Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model
I. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi. Secara spesifik hal ini terlihat dari menurunnya sumbangan sektor migas yang memiliki porsi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, sumbangan sektor migas pada tahun 2004 mencapai 58,9% dan pada akhir tahun 2010 diperkirakan akan 1
kurang dari 49% atau secara rata-rata kontraksi pertumbuhan sektor migas terhadap PDRB Riau adalah sebesar 2,8% selama kurun waktu 2005-2010. Tentunya hal ini menimbulkan konskuensi terhadap pertumbuhan ekonomi Riau yang menjadi semakin melemah Sebagaimana diketahui, fenomena ini tidak terlepas dari usia sumur minyak yang sudah relatif tua sehingga mengakibatkan kinerja lifting migas tidak lagi sebaik tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut secara implisit memberikan implikasi penting bagi Provinsi Riau untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tersebut serta dapat mengoptimalkan sektor lain yang memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
1
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005
Pada dasarnya, dengan mengeluarkan unsur migas, perekonomian Riau pada kurun waktu
yang sama mengalami pertumbuhan yang cukup mengesankan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan yang diukur melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada sejak 2005-2009 berada diatas 8% atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional tanpa migas sebesar 6% dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 7,1%. Bahkan pada tahun 2009 atau tepatnya pasca krisis keuangan global, pertumbuhan ekonomi Riau tanpa unsur migas juga mampu mencatat tingkat yang cukup tinggi yaitu sebesar 6,44% atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional tanpa migas yang tercatat sebesar 4,90%. Pada sisi sektoral khususnya dalam sektor tradables, sumbangan pertumbuhan ekonomi Riau utamanya berasal dari sektor pertanian dan industri pengolahan. Berdasarkan Grafik 1, terlihat bahwa rata-rata sumbangan kedua sektor tersebut masing-masing mencapai 21,9% dan 18,3%. Sedangkan pada sektor non tradables, sumbangan terbesar diberikan oleh sektor perdagangan dengan angka mencapai 19,5%. Hal ini tentunya memberikan implikasi positif mengingat kedua sektor tersebut 2
memberikan peran terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja . Grafik 1. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Riau Tahun 2005-2010
16.0
25.0 21.9
14.0
8.0
Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Riau (4,3%)
15.0 %
%
10.0
20.0
18.3
12.0
14.4
6.0 9.9 4.0 2.0
7.0
5.5
7.5
10.0
10.0
10.9 9.2 5.0
1.1 -
-
Pertumbuhan (kiri) Sumbangan (kanan)
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
2
Data BPS per Februari 2010 mencatat terdapat 49,3% atau 1,82 juta jiwa penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja di sektor pertanian dan industri pengolahan. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya mencapai 50,8% dari 3.559.336 jiwa.
