Nomor 04, Desember 2006
BULETIN
PLAN
LOG
ISSN: 1858-3261
KEBUN KAYU DAN HUTAN KARET,SAWIT, KELAPA OPTIMALISASI PENDEKATAN FUNGSI MANFAAT UNTUK PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT Oleh : Syaiful Ramadhan *) Masalah lahan merupakan masalah mendasar dalam pembangunan, karena menyangkut kepastian hukum yang akan menentukan tingkat keamanan modal yang diinvestasikan pada suatu usaha yang terkait pembangunan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seringkali terjadi ”trade off” antara pembangunan kehutanan dengan pembangunan sektor lain utamanya terkait dengan penggunaan lahan yang tidak menguntungkan ditinjau dari sinerjisitas pencapaian tujuan pembangunan secara menyeluruh. ”Jangan tanam kopi di kawasan hutan !!” ”Jangan rambah kawasan hutan jadi kebun karet, kebun sawit, kebun kelapa dll !!”. ”Jadi dimana kami akan berkebun ? dimana-mana kawasan hutan ?” Mudah-mudahan dengan adanya reformasi pelurusan persepsi atau pola pendekatan selama ini terhadap keberadaan sumberdaya hutan yang sebelumnya cenderung pada ”Pendekatan Pemilikan dan Penguasaan (land reform approach)” kepada ”Pendekatan Fungsi Manfaat secara Kolaboratif (acces reform approach) ” , pertanyaan dan ungkapan di atas dapat diminimalisir. Telah terbukti secara operasional bahwa pendekatan /pemilikan, menciptakan iklim yang kurang kondusif bagi pembangunan kehutanan secara menyeluruh, karena : 1. Aparat kehutanan terkondisi berseberangan dengan masyarakat 2. Fungsi penguasaan untuk engaturan pemanfaatan memposisikan aparat kehutanan sebagai pelaku bisnis daripada pengatur untukmenciptakan kemudahan berusaha di bidang kehutanan. 3. Pola fikir pemilik mengurangi keluwesan dalam mengantisipasi langkah-langkah peran serta masyarakat akibat pekanya maslah status kawasan 4. Kecenderungan pemilikan yang besar menghambat kelancaran proses otonomi (ego sektoral) dan desentralisasi, padahal pembangunan berbasis di pedesaan. 5. Pola fikir pemilikan akan berdampak pada hambatan pemberdayaan masyarakatsecara menyeluruh karena sudah terbukti pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbending lurus dengan pemerataan nilai tambah yang dihasilkan. Kelima hal di atas ditambah akibat berantai yang dihasilkannya, bisa diduga sebagai hambatan pokok yang kurang disadari selama ini. Sebelum kita sampai pada pendekatan fungsi manfaat yang sebenarnya selaa tercantum dalam kebijaksanaan pembangunan dalam setiap GBHN, ada baiknya kita mencermati kata kunci Pemilikan-Penguasaan, yaitu : 8 Pemilikan tidak selalu dengan penguasaan (contoh : pemisahan pemilik dengan manajemen pada pola manajemen modern). 8 Penguasaan tanpa pemilikan (sama dengan di atas, hanya ditinjau dari aspek manajemen bukan pemilik) dalam arti hanya kuasa pengaturan pengelolaan pemanfaatan.
DARI REDAKSI
A
pa yang kita lakukan dan apa yang kita rencanakan hari ini merupakan konsekuensi dari masa lalu dan akan mewarnai masa Depan yang akan kita hadapi, untuk itu tidak ada kata lain “kehati-hatianlah” yang selayaknya mendasari setiap tindak kita tanpa kecuali. Salah satu bentuk kehati-hatian yang sangat diperlukan khususnya dalam pola fikir perencanaan terkait dengan sumberdaya hutan adalah kebijakan pemikiran; “Bagaimana kita memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi masa mendatang?”. Sering sekali kemapanan menjebak kita untuk berfikir bahwa kita sedang dalam keadaan berbuat baik padahal sejatinya kita sedang merusak!!!. Pangkal dari bencana adalah kesalahan pemikiran dan persepsi yang mengalir menjadi kesalahan metode dan strategi yang dilengkapi dengan evaluasi yang hanya menjadi alat pembenaran diri. Profesionalisme Planolog tidak akan bermakna tanpa dilandasi moral yang akan menjadi pengembang rasa “ malu” atas terpeliharanya kekurangtahuannya serta sebaliknya berkembangnya rasa “tidak malu” untuk bertanya dan berfikir tanpa henti. Berangkat dari filosofi di atas, redaksi berharap pembaca tidak segan dan henti untuk memberikan koreksi bagi kesempurnaan dan keberlanjutan Buletin kita bersama. Kami percaya dan yakin, bahwa hanya dengan saling mengingatkan dan saling mengisi profesionalisme tetap akan terjaga. Bravo Planolog!!!!
