PERBANDINGAN PERSEPSI PETANI DAN BUKAN PETANI SAWIT TERHADAP KEBUN KELAPA SAWIT SWADAYA
LILIS SUHARTINI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Persepsi Petani dan Bukan Petani Sawit Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Swadaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Lilis Suhartini NIM E34120090
ABSTRAK
LILIS SUHARTINI. Perbandingan Persepsi Petani dan Bukan Petani Sawit Terhadapa Kebun Kelapa Sawit Swadaya. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan YANTO SANTOSA. Keuntungan ekonomi dan lemahnya regulasi pembangunan kebun sawit swadaya, mendorong perluasan signifikan kebun sawit swadaya. Pembangunan kebun sawit swadaya diduga, didasarkan atas persepsi masyarakat terhadap kebun sawit swadaya. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui persepsi petani dan bukan petani terhadap kebun sawit swadaya di Provinsi Riau, dan mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang mempengaruhinya. Pengambilan data dilakukan menggunakan observasi lapang, studi pustaka, dan wawancara terstruktur melalui kuisioner tertutup, terdiri dari 44 orang petani, dan 30 orang bukan petani. Hasil menunjukkan persepsi masyarakat terhadap dampak kebun sawit swadaya adalah cukup. Artinya masyarakat tidak merasakan dampak yang signifikan terhadap keberadaan kebun sawit swadaya. Jumlah keluarga dan lama waktu bekerja berkorelasi dengan persepsi aspek ekonomi pada kategori petani. Tidak ada karakteristik masyarakat yang berkorelasi dengan aspek lingkungan pada kedua kategori. Lama waktu bekerja di kebun sawit swadaya berkorelasi dengan aspek sosial untuk kategori bukan petani. Kata kunci : kebun sawit swadaya, persepsi, Riau
ABSTRACT LILIS SUHARTINI. Comparison of Perception Between Oil Palm Farmers and NonFarmers About Smallholder Oil Palm Plantation. Supervised by ARZYANA SUNKAR and YANTO SANTOSA.
Economical benefits and regulation convenience in developing smallholdings oil palm plantation might generate expantion significanly . The development of smallholders oil palm plantation is based on decision which affected by perception on independent oil palm plantation. This research was to assess farmers and non farmers perceptions of smallholdings oil palm plantations in Riau Province, and to identify the community characteristics that influenced these perceptions. Data were collected using field observation, literature and structured interview using closed questionnaire with 44 farmers and 30 non farmers. The results indicated that people's perception of land use as a smallholdings oil palm plantations tended to be moderate. This means the community did not sense a significant impact from the existence of oil palm plantations. The number of families and working period in oil palm plantations correlated with the perception from the economic aspects for the farmers. There were not any community characteristics that were correlated with environmental aspect for both categories. The length of working period in the oil palm plantation correlated with the social aspect for the farmers. Keywords : community perception, Riau, smallholder oil palm plantation
PERBANDINGAN PERSEPSI PETANI DAN BUKAN PETANI SAWIT TERHADAP KEBUN KELAPA SAWIT SWADAYA
LILIS SUHARTINI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Perbandingan Persepsi Petani dan Bukan Petani Sawit Terhadap Kebun Sawit Swadaya ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc dan Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing atas arahan yang telah diberikan, serta kesabarannya. Ucapan terimakasih kepada BPDPKS atas bantuan dananya. Penghargaan penulis sampaikan kepada warga Desa Tambak, Kabupaten Palalawan dan warga Desa Jambai Makmur, Kabupaten Siak, Provinsi Riau yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Bapak Sukardi, ibunda (Almh) Siti Chotdijah, dan semua kakak tercinta atas semangat dan doanya. Teruntuk Deddy Ramadhani yang dengan sabar mendengar keluhan dan tetap memberikan semangat dan menemani segala prosesnya. Tak luput ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman Fahutan Angkatan 49, DKSHE Angkatan 49 Cantigi Gunung (terutama kepada Dian Widi Hasta, Agnes Anita Sari, Elsafia Sari, Ade Indah Muktamarianti, Nusaibah Sofyan, Novita Amalia, Qisthi Aulia Syafrida, Dita Tryfani, Rizki Amalia Adinda Putri, dan Malika Oktaviani). Tim Grant Research Sawit, HIMAKOVA, KPG terutama untuk Angkatan 19 juga Tim PKLP Taman Nasional Gunung Merapi atas segala canda tawa, suka duka, kebersamaan, kekeluargaan dan pengalaman berharga yang penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan, kegiatan organisasi serta kegiatan lapang di Institut Pertanian Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Lilis Suhartini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE Lokasi dan Waktu
2
Alat dan Instrumen
3
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
3
Pengolahan dan Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian
6
Karakteristik Masyarakat
7
Persepsi Masyarakat
8
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
19
DAFTAR TABEL
1. Jenis data yang diambil saat penelitian
3
2. Kategori respon skala Likert
4
3. Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval nilai tanggapan
5
4. Kondisi umum lokasi
6
5. Karakteristik masyarakat
7
6. Rerata persepsi masyarakat terhadap dampak ekonomi kss
9
7. Rerata persepsi masyarakat terhadap dampak sosial kss
11
8. Rerata persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan kss
13
9. Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap kebun sawit swadaya dengan nilai Chi-Square (Asymptotic Significance 2-sided)
15
DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi penelitian
2
2. Ternak memakan rumput di kebun sawit swadaya
10
3. Penjemputan buah hasil panen
10
4. Aktivitas pemeliharaan pekarangan
12
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan luas sebesar tiga kali lipat selama 25 tahun terakhir (FAOSTAT 2013). Indonesia sebagai negara eksportir dan produsen kelapa sawit terbesar dunia sejak 2008 (Feinterie et al. 2010) juga mengalami peningkatan luas baik pada perkebunan sawit besar maupun kebun sawit swadaya. Perkebunan sawit telah berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian, dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan akses kerjasama dengan berbagai pihak (Kesaulija et al. 2014, Lee et al. 2013). Data tahun 2000 dan 2009 (Indonesian Oil Palm Council 2010), menunjukkan bahwa ekspansi kebun sawit swadaya berkembang lebih cepat dengan tingkat pertumbuhan luas tahunan 11.12%, dibandingkan dari perkebunan pemerintah (0.37%) dan perkebunan sawit besar (5.45%). Prediksi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2015 meyatakan bahwa tahun 2016 luasan perkebunan sawit swadaya Indonesia akan mencapai 41% dari total keseluruhan luas kebun kelapa sawit. Hal tersebut memungkinkan kebun sawit swadaya untuk