33 0.80 7.25 5.53
20
Tabel 9 Resiko kumulatif menurut NCRP dan ICRP pada batas paparan* Dosis NCRP
(A)
(B)
ICRP
(A)
(B)
Rataan (uniform) 13.6 mSv/tahun Umur 18- 64 tahun Kasus Terburuk 50 mSv/tahun Umur 18-21 tahun 20 mSv/tahun Umur 22 tahun 10 mSv/tahun Umur 23-64 tahun Rataan (uniform) 20 mSv/tahun Umur 18- 64 tahun Kasus Terburuk 50 mSv/tahun Umur 18-19 tahun 20 mSv/tahun Umur 23-64 tahun
Dosis Kumulatif 640 mSv
Resiko kumulatif x 10-2 Laki-laki Wanita Rata-rata 2.1 2.8 2.5
640 mSv
2.6
3.6
3.1
940 mSv
3.1
4.1
3.7
940 mSv
3.3
4.4
3.9
* Sumber: NCRP (1993)
Proteksi Radiasi Ionisasi Tujuan proteksi radiasi adalah suatu tindakan untuk mencegah terjadinya efek deterministik akut maupun kronis oleh paparan radiasi serta mengurangi efek stokastik pada derajad yang masih dapat diterima untuk manfaat secara individu maupun komunitas yang terpapar (NCRP 1993). Terdapat dua kategori yang termasuk dalam lingkup proteksi radiasi, yaitu efek deterministik dan efek stokastik (Gambar 11). Efek deterministik didefinisikan sebagai efek somatik yang meningkat keparahannya berdasarkan peningkatan dosis radiasi diatas nilai batas dosis. Tingkat keparahan ini terjadi karena kerusakan yang terjadi sangat banyak pada tingkat selular. Efek deterministik terjadi hanya jika jumlah dosis yang diterima dalam jumlah besar, melebihi nilai ambang batas dosis dan tingkat keparahannya sangat tergantung pada respon individu dan faktor lainnya. Efek akan terlihat dengan cepat dalam beberapa jam hingga hari atau dalam kondisi tertunda terlihat setelah beberapa bulan hingga tahun setelah terpapar. Efek langsung berupa eritema dan kerusakan pada kulit. Efek tertunda seperti kekeruhan lensa mata, hilangnya jaringan parenkim, fibrosis, atropi dan infertilitas (NCRP 1993).
21
Gambar 11 Efek yang ditimbulkan oleh radiasi ionisasi pada jaringan tubuh. Sumber: Köteles 1998.
Efek stokastik didefinisikan sebagai suatu peluang atau kemungkinan efek terjadi secara terus menerus meningkat seiring dengan jumlah dosis yang diserap. Efek stokastik merupakan suatu respon yang bersifat all-or-none yang berhubungan dengan paparan radiasi ionisasi dosis rendah. Efek peluang ini terjadi pada tingkat sel tunggal atau dalam tatanan sub-struktural seperti gen yang tidak dibatasi oleh nilai ambang batas dosis. Dosis paparan sangat kecil hingga mendekati nilai nol akan tetapi masih ada pelung terjadinya efek ini. Efek peluang terjadinya kanker maupun efek pada genetik termasuk dalam ruang lingkup efek stokastik (NCRP 1993). Rekomendasi National Council on Radiation Protection and Measurements (NCRP) dalam bidang proteksi radiasi terdapat 3 (tiga) rekomendasi yaitu: 1) justifikasi, 2) as low as responsible acceptable (ALARA) dan 3) limitasi. Sedangkan dalam ICRP menambahkan adanya 4) optimasi dalam rekomendasi ini (NCRP 1993). Komisi internasional bidang proteksi radiasi atau disebut dengan International
Commission
on
Radiological
Protection
(ICRP)
telah
memformulasikan 3 prinsip dasar dalam proteksi terhadap radiasi, yaitu: 1) justifikasi, 2) optimisasi dalam proteksi, dan 3) limitasi dalam aplikasi dosis (ICRP 2007a; ICRP 2007b). Dua prinsip pertama berlaku untuk aplikasi individu
22
dan pada semua paparan radiasi. Sedangkan prinsip terakhir (ke-3) tidak berlaku dalam paparan radiasi medis yang dilakukan terhadap pasien (Miller et al. 2010). Prinsip “justifikasi” merupakan suatu keputusan dalam melakukan paparan radiasi harus dilakukan dengan manfaat yang didapat lebih besar dari bahaya. Prinsip “optimisasi dalam proteksi” merupakan suatu tindakan proteksi terhadap paparan radiasi dengan paparan terendah atau seminimal mungkin terhadap pasien atau individu berdasarkan pertimbangan pada faktor ekonomi dan sosial. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan area paparan sesedikit mungkin dengan manfaat sebesar mungkin untuk meminimalkan bahaya (ICRP 2007a; ICRP 2007b, NCRPM 1993). Prinsip “limitasi dalam aplikasi dosis” tidak berlaku pada paparan medis karena menurut ICRP: “paparan medis memberikan manfaat utama dalam diagnosa pasien yang sangat erat kaitannya dengan terapi selanjutnya” (ICRP 2007b). Prosedur intervensi radiologi mempunyai tujuan dalam paparan medis terutama mempertimbangkan bahwasanya bahaya morbidity dan kematian lebih besar dari pada resiko yang diakibatkan oleh paparan radiasi (Miller 2008). Strategi dalam pengembangan sarana radiologi dengan energi radiasi terdapat 3 hal, diantaranya adalah: 1) membuat radiasi lebih efektif dalam membunuh sel tumor, 2) memprediksi daya terima pasien pada dosis tertinggi sehingga paparan dosis tinggi dapat diberikan, 3) mengaplikasikan target secara selektif langsung terhadap sel tumor (Hendry et al. 2006). Strategi dalam tindakan proteksi radiasi terhadap bahaya radiasi juga dilakukan. Proteksi terhadap bahaya radiasi ionisasi dapat dilakukan secara fisik dan non fisik. Perlindungan secara fisik eksternal dapat dilakukan melalui tiga hal, diantaranya adalah: 1) menggunakan pelindung berlapis timbal (Pb) seperti apron, sarung tangan, kaca mata (Gambar 12); 2) menjaga jarak untuk berada sejauh mungkin dari sumber radiasi ionisasi; 3) mempersingkat waktu terpapar radiasi (Thrall 2002). Perlindungan secara non fisik dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan aktif yang dapat menetralkan radikal bebas akibat radiasi ionisasi. Bahan-bahan yang memiliki kandungan antioksidan baik sintetis maupun alami dapat digunakan dalam perlindungan terhadap bahaya ini.
23
Gambar 12 Berbagai unit pelindung radiasi eksternal berlapis Pb dan unit monitoring radiasi individu. A. Perisai, B. Apron, C. Pelindung tiroid, D. Sarung tangan, E. Kaca mata , F. Monitoring TLD (termoluminesence dosimeter), G. Film badge. Sumber: Saraya.com 2011; Larson 2011.
Bahan sintetis yang memiliki aktifitas antioksidan antara lain amifostine (Maurya et al. 2006), vitamin C (asam askorbat), vitamin E (tokoferol), -karoten (Vinson et al. 1995). Maurya et al. (2006) mengelompokkan agen radioprotektor dalam 3 kelompok, diantaranya adalah 1) radioprotektor kimiawi, 2) adaptogen dan 3) absorben. Radioprotektor kimiawi terdiri atas bahan yang mengandung sulfhydryl dan antioksidan. Adaptogen merupakan stimulator radioresisten yang terdiri atas bahan alam yang secara kimiawi mampu melindungi dari radiasi ionisasi dosis rendah. Adaptogen bekerja dengan meningkatkan radioresisten, meningkatkan imunitas dan meningkatkan secara menyeluruh non-spesifik resisten suatu organisme. Absorben melindungi organisme dari radiasi internal dan kimia. Absorben didalam tubuh bekerja dengan menyerap radioaktif antara lain 137Cs, 90Sr dan 239Pu.
Pengembangan Radioproteksi dari Bahan Alami Penelitian dalam usaha mendapatkan bahan aktif alami untuk menangkal bahaya radiasi berawal dari “Manhattan Project” yang dilakukan di Walter Reed Army Research Institute USA. Projek tersebut membuat dan mengeksplorasi sekitar 4 500 bahan alam dengan tujuan menangkal bahaya yang diakibatkan oleh radiasi. Amifostin merupakan satu-satunya bahan sintetis yang memiliki
24
kemampuan proteksi dari hasil riset tersebut. Amifostin akan melindungi jaringan normal dari paparan radiasi ionisasi (toksisitas akut) pada pasien yang menjalani radioterapi kanker (Maurya et al. 2006). Penelitian pengembangan obat anti radiasi (radioprotektor) saat ini telah berjalan lebih dari 6 dekade. Bidang yang turut berperan dalam pengembangan radioprotektor melingkupi bidang seluler, biologi molekuler, kimia sintetis dan biokimia. Bahan radioprotektor yang aman dan efektif non-toksik hingga saat ini terus dikembangkan dan belum satupun bahan maupun kombinasi yang sudah dihasilkan (Maurya et al. 2006). Data beberapa hasil publikasi penggunaan tanaman/herbal sebagai bahan anti radiasi sebagaimana pada Tabel 10, Tabel 11, Tabel 12, dan Tabel 13.
Tabel 10 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* Tanaman Acanthopanax senticosus (Shigoka) Acorus calamus
Aegel marmelos
Allium sativum (Garlic, Lahsuna)
Aloe vera (Gritkumari)
Sifat Efek radioprotektif Medisinal/manfaat Melindungi terhadap radiasi yang menekan hematopoesis
Miyanomae & Friendel (1988)
-
Melindungi terhadap radiasi pada perkembangan neurofisiologi prenatal Mengurangi gejala kesakitan radiasi dan meningkatkan daya hidup mencit. Kemungkinan memiliki kemampuan untuk menangkal radikal bebas dan meningkatkan GSH dan enzim antioksidan lainnya Mengurangi frekuensi mikronuklei pada sel darah tepi limfosit manusia Melindungi kerusakan kromoson secara in-vivo pada radiasi sinar-
Chetana et al. 2004
Melindungi kulit mencit Swiss
Gehlot & Saini 2004,
Efek antikanker
Antimikroba, kardioprotektif, antiartritis, hipoglikemik, antitrombatik Efek antikanker
Aspalanthus linearis (Rooibos tea)
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Sumber
Jagetia et al. 2004
Jagetia et al. 2003c
Singh et al. 1996, Singh et al. 1995
Melindungi usus mencit Swiss Gehlot & Saini 2004, terhadap kerusakan mukosa yang terpapar radiasi Mengurangi frekuensi MNRET Shimoi et al. 1996 selama terpapar radiasi sinar-
25
Tabel 11 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* (lanjutan) Tanaman Asparagus racemosus (Shatavari)
Centella asiatica
Citrus aurantium var. amara
Dang-Gui-ShaoYao-San (DGSYS) Emblica officinalis (Amalaki)
Lycium chinense
Mentha piperata
Myristica fragrans
Sifat Efek radioprotektif Medisinal/manfaat Mengurangi efek Melindungi mitokondria stres terhadap lipid peroksidasi, protein oksidasi, dan deplesi protein thiol serta tingkat SOD selama terpapar radiasi Memiliki sifat Melindungi kehilangan rasa persembuhan (taste) pada mencit yang dipapar jaringan yang radiasi sangat baik Mengurangi kelainan fungsi otak prenatal saat terpapar radiasi Meningkatkan daya hidup mencit yang disuplementasi dosis letal dan mengurangi kehilangan berat badan Kaya vitamin C dan Mengurangi frekuensi eritrosit Karotenoid dengan micronucleated polychromatic dan eritrosit dengan normochromatic. Melindungi sumsum tulang mencit dengan faktor 2.2 dalam melawan efek samping dari radiasi sinarMencegah kerusakan hematopoetik yang disebabkan dosis radiasi subletal Antibakterial, Pre-treatmen menghambat antiradang, mortality dan meningkatkan mengurangi stres perlindungan terhadap perubahan yang merusak pada mukosa usus mencit oleh radiasi Meningkatkan TNF- dan IL-1 dan mencegah kerusakan lambung oleh radiasi Melindungi sumsum tulang dari kematian sel terhadap paparan radiasi Perisa rasa mint Meningkatkan daya hidup mencit Sediaan minyak dapat melindungi persentase daya hidup dan parameter darah mencit Suplementasi peroral sebelum dipapar radiasi sinar- dapat melindungi terhadap kerusakan kromosom sel sumsum tulang dengan nilai DRF 1.78 Melindungi testis mencit dari radiasi sinar- dengan menghambat TBARS dan meningkatkan jumlah GSH
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Sumber Kamat et al. 2000b
Shobi & Goel 2001
Sulochana et al. 2004
Sharma & Sharma 2002
Hosseinimehr et al. 2003
Hsu & Lin 1996
Jindal et al. 2004
Bhattacharya et al. 2004 Hsu et al. 1999
Samarth & Kumar 2003b Samarth et al. 2004
Samarth & Kumar 2003a
Sharma et al. 2005
26
Tabel 12 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* (lanjutan) Tanaman Ocimum sanctum (Tulsi)
Panax ginseng
Sifat Medisinal/manfaat Antikanker, antimicrobial, stimulan
Kardioprotektif
Phyllanthus amarus Antidiabetes
Podophyllum hexandrum
Antitumor
Amaranthus paniculatus (Rajgira)
-
Rubia cordifolia
Mengaktifkan platelet
Si-jun-zi-tang
Tonik energi
Si-wu-tang
Suplemen pembangun darah
Syzygium cumini (Jamun)
Antidiabetes
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Efek radioprotektif
Sumber
Ekstrak air mampu meningkatkan daya hidup mencit dengan nilai DMF 1.8 Meningkatkan proteksi sumsum tulang Meningkatkan jumlah kripta jejunum, terbentuknya koloni endogen limpa, dan mengurangi frekuensi apoptosis oleh induksi radiasi Meningkatkan total sel darah putih (WBC), sel-sel sumsum tulang, dan aktifitas -esterase. Meningkatkan enzim-enzim antioksidan seperti CAT, SOD, GST, GPx dan GR baik dalam darah maupun jaringan yang menurun oleh radiasi Melindungi kromosom mencit terhadap kerusakan oleh radiasi Meningkatkan kadar GST dan SOD hati, kadar SOD usus dan daya hidup mencit Melindungi plasmid pBR 322 DNA dari kerusakan akibat radiasi Mencegah kerusakan neuronal tikus postnatal yang dipapar radiasi inutero Suplemetasi peroral ekstrak Rajgira 800mg/kg berat badan/hari selama 15 hari memiliki efektifitas dosis radiasi dengan faktor 1.36 Melindungi plasmid pBR 322 DNA dari kerusakan rantai dan kerusakan membran mikrosom dan mitokondria dari lipid peroksidasi akibat paparan sinarMelindungi kripta jejunum dan meningkatkan formasi endogenus limpa, mengurangi frekuensi apoptosis oleh radiasi Melindungi sel-sel sumsum tulang mencit Melindungi kripta jejunum dan meningkatkan formasi endogenus limpa, mengurangi frekuensi apoptosis oleh radiasi Ekstrak daun dapat mengurangi terbentuknya mikronuklei pada limfosit darah tepi manusia akibat paparan radiasi Penundaan onset mortality dan mengurangi gejala kesakitan radiasi
Uma-Devi & Ganasoundari 1995 Ganasoundari et al. 1998 Kim et al. 2001
Kumar & Kuttan 2004
Uma-Devi et al. 2000b Mittal et al. 2001
Chaudhary et al. 2004 Sajikumar & Goel 2003 Krishna & Kumar 2005
Shah et al. 2004
Lee et al. 1999
Hsu et al. 1996 Lee et al. 1999
Jagetia & Baliga 2002a
Jagetia & Baliga 2003a
27
Tabel 13 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* (lanjutan) Tanaman Terminalia chebula
Tinospora cordifolia (Guduchi)
Zingiber officinale
Sifat Efek radioprotektif Sumber Medisinal/manfaat Antibakterial, Melindungi plasmid pBR 322 DNA Gandhi & Nair 2005 mengurangi efek stres dan leukosit darah tepi manusia Menghambat lipid peroksidasi Naik et al. 2004 dalam kromosom sel hati tikus oleh radiasi sinar- dan kerusakan mitokondria sel hati tikus oleh enzim SOD, kerusakan ikatan plasmid pBR 322 DNA oleh induksi sinarAntibakterial, Meningkatkan daya hidup mencit Pahadiya & Sharma antihiperglikemik, dan memodulasi respon makrofag 2003 mengurangi efek terhadap radiasi racun dari cyclophosphamide, meningkatkan keberhasilan tindakan bedah Mengurangi kerusakan sel-sel hati Goel et al. 2004 oleh radiasi, Melindungi mencit Swiss albino terhadap kecelakaan radiasi dan meningkatkan berat badan Suplementasi sebelum radiasi mempertahankan daya hidup hingga 76.3% dalam 30 hari, dimana tanpa suplementasi terjadi 100% kematian, mencegah kehilangan berat badan. Mengembalikan jumlah total limfosit dan meningkatkan populasi pada fase-S yang berkurang setelah terpapar 2 Gy Antiradang, Mengurangi keparahan kesakitan Jagetia et al. 2003a antikanker, antistres, radiasi dan mortaliti. Melindungi antiproliferasi mencit dari sindrom gastrointestinal dan sumsum tulang
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Formulasi bahan alam di beberapa daerah di India sudah dikombinasikan dengan memberikan berbagai manfaat yang teruji secara ilmiah pada hewan coba (Maurya et al. 2006). Bahan alam kombinasi untuk bahan anti radiasi sebagaimana pada Tabel 14 dan Tabel 15.
28
Tabel 14 Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam* Tanaman / Dosis Abana (polyherbal) 20 mg/kg berat badan
Bu-zhong-yiqi-tang (formulasi dari China) Cystone (obat herbal Ayurveda)
Komposisi Utama Arjuna (Terminala arjuna) Gotu-Kola (Centella asiatica) Ashwagandha (Withania somnifera)
-
Indian madder (Rubia cordifolia) Shilapushpa (Didymocarpus pedicellata) Pasanavheda (Saxifrago ligulata) Umbrella’s edge (Cyperus scariosus) Rough Chaff tree (Achyranthes aspera) Guduchi (Tinospora cordifolia) Geriforte Chyavan-prash (polyherbal) Aswagandha 10 mg/kg (Withania berat badan somnifera) India Gooseberry (Emblica officinalis) Cow-itch plant (Mucuna urens)
Sifat Medisinal/ Sumber Efek radioprotektif manfaat radiasi Menurunkan SinarMencit yang diterapi tekanan darah dengan beberapa dosis dan penyakit abana mengalami kardiovaskular penundaan onset lainnya mortality dan gejala kesakitan radiasi
-
-
Menjaga ginjal dan fungsi urinary pada kondisi efisiensi yang optimum
Efek anti Sinarpenuaan dan meningkatkan fungsi hormonal
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Sumber Jagetia et al. 2003b
Pre-tretmen dengan abana sebelum diradiasi menunda onset mortality dan mengurangi gejala kesakitan radiasi. Terlihat adanya proteksi pada sel-sel sistem gastrointestinal dan hematopoetik Proteksi usus dan organ hematopoetik terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi Mencit yang diterapi dengan beberapa dosis cystone pada 5 hari sebelum diradiasi terjadi penundaan onset mortality dan mengurangi gejala kesakitan radiasi
Baliga et al. 2004
Penundaan onset mortality dan mengurangi kesakitan radiasi. Melindungi gastrointestinal dan sumsum tulang dari kematian sel dengan DRF of 1.14
RaviKiran et al. 2004
Kim et al. 2002
Jagetia & Baliga 2002b
29
Tabel 15 Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam* (lanjutan) Tanaman / Komposisi Dosis Utama Mentat Brahni (Bacopa (polyherbal) monniera) Gotu-Kola (Centella asiatica) Musk root (Adoxa moschatellina) Arjuna (Terminalia arjuna) Triphala Terminalia (formulasi chebula Ayurveda) Phyllanthus emblica (Emblica officinalis) Terminalia bellerica
Y Rad A (formulasi herbal)
-
Sifat Sumber Medisinal/manfaat radiasi Meningkatkan daya ingat dan meminimalkan kekurangan bahanbahan yang berhubungan dengan penuaan
Anti bacterial, anti Sinarmalarial, anti fungal, anti allergic, anti viral
-
-
Efek radioprotektif
Sumber
Pemberiaan 5 hari Jagetia & sebelum diradiasi Baliga menunda onset 2003b mortality dan mengurangi gejala kesakitan radiasi, melindungi terhadap gastrointestinal sindrom
Menunda mortality oleh radiasi dan mengurangi gejala kesakitan radiasi. meningkatkan proteksi terhadap kematian sel gastrointestinal dan hematopoetik Melindungi sel normal dari pada sel tumor pada kultur sel Melindungi parameter darah dan mengurangi jumlah mikronuklei. Menghambat lipid peroksidasi dan mengurangi kadar glutathione dalam sel darah merah
Jagetia et al. 2002
Shandhya & Mishra 2004 Tripathi et al. 2004
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Kombinasi bahan alam dengan senyawa sintetis juga mulai dipadukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam tingkat proteksi terhadap berbagai kerusakan yang diakibatkan oleh radiasi ionisasi. Hasil berbagai pengujian kombinasi bahan alam dengan senyawa sintetis pada hewan coba sebagaimana pada Tabel 16, Tabel 17 dan Tabel 18.
30
Tabel 16 Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam* Komponen Alam Vitamin C
Efek Radioprotektif Menghambat tingginya kadar lipid peroksidasi dan kadar enzim antioksidan yang diinduksi oleh radiasi Melindungi mencit dari kesakitan akibat radiasi, mortality, dan meningkatkan persembuhan luka setelah terpapar sinar- seluruh tubuh Kafein Melindungi mitokondria hati tikus dari kerusakan akibat agen yang beracun Menghambat aberasi kromosom pada sel-sel sumsum tulang mencit -karoten Menghambat terbentuknya mikronuklei akibat radiasi sebagaimana yang terjadi pada PCEs/NCEs dan indeks mitosis sumsum tulang Menghambat frekuensi MN splenosit, retikulosit dan spermatid pada mencit kecuali pada sumsum tulang Khlorofillin Melindungi membran mitokondria terhadap radiasi sinarMelindungi sel-sel sumsum tulang mencit terhadap terbentuknya sister chromatid exchange (SCE) oleh radiasi sinarMemiliki efek proteksi radiasi pada sel somatic lalat Drosophila Mengurangi terjadinya micronucleated polychromatic erythrocyte dalam sumsum tulang selama terpapar sinarKurkumin Memiliki efek konduktif terhadap persembuhan luka akibat radiasi. Melindungi mikrosom hati tikus terhadap lipid peroksidasi oleh paparan radiasi Sistamin Melindungi komposisi asam lemak terhadap perubahan yang disebabkan oleh radiasi Memperbaiki sistem homeopoesis akibat radiasi Eugenol Sangat efektif mencegah kerusakan membran dan sel pada thymocytes yang diradiasi Asam Ferulat Melindungi plasmid pBR322 DNA secara in-vitro, leukosit darah dan sel-sel sumsum tulang mencit secara in-vivo, juga meningkatkan proses perbaikan DNA pada leukosit darah mencit secara in-vivo terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi sinarGenistein Pada dosis non-toksik memiliki manfaat perlindungan terhadap kecelakaan radiasi akut Glutathione (GSH) Memiliki efek proteksi pada kultur sel Memiliki efek proteksi secara in-vivo pada hewan model Asam Glycyrrhizic Melindungi DNA terhadap kerusakan plasmid pBR322 secara in-vitro, leukosit darah tepi manusia ex-vivo dan sel-sel sumsum tulang secara in-vivo terhadap radiasi sinarL-lisin Melindungi RBC manusia terhadap hemolisis dan meningkatkan daya hidup mencit Swiss akibat radiasi
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Sumber Jagetia 2004 Mallikarjuna-Rao & Jagetia 2004 Kamat et al. 2000a Kesavan & Natarajan 1985 El-Habit et al. 2000 Slyshenkov et al. 1999 Konopcka et al. 1998 Salvadori et al. 1996 Boloor et al. 2000 Morales-Ramirez & Garcia-Rodriquez 1994 Pimentel et al. 1999 Abraham et al. 1994
Jagetia & Rajanikant 2004
Ramanathan & Misra 1976 Vacck et al. 1992 Pandey & Mishra 2004 Maurya et al. 2005b
Landouer et al. 2003 Saunders et al. 1991 Grozdov 1987 Gandhi et al. 2004
Bagewadikar et al. 2004
31
Tabel 17 Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam* (lanjutan) Komponen Alam Mangiferin
Naringin
Orientin
Sesamol Tocopherol Monoglucoside (TMG)
-tocopheryl succinate ( -TS) Trigonelin Troxerutin
Vanilin
Vicenin
Efek Radioprotektif Mengurangi kerusakan akibat radiasi dan meningkatkan perbaikan rantai ganda DNA pada limfosit darah tepi manusia Melindungi kestabilan genom dari terbentuknya mikronuklei dan aberasi kromosom sumsum tulang mencit akibat radiasi Menghambat terbentuknya lipid peroksidasi selama terpapar radiasi sinarMelindungi sel limfosit manusia dari clastogenic akibat radiasi Dosis 50µg/kg berat badan memiliki nilai DMF 1.6 untuk daya hidup stem cell, spleen colony (CFU-S) eksogen Melindungi fetus dari kerusakan dan ketidakstabilan genom akibat radiasi Mengurangi jumlah mikronuklei dan disentris sel limfosit manusia akibat radiasi sinarMengurangi clastogenicity oleh radiasi pada sumsum tulang mencit saat diberikan setelah diradiasi Melindungi DNA seluler pada jaringan normal seperti hati, limpa, darah dan sumsum tulang yang dipapar dengan sinarMeningkatkan kadar kerusakan kromosom pada sel kanker, melindungi jaringan normal dari kerusakan akibat radiasi sinarMelindungi plasmid pBR322 DNA dan sel Saccharomyces serevisiae terhadap radiasi sinarMelindungi kelenjar saliva dan mukosa setelah pemberian troxerutin kombinasi kumarin pada pasien yang menjalani radioterapi kanker kepala dan leher Menghambat terbentuknya lipid peroksidasi pada membran organel-organel sel seperti halnya jaringan normal dari pada jaringan tumor pada mencit yang dipapar radiasi sinar- . Juga melindungi DNA leukosit darah dan sel-sel sumsum tulang mencit selama diradiasi seluruh tubuh dan tidak terjadi pada sel-sel tumor Meningkatkan proses perbaikan DNA pada leukosit darah mencit secara in-vivo Menekan terjadinya aberasi kromosom akibat sinar-X pada sel-sel V79 secara in-vitro Menekan terjadinya aberasi kromosom akibat sinar-X pada sel-sel V79 secara in-vivo pada mencit Menghambat lipid peroksidasi oleh radiasi selama terpapar sinarMelindungi sel limfosit manusia terhadap efek clastogenic akibat radiasi Dosis 50µg/kg berat badan memiliki nilai DMF 1.6 untuk daya hidup stem cell, spleen colony (CFU-S) eksogen Melindungi fetus dari kerusakan dan keidakstabilan genom akibat radiasi
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Sumber Venkatesha et al. 2004
Jagetia & Reddy 2002 Jagetia et al. 2003d Uma-Devi et al. 2000a Vrindra & Uma-devi 2001 Nayak & Uma-devi 2005 Uma-Devi & Satyamitra 2004 Rajendra-Prasad et al. 2004 Satyamitra et al. 2003 Nair et al. 2004
Sarria & Prasad 1984
Nemavarkar et al. 2004 Grotz et al. 1999
Maurya et al. 2004
Maurya et al. 2005a Keshava et al. 1998 Sasaki et al. 1990 Uma-Devi et al. 2000 Vrinda & Uma-Devi 2001 Nayak & Uma-Devi 2005 Uma-Devi & Satyamitra 2004
32
Tabel 18 Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam* (lanjutan) Komponen Alam Vinblastine sulfate Vutamin E ( -Tocopherol)
Efek Radioprotektif Melindungi jaringan normal terhadap kerusakan rantai DNA akibat radiasi Melindungi kripta usus tikus Mengurangi frekuensi mikronuklei dan aberasi kromosom pada sel-sel sumsum tulang. Melindungi parameter darah
Sumber Rajagopalan et al. 2003 Felemoviious et al. 1995 Sarma & Kesavan 1993
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Antioksidan Antioksidan merupakan substrat yang secara signifikan mampu menunda atau mencegah terjadinya proses oksidasi (Halliwell 1990). Beberapa laporan ilmiah menyatakan bahwa antioksidan golongan senyawa fenol berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas secara langsung (Rice-Evans et al. 1995). Antioksidan berupa senyawa flavonoid dapat diperoleh dari tanaman dan buah-buahan (Wang et al. 1996; Heinonen et al. 1998). Antioksidan melindungi perubahan onkogenik akibat induksi radiasi (Borek 2004). Bahan-bahan sintetis maupun alami terus diteliti karena manfaatnya dalam perlindungan terhadap kerusakan oleh irradiasi (Nair et al. 2004). Suplementasi fitokimia termasuk dalam polifenol, flavonoid, sulfidril, ekstrak tanaman dan imunomodulator merupakan antioksidan dan radioprotektif yang terbukti secara ilmiah (Jeong et al. 2003; Tawfik et al. 2006). Komponen fenol atau polifenol merupakan satu dari sekian banyak komponen yang terkandung dalam tanaman. Senyawa fenol yang terkandung dalam tanaman saat ini sudah diketahui lebih dari 8000 jenis. Polifenol merupakan produk sekunder hasil dari proses metabolisme tanaman. Golongan polifenol tanaman paling utama sebagaimana pada Tabel 19. Struktur polifenol alami sangat bervariasi dari molekul yang sederhana seperti asam fenolik hingga komponen hasil polimerisasi seperti tanin (Harborne 1980).
33
Tabel 19 Komponen senyawa fenolik utama pada tanaman* Jumlah Atom Rantai Utama Golongan Karbon 6 C6 Simple phenols Benzoquinones 7 C6-C1 Phenolic acids 8 C6-C2 Acetophenones Tyrosine derivatives Phenylacetic acids 9 C6-C3 Hydroxycinnamic acids Phenylpropenes Coumarins Isocoumarins Chromones 10 C6-C4 Naphthoquinones 13 C6-C1-C6 Xanthones 14 C6-C2-C6 Stilbenes Anthraquinones 15 C6-C3-C6 Flavonoids Isoflavonoids 18 (C6-C3)2 Lignans Neolignans 30 (C6-C3-C6)2 Biflavonoids n (C6-C3)n Lignins (C6)n Catechol melanins (C6-C3-C6)n Flavolans (Condensed Tannins)
Contoh Catechol, hydroquinone 2,6-Dimethoxybenzoquinone Gallic, salicylic 3-Acetyl-6-methoxybenzaldehyde Tyrosol p-Hydroxyphenylacetic Caffeic, ferulic Myristicin, eugenol Umbelliferone, aesculetin Bergenon Eugenin Juglone, plumbagin Mangiferin Resveratrol Emodin Quercetin, cyanidin Genistein Pinoresinol Eusiderin Amentoflavone
*Sumber: Urquiaga & Leighton (2000)
Aktifitas antioksidan bekerja maksimal jika cincin B disubsitusi dengan 2 gugus hidroksil dalam susunan ortho-diphenolic (Gambar 13A). Adanya gugus OH ke-3 dalam cincin B justru tidak meningkatkan efektifitas antioksidan dalam melawan radikal bebas (Rice-Evans et al. 1995).
Gambar 13 Struktur antioksidan. A. Struktur dasar inti flavonoid, B. Struktur kimia polifenol (antioksidan). Sumber: Rice-Evans et al. 1995.
34
Sumber utama komponen antioksidan dapat berasal dari berbagai jenis bahan tanaman (Ramarathnam et al. 1997). Komponen utama polifenol yang diambil dari bahan makanan diantaranya seperti vitamin C, vitamin E, dan karoten (Vinson et al. 1995). Aktifitas antioksidan senyawa fenol berupa sifat redok yang mengurangi agen, menyumbangkan atom H, dan membentuk ikatan tunggal O (Rice-Evans et al. 1995).
Gambar 14 Struktur dasar flavonoids (C6-C3-C6) dan sistem penomoran atom karbon pada struktur intinya. Sumber: Harborne 1980.
Flavonoids merupakan komponen utama yang terkandung dan terdistribusi secara menyeluruh pada senyawa fenol tanaman. Struktur utama berupa diphenylpropanes (C6-C3-C6) dan tersusun atas 2 cincin aromatik yang terhubung secara langsung pada 3 atom karbon dan biasanya dalam bentuk oxygenated heterocycle (Harborne 1980). Struktur dasar dan sistem penomoran atom karbon pada inti flavonoid sebagaimana terlihat pada Gambar 14. Variasi struktur cincin terbagi dalam beberapa kelompok diantaranya adalah: flavonols, flavones, flavanols, isoflavones, antocyanidins dan lainnya. Flavonoid merupakan komponen non-nutrisi yang terkandung dalam tanaman (Hertog et al. 1992). Flavonoid dan komponen fenol lainnya dari tanaman secara khusus diperoleh dari daun, bunga, dan batang seperti akar dan kulit kayu (Larson 1988). Flavonoid memiliki aktifitas antioksidan dan
35
penetralisir radikal bebas, anti mutagenik dan anti karsinogenik (Meltzer & Malterud
1997).
Akan
tetapi,
suplementasi
antioksidan
berlebih
akan
mengakibatkan terjadinya mutagenik atau aktifitas pro-oksidasi yang akan menghambat fungsi enzim-enzim penting pada proses metabolisme hormon (Skibola & Smith 2000).
Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman yang tumbuh subur di wilayah tropis. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan sebutan Rosela dan di Malaysia disebut dengan Asam Paya atau Asam Susur. Sedangkan dinegara lain di Asia disebut dengan me ta/meshta di India, chin baung di Myanmar dan krajeab di Mesir, Arab Saudi dan Sudan dikenal dengan Karkade sedangkan di China disebut dengan
(Luo Shen Hua) (Dalziel 1973; Farombi-Olatunde
2003).
Gambar 15 Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Sumber: Karim 2011.
Rosela dipanen sebagai bahan rami pada umur 6 bulan. Daun tanaman terdiri dari 3-5 lobus dengan panjang 8-15 cm. Tinggi tanaman dapat mencapai 22.5 m dan bunga memiliki diameter 8-10 cm berwarna putih hingga merah kekuningan dengan bintik merah gelap. Lebar bunga mencapai 1.5-2 cm hingga 33.5 cm. Buah (kalik) yang sudah matang berwarna merah segar (Gambar 15) (Dalziel 1973).
36
Rosela memiliki klasifikasi sebagai berikut (Widyanto & Nelista 2009): Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledoniae
Ordo
: Malvales
Famili
: Malvaceae
Genus
: Hibiscus
Spesies
: Hibiscus sabdariffa Linn.
Phyto Kimia Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak mengandung anthocyanin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak bunga mengandung flavonoid seperti gossypetin, hibiscetine dan sabdaretine (Tabel 20). Sebagian besar pigmen dari bunga terdiri dari hibiscin yang telah di identifikasi sebagai daphniphylline (Falade et al. 2005; Maryani & Kristiana2005; Muller & Franz 1992). Delphinidin 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside (chrysanthenin) dan delphinidin juga teridentifikasi dalam jumlah kecil (Chau et. al. 2000; Pau et.al. 2002). Alkaloid, asam L-askorbat, anisaldehid,
-karoten, -sitosterol, asam sitrat, cyanidin-3
rutinosid, galaktosa, mukopolisakarida, pektin, asam protokatekuik, polisakarida, kuersetin, asam stearat, dan lilin (Mozaffari-Khosravi et al. 2009). Tabel 20 Kandungan senyawa kimia dalam bunga rosela* Nama Senyawa Campuran asam sitrat dan asam malat Anthocyanin yaitu gossipetin (hydroxyflavone) dan hibiscin Vitamin C Protein; - Berat segar - Berat kering
Jumlah 13% 2% 0,004-0,005% 6,7% 7,9%
*Sumber: Maryani & Kristiana (2005)
Maryani & Kristiana (2005), melaporkan bahwa komposisi kandungan bahan nutrisi pada bunga rosela segar diantaranya mengandung 44 kalori, 1.6 gram protein, 0.1 gram lemak, 11.1 gram karbohidrat dan 2.5 gram serat, 1.0 gram abu serta bahan penting lainnya (Tabel 21).
