BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi Indonesia yang mendukung bagi pengembangan industri kelapa sawit. Kondisi tersebut di antaranya adalah tersedianya lahan yang luas dan iklim tropis dengan curah hujan yang cukup serta sinar matahari yang melimpah dan dibutuhkan bagi tanaman kelapa sawit.1 Data yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa industri kelapa sawit Indonesia berkontribusi terhadap ekspor dari tahun 2007 hingga 2011 rata – rata senilai 15,96 milyar dolar atau setara dengan 13,55 % dari total ekspor non-migas.2 Besarnya kontribusi ini menjadikan produk industri kelapa sawit sebagai penyumbang ekspor terbesar bagi Indonesia dari sektor non-migas. Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk industri kelapa sawit yang paling banyak diekspor dari tahun 2007 hingga 2011 dengan rata - rata ekspor senilai 8,33 milyar dolar atau setara dengan 52,2 % dari total ekspor produk kelapa sawit. Meskipun kontribusi ekspor CPO besar dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai
1
Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Bisnis dari Hulu hingga Hilir (Depok: Penebar Swadaya, 2008), hlm.17. 2 Kementerian Perindustrian. Perkembangan Ekspor Indonesia Berdasarkan Sektor, n.d., http://www.kemenperin. go.id/statistik/peran.php?ekspor=1 (diakses 2 Oktober 2014).
1
negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia tidak berpuas diri. 3 Hal ini terlihat dari salah satu arah kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia, yaitu meningkatkan daya saing produk ekspor melalui diversifikasi produk kelapa sawit. Diversifikasi produk kelapa sawit dilakukan untuk membuat produk kelapa sawit lebih beraneka ragam dan tidak hanya mengandalkan pada ekspor CPO. CPO merupakan produk dengan nilai tambah rendah karena merupakan produk primer dalam bentuk minyak mentah yang diproduksi oleh industri hulu kelapa sawit sebagai hasil olahan dari kelapa sawit yang dipanen dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS).4 Kini ekspor produk kelapa sawit diarahkan pada produk turunan CPO melalui diversifikasi produk. Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia membuat program hilirisasi industri kelapa sawit. Program hilirisasi industri kelapa sawit adalah program untuk mengembangkan industri hilir kelapa sawit dengan mengolah lebih lanjut hasil industri primer berupa CPO menjadi produk lain dalam bentuk setengah jadi maupun jadi. Produk setengah jadi dihasilkan oleh industri hilir dalam bentuk oleo-pangan5 seperti mentega, minyak goreng dan oleo-kimia6 seperti fatty acid, fatty alcohol, dll. Sedangkan produk jadi dihasilkan oleh industri hilir yang bergerak di bidang seperti olahan makanan, kosmetik, farmasi, dan pabrik logam. Tujuan dilakukannya hilirisasi adalah untuk meningkatkan nilai tambah dengan mengingat bahwa semakin ke hilir produk industri 3
Esti Widyasari. Hilirisasi Kelapa Sawit Kokohkan Indonesia, 2014, http://www.tambang.co.id/ detail_berita.php?category=18&newsnr=8865 (diakses 3 September 2014). 4 Iyung, Op.Cit., hlm. 18. 5 Oleo-pangan adalah penggunaan minyak kelapa sawit untuk produk pangan. 6 Oleo-kimia adalah penggunaan minyak kelapa sawit untuk produk kimia (non-pangan).
2
kelapa sawit memiliki nilai tambah yang semakin tinggi. 7 Nilai tambah ini menjadi penting karena dapat menjadi pengungkit dan pelopor bagi pembangunan agribisnis nasional dan membantu dalam pengentasan kemiskinan.8 Penerapan hilirisasi kelapa sawit menunjukkan perubahan positif bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada perubahan komposisi ekspor dari CPO menjadi produk turunan CPO. Jika pada tahun 2011 komposisi ekspor CPO terhadap produk turunan CPO sebesar 60:40, pada tahun 2013 komposisi tersebut berubah menjadi 40:60.9 Selain dilihat dari komposisi ekspor, penerapan hilirisasi juga berdampak positif pada diversifikasi produk. Jika pada tahun 2011 jumlah produk turunan CPO yang dihasilkan oleh Indonesia sebanyak 54 jenis, pada tahun 2014 jumlahnya bertambah menjadi sebanyak 169 jenis. Meskipun sudah terjadi perubahan komposisi ekspor, perkembangan hilirisasi kelapa sawit Indonesia tidak secepat yang diharapkan karena belum dapat mengambil alih posisi Malaysia sebagai negara pengekspor produk turunan terbesar di dunia.10 Hal ini terlihat dari masih lebih rendahnya produktivitas industri hilir kelapa sawit di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki komposisi ekspor 20:80.
7
Kementerian Keuangan, Kajian Signifikansi Bea Keluar terhadap Hilirisasi Industri Sawit, 2013, http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2013_kajian_pkpn_Kajian%20Siginifikansi%20Bea%20 Keluar %20thd%20Hilirisasi.pdf (diakses 9 Juni 2014). 8 Ibid. 9 Agrofarm. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI:Harga Sawit Setara Soft Oil, Kampanye Negatif Hilang, 2014, http://www.agrofarm.co.id/m/sawit/940/sahat-sinaga-direktur-eksekutif-gimni-hargasawit-setara-soft-oil-kampanye-negatif-hilang/#.VIpKzDGUfcA (diakses 12 Desember 2014). 10 W.Sutopo et al. Evaluation of Valuable Chain in Palm Oil Industry Based on Scor Model:A Case Study, 2014, http://ormawa.ft.uns.ac.id/repo/data/6/SCM/Kuliah%20SCM/Paper%20PIC%203%20 SCM%20for%20Palm%20Oil/Paper%20PIC%203%20SCM%20for%20Palm%20Oil/IJLSM_Fnl_RE V_1_04_02_14.pdf (diakses 4 September 2014).