mendominasi produksi kelapa sawit di masa mendatang. Terdapat tiga faktor utama yang mendorong petani memilih kelapa sawit: karakteristik tanaman yang mudah sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga kerja, pengembalian investasi yang tinggi, dan peluang kerjasama dengan perusahaan besar dan bank (Feintrenie et al. 2010). Ditambah lagi, sulitnya pengawasan dan pengendalian terhadap usaha pembangunan kebun sawit swadaya oleh pemerintah juga memudahkan masyarakat untuk membuka lahan (Euler et al. 2015). Keuntungan ekonomi dan kemudahan regulasi pembukaan kebun sawit swadaya, di sisi lain dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan terkait deforestasi dan keanekaragaman hayati. Masyarakat memilih untuk mengorbankan hutan daripada harus mengganti tanaman perkebunan mereka sebelumnya untuk memulai penanaman kelapa sawit (Feintrenie et al. 2010). Hal ini apabila berlanjut, dapat memperkuat tudingan negatif bahwa perkebunan sawit menjadi pendorong deforestasi (Euler et al. 2015). Pembangunan kebun sawit swadaya didasarkan kepada pengambilan keputusan masyarakat yang dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kebun sawit swadaya. Persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor penting yang akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu (Harihanto 2001, Abonyo et al. 2008, Afandi 2011). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Aikanathan (2013) bahwa kelestarian pengelolaan kebun sawit dipengaruhi oleh persepsi setiap stakeholder-nya terhadap prinsip dan prioritas pengelolaannya. Penelitian sebelumnya oleh Winanti (2010), juga menjelaskan bahwa semakin berhubungan suatu pekerjaan dengan obyek, maka persepsi akan semakin tinggi untuk obyek tersebut. Berdasarkan hal tersebut, diasumsikan persepsi petani akan lebih baik dibanding persepsi bukan petani. Sehubungan dengan hal itu, persepsi masyarakat dari kategori petani sawit dan bukan petani sawit pun perlu dipahami. Selain itu, belum adanya penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap kebun sawit swadaya di Indonesia menjadi hal yang penting untuk dikaji lebih jauh.
2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi petani dan bukan petani sawit terhadap kebun sawit swadaya, serta untuk mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang memengaruhi persepsi terhadap perkebunan sawit swadaya dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat baik dari kategori petani dan bukan petani sawit terhadap penggunaan lahan sebagai kebun kelapa sawit swadaya. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam hal peruntukkan lahan.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak Provinsi Riau (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016.
Sumber : Design Map Peta Tematik Indonesia 2015
Gambar 1 Lokasi penelitian
3 Alat dan Instrumen Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, peta wilayah penelitian, kamera digital, alat perekam suara, dan laptop dengan aplikasi software Microsoft excel dan SPSS (Statistics Program for Social Science). Instrumen yang digunakan adalah panduan wawancara, monografi desa, dan kuisioner. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data dan informasi yang dikumpulkan untuk masing – masing tujuan penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data yang diambil saat penelitian Metode Pengambilan Tujuan Penelitian Jenis Data Data 1. Mengkaji persepsi Persepsi masyarakat Wawancara petani dan bukan petani sekitar perkebunanan Observasi lapang sawit terhadap kebun sawit swadaya Kuisioner Tertutup sawit swadaya 2. Mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perkebunan sawit swadaya dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Karakteristik masyarakat sekitar perkebunan sawit swadaya
Wawancara Analisis statistik Chikuadrat Studi Pustaka
Wawancara Wawancara dilakukan secara mendalam dan terstruktur (in depth-structured interview) menggunakan panduan wawancara. Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan terbuka, pertanyaan semi terbuka, maupun pertanyaan tertutup. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 74 orang, yang terdiri dari 44 orang petani dan 30 orang bukan petani. Unit penelitian yang digunakan adalah keluarga/rumah tangga, sehingga setiap respnden mewakili keluarganya, yang juga berarti bahwa responden perempuan pada penelitian ini bukan merupakan istri dari responden laki-laki. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik accidental sampling (convenience sampling), karena populasi yang diteliti tidak diketahui jumlahnya. Teknik ini mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan ditemui oleh peneliti dan responden tersebut memenuhi kriteria sebagai sumber data yaitu orang yang mengetahui kondisi sebelum dan sesudah perkebunan kelapa sawit berkembang.
4
Skala likert Pernyataan dari aspek yang dikaji yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial yang terdiri dari 32 pernyataan dengan asumsi positif. Terbagi atas 14 pernyataan ekonomi, 10 pernyataan lingkungan, dan 8 pernyataan sosial. Observasi lapangan Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data kondisi kebun sawit swadaya, kondisi sosial ekonomi pemilik kebun, budaya masyarakat, aktivitas pemilik kebun sawit swadaya, pengelolaan kebun sawit swadaya, serta data terkait lokasi penelitian. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan sebelum dan sesudah pengambilan data. Hal tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan informasi awal sebagai acuan dalam pemilihan lokasi kajian serta untuk melengkapi informasi yang didapatkan dari lapangan. Pustaka yang digunakan untuk mendapatkan informasi terkait. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari berbagai dokumen seperti buku, skripsi, jurnal, website dan laporan yang terdapat di tingkat desa, kecamatan, dan instansi lainnya. Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian, karakteristik pemilik, kebun, dan pengelolaan kebun sawit swadaya secara umum di Indonesia. Pengolahan dan Analisis Data Persepsi masyarakat diukur melalui sejumlah pernyataan tentang pandangan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan kebun kelapa sawit swadaya. Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, atau persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu variable, konsep, gejala, atau fenomena. Skala Likert terdiri dari pernyataan positif yang menjadi indikasi positif dan sebaliknya bentuk pernyataan negatif menjadi indikasi negatif (Afwandi 2011) Pengukuran persepsi dalam penelitian ini menggunakan Skala Likert yang terdiri dari pernyataan positif dengan lima alternatif pilihan untuk setiap jawabannya, yaitu dengan skor berurutan yaitu sangat setuju (5) sampai sangat tidak setuju (1) (Tabel 2). Persepsi selanjutnya dikategorikan menjadi tiga kelompok besar yaitu baik, sedang, dan buruk berdasarkan standar deviasi.
