PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi: Kasus Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
September 2008
Nurtriana Rizkawati NIM I353060101
i
ABSTRACT NURTRIANA RIZKAWATI. Effectiveness of “Wayang Purwa” to Communicate to the Society in The Era of Globalization (case: Countryside of Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta). Under direction of Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS and Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, M.Sc. This research aimed to analyze the effectiveness of “Wayang Purwa” to communicate to the society in the era of globalization. The analysis designed to reveal the individual characteristics who watch “Wayang Purwa” show, the characteristics of “Wayang Purwa” show, the effectiveness using “Wayang Purwa” to communicate with the society, the relationships between individual characters with “Wayang Purwa” performance, and the relationships between “Wayang Purwa” performance with the communication effectiveness to the society especially at Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta in environmental cleanness issues. Respondents (79 sample) were selected by simple randomize sampling, the survey was designed with statistically correlation descriptive model and the statistic analysis was conducted using descriptive analysis rank Tau Kendall and chi square. This research revealed: Individual characteristics have a significant correlation with the “Wayang Purwa” performance, i.e. (1) ages with main character, (2) education level with Dalang-Audience interaction, (3) job with main character and main conflict, and also very significant in (1) education level with topics, main character, and main conflict, (2) income with topics, main character, and main conflict, (3) TV watch rate with Dalang-Audience correlation, main character, topics and main conflict. Respondent individual characters has a significant correlation with them i.e. gender with knowledge and very significant correlation with the effectiveness of using “Wayang Purwa” to communicate with them i.e. (1) education level with communication effectiveness (2) job with society attitude (3) income with communication effectiveness (4) TV watch rate with communication effectiveness. “Wayang Purwa” performance characters have a very significant correlation with the society communication effectiveness. Keywords: communications effectiveness, wayang purwa, globalization. .
ii
RINGKASAN NURTRIANA RIZKAWATI, 2006. Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi (Kasus: Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta). Dibimbing oleh: Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS dan Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, M.Sc. Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu, terjadi pula proses transformasi nilai (budaya). Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui pembangunan nasional, terjadi proses globalisasi di dunia yang mengarah pada pembauran dalam hampir segala aspek kehidupan manusia yang secara tidak langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi. Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora. Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat melainkan telah menjadi bagian habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius bahkan mistik. Wayang mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran) kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai segar bagi kehidupan masyarakat. Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang menyaksikan pertunjukan wayang purwa, (2) mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (3) mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (4) menganalisis hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (5) menganalisis hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo dan (6) menganalisis hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang berih desa di Desa Bedoyo. Penelitian ini dilakukan di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling. Penelitian ini menggunakan metode korelasional (correlational research). Populasi penelitian ini sebanyak 790 orang dengan pengambilan contoh secara proporsional. Penentuan contoh dari setiap lapisan masyarakat dilakukan secara acak. Penelitian ini mengambil contoh sebanyak 79 responden yakni 10% dari jumlah populasi yang ada di Desa Bedoyo Data penelitian dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dalam bentuk persentil, rataan, persentase, frekuensi, tabel distribusi dan analisis hubungan dengan menggunakan rank Tau Kendall dan
iii
EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MASYARAKAT DALAM MEMANFAATKAN PERTUNJUKAN WAYANG PURWA DI ERA GLOBALISASI
Oleh: NURTRIANA RIZKAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
vi
Khi-Kuadrat. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15 for windows. Hasil Penelitian adalah: (1) Responden rata-rata berumur 38,47 tahun, sebagian besar responden (40,5%) berumur 21-32 tahun, jenis kelamin laki-laki 55,7%, pendidikan 44,3% berada pada jenjang Sekolah Lanjutan, bekerja di sektor non formal (40,5%), pendapatan 43% kurang dari Rp. 600.000,00 per bulan tergolong dalam kurang mapan sosial ekonominya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan perilaku komunikasi responden dalam menonton televisi secara keseluruhan dapat dikatakan tinggi (77,2%) berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari dalam seminggu, mendengarkan radio sangat tinggi berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari (48,1%), sedangkan membaca koran tergolong rendah berkisar antara tiga sampai dengan empat hari dalam seminggu (51,9%). (2) Karakteristik pertunjukan wayang purwa berdasarkan: rataan skor 3,34 hubungan dalang dengan penonton dalam pertunjukan wayang purwa bersifat netral. Hubungan dalang dengan penonton termasuk berada dalam hal terpenting yang terakhir dalam pertunjukan wayang purwa. Tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa dengan tema bersih desa berada dengan skor 3,40 dan dalam selang netral. Hal ini menggambarkan bahwa tokoh pelaku memiliki kedudukan yang cukup penting dalam pertunjukan wayang purwa. Tema serta masalah pokok memperoleh skor 3,39 dan berada dalam selang netral. (3) Tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa: sikap responden dalam pola kehidupannya dengan skor 3,51 yang termasuk dalam selang positif. Pengetahuan yang diperoleh melalui pertunjukan wayang purwa termasuk dalam selang netral dengan rataan skor 3,37. (4) Hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa berhubungan nyata dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa, antara lain (a) umur dengan tokoh pelaku, (b) pendidikan dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (c) pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (d) pendapatan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (e) menonton televisi dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. (5) Hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa yang berhubungan nyata antara lain: jenis kelamin dengan pengetahuan dan berhubungan sangat nyata, antara lain: (a) pendidikan dengan efektivitas komunikasi masyarakat, (b) pekerjaan dengan sikap masyarakat, (c) pendapatan dengan efektivitas komunikasi masyarakat dan (d) menonton televisi dengan efektivitas komunikasi masyarakat. (6) Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat secara keseluruhan berhubungan nyata. Disimpulkan bahwa pertunjukan wayang purwa salah satu media yang masih digunakan di era globalisasi untuk mencapai komunikasi yang efektif dan masih dimanfaatkan masyarakat dalam mengkomunikasikan pesan yang berkenaan dengan bersih desa. Disarankan dalang harus mampu mewadahi dalam bentuk kemasan pakeliran yang sesuai dengan pakem yang ada, sehingga tidak menggeser nilai-nilai yang berkembang di era globalisasi. Kata kunci: efektivitas komunikasi, wayang purwa, globalisasi
iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
Judul Tesis
: EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MASYARAKAT DALAM MEMANFAATKAN PERTUNJUKAN WAYANG PURWA DI ERA GLOBALISASI
Nama
: Nurtriana Rizkawati
NIM
: I 353060101
Program Studi
: Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.Amiruddin Saleh, MS Ketua
Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, MSc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS
Tanggal Ujian: 20 Agustus 2008
Tanggal lulus:
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dra. Krishnarini Matindas, MS
viii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia – Nya kepada penulis sehingga Tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya sesuai dengan harapan dan keinginan penulis. Tesis yang berjudul “ Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa Di Era Globalisasi, Kasus di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi tugas akhir dalam usaha mencapai gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Selesainya penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan rasa hormat yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak, sebagai berikut: 1. Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS selaku Pembimbing I yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis dengan penuh kesabaran. 2. Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, MSc selaku Pembimbing II yang selalu memberikan arahan dan bimbingan yang bersifat membangun. 3. Ibu Dra. Krishnarini Matindas, MS selaku penguji yang telah memberikan waktu serta bimbingannya dalam tesis ini menjadi lebih baik. 4. Segenap dosen dan administrasi pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dan Sekolah Pascasarjana pada umumnya yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan surat-menyurat. 5. Bapak Reki sekeluarga selaku dalang yang telah bersedia membantu serta memberikan informasi terkait dengan efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi terkait pesan bersih desa. 6. Kepala Desa Bedoyo beserta staf, yang dengan setia melayani penulis di dalam memperoleh data yang penulis perlukan dan pelayanan yang penuh dengan rasa kekeluargaan selama penulis mengadakan penelitian di Desa Bedoyo. 7. Enumerator (Amin Suprihatin dan Arief) yang setia melayani penulis di dalam memperoleh data-data yang penulis perlukan dan pelayanan yang penuh
ix
dengan rasa kekeluargaan selama penulis mengadakan penelitian di Desa Bedoyo. 8. Keluarga
yang
telah
memberikan
dorongan
kepada
penulis
sampai
terselesaikannya penulisan tesis ini. 9. Teman-teman yang telah membantu dalam proses evolusi yang tiada akhirnya Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu segala kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan Tesis ini lebih lanjut. Akhirnya besar harapan penulis agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, 5 September 2008
Nurtriana Rizkawati
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1984, merupakan anak bungsu dari pasangan Basri Jatoko (Bapak) dengan Silvia Nurlaila (Ibu). Mulai masuk sekolah dasar tahun 1990 di SD Muhammadiyah 06 pagi Jakarta Selatan dan tamat pada bulan Juni 1996. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke SMPN 73 Jakarta Selatan. Pada tahun 1998 pindah ke SMPN 81 Jakarta Timur, dikarenakan pindahnya tempat tinggal ke Jakarta Timur, berhasil tamat bulan Juni 1999 kemudian melanjutkan ke sekolah SMAN 113 Jakarta Timur, mengambil jurusan ilmu pengetahuan alam dan berhasil tamat bulan Juni 2002. Pada tahun 2002 melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian melalui jalur SPMB dan pada tahun 2006 terpilih menjadi mahasiswa berprestasi peringkat III Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Bali.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xvi
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
Latar Belakang .......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ...........................................................
1 6 7 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ Karakteristik Individu ................................................................................. Wayang ..................................................................................................... Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa ................................................. Efektivitas Komunikasi .............................................................................. Globalisasi Informasi dan Komunikasi ....................................................... Bersih Desa ..............................................................................................
12 12 12 33 41 45 47
METODE PENELITIAN ...................................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... Desain Penelitian ...................................................................................... Populasi dan Contoh ................................................................................ Data dan Instrumentasi ............................................................................. Definisi Operasional .................................................................................. Validitas dan Reliabilitas Instrumen........................................................... Pengumpulan Data ................................................................................... Analisis Data .............................................................................................
56 56 56 56 58 58 60 62 63
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 64 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................... 64 Deskripsi Kegiatan Bersih Desa ................................................................ 65 Karakteristik Responden Masyarakat Desa Bedoyo .................................. 70 Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa ................................................. 81 Tingkat Efektivitas Komunikasi Masyarakat mengenai Pertunjukan Wayang Purwa .......................................................................................... 89 Hubungan Karakteristik Individu Masyarakat dengan Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa ...................................................................... 92 Hubungan Karakteristik Individu Masyarakat dengan Efektivitas Komunikasi Masyarakat ............................................................................ 98 Hubungan Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa dengan Efektivitas Komunikasi Masyarakat ............................................................................ 103
xii
SIMPULAN DAN SARAN.................................................................................... 108 Simpulan ................................................................................................... 108 Saran ........................................................................................................ 109 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 110 LAMPIRAN ........................................................................................................ 114
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Populasi masyarakat Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY ..............................
57
2. Jumlah contoh penelitian masyarakat Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY .....
58
3. Distribusi luas tanah menurut penggunaannya di Desa Bedoyo ..................
65
4. Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan karakteristik individu ........................................................................................................
70
5. Rataan skor pendapat responden tentang karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo ..................................................................................
84
6. Rataan skor pendapat responden tentang tingkat efektivitas komunikasi masyarakat mengenai bersih desa dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo ....................................................................
90
7. Hubungan karakteristik individu dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo .................................................................................
93
8. Hubungan karakteristik individu dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo ............................................................
99
9. Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo....................... 104
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan peubah bebas dan terikat pada kerangka analisis efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi ..........................................................................................
10
2. Distribusi responden berdasarkan umur di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY................................................................................................................
71
3. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY .....................................................................................................
72
4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY .....................................................................................................
73
5. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY .....................................................................................................
74
6. Distribusi responden berdasarkan pendapatan per bulan di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY .......................................................................................
75
7. Distribusi responden berdasarkan perilaku komunikasi dalam menonton televisi di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY .................................................
77
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Arti kata dan istilah lokal .............................................................................. 115 2. Uji validitas kuesioner .................................................................................. 119 3. Uji reliabilitas kuesioner ............................................................................... 126
xvi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Era modernisasi ini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan cenderung mulai ditinggalkannya tata nilai yang telah lama berakar dalam alam pikir masyarakat pendukungnya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu, terjadi pula proses transformasi nilai (budaya). Istilah “negara yang sedang berkembang,” di samping mencangkup pengertian proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional untuk suatu solidaritas nasional, adalah juga mencakup pengembangan hasil integrasi unsur-unsur untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan bangsa yang menunjang unsurunsur kebudayaan itu. Kayam (1986) mengatakan bahwa transformasi nilai mengandalkan suatu proses peralihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi sebagai tahap terakhir dari suatu perubahan yang mengarah ke era globalisasi. Transformasi dapat dibayangkan sebagai titik balik yang cepat. Di Indonesia sejak terbentuknya negara bangsa (nation state) pada masa kemerdekaan telah terjadi transformasi di bidang kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang politik bangsa Indonesia telah merdeka dan bebas dari ikatan politik kolonial. Bidang ekonomi bangsa Indonesia terlepas dari dominasi sistem ekonomi kolonial dan di bidang sosial budaya ditandai oleh runtuhnya struktur sosial masyarakat feodal (Kartodirdjo, 1992). Bagi Indonesia yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional, proses transformasi itu terus berlanjut dan tidak terlepas dari elemen kemodernan. Konsekuensi dari kemodernan ini akan diikuti pula dengan perubahan-perubahan di bidang sosial budaya termasuk perubahan tata nilai yang bersumber pada nilai-nilai budaya. Dalam proses kemodernan, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan unsur-unsur yang dominan. Untuk kepentingan pengetahuan
Indonesia dan
modern,
teknologi
penguasaan
merupakan
dan
bagian
pengembangan penting
dalam
ilmu usaha
menyukseskan pembangunan nasional (Sutrisna, 1992). Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui pembangunan nasional, terjadi pula proses globalisasi di dunia. Globalisasi itu
2
sendiri menunjuk pada pengertian pembauran atau kesamaan dalam hampir segala aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi yang bersifat universal secara tidak langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi yang menuju ke arah globalisasi komunikasi cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban manusia. Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi pada dekade terakhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara (Subrata, 1992), termasuk Indonesia. Masuknya pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi ke Indonesia itu tidak mungkin dihindari. Diterimanya pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi ini merupakan konsekuensi pasal 32 UUD 1945 yang dalam penjelasannya menunjukan bahwa kita bangsa Indonesia tidak menolak ide-ide baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Wujud konkret dari maksud penjelasan pasal 32 UUD 1945 itu adalah terjadinya kontak-kontak budaya kita dengan budaya asing. Ini merupakan suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikan terhadap bangsa lain dengan konsekuensi menerima pengaruh globalisasi dan komunikasi yang memperkenalkan kepada kita ilmu pengetahuan dan produk-produk teknologi termasuk teknologi informasi yang baru. Warisan-warisan lama yang berbentuk pengaturan kehidupan material yang dianggap tidak mungkin bisa mengatasi tuntutan persoalan mereka yang baru, ditinjau kembali dan diusahakan pembaharuan kemungkinan-kemungkinan. Tanah-tanah pertanian yang menjadi sempit, penduduk yang menjadi padat, kemampuan manusia yang makin terbatas untuk menguasai alam karena pengetahuannya sudah tidak mencukupi lagi, kebutuhan akan diferensiasi yang lebih jauh, peninjauan akan kemampuan bentuk pemerintahan yang baru untuk mendorong dan “menggalakkan” perubahan dan inovasi. Semua ini tercakup dalam proses pengembangan hasil integrasi unsur-unsur tradisional itu tadi. Inilah yang sering disebut dengan modernisasi. Proses tersebut bukanlah proses yang selalu berjalan lancar. Sama dengan proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional menjadi integrasi baru
3
yang disebut integrasi nasional. Dalam proses modernisasi ditunjukan dengan adanya kegelisahan dan ketegangan yang terutama berhubungan langsung dengan masalah pembaruan dalam orientasi dari nilai-nilai. Kesenian tradisional di Indonesia tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tradisional di wilayah itu. Dengan demikian ia mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas dari masyarakat tradisional. Pertama, ia memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya. Kedua, ia
merupakan pencerminan dari satu kultur yang
berkembang sangat perlahan karena dinamika masyarakat yang menunjangnya memang demikian. Ketiga, ia merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat dan tidak terbagi dalam pengkothakan spesialisasi. Keempat, ia bukan merupakan hasil kreativitas individu tetapi tercipta bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya. Pada awalnya, masyarakat Jawa berkembang dalam budaya mistik-religius yang lambat laun mendewasakan diri dengan menyerap berbagai unsur yang datang dari luar. Sikap masyarakat Jawa dengan struktur budaya yang terbuka terhadap pengaruh asing cenderung membentuk pola budaya yang selalu berkembang ke arah sintesa pluralistik. Kelenturan masyarakat Jawa dalam menerima dan mengolah unsur pendatang dapat menciptakan bentuk-bentuk budaya ambiguitas antara asli Jawa dan paham pendatang. Wayang sebagai salah satu produk pendewasaan budaya Jawa terbentuk dari nilai lokal yang diperkaya dan disempumakan dengan paham-paham pendatang dari zaman ke zaman, hingga mampu mencapai posisi adiluhung. Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora. Bagi masyarakatnya, wayang adalah sumber penilaian watak manusia, ajaran kebenaran, cermin tingkah laku dan tingkat kedewasaan seseorang. Nilainilai edukatif dalam wayang secara tidak langsung diajarkan kepada manusia Jawa sejak dini tanpa pernah disadari pelakunya bahwa hal tersebut sebagai proses pendidikan yang evolutif hingga akhimya disadari atau tidak, semuanya bernaung dalam aura besar pewayangan. Fenomena kebesaran wayang telah dirasakan sejak zaman raja-raja Jawa Kuno yang secara magis diwariskan turun-
4
temurun dengan sebuah pemahaman legenda bahwa manusia Jawa adalah penerus kepahlawanan tokoh-tokoh/raja-raja besar dalam pewayangan. Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat, melainkan telah menjadi bagian habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius, bahkan mistik. Wayang mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran) kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai segar bagi kehidupan masyarakat. Wayang berkembang dalam tempo berabad-abad melewati berbagai versi, namun fungsinya sebagai alat komunikasi tetap terjaga dan dipertahankan. Propaganda yang terjadi di Jawa pada permulaan perkembangannya dilakukan melalui alat-alat komunikasi tradsional (wayang, gamelan dan cerita-cerita) dan orang Jawa “menerima dan mengembangkan” unsur-unsur modern. Peranan seni-tradisional dalam suatu proses seperti integrasi nasional dan modernisasi nampaknya akan lebih banyak pada unsur “synthesis.” Dalam satu wilayah kultur seperti Indonesia di mana “dialog” dan bukan “konfrontasi” yang nampaknya dipilih sebagai suatu “kawicaksanaan” (wisdom) utama, peranan seni tradisional akan lebih berarti pada kemampuannya untuk merangkum unsurunsur. Dalam proses integrasi dan modernisasi itu, secara paradoxal, senitradisional bisa menjadi juru bicara yang mengaitkan unsur lama dengan unsur baru. Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya. Jadi, mencermati seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni, melainkan seni dalam konteks (Simatupang, 2005). Pendapat ini memberikan gambaran bahwa dibalik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi yang menarik diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait dengan berbagai hal antara lain tempat, waktu dan pelaku dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni. Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah namun esensinya tetap pada pendekatan diri pada Tuhan. Bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing wilayah di Jawa memiliki keunikan sendiri-sendiri dalam melaksanakan bersih
5
desa. Salah satu aktivitas bersih desa yang tergolong unik adalah fenomena yang ada di wilayah Bedoyo. Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini yaitu selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual ini telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos. Bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan telah berusia lama dan memiliki mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat mitos-mitos yang diyakini akan membawa berkah apabila dihormati melalui bersih desa dan sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabila masyarakat meninggalkannya. Fenomena ritual tersebut dalam seni pertunjukan spiritual yang selalu digunakan. Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukan wayang kulit. Itulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Kondisi ini meneguhkan kembali pendapat Taylor (Coleman,1998) bahwa inti dari religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan bahwa nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material dalam bersih desa. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi penggerak batin warga masyarakat untuk selalu mengadakan aktivitas bersih desa. Ini semua menunjukan bahwa peranan wayang sebagai frame of reference dari simbol-simbol akan mulai berakhir dan mulai menginjak pada peranannya yang lebih “profan” yang lebih “manusiawi” yakni sebagai drama, sebagai lakon modern. Ini artinya penonton akan melihat perwatakan tokoh-tokoh wayang serta lakon-lakon yang mendukungnya tidak lagi sebagai tokoh-tokoh atau lakon-lakon teladan tetapi sebagai menusia-manusia dengan sejumlah kemungkinan. Seiring dengan adanya penetrasi pengaruh paham asing yang instant dan frontal dapat menyebabkan terjadinya pergeseran konsepsi budaya Jawa. Akibatnya akan mengurangi daya lentur dalam melakukan filterisasi terhadap budaya pendatang. Kondisi ini disadari sangat merisaukan kelangsungan tatanan sosial dan perilaku budaya masyarakat Jawa. Eksistensi wayang yang mencoba bertahan pada konsep-konsep dasar (pakem) akan semakin kehilangan daya magisnya dalam menghimpun "aura penaung," bahkan sering terseret dalam
6
situasi yang penuh “tempelan" sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap diterima masyarakatnya. Perumusan Masalah Proses globalisasi informasi dan komunikasi di dunia ini melanda negaranegara yang sedang berkembang. Bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikan hubungan dengan bangsa lain dan sebagai konsekuensinya harus menerima pengaruh globalisasi termasuk di dalamnya teknologi. Pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas pada hakikatnya juga merupakan pembangunan manusia yang memiliki ketahanan sosial budaya. Ketahanan sosial budaya adalah suatu kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan serba selaras, serasi dan seimbang serta memiliki kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Sikap bangsa
Indonesia
dalam
menghadapi
penetrasi
budaya
asing
adalah
mempertahankan unsur-unsur yang baik dari kebudayaan sendiri dan mengambil yang lebih baik dari kebudayaan asing tersebut. Penyerapan unsur budaya luar dan inovasi yang muncul dari dalam akan membuat kebudayaan yang merupakan salah satu sumber utama sistem atau tata nilai masyarakat, berubah dan berkembang. Dinamika masyarakat pendukungnya dalam arti pemikiran yang tidak menutup diri terhadap nilai-nilai baru merupakan kekuatan utama dalam pengembangan setiap kebudayaan. Salah satu pendorong dinamika masyarakat adalah media massa yang dewasa ini telah termasuk dalam tatanan kehidupan masyarakat. Oleh sementara pihak, media massa sering disebut the fourth estate dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal, media massa mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Oleh karena itu, media massa juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu kepentingan atau citra yang dipresentasikan untuk dilaksanakan dalam konteks kehidupan yang lebih empirik.
7
Pertunjukan wayang telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup sebagian masyarakat namun penggunaannya tampak masih selektif dan diskriminatif. Pada umumnya warga masyarakat berpendidikan tertentu atau berkondisi sosial tertentu
berkepentingan
untuk
menikmati
pertunjukan
wayang.
Padahal
pertunjukan wayang itu sendiri sebagai media komunikasi tradisional yang memiliki daya ampuh sebagai penangkal terhadap melandanya ekses-ekses gaya hidup dan budaya asing. Sehingga perlunya dilestarikan secara konseptual dengan menggugah apresiasi generasi muda seraya tetap ajeg pada nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyaluran pesan melalui pertunjukan wayang sedikit banyak berdampak pada perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan
masyarakat yang secara tidak langsung terjadinya proses
pembinaan dan pengembangan sejumlah unsur kebudayaan masyarakat setempat. Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian ini ingin melihat efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi untuk mengetahui hubungan di antara gejala-gejala sosial dan bentuk dari hubungan tersebut. Karenanya pertanyaan-pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Seperti apa karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang menyaksikan pertunjukan wayang purwa? 2. Seperti apa karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo? 3. Sejauh mana tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo? 4. Sejauh
mana
hubungan
karakteristik
individu
masyarakat
dengan
karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo? 5. Sejauh mana hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo? 6. Sejauh mana hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:
8
1. Mengetahui
karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang
menyaksikan pertunjukan wayang purwa. 2. Mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. 3. Mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa
dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. 4. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik
pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. 5. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo. 6. Mengetahui hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan
efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo. Kegunaan Penelitian Penelitian ini secara umum diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang komunikasi pembangunan. Manfaat penelitian ini apabila diuraikan secara rinci dapat dibagi dua, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan manfaat penelitian secara praktis. Adapun uraiannya sebagai berikut: 1. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu konsep, yang mana aplikasi dari konsep tersebut dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu komunikasi pertanian dan pedesaan pada khususnya serta bagi para peneliti yang melakukan penelitian sejenis. 2. Dalam hal kegunaan praktis, diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk bidang ilmu yang terkait dan bisa diaplikasikan dalam lingkungan masyarakat. 3. Memberikan masukan bagi masyarakat dalam pelestarian tata nilai budaya yang menjadi akar tradisional bangsa Indonesia. 4. Dari penelitian ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang dapat dilaksanakan oleh peneliti lain dengan bidang konsentrasi yang berbeda. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup wilayah kajian penelitian ini meliputi tujuh dusun dari sembilan dusun yang terdapat di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta yang terdiri dari: Ngalasombo, Ngrombo, Bedoyo Kulon, Bedoyo Lor, Bedoyo Wetan, Bedoyo Kidul dan Surubendo.
9
Ruang lingkup peubah yang dibahas terbatas pada dua peubah. Pertama, peubah bebas yaitu karakteristik individu dan pertunjukan wayang purwa. Peubah karakteristik individu terdiri dari enam peubah, yaitu: (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) tingkat pendidikan, (4) pekerjaan, (5) tingkat pendapatan dan (6) perilaku komunikasi. Peubah pertunjukan wayang purwa terdiri dari tiga indikator, yaitu: (1) hubungan antara dalang dengan penonton, (2) tokoh pelaku dan (3) tema serta masalah pokok. Kedua, peubah terikat, yaitu efektivitas komunikasi masyarakat mengenai informasi bersih desa yang dilihat dari dua indikator, yaitu pengetahuan masyarakat (kognitif) dan sikap masyarakat (afektif). Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Kerangka Pemikiran Menurut Schramm dan Kincaid (1978) komunikasi efektif terjadi bila proses encode oleh komunikator bertautan dengan proses decode oleh komunikan. Proses encode dan decode sangat dipengaruhi oleh bidang pengalaman (field of experience) dan kerangka acuan (frame of reference) dari kedua belah pihak. Semakin tumpang tindih bidang pengalaman dan kerangka acuan, semakin efektif pesan yang dikomunikasikan. Hodgetts dalam DeVito (1997 menyatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat terjadi bila kita memahami proses komunikasi. Proses komunikasi yang telah disebut di bagian awal adalah proses pertukaran dan atau perasaan antar manusia. Dengan kata lain, proses itu adalah proses encode sampai decode. Komunikasi yang komunikatif merupakan komunikasi yang efektif, di mana kedua belah pihak sama-sama memahami makna komunikasi yang terjadi di antara mereka, baik secara informatif maupun persuasif. Dengan kata lain, komunikasi berlangsung efektif dan efisien jika menghasilkan tindakan sesuai tujuan dan biayanya wajar, dalam hal ini dapat dilihat dalam penggunaan wayang purwa di kalangan masyarakat Jawa yang dalam hal ini cenderung untuk ditinggalkan dan beralih ke media elektronik di era globalisasi teknologi informasi dan komunikasi di berbagai negara berkembang di dunia. Beberapa faktor yang mempengaruhi keefektivan suatu komunikasi di antaranya adalah: a. Karakteristik individu yang terdiri dari: Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan dan perilaku komunikasi.
10
b. Karakteristik pertunjukan wayang purwa terdiri dari: Hubungan antara dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. c. Tingkat efektivitas komunikasi tentang bersih desa dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa yang dimaksud, dilihat atau diukur dari dua indikator, yaitu pengetahuan dan sikap. Dari uraian pemikiran tersebut maka kerangka alur pikir mengenai efektivitas komunikasi pertunjukan wayang purwa di era globalisasi, dapat diformulasikan sebagaimana tampilan Gambar 1. Peubah Bebas
Peubah Terikat
Karakteristik Individu (X) X1 Umur X2 Jenis kelamin X3 Tingkat pendidikan X4 Pekerjaan X5Tingkat pendapatan X6 Perilaku komunikasi
H2
Efektivitas Komunikasi Masyarakat tentang Bersih Desa (Y)
H1
a. Pengetahuan b. Sikap
Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa (X7) X7.1 Hubungan dalang dengan penonton X7.2 Tokoh pelaku X7.3 Tema serta masalah pokok
Gambar 1.
H3
Hubungan peubah bebas dan terikat pada kerangka analisis efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi
11
Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1
Terdapat
hubungan
nyata
antara
karakteristik
individu
dengan
karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. H2
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
H3
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
12
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Lionberger dan Gwin (1982) mengungkapkan bahwa peubah-peubah yang penting dalam mengkaji masyarakat lokal di antaranya adalah peubah karakteristik individu. Dijelaskannya bahwa karakteristik anggota kelompok pada dasarnya merupakan karakteristik individu. Menurut Lionberger (1960) bahwa karakteristik individu meliputi; umur, tingkat pendidikan dan ciri psikologis. Anwar (1982) dalam disertasinya menyatakan bahwa karakteristik individu yang patut diperhatikan, antara lain: umur, pendidikan formal, luas tanah garapan, sikap terhadap inovasi dan tingkat pengetahuan. Penelitian Ichwanudin (1998) mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi, seperti umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal dan tingkat pendapatan berhubungan erat dengan perilaku komunikasi. Schramm dan Kincaid (1978), mengatakan bahwa karakteristik individu meliputi umur, pendidikan, pengalaman kerja maupun status pekerjaan serta kemampuan individu dalam melaksanakan tugas. Sedangkan Rogers dan Shoemaker (1995) melihat ciri khas individu dalam penyebaran gagasan atau inovasi pada suatu sistem sosial, dikatakannya bahwa karakteristik aparat/ individu meliputi status sosial, kepribadian dan perilaku komunikasi. Setiap orang mempunyai karakteristik tertentu dan dalam hal ini perlu diperhatikan agar berhasil dalam keterlibatan mereka dalam pelaksanaan tugas di organisasinya. Wayang Hazeu (1979) menulis bahwa Wayang dalam bahasa Jawa berarti "bayangan" dan dalam bahasa Melayu berarti "bayang-bayang," "samar-samar," "menerawang." Kata Hyang berarti roh, sukma, dewa atau Allah yang juga mengakar pada kata Wa-Yang. Sedangkan Van der Tuuk dalam Hazeau (1979) melihat akar-kata yang sudah memberi arti bergerak berkali-kali, simpang-siur, lalu-lalang dan melayang-layang. Jadi kata "wayang" dapat berarti sukma, roh yang melayang mengitari. Menurut bahasa Jawa Kuno awalan “wa” berarti suatu fenomena yang "kian-kemari." Menurut Mulyono (1979) wayang mengandung arti "berjalan kian-kemari,” tidak tetap, sayup-sayup (dalam substansi bayangbayang. Secara harafiah, kata "wayang" adalah “bayangan” yang menunjuk pada boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih, dipahat, diwarna dan
13
bertangkai; dalam arti luas adalah sebuah pertunjukan dramatik, drama atau tontonan dengan aktor boneka atau manusia (Holt, 1967). Kata wayang yang berarti "bayangan" bermula dari pertunjukan bayangan, karena boneka-boneka yang muncul dalam pertunjukan ini menimbulkan bayangbayang, fenomena itulah yang mungkin mendukung penamaannya. Tetapi sudah sejak ratusan tahun lalu boneka-boneka itu diberi warna-warna dan tidak hanya mengandalkan efek bayangan saja. Pola-pola bentuk dan warnanya terus berubah dari masa ke masa, hingga sampai pada bentuk yang dibakukan pada pertengahan abad 19 (seperti yang kita lihat sekarang ini). Lambat laun paradigma wayang berkembang bukan hanya untuk menyebut pertunjukan yang menimbulkan bayang-bayang, tetapi juga kesenian yang berkaitan dengan cerita, lakon, struktur dramatik dan sebagainya; seperti dalam pergelaran Wayang Beber, Wayang Golek dan Wayang Wong (Guritno, 1988 dan Mulyono, 1975). Wayang merupakan dongeng, khayal dan mitos, berkembang menjadi sintesa yang tidak rasional (bagi orang modem) dunia pewayangan adalah mitos atau lambang yang dapat membangkitkan daya-daya mistik dalam diri penghayatnya. Penafsiran orang (Barat) bahwa wayang kulit hanya shadow play belaka adalah kurang tepat, karena wayang bukanlah obyek visual belaka. Bagi masyarakat penghayatnya (Jawa), pergelaran wayang kulit adalah pengungkap wewayang ing ngaurip (gambaran dari hidup dan kehidupan) yang tidak ada hubungannya bayang-bayang hitam (silhouette) pada kelir (layar) (Haryanto, 1988). Asal-usul Wayang Ada banyak pendapat yang menelusuri asal-usul wayang dan sebagian besar bermuara pada dualisme; beberapa pakar menyebut wayang berasal dari India (Hindu) dan sebagian lagi menyatakan kesenian asli Bangsa Indonesia Purba (Jawa). Pendapat di luar itu menyebutkan bahwa wayang adalah produk dan bertemunya dua kebudayaan, yaitu Hindu dan Jawa. Beberapa di antaranya mendekati dan berbagai disiplin ilmu untuk memastikan asal-usul wayang misalnya Hazeu (1897) memakai bukti-bukti linguistik. Rassers dengan kacamata antropologi struktural, Brandes memakai bukti-bukti etnologi dan antropologi budaya, sedangkan Pischel dari sudut pandang budaya dan sebagainya (Amir, 1994). Suroto (1975) mengatakan bahwa jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, nenek moyang kita telah mengenal pertunjukan bayang-bayang
14
dengan memakai boneka wayang. Menurut Mellema (1954), usia wayang sulit dijelaskan, dalam literatur Jawa menyebut sekitar 1000 AD dan merupakan hasil karya asli wilayah setempat (Jawa); tentang bagaimana dan kapan wayang kulit mulai berkembang di Indonesia masih berupa praduga. Catatan tertua yang menguatkan kehadiran pertunjukan yang disebut "wayang" di Jawa Tengah berasal sejak tahun 907 Masehi pada inskripsi batu Raja Balitung. Sebagian inskripsi itu menyebut "mawayang buat Hyang" yang berarti "mempertunjukan wayang bagi para dewa," yaitu upacara persembahan ritual di biara lokal atau bangunan suci pada sebuah perdikan (tanah bebas) untuk dewa-dewa yang diikuti oleh semua penduduk perdikan tersebut (Holt, 1967). Hazeu (1897) menekankan bahwa wayang sudah dikenal masyarakat Jawa sekitar tahun 778 Masehi (700 Caka) salah satu contoh wayang purwa yang tertua ditemukan pada relief candi Prambanan Jawa Tengah (abad 9-10); sedangkan ceritanya yang mengambil kisah kepahlawanan Ramayana dan Mahabharata telah menjadi mitos sejak beberapa abad sebelumnya. Hazeu ilmuwan terkemuka Belanda ahli kesusasteraan dan budaya Jawa akhir abad 19, dalam disertasi doktornya di Leiden Belanda mengemukakan bahwa wayang purwa bukan berasal dari India; karena istilah-istiIah teknik yang digunakan dalam pertunjukan bukan berasal dari kata Sansekerta. Istilah-istiIah itu seperti: wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kothak dan cempala adalah asli Jawa dan bukan dari Hindu (India) (Hazeu, 1897 dan Guritno, 1988). Teon Rassers yang biasanya bertentangan dengan Hazeu, pada bagian ini justru saling memperkuat; bahwa pertunjukan wayang telah mengalami evolusi dari ritus-ritus inisiasi kuno yang asli dan semua peralatan serta teknik pelaksanaan wayang menggunakan istilah Jawa dan bukan dari India (Holt, 1967). Hasil penyelidikan Kern dan Brandes menunjukan bahwa unsur-unsur Hindu hanya merupakan pelapis luar belaka yang menutupi bahan dasar asli kebudayaan Indonesia (Hazeu, 1897). Bowers dalam Sastromidjojo (1964) menulis dalam "Theater in the East," bahwa sejarah pertunjukan wayang kulit atau permainan bayangan (shadow play) muncul mulai abad ke-I Sebelum Masehi. Pryono dalam almanak Primbon Jawa 1959 menyebutkan bahwa bukan hal yang mustahil jika kurang lebih 2.000 tahun yang lalu bangsa kita telah memiliki satu kebudayaan yang dapat dinilai sebagai embrio (cikal bakal) wayang kulit (wayang purwa), lengkap dengan
15
tetabuhan (gamelan) pengiring serta nyanyian-nyanyian mantram (mantra), dengan pengantar bahasa Jawa kuno (Kawi) (Sastroamidjojo, 1964). Tidak terpungkiri bahwa perjalanan sejarah wayang tidak mungkin menghindar dari periode Jawa-Hindu (Krom, 1931 dalam Pigeaud, 1967), tetapi bukan berarti kesenian wayang ini berasal dari asal agama Hindu (India). Di daratan India memang terdapat pertunjukan bayangan bernama Chayanataka yang diterjemahkan sebagai "drama bayang-bayang" tetapi kesenian tersebut diduga merupakan kesinambungan dari bentuk sastra yang diteater-rakyatkan lewat media boneka (Holt, 1967), bukan teater yang diperkaya dengan karya sastra seperti dalam wayang kulit purwa. Jenis dan Ragam Wayang Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan lain-lain; baik yang masih populer maupun hampir atau sudah punah dan hanya dapat dikenali dalam kepustakaan atau di museum-museum wayang. Pada umumnya perkembangan wayang di daerah-daerah
tertentu
mempunyai
hubungan
erat
dengan
masuknya
kebudayaan Hindu yang ditandai dengan diketemukannya berbagai prasasti. Seni pewayangan tersebut terus berasimilasi hingga menjadi milik masingmasing daerah dan akhirnya menggunakan nama, bahasa pengantar, gendinggending pengiring serta sistematika pergelaran yang berbeda-beda. Di luar Jawa terdapat beberapa jenis wayang (terutama wayang kulit) yang berbeda dengan wayang purwa, antara lain adalah: Wayang Palembang, Wayang Bengkulu, Wayang Banjar(masin), Wayang Sumatera Utara, Wayang Sasak (Nusa Tenggara) dan Wayang Bali, Wayang Betawi dan sebagainya. 1. Wayang Kulit
Dari bahan dan media perupaannya maka boneka wayang yang muncul di panggung adalah boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih/tipis, ditatah (dipahat), disungging (diwarna) dan dilengkapi dengan cempurit atau gapit (tangkai/penjepit) dari tanduk kerbau. Kesenian ini berkembang pesat dalam masyarakat Jawa, bahkan bukan hanya dalam perupaan dan pementasan tetapi juga berkembang dalam peragaman jenis dan cerita yang dipergelarkan. Beberapa jenis wayang kulit yang ada (pernah ada) dan telah dibakukan di Tanah Jawa antara lain adalah : a. Wayang Purwa, istilah "purwo" berasal dari kata Sansekerta "purwa" atau ''parwa'' berarti pertama, terdahulu zaman purwa atau jaman dahulu,
16
(Hazeu, 1897). Wayang ini berpijak pada empat mitos sebagai dasar pengembangan lakon; yaitu: (a) Adiparwa (awal mula Mahabharata), sebagian kemudian berkaitan dengan mitologi Indonesia kuno (Indonesia Prasejarah), (b) Arjuna Sasrabahu berkisah tentang asal-usul beberapa tokoh penting dalam kisah Ramayana, (c) Ramayana, mengambil kisah persengketaan antara Rama dan Rahwana (Dasamuka), (d) Mahabharata, kisah perseteruan dua kubu dari satu keturunan Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa. b. Wayang Gedog, atau Wayang Antara dicipta oleh Sunan Giri tahun 1563 (1485 Caka, candra sengkala: Gegaming Naga Kinaryeng Dewa) (Hazeu, 1897) dan dikembangkan pada masa pemerintahan Sri Gajayu (R. Subrata) sampai Panji Kuda Laleyan. Penciptaannya didasarkan pada cerita kepahlawanan di wilayah Jenggala sampai Pajajaran, yaitu legenda Raden Panji dari Jawa Timur (dalam Serat Panji) dan legenda Damarwulan. Karakteristiknya hampir mirip dengan wayang purwa, hanya berbeda dalam detail busana terutama pada hiasan penutup kepala tanpa gelung supit, semuanya memakai keris dan berkain kepala gaya Yogyakarta atau udeng gilik gaya Bugis. Pergelaran wayang ini iringan gamelan berirama pelog, tidak terdapat tokoh buto (raksasa) dan kera, karena kisah nyata (asli) yang dilakonkan tanpa ada tokoh fiktif. Menurut beberapa pendapat, kata "gedog" berhubungan dengan "peng-gedog-an" (ketokan), yaitu saat ki dalang memukulkan cempala pada kothak wayang. Ada juga yang mengatakan bahwa "gedog" berasal dari kata "kedok" (topeng) karena selain dipentaskan dengan boneka dari kulit, jenis wayang ini juga ada yang menggunakan manusia sebagai bonekanya (seperti Wayang Wong) dan semua pemerannya memakai kedok (topeng)
(Holt,
1967
dan
Sastroamidjojo,
1964).