3
Belum optimalnya perkembangan hilirisasi juga disampaikan oleh Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Aryan Warga yang mengatakan, “Meski berjalan lambat, jumlah produk turunan CPO Indonesia sudah membaik ketimbang beberapa tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 23 produk turunan. Kami memacu hilirisasi yang akan menghasilkan nilai tambah berlipat.”11 Belum optimalnya hilirisasi kelapa sawit di Indonesia juga diakui oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), yaitu Tungkot Sipayung yang mengatakan, “Hilirisasi CPO dalam bentuk pendalaman dan diversifikasi industri hilir perlu dipercepat dan ditangani lebih serius. Indonesia harus bisa meraih raja biodiesel, raja oleofood, raja oleokimia, raja biolubricant, raja biofuel, raja biosurfactant tingkat dunia.”12
I.2. Rumusan Masalah Belum optimalnya perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia seperti yang telah disampaikan dalam latar belakang memunculkan rumusan masalah, yaitu apa faktor domestik dan internasional yang menyebabkan perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia belum optimal?
11
Kementerian Perindustrian, Lamban, Hilirisasi CPO Indonesia, n.d., http://www. kemenperin.go.id/artikel/3701/ Lamban,-Hilirisasi-CPO-di-Indonesia (diakses 12 Juni 2014). 12 Media Perkebunan. PASPI Organisasi Baru Kelapa Sawit, 2014, http://mediaperkebunan.net/index. php?option=com_content&view=article&id=639:paspi-organisasi-baru-kelapasawit&catid=2:komodi ti&Itemid= 26 (diakses 3 September 2014).
4
I.3. Studi Literatur Terdapat beberapa penelitian tentang kelapa sawit di Indonesia. Salah satunya adalah tulisan yang berjudul “Sinergi dan Strategi Kebijakan Lintas Kementerian: Kasus Perkebunan Kelapa Sawit K2-I d Riau”. Tulisan ini dibuat oleh Khairul Anwar dengan tujuan mengeksplorasi dinamika politik desentralisasi dalam kasus manajemen perkebunan kelapa sawit di Riau. Dinamika politik desentralisasi menjadi penting untuk diteliti karena desentralisasi dan otonomi daerah di Riau justru memunculkan konflik yang semakin banyak khususnya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Konflik tersebut tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, tetapi juga pengusaha, masyarakat lokal, dan dunia internasional. Dalam hal pengelolaan sumber daya kelapa sawit, kebijakan publik mengenai perkebunan kelapa sawit menjadi suatu konflik. Konflik tersebut muncul dilandaskan pada asumsi dasar bahwa kebijakan publik merupakan akibat dari pergulatan politik. Sebab pergulatan politik akan menghasilkan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.13 Para pihak dalam birokrasi yang berinteraksi untuk merumuskan kebijakan memiliki kepentingan masing – masing sehingga terjadi bentrokan akibat perbedaan preferensi politik.14 Birokrasi pemerintah tidak bebas dari perselisihan politik internal karena berbagai kelompok atau individu yang ada dalam birokrasi mewakili kepentingan institusi sehingga memperjuangkan kepentingan politik yang
13
Laswell dalam Khairul Anwar, Sinergi dan Strategi Kebijakan Lintas Kementerian: Kasus Perkebunan Kelapa Sawit K2-I di Riau, 2012, http://download.portalgaruda.org/ article.php?article=32269&val=2289 (diakses 11 November 2014). 14 Ibid.
5
berbeda. Fenomena ini disebut oleh Emmerson sebagai „bureaucratic pluralism‟ karena dimungkinkan masih adanya pluralisme kepentingan politik dalam birokrasi.15 Selain pemerintah yang terlibat dalam birokrasi, terdapat pihak di luar birokrasi yang mampu mempengaruhi hasil akhir proses pembuatan kebijakan. Pihak tersebut adalah kelompok kepentingan yang berasal dari aktor non-negara dalam sektor pembuatan kebijakan yang tidak menyangkut isu keamanan nasional dan isu politik tingkat tinggi lainnya. Contohnya adalah keterlibatan pengusaha dalam proses pembuatan kebijakan. Kelompok ini dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, tetapi dengan ranah sektor yang terbatas pada non-politik dan non-keamanan. Karena itulah fenomena ini disebut oleh Liddle sebagai „restricted pluralism‟.16 Dilandaskan pada keberadaan „bureaucratic pluralism‟ dan „restricted pluralism‟ maka Khairul Anwar menyimpulkan bahwa sinergi perumusan kebijakan perkebunan kelapa sawit di lintas kementerian dalam era otonomi daerah ditentukan oleh pola interaksi aktor birokrat, politisi, dan pengusaha yang semakin dinamis. Setiap pihak memiliki kepentingan masing – masing sehingga menimbulkan bentrokan preferensi politik. Jika tulisan Khairul Anwar membahas tentang dinamika politik desentralisasi dalam kasus manajemen perkebunan kelapa sawit di Riau, tulisan Rajah Rasiah dan Azmi Shahrin yang berjudul “Development of Palm Oil and Related Products in Malaysia and Indonesia” melihat aspek pembangunan kelapa sawit di Malaysia dan
15 16
Ibid. Ibid.
6
Indonesia berdasarkan peran kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan bagaimana kebijakan tersebut serta institusi yang diciptakan dapat mempengaruhi perusahaan yang bergerak di bidang industri kelapa sawit. Kebijakan pembangunan industri kelapa sawit yang digunakan oleh Indonesia berorientasi pada substitusi impor untuk menstabilkan harga minyak goreng domestik. Karena orientasinya ini, Indonesia sedikit sukses dalam menciptakan lingkungan yang dapat mendorong pembangunan produk baru.17 Selain berorientasi pada substitusi impor, beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah malah menjadi penghalang bagi pembangunan industri kelapa sawit di Indonesia.18 Hal ini didasarkan pada analisis atas tiga hal. Pertama, keberadaan instrumen kebijakan dan institusi yang digunakan untuk mendukung industri. Kedua, keberadaan jaringan dan koordinasi yang terjalin di antara pelaku industri. Ketiga, pembangunan pada level perusahaan dengan menggunakan strategi inovasi yang mengintegrasikan partisipasi pekerja dalam proses produksi. Didasarkan pada analisis atas ketiga hal di atas yang dilakukan oleh Rajah Rasiah dan Azmi Shahrin dapat diketahui bahwa ada empat institusi pemerintah yang digunakan untuk mendukung pembangunan industri kelapa sawit di Indonesia. Keempat institusi tersebut adalah Direktorat Jenderal Perkebunan yang berfungsi memformulasikan kebijakan dan mengontrol The Indonesia Oil Palm Research 17
Rasiah, Rajah dan Azmi Shahrin. Development of Palm Oil and Related Products in Malaysia and Indonesia, 2006. http://www.researchgate.net/profile/Rajah_Rasiah/publication/237474157_Deve lopment_of_Palm_Oil_and_Related_Products_in_Malaysia_and_Indonesia/links/02e7e52670ab3124c a000000 (diakses 28 Agustus 2014), hlm.4. 18 Ibid, hlm.27.