Redaksi
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006 8 Penguasaan dengan pemilikan, yaitu pemilik berkuasa penuh mengelola langsung yang dimiliknya 8 Penguasaan yang diatur melalui proporsi pemilikan (saham) 8 Pemilikan yang diatur melalui penguasaan (batas maksimal lahan milik, pencegahan monopoli, pengaturab minimal kandungan lokal) Dari pencermatan lima terminasi di atas, maka kita tiba pada suatu kesimpulan, bahwa dalam praktek yang sehat harus jelas pemilihan pola di atas, salah satu atau gabungannya, namun harus selaras dengan tujuan yang ditetapkan, agar tidak tercipta kerancuan dalam otorisasi kebijaksanaan. Khusus berkaitan dengan pembangunan, maka posisi pemerintah pengelolaan sumberdaya yang tepa adalah sebagai kuasa pengar\turan pengelolaan pemanfaatan di seluruh lahan yang ada, sehingga dengan pemahaman tersebut pemerintah dapat berfungsi/berperan optimal sebagai pengatur, akselerator setiap aspek pembangunan di bidang kehutanan tanpa terlalu rumit memikirkan apakah hutan tersebut terletak di laha negara/milik rakyat yang terpenting sesai peruntukan lahan yang diatur dalam rencana tata ruang secara makro (indikatif) maupun mikro. Pendekatan fungsi manfaat merupakan jabaran dari hakiki pemahaman pasal 33 UUD 1945 ayat 3, karena tujuan akhir (outcome) dari esensi pembangunan sebagai pengamalan Pancasila adalah kesejahteraan rakyat, untuk itu pemahaman hakiki fungsi di atas sangatlah penting.Hutan dan kebun merupakan ”emas hijau” dan sumber devisa banyak mendominasi penggunaan lahan, sehingga kerapkali terjadi kompetisi ”nilai tambah” yang berdampak pada tumpang tindih peruntukan lahan yang tidak sesuai peraturan per-UU-an. Melalui penggabungan kelola hutan dan kebun diharapkan kompetisis tersebut dapat diarahkan lebih kepada sinergisitas manfaat keduanya, antara lain dengan cara : 8
8
8 8 8
8
Analisa makro peruntukan lahan (hutan dan kebun) khususnya yang tumpang tindih dapat dilakukan lebih objektif, karena kinerja Departemen dinailai secara totalitas. Sebagi contoh : apabila budidaya kopi di hutan lindung dapat diperbaiki dalam arti menyebabkan erosi melalui perbaikan teknik konservasi tanahnya (teras) dan atau dikombinasikan dengan tanaman kehutanan yang secara biologis maupun ekonomis tidak merusak lingkungan dan menghasilkan nilai tambah yang lebuh tinggi, mengapa kita harus membuang energi, waktu dan biaya untuk mempermasalahkannya. Analisa perbandingan besaran nilai tambah yang dihasilkan antar komoditi (sendiri-sendiri dan atau kombinasi optimal) yang dikombinasikan dengan aspek lingkungan, penyerapan tenaga kerja, kemyrahan biaya dan tata ruang lebih mudah dikoordinasikan karena keterpaduan data/informasi. Pemanfaatan teknologi budidaya hutan dan kebun perlindungannya dapat lebih mudah dan cepat serta luwes untuk diterapkan. Penggabungan komoditi hutan dan kebun akan memperkuat posisi tawar menawar kita dalam menghadapi pasar global, karena kombinasi diversifikasi hasil dapat terencana lebih akurat. Peningkatan peran serta masyarakat kita yang sebagian besar tumbuh dalam budaya agraris dapat diterapkan lebih luwes, antara lain melalui sistem bagi hasil, inti plasma, tumpang sari, yang pada gilirannya akan memperkuat kemandirian pangan/ekonomi pedesaan berbasis ketahanan nasional Terciptanya lapangan kerja di tingkat pedesaan (lokasi kebun dan hutan umumnya di pedesaan) dapat mengurangi arus urbanisasi, apalagi bila agroindustri didekatkan pada produsen bahan baku, maka bisa kita bayangkan ”muliplier effect” yang terjadi akan memacu percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata.
Dari kenyataan-kenyataan terciptanya peluang yang lebih menjajikan dari adanya penggabungan kelola hutan dan kebun, maka langkah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk merealisasikannya adalah : ~ Penyeragaman pemahaman persepsi fungsi manfaat, bukan penekanan pada pendekatan pemilikan terhadap aparat ~ Penyerangan tolok ukur kinerja adalah besaran nilai tambah yang secara makro dinilai dari kontribusi terhadap PDRB dan mikro adalah manfaat yang dirasakan langsung oleh rakyat/masyarakat. ~ Penyederhanaan peraturan yang masih berjiwa ”kepemilikan”, sekaligus memprioritaskan pembiayaan pada kegiatan produktof, sedangkan biaya-biaya pengamanan dialihkan sebagian besar pada biaya pemeliharaan dan penyuluhan serta penelitian tepa guna. ~ Formalisasi kelembagaan petani-petani plasma yang diperkuat dengan penempatan tenaga profesional yang menjamin keamanan kelangsungan kelola kredit dan dana bergulir. ~ Pemantapan pola kerjasama Perusahaan Besar-Lembaga Desa melalui peraturan yang lebih mengikat kedua belah pihak. ~ Otonomi secara utuh (Pekerjaan-Personil-Pembiayaan) harus segera dilakukan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat (aspiratif dan arahan kebijaksanaan) =================OOO=============== *) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan dan Pemimpin Redaksi Buletin Planolog
Halaman
2
Nomor 04, Desember 2006
Pendahuluan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997, hutan rakyat adalah hutan yang
BULETIN
Oleh : Iman Santosa Tj.
PLAN
HUTAN RAKYAT SEBAGAI PENGHASIL KAYU BAKAR
dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50 % dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Hutan lahan milik di luar kawasan hutan. Awalnya hutan rakyat diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Hasilnya yang berupa kayu sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahan penghasilan. Selain itu, hutan rakyat dapat memegang peranan yang sangat penting sebagai penghasil kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakat khususnya di pedesaan, yaitu untuk memasak, pemasok bahan bakar untuk industri pembuatan genteng dan batu bata, pembakaran batu kapur, pembuatan arang, penyulingan kayu putih dan lain-lain.
