Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini di Indonesia masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik karena belum optimalnya penggarapan sampai saat ini. Ke masa depan sektor ini akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor industri dan jasa. Pada sektor pertanian, subsektor perkebunan diharapkan tetap memainkan peran penting melalui kontribusinya dalam PDB, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah terutama di luar pulau Jawa. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri (produksi tahun 2007 sebanyak 16,89 juta ton), ekspor yang menghasilkan devisa (sebesar 7,86 miliar USD) dan menyediakan kesempatan kerja kepada ± 4,5 juta orang. (Indonesian Palm Oil Statistic, 2007) Pengembangan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1970 terutama periode 1980-an. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN) namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294.000 ha dan pada tahun 2007 luas areal perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 6,32 juta ha dimana 48,37% dimiliki oleh PBS, 40,66% dimiliki oleh PR, dan 10,98% dimiliki oleh PBN. Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2007 sementara Jambi menyumbang minyak sawit sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 8,82% dari luas lahan nasional. Perkembangan kelapa sawit di Jambi juga menunjukkan trend pertumbuhan yang selalu positif. Sampai dengan tahun 2007 luas areal kelapa sawit di Jambi sudah mencapai 430.610 ha dengan jumlah produksi 1.035.300 ton serta dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 135.736 KK. Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan I
dengan luas areal kedua terbesar setelah karet (luas areal karet adalah 633.739 ha) di Jambi. Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan jumlah produksi tahun 2007 sebesar 16,89 juta ton minyak sawit, kemudian diikuti dengan Malaysia dengan jumlah produksi 15,74 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 38,16 juta ton. Walaupun Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun sebagian besar ekspor minyak sawit dari Indonesia adalah dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai tambah yang didapatkan relatif kecil. Pada tahun 2007 ekspor dari komoditi sawit berserta turunannya adalah 83,97% dalam bentuk CPO, 14,25% dalam bentuk minyak inti sawit dan hanya 5,38% yang dalam bentuk produk turunan, yaitu oleochemichal. Sementara Malaysia, mayoritas ekspor komodita kelapa sawitnya adalah dalam betuk bentuk produk turunan. Di Jambi sendiri, Pemerintah Provinsi berencana akan membatasi penjualan minyak sawit mentah keluar daerah. Mulai Januari 2010 minyak kelapa sawit mentah tidak boleh dijual ke luar Provinsi Jambi. Selama ini, Provinsi Jambi dikenal memilki perkebunan sawit cukup luas, tetapi hanya bisa menghasilkan CPO, sementara yang mendapatkan hasil justru daerah lain. Jambi sendiri sering kekurangan minyak sayur yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari. Terkait peraturan ini, Pemerintah Provinsi Jambi sedang mengusulkan Perda mengenai larangan tersebut. Kedepannya, CPO harus diolah menjadi barang jadi, sehingga saat keluar dari Jambi sudah langsung bisa dipasarkan dengan label produksi dari salah satu Kabupaten di Jambi. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak dua dekade terakhir. Luas areal kelapa sawit yang hanya seluas 294.560 ha pada tahun 1980 menjadi 6.074.926 ha pada tahun 2006. Perkembangan luas areal ini kemudian diikuti dengan perkembangan jumlah produksi kelapa sawit, yaitu 721.172 ton di tahun 1980 menjadi 13.390.807 ton pada tahun 2007. Tingginya pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia disebabkan oleh meningkatnya perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh swasta dan perkebunan rakyat.