37
Tabel 21 Kandungan gizi bunga rosela segar per 100 gram* Nama Senyawa Kalori Air Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium Fosfor
Jumlah 44 kal 86,2 % 1,6 g 0,1 g 11,1 g 2,5 g 1,0 g 160 mg 60 mg
Nama Senyawa Besi Betakarotein Vitamin C Tiamin Riboflavin Niasin Sulfida Nitrogen
Jumlah 3,8 mg 285 mg 14 mg 0,04 mg 0,6 mg 0,5 mg -
*Sumber: Maryani & Kristiana (2005)
Mulyani et al. (2011), menyatakan bahwa aktifitas antioksidan ekstrak dari kalik bunga rosela memiliki aktifitas antoksidan (IC50) menggunakan pelarut air panas adalah sebesar 21.2 µg/mL, pelarut metanol, etil asetat, dan butanol berturut-turut 121.03 µg/mL, 144.03 µg/mL dan 137.14 µg/mL (Tabel 22). Potensi rosela sebagai agen dalam proteksi sel terhadap paparan radiasi cukup besar karena aktifitas antioksidan yang cukup tinggi. Tabel 22 Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan media ekstraksi berbeda 1
No
Sampel Vitamin C
2
Ekstrak dalam air panas
3
Ektrak methanol
4
Ekstrak etil asetat
5
Ekstrak butanol
6
Ekstrak air
Konsentrasi (µg/mL) % penghambatan 40 96.209 30 96.156 20 96.103 10 74.406 200 89.921 100 87.976 50 82.392 10 26.351 200 87.310 100 20.012 50 5.760 10 4.250 200 60.777 100 37.401 50 17.122 10 1.682 200 63.267 100 36.794 50 21.130 10 0.508 200 15.961 100 11.906 50 1.457 10 1.275
*Sumber: Mulyani et al. (2011)
IC50 (µg/mL) 2.061
21.2
121.03
144.03
137.14
9675.09
38
Pemanfaatan Rosela dalam Dunia Medis Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) telah dimanfaatkan sebagai bahan obat tradiasional untuk mengobati penyakit seperti hipertensi, infeksi saluran perkemihan, dan kardioprotektif (Wang et al. 2000; Odigie et al. 2003; dan Olaleye 2007), sebagai antioksidan dan memiliki efek hepatoprotektif (Ali et al. 2005; Amin & Hamza 2005). Di Meksiko termasuk juga di Afrika dan Asia, masyarakat telah memanfaatkan rosela untuk berbagai pengobatan (MozaffariKhosravi et. al. 2009). Ekstrak rosela dapat digunakan sebagai diuretik, laksatif ringan, anti kanker serta untuk terapi penyakit syaraf dan penyakit jantung (Drugs.com 2009).
Kultur Jaringan Tehnik kultur jaringan telah diperkenalkan pada awal abad ke-20. Metode ini merupakan cara terbaik dalam mempelajari sifat, tingkah laku dan karakteristik sel hewan tanpa adanya variasi respon individu sebagaimana terjadi pada uji in vivo. Respon individu pada uji in-vivo terjadi karena respon homeostasis tubuh. Sel hidup yang berasal dari jaringan akan terus tumbuh dan berkembang jika suplay nutrisi dan growth factor terpenuhi, hal inilah yang disebut dengan kultur sel. Proses ini berlangsung secara in-vitro (petri disc) yang berbeda dengan kondisi dalam tubuh hewan (in-vivo). Dalam kultur jaringan hanya membutuhkan satu sel sebagai unit individu yang menyerupai mikroorganisme lainnya seperti bakteri dan jamur. Sel ini memiliki kemampuan untuk membelah (mitosis) dan populasi sel akan terus bertumbuh sampai pada batas tertentu sampai jumlah nutrisi yang ada tidak cukup bagi sel untuk terus hidup. Dengan demikian kondisi lingkungan (media) harus dikontrol dengan baik untuk mempertahankan perkembangan dan pertumbuhan sel kultur (Freshney 2005). Penggunaan tehnik kultur sel sangat luas, diantaranya tidak terbatas untuk: 1) mengetahui fisiologi dan biokimia sel, seperti sistem metabolisme dengan menggunakan radioaktif sebagai label pada substrat dan dapat diamati tahapan produk yang dihasilkan, 2) mengetahui pengaruh zat terhadap tipe sel spesifik, seperti metabolit hormon atau growth factor yang menyebabkan toksisitas dan mutagenik pada sel, 3) memproduksi jaringan buatan dengan kombinasi beberapa
39
jenis sel spesifik, seperti kulit sintetis untuk luka bakar, 4) memproduksi material biologi dalam jumlah yang besar, seperti pembuatan protein spesifik untuk propagasi sel hewan (Gambar 16)
Gambar 16 Bidang-bidang aplikasi metode kultur sel/jaringan. Sumber: Freshney 2005.
Ada beberapa keunggulan dan kekurangan didalam teknik kultur jaringan. Keunggulan teknik kultur diantaranya adalah: 1) faktor fisiko-kimia dapat dikontrol dan kondisi fisiologis sel dapat dipertahankan konstan, 2) sampel homogen; heterogenitas kandungan sel dapat dihomogenkan dalam 1-2 pasase, 3) ekonomis; sel dapat terpapar dan langsung mengakses reagen (zat) yang diuji sehingga kebutuhan sampel yang diuji relatif sedikit. Sedangkan kekurangan dari teknik kultur jaringan
diantaranya: 1) memerlukan keahlian dan ketrampilan
khusus, 2) jumlah sel yang dihasilkan terbatas, 3) sel lestari kadang-kadang kurang stabil (Djuwita 2003). Sel limfosit merupakan sel darah putih dan menjadi bagian dari sistem pertahanan bagi mamalia. Sel limfosit jaringan dapat diperoleh dari organ timus (thymic) dan limpa (spleenic) sebagai organ hematopoetik (Klein et al. 2006)). Sel limfosit sering dipergunakan untuk mempelajari respon berbagai senyawa bioaktif terhadap sistem imun secara in-vitro maupun in-vivo. Kultur primer (primary cells) dapat diperoleh dengan cara “eksplantasi jaringan” ataupun
40
dengan jalan mengkultur suspensi sel yang diperoleh dari disagregasi jaringan. Sel primer adalah kultur sel yang berasal dari organ hewan dan jaringan. Sel primer memiliki masa hidup yang pendek di laboratorium setelah mengalami beberapa kali lintasan (pasase) dan akhirnya mati. Kerusakan mekanis maupun enzimatis harus diusahakan seminimal mungkin agar sel dapat bertahan hidup lebih lama. Jika primary-cells dikembangkan terus dan diseleksi dengan cara “clonning” maka akan diperoleh suatu tipe sel yang tetap yang disebut dengan cell-strain. Jenis sel ini telah mengalami subkultur minimal 100 kali secara in vitro. Selanjutnya, jika cellsstrain ini mengalami proses tranformasi (secara spontan atau mengalami perubahan pada karyotipe, morfologi pertumbuhan kandungan selnya) yang menjadi sel tersebut immortal maka sel tersebut telah menjadi cells-line atau sel lestari (Fahrudin 2003).
Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus domesticus dan Mus musculus musculus) merupakan hewan laboratorium yang sangat populer untuk penelitian dalam bidang biologi dan fisiologi (Gambar 17). Hal ini dikarenakan mencit merupakan mamalia yang memiliki kemiripan secara homolog dengan manusia. Beberapa keturunan generasi dapat diamati dalam waktu yang singkat karena umur hidupnya 18-30 bulan, berat badan 20-40 gram pada jantan dan 22-63 pada betina (Meredith & Redrobe 2002).
Gambar 17 Mencit laboratorium strain ddy. Sumber: Farrier 2010.
41
Mencit memiliki klasifikasi ilmiah (Meredith & Redrobe 2002): Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodensia
Sub Ordo
: Anthropoidea
Infra Ordo
: Catarrhini
Super Famili : Murinae Famili
: Muridae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Sistem Hematopoetik Sistem hematopoetik adalah sejumlah organ dan jaringan yang bekerja untuk menghasilkan sel-sel darah. Organ-organ yang termasuk dalam sistem ini diantaranya adalah sumsum tulang, limpa, timus dan limfonodus (Blood et al. 2007; Abutarbush 2008). Sistem hematopoetik merupakan salah satu sistem yang sangat sensitif terhadap radiasi. Kerusakan pada sistem ini dapat berkembang menjadi sindrom hematopoetik hingga berakhir dengan kematian (Abouelella et al. 2007). Pendekatan yang dilakukan dalam bidang radioproteksi dan radiorekoveri meliputi beberapa mekanisme yang dapat mencegah terhadap kerusakan oleh paparan radiasi seperti halnya penghambatan pembentukan radikal bebas, meningkatkan penetralan radikal bebas, meningkatkan perbaikan DNA dan membran sel, mengganti sel-sel hematopoetik yang mati dan menstimulasi aktifitas sel tanggap kebal (Nübel et al. 2006).
Darah Darah merupakan jaringan ikat tubuh dengan komponen penyusun berupa sel darah dan cairan plasma darah (Gambar 18). Darah dalam tubuh memiliki volume 8-10% dari cairan tubuh. Darah terdiri daripada beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari darah dan dinyatakan dalam nilai hermatokrit atau volume sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar antara 40 sampai 47. Bagian 55% lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan
42
darah disebut plasma darah. Fungsi utama darah adalah mengangkut oksigen, nutrisi, zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem tanggap kebal yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit (Meyer & Harvey 2004).
Gambar 18 Perkiraan jumlah darah normal mamalia. Sumber: Meyer & Harvey 2004.
Korpuskula darah (Gambar 19) terdiri dari: a) Sel darah merah (RBC, red blood cells) atau eritrosit (99%). Eritrosit tidak mempunyai nukleus sel ataupun organel, akan tetapi beberapa spesies justru masih terdapat inti sel. Eritrosit mengandung hemoglobin dan berfungsi untuk mengedarkan oksigen ke dalam jaringan. Anemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan eritrosit (Thrall 2004; Hillman et al. 2010)). b) Keping-keping darah atau trombosit (0,6 - 1,0%) Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah.
43
c) Sel darah putih (WBC, white blood cells) atau leukosit (0,2%) Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda asing dan berbahaya bagi tubuh, misal virus atau bakteri. Leukosit bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tetap. Jumlah yang tinggi pada sel leukosit disebut dengan leukemia, sedangkan jumlah leukosit yang menurun disebut dengan leukopenia.
Gambar 19 Komponen darah perifer. A. Diagram hematopoetik (MedicineNet.com 2011), B. Gambaran sel darah perifer secara SEM (Scanning electromicroscope) (NCI 2011).
Perhitungan darah lengkap (CBC, complete blood count) merupakan suatu metode uji yang dilakukan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas sel-sel dan plasma darah. CBC merupakan metode yang efektif untuk mengetahui kelainan dan kejadian penyakit (Willard & Tvedten 2004).
Sumsum Tulang Sumsum tulang (bone marrow, medulla ossea) adalah jaringan lunak pada rongga interior tulang sebagai tempat produksi sebagian besar sel darah yang baru (Gambar 20). Sumsum tulang terdiri atas dua jenis, yaitu: 1) sumsum merah sebagai jaringan myeloid. Sel darah merah (RBC, red blood cells), keping darah (trombosit), dan sebagian besar sel darah putih (WBC, white blood cells) dihasilkan dari sumsum merah; 2) sumsum kuning juga menghasilkan sel darah putih. Warna kekuningan pada sumsum kuning disebabkan oleh adanya sel-sel lemak didalamnya (Gambar 21).
Kedua tipe sumsum tulang ini banyak
mengandung pembuluh darah dan kapiler.
44
Gambar 20 Sumsum tulang. A. Sumsum tulang panjang femur (LPCH 2011), B. Skematis hepatopoietik sistem pada sumsum tulang dalam memproduksi berbagai tipe sel darah (Wikipedia.org 2011).
Gambar 21 Histopatologi sumsum tulang dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosine (HE). Pembesaran 40x objektif. Sumber: Deltagen.com 2006.
Sewaktu lahir, semua sumsum tulang adalah sumsum merah. Seiring dengan pertumbuhan, semakin banyak sumsum merah yang berubah menjadi sumsum kuning. Orang dewasa memiliki rata-rata 2.6 kg sumsum tulang yang tersusun atas 50% sumsum merah. Sumsum merah ditemukan terutama pada tulang pipih seperti tulang pinggul, tulang dada, tengkorak, tulang rusuk, tulang punggung, tulang belikat, dan pada bagian lunak di ujung tulang panjang sperti femur dan humerus. Sumsum kuning ditemukan pada rongga interior bagian tengah tulang panjang. Pada keadaan sewaktu tubuh kehilangan darah yang sangat banyak, sumsum kuning dapat diubah kembali menjadi sumsum merah sebagai usaha untuk meningkatkan produksi sel darah.
45
Limpa Limpa adalah kelenjar tanpa saluran (ductless) yang berhubungan erat dengan sistem sirkulasi dan berfungsi menghancurkan sel darah merah tua. Limpa termasuk salah satu organ sistem limfoid, selain timus, tonsil, dan kelenjar limfe (Aughey & Frye 2001). Sistem limfoid berfungsi untuk melindungi tubuh dari kerusakan akibat zat asing. Sel-sel pada sistem ini dikenal dengan sel imunokompeten yaitu sel yang mampu membedakan sel tubuh dengan zat asing dan menyelenggarakan inaktivasi atau perusakan benda-benda asing. Sel imunokompeten terdiri atas sel utama yang aktif bergerak, yakni sel limfosit dan makrofag, dan sel utama menetap, yakni retikuloendotel dan sel plasma (Junquereira & Carneiro 1982).
Gambar 22 Posisi organ limpa dalam rongga abdomen. A. Nekropsi mencit untuk explorasi organ internal mencit (Anonimous 2011f), B. Skematis posisi organ limpa dalam rongga abdomen (Reeves & Reeves 2001).
Limpa merupakan organ limfoid terbesar dan terletak di bagian depan dan dekat punggung rongga perut di antara diafragma dan lambung (Gambar 22) (Geneser 1994). Secara anatomis, tepi limpa yang normal berbentuk pipih. Fungsi limpa yaitu tempat untuk proliferasi sel limfosit, tempat mengakumulasi limfosit dan makrofag, degradasi eritrosit, tempat cadangan sel darah, dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah (Junquereira & Carneiro 1982).
46
Gambar 23 Histopatologi limpa dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosine (HE). A. Limpa dengan pembesaran 2x objektif (LabPaq 2010), B. Limpa dengan pembesaran 40x objektif (Histology-World.com 2011).
Limpa dibungkus oleh kapsula, yang terdiri atas dua lapis, yaitu satu lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus. Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limpa disebut trabekula. Trabekula mengandung arteri, vena, syaraf, dan pembuluh limfe (Aughey & Frye 2001). Parenkim limpa disebut pulpa yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah berwarna merah gelap pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limpa (Geneser 1994). Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu (Gambar 23). Pulpa putih terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal. Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofag, dan sel debris (Ward et al. 1999).
47
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah & Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB untuk proses radiasi dan pemeriksaan darah. Pemeliharaan hewan laboratorium, kultur in-vitro, dan pemeriksaan histopatologi dilakukan di Bagian Patologi dalam departemen yang sama. Waktu penelitian sejak Oktober 2010 hingga September 2011. Proses ekstraksi rosela dilakukan di Balitro, proses evaporasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan uji fitokimia ekstrak kering rosela dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka IPB.
Bahan dan Alat In-vitro Kultur Limfosit Bahan yang digunakan untuk kultur limfosit berupa: 12 ekor mencit jantan strain ddy, ekstrak etanol rosela, Dulbecco’s Phosphate-Buffered Saline (PBS) (Gibco BRL®, Life Technologies USA), RPMI Medium 1640 (Gibco BRL®, Life Technologies USA), L-Glutamine, Sodium Bicarbonate (Gibco BRL®, Life Technologies USA), Tris-Buffered Saline (TRIZMA® Base, Sigma Chemical Co. USA), Amonium Chloride (Geldenaaksebaan 464, Belgium), Aquabidest®, Gentamicine®, Fungizone®, New Born Calf Serum (NBCS) Gibco InvitrogenTM atau Fetal Calf Serum (FCS), alkohol 70%, Tripan Blue, Formaldehide, Kalium permanganate (PK), Ketamine®, Xylazine®, Penicilline-Streptomicine® dan Trypsine®. Alat yang digunakan berupa: set alat bedah, elektrik kauter, jarum bulat no 13, catgut kromik 4/0, tampon, kain duk, oven sterilisator, glove, masker, tutup kepala, baju bedah, mikropipet, magnetic stirer, Erlenmeyer®, gelas ukur, pH meter digital (pHep® HANNA), timbangan presisi digital, mikroskop cahaya, haemositometer, plastik tissue culture well plate dengan 24 well, tissue culture flask, pipet, centrifuge, inkubator CO2, tabung plastik sentrifus 50 ml, filter 0.2 µm, syringe 50 ml, syringe 20 ml, syringe 1 ml, penyangga tabung, kapas, manual counter.
48
In-vivo Hewan Coba Bahan yang digunakan untuk in-vivo diantaranya adalah: 48 ekor mencit strain ddy, aquadest, NaCl fisiologis, ekstrak etanol kering rosela, Clavamox® sirup, Metronidazole® tablet, Zypiran® tablet, serbuk alas kandang, air minum komersial, pakan mencit komersial, sabun detergen, Ketamine® , Xylazine®, kapas, Turk, Hayem, Giemsa 10%, methanol, Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) 10%, kertas tissue, Buffered Neutral Formaldehide (BNF) 10%, xylol, alkohol absolute, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, parafin, Mayer’s Haematoxylline, Eosin, lithium karbonat, asam sitrat 5%, larutan albumin, air hangat (45°C), dan minyak emersi. Alat yang digunakan berupa: Kandang plastik dengan tutup kawat, botol minum, mesin radiodiagnostik portable sinar-X (VR-1020, MA medical corp, Japan), apron Pb, pelindung mata, pelindung tiroid, dosimeter digital (MyDOSE miniTM, ALOKA Co., Ltd. Tokyo Japan), sonde lambung (gavage), timbangan digital, alat bedah minor, jarum pentul, pot urin volume 200 ml, syiring 1ml, gelas objek, cover glass, mikrohematokrit, Eppendorf, tissue basket, spidol, kertas label, tissue cassette, Sakura® authomatic tissue processor, inkubator, mikrotom, digital electronic eyepiece camera (MD130), set komputer, program Image-J® for Microsoft® Windows®, SPSS® versi 13 for Microsoft® Windows®.
Metode Penelitian Persiapan Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Tanaman rosela diperoleh dari petani rosela di Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Bunga dikeringkan dibawah sinar matahari dan dihaluskan. Serbuk halus bunga rosela sebanyak 200 gram diekstrak dengan 96% ethanol pada suhu 40 C melalui 2 kali masing-masing 500 ml. Tahapan selanjutnya ekstrak dievaporasi hingga kering menjadi ekstrak dasar. Ekstrak dasar dilarutkan dalam 100% etanol hingga saponin dapat dipisahkan dari larutan untuk menghilangkan residu yang terjadi selama proses berlangsung (Dahiru et al. 2003; Olatunji et al. 2006; Fidan et al. 2008). Pemeriksaan fitokimia dilakukan pada: 1) kadar alkaloid, 2) hidroquinon, 3) tanin, 4) flavonoid, 5) saponin, 6) steroid, dan 7) triterpenoid. Uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Uji Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.
49
Prosedur Penelitian In-vitro Persiapan Media Kultur Media kultur PBS dibuat dengan melarutkan 1 sachet
Dulbecco’s
Phosphate-Buffered Saline® dalam 1 liter Aquabidest®. Media RPMI 1640 dibuat dengan melarutkan 1 sachet RPMI 1640® dan 2 g sodium bikarbonat dalam 1 liter Aquabidest®. Media NH4Cl-Tris Buffred Saline dengan melarutkan 2.06 g Tris dalam 100 ml Aquabidest® + 7.47 g NH4Cl dalam 900 ml Aquabidest®. Semua media selanjutnya di ukur pH-nya dan dikalibrasi dengan menambahkan 1 mol HCl 1 N tetes demi tetes hingga diperoleh pH = 7.0 dan selanjutnya difiltrasi dengan pH akhir 7.1 setelah filtrasi (Gambar 24).
Gambar 24 Media kultur. A. Dulbecco’s Phosphate-Buffered Saline, B. Tris-Buffered Saline, C. RPMI Medium 1640, D. Sodium Bicarbonate, E. Proses pengadukan media dengan magnetic stirrer, E. Pengukuran pH setelah pengadukan, G. Pengukuran pH setelah kalibrasi pada media Dulbecco’s dan Tris, H. Pengkuran pH setelah kalibrasi pada media RPMI 1640.
Media kultur untuk penumbuh (Growth Medium = GM) dibuat dengan kombinasi medium 89% RPMI 1640, 10% NBCS, 1% L-Glutamine, 0.1% Fungizone, 0.1% Gentamicine. Jumlah GM yang dibuat sesuai dengan kebutuhan kultur dalam volume milliliter (Gambar 25).
50
Gambar 25 Bahan untuk formulasi media penumbuh. a. New Born Calf Serum (NBCS) Gibco InvitrogenTM, b. Gentamicin Gibco InvitrogenTM, d. Fungizone®, d. L-Glutamin.
Bedah Splenectomy Sel limfosit untuk kultur diperoleh dari organ limpa segar mencit yang splenectomy. Mencit dipelihara dan diaklimatisasi 2 minggu sebelum diambil limpanya. Selama aklimatisasi, mencit diberikan antibiotik selama 5 hari, anthelmentik single dose, dan anti jamur selama 5 hari. Mencit dibius dengan obat bius kombinasi ketamin dosis 50 mg/kg berat badan dan xylazin 10 mg/kg berat badan. Mencit dicukur pada flank kiri hingga bersih dari rambut setelah terbius. Mencit yang telah terbius selanjutnya dilakukan splenectomy secara aseptis untuk diambil limpanya. Metode splenectomy berdasarkan modifikasi protokol bedah yang dilakukan oleh Reeves et al. (2001). Sayatan dilakukan pada flank sisi kiri badan sepanjang 0.5 cm dari atas (dorsal) ke bawah (ventral). Mencit diposisikan miring kekanan (Right recumbency) pada meja operasi. Lapisan yang disayat berturut turut kulit, sub kutis, otot abdomen, dan peritoneum. Limpa dikeluarkan setelah peritoneum dikuakkan dan dipotong dengan metode kauterisasi (Gambar 26). Limpa dimasukkan dalam larutan PBS. Peritoneum, otot abdomen dan kulit masingmasing dijahit dengan cat gut 5/0. Mencit dipelihara hingga luka bedah hingga menutup sempurna pemberian antibiotik selama 3-5 hari sebagai penanganan post operatif.
51
Gambar 26 Prosedur splenectomy pada mencit. A. Desinfeksi area bedah, B. Pembukaan lapisan kulit, otot dan peritonium, C. Limpa yang telah dikeluarkan untuk diambil, D. Kauterisasi pembuluh darah limpa, E. Penjahitan peritoneum, otot dan kulit, F. Jahitan pada kulit.
Limpa yang terpisah dari tubuh mencit disterilkan dengan mencelup 1-2 detik dalam alkohol 70% dan selanjutnya dimasukkan dalam larutan PBS yang telah diberi antibiotik Penicilline-Streptomicine® 0.1%. Limpa yang tersimpan dalam PBS selanjutnya dibawa ke ruang kultur untuk diproses lebih lanjut.
Persiapan Sel Limfosit Limpa diletakkan pada cawan petri dan dicuci 2x dengan PBS. Limpa dicacah dalam sedikit larutan PBS dengan pisau bedah hingga hancur dan ditetesi dengan Trypsine® dibiarkan selama 5 menit untuk memisahkan sel limfosit dari ikatan antar sel. Sel limfosit dilarutkan dalam 5 ml PBS dan didiamkan agas cacahan organ limpamengendap. untuk selanjutnya dipindahkan dengan pipet kedalam 2 tabung plastik sentrifus dan ditambahkan masing-masing hingga 15 ml PBS (Gambar 27).
52
Gambar 27 Preparasi sel limfosit dari limpa mencit. A. Proses pencincangan limpa, B. Penambahan Trypsin dan PBS untuk memanen sel, C. Pemindahan sel dalam cairan ke dalam tabung sentrifus, D. Proses sentrifus, E. Sel limfosit dalam tissue culture flask, F. Inkubasi sel dalam inkubator.
Suspensi sel dalam tabung setrifus 50 mL disentrifus pada kecepatan putaran 1000 rpm selama 10 menit dengan suhu 20 °C. Supernatan dibuang dan endapan dilarutkan kembali dengan menambahkan PBS masing-masing 20 ml. Tahap ini diulang 2 kali. Endapan yang terbentuk ditambahkan dengan 20 ml media NH4Cl-Tris Bufferd Saline, dilarutkan dengan pipet dan dibiarkan selama 5 menit untuk melisiskan sel darah merah (RBC). Larutan disentrifus dan supernatan dibuang. Tahap ini diulang jika endapan sel masih berwarna merah. Selanjutnya ditambahkan masing-masing 20 ml media RPMI 1640 suhu dingin dan di sentrifus. Supernatan dibuang dan pelarut diganti dengan masing-masing 5 ml media penumbuh (GM), dilarutkan dengan pipet dan dihitung jumlah sel limfosit/ml (Gambar 28).
Gambar 28 Skematis proses preparasi sel limfosit dari limpa mencit
53
Sel limfosit dalam 10 ml GM dipindahkan dengan pipet ke dalam tissue culture flask untuk diinkubasi selama 6-12 jam untuk pemulihan sel selama pemrosesan (Gambar 28). Tissue culture flask disimpan dalam inkubator CO2 dengan suhu 37°C dan kelembaban teratur. Sel dilihat di bawah mikroskop sebelum inkubasi dan setelah inkubasi.
Pembuatan Media Kultur Ekstrak Rosela Media kultur dengan konsentrasi 100 µg/ml ekstrak rosela berbeda dibuat dengan melarutkan 0.0063g ekstrak etanol rosela dalam 56 ml RPMI 1640,10% FCS, 1% L-Glutamin, 0.1% Fungizon, dan 0.1% Gentamisin. Selanjutnya dipisahkan sebagian untuk diencerkan untuk konsentrasi yang lebih rendah (Gambar 29).
Gambar 29 Bagan pembuatan media penumbuh dengan konsentrasi ekstrak rosela berbeda. GM=Growth Medium; ER=Ekstrak Etanol Rosela
Kelompok Perlakuan Kelompok perlakuan dalam kultur in-vitro sel limfosit terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu kelompok tanpa radiasi dan kelompok radiasi. Metode penelitian merupakan modifikasi metode yang dilakukan oleh Jeong et al. (2003).
54
Masing-masing kelompok besar terdiri atas 4 kelompok dengan konsentrasi ekstrak berbeda yaitu, konsentrasi 0 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml dan 100 µg/ml. Sel limfosit dalam masing-masing tabung plastik sentrifuse 50 ml diisi oleh masing-masing konsentrasi. Setiap tabung ditambahkan 432 µl sel dari sediaan suspense sel. Jumlah sel limfosit 8.87 x 106 sel/ml pada setiap tissue culture well suspensi sel kultur. Ulangan setiap perlakuan dilakukan sebanyak 6 ulangan. Posisi pengaturan konsentrasi berbeda pada tissue culture plate baik kelompok tanpa radiasi maupun dengan radiasi sebagaimana pada Gambar 30.
Gambar 30 Posisi pengaturan kelompok konsentrasi dan ulangan perlakuan pada tissue culture plate. GM= Growth Medium; ER=Ekstrak etanol Rosela.
Paparan Radiasi Radiodiagnostik Radiasi ionisasi dilakukan pada dosis 0.2 mSv (1x paparan) hari ke-1, 0.6 mSV (0.2mSv + 2x paparan) hari ke-2, dan 1.2 mSv (0.6 mSv + 3x paparan) hari ke-3. Radiasi ionisasi dosis rendah pada tissue culture plate dilakukan dengan mesin diagnostic X-Ray. Faktor paparan pada mesin x-ray menggunakan kVp 80, mAs 12 pada ±1 detik dengan dosis 0.2 mSv/paparan dan jarak sumber radiasi pada berkas sinar utama hingga dasar tissue culture plate secara tegak lurus 100 cm (Gambar 31).
55
Gambar 31 Proses paparan radiasi radiodiagnosti sinar-X. a. Saklar/tombol untuk melakukan paparan sinar-X, b. Mesin penghasil sinar-X, c. Tissue culture plate kelompok yang dipapar radiasi, d. Jarak sumber sinar-X dengan tissue culture plate.
Pengambilan data Pengambilan data dilakukan 18-24 jam setelah proses radiasi. Data diambil pada hari ke-0 sebelum radiasi, hari ke-1, 2 dan 3 setelah radiasi. Larutan sel dalam GM setiap diaduk terlebih dahulu dengan pipet. Sebanyak 10µL GM dengan sel dari tiap well + 90µL Trypan blue dan diaduk dengan pipet hingga rata. Satu tetes campuran diteteskan pada tepi cover glass diatas haemometer, larutan akan merembes mengisi kamar hitung. Penghitungan jumlah sel dilakukan pada mikroskop cahaya dengan alat hitung manual (Gambar 32).
56
Gambar 32 Proses perhitungan sel limfosit pada setiap kelompok perlakuan. A. Pewarnaan suspensi dengan Trypan blue, B. Suspensi yang diwarnai diteteskan pada haemometer (Bio-Resource 2008), C. Penghitungan dengan menggunakan mikroskop cahaya, D. Skematis prosedur perhitungan (WHO 2010).
Prosedur Penelitian In-vivo Hewan Coba Mencit jantan strain ddy sebanyak 36 ekor dengan umur 6-8 minggu memiliki berat badan 18-20 gram. Aklimatisasi dilakukan selama 2 minggu sebelum penelitian. Mencit menerima antibiotik (Clavamox®) dosis 30 mg/kg berat badan selama 5 hari, anthelmentik (Zypiran®) dosis10 mg/kg berat badan satu dosis, dan anti jamur (Metronidazole) dosis 25 mg/kg berat badan selama 5 hari. Mencit dikelompokkan dalam 4 kelompok perlakuan diantaranya adalah 1) kelompok kontrol negatif (K) dimana mencit tidak diradiasi dan diberi cekokan NaCl fisiologis 0.9%, 2) kelompok kontrol positif (P) dimana mencit diradiasi setiap 2 hari sekali setelah dicekok dengan NaCl fisiologis 0.9%, 3) kelompok kontrol rosela (R) dimana mencit tidak diradiasi dan diberi cekokan ekstrak rosela dosis 50mg/kg berat badan, 4) kelompok rosela dengan radiasi (RP) dimana mencit diradiasi setiap 2 hari sekali setelah dicekok dengan ekstrak rosela.
57
Suplementasi Ekstrak Rosela Ekstrak rosela dosis 50 mg/kg berat badan (Akindahunsi & Olaleye 2003; Ali et al. 2005) atau NaCl fisiologis 0.9 % diberikan secara peroral sebanyak 0,2 ml pada setiap mencit sesuai dengan kelompok penelitian. Mencit dikandangkan dalam kandang plastik dengan penutup kawat. Pakan komersial disediakan sesuai dengan kebutuhan harian mencit dan air minum diberikan secara ad libitum. Mencit dicekok NaCl fisiologis 0.9 % atau ekstrak rosela menggunakan sonde lambung (gavage) setiap 2 hari sekali sesuai dengan perlakuan (Gambar 33).
Gambar 33 Proses pencekokan/suplementasi ekstrak rosela dan NaCl fisiologis 0.9%. Sumber: Coutsoukis 2008.
Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Proses radiasi dosis rendah berulang diberikan setelah pencekokan. Paparan radiasi radiodiagnostik dilakukan satu kali setiap 2 hari. Radiasi ionisasi dosis rendah pada seluruh tubuh (Total Body Radiation/TBR) dilakukan dengan mesin Diagnostic X-Ray (VR 1020, Japan MA Medical Corp.) Dosis paparan radiasi yang diberikan sebesar 0.2 mSv/2 hari berselang. Monitoring dosis paparan dilakukan dengan menggunakan MYDOSE miniTM, ALOKA CO., Ltd Tokyo Japan. Faktor paparan pada mesin x-ray menggunakan kVp 80 dan mAs 12 pada ±1 detik (1/10 detik) dengan dosis 0.2 mSv/paparan. Jarak sumber radiasi pada berkas sinar utama hingga dasar kandang secara tegak lurus adalah 100 cm (Gambar 34).
58
Gambar 34 Proses radiasi ionisasi radiodiagnostik pada mencit penelitian. A. Proses paparan radiasi sinar-X, B. Kondisi mencit pada kandang dan posisi alat ukur radiasi.
Pengambilan Data Data klinis gambaran darah tepi diambil secara acak dari kelompok perlakuan K, P, R dan RP. Proses pengambilan data dilakukan setiap 2 minggu sekali (Murray et al 2000; Meyer & Harvey 2004; Hrapkiewicz & Medina 2007) pada minggu ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Data gambaran histopatologi sumsum tulang, dan limpa diambil dari setiap kelompok pada minggu ke-4+1 hari dan 8+1 hari setelah perlakuan dan minggu ke- 8 dan 12 setelah masa pemulihan. Data paparan radiasi yang diterima mencit dan jumlah kematian mencit yang terjadi dicatat setiap hari selama pelaksanaan penelitian (Gambar 35).
Gambar 35 Pengambilan data klinis dan histopatologis.
59
Prosedur Pemeriksaan Klinis Darah Darah diambil melalui vena pada sinus retroorbitalis mata setelah mencit dibius (Gambar 36). Sediaan bius menggunakan Ketamin HCl dosis 30 mg/kg berat badan dikombinasi dengan Xylzin HCl dosis 5 mg/kg berat badan dan diberikan secara Intraperitonial (Murray et al 2000; Hrapkiewicz & Medina 2007). Darah sebanyak 0.5 mL dikumpulkan menggunakan mikrokapiler hematokrit dan ditampung dalam plastik Eppendorf. Tabung plastik Eppendorf terlebih dahulu ditetesi dengan 0.05 mL EDTA untuk mencegah terjadinya koagulasi darah (Meyer & Harvey 2004).
Gambar 36 Proses pengambilan darah tepi mencit. A. Pembiusan mencit, B. Pengambilan darah, C. Gambar skematis vena retro orbitalis (Coutsoukis 2008), D. Eppendorf dengan EDTA, E. Eppendorf yang telah berisi darah mencit.
Parameter pemeriksaan yang diambil pada gambaran darah tepi diantaranya adalah (Meyer & Harvey 2004; Thrall 2004; Noviana et al. 2010a): a) jumlah sel darah merah, b) hemoglobin (Hb), c) hematokrit (PCV), d) jumlah sel darah putih, e) differensiasi sel darah putih pada preparat ulas (Gambar 37), dan f) jumlah trombosit.
60
Gambar 37 Proses pembuatan preparat ulas darah mencit (QGHLab 2011). A. Penetesan sampel darah, B,C. Pengulasan darah pada gelas objek, D. ulas darah sebelum diwarnai, E. Morfologi preparat ulas darah yang telah diwarnai dengan Giemsa.
Prosedur Nekropsi Proses nekropsi dan pengukuran berat organ dilakukan secara manual di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Berat organ diukur pada minggu ke-4 dan 8 setelah radiasi. Data pemulihan diambil 30 hari setelah masing-masing radiasi yaitu pada minggu ke-8 dan 12. Mencit dibius dengan kombinasi Ketamin 30 mg/kg berat badan dan Xylazin 5 mg/kg berat badan (Murray et al 2000; Hrapkiewicz & Medina 2007). Mencit yang terbius selanjutnya dieutanasi dengan melakukan dislokasio tulang ocipitalis. Mencit letakkan pada posisi dorsal rekumbensi pada alas stereofoam dengan ke-4 kaki difiksasi menggunakan jarum pentul pada alas. Nekropsi dilakukan mulai dari penyayatan kulit abdomen dari depan os pubis ke arah depan hingga pangkal mandibula. Otot-otot abdominal dan thorakal akan tampak jelas (Gambar 38).
Gambar 38 Proses nekropsi. A. Proses pembukaan tubuh mencit dimulai dari kulit, B. Posisi mencit dorsal rekumbensi dengan fiksasi dilakukan menggunakan jarum pentul, C. Sampel organ dalam cawan petri dengan BNF 10%.
61
Penyayatan selanjutnya pada otot abdomen hingga terlihat jelas organ-organ abdominal. Penyayatan dilanjutkan hingga daerah leher dan organ thorak hingga leher terlihat jelas. Organ dalam dipisahkan dari letaknya dan diukur beratnya menggunakan timbangan digital. Berat relatif (BR) atau berat indeks organ dihitung dengan membandingkan berat absolut organ (BO) dengan berat badan (BB) mencit yang selanjutnya dikalikan dengan 100 (Olatunji et al. 2006). Rumus perhitungan: Indeks organ (BR)
= Berat organ (BO) x 100 Berat badan (BB)
Prosedur Pemeriksaan Histopatologis Sumsum Tulang dan Limpa Mencit yang telah terbius kemudian dieuthanasi dengan metode dislokasio os occipitalis dan dilanjutkan dengan nekropsi. Setiap organ dalam dipisahkan dan dilakukan penimbangan berat organ. Bagian saluran pencernaan seperti usus halus dan usus besar diambil sampel masing-masing sebanyak 2 cm, dibuka dan ditempelkan pada kertas karton. Tulang femur kaki kanan dan kaki kiri dibersihkan dari otot dan tendon yang menempel dan kedua ujungnya dipotong melintang agar larutan fiksatif dapat masuk dan menfiksasi jaringan. Selanjutnya organ dan tulang sumsum dimasukkan kedalam larutan fiksatif Buffered-Neutral Formaline (BNF) 10% selama 2 x 24 jam (Gambar 39) (Humason 1967; Kiernan 1990).