Sementara itu, dari sisi permintaan, perekonomian Riau masih ditopang oleh 3
kuatnya permintaan domestik khususnya konsumsi serta ekspor. Jika diilihat secara seksama, ekspor Riau yang sebagian besar berasal dari ekspor non migas menunjukkan kinerja yang cukup baik bahkan berada diatas rata-rata pertumbuhan konsumsi sebelum masa krisis keuangan global. Namun demikian, krisis tahun 2008 mengakibatkan pertumbuhan ekspor relatif rendah terkait dengan lesunya kondisi negara mitra dagang utama khususnya India dan Cina. Tentunya ini memberikan pelajaran penting agar dilakukan diversifikasi komoditas mengingat sebagian besar ekspor non migas Riau didominasi oleh komoditas barang mentah terutama Crude Palm Oil (CPO). Padahal seharusnya
dilakukan
diversifikasi
seperti
halnya
Malaysia
untuk
mengurangi
ketergantungan pangsa pasar eksternal dan mulai meningkatkan pangsa pasar domestik. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Menurut Pengeluaran (yoy,%) Indikator
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Konsumsi
7,77
8,28
7,44
8,03
8,53
7,32
Investasi
10,04
7,33
(1,81)
3,13
13,47
5,16
4,85
4,38
6,27
6,69
-3,78
3,76
Ekspor - Migas
2,84
0,86
4,61
7,07
-7,03
3,60
- Non Migas
9,06
11,31
9,23
6,03
1,83
4,00
13,04
10,32
9,59
8,62
6,20
8,75
Total
5,41
5,15
3,41
5,65
2,97
4,17
Tanpa Migas
8,54
8,66
8,25
8,06
6,56
7,16
Impor
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Jika dibandingkan dengan kondisi industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Utara, maka terlihat jelas bahwa Provinsi Riau mengalami ketertinggalan yang cukup jauh mengingat besarnya potensi sumber daya. Apalagi peran industri tersebut cukup vital dalam menghasilkan devisa dan pendapatan, serta menyediakan bahan baku bagi industri pangan, seperti minyak goreng. Selain itu juga melihat kondisi pasar yang cukup potensial, peran industri CPO dan produk turunannya diperkirakan akan terus berkembang terutama sejalan dengan adanya
program
energi alternatif,
biodiesel, baik nasional maupun internasional yang dicanangkan oleh negara maju. Walaupun dalam beberapa tahun belakangan sempat terganggu oleh adanya isu lingkungan.
3
Berdasarkan data BPS Provinsi Riau, pangsa kedua komponen tersebut masing-masing sekitar 40% dan 50%.
Tabel 2. Indikator Geografis Wilayah Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia Propinsi Aspek
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Luas Wilayah Daratan Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Luas Kebun Sawit Produktivitas Kebun Produksi TBS Jumlah PKS (Unit) Kapasitas PKS Produksi CPO (Ton) Produksi PKO (Ton) Industri Refinery & Fraksinasi (Olein, Stearin, PFAD) Industri Minyak Goreng Industri Fatty Acid Industri Fatty Alcohol Industri Biodiesel
Satuan Km2 Juta Jiwa Orang/Km2 (Ha) Ton TBS/Ha/Tahun Juta Ton Unit Ton TBS/Jam Ton Ton Unit Unit Unit Unit Unit
Sumatera Utara
Riau
Kalimantan Timur
71.680,68 12,32 169 970,716 3,70 13,16 87 3,03 3.200.000 322,368 18 10 4 3 3
94.561,60 5,07 57 1.641.000 3,83 22,6 128 5,645 5.764.000 554,071 4 1 3
245,2 3,09 14,8 477 2, 98 1,42 14 735 345,79 34,835 -
Sumber : GAPKI 2009 4
Studi yang dilakukan oleh Nagata dan Arai dalam Sachiho (2008) menunjukkan bahwa proses peningkatan lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau bermula sejak tahun 80-an. Sebelumnya, pada tahun 70-an, lahan perkebunan di Riau didominasi oleh karet sedangkan lahan perkebunan kelapa sawit relatif sangat kecil bahkan mendekati nol. Kemudian, memasuki tahun 80-an, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat (PIR). Program yang menerima tenaga kerja transmigrasi sebesar lebih dari 132.000 Kepala Keluarga (KK) sebagai petani kebun dilaksanakan di Provinsi Riau juga mulai akhir tahun 70-an sampai tahun 2000 dan berhasil menambah luas lahan kelapa sawit dengan rata-rata 42,28% pertahun Beberapa faktor yang mendukung berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Riau antara lain; (i) kondisi tanah dan iklim yang sesuai untuk pengembangan tanaman kelapa sawit, (ii) komitmen yang tinggi dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan perkebunan dengan visi ”Terwujudnya kebun untuk kesejahteraan masyarakat Riau tahun 2020”, (iii) tingginya minat masyarakat karena pada saat dan pasca krisis ekonomi 1997 petani sawit sangat diuntungkan dengan adanya kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), (iv) kelapa sawit memberikan pendapatan yang tinggi kepada petani dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya.