II
Grafik 2. Produksi (ton) Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
3500000
8,000,000
3000000
7,000,000
Jumlah produksi (ton)
luas lahan (ha)
Grafik 1. Luas Areal (ha) Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
2500000 2000000 1500000 1000000 500000
6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000
0
1967 1972 1977 1982 1987 1992 1997 2002 2007 PR (HA)
Tahun PBN (HA)
1967 1972 1977 1982 1987 1992 1997 2002 2007 Tahun
PBS (HA)
PR (HA)
PBN (ton)
PBS (HA)
Sumber: Ditjenbun, statistik perkebunan
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Luas areal kelapa sawit di Sumatera mencapai 74,90% total lahan di Indonesia dengan total produksi yang mencapai 81,75% produksi nasional. Sementara luas lahan kelapa sawit di Kalimantan mencapai 21,15% luas areal nasional dengan produksi yang mencapai 14,75% produksi nasional. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi dengan luas lahan dan produksi terbesar di Indonesia, yaitu dengan luas 22,51% dan jumlah produksi 24,30% produksi nasional. Jambi merupakan provinsi penghasil minyak sawit keempat terbesar di Indonesia setelah Riau, Sumut, dan Sumsel (lihat grafik 3 dan 4.). Grafik 3. Pangsa Luas Areal Perkebunan Sawit Berdasarkan Provinsi (%) Kalsel Kaltim2.98% 3.90% NAD 4.58%
Lainnya 10.30%
Riau 22.51%
Sumbar 4.98% Sumut 17.29%
Grafik 4. Pangsa Produksi Perkebunan Sawit Berdasarkan Provinsi (%) KaltimKalsel 1.76%2.56% NAD 4.12% Sumbar 5.80%
Kalbar 6.26% Jambi 8.82%
Riau 24.30%
Kalteng 4.16%
Kalteng 6.75% Kalbar 7.52%
Lainnya 9.82%
Sumsel 10.38%
Jambi 7.71%
Sumut 23.14%
Sumsel 10.37%
Sumber: Indonesian Palm Oil Statistic
Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2005 sudah hampir mencapai 87,5% total produksi. Belanda adalah negara tujuan utama ekspor kelapa sawit di Indonesia, yaitu 17,73% dari total ekspor kelapa sawit, kemudian diikuti oleh India sebesar 16,99%, dan Cina 12,91%. Malaysia yang merupakan negara pengekspor
III
kelapa sawit terbesar di dunia ternyata juga menjadi negara tujuan ekspor kelapa sawit di Indonesia, yaitu sebesar 6,10% dari total ekspor. Grafik 5. Ekspor CPO Indonesia
Grafik 6. Negara Tujuan Ekspor CPO tahun 2006 (%)
12000000
120
10000000
100
8000000
80
6000000
60
4000000
40
2000000
20
0
Turkey, 2.19 Sri Lanka, 2.91
Lainnya, 21.83
Netherlands, 1 7.73
Bangladesh, 3. 06
India, 16.99
0
China, 12.91
1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 Volume (ton) Nilai (ribu USD)
Egypt, 3.12 Germany,fed. Rep. Of, 3.43 Singapore, 4.2 5 Pakistan, 5.48
Sumber: Ditjenbun, statistik perkebunan
Malaysia, 6.10
Sumber: Ditjenbun, statistik perkebunan
Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Jambi Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan provinsi Jambi di samping karet. Perkembangan kelapa sawit di Jambi sangatlah pesat, dari hanya seluas 44.763 ha pada tahun 1990 meningkat menjadi 430.610 ha di tahun 2007, yang berarti meningkat hampir 10 kali lipat dalam 17 tahun. Begitu pula untuk hasil produksi CPOnya, dari hanya 106.864 ton di tahun 1990 menjadi 1.035.300 ton di tahun 2007. Pengembangan kelapa sawit ini selain bermanfaat dalam perekonomian Jambi juga berperan dalam menyerap tenaga kerja. Sampai dengan tahun 2007, jumlah KK yang bekerja dalam perkebunan sawit adalah 135.736. Sementara untuk perkebunan karet yang sudah berumur 100 tahun di Jambi, mulai mengalami perlambatan pertumbuhan dalam tahun-tahun terakhir ini. Saat ini luas kebun karet di Jambi adalah 633.739 ha dengan jumlah KK yang bekerja pada komoditi tersebut sebanyak 233.350 KK. Grafik 8. Produksi (ton) Perkebunan Jambi berdasarkan Komoditas
700,000
1,200,000
600,000
1,000,000
500,000
Produksi (ton)
Luas Areal (ha)
Grafik 7. Luas Areal (ha) Perkebunan Jambi berdasarkan Komoditas
400,000 300,000 200,000 100,000
800,000 600,000 400,000 200,000 0
0 1992 Karet
1997 kelapa sawit
2002
1992
2007 Lainnya
Karet
1997 kelapa sawit
2002
2007 Lainnya
Sumber: Jambi dalam Angka, berbagai terbitan