Gambar 39 Organ dalam larutan BNF 10%. a. Sampel organ dalam gelas plastik yang berisi BNF 10%, b. Sampel organ dalam blok parafin.
62
Proses dekalsifikasi sumsum tulang dalam larutan 5% asam nitrat agar tulang menjadi lunak. Larutan dibuat dengan mencampur 5-10 ml asam nitrat dengan 95-90 ml formaldehid sehingga menjadi larutan 5-10%. Tulang femur direndam selama 2-3 hari hingga tulang menjadi menjadi lunak (Carleton & Drury 1957). Jaringan didehidrasi menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari konsentrasi 70% hingga absolut. Pembuatan blok jaringan dengan parafin sebelum dilakukan pemotongan (Gambar 40). Jaringan dalam blok parafin selanjutnya dipotong setebal 5µm dengan menggunakan mikrotom dan kemudian diproses dengan teknik histologi konvensional untuk diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) (Gambar 41) (Humason 1967; Kiernan 1990).
Gambar 40 Proses embedding sampel organ dalam paraffin. A. Proses penanaman, B. Proses pendinginan paraffin, C. Blok sampel organ dalam paraffin.
Gambar 41 Proses pemotongan blok parafin dan pewarnaan. A. Proses pemotongan dengan mesin mikrotom, B. Slide dengan tempelan hasil potongan, C. Proses pewarnaan dengan hematoksilin-eosin (HE), D. Slide hasil pewarnaan HE.
Parameter yang diamati pada histopatologi sumsum tulang diantaranya adalah: a) jumlah sel lemak, b) jumlah sel megakariosit, e) jumlah sel limfoid, dan f) luas daerah sumsum, g) luas area sumsum tulang, dan h) luas rongga tulang.
63
Parameter pada histopatologi organ limpa diantaranya adalah: a) luas limpa, d) luas pulpa putih, dan e) persentase luas pulpa putih. Gambar histopatologi diambil dengan kamera digital Electronic Eyepiece MD-130® menggunakan mikroskop cahaya (Gambar 42). Gambar yang telah diambil selanjutnya dianalisa menggunakan software NIH Image-J® for Microsoft® Widows® (Girish & Vijayalakshmi 2004).
Gambar 42 Perangkat elektronik untuk pengolahan foto histopatologi. A. Unit computer untuk pengambilan foto slide, B. Electronic Eyepiece MD-130® untuk pengambilan foto slide, C. Software NIH Image-J® for Microsoft® Windows® untuk mengolah gambar.
Analisis dan Penyajian Data Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisa rancangan acak kelompok dua faktorial pada analisis varian (Oneway-ANOVA) post hoc Duncan Test menggunakan sotfware Statistical Package for Social Sciences (SPSS)® 13 for Microsoft® Windows® untuk mengetahui perbedaan pada setiap perlakuan pada p<0.05. Data disajikan dalam rataan dengan standar deviasi dan disampaikan secara deskriptif naratif.
64
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Fitokimia Ekstrak Etanol Rosela Uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Uji Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB (No. sertifikat: 008/I3.11.8/LUB-CA/XI/2010) dengan hasil pada Tabel 23. Tabel 23 Uji fitokimia ekstrak etanol Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) No 1
Parameter Uji Hasil Teknik Analisis Alkaloid Uji Wagner + Kualitatif Alkaloid Uji Meyer + Kualitatif Alkaloid Uji Dragendorf + Kualitatif 2 Tanin + Kualitatif 3 Flavonoid + Kualitatif 4 Saponin + Kualitatif 5 Hidroquinon Kualitatif 6 Steroid Kualitatif 7 Triterpenoid Kualitatif Keterangan: + (ditemukan dan mengandung), - (tidak ditemukan dan tidak mengandung)
Ekstrak etanol rosela mengandung alkaloid, tanin, flavonoid dan saponin. Alkaloid dilaporkan memiliki manfaat sebagai antimalaria, antimikroba, dan memiliki aktivitas sitotoksik (Oloyede et al. 2010). Saponin dan tanin memiliki sifat analgetik dan anti radang (Lai et al. 2010) juga memiliki kemampuan untuk mencegah terhadap kanker (Sur et al. 2001). Flavonoid berfungsi melindungi tanaman dalam melawan berbagai macam stres yang disebabkan dari biotik dan abiotik. Flavonoid yang terkandung dalam makanan dapat berperan dalam mencegah penyakit degeneratif dan sebagai antioksidan (Pourcel et al. 2007). Flavonoid dan polifenol memiliki kemampuan menangkal radikal bebas dan memodulasi aktifitas berbagai enzim melalui berinteraksi dengan berbagai biomolekul (Devipriya & Shyamaladevi 1999). Kalik berwarna merah dari tanaman rosela banyak mengandung anthocyanin (Falade et al. 2005). Antocyanin merupakan bagian dari flavonoid yang dibentuk melalui jalur phenylpropanoid dan terdapat pada semua jaringan tanaman, termasuk daun, cabang, akar, bunga serta buah. Antocyanin merupakan derifat dari antocyanidin saat berikatan dengan gula (Kong et al. 2003). Warna yang dihasilkan oleh kandungan antocyanin mulai dari merah hingga biru. Warna merah menunjukkan pH asam dan warna biru menunjukkan pH basa (Wrolstad 2001).
65
Kultur Sel Limfosit Pengamatan kualitatif pada tissue cultue plate suspensi kultur sel limfosit dari limpa mencit sebelum inkubasi tampak tidak rapat. Inkubasi dilakukan selama 6-12 jam sebagai waktu adaptasi. Proses adaptasi sel limfosit diharapkan dapat mengembalikan kondisi dari stres selama proses preparasi. Waktu adaptasi akan meningkatkan jumlah sel limfosit menjadi lebih banyak dari sebelumnya sehingga tampilan sel menjadi rapat saat pengamatan (Gambar 43).
Gambar 43 Pengamatan mikroskopis secara kasar suspensi sel limfosit pada media kultur. A. Pengamatan sel limfosit dalam tissue culture flask, B. Morfologi sel limfosit sebelum inkubasi, C. Morfologi sel limfosit setelah inkubasi. Pembesaran 25x lensa objektif.
Hasil pengamatan kualitatif pada hari ke-1 setelah paparan radiasi 0.2 mSv dapat dilihat pada Gambar 44. Jumlah sel dalam suspensi masih terlihat tidak ada perbedaan antara kelompok tanpa radiasi (K) dan kelompok radiasi (P).
Gambar 44 Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-1 total radiasi 0.2 mSv. A. Tissue culture plate kelompok tanpa radiasi (K); B. Tissue culture plate kelompok dengan radiasi (P); C,D,E,F. Mikroskopis sel limfosit tanpa radisi pada suspensi dengan konsentrasi 0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL; G,H,I,J. Mikroskopis sel limfosit dengan radisi pada suspensi dengan konsentrasi 0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL. Bar=10µm.
66
Hasil pengamatan kualitatif pada hari ke-2 setelah paparan radiasi 0.6 mSv dapat dilihat pada Gambar 45. Jumlah sel dalam suspensi mulai terlihat ada perbedaan diantara kelompok tanpa radiasi (K) dan kelompok radiasi (P). Jumlah sel pada kelompok P lebih sedikit dari pada K. Ekstrak rosela yang ditambahkan pada media dengan konsentrasi bertingkat tampak berpengaruh terhadap jumlah sel. Konsentrasi tinggi (100 µg/mL) terlihat lebih banyak mengalami proliferasi dari konsentrasi yang lebih rendah (25 µg/mL dan 50 µg/mL).
Gambar 45 Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-2 total radiasi 0.6 mSv. A. Tissue culture plate kelompok tanpa radiasi (K); B. Tissue culture plate kelompok dengan radiasi (P); C,D,E,F. Mikroskopis sel limfosit tanpa radisi pada suspensi dengan konsentrasi 0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL; G,H,I,J. Mikroskopis sel limfosit dengan radisi pada suspensi dengan konsentrasi 0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL. Bar=10µm.
Hasil pengamatan kualitatif pada hari ke-3 setelah paparan radiasi 1.2 mSv dapat dilihat pada Gambar 46. Jumlah sel dalam suspensi menunjukkan ada perbedaan di antara kelompok tanpa radiasi dan kelompok radiasi. Jumlah sel pada kelompok P sangat sedikit dari pada K. Ekstrak rosela yang ditambahkan pada media dengan konsentrasi bertingkat tampak berpengaruh terhadap jumlah sel. Konsentrasi tinggi (100 µg/mL) terlihat lebih banyak mengalami proliferasi dari konsentrasi yang lebih rendah (25 µg/mL dan 50 µg/mL).
67
Gambar 46 Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-3 total radiasi 1.2 mSv. A. Tissue culture plate kelompok tanpa radiasi (K); B. Tissue culture plate kelompok dengan radiasi (P); C,D,E,F. Mikroskopis sel limfosit tanpa radisi pada suspensi dengan konsentrasi 0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL; G,H,I,J. Mikroskopis sel limfosit dengan radisi pada suspensi dengan konsentrasi 0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL. Bar=10µm.
Hasil perhitungan jumlah kultur sel limfosit pada setiap tissue culture well menunjukkan adanya perbedaan di antara kelompok konsentrasi yang berbeda dan di antara kelompok tanpa radiasi (K) dan kelompok radiasi (P). Konsentrasi berbeda (0 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL) ekstrak etanol rosela yang ditambahkan ke dalam media penumbuh pada kelompok tanpa radiasi terlihat memiliki tingkat pembelahan sel yang lebih tinggi daripada kontrol (K). Radiasi ionisasi yang dipaparkan pada kelompok radiasi (P) memperlihatkan jumlah sel limfosit lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok dengan penambahan rosela (RP) sebagaimana pada Tabel 24. Konsentrasi tinggi (100 µg/mL) menunjukkan jumlah pembelahan sel (proliferasi) yang lebih tinggi dari pada konsetrasi rendah (25 µg/mL) dan sedang (50 µg/mL). Perbedaan tingkat pembelahan sel berbeda secara signifikan seiring dengan semakin lama waktu inkubasi hingga 4 hari (p<0.05). Stres oksidatif terjadi pada kelompok P karena adanya paparan radiasi ionisasi. Oksidan atau radikal bebas yang terbentuk akan merusak struktur protein, lemak, dan gula penyusun media dan sel limfosit. Oksidan eksternal terbentuk selama paparan radiasi ionisasi sedangkan oksidan internal dari proses fisiologis sel secara alami dapat dinetralkan oleh enzim selama metabolisme (Valko et al. 2005). Kerusakan pada struktur dan organel sel menyebabkan kematian dan
68
kerusakan material dalam media penumbuh juga memperparah kerusakan pada sel limfosit. Kematian sel akan terlihat dengan menurunnya jumlah sel limfosit dalam media kultur. Kelompok K tidak terjadi stress oksidatif karena tidak terbentuk oksidan tambahan secara eksternal dari radiasi. Tabel 24 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) konsentrasi berbeda pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan radiasi berbeda. Waktu (hari ke-) 2 3 4 Kelompok Konsentrasi Dosis (mSv) 0.0 0.2 0.6 1.2 Tanpa Radiasi 0µg/ml K 8.87±0.00a 38.67±12.68defg 37.83±10.96def 52.67±8.16hi 25µg/ml R 8.87±0.00a 44.67±9.33efgh 59.17±10.70i 71.17±10.61j a def hi 50µg/ml R 8.87±0.00 36.17±6.11 54.67±8.02 98.83±10.44k a ghi fgh 100µg/ml R 8.87±0.00 49.33±11.22 46.50±12.76 122.17±12.89l a cd ab Radiasi 0µg/ml P 8.87±0.00 32.33±9.99 19.33±3.01 23.67±7.26bc a cde cd 25µg/ml RP 8.87±0.00 33.50±9.16 31.00±4.20 58.33±12.09i a def cde 50µg/ml RP 8.87±0.00 35.33±2.88 33.83±4.26 74.17±16.29j a hi efgh 100µg/ml RP 8.87±0.00 52.00±4.24 43.83±14.50 89.17±10.30k abcdefghijkl Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K (kontrol tanpa radiasi), R (rosela), P (kontrol dengan radiasi), RP (rosela dengan radiasi); mili sievert (mSv). 1
Suspensi kultur sel merupakan kombinasi sel limfosit dan media yang sebagian besar tersusun oleh molekul air (H2O). Radiasi ionisasi akan membentuk radikal bebas dari molekul air baik pada media maupun sel limfosit dalam suspensi kultur. Ekstrak etanol rosela yang diberikan pada suspensi kultur sel limfosit akan men-depo sejumlah antioksidan dalam media disekitar sel. Radiasi ionisasi yang diberikan akan membentuk lebih sedikit radikal bebas dan radikal bebas yang terbentuk akan segera dinetralkan oleh antioksidan baik pada media maupun pada sel. Efek proteksi ekstrak etanol rosela pada sel limfosit terhadap radiasi ionisasi terlihat nyata dengan jumlah sel yang cukup tinggi. Jumlah konsentrasi bertingkat pada media penumbuh menghasilkan tingkat proteksi yang berbeda. Konsentrasi tinggi (100 µg/mL) memiliki daya proteksi yang lebih baik jika dibandingkan dengan konsentrasi rendah (25 µg/mL). Konsentrasi sedang (50 µg/mL) tidak berbeda dengan konsentrasi rendah (Gambar 47 dan Gambar 48).
69
Gambar 47 Pengaruh pemberian ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan konsentrasi berbeda. Kelompok tanpa radiasi: 0µg/mL K; 25µg/mL R; 50 µg/mL R; 100 µg/mL R; Kelompok dengan radiasi 0 µg/mL K; 25 µg/mL R; 50 µg/mL R; 100 µg/mL R; mSv (mili Sievert).
Ekstrak etanol rosela meningkatkan daya pembelahan sel limfosit atau memiliki sifat imunomodulator yang mendukung proses perbanyakan sel limfosit. Jeong et al. (2003) melaporkan bahwa senyawa polifenol dan komponen fenolik yang terkandung dalam tanaman herbal memiliki sifat imunomodulator. Antioksidan pada senyawa ini memiliki kemampuan untuk melindungi berbagai perubahan onkogenik akibat induksi radiasi (Borek 2004). Mulyani et al. (2011) melaporkan bahwa aktifitas antioksidan yang dikandung rosela memiliki kemampuan dalam menghambat kerusakan akibat reaksi oksidasi.
A
B
Gambar 48 Pengaruh pemberian ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan konsentrasi berbeda kelompok tanpa radiasi dan dengan radiasi. A. Tanpa pemberian radiasi ( ), B. Dengan pemberian radiasi ( ). 0 µg/mL K; 25µg/mL R; 50 µg/mL R; 100 µg/mL R; mSv (mili Sievert).
70
Antocyanin memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat secara in-vitro (DeRosso et al. 2008). Daya antioksidan antocyanin 3-5 kali lebih kuat dari vitamin C dan E secara in-vitro (Frei 2007). Kadar antocyanin dalam ekstrak etanol rosela yang ditambahkan dalam media penumbuh mampu membantu proses regenerasi sel limfosit dari kerusakan dan kematian yang disebabkan oleh radiasi ionisasi. Trypan blue digunakan untuk mewarnai sel limfosit pada suspensi sel kultur. Perhitungan jumlah sel dalam suspensi sel kultur dilakukan dengan kamar hitung haemositometer. Klein et al. (2006) melaporkan bahwa pewarnaan menggunakan tripan blue hanya dapat melihat secara kasar sel yang terlihat tetapi tidak dapat membedakan sel yang mengalami apoptosis secara dini.
Daya Hidup Mencit dalam penelitian memiliki daya hidup 100% dimana tidak terjadi kematian selama perlakuan. Dosis radiasi ionisasi yang semakin meningkat pada penelitian ini tidak menurunkan daya hidup dan mencit tetap hidup hingga akhir penelitian. Radiasi ionisasi yang diberikan secara klinis tidak mempengaruhi daya hidup mencit (Tabel 25).
Tabel 25 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada daya hidup mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv) K (%) P (%) R (%) RP (%) 0 0.0 100.00±0.00a 100.00±0.00a 100.00±0.00a 100.00±0.00a 2-4 2.9 100.00±0.00a 100.00±0.00a 100.00±0.00a 100.00±0.00a a a a 100.00±0.00 100.00±0.00 100.00±0.00a 4-8 2.9 Recov 100.00±0.00 a a a 6-8 5.3 100.00±0.00 100.00±0.00 100.00±0.00 100.00±0.00a a a a 8-12 5.3 Recov 100.00±0.00 100.00±0.00 100.00±0.00 100.00±0.00a abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; Recov=pemulihan (recovery).
Daya hidup setelah paparan radiasi merupakan hasil dari proses pemulihan oleh beberapa organ seperti sumsum tulang, sistem pencernaan, kulit dan sistem homeostasis tubuh (Widel et al. 2003). Kematian yang terjadi setelah paparan radiasi ionisasi disebabkan oleh sindrom hematopoetik akibat infeksi. Infeksi
71
terjadi karena adanya kerusakan pada sistem tanggap kebal tubuh oleh paparan radiasi ionisasi (Chen et al. 2006). Pemberian bahan yang mengandung antioksidan dapat meningkatkan daya hidup hewan model yang dipapar radiasi ionisasi (Wambi et al. 2008). Rosela merupakan bahan herbal alam yang banyak mengandung bahan antioksidan. Suplementasi rosela sebelum dilakukan pemaparan radiasi akan men-depo antioksidan dalam tubuh sehingga dapat menetralkan radikal bebas yang terbentuk selama paparan radiasi. Daya antioksidan vitamin C memiliki antioksidan 1000-3000 kali lebih kuat dari pada antioksidan golongan flavonoid secara in-vivo (Frei 2007). Rosela selain mengandung antocyanin juga mengandung vitamin C yang cukup banyak sekitar 14 mg/100 g (Maryani & Kristiana 2005). Fungsi penetralan oksidan yang terbentuk selama paparan radiasi secara in-vivo disokong oleh vitamin C selain antocyanin.
Berat Badan Berat badan mencit selama penelitian terlihat mengalami peningkatan pada semua kelompok perlakuan. Data hasil analisis menunjukkan bahwa berat badan mencit tidak berbeda pada semua kelompok perlakuan (p>0.05), akan tetapi berdasarkan jumlah dosis paparan radiasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05) sebagaimana pada Tabel 26.
Tabel 26 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat badan mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv) K (g) P (g) R (g) RP (g) 0 0.0 22.65±0.00a 22.65±0.00a 22.65±0.00a 22.65±0.00a 2-4 2.9 28.90±2.25bc 33.13±0.67c 32.00±3.21bc 28.13±1.26b defgh de d 4-8 2.9 Recov 41.77±1.66 39.70±2.85 37.97±2.55 40.37±4.48def efghi hi fghi 6-8 5.3 44.40±1.97 46.33±2.08 44.90±2.01 41.43±1.29defg efgh defg i 41.50±2.50 48.73±5.80 45.93±2.00ghi 8-12 5.3 Recov 43.13±4.24 abcdefghi Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; Recov=pemulihan (recovery).
Menurut Olatunji et al. (2006), pemberian rosela secara kronis dengan dosis 25-50 mg/kg berat badan tidak berpengaruh terhadap berat badan tikus. Hal ini juga terlihat pada hasil penelitian ini dengan dosis 50 mg/kg berat badan pada
72
mencit juga tidak mempengaruhi penambahan berat badan. Perlakuan dengan paparan radiasi maupun tanpa paparan radiasi juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan diantara kelompok perlakuan (Gambar 49). Perbedaan berdasarkan semakin tingginya dosis radiasi berkaitan dengan usia yang juga bertambah. Semakin bertambahnya usia maka semakin bertambah pula bobot badan. Hal ini terlihat pada hasil pengukuran berat badan mencit penelitian.
Gambar 49 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Berat Badan (BB) mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. K (NaCl non radiasi); P (NaCl +radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert); recov (recovery).
Tsuda et al. (2003) melaporkan bahwa suplementasi antocyanin (cyanidin 3glucoside–rich purple 4 corn color) dengan dosis 2 g/kg berat badan pada mencit menunjukkan hasil yang sangat efektif dalam menghambat bertambahan berat badan dan penimbunan jaringan lemak dalam tubuh. Penelitian ini menggunakan dosis 50 mg/kg berat badan pada mencit tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara kelompok perlakuan. Hal ini karena jumlah antocyanin yang terkandung lebih sedikit juga tingkat penyerapannya yang rendah secara in-vivo. Kadar antocyanin pada kalik rosela sekitar 2% (Maryani & Kristiana 2005). Suplementasi secara peroral pada hewan coba terjadi penyerapan antocyanin hanya sebesar 5% dari dosis yang diberikan. Sebagian besar yang diserap tersebut akan dimetabolisme dan diekskresikan dengan cepat melalui urin dan empedu (Williams et al. 2004; Lotito & Frei 2006; Frei 2007).
73
Gambaran Karakteristik Darah Perifer Sel Darah Putih Secara umum, jumlah total sel darah putih (white blood cells, WBC) berada dalam kisaran normal referensi. Akan tetapi, dalam penelitian ini terjadi penurunan jumlah WBC yang sangat signifikan (p<0.05), dimana jumlah total WBC pada kelompok P menunjukkan nilai yang paling rendah dari kelompok lainnya (K, R dan RP). Sel leukosit prematur (LP) juga hadir secara sangat signifikan (p<0.05) dalam darah perifer yang terlihat meningkat persentasenya seiring dengan bertambahnya dosis radiasi pada kelompok P dan RP. Jumlah LP menurun setelah pemulihan 30 hari. Persentase sel granulosit dan agranulosit berada dalam kisaran normal referensi. Kelompok radiasi (P dan RP) terlihat memiliki tendensi yang lebih rendah dan sangat signifikan dari pada kelompok tanpa radiasi (K dan R) (p<0.05). Suplementasi rosela pada kelompok RP pada jumlah persentase sel agranulosit lebih rendah daripada kelompok P dan sebaliknya pada sel granulosit (Tabel 27). Radikal bebas atau oksidan terbentuk dari molekul air penyusun darah, baik plasma darah maupun sel-sel darah setelah terpapar radiasi ionisasi. Kerusakan pada molekul penyusun sel seperti protein, lemak, dan gula berpengaruh terhadap stabilitas sel darah dalam plasma darah. Oksidan akan terbentuk pada seluruh jaringan yang tersusun atas molekul air, sehingga kerusakan terjadi secara general atau menyeluruh. Gaman et al. (2009), melaporkan bahwa kondisi ini disebut dengan istilah keracunan radiasi. Keracunan radiasi pada darah perifer dapat menyebabkan pancytopenia. Pancytopenia merupakan kondisi dimana terjadi penurunan jumlah sel darah merah (anemia), sel darah putih (neutropenia) dan platelet (trombositopenia). Jika penurunan jumlah hanya terjadi pada sel darah merah dan putih disebut dengan bicytopenia (Kar & Ghosh 2002).
74
Tabel 27 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah leukosit, persentase premature leukosit, agranulosit dan granulosit mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Leukosit (x103cells/µL) (p=0.000) 0 0.0 6.64±0.00efghij 6.64±0.00efghij 6.64±0.00efghij 6.64±0.00efghij j ij fghij 7.42±1.97 6.78±1.89 9.65±0.65k 0-2 1.7 7.77±0.75 abcdefgh abcdef abcdefg 2-4 2.9 5.02±0.25 4.63±0.25 4.78±2.09 4.63±0.55abcdef defghij ab a 4-8 2.9 Recov 6.35±2.51 3.23±0.75 2.95±0.48 4.77±1.26abcdef hij hij bcdefghi 5.30±0.61 7.20±0.79 7.02±0.03ghij 4-6 4.1 7.08±0.86 abc abcd defghij 6-8 5.3 3.87±1.03 4.32±1.01 6.25±0.43 6.03±0.93cdefghij abcde defghij abcde 8-12 5.3 Recov 4.46±0.60 6.28±2.93 4.48±0.46 6.08±1.05defghij Nilai referensi* 2.61 – 10.05 Prematur Leukosit (%) (p=0.000) 0 0.0 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.00±0.00a a a a 0-2 1.7 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 1.00±0.00a a a bc 4.00±2.65 0.00±0.00 4.33±4.93c 2-4 2.9 0.00±0.00 a abc a 4-8 2.9 Recov 0.00±0.00 1.67±0.58 0.00±0.00 1.33±0.58ab a a d 4-6 4.1 0.00±0.00 11.00±1.00 0.00±0.00 8.33±5.51d a a d 6-8 5.3 0.00±0.00 10.67±0.58 0.00±0.00 4.50±2.12c a a a 8-12 5.3 Recov 0.00±0.00 0.67±0.58 0.00±0.00 2.33±1.53abc Nilai referensi* 0.00 – 0.00 Agranulosit (%) (p=0.000) 0 0.0 76.19±0.00fg 76.19±0.00fg 76.19±0.00fg 76.19±0.00fg efg fg fg 0-2 1.7 72.33±10.01 78.00±6.08 76.33±3.06 67.33±2.08bcde abc fg a 2-4 2.9 62.00±1.73 77.00±1.00 56.67±0.58 69.67±3.21bcdef cdef defg defg 4-8 2.9 Recov 70.33±5.69 71.33±7.37 71.33±1.53 62.67±0.58abcd efg bcdef bcde 4-6 4.1 70.00±4.36 66.67±3.51 72.33±3.06 63.33±8.08abcd cdef bcdef bcdef 6-8 5.3 70.33±0.58 69.67±0.58 69.67±4.16 61.50±10.61ab g bcdef bcdef 8-12 5.3 Recov 79.33±4.73 70.00±8.19 69.67±0.58 72.67±2.08efg Nilai referensi* 48.66 – 86.87 Granulosit (%) (p=0.000) 0 0.0 24.33±0.00abcd 24.33±0.00abcd 24.33±0.00abcd 24.33±0.00abcd abcdef abc 0-2 1.7 27.67±10.02 22.00±6.08 23.67±3.06abcd 31.67±2.08defg gh a 2-4 2.9 38.00±1.73 19.67±1.53 43.33±0.58gh 26.00±7.21abcde abcdef abcdef bcdefg 4-8 2.9 Recov 29.67±5.69 26.67±8.14 28.67±1.53 36.00±1.00fgh abcd abcdef bcdefg 4-6 4.1 30.00±4.36 22.33±4.04 27.67±3.06 28.33±7.64abcdef a cdefg bcdefg 6-8 5.3 29.67±0.58 19.67±0.58 30.33±4.16 34.00±12.73efg ab abcdef cdefg 8-12 5.3 Recov 20.67±4.73 27.33±8.62 30.33±0.58 25.00±3.47abcde Nilai referensi* 15.33 – 21.99 Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; abcdefgHuruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; Recov=pemulihan (recovery); *nilai referensi diambil dari Thrall (2004).
Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
Maks et al. (2011) melaporkan bahwa terjadi penurunan jumlah WBC pada mencit akibat dosis radiasi ionisasi sinar- . Penurunan jumlah karena terpapar radiasi sinar- terjadi pada babi (Zarybnicka et al. 2011), primata (Ignatova et al. 2010), dan manusia (Akushevich et al. 2010). Radiasi sinar-X memiliki panjang gelombang, frekuensi, dan energi sekitar 1/10 lebih rendah dari sinar- , (Wallace
75
2009). Energi ionisasi sinar-X mampu menyebabkan proses ionisasi molekul air (NRC 2006). Molekul air yang terionisasi membentuk radikal bebas dan secara tidak langsung dapat merusak sel-sel penyusun jaringan. Organ-organ seperti sumsum tulang yang memproduksi sel darah akan sangat terpengaruh oleh radiasi (Grundmann et al. 2009). Konsekuensi tidak langsung pada kerusakan sumsum tulang akan mengakibatkan berkurangnya jumlah sel-sel darah perifer (Hu & Cucinotta 2011). Paparan radiasi seluruh tubuh (TBI) dapat menurunkan kapasitas antioksidan dalam serum darah yang dapat ditanggulangi dengan pemberian suplemen antioksidan dari luar (Guan et al. 2004; Guan et al. 2006). Antioksidan pada rosela tersusun atas komponen flavonoid antocyanin dan vitamin C (Maryani & Kristiana 2005). Komponen tersebut mampu secara menyeluruh menetralkan oksidan dalam tubuh sehingga menurunkan tingkat kerusakan jaringan. Suplementasi antioksidan kombinasi l-selenomethionine (SeM), vitamin C, vitamin E succinate, -lipoic acid dan N-acetyl cysteine (NAC) sangat efektif untuk melindungi sel hematopoetik terhadap deplesi, dan membantu sel hematopoetik untuk pulih (Wambi et al. 2008). Kelompok sel agranulosit tersusun atas sel limfosit dan sel monosit dimana pada sitoplasma selnya tidak memiliki granul. Sedangkan sel granulosit tersusun atas sel netrofil, eosinofil dan basofil (Stockham & Scott 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah sel agranulosit lebih tinggi daripada nilai referensi. Nilai yang cukup tinggi pada sel granulosit sebagai respon adanya kerusakan pada sel tubuh oleh paparan radiasi. Lotze et al. (2007) melaporkan bahwa sistem tanggap kebal dapat teraktifasi oleh infeksi, kerusakan jaringan secara steril, dan pedarahan. Mieloid progenitor (myeloid lineage cells) akan teraktifasi oleh sitokin proinflamator sebagai mediator kerusakan jaringan oleh reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). Sel granulosit membutuhkan waktu 24 jam untuk pulih dari kerusakan akibat radiasi ionisasi (Watts et al. 2009).
76
A
B
C
D
Gambar 50 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap karakteristik sel darah putih mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. A. Jumlah WBC, B. Persentase WBC prematur, C. Agranulosit, D. Granulosit. K (NaCl non radiasi); P (NaCl + radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
Jumlah sel limfosit lebih dari 50% mengalami perubahan bentuk menjadi abnormal pada pasien kanker yang menjalani radioterapi (Mayer et al. 2011). Radiasi menginduksi mekanisme apoptosis sehingga terjadi pengurangan jumlah total sel normal. Apoptosis merupakan proses kematian sel terprogram yang terjadi pada sel penyusun jaringan tubuh karena adanya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki oleh sel itu sendiri (Alberts et al. 2008). Apoptosis dapat mengurangi jumlah sel darah perifer yang bersirkulasi setelah terpapar radiasi (Beliaeva 2010). Sel limfosit dewasa menurun setelah paparan radiasi akan mempengaruhi sistem homeostasis tubuh. Tubuh akan merespon penurunan ini
77
dengan melepaskan cadangan sel dari organ pembentuk darah (lymphoid organ) ke pembuluh darah perifer. Organ limfoid pada saat yang sama juga mengalami kerusakan karena radiasi sehingga terjadi penurunan fungsi melepaskan sel limfoid atau sel darah muda (premature) ke sistem perifer. Hasil penelitian terlihat adanya sel leukosit prematur dari sumsum tulang masuk ke dalam darah perifer. Persentase mengalami peningkatan seiring dengan dosis yang diterima pada kelompok P. Akan tetapi pada kelompok suplementasi rosela (RP) menunjukkan persentase sel leukosit premature yang lebih sedikit atau sekitar 60% lebih rendah dari kelompok P dan cenderung menurun (Tabel 27). Asam askorbat (Vitamin C) dan antosianin yang terkandung dalam ekstrak rosela kemungkinan memiliki kemampuan dalam menetralkan radikal bebas yang terbentuk selama terpapar radiasi ionsasi. Shinozaki et al. (2011) melaporkan bahwa pemberian vitamin C sebagai bahan anti apoptosis mampu mengurangi berlangsungnya proses apoptosis. Rekombinasi yang terjadi selama perlakuan menurunkan kadar radikal bebas sehingga menurunkan kerusakan biologis. Terapi dengan radiasi ionisasi dapat menyebabkan kerusakan pada sel normal sebagai hasil dari mediasi sitokin (Widel et al. 2003). Induksi radiasi menyebabkan leukopenia akibat paparan sinar- (Mishima et al. 2004). Kejadian leukopenia merupakan konsekuensi dari limfopenia dan neutropenia yang terjadi selama paparan radiasi. Sediaan herbal yang mengandung antioksidan dapat menstimulasi sistem tanggap kebal, menstimulasi produksi sel darah pada sumsum tulang dan sel limfosit perifer pada pasien yang menjalani kemoterapi (Barret 2003; Mishima et al. 2004). Barrett (2003) dan Widel et al. (2003) melaporkan bahwa penggunaan herbal Echinacea dapat mempengaruhi jumlah leukosit, menstimulasi aktifitas fagosit, dan atau meningkatkan produksi sitokin. Pemeriksaan darah perifer selama dan setelah menjalani radioterapi merupakan cara utama untuk mengetahui kondisi organ hematopoetik. Kerusakan pada sumsum tulang akan berpengaruh pada masa pemulihan sel darah perifer. Sel limfosit dewasa merupakan tipe sel darah perifer yang sangat sensitif terhadap radiasi yang menyebabkan terjadinya limfopenia (Wintrobe et al. 1999; Seddek et al. 2000). Netrofil memiliki waktu hidup 10-12 jam setelah keluar dari sumsum tulang sebagai sel dewasa (Mollinedo et al. 1999). Suplementasi rosela
78
memberikan efek yang sangat signifikan sebagai agen radio-protektif dan radiorecovery terhadap nilai sel darah putih. Untuk mengembalikan nilai normal sel darah perifer pada kelompok suplementasi rosela (RP) terlihat lebih baik daripada kelompok tanpa rosela (P).
Karakteristik Trombosit Secara umum jumlah trombosit darah mencit berada di bawah kisaran normal (Tabel 28). Kelompok kontrol (K) dan rosela dengan paparan radiasi (RP) selalu lebih rendah dari pada kelompok radiasi (P) dan rosela (R) (Gambar 51).
Tabel 28 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah trombosit mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Trombosit (x106sel/µL) (p=0.007) 0 0.0 tdh tdh tdh tdh 0-2 1.7 0.43±0.21abcdefg 0.54±0.12defg 0.41±0.16abcdefg 0.42±0.22abcdefg 2-4 2.9 0.32±0.08abcdef 0.31±0.10abcde 0.40±0.09abcdefg 0.43±0.09abcdefg abcd bcdefg 4-8 2.9 Recov 0.27±0.14 0.52±0.35 0.69±0.36g 0.29±0.16abcde abc abcd ab 4-6 4.1 0.18±0.04 0.19±0.11 0.17±0.13 0.13±0.05a abcdefg abcdefg cdefg 6-8 5.3 0.43±0.13 0.45±0.14 0.53±0.07 0.40±0.15abcdefg abcd efg fg 8-12 5.3 Recov 0.18±0.07 0.64±0.27 0.68±0.34 0.39±0.23abcdefg 6 Nilai referensi * 0.78-1.54 (x10 sel/µL) Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; abcdefgHuruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; Recov=pemulihan (recovery); tdh=tidak dihitung; *nilai referensi diambil dari Thrall (2004)
Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
Greenberg et al. (1968) melaporkan bahwa platelet dalam sirkulasi plasma darah perifer sangat resisten terhadap radiasi (highly radioresistant). Proses irradiasi pada pasien yang menjalani radioterapi tidak mempengaruhi kondisi platelet darah. Daya tahan platelet terhadap radiasi secara in-vitro dapat mencapai lebih dari 75 000 rad (Kalovidouris & Papayannis 1981). Dewasa ini beberapa studi melaporkan terjadinya trombositopenia pada kecelakaan radiasi karena kegagalan multi organ (DiCarlo et al. 2011). Radiasi ionisasi secara in-vitro tidak mempengaruhi fungsi-fungsi platelet darah (Kalovidouris & Papayannis 1981). Akan tetapi Hong-Fu et al. (1991)
79
melaporkan bahwa radiasi sinar gama dari
60
Co pada mencit, tikus dan kelinci
menyebabkan peningkatan agregasi platelet pada 5 hari pertama setelah diradiasi.
Gambar 51 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) karakteristik trombosit mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. K (NaCl non radiasi); P (NaCl + RP (Rosela+radiasi); mSv (mili radiasi); R (Rosela non radiasi); Sievert).
