PERBANDINGAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HUTAN RAKYAT BERBASIS KARET DAN KEBUN KELAPA SAWIT
AFWAN AFWANDI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERBANDINGAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HUTAN RAKYAT BERBASIS KARET DAN KEBUN KELAPA SAWIT
AFWAN AFWANDI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN AFWAN AFWANDI. E14051597. Perbandingan Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit. Dibawah bimbingan LETI SUNDAWATI Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi ekspor andalan Indonesia menunjukkan tren meningkat dan diduga mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan lahan di berbagai daerah. Kebun kelapa sawit selanjutnya menjadi kompetitor utama bagi pola-pola pertanian tradisional seperti hutan rakyat berbasis karet di Sumatera. Desa Sipaho secara administratif berada di Kabupaten Padang Lawas Utara yang merupakan daerah agraris sentra produksi karet di Sumatera Utara. Kebun karet di wilayah ini dimiliki oleh rakyat dan dikembangkan secara ekstensif, sebagian besar dalam pola agroforestri. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan persepsi masyarakat Desa Sipaho terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu penelitian ini juga mengkaji kontribusi kedua jenis kebun terhadap pendapatan masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan wawancara dengan 62 responden yang mewakili kelompok petani karet, petani karet sekaligus kelapa sawit, dan bukan petani. Pengambilan responden menggunakan metode purposive sampling. Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Desa Sipaho cenderung sedang terhadap aspek sosial ekonomi, ekologi, dan sosial budaya hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit. Persepsi terhadap hutan rakyat berbasis karet dipengaruhi oleh lama bersekolah, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan, sedangkan persepsi terhadap kebun kelapa sawit berkorelasi dengan usia. Dipandang dari segi ekonomi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit masing-masing berkontribusi sekitar 47% dan 43% terhadap pendapatan hasil pertanian rumahtangga.
Kata kunci: persepsi, hutan rakyat berbasis karet, kebun kelapa sawit
SUMMARY AFWAN AFWANDI. E14051597. The Comparison of Society Perception to Rubber Community Forest and Oil Palm Plantation. Under supervision of LETI SUNDAWATI Palm oil as one of Indonesian main export commodities shows rising trend and presumed affecting the societies of various regions in using land. Oil palm plantation furthermore became the main competitor for traditional farming systems, such as rubber community forest in Sumatera. Sipaho administratively located in Padang Lawas Utara District, which is an agricultural area of rubber production centers in North Sumatra. Rubber plantations in this region owned by community and developed extensively, mostly in agroforestry system. This research aims to analyse and compare Sipaho society perception to rubber community forest and oil palm plantation, and identify its influencing factors. Moreover, it also assessed the contributions of both plantation types to household income. Data were obtained through literature studies and interviews with 62 respondents that represent rubber farmers, rubber and palm oil farmers, and non farmers. Intake of respondents used purposive sampling method. Study result shows that respondents have medium perception on medium to socioeconomic, ecology, and socioculture aspects of rubber community forest as well as oil palm. Perception to rubber community forest were influenced by schooling period, land ownership, and income, while the perception to oil palm plantation correlated with age. Regarding to economic aspect rubber community forest and oil palm plantation contributed 47% and 43% on household income from agricultural sector.
Keywords: perception, rubber community forest, oil palm plantation
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi dan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Afwan Afwandi NRP E14051597
Judul Skripsi : Perbandingan Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit Nama
: Afwan Afwandi
NRP
: E14051597
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc NIP. 19640830 199003 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Allah SWT penulis berterimakasih kepada seluruh pihak yang memberikan dukungan dalam penulisan tugas akhir ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu mengarahkan selama proses penelitian dan penulisan. Penghargaan penulis untuk Bapak Efendi Harahap beserta masyarakat Desa Sipaho Kec. Halongonan Kab. Padang Lawas Utara Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, dan Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I atas bantuan dan kemudahan selama kegiatan penelitian. Penulis juga berterimakasih kepada Dra. Waysima, M.Sc, Ir. Ahmad Hadjib, M.Sc, Dr. Supriyanto, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr, dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi, M.Agr. Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada Langlang Tatabuana, Nayu Nuringdati W., Febi Damiko, Hilaria Primapuspita, dan Sebastian Koch sebagai teman berdiskusi yang memberikan banyak masukan bagi penelitian ini. Keluarga besar International Forestry Students’ Association Local Committee Institut Pertanian Bogor, International Forestry Students’ Association, Paduan Suara Mahasiswa IPB Agria Swara, Forest Management Students Club, dan The 37th International Forestry Students’ Symposium Indonesia 2009 Organizing Committee untuk semua kesempatan berharga yang memperluas pengetahuan dan pengalaman penulis. Tak lupa kepada rekan-rekan mayor Manajemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, serta Silvikultur ‘42 atas kebersamaan selama empat tahun terakhir. Semoga kita semua sukses. Akhirnya sebagai ungkapan rasa terima kasih karya ini didedikasikan untuk keluarga tercinta, Bapak R. Suryanto, Ibu Sukiati, dan Zulie Amaimy atas kasih sayang, doa dan dukungan yang selalu membesarkan hati penulis. Serta keluarga Bapak (Alm.) Nurdin dan Ibu Mahyardiana yang telah menjadi rumah kedua bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2011 Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tanjungbalai, 27 Agustus 1987 sebagai bungsu dari dua bersaudara pasangan Bapak R. Suryanto dan Ibu Sukiati. Selepas dari SMA Negeri 1 Tanjungbalai di tahun 2005 penulis meneruskan pendidikan di Institut Pertanian tanian Bogor (IPB) dan memilih Manajemen Hutan sebagai keahlian mayornya pada tahun 2006. Selanjutnya penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan jalur Indramayu-Linggarjati Linggarjati (2007),, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi (2008), serta Praktek raktek Kerja Lapang di PT. Wirakarya Sakti, Jambi (2010). Semasa menuntut ilmu di IPB penulis terlibat aktif dalam sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Paduan Suara Mahasiswa IPB Agria Swara (2005-2008) 2008), Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi Forest Management Student Students Club (FMSC) (2007/2008), serta Direktur irektur International Forestry Students’ Association Local Committee Institut Pertanian Bogor (IFSA LC-IPB) (2008/2009 2009). Melalui IFSA LC-IPB penulis berkesempatan berkesempat menjadi salah satu delegasi untuk The 35th International Forestry stry Students’ Symposium 2007 di Afrika Selatan dan menjadi staf komisi Village Concept Project yang kemudian berganti nama menjadi Development Programme, Programme International Forestry Students’ Association (IFSA) selama dua periode berturut-turut. berturut Penulis juga bergabung sebagai Wakil Ketua Komite Nasional asional untuk The 37th International Forestry stry Students’ Symposium yang diselenggarakan di Indonesia (2009). Guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi berjudul Perbandingan Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit dibawah bawah bimbingan Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Sipaho, Kecamatan Halongonan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .........................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. ii DAFTAR TABEL ............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................... 2 1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi .......................................................................................... 3 2.2 Hutan Rakyat ................................................................................. 4 2.3 Agroforestri .................................................................................... 5 2.4 Perkembangan Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di Indonesia .………........................................................................... 7 2.5 Agroforest Karet sebagai Bentuk Hutan Rakyat ….....……...…... 8 2.6 Perkembangan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia ..... 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 15 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 16 3.3 Alat dan Bahan .............................................................................. 16 3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ............................................. 17 3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian .................................................... 17 3.6 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 18 3.7 Definisi Operasional ...................................................................... 23 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas ............................................................................... 25 4.2 Topografi ........................................................................................ 25 4.3 Hidrologi ........................................................................................ 25
iv
4.4 Sosial Ekonomi dan Budaya............................................................ 26 4.5 Pemerintahan dan Kependudukan ................................................. 26 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kebun Karet Rakyat di Desa Sipaho ............................................. 27 5.2 Kebun Kelapa Sawit di Desa Sipaho ............................................. 33 5.3 Pengukuran Persepsi terhadap Hutan Rakyat Berbasis karet dan Kebun Kelapa Sawit ...................................................................... 34 5.4 Kontribusi Sumber Pendapatan ..................................................... 47 5.5 Korelasi Karakteristik Responden dengan Persepsi terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit ................ 50 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 54 6.2 Saran .............................................................................................. 54 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55 LAMPIRAN ........................................................................................................ 59
v
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Kategori respon skala Likert .................................................................... 18
2.
Data dan pengolahan ................................................................................ 19
3.
Nilai tingkat persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ............................................................................ 20
4.
Tingkat reliabilitas metode Alpha Cronbach ........................................... 21
5.
Cara analisis data ..................................................................................... 21
6.
Tingkat keeratan hubungan antara variabel dengan uji Rank Spearman
7.
Tata guna lahan Desa Sipaho ................................................................... 25
8.
Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran persepsi terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit .................. 38
9.
Tingkat reliabilitas instrumen pengukuran berdasarkan metode Alpha Cronbach .................................................................................................. 38
10.
Distribusi persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ................................................................................... 40
11.
Perbandingan persentase penilaian manfaat hutan, kebun karet campuran, dan kebun kelapa sawit menurut pendapat responden ........... 46
12.
Pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber pertanian ............ 47
13.
Pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber non pertanian ..... 47
14.
Rata-rata pendapatan total rumahtangga responden dari sumber pertanian berdasarkan luas kepemilikan lahan ......................................... 50
15.
Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek sosial ekonomi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ................. 51
16.
Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek ekologi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ................... 52
17.
Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek sosial budaya hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit ................... 53
23
vi
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Kerangka pemikiran ................................................................................. 16
2.
Hutan rakyat berbasis karet pola agroforestri di Desa Sipaho ................. 28
3.
Tanaman palawija diantara tegakan karet muda di Desa Sipaho ............. 29
4.
Tanaman aren dan pohon cempedak pada hutan rakyat berbasis karet pola agroforestri di Desa Sipaho ............................................................ 30
5.
Kebun karet monokultur di Desa Sipaho ................................................. 32
6.
Kebun kelapa sawit di Desa Sipaho ......................................................... 34
vii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Karakteristik responden penelitian ........................................................... 60
2.
Kuesioner wawancara .............................................................................. 61
3.
Hasil pengolahan data .............................................................................. 67
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor unggulan Indonesia dan berkontribusi besar bagi ekspor non migas. Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Indonesia setiap tahunnya menunjukkan tren meningkat dengan rata-rata peningkatan adalah 12,97% (Tryfino 2008), yang diduga secara tak langsung mempengaruhi persepsi masyarakat dalam penggunaan lahannya. Sebagai usaha meningkatkan hasil kelapa sawit dilakukan ekstensifikasi yang berorientasi pada perluasan areal panen dengan membuka kebun-kebun baru, sehingga dalam beberapa dekade terakhir alih guna lahan sebagai kebun kelapa sawit terus berkembang di berbagai daerah. Kondisi ini ditandai oleh peningkatan luas total kebun kelapa sawit Indonesia dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 saja luas kebun kelapa sawit Indonesia mencapai 2.922.296 ha. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipatnya pada tahun 2008 menjadi 7.363.847 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010). Kebun kelapa sawit selanjutnya menjadi salah satu kompetitor utama bagi pola pertanian tradisional di sejumlah daerah, seperti hutan rakyat berbasis karet di Sumatera. Padahal komoditi dari pohon karet sendiri tidak kalah bersaing dengan komoditi pasar lainnya. Selain menghasilkan getah sebagai bahan baku industri lateks, kayu pohon karet juga dapat dimanfaatkan untuk industri furnitur. Walaupun harga jual karet di tingkat masyarakat lebih tinggi daripada harga tandan buah segar (TBS), kebun sawit masih terlihat menawarkan prospek ekonomi potensial karena dipanen dalam waktu cepat dan didukung oleh pasar yang luas. Terkait dengan penjelasan di atas, manusia memegang peranan penting bagi pemanfaatan lahan. Interpretasi dan pengetahuan masyarakat, desakan ekonomi, tradisi, serta informasi dari luar akan mempengaruhi persepsi bagaimana dan untuk apa lahan diolah, dalam hal ini hutan rakyat berbasis karet atau kebun kelapa sawit.
2
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji dan membandingkan persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit. 3. Mengkaji pendapatan masyarakat dari hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit.
1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan
informasi
mengenai
persepsi
masyarakat
terhadap
penggunaan lahan sebagai hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit di lokasi penelitian. 2. Memberikan informasi dan pertimbangan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan di daerah. 3. Memberikan informasi sebagai pedoman bagi penelitian selanjutnya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses perencanaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono 2002). Sementara menurut Surata (1993) dalam Widawari (1994), persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Persepsi sebagai pandangan individu terhadap suatu objek atau stimulus. Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap kemauan dan perasaan terhadap stimulus tersebut, serta motivasi tertentu. Stimulus bisa berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi tertentu (Langevelt 1966, dalam Harihanto 2001). Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu: (1) pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktrinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut, persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan, dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk juga pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya. Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa persepsi yang kita kenal memiliki pengaruh terhadap konsep diri seperti:
4
1. Pengetahuan: apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif dan sebagainya. 2. Pengharapan: gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa. 3. Evaluasi: kesimpulan kita tentang seseorang didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia.
2.2 Hutan Rakyat Menurut SK Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar (Awang 2002, dalam Koswara 2006). Hutan rakyat sebagai salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang dimiliki oleh masyarakat atau rakyat, baik secara perorangan, kelompok, maupun swasta ataupun badan usaha masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan serta pelestarian lingkungan hidup (Departemen Kehutanan 1995, dalam Suryono 2004). Toha (1987) dalam Suryono (2004) membagi bentuk hutan rakyat menjadi tiga, yaitu: 1. Hutan rakyat murni, yaitu hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu. 2. Hutan rakyat campuran, terdiri dari lebih dari satu jenis tanaman pokok berkayu. 3. Hutan rakyat agroforestri, hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi dari tanaman kehutanan dengan usaha pertanian terpadu. Sedangkan menurut Bunna (2004), bentuk-bentuk hutan rakyat terdiri dari:
5
1. Hutan rakyat murni adalah areal hutan rakyat yang seluruhnya ditanami kayu-kayuan. 2. Hutan rakyat campuran adalah areal hutan rakyat yang ditanami kayukayuan yang dicampur dengan tanaman jenis multi purpose tree species (MPTS). 3. Hutan rakyat pola kebun (kebun rakyat) adalah hutan yang pengaturan pola jarak tanamnya mengikuti pola kebun (5 m x 5 m) dengan maksud agar dapat dikerjakan dengan sistem tumpang sari. Menurut Djajapertjunda (1995) dalam Dede (1998), hutan rakyat mempunyai peran penting dan mempunyai manfaat-manfaat yang cukup meyakinkan, diantaranya: 1. Hutan
rakyat
dapat
merupakan
sumber
pendapatan
yang
berkesinambungan dan berbentuk tabungan. 2. Keberadaan hutan rakyat dapat membuka lapangan kerja yang cukup berarti. 3. Produksi hutan rakyat yang berupa kayu dan non kayu dapat mendorong dibangunnya industri hutan rakyat yang akan mempunyai peran penting dalam ekonomi nasional. 4. Hutan rakyat dibangun di lahan-lahan kritis dapat berperan dalam melindungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memiliki jenis tanaman tertentu dapat meningkatkan kesuburan tanah. 5. Hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan pendapatan negara dari berbagai pajak dan pungutan. 6. Meningkatkan pemanfaatan lahan secara optimal termasuk lahan-lahan marginal.
2.3 Agroforestri Agroforestri adalah nama bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dan lain-lain) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek serta diusahakan pada petak lahan yang sama dalam satu pengaturan waktu. Dalam
6
sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsurunsurnya (Foresta et al. 2000). Sedangkan menurut Nair (1989), agroforestri diartikan sebagai suatu nama kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palem, bambu, dan sebagainya) ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian dan atau hewan dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi diantara berbagai komponen yang bersangkutan. Agroforestri bertujuan untuk menimbulkan kesadaran dan harapan akan peningkatan pendapatan rumahtangga dengan meningkatnya produktivitas hutan dan pertanian secara masing-masing. Foresta et al. (2000) mengelompokkan agroforestri di Indonesia menjadi dua kategori utama, yaitu: 1. Sistem agroforestri sederhana, berupa perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal sebagai skema agroforestri klasik. Bentuk paling sederhana dari sistem ini adalah tumpangsari yang bisa dijumpai dalam pertanian tradisional. 2. Sistem agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistemsistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Menurut Lahjie (2004) dalam Hutapea (2005), sistem agroforestri memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi sistem agroforestri membantu dalam: (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau, dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan. Secara sosial agroforestri mendukung: (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan;
7
(b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi, dan papan; serta (c) terjaminnya stabilitas komunikasi petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi. Sementara secara ekologi menurut Young (1997) dan Moore (1997) dalam Hutapea (2005), agroforestri memberikan manfaat berupa: (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) efisiensi dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan tanah oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evapotranspirasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) sistem ekologis terpelihara lebih baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan.
