Perspektif Vol. 11 No. 1 /Juni 2012. Hlm 79 - 90 ISSN: 1412-8004
PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea brasiliensis) BERKELANJUTAN DI INDONESIA Sustainable Development of Natural Rubber in Indonesia SABARMAN DAMANIK
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jl. Tentara Pelajar 1.Bogor 16111. Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194 E-mail:
[email protected] Diterima : 11 April 2012; Disetujui : 20 November 2012 ABSTRAK Pengembangan karet berkelanjutan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan investasi usaha perkebunan karet karena investasi pada komoditas ini merupakan investasi jangka panjang. Oleh karena itu dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi, konsumsi perdagangan, dan harga karet tingkat nasional maupun internasional. Produksi dan konsumsi karet dunia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 2,5% / thn, sedangkan perdagangan karet dunia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 2,6% pertahun, sehingga harga karet diperkirakan akan berkisar antara 1,2-1,5 US$/kg. Berdasarkan informasi tersebut, dengan skenario moderat, Indonesia diperkirakan mempunyai peluang untuk meningkatkan produksi yang sekaligus juga menambah volume ekspor mencapai 2,2% per tahun. Dalam upaya memanfaatkan peluang tersebut, Indonesia masih menghadapi berbagai masalah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan beberapa kebijakan seperti yang disarankan dalam studi ini. Kata kunci: Karet, Hevea berkelanjutan
brasiliensis, mutu, hasil,
ABSTRACT Prospect of sustainable rubber development is one of the important factors determining investment in rubber plantations as thikind of investment is a long term one. In according with this issue, area, production, consumption, trade, an price of rubber, either in term of international or national perspective are discussed. World production an consumption are projected to increase at the same growth rate that is at 2,5 % annual growth rate. World trade a projected to increase by 2,6/cent/annum, while rubber price is estimated to lie between USS$ 1,2 – 1,5 per kg in the next decade. Based on these figures and with a moderate scenario. Indonesia is estimated to have a opportunity to increase rubber production and export
by 2,2% per annum, respectively. To capture these opportunities, Indonesia still faces some problems in relation to low productivity and product quality. The overcame these problems, same polities are also proposed within this study. Keywords: Rubber, Hevea brasiliensis, development, product, quality, sustainable
PENDAHULUAN Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang penting baik bagi perekonomian masyarakat maupun sumber devisa non migas bagi negara. Tanaman karet berasal dari lembah Amazon, Brazilia yang mempunyai curah hujan antara 2000-3000 mm/thn dan hari hujan antara 120-170 hari/thn (Sutardi, 1981). Pengembangan karet dunia terkonsentrasi pada daerah antara 10o LU dan 10o LS (Moraes, 1977), salah satunya adalah Indonesia. Sebagian besar areal perkebunan karet Indonesia terletak di Pulau Sumatera (70%), Kalimantan (24%) dan Jawa (4%). Daerah-daerah tersebut memiliki curah hujan antara 1500- 4000 mm/thn dengan rata-rata bulan kering 0-4 bulan per tahun dan mempunyai elevasi < 500 m dpl. Thailand, India, dan China sedang mengembangkan karet di daerah semiarid, elevasi tinggi, dan daerah sub tropis (Vijayakumar et al., 2000). Areal Pertanaman karet di Indonesia meliputi area seluas 3.445.317 ha, dengan produksi total sebesar 2.770.308 ton pertahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Perbandingan luas areal menurut status pengusahaan yaitu perkebunan rakyat 84,66%, perkebunan besar negara 7,11%, dan perkebunan besar swasta 8,23%. Produksi perkebunan rakyat
Pengembangan Karet Alam (Hevea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
79
78,97%, perkebunan besar negara 10,08% dan perkebunan besar swasta 10,95%. Nilai ekspor karet Indonesia tahun 2008 sebesar US$ 6.023.295.600 dengan volume 2.283.153,8 ton. Laju pertumbuhan produksi karet dunia diperkirakan 2,5% per tahun sedangkan laju perdagangan dunia tumbuh 2,6% (BPS, 2009). Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi produsen utama karet dunia walaupun saat ini masih menduduki posisi kedua setelah Thailand. Hal ini dapat terjadi jika permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet dapat diatasi dan agribisnisnya dikembangkan serta dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki lahan potensial sekitar 0,5 juta hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010), yang cukup besar untuk pengembangan karet terutama di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Papua. Hasil penelitian (Thomas et al., 2007), karet dapat ditanam pada elevasi > 500 m dpl, dan daerah beriklim kering dengan curah hujan kurang dari 1500 mm/th. Hal ini menambah peluang Indonesia untuk dapat memperluas areal pertanaman karet. Dalam situasi perkaretan dunia beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan karena bertambahnya permintaan khususnya karet alam. Terkait kondisi harga karet dunia yang relatif stabil dan cukup tinggi, maka perluasan areal perkebunan karet Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut dan perlu mendapatkan dukungan agar kebun yang berhasil dibangun dapat memberikan produktivitas yang tinggi. Tahun 2025 diperkirakan Indonesia dapat menjadi produsen utama karet dunia dengan luas areal perkebunan karet mencapai 4,5 juta ha dan mampu menghasilkan 3,3 juta ton. Perkembangan karet alam masih mempunyai harapan untuk tetap bertahan di pasar internasional. Industri pabrik ban mobil tidak selamanya memihak pada karet sintetis, karena sebagian sifat karet alam tidak dimiliki oleh karet sintetis. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan semakin banyak industri ban radial yang memakai karet alam sebagai bahan bakunya. Sejak dekade 1980 hingga saat ini, permasalahan karet Indonesia adalah rendahnya produktivitas dan kualitas karet yang dihasilkan,
80
khususnya karet rakyat. Sebagai gambaran produksi karet rakyat hanya 600-650 kg KK/ha/th. Walaupun demikian, peranan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar karet alam dunia masih dapat diraih kembali dengan memperbaiki teknik budidaya dan pasca panen/pengolahan. Perkembangan cara penyajian karet alam ternyata sangat menarik. Timbulnya industri karet dengan spesifikasi teknis merupakan perkembangan yang sangat positif sebagai jawaban yang sangat nyata. Demikian pula dengan cara pengepakan yang baik akan membuka era baru penyajian karet alam. Kondisi kemajuan seperti ini menyebabkan para konsumen mulai berpaling lagi ke karet alam. Selain hal tersebut di atas, kemajuan lain yang terjadi pada industri karet alam di antaranya :
Pembuatan karet secara kimia yang menghasilkan karet tahan minyak pelumas. Penemuan karet termo-plastik yang berasal dari campuran karet alam dan polipropilen. Perluasan penggunaan karet alam untuk pembuatan barang bukan ban. Penemuan teknik pencangkokan dari lateks. Perbaikan teknik eksploitasi seperti penggunaan stimulan dan penyempurnaan alat sadap.