LOG
rakyat tumbuh atau berada pada areal lahan yang dibebani hak atas tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik, yang tumbuh di
Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari sekitar 217,1 juta orang penduduk Indonesia atau 54,9 juta rumah tangga, sekitar 47,71 % atau 26,2 juta rumah tangga masih menggunakan kayu bakar untuk berbagai keperluan dengan konsumsi sebesar 15,9 juta m3 per tahun. Dari rekaman data secara time series yaitu tahun 2002, 2003 dan 2004 diperoleh angka yang menunjukkan bahwa setiap tahun ada kecenderungan peningkatan konsumsi kayu bakar. Di masa yang akan datang pun, konsumsi kayu bakar diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1,34 % per tahun serta adanya berbagai kendala dalam penggunaan sumber energi berbentuk lain seperti minyak tanah dan gas, baik karena kendala harga maupun kesulitan untuk memperolehnya. Pengembangan Hutan Rakyat Pada awalnya, keterlibatan pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat dimulai dengan proyek bantuan INPRES Penghijauan di pertengahan tahun 1970-an, yaitu pada lahan milik yang kritis dan terlantar dengan tujuan utama untuk rehabilitasi. Namun demikian data 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa realisasi pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan dengan dana pemerintah tak terlalu menggembirakan, seperti yang dapat dilihat dari tabel 1. di bawah ini
Tabel 1. Perkembangan pembangunan Hutan/Kebun Rakyat Tahun 2001 -2005 (Sumber : Ditjen RLPS, 2006)
NO
Tahun
1 2001 2 2002 3 2003 4 2004 5 2005 Jumlah Rata-rata per tahun
Luas Pembangunan Hutan/Kebun Rakyat (Ha) 22.530 38.341 214.296 332.291 32.164 639.622 127.924,40
Di sisi lain pada Rencana Startegis Departemen Kehutanan 2005 2009 (Penyempurnaan) yang telah disahkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.58/Menhut-II/2006 tanggal 30 Agustus 2006, telah ditetapkan target pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat sampai dengan tahun 2009 bertambah seluas 500.000 hektar dengan potensi sebesar 40 m3 per hektar. Selain itu ditargetkan pula masyarakat yang berusaha dalam pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat meningkat sebesar 3 % per tahun dan tingkat kesejahteraannya meningkat sebesar 4 %. Secara lebih khusus, pada Renstra tersebut juga dicantumkan bahwa pada tahun 2007 akan ditanam hutan rakyat untuk kayu bakar seluas 900 hektar di 9 provinsi, yaitu Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Bali, NTB dan NTT. Beberapa saran Untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat, khususnya sebagai penghasil kayu bakar, penulis menyarankan halhal sebagai berikut :: (1). Perlu adanya pemilahan yang jelas antara hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat disertai definisi atau criteria yang jelas. karena adanya perbedaan mendasar antara keduanya, khususnya dari segi lokasi pengembangannya. Pengembangan Halaman
3
LOG
Nomor 04, 03, Desember September2006 2006 hutan rakyat dilaksanakan di luar kawasan hutan, sedangkan hutan tanaman rakyat dikembangkan di dalam kawasan hutan. Perbedaan ini tentu akan berpengaruh pada aspek pengelolaan pengembangannya, mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan sampai dengan pemanfaatan/pemasaran hasilnya. Dengan demikian pembangunan hutan rakyat termasuk sebagai penghasil kayu bakar akan lebih fokus, baik dari aspek teknis maupun pengelolaannya. (2)
Inventarisasi Hutan Rakyat khususnya yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat sangat penting untuk
PLAN
BULETIN
dilaksanakan. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui : luas, penyebaran berdasarkan administrasi pemerintahan, jenis-jenis yang ditanam, pola pemanfaatan (untuk kayu bakar atau yang lainnya), biaya produksi, harga jual, jumlah, dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berusaha dalam pembangunan hutan rakyat dan lain-lain. Selain itu dalam kegiatan inventarisasi ini perlu dicari data/informasi mengenai dari mana masyarakat pedesaan memeperoleh kayu bakar, apakah dari hutan hak atau hutan negara. JIka sebagian besar bakar tersebut diperoleh dari hutan negara, tentunya sangat memprihatinkan karena dapat merusak kelestarian ekosistem hutan. Berdasarkan hasil inventarisasi ini pemerintah akan memperoleh data/informasi yang lengkap dan akurat untuk penentuan kebijakan dalam pengembangan hutan rakyat selanjutnya serta dapat mengukur berhasil tidaknya pencapaian target yang telah ditetapkan. (3). Penyuluhan mengenai aspek teknis maupun administrasi/legalitas khususnya yang menyangkut pemanenan dan pemasarannya. Dari kegiatan penyuluhan ini diharapkan masyarakat akan tahu, mau dan mampu mengembangkan hutan rakyat sebagai sumber kayu bakar pada lahan miliknya. Salah satu aspek teknis yang penting untuk diketahui ialah jenisjenis apa saja yang cocok untuk dijadikan kayu bakar serta persyaratan tumbuhnya. Kriteria tanaman hutan yang cocok untuk kayu bakar ialah : cepat tumbuh, berkemampuan menghasilkan trubusan (tunas baru) bila dipangkas dan mempunyai nilai kalori yang tinggi. Kayu yang mempunyai nilai kalori yang tinggi bila dibakar akan menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan kayu yang bernilai kalori lebih rendah. Beberapa jenis yang cocok untuk pembangunan hutan rakyat untuk kayu bakar dengan nilai kalorinya antara lain ialah : Akasia (4.907 kal.), Lamtoro Gung (4.464 kal.), Kaliandra (4.617 kal), Gamal (4.548 kal) dan kesambi (4.459 kal). Selain itu dapat juga digunakan jenis nangka dan ampupu. Berdasarkan data mengenai jenis ini akan dapat diketahui pada jenis tanah dan tipe iklim apa jenis-jenis tersebut cocok untuk dikembangkan. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat kedua faktor tersebut merupakan faktor pembatas utama dalam pertumbuhan tanaman. (4)
Penguatan kelembagaan sangat penting untuk diperhatikan, baik kelembagaan dinas kabupaten/kota yang mengurusi bidang kehutanan, maupun organisasi kelompok tani hutan rakyat yang sudah ada. Pada daerah-daerah yang potensial untuk dikembangkan hutan rakyat tetapi belum ada kelompok tani hutan rakyat, perlu segera dibentuk kelompok tani hutan rakyat.