4
Sachiho, Arai W. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau: Sebuah Tafsiran seputar
Pemberdayaan Petani Kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol.19 1-16
II. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan Tabel IRIO, terdapat enam (6) sektor kunci di Provinis Riau yang sebagian besar berada pada sektor industri. Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa sektor industri kelapa sawit merupakan salah satu dari sektor kunci di Provinsi Riau dengan nilai Indeks Total Forward Linkage (ITFL) sebesar 1,863 dan Indeks Total Backward Linkage sebesar 1,188. Industri lain yang memiliki ITFL terbesar adalah industri pulp and paper dengan nilai mencapai 3,715. Grafik 4.2. Beberapa Sektor Kunci Utama 1,280 1,270 3,715; 1,260
1,260 1,250
ITBL
1,240 1,230
Kelapa sawit
1,157; 1,223
1,220
Pulp dan kertas
1,210
Pengolahan hasil laut
1,200 1,190
1,863; 1,188
1,180 1,170 0,000
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
ITFL
Sumber : Tabel IRIO 2005, diolah
Nilai ITFL sebesar 1,863 dapat diintepretasikan bahwa ketika terjadi peningkatan permintaan akhir pada sektor industri kelapa sawit Riau sebesar satu (1) satuan akan meningkatkan pasokan input ke sektor lainnya di dalam perekonomian sebesar 1,863 satuan. Sebaliknya, nilai ITBL sebesar 1,1863 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan permintaan akhir pada sektor tersebut sebesar 1 (satu) satuan akan meningkatkan permintaan input dari sektor lainnya sebesar 1,188. Relatif lebih besarnya ITFL dibandingkan ITBL sektor industri kelapa sawit Provinsi Riau mengindikasikan bahwa sektor industri kelapa sawit Riau lebih banyak menghasilkan output yang digunakan pada sektor lain dibandingkan dengan menggunakan input dari sektor lain. Hal ini sejalan dengan kondisi dilapangan yang menunjukkan bahwa Provinsi Riau merupakan penghasil CPO terbesar di Indonesia. Penelusuran dampak pembangunan IHKS terhadap perekonomian Riau dilakukan melalui 3 skenario yakni :
a) Simulasi I Simulasi ini dilakukan sebagai pembanding dengan kondisi saat ini dimana produksi CPO Riau sebagian besar diekspor dengan rata-rata kenaikan sebesar 30% per tahunnya. Dengan demikian, simulasi ini mengasumsikan bahwa terdapat kenaikan permintaan akhir ekspor CPO sebesar 30%. b) Simulasi II Simulasi ini mengasumsikan pembangunan industri hilir kelapa sawit dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal (2010-2012) target pembangunan diarahakan pada pembangunan pembangkit energi listrik dan sanitasi air bersih sebagaiamana peta panduan yang telah dicanangkan oleh Kementerian Perindustrian. Asumsi nilai investasi untuk pembangunan kedua proyek tersebut sebesar 50% dengan mengacu kepada usulan biaya pembangunan : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Program Peningkatan/Pembangunan Jalan dan Jembatan Peningkatan/Pembangunan Pelabuhan Laut Pembangunan Jalan Rel Pengembangan dan Pembangunan Air Bersih Pembangunan Pembangkit Energi Listrik Penyehatan Lingkungan dan Sanitasi Pengembangan Sumber Daya Manusia Dana Investasi dan Modal Kerja Pembangunan Industri Pembangunan Industri Dumai Total
Biaya (Rp triliun) 11,45 3,15 9,45 2,30 2.30 1.40 0,48 5,14 15,0 50,67
Klasifikasi Sektor Bangunan Bangunan Bangunan Listrik, gas dan air bersih Listrik, gas dan air bersih Listrik, gas dan air bersih Industri kelapa sawit Industri kelapa sawit Industri Kelapa Sawit
c) Simulasi III Simulasi ini mengasumsikan bahwa pembangunan industri hilir kelapa sawit sebesar 50% dari funded investement yang dibiayai melalui skema public private partnership sebagaimana usulan biaya pembangunan. Dalam simulasi ini juga diasumsikan bahwa dilakukan pembangunan industri hilir kelapa sawit di Sumatera Utara yang secara spasial diperkirakan akkan memberikan dampak terhadap perekonomian Riau. Secara spesifik, biaya pembangunan industri tersebut diperkirakan mencapai Rp3,81 triliun dan sekitar 410 miliar untuk pembangunan dan perbaikan jalur kereta api. Temuan empiris menunjukkan bahwa secara umum peningkatan permintaan akhir yang berasal dari ekspor maupun investasi industri kelapa sawit akan mengakibatkan peningkatan yang lebih tinggi pada sisi pendapatan masyarakat dibandingkan output
secara umum. Hal ini diperkirakan sejalan dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang berada pada sektor tersebut. Tabel 4.2. Perhitungan Distribusi Output dan Pendapatan Distribusi Output
Simulasi II
Simulasi I (Rp juta)
%
(Rp juta)
Simulasi III %
(Rp juta)
%
1.914.363
0,61
2.959.876
0,95
27.882.474
8,92
322.025
1,05
515.413
1,67
3.389.081
11,01
Pendapatan Sumber : Tabel IRIO 2005, diolah
Berdasarkan hasil simulasi, diketahui bahwa pada simulasi I (asumsi peningkatan permintaan akhir yang berasal dari ekspor CPO sebesar 30% akan meningkatkan output sebesar 0,61% atau setara dengan kenaikan sebesar Rp1,91 triliun. Dengan asumsi tersebut, hal ini juga akan diperkirakan akan memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp322,03 miliar atau sekitar 1,05%. Sementara itu, jika pembangunan industri hilir dilakukan maka peningkatan output dan pendapatan yang diterima oleh Provinsi Riau diperkirakan akan lebih tinggi terutama apabila pembangunan infrastruktur pendukung dan industri tersebut telah selesai dilakukan (Simulasi III). Pada Tabel, terlihat bahwa pada simulasi II dengan asumsi pembangunan industri hilir dimulai secara bertahap melalui pembangunan pembangkit listrik, sanitasi serta penyediaan air bersih, output provinsi Riau diperkirakan akan meningkat 0,95% atau setara dengan kenaikan sebesar Rp2,96 triliun. Peningkatan output ini juga akan memberikan kenaikan pendapatan total sebesar 1,67% atau setara dengan kenaikan sebesar Rp515,41 miliar. Terlebih apabila pembangunan industri hilir kelapa sawit secara efektif telah dilakukan (simulasi III) maka baik peningkatan output maupun pendapatan yang diterima Provinsi Riau akan jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi semula. Kondisi ini secara jelas menunjukkan bahwa investasi pembangunan industri hilir kelapa sawit akan memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan memenuhi permintaan yang berasal dari pasar ekspor bagi perekonomian Riau secara umum. III. Implikasi Kebijakan
Sehubungan dengan besarnya dampak pembangunan industri hilir kelapa sawit terhadap perekonomian Riau yang diukur melalui distribusi output dan pendapat, maka terdapat beberapa implikasi kebijakan diantaranya : a. Pemerintah daerah perlu menggesa pembangunan industri hilir kelapa sawit sesuai dengan peta panduan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat;
b. Pemerintah perlu mengeleminir faktor penghambat iklim investasi dengan melakukan pemberian jaminan kepastian hukum kepada investor dalam dan luar negeri; c. Perlu dilakukan harmonisasi kebijakan antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan dalam rangka meningkatkan percepatan realisasi pembangunan industri hilir kelapa sawit di Provinsi Riau.