Ekspor ke luar negeri kelapa sawit dari Jambi adalah sebesar 7,83% dari total nilai ekspor pertanian di Jambi. Nilai ekspor ini sangat jauh dibawah nilai ekspor komoditi karet yang menguasai 85,27% total ekspor pertanian Jambi. Rendahnya nilai ekspor kelapa sawit dari Jambi ini bukan disebabkan oleh tingginya penggunaan IV
kelapa sawit di Jambi, akan tetapi disebabkan oleh adanya kelapa sawit yang dibawa ke luar provinsi Jambi, baik untuk diolah di sana maupun untuk kemudian diekspor dari daerah tersebut. Grafik 9. Persentase Nilai Pangsa Ekpor Komoditas Pertanian, 2006 Kelapa Pinang Kopi Gandum Cassiavera Lainnya 0.03% 0.05% Kelapa 5.88% 0.79% 0.12% 0.04% Sawit 7.83%
Karet 85.27%
Sumber: Deptan, Statistik Pertanian
Pengolahan industri hilir dari kelapa sawit di Jambi saat ini salah satunya adalah industri minyak goreng. Akan tetapi industri ini mengalami kemunduran dari tahun ke tahun jika dilihat dari jumlah produksinya. Di tahun 1992, jumlah produksi minyak goreng adalah 1.719 ton akan tetapi di tahun 2007 jumlah produksi menyusut sampai hanya 408,62 ton. Dilihat dari jumlah perusahaannya, industri ini juga tidak mengalami kemajuan dimana jumlah industri pada sektor ini tetap 7 sejak tahun 1992. Saat ini industri minyak goreng dapat menyerap 1.488 tenaga kerja. Grafik 10. Produksi Minyak Goreng Jambi 2000 Produksi minyak goreng (ton)
1500 1000 500 0 1992
1997
2002
2007
Sumber: Jambi dalam angka, berbagai terbitan
Analisis Pengembangan kelapa sawit di jambi Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dapat melalui pengembangan luas lahan kebun dan juga dengan pengembangan industri hilir kelapa sawit. Untuk mengetahui
bagaimanakah
dampak
dari
pengembangan
tersebut
terhadap
perekonomian Jambi, digunakan analisis Tabel Input Output. Analisis yang akan dilakukan meliputi dampak pengembangan tersebut terhadap output perekonomian di Jambi, pendapatan masyarakat, tenaga kerja, serta sektor-sektor yang terkena dampak dari pengembangan ini.
V
Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lain dalam suatu wilayah dengan periode waktu tertentu. Tabel ini merupakan alat yang efektif untuk menganalisis dan memproyeksi perekonomian dalam suatu perencanaan pembangunan, dan dapat juga dijadikan landasan untuk menilai dan mengetahui berbagai kelemahan data-data statistik lainnya. Tabel Input-Output yang dipergunakan adalah Tabel Input-Output tahun 2007 yang terdiri dari 70 sektor. Untuk simplifikasi, tabel input-output yang digunakan kemudian diagregasi menjadi 45 sektor. 1. Pemanfaatan lahan idle kebun sawit Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan, saat ini terdapat 143 perusahaan yang sudah mendapatkan izin lokasi pembangunan kebun kelapa sawit. Total lahan yang diizinkan untuk perkebunan sawit sampai saat ini adalah seluas 1.100.000 ha. Implementasinya di lapangan, saat ini luas kebun kelapa sawit di Jambi sampai dengan tahun 2008 adalah 454.771 ha. Hal ini menunjukkan terdapatnya lahan kelapa sawit yang masih belum digunakan kira-kira seluas 645.229 ha. Analisis skenario digunakan untuk melihat bagaimanakah dampak dari pemanfaatan lahan idle ini terhadap perekonomian Jambi. Dari 645.229 ha lahan idle, diasumsikan lahan yang akan dimanfaatkan adalah 5% yaitu seluas 32.261,5 ha. Untuk pengembangan lahan sawit dibutuhkan investasi sebesar Rp24.181.000/ha (SK Dirjen Perkebunan Nomor 03/Kpts/RC.110/1/107) sehingga total investasi yang diperlukan adalah Rp780,12 miliar. Adanya investasi sebesar Rp780,12 miliar akan meningkatkan output Jambi sebesar Rp1,096 triliun (setara dengan 1,77% total output) baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika mempertimbangkan imbasan terhadap konsumsi masyarakat, maka kenaikan output menjadi sebesar Rp1,26 triliun (kenaikan 2,04% total output), yang berarti terdapat kenaikan output sebesar Rp162,79 miliar akibat meningkatnya konsumsi masyarakat. Sektor yang mendapatkan pengaruh terbesar dari investasi ini adalah sektor sawit yang mengalami peningkatan output sebesar Rp839,95 miliar diikuti dengan sektor keuangan sebesar Rp77,77 miliar. Imbasan konsumsi terbesar adalah dari sektor industri makanan lainnya yaitu sebesar Rp21,57 miliar diikuti dengan sektor bangunan Rp15,18 miliar.