Pemberian bahan herbal dan asam asetil salisilat dapat menghambat laju agregasi platelet hingga 23-53% in-vitro dan 46-69% in-vivo dosis radiasi 7.5-8 Sv pada mencit. Verheij et al. (1994) melaporkan bahwa adesi platelet meningkat setelah terpapar radiasi karena kerusakan pada faktor von-Willebrand dalam plasma darah. Radiasi ionisasi menyebabkan terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang mempengaruhi aktifitas platelet dalam kondisi fisiologis maupun patologis (Porta et al. 2000). Flavonoid mempengaruhi proses agregasi trombosit dengan menghambat jalur siklooksigenase sehingga tromboksan A2 tidak terbentuk (Janssen et al. 1998; Pace-Asciak et al. 1995; Pace-Asciak et al. 1996). Kolagen dari agregasi trombosit terbentuk dari meningkatnya kadar H2O2 yang mengaktifasi fungsi trombosit oleh mobilisasi kalsium dan jalur inositol (Pignatelli et al. 1998). Quersetin dan katesin merupakan flavonoid yang mampu menghambat produksi H2O2 trombosit. Quersetin merupakan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak rosela (Mozaffari-Khosravi et al. 2009). Flavonoid mampu mengurangi terbentuknya kolagen dengan menghambat proses agregasi trombosit. Akan tetapi penghambatan tidak terjadi secara penuh karena trombosit penting untuk proses
80
pembentukan sumbat darah saat terjadi perdarahan (Pignatelli et al. 2000). Radiasi ionisasi secara in-vivo pada mencit secara berulang selama 8 minggu penelitian ini tidak mempengaruhi jumlah trombosit. Antocyanin merupakan komponen yang terkandung dalam kalik rosela (Maryani & Kristiana 2005). Konsumsi antocyanin pada studi epidemiologi mampu menurunkan resiko penyakit jantung (Wallace 2011). Suplementasi rosela pada mencit secara in-vivo penelitian ini kemungkinan berpengaruh pada penurunan fungsi agregasi trombosit dalam pembentukan kolagen.
Karakteristik Sel Darah Merah (RBC) Hasil penelitian secara umum memperlihatkan bahwa gambaran parameter sel darah merah berada dalam kisaran normal sebagaimana pada nilai referensi (Tabel 29). Jumlah RBC terlihat menurun selama penelitian dan berada dalam kisaran normal (p<0.05). Persentase hematokrit (PCV) juga mengalami hal yang sama dengan jumlah RBC yang cenderung menurun tetapi masih dalam kisaran normal. Kadar hemoglobin (Hb) mengalami fluktuasi selama penelitian tetapi masih berada dalam kisaran normal. Ketiga parameter (Jumlah RBC, PCV dan Hb) terlihat adanya perbedaan pada kelompok R setelah masa pemulihan dari total paparan radiasi 2.9 mSv begitu juga pada kelompok K setelah pemulihan dari 5.3 mSv paparan radiasi (p<0.05). Sel darah merah memiliki badan sel yang relatif lebih tahan dari kerusakan dari pada platelet dan sel darah putih. Dengan demikian kejadian anemia biasanya berjalan lebih lambat (Kar & Ghosh 2002). Hasil penelitian menunjukkan adanya tendensi penurunan jumlah Hb, PCV dan RBC pada semua kelompok perlakuan. Penurunan ini kemungkinan terjadi akibat adanya kegagalan pembelahan sel, kehilangan organ pembentuk darah, kerusakan pada saluran pencernaan (El-Habit et al. 2000; Abouelella et al. 2007), deplesi sumsum tulang sehingga mempengaruhi diferensiasi eritroblast dan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang (Gridley et al. 2001), dan kehilangan sel dari sistem sirkulasi karena perdarahan ataupun kerusakan dinding kapiler sehingga merusak sel-sel yang dewasa (Tawfik 2003). Pengambilan darah pada pemeriksaan darah maksimal 7% dari berat badan. Volume maksimal darah yang dapat diambil adalah 10% dari
81
total darah yang bersirkulasi atau sekitar 0.2-0.3 mL (Hrapkiewicz & Medina 2007). Penelitian ini mengambil sampel darah perifer > 0.5 mL, dengan demikian terjadi kelebihan dalam pengambilan darah yang berakibat pada regeneratif anemia. Regeneratif anemia terjadi karena kehilangan banyak darah atau kerusakan pada sel darah, kejadian ini biasanya akan pulih setelah 1-2 minggu setelah penyebabnya dihilangkan (Thrall 2004). Waktu pengambilan data setiap selang 2 minggu belum cukup untuk regenerasi sel darah dari anemia.
Tabel 29 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada karakteristik sel darah merah mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Eritrosit (x106cells/µL) (p=0.000) 0 0.0 8.24±0.00ef 8.24±0.00ef 8.24±0.00ef 8.24±0.00ef cdef def ef 0-2 1.7 7.17±0.60 7.54±0.50 8.31±0.74 8.73±0.12f abcd bcdef bcdef 2-4 2.9 6.55±0.94 7.12±0.24 7.12±0.39 6.95±0.42bcde def abc bcdef 4-8 2.9 Recov 7.10±0.88 7.74±0.71 5.72±1.83 7.43±1.00def abcde cdef def 4-6 4.1 6.69±0.77 7.24±1.55 7.86±0.66 7.65±1.05def abcde a bcdef 6-8 5.3 6.71±0.68 7.11±0.22 5.24±1.33 6.66±0.26abcde ab abcd def 8-12 5.3 Recov 5.51±1.05 6.51±0.62 8.16±1.60 7.04±0.62bcde Nilai referensi* 6.50 – 10.10 PCV (%) (p=0.000) 0 0.0 44.42±0.00cd 44.42±0.00cd 44.42±0.00cd 44.42±0.00cd cd d d 0-2 1.7 44.58±2.50 44.25±3.97 45.17±4.80 46.00±1.00d cd cd cd 2-4 2.9 39.25±1.09 39.58±2.90 41.67±1.53 42.75±1.52cd cd cd ab 4-8 2.9 Recov 41.42±1.28 40.67±1.42 31.58±12.10 44.17±1.44cd cd cd cd 4-6 4.1 40.08±5.78 44.33±1.81 44.08±2.31 42.83±3.50cd cd cd bc 6-8 5.3 42.00±0.25 41.00±1.00 36.75±9.96 44.00±0.00cd a cd cd 8-12 5.3 Recov 29.17±8.27 38.58±1.13 43.17±1.15 40.92±1.88cd Nilai referensi* 32.80 – 48.00 Hb (g/dL) (p=0.003) 0 0.0 12.12±0.00b 12.12±0.00b 12.12±0.00b 12.12±0.00b b b b 0-2 1.7 13.86±0.74 13.31±0.39 13.57±0.70 13.20±0.66b b b b 2-4 2.9 12.41±1.64 13.44±0.32 13.26±0.28 13.72±0.42b a b b 4-8 2.9 Recov 13.19±0.72 13.22±0.07 9.21±5.29 13.79±0.51b b b b 4-6 4.1 12.92±1.60 13.70±0.39 14.14±0.92 13.57±1.47b ab b b 6-8 5.3 13.09±0.14 12.70±0.04 11.46±3.20 13.94±0.42b a b b 8-12 5.3 Recov 9.16±1.35 11.90±0.67 13.70±1.00 13.08±0.45b Nilai referensi* 10.10 – 16.10 Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; abcdefgHuruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; *nilai referensi diambil dari Thrall (2004)
Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
Ekstrak etanol rosela selain mengandung antocyanin juga antioksidan yang larut air seperti vitamin C dan larut lemak seperti vitamin E. Antocyanin sangat
82
mudah terdegradasi dalam tubuh secara fisiokimia menjadi senyawa fenol dalam tubuh (Mazza & Miniati 1993). Total tokoferol yang terdeteksi pada ekstrak biji rosela memiliki rata-rata konsentrasi 2000 mg/kg, terdiri atas -tokoferol 25 %, ytokoferol 74.5 % dan -tokoferol 0.5 % (Mohamed et al. 2007; Abuharfiel & Sarsourand 2001).
A
B
C
Gambar 52 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap parameter sel darah merah mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. A. Jumlah sel darah merah (RBC), B. Persentase hematokrit (PCV), C. Kadar hemoglobin (Hb). K (NaCl non radiasi); P (NaCl + radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
Suplementasi peroral menyebabkan cincin B pada struktur antocyanin terhidroksilasi. Proses degradasi dimediasi oleh pH sistem pencernaan menjadi asam fenol dan aldehid (Woodward et al. 2009). Kapasitas antioksidan dalam darah akan meningkat setelah suplementasi antocyanin. Akan tetapi hal ini bukan disebabkan secara langsung oleh konsumsi antocyanin, melainkan karena meningkatnya kadar asam uric hasil metabolism antocyanin (Frei 2007). Flavonoid menjaga dari berbagai penyakit jantung dengan meningkatkan aktifitas
83
nitrit oksida yang akan menjaga pembuluh darah lebih sehat dan lebih elastis, mencegah peradangan dan menurunkan tekanan darah (Frei 2007). Antocyanin juga bermanfaat dalam menjaga proses pembelahan DNA (Acquaviva et al. 2003; Lazze et al. 2003), aktifitas estrogen, menghambat enzim, meningkatkan produksi sitokin sebagai regulasi sistem tanggap kebal, memiliki aktifitas anti radang (Lefevre et al. 2004), menjaga dari peroksidasi lemak (Ramirez-Tortosa et al. 2001), meningkatkan permeabilitas dan ketahanan pembuluh darah, dan menjaga kekuatan membran sel (Rossi et al. 2003).
Resume Karakteristik Sel Darah Perifer Jumlah total sel darah putih (leukosit) berada dalam kisaran normal sebagaimana data referensi. Akan tetapi, dalam penelitian ini terjadi penurunan jumlah leukosit pada kelompok radiasi (P) yang menunjukkan nilai paling rendah dari kelompok lainnya. Sel limfosit muda (limfoid) terlihat muncul dalam darah perifer seiring dengan bertambahnya dosis radiasi dan mengalami penurunan jumlah setelah waktu pemulihan. Persentase sel granulosit dan agranulosit berada dalam kisaran normal referensi dengan fluktuasi yang berfariasi bervariasi. Jumlah trombosit darah mencit berada di bawah kisaran normal referensi. Gambaran parameter sel darah merah pada jumlah sel, hematokrit dan hemoglobin berada dalam kisaran normal sebagaimana pada nilai referensi (Tabel 30). Tabel 30 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada sel darah tepi mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Waktu (minggu ke-) 2-4 6-8 4-8 8-12 No Parameter Total radiasi (mSv) Pemulihan dari- (mSv) 2.9 5.3 2.9 5.3 1 Leukosit (103sel/µL) 0.000 N Sm R=RP>P=K K>RP>P=R P=RP>K=R 2 Limfoid (%) 0.000 Ab P=RP P>RP P=RP P=RP 3 Agranulosit (%) 0.000 N P=RP>K=R K =R=P>RP K =R=P>RP Sm 4 Granulosit (%) 0.000 N R>K>RP>P K=R>RP=P RP>P=K= R R=P=RP>K Ab Sm Sm R>P>RP=K R=P>RP>K 5 Trombosit (106sel/µL) 0.007 6 Eritrosit (106sel/µL) 0.000 N Sm K=P=RP>R K=P=RP>R R>RP=P>K 7 Hematokrit (%) 0.000 N Sm Sm K=P=RP>R R=RP=P>K 8 Hemoglobin (g/dL) 0.003 N Sm Sm K=P=RP>R R=RP=P>K N = normal, Ab = abnormal; Sm=nilai sama pada semua kelompok; K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi, P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi, R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi, RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; huruf cetak tebal membandingkan kelompok P dengan RP; *nilai referensi dari Thrall (2004). PNormal* value
84
Berdasarkan hasil penelitian terlihat adanya perbedaan sensitifitas diantara sel-sel yang terdapat dalam plasma darah perifer. Tingkat sensitifitas sel darah perifer mulai dari yang paling sensitif (low radioresistant) hingga yang tidak sensitif (highly radioresintant) secara berturut-turut adalah sel darah putih, platelet dan sel darah merah. Leukosit merupakan sel yang sensitif terhadap kerusakan oleh radiasi. Eritrosit merupakan sel yang relatif lebih tahan dari kerusakan dari pada platelet dan leukosit. Dengan demikian kejadian anemia biasanya berjalan lebih lambat (Kar & Ghosh 2002). Hasil penelitian menunjukkan adanya tendensi penurunan jumlah hemoglobin, hematokrit dan eritrosit. Penurunan ini kemungkinan terjadi akibat adanya kegagalan pembelahan sel, kerusakan organ pembentuk darah, kerusakan pada saluran pencernaan (Abouelella et al. 2007), deplesi sumsum tulang sehingga mempengaruhi diferensiasi eritroblast dan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang (Gridley et al. 2001). Gaman et al. (2009) melaporkan bahwa, keracunan radiasi pada darah perifer menyebabkan pancytopenia. Pancytopenia merupakan kondisi dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit (anemia), leukosit (neutropenia) dan platelet (trombositopenia). Jika penurunan jumlah hanya terjadi pada eritrosit dan leukosit disebut bicytopenia (Kar & Ghosh 2002). Konsekuensi tidak langsung pada kerusakan sumsum tulang akan mengakibatkan berkurangnya jumlah sel-sel darah perifer (Hu & Cucinotta 2011). Nilai sel darah perifer pada kelompok suplementasi rosela lebih baik dari pada kelompok radiasi selama perlakuan. Hal ini mengindikasikan adanya efek proteksi oleh rosela terhadap sel dari radiasi.
Berat Organ Berat Relatif Organ pada Sistem Pencernaan Sistem pencernaan dibagi dalam beberapa bagian, yaitu berat relatif organ lidah, lambung dan usus (Tabel 31 dan Gambar 53). Berat relatif organ lidah pada kelompok perlakuan K, R dan RP secara umum tidak berbeda. Kelompok P pada total radiasi 2.9 mSv memiliki berat lebih besar dari semua kelompok (p<0.05). Berat relatif lambung hanya pada kelompok RP memiliki variasi yang berbeda sesuai dengan total dosis yang diterima (p<0.05). Nilai yang berbeda pada
85
kelompok ini masih berada dalam kisaran kelompok K, P dan R. Berat relatif usus tidak menunjukkan adanya perbedaan diantara kelompok perlakuan (p=0.203). Tabel 31 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ sistem pencernaan mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari. Berat relatif pada kelompok perlakuan (gram) P R RP Lidah (p=0.001) 2-4 2.9 0.35±0.03ab 0.60±0.02d 0.29±0.03ab 0.35±0.02abc ab cd bc d 4-8 2.9 Recov 0.47±0.22 0.33±0.12 0.53±0.03 0.25±0.03a ab abc ab 6-8 5.3 0.30±0.12 0.36±0.13 0.30±0.15 0.32±0.13ab ab ab a 0.32±0.14 0.21±0.03 0.22±0.01a 8-12 5.3 Recov 0.32±0.17 Lambung (p=0.000) 2-4 2.9 1.02±0.28abcd 1.01±0.17abcd 1.04±0.09abcd 1.41±0.30d abcd abc ab 4-8 2.9 Recov 0.96±0.04 0.92±0.09 0.88±0.19 0.55±0.51a ab ab ab 0.80±0.15 0.90±0.24 0.80±0.27b 6-8 5.3 0.75±0.12 ab a ab 8-12 5.3 Recov 0.83±0.28 0.56±0.11 0.89±0.03 1.24±0.38bcd Usus (p=0.203) 2-4 2.9 14.92±3.98c 11.49±1.98abc 13.66±1.83bc 12.35±0.95abc abc ab abc 4-8 2.9 Recov 11.61±1.42 10.44±1.89 12.86±1.41 12.22±0.99abc abc a a 6-8 5.3 12.16±2.75 9.47±0.94 9.30±1.34 11.95±2.14abc ab ab abc 8-12 5.3 Recov 10.56±1.18 10.74±1.28 11.37±1.58 11.18±0.36abc abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; Waktu Total Radiasi (minggu) (mSv)
K
Organ sistem pencernaan merupakan organ yang memiliki sensitifitas terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi (Grundmann et al. 2009). Sel-sel pada mukosa saluran pencernaan selalu mengalami penggantian saat mencerna makanan baik secara fisik maupun secara kimiawi oleh enzimenzim pencernaan. Saluran pencernaan secara fisiologis akan mengganti sel-sel yang rusak dengan membentuk sel yang baru dari stem cell lineages (Lgr5+ and Ascl2+) yang berada pada lapisan basalis (Montgomery et al. 2011). Radiasi ionisasi akan merusak struktur sel-sel penyusun sistem pencernaan. Fungsi regenerasi stem cell tidak bekerja dengan optimal atau mengalami penurunan. Kerusakan yang parah akan berakibat pada perubahan berat relatif organ menjadi lebih kecil dari berat relatif normal. Pengukuran berat relatif organ dengan kerusakan dapat dijadikan indikasi awal adanya kerusakan jaringan, akan tetapi pemeriksaan mikroskopis masih diperlukan untuk validasi terjadinya kerusakan. Suplementasi rosela yang mengandung antioksidan akan menetralkan oksidan yang terbentuk saat paparan radiasi. Antioksidan flavonoid berupa
86
antocyanin dan vitamin C yang diserap oleh sistem pencernaan akan membantu sel-sel penyusun jaringan pada organ pencernaan untuk memperbaiki diri dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidan atau radikal bebas.
A
B
C
Gambar 53 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) sistem pencernaan mencit. A. BR lidah. B. BR lambung. C. BR usus. K (NaCl non radiasi); P (NaCl+radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
Berat Relatif Organ pada Sistem Sirkulasi Sistem sirkulasi terbagi atas organ jantung dan paru-paru (Tabel 32 dan Gambar 54). Berat relatif jantung pada semua kelompok tidak menunjukkan adanya perbedaan (p=0.433). Berat relatif paru-paru terlihat perbedaan pada kelompok K terdapat variasi berat yang berbeda (p=0.013). Pemberian rosela pada tikus selama 28 hari mempengaruhi indeks jantung (berat relatif) pada dosis 25 dan 50 mg/kg berat badan setiap hari. Dosis 50 mg/kg berat badan menurunkan indek jantung sebesar 0.06 (Olatunji et al. 2006). Akan tetapi pada hasil penelitian dengan dosis yang sama dan waktu pemberian hingga
87
60 hari tidak mempengaruhi indeks jantung pada hewan mencit. Suplementasi ekstrak etanol rosela setiap 2 hari sekali tidak mempengaruhi indeks jantung mencit (Gambar 54). Perlakuan dengan radiasi sinar-X juga tidak berpengaruh terhadap indeks jantung mencit (p=0.433).
Tabel 32 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ sistem sirkulasi mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Berat relatif pada kelompok perlakuan (gram) K P R RP Jantung (p=0.433) 2-4 2.9 0.46±0.18ab 0.30±0.01a 0.41±0.13ab 0.59±0.19ab ab ab ab 0.44±0.33 0.70±0.15 0.52±0.31ab 4-8 2.9 Recov 0.55±0.34 a ab ab 6-8 5.3 0.30±0.14 0.50±0.12 0.60±0.15 0.48±0.23ab a ab ab 8-12 5.3 Recov 0.31±0.11 0.48±0.03 0.48±0.14 0.36±0.13ab Paru-paru (p=0.013) 2-4 2.9 1.02±0.28cde 0.91±0.31bcd 0.83±0.14abcd 0.95±0.21cde abcd abc bc d 4-8 2.9 Recov 0.89±0.54 0.77±0.30 0.62±0.18 0.79±0.47abc a abc bc d 6-8 5.3 0.30±0.12 0.87±0.26 0.59±0.11 0.40±0.26ab abc abcd abcd 8-12 5.3 Recov 0.63±0.16 0.72±0.05 0.70±0.19 0.73±0.27abcd abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p≥0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert. Waktu Total Radiasi (minggu) (mSv)
Menurut Grundmann et al. (2009), jantung dan paru-paru merupakan organ yang kurang sensitif terhadap radiasi ionisasi. Kerusakan pada organ jantung dan paru-paru kemungkinan disebabkan oleh gangguan fungsi sel-sel penyusun jaringan. Suplementasi rosela berpengaruh terhadap fungsi sel-sel dalam jaringan karena adanya komponen antocyanin sekitar 2% dan vitamin C meskipun dalam jumlah sedikit sekitar 0.004% dari berat total dosis yang diberikan. Kerusakan sel otot jantung disebabkan oleh kelebihan ion Ca2+ intraseluler akibat menurunnya kadar aktifitas Na+-K+-ATPase atau Ca2+-Mg2+-ATPase. Kelebihan Ca2+ akan meningkatkan beban kerja otot jantung secara berlebih dan berakibat
pada
penyakit
kardiovaskular.
Patofisiologi
penyakit
jantung
dipengaruhi oleh kadar aktifitas Na+-K+-ATPase atau Ca2+-Mg2+-ATPase yang terlalu rendah sehingga terjadi berbagai bentuk penyakit jantung (Blaustein 1996). Pembebanan berlebih dalam waktu yang lama pada otot jantung akan menyebabkan terjadinya hipertopi sehingga indeks jantung menjadi meningkat.
88
Suplementasi ekstrak rosela akan meningkatkan kadar aktifitas Na+-K+ATPase dan Ca2+-Mg2+-ATPase. Kadar Ca2+ akan ditekan dan beban kerja otot jantung juga akan menurun (Olatunji et al. 2006). Antocyanin dalam ekstrak rosela akan membantu otot jantung untuk bekerja dengan kondisi optimal dengan menstabilkan kesetimbangan Ca2+ dengan enzimnya Na+-K+-ATPase dan Ca2+Mg2+-ATPase. Sistem pernafasan merupakan organ yang menyediakan oksigen (O2) untuk sel-sel dalam tubuh dan membuang karbondioksida (CO2) dari sel keluar tubuh. Paru-paru merupakan organ utama yang bekerja pada proses tersebut (Nilsson 2010). Berat relatif organ paru-paru akan meningkat jika terjadi gangguan fungsi sistemik maupun kerusakan lokal pada sel-sel sistem pernafasan. Stres oksidatif akan merusak kesetimbangan agen oksidan (radikal bebas) dan antioksidan dalam tubuh. Stres oksidatif dapat terjadi karena paparan radiasi ionisasi sinar-X yang diberikan dalam perlakuan penelitian. Radiasi ionisasi menyebabkan kerusakan sel-sel normal organ pernafasan dan kemungkinan dapat menurunkan fungsi sel tanggap kebal. Proses degradasi sel yang rusak maupun materi hasil apoptosis tidak dapat berjalan dengan baik.
B
berat relatif (gram)
A
Gambar 54 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) sistem sirkulasi mencit. A. BR jantung. B. BR paru-paru. K (NaCl non radiasi); P (NaCl + radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
89
Proses pernafasan seluler melalui metabolisme yang komplek. Proses pembentukan energi (adenosine triphosphate, ATP) dalam sel dilakukan oleh mitokondria melalui proses oxidative phosphorylation. Oksigen dibutuhkan dalam proses metabolisme glukosa untuk menghasilkan ATP, CO2 dan H2O. Akan tetapi agen oksidasi berupa hidrogen peroksida (H2O2) terbentuk selama proses metabolisme sebagai metabolit (Turrens 2003). Sistem tanggap kebal juga bekerja melalui proses fagositosis dengan melepaskan agen oksidasi H2O2 dari sel fagosit untuk mendegradasi antigen. Agen oksidasi dilepaskan dalam media ekstraseluler akan berbahaya karena dapat merusak sel-sel tubuh (Hemila 1994; Akaike et al. 1998). Vitamin C yang diserap tubuh merupakan agen antioksidan yang dapat menetralkan agen oksidasi berlebih dalam media ekstraseluler (Hemila 2003).
Berat Relatif Organ pada Sistem Urogenital Sistem organ urogenitalis mencit terdiri atas organ ginjal, kelenjar aksesorius, dan testes (Tabel 33). Berat relatif organ ginjal (kanan-kiri) memiliki nilai yang sama pada semua kelompok perlakuan (p=0.229). Berat relatif organ kelenjar aksesorius terdapat sedikit perbedaan yang nyata pada kelompok R setelah 2-4 minggu dan kelompok RP setelah terpapar dosis radiasi 5.3 mSv menunjukkan nilai yang lebih kecil dari kelompok lainnya (p=0.018). Berat relatif testes pada semua kelompok perlakuan dan dosis berbeda tidak berbeda secara statistik (p=0.452). Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk melakukan filtrasi darah dan ekskresi sisa-sisa metabolisme dalam tubuh berupa urin serta menjaga homeostasis tubuh. Sistem homeostasis yang terjadi dalam ginjal diantaranya seperti kesetimbangan asam-basa, elektrolit, tekanan darah dan sistem hormonal (Guyton & Hall 2006). Menurut Grundmann et al. (2009), ginjal termasuk organ yang kurang sensitif sedangkan kelenjar aksesorius dan testes termasuk yang sensitif terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi. Rosela mengandung flavonoid antocyanin dan vitamin C. Suplementasi rosela akan diserap melalui sistem pencernaan, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin dan empedu. Suplementasi peroral antocyanin dalam
90
sistem pencernaan akan diserap sekitar 5 % (Williams et al. 2004; Lotito & Frei 2006; Frei 2007), sedangkan vitamin C dengan dosis < 20 mg penyerapan dapat mencapai 98 % (Levine et al. 1996). Penyerapan dan distribusi hasil metabolisme ekstrak rosela dalam tubuh akan menyediakan sumber antioksidan tambahan untuk menetralkan kelebihan radikal bebas. Ekskresi rosela melalui urin akan menyediakan komponen antioksidan pada sistem urogenital secara ekstraseluler. Ginjal dan saluran urinasi akan terjaga dari kerusakan oleh radiasi ionisasi yang diberikan selama perlakuan. Tabel 33 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ sistem urogenital mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Berat relatif pada kelompok perlakuan (gram) P R RP Ginjal (p=0.229) 2-4 2.9 1.61±0.08ab 1.40±0.43a 1.67±0.06ab 1.79±0.42abc c abc abc 4-8 2.9 Recov 2.24±0.22 1.78±0.37 1.84±0.18 2.04±0.61bc abc abc ab 6-8 5.3 1.80±0.15 1.81±0.31 1.57±0.26 1.84±0.44abc abc abc ab 8-12 5.3 Recov 1.70±0.11 1.69±0.10 1.57±0.07 2.03±0.19bc Kelenjar aksesorius (p=0.018) 2-4 2.9 0.58±0.23abcd 0.60±0.02abcd 0.27±0.06ab 0.83±0.20cd abcd d bc d 4-8 2.9 Recov 0.71±0.21 0.99±0.60 0.78±0.22 0.90±0.45cd abcd cd abcd 6-8 5.3 0.60±0.11 0.80±0.52 0.74±0.13 0.40±0.26abc cd bc d d 8-12 5.3 Recov 0.79±0.22 0.96±0.22 0.90±0.22 0.81±0.29cd Testes (p=0.452) 2-4 2.9 1.15±0.17ab 1.01±0.48ab 1.12±0.39ab 1.55±0.43b ab ab a 4-8 2.9 Recov 0.95±0.20 1.10±0.32 0.97±0.42 0.98±0.15a ab ab a 6-8 5.3 1.05±0.09 1.37±0.29 0.96±.0.09 1.29±0.62ab ab ab a 8-12 5.3 Recov 1.24±0.09 1.12±0.21 0.90±0.17 0.95±0.17a abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert. Waktu Total Radiasi (minggu) (mSv)
K
Kelenjar aksesorius dan testes merupakan bagian dari sistem genital jantan. Kelenjar aksesorius menghasilkan sekreta dan testes memproduksi sel sperma melalui proses spermatogenesis (Heller & Clermont 1963). Sensitifitas organ kelenjar aksesorius terhadap kerusakan oleh radiasi ionisasi dalam jumlah besar akan terlihat pada indek berat relatif organ. Produksi sekresi menjadi lebih besar sehingga indek berat relatif organ bertambah seiring dengan bertambahnya dosis yang diterima (Gambar 55). Organ testes tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam berat relatif.
Pengamatan mikroskopis pada kondisi sel-sel
penyusun testes perlu dilakukan untuk mengetahui bentuk kerusakan yang terjadi.
91
B
berat relatif (gram)
A
C
Gambar 55 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) sistem urogenitalis mencit. A. BR ginjal. B. BR kelenjar aksesorius. C. BR testes. K (NaCl non radiasi); P (NaCl+radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
Berat Relatif Organ pada Organ Hati dan Limpa Organ hati setelah terpapar radiasi 2.9 mSv dan 5.3 mSv mengalami penurunan berat relatif pada kelompok P, R dan RP (p=0.013). Pemulihan selama 30 hari setelah diradiasi terjadi pemulihan berat dalam ukuran normal seperti kontrol (K). Sedangkan organ limpa pada kelompok R setelah pemulihan dan setelah 6-8 minggu terlihat lebih berat dari kelompok lainnya (p=0.004). Hasil pengukuran berat relatif organ hati dan limpa sebagaimana pada Tabel 34. Organ hati berfungsi sebagai pusat detoksifikasi, mensintesis protein, dan memproduksi material biokimia untuk pencernaan melalui proses metabolisme (Maton et al. 1993). Radiasi ionisasi yang diberikan kemungkinan menyebabkan kerusakan pada sel-sel penyusun jaringan organ hati. Kematian dan kerusakan sel menyebabkan hilangnya sejumlah sel dari susunan sel dalam jaringan. Kehilangan
92
sel dalam jumlah besar akan menyebabkan menurunnya fungsi organ dan akan terlihat pada berat relatif yang menurun (Gambar 56A). Tabel 34 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ hati dan limpa mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Hati (p=0.013) 2-4 2.9 6.25±1.41bcd 3.93±0.69a 4.77±0.99abc 5.32±0.43abcd cde de bcde 4-8 2.9 Recov 6.59±1.32 6.92±1.30 7.15±1.16 7.50±1.43de abcd bc d bc d 6.19±0.31 6.31±0.16 5.95±0.24abcd 6-8 5.3 5.94±0.20 abcd abcd abcd 8-12 5.3 Recov 5.87±1.29 5.62±0.59 5.80±0.16 5.80±1.05abcd Limpa (p=0.004) 2-4 2.9 0.35±0.03ab 0.40±0.17ab 0.52±0.19abc 0.36±0.02ab abc a bcde 0.25±0.02 0.81±0.57 0.50±0.06abc 4-8 2.9 Recov 0.48±0.23 ab ab abcde 6-8 5.3 0.37±0.24 0.43±0.22 0.67±0.22 0.24±0.01a abc abc ab 8-12 5.3 Recov 0.45±0.35 0.48±0.23 0.41±0.05 0.29±0.11ab abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert. Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
Limpa merupakan organ hematopoietik selain sumsum tulang, timus dan limfonodus. Limpa sebagai organ yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah, menyimpan cadangan sel darah merah, limfosit dan trombosit (Mebius & Kraal 2005). Radiasi ionisasi dapat merusak organ dengan memiliki sel yang aktif membelah seperti halnya limpa. Menurut Grundmann et al. (2009), limpa termasuk organ hematopoetik yang sangat sensitif terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radisi ionisasi. Kerusakan yang terjadi akan merusak sel-sel penyusun jaringan limpa dan berakibat pada penurunan berat relatif organ (Gambar 56B). Suplementasi rosela sebagai sumber antioksidan alami pada mencit belum mencukupi untuk menetralkan radikal bebas pada organ limpa. Antioksidan yang beredar dalam seluruh tubuh dalam konsentrasi dan jumlah yang sama. Swirski et al. (2009), menyatakan bahwa cadangan sel darah di dalam organ limpa hampir mencapai 30% dari total sel darah yang bersirkulasi. Kerusakan pada limpa oleh radiasi ionisasi akan memberikan efek yang besar pada sel-sel darah dalam tubuh. Pengamatan mikroskopis pada organ limpa akan memperlihatkan bentuk dan tingkat kerusakan yang terjadi.
93
B
berat relatif (gram)
A
Gambar 56 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat Relatif (BR) organ hati dan limpa mencit. A. BR hati. B. BR limpa. K (NaCl non radiasi); P (NaCl+radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
Resume Berat Relatif Organ Hasil penelitian menunjukkan bahwa organ pembentuk darah dan organ pencernaan memiliki perbedaan berat relatif yang berbeda diantara kelompok perlakuan. Sistem pencernaan dan organ limfoid (limpa) memiliki berat relatif organ yang terlihat sangat signifikan diantara kelompok perlakuan baik setelah menerima paparan radiasi maupun setelah waktu pemulihan (Tabel 35). Sensitifitas organ berbeda-beda terhadap paparan radiasi. Radiosensitifity merupakan kondisi tingkat sensitifitas organ terhadap kerusakan yang disebabkan oleh adanya radiasi. Organ-organ pembentuk darah memiliki tingkat sensitifitas yang paling tinggi, disusul organ pencernaan dan organ reproduksi, kulit serta yang tidak sensitif yaitu otot dan otak (Grundmann et al. 2009; NRC 2006). Istilah lain yang digunakan adalah radioresistant yaitu kondisi daya tahan jaringan atau organ terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radiasi. Radioresistant merupakan kebalikan dari radiosensitifity (NRC 2006).
94
Tabel 35 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada berat relatif organ* mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. No Organ
Sensitifitas# P- value
1 2 3 4 5 6 7
Waktu (minggu ke-) 2-4 6-8 4-8 8-12 Total radiasi (mSv) Pemulihan dari- (mSv) 2.9 5.3 2.9 5.3 P>RP=K=R Sm R=K>P=RP Sm RP>P=K=R Sm K=R=P>RP RP>K=R>P Sm Sm Sm Sm Sm Sm Sm Sm Sm P>RP=R=K Sm Sm Sm Sm Sm Sm RP>P=K>R K=R=P>RP Sm Sm
Lidah + 0.001 Lambung +++ 0.000 Usus +++ 0.203 Jantung + 0.433 Paru-paru ++ 0.013 Ginjal ++ 0.229 Kelenjar +++ 0.018 asesoris 8 Testis +++ 0.452 Sm Sm Sm Sm 9 Hati ++ 0.013 K>RP=P=R Sm Sm Sm 10 Limpa +++ 0.004 Sm R>K=P>RP R>K=RP>P Sm *Berat relatif organ=(berat organ/berat badan) x 100. #Sumber: Grundmann et al. (2009); Sm=nilai sama pada semua kelompok; K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi, P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi, R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi, RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; + (kurang sensitif), ++ (sensitif), +++ (sangat sensitif) ; huruf cetak tebal membandingkan kelompok P dengan RP.
Tingkat pembelahan atau proliferasi sel penyusun jaringan yang menentukan tingkat sensitifitas atau daya tahan organ. Jaringan yang aktif membelah memiliki sensitifitas yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jaringan yang tidak aktif membelah (Thrall 2002). Paparan radiasi ionisasi dapat menyebabkan kerusakan pada struktur seluler organ dan berpengaruh terhadap berat relatif organ. Tubuh tersusun atas 60% komponen air (Guyton 1991). Paparan radiasi ionisasi berinteraksi dengan molekul air dan membentuk radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas terbentuk pada semua sel dan jaringan tubuh yang tersusun oleh komponen air. Selain komponen air, tubuh juga tersusun atas protein, lemak, karbohidrat dan unsur-unsur lainnya penyusun sel dan organel-organelnya. Radikal bebas secara fisiologis dibutuhkan oleh sel untuk melakukan berbagai aktifitas dan fungsinya dalam tubuh. Proses fagositosis (Hemila 1994; Akaike et al. 1998), komunikasi antar sel (Pacher et al. 2007), pernafasan seluler (Turrens 2003) membutuhkan dan diproduksi radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas berlebih dalam tubuh akan menyebabkan stress oksidatif dimana kesetimbangan homeostasis oksidan dan antioksidan terganggu (Sies 1997). Radikal bebas atau oksidan bersifat sangat reaktif dan merusak struktur atom
95
penyusun sel. Struktur sel seperti membran sel, reseptor sel, organel sel, hingga DNA dalam inti sel akan mengalami kerusakan oleh radikal bebas berlebih. Sel dapat memperbaiki setiap kerusakan yang ada secara fisiologis (Alvarado & Tsonis 2006), tetapi jika kerusakan yang terjadi cukup parah dan sel tidak mampu memperbaiki diri akan menyebabkan kematian sel (Alberts et al. 2008). Antioksidan merupakan agen yang mampu menetralkan radikal bebas atau oksidan dengan menyumbangkan elektron yang dimilikinya (Sies 1997). Antioksidan alami dari herbal rosela yang diberikan pada mencit penelitian sebelum diradiasi akan men-depo sejumlah antioksidan tambahan dari luar. Suplementasi ekstrak etanol rosela dapat memperkecil kerusakan seluler pada organ yang disebabkan oleh radikal bebas dari radiasi ionisasi sinar-X.
Gambaran Histopatologi Sumsum Tulang Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan diantara kelompok perlakuan sebagaimana tercantum pada Tabel 36. Radiasi ionisasi yang dipaparkan mempengaruhi kondisi jaringan dengan beberapa parameter seperti adanya deplesi yang sangat banyak (+++) pada kelompok P setelah menerima dosis 2.9 mSv dan dalam jumlah banyak (++) setelah 5.3 mSv. Akan tetapi pada kelompok
suplementasi
rosela
memperlihatkan
sedikit
perubahan
jika
dibandingkan dengan kelompok P. Radiasi ionisasi yang diberikan dari sarana radiodiagnostik pada seluruh tubuh mencit penelitian ini mampu menyebabkan kerusakan pada struktur sel-sel sumsum tulang. Kerusakan terlihat seiring dengan bertambahnya dosis yang diterima oleh mencit pada kelompok P. Sel-sel pada sumsum tulang yang terpapar radiasi ionisasi mengalami deplesi. Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan kepadatan pada sel-sel penyusun sumsum tulang (Gambar 57 dan Gambar 58). Gaman et al. (2009) melaporkan bahwa pada beberapa kasus keracunan oleh radiasi, obat-obatan dan bahan kimia medis, dan paparan virus dapat menginduksi terjadinya deplesi pada stem cell hematopoetik secara langsung.