7
Institute (IOPRI) serta Dinas Perkebunan, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian yang memformulasikan kebijakan perdagangan, dan Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyediakan data terkait dengan industri kelapa sawit. Selain institusi pemerintah, ada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang merupakan organisasi bagi pengusaha pemilik perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Tidak hanya GAPKI, Asosiasi Minyak Makan Indonesia (AIMMI) juga merupakan organisasi yang mewakili produsen dan eksportir minyak makan baik dari kelapa sawit maupun bahan lainnya di Indonesia. Pada praktiknya keberadaan kebijakan dan institusi yang digunakan untuk mendukung industri kelapa sawit di Indonesia masih terfragmentasi, lemah, dan belum efektif untuk merepresentasikan industri kelapa sawit.19 Penggunaan kebijakan dengan orientasi substitusi impor yang setidaknya berlaku hingga saat tulisan yang dibuat oleh Rajah Rasiah dan Azmi Shahrin ini dipublikasikan berakibat pada sedikitnya kesuksesan yang mampu diraih oleh Indonesia dalam menciptakan lingkungan yang dapat mendorong pembangunan produk baru. Menyadari hal tersebut, Indonesia melakukan hilirisasi untuk membangun produk baru dalam industri kelapa sawit. Sebagai sesuatu yang baru, dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh penulis belum ada tulisan yang membahas tentang hilirisasi kelapa sawit dari sisi
19
Ibid.
8
politik.20 Sisi politik hilirisasi dalam penelitian ini dilihat dari peran pemerintah terkait dengan kebijakan dan institusi yang dibuat secara domestik. Selain peran pemerintah, penelitian ini juga berusaha melihat hilirisasi dari sudut pandang keilmuan Hubungan Internasional. Dari segi Hubungan Internasional, hilirisasi dilihat menggunakan sudut pandang akses pasar internasional. Dengan demikan, penelitian ini akan berbeda dengan penelitian – penelitian yang pernah ada karena membahas tentang hilirisasi kelapa sawit Indonesia yang merupakan isu baru dengan memadukan sudut pandang politik domestik dan akses pasar internasional.
I.4. Kerangka Pemikiran 1.4.1. Negara dalam Perspektif Ekonomi Politik Institusionalis Secara tradisional negara berkembang menjadikan ekspor bahan mentah sebagai sumber pendapatan nasional. Jika negara berkembang terus bergantung pada ekspor bahan mentah ini maka pendapatan nasional yang diperoleh akan rendah dan jangkauan peningkatan pendapatannya juga akan terbatas di masa depan.21 Penyebabnya adalah produksi bahan mentah yang dilakukan cenderung kekurangan mekanisme untuk menguatkan kegiatan industri yang mengarah pada pertumbuhan output yang lebih cepat. Sedangkan pertumbuhan output yang lebih cepat ini justru 20
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Hari Poerna Setiawan sebagai narasumber yang berasal dari Kementerian Keuangan. Menurut beliau yang juga menjadi narasumber bagi penelitian yang dilakukan oleh pihak lain, belum pernah ada yang melakukan wawancara dengan topik hilirisasi dari segi politik hingga wawancara untuk penelitian ini dilakukan. Hari Poerna Setiawan, Wawancara Personal, 6 Januari 2015. 21 Hha-Joon Chang, Globalization, Economic Development, and The Role of State (London: Zed Book Ltd, 2003), hlm.21.
9
menjadi stimulus bagi pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dan berdampak pada semakin tingginya pendapatan nasional yang dapat diperoleh suatu negara. Dilandaskan pada hal ini maka negara berkembang sebaiknya mengalami perpindahan kegiatan ekonomi dari yang bersifat tradisional sebagai pemasok bahan mentah dalam ekonomi internasional dan beralih pada pembangunan industri. Untuk membangun industri ini, negara perlu melakukan industrialisasi melalui intervensi negara.22 Berbeda dengan pemikir neoliberal yang meyakini bahwa perekonomian dapat efektif jika berada pada kondisi pasar bebas dan tanpa adanya campur tangan negara, pemikir institusionalis justru melihat bahwa intervensi negara dalam perekonomian merupakan hal yang penting. Hal ini dilandaskan pada penggunaan pendekatan institusionalis dalam buku Ha-Joon Chang yang berjudul Globalization, Economic Development, and The Role of State. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pasar bebas tidak dapat berjalan sendiri karena membutuhkan regulasi yang dibuat oleh negara untuk menentukan siapa pihak yang dapat berpartisipasi dalam pasar dan dengan syarat tertentu.23 Pemikir institusionalis juga berpendapat bahwa intervensi negara bersifat relatif karena bergantung pada hak dan kewajiban yang dilegitimasi oleh masyarakat dalam suatu negara. Selain itu, bebas tidaknya pasar juga bersifat relatif bagi pemikir institusionalis. Hal ini dilandaskan pada keberadaan institusi untuk menyusun struktur hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat dalam kondisi pasar yang ada.
22 23
Ibid. Ibid, hlm. 84.