VI
Tabel 1. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Investasi Lahan Terhadap Sektor ∆ Output (lgsg, tdk lgsg)
Sektor Sawit Keuangan Sektor lainnya Bangunan Perdagangan Transportasi_jalan Jasa swasta Ind. Makanan Lainnya Lainnya Total
∆ Output (lgsg, tdk lgsg, Imbasan Kons)
Imbasan Kons
839,710 71,293 43,901 29,375 19,476 17,852 21,571 3,193 49,044 1,095,416
243 6,473 5,569 15,176 10,126 8,035 3,445 21,568 92,155 162,789
839,953 77,766 49,471 44,550 29,602 25,886 25,016 24,761 141,199 1,258,205
Investasi yang dilakukan terhadap sawit ini tentu akan berpengaruh kepada pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat akan meningkat sebesar
Rp129,93
miliar (kenaikan sebesar 0,86%) secara langsung ataupun tidak langsung. Jika menambahkan imbasan kepada konsumsi, total kenaikan pendapatan masyarakat adalah sebesar Rp174,42 miliar (kenaikan 1,15% dari total pendapatan masyarakat). Kenaikan pendapatan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan kenaikan outputnya. Pendapatan masyarakat yang akan meningkat adalah bagi masyarakat yang bekerja pada sektor sawit (Rp54,56 miliar), keuangan (Rp21,63 miliar), sektor lainnya (Rp21,60 miliar), dan bangunan (Rp19,50 miliar). Perkebunan sawit merupakan perkebunan yang menyerap tenaga kerja dengan tinggi. Pengembangan lahan ini akan berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru sebanyak 94.199 lapangan pekerjaan dimana 80.282 lapangan pekerjaan di sawit. Tabel 2. Hasil Skenario Pemanfaatan Lahan Keterangan
Nilai (juta)
Investasi Pengembangan Lahan Dampak Terhadap Output Perubahan output (lgsg, tdk lgsg) Perubahan output (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons) Imbasan Konsumsi Dampak Terhadap Pendapatan Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg) Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons) Dampak Terhadap TK Perubahan TK (langsung) Perubahan TK (tidak langsung) Perubahan TK (Efek industri) Perubahan TK (Imbasan Konsumsi) Perubahan TK (Total)
% thd Total Output/ Income/TK
780,115 1,095,416 1,258,205 162,789
1.77 2.04 0.26
129,933
0.86
174,420
1.15
80,282.03 8,875.32 2,954.35 2,087.74 94,199.44
6.69 0.74 0.25 0.17 7.85
Sektor sawit adalah sektor yang sangat tergantung akan keuangan, sektor sektor lainnya, bangunan, perdagangan, jasa swasta serta transportasi jalan. Untuk
VII