Skala
Tabel 2 Kategori respon skala Likert 2 3 4 Selalu Kadang – Jarang kadang Sangat setuju Setuju Netral Tidak setuju 1 Sering
Paling penting
Penting
Netral
5 Tidak pernah
Sangat tidak setuju Tidak penting Sangat tidak penting
5 Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh responden untuk setiap aspek yang diajukan pada pernyataan. Skor dari tiap aspek dikategorikan berdasarkan interval nilai tanggapan seperti pada Tabel 3.
No 1 2 3
Tabel 3 Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval nilai tanggapan Interval nilai tanggapan Tingkat persepsi 3.8 – 5.1 Baik 2.4 – 3.7 Netral 2.3 – 1.00 Buruk
Tujuan yang bersifat deskriptif, terbatas pada teknik pengolahan statistika dasar, meliputi frekuensi distribusi, ukuran sebaran (rata-rata, standar deviasi, serta nilai maksimum dan minimum), grafik, dan tabulasi, kemudian dilakukan penafsiran. Sementara untuk menjawab tujuan yang bersifat menganalisis hubungan antar peubah digunakan uji korelasi. Uji Chi-Square digunakan untuk mengetahui korelasi antara variable berskala nominal dengan tingkat persepsi responden. Penghitungan dalam uji ini dapat dilakukan dengan SPSS atau rumus sebagai berikut : (0𝑖−𝑒𝑖)2
x2= ∑𝑘𝑖=1 ( Dimana
𝑒𝑖
)
x2 = nilai Chi-Square K = banyaknya kategori/sel oi = frekuensi observasi untuk kategori ke-i ei = frekuensi ekspektasi untuk kategori k
Pada metode Chi-Square hubungan diuji dalam baris dan kolom sebuah area kontingensi dalam software SPSS 13.0. Hipotesis yang umum digunakan dalam pengujian ini adalah H0 = Tidak ada hubungan antara baris dan kolom dan berdasarkan perbandingan nilai Chi-Squarehitung dan Chi-Square. Jika ChiSquarehitung < Chi-Square maka H0 diterima dan sebaliknya, jika Chi-Squarehitung > Chi-Square tabel, maka H0 ditolak. Pada software SPSS, oputut akan menampilkan koefisien korelasi dan signifikasi. Uji signifikasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan signifikan antar variable yang diuji. Hipotesisnya adalah H0 = Tidak ada hubungan antara variable dan H1= Ada hubungan antara variable. Apabila signifikasi > 0.05 maka H0 diterima serta sebaliknya, jika signifikansi < 0.05 maka H0 ditolak, sementara koefisien korelasi yang digunakan untuk mengetahui tingkat keeratan antar koefisien yang berkorelasi.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Riau di Kabupaten Pelalawan dan Siak. Provinsi Riau memiliki luas sebesar 8 915 016 ha. Kabupaten Pelalawan merupakan kabupaten yang terluas berdasarkan wilayah studi. Sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian khususnya di sub sektor perkebunan. Adapun kondisi sosial, ekonomi, dan budaya lokasi penelitian dijelaskan pada Tabel 4.
No 1
2 3
Tabel 4 Kondisi umum lokasi Kabupaten Kondisi Pelalawan Siak Batas Wilayah Utara : Kabupaten Siak dan Utara : Kabupaten Bengkalis Bengkalis Selatan : Kabupaten Selatan : Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Kampar dan Pelalawan Hilir dan Kuantan Singingi Barat : Kota Pekanbaru Barat : Kabupaten Kampar Timur : Kabupaten dan Kota Pekanbaru Kepulauan Merantia Timur : Provinsi Kepulauan Riaua Luas Wilayah 13 924. 94 km2 a 8 556. 09 km2 a Luas Perkebunan Sawit Hidrologi
306.977 ha
288.362 ha
Sungai : Kampar (7413.5 km dengan kedalaman 7.7 m) a
Laki-laki : 203.683 jiwa Perempuan : 182.745 a Sebagian besar petani sawitb
7
Jumlah Penduduk Mata Pencaharian Budaya
8
Agama
Mayoritas beragama Islamf
Sungai : Siak Kecil, Siak, Penyengat DAS sungai utama : Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan a Laki-laki : 226 311 Perempuan : 214 530 a Mayoritas bekerja di sektor pertanian (38.48%)c Suku aslinya adalah melayu siak. Kebudayaannya dipengaruhi oleh hukum syariat Islam. Adat sopan santun sangat diutamakan e Mayoritas beragama Islam
4
5 6
Adat melayu pesisir dan melayu petalangand
c Keterangan: a. BPS Riau 2016 d. Syahrul 2004
b.BPS Kabupaten Pelalawan 2016
c.BPS Kabupaten
Siak
2014
e.Warta Sejarah 2013
f.BPS Kabupaten Pelalawan 2015
7 Kedua lokasi penelitian terlihat senggang pada pagi dan siang hari.Kondisi pada sore sampai dengan malam hari cenderung lebih ramai. Masyarakat melakukan aktivitas bersosialisasi antar tetangga, seperti berkumpul, bermain bola, mengaji, dan sholat berjamaah. Karakteristik Masyarakat Kategori petani sawit didominasi oleh laki – laki, tabel 5 menunjukkan kategori bukan petani sawit didominasi oleh perempuan. Norwana (2011) mendapatkan bahwa laki-laki memiliki lebih banyak waktu, karena waktu bekerja di kebun kelapa sawit cenderung fleksibel. Maka dapat dimengerti bahwa petani didominasi oleh laki-laki. Berdasarkan terminologi BPS (2013), usia 15-64 tahun dan mampu bekerja serta menghasilkan sesuatu merupakan kategori umur usia produktif, maka semua responden tergolong ke dalam kategori usia produktif. Tabel 5 Karakteristik Masyarakat No
Karakteristik
1
Jenis Kelamin
2
Usia
3
Asal
4
Lama Bersekolah
5
Tanggungan Keluarga
6
7
Lama Bekerja di Kebun Kelapa Sawit Rakyat Pendapatan
8
Luas Lahan
9
Jarak
Laki – laki Perempuan 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun >60 tahun Asli Pendatang 3<x≤9 tahun 9<x≤12 tahun >12 tahun <5 individu 5-7 individu >7 individu 0-10 tahun 11-20 tahun 21-30 tahun 2<x≤7 0<x≤1.3 7<x≤13 1.3<x≤2.7 13<x≤18 2.7<x≤4.1 <2 ha 2-5 ha >5 ha >2 km 1-2km <1 km
Petani Sawit (%) 67.39 32.61 6.52 58.70 21.74 10.87 2.17 41.30 58.70 54.35 39.13 6.52 67.39 32.61 0.00 45.65 34.78 19.57 84.78 13.04 2.17 41.30 34.78 23.91 23.91 26.09 50.00
Bukan Petani Sawit (%) 25.00 75.00 25.00 14.29 39.29 17.86 3.57 78.57 2.43 75.00 25.00 0.00 60.71 39.29 0.00 85.71 14.29 0.00 92.86 7.14 0.00 78.57 14.29 7.14 28.57 32.14 39.29
Sebanyak 58.70% petani didominasi oleh pendatang yang berasal dari Sumatra Utara dan Jawa, sementara yang bukan petani didominasi oleh penduduk