10
Konteks penyusunan struktur hak dan kewajiban masyarakat oleh institusi ini dapat dilihat pada tiga hal. Pertama, keberadaan aturan formal dan informal yang digunakan untuk mengorganisasikan dan menjalankan kepentingan yang dimiliki. Kedua, „ideologi‟ formal dan informal terkait dengan „keadilan‟ dan „hak asasi‟ yang ada dalam masyarakat. Ketiga, institusi formal dan informal yang dapat menentukam bagaimana struktur hak dan kewajiban masyarakat dalam suatu negara dapat diubah.24 Dengan menggunakan pendekatan institusionalis ini maka dapat diketahui bagaimana pembuatan keputusan institusi dapat berpengaruh pada strategi yang dipilih oleh suatu negara dengan mempertimbangkan tantangan politik ekonomi nasional dan internasional.25 Agar dapat mengubah kegiatan ekonomi dari yang bersifat tradisional sebagai pemasok bahan mentah menjadi modern dengan membangun industri dibutuhkan restrukturisasi. Restrukturisasi yang dimaksud oleh pendekatan institusionalis adalah perubahan teknologi dan institusi yang selanjutnya disebut sebagai perubahan struktural. Berhasil tidaknya perubahan struktural ini bergantung pada peran negara sebagai perancang, pembela, dan pembentuk institusi formal dan informal.26
1.4.1.1. State as Entrepreneur
24
Ibid, hlm. 83. John Degnbol-Martinussen, Policies, Institutions, and Industrial Development (New Delhi: Sage, 2001) hlm.24. 26 Ibid, hlm.51. 25
11
Dalam memfasilitasi perubahan struktural, ada dua peran yang dimiliki oleh negara. Peran tersebut adalah state as entrepreneur dan state as manager of conflicts. State as entrepreneur dilatarbelakangi oleh kondisi khususnya di negara berkembang yang kekurangan kelas kapitalis yang baik untuk dapat mengorganisir organisasi ekonomi yang diwariskan oleh penjajah.27 State as entrepreneur tidak dilandaskan pada pemikiran bahwa negara memiliki kemampuan superior untuk mengidentifikasi masa depan yang lebih baik bagi perekonomian nasional. Tapi, hal ini lebih dilandaskan pada pemikiran bahwa negara memiliki posisi strategis sebagai agen yang merepresentasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.28 Posisi strategis state as entrepreneur ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang ada pada entrepreneurship. Menurut Kauffman Center for Entrepreneurial Leadership, entrepreneurship dapat didefinisikan sebagai berikut. “Entrepreneurship is the ability to amass the necessary resources to capitalize on new business opportunities. The term is frequently used to refer to the rapid growth of new and innovative businesses and is associated with individuals who create or seize business opportunities and pursue them without regard for resources under their control. They build something from practically nothing and usually reinvest earnings to expand their enterprise or to create new enterprises. Other words that characterize entrepreneurship include innovative, creative, dynamic, risk-tolerant, flexible and growth-oriented.29”
Didasarkan pada penjelasan yang ada di atas dapat dikatakan bahwa entrepreneurship merupakan kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya yang 27
Ibid, hlm. 22 Ibid, hlm. 54. 29 Jay Kayne, State Entrepreneurship Policies and Programmes, 1999, http://www.energizing entrepreneurs.org/file_download/4eeb4897-b78e-4cc5-9da6-3c8ffc633d26 (diakses 15 November 2014). 28
12
dibutuhkan dalam mendirikan bisnis baru dengan melihat kesempatan yang ada. Secara lebih rinci karakter entrepreneurship ini meliputi inovatif, kreatif, dinamis, toleransi terhadap resiko, fleksibel, dan berorientasi pada pertumbuhan. Jika dikaitkan dengan keinginan negara untuk meningkatkan pendapatan nasional maka negara tersebut sebaiknya memiliki karakter entrepreneurship agar dapat mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dalam mendirikan bisnis baru sesuai dengan kesempatan yang ada. Dalam entitas suatu negara dengan adanya faktor produksi yang interdependen serta kepemilikan yang tersebar maka keberadaan state as entrepreneur merupakan hal yang penting. Penyebabnya adalah negara merupakan agen pusat yang dapat melakukan perubahan melalui koordinasi agar perubahan struktural efektif. Jika perubahan hanya dilakukan oleh agen individu tanpa adanya koordinasi dari pusat maka perubahan struktural tidak efektif dan justru dapat menimbulkan penderitaan bagi suatu agen sebagai akibat dari ketidakpastian tindakan yang dilakukan oleh agen lain.30 Koordinasi oleh agen pusat untuk mewujudkan perubahan struktural salah satunya dilakukan melalui penetapan visi melalui birokrasi. Keberadaan visi ini menjadi penting karena dijadikan sebagai landasan bagi perubahan koordinasi di antara pihak yang terlibat untuk mewujudkan perubahan struktural yang efektif. Tidak hanya itu, keberadaan visi ini juga akan mengarahkan pihak swasta ke dalam tindakan yang disepakati bersama dengan mengoptimalkan sumber daya yang 30
Ibid, hlm.52.
13
dimiliki. Untuk menentukan visi yang dipilih juga dibutuhkan koordinasi dalam formulasi visi. Hal ini diperlukan agar visi yang dipilih tepat. State as entrepreneur tidak hanya terbatas pada visi perubahan struktural, tapi juga pada peran negara untuk menyediakan institusi sehingga visi yang dibuat dapat diwujudkan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa negara juga berperan sebagai institution builder. Kesuksesan suatu entrepreneur bergantung pada pembangunan institusi baru yang dibentuk sebagai wahana untuk mewujudkan visinya.31 Selama
dalam
proses
perubahan
struktural
terjadi
perubahan
pola
interdependensi karena pola yang lama digantikan oleh pola yang baru. Karena memunculkan perubahan pola interdependensi maka dibutuhkan „principles of efficient coordination‟ yang baru. Untuk membuat „principles of efficient coordination‟ yang baru dibutuhkan peran negara. Penyebabnya adalah karena hanya negara yang memiliki wewenang legal dan sah untuk merespon dan membentuk pola perubahan koordinasi yang baru. Bentuk „principles of efficient coordination‟ yang baru dibuat oleh negara dengan cara mengkoordinasikan dan menyinergikan hubungan yang terjalin di antara pihak yang terlibat dalam perubahan struktural.32 Koordinasi dan sinergi yang dibuat oleh negara ini akan membantu agen yang terlibat dalam proses perubahan struktural agar dengan cepat dapat mendirikan organisasi baru, kegiatan produktif yang baru, dan kontrak yang baru sehingga visi dapat diwujudkan. 31
Ibid, hlm.54. Silsila Asri, Peran Pemerintah dalam Industrialisasi: Studi Kasus Upgrading Industri Kelapa Sawit Malaysia (Tesis Mahasiswa Strata-2 Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm.30. 32
14
Salah satu contoh untuk melihat peran negara dalam perubahan struktural terdapat pada kebijakan industri yang dibuat oleh Korea dan Taiwan. Sebagai negara yang menerapkan prinsip otoriter, kebijakan industri yang dibuat oleh birokrat dan politisi untuk mendorong industrialisasi dan perubahan struktural yang cepat tercermin dari visi industrial upgrading.33 Industrial upgrading adalah visi untuk melakukan perpindahan struktur industri ke arah industri dengan teknologi tinggi dan nilai tambah yang tinggi dengan menyediakan prospek perluasan permintaan dan kemajuan teknologi yang baik. Untuk mewujudkan visi tersebut, state as entrepreneur berperan sebagai pemimpin dalam formulasi kebijakan melalui pembuatan rencana jangka menengah dengan jangka waktu implementasi biasanya lima tahun. Selain itu, negara juga membuat kebijakan pelengkap lainnya untuk mewujudkan visi tersebut melalui „white paper’.
1.4.1.2. State as Manager of Conflicts Koordinasi dan sinergi yang dilakukan oleh negara melalui perubahan pola koordinasi yang baru belum tentu diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan.34 Perbedaan pandangan muncul ketika pemilik faktor produksi merasa tidak puas dengan hasil yang diterima akibat adanya disalokasi faktor produksi selama perubahan struktural berlangsung. Salah satu hal yang dapat memunculkan ketidakpuasan ini adalah lebih rendahnya pendapatan yang diterima
33 34
Ha-Joon Chang, Op. Cit., hlm.64. Ibid, hlm.56.
15
atau sudah tidak berfungsinya lagi faktor produksi yang dimiliki. Untuk mengatasi adanya perbedaan pandangan yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam proses perubahan struktural maka dibutuhkan state as manager of conflicts. Peran ini menunjukkan bahwa negara merupakan sumber solusi dalam mengatasi perbedaan pandangan yang ada di antara pihak yang terlibat dalam perubahan struktural. Sebagai
pihak
yang
memiliki
peran
dalam
menciptakan
dan
mengimplementasikan kebijakan publik untuk mewujudkan perubahan struktural maka cara yang dapat digunakan oleh negara sebagai sumber solusi dengan menggunakan pendekatan institusionalis adalah melakukan pengelolaan yang baik. Fungsi pengelolaan yang dimiliki oleh negara bersifat baik jika mampu menyediakan struktur pemerintahan yang dapat menjamin bahwa anggota masyarakat dalam level pendapatannya akan diperlakukan secara adil.35 Ketika suatu negara belum mampu melakukan pengelolaan yang baik maka masyarakat akan enggan untuk berkomitmen terhadap investasi jangka panjang dalam industri tertentu. Selain itu, pengelolaan yang belum baik juga membuat kedinamisan ekonomi menjadi menderita.36 Dengan menggunakan perspektif ekonomi politik institusionalis dapat dikatakan bahwa hilirisasi kelapa sawit dilakukan untuk mengubah posisi Indonesia dalam perdagangan internasional yang bersifat tradisional sebagai pemasok bahan mentah yang berwujud CPO menjadi modern melalui pembangunan industri. Pembangunan industri ini difokuskan pada pengembangan industri hilir untuk
35
Ibid, hlm.61. Ibid, hlm.63.
36
16
menghasilkan produk turunan CPO. Hal ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan pendapatan nasional melalui penambahan nilai pada produk industri kelapa sawit yang diekspor. Agar dapat mengubah kegiatan ekonomi dari yang bersifat tradisional menjadi modern, berdasarkan pemikiran institusionalis dibutuhkan perubahan struktural melalui perubahan teknologi dan institusi. Berhasil tidaknya perubahan struktural ini bergantung pada peran negara sebagai perancang, pembela, dan pembentuk institusi formal dan informal. Karena itu, berdasarkan pemikiran institusionalis dibutuhkan intervensi negara. Intervensi negara dalam perubahan struktural dapat dilihat pada dua sisi, yaitu state as entrepreneur dan state as manager of conflicts. State as entrepreneur menunjukkan bahwa untuk memfasilitasi terjadinya perubahan struktural negara harus memiliki jiwa entrepreneur seperti inovatif, kreatif, dinamis, toleransi terhadap resiko, fleksibel, dan berorientasi pada pertumbuhan. Hal ini diperlukan agar negara dapat mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dalam membangun industri baru sesuai dengan kesempatan yang ada. Dengan posisinya sebagai entrepreneur, negara sebagai agen pusat memiliki peran untuk melakukan koordinasi agar perubahan struktural dapat efektif. Untuk memenuhi perannya tersebut, negara membutuhkan visi industri kelapa sawit sebagai landasan bagi perubahan struktural melalui hilirisasi kelapa sawit. Selain visi, pembangunan institusi baru oleh negara juga diperlukan. Penyebabnya adalah institusi tersebut digunakan sebagai wahana untuk mewujudkan 17
visi yang dibuat. Selama proses perubahan struktural berlangsung terjadi perubahan pola interdependensi. Karena terjadi perubahan pola interdependensi ini maka negara memiliki
wewenang
untuk
membuat
pola
koordinasi
baru
dengan
cara
mengkoordinasikan dan menyinergikan hubungan yang terjalin di antara pihak yang terlibat dalam perubahan struktural. Koordinasi dan sinergi yang dibuat oleh negara ini akan membantu agen yang terlibat dalam proses perubahan struktural sehingga visi dapat diwujudkan. Jika perubahan hanya dilakukan oleh suatu individu tanpa adanya koordinasi dari pusat maka perubahan struktural tidak akan efektif dan justru dapat menimbulkan penderitaan bagi individu lain sebagai akibat dari ketidakpastian tindakan yang dilakukan oleh pihak lain. Dilandaskan pada hal ini maka dapat dikatakan bahwa faktor domestik yang menyebabkan perkembangan hilirisasi kelapa sawit belum optimal adalah ketidakjelasan visi industri kelapa sawit dan ketidaksinergian negara dengan pelaku industri kelapa sawit. State as manager of conflicts menunjukkan bahwa negara merupakan sumber solusi bagi perbedaan pandangan yang ada di antara pelaku industri kelapa sawit. Peran ini diperlukan karena selama dalam proses perubahan struktural untuk mewujudkan perekonomian modern terjadi disalokasi faktor produksi. Disalokasi faktor produksi muncul ketika pemilik faktor produksi memiliki perbedaan pandangan terhadap hasil yang diterima selama perubahan struktural berlangsung. Ketika negara belum mampu melakukan fungsi pengelolaan yang baik dalam 18
mengatasi perbedaan pandangan maka kedinamisan ekonomi menimbulkan penderitaan. Dilandaskan pada hal ini maka dapat dikatakan bahwa faktor domestik yang menyebabkan perkembangan hilirisasi kelapa sawit belum optimal adalah ketidakmampuan negara mengatasi perbedaan pandangan yang terjadi di antara pelaku industri kelapa sawit.
1.4.2. Akses Pasar Agar produk yang dihasilkan suatu negara mampu mengisi peluang pasar yang ada pada tingkat regional maupun global maka dibutuhkan akses pasar. Akses pasar dapat didefinisikan sebagai kebebasan untuk memasuki suatu pasar dan menjual produk berupa barang atau jasa.37 Dilandaskan pada definisi ini maka akses pasar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu perdagangan dan investasi. Orientasi pasar merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam memahami akses pasar untuk perdagangan. Orientasi pasar dapat diartikan sebagai pemahaman suatu perusahaan terhadap kebutuhan konsumen baik domestik maupun internasional. Pemahaman ini dibutuhkan agar produk yang dibuat perusahaan dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Jika perusahaan mampu memenuhi kebutuhan konsumen maka perusahaan tersebut dapat dikatakan memiliki akses pasar. Selain pemahaman terhadap kebutuhan konsumen, orientasi pasar untuk perdagangan juga mempertimbangkan orientasi pesaing. Memahami akses pasar
37
UN ESCAP, Market Access, n.d., http://www.unescap.org/sites/default/files/14%20%20VIII.%20Ma rket%20access. pdf (diakses 26 November 2014).
19
dengan menggunakan orientasi pesaing dibutuhkan karena bisnis seperti perang untuk mengalahkan lawan demi memaksimalkan keuntungan.38 Hal umum yang biasanya digunakan untuk melihat orientasi pesaing adalah mengacu pada penguasaan pasar (market share). Melalui penguasaan pasar ini maka dapat diukur seberapa besar pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan atau industri.39 Penguasaan pasar ini menjadi penting karena berkorelasi dengan keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan. Secara logika dapat dipahami jika pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan semakin luas maka keuntungan yang diperoleh juga cenderung semakin meningkat.40 Apabila akses pasar dibicarakan dalam konteks negara maka dapat dikatakan bahwa negara berkembang memiliki penguasaan pasar yang rendah di negara maju.41 Dalam tulisan Market Access in Global and Regional Trade juga disebutkan bahwa rendahnya penguasaan pasar yang dimiliki oleh Least Developed Countries (LDC) sebagai negara berkembang menunjukkan jika LDC sulit memiliki akses pasar di negara maju terutama bagi produk pertanian. Salah satu penyebab sulitnya akses pasar yang dimiliki oleh LDC di negara maju adalah karena pasar di negara maju telah dikuasai oleh produsen domestik. Dengan kata lain, permintaan atas produk di negara maju telah dipenuhi oleh produsen secara domestik sehingga peran produk impor menjadi sangat minimal. 38
J. Scott Armstrong dan Kesten C. Green, Competitor-oriented Objectives: The Myth of Market Share, 2005, http://www.buseco.monash.edu.au/ebs/pubs/wpapers/ 2005/wp17-05.pdf (diakses 26 November 2014). 39 Ibid. 40 Ibid. 41 Thierry Mayer dan Zoledad Zignago, Market Access in Global and Regional Trade, 2005, http://www. cepii.fr/PDF_PUB/wp/2005/wp2005-02.pdf (diakses 5 Februari 2014).
20
Rendahnya nilai ekspor produk negara berkembang terhadap negara maju dapat dilihat pada laporan WTO yang menyatakan bahwa total impor yang dilakukan oleh Amerika Utara terhadap LDC adalah sebesar 0,8 % pada tahun 1980 dan turun menjadi 0,6 % pada tahun 2000. Penurunan impor dari LDC ini juga terjadi pada Eropa Barat dan Jepang. Total impor yang dilakukan oleh Eropa Barat terhadap LDC adalah sebesar 1 % dan turun menjadi 0,5 % pada tahun 2000.42 Sedangkan total impor yang dilakukan oleh Jepang terhadap LDC adalah sebesar 1 % pada tahun 1980 dan turun menjadi 0,3 % pada tahun 2000.
1.4.3. Kebijakan Perdagangan sebagai Hambatan Ekspor Kemampuan suatu negara untuk memperoleh akses pasar bergantung pada kemampuannya
untuk
patuh
terhadap
kebijakan
perdagangan.43
Kebijakan
perdagangan merupakan tantangan paling kuat yang diciptakan oleh negara dalam perdagangan internasional.44 Kebijakan perdagangan ini diberlakukan dengan berbagai latar belakang. Di antaranya adalah menyeimbangkan neraca perdagangan, redistribusi pendapatan, melindungi industri yang masih muda, dan melindungi lapangan pekerjaan.
42
Ibid. UNCTAD, Non-Tariff Measures to Trade: Economic and Policy Issues for Developing Countries, (Geneva: United Nations Publications, 2013), hlm.1. 44 Martina Steinbockova, Multinational Corporations and Nation-States:Partners, Adverseries, or Autonomous Actor, 2007, http://is.muni.cz/th/64635/fss_m/DIPLOMA_THESIS.pdf (diakses 10 Februari 2015). 43
21
Secara umum kebijakan tersebut terdiri atas dua macam, yaitu tarif dan nontarif. Tarif merupakan pajak yang harus dibayar oleh suatu negara jika produk ekspor miliknya masuk ke dalam suatu negara. Sedangkan kebijakan non-tarif adalah kebijakan di luar tarif seperti kuota, subsidi ekspor, penetapan standar, penetapan prosedur administrasi, dan anti-dumping yang dapat membatasi terjadinya perdagangan internasional. Secara implisit keberadaan hambatan tarif dan non-tarif memperlihatkan adanya regulasi yang merugikan bagi perusahaan asing dari persaingan dengan perusahaan domestik. Penyebabnya adalah keberadaan hambatan perdagangan merupakan salah satu bentuk kontrol tak terbatas negara untuk melindungi pasar domestik.45 Kini kebijakan perdagangan dalam bentuk tarif tidak lagi memberikan pengaruh signifikan untuk menghambat akses pasar.46 Seiring dengan perkembangan, negara lebih memilih untuk menggunakan kebijakan perdagangan non-tarif sebagai penghambat perdagangan. Ada tiga penyebab berkembangnya hambatan dalam bentuk kebijakan non-tarif dalam perdagangan internasional. Pertama, kesuksesan untuk mengurangi tarif melalui negosiasi internasional membuat hambatan non-tarif menjadi dilihat. Penyebabnya adalah karena pengurangan hambatan dalam bentuk non-tarif melalui negosiasi internasional lebih sedikit untuk disetujui. Kebijakan hambatan non-tarif ini khususnya berlaku bagi produk pertanian dan tekstil.47
45
Ibid. Ibid. 47 Anon, Non-tariff Barriers and New Protectionism, 1999, http://www.swlearning.com/ economics/yarbrough/ yarbrough5e/pdf/Chap07.pdf (diakses 18 November 2014). 46
22
Kedua, banyak negara menggunakan hambatan non-tarif karena World Trade Organization (WTO) sebagai insitusi perdagangan internasional tidak mendisiplinkan penggunaan hambatan non-tarif seperti pada penggunaan tarif. Ketiga, negara sering menerapkan hambatan non-tarif dengan cara yang diskriminasi karena diterapkan hanya pada negara tertentu. Hal ini salah satunya dapat dilihat pada penggunaan kebijakan anti-dumping yang dianggap sebagai kebijakan proteksi untuk membatasi persaingan produk impor dengan produk domestik yang ada dalam pasar.48 Dampak dari penerapan kebijakan anti-dumping ini adalah menurunnya volume produk impor terhadap negara tertentu. Secara khusus hambatan non-tarif rentan diberlakukan oleh negara maju seperti Uni Eropa, Amerika, dan Jepang kepada negara berkembang. Penerapan hambatan non-tarif ini dapat berimplikasi kepada akses pasar negara berkembang. Hal ini dapat dilihat dari dua justifikasi. Pertama, meskipun tidak secara jelas menunjukkan adanya diskriminasi, penerapan hambatan non-tarif memberikan efek diskriminasi kepada negara berkembang.49 Efek diskriminasi ini cenderung merugikan negara berkembang karena terbatasnya kapabilitas yang dimiliki oleh negara berkembang untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan melalui kebijakan non-tarif. Hal ini dilandaskan pada lebih rendahnya kemampuan teknologi dan lebih lemahnya infrastruktur yang dimiliki oleh negara berkembang.
48 49
Ibid. Ibid.
23
Selain lebih rendahnya kemampuan teknologi dan infrastruktur, diskriminasi juga disebabkan oleh adanya masalah informasi. Banyak negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya untuk menganalisis dan memahami dampak penerapan kebijakan non-tarif terhadap ekspor produk yang dilakukan. Kemudian diskriminasi juga terlihat dari ditetapkannya prosedur administrasi yang setepat-tepatnya terhadap produk impor dari negara berkembang khususnya yang berasal dari LDC. Kedua, kebijakan non-tarif secara relevan ditujukkan kepada produk di mana negara berkembang memiliki kepentingan ekspor terhadap produk tersebut dalam pasar negara maju. Subjek dalam penerapan kebijakan non-tarif ini biasanya adalah produk yang dihasilkan oleh negara berkembang dan memiliki keunggulan komparatif.50 Contoh penerapan hambatan ekspor ini dialami oleh China terhadap produk pertaniannya. Secara umum ekspor produk pertanian China berorientasi pada pasar negara maju dengan dijadikannya Eropa sebagai pasar terbesar kedua dan Amerika Utara sebagai pasar terbesar ketiga. Keberadaan pembangunan sosial dan perubahan standar gaya hidup telah berpengaruh pada perubahan permintaan dalam pasar internasional melalui penetapan standar bagi suatu produk seperti keamanan, kualitas produk, dll. Keberadaan standar ini berimplikasi pada peningkatan biaya produksi China. Dampaknya adalah harga jual produk pertanian China di pasar ekspor juga
50
Ibid.