dapat mengembangkan sektor ini tentu harus didukung oleh sektor input utama lainnya. Tingginya kebutuhan akan sektor keuangan menunjukkan bahwa sektor ini membutuhkan pembiayaan yang cukup tinggi. Penyaluran kredit perkebunan oleh perbankan di Jambi mengalami peningkatan sejak tahun 2008. Akan tetapi rasio jumlah kredit perbankan terhadap total kredit masih relatif kecil yaitu sebesar 8,14% pada Februari 2009. Rasio ini masih dibawah pangsa subsektor perkebunan terhadap PDRB Jambi yang pada tahun 2008 adalah sebesar 10,42%. Tabel 3. Jumlah Kredit Perkebunan 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 -
11.52 11.17
14 12 10 9.66 8.20 7.84 8 7.85 8.14 8.27 6.83 6.92 6 4 2 0
Q4-06 Q1-07 Q2-07 Q3-07 Q4-07 Q1-08 Q2-08 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Kredit Tanaman Perkebunan (Rp juta) Rasio Kredit Tanaman Perkebunan (%) (rhs)
2. Pengembangan industri hilir Pemerintah Provinsi Jambi akan membatasi penjualan minyak sawit mentah keluar daerah. Mulai Januari 2010 minyak kelapa sawit mentah tidak boleh dijual ke luar Provinsi Jambi. Selama ini, Provinsi Jambi dikenal memilki perkebunan sawit cukup luas, tetapi hanya bisa menghasilkan CPO, sementara yang mendapatkan hasil justru daerah lain. Tujuan dari pengembangan industri hilir ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat serta dapat membuka lapangan kerja baru. Selain itu industri hilir ini dapat menjadi buffer harga untuk minyak sawit. Dengan adanya industri ini ketergantungan industri CPO akan pasar ekspor akan berkurang. Skenario yang dilakukan dalam perhitungan ini adalah jika 20% ekspor CPO dari Jambi digunakan untuk pembangungan industri hilirnya. Berdasarkan tabel InputOutput, ekspor CPO adalah sebesar 69,32% dari total output. Jika total produksi CPO Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar 1.035.300 ton maka volume ekspor CPO pada tahun 2007 adalah sebanyak 717.690 ton. Tabel 4. Perhitungan Skenario Pengembangan Industri Minyak Goreng Keterangan Ekspor CPO (Juta Rp) Total Output CPO (Juta Rp) Persentase eksporCPO/Total Output CPO Total Produksi CPO Jambi 2007 (ton) Ekspor CPO (ton) SKENARIO Pengurangan Ekspor CPO 20% (Juta Rp) Pengurangan Ekspor CPO 20% (ton) Biaya Investasi minyak goreng/kg (Rp) Total biaya investasi minyak goreng sebesar 20% ekspor CPO (juta Rp)
VIII
Nilai 1,816,865.5 2,620,910.0 69.3 1,035,300.0 717,690.0
363,373.1 143,538.0 4,500.0 645,921.0
Pengurangan Ekspor CPO sebesar 20% (setara dengan 143.538 ton) Pengurangan ekspor CPO sebesar 20% atau sebesar Rp363.373,1 juta akan mengurangi
total
output
di
Jambi sebesar Rp561,96 miliar (penurunan 0,91% total output Jambi) baik secara langsung maupun ekspor
tidak. ini
Penurunan menyebabkan
turunnya output sektor industri CPO sebesar Rp446,17 miliar serta penurunan output sawit sebesar
Rp0,46
miliar.
