STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KARET ALAM DI PROVINSI RIAU Djaimi Bakce, Almasdi Syahza, dan Nur Hamlim
(LPPM Universitas Riau)
Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional dan Kongres ISEI XIX dengan Tema: “Menghidupkan Kembali Sektor Industri Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional”
Surabaya, 7-9 Oktober 2015
PENDAHULUAN
Provinsi Riau merupakan penghasil karet alam ketiga terbesar di Indonesia setelah Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Lebih dari 80% perkebunan karet di Indonesia merupakan perkebunan karet rakyat yang dihadapkan dengan berbagai permasalahan seperti: •
Daya dukung lahan yang rendah dan cenderung menurun (penguasaan lahan yang sempit dan alih fungsi lahan),
•
Harga berluktuasi dan cenderung rendah,
•
Struktur pasar monopsoni,
•
Kurangnya industri pengolahan antara, dan
•
Belum ada industri hilir yang menghasilkan final products.
Lebih dari 90% produk-produk karet yang dihasilkan (Crump Rubber, SIR, RSS, dan Crepe) diekspor, hanya kurang dari 5% yang dioleh menjadi produk-produk akhir.
Pengembangan industri hilir karet untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk merupakan upaya untuk kesejahteraan para pelaku yang terlibat dalam industri karet alam di Indonesia, khususnya para petani karet.
TUJUAN
Tujuan umum: Menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang strategi pengembangan industri hilir karet alam di Provinsi Riau
Tujuan spesifik: •
Menggambarkan potensi pengembangan industri hilir karet alam,
•
Merumuskan strategi pengembangan industri karet alam di Provinsi Riau.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian ekploratif yang bertujuan untuk menyelidiki pola dan perurutan pertumbuhan atau perubahan dalam menyusun strategi kebijakan. Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui survey dengan metode perkembangan (Developmental Research).
Lokasi penelitian dilakukan di daerah Daerah Riau wilayah daratan yakni Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi. Ketiga kabupaten tersebut mempunyai produktifitas berbeda yang disebabkan perbedaan tingkat kesuburan tanah.
Data yang diperlukan adalah data primer dan sekunder.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait maupun dari pengusaha industri karet alam. Informasi yang diperlukan berupa kebijakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perusahaan perkebunan dan informasi/data sekunder lainnya yang terkait.
Data primer dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun berdasarkan kebutuhan penelitian. Untuk mendapatkan informasi yang akurat dilakukan dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA), yaitu suatu pendekatan partisipatif untuk mendapatkan data/informasi dan penilaian (assesment) secara umum di lapangan dalam waktu yang relatif pendek.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Pengembangan Industri Hilir Karet Alam • •
Pada awal tahun 1970-an ada 5 perusahaan/pabrik industri pengolahan karet di Riau. Sampai tahun 2010 menjadi 9 perusahaan (11pabrik). Pasca 2010 turun menjadi 6 perusahaan(8 pabrik). Alasan bahwa ada perusahaan yang berhenti beroperasi karena kelangkaan bahan baku tidaklah tepat. Hasil perhitungan DDW tahun 2014 diketahui indeknya 1,53.
Indikator dan proyeksi kekurangan industri pengolahan karet alam di Provinsi Riau Indikator Luas Areal (ha), tahun 2014 Produksi bokar (ton), tahun 2014 Industri pengolah sudah ada (unit) Kapasitas terpasang (ton/tahun) Kemampuan mesin (ton/tahun) Kelebihan bahan baku (ton/tahun) Indeks daya dukung wilayah (DDW) Kekurangan Industri (20.000 ton/tahun) •
Kuantitas 505.264,00 354.256,63 14 282.000 232.000 122.256,63 1,53 6
Tingginya indeks DDW yang tidak dimbangi dengan jumlah industri pengolahan karet yang cukup untuk menghasilkan produk-produk antara dan produk-produk akhir dan kualitas bahan olahan karet yang rendah menyebabkan harga produk-produk karet alam Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara pesaing, khususnya Thailand.