Melalui inovasi teknologi seperti di atas, bukan tidak mungkin usaha ini akan memberikan dampak pada kenaikan harga jual dan penurunan biaya produksi. Oleh karena itu terdapat kecenderungan konsumen akan kembali pada karet alam sehingga diperkirakan akan terjadi kekurangan penawaran karet alam. Jika berpijak pada asumsi ini maka dapat disimpulkan masa depan karet alam memiliki prospek yang cukup baik. Dulu, tanaman karet lebih dikenal sebagai penghasil lateks, namun dengan semakin berkembangnya teknologi, kayu karet pun sudah mulai dimanfaatkan. Tanaman karet yang sudah berumur 20—30 tahun dapat ditebang dan kayunya dimanfaatkan dalam pembuatan rubber smoked sheet (RSS).
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90
Tabel 1. Keadaan kayu karet dan perkiraan peluang pengembangan kayu Indonesia tahun 2000 dan 2020
Kayu untuk kertas dan kayu energi Kayu bukan untuk kertas dan kayu pertukangan
Permintaan (000) 2000 2020 135.269 237.425 49.700 94.425
Total (1000 m3)
184.969
Jenis produk kayu
331.580
Tahun Penawaran (000 m3) 2000 2020 74.425 74.425 88.643 88.643 163.068
163.068
Peluang Pasar (000 m3) 2000 2020 60.844 163.000 38.943 5.782 99.787
168.782
Sumber : Nunung, 1991.
Alur pembuatan RSS sebagai berikut : lateks dimasukkan ke tangki penampungan dan dicampur dengan asam formic, kemudian lembaran karet dikeringkan di ruang asap dengan suhu sekitar 120o - 140o C. Kayu karet yang sudah tua dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengasapan tersebut. Ditinjau dari sifat alaminya, kayu karet dapat dijadikan sebagai barang substitusi kayu rami, agathis, meranti putih, dan pinus sebagai bahan baku kayu olahan. Berdasarkan asas manfaat dan kegunaan kayu karet, prospek tanaman karet sebagai penghasil kayu pada masa mendatang cukup baik. Keadaan produk sampingan tanaman karet dan perkiraan peluang pengembangannya di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Sisi permintaan lebih besar dari penawaran sehingga peluang pasar masih sangat terbuka, hal ini memberikan peluang bagi pengembangan karet pada masa datang. Kebijakan pengembangan tanaman karet menetapkan empat pola pengembangan yang dikenal dengan program Hutan Tanaman Industri (HTI), yaitu pola PIR, pola UPP, pola swadaya, dan pola perkebunan besar. Penerapan empat pola ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas karet, khususnya perkebunan karet rakyat yang masih berada pada tingkat yang rendah. Bibit atau klon unggul dipilih yang benarbenar dapat menghasilkan kayu berkualitas dan berproduktivitas tinggi. Sedikitnya ada lima kriteria yang harus dipenuhi oleh klon unggul, baik dalam bentuk benih, kayu okulasi, stum mata tidur, maupun bibit dalam polibag. Kriteria tersebut adalah: (1) Mempunyai pertumbuhan awal yang cepat sehingga mampu berkompetisi dengan gulma dan tanaman lain; (2) Mampu beradaptasi dengan keadaan lahan terutama padang alang-alang dan lahan gundul; (3)
Mempunyai pertumbuhan batang yang besar, lurus, dan mutu kayu baik; (4) Mampu memproduksi lateks yang tinggi: (5) Tidak sensitif terhadap penyadapan dan perubahan lingkungan fisik atau biologis. Jenis-jenis klon yang memenuhi kriteria seperti di atas adalah Avros 2037, BPM 1, BPM 107, RRIM 712, PRIC 100, PRIC 102, PRIC 110, PRIC 120, dan TM. Adapun produksi rata-rata klon anjuran tersebut sebesar 1,2 – 1,5 ton/ha/th (Tabel 2) Produksi puncak dicapai pada umur tahun sadap 8-9 tahun, setelah itu produksi lateks menunjukkan kecenderungan menurun. Bila dirata-rata produksi karet kering pada lima tahun pertama antara 1.200-1.500 kg/ha/th. Produksi karet kering rata-rata pada umur 10 tahun antara 1.600-1.800 kg/ha/th. Pengembangan perkebunan karet ditentukan oleh banyak faktor antara lain ketersediaan bahan tanam, tenaga pembina, dan dukungan perbankan. Menurut Hardjoamidjojo (2002), melalui analisis prospektif ada beberapa tahap kegiatan yang harus dilakukan, yaitu : a. Menentukan faktor-faktor kunci untuk masa depan sistem yang dikaji. b. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama. c. Mendefinisikan/mendeskripsikan hasil evaluasi kemungkinan masa depan. d. Menentukan nilai faktor yang berpengaruh.