96
Tabel 36 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada perubahan morfologi sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP 2-4 minggu (2.9 mSv) Sel darah dewasa +++ +++ +++ +++ Deplesi sel limfoid +++ + Deplesi sel myeloid +++ + Deplesi sel megakariosit ++ 4-8 minggu (2.9 mSv recov) Sel darah dewasa +++ +++ +++ +++ Deplesi sel limfoid Deplesi sel myeloid Deplesi sel megakariosit 4-6 minggu (5.3 mSv) Sel darah dewasa +++ +++ +++ +++ Deplesi sel limfoid + ++ + Deplesi sel myeloid ++ + + Deplesi sel megakariosit + 8-12 minggu (5.3 mSv recov) Sel darah dewasa +++ +++ +++ +++ Deplesi sel limfoid + + Deplesi sel myeloid + Deplesi sel megakariosit Data ditampilkan secara kualitatif (-) tidak ada, (+) sedikit, (++) banyak, (+++) sangat banyak; K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert. Parameter
K
Radiasi dengan energi tinggi dapat menyebabkan anemia karena terjadi kerusakan pada sumsum tulang dan pancytopenia. Kerusakan sumsum tulang oleh paparan radiasi seluruh tubuh sangat tergantung pada jumlah dosis yang diterima. Dosis kurang dari 1 Sv hanya mengakibatkan sedikit efek kerusakan pada sumsum tulang. Dosis 1-2.5 Sv menyebabkan penurunan jumlah keping darah dan dapat pulih kembali. Akan tetapi dengan dosis yang lebih besar dapat menyebabkan kerusakan permanen dan tidak bisa dipulihkan kembali. Dosis 5-10 Sv menyebabkan kematian dan menyebabkan kegagalan fungsi dari sumsum tulang. Paparan radiasi jangka panjang (kronis) dengan dosis rendah dapat menyebabkan aplastic anemia. Selain itu, dysplastic refractory anemia juga dapat terjadi akibat paparan radiasi ionisasi (Hillman et al. 2010). Paparan radiasi pada penelitian dilakukan dalam waktu 8 minggu setiap 2 hari dengan dosis rendah 0.2 mSv selama 1/10 detik. Kumulasi setelah 4 minggu sebesar 2.9 mSv dan setelah 8 minggu sebesar 5.3 mSv. Total radiasi pada
97
penelitian ini belum menyebabkan terjadinya anemia aplastik. Aplastic anemia merupakan kondisi dimana sumsum tulang tidak mampu memproduksi sel-sel baru secara cukup untuk mengganti sel darah. Aplastic anemia terjadi akibat paparan radiasi dosis sedang hingga dosis tinggi, terapi kimia, pengobatan yang mengganggu fungsi sumsum tulang. Aplastic anemia dapatan (idiopathic) dapat kembali normal jika penyebabnya dihilangkan (Bearden 2011). Radiasi ionisasi dengan kumulasi dosis 5.3 mSv menyebabkan terjadinya depresi pada sumsum tulang. Depresi yang terjadi pada sumsum tulang bersifat sementara, setelah masa pemulihan selama 30 hari tanpa paparan radiasi menunjukkan komposisi sel-sel penyusun sumsum tulang kembali normal (Tabel 37).
Tabel 37 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Sel lemak (sel) (p=0.000) 2-4 2.9 14.60±6.29abc 25.67±4.59f 19.87±1.79cdef 11.50±1.47ab ab cdef 4-8 2.9 Recov 12.47±4.89 19.70±5.45 16.53±3.80bcd 8.97±3.55a g bc d bcde 6-8 5.3 16.40±1.15 40.20±4.07 17.93±1.76 23.77±3.11ef def bc d bc d 8-12 5.3 Recov 15.60±1.51 22.23±2.64 15.90±0.78 19.70±2.55cdef Megakariosit (sel) (p=0.004) 2-4 2.9 19.67±3.59bc 11.53±4.38a 26.43±1.16d 21.67±1.69bcd cd bc bc d 4-8 2.9 Recov 19.00±2.69 24.77±6.16 21.67±1.69 21.03±5.61bcd ab bc bc d 6-8 5.3 19.73±0.81 20.87±1.77 16.80±1.23 20.87±0.65bcd bc bc b 8-12 5.3 Recov 19.63±2.31 19.37±2.11 17.83±2.54 19.43±2.32bc Limfoid (sel) (p=0.000) 2-4 2.9 144.07±3.88cd 97.67±4.08a 141.40±2.31cd 125.48±1.28b cd b 125.60±0.80 136.42±4.82bc 134.67±2.80bc 4-8 2.9 Recov 145.40±10.24 de a 6-8 5.3 148.60±5.72 99.13±8.16 176.27±6.99f 204.67±1.81g de f e 8-12 5.3 Recov 148.53±6.66 182.13±9.94 157.73±11.68 179.07±4.21f abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert.
Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang, diantaranya adalah sel lemak, sel megakariosit dan limfoid (Tabel 37). Jumlah sel lemak mengalami peningkatan pada kelompok P seiring dengan peningkatan total dosis yang diterima, tetapi pada kelompok RP hanya meningkat setelah 5.3 mSv. Jumlah sel lemak kelompok P dan RP setelah pemulihan 30 hari terlihat menurun sebagaimana pada kelompok K dan R tanpa
98
paparan radiasi. Sel megakariosit menunjukkan adanya penurunan jumlah pada kelompok P, meningkat setelah pemulihan dan kembali menurun dalam jumlah rataan normal. Sel limfoid kelompok P berada dalam jumlah yang rendah setelah total radiasi 2.9 mSv dan 5.3 mSv dan meningkat setelah pemulihan. Kelompok RP mengalami peningkatan jumlah sel limfoid seiring dengan bertambahnya dosis radiasi.
Gambar 57 Histopatologi sumsum tulang mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 2.9 mSv. A,E. Kelompok kontrol (K). B,F. Kelompok radiasi (P). C,G. Kelompok rosella (R). D,H. Kelompok Rosela radiasi (RP). Megakariosit (î) terlihat dengan ukuran yang besar, sel lemak (î) terlihat sebagai sel yang kosong, dan sel limfoid (î) terlihat dengan inti yang lebih gelap (hitam). Pewarnaan Hematoxylin-eosin (HE), Bar = 20 µm.
Keracunan radiasi pada darah perifer menyebabkan pancytopenia. Pancitopenia pada sumsum tulang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan jumlah sel (hypocellularity). Hypocellularity ditandai dengan hyperplasia sel lemak, sisa-sisa (residual) limfositosis, plasmositosis dan mastositosis (Kar & Ghosh 2002; Gaman et al. 2009). Hillman et al. (2010) menyatakan bahwa paparan radiasi dapat menyebabkan perubahan morfologi sumsum tulang (stem cell)
yang
terlihat
dengan
berkurangnya
jumlah
sel-sel
hematopoetik,
meningkatkan jumlah sel plasma, sel mast dan mengubah struktur sel. Sumsum tulang yang gagal melakukan fungsinya karena paparan radiasi merupakan hal penyebab kematian utama pada mamalia (Hu & Cucinotta 2011).
99
Gambar 58 Histopatologi sumsum tulang mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 5.3 mSv. A,E. Kelompok kontrol (K). B,F. Kelompok radiasi (P). C,G. Kelompok rosella (R). D,H. Kelompok Rosela radiasi (RP). Megakariosit (î) terlihat dengan ukuran yang besar, sel lemak (î) terlihat sebagai sel yang kosong, dan sel limfoid (î) terlihat dengan inti yang lebih gelap (hitam). Pewarnaan Hematoxylin-eosin (HE), Bar = 20 µm.
A
B
C
Gambar 59 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap sumsum tulang mencit. A. sel lemak. B. sel megakariosit. C. sel limfoid. K (NaCl non radiasi); P (NaCl+radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
100
Sumsum tulang merupakan organ yang aktif membelah diri dan sangat sensitif terhadap efek radiasi (Thrall 2002; Grundmann et al. 2009). Sumsum tulang terdiri atas dua tipe yaitu, sumsum merah yang merupakan jaringan utama sistem hematopoetik dan sumsum kuning yang banyak terdiri atas sel-sel lemak. Jumlah sel lemak yang meningkat menunjukkan adanya penurunan fungsi hematopoetik sumsum tulang (Stockham & Scott 2008). Hasil pada penelitian menunjukkan adanya efek proteksi pada kelompok ekstrak etanol rosela (RP) terhadap sumsum tulang dengan menjaga jumlah sel-sel sumsum tulang berada pada jumlah yang normal sebagaimana kelompok kontrol. Akan tetapi kelompok radiasi (P) tanpa suplementasi rosela menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel lemak seiring dengan peningkatan dosis radiasi sebagai indikasi adanya penurunan fungsi dari sumsum tulang. Respon adaptasi pada sel megakariosit terlihat pada total paparan radiasi 2.9 mSv jumlah sel menurun dan setelah total radiasi 5.3 mSv jumlah sel tetap berada dalam kisaran normal sebagaimana pada kelompok kontrol. Jumlah megakariosit sumsum tulang yang menurun mempengaruhi jumlah platelet (trombosit) darah perifer. Fliedner dan Graessle (2008) telah mereview tentang the role of cell renewal systems dalam mempertahankan integritas sel pada mamalia setelah terpapar radiasi sebagai konsekuensi berupa toleransi atau kegagalan fungsi. Sistem pembaharuan sel megakariosit-trombosit dapat menjelaskan tentang proses kehilangan sel (excess cell loss) yang disebabkan oleh radiasi selain kehilangan sel merupakan keadaan harian sumsum tulang (stem cell pool). Paparan radiasi akan berakibat kepayahan/kelelahan pada sumsum tulang dalam menjalankan fungsinya. Kejadian ini dapat berkembang jika terjadi stres pada sistem hematopoetik
sehingga
dapat
mengakibatkan
kegagalan
fungsi
organ.
Suplementasi antioksidan mampu meningkatkan daya hidup hewan coba dan tingkat pemulihan sumsum tulang terhadap kerusakan yang disebabkan oleh paparan radiasi ionisasi (Wambi et al. 2009). Hasil pengukuran pada luas area rongga tulang (p=0.702), luas area isi sumsum tulang (p=0.659), dan persentase luasannya (p=0.483) tidak berbeda nyata diantara kelompok perlakuan (Tabel 38). Pengamatan pada luasan area tidak memberikan hasil yang signifikan dalam penelitian ini (p>0.05).
101
Tabel 38 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada ukuran dan persentase area sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Luas rongga tulang (x103µm2) (p=0.702) 2-4 2.9 11.32±0.89b 10.36±0.38ab 10.16±0.63ab 10.54±0.28ab ab ab ab 4-8 2.9 Recov 10.65±0.57 10.34±0.48 10.67±1.24 10.54±0.03ab ab ab ab 6-8 5.3 10.44±0.84 10.37±0.05 10.31±0.63 10.93±0.31ab a ab ab 8-12 5.3 Recov 9.90±0.17 10.08±0.44 10.68±0.18 10.38±0.44ab 3 2 Luas isi tulang (x10 µm ) (p=0.659) 2-4 2.9 9.92±0.08ab 10.08±0.12ab 10.00±0.70ab 10.12±0.22ab ab ab b 4-8 2.9 Recov 10.57±0.64 10.39±0.77 10.09±0.57 10.26±0.09ab ab ab ab 6-8 5.3 10.17±0.53 10.12±0.21 9.95±0.40 10.54±0.16b ab ab b 8-12 5.3 Recov 9.54±0.15 9.80±0.08 10.50±0.18 8.60±2.67a Persentase area sumsum (%) (p=0.483) 2-4 2.9 87.96±7.59ab 97.41±2.34b 98.35±0.76b 96.14±4.62ab ab ab b 4-8 2.9 Recov 99.23±0.66 96.02±2.50 94.84±5.67 97.37±1.17b ab b b 6-8 5.3 97.52±2.75 97.57±1.54 96.57±2.05 96.55±4.19ab ab b b 8-12 5.3 Recov 96.33±3.17 97.33±3.43 98.31±0.03 82.31±22.18a abcdefg Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert.
Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
A
B
C
Gambar 60 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap sumsum tulang mencit. A. Luas rongga sumsum. B. Luas area sumsum. C. Persentase isi sumsum. K (NaCl non radiasi); P (NaCl+radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
102
Suplementasi antioksidan mampu meningkatkan daya hidup hewan coba dan tingkat pemulihan sumsum tulang sebagai pusat hematopoetik sel darah terhadap paparan radiasi ionisasi (Wambi et al. 2009). Sumsum tulang merupakan pusat sistem hematopoetik yang memproduksi sel-sel limfoid dari progenitornya. Sel-sel limfoid akan dilepaskan dalam buluh darah perifer setelah mengalami proses pendewasaan menjadi sel limfosit (Stockham & Scott 2008). Hasil penelitian terlihat adanya sel limfoid yang meningkat seiring dengan dosis yang diterima. Hal ini kemungkinan terjadi kerusakan pada sistem hematopoetik dimana terjadi kerusakan dalam jumlah yang cukup besar. Sel limfoid diproduksi cukup besar untuk mengimbangi kekurangan yang terjadi, sehingga sel-sel muda dalam sumsum tulang dilepaskan ke dalam darah perifer sebagai respon homeostasis tubuh. Depresi/supresi sumsum tulang disebut juga sebagai myelosupresi. Myelosupresi merupakan kondisi abnormal pada sumsum tulang yang tidak dapat memproduksi sel darah merah, sel darah putih dan platelet dalam jumlah yang normal (Stockham & Scott 2008; Varghese et al. 2010). Depresi biasanya terjadi pada 7-10 hari setelah menjalani kemoterapi, terapi antineoplastik dan terapi radiasi. Depresi dapat pulih menjadi normal setelah 3-4 minggu kemudian (Wang et al. 2003; Maya et al. 2008). Pada penelitian ini kemungkinan terjadi depresi sumsum tulang oleh paparan radiasi kronis yang diberikan sehingga meningkatkan jumlah sel lemak, menurunkan jumlah sel megakariosit dan sel limfoid. Waktu pemulihan selama 30 hari memberikan waktu yang cukup bagi sumsum tulang mencit untuk memulihkan jaringan sumsum. Depresi sumsum tulang merupakan kondisi kelainan serius yang berpengaruh pada proses pembentukan sel darah dan platelet (trombosit). Depresi sumsum tulang dapat berkembang menjadi gangguan sistem tanggap kebal sehingga tubuh menjadi rentan terhadap infeksi. Radiasi ionisasi kronis dapat merusak dan membunuh sel-sel dalam sumsum tulang yang aktif membelah dan berpengaruh pada sistem tanggap kebal (Chen et al. 2007; Varghese et al. 2010). Tubuh lebih tahan terhadap dosis kronis dibandingkan dosis akut. Dosis radiasi kronis adalah jumlah radiasi dengan dosis yang relatif kecil yang diterima dalam jangka waktu yang panjang. Tubuh
memiliki cukup waktu untuk
103
memperbaiki kerusakan yang terjadi. Hal ini karena persentase sel yang membutuhkan perbaikan lebih sedikit dalam waktu yang cukup. Tubuh juga memiliki cukup waktu untuk mengganti sel-sel yang tidak berfungsi lagi atau mati dengan sel baru yang sehat (Jefferson Lab. 2011). Waktu pemulihan jangka pendek dalam penelitian setiap 24-48 jam setelah paparan radisi ionisasi. Waktu pemulihan jangka panjang pada akhir perlakuan radiasi yaitu selama 30 hari. Waktu pemulihan 1-2 hari dan 30 hari setelah perlakuan dalam penelitian memberikan cukup waktu bagi tubuh mencit untuk memperbaiki kerusakan sel akibar paparan kronis yang diberikan. Perlindungan sel tubuh secara internal, dalam hal ini sumsum tulang, dapat dilakukan dengan pemberian bahan aktif dari luar tubuh. Suplementasi antioksidan ditujukan untuk menetralkan radikal bebas yang terbentuk saat paparan radiasi pada tubuh. Radikal bebas akan meracuni tubuh dengan merusak sel dan organel-organelnya yang menyebabkan kematian sel. Suplementasi sebelum paparan radiasi bertujuan untuk men-depo sejumlah antioksidan yang akan menyumbangkan elektronnya kepada radikal bebas sehingga menjadi netral dan tidak reaktif lagi. Suplementasi vitamin dan mineral yang mengandung antioksidan dapat memiliki efek protektif terhadap kerusakan yang disebabkan oleh sinar-x. Ohmori et al. (2005) mengkaji aktifitas antioksidan dari 6 jenis teh, termasuk ekstrak cair teh hijau dan teh oolong (Camellia sinensis), tochu (Eucommia ulmoides), Gymnema sylvestre, tanaman herbal mugwort Jepang (Artemisia princeps), dan jelai (Hordeum vulgare), terhadap radikal 1,1-diphenyl-2- picrylhydrazyl (DPPH) (Dede et al. 2003). Senyawa flavonoid memiliki aktivitas antioksidan 20 kali lebih kuat daripada vitamin dalam model oksidasi lipoprotein (Craig 1999; Vinson et al. 1995). Ganguly (2003) melaporkan bahwa ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan perlindungan oleh antioksidan menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein, lemak dan DNA. Senyawa polifenol terutama flavonoid hanya terdapat pada tanaman, buah-buahan, sayuran dan tanaman herbal. Flavonoid merupakan fitokimia yang mampu melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa molekul bioaktif alami dalam ekstrak etanol rosela mampu melindungi substansi
104
sumsum tulang dari kerusakan radiasi. Kehadiran antioksidan dalam tanaman Rosela menekan pembentukan radikal bebas lemak dan dengan demikian mencegah pembentukan endoperoksidasi.
Resume Histopatologis Sumsum Tulang Hasil penelitian menunjukkan adanya efek proteksi pada kelompok ekstrak etanol rosela terhadap sumsum tulang dengan menjaga jumlah sel-sel sumsum tulang berada pada jumlah yang normal sebagaimana kelompok kontrol. Akan tetapi kelompok radiasi menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel lemak seiring dengan peningkatan dosis radiasi sebagai indikasi adanya penurunan fungsi dari sumsum tulang (Tabel 39). Tabel 39 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Waktu (minggu ke-) 2-4 6-8 4-8 8-12 No Parameter Total radiasi (mSv) Pemulihan dari- (mSv) 2.9 5.3 2.9 5.3 1 Sel lemak (sel) 0.000 R=P>RP=K P>RP>R=K Sm P>RP=R=K 2 Sel megakariosit (sel) 0.004 R>K>RP>P K=P=RP>R P>RP=R=K Sm 3 Sel limfoid (sel) 0.000 K=R>RP>P RP>R>K>P K>RP=P=R P=RP>R=K 4 Rongga tulang (µm2) 0.702 Sm Sm Sm Sm 5 Sumsum tulang (µm2) 0.659 Sm Sm Sm Sm 6 Luas area (%) 0.483 Sm Sm Sm Sm Sm=nilai sama pada semua kelompok; K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi, P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi, R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi, RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; huruf cetak tebal membandingkan kelompok P dengan RP. Pvalue
Depresi pada sumsum tulang terjadi pada kelompok P dalam penelitian ini. Penurunan fungsi sumsum tulang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel lemak seiring dengan meningkatnya kumulasi dosis radiasi sina-X yang diterima. Aminin et al. (2011) melaporkan bahwa jumlah sel-sel limfoid pada sumsum tulang menurun karena pengaruh radiasi ionisasi sinar- . Radiasi ionisasi menginduksi berbagai jenis perubahan pada sel-sel dan lingkungan mikro dari sel tersebut (Little 2000; Barcellos-Hoff et al. 2005). Radiasi menyebabkan terbentuknya gugus hidroksil radikal secara in-vivo dalam jumlah besar melalui
105
proses homolitik komponen air pada tubuh atau dari hidrogen peroksida endogen yang dibentuk saat proses pengurangan anion superoksida. Hidroksil radikal adalah sitotoksik radikal utama penyebab kerusakan DNA melalui proses oksidasi. Agen eksogen yang mampu melawan radikal bebas sangat diperlukan untuk menurunkan kerusakan sel normal (Castillo et al. 2000). Rosela dalam penelitian ini termasuk dalam agen radioprotektor kimia. Ekstrak rosela diberikan untuk menjaga sel lemak, megakaryosit dan sel limfoid sumsum tulang berada dalam jumlah normal dari bahaya radiasi ionisasi. Rosela memiliki senyawa polifenol terutama flavonoid, yang mampu melindungi sel dari kerusakan dengan menetralisir produksi radikal bebas yang terjadi selama terpapar radiasi radiodiagnostik.
Gambaran Histopatologi Organ Limpa Perubahan luas pulpa putih tampak sangat besar dengan persentase > 50% luas limpa terjadi pada kelompok P yang menerima total radiasi ionisasi 2.3 mSv dan 5.3 mSv. Hanya sedikit terjadi perluasan pulpa putih pada kelompok RP dengan suplementasi radioprotektif rosela dan tidak ada perubahan perluasan pada kelompok lainnya. Pemulihan selama 30 hari tanpa paparan radiasi memulihkan luasan pulpa putih sesuai dengan kelompok K dan R. Akan tetapi terjadi perluasan pulpa putih kelompok RP pada masa pemulihan dengan persentase sekitar 25-50% (Tabel 40). Jumlah Periarteriolar Lymphoid Sheath (PALS) kelompok P selalu lebih rendah dari kelompok lainnya seiring dengan bertambahnya dosis, tetapi tidak signifikan secara statistik (P=0.248). Jumlah folikel pulpa putih dalam limpa pada kelompok P juga selalu lebih rendah dari kelompok lainnya, meskipun secara statistik tidak bebeda (p=0.280). Pemulihan selama 30 hari pada jumlah PALS dan folikel pulpa putih limpa dari kumulasi dosis 2.9 mSv kembali normal. Akan tetapi pada kumulasi dosis 5.3 mSv jumlah folikel tidak kembali normal. Kelompok mencit dengan pemberian suplementasi ekstrak etanol rosela (RP), paparan radiasi yang diterima dapat menekan penurunan jumlah PALS dan folikel hingga mendekati normal (Tabel 40 dan Gambar 61).
106
Tabel 40 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada perubahan morfologi luasan pulpa limpa mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari. Kelompok Perlakuan P R RP Luas Area Pulpa Putih* 2-4 2.9 ++ + 4-8 2.9 Recov 6-8 5.3 ++ 8-12 5.3 Recov Jumlah Periarteriolar Lymphoid Sheath (PALS) (p=0.248) 2-4 2.9 7.00±0.00abc 5.00±2.65ab 6.67±2.52abc 6.33±2.52abc abc abc bc 4-8 2.9 Recov 7.33±1.15 6.67±2.31 7.00±1.00 7.67±0.58bc abc a c 6-8 5.3 7.00±0.00 4.33±0.58 8.33±1.53 6.00±1.00abc abc bc bc 7.00±1.00 7.33±1.15 7.00±0.00abc 8-12 5.3 Recov 7.67±1.53 Jumlah (folikel) (p=0.280) 2-4 2.9 5.33±0.58ab 2.67±1.53a 5.67±1.53ab 5.00±1.73ab ab ab b 4-8 2.9 Recov 5.33±1.15 4.67±1.15 6.33±0.58 4.67±1.53ab ab ab ab 3.33±1.15 5.00±2.89 5.33±0.58ab 6-8 5.3 4.67±1.15 ab ab ab 8-12 5.3 Recov 5.00±1.00 3.33±1.53 5.33±2.83 3.67±2.31ab *Data ditampilkan secara kualitatif (-) luas pulpa putih < 25% luas limpa; (+) luas pulpa putih 2550% luas limpa; (++) luas pulpa putih > 50% luas limpa; Data ditampilkan secara kuantitatif dalam Mean ± SD; abcdefgHuruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05); K=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; P=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R=ekstrak etanol rosela tanpa radiasi ionisasi; RP= ekstrak etanol rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert.
Waktu Total Dosis (minggu) Radiasi (mSv)
K
Limpa mampu menyimpan sebanyak 25-30% dari total limfosit dalam tubuh, sebagian besar cadangan sel darah berupa sel mononuclear fagosit dalam pulpa merah, sel-sel limfoid berupa sel limfosit T dan sel limfosit B serta platelet dalam pulpa putih. Pulpa merah berfungsi untuk menyaring dan mendegradasi RBC tua, rusak, menghilangkan Heinz body dan Howell Jolly body serta memproduksi sel darah saat terjadi anemia. Pulpa putih terdiri atas periarteriolar lymphoid sheath (PALS, T-cell area), adjacent follicles (B-cell area), dan marginal zone (B-cell area) (Elmore 2006). Pulpa putih berfungsi menangkap antigen untuk didegradasi (Pathologyoutlines.com 2010). Kelainan limpa dapat berupa kelainan neoplastik atau pembelahan atau proliferasi baru pada sel-sel penyusunnya. Kelainan neoplastik ditandai dengan adanya hiperplasia limfosit dan limfosarkoma. Hiperplasia yang difus pada pulpa putih merupakan tanda terjadinya hiperplasia limfosit (Lymphoid hyperplasia) dan limfosarkoma (Lymphoma, malignant lymphoma) (Suttie 2006). Hiperplasia limfoid merupakan pembesaran yang terjadi secara general pada periarteriolar
107
lymphoid sheath (PALS, T-cell area) atau folikel limfoid karena adanya proliferasi sel-sel limfosit (Stefanski et al. 1990).
A
B
Gambar 61 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap limpa mencit. A. Jumlah Periarteriolar Lymphoid Sheath (PALS). B. Jumlah folikel pulpa putih. K (NaCl non radiasi); P (NaCl+radiasi); R (Rosela non radiasi); RP (Rosela+radiasi); mSv (mili Sievert).
Hiperplasia limfosit pada organ limpa juga ditandai dengan meningkatnya areal dan jumlah komponen pulpa putih, sedangkan kondisi pulpa merah masih dalam keadaan normal. Folikel (pusat germinal) mengalami pembesaran dan terjadi peningkatan pada jumlahnya (Suttie 2006). Beberapa ahli patologi mengelompokkan semua jenis limfosarkoma dalam satu kategori, beberapa juga mengklasifikasikan dalam kriteria tertentu (Morse at al. 2002). Hiperplasia limfosit dan limfosarkoma biasanya terlihat secara bersamaan dalam pengamatan mikroskopis (Elmore 2006). Hasil penelitian menunjukkan adanya perluasan daerah pulpa putih dan penurunan jumlah PALS dan folikel pada kelompok yang mendapat
radiasi.
Suplementasi
ekstrak
rosela
memperlihatkan
adanya
pengaruhnya terhadap perubahan ini yang ditekan hingga mendekati kondisi normal sebagaimana kelompok K dan R. Gambaran histopatologis organ limpa terlihat proliferasi pulpa putih pada kelompok radiasi (P) sedangkan kelompok rosela (RP) berada dalam kondisi normal seperti kontrol (Gambar 62 dan 63). Proliferasi pulpa putih sangat
108
dominan karena pengaruh paparan radiasi ionisasi dari sinar-X yang diberikan. Kerusakan sel perifer akan masuk dalam organ limfoid untuk didegradasi atau dipecah. Stevens et al. (1986) melaporkan bahwa radiasi pada abdomen mempengaruhi fungsi limpa pada pasien yang menjalani radioterapi. Hudson et al. (2011) melaporkan bahwa hewan coba dengan usia muda menunjukkan tingkat kerusakan DNA pada limpa lebih tinggi dari pada hewan yang sudah tua.
Gambar 62 Histopatologi limpa mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 2.9 mSv. A,E. Kelompok kontrol (K). B,F. Kelompok radiasi (P). C,G. Kelompok rosela (R). D,H. Kelompok Rosela radiasi (RP). Pewarnaan hematoxylin-eosin (HE), Bar = 200 µm.
Kerusakan pada sel-sel darah perifer seperti sel darah putih, trombosit, dan sel darah merah akan didegradasi dalam organ limpa. Cadangan sel-sel darah yang ada dalam limpa akan dilepaskan untuk menggantikan sejumlah sel yang rusak. Sel yang rusak dalam jumlah cukup besar akan membebani fungsi limpa dalam memproduksi sel yang baru dan mendegradasinya. Kerusakan ataupun penurunan fungsi sumsum tulang akan dibebankan juga fungsinya pada limpa sebagai organ hematopoetik. Radiasi ionisasi dosis rendah berulang secara klinis menyebabkan kerusakan pada sel darah perifer (Tabel 35) dan pada pemeriksaan histopatologis terlihat adanya depresi sumsum tulang (Tabel 39).
109
Hiperplasia limfosit ditandai dengan meningkatnya jumlah sel limfosit poliklonal. Sedangkan limfosarkoma ditandai dengan meningkatnya populasi sel limfosit monoklonal. Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) hanya memperlihatkan adanya peningkatan populasi sel limfosit (Suttie 2006). Perbedaan antara hiperplasia limfosit dengan limfosarkoma sampai saat ini masih belum jelas secara histopatologi konvensional. Untuk membedakannya dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan khusus imunologi melalui pewarnaan imunohistokimia (Ward et al. 2006).
Gambar 62 Histopatologi limpa mencit setelah perlakuan dengan total paparan radiasi diagnostik 5.3 mSv. A,E. Kelompok kontrol (K). B,F. Kelompok radiasi (P). C,G. Kelompok rosela (R). D,H. Kelompok Rosela radiasi (RP). Pewarnaan hematoxylin-eosin (HE), Bar = 200 µm.
Mekanisme Radioproteksi Berbahan Herbal Alam Radiasi ionisasi menyebabkan efek yang merusak pada jaringan dan dapat berakhir dengan terbentuknya kanker. Paparan jangka panjang (kronis) radiasi ionisasi dapat menyebabkan konsekuensi negatif pada kondisi kesehatan (Gridley & Pecaut 2006). Efek merusak akan menyebabkan peradangan pada jaringan, terbentuknya radikal bebas dengan konsekuensi terjadinya oksidasi pada lemak dan protein, kerusakan DNA dan penekanan fungsi imunitas (Weill et al. 2011).
110
Paparan radiasi ionisasi seluruh tubuh atau total-body exposure to ionizing radiation (TBI) pada tubuh dapat menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi banyak organ. Hal ini sebagai akibat adanya toksisitas / keracunan radiasi pada sistem hematopoetik, gastrointestinal, cerebrovaskular dan sangat ditentukan oleh total dosis radiasi yang diserap oleh tubuh (Coleman et al. 2001; Mettler & Voelz 2002). Respon seluler akibat radiasi terlihat dengan terputusnya kromosom dalam jumlah besar yang berakhir dengan kematian (Acharya et al. 2011).
Gambar 64 Tahapan kejadian yang mengikuti paparan radiasi. Gambar dibagi dalam 3 bagian oleh garis putus-putus dan reaksi yang terjadi berupa radioprotektor (atas), mitigator radiasi (tengah), dan terapi (bawah). Sumber: Citrin et al. 2010.
Stone et al. (2004) menggolongkan bahan yang bermanfaat terhadap kerusakan jaringan oleh radiasi berdasarkan tahapan waktu kejadian dalam 3 kategori, yaitu: 1) radioprotektor, 2) mitigator, 3) terapi (Gambar 64). Radioprotektor merupakan agen yang bekerja pada saat bersamaan dengan kejadian paparan radiasi yang meningkatkan pencegahan dan pengurangan kerusakan pada jaringan normal. Mitigator merupakan agen yang bekerja bersamaan hingga setelah paparan radiasi pada jaringan normal yang rusak. Terapi
111
merupakan agen yang bekerja dengan memperbaiki sel rusak yang bertahan setelah paparan radiasi. Paparan radiasi ionisasi dari paparan radiasi medis memberikan kontribusi sebesar 35% dengan dosis sekitar 0.8 mSv (DMP 2011). Efek jangka panjang oleh pengulangan pencitraan radiodiagnostik akan memberikan konsekuensi yang cukup serius (Tucker 2008). Respon adaptasi dapat terjadi dengan pemberian paparan dosis rendah mampu mengurangi efek kerusakan yang disebabkan oleh dosis tinggi pada paparan radisi berikutnya (Tapio & Jacob 2007). Hal ini terjadi karena adanya respon adaptasi yang diekspresikan oleh cytoprotective gen oleh paparan kronis pada beberapa sel yang terpapar (Tucker 2008).
Gambar 65 Mekanisme kerusakan secara langsung dan tidak langsung oleh radiasi ionisasi pada jaringan. Sumber: Hall & Giaccia 2006
112
Kerusakan jaringan oleh radiasi dibedakan dalam 2 mekanisme (Hall & Giaccia 2006), yaitu: 1) kerusakan langsung (direct effects) dan 2) kerusakan tidak langsung (indirect effects). Kerusakan langsung terjadi dimana radiasi memiliki energy yang cukup untuk merusak target dalam sel seperti DNA. Kerusakan tidak langsung terjadi dengan proses pembentukan radikal bebas pada molekul atom yang terpapar (Gambar 65). Radikal bebas yang terbentuk dalam jumlah yang cukup selanjutnya mengakibatkan kerusakan pada jaringan normal (von Sonntag 1987). Kerusakan pada jaringan pada saat terpapar radiasi pada jaringan dapat ditangkal dengan pemberian anti radiasi seperti amifostin (Hendry et al. 2006). Laporan penelitian tentang pemanfaatan amifostin dapat mengurangi keparahan kejadian keracunan radiasi yang akut pada esophagus, pulmonary, hematologi pada saat menjalani kemoradiasi secara intensif untuk mengatasi kanker paru-paru (Komaki et al. 2004). Oksigen mempunyai fungsi penting bagi makhluk hidup karena menyokong proses pembentukan energi secara biologis. Akan tetapi proses metabolism energi akan membentuk radikal bebas yang menginduksi proses kerusakan oleh oksidasi pada biomakromolekul, termasuk DNA, protein dan karbohidrat (Aiyegoro & Okoh 2010). Kelainan degeneratif pada beberapa kasus juga disebabkan oleh hadirnya radikal bebas akibat stress yang berkepanjangan (Halliwell et al. 1992). Radikal bebas dilaporkan dapat menginduksi terjadinya banyak penyakit seperti kanker, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit kardiovaskular, penuaan dan penyakit peradangan (Di-Matteo & Esposito 2003; Geber et al. 2002; KrisEtherton et al. 2002; Serafini et al. 2002; Wilson 1988). Antioksidan merupakan substrat penting karena mampu melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan bekerja menetralkan radikal bebas seperti reactive oxygen species (ROS) atau reactive nitrogen species (RNS) yang secara alami terdapat dalam sistem biologis (Wilson 1988). Menurut Nair et al. (2001), mekanisme bahan radioprotektor terbagi dalam beberapa mekanisme, diantaranya adalah: 1) menekan proses terbentuknya radikal bebas, 2) detoksifikasi spesies oksigen reaktif (ROS) yang diinduksi oleh radiasi ionisasi, 3) menginduksi protektor seluler seperti superoksida dismustase (SOD), glutathion, prostaglandin dan interleukin-1 (IL-1), 4) meningkatkan kemampuan
113
DNA dalam memperbaiki diri dengan mentriger satu atau lebih jalur perbaikan DNA seluler, dan 5) menunda pembelahan sel dan menginduksi terjadinya hipoksia dalam jaringan. Perhatian terhadap bahan antioksidan alami saat ini terus meningkat seperti polifenol (flavonoid dan tanin) yang terdapat dalam tanaman untuk kepentingan pengobatan, suplementasi makanan yang mampu mencegah terhadap kerusakan yang disebabkan olek proses oksidasi (Ames et al. 1995). Beberapa antioksidan sintetis/buatan seperti butylated hydroxyanisole (BHA) merupakan bahan yang sangat efektif dalam menangkal radikal bebas. Akan tetapi efek samping dan tingkat keracunannya hingga saat ini masih belum diketahui (Gülçin et al. 2010; Gülçin et al. 2011). Polifenol dimetabolisme oleh flora saluran pencernaan dan metabolitnya akan diabsorpsi setelah proses penyerapan (Morel et al. 1998; Núñez et al. 2000; Opazo et al. 2000; Zago et al. 2000). Interaksi antara askorbat dan katesin mengarah pada hipotesis bahwa antioksidan polifenol merupakan bagian dari jaringan antioksidan organisme (Lotito & Fraga 2000). Rosela merupakan sumber antioksidan alami yang mengandung komponen fitokimia bermanfaat sebagai penetral radikal bebas akibat radiasi dalam tubuh. Khasiat sebagai bahan alam radioproteksi terhadap radiasi ionisasi sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sediaan farmasetik berbahan alam ini. Interaksi radiasi ionisasi dengan sistem biologi akan membentuk reactive oxygen species (ROS) dalam jumlah yang besar (Gracy et al. 1999). ROS secara signifikan mempengaruhi membrane sel dan menginduksi terjadinya proses peroksidasi pada lemak (Gambar 66). Proses peroksidasi menyebabkan kerusakan pada sel (Agarwal & Kale 2001). Hal ini juga terjadi pada sistem hematopoetik akan terlihat menurun jumlah komponen selnya (Hari-Kumar & Kuttan 2004). ROS juga mempengaruhi mekanisme pertahanan antioksidan dimana terjadi penurunan jumlah GSH, menurunnya aktifitas superoxide dismutase (SOD) dan catalase (CAT). Begitu juga pada sistem detoksifikasi dengan menurunnya fungsi detoksifikasi dengan memproduksi glutathione-S-transferase (GST) (Halliwell & Gutteridge 2000). Suplementasi antioksidan seperti -tokoferol, kurkumin, dan asam ellagik dapat menurunkan proses peroksidase lemak pada serum darah dan organ hati (Thresiamma et al. 1996).
