PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
DASMINTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
April 2006
Dasminto C225010311
ABSTRAK DASMINTO. Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI dan FREDINAN YULIANDA. Posisi geografis Batam yang sangat strategis menjadikan daerah ini dikembangkan oleh Pemerintah menjadi daerah industri yang mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional. Pengembangan daerah industri ini ternyata membawa dampak ikutan terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya di daerah ini. Namun pada sisi lain, adanya pengembangan industri berdampak terhadap terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti terjadinya pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas perikanan. Terjadinya degradsi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diperkirakan akan semakin parah dengan dipicu oleh adanya perusahaan-perusahaan yang secara komersial hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait agar dampak negatif dari pengembangan industri di Kota Batam terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada, serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir Kota Batam. Berdasarkan analisis data dapat digambarkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan buruknya kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir serta sumberdaya perikanan. Beberapa kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut diantaranya pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan hutan dan perbukitan, reklamasi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove bagi peruntukkan lainnya. Untuk itu diperlukan adanya arahan kebijakan pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait serta didukung oleh adanya partisipasi aktif dari seluruh komponen yang ada. Adanya pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu menjadi kebutuhan yang harus dilakukan agar dampak negatif dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat ditekan sekecil mungkin. Untuk mendukung pengelolaan tersebut diperlukan adanya strategi. Melakukan pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana dengan dukungan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dan kelembagaan pengelola serta sumberdaya manusia yang berkualitas, adalah merupakan prioritas pertama dari strategi yang harus dilakukan.
ABSTRACT DASMINTO. Coastal Environmental Management in the Industrial Development Area of Batam City, Province of Kepulauan Riau. Under the direction of RICHARDUS KASWADJI and FREDINAN YULIANDA.
The strategic geographical location of Batam has geared this region be developed by the government to be an industrial area which has an important value for the national economic aspect of life. This development of industrial area in fact has created an impact to other growing sectors in the region. However, from another side, the existence of the industrial development has resulted degradation to the coastal and marine resources, such as marine pollution and coastal ecosystem destruction (mangrove, coral reef and sea-grasses) including the decrease in fisheries productivity. The environmental degradation in the coastal and marine environment of Batam City was estimated to be more severe which have been triggered by certain agencies that commercially having only depending on short term benefits without taking care of environmental negative impacts. Therefore a proper management is needed taking into account all related aspects in order to minimize the negative impacts towards the minimum limits on the industrial development of Batam City in the coastal and marine environment. The purpose of this study is to know the quality of the coastal and marine environment, identification of issues and available problems, and to set up strategic coastal and marine environmental management based on impact analysis of industrial activities and its development on the water quality in the coastal environment of Batam City. Based on data analysis it could be put forward that in general the condition of the coastal waters of Batam City are not in a favourable situation. This is due to the worst values of the marine water quality and also the threats to the existence of coastal ecosystem and fishery resources. Some profound activities which impacted the condition are, among others, discharge of industrial waste, land clearing through destruction of forest areas and hills, coastal reclamation by way of mangrove area conversion for other purposes. Therefore proper policy guidance for management is needed taking into account all related aspects that will be supported through active participation of all existed components. The integrated coastal environmental management is needed to be implemented in order to avoid and minimize negative impacts from the industrial activities and its development on the coastal and marine environment. Consequently some strategies are needed in supporting the management. The protection and control for marine pollution by the industrial activity have to be implemented in an integrated and well planned manner which will be supported by the existing rules and regulations, governmental policy and management agencies including qualified human resources, are the prime priorities of the strategy that should be conducted.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
DASMINTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis Nama NRP
: Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau : Dasminto : C225010311
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Anggota
Diketahui :
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 6 April 2006
Tanggal Lulus: 1 Maret 2007
PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)-Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan-Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul “Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau” disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dari bulan April 2003 sampai dengan Desember 2004. Tujuan dari tesis ini adalah untuk menyusun arahan kebijakan sebagai masukan khususnya bagi pemerintah Kota Batam dalam pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan kajian dampak industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan pesisir Kota Batam. Pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang secara substansial telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesisi
ini.
Penulis
juga
mengucapkan
terima
kasih
kepada
Bapak
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA yang sejak awal telah mengarahkan penulis dari mulai usulan sampai dengan pelaksanaan penelitian untuk tesis ini serta menjadi komisi pembimbing tetapi kemudian karena masalah teknis tidak dapat melanjutkan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Sigid
Hariyadi, M.Sc. selaku penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan untuk penyempurnaan Tesis ini. Ucapan
terima
kasih
penulis
sampaikan
pula
kepada
Bapak
Drs. Sudariyono, Bapak Ir. Henk Uktolseya, M.Sc., Ibu Ir. Wahyu Indraningsih, Ibu Ir. Zulhasni, M.Sc. serta teman-teman dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Yunelhas Basri
dan staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam yang telah banyak memberikan dorongan dan bantuannya khususnya selama pelaksanaan penelitian di Kota Batam. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Tim Studi yang terdiri dari Diah dan Sastra (mahasiswa S2-SPL IPB) serta Adi, Rudi, Gusti dan Hazmi (mahasiswa S1-ITK FPIK IPB) yang senantisa mendampingi penulis dalam berbagi tugas selama penelitian di lapangan. Kepada teman-teman, staf dan dosen SPL serta semua pihak yang telah membantu baik dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini penulis juga mengucapkan terima kasih. Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada istriku tercinta dr. Farida Sulistyowati, anak-anakku tersayang Via Afini Salsabila (ALSA) dan Moh. Naufal Syauqi (AUFAL) serta keponakan dan saudarasaudaraku yang secara tulus senantiasa memberikan semangat dan doa serta dorongan mental kepada penulis. Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan tesis ini dengan harapan semoga bermanfaat khususnya bagi yang membaca serta pihakpihak lain yang mau memanfaatkannya. Sebagai penutup penulis menyampaikan permohonan maaf apabila tesis ini belum sempurna karena keterbatasan penulis sehingga adanya saran-saran yang konstruktif sangat diharapkan.
Bogor,
April 2006
Dasminto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 7 Desember 1966 sebagai anak ketiga dari pasangan Rahmudi B. Kasmali (almarhum) dan Sani Bt. Rahmah (almarhumah). Pendidikan sarjana (S1) diperoleh melalui Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2001, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (S2 SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia. Penulis bekerja di KLH sejak tahun 1992 dan pada tahun 2005 penulis dipercaya sebagai Kepala Sub-bidang Pengembangan pada Bidang Perlindungan Ekosistem-Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Selama mengikuti program S2 SPL, bersama teman-teman mahasiswa S2 dan S3 serta dosen SPL IPB, penulis telah merintis berdirinya sebuah organisasi mahasiswa yang pertama pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan-Program Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir IPB) dan untuk masa kepengurusan periode pertama (Masa Bakti 2002-2003), penulis dipilih sebagai ketua umum dari organisasi tersebut.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Perumusan Masalah ........................................................................................ Kerangka Pemikiran ........................................................................................ Tujuan Penelitian .............................................................................................
1 3 6 8
TINJAUAN PUSTAKA Dampak Pengembangan Industri ..................................................................... Kegiatan Industri.......................................................................................... Pertanian ..................................................................................................... Permukiman ................................................................................................. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil .......................................
9 9 10 10 11
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi ............................................................................................ Lingkup Kegiatan............................................................................................. Pengumpulan Data ........................................................................................... Data primer .................................................................................................. Data sekunder............................................................................................... Analisis Data .................................................................................................. Analisis kondisi kualitas air laut .................................................................. Analisis kondisi ekosistem pesisir ............................................................... Mangrove................................................................................................ Terumbu Karang..................................................................................... Padang Lamun ........................................................................................ Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir .......
18 18 18 18 21 21 22 23 24 27 28 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ................................................................. Letak Geografis................................................................................................ Penduduk ......................................................................................................... Industri ............................................................................................................ Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam............................................................. Arus Air Laut ............................................................................................... Gelombang Air Laut .................................................................................... Pasang Air Laut............................................................................................ Kualitas Perairan Pesisir ..............................................................................
30 30 32 33 41 42 47 47 49
i
Kondisi Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Kota Batam.......................... Ekosistem Pesisir ......................................................................................... Hutan Mangrove ..................................................................................... Terumbu karang...................................................................................... Padang Lamun ........................................................................................ Sumberdaya Perikanan ........................................................................... Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan.................................................... Dampak Pembangunan di Kota Batam ........................................................ Kebijakan Pemerintah Kota Batam.............................................................. Arahan Kebijakan Umum ............................................................................ Arahan Kebijakan Penanggulangan Dampak Pembangunan....................... Arahan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Kota Batam................ Arahan Strategi Pengelolaan........................................................................
70 70 70 82 93 98 111 111 115 117 118 120 123
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...................................................................................................... 141 Saran ............................................................................................................ 143 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 145 LAMPIRAN..................................................................................................... 151
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode STORET (Canter, 1977) ........................................................................... 2. Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai dari US-EPA ............................................................................................. 3. Kriteria baku kerusakan mangrove ........................................................... 4. Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove .................................... 5. Kriteria baku kerusakan terumbu karang .................................................. 6. Kriteria baku kerusakan padang lamun..................................................... 7. Status padang lamun ................................................................................. 8. Matrik analisis SWOT .............................................................................. 9. Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan............... 10. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004......... 11. Luas kawasan industri sesuai RTRW Kota Batam ................................... 12. Banyaknya perusahaan Sektor Industri Pengolahan menurut golongannya .............................................................................................. 13. Kecepatan dan arah arus di perairan Batam.............................................. 14. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998...................................................... 15.Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ................................. 16. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998...................................................... 17. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ................................ 18. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 ..................................................... 19. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003.............................. 20. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002........................................................................................................... 21. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003.........................
23 23 24 25 27 28 28 29 32 34 36 37 43
50
52
53
54
56
58
59
61
iii
22. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002......................................................................................... 23. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk-Kota Batam pada 19 Januari 2001................................................ 24. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001................................................. 25. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003 ...................................................... 26. Rekapitulasi kondisi kualitas air laut di sekitar daerah industri dan di luar daerah industri di Kota Batam ........................................................... 27. Kandungan rata-rata logam berat pada dua organisme laut di Batam ...... 28. Penyebaran dan luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 ......... 29. Luasan mangrove pada masing-masing pulau di Kota Batam tahun 2002................................................................................................. 30. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan dan kerapatannya tahun 2003 ...... 31. Luas terumbu karang di Barelang, 1998 ................................................... 32. Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan perairan Barelang, 1998 ............................................................................ 33. Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003 ................ 34. Kondisi karang pada kedalaman perairan 10 meter tahun 2003 .............. 35. Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang, 1996.. 36. Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002............................. 37. Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996............. 38. Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota Batam ........................................................................................................ 39. Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan Kabupaten Kepulauan Riau (Khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998) .................. 40. Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi ............................................... 41. Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah penduduk Kota Batam per kecamatan....................................................... 42. Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota Batam tahun 2003 ..................................................................................... 43. Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan Gross Ton (GT) di Kota Batam tahun 2003 ........................................................................ 44. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pada setiap kecamatan di Kota Batam ........................................................................................................ 45. Jumlah RTP, jumlah hasil tangkapan ikan dan nilai produksinya di Kota Batam tahun 2003 .................................................................................... 46. Produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 ......... 47. Pembobotan faktor internal dengan analisis SWOT ................................. 48. Pembobotan faktor eksternal dengan analisis SWOT...............................
62
64
65
67 68 69 73 74 78 82 85 87 90 92 97 98 99 102 103 104 105 106 107 108 110 130 131
iv
49. Strategi dan komponen pembentuknya dalam analisis SWOT ................. 50. Komponen dan bobot pembentuk strategi dalam analisis SWOT ............
132 136
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ................................................................. 7 2. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air laut, pengamatan mangrove dan terumbu karang di Kota Batam .......................................................... 19 3. Peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya (Pemerintah Kota Batam, 2000)............................ ................................................................. 31 4. Peta penyebaran industri di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam, 2000)......................................... ................................................................. 35 5. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan Januari - Juni (PT Bumimas Batamjaya, 2001) ........................................ 44 6. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan Juli - Desember (PT Bumimas Batamjaya, 2001)..................................... 45 7. Pergerakan arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya (Chia et al, 1988)......................................... ................................................................. 46 8. Ramalan pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei (atas) dan 11 Juni (bawah) tahun 2003 (Dishidros, 2003) ................................... 48 9. Distribusi mangrove di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)… ................................................................. 71 10. Distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000) .............................. 84 11. Distribusi lamun (seagrass) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000) ................................................ 95 12. Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)................. ................................................................. 101
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 ............................................................................ 2. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ................................................... 3. Kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 ............................................................................ 4. Kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 .................................................. 5. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 ............................................................................ 6. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003 ......................................................... 7. Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002....................... 8. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003 ................................................ 9. Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002........................... 10. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam pada 19 Januari 2001 .................................................................... 11. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001 ....................................................................... 12. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003 ............................................................................ 13. Gambaran pembukaan lahan di Kota Batam berdasarkan citra satelit tahun 1996-2002 (Bapedal Kota Batam, 2003) ........................................ 14. Contoh kegiatan pembukaan lahan dengan reklamasi pantai untuk kepentingan pengembangan industri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun 2003 ..................................................................................... 15. Gambaran perusakan kawasan mangrove yang di konversi bagi peruntukkan lainnya di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)........... 16. Gambaran pembuangan limbah industri ke perairan pantai di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003) ......................................................... 17. Gambaran pencemaran perairan pantai di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003).................................................
151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163
166 167 169 171
vii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Demikian halnya dengan sumberdaya pesisir dan laut di Kota Batam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Daerah ini terdiri dari tiga pulau utama, yaitu Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang atau sering disebut dengan Barelang.
Ketiga pulau tersebut mempunyai luasan yang lebih besar
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang ada di Kota Batam. Kota Batam merupakan wilayah yang sangat strategis karena terletak berdampingan dengan negara-negara tetangga Indonesia, bahkan pada bagian utara wilayahnya berbatasan dengan Singapura/Malaysia. Melihat pada potensi yang ada serta letak geografis Batam yang sangat strategis, yaitu berada di Selat Singapura yang dilalui oleh jalur pelayaran yang sangat ramai maka Pemerintah mengembangkan daerah Batam menjadi daerah industri, yang akan mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional pada umumnya.
Kawasan ini
menjadi sangat penting menjelang diberlakukannya Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) dan Pelabuhan Bebas Batam. Melalui Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973 yang kemudian
dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan seluruh wilayah Pulau Batam dikembangkan menjadi kawasan pengembangan industri dibawah suatu lembaga otorita, yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau (OPDIP) Batam atau Otorita Batam. Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya dikembangkan menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata serta dengan terbentuknya Kotamadya Batam berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 yang kemudian menjadi Kota Batam sesuai Undang-undang Nomor 53 tahun 1999, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan penduduk dari hasil sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama
2
periode 1990-2000 sebesar 12,87%.
Penduduk Kota Batam jumlahnya terus
meningkat, terutama dengan datangnya orang-orang dari daerah lain di Indonesia maupun dari negara lain ke daerah ini dan pada tahun 2003 penduduk Kota Batam tercatat 562 661 jiwa. Sejalan itu pula dari tahun 1999-2003 sektor industri besar (dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih) terus mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 1999 tercatat jumlah industri besar 108 buah dan pada tahun 2003 bertambah menjadi 138 buah. Hal ini membuktikan bahwa Batam mempunyai daya tarik tersendiri bagai para investor untuk melakukan investasi serta bagi para pendatang yang ingin mendapatkan lapangan pekerjaan di daerah ini. Pada sisi lain, berbagai kegiatan industri dan pengembangannya yang dilakukan di Kota Batam diperkirakan akan menimbulkan dampak terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut. Kondisi kerusakan lingkungan diperkirakan semakin parah dengan dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat sejalan dengan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, kemiskinan, kurangnya alternatif usaha, adanya perusahaan-perusahaan yang pada umumnya hanya mengedepankan keuntungan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek tanpa memperdulikan dampak negatif yang timbul terhadap lingkungan, terjadinyaa konflik pemanfaatan ruang sebagai akibat adanya berbagai kepentingan serta masih belum tumbuhnya kesadaran untuk mewujudkan dan menjaga
kualitas
lingkungan
yang
baik
dalam
hubungannya
dengan
pengembangan suatu wilayah, khususnya dalam upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi wilayah yang tinggi. Pengembangan suatu wilayah untuk kepentingan industri seperti Kota Batam bila dilakukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperdulikan aspek lingkungan hidup maka akan menimbulkan dampak negatif berupa turunnya kualitas lingkungan, khususnya lingkungan pesisir dan laut. Kondisi lingkungan akan menjadi semakin parah dengan adanya anggapan bahwa perairan pesisir dan laut sebagai tempat pembuangan limbah yang mudah dan murah (bahkan tidak dikenakan biaya) sehingga akan menimbulkan semakin buruknya kualitas perairan sebagai akibat terjadinya pencemaran perairan pesisir dan laut yang semakin meningkat. Akan sangat berbahaya apabila kondisi ini
3
tidak segera diantisipasi mengingat Kota Batam dengan luas 1 570.35 km2 termasuk dalam kriteria pulau kecil. Sebagai kawasan yang termasuk dalam kriteria pulau kecil, Kota Batam tentunya memiliki banyak keterbatasan yang harus diperhatikan oleh segenap stakeholder dalam melakukan pemanfaatan wilayah tersebut. Menurut Bengen et al (2002), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 2 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol,
di antaranya
sumberdaya air tawar yang terbatas dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil serta peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran (Griffith dan Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al, 2002). Pulau-pulau kecil merupakan kasus khusus pembangunan, karena memiliki ciri khusus yang meliputi sumberdaya alam, ekonomi, dan aspek sosial budaya yang spesifik. Pulau-pulau kecil mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun secara ekonomi (Hein, 1990 dalam Bengen et al, 2002). Sehubungan dengan itu maka manajemen lingkungan merupakan prasyarat pencapaian
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkelanjutan
dan
manajemen
pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi dengan manajemen lingkungan (Bengen et al, 2002).
Perumusan Masalah
Dengan dijadikannya Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya menjadi daerah industri ternyata menimbulkan dampak negatif berupa menurunnya kualitas lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di kawasan pesisir dan laut. Khusus penurun kualitas lingkungan di kawasan pesisir dan laut di Kota Batam terjadi karena degradasi lingkungan pesisir dan laut. Menurut Bapedal (2003), terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut karena hal-hal berikut:
4
a.
Adanya pembukaan lahan (land clearing) yang tak terkendali di wilayah daratan, dimana tercatat sekitar 2 731.60 hektar kawasan hutan lindung dan hutan wisata dikonversi dan beralih fungsi serta adanya reklamasi pantai yang dilakukan secara terus-menerus untuk pengembangan Sektor Industri dan sektor-sektor pendukung lainnya dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan partikel sedimen di perairan pantai apabila terkena aliran air hujan. Hal ini akan dapat mengganggu proses fotosintesis dan menutupi padang lamun dan karang hidup serta mengakibatkan turunnya produktivitas perikanan pantai.
b.
Adanya perusakan hutan mangrove yang dikonversi bagi peruntukkan lainnya.
c.
Dari sekitar 575 perusahaan industri, pariwisata dan sebagainya yang ada di Batam memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang cukup tinggi, apalagi baru sekitar 139 perusahaan yang melakukan kegiatannya dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)/Upaya Pengengelolaan Lingkungan maupun Upaya Pemantauan Lingkungan.
d.
Terindikasi baru sekitar 25% industri yang melakukan pengelolaan lingkungan hidupnya dengan baik.
e.
Dari sekitar 24 kawasan industri, baru sekitar 4 kawasan industri yang dilengkapi studi AMDAL dan hanya satu kawasan industri yang memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga rawan terhadap terjadinya pencemaran.
f.
Masih banyak ditemui pembuangan limbah cair dari industri langsung ke perairan pantai atau media lingkungan lainnya tanpa melalui proses pengelolaan limbah terlebih dahulu.
g.
Adanya perusakan terumbu karang untuk dijadikan bahan bangunan dan penangkapan ikan karang dengan bahan peledak. Hal lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut
adalah adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya mengejar keuntungan dari aspek ekonomi semata tanpa memperdulikan aspek lingkungan hidup.
Di samping itu juga,
kemungkinan adanya penyebaran
5
polutan dari negara-negara sekitarnya (terutama dari Singapura dan Malaysia) yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut turut andil terhadap terjadinya degradasi lingkunga perairan pesisir dan laut Kota Batam. Pengembangan industri di Kota Batam hendaknya harus disertai adanya prinsip kehati-hatian dan pengambilan keputusan yang bijaksana dengan perhatian yang serius aspek lingkungan hidup, khususnya lingkungan perairan pesisir. Hal ini karena telah banyak kasus pencemaran lingkungan terjadi di daerah lain yang disebabkan oleh pengembangan dan aktivitas industri, yang membuang limbahnya dengan tidak mengikuti peraturan yang telah ditentukan. Dampak yang lebih serius dan ekstrem dapat terjadi bila kegiatan industri dikembangkan di pulaupulau kecil seperti di Kota Batam, hal ini karena pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan lingkungan. Dampak dari perubahan lingkungan berupa turunnya kualitas lingkungan khususnya kualitas perairan pantai/pesisir sebagai akibat dipacunya kawasan pertumbuhan industri akan menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut. Beberapa permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya sebagai dampak dari pengembangan industri yang juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut diantaranya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a.
Masih rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat industri dalam menjaga kualitas lingkungan dengan mengikuti dan melaksanakan peraturan yang telah ditentukan.
b.
Adanya konflik kepentingan antara Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dengan Pemerintah Kota Batam.
Munculnya dualisme
kekuasaan pemerintahan di daerah ini menyebabkan ketidak-jelasan institusi mana yang bertanggung-jawab dalam melakukan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di kawasan tersebut, termasuk menyangkut pengawasan dan pembinaan. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam menganggap sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan secara historis merasa sebagai institusi yang telah merintis Pulau Batam menjadi kawasan industri. Pada sisi lain, dalam era otonomi daeah seperti saat ini,
6
Pemerintah Kota Batam merasa yang bertanggung jawab terhadap kewenangan yang ada di Pulau Batam sekalipun daerah ini telah dijadikan kawasan otorita. Apabila hal-hal tersebut tidak segera ditanggulangi maka permasalahan lingkungan hidup di Kota Batam akan terus meningkat, khususnya yang berkaitan dengan terjadinya degradasi kualitas perairan pesisir dan laut sebagai dampak dari pengembangan industri.
Dampak negatif terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan oleh industri-industri di Kota Batam bukan hanya bersifat lokal atau nasional, tetapi juga akan berdampak secara regional atau lintas negara mengingat letak Kota Batam berbatasan dengan negara-negara tetangga khususnya Singapura atau Malaysia. Berdasarkan pergerakan arus laut secara regional, penurunan kualitas perairan yang terjadi di Kota Batam akan berdampak lebih luas yang diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi perairan Laut Cina Selatan. Padahal secara regional banyak negara-negara berkepentingan terhadap kondisi perairan tersebut khususnya negara-negara yang terletak atau berbatasan langsung dengan perairan Laut Cina Selatan, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, Kamboja dan Cina. Sehubungan dengan itu perlu segera dicarikan beberapa alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi. Untuk itu, sebagai salah satu altenatif dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut tersebut perlu disusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam.
Kerangka Pemikiran
Kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya menjadi daerah industri membuat sektor industri di Kota Batam terus tumbuh dan berkembang.
Pengembangan Batam sebagai
kawasan industri selain berdampak sosial-ekonomi, juga berdampak ekologi. Dampak sosial-ekonomi dapat dilihat dari peningkatan sektor industri yang akan memacu pertumbuhan ekonomi khususnya di Kota Batam. Sejalan dengan itu, terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada sisi lain ternyata kegiatan industri dan pengembangannya menimbulkan dampak
7
negatif terhadap lingkungan hidup di Kota Batam khususnya terhadap lingkungan pesisir dan laut, seperti timbulnya pencemaran pantai/laut, kerusakan ekosistem pesisir (ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas sumberdaya hayati laut (perikanan laut).
Untuk itu diperlukan
adanya strategi pengelolaan yang dapat menekan sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan pengembangannya di Kota Batam. Kerangka pemikiran sebagai pendekatan dari penelitian ini yang akan melihat secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) dari komponen-komponen yang terkait dalam rangka untuk mendapatkan solusi terbaik, khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir di Kota Batam disajikan dalam Gambar 1. Batam sebagai kawasan industri Kebijakan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
Sosial-ekonomi
Penurunan kualitas perairan pantai
Dampak ekologi
ANALISIS
Strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
8
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir Kota Batam.
9
TINJAUAN PUSTAKA Dampak Pengembangan Industri
Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut di wilayah Kota Batam seperti pencemaran perairan pantai terjadi baik karena gangguan alam maupun sebagai akibat aktivitas manusia, seperti adanya aktivitas industri yang tidak atau kurang memperdulikan aspek lingkungan hidup.
Banyak aktivitas-aktivitas
manusia yang dilakukan di bagian atas (up stream) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan yang ada di bagian bawah (down stream), yaitu wilayah pesisir dan laut. Dalam KLH (1993) disebutkan bahwa pncemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut dapat bersumber dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat (land-based pollution), yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kegiatan Industri
Dalam kegiatan industri, untuk memproses bahan baku menjadi produk jadi diperlukan air untuk berbagai keperluan. Air yang sudah tidak terpakai umumnya tidak dibuang melalui saluran-saluran yang terpisah, akan tetapi semuanya keluar melalui satu saluran menuju laut. Di Pulau Jawa, industri (besar dan sedang) merupakan penyebab utama penurunan kualitas sumber daya air. Limbah industri merupakan 50% dari beban pencemaran daerah aliran sungai yang pada akhirnya merupakan pula beban pencemaran bagi perairan pantai. Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri yang sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam penggunaan unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga limbahnya masih mengalir masuk ke sungai dan pada akhirnya ke laut. Jenis-jenis bahan tambang yang terdapat di Indonesia dan berpotensi menimbulkan pencemaran sebagai akibat dari penggaliannya dan pengolahannya antara lain: minyak bumi, batu bara, besi, mangan, timah hitam, timah putih, tembaga, air raksa, dan belerang.
Penambangan minyak bumi misalnya
10
menghasilkan bahan pencemar berupa residu minyak dan bahan-bahan kimia lain. Selain itu penambangan pasir dan bahan bangunan lainnya mengakibatkan kerusakan lingkungan fisik pada perairan pantai. Seperti kegiatan pengeboran minyak selama 20 tahun terakhir ini terjadi 4 kali blow out.
Pertanian
Kegiatan pertanian yang dapat secara langsung menyebabkan pencemaran adalah penggunaan berbagai macam pestisida. Sisa pestisida dapat terbawa air hujan dan drainage sawah menuju saluran pengairan, sungai, dan akhirnya bermuara ke laut. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor pertanian umumnya berkisar pada kegiatan pembukaan lahan (land-clearing) dan penggunaan pupuk serta pestisida yang tidak sesuai dengan ukuran pemakaian yang sebenarnya. Kegiatan pembukaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai. Begitu juga penggunaan bahan kimia dalam intensifikasi pertanian sangat berpengaruh terhadap perubahan populasi biota perairan, yang pada ahkirnya juga akan berpengaruh pada biota perairan laut karena adanya beberapa jenis kandungan yang sukar terurai.
Permukiman
Besarnya jumlah penduduk, tingginya tingkat kepadatan penduduk, dan keanekaragaman intensitas kegiatan penduduk telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap pencemaran lingkungan. Limbah terbesar yang berasal dari permukiman adalah limbah rumah tangga baik padat maupun cair. Limbah domestik dari kawasan permukiman pada saat ini merupakan salah satu sumber pencemar air terbesar di Indonesia, yang disebabkan oleh masih sangat terbatasnya upaya pengolahan limbah penduduk. Beban pencemaran yang berasal dari permukiman tergantung kepada pola konsumsi penduduk yang pada akhirnya tergantung pada tingkat penghasilan dan standar hidup. Pencemaran akibat kegiatan
11
permukiman terjadi karena sampai saat ini belum ada sewage management system bagi buangan rumah tangga. Pencemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut Indonesia selain bersal dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat, juga disebabkan oleh pencemaran yang bersumber dari laut. Adanya kegiatan di perairan Indonesia yang semakin meningkat seirama dengan pembangunan nasional ditambah dengan tingkat perkembangan kegiatan pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia akan memacu terjadinya pencemaran laut.
Peningkatan kegiatan ini ditambah
dengan peningkatan kegiatan pembuangan (dumping) di laut merupakan peningkatan ancaman pencemaran terhadap lingkungan laut baik oleh akibat kegiatan-kegiatan rutin, kesalahan-kesalahan operasional maupun karena kecelakaan. Menurut Gesamp (1993) dalam Anna (1999) disebutkan bahwa persentase terbesar sumber pencemar yang masuk ke laut adalah dari run off yang berasal dari lahan bagian atas sekitar 44%, emisi pesawat terbang dari lahan atas sebesar 33%, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak sebesar 12%, pembuangan limbah ke laut sebesar 10% dan kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di lepas pantai sebesar 1%.
Sedangkan berdasarkan laporan dari
UNDP/GEF/IMO (1988) diungkapkan bahwa sekitar 60-85% sumber pencemaran berasal dari kegiatan manusia di daratan dan sisanya berasal dari kegiatan di laut.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Dalam melakukan pemanfaatan wilayah di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil seperti di Kota Batam yang dikembangkan menjadi kawasan industri harus benar-benar memperhitungkan faktor-faktor pembatas yang ada. Menurut Griffith dan Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al (2002), pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, yaitu: ♦ Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular. ♦ Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil. ♦ Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran. ♦ Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi.
12
♦ Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas luar suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara. ♦ Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugus pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2 000 km2 hanya
dapat
digunakan
untuk
keperluan
konservasi,
budidaya
laut,
kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengolahan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen et al, 2002). Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus, pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lain khususnya yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Bengen et al, 2002). Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terdapat 2 pandangan yang antagonistik. Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep ecologist), pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena memiliki fungsi ekologis yang penting. Menurut pihak pertama ini, hal paling utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan lautan dari pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua mewakili pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan (Bengen et al, 2002).
13
Terlepas dari dua pihak yang bertentangan di atas, seringkali penentuan kebijakan pemanfaatan wilayah pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif, yakni 1) tidak berkembangnya kawasan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif dan 2) rusaknya kawasan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti tambak dan permukiman. Dalam hal ini penting diambil jalan tengah dimana usaha pengembangan pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan pulau-pulau kecil masih terjaga. Untuk itulah pengetahuan mengenai seberapa besar daya dukung dari pulau-pulau kecil menjadi hal penting untuk diketahui sehingga konsep kebijakan pengembangan wilayah dan ekonomi kawasan yang direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan daya dukung lingkungan pulaupulau kecil (Bengen et al, 2002). Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil (SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000) mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu hak, ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau serta pengelolaan yang sesuai dengan latar setempat (Bengen et al, 2002). Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari akan terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2) kapasiatas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya.
Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana
menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antar pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial juga menuntut penataan dan pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana.
Artinya suatu kegiatan
pembangunan harus ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud. Oleh karena itu, diperlukan
14
suatu analisis kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan pesisir dan laut pulau kecil (Bengen et al, 2002). Dalam
konteks
arahan
pengelolaan
pulau-pulau
kecil,
kegiatan
pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploitatif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan di pulau-pulau kecil. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar (daratan). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil maka arahan peruntukan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah kegiatan konservasi, kegiatan perikanan (budidaya dan tangkap), pariwisata bahari dan pertanian (Bengen et al, 2002). Dengan melihat pada kondisi wialayah Kota Batam yang terdiri dari pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kerentanan sangat besar terhadap perubahan lingkungan maka dalam hal pemanfaatan wilayahnya perlu dilakukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan segenap aspek terkait dari mulai perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Konsep pengelolaan wilayah secara terpadu merupakan salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu juga terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mencapai pembagunan yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dijadikan konsep dasar dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. disebutkan
bahwa
pembangunan
berkelanjutan
Dalam Costanza (1991) didefinisikan
sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Secara garis besar konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan menurut Bengen (2001) memiliki empat dimensi, yaitu : (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan.