PROSPEK PENGEMBANGAN KARET ALAM Kebutuhan karet alam terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup dan mobilitas manusia serta barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk
Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
81
Tabel 2. Jenis-jenis klon karet yang dianjurkan (produksi rata-rata kg/ha/th) Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
AVROS 2037 344 716 BPM 1 739 1.050 BPM 107 1.125 1.346 RRIM 717 1.115 1.541 RRIM 728 927 1.177 PRIC 100 710 1.278 PRIC 101 1.068 1.323 PRIC 102 941 1.120 PR 314 629 986 TM 8 547 961 TM 9 673 913 Sumber : Balai Penelitian Karet Getas, 1991.
Klon
Tahun 1
1.219 1.449 1.576 1.746 1.553 1.645 1.449 1.541 1.104 1.545 1.755
1.587 1.520 1.702 1.681 1.793 1.788 1.328 1.619 1.578 1.793 2.103
transmisi, sepatu dan sandal karet (Penebar Swadaya, 2009). Secara fundamental harga karet alam dipengaruhi oleh faktor permintaan (konsumsi), penawaran (produksi), dan stock/cadangan. Pertumbuhan Konsumsi Karet Alam Dalam kurun waktu 1980-2005, konsumsi karet alam di Eropa dan jepang mengalami penurunan dan stagnan namun di China dan beberapa negara berkembang lainnya mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi (IRSG, 2004). International Rubber Study Group (IRSG) memperkirakan bahwa akan terjadi kekurangan pasokan karet alam pada priode dua dekade ke depan. Kondisi ini akan mempengaruhi pihak konsumen, terutama pabrik-pabrik ban mobil seperti Bridgestone, Goodyear, dan Michelin. Oleh karena itu pada tahun 2004, IRSG melakukan studi tentang permintaan dan penawaran karet alam dan sintetik dunia. Hasil studi menyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik adalah 31,3 juta ton (15 juta ton adalah karet alam) pada tahun 2035 untuk industri ban dan non ban. Produksi karet alam pada tahun 2005 sebesar 8,5 juta ton, sehingga diproyeksikan pertumbuhan produksi karet Indonesia per tahun akan mencapai 3%, sedangkan Thailand dan Malaysia hanya 1- 2% (IRSG, 2004). Pertumbuhan produksi Indonesia ini dapat dicapai melalui peremajaan atau penanaman baru karet yang cukup luas dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3,5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5,1 juta ton (Chairil, 2006)
82
Pertumbuhan Indonesia
Tahun 5
Rata-rata
2.167 1.700 1.854 1.464 1.767 1.907 1.623 1.746 1.939 2.200 2.128
Produksi
1.207 1.292 1.521 1.509 1.443 1.466 1.358 1.393 1.227 1.409 1.514
Karet
Alam
di
Menurut Chairil (2006), penawaran karet dunia meningkat lebih dari tiga persen per tahun dalam dua dekade terakhir atau mencapai 8,81 juta ton pada tahun 2005. Pertumbuhan tersebut berasal dari negara produsen, seperti Thailand, Indonesia, Malaysia, India, China, dan lainnya. Sejak tahun 1991 Malaysia tidak lagi menjadi produsen utama karet alam dunia tetapi digeser oleh Thailand, sementara Indonesia tetap sebagai negara produsen kedua. Thailand memproduksi lebih dari 33% karet alam dunia pada tahun 2005, sementara Indonesia hanya 26% dan Malaysia 13%. Proyeksi yang berkaitan dengan karet alam Indonesia, menurut Susila dan Herman, 2000 dibagi menjadi tiga skenario yaitu skenario optimis (SO), skenario pasimis (SP) dan skenario moderat (SM) dengan pertumbuhan produksi untuk SO, SP dan SM masing-masing sebesar 3,5; 2,0; dan 2,2% per tahun. Keseimbangan Karet Alam
Penawaran
dan
Permintaan
Ketidakseimbangan (imbalance) penawaran dan permintaan akan bereaksi terhadap harga. Kenaikan harga terjadi karena defisit penawaran dan turunnya harga karena surplus penawaran. Data IRSG 2004, menunjukkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan karet alam mulai terlihat sejak tahun 1990 an dan berpengaruh terhadap cadangan (stock) karet alam dunia.