114
Gambar 66 Mekanisme kerja herbal sebagai bahan radioprotektif. X, pemutusan rantai oleh antioksidan alami dari tanaman atau herbal. Sumber: Hari-Kumar & Kuttan 2004 (modifikasi).
Interaksi komponen hidup dengan radiasi akan membentuk beberapa oxygen free radicals (OFR). OFR memiliki efek merusak pada sistem makhluk hidup. OFR akan menyerang semua komponen termasuk DNA, protein dan menyebabkan peroksidasi pada membran lemak sel (Gambar 67). OFR juga merusak antioksidan dalam tubuh sebagai bahan dalam mekanisme pertahanan (Gracy et al. 1999).
Gambar 67 Mekanisme radioprotektif antioksidan. X, pemutusan rantai oleh antioksidan alami dari tanaman atau herbal. Sumber: Hari-Kumar et al. 2004 (modifikasi).
115
Radiasi ionisasi akan menginduksi ROS dalam bentuk OH, H, O, dan radikal peroksil yang berlanjut hingga merusak DNA menjadi single- (SSB) dan double-strand break (DSB), kerusakan basis, ikatan DNA-DNA atau ikatan DNAprotein dan kerusakan akan berkembang menjadi komplek pada area paparan. DNA-DSB merupakan kerusakan paling mematikan akibat radiasi pada jaringan sebagai target utama pembunuhan sel oleh radiasi. Mekanisme dugaan aktifitas tanaman herbal dimediasi oleh beberapa mekanisme, hal ini dikarenakan dalam tanaman herbal terkandung zat aktif yang cukup banyak (Gambar 68). Komponen utama penyusun zat aktif tanaman herbal adalah polifenol (Jagetia 2007).
Gambar 68 Mekanisme radioprotektif tanaman herbal terhadap radiasi ionisasi. –SH, staind H. GSH, glutathione. GST, glutathione-s-transferase. SOD, superoxide dismutase. PKC, protein kinase C. NO, nitrit oxide. CAT, catalase. LOO, lipid peroxyl radicals. Sumber: Jagetia 2007 (modifikasi).
Polifenol dapat melawan radikal bebas yang dibentuk oleh radiasi ionisasi dan meningkatkan daya antioksidan sebagai mekanisme radioprotektif. Polifenol kemungkinan meningkatkan regulasi enzim antioksidan mRNA seperti katalase, glutathione transferase, glutathione peroksidase, SOD dan berinteraksi dengan stress oksidatif yang diinduksi oleh radiasi ionisasi. Polifenol juga meningkatkan regulasi perbaikan gen pada DNA dengan melindungi dari kerusakan akibat radiasi berupa kesalahan perbaikan DNA yang rusak. Berkurangnya peroksidasi lemak dan meningkatnya grup non-protein sulfidril juga berkontribusi pada beberapa aktifitas radioprotektif. Tanaman herbal juga menghambat aktifitas protein kinase C (PKC), mitogen activated protein kinase (MAPK), sitokrom P-
116
450, nitrit oksida, dan beberapa gen mungkin merespon kerusakan oleh adanya induksi radiasi (Jagetia 2007). Antioksidan dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya adalah 1) enzim, yang termasuk dalam kategori enzim yaitu: superdioxide dismutase (SOD), katalase, glutathione peroksidase (GPx) yang bekerja dengan menurunkan pembentukan reactive oxygen species (ROS) menjadi lebih stabil; 2) protein dengan berat molekul besar (high molecular weight protein, HMWP), yang termasuk dalam kategori ini adalah: albumin, ceruloplasmin, transferin dan haptoglobin dalam plasma darah. HMWP bekerja dengan membatasi katalisis logam oleh radikal bebas; 3) antioksidan dengan berat molekul rendah (low molecular weight antioxidant, LMWA), pada kategori ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu (Gambar 69): kelompok antioksidan larut lemak seperti tokoferol, karotenoid, quinon, bilirubin, dan beberapa polifenol; dan kelompok antioksidan larut air seperti asam askorbat, asam uric, dan beberapa polifenol. LMWA bekerja dengan menghambat atau menunda kerusakan sel dengan melawan radikal bebas (Vaya & Aviram (tanpa tahun)).
Gambar 69 Perbandingan struktur antioksidan yang larut lemak (lipofilik) dan larut air (hidrofilik). Sumber: Vaya & Aviram (tanpa tahun)
117
Mekanisme aksi antioksidan secara prinsip terbagi dalam 2 bentuk, yaitu: 1) mekanisme merusak ikatan (antioksidan primer). Mekanisme merusak ikatan terjadi dimana antioksidan primer menyumbangkan elektron pada radikal bebas; dan 2) mekanisme katalisis ikatan (antioksidan sekunder). Mekanisme ini bekerja dengan menghilangkan inisiator pembentuk ROS/RNS (Vaya & Aviram (tanpa tahun)). Rosela memiliki aktifitas antioksidan yang kuat (Tsai et al. 2002; Essa et al. 2006) karena mengandung anthocyanin atau biasa disebut dengan zat warna merah (Tsai et al. 2002; Tee et al. 2002). Anthocyanin memiliki aktifitas antioksidan yang lebih tinggi dari pada butylated hydroxyanisole (BHA) dan betakaroten (Tee et al. 2002). Suplementasi peroral antocyanin dapat menstimulasi regenerasi dan membantu proses regenerasi sel-sel rodopsi pada mata (Nakaishi et al. 2000; Muth et al. 2000; Matsumoto et al. 2003). Rosela mengandung berbagai macam bioflavonoid seperti anthocyanin, glikosida, perchloric acid (PCA), asam hidroksisitrat dan lainnya sehingga mampu untuk menangkal radikal bebas, menurunkan peroksidasi lemak dan kerusakan pada sel (Tsai et al. 2002; Essa et al. 2006). Rosela merupakan sumber antioksidan yang baik sebagai bahan anti radiasi (radioprotektif) berbahan herbal tanaman alam. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa suplementasi ekstrak etanol rosela yang mengandung antocyanin juga mampu membantu proses regenerasi sel-sel jaringan dari kerusakan dan kematian yang disebabkan oleh radiasi ionisasi.
118
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Ekstrak etanol rosela mengandung bahan antioksidan flavonoid yang berpotensi sebagai bahan radioprotektif terhadap radiasi ionisasi berupa senyawa antosianin. 2. Ekstrak etanol rosela yang ditambahkan dalam media kultur secara in-vitro memberikan efek growth-modulator dan menjaga pertumbuhan sel limfosit dari penurunan jumlah pada konsentrasi 100 µg/mL memiliki tingkat yang baik dari pada 25 µg/mL dan 50 µg/mL dari kerusakan oleh radiasi ionisasi sinar-X. 3. Ekstrak etanol rosela yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg berat badan peroral secara in-vivo pada mencit memiliki efek mempertahankan dan membantu memperbaiki sel-sel penyusun jaringan serta menjaga kondisi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi sinar-X secara klinis terlihat pada daya hidup, berat badan, dan gambaran darah; secara histopatologis terlihat pada berat relatif organ, sumsum tulang dan limpa.
SARAN Pengujian in-vivo lebih lanjut dengan dosis berbeda untuk mengetahui dosis efektif pada paparan radiasi kronis dosis rendah. Pengujian pada sentuhan akhir secara klinis kepada pasien dan pekerja radiasi di rumah sakit yang memiliki instalasi radiologi dan kerjasama industri obat yang dapat memproduksi suplemen antiradiasi berbahan rosela secara masal.
119
DAFTAR PUSTAKA [AAAS] American Association for the Advancement of Science. 1957. Pioneer in X-Ray Therapy. Science. 125(3236):18-19. http://www.jstor.org/stable/ 1752791 [13 November 2011] Abouelella AMK, Shahein YE, Tawfik SS, Zahran AM. 2007. Phytotherapeutic effects of Echinacea purpurea in gamma-irradiated mice. J Vet Sci, 8(4), 341351. Abraham SK, Sarma L, Kesavan PC. 1994. Role of chlorophyllin as an in vivo anticlastogen: Protection against gamma-radiation and chemical clastogens. Mutat Res, 322: 209. Abuharfiel NE, Sarsourand H. 2001. The effect of sodium nitrite on some parameters of immune system, Food Chem. Toxi. 39: 119-124 Abutarbush SM. 2008. Saunders Comprehensive Veterinary Dictionary, 3rd ed. Can Vet J. 49(9): 906. Acharya S, et al. 2011. Dose rate effect on micronuclei induction in human blood lymphocytes exposed to single pulse and multiple pulses of electrons. Radiat Environ Biophys. 50(2):253-63. Acquaviva R, et al. 2003. Cyanidin and cyanidin 3-O-beta-D-glucoside as DNA cleavage protectors and antioxidants. Cell Biol Toxicol. 19(4):243–252. Agarwal A, Kale RC. 2001. Radiation induced peroxidative damage: mechanisms and significance. Ind J Exp Biol, 39: 291-309. Aiyegoro OA, Okoh AI. 2010. Preliminary phytochemical screening and In vitro antioxidant activities of the aqueous extract of Helichrysum longifolium DC. BMC Complementary and Alternative Medicine. 10:21–28. Akaike T, et al. 1998. Free radicals in viral pathogenesis. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 217: 64–73 Akindahunsi AA, Olaleye MT. 2003. Toxicological investigation of aqueousmethanolic extract of the calyces of Hibiscus sabdariffa L. J Ethnopharmacol 89: 161–164. Akushevich IV, et al. 2010. Modeling deterministic effects in hematopoietic system caused by chronic exposure to ionizing radiation in large human cohorts. Health Phys. 99(3):322-9. Alberts K, et al. 2008. Chapter 18 Apoptosis: Programmed Cell Death Eliminates Unwanted Cells. Molecular Biology of the Cell. 5th edition. Garland Science. p 1115. Alvarado AS, Tsonis PA. 2006. Bridging the regeneration gap: genetic insights from diverse animal models. Nat. Rev. Genet. 7 (11): 873–884. Ali BH, Wabel NA, Blunden G. 2005. Phytochemical, pharmacological and toxicological aspects of Hibiscus sabdariffa L.: a review. Phytother Res, 19: 369–375. Ames BN, Gold LS, Willet WC. 1995. The causes and prevention of cancer. Proc Natl Acad Sci USA, 92:5258–5265. Amin A, Hamza, AA. 2005. Hepatoprotective effect of Hibiscus, Rosmarinus and Salvia on azathioprine-induced toxicity in rats. Life Sci, 77(3): 266-78.
120
Aminin DL, et al. 2011. Radioprotective properties of Cumaside, a complex of triterpene glycosides from the sea cucumber Cucumaria japonica and cholesterol. Nat Prod Commun. 6(5):587-92. Anonimous. 2011a. Dental Radiografi: Prinsip dan Teknik. http://usupress.usu.ac.id/files/Dental%20Radiologi%20Prinsip%20dan%20Tek nik_Final_Normal_bab%201.pdf [15 November 2011] Anonimous. 2011b. Electromagnetic radiation. Precision Graphics. [terhubung berkala]. http://www.studentarena.in/2011/03/electromagnetic-radiation.html Anonimous. 2011c. The nature of light. [terhubung berkala]. http://www.astro.virginia.edu/~rsl4v/PSC/light.html [15 November 2011] Anonimous. 2011d. Proses terbentuknya sinar-X. [terhubung berkala]. http://whs.wsd.wednet.edu/faculty/busse/mathhomepage/busseclasses/radiation physics/lecturenotes/chapter12/chapter12.html [15 November 2011] Anonimous. 2011e. Chapter 12 Lecture Notes: X-Ray Interactions. Wenatchee High School. Wenatchee, WA. [terhubung berkala] http://whs.wsd.wednet.edu/faculty/busse/mathhomepage/busseclasses/radiation physics/lecturenotes/chapter12/chapter12.html [15 November 2011] Anonimous. 2011f. Mouse Anatomy. [terhubung berkala]. http://plato.wilmington.edu/faculty/dtroike/mouse_anatomy.htm [15 November 2011] Arnon J, Meirow D, Lewis-Roness H, Ornoy A. 2001. Genetic and teratogenic effects of cancer treatments on gametes and embryos. Human Reproduction Update 7 (4): 394–403. Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London: Iowa State University Press. Hlm 215-226, 250-251. Bagewadikar RS, Chatterjee S, Premachandran S, Poduval TB. 2004. Radioprotective effect of L-lysine in Swiss mice exposed to total irradiation. Indian J Radiat Res, 1:21, abstract Baliga MS, Rao S. 2010. Radioprotective Potential of Mint: A Brief Review. Journal of Cancer Research and Therapeutics. 6(3): 255-262. Baliga MS, Jagetia GC, Venkatesh P, Reddy R, Ulloor JN. 2004. Radioprotective effect of abana, a polyherbal drug following total body irradiation. Br J Radiol, 77:1027. Balter S, Hopewell JW, Miller DL, Wagner LK, Zelefsky MJ. 2010. Fluoroscopically guided interventional procedures: a review of radiation effects on patients’ skin and hair. Radiology 254(2):326-341. Barcellos-Hoff MH, Park C, Wright EG. 2005. Radiation and the microenvironment - tumorigenesis and therapy. Nat Rev Cancer. 5(11):867875. Barrett B. 2003. Medicinal properties of Echinacea: a critical review. Phytomedicine, 10, 66-86. Bearden M. 2011. Aplastic Anemia. The Mount Sinai Medical Center. http://www.mountsinai.org/patient-care/health-library/diseases-andconditions/aplastic-anemia [28 Oktober 2011] Beliaeva NV. 2010. Study of frequency of TCR-mutant T-helper lymphocytes and level of immunocompetent cells with mFasL apoptosis marker under conditions of ionizing radiation. Lik Sprava. (5-6):82-87.
121
Bentzen SM, et al. 2003. Normal tissue effects: reporting and analysis. Semin Radiat Oncol 13: 189–202 Bhattacharya S, et al. 2004. Emblica officinalis: A possible preventor of radiation and NSAID induced gastric damage. Indian J Radiat Res, 1:33. Bio-Resource. 2008. Cell counting using haemocytometer / hemocytometer. [terhubung berkala]. http://technologyinscience.blogspot.com/2008/07/cellcounting-using-haemocytometer.html [15 November 2011] Blaustein MP. 1996. Endogenous ouabain: role in the pathogenesis of hypertension. Kidney Int. 49: 1748–1753. Blood DC, Studdert VP, Gay CC. 2007. Saunders Comprehensive Veterinary Dictionary, 3rd ed. Saunders Elsevier, St. Louis, Missouri, USA, 2172 pp. Bogdanich W, Ruiz RR. 2010. Missouri Hospital Reports Errors in Radiation Doses. The New York Times. Retrieved 26 February 2010. http://www.nytimes.com/2010/02/25/us/25radiation.html [13 November 2011] Boloor KK, Kamat JP, Devasagayam TPA. 2000. Chlorophyllin as a protector of mitochondrial membranes against -radiation and photosensitization. Toxicology, 155:63. Borek C. 2004. Antioxidants and radiation therapy. J Nutr. 2004,134, 3207S3209. Carleton HM, Drury RAB. 1957. Histological Technique for Normal and Pathological Tissue and the Identification of Parasites. 3rd edition. London. Oxford University Press. Castillo J, et al. 2000. Antioxidant activity and radioprotective effects against chromosomal damage induced in vivo by X-rays of flavan-3-ols (Procyanidins) from grape seeds (Vitis vinifera): comparative study versus other phenolic and organic compounds. J Agric Food Chem. 48(5):1738-1745. Chau JW, et al. 2000. Protective effect of Hibiscus anthocyanins agaisnt tert-butyl hydroperoxide-induced hepatic toxicity in rats. Food and Chemical Toxicology. 5(38): 411-416. Chen YM, Lin SL, Chiang WC, Wu KD, Tsai TJ. 2006. Pentoxifylline ameliorates proteinuria through suppression of renal monocyte chemoattractant protein-1 in patients with proteinuric primary glomerular diseases. Kidney Int. 69, 1410-1415. Chetana M, Sulochana B, Uma-Devi P. 2004. Protection by Acorus calamus against prenatal irradiation induced developmental and neurophysiological deficits. Indian J Radiat Res, 1:35. Citrin D, et al. 2010. Radioprotectors and Mitigators of Radiation-Induced Normal Tissue Injury. Oncologist. 2010; 15(4): 360–371. Coleman CN, et al. 2001. Molecular and cellular biology of moderate-dose (1–10 Gy) radiation and potential mechanisms of radiation protection: Report of a workshop at Bethesda, Maryland, December 17–18, 2001. Radiat Res,159:812–834. Coutsoukis P. 2008. Basic biomethodology for laboratory mice: Injections. [terhubung berkala]. http://www.theodora.com/rodent_laboratory/ injections.html [15 November 2011] Craig WJ. 1999. Health-promoting properties of common herbs. Am J Clin Nutr.70(3 Suppl):491S-499S. Review.
122
Dahiru D, Obi OJ, Umaru H. 2003. Effect of Hibiscus sabdariffa calyx extract on carbon tetrachloride induced liver damage. BIOKEMISTRI 15 (1): 27-33. Dalziel TM. 1973. The useful plants of west tropical Africa. Third edition. Watmought Ltd idle, Bradford and London, 526-530. Dede S, et al. 2003. Studies on the effects of x-ray on erythrocyte zinc and copper concentrations in rabbits after treatment with antioxidants. Biol Trace Elem Res. 92(1):55-60 Deltagen.com. 2006. Bone marrow. [terhubung berkala]. http://www.deltagen.com/target/histologyatlas/atlas_files/hematopoietic/bone_ marrow_40X.htm [15 November 2011] De-Rosso VV, Morán-Vieyra FE, Mercadante AZ, Borsarelli CD. 2008. Singlet oxygen quenching by anthocyanin's flavylium cations. Free Radical Research 42 (10): 885–891. Devipriya S, Shyamaladevi CS. 1999. Protective effect of quercetin in cisplastin induced cell injury in the rat kidney, Indian J. Pharmacol. 31:422-427. DiCarlo AL, et al. 2011. Medical countermeasures for platelet regeneration after radiation exposure. Radiat Res. 176(1):e0001-15 Di-Matteo V, Esposito E. 2003. Biochemical and therapeutic effects of antioxidants in the treatment of Alzheimer's disease, Parkinson's disease, and amyotrophic lateral sclerosis. Curr Drug target CNS Neurological Disorders. 2:95–107. Djuwita I. 2003. Biologi kultur jaringan. Makalah Pemanfaatan teknik kultur jaringan dan histokimia. Pelatihan dosen universitas/Perguruan Tinggi 16-26 Juni 2003. Kerjasama Proyek peningkatan kualitas sumber daya manusia, DIKTI dengan Bagian Anatomi, FKH IPB. [DMP] Department of Mine and Petroleum. 2011. Radiation doses in perspective. Department of Mine and Petroleum, Government of Western Australia. http://www.arpansa.gov.au/radiationprotection/basics/understand.cfm [25 September 2011] Drugs.com. 2011. Hibiscus. [terhubung berkala]. http://www.drugs.com/ npp/roselle.html [15 November 2011] El-Habit OH, Saada HN, Azab KS, Abdel-Rahman M, El-Malsh DF. 2000. The modifying effect of beta-carotene on gamma radiation induced elevation of oxidative reactions and genotoxicity in male rats. Mutat Res, 466:179. Elmore SA. 2006. Enhanced Histopathology of the Spleen. Toxicologic Pathology, 34:648–655 Encyclopædia Britannica. 2011. Photodisintegration. http://www.britannica.com/ EBchecked/topic/457806/photodisintegration [15 November 2011] Essa MM, et al. 2006. Influence of Hibiscus sabdariffa (Gongura) on the levels of circulatory lipid peroxidation products and liver marker enzymes in experimental hyperammonemia. J Appl Biomed, 4:53-58. Faddegon BA, et al. 2008. Benchmarking of Monte Carlo simulation of bremsstrahlung from thick targets at radiotherapy energies. Med Phys. 35(10): 4308–4317. Fahrudin M. 2003. Pembuatan (Inisiasi) Kultur Primer. Dalam: Pemanfaatan Teknik Kultur Jaringan dan Histokimia. Pelatihan Dosen Universitas / Perguruan Tinggi. Bogor, 16 Juni – 26 Juni 2003. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
123
Falade OS, et al. 2005. The chemical composition and membrane stability activity of some herbs used in local therapy for anemia. J Ethnopharmacol, 102: 15-22. Farombi-Olatunde E. 2003. African indigenous plants with chemotherapeutic potentials and bioactive prophylactic agents. Afr J Biotechnol. 2: 662-671 Farrier J. 2010. Cancer Vaccine Research Shows Progress in Lab Mice. [terhubung berkala]. http://www.neatorama.com/2010/06/03/cancer-vaccineshows-progress-in-lab-mice/ [15 November 2011] Fazel R, et al. 2009. Exposure to Low-Dose Ionizing Radiation from Medical Imaging Procedures. N Engl J Med.361:849-857 Felemoviious I, Bonsack ME, Baptista ML, Delancy JP. 1995. Intestinal radioprotection by vitamin E (alpha-tocopherol). Ann Surg, 22:504: discussion 505. Fidan AF, Enginar H, Cigerci IH, Korcan SE, Ozdemir A. 2008. The Radioprotective Potential of Spinacia aleracia and Aesculuc hippocastanum against Ionizing Radiation with Their antioxidant and Antimicrobial Properties. Journal of animal and Veterinary Advances 7 (12): 1528-1536. Fliedner TM, Graessle DH. 2008. Hematopoietic cell renewal systems: mechanisms of coping and failing after chronic exposure to ionizing radiation. Radiat Environ Biophys. 47(1):63-9. Frei B. 2007. Studies force new view on biology of flavonoids. Oregon State University [terhubung berkala]. http://www.eurekalert.org/pub_releases/200703/osu-sfn030507.php [25 Januari 2012] Freshney RI. 2005. Culture of animal cells: a manual of basic technique. 5th edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada. p1-10 Gaman A, Gaman B, Bold A. 2009. Acquired aplastic anemia: correlation between etiology, pathophysiology, bone marrow histology and prognosis factors. Rom J Morphol Embryol. 50(4):669-74. Ganasoundari A, Uma-Devi P, Rao BSS. 1998. Enhancement of bone marrow radioprotection and reduction of WR-2721 toxicity by Ocimum sanctum. Mutat Res, 397:303. Gandhi NM, Nair CKK. 2005. Radiation protection by Terminalia chebula: Some mechanistic aspects. Mol Cell Biochem, 277:43. Gandhi NM, Maurya DK, Salvi V, Mukherjee T, Nair CKK. 2004. Radioprotection of DNA by glycyrrhizic acid through scavenging free radicals. J Radiat Res, 45:461. Ganguly DK. 2003. Tea consumption on oxidative damage and cancer. Ind. Council Med. Res. Bullet., 33 (4–5):37–51 Geber M, et al. 2002. Food and cancer: state of the art about the protective effect of fruits and vegetables. Bull Cancer.89:293–312. Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. Gerber PA, et al. 2007. Radiation-Induced Prevention of Erlotinib-Induced Skin Rash Is Transient: A New Aspect Toward the Understanding of Epidermal Growth Factor Receptor Inhibitor–Associated Cutaneous Adverse Effects. J Clin Oncol, 10;25(29):4697-8; author reply 4698-9. Girish V, Vijayalakshmi A. 2004. Affordable image analysis using NIH Image/ImageJ. Indian J Cancer 41(1): 47 Goel HC, et al. 2004. Radioprotective potential of an herbal extract of Tinospora cordifolia. J Radiat Res (Tokyo), 45:61.
124
Gracy RW, Talent JM, Kong Y, Conard CC. 1999. Reactive oxygen species: the unavoidable environmental insults? Mutat Res, 428: 17-22. Greenberg ML, Chanana AD, Cronkite EP, Schiffer LM, Stryckmans PA. 1968. Extracorporeal Irradiation of Blood in Man: Radiation Resistance of Circulating Platelets. Radiation Research, 1(35):147-154 Gridley DS, Pecaut MJ. 2006. Whole-body irradiation and long-term modification of bone marrow-derived cell populations by low- and high-LET radiation. In Vivo. 20(6B):781-9. Gridley DS, Pecaut MJ, Miller GM, Moyers MF, Nelson GA. 2001. Dose and dose rate effects of whole-body gamma-irradiation: II. Hematological variables and cytokines. In vivo. 15:209–216. Grotz AA, et al. 1999. Prospective double-blind study of radioxerostomia with coumarin/troxerutine in patiens with head and neck cancer. Strahlenther Onkol, 175:397. Grozdov SP. 1987. Effect of glutathione on the course of radiation sickness with a marked gastrointestinal syndrome and the effectiveness of parenteral feeding in an experiment. Radiobiology. 27:657. Grundmann O, Mitchell GC, Limesand KH. 2009. Sensitivity of salivary glands to radiation: from animal models to therapies. J Dent Res. 88(10):894-903. Review. Gülçin I, Bursa E, Şehitoğlu MH, Bilsel M, Gören AC. 2010. Polyphenol contents and antioxidant activity of lyophilized aqueous extract of propolis from Erzurum, Turkey. Food and Chemical Technology. 48:2227–2238. Gülçin I, et al. 2011. Pomological Features, Nutritional Quality, Polyphenol Content Analysis, and Antioxidant Properties of Domesticated and 3 Wild Ecotype Forms of Raspberries (Rubus idaeus L.) Journal of Food Sciences.76:585–593. Guan J, et al. 2006. Effects of dietary supplements on the space radiation-induced reduction in total antioxidant status in CBA mice. Radiat. Res.165:373–378. Guan J, et al. 2004. Effects of dietary supplements on space radiation-induced oxidative stress in Sprague-Dawley rats. Radiat. Res.162:572–579. Gutfeld O, Wygoda M, Shavit L, Grenader T. 2007. Fertility After Adjuvant External Beam Radiotherapy For Stage I Seminoma. The Internet Journal of Oncology 2(4). http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-ofoncology/volume-4-number-2/fertility-after-adjuvant-external-beamradiotherapy-for-stage-i-seminoma.html [13 November 2011] Guyton AC. 1991. Textbook of Medical Physiology. 8th edition. Philadelphia: W.B. Saunders. p. 274 Guyton A, Hall J. 2006. Chapter 26: Urine Formation by the Kidneys: I. Glomerular Filtration, Renal Blood Flow, and Their Control". In Gruliow, Rebecca (Book).Textbook of Medical Physiology (11th ed.). Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc. pp.308–325 Hall EJ. 2000. Radiobiology for the radiologist. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins. p 351. Hall EJ, Giaccia AJ. 2006. Radiobiology for the Radiologist. Sixth Edition. Lippincott Williams & Wilkins; Philadelphia. pp 5–15. Hall EJ. 2009. Radiation biology for pediatric radiologists. Pediatr Radiol 39(suppl 1):S57-S64.
125
Halliwell B. 1990. How to characterize a biological antioxidant. Free Rad. Res. Comms. 9(1):1-32. Halliwell B, Gutteridge JMC. 2000. Free radicals in biology and medicine. Oxford University Press. pp 148-149. Halliwell B, Gutteridge JMC, Cross CE. 1992. Free radicals, antioxidants and human disease. Lab Clin Med.119:598–620. Harborne JB. 1980. Plant phenolics. In: Bell EA, Charlwood BV (eds) Encyclopedia of Plant Physiology, volume 8 Secondary Plant Products, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg New York. Pp: 329-395. Harri-Kumar KB, Kuttan R. 2004. Protective effect on an extract of Phyllantus amarus against radiation-induced damage in mice. Short Communication. J Radiat Res, 45:133-139 Heinonen IM, Meyer AS, Frankel EN. 1998. Antioxidant activity of berry phenolics on human lowdensity lipoprotein and liposome oxidation. J. Agric. Food Chem. 46(10): 4107-4112. Heller CG, Clermont Y. 1963. Spermatogenesis in man: An estimate of its duration. Science 140 (3563): 184–186. Hemila H. 1994. Does vitamin C alleviate the symptoms of the common cold? A review of current evidence. Scand. J. Infect. Dis. 26:1–6 Hemila H. 2003. Vitamin C, respiratory infections and the immune system. TRENDS in Immunology. 24(11):579-580 Hendry JH, Jeremi´c B, Zubizarreta EH. 2006. Normal tissue complications after radiation therapy. Rev Panam Salud Publica. 20(2/3):151–60. Hertog MGL, Hollmann PCH, Venema DP. 1992: Optimization of a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids in vegetables and fruits. J. Agric. Food Chem. 40(9):1591-1598. Hillman RS, Ault K A, Leporrier M, Rinder HM. 2010. Hematology in clinical practice. 5th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. p11, 31-36, 111114, 316. Hirunpanich V, et al. 2005. Antioxidant Effects of Aqueous Extracts from Dried Calyx of Hibiscus sabdariffa Linn. (Roselle) in Vitro Using Rat Low-Density Lipoprotein (LDL). Biol. Pharm. Bull. 28(3) 481-484 (2005). Histology-World.com. 2011. Histology Photo Album: Spleen histology. [terhubung berkala]. http://histology-world.com/photoalbum// displayimage.php?pid=1177 [15 November 2011] Hong-Fu W, Xingdi L, Yong-Ming C, Longbao Y, Foye WO. 1991. Radiationprotective and platelet aggregation inhibitory effects of five traditional Chinese drugs and acetylsalicylic acid following high-dose -irradiation. Journal of Ethnopharmacology, Issues 2-3(34):215-219 Hosseinimehr SJ, Tavakoli H, Pourheidari G, Sobhani A, Shafiee A. 2003. Radioprotective effect of citrus extract against gamma-irradiation in mouse bone marrow cells. J Radiat Res (Tokyo) 44:237. Hrapkiewicz K, Medina L. 2007. Clinical Laboratory Animal Medicine. An Introduction. 3rd edition. Blackwell Publishing. Hsu HY, Lin CC. 1996. A preliminary study on the radioprotection of mouse hematopoiesis by Dang-Gui-Shao-Yao-San. J Ethnopharmacol, 55:43. Hsu HY, Ho YH, Lin CC. 1996. Protection of mouse bone marrow by Si-WuTang against whole body irradiation. J Ethnopharmacol, 52:113.
126
Hsu HY, Yang JJ, Ho YH, Lin CC. 1999. Difference in the effect of radioprotection between aerial and root parts of Lycum chinense. J Ethnopharmacol, 64:101. Hu S, Cucinotta FA. 2011. Characterization of the radiation-damaged precursor cells in bone marrow based on modeling of the peripheral blood granulocytes response. Health Phys. 101(1):67-78. Hudson D, et al. 2011. Induction and persistence of radiation-induced DNA damage is more pronounced in young animals than in old animals. Aging (Albany NY).3(6):609-20. Humanson GL. 1967. Animal Tissue Techniques. 2th edition. San Fransisco: W.H. Freman and Company. [IAEA] International Atomic Energy Agency. 2002. Radiological Protection for Medical Exposure to Ionizing Radiation. Safety Guide. www.pub.iaea.org/MTCD /publications/PDF/Pub1117_scr.pdf [15 Januari 2011] [ICRP] International Commission on Radiological Protection. 2007a. The 2007 Recommendations of the International Commission on Radiological Protection. ICRP publication 103. Ann ICRP 37(2-4):1-332. [ICRP] International Commission on Radiological Protection. 2007b. Radiation protection in medicine. ICRP Publication 105 . Ann ICRP 37(6):1-63. Ignatova IE, Agrba VZ, Lapin BA. 2010. Effects of low-dose -irradiation on the counts of immunocompetent cells in a model experiment on primates. Bull Exp Biol Med. 150(1):79-82. Jagetia GC, Baliga MS. 2002a. Syzygium cumini (Jamun) reduces the radiationinduced DNA damage in the cultured human peripheral blood lymphocytes: A preliminary study. Toxicol Lett, 132:19. Jagetia GC, Baliga MS. 2002b. Cystone, an ayurvedic herbal drug imparts protection to the mice against the lethal effect of gamma-radiation: A preliminary study. Nahrung, 46:332. Jagetia GC, Baliga MS. 2003a. Evaluation of the radioprotective effect of the leaf extract of Syzygium cumini (Jamun) in mice exposed to a lethal dose of gamma-irradiation. Nahrung, 47:181. Jagetia GC, Baliga MS. 2003b. Treatment of mice with a herbal preparation (mentat) protects against radiation-induced mortality. Phytother Res, 17:876. Jagetia GC. 2004. Ascorbic acid treatment reduces the radiation-induced delay in the skin exicion wound of Swiss albino mice. Indian J Radiat Res, 19:7. Jagetia CG. 2007. Radioprotective Potential of plants and Herbs agains the Effects of Ionizing Radiation. Recent Advance in Indian Herbal Drug Research. J Clin Biochem Nutr, 40, 74-81. Jagetia GC, Baliga MS, Malagi KJ, Kamath MS. 2002. The evaluation of the radioprotective effect of Triphala (an Ayurvedic rejuvenating drug) in the mice exposed to -radiation. Phytomedicine, 9:99. Jagetia GC, Baliga MS, Venkatesh P, Ulloor JN. 2003a. Influence of ginger rizome (Zingiber officinale Rosc) on survival, glutathione and lipid peroxidation in mice after whole-body exposure to gamma radiation. Radiat Res, 160:584.
127
Jagetia GC, Baliga MS, Aruna R, Rajanikant GK, Jain V. 2003b. Effect of abana (a herbal preparation) on the radiation induced mortality in mice. J Ethnopharmacol, 86:159. Jagetia GC, Venkatesh P, Baliga MS. 2003c. Evaluation of the radioprotective effect of Aegel marmelos (L.) Correa in cultured human peripheral blood lymphocyte exposed to different doses of gamma-radiation: a micronucleus. Mutagenesis, 18:387. Jagetia GC, Venkatesha VA, Reddy TK. 2003d. Naringin, a citrus flavonone, protects against radiation-induced chromosome damage in mouse bone marrow. Mutagenesis, 18:337. Jagetia GC, Reddy TK. 2002. The grapefruit flavanone naringin protects against the radiation-induced genomic instability in the mice bone marrow: a micronucleus study. Mutat Res, 519:37. Jagetia GC, Venkatesh P, Baliga MS. 2004. Evaluation of the radioprotective effect of bael leaf (Aegel marmelos) extract in mice. Int J Radiat Biol, 80:281. Jefferson Lab. 2011. Radiation Biological Effects. [terhubung berkala]. http://www.jlab.org/div_dept/train/rad_guide/effects.html [15 November 2011] Jeong H, et al. 2003. Differential effect of green tea polyphenol in the irradiation induced human leukemic and lymphoblastic cell damage. The Korean Journal of Nuclear Medicine 37 (5):308-316. Jindal A, Sharma A, Singh I, Goyal PK. 2004. Radiomodulatory potential of Emblica officinalis against enteric lesions in mice. Indian J Radiat Res, 1:32. Junquereira LC, Carneiro J. 1982. Histologi Dasar. Edisi ke-3. Dharma A, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Basic Histology. Hlm 287-308, 323-335. Kalovidouris AE, Papayannis AG. 1981. Effect of ionizing radiation on platelet function in vitro. Acta Radiol Oncol. 20(5):333-6. Kamat JP, Boloor KK, Devasagayam TPA, Jayashree B, Kesavan PC. 2000a. Differential modification of oxygen-dependent and –independent effect of irradiation in rat liver mitochondria by caffeine. Int J Radiat Biol, 76:1281. Kamat JP, Boloor KK, Devasagayam TPA, Venkatachalayam SR. 2000b. Antioxidant properties of Asparagus racemosus against damage induced by radiation in rat liver mitochondria. J Ethnopharmacol, 71:245. Kar M, Ghosh A. 2002. Pancytopenia. Postgraduate Clinic. JIACM, 31(1):29-34. Karim AA. 2011. Roselle. [terhubung berkala]. http://ahmadalikarim. wordpress.com/2008/11/28/roselle/ [15 November 2011] Kesavan PC, Natarajan AT. 1985. Protection and potentiation of radiation clastogenesis by caffeine: Nature of possible initial event. Mutat Res, 143:61. Keshava C, Keshava N, Nath TOJ. 1998. Protective effect of vanillin on radiationinduced micronuclei and chromosomal aberration in V79 cells. Mutat Res, 397:149. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Method: Theory and Practice. 2th edition. U.K.: Pergenan Press. Kijparkorn S, Jamikorn U, Wangsoonean S, Ittitanawong P. 2009. Antioxidant and Acidifier Properties of Roselle (Hibicus sabdariffa Linn.) Calyx Powder on Lipid Peroxidation, Nutrient Digestibility and Growth Performance in Fattening Pigs. Thai J. Vet. Med. 39(1): 41-51.