8 asli (78.57%). Banyaknya pendatang dari luar Provinsi Riau disebabkan alasan untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka, dan pendatang juga lebih dulu mengadopsi pola perkebunan kelapa sawit untuk pemanfaatan lahan dibanding masyarakat asli. Faktor budaya menjadi faktor yang menyebakan perkembangan perkebunan kelapa sawit pada masyarakat asli berjalan lambat, karena mereka lebih menyukai pekerjaan menanam karet, memanen madu, dan sebagai nelayan. Sesuai dengan pernyataan Koentjaraningrat (1958) bahwa hambatan perubahan sosial budaya dapat disebabkan oleh adanya kepentingan – kepentingan yang telah tertanam kuat, adat istiadat, hambatan yang bersifat ideologis, dan rasa takut dengan adanya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. Lebih dari 50% luas lahan yang dimiliki petani sawit adalah di atas 2 ha, berbeda dengan masyarakat bukan petani yang mayoritas memiliki luasan lahan kurang dari 2 ha. Hal ini sesuai dengan pendapat masyarakat yang menyatakan, l uas minimal lahan untuk mendapatkan hasil kebun yang optimal adalah 2-3 ha. Mayoritas masyarakat telah menyelesaikan pendidikan dasar baik dari kategori petani dan bukan petani. Masyarakat yang mencapai tingkat pendidikan perguruan tinggi berasal dari kategori petani yaitu sebesar 6.52%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran dalam hal pendidikan. Persepsi Masyarakat Aspek ekonomi Sub bab ini menjelaskan bagaimana kebun kelapa sawit swadaya memengaruhi perekonomian masyarakat, baik keuntungan maupun kerugian. Pembahasan persepsi meliputi masalah urbanisasi dan lapangan kerja, pendapatan, serta pemasaran komoditi. Angelsen dan Wunder (2003) mengatakan bahwa kebun sawit swadaya berpotensi memberikan kontribusi terhadap pendapatan dan pengentasan kemiskinan rumah tangga. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa baik petani maupun bukan petani setuju bahwa keberadaan kebun kelapa sawit swadaya meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Tabel 6 juga menunjukkan persepsi petani dan bukan petani sawit dalam aspek ekonomi tidak berbeda jauh, walaupun nilai persepsi bukan petani lebih rendah dibandingkan persepsi petani. Artinya, keberadaan kebun kelapa sawit swadaya dapat diterima oleh masyarakat karena kontribusinya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Secara keseluruhan persepsi petani dan bukan petani menunjukkan hasil yang relatif sama, namun pada pernyataan nomor 3 dan nomor 6 menunjukkan salah satunya berada di bawah nilai rerata. Nilai 3.29 pada pernyataan nomor 3 berada di bawah rerata pada masyarakat bukan petani, artinya masih banyak perpindahan penduduk ke kota setelah berkembangnya kebun kelapa sawit swadaya. Berbeda dengan petani yang menunjukkan nilai 3.8, berarti kebun kelapa sawit telah mengurangi perpindahan penduduk ke kota. Hal tersebut relevan, karena setelah memiliki kebun sawit swadaya di tempat mereka tinggal, maka petani akan fokus untuk mengelola kebun yang dimiliki. Hal tersebut dirasakan oleh petani sebagai pihak yang merasakan langsung dampak bagi dirinya dan keluarganya yang dirasa tidak perlu lagi mencari pekerjaan di kota, karena telah memiliki pekerjaan di tempat tinggalnya. Berbeda dengan pernyataan nomor 6, nilai 3.2 menunjukkan bahawa selama ini petani hanya memanen hasil
9 kebun untuk dipasarkan. Mereka tidak menggunakan hasil kebun sebagai pangan, obat tradisional, kerajinan, dan sebagainya. Nilai yang lebih tinggi yaitu 3.54 ditunjukkan oleh masyarakat bukan petani sebagai pihak yang tidak merasakan dampak langsung. Mereka menganggap bahwa hasil kebun juga digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan lainnya seperti pangan, obat tradisional, kerajinan, dan sebagainya, disamping untuk dipasarkan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14
Tabel 6 Rerata persepsi masyarakat terhadap dampak ekonomi kss Petani Bukan petani Pernyataan Nilai Tengah Nilai Tengah Pertumbuhan penduduk mempengaruhi 3.5 3.25 luas kebun kelapa sawit di desa Membuka lapangan kerja 4.2 3.89 Mengurangi perpindahan penduduk ke 3.8 3.29 kota Meningkatkan pendapatan rumahtangga 4.3 4.00 Hasil kebun tidak sulit untuk dipasarkan 4.4 4.25 Memenuhi kebutuhan keluarga (pangan, 3.2 3.54 obat tradisional dsb) Menghasilkan pakan bagi ternak 3.8 3.86 Dapat dikelola di lahan yang terbatas 2.7 2.86 Membutuhkan modal pembangunan yang 2.3 2.11 tidak besar Pengelolaan hanya memerlukan kerja 3.9 3.68 separuh waktu Pendapatan cukup untuk dimanfaatkan 4.0 3.57 sebagai modal pengelolaan Pergiliran menjadi jenis lain perlu dilakukan jika ada pilihan lain yang lebih 3.4 3.00 menguntungkan Memberikan peluang kerjasama antar 4.2 3.93 petani Perusahaan memberikan ganti rugi atas 3.7 3.68 lahan yang digunakan Rerata Ekonomi 3.7 3.5
Persepsi kedua kategori masyarakat berada pada tingkat netral, namun berada pada batas atas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Pernyataan yang mendapat nilai paling rendah adalah pernyataan nomor 8, dan 9. Baik petani maupun bukan petani setuju bahwa pembangunan kebun kelapa sawit swadaya membutuhkan lahan yang luas dan modal yang besar. Hal ini sesuai dengan penelitian Nkongho et al. (2014) dan Lee et al. (2014) yang menyimpulkan bahwa modal merupakan hambatan utama dalam pengembangan dan peningkatan kualitas kebun kelapa sawit swadaya. Beberapa pernyataan mendapat nilai persepsi lebih tinggi dari kategori bukan petani, yaitu berkenaan dengan pakan ternak. Hal tersebut karena kategori bukan petani tidak mengetahui dengan pasti bagian – bagian dari tanaman kelapa
10 sawit yang bisa dimanfaatkan. Elizabeth dan Ginting (2003), dan Batubara (2003) menemukan bahwa produksi hasil turunan sawit berupa daun sawit, pelepah sawit, lumpur sawit dan bungkil inti sawit merupakan jenis pakan yang cukup baik untuk domba dan sapi potong. Ternak warga seperti sapi, dan kambing dibiarkan memakan rumput yang tumbuh di kebun sawit (Gambar 3), yang akan berdampak positif dalam mengurangi biaya pakan ternak. Integrasi kelapa sawit dan ternak terutama sapi merupakan potensi besar di Provinsi Riau, karena selain manfaat produk turunan sawit, masyarakat di desa–desa kajian, juga sudah mulai ada yang mencoba memanfaatkan urin sapi sebagai campuran pada pupuk kelapa sawit.