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90
Menurut Ng (1986), tidak berpengaruhnya surplus atau defisit pasokan dan cadangan terhadap harga karet dunia disebabkan adanya imperfect knowledge terhadap penawaran dan permintaan global karet alam pada waktu tertentu serta adanya kegiatan spekulasi dan hedging pada kegiatan pemasaran karet alam dunia seperti forward purchase, future contract, longterm arrangement. Target pengembangan karet harus didukung dengan berbagai faktor antara lain: a. Seluruh sentra produksi mempunyai komitmen untuk pengembangan karet pada wilayahnya masing-masing. b. Penyediaan benih/bibit karet sesuai dengan permintaan setiap wilayah pengembangan. c. Peningkatan kemampuan petugas penyuluh perkebunan yang menangani karet. d. Terpenuhinya sumber daya manusia dan sarana petani untuk pemelihaaraan kebun dan penanganan pasca panen. e. Dukungan perbankan berupa dana untuk pemeliharaan dan pengelolaan kebun. Pengembangan perkebunan karet masih dilakukan secara tradisional dan masih memegang kuat ketentuan-ketentuan adat masyarakat setempat khususnya terkait dengan konservasi sumberdaya alam. Hal ini mereka lakukan karena mereka hidup di lingkungan alam pegunungan dengan kemiringan lereng yang cukup tajam sehingga membutuhkan pengelolaan yang baik agar tidak terjadi bencana. Penentuan lokasi kebun karet dan cara pengelolaan oleh petani setepat dilakukan dengan sangat hati-hati, sehingga pengembangan perkebunan karet dapat dikatakan tidak menimbulkan permasalahan lingkungan yang berarti. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2010), pengembangan perkebunan karet di Indonesia diusahakan oleh petani (PR) seluas 2.935.081 ha (84,75%), perkebunan besar nasional seluas 239.132 ha ( 6,97%), dan perkebunan besar swasta 275.931 ha (8,28%) sehingga permasalahan sosial khususnya yang terkait dengan lahan tidak pernah terjadi. Kehadiran tanaman karet sebagai tanaman perkebunan telah memberikan manfaat sosial yang positif khususnya dalam penyediaan
kesempatan kerja dan usaha. Oleh karena itu biaya dan manfaat lingkungan maupun biaya dan manfaat sosial dalam pengembangan perkebunan karet bernilai positf. Ekspor karet Indonesia meningkat dari 1.874.3.241 ton pada tahun 2004 menjadi 2.295.456 ton pada tahun 2008 dan menurun menjadi 1.991.262 pada tahun 2009 dengan nilai 3.241.533 US$. Kenaikan volume dan nilai ekspor tersebut memberikan peluang yang besar untuk pengembangan karet alam Indonesia.
PERKEMBANGAN HARGA KARET ALAM Karet sintetik sebagai produk hasil industri harganya relatif lebih stabil dibandingkan dengan karet alam yang berfluktuasi dipengaruhi oleh kondisi alam (Chairil, 2006). Untuk menghindari kerugian karena gejolak harga karet alam, pasar berjangka (future trading) karet menyediakan sarana dan mekanisme lindung nilai (hedging). Pasar berjangka karet alam yang saat ini menjadi panutan/pedoman dunia adalah Singapura (SICOM), Jepang (TECOM), Thailand (AFET) dan China (SHFE). Sedangkan pasar fisik (physical) karet alam selain di Singapura dan Jepang juga terdapat di negara produsen seperti Malaysia dan Thailand. Kalangan produsen mengenal Singapura dan Kuala Lumpur sebagai pasar karet global sedangkan London, New York dan Tokyo sebagai pasar dari kalangan konsumen. Beberapa faktor yang mempengaruhi tren harga karet alam adalah pasar luar negeri, permintaan, dan penawaran (ekspor dan cadangan), situasi politik dan ekonomi internasional, tren nilai tukar, harga karet sintetik, dan pertumbuhan ekonomi global. Menurut Hardjoamidjojo (2002), cadangan karet alam yang dimiliki pabrik ban (afloat stock) dan kualitas ban berperan besar pada keputusan perusahaan apakah memakai lebih besar karet alam atau karet sintetik. Budiman (2004) menyatakan permintaan karet alam dan sintetik akan terus bertumbuh karena didorong perkembangan industri automotif dan ban. Secara ekonomi permintaan karet alam dan sintetik ditentukan oleh kondisi sekarang dan perkembangan ke depan dari industri otomotif. Perkembangan ekonomi yang
Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
83
pesat dan terjadi peningkatan standar kehidupan dari masyarakat di negara-negara padat penduduk, maka permintaan jenis ban akan meningkat di masa yang akan datang. Sejak pertengahan tahun 2002 harga karet mencapai harga US$ 1,00/kg dan tahun 2006 telah mencapai US$ 2,20/kg untuk harga SIR 20 di SICOM Singapura. Harga diperkirakan akan stabil pada jangka panjang sampai tahun 2020. Konsumsi karet alam meningkat dari 4,4% pada tahun 2006 menjadi 6,2% pada tahun 2007, sementara karet sintetik menurun sebesar 4,7% (2006) dan 4,6% (2007). Tahun 2007 harga karet alam bertahan sekitar US$ 2.00/kg. Jika invesment fund dan spekulator masuk ke pasar berjangka untuk profit taking maka akan terjadi lonjakan harga. Damardjati (2011), Darmansyah (2011) dan Pane (2011) memproyeksikan bahwa menjelang akhir tahun 2012 diperkirakan harga karet relatif layak dan dipengaruhi perkembangan perekonomian global dan market fundamental.