2.4 Perkembangan Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di Indonesia Tanaman karet mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1864 di masa pemerintahan kolonial Belanda. Tanaman tersebut ditanam pertama kali di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Karet jenis Hevea brasiliensis Muell. Arg. yang banyak ditanam akhir-akhir ini dan merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Karet mulai diperkenalkan pada tahun 1902 di perkebunan Sumatera. Pada awalnya, jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica (Herlina 2002). Kegunaan utamanya adalah lateks (karet) yang diolah secara langsung ataupun tidak langsung menjadi sekitar 50.000 produk berbeda. Penggunaannya berkurang sejak munculnya karet sintetis. Kayunya telah digunakan dalam pembuatan furnitur. Secara tradisional bijinya dimakan setelah direbus untuk menghilangkan racunnya (Jensen 1989). Biji karet dapat digunakan sebagai
8
suplemen atau komponen produk makanan, seperti makanan bayi dan aneka makanan ringan (Herlina 2002). Berdasarkan Data Statistik Hasil Perkebunan Indonesia pada tahun 2000, total tanaman karet di Indonesia berdasarkan kepemilikan didominasi oleh usaha kecil seluas 2.882.795 ha atau sekitar 86%, pemerintah seluas 212.617 ha (6%), dan swasta seluas 276.887 ha (8%). Tanaman karet didominasi oleh pulau Sumatera dan Kalimantan bila dibandingkan dengan pulau lainnya (Nainggolan et al. 2005). Perkebunan karet rakyat merupakan sumber kayu karet yang sangat potensial. Potensi kayu karet diperkirakan lebih dari 2,7 juta m3 per tahun dihitung dari luas areal perkebunan karet yang ada, dengan asumsi bahwa perkebunan besar setiap tahun meremajakan 3% dari areal karetnya, perkebunan karet rakyat tradisional yang diremajakan hanya 2% (Nancy et al. 2001, dalam Pangihutan 2003). Umumnya kebun karet rakyat dibangun dengan sistem tebas-tebang-bakar hutan sekunder atau hutan karet tua, yang diikuti oleh penanaman tanaman pangan (padi, jagung dan sayur-sayuran) diantara tanaman karet muda selama 1-2 tahun. Penanaman karet dilakukan bersamaan dengan tanaman pangan atau setelah tanaman pangan dipanen. Dengan pola yang sama, petani kemudian meninggalkan lahan dan membiarkan tanaman karetnya tumbuh, sambil mencari lahan baru untuk dibuka kembali. Penyiangan atau penebasan vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar tanaman karet dilakukan satu sampai dua kali setahun pada awal pertumbuhan, dan maksimal sekali setahun sampai karet siap disadap. Selama masa pertumbuhan karet, kebun berkembang menjadi seperti hutan dengan karet sebagai komoditas utama yang tumbuh bersama dengan jenis pohon kayu, buahbuahan, rotan atau tanaman obat lainnya. Sistem ekstensif dengan pengelolaan minimal ini berkembang ke arah wanatani kompleks berbasis karet (Budi et al. 2008).
2.5 Agroforest Karet sebagai Bentuk Hutan Rakyat Sebagai sebuah ‘sistem penggunaan lahan dimana tanaman keras dengan sengaja dipadukan dengan tanaman pertanian atau hewan, dengan pengaturan
9
ruang atau urutan waktu’, dengan ‘interaksi ekonomi dan ekologi antar komponen yang berbeda’ (Lundrgren dan Raintree 2000, dalam Foresta et al. 2000), kebun karet campuran dipastikan termasuk sistem agroforestri (Foresta et al. 2000). Gouyon (1995) dan SFDP/GTZ (1991) dalam Penot (2007) menyatakan bahwa menurut sejarah, perluasan karet telah meliputi tiga tahap. Tahap pertama dicirikan oleh pengayaan lahan kosong dengan karet tanpa dipilih. Pada awal tahap 'perbaikan bera' ini, meskipun karet diakui sebagai sumber pendapatan, penekanan masih ditempatkan pada produksi padi di perladangan berpindah. Namun, petani dengan cepat berupaya untuk membangun sistem agroforestri karet dimana karet lateks yang menjadi sumber utama pendapatan. Tahap kedua ditandai dengan pergeseran dari karet bera yang ditingkatkan menjadi karet murni, agroforest kompleks. Tahap ketiga melibatkan integrasi inovasi eksternal kedalam sistem untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet (Penot 2007). Agroforest karet adalah salah satu bentuk wanatani kompleks yang umum dijumpai di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Luas agroforest karet di Indonesia diperkirakan lebih dari 2,5 juta ha dan mensuplai kira-kira 80% dari total produksi karet di Indonesia (Gouyon et al. 1993; Penot et al. 1997, dalam Rasnovi 2006). Agroforest karet merupakan sistem pertanian yang seimbang yang berisi beranekaragam jenis tumbuhan, dibangun petani diluar arahan penyuluh dan instansi perkebunan. Dengan membangun kebun yang mirip hutan yang dapat disebut sebagai agroforest, petani dapat menganekaragamkan penghasilan dengan biaya pembuatan dan perawatan yang rendah (Foresta et al. 2000). Vegetasi sistem ini cukup kompleks dan biasanya disusun oleh tegakan pohon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) sebagai komponen utama dan berbagai jenis liana, herba dan pohon, baik yang tidak disengaja dipelihara maupun yang sengaja dipelihara untuk maksud tertentu sebagai penghasil buah, kayu bakar maupun papan. Manajemen wanatani karet umumnya tidak intensif dan memiliki struktur serta formasi tegakan yang mirip dengan hutan alam. Agroekosistem yang mampu memadukan fungsi ekonomi dengan konservasi secara harmonis seperti wanatani karet, bagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana upaya konservasi sering berhadapan dengan masalah sosial dan ekonomi, dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu menahan dan menekan
10
efek negatif hilangnya habitat akibat deforestasi yang disebabkan oleh berbagai faktor dan aktor (Rasnovi et al. 2008).
Menurut Gouyon et al. (1993) diacu dalam Pangihutan (2003) kebun karet campuran atau hutan karet atau agroforest karet merupakan sistem pertanian yang seimbang yang berisi beranekaragam jenis tumbuhan dimana petani dapat menganekaragamkan penghasilan dengan biaya dan pembuatan dan perawatan yang rendah. Kebun karet campuran secara ekologi bisa dianggap sebagai hutan sekunder berbasis karet. Kebun tersebut umumnya bertahan hingga 40 tahun atau lebih, sebelum dibuka dan ditanami kembali. Sedang pertumbuhan kembali hutan sekunder dalam siklus perladangan berputar jarang melebihi 20 tahun. Jangka waktu ini memberikan lebih banyak kesempatan kepada spesies non pionir asal hutan primer untuk berkembang. Di lahan-lahan agroforest karet tua yang ditinggalkan dan tidak ditanami kembali terjadi perkembangan struktur ke arah hutan tua, jumlah pohon karet semakin lama semakin berkurang. Pada agroforest karet, pohon karet sering disadap dengan cara serampangan oleh tenaga yang kurang ahli seperti anak-anak, untuk menghemat biaya tenaga kerja. Akibatnya pohon karet hampir tidak dapat disadap lagi setelah lebih dari 20 tahun. Sementara pohon karet yang dikelola dengan hati-hati di perkebunan besar bisa disadap selama sekitar 28 tahun. Namun agroforest karet dapat tetap disadap selama lebih dari 30 tahun - ketika pohon yang mula-mula ditanam mati dan membusuk, petani bisa segera mulai menyadap pohon muda yang tumbuh spontan di sela-selanya. Petani merangsang tumbuhnya semaian karet spontan dengan menyiangi sekelilingnya atau dengan memindahkan anakan pohon ke tempat bekas pohon mati. Karena karet tidak tumbuh baik di bawah naungan maka regenerasi ini tidak dapat mencegah menurunnya populasi karet. Setelah 40 tahun kerapatan karet yang semula 500 pohon per hektar menurun menjadi 200 pohon per hektar. Akibatnya penyadapan tak lagi menguntungkan, sehingga petani melakukan penanaman kembali secara menyeluruh (Foresta et al. 2000). Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa tanaman pangan dan tanaman komersil yang tumbuh bersama karet muda seperti padi, pisang, nanas, sayuran dan lain-lain memberikan penghasilan selama satu sampai tiga tahun. Setelah itu
11
pengikisan tanah, gulma rumputan, dan naungan karet menghalangi pengolahan lebih lanjut. Meski hanya sementara, tanaman-tanaman komersil tersebut merupakan sumber penghasilan satu-satunya selama tahun-tahun awal. Tanamantanaman itu menutupi tanah, mencegah gulma, serta cepat memberikan penghasilan untuk biaya penyiangan gulma untuk melindungi pohon karet muda. Tanaman komersil memberikan penghasilan beragam bagi petani, memenuhi sebagian kebutuhan makanan pokok serta menjadi penyangga bila harga karet merosot. Dengan memproduksi sendiri padi yang dibutuhkannya, secara sosial petani juga akan lebih dihargai oleh masyarakat setempat. Sementara itu komponen non karet di kebun karet yang lebih tua memasok berbagai produk bernilai ekonomi. Berbagai jenis pohon buah yang tumbuh spontan dimungkinkan berkat penyebaran biji oleh binatang liar yang dimungkinkan karena keanekaragaman tumbuhan di agroforest karet. Produk yang dihasilkan bermanfaat bagi konsumsi buah keluarga, terutama untuk pemenuhan gizi anakanak. Agroforest
dapat
menjadi
contoh
sistem
pertanian
dimana
keanekaragaman hayati memberikan manfaat ekonomi langsung. Dalam kasus agroforest karet, sejak lama keanekaragaman hayati memberikan dua fungsi ekonomi yaitu (1) menambah penghasilan petani dalam bentuk uang tunai atau pangan
untuk
konsumsi
sendiri,
sehingga
petani
mampu
mengurangi
ketergantungan terhadap karet, (2) memungkinkan petani memperluas lahan yang ditanami dengan modal dan tenaga kerja minimal (Foresta et al. 2000). Menurut Foresta et al. (2000) dalam kondisi ekonomi dan alam daerah lahan kering, sulit untuk merekomendasikan jenis tanaman lain diluar yang sudah ada. Pemeliharaan tanaman semusim yang dapat berkelanjutan hampir tidak mungkin bisa menguntungkan. Tanaman keras yang cocok untuk lahan tersebut terbatas pada karet, pohon buah-buahan dan kelapa sawit, tetapi kelapa sawit membutuhkan investasi besar. Maka pilihan untuk meningkatkan penghasilan petani lebih mungkin bertumpu pada karet dengan menggunakan spesies pepohonan yang bisa dipadukan dengan karet. Sekarang sistem agroforest karet tradisional menghadapi persaingan ketat dengan sistem pertanian lain yang lebih intensif. Seiring dengan semakin
12
membaiknya perekonomian sehingga modal bukan merupakan suatu kendala bagi petani. Mereka lebih tertarik untuk mengganti agroforest karet menjadi kebun karet monokultur ataupun kebun kelapa sawit yang menurut mereka lebih menguntungkan (Rasnovi 2006). Selanjutnya Rasnovi (2006) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan perubahan persepsi masyarakat terhadap keberadaan agroforest karet. Pertama, berdasarkan kenyataan bahwa produktivitas getah agroforest karet per hektar rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kebun karet monokultur. Kedua,
hadirnya
pilihan-pilihan
baru
penggunaan
lahan
yang
lebih
menguntungkan dari sisi ekonomi jangka pendek. Bentuk perkebunan kelapa sawit adalah kompetitor yang paling kuat terhadap sistem agroforest karet yang diikuti oleh bentuk perkebunan karet monokultur. Ketiga, umumnya petani yang mempraktekkan sistem agroforest karet adalah petani-petani miskin yang kekurangan modal. Akses mereka terhadap informasi yang sangat kurang dan posisi tawar yang rendah menyebabkan turunnya popularitas sistem multikultur karet di masyarakat. Keempat, belum adanya pengakuan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk mengakui bahwa agroforest karet atau perkebunan karet monokultur adalah salah satu pilihan bentuk penggunaan lahan sama halnya dengan perkebunan karet monokultur ataupun perkebunan kelapa sawit yang terlihat jelas dalam laporan-laporan statistika daerah yang tidak mencantumkan data mengenai agroforest karet di daerahnya.
2.6 Perkembangan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2003) dalam Pasaribu (2005), upaya pengembangan kelapa sawit di Indonesia dirintis oleh Adrian Hall berkebangsaan Belgia yang mempunyai pengalaman pembudidayaan kelapa sawit di Afrika. Namun kelapa sawit yang ditanam di perkebunan Indonesia bukan berasal dari Afrika. Indonesia menerima bibit kelapa sawit sejumlah empat batang dari Bourbon dan Amsterdam, yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Anakan dari empat batang sawit ini kemudian dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara (Herlina 2002).
13
Adrian Hall membangun perkebunan kelapa sawit pertama dalam skala besar di Sungai Liput (Nangroe Aceh Darussalam) dan Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara) dengan menggunakan benih dari Deli pada tahun 1911. Upaya pengembangan kelapa sawit selanjutnya di Indonesia berkembang cukup pesat dimana pada tahun 1925 telah ditanam kelapa sawit seluas 39.000 ha di Sumatera dan pada tahun 1938 seluas 114.000 ha (Mangoensoekarjo dan Semangun 2003, dalam Pasaribu 2005). Setyamidjaja (2006) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit sering ditanam pada berbagai kondisi areal sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit. Cara membuka lahan untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia. 1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak belukar atau areal yang ditumbuhi lalang. 2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, atau komoditas tanaman perkebunan lainnya. 3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga ditanami kelapa sawit. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Sebanyak 85% lebih pasar dunia kelapa sawit dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia (Pahan 2006). Menurut
Setyamidjaja
(2006),
setelah
Indonesia
melaksanakan
Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang dimulai tahun 1969, perkembangan perluasan perkebunan kelapa sawit berjalan dengan pesat. Perluasan tanaman kelapa sawit yang dilaksanakan meliputi: 1. Penguasaan kembali areal yang diokupasi oleh petani/ penduduk yang berdomisili di sekitar perkebunan. 2. Konversi kebun-kebun swasta yang tidak terurus, konversi dari komoditas non kelapa sawit (misalnya karet) menjadi kelapa sawit. 3. Mengimplementasikan berbagai proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Unit Pelayanan
14
Pengembangan (UUP), Pola Swadaya, dan Pola Pembinaan Perkebunan Besar. 4. Membuka hutan-hutan perawan dan hutan sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit yang sebelumnya merupakan konsesi perkebunan maupun kehutanan melalui PMDN/PMA. Peta penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencakup 19 provinsi dengan luas areal tanaman pada tahun 2004 sebesar 5,45 juta ha. Provinsi yang mempunyai luas areal terbesar yaitu Riau dengan luas 1,37 juta ha atau merupakan 25,15% dari total area kelapa sawit nasional. Peringkat kedua dan ketiga yaitu provinsi Sumatera Utara (17,53%) dan Sumatera Selatan (9,46%), dengan komposisi kepemilikan usaha yang paling dominan yaitu perkebunan besar swasta nasional (PBSN), disusul kemudian oleh perkebunan rakyat dan perkebunan negara (Pahan 2006). Menurut Setyamidjaja (2006), dari produk hulu kelapa sawit dapat dihasilkan jenis-jenis produk sebagai berikut. 1. Minyak sawit (CPO) yang menghasilkan carotene, tocopherol, olein, stearin, soap stock, dan free fatty acid. 2. Inti sawit menghasilkan minyak inti dan bungkil. 3. Tempurung menghasilkan arang, tepung tempurung, dan bahan bakar. 4. Serat menghasilkan bahan bakar dan sumber selulosa. 5. Tandan kosong digunakan sebagai sumber selulosa. 6. Sludge digunakan sebagai komponen makanan ternak.
15
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Pada umumnya ekonomi pedesaan berhubungan erat dengan pemilikan lahan yang meliputi pekarangan, tegalan, kebun, talun, sawah, dan sebagainya (Hardjanto 2003). Pedesaan sering diidentikkan dengan tingkat ekonomi yang rendah. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat pedesaan semakin kritis dan peka terhadap informasi pasar dan hal-hal yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Penggunaan lahan menjadi bentuk-bentuk tertentu diharapkan mampu memberikan pendapatan dan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pada daerah dengan mayoritas lahan kering peningkatan pendapatan masyarakat salah satunya dilakukan dengan intensifikasi pemanfaatan lahan dengan cara menanam berbagai komoditas (Hardjanto 2003). Beberapa dekade terakhir kebun kelapa sawit telah menjadi salah satu sektor unggulan Indonesia. Pertumbuhan kebun kelapa sawit Indonesia kian pesat, meliputi perkebunan milik negara, swasta, dan rakyat. Kebun kelapa sawit menggeser penggunaan lahan lain, termasuk hutan-hutan primer dan sekunder, khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. Disisi lain kedua pulau ini juga merupakan sumber komoditi karet alam terbesar di Indonesia yang dihasilkan oleh perkebunan karet dan hutan tanaman rakyat atau wanatani karet. Namun belakangan ini perdagangan karet alam mengalami penurunan akibat adanya karet sintetis. Sehingga dengan demikian bila ditinjau dari segi ekonomi dan profitabilitas pemanfaatan lahan untuk menghasilkan sawit lebih menguntungkan bagi masyarakat mengingat kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia yang terus meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk. Melalui penelitian ini penulis ingin mengkaji bagaimana persepsi masyarakat pedesaan terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit serta karakteristik yang diduga mempengaruhinya. Karakteristik tersebut adalah jenis kelamin, usia, lama bersekolah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama, lama bekerja, luas kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan.
16
Hutan Rakyat Berbasis Karet Kelestarian
Persepsi Kebun Kelapa Sawit
Hutan
Masyarakat
• • • • • • • • •
Jenis kelamin Usia Lama bersekolah Jumlah anggota keluarga Pekerjaan utama Lama bekerja Luas kepemilikan lahan Pendapatan Pendapatan
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sipaho, Kecamatan Halongonan, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung sejak bulan Juni sampai Juli 2010.
3.3 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kuesioner 2. Peta wilayah penelitian 3. Data statistik lokasi penelitian 4. Alat tulis 5. Unit komputer dengan program Microsoft Office Word 2007, Microsoft Office Excel 2007, dan SPSS (Statistical Product and Service Solution) 13.0 for Windows
17
3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari masyarakat melalui wawancara, kuesioner, dan observasi di lapangan. Sementara data sekunder berupa data kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta data terkait lokasi penelitian yang diperoleh di tingkat desa, kecamatan, dan instansi lainnya.
3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 3.5.1
Penentuan daerah contoh Penentuan daerah contoh menggunakan purposive sampling dengan
memilih desa yang dapat mewakili ruang lingkup penelitian. Sehingga daerah contoh pengambilan responden adalah daerah yang memiliki hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit.
3.5.2
Pemilihan dan jumlah responden Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling. Jumlah dan
jenis responden dikondisikan agar dapat mewakili kelompok pekerjaan yang akan diperbandingkan, yaitu petani karet sebanyak 36 responden, petani karet sekaligus kelapa sawit dan bukan petani masing-masing sebanyak 18 dan 6 responden. Purposive sampling mempunyai suatu tujuan atau dilakukan dengan sengaja. Cara pengambilan sampel dilakukan diantara populasi sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Mardalis 2004). Dalam menentukan jumlah sampel Roscoe (1975) menyatakan bahwa untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10-20 elemen. Sebagian besar uji statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30-60 atau dari 120-250. Namun jika sampelnya diatas 500, tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik (Champion dan Dean 1981).
18
3.6 Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1
Pengukuran persepsi responden Persepsi responden terpilih terhadap perkebunan kelapa sawit dan hutan
rakyat berbasis karet diukur melalui kuesioner semi terbuka dengan mengajukan sejumlah pernyataan mengenai hal-hal berikut: a. Penilaian subjektif tentang hutan rakyat berbasis karet dan perkebunan kelapa sawit b. Pandangan
terhadap
masalah
yang
memiliki
hubungan
dengan
keberadaan hutan rakyat berbasis karet dan perkebunan kelapa sawit c. Pandangan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan hutan rakyat berbasis karet dan perkebunan kelapa sawit Persepsi diukur menggunakan skala Likert. Persepsi selanjutnya dikategorikan menjadi tiga kelompok besar, yaitu baik, sedang, dan buruk berdasarkan standar deviasi.
Tabel 1 Kategori repon skala Likert (Allen dan Seaman 2007) 1 2 3 4 Skala sering selalu kadang-kadang Jarang sangat setuju setuju netral tidak setuju paling penting
penting
netral
tidak penting
5 tidak pernah sangat tidak setuju sangat tidak penting
Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, atau persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu variabel, konsep, gejala, atau fenomena. Skala Likert terdiri dari pernyataan positif yang menjadi indikasi positif dan sebaliknya bentuk pernyataan negatif menjadi indikasi negatif. Setiap pernyataan disediakan lima alternatif pilihan dengan skor berurutan, yaitu sangat setuju (5) sampai sangat tidak setuju (1) untuk pernyataan positif dan sangat setuju (1) sampai sangat tidak setuju (5) untuk pernyataan negatif (Djaali dan Muljono 2004). Tabel 2 menyajikan karakteristik responden yang dianalisis korelasinya dengan tingkat persepsi. Data karakteristik dianalisis berdasarkan selang yang dihitung menurut sebaran contoh, sedangkan tingkat persepsi dianalisis dengan menggunakan standar deviasi.
19
Tabel 2 Variabel penelitian No.
Variabel
Kategori
Skala
1
Jenis kelamin
1. Laki-laki 2. Perempuan
nominal
Dasar Pengukuran sebaran contoh
2
Umur (tahun)
1. Remaja (< 20) 2. Dewasa (20-50) 3. Tua (> 50)
Ordinal
sebaran contoh
3
Lama bersekolah (tahun)
1. 2. 3. 4. 5.
<3 3<x<6 6<x<9 9 < x < 12 > 12
Ordinal
sebaran contoh
4
Jumlah anggota keluarga (orang)
1. Kecil (< 4) 2. Sedang (4-7) 3. Besar (> 7)
Ordinal
sebaran contoh
5
Pekerjaan atau matapencaharian
1. Petani karet 2. Petani karet dan kelapa sawit 3. Lain-lain
nominal
sebaran contoh
6
Lama bekerja (tahun)
Berdasarkan sebaran data yang diperoleh di lapangan
Ordinal
sebaran contoh
7
Luas kepemilikan lahan (ha)
1. < 2 2. 2-5 3. > 5
Ordinal
sebaran contoh
8
Pendapatan (Rp)
Berdasarkan sebaran data yang diperoleh di lapangan
Ordinal
sebaran contoh
9
Persepsi
1. Buruk 2. Sedang 3. Baik
Ordinal
standar deviasi
Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh responden untuk setiap aspek yang diajukan pada kuesioner. Skor dari setiap aspek dikategorikan berdasarkan perhitungan standar deviasi menggunakan rumus berikut dan selanjutnya disajikan pada Tabel 3.
20
Dimana s = standar deviasi n = banyaknya responden xi = nilai dari responden ke-i x = nilai rata-rata
Tabel 3 Nilai tingkat persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit Tingkat persepsi Baik Sedang Buruk Aspek Hutan rakyat berbasis karet Sosial ekonomi Ekologi Sosial budaya Kebun kelapa sawit Sosial ekonomi Ekologi Sosial budaya 3.6.2
> 45 > 31 > 12
34 < x < 45 24 < x < 31 8 < x < 12
< 34 < 24 < 8
> 41 > 25 > 12
32 < x < 41 17 < x < 25 5 < x < 12
< 32 < 17 < 5
Uji validitas dan reliabilitas Uji validitas dilakukan guna mengetahui apakah pernyataan yang diajukan
pada kuesioner sah atau tidak. Dengan kata lain uji validitas dilakukan terkait keakuratan instrumen penelitian. Pengujian dilakukan melalui pengukuran korelasi antara item pernyataan dengan skor total variabel. Instrumen dikatakan valid apabila nilai korelasi (pearson correlation) adalah positif dan nilai probabilitas korelasi [sig. (2-tailed)] < taraf signifikan (α) sebesar 0,05 (selang kepercayaan 95%). Uji reliabilitas sendiri dilakukan untuk mengetahui sejauhmana suatu instrumen pengukuran memberikan hasil yang dapat dipercaya/ diandalkan. Uji reliabilitas menggunakan metode koefisien Alpha Cronbach pada software SPSS 13.0. Menurut Uyanto (2009) suatu instrumen pengukuran (misal kuesioner) dikatakan reliabel (reliable) bila memberikan hasil skor yang konsisten pada setiap pengukuran. Perlu diperhatikan bahwa suatu pengukuran mungkin reliabel tapi tidak valid, tetapi suatu pengukuran tidak bisa dikatakan valid bila tidak reliabel. Ini berarti reliabilitas (reliability) merupakan syarat perlu tapi tidak cukup (necessary but not sufficicient condition) untuk validitas (validity).
21
Mengingat perbandingan persepsi responden terhadap kedua objek dilakukan menurut aspek-aspek yang sama, maka satu pernyataan yang tidak valid atau memiliki tingkat reliabilitas rendah pada instrumen pengukuran persepsi terhadap objek A akan mengakibatkan pernyataan yang sifatnya sama pada instrumen pengukuran persepsi terhadap objek B harus dihilangkan. Tabel 4 Tingkat reliabilitas metode Alpha Cronbach Alpha Tingkat Reliabilitas 0.00 – 0.20 kurang reliabel > 0.20 – 0.40 agak reliabel > 0.40 – 0.60 cukup reliabel > 0.60 – 0.80 Reliabel > 0.80 – 1.00 sangat reliabel Sumber: Sari (2007)
3.6.3
Pengolahan dan analisis data Untuk menjawab tujuan yang bersifat deskriptif terbatas pada teknik
pengolahan statistika dasar, meliputi frekuensi distribusi, ukuran sebaran (ratarata, standar deviasi, serta nilai minimum dan maksimum), grafik, dan tabulasi, kemudian dilakukan penafsiran. Sementara untuk menjawab tujuan yang sifatnya menganalisis hubungan antarpeubah digunakan uji korelasi (Tabel 5). Tabel 5 Cara analisis data Variabel yang Dianalisis No. 1 Hubungan jenis dan pekerjaan dengan persepsi responden 2 Hubungan umur, lama bersekolah, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, lama bekerja, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan dengan persepsi responden
Cara Analisis Data Uji Chi-Kuadrat Uji Rank-Spearman
Uji Chi-Kuadrat digunakan untuk mengetahui korelasi antara variabel berskala nominal (jenis kelamin dan pekerjaan utama) dengan tingkat persepsi responden. Penghitungan dalam uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan SPSS 13.0 atau rumus sebagai berikut:
( − ) =
22
Dimana x2 = nilai Chi-Kuadrat k = banyaknya kategori/ sel oi = frekuensi observasi untuk kategori ke-i ei = frekuensi ekspektasi untuk kategori k Pada metode Chi-Kuadrat hubungan diuji dalam baris dan kolom sebuah tabel kontingensi dalam software SPSS 13.0. Hipotesis yang umum digunakan dalam pengujian ini adalah Ho = Tidak ada hubungan antara baris dan kolom dan H1 = Ada hubungan antara baris dan kolom. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan perbandingan nilai Chi-Squarehitung dan Chi-Squaretabel. Jika ChiSquarehitung < Chi-Squaretabel maka Ho diterima dan sebaliknya, jika ChiSquarehitung > Chi-Squaretabel, maka Ho ditolak. Sedangkan untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara variabel berskala ordinal (usia, lama bersekolah, jumlah anggota keluarga, lama bekerja, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan) yang mempengaruhi tingkat persepsi responden digunakan uji Rank Spearman menggunakan SPSS 13.0 atau rumus sebagai berikut:
−
( − )
Dimana rs = koefisien korelasi Spearman n = banyaknya pasangan data di = selisih peringkat antara dua rangking pengamatan Pada software SPSS 13.0 output akan menampilkan koefisien korelasi dan signifikasi. Uji signifikansi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan signifikan antar variabel yang diuji. Hipotesisnya adalah Ho = Tidak ada hubungan antara variabel dan
H1 = Ada hubungan antara variabel. Apabila
signifikansi > 0,05 maka Ho diterima serta sebaliknya, jika signifikansi < 0,05 maka H1 diterima. Sementara koefisien korelasi digunakan untuk mengetahui tingkat keeratan antar koefisien yang berkorelasi.
23
Tabel 6 Tingkat keeratan hubungan antara variabel dengan uji Rank Spearman Interval Tingkat Hubungan 0,00 – 0.25 sangat lemah > 0.25 – 0.50 Cukup > 0.50 – 0.75 Kuat > 0.75 – 1,00 sangat kuat Sumber: Sarwono (2006)
Untuk kontribusi pendapatan diperoleh dari besarnya pendapatan rata-rata dari tiap jenis sumber pendapatan yang dibandingkan dan dipersentasekan terhadap nilai rata-rata pendapatan total dalam satu tahun dan luas lahan. Penghitungan pendapatan kotor responden dari kebun dan sawah dilakukan dengan cara mengalikan berbagai komoditas yang dihasilkan dengan harga jual yang berlaku saat penelitian berlangsung.
3.7 Definisi Operasional. 1.
Karakteristik individu adalah ciri-ciri fisik dan kondisi sosial ekonomi responden pada daerah contoh baik pria maupun wanita yang selanjutnya dibagi menjadi: a. Jenis kelamin, terdiri dari laki-laki dan perempuan. b. Umur, yakni usia responden pada saat dilakukan penelitian yang diukur dalam satuan tahun. Umur reponden digolongkan menjadi kelompok remaja (< 20 tahun), dewasa (20-50 tahun), dan tua (> 50 tahun). c. Lama bersekolah adalah lamanya responden bersekolah atau mengenyam pendidikan formal yang dihitung dalam satuan tahun. d. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota keluarga responden yang masih hidup saat dilakukan penelitian dan hanya meliputi istri/ suami dan anak. Jumlah anggota keluarga responden dibedakan menjadi kecil (< 4 orang), sedang (4-7 orang), dan besar (> 7 orang). e. Pekerjaan atau matapencaharian adalah kegiatan utama yang dilakukan responden untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan dibagi kedalam tiga kategori, yakni petani karet, petani karet sekaligus kelapa sawit, dan bukan petani. f. Lama bekerja adalah lamanya responden berkerja sebagai petani karet, petani karet sekaligus kelapa sawit, dan bukan petani.
24
g. Luas kepemilikan lahan adalah luas lahan garapan yang dimiliki responden pada saat penelitian. Luas kepemilikan lahan dibedakan menjadi tiga kelompok berikut, < 2 ha, 2-5 ha, dan > 5 ha. h. Pendapatan adalah akumulasi pendapatan kotor responden per bulan dan per tahun. 2.
Persepsi adalah penilaian dan pendapat responden terhadap keberadaan hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit di lingkungannya.
3.
Hutan rakyat berbasis karet yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hutan rakyat karet pola agroforestri yang dimiliki secara perorangan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan keluarga.
4.
Kebun kelapa sawit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebun kelapa sawit yang dimiliki masyarakat secara perorangan.
25
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Sipaho, Kecamatan Halongonan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Posisi geografis Kecamatan Halongonan berada pada 01o31’29”-01o44’48” LU dan 99o35’36”99o58’46” BT. Penggunaan lahan di Desa Sipaho didominasi oleh kebun karet dan kebun kelapa sawit. Data luas lahan berdasarkan peruntukannya disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Tata guna lahan Desa Sipaho Fungsi Lahan Persawahan Kebun karet Kebun kelapa sawit Kebun palawija Pemukiman Perikanan Padang penggembalaan Sungai Tanah wakaf Total
Luas (ha) 660 5150 3320 5 150 25 250 437 3 10000
Sumber: Potensi Desa Sipaho (2009)
4.2 Topografi Kabupaten Padang Lawas Utara terdiri dari areal datar dan landai (16,25%), curam (44,59%), berbukit-bukit (4,03%), dan bergunung (35,13%) dengan ketinggian 0-1.915 m dpl (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan 2008). Desa Sipaho sendiri terdiri dari areal dengan topografi datar (Potensi Desa Sipaho 2009, Koordinator Statistik Kecamatan Halongonan 2008).
4.3 Hidrologi Berdasarkan data Potensi Desa Sipaho (2009) dan pengamatan di lapangan terdapat 3 (tiga) sungai yang mengalir di sepanjang Desa Sipaho. Ketiga sungai
26
tersebut adalah Sungai Batang Galoga, Sungai Aek Sipaho, dan Sungai Aek Hararongga.
4.4 Sosial Ekonomi dan Budaya Mayoritas penduduk Desa Sipaho merupakan suku Batak (Mandailing) dan memeluk agama Islam. Perekonomian desa sangat bergantung pada kegiatan pertanian yang dijadikan sebagai pekerjaan utama oleh sebagian besar penduduknya meliputi sawah, kebun karet dan kebun kelapa sawit.
4.5 Pemerintahan dan Kependudukan Sebelum
dikeluarkan
dan
disahkannya
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan yang selanjutnya mengalami pemekaran menjadi 3 (tiga) kabupaten baru, yaitu Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Secara administratif, Desa Sipaho berada di Kecamatan Halongonan, Kabupaten Padang Lawas Utara. Desa ini terdiri dari 12 (dua belas) lingkungan yaitu Sipaho Lama, Sipaho Darat, Sipaho Baru, Janji Matogu, Sipaho Jae, Sukarame, Batu Pulut, Sungai Ampolu, Palangas, Pardomuan, Simpang Barumun, dan Padang Bulan. Jumlah total penduduk Desa Sipaho pada tahun 2009 adalah 2.881 jiwa yang terdiri dari 1.525 laki-laki dan 1.356 jiwa perempuan (Potensi Desa Sipaho 2009).
27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kebun Karet Rakyat di Desa Sipaho 5.1.1
Sejarah kebun karet rakyat di Desa Sipaho Kabupaten Padang Lawas Utara sebagai salah satu daerah agraris
unggulan sentra produksi karet di Sumatera Utara memiliki kebun karet seluas 35.156 ha. Seluruhnya merupakan kebun karet rakyat dengan produksi sebanyak 18.439,35 ton (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan 2008). Jumlah ini menyumbang sekitar 8,24% dari total produksi perkebunan karet rakyat provinsi pada tahun yang sama. Kebun karet telah menjadi sumber matapencaharian sebagian besar penduduk di Kabupaten Padang Lawas Utara, termasuk Desa Sipaho. Pada tahun 2009 Desa Sipaho memiliki kebun karet rakyat seluas 5.150 ha (Potensi Desa Sipaho 2009) yang diusahakan pada tanah adat atau hak milik dan dikembangkan dengan teknik sederhana. Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa pohon karet sudah ada di kawasan Desa Sipaho dan sekitarnya sejak zaman pendudukan kolonial Belanda, jauh sebelum tren kebun sawit rakyat muncul. Pohon karet dijumpai pada lahan-lahan subur di sekitar daerah aliran Sungai Batang Galoga, sumber air utama beberapa desa. Pohon karet tumbuh bersama semak belukar, bambu, pandan, serta jenis pohon lain yang memasok kebutuhan rumahtangga seperti kayu bakar, kayu pertukangan, buah-buahan, serta makanan ternak. Pada masa itu perekonomian masyarakat masih sangat bergantung dari usaha pertanian sawah, kebun-kebun palawija, dan ternak. Pengusahaan pohon karet dirintis petani dengan membangun kebun karet campuran yang selanjutnya dalam tulisan ini juga disebut ‘hutan rakyat berbasis karet’. Melalui sistem tebas bakar hutan rakyat berbasis karet dibangun di atas lahan-lahan yang dianggap tidak produktif lagi khususnya hutan atau disebut masyarakat lokal sebagai ‘harangan’, tegakan karet tua di sekitar sungai, atau memanfaatkan sebagian lahan persawahan (Gambar 2). Bibit karet ditanam dan dibiarkan tumbuh bersama tanaman palawija dan pohon buah, baik yang ditanam
28
dengan sengaja maupun tumbuh spontan akibat adanya aktivitas makhluk hidup atau proses alam. Kemudian secara berangsur-angsur dan turun-temurun turun hutan rakyat berbasis karet menjadi bagian penting bagi kegiatan tan ekonomi masyarakat Desa Sipaho dan sekitarnya.
Sipaho Gambar 2 Hutan rakyat berbasis karet pola agroforestri di Desa Sipaho.