Pendapat
lain
menyebutkan bahwa Wayang Gedog berarti "pagedogan" (kandang kuda) karena banyak tokoh-tokoh dalam cerita Panji menggunakan nama "Kuda," seperti Kuda Waningpati, Kuda Narawangsa dan sebagainya. Wayangini menyebar hingga ke Kalimantan Selatan (Banjar), terbukti ditemukan dalam Hikayat Banjar atau Tutur Candi yang menyebut-nyebut Wayang Gedog atau Wayang Gadogan dalam bahasa Banjar (Budi, 2002).
17
c. Wayang Madya (tengah), muncul sekitar tahun 1880 dan mengambil lakon masa "tengah” (madya), yaitu generasi Bharata terakhir atau kisah Pasca-perang Bharatayuda; dimulai dari Yudayana anak Parikesit dan permulaan Jayalengkara sampai runtuhnya kerajaan Sigaluh. Wayang ini dicipta oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV (1853-1881) di Solo setelah menerima Serat "Pustaka Raja Madya" dan "Serat Witaradya" dan R.Ng. Ranggowarsito (1802-24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 Caka). Inti dari serat-serat tersebut berkaitan dengan Serat Pustaka Raja Purwa yang menceritakan riwayat dewa-dewa dan para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda (Haryanto, 1988). Perupaan para tokoh wayang terutama raja tidak memakai praba (sinar atau nimbus) yaitu busana tambahan (aksesoris) yang dipakai di punggung, biasa digunakan oleh seorang prabu (raja) sebagai lambang keluhuran kedudukannya; seperti dalam wayang purwa. Kebanyakan perupaan Wayang Madya dilengkapi senjata keris atau pedang, selain memakai kain agak panjang menjuntai yang
dinamakan
cara
hanyakan
(seperti
sikap
burung
angsa)
(Sastroamidjojo, 1964). d. Wayang Dobel, dibuat oleh Amat Kasan alias Kyai Slamatan dari desa Slamatan Yogyakarta. Tema ceritanya berisi ajaran agama Islam yang berpijak pada "Babad Ambiya" (Amir, 1994). Lambang-lambang yang ditampilkan berkaitan dengan ajaran agama Islam dengan demikian nama tokoh-tokoh pemerannya diambil dari sejarah penyebaran agama tersebut. Bahan dasar wayang masih tetap kulit kerbau tetapi bentuk rupanya berbeda dengan wayang kulit purwa; meskipun sekilas seperti wayang purwa tetapi ukuran proporsi tubuh, tangan dan kaki tampak lebih besar (anatomis). Posisi badan wayang cenderung menghadap ke penonton bahkan ada beberapa tokoh wayang yang benar-benar menghadap ke muka (en-face). Busana dan perhiasan yang dikenakan lebih sederhana dengan teknik garap perupaannya cenderung kaku dan geometris. Bahasa pengantar yang digunakan bahasa Jawa tetapi gamelan pengiringnya dicampur-aduk dengan terompet dan rebana; akhirnya tampak
sekali
bahwa
wayang
ini
lebih
sebagai
hasil
kreasi
(eksperimentasi) pembuatnya yang berpijak pada ajaran Agama Islam (Sastroamidjojo, 1964). Wayang dobel dibuat tahun 1921 dan hanya bertahan sekitar dua tahun karena diketahui menampilkan tokoh Nabi
18
Muhammad yang berpantang untuk digambarkan, akhirnya wayang ini dianggap sesat dan dilarang beredar (Sutrisno, 1983). e. Wayang Jawa,
dicipta oleh Bupati Surakarta bernama R.M.Ng.
Dutadipradja sekitar tahun 1937; berkisah tentang kepahlawanan yang berkembang di Jawa, terutama perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan Kompeni Belanda. Perupaan wayang bergaya wayang purwa tetapi busana yang digambarkan gaya Jawa (busana tradisional Jawa). Gamelan pengiringnya berirama pelog lengkap, gending ayak-ayakan dan srempegan yang diaransir secara khusus (Sastroamidjojo, 1964). f.
Wayang Dupara, ciptaan R. Danuatmadja dari Solo tahun 1938, bentuk perupaannya hampir mirip wayang kulit purwa, hanya pada bagianbagian: penutup kepala (topeng), busana dan senjata terselip di pinggangIah yang membedakan. Wayang ini berkisah tentang legenda Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), Sunan Kalijaga, Kisah Jaka Tingkir, Jaka Tarub dan lainnya; berkisar sejarah antara Kerajaan Demak sampai Kartasura atau mulai zaman Majapahit (akhir) hingga masa perjuangan Pangeran Diponegoro (Sastroamidjojo, 1964 dan Sutrisno, 1983).
g. Wayang Wahana, dicipta oleh R.M. Sutarto Hardjawahana (Reshi Wahana) sekitar tahun 1938/1939. Setiap lakon dapat dimainkan dengan sembarang tokoh karena memang tidak ada nama tokoh tetap pada masing-masing wayang, jadi mirip kesenian "kethoprak." Kesenian ini menceritakan tentang permasalahan sosial kekinian (saat itu) dengan alokasi waktu pementasan sekitar 6 jam. Bahannya terbuat dari belulang kerbau dengan bentuk wayang mirip boneka gambar manusia wajar (realistis), busana dan perhiasannya digambarkan seperti apa adanya kondisi masyarakat saat itu (Sastroamidjojo, 1964). h. Wayang Kancil, berisi cerita binatang (fabel) dengan tokoh utama adalah sang kancil dan tokoh-tokoh manusia relatif sedikit. Pemrakarsa adalah Bo Lim seorang keturunan China sekitar 1924-1925. Pada tahun 1943 disempumakan oleh R.M. Sajid dan diperbanyak menjadi 200 buah (Sastroamidjojo, 1964). Ceritanya didasarkan pada "Serat Kancil Kridomartono" karangan Raden Panji Notoroto dan dari kitab karangan Raden Sosrowijoyo dari Yogyakarta (Haryanto, 1988). i.
Wayang Perjuangan, dibuat oleh R.M. Sajid tahun 1944 di Surakarta (Solo)
yang mencoba mempopulerkan kisah kepahlawanan perang
19
gerilya dalam revolusi fisik Indonesia (Holt, 1967), berjumlah sekitar 200 buah
(Mulyono, 1975). Dalam perupaannya hampir mirip dengan
Wayang Wahana, baik dalam penggambaran postur tubuh yang realistis maupun busana seperti yang dipakai para pejuang saat itu. Banyak tokoh wayang ini tidak mempunyai nama tetap (sabrangan) tetapi untuk tokohtokoh utama dibuat serealistis mungkin; seperti Presiden Soekarno-Hatta, Jenderal Soedirman dan sebagainya. j.
Wayang Sandiwara ciptaan R.M. Sajid tahun 1944 sejenis Wayang Wahana dan Wayang Perjuangan; cerita yang ditampilkan mengenai persoalan sosial kekinian (saat itu), terutama politik dan kepartaian. Perupaannya lebih realistis seperti gambar manusia wajar dengan gaya busana sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu (Sastroamidjojo 1964).
k. Wayang Suluh, (suluh = obor, penerangan) diciptakan di Madiun atas inisiatif Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (B.K.P.R.I.) tahun 1946/1947. Menceritakan tentang kondisi politik dan pemerintahan pada periode revolusi fisik dan Orde Lama (Sastroamidjojo, 1964). l.
Wayang Pancasila, muncul setelah Indonesia merdeka, dirancang oleh Empu Hadi alias Harsono Hadisoeseno seorang pegawai Departemen Penerangan R.I. Yogyakarta, bertujuan sebagai media pendidikan politik bernegara; terutama krisis politik antara Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda pasca kemerdekaan (Holt, 1967 dan Sastroamidjojo, 1964).
m. Wayang Adam Ma'rifat, muncul di Magelang Jawa Tengah, pada sebuah ”sekte” Islam Mistik dan digunakan sebagai media dakwah (Holt, 1967). Dicipta oleh Dwija Siwaya untuk mendukung cerita-cerita tasawuf tetapi dalam pementasannya sebagian besar meminjam wayang kulit purwa (Mulyono, 1979). n. Wayang Menak, dicipta oleh Trunadipa, seorang "dukun" dari Baturetna (Wonogiri), mengambil kisah masa kecil hingga wafatnya "Wong Agung Menak" berdasarkan Serat Menak karangan R. Ng. Yasadipura. Oleh karena dalam penggambaran tokohnya kebanyakan berbusana Jubah dan surban (baju panjang dan penutup kepala Bangsa Arab), memakai sepatu dan pedang panjang sedangkan tokoh wanita memakai kebaya dan tata rambut Jawa konde gondel (konde gantung). Pementasan
20
wayang ini diiringi gamelan laras (irama) pelog (Sastroamldjojo, 1964 dan Sutrisno, 1983). o. Wayang Wahyu (Wayang Katolik), lahir atas inisiatif Bruder Timothiheus Mardi Winyosoebroto. F.I.C, Kepala Bruderan F.I.C. Solo yang kemudian divisualisasikan bulan Desember 1959 oleh R. Roesradi, seorang ahli gambar Surakarta, dipergelarkan pertama kali tanggal 2 Februari 1960. Perupaannya adalah setengah wayang setengah gambar realistis (nyata) manusia terutama pada bagian wajah tokoh. Lakon yang dipentaskan diambil dari kisah-kisah dalam Kitab Suci Agama Katolik (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dengan pengantar Bahasa Jawa dan diiringi gamelan slendro (Sastroamidjojo, 1964). Wayang inilah yang akan dibahas lebih jauh pada bab-bab berikutnya. p. Wayang Warta (wayang kristen), dicipta oleh Hadi Subroto dan pakelirannya oleh Sumiyanta atas inisiatif Sukimin guru Sekolah Dasar Klaten sekitar tahun 1970 (Sutrisno, 1983). Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa wayang ini banyak kemiripan dengan wayang wahyu, baik dalam perupaan wayang maupun lakon-lakon yang dipentaskan dan kemungkinan menjadikan wayang wahyu sebagai acuan penciptaannya 2. Wayang Klitik atau Kerucil (Krucil)
Wayang klitik adalah boneka-boneka kayu pipih (tipis) diukir seperti patung relief dan dicat tetapi menggunakan lengan tangan dari kulit (kerbau) yang dapat digerakkan seperti lengan tangan wayang purwa. 3. Wayang Golek
Boneka wayang yang muncul di panggung terbuat dari kayu (tiga dimensional)
dipahat,
dicat,
dilengkapi
dengan
pakaian
dan
perhiasan/aksesoris (miniatur) dan dilengkapi dengan lengan-lengan tangan kayu berengsel sehingga dapat digerakkan. Karakteristik perupaannya mirip wayang purwa; tidak realistik dengan stilasi dan abstraksi (distorsi) bentuk. 4. Wayang Beber
Pada mulanya mengambil lakon dari kisah Mahabharata, kemudian beralih pada cerita Panji berasal dari kerajaan Jenggala abad ke XI dan mencapai kejayaannya pada zaman Majapahit abad XlV-XV (Haryanto, 1988). Wayang Beber pernah disempurnakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara VI dalam perkembangannya pernah populer di daerah Wonosari Gunung Kidul
21
Yogyakarta dengan cerita "Remeng Mangunjaya" dan di Pacitan Jawa Timur yang berkisah tentang "Joko Kembang Kuning" (Raden Panji dan Permaisuri Dewi Candrakirana). Wayang ini berilustrasi seperti layaknya wayang purwa tetapi setiap adegan yang menampilkan beberapa tokoh digambar seluruhnva dalam satu bentangan kain panjang (horisontal). 5. Wayang Batu
Rupa wayang (pewayangan) yang digelar permanen dalam bentuk relief (dipahatkan) pada dinding candi, dinamakan "Wayang Batu" atau "Wayang Candi." 6. Wayang Wong
Wayang wong atau wayang orang lebih identik dengan sendratari atau drama tari yang di dalamnya posisi dalang hanya meresitasi serta menyanyi (nembang) sedangkan dialog antar tokoh dilakukan oleh masing-masing aktor atau pelakunya. Para pemain harus pandai menari (seperti sabet) dan nembang (menyanyi) serta paham ontowecono (karakter suara) tokoh wayang yang dibawakan (Sumardjo, 1992). Lakon wayang ini juga mengambil kisah Ramayana dan Mahabharata (satu konterpart dari wayang purwa) (Holt, 1967). Beberapa sumber menyebutkan bahwa kesenian Wayang Wong adalah hasil olah cipta K.B.AA Mangkunegoro I (1757-1795). 7. Wayang Topeng
Pada zaman kerajaan Demak, Sunan Kalijaga menciptakan topeng yang mirip dengan rupa wajah wayang purwa di tahun 1586 (1508 Caka, sengkala: Hangesli Sirna Yakseng Bawana). Kesenian ini lebih populer di tiga daerah yaitu Topeng Losari, Topeng Malang dan Topeng Madura tetapi pada perkembangan selanjutnya pertunjukan wayang topeng ini lebih dikenal dengan sebutan "tari topeng" seperti halnya sebutan wayang (Haryanto, 1988). Meskipun banyak sumber yang menyebutkan bahwa topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga tetapi harus dipahami dalam konteks kosmologi (kosmis-mithologis) dalam sejarah tak tertulis bahwa perupaan topeng itu sendiri dianggap sudah sangat tua dan pantas dihormati (Pigeaud,1967). 8. Wayang Alternatif
Berbagai jenis dan ragam wayang di atas masih banyak lagi wayangwayang yang ada dan pernah populer meskipun dalam tingkat lokal wayang kulit purwa sendiri ternyata mempunyai bentuk atau gagrak (gaya pakeliran) yang
22
berlainan pada masing-masing daerah, seperti: gagrak Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Banyumas, Cirebon, Jawa Timur, Bali dan sebagainya. Sedangkan wayang-wayang yang sebagian besar menginduk (mengambil ide-cipta) pada wayang purwa adalah: Wayang beber purwa (1361), Wayang Demak (1478), Wayang Keling (1518), Wayang Jengglong, Wayang Kidang Kencana (1556), Wayang Purwa Gedog (1583), Wayang Rama (1788), Wayang Babad, Wayang Kuluk (1830), Wayang Kaper, Wayang Taspirin, Wayang kulit Betawi atau Wayang Tambun, dan yang termasuk wayang baru adalah Wayang Ukur hasil cipta Sukasman Yogyakarta, Wayang Sejati (1973), Wayang Budha (1978), Wayang Jemblung, Wayang Sadat (1985), belum termasuk wayang dolanan anak-anak yang terbuat dari kertas dan rumput (1964) (Haryanto, 1988). Perkembangan terakhir muncul pula fenomena wayang kampung, wayang kreasi baru dan sebagainya. Fungsi Wayang Daya tahan wayang terhadap perubahan peradaban dan berbagai macam pengaruh budaya membuktikan bahwa wayang mempunyai ”tempat khusus" dalam kehidupan masyarakatnya. Pada perkembangan terakhir tidak lagi terfokus pada upacara-upacara ritual dan keagamaan, bahkan bergeser untuk konsumsi hiburan: sehingga lakon dan pakem banyak disesuaikan dengan selera penggemarnya. Apa yang sekarang ini disebut wayang oleh orang Jawa, baru berkembang setelah melewati beberapa masa (abad) dan telah mengumpulkan sekian aspek dalam penyempurnaannya, baik Kepercayaan (Animisme-Dinamisme), unsur Hindu-Budha, Kebudayaan Islam dan Kejawen yang bersifat mistik. Religio Magis Diperkirakan sejak
tahun
1500
SM,
bangsa
Indonesia
memeluk
kepercayaan Animisme dan Dinamisme, yakni keyakinan bahwa arwah leluhur atau roh nenek moyang masih mempunyai andil dalam kehidupan dan semua benda itu 'berjiwa' atau mempunyai kekuatan gaib. Dalam periode Neolitikum mereka membuat alat-alat pemujaan berupa patung-patung dan perupaan lainnya yang dijadikan sebagai media memanggil roh-roh nenek moyang guna dimintai pertolongan (Soeroto dalam Mulyono, 1979). Wayang kulit sudah lama muncul pada ritus-ritus suci (Holt, 1967), dapat dipahami jika wayang berasal dari sistem kepercayaan "asli" Indonesia, yaitu kepercayaan purba yang dihidupkan kembali oleh aliran kepercayaan Kebatinan atau Mistikisme. Wayang
23
menyerap ajaran-ajaran dan nilai-nilai tentang penghormatan kepada alam, berkembang ke penghormatan pada roh-roh leluhur atau nenek moyang yang akhirnya dimitoskan sebagai dewa atau didewakan. Dari kacamata antropologi religi, dapat dipahami bahwa asal-usul (embrio) wayang mendasarkan pada kepercayaan fatisisme, sebuah kepercayaan bahwa benda-benda tertentu buatan manusia dapat menjadi tempat bersemayamnya kekuatan gaib; sehingga patung, gambar, boneka wayang. Jimat dan sebagainya dapat dijadikan media pemanggilan daya gaib atau roh-roh nenek moyang (Koentjaraningrat, 1992 dan Subagya, 1981). Begitu pula dengan segala macam sesaji, pembakaran kemenyan (setanggi), tembang dan suluk (mantra), serta tetabuhan lainnya; dipercaya dapat membujuk roh-roh baik (arwah nenek moyang) untuk "masuk" ke media (benda atau pelaku) upacara dan mengusir roh jahat (Sumardjo, 1992). Nenek moyang bangsa Indonesia percaya akan adanya suatu aturan tetap yang mengatasi segala apa yang terjadi pada alam dunia manusia dan manusia itu harus berpartisipasi dalam aturan "suprakosmis," sehingga hidupnya menjadi otentik, berarti dan bernilai sebagai bagian dan aturan kosmos. Untuk mengungkapkan kepercayaan itu mereka menggunakan lambang-lambang atau tanda berupa "mitos" dan "ritus." Dengan mitos mereka merasa memiliki nilainilai kehidupan berdasarkan kejadian purba. Dengan ritus merupakan sikap simbolik untuk turut mengurus tata alam dan menempatkan manusia pada tata alam (Subagya, 1981). Kepercayaan inilah yang mendasari cikal bakal pementasan-pementasan suatu cerita dalam upacara ritus tadi. Bermacam ritus mereka
ciptakan,
diwariskan
secara
turun-temurun
dengan
adaptasi
perkembangan kebudayaan dari generasi-generasi berikutnya. Pada waktu budaya prasejarah masih berkembang maka cerita-cerita lokal atau mitos asli yang kemudian diangkat dalam upacara ritual dengan cara dipentaskan, diceritakan atau ditarikan (Sumardjo, 1992). Salah satu bentuk pementasan tersebut adalah ”wayang” meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Wayang sebagai karya asli manusia prasejarah Indonesia, dipercaya sebagai media pemanggil roh nenek moyang dan terus berkembang dalam berbagai bentuk upacara. Pada perkembangan dari generasi ke generasi mengokohkan wayang sebagai upacara terbuka yang bersifat ritual hingga pada tahapan tertentu akhirnya menjadi seni pertunjukan (panggung) yang mentradisi.
24
Pertunjukan wayang mempunyai fungsi dan latar belakang agama, secara tradisional fungsi wayang (kulit) terjalin dengan ruwatan, pengambilan hati serta doa untuk kesuburan. Dalam perkembangan terakhir wayang telah menjadi multifungsi; dari pergelaran yang masih berbau sakral hingga sampai yang bersifat hiburan. Memasuki
periode
kebudayan
Hindu
terjadi
pengkayaan
dalam
pelaksanaan upacara ritual wayang. Konsepsi dasar kebudayaan (agama) Hindu yang menganut politheisme tak merisaukan kepercayaan asli bangsa Indonesia karena kaya akan konsep Ketuhanan; teisme, monoteisme, deisme mitologi alam, animisme, monisme, dewaraja, dinamisme dan fetisisme. Kebudayaan (agama) Hindu menyebar tanpa terjadi shock-culture atau konfrontasi budaya karena dalam penyebarannya menggunakan adaptasi budaya dan bukan misi penyebaran agama. Pengaruh ini sedikit demi sedikit menggeser kepercayaan asli dari posisi monopoli menjadi sub-culture, hingga ritus wayang pun mengalami pergeseran konsep (Subagya, 1981). Semula tokoh-tokoh wayang yang merupakan personifikasi para Ieluhur nenek moyang dan dunia mitos; perlahan diganti dengan abstraksi dewa-dewa Hindu dan tokoh-tokoh dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Paham gnostis mengidentifikasi Ketuhanan dengan ”jiwa alam” (Hyang-Suskama) seperti dalam Kejawen, merupakan pintu terbuka bagi bentuk-bentuk atheisme lainnya; sehingga tokoh dewa-dewa
khayangan (Hindu)
dalam
Ramayana
dan
Mahabharata cukup adaptif masuk dalam cerita wayang. Cerita Ramayana dan Mahabharata yang mulai melokal bercampur dengan mitos kuno tradisional, hingga para dewa dan pahlawan dalam kitab-kitab tersebut menjadi dewa-dewa dan pahlawan mereka dan sejajar dengan nenek moyang mereka sendiri bahkan dipercaya oleh masyarakatnya bahwa raja-raja besar di Jawa masih keturunan raja-raja dalam pewayangan (Arjuna dan Prikesit). Agama Hindu merupakan kumpulan agama-agama dari monoteistis, panteistis sampai monistis, tampak jelas dalam Ramayana dan Mahabharata yang rnenjadi sumber lakon wayang (purwa); banyak mengajarkan tentang nilainilai kepahlawanan/ kesatriaan, kebajikan, kejujuran dan sebagainya. Pada tingkatan yang lebih tinggi Hinduisme juga mengajarkan tentang kesempurnaan hidup, meliputi tingkatan-tingkatan manusia, tentang dharma dan karma yang berkaitan dengan reinkarnasi (Amir, 1994). Selain menjadi kitab,
kitab
Ramayana dan Mahabharata menjadi sumber pokok cerita pewayangan (purwa),
25
ada beberapa kisah atau lakon yang berkaitan dengan agama Budha (Indonesia Budha Mahayana) (Sutrisno, 1983) Metafisik Agama atau kepercayaan dalam pandangan antropologi budaya tidak pernah merupakan persoalan metafisika belaka; bagi semua bangsa, bentukbentuk, wahana, fenomena dan obyek-obyek penyembahan selalu terkait erat dengan aura kesungguhan moral yang mendalam. “Yang kudus” di mana saja dalam diri penganutnya mendorong sebuah rasa kewajiban instrinksik yang tidak hanya berkaitan dengan rasa bakti (iman) atau pertimbangan logika (intelektual) melainkan juga komitmen ”emosional” (Geertz, 1992). Dalam beberapa komunitas "beriman" tersebut untuk mengungkapkan komitmen ini dalam bentuk lambang-lambang religius (yang disakralkan) dipentaskan dalam ritus-ritus atau yang dikaitkan dalam mitos-mitos. Lambanglambang sakral tersebut lalu menghubungkan dengan sebuah ontologi dan kosmologi dengan sebuah estetika dan moralitas. Lambang-Iambang tersebut dipentaskan tidak hanya memiliki muatan positif melainkan juga muatan negatif; tidak hanya menunjukkan ke arah kebaikan melainkan juga adanya kejahatan serta ke arah konflik di antara keduanya. Dari paradigma ini terlihat nyata dalam nilai-nilai ”kejawen” sekaligus dimensi metafisika jawa yang terangkum dalam bentuk-bentuk kesenian yang sekaligus merupakan sebuah upacara religiusnya, yaitu pertunjukan boneka bayang atau wayang (Geertz, 1992). Bagi orang Jawa (terutama pola pikir yang dipengaruhi atau dibentuk dalam periode Hindu-Budha), memiliki arus pengalaman subyektif yang diambil dalam
kelangsungan
fenomenologisnya
yang
merupakan
sebuah
alam
mikrokosmos dari alam semesta pada umumnya; sehingga dari kedalaman dunia batiniah dari pikiran dan emosi, terciptalah kesunyatan (kenyataan sebenarnya). Paradigma (yang diperkaya dari India) ini mendasari konsepsi alam pikiran Jawa yang meletakkan segala kristalisasi pemahaman dari pemaknaan dalam bentuk rasa yang memiliki dua arti pokok, yaitu "perasaan" (feeling) dan "makna" (meaning). Dalam penerapannya yang lebih jauh, rasa ini untuk menunjukan muatan implisit pada "perasaan" konotatif dari gerakan-gerakan tari (termasuk bela diri), olah ungkap dalam seni, tata krama dan sebagainya. Dalam arti semantis bahwa rasa juga berarti "makna terakhir," yakni makna terdalam yang dicapai dalam usaha mistis dalam wilayah (pengalaman) transendental yang
26
mampu menjernihkan segala ambigiutas kehidupan duniawi. Pendek kata, rasa adalah inti dari kehidupan itu sendiri (Becker, 1993 dan Geertz, 1992). Bagi para penonton yang dewasa dalam spiritual, pertunjukan wayang dipandang memiliki muatan maknawi yang luwes bagi interpretasi dalam tingkat yang berbeda; mulai dari gemerlap pementasan sebuah lakon hingga maknamakna kosmis yang tersembunyi (Holt, 1967). Sebagai sebuah pagelaran yang memiliki berbagai bentuk ungkap seni, pakeliran wayang (purwa) juga penuh dengan fenomena rasa, dimana memiliki berbagai tingkat kesadaran individual dari masing-masing penghayat dalam mendudukkan fenomena tersebut sebagai bentuk olah rasa. Terutama dalam irama gending-gending gamelan yang dalam tingkat kesadaran tertentu, diyakini memiliki kekuatan metafisik yang mampu menuntun "telinga Jawa" ke dalam wilayah trance yang membawa seseorang dalam aura spiritual (Becker, 1993). Pragmatis Memasuki periode pengaruh Islam di Pulau Jawa (1478) yang dibawa Maulana Malik Ibrahim, kemudian dikembangkan oleh para wali (Walisongo), wayang mengalami pergeseran dasar konsepsi. Tidak Iagi sebagai upacara religius magis pemanggilan roh nenek moyang, melainkan berfungsi pragmatis, yaitu sebagai alat dakwah, pendidikan, komunikasi, sumber sastra dan budaya juga seni hiburan meskipun suasana magis kadang masih terasa. Para wali memodifikasi legenda dunia wayang menjadi cerita-cerita babad, yakni percampuradukan antara epos Ramayana Mahabharata versi Indonesia dengan cerita-cerita Islamik bahkan konsepsi dunia dewa Khayangan (Bhatara, Sang Hyang) menjadi titah yang tidak lebih tinggi dari Nabi Adam. 1. Media Dakwah Sistem dakwah yang dilakukan oleh Walisongo bukan merupakan perubahan atau perombakan kebudayaan Hindu-Budha dan diganti dengan kebudayaan Islam, melainkan melakukan penyelarasan atau penggabungan antara
Islam
dengan
kebudayaan
tradisional
(Hindu-Budha);
terjadilah
sinkronisasi keagamaan yang dikenal hingga sekarang ini, yaitu "Islam Kejawen" (Haryanto, 1995) dan wayang masih menjadi media adaptif dalam proses sinkronisasi tersebut. Selain terjadi penyesuaian bentuk rupa, lakon dan babad, muncul pula beberapa lakon carangan yang bernuansa Islamis, seperti: Mustaka Alam
(Semar
Lungo
Kaji),
Syekh
Siti
Jenar,
Wahyu
Makuto
Romo
(penggabungan cerita Ramayana dan Mahabharata), Jamus (Jimat) Kalimasada,
27
Mustokoweni, Petruk dadi Ratu (Petruk Menjadi Ratu), Pandu Bergala, Dewaruci (kumpulan beberapa ajaran agama). Wedaring sifat rongpuluh (realisasi duapuluh sifat Tuhan), Mbangun Candi Sapta Arga dan sebagainya (Sugito, 1984). Dalam
perkembangan
selanjutnya
walaupun
para
muslim
Jawa
mengetahui hal-hal non-Islamis dalam pertunjukan wayang tetapi ternyata sulit untuk melepas diri dari dasar filosofi wayang. Usaha menggunakan wayang purwa sebagai sarana dakwah lslamik dengan segala dalih kiranya justru akan berakibat fatal jika tidak dipahami secara substansial, hal ini disebabkan karena inti filosofi wayang purwa memang bukan Islamik. Barangkali sebagai pengenalan ajaran Islam, wayang adalah media adaptif bagi masyarakat jawa tetapi untuk pendalaman ajaran jelas sangat beresiko karena ajaran suatu agama adalah dogmatis yang tidak sembarang sinkron dengan unsur lain. Melihat kenyataan ini para seniman Islam pasca Wali Songo mulai mencipta beberapa wayang yang sesuai dengan ajaran Islam seperti Wayang Gedog, Wayang Sadat, Wayang Demak dan sebagainya. Pada dasarnya mempergunakan wayang purwa sebagai media pewartaan agama dapat mempersempit falsafah pewayangan itu sendiri karena kisah atau lakon wayang purwa lebih bersifat universal dan bukan sebuah ajaran agama atau aliran tertentu. Sejarah menunjukan bahwa sekalipun memakai tokoh pahlawan Hindu seperti terdapat dalam Kitab Weda tetapi wayang purwa tidak pemah mengajarkan tentang Hinduisme atau Budhisme karena yang dijabarkan adalah ilmu pengetahuan hidup orang Jawa (Kejawen). Wayang purwa adalah kesenian asli Jawa dengan sumber lakon dari epos Ramayana dan Mahabharata (dari India) dan telah mengalami adaptasi dengan kebudayaan Jawa; yang telah diolah dan disusun dalam Kitab Pustaka Raja. 2. Media Pendidikan Fungsi wayang yang tidak terbatas pada ritual penyucian jiwa (katarsis), juga merupakan alat pedagogis yang sangat efektif. Dalam cerita-cerita ajaib pewayangan terungkap gambaran suatu masyarakat ideal yang tersusun dari ide-ide dasar dan justru gambaran itulah yang disebarkan oleh para dalang keliling
sampai
ke
desa-desa
yang
paling
terpencil.
Dalam
wayang
mencerminkan masyarakat agraris ideal dengan baik dengan karya-karya sastra dari para pangeran Jawa terkemuka yang banyak dijadikan pengkayaan dalam lakon pewayangan; berisi ajaran tentang pameling (peringatan) dan piwulang
28
(nasihat moral) (Lombard, 1996). Etika Jawa membingkai pola pentas wayang yang mengarah pada nilainilai pendidikan merupakan strategi adaptif agar mudah ditangkap oleh segala tingkat penghayatan; mulai dari madubasa (tingkat kedewasaan individual), madurasa (kedewasaan sosial), hingga madubrata (kedewasaan spiritual). Pendidikan dalam wayang menekankan pada pendewasaan budi pekerti dengan melatih kemampuan tanggap sasmita (peka terhadap perlambangan/tandatanda jaman/alam) untuk mempersiapkan tahapan jasmani dan rokhani mumpuni (mampu dan matang) dalam menghadapi segala hidup dan kehidupan (Haryanto, 1995). Tak ada satupun pertunjukan wayang yang tidak mengandung fungsi pendidikan dalam arti luas. Apapun bentuk ajaran yang disampaikan selalu berbicara tentang kebenaran, pendidikan akhlak, kebajikan dan moral. 3. Media Hiburan Sebagai seni pertunjukan terbuka (panggung), wayang tidak bisa lepas dari unsur entertainment (hiburan) dalam setiap pementasannya. Unsur-unsur ini menjadi daya tarik penonton untuk menghayati lebih jauh sehingga muatanmuatan intinya secara tidak langsung ikut terserap dalam proses penghayatan; yang telah berlangsung berabad-abad. Pada dasamya perupaan wayang adalah sebagai pendukung seni pertunjukan (teater), kedudukan wayang menjadi salah satu elemen pokok dari sekian elemen (unsur seni) lainnya dalam proses pergelaran cerita (lakon). 4. Estetik Wayang sebagai pertunjukan multi-perspektif rnemiliki beragam sudut kajian; antara lain adalah bidang studi filsafat, teologi, psikologi, karakterologi, pedagogi, sosiologi, kultural, sosio-kultural, literatur serta teaterologi atau dramatologi. Wayang sebagai bentuk seni multi-media telah merangkum sekian jenis seni, antara lain adalah: seni sastra dan teater, seni pedalangari, karawitan (musik) dan tari serta seni rupa pada wujud boneka peraganya. Dengan demikian pergelaran Wayang selain memiliki muatan keilmuan (science), sekaligus bidang seni (art) (Satoto, 1985). a. Estetika Rupa Wayang kulit dalam perkembangan bentuknya mengalami evolusi beratusratus tahun, kini telah memperoleh perupaan yang paling canggih, paling kena dari segala aspek dengan ikonografi dan karakteristik yang dibawakannya,
29
berikut gaya stilasi serta unsur-unsur seni rupa; sehingga seni tradisi ini mencapai titik klasik sebagai puncak perkembangannya. Pada ikonografi wayang seperti dalam grafologi, tidaklah satu ciri dapat diinterpretasikan secara terpisah; setiap ciri pasti berhubungan dengan keistimewaan-keistimewaan penting lainnya untuk sampai pada karakterisasi penuh makna. Masing-masing bagian (unsur
rupa)
memiliki
kualitas-kualitas
karakteristik
yang
merupakan
perlambangan bagi tokoh protagonis-antagonis yang mendukung ketajaman konflik. Dalam wayang ada sejumlah "pola-olah" khas yang elemen-elemen utamanya adalah: tinggi badan, postur tubuh, ukuran tangan, bentuk mata, hidung dan torso; ciri-ciri fisik ini serta sikap-sikap yang menandai dasar fisik seorang
pahlawan
ditarik
bersama
untuk
menentukan
wanua
atau
penggambaran ekpresi karakteristiknya. Sedangkan peran dan status fungsional ditandai oleh busana, perhiasan serta atribut-atribut yang dikenakan (Holt, 1967). Stilasi hebat pada wayang-wayang Jawa (purwa) yang dikembangkan dua atau tiga abad terakhir diperkirakan mengacu pada perupaan yang menjauhi kemiripan gambar manusia normal (realistis) yang "bertentangan" dengan ajaran Islam atau memang untuk memperkuat ekspresi efek bayangan yang dikembangkan dari relief pada candi-candi Hindu. Makin kuat pahlawanpahlawan ini dirasakan sebagai roh-roh nenek moyang dan diibaratkan satu dunia khusus yang di dalamnya cerita-cerita (legenda) itu terjadi; maka semakin "supranaturalis." Kualitas pencitraan yang luar biasa itu semakin menjauhkan dari bentuk realistis; menyimpang jauh dari bentuk kodrati manusia lumrah. Perlakuan semacam ini berkaitan erat dengan penggambaran karakteristik tokohtokoh pahlawan dalam dunia bayang-bayang, mereka adalah "tokoh lambang" dan bukan penggambaran manusia nyata. Semua penyimpangan bentuk-bentuk alami dari tubuh manusia yang tak abadi dipercaya sebagai "tanda-tanda berkah atau keberuntungan.” Pencitraan ini telah berevolusi berabad-abad dan pada saat itu tak seorangpun yang sadar evolusi ke arah bentuk paling mentakjubkan itu sedang terjadi (Holt, 1967). Perupaan wayang (purwa) yang ajaib mampu menciptakan Image bahwa pewayangan adalah induk seni tertinggi (klasik) dari kesenian Jawa, menjadikan keberadaannya tak lekang oleh bermacam kajian dan kritik dari berbagai Konsep estetika. Unsur perupaan yang penuh dengan stilasi dan deformasi bentuk mampu mencapai tahap pencitraan yang tak berkesan janggal atau dibuat-buat, teknik warna (sungging) yang jauh dari perupaan wajar dan realis, (misalnya
30
badan berwama emas atau wajah berwarna merah, dsb) pun tak pernah ditangkap aneh oleh penghayatnya. Didukung dengan teknik pahat yang rumit ternyata menciptakan jenis karya seni lainnya, seperti permainan/eksperimentasi bayangan (light art) yang memperkaya imajinasi penonton di kelir (Iayar) belakang. lkonografi rupa wayang secara lahiriah mampu menandai karakter tokoh yang menunjuk pada peranan fungsional, status hirarkhis, temperamen dan kadang suasana hati (sikap) tokoh (Holt, 1967). Dari kaidah seni rupa, bentuk wayang kulit itu justru jauh lebih modem dari seni modern barat. Beberapa gaya terwadahi dalam aspek rupa wayang, seperti: ekspresif, dekoratif, tradisional dan kadang humoris. Perupaan wayang kulit purwa diperkaya dengan wanda pada masing-masing tokohnya, sebagai cara pembeda penggambaran karakteristik masing-masing tokoh dalam konteks adegan tertentu. Wanda-wanda tersebut memvisualisasikan watak dasar, lahir batin wayang pada kondisi mental atau emosi tertentu: dilukiskan dengan pola pada mata, hidung, mulut, warna wajah, posisi dan perbandingan ukuran tubuh (Haryanto, 1991). Para wali berusaha merubah sesuatu yang Hinduistis menjadi Islamis dengan sangat halus terutama pada unsur seni-budayanya. Tahap demi tahap wayang dirubah pada perupaan abstrak dekoratif sebagai upaya penggambaran bentuk yang jauh dari realistis. Penggambaran bentuk manusia dengan hidung dan leher panjang anatomi badan yang diperamping, bahu diperlebar, bahkan lengan tangan hampir mencapai ujung kaki dan sebagainya, selain untuk mengarah ke non-realistis, perhitungan "pas dan enak" dari jarak pandang penonton, ternyata menyimpan unsur estetika (seni rupa) yang rumit dan canggih.
Anatomi
wayang
diwujudkan
berdasar
kesadaran
metafisik
(transendental) dalam aura penalaran Jawa, sebuah penggambaran yang jauh melenceng dari kanon estetika seni rupa Modern Barat. Penggambaran letak mata sebagai misal, dua bola mata yang wajarnya untuk posisi wajah tampak muka (en face), diletakkan pada wajah tampak samping (en-profil). b. Estetika Teater (pakeliran) Sejak abad XI pertunjukan wayang yang berasal dari kepentingan upacara religi telah berkembang menjadi toonel (tonil) yang teratur (sistematik), terbukti dari kitab-kitab Jawa kuno. Selama ini kajian wayang lebih menekankan pada sisi simbolik, filosofik dan pedagogiknya tetapi telaah pada lakon (drama) wayang kulit Jawa dan struktur dramatiknya jarang dilakukan. Pada dasarnya
31
struktur dramatik inilah yang menciptakan konvensi ini apa yang dinamakan pakem, ugeranwayang atau kaidah dasar pakeliran dapat dilihat secara jelas; untuk mempermudah upaya pelestarian, pengembangan dan revitalisasinya. Pergelaran wayang kulit purwa dapat digolongkan kepada jenis seni panggung drama atau teater tradisional karena mempunyai bentuk konvensi struktur dramatik berdasar kaidah-kaidah literatur (sastra) dan teater. Sebagai seni tradisional, pergelaran wayang kulit jawa merupakan seni kolektif (multimedia), kompleks dan ansamble. Sebagai bentuk kesenian klasik Jawa, wayang tidak mungkin dipergelarkan dengan baik tanpa melibatkan hampir seluruh cabang disiplin ilmu dan seni karena wayang adalah kristalisasi dari sikap hidup, tingkah laku, pola pikir atau seluruh peradaban dan kebudayaan Jawa (Satoto, 1985). Lakon wayang disusun menurut struktur klasik yang tidak pernah berubah dan diperkirakan struktur lakon ini adalah asli kreasi manusia Jawa karena drama-drama Hindu (drama Sansekerta dan teater bonekanya) tidak mengenal struktur ini. Pada dasarnya struktur yang digunakan seperti dalam seni panggung pada umumnya, yaitu: permulaan, pertengahan dan akhir. Pada masing-masing bagian terdiri dari beberapa adegan dan masing-masing bagian diiringi gending (irama gamelan) yang berbeda; keberadaan gending yang didukung berbagai tembang (lagu) oleh sinden dan sesekali ditingkahi gerong untuk memperkaya unsur seni pakelirannya. Pakeliran
wayang purwa tidak cukup tuntas dinilai dari estetika
panggungnya saja, karena pakeliran mempunyai paradigma lambang yang tidak sekedar bertujuan untuk keindahan pementasan semata.
Masyarakat Jawa
begitu akrab bahwa struktur lakon dalam pergelaran semalam suntuk terdiri dari tiga bagian, berlangsung mulai jam 9 malam hingga jam 6 pagi (waktu yang tepat untuk upacara pemanggilan roh, pada waktu wayang masih sebagai upacara religius-mistis). Sebelum lakon dimulai kekuatan-kekuatan yang hadir disusun sebelah-menyebelah pada kelir, tatkala dicabut (bedol kayon) mulailah dunia pewayangan digelar, adegan pertama dimulai dengan jejer, deskripsi sebuah kerajaan lengkap dengan narasi ajaib dalang. Masalah mulai dimunculkan, usaha-usaha penyelesaian dilakukan; mulai dari perang ampyak atau rampongan hingga perang kembang. Tepat tengah malam suasana semakin memburuk, keseimbangan kosmos terganggu, bencana alam besar (goro-goro) yang menjungkirbalikkan segalanya. Sebuah solusi diusahakan;
32
seorang ksatria tokoh protagonis mencari kekuatan untuk mengatasi keadaan, disertai Punakawan ia masuk hutan. Rintangan demi rintangan dihadapi untuk menemukan kekuatan suci, kemudian kembali pada peperangan (perang kembang) untuk menentukan siapa yang harus menang. Babak ke tiga dimulai: pertempuran besar (perang ageng) berkobar, bagaimanapun yang baik akan lebih unggul meski penuh perjuangan yang berat dan begitulah yang diharapkan untuk membuat tatanan alam (kosmos) kembali seimbang. Filosofi Wayang Wayang dalam perspektif Jawa adalah pembicaraan yang tanpa batas karena wayang terdiri dari semua aspek kebudayaan Jawa. Suatu dunia bayangbayang, dunia legendaris dari pertunjukan seni tradisional Jawa yang telah mencapai puncak kesenian klasik (Holt, 1967). Mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat yang tan kena ora (tidak bisa tidak) atau condilio sine qua non untuk menyelami budaya Jawa, baik etos Jawa dalam nilai etis dan moral, religius-magis maupun pandangan hidup Jawa (Kejawen) tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang (Geertz, 1995). Tipologi wayang telah memberi pengaruh kuat pada sikap-sikap keseharian orang Jawa. Tingkah laku yang ideal dunia wayang berhubungan dengan etika yang distilasi tinggi dari istana-istana Jawa dan meresap pada masyarakat Jawa sebelum Revolusi, bahkan masih bertahan pada beberapa orang generasi tua. Mengenal wayang sesungguhnya membicarakan dunianya orang Jawa karena pewayangan merupakan dunia Kejawen dan filsafat Kejawen adalah penjelajahan alam mistik dan supranatural. Wayang
(pewayangan)
sebagai
kesenian
total
mempunyai
sifat
multiperspektif dan dalam aspek pendidikannya cenderung mengarah ke kasampurnaan
(kesempurnaan)
yang
mempunyai
nilai
puncak
ideal
kebudayaan klasik. Ajaran Kejawen dimungkinkannya manusia mencapai kesempumaan,
baik
ketika
lahir,
masa
hidup
maupun
sesudah
mati;
kesempurnaan mempunyai nilai puncak ideal (tertinggi) dalam budaya klasik Jawa. Dalam pentas pewayangan hal itu digambarkan secara simbolis; mulai dari jebolan (mencabut kayon atau gunungan pertama) yang melambangkan lahirnya manusia, muncullah bayang-bayangnya yang menciptakan perlambangan kehidupan dunia dan berakhir dengan tancep kayon sebagai tanda berakhirnya pementasan dan berakhir pula kehidupan seseorang.
33
Sejak awal penetrasi ajaran Islam dalam pakeliran, sebenamya mulai terjadi persengketaan paham di tubuh Islam sendiri saat itu, satu pihak adalah tasawuf (Sufisme) dan mistik, di lain pihak adalah penganut figh dan teologi. Ternyata dalam menjadikan kesenian wayang sebagai media penyiaran maka pihak tasawuf dan mistiklah yang mendapat banyak pengikut karena ajaranajarannya lebih adaptif dengan tradisi Hinduistis; hingga unsur-unsur Politheisme Hindu berubah menjadi Manotheisme Indonesia (Jawa). Filsafat pewayangan adalah filsafat universal, di mana hidup harus berdasar pada kebenaran dan dalam wayang adalah "kebenaran sejati" (Ultimate Truth) yang datangnya dari Sang Pencipta Alam. Untuk menemukan kebenaran sejati manusia harus melewati tahap “kesadaran sejati" (Ultimate Awareness), hal ini dapat dicapai jika memiliki ilmu atau "pengetahuan sejati" (Ultimate Neality). Kebenaran filosofis dalam dunia wayang lebih mendasarkan pada ngelmu (bukan sekedar ilmu), yakni sesuatu yang dicapai bukan hanya dari analisa penalaran (rasio) belaka tetapi juga rasa sejati (Ultimate Feeling) (Haryanto, 1995). Dengan demikian filosofi wayang selalu berkaitan dengan paradigma mistik-religius yang juga mendasari konsepsi filsafat Timur dalam wayang mampu menjabarkan makna sejati (ultimate meaning) dari hidup dan kehidupan manusia Jawa. Wayang adalah cara pendahulu manusia Jawa mengkristalisasikan pengalaman badani dan spiritual yang dirangkum dan disempumakan secara turun-temurun. Wayang adalah bahasa lambang yang kaya akan nilai-nilai filosofis dan di dalamnya para pendahulu Tanah Jawa mengajarkan tentang “makna hidup” bagi generasi berikutnya; wayang adalah bahasa filsafat dari hakekat hidup orang Jawa (Kejawen). Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa Pertunjukan wayang purwa menyajikan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik individu maupun masyarakat dalam bahasa dan dengan idiom simbolik yang langsung menyentuh jiwa khalayak secara subtil penuh rasa. Hal ini sudah dipaparkan melalui uraian di atas sehingga dalam hal ini akan menjelaskan secara lebih terperinci mengenai karakteristik pertunjukan wayang purwa. Wayang sebagai hubungan dalang dengan penonton Wayang sebagai teater, mempunyai fungsi yang sama dengan teaterteater pada umumnya, yakni memberikan santapan-santapan yang bersifat
34
psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis dan etis. Bedanya hanyalah bahwa wayang tidak memisah-misahkan fungsi-fungsi ini. Wayang memberikan hiburan yang sehat bagi penontonnya. Unsur-unsur tragedi, komedi dan tragedikomedi ada dalam wayang. Percintaan yang mengharukan, dilema-dilema yang amat berat, pengorbanan-pengorbanan besar dan hiburan-hiburan ringan berupa lawakan-lawakan, semua ada dalam wayang. Wayang juga memberikan santapan intelektual bagi mereka yang mau berpikir lebih serius. Wayang selalu berangkat dari ide untuk memberikan penerangan, pendidikan dan dakwah kepada rakyat. Wayang mempersilahkan para penonton memutuskan sendiri tindakan mana yang dianggap benar. Wayang selalu mempertahankan jarak estetis ini. Penonton tidak pernah secara fisik melibatkan diri dalam pertunjukan wayang, dalam arti penonton tidak pernah diizinkan untuk mewayang. Keterlibatan penonton adalah keterlibatan mental dan spiritual, yakni dalam mengadakan communicate dengan pertunjukan itu, yaitu dengan jalan menyatukan diri dengan kehendak yang jelas dari ki dalang. Tokoh Pelaku Pewayangan Dibanding dengan drama-drama di dunia, untuk suatu bentuk drama, klasik atau bukan, dapat dikatakan bahwa wayang mempunyai repertoire yang paling lengkap. Lakon-lakon baku (pokok) wayang memang terbatas dibandingkan dengan mitos-mitos, legenda-legenda dan cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabharata tetapi dari lakon-lakon baku dapat diciptakan lagi lakon-lakon baru dan pelaku-pelaku yang banyak sekali jumlahnya. Di antara drama-drama di dunia dapat dikatakan bahwa wayang mempunyai pelaku paling banyak dalam lakon-lakonnya. Kalau drama-drama dunia hanya mengenal pelaku-pelaku yang berwujud manusia kecuali beberapa drama klasik Timur yang juga bersumber pada Ramayana dan Mahabharata, maka wayang mengenal pelaku-pelaku dari tiga dunia: dari dunia atas (Tuhan, dewa-dewa dan bidadari-bidadari), dari dunia tengah (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam) dan dari dunia bawah (raksasa, makhluk-makhluk halus). Kalau dilihat jumlah wayang yang ada, yakni jumlah wayang yang lengkap yang biasa dipakai dalam pertunjukan wayang, pelaku lakon-lakon wayang paling sedikit ada 344. Terdiri 144 wayang simpingan yakni wayang yang diatur di samping kanan dan kiri kelir (layar), 200 wayang ricikan yakni wayang yang diletakkan di atas eblek (penutup kothak wayang) dan wayang dudukan (dhuadaha) wayang yang diletakkan di dalam kothak. Menurut
35
Rijasudibyoprana dalam Amir (1994) dilihat dari nama-nama pelaku dalam wayang, jumlah pelaku dalam wayang
(pelaku manusia biasa saja) akan
mencapai 707. Ditambah pelaku-pelaku dari dunia atas sekitar 30 (hanya namanama dewa yang paling penting saja). Eliott
dalam Kusuma (1972), membagi pelaku-pelaku dalam sastra ke
dalam dua golongan: flat characters, yakni pelaku-pelaku digambarkan sebagai hitam dan putih, sebagai orang-orang yang baik 100% dan round characters, yakni pelaku-pelaku yang tidak selamanya baik atau selamanya jahat. Berbeda dengan sementara pandangan umum, pelaku-pelaku dalam wayang bukanlah flat characters. Wayang, sebagai suatu embodiment of Javanese philosophy, mengikuti filsafat Jawa yang realistik tentang manusia, yakni bahwa manusia sebagai makhluk tidaklah ada yang sempurna. Para Pandawa yang dikatakan sebagai ksatria-ksatria teladan, bukanlah manusia-manusia sempurna. Dalam “Mahaprasthanikaparwa” diceritakan tentang kematian para Pandawa ini. Satu demi satu mereka mati. Yudhistira tidak menyesali kematian mereka ini karena masing-masing dalam hidupnya pernah berbuat kesalahan-kesalahan. Drupadi karena tidak adil dalam membagi cinta kasih kepada adik-adiknya (ia terlalu mengasihi Arjuna). Sadewa karena ia merasa paling cerdik dan paling pandai di antara sesama manusia. Nakula karena dianggap terlalu angkuh, ia merasa paras mukanya paling cantik di seluruh dunia. Arjuna karena terlalu sombong (ia pernah mengatakan, setiap detik ia dapat menghancurkan Kurawa). Bima karena ia dianggap terlalu egoistis dan berbudi bahasa kasar. Mereka semua ini masuk neraka karena kesalahan-kesalahan mereka, kata Yamadipati, malaikat (dewa) pencabut nyawa (Suroto, 1975). Sedangkan Yudhistira sendiri tidak luput dari kesalahan-kesalahan (contoh: Yudhistira dalam permainan dadu melawan Sangkuni
dengan
mempertaruhkan
segala-galanya
termasuk
saudara-
saudaranya dan istrinya sendiri). Juga manusia-manusia yang dianggap suci, seperti Bhisma dan Abiyasa, tidak luput dari berbuat salah. Bhisma dengan segala kesuciannya tidak dapat mempengaruhi dan mencegah para Kurawa untuk bertindak batil. Sedang Abiyasa dalam pertapaannya di Sapta Arga, masih menunjukan hati yang pilih kasih. Demikian pula dengan Kresna yang adalah pengejawantahan dari Wisnu. Dalam satu cerita ia diceritakan terlalu menyayangi anaknya, Samba yang menginginkan wahyu yang seharusnya diperuntukkan bagi Arjuna. Kresna pun berusaha agar wahyu ini diberikan kepada anaknya. Bahkan Batara Guru sendiri
36
yang dikatakan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam tindak-tanduknya banyak sekali berbuat sesuatu yang amat memalukan. Ia juga menginginkan wahyu yang diperuntukkan Arjuna untuk diberikan kepada anaknya, Dewasrani. Cacat-cacat dalam tubuhnya menunjukan cacat dalam jiwanya. Bertaring, bertangan empat karena waktu mengejar Dewi Uma ia memaksa Dewata untuk diberikan tangan empat. Ia bertaring karena sumpah Dewi Uma yang mengatakan, “...perbuatannya itu adalah perbuatan makhluk bertaring.” Sebaliknya, wayang menunjukan bahwa kebaikan-kebaikan juga terdapat dalam diri orang-orang atau makhluk-makhluk yang dianggap rendah. Anoman adalah makhluk kera yang luar biasa pengabdiannya kepada Rama. Juga Jatayu, si makhluk Garuda yang mencoba merebut Sinta dari cengkraman Rahwana. Bahkan dalam wayang diceritakan (dalam “Mahaprathikaparva” tadi), bahwa seekor anjing pun dapat masuk surga karena pengabdiannya dan kesetiaannya kepada manusia. Juga raksasa-raksasa dalam wayang bukanlah selalu makhlukmakhluk jahat. Banyak di antara mereka yang berjiwa ksatria (seperti Kumbakarna) dan banyak di antara mereka yang menolong para Pandawa waktu mereka dalam kesusahan. Penyebab orang terkecoh dalam mempelajari tokoh-tokoh wayang adalah kenyataan bahwa dalam menggambarkan para tokoh itu watak-watak yang ideallah yang amat ditonjolkan. Tipologi dalam wayang adalah tipologi manusiamanusia ideal. Sedang kelemahan-kelemahan tokoh-tokoh ini banyak diabaikan orang karena tertutup oleh watak-watak ideal mereka itu. Dalam Mahabharata dan Ramayana tokoh-tokoh antagonis tidaklah digambarkan sebagai raksasa, tetapi sebagai ksatria-ksatria biasa. Rahwana adalah seorang raja perkasa yang di Sri Lanka dipuja-puja sebagai pahlawan dan para Kurawa bukanlah raksasaraksasa. Arjuna dan Yudhistira tidaklah digambarkan sebagai orang-orang yang lemah lembut tetapi sebagai ksatria-ksatria yang ahli dalam ilmu perang. Pujangga-pujangga Jawalah yang telah mempertajam kontras-kontras antara baik dan buruk, benar dan salah. Kontras-kontras ini diekspresikan dalam lambang-lambang, termasuk wajah dan bentuk wayangnya sendiri (boneka wayang tidak menggambarkan wujud fisik seseorang, tetapi watak yang dominan dari orang itu). Penggambaran kontras-kontras ini melukiskan keyakinan atau filsafat orang Jawa yang menganggap bahwa semua kejahatan harus diberantas. Untuk
37
menyampaikan ajaran ini, dibuatkan kontras-kontras fisik tadi sehingga dengan gampang rakyat akan menangkap isi ajaran itu dengan jalan menumbuhkan kebencian kepada tokoh-tokoh yang jahat. Tokoh-tokoh yang mestinya round characters menjadi tampak seperti flat characters. Penangkapan (persepsi) yang memandang manusia sebagai hitam putih ini berbahaya karena menghilangkan gradasi watak atau gradasi kesempurnaan hidup seseorang. Dalam dunia ksatria pun gradasi ini ada. Tidak semua ksatria berwatak luhur, seperti juga tidak semua raksasa berwatak rendah. Watak luhur dan watak rendah ada pada setiap manusia. Menurut ajaran Hindu bentuk luar setiap makhluk adalah hasil dari kharma dari kehidupannya di masa lalu. Orang dilahirkan sebagai raksasa karena kehidupannya di masa lalu tidak baik. Tetapi selama hidup ia akan berusaha untuk menjadi baik, yakni apabila ia mau berbuat demikian. Sehingga dalam hidup yang akan datang ia akan dilahirkan sebagai manusia. Dengan demikian ajaran Hindu tidak terlalu membeda-bedakan bentuk luar. Ajaran Hindu menonjolkan adalah bahwa setiap manusia dilahirkan berbeda. Masing-masing orang mempunyai kekuatan dan kelemahan-kelemahan dan masing-masing ditakdirkan menempati suatu jabatan tertentu. Tetapi jabatan ini tidak ada hubungannya
dengan
watak.
Mahabharata
mengajarkan,
kebrahmanaan
seseorang tidak ditentukan keturunan tetapi oleh tindakan orang itu selama hidupnya. Ajaran tentang varna ini dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi ajaran tentang kasta. Orang mulai menyangkutkan jabatan dengan kelahiran dan jabatan dengan karakter. Ajaran tentang kasta ini diambil alih oleh orang Jawa/Nusantara waktu Hinduisme datang. Ajaran Islam yang demokratis mencoba menghilangkan ajaran ini tetapi tidak seluruhnya berhasil. Orang Jawa masih menyangkut masalah pangkat dan derajat dengan masalah kelahiran dan bukan masalah usaha. Persepsi bahwa ksatria mesti baik karena ia dilahirkan sebagai ksatria dan sebaliknya raksasa mesti jahat karena ia dilahirkan sebagai raksasa adalah salah tanggap atas ajaran tentang varna ini. Tokoh-tokoh pelaku dalam Mahabharata dan Ramayana kebanyakan adalah ksatria karena kebetulan cerita-cerita dari kitab-kitab tersebut berkisar pada kehidupan para ksatria. Hal yang sama terjadi juga pada drama-drama dunia yang lain, seperti drama-drama Yunani, drama-drama Shakespeare, drama-drama Sanskrit, ataupun drama-drama klasik Tiongkok. Tetapi masalah keksatriaan ini tidak harus dilihat sebagai masalah keluhuran watak tetapi lebih sebagai suatu jabatan yang menunjukan tempat, fungsi dan dharma manusia itu.
38
Manusia yang dilahirkan dalam kedudukan lain seperti para brahmana, para pedagang dan rakyat biasa mempunyai fungsi dan dharma-dharma yang lain. Dalam masing-masing golongan apabila ada yang berwatak luhur dan rendah itu adalah hal yang alami. Tokoh-tokoh pelaku dalam wayang lebih kaya dalam variasi daripada tokoh-tokoh dalam Mahabharata dan Ramayana. Karena ke dalam wayang para pujangga Jawa telah menambahkan tokoh-tokoh yang tidak ada atau tidak benar fungsinya dalam kedua kitab tersebut. Tokoh-tokoh ini adalah tokoh-tokoh punakawan yang dimasukkan ke dalam wayang sebagai pengimbang dari tokohtokoh ksatria, brahmana dan raksasa. Punakawan yang melambangkan rakyat jelata ini berfungsi sebagai pendamping para ksatria, yang menghibur mereka di kala duka, memberi petunjuk-petunjuk di kalangan mereka sedang kebingungan dan membenarkan tindakan-tindakan mereka yang tidak benar. Dengan demikian maka punakawan ini bertindak sebagai hati nurani sang ksatria. Adalah amat mengherankan bahwa orang tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh bijaksana yang nota bene adalah kreasi bangsa Jawa sendiri. Sebabnya mungkin sekali adalah karena kebanyakan orang masih terpesona dengan masalah kepangkatan yang disangkutpautkan dengan budi luhur. Tema serta Masalah Pokok dalam Pertunjukan Wayang Purwa Lakon yang begitu banyak jumlah dan variasinya dan pelaku-pelaku yang berasal dari ketiga dunia itu, wayang mempunyai repertoire yang paling lengkap di antara bentuk-bentuk drama yang ada di dunia. Berbeda dengan drama-drama Barat yang melihat hidup secara sepotong-sepotong, wayang melihat hidup sebagai suatu kesatuan yang bulat. Lakon-lakon wayang memang mengisahkan insiden-insiden yang dialami oleh manusia dalam hidupnya tetapi dalam wayang insiden-insiden ini tidak pernah berdiri sendiri melainkan selalu berkaitan satu dengan yang lain. Kisah Kumbakarna dan Karna yang loyal kepada prinsipprinsip politiknya tak dapat dilepaskan dari kisah Wibisana dan Sanjaya yang loyal terhadap prinsip-prinsip moralnya. Kisah kepahlawanan para Pandawa tak bisa dilepaskan dari kisah ketengikan para Kurawa. Kisah pengorbanan Drupadi tak bisa dilepaskan dari kisah keambisiusan Gendari. Kisah kesucian Abiyasa tak bisa dilepaskan dari kisah keculasan Durna. Kisah kesetiaan patih Gandamana tak bisa dilepaskan dari kisah kecurangan patih Sangkuni. Dari kisah-kisah dan insiden-insiden ini kita dapat menarik garis ke atas dan mendapatkan suatu tema pokok yang dominan dalam wayang, yaitu
39
manusia pada dasarnya dilahirkan dengan kodrat kebinatangan dan kodrat kemalaikatan. Setiap makhluk hidup atau benda selalu terdapat dua dasar yang paling berlawanan tetapi saling melengkapi. Unsur positif (yang dalam filsafat Cina) membangun dan unsur negatif (yin) menghancurkan. Masalah pokok manusia selalu berkisar tentang dilema yang dihadapinya yakni antara memenangkan kodrat kemalaikatannya dan kodrat kebinatangannya. Antara memenangkan unsur positifnya dan memenangkan unsur negatifnya. Manusia diberikan kebebasan menjatuhkan pilihan. Para Kurawa, Gendari, Sengkuni dan Durna menghadapi dilema antara bertindak benar dan bertindak salah. Mereka telah mendengar pendapat-pendapat dan nasihat-nasihat dari Bhisma dan Kresna tetapi mereka telah menentukan pilihan yang salah. Kumbakarna dan Karna, Wibisana dan Sanjaya menghadapi dilema antara berbuat benar yang satu dan berbuat benar yang lain, yakni berbuat loyal kepada prinsip-prinsip politik dan berbuat loyal
kepada prinsip-prinsip moral. Mereka pun telah
menentukan pilihan. Segala sesuatunya terdiri dari dua unsur, kejahatan dan kebaikan yang pada hakikatnya kedua unsur itu adalah bagian dari satu benda yang sama. Mereka hanyalah sisi lain dari benda yang sama itu. Salah satu daripadanya tak dapat dihilangkan karena keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Kejahatan adalah sisi lain dari kebenaran tetapi tanpa kejahatan tak akan ada kebenaran. Kejahatan memang harus diberantas tetapi kejahatan akan selalu muncul kembali. Adegan perang kembang antara Cakil dan satria selalu tampil dalam setiap lakon meskipun adegan itu tidak mempunyai fungsi dramatik. Ditampilkannya adegan ini hanyalah untuk menonjolkan pentingnya tema pokok wayang. Dimana kejahatan tak mungkin diberantas sama sekali karena kejahatan adalah sisi lain saja dari kebenaran. Kesadaran akan adanya unsur yang berlawanan tetapi yang selalu saling mengisi dan saling membutuhkan, menumbuhkan kesadaran yang lain, yakni bahwa hidup ini merupakan suatu kesatuan yang bulat. Keanekaan hidup manusia adalah satu. “Bhineka Tunggal Ika,” kata kitab Sutasoma. Bukan hanya hidup manusia tetapi juga hidup seluruh isi alam semesta ini. Masalah hidup adalah suatu kesatuan, merupakan tema pokok yang lain dalam wayang. Betapapun hebatnya konflik antara para Pandawa dan Kurawa, mereka pada dasarnya adalah anggota dari keluarga yang sama.
40
Tema bahwa manusia dilahirkan berbeda tetapi dalam perbedaan itu manusia tetap satu, menggariskan masalah pokok manusia sebagai makhluk sosial, masalah ini menurut wayang adalah masalah bagaimana manusia dapat menempatkan dirinya pada tempat yang telah ditentukan oleh Tuhan, bagaimana manusia memenuhi fungsinya dan menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan fungsi itu. Tugas-tugas sosial manusia itu meliputi tugas “mempercantik” negara, bangsa dan kemanusiaan pada umumnya yang menurut wayang digariskan dalam ajaran mawayu hayuning praja, mawayu hayuning bangsa dan mawayu hayuning bawana. Untuk “mempercantik” negara, bangsa dan dunia ini tugas manusia paling utama ialah memberantas kejahatan yang diajarkan dalam ajaran sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Hal mengemban tugas-tugas sosial ini wayang amat menekankan pentingnya tempat seseorang dalam masyarakat. Pengaruh ajaran Hindu tentang varna di sini kuat sekali: manusia dilahirkan berbeda, masing-masing dengan kemampuan tertentu, menduduki fungsi tertentu dalam hidup. Manusia hanyalah menempati tempat yang telah ditentukan dan menjalankan fungsinya berdasar kodratnya sendiri. Cara inilah tata masyarakat yang merupakan bentuk mikro dari tata kosmos, dapat dipertahankan. Keseimbangan tata masyarakat yang juga keseimbangan tata kosmos terjadi manakala masing-masing manusia menempati tempat yang telah ditentukan dan manjalankan
fungsinya
berdasarkan
kedudukannya
dalam
masyarakat.
Ketidakseimbangan terjadi manakala manusia mencampuradukkan tempat dan fungsi masing-masing. Manakala manusia tidak menempati tempatnya dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kriteria baik atau buruk tindakan seseorang ditentukan baik atau tidaknya ia menempati tempatnya dan menjalankan fungsinya. Tema bahwa hidup manusia dikuasai dan diatur oleh Tuhan menggariskan masalah pokok manusia sebagai makhluk Tuhan. Kenyataan, bahwa manusia tidak dapat mengubah nasibnya kecuali atas kehendak Tuhan dan untuk dapat hidup sebaik-baiknya ia harus menuruti kehendak dan hukum Tuhan, mewajibkan manusia untuk mengerti kehendak Tuhan dan bertindak sesuai kehendak Tuhan. Ajaran ini dalam wayang disebut ajaran manunggaling kawulo Gusti. Untuk dapat menunggal dengan kehendak Tuhan manusia harus mengerti hakikat hidup ini, dari mana asal hidup dan apa tujuan hidup. Dalam wayang ajaran ini disebut ajaran sangkan paraning dumadi. Hidup berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
41
Dari masalah-masalah pokok, dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah pokok manusia yang paling utama ialah bagaimana hidup sebaik-baiknya di dunia ini. Manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup, sebagai pribadi, makhluk sosial maupun sebagai makhluk Tuhan. Ajaran pokok yang paling sentral dalam wayang adalah ajaran tentang kesempurnaan hidup yang disebut kasampurnaning ngagesang. Efektivitas Komunikasi Menurut Vardiansyah (2004), efek komunikasi adalah pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikator dalam diri komunikannya. Efek komunikasi dapat kita bedakan atas efek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan tindakan (konatif). Efek komunikasi adalah salah satu elemen komunikasi yang penting untuk mengetahui berhasil atau tidaknya komunikasi. Pesan yang sampai pada komunikasi menimbulkan dampak (efek), sehingga persoalan utama dalam komunikasi efektif adalah sejauh mana tujuan komunikasi komunikator terwujud dalam diri komunikannya. (1) Apabila hasil yang didapatkan sama dengan tujuan yang diharapkan, dikatakan bahwa komunikasi berlangsung efektif. (2) Apabila hasil yang didapatkan lebih besar dari tujuan yang diharapkan, dikatakan bahwa komunikasi berlangsung sangat efektif. (3) Apabila hasil yang didapatkan lebih kecil daripada tujuan yang diharapkan, dikatakan bahwa komunikasi tidak atau kurang efektif. Menurut Goyer (1970) dalam Tubbs dan Moss (2001), bila S adalah sumber pesan dan R penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus dan lengkap bila respons yang diinginkan S dan respons yang diberikan R identik atau secara matematis sama dengan satu, seperti tersaji pada rumus berikut ini:
R
makna yang ditangkap penerima =
S
=1 makna yang dimaksud pengirim
dimana : R = penerima pesan S = pengirim pesan 1 = nilai kesempurnaan penyampaian dan penerimaan pesan
42
Nilai 1 menunjukan kesempurnaan penyampaian dan penerimaan pesan. Bisa saja R/S bernilai 0 yang berarti tidak ada kaitan sama sekali antara respons yang diinginkan dengan respons yang diperoleh. Sedangkan Hardjana (2000), menjelaskan bahwa komunikasi dikatakan efektif, bila komunikasi yang dilakukan adalah benar. Dengan kata lain, apa yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan semula. Menurut
Sendjaja (1993), tujuan yang dimaksud dalam kegiatan
komunikasi menunjukan pada suatu hasil atau akibat yang diinginkan oleh pelaku komunikasi. Hasil atau akibat komunikasi meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek konatif. Menurut Effendy (2003), komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media. Komponen-komponen komunikasi meliputi komunikator, pesan, saluran atau media, komunikan dan efek. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Mulyana, 2000). Secara sederhana, komunikasi dikatakan efektif bila orang menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Secara umum komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang dimaksud oleh komunikator dapat direspons oleh komunikan, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilaksanakan. Efektivitas komunikasi erat hubungannya dengan tujuan, biasanya dalam komunikasi
yang
efektif
menghasilkan:
pemahaman,
kesenangan,
mempengaruhi sikap, memperbaiki hubungan dan tindakan (Mulyana, 2000). Menurut DeVito (1997) komunikasi efektif sangat erat hubungannya dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut mencakup
pengetahuan
tentang
peranan
lingkungan
(contex)
dalam
mempengaruhi kandungan (content) pesan komunikasi. Untuk mencapai komunikasi efektif seringkali akan mengalami berbagai hambatan yang disebabkan oleh faktor personal maupun faktor situasional. Comton dan Galaway (dalam Swastomo, 2000) mengemukakan beberapa hal yang
merupakan
penghambat
komunikasi
di
antaranya
adalah:
(1)
ketidakmampuan dalam mengkonseptualisasikan dan menggunakan simbol-
43
simbol, (2) kegagalan untuk memakai konsep-konsep yang diterima dan (3) pengaruh lingkungan Komarudin (1983) mengemukakan bahwa efektif adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sejalan dengan pengertian tersebut Sugandha (1988) menyatakan bahwa prinsip efektif itu adalah kemampuan mencapai sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orang-orang dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seefisien mungkin. Menurut Berlo (1960), komunikasi akan berjalan efektif apabila ketepatannya dapat ditingkatkan dan gangguannya (noise) dapat diperkecil. Oleh karena itu meningkatkan ketepatan dan mengurangi gangguan harus terjadi pada setiap unsur komunikasi. Hal tersebut dapat terjadi bila : 1. Seorang komunikator harus memiliki keterampilan berkomunikasi, bersikap positif terhadap komunikan dan pesan yang disampaikan serta mampu menyesuaikan diri dengan sistem sosial budaya. 2. Seorang komunikan harus memiliki kemampuan berkomunikasi, bersikap positif terhadap komunikator dan pesan yang disampaikan, memahami isi pesan yang disampaikan serta perilaku kebiasaan dalam menerima dan menafsirkan pesan. 3. Pesan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan kode atau bahasa pesan, kesesuaian isi pesan dengan tujuan komunikasi serta pemilihan dan pengetahuan bahasa dan isi pesan. 4. Media komunikasi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan isi pesan, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta efisien dalam memilih media. Prinsip penggunaan media harus dapat dilihat, didengar, disentuh, dicium dan dirasakan. Menurut Schramm dan Forter (1973) efektivitas komunikasi ditujukan oleh kondisi saling melengkapi antara komunikasi secara umum dengan penggunaan media komunikasi dalam mengantarkan suatu perubahan. Effendy (2003) mengemukakan bahwa efektivitas komunikasi atau kondisi sukses komunikasi ditentukan oleh: 1. Komunikator yang mampu mengenal komunikan, memahami kerangka rujukan dan bidang pengalamannya. 2. Ketepatan pesan yang disampaikan, yaitu pesan harus dirancang agar menarik perhatian sasaran dengan menggunakan tanda-tanda yang tertuju
44
pada pengalaman yang sama antara komunikator dengan komunikan. Pesan mampu membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikasi berada. 3. Pemilihan media tergantung pada tujuan yang akan disampaikan dan teknik yang akan digunakan. Efektivitas
komunikasi
menurut
Siahaan
(1991)
memperhatikan
keterampilan berkomunikasi, yaitu kemampuan komunikator dalam menulis, berbicara,
mendengar,
berpikir,
menganalisis,
membuat
penalaran
dan
sebagainya. Seorang komunikator yang baik akan menggunakan kata-kata secara tepat, sederhana, mengena dan mudah dimengerti. Kata-kata tersebut pun dirangkai sedemikian rupa sehingga tersusun rapi dan efektif. Seperti halnya Mulyana
(2000),
Rakhmat
(2001)
mengemukakan
bahwa
tanda-tanda
komunikasi yang efektif paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu: 1. Pengertian, yaitu penerimaan yang cermat dari isi pesan yang disampaikan komunikator sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran pesan oleh komunikan. 2. Kesenangan, yaitu suasana yang menjadikan hubungan menjadi hangat, akrab dan menyenangkan. 3. Mempengaruhi sikap, yaitu kemampuan persuasif komunikator dalam penyampaian pesan yang menimbulkan efek pada diri komunikan. 4. Hubungan sosial yang baik, yaitu tumbuhnya perasaan ingin bergabung dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan serta ingin mencintai dan dicintai. 5. Tindakan, yaitu tindakan nyata yang dilakukan komunikan setelah terjadi pengertian, pembentukan dan perubahan sikap serta tumbuhnya hubungan yang baik. Dengan demikian agar terjadi efektivitas komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut, Pertama komunikator, menurut Berlo (1960) terdapat empat faktor yang menentukan kemampuan komunikator agar ketepatan komunikasi dapat ditingkatkan: (1) keterampilan berkomunikasi (communication skill), yaitu keterampilan berbicara dan menulis agar penerima pesan mampu mendengar dan membaca secara baik dan jelas, (2) sikap (attitude), yaitu kecenderungan sikap positif atau negatif, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap pesan yang disampaikan maupun terhadap penerima
45
pesan, (3) pengetahuan (knowledge), yaitu wawasan pengetahuan terhadap persepsi dari pesan yang disampaikan dan (4) sistem sosio-kultural (sociocultural system), yaitu berkaitan dengan posisi komunikator dalam sistem sosial budaya. Kedua pesan, Schramm (Effendy, 2003) menyebutkan bahwa agar pesan mendapat tanggapan baik dari komunikan, hendaknya: (a) pesan dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan, (b) pesan menggunakan lambang-lambang yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan sehingga samasama mengerti, (c) pesan membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. Ketiga, saluran, Effendy (2003) dalam komunikasi dua tahap arus informasi pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah melalui berbagai media mula-mula akan diterima oleh pemuka masyarakat, pada tahap berikutnya oleh pemuka masyarakat, akan diteruskan kepada orang-orang yang berada di sekitarnya dalam hal ini pemuka masyarakat merupakan saluran komunikasi yang penting. Terakhir komunikan, Rogers (dalam Wardiana, 1993) berpendapat bahwa komunikan adalah anggota suatu sistem sosial yang disebut sebagai kumpulan unit yang berada secara fungsional dan terkait dalam kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Barnard (Effendy, 2003) mengemukakan bahwa komunikan akan menerima sebuah pesan hanya jika secara simultan terdapat kondisi berikut: (a) komunikan benar-benar dapat mengerti pesan komunikasi, (b) pada saat mengambil keputusan dia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya, (c) pada saat mengambil keputusan dia sadar bahwa keputusannya itu bersangkutan dengan kepentingan pribadinya dan (d) dia mampu untuk menepatinya baik secara mental maupun secara fisik. Globalisasi Informasi dan Komunikasi Toffler (1989) mengatakan bahwa arus perubahan dewasa ini yang menggemuruh teramat kuat hingga menumbangkan lembaga, menggeser nilai dan menggoyahkan akar budaya. Percepatan perubahan dalam zaman dewasa ini merupakan kekuatan elemental. Terjadinya perubahan ini biasanya akan disusul kemajuan kebudayaan yang meliputi segala aspek kehidupan: politik. sosial, budaya dan ekonoml.
46
Ada asumsi bahwa kemajuan kebudayaan itu terpacu terutama oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini komunikasi antar bangsa semakin mudah dan lancar. Komunikasi ini dapat dilakukan melalui televisi, sambungan telepon nasional maupun internasional dan lain sebagainya. Kemudahan sarana komunikasi ini mempercepat proses globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Pengertian Globalisasi Informasi Rasanya sulit apabila untuk mendefinisikan atau mencari definisi globalisasi secara pasti. Sering orang memberi gambaran bahwa globalisasi ini menunjuk pada proses terbentuknya keterpaduan yang bulat dari bidang-bidang kehidupan manusia. Bila orang mengartikan globalisasi didasarkan pada bidang ilmu atau disiplin ilmu yang dikuasainya misalnya seorang ahli ekonomi akan rnengartikan globalisasi menurut pandangan ekonomi, ahli politik akan mengartikan globalisasi dari sudut pandang kehidupan politik, seorang yang menekuni kebudayaan akan mengartikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses terbentuknya kebudayaan manusia yang didorong oleh kesadaran umat manusia yang saling bergantung satu sama lain dalam setiap aspek kehidupannya (Sujamto, 1993). Agaknya
akan
perkembangan budaya
lebih
jelas
manusia.
apabila Biasanya
melihat
globalisasi
perkembangan
sebagai
budaya
atau
kebudayaan ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia. Hal ini dimungkinkan karena manusia akan memperoleh kemudahan dalam berhubungan dengan manusia yang lain, sekaligus hubungan dengan manusia yang berlainan negara. Globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang muncul karena perkembangan teknologi Informasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi serta percepatan arus informasi ini tldak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1992). Sementara Itu Rogers (2003) mengartikan teknologi informasi adalah perangkat keras bersifat organisatoris dan meneruskan nilai-nilai sosial dengan siapa
individu
atau
khalayak
mengumpulkan,
memproses
mempertukarkan informasi dengan individu atau khalayak lain.
dan
saling
47
Teknologi informasi ini telah membawa perubahan-perubahan dalam proses pengolahan, penyimpanan, distribusi data dan informasi. Data "informasi” telah dapat disimpan dan dikomunikasikan dalam jumlah yang hampir tak terbatas dalam waktu yang relatif cepat (Subrata, 1992). lnformasi itu sendirl dapat diartikan sebagai "isi pemberitahuan/komunikasi,” yang bersumber dari ide-ide, gagasan-gagasan, pendapat atau pemikiran manusia dan yang dapat disajikan dalam bentuk lisan, tercetak, audio maupun audiovisual gerak dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Informasi ini dapat mempercepat atau memperlambat pengambilan keputusan (Wahyudi, 1992). Globalisasi informasi ini yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi (antara lain televisi, komputer) pada akhir-akhir ini, sadar atau tidak sadar telah banyak menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tatanan hidup masyarakat. Namun ini semua tergantung pada kemampuan masyarakat dalam memilih, mengolah dan menyerap informasi yang mereka terima. Bersih Desa Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan nama dan cara yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa karena di dalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada pula yang menyebut rasulan, karena dalam kendurinya disajikan selamatan rasulan (sega gurih dan lauk ingkung ayam). Ada lagi yang menyebut memetri desa karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa, baik mengenai semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam istilah bersih desa, esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup. Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini, perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya. Jadi, mencermati seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni, melainkan seni dalam konteks (Simatupang, 2005). Pendapat ini memberikan gambaran bahwa di balik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi yang menarik diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait dengan berbagai hal, antara lain tempat, waktu dan pelaku, dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni.
48
Waktu penyelenggaraan bersih desa pun bisa berbeda-beda. Bahkan teks dan tatacara ritual masing-masing wilayah dapat berbeda satu sarna lain. Perbedaan aktivitas budaya semacam ini menurut James (1980) justru menarik dari sisi antropologi. Perbedaan ini juga menarik untuk dianalisis lebih mendalam. Lebih jauh lagi Turner dan Schechner (Murgiyanto, 1998) menjelaskan agar ditekankan antropologi pertunjukan pada "proses" atau "bagaimana" pertunjukan mewujud dalam ruang, waktu, konteks sosial dan budaya masyarakat pendukungnya. Pendapat ini menekankan agar kajian budaya, seni dan ritual mampu mengaitkan dengan pemilik budaya itu. Perbedaan dan kesamaan proses, merupakan aspek penting bagi pemahaman makna dan fungsi seni spiritual. Tiap desa tentu mempunyai waktu pilihan, kegiatan pilihan, sesuai dengan kepentingan dan kebiasaan desa setempat, misalnya (1) bersih desa dijatuhkan pada hari dimulainya pemukiman di desa tersebut, (2) dilaksanakan bersama dengan hari lahir atau mangkatnya cikal bakal desa. Tempat penyelenggaraan bersih desa dan pesta desa mengikuti kebiasaan desa setempat. Ada kegiatan yang merata dilakukan di seluruh lingkungan desa beserta penghuninya, di samping itu juga ada kegiatan yang dipusatkan pada tempat-tempat tertentu, misalnya (1) tradisi puncak dipusatkan di balai desa, (2) pesta desa dipusatkan di lapangan desa setempat, (3) sedekahan massal dilaksanakan di makam leluhur, (4) sesaji dan doa dilakukan di makam atau petilasan cikal bakal desa. Waktu
dan
tempat
penyelenggaraan
bersih
desa
tetap
menjadi
pertimbangan tersendiri. Aspek kesakralan baik hari maupun tempat menjadi pertimbangan penting, karena hari dan tempat akan menentukan keberhasilan selamatan. Apalagi, dalam konteks bersih desa itu masyarakat hendak memanjatkan doa dalam suasana keheningan, sehingga hari dan waktu selalu diarahkan untuk menemukan kesucian. Hal ini senada dengan pemikiran Eliade (Baal, 1988) bahwa religi seseorang (primitif) selalu menuju ke arah hierophanie, dari kata hieros (sud) dan phanein (menunjukan). Jadi hierophanie merupakan sasaran penting penghayat kepercayaan dalam menjalankan bersih desa agar mendapatkan kesucian. Kesucian berarti keabadian yang merupakan tandatanda akan datangnya keselamatan hidup. Tradisi ini memiliki bobot spiritual yang Iuar biasa. Paling tidak, melalui ritual tersebut bersih desa menjadi sebuah wahana antara lain (1) menyatakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas ketentraman penduduk dan desa,
49
hasil panennya yang memuaskan, (2) memberi penghormatan kepada para Ieluhur dan cikal bakal desa yang telah berjasa merintis pembukaan desa setempat, (3) mengharapkan pengayoman (nyuwun wilujeng) dari Tuhan Yang Maha Esa dan Rasulullah, agar panen mendatang Iebih meningkat dan hidup masyarakat desa lebih sejahtera. Tradisi bersih desa telah mendarah daging, dalam masyarakat Jawa pedesaan, karena hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah, namun esensinya tetap pada pendekatan diri pada Tuhan. Atas dasar ini, bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing wilayah di Jawa memiliki keunikan sendirisendiri dalam melaksanakan bersih desa. Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini, yaitu selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos. Bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan telah berusia lama, memiliki kesejarahan mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat mitos-mitos yang diyakini akan membawa berkah apabiIa dihormati melalui bersih desa. Sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabiIa masyarakat meninggalkannya. Fenomena ritual tersebut dalam seni pertunjukan spiritual juga selalu digunakan. Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukan wayang kulit. ltulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika diIakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Kondisi ini meneguhkan kembali pendapat Tylor (Coleman, 1998) bahwa inti dari religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan bahwa nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material dalam bersih desa. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi penggerak batin warga masyarakat untuk selalu mengadakan aktivitas bersih desa. Bersih Desa: Penghayat Kepercayaan dan Budi Luhur Hakikat dari aktivitas bersih desa merupakan penghayat kepercayaan (kebatinan) tidak lain merupakan langkah panembah dan budi luhur. Penekanan kebatinan,
di
kesempurnaan
samping hidup.
panembah Melalui
ritual
adalah bersih
tercapainya desa,
budi
luhur
diharapkan
dan
tercapai
50
kesempumaan hidup dan budi luhur. Oleh karena selamatan bersih desa dilaksanakan dengan cara yang khas, khidmat dan sakral. Penuh dengan lakuIaku mistik, baik yang diwujudkan dalam bentuk sesaji, pertunjukan dan tradisi mistik. Inti dari aktivitas bersih desa adalah pemujaan. Doa-doa terkandung dalam pemujaan, baik yang diwujudkan dalam bentuk mantra maupun seni pertunjukan. Biasanya para penghayat kepercayaan menjadikan bersih desa sebagai tradisi sakral. Tradisi ini mempunyai sasaran pada caos pisungsung, artinya pemberian pengorbanan kepada leluhur. Hubungan antara penghayat kepercayaan dengan leluhur tampak dekat, yakni melalui batin. Kontak batin, akan terjadi pada saat bersih desa dilaksanakan tahap demi tahap. Tradisi demikian dilandasi oleh aktivitas moral yang tinggi yang disebut budi luhur. Budi luhur merupakan perisai hidup penghayat kepercayaan yang dilakukan dengan cara-cara beradab, ketika berhubungan dengan roh leluhur. Apalagi, mereka menganggap bahwa roh di wilayah tersebut ada yang menjadi nenek moyang. Pekerti penghayat pada saat bersih desa, tergolong etika moral Jawa yang Iuhur.
Mereka
menjalankan
aktivitas
mulai
membuat
sesaji,
bertapa,
membersihkan diri, membersihkan kuburan, membuat tarub, doa, seni pertunjukan dan sebagainya didasarkan atas pekerti budi luhur. Konteks ini sejalan dengan pendapat Geertz (1973) bahwa religi merupakan pancaran kesungguhan moral. Bersih desa merupakan bagian khusus religi Jawa. Di dalamnya menuntut kewajiban instrinsik yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini, tidak lain sebagai perwujudan hidup yang berbudaya. Segala pekerti penghayat kepercayaan menjadi sinar batin yang luhur. Pekerti para penghayat kepercayaan demikian, sejalan dengan makna kata bersih desa yang senada dengan mreti desa. Bersih desa, berarti membersihkan desa baik lahir maupun batin. Sedangkan kata merti desa, berasal dari kata merti aslinya dari kata mreti dan bisa juga berasal dari kata dasar preti. Kata preti bisa jadi aslinya dari bahasa Jawa Kuna pitre (metatesis). Pitrekarya dalam karya sastra Jawa Kuno ada kata artinya memiliki hajat memberi pada arwah para leluhur. Penghayat kepercayaan jelas memiliki tradisi menghormati arwah leluhur, dengan jalan ritual, seni spiritual maupun semedi. Seluruh pekerti ini dilaksanakan dengan keyakinan ada kontak batin antara dunia roh dan dunia manusia.
51
Menurut Darusuprapta (1998) mreti desa kemungkinan besar masih berkaitan dengan tata cara memberikan makanan (pengorbanan) kepada roh leluhur sebagai cikal bakal yang menjaga desa majupat maju lima pancer. Arwah tersebut, memang pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu. Roh leluhur itu dianggap yang menjadi penjaga (backing) sajawining wangon dan salebeting wangon, artinya di luar pekarangan dan di dalam pekarangan. Hal ini berarti bahwa penghayat kepercayaan mencoba mengaitkan antara dunia (alam seisinya) dengan kosmologi Jawa. Kaum penghayat kepercayaan dalam menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Komunikasi batin yang diandalkan pada diri mereka. ltulah sebabnya, dunia kebatinan menjadi fenomena yang amat penting juga dalam bersih desa. Berbagai ritual mistik selalu dilakukan secara individu maupun kolektif. Namun tingkatan masingmasing pada saat melakukannya amat berbeda satu sama lain. Melalui tradisi mistik ini, penghayat kepercayaan melakukan kontak untuk maneges, agar mendapatkan keselamatan hidup baik secara pribadi rnaupun kolektif desanya. Tolstoy dalam James (2003) dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas memang tidak salah jika berpendapat bahwa mistik bersifat tak tertandingi, di dalamnya menancap iman. Keimanan menyebabkan seseorang hidup. Laku mistik penuh dengan moral luhur. Tatacara yang dibangun dalam setiap semedi, tidak boleh dengan sembarangan. Tindakan nyata dibangun atas dasar budi luhur. Karenanya, laku mistik pada saat bersih desa, mulai dari penyiapan sesaji, pelaksanaan, sampai usai ritual selalu mengedepankan budi luhur. Setiap penghayat dalam konsep ini kepercayaan akan menerapkan budi luhur melalui doa-doa (donga) Kejawen, pembersihan diri, tapa, semedi dan sebagainya. Seluruh aktivitas dikemas secara mistik sehingga kemanunggalan batin dengan Tuhan selalu menjadi acuan utama. Penghayat kepercayaan dalam proses mistik bersih desa setidaknya akan mengikuti irama liminalitas dan komunitas yang ditawarkan Turner (2005). Liminalitas adalah kondisi threshold people, orang dalam suasana ambang. Hal ini juga terjadi pada saat penghayat menjalani aktivitas ritual, mereka berada pada tahap preparasi (persiapan) menuju "pintu" yang tidak jelas posisinya (betwixt dan between). Pada saat liminalitas terjadi, berarti komunitas ada. Pada waktu proses bersih desa terjadi, baik dalam semedi, pertunjukan wayang, sesaji
52
dan sebagainya terbentuk komunitas. Namun, komunitas tersebut dalam keadaan ambigu. Komunitas itu baru akan rnenjadi jelas, ketika selesai ritual. Penghayat kepercayaan semula merasa was-was jika tidak menjalankan bersih desa, berharap agar mendapat keselamatan. Baru pada saat prosesi berlangsung, suasana penghayatan berada di tengah-tengah, tidak pasti. Mereka semakin jelas eksistensinya setelah prosesi selesai, mendapatkan ketenteraman batin. Jadi tahap-tahap bersih desa yang cukup kompleks tadi, sebenarnya dapat diringkas menjadi tiga, yaitu preparasi, liminal dan reagregasi. Bersih desa merupakan "kawah candradimuka" bagi penghayat kepercayaan untuk menempa diri (batin), baik secara individu maupun kolektif. Menurut Turner (Simatupang, 2005) di tengah "kawah Candradimuka" ada posisi ambang (limen) yang memuat tindakan reflexive (mawas diri). Dengan suasana yang serba tidak jelas ini, komunitas penghayat kepercayaan mengoreksi diri, merenung, agar mencapai pencerahan batin. Mereka akan masuk ke wilayah enlightenment yang luar biasa. Fungsi Sosial Budaya Bersih Desa Bersih desa tetap lestari dan berkembang di tengah masyarakat karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial-budaya. Keterkaitan itu terletak pada peranan wayang kulit, warga penghayat kepercayaan, pemerintah (Kadus), dalang dan sebagainya yang menjadi bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat, yaitu sebagai media tradisi bersih desa. Seluruh komponen tersebut secara struktural fungsional saling bersimbiosis, saling diuntungkan sehingga satu sarna lain sulit terpisahkan. Hal demikian meneguhkan pendapat Radcliffe-Brown (1979) bahwa ritual dan adat istiadat dapat berlangsung terus karena memiliki fungsi sosial. Ritual merupakan pernyataan simbolik yang teratur. Tradisi ini memiliki fungsi sosial yang tetap, apabila dan sejauh mana ritual itu memiliki kesan dalam mengatur, mengekalkan dan menurunkan masyarakat dari generasi satu ke generasi yang lain. Pendapat demikian, memberikan isyarat bahwa bersih desa sebagai bagian budaya spiritual merupakan refleksi simbolik keinginan masyarakat. Simbol keinginan itu memiliki fungsi tertentu bagi kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu maka ritual bersih desa berjalan terus-menerus, didukung oleh seluruh komponen. Dukungan penghayat kepercayaan dan kolektif lain terjadi karena masing-masing dapat mengambil manfaat yang satu sama lain boleh berbeda. Bertumpu pada pendapat Mathew Arnold dalam Story (2003) budaya adalah studi kesempurnaan, tidak harus dalam wujud inward (batin) maupun outward.
53
Budaya merupakan untuk mengetahui yang terbaik dan bermanfaat bagi manusia. Jadi kalau bersih desa tadi sebuah aset budaya spiritual, memiliki makna dan nilai terbaik bagi penghayat kepercayaan, akan berjalan terus. Tradisi bersih desa ini, di samping memiliki makna religi bagi kesejahteraan masyarakat, sebenarnya secara sosial merupakan forum interaktif antar warga masyarakat
yang
pada
gilirannya
akan
membangun
solidaritas
sosial.
Komunikasi sosial budaya ini sudah barang tentu mempunyai dampak positif bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam menghadapi masalah dunia pertanian. Bahkan, jika bertumpu pada teori Turner (2005) sebenarnya pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audien. Audien merupakan hal penting dalam sebuah pertunjukan. ltulah sebabnya, bersih desa di samping membangun solidaritas dengan warga penghayat kepercayaan, juga mempererat persaudaraan antar warga desa tetangga. Oleh karena tidak sedikit warga desa lain yang berbondong-bondong, menonton, berjualan dan (maaf) ada yang hadir untuk "berjudi Kluthuk" di dekat arena pentas. Lebih lanjut Turner (2005), juga menyetujui adanya perubahan baik tempat maupun waktu dalam penyelenggaraan ritual. Tempat dilaksanakannya bersih desa telah dipastikan terpusat pada rumah Kepala dusun. Adapun waktu, terutama bulan Sapar jarang bergeser kecuali hari yang biasanya mengambil Malam Rabu. Pemilihan waktu ini didasarkan pada perhitungan Jawa, oleh sesepuh yang sekarang telah tiada. Pemilihan waktu dan tempat selalu dikaitkan dengan pertimbangan budaya dan sosial. Dari sisi budaya, diharapkan menguntungkan sebagai fungsi keselamatan hidup. Dari sisi sosial, masyarakat juga akan mudah hadir pada waktu dan tempat yang telah tertentu. Keterkaitan makna yang dimaksud, bahwa pertunjukan wayang kulit sebagai media tradisi bersih desa memiliki makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat memberi berkah atau tuah. Makna dan simbol pada dasarnya merupakan dua unsur yang berbeda namun berkaitan erat saling melengkapi, sehingga dalam masyarakat muncul istilah makna simbolis. Dengan demikian, simbol Iebih merupakan bentuk lahiriah yang mengandung maksud, sedang makna adalah isinya. Dari pengertian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa antara simbol dan makna merupakan dua unsur yang berlawanan sekaligus melengkapi. Jika demikian makna dan fungsi wayang kulit, sesaji, tempat, waktu, penonton dan rangkaian lain merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan. Menurut Matisse dalam Geertz (1973) tentang seni sebagai sistem
54
budaya tidak dapat semata-mata dipahami sebagai "fine art," seni murni, melainkan perlu dikaitkan dengan yang memiliki dan melingkupi seni itu. Sistem tradisi religius ini melaksanakan, melambangkan dan menyimpulkan konsep-konsep wujud kelakuan (behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem tradisi ini terdiri dari aneka macam tradisi yang bersifat musiman. Masingmasing tradisi terdiri dari kombinasi dari berbagai unsur tradisi seperti berdoa, bersujud, sesaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa dan bersemadi (Koentjaraningrat,1985). Kedudukan
simbol
atau
tindakan
simbolis
dalam
religi
adalah
relasi
(penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religius lahirbatin. Pemahaman simbolis dalam religi pada dasarnya terletak pada sikap manusia ketika sedang menjalankan agama, manusia bersikap pasrah kepada Tuhan, kepada dewa, kepada roh nenek moyang. Manusia menyerahkan diri sarna sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya. Keterkaitan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa itu diungkapkan melalui simbol-simbol seni wayang kulit sakral yang diyakini oleh kelompok masyarakat dengan harapan permohonannya dapat diterima. Konteks ini menunjukkan, bahwa bersih desa merupakan bentuk religi Jawa yang telah menjadi tradisi besar di kalangan penghayat kepercayaan. Dalam kaitan ini, Geertz (2001) memiliki rumusan tersendiri tentang religi. Menurut dia, religi memiliki empat pengertian, yaitu: (1) sebagai sistem simbol yang berperan, (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasi dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara, (3) merumuskan konsepsi tahanan ·kehidupan yang umum, (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan aura faktualitas semacam itu sehingga, (5) suasana hati dan motivasi tampak realistik. Empat rumusan ini cukup mengalir dan berturutan dalam memahami religi. Berpijak dari sini, berarti bersih desa pun memang religi yang bersifat simbolis, dibungkus dengan aroma seni sehingga masyarakat secara kolektif termotivasi untuk menjalankannya. Sebagai bentuk simbolis, maka kehadiran wayang kulit dalam tradisi bersih desa ini mengandung suatu maksud dibalik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan kepada Tuhan maupun roh-roh nenek moyang. Wayang kulit sebagai
simbol
kehidupan
mengandung
nilai-nilai
yang
berharga
bagi
masyarakat Jawa. Dalam hal ini, sikap dan tindakan pada dasarnya mencerminkan perilaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia Jawa yang
55
dimaksud merupakan cara ataupun sarana untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis sehingga tercipta kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam hal ini wayang kulit secara simbolis memberi kontribusi pada pembentukan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan lingkungan. Pertunjukan wayang kulit merupakan suatu pesan moral berupa tindakantindakan simbolis yang terpadu dalam sistem pathet, perwatakan tokoh, gending iringan dan cerita yang dibawakan. Tindakan simbolis pertama terlihat dalam pertunjukan wayang kulit oleh orang yang punya hajat. Tindakan simbolis yang kedua ialah pelaksanaan pertunjukan wayang kulit lakon Sri Mulih, termasuk kedudukan dalang. Tindakan dalang sebagai orang yang menguasai jalannya pertunjukan. Ia memberi aba-aba pertama dan menghentikan gending, mengatur dinamika pertunjukan. Makna simbolis pertunjukan wayang kulit lakon Sri Mulih dalam sistem tradisi bersih desa secara antropologis mengandung empat aspek ialah orang yang melakukan dan memimpin tradisi, tempat tradisi, waktu tradisi, bendabenda dan alat-alat tradisi. Dalam tradisi bersih desa, kehadiran dalang mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu sebagai perantara hubungan antara manusia dan kekuatan gaib atau dunia supranatural dan penghubung perilaku ritual (Groenendael, 1997). Dalang menguasai jalan cerita yang telah ditetapkan dalam lakon wayang, oleh karenanya interpretasi dalang dalam menangkap setiap peristiwa dan tokohnya harus benar-benar dipahami agar tujuan dari pertunjukan itu tercapai. Hal yang penting untuk diamati ialah laku ritual seorang dalang sebelum melaksanakan tugas mendalang dalam tradisi ritual, ia selalu menjaga kebersihan batinnya dari sifat-sifat kurang baik melalui puasa atau semadi. Keberadaan dalang dalam tradisi bersih desa ini merupakan lambang "hidup" roh atau "jiwa manusia," yaitu hidup yang menghidupi.
56
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling yaitu penetapan lokasi secara sengaja dengan suatu pertimbangan tertentu. Penelitian ini menggunakan metode korelasional (correlational research). Penelitian di laksanakan selama 1 bulan, mulai bulan Maret hingga April 2008. Adapun pertimbangan-pertimbangan mengapa Desa Bedoyo dijadikan lokasi penelitian sebagai berikut: 1. Adanya pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo yang dilakukan secara rutin (minimal sebulan sekali). 2. Tingginya ketertarikan masyarakat Desa Bedoyo terhadap pertunjukan wayang purwa yang diselenggarakan. Desain Penelitian Penelitian didesain sebagai suatu penelitian survai yang bersifat deskriptif korelasional, karena selain mendiskripsikan kondisi yang ada, juga berupaya menjelaskan hubungan di antara peubah yang diamati. Penelitian survai menurut Singarimbun dan Effendi (2006) adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) macam peubah, yaitu peubah bebas dan peubah terikat. Peubah bebas (independent variable) adalah peubah yang mempengaruhi, ditulis dengan simbol X. Selanjutnya peubah terikat (dependent variable) atau peubah yang dipengaruhi, ditulis dengan simbol Y. Sebagai peubah bebas atau peubah yang mempengaruhi (X) adalah peubah karakteristik individu dan peubah pertunjukan wayang purwa. Sebagai peubah terikat atau peubah yang dipengaruhi (Y) adalah peubah efektivitas komunikasi. Populasi dan Contoh Berdasarkan data demografi Desa Bedoyo tahun 2007 dan informasi dari informan kunci yang akrab dengan sistem masyarakat setempat, diketahui jumlah masyarakat produktif sebanyak 790 orang. Dengan demikian populasi penelitian ini sebanyak 790 orang masyarakat Desa Bedoyo (Tabel 1).
57
Tabel 1. Populasi masyarakat Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY Jumlah (orang) 98 64 162 80 127 129 130 790
Dusun Ngalasombo Ngrombo Bedoyo Kulon Bedoyo Lor Bedoyo Wetan Bedoyo Kidul Surubendo Jumlah
Sumber: Desa Bedoyo, 2007 Pengambilan contoh yang dilakukan secara proporsional dengan menetapkan sebanyak 10% dari populasi yang ada di tujuh dusun Desa Bedoyo. Penentuan contoh dari setiap lapisan masyarakat dilakukan secara acak. Contoh acak adalah metode pengambilan suatu bagian (contoh) dari suatu populasi atau semesta sedemikian rupa, sehingga semua sampel yang terambil dari n yang besarnya tetap, memiliki peluang sama untuk terpilih (Feller dalam Kerlinger, 1996). Teknik pengambilan contoh tersebut diharapkan dapat menghasilkan contoh representatif. Untuk dapat menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil contoh secara acak. Dalam contoh berlapis, peluang untuk terpilih antara satu strata dengan yang lain mungkin sama, mungkin pula berbeda. Penelitian ini mengambil contoh sebanyak 79 responden, hasil ini diperoleh dari 10% dari jumlah populasi yang ada di Desa Bedoyo (Tabel 2). Penetapan
contoh
10%
berdasarkan
pendapat
Arikunto
(1998)
yang
menyatakan bila subyek kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya agar menjadi penelitian populasi. Selanjutnya, jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih, tergantung setidak-tidaknya, dari (a) kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana; (b) sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data; (c) besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti.
58
Tabel 2. Jumlah contoh penelitian masyarakat Desa Bedoyo, Gunung Kidul DIY Jumlah (orang) 10 6 16 8 13 13 13 79
Dusun Ngalasombo Ngrombo Bedoyo Kulon Bedoyo Lor Bedoyo Wetan Bedoyo Kidul Surubendo Jumlah
Data dan Instrumentasi Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1.
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari penelitian lapangan. Dalam hal ini data diperoleh melalui kuesioner yang sudah diisi dengan benar oleh responden (dengan pengecekan kebenaran dan terisi lengkap). Kuesioner tersebut untuk mengetahui karakteristik individu masyarakat, karakteristik pertunjukan wayang purwa dan efektivitas komunikasi di era globalisasi. Selain data yang diperoleh melalui kuesioner atau melalui daftar pertanyaan, data dapat pula diperoleh dari hasil wawancara, sebagai kroscek kebenaran pengisian melalui kuesioner.
2.
Data sekunder adalah data yang mendukung penelitian ini yang tidak diperoleh secara langsung melalui kuesioner. Data ini diperoleh melalui penelusuran literatur, internet, bahan pustaka, surat kabar. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian
adalah pedoman pertanyaan terstruktur (kuesioner), daftar pertanyaan disusun dalam bentuk jawaban tertutup semi terbuka. Secara umum kuesioner dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, bagian pertama mengenai karakteristik individu, bagian kedua, karakteristik
pertunjukan
wayang
purwa
dan
bagian
ketiga
efektivitas
komunikasi masyarakat mengenai bersih desa. Definisi Operasional Adapun definisi operasional peubah dalam penelitian ini adalah: X
Karakteristik
individu
merupakan
ciri-ciri
khusus,
dalam
hal
ini
kekhususannya disesuaikan dengan perwatakan personal berdasarkan tempat penelitian, yang meliputi:
59
X1
Umur merupakan jumlah tahun yang dialami responden dari saat kelahiran hingga penelitian atau interview dilaksanakan. Pengukuran dengan skala rasio berdasarkan pembulatan ke ulang tahun terdekat yang dinyatakan dalam satuan tahun. Umur dikategorikan menjadi tiga yaitu 21-32 tahun, 33-43 tahun dan 44-55 tahun.
X2
Jenis kelamin. Data dalam bentuk skala nominal dan dikategorikan dalam dua kategori yaitu laki-laki dan perempuan.
X3
Tingkat pendidikan merupakan jumlah tahun responden mengikuti proses belajar di lembaga pendidikan formal (SD,Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi) yang diukur dalam skala rasio.
X4
Pekerjaan adalah jenis pekerjaan responden yang diukur dengan skala nominal dan dikategorikan yaitu: non formal (petani, pedagang dan pertukangan), PNS dan karyawan swasta.
X5
Tingkat pendapatan adalah banyaknya rupiah yang diperoleh rata-rata tiap bulan diukur dengan skala rasio dengan tiga kategori yaitu: kurang dari Rp.600.000,00, Rp.600.000,00 sampai dengan Rp.1.500.000,00 dan lebih dari Rp.1.500.000,00.
X6 Perilaku komunikasi adalah rata-rata waktu dalam hari yang digunakan responden untuk menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar dalam upaya memperoleh informasi diukur dengan skala rasio. X6 Karateristik pertunjukan wayang purwa
adalah penampilan kesenian
tradisional wayang kulit. Dimana seorang dalang memegang peranan dalam memainkan pertunjukan ini. Dibagi atas lima kategori skor, yakni skor 1 untuk sangat tidak sesuai, skor 2 untuk tidak sesuai, skor 3 untuk cukup sesuai, skor 4 untuk sesuai, dan skor 5 untuk sangat sesuai. Pengukuran untuk peubah ini berdasarkan skala ordinal, karena data yang digunakan dalam bentuk ranking atau peringkat. Pertunjukan wayang purwa meliputi: X6.1 Wayang sebagai hubungan antar dalang dan penonton, adanya keterlibatan penonton dalam pertunjukan wayang purwa sehingga tercipta dialog antara dalang dengan penonton X6.2 Tokoh pelakunya, cerita-cerita yang digunakan disesuaikan dengan lakon-lakon wayang yang dimainkan sehingga dalam hal ini nantinya lakon wayang dapat dijadikan sumber informasi bagi khalayaknya, memiliki
struktur
dramatiknya,
kesesuaian
lakon
dengan
tokoh
60
pelakunya, lakon dengan tema pokok serta masalah pokoknya, lakon dengan bobot kesusastraan yang menyangkut masalah bahasa. X6.3. Tema serta masalah pokok, kesesuaian antara tema wayang dengan masalah bersih desa yang diangkat dalam pertunjukan wayang purwa dengan bersih desa. Y Efektivitas komunikasi, proses penyampaian suatu pesan kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan, melalui media wayang purwa. Pengukuran untuk peubah ini berdasarkan skala ordinal, karena data yang digunakan dalam bentuk ranking atau peringkat. Indikator dari efektivitas komunikasi meliputi: a. Pengetahuan yaitu tingkat pemahaman responden terhadap pertunjukan wayang purwa yang diselenggarakan, dibagi atas lima kategori skor, yakni skor 1 untuk sangat tidak mengetahui, skor 2 untuk tidak mengetahui, skor 3 untuk cukup mengetahui, skor 4 untuk mengetahui, dan skor 5 untuk sangat mengetahui. b. Sikap yaitu pendapat responden terhadap makna bersih desa yang disampaikan oleh dalang. Sikap diukur dengan penilaian pendapat dibagi dalam lima kategori skor, yakni skor 1 untuk sangat tidak setuju, skor 2 untuk tidak setuju, skor 3 untuk kurang setuju, skor 4 untuk setuju, dan skor 5 untuk sangat setuju. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Ada dua syarat penting yang berlaku pada sebuah angket, yaitu keharusan sebuah angket untuk valid (sah) dan reliabel (andal). Suatu angket dikatakan valid (sah) jika pernyataan suatu angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh angket tersebut. Sedangkan suatu angket dikatakan reliabel (andal) jika jawaban terhadap pernyataan tersebut adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 10 orang responden yang berasal dari Desa Ponjong, Gunung Kidul, DIY.
Daerah ini dipilih karena
memiliki karakteristik relatif sama dengan Desa Bedoyo. Pengujian validitas dan reliabilitas adalah proses menguji butir-butir pertanyaan yang ada dalam kuesioner, apakah isi dari butir pertanyaan tersebut sudah valid dan reliabel. Jika butir-butir tersebut sudah valid dan reliabel, berarti butir-butir tersebut sudah bisa untuk mengukur faktornya. Langkah selanjutnya
61
adalah menguji apakah faktor-faktor sudah valid untuk mengukur konstruk yang ada, dengan menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik korelasi Product Moment Pearson, yang rumusnya seperti berikut:
rhitung =
[n
n(
XY ) (
X2 (
X
][
X )2 n
Y) Y2 (
Y )2
]
Keterangan: rhitung = product moment X = jumlah skor item X = jumlah skor total (seluruh item) n = jumlah responden Dengan mengetahui rhitung di atas maka dapat mengambil keputusan dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel, maka butir atau peubah tersebut valid.
b.
Jika r hasil tidak positif, dan r
hasil
tabel,
maka butir atau peubah tersebut
tidak valid c.
Begitu juga bila r
hasil
>r
tabel
tapi bertanda negatif maka butir atau peubah
tersebut tetap tidak valid Analisis angket dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu, diikuti uji reliabilitas. Jika sebuah butir pertanyaan tidak valid, maka otomatis ia dibuang. Butir-butir yang sudah valid kemudian baru secara bersama diukur reliabilitasnya. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan cara, one shot atau diukur sekali saja. Di sini pengukuran hanya sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil pertanyaan lain. Menurut Ancok dalam Singarimbun dan Effendi (2006), dalam uji coba instrumen
tersebut
untuk
pengukuran
reliabilitas
dilakukan
dengan
menggunakan metode split-half (belah dua). Untuk perhitungan reliabilitas digunakan dengan rumusan sebagai berikut:
r .tot =
2( r .tt ) 1 + r.tt
dimana : r.tot = angka reliabilitas keseluruhan item r.tt = angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua
62
Dalam pengujian butir-butir tersebut (lihat Lampiran. 1) didapatkan secara keseluruhan butir-butir pernyataan dalam kuesioner valid. Secara statistik, angka korelasi yang diperoleh dari hasil uji lapangan harus dibandingkan dengan angka kritik nilai r dengan melihat (N-2). Untuk taraf signifikansi 5% angka kritik yang diperoleh untuk jumlah responden 10 orang adalah 0,632. Apabila hasil uji validitas yang telah lebih besar dibandingkan dengan angka kritik nilai r maka dapat disimpulkan korelasi antar pernyataan valid. Nilai tertinggi dan terendah yang diperoleh dari hasil uji validitas diperoleh pada peubah pertunjukan wayang purwa. Nilai tertinggi (0,934) terdapat dalam indikator tema serta masalah pokok dengan pernyataan tema bersih desa sesuai dengan kebiasaan dan nilai validitas terendah (0,656) terdapat dalam
indikator tokoh pelaku dengan
pernyataan lakon sesuai dengan pernyataan. Hal ini berarti bahwa pernyataanpernyataan tersebut memiliki validitas konstrak. Dalam bahasa statistik terdapat konsistensi internal (internal consistensy) dalam pernyataan-pernyataan tersebut. Yang dimaksud dengan konsistensi internal adalah pernyataan-pernyataan tersebut mengukur aspek yang sama. Pengujian reliabilitas kuesioner dengan metode split half diperoleh nilai reliabilitas untuk karakteristik pertunjukan wayang purwa 0,688 dan untuk tingkat efektivitas komunikasi 0,956 hal ini menunjuk pada suatu pengertian bahwa kuesioner dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena intrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Instrumen yang sudah dapat dipercaya yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut. 1. Observasi, yaitu peneliti datang secara langsung ke tempat penelitian untuk melihat langsung objek yang diteliti agar lebih jelas. 2. Wawancara, yaitu mencari sumber data dengan melakukan tanya jawab kepada responden yang terlibat dalam objek penelitian sesuai dengan pertanyaan di kuesioner yang telah disiapkan. Wawancara juga dilakukan untuk mengadakan kroscek dari temuan lapangan, di samping dipadukan juga dengan konsep/teori yang mendukung. Sehingga diharapkan jawaban
63
dari kuesioner tidak bias dan semua kuesioner yang dibagikan layak untuk di tabulasi. Analisis Data Data penelitian dikumpulkan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk persentil, frekuensi, rataan skor, total rataan skor, persentase dan tabel distribusi. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15 for windows, yaitu statistik deskriptif kerelasional. Untuk mengetahui hubungan antar peubah untuk data ordinal menggunakan rank Tau Kendall dan dengan rumus sebagai berikut:
=
S 1 N(N 2
1)
Keterangan: = koefisien korelasi rank Tau Kendall N = jumlah data S = jumlah selisih antara peringkat bagi xi dan yi Alasan-alasan penggunaan korelasi rank Tau Kendall adalah : 1. Tidak ada anggapan bahwa skor yang dianalisis ditarik dari populasi dengan distribusi tertentu. 2. Skor tidak eksak dalam pengertian semata-mata data berupa jenjang. 3. Efisiensi cukup tinggi (Siegel, 1994). Analisa untuk data nominal menggunakan khi-Kuadrat (chi square). Metode khi-kuadrat digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi (fo) dengan frekuensi yang diharapkan (fh) dari contoh apakah terdapat hubungan atau perbedaan yang signifikan atau tidak (Arikunto, 1998), dengan rumus sebagai berikut:
2
=
fn )2
( f0 fn
Keterangan: 2 = koefisien korelasi khi-Kuadrat fo = frekuensi yang diperoleh berdasarkan data fh = frekuensi yang diharapkan
64
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa yang bernama Bedoyo diambil dari nama seorang putri yang bernama Bedoyo. Pada masa kerajaan Desa Bedoyo diberi nama Desa Nangka Doyong karena terdapat pohon Nangka yang doyong (miring) dengan Demang Raden Arja Sura. Pada suatu ketika Keraton Mataram terjadi huru hara, salah satu putri dari mataram disembunyikan di Daerah Ponjong, sehingga nama Desa tersebut di ganti dengan nama Desa Bedoyo dan putri tersebut menikah dengan Demang Arja Sura dan menjadi istri ke-2 dari demang yang disebut dengan selir garwa selir. Desa Bedoyo merupakan salah satu daerah yang berada di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Bedoyo, terdiri dari sembilan dusun yang terdiri dari Ngalasombo, Ngrombo, Bedoyo Kulon, Bedoyo Lor, Bedoyo Wetan, Bedoyo Kidul, Serut, Pringluwang dan Surubendo. Iklim di Desa Bedoyo yang berada di daerah bukit kapur jumlah curah hujan yang turun rata-rata tujuh bulan dalam setahun dengan suhu rata-rata harian 28°C, ketinggian tempat 350 meter di atas permukaan laut (dpl) dan bentang wilayah berupa dataran dan lereng gunung. Jarak Desa Bedoyo ke ibu kota kecamatan terdekat yaitu 8 km dengan lama tempuh ke ibu kota kecamatan terdekat 0,25 jam sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten terdekat 18 km dengan lama tempuh ke ibu kota kabupaten terdekat 0,5 jam. Desa berada di daerah bukit kapur Gunung Kidul dimana sebagian besar kondisi tanahnya merupakan tanah kering dengan pembagian lahan terdiri dari tegalan/ladang sebesar 758.750 ha dan pemukiman 83.280 ha sedangkan untuk tanah fasilitas umum terdiri dari kas desa 47.365 ha, lapangan 12.000 ha, perkantoran pemerintah 3.600 ha dan lainnya 95.323 ha. Secara total luas lahan sebagai potensi umum Desa Bedoyo sebesar 1.000.318 ha. Distribusi penggunaan tanah secara rinci dapat di lihat pada Tabel 3 berikut. Potensi lembaga pendidikan di Desa Bedoyo terdapat 4 fasilitas lembaga pendidikan yang terdiri dari TK (Taman Kanak-kanak) 3 unit, SD (Sekolah Dasar) 3 unit, SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) 2 unit dan lembaga pendidikan keagamaan 10 unit.
65
Tabel 3. Distribusi luas tanah menurut penggunaannya di Desa Bedoyo Jenis Tanah Tanah Kering 1. tegalan/ladang 2. pemukiman Tanah Fasilitas umum 1. Kas desa 2. Lapangan 3. Perkantoran pemerintah 4. Lainnya Jumlah
Luas (ha)
Proporsi (%)
758.750 83.280
75,85 8,32
47.365 12.000 3.600 95.323 1.000.318
4,73 1,20 0,37 9,53 100,00
Sumber : Desa Bedoyo, 2007 Deskripsi Kegiatan Bersih Desa Pelaksanaan kegiatan bersih desa yang diselenggarakan di Desa Bedoyo, kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta hanya dilakukan di tujuh dusun yang berada di Desa Bedoyo, tujuh dusun tersebut adalah: (1) Ngalasombo, (2) Ngrombo, (3) Bedoyo Kulon, (4) Bedoyo Lor, (5) Bedoyo Wetan, (6) Bedoyo Kidul dan (7) Surubendo yang merata dilakukan di seluruh lingkungan dusun beserta penghuninya, di samping itu juga ada kegiatan yang dipusatkan pada tempat-tempat tertentu seperti (1) tradisi puncak dipusatkan di balai desa (2) pesta desa dipusatkan di lapangan dusun setempat (3) sedekah massal dilaksanakan di makam leluhur (4) sesaji dan doa dilakukan di makam atau petilasan cikal bakal desa. Waktu
dan
tempat
penyelenggaraan
bersih
desa
tetap
menjadi
pertimbangan tersendiri. Aspek kesakralan baik hari maupun tempat menjadi pertimbangan penting, karena hari dan tempat akan menentukan keberhasilan selamatan. Konteks bersih desa dalam masyarakat adalah memanjatkan doa dalam suasana keheningan sehingga hari dan waktu selalu diarahkan untuk menemukan kesucian. Inti dari aktivitas bersih desa adalah pemujaan. Doa-doa terkandung dalam pemujaan, baik yang diwujudkan dalam bentuk mantra maupun seni pertunjukan. Para penghayat kepercayaan menjadikan bersih desa sebagai tradisi sakral. Tradisi ini mempunyai sasaran pada caos pisungsung, artinya pemberian pengorbanan kepada leluhur. Hubungan antara penghayat kepercayaan dengan leluhur tampak dekat, yakni melalui batin. Kontak batin, akan terjadi pada saat bersih desa dilaksanakan tahap demi tahap. Tradisi demikian dilandasi oleh aktivitas moral yang tinggi di sebut budi luhur. Budi luhur merupakan perisai
66
hidup penghayat kepercayaan yang dilakukan dengan cara-cara beradab, ketika berhubungan dengan roh leluhur. Mereka menganggap bahwa roh di wilayah tersebut ada yang menjadi nenek moyang. Pekerti penghayat pada saat bersih desa, tergolong etika moral Jawa yang luhur.
Mereka
membersihkan
menjalankan diri,
aktivitas
membersihkan
mulai
kuburan,
membuat membuat
sesaji, tarub
bertapa
doa,
seni
pertunjukan dan sebagainya didasarkan atas pekerti budi luhur. Bersih desa merupakan bagian khusus religi Jawa. Di dalamnya menuntut kewajiban instrinsik yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini tidak lain sebagai perwujudan hidup yang berbudaya. Segala pekerti penghayat kepercayaan menjadi sinar batin yang luhur. Bersih
desa
berkaitan
dengan
tata
cara
memberikan
makanan
(pengorbanan) kepada roh leluhur sebagai cikal bakal yang menjaga desa majupat maju lima pancer. Arwah tersebut, memang pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu. Roh leluhur itu dianggap yang menjadi penjaga (backing) sajawining wangon dan salebeting wangon, artinya di luar pekarangan dan di dalam pekarangan. Hal ini berarti bahwa penghayat kepercayaan mencoba mengaitkan antara dunia (alam seisinya) dengan kosmologi Jawa. Kaum penghayat kepercayaan dalam menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Komunikasi batin yang diandalkan pada diri mereka. Itulah sebabnya, dunia kebatinan menjadi fenomena yang amat penting dalam bersih desa. Berbagai ritual mistik selalu dilakukan secara individu maupun kolektif. Namun tingkatan masing-masing pada saat melakukannya amat berbeda satu sama lain. Melalui tradisi mistik ini, penghayat kepercayaan melakukan kontak untuk maneges, agar mendapatkan keselamatan hidup baik secara pribadi maupun kolektif desanya. Penghayat kepercayaan semula was-was jika tidak menjalankan bersih desa, berharap agar mendapat keselamatan. Baru pada saat prosesi berlangsung, suasana penghayat berada di tengah-tengah, tidak pasti. Semakin jelas eksistensinya setelah prosesi selesai, mendapatkan ketentraman batin. Jadi tahap-tahap bersih desa yang cukup kompleks tadi, sebenarnya dapat diringkas menjadi tiga, yaitu preparasi, liminasi dan reagregasi. Bersih desa merupakan kawah candradimuka bagi penghayat kepercayaan untuk menempa diri (batin), baik secara individu maupun kolektif. Di tengah kawah candradimuka ada posisi ambang (limen) yang memuat tindakan reflesive (mawas diri). Dengan
67
suasana yang serba tidak jelas ini, komunitas penghayat kepercayaan mengoreksi diri, merenung, agar mencapai pencerahan batin. Mereka akan masuk ke wilayah enligenment yang luar biasa. Tahap pelaksanaan bersih desa diawali dengan laku-laku mistik oleh masyarakat desa, terutama yang menganut penghayat kepercayaan. Sedangkan warga yang lain, melakukan tahap-tahap secara umum, tanpa menjalankan ritual mistik. Bagi penghayat kepercayaan tiga hari sebelum pelaksanaan telah melakukan laku mistik berupa tapa mutih. Tapa mutih, berarti tidak makan nasi dan garam, hanya makan ketela atau yang lain seadanya. Dengan cara ini, diharapkan ikut membantu kesempurnaan pembersihan desa dari hal-hal yang mengganggu. Tapa tersebut oleh penghayat kepercayaan
disebut nglakoni.
Tentu saja, sebagian besar penghayat kepercayaan yang telah berusia dewasa yang melakukan laku tersebut. Tiap tahap yang dilakukan dalam bersih desa merupakan sebuah ide dan praktek ritual. Setiap ide dan praktek memiliki makna yang khusus tentang ritual. Setiap ide dan praktek memiliki makna yang khusus pula. Makna tersebut selalu berkaitan dengan proses sosial. Secara antropologis penting mencermati ritual melalui pendekatan proses sosial. Di dalamnya akan melukiskan konteks lokal dan kreativitas yang unik dan membutuhkan ketajaman analisis. Proses sosial itu juga mengandung makna simbolik yang luar biasa. Hari pelaksanaan bersih desa biasanya dipilih pada hari Selasa Pon-Malam Rebo Wage, tentu ada maksud sosial dan budaya yang tersembunyi. Penghayat kepercayaan terlebih dahulu mbatalke (mengakhiri tapa mutih) lalu membuat sesaji untuk para leluhur. Sesaji berupa hasil bumi dan tumpeng dengan tujuan agar hasil bumi yang diperoleh masyarakat lebih meningkat, kendi pratala (air kelapa muda), bersikan yang ditutup dengan taplak meja berisikan benuk pendaringan (gamelan) dan umburampe berupa tikar pandan yang berisi peralatan wanita berupa sisir, kaca untuk disembahkan kepada putri Bedoyo sebagai leluhur Desa Bedoyo. Juga disajikan dupa untuk membakar kemenyan dan api senthir. Kemenyan yang akan dibakar, diberi mantra oleh eyang masingmasing rumah atau minta tolong pada pinisepuh. Adapun urutan pelaksanaan tradisi bersih desa boleh dikatakan tidak berubah-ubah, yaitu sebagai berikut: Pertama,
dipersiapkan gelaran, penyediaan alat-alat sesaji panggung,
peruwatan Utahing Getih (peruwatan agar desa bersih), Ing sambe rolo (harta benda diruwat)
dan pembersihan alat-alat rumah tangga. Kedua, dilakukan
68
pembuatan sesaji yang dimasukkan dalam tenong, terbuat dari bambu. Sesaji berisi nasi dan lauk dalam ragam yang berbeda-beda, beserta dengan sesaji yang lain seperti kendi pratala (air kelapa muda), bersikan yang ditutup dengan taplak meja berisikan benuk pendaringan (gamelan) dan umburampe berupa tikar pandan yang berisi peralatan wanita berupa sisir, kaca. Prosesi bersih desa dimulai dari pohon keramat terbesar yang berada di Desa Bedoyo. Prosesi pertama dilakukan pembacaan doa oleh Prois (sesepuh) Desa Bedoyo untuk setiap sesaji yang akan dipersembahkan kepada leluhur. Permohonan doa berkisar mengenai kesuksesan dalam pertanian, memetik Kabejan (memperoleh keuntungan di tahun yang akan datang), dan Nyadroh (doa untuk orang-orang yang mendahului diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa). Dari pembacaan doa, tiap-tiap sesaji di bawa keliling memutar seluruh desa agar berkah doa yang dipanjatkan dirasakan oleh semua warga disertai dengan taritarian reyogan. Setelah sesaji diarak ke seluruh desa, seluruh sesaji terakhir di bawa ke pohon wungu, yang dipercaya sebagai makam putri Bedoyo, dengan menuangkan kendi pratala (air kelapa muda) ke bawah pohon tersebut. Pada malam harinya diselenggarakan pertunjukan wayang purwa semalam suntuk, dengan lakon yang dipertontonkan memuat wejangan ke arah penghormatan pada leluhur desa. Konsep wahyu biasanya menjadi andalan dalam pertunjukan wayang purwa dengan harapan agar bersih desa itu membawa berkah. Atas dasar ini seni pertunjukan wayang purwa merupakan sebagai salah satu media komunikasi antara warga dengan Tuhan dan roh leluhur. Tradisi tersebut, pada umumnya menjadi “hajatan besar”: desa setempat. Hajatan dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung bersama. Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga desa, tua-muda, pria-wanita, bersama pamong dan sesepuh desa, petinggi dan pemangku adat setempat bahkan sering terjadi warga tetangga desa ikut serta meramaikannya. Kegiatan bersih desa pada dasarnya untuk membuat desanya menjadi bersih, tertib, teratur dan terawat baik, sehingga dapat “ikut menjaga” ketahanan desa, agar menjadi lebih maju dan lestari. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan pada bersih desa antara lain meliputi 1. Kenduri/selamatan/wilujengan/sedekahan
dalam berbagai bentuk: arak-
arakan gunungan, arak-arakan tenongan, barisan ancak dan panjangilang yang kesemuanya berisi berbagai makanan olahan seperti nasi wuduk lauk ingkung, sega jawa ambengan, jenang baro-baro, tumpeng alus, tumpeng
69
mong-mong dan sebagainya. Tempat wilujengan di pelataran makam cikal bakal desa. 2. Pentas seni dan pagelaran hiburan, seperti reyogan dan pertunjukan wayang
purwa semalam suntuk. Tahap-tahap pertama, menunjukan bahwa prosesi bersih desa berkaitan dengan simbol, proses sosial dan komunikasi yang nantinya akan membentuk sebuah sistem budaya yang rapi. Secara garis besar proses bersih desa terdapat dua aspek, yaitu: (a) analisis sistem makna yang diejawantahkan lewat simbolisme, (b) menghubungkan sistem itu dengan proses sosio kultural dan psikologis yang memberikan pemahaman terhadap kajian simbol sesaji, pertunjukan, peralatan dalam bersih desa. Simbol ini dikaitkan dengan makna dan fungsi bersih desa dalam struktur sosial masyarakat. Tahap kedua dengan adanya kehadiran pentas seni tradisional seperti pertunjukan wayang purwa yang sering diselenggarakan dijadikan sebagai simbol kehidupan yang mengandung nilai-nilai yang berharga bagi masyarakat Desa Bedoyo. Dalam hal ini, pengetahuan dan sikap yang pada dasarnya mencerminkan perilaku yang bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia yang dimaksud merupakan cara ataupun sarana untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis, sehingga tercipta kesejahteraan dunia dan akhirat. Wayang purwa secara simbolis memberi kontribusi pada pembentukan pengetahuan dan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan kehidupan. Atas dasar pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa makna bersih desa secara keseluruhan tidak dapat terpisahkan dari sebuah struktur sosial. Bersih desa merupakan suatu kisah etnografi masyarakat setempat. Bersih desa merupakan salah satu peranan sosial dan norma yang ikut memberi makna suatu budaya. Hubungan antara posisi sosial akan membentuk aktualisasi hubungan dan pekerti yang unik dalam masyarakat. Dalam tradisi bersih desa merupakan sebagai suatu makna yang kesemuanya terangkum dalam simbol budaya. Dengan kata lain, bersih desa akan memuat makna yang melukiskan segala pekerti, sikap, norma masyarakat yang terangkum dalam sebuah struktur sosial padu.
70
Karakteristik Responden Masyarakat Desa Bedoyo Karakteristik masyarakat dalam penelitian ini meliputi, (a) umur, (b) jenis kelamin, (c) pendidikan, (d) pekerjaan, (e) pendapatan dan (f) perilaku komunikasi. Deskripsi mengenai karakteristik masyarakat secara lengkap berdasarkan hasil penelitian lapangan, sebagai berikut. Tabel 4. Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan karakteristik individu Karakteristik Individu Umur Jenis kelamin Pendidikan terakhir Pekerjaan Pendapatan
Klasifikasi Rendah (21-32 tahun) Sedang (33-43 tahun) Tinggi (44-55 tahun) Laki-laki Perempuan Rendah (SD) Sedang (Sekolah Lanjutan) Tinggi (Perguruan Tinggi) Non Formal PNS Pegawai Swasta Rendah (< Rp. 600.000,00) Sedang (Rp. 600.000,00 - Rp. 1.500.000,00) Tinggi (>Rp. 1.500.000,00)
Jumlah (orang) 32 17 30 44 35 13 35 31 32 29 18 34 16 29
Persentase (%) 40,50 21,50 38,00 55,70 44,30 16,50 44,30 39,20 40,50 36,70 22,80 43,00 20,30 36,70
11 7 61 30 11 38 41 2 36
13,90 8,90 77,20 38,00 13,90 48,10 51,90 2,50 45,60
Perilaku komunikasi Rendah Sedang Tinggi Rendah b. Radio Sedang Tinggi Rendah c. Surat kabar Sedang Tinggi Keterangan: n = 79 orang a. Televisi
Umur Penelitian ini mendeskripsikan umur berdasarkan tiga katerogi untuk mempermudah keseragaman data, kategori tersebut dispesifikan menjadi: rendah berkisar antara 21-32 tahun, sedang 33-43 tahun dan tinggi 44-55 tahun. Responden rata-rata berumur 38,47 tahun, sebagian besar responden (40,50 persen) berumur 21-32 tahun. Dengan keadaan umur seperti itu dapat dikatakan bahwa responden pada umumnya termasuk golongan produktif, untuk lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 4 distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan karakteristik individu.
71
Kisaran umur diambil secara beragam, agar terwakili setiap bagian di dalam masyarakat, dan untuk mengetahui perbedaan tingkat ketertarikan mereka terhadap pertunjukan wayang berdasarkan umur mereka masing-masing.
40
Frequency
30
20
10
0 21-32 tahun
33-43 tahun
44-55 tahun
umur
Gambar 2. Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan umur Secara penggambaran grafik batang dapat dilihat secara sekilas distribusi responden berdasarkan umur dimana umur yang paling banyak berada pada kisaran 21-32 tahun dan yang terendah berada pada umur 33-43 tahun. Dari grafik ini dapat dilihat ketertarikan umur muda terhadap pertunjukan wayang purwa lebih tinggi dibandingkan dengan umur 44-55 tahun. Kondisi ini menunjukan bahwa faktor umur tidak menjadi penghalang ketertarikan mereka terhadap pertunjukan wayang purwa. Usia 21-32 tahun dan usia 44-55 tahun memiliki keterlibatan yang sama dalam mengikuti pertunjukan wayang purwa. Perbedaan motivasi dalam menonton wayang purwa antar umur 44-55 tahun dengan umur 21-32 tahun memiliki perbedaan. Perbedaan terdapat pada daya tarik dari pertunjukan wayang purwa yang diselenggarakan. Tingginya ketertarikan umur 21-32 tahun terhadap pertunjukan wayang purwa biasanya dipengaruhi oleh keinginan untuk dapat berkumpul dan bertemu teman yang berada di lain desa dan adanya pasar malam yang menambah ramainya pertunjukan wayang purwa. Faktor pendorong ini berbeda dengan umur 44-55 tahun, mereka tertarik terhadap pertunjukan wayang purwa apabila dalang, tokoh
72
pelaku pewayangan serta tema yang dibawakan populer menurut mereka serta pertunjukan wayang purwa yang diselenggarakan sesuai dengan pakem pertunjukan wayang purwa yang seharusnya. Umur 44-55 tahun adanya kecenderungan untuk tidak menyukai pertunjukan wayang purwa yang diikuti dengan adanya pasar malam dan pertunjukan musik dangdut. Menurut mereka hal ini dapat merubah makna dan pakem
yang akan disampaikan melalui
pertunjukan wayang purwa yang berdampak terhadap nilai-nilai kehidupan yang akan disimpulkan oleh penonton. Umur 33-43 tahun memiliki ketertarikan rendah terhadap pertunjukan wayang purwa hal ini disebabkan hanya sedikit responden umur 33-43 tahun yang benar-benar memahami nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam pesan pertunjukan wayang purwa. Faktor ini berdampak terhadap rendahnya daya tarik mereka selain itu juga usia yang berkisar antara 33-43 tahun berada dalam kondisi sangat produktif sehingga mereka berada dalam kecenderungan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja. Jenis Kelamin Data lapangan (Tabel 4) menunjukkan bahwa 44 responden (55,7 persen) berjenis kelamin laki-laki dan 35 reponden (44,3 persen) berjenis kelamin perempuan. Sehingga ketika dilakukan pengambilan sampel penelitian didapati kenyataan bahwa sebagaian besar responden penelitian berjenis kelamin lakilaki. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin terlihat pada Gambar 3.
Laki-laki Perem puan
Gambar 3.
Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan jenis kelamin
Dari penggambaran distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat diketahui antara penonton laki-laki dan perempuan hampir sama peran serta mereka dalam pertunjukan wayang purwa. Laki-laki dan perempuan secara keseluruhan menyukai pertunjukan wayang purwa, hanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan pada peran serta dan daya tarik mereka terhadap tokoh pelaku, dalang dan tema yang ditampilkan dalam acara pertunjukan wayang
73
purwa. Biasanya para perempuan menonton pertunjukan hanya sampai batas gara-gara sekitar jam 24.00 namun hal ini berbeda dengan laki-laki, mereka mengikuti pertunjukan wayang purwa hingga akhir. Pendidikan Pendidikan formal responden bervariasi, terdiri dari SD, Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi. Dalam pengelompokkannya Sekolah Lanjutan dibagi menjadi dua bagian yaitu SLTP dan SLTA sedangkan untuk Perguruan Tinggi dibagi menjadi Diploma dan S1. Secara keseluruhan tingkat pendidikan formal responden memperlihatkan relatif sudah cukup baik, karena sebagian besar responden (44,30 persen) berada pada jenjang Sekolah Lanjutan dan 39,20 persen berada pada Perguruan Tinggi, meskipun masih ada reponden yang lulusan SD sekitar 16,50 persen (Tabel. 4).
40
Frequency
30
20
10
0 Sekolah Dasar
Sekolah Lanjutan
Perguruan Tinggi
Pendidikan Terakhir
Gambar 4.
Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan pendidikan
Dari tingkat pendidikan ini dapat diketahui bahwa responden yang berada pada
Sekolah
Lanjutan
mempunyai
ketertarikan
yang
tinggi
terhadap
pertunjukan wayang purwa dan turut serta dalam melestarikan budaya dan rutinitas bersih desa. Berdasarkan ukuran tingkat pendidikan formal yang dimiliki maka kecenderungan responden lebih berpotensi dan mempunyai pengaruh untuk bisa mengembangkan pesan yang disampaikan melalui pertunjukan wayang purwa secara nyata pada lingkungan masyarakat sekitar.
74
Dari Gambar 4 dapat dilihat frekuensi yang paling banyak dari responden dalam penelitian yang pertama adalah Sekolah Lanjutan (35 orang), Perguruan Tinggi (31 orang) dan SD (13 orang). Dari data ini dapat diketahui bahwa pertunjukan wayang purwa tidak hanya disukai oleh masyarakat yang berpendidikan rendah namun juga di sukai oleh masyarakat yang berpendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan dengan melihat pertunjukan wayang purwa kita dapat menggali sebagian dari nilai-nilai filosofi budaya Jawa karena wayang merupakan bahasa simbol bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa yang lebih bersifat sebagai pendidikan etika dan rohaniah. Untuk itu memahami nilainilai wayang merupakan salah satu upaya untuk membangun watak bangsa yang berkualitas dan berjatidiri. Pekerjaan Pekerjaan responden menunjukkan beragam (lihat Tabel 4), terdiri dari: pekerjaan non formal (pertukangan, petani dan pedagang), PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan pegawai swasta. Sebagian besar responden pekerjaannya berada di sektor non formal (40,50 persen), PNS (36,70 persen) dan pegawai swasta (22,80 persen).
40
Frequency
30
20
10
0 Non Formal
PNS
Karyawan Swasta
Pekerjaan
Gambar 5.
Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan pekerjaan
Dari Gambar 5 dapat di lihat bahwa jumlah pekerjaan responden yang terbanyak terdapat di sektor non formal (32 orang) dari data tersebut dapat dilihat bahwa pertunjukan wayang purwa lebih banyak disukai oleh mayoritas masyarakat yang bermatapencaharian pada sektor non formal, PNS (29 orang) dan pegawai swasta (18 orang). Data ini menunjukkan bahwa pesan yang
75
disampaikan melalui pertunjukan wayang purwa dapat di sampaikan ke berbagai pihak dengan mata pencaharian apapun. Perbedaan daya tarik responden berdasarkan pekerjaan terjadap minat dalam menonton pertunjukan wayang purwa disebabkan waktu penyelenggaraan yang semalam suntuk. Pekerjaan non formal lebih banyak menonton pertunjukan wayang purwa disebabkan pekerjaan mereka yang tidak terlalu terikat dengan waktu beraktivitas sedangkan untuk pekerjaan yang lain seperti PNS dan karyawan swasta mereka memiliki keterikatan dalam waktu bekerja yang ratarata untuk PNS memiliki waktu bekerja berkisar antara pukul 08.00-14.00 wib dan untuk karyawan swasta antara pukul 08.00-17.00 wib. Adanya keterbatasan waktu tersebut menyebabkan responden yang memiliki pekerjaan PNS dan karyawan swasta membatasi keterlibatan mereka dalam mengikuti pertunjukan wayang purwa. Pendapatan Pendapatan responden dalam penelitian ini untuk besarnya dikategorikan menjadi tiga klasifikasi, yaitu: (1) kurang dari Rp.600.000,00, (2) antara Rp.600.000,00
sampai
dengan
Rp.1.500.000,00
dan
(3)
lebih
dari
Rp.1.500.000,00 (Tabel 4).
40
Frequency
30
20
10
0 < Rp. 600.000,00
Rp. 600.000,00-Rp. 1.500.00,00
>Rp. 1.500.000,00
Pendapatan rata-rata
Gambar 6.
Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan pendapatan per bulan
Hasil penelitian (Gambar 6) menunjukkan bahwa 43 persen responden berpendapatan kurang dari Rp. 600.000,00 dan yang lainnya 20,30 persen berkisar antara Rp.600.000,00 sampai dengan Rp.1.500.000,00 dan 36,70
76
persen responden memiliki rata-rata pendapatan per bulan lebih dari Rp. 1.500.000,00. Dari data yang diperoleh hal ini berarti pada masyarakatnya, responden tergolong dalam orang yang kurang cukup mapan sosial ekonominya. Berdasarkan pendapatan yang diperoleh responden menunjukan bahwa pertunjukan wayang purwa tidak hanya disukai oleh orang yang berpendapatan kecil tetapi juga disukai oleh responden yang berpendapatan tinggi meskipun secara mayoritas terlihat pendapatan
bahwa
cenderung
masyarakat
yang memiliki
kurang dari Rp. 600.000,00 yang lebih menyukai pertunjukan
wayang purwa hal ini disebabkan tersedianya waktu mereka untuk menonton pertunjukan wayang purwa selain itu mereka sangat menyukai nilai-nilai serta filosofi yang terkandung dalam pesan dalam setiap tema dan tokoh pelaku yang dimainkan. Responden yang memiliki pendapatan kurang dari Rp. 600.000,00 mereka memiliki kecenderungan memahami setiap tokoh pelaku yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Perilaku Komunikasi Sejalan dengan kemajuan pembangunan Indonesia, kuantitas dan kualitas media massa pun semakin meningkat. Media massa dapat ditemukan dimanapun dan seolah merupakan makanan sehari-hari bagi siapa saja, tidak terbatas oleh satu golongan saja. Media massa terdiri atas media cetak dan media elektronik. Masing-masing jenis media ini terdiri atas beberapa bentuk media yang masing-masing mempunyai ciri khas dan menimbulkan implikasi khusus. Media massa cetak meliputi koran (harian, mingguan, tabloid), majalah (berita, khusus, hiburan), buletin atau atau terbitan berkala. Media massa elektronik meliputi radio dan televisi. Media massa cetak, terutama koran harian, cenderung menjadi media berita, setengah hiburan dan layanan, sedangkan berita pada koran lebih bersifat ringkas dan analitik. Berita pada majalah berbeda dengan berita pada koran. Kelemahan faktor kekinian dalam berita pada majalah, dikompensasikan dengan pandangan yang analitik dan interpretatif. Media massa eletronik cenderung menjadi hiburan, berita dan layanan. Keberadaan media massa ini dimanfaatkan untuk mendapatkan pengetahuan, hiburan dan informasi yang aktual, trend dan berkembang. Media massa yang digunakan lebih cenderung bersifat lokal. Masyarakat beranggapan dan mempercayai media massa lokal yang dapat memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan kondisi responden.
77
Pengamatan mengenai perilaku komunikasi dalam penelitian ini, meliputi tiga aspek: (a) keterdedahan terhadap media televisi, (b) keterdedahan dalam mendengarkan radio dan (c) keterdedahan dalam memperoleh surat kabar. Keterdedahan terhadap media massa dalam penelitian ini yaitu frekuensi dan intensitas responden dalam mencari informasi melalui media elektronik dan media cetak, tentunya keterdedahan terhadap media massa harus memiliki faktor penunjangnya, di rumah, di sekolah maupun di tetangga mereka pada umumnya terdapat media elektronik seperti televisi dan radio, bahkan diantaranya terdapat pula surat kabar atau majalah. Untuk lebih jelasnya mengenai keterdedah masyarakat dalam komunikasi baik media elektronik maupun media cetak akan dibahas berikut ini. a. Media massa Elektronik Televisi Berdasarkan penelitian yang dilakukan perilaku komunikasi responden dalam menonton televisi secara keseluruhan dapat dikatakan tinggi dengan persentase sebesar 77,20 persen responden menonton televisi berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari dalam seminggu, sedang dengan persentase 13,90 persen berkisar antara tiga sampai dengan empat hari dalam seminggu dan rendah dengan persentase 8,90 persen lima hari dalam seminggu (lihat Tabel 4). 25 20 15 10 5 0 SCTV
Indosiar
RCTI
Trans TV
TPI
Jogja TV Metro TV Trans 7
TV One
Global TV
Gambar 7. Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan perilaku komunikasi dalam menonton televisi Televisi menjadi teman setiap orang ketika mereka mengalami kejenuhan akibat rutinitas kegiatan sehari-hari. Di tempat penelitian televisi merupakan bentuk media massa elektronik yang paling disukai, terutama setelah beroperasinya stasiun televisi swasta nasional dan lokal seperti (Gambar 7) SCTV (23,6 persen), Indosiar (20,8 persen), RCTI dan Trans TV (13,9 persen),
78
TPI (9,02 persen), Jogja TV (6,25 persen), Metro TV (4,17 persen), Trans 7 (3,47 persen), TV One (2,78 persen) dan Global TV (2,08 persen). Acara televisi yang disukai responden rata-rata adalah berita (30,52 persen), hiburan (17,54), sinetron (11,69 persen), olah raga dan wayang kulit (9,74 persen), kesenian tradisional (3,9 persen), campur sari, musik dan ketoprak (1,95 persen), pengetahuan budaya (1,95 persen), wisata kuliner (1,3 persen) serta wirausaha (0,65 persen). Kebiasaan menonton malam hari, tampak pada jenis acara yang disukai oleh responden merupakan acara yang disiarkan antara pukul 17.30-23.00 sedangkan responden yang menonton di luar jam tersebut sangat sedikit. Beberapa responden masih menyukai acara kebudayaan seperti wayang kulit dan kesenian tradisional lainnya, alasan-alasan yang dapat dikemukakan antara lain keinginan responden untuk menikmati hiburan yang bernuansa kebudayaan Jawa. Adapun alasan lain karena ingin menambah informasi dan pengetahuan serta filosofi Jawa. Televisi dapat dikatakan sebagai fenomena aktual masyarakat modern, dalam arti televisi dipersepsikan sebagai karakter khas masyarakat modern yang seringkali mengedepankan logika dan rasionalitas. Berkat kehadiran televisi, jarak kultural peradaban dapat teratasi. Masyarakat di belahan manapun, termasuk masyarakat di wilayah lokasi penelitian akan segera mengetahui kondisi aktual ke tempat yang berbeda. Bagi penduduk yang mampu membeli televisi akan berusaha untuk memilikinya sehingga dapat terpenuhi kebutuhannya dan menaikkan status sosial pemiliknya. Namun untuk responden yang tidak memiliki, biasanya mereka numpang kepada tetangga, maupun nonton bersama di kantor desa guna memenuhi kebutuhan hiburan dan informasi. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa televisi selain sebagai media komunikasi massa, televisi juga berfungsi sebagai bagian dari perabot rumah tangga yang memainkan prestise pemiliknya. Radio Penggunaan radio baik sebagai sumber informasi dan penerangan maupun sarana hiburan telah banyak dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat desa, rata-rata responden mendengarkan radio berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari (48,10 persen) yang berada dalam kategori tinggi hal ini disebabkan sifat dari radio itu sendiri yang bisa didengarkan dimanapun oleh khalayaknya, baik khalayak sedang beraktivitas maupun
79
beristirahat, dari sifat radio tersebut. Tidak seperti televisi, hampir seluruh responden memiliki radio. Banyaknya hari yang digunakan responden untuk mendengarkan radio (lihat Tabel 4), antara lain: tiga sampai dengan empat hari (7,6 persen) dan lima hari (15,90 persen). Perbedaan responden dalam menggunakan radio per hari hanya berdasarkan aktivitas mereka, dan acara yang mereka sukai. Responden lebih menyukai siaran radio yang diselenggarakan secara lokal, hal ini didasarkan pada kesesuaian minat, selera dan kebutuhan responden pada informasi dan hiburan. Siaran radio yang disukai oleh responden di lokasi penelitian antara lain: GCD (60 persen), Agrososro (16,25 persen), Adiloka (6,25 pesen), RRI Yogya dan radio Wonosari (5 persen), Unisi Yogya (2,5 persen), dan 1,25 persen untuk radio Handayani, I-Radio, MTA serta Petra. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, didapat informasi bahwa responden memanfaatkan atau mendengarkan radio pada malam hari berkaitan erat dengan kebiasaan pemanfaatan waktu luang yang tersedia, sebagian besar reponden bekerja dari pagi sampai sore hari sehingga hanya memiliki waktu luang pada pagi hari sebelum berangkat bekerja dan pada sore hari ketika sudah berada kembali ke rumah. Sedangkan bagi yang tidak tentu jam kerjanya, pemanfaatan waktu luangnya bervariasi. Acara radio yang paling disukai oleh responden adalah acara wayang purwa (23 persen), campursari (19,54 persen), musik modern (16,09 persen), berita (12,64 persen), karawitan dan woro-woro (5,74 persen), uyon-uyon dan nostalgia (4,6 persen), religi (3,45 persen),
olahraga, acara tradisional serta
nada remaja (1,15 persen). Adanya perhatian responden terhadap kebudayaan Jawa menunjukkan bahwa budaya Jawa masih melekat dalam jiwa masyarakatnya. Ketertarikan tersebut disebabkan oleh adanya hasrat bernostalgia pada budaya sendiri yang pada masa sekarang ini relatif sulit untuk diperoleh atau dinikmati. b. Media Massa Cetak Dalam pembangunan masyarakat pedesaan, surat kabar dapat berperan sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, serta membantu masyarakat mengembangkan sikap bijaksana terhadap berbagai macam program pembangunan pedesaan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini dirasakan sebaliknya bahwa media massa koran sangat rendah dikonsumsi oleh
80
masyarakat. Masyarakat lebih banyak membaca koran berkisar antara tiga sampai dengan empat hari dalam seminggu (51,90 persen) bukan berarti responden tidak memiliki minat, namun responden membaca hanya pada saat di sela-sela kerja dengan meminjam koran kantor, koran teman maupun tetangga. Sedangkan untuk responden yang memiliki minat tinggi (dengan kisaran enam sampai dengan tujuh hari) dalam membaca koran dalam seminggunya dengan persentase 45,60 persen hal ini dikarenakan kemudahan mereka dalam memperoleh surat kabar serta kemampuan untuk memperoleh surat kabar tersebut dalam seminggunya (lihat Tabel 4). Hasil penelitian mengungkapkan, responden mengkonsumsi media massa cetak dalam bentuk Kedaulatan Rakyat (74 persen), Kompas dan Merapi (6 persen), Seputar Indonesia, Jawa Pos, Tabloid Nyata (4 persen), dan Tabloid Djaka Lodong (2 persen). Media massa yang dimiliki responden adalah radio, mengingat harganya yang mahal, media massa cetak terbatas pada orang yang tergolong mampu. Pemanfaatan media massa cetak berkaitan erat dengan kebiasaan pemanfaatan waktu luang yang tersedia. Salah satu faktor yang mempengaruhi kebiasaan dalam menggunakan waktu adalah pekerjaan. Walaupun memiliki waktu luang rata-rata responden membaca pada saat mereka pergi beraktivitas, misalkan saja di kantor, karena biasanya ada koran bersama, sedangkan untuk mereka yang pekerjaannya petani, pedagang dan pertukangan, mereka lebih cenderung untuk meminjam ke tetangga untuk memperoleh media massa cetak tersebut. Dengan adanya surat kabar yang masuk di daerah pedesaan dapat menjelaskan dan menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat. Surat kabar dapat memainkan peran sebagai pembaharu dengan menunjukkan celah-celah,
menemukan
kelemahan-kelemahan
dan
menyarankan
cara
pelaksanaan program-program pembangunan, juga dapat mempopulerkan program-program pemerintahan kepada masyarakat pedesaan. Untuk jenis-jenis pesan yang disukai oleh responden, rata-rata responden lebih menyukai isi surat kabar yang bersifat berita, baik berita yang bersifat bisnis, ekonomi maupun politik (50,72 persen), seni dan budaya (13,43 persen), olah raga (11,98 persen), pendidikan (11,94 persen), pengobatan alternatif (5,97 persen), infotainment
(4,47 persen), dan sisanya merupakan artikel yang
bersifat lokal selain pengobatan alternatif, yaitu sungguh-sungguh terjadi (1,49 persen).
81
Selain pendidikan, hambatan paling besar yang membuat masyarakat kurang memanfaatkan surat kabar secara optimal adalah faktor ekonomi, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berlangganan koran bagi masyarakat pedesaan masih terbatas pada orang-orang yang berpendidikan dan bagi yang kondisi ekonomi rumah tangganya relatif baik, terutama bagi yang pernah menikmati pergaulan dengan masyarakat kota. Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa Pertunjukan wayang purwa dalam pemahaman masyarakat Jawa pada umumnya dipahami sebagai tontonan, tuntunan, tatanan, hiburan dan renungan karena di dalamnya terkandung ajaran-ajaran moral yang luhur. Masyarakat dapat mengatakan bahwa bayangan dari pertunjukan wayang purwa cukup tajam, jelas dan seolah-olah apabila digerakkan dapat bergetar serta memunculkan sebuah bayangan yang hidup. Pertunjukan wayang purwa merupakan salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional bangsa Indonesia yang telah berkembang selama berabadabad. Pertunjukan wayang purwa senantiasa mengandung nilai hidup serta kehidupan luhur yang dalam setiap akhir cerita atau lakonnya memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu mengandung suatu ajaran bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahannya. Karena begitu besarnya peran wayang dalam kehidupan orang Jawa, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa wayang merupakan salah satu identitas utama manusia Jawa. Mereka gemar beridentifikasi dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin serta mencontoh padanya dalam melakukan perbuatan sehari-hari. Satu himpunan besar dari mitos-mitos dihidupkan dan diteruskan dengan menggunakan pertunjukan bayangan. Pada versi wayang purwa yang ada hanya motif-motif Indonesia lama yang muncul secara bergantian, jalin-menjalin, bahkan lebur dengan mitologi yang telah diaransir sesuai dengan perkembangan budaya setempat. Pertunjukan wayang purwa terdiri dari bagian permulaan, pertengahan dan akhir yang diberi nama menurut nama musik pengiring yang dominan dalam bagian-bagian itu. Bagian pertama, yakni yang berfungsi sebagai eksposisi cerita dan yang dalam pertunjukan sesungguhnya dimainkan pada pukul 21.00-24.00 berjalan agak lambat karena disini belum ada adegan-adegan klimaktis sedang konflik-konflik pun adalah konflik-konflik minor saja. Dalam bagian ini perang-
82
perang yang terjadi belumlah perang-perang yang sesungguhnya karena belum mengambil korban. Untuk bagian pertama yang berjalan lambat ini musik pengiring yang paling tepat adalah yang berkunci enam (menurut musik gamelan). Bagian ini disebut patet nem. Dalam bagian pertengahan atau pertunjukan yang sesungguhnya dimainkan pada pukul 00.00-03.00, adeganadegan mulai berjalan agak cepat. Konflik-konflik mulai besar, dan perangperang pun mulai mengambil korban. Berbeda dengan struktur pada umumnya, bagian pertengahan dalam wayang ini bukanlah klimaks dari seluruh cerita. Pada bagian ini memang ada adegan gara-gara, yakni adegan yang menggambarkan kekacauan alam semesta. Tetapi lebih bersifat simbolik dari pada dramatik. Karena pada bagian ini konflik terbesar berlum tercapai dan perang yang terbesar pun belum dimainkan. Musik pengiring untuk bagian ini yang paling cocok adalah patet sanga. Cerita wayang bagian terakhirlah yang merupakan klimaks. Di sini puncak pimpinan yang tertinggi (raja-raja dan panglima-panglima perang) yang maju dalam perang dan menyelamatkan semua persoalan yang ada. Pada bagian ini terjadi perang terbesar yang disebut perang ageng atau perang amuk-amukan. Musik pengiring untuk bagian ini yang paling cocok adalah musik dengan kunci manyura dan bagian akhir disebut patet manyura. Masing-masing bagian (permulaan, pertangahan dan akhir) dibagi ke dalam unit-unit dramatiknya yang disebut jejer atau jejeran. Sebagai bagian dari bagian yang lebih besar jejeran-jejeran ini juga mempunyai tiga hal yang sama yakni permulaan, pertangahan dan akhir. Unsur-unsur ini disebut adegan (adegab). Adegan permulaan adalah selalu adegan persidangan (audiensi), adegan kedua adegan perjalanan dan ketiga adegan perang. Pertunjukan wayang purwa merupakan suatu pesan moral berupa tindakan-tindakan simbolis yang terpadu dalam sistem pathet, perwatakan tokoh, gending iringan dan cerita yang dibawakan. Tindakan simbolis pertama terlihat dalam pertunjukan wayang purwa oleh masyarakat yang tercermin dalam persiapan dan prosesi tradisi yang syarat dengan nilai-nilai. Tindakan simbolis yang kedua ialah pelaksanaan pertunjukan wayang purwa lakon Sri Mulih, termasuk kedudukan dalang. Tindakan dalang sebagai orang yang menguasai jalannya pertunjukan. Ia memberi aba-aba pertama dan menghentikan gending, mangatur dinamakan pertunjukan. Makna simbolis pertunjukan wayang purwa lakon Sri Mulih dalam sistem tradisi bersih desa mengandung empat aspek ialah orang yang melakukan dan
83
memimpin tradisi, tempat tradisi, waktu tradisi, benda-benda dan alat-alat tradisi. Dalam tradisi bersih desa, kehadiran dalang mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai perantara penyampaian pesan filosofis dalam pertunjukan kepada khalayaknya. Dalam penelitian ini untuk karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan menggunakan lima kriteria, yaitu: (a) sangat tidak sesuai, (b) tidak sesuai, (c) cukup sesuai, (d) sesuai dan (e) sangat sesuai. Karakteristik pertunjukan wayang purwa ini dilihat dari tiga indikator, yaitu: (1) hubungan dalang dengan penonton, (2) tokoh pelaku dan (3) tema serta masalah pokok. Berdasarkan Tabel 5 karakteristik pertunjukan wayang purwa secara keseluruhan memiliki total rataan skor sebesar 3,38 dan berada di selang cukup sesuai. Masyarakat beranggapan bahwa pertunjukan wayang purwa yang selama ini diselenggarakan selalu sesuai dengan prosesi bersih desa. Namun masyarakat kurang terlibat dalam prosesi bersih desa dan pertunjukan wayang purwa, hal ini disebabkan adanya transformasi budaya di masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah masuknya era globalisasi, dimana masyarakat lebih terbuka akan informasi yang merubah pola kehidupan masyarakat. Masyarakat lebih menganggap pertunjukan wayang purwa sebagai rutinitas
penyelenggaraan
tradisi
bersih
desa
untuk
mengurangi
rasa
kekhawatiran akan datangnya gangguan fisik dan nonfisik yang setiap saat dapat menimpa jika tradisi itu tidak dilaksanakan. Oleh karenanya, tradisi bersih desa ini termasuk kategori tradisi krisis. Dalam hal ini masyarakat hanya menjadikan pertunjukan wayang purwa sebagai pelengkap dari prosesi bersih desa tanpa memahami setiap nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam pesan-pesan yang disampaikan melalui pelakonan wayang purwa melalui dalang kepada masyarakat. Pergeseran dalam masyarakat tidak lagi menganggap pertunjukan wayang purwa sebagai tuntunan, tatanan dan renungan, namun mereka hanya menganggap pertunjukan wayang purwa hanyalah sebuah rutinitas yang dijadikan tontonan dan hiburan, bahkan sebagai arena berkumpul, hanya sekedar untuk bertemu dusun tetangga hingga arena bermain judi, tanpa menghayati nilai-nilai serta filosofi yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga tidak dapat menjadi suatu kesalahan dari satu pihak, karena adanya suatu pergeseran pertunjukan yang terkadang telah dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan selera penonton dimana pertunjukan wayang purwa tidak lagi sesuai dengan pakemnya, hal ini dapat di lihat dengan adanya
84
kombinasi pertunjukan wayang purwa dengan pasar malam serta pertunjukan musik, seperti dangdutan, yang semata-mata hanya untuk menarik penonton untuk datang. Dari pergeseran tersebut, dampaknya dapat dirasakan, bahwa masyarakat tidak lagi memperhatikan isi pesan dalam pertunjukan wayang purwa secara esensial namun lebih kepada hiburan dan tontonan semata. Tabel
5.
Rataan skor pendapat responden tentang pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo
Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa Hubungan dalang dengan penonton Tokoh Pelaku Tema serta masalah pokok Total Rataan Skor
karakteristik
Rataan Skor *) 3,34 3,40 3,39 3,38
Keterangan : *)Rataan skor 1-1,8 = sangat tidak sesuai, 1,9-2,6 = tidak sesuai, 2,7-3,4 = cukup sesuai, 3,5-4,2 = sesuai, 4,3-5 = sangat sesuai
Pernyataan-pernyataan yang memperoleh skor tertinggi dan terendah terdapat dalam indikator tokoh pelaku. Untuk pernyataan tertinggi terdapat pada item pernyataan kesesuian antara tokoh pelaku dengan penggambaran kehidupan manusia. Item pernyataan ini menurut responden setiap tokoh pelaku yang dimainkan selalu menggambarkan dua unsur, yaitu kebenaran dan kejahatan dimana ke dua unsur tersebut selalu berada di kehidupan manusia. Dalam pelakonannya dalam pewayangan tokoh pelaku yang dijadikan simbol dapat memberikan penggambaran sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat Jawa sehingga responden lebih merasa pesan-pesan yang disampaikan melalui pertunjukan wayang purwa sangat dekat dengan kehidupan mereka. Pernyataan yang terendah terdapat pada item pernyataan masyarakat mengetahui setiap detail lakon dalam pertunjukan wayang purwa. Responden berasal dari berbagai kalangan hal ini menyebabkan tidak semua responden mengetahui setiap detail tokoh pelaku yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Responden cenderung lebih menangkap cerita apa yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa dan apakah cerita tersebut sangat familiar dengan mereka. Untuk tokoh pelaku responden hanya memahami tokohtokoh yang populer dalam pertunjukan wayang purwa, seperti Arjuna, Srikandi, Gatot Kaca, Betara Kala, Brahmana serta tokoh-tokoh yang lain yang ada di epos Ramayana dan Mahabarata. Tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa ini merupakan bentuk cerita-cerita yang dipakai dalam lakon wayang. Cerita-cerita ini diambil dari mitos-mitos lama, legenda-legenda, cerita-cerita rakyat dan juga cerita-cerita dari
85
kitab sastra. Cerita-cerita tersebut mengalami perubahan dari waktu ke waktu dengan adanya suatu proses percampuran dengan sekian banyak pengaruh budaya. Setiap kebudayaan baru yang datang, datang pula cerita-cerita baru, sedang cerita-cerita lama tidak dibuang hanya ditambahkan atau diadakan penyesuaian-penyesuaian. Kekacauan terjadi karena penyesuaian-penyesuaian ini tidak selamanya cocok dan menimbulkan hal-hal yang aneh-aneh dan luculucu. Berdasarkan Tabel 5 tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa tema bersih desa dengan skor 3,40 dan dalam selang cukup sesuai. Hal ini menggambarkan bahwa tokoh pelaku memiliki kedudukan yang cukup penting dalam pertunjukan wayang purwa. Untuk menentukan tokoh pelaku yang akan dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama, dalam masyarakat Desa Bedoyo setiap pertunjukan wayang purwa yang akan diselenggarakan setiap tokoh pelaku yang akan dimainkan selalu didiskusikan dengan masyarakat, lalu disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi. Proses diskusi mengenai tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok diangkat melibatkan pemuka-pemuka pendapat di masyarakat, sesepuh dan masyarakat umum serta dalang sebagai pemimpin pertunjukan. Sehingga isi permasalahan dan tokoh pelaku yang diangkat langsung disesuaikan dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, penyesuaian selera masyarakat dengan tokoh pelaku apa yang akan dimainkan dan siapa dalangnya. Namun dalam prosesi bersih desa tokoh pelaku yang sering dimainkan adalah Sri Mulih. Setiap penggambaran cerita dalam pertunjukan wayang purwa selalu disesuaikan dengan gambaran kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga setiap perlambangan hidup manusia selalu digambarkan dalam pertunjukan wayang purwa yang dapat dijadikan salah satu pedoman dalam berkehidupan. Pertunjukan wayang purwa merupakan suatu tutunan, tatanan, tontonan, hiburan dan renungan yang sifatnya universal serta dapat diterima oleh berbagai kalangan. Pesan-pesan yang disampaikan dalam pertunjukan wayang purwa sesuai dengan norma, kebiasaan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Desa Bedoyo Tokoh pelaku yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa terkadang tidak sesuai dengan tema bersih desa, hal ini dikarenakan setiap cerita dalam pertunjukan wayang purwa selalu diperbaharui disesuaikan dengan perubahan
86
yang terjadi dalam masyarakat, dengan dipengaruhi berbagai percampuran kebudayaan setempat dengan kebudayaan luar. Pernyataan yang memiliki rataan skor tertinggi adalah kesesuaian lakon dengan pertunjukan wayang purwa dan pernyataan dengan rataan skor terendah terdapat pada masyarakat mengetahui setiap detail lakon dalam pertunjukan wayang purwa. Kesesuaian lakon dengan pertunjukan wayang purwa dapat dijadikan suatu daya tarik dimana penonton dapat melihat pertunjukan wayang purwa sebagai sebuah hiburan, tutunan, tatanan dan renungan dalam tradisi dan kebiasaan kehidupan masyarakat Jawa. Setiap responden yang berasal dari berbagai kalangan kurang mengetahui setiap detail tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa. Responden lebih banyak mengetahui lakon-lakon yang populer saja di kalangan mereka. Tema-tema pokok dalam wayang purwa menggariskan masalah-masalah pokok yang dihadapi manusia. Tema serta masalah pokok yang dibahas dalam pertunjukan wayang purwa merupakan hal yang harus diperhatikan setalah menentukan tokoh pelaku yang akan dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Tema serta masalah pokok memperoleh skor 3,39 dan berada dalam selang cukup sesuai. Tema bahwa manusia dilahirkan dengan kodrat kebinatangan dan kemalaikatan menggariskan masalah pokok manusia sebagai makhluk pribadi. Sebagai pribadi masalah pokok yang paling penting ialah masalah bagaimana ia menyempurnakan hidup pribadinya. Masalah pokok ini dalam wayang diajarkan dalam ajaran tentang kesempurnaan hidup pribadi yang disebut ajaran tentang mawayu hayuning serira. Dalam setiap tokoh pelaku yang dimainkan ajaran ini selalu ditekankan struktur wayang. Struktur wayang sendiri melambangkan jalan hidup manusia dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan masa tua. Masa kanak-kanak dilambangkan dengan letak wayang gunung (kayon) yang selama bagian patet nem diletakkan miring kiri, melambangkan watak anak-anak yang belum mengerti akan kebenaran. Masa dewasa dilambangkan dengan letak kayon yang selama bagian patet sanga diletakkan tegak di tengah, melambangkan kesadaran yang seimbang antara berbuat benar dan berbuat salah. Sedang masa tua dilambangkan dengan letak kayon yang selama bagian petet manyura diletakkan miring ke kanan, melambangkan kemauan yang kuat untuk bertindak benar.
87
Responden menganggap banyak faktor yang mempengaruhi kesesuaian tema serta masalah pokok dalam pertunjukan wayang purwa dengan tema bersih desa, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah kemampuan berbahasa dalang yang menentukan daya tarik penokohan. Kemampuan berbahasa dalang sangat mempengaruhi cara dalang dalam mendeskripsikan cerita dalam pelakonan wayang purwa, sehingga nantinya memudahkan masyarakat dalam memahami tema cerita yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Tema serta masalah pokok sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalang dalam menyajikan tema-tema dalam pertunjukan wayang purwa yaang dikemas dalam suatu pesan, sehingga dapat dipahami oleh penonton yang nantinya memberikan dampak pemahaman penonton terhadap informasi yang diberikan, tidak membosankan, kesesuaian tema dengan jalan cerita yang diberikan yang dapat meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap pertunjukan wayang purwa. Untuk item pernyataan tertinggi dalam indikator tema serta masalah pokok dalam pertunjukan wayang purwa terdapat pada pernyataan bahwa dalam pertunjukan wayang purwa ada dua unsur yang ditonjolkan yaitu unsur kebenaran dan unsur kejahatan. Masyarakat mengganggap kedua unsur tersebut sangat sesuai dengan penggambaran kehidupan manusia, kedua unsur tersebut selalu ada dan terus menerus mempengaruhi kehidupan masyarakat. Penonjolan kedua unsur tersebut membuat pertunjukan wayang purwa memiliki daya tarik tersendiri dengan pengemasan cerita yang sesuai dengan lokal wisdom masyarakatnya yang memudahkan dalam memahami tema serta masalah pokok yang di tonjolkan dalam pertunjukan wayang purwa. Tema serta masalah pokok yang mengandung dua unsur tersbut dapat dijadikan tuntunan, tatanan, renungan, hiburan dan tontonan yang menarik bagi masyarakat. Berdasarkan setiap item pernyataan, pernyataan terendah, masyarakat menganggap tema dalam bersih desa sedikit membosankan. Kecenderungan tema yang paling sering dimainkan adalah lakon Sri mulih maupun lakon-lakon yang bertitel wahyu dalam prosesi bersih desa, sebenarnya menggambarkan simbol keagungan spiritual yang masih perlu ditafsirkan. Lakon Sri Mulih menggambarkan tokoh dewi Sri dan Raden Sadana anak Prabu Maha Punggung Raja Medhang Kamulyan. Dewi Sri meninggalkan istana, karena dimarahi raja. Raden Sadana menyusul kepergian kakaknya. Mereka tidak segera bertemu, masing-masing berkelana dari desa ke desa sambil bercocok tanam. Setelah
88
lama berkelana mereka bertemu kembali. Dewi Sri kembali ke Kahyangan, Raden Sadana diambil menantu oleh raja Wiratha. Dalam lakon kembalinya Dewi Sri ke negara Wiratha. Dewi Sri berada di negara Pratalaretna yang dikuasai oleh raja Darmasara Prabu Suryakumara, raja Guwa Rajeng, juga menginginkan Dewi Sri. Dewi Sri menjadi perebutan tetapi Nagatatmala, anak Sang Hyang Anantaboga atas bantuan Bagawan Abiyasa dapat memboyong Dewi Sri ke Wiratha. Kisah Dewi Sri tersebut diyakini sebagai lambang bersih desa. Berarti kembalinya Dewi Sri, mempunyai makna simbolik agar warga desa tersebut mendapat bersih desa dalam ketentraman kehidupannya. Bersih desa identik dengan anugerah rejeki. Untuk menjaga keseimbangan antara jagad gedhe dan jagad kecil. Tema bersih desa yang kurang variasi membuat masyarakat bosan dengan tema serta masalah yang dihadirkan dalam pertunjukan wayang purwa. Tema-tema yang terdapat dalam pertunjukan wayang purwa selalu berisi dengan nilai-nilai dan filosofi yang penuh dengan pedoman dalam berkehidupan baik mengenai hubungan sesama manusia, manusia dengan alam maupun manusia dengan Tuhannya membutuhkan pengemasan
yang
menarik
responden
untuk
memahami
makna
yang
terkandung dalam pesannya dan tidak membosankan responden. Berdasarkan Tabel 5 rataan skor
(3,34) hubungan dalang dengan
penonton dalam pertunjukan wayang purwa bersifat cukup sesuai. dapat dilihat hubungan dalang dengan penonton termasuk berada dalam hal terpenting yang terakhir dalam pertunjukan wayang purwa. Responden beranggapan adanya proses dialog antara dalang dengan penonton tidak diperlukan hal ini menurut responden karena dapat merusak pakem yang telah ditentukan dalam pertunjukan wayang purwa. Pertunjukan wayang purwa mampu menyajikan kata-kata mutiara yang bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan, pengetahuan, hiburan tetapi juga menyediakan fantasi untuk nyanyian, lukisan estetis dan menyajikan
imajinasi
puitis
untuk
petuah-petuah
religius
yang
mampu
mempesona dan menggetarkan jiwa manusia yang mendengarkannya. Peranan Dalang dalam pertunjukan wayang purwa dalam indikator hubungan dalang dengan penonton memiliki peranan yang cukup penting hal ini terlihat dari item pernyataan yang tertinggi terdapat pada keterampilan dalang dalam memainkan pertunjukan wayang purwa, bagaimana dalang dapat menggambarkan keadaan lakon kadang juga melagukannya. Dalam hal ini Dalang seperti guru, semakin
89
banyak pengetahuannya tentang kehidupan, kesusilaan dan keutamaan maka akan semakin baik. Kebanyakan Dalang pada tempat penelitian merupakan bakat keturunan, walaupun ada beberapa yang tidak berasal dari keluarga Dalang, namun hal yang terpentingnya merupakan Dalang tidak hanya berhubungan dengan suatu pekerjaan namun juga ada proses transfer ilmu dan wejangan kepada penonton yang nantinya akan menjadi tuntunan. Sehingga Dalang juga merupakan guru kesusilaan, tatakrama, keluhuran watak dan budi. Adanya perbedaan cara memainkan wayang seringkali menjadi kendala bagi penonton, karena dipengaruhi oleh faktor selera dan kebiasaan, namun ketika Dalang mampu menghidupkan suatu pertunjukan, terasa hingga hati penonton, jelas dalam memainkan lakon dan dalam menjalankannya hal itu sudah dapat mewakili selera dan kebiasaan penonton dalam pertunjukkan wayang purwa yang nantinya diharapkan dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat yang lain. Item pernyataan terendah terdapat pada perlu dilakukan dialog antara dalang dengan penonton dalam pertunjukan wayang purwa. Dialog yang diselenggarakan antara penonton dengan dalang menurut responden tidak sesuai dengan pakem yang ada. Responden lebih cenderung mengamati pesanpesan yang disampaikan oleh dalang. Narasi dan dialog diresitasi oleh Dalang yang berperan sebagai juru ceritera yang memainkan boneka-boneka pipih terbuat dari kulit. Penonton dapat duduk di depan atau di belakang layar dan dapat menyaksikan boneka-boneka sesungguhnya apabila dilihat dari depan layar atau bayang-bayangnya apabila dilihat dari belakang layar. Lebih-lebih kalau dipentaskan pada malam hari dengan disinari lampu minyak yang dinamakan blencong. Tingkat Efektivitas Komunikasi Masyarakat tentang Bersih Desa dalam Pertunjukan Wayang Purwa Kebudayaan dalam arti tertentu merupakan hasil karya cipta manusia yang dapat dinikmati dengan indera. Pengertian ini mencakup bermacam-macam wujud, antara lain adalah penggunaan wayang purwa yang di dalamnya tentu terdapat unsur-unsur budaya daerah. Unsur-unsur budaya daerah ini tentu mengalami kontak-kontak dengan budaya asing yang ada di dalam negeri seiring dengan kemajuan teknologi di era globalisasi maka tidak dapat dipungkiri bahwa intensitas kebudayaan asing di dalam negeri semakin meningkat. Kemajuan dan pesatnya pembangunan di berbagai bidang, terlebih di bidang komunikasi
90
memungkinkan adanya kontak-kontak yang lebih sering dengan kebudayaan asing. Efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden untuk mengkomunikasikan pertunjukan wayang purwa, yang dilihat dari dua indikator dengan lima kategori, meliputi: pertama, pengetahuan, dengan kriteria: (a) sangat tidak mengetahui, (b) tidak mengetahui, (c) cukup mengetahui, (d) mengatahui , (e) sangat mengetahui. Kedua, indikator sikap, dengan kriteria: (a) sangat tidak setuju, (b) tidak setuju, (c) kurang setuju, (d) setuju dan (e) sangat setuju. Tabel 6. Rataan skor pendapat responden tentang tingkat efektivitas komunikasi masyarakat mengenai bersih desa dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo Tingkat Efektivitas Komunikasi Pengetahuan Sikap Total Rataan Skor
Rataan Skor *) 3,37 3,51 3,42
Keterangan : *) Rataan skor 1-1,8 = sangat tidak mengetahui/sangat tidak setuju, 1,92,6 = tidak mengetahui/tidak setuju, 2,7-3,4 = cukup mengetahui/kurang setuju, 3,5-4,2 = mengetahui/setuju, 4,3-5 = sangat mengetahui/sangat setuju
Hasil penelitian (Tabel 6) menunjukkan efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa pada setiap prosesi bersih desa sangat mempengaruhi sikap dan pengetahuan responden dalam pola kehidupannya dengan rataan skor 3,42 yang berada dalam selang cukup mengetahui/kurang setuju. Ada berbagai kepercayaan yang bertolak belakang dalam prosesi bersih desa antara kepercayaan spiritual yang diselenggarakan dengan responden yang sudah berpikir dalam kondisi modern. Responden kurang mengetahui setiap detail dan makna yang terkandung dalam prosesi bersih desa, responden hanya mengikuti setiap ritual sebagai suatu kebiasan dalam hidup mereka tanpa mengetahui secara detail. Item pernyataan tertinggi terdapat pada pernyataan masyarakat mengetahui bahwa prosesi bersih desa merupakan ucapan rasa syukur terhadap rejeki dan keselamatan desa yang mereka peroleh dan item pernyataan terendah terdapat pada sesaji merupakan bagian dari makna dan fungsi bersih desa. Responden mengetahui bahwa prosesi bersih desa sebagai bentuk syukur dan prosesi krisis untuk memberi keselamatan bagi Desa sehingga Desa jauh dari bahaya dan malapetaka. Namun banyaknya responden yang memiliki pendidikan yang tinggi menggeser
91
kepercayaan ritual yang menganggap bahwa sesaji merupakan bagian dari makna dan fungsi, hal ini menggeser pola kehidupan lama menjadi cenderung modern, dimana responden tidak percaya terhadap sesaji yang diberikan kepada leluhur. Pertunjukan wayang purwa dapat merubah sikap maupun pengetahuan responden. Rataan skor untuk sikap 3,51 yang termasuk dalam selang setuju. Pengetahuan yang diperoleh melalui pertunjukan wayang purwa termasuk dalam selang cukup mengetahui dengan rataan skor 3,37. Pertunjukan wayang purwa sangat berdampak positif bagi perubahan sikap dalam masyarakat. Dalam hal ini wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah. Setiap penonton yang melihat pagelaran wayang yang dilihat bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat dalam tokoh pelaku dalam pewayangan itu. Hal ini sejenis dengan perumpamaan ketika orang melihat di kaca rias, orang bukan melihat tebal dan jenis kaca rias itu, melainkan melihat apa yang tersirat dalam kaca tersebut. Masalah pokok dalam pewayangan yaitu menggambarkan proses kehidupan manusia secara totalitas, sebagai pribadi, makhluk sosial maupun sebagai makhluk Tuhan. Muatan di dalam nilai-nilai wayang dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah bagaimana manusia dapat menempatkan dirinya pada tempat yang telah ditentukan oleh Tuhan dan bagaimana manusia memenuhi fungsinya serta menjalankan tugasnya berdasarkan fungsi itu. Di sisi lain,
manusia
mempunyai
tugas-tugas
sosial
yang
mencangkup tugas
memelihara, membina, memajukan negara, bangsa dan kemanusiaan pada umumnya. Tugas-tugas seperti ini menurut istilah pewayangan yang digariskan dalam ajaran mahayu hayuning proja, mahayu hayuning bangsa dan mahayu hayuning bawana. Untuk memelihara, membina, memajukan negara, bangsa dan dunia tugas manusia utama adalah memberantas kejahatan, yang diajarkan dalam ajaran sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Sebagai bentuk simbolis kehadiran wayang purwa dalam tradisi bersih desa mengandung suatu maksud di balik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan kepada Tuhan maupun roh-roh nenek moyang. Wayang purwa sebagai
simbol
kehidupan
mengandung
nilai-nilai
yang
berharga
bagi
masyarakat Jawa. Pengetahuan dan sikap dalam pertunjukan wayang purwa pada dasarnya encerminkan perilaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia
92
jawa yang dimaksudkan merupakan cara ataupun saran untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis agar tercipta kesejahteraan dunia dan akhirat. Wayang purwa secara simbolis memberikan kontribusi positif pada pembentukan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan lingkungan. Pertunjukan wayang purwa merupakan suatu pesan moral berupa sikapsikap yang dimaknai secara simbolis yang terpadu dalam sistem pathet, perwatakan tokoh pelaku, gending iringan dan cerita yang dibawakan. Sikap simbolis pertama terlihat dalam pertunjukan wayang purwa oleh orang yang punya hajat, masyarakat Desa Bedoyo yang tercermin dalam persiapan dan prosesi tradisi yang syarat dengan nilai religius. Sikap simbolis yang kedua ialah pelaksanaan pertunjukan wayang purwa lakon Sri Mulih, termasuk kedudukan dalang. Sikap dalang sebagai orang yang menguasai jalannya pertunjukan. Ia memberi aba-aba pertama dan meghentikan gending, mengatur dinamika pertunjukan. Pertunjukkan wayang purwa menggambarkan setiap gerak kehidupan manusia dan memberi makna yang dalam bagi diri manusianya. Makna tersebut terangkum dalam simbol budaya melalui prosesi bersih desa yang melukiskan pekerti, sikap, norma masyarakat yang terangkum dalam sebuah struktur sosial. Hubungan Karakteristik Individu Masyarakat dengan Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa Dalam penelitian ini karakteristik individu yang berhubungan nyata (p<0,05) dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa, antara lain (1) umur dengan tokoh pelaku, (2) pendidikan dengan hubungan dalang dengan penonton, (3) pekerjaan dengan tokoh pelaku dan karakteriristik individu berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan pertunjukan wayang purwa pada : (1) pendidikan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (2) pendapatan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (3) menonton televisi dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. Gambaran rinci tentang hubungan karakteristik individu dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa dapat di lihat pada Tabel 7. Hubungan Umur dengan Pertunjukan Wayang Purwa Hubungan dalang dengan penonton dan tema serta masalah pokok berhubungan tidak nyata dengan umur, hal ini dipengaruhi oleh daya tarik responden apabila terjadi proses komunikasi yang menyangkut hubungan dalang
93
dengan penonton pada saat pertunjukan wayang purwa sangat mempengaruhi pakem pewayangan yang sudah ada. Tema serta masalah pokok yang dibawakan dalam pertunjukan wayang purwa bukan menjadi faktor penentu ketertarikan responden terhadap pertunjukan wayang purwa, hal ini dipengaruhi oleh rata-rata umur responden yang mengikuti pertunjukan wayang purwa berkisar antara 21-32 tahun sehingga mereka kurang memahami tema serta masalah pokok yang dibawakan dalam pertunjukan wayang purwa. Responden cenderung hanya sekedar untuk berkumpul dan bertemu teman, menonton pagelaran dangdut dan pasar malam yang disediakan, sehingga pertunjukan wayang purwa sendiri tidak dijadikan pusat perhatian oleh responden. Dari keterangan tersebut dapat di lihat bahwa pertunjukan wayang purwa sudah mengalami pergeseran dalam melakukan suatu pertunjukan dengan dipengaruhi oleh budaya luar yang dapat mempengaruhi daya tarik dari pertunjukan wayang purwa itu sendiri. Tabel 7. Hubungan karakteristik individu dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo Karekteristik Individu
Koefisien Korelasi
Umur Jenis Kelamin
2
Pendidikan Pekerjaan
2
Pendapatan Menonton Televisi (hari) Mendengarkan Radio (hari) Membaca Surat Kabar (hari)
Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa Hubungan Dalang Tokoh Tema Serta dengan Penonton Pelaku Masalah Pokok -0,061 0,197* 0,042 0,244 0,691 0,096 0,203* 0,223** 0,299** 0,122 0,018* 0,050* 0,109 0,286** 0,264** 0,273**
0,295**
0,359**
-0,038
0,094
0,107
-0,033
-0,014
0,006
Keterangan : * = Hubungan nyata pada p<5% **= Hubungan sangat nyata pada p<1%
= koefisien korelasi Tau kendall 2
= koefisien korelasi Chi Square
Responden cenderung tidak memahami makna, nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam pertunjukan wayang purwa yang terkait dengan tema bersih desa, selain dipengaruhi kemampuan mereka dalam bahasa Jawa dan keterlibatan kalangan muda yang cenderung kecil dalam kegiatan bersih desa, pada tema serta masalah pokok berhubungan dengan makna dari kegiatan bersih desa yang dilakukan.
94
Tokoh pelaku berhubungan nyata (p<0,01)dengan umur, semakin tinggi tingkatan umur semakin mengenal tokoh pelaku yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Tokoh pelaku yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa sangat populer di masyarakat, namun hanya segelintir kalangan umur baik golongan muda ataupun tua yang mengetahui tokoh-tokoh pelaku yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa dan detail lakon dalam setiap pertunjukan yang diselenggarakan dalam prosesi bersih desa, masyarakat hanya mengetahui tokoh pelaku apa yang dimainkan, namun tidak mengetahui secara lengkap mengenai karakter setiap wayang yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Kepopuleran tokoh pelaku yang dimainkan sangat menentukan daya tarik pertunjukan wayang purwa pada setiap penyelenggaraan yang berpengaruh kepada alur cerita yang disesuaikan dengan kemampuan dalang. Hubungan Jenis Kelamin dengan Pertunjukan Wayang Purwa Hubungan jenis kelamin dengan pertunjukan wayang purwa untuk ketiga indikator (hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok) yang digunakan tidak berhubungan.Berarti, untuk responden tidak ada perbedaan dalam pertunjukan wayang purwa yang meliputi hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok antara responden laki-laki dan responden perempuan. Dalam pertunjukan wayang purwa keterlibatan kaum perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan kaum laki-laki, selain di karenakan waktu pertunjukan yang dipergunakan berkisar antara pukul 21.00-05.00, kaum perempuan biasanya hanya menonton sebatas pada
pertunjukan
gara-gara,
tidak
sampai
pada
tahap
penyelesaian
permasalahan. Selain hal tersebut, antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan dalam pemanfaatan pertunjukan wayang purwa sebagai arena tempat pertemuan dengan teman-teman atau tetangga yang lain yang tujuannya hanya sekedar ngumpul dan ngobrol. Hubungan Pendidikan dengan Pertunjukan Wayang Purwa Pendidikan berhubungan nyata (p<0,05) dengan hubungan dalang dengan penonton dan berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. Pendidikan responden sangat beragam mulai dari SD, Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi. Secara rata-rata pendidikan responden adalah Sekolah Lanjutan. Perbedaan pendidikan yang cukup beragam merubah ketertarikan responden terhadap pertunjukan wayang purwa sebagai salah satu media dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat yang terkait
95
mengenai bersih desa. Pertunjukan wayang purwa dapat dikatakan sebagai pertunjukan yang bersifat universal dapat diterima oleh segala kalangan, termasuk oleh responden yang rata-rata dapat dikatakan pendidikan adalah cukup. Pendidikan sangat mempengaruhi daya tarik mereka terhadak pakem yang berkembang dalam pewayangan. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi tingkat ketertarikan mereka dalam pertunjukan wayang purwa, termasuk dalam hal ini pendidikan sangat mempengaruhi pemahaman mereka terhadap tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok yang dibawakan dalam pertunjukan wayang purwa. Salah satu faktor pendidikan yang mempengaruhi tingkat ketertarikan responden adalah pendidikan dalam berbahasa Jawa yang sesuai dengan aturannya memudahkan responden memahami filosofi dan nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang purwa. Sifat wayang yang berberbentuk karya seni sarat dengan nilai-nilai filosofi dapat dijadikan sumber pencarian nilai-nilai hidup masyarakat dalam menambah pengetahuan. Pertunjukan wayang purwa menawarkan ajaran dan nilai-nilai, terserah kepada penonton untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Dengan demikian dapat dikatakan metode yang digunakan wayang dapat dimengerti oleh berbagai kalangan pendidikan dan dapat dijadikan sumber pengetahuan untuk berbagai kalangan akademis. Hubungan Pekerjaan dengan Pertunjukan Wayang Purwa Pekerjaan responden yang terdiri dari tiga kriteria, yaitu: nonformal (petani, pedagang dan pertukangan), PNS dan pegawai swasta berhubungan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Tokoh pelaku menurut responden dalam pewayangan merupakan sebuah repertoar
yang
disajikan
dalam
perhelatan
apapun
yang
bertujuan
penggambaran tokoh pelaku nantinya dapat memberikan mereka keselamatan dan anugerah dari Sang Maha Pencipta. Sajian suatu repertoar tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa khususnya untuk keperluan bersih desa dipersyaratkan agar tokoh pelaku pewayangan dapat membawa tuah baik terhadap lingkungan di masyarakat. Dalam hal ini pekerjaan apapun yang digeluti oleh responden menganggap bahwa tokoh pelaku berperan penting dalam daya tarik dan jalannya pertunjukan wayang purwa berkenaan dengan prosesi bersih
96
desa. Pertunjukan wayang purwa yang melibatkan tokoh pelaku yang dikenal oleh masyarakat dapat dijadikan salah satu media komunikasi dalam prosesi bersih desa merupakan suatu tontonan rutin bagi masyarakat dengan segala kalangan. Pertunjukan wayang purwa terkadang dekat dengan pepatah pertunjukan yang disukai oleh kalangan kelas bawah dengan pekerjaan rata-rata di bidang non formal. Namun hal ini mengalami perubahan, pertunjukan wayang disukai oleh berbagai kalangan dengan mata pencaharian apapun. Tema serta masalah pokok dalam pertunjukan wayang purwa merupakan hal yang penting dalam pargelaran dimana pekerjaan responden sangat menentukan tema serta masalah pokok yang dimainkan. Adanya hubungan antara pekerjaan dengan tema serta masalah pokok memberi makna bahwa semakin tinggi suatu pekerjaan ketertarikan dan pengetahuan mereka mengenai tema serta masalah pokok semakin tinggi. Keterhubungan ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh responden baik secara formal maupun penelusuran literatur secara pribadi, tentunya hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh media, terutama media elektronik yang sering menyajikan cerita-cerita pewayangan baik dari epos Ramayana maupun Mahabarata yang menambah pengetahuan dari responden. Hubungan Pendapatan dengan Pertunjukan Wayang Purwa Hubungan dalang dengan penonton berhubungan tidak nyata dengan pendapatan, hal ini disebabkan adanya persamaan selera antara masyarakat yang memiliki pendapatan rendah hingga tinggi bahwa melakukan komunikasi dengan dalang pada saat pertunjukan wayang diselenggarakan merusak daya tarik cerita yang dibawakan dan pakem yang telah di tentukan dalam penyelenggaraan pertunjukan wayang purwa. Hal ini berbeda dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok yang berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan pendapatan, salah satu faktor yang menentukan semakin tinggi pendapatan yang responden peroleh semakin tinggi daya tarik mereka terhadap tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok adalah kemampuan mereka dalam mengetahui dan kemudahan dalam memahami kesesuaian antara tema serta masalah pokok yang dibawakan dengan tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa yang dapat menambah minat mereka dalam menonton dan memahami nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam pesan-pesan yang disampaikan. Perbedaan pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat tidak merubah daya tarik pertunjukan wayang purwa di mata masyarakat, terutama pertunjukan
97
wayang purwa yang menjadi suatu rutinitas dan acara puncak dalam prosesi bersih desa.
Tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok yang dibawakan
dalam pertunjukan wayang purwa secara keseluruhan disukai oleh berbagai kalangan dari segala macam pendapatan. Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Pertunjukan Wayang Purwa Perilaku komunikasi masyarakat dalam menggunakan media televisi berhubungan sangat nyata (p<0,01), semakin banyak mereka menonton televisi semakin mempengaruhi daya tarik mereka terhadap pertunjukan wayang purwa. Hal ini disebabkan pertunjukan wayang purwa yang telah masuk televisi dimana wayangb berfungsi sebagai pengendalian mekanisme kehidupan dalam masyarakat, baik antar individu maupun antar masyarakat. Pertunjukan wayang purwa dapat memberikan makna dan arah serta cita-cita dari sebuah idealisme yang berisi dengan nilai-nilai dan filosofi yang sekaligus menjadi salah satu kerangka
acuan
atau
pedoman
bagi
pengetahuan
dan
sikap
dalam
bermasyarakat. Pertunjukan wayang purwa merupakan salah satu kebudayaan yang berakar dari kebudayaan suku bangsa atau kebudayaan daerah yang berbentuk dalam suatu media yang mampu menggambarkan identitas bangsa sehingga dapat menimbulkan rasa bangga. Media massa radio dan surat kabar tidak berhubungan nyata dengan pertunjukan wayang purwa, hal ini disebabkan rendahnya konsumsi masyarakat terhadap media tersebut dan kurangnya minat masyarakat terhadap media tersebut. Masyarakat cenderung mendengarkan radio hanya sebagai selingan pekerjaan mereka tanpa fokus terhadap pesan yang disampaikan. Surat kabar bagi masyarakat Desa Bedoyo merupakan barang langka karena hanya segelintir masyarakat yang dapat mengkonsumsinya sehingga masyarakat tidak dapat menjangkau pesan-pesan yang disampaikan melalui surat kabar. Pertunjukan wayang purwa dewasa ini hanya menjadi media yang bersifat tontonan dan hiburan bagi masyarakat. Pesan-pesan yang disampaikan tidak lagi dipahami oleh masyarakat sebagai suatu tuntunan, tatanan dan renungan, hal ini salah satunya dipengaruhi oleh masuknya media massa yang bersifat global. Walaupun dalam prakteknya pertunjukan wayang purwa berisi pesanpesan yang dapat menambah pengetahuan dan merubah sikap masyarakat ke arah positif. Hubungan karakteristik individu dengan pertunjukan wayang purwa berhubungan nyata (p<0,05) antara lain umur dengan tokoh pelaku, pendidikan
98
dengan hubungan dalang dengan penonton dan pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok sedangakan untuk hubungan sangat nyata (p<0,01) untuk pendidikan dan pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. Perilaku komunikasi berhubungan sangat nyata dengan pertunjukan wayang purwa dengan demikian Hipotesis H1 diterima. Hubungan Karakteristik Individu Masyarakat dengan Efektivitas Komunikasi Masyarakat tentang Bersih Desa Dalam penelitian ini karakteristik individu responden yang berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa, antara lain: (1) pendidikan dengan efektivitas komunikasi masyarakat, (2) pekerjaan dengan sikap masyarakat, (3) pendapatan dengan efektivitas komunikasi masyarakat dan (4) menonton televisi dengan efektivitas komunikasi masyarakat. Gambaran secara rinci tentang hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat dapat di lihat pada Tabel 8. Hubungan Umur dengan Pengetahuan dan Sikap Untuk semua responden umur berhubungan tidak nyata terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan bersih desa. Efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa dapat dikatakan efektif, dengan adanya transformasi dalam penguasaan bahasa Jawa. Berdasarkan penguasaan bahasa usia 21-32 tahun merupakan kondisi yang kritis dimana tidak semua responden mengusai bahasa Jawa secara aturan yang ada, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Jawa secara campur-campur. Namun fenomena tersebut tidak mempenngaruhi efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa mengenai isi pesan yang disampaikan, responden yang ikut serta dalam menonton pertunjukan wayang, faktor yang memudahkan mereka memahami nilai-nilai dan filosofi bersih desa yang tersirat melalui pesan dalam pertunjukan wayang purwa adalah melalui sifat wayang itu sendiri yang dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan serta lingkungan responden berada karena sifat wayang itu sendiri adalah universal dan dapat dipahami serta diterima oleh segala jenis umur. Sehingga pertunjukan wayang purwa memiliki kekuatan sebagai salah satu media tradisional yang berfungsi sebagai alat komunikasi masyarakat lokal.
99
Tabel 8. Hubungan karakteristik individu dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo Karekteristik Individu Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
Koefisien Korelasi 2
2
Pendapatan Menonton Televisi (hari) Mendengarkan Radio (hari) Membaca Surat Kabar (hari)
Efektivitas Komunikasi Masyarakat Pengetahuan Sikap -0,017 0,116 0,046* 0,306 0,292** 0,472
0,405** 0,001**
0,219** 0,287**
0,412** 0,338**
0,055
0,019
0,033
0,142
Keterangan : * = Hubungan nyata pada p<5% **= Hubungan sangat nyata pada p<1%
= koefisien korelasi Tau kendall 2
= koefisien korelasi Chi Square
Hubungan Jenis Kelamin dengan Pengetahuan dan Sikap Jenis kelamin responden berhubungan dengan pengetahuan terhadap informasi bersih desa. Sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak mempunyai perbedaan dalam pengetahuan mereka menganai bersih desa. Bagi responden prosesi bersih desa merupakan sebuah rutinitas. Untuk setiap dusun baik laki-laki maupun perempuan selalu ikut serta setiap bulannya untuk menyiapkan keperluan acara bersih desa. Antara laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sama di dalam prosesi bersih desa, mereka memahami kebiasaan tersebut berdasarkan kebiasaan dan turun temurun yang tujuannya adalah memberi keselamatan bagi desa beserta warganya, agar terhindar dari malapetaka. Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan dan Sikap Pendidikan berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan pengetahuan dan sikap mereka mengenai prosesi bersih desa. Semakin tinggi pendidikan mereka menentukan pengetahuan dan sikap responden bertambah mengenai prosesi bersih desa. Dalam pendidikan formal informasi mengenai prosesi bersih desa tidak diberikan. Responden lebih dapat mengetahui kegiatan bersih desa selain melalui pertunjukan wayang purwa, responden juga dapat mengetahui berdasarkan kebiasaan turun menurun dari leluhur ataupun dari partisipasi yang diberikan yang membuat reponden lebih memahami bagaimana prosesi yang dilaksanakan dalam kegiatan bersih desa. Dalam kegiatan bersih desa semua
100
masyarakat dari berbagai tingkatan pendidikan turut serta dalam prosesi kegiatan bersih desa tersebut. Sikap responden terhadap kegiatan bersih desa berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan sangat menentukan sikap responden dalam pertunjukan wayang purwa dalam berbagai hal yaitu: mengenai kemampuan dalang, kredibilitis dalang dan peranan dalang sebagai perantara dalam pertunjukan wayang purwa, kreasi baru pertunjukan wayang purwa yang disesuaikan dengan selera penonton serta sikap masyarakat terhadap informasi bersih desa yang diberikan. Kreasi-kreasi baru dalam pertunjukan wayang purwa ternyata membawa dampak terhadap sikap responden, responden lebih merasa dengan adanya kreasi baru membuat pertunjukan wayang purwa tidak sesuai dengan pakem yang telah ditentukan, hal ini menyebabkan informasi-informasi yang diberikan melalui pertunjukan wayang purwa tidak sampai ke masyarakat. Responden hanya menganggap pertunjukan wayang purwa sebagai salah satu prosesi penunjang dari kegiatan bersih desa, responden tidak memperhatikan pesanpesan yang disampaikan oleh dalang selaku pemimpin pertunjukan. Penonton lebih tertarik untuk menghadiri pasar malam atau dangdutan sebagai penyerta pertunjukan wayang purwa. Modifikasi-modifikasi dalam pertunjukan wayang purwa ini merubah pola-pola tradisional ke arah pola-pola modern yang berdampak terhadap rendahnya perubahan sikap dari para penonton sehingga pertunjukan wayang purwa kurang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan bersih desa. Responden hanya sekedar mengetahui ada acara bersih desa dan tujuannya mengadakan prosesi tersebut, namun kurang memahami makan spiritual dan sosial budaya yang ada di dalam prosesi bersih desa Pendidikan mempengaruhi masyarakat dalam menentukan sikap setuju atau tidak terhadap erpaduan pertunjukan wayang purwa dengan pagelaran dangdut dan pasar malam, banyak kalangan yang mengatakan bahwa perpaduan ini tidak sesuai dengan pakem, sehingga dapat merusak pertunjukan sehingga pesan yang disampaikan melalui pertunjukan wayang purwa tidak sampai
kepada
penonton.
Perpaduan
ini
semata-mata
hanya
untuk
meningkatkan minat penonton untuk berpartisipasi hadir, sehingga pertunjukan wayang
purwa
hanyalah
disesuaikan
dengan
selera
penonton
memperhatikan pakem yang ada dalam pakeliran wayang purwa.
tanpa
101
Hubungan Pekerjaan dengan Pengetahuan dan Sikap Pekerjaan
berhubungan
tidak
nyata
dengan
pengetahuan
namun
berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan sikap responden mengenai bersih desa. Pekerjaan responden yang beragam mulai dari non formal, pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai swasta memiliki perbedaan sikap mengenai prosesi pertunjukan wayang purwa. Pekerjaan yang bergerak dibidang non formal lebih banyak bersinggungan dengan pertunjukan wayang purwa dibandingkan dengan responden yang bermata pencaharian sebagai PNS dan karyawan swasta. Salah satu faktor yang membatasinya adalah keterbatasan watu kerja PNS dan karyawan swasta yang sangat terikat dengan waktu kerja yang tepat. Pekerjaan responden yang lebih banyak menonton pertunjukan wayang purwa adalah pekerjaan dibidang non formal berdampak kepada tingkat pengetahuan yang tidak menambah. Hal ini disebabkan responden lebih banyak memanfaatkan pertunjukan wayang purwa sebagai sebuah tontonan dan hiburan sehingga kurang menghayati nilai-nilai serta filosofi yang terkandung di dalamnya, masyarakat kurang memperhatikan isi pesan dalam pertunjukan wayang purwa secara esensial. Namun sikap responden sangat dipengaruhi pertunjukan wayang. Bagi responden yang memiliki pekerjaan non formal. PNS maupun karyawan swasta, nilai-nilai dalam wayang amat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan masyarakat dimana wayang dapat dijadikan wahana dalam pembentukan watak yang baik. Wayang mengajarkan ajaran dan nilainilainya tidak secara dogmatis sebagai suatu indoktrinasi tetapi menawarkan ajaran dan nilai-nilai selanjutnya terserah kepada masyarakat dan individuindividu sendiri untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Wayang juga mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu tidak secara teoritis melainkan secara kongkret dengan menghadirkan tokoh-tokoh pelakunya yang kongkret sebagai teladan. Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nulai-nilai itu secara kaku atau akademis, melainkan mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri, mendidik melalui hati/rasanya dengan jalan adegan-adegan lucunya, adegan mengharukan atau menyentuh hati. Metode pendidikan sikap yang dipakai dalam pertunjukan wayang purwa adalah metode total tetapi nonformal. Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan dan Sikap Pendapatan responden berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan pengetahuan dan sikap mengenai bersih desa. Secara keseluruhan pendapatan
102
responden tidak ada perbedaan yang nyata dalam pengetahuan dan sikap mengenai bersih desa dengan besaran (besar kecilnya) pendapatan responden. Hal ini disebabkan diantara responden yang pendapatannya besar maupun tidak mempunyai pendapatan memiliki potensi untuk mendapatkan suatu proses perubahan pengetahuan dan sikap yang relatif sama mengenai kegiatan bersih desa. Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh responden maka semakin tinggi pengetahuan dan sikap mereka mengenai bersih desa. Pengetahuan dan sikap mereka yang cenderung bertambah seiring dengan pendapatan yang diperoleh responden berdampak terhadap lestarinya prosesi bersih desa dan berkembang di tengah masyarakat Desa Bedoyo, hal ini dikarenakan adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial budaya. Hal demikian memberikan isyarat bahwa bersih desa sebagai bagian budaya yang merupakan refleksi simbolik keinginan masyarakat. Simbol keinginan itu memiliki fungsi tertentu bagi kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu ritual bersih desa berjalan terus menerus, didukung oleh seluruh komponen, tidak terkait berapa pendapatan yang mereka peroleh, serta hal tersebut tidak merubah pandangan mereka mengenai prosesi bersih desa. Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Pengetahuan dan Sikap Perilaku
komunikasi
berhubungan
sangat
nyata
(p<0,01)
dengan
pengetahuan dan sikap. Perilaku komunikasi yang berhubungan nyata dengan pengetahuan dan sikap responden dalam menonton televisi. Adanya perkembangan teknologi komunikasi yang sedemikian canggih saat ini semakin mempermudah hubungan antar individu tanpa hambatan, jarak, waktu dan biaya yang semula menjadi kendala. Media massa sebagai satu diantara sarana komunikasi merupakan alat penyampai pesan atau informasi yang mempunyai pengaruh amat besar terhadap kehidupan masyarakat, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Media komunikasi elektronik telah berkembang dengan pesat dan dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Desa Bedoyo. Masing-masing bentuk media mempunyai kelebihan dan kekurangan sesuai dengan misi yang akan disampaikan, relatif berperan dalam memperkuat jati diri bangsa yaitu sebagai media informasi, edukasi dan hiburan, yang berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan dan sikap pada diri masyarakatnya dan akan berdampak besar
103
pada masa depan dari corak dan nuansa kebudayaan, salah satunya adalah pertunjukan wayang purwa. Akibat dari kontak-kontak yang terjadi antara unsur budaya daerah dan asing ini, khususnya akan lebih terlihat pada pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap budaya tersebut yang akan berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di masa datang. Untuk melihat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kebudayaan daerah, salah satunya dapat dilihat dari aspek komunikasi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan tersebut melalui media tradisional yaitu pertunjukan wayang purwa. Peubah yang berhubungan sangat nyata (p<0,01) antara lain: pendidikan dengan efektivitas komunikasi masyarakat, pekerjaan dengan sikap masyarakat, pendapatan dengan efektivitas komunikasi masyarakat dan menonton televisi dengan efektivitas komunikasi masyarakat. Peubah yang berhubungan nyata (p<0,05) adalah jenis kelamin dengan pengetahuan. Dengan demikian hipotesis H2 diterima. Hubungan Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa dengan Efektivitas Komunikasi Masyarakat tentang Bersih Desa Dalam penelitian ini hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat secara keseluruhan berhubungan sangat nyata (p<0,01). Gambaran secara rinci tentang hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat dapat di lihat pada Tabel 9. Adanya hubungan secara keseluruhan antara karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat, bahwa wayang tidak hanya sebagai salah satu sumber pencarian nilai-nilai yang diperlukan bagi kelangsungan hidup masyarakat tetapi merupakan salah satu wahana dalam menambah pengetahuan yang menggunakan metode yang menarik. Pertunjukan wayang purwa mengajarkan ajaran dan nilai-nilainya tidak secara dogmatis sebagai suatu indoktrinisasi tetapi ia menawarkan ajaran dan nilai-nilai, terserah kepada
penonton
(masyarakat
dan
individu-individu)
sendiri
untuk
menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Wayang purwa mengajarkan ajaran dan nilainilai tidak secara teoritis (berupa ajaran dan nilai-nilai) melainkan secara kongkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang kongkret sebagai teladan. Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu secara
104
kaku atau akademis, melainkan ia di samping mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri, ia juga mendidik penonton melalui hati/rasanya dengan jalan adegan-adegan lucunya, adegan mengharukan atau menyentuh hati, membuat hati geram dan lain-lain. Dengan demikian dapat dikatakan metode yang digunakan untuk menambah pengetahuan penontonnya adalah metode total tetapi non formal melalui contoh-contoh watak yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa Tabel 9. Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo Karekteristik Pertunjukan Wayang Purwa Hubungan Dalang dengan Penonton Tokoh Pelaku Tema serta Masalah Pokok
Efektivitas Komunikasi Masyarakat ( ) Pengetahuan Sikap 0,293** 0,394** 0,331** 0,467** 0,466** 0,519**
Keterangan : ** = Hubungan sangat nyata pada p<1% = koefisien korelasi Tau kendall
Hubungan Dalang dengan Penonton terhadap Pengetahuan dan Sikap Hubungan antara dalang dengan penonton berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan dan sikap masyarakat. Hubungan Dalang dengan penonton merupakan hal-hal yang berkaitan dengan cara atau usaha dalang untuk menghidupkan suasana dialog wayang yang didekatkan dengan kehidupan realitas sehari-hari. Peranan Dalang dalam pertunjukan wayang purwa menempati posisi yang sangat penting. Dalang harus menguasai bermacam-macam keahlian meliputi bidang sastra, bahasa, tari musik dan drama. Dalang adalah penutur kisah, penyanyi lagu atau suluk, pemimpin instrumen gamelan yang mengiringi pementasan wayang yang mengajak penonton memahami suasana pada saat tertentu dan di atas segalanya itu dialah pemberi jiwa pada boneka. Kedudukan dan fungsi dalang dalam tradisi bersih desa sangat penting mengingat keberhasilan suatu tradisi sangat ditentukan oleh dalang. Dalang secara
spiritual
berkedudukan
sebagai
perantara
kontak
baik
dengan
masyarakat maupun dengan roh nenek moyang atau leluhur, ia memiliki kelebihan
dibanding
kebanyakan
orang,
memiliki
syarat
tertentu
yang
menyangkut kemampuan dalam memainkan wayang sesuai dengan pakem yang ada. Karena kelebihan ini, maka dalang dianggap sebagai orang yang serba mampu atau mumpuni. Di samping berfungsi sebagai pemimpin tradisi, dalang
105
juga sebagai pemimpin pertunjukan yaitu memiliki kewenangan untuk membuka dan menutup jalannya prosesi tradisi bersih desa. Dalang menguasai jalan cerita yang telah ditetapkan dalam lakon wayang, oleh karenanya interpretasi dalang dalam menangkap setiap peristiwa dan tokohnya harus benar-benar dipahami agar tujuan dari pertunjukan itu tercapai. Hal yang
penting
untuk
diamati laku ritual seorang
dalang sebelum
melaksanakan tugas mendalang dalam tradisi ritual, ia selalu menjaga kebersihan batinnya dari sifat-sifat kurang baik melalui puasa atau semadi. Keberadaan dalang dalam tradisi bersih desa ini merupakan suatu simbol hidup yang menghidupi. Berbicara mengenai hubungan dalang dengan penonon berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa figur dalang di era globalisasi mengalami suatu pergeseran dimana tidak semua responden menganggap figur dalang sebagai sosok yang dapat menyelami jiwa masyarakat desa dan aspirasiaspirasinya dan mempunyai pandangan hidup yang jelas terarah serta berwawasan luas. Responden hanya menganggap dalang sebagai seseorang yang menguasai kesenian daerah, menguasai teknik pedalangan dan berbekal suara yang baik serta orang yang mampu menyampaikan gagasan-gagasan kepada
penonton.
Sehingga
terkadang
seorang
dalang
tidak
dapat
menghidupkan suatu karakter-karakter yang dimainkan pada tema pertunjukan wayang karena adanya keterbatasan dalam keterampilan mereka. Kemampuan dan kredibilitas dalang dalam memainkan pertunjukan wayang purwa dengan tema bersih desa salah satu tujuannya adalah untuk merubah sikap penoton mengenai kegiatan bersih desa. Kemampuan dalang dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam pertunjukan wayang purwa dapat mempengaruhi minat penonton dalam mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan. Peranan Dalang dalam pertunjukan wayang purwa menempati posisi yang sangat penting. Dalang harus menguasai bermacam-macam keahlian meliputi bidang sastra, bahasa, tari musik dan drama. Dalang adalah penutur kisah, penyanyi lagu atau suluk, pemimpin instrumen gamelan yang mengiringi pementasan wayang yang mengajak penonton memahami suasana pada saat tertentu dan di atas segalanya itu dialah pemberi jiwa pada boneka. Kedudukan dan fungsi dalang dalam tradisi bersih desa sangat penting mengingat keberhasilan suatu tradisi sangat ditentukan oleh dalang. Dalang berkedudukan sebagai perantara kontak baik dengan masyarakat maupun
106
dengan roh nenek moyang atau leluhur, ia memiliki kelebihan dibanding kebanyakan orang, memiliki syarat tertentu yang menyangkut kemampuan dalam memainkan wayang sesuai dengan pakem yang ada. Karena kelebihan ini, maka dalang dianggap sebagai orang yang serba mampu atau mumpuni. Di samping berfungsi sebagai pemimpin tradisi, dalang juga sebagai pemimpin pertunjukan yaitu memiliki kewenangan untuk membuka dan menutup jalannya prosesi tradisi bersih desa. Dalang menguasai jalan cerita yang telah ditetapkan dalam lakon wayang, oleh karenanya interpretasi dalang dalam menangkap setiap peristiwa dan tokohnya harus benar-benar dipahami agar tujuan dari pertunjukan itu tercapai. Kemampuan dalang dalam berimprovisasi dalam pertunjukan pada responden yang tergolong muda mereka cenderung menyukai permainan yang selalu penuh dengan inovasi. Sedangkan pada responden yang tergolong tua ada kecendrungan ketidaktertarikan pada permainan yang penuh dengan improvisasi atau sesuatu yang baru, karena menurut mereka tidak sesuai dengan pakem pekeliran yang ada. Namun dalam diri secara keseluruhan responden mereka tetap menginginkan dalang yang berkualitas, terampil dalam memainkan pertunjukan wayang purwa agar pesan yang disampaikan dimengerti oleh penonton, serta memiliki sabetan di dalam setiap pertunjukan wayang purwa. Hubungan Tokoh Pelaku dengan Pengetahuan dan Sikap Hubungan tokoh pelaku dengan pengetahuan dan sikap berhubungan sangat nyata. Secara keseluruhan tokop pelaku dalam pelakonan pertunjukan wayang purwa merupakan sebagai sarana pembinaan watak masyarakat yang bertujuan untuk membangun kepribadian secara individu. Dalam pertunjukan wayang purwa selalu mengandung nilai-nilai serta filosofi yang tersirat dalam tokoh-tokoh pelaku dalam ceritera pewayangan yang dapat dijadikan sebagai pendidikan kepribadian untuk mendorong pembinaan watak yang berjati diri dengan penyesuaian nilai-nilai kearifan budaya lokal. Dalam hal ini pertunjukan wayang purwa dapat dijadikan sebagai media dalam proses mendidik anak-anak maupun para remaja tentang kearifan nilai-nilai budaya lokal. Pertunjukan wayang purwa sebagai sebuah teater dengan lakon-lakon yang rancu seperti wayang ini dapat mempertahankan eksistensinya, dimana wayang dengan berbagai macam cerita yang disusun menurut konvensikonvensi dramatiknya dan teater yang klasik dan yang tidak pernah berubah.
107
Perubahan-perubahan kecil yang menyimpang dari aturan (pakem) memang ada tetapi ini hanya merupakan varian-varian saja. Perubahan-perubahan besar yang jauh menyimpang dari pakem pedalangan akan dipandang sebagai suatu hal yang amat tidak benar. Konvensi-konvensi dramatik wayang terdiri dari struktur (kerangka cerita), pelaku-pelaku (karakter) dan bahasa yang dipakai. Dimana konvensi-konvesni dramatik tersebut akan mendukung pengetahuan dan sikap masyarakat terutama mengenai pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dalam prosesi bersih desa. Hubungan Tema serta Masalah Pokok dengan Pengetahuan dan Sikap Tema
serta
masalah
pokok
berhubungan
sangat
nyata
dengan
pengetahuan dan sikap. Tema-tema dalam pertunjukan wayang purwa yang diselenggarakan selalu berkaitan dengan permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat, yang didalam pesannya penuh dengan nilai-nilai serta filosofi mengenai informasi-informasi dalam berkehidupan baik berkenaan dengan hubungan vertikal maupun horizontal yang menambah wawasan masyarakat. Dalam pertunjukan wayang purwa memang tidak pernah disajikan suatu informasi yang lengkap, pesan-pesan yang disajikan disesuaikan dengan tema cerita yang telah dipilih oleh masyarakat, sehingga informasi yang disajikan terbatas pada lakon yang dimainkan, namun secara garis besar lakon tersebut mewakili keseluruhan kehidupan masyarakat. Tema-tema yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa dalam prosesi bersih desa selalu berkaitan dengan dua unsur yaitu kebenaran dan kesalahan yang terjadi dalam proses kehidupan manusia secara totalitas. Salah satu tema yang sering dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa berkaitan dengan tema bersih desa yang menggambaran kehidupan masyarakat sehingga lebih sering dimainkan selain itu banyak makna simbolik, spiritual dan fungsi secara sosial budaya untuk menjaga keseimbangan antara jagad gedhe dan jagad kecil dalam setiap kehidupan manusia yang bertujuan untuk menjauhakan gangguan baik bersifat fisik maupun non fisik yang terjadi dalam kelangsungan hidup masyarakat. Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat secara keseluruhan berhubungan sangat nyata (p<0,01) sehingga hipotesis H3 diterima.
108
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Usia responden merupakan usia produktif dengan tingkat pendidikan yang
tinggi, namun memiliki rataan pendapatan yang rendah secara sosial ekonomi. Sebagian besar responden termasuk dalam kategori tinggi mengkonsumsi media massa elektronik tetapi termasuk dalam kategori rendah dalam mengkonsumsi media massa cetak. 2. Karakteristik pertunjukan wayang purwa yang menyajikan materi bersih desa
masuk dalam kategori cukup sesuai. 3. Efektivitas
komunikasi masyarakat
dalam
memanfaatkan
pertunjukan
wayang purwa mempengaruhi sikap responden dalam pola kehidupannya termasuk dalam selang setuju. Pengetahuan yang diperoleh melalui pertunjukan wayang purwa termasuk dalam selang cukup mengetahui. 4. Hubungan
karakteristik
individu
dengan
pertunjukan
wayang
purwa
berhubungan nyata antara lain umur dengan tokoh pelaku, pendidikan dengan hubungan dalang dengan penonton dan pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok sedangakan untuk hubungan sangat nyata untuk pendidikan dan pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. Perilaku komunikasi berhubungan sangat nyata dengan pertunjukan wayang purwa dengan demikian Hipotesis H1 diterima. 5. Hubungan karakteristik individu dengan efektivitas komunikasi berhubungan
nyata adalah jenis
kelamin dengan pengetahuan dan peubah yang
berhubungan sangat nyata antara lain: pendidikan dengan efektivitas komunikasi masyarakat, pekerjaan dengan sikap masyarakat, pendapatan dengan efektivitas komunikasi masyarakat dan menonton televisi dengan efektivitas komunikasi masyarakat. Dengan demikian hipotesis H2 diterima. 6. Karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi
masyarakat secara keseluruhan berhubungan sangat nyata dan hipotesis H3 diterima.
109
Saran Dari hasil simpulan tersebut maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara teknis seorang dalang harus menguasai di bidang lakon wayang yang terdiri atas pengetahuan dan pemahaman terhadap sumber lakon, kekayaan repertoar dan alur dramatik dalam pertunjukan wayang purwa. Non
teknis
pekeliran,
seorang
dalang
harus
mengenal
berbagai
kecenderungan yang berkembang di masyarakat yang terkait dengan bersih desa, baik terkait mengenai ide, gagasan, selera, interest dan citarasa. Dalang harus mampu mewadahi dalam bentuk kemasan pakeliran yang sesuai dengan pakem yang ada, sehingga tidak menggeser nilai-nilai yang berkembang di era globalisasi. 2. Masyarakat lebih sering menggunakan bahasa Jawa yang teratur sebagai bahasa
sehari-hari,
sehingga
masyarakat
dapat
mempertahankan
karakteristik budaya dan warisan leluhur yaitu pertunjukan wayang purwa.
110
DAFTAR PUSTAKA Amir H. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Anwar S. 1982. “Dampak Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada Masyarakat Desa: Kasus KKN.” Universitas Andalas di Sumatera Barat. Disertasi, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arikunto S. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Baal van J. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Jilid 2. Jakarta: Gramedia. Becker J. 1993. Gamelan Stories: Tantrism, Islam and Aesthetics in Central Java. Arizona: Arizona State University. Berlo DK. 1960. The Process of Communication, An Introduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Budi S. 2002. Wayang Wahyu: Wayang Katolik Surakarta Spesifikasi dan Karateristiknya. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Ditjen Dikti. Coleman. 1998. Performing Pilgrimage: Walsingham and Ritual Construction of Irony dalam Fecilia Hughes-Freeland Rituat Performance Media. New York dan London: Routledge. Darusuprapta. 1998. Sarasehan Kebudayaan Jawi dalam Yatmana Tuntunan Kagem Pranatacara Tuwin Pamedhar Sabda. Semarang: Aneka Ilmu. Desa Bedoyo. 2007. “Monografi dan Potensi Desa Bedoyo.” Gunung Kidul, Yogyakarta. DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar. Edisi Kelima. Jakarta: Professional Books. Effendy OU. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Geertz C. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books Inc, Publisher. ________ .1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. ________ . 1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ________ . 2001. Agama sebagai Sistem Budaya. Yogyakarta: Qalam. Groenendael, V.M.C. 1997. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafiti.
111
Guritno P. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press. Hardjana A. 2000. Audit Komunikasi: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo Haryanto S. 1988. Pratiwimba Adiluhung. Jakarta: Djembatan . 1991. Seni Karya Wayang Kulit: Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan. Jakarta: Grafiti. . 1995. Bayang-bayang Adiluhung: Filsafat, Simbolis dan Mistik dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize. Hazeu GAZ. 1897. Bijdrage Tot de Kennis van Het Javaansche Tooneel (terjemahan). Leiden: E.J. Brill ____________. 1979. Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gagepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina. Terjemahan. Jakarta: Depdikbud. Holt C. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Terjemahan. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. James W. 1980. The Ceremonial Animal: A New Portrait of Anthropology. New York: Roudge. _________. 2003. The Varieties of Religious Experience. Alih Bahasa Luthfi Anshari. Yogyakarta: Jendela. Kartodirdjo S. 1992. Transformasi Budaya dalam Pembangunan, tantangan Kemanusiaan Universal. Editor. Mudjanto, et al. Yogyakarta: Kanisius. Kayam U, 1986, “Transformasi Budaya Kita”. Makalah Orasi Guru Besar Pada Fakultas Sastra. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Kerlinger FN. 1996. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat Komarudin. 1983, Ensiklopedia Manajemen. Bandung: Alumni. Kusuma, Gatut. 1972. “Kebatinan dan Pembangunan.” Yogyakarta: Budaya Jaya. Lionberger HF. 1960. Adoption of Ideas and Practice. Iowa: He Lown State University Press. Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agriculture Change Agent. Illinois : The Interstate Orienters and Publisher, Inc. Lombard D. 1996. Silang Nusa Budaya Jawa. Jilid 3. Jakarta: Gramedia.
112
Mellema RL. 1954. Wayang puppets (Carving, Colouring and Symbolis). Amsterdam: Koninklijlk Instituut voor de Tropen. Mulyana D. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyono S. 1975. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Haji Masagung. _________. 1979. Wayang dan Karakter Manusia (Mahabharata). Jakarta: Gunung Agung. Murgiyanto S. 1998. Mengenai Kajian Pertunjukan dalam Pudentia Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Pigeaud T. 1967. Literature of Java. Terjemahan. The Hague: Martins Nijhoff. Radcliffe-Brown AR. 1979. Structure and Function in Primitive Society: Essays and Addresses. London dan Henley: Routledge dan Kegan Paul. Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rogers EM, Shoemaker FF.1995. Communication of Innovation 2nd edition. New York: The Free Pres Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovation 5th edition. New York: The Free Press. Sastromidjojo AS. 1964, Renungan tentang Pertunjukan Wajang Kulit. Jakarta: Kinta. Satoto S. 1985. “Wayang Kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatiknya.” Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Yogyakarta. Schramm W, Forter WEM. 1973. Women, Message and Media. New York: PWS Kent. Schramm W, Kincaid DL. 1978. Azas-azas Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: LP3ES. Sendjaja SD. 1993. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Siahaan SM. 1991. Komunikasi Pemahaman dan Penerapannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Siegel S. 1994. Statistik Non Parametrik. Jakarta: Gramedia. Simatupang GRLL. 2005. Tubuh dan Gender dalam Perspektif Ilmu Sosial dan Seni; Pengantar Cross Gender. Malang: Sava Media. Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Story J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
113
Subagya R. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka. Subrata. 1992. “Media Massa dalam Era Globalisasi.” KOMPAS, 27 Oktober, Jakarta Sugandha D. 1988. Administrasi Strategi, Taktik dan Efisiensi. Jakarta: Ghalia. Sugito TB. 1984. Dakwah Islam Melalui Media Wayang Kulit. Solo: Aneka. Sujamto. 1993. “Kebudayaan Jawa Menatap Era Globalisasi.” Makalah. Lembaga Javanologi, Yogyakarta. Sumardjo J. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Suroto G. 1975. “Wayang dan Upacara-upacara Kepercayaan Masyarakat.” Pelita, 25 Februari 2005. Sutrisna S. 1992. “Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia.” Kedaulatan Rakyat, 3 September, Yogyakarta. Sutrisno R. 1983. Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya. Surakarta: ASKI. Swastomo W, 2000. “Aspek-aspek Komunikasi Organisasi Pemerintah Kabupaten Cianjur.” Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Toffler A. 1989. Kejutan Masa Depan. Terjemahan; Sri Koesdiyantinah SB. Jakarta: Pantja Senipati. Tubbs SL, Moss S. 2001. Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar, Buku Pertama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Turner V. 2005. “Liminality and Comunitas.” dalam Michael Lambek (Ed) A Reader in The Anthropology of Performance. New York: PAJ Publication. Vardiansyah D. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: UI Press. Wahyudi JB. 1992. Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Wardiana D. 1993. “Pengaruh Keanggotaan Kelompok Pembaca Pikiran Rakyat Terhadap Perilaku Inovasi dan Transfer Ide Pembangunan.” Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
70
115 Lampiran 1. Arti Kata dan Istilah Lokal Adiluhung penggunaan sastra-sastra yang indah dalam cerita-cerita pertunjukan wayang purwa Babad cerita yang mencampuradukkan epos Ramayana dan Mahabarata versi Indonesia dengan ceritera Arab/Islam Blencong lampu minyak yang digunakan untuk menyinari pertunjukan wayang sehingga nantinya dapat menimbulkan efek bayangan pada layar Caos pisungsung pemberian pengorbanan kepada leluhur Cempala pemukul dari kari kayu yang berfungsi untuk memukul kothak Dalang penutur kisah, penyanyi lagu atau suluk, pemimpin instrumen gamelan yang mengiringi pementasan wayang yang mengajak penonton memahami suasana pada saat tertentu dan di atas segalanya dialah pemberi jiwa pada boneka pipih yang terbuat dari kulit Dhuadaha dudukan wayang Eblek penutup kotak wayang Gara-gara pola-pola permasalahan yang tetap, terjabar akumulasi problematiknya, lalu muncul cahaya bulan, titik terang sekaligus titik balik dari berbagai krisis Gamelan laras pelog orkestra musik yang digunakan mengiringi pergelaran pementasan wayang kulit semalam suntuk yang terbagi menjadi dua, yaitu pelog barang dengan wilahan notasinya; 7, 2, 3, 4, 5, 6 dan pelog manis dengan memiliki wilahan notasi: 1, 2, 3, 4, 5, 6 Gamelan slendro orkestra musik yang digunakan mengiringi pergelaran pementasan wayang kulit semalam suntuk yang memiliki wilahan notasi: 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 Gedog waktu dimana ki dalang memukulkan cempala pada kotak wayang Gelung supit detail busana hiasan penutup kepala
116 Gending musik yang terdiri dari nyanyian dan iri-iringan berfungsi untuk mengiringi pertunjukan wayang purwa Gending ayak-ayakan musik yang disaring atau difilter, maknanya melambangkan sifat manusia yang suka sesirik, wira’i atau wirangi (hati-hati dalam segala hal), mampu memilah-milih, dan sebagainya Jagad gedhe dunia akhirat tempat dimana manusia mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia Jagad kecil dunia nyata tempat hidup makhluk Tuhan Jebolan mencabut kayon atau gunungan pertama Jejeran adegan pertama dalam pertunjukan wayang kulit Kayon gunungan yang merupakan pertanda bahwa pertunjukan wayang kulit akan segera dimulai Kawicaksanaan kesempurnaan sejati yang serba lengkap, utuh tanpa cacat Kejawen penjelajahan alam mistik dan supranatural Kelir layar kain mori putih, berpelisir kain merah dan berbingkai kayi, untuk menempatkan boneka wayang sepanjang pertunjukan. Ketika pelita blencong dinyalakan bayangbayang berkedip wayang tersebut tampak dari sebalik kelir Kepyak lempengan-lempengan metal yang bersentuhan yang menambah suara gemuruh Kosmos tatanan alam Kothak kayu yang dipukul-pukul oleh dalang dengan pemukul kayu untuk memberi tandatanda bagi para pangrawit setiap ada peralihan lagu-lagu atau penggantian ritmeritme baru Lakon cerita-cerita yang dimainkan dalam pertunjukan wayang baik mengikuti cerita klasik maupun lepas dari cerita klasik
117 Mahayu hayuning proja kewajiban manusia untuk membangun negara Mahayu hayuning bangsa kewajiban manusia untuk mempercantik bangsa Mahayu hayuning bawana kewajiban manusia untuk melestarikan dunia Mumpuni menguasai segala macam ilmu dan pengetahuan yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat Pakem sebuah kitab, catatan atau daftar yang tercantum segala peraturan mengenai bentuk dan jalan cerita pada suatu pertunjukan wayang kulit, termasuk di dalamnya irama gamelan yang dipakai mengiringi pementasan wayang kulit Pathet Penggambaran kehidupan manusia yang memiliki nilai-nilai kandungan filosofis yang tinggi dalam pementasan wayang kulit yang terbagi dalam tiga perkara; yaitu ketika dilahirkan, ketika menikah dan ketika matinya Pathet Manyura melambangkan usia manusia yang sudah senja atau tua sehingga ia harus mengadakan persiapan untuk marak (menghadap) kepada Tuhannya atau penggambaran suasana hati seseorang yang sudah parek (dekat dengan Tuhannya) Pathet Nem penggambaran suasana hati atau jiwa ketika masih muda Pathet Sanga simbolis usia pertengahan (tengah umur manusia) Pelog gamelan komplit (kendang, gender, barung, gender penerus, rebab, slenthem, gambang, suling, bonang, saron demung, saron barung, saron penerus, kethuk, kenong, kempul dan gong) yang digunakan untuk keperluan pementasan wayang kulit Pinisepuh Sesepuh dalam suatu desa yang dipercaya masyarakat dalam mendoakan desa Prois tetua adat yang biasa memberikan doa pada saat prosesi bersih desa Ricikan wayang yang diletakkan di atas penutup kothak wayang Sabetan teknik dalam menggerakkan wayang
118 Selir garwa selir istri ke dua dari seorang raja Setanggi kemenyan Simpingan wayang yang diatur di samping kanan dan kiri kelir(layar) Sinden seorang penyanyi dalam karawitan yang umumnya dilakukan oleh seorang perempuan Srempeg perlambangan sifat manusia yang suka cecawis (mempersiapkan diri), ngerti ing gati (mengerti mana yang paling penting dan yang penting atau kurang penting), melaksanakan sesuai prosedur dengan pertimbangan skala prioritas dan sebagainya Suluk penyanyi lagu Tancep kayon simbol yang menandakan berakhirnya pementasan dan berakhir pula kehidupan seseorang Tembang nyanyian yang dibawakan dalam pertunjukan wayang purwa dengan sifat yang kadang kala tidak jelas atau tidak tersurat, tersirat dalam kata, kumpulan kata atau kalimat Ugeranwayang kaidah dasar pakeliran yang dapat di lihat secara jelas dan untuk mempermudah upaya pelestarian, pengembangan dan revitalisasinya Wanda penggambaran ekspresi karakteristik yang menandai fisik seorang pahlawan
119
Lampiran 2. Uji Validitas Kuesioner
r (N=10) Variabel
VARIABEL X PERTUNJUKAN WAYANG PURWA
Indikator
Hubungan antara dalang dengan penonton (X1)
Pertanyaan
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Keterangan
Suka menonton (X1.1)
0.756
0.000
Sangat nyata
Penyelenggaraan Pertunjukan (X1.2)
0.842
0.000
Sangat nyata
Banyaknya menonton (X1.3)
0.873
0.000
Sangat nyata
Figur dalang (X1.4)
0.762
0.000
Sangat nyata
Kemampuan improvisasi dalang (X1.5)
0.786
0.000
Sangat nyata
Dalang menghidupkan karakter wayang (X1.6)
0.853
0.000
Sangat nyata
Kualitas dalang (X1.7)
0.805
0.000
Sangat nyata
Keterampilan dalang (X1.8)
0.842
0.000
Sangat nyata
Sabetan Dalang (X1.9)
0.842
0.000
Sangat nyata
Dialog dalam pertunjukan (X1.10)
0.800
0.000
Sangat nyata
120
Tokoh Pelaku (X2)
Dalang memberikan kesempatan dialog (X1.11)
0.757
0.000
Sangat nyata
Kesukaan pada lakon (X2.1)
0.861
0.000
Sangat nyata
Kesesuaian Lakon dengan tema bersih desa (X2.2)
0.762
0.000
Sangat nyata
Lakon sesuai dengan gambaran hidup (X2.3)
0.865
0.000
Sangat nyata
Lakon sesuai dengan lambang kehidupan (X2.4)
0.656
0.000
Sangat nyata
Lakon sebagai sumber kehidupan (X2.5)
0.844
0.000
Sangat nyata
Pedoman hidup tergambar dalam setiap lakon (X2.6)
0.918
0.000
Sangat nyata
Lakon dan kalangan usia (X2.7)
0.806
0.000
Sangat nyata
Lakon dengan norma (X2.8)
0.856
0.000
Sangat nyata
Lakon dengan kebiasaan hidup (X2.9)
0.832
0.000
Sangat nyata
121
Lakon dengan kepercayaan (X2.10)
0.793
0.000
Sangat nyata
Kepopuleran lakon (X2.11)
0.923
0.000
Sangat nyata
Mengetahui Lakon (X2.12)
0.757
0.000
Sangat nyata
Mengetahui bentuk lakon (X2.13)
0.708
Sangat nyata
0.000 Daya tarik lakon (X2.14)
Lakon dan daya tarik alur cerita (X2.15)
0.780
0.000
0.799
Sangat nyata
Sangat nyata
0.000 Tema serta Masalah Pokok (X3)
Kemampuan berbasa dan daya tarik (X3.1)
0.902
0.000
Sangat nyata
Deskripsi lakon dan berbahasa (X3.2)
0.661
0.000
Sangat nyata
Mengerti tema (X3.3)
0.724
0.000
Sangat nyata
Hubungan tema dengan masalah masyarakat (X3.4)
0.685
0.000
Sangat nyata
Tema dan informasi (X3.5)
0.719
0.000
Sangat nyata
Penyajian informasi lengkap (X3.6)
0.719
0.000
Sangat nyata
122
Pemahaman terhadap informasi (X3.7)
0.768
0.000
Sangat nyata
Tema sangat menyenangkan (X3.8)
0.810
0.000
Sangat nyata
Bosan dengan tema (X3.9)
0.755
0.000
Sangat nyata
Kesesuaian tema dengan jalan cerita (X3.10)
0.928
0.000
Sangat nyata
Kesesuaian tema dengan alokasi waktu (X3.11)
0.777
0.000
Sangat nyata
Kesukaan tema bersih desa (X3.12)
0.781
0.000
Sangat nyata
Tema Srimulih (X3.13)
0.852
0.000
Sangat nyata
Keseringan tema bersih desa (X3.14)
0.750
0.000
Sangat nyata
tema bersih desa sesuai dengan kebiasaan (X3.15)
0.934
0.000
Sangat nyata
Kepopuleran tema bersih desa (X3.16)
0.842
0.000
Sangat nyata
Bosan dengan bersih desa (X3.17)
0.814
0.000
Sangat nyata
Masalah pokok (X3.18)
0.820
0.000
Sangat nyata
123
VARIABEL Y EFEKTIVITAS KOMUNIKASI
Pengetahuan (Y1)
Dua unsur (X3.19)
0.815
0.000
Sangat nyata
Mengetahui salah satu tema (X3.20)
0.720
0.000
Sangat nyata
Mengetahui bersih desa (Y1.1)
0.702
0.000
Sangat nyata
Kegiatan pembenahan penuh semangat(Y1.2)
0.880
0.000
Sangat nyata
Kegiatan pembenahan penuh kegiatan (Y1.3)
0.755
0.000
Sangat nyata
Pemeliharaan desa dengan semangat (Y1.4)
0.869
0.000
Sangat nyata
Pemeliharaan desa dengan kegiatan (Y1.5)
0.865
0.000
Sangat nyata
Syukur kepada Tuhan (Y1.6)
0.766
0.000
Sangat nyata
Penghormatan kepada leluhur (Y1.7)
0.723
0.000
Sangat nyata
Pengayoman (Y1.8)
0.873
0.000
Sangat nyata
Merti (Y1.9)
0.877
0.000
Sangat nyata
Keseimbangan (Y1.10)
0.739
0.000
Sangat nyata
124
Sikap (Y2)
Aset budaya dalam makna (Y1.11)
0.835
0.000
Sangat nyata
Aset budaya dalam nilai terbaik (Y1.12)
0.788
0.000
Sangat nyata
Simbol dan makna (Y1.13)
0.853
0.000
Sangat nyata
Sesaji (Y1.14)
0.817
0.000
Sangat nyata
Tempat (Y1.15)
0.817
0.000
Sangat nyata
Bentuk religi (Y1.16)
0.795
0.000
Sangat nyata
Ekspresi terhadap Tuhan (Y1.17)
0.873
0.000
Sangat nyata
Tradisi bersih desa (Y1.18)
0.734
0.000
Sangat nyata
Bersih desa memuat makna (Y1.19)
0.933
0.000
Sangat nyata
Bersih desa dan sikap masyarakat (Y1.20)
0.871
0.000
Sangat nyata
Bersih desa dan norma (Y1.21)
0.907
0.000
Sangat nyata
Kemampuan dalang dengan minat (Y2.1)
0.845
0.000
Sangat nyata
Kecerdasan dalang dengan minat (Y2.2)
0.910
0.000
Sangat nyata
Kreasi baru oleh dalang (Y2.3)
0.732
0.000
Sangat nyata
125
Kredibilitas dalang (Y2.4)
0.720
0.000
Sangat nyata
Kreatifitas dalang (Y2.5)
0.843
0.000
Sangat nyata
Kepercayaan dengan informasi (Y2.6)
0.912
0.000
Sangat nyata
Pertunjukan wayang purwa dan informasi bersih desa (Y2.7)
0.824
0.000
Sangat nyata
Dalang dan mediun perantara (Y2.8)
0.907
0.000
Sangat nyata
Kemampuan dan kecerdasan dalang dengan minat (Y2.9)
0.871
0.000
Sangat nyata
Kreasi baru (Y2.10)
0.842
0.000
Sangat nyata
Kemampuan menciptakan kreasi baru (Y2.11)
0.754
0.000
Sangat nyata
126 Lampiran 3. Uji Reliabilitas Kuesioner Case Processing Summary N Cases
Valid Excluded( a) Total
10
% 100.0
0
.0
10 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Karakteristik pertunjukan Wayang Purwa Cronbach's Alpha
Part 1
Value N of Items
Part 2
Value N of Items
Total N of Items
.964 23(b) 46
Correlation Between Forms Spearman-Brown Coefficient
.943 23(a)
.527
Equal Length
.691
Unequal Length
.691
Guttman Split-Half Coefficient
.688
a The items are: VAR00001, VAR00003, VAR00005, VAR00007, VAR00009, VAR00011, VAR00013, VAR00015, VAR00017, VAR00019, VAR00021, VAR00023, VAR00025, VAR00027, VAR00029, VAR00031, VAR00033, VAR00035, VAR00037, VAR00039. VAR00041, VAR00043, VAR00045. b The items are: : VAR00002, VAR00004, VAR00006, VAR00008, VAR00010, VAR00012, VAR00014, VAR00016, VAR00018, VAR00020, VAR00022, VAR00024, VAR00026, VAR00028, VAR00030, VAR00032, VAR00034, VAR00036, VAR00038, VAR00040, VAR00042, VAR00044, VAR00046. Reliability Statistics Tingkat Efektivitas Komunikasi Cronbach's Alpha
Part 1
Value N of Items
Part 2
Value N of Items
Total N of Items Correlation Between Forms Spearman-Brown Coefficient
.963 16(a) .963 16(b) 32 .936
Equal Length
.967
Unequal Length
.967
Guttman Split-Half Coefficient
.956
a The items are: VAR00001, VAR00003, VAR00005, VAR00007, VAR00009, VAR00011, VAR00013, VAR00015, VAR00017, VAR00019, VAR00021, VAR00023, VAR00025, VAR00027, VAR00029, VAR00031. b The items are: VAR00002, VAR00004, VAR00006, VAR00008, VAR00010, VAR00012, VAR00014, VAR00016, VAR00018, VAR00020, VAR00022, VAR00024, VAR00026, VAR00028, VAR00030, VAR00032.