PENGEMBANGAN KARET BERKELANJUTAN Pengembangan karet berkelanjutan perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi arah strategi pengembangan karet yang berkelanjutan, yaitu : Identifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh Menurut Hasyim (1998), lahan merupakan modal penting proses produksi pertanian oleh petani (termasuk petani karet), karena di atas lahan tersebut kegiatan produksi dimulai dan menjadi pengahasilan rumah tangga petani. Struktur penghasilan petani dikaitkan dengan status sosial petani (berdasarkan penguasaan lahan), tampak bahwa peranan lahan dalam bentuk pengelolaan usaha tani (on farm) sangat menonjol pada status petani pemilik yaitu sebesar 72% (Fadjar et al., 2008). Terdapat delapan faktor strategis (Tabel 3) yang mempengaruhi pengembangan karet berkelanjutan (Herman dan Damanik, 2009), yaitu : ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani, dukungan kebijakan, luas kebun petani, ketrampilan petani, kelembagaan
84
petani, produksi dan produktivitas. Ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani dan dukungan kebijakan dikategorikan sebagai faktor penentu (input) dalam sistem agribisnis karena faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang kuat terhadap faktor lainnya, tetapi ketergantungannya kepada faktor lain relatif lemah. Sedangkan faktor luas kebun petani, ketrampilan petani, kelembagaan petani dan produksi serta produktivitas merupakan faktor penghubung dalam sistem agribisnis karet karena mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat terhadap faktor lain. Terdapat tiga faktor terikat yaitu harga karet, hama penyakit terkendali dan pendapatan petani. Ketiga faktor tersebut akan menjadi sasaran akhir atau produk dari strategi pembangunan perkebunan karet berkelanjutan karena mempunyai karakteristik ketergantungan yang cukup kuat namun mempunyai pengaruh yang relatif lemah terhadap faktor lain. Kondisi faktor yang menjadi output atau sasaran dari pembangunan perkebunan karet berkelanjutan bervariasi seperti hama, penyakit jamur akar putih yang belum terkendali menyebabkan kerugian mencapai miliaran rupiah hingga pendapatan petani dalam kondisi moderat (cukup memadai), dan harga karet di tingkat petani tergolong optimis (sangat tinggi) Selanjutnya pada Lampiran 1, dijelaskan penilaian terhadap pengaruh langsung antar faktor yang mempengaruhi pengembangan karet di Indonesia. Kondisi Faktor-faktor yang Berpengaruh Ada tiga kemungkinan kondisi dari masingmasing faktor strategis yang mempengaruhi keberlanjutan perkebunan karet di masa yang akan datang. Secara ringkas kondisi berbagai faktor strategis tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Faktor-faktor strategis tersebut umumnya berada pada kondisi moderat dan cenderung mengarah ke kondisi optimis (kondisi kombinasi 1B-2C-3C-4B-5A-6B-7C-8B). Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya perbaikan sehingga faktor-faktor strategis dapat mencapai kondisi optimal yaitu suatu kombinasi 1A-2A-3A-4A-5A6A-7A-8A. Kondisi tersebut menggambarkan semua faktor strategis berada pada kondisi
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90
optimal dalam memberikan dukungan bagi terlaksananya pembangunan perkebunan karet secara berkelanjutan. Upaya perbaikan yang perlu dilakukan meliputi semua faktor strategis dengan sasaran sebagai berikut: a.
b.
c.
Teknologi mutakhir selalu tersedia, contohnya perbanyakan vegetatif melalui sambung samping yang saat ini telah berhasil dilakukan. Sambung samping dilakukan mulai dari penyiapan entres, penyiapan batang bawah, memasukkan entres, mengikat dan menutup dengan plastik telah berhasil dengan tingkat produktivitas yang tinggi (Hasrun et al., 2008). Tenaga pembina tersedia memadai dari segi jumlah maupun kualitas dengan kelembagan yang mapan seperti Kelembagaan Usaha Agribisnis Terpadu (Kemala, 2007). Kegiatan pelatihan dan penyuluhan
terprogram dan terlaksana dengan baik sesuai dengan kebutuhan petani. d. Adanya dukungan kebijakan pemerintah yang menjadikan sub sektor perkebunan sebagai unggulan secara konsekuen dan berkesinambungan. e.
Luas kebun karet petani terus bertambah berkat dukungan kebijakan pemerintah dan ketersediaan dana.
f.
Produktivitas kebun cukup tinggi paling tidak 60% dari potensinya.
g.
Petani mempunyai kemampuan yang tinggi dan cepat dalam mengadopsi teknologi baru dan pengalaman terus meningkat.
h. Kelembagaan ekonomi petani berkembang dengan baik dan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada petani anggotanya.
Tabel 3. Beberapa kemungkinan kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh No 1
Faktor Ketersediaan teknologi
2
Tenaga Pembina
3
Pelatihan petani
4
Kebijakan pemerintah
5
Luas kebun karet
6
Produksi dan produktivitas
7
Ketrampilan Petani
8
Kelembagaan Petani
Keadaan (Kondisi) 1A Teknologi mutakhir terus berkembang dan tersedia secara lokal. 2A Tenaga pembina tersedia dengan kemampuan yang memadai dan siap membantu petani 3A Pelatihan dan penyuluh terprogram dengan jelas dan lerlaksana dengan baik.
1B Teknologi tersedia tetapi lambat sampai ke petani 2B Ketersedian tenaga memadai, tetapi kemampuannya terbatas.
4A Adanya dukungan kebijakan pemerintah dengan sasaran program yang jelas dan dapat diimplementasikan karena didukung oleh institusi yang kuat. 5A Bertambah luas 6A Tinggi (60% potensinya = 1.250 kg/ha/th) 7A Kemampuan petani tinggi dan cepat mengadopsi teknologi baru yang tersedia dan pengalaman petani terus bertambah. 8A Adanya kelembagaan ekonomi petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhaan petani anggotanya.
4B Adanya dukungan kebijakan tetapi belum memiliki program yang jelas serta kurang didukung oleh institusi yang kuat 5B Tetap 6B Sedang (50% dari potensinya = 1.000 kg/ha/th ) 7B Keterampilan petani cukup memadai, tetapi lambat menerima teknologi baru.
3B Pelatihan dan penyuluh terprogram tetapi dukungan pembiayaan kecil.