Jika
Tabel 5. Hasil Skenario Penurunan 20% Ekspor CPO Keterangan
Nilai (juta)
% thd Total Output/ Income/TK
Penurunan Ekspor Dampak Terhadap Output Perubahan output (lgsg, tdk lgsg)
(561,964)
Perubahan output (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons)
(726,453)
-1.17
Imbasan Konsumsi Dampak Terhadap Pendapatan Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg) Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons)
(164,489)
-0.27
(363,373) -0.91
(131,290)
-0.87
(176,241)
-1.17
mempertimbangkan imbasan konsumsi, penurunan ekspor ini menyebabkan turunnya total output sebesar Rp726,45 miliar (penurunan 1,17% total output), berarti terdapat penurunan konsumsi masyarakat sebesar Rp164,49 miliar. Penurunan imbasan konsumsi ini terutama dirasakan oleh sektor industri makanan lainnya yaitu sebesar Rp21,79 miliar. Dari sisi pendapatan masyarakat, penurunan output ini menyebabkan turunnya pendapatan masyarakat sebesar Rp131,29 miliar. Penurunan pendapatan masyarakat terbesar adalah untuk sektor industri minyak CPO (84,48%) diikuti dengan industri keuangan sebesar (4,22%). Jika memperhitungkan imbasan kepada konsumsi masyarakat maka total penurunan pendapatan masyarakat menjadi Rp176,24 miliar. Tabel 6. Perubahan Output Sektor Ind. CPO Sawit Keuangan Perdagangan Ind. Makanan lainnya Bangunan Lainnya Total
∆ Output (lgsg, tdk lgsg)
Imbasan Kons
∆ Output (lgsg, tdk lgsg, Imbasan Kons)
(446,170) (46,217) (19,903) (14,325)
(2,374) (246) (6,540) (10,231)
(448,544) (46,463) (26,444) (24,556)
(1,380) (1,991) (31,978) (561,964)
(21,793) (15,334) (107,970) (164,489)
(23,173) (17,325) (139,948) (726,453)
Pengembangan industri minyak goreng sebesar 143.538 ton Pengembangan 143.538 ton industri hilir kelapa sawit membutuhkan biaya investasi sebesar Rp645,92 miliar (asumsi 1 kg minyak goreng membutuhkan investasi sebesar Rp4500/kg). Pengembangan industri hilir ini akan meningkatkan output Jambi sebesar 1,60% yaitu sebesar Rp990,80 miliar secara langsung maupun tidak langsung. Jika mempertimbangkan imbasan konsumsi, peningkatan output akibat investasi ini adalah sebesar 2,07% atau setara dengan Rp1.277,18 miliar dengan imbasan konsumsi sebesar 286,38 miliar. Kenaikan output terbesar dirasakan oleh sektor IX
industri CPO diikuti oleh industri makanan lainnya dan sawit. Dilihat dari imbasan konsumsinya, sektor industri makanan lainnya dan bangunan adalah dua sektor dengan pengaruh imbasan konsumsi terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan realokasi masyarakat ketika ada penambahan pendapatan ialah membelanjakan pada kedua sektor tersebut. Dari sisi pendapatan masyarakat, investasi ini meningkatkan Rp306.841 miliar pendapatan rumah tangga. Perubahan pendapatan terbesar dirasakan oleh rumah tangga yang bekerja pada sektor CPO, jasa pemerintah dan juga industri makanan lainnya. Tabel 7. Hasil Skenario Penurunan Industri Hilir CPO Keterangan
Nilai (juta)
% thd Total Output/ Income/TK
645,921
Investasi Pembangunan Ind. Hilir Dampak Terhadap Output Perubahan output (lgsg, tdk lgsg) Perubahan output (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons) Imbasan Konsumsi Dampak Terhadap Pendapatan Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg) Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons)
990,803
1.60
1,277,183
2.07
286,381
0.46
228,580
1.51
306,841
2.03
Tabel 8. Perubahan Output ∆ Output (lgsg, ∆ Output Imbasan tdk lgsg, Imbasan (lgsg, tdk Kons Kons) lgsg) Ind. CPO 719,811 4,133 723,943 Ind. Makanan Lainnya 45,918 37,943 83,861 Sawit 74,563 428 74,991 Keuangan 33,099 11,387 44,486 Perdagangan 24,437 17,813 42,250 Hotel & Resto 20,682 15,365 36,046 Bangunan 3,425 26,697 30,122 Sektor
Pengurangan Ekspor dan Pengembangan Industri Hilir Jika
skenario
ini
Tabel 9. Hasil Skenario Penurunan Industri Hilir CPO
terealisasi, maka secara total akan ada peningkatan output sebesar
Rp550,73
Peningkatan
miliar.
output
ini
terutama disumbangkan oleh industri CPO (Rp275,40miliar), industri
makanan
(Rp60,69
miliar)
(Rp28,53
miliar).
lainnya
dan
sawit
Imbasan
Keterangan
Nilai (juta)
Penurunan ekspor & Pembangunan Ind. Hilir Dampak Terhadap Output Perubahan output (lgsg, tdk lgsg) Perubahan output (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons) Imbasan Konsumsi Dampak Terhadap Pendapatan Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg) Perubahan pendapatan (lgsg, tdk lgsg, imbasan kons)
% thd Total Output/ Income/TK
428,839
0.69
550,730
0.89
121,892
0.20
97,290
0.64
130,601
0.86
konsumsi terbesar dirasakan oleh sektor industri makanan lainnya yaitu kenaikan output sebesar (Rp16,15 miliar). Dari sisi pendapatan masyarakat, akan terdapat kenaikan sebesar Rp130,60 miliar (kenaikan 0,86% total pendapatan masyarakat).