24
meningkat.51 Selain itu, dampak lainnya adalah membuat negara lain menerapkan hambatan perdagangan yang sama untuk melindungi produk domestik negaranya. Contoh yang dialami oleh China menujukkan bahwa produk pertanian China memiliki akses pasar internasional yang terbatas setelah ditetapkannya standar produk oleh Uni Eropa dan Amerika. Keterbatasan akses pasar internasional ini juga yang dialami oleh produk turunan CPO Indonesia. Indonesia membutuhkan akses terhadap pasar internasional untuk menjual produk turunan CPO demi mewujudkan peningkatan nilai tambah domestik melalui hilirisasi. Sedangkan sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki akses pasar yang rendah terhadap negara maju. Penyebabnya adalah pasar di negara maju selama ini dikuasai oleh produsen domestik sehingga peran produk impor dari negara berkembang menjadi minimal. Ketika hilirisasi kelapa sawit di Indonesia dilakukan maka yang menjadi pesaing bagi Indonesia dalam memperoleh akses pasar produk turunan CPO adalah produsen domestik yang ada di negara maju. Persaingan dalam penguasaan akses pasar bagi produk turunan CPO Indonesia dan produk domestik yang dihasilkan oleh negara maju merupakan hal yang penting. Penyebabnya adalah karena penguasaan pasar berkorelasi dengan keuntungan yang diperoleh. Jika selama ini produsen domestik di negara maju mampu menguasai pasar di negaranya maka keuntungan diperoleh negara maju. Di sisi lain, jika produk turunan CPO Indonesia masuk di negara maju apalagi dengan keunggulan komparatif 51
Ping Zhao, The External Factor Constraints on China's Agricultural Products Export and Countermeasures, 2009, http://www.sciencepub.net/rural/0102/wro09_0102_11_73_76.pdf (diakses 15 Oktober 2014).
25
yang dimiliki maka penguasaan akses pasar bagi produsen domestik di negara maju dapat berkurang. Jika persaingan antara produk turunan CPO yang memiliki keunggulan komparatif dengan produk yang dihasilkan oleh produsen domestik terjadi maka dapat menimbulkan dampak yang kurang bagus dari sisi negara maju. Hal ini dapat dilihat dari sisi persaingan yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang diperoleh baik oleh produsen domestik secara langsung maupun negara maju secara tidak langsung. Untuk mengatasi agar dampak kurang bagus ini tidak terjadi maka negara maju membuat kebijakan perdagangan yang dapat menghambat masuknya produk turunan CPO Indonesia di pasar negara maju. Dilandaskan pada hal ini maka faktor internasional yang menyebabkan perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia belum optimal adalah terbatasnya akses pasar internasional akibat kebijakan perdagangan non-tarif yang dibuat oleh negara maju. Hal ini dilakukan dengan tujuan melindungi pasar domestik dari persaingan antara produk domestik dengan produk turunan CPO Indonesia.
1.5. Argumen Utama Faktor domestik yang menyebabkan perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia belum optimal adalah ketidakmampuan negara berperan sebagai entrepreneur dan manager of conflicts. Ketidakmampuan negara berperan sebagai entrepreneur dilandaskan pada ketidakjelasan visi industri kelapa sawit dan 26
ketidaksinergian negara dengan pelaku industri kelapa sawit. Ketidakmampuan negara berperan sebagai manager of conflicts dilandaskan pada ketidakmampuannya menjadi sumber solusi atas adanya perbedaan pandangan yang dimiliki oleh pelaku industri
kelapa sawit.
Sedangkan
faktor internasional
yang menyebabkan
perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia belum optimal adalah keterbatasan akses pasar internasional bagi produk turunan CPO. Keterbatasan akses ini terjadi karena penerapan kebijakan penghambat perdagangan non-tarif oleh negara tujuan ekspor.
I.6. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif. Pengumpulan data lebih banyak menggunakan studi literatur untuk memperoleh data sekunder yang diperoleh dari berbagai referensi seperti internet, surat kabar, buku, majalah, jurnal, koran, publikasi pemerintah, arsip organisasi, dan referensi lainnya.52 Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui wawancara untuk mengetahui tantangan bagi hilirisasi kelapa sawit di Indonesia. Wawancara dilakukan pada instansi pemerintah,
yaitu
Kementerian
Perindustrian,
Kementerian
Perdagangan,
Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Wawancara juga dilakukan pada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI). Wawancara dilakukan pada institusi – institusi tersebut untuk melihat 52
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Unpar Press, 2006), hlm. 267.
27
pemetaan politik sehingga dapat diketahui tantangan dalam pengembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia.
I.7. Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab I berisi tentang garis besar penelitian. Hal ini terlihat dari latar belakang masalah, rumusan masalah, studi literatur, kerangka pemikiran, argumen sementara, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang hilirisasi kelapa sawit di Indonesia. Dalam bab ini dibahas tentang momentum hilirisasi kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, perkembangan hilirisasi kelapa sawit juga dibahas dalam bab ini. Bab III berisi tentang faktor penyebab domestik bagi perkembangan hilirisasi kelapa sawit Indonesia yang belum optimal. Faktor penyebab ini dilandaskan pada ketidakmampuan negara berperan sebagai sebagai entrepreneur dan manager of conflicts dalam hilirisasi kelapa sawit Indonesia. Ketidakmampuan negara berperan sebagai entrepreneur dilandaskan pada ketidakjelasan visi industri kelapa sawit dan ketidaksinergian negara dengan pelaku industri kelapa sawit. Ketidakmampuan negara berperan sebagai manager of conflicts dilandaskan pada ketidakmampuannya menjadi sumber solusi atas adanya perbedaan pandangan yang dimiliki oleh pelaku industri kelapa sawit.
28
Bab IV berisi tentang faktor penyebab internasional bagi perkembangan hilirisasi kelapa sawit Indonesia yang belum optimal. Faktor penyebab ini dilihat dari sisi keterbatasan akses pasar internasional bagi produk turunan CPO Indonesia. Secara umum keterbatasan tersebut dilihat dari persaingan yang semakin ketat di antara industri minyak nabati dalam pasar internasional. Secara lebih khusus, keterbatasan tersebut dijabarkan dalam kebijakan penghambat perdagangan yang diterapkan oleh Uni Eropa sebagai negara tujuan ekspor produk biodiesel Indonesia. Bab V berisi tentang kesimpulan didasarkan pada analisis yang ada dalam bab sebelumnya. Selain itu, terbukti atau tidaknya hipotesis juga tercantum dalam bab ini.
29