8B Kelembagaan ekonomi petani kurang berkembang dan tidak berfungsi dengan baik.
Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
1C Teknologi tidak tersedia secara lokal. 2C Ketersediaan pembina baik jumlah maupun kemampuannya terbatas. 3C Penyuluhan dan pelatihan kurang terprogram, karena minimnya dukungan pembiayaan. 4C Tidak ada dukungan kebijakan dan program tidak jelas.
5C Berkurang (mengecil) 6C Rendah (kurang dari 1.000 kg/ha/th). 7C Kemampuan dan keterampilan petani rendah dan kesulitan untuk mengakses teknologi baru. 8C Tidak ada kelompok tani maupun kelembagaan ekonomi petani.
85
Kondisi optimal dari berbagai faktor strategis tersebut dapat dicapai dengan menerapkan strategi pembangunan perkebunan karet berkelanjutan. Kondisi A adalah optimal yang artinya ada keterkaitan dan saling mendukung sedangkan Kondisi B kurang optimal dimana teknologi tersedia tetapi lambat penyerapan petani. Kondisi C menunjukkan tidak optimal dan teknologi belum tersedia. Strategi Pengembangan Berkelanjutan
Perkebunan
Karet
Strategi dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian tindakan yang ditujukan untuk mencapai sasaran jangka panjang berdasarkan kajian dan penelitian yang sudah dilakukan. Strategi pengembangan sistem agribisnis komoditas harus dilakukan sesuai dengan formulasi efisiensi dan integrasi simpul-simpul pada setiap subsistem agribisnis (Damanik, 2007). Sasaran pembangunan perkebunan karet di Indonesia adalah : meningkatkan pendapatan petani khususnya dari perkebunan karet rakyat dan menjadikan Indonesia sebagai sentra produksi utama perkebunan karet dunia. Mengingat berbagai faktor strategis saat ini umumnya berada pada kondisi moderat dan beberapa berada pada kondisi minim dalam memberikan dukungan bagi terlaksananya pembangunan perkebunan karet yang berkelanjutan maka diperlukan kerja keras dan perubahan yang cukup besar dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pembangunan sub sektor perkebunan karet Indonesia. Tahun 2008, produktivitas perkebunan karet Indonesia rata-rata 989 kg/ha/thn atau meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meskipun demikian, produktivitas perkebunan tersebut masih di bawah potensi yang mungkin dicapai. Potensi produktivitas perkebunan karet di Indonesia diperkirakan dapat mencapai 2.000 kg/ha/tahun, tetapi dengan kondisi bahan tanam yang ada saat ini dan kemampuan petani mengelola kebun karetnya, maka produktivitas yang mungkin dicapai beberapa tahun ke depan diperkirakan hanya mencapai 1.250 kg/ha/tahun. Peningkatan produktivitas rata-rata sekitar 25% dapat dicapai dengan arahan kebijakan dan langkah operasional yang dilakukan oleh
86
pemerintah dan pelaku agribisnis perkebunan karet, seperti a. Penyediaan teknologi mutakhir secara lokal Kondisi ini menuntut agar lembaga penelitian nasional melakukan uji lokasi dan kesiapan lembaga penyuluhan serta dinas terkait untuk segera menyebarluaskan hasil-hasil penelitian yang dihasilkan. Pada saat ini kinerja berbagai lembaga yang terkait dengan penyediaan teknologi umumnya masih rendah karena berbagai kendala terutama keterbatasan dana dan tenaga profesional, serta kejelasan tugas dan fungsi masing-masing lembaga/ instansi. Dukungan kebijakan dan ketersediaan dana sangat dibutuhan untuk membenahi kondisi faktor strategis ini. b. Tenaga pembina dan kelembagaannya Adanya program revitalisasi telah mendorong penambahan tenaga pembina di lapangan dan hal ini cukup membantu untuk menyiapkan petani untuk mengikuti program revitalisasi. Namun, upaya penambahan tenaga pembina belum menjamin kesinambungan pembinaan petani karena kegiatan revitalisasi terkendala dana dari perbankan serta tenaga tambahan tersebut masih bersifat sementara dengan sistem kontrak kerja dan dukungan dana sangat minim. Oleh karena itu perlu dirumuskan model kelembagaan petani karet yang bersifat permanen seperti koperasi. Keberadaan kelembagaan koperasi di masyarakat petani karet sangat strategis baik sebagai organisasi pemasaran maupun pembiayaan (Adnyana, 2005). Penambahan tenaga pembina sesuai dengan kebutuhan dan dukungan pendanaan yang memadai untuk membantu petani mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi secara berkesinambungan. c. Kegiatan pelatihan dan penyuluhan Pengetahuan dan pengalaman petani melakukan budidaya karet perlu ditingkatkan. Oleh karena itu diperlukan upaya pelatihan/ pembinaan dan penyuluhan secara intensif untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan perlu dilakukan secara bersamasama melalui kelompok tani hamparan dengan Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90
metode sekolah lapang. Melalui sekolah lapang diharapkan lahir kebersamaan petani untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Pembenahan faktor strategis ini juga menuntut dukungan kebijakan dan pendanaan yang memadai.
109, IRR 104, PB 217, dan PB 260 memiliki sifat daya hasil tinggi 2,38-2,51 ton per ha dan daya adaptasi lingkungan baik, Sedangkan klon penghasil lateks dan kayu adalah IRR 112,IRR 118, PB 330, PB 340 dan RRIC 100 (Damanik et al., 2010).
d. Dukungan kebijakan pemerintah
f. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani
Dukungan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah merupakan faktor strategis yang sangat dibutuhkan dalam menciptakan posisi yang dapat memberikan dukungan secara optimal bagi terlaksananya pembangunan perkebunan karet berkelanjutan di Indonesia. Dukungan kebijakan yang sangat diperlukan terutama dalam mempersiapkan tenaga pembina agar menjadi tenaga yang profesional, penyediaan dana untuk penyuluhan dan pembinaan petani, penyediaan kredit bunga bersubsidi untuk modal kerja petani, serta perbaikan berbagai infrastruktur dan prasana penunjang lainnya seperti jalan, jembatan, terminal, dan pelabuhan. Program revitalisasi perkebunan karet yang dicanangkan oleh pemerintah pusat hingga saat ini belum berjalan sesuai dengan harapan terutama karena masalah pencairan dana dari bank yang ditunjuk belum terlaksana dengan baik. Oleh karena itu perlu dukungan kebijakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk mempercepat realisasi pendanaan tersebut. Jika memungkinkan, pemerintah daerah (Pemda) harus terlibat secara aktif dan berperan sebagai inisiator dan fasilitator untuk menetapkan kebijakan yang mendukung program pengembangan komoditas (Damanik et al., 2009). e. Peningkatan produktivitas perkebunan karet Produktivitas perkebunan karet masih rendah karena sebagian besar tanaman sudah tua. Tanaman terserang hama dan penyakit tanaman serta kurang intensifnya pengelolaan kebun. Langkah operasional yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet adalah dengan menerapkan teknologi budidaya mutakhir seperti penggunaan bahan tanaman (klon unggulan), dan pengendalian hama penyakit. Klon unggul penghasil lateks seperti BPM 24, BPM 107, BPM
Pengetahuan dan keterampilan petani merupakan salah satu kunci keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan perkebunan karet di suatu wilayah. Saat ini petani karet umumnya masih belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengelola perkebunan karet secara baik. Kondisi ini terjadi karena tanaman karet memerlukan pengelolaan dari hulu sampai hilir. Oleh karena itu diperlukan dukungan kebijakan untuk membenahi atau merevitalisasi lembaga dan program penyuluhan petani karet. g. Kelembagaan ekonomi petani Kelembagaan ekonomi petani merupakan salah satu wadah bagi petani karet untuk tumbuh dan berkembang serta mengatasi berbagai kendala dan permasalahan secara bersama-sama. Kelembagaan petani umumnya sudah terbentuk berupa kelompok tani, tetapi belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan karena adanya berbagai keterbatasan seperti terbatasnya tenaga pembina, anggaran untuk pembinaan dan fasilitas untuk pembinaan petani. Meskipun demikian, keberadaan kelompok tani sudah sangat membantu petani mengatasi berbagai permasalahan bersama seperti perbaikan jalan produksi secara gotong-royong dan mendapatkan pupuk secara bersama. Kelompok tani yang sudah terbentuk tersebut dapat dijadikan sebagai cikal-bakal untuk menumbuhkan kelembagaan ekonomi petani yang lebih produktif dan berdaya guna bagi petani anggotanya. Model kelembagaan ekonomi klaster industri telah dikembangkan oleh Mc Cann (2001). Para pelaku dibagi dalam klaster industri sebagai berikut : industri inti, perusahaan pemasok, pembeli, industri pendukung, industri terkait dan lembaga pendukung. Model ini diadopsi
Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
87
oleh Wahyudi (2008) untuk model pengembangan kelembagaan jarak pagar selain model desa mandiri energi (DME).
KESIMPULAN Pengembangan perkebunan karet di Indonesia dipengaruhi oleh delapan faktor strategis yang saling berkaitan dan sangat menentukan keberlanjutan perkebunan karet antara lain : ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani, dukungan kebijakan, luas perkebunan karet, produktivitas, keterampilan petani, dan kelembagaan ekonomi petani. Faktor-faktor strategi ini berada pada kondisi moderat dan mengarah kepada kondisi optimis. Hal tersebut terjadi karena adanya pencanangan revitalisasi perkebunan di Indonesia oleh pemerintah. Untuk mempercepat pencapaian sasaran pengembangan sekaligus menjamin keberlanjutan pembangunan perkebunan karet di Indonesia diperlukan dukungan dan konsistensi kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah serta komitmen perbankan dalam program revitalisasi perkebunan. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan produksi dan peningkatan mutu, perdagangan, revitalisasi, dan perindustrian DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. 2005. Laporan Lintasan dan Marka jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan dalam rangka Perdagangan Bebas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depertemen Pertanian. Jakarta. 35 hlm. (Tidak dipublikasikan). Badan Pusat Statistik. 2009. Ekspor-Impor Karet. Badan Pusat Statistik. Jakarta Budiman. S. 1988. Proyeksi Konsumsi Karet di Masa Depan. Majalah Sasaran No: 8 Februari . Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Ekspor-Impor Karet. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Balai Penelitian Karet Getas, 1991. Klon-klon Karet Anjuran Skala Besar dan Kecil. Seri