Perkembangan Harga Karet di Indonesia dan Thailand, 2000-2012
Perkembangan Volume Ekspor Karet Indonesia, Thailand dan Malaysia, 2000-2012 3,000,000
4500.00 4000.00
2,500,000
2,000,000
3000.00 Volume (Ton)
Harga (US$ per Ton)
3500.00
2500.00 2000.00
1,500,000
1,000,000
1500.00
1000.00 500,000
500.00 0.00 Thailand
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
536.70 461.80 644.60 910.20 1097.70 1333.00 1750.00 1996.90 2211.10 1706.20 3255.40 4066.90 2804.10
Indonesia 244.10 251.80 334.20 424.30 466.80 484.30 717.50 691.20 801.40 564.10 857.40 959.10 877.00
Sumber: FAO, 2014
• Tingginya harga karet alam Thailand karena keberpihakan dan kesungguhan Pemerintah Thailand dalam pengembangan industri hilir karet.
Thailand
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2,003,697 1,864,996 2,053,817 2,307,742 2,167,961 2,137,538 2,109,080 2,077,771 1,995,524 1,731,787 1,834,828 2,120,597
Indonesia 1,370,517 1,443,008 1,487,352 1,648,394 1,862,506 2,019,768 2,277,663 2,399,146 2,286,910 1,982,116 2,338,986 2,546,237 Malaysia
886,155
740,427
808,900
868,018
1,360,977 1,091,505 1,073,193
960,241
870,997
664,306
853,108
904,494
Sumber: FAO, 2014
• Sampai dengan tahun 2005 volume ekspor karet alam Thailand lebih besar dari Indonesia, namun pada periode berikutnya volume ekspor karet alam Indonesia lebih besar dari Thailand • Penurunan ekspor karet alam di Thailand bukanlah disebabkan oleh penurunan produksi, namun karena kebijakan pemerintah Thailand dan antusiasme pengusaha di Thailand dalam mengembangkan industri hilir karet.
Supply chain karet alam Indonesia
Sumber: USAID, 2007
• Produk-produk olahan karet alam Indonesia lebih didominasi untuk menghasilkan RSS, SIR dan crepe. • Lebih dari 90% produk-produk tersebut diekspor, kurang dari 5% yang diolah menjadi final products.
Supply chain karet alam Thailand
Sumber: STA Group, 2013
• Thailand dan Indonesia memasok sebanyak 57% karet alam dunia, 31% Thailand dan 26% Indonesia. • STA memberikan kontribusi 9% kepada pasar dunia, 13% pangsa pasar impor China dalam bentuk komponen kendaraan bermotor dari karet, dan ranking ke 4 industri pengolahan sarung tangan di dunia.
Strategi Pengembangan Industri Hilir Karet Alam
Pengembangan Hulu-Hilir Karet Alam • Pengembangan bagian hulu dilakukan dengan: (1) Mencegah alih fungsi lahan luas areal dan produksi tanaman karet di Provinsi Riau cenderung menurun dari 528.655 hektar dan 409.445 ton pada tahun 2008 menjadi 500.851 hektar dan 350.476 ton pada tahun 2012. (2) Bantuan sarana produksi, seperti bibit unggul, pupuk, pestisida dan peralatan, sehingga mampu mengurangi beban petani sekaligus meningkatkan produktivitas karet alam. (3) Kebijakan stabilitas dan peningkatan harga karet melalui penerapan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas bahan olahan karet (bokar) • Integrasi hulu-hilir dengan mengembangkan sistem kemitraan antara perusahaan dan petani sehingga dihasilkan produksi karet dengan produktivitas yang tinggi dan kualitas yang baik. • Dalam jangka pendek perusahaan-perusahaan kembali meningkatkan kapasitas dan kualitas produk antara yang dihasilkan. • Dalam jangka menengah dan panjang perusahaan didorong untuk secara bertahap mengembangkan industri hilir karet yang mampu menghasilkan produk-produk akhir yang bernilai tambah tinggi. Pembangunan Kluster Indusri Karet Alam • Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 112/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Kluster Industri Karet dan Barang Karet terdiri dari tiga kelompok (industri hulu, industri antara, dan industri hilir). • Untuk pengembangan kluster industri hilir karet dapat dilakukan pada kawasan-kawasan industri yang sudah ditetapkan dan dikembangkan di Provinsi Riau, yakni Kawasan Industri Pelintung Dumai, Kawasan Industri Kuala Enok, dan Kawasan Industri Buton.