(5)
Dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan khususnya tentang silvikultur jenis sangat diperlukan untuk mencari berbagai alternatif tanaman baru yang cocok untuk dikembangkan sebagai penghasil kayu bakar. Dengan demikian hutan rakyat sebagai penghasil kayu bakar dapat dikelola dengan cara silvikultur intensif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hutan rakyat dapat memainkan peranan penting dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan. Jika pembangunan hutan rakyat untuk kayu bakar tiak ditangani dengan serius, akan sangat besar kemungkinan masyarakat pedesaan akan mengambil kayu bakar dari hutan alam yang tentu saja akan mengancam kelestariannya. Pembangunan hutan rkayat perlu dipacu setidaknya karena 2 (dua) hal, yaitu (1) pentingnya hutan rakyat dalam memenuhi kebutuhan energi serta menjaga kelestarian hutan alam; (2) Waktu yang tersisa untuk mencapai target pertambahan tanaman seluas 500.000 hektar saat ini hanya 3 tahun lagi, artinya setiap tahun harus dibangun seluas 100.000 150.000 hektar. Mengingat besarnya target yang harus dicapai, keberhasilan pencapaian pembangunan hutan rakyat termasuk untuk kayu bakar merupakan tanggungjawab semua pihak yang terkait, baik pemerintah (pusat dan daerah), LSM, swasta maupun masyarakat itu sendiri. =====0OO0=====
#
Halaman
4
*) Kepala Bidang Statistik Kehutanan, Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan
Nomor 04, Desember 2006
Sumberdaya lahan dan karakteristik lahan
BULETIN
Oleh : M.Azhuri *)
PLAN
KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN TATA RUANG
Lahan sebagai komponen wilayah merupakan aset negara yang sangat berharga. Di atas lahan bertumpu tapak bangunan dan beragam fasilitas umum, terbentang areal pertanian dan tegakan hutan, mengalir sungai dengan air yang jernih dan kegagalan proyek sejuta hektar lahan gambut maupun bencana lumpur panas. Khazanah ilmu ekonomi memilah sumberdaya alam (SDA) menjadi 3 yaitu SDA yang tidak dapat terbarukan (logam, batubara, minyak bumi, gas alam, batu-batuan), SDA yang terbarukan (air, angin, cuaca, gelombang laut, sinar matahari) dan SDA yang mempunyai sifat gabungan (sumberdaya biologis dan sumberdaya tanah/alam). Termasuk kedalam sumberdaya biologis adalah hutan, hasil panen; perikanan, peternakan, padang rumput; SDA jenis ini,
LOG
menyejukan. Lahan tetap membentang bertahan dari terpaan berbagai bencana banjir, tsunami, gempa bumi, degradasi hutan,
memiliki ciri seperti SDA yang dapat diperbaharui asalkan ada perawatan untuk melindunginya dan pemakaiannya sesuai dengan persediaan dan kebutuhan. Tetapi pada suatu saat SDA jenis ini dapat digolongkan kedalam SDA yang tidak dapat terbarukan, yaitu pada saat menjadi sangat berkurang pertumbuhannya, sebagai akibat pemakaian yang boros dan kurang bertanggung jawab. Sumberdaya lahan lebih spesifik karena menggambarkan gabungan antar sifat ketiga SDA di atas (SDA yang dapat terbarukan, yang tidak dapat terbarukan, maupun sumberdaya biologis). Istilah tata ruang ruang yang dimaksud dalam UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebenarnya juga bermula dari pengertian terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan pada awalnya berasal dari kehidupan dengan budaya pertanian, tetapi kemudian istilah tersebut sudah dipakai dalam arti yang lebih luas. Seberapa jauh kehutanan concern terhadap lahan? Jika tolok ukurnya adalah biaya rehabilitasi lahan, termasuk dana yang dialokasikan untuk Gerhan ( Gerakan Rehabilitasi Lahan) mungkin kehutanan dapat dibilang sebagai institusi yang paling concern terhadap lahan. Tetapi jika ditilik dari sisi legislasi, dalam soal fisik lahan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan hanya menampilan satu terminologi di pasal 17 ayat (2) “karakteristik lahan”, terminologi yang tidak terkait dengan rehabilitasi dan reklamasi hutan pada bagian keempat (pasal : 40-45). Ditengah situasi yang sangat memprihatinkan, kondisi hutan dan lingkungan hidup terlanjur terdegradasi, krisis air mulai mengancam, upaya pelestarian fungsi ekologis masih terkendala, maka masalah lingkungan yang erat dengan daya dukung lahan menuntut pengkajian informasi lahan lebih konprehensif lagi tidak terbatas pada karakteristik lahan. Hal ini terutama mengingat pengelolaan sumberdaya lahan mengandung dua sisi yang bertolak belakang yakni; potensi yang membuka peluang pembangunan vs ketentuan