88
Buku Saku. ISBN 978-979-25-32852,Salatiga. Chairil, A. 2006. Perkembangan pasar dan prospek agribisnis karet di Indonesis. Makalah disajikan pada Lokakarya Budidaya Tanaman Karet, 4-6 September 2006, Medan. 19 hlm. Damanik, S. 2007. Strategi pengembangan agribisnis kelapa (Cocos nucifera) untuk meningkatkan pendapatan petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Perspektif 6 (2) : 94-104. Damanik, S., C. Indrawanto, dan K. Aedan . 2009. Model Pengembangan dan Kelembagaan Jarak Pagar. Buku Inovasi Teknologi Perkebunan (Jarak Pagar). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Hlm. 107-112. Damanik, S., M. Syakir, I. M. Tasma dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Buku Budidaya dan Pascapanen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. 86 hlm. Damardjati, D.S. 2011. Prospektif harga karet alam, focus pada tren pasokan karet alam. Makalah disajikan dalam Lokakarya Karet Nasional, 26 September 2011, Jakarta. Darmansyah. 2012. Rubber fund price stabilization. Makalah pada Workshop Kerja sama Komoditi Trialeteral Karet, 28 Februari 2012. 13 hlm. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011: Komoditas Karet. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Fadjar, U., M.T. Sitorus, A.H. Dharmawan, dan S. Tjondronegoro. 2008. Bentuk struktur sosial komunitas petani dan implikasinya terhadap diferensiasi kesejahteraan (studi kasus petani kakao). Pelita Perkebunan 24 (3) : 219-240. Hardjoamidjojo, H. 2002. Panduan Analisis Prospektif. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 45 hlm (tidak dipublikasikan)
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90
Hasrun, H., Z. Lapomi, R. Branford-Bowd, S. Badcock and B.K. Matlick. 2008. Panduan Amarta untuk keberlanjutan kakao (Evaluasi kebun, Rehabilitasi dan Peremajaan). Laporan Penelitian. 55 hlm. (Tidak dipublikasikan) Hasyim, W. 1998. Peasant Under Peripheral Capitalism. Universiti Kebangsaan Malaysia. 67p. Herman dan S. Damanik. 2009. Evaluasi Pengembangan Kakao Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI). 19 hlm. International Rubber Study Group (IRSG). 2004. Rubber. International Rubber Study Group Wembley. London. Kemala, S. 2007. Strategi pengembangan sistem agribisnis lada untuk meningkatkan pendapatan petani. Perspektif 6 (1) : 4755. Mc.Cann, P. 2001. Urban and Regional Economic. Oxford University Press. USA. Moraes, V.H.F. 1977. Rubber In Ecophysiology of Tropical Crops 315-318. Academic Press , New York. Ng, C.S. 1986. Marketing of Malaysian Rubber Trends and Strategies Malaysian Rubber Research and Develovment Boards (MRRDB). Monograph No. 12. IRSG (International Rubber Study Group).
Nunung, M. 1991. Harapan Baru Tanaman Karet. Kedaulatan Rakyat 3 Juni 1991. Pane, A.A. 2011. Prospektif harga karet 20122013. Makalah disajikan dalam Lokakarya Karet Nasional, 26 September 2011, Jakarta. Penebar Swadaya. 2009. Panduan Lengkap Karet. Cetakan 2. Penebar Swadaya. Jakarta. 235 hlm. Susila, W.R. dan Herman. 2000. Prospek dan arah pengembangan komoditas karet Indonesia. Buletin Kehutanan dan Perkebunan. 1(2): 173 – 186. Sutardi 1981. Faktor Ekologi daerah budidaya karet di Jawa dan beberapa pengembangan di luar Jawa. Pertemuan Teknis Perkebunan II. Research Centre Getas. Thomas, Hidayati U, dan Silaban, M, 2007. Rekomendasi Pemupukan PT Pamorganda Tahun 2007. Balai Penelitian Karet Sembawa. Vijayakumar, K.R. Chandrasehkar, T.R. and Varghese Philip. 2000. Agroclimate In Natural Rubber. Rubber Research of Indi. Wahyudi, A. dan S. Wulandari. 2008. Model kelembagaan pengembangan jarak pagar. Prosiding Lokakarya III Inovasi Teknologi Jarak Pagar untuk mendukung program Desa Mandiri Energi, Malang 5 Nopember 2007. Hlm 187-195.
Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
89
Lampiran 1. Skor hasil penilaian terhadap pengaruh langsung antar faktor Dari ↓ Terhadap→ Luas Kebun Karet Keterampilan Petani Ketersediaan Teknologi Pelatihan Petani Produksi & Produktivitas Serangan Hama penyakit Pendapatan Petani Ketersedian Saprodi Ketersediaan Kredit Biaya Tenaga Kerja Kondisi Infrastruktur Kelembagaan Petani Harga Karet Kebijakan Pemda Tenaga Pembina Hama/penyakit terkendali
Luas Kebun
2 1 2 1 3 1 1 2 1 3 3 1 2
Keterampilan Petani 2 2 3 1 1 -
3 1 2 3 2
Keterse- Pelatidiaan han Teknologi Petani 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 2
Produksi & Serangan PendapaProdukHama tan Petani tivitas Penykt 3 1 3 2 2 2 2 1 1 2 1 2 3 2 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 2 3 2 3 3 3 2 1 3 3 2 3 3 2 3
Ketersedian Saprodi 2 2 2 2 -
Ketersediaan Kredit 1 2 2 1 2 -
Biaya Tenaga Kerja 1 1 -
Kondisi Infra- Kelemstruktur bagaan Petani 2 2 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 1 2 3 3 3 3 2
Harga
1 2 2 3 1 1 2 2 1 1 -
Kebijakan Pemda 1 1 2 1 1 2 1 2 1 2 -
Tenaga Pembina 1 1 2 1 1 2 2 1 -
Hama/ penyakit terkendali 2 2 3 3 1 2 1 2 1 2 3
Cadangan lahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
Keterangan : Skor 1 : optimal pengaruh komponen yang terkait. Skor 2 : kurang optimal Skor 3 : belum ada keterkaitan
90 90
Pengembangan Karet Alam (Hevea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90