Menciptakan iklim usaha dan iklim investasi yang kondusif
Peringkat kemudahan melakukan usaha negara anggota ASEAN, 2014 Singapore Malaysia Thailand Vietnam Philippines Brunei Darussalam Indonesia Cambodia Lao PDR Myanmar
1 18 26 78 95 101 114
RANK INDONESIA
7 of 10 135 148 177
0 Sumber: World Bank Group, 2015, diolah
50
100
150
200
Rendahnya peringkat kemudahan melakukan usaha terjadi hampir pada seluruh topik dari 10 topik doing business: (1) Memulai usaha (starting a business): Indonesia berada pada peringkat 155 dari 189 negara di dunia, dan peringkat ke 6 dari 10 negara anggota ASEAN. (2) Berurusan dengan izin konstruksi (dealing with construction permits): peringkat 153 di dunia dan peringkat 9 di ASEAN. (3) Mendapatkan listrik (getting electricity): peringkat 78 di dunia dan peringkat 6 di ASEAN. (4) Mendaftarkan properti (registering property): peringkat 117 di dunia dan peringkat 8 di ASEAN (5) Mendapatkan kredit (getting credit): peringkat 71 di dunia dan peringkat 5 di ASEAN (6) Melindungi investor minoritas (protecting minority investors): peringkat 43 di dunia dan peringkat 4 di ASEAN (7) Membayar pajak (paying tax): 160 dunia dan peringkat 9 di ASEAN (8) Perdagangan lintas batas (trading across borders): peringkat 62 di dunia dan peringkat 5 di ASEAN (9) Menegakkan kontrak (enforcing contracts):peringkat 172 di dunia dan peringkat 8 di ASEAN (10)Menyelesaikan kepailitan (resolving insolvency): peringkat 75 di dunia dan peringkat 5 di ASEAN
KESIMPULAN Provinsi Riau memiliki potensi bagi pengembangan industri hilir karet. Daya dukung wilayah (DDW) yang tinggi dan permintaan terhadap produk-produk hilir karet untuk kebutuhan domestik dan internasional sangat tinggi dan cenderung meningkat. Dengan berkembangnya industri hilir karet di Provinsi Riau, umumnya di Indonesia, akan mampu meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk-produk karet yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan para pelaku industri karet alam, khususnya petani. Tiga strategi pokok perlu diimplemtasikan dalam pengembangan industri hilir karet di Provinsi Riau, yaitu: (1) Memperkuat pengembangan hulu-hilir industri karet alam, (2) Mempercepat pembangunan kluster industri karet alam melalui pengembangan kawasan industri, dan (3) Menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif.
SARAN
Upaya memperkuat pengembangan hulu-hilir industri karet dilakukan dengan mengembangkan sistem kemitraan antara perusahaan dan petani. Disamping itu, dalam jangka pendek perusahaan-perusahaan dapat kembali meningkatkan kapasitas dan kualitas produk antara yang dihasilkan. Selanjutnya dalam jangka menengah dan panjang perusahaan didorong untuk secara bertahap mengembangkan industri hilir karet yang mampu menghasilkan produk-produk akhir yang bernilai tambah tinggi.
Untuk pengembangan kluster industri hilir karet dapat dilakukan pada kawasan-kawasan industri yang sudah ditetapkan dan dikembangkan di Provinsi Riau. Ada tiga kawasan industri yang sudah ditetapkan di Provinsi Riau, yakni Kawasan Industri Pelintung Dumai, Kawasan Industri Kuala Enok, dan Kawasan Industri Buton.
Menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif dengan menciptakan kemudahan dan kepastian usaha baik bagi pengusaha domestik maupun internasional.
TERIMA KASIH
Dr. Djaimi Bakce, SP, M.Si Email :
[email protected] HP : 08128447823