15
a. Dimensi ekologis Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi total kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu : ♦ Sebagai jasa-jasa pendukung kehidupan, mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia seperti udara dan air bersih serta ruang bagi segenap kegiatan manusia. ♦ Penyedia jasa-jasa kenyamanan, berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian jiwa. ♦ Penyedia sumberdaya alam, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun sebagai masukan dalam proses produksi. ♦ Penerima limbah,
utamanya dari kegiatan manusia hingga terdapat suatu
kondisi yang aman dan bersih. ♦ Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan.
b. Dimensi sosial ekonomi
Mensyaratkan bahwa manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama mereka yang ekonomi lemah guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah. c. Dimensi sosial politik Pada umumnya permasalahan lingkungan hidup bersifat eksternalitas, artinya pihak yang menderita (mangalami kerugian) akibat pencemaran dan atau
16
kerusakan lingkungan bukanlah pembuat kebijakan melainkan pihak lain serta permasalahan tersebut biasanya muncul setelah beberapa waktu, tidak langsung pada
waktu
itu.
Mengingat
karakteristik
permasalahan
tersebut
maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan yang didukung oleh political will pemerintah. d. Dimensi hukum dan kelembagaan
Mensyaratkan adanya pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat tercapai melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten serta penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga negara. Salah satu syarat utama pembangunan berkelanjutan adalah dilakukan secara terpadu, rasional dan optimal melalui perencanaan yang matang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan serta kesesuaian wilayah (ruang), termasuk adanya antisipasi terhadap dampak yang mungkin terjadi. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu diantaranya dapat digunakan analisis SWOT sebagai alat penyusun rencana pengelolaan. Menurut Rangkuti (2004), analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT
17
dilakukan dengan membandingkan faktor-faktor strategis eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal yang berupa kekuatan dan kelemahan. Dengan analisis ini, perencanaan pengelolaan dalam jangka panjang pun dapat disusun dengan menentukan analisis terhadap strategistrategi yang dipilih sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan dengan demikian dapat segera diambil keputusan.
18
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003-Desember 2004 di wilayah pesisir Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 2)
Lingkup Kegiatan Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Melakukan pengumpulan data (b) Mengumpulkan masukan dari beberapa pakar yang berkompeten serta stakeholder lainnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan; (c) Melakukan analisis data.
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dilakukan dengan cara berikut:
Data primer Data primer diperoleh dengan melakukan penelitian langsung melalui pengamatan pada stasiun-stasiun penelitian yang ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Geographic Positioning System). Pengambilan data primer dilakukan pada lokasi dekat daerah industri dan yang lainnya dilakukan pada lokasi yang letaknya jauh dari industri. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lokasi-lokasi tersebut. Untuk mengetahui kualitas perairan pesisir dan laut Kota Batam, data primer yang diambil meliputi kualitas air pantai/laut dan ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang).
19
Gambar 2 Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air laut, pengamatan mangrove dan terumbu karang di Kota Batam
20
Data kualitas air pantai/laut Data primer kualitas air pada perairan pesisir (pantai) Kota Batam diperoleh dengan melakukan pengambilan sampel kualitas air laut pada stasiun pengambilan yang lokasinya dekat dengan daerah industri serta stasiun yang jauh dari industri untuk mengetahui distribusi pencemaran air laut. Sampel kualitas air laut diambil sekali pada beberapa titik yang dianggap dapat mewakili dari lokasi masing-masing, yaitu di sekitar daerah industri dan jauh dari industri). Beberapa parameter kualitas air laut yang diamati merujuk pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN LH) Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a) dan KEPMEN LH Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (KLH, 2004b).
Data mangrove Data primer mengenai kondisi mangrove diperoleh melalui pengukuran dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot) yang dilakukan dengan membuat petak contoh. Pada masing-masing lokasi dibuat beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m.
Metode ini dipilih karena menurut KLH (2004c) dinyatakan
sebagai salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang baik (akurat).
Data terumbu karang Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi terumbu karang adalah metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect) sepanjang 100 meter. Pada setiap lokasi dilakukan pengukuran pada kedalaman perairan laut 3 meter dan 10 meter, dengan masing-masing lokasi dibagi menjadi 3 sub-stasiun (Ss1, Ss2 dan Ss3) yang panjangnya 30 meter dan diantara substasiun diberi selang sepanjang 5 meter. Pemasangan transek diletakkan sejajar garis pantai
21
dengan mengikuti kontur kedalaman. Transek garis diletakkan di atas koloni karang dan dicatat panjang jenis karang yang tepat di bawah roll meter berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form). Metode transek garis ini memiliki kelebihan antara lain: akurasi data dapat diperoleh dengan baik, kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas seperti persentase tutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang. Untuk data penunjang lainnya diperoleh baik melalui pertemuanpertemuan, wawancara dengan pihak-pihak terkait maupun dengan melihat secara visual keadaan di lapangan yang dilakukan pada saat pengambilan data primer di lokasi penelitian.
Data sekunder Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa literatur baik dari jurnal, hasil penelitian, hasil survey instansi pemerintah, swasta dan lain-lain. Data yang dikumpulkan meliputi data kualitas air laut, ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang), sumberdaya ikan, sosial-ekonomi masyarakat nelayan, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangundangan terkait.
Analisis Data Analisis data diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi masingmasing data dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam terutama terkait dengan dampak yang ditimbulkan setelah dijadikannya Batam sebagai kawasan industri oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perlindungan terhadap kualitas atau mutu laut di wilayah Kota Batam.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut disebutkan bahwa
22
perlindungan terhadap mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut (Bapedal, 2001).
Analisis kondisi kualitas air laut Analisis kondisi kualitas air laut dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder. Untuk mengetahui nilai dari masing-masing parameter kualitas air laut yang diamati, khususnya dari data primer yang diperoleh dari contoh (sample) kualitas air yang diambil dari perairan pantai/laut Kota Batam, terlebih dahulu dilakukan analisis di laboratorium Sucofindo Batam.
Selanjutnya untuk
mengetahui kondisi kualitas air di perairan tersebut digunakan analisis kualitas air/laut dengan metode STORET (Canter, 1977), dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (KLH, 2003). Metode STORET (Canter, 1977) seperti dijelaskan penggunaannya dalam KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 digunakan untuk mengetahui kondisi kualitas air di suatu perairan berdasarkan indeks kualitas air yang diperoleh dari suatu seri data, yang berasal paling sedikit dari dua titik pengamatan atau lebih yang mewakili perairan, atau data dari dua kali pengamatan atau lebih pada titik yang sama di perairan. Berdasarkan data tersebut, untuk setiap parameter kualitas air ditentukan nilai minimum, maksimum dan reratanya. Dari setiap nilai yang diperoleh untuk setiap parameternya dibandingkan dengan baku mutu perairan, yang dalam hal ini digunakan acuan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a). Selanjutnya diberikan skor (scoring), yaitu untuk masingmasing nilai maksimum, minimum dan rerata bila masih memenuhi baku mutu diberi skor nol, tetapi bila tidak memenuhi baku mutu diberi skor sesuai dengan Tabel 1.
23
Tabel 1 Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode STORET (Canter, 1977) Jumlah Skor untuk parameter Pengamatan Nilai (bila melebihi baku mutu) Fisika Kimia Biologi Maksimum -1 -2 -3 < 10 Minimum -1 -2 -3 Rerata -3 -6 -9 Maksimum -2 -4 -6 ≥ 10 Minimum -2 -4 -6 Rerata -6 -12 -18 Jumlah keseluruhan dari skor yang diperoleh (untuk seluruh parameter yang diamati) akan menunjukkan tingkat kualitas air, kemudian dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) diklasifikasikan tingkat kualitas air dalam empat kelas (Tabel 2). Tabel 2 Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai dari US-EPA. Total skor 0 -1 sampai dengan -10 -11 sampai dengan -30 < -30 Sumber: KLH (2003)
Tingkat Kualitas Baik sekali Baik Sedang Buruk
Kelas A B C D
Keterangan Memenuhi baku mutu Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Analisis kondisi ekosistem pesisir Kondisi ekosistem pesisir dibedakan dalam 2 (dua) kategori berdasarkan status mutunya sebagai berikut: ♦ Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik. ♦ Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.
24
Untuk
mengetahui
kondisi
ekosistem
pesisir
dilakukan
analisis
berdasarkan data primer dan data sekunder untuk mangrove dan terumbu karang, sedangkan untuk padang lamun hanya dilakukan berdasarkan data sekunder karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan langsung.
Mangrove Status kondisi mangrove menggambarkan tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove, dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot), yang merupakan metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pada beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m. Analisis data mangrove menggunakan metode yang dijelaskan dalam English et al (1994) dan untuk menentukan kondisi mangrove dilakukan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (KLH, 2004c). Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup, dimana kriteria ini merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kategori baik (sedang-sangat padat) dan rusak (jarang) seperti disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria Rusak
Jarang
Penutupan (%) < 50
Baik
Sedang Sangat padat
≥ 50 - < 75 ≥ 75
Sumber: KLH (2004c)
Kerapatan (pohon/hektar) < 1 000 ≥ 1 000 - < 1 500 ≥ 1 500
Keterangan Status mutunya berada pada tingkatan rusak Status mutunya pada tingkatan baik
25
Untuk mengetahui tingkat keragaman jenis mangrove dilakukan berdasarkan English et al (1994) seperti dalam Tabel 4. Tabel 4 Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove Jenis data
Klasifikasi
Tingkat keragaman
Jenis/spesies mangrove
< 3 jenis 4 – 7 jenis > 8 jenis
Kurang beragam Cukup beragam Sangat beragam
Sumber: English et al (1994) Untuk kepentingan deskripsi vegetasi, menurut Kusmana (1997) dijelaskan bahwa parameter kuantitatif vegetasi sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan, diantaranya adalah kerapatan (density) dan frekuensi. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu.
Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana
ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat.
Kerapatan Jenis Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan jenis (density) adalah jumlah suatu individu dalam suatu unit luasan area. Kerapatan jenis dapat ditulis dengan rumus :
Di =
ni A
Keterangan
Di ni A
: Kerapatan (Density) jenis i : Jumlah individu jenis i : Luas area total petak contoh
26
Kerapatan Relatif Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan relatif (relative density) adalah perbandingan antara jumlah kerapatan suatu individu dengan total kerapatan seluruh individu. Kerapatan relatif ditulis dengan rumus : RDi =
Keterangan
Di x100% ∑D
RDi Di ΣD
: Kerapatan Relatif (Relative Density) jenis i : Jumlah kerapatan jenis i : Jumlah kerapatan untuk semua jenis
Frekuensi Frekuensi (frequency) adalah perbandingan antara jumlah sub-petak contoh dimana ditemukan suatu individu terhadap seluruh sub-petak contoh pada sutau lokasi tertentu. Frekuensi ditulis dengan rumus : Fi =
pi ∑p
Keterangan
Fi pi Σp
: Frekuensi (Frequency) : Jumlah sub-petak contoh dimana jenis i ditemukan. : Jumlah seluruh sub-petak contoh
Frekuensi Relatif Frekuensi relatif (relative frequency) adalah perbandingan antara frekuensi sutau jenis (Fi) dengan jumlah frekuensi untuk semua jenis (ΣF), yang ditulis dengan rumus : RFi =
Keterangan
Fi x100% ∑F
RFi Fi ΣF
: Frekuensi relatif (Relative Frequency) jenis i : Jumlah frekuensi jenis i : Jumlah frekuensi untuk semua jenis
27
Terumbu Karang Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan menggunakan persamaan (UNEP,1993), yaitu : ni =
Keterangan
li × 100% L
ni : Persentase penutupan karang hidup life form ke-i li : panjang total life form karang ke-i L : Panjang transek garis
Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria kerusakan terumbu karang dengan menggunakan persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. Untuk menentukan kondisi terumbu karang dilakukan dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang (KLH, 2001). Kriteria baku kerusakan terumbu karang merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang, dalam hal ini status kondisi terumbu karang diklasifikasikan dalam kategori baik dan rusak (Tabel 5). Tabel 5 Kriteria baku kerusakan terumbu karang Parameter Kriteria baku kerusakan terumbu karang (%) Persentase luas Rusak Buruk 0 – 24.9 tutupan terumbu Sedang 25 – 49.9 karang yang Baik 50 – 74.9 Baik hidup Baik sekali 75 - 100 Sumber: KLH (2001)
Keterangan Status mutunya berada pada tingkatan rusak Status mutunya pada tingkatan baik
28
Padang Lamun
Untuk mengetahui status padang lamun digunakan acuan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun (KLH, 2004d) (Tabel 6 dan 7). Tabel 6 Kriteria baku kerusakan padang lamun Luas area kerusakan (%)
Tingkat kerusakan Tinggi Sedang Rendah Sumber: KLH (2004d)
≥ 50 30 – 49.9 ≤ 29.9
Tabel 7 Status padang lamun Kondisi
Penutupan (%)
Baik Rusak
Kaya/sehat Kurang kaya/kurang sehat miskin Sumber: KLH (2004d)
≥ 60 30 – 59.9 ≤ 29.9
Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir
Analisis terhadap pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam dilakukan berdasarkan
pada
semua
hasil
analisis
data
yang
ada
dan
dengan
mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai sumber yang diperoleh selama penelitian serta dari berbagai litertur pendukung, termasuk didalamnya berupa hasil kajian/studi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak lain. Selanjutnya dari analisis tersebut ditentukan strategi-stretegi pengelolaan lingkungan pesisir yang dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan pengelolaan lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam khususnya terkait dengan upaya mengurangi sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan pengembangannya.
29
Untuk
menyusun
strategi-stretegi
pengelolaan
lingkungan
pesisir
digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT menjelaskan proses analisis kasus berikut perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Menurut Rangkuti (2004), analisis SWOT adalah identifikasi terhadap berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dipilih. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
Analisis SWOT dilakukan dengan
membandingkan faktor-faktor strategis eksternal atau External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS), yang terdiri dari peluang dan ancaman dengan faktorfaktor strategis internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS), yang berupa kekuatan dan kelemahan. Analisis ini juga dapat digunakan untuk menyusun strategi-strategi dalam jangka panjang sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan. Strategi-strategi pengelolaan yang dipilih sebagai rekomendasi dari penelitian ini ditentukan dengan menggunakan matrik TOWS atau SWOT. Menurut Rangkuti (2004), matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan yang ada (Tabel 8). Tabel 8 Matrik analisis SWOT IFAS EFAS Peluang
(Opportunities)
Kekuatan
Kelemahan
(Strengths)
(Weaknesses)
Strategi Kekuatan-Peluang (SO)
Strategi Kelemahan- Peluang (WO)
Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Ancaman
(Threats)
Strategi Kekuatan- Ancaman (ST) Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi Kelemahan- Ancaman (WT) Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk mengindari ancaman
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Letak Geografis
Kota Batam secara geografis letaknya sangat strategis karena terletak di jalur pelayaran dunia sengga sehingga menempatkan kota ini sebagai pintu gerbang perekonomin nasional. Dari data yang diperoleh dari Pemerintah Kota Batam (2000) disebutkan bahwa Kota Batam terletak antara 0o55’ – 1o55’ Lintang Utara dan 103o45’ – 104o10’ Bujur Timur dan berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 luas wilayah Kota Batam secara keseluruhan adalah 1 570.35 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut: - Sebelah Utara
: Selat Singapura
- Sebelah Selatan
: Kecamatan Senayang (Kabupaten Kepulauan Riau)
- Sebelah Timur
: Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Teluk Bintan (Kabupaten Kepulauan Riau)
- Sebelah Barat
: Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun (Kabupaten Karimun) dan Laut Internasional.
Kota Batam merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah pulau besar dan kecil dengan panjang pantai sekitar 1 261 Km dan luas laut sekitar 289.300 hektar. Wilayah laut ini merupakan bagian terbesar, yaitu sekitar 74% dari wilayah Kota Batam. Dewasa ini wilayah Kota Batam terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yaitu Kecamatan Belakang Padang, Bulang, Galang, Sei Beduk, Nongsa, Sekupang, Lubuk Baja dan Batu Ampar. Kedelapan kecamatan tersebut membawahi sebanyak 35 kelurahan dan 16 desa.
Selanjutnya mengenai
peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya disajikan dalam Gambar 3.
31
Gambar 3 Peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya (Pemerintah Kota Batam, 2000)
32
Pemerintah Kota Batam dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dan diresmikan pada tanggal 24 Desember 1983 yang bersifat Administratif. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 53 Tahun 1999 maka Kotamadya Administratif Batam berubah menjadi Kota Batam. Selain itu, di Batam terdapat juga institusi pemerintah pusat yang mengelola khusus daerah tersebut, yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Penduduk
Penyebaran penduduk Kota Batam pada tahun 2003 terkonsentrasi pada 3 (tiga) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sei Beduk, Batu Ampar dan Sekupang (Tabel 9). Ketiga wilayah kecamatan ini memiliki jumlah penduduk lebih banyak dibandingkan dengan 5 (lima) wilayah kecamatan lainnya di Kota Batam. Jumlah penduduk paling banyak jumlahnya terdapat di Kecamatan Sei Beduk, yaitu 126 979 jiwa, sedangkan yang paling sedikit, yaitu 8 693 jiwa terdapat di Kecamatan Bulang.
Apabila dilihat dari perbandingan antara jumlah Rumah
Tangga Perikanan (RTP) dan anggota keluarganya (34 426 jiwa) dengan jumlah keseluruhan penduduk Kota Batam (562 601 jiwa) pada tahun 2003 adalah sebesar 6.1%.
Tabel 9 Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan Kecamatan WNI 1. Belakang Padang 19 737 2. Bulang 8 693 3. Galang 13 917 4. Sei Beduk 124 262 5. Nongsa 85 606 6. Sekupang 116 242 7. Lubuk Baja 66 200 8. Batu Ampar 124 219 Total 558 876 Sumber: Bappeda Kota Batam (2004)
WNA 4 12 2 714 84 199 475 297 3 785
Jumlah 19 741 8 693 13 929 126 976 85 690 116 441 66 675 124 516 562 661
33
Berdasarkan data jumlah penduduk Kota Batam dari 1993-Juni 2004 terlihat bahwa pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 20.92%, sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk terkecil terjadi pada tahun 2003, yaitu 2.26% dan sampai Juni 2004 pertumbuhan penduduk sebesar 3.54% (Tabel 10).
Industri
Berdasarkan Keppres No 41 Tahun 1973, seluruh Pulau Batam ditetapkan sebagai daerah industri. Kemudian disusul dengan Keppres No. 41 tahun 1978 yang menetapkan bahwa seluruh pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya dinyatakan sebagai kawasan berikat (bonded area). Keputusan ini dikeluarkan dengan maksud agar dapat mendorong pengembangan ekspor yang berorientasi pada bidang perindustrian dan untuk memberikan kemudahan impor bahan-bahan yang dibutuhkan oleh pabrik yang ada di Batam. berkembangnya industri di daerah ini.
Hal ini akan memacu
Gambar 4 menunjukkan penyebaran
industri di Kota Batam berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2001-2011 yang kemudian pada tahun 2004 direvisi melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014.
34
Tabel 10 Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004
Tahun
Laki-laki
WNI Perempuan
Jumlah
1993 80 910 65 161 146 071 1994 88 927 74 210 163 137 1995 99 777 95 547 195 324 1996 122 988 124 126 247 114 1997 126 693 127 609 254 302 1998 153 895 139 313 293 208 1999 159 104 176 520 335 624 2000 209 120 226 714 435 834 2001 241 667 281 509 523 176 2002 254 193 290 794 544 987 2003 266 235 292 641 558 876 Juni 2004 275 043 304 417 579 460 Sumber: Bappeda Kota Batam (2002, 2003 dan 2004)
Laki-laki 527 638 641 697 717 405 962 1 205 2 517 3 079 2 196 2 268
WNA Perempuan 107 127 115 147 160 87 371 319 1 458 1 885 1 589 1 607
Jumlah 634 765 756 844 877 492 1 333 1 524 3 975 4 964 3 785 3 875
TOTAL Jumlah 146 705 163 902 196 080 247 958 255 179 293 700 336 957 437 358 527 151 549 951 562 661 583 335
Pertumbuhan (%) 10.49 16.41 20.92 2.83 13.12 12.84 22.96 17.03 4.15 2.26 3.54
35
Gambar 4 Peta penyebaran industri di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam, 2000)
36
Tabel 11 menggambarkan luas kawasan industri sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Batam tahun 2003 adalah sebagai berikut:
Tabel 11 Luas kawasan industri sesuai RTRW Kota Batam No.
Letak Lokasi
Luas (Hektar)
1.
Kecamatan Batu Ampar
448
2.
Kecamatan Lubuk Baja
32
3.
Kecamatan Nongsa (Batam Center )
4.
Kecamatan Nongsa ( Kabil )
5.
Kecamatan Sekupang ( Sekupang )
6.
Kecamatan Sekupang (Tanjung Uncang )
7.
Kecamatan Sekupang ( Panbil )
296
8.
Kecamatan Sei Beduk ( Muka Kuning )
464
9.
Kecamatan Sei Beduk ( Sagulung )
10.
Kecamatan Sei Beduk ( Batu Aji )
288
11.
Kecamatan Galang ( P. Rempang, P. Kera )
608
12.
Kecamatan Galang ( Tanjung Kerapa )
13.
Kecamatan Galang ( Tanjung Semandur )
14.
Kecamatan Galang ( P. Sembur ) Jumlah
496 1 464 256 1 184
1 440
1 208 304 80 8 568
Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Batam menjadi daerah industri, dari tahun 1999-2003 terlihat bahwa sektor industri besar (dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih) mengalami peningkatan (Tabel 12).
Pada pada tahun 1999 tercatat 108 industri dan selanjutnya terus
meningkat hingga pada tahun 2003 terdapat 138 industri.
Sedangkan pada
industri sedang (dengan tenaga kerja antara 20-99 orang) mengalami sedikit penurunan antara tahun 199-2002 dan kemudian naik menjadi 75 industri pada tahun 2003.
37
Tabel 12 Banyaknya perusahaan Sektor Industri pengolahan menurut golongannya Kecamatan
Perusahaan besar Perusahaan sedang Th. 1999 Th. 2000 Th. 2001 Th. 2002 Th. 2003 Th. 1999 Th. 2000 Th. 2001 Th. 2002 Th. 2003 1. Belakang Padang 2. Bulang 3. Galang 4. Sei Beduk 60 71 64 70 61 15 17 14 17 10 5. Nongsa 14 14 16 15 21 12 13 11 13 21 6. Sekupang 15 6 15 14 21 6 4 7 7 16 7. Lubuk Baja 1 2 3 2 3 3 2 1 1 2 8. Batu Ampar 18 19 20 20 32 14 14 13 11 26 Total 108 112 118 121 138 50 50 46 49 75 Sumber: Bappeda Kota Batam (2001, 2002, 2003 dan 2004)
38
Seiring dengan perkembangan industri tersebut maka investasi di Kota Batam pun mengalami peningkatan.
Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam (2001) menyebutkan bahwa dari tahun 1990-2001 terjadi peningkatan investasi yang cukup signifikan di daerah ini. Pada tahun 1990 tercatat investasi pemerintah sebesar
US$ 573 000 000.00, investasi swasta
domestik sebesar US$ 1 515 000 000.00 serta investasi swasta asing US$ 684 000 000.00 Sedangkan pada tahun 2001, investasi pemerintah tercatat sebesar US$ 2 100 000.00, investasi swasta domestik US$ 3 300 000.00 dan investasi swasta asing US$ 3 400 000.00, artinya bahwa pada tahun 2001 ini terdapat 23.86% investasi pemerintah dan 37.50% investasi swasta domestik serta investasi swasta asing sebesar 38.64%. Jenis-jenis perusahaan pada Sektor Industri di Kota Batam pada tahun 2002 menurut Disperindag Kota Batam (2002) adalah sebagai berikut: a. Kecamatan Nongsa: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam, garmen dan tekstil, bahan kimia, kertas dan barang dari kertas, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, pengolahan barang dari karet, pengolahan sampah menjadi pupuk bio, bengkel dan jasa pendukung, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa industri, makanan dan minuman; b. Kecamatan Batu Ampar: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam, garmen dan tekstil, bahan kimia, kertas dan barang dari kertas, pengolahan kayu, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa industri, makanan, minuman, furniture, percetakan, penerbitan dan periklanan; c. Kecamatan Lubuk Baja: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam, garmen dan tekstil, kertas dan barang dari kertas, gelas dan barang dari gelas, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, alat angkat dan jasa perbaikan, makanan, minuman, furniture, percetakan dan penerbitan;
39
d. Kecamatan Sekupang: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari perusahaan elektronika, barang dari logam, garmen dan tekstil, bahan kimia, kertas dan barang dari kertas, galangan kapal, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa industri, makanan, minuman dan penerbitan; e. Kecamatan Sei Beduk: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam, kertas dan barang dari kertas, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, pengolahan barang dari karet, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa industri, makanan dan minuman. Perkembangan yang pesat di bidang ekonomi dan perindustrian membawa Batam menjadi kota yang berbasis industri. Kemudahan akses yang didukung oleh letak geografis menjadikan daerah ini banyak diminati para investor, salah satunya akses transportasi laut, baik untuk kepentingan transportasi masyarakat dan perdagangan domestik maupun ke negara lain.
Daerah ini memiliki posisi
strategis karena berada di lokasi terdepan batas internasional dalam hal ini di Selat Singapura serta terletak pada jalur pelayaran bebas yang kebetulan merupakan salah satu alur pelayaran kapal paling ramai di dunia. Besarnya angka pertambahan penduduk di Kota Batam adalah erat kaitannya dengan dijadikannya Batam sebagai kawasan industri. Pertumbuhan industri yang sangat pesat, selain dapat mendatangkan devisa juga membuat banyak orang berdatangan ke wilayah ini, khususnya untuk mencari pekerjaan. Hal ini menimbulkan urbanisasi, yang selanjutnya karena di sana sini timbul perumahan kumuh sebagai akibat kurang siapnya penataan dan pengelolaan lingkungan.
Dampak lain yang timbul dari pengembangan industri yang
dilakukan secara terus-menerus di daerah ini adalah terjadinya kerusakan lingkungan sebagai akibat eksploitasi lahan atau kawasan bagi peruntuk\kan yang lain serta timbulnya pencemaran lingkungan yang disebabkan diantaranya oleh pembuangan limbah industri yang belum semuanya tertata dengan baik. Adanya orientasi pengembangan industri di Kota Batam yang secara terus-menerus dilakukan ternyata membawa dampak terhadap faktor ikutan yang sangat nyata, seperti peningkatan jumlah penduduk, peningkatan penyediaan sarana dan
40
prasarana penununjang (perumahan, perkantoran, pertokoan serta fasilitas lainnya) yang dampak dari semua itu menyebabkan timbulnya kegiatan eksploitasi lahan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Sebenarnya dalam kaitannya dengan pengembangan industri telah disusun kriteria jenis industri yang boleh beroperasi di Kota Batam. Kriteria industri yang berpotensi untuk dikembangkan di Kota Batam harus memenuhi ketentuan “negative list”, yaitu industri yang tidak boleh mengambil tempat di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam, 2000). Ketua
Otorita
Pengembangan
Disamping itu, sesuai dengan Keputusan Daerah
Industri
Pulau
Batam
Nomor:
045/AP-KPTS/IV/1990 yang mengatur jenis industri yang tidak dipromosikan di Kota Batam. Berdasarkan kedua ketentuan maka jenis-jenis industri yang tidak dianjurkan dikembangkan di Kota Batam meliputi industri-industri:padat karya, kimia, textil serta perabotan dari rotan dan kayu. Selain jenis industri tersebut maka industri-industri yang direkomendasikan untuk dikembangkan di Kota Batam adalah dengan syarat-syarat : ♦ Industri ringan, sedang dan berat yang berorientasi ekspor; ♦ Menggunakan teknologi menengah sampai tinggi; ♦ Intensif (padat) modal; ♦ Menggunakan tenaga ahli; ♦ Tingkat konsumsi air sedikit; ♦ Tidak menyebabkan polusi. Adapun jenis komoditi industri unggulan yang akan dikembangkan di Kota Batam diantaranya didasarkan pada (Pemerintah Kota Batam, 2000): ♦ Tingginya permintaan pasar internasional; ♦ Daya saing produk tersebut di pasar internasional; ♦ Adanya keunggulan komparatif produk yang dihasilkan; ♦ Kecenderungan investor dalam menanamkan modalnya di sektor industri.
41
Namun demikian, beberapa industri yang tidak dianjurkan untuk dikembangkan di Kota Batam ternyata dijumpai di di daerah ini, seperti kimia, tekstil serta pengolahan kayu. Hal ini memperlihatkan rendahnya pengawasan serta adanya ketidak-konsistenan antara kebijakan yang telah dibuat dengan pelaksanaannya di lapangan (Disperindag Kota Batam, 2002). Adanya ketidak-konsistenan kebijakan serta pengawasan yang lemah dapat mendorong semakin turunnya kualitas lingkungan akibat pengembangan industri di daerah ini.
Pengembangan industri berdampak terhadap meningkatnya
buangan limbah industri ke perairan pantai. Limbah yang berasal dari pabrik dan kegiatan industri lainnya dialirkan dan dibuang semena-mena tanpa melalui sistem pengolahan limbah yang baik. Kasus khusus terjadi di Kota Batam ini adalah bahwa limbah industri pada umumnya dibuang langsung ke laut dan hanya sebagian kecil yang dibuang melalui sungai kecil. Kondisi seperti ini terjadi karaena sebagian besar industri di Kota Batam didirikan di dekat pantai sehingga dengan alasan faktor kemudahan serta alasan biaya maka limbah-limbah industri langsung dibuang ke perairan pantai yang ada di sekitarnya.
Selain itu,
berdasarkan hasil pengamatan langsung selama penelitian bahwa di Kota Batam tidak terdapat sungai besar dan yang ada adalah sungai-sungai kecil dan pendek yang tidak pada setiap musim ada airnya atau hanya pada musim penghujan sungai-sungai kecil ini dialiri air. Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri yang sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam penggunaan unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga limbahnya masih mengalir ke perairan pantai dan laut yang akan berdampak terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan hal ini merupakan pemicu terjadinya degradsi lingkungan pesisir di Kota Batam.
Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam Kota Batam terdiri dari tiga pulau utama yaitu pulau Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Daerah ini memiliki
panjang garis pantai 473 km. Pantai di Batam berbentuk tanjung (daratan yang menjorok ke laut) yang umumnya berupa batuan, sedangkan yang berbentuk teluk
42
(bagian laut yang menjorok ke daratan) umumnya memiliki tipe pasir dan lumpur. Pantai di bagian timur laut dan utara Pulau Batam umumnya memiliki tipe pasir dan lumpur serta sebagian berbatu/karang. Pesatnya kemajuan Kota Batam akhir-akhir ini ternyata membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Hutan mangrove dirusak, bukit diratakan dan adanya kegiatan lain yang merusak lingkungan banyak terjadi di Kota Batam. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan lahan bagi pengembangan industri serta peruntukan lainnya. Wilayah pesisir Batam banyak dicemari oleh limbah atau dampak dari pembangunan tersebut. Sebelumnya, disampaikan mengenai kondisi hidro-oseanografi di sekitar perairan laut Kota Batam. Arus Air Laut
Bentuk dasar laut dan garis pantai semua perairan akan berpengaruh terhadap gerakan massa air perairan pantai. Hal ini disebabkan karena perairan pantai umumnya dangkal sehingga peninggian dasar laut misalnya, akan membelokkan massa air yang sedang bergerak. Demikian juga dengan garis pantai yang juga akan membelokkan arah gerakan massa air. Gerakan massa air akan dipengaruhi oleh garis pantai, tetapi sebaliknya garis pantai dapat dipengaruhi oleh gerakan massa air kalau gerakan tersebut (disertai dengan gelombang yang menghantam pantai) mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimen yang terpecah diangkut oleh gerakan massa air ke tempat lain. Sistem arus di Riau Kepulauan termasuk perairan Batam, mempunyai sistem yang kompleks sebagai hasil interaksi dari arus pasang, arus muson dan faktor lokal, seperti perairan yang dangkal dan pengaruh tipologi pesisir dari pulau-pulau (Zieren et al., 1996). Posisi geografi dipengaruhi pada perambatan pasang dari Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan. Arus utama perairan Batam dipengaruhi dan mengikuti pola arus Laut Cina Selatan secara umum. Pola arus di Laut Cina Selatan sangat tergantung dari angin Muson. Secara garis besar terdapat dua angin Muson di perairan ini, yaitu angin Muson Barat Laut dan angin Muson Tenggara. Pada bulan Februari bertiup puncak angin Muson Barat Laut yang menyebabkan arus bergerak meninggalkan
43
Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa. Pada bulan Agustus terjadi sebaliknya, yaitu bertiup angin Muson Tenggara yang menyebabkan arus yang bergerak dari perairan Laut Jawa menuju perairan Laut Cina Selatan.
Namun di perairan
Batam, yang dekat dengan daratan, pola arus tidak sejelas arus di Laut Cina Selatan. Karena adanya pulau-pulau dan daratan semenanjung Malaysia, pada saat angin Muson Barat Laut bertiup, perairan Batam relatif tenang karena terlindung oleh semenanjung.
Sebaliknya pada saat bertiup angin Muson
Tenggara, perairan Batam akan menjadi lebih kasar (Gambar 5, 6, dan 7). Meskipun demikian, karena banyaknya pantai dari pulau-pulau yang terdapat di perairan Batam, pola arus di perairan ini tidak sesederhana seperti pola arus di Laut Cina Selatan.
Hal ini disebabkan karena seperti yang telah
disebutkan, arus tersebut dipengaruhi oleh garis pantai (Tabel 13).
Tabel 13 Kecepatan dan arah arus di perairan Batam No. Bulan Kecepatan (cm/detik) 1 Januari 15 2 Februari 31 3 Maret 20 4 April 28 5 Mei 28 6 Juni 23 7 Juli 12 8 Agustus 8 9 September 21 10 Oktober 12 11 November 15 12 Desember 41 Sumber: PT Bumimas Batamjaya (2001)
Arah Barat Laut Barat Laut Barat laut Barat Laut Barat laut Tenggara Tenggara Tenggara Barat Laut Barat Laut Barat Laut Barat Laut
44
Januari
Maret
Mei
Februari
April
Juni
Gambar 5 Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya Januari - Juni (PT Bumimas Batamjaya, 2001)
pada bulan
45
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Gambar 6 Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya Juli - Desember (PT Bumimas Batamjaya, 2001)
pada bulan
46
Gambar 7 Pergerakan arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya (Chia et al, 1988)
47
Gelombang Air Laut Gelombang laut timbul terutama akibat adanya gangguan air dari luar terhadap suatu perairan.
Gelombang laut sangat besar artinya bagi kegiatan
manusia baik di laut maupun di daerah pantai. Gelombang ini antara lain dapat merusak pantai kalau energinya yang dibangun di laut dihempaskan di daerah pantai, terutama untuk daerah terbuka atau tidak ditumbuhi vegetasi.
Pasang Air Laut
Pasang atau pasang-surut adalah suatu fenomena gerakan permukaan laut ke bawah dan ke atas secara berkala. Pasang merupakan suatu gelombang yang frekuensinya rendah, pada umumnya lebih kecil dari dua kali sehari. Gerakan pasang ini ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa seperti matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Gerakan ini juga dipengaruhi oleh rotasi bumi sendiri serta letak pulau dan benua. Pasang di perairan Batam bersifat campuran cenderung semi diurnal, artinya secara garis besar terdapat dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut dalam 24 jam. Namun dua pasang tersebut tidak sama besarnya, yang satu lebih besar, biasa disebut pasang induk, dan lainnya biasa disebut pasang anak. Hal ini sesuai dengan hasil kajian PKSPL-IPB (2001) yang mencatat bahwa tipe pasang surut air laut (pasut) di Batu Ampar Kota Batam adalah campuran, dominasi ganda dengan kisaran pasut 0.6 - 2.8 meter.
Gambar 8 menunjukkan contoh
pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei dan 11 Juni 2003 menurut ramalan yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi-TNI Angkatan Laut (Dishidros, 2003). Selain gerakan vertikal naik turunnya permukaan laut, pasang juga melakukan gerakan horizontal yang mengakibatkan terjadinya arus pasang. Arus pasang ini bergerak ke arah pantai pada pasang naik dan menjauhi pantai pada pasang surut.
Kisaran pasang (jarak permukaan laut antara pasang naik dan
pasang surut) mencapai lebih dari 2.5 meter pada tanggal 20 Mei 2003. Kisaran pasang ini merupakan sumber energi potensial yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang memerlukan tenaga pasang.
48
30
Tinggi Pasang (dm)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
20
25
30
Jam
Tinggi Pasang (dm)
30 25 20 15 10 5 0 0
5
10
15 Jam
Gambar 8 Ramalan pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei (atas) dan 11 Juni (bawah) tahun 2003 (Dishidros, 2003)
49
Kualitas Perairan Pesisir
Perairan Kota Batam merupakan perairan terbuka dan berada di sekitar perairan Laut Cina Selatan, Selat Singapura dan Selat Malaka sehingga kondisi perairan Kota Batam dipengaruhi pula oleh kualitas dari perairan-perairan yang ada di sekitarnya. Selain itu, kualitas air di daerah ini dipengaruhi oleh limbah yang berasal dari kegitan manusia yang ada di Kota Batam sendiri. Aktivitas manusia di Kota Batam meliputi pertanian, industri dan kegiatan domestik Aktivitas-aktivitas tersebut menghasilkan limbah yang pada umumnya dibuang ke sungai atau saluran air dan akhirnya akan bermuara ke wilayah pesisir. Untuk mengetahui kondisi kualitas air di perairan pantai/laut Kota Batam selain berdasarkan data primer yang diperoleh melalui pengambilan contoh (sample) langsung di lokasi penelitian, juga dilakukan dengan menganalisis dari sejumlah data sekunder tentang kualitas air pantai/laut Kota Batam yang diperoleh dari beberapa sumber termasuk dari hasil studi-studi terdahulu (Lampiran 1 – 4 dan Tabel 14 – 17). Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi kualitas air pada saat yang lalu dan membandingkannya dengan data primer yang diperoleh dari penelitian ini. Selain itu, berdasarkan data kualitas air laut yang dikumpulkan dapat dilihat juga kondisi kualitas air laut pada beberapa wilayah pesisir Kota Batam, termasuk di dalamnya untuk mengetahui kondisi kualitas air laut dilihat dari distribusi secara vertikal, yaitu yang ada di bagian permukaan dan bagian dekat dasar perairan pesisir Kota Batam. Berdasarkan analisis terhadap data yang dikumpulkan dari studi terdahulu yang dilakukan oleh PERTAMINA Conoco (1998) (Tabel 14), terlihat bahwa dari hasil analisis dengan metode STORET (Canter, 1977) yang dilakukan terhadap kualitas air laut dari dekat dasar perairan di bagian utara wilayah Kota Batam menunjukkan kualitas perairan termasuk dalam kelas D: buruk dengan total skor –85, yang menurut KLH (2003) kondisi seperti ini termasuk dalam kriteria tercemar berat.
Beberapa parameter yang memberikan kontribusi
terhadap buruknya kualitas air di lokasi ini adalah TSS, oksigen terlarut, NO3-N, fenol, Hg, Cd, Pb, Cu, Zn, dan As.
50
Tabel 14 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 No.
Parameter
1
FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Detergen Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+) Arsen (As) Selenium TOTAL
1 2 3 4
Satuan
Pt.Co o C mg/l NTU O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Baku mutu *)
Rerata
Nilai Maksimum
alami **) ? 20 <5
30.7 148.4 0.69
31.5 166 1.00
Minimum
30 136 0.55
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
0 -3 0
0 -1 0
0 -1 0
0 -5 0
7 - 8,5
8.19
8.20
8.17
0
0
0
0
alami ***)
32.7
34.5
28.5
0
0
0
0
>5 < 20 < 0.3
5.3 6.71
6.0 7.95
5.0 5.20
0 0
0 0
-2 0
-2 0
0.028
0.034
0
0
0
0
< 0.008
0.047
0.076
0.020
-6
-2
-2
-10
<1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0.05 < 0.005 < 0.012
Tt 0.015 0.002 0.185 0.055 0.047 0.046 0.083 0.002 0.198
Tt 0.029 0.006 0.250 0.090 0.086 0.086 0.166 0.004 0.244
Tt 0.006 Tt 0.100 0.037 0.026 0.017 Tt Tt 0.155
0 -6 0 -6 -6 -6 -6 -6 0 -6
0 -2 0 -2 -2 -2 -2 -2 0 -2
0 -2 0 -2 -2 -2 -2 0 0 -2
0 -10 0 -10 -10 -10 -10 -8 0 -10
0.025
Sumber: PERTAMINA Conoco (1998) Keterangan: *) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
-85
***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
51
Kondisi yang sama dapat dilihat dari hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan dari studi PGN (2000) yang dilakukan terhadap kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura seperti pada Tabel 15.
Buruknya kualitas air di lokasi tersebut yang berarti tercemar berat
disebabakan oleh adanya parameter-parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti NO3-N, fenol, Pb dan Zn dengan total skor -38. Kondisi kualitas air laut pada bagian permukaan perairan berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data dari studi PERTAMINA Conoco (1998) seperti pada Tabel 16 menunjukkan kondisinya sangat memprihatinkan dengan total skor –83. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas air laut pada permukaan perairan di bagian utara Kota Batam dalam keadaan tercemar berat, yang ditandai dengan adanya beberapa parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu, seperti TSS, NO3-N, fenol, Hg, Cd, Pb, Cu, Zn, dan As. Kualitas air permukaan laut berdasarkan hasil analisis terhadap data dari studi PGN (2000) seperti dalam Tabel 17 menunjukkan bahwa kondisi kualitas air laut dari data tahun 2000 tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1998. Kondisi kualitas air laut pada bagian permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura dalam keadaan tercemar berat dengan total skor -40. Beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu dan memberikan kontribusi terhadap buruknya kualitas air laut di lokasi ini meliputi NO3-N, fenol, Pb, Cu, dan Zn. Secara keseluruhan, berdasarkan Tabel 14 - 17 tersebut dapat dilihat kondisi kualitas air laut, baik yang diambil dari dekat dasar perairan laut maupun dari bagian permukaan perairan laut yang menunjukkan kondisi yang sama, yaitu menunjukkan tingkat kualitas air laut dalam keadaan buruk atau tercemar berat. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas perairan laut Kota Batam, khususnya perairan laut di bagian utara Kota Batam dan perairan laut antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura dalam keadaan tercemar berat dari mulai bagian atas (permukaan perairan laut) sampai bagian bawah (dasar perairan laut). Kondisi seperti ini juga menunjukan terjadinya distribusi polutan secara vertikal. Beberapa parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu dan ditemukan pada semua lokasi pengamatan tersebut adalah Pb, Zn, NO3-N dan fenol.
52
Tabel 15 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 No.
1 2 3 4 1
Parameter FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+) TOTAL
Satuan
Baku mutu *)
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
Pt.Co o C mg/l NTU
alami **) ? 20 <5
28.6 14.6 0.61
29 18 1.00
28.2 12 0.45
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
-
7 - 8,5
8.0
8.1
8.0
0
0
0
0
alami ***)
31.4
31.7
31.0
0
0
0
0
>5 < 20 < 0.3
6.5 4.03
7.0 4.34
5.9 3.50
0 0
0 0
0 0
0 0
0.094
0.019
0
0
0
0
< 0.008
0.081
0.166
0.008
-6
-2
0
-8
<1 < 0,002 < 0.001 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0.05 < 0.005
Tt 0.023 Tt Tt 0.028 0.004 4.842 Tt
Tt 0.034 Tt Tt 0.035 0.008 5.880 Tt
Tt 0.014 Tt Tt 0.023 Tt 4.115 Tt
0 -6 0 0 -6 0 -6 0
0 -2 0 0 -2 0 -2 0
0 -2 0 0 -2 0 -2 0
0 -10 0 0 -10 0 -10 0 -38
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0.272
Sumber: PGN (2000) eterangan:
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
53
Tabel 16 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 No.
Parameter
1
FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Detergen Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+) Arsen (As) Selenium TOTAL
1 2 3 4
Satuan
Pt.Co o C mg/l NTU O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Baku mutu *)
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
alami **) ? 20 <5
30.6 134.8 0.42
31.5 150 0.60
30.0 120 0.36
0 -3 0
0 -1 0
0 -1 0
0 -5 0
7 - 8,5
8.19
8.30
8.14
0
0
0
0
alami ***)
29.6
33.5
24.0
0
0
0
0
>5 < 20 < 0.3
7.2 7.62
7.3 7.95
7.1 6.36
0 0
0 0
0 0
0 0
0.031
0.044
0.016
0
0
0
0
< 0.008
0.055
0.108
0.037
-6
-2
-2
-10
<1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0.05 < 0.005 < 0.012
Tt 0.017 Tt 0.130 0.042 0.043 0.090 0.059 0.002 0.315
Tt 0.024 Tt 0.275 0.056 0.095 0.129 0.086 0.004 0.355
0 -6 0 -6 -6 -6 -6 -6 0 -6
0 -2 0 -2 -2 -2 -2 -2 0 -2
0 -2 0 -2 -2 -2 -2 0 0 -2
0 -10 0 -10 -10 -10 -10 -8 0 -10
Tt 0.014 Tt 0.025 0.031 0.021 0.034 Tt Tt 0.267
Sumber: PERTAMINA Conoco (1998) Keterangan: *) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
-83
***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
54
Tabel 17 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 No.
1 2 3 4 1
Parameter FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+) TOTAL
Satuan
Baku mutu *)
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
Pt.Co o C mg/l NTU
alami **) ? 20 <5
28.7 15.3 0.47
29.0 18 1.00
28.5 12 0.30
0 0
0 0
0 0
0 0 0
-
7 - 8,5
8.08
8.15
8.00
0
0
0
0
alami ***)
31.4
31.7
31.0
0
0
0
0
>5 < 20 < 0.3
6.68 4.32
7.40 4.98
6.00 4.14
0 0
0 0
0 0
0 0
0.126
0.317
0.021
0
0
0
0
< 0.008
0.034
0.061
0.004
-6
-2
0
-8
<1 < 0,002 < 0.001 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0.05 < 0.005
Tt 0.030 Tt Tt 0.036 0.007 6.290 Tt
Tt 0.038 Tt Tt 0.049 0.012 8.520 Tt
Tt 0.016 Tt Tt 0.026 tt 4.720 Tt
0 -6 0 0 -6 0 -6 0
0 -2 0 0 -2 -2 -2 0
0 -2 0 0 -2 0 -2 0
0 -10 0 0 -10 -2 -10 0 -40
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Sumber: PGN (2000) Keterangan :
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
55
Sementara itu, untuk mengetahui kualitas air pada saat penelitian, dilakukan pengamatan langsung pada perairan pantai/laut Kota Batam. Dari hasil analisis laboratorium diperoleh data kualitas air laut seperti disajikan dalam Lampiran 5 - 12 serta hasil analisis dengan metode STORET dari data tersebut disajikan dalam Tabel 18 – 25, yang diuraikan secara lengkap pada sub-bab berikut.
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Nongsa Kualitas air pantai/laut di Kecamatan Nongsa memiliki total skor –35 (Tabel 18). Menurut Canter (1977) dikatakan bahwa kualitas air pantai/laut di daerah tersebut termasuk buruk (kelas D) karena total skornya lebih kecil dari –30. Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini dapat dilihat dari adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, BOD5, Cu, Pb, Zn dan Ni.
Hal ini diduga diantaranya diakibatkan oleh adanya
pembuangan limbah industri dan akivitas reklamasi kawasan pantai Kabil bagi pengembangan industri.
Beberapa aktivitas yang secara langsung dapat
memberikan kontribusi terhadap turunnya kualitas air laut di lokasi ini diduga berasal dari industri kapal laut (shipyard), logam, kimia, plastik, kertas, elektronika, kramik, semen dan aktivitas dari Depo Pertamina Kabil serta adanya aktivitas pelabuhan Telaga Punggur. Selain itu, beberapa aktivitas di lahan bagian atas juga memberikan dampak tidak langsung yang mengakibatkan turunnya kualitas air di lokasi ini.
56
Tabel 18 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perair pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 No.
Parameter FISIKA 1 Warna 2 Kebauan 3 Kekeruhan 4 TSS 5 Suhu KIMIA 1 pH 2 Oksigen terlarut (DO) 3 BOD5 4 COD (K2Cr2O7) 5 Ammonia (NH4-N) 6 Nitrit (NO2-N) 7 Sianida (CN) 8 Sulfida (H2S) 9 Minyak dan lemak 10 Fenol 11 Detergen LAS as MBAS 12 Merkuri (Hg) 13 Kromium heksavalen (Cr) 14 Arsen (As) 15 Selenium (Se) 16 Kadmium (Cd) 17 Tembaga (Cu) 18 Timbal (Pb) 19 Seng (Zn) 20 Nikel (Ni) 21 Perak (Ag) TOTAL Keterangan:
Satuan
Baku mutu *)
PtCo NTU mg/l o C
alami <5 ? 20 alami **)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 >5 < 20 < 0,5 < 0,01 <1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,005 < 0,012 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0,05 < 0,05 -
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
alami 3 8 28.4
alami 6 16 28.6
alami 1 4 28.2
0 0 0 0
0 -1 0 0
0 0 0 0
0 -1 0 0
8.19 6.40 23.70
8.20 6.71 25.22
8.19 6.03 22.11
0 0 -6
0 0 -2
0 0 -2
0 0 -10
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0.040 0.029 0.041 0.040
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
Tt 0.082 0.064 0.073 0.059
Tt 0.016 0.017 0.027 0.028
0 -6 -6 0 0
0 -2 -2 -2 -2
0 -2 -2 0 0
0 -10 -10 -2 -2
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
-35 Tt: Tidak terdeteksi
57
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja menurut Canter (1977) termasuk buruk (kelas D) dengan total skor –69. Kondisi seperti ini menurut KLH (2003) termasuk dalam kategori tercemar berat, ditandai oleh adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kebauan, kekeruhan, TSS, oksigen terlarut, BOD5, NH3-N, H2S, minyak dan lemak, deterjen, Cu, Pb dan Zn (Tabel 19). Buruknya kualitas air ini diduga akibat pembuangan limbah dan aktivitas industri, khususnya industri yang berada dekat dengan pantai yang dapat memberikan dampak langsung terhadap turunnya kualitas air di lokasi tersebut. Beberapa aktivitas yang diduga dapat memberikan kontribusi langsung terhadap turunnya kualitas air di daerah ini berasal dari industri kapal laut (shipyard), plastik, elektronika, logam (pipa dan lainnya), lilin, barang-barang dari karet, peralatan kesehatan (laboratorium), kertas, kimia, gas, pipa, jasa pemeliharaan dan perbaikan alat berat dan lain-lain serta aktivitas pelabuhan Makobar.
Sedangkan dampak tidak langsung yang mengakibatkan
turunnya kualitas air diduga berasal dari beberapa aktivitas di lahan bagian atas. Sedangkan berdasarkan analisis terhadap data dari studi
sebelumnya
(PERTAMINA, 2002), yang dilakukan di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya, tepatnya di wilayah Kecamatan Lubuk Baja dan Kecamatan Batu Ampar seperti disajikan dalam Tabel 20. Dari Tabel 20 terlihat bahwa kualitas air di lokasi tersebut dalam kondisi tercemar sedang, yang ditandai dengan total skor –30. Beberapa parameter yang sudah tidak memenuhi baku mutu dan menyebabkan kondisi seperti ini meliputi kecerahan, kekeruhan, TSS, Cu dan Cd.
58
Tabel 19 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perair pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003 No.
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2
Parameter FISIKA Warna Kebauan Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH3-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan lemak Fenol Detergen LAS as MBAS Merkuri (Hg) Kromium heksavalen (Cr) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) BIOLOGI Escherichia coli Coliform group
Satuan
Baku mutu *)
PtCo NTU mg/l o C
alami <5 ? 20 alami **)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 >5 < 20 < 0,3 < 0,5 < 0,01 <1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,005 < 0,012 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0,05 < 0,05 -
MPN/100 ml MPN/100 ml
< 1000
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
alami 17.73 27.2 28.7
Bau 61 55 29.1
alami 2 9 28.1
0 -3 -3 0
-1 -1 -1 0
0 0 0 0
-1 -4 -4 0
7.38 4.59 51.52
8.03 6.1 206
7.09 2 5
0 -6 -6
0 0 -2
0 -2 0
0 -8 -8
0.41
1.96
Tt
-6
-2
0
-8
Tt 0.62 0.404 Tt 0.175 Tt Tt Tt
Tt 3.73 2.423 Tt 1.052 Tt Tt Tt
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
0 -6 0 0 0 0 0 0
0 -2 -2 0 -2 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 -8 -2 0 -2 0 0 0
Tt 0.011 0.022 0.066 0.014
Tt 0.014 0.061 0.357 0.047
Tt Tt Tt Tt Tt
0 -6 -6 -6 0
0 -2 -2 -2 0
0 0 0 0 0
0 -8 -8 -8 0
3.3
20
Tt
0
0
0
0 -69
TOTAL Keterangan:
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
Tt: Tidak terdeteksi
59
Tabel 20 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002 No.
1 2 3 4 5 1
Parameter FISIKA Suhu Kecerahan Kekeruhan Padatan Tersuspensi Daya Hantar Listrik (DHL) KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Kesadahan Minyak-hidrokarbon (TPH) Tembaga (Cu) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Senyawa Fenol Minyak dan lemak TOTAL
Satuan
o
Baku mutu *)
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
C m NTU mg/l umhos/cm
alami **) >5 <5 ? 20
30.7 1.58 2.7 42.5
31.0 2.42 7 76
30.4 0.68 1 16
0 -3 0 -3
0 -1 -1 -1
0 -1 0 0
0 -5 -1 -4
-
7 - 8,5
7.6
7.8
7.4
0
0
0
0
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
alami ***)
30.5
32
29
0
0
0
0
>5 < 20 < 0,008 < 0,001 < 0,008 < 0,002 <1
8.25 4.88
8.50 5.50
7.91 3.44
0 0
0 0
0 0
0 0
0.023 0.023 0.005 Tt Tt
0.026 0.032 0.005 Tt Tt
0.018 0.018 0.004 Tt Tt
-6 -6 0 0 0
-2 -2 0 0 0
-2 -2 0 0 0
-10 -10 0 0 0 -30
Sumber: PERTAMINA (2002) Keterangan :
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
60
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang Kondisi kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang menurut Canter (1977) memiliki klasifikasi buruk (kelas D) karena total skornya lebih kecil dari –30. Berdasarkan hasil analisis, kualitas air di daerah ini memiliki total skor –40. Kondisi kualitas air di lokasi ini termasuk dalam kategori tercemar berat. Buruknya kualitas air ini tercermin dari adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, oksigen terlarut, BOD5, NH3-N, Cu, Pb dan Zn (Tabel 21). Kualitas air yang buruk yang terjadi di perairan Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang juga diperoleh dari hasil studi terdahulu yang dilakukan PERTAMINA (2002) seperti dalam Tabel 22. Berdasarkan data dalam tabel tersebut terlihat bahwa kualitas air laut di lokasi ini termasuk dalam kondisi buruk atau tercemar berat dengan total skor –64. Adanya parameter-parameter kualitas air laut yang tidak memenuhi baku mutu menjadikan kualitas airnya dalam kondisi buruk.
Beberapa parameter yang
mempengaruhi buruknya kualitas air laut tersebut terdiri dari kecerahan, kekeruhan, TSS, Cu, Cd, dan Pb. Beberapa industri yang didirikan di dekat pantai di sekitar Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang diduga memberikan kontibusi terhadap buruknya kualitas air ini, diantaranya industri kapal laut (shipyard), logam, elektronika, barang dari karet, plastik, kulit, gas, kimia, jasa perbaikan dan pemeliharaan alat berat dan aktivitas dari Depo Pertamina Pulau Sambu-Kecamatan Belakang Padang serta aktivitas pelabuhan Sekupang. Selain itu, beberapa aktivitas di lahan bagian atas juga memberikan dampak terhadap turunnya kualitas air laut di wilayah ini.
61
Tabel 21 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari peraira pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003 No.
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2
Parameter FISIKA Warna Kebauan Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH3-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan lemak Fenol Detergen LAS as MBAS Merkuri (Hg) Kromium heksavalen (Cr) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) BIOLOGI Escherichia coli Coliform group
Satuan
Baku mutu *)
PtCo NTU mg/l o C
alami <5 ? 20 alami **)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 >5 < 20 < 0.3 < 0,5 < 0,01 <1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,005 < 0,012 < 0,001 < 0,008 < 0,008 <0,05 < 0,05 -
MPN/100 ml MPN/100 ml
< 1000
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
alami 5.33 15.1 28.5
alami 23.32 20 29.3
alami 1 8 28.2
0 -3 0 0
0 -1 0 0
0 0 0 0
0 -4 0 0
8.13 5.66 26.87
8.25 6.27 34.15
7.62 5 4
0 0 -6
0 0 -2
0 -2 0
0 -2 -8
1.41
9.86
Tt
-6
-2
0
-8
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 -6 -6 0 0
0 -2 -2 -2 0
0 0 0 0 0
0 -8 -8 -2 0
0
0
0
0 -40
Tt Tt 0.023 Tt 0.070 Tt Tt Tt Tt 0.021 0.027 0.033 0.012
2.9
Tt Tt 0.164 Tt 0.489 Tt Tt Tt Tt 0.03 0.048 0.060 0.026
20
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0.011 Tt
Tt
TOTAL Keterangan:
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
Tt: Tidak terdeteksi
62
Tabel 22 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002 No.
Parameter
1
FISIKA Suhu Kecerahan Kekeruhan Padatan Tersuspensi Daya Hantar Listrik (DHL) KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Kesadahan Minyak-hidrokarbon (TPH) Tembaga (Cu) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Senyawa Fenol Minyak dan lemak TOTAL
1 2 3 4 5
Satuan
o
C m NTU mg/l umhos/cm O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Baku mutu *) alami **) >5 <5 ? 20
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
30.5 1.81 2.1 28.6
31.1 3.18 6.5 76
30.1 0.86 0.8 12
0 -6 0 -6
0 -2 -2 -2
0 -2 0 0
0 -10 -2 -8
7 - 8,5
7.5
7.8
7.0
0
0
0
0
alami ***)
32.3
33
30
0
0
0
0
>5 < 20 < 0,008 < 0,001 < 0,008 < 0,002 <1
7.69 4.6
8.53 5.6
6.85 3.1
0 0
0 0
0 0
0 0
0.023 0.022 0.006 Tt Tt
0.029 0.032 0.009 Tt Tt
0.015 0.011 0.004 Tt Tt
-12 -12 0
-4 -4 -4
-4 -4 0
0 0
0 0
0 0
-20 -20 -4 0 0 -64
Sumber: PERTAMINA (2002) Keterangan :
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
63
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sei Beduk Kondisi kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sei Beduk dalam keadaan tercemar berat, yang ditandai oleh total skor lebih kecil dari –30. Berdasarkan hasil analisis, kualitas air laut di daerah ini memiliki total skor –58. Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini terlihat dari adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, TSS, oksigen terlarut, BOD5,
NH3-N, Zn dan Ni (Tabel 23). Adanya pembuangan limbah
industri diduga memberikan kontribusi terhadap turunnya kualitas air di lokasi ini. Di daerah ini terdapat kawasan industri yang sangat luas, yaitu kawasan industri Batamindo (Batamindo Industrial Estate), yang di dalamnya terdapat beberapa industri dengan beragam jenis produk yang dihasilkan, seperti elektronika, peralatan kesehatan (laboratorium), plastik, barang-barang dari karet, logam, instrumen dan alat kontrol, kimia (battery sel primer dan lainnya), kertas, separasi warna dan lain-lain. Selain itu, beberapa aktivitas lainnya di lahan bagian atas juga diduga memberikan dampak terhadap turunnya kualitas air laut di lokasi ini.
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Bulang Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Bulang termasuk buruk, yaitu dengan total skor –55 (Tabel 24). Menurut metode STORET (Canter, 1977) disebutkan bahwa kualitas air yang termasuk dalam klasifikasi buruk (kelas D) apabila total skornya lebih kecil dari –30. Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini terlihat dari adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, TSS, pH, oksigen terlarut, BOD5, Cr, Cu, Pb, Zn dan total coliform.
Di derah ini terdapat perusahaan besar yang bergerak dalam
bidang peternakan buaya, babi, ayam dan budidaya ikan lele. Beberapa industri yang masuk di Kecamatan Sekupang diduga ikut memberikan kontribusi terhadap turunnya kualitas air di perairan pantai/laut di lokasi ini karena letaknya tidak terlalu jauh dari perairan laut Kecamatan Bulang.
64
Tabel 23 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam pada 19 Januari 2001 No. 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Parameter FISIKA Warna Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH3) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Sulphate (SO4) Cobalt (Co) Fosfat (PO4-P) Mangan (Mn) Kalium (K) TOTAL
Satuan
Baku mutu *)
PtCo NTU mg/l o C
<5 ? 20 alami **)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 >5 < 20 < 0,3 < 0,5 < 0,01 < 0,012 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0,05 < 0,05 < 0.015 -
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
31 64.5 29.3
32 81 29.5
30 48 29
-3 -3 0
-1 -1 0
-1 -1 0
-5 -5 0
7.5 3.93 41.6
7.5 3.95 41.9
7.5 3.90 41.2
0 -6 -6
0 -2 -2
0 -2 -2
0 -10 -10
0.33
0.34
0.31
-6
-2
-2
-10
Tt 0.006 Tt
Tt 0.007 Tt
Tt 0.005 Tt
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Tt 0.002 Tt 0.06 0.14
Tt 0.002 Tt 0.08 0.15
Tt 0.001 Tt 0.03 0.12
0 0
0 0
0 0
0 0
-6 -6
-2 -2
0 -2
-8 -10
0.011
0.014
0
0
0
0
0.007
Keterangan: *) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
-58
Tt: Tidak terdeteksi
65
Tabel 24 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001 No. 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2
Parameter FISIKA Warna Kebauan Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH4-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan lemak Fenol Detergen LAS as MBAS Merkuri (Hg) Kromium heksavalen (Cr) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) BIOLOGI Escherichia coli Coliform group
Satuan
Baku mutu *)
PtCo NTU mg/l o C
alami <5 ? 20 alami **)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 >5 < 20 < 0,5 < 0,01 <1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,005 < 0,012 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0,05 < 0,05 -
MPN/100 ml MPN/100 ml
< 1000
Rerata
alami 8 42 27.1
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
alami 10 78 27.8
alami 7 18 26.8
0 -3 -3 0
0 -1 -1 0
0 -1 0 0
0 -5 -4 0
7.37 5.45 19.93
7.68 6.32 33.59
6.90 4.07 11.47
0 0 0
0 0 -2
-2 -2 0
-2 -2 -2
Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0.015 Tt
Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0.037 Tt
0 0 0 0 0 0 -6 0
0 0 0 0 0 0 -2 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 -8 0
Tt 0.027 0.015 0.065 Tt
Tt 0.039 0.042 0.074 Tt
0 -6 -6 -6 0
0 -2 -2 -2 0
0 0 0 0 0
0 -8 -8 -8 0
-6
-2
0
-8 -55
7,000
35,000
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0.042 Tt
Tt
TOTAL Sumber: Data Pemantauan Kualitas Air di PT. Indotirta Suaka (Lokasi pabrik di Kec. Bulang) tahun 2001 Keterangan: *) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
66
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Galang Kondisi kualitas air laut yang diambil dari perairan Kecamatan Galang menunjukkan bahwa kualitas air di daerah ini termasuk buruk dengan total skor –34. Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini terlihat dari adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti BOD5, Cu, Pb, Zn dan Ni (Tabel 25). Sebenarnya pada saat dilakukan penelitian tidak dijumpai adanya industri/perusahaan yang didirikan di Kecamatan Galang ini, tetapi dengan melihat pada kenyataan bahwa kualitas air di sini juga dalam keadaan tercemar berat maka diduga industri-industri yang ada di wilayah kecamatan lain diduga turut memberikan andil terhadap turunnya kualitas air di perairan di Kecamatan Galang sebagai pengaruh dari adanya pergerakan arus air laut. Beberapa aktivitas yang dijumpai di daerah ini diantaranya restoran (sea food) yang didirikan di atas perairan pantai dan adanya bebrapa aktivitas penggundulan bukit yang diduga untuk pengembangan aktivitas ekonomi pada masa yang akan datang. Selain itu, perairan di Kecamatan Galang menjadi daerah penangkapan ikan oleh nelayan serta menjadi lokasi budidaya ikan laut, diantaranya untuk pembesaran ikan kerapu. Untuk melihat sebaran zat pencemar (polutan) pada beberapa wilayah perairan pantai/laut di kecamatan-kecamatan yang ada di Kota Batam dilakukan rekapitulasi data dari Tabel 18 – 25 seperti disajikan dalam Tabel 26. Tabel 26 dibuat untuk melihat perbedaan antara kondisi perairan pantai/laut yang ada di sekitar daerah industri atau dekat dengan industri dan yang jauh dari daerah industri.
67
Tabel 25 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003 No. 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2
Parameter FISIKA Warna Kebauan Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH4-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan lemak Fenol Detergen LAS as MBAS Merkuri (Hg) Kromium heksavalen (Cr) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) BIOLOGI Escherichia coli Coliform group
Satuan
Baku mutu *)
PtCo NTU mg/l o C
alami <5 ? 20 alami **)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 >5 < 20 < 0,5 < 0,01 <1 < 0,002 <1 < 0.001 < 0,005 < 0,012 < 0,001 < 0,008 < 0,008 < 0,05 < 0,05 -
MPN/100 ml MPN/100 ml
< 1000
Rerata
Nilai Maksimum
Minimum
Rerata
Skor Maksimum
Minimum
Jumlah
alami 1.3 12.0 28.3
alami 2 16 28.4
alami 1 8 28.3
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
8.21 6.42 26.49
8.23 7.12 30.42
8.18 6.03 23.80
0 0 -6
0 0 -2
0 0 -2
0 0 -10
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
Tt 0.022 0.057 0.040 0.046
Tt 0.03 0.067 0.061 0.059
Tt 0.017 0.043 0.028 0.037
0 -6 -6 0 0
0 -2 -2 -2 -2
0 -2 -2 0 0
0 -10 -10 -2 -2
6.7
20
Tt
0
0
0
0 -34
TOTAL Keterangan:
*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
Tt: Tidak terdeteksi
68
Tabel 26 Rekapitulasi kondisi kualitas air laut di sekitar daerah industri dan di luar daerah industri di Kota Batam Kondisi kualitas air laut Parameter yang tidak Tota skor Keterangan memenuhi baku mutu (STORET) Di sekitar daerah industri/dekat industri Sei Beduk Kekeruhan, TSS, DO, -58 Tercemar berat BOD5, NH3-N, Zn dan Ni. (19 Januari 2001) Nongsa Kekeruhan, BOD5, Cu, Pb, -35 Tercemar berat Zn dan Ni. (6 Mei 2003) -30 Lubuk Baja dan Cu, Cd TSS, kecerahan, Tercemar sedang Batu Ampar dan kekeruhan. (Nopember 2002) Kecamatan
Kebauan, kekeruhan, TSS, DO, BOD5, NH3-N, Sulfida, minyak dan lemak, deterjen, Cu, Pb dan Zn Sekupang dan Cu, Cd, Pb, TSS, Belakang Padang kecerahan dan kekeruhan. Kekeruhan, DO, BOD5, NH3-N, Cu, Pb dan Zn Di luar daerah industri Bulang Kekeruhan, TSS, pH, DO, BOD5, Cr, Cu, Pb, Zn dan total coliform. Galang BOD5, Cu, Pb, Zn dan Ni
-69
Tercemar berat (April/Mei 2003)
-64
Tercemar berat (Nopember 2002)
-40
Tercemar berat (April/Mei 2003)
-55
Tercemar berat (14 Maret 2001)
-34
Tercemar berat (3 Mei 2003)
Berdasarkan Tabel 26 terlihat bahwa kondisi kualitas air pada seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam dalam keadaan tercemar dan sebagian besar dalam keadaan tercemar berat, baik yang ada di sekitar daerah industri maupun yang jauh atau di luar daerah industri.
Keadaan seperti ini dapat
dikatakan bahwa polutan yang berasal dari pembuangan limbah industri dan aktivitas lainnya mengalami distribusi secara horisontal ke berbagai wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam. Terjadinya distribusi polutan ini ke berbagai wilayah perairan di Kota Batam diduga karena adanya pengaruh arus air laut yang bergerak dari satu arah menuju ke arah lainnya sesuai dengan musim yang ada.
69
Berdasarkan pada parameter-parameter yang tidak memenuhi baku mutu maka secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa hanya perairan laut di wilayah Kecamatan Galang yang masih terlihat jernih yang ditunjukan oleh nilai kecerahan perairan yang masih tinggi, tetapi pada wilayah lainnya terjadi sebaliknya, yakni tingkat kekeruhannya tinggi. Seluruh wilayah perairan pantai Kota Batam terlihat tercemar oleh logam berat.
Beberapa logam berat yang
diperoleh telah melampaui baku mutu adalah Cu, Cd, Cr, Pb, Ni dan Zn, bahkan seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam telah tercemar oleh Zn, sedangkan Cu dan Pb telah mencemari sebagian besar wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam selain wilayah perairan di Kecamatan Se Beduk. Demikian halnya dengan BOD5, yang dijumpai pada seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam dalam keadaan sudah tidak memenuhi baku mutu.
Sampel Biologi Dua ikan laut yang biasa disajikan sebagai makanan dari laut (seafood) di Batam, yaitu ikan Dingkis (Siganus canaliculatus P). dan Sotong (Sepia spp.), ditemukan mengandung logam berat Hg, Cd, dan Zn seperti terlihat dalam Tabel 27. Kandungan logam berat pada kedua ikan tersebut hampir sama, yaitu Hg sekitar 0.010 ppm, Cd kurang lebih 0.4 ppm dan Zn sekitar 3.15 ppm.
Tabel 27 Kandungan rata-rata logam berat pada dua organisme laut di Batam Parameter
Stasiun 1
Dingkis (Siganus canaliculatus P.) - Hg (mg/kg) 0.01140 - Cd (mg/kg) 0.30 - Zn (mg/kg) 4.07 Sotong (Sepia spp.) - Hg (mg/kg) 0.00807 - Cd (mg/kg) 0.57 - Zn (mg/kg) 2.74 Sumber: Patnowati (1996).
2
3
4
5
Rerata
0.01203 0.63 4.20
0.01221 0.59 3.65
0.01209 0.42 2.81
0.00668 0.13 0.98
0.01088 0.41 3.14
0.00827 0.44 6.21
0.00827 0.57 3.92
0.00813 0.30 2.60
0.00397 0.09 0.29
0.00734 0.39 3.15
70
Kondisi Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Kota Batam Ekosistem Pesisir Di pesisir Kota Batam dijumpai beberapa ekosistem, yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Namun demikian, data ekosistem pesisir yang tersedia sampai dengan saat ini adalah data yang berasal dari beberapa tahun yang lalu. Padahal dengan pesatnya pembangunan di Kota Batam, data tersebut barangkali sudah tidak akurat lagi. Sebagai contoh, semakin lama banyak hutan mangrove yang ditebang untuk kepentingan industri, permukiman serta keperluan lainnya. Untuk melengkapi data tersebut maka dilakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian pada bulan Mei 2003.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove di Kota Batam dijumpai di pesisir dan pulau-pulau kecil (Gambar 9).
Kondisi hutan mangrove terutama di Pulau Batam banyak
mengalami kerusakan, yang pada umumnya disebabkan oleh adanya konversi lahan, seperti adanya pembukaan lahan untuk kegiatan industri, permukiman, perkantoran dan pertokoan. Secara lebih jelas kegiatan konversi Hutan mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau.
Dari beberapa istilah tadi, sebutan hutan
mangrove atau hutan bakau yang paling sering dipakai. Istilah bakau sendiri sebenarnya berasal dari nama salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan mangrove, yaitu jenis Bakau-bakau (Rhizopora spp). Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kesalahan penafsiran maka hutan mangrove ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest. Hutan mangrove merupakan bentuk hutan tropis yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai terutama di wilayah pesisir yang terlindung dari hantaman ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur.
71
Gambar 9 Distribusi mangrove di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
72
Hutan mangrove dengan kemampuannya melakukan proses kimia dan pemulihan (self purification) memiliki beberapa fungsi, yaitu: a. Sebagai penyerap bahan pencemar. Mangrove yang tumbuh di sekitar pusat permukiman dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik. b. Sebagai sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya.
Ketersediaan
berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah menjadikan ekosistem ini sebagai sumber energi bagi berbagai jenis biota yang hidup di dalamnya, seperti plankton, ikan, udang, kepiting, burung, kera dan lain-lain, serta telah membentuk rantai makanan yang sangat komplek, sehingga terjadi pengalihan energi dari jenjang trofik yang paling rendah ke jenjang trofik yang lebih tinggi. c. Sebagai penyedia bahan organik bagi lingkungan perairan sekitarnya. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus, dimana partikel-partikel detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut. Selain itu, bahan organik terlarut yang dihasilkan dari proses penguraian (dekomposisi) di hutan mangrove juga memasuki lingkungan perairan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (organisme yang cara makannya dengan menyaring air) yang ada di laut dan estuari serta berbagai macam hewan pemakan hewan dasar (Snedaker dan Getter, 1985).
Nontji (1987) menyebutkan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terma (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Dahuri et al. (1996) mengemukakan beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia di antaranya adalah bakau (Rhizopora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang (Brugeira spp), nyirih (Xylocarpus spp), tengar (Ceriops spp), dan buta-buta (Exoecaria spp). Hutan mangrove di daerah pesisir Batam dapat ditemui pada beberapa tempat.
Namun demikian, pada
beberapa kawasan telah banyak mengalami kerusakan akibat berbagai aktivitas
73
pembangunan,
seperti
reklamasi
(pengurugan)
kawasan
pantai
untuk
pembangunan gudang/pelabuhan, kawasan industri, permukiman dan sebagainya. Eksploitasi dan reklamasi kawasan mangrove di Pulau Batam dilakukan secara terus-menerus dalam hamparan yang luas.
Apabila kondisi ini tidak segera
diantisipasi dan diambil langkah-langkah pencegahan dan penanggulangannya maka dampaknya akan mengancam kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam yang ada khususnya sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan laut Kota Batam. Berdasarkan pengolahan data atau modifikasi Citra Landsat TM tahun 1996 diperoleh luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 adalah sekitar 19 798.41 hektar atau 197.98 km2, yang tersebar di pesisir dan pulau-pulau yang ada di Kota Batam (Tabel 28). Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada tahun 1996 luasan mangrove terbesar terdapat pada wilayah pesisir di Kecamatan Galang sebesar 6 222.31 hektar dan terkecil terdapat di Kecamatan Lubuk Baja, yaitu 70.73 hektar. Apabila dipadukan dengan wilayah administrasi Kota Batam yang luasnya sekitar 1 570.35 km2 maka mangrove menutupi wilayah Kota Batam sekitar 12.61% terutama di bagian pesisir dan pualau-pulau kecil.
Tabel 28 Penyebaran dan luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 Kecamatan 1. Batu Ampar 2. Belakang Padang 3. Bulang 4. Galang 5. Lubuk Baja 6. Nongsa 7. Sei Beduk 8. Sekupang Jumlah
Luasan (Hektar) 384.85 2 365.35 5 141.97 6 222.31 70.73 1 616.35 2 826.11 1 170.74 19 798.41
Dari hasil kajian PKSPL-IPB (2001) disebutkan bahwa kondisi hutan mangrove di Kota Batam dijumpai di Barelang (Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang) relatif tipis. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar kawasan mangrove dibuka dan dikonversi karena aktivitas pembangunan, kecuali di beberapa tempat seperti di Rempang dan Galang, kondisi hutan mangrove agak
74
lebih baik. Dari kajian ini, hutan mangrove di Barelang memiliki kerapatan 425 batang/hektar, ketebalannya 5-150 meter dan luasnya sekitar 18 033.52 hektar. Berdasarkan data tahun 2002, tercatat luasan mangrove di Kota Batam sebesar 131 065 381 m2 atau 13 106.54 hektar (Bapedal Kota Batam, 2002), yang secara rinci disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Luasan mangrove pada masing-masing pulau di Kota Batam tahun 2002 No. 1.
2.
3.
Wilayah PULAU BATAM a Patam - Tiban Utara b Sekitar Tanjung Lamun (Tj. Lamun) c Kampung Belian - Bakau Serip Pantai d Tj. Kasem - Dam Duriangkang e Dam Duriangkang - Tanjung Piayu f Tanjung Piayu - Tanjung Gundap g Tanjung Gundap - Depan P.Buluh Sub Total PULAU-PULAU DI SEKITAR PULAU BATAM a P.Kasem b Tanjung Sauh. c P.Kubang d P.Traling e P.Satinggae f P.Sakerah g P.Ngenang h P.Momoi I P.Asah Kecil j P.Dongsi k P.Lembu Sub Total PULAU REMPANG a Tj.Tjolim - Tj.Klingking b Tj.Klingking -Tj.Tamiang c Tj.Tamiang -Tj.Korepa d Tj.Korepa - Tj.Gondon e Tj.Gondon - Tj.Takong f Tj.Takon - Tj.Tjolim Sub Total
Perkiraan Luas (m2) 2 365 385 1 511 538 3 300 000 1 500 000 3 369 231 7 730 769 4 153 846 23 930 769 1 061 538 3 715 385 773 077 1 176 923 657 692 1 269 231 4 615 385 1 384 615 553 846 980 769 634 615 16 823 076 2 942 308 8 030 769 1 615 385 1 730 769 519 231 11 365 385 26 203 847
75
Tabel 29 (Lanjutan) No. 4.
5.
6.
7.
Wilayah Perkiraan Luas (m2) PULAU-PULAU DI SEKITAR PULAU REMPANG a P.Asah Kecil 576 923 b P.Asah Besar 830 769 c P.Nipah 865 385 d P.Anak Mati 807 692 e P.Awi 1 384 615 f P.Panjang 946 154 g P.Setoko 3 692 308 h P.Panjait Layar 2 307 692 I P.Sekikir 865 385 j P.Kaloh 1 234 615 k. P. Airraja 1 153 846 l P.Subangmas 3 403 846 m P.Kinun 2 711 538 n P.Jangka 1 903 846 o P.Kra 519 231 p P.Prabas 461 538 Sub Total 23 665 383 PULAU GALANG a Tj.Semandur - Tj.Malan 865 385 b Tj.Malan - Tj.Maralagan 3 115 385 c Tj.Maralagan - Tj.Pinau 692 308 d Tj.Pinau - Tj.Pungape 1 730 769 e Tj.Pungape - Tj.Semandur 8 307 692 Sub Total 14 711 539 PULAU - PULAU DI SEKITAR PULAU GALANG a P.Sunkit 576 923 b P.Mubut Darat 634 615 c P.Mubut Laut 750 000 d P. Karas Besar 3 634 615 e Pulau Galang Baru 9 807 692 Sub Total 15 403 845 PULAU - PULAU DI SEKITAR GALANG BARU a P.Tj.Dahan 2 076 923 b P.Korek Rapat 230 769 c P.Batubelobang 2 134 615 d P.Sembur 2 076 923 e P.Ngual 1 846 154 f P.Trajil Besar 576 923 g P.Trajil Kecil 230 769 h P.Dempo 1 153 846 Sub Total 10 326 922
LUAS TOTAL Sumber : Bapedal Kota Batam (2002)
131 065 381
76
Dengan membandingkan antara data luas mangrove berdasarkan data tahun 1996, 2001 dan tahun 2002 maka antara tahun 1996 sampai 2001 diduga telah terjadi pengurangan luasan mangrove sekitar 1 764.89 hektar dan antara 2001 sampai 2002 terjadi pengurangan luasan mangrove sekitar 4 926.98 hektar. Hal ini terjadi karena banyaknya aktivitas pengembangan pembangunan di Kota Batam yang dilakukan dengan cara melakukan konversi kawasan mangrove menjadi peruntukkan lainnya, baik untuk pengembangan industri, permukiman, pertokoan, perkantoran dan lain-lain. Konversi lahan mangrove ini dipicu oleh berkembangnya wilayah ini sebagai kawasan industri sehingga menyebabkan kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan menjadi terus meningkat. Berdasarkan studi terdahulu yang dilakukan PERTAMINA (2002), pengamatan terhadap mangrove ini dilakukan di wilayah Kecamatan Belakang Padang (Pulau Lengkana, Pulau Tolup, Pulau Dendang, Pulau Sekanak, Pulau Belakang Padang, Pulau Anak Ladang, Pulau Air Asam, Pulau Terumbu Lebar, Pulau Jagung, Pulau Leroi/Lengkang Besar, Pulau Layang Besar dan Pulau Mecan Besar); Kecamatan Sekupang (Pulau Janda Berias, pantai Tanjung Pinggir, Pulau Dangas, pantai Patam Lestari, muara sungai Tiban dan pantai selatan Pulau Bokur); Kecamatan Lubuk Baja (pantai tenggara Tanjung Uma); Kecamatan Batu Ampar (pantai selatan Tanjung Sengkuang, pantai barat Tanjung Buntung, pantai barat laut Tanjung Lamun dan pantai selatan Tanjung Lamun). Dari hasil studi tersebut dijelaskan bahwa formasi mangrove di gugusan pulau-pulau kecil di Belakang Padang umumnya adalah zonasi Rhizophora dengan Sonneratia pada bagian depan (arah laut), kemudian zonasi yang terdiri dari campuran vegetasi mangrove.
Zonasi mangove di pantai Pulau Batam,
terdepan terdiri dari dua bagian dimana bagian pertama merupakan zonasi Rhizophora dengan Sonneratia dan yang kedua adalah Rhizophora dengan Avicennia.
Ketebalan formasi dari seluruh hutan mangrove pada umumnya
sekitar 10-100 m. Diameter batang untuk semua jenis mangrove tingkat anakan rata-rata adalah sekitar 3-4 cm, sedangkan untuk tingkat pohon relatif bervariasi, misalnya jenis Rhizophora, Avicennia dan Xylocarpus rata-rata sekitar 6-8 cm serta 8-20 cm untuk diameter jenis Sonneratia. Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di daerah ini diantaranya meliputi Achantus ilicifolius, Avicennia sp.,
77
Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflor, Ceriops sp., Derris heterophylla, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba dan Xylocarpus granatum. Data primer mangrove diperoleh melalui pengamatan langsung yang dilakukan di lokasi penelitian seperti disajikan dalam Tabel 30. Stasiun pengamatan untuk pengumpulan data pimer mangrove diambil di bagian utara dan bagian selatan Kota Batam. Stasiun pengamatan di bagian utara dilakukan di Kecamatan Lubuk Baja, yaitu daerah Tanjung Uma (Baloi). Di bagian selatan pengamatan dilakukan di 2 (dua) wilayah kecamatan, yaitu di Kecamatan Sei Beduk tepatnya di daerah Dapur 12 (dua belas) dan Pancur (Tanjung Piayu) serta di Kecamatan Galang, yaitu daerah sekitar jembatan pertama. Dari pengamatan yang dilakukan di bagian selatan Kota Batam, berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 maka mangrove di dua stasiun pengamatan bila dilihat dari kerapatannya termasuk dalam kondisi baik. Kerapatan mangrove di lokasi ini lebih dari 1 500 individu/hektar atau dikatakan status mutunya pada tingkatan baik. Namun demikian, untuk menarik kesimpulan tentang keadaan mangrove di lokasi ini dalam keadaan baik atau rusak perlu dilengkapi dengan data persentase penutupan, tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan. Selanjutnya dijabarkan kondisi mangrove di stasiun pengamatan yang dilakukan di bagian selatan Kota Batam seperti disajikan dalam uraian berikut.
78
Tabel 30 Jenis-jenis mangrove yang ditemukan dan kerapatannya tahun 2003 Lokasi
Jenis Mangrove
Di
RDi
Fi
RFi
1. Rhizophora sp 2. Avicennia sp 3. Xylocarpus granatum 4. Sonneratia sp 5. Ceriops tagal 6. Aegiceras corniculatum Jumlah 1. Rhizophora sp 2. Avicennia sp Jumlah
1 600 1 350 167 217 67 17 3 418 9 450 400 9 850
46.83 39.51 4.88 6.34 1.95 0.49
0.67 0.83 0.50 0.50 0.17 0.17
23.53 29.41 17.65 17.65 5.88 5.88
95.94 4.06
1 1
50 50
1. Rhizophora sp 2. Sonneratia sp 3. Bruguiera sp 4. Xylocarpus granatum 5. Ceriops tagal Jumlah
3 750 300 200 150 50 4 450
84.27 6.74 4.49 3.37 1.12
1 1 0.50 0.50 0.50
28.57 28.57 14.29 14.29 14.29
1. Rhizophora sp 2. Bruguiera sp 3. Ceriops tagal Jumlah
2 000 600 200 2 800
71.43 21.43 7.14
1 1 1
33.33 33.33 33.33
BAGIAN SELATAN
1. Kec. Sei Beduk - Dapur 12
- Pancur (Tanjung Piayu) 2. Kec. Galang - Jembatan 1
BAGIAN UTARA
Kec. Lubuk Baja - Tanjung Uma (Baloi)
Keterangan : Di : Kerapatan suatu jenis atau Density (individu/hektar) RDi : Kerapatan Relatif atau Relative Density (%). Fi : Frekuensi suatu jenis (Frequency) RFi : Frekuensi relatif atau Relative Frequency (%)
Kondisi mangrove di Kecamatan Sei Beduk a. Di Dapur 12 terdapat jenis mangrove Rhizophora sp. dengan frekuensi ditemukannya jenis ini sebesar 0.67. Jenis ini paling banyak ditemukan atau mendominasi keberadaannya sebesar 46,83% dan selanjutnya diikuti oleh jenis Avicennia sp. sebesar 39.51%, sedangkan jenis-jenis mangrove yang lainnya sangat kecil persentasenya. Jenis mangrove yang ditemukan di lokasi ini ada 6 (enam) jenis, yaitu Rhizophora sp., Avicennia sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia sp., Ceriops tagal dan Aegiceras corniculatum. Berdasarkan English et al. (1994), ekosistem mangrove di daerah ini termasuk dalam kategori cukup beragam (kriteria cukup beragam bila ditemukan: 4-7 jenis). Kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi, yaitu
79
sebesar 3 418 individu/hektar (kriteria tinggi bila kerapatannya lebih besar dari 1 500 pohon/hektar atau 15 pohon/m2). Mangrove di daerah ini oleh penduduk sekitar dimanfaatkan kayunya untuk kebutuhan hidup mereka. b. Pada stasiun pengamatan di daerah Pancur (Tanjung Piayu), jenis Rhizophora sp sangat mendominasi. Hal ini dapat dilihat dari kerapatan relatifnya, yaitu sebesar 95.94%. Mangrove jenis ini umumnya tumbuh sangat subur, dengan diameter batangnya mencapai 20 cm dengan ketinggian mencapai kurang lebih 15 meter. Diduga inilah sebabnya mengapa jenis ini sangat dominan yang mengakibatkan jenis lain sulit untuk tumbuh dan bersaing. Jenis lain yang ditemukan hanya mangrove dari jenis Avicennia sp., tetapi jumlahnya relatif kecil dengan kerapatan relatifnya 4.06%. Di lokasi ini hanya dijumpai 2 (dua) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp dan Avicennia sp. Menurut English et al. (1994), keragaman mangrove di daerah ini tergolong rendah atau kurang beragam (kriteria kurang beragam bila ditemukan sampai dengan 3 jenis atau kurang dari 4 jenis). Kerapatan vegetasi mangrovenya termasuk tinggi karena ditemukan sebanyak 9 850 individu/hektar.
Kondisi mangrove di Kecamatan Galang
Di lokasi jembatan pertama, jenis paling banyak ditemukan adalah Rhizophora sp. dengan kerapatan relatif sebesar 84.27%, sedangkan jenis-jenis mangrove yang lainnya relatif sangat kecil persentasenya. Di lokasi ini ditemukan 5 (lima) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia sp., Bruguiera sp., Ceriops tagal dan Aegiceras corniculatum.
Berdasarkan
English et al. (1994), ekosistem mangrove di daerah ini termasuk dalam kategori cukup beragam. Kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi, yaitu sebesar 4 450 individu/hektar. Aktivitas masyarakat di sini memanfaatkan daratan yang ada vegetasi mangrovenya dijadikan sebagai lahan pertanian.
80
Kondisi mangrove pada lokasi pengamatan di bagian utara Kota Batam adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Kondisi mangrove di Kecamatan Lubuk Baja
Pada lokasi pengamatan mangrove di daerah Tanjung Uma (Baloi), jenis mangrove Rhizophora sp. merupakan jenis yang paling banyak ditemukan atau mendominasi keberadaannya dengan kerapatan relatif sebesar 71.43%, sedangkan jenis-jenis mangrove yang lainnya relatif kecil persentasenya. Menurut English et al. (1994), kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi karena kerapatannya lebih besar dari 1 500 pohon/hektar atau 15 pohon/m2, yaitu sebesar 2 800 individu/hektar. Keragaman mangrove di daerah ini tergolong rendah atau kurang beragam karena ditemukan kurang dari 4 jenis mangrove. Berdasarkan hasil pengamatan hanya ditemukan 3 (tiga) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan Ceriops tagal. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 maka mangrove di lokasi pengamatan yang dilakukan di bagian utara Kota Batam, jika dilihat dari kerapatannya termasuk dalam kondisi baik atau dikatakan status mutunya pada tingkatan baik karena kerapatannya di atas 1 500 individu/hektar.
Namun
demikian, untuk menarik kesimpulan tentang keadaan mangrove di lokasi ini dalam keadaan baik atau rusak perlu dilengkapi dengan data persentase penutupan, tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat pengamatan kondisi lingkungan di daerah ini sangat parah karena mengalami tekanan ekologis yang cukup tinggi. Rusaknya ekosistem mangrove di daerah ini disebabkan oleh kegiatan manusia, diantaranya pembangunan permukiman, perkantoran dan pengembangan industri.
Bahkan pada saat
dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai adanya kegiatan konversi kawasan mangrove yang akan dialih-fungsikan sebagai lokasi baru pengembangan sebuah universitas yang ada di Kota Batam.
Di samping itu
dijumpai juga adanya kegiatan reklamasi yang dilakukan secara besar-besaran dengan mengkonversi kawasan mangrove menjadi peruntukkan lainnya. Kejadian ini ditemukan di wilayah Kecamatan Nongsa yang berbatasan dengan Kecamatan
81
Lubuk Baja (sekitar Batam Center). Kerusakan mangrove di daerah ini juga disebabkan oleh adanya buangan limbah dari aktivitas industri. Berdasarkan kondisi riil yang terjadi pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dapat dijelaskan bahwa kondisi mangrove di Kota Batam pada umumnya mengalami tekanan akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas yang banyak merusak kawasan mangrove adalah adanya alih fungsi (konversi) kawasan mangrove dan reklamasi wilayah pesisir Kota Batam yang sebagian besar terjadi seabagai dampak dari pengembangan industri di daerah ini. Kerusakan tersebut terutama dijumpai di Batam bagian utara yang dalam penelitian ini diwakili daerah Tanjung Uma. Di bagian selatan Batam, kondisi mangrovenya relatif masih lebih baik, terutama mangrove yang berada pada sebagian besar wilayah pesisir Kecamatan Galang. Ditinjau dari struktur dan komunitas vegetasinya, kondisi mangrove di Batam bagian selatan (Pulau Rempang dan Galang) masih cukup baik, yang ditunjukkan oleh kerapatan pohon dan jumlah jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Di samping itu, habitat mangrove di kawasan ini cukup ideal bagi habitat burung air, seperti burung kuntul kerbau yang banyak dijumpai pada paparan lumpur dan mangrove. Kondisi substrat mangrove dominan berupa lumpur dan pasir berlumpur karena materi (sedimen) pembentuknya dibawa oleh sungai yang mengalir menuju kawasan mangrove. Sebaliknya, di Pulau Batam, kondisi hutan mangrove sudah banyak rusak akibat dilakukannya penebangan secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan terutama untuk kawasan industri yang berkembang dengan sangat cepat di daerah ini. Masyarakat di sekitar wilayah pesisir Kota Batam telah mulai memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar serta sebagian kawasan mangrove dirubah menjadi kawasan permukiman dan peruntukan lainnya. Di samping itu penduduk di dearah ini memanfaatkan wilayah pesisir untuk membuang sampah rumah tangga. PKSPL-IPB (2002) menyebutkan bahwa mangrove di Barelang (Batam, Rempang dan Galang) menghasilkan manfaat lain berupa ikan dengan volume hasil tangkapan sekitar 7 396 ton pada tahun 2002.
Di samping ikan, pada
kawasan mangrove di daerah ini ditemukan 5 spesies reptil dan 18 spesies burung.
82
Terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Banyak biota yang hidup di terumbu karang merupakan sumberdaya perikanan dan sumber makanan dalam rantai makanan pada ekosistem tersebut. Karena itu keberdaan terumbu karang yang terdapat di Kota Batam akan mendukung kelangsungan kegiatan perikanan, baik sebagai habitat berbagai jenis ikan, sumber makanan bagi ikan dan lain sebagainya. Komponen utama dalam ekosistem terumbu karang ini adalah lingkungan perairan dimana terumbu karang tersebut berada. Bila kualitas perairannya baik dan menunjang kehidupan terumbu karang maka terumbu karang akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Namun sebaliknya, bila kualitas perairannya tidak baik maka pertumbuhan terumbu karang akan terhambat bahkan mati. COREMAP RIAU (1996) mencatat bahwa perairan Galang memiliki terumbu karang seluas 1 313.5 hektar. Sementara berdasarkan pengolahan dari data PRC (1998) diperoleh luas terumbu karang sebagai berikut: 3 565.21 hektar di Batam, 1 179.47 hektar di Rempang dan di Setoko dijumpai 281.46 hektar. Wilayah Barelang yang bergaris pantai 473 km juga memiliki potensi biodiversity yang cukup besar dan potensi ini tersimpan dalam ekosistem terumbu karang yang mencapai luas 6 340.64 hektar. Walaupun luasan ini sebagian merupakan turunan dari peta dasar dan panjang garis pantai dan tidak ada kualifikasi kualitas ekosistemnya, namun dapat menunjukkan potensi besar yang dimiliki oleh perairan di sekitar terumbu karang Barelang.
Luasan terumbu karang pada
masing-masing daerah disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Luas terumbu karang di Barelang, 1998 No Lokasi Panjang Garis Pantai (km) 1 Batam 266 2 Rempang 88 3 Setoko 21 4 Galang 98 473 Total Sumber :
1)
Luas Coral Reef (ha) 3 565.212) 1 179.472) 281.462) 1 313.501) 6 339.64
COREMAP RIAU (1996) dan 2) Diolah dari data PRC (1998)
83
PRC (1998) menyebutkan bahwa terumbu karang di Barelang umumnya merupakan karang tepi (fringing reef) yang terdapat pada pita sempit sekeliling batas pulau-pulau karang. Sebagian besar pulau-pulau di Barelang mempunyai beberapa tepi (fringing) karang.
Pesisir Barelang yang keruh menyebabkan
terumbu karang menjadi stres karena sedimentasi yang sangat dimungkinkan diakibatkan oleh alam dan manusia. Karang di Batam mungkin baru berkembang sejak 6 000 tahun terakhir sewaktu jaman es yang terakhir, dimana permukaan laut tetap pada permukaan arusnya. Selain itu, PRC (1998) juga menyebutkan bahwa perkembangan terumbu karang di Barelang lebih banyak terjadi di sepanjang pantai Barat pulau-pulau besar dan kelihatan seperti potongan-potongan berselang seling dari tepi karang. Terumbu karang membentuk pita sempit (di beberapa tempat mempunyai lebar bervariasi antara 15 hingga 30 meter) di seputar pulau-pulau.
Kedalaman
maksimal dari terumbu karang di sebagian daerah tersebut adalah 6 meter sampai 8 meter. Keturunan dari terumbu karang bercangkang keras terlihat di Barelang termasuk Euphyllia, Goniopora, Porites, Acropora, Fungia, Goniastrea, Favia, Platgyra dan lain sebagainya.
Keturunan dari kerang lunak yang ditemui
termasuk Sarcophyton dan Sinularia. Secara umum distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 10, yang merupakan hasil analisis data Citra Landsat tahun 1998.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa potensi
penyebaran terumbu karang berada di sekitar pesisir dan pulau-pulau di Kota Batam, seperti di wilayah perairan Kecamatan Nongsa, Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Lubuk Baja, Kecamatan Sekupang, Kecamatan Belakang Padang dan Kecamatan Galang.
84
Gambar 10 Distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
85
PERTAMINA Conoco (1998) dan PRC (1998) mengemukakan bahwa secara umum kondisi terumbu karang di daerah pengamatan dalam kondisi rusak (sedang), baik sampai baik sekali dengan persentase penutupan karang hidup antara 48% - 100% (Tabel 32). Saat pengamatan dilakukan visibility (kecerahan) horizontal di kedalaman sekitar 6 meter, dimana terumbu karang ini umumnya tumbuh, maksimum hanya 10 meter.
Kondisi perairan saat pengamatan
berlangsung kurang baik karena tingginya konsentrasi partikel terlarut, sehingga menghalangi pandangan.
Di sisi lain kondisi demikian dapat menghalangi
penetrasi sinar matahari. Bila hal ini terus-menerus terjadi akan berakibat buruk pada terumbu karang. Partikel-pertikel tersebut akan turun dan menutupi polippolip terumbu karang, bila hal ini terjadi maka tidak mustahil kematian terumbu karang akan terjadi. Tabel 32 Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan perairan Barelang, 1998 Persen Penutupan Lokasi No. Karang Hidup (%) Kriteria *** 1. Tanjung Sengkuang 70.70* baik 2. P. Lengkana 96.90* baik sekali
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Nongsa (timur P. Putri) Nongsa (barat P. Putri) P. Sambu Besar P. Sambu Kecil P. Dempo Tg. Tjakang (Galang Baru) Karang E. (dekat Galang Baru) P. Setoko P. Babi P. Nginang Karang 8 (dekat Kabil, Batam)
77.30* 95.67* 100.00* 68.82* 74.00** 67.00** 66.00**
baik sekali baik sekali baik sekali baik baik baik baik
48.00** 64.00** 69.00** 71.00**
rusak (sedang) baik baik baik
Sumber: *Pertamina Conoco (1998); **PRC (1998); *** Berdasarkan KEPMEN LH
Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) PERTAMINA (2002) menyebutkan bahwa persentase tutupan karang berkisar antara 0-28 % dengan tipe terumbu karangnya adalah fringing reefs diperoleh dari hasil pengamatan di sekitar Belakang Padang dan Pulau Batam
86
(Pulau Mecan, Pulau Kapal Besar, Pulau Layang, Pulau Bekajang, Pulau Mimpi, Pulau Lengkang, Pulau Lengkana, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, Pulau Sekilak, Pulau Dongas, Pulau Bokur, pantai Tanjung Uma, pantai Batu Merah dan pantai Tanjung Sengkuang). Hal ini berarti bahwa kondisi terumbu karang di lokasi tersebut status mutunya termasuk dalam kategori rusak (buruk sampai sedang). Untuk mengetahui kondisi pada saat penelitian maka dilakukan pengamatan langsung di beberapa lokasi penelitian pada kedalaman perairan laut 3 meter dan 10 meter. Di setiap lokasi dilakukan pengamatan pada 3 (tiga) satsiun (Ss1-Ss3) pada kedalaman perairan 3 meter dan 10 meter, yang dilakukan di wilayah perairan laut Kota Batam di bagian selatan, timur dan barat. Berdasarkan Tabel 33, persentase tutupan karang hidup dari pengamatan langsung yang dilakukan pada kedalaman perairan 3 meter terlihat bahwa terumbu karang di lokasi ini dalam keadaan rusak (sedang) sampai baik sekali dengan persentase tutupan karang hidup antara 44.1% - 76.3%. Secara lebih terinci dijelaskan dalam uraian berikut.
Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam (kedalaman 3 meter) Pengamatan langsung kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam dilakukan di Kecamatan Galang, yaitu pada 4 (empat) lokasi meliputi sebelah utara, sebelah timur, sebelah selatan dan sebelah barat-daya Pulau Abang Kecil. Pada sebagian besar stasiun pengamatan persentase tutupan karang hidup termasuk baik sampai baik sekali dan hanya pada satu stasiun saja ditemukan dalam kriteria rusak (sedang), yaitu pada Ss2 di sebelah timur Pulau Abang Kecil dengan persentase tutupan karang hidup 44.1%.
Berdasarkan KEPMEN LH
Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Galang status mutunya berada pada tingkatan baik dan hanya pada satu stasiun saja status mutunya berada pada tingkatan rusak, yaitu pada Ss2 di sebelah timur Pulau Abang Kecil, yang diduga kerusakannya disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan atau karena digunakan untuk penambatan jangkar perahu nelayan.
87
Tabel 33 Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003
Ss 1
Tutupan karang hidup (%) 69.9
Ss 2
76.3
baik sekali
Ss 3
53.6
baik
Ss 1
66.2
baik
Ss 2
44.1
sedang
Ss 3
75.0
baik sekali
Ss 1
71.2
baik
Ss 2
66.9
baik
Ss 3
66.4
baik
Ss 1
69.9
baik
Ss 2
59.9
baik
Ss 3
62.7
baik
Ss 1
67.9
baik
Ss 2
66.6
baik
Ss 3
64.4
baik
Ss 1
60.6
baik
Ss 2
71.1
baik
2) Barat P. Ngenang
Ss 3
62.0
baik
BAGIAN BARAT
Ss 1
52.3
baik
Ss 2
58.1
baik
Ss 3
46.9
sedang
Ss 1
51.4
baik
Ss 2
57.0
baik
Ss 3
54.3
baik
Tempat BAGIAN SELATAN Kec. Galang 1) Utara P. Abang Kecil
2) Timur P. Abang Kecil
3) Selatan P. Abang Kecil
4) Barat-Daya P. Abang Kecil BAGIAN TIMUR Kec. Nongsa 1) Selatan P. Ngenang
Kec. Belakang Padang 1) Selatan P. Lengkang
2) Timur P. Lengkang
Stasiun
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang *) baik
Keterangan: *) Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001)
88
Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam (kedalaman 3 meter) Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam yang dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Nongsa, yaitu sebelah barat Pulau Ngenang dan selatan Pulau Ngenang/Kubung. Persentase tutupan karang hidup pada seluruh stasiun pengamatan termasuk baik. Menurut
KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001
(KLH, 2001), kondisi terumbu karang di seluruh stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Nongsa dikatakan memiliki status mutu yang berada pada tingkatan baik.
Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam (kedalaman 3 meter) Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Belakang Padang, yaitu disebelah timur dan selatan Pulau Lengkang.
Persentase tutupan karang hidup pada sebagian besar stasiun
pengamatan termasuk baik dan hanya pada satu stasiun saja ditemukan dalam kriteria rusak (sedang), yaitu pada Ss3 di sebelah selatan Pulau Lengkang dengan persentase tutupan karang hidup 46.9%. Apabila mengacu pada KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Belakang Padang status mutunya berada pada tingkatan baik dan hanya pada satu stasiun saja status mutunya berada pada tingkatan rusak, yaitu pada Ss3 yang letaknya di sebelah selatan Pulau Lengkang. Penyebab kerusakan terumbu karang di daerah ini kemungkinan besar disebabkan oleh dampak dari kegiatan industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan, khususnya yang ada di Kecamatan Sekupang, Lubuk Baja dan Batu Ampar karena letaknya berdekatan dengan stasiun pengamatan di lokasi ini. Dari hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian terdapat beberapa industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan, seperti beberapa industri galangan kapal (shipyard), aktivitas Depo Pertamina Pulau Sambu-Kecamatan Belakang Padang dan lain-lain.
89
Sama halnya dengan pengamatan kondisi terumbu karang yang dilakukan pada kedalaman perairan 3 meter, pengamatan kondisi terumbu karang pada kedalaman perairan 10 meter juga dilakukan di bagian selatan, barat dan timur Kota Batam (Tabel 34). Berdasarkan Tabel 34, persentase tutupan karang hidup dari hasil pengamatan langsung yang dilakukan pada kedalaman perairan 10 meter menunjukkan bahwa terumbu karang di lokasi ini dalam keadaan rusak (buruk) sampai baik sekali dengan persentase tutupan karang hidup antara 22.2% - 95%. Secara lebih jelas dapat dilihat dari uraian berikut.
Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam (kedalaman 10 meter) Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam dilakukan di Kecamatan Galang, yaitu pada 4 (empat) lokasi, masing-masing di sebelah utara, sebelah timur, sebelah selatan dan sebelah barat-daya Pulau Abang Kecil.
Dari
12 stasiun pengamatan, pada 8 stasiun pengamatan persentase tutupan karang hidup termasuk baik sampai baik sekali dan pada 4 stasiun persentase tutupan karang hidup termasuk rusak (sedang sampai buruk). Terumbu karang dalam kondisi rusak (sedang) terjadi pada Ss1 (39.9%) dan Ss2 (37.1%) di utara Pulau Abang Kecil serta pada Ss2 (40.2%) di timur Pulau Abang Kecil, sedangkan terumbu karang dalam kondisi rusak (buruk) terjadi pada Ss3 (22.2%) di utara Pulau Abang Kecil. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan (8 stasiun), terumbu karang di Kecamatan Galang status mutunya berada pada tingkatan baik dan pada 4 stasiun lainnya status mutunya berada pada tingkatan rusak. Kerusakan terumbu karang di daerah ini diduga disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan atau juga karena penambatan jangkar perahu nelayan.
90
Tabel 34 Kondisi karang pada kedalaman perairan 10 meter tahun 2003 Tempat BAGIAN SELATAN
Stasiun Ss 1
Tutupan karang Kriteria Baku Kerusakan hidup Terumbu Karang *) (%) 39.9 sedang
Ss 2
37.1
sedang
Ss 3
22.2
buruk
Ss 1
95.0
baik sekali
Ss 2
40.2
sedang
Ss 3
53.4
baik
Ss 1
77.7
baik sekali
Ss 2
52.7
baik
Ss 3
79.5
baik sekali
Ss 1
52.3
baik
Ss 2
50.0
baik
4) Barat-Daya P. Abang Kecil
Ss 3
59.8
baik
BAGIAN TIMUR
Ss 1
32.6
sedang
Ss 2
40.8
Sedang
Ss 3
42.2
sedang
Ss 1
61.2
baik
Ss 2
45.0
sedang
Ss 3
42.3
sedang
Ss 1
37.8
sedang
Ss 2
47.2
sedang
Ss 3
53.8
baik
Ss 1
34.4
sedang
Ss 2
47.4
sedang
Ss 3
39.7
sedang
Kec. Galang 1) Utara P. Abang Kecil
2) Timur P. Abang Kecil
3) Selatan P. Abang Kecil
Kec. Nongsa 1) Selatan P. Ngenang 2) Barat P. Ngenang BAGIAN BARAT Kec. Belakang Padang 1) Selatan P. Lengkang
2) Timur P. Lengkang
Keterangan: *) Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001)
91
Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam (kedalaman 10 meter) Pengamatan kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Nongsa, yaitu sebelah barat Pulau Ngenang dan selatan Pulau Ngenang/Kubung. Dari hasil pengamatan terhadap persentase tutupan karang hidup pada sebagaian besar stasiun pengamatan pada umumnya termasuk rusak (sedang) dan hanya pada satu stasiun pengamatan saja ditemukan masih dalam kondisi baik, yaitu pada Ss1 (61.2%) di sebelah barat Pulau Ngenang. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001), kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Nongsa status mutunya berada pada tingkatan rusak. Diduga kerusakan terumbu karang di lokasi ini karena di sekitar stasiun pengamatan terdapat banyak industri, bahkan pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai di daerah Kabil-Kecamatan Nongsa terdapat beberapa industri sedang memperluas kawasannya dengan melakukan reklamasi pantai yang tentunya akan berdampak terhadap meningkatnya kekeruhan perairan serta menurunkan kualitas perairan laut di sekitarnya.
Turunnya kualitas perairan laut ini akan mengganngu
kelangsungan hidup terumbu karang di lokasi ini.
Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam kedalaman 10 meter) Pengamatan terhadap
terumbu karang di bagian barat Kota Batam
dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Belakang Padang, yaitu disebelah timur dan selatan Pulau Lengkang.
Hasil pengamatan terhadap persentase tutupan
karang hidup menunjukkan bahwa pada sebagaian besar stasiun pengamatan pada umumnya termasuk rusak (sedang) dan hanya pada satu stasiun pengamatan saja ditemukan masih dalam kondisi baik, yaitu pada Ss3 (53.8%) di sebelah selatan Pulau Lengkang. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Nongsa status mutunya berada pada tingkatan rusak.
Kerusakan
terumbu karang di daerah ini kemungkinan besar disebabkan oleh dampak dari kegiatan industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan.
Berdasarkan
92
pengamatan langsung, beberapa industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan di antaranya beberapa industri galangan kapal (Shipyard), pertamina dan lain-lain. Bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan di lokasi penelitian antara lain: Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT) dan Non Acropora yaitu: Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Mushroom (CMR), Coral Submassive (CS) dan Soft Coral (SC). Secara umum, karang mati yang menyusun substrat dasar perairan pada lokasi penelitian adalah karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Alga). Dead Coral with Alga (DCA) ini hampir ditemukan pada setiap substasiun pengamatan. Persentase penutupan DCA ini berkisar antara 12.6% - 41.3% pada kedalaman 3 meter dan 3% - 67.4% pada kedalaman 10 meter. Selain DCA, juga ditemukan patahan karang dengan penutupan yang bervariasi pada setiap substasiunnya. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pada lokasi pengamatan telah terjadi kerusakan karang yang berlangsung dalam waktu lama. Keberadaan terumbu karang secara nyata mendukung produksi perikanan laut di daerah tersebut (Tabel 35). Berdasarkan Tabel 35 terlihat bahwa jenis ikan karang memberikan kontribusi terbesar dalam volume maupun nilai, selanjutnya diikuti oleh udang dan moluska. Tabel 35
Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang, 1996
Lokasi Batam Sumber :
Udang Produksi Nilai (ton/th) (US$)
Ikan Karang Produksi Nilai (ton/th) (US$)
1 033.9 11 166 120 1 811.0 19 952 600 Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Riau (1996).
Moluska Produksi Nilai (ton/th) (US$) 360.0
864 000
93
Padang Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir, sering juga dijumpai di ekosistem terumbu karang. Lamun dapat membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh cahaya matahari dengan tingkat energi cahaya yang memadai bagi pertumbuhannya. Berlawanan dengan tumbuhan lain yang hidup terendam dalam laut (misalnya ganggang/alga laut), lamun mempunyai sirkulasi air yang baik. Air yang mengalir inilah yang menghantarkan zat-zat hara atau nutrien dan oksigen serta mengangkut hasil metabolisme lamun, seperti karbon dioksida (CO2) ke luar daerah padang lamun. Secara umum, semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal. Seperti halnya ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun juga merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif dan dapat terletak di sekitar hutan mangrove atau berada di antara ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ekosistem ini menyokong berbagai biota laut. Banyak jenis-jenis ikan, crustacea, teripang dan bivalva yang memanfaatkan padang lamun sebagai nursery ground dan feeding ground. Keanekaragaman jenis di padang lamun berkisar antara 292-10 644 individu/m2.
Dengan semacam batang yang menyerupai akar,
memanjang secara horizontal di dalam sedimen, lamun berperan menstabilkan sedimen dasar. Keberadaan lamun membuat sedimen yang tersuspensi cenderung berakumulasi dan terjebak di “daun” lamun. Sedimen ini terkadang mengandung bahan
organik
tinggi
yang
memberikan
kontribusi
terhadap
tingginya
produktivitas ekosistem padang lamun. Tingginya produktivitas inilah yang dapat menjadi daya tarik kedatangan ikan, penyu, hewan mamalia untuk mencari makan atau memijah. Bahkan beberapa jenis ikan tertentu menggunakan lamun sebagai tempat untuk menghindari predator.
Keberadaan lamun dapat memberikan
indikasi tentang sehat atau tidaknya ekosistem laut. Adanya tanda-tanda bila ekosistem ini mulai menghilang berarti ada masalah yang sedang terjadi di perairan tersebut (PERTAMINA, 2002).
94
Dalam keterangan lainnya, PERTAMINA (2002) menyebutkan bahwa produktifitas padang lamun sangat tergantung pada sejumlah faktor, yaitu salinitas, temperatur dan kekeruhan.
Padang lamun sangat sensitif terhadap
degradasi lingkungan akibat aktivitas pertanian, industri dan pencemaran limbah domestik.
Kegiatan yang paling potensial mengancam keberadaan ekosistem
padang lamun adalah penambangan pasir karena kegiatan ini bukan hanya menghancurkan secara langsung, tetapi juga tidak langsung melalui peningkatan kekeruhan air dan depososi sedimen yang berlebihan. Di Indonesia sedikitnya ada 7 marga dan 13 spesies lamun yang menempati daerah yang sangat luas, yaitu sekitar 30 000 km2.
Penyebaran
ekosistem padang lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Jenis-jenis lamun yang biasa dijumpai di perairan Indonesia di antaranya Halodule uninervis, Halodule pinifolio, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoriodes, Halophila beccari, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, dan Thalassia hemprichii (Hutomo, 1985). Analisis padang lamun di perairan Kota Batam dilakukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil-hasil studi sebelumnya dan litertur-literatur lainnya karena tidak dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Berikut disajikan distribusi lamun di pesisir Kota Batam dan sekitarnya seperti pada Gambar 11. PKSPL-IPB (2001) mencatat bahwa padang lamun di Kota Batam dijumpai di Barelang, yaitu di perairan pantai/laut di Belakang Padang, Batuaji, Nongsa, Batu Ampar, pantai timur Rempang dan pantai timur Galang. Jenis lamun yang ditemukan terdiri dari empat jenis, yaitu Halodule uninervis, Cymodocea
rotundata,
Cymodocea
serrulata,
dan
Enhalus
acoriodes.
Kondisinya termasuk jarang hingga sedang. Dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor: 200 Tahun 2004 maka berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa status padang lamun di daerah ini termasuk dalam kategori rusak.
Kondisi
demikian akan mempengaruhi fungsi padang lamun yang ada di perairan tersebut.
95
Gambar 11 Distribusi lamun (seagrass) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
96
Fungsi padang lamun di lingkungan pesisir adalah sebagai berikut: ♦ Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan dasar laut dan mengakibatkan kokoh tertanamnya lamun dalam dasar laut; ♦ Padang lamun berfungsi juga sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan; ♦ Padang lamun segar merupakan makanan ikan duyung (yang sebenarnya bukan sejenis ikan, melainkan hewan menyusui), penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan.
Padang lamun merupakan daerah penggembalaan
(grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut tersebut. Ikan laut lainnya dan udang tidak makan daun segar melainkan serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke perairan di sekitar padang lamun; ♦ Padang lamun merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran kecil) dan udang. Pada permukaan daun lamun, hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal) disebut perifiton, hewan-hewan renik dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di sekitar padang lamun; ♦ Banyak ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi larva-larva ini, padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhannya.
Dengan demikian, merusak padang
lamun berarti pula merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut. ♦ Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari; dan ♦ Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk. Misalnya samo-samo (Enhalus acoroides) oleh penduduk di Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan (Nontji, 1987). Berdasarkan keterangan yang diolah dari data PRC (1998) dan Riau Coastal Zone Local Management Planning (1999) diketahui bahwa di wilayah
97
pesisir Barelang terdapat total lamun seluas 5 758.1 hektar dengan hamparan paling luas ditemukan di Pulau Batam, yaitu 3 238.2 hektar (Tabel 36). Tabel 36 Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002 Lokasi Batam Rempang Setoko Galang Total
Garis Pantai (km) 266 88 21 98 473
Luas Lamun (ha) 3 238.2 1 071.3 255.6 1 193.0 5 758.1
Sumber : Diolah dari data PRC (1998) dan Riau Coastal Zone Local Management Planning (1999)
PRC (1998) menyebutkan bahwa hamparan padang lamun yang terdapat di daerah pesisir Barelang yang paling luas terdapat di pantai Timur Rempang dan Galang dan di ujung Selatan Galang Baru. Spesies yang dominan adalah rumput pita yang tinggi (Enhalus acoroides), yang sangat umum dan membentuk dataran luas. Golongan lain yang ditemukan termasuk Cymodocea dan Syringodium. Pada beberapa daerah, padang lamun ini ditutupi oleh ganggang epifit dan sedimen yang mungkin menunjukkan adanya eutrofikasi (masukan makanan yang berlebih) dan stres karena sedimentasi. Menurut PERTAMINA (2002) disebutkan bahwa lamun yang ditemukan di Pulau Batam dan sekitarnya adalah jenis Enhallus, di antaranya dijumpai di Pulau Mecan, Pulau Layang, Pulau Bekajang, Pulau Mimpi, Pulau Lengkang, Pulau Lengkana, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, Pulau Sekilak, Pulau Bokur, pantai Batu Merah dan pantai Tanjung Sengkuang. Produksi perikanan padang lamun diperoleh berdasarkan atas perhitungan produksi perikanan dari data Statistik Perikanan Propinsi Riau (Tabel 37). Seperti halnya juga produksi ikan di sekitar terumbu karang, statistik ini juga hanya menyajikan hasil tangkapan di Batam. Sementara, jumlah hasil tangkapan di Rempang dan Galang tidak tersedia. Hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun dapat dikelompokkan sebagai ikan dan udang. Volume dan nilai hasil tangkapan jenis ikan lebih dominan dibandingkan dengan udang. Berdasarkan data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam tahun 1996 diperoleh
98
udang sebanyak 402.2 ton/th dengan nilai US$ 4 343 760.00 dan ikan sejumlah 1 017.8 ton/th dengan nilai US$ 6 717 480.00. Tabel 37 Lokasi
Batam Sumber :
Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996 Udang Produksi Nilai (US$) (ton/th) 402.2 4 343 760
Ikan Produski Nilai (ton/th) (US$) 1 017.8 6 717 480
Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Riau (1996).
Sumberdaya Perikanan
Kota Batam merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah pulau besar dan kecil dengan panjang pantai sekitar 1 261 Km dan luas laut sekitar 289.300 hektar. Wilayah laut ini merupakan bagian terbesar, yaitu sekitar 74% dari wilayah Kota Batam. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa wilayah laut yang dominan itu memiliki potensi sumberdaya yang masih cukup besar tetapi belum dimanfaatkan dengan baik. Belum optimalnya pengembangan potensi sumberdaya pesisir dan laut di Kota Batam disebabkan oleh masih terkonsentrasinya aktivitas di wilayah daratan. Padahal berbagai aktivitas yang dilakukan di wilayah daratan Kota Batam cenderung memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada di wilayah bagian bawahnya (pesisir dan laut). Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya hasil tangkapan ikan olah para nelayan khususnya nelayan pantai. Keadaan ini terjadi karena menurunnya kualitas lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas perairan Kota Batam. Dalam rangka untuk mengetahui potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Kota Batam maka salah satunya telah dilakukan pendataan melalui kegiatan identifikasi data perikanan yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam pada tahun 2004. Kegiatan identifikasi data perikanan dilakukan pada 8 kecamatan dan 51 kelurahan yang meliputi 96 pulau berpenghuni, baik di pulau besar maupun pulau kecil. Adapun nama-nama pulau yang diidentifikasi seperti dalam Tabel 38. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nonor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam
99
Tahun 2004-20014 disebutkan bahwa Kota Batam memiliki lebih dari 400 pulau dan 329 diantaranya telah memiliki nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara. Dari Tabel 38 memperlihatkan bahwa pulau-pulau berpenghuni yang paling banyak terdapat di Kecamatan Galang. Selain itu tabel tersebut menggambarkan bahwa wilayah kecamatan yang masyarakatnya dominan terhadap aktivitas di laut secara berurutan adalah Kecamatan Galang, Belakang Padang, Bulang, Nongsa, Sei Beduk, Sekupang, Batu Ampar dan Lubuk Baja.
Tabel 38 Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota Batam Kecamatan Nama Pulau/Perkampungan 1. Galang 1) P. Abang, 2) P. Petong, 3) Airsaga, 4) P. Nguan, 5) P. Karas, 6) P. Panjang, 7) Tg. Culim, 8) Tg. Kertang, 9) Tolop, 10) Kp. Baru, 11) Tg. Pengapit, 12) Tg. Linau, 13) Sincaran, 14) Mubut, 15) Jemara, 16) Pl. Telunjuk, 17) Subang Mas, 18) Tg. Kalok, 19) P. Jemara, 20) Monggak, 21) Pasir Panjang, 22) Blongkeng, 23) Kp. Baru Cate, 24) Tebing Tinggi, 25) Rempang Cate, 26) Air Raja, 27) Dapur 3, 28) Dapur 6, 29) Sembulang, 30) Sijantung, 31) Tg. Banun dan 32) Sembur. 2. Bulang 1) Setokok, 2) P. Panjang, 3) P. Akar, 4) P. Kalong, 5) Temoyong, 6) Selat Nenek, 7) P. Aweng, 8) Pl. Cengkul, 9) Pl. Juna 10) P. Jaloh, 11) P. Buluh, 12) P.Air, 13) P. Labu, 14) Bulang Lintang, 15) Bulang Kebam dan 16) P. Seraya. 3. Belakang Padang 1) Belakang Padang, 2) P. Lengkang, 3) P. Sarang, 4) Mecan, 5) P. Mongkol, 6) P. Kasu, 7) P. Pecung, 8) P. Granting, 9) P. Tumbar, 10) P. Terung, 11) Teluk Banun, 12) Teluk Bakau, 13) Teluk Sunti, 14) Teluk Kangkung, 15) Pekasing, 16) P. Bertam, 17) P. Lingke, 18) P. Saga dan 19) P. Sekanak. 4. Sei Beduk 1) Tg. Piayu Darat, 2) Tg. Piayu Laut, 3) Desa Bagan, 4) Kapling Bagan, 5) Tg. Gunadap, 6) P. Lance, 7) Dapur 12, 8) P. Sekenah dan 9) P. Teraling. 5. Nongsa 1) P. Ngenang, 2) P. Kubung, 3) P. Todak, 4) Punggur, 5) P. Kasam, 6). Sungai Kasam, 7) Teluk Bakau, 8) Batu Besar, 9) Kmp. Melayu dan 10) Kabil. 6. Sekupang 1) Kelurahan Tg. Riau, 2). P. Seraya, 3) Patam Lestari dan 4) Tanjung Uncang. 7. Batu Ampar 1) Tg. Sengkuang, 2) Bengkong Laut dan 3) Batu Merah. 8. Lubuk Baja 1) Tanjung Uma Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
100
Potensi
sumberdaya perikanan di Kota Batam meliputi perikanan
tangkap, akuakultur dan marikultur. Distribusi sumberdaya perikanan tangkap, akuakultur dan marikultur di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 12. Kegiatan perikanan di Kota Batam secara umum meluputi perikanan tangkap dan budidaya.
Namun yang paling dominan yang dilakukan oleh
masyarakat sampai saat ini adalah kegiatan perikanan tangkap, sedangkan kegiatan perikanan budidaya masih belum berkembang (Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam , 2004). Hal ini sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (1998) yang mengemukakan bahwa kegiatan perikanan di perairan Batam yang utama adalah perikanan tangkap. Para nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti bagan (kelong), bubu, gill net, pancing, trammel net dan lampara dasar. Kapal yang digunakan untuk operasi penangkapan oleh nelayan dari Kota Batam sekitar 60-66% sudah menggunakan motor tempel (MT). Daerah penagkapan ikan yang utama di Kota Batam adalah di perairan sekitar Batam, khususnya di wilayah Kecamatan Galang dan Bulang, dimana merupakan daerah yang populer bagi nelayan Batam yang mempunyai peralatan sedikit modern. Bagi para pengusaha pemilik modal, wilayah penangkapan ikan di perairan Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang sangat menjanjikan. Sedangkan bagi nelayan kecil yang kehidupannya secara ekonomi belum memadai lebih banyak memanfaatkan perairan di sekitar tempat tinggalnya sebagai daerah penangkapan ikan ((Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam, 2004).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (1998)
disebutkan bahwa daerah operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pada umumnya tidak jauh, yaitu sebelah selatan Pulau Batam dan Pulau Bintan, dimana pengoperasiannya dilakukan secara harian (one day trip).
101
Gambar 12 Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
102
Beberapa jenis ikan yang tertangkap oleh para nelayan dari Kota Batam dan mempunyai kuantitas cukup besar terdiri dari ikan selangat, ungar dan teri, yang termasuk dominan dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya (Tabel 39). Tabel 39
Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan Kabupaten Kepulauan Riau (khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998)
No. 1.
Nama setempat Selangat *
Nama latin Leiognathus brevirostris
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Selar Ungar * Kerapu Sembilang Tenggiri Bawal Kakap Kurau Teri *
Caranx spp Epinephelus spp Plotusus spp Scomberomorus spp Stromateus spp Lates calcalifer Polynemus spp Stolephorus spp
Keterangan: * = Ikan dominan
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004) disebutkan bahwa jenis-jenis ikan yang ditangkap olah nelayan Kota Batam sebagian besar merupakan ikan-ikan karang. Ikan-ikan karang tersebut merupakan ikan yang bernilai ekonomi tinggi. Ikan-ikan ini umumnya ditangkap para nelayan di sekitar perairan tempat tinggalnya. Beberapa jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam disajikan dalam Tabel 40. Bila dilihat dari Rumah Tangga Perikanan (RTP) pada setiap Kecamatan di Kota Batam diklasifikasikan dalam RTP perikanan laut dan RTP budidaya laut. Gambaran mengenai distribusi jumlah RTP dan anggota keluarga serta persentase perbandingannya dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan adalah seperti disajikan dalam Tabel 41.
103
Tabel 40 Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi Nama Lokal Nama Latin (Ilmiah)* 1. Ikan Ekor Kuning Caesio erythrogaster 2. Ikan Bulat (Selar) Caranx sexfasciatus 3. Ikan Sagai Caranx sp 4. Ikan Parang-parang Chirocentrus dorab 5. Ikan Kerapu Tikus/Bebek Cromileptes altivelis 6. Ikan Kurau Putih Eleutheronema tetradactylum 7. Ikan Kuaru Hitam Eleutheronema spp. 8. Ikan Kerapu Hitam (Kerapu lumpur) Epinephelus tauvina 9. Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus 10. Ikan Gelam/Mata Kucing Lates sp. 11. Ikan Kakap Merah Lutjanus sp. 12. Ikan Kakap Putih Lutjanus sp. 13. Ikan Ungar Lutjanus sp. 14. Cumi-cumi Loligo spp. 15. Ikan Bawal Putih Stronemateus cinereus 16. Ikan Bawal Hitam Stronemateus niger 17. Udang Kara Panulirus versicolor 18. Udang Apollo Panaeus mergueiensis 19. Udang Windu Panaeus monodon 20. Ikan Kerapu Merah (Sonu) Plectropoma sp. 21. Rajungan Portunus pelagicus 22. Ikan Tengiri Scomberomorus commerson 23. Ketam Bakau Scylla serrata 24. Sontong Batu Sepla spp. 25. Ikan Dingkis Siganus sp. 26. Ikan Lebam Siganus sp. 27. Ikan Dingkis Siganus sp. 28. Gonggong Strombus sp. 29. Ikan Ketarap 30. Ikan Mentimun 31. Udang Pantai * nama-nama ilmiah ikan disempurnakan menurut Schuster dan Djajadiredja (1952)
Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
104
Tabel 41 Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah penduduk Kota Batam per kecamatan Jumlah RTP dan Anggota Keluarga Penduduk RTP Anggota Jumlah % *) Tahun 2003 Keluarga 1. Galang 13 929 2 316 7 982 10 298 73.9 2. Bulang 8 693 1 312 4 899 6 211 71.4 3. Belakang Padang 19 741 2 337 9 358 11 695 59.2 4. Sei Beduk 126 976 512 1 705 2 217 1.7 5. Nongsa 85 690 420 1 046 1 466 1.7 6. Sekupang 116 441 229 986 1 215 1.0 7. Batu Ampar 124 516 154 408 562 0.5 8. Lubuk Baja 66 675 127 635 762 1.1 Total 562 661 7 407 27 019 34 426 6.1 *) Perbandingan antara jumlah RTP dan anggota keluarga dengan jumlah penduduk pada setiap kecamatan Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004) Kecamatan
Berdasarkan Tabel 41 menunjukkan bahwa dilihat dari jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP), Kecamatan Belakang Padang memiliki jumlah RTP terbanyak, yaitu 2 337 RTP, sedangkan RTP paling sedikit terdapat di Kecamatan Lubuk Baja, yaitu 127 RTP. Apabila dilihat dari anggota keluarganya, terlihat bahwa terbanyak terdapat di Kecamatan Belakang padang sebanyak 9 358 jiwa dan terkecil dijumpai di Kecamatan Batu Ampar, yaitu 408 jiwa. Selain itu, berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar nelayan Kota Batam tinggal di wilayah Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang sebagaimana terlihat dari jumlahnya yang terbanyak, yaitu masing-masing 11 695 jiwa, 10 298 jiwa dan 6 211 jiwa. Demikian halnya bila dilihat dari persentase dari jumlah RTP dan anggota keluarganya dibandingkan dengan jumlah penduduk pada setiap kecamatan menunjukkan bahwa ketiga kecamatan tersebut memiliki persentase yang paling besar dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kota Batam, yaitu Kecamatan Galang (73.9%), Bulang (71.4%)dan Belakang Padang (59.2%). Hal ini mencerminkan bahwa sebagian besar penduduk di 3 (tiga) wilayah kecamatan tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan. Apabila dilihat dari perbandingan secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa penduduk yang bermata-pencaharian sebagai nelayan pada thun 2003 jumlahnya sekitar 6.1% dari total jumlah penduduk Kota Batam.
105
Tabel 42 memperlihatkan bahwa perikanan tangkap masih merupakan mata pencaharian sebagian besar nelayan Kota Batam, sedangkan kegiatan perikanan budidaya belum banyak berkembang di daerah ini.
Berdasarkan
wawancara yang dilakukan pada saat penelitian di lapangan dengan masyarakat di wilayah
pesisir
Kota
Batam
ditemukan
faktor
penghambat
terhadap
perkembangan budidaya ikan di daerah ini, yaitu sulitnya memperoleh bibit dan pakan ikan serta waktu pemeliharaan yang dianggap lama. Tabel 42 Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota Batam tahun 2003 Budidaya laut Kecamatan RTP Perikanan Ikan Kepiting Rumput Lain-lain tangkap laut 1. Galang 2 316 2 316 275 4 2. Bulang 1 312 1 296 471 28 72 3. Belakang Padang 2 337 2 337 110 363 1 4. Sei Beduk 512 512 87 6 5. Nongsa 420 420 96 6. Sekupang 229 229 15 3 7. Batu Ampar 154 154 8 8. Lubuk Baja 127 127 Total 7 407 7 391 1 062 41 435 1 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Jumlah armada penagkapan ikan berupa perahu tanpa motor masih merupakan yang paling dominan dibandingkan dengan armada lainnya. Hal ini karena masih rendahnya penghasilan sebagian besar nelayan Kota Batam yang menyebabkan mereka belum mampu membeli peralatan dengan modal yang lebih besar. Beberapa armada penangkapan ikan yang biasa diguanakan oleh nelayan Kota Batam adalah seperti terlihat dalam Tabel. 43.
106
Tabel 43 Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan Gross Ton (GT) di Kota Batam tahun 2003 Armada Tangkap Kecamatan Perahu < 5 GT < 10 GT < 30 GT > 30 GT Tanpa motor 1. Galang 1 035 1 065 43 16 6 2. Bulang 724 712 18 3 3. Belakang Padang 589 737 30 13 4. Sei Beduk 439 197 6 5. Nongsa 228 80 8 6 74 6. Sekupang 95 54 2 7. Batu Ampar 55 41 1 8. Lubuk Baja 96 48 Total 3 261 2 934 108 38 80 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Kegiatan penagkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Kota Batam masih menggunakan alat tangkap yang sederhana karena dianggap paling mudah di operasikan dan murah harganya. Beberapa alat tangkap yang dimaksud seperti pancing (hand line), kelong pantai, bubu ketam, bubu ikan dan jaring pantai. Kegiatan perikanan tangkap yang cukup unik berupa kelong. Kelong merupakan kombinasi antara bagan (lift net) dan sero (wooded stationary fish trap) yang ditempatkan pada padang lamun (PERTAMINA, 2002). Di bawah ini disajikan Tabel 44 tentang distribusi dari masing-masing alat pengkapan ikan dan jumlahnya pada setiap kecamatan yang biasa digunakan oleh nelayan di Kota Batam. Sebagaimana disebutkan dalam keterangan terdahulu bahwa kegiatan perikanan di Kota Batam terdiri dari kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Sejalan dengan itu maka produksi perikanan pun dikelompokkan
menjadi dua, yaitu produksi yang berasal dari penangkapan ikan di laut dan produksi yang berasal dari budidaya perikanan laut. Produksi perikanan sebagian besar diperuntukan bagi kegiatan ekspor, sedangkan sebagian lainnya untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Secara lengkap produksi perikanan laut dan budidaya perikanan laut serta nilainya pada setiap kecamatan di Kota Batam disajikan dalam Tabel 45.
107
Tabel 44 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pada setiap kecamatan di Kota Batam No.
1. 2. 3. 4.
Jenis Alat Tangkap Ikan
Galang
Bulang
Belakang Padang 113 492
Pukat cincin 6 Pukat Bilis (Fish trap) 9 Jaring Tenggiri 68 45 Jaring pantai (Drift 830 393 gill nets) 5. Sandong 412 240 6. P. Sotong 1 893 876 817 7. Jaring Bawal 40 56 44 8. Jaring udang kara 94 9. Jaring udang 364 242 10. Jaring ketam 215 52 4 11. Jaring pari 9 12. Muroami 4 13. Bubu ikan 683 604 470 14. Bubu ketam 302 328 114 15. T. udang 113 662 323 16. Jala 79 202 87 17. Empang 44 14 68 18. Pukat ikan 29 37 11 19. Kelong pantai 866 1 218 916 20. Kelong Betawi 54 33 8 21. Pancing Hand line 763 916 1 417 22. Rawai 412 212 312 23. Lukah/Injah 631 796 117 24. Pukat udang 18 198 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Kecamatan Sei Nongsa Sekupang Beduk 74 2 2 305 146 89 24 306 2 29 134 218 178 124 31 16 265 18 416 312 236 14
31 316 144 27 82 67 24 16 295 1 316 12 212 -
16 42 101 12 38 39 1 69 108 81 192 -
Total Batu Ampar
Lubuk Baja
9 58
20 90
80 9 259 2 403
14 28 1 6 56 23 12 18 2 2 56 62 23 -
7 21 50 60 10 12 12 12 38 18 -
744 4 299 140 94 609 306 9 4 2 242 1 084 1 408 626 196 121 3 643 114 4 030 1 421 2 207 230
108
Tabel 45 Jumlah RTP, jumlah hasil tangkapan ikan dan nilai produksinya di Kota Batam tahun 2003 Hasil Nilai Tangkapan Produksi (Ton) (x Rp. 1 000,-) 1. Galang 2 316 3 501.8 52 947 216 2. Bulang 1 312 1 983.7 29 993 544 3. Belakang Padang 2 337 2 271.6 22 079 952 4. Sei Beduk 512 552.9 5 971 320 5. Nongsa 420 453.6 4 498 880 6. Sekupang 229 173.1 1 308 636 7. Batu Ampar 154 116.4 879 984 8. Lubuk Baja 127 96.1 726 516 Total 7 407 9 149.2 118 406 048 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004) Kecamatan
RTP
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa total hasil tangkapan ikan di Kota Batam pada tahun 2003 adalah sebesar
9 149.2 ton
dengan nilai
Rp. 118 406 048 000.00. Dari data tersebut terlihat bahwa kegiatan perikanan tangkap di Kota Batam terkonsentrasi di 3 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Galang, Belakang Padang dan Bulang, sedangkan hasil tangkapan ikan dari wilayah kecamatan lainnya jumlah dan nilainnya relatif kecil dibandingkan dengan ke-3 kecamatan tersebut. Hasil tangkapan ikan terbesar diperoleh dari Kecamtan Galang sebesar 3 501.8 ton dengan nilai Rp. 52 947 216 000.00 dan kemudian diikuti oleh hasil tangkapan ikan dari Kecamatan Belakang Padang sebesar 2 271.6 ton dengan nilai Rp. 22 079 952 000.00 serta dari Kecamatan Bulang, yaitu 1 983.7 ton dengan nilai 29 993 544 000.00. Meskipun sampai saat ini sebagian besar masyarakat nelayan Kota Batam masih lebih berorientasi pada kegiatan perikanan tangkap dibandingkan dengan kegiatan perikanan budidaya, namun melihat pada potensi yang ada, kegiatan perikanan budidaya patut dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif mata pencaharian yang perlu dikembangkan pada masa yang akan datang.
Hal ini
dimaksudkan dalam rangka untuk mengantisipasi menurunnya hasil tangkapan ikan yang pada saat ini menjadi masalah yang dirasakan oleh nelayan Kota Batam. Menurut Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2002) dijelaskan bahwa untuk perikanan budidaya, diperkirakan sekitar 10% dari luas perairan Batam masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya ikan dan rumpu laut.
109
Pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai adanya kegiatan budidaya perikanan laut dengan menggunakan jaring apung di sekitar perairan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, tepatnya di Pulau Nguan dan Pulau Abang. Nelayan di wilayah ini telah sejak lama melakukan usaha pembesaran kerapu dengan jaring apung. Kerapu (Epinephelus sp) telah menjadi salah satu primadona yang akan dikembangkan untuk budidaya laut di perairan Batam melalui kerjasama antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Pemerintah Kota Batam dengan mengambil lokasi percontohan di perairan Pulau Nguan (sebelah selatan Pulau Galang Baru).
Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
budidaya kerapu harus memperhatikan kekuatan arus, tingkat pasang surut, kejernihan air laut dan kandungan zooplanton. Tanpa memperhatikan faktorfaktor tersebut, budidaya kerapu dengan keramba jaring apung akan tinggi tingkat kematiannya. Rencana pengembangan budidaya ikan kerapu di Kota Batam ini juga telah mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu dengan mendirikan sebuah institusi di Kota Batam yang terkait dengan penelitian ikan kerapu.
Pada saat dilakukan wawancara
dengan petugas di tempat tersebut dikatakan bahwa lembaga ini akan melakukan penelitian dan pengembangan yang terkait dengan budidaya ikan kerapu, termasuk yang berhubungan dengan penyediaan bibit, pembesaran serta pemasaran ikan kerapu Kegiatan budidaya laut lain yang terlihat di perairan wilayah Kota Batam adalah budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rawai. Jenis yang mereka usahakan adalah Eucheuma sp. (PERTAMINA, 2002). Berikut disajikan Tabel 46 tentang produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003.
110
Tabel 46 Produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 Kecamatan
Budidaya Periknan Laut Produksi (Ton) Nilai (Jutaan Rp) 1. Galang 32.72 867.43 2. Bulang 25.20 668.80 3. Belakang Padang 37.80 1 003.20 4. Sei Beduk 6.12 167.20 5. Nongsa 11.80 334.40 6. Sekupang 3.78 100.32 7. Batu Ampar 6.30 167.20 8. Lubuk Baja 1.26 33.10 Total 124.98 3 341.65 Sumber: Bappeda Kota Batam (2004)
Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa total produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 adalah sebesar 124.98 ton dengan nilai Rp 3 341 650 000.00. Dari data tersebut terlihat bahwa kegiatan budidaya perikanan laut di Kota Batam terkonsentrasi di 3 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang, sedangkan dari wilayah kecamatan lainnya jumlah dan nilainnya relatif kecil dibandingkan dengan ke-3 kecamatan tersebut. Produksi budidaya perikanan laut terbesar diperoleh dari Kecamatan Belakang Padang sebesar 37.80 ton dengan nilai Rp 1 003 200 000.00 yang kemudian secara berurutan diikuti oleh Kecamatan Galang sebesar 32.72 ton dengan nilai Rp 867 430 000.00 dan Kecamatan Bulang sebesar 25.20 ton dengan nilai Rp 668 800 000.00. Berdasarkan keterangan dari para nelayan dikatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan hasil penangkapan dan ikan-ikan yang tertangkap ukurannya semakin kecil. Keadaan ini terutama terjadi pada kegiatan penangkapan ikan karang, udang dan ikan demersal lainnya. Penyebab dari kejadian ini antara lain diduga oleh turunnya kualitas perairan pesisir dan laut karena telah mengalami pencemaran, terjadinya degradasi fisik hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Secara umum dapat dikatakan bahwa terjadinya degradasi lingkungan yang berdampak terhadap penurunan produktivitas sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Kota Batam karena berbagai aktivitas yang dilakukan tidak dilandasi
111
pada pertimbangan daya dukung (kualitas) dan daya tampung (kuantitas) lingkungan.
Artinya kemampuan lingkungan untuk mendukung suatu
kegiatan/usaha tidak dijadikan landasan utama dalam pertimbangan bagi suatu kegiatan/usaha. Terjadinya degradasi lingkungan akan semakin parah bila dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam tidak menjadi pedoman dalam pemanfaatan lahan atau kawasan bagi berbagai peruntukkan sehingga pemanfaatan lahan menjadi tak terkendali. Apalagi dipicu oleh kebutuhan lahan yang sangat besar seiring dengan kemajuan Kota Batam sebagai kawasan industri (terutama di Pulau Batam). Secara visual dapat dilihat adanya eksploitasi lahan secara terus-menerus yang dilakukan sebagaian besar dengan merusak (konversi) hutan dan perbukitan menjadi kawasan peruntukkan lainnya, terutama untuk kepentingan yang dalam jangka pendek dapat segera mendatangkan nilai ekonomi yang besar.
Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan
Dampak Pembangunan di Kota Batam Aktivitas pembangunan di Kota Batam khususnya pengembangan industri yang begitu pesat yang terjadi sampai saat ini ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, seperti terjadinya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, baik di darat maupun di perairan pantai/laut yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Secara umum wilayah perairan pesisir di daerah ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini seperti ditunjukkan oleh buruknya kualitas air dan rusaknya ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas sumberdaya perikanan yang ada di daerah ini. Selain itu, pengembangan industri di Kota Batam diduga membawa dampak terhadap munculnya berbagai faktor ikutan. Salah satu dampak yang nyata adalah adanya peningkatan jumlah penduduk. Besarnya jumlah penduduk, tingginya tingkat kepadatan penduduk dan keanekaragaman intensitas kegiatan penduduk telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap pencemaran dan
112
kerusakan lingkungan yang akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan. Adanya kebutuhan lahan untuk permukiman yang dilakukan dengan cara merusak kawasan mangrove untuk pembangunan berbagai kompleks permukiman yang terus terjadi di Kota Batam akan semakin memperparah kondisi lingkungan di daerah ini. Apalagi terkadang pembangunan permukiman tidak disertai dengan adanya sanitasi yang baik, terutama terkait dengan pembuangan limbah yang semestinya dilakukan dengan sewage management system bagi buangan rumah tangga. Berdasarkan hasil inventarisasi Bapedal Kota Batam (2003) disebutkan bahwa permasalahan lingkungan yang cukup menonjol terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir di Kota Batam, antara lain:
Di wilayah daratan
a) Rusaknya kawasan hutan Permasalahan ini disebabkan oleh berubahnya sebagian dari kawasan hutan menjadi kawasan industri, permukiman (perumahan komersial dan rumah liar), perkantoran, pertokoan, lapangan golf, dan pariwisata. memiliki
Padahal hutan
fungsi diantaranya sebagai kawasan penyangga untuk kehidupan,
pengatur hidrologi, mencegah terjadinya erosi, kekeringan, longsor dan pengendalian banjir.
b) Rusaknya kawasan resapan air (catchment area). Kasus ini disebabkan oleh berubahnya kawasan resapan air menjadi kawasan industri dan bisnis, permukiman dan sebagainya yang menimbulkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan di kawasan tersebut.
c) Rusak dan berubahnya kawasan hijau Perubahan kawasan hijau (green belt) yang umumnya dilakukan dengan reklamasi menjadi kawasan pertokoan/pusat perdagangan diduga ikut memberikan kontribusi terhadap turunnya fungsi-fungsi lingkungan di tempat tersebut karena
113
tingginya pencemaran udara, tidak terkendalinya air hujan mengakibatkan semakin tingginya erosi yang menyebabkan banjir.
d) Pencemaran akibat limbah industri Dari sekitar 575 (lima ratus tujuh lima) perusahaan/industri, pariwisata dan sebagainya yang ada di Batam memberikan kontribusi terhadap terjadinya pencemaran lingkungan cukup tinggi terutama dari masalah pengelolaan limbahnya, apalagi baru sebagian kecil saja perusahaan yang telah melengkapi dokumen lingkungan (AMDAL, UKL/UPL dan lain-lain) dan terindikasi hanya baru sekitar 25% perusahaan yang melakukan pengelolaan lingkungan hidupnya secara baik.
Selain itu juga, hanya
sebagian kecil kawasan industri yang
memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) secara terpadu serta belum terkelolanya limbah dengan baik sehingga kondisi demikian menimbulkan rawan pencemaran di daerah kawasan industri dan sekitarnya.
Di wilayah pesisir dan laut
a) Rusaknya ekosistem pesisir ♦ Terjadinya kerusakan sebagian kawasan hutan bakau akibat reklamasi yang digunakan untuk kepentingan lainnya yang izin pengelolaan lahannya diberikan kepada investor oleh Otorita Batam. Selain itu hutan bakau juga telah mengalami degradsi akibat pencemaran perairan yang menimbulkan terjadinya
penurunan habitat di pesisir dan mengakibatkan berkurangnya
daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) bagi berbagai biota laut serta menurunnya nilai estetika dan terjadinya abrasi/erosi pantai. ♦ Adanya perusakan dan pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan dan penangkapan ikan dengan bom atau potas menyebabkan rusaknya habitat karang dan ekosistemnya, termasuk turunnya produktivitas ikan dan biota laut lainnya yang pada akhirnya akan menyebabkan turunnya hasil tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di daerah ini.
114
♦ Adanya kegiatan cut and fill di lahan atas serta reklamasi di daerah pantai menimbulkan terjadinya sedimentasi di perairan pantai/laut Kota Batam. Adanya sedimentasi ini dapat mengancam kelangsungan hidup padang lamun dan terumbu.karang. Hal ini karena pada tingkatan sedimentasi yang tinggi selain akan menutupi biota lamun dan karang, juga akan menghambat proses fotoisintesis sebagai akibat keruhnya perairan pantai/laut, padahal untuk kelangsungan hidup biota-biota tersebut diperlukan adanya fotosintesis yang didukung oleh adanya penetrasi sinar matahari. ♦ Turunnya kualitas air laut dan kerusakan ekosistem pesisir tersebut akan menyebabkan turunnya produktivitas sumberdaya perairan serta akan berdampak terhadap turunnya produksi ikan di perairan tersebut. Keadaan ini pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat khususnya yang bertumpu hidupnya pada ketersediaan sumberdaya perikanan.
b) Aktivitas industri Adanya kegiatan industri di daerah pesisir serta di lahan atas ternyata berdampak terhadap terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut sebagai akibat adanya pembuangan limbah industri secara langsung dan sembarangan ke laut yang mengakibatkan terjadinya pencemaran di daerah pesisir dan laut. Hal ini mengakibatkan turunnya kualitas air laut, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang dan padang lamun) serta turunnya produktivitas perikanan di perairan laut Kota Batam. Ancaman dari salah satu industri yang potensial memberikan pengaruhnya langsung terhadap kualitas dan kehidupan biota pantai/laut di Kota Batam adalah dari industri kapal laut/galangan kapal (shipyard) karena umumnya lokasi industri ini langsung berada di pesisir/pantai sehingga limbah dari operisonal rutinnya akan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Apalagi umumnya limbah dari aktivitas industri ini tidak dikelola dengan baik, bahkan biasanya langsung dibuang ke perairan pantai di sekitarnya.
115
Kebijakan Pemerintah Kota Batam
Berbagai isu strategis yang ada dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Kota Batam menjadi pendorong disusunnya Kebijakan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang akan menjadi arahan dan pedoman dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup termasuk di dalamnya pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam. Pemerintah Kota Batam (2001) menyebutkan berbagai isu yang terkait dengan lingkungan hidup di Kota Batam, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, antara lain: ♦ Makin menurunnya sumberdaya perikanan. ♦ Pengelolaan potensi kelautan masih belum optimal. ♦ Lemahnya penegakkan hukum di bidang pengelolaan lingkungan pesisir dan laut. ♦ Rusaknya ekosistem akibat dari pembangunan yang tidak ramah lingkungan. ♦ Pembangunan yang ada di wilayah Kota Batam sebagian belum disertai analisa dampak lingkungan. ♦ Kurangnya pengawasan dan pengendalian di bidang lingkungan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. ♦ Belum tertatanya sistem pembuangan limbah di wilayah Kota Batam. ♦ Kurangnya kesadaran masyarakat dan aparatur pemerintah terhadap pelestarian lingkungan. ♦ Banyaknya kejadian perubahan peruntukan kawasan karena kebutuhan kelompok masyarakat tertentu. ♦ Belum adanya penataan detail ruang pada wilayah hiterland Kota Batam. ♦ Masih belum mantapnya kapasitas kelembagaan dan organisasi penataan ruang. ♦ Masih rendahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam.
116
Berdasarkan isu-isu tersebut maka Kebijakan-kebijakan yang disusun akan menjadi acuan termasuk dalam mengatasi berbagai masalah seperti disebutkan di atas khususnya yang terkait dengan upaya menekan sekecil mungkin dampak negatif dari berbagai kegiatan pembangunan.
Berdasarkan penelusuran dari
berbagai sumber termasuk dari Pemerintah Kota Batam (2001), berikut ini disajikan Kebijakan Pemko Batam dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup: ♦ Meningkatkan sistem penggunaan tanah yang sesuai dengan rencana tata ruang. ♦ Memantapkan pengendalian pemanfaatan ruang. ♦ Menata dan mengembangkan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, khususnya untuk wilayah hiterland. ♦ Peningkatan kegiatan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi usaha perikanan dalam arti luas secara terpadu untuk meningkatkan pendapatan nelayan dan pemenuhan kebutuhan Kota Batam. ♦ Optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan perikanan, budidaya pantai dan kepariwisataan. ♦ Meminimalisasi dampak negatif dari kegiatan eksploitasi laut, pantai dan pesisir untuk menjaga kelestarian sumberdaya laut dan mempertahankan ekosistem pesisir yang ada, seperti biota laut, terumbu karang dan potensi lainnya ♦ Peningkatan rehabilitasi sumberdaya alam berupa hutan, tanah dan air yang rusak melalui pendekatan terpadu dan terkoordinasi. ♦ Peningkatan pendayagunaan daerah pantai dan daerah laut tanpa harus merusak kualitas dan kelestarian lingkungan hidup. ♦ Mengharuskan pelaksanaan AMDAL bagi setiap kegiatan pembangunan yang terkait dengan ekploitasi sumberdaya alam baik dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan sosial maupun oleh masyarakat dan pengusaha untuk kepentingan ekonomi.
Selain itu perlu adanya pengawasan secara
konsisten dan berkesinambungan atas berbagai kegiatan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan hidup
117
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang disusun oleh Pemko Batam tersebut sangat bagus tetapi pada kenyataannya tidak dapat dilakukan dengan baik karena adanya berbagai kepentingan tertentu yang kadang tidak memperdulikan kebijakan-kebjakan yang ada sehingga menimbulkan ketidak-konsistenan antara kebijakan yang telah dibuat dengan pelaksanaannya. Selain itu kebijakan yang disusun tidak berdasarkan skala prioritas dimana dalam penyusunannya membutuhkan analisis yang komprehensif dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada, baik faktor penghambat maupun faktor pendukung termasuk dukungan dari ketersediaan data dan informasi yang akurat.
Arahan Kebijakan Umum
Pada prinsipnya, pembangunan apapun baik sektor industri maupun sektor lainnya tidak boleh mengganggu kualitas lingkungan hidup, bahkan diupayakan bagaimana dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai pembangunan lingkungan yang berlanjutan (sustainable development) dapat dilaksanakan melalui program produk bersih (clean production) dan penerapan teknologi ramah lingkungan (clean technology) yang berkelanjutan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan jumlah limbah atau emisi yang dihasilkan dari suatu proses produksi. Hal ini bisa dicapai melalui penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recyle) dan pengambilan kembali (recovery) dari semua aliran limbah, baik melalui fasilitas pengolahan limbah maupun pemanfaatan limbah sebagai bahan baku untuk industri lainnya (Kusnoputranto, 1999). Untuk itu dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya pengelolaan lingkungan pesisir harus dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh oleh setiap pelaku pembangunan baik pemerintah, industri dan masyarakat sehinga dapat dicapai keselarasan dan keseimbangan antara manusia dan daya dukung lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Adapun kebijakan-kebijakan yang perlu dikembangkan oleh pemerintah dalam pengelolaan lingkungan di Kota Batam adalah:
118
♦ Perlu adanya keterpaduan dalam pengelolaan, yang melibatkan peran aktif seluruh Stakeholder, ♦ Pemilihan lokasi pembangunan yang sesuai dengan penataan ruang, ♦ Pengurangan produksi limbah pada sumbernya (waste minimisation), ♦ Pencegahan pencemaran (pollution prevention), ♦ Pengolahan limbah (waste treatment) ♦ Penetapan dan penaatan baku mutu lingkungan, ♦ Penerapan teknologi ramah lingkungan (clean technology), ♦ Memelihara sumberdaya alam yang masih baik dan melakukan rehabilitasi terhadap ekosistem yang telah mengalami kerusakan/pencemaran serta melakukan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
Arahan Kebijakan Penanggulangan Dampak Pembangunan
Setiap kegiatan pembangunan akan menghasilkan limbah dan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Yang mungkin dapat dikerjakan oleh pelaku pembangunan antara lain adalah kompromi antara keperluan lahan untuk pembangunan itu sendiri dan lahan yang cukup disediakan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dampak pembangunan di Kota Batam yang telah terlihat nyata adalah penggundulan hutan mangrove yang dikonversi menjadi lahan untuk berbagai kepentingan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Yang sudah terlanjur terjadi memang tidak bisa begitu saja dirubah menjadi sebaliknya. Karena itu zona industri yang telah dibangun pada beberapa lokasi tetap dipertahankan dengan upaya mencegah kemungkinan bertambah parahnya kerusakan lingkungan dengan menekan dampak negatif yang mungkin dapat ditimbulkannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman pohon mangrove di sepanjang pantai yang hutannya sudah terlanjur dirusak. Kalau penanaman berhasil, maka akar-akar mangrove tersebut akan mengikat tanah pantai sehingga tidak mudah mengalami abrasi atau rusak dihantam gelombang.
119
Pulau Batam sebagai salah satu pulau yang ada di wilayah administrasi Kota Batam, kelihatannya tidak bisa dipertahankan lagi dari aspek kelestarian lingkungan karena sudah terlanjur dilanda kerusakan akibat pembangunan industri yang terus berkembang di daerah ini. Karena itu apabila harus dikembangkan industri maka diarahkan agar pemusatan industri dapat dilakukan di Pulau Batam`ini dengan tetap meminimalisasi dampak yang lebih parah lagi terhadap lingkungan hidup. Bagian lain dari Kota Batam yaitu Pulau Rempang dan Galang juga potensial untuk dikembangkan guna mendukung keperluan lahan bagi pembangunan Kota Batam.
Untuk tidak mengulangi kerusakan lingkungan
seperti yang telah terjadi di Pulau Batam maka perencanaan pembangunan di kedua pulau tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan aspek lingkungan demi tercapainya pembangunan daerah yang berkelanjutan. Diarahkan agar Pulau Rempang dan Galang dapat dijadikan daerah penyanggah lingkungan, yang dimaksudkan untuk kepentingan kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.
Bilamana daerah ini mau dikembangkan untuk
kepentingan ekonomi maka harus dilakukan sangat hati-hati dan diarahkan hanya pada pemanfaatan jasa lingkungan tanpa harus mengeksploitasi sumberdaya alam, yang dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Untuk itu maka bagi setiap usaha yang akan dilakukan harus dengan persyaratan lebih ketat terhadap aspek kelestarian lingkungan.
Hal ini perlu dilakukan karena
dukungan lingkungan yang dapat diandalkan untuk kehidupan masyarakat ke depan ada pada daerah ini, kecuali apabila ada upaya yang sangat nyata dan berhasil dalam melakukan perbaikan lingkungan pada kondisi daerah-daerah lain di Kota Batam yang sebelumnya telah mengalami pencemaran dan kerusakan lingkungan.
120
Arahan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Kota Batam
Sebagaimana dijelaskan dalam keterangan terdahulu, bahwa terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diakibatkan oleh eksploitasi lahan/kawasan untuk Sektor Industri dan sektor-sektor pendukungnya. Beberapa permasalahan yang mempunyai kaitan erat dan menjadi faktor pemicu terjadinya degradasi tersebut (kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir dan laut) secara garis besar dapat dilihat dari isu tata ruang, pertanahan, lingkungan hidup, kehutanan serta perikanan dan kelautan. Isu-isu tersebut dipilih karena menjadi komponen utama, yang apabila tidak diantisipasi dan dilakukan penanganannya maka akan semakin mendorong rusak dan tercemarnya lingkungan pesisir dan laut Kota Batam. Isu pertanahan dipilih karena terkait dengan pemanfaatan lahan yang terjadi secrara terusmenerus dan tidak terkendalikan lagi. Isu tata ruang karena tidak digunakan sebagaiamana mestinya dokumen tata ruang sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang.
Isu kehutanan karena banyaknya kawasan hutan khususnya kawasan
lindung pantai (green belt) yang pada umumnya berupa pepohonan mangrove dirusak dan dikonversi menjadi peruntukkan lainnya, padahal seharusnya untuk kepentingan masa depan, terutama terkait dengan fungsi hutan sebagai pelindung dan pemasok zat-zat hara bagi biota di sekitarnya, penyerap gas-gas buangan khususnya dari industri dan sebagai kawasan untuk cadangan air tanah (catchment area). Isu lingkungan hidup serta isu kelautan dan perikanan karena hal-hal tersebut di atas menimbulkan dampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang pada akhirnya akan bermuara ke wilayah pesisir dan laut dan menimbulkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut berupa rendahnya kualitas air dan rusaknya ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta akan menurunkan produktivitas sumberdaya perikanan yang pada gilirannya akan menurunkan pendapatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan sumberdaya yanga ada di wilayah pesisir dan laut.
121
Hal-hal tersebut muncul karena adanya kekurang-tanggapan dalam melakukan pendekatan dan strategi pembangunan, ketidakselarasan antara kebijakan dan implementasinya pada berbagai bidang pembangunan di Kota Batam. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas, maka Pemerintah Kota Batam bersama-sama dengan masyarakat dan dunia usaha perlu secara serius harus dapat melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan Pemerintahan Kota Batam dengan baik. Untuk mendukung hal tersebut maka semua itu harus dilakukan secara berencana, bertahap dan berkelanjutan berdasarkan kebijakan yang holistik dengan memasukan adanya unsur-unsur kepentingan pelestarian lingkungan hidup, yang dimulai dari proses perencanaan sampai implementasi dari kebijakan tersebut. Adanya kebijakan yang holistik ini menjadi dasar dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan secara terpadu, termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir Kota Batam harus diarahkan pada segala upaya terpadu dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, termasuk di dalamnya terdapat pelestarian serta pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir dan laut. Bengen (2001) menjelaskan bahwa keterpaduan perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir ini mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder.
a. Keterpaduan wilayah/ekologis
Di wilayah pesisir, air adalah daya yang mempersatukan sistem sumberdaya, karena air memiliki mekanisme sebagai interface daratan dan lautan. Dalam penataan ruangnya harus mempertimbangkan interaksi yang terjadi di batas laut dan daratan dan mensyaratkan bahwa sistem di wilayah hulu, wilayah daratan, wilayah pasang surut, wilayah perairan dangkal, serta wilayah perairan laut lepas dikelola sebagai satu kesatuan yang integral. Berbagai dampak lingkungan pada kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di
122
lahan atas seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, permukiman dan lainnya. Demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Oleh karena itu keterkaitan antar wilayah (ekologis) yang ada pada wilayah peisisir harus selalu diperhatikan.
b. Keterpaduan sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar sektor dengan sektor lainya. Oleh karena itu diperlukan integrasi kepentingan semua sektor terkait agar pengelolaan pesisir dan laut dapat lebih optimal dan berkesinambungan.
c. Keterpaduan disiplin ilmu
Pesisir adalah wilayah yang unik karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan sehingga tentu memiliki sifat dan karakteristik ekosisitem di dalamnya, baik sumberdaya alamnya maupun sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian pola perencanaan pengelolaan maupun pemanfaatan ekosisitem dan sumberdaya pesisir membutuhkan keterpaduan disiplin ilmu, misalnya oseanografi, ekologi, keteknikan, hukum, sosiologi, ekonomi dan sebagainya.
d. Keterpaduan stakeholder
Semua keterpaduan di atas akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir dan laut. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir segenap kepentingan stakeholders (pemerintah, swasta dan masyarakat umum)
123
yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut dengan pedekatan dari atas (top down) dan dari bawah (bottom up). Pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah bagian dari lingkungan hidup. Sebagaimana pemikiran di atas adalah sejalan dengan prinsip dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti disebutkan dalam Undangundang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pada bagian yang lain bahkan disebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam non-hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim (KLH, 1998). Manfaat
dan
urgensi
pengelolaan
secara
terpadu
adalah
untuk
mengembangkan strategi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya laut dan pantai secara efektif dan efisien dengan menerapkan azas pengelolaan berikut: (1) desentralisasi dan partisipasi riil; (2) keterpaduan dan keserasian serta (3) efisiensi, efektivitas dan flesibilitas dalam pola berkelanjutan. Fungsi pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu adalah untuk memadukan dan menserasikan pengelolaan yang memungkinkan adanya koordinasi antar instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan prinsip dasar dalam penentuan kebijaksanaan startegis, teknis dan operasional.
Arahan Strategi Pengelolaan
Dalam rangka menangani isu dan permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas maka perlu disusun strategi-strategi yang akan berguna untuk melakukan pengelolaan lingkungan di Kota Batam, khususnya dalam kaitannya dengan upaya menekan sekecil mungkin dampak negatif yang terjadi dari aktivitas industri dan pengembangannya terhadap lingkungan serta sumberdaya alam pesisir dan laut.
124
Untuk menyusun strategi pengelolaan dimaksud digunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT terlebih dahulu dilakukan penentuan komponen pembentuk strategi, yang terdiri dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) seperti diuraikan sebagai berikut:
Kekuatan (Strengths) 1) Letak geografis Kota Batam yang strategis di perairan internasional serta sebagai salah satu pintu gerbang masuk ke Indonesia yang mempermudah akses dari Indonesia ke luar negeri atau sebaliknya, khususnya dilihat terhadap: ♦ Selat Malaka sebagai salah satu jalur perdagangan terpadat di dunia ♦ Posisi Singapura sebagai salah satu pusat kegiatan perdagangan/bisnis dunia ♦ Kawasan ASEAN dan negara-negara di Asia Timur/Asia-Fasifik (Jepang, Hongkong, Korsel, USA dan lain-lain).
Lokasi yang sangat strategis ini telah mampu memberikan keunggulan komparatif terhadap segenap potensi sumberdaya alam (SDA) wilayah, baik yang ada di Kota Batam maupun Kabupaten-kabupaten lain yang ada di sekitarnya. 2) Ketersedian sumberdaya alam yang cukup potensial. ♦ Kota Batam memiliki lahan yang masih cukup luas di luar Pulau Batam, yaitu di Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, Pulau Bulan dan pulau-pulau lain yang lebih kecil. Lahan yang cukup luas ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai kegiatan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti industri, perdagangan dan jasa, perumahan, pariwisata dan lain-lain. ♦ Kota Batam memiliki wilayah pesisir dan perairan laut yang cukup luas yang menyimpan potensi perikanan (perikanan tangkap maupun budidaya) dan kelautan.
Perkembangan wilayah yang pesat dan posisinya yang
strategis terhadap wilayah perairan laut sekitar menjadikan Kota Batam
125
sangat potensial dikembangkan wisata bahari (ecotourism) serta sebagai pusat industri hasil-hasil kelautan 3) Adanya dukungan dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, termasuk peraturan daerah (perda) yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Batam serta adanya kebijakan dari Otorita Batam tentang industri yang berpotensi dikembangkan di Kota Batam harus memenuhi negative list. Industri-industri yang dianjurkan dikembangkan di Kota Batam, seperti industri ringan, sedang dan berat yang berorientasi ekspor; menggunakan teknologi menengah sampai tinggi; intensif (padat) modal; menggunkan tenaga ahli; tingkat konsumsi air sedikit dan tidak menyebabkan pencemaran (polusi). 4) Adanya institusi di Pemerintah Kota Batam yang menangani pengelolaan lingkungan hidup termasuk pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, yaitu Bapedal Kota Batam serta adanya lembaga yang menangani pembangunan kelautan dan perikanan di Kota Batam, yaitu Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. 5) Masih adanya sebagian wilayah Kota Batam yang kondisi lingkungannya masih relatif lebih baik di bandingkan yang lainnya, yaitu di Kecamatan Galang, yang berguna untuk kepentingan ke depan khususnya terkait dengan fungsi sebagai penyerap air hujan dan penyedia air tawar (catchment area). Secara ringkas ke-5 komponen yang termasuk dalam faktor kekuatan diberi simbol secara berurutan, yaitu S1, S2, S3, S4 dan S5.
Kelemahan (Weaknesses)
1) Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut yang disebabkan oleh pengetahuan masyarakat secara umum relatif masih rendah. 2) Tidak digunakannya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Batam sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang daratan untuk berbagai kepentingan serta belum adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Pesisir
126
yang memperhatikan aspek konservasi dan pemanfaatan lestari sumberdaya pesisir dan lautan. 3) Masih kurangnya sosialisasi terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait derngan pelestarian lingkungan. 4) Rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan nelayan yang membuat diversifikasi usaha tidak mudah untuk dilakukan khususnya pada saat produktivitas perikanan laut sedang menurun yang disebabkan oleh terbatasnya penguasaan terhadap usaha kecil, menegah dan koperasi (UKM) terutama terkait dengan berbagai faktor produksi dan informasi pasar dalam hubungannya dengan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat.
Faktor-faktor
produksi yang dimaksud mencakup akses pada lahan/potensi sumberdaya alam, permodalan, teknologi dan manajemen usaha. 5) Adanya industri-industri yang sebenarnya tidak dianjurkan dikembangkan di Kota Batam, seperti padat karya, kimia, textil serta perabotan dari rotan dan kayu. 6) Belum adanya basis data tentang potensi sumberdaya pesisir dan laut. 7) Pelaksanaan koordinasi masih lemah. 8) Sebaran penduduk yang tidak merata antara Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya. 9) Lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan penegakkan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Faktor kelemahan yang terdiri dari 9 komponen tersebut diberi simbol W1,W2 ,W3, W4, W5, W6, W7, W8 dan W9.
Peluang (Opportunities)
1) Adanya kemungkinan merubah pola pikir masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut 2) Adanya sebagian industri yang mengikuti aturan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam kaitannya dengan pengelolaan limbah industri.
127
3) Adanya perhatian dunia internasional dalam pengendalian pencemaran laut di perairan sekitar Kota Batam, seperti di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. 4) Adanya perhatian negara lain dalam melakukan implementasi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam dan daerah sekitarnya. Salah satu contohnya seperti yang dilakukan dalam kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia. 5) Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan kemandirian Pemerintah
Kota
Batam
dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam
dan
penyelenggaraan pembangunan. 6) Letak strategis Kota Batam apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan kualitas SDM terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan SDA secara lestari. Dari ke-6 komponen yang termasuk dalam faktor peluang diberi simbol O1, O2, O3, O4, O5 dan O6.
Ancaman (Threats)
1) Pulau Batam sebagai pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. 2) Adanya penyebaran polutan dari negara-negara sekitarnya (terutama dari Singapura dan Malaysia) yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut turut andil terhadap terjadinya degradasi lingkungan perairan pesisir dan laut Kota Batam. 3) Adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut 4) Adanya pembukaan lahan yang tak terkendali di daratan yang dipicu oleh kebutuhan untuk perluasan Sektor Industri dan sektor-sektor pendukung lainnya. ♦ Sekitar 2 731.60 hektar kawasan hutan lindung dan hutan wisata dikonversi dan beralih fungsi serta adanya reklamasi pantai yang dilakukan secara terus-menerus khususnya yang dilakukan melalui
128
konversi kawasan mangrove untuk pengembangan Sektor Industri dan sektor-sektor pendukungnya. Hal ini dapat mempengaruhi peningkatan partikel-partikel sedimen di perairan pantai apabila terkena aliran air hujan, yang pada akhirnya dapat mengancam keberadaan ekosistem pesisir dan laut karena mengganggu proses fotosintesis dan menutupi padang lamun dan karang hidup serta mengakibatkan turunnya produktivitas perikanan pantai. ♦ Berubahnya kawasan resapan air menjadi kawasan industri dan bisnis, permukiman dan sebagainya yang menimbulkan penurunan daya dukung lingkungan di kawasan tersebut. 5) Belum optimalnya pengelolaan lingkungan oleh Sektor Industri sehingga memberikan kontribusi pada penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut. ♦ Dari sekitar 575 perusahaan industri dan pariwisata dan sebagainya yang ada di Batam apabila tidak dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang cukup tinggi, apalagi baru sekitar 139 perusahaan yang melakukan kegiatannya dilengkapi dengan dokumen AMDAL/Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) maupun Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan terindikasi baru sekitar 25% industri yang melakukan pengelolaan lingkungan hidupnya dengan baik. ♦ Dari sekitar 24 kawasan industri, baru sekitar 4 kawasan industri yang dilengkapi studi AMDAL dan hanya satu kawasan industri yang memiliki IPAL sehingga rawan terhadap terjadinya pencemaran. ♦ Masih banyak ditemui pembuangan limbah cair dari industri yang langsung ke perairan pantai atau media lingkungan lainnya tanpa melalui proses pengelolaan limbah terlebih dahulu. 6) Adanya perkembangan industri yang pesat akan memicu terjadinya degradasi lingkungan dan SDA karena dikhawatirkan terjadi ekspoitasi SDA yang tak terkendali dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pasar akibat adanya permintaan yang tinggi. 7) Adanya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat adanya dua lembaga pemerintah di Kota Batam yang masing-masing secara hukum sah
129
keradaannya, yaitu Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam.
Hal ini
banyak menimbulkan terjadinya kerancuan dan tumpang-tindih kepentingan yang pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kondisi lingkungan pesisir. Untuk ke-7 komponen yang termasuk faktor ancaman selanjutnya diberi simbol T1, T2, T3, T4, T5, T6 dan T7.
Penentuan urutan prioritas dari strategi pengelolaan yang dipilih Untuk menentukan urutan prioritas dari seluruh strategi yang ada dilakukan dengan pemberian bobot pada masing-masing komponen pembentuk strategi, yang dalam hal ini terdiri dari komponen-komponen yang termasuk dalam faktor internal, meliputi kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5) dan kelemahan (W1,W2 ,W3, W4, W5, W6, W7, W8, W9) serta faktor eksternal yang terdiri dari peluang (O1, O2, O3, O4, O, O6) dan ancaman (T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7) seperti Tabel 47 dan 48. Kisaran nilai bobot ditentukan antara 1 sampai dengan 3 yang didasarkan pada derajat kepentingan dari komponen tersebut. Komponen yang paling penting diberi nilai bobot yang paling tinggi, yaitu 3. Komponen ini merupakan komponen yang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut secara berkelanjutan. Untuk komponen yang paling kecil diberi nilai bobot 1, yang menggambarkan bahwa keberadaannya (ada/tidak ada) tidak mempunyai kontribusi yang signifikan. Sedangkan komponen yang dikategorikan penting adalah komponen yang tidak didefinisikan sebagai komponen yang sangat penting dan tidak penting dan diberi nilai bobot 2.
130
Tabel 47 Pembobotan faktor internal dengan analisis SWOT
S1.
S2.
S3.
S4.
S5.
Kekuatan (S) Letak geografis Kota Batam yang strategis
Ketersedian sumberdaya alam yang cukup potensial
Adanya dukungan dari peraturan perundangundangan dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup Adanya institusi di Pemerintah Kota Batam yang menangani pengelolaan lingkungan hidup termasuk pengelolaan lingkungan pesisir dan laut serta adanya lembaga yang menangani pembangunan kelautan dan perikanan di Kota Batam Masih adanya sebagian wilayah Kota Batam yang kondisi lingkungannya masih relatif lebih baik
Bobot W1. 3
W2. 3
W3. 2
W4.
2
W5. 3 W6.
W7. W8.
W9.
Kelemahan (W) Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut Tidak digunakannya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Batam sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang Masih kurangnya sosialisasi terhadap kebijakankebijakan yang terkait derngan pelestarian lingkungan Rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan nelayan dalam melakukan diversifikasi usaha
Adanya industri-industri yang sebenarnya tidak dianjurkan dikembangkan di Kota Batam Belum adanya basis data tentang potensi sumberdaya pesisir dan laut Pelaksanaan koordinasi masih lemah Sebaran penduduk yang tidak merata antara Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya Lemahnya pelaksanaan peraturan perundangundangan dan penegakkan hukum
Bobot 3
3
2
2
3
2
3
1
2
131
Tabel 48 Pembobotan faktor eksternal dengan analisis SWOT O1.
02.
O3.
O4.
O5.
O6.
Peluang (O) Adanya kemungkinan merubah pola pikir masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut Adanya sebagian industri yang mengikuti aturan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup Adanya perhatian dunia internasional dalam pengendalian pencemaran laut di perairan sekitar Kota Batam
Adanya perhatian negara lain dalam melakukan implementasi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam dan daerah sekitarnya Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan kemandirian Pemerintah Kota Batam dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penyelenggaraan pembangunan Letak strategis Kota Batam apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas SDM terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan SDA secara lestari
Bobot T1.
Ancaman (T) Pulau Batam sebagai pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan lingkungan
Bobot 3
2
T2. 2
T3. 1
T4.
1
T5.
3
T6.
Adanya penyebaran polutan dari negara-negara sekitarnya yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut Adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan Adanya pembukaan lahan yang tak terkendali di daratan yang dipicu oleh kebutuhan untuk perluasan Sektor Industri dan sektorsektor pendukung lainnya Belum optimalnya pengelolaan lingkungan oleh Sektor Industri sehingga memberikan kontribusi pada penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut
Adanya perkembangan industri yang pesat akan memicu terjadinya degradasi lingkungan dan SDA
1
2
2
3
2
2
T7.
Adanya konflik pemanfaatan lahan
2
132
Langkah
selanjutnya
adalah
menentukan
strategi-startegi
dengan
memadukan komponen-komponen SWOT, yaitu antara IFAS dengan EFAS yang merupakan komponen pembentuk strategi tersebut seperti dalam Tabel 49. Tabel 49 Strategi dan komponen pembentuknya dalam analisis SWOT IFAS EFAS Peluang (O1, O2, O3, O4, O5, O6)
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6, W7, W8, W9) 1. Peningkatan kualitas SDM 1. Peningkatan kualitas (S1, S2, S3, O5, O6) sumberdaya manusia (W4, O5, O6) 2. Pengembangan kawasan industri secara terpadu yang 2. Pencegahan dan dilengkapi dengan sistem pengendalaian pencemaran pembunagan limbah yang baik laut oleh industri yang (S2, S3, O1, O2) dilakukan secara terpadu dan terencana (W1, W3, W5, W8, 3. Pencegahan dan O3, O4, O5) pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang 3. Peningkatan mekanisme dan dilakukan secara terpadu dan efektifitas koordinasi dari terencana (S3, S4, O3, O4, O5) mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan 4. Peningkatan mekanisme dan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pemanfaatan SDA dan pelaksanaan serta pemantauan tumpang tindih kepentingan dan evaluasi dalam rangka (W7, O1, O3, O4) menghindari adanya konflik 4. Penguatan dan peningkatan pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan kemampuan kelembagaan dan (S2, S4, O1, O3, O4) sumberdaya manusia di Kota Batam (W1, O1) 5. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan 5. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan sumberdaya manusia di Kota Batam (S3, S4, O1) industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan 6. Penggalangan kerjasama ekosistem pesisir dan laut di kemitraan dengan kalangan Kota Batam (W3, O2, O3, O4) industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan 6. Mengupayakan pola ekosistem pesisir dan laut di pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam (S4, S5, O2, O3, Kota Batam antara satu O4) kegiatan dengan kegiatan lainnya (W2, W9, O6)
133
Tabel 49 (Lanjutan) IFAS EFAS Peluang (O1, O2, O3, O4, O5, O6)
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5) 7. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (S2, S3, O6) 8. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (S3, S4, O3, O5) 9. Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan (Environmental Information System) dalam bentuk menyediaan basis data yang mutakhir (S2, O3, O4, O5) 10. Menyusun tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (S2, O3, O4)
Ancaman (T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7)
1. Pengembangan kawasan industri secara terpadu yang dilengkapi dengan sistem pembunagan limbah yang baik (S2, S3, T4, T5)
2. Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana (S3, S4, T1, T2, T3, T5, T6)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6, W7, W8, W9) 7. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (W9, O3, O5) 8. Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan (Environmental Information System) dalam bentuk menyediaan basis data yang mutakhir (W6, O3, O4, O5) 9. Menyusun tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (W2, O3, O4) 10. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya dan lingkungan pesisir dan laut pada khsusunya (W1, W3, O1, O2) 1. Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana (W1, W3, W5, W8, T1, T2, T3, T5, T6) 2. Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan (W7, T1, T7)
134
Tabel 49 (Lanjutan) IFAS EFAS Ancaman (T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7)
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5) 3. Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan (S2, S4, T1, T7) 4. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam (S3, S4, T3, T5, T6) 5. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (S4, S5, T1, T2, T3, T5, T6) 6. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (S2, S3, T4) 7. Menekan sekecil mungkin upaya pengembangan industri melalui pembukaan lahan yang dilakukan dengan merusak kawasan lindung, reklamsi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove atau sempadan pantai (S2, S5, T1, T4, T6)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6, W7, W8, W9) 3. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam (W1, T3, T5, T6) 4. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (W3, T1, T2, T3, T5, T6) 5. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (W2, W9, T4) 6. Menekan sekecil mungkin upaya pengembangan industri melalui pembukaan lahan yang dilakukan dengan merusak kawasan lindung, reklamsi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove atau sempadan pantai (W2, W3, W6, T1, T4, T6) 7. Melakukan inventarisasi jumlah dan jenis industri serta sistem pembuangan limbahnya terutama terhadap industriindustri terutama yang didirikan di wilayah pesisir yang berpotensi besar dapat menimbulkan terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (W5, W6, T5)
135
Tabel 49 (Lanjutan) IFAS EFAS
Ancaman (T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7)
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6, W7, W8, W9) 8. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (W9, T5)
8. Pengembangan industri kususnya di Kecamatan Galang (Pulau Rempang dan Pulau Galang) diarahkan pada industri yang ramah lingkungan dengan menghindari melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang dapat menimbulkan 9. Pengembangan Sistem degradasi lingkungan (S5, T1) Informasi Lingkungan (Environmental Information 9. Peningkatan pengawasan System) dalam bentuk dan pemantauan yang menyediaan basis data yang dilakukan secara teratur mutakhir (W6, T2, T6, T7) terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan 10. Menyusun tata ruang penegakkan hukum secara pesisir dan laut yang berada tegas (S3, S4, T5) dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan 10. Pengembangan Sistem pembagian zonasi terhadap Informasi Lingkungan berbagai peruntukan (W2, T1, (Environmental Information T6, T7) System) dalam bentuk menyediaan basis data yang 11. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mutakhir (S2, T2, T6, T7) pengelolaan lingkungan hidup 11. Menyusun tata ruang pada umumnya dan pesisir dan laut yang berada lingkungan pesisir dan laut dalam kewenangan Pemerintah pada khsusunya (W1, W3, T5, Kota Batam untuk kepentingan T6) pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (S2, T1, T6, T7)
Berdasarkan tabel di atas kemudian dapat disusun sebanyak 14 strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam seperti dapat dilihat pada Tabel 50. Dari ke-14 strategi yang diperoleh maka dengan menjumlahkan nilai bobot dari seluruh komponen pembentuk setiap strategi dapat ditentukan urutan prioritas dari strategi- strategi tersebut.
136
Tabel 50 Komponen dan bobot pembentuk strategi dalam analisis SWOT Komponen dan bobot pembentuk strategi Strategi
Komponen
Nilai bobot
Strategi 1.
S1, S2, S3, W4, O5, O6
15
Strategi 2.
S2, S3, O1, O2, T4 , T5
14
Strategi 3.
29
Strategi 4.
S3, S4, W1, W3, W5, W8, O3, O4, O5, T1, T2, T3, T5, T6 S2, S4, W7, O1, O3, O4, T1, T7
Strategi 5.
S3, S4, W1, O1, T3, T5, T6
16
Strategi 6.
S4, S5, W3, O2, O3, O4, T1, T2, T3, T5, T6
22
Strategi 7.
S2, S3, W2, W9, O6, T4
14
Strategi 8.
S2, S5, W2, W3, W6, T1, T4, T6
20
Strategi 9.
W5, W6, T5
8
Strategi 10.
S5, T1
6
Strategi 11.
S3, S4, W9, O3, O5, T5
13
Strategi 12.
S2, W6, O3, O4, O5, T2, T6, T7
15
Strategi 13.
S2, W2, O3, O4, T1, T6, T7
15
Strategi 14.
W1, W3, O1, O2, T5, T6
14
17
Dengan melihat nilai bobot seperti dalam Tabel 50 maka urutan prioritas dari strategi yang perlu dilakukan dalam rangka pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam berdasarkan kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya adalah sebagai berikut: Prioritas 1:
Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana dengan dukungan
peraturan
perundang-undangan,
kebijakan
pemerintah dan kelembagaan pengelola serta SDM yang berkualitas. Prioritas 2:
Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam, termasuk dalam upaya melakukan perlindungan dan konservasi SDA dan lingkungan yang kondisinya masih relatif baik.
137
Prioritas 3:
Menekan sekecil mungkin upaya pengembangan industri yang umumnya dilakukan melalui pembukaan lahan dengan merusak
kawasan
lindung,
reklamasi
pantai
dengan
mengkonversi kawasan mangrove atau sempadan pantai, serta menghindari pembukaan lahan di kawasan tangkapan air (catchment area) dan yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Prioritas 4:
Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan sumberdaya
alam
dan
tumpang
tindih
kepentingan.
Mengingat terdapat dua lembaga pemerintah di Kota Batam yang masing-masing secara hukum sah keberadaannya (Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam) sehingga untuk menghindari
tumpang-tindih
kepentingan
yang
akan
membawa dampak negatif terhadap lingkungan pesisir maka diperlukan adanya koordinasi menyangkut kejelasan dan kepastian pembagian kewenangan dan tanggung jawab (siapa, berbuat apa, mengapa, dimana dan kapan). Hal ini diperlukan agar bisa saling mengisi dan bukannya saling kontradiksi dengan
didukung
oleh
adanya
kebijakan-kebijakan
pengelolaan lingkungan pesisir secara komprehensif untuk semua
sektor
pembangunan,
termasuk
didalamnya
keterpaduan antar sektor dan lembaga terkait yang ada di Kota Batam. Keterpaduan ini perlu dilakukan dari mulai proses perencanaan,
penyusunan,
pelaksanaan,
pemantauan
(termasuk pengawasan) dan evaluasi dari kebijakan yang ada serta kebijakan yang disusun harus diarahkan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada saat ini dan untuk generasi yang akan datang.
138
Prioritas 5:
Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan
pesisir,
termasuk
didalamnya
kelembagaan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan pesisir dan laut (kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat,
perguruan
tinggi,
dan
swasta/pengusaha).
Kelembagaan masyarakat ini harus dapat berperan aktif bersama-sama
pemerintah
daerah
dalam
melakukan
pengawasan dan mencegah lingkungan yang masih relatif baik serta memperbaiki kondisi lingkungan yang telah mengalami degradasi. Prioritas 6:
a) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka penguasaan pengetahuan dan ketrampilan baik melalui jalur formal maupun informal seperti melalui pendidikan atau pelatihan untuk mendukung perwujudan Kota Batam sebagai pusat pengembangan industri hasil kelautan yang dikelola secara profesional dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan. b) Pengembangan (Environmental
Sistem
Informasi
Information
System)
Lingkungan dalam
bentuk
menyediaan basis data yang mutakhir untuk memberikan informasi secara berkala mengenai kondisi SDA dan lingkungan hidup pada umumnya serta lingkungan pesisir dan laut pada khususnya. c) Penyusunan tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi bagi berbagai peruntukan sehingga diharapkan dapat memperkecil dampak kerugian ekologi dan sosial-ekonomi.
139
Prioritas 7:
a) Pengembangan kawasan industri secara terpadu yang dilengkapi dengan sistem pembungan limbah yang baik serta
dilakukan
berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan dan kebijakan pemerintah. b) Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya dengan harapan akan tetap terjaganya kelestarian lingkungan. c) Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya serta lingkungan pesisir dan laut pada khsusunya bagi generasi sekarang
dan
generasi
yang
akan
datang
dengan
melakukan pembinaan kepada masyarakat dan penanggung jawab usaha (perusahaan). Prioritas 8:
Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan
penegakan
hukum
secara
tegas
dengan
memberikan penghargaan (reward) terhadap industri-industri yang mengikuti aturan dengan baik serta memberikan sanksi kepada industri-industri yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Prioritas 9:
Penataan dan pengaturan sistem pengelolaan limbah industri dengan melakukan inventarisasi jumlah dan jenis industri serta sistem pembuangan limbahnya terutama terhadap industri-industri yang didirikan di wilayah pesisir yang berpotensi besar dapat menimbulkan terjadinya pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam. Sebagai gambaran ancaman dari salah satu industri yang potensial
memberikan
pengaruhnya
langsung
terhadap
kualitas dan kehidupan biota pantai/laut di Kota Batam adalah dari kegiatan industri kapal atau galangan kapal (shipyard)
140
karena umumnya lokasi industri ini langsung berada di pinggir pantai sehingga limbah dari operisonal rutinnya mengakibatkan terjadinya pencemaran di pesisir dan laut. Pada umumnya
limbah dari aktivitas industri ini tidak
dikelola dengan baik, bahkan biasanya langsung dibuang ke perairan pantai di sekitarnya.
Selain itu, strategi ini
diperlukan dalam rangka meminimalkan dampak negatif industri terhadap lingkungan pesisir dan laut Kota Batam terutama di wilayah padat industri, seperti di Kecamatan Sei Beduk,
Kecamatan
Nongsa,
Kecamatan
Sekupang,
Kecamatan Lubuk Baja dan Kecamatan Batu Ampar. Prioritas 10:
Pengembangan industri kususnya di Kecamatan Galang (Pulau Rempang dan Pulau Galang) diarahkan pada industri yang ramah lingkungan dengan melakukan pengolahan hasil pertanian dan perikanan serta jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, dengan menghindari melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang dapat menimbulkan degradasi lingkungan.
141
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatan industri dan pengembangannya yang ada di Kota Batam membawa dampak positif terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya. Beberapa jenis industri yang ada di Kota Batam meliputi industri kapal (shipyard), elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam, garmen dan tekstil, bahan kimia, kertas dan barang dari kertas, gelas dan barang dari gelas, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, pengolahan barang dari karet, bengkel dan jasa pendukung, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa industri, makanan, minuman, furniture, percetakan, penerbitan dan periklanan. Adanya aktivitas industri dan pengembangannya ternyata membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup berupa penurunan kualitas lingkungan, seperti terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut.
Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan, yang ditandai oleh buruknya kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta sumberdaya perikanan.
Beberapa
kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut di antaranya pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan hutan dan perbukitan serta reklamasi pantai yang pada umumnya dilakukan melalui konversi kawasan mangrove yang dijadikan bagi peruntukkan lainnya. Berdasarkan analisis kualitas air laut yang dilakukan dengan metode STORET dapat dikatakan bahwa perairan Kota Batam dalam keadaan tercemar. Distribusi polutan terjadi baik secara vertikal (pada bagian permukaan dan dekat dasar perairan laut) maupun secara horisontal pada berbagai wilayah perairan laut di Kota Batam. Secara vertikal, kualitas air laut yang diambil dari dekat dasar perairan laut maupun dari bagian permukaan perairan laut menunjukkan tingkat kualitas yang buruk atau tercemar berat dengan total skor antara –38 sampai dengan –85. Beberapa parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu dan ditemukan pada semua lokasi pengamatan meliputi Pb, Zn, NO3-N dan fenol.
142
Secara horisontal, kualitas air laut juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Kondisi kualitas air pada seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam dalam keadaan tercemar dan sebagian besar dalam keadaan tercemar berat, baik yang diambil di sekitar daerah industri maupun yang jauh dari daerah industri dengan total skor antara -30 sampai dengan -69. Beberapa logam berat yang diperoleh telah melampaui baku mutu adalah Cu, Cd, Cr, Pb, Ni dan Zn, bahkan seluruh wilayah perairan laut di Kota Batam telah tercemar oleh Zn, sedangkan Cu dan Pb telah mencemari sebagian besar wilayah perairan laut di Kota Batam kecuali perairan laut di Kecamatan Sei Beduk. Demikian halnya dengan BOD5, yang dijumpai pada seluruh wilayah perairan laut di Kota Batam dalam keadaan sudah tidak memenuhi baku mutu. Berdasarkan kondisi riilnya, ekosistem mangrove di Kota Batam pada umumnya telah mengalami tekanan akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas yang banyak merusak kawasan mangrove adalah adanya alih fungsi (konversi) kawasan mangrove dan reklamasi wilayah pesisir Kota Batam yang sebagian besar dilakukan untuk mendukung pengembangan industri di daerah ini. Kerusakan mangrove tersebut terutama dijumpai di Batam bagian utara yang dalam penelitian ini diwakili daerah Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja. Di bagian selatan Batam, kondisi mangrovenya relatif masih lebih baik, terutama mangrove yang berada pada sebagian besar wilayah pesisir Kecamatan Galang. Bebeberapa jenis mangrove yang ditemukan di pesisir Kota Batam, yaitu Rhizophora sp., Avicennia sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia sp., Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp. Terumbu karang pada kedalaman perairan laut 3 meter dan 10 meter kondisinya cukup bervariasi, yaitu dari rusak (buruk dan sedang) sampai baik (baik dan baik sekali). Adanya kualitas perairan laut Kota Batam yang tercemar limbah khususnya oleh limbah industri akan mengancam kelangsungan hidup terumbu karang di daerah ini. Ekositem padang lamun di Barelang (Batam, Rempang dan Galang) kondisinya termasuk jarang hingga sedang dan dapat dikatakan bahwa status padang lamun di daerah ini termasuk dalam kategori rusak.
143
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan hasil tangkapan ikan dan ikan yang tertangkap ukurannya semakin kecil, terutama terjadi pada kegiatan penangkapan ikan karang, udang dan ikan demersal lainnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh turunnya kualitas perairan pesisir dan laut karena telah mengalami pencemaran dan terjadinya degradasi fisik hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Sehubungan dengan itu diperlukan adanya arahan kebijakan pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait serta didukung oleh adanya partisipasi aktif dari seluruh komponen yang ada. Untuk itu maka Pemerintah Kota Batam bersama-sama dengan masyarakat dan dunia usaha perlu melakukan kerjasama yang baik dalam melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang holistik, dengan memperhatikan aspek pelestarian lingkungan hidup. Adanya kebijakan yang holistik ini menjadi dasar dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu, termasuk pengelolaan lingkungan pesisir. Pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu di Kota Batam menjadi kebutuhan yang perlu segera dilakukan agar dampak negatif dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat ditekan sekecil mungkin.
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan adanya strategi
pengelolaan. Prioritas pertama yang harus dilakukan dari beberapa startegi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah melakukan pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana dengan dukungan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dan kelembagaan pengelola serta sumberdaya manusia yang berkualitas.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dalam rangka untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas industri dan pengembangannya terhadap lingkungan hidup khususnya terhadap lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
144
1. Perlu dilakukan penegakkan hukum secara terus menerus dan konsisten dengan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan, khususnya di lingkungan pesisir dan laut 2. Menumbuhkan kesadaran kepada semua pihak khususnya para pengelola industri atau penangung jawab usaha untuk peduli terhadap lingkungan dengan melakukan pengelolaan limbah dari hasil usahanya dalam rangka menekan resiko terjadinya pencemaran, kerusakan ekosistem dan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut. 3. Dalam pemanfaatan ruang atau kawasan bagi suatu peruntukkan harus berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam yang dibuat secara komprehensif melalui kajian yang didukung dengan data yang akurat. 4. Beberapa strategi pengelolaan yang dihasilkan dari penelitian ini perlu diaplikasikan
dan
dijadikan
pertimbangan
dalam
menentukan
arah
pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam. 5. Untuk melengkapi hasil penelitian ini maka perlu adanya kajian atau penelitian lanjutan mengenai: ♦ Model pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam secara terpadu. ♦ Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan Kota Batam. ♦ Pola penyebaran polutan dan dampaknya terhadap produktivitas perairan laut Kota Batam pada setiap musim. ♦ Kajian terhadap jenis limbah dari masing-masing industri yang potensial dapat mengancam kelestarian ekosistem dan sumberdaya hayati lainnya yang ada di lingkungan pesisir dan laut Kota Batam. ♦ Kajian dampak pencemaran laut terhadap kesehatan masyarakat pesisir Kota Batam.
145
DAFTAR PUSTAKA Anna, S. 1999. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Thesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB. [Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Jakarta: Bapedal. [Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam. 2002. Data Base Lingkungan Hidup Kota Batam. Batam: Bapedal Kota Batam. [Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam. 2003. Kondisi Lingkungan Hidup Batam 2002. Batam: Bapedal Kota Batam. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam. 2001. Batam Dalam Angka 2000. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam. 2002. Batam Dalam Angka 2001. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Batam. 2003. Batam Dalam Angka 2002. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam. [Bappeda] Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Batam. 2004. Batam Dalam Angka 2003. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam. Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: PKSPL IPB. Bengen, D. G., A. Tahir, A. Rizal dan Pawitno. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-pulau Kecil. Laporan Akhir. Kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: KLH. Canter, L. W. 1977. Environmental Impact Assessment. New York: Mc Graw Hill Book Company.
146
Chia, L. S., K. Habibullah and L. M. Chou. 1988. The Coastal Environmental Profile of Singapore. ICLARM Technical Report. International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila, Philippines. [COREMAP] Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Riau. 1996. Kualitas dan Kondisi Karang serta Keanekaragaman Hayati Laut di Kecamatan Bintan Timur, Senayang dan Lingga Kabupaten Kepulauan Riau. Bahan III, Lokakarya COREMAP, Pekanbaru, 23 Agustus 1996. hlm 12, 35-36. Costanza, R. (ed). 1991. Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability. New York: Columbia University Press. Dahuri, R., J. Rais dan S. P. Ginting. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. 2002. Identifikasi Data Pendukung Program Pembangunan Usaha Perikanan Kota Batam. Batam: Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. 2004. Identifikasi Data Perikanan Tahun 2004. Batam: Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. [Dishidros] Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. 2003. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia Tahun 2003. Jakarta: Dishidros TNI AL. [Disperindag] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Batam. 2002. Profil Perusahaan Industri Kota Batam Tahun 2002. Proyek Pembinaan Usaha Ekonomi Masyarakat Produktif Kota Batam. Batam: Disperindag Kota Batam. English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Gomez, E.D. dan H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition in Kechington, R.A. and B.E.T. Hudson (ed) : Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Hutomo, M. 1985. Telaah Ekologik Komunitas Ikan Padang Lamun (Seagrass, Anthophyta). Di Perairan Teluk Banten. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor: IPB.
147
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1993. Hasil Lokakarya Pemantapan Startegi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Lokakarya di atas Kapal Kerinci (Jakarta-Medan), 11-13 September 1993. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan Environmental Management Development in Indonesia (EMDI-3). Jakarta: KLH. [KLH] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1998. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup . 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup . 2004a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta: KLH. Kitamura, S., Chairil, A., Amalyos, C. dan Shigeyuki, B. 2003. Buku Panduan Mangrove di Indonesia, Bali dan Lombok. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Mangrove Information Centre (MIC) Project, Japan International Cooperation Agency (JICA). Bali: Jaya Abadi. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
148
Kusnoputranto, H. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengolahan Limbah dalam Menghadapi Tantangan Global. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Teknologi Lingkungan BPPT. Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia (MOE RI). 2000. An ecosystem approach to integrated coastal zone and marine biodiversity resources management and development plan in Riau Province: Barelang (Batam, Rempang, Galang) and Bintan Islands. Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway. Jakarta: MOE RI. Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia (MOE RI). 2002. Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand: Review National Water Quality Data and Evaluate the Transboundary Fate of Pollutants in the South China Sea (Phase 1). Ministry of Environment-Republic of Indonesia in cooperation with Marine Sciences Study Program-Faculty of Fisheries And Marine Sciences-Bogor Agricultural University. Jakarta: MOE RI. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Batam Industrial Development Authority. 2001. Development Progress 2001: Batam, Indonesia. Patnowati, I. 1996. Pengaruh pencemaran limbah dari kawasan industri di lingkungan perairan Batu Ampar Pulau Batam terhadap ikan Dingkid (Siganus canaliculatus P) dan Sotong (Sepia spp). Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan Jurusan Antar Bidang Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: UGM. Pemerintah Kota Batam. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 20012011. Batam: Pemko Batam. Pemerintah Kota Batam. 2001. Rencana Strategis Pembangunan Kota Batam Tahun 2001-2005. Batam: Pemko Batam. Pemerintah Kota Batam. 2004. Revisi Rencana Strategis Pembangunan Kota Batam Tahun 2001-2005. Batam: Pemko Batam. [PERTAMINA] Conoco Indonesia Inc. 1998. Analisis Dampak Lingkungan Pipanisasi Gas Bawah Laut di Kabupaten Dati II Kepulauan Riau dan Kotamadya Batam Propinsi Riau. Jakarta: PERTAMINA Conoco Indonesia Inc.
149
[PERTAMINA] Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. 2002. Pemetaan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) di Pantai Batam-Riau. Kerjasama K3LL Direktorat Pengembangan PERTAMINA dengan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: PERTAMINA. [PGN] PT. Perusahaan Gas Negara (Persero). 2000. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Pipanisasi Gas Bumi PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Batam-Singapura (Borderline). Kerjasama PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: PT. PGN (Persero). [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 1998. Pipanisasi Gas Bawah Laut di Kabupaten Daerah Tingkat II Kepulauan Riau Propinsi Daerah Tingkat I Riau. Kerjasama PERTAMINA (Conoco Indonesia Inc.) dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor: PKSPL IPB. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. 2001. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Riau Kepulauan Propinsi Riau. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Riau dengan PKSPL-IPB. Pekanbaru: Bappeda Propinsi Riau. PRC Environment Management Inc. 1998. Profil Wilayah Pesisir Barelang. Laporan Tahap Ketiga, kerjasama antara PRC Environment Management Inc. dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIP). Jakarta: OPDIP. PT. Bumimas Batamjaya. 2001. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Penambangan Pasir Laut di Wilayah KP Eksplorasi KW 006NS2001 Kecamatan Nongsa dan Batu Ampar Kota Batam, Propinsi Riau. Batam: PT. Bumimas Batamjaya. Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Riau Coastal Zone Local Management Planning. 1999. Riau Province Snedaker, S. C. dan C. D. Getter. 1985. Coastal Resource Management Guidelines. Coastal Publication No. 2. Columbia, South Carolina: Research Planning Institute Inc. Schuster, W. H. and R.R Djajadiredja. 1952. Local Common Names and Indonesian Fishes. Published for The Ministry of Agriculture of Indonesia, Laboratory for Finland Fisheries. Bandung, ‘S-Gravenhag’: N. V. Penerbit W. Van Hoeve.
150
UNDP/GEF/IMO. 1988. Natural Resources Damage Assesment Manual for Tropical Ecosystems. UNEP. 1993. Monitoring Coral Reefs for Global Change. Reference Method for Marine Polution Studies No. 61. 72 p. Zieren, M. T., F. Ariwibowo dan T. Priyatna. 1996. Kualitas Air Laut dan Terumbu Karang di Pulau Bintan, Riau. Riau Coastal Zone Land-Use Management Project. PT. Ardes Perdana.
151
Lampiran 1 Kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 No.
1 2 3 4 1
Parameter
Satuan
FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Detergen Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+) Arsen (As) Selenium
Sumber: PERTAMINA Conoco (1998)
BN 1
BN 2
BN 3
BN 4
BN 5
Pt.Co o C mg/l NTU
5 31 164 0.61
5 30.5 166 0.65
5 30 144 0.66
5 31.5 136 1.00
5 30.4 132 0.55
-
8.20
8.20
8.21
8.17
8.17
28.5
33.5
34
34.5
33.0
5.1 5.68 33.02 0.034 0.001 0.020 0.014 < 0.01 0.014 0.005 0.250 0.051 0.048 0.043 < 0.001 0.004 0.167 0.008
6.0 6.82 80.70 0.025 < 0.001 0.052 0.027 < 0.01 0.029 < 0.001 0.225 0.056 0.046 0.017 0.083 0.002 0.155 0.005
5.0 7.91 41.14 0.025 0.003 0.054 0.060 < 0.01 0.015 < 0.001 0.150 0.037 0.086 0.086 0.124 0.004 0.189 0.004
5.0 7.95 16.86 0.033 < 0.001 0.033 0.036 < 0.01 0.012 < 0.001 0.100 0.037 0.026 0.026 0.041 < 0.001 0.244 0.002
5.2 5.20 33 0.025 0.001 0.076 0.074 < 0.01 0.006 0.006 0.200 0.093 0.029 0.060 0.166 < 0.001 0.233 < 0.001
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
152
Lampiran 2 Kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 No.
1 2 3 4 1
Parameter FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+)
Sumber: PGN (2000)
Satuan
BU 2
BU 3
BU 4
BU 5
BU 6
Pt.Co o C mg/l NTU
4.20 28.2 14 0.52
4.40 28.2 15 0.60
4.40 28.5 18 1.00
4.70 29 12 0.50
4.30 29 14 0.45
-
8.0
8.0
8.1
8.0
8.1
31.5
31.7
31.5
31.1
31.0
6.5 4.14 33.02 0.055 0.005 0.103 0.028 < 0.01 0.015 < 0.001 < 0.001 0.026 < 0.001 4.920 < 0.001
6.5 4.14 33.02 0.055 0.005 0.103 0.028 < 0.01 0.026 < 0.001 < 0.001 0.026 0.005 4.115 < 0.001
6.5 4.02 41.10 0.019 0.001 0.166 0.054 < 0.01 0.025 < 0.001 < 0.001 0.032 0.006 4.874 < 0.001
5.9 4.34 41.10 0.070 0.003 0.024 0.041 < 0.01 0.034 < 0.001 < 0.001 0.035 0.008 5.880 < 0.001
7.0 3.50 24.94 0.272 0.001 0.008 0.029 < 0.01 0.014 < 0.001 < 0.001 0.023 < 0.001 4.422 < 0.001
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
153
Lampiran 3 Kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998 No.
1 2 3 4 1
Parameter
Satuan
FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Detergen Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+) Arsen (As) Selenium
Sumber: PERTAMINA Conoco (1998)
BN 1
BN 2
BN 3
BN 4
BN 5
Pt.Co o C mg/l NTU
5 31.0 120 0.38
5 30.0 126 0.40
5 30.5 150 0.60
5 31.5 140 0.36
5 30.2 138 0.37
-
8.19
8.30
8.19
8.15
8.14
33.5
33.5
24.0
7.3 6.36 33.02 0.038 < 0.001 0.037 0.008 < 0.01 0.024 < 0.001 0.100 0.042 0.026 0.129 0.086 0.004 0.267 0.005
7.2 7.95 49.18 0.019 0.002 0.039 0.014 < 0.01 0.015 < 0.001 0.100 0.046 0.095 0.095 0.041 < 0.001 0.344 0.003
7.1 7.72 33.02 0.044 0.001 0.108 0.008 < 0.01 0.015 < 0.001 0.025 0.056 0.021 0.069 < 0.001 < 0.001 0.355 0.002
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
33.0 7.2 7.95 18.77 0.016 0.003 0.046 0.005 < 0.01 0.015 < 0.001 0.275 0.037 0.032 0.121 0.083 0.004 0.333 0.008
24.0 7.3 8.14 41.10 0.036 < 0.001 0.044 0.027 < 0.01 0.014 < 0.001 0.150 0.031 0.040 0.034 0.083 < 0.001 0.278 0.008
154
Lampiran 4 Kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 No.
1 2 3 4 1
Parameter FISIKA Warna Suhu Padatan Tersuspensi Kekeruhan KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD Amonia total NO2-N NO3-N Ortofosfat Minyak dan lemak Fenol Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Khrom (IV) (Cr6+)
Sumber: PGN (2000)
Satuan
BU 1
BU 2
BU 3
BU 4
BU 5
BU 6
Pt.Co o C mg/l NTU
4.20 28.5 18 0.40
4.95 28.5 14 0.43
4.80 28.5 12 0.30
4.80 28.9 16 0.35
4.85 29.0 16 0.35
4.60 29.0 16 1.00
-
8.15
8.00
8.05
8.10
8.00
8.15
31.5
31.5
31.7
31.5
31.1
31.0
6.80 3.42 24.94 0.021 0.002 0.061 0.057 < 0.01 0.016 < 0.001 < 0.001 0.026 0.005 4.720 < 0.001
6.70 4.34 28.98 0.102 0.002 0.033 0.032 < 0.01 0.036 < 0.001 < 0.001 0.035 0.008 8.520 < 0.001
6.50 4.42 41.10 0.317 0.002 0.004 0.025 < 0.01 0.035 < 0.001 < 0.001 0.034 0.008 5.820 < 0.001
6.70 4.61 24.94 0.040 0.002 0.047 0.036 < 0.01 0.038 < 0.001 < 0.001 0.049 0.009 6.884 < 0.001
6.00 4.14 37.06 0.026 0.002 0.025 0.038 < 0.01 0.034 < 0.001 < 0.001 0.038 0.012 6.924 < 0.001
7.40 4.98 20.90 0.249 0.001 0.036 0.039 < 0.01 0.019 < 0.001 < 0.001 0.032 < 0.001 4.870 < 0.001
O
/oo
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
155
Lampiran 5 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 St-130 St-131 St-132 Parameter Satuan FISIKA 1 Warna PtCo 0 0 0 2 Kebauan alami alami alami 3 Kekeruhan NTU 1 3 2 4 TSS mg/l 4 8 4 o C 5 Suhu 28.3 28.4 28.6 KIMIA 1 pH 8.19 8.19 8.20 2 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.41 6.44 6.71 3 BOD5 mg/l 23.75 22.11 23.73 4 COD (K2Cr2O7) mg/l 62.52 58.62 62.52 mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 5 Ammonia (NH4-N) mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.03 6 Nitrit (NO2-N) 7 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 8 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 9 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.20 10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 11 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 12 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 13 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.006 14 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 15 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 16 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 17 Tembaga (Cu) mg/l 0.016 0.03 0.03 18 Timbal (Pb) mg/l 0.017 0.017 0.064 19 Seng (Zn) mg/l 0.033 0.027 0.073 20 Nikel (Ni) mg/l 0.028 0.035 0.059 21 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 Keterangan: St-130: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Kabil St-131: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai dekat Semen Batam St-132: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai dekat Depo Pertamina St-133: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai dekat Kabil Indonusa Estate (KIE)
St-133
No.
4 alami 6 16 28.2 8.19 6.03 25.22 66.43 < 0.04 < 0.03 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 < 0.006 < 0.001 < 0.007 < 0.001 0.082 0.017 0.031 0.038 < 0.001
156
Lampiran 6 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003 No.
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2
Parameter FISIKA Warna Kebauan Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH3-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan lemak Fenol Detergen LAS as MBAS Merkuri (Hg) Kromium heksavalen (Cr) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) BIOLOGI Escherichia coli Coliform group
Satuan
St-64
St-66
St-67
OB-1
OB-2
OB-3
PtCo NTU mg/l o C
10 alami 2 20 28.5
8 alami 5 24 28.1
6 alami 4 12 28.3
9 alami 0 9 29.1
43 Bau 61 55 28.9
32 Bau 34.36 43 29.1
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
8.03 6.10 26.72 70.34 < 0.04 < 0.03 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 < 0.006 < 0.001 < 0.007 < 0.001 0.014 0.053 0.357 < 0.06 < 0.001
6.99 5.42 25.24 66.43 < 0.04 < 0.03 < 0.01 < 0.01 2.423 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 < 0.006 < 0.001 < 0.007 < 0.001 0.011 0.061 0.022 0.047 < 0.001
7.58 5.02 34.15 89.88 < 0.04 < 0.03 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 < 0.006 < 0.001 < 0.007 < 0.001 0.03 0.015 0.017 0.038 < 0.001
7.41 6 5 12 < 0.02 < 0.01 < 0.02 < 0.01 <1 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 < 0.006 < 0.001 < 0.002 < 0.004 < 0.006 < 0.04 < 0.002 < 0.015 < 0.007
7.16 3 12 32 0.48 0.03 < 0.02 < 0.01 < 0.0002 < 0.025 < 0.0002 < 0.01 < 0.002 < 0.002 < 0.004 < 0.006 < 0.04 < 0.002 < 0.015 < 0.007
7.09 2 206 207 1.96 0.05 < 0.02 3.73 <1 < 0.001 1.052 < 0.0002 < 0.01 < 0.002 < 0.002 < 0.004 0.008 < 0.04 < 0.002 < 0.015 < 0.007
0
130
0
MPN/100 ml MPN/100 ml
<2 <2
20 20
<2 <2
Keterangan: St-64: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Batu Ampar (dekat PT. Profab) pada 2 Mei 2003 St-66: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Batu Ampar (dekat PT. Mc. Dermott) pada 2 Mei 2003 St-67: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Batu Ampar (Pelabuhan Laut) pada 2 Mei 2003 OB1: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Batu Ampar pada 16 Januari 2003 OB2: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Lubuk Baja pada 2 April 2003 OB3: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Lubuk Baja pada 12 April 2003
157
Lampiran 7 Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002 No.
1 2 3 4 5 1
Parameter FISIKA Suhu Kecerahan Kekeruhan Padatan Tersuspensi Daya Hantar Listrik (DHL) KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Kesadahan Minyak-hidrokarbon (TPH) Tembaga (Cu) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Senyawa Fenol Minyak dan lemak
Sumber: PERTAMINA (2002)
Satuan
o
C m NTU mg/l umhos/cm
ST 7
ST 8
31.0
ST 9
ST 10
0.68 7 76
30.5 1.56 1.5 40
30.4 2.42 1 38
30.9 1.64 1.4 16
7.8
7.5
7.4
7.7
32
29
30
31
mg/l 8.50 8.21 8.36 mg/l 5.13 3.44 5.45 mg/l 134.03 121.91 113.82 mg/l mg/l 9.2 12.75 mg/l 0.026 0.018 0.026 mg/l 0.032 0.018 0.021 mg/l 0.004 0.005 0.004 mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 Keterangan : ST7: perairan Bengkong Laut-Kec. Batu Ampar ST8: perairan Tanjung Buntung-Kec. Batu Ampar ST9: perairan Batu Merah-Kec. Batu Ampar ST10: perairan Tanjung Uma-Kec. Lubuk Baja
7.91 5.50 129.99
O
/oo
0.023 0.021 0.005 < 0.001 < 0.001
158
Lampiran 8 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003 No.
Parameter
Satuan
St-52
St-54
St-61
St-62
St-63
OB
St-060
FISIKA Warna PtCo 1 2 4 3 4 21 3 Kebauan alami alami alami alami alami alami alami Kekeruhan NTU 4 3 3 1 1 23.32 2 TSS mg/l 20 16 16 20 8 14 12 o C Suhu 28.2 28.4 28.5 28.4 28.3 29.3 28.3 KIMIA 1 pH 8.19 8.17 8.20 8.22 8.25 7.62 8.23 2 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.27 5.76 5.08 5.24 6.27 5 6.03 3 BOD5 mg/l 26.72 32.66 29.70 31.18 29.7 4 34.15 4 COD (K2Cr2O7) mg/l 70.34 85.97 78.16 82.06 78.16 43 89.88 mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.04 9.86 < 0.04 5 Ammonia (NH3-N) mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.03 < 0.03 < 0.03 0.03 < 0.03 6 Nitrit (NO2-N) 7 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.02 < 0.01 8 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 9 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.20 0.164 < 0.20 <1 < 0.20 10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.0002 < 0.001 11 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 0.489 < 0.05 12 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0002 < 0.0001 13 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 001 < 0.006 14 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.002 < 0.001 15 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.002 < 0.007 16 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.004 < 0.001 17 Tembaga (Cu) mg/l 0.03 0.03 0.010 0.011 0.03 < 0.006 0.017 18 Timbal (Pb) mg/l 0.022 0.048 0.037 0.036 0.033 < 0.04 0.037 19 Seng (Zn) mg/l 0.021 0.065 0.048 0.060 0.014 0.011 0.011 20 Nikel (Ni) mg/l < 0.06 0.019 < 0.06 0.026 0.021 < 0.015 0.018 21 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.007 < 0.001 BIOLOGI 1 Escherichia coli MPN/100 ml <2 <2 <2 <2 <2 0 <2 2 Coliform group MPN/100 ml <2 <2 <2 20 <2 <2 Keterangan: OB: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Sekupang pada 13 April 2003 St-52: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Sekupang (dekat PT. Heng Guan) pada 2 Mei 2003 St-54: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Tanjung Uncang (dekat PT. Nan Indah) pada 2 Mei 2003 St-60: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai P. Sambu-Kec. Belakang Padang (dekat Depo Pertamina) pada 2 Mei 2003 St-61: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Tanjung Uncang (dekat PT. Nippon Steel) pada 2 Mei 2003 St-62: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Tanjung Uncang (dekat PT. Pan United) pada 2 Mei 2003 St-63: Stasiun pengambilan data primer di perairan laut Tanjung Uncang (jauh dari pantai) pada 2 Mei 2003 1 2 3 4 5
159
Lampiran 9 Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002 No.
1 2 3 4 5 1
Parameter FISIKA Suhu Kecerahan Kekeruhan Padatan Tersuspensi Daya Hantar Listrik (DHL) KIMIA pH
2
Salinitas
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Kesadahan Minyak-hidrokarbon (TPH) Tembaga (Cu) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Senyawa Fenol Minyak dan lemak
Sumber: PERTAMINA (2002)
Satuan
o
C m NTU mg/l umhos/cm
ST 1
ST 2
30.2
ST 3
ST 4
ST 6
S 13
ST 14
ST 15
ST 16
ST 17
3.18 1.5 26
30.1 2.28 1.3 28
30.2 2.42 0.8 20
30.3 2.36 1 30
30.1 0.86 6.5 76
30.5 1.98 2 12
30.4 1.38 2 26
30.7 1.12 1.9 20
31.1 1.36 2.1 22
31.0 1.16 2 26
7.4
7.1
7.5
7.7
7.8
7.5
7.5
7.5
7.7
7.5
33
30
32
32
32
33
33
33
32
33
mg/l 7.22 6.85 6.93 6.87 mg/l 4.95 5.6 3.7 4 mg/l 138.07 129.99 138.07 129.99 mg/l mg/l 7.80 10.5 9.2 mg/l 0.029 0.021 0.026 0.023 mg/l 0.021 0.014 0.021 0.032 mg/l 0.007 0.009 0.006 0.004 mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 Keterangan : ST1: antara P. Sambu - Belakang Padang-Kec. Belakang Padang ST2: timur P. Sambu-Kec. Belakang Padang ST3: Pantai Indah Lengkana-Kec. Belakang Padang ST4: P. Mecan-Kec. Belakang Padang ST6: P. Sekilak-Kec. Belakang Padang
8.5 5.1 129.99
8.15 5.1 134.03
8.15 5.3 129.99
7.66 5.2 125.95
8.06 3.1 129.99
8.53 4.1 121.99
16.10 0.026 0.029 0.005 < 0.001 < 0.001
12.08 0.021 0.029 0.005 < 0.001 < 0.001
O
/oo
0.023 0.011 0.009 < 0.001 < 0.001
9.65 0.023 0.025 0.005 < 0.001 < 0.001
0.015 0.021 0.005 < 0.001 < 0.001
0.026 0.014 0.005 < 0.001 < 0.001
ST13: perairan Tanjung Pinggir-Kec. Sekupang ST14: P. Seraya-Kec. Sekupang ST15: perairan Tanjung Uncang-Kec. Sekupang ST16: perairan Teluk Senimba-Kec. Sekupang ST17: perairan Sekupang
160
Lampiran 10 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam pada 19 Januari 2001 OB-1 No. 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Parameter FISIKA Warna Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH3) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Sulphate (SO4) Cobalt (Co) Fosfat (PO4-P) Mangan (Mn) Kalium (K)
OB-2
Satuan PtCo NTU mg/l o C
25 32 81 29.5
22 30 48 29
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7.5 3.95 41.2 81 0.34 0.008 Tt 0.005 Tt Tt Tt 0.001 Tt 0.08 0.12 2.45 Tt 0.007 0.002 19.03
7.5 3.90 41.9 82 0.31 0.004 Tt 0.007 Tt Tt Tt 0.002 Tt 0.03 0.15 2.40 Tt 0.014 0.004 20.05
Keterangan: OB-1: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan muara sungai OB-2: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Kp. Bagan (Keramba) Tt: Tidak terdeteksi
161
Lampiran 11 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001 P-1 No. 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2
Parameter FISIKA Warna Kebauan Kekeruhan TSS Suhu KIMIA pH Oksigen terlarut (DO) BOD5 COD (K2Cr2O7) Ammonia (NH4-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan lemak Fenol Detergen LAS as MBAS Merkuri (Hg) Kromium heksavalen (Cr) Arsen (As) Selenium (Se) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) BIOLOGI Escherichia coli Coliform group
P-2
P-3
P-4
P-5
Satuan PtCo NTU mg/l o C
10 alami 7 18 27.8
15 alami 7 25 27.3
10 alami 10 47 26.8
15 alami 9 42 26.9
10 alami 8 78 26.8
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7.62 5.82 21.72 52.43 < 0.04 0.031 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 0.037 < 0.001 < 0.007 < 0.01 0.039 0.032 0.042 < 0.06 < 0.001
6.90 4.07 33.59 82.39 < 0.04 0.662 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 0.017 < 0.001 < 0.007 < 0.01 0.035 0.042 0.074 < 0.06 < 0.001
7.00 4.82 21.41 52.43 < 0.04 0.39 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 0.015 < 0.001 < 0.007 < 0.01 < 0.03 < 0.01 0.071 < 0.06 < 0.001
7.66 6.32 11.47 29.96 < 0.04 < 0.03 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 < 0.06 < 0.001 < 0.007 < 0.01 0.032 < 0.01 0.065 < 0.06 < 0.001
7.68 6.21 11.47 29.96 < 0.04 < 0.03 < 0.01 < 0.01 < 0.20 < 0.001 < 0.05 < 0.0001 0.007 < 0.001 < 0.007 < 0.01 0.027 < 0.01 0.071 < 0.06 < 0.001
MPN/100 ml MPN/100 ml
<2 <2
<2 <2
35,000 35,000
<2 <2
<2 <2
Sumber: Data Pemantauan Kualitas Air di PT. Indotirta Suaka (Lokasi pabrik di Kec. Bulang) tahun 2001 Keterangan: P-1: Stasiun pemantauan kualitas air di muara Sei Bulan P-4: Stasiun pemantauan kualitas air di pantai depan pulau Bulang P-2: Stasiun pemantauan kualitas air di muara Sei Rokan P-5: Stasiun pemantauan kualitas air di pantai Gelam P-3: Stasiun pemantauan kualitas air di muara Sei Kucing
162
Lampiran 12 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003 St-47 St-080 St-103 Parameter Satuan FISIKA 1 Warna PtCo 1 3 3 2 Kebauan alami alami alami 3 Kekeruhan NTU 2 1 1 4 TSS mg/l 8 12 16 o C 28.4 28.3 28.3 5 Suhu KIMIA 1 pH 8.18 8.23 8.23 2 Oksigen terlarut (DO) mg/l 7.12 6.10 6.03 3 BOD5 mg/l 23.80 25.24 30.42 4 COD (K2Cr2O7) mg/l 70.34 66.43 82.06 5 Ammonia (NH4-N) mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.03 6 Nitrit (NO2-N) 7 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 8 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 9 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.20 10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 11 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 12 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 13 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.006 14 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 15 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 16 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 17 Tembaga (Cu) mg/l 0.017 0.018 0.03 18 Timbal (Pb) mg/l 0.043 0.067 0.060 19 Seng (Zn) mg/l 0.031 0.028 0.061 20 Nikel (Ni) mg/l 0.037 0.059 0.041 21 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 BIOLOGI 1 Escherichia coli MPN/100 ml 20 <2 <2 2 Coliform group MPN/100 ml 20 <2 <2 Keterangan: St-47: Stasiun pengambilan data primer di perairan laut P. Nguan (Budidaya Kerapu) St-080: Stasiun pengambilan data primer di perairan laut P. Aisaka St-103: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai P. Abang Kecil No.
163
Lampiran 13 Gambaran pembukaan lahan di Kota Batam berdasarkan citra satelit tahun 1996-2002 (Bapedal Kota Batam, 2003)
LS-5 (11 Mei 1996)
LS-5 (03 Sep 1997)
164
Lampiran 13 (lanjutan)
LS-5 (15 Jan 2000)
LS-7 (24 Agus 2002)
165
Lampiran 13 (lanjutan)
166
Lampiran 14 Contoh kegiatan pembukaan lahan dengan reklamasi pantai untuk kepentingan pengembangan industri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun 2003
167
Lampiran 15 Gambaran perusakan kawasan mangrove yang di konversi bagi peruntukkan lainnya di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)
Batam Center
Batam Center
Batam Center
168
Lampiran 15 (lanjutan)
Baloi
Baloi
Baloi
169
Lampiran 16 Gambaran pembuangan limbah industri ke perairan pantai di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)
PT. Central Package Batam
PT. Central Package Batam
170
Lampiran 16 (lanjutan)
PT. Mc. Dermott Batu Ampar
PT. Mc. Dermott Batu Ampar
PT. Mc. Dermott Batu Ampar
171
Lampiran 17 Gambaran pencemaran perairan pantai di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)
Batu Ampar
Batu Ampar