Gambar 3 Ternak memakan rumput di kebun sawit swadaya
Salah satu faktor yang sangat penting dalam usahatani adalah pemasaran hasil pertanian, karena keberadaan pasar memudahkan penampungan hasil komoditas pertanian untuk dijual dan didisribusikan ke berbagai pihak. Masyarakat setuju bahwa hasil kebun tidaklah sulit untuk dipasarkan. Hasil di lapangan memperlihatkan bahwa semua petani kelapa sawit swadaya menjual hasil kebunnya kepada agen yang bersedia menerima produksi kelapa sawit dengan kualitas apapun, sehingga masyarakat cenderung untuk menjualnnya ke mereka. Agen menjemput langsung buah hasil panen yang ada di kebun sawit swadaya, sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam memasarkan buah hasil panen meskipun dalam jumlah sedikit (Gambar 4).
Gambar 4 Penjemputan buah hasil panen
Terlepas dari dampak positif keberadaan kebun sawit swadaya yang dirasakan masyarakat, terdapat juga dampak-dampak ekonomi yang memiliki nilai
11 negatif, yaitu terkait modal. Sebagaimana juga ditemukan oleh Nkongho et al 2014; Lee et al, 2014, bahwa modal merupakan hambatan utama dalam pengembangan dan peningkatan kualitas kebun sawit swadaya. Sebagaimana disampaikan baik oleh petani dan bukan petani kekurangan dari pengusahaan kebun sawit swadaya adalah modal yang dibutuhkan dirasa sangat besar. Selain itu lahan yang dibutuhkan untuk membangun kebun kelapa sawit juga besar. Masyarakat juga setuju bahwa pengelolaan kebun sawit swadaya dapat dilakukan paruh waktu, sehingga dimungkinkan untuk memiliki pekerjaan lain di luar berkebun sawit baik yang bersifat utama maupun sampingan. Pekerjaan sampingan yang dilakukan antara lain berdagang, mengajar, nelayan, dan usaha lainnya. Selain itu, petani yang lebih mapan dapat mengupah pekerja atau petani lainnya untuk membantu melakukan pengolahan perkebunan, sehingga seringkali ada bagi hasil antar petani sawit. Aspek sosial Aspek sosial menjelaskan bagaimana kebun kelapa sawit swadaya mempengaruhi adat istiadat, kebiasan, dan interaksi sosial dalam masyarakat. Persepsi masyarakat pada kedua kategori tergolong netral. Masyarakat tidak merasakan adanya dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial mereka dengan keberadaan kebun sawit swadaya. Nilai rerata seperti yang terlihat pada Tabel 7 menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh walaupun nilai rerata kategori petani yang lebih tinggi.
