JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
PENGEMBANGAN MODEL KESIAPAN PETANI KELAPA SAWIT DALAM MENGHADAPI PEREMAJAAN KEBUN (REPLANTING) DI PROVINSI RIAU Rita Yani Iyan Hendro Ekwarso Taryono Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau Kampus Binawidya Jln. HR Subrantas Km 12.5 Pekanbaru 28293
ABSTRACT
This study aimed to describe the readiness of oil palm farmers replanting the people in the face of capital in terms of preparedness and readiness of the waiting period. The results showed that in general (70.83%) of farmers having land area of oil palm plantations has entered old age of about 1 to 2 hectares with proof of ownership in general certificate (93.33%) and SKT of the district head / headman (5, 83%), as well as other evidence (0.83%). In general, the age of farmers is not a young age again. The majority (69.17%) their age is above 41 years by level of education in general SMP down. Structure activity that most of the family members (72.00%) were of school age and only just as much as 28.00% of the working members. Conditions add to the burden of farmers in the decision to perform rejuvenation garden that has entered old age. So far, farmers are generally incorporated into farmer groups as well as members of the cooperative. The dilemma faced by farmers is during the waiting period, the practical farmers do not earn revenue from land rejuvenated. But farmers have to continue to spend to meet their daily needs. On the other hand, not all farmers have other sources of income sufficient to be able to maintain their consumption patterns. This condition must be a problem for farmers facing a waiting period. Keyword : replanting,oil palm farmers
ISSN : 2087-4502
-1-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
I.
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
PENDAHULUAN
Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat. Luas perkebunan rakyat pada tahun 2000 yang diusahakan dengan program Pola Inti Rakyat (PIR) seluas 326.744 Ha dan non PIR seluas 332.572 Ha. Selain itu, diusahakan oleh perkebunan besar yang terdiri dari perkebunan besar swasta seluas 548.009 Ha dan perkebunan besar negara seluas 106.142 Ha. Namun demikian produktifitas perkebunan rakyat lebih rendah (26,5 persen) daripada perkebunan besar (73,5 persen). Sebahagian tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Riau saat ini telah memasuki masa usia tua. Pada tahun 1980 di Provinsi Riau terdapat seluas 2.078 Ha kebun kelapa sawit, kemudian luas tersebut meningkat menjadi seluas 240.181 Ha pada tahun 1990. Dengan demikian sebagian besar perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Riau sudah waktunya untuk diremajakan (replanting), karena berusia antara 25 – 30 tahun. Dalam hubungannya dengan faktor umur, tanaman kelapa sawit dapat memberikan pendapatan bagi petani selama proses produksi berlangsung, tetapi pendapatan itu akan selalu menurun dengan semakin tua umur tanaman. Karena dengan bertambahnya umur, tanaman akan mengalami kemunduran fisik, produktivitas menurun, biaya pemeliharaan dan eksploitasi meningkat sehingga secara ekonomis pengelolaannya tidak akan memberikan keuntungan lagi. Dengan peremajaan, produksi tanaman kelapa akan meningkat didalam jangka panjang. Selain itu dilakukannya peremajaan adalah untuk mendapatkan komposisi tanaman yang ideal sehingga produksi rata-rata per hektar akan sama dengan produksi rata-rata tanaman yang diusahakan sepanjang siklus hidupnya. Dalam pelaksanaan replanting ini menjadi penting untuk diamati terkait dengan sosial ekonomi petani, terutama pada kesiapan modal petani untuk melakukan replanting dan pola konsumsi dalam menghadapi masa tunggu.
ISSN : 2087-4502
-2-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Riau. Tahun pertama penelitian direncanakan di kawasan perkebunan kelapa sawit rakyat yang usianya telah memasuki masa peremajaan (20-25 tahun). Berdasarkan faktor usia kebun kelapa sawit rakyat di Provinsi Riau, maka diambil sebagai daerah sampelnya yakni Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Siak.
B. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data primer diperoleh dengan wawancara terstruktur (menggunakan daftar pertanyaan) yang disusun berdasarkan kebutuhan penelitian. Untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam dilakukan wawancara secara tidak terstruktur dengan pelaku perkebunan kelapa sawit rakyat dan pembuat kebijakan. Selain itu dilakukan observasi Lapangan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap keadaan umum aspek-aspek yang diamati. Sasaran pengamatan meliputi antara lain kondisi lingkungan, kebun, infrastruktur dan suprastruktur.
C. Analisis Data Pada tahun pertama penelitian ini, untuk mendapat hasil penelitian pengembangan model kesiapan petani kelapa sawit dalam menghadapi peremajaan kebun (replanting) di Provinsi Riau, maka perlu dilakukan analisis kesiapan petani perkebunan kelapa sawit rakyat dalam menghadapi peremajaan yang meliputi investasi, sumberdaya manusia, dan teknologi. Kesiapan tersebut meliputi kesiapan petani untuk melakukan replanting, dan kesiapan petani pada masa replanting.
ISSN : 2087-4502
-3-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
III.
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Karateristik Reponden Sebagian besar (69,17%) usia petani sudah diatas 41 tahun. Pada kondisi usia yang tidak muda lagi tentu hal ini akan mempengaruhi produktivitas kerja dari petani.
Tabel 1 : Karateristik Umur Responden Umur
Frekuensi
%
30-35
21
17,50
36-41
16
13,33
42-47
13
10,83
48-53
35
29,17
54-59
20
16,67
60-65
9
7,50
66-71
4
3,33
72-77
2
1,67
Jumlah
120
100,00
Sumber : Diolah dari data lapangan Menurut Saputri dan Rejekiningsih (2010) ada beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam upaya meningkatkan penyerapan tenaga kerja antara lain melalui peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan kerja agar produktivitas tenaga kerja meningkat seiring dengan meningkatnya upah pekerja. Diadakannya secara rutin pelatihan kewirausahaan kepada penduduk. Memaksimalkan sektor-sektor yang potensial dalam menyerap tenaga kerja. Memanfaatkan kewenangan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan perluasan penyerapan tenaga kerja. Menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai agar penduduk produktif tetap bekerja serta diupayakan agar penetapan UMK lebih besar dari pada KHL.
ISSN : 2087-4502
-4-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Disamping usia petani yang tidak lagi muda, pada umumnya (62,50%) dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. Petani dengan pendidikan tamat perguruan tinggi sebanyak 6,7% dan pendidikan SMU sebanyak 30,8%. Tabel 2 : Tingkat Pendidikan Responden Pendidikan Tidak Tamat SD SD SMP SMU Perguruan Tinggi
Frekuensi
Jumlah Sumber : Diolah dari data lapangan
% 5 24 46 37 8
4,2 20,0 38,3 30,8 6,7
120
100,0
Struktur aktivitas anggota keluarga yang sebagian besar (72,00%) berada pada usia sekolah dan sebanyak 28,00% dari anggota keluarga petani dengan aktivitas seharihari adalah bekerja.
Sumber : Diolah dari data lapangan
Gambar : Karateristik Aktivitas Anggota Keluarga
ISSN : 2087-4502
-5-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
2. Kesiapan Modal Petani Dalam Menghadapi Peremajaan Kebun Kelapa Sawit
Menurut Notohaprawiro (2006) pertanian rakyat hendaknya dijadikan sasaran inti karena sektor ini akan dapat menjadi piranti perangkai globalisasi dengan demokratisasi ekonomi. Pada umumnya (70,83%) petani memiliki luas lahan kebun kelapa sawit yang telah memasuki usia tua sekitar 1- 2 Ha. Selain itu, sebanyak 20% petani memiliki luas lahan kebun kelapa sawit yang sudah tua sekitar 3-4 Ha. Sedangkan petani yang memiliki kebun yang sudah tua diatas 4 Ha sebanyak 9,17%. Selanjutnya Susila (2004) menyatakan pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan investasi, output, dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit mempunyai kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga dalam hal pendapatan dan aset.
Tabel 3 : Rata-rata Luas Lahan Yang Akan di Remajakan Luas 1–2 3–4 >4 Jumlah Sumber : Diolah dari data lapangan
Frequency
% 85 24 11 120
70,83 20,00 9,17 100,00
Pada umumnya (93,33%) bukti kepemilikan lahan kebun kelapa sawit yang telah memasuki usia tua tersebut adalah berupa sertifikat. Selain itu, bukti kepemilikan lahan juga berupa SKT dari camat/lurah sebanyak 5,83% dan bukti lainnya sebanyak 0,83%.
Tabel 4 : Bentuk Bukti Kepemilikan Lahan Yang Akan di Remajakan Keterangan Sertifikat SKT Camat/Lurah Lainnya Total Sumber : Diolah dari data lapangan
ISSN : 2087-4502
Frequency 112 7 1 120
-6-
Percent 93,33 5,83 0,83 100,00
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Pada umumnya (42,50%) petani menginginkan peremajaan kebunnya dengan pola kemitraan melalui koperasi dengan perbankkan. Bagi petani yang telah mempersiapkan dari awal dana untuk peremajaan kebun dan memiliki kemampuan permodalan yang cukup untuk membangun kebun kembali, sebanyak 11,67% petani memilih melakukan peremajaan dengan modal sendiri. Sedangkan bagi petani yang telah memiliki dana untuk peremajaan namun belum cukup untuk melaksanakan mereka memilih melakukan peremajaan dengan pola modal sendiri ditambah pinjaman sebanyak 18,33%. Namun demikian, masih cukup sebanyak (25,00%) petani yang belum membuat keputusan atau masih ragu-ragu untuk menentukan pola peremajaan yang dipilihnya. Tanggapan yang muncul dari para responden apabila mereka memilih pola kemitraan mereka harus mengangsur cicilan yang relatif besar dengan jangka waktu yang relatif lama. Sementara jika harus melakukan peremajaan sendiri mereka memiliki keterbatasan dana.
Tabel 5 : Kesiapan Petani Untuk Melaksanakan Peremajaan Kebun Kelapa Sawit Keterangan
Frequency
Percent
Modal Pribadi
14
11,67
Modal Pribadi + Pinjaman
22
18,33
Bermitra Dengan Koperasi/Perbankkan
51
42,50
3
2,50
30
25,00
120
100,00
Program Pemerintah Belum ada keputusan/Ragu-ragu Total Sumber : Diolah dari data lapangan
Menurut Pambela, dkk (2013) faktor internal yang sangat mempengaruhi dalam peremajaan perkebunan kelapa sawit adalah meliputi (1) lahan plasma telah menjadi milik petani, (2) petani merupakan anggota kelompok tani dan KUD, (3) petani memiliki tabungan kelompok dan memiliki IDAPERTABUN, (4) hubungan petani dengan perusahaan inti yang masih kuat, (5) dan pengalaman petani dalam budidaya kelapa sawit cukup tinggi.
ISSN : 2087-4502
-7-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Hasil survey menunjukkan bahwa dalam rangka menghadapi proses peremajaan dan masa tunggu pada umumnya (61,67%) aset yang dapat dijadikan jaminan berupa sertifikat rumah/bangunan/lahan. Selain itu, berupa aset kendaraan (30%), dan SK PNS/Karyawan (5,83%), serta surat-surat berharga lainnya (2,50%). Menurut Swastika, dkk. (2000) penguasaan asset yang paling signifikan mencerminkan tingkat ekonomi petani adalah luas pemilikan dan penguasaan lahan
Tabel 6 : Kepemilikan Aset yang dapat dijadikan Jaminan Selain Lahan yang akan Diremajakan Keterangan
Frequency
Percent
Sertifikat Rumah/Bangunan/Lahan
74
61,67
BPKB Kendaraan
36
30,00
SK PNS/Karyawan
7
5,83
Surat-surat berharga lainnya
3
2,50
120
100,00
Total Sumber : Diolah dari data lapangan
Menurut Tarmisol (2012) banyaknya tanaman kelapa sawit yang berusia tua, produktivitasnya menurun. perlu diremajakan. Peremajaan memerlukan kajian mengenai biaya
investasi dan terhentinya produksi. Penentuan waktu peremajaan
merupakan titik krusial, berkaitan dengan efisiensi produksi pada rentang umur ekonomis. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara lapangan terhadap petani dan pengurus koperasi serta aparat desa di Kabupaten Siak diperoleh informasi bahwa koperasi telah membuat program tabungan untuk menghadapi masa replanting, namun demikian tidak semua petani mengikuti program tersebut. Program tabungan tersebut dalam bentuk IDAPERTABUN. Saat ini nilai tabungannya sudah mencapai sekitar Rp. 7.000.000 sampai dengan Rp. 8.000.000. Selain itu, selama ini petani sebagai anggota koperasi ada iuran anggota yang setiap bulannya sekitar Rp. 200.000 dan sekarang ratarata nilainya sudah mencapai sekitar Rp. 10.000.000. Bahkan sekitar 70% anggota koperasi sudah memiliki tabungan rata-rata Rp. 20.000.000.
