Boks 1
I.
KRISIS EKONOMI GLOBAL DAN PROSPEK PERKEBUNAN/INDUSTRI KELAPA SAWIT DI RIAU
Pendahuluan Perekonomian Riau berdasarkan PDRB tanpa migas dalam tiga tahun terakhir (2005-2007)
mengalami pertumbuhan rata-rata 8,48% per tahun. Sektor pertanian yang terdiri dari sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan, merupakan sektor yang mempunyai pangsa terbesar. Pada tahun 2007 pangsa sektor pertanian mencapai 37,25%, diikuti industri pengolahan 30,16%, dan perdagangan (perdagangan, hotel, dan restoran) 12,02%, sedangkan sisanya berada di 6 (enam) sektor lainnya. Pangsa terbesar dari sektor pertanian berada pada sub sektor perkebunan dan kehutanan yaitu masing-masing sebesar 19,02% dan 11,88%, sedangkan peranan terbesar dari sub sektor perkebunan adalah kelapa sawit. Pada tahun tahun 2007 luas perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 1,61 juta hektar atau sekitar 27% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta hektar. Beberapa faktor yang mendukung berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Riau antara lain; (i) kondisi tanah dan iklim yang sesuai untuk pengembangan tanaman kelapa sawit, (ii) komitmen yang tinggi dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan perkebunan dengan visi ”Terwujudnya kebun untuk kesejahteraan masyarakat Riau tahun 2020”, (iii) tingginya minat masyarakat karena pada saat dan pasca krisis ekonomi 1997 petani sawit sangat diuntungkan dengan adanya kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), (iv) kelapa sawit memberikan pendapatan 1
yang tinggi kepada petani dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya . Perkembangan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit berfluktuasi mengikuti harga CPO di pasar internasional. Dari tahun 1998 sampai dengan 2008 (September) harga CPO berfluktuasi dengan titik terendah pada tahun 2001, yaitu sebesar USD 283/ton dan tertinggi pada tahun 2008 yaitu sampai September rata-rata sebesar USD 1.097/ton. Namun demikian, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi global sejak Oktober 2008 harga CPO mengalami penurunan drastis mencapai sekitar USD 400/ton. Kondisi ini memberikan dampak yang besar terhadap perkebunan dan industri kelapa sawit karena diikuti dengan penurunan harga TBS dari sekitar Rp 1.700/kg pada Juli 2008 menjadi sekitar Rp 400/kg pada Oktober 2008, bahkan pada tingkat petani non mitra harga mencapai Rp 200/Kg.
1
Almasdi Syahza, “Potensi Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di daerah Riau”, Usahawan, April 2002.
Melihat kondisi di atas, dalam tulisan ini akan dilakukan analisis tentang perkembangan perkebunan dan industri kelapa sawit di Riau serta prospeknya, mengingat Riau merupakan daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia.
II. Perkembangan Kebun dan Industri Kelapa Sawit Pembangunan perkebunan kelapa sawit mempunyai dampak positif terhadap perekonomian Riau terutama untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi daerah. Tumbuhnya perkebunan dan industri sawit menyebabkan munculnya sumber-sumber pendapatan yang lebih bervariasi bagi masyarakat, seperti di sektor perdagangan, pengangkutan, transportasi, restoran, keuangan, dan jasa-jasa. Selain itu juga meningkatkan mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lain, serta mendukung tumbuhnya pusat-pusat perekonomian di wilayah sekitarnya. Dalam rangka membangun sektor perkebunan, Pemda Riau menetapkan misi ; (i) memantapkan penataan ruang untuk pengembangan perkebunan, (ii) mengoptimalisasikan fungsi kebun untuk kesejahteraan rakyat, (iii) meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan petani dalam pembangunan perkebunan, dan (iv) membangun perkebunan yang berbudaya industri. Selanjutnya untuk mencapai misi tersebut ditetapkan program perkebunan untuk periode 2005–2009 sebagai berikut; (i) perencanaan pembangunan perkebunan, (ii) pembangunan dan pengembangan usaha perkebunan rakyat, (iii) pengembangan sarana penunjang dan kelembagaan perkebunan, (iv) pengembangan agribisnis, (v) peningkatan ketahanan pangan, dan (vi) pemberdayaan sumber daya manusia perkebunan. Luas perkebunan kelapa sawit di Riau pada periode 2004-2007 meningkat sebesar 20,41% dari 1,34 juta hektar menjadi 1,61 juta hektar. Luas perkebunan sawit pada periode tersebut terbesar masih dimiliki oleh perkebunan rakyat meskipun pangsanya terus menurun dari 54,28% menjadi 49,99%, diikuti oleh perkebunan swasta dengan pangsa meningkat dari 36,93% menjadi 45,46%, sedangkan terkecil adalah perkebunan negara dengan pangsa menurun dari 8,79% menjadi 4,56%. Luas Perkebunan Kelapa Saw it Riau (ha)
Pangsa Luas Kepemilikan Lahan Saw it (%)
900
60
800 50
Thousands
700 600
40
500
30
400 300
20
200
10
100
0
2004 P erkebunan Rakyat
2005
2006
P erkebunan B esar Negara
2007
P erkebunan B esar Swasta
Sumber : Dinas Perkebunan, Propinsi Riau (diolah)
2004
2005
P erkebunan Rakyat P erkebunan B esar Swasta
2006
2007
P erkebunan B esar Negara
Jumlah kepala keluarga (KK) petani yang terlibat dalam perkebunan rakyat meningkat dari 215.494 KK pada tahun 2004 menjadi 322.601 KK. Peningkatan ini diperkirakan terkait dengan pendapatan yang relatif tinggi pada perkebunan sawit dibandingkan dengan perkebunan lainnya, prospek pasar yang baik, serta dukungan kebijakan Pemda dalam pengembangan perkebunan sawit. Dengan asumsi setiap KK terdiri dari 4 jiwa, maka pada tahun 2007 jumlah penduduk yang bergantung hidupnya dari perkebunan sawit rakyat mencapai 1,29 juta jiwa atau sekitar 26,93% 2
dari jumlah penduduk Riau yang diperkirakan sekitar 4,79 juta jiwa . Jumlah tersebut akan bertambah jika diperhitungkan dengan penduduk yang berkerja pada perkebunan swasta dan negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa peranan perkebunan sawit dalam menciptakan lapangan kerja dan sumber penghasilan bagi penduduk di Riau sangat besar, sehingga gejolak yang terjadi di sub sektor ini selain akan berpengaruh pada aspek ekonomi juga akan berdampak luas pada aspek sosial.
Jumlah Petani Perkebunan Rakyat (KK) 340 320 Thousands
300 280 260 240 220 200 2004
2005
2006
2007
Sumber : Dinas Perkebunan, Propinsi Riau (diolah)
Dengan bertambahnya luas kebun, dan rata-rata kebun yang produktif mencapai sekitar 3
78,0% dari total luas kebun , produksi sawit di Riau mengalami peningkatan sebesar 51,0% dari 4
3,39 juta ton CPO pada tahun 2004 menjadi 5,12 juta ton CPO pada tahun 2007 . Produktivitas perkebunan juga terus mengalami peningkatan, namun demikian perkebunan rakyat memiliki produktivitas terendah yaitu 3,63 ton/ha, sedangkan perkebunan negara dan swasta masing-masing 4,70 ton/ha dan 4,24 ton/ha. Kondisi ini antara lain dipengaruhi oleh rendahnya kualitas bibit, intensitas pemupukan, dan proses pemeliharaan lainnya.
2
Berdasarkan hasil pendataan Dinas Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Riau. 22% lainnya tidak/belum produktif, terdiri dari tanaman belum menghasilkan (21%) dan tanaman rusak (1%). 4 Jika dikonversi ke TBS maka produksi tahun 2004 dan 2007 masing-masing 16,95 juta ton dan 25,60 juta ton TBS (1 ton CPO equivalen dengan 5 ton TBS). 3
(Thousands)
3,000
Produksi CPO Perkebunan Kelapa Sawit di Riau (Ton)
Produksi Rata-Rata CPO Perkebunan Sawit di Riau (Ton/Ha) 5.00
2,500
4.50
2,000
4.00
1,500
3.50
1,000
3.00
500
2.50 2.00
2004
2005
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Sw asta
2006
2007
Perkebunan Besar Negara
2004
2005
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Sw asta
2006
2007
Perkebunan Besar Negara
Sumber : Dinas Perkebunan, Propinsi Riau (diolah)
Sementara itu, untuk keperluan pengelolaan TBS menjadi CPO sampai dengan tahun 2007 terdapat 132 pabrik kelapa sawit (PKS) di Riau, dengan rincian 103 PKS memiliki kebun dan 29 PKS tidak memiliki kebun. Jumlah tersebut bertambah sebanyak 16 PKS dibandingkan dengan tahun 5
2004 (116 PKS). Kapasitas terpasang dari 132 PKS mencapai 29,70 juta ton TBS per tahun , dengan demikian merujuk pada produksi TBS di Riau sebesar 25,60 juta ton pada tahun 2007, maka masih terdapat kekurangan TBS sebesar 4,10 juta ton atau equivalen dengan 820 ribu ton CPO. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan asumsi produktivitas kebun sawit sebesar 4 ton CPO/ha, maka dibutuhkan tambahan 205 ribu hektar kebun sawit. Namun demikian, karena dari total kebun 6
yang ada saat ini masih terdapat 22% (354.200 hektar) kebun yang tidak/belum produktif , maka upaya utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan pemeliharaan terhadap kebun-kebun yang tidak/belum produktif menjadi produktif, baik melalui rehabilitasi maupun peremajaan (replanting). Sedangkan upaya perluasan melalui pembukaan kebun baru hendaknya memperhatikan kemampuan PKS yang ada sehingga produksi TBS yang dihasilkan nantinya tidak mengalami over produksi. Untuk keperluan tersebut, peran Pemda sangatlah diperlukan dengan melakukan mapping pengembangan perkebunan dan pertanian secara umum (termasuk tanaman pangan) bekerjasama dengan dinas, lembaga, perbankan, dan asosiasi terkait.
5 6
Asumsi jam kerja PKS 18 jam per hari dan 25 hari per bulan. 354.200 hektar = 22% x 1,61 juta hektar (total kebun sawit).
Tabel 1. Jumlah dan Kapasitas PKS di Riau Tahun 2007 No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kampar Rokan Hulu Pelalawan Indragiri Hulu Kuansing Bengkalis Rokan Hilir Dumai Siak Indragiri Hilir Jumlah
Jml PKS
Kapasitas (ton TBS/jam) 1.285 910 620 285 495 125 905 60 565 250 5.500
33 20 15 8 10 5 21 1 14 5 132
Kebutuhan TBS (ton/tahun) 6.939.000 4.914.000 3.348.000 1.539.000 2.673.000 675.000 4.887.000 324.000 3.051.000 1.350.000 29.700.000
Sumber : Dinas Perkebunan, Propinsi Riau (diolah)
III. Krisis Ekonomi Global dan Prospek Perkebunan/Industri Kelapa Sawit Krisis ekonomi global yang dimulai pada triwulan III 2008 telah memberikan dampak terhadap kondisi perekonomian Indonesia, seperti ketatnya likuiditas, meningkatnya suku bunga, menurunnya indeks harga saham gabungan, melemahnya nilai tukar Rupiah, menurunnya ekspor komoditi pertanian, menurunnya harga minyak bumi dan CPO, serta meningkatnya ketidakpastian dalam kegiatan usaha. Perkebunan dan industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor usaha yang mendapat pengaruh besar dari gejolak ekonomi global, mengingat sebagian besar (sekitar 70%) dari produk perkebunan/industri kelapa sawit diekspor dalam bentuk CPO. Sebagai sumber energi alternatif, harga CPO sangat dipengaruhi oleh harga minyak bumi. Dengan demikian penurunan harga minyak bumi yang terjadi sejak Agustus 2008 memberikan pengaruh besar terhadap penurunan harga CPO. Selanjutnya krisis ekonomi global yang diikuti oleh menurunnya daya beli dan ketidakpastian 7
ekonomi pada beberapa negara importir utama CPO seperti China, India, Uni Eropa, dan Amerika 8
serikat, menyebabkan permintaan CPO menurun dan memberikan tekanan yang besar terhadap penurunan harga CPO.
7 8
Menurut Faisal Basri, sebagai sebuah komoditi harga CPO rentan terhadap spekulasi, sehingga kenaikan dan penurunannya bisa sangat tajam. Dalam pertemuan antara Gubernur Riau dengan pengusaha perkebunan dan industri kelapa sawit, perbankan, dan instansi terkait pada tanggal 21 Oktober 2008, kalangan pengusaha menyampaikan informasi adanya kontrak pembelian CPO yang dibatalkan oleh importir dari beberapa negara.
Perkembangan Harga CPO dan Minyak Bumi 160.00
1,300 1,200
140.00
1,100 1,000 900
120.00 100.00
800 700 600 500
80.00 60.00 40.00
400 300 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt
20.00
2006
2007
Minyak (US$/Barrel) - kiri
2008 CPO (US$/Ton) - kanan
Sumber : BP Migas dan GAPKI Riau, (diolah)
Melihat data series perkembangan harga CPO sejak tahun 1972-2008, terlihat bahwa harga CPO mengalami fluktuasi yang cukup tinggi dan kondisi harga pada Oktober 2008 bukanlah merupakan yang terendah selama periode tersebut. Namun demikian mengingat penurunan yang terjadi pada Oktober 2008 sangat tajam dibandingkan dengan harga tertinggi CPO sepanjang periode 1972 - 2008, yaitu dari USD 1.249/ton pada Maret 2008 menjadi sekitar USD 400/ton pada minggu ke III Oktober 2008, maka penurunan tersebut memberikan pengaruh phisikologis dan menyebabkan ketidakpastian, sehingga memberi tekanan yang besar terhadap penurunan harga TBS ditingkat petani. Harga TBS terendah di tingkat petani pada beberapa wilayah di Riau mencapai sekitar Rp 200/kg khususnya terjadi pada petani non mitra, sedangkan pada petani mitra harga TBS untuk Sawit dibawah 10 tahun sekitar Rp 700/kg. Penurunan harga ini memberikan pengaruh signifikan terhadap menurunnya pendapatan petani dan perekonomian daerah secara umum, karena persentase penurunan harga mencapai di atas 50% dan jumlah petani non mitra cukup banyak. Hal lain yang juga memberikan tekanan pada kondisi perekonomian petani adalah meningkatnya harga pupuk pada saat yang bersamaan, dan pola hidup yang cenderung konsumtif pada saat harga TBS tinggi, sehingga cadangan likuiditas petani saat krisis sangat minim.
Perkem bangan Harga TBS
Perkembangan Harga CPO (USD/ton) 1,300
23
1,100 Hundreds
20
900 700
17 14
500
11
300
8
100
5
( Tahun 2008, Minggu Ke-)
1
3
5
7
9
11
13
15
17
Umur 3 thn
19
21
23
25
27
29 31
33
35
37
Umur >= 10 thn
Perkembangan Harga CPO Tahun 2008 (Rp/Kg) 11 10
(Thousands)
9 8 7 6 5 (Periode)
7
21
-1 3/ 1 - 2 /0 8 7/ 1/ 4 - 1 08 18 0/2 - 2 /0 8 4/ 2/ 3 08 17 9/3 - 2 /08 31 3/3 /3 / - 08 14 6/4 - 2 /08 28 0/4 /4 / - 08 12 4/5 /0 8 26 18/5 /5 / - 1 08 9 /6 /0 -1 8 23 5/6 - 2 /0 8 9/ 6 7 - 1 /08 21 3/7 - 2 /0 8 7 4 /7 /0 -1 8 18 0/8 - 2 /0 8 4/ 8/ 1 08 15 7/9 - 2 /08 1/ 9/ 08
4
Sumber : GAPKI Propinsi Riau, (diolah)
Kondisi di atas dikuatirkan akan memberikan dampak lanjutan terhadap kualitas kredit perbankan yang dimiliki petani baik untuk kegiatan produktif maupun konsumtif, sehingga bank perlu mewaspadai potensi kemungkinan peningkatan kredit bermasalah (non performing loan). Kekuatiran lain yang mungkin timbul adalah menurunnya motivasi petani dalam melakukan pemeliharaan kebun seperti pemupukan dan pembersihan kebun, sehingga akan berdampak pada penurunan produktivitas di masa yang akan datang serta dampak sosial lainnya. Relatif rendahnya harga TBS pada petani non mitra dipengaruhi oleh beberapa faktor antara 9
lain; kualitas buah yang rendah baik karena pengaruh bibit maupun pemeliharan , jarak antara lokasi 10
kebun dengan PKS cukup jauh, harga TBS lebih ditentukan oleh pedagang/pengumpul , serta ketidakpastian perkembangan harga CPO. 11
Berdasarkan penelitian dan analisa beberapa ahli , komoditas kelapa sawit pada masa yang akan datang tetap mempunyai prospek yang baik seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak 12
dan lemak dunia , serta dapat digunakannya minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan
9
Tingkat rendemen 17-18% (rendemen yang baik di atas 20%) Pedagang/pengumpul lebih berperan sebagai price taker. 11 Derom Bangun (Ketua GAPKI Pusat) mengatakan untuk jangka panjang prospek harga sawit tetap baik. 12 Dalam periode 1979 – 2006 permintaan minyak & lemak dunia terus meningkat. 10
(biofuels). Pengembangan biofuels, terutama sejak harga minyak melambung menjadi salah satu prioritas penting di banyak negara, seperti Uni Eropa (UE) berharap pada tahun 2010 sebanyak 5,75% bahan bakar untuk transportasi akan menggunakan energi terbarukan, kemudian meningkat menjadi 8% pada tahun 2020. Sementara itu, Australia berkonsentrasi mengembangkan biofuels dengan target 350 juta liter pada tahun 2010. Menurut Gubernur Bank Indonesia pada pembukaan kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-16 di Manado, dengan merujuk pada laporan yang disusun oleh The Economist menyebutkan bahwa komoditas pertanian Indonesia memiliki daya saing cukup baik secara global, bahkan untuk komoditas minyak sawit menempati peringkat kedua 13
di dunia .
Grafik Permintaan Minyak dan Lemak Dunia 22
140 130
Produksi
120
20
Konsumsi Kons / Kapita
110
18
100 90
16
80 70
14
60 50 40 97
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
55
58
59
62
63
64
69
72
73
76
78
81
81
84
85
88
95
97 101 103 110 115 118 121 125 131 136
Konsumsi
54
57
59
61
63
64
67
71
73
76
78
80
82
84
86
89
93
97 101 103 109 113 118 122 126 131 135
Kons / Kapita
12
13
13
13
13
14
14
14
15
15
15
15
15
16
16
16
16
17
17
98
18
99
18
'00
19
'01
19
'02
20
'03
20
'04
'05 F
79 Produksi
20
12
21
Sumber : Astra Agro Lestari, (diolah)
Selain sebagai sumber energi, kelapa sawit juga dapat menghasilkan produk turunan (industri hilir) yang sangat beragam dan mempunyai nilai tambah lebih tinggi dibandingkan dengan CPO. Beberapa industri hilir yang potensial untuk dikembangkan di Riau adalah industri minyak goreng, margarine, serta industri bahan-bahan untuk sabun dan kosmetik, baik untuk memenuhi kenutuhan 14
pasar dalam negeri maupun ekspor . Peluang pengembangan industri hilir kelapa sawit di Riau sangat besar karena didukung oleh sumber bahan baku yang cukup dan letak geografis yang sangat strategis bagi pengembangan industri berorientasi ekspor.
13
Herawanto dan Reska Prasetya, “Stabilitas”, Edisi No.12, November 2006.
14
Almasdi Syahza, Lembaga Penelitian Universitas Riau, 2006.
Grafik Industri Kelapa Sawit BAHAN BAKU
INDUSTRI HULU
INDUSTRI ANTARA Pro Vitamin A
INDUSTRI HILIR Fatly alkohol (Ester)
Oxigenated FattyAcyds/Ester
Carolene Pro Vitamin B Minyak Kelapa Sawit (CKO)
Cocoa butter Tocophenol
Minyak salad Margarine
Olein
Sabun Glisterine
Soap stock Kernel Oil Kelapa Sawit
Inti Kelapa Sawit (PKO)
EpoxyStearic/Octanol Ester
Paentic/ButanolOctanol
EpithioStearicMono/Polieldri Ester Alcohol
Stearic/Butanol Oktanol Stearic /Glicol
Oxigenated FattyAcyds/Ester
Oleic/Glicol Propilene
EpoxyStearic/Octanol Ester
Shorthening Minyak padat
Starein
Panitic /Isopropanol
Alcohols/Sulphated Oleic/Metanol Butanol Alchohols/Esterited
Fetty acid Lauric Acid
WithHigher Saturatet/Faty AcidsAlchohols Metalic Salt Acohols/ Ethoxylation
Miristic Acid
Palmitic,Stearic/Ca,Zn Monogliserides Ethoxilation Stearic/Ca,Mg
Bungkil
Stearic/ Al, Li Oleic/Zn, Pb Oleic/ Ba
Aldehide Faty Acid Amides
Polyalozylatet Derivatives Arang Tempurung
Tepung tempurung
Briket arang Karbon aktif Asam Organik
Palmatic/EthylenePropyleneOxida
Stearamide
Steric/EthylenePropylene Oxida
Oleamide
Oleic Acid Diner/EthylenePropy leneOxida
Sulpathed Alcarolamide of Palmitic,Steric & Oleic Acids Alkanolamide
Serat
Bahan Bakar
Metalic Salt
Ester of Dibasic Acid
Palmatic Acid (C16) Tandan Kosong
Azelaic/Butanol & Octanol Esters
Oleic Acid(C18
Azelaic / Glycol Esters
Ethoxilatet/C16 &C18 Sludge
Makanan Ternak
GuanidineEthoxilated/C16 &C18
Oleic Acid Diner /Butanol & Octanol Esters
Ethoxilated/Secondary /C16 & C18
Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Riau
Berdasarkan data di atas, dengan melihat pada luas kebun, potensi lahan/daya dukung wilayah, kebutuhan minyak dan lemak dunia, berkembangnya teknologi untuk memanfaatkan minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan, serta banyaknya jenis industri yang dapat dikembangkan dari minyak sawit, maka prospek perkebunan dan industri kelapa sawit khususnya di Riau masih sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan industri hilir kelapa sawit merupakan salah satu jawaban dalam rangka meningkatkan nilai tambah produksi kelapa sawit bagi perekonomian daerah/nasional, dan mengurangi dampak gejolak harga CPO terhadap kegiatan perkebunan sawit (khususnya pendapatan petani), mengingat barang-barang hasil industri hilir diperkirakan tidak akan mengalami peningkatan/penurunan yang tajam seperti CPO. Oleh karena itu, dalam rangka menarik investor di industri tersebut pemerintah pusat dan daerah perlu membuat kebijakan yang mendukung dan memberikan insentif, serta memfasilitasi ketersediaan infrastruktur yang memadai. Sementara dari sisi pembiayaan, peranan perbankan dalam mendukung pengembangan sektor perkebunan di Riau, khususnya kelapa sawit sudah cukup besar yang ditunjukkan oleh besarnya pangsa kredit di sub sektor perkebunan, yaitu sebesar
Rp 3,12 triliun atau 15,55% dari
15
total kredit perbankan di Riau per September 2008 . Potensi pembiayaan perbankan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit kedepan juga cukup besar seiring adanya program “Revitalisasi Perkebunan” dengan plafond secara nasional sampai tahun 2010 sebesar Rp 26,6 triliun. Untuk di Riau, saat ini Bank Indonesia Pekanbaru, Dinas Perkebunan Propinsi Riau, perbankan, Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota, pengusaha perkebunan/industri sawit, koperasi, serta kelompok petani, telah, sedang dan akan melakukan koordinasi yang intensif dalam rangka mensukseskan program dimaksud, baik untuk pembiayaan perluasan, peremajaan (replanting), maupun rehabilitasi kebun.
IV. REKOMENDASI Dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa prospek perkebunan dan industri kelapa sawit di Riau mempunyai potensi besar untuk dikembangkan serta memberikan peranan yang signifikan bagi perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan petani, pemerataan pembangunan dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian permasalahan yang dihadapi juga masih cukup banyak, sehingga perlu dilakukan pemecahan secara terkoordinasi yang melibatkan semua pihak-pihak terkait. Dalam rangka memecahkan permasalahan tersebut, perlu dilakukan beberapa upaya antara lain; 1. Pemerintah daerah, dinas, dan pengusaha sawit meningkatkan koordinasi untuk melakukan pembinaan kepada petani dan memfasilitasi petani dalam upaya meningkatkan produktivitas seperti menjamin ketersediaan bibit, pupuk, dan informasi, serta meningkatkan efisiensi dan kemampuan pengelolaan keuangan petani dengan baik. 2. Petani perlu membentuk atau memperkuat kelembagaan, baik dalam bentuk kelompok tani atau koperasi, sehingga kekuatan tawar dalam pemasaran produk meningkat dan mendapatkan harga yang wajar meskipun dalam kondisi krisis seperti saat ini. Kelembagaan juga dapat menjadi sarana untuk berhubungan dengan lembaga pembiayaan (bank). 3. Pemerintah daerah dan dinas terkait perlu melakukan review dan menyusun mapping strategi pengembangan
perkebunan
dan
industri
sawit,
dengan
memperhatikan
kebutuhan
pengembangan sektor lain seperti sub sektor kehutanan dan tanaman pangan, serta menyelaraskan antara pembangunan kebun dengan industri (PKS) sehingga tidak terjadi over/under produksi TBS. 4. Dalam kondisi krisis seperti saat ini, perlu ditingkatkan koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan pengusaha industri sawit untuk menetapkan harga TBS yang wajar. Hal ini sangat diperlukan agar pendapatan petani tidak turun tajam dan tidak menimbulkan gejolak sosial, serta motivasi petani tetap terpelihara.
15
Bank Indonesia Pekanbaru, Laporan Statistik Ekonomi Keuangan Daerah, September 2008.
5. Perlu disusun kebijakan dan dilakukan promosi intensif untuk meningkatkan investasi industri hilir di Riau, guna meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan dan penggunaan kelapa sawit untuk industri di dalam negeri, serta mengurangi ketergantungan harga TBS ditingkat petani pada harga CPO dunia yang sangat berfluktuasi. 6. Perbankan perlu melakukan koordinasi dan pembinaan kepada nasabah di perkebunan/industri kelapa sawit, sehingga dampak gejolak ekonomi global dapat diatasi dengan baik. Dengan melihat ke depan perkebunan/industri sawit masih mempunyai prospek yang baik, maka rescheduling atau restrukturisasi merupakan salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah, dengan tetap berpegang pada prudential banking.