No 1 2
3 4 5 6 7 8
Tabel 7 Rerata persepsi masyarakat terhadap dampak sosial kss Petani Bukan petani Pernyataan Nilai Tengah Nilai Tengah Memiliki hubungan dengan adat istiadat 2.4 2.93 dan kebiasaan Pemanfaatan lahan bukan merupakan 3.3 3.57 tradisi yang turun temurun di tempat tinggal anda Perempuan dilibatkan dalam pengelolaan 3.9 3.50 Luas kepemilikan mempengaruhi posisi 3.5 3.68 seseorang dalam masyarakat Menciptakan interaksi /komunikasi 4.0 3.68 masyarakat dengan lingkungan luar Menyebabkan pembauran nilai budaya 3.8 3.39 lokal dengan budaya luar Tidak berpotensi menyebabkan konflik. 3.5 3.54 Mendorong meningkatkan kegiatan 3.3 2.96 pemuda Rerata Sosial 3.5 3.4
Keterlibatan masyarakat dalam kelapa sawit menyebabkan banyak masyarakat lokal untuk menjauh dari praktik – praktik tradisional, disamping bahwa kebun kelapa sawit swadaya memberikan keuntungan dalam aspek ekonomi (Norwana 2011) dalam arti terjadi pergeseran dari praktik non sawit ke kebun sawit. Sebelumnya masyarakat menggunakan praktik – praktik tradisional
12 dalam budaya menumbai saat pemanenan madu sialang, yang menjadi mata pencaharian mereka. Hal ini terlihat saat masyarakat setuju bahwa penggunaan lahan sebagai kebun kelapa sawit bukanlah tradisi yang turun temurun dan tidak ada hubungannya dengan adat istiadat setempat. Pernyataan ini didukung dengan persepsi kategori bukan petani yang lebih tinggi pada nomor 1 dan 2, karena mayoritas kategori merupakan penduduk asli. Mereka tidak merasakan adanya adat istiadat atau tradisi yang turun menurun. Secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa pengusahaan kebun sawit swadaya hanya karena motif ekonomi. Tidak seperti budidaya Repong Damar di Krui, Lampung yang perkembangannya turut dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti penelitian Suharjito et al.(2003) bahwa akan ada rasa kebanggaan apabila seseorang dapat mewariskan Repong Damar kepada anak cucunya. Tidak adanya adat istiadat atau tradisi yang mengikat menyebabkan masyarakat lebih leluasa dalam memanfaatkan lahan yang mereka miliki, maka dapat diartikan bahwa pengusahaan kebun sawit swadaya murni atas motif ekonomi. Berkenaan dengan budaya, penelitian ini juga melihat persepsi masyarakat terhadap peran gender dan posisi sosial. Pada pengelolaan kebun sawit swadaya juga melibatkan peran perempuan. Perempuan memiliki banyak tugas, seperti dalam hal untuk mengatur keuangan bahkan juga perawatan kebun seperti pemupukan, pemangkasan rumput atau ilalang, dan memungut brondolan. Hal ini karena perempuan lebih teliti dan rapi dalam mengerjakan. Selain itu untuk pegawai, upah yang dibayarkan juga lebih rendah sehingga hal ini menguntungkan petani sawit. Para istri selain dapat meringankan kerja juga memiliki waktu bersama dengan suaminya lebih lama daripada harus tinggal di rumah. Terdapat banyak rumah petani sawit yang berada di dalam kebun, sehingga perawatan kebun juga termasuk dalam aktivitas pemeliharaan pekarangan rumah seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Aktivitas pemeliharaan pekarangan Luas kepemilikan kebun sawit swadaya juga dapat meningkatkan posisi sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin luas lahan yang dimiliki semakin banyak tenaga tambahan yang dibutuhkan. Hal tersebut meningkatkan kerjasama antar petani. Adanya kerjasama antar petani, mengurangi risiko konflik di masyarakat. Petani dan bukan petani sawit tidak mengalami konflik dengan adanya kebun sawit swadaya. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Li 2015 keberadaan kebun sawit berdampak negatif bagi aspek sosial, seperti konflik
13 masyarakat yang meningkat seiring meningkatnya tekanan terhadap akses ke lahan. Kehadiran perkebunan, selain dapat menggeser infrastruktur ekonomi masyarakat, lingkungan, sosial, dan kebudayaan juga telah memicu meningkatnya jumlah penduduk. Hal tersebut membuat masyarakat yang hidup di sekitar wilayah perkebunan menjadi cukup beragam atau majemuk secara sosial budaya. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dipandang oleh masyarakat sebagai bagian dari proses modernisasi. Proses ini tidak hanya menyangkut pola perubahan ekonomi dan teknologi, namun berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat. Salah satu akibat penting dari kehadiran proyek perkebunan adalah terbentuknya komunitas baru, perubahan dan pertumbuhan cepat dari komunitas baru. Kehadiran perkebunan juga menciptakan suatu kendala struktural terhadap karakteristik pada masyarakat maju sehingga akan memiliki pekerjaan yang sama, diferensiasi pendapatan, dan meningkatkan mobilitas sosial dalam memenuhi berbagai masalah kebutuhan hidup. Aspek lingkungan Aspek lingkungan menggambarkan persepsi masyarakat mengenai pengaruh keberadaan kebun sawit swadaya terhadap kondisi lingkungan di tempat tinggal mereka. Masyarakat baik dari kategori petani dan bukan petani memiliki pendapat yang netral terhadap dampak lingkungan. Kategori petani dan bukan petani juga memiliki rerata persepsi yang tidak jauh berbeda, dengan rerata kategori petani yang lebih tinggi (Tabel 8).
No 1 2 3 4
5 6 7 9 10
Tabel 8 Rerata persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan kss Petani Bukan petani Pernyataan Nilai Tengah Nilai Tengah Menyediakan udara segar 2.9 2.75 Mencegah banjir di dataran yang 3.0 2.96 lebih rendah Membantu menjaga ketersediaan 3.0 2.25 air bersih Tidak menyebabkan lahan menjadi gersang, kering, dan tidak subur 2.6 2.43 lagi Dapat menjadi tempat tinggal bagi 3.7 3.64 satwa liar Satwa liar tidak mengganggu 3.2 2.93 produksi Tidak perlu dilakukan pembukaan 2.6 2.50 hutan Dilakukan penanaman padang 3.5 2.14 ilalang/ rumput Pembukaan lahan dilakukan 2.0 3.07 dengan sistem tebas bakar Rerata Lingkungan 2.9 2.7
14 Masyarakat tidak merasakan adanya dampak lingkungan yang signifikan dari perubahan penggunaan lahan menjadi kebun sawit swadaya. Persepsi terhadap kebun sawit swadaya pada aspek lingkungan memiliki rerata yang lebih rendah daripada kedua aspek lainnya. Meskipun menurut masyarakat, kebun sawit dapat mengurangi kesuburan tanah, namun demikian kebun kelapa sawit memiliki manfaat lingkungan yang sama dengan hutan. Hal ini diindikasikan pada pernyataan bahwa masyarakat setuju kebun kelapa sawit swadaya dapat mencegah banjir di dataran yang lebih rendah juga menyediakan udara segar namun, keberadaan kebun sawit swadaya tidak membantu menjaga ketersediaan air bersih. Menurut masyarakat, kelapa sawit memerlukan banyak air untuk produktivitas mereka, sehingga ketersediaan air bersih untuk masyarakat menjadi berkurang. Menurut Norwana (2011) petani mandiri khususnya, telah bersedia untuk melupakan cara hidup tradisional mereka termasuk ketergantungan pada jasa ekosistem seperti kualitas air sungai dan hutan alam, sebagai imbalan keuntungan ekonomi yang besar dari budidaya minyak kelapa sawit. Hal ini bisa jadi merupakan alasan mengapa masyarakat baik petani dan bukan petani memiliki persepsi yang netral terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Santosa dan Pairah (2011) menyatakan bahwa dampak dari konservasi kawasan hutan terhadap sawit adalah hilangnya/terganggunya habitat satwa liar yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat masyarakat di lapangan. Masyarakat berpendapat bahwa kebun sawit swadaya dapat menjadi habitat bagi satwa liar, dan tidak mengganggu produktivitas kebun, namun hal ini terjadi apabila umur tanam sudah dewasa atau lebih dari lima tahun. Saat kelapa sawit masih muda, tikus, babi hutan, dan landak menjadi hama dengan memakan pucuk sawit, sehingga meskipun benar mengurangi jenis satwa liar yang ada sebelumnya, mereka tidak setuju bahwa kebun kelapa sawit tidak ramah bagi satwa liar. Petani tidak menanam rumput, ilalang atau tanaman lainnya pada kebun sawit swadaya, karena hal tersebut dapat mengganggu produktivitas kebun. Selisih nilai rerata untuk pernyataan 9 cukup besar. Hal itu dikarenakan kategori bukan petani menyatakan bahwa rerumputan, ilalang atau tanaman lainnya sama sekali tidak boleh tumbuh, sementara petani sawit menyatakan bahwa masih bisa ditanami tanaman lain seperti kacang – kacangan. Wardiana dan Mahmud (2004) menyatakan bahwa beberapa daerah pertanaman kelapa sawit telah mengusahakan tanaman sela dari jenis tanaman pangan dan hortikultura seperti jagung, ubikayu, ubi rambat, maupun pisang. Hasil penelitian Purba et al. (1998) menunjukkan bahwa penanaman jagung tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit muda sebagai tanaman pokoknya, bahkan secara ekonomi dapat menambah keuntungan. Keuntungan lainnya dari konsep tanaman sela adalah menunjang keberlanjutan usaha pertanian melalui maksimalisasi penggunaan lahan, stabilitas hasil dan keuntungan (Erhabor dan Filson, 1999). Pernyataan nomor 10 mengalami peningkatan rerata bagi kategori bukan petani. Masyarakat tidak setuju apabila saat ini masih dilakukan pembukaan hutan untuk pembangunan kebun kelapa sawit swadaya terutama dari kategori petani, apalagi hal tersebut dilakukan dengan sistem tebas bakar. Selain telah dilarang oleh pemerintah dengan ancaman penjara juga karena menimbulkan asap yang akan mengganggu aktivitas dan kesehatan mereka. Mereka mengakui bahwa
15 dahulu mereka memang menggunakan sistem tebas bakar karena lebih hemat, efektif waktu dan diperbolehkan. Karakteristik masyarakat dan persepsi Korelasi karakteristik masyarakat dengan persepsi terhadap kebun kelapa sawit swadaya dari kategori petani dan bukan petani sawit dianalisis berdasarkan hasil uji Chi-Square. Pengujian dibedakan menjadi aspek dampak, yaitu aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Ketiga hal tersebut merupakan komponen penilaian keberlanjutan suatu sumberdaya. Hasil uji Chi-Square disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap kebun kelapa sawit swadaya dengan Nilai Chi-Square (Asymptotic Significance 2sided) Petani Karakteristik Responden Jenis kelamin Asal Umur (thn) Lama bersekolah (thn) Jumlah tanggungan keluarga (indv) Pendapatan (Rp) Lama bekerja (thn) Luas lahan (ha) Jarak (km)
Bukan Petani
Ekonomi 0.459 0.195 0.557 0.066
Lingkungan 0.709 0.950 0.680 0.819
Sosial 0.213 0.356 0.688 0.082
0.015* 0.122 0.044* 0.784 0.123
0.709 0.161 0.359 0.960 0.892
0.978 0.547 0.125 0.918 0.177
Ekonomi 1.000 0.259 0.922 1.000
Lingkungan 0.397 0.443 0.849 0.397
Sosial 0.724 0.338 0.549 0.724
0.527 0.382 0.664 0.252 0.303
0.238 0.600 0.778 0.745 0.189
0.140 0.313 0.003* 0.562 0.075
*karakteristik yang berkorelasi dengan variabel
Karakteristik dari kategori petani yang berkorelasi dengan persepsi masyarakat terhadap aspek ekonomi adalah jumlah tanggungan keluarga, dan lama bekerja. Keduanya merupakan faktor eksternal. Tidak seperti pernyataan Surata (1993) yang menyatakan persepsi ditentukan oleh faktor internal seperti kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan jenis kelamin. Jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh terhadap perekonomian keluarga, bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga maka kebutuhan keluarga juga meningkat, kemudian biaya hidup meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Alwarritzi et al. (2015) ukuran keluarga (jumlah anggota keluarga) merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan perluasan kebun sawit swadaya. Tidak ada satupun karakteristik masyarakat yang berkorelasi dengan persepsi kategori bukan petani. Keterbatasan dalam kesempatan kerja dapat berbentuk penghasilan keluarga yang kecil sehingga makin banyak anggota keluarga yang harus ikut bekerja agar dapat meningkatkan pendapatan keluarganya. Berbeda dengan persepsi masyarakat pada aspek lingkungan. Tidak ada karakteristik masyarakat yang mempengaruhi persepsi kategori petani dan bukan
16 petani sawit pada aspek lingkungan. Masyarakat pada setiap karakteristik dan kategori memiliki persepsi yang sama terhadap aspek lingkungan. Hal yang berbeda juga ditunjukkan dengan korelasi pada aspek sosial. Tidak ada karakteristik dari kategori petani yang berkorelasi dengan persepsi. Kategori bukan petani memiliki korelasi antara persepsi dengan karakteristik lama bekerja di kebun sawit swadaya. Kategori bukan petani yang pernah bekerja di perkebunan sawit swadaya memiliki persepsi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan mereka telah menerima keuntungan dari kebun sawit swadaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurfatriani (2000) bahwa masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai suatu sumberdaya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Persepsi masyarakat terhadap dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial dari kebun sawit swadaya adalah netral. Artinya, baik petani sawit dan bukan petani sawit tidak merasakan dampak positif dan dampak negatif yang signifikan terhadap keberadaan kebun kelapa sawit swadaya. 2. Persepsi petani dalam aspek ekonomi, berkorelasi dengan jumlah tanggungan keluarga, dan lama waktu bekerja, sementara tidak ada kearakteristik bukan petani yang berkorelasi dengan persepsi; dalam aspek lingkungan, tidak ada satupun karakteristik, baik petani dan bukan petani yang berkorelasi dengan persepsi; sedangkan dalam aspek sosial, hanya lama waktu bekerja bukan petani ,yang berkorelasi dengan persepsi Saran 1. 2.
3.
Perlu adanya kebijakan dan peraturan yang mengatur tentang kebun sawit swadaya terutama dalam hal pemanfaatan lahan. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai sikap, dan perilaku masyarakat terhadap dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial oleh kebun sawit swadaya. Adanya penyuluhan mengenai dampak lingkungan yang terjadi dan cara penanggulangannya, agar tercipta kenyamanan pada pemukiman masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Abonyo CK, Isabirye M, Mitumukiza D, Magunda M.K, Poesen J, Deckers J. 2008. Land use change and local people’s perception of the effects of change in Ssese island, Uganda. Uganda. Makerere University
17 Afandi A. 2011. Perbandingan Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet Dan Kebun Kelapa Sawit [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Aikanathan S. 2013. Determinants for Sustainable Management of the Palm Oil Plantation Industry: A Malaysian Case-study [thesis]. Malaysia. University Malaya Alwarritzi W, Nanseki T, Chomei Y. 2015. Factors determining household level farmers decision to expand oil palm farmland in Indonesia. J. Fac. Agr Kyushu Univ 60 (2): 563-568. Angelsen A, Wunder, S. 2003. Exploring the Forest Poverty Link: Key Concepts, Issues and Research Implications. CIFOR Occasional Paper No. 40. Bogor (ID): CIFOR. Batubara LP. 2003. Potensi integrasi peternakan dengan perkebunan kelapa sawit sebagai simpul agribisnis ruminan. Wartazoa 13(3): 83-91. BPS Kabupaten Pelalawan. 2016. Kabupaten Pelalawan dalam Angka 2016. Pangkalan Kerinci (ID): BPS Kabupaten Pelalawan. BPS Kabupaten Pelalawan. 2015. Statistik Daerah Kabupaten Pelalawan 2015. Pangkalan Kerinci (ID): BPS Kabupaten Pelalawan. BPS Kabupaten Siak. 2016. Kabupaten Siak dalam Angka 2016. Siak Sri Indrapura (ID): BPS Kabupaten Siak. BPS Kabupaten Siak. 2014. Statistik Daerah Kabupaten Siak 2014. Siak Sri Indrapura (ID): BPS Kabupaten Siak. Dirjenbun. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 20142016 . Jakarta (ID): Dirjenbun Elisabeth J, Ginting SP. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Bengkulu (ID): Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Erhabor JO dan Filson GC. 1999. Soil fertility changes under an oil palm-based intercropping system. J. of Sustain. Agric. (14) : 45 – 62. Euler M, Schwarze S, Siregar H, Qaim M. 2015. Oil palm expansion among smallholder farmers in Sumatra, Indonesia. Göttingen : GOEDOC, Dokumenten- und Publikationsserver der Georg-August-Universität, 2015 (EFForTS discussion paper series 8). Feintrenie L, Chong WK, Levang P. 2010. Why do farmers prefer oil palm? Lessons learnt from Bungo district, Indonesia. CIFOR FAOSTAT. 2013.Statistics division. Food and Agricultural Organization, Rome. http://faostat.fao.org. [di akses 23 Juni 2016] Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Terhadap Air Sungai.[Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Indonesian Palm Oil Council (2010) Indonesian palm oil in numbers. 2010. Indonesian Palm Oil Producers Association. Jakarta Kesaulija FF, Sadsoeitoebeon BMG, Peday HFZ, Tokede MJ, Komarudin H, Andriani R and Obidzinski K. 2014. Oil palm estate development and its impact on forests and local communities in West Papua: A case study on the Prafi Plain. Working Paper 156. Bogor (ID): CIFOR. Koentjaraningrat. 1958. Metode-Metode Antropologi dalam PenyelidikanPenyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
18 Lee JS, Ghazoul J, Obidzinski K, Koh LP. 2014. Oil palm smallholder yields and incomes constrained by harvesting practices and type of smallholder management in Indonesia. Agronomy for sustainable development 34(2): 501-513. Li TM. 2015. Social impact of oil palmin Indonesia:A gendered perspective from West Kalimantan. Occasional Paper 124. Bogor (ID). CIFOR Nkongho RN, Feintrenie L, Levang P. 2014. Strengths and weaknessess of the smallholder oil palm sector in Cameroon. OCL 21(2): D208 Norwana AABD; Rejani Kunjappan, Melissa Chin, George Schoneveld, Lesley Potter, Rubeta Anriani. 2011. The Local Impact of Oil Palm Expansion in Malaysia : An Assesment Based on a Case Study in Sabah State. CIFOR. Bogor Purba AP, Girsang W, Dharmosarkoro, dan Poeloengan Z. 1998. Corn as an intercropping in immature oil palm plantation. Journal of Indonesia Oil Palm Research Institute 6 (1): 29-36. Santosa Y, Pairah. 2011. Permasalahan dan manfaat program relokasi satwa liar. Prosiding Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Versus Konservasi Hidupan Luar Indonesia. Suharjito D, Leti S, Utami S. 2003. Bahan Ajaran 5: Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bogor (ID). ICRAF Syahrul. 2004. Mengenal Pelalawan Aneka Istilah Budaya, Permainan Rakyat, Peralatan, Makanan Khas, Flora Dan Fauna. Yogyakarta (ID): Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM). Wardiana E, Zainal M. 2003. Tanaman Sela Diantara Pertanaman Kelapa Sawit. Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi Warta sejarah. 2013. Adat dan sejarah kerajaan siak. Diunduh [Agustus 17 2016] pada http://wartasejarah.blogspot.co.id/2013/09/adat-dan-budaya-dikerajaan-siak.html Winanti MR. 2010. Persepsi, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan (Studi Kasus Di Desa Cinagara Dan Pasir Buncir Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
19 RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kota Pati pada tanggal 13 April 1994, merupakan anak terakhir dari lima bersaudara pasangan Sukardi dan (Almh) Siti Chotdijah. Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bekasi pada tahun 2012, dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN tulis. Penulis juga aktif dalam beberapa organsasi sebagai anggota Kelompok Pemerhati Gua (KPG) Hira, bendahara umum Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) tahun 2014-2015. Penulis pernah melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran-Gunung Syawal Jawa Barat tahun 2014, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2015, serta Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Yogyakarta pada bulan JanuariMaret 2016. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul Perbandingan Persepsi Petani dan Bukan Petani Terhadap Kebun Sawit Swadaya di bawah bimbingan Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.