ISSN : 2087-4502
-8-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Berubahnya
orientasi
usahatani
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
dapat
dimaklumi
karena
tujuan
untuk
meningkatkan pendapatan merupakan konsekuensi dari semakin meningkatnya kebutuhan usahatani dan kebutuhan hidup petani bersama keluarganya. (Antara, 2004). Kemampuan untuk meremajakan kebun kelapa sawit secara mandiri terutama sangat ditentukan oleh kemampuan modal yang dimiliki oleh petani kelapa sawit rakyat. Informasi yang diperoleh dari pengurus koperasi menyebutkan bahwa secara ekonomi sekitar 60% petani anggota koperasi mampu untuk melakukan peremajaan secara mandiri sedangkan sekitar 40% petani anggota koperasi tidak mampu untuk melakukan peremajaan kebun kelapa sawitnya secara mandiri. Koperasi memberikan kebebasan kepada petani untuk peremajaan kebun kelapa sawit terutama bagi 40% petani yang tidak sanggup melaksanakan replanting secara mandiri. Karena mereka umumnya tidak mempunyai lahan lain sehingga akan mengalami kendala dalam pemenuhan kebutuhan biaya hidup selama menunggu sampai dengan kebun menghasilkan. Menurut Hadi (2012) bahwa replanting yang diadakan secara perorangan merupakan suatu ancaman ketika dilaksanakan replanting karena akan mengakibatkan performan kebun tidak standar sehingga produktivitas menjadi rendah.
3. Kesiapan Petani Dalam Menghadapi Masa Tunggu Masa tunggu merupakan masa dimana lahan perkebunan kelapa sawit rakyat yang sudah tua telah diremajakan untuk ditanam dengan tanaman kelapa sawit yang baru sampai dengan tanaman perkebunan tersebut menghasilkan atau petani sudah mendapatkan penghasilan dari usaha tanaman kelapa sawit yang diremajakan tersebut. Selama masa tersebut berarti praktis petani tidak memperoleh pendapatan dari lahan yang diremajakan. Namun petani harus tetap melakukan pengeluaran terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pola konsumsi selama ini yang cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan petani pada saat masih produktif akan sulit untuk dirubah dalam waktu seketika.
ISSN : 2087-4502
-9-
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Penelitian Taryono (2010) menunjukkan bahwa pada tahap awal tanaman kelapa sawit mulai produksi pengeluaran rumah tangga sebagian besar (68,02 persen) digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan selebihnya 31,98 persen untuk kebutuhan non pangan.
Tabel 7 : Sumber Pendapatan yang Saat ini dimiliki sebagai persiapan untuk menghadapi masa tunggu Keterangan
Frequency
Tidak Memiliki Lahan Usaha Lainnya Kebun Buah-Buahan dan Sayuran Kebun Kelapa Sawit Kebun Karet Palawija Lahan Peternakan dan perikanan Usaha Perdagangan/Industri/Jasa Rumah Sewa/Bangunan Lainnya PNS/Karyawan Swasta Total
17 10 58 9 12 5 4 2 3 120
Percent
Rata-rata pendapatan 0 1.895.000 3.199.296 588.889 779.167 1.400.000 1.550.000 1.750.000 1.800.000
14,17 8,33 48,33 7,50 10,00 4,17 3,33 1,67 2,50 100,00
Sumber : Diolah dari data lapangan
Menurut maksimalisasi
Priyono aliran
(2010),
dimensi
pendapatan
yang
ekonomi dapat
berkaitan
diperoleh
dengan
dengan
konsep
setidaknya
mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Jumlah petani yang tidak memiliki lahan usaha lainnya sebanyak 17 %. Alternatif usaha yang dipilih oleh petani pada umumnya (48,33%) adalah usaha perkebunan kelapa sawit. Pemelihan usaha kelapa sawit ini pada lahan usaha lainnya tentunya dengan pertimbangan bahwa mereka telah memiliki pengalaman yang cukup dalam usaha kelapa sawit dan usaha tersebut saat ini masih memberikan nilai ekonomi yang tinggi bagi petani. Rata-rata pendapatan usaha kelapa sawit tersebut setiap bulannya mampu memberikan penghasilan sebesar Rp. 3.199.296. Selain kelapa sawit, sebanyak 10% responden memiliki usaha pertanian berupa lahan palawija terutama dikembangkan pada lahan pekarangan. Usaha pertanian palawija tersebut rata-rata mampu memberikan penghasilan sebesar Rp. 799.167.
ISSN : 2087-4502
- 10 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan usaha dapat menjamin terciptanya efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Untuk mendukung upaya ini diperlukan konsolidasi kelembagaan yang mantap, baik di tingkat petani, pihak swasta maupun pemerintah (Septana dan Ashari, 2007). Pada masa tunggu petani yang mengusahakan buah-buahan dan sayuran (8,33%) dengan pendapatan sebesar Rp. 1.895.000. Mengusahakan kebun karet (7,50%) dengan penghasilan sebesar Rp. 588.889. Usaha peternakan dan perikanan (4,13%) dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 1.400.000. Usaha diluar pertanian, antara lain usaha perdagangan dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp.1.550.000. Rumah sewa (1,67%) dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp. 1.750.000 dan PNS/Karyawan swasta (2,50%) dengan penghasilan rata-rata Rp. 1.800.000. Penelitian Iyan (1991) pada perkebunan kelapa menunjukkan bahwa pendapatan bersih petani kelapa yang telah melakukan peremajaan lebih besar dibandingkan dengan petani kelapa yang belum melakukan peremajaan. Sementara itu, ketika kebun kelapa sawit diremajakan berarti pekerjaan petani akan hilang. Mau tidak mau petani harus mencari jenis pekerjaan yang baru atau tetap bekerja pada pekerjaan saat ini namun tidak berkaitan dengan kebun yang diremajakan. Begraund pekerjaan yang selama ini adalah berada pada sektor pertanian hal ini membuat para petani dalam memilih alternatif pekerjaan lainnya juga tidak jauh berbeda dengan keahlian yang dimiliki selama ini. Walaupun diantara petani masih ada yang menyatakan belum tahu (8,33%) apa jenis pekerjaan yang akan digelutinya apabila peremajaan jadi dilaksanakan. Sebanyak 31,67% petani responden memilih alternatif pekerjaan sebagai petani kebun sawit/karet/salak dan lain-lain serta beternak merupakan alternatif pilihan pekerjaan yang dilakukan oleh 8,33% petani responden. Menurut Iriantini (2014) untuk tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah tua perlu segera dilakukan peremajaan. Model yang diterapkan adalah teknis konvensional dengan pola tumpang sari.
ISSN : 2087-4502
- 11 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Tabel 8 : Alternatif Pekerjaan yang dipilih petani dalam menghadapi masa tunggu Keterangan
Frequency
Percent
Belum Tahu
10
8,33
Buruh Tani/Bangunan
29
24,17
6
5,00
Berdagang/Bengkel/Jasa
14
11,67
Bertani Kebun Sawit/Karet/Salak dll
38
31,67
PNS/Karyawan
13
10,83
Beternak
10
8,33
120
100,00
Supir
Total Sumber : Diolah dari data lapangan
Selain memutuskan untuk bertani kebun sawit/karet/salak pada umumnya petani memilih alternatif jenis pekerjaan yang mudah dilakukan dan tidak terlalu membutuhkan skill khusus, misalnya menjadi buruh tani/bangunan (24,17%). Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan keahlian khusus seperti supir, PNS/Karyawan masing-masing sebanyak 5% dan 10,83%. Struktur pengeluaran kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani kelapa sawit rakyat yang memasuki masa peremajaan, terutama konsumsi padi-padian sebesar 8,63%. Gaya hidup yang kurang sehat masih ditunjukkan oleh para petani yang tercermin dari masih tingginya (7,90%) pengeluaran untuk konsumsi tembakau dan sirih. Kesadaran keluarga petani kelapa sawit rakyat akan gizi makanan juga meningkat yang tercemin dari pengeluaran untuk ikan, daging, telur dan susu dengan proporsinya masing-masing sebesar 3,09%, 2,63%, dan 3,11%.
ISSN : 2087-4502
- 12 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Tabel 9 : Rataan Jenis Pengeluaran Bahan Makanan Petani Kelapa Sawit Per Bulan No
Keterangan
1
Padi-padian
2
Pengeluaran
%
270.198
8,63
Umbi-Umbian
43.533
1,39
3
Ikan
96.667
3,09
4
Daging
82.446
2,63
5
Telur dan Susu
97.485
3,11
6
Sayur-Sayuran
58.467
1,87
7
Kacang-Kacangan
37.750
1,21
8
Buah-Buahan
130.317
4,16
9
Minyak dan Lemak
141.522
4,52
10
Bahan Minuman
61.471
1,96
11
Makan dan Minuman Jadi
96.550
3,08
12
Tembakau dan Sirih
247.208
7,90
1.363.614
43,57
Bahan Makanan Sumber : Diolah dari data lapangan
Meningkatnya perekonomian keluarga telah turut meningkatkan pola konsumsi rumah tangga petani kelapa sawit terutama untuk pengeluaran non bahan makanan. Meningkatnya proporsi pengeluaran untuk non bahan makanan dapat juga dijadikan sebagai indikator meningkatnya kesejahteraan petani kelapa sawit. Namun demikian, pola konsumsi non bahan makanan yang meningkat akan dapat menimbulkan permasalahan yang serius bagi rumah tangga petani kelapa sawit dalam menghadapi masa tunggu. Standar hidup yang selama ini dinikmati mungkin mampu diturunkan bahkan dihilangkan dalam waktu relatif singkat. Pengembangan agribisnis dalam perspektif pembangunan pertanian yang berkelanjutan, perlu memperhatikan beberapa aspek penting berikut (Asriani, 2003) : (1) aspek sumberdaya (resource endowment), (2) aspek teknologi (technological endowment). Produksi pertanian tidak dapat meningkat bila pelaksananya tidak menguasai teknologi. Oleh karena itu proses adopsi inovasi terhadap teknologi baru sangat penting, dan dalam hal ini peranan penyuluh pertanian menjadi sangat strategis. (3) aspek kelembagaan (institutional endowment). ISSN : 2087-4502
- 13 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Besar dan luasnya rumah yang dimiliki petani kelapa sawit dapat mencerminkan status sosial maupun ekonomi di mata masyarakat. Dengan meningkatnya perekonomian keluarga petani cenderung untuk memperbaiki rumahnya sehingga akan meningkatkan pengeluaran untuk perumahan (12%). Seiring berjalannya waktu anakanak petani kelapa sawit rakyat telah memasuki usia sekolah baik dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Dengan demikian kebutuhan pengeluaran untuk biaya pendidikan juga akan semakin besar (24,32%). Kondisi fisik petani yang semakin tua juga membutuhkan biaya kesehatan cukup besar 3,71%. Penelitian Siregar dan Nauman (2011) Percepatan peremajaan dan rehabilitasi karet tua dan tidak produktif pada perkebunan karet rakyat ditujukan dalam upaya peningkatan adopsi klon unggul, yang diharapkan dapat dilakukan melalui program peremajaan berbantuan (pemerintah), swadaya masyarakat ataupun melalui model Percepatan Peremajaan Karet Partisipatif. Tabel 10 : Rataan Jenis Pengeluaran Non Bahan Makanan Petani Kelapa Sawit Per Bulan No
Keterangan
Pengeluaran
%
1
Perumahan
405.917
12,97
2
Listrik
101.401
3,24
3
Telepon
26.469
0,85
4
Transportasi
122.131
3,90
5
Pendidikan
761.292
24,32
6
Kesehatan
116.058
3,71
7
Rekreasi/ Wisata
120.250
3,84
8
Sosial/Asuransi/Pesta dll
112.708
3,60
1.766.225
56,43
Non Bahan Makanan Sumber : Diolah dari data lapangan
Herman M dan Pranowo D (2011). Pemanfaatan lahan diantara tanaman sawit TBM dengan tanaman sela jagung merupakan salah satu alternatif untuk mensubtitusi pendapatan petani yang hilang dari tanaman sawitnya yang diremajakan dan memiliki potensi yang besar untuk mendukung swasembada Jagung nasional.
ISSN : 2087-4502
- 14 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat di simpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kondisi lahan kebun petani kelapa sawit rata-rata sudah diatas 25 tahun dan sudah wajib untuk dilakukan peremajaan. Rata-rata setiap rumah tangga petani pada umumnya (70,83%) memiliki luas lahan kebun kelapa sawit yang telah memasuki usia tua sekitar 1- 2 Ha dengan bukti kepemilikan pada umumnya
sertifikat
(93,33%) dan SKT dari camat/lurah (5,83%), serta bukti lainnya (0,83%). Pada umumnya usia petani kebun kelapa sawit rakyat yang telah memasuki usia tua tidaklah dalam usia muda lagi. Sebagian besar (69,17%) usia mereka sudah diatas 41 tahun. selain itu, dengan tingkat pendidikan petani kelapa sawit pada umumnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah menyebabkan mereka relatif lebih cenderung untuk mendapatkan jenis pekerjaan yang kasar. 2. Struktur aktivitas anggota keluarga yang sebagian besar (72,00%) berada pada usia sekolah dan hanya hanya sebanyak 28,00% dari anggota keluarga yang bekerja. Kondisi menambah beban petani dalam mengambil keputusan untuk melakukan peremajaan kebunnya yang telah memasuki usia tua. 3. Para petani telah bergabung dalam kelompok tani sekaligus sebagai anggota koperasi. Berbagai upaya telah dilakukan petani bersama pengurus koperasi dan pemerintah desa dalam menghadapi peremajaan kebun kelapa sawit rakyat. Namun antara koperasi dan kelompok tani serta petani belum ada keputusan yang bersifat kolektif tentang bagaimana model peremajaan yang disepakati bersama. 4. Selama masa tunggu praktis petani tidak memperoleh pendapatan dari lahan yang diremajakan, namun petani harus memenuhi kebutuhan sehari-hari. Disisi lain, tidak semua petani memiliki sumber penghasilan lainnya yang memadai untuk dapat menjaga pola konsumsinya. Kondisi ini tentunya menjadi masalah bagi petani dalam dihadapi masa tunggu. Pola konsumsi selama ini yang cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan petani pada saat masih produktif akan sulit untuk dirubah dalam waktu seketika. Maka, harapan terbesar menutupi dissaving adalah dari sumber pendapatan selain lahan perkebunan yang sedang diremajakan.
ISSN : 2087-4502
- 15 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
B. Saran 1. Mengingat pada umumnya usia petani kebun kelapa sawit rakyat yang telah memasuki usia tua tidaklah dalam usia muda lagi dengan tingkat pendidikan petani kelapa sawit pada umumnya SMP ke bawah, maka disarankan kepada semua pihak yang terkait terutama pemerintah untuk dapat memberikan berbagai pelatihan kerja maupun keterampilan yang bersifat soft skill. 2. Dalam rangka meringankan beban petani kelapa sawit rakyat dalam membiayai pendidikan anggota keluarganya, diharapkan pemerintah memberikan bantuan program beasiswa khusus bagi anak-anak petani kelapa sawit yang diremajakan terutama selama menghadapi masa tunggu. 3. Dukungan kelembagaan ditingkat petani masih perlu ditingkatkan lagi terutama dalam mengkomunikasikan berbagai hal yang terkait dengan proses peremajaan. Selain itu, pada proses peremajaan peran koperasi bersama kelompok tani dan petani dalam manajemen pengelolaan kebun harus mendapatkan proporsi yang lebih besar. 4. Untuk dapat terus menjaga keberlangsungan sumber pendapatan rumah tangga petani. Maka, sedapat mungkin pola pengembangan peremajaan kebun kelapa sawit dilakukan dengan pola tumpang sari.
ISSN : 2087-4502
- 16 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
DAFTAR PUSTAKA
Antara, M. 2004. Perilaku Petani Dalam Pengalokasian Sumberdaya Untuk Mencapai Pendapatan Maksimum Di Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala (Suatu Analisis Linear Programming). Ps. Sosek Pertanian/Agribisnis Jurusan Sosek Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Palu. Asriani PS, 2003. Konsep Agribisnis Dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia. AGRISEP Vol. 1 No. 2, Maret 2003 : 144-150 Hadi, Syaiful. 2012. Strategi Replanting Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Pola PIR Dalam Penguatan Ketahanan Pangan di Provinsi Riau. PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian. Medan Herman M dan Pranowo D, 2011. Produktivitas Jagung Sebagai Tanaman Sela Pada Peremajaan Sawit Rakyat di Bagan Sapta Permai Riau Maman. Disampaikan pada Seminar Nasional Serealia 2011. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43152 Iriantini C D, 2014. PENGEMBANGAN MODEL PEREMAJAAN KELAPA SAWIT DIPROVINSI JAMBI. Di kutip dari (http://disbun.jambiprov.go.id/berita_detail.php?id_berita=31) Notohaprawiro T, 2006. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Dalam Konteks Globalisasi Dan Demokratisasi Ekonomi Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2) (2006) p: 137-142 Pambela R, Yusmini, Dan Edwina S, 2013. Strategi Peremajaan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Pola Plasma Di Desa Sari Galuh Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar .Fakultas Pertanian Universitas Riau Priyono KD, 2010. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Daerah Rawan Longsor Lahan (Studi Kasus Di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulonprogo DIY). Disampaian pada PIT IGI XIII & Konggres IGI IV di Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, 11-12 Desember 2010 Rita Yani Iyan, 1991. Peremajaan Usahatani Kelapa dan Implikasinya Terhadap Pendapatan Petani Di Kabupaten Indragiri Hilir, Tesis. Universitas Padjadjaran. Saptana dan Ashari, 2007. Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha. Jurnal litbang pertanian, 26(4), 2007 Saputri OD dan Rejekiningsih TW, 2010.Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Salatiga
ISSN : 2087-4502
- 17 -
JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN
Tahun V No.13, November 2014 : 1 - 18
Siregar EBM dan Nauman H, 2011. Strategi pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Utara. Jurnal Eksakta – BIAGROTEK Volume 3, Nomor 2, Juli 2011 ISSN : 2085 – 0646. Susila WR, 2004. Contribution of oil palm industry to economic growth and poverty alleviation in indonesia. Jurnal litbang pertanian, 23(3), 2004 Swastika, Dewa K.S, dkk. 2000. Struktur Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga Petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Bogor. Tarmisol, 2012. Effisiensi Produksi dan Penetapan Umur Ekonomis Usahatani Kelapa Sawit di Kalimantan Timur. Disertasi, Universitas Gajahmada. Taryono, 2010. Konversi lahan usaha tanaman pangan ke perkebunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (studi kasus pemukiman eks transmigrasi di desa muara bahan kecamatan singingi hilir kabupaten Kuantan Singingi). Tesis, Universitas Andalas.
ISSN : 2087-4502
- 18 -