5.1.2
Pembangunan dan pengelolaan hutan rakyat berbasis karet Pembangunan embangunan hutan rakyat berbasis karet di Desa Sipaho bermodal
pengetahuan dan keterampilan sederhana. Hutan dan kebun-kebun kebun karet tua dibuka dengan cara menebang pepohonan dan kayunya diperuntukkan sebagai bahan baku pembuatan rumah atau kayu bakar. Lahann yang telah dibuka dibiarkan mengering selama 2 bulan guna memudahkan pembakaran. Selain praktis dan murah murah,, abu sisa pembakaran dianggap dapat menambah kesuburan tanah. Lahan selanjutnya ditinggalkan selama kurang lebih 3 bulan sampai waktu penanaman tiba. Kondisi lahan tanam dinilai akan lebih baik jika dalam kurun waktu tersebut terjadi hujan. Seiring berkurangnya hutan dan kebun kebun-kebun kebun tua di sekitar sungai, sungai maka petani mulai mengalihfungsikan padang padang-padang padang ilalang menjadi kebun karet/ karet
29
hutan rakyat berbasis asis karet karet.. Persiapan padang ilalang sebagai lahan tanam dilakukan secara mekanis dengan tebas bakar atau khemis melalui aplikasi herbisida. Penanaman bibit karet diawali pembuatan lobang tanam menggunakan jarak tanam yang bervariasi. Jarak tanam yang banyak yak digunakan oleh petani karet di Desa Sipaho adalah 3 m x 4 m. Bibit karet diperoleh dari biji atau cabutan dan okulasi yang banyak dijual dijual.
anaman palawija diantara tegakan karet muda di Desa Sipaho. Sipaho Gambar 3 Tanaman
Petani menanam berbagai jenis tanaman palawija di sela-sela sela tanaman karet muda (Gambar 3). Tanaman palawija memenuhi kebutuhan rumahtangga petani selama 1–22 tahun pertama. Jenis tanaman palawija yang umum ditanam oleh petani adalah ubi kayu ((Manihot utilisima), labu (Cucurbita Cucurbita pepo), pepo serai (Cymbopogon Cymbopogon citratus citratus), timun (Cucumis sativus), oyong (Luffa Luffa acutangula), acutangula kangkung (Ipomoea Ipomoea aquatica aquatica), bayam (Amaranthus sp.), .), pisang (Musa ( sp.), ubi rambat (Ipomoea Ipomoea batata batata), nenas (Ananas comosus), terong (Solanum Solanum sp.), pandan (Pandanus Pandanus amaryllifolius amaryllifolius), tomat (Lycopersicon esculentum), ), tebu (Saccharum ( sp.), dan cabai (Capsicum Capsicum annum annum). Disamping itu tanaman anaman palawija dapat menekan tumbuhnya rumput dan semak belukar sehingga meringankan pekerjaan petani.
30
Formasi hutann rakyat berbasis karet juga didukung berbagai berbaga jenis pohon buah (Gambar 4). Bibit pohon buah ditempatkan diantara tanaman karet atau pinggiran kebun. Selain nantinya menghasilkan varian buah untuk dijual atau konsumsi rumahtangga rumahtangga, penanaman bibit pohon buah di pinggir kebun juga ju difungsikan sebagai tanda/ batas lahan lahan.
Gambar 4 Tanaman aren (kiri) dan pohon cempedak (kanan) pada hutan rakyat berbasis karet pola agroforestri di Desa Sipaho. Sipaho Pada beberapa kasus pohon buah tumbuh tanpa disengaja karena aktivitas hewan liar. Pohon-pohon pohon yang dinilai tidak mengganggu pertumbuhan karet sekaligus memiliki manfaat akan terus dibiarkan tumbuh hingga masa produktif pohon karet berakhir. Adapun pohon buah uah yang umum ditemukan di hutan rakyat berbasis karet diantaranya langsat (Lansium domesticum), kuweni weni (Mangifera odorata), durian (Durio Durio zibethinus zibethinus), mangga (Mangifera Mangifera indica), indica cempedak (Artocarpus Artocarpus champeden champeden), sukun (Artocarpus altilis), nangka (Artocarpus heterophyllus),,
manggis
(Garcinia
mangostama),
jengkol
(Archidendron (
pauciflorum), dan rambutan (Nephelium lappaceum),, serta tanaman aren (Arenga ( pinnata) (Gambar 4). Tidak seperti perkebunan karet plasma, hutan rakyat berbasis karet dikelola secara ekstensif. Aplikasi pupuk dilakukan 2-3 3 kali dalam setahun,
31
tergantung kondisi ekonomi petani. Pupuk yang digunakan beragam jenisnya, seperti pupuk kandang, NPK, dan Urea. Pemupukan dengan frekuensi yang tak menentu seperti ini jelas mempengaruhi produktivitas kebun karet. Sinuraya (2000) menyatakan bahwa umumnya tanaman karet pada perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara tidak dipupuk karena bahan tanaman yang digunakan berasal dari biji sapuan dan kebanyakan kebun tidak terawat. Pemupukan hanya dilakukan menggunakan pupuk Urea walaupun sebenarnya tanaman memerlukan pemupukan yang lebih lengkap agar dapat berproduksi dengan baik. Penyiangan semak belukar (weeding) menyesuaikan dengan kondisi lahan tanam dan kebanyakan hanya dilakukan di jalur tumbuh pohon karet untuk memudahkan penyadapan. Hutan rakyat berbasis karet di lapangan sebagian besar ditumbuhi oleh semak belukar, berbeda dengan lantai kebun karet monokultur yang hampir ‘bersih’. Penyadapan merupakan tindakan membuka pembuluh lateks agar lateks yang terdapat dalam tanaman karet dapat keluar (Budi et al. 2009). Penyadapan pohon
karet atau ‘manderes’ dimulai saat pohon karet menginjak umur 7 hingga 8 tahun dimana ketinggian luka sadapan awal kurang lebih satu meter dari permukaan tanah. Getah dari pohon karet mengalir melalui bidang sadap dan ditampung dalam tempurung kelapa. Penyadapan dilakukan harian, di pagi hari (07.00-12.00 WIB) atau sore hari (13.00-16.00 WIB). Satu hektar kebun karet dewasa dapat menghasilkan 35-50 kilogram getah per minggu atau 1.820-2.600 kilogram per tahun, jauh lebih besar daripada produktivitas kebun karet rakyat di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi yang hanya dibawah 600 kilogram per tahun. Produktivitas kebun karet dikatakan baik jika mampu menghasilkan getah sedikitnya 1.500 kilogram per tahun (Noordwijk et al. 2008). Semakin dekat lahan dengan sungai maka produktivitas pohon karet semakin baik. Setiap minggunya getah hasil sadapan pohon karet akan dijual untuk kepentingan industri melalui pedagang perantara yang dikenal dengan sebutan ‘tokeh’. Pada saat penelitian berlangsung harga getah karet berkisar Rp 8.500,00 sampai Rp 9.000,00 per kilogram. Sehektar kebun karet dewasa akan mendatangkan pendapatan kotor Rp 12.630.516,00 /tahun.
32
Masa produktif pohon karet mampu mencapai umur 25 tahun. Jika penyadapan menerapkan teknik yang benar, masa produktif bisa mencapai umur 30 tahun. Selanjutnya kkebun karet tua ditinggalkan serta ditumbuhi lebih banyak semak belukar dan liana selama beberapa tahun sampai petani siap melakukan pembukaan lahan dan peremajaan kembali.
5.1.3
Kebun karet multikultur menuju kebun karet monokultur onokultur dan kebun kelapa sawit Dewasa ini kebun karet multikultur bukanlah satu-satunya satunya pilihan
penggunaan lahan yang menjanjikan manfaat komersil terutama bagi para petani bermodal besar. Kebun karet monokultur dan kebun kelapa sawit merupakan alternatif penggunaan lahan sekaligus kompetitor titor utama kebun karet multikultur di Desa Sipaho dan sekitarnya (Gambar 5).
Gambar 5 Kebun karet monokultur di Desa Sipaho. Sipaho Merujuk pada hasil wawancara dan observasi di lapangan terdapat beberapa alasan mengapa petani karet di Desa Sipaho cenderung melakukan alih guna lahan yang semula kebun karet multikultur menjadi kebun karet monokultur. Pertama, petani menyadari bahwa produktivitas pohon pohon-pohon pohon karet pada kebun multikultur lebih sedikit bila dibandingkan deng dengan an kebun monokultur. Kedua, pohon buah pada kebun multikultur tidak tumbuh optimal dan hanya menghasilkan sedikit buah buah. Buah-buahan pun sulit dipasarkan dan tingkat harga
33
yang tidak normal. Ketiga, tanaman palawija dan pohon buah menarik perhatian primata, babi hutan (Sus scrofa) maupun ternak sehingga potensi kerusakan khususnya tanaman karet muda semakin besar. Padahal dipandang dari segi pelestarian lingkungan kebun karet multikultur menyediakan habitat bagi satwa liar. Selain beberapa jenis primata dan babi hutan, pada kebun karet multikultur juga ditemukan berbagai jenis burung, sedangkan jenis hewan lain seperti rusa (Cervus sp.) dan kancil (Tragulus sp.) sudah jarang ditemukan. Serangan jamur menjadi alasan petani untuk mengganti kebun karet menjadi kebun kelapa sawit di waktu peremajaan tiba. Petani menemukan adanya indikasi serangan jamur pada akar tanaman karet yang ditaman di atas lahan bekas kebun karet tua sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman muda. Dengan demikian pergiliran penggunaan lahan perlu dilakukan dimana kelapa sawit adalah alternatif utama pilihan petani.
5.2 Kebun Kelapa Sawit di Desa Sipaho Sejak tren perkebunan kelapa sawit masuk pada tahun 1995 luas kebun kelapa sawit terus mengalami peningkatan (Gambar 6). Saat ini terdapat 3.320 ha kebun kelapa sawit di Desa Sipaho (Potensi Desa Sipaho 2009). Kebun-kebun kelapa sawit dibangun pada lahan bekas kebun karet tua dan padang ilalang. Seperti halnya kebun karet, kebun kelapa sawit dikelola secara sederhana dan bergantung pada kondisi keuangan masing-masing petani. Ini artinya hanya para petani bermodal besar yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan kebun kelapa sawit. Persiapan lahan kebun kelapa sawit pun tidak jauh berbeda dengan kebun karet. Pada lahan berkayu dilakukan penebangan dan pembakaran atau penyemprotan untuk padang ilalang. Jarak tanam bibit kelapa sawit yang digunakan petani adalah 8 m x 9 m untuk bekas padang ilalang, 9 m x 9 m atau 9 m x 10 m untuk bekas kebun karet dan lahan di sekitar sungai. Kedalaman lobang tanam adalah 30 cm dengan panjang 40 cm dan lebar 30 cm. Aplikasi pupuk harus dilakukan 3 bulan sekali. Akibat keterbatasan biaya dan pengetahuan sebagian petani di Desa Sipaho terbiasa menggunakan jenis pupuk yang sama dengan tanaman karet.
34
Tanaman kelapa lapa sawit akan menghasilkan buah saat menginjak umur 3 tahun bahkan lebih cepat jika diterapkan perawatan intensif atau lahan tanam berada di sekitar sungai. Pendodosan buah kelapa sawit siap panen dilakukan 2 minggu sekali. Tandan buah segar (TBS) dihargai ai Rp 1.100,00 per kilogram oleh ‘tokeh’.
Gambar 6 Ke Kebun kelapa sawit di Desa Sipaho. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden setiap hektar kebun kelapa sawit mampu menghasilkan 200 kilogram TBS per 2 minggu. minggu Sehingga dari satu hektar kebun kelapa sawit dewasa bisa diperoleh pendapatan kotor sebesar Rp 3.456.906,00 3.456.906,00/ tahun.
5.3 5.3.1
Pengukuran Persepsi Responden terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit Karakteristik responden Karakteristik sosial ekonomi responden penelitian dikelompokkan menjadi
jenis kelamin, usia, lama bersekolah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama, lama bekerja, luas kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan. Deskripsi karakteristik responden bertujuan memperjelas informasi yang diperoleh penulis (Lampiran 1).
35
Jenis kelamin Responden didominasi kelompok laki-laki sebanyak 62,90% dan sisanya adalah perempuan. Seluruh responden petani karet sekaligus kelapa sawit adalah laki-laki. Kelompok responden petani karet pun didominasi oleh laki-laki (55,56%). Responden merupakan perwakilan dari keluarga/ rumahtangga, sehingga responden perempuan pada penelitian ini bukan merupakan istri dari reponden laki-laki. Usia Sebanyak 56 responden (90,32%) berusia 20-50 tahun dan selebihnya berusia diatas 50 tahun. Secara keseluruhan hanya terdapat seorang responden yang berusia diatas usia produktif. Usia produktif merupakan usia diantara 16-64 tahun dan dapat disebut pula sebagai usia kerja (Data Statistik Indonesia 2010). Kebanyakan responden untuk kelompok pekerjaan petani karet dan petani karet sekaligus kelapa sawit berusia 20-50 tahun, masing-masing sebanyak 91,67% dan 83,33%. Sedikit berbeda dengan dua kelompok pekerjaan sebelumnya, seluruh responden untuk kelompok non petani hanya terdiri dari kategori usia dewasa. Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga yang dimiliki responden menunjukkan besar kecilnya keluarga dan ketersediaan tenaga kerja. Mengacu pada Lampiran 1 sebagian besar keluarga responden merupakan kelompok keluarga kecil hingga sedang, dengan persentase masing-masing sebesar 43,55% dan 51,61%. Sebanyak 75% petani karet merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 4 orang, sedangkan pada kelompok petani karet sekaligus kelapa sawit ditemukan 66,67% keluarga sedang dan 5,56% keluarga kecil. Proporsi berimbang antara persentase keluarga kecil dan sedang terdapat dalam kelompok non petani.
36
Lama bersekolah Seluruh responden pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal, setidaknya di bangku Sekolah Dasar. Bila dipersentasekan 50% responden penelitian mampu bersekolah selama lebih dari 12 tahun. Hal ini menjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan dapat dikatakan cukup baik. Pekerjaan utama dan lama bekerja Umumnya setiap keluarga di Desa Sipaho mempunyai lahan yang digarap sebagai sawah dan difokuskan bagi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga petani sendiri. Dengan demikian pendapatan lebih banyak bergantung pada kebun palawija, kolam ikan, kebun karet, kebun kelapa sawit, atau kegiatan ekonomi lainnya seperti berdagang, serta menjadi guru dan bidan. Jenis pekerjaan di Desa Sipaho didominasi oleh petani, yaitu petani sawah, petani karet, dan petani karet sekaligus kelapa sawit. Petani yang murni mengusahakan kebun kelapa sawit saja hampir tidak ditemui karena kebun kelapa sawit hanya dimiliki oleh petani yang telah terlebih dahulu berhasil mengembangkan kebun karetnya. Sebanyak 48,49% responden penelitian adalah petani karet. Petani karet sekaligus petani kelapa sawit terdapat sebanyak 25,81% dan selebihnya berprofesi sebagai wiraswasta, guru, dan bidan (Lampiran 1). Beberapa responden petani telah bekerja lebih dari 30 bahkan 40 tahun. Persentase responden dengan lama bekerja lebih dari 30 tahun bagi kelompok petani karet dan petani karet sekaligus kelapa sawit masing-masing adalah 11,11%. Lama bekerja kurang dari 20 tahun memiliki persentase responden yang lebih besar untuk ketiga kelompok profesi. Lama bekerja individu ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang profesinya. Luas lahan Menurut status kepemilikannya lahan yang dikelola dibedakan menjadi lahan sewa dan lahan milik. Pada Lampiran 1 dilaporkan sebanyak 46,77% responden memiliki luas lahan kurang dari 2 ha. Lahan garapan yang lebih dari 5 ha luasnya dimiliki oleh 14,52% responden dan biasanya diasosiasikan sebagai petani kaya. Non petani seperti guru dan bidan mempunyai lahan yang luas
37
maksimalnya 2 ha saja. Lahan ini biasanya difungsikan sebagai sawah atau kebun palawija. Separuh dari responden petani karet sekaligus kelapa sawit memiliki lahan diatas 5 ha luasnya. Sedangkan responden yang mengusahakan kebun karet umumnya hanya memiliki lahan kurang dari atau sama dengan 2 ha (52,78%). Lahan milik diperoleh melalui pembelian lahan bersertifikat, dimana penggunaan dan pengelolaannya dilakukan secara pribadi atau memberlakukan sistem sewa. Berbeda dengan lahan milik, dalam kasus lahan sewa biasanya ditemui perjanjian bagi hasil. Pembagian diberlakukan untuk komoditi yang dihasilkan atau direct income atas penjualan komoditi. Sistem bagi hasil yang umum berlaku adalah 2:1 (2/3 merupakan hak penyewa dan 1/3 sisanya untuk pemilik) atau dibagi sama rata. Tingkat pendapatan Tingkat
pendapatan
merupakan
indikator
kesejahteraan
individu.
Pendapatan dapat digunakan sebagai modal untuk mengembangkan lahan garapan petani. Pendapatan responden berasal dari sawah, kebun karet, kebun kelapa sawit, kebun palawija, kolam ikan, usaha dagang, bengkel, atau klinik pengobatan dan gaji (khusus guru dan bidan). Lampiran 1 menunjukkan bahwa terdapat banyak responden (74,19%) yang memiliki pendapatan dibawah Rp 5.000.000,00. Bermodal lahan yang luas petani karet dan kelapa sawit mampu memperoleh pendapatan kotor lebih dari Rp 20.000.000,00 dan biasanya lebih besar dibandingkan pendapatan maksimal kelompok responden petani karet. Sementara kelompok non petani hanya memiliki pendapatan kurang dari Rp 5.000.000,00. Kontribusi sumber pendapatan akan dibahas lebih lanjut pada Sub Bab 5.4.
5.3.2
Validitas dan reliabilitas kuesioner Berdasarkan uji validitas menggunakan software SPSS 13.0 diperoleh
pernyataan valid untuk pengukuran persepsi terhadap kebun karet campuran dan kebun kelapa sawit, masing-masing sejumlah 20 dan 21 pernyataan. Dengan demikian hanya 40 pernyataan yang digunakan untuk tahap pengolahan
38
selanjutnya, yakni pengukuran persepsi dan uji korelasi. Keseluruhan penyataan valid secara spesifik dapat dilihat pada Tabel 8 dan Lampiran 3.
Tabel 8 Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran persepsi terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit Objek Hutan Rakyat Berbasis Karet
Kebun Kelapa Sawit
Aspek sosial ekonomi ekologi sosial budaya sosial ekonomi ekologi sosial budaya
Total Pernyataan 13
Jumlah Pernyataan Digunakan 10
Jumlah Pernyataan Dihapus 3
8 7 13
7 3 11
1 4 2
8 7
7 3
1 4
Uji reliabilitas menunjukkan bahwa instrumen pengukuran persepsi terhadap aspek sosial ekonomi, ekologi, dan sosial budaya mampu memberikan hasil yang dapat dipercaya. Disamping itu instrumen dapat pula diterapkan untuk pengukuran lain terhadap objek yang sama dengan hasil yang konsisten (Tabel 9). Tabel 9 Tingkat reliabilitas instrumen pengukuran berdasarkan metode Alpha Cronbach Tingkat Reliabilitas Objek Aspek sosial ekonomi reliabel Hutan Rakyat Berbasis Karet ekologi reliabel sosial budaya cukup reliabel sosial ekonomi reliabel Kebun Kelapa Sawit ekologi reliabel sosial budaya cukup reliabel 5.3.3
Perbandingan persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit
Sosial ekonomi Aspek sosial ekonomi menjelaskan bagaimana hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dari segi ekonomi, baik keuntungan maupun kerugiannya. Pembahasan persepsi meliputi masalah urbanisasi dan lapangan kerja, pendapatan serta pemasaran komoditi.
39
Petani-petani bermodal besar umumnya memiliki lahan yang luas sehingga tenaga kerja merupakan kebutuhan bagi pengelolaan kebun, khususnya kegiatan pemanenan. Selain membuka lapangan kerja keterlibatan ini berperan besar dalam menekan angka urbanisasi. Bila dibandingkan menurut jumlah kebutuhan tenaga kerja, hutan rakyat berbasis karet menyerap lebih banyak daripada kebun kelapa sawit, terlebih lagi mengingat penyadapan pohon karet dilakukan setiap hari. Proporsi terbesar responden (75,81%) memiliki tingkat persepsi sedang terhadap kontribusi kebun kelapa sawit bagi kehidupan masyarakat di Desa Sipaho. Menurut masyarakat Desa Sipaho pembangunan kebun kelapa sawit membutuhkan modal besar. Untuk mendapatkan keuntungan optimal saja luas lahan minimal adalah 3 ha. Kebun-kebun kelapa sawit kebanyakan hanya dimiliki petani yang terlebih dahulu berhasil mengembangkan kebun karet, sehingga kebutuhan modal tak lagi menjadi masalah. Apabila kebutuhan air dan pupuk terpenuhi kebun kelapa sawit akan berbuah lebih cepat dan memberikan pendapatan langsung yang besar. Perawatan dan pemanenan hanya perlu dilakukan sekali dalam dua minggu. Selain TBS, kebun kelapa sawit pun menghasilkan pakan bagi ternak seperti semak, daun muda kelapa sawit, bungkil sisa industri pengolahan, dan buah yang lepas dari tandannya. Berbeda prinsipnya dengan kebun kelapa sawit, petani bisa memanfaatkan lahan yang terbatas sebagai tempat bercocok tanam karet. Bibit karet cukup diperoleh melalui cabutan dan aplikasi pupuk menggunakan pupuk kandang, dengan resiko tingkat produktivitas akan jauh lebih rendah. Pohon karet akan tetap menghasilkan getah walaupun minim perawatan dan pemupukan. Pengelolaan hutan rakyat berbasis karet hanya membutuhkan paruh waktu setiap harinya sehingga memungkinkan adanya kegiatan ekonomi lain, seperti bersawah dan berwirausaha. Disamping meningkatkan ekonomi rumahtangga petani lewat penjualan getah sadapan, hutan rakyat berbasis turut memenuhi kebutuhan keluarga untuk sayuran, buah, tanaman obat, dan pakan ternak.
40
Tabel 10 Distribusi persepsi responden terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit Aspek
Petani Karet Baik Sedang Hutan rakyat berbasis karet Sosial 16,67 72,22 Ekonomi Ekologi 13,89 72,22 Sosial Budaya 11,11 80,56 Kebun Kelapa Sawit Sosial 13,89 80,56 Ekonomi Ekologi 16,67 72,22 Sosial Budaya 8,33 91,67
Buruk
Petani Karet dan Kelapa Sawit Baik Sedang Buruk
Baik
Bukan Petani Sedang Buruk
Baik
Keseluruhan Sedang
Buruk
11,11
0,00
88,89
11,11
37,50
50,00
12,50
11,29
74,19
14,52
13,89
16,67
77,78
5,56
0,00
87,50
12,50
11,29
72,81
12,90
8,33
5,56
83,33
11,11
12,50
87,50
0,00
8,06
82,26
9,68
5,56
5,56
77,78
16,67
37,50
50,00
12,50
9,68
75,81
14,52
11,11
11,11
66,67
22,22
12,50
87,50
0,00
12,90
72,58
14,52
0,00
0,00
94,44
5,56
0,00
100,00
0,00
1,61
93,55
4,84
40
41
Persepsi buruk petani karet terhadap sistem multikultur disebabkan oleh produksi yang lebih sedikit dibandingkan sistem monokultur. Namun hutan rakyat berbasis karet lebih baik dari segi ekonomi daripada kebun kelapa sawit karena mereka harus dihadapkan dengan kebutuhan lahan dan modal yang besar, jika tidak maka hasil kebun kelapa sawit tidak akan memuaskan. Petani karet sekaligus kelapa sawit adalah kelompok petani bermodal besar. Kebun kelapa sawit merupakan pemanfaatan lahan yang lebih menguntungkan dibandingkan hutan rakyat berbasis karet, ditandai dengan persentase tingkat persepsi baik yang lebih besar. Walaupun demikian ketergantungan petani pada tanaman karet tetap tidak dapat diabaikan. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara keseluruhan dari sudut pandang sosial ekonomi mayoritas responden memiliki tingkat persepsi sedang (74,19%). Dengan membandingkan persentase responden kategori persepsi baik dapat dikatakan hutan rakyat berbasis karet lebih unggul daripada kebun kelapa sawit. Ekologi Responden berpendapat hutan rakyat berbasis karet menyediakan udara segar, air bersih serta menjaga kesuburan tanah melalui daun dan ranting gugur yang terdekomposisi. Tajuk pohon akan menaungi tanah sehingga kesuburannya tetap terjaga. Walaupun responden menyatakan hutan rakyat berbasis karet dapat menjadi habitat bagi satwaliar, namun kenyataannya bagi sebagian besar petani keberadaan satwaliar ini justru mengancam produktivitas hutan rakyat berbasis karet. Menurut petani secara ekologi kedua jenis kebun tidak sepenuhnya dapat menggantikan peran hutan, khususnya sebagai habitat bagi satwaliar. Walaupun kebun kelapa sawit menyebabkan hilangnya kesuburan tanah dan mematikan sumber-sumber mata air, responden menganggap kebun kelapa sawit memiliki manfaat ekologis yang hampir sama baiknya dengan hutan rakyat berbasis
karet.
Hal
ini
cukup
dimengerti
karena sebagian
responden
menyimpulkan bahwa kebun kelapa sawit dapat mencegah banjir serta menyediakan udara segar. Persepsi keseluruhan responden terhadap aspek ekologi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit dikategorikan sedang, dimana persentase masing-masing adalah 72,81% dan 72,58%.
42
Para guru dan bidan desa atau bukan petani adalah kelompok responden dengan latar belakang pendidikan yang tinggi. Mereka berpendapat walaupun kedua kebun berperan penting dalam peningkatan ekonomi keluarga petani, hutan rakyat berbasis karet lebih menguntungkan bila dipandang dari segi pelestarian lingkungan. Akan tetapi berdasarkan hasil pengukuran persentase tingkat persepsi baik terhadap aspek ekologi kebun kelapa sawit justru lebih besar daripada hutan rakyat berbasis karet. Sosial budaya Pengusahaan lahan tidak selalu dilandasi oleh tujuan ekonomi. Contohnya adalah Repong Damar di Krui, Lampung. Meski pendapatan terbesar dari Repong Damar adalah pada fase penanaman lada, namun masyarakat Krui tidak lantas memilih untuk menanam lada saja secara monokultur yang sebenarnya lebih menguntungkan. Hal ini dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya berupa rasa kebanggaan apabila seseorang dapat mewariskan Repong Damar kepada anak cucunya (Suharjito et. al. 2003). Walaupun pengusahaan kebun karet campuran telah berlangsung turuntemurun di Desa Sipaho, namun hutan rakyat berbasis karet tidak melekat pada kultur masyarakat yang didominasi oleh suku Batak (Mandailing). Status yang sama berlaku untuk kebun kelapa sawit yang justru dianggap berperan besar dalam proses introduksi budaya perkotaan di masyarakat. Pada hasil pengukuran persepsi responden terhadap aspek sosial budaya hutan rakyat berbasis karet cenderung lebih baik daripada kebun kelapa sawit. Persentase dan tingkat persepsi responden terhadap aspek sosial budaya kedua jenis kebun selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Sosial budaya disini erat kaitannya dengan perspektif masyarakat tentang peran gender dan posisi sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat pedesaan istri lebih banyak berada di rumah dengan porsi pekerjaan lebih sedikit dibandingkan suami sebagai ‘bread winner’. Tapi kenyataannya selain mengurus rumahtangga, istri juga turut serta dalam seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan hutan rakyat berbasis karet, sementara anak-anak memungut getah atau membersihkan jalur tumbuh karet sepulang sekolah.
43
Dipandang dari segi efektifitas dan produktifitas kerja keterlibatan ini diharapakan dapat meringankan pekerjaan dan meningkatkan hasil sadapan. Sedangkan pada kebun kelapa sawit keterlibatan istri dan anak jauh lebih sedikit mengingat kegiatan pengelolaan kebun yang cukup berat. Petani sawit pun sengaja mempekerjakan dua sampai tiga orang pegawai untuk kegiatan weeding hingga pendodosan buah. Instrumen pengukuran persepsi terhadap aspek sosial budaya kebun dapat dilihat pada Lampiran 2. Kepemilikan kebun dapat mengangkat posisi sosial petani dikarenakan banyaknya pegawai/ petani lain yang menggantungkan hidup pada kebunnya. Kebun karet yang luas identik dengan modal yang besar sehingga memungkinkan adanya pembangunan kebun karet baru bahkan kebun kelapa sawit. Sebagai bahan perbandingan adalah hasil penelitian Muntasyarah (2006) mengenai persepsi masyarakat Desa Lubuk Beringin Kecamatan Rantau Pandan Kabupaten Bungo Jambi terhadap agroforest karet sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari. Persepsi yang dibangun masyarakat terhadap kebun karet bersifat ekonomis dikarenakan pengharapan (ekspektasi) dan motivasi mereka terhadap kebun karet adalah kesejahteraan hidup atau berupa uang. Pernyataan senada dilaporkan oleh Yuwono (2006) berdasarkan hasil penelitiannya tentang persepsi 149 responden terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Sebanyak 45,6% responden memiliki tingkat persepsi baik, 51% responden memiliki tingkat persepsi sedang, dan sisanya 3,4% dengan tingkat persepsi rendah. Menurut Yuwono (2006) persepsi seseorang terhadap sesuatu objek akan positif apabila sesuai dengan kebutuhannya dan sebaliknya. Adanya keuntungan atau manfaat dari hutan rakyat akan menimbulkan persepsi yang positif dari masyarakat terhadap hutan rakyat yang dibangun dengan pola kemitraan. Sementara persepsi dengan kategori sedang posisinya masih meragukan. Hal ini disebabkan responden hanya dapat merasakan sebagian dampak positifnya. Petani dapat merasakan keuntungan adanya hutan rakyat dengan keterlibatannya sebagai tenaga kerja sehingga memperoleh upah atau pemasukan, tetapi dengan keterbatasan wawasan dan pengetahuan maka mereka tidak dapat merasakan manfaat lain yang tidak diperoleh secara langsung.
44
5.3.4
Hutan menurut persepsi masyarakat Menurut Kamus Bahasa Indonesia hutan adalah tanah luas yang ditumbuhi
pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara), atau tumbuhan yang tumbuh di atas tanah yang luas (biasanya di wilayah pegunungan), atau yang tidak dipelihara dan liar. Sedangkan menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 1 Ayat 1 didefinisikan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Merujuk pada hasil wawancara 62 responden di Desa Sipaho, hutan adalah area dimana didalamnya terdapat beraneka jenis pohon, semak belukar dan satwaliar yang tumbuh/ hidup dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia. Sementara hutan rakyat didefinisikan sebagai lahan yang ditanami masyarakat dengan tanaman berkayu (pohon) dan hasilnya digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat.
Bagi
masyarakat
hutan
menyediakan
kayu
pertukangan, kayu bakar, buah-buahan, lahan untuk kegiatan bertani dan berkebun, serta jasa lingkungan berupa udara segar, air bersih, mencegah erosi tanah, banjir, longsor, dan habitat hewan liar. Jika dilihat menurut fungsi dan bentuk fisiknya sebanyak 65% responden menyetujui bahwa kebun karet campuran hampir menyerupai hutan dan dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Sebaliknya 35% tidak menyatakan kebun karet sebagai hutan karena merupakan hasil kelola masyarakat dan kata ‘hutan’ dianggap mengacu pada status kepemilikan lahan oleh pemerintah. Sementara kebun kelapa sawit dinyatakan sebagai hutan oleh 61% responden yang beralasan bahwa kelapa sawit merupakan jenis tumbuhan berkayu dan memiliki lebar tajuk seperti pohon di hutan. Sisanya menyatakan kebun kelapa sawit bukanlah hutan karena tidak berkayu dan ditanam oleh manusia.
5.3.5
Manfaat hutan, hutan rakyat berbasis karet, dan kebun kelapa sawit menurut persepsi masyarakat Tabel 11 menyajikan perbandingan manfaat hutan, hutan rakyat berbasis
karet, dan kebun kelapa sawit berdasarkan sudut padang masyarakat. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa bagi masyarakat hutan rakyat berbasis karet
45
lebih unggul dari segi sosial ekonomi seperti menyediakan lapangan kerja dan berimplikasi pada penurunan tingkat urbanisasi. Kebun karet pun menjadi sumber pendapatan utama rumahtangga serta menyediakan kebutuhan kayu bakar, buahbuahan, dan obat tradisional baik untuk petani karet maupun petani karet yang juga mengusahakan kebun kelapa sawit. Namun kebun kelapa sawit dinilai lebih baik dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak. Kesadaran masyarakat Desa Sipaho akan peran penting hutan bagi lingkungan ditunjukkan oleh persentase jumlah responden yang lebih tinggi dalam memilih hutan sebagai sumber manfaat ekologi utama dibandingkan hutan rakyat berbasis karet maupun kebun kelapa sawit. Hutan menyediakan jasa lingkungan seperti udara segar dan air, mencegah banjir di dataran yang lebih rendah, serta tempat berkembangbiak dan mencari makan bagi satwaliar. Bagi sebagian besar responden petani kemampuan kelapa sawit dalam menyerap banyak air menjadi argumentasi mengapa tipe penggunaan lahan ini dipandang mencegah banjir lebih baik daripada hutan rakyat berbasis karet. Disamping itu jarak antar tanaman di kebun kelapa sawit yang lebih lebar memunculkan asumsi bahwa kelapa sawit menyediakan udara segar. Tetapi bagi responden dengan latar belakang pekerjaan sebagai guru dan bidan berpendapat bahwa kebun kelapa sawit tidak memberikan manfaat ekologi, bahkan dinilai merugikan. Selain bermanfaat bagi lingkungan, hutan dianggap berkaitan erat serta mampu menjaga kelangsungan adat istiadat dan kearifan lokal masyarakat sekitarnya. Sebaliknya hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit menyebabkan pembauran budaya lokal dengan budaya luar/ kota.
46
Tabel 11 Perbandingan persentase penilaian manfaat hutan, hutan rakyat berbasis karet, dan kebun kelapa sawit menurut pendapat responden Tipe Pekerjaan dan Penggunaan Lahan
Tipe Manfaat Sosial Ekonomi Membuka lapangan kerja Mengurangi perpindahan penduduk Peluang kerjasama diantara petani Meningkatkan pendapatan rumahtangga Memenuhi kebutuhan keluarga akan kayu, buah, obat tradisional, dan sebagainya Menghasilkan pakan bagi ternak Ekologi/ Lingkungan Menyediakan udara segar Mencegah banjir di dataran yang lebih rendah Membantu menjaga ketersediaan air bersih Menjadi tempat tinggal bagi hewan liar Sosial Budaya Menentukan posisi seseorang dalam masyarakat Membuka komunikasi dengan lingkungan luar Menjaga adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Membaurkan nilai budaya lokal dengan budaya luar
Petani Karet
Petani Karet dan Kelapa Sawit
Bukan Petani
Keseluruhan Responden
H
HRK
KKS
H
HRK
KKS
H
HRK
KKS
H
HRK
KKS
5,56 5,56 0,00 0,00 63,89
88,89 80,56 97,22 88,89 33,33
5,56 13,89 2,78 11,11 2,78
0,00 0,00 0,00 0,00 72,22
94,44 94,44 88,89
0,00 0,00 0,00 0,00 37,50
62,50 62,50 100,00
27,78
5,56 5,56 11,11 0,00 0,00
75,00 62,50
37,50 37,50 0,00 25,00 0,00
3,23 3,23 0,00 0,00 62,90
87,09 82,26 95,16 90,32 35,48
9,68 14,52 4,84 9,68 1,61
47,22
13,89
38,89
38,89
0,00
61,11
25,00
12,50
62,50
41,94
9,68
48,39
88,89 94,44 94,44
11,11 5,56 0,00 0,00
88,89 94,44 100,00 100,00
0,00 0,00 0,00 0,00
11,11 5,56 0,00 0,00
100,00
0,00 12,50 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
90,32 93,55 96,77
100,00
0,00 0,00 5,56 0,00
100,00
0,00 1,61 3,23 0,00
9,68 4,84 0,00 0,00
0,00 0,00 86,22 2,78
69,44 72,22 13,89 38,89
30,56 27,78 0,00 58,33
0,00 0,00 77,78 0,00
83,33 83,33 22,22 72,22
16,67 16,67 0,00 27,78
0,00 0,00
62,50 75,00 0,00 25,00
37,50 25,00 0,00 62,50
0,00 0,00 85,48 3,23
72,58 72,81 14,51 46,77
27,42 24,19 0,00 50,00
100,00
87,50 100,00 100,00
100,00
12,50
Keterangan: H= hutan; HRK= hutan rakyat berbasis karet; dan KKS= kebun kelapa sawit
46
47
5.4 Kontribusi Sumber Pendapatan Pendapatan responden bervariasi, tergantung pada pekerjaan, jenis kebun dan luas lahan yang dimiliki, serta pendapatan yang bersumber dari kegiatan usaha lainnya. Pendapatan dari hutan rakyat berbasis karet berasal dari getah dan buah-buahan, sedangkan kebun kelapa sawit hanya menghasilkan tandan buah segar (TBS). Sumber pendapatan lainnya berasal dari sawah, kolam ikan, kebun palawija, wirausaha, dan gaji (bukan petani). Kontribusi pendapatan disajikan di Tabel 12 dan 13.
Tabel 12 Pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber pertanian Petani Karet dan Kelapa Sawit
Petani Karet
Bukan Petani
Keseluruhan
Sumber
Hutan rakyat berbasis karet Kebun kelapa sawit Sawah Kolam ikan Kebun palawija TOTAL
Rp/ha/thn
%
Rp/ha/thn
%
19.177.922
88,67
13.274.354
45,09
0
0,00
11.726.711
2.289.868
10,59
161.805
Rp/ha/thn
%
Rp/ha/thn
%
0
0,00
12.630.516
46,74
39,83
0
0,00
11.726.711
43,39
3.780.531
12,84
1.306.250
100,00
2.403.640
8,89
0,01
614.814
2,09
0
0,00
241.128
0,89
0
0,00
22.220
0,08
0
0,00
22.220
0,08
21.629.595
100,00
29.440.850
100,00
1.306.250
100,00
27.024.215
100,00
5.4.1 Kontribusi sumber-sumber pendapatan menurut jenis pekerjaan utama Petani karet Pendapatan terbesar petani karet diperoleh dari hutan rakyat berbasis karet dimana hasil penjualan komoditi kebun berkontribusi sebanyak 88,67% terhadap pendapatan rumahtangga dari kegiatan pertanian. Sumber-sumber pendapatan lain yang cukup berkontribusi adalah sawah, wirausaha, dan gaji (Tabel 12 dan 13). Petani karet sekaligus kelapa sawit Bagi petani karet sekaligus kelapa sawit sumber pendapatan utama berasal dari hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit, masing-masing berkontribusi sebesar 45,09% dan 39,83%. Perbedaan persentase menunjukkan
48
bahwa kebun karet berkontribusi lebih besar bagi pendapatan rumahtangga petani di Desa Sipaho, sekalipun petani tersebut memiliki kebun kelapa sawit (Tabel 12 dan 13). Bukan petani Responden yang berprofesi sebagai guru, bidan, dan lainnya (bukan petani) tidak sekedar mengandalkan pekerjaan utama. Kelompok ini turut mengusahakan sawah dan kegiatan wirausaha sebagai sumber pendapatan. Tabel 12 dan 13 menunjukkan bahwa gaji berkontribusi sebanyak 81,00% terhadap pendapatan dari kegiatan non pertanian, sementara pendapatan dari kegiatan wirausaha berkontribusi sebesar 18,99%.
Tabel 13 Pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber non pertanian Petani Karet
Petani Karet dan Kelapa Sawit
Bukan Petani
Keseluruhan
Sumber Rp/tahun Wirausaha
1.257.777
Gaji TOTAL
5.4.2
%
Rp/tahun
32,16
1.411.111
2.653.333
67,84
3.911.110
100,00
%
Rp/tahun
25,15
3.000.000
4.200.000
74,85
5.611.111
100,00
%
Rp/tahun
%
18,99
1.527.096
25,72
12.792.000
81,00
4.410.580
74,28
15.792.000
100,00
5.937.676
100,00
Sumber-sumber pendapatan dan kontribusinya terhadap pendapatan responden
Hutan rakyat berbasis karet dan kontribusinya Hutan rakyat berbasis karet memiliki persentase kontribusi terbesar terhadap rata-rata pendapatan rumahtangga petani dari hasil pertanian (46,74%), sebesar Rp 12.630.516,00/ha/tahun. Sementara komoditas non getah berupa buahbuahan dari hutan rakyat berbasis karet tidak berpengaruh signifikan karena setiap tahun pohon berbuah satu sampai dua kali saja lalu dikonsumsi oleh rumahtangga petani (Tabel 12). Kebun kelapa sawit Kebun kelapa sawit merupakan sumber pendapatan terbesar kedua setelah kebun karet dengan persentase kontribusi 43,39% (Tabel 12). Angka ini dapat dimaklumi karena luas hutan rakyat berbasis karet di Desa Sipaho lebih besar
49
daripada kebun kelapa sawit serta harga jual TBS di tingkat petani. Selain itu hampir tidak ditemui petani yang hanya mengelola kebun kelapa sawit, umumnya petani yang memiliki kebun kelapa sawit juga memiliki hutan rakyat berbasis karet yang menjadi sumber modal pembangunan. Sawah, kolam ikan, dan kebun palawija Keluarga petani bergantung pada sawah guna memenuhi kebutuhan pangan
keluarga
agar
jumlah
pengeluaran
terminimalisir.
Tabel
12
menggambarkan bahwa jika dinominalkan rata-rata pendapatan responden yang dihasilkan oleh sawah adalah Rp 2.403.640,00/ha/tahun atau 8,89% terhadap pendapatan rumahtangga petani dari kegiatan pertanian. Petani juga memperoleh pendapatan dari kolam-kolam ikan air tawar yang banyak ditempatkan di seputar sawah. Hasil penjualan ikan air tawar tidak berkontribusi banyak bagi pendapatan rumahtangga (0,89%), namun lebih baik dibandingkan kebun palawija yang tidak memberikan kontribusi signifikan. Wirausaha dan gaji (guru, bidan, dan kegiatan non pertanian lainnya) Kegiatan wirausaha di Desa Sipaho meliputi usaha warung/ dagang, jahit, bengkel, dan praktek bidan. Kegiatan wirausaha berkontribusi 25,72% bagi pendapatan responden dari kegiatan non pertanian dengan rata-rata Rp 1.527.096,00 per tahun. Sedangkan persentase kontribusi gaji bekerja sebagai guru, bidan, dan lainnya adalah 74,28% atau Rp 4.410.580,00/tahun (Tabel 12).
5.4.3 Pendapatan rumahtangga dari sumber pertanian menurut kepemilikan lahan Rata-rata pendapatan responden dengan luas kepemilikan lahan < 2 ha adalah Rp 20.833.568,00 per tahun. Sedangkan responden yang memiliki luas lahan 2 ha < x < 5 ha dan > 5 ha memiliki nominal rata-rata pendapatan rumahtangga masing-masing sebesar Rp 52.999.791,00 dan Rp 154.521.066,00 per tahun (Tabel 13). Dengan demikian luas kepemilikan lahan jelas berpengaruh terhadap besarnya pendapatan dari usaha tani, semakin luas lahan maka semakin besar pula pendapatan responden.
50
Tabel 14 Rata-rata pendapatan total rumahtangga responden dari sumber pertanian berdasarkan luas kepemilikan lahan Luas kepemilikan Rata-rata pendapatan total responden lahan (ha) (Rp/tahun) <2 20.833.568,00 2 <x<5 52.999.791,00 >5 154.521.066,00 5.5
Korelasi Karakteristik Responden dengan Persepsi terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit Korelasi karakteristik responden dengan persepsi terhadap hutan rakyat
berbasis karet dan kebun kelapa sawit dianalisis berdasarkan hasil uji Chi-Square dan Rank Spearman. Pengujian dibedakan menurut aspek sosial ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Sosial ekonomi Kecenderungan jawaban responden pada item pengukuran persepsi untuk manfaat sosial ekonomi hutan rakyat berbasis karet berkorelasi nyata dengan luas lahan, pendapatan, dan lama bersekolah (Tabel 15). Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman pada tingkat kepercayaan 95% lama bersekolah, luas lahan, dan pendapatan cukup berkorelasi dengan persepsi terhadap hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit. Sementara itu untuk persepsi terhadap manfaat ekonomi kebun kelapa sawit tidak terdapat korelasi yang nyata antara karakteristik dengan persepsi responden. Petani dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang tata kelola lahan guna memaksimalkan pendapatan. Walau pembangunan hutan rakyat berbasis karet memang dapat dilakukan pada lahan kecil, tetapi pendapatan akan jauh lebih besar jika tanaman karet diusahakan pada lahan luas. Bagi masyarakat desa luas lahan berbanding lurus terhadap manfaat ekonomi yang diperoleh. Semakin luas lahan yang dimiliki maka akan semakin banyak kultivar petanian yang bisa ditanam didalamnya dan semakin besar pula keuntungan yang didapat.
51
Tabel 15 Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek sosial ekonomi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit Karakteristik Responden
df
Nilai ChiSquare Tabel/ Signifikansi
Nilai ChiSquare Hitung/ Koefisien Korelasi
Korelasi
Hutan Rakyat Berbasis Karet 2 5,991 3,394 * Jenis kelamin 0,317 0,129 Usia 0,031 0,274 **** Lama bersekolah 0,110 0,205 ** Jumlah anggota keluarga 4 9,488 6,825 * Pekerjaan utama 0,101 0,210 ** Lama bekerja 0,000 0,439 **** Luas lahan 0,001 0,408 **** Pendapatan Kebun Kelapa Sawit 2 5,991 0,262 Jenis kelamin 0,814 0,031 Usia 0,158 0,182 * Lama bersekolah 0,162 0,180 * Jumlah anggota keluarga 4 9,488 6,342 * Pekerjaan utama 0,932 0,011 Lama bekerja 0,061 0,240 *** Luas lahan 0,133 0,193 ** Pendapatan Keterangan: Berkorelasi pada tingkat kepercayaan *) 80%, **) 85%, ***) 90%, dan ****) 95%.
Pengusahaan lahan tak terlepas dari ketersediaan modal. Modal pembangunan kebun petani umumnya berasal dari penjualan komoditi, yang selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pupuk dan perawatan tanaman. Ketersediaan lahan dan modal pada akhirnya akan menumbuhkan ekspektasi positif petani terhadap prospek kebun. Ekologi Michon dan de Foresta (1995) menjelaskan bahwa hutan rakyat berbasis karet secara umum memiliki karakter habitat, iklim mikro, struktur serta formasi tegakan yang hampir mirip dengan hutan alam. Formasi hutan rakyat berbasis karet disusun oleh vegetasi pohon karet dan berbagai jenis liana, herba, dan jenis pohon lain, baik sebagai pengasil buah maupun kayu bakar. Selain itu berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, hutan rakyat berbasis karet menyediakan habitat bagi beberapa jenis satwaliar.
52
Tabel 16 Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek ekologi hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit Karakteristik Responden
df
Nilai ChiSquare Tabel/ Signifikansi
Nilai ChiSquare Hitung/ Koefisien Korelasi
Korelasi
Hutan Rakyat Berbasis Karet 2 5,991 5,627 *** Jenis kelamin 0,925 0,012 Usia 0,821 0,029 Lama bersekolah 0,787 - 0,035 Jumlah anggota keluarga 4 9,488 2,221 Pekerjaan utama 0,323 - 0,128 Lama bekerja 0,096 - 0,214 **** Luas lahan 0,567 - 0,074 Pendapatan Kebun Kelapa Sawit 2 5,991 5,433 *** Jenis kelamin 0,461 - 0,095 Usia 0,011 - 0,319 *** Lama bersekolah 0,844 0,026 Jumlah anggota keluarga 4 9,488 2,947 Pekerjaan utama 0,789 - 0,035 Lama bekerja 0,937 0,010 Luas lahan 0,457 0,096 Pendapatan Keterangan: Berkorelasi pada tingkat kepercayaan *) 80%, **) 85%, ***) 90%, dan ****) 95%.
Orientasi masyarakat desa hanyalah manfaat langsung (nilai ekonomis) kedua jenis kebun, manfaat atau dampak ekologi yang ditimbulkan sering terabaikan. Hasil uji korelasi menggunakan metode Chi-Square dan Rank Spearman selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan berkorelasi nyata dengan persepsi responden terhadap manfaat ekologi hutan rakyat berbasis karet (Tabel 16). Bila uji korelasi dilakukan pada selang kepercayaan 80% jenis kelamin berkorelasi dengan persepsi terhadap ekologi kedua kebun. Kelompok responden perempuan mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap hutan rakyat berbasis karet, dan sebaliknya. Persepsi positif terhadap aspek ekologi kelapa sawit lebih banyak ditemui pada kelompok responden laki-laki. Laki-laki sebagai kepala keluarga banyak menghabiskan waktu dan berinteraksi dengan lingkungan luar sehingga memiliki kesempatan akses yang lebih besar terhadap informasi yang masuk ke pedesaan dibandingkan perempuan.
53
Sosial budaya Pemanfaatan lahan tidak diatur oleh norma adat setempat. Hutan rakyat berbasis karet hanyalah kegiatan ekonomi yang diturunkan antar generasi. Sedangkan kebun kelapa sawit merupakan pola penggunaan yang belum lama di Desa Sipaho. Keduanya murni diusahakan atas motif ekonomi. Berdasarkan hasil uji metode Chi-Square dan Rank Spearman persepsi responden terhadap manfaat sosial budaya hutan rakyat berbasis karet tidak dipengaruhi oleh karakteristik responden itu sendiri, sedangkan terhadap kebun kelapa sawit tingkat persepsi nyata dipengaruhi oleh usia responden. Pada kelompok usia dewasa (20-50 tahun) keberadaan kebun kelapa sawit dinilai membuka akses petani terhadap lingkungan luar. Kelompok ini lebih responsif terhadap introduksi budaya perkotaan seperti penggunaan/ perilaku konsumtif akan barang-barang elektronik bila dibandingkan dengan responden yang berusia diatas 50 tahun. Untuk pengujian pada tingkat kepercayaan 80%, 85%, dan 90% menunjukkan persepsi terhadap hutan rakyat berbasis karet berkorelasi dengan luas lahan, dan persepsi terhadap kebun kelapa sawit berkorelasi dengan lama bekerja, luas lahan, serta pendapatan (Tabel 17).
Tabel 17 Korelasi karakteristik dengan persepsi responden terhadap aspek sosial budaya hutan rakyat berbasis karet dan kebun kelapa sawit Karakteristik Responden
df
Nilai ChiSquare Tabel/ Signifikansi
Nilai ChiSquare Hitung/ Koefisien Korelasi
Korelasi
Hutan Rakyat Berbasis Karet 2 5,991 0,517 Jenis kelamin 0,142 0,270 Usia 0,779 - 0,036 Lama bersekolah 0,761 - 0,039 Jumlah anggota keluarga 4 9,488 1,356 Pekerjaan utama 0,991 0,001 Lama bekerja 0,116 0,202 ** Luas lahan 0,406 0,107 Pendapatan Kebun Kelapa Sawit 2 5,991 1,734 Jenis kelamin 0,046 0,254 **** Usia 0,826 - 0,029 Lama bersekolah 0,395 0,110 Jumlah anggota keluarga 4 9,488 4,662 Pekerjaan utama 0,116 0,202 ** Lama bekerja 0,019 0,296 * Luas lahan 0,103 0,209 ** Pendapatan Keterangan: Berkorelasi pada tingkat kepercayaan *) 80%, **) 85%, ***) 90%, dan ****) 95%.
54
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Persepsi masyarakat di Desa Sipaho baik terhadap hutan rakyat berbasis karet maupun kebun kelapa sawit cenderung sedang. Aspek sosial ekonomi, ekologi, dan sosial budaya kebun kelapa sawit dipandang sama baiknya dengan hutan rakyat berbasis karet yang telah terlebih dahulu berkembang. Pengembangan kebun kelapa sawit dilakukan oleh petani bermodal besar tanpa mengurangi besarnya ketergantungan masyarakat terhadap kebun karet. 2. Lama bersekolah, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan berkorelasi dengan persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat berbasis karet di Desa Sipaho. Sedangkan persepsi terhadap kebun kelapa sawit berkorelasi nyata dengan usia. 3. Hutan rakyat berbasis karet memberikan kontribusi sekitar 47% terhadap pendapatan responden, sedangkan kebun kelapa sawit berkontribusi sekitar 43% dari pendapatan hasil pertanian rumahtangga petani.
6.2 Saran 1. Kekeliruan masyarakat akan manfaat hutan dan dampak ekologi pola-pola penggunaan lahan yang sedemikian rupa perlu diluruskan melalui kegiatan penyuluhan dan peningkatan mutu pendidikan. 2. Pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan dengan bantuan modal, penggunaan klon karet yang lebih produktif, pengayaan kebun dengan jenis tanaman kayu komersil, menggiatkan industri meubel kayu karet, serta peningkatan posisi tawar petani dan akses penjualan komoditi non getah.
55
DAFTAR PUSTAKA Allen
IE, CA Seaman. 2007. Likert Scale and Data Analyses. http://www.asq.org/quality-progress/2007/07/statistics/likert-scales-and data-analyses.html [30 Nov 2009].
Badan Pusat Satistik Kabupaten Tapanuli Selatan. 2008. Padang Lawas Utara dalam Angka 2008. Padang Sidempuan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. Budi, G Wibawa, Ilahang, R Akiefnawati, L Joshi, E Penot, Janudianto. 2008. Panduan Pembangunan Kebun Wanatani Berbasis Karet Klonal (A Manual for Rubber Agroforestry System-RAS). Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) SEA Regional Office, Indonesia. Bunna AT. 2004. Petunjuk praktis rehabilitasi hutan dan lahan untuk masyarakat. Samarinda: KK-RHL Kaltim. Calhoun JF, JR Acocella. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Ed ke-3. IKIP. Semarang: Semarang Press. Champion, J Dean. 1981. Basic Statistic for Social Research. Ed ke-2. New York: Mac Millar Publishing Co., Inc. Data Statistik Indonesia. 2010. Struktur Penduduk. http://www.datastatistikindonesia.com/content/view/210/210/1/4/ [2 Oktober 2010]. Dede. 1998. Kajian pengelolaan hutan kemenyan dan peranannya terhadap pendapatan rumahtangga di Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara: studi kasus di Desa Simasom dan di Desa Sosor Tambok [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Djaali H, P Muljono. 2004. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan. http://ditjenbun.deptan.go.id/ cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama/8-Kelapa%20Sawit [25 Januari 2011]. Foresta H de, A Kusworo, G Michon, WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. Bogor: International Centre for Research in Agroforestry. Hardjanto. 2003. Keragaan dan pengembangan usaha kayu rakyat di pulau Jawa [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harihanto. 2001. Persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap air sungai [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
56
Herlina. 2002. Analisis kelayakan finansial dan kesempatan kerja proyek konversi tanaman karet (Hevea brasilliensis) menjadi tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jaq.) pada PTPN VI (PERSERO) Kebun Rimbo Satu, Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hutapea T. 2005. Pengembangan agroforestri berkelanjutan di daerah aliran sungai: studi kasus di DAS Ciliwung bagian hulu Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Jensen M. 1989. Trees Commonly Cultivated in Southeast Asia: An Illustrated Field Guide. Ed ke-2. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Koswara E. 2006. Peranan dan kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumahtangga: studi kasus Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Mardalis. 2004. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Ed ke-1, Cet ke7. Jakarta: Bumi Aksara. Michon G, H de Foresta. 1995. The Indonesian agroforest model forest resource management and biodiversity conservation. Di dalam: Halladay P, Gilmour DA, editor. Conserving Biodiversity Outside Protected Areas. The role of traditional agro-ecosystems. Switzerland: IUCN. Muntasyarah AS. 2005. Persepsi masyarakat terhadap agroforest karet sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari: studi kasus di Desa Lubuk Beringin Kec. Rantau Pandan Kab. Bungo, Jambi [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Nainggolan PHJ, J Ratnasingam, H Azhar. 2005. ITTO – ISWA Pre-Project PDD 80/ 03 Rev. 2 (I) - Promoting the Utilization of Rubber Wood from Sustainable Sources in Indonesia: Technical Report. International Tropical Timber Organization, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Indonesian Sawmill and Woodworking Association. Nair PKR. 1989. Classification of agroforestry system. Di dalam: Nair PKK, editor. Agroforestry System in the Tropics. Netherland: Kluwer Academic Publisher. Noordwijk M van, R Akiefnawati, G Wibawa, L Joshi. 2008. Meningkatkan produktivitas karet rakyat melalui sistem wanatani. Di dalam: Adnan H, Tadjudin D, Yulian E, Komarudin H, Lopulan D, Siagian YL, Munggoro DW, editor. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor: CIFOR. Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya.
57
Pangihutan JJ. 2003. Kelayakan finansial dan ekonomi pengelolaan kebun dan hutan karet rakyat di Desa Langkap, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Pasaribu DA. 2005. Strategi pengembangan bisnis kelapa sawit (CPO): studi kasus di PT. Socfindo, Sumatera Utara [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Penot E. 2007. From shifting cultivation to sustainable jungle rubber: A history of innovations in Indonesia. Di dalam: Cairns M, editor. Voices from the Forest: Integrating Indigenous Knowledge into Sustainable Upland Farming. Wahington, DC, USA: Resources for the Future. Rasnovi S. 2006. Ekologi regenarasi tumbuhan berkayu pada sistem agroforest karet [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Rasnovi S, G Vincent, C Kusmana, S Tjitrosemito. 2008. Keragaman jenis anakan tumbuhan berkayu pada wanatani karet: Pengaruh umur dan intensitas manajemen. Di dalam: Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL, Munggoro DW, editor. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor: Center for International Forestry Research. Roscoe JT. 1975. Fundamental Research Statistic for the Behavioral Sciences. Ed ke-2. New York: HOH Rinehart & Winston. Sari SM. 2007. Analisis tingkat kepuasan karyawan terhadap kinerja karyawan terhadap kinerja program keselamatan dan kesehatan kerja [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sarwono J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS 13. Bandung: Andi. Sarwono S. 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit: Teknik Budi Daya, Panen, dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius. Sinuraya JF. 2000. Respon produksi dan ekspor karet Sumatera Utara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. SFDP/GTZ. 1991. Rubber Smallholders Survey in Kabupaten Sanggau, West Kalimantan. SFDP/GTZ. Suryono D. 2004. Sistem pengelolaan hutan rakyat pola kemitraan dan kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga: studi kasus di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suharjito D, L Sundawati, SR Utami, Suyanto. 2003. Bahan Ajaran 5: Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bogor: ICRAF.
58
Tampang BL. 1999. Persepsi masyarakat terhadap pencemaran udara dan kebisingan energi diesel: kasus Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tryfino. 2006. Potensi dan prospek industri kelapa sawit. Di dalam: Economic Review 206. http://bni.co.id/Portals/0/Document/kelapa%20sawit.pdf [3 Jan 2009]. Uyanto SS. 2009. Pedoman Analisis Data dengan SPSS . Graha Ilmu:Yogyakarta. Widawari NW. 1994. Persepsi pelajar SMA umum di Kotamadya Yogyakarta tentang lingkungan hijau di perkotaan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Yuwono S. 2006. Persepsi dan pastisipasi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
59
LAMPIRAN
60
Lampiran 1 Karakteristik responden penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi
Jenis kelamin Total Usia (tahun)
Total Jumlah anggota keluarga
Total Lama bersekolah (tahun)
Total Lama bekerja (tahun)
Total Luas lahan (Ha)
Total Tingkat pendapatan (Rp)
Total
Kategori
Petani Karet
Petani Karet dan Kelapa Sawit ∑ % 18,00 1,00 0,00 7,00 18,00 8,00 0,00 0,00 15,00 8,00 3,00 0,00
1. Remaja (< 20) 2. Dewasa (20 < x < 50) 3. Tua (> 50)
∑ 20,00 16,00 36,00 0,00 33,00 3,00
% 55,56 44,44 100,00 0,00 91,67 8,33
1. Kecil (< 4) 2. Sedang (5 < x < 7) 3. Besar (> 8)
36,00 27,00 7,00 2,00
100,00 75,00 19,44 5,56
18,00 5,00 12,00 1,00
1. < 3 2. 3 < x < 6 3. 6 < x < 9 4. 9 < x < 12 5. > 12
36,00 0,00 2,00 10,00 8,00 16,00
100,00 0,00 5,56 27,78 22,22 44,44
1. < 10 2. 10 < x < 20 3. 20 < x < 30 4. 30 < x < 40 5. > 40
36,00 22,00 7,00 3,00 4,00 0,00
1. < 2 2. 2 < x < 5 3. > 5 1. < 5.000.000,00 2. 5.000.000,00 < x < 10.000.000,00 3. 10.000.000,00 < x < 15.000.000,00 4. 15.000.000,00 < x < 20.000.000,00 5. > 20.000.000,00
1. Laki-laki 2. Perempuan
Lain-lain
Keseluruhan Responden
∑ 12,50 87,50 100,00 0,00 100,00 0,00
% 100,00 0,00 100,00 0,00 83,33 16,67
∑ 39,00 23,00 62,00 0,00 56,00 6,00
% 62,90 37,10 100,00 0,00 90,32 9,68
8,00 4,00 4,00 0,00
100,00 50,00 50,00 0,00
100,00 27,78 66,67 5,56
62,00 32,00 27,00 3,00
100,00 51,61 43.55 4,84
18,00 0,00 1,00 2,00 6,00 9,00
8,00 0,00 0,00 1,00 1,00 6,00
100,00 0,00 0,00 12,50 12,50 75,00
100,00 0,00 5,56 11,11 33,33 50,00
62,00 0,00 3,00 13,00 15,00 31,00
100,00 0,00 4,84 20,97 24,19 50,00
100 61,11 19,44 8,33 11,11 0,00
18,00 3,00 10,00 2,00 2,00 1,00
8,00 6,00 1,00 1,00 0,00 0,00
100 75,00 12,50 12,50 0,00 0,00
100 16,67 55,56 11,11 11,11 5,56
62,00 31,00 18,00 6,00 6,00 1,00
100 50,00 29,03 9,68 9,68 1,61
36,00 19,00 17,00 0,00
100,00 52,78 47,22 0,00
18,00 2,00 7,00 9,00
8,00 8,00 0,00 0,00
100,00 100,00 00,00 00,00
100,00 11,11 38,89 50,00
62,00 29,00 24,00 9,00
100,00 46,77 38,71 14,52
36,00 31,00 5,00 0,00 0,00 0,00
100,00 86,11 13,89 0,00 0,00 0,00
18,00 7,00 7,00 2,00 1,00 1,00
8,00 8,00 0,00 0,00 0,00 0,00
100,00 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
100,00 38,89 38,89 11,11 5,56 5,56
62,00 46,00 12,00 2,00 1,00 1,00
100,00 74,19 19,35 3,23 1,61 1,61
36,00
100,00
18,00
8,00
100,00
100,00
62,00
100,00
60
61
Lampiran 2 Kuesioner wawancara Persepsi Responden terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit Berilah tanda contreng (√) pada kolom jawaban yang Bapak/ Ibu anggap benar. No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pernyataan Sosial Ekonomi Pertumbuhan penduduk mempengaruhi luas kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit membuka lapangan kerja. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit mengurangi perpindahan penduduk ke kota. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit meningkatkan pendapatan rumahtangga. Hasil dari kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit sulit untuk dipasarkan. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit dapat memenuhi kebutuhan keluarga akan kayu, buah, obat tradisional, dan
SS
S
TT
TS
STS
Keterangan
61
60
62
sebagainya. 7. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit menghasilkan pakan bagi ternak. 8. Lahan yang terbatas tidak dapat dimanfaatkan sebagai kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit. 9. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit membutuhkan modal pembangunan yang besar. 150. Pengelolaan kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit hanya memerlukan kerja paruh waktu sehingga memungkinkan adanya kegiatan ekonomi lain. 11. Pendapatan dari kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit cukup untuk dimanfaatkan sebagai modal pengelolaan/ pengembangan kebun karet campuran. 12. Pergiliran penggunaan lahan dari kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit menjadi jenis lain perlu dilakukan jika harga karet merosot atau terdapat pilihan lain yang lebih menguntungkan. 13. Kebun karet campuran/ kebun
62
63
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
kelapa sawit tidak memberikan peluang kerjasama antar petani. Ekologi/ Lingkungan Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit menyediakan udara segar. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit dapat mencegah banjir di dataran yang lebih rendah rendah. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit membantu menjaga ketersediaan air bersih. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit tidak menyebabkan lahan menjadi gersang, kering, dan tidak subur lagi. Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit dapat menjadi tempat tinggal bagi hewan liar. Dilakukan pembukaan hutan untuk membangun perkebunan karet campuran/ kebun kelapa sawit. Dilakukan penanaman padang ilalang/ rumput dengan perkebunan karet campuran/ kebun kelapa sawit. Pembukaan lahan untuk kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit
63
64
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
dilakukan dengan dengan sistem tebas bakar. Sosial Budaya Kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit memiliki hubungan dengan adat istiadat dan kebiasaan di lingkungan tempat tinggal Anda. Pemanfaatan lahan sebagai kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit bukan merupakan tradisi yang turun temurun di tempat tinggal Anda. Perempuan dan anak-anak tidak dilibatkan dalam pengelolaan kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit. Luas kepemilikan kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit mempengaruhi posisi seseorang dalam masyarakat. Keberadaan karet campuran/ kebun kelapa sawit menciptakan interaksi/ komunikasi masyarakat dengan lingkungan luar. Keberadaan kebun karet campuran/ kebun kelapa sawit menyebabkan pembauran nilai budaya lokal dengan budaya luar. Kebun karet campuran/ kebun
64
65
kelapa sawit berpotensi menyebabkan konflik. Keterangan:
SS
= sangat setuju
S
=
setuju
TT
= tidak tahu
TS
=
tidak setuju
STS = sangat tidak setuju
Tidak diikutsertakan dalam pengukuran tingkat persepsi
65
67
Manfaat Hutan, Hutan Rakyat Berbasis Karet, dan Kebun Kelapa Sawit Rangkinglah ketiga tipe penggunaan lahan berikut atas manfaatnya berdasarkan pendapat Bapak/Ibu.
Tipe Penggunaan Lahan Hutan Tipe Manfaat Sosial Ekonomi Meningkatkan pendapatan rumahtangga Membuka lapangan kerja Mengurangi perpindahan penduduk Peluang kerjasama diantara petani Ekologi/ Lingkungan Menyediakan udara segar Mencegah banjir di dataran yang lebih rendah rendah Membantu menjaga ketersediaan air bersih Menjadi tempat tinggal bagi hewan liar Sosial Budaya Menentukan posisi seseorang dalam masyarakat Membuka komunikasi dengan lingkungan luar Menjaga adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Membaurkan nilai budaya lokal dengan budaya luar
Hutan Rakyat Berbasis Karet
Kebun Kelapa Sawit
66
68
Lampiran 3 Hasil pengolahan data
Hasil Validasi dan Uji Reliabilitas Item Pengukuran Persepsi terhadap Hutan Rakyat Berbasis Karet dan Kebun Kelapa Sawit
1. Aspek sosial ekonomi hutan rakyat berbasis karet Validasi
Reliabilitas
Correlations sosekkaret1
sosekkaret2
sosekkaret3
sosekkaret4
sosekkaret5
sosekkaret6
sosekkaret7
sosekkaret8
sosekkaret9
sosekkaret10
sosekkaret11
sosekkaret12
sosekkaret13
Total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
sosekkaret1 1 62 ,180 ,162 62 ,142 ,271 62 ,267* ,036 62 ,146 ,258 62 ,035 ,785 62 ,250 ,050 62 ,085 ,510 62 ,223 ,081 62 ,067 ,604 62 -,046 ,721 62 ,108 ,403 62 ,239 ,062 62 ,411** ,001 62
sosekkaret2 ,180 ,162 62 1
sosekkaret3 sosekkaret4 sosekkaret5 sosekkaret6 ,142 ,267* ,146 ,035 ,271 ,036 ,258 ,785 62 62 62 62 ,519** ,132 ,081 -,199 ,000 ,305 ,530 ,122 62 62 62 62 62 ,519** 1 ,134 ,240 ,046 ,000 ,300 ,060 ,720 62 62 62 62 62 ,132 ,134 1 ,315* ,091 ,305 ,300 ,013 ,480 62 62 62 62 62 ,081 ,240 ,315* 1 ,055 ,530 ,060 ,013 ,672 62 62 62 62 62 -,199 ,046 ,091 ,055 1 ,122 ,720 ,480 ,672 62 62 62 62 62 ,090 ,219 ,367** ,270* ,297* ,486 ,088 ,003 ,034 ,019 62 62 62 62 62 ,142 ,418** ,136 ,084 ,053 ,269 ,001 ,293 ,516 ,682 62 62 62 62 62 ,177 ,210 ,339** ,055 ,034 ,168 ,101 ,007 ,669 ,795 62 62 62 62 62 ,252* ,193 ,138 ,126 ,186 ,048 ,134 ,286 ,329 ,148 62 62 62 62 62 ,211 ,166 ,184 ,320* ,082 ,100 ,197 ,153 ,011 ,527 62 62 62 62 62 ,100 ,128 ,294* ,485** ,005 ,441 ,322 ,020 ,000 ,967 62 62 62 62 62 ,379** ,405** ,219 ,133 -,057 ,002 ,001 ,087 ,302 ,662 62 62 62 62 62 ,453** ,601** ,514** ,464** ,246 ,000 ,000 ,000 ,000 ,054 62 62 62 62 62
sosekkaret7 sosekkaret8 sosekkaret9 sosekkaret10 sosekkaret11 sosekkaret12 sosekkaret13 ,250 ,085 ,223 ,067 -,046 ,108 ,239 ,050 ,510 ,081 ,604 ,721 ,403 ,062 62 62 62 62 62 62 62 ,090 ,142 ,177 ,252* ,211 ,100 ,379** ,486 ,269 ,168 ,048 ,100 ,441 ,002 62 62 62 62 62 62 62 ,219 ,418** ,210 ,193 ,166 ,128 ,405** ,088 ,001 ,101 ,134 ,197 ,322 ,001 62 62 62 62 62 62 62 ,367** ,136 ,339** ,138 ,184 ,294* ,219 ,003 ,293 ,007 ,286 ,153 ,020 ,087 62 62 62 62 62 62 62 ,270* ,084 ,055 ,126 ,320* ,485** ,133 ,034 ,516 ,669 ,329 ,011 ,000 ,302 62 62 62 62 62 62 62 ,297* ,053 ,034 ,186 ,082 ,005 -,057 ,019 ,682 ,795 ,148 ,527 ,967 ,662 62 62 62 62 62 62 62 1 -,020 ,159 ,248 ,116 ,212 ,065 ,878 ,218 ,052 ,369 ,098 ,617 62 62 62 62 62 62 62 -,020 1 ,395** ,156 ,276* ,182 ,249 ,878 ,001 ,225 ,030 ,158 ,051 62 62 62 62 62 62 62 ,159 ,395** 1 ,222 ,385** ,081 ,376** ,218 ,001 ,082 ,002 ,531 ,003 62 62 62 62 62 62 62 ,248 ,156 ,222 1 ,378** ,118 ,293* ,052 ,225 ,082 ,002 ,361 ,021 62 62 62 62 62 62 62 ,116 ,276* ,385** ,378** 1 -,047 ,205 ,369 ,030 ,002 ,002 ,717 ,110 62 62 62 62 62 62 62 ,212 ,182 ,081 ,118 -,047 1 ,223 ,098 ,158 ,531 ,361 ,717 ,081 62 62 62 62 62 62 62 ,065 ,249 ,376** ,293* ,205 ,223 1 ,617 ,051 ,003 ,021 ,110 ,081 62 62 62 62 62 62 62 ,496** ,549** ,629** ,487** ,509** ,435** ,594** ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 62 62 62 62 62 62 62
Total ,411** ,001 62 ,453** ,000 62 ,601** ,000 62 ,514** ,000 62 ,464** ,000 62 ,246 ,054 62 ,496** ,000 62 ,549** ,000 62 ,629** ,000 62 ,487** ,000 62 ,509** ,000 62 ,435** ,000 62 ,594** ,000 62 1
Item-Total Statistics
sosekkaret1 sosekkaret2 sosekkaret3 sosekkaret4 sosekkaret5 sosekkaret6 sosekkaret7 sosekkaret8 sosekkaret9 sosekkaret10 sosekkaret11 sosekkaret12 sosekkaret13
Scale Mean if Item Deleted 47,92 47,68 48,16 47,60 47,65 47,98 48,50 48,16 49,16 47,66 48,48 47,85 48,35
Scale Variance if Item Deleted 32,469 32,681 30,072 33,294 33,085 34,311 30,779 29,678 27,810 33,047 30,778 31,765 29,806
Corrected Item-Total Correlation ,273 ,348 ,481 ,448 ,377 ,101 ,337 ,386 ,463 ,407 ,361 ,277 ,464
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,720 ,713 ,694 ,710 ,712 ,738 ,713 ,707 ,696 ,710 ,710 ,721 ,696
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,727
N of Items 13
62
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
67
69
2. Aspek ekologi hutan rakyat berbasis karet
Validasi
Reliabilitas
Correlations Ekologikaret1
Ekologikaret2
Ekologikaret3
Ekologikaret4
Ekologikaret5
Ekologikaret6
Ekologikaret7
Ekologikaret8
Total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Ekologikaret1 1
Ekologikaret2 Ekologikaret3 Ekologikaret4 Ekologikaret5 Ekologikaret6 Ekologikaret7 Ekologikaret8 ,298* ,061 ,319* ,304* ,040 ,311* -,042 ,019 ,640 ,011 ,016 ,759 ,014 ,749 62 62 62 62 62 62 62 62 ,298* 1 ,342** ,441** ,238 -,023 ,002 ,029 ,019 ,006 ,000 ,062 ,862 ,990 ,823 62 62 62 62 62 62 62 62 ,061 ,342** 1 ,415** ,295* ,097 ,044 ,020 ,640 ,006 ,001 ,020 ,453 ,736 ,877 62 62 62 62 62 62 62 62 ,319* ,441** ,415** 1 ,308* ,167 ,166 ,108 ,011 ,000 ,001 ,015 ,194 ,198 ,402 62 62 62 62 62 62 62 62 ,304* ,238 ,295* ,308* 1 ,068 ,146 -,157 ,016 ,062 ,020 ,015 ,599 ,257 ,222 62 62 62 62 62 62 62 62 ,040 -,023 ,097 ,167 ,068 1 ,416** ,360** ,759 ,862 ,453 ,194 ,599 ,001 ,004 62 62 62 62 62 62 62 62 ,311* ,002 ,044 ,166 ,146 ,416** 1 ,154 ,014 ,990 ,736 ,198 ,257 ,001 ,232 62 62 62 62 62 62 62 62 -,042 ,029 ,020 ,108 -,157 ,360** ,154 1 ,749 ,823 ,877 ,402 ,222 ,004 ,232 62 62 62 62 62 62 62 62 ,436** ,514** ,588** ,715** ,606** ,521** ,437** ,329** ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,009 62 62 62 62 62 62 62 62
Item-Total Statistics Total ,436** ,000 62 ,514** ,000 62 ,588** ,000 62 ,715** ,000 62 ,606** ,000 62 ,521** ,000 62 ,437** ,000 62 ,329** ,009 62 1
Ekologikaret1 Ekologikaret2 Ekologikaret3 Ekologikaret4 Ekologikaret5 Ekologikaret6 Ekologikaret7 Ekologikaret8
Scale Mean if Item Deleted 26,94 27,06 27,65 27,44 28,06 27,52 26,79 27,24
Scale Variance if Item Deleted 12,783 11,963 10,757 9,496 9,766 11,041 12,693 12,711
Corrected Item-Total Correlation ,328 ,365 ,378 ,524 ,297 ,265 ,320 ,108
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,577 ,558 ,543 ,486 ,586 ,582 ,576 ,620
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,601
N of Items 8
62
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
68
70
3. Aspek sosial budaya hutan rakyat berbasis karet Validasi
Reliabilitas
Correlations Sosbudkaret1
Sosbudkaret2
Sosbudkaret3
Sosbudkaret4
Sosbudkaret5
Sosbudkaret6
Sosbudkaret7
Total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Sosbudkaret1 1 62 ,285* ,025 62 ,039 ,764 62 ,135 ,295 62 -,010 ,936 62 ,161 ,212 62 ,102 ,431 62 ,463** ,000 62
Sosbudkaret2 ,285* ,025 62 1 62 ,180 ,162 62 ,302* ,017 62 -,233 ,068 62 ,354** ,005 62 -,042 ,743 62 ,636** ,000 62
Sosbudkaret3 ,039 ,764 62 ,180 ,162 62 1 62 ,126 ,330 62 -,125 ,333 62 -,075 ,561 62 -,108 ,403 62 ,442** ,000 62
Sosbudkaret4 ,135 ,295 62 ,302* ,017 62 ,126 ,330 62 1 62 ,059 ,648 62 ,106 ,414 62 ,282* ,027 62 ,659** ,000 62
Sosbudkaret5 -,010 ,936 62 -,233 ,068 62 -,125 ,333 62 ,059 ,648 62 1 62 -,206 ,109 62 ,161 ,212 62 ,060 ,641 62
Sosbudkaret6 Sosbudkaret7 ,161 ,102 ,212 ,431 62 62 ,354** -,042 ,005 ,743 62 62 -,075 -,108 ,561 ,403 62 62 ,106 ,282* ,414 ,027 62 62 -,206 ,161 ,109 ,212 62 62 1 -,090 ,489 62 62 -,090 1 ,489 62 62 ,479** ,316* ,000 ,012 62 62
Total ,463** ,000 62 ,636** ,000 62 ,442** ,000 62 ,659** ,000 62 ,060 ,641 62 ,479** ,000 62 ,316* ,012 62 1
Item-Total Statistics
Sosbudkaret1 Sosbudkaret2 Sosbudkaret3 Sosbudkaret4 Sosbudkaret6 Sosbudkaret7
Scale Mean if Item Deleted 18,53 17,13 17,89 16,52 17,13 16,35
Scale Variance if Item Deleted 7,597 6,114 7,085 6,024 6,737 8,298
Corrected Item-Total Correlation ,260 ,452 ,059 ,349 ,148 ,032
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,357 ,221 ,483 ,269 ,413 ,450
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,417
N of Items 6
62
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
69
71
4. Aspek sosial ekonomi kebun kelapa sawit
Validasi
Realibilitas Item-Total Statistics
Correlations Soseksawit1
Soseksawit2
Soseksawit3
Soseksawit4
Soseksawit5
Soseksawit6
Soseksawit7
Soseksawit8
Soseksawit9
Soseksawit10
Soseksawit11
Soseksawit12
Soseksawit13
Total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Soseksawit1 1 62 ,061 ,635 62 ,189 ,141 62 -,092 ,478 62 ,040 ,755 62 ,038 ,767 62 -,003 ,981 62 -,014 ,915 62 -,137 ,289 62 -,067 ,605 62 ,037 ,776 62 ,075 ,561 62 ,122 ,344 62 ,196 ,127 62
Soseksawit2 ,061 ,635 62 1
Soseksawit3 Soseksawit4 Soseksawit5 Soseksawit6 Soseksawit7 Soseksawit8 Soseksawit9 Soseksawit10 Soseksawit11 Soseksawit12 Soseksawit13 ,189 -,092 ,040 ,038 -,003 -,014 -,137 -,067 ,037 ,075 ,122 ,141 ,478 ,755 ,767 ,981 ,915 ,289 ,605 ,776 ,561 ,344 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,580** ,279* -,012 ,152 ,231 ,127 ,090 ,137 ,174 ,457** ,143 ,000 ,028 ,926 ,240 ,071 ,327 ,487 ,290 ,177 ,000 ,268 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,580** 1 ,133 -,089 -,014 ,118 ,111 -,155 ,178 ,135 ,205 ,261* ,000 ,302 ,490 ,913 ,361 ,391 ,229 ,166 ,296 ,110 ,041 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,279* ,133 1 ,072 ,016 ,039 ,267* ,310* ,401** ,052 ,174 ,045 ,028 ,302 ,579 ,903 ,766 ,036 ,014 ,001 ,688 ,176 ,728 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 -,012 -,089 ,072 1 ,122 ,112 ,208 ,346** ,089 ,114 ,130 ,076 ,926 ,490 ,579 ,344 ,387 ,106 ,006 ,493 ,376 ,313 ,558 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,152 -,014 ,016 ,122 1 ,144 ,224 ,255* ,022 ,236 ,218 ,089 ,240 ,913 ,903 ,344 ,265 ,080 ,046 ,863 ,065 ,089 ,491 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,231 ,118 ,039 ,112 ,144 1 ,104 ,219 ,095 ,245 ,138 ,049 ,071 ,361 ,766 ,387 ,265 ,421 ,087 ,463 ,055 ,283 ,705 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,127 ,111 ,267* ,208 ,224 ,104 1 ,233 ,368** ,031 ,215 ,133 ,327 ,391 ,036 ,106 ,080 ,421 ,068 ,003 ,811 ,094 ,302 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,090 -,155 ,310* ,346** ,255* ,219 ,233 1 ,239 ,239 ,325* ,222 ,487 ,229 ,014 ,006 ,046 ,087 ,068 ,062 ,061 ,010 ,083 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,137 ,178 ,401** ,089 ,022 ,095 ,368** ,239 1 ,016 ,057 ,174 ,290 ,166 ,001 ,493 ,863 ,463 ,003 ,062 ,904 ,659 ,177 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,174 ,135 ,052 ,114 ,236 ,245 ,031 ,239 ,016 1 ,210 ,234 ,177 ,296 ,688 ,376 ,065 ,055 ,811 ,061 ,904 ,102 ,067 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,457** ,205 ,174 ,130 ,218 ,138 ,215 ,325* ,057 ,210 1 ,019 ,000 ,110 ,176 ,313 ,089 ,283 ,094 ,010 ,659 ,102 ,883 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,143 ,261* ,045 ,076 ,089 ,049 ,133 ,222 ,174 ,234 ,019 1 ,268 ,041 ,728 ,558 ,491 ,705 ,302 ,083 ,177 ,067 ,883 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 ,567** ,474** ,399** ,359** ,429** ,410** ,528** ,511** ,442** ,502** ,543** ,490** ,000 ,000 ,001 ,004 ,001 ,001 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62 62
Total ,196 ,127 62 ,567** ,000 62 ,474** ,000 62 ,399** ,001 62 ,359** ,004 62 ,429** ,001 62 ,410** ,001 62 ,528** ,000 62 ,511** ,000 62 ,442** ,000 62 ,502** ,000 62 ,543** ,000 62 ,490** ,000 62 1
Soseksawit2 Soseksawit3 Soseksawit4 Soseksawit5 Soseksawit6 Soseksawit7 Soseksawit8 Soseksawit9 Soseksawit10 Soseksawit11 Soseksawit12 Soseksawit13
Scale Mean if Item Deleted 38,06 38,73 38,08 38,02 40,52 38,18 39,63 40,92 38,27 38,65 38,47 38,74
Scale Variance if Item Deleted 20,881 20,956 22,403 22,213 21,533 21,820 19,909 21,288 21,448 20,200 20,286 20,293
Corrected Item-Total Correlation ,457 ,280 ,318 ,209 ,278 ,276 ,362 ,431 ,318 ,318 ,389 ,277
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,644 ,668 ,665 ,677 ,667 ,667 ,654 ,649 ,661 ,662 ,649 ,672
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,681
N of Items 12
62
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
70
72
5. Aspek ekologi kebun kelapa sawit
Validasi
Reliabilitas
Correlations Ekologisawit1
Ekologisait1
Ekologisawit3
Ekologisawit4
Ekologisawit5
Ekologisawit6
Ekologisawit7
Ekologisawit8
Total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Ekologisawit1 1 62 ,158 ,221 62 ,301* ,017 62 -,066 ,609 62 -,008 ,952 62 ,169 ,189 62 ,530** ,000 62 ,089 ,492 62 ,416** ,001 62
Ekologisait1 ,158 ,221 62 1
Ekologisawit3 Ekologisawit4 Ekologisawit5 Ekologisawit6 Ekologisawit7 Ekologisawit8 ,301* -,066 -,008 ,169 ,530** ,089 ,017 ,609 ,952 ,189 ,000 ,492 62 62 62 62 62 62 ,316* ,057 ,171 ,158 ,120 ,168 ,012 ,661 ,184 ,220 ,352 ,192 62 62 62 62 62 62 62 ,316* 1 ,415** ,237 ,210 ,362** ,102 ,012 ,001 ,064 ,101 ,004 ,429 62 62 62 62 62 62 62 ,057 ,415** 1 ,348** ,083 ,094 ,043 ,661 ,001 ,006 ,524 ,468 ,739 62 62 62 62 62 62 62 ,171 ,237 ,348** 1 ,066 ,065 ,308* ,184 ,064 ,006 ,609 ,618 ,015 62 62 62 62 62 62 62 ,158 ,210 ,083 ,066 1 ,460** -,056 ,220 ,101 ,524 ,609 ,000 ,664 62 62 62 62 62 62 62 ,120 ,362** ,094 ,065 ,460** 1 ,104 ,352 ,004 ,468 ,618 ,000 ,423 62 62 62 62 62 62 62 ,168 ,102 ,043 ,308* -,056 ,104 1 ,192 ,429 ,739 ,015 ,664 ,423 62 62 62 62 62 62 62 ,503** ,693** ,530** ,548** ,538** ,593** ,384** ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,002 62 62 62 62 62 62 62
Item-Total Statistics Total ,416** ,001 62 ,503** ,000 62 ,693** ,000 62 ,530** ,000 62 ,548** ,000 62 ,538** ,000 62 ,593** ,000 62 ,384** ,002 62 1 62
pels1 pels2 pels3 pels4 pels5 pels6 pels7 pels8
Scale Mean if Item Deleted 20,90 21,31 23,08 22,66 22,58 21,85 20,89 21,16
Scale Variance if Item Deleted 15,859 14,511 12,928 13,801 13,952 13,536 14,430 15,646
Corrected Item-Total Correlation ,273 ,295 ,535 ,274 ,331 ,262 ,450 ,182
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,598 ,589 ,518 ,600 ,579 ,608 ,556 ,617
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,616
N of Items 8
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
71
73
6. Aspek sosial budaya kebun kelapa sawit
Validitas
Realiabilitas
Correlations
Sosbudsawit1
Sosbudsawit2
Sosbudsawit3
Sosbudsawit4
Sosbudsawit5
Sosbudsawit6
Sosbudsawit7
Total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Sosbuds awit1 1 62 ,302* ,017 62 ,088 ,498 62 ,161 ,212 62 -,073 ,573 62 ,141 ,275 62 ,125 ,335 62 ,475** ,000 62
Sosbuds awit2 ,302* ,017 62 1 62 ,298* ,019 62 ,279* ,028 62 -,107 ,409 62 ,336** ,008 62 -,005 ,971 62 ,682** ,000 62
Sosbuds awit3 ,088 ,498 62 ,298* ,019 62 1 62 ,059 ,650 62 -,047 ,719 62 ,025 ,848 62 -,182 ,157 62 ,462** ,000 62
Item-Total Statistics
Sosbuds awit4 ,161 ,212 62 ,279* ,028 62 ,059 ,650 62 1 62 ,160 ,215 62 ,043 ,739 62 ,231 ,070 62 ,604** ,000 62
Sosbuds awit5 -,073 ,573 62 -,107 ,409 62 -,047 ,719 62 ,160 ,215 62 1 62 -,075 ,564 62 ,137 ,287 62 ,197 ,124 62
Sosbuds Sosbuds awit6 awit7 ,141 ,125 ,275 ,335 62 62 ,336** -,005 ,008 ,971 62 62 ,025 -,182 ,848 ,157 62 62 ,043 ,231 ,739 ,070 62 62 -,075 ,137 ,564 ,287 62 62 1 -,054 ,674 62 62 -,054 1 ,674 62 62 ,504** ,291* ,000 ,022 62 62
Total ,475** ,000 62 ,682** ,000 62 ,462** ,000 62 ,604** ,000 62 ,197 ,124 62 ,504** ,000 62 ,291* ,022 62 1
Ekologisawit1 Ekologisait1 Ekologisawit3 Ekologisawit4 Ekologisawit5 Ekologisawit6 Ekologisawit7 Ekologisawit8
Scale Mean if Item Deleted 20,90 21,31 23,08 22,66 22,58 21,85 20,89 21,16
Scale Variance if Item Deleted 15,859 14,511 12,928 13,801 13,952 13,536 14,430 15,646
Corrected Item-Total Correlation ,273 ,295 ,535 ,274 ,331 ,262 ,450 ,182
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,598 ,589 ,518 ,600 ,579 ,608 ,556 ,617
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,439
N of Items 6
62
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
72