128
Kim SH, et al. 2001. Modification of radiation response in mice by Panax ginseng and diethyldithiocarbamate. In Vivo, 15:407. Kim SH, et al. 2002. The radioprotective effect of Bu-Zhong-Yi-Qi-Tang: A prescription of tradition Chinese medicine. Am J Chin Med, 30:127. Klein AB, et al. 2006. Impact of Different Cell Isolation Techniques on Lymphocyte Viability and Function. Journal of Immunoassay & Immunochemistry, 27: 61–76. Komaki R, Lee JS, Milas L. 2004. Effects of amifostine on acute toxicity from concurrent chemotherapy and radiotherapy for inoperable non-small-cell lung cancer: report of a randomized comparative trial. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 58:1369–77. Kong JM, Chia LS, Goh NK, Chia TF, Brouillard R. 2003. Analysis and biological activities of anthocyanins. Phytochemistry 64 (5): 923–33. Konopcka M, Widel M, Rzeszowska-Wolny J. 1998. Modifying effect of vitamin C, E and beta carotene against gamma-ray induced DNA damage in mouse cells. Mutat Res, 417:85. Köteles GJ. 1998. The low dose dilemma. Centr. Europ. J. Occup. Environ. Med. 4:103-113. [terhubung berkala]. http://www.omfi.hu/cejoem/Volume13/ Vol13No1/CE07_1-01.html [15 November 2011] Krishna A, Kumar A. 2005. Evaluation of radioprotective effects of Rajgira (Amaranthus paniculatus) extract in Swiss albino mice. J Radiat Res, 46:233. Kris-Etherton PM, et al. 2002. Bioactive compounds in foods: their role in the prevention of cardiovascular disease and cancer. Amer J Med.113:71S–88S. Kumar KB, Kuttan R. 2004. Protective effect of an extract of Phyllantus amarus against radiation induced damage in mice. J Radiat Res, (Tokyo) 45:133. LabPaq. 2010. Spleen Slides. Hands-On Labs, Inc. [terhubung berkala]. http://www.labpaq.com/spleen-slides [15 November 2011] Lai FR, Wen QB, Li L, Wu H, Li XF. 2010. Antioxidant activities of watersoluble polysaccharide extracted from mung bean (Vigna radiata L.) hull with ultrasonic assisted treatment. Carbohyd Polym. 81(2):323–329. Larson B, editor. 2011. Radiation Safety. NDT Education Resource Center. The Collaboration for NDT Education, Iowa State University, www.ndt-ed.org. http://www.ndt-ed.org/EducationResources/CommunityCollege/ RadiationSafety/radiation_safety_equipment/film_badges.htm [15 November 2011] Larson RA. 1988. The antioxidants of higher plants. Phytochemistry 27(4):969978. Lazze M, et al. 2003. Anthocyanins protect against DNA damage induced by tertbutyl-hydroperoxide in rat smooth muscle and hepatoma cells. Mutat Res.535(1):103–115. Lee SE, et al. 1999. Radioprotective effect of two traditional Chinese medicine prescription: Si-Wu-Tang and Si-Jun-Zi-Tang. Am J Chin Med, 27:387. Lee TK, et al. 2010. Radioprotective Effect of American Ginseng on Human Lymphocytes at 90 Minutes Post-irradiation: A Study of 40 Cases. J Altern Complement Med. 16(5): 561–567. Lefevre M, Howard L, Most M, Ju Z, Delany J. 2004. Microarray analysis of the effects of grape anthocyanins on hepatic gene expression in mice. FASEB J. 18:A851.
129
Levine M, et al. 1996. Vitamin C pharmacokinetics in healthy volunteers: evidence for a recommended dietary allowance. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 93 (8): 3704–9 Little JB. 2000. Radiation carcinogenesis. Carcinogenesis. 21(3):397-404. Review. Little MP. 2003. Risks associated with ionizing radiation. Br Med Bull. 68: 259275. Lotito SB, Fraga CG. 2000. Ascorbate protects (+)-catechin from oxidation both in pure chemical system and human plasma. Biol Res 33: 151-157 Lotito SB, Frei B. 2006. Consumption of flavonoid-rich foods and increased plasma antioxidant capacity in humans: cause, consequence, or epiphenomenon?. Free Radic. Biol. Med. 41 (12): 1727–1746. Lotze MT, et al. 2007. The grateful dead: damage-associated molecular pattern molecules and reduction/oxidation regulate immunity. Immunol Rev. 220:60– 81. [LPCH] Lucile Packard Children’s Hospital. 2011. Anatomy of a bone, showing blood cells. Lucile Packard Children’s Hospital. [terhubung berkala]. http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/allergy/0062-pop.html [15 November 2011] Maks CJ, et al. 2011. Analysis of white blood cell counts in mice after gamma- or proton-radiation exposure. Radiat Res. 176(2):170-6. Mallikarjuna-Rao KVN, Jagetia GC. 2004. Ascorbic acid treatment enhances wound healing in mice exposed ti gamma-radiation. Indian J Radiat Res, 1:25. Maryani H, Krisriana L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka. pp: 2-33 Maton A, et al. 1993. Human Biology and Health. Englewood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice Hall. Pp256 Matsumoto H, Nakamura Y, Tachibanaki S, Kawamura S, Hirayama M. 2003. Stimulatory effect of cyanidin 3-glycosides on the regeneration of rhodopsin. J Agric Food Chem. 51(12):3560–3563. Maurya DK, Balakrishnan S, Salvi VP, Nair CKK. 2005a. Protection of cellular DNA from gamma-irradiation induced damages and enhancement in DNA repair by troxerutin. Mol Cell Biochem, 280:57. Maurya DK, Devasagayam TPA, Nair CKK. 2006. Some Novel Approaches for Radioprotection and the Beneficial Effect of Natural Products. Review article. Indian Journal of Experimental Biology. (44):93-114. Maurya DK, Salvi VP, Nair CKK. 2004. Radioprotection of normal tissue in tumour-bearing mice by Troxerutin, J radiat Res, 45:221. Maurya DK, Salvi VP, Nair CKK. 2005b. Radiation protection of DNA by ferulic acid under in vitro and in vivo conditions. Mol Cell Biochem, 280:209. Maya F, Barbara B, Robert G, Kiril L, Zvi S. 2008. Bone marrow regeneration following tibial marrow ablation in rats is age dependent. [Thesis]. Georgia Institute of Technology. http://hdl.handle.net/1853/26526. [15 November 2011] Mayer C, et al. 2011. A radiation-induced gene expression signature as a tool to predict acute radiotherapy-induced adverse side effects. Cancer Lett. 302(1):20-28. Mazza G, Miniati E. 1993. Anthocyanins in Fruits, Vegetables, and Grains. CRC Press, Boca Raton, FL, pp 149–199.
130
McCurnin DM, Bassert JM. 2006. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. 6th Edition. Elsevier Saunders. USA. Mebius RE, Kraal G. 2005. Structure and function of the spleen. Nat Rev Immunol. 5(8):606-16 MedicineNet.com. 2011. Leukemia. MedicineNet, Inc. [terhubung berkala]. http://www.medicinenet.com/leukemia/page2.htm [15 November 2011] Meek AG. 1998. Breast radiation therapy and lymphedema. Cancer 83 (12 Suppl American): 2788–97. Meltzer HM, Malterud KE. 1997. Can dietary flavonoids influence the development of coronary heart disease? Scand. J. Nutr. 41(2): 50.57. Meredith A, Redrobe S. 2002. BSAVA Manual of Exotic Pets. 4th Edition. British Small Animal Veterinary Association. p13-25. www.bsava.com Mettler FA, Huda W, Yoshizumi TT, Mahesh M. 2008. Effective Dose in Radiology and Diagnostic Nuclear Medicine: a catalog. Radiology 248:254263. Mettler FA, Voelz GL. 2002. Major radiation exposure— what to expect and how to respond. N. Eng. J. Med.346:1554–1561 Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine: Intepretation & Diagnosis. 3rd edition. Saunders. An Imprint of Elsevier: USA. Miller DL. 2008. Overview of contemporary interventional fluoroscopy procedures. Health Phys. 95(5):638 – 644 Miller DL, et al. 2010. Clinical Radiation Management for Fluoroscopically Guided Interventional Procedures. Radiology 257(2)321-332. Mishima S, et al. 2004. Antioxidant and immuno-enhancing effects of Echinacea purpurea. Biol Pharm Bull, 27:1004-1009. Mittal A, et al. 2001. Influence of Podophyllum hexandrum on endogenous antioxidant defence system in mice: Possible role in radioprotection. J Ethnopharmacol, 76:253. Miyanomae T, Friendel E. 1988. Radioprotection of homeopoiesis conferred by Acanthopanax senticous (Shigoka) administered before and after irradiation. Exp Hematol, 16:801. Mohamed R, Fernandez J, Pineda M, Aguilar M. 2007. Roselle (Hibiscus sabdariffa) Seed oil is rich source of Y-tocopherol. J. Food Sci.72: 3. Mollinedo F, Borregaard N, Boxer LA. 1999. Novel trends in neutrophil structure, function and development. Immunol Today. 20:535–537 Montgomery R, et al. 2011. Mouse telomerase reverse transcriptase (mTert) expression marks slowly cycling intestinal stem cells. Proceedings of the National Academy of Sciences 108, 179-184. Morales-Ramirez PT, Garcia-Rodriquez MC. 1994. In vivo effect of chlorophyllin on -ray-induced sister chromatid exchange in murine bone marrow cells. Mutat Res, 320:329. Morel I, Cillard P, Cillard J. 1998. Flavonoid-metal interactions in biological systems. In: Rice-Evans, Packer L (eds). Flavonoids in Health and Disease. New York: Marcel Dekker Inc. pp:163-177 Morse HC, et al.2002. Bethesda proposals for classification of lymphoid neoplasms in mice. Blood 100(1):246–58. Mozaffari-Khosravi H, Jalali-Khanabadi BA, Afkhami-Ardekani M, Fatehi F, Noori-Shadkam M. 2009. The effects of sour tea (Hibiscus sabdariffa) on
131
hypertension in patients with type II diabetes. Journal of Human Hypertension. 23:48–54. Mozdarani H, Hejazi A, Hejazi P. 2002. Chromosomal Aberrations in Lymphocytes of Individuals with Chronic Exposure to Gamma Radiation. Arch Irn Med 5 (1): 32-36 [MPCN] Medical Physics Course Notes. 1995. X-rays for Diagnosis. Medical Physics Course Notes. Department of Chemistry, University College London. [terhubung berkala]. http://img.chem.ucl.ac.uk/www/kelly/medicalxrays.htm [15 November 2011] Muller BM, Franz G. 1992.Chemical structure and biological activity of polysaccharides from Hibiscus sabdariffa. Planta Med. 58: 60-67. Mulyani H, Filailla E, Sugiwati S, Anita Y. 2011. Antioxidant activity from roselle (Hibiscus sabdariffa L.) by DPPH method. Proceeding of ISCC 2011. Gedung Dewan Riset Nasional, Puspiptek Serpong 20-22 Oktober 2011. Murray KA, Cinthia P, Garry LB. 2000. Laboratory Animals: Rodent Anesthesia & Analgesia. University of Wasington: USA. Muth ER, Laurent J, Jasper P. 2000. The effect of bilberry nutritional supplementation on night visual acuity and contrast sensitivity. Altern Med Rev.5(2):164–173. Naik GH, Priyadarsini KI, Naik DB, Gangabhagirathi R, Mohan H. 2004. Studies on the aqueous extract of Terminalia chebula as a potent antioxidant and a probable radioprotector. Phytomedicine, 11:530. Nair CKK, Parida DK, Nomura T. 2001. Radioprotectors in Radiotherapy. J Radiat Res, 42:21. Nair CKK, Salvi V, Kagiya TV, Rajagopalan R. 2004. Relevance of radioprotectors in radiotherapy: studies with tocopherol monoglucoside. J Environ Path Toxicol, 23:153. Nakaishi H, Matsumoto H, Tominaga S, Hirayama M. 2000. Effects of black currant anthocyanoside intake on dark adaptation and VDT work-induced transient refractive alteration in healthy humans.Altern Med Rev. 5(6):553–562. Nayak V, Uma-Devi P. 2005. Protection of mouse bone marrow against radiationinduced chromosome damage and stem cell death by the Ocimum flavonoids orientin and vicenin. Radiat Res, 163:165. Nemavarkar P, Pasupathy K, Mishra KP. 2004. Radioprotective action of Trigonelline: use of Saccharomyces cerevisiae as a test system. Indian J Radiat Res, 1:29. [NCI] National Cancer Institute. 2011. SEM blood cells. National Cancer Institute. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org/wiki/File:SEM_blood_cells.jpg [15 November 2011] [NCRP] National Council on Radiation Protection and Measurements. 1993. Limitation of Exposure to Ionizing Radiation. Recommendation of the National Council on Radiation Protection and Measurements NCRP Report No. 116. Issued March 31, 1993. NCRP 7910 Woodmont Avenue. [NCRP] National Council on Radiation Protection and Measurements. 2004. Radiation Protection in Veterinary Medicine. NCRP Report No 148.Woodmont Avenue. USA. Nieder C, Milas L, Ang KK. 2000. Tissue tolerance to reirradiation. Semin Radiat Oncol 10 (3): 200–9.
132
Nilsson GE. 2010. Respiratory Physiology of Vertebrates. Cambridge: Cambridge University Press. Pp 334 Noviana D, et al. 2010a. Experimental Study of Ionizing Radiation from Radiodiagnostic Tool Radiography on Peripheral Blood of Mice (Mus musculus): The Preliminary Research of Radioprotective Potential of Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) Against Radiodiagnostic Ionizing Radiation. Proceedings of The First Congress of South East Asia Veterinary School Association. IPB International Convention Center Bogor, Indonesia 20-22 Juli 2010. h 157. Noviana D, et al. 2010b. Radioprotektif suplemen vitamin C pada gambaran darah tepi mencit (Mus musculus) dengan radiasi ionisasi radiodiagnostik radiografi berulang : Studi dasar potensi radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi sarana radiodiagnostik. Makalah Poster Kumpulan Abstrak Konverensi Ilmiah Veteriner Nasional ke-11 tahun 2010 PB PDHI Semarang Indonesia, 10- 13 Oktober 2010. h 139. [NRC] National Research Council. 2006. Health risks from exposure to low levels of ionizing radiation: BEIR-VII Phase 2. Washington, DC: National Academy Press, 2006. Nübel T, Damrot J, Roos WP, Kaina B, Fritz G. 2006. Lovastatin protects human endothelial cells from killing by ionizing radiation without impairing induction and repair of DNA double-strand breaks. Clin Cancer Res. 12: 933-939. Nuñez MT, Garate MA, Arredondo M, Tapia V, Muñoz P. 2000. The cellular mechanisms of body iron homeostasis. Biol Res 33: 133-142 Odigie IP, Ettarh RR, Adigun SA. 2003. Chronic administration of aqueous Hibiscus sabdariffa attenuates hypertension and reverses cardiac hypertrophy in 2k-1c hypertensive rats. J. Ethnopharmacol., 86(2-3): 181-185. Ogunlesi M, et al. 2010. Vitamin C Contents of Tropical Vegetables and Foods Determined by Voltammetric and Titrimetric Methods and Their Relevance to the Medicinal Uses of the Plants. Int J Electrochem Sci, 5:105 – 115. Ohmori R, et al. 2005. Antioxidant activity of various teas against free radicals and LDL oxidation. Lipids.40(8):849-853. Olaleye MT. 2007. Cytotoxicity and antibacterial activity of methanolic extract of Hibiscus sabdariffa. J Med Plants Research, 1(1): 009-013. Olatunji LA, Adebayo JO, Adesokan AA, Olatunji VA, Soladoye AO. 2006. Chronic Administration of Aqueous Extract of Hibiscus sabdariffa Enhances Na+-K+-ATPase and Ca2+-Mg2+-ATPase Activities of Rat Heart. Pharmaceutical Biology, 3(44):213–216. Oloyede KG, Oke MJ, Raji Y, Olugbade AT. 2010. Antioxidant and Anticonvulsant Alkaloids in Crinum ornatum bulb Extract. World journal of chemistry.5(1):26–31. Opazo C, Ruiz FH, Inestrosa NC. 2000. Amyloid b-peptide reduces copper (II) to copper (I) independent of its aggregation state. Biol Res 33:7125-7131 Pace-Asciak CR, Hahn S, Diamandis EP, Soleas G, Goldberg DM. 1995. The red wine phenolics trans-resveretrol and quercetin block human platelet aggregation and eicosanoid synthesis: implications for protection against coronary heart disease. Clin Chim Acta 235:207–219.
133
Pace-Asciak CR, Rounova O, Hahn SE, Diamandis EP, Goldberg DM. 1996. Wines and grape juices as modulators of platelet aggregation in healthy human subjects. Clin Chim Acta 246:163–182 Pacher P, Beckman JS, Liaudet L. 2007. Nitric oxide and peroxynitrite in health and disease. Physiol. Rev. 87 (1): 315–424. Pahadiya S, Sharma J. 2003. Alteration of lethal effect of gamma rays in Swiss albino mice by Tinospora cordifolia. Phytother Res, 17:522. Pandey BN, Mishra KP. 2004. Modification of thymocytes membrane radiooxidative damage and apoptosis by Eugenol. J Environ Pathol Toxicol Oncol, 23:117. Pathologyoutlines.com. 2010. Spleen. [terhubung berkala] http://pathologyoutlines.com/spleen.html#top [24 Januari 2012] Pau LT, Salmah Y, Suhaila M. 2002. Antioxidative properties of roselle (Hibiscus sabdariffa L.) in linoleic acid model system. Nutrition & Food Science 32(1): 17-20. Pignatelli P, Pulcinelli FM, Lenti L, Gazzaniga PP, Violi F. 1998. Hydrogen peroxide is involved in collagen-induced platelet activation. Blood 91:484–490 Pignatelli P, et al. 2000. The flavonoids quercetin and catechin synergistically inhibit platelet function by antagonizing the intracellular production of hydrogen peroxide. Original Research Communication. Am J Clin Nutr 72(5): 1150-1155 Pimentel E, Cruces MP, Zimmering S. 1999. On the persistence of the radioprotective effect of chlorophyllin (CHLN) in somatic cells of Drosophilla. Mutat Res, 446:189. Porta C, Maiolo A, Tua A, Grignani G. 2000. Amifostine, a reactive oxigen species scavenger with radiation- and chemo-protective properties, inhibits in vitro platelet activation induced by ADP, collagen or PAF. Haematol 8(85):820-825 Pourcel L, Routaboul JM, Cheynier V, Lepinieg L, Debeajon I. 2007. Flavanoid axidation in plants: from biochemical properties to physiological function. Trends in Plants Science. 12(1):29-36 [PP No 33] Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. [QGHLab] Qikiqtani General Hospital Laboratory. 2011. Complete blood count (CBC). Qikiqtani general hospital laboratory. [terhubung berkala]. http://qghlab.com/procedures-done-at-qgh-lab/c-difficile [15 November 2011] Rajagopalan R, Ranjan SK, Nair CKK. 2003. Effect of vinblastine sulfate on gamma-radiation-induced DNA single-strand breaks in murine tissue. Mutat Res, 536:15. Ramanathan R, Misra UK. 1976. Effect of whole body gamma irradiation on fatty acid composition of liver lipids of female rats and radioprotection by cystamine. Strahlentherapie, 151:555. Ramarathnam N, Ochi H, Takeuchi M. 1997. Antioxidative defense system in vegetable extracts, pp. 76-87. In: Natural antioxidants: Chemistry, health effects, and applications. Shahidi, F. Ed. AOCS Press, Champaign. Ramirez-Tortosa C, et al. 2001. Anthocyanin-rich extract decreases indices of lipid peroxidation and DNA damage in vitamin E-depleted rats. Free Radic Biol Med. 31(9):1033–1037.
134
Rask J, Vercoutere W, Krause A, Navarro B. 2008. Space Faring: The Radiation Challenge Radiation Educator Guide Module 3. Radiation Countermeasures. EP-2008-08-118-MSFC. Ravi-Kiran PB, Baliga MS, Jagetia GC. 2004. Evaluation of the radioprotective action of geriforte (a polyherbal formulation) in mice exposed to different doses of -radiation. Indian J Radiat Res, 1:44. Reanmongkol W, Itharat A. 2007. Antipyretic activity of the extracts of Hibiscus sabdariffa calyces L. in experimental animals. Songklanakarin J. Sci. Technol., 29(Suppl. 1) : 29-38 Reeves JP, Reeves PA. 2001. Removal of Lymphoid Organs. Current Protocols in Immunology. http://www.currentprotocols.com/protocol/im0109. Reeves JP, Reeves PA, Chin LT. 2001. Survival Surgery: Removal of the Spleen or Thymus. Current Protocols in Immunology. http://www.currentprotocols.com/ protocol/im0110 Reynolds RJ, Schecker JA. 1995. Radiation, Cell Cycle, and Cancer. Los Alamos Science.23:51-89. Rice-Evans CA, Miller NJ, Bolwell PG, Bramley PM, Pridham JB. 1995. The relative antioxidant activities of plant-derived polyphenolic flavonoids. Free Rad. Res. 22(4):375-383. Rossi A, et al. 2003. Protective effects of anthocyanins from blackberry in a rat model of acute lung inflammation. Free Radic Res. 37(8):891–900. Rothkamm K, Balroop S, Shekhdar J, Fernie P, Goh V. 2007. Leukocyte DNA damage after multi-detector row CT: A quantitative biomarker of low-level radiation exposure. Radiology. 2007 Jan; 242(1):244-51. Sajikumar S, Goel HC. 2003. Podophyllum hexandrum prevents radiation-induced neuronal damage in postnatal rats exposed in utero. Phytother Res, 17:761. Salvadori DM, Ribeiro LR, Xiao Y, Boei JJ, Natarajan A. 1996. Radioprotection of beta-carotene evaluated on mouse somatic and germ cells. Mutat Res, 356:163. Samarth RM, Goyal PK, Kumar A. 2004. Protection of Swiss albino mice against whole-body gamma-irradiation by Mentha piperita (Linn.). Phytother Res, 18:546. Samarth RM, Kumar A. 2003a. Mentha piperita (Linn.) leaf extract provides protection against radiation induced chromosomal damage in bone marrow of mice. Indian J Exp Biol, 41:229. Samarth RM, Kumar A. 2003b. Radioprotection of Swiss albino mice by plant extract Mentha piperita (Linn.). J Radiat Res, (Tokyo) 44:101. Saraya.com. 2011. X-ray products. [terhubung berkala]. http://www.sarayaco.com/ xrayproducts_trading.html [15 November 2011] Sarma L, Kesavan PC. 1993. Protective effect of vitamin c and E against gammaray-induced chromosomal damage in mouse. Int J Radiat Biol, 63:759. Sarria A, Prasad KN. 1984. DL-alpha tocopheryl succinate enhances the effect of gamma-irradiation on neuroblastoma cells in culture. Proc Soc Exp Biol Med, 175:88. Sasaki YF, et al. 1990. Suppressing effects of vanillin, cinnam-aldehyde, and anisaldehyde on chromosome aberrations induced by X-rays in mice. Mutat Res, 243:29.
135
Satyamitra M, Uma-Devi P, Murase H, Kagiya VT. 2003. In vivo postirradiation protection by a vitamin E analog, alpha-TMG. Radiat Res, 160:655. Saunders EL, Meredith MJ, Eisert DR, Freeman ML. 1991. Depletion of glutathione after –irradiation modifies survival. Radiat Res. 125:267. Seddek MN, Abou-Gabal HA, Salama SF, El-Kashef HS. 2000. Effect of deltamethrin and -radiation on immunohematological elements of pregnant rats. J Egypt Ger Soc Zool.31:171–182. Seibert JA, Boone JM. 2005. X-Ray Imaging Physics for Nuclear Medicine Technologists. Part 2: X-Ray Interactions and Image Formation. J Nucl Med Technol. 1(33):3-18 Serafini M, Bellocco R, Wolk A, Ekstrom AM. 2002. Total antioxidant potential of fruit and vegetables and risk of gastric cancer. Gastroenterol.123:985–991. Shah V, Kumar S, Maurya DK, Nair CKK. 2004. Protection of plasmid pBR 322 DNA and membrane of rat liver microsome and mitochondria by Rubia cardifolia extract. Indian J Radiat Res, 1:46. Shandhya T, Mishra KP. 2004. Radiosensitizing effect of Triphala on cancer cells: In vitro and in vivo studies. Indian J Radiat Res, 1:48. Sharma J, Sharma R. 2002. Radioprotection of Swiss albino mouse by Centella asiatica. Phytother Res, 16:785. Sharma M, Sharma S, Kumar M. 2005. Radiomodulatory influence of nutmeg (Myristica fragrans) extract in Swiss albino mice after whole body exposure to gamma radiation. International Conference on Antioxidant & Free Radicals in Health-Nutrition & Radioprotector and IV Annual Conferrence of Society for Free Radical Research-India St. John’s Natioal Academy of Health Science, Banglore, India, 10-12 January 2005. Shimoi K, Masuda S, Shen B, Furugori M, Kinae N. 1996. Radioprotective effect of antioxidative plant flavonoids in mice. Mutat Res, 350:153. Shinozaki K, et al. 2011. Ascorbic acid enhances radiation-induced apoptosis in an HL60 human leukemia cell line. J Radiat Res (Tokyo). 52(2):229-237. Sies H. 1997. Oxidative stress: Oxidants and antioxidants. Experimental physiology 82 (2): 291–295 Singh SP, Abraham SK, Kesavan PC. 1995. In vivo radioprotection with Garlic extract. Mut Res, 345:147. Singh SP, Abraham SK, Kesavan PC. 1996. Radioprotection of mice following Garlic pretreatment. Br J Cancer, Supp 27:s102. Skibola CF, Smith MT. 2000. Potential health impacts of excessive flavonoid intake. Free Radic. Biol. Med. 29(3/4): 375.383. Slyshenkov VS, Omelyanchik SN, Moiseenok AG, Petushok NE, Wojtczak L. 1999. Protection by pantothenol and beta-carotene against liver damage produced by low-dose gamma-radiation. Acta Biochim Pol, 46:239. Stefanski SA, Elwell MR, Stromberg PC. 1990. Spleen, lymphnode, and thymus. In: Pathology of the Fischer Rats Reference and Atlas. Boorman GA, Eustis SL, Elurll MR, Montgomery CA.Jr, Mackenzie WF. (eds). Academic Press, Inc. New York. Stevens M, Brown E, Zipursky A.1986. The effect of abdominal radiation on spleen function: a study in children with Wilms' tumor. Pediatr Hematol Oncol.3(1):69-72.
136
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. 2nd edition. Blackwell Publishing.UK. p53-368. Stone HB, et al. 2004. Models for Evaluating Agents Intended for the Prophylaxis, Mitigation and Treatment of Radiation Injuries. Report of an NCI Workshop, December 3–4, 2003. Radiat. Res. 162, 711–728 (2004). Sur P, Chaudhuri T, Vedasiromoni JR, Gomes A, Ganguly DK. 2001. Antiinflamatory and antioxidant property of saponins of tea [Camellia sinensis(L)O. Kuntze] root extract. Phytotherapy Reserach.15:174–176. [SK Ka BAPETEN No 01] Surat Keputusan Kepala BAPETEN No. 01/KaBAPETEN/V-1999 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja dengan Radiasi. Swirski FK, et al. 2009. Identification of splenic reservoir monocytes and their deployment to inflammatory sites. Science, 325: 612-616. Szkanderova S, et al. 2003. Gamma Irradiation Results in Phosphorylation of p53 at Serine-392 in Human T-Lymphocyte Leukaemia Cell Line MOLT-4. Folia Biologica (Praha) 49, 191-196. Tapio S, Jacob V. 2007. Radioadaptive response revisited. Radiat Environ Biophys. 46(1):1-12. Taylor CW, Nisbet A, McGale P, Darby SC. 2007. Cardiac exposures in breast cancer radiation therapy: 1950s–1990s. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 69 (5): 1484–95. Tawfik SS. 2003. Efficiency of taurine usage as treatment for exposure to ionizing radiation. Cairo: Institute of Environmental Studies and Researches, Ain Shams University; 2003. Ph.D. Dissertation. Tawfik SS, Elshamy E, Sallam MH. 2006. Aged garlic extract modulates the oxidative modifications induced by -rays in mouse bone marrow and erythrocytes cells. Egypt J Rad Sci Applic. 2006, 19, 499-512. Tee P-L, Yusof S, Mohamed S. 2002. Antioxidative properties of roselle (Hibiscus sabdariffa L.) in linoleic acid model system, Nutrition & Food Science, Vol. 32 Iss: 1, pp.17 - 20 Thierry-Chef I, Simon SL, Land CE, Miller DL. 2008. Radiation dose to the brain and subsequent risk of developing brain tumors in pediatric patients undergoing interventional neuroradiology procedures. Radiat Res 2008;170(5):553 – 565. Thrall DE. 2002. Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th edition London: W. B. Saunders Company. Thrall MA. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Lippincott Williams & Wilkins: USA. Thresiamma KC, George J, Kuttan R. 1996. Protective effect of curcumin, ellagis acid, and bixin on radiation induced toxicity. Ind J Exp Biol, 34: 845-847. Tripathi YB, Mehta RG, Singh AV, Arjmandi BH. 2004. Radioprotective and chemotherapeutic potential of Y Rad A, a patented formulation. Indian J Radiat Res, 1:78. Tsai PJ, McIntosh J, Pearce P. Camden B, Jordan BR. 2002. Anthocyanin and antioxidant capacity in Roselle (Hibiscus Sabdariffa L.) extract. Food Res Int, 35:351–356. Tsuda T, Horio F, Uchida K, Aoki H, Osawa T. 2003. Dietary cyanidin 3-O-betaD-glucoside-rich purple corn color prevents obesity and ameliorates hyperglycemia in mice. J Nutr. 133(7):2125–2130.
137
Tucker JD. 2008. Low-dose ionizing radiation and chromosome translocations: A review of the major consideration for human biological dosimetry. Mutat Res.659:211–220. Turrens JF. 2003. Mitochondrial formation of reactive oxygen species. J Physiol 552(2):335–344 Turner JE. 2007. Atoms, Radiation, and Radiation Protection. 3rd, Completely Revised and Enlarged Edition.Wiley-Vch Verlag GmbH & Co. KGaA. Ulum MF, Noviana D. 2008. Safety Utilization of Radiography as A Diagnostic Tools in Veterinary Medicine Field. Proceedings of KIVNAS 2008 IPB International Convention Centre, August 19th – 22nd 2008. Bogor. Uma-Devi P, Ganasoundari A. 1995. Radioprotective effect of leaf extract of Indian medical plant Ocimum sanctum. Indian J Exp Biol, 33:205. Uma-devi P, Ganasoundari A, Vrinda B, Srinivasan KK, Unnikrishnan MK. 2000a. Radiation protection by Ocimum sanctum flavonoids orientin and vicentin-mechanism of action. Radiat Res, 154:455. Uma-Devi P, Kamath R, Rao BSS. 2000b. Radioprotective effect of Phyllantus niruni on mouse chromosomes. Curr Sci, 78:1245. Uma-Devi P, Satyamitra. 2004. Protection against prenatal irradiation-induced genomic instability and its consequences in adult mice by Ocimum flavonoids, orientin and vicenin. Int J Radiat Biol, 80:653. Urquiaga I, Leighton F. 2000. Plant Polyphenol Antioxidants and Oxidative Stress. Biol. Res. (Santiago) 2(33). Vacck A, Rotkovska D, Bartonickova A, Kautska J. 1992. Amelioration of radiation damage to hemopoiesis by Ivastimul, given after irradiation to mice protected by peroral cystamine. Folia Biol, 38:323. Valko M, Morris H, Cronin MT. 2005. Metals, toxicity and oxidative stress. Curr. Med. Chem. 12 (10): 1161–208. Varghese AM, Rawstron AC, Hillmen P. 2010. Eradicating minimal residual disease in chronic lymphocytic leukemia: should this be the goal of treatment?. Curr Hematol Malig Rep. 5(1):35-44. Review. Vaya J, Aviram M. (tanpa tahun). Nutritional Antioxidants: Mechanisms of Action, Analyses of Activities and Medical Applications. [terhubung berkala]. http://www.benthamscience.com/cmciema/sample/cmciema1-1/vaya/vayams.htm [15 November 2011] Verheij M, Dewit LGH, Boomgaard MN, Brinkman HM, van Mourik JA. 1994. Ionizing Radiation Enhances Platelet Adhesion to the Extracellular Matrix of Human Endothelial Cells by an Increase in the Release of von Willebrand Factor. Radiation Research, 2(137):202-207 Vinson JA, Dabbagh YA, Serry MM, Jang J. 1995. Plant flavonoids, especially tea flavonols, are powerful antioxidants using an in vitro oxidation model for heart disease. J. Agric. Food Chem. 43(11):2800-2802. Vrindra B, Uma-Devi P. 2001. Radiation protection of human lymphocyte chromosome in vitro by Orientin and Vicenin. Mutat Res, 498:39. Von-Sonntag C. 1987.The Chemical Basis of Radiation Biology. Taylor & Francis; London: pp31–56. Wallace MH. 2009. Electromagnetic / Radio Wave Spectrum. In: Encyclopedia of the Cosmos. Eds. Bernard Haisch and Joakim F. Lindblom (Redwood City,
138
CA: Digital Universe Foundation). http://www.cosmosportal.org/ articles/view/138959/ [13 November 2011] Wallace TC. 2011. Anthocyanins in cardiovascular disease. Adv Nutr (Bethesda). 2(1):1-7 Wambi CO, et al. 2008. Dietary antioxidants protect hematopoietic cells and improve animal survival after total-body irradiation. Radiat. Res.169:384–396. Wambi CO, et al. 2009. Protective effects of dietary antioxidants on proton totalbody irradiation-mediated hematopoietic cell and animal survival. Radiat Res. 172(2):175-86. Wang H, Cao G, Prior RL. 1996. Total antioxidant capacity of fruits. J. Agric. Food Chem. 44(3):701-705. Wang CJ, et al. 2000. Protective effect of Hibiscus anthocyanins against tert-butyl hydroperoxide-induced hepatic toxicity in rats. Food Chem Toxicol., 38(5): 411-416. Ward JM, et al. 2006. Immunohistochemical markers for the rodent immune system. Toxicol Pathol 34:616–30. Ward JM, Mann PC, Morishima H, Frith CH. 1999. Thymus, Spleen, and Lymph Nodes. Di dalam: Maronpot RR, GA Boorman, BW Gaul, Editor. Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 333-357. Watts KL, Beard BC, Wood BL, Kiem HP. 2009. Myeloablative irradiation in non-human primates. J Med Primatol. 38(6):425-432. Weill FS, et al. 2011. Skin exposure to chronic but not acute UV radiation affects peripheral T-cell function. J Toxicol Environ Health A. 74(13):838-47. [WHO] World Health Organization. 2010. Cell culture procedures. [terhubung berkala]. http://www.who.int/vaccines/en/poliolab/webhelp/Chapter_04/ 4_2_Cell_culture_procedures.htm [15 November 2011] Widel M, Jedrus S, Lukaszczyk B, Raczek-Zwierzycka K, Swierniak A. 2003. Radiation-induced micronucleus frequency in peripheral blood lymphocytes is correlated with normal tissue damage in patients with cervical carcinoma undergoing radiotherapy. Radiat Res. 159:713-721. Widyanto PS, Nelista A. 2009. Rosela Aneka Olahan, Khasiat dan Ramuan. Jakarta: Penebar Swadaya. hal 1-35. Wikipedia.org. 2011. Illu blood cell lineage. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Illu_blood_cell_lineage.jpg [15 November 2011] Willard MD, Tvedten H. 2004. Small animal clinical diagnosis by laboratory methods. 4th edition. Saunders. Elsevier (USA). pp 15-116. Williams RJ, Spencer JP, Rice-Evans C. 2004. Flavonoids: antioxidants or signalling molecules?. Free Radical Biology & Medicine 36 (7): 838–849. Wilson RL. 1988. Biochemical mechanisms of liver injury: free radicals and tissue damage, mechanistic evidence from radiation studies; Academy Press, New York; p. 123. Wintrobe MM, et al. 1999. Wintrobe's Clinical Hematology. 10th ed. Vol. 2. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. p1852. Woodward G, Kroon P, Cassidy A, Kay C. 2009. Anthocyanin Stability and Recovery: Implications for the Analysis of Clinical and Experimental Samples. J. Agric. Food Chem., 57 (12), pp 5271–5278
139
Wright EG, Coates PJ. 2006. Untargeted effects of ionizing radiation: Implications for radiation pathology. Mutation Research 597:119–132. Wrolstad RE. 2001. The Possible Health Benefits of Anthocyanin Pigments and Polyphenolics. The Linus Pauling Institute. Oregon State University. [terhubung berkala]. http://lpi.oregonstate.edu/ss01/anthocyanin.html [25 Januari 2012]. Yoshinaga S, et al. 2005. Nonmelanoma skin cancer in relation to ionizing radiation exposure among U.S. radiologic technologists. Int. J. Cancer: 115, 828–834. Zago MP, Verstraeten SV, Oteiza PI. 2000. Zinc in the prevention of Fe2+initiated lipid and protein oxidation. Biol Res 33: 143-150 Zarybnicka L, et al. 2011. Sensitivity of porcine peripheral blood leukocytes to gamma irradiation in vivo, in vitro and ex vivo. Int J Radiat Biol. 87(5):491-8 Zhang HQ, Lin AP, Sun Y, Deng YM. 2001. Chemo- and Radio-protective Effect of Polysaccharide Spirulina platensis on Hemopoietic System of Mice and Dogs. Acta Pharmacol Sin. (12): 1121-1124.
140
Lampiran 1. Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan Kultur Limfosit (In-vitro) Jumlah Sel Limfosit
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
149042.131 11812.667 160854.798
31 160 191
Mean Square 4807.811 73.829
F
Sig.
65.121
.000
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Jumlah Sel Limfosit Duncan Perlakuan pada dosis
N
1
2
3
4
Subset for alpha = .05 5 6 7 8
9
10
11
0,K,0.0
6 8.8700
25,R,0.0
6 8.8700
50,R,0.0
6 8.8700
100,R,0.0
6 8.8700
0,P,0.0
6 8.8700
25,RP,0.0
6 8.8700
50,RP,0.0
6 8.8700
100,RP,0.0
6 8.8700
0,P,0.6
6 19.3333 19.3333
0,P,0.8
6
25,RP,0.6
6
31.0000 31.0000
0,P,0.2
6
32.3333 32.3333
25,RP,0.2
6
33.5000 33.5000 33.5000
50,RP,0.6
6
33.8333 33.8333 33.8333
50,RP,0.2
6
35.3333 35.3333 35.3333
50,R,0.2
6
36.1667 36.1667 36.1667
0,K,0.6
6
37.8333 37.8333 37.8333
0,K,0.2
6
38.6667 38.6667 38.6667 38.6667
100,RP,0.6
6
43.8333 43.8333 43.8333 43.8333
25,R,0.2
6
44.6667 44.6667 44.6667 44.6667
100,R,0.6
6
46.5000 46.5000 46.5000
100,R,0.2
6
49.3333 49.3333 49.3333
100,RP,0.2
6
52.0000 52.0000
0,K,0.8
6
52.6667 52.6667
50,R,0.6
6
54.6667 54.6667
25,RP,0.8
6
58.3333
25,R,0.6
6
59.1667
25,R,0.8
6
71.1667
50,RP,0.8
6
74.1667
100,RP,0.8
6
89.1667
50,R,0.8
6
98.8333
100,R,0.8
6
Sig.
12
23.6667 23.6667
122.1667 .076
.384
.069
.195
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
.055
.052
.056
.060
.085
.546
.053
1.000
141
Lampiran 2. Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan Berat Badan (In-vivo) Berat Badan Sum of Squares 4629.913 261.087 4890.999
Between Groups Within Groups Total
Mean Square 243.680 6.527
df 19 40 59
F
Sig.
37.333
.000
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Berat Badan Duncan Pelakuan N pada dosis
1
2
3
Subset for alpha = .05 4 5 6
7
8
9
K- 0.0
3 22.6500 K+ 0.0 3 22.6500 R- 0.0 3 22.6500 R+ 0.0 3 22.6500 R+ 2.9 3 28.1333 K- 2.9 3 28.9000 28.9000 R- 2.9 3 32.0000 32.0000 K+ 2.9 3 33.1333 R- 2.9 recov 3 K+ 2.9 recov 3 R+ 2.9 recov 3 R+ 5.3 3 K+ 5.3 recov 3 K- 2.9 recov 3 K- 5.3 recov 3 K- 5.3 3 R- 5.3 3 R+ 5.3 recov 3 K+ 5.3 3 R- 5.3 recov 3 Sig. 1.000 .087 .061 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
37.9667 39.7000 40.3667 41.4333 41.5000 41.7667
.117
39.7000 40.3667 41.4333 41.5000 41.7667 43.1333 44.4000
.056
40.3667 41.4333 41.5000 41.7667 43.1333 44.4000 44.9000
.065
41.4333 41.5000 41.7667 43.1333 44.4000 44.9000 45.9333
.067
41.7667 43.1333 44.4000 44.9000 45.9333 46.3333 .060
44.4000 44.9000 45.9333 46.3333 48.7333 .069
142
Lampiran 3. Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan Darah Perifer (In-vivo)
Sel Darah Putih
Prematur Leukosit
Agranulosit
GRanulosit
Trombosit
Sel Darah Merah
Hematokrit
Hemoglobin
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 178.769 64.939 243.708 244.410 36.000 280.410 2432.091 1058.500 3490.591 2407.685 1243.333 3651.019 1778733.486 1600609.667 3379343.153 61.654 38.654 100.308 1257.803 883.292 2141.095 123.327 106.055 229.381
df 27 53 80 27 55 82 27 55 82 27 55 82 23 48 71 27 56 83 27 56 83 27 56 83
Mean Square 6.621 1.225
F
Sig.
5.404
.000
9.052 .655
13.830
.000
90.077 19.245
4.680
.000
89.174 22.606
3.945
.000
77336.239 33346.035
2.319
.007
2.283 .690
3.308
.000
46.585 15.773
2.953
.000
4.568 1.894
2.412
.003
143
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Sel Darah Putih Duncan Pelakuan N pada dosis
1
2
3
4
Subset for alpha = .05 5 6 7 8
9
10
R- 2.9 recov
3
2.9500
K+ 2.9 recov
3
3.2333 3.2333
K- 5.3
3
3.8667 3.8667 3.8667
K+ 5.3
3
4.3167 4.3167 4.3167 4.3167
K- 5.3 recov
2
4.4750 4.4750 4.4750 4.4750 4.4750
R- 5.3 recov
2
4.4750 4.4750 4.4750 4.4750 4.4750
R+ 2.9
3
4.6333 4.6333 4.6333 4.6333 4.6333 4.6333
K+ 2.9
3
4.6333 4.6333 4.6333 4.6333 4.6333 4.6333
R+ 2.9 recov
3
4.7667 4.7667 4.7667 4.7667 4.7667 4.7667
R- 2.9
3
4.7833 4.7833 4.7833 4.7833 4.7833 4.7833 4.7833
K- 2.9
3
5.0167 5.0167 5.0167 5.0167 5.0167 5.0167 5.0167 5.0167
K+ 4.1
3
R+ 5.3
3
6.0333 6.0333 6.0333 6.0333 6.0333 6.0333 6.0333 6.0333
R+ 5.3 recov
3
6.0833 6.0833 6.0833 6.0833 6.0833 6.0833 6.0833
R- 5.3
3
6.2500 6.2500 6.2500 6.2500 6.2500 6.2500 6.2500
K+ 5.3 recov
2
6.2750 6.2750 6.2750 6.2750 6.2750 6.2750 6.2750
K- 2.9 recov
3
6.3500 6.3500 6.3500 6.3500 6.3500 6.3500 6.3500
K- 0.0
3
6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400
K+ 0.0
3
6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400
R- 0.0
3
6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400
R+ 0.0
3
6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400 6.6400
R- 1.7
3
6.7833 6.7833 6.7833 6.7833 6.7833
R+ 4.1
3
7.0167 7.0167 7.0167 7.0167
K- 4.1
3
7.0833 7.0833 7.0833
R- 4.1
3
7.2000 7.2000 7.2000
K+ 1.7
3
7.4167 7.4167
K- 1.7
3
7.7667
R+ 1.7
3
Sig.
11
5.3000 5.3000 5.3000 5.3000 5.3000 5.3000 5.3000 5.3000
9.6500 .066
.066
.054
.075
.060
.061
.050
.057
.065
.130
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.847. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
144
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Prematur Leukosit Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
Subset for alpha = .05 3 4 5
2
K- 0.0
3
.0000
K+ 0.0
3
.0000
R- 0.0
3
.0000
R+ 0.0
3
.0000
K- 1.7
3
.0000
K+ 1.7
3
.0000
R- 1.7
3
.0000
K- 2.9
3
.0000
R- 2.9
3
.0000
K- 4.1
3
.0000
R- 4.1
3
.0000
K- 5.3
3
.0000
R- 5.3
3
.0000
K- 2.9 recov
3
.0000
R- 2.9 recov
3
.0000
K- 5.3 recov
3
.0000
R- 5.3 recov
3
.0000
R+ 1.7
3
.3333
K+ 5.3 recov
3
.3333
.3333
K+ 2.9 recov
3
1.0000
1.0000
1.0000
R+ 2.9 recov
3
1.0000
1.0000
1.0000
R+ 5.3 recov
3
1.0000
1.0000
1.0000
R+ 2.9
3
1.6667
1.6667
1.6667
R+ 5.3
2
2.0000
2.0000
K+ 2.9
3
R+ 4.1
3
K+ 4.1
3
K+ 5.3
3
Sig.
6
7
.3333
2.6667
2.6667 4.0000
4.0000 5.3333
5.3333 6.6667
.227
.084
.189
.163
.050
.050
.050
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.947. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
145
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Agranulosit Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
Subset for alpha = .05 3 4 5
2
6
7
R- 2.9
3
56.6667
R+ 5.3
2
61.5000
61.5000
K- 2.9
3
62.0000
62.0000
62.0000
R+ 2.9 recov
3
62.6667
62.6667
62.6667
62.6667
R+ 4.1
3
63.3333
63.3333
63.3333
63.3333
K+ 4.1
3
66.6667
66.6667
66.6667
66.6667
R+ 1.7
3
67.3333
67.3333
67.3333
67.3333
R+ 2.9
3
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
K+ 5.3
3
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
R- 5.3
3
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
R- 5.3 recov
3
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
69.6667
K- 4.1
3
70.0000
70.0000
70.0000
70.0000
70.0000
K+ 5.3 recov
3
70.0000
70.0000
70.0000
70.0000
70.0000
K- 5.3
3
70.3333
70.3333
70.3333
70.3333
K- 2.9 recov
3
70.3333
70.3333
70.3333
70.3333
K+ 2.9 recov
3
71.3333
71.3333
71.3333
71.3333
R- 2.9 recov
3
71.3333
71.3333
71.3333
71.3333
K- 1.7
3
72.3333
72.3333
72.3333
R- 4.1
3
72.3333
72.3333
72.3333
R+ 5.3 recov
3
72.6667
72.6667
72.6667
K- 0.0
3
76.1900
76.1900
K+ 0.0
3
76.1900
76.1900
R- 0.0
3
76.1900
76.1900
R+ 0.0
3
76.1900
76.1900
R- 1.7
3
76.3333
76.3333
K+ 2.9
3
77.0000
77.0000
K+ 1.7
3
78.0000
78.0000
K- 5.3 recov
3
Sig.
79.3333 .105
.054
.060
.051
.178
.065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.947. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
.071
146
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Granulosit Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
2
3
Subset for alpha = .05 4 5
6
7
8
K+ 2.9
3
19.6667
K+ 5.3
3
19.6667
K- 5.3 recov
3
20.6667
20.6667
K+ 1.7
3
22.0000
22.0000
22.0000
K+ 4.1
3
22.3333
22.3333
22.3333
22.3333
R- 1.7
3
23.6667
23.6667
23.6667
23.6667
K- 0.0
3
24.3300
24.3300
24.3300
24.3300
K+ 0.0
3
24.3300
24.3300
24.3300
24.3300
R- 0.0
3
24.3300
24.3300
24.3300
24.3300
R+ 0.0
3
24.3300
24.3300
24.3300
24.3300
R+ 5.3 recov
3
25.0000
25.0000
25.0000
25.0000
25.0000
R+ 2.9
3
26.0000
26.0000
26.0000
26.0000
26.0000
K+ 2.9 recov
3
26.6667
26.6667
26.6667
26.6667
26.6667
26.6667
K+ 5.3 recov
3
27.3333
27.3333
27.3333
27.3333
27.3333
27.3333
K- 1.7
3
27.6667
27.6667
27.6667
27.6667
27.6667
27.6667
R- 4.1
3
27.6667
27.6667
27.6667
27.6667
27.6667
27.6667
R+ 4.1
3
28.3333
28.3333
28.3333
28.3333
28.3333
28.3333
R- 2.9 recov
3
28.6667
28.6667
28.6667
28.6667
28.6667
28.6667
K- 5.3
3
29.6667
29.6667
29.6667
29.6667
29.6667
29.6667
K- 2.9 recov
3
29.6667
29.6667
29.6667
29.6667
29.6667
29.6667
K- 4.1
3
30.0000
30.0000
30.0000
30.0000
30.0000
30.0000
R- 5.3
3
30.3333
30.3333
30.3333
30.3333
30.3333
R- 5.3 recov
3
30.3333
30.3333
30.3333
30.3333
30.3333
R+ 1.7
3
31.6667
31.6667
31.6667
31.6667
R+ 5.3
2
34.0000
34.0000
34.0000
R+ 2.9 recov
3
36.0000
36.0000
36.0000
K- 2.9
3
38.0000
38.0000
R- 2.9
3
Sig.
43.3333 .065
.056
.089
.057
.063
.053
.075
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.947. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
.082
147
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Sel Darah Merah Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
Subset for alpha = .05 3 4
2
6
3
5.2433
K- 5.3 recov
3
5.5133
5.5133
R- 2.9 recov
3
5.7167
5.7167
5.7167
K+ 5.3 recov
3
6.5100
6.5100
6.5100
6.5100
K- 2.9
3
6.5500
6.5500
6.5500
6.5500
R+ 5.3
3
6.6633
6.6633
6.6633
6.6633
6.6633
K- 4.1
3
6.6933
6.6933
6.6933
6.6933
6.6933
K- 5.3
3
6.7100
6.7100
6.7100
6.7100
6.7100
R+ 2.9
3
6.9533
6.9533
6.9533
6.9533
R+ 5.3 recov
3
7.0400
7.0400
7.0400
7.0400
K- 2.9 recov
3
7.1033
7.1033
7.1033
7.1033
7.1033
K+ 5.3
3
7.1067
7.1067
7.1067
7.1067
7.1067
R- 2.9
3
7.1200
7.1200
7.1200
7.1200
7.1200
K+ 2.9
3
7.1233
7.1233
7.1233
7.1233
7.1233
K- 1.7
3
7.1667
7.1667
7.1667
7.1667
K+ 4.1
3
7.2367
7.2367
7.2367
7.2367
R+ 2.9 recov
3
7.4267
7.4267
7.4267
K+ 1.7
3
7.5367
7.5367
7.5367
R+ 4.1
3
7.6500
7.6500
7.6500
K+ 2.9 recov
3
7.7400
7.7400
7.7400
R- 4.1
3
7.8567
7.8567
7.8567
R- 5.3 recov
3
8.1600
8.1600
8.1600
K- 0.0
3
8.2400
8.2400
K+ 0.0
3
8.2400
8.2400
R- 0.0
3
8.2400
8.2400
R+ 0.0
3
8.2400
8.2400
R- 1.7
3
8.3133
8.3133
R+ 1.7
3
Sig.
8.7333 .068
.053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
5
R- 5.3
.069
.051
.053
.054
148
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Hematokrit Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2 3
1
4
K- 5.3 recov
3
29.1667
R- 2.9 recov
3
31.5833
R- 5.3
3
K+ 5.3 recov
3
38.5833
38.5833
K- 2.9
3
39.2500
39.2500
K+ 2.9
3
39.5833
39.5833
K- 4.1
3
40.0833
40.0833
K+ 2.9 recov
3
40.6667
40.6667
R+ 5.3 recov
3
40.9167
40.9167
K+ 5.3
3
41.0000
41.0000
K- 2.9 recov
3
41.4167
41.4167
R- 2.9
3
41.6667
41.6667
K- 5.3
3
42.0000
42.0000
R+ 2.9
3
42.7500
42.7500
R+ 4.1
3
42.8333
42.8333
R- 5.3 recov
3
43.1667
43.1667
R+ 5.3
3
44.0000
44.0000
R- 4.1
3
44.0833
44.0833
R+ 2.9 recov
3
44.1667
44.1667
K+ 1.7
3
44.2500
44.2500
K+ 4.1
3
44.3333
44.3333
K- 0.0
3
44.4200
44.4200
K+ 0.0
3
44.4200
44.4200
R- 0.0
3
44.4200
44.4200
R+ 0.0
3
44.4200
44.4200
R- 1.7
3
45.1667
K- 1.7
3
45.5833
R+ 1.7
3
Sig.
31.5833 36.7500
36.7500
46.0000 .459
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
.117
.060
.069
149
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Hemoglobin Duncan Pelakuan pada dosis
N
K- 5.3 recov
3
9.1633
R- 2.9 recov
3
9.2133
R- 5.3
3
11.4567
K+ 5.3 recov
3
11.8967
K- 0.0
3
12.1200
K+ 0.0
3
12.1200
R- 0.0
3
12.1200
R+ 0.0
3
12.1200
K- 2.9
3
12.4133
K+ 5.3
3
12.6967
K- 4.1
3
12.9167
R+ 5.3 recov
3
13.0767
K- 5.3
3
13.0867
K- 2.9 recov
3
13.1867
R+ 1.7
3
13.2000
K+ 2.9 recov
3
13.2233
R- 2.9
3
13.2600
K+ 1.7
3
13.3100
K+ 2.9
3
13.4433
R- 1.7
3
13.5667
R+ 4.1
3
13.5667
K+ 4.1
3
13.7000
R- 5.3 recov
3
13.7033
R+ 2.9
3
13.7233
R+ 2.9 recov
3
13.7867
K- 1.7
3
13.8600
R+ 5.3
3
13.9367
R- 4.1
3
14.1433
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Subset for alpha = .05 1 2
.058
11.4567
.058
150
Lampiran 4. Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan Berat Organ (In-vivo)
Berat Relatif Lidah
Berat Relatif Lambung
Berat Relatif Usus
Berat Relatif Jantung
Berat Relatif Paru
Berat Relatif Ginjal
Berat Relatif Kel Aksesorius
Berat Relatif Testis
Berat Relatif Hati
Berat Relatif Limpa
Sum of Squares
df
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups
.509 .372 .882 2.149 1.823 3.972 94.207 106.146 200.354 .577 1.169 1.746 1.706 2.327 4.033 1.896 2.834 4.731
15 32 47 15 32 47 15 32 47 15 32 47 15 32 47 15 32 47
1.776
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
2.672 4.448 1.444 3.071 4.515 34.423 27.712 62.135 .988 1.564 2.552
Mean Square
F
Sig.
.034 .012
2.917
.005
.143 .057
2.516
.014
6.280 3.317
1.893
.064
.038 .037
1.053
.433
.114 .073
1.564
.141
.126 .089
1.427
.194
15
.118
1.418
.198
32 47 15 32 47 15 32 47 15 32 47
.084 .096 .096
1.003
.476
2.295 .866
2.650
.010
.066 .049
1.348
.232
151
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Berat Relatif Lidah Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2 3
1
4
R- 5.3 recov
3
.2067
R+ 5.3 recov
3
.2200
R+ 2.9 recov
3
.2500
R- 2.9
3
.2900
.2900
K- 5.3
3
.2967
.2967
R- 5.3
3
.3000
.3000
R+ 5.3
3
.3200
.3200
.3200
K- 5.3 recov
3
.3200
.3200
.3200
K+ 5.3 recov
3
.3233
.3233
.3233
K+ 2.9 recov
3
.3300
.3300
.3300
K- 2.9
3
.3467
.3467
.3467
R+ 2.9
3
.3533
.3533
.3533
K+ 5.3
3
.3633
.3633
.3633
K- 2.9 recov
3
.4733
.4733
.4733
R- 2.9 recov
3
.5267
.5267
K+ 2.9
3
.6033
Sig.
.144
.087
.052
.173
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Berat Relatif Lambung Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2 3
1
3
.5533
K+ 5.3 recov
3
.5567
K- 5.3
3
.7500
.7500
K+ 5.3
3
.7967
.7967
.7967
R+ 5.3
3
.8000
.8000
.8000
K- 5.3 recov
3
.8300
.8300
.8300
R- 2.9 recov
3
.8833
.8833
.8833
R- 5.3 recov
3
.8900
.8900
.8900
R- 5.3
3
.8967
.8967
.8967
K+ 2.9 recov
3
.9200
.9200
.9200
K- 2.9 recov
3
.9600
.9600
.9600
K+ 2.9
3
1.0067
1.0067
1.0067
1.0067
K- 2.9
3
1.0233
1.0233
1.0233
1.0233
R- 2.9
3
1.0400
1.0400
1.0400
R+ 5.3 recov
3
1.2433
1.2433
R+ 2.9
3
Sig.
1.4133 .050
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
4
R+ 2.9 recov
.218
.061
.070
152
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Berat Relatif Usus Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
Subset for alpha = .05 2
3
R- 5.3
3
K+ 5.3
3
9.4700
K+ 2.9 recov
3
10.4433
10.4433
K- 5.3 recov
3
10.5567
10.5567
K+ 5.3 recov
3
10.7400
10.7400
R+ 5.3 recov
3
11.1833
11.1833
R- 5.3 recov
3
11.3733
11.3733
K+ 2.9
3
11.4867
11.4867
11.4867
K- 2.9 recov
3
11.6100
11.6100
11.6100
R+ 5.3
3
11.9467
11.9467
11.9467
K- 5.3
3
12.1567
12.1567
12.1567
R+ 2.9 recov
3
12.2167
12.2167
12.2167
R+ 2.9
3
12.3467
12.3467
12.3467
R- 2.9 recov
3
12.8600
12.8600
12.8600
R- 2.9
3
13.6600
13.6600
K- 2.9
3
Sig.
9.3000
14.9167 .053
.078
.056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Berat Relatif Jantung Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 1 2
K+ 2.9
3
.3033
K- 5.3
3
.3033
K- 5.3 recov
3
.3067
R+ 5.3 recov
3
.3633
.3633
R- 2.9
3
.4067
.4067
K+ 2.9 recov
3
.4367
.4367
K- 2.9
3
.4567
.4567
R+ 5.3
3
.4800
.4800
K+ 5.3 recov
3
.4800
.4800
R- 5.3 recov
3
.4833
.4833
K+ 5.3
3
.5033
.5033
R+ 2.9 recov
3
.5167
.5167
K- 2.9 recov
3
.5500
.5500
R+ 2.9
3
.5867
.5867
R- 5.3
3
.6000
.6000
R- 2.9 recov
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
.7000 .121
.079
153
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Berat Relatif Paru Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2
1
3
K- 5.3
3
.2967
R+ 5.3
3
.3967
.3967
R- 5.3
3
.5933
.5933
.5933
R- 2.9 recov
3
.6200
.6200
.6200
K- 5.3 recov
3
.6267
.6267
.6267
R- 5.3 recov
3
.6967
.6967
.6967
K+ 5.3 recov
3
.7233
.7233
.7233
R+ 5.3 recov
3
.7333
.7333
.7333
K+ 2.9 recov
3
.7667
.7667
.7667
R+ 2.9 recov
3
.7933
.7933
.7933
R- 2.9
3
.8300
.8300
K+ 5.3
3
.8733
.8733
K- 2.9 recov
3
.8900
.8900
K+ 2.9
3
.9067
.9067
R+ 2.9
3
K- 2.9
3
.9500 1.0233
Sig.
.063
.060
.111
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Berat Relatif Ginjal Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
3
K+ 2.9
3
1.4033
R- 5.3
3
1.5667
1.5667
R- 5.3 recov
3
1.5700
1.5700
K- 2.9
3
1.6133
1.6133
R- 2.9
3
1.6667
1.6667
1.6667
K+ 5.3 recov
3
1.6900
1.6900
1.6900
K- 5.3 recov
3
1.7033
1.7033
1.7033
K+ 2.9 recov
3
1.7833
1.7833
1.7833
R+ 2.9
3
1.7867
1.7867
1.7867
K- 5.3
3
1.8000
1.8000
1.8000
K+ 5.3
3
1.8067
1.8067
1.8067
R+ 5.3
3
1.8400
1.8400
1.8400
R- 2.9 recov
3
1.8400
1.8400
1.8400
R+ 5.3 recov
3
2.0267
2.0267
R+ 2.9 recov
3
2.0367
2.0367
K- 2.9 recov
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Subset for alpha = .05 2
2.2400 .140
.114
.054
154
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Berat Relatif Kel Aksesorius Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2
1
3
R- 2.9
3
.2667
R+ 5.3
3
.3967
.3967
K- 2.9
3
.5833
.5833
.5833
K- 5.3
3
.5967
.5967
.5967
K+ 2.9
3
.6033
.6033
.6033
K- 2.9 recov
3
.7133
.7133
.7133
R- 5.3
3
.7433
.7433
.7433
R- 2.9 recov
3
.7833
.7833
.7833
K- 5.3 recov
3
.7867
.7867
.7867
K+ 5.3
3
.8033
.8033
.8033
R+ 5.3 recov
3
.8100
.8100
.8100
R+ 2.9
3
.8300
.8300
.8300
R+ 2.9 recov
3
.9000
.9000
R- 5.3 recov
3
.9033
.9033
K+ 5.3 recov
3
.9633
.9633
K+ 2.9 recov
3
.9933
Sig.
.052
.052
.154
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Berat Relatif Testis Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
Subset for alpha = .05 2
R- 5.3 recov
3
.8967
R+ 5.3 recov
3
.9467
.9467
K- 2.9 recov
3
.9533
.9533
R- 5.3
3
.9600
.9600
R- 2.9 recov
3
.9667
.9667
R+ 2.9 recov
3
.9800
.9800
K+ 2.9
3
1.0100
1.0100
K- 5.3
3
1.0500
1.0500
K+ 2.9 recov
3
1.0967
1.0967
K+ 5.3 recov
3
1.1167
1.1167
R- 2.9
3
1.1233
1.1233
K- 2.9
3
1.1500
1.1500
K- 5.3 recov
3
1.2400
1.2400
R+ 5.3
3
1.2900
1.2900
K+ 5.3
3
1.3733
1.3733
R+ 2.9
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
1.5467 .124
.055
155
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Berat Relatif Hati Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2 3
1
4
K+ 2.9
3
3.9300
R- 2.9
3
4.7700
4.7700
R+ 2.9
3
5.3233
5.3233
5.3233
K+ 5.3 recov
3
5.6167
5.6167
R- 5.3 recov
3
5.8000
5.8000
5.8000
R+ 5.3 recov
3
5.8033
5.8033
5.8033
K- 5.3 recov
3
5.8667
5.8667
5.8667
K- 5.3
3
5.9367
5.9367
5.9367
R+ 5.3
3
5.9500
5.9500
5.9500
K+ 5.3
3
6.1900
6.1900
6.1900
K- 2.9
3
6.2533
6.2533
6.2533
R- 5.3
3
6.3133
6.3133
6.3133
K- 2.9 recov
3
6.5900
6.5900
6.5900
K+ 2.9 recov
3
6.9233
6.9233
R- 2.9 recov
3
7.1533
7.1533
R+ 2.9 recov
3
7.4967
Sig.
.092
.051
.051
.068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Berat Relatif Limpa Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 2
R+ 5.3
3
.2400
K+ 2.9 recov
3
.2533
R+ 5.3 recov
3
.2900
K- 2.9
3
.3467
R+ 2.9
3
.3533
K- 5.3
3
.3700
K+ 2.9
3
.4000
.4000
R- 5.3 recov
3
.4133
.4133
K+ 5.3
3
.4333
.4333
K- 5.3 recov
3
.4467
.4467
K- 2.9 recov
3
.4767
.4767
K+ 5.3 recov
3
.4767
.4767
R- 2.9
3
.5200
.5200
R+ 2.9 recov
3
.5333
.5333
R- 5.3
3
.6667
.6667
R- 2.9 recov
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
1
.8133 .056
.059
156
Lampiran 5. Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan Sumsum Tulang (In-vivo)
Lemak Sumsum
Megakariosit Sumsum
Limphoid Sumsum
Luas Rongga Tulang
Luas Isi Tulang
Persentase Luas sumsum
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2347.066 387.533 2734.600
15 32 47
482.660
15
32.177
337.793 820.453
32 47
10.556
37546.440
15
2503.096
1248.180 38794.619
32 47
39.006
3395001.235
15
226333.416
5361155.500 8756156.735 6501884.569 9664559.667 16166444.235
18 33 15 18 33
297841.972
573.771 678.743 1252.514
df
Mean Square 156.471 12.110
F
Sig.
12.920
.000
3.048
.004
64.173
.000
.760
.702
433458.971 536919.981
.807
.659
15
38.251
1.014
.483
18 33
37.708
157
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Lemak Sumsum Duncan Subset for alpha = .05 3 4 5
Pelakuan pada dosis
N
R+ 2.9 recov
3
8.9667
R+ 2.9
3
11.5000
11.5000
K- 2.9 recov
3
12.4667
12.4667
K- 2.9
3
14.6000
14.6000
14.6000
K- 5.3 recov
3
15.6000
15.6000
15.6000
R- 5.3 recov
3
15.9000
15.9000
15.9000
K- 5.3
3
16.4000
16.4000
16.4000
R- 2.9 recov
3
16.5333
16.5333
16.5333
R- 5.3
3
17.9333
17.9333
17.9333
17.9333
K+ 2.9 recov
3
19.7000
19.7000
19.7000
19.7000
R+ 5.3 recov
3
19.7000
19.7000
19.7000
19.7000
R- 2.9
3
19.8667
19.8667
19.8667
19.8667
K+ 5.3 recov
3
22.2333
22.2333
22.2333
R+ 5.3
3
23.7667
23.7667
K+ 2.9
3
K+ 5.3
3
1
2
6
7
25.6667 40.2000
Sig.
.078
.058
.122
.053
.079
.072
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Megakariosit Sumsum Duncan Subset for alpha = .05 2 3
Pelakuan pada dosis
N
K+ 2.9
3
11.5333
R- 5.3
3
16.8000
R- 5.3 recov
3
17.8333
K- 2.9 recov
3
19.0000
19.0000
K+ 5.3 recov
3
19.3667
19.3667
R+ 5.3 recov
3
19.4333
19.4333
K- 5.3 recov
3
19.6333
19.6333
K- 2.9
3
19.6667
19.6667
K- 5.3
3
19.7333
19.7333
K+ 5.3
3
20.8667
20.8667
20.8667
R+ 5.3
3
20.8667
20.8667
20.8667
R+ 2.9 recov
3
21.0333
21.0333
21.0333
R+ 2.9
3
21.6667
21.6667
21.6667
R- 2.9 recov
3
21.6667
21.6667
21.6667
K+ 2.9 recov
3
24.7667
24.7667
R- 2.9
3
Sig.
1
16.8000
26.4333 .056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
4
.133
.075
.076
158
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Limphoid Sumsum Duncan Subset for alpha = .05 4 5
Pelakuan pada dosis
N
K+ 2.9
3
97.6667
K+ 5.3
3
99.1333
R+ 2.9
3
125.4833
K+ 2.9 recov
3
125.6000
R+ 2.9 recov
3
134.6667
134.6667
R- 2.9 recov
3
136.4233
136.4233
R- 2.9
3
141.4000
141.4000
K- 2.9
3
144.0667
144.0667
K- 2.9 recov
3
145.4000
145.4000
K- 5.3 recov
3
148.5333
148.5333
K- 5.3
3
148.6000
148.6000
R- 5.3 recov
3
R- 5.3
3
176.2667
R+ 5.3 recov
3
179.0667
K+ 5.3 recov
3
182.1333
R+ 5.3
3
1
Sig.
2
3
6
7
157.7333
204.6667 .775
.057
.067
.217
.097
.286
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Luas Rongga Tulang Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 1 2
K- 5.3 recov
2
9903.0000
K+ 5.3 recov
2
10076.0000
10076.0000
R- 2.9
2
10162.5000
10162.5000
R- 5.3
2
10310.0000
10310.0000
K+ 2.9
3
10357.0000
10357.0000
K+ 5.3
3
10369.0000
10369.0000
R+ 5.3 recov
2
10383.0000
10383.0000
K- 5.3
2
10435.5000
10435.5000
K+ 2.9 recov
2
10495.5000
10495.5000
R+ 2.9 recov
2
10536.0000
10536.0000
R+ 2.9
2
10538.5000
10538.5000
K- 2.9 recov
2
10649.0000
10649.0000
R- 2.9 recov
2
10673.0000
10673.0000
R- 5.3 recov
2
10679.5000
10679.5000
R+ 5.3
2
10927.5000
10927.5000
K- 2.9
2
Sig.
11320.5000 .114
.061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.087. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
1.000
159
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Luas Isi Tulang Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 1
2
R+ 5.3 recov
2
8595.0000
K- 5.3 recov
2
9536.5000
9536.5000
K+ 5.3 recov
2
9799.0000
9799.0000
K- 2.9
2
9924.0000
9924.0000
R- 5.3
2
9950.0000
9950.0000
R- 2.9
2
9997.0000
9997.0000
K+ 2.9
3
10083.0000
10083.0000
K+ 2.9 recov
2
10084.5000
10084.5000
R- 2.9 recov
2
10087.0000
10087.0000
K+ 5.3
3
10117.6667
10117.6667
R+ 2.9
2
10124.5000
10124.5000
K- 5.3
2
10165.0000
10165.0000
R+ 2.9 recov
2
10259.5000
10259.5000
R- 5.3 recov
2
10499.5000
R+ 5.3
2
10543.5000
K- 2.9 recov
2 10569.0000 Sig. .061 .223 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.087. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Persentase Luas sumsum Duncan Pelakuan pada dosis
N
Subset for alpha = .05 1
2
R+ 5.3 recov
2
82.3050
K- 2.9
2
87.9600
87.9600
R- 2.9 recov
2
94.8400
94.8400
K+ 2.9 recov
2
96.0200
96.0200
R+ 2.9
2
96.1350
96.1350
K- 5.3 recov
2
96.3250
96.3250
R+ 5.3
2
96.5450
96.5450
R- 5.3
2
96.5700
96.5700
K+ 5.3 recov
2
97.3250
R+ 2.9 recov
2
97.3750
K+ 2.9
3
97.4100
K- 5.3
2
97.5150
K+ 5.3
3
97.5700
R- 5.3 recov
2
98.3100
R- 2.9
2
98.3500
K- 2.9 recov
2
99.2300 Sig. .052 .122 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.087. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
160
Lampiran 6. Uji Oneway ANOVA post hoc Duncan Organ Limpa (In-vivo)
PALS
Jumlah Folikel Pulpa Putih
Sum of Squares
df
Between Groups Within Groups Total Between Groups
44.479 72.000 116.479
15 32 47
44.583
Within Groups Total
75.333 119.917
Mean Square
F
Sig.
2.965 2.250
1.318
.248
15
2.972
1.263
.280
32 47
2.354
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets PALS Duncan Pelakuan pada dosis
N
1
Subset for alpha = .05 2
3
K+ 5.3
3
4.3333
K+ 2.9
3
5.0000
5.0000
R+ 5.3
3
6.0000
6.0000
6.0000
R+ 2.9
3
6.3333
6.3333
6.3333
R- 2.9
3
6.6667
6.6667
6.6667
K+ 2.9 recov
3
6.6667
6.6667
6.6667
K- 2.9
3
7.0000
7.0000
7.0000
K- 5.3
3
7.0000
7.0000
7.0000
R- 2.9 recov
3
7.0000
7.0000
7.0000
K+ 5.3 recov
3
7.0000
7.0000
7.0000
R+ 5.3 recov
3
7.0000
7.0000
7.0000
K- 2.9 recov
3
7.3333
7.3333
R- 5.3 recov
3
7.3333
7.3333
R+ 2.9 recov
3
7.6667
7.6667
K- 5.3 recov
3
7.6667
7.6667
R- 5.3
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
8.3333 .074
.077
.120
161
Post Hoc Tests; Homogeneous Subsets Jumlah Folikel Pulpa Putih Duncan Pelakuan pada dosis
N
2
K+ 2.9
3
2.6667
K+ 5.3
3
3.3333
3.3333
K+ 5.3 recov
3
3.3333
3.3333
R+ 5.3 recov
3
3.6667
3.6667
K- 5.3
3
4.6667
4.6667
R- 5.3
3
4.6667
4.6667
K+ 2.9 recov
3
4.6667
4.6667
R+ 2.9 recov
3
4.6667
4.6667
R+ 2.9
3
5.0000
5.0000
K- 5.3 recov
3
5.0000
5.0000
K- 2.9
3
5.3333
5.3333
R+ 5.3
3
5.3333
5.3333
K- 2.9 recov
3
5.3333
5.3333
R- 2.9
3
5.6667
5.6667
R- 5.3 recov
3
5.6667
5.6667
R- 2.9 recov
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Subset for alpha = .05 1
6.3333 .053
.053