X
Sektor yang mengalami peningkatan akibat
tertinggi
skenario
adalah
sektor
CPO
ini
Rp68,46
miliar
∆ Output (lgsg, tdk lgsg)
Sektor
industri dengan
peningkatan
Tabel 10. Perubahan Output
sebesar diikuti
dengan sektor industri makanan lainnya yaitu sebesar Rp 12,02 miliar.
Imbasan Kons
∆ Output (lgsg, tdk lgsg, Imbasan Kons)
Ind. CPO Ind. Makanan Lainn Sawit Hotel dan Resto
273,640 44,538 28,346 20,147
1,759 16,150 182 6,540
275,399 60,688 28,528 26,687
Keuangan Perdagangan Bangunan Lainnya Total
13,195 10,112 1,434 37,425 428,839
4,847 7,582 11,363 73,470 121,892
18,042 17,693 12,797 110,895 550,730
Saat ini permasalahan yang dialami dalam pengembangan industri hilir CPO diantaranya adalah: 1.) Belum adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah mengenai pengembangan industri perkebunan terutama berkaitan dengan pengembangan industri hilirnya. 2.) Belum adanya sinkronisasi antara pengembangan industri hulu dan hilir. Sebelum terjadinya penurunan harga CPO pada tahun 2008 lalu, para pengusaha berpendapat bahwa investasi dalam industri hulu kelapa sawit jauh lebih menguntungkan. 3.) Dibutuhkannya fasilitas pelabuhan laut untuk menunjang jalur perdagangan industri kelapa sawit Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian ini dapat disimpulkan: 1. Pengembangan lahan kelapa sawit berdampak positif terhadap perekonomian Jambi baik dilihat dari total output, pendapatan masyarakat maupun tenaga kerja. Pengembangan 32.2615 ha kebun kelapa sawit akan meningkatan output Jambi sebesar 2,04% secara total, pendapatan rumah tangga akan meningkat sebesar 1,15% serta akan menambah lapangan kerja sejumlah 94.199. 2. Pembatasan ekspor yang tidak disertai dengan pengembangan industri hilir akan berdampak buruk pada penurunan perekonomian di Jambi yaitu turunnya output provinsi Jambi sebesar 1.17%, turunnya pendapatan masyarakat provinsi Jambi sebesar -1.17%. 3. Pengembangan industri hilir kelapa sawit akan berdampak positif baik dilihat dari total output dan pendapatan masyarakat. Pengembangan industri hilir kelapa sawit sebesar 20% dari jumlah ekspor saat ini akan meningkatkan output sebesar 0,89% secara total serta meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 0,86%.
XI
Saran Beberapa saran yang dapat dilakukan terkait dengan penelitian ini adalah: 1.) Pendataan dan penyelesaian status lahan yang telah diberikan izin pengolahan kepada perusahaan namun belum dimanfaatkan, terutama terhadap izin yang telah berakhir masa berlakunya. 2.) Optimalisasi pemanfaatan program revitalisasi perkebunan Pemerintah Pusat maupun daerah antara lain sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan kebun. 3.) Optimalisasi program revitalisasi perkebunan terutama percepatan realisasi kredit program maupun komersil. 4.) Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing. Market riset yang dilakukan adalah mengenai kebutuhan pasar akan produk turunan kelapa sawit serta jalur pemasarannya, sementara market intelijen yang dilakukan adalah mengenai sistem pengembangan industri hilir kelapa sawit di sekitar provinsi Jambi seperti Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Riau. 5.) Penelitian lanjutan mengenai industri turunan kelapa sawit apa yang dapat dikembangkan di Jambi. Saat ini keterbatasan dalam perhitungan dengan menggunakan tabel input output ini adalah tidak tersedianya variabel industri hilir kelapa sawit selain untuk minyak goreng, sementara industri hilir kelapa sawit masih beraneka ragam.
XII