terhadap pemanfaatannya. Yang perlu dipahami para pihak, terutama bagi para pengambil kebijakan khususnya kebijakan kehutanan, bahwa informasi lahan tidak terbatas pada karakteristik lahan yang secara legislasi merupakan unsur pembentukan wilayah pengelolaan hutan yang sah dan akan dietapkan untuk tingkat provinsi, kabupaten dan tingkat unit pengelolaan hutan dengan hasil akhirnya berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengeloaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM) dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS). Proses pembentukan wilayah pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan bagian dari kegiatan penataan ruang yang lingkupnya lebih luas lagi, meliputi penggunaan lahan untuk perkebunan, pertanian, pekerjaan umum dan lingkungan hidup dengan tujuan yang spesifik. Untung Iskandar (1999), mengungkapkan bahwa di forum internasional, evaluasi pelaksanaan Proposal for Action telah merumuskan bahwa sebab-sebab mendasar dari kerusakan hutan dan penggundulan hutan (disamping karena masih kurangnya sumberdaya manusia dan sumber dana) adalah masih adanya kebijakan untuk mempertahankan sistem pertanian yang tidak lestari, tidak adanya informasi yang memadai tentang “kepemilikan” hutan dan kepemilikan lahan. Oleh karena itu sekelompok negara donor mengusulkan agar Indonesia memiliki sistem tataguna lahan yang konsisten dan partisipatif. Jadi yang perlu diutamakan adalah suatu proses partisipatif untuk memantapkan kondisi kawasan hutan sesuai fungsi pokok dan fungsi lainnya dan terselenggaranya sistem pengelolaan hutan secara efisien, lestari dan mandiri. Tuntutan masyarakat dunia terhadap fungsi dan manfaat hutan yang menggema dalam KTT Bumi tahun 1992 telah memunculkan istilah sustainable forest management ( Pengelolaan Hutan Lestari) yang dicirikan dengan sasaran utama memenuhi produk dan jasa sesuai kebutuhan masyarakat (sosial), ekonomi dan finansial (masyarakat dan negara) serta ekologi (lingkungan hidup). Bermula dari pedoman ITTO mengenai Pedoman Pengeloaan Hutan Alam Tropis Secara Lestari (1990), maka berkembanglah penjabaran kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari serta berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Perubahan Iklim (1992) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (1993).
Halaman
5
LOG
Nomor 04, Desember 2006 Perlu Klasifikasi Lahan Santun RP. Sitorus (Evaluasi Sumberdaya Lahan, 1985), menyebutkan karakteristik lahan sebagai ciri-ciri yang meliputi keterangan-keterangan mengenai keadaan tanah, topografi, iklim dan sifat-sifat lain yang berhubungan dengan ekologi yang diperlukan dalam proses evaluasi lahan secara tidak langsung. Ciri-ciri tersebut terkait dengan proses geomorfologi yaitu pembentukan muka bumi karena proses geologis, iklim dan pengaruh waktu serta topografi. Oleh karena itu maka kriteria karakteristik lahan dalam konsep kriteria dan standar pembentukan wilayah hutan dirinci lebih lanjut kedalam unsur : geomorfologi, tanah dan iklim.
PLAN
BULETIN
Proses evaluasi tidak langsung umumnya berupa penaksiran peta-peta dengan sumber dari citra satelit. potret udara, peta topografi, peta geologi, peta tanah eksplorasi, peta agroklimat, dll. Beberapa peta yang dapat digunakan sebagai referensi informasi karakteristik lahan antara lain peta Fisiografi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994), Peta RePPProt tahun
Tabel 1. Sistem Lahan dan Kesesuaian lahan di Indonesia No.
1
2
3
4 5 6 7 8
Sistem lahan
Rawa (S)
Dataran rendah (A)
Perbukitan (H)
Dataran Tinggi (P1) Dataran tinggi berbukit (P2) Pegunungan (M1) Pegunungan Lipatan (M2) Kompleks pegunungan (M3)
Sub Sitem/fisiografi -
rawa kubah/gambut rawa pasang surut mangrove areal delta
Dataran aluvial Dataran marine Beting pantai Bukit pasir Teras marine Bukit terpencil Perbukitan Perbukitan lipatan Perbukitan angkatan Perbukitan karst Komplek perbukitan
Dataran tinggi
Pegunungan (lower mountains) Pegunungan lipatan (mid mountains) Kompleks pegunungan (upper mountains)
Luas (x 1000 ha)
Keseuain lahan
37.130
Sebagian cocok untuk pertanian
46.890
Cocok untuk pertanian
Faktor pembatas lahan : tanah marjinal (podsol, renzina)
39.750
Pertanian, perkebunan, karena keterbatasan tanah- kehutanan
Seluruh pulau Sda NTB+NTT tersebar Kalimantan
100
Pertanian jenis dataran tinggi
Jawa +Sumatera
1.060
Perkebunan
Sumatera, Jawa, Sulawesi
40.130
HP
< 1.000 m dpl.
10.870
HL/produksi kayu untuk komersil
1000 2000 m dpl
4.130
HL dan konservasi
> 2000 m dpl (Papua)
9
Volkan (V1)
Dataran vulkan (lower volkan)
4.730
Pertanian
10
Volkan (V2)
Mid Volkan
2.470
HL dan Konservasi
11
Puncak Vulkan (V3)
Upper Volkan
600
Konservasi
12
Badan air, dll.
1.560
Sistem penyangga kehidupan
Keterangan
< 1000 m dpl sebian besar di Jawa dan Sumatera 1000 2000 Jawa dan Nusa Tenggara > 2000 m dpl Jawa dan Sumatera
1989, yang memuat informasi tentang sistem lahan dan kesesuaian lahan, peta Sistem Lahan yang diperkenalkan dalam Working Paper No. 17/INS/78/54 (kerjasama FAO/UNDP dengan Direktorat Jenderal Kehutanan tahun 1981). Berdasarkan karakteristik lahan, kegunaan lahan dapat dianalisis dalam tiga aspek yaitu : kesesuaian lahan (land suitability), kemampuan lahan (land capability) dan nilai lahan (didasarkan pertimbangan finansial dan sejenisnya, dinyatakan sebagai jumlah biaya per tahun, misalnya nilai sewa). Pengenalan karakteristik lahan juga diperlukan dalam menentukan kebijakan pemanfaatan ruang yang tidak tak terbatas, guna mengurangi pemborosan pemanfaatan ruang dan penutupan kualitas ruang. Meskipun suatu ruang tidak dihuni oleh manusia seperti puncak gunung, kawah gunung berapi tetapi ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup. Bentang lahan di Indonesia sangat kaya dengan keberagaman kenampakan permukaan bumi, klasifikasi hasil kerjasama FAO/UNDP dengan Ditjen Kehutanan (1981) dapat dilihat pada Tabel 1. d i atas, Sub sistem tersebut selanjutnya dapat dirinci lagi menjadi unit lahan (land unit). Halaman
6
Nomor 04, Desember 2006
LOG
Pada daerah pegunungan yang berbukit curam sejauhmana masih diperkenankan digunakan untuk hutan produksi? Daerah mana yang perlu dipertahankan sebagai hutan lindung untuk perlindungan Daerah aliran sungai, atau untuk konservasi daerah ekologi? ¡ Areal mana yang dapat dikelola guna memenuhi kebutuhan kayu lokal/kayu bakar atau untuk agroforestry/hutan rakyat, dsbnya. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang pembangunan nasional. Laju pertumbuhan penduduk sejak dekade 1960-an telah menyebutkan hutan jati di Jawa mengalami proses kemerosotan kualitas tegakan (Simon, 1999). Demikian juga di luar Jawa, sejak diterbitkannya UU Nomor 1 tahun 1967 tetang Penanaman Modal Asing, pengelolaan hutan dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) juga berujung pada proses degradasi hutan yang semakin tidak teratasi. Pada tahun 1988 Sukanto Reksohadiprodjo telah mengungkapkan kerusakan hutan per tahun telah mencapai 1,155 juta hektar, terdiri dari hutan produksi sekitar 625.000 hektar, hutan lindung sebesar 430.000 ha dan hutan konservasi (suaka alam dan wisata) sekitar 100.000 ha Namun peringatan dini tersebut rupanya kurang menyentuh elit pengambil keputusan kebijakan sehingga laju degradasi hutan mencapai angka yang fantastis 2,8 juta ha per tahun. Pemerintah memang telah mengambil langkah mengubah paradigma pengelolaan hutan yang berorientasi pada hasil kayu (timber management) menjadi pengelolaan sumberdaya hutan (forest resources management). Tetapi karena budaya adaptif yang berkembang dari interaksi manusia dengan kayu telah terlanjur membelulang, maka paradigma tersebut sulit mendongkrak kinerja fungsi ekologi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan yang terlanjur termajinalkan. Demikian juga karena miskinnya kepekaan sosial di kalangan elite pengambil kebijakan, kinerja fungsi sosial belakangan sulit terangkat. Peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan latar belakang budaya agraris masih sangat tergantung pada kebijakan alokasi lahan untuk kegiatan penghasil bahan baku, untuk penghasil pangan dan bahan olahan, namun ironisnya lahan yang terlantar tak digunakan (unused) masih sangat luas. Hasil pemetaan kegiatan proyek Social Forestry Development (SFDP) dari GTZ di Sanggau (Kalimantan Barat), dari Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan telah terjaring fakta adanya no man's land yaitu lahan desa yang ternyata tidak dimiliki siapapun. Sebuah ironi, hutan terus dirambah padahal lahan di luar kawasan masih banyak yang terlantar (unused). Berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua selain membawa implikasi politis terhadap kewenangan pemerintah daerah juga akan memberi dampak yang cukup signifikan terhadap kebijakan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Papua. Agar proses pembangunan tetap selaras dengan daya dukung lahan, maka sangat diperlukan kemampuan pemerintah untuk menguasai deskripsi lapangan. Perlu sebuah peta proyeksi potensi pengembangan wilayah yang cocok bagi para penentu kebijakan baik di pusat maupun di daerah. Sebuah peta yang menggambarkan karakteristik wilayah yang mudah terbaca. Karena itu peta tersebut perlu disusun berdasarkan referensi yang telah tersedia dan itu tak lain adalah peta klasifikasi sistem lahan.
BULETIN
¡ ¡
PLAN
Pada RePPProt bahkan mengintrodusir ada 124 sistem lahan yang dapat dikelompokan seperti klasifikasi FAO/UNDP dengan beberapa tambahan rincian seperti pantai, rawa pasang surut, dataran aluvial, jalur kelokan sungai besar (meander), rawa-rawa, lembah aluvial, kipas dan lahar, serta teras-teras. Pusat Tanah dan Agroklimat menyajikan karakteristik lahan dalam peta fisiografi (ada belasan sistem lahan). Klasifikasi sistem lahan tersebut penting untuk menjawab beberapa pertanyaan dalam perencanaan penggunaan lahan, dimana untuk perencanaan kehutanan antara lain adalah :
================================= *) Pensiunan PNS pada Departemen Kehutanan.. Jabatan terakhir sebagai Fungsional Perencana tingkat Madya pada Badan Kehutanan.
Halaman
7
LOG
Nomor 04, Desember 2006
TUMPANG SARI SEPANJANG DAUR DALAM UPAYA MENJAGA KETAHANAN PANGAN Oleh : Wesman Endom
1)
& Endang Mahfud
2)
PLAN
BULETIN
I. PENDAHULUAN Dalam Kompas Minggu tanggal 19 Juni 2005 di halaman 2 diberitakan bahwa di Nusa Tenggara Timur, anak yang kurang gizi mencapai jumlah 67.067 orang, mengalami gizi buruk 11.440 orang, busung lapar 302 orang dan korban meninggal dunia 5 orang. Di bagian lain disebutkan bahwa selama ini kebijakan di sektor pertanian diakui belum mampu mensejahterakan petani. Ada tiga pilar utama yang seharusnya satu sama lain saling menunjang dalam upaya mensejahterakan petani yaitu universitas, pemerintahan dan industri. Namun hingga saat ini ketiga pilar tersebut belum mampu bekerja sama dengan baik, sehingga nasib petani terombang ambing bahkan makin termarjinalkan. Kondisi busung lapar sebagaimaan dipaparkan secara singkat di atas, pada dasarnya identik dan terkait erat dengan lapar lahan. Oleh karena ketiadaan lahan usaha petanian sementara keterampilan lainpun terbatas, maka kemudian munculah kemiskinan, yang dalam jangka waktu cukup lama juga akan dapat mengakibatkan busung lapar. Untuk masalah lapar lahan, umumnya banyak terjadi di Jawa, karena di luar Jawa ada pandangan di kalangan masyarakat bahwa bila kurang lahan, tebang saja hutan. Oleh karena batas kawasan hutan yang dikuasai negara juga tidak jelas maka masyarakat cukup leluasa bila ingin mengasai atau memiliki lahan. Di Jawa pada desa-desa yang berdekatan dengan hutan, lapar lahan umum terjadi. Misalnya sebagaimana digambarkan Rahman dkk (1995) bahwa masyarakat desa hutan yang umumnya sebagai petani, rata-rata pemilikan tanahnya hanya 0,1 ha/KK. Dengan luas pemilikan lahan seperti itu, jelas ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup layak. Karena itu tidak mengherankan bila kemudian banyak hutan yang rusak karena ditebang digantikan menjadi lahan pertanian. Dilihat dari areal pengelolaannya, sektor kehutanan yang sebenarnya memiliki lahan atau kawasan demikian luas, sudah sepatutnya mampu memberikan kesejahteraan tinggi bagi karyawan maupun masyarakat di sekitarnya. Masalahnya karena secara umum tolok ukur yang berlaku di masyarakat menilai bahwa dengan semakin luas penguasaan areal, maka semakin tinggi peluang untuk mendapatkan tingkat kesejahteraannya yang lebih baik. Namun sayang, fakta yang ada di lapangan seringkali sangat berbeda. Dengan jelas dan mudah dapat diketahui bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan umumnya berada di bawah standar hidup yang layak. Contoh konkrit adalah mereka yang kemudian lebih dikenal sebagai para blandong. Para petani ini hidupnya sangat tergantung pada kegiatan kehutanan utamanya penebangan. Dengan kekuatan tenaga dan fisiknya, hampir sepanjang waktu para blandong terkena sengatan teriknya sinar matahari. Dari pohon yang ditebang, sepotong demi sepotong dolken dipikul ke tempat pengumpulan, untuk selanjutnya diangkut ke industri pengolahan atau tujuan lainnya. Dari upah kerja berat itulah mereka dapatkan biaya hidup, yang kalau dinilai dengan upah/pendapatan para mandor atau mantri kehutanan dan apalagi aparat lebih tinggi di atasnya, berbeda sangat mencolok. Di sisi lain, hingga saat ini masih dipegang kuat bahwa dalam membangun hutan (di Jawa) diterapkan cara tumpang sari. Sistem ini dipandang sebagai solusi sosial yang cukup ekonomis dan efektif. Petani diberi keleluasaan untuk dapat bercocok tanam padi dan atau palawija selama 2 s/d 3 tahun, sejak penebangan habis hutan dilakukan. Setelah periode itu, tanaman pokok yang ditanam dengan jarak tanam 3 x 1 m atau 3 x 2 m atau 3 x 3 m (misal pinus, jati, rasamala,) telah mulai bersambung dahan, sehingga kegiatan tumpangsari harus dihentikan karena dianggap dapat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Padahal, perlu ditekankan bahwa para penggarap itu umumnya adalah merupakan petani yang hanya memiliki lahan sempit atau bahkan tidak memilikinya, kecuali gubuk tempat tinggalnya. Mereka itu hidup hanya dari berburuh tani, sehingga adanya kegiatan tumpangsari walau hanya 2-3 tahun saja merupakan peluang yang sangat berharga. Berkenaan dengan busung lapar dan apa peran kehutanan yang dapat dilakukan dalam upaya ketahanan pangan, disajikan pemikiran tumpang sari sepanjang daur. Sistem ini serupa dengan yang telah ada, hanya saja ada sedikit modifikasi yang secara teknis, sosial, ekonomi dan ekologi diharapkan dapat diterapkan dengan hasil saling mengutungkan.
II. PERAN KEHUTANAN Tidaklah berlebihan bahwa masalah kesejahteraan kini mendapat perhatian sungguh-sungguh, karena belakangan ini diketahui banyak kejadian busung lapar. Dari sekian faktor penyebab, salah satunya di samping kurangnya gizi, busung lapar juga terjadi karena ketidak mampuan memberikan cukup makan, akibat kemiskinan. Atau disebabkan oleh ketiadaan lapangan kerja dan lahan untuk melakukan bercocok tanam. Berangkat dari alasan di atas, kehutanan yang memiliki lahan begitu luas sudah saatnya diberdayakan sehingga fungsinya tidak semata untuk fungsi-fungsi yang telah ada sebagaimana jelas terlihat dalam Undang-Undng 41 tahun 1999; tetapi harus mampu memberikan maslahat lebih jauh. Manfaat dimaksud ialah sebagai lahan usaha pertanian sepanjang daur. Namun yang perlu difikirkan lebih lanjut ialah bagaimana agar kiat tersebut dapat dilakukan sedemikia rupa sehingga semua fungsi secara teknis, ekologis, ekonomis dan sosial dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Pada dasarnya menurut pemikiran penulis cara tumpang sari sudah merupakan antisipasi yang cukup baik, hanya saja perlu diperluas yakni dapat dilakukan pada sepanjang daur, bukan hanya 2-3 tahun saja. Ini tentu akan berhasil baik dengan catatan bahwa masyarakat yang akan terlibat menerima dan dapat mengikuti kaedah yang dipersyaratkan secara sadar. A. Potret Manfaat Tumpangsari Usaha bidang kehutanan merupakan kegiatan bisnis yang memerlukan waktu relatif panjang (> 6 tahun sampai > 40 tahun). Oleh karena itu, dilihat dari sisi manfaat sosial dihubungkan dengan lamanya daur, menjadi kurang efektif, mengingat perbandingan antara waktu pemanfaatan lahan yang melibatkan masyarakat banyak dengan rentang waktu usaha pengelolaan Halaman
8
Nomor 04, Desember 2006
Upaya perbaikan menuju ketahanan pangan dari lahan hutan pada dasarnya ialah bahagian dari upaya pemanfaatan tanah, air dan potensi yang ada di atas atau di dalamnya, sesuai UUD pasal 33 ayat 3 bahwa ketiganya adalah dikelola untuk kepentingan orang banyak. Berkenaan dengan itu kontribusi tumpangsari ada baiknya dapat ditinjau ulang.
BULETIN
B. Upaya Perbaikan Sistem
LOG
Dapat diyakini dengan pasti bahwa perhatian terhadap perhitungan kontribusi seperti itu mungkin belum pernah ada yang menggali. Selama ini masalah tersebut luput dari perhatian, karena sistem tumpangsari sebagaimana yang sudah berjalan hingga saat ini seolah tidak ada dan tidak perlu dipermasalahkan. Ini berarti penggarapan penanaman hutan dengan sistem tumpangsari sudah sangat membantu masyarakat pedesaan, sekalipun itu hanya berlangsung untuk 2-3 tahun saja. Seberapa besar kontribusi tersebut bila diperbandingkan dengan alternatif usaha lain yang lebih dapat meningkatkan kesejahteraan, tidak pernah ada yang mendalaminya. Perhitungan sederhana tersebut dapat memberikan gambaran cukup gamblang bahwa sebenarnya kontribusi itu belum banyak memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dibanding dengan kesempatan dalam slogan forest for people yang seharusnya dapat diperolehnya.
PLAN
yang panjang menjadi tidak berimbang. Sekedar gambaran dapat dikemukakan bahwa waktu usaha yang melibatkan orang banyak untuk pengelolaan pohon jati yang memiliki daur 40-60 tahun, yaitu saat lahan diadakan kegiatan penanaman dengan cara tumpang sari yang lamanya berkisar 2-3 tahun. Selebihnya, hingga mencapai daur, lahan tidak banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat. Ini berarti bahwa kontribusi manfaat lahan yang dapat dinikmati masyarakat adalah hanya (3/60*100%) = hanya 5% saja. Dengan demikian, bila daur tadi adalah 60 tahun, maka kontribusi tahunannya hanya sebesar 0,125% saja. Suatu angka yang sangat kecil. Oleh karena itu, berkaitan dengan lapar lahan dan ketahanan pangan serta mencegah busung lapar, maka konsep dan prinsip tumpang sari yang sudah ada sudah sepantasnya diadakan peninjauan ulang.
Upaya perbaikan untuk mengelola sumberdaya hutan dengan cara tumpangsari yang sekaligus untuk menjaga ketahanan pangan, dapat dilakukan dalam dua garis besar yaitu: (1) Mengubah cara pengusahaan yang selama ini nampaknya terlalu terbelenggu (sistem satu daur dan berumur panjang) dengan cara usaha yang lebih dinamis (daur berlapis), yang secara prinsip mampu memberdayakan keterlibatan masyarakat sebesar-besarnya. Dengan demikian diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa merusak kaedahkaedah korservasi, legalitas/hukum serta asas kebersamaaan dan saling tolong menolong. Kerangka pemikiran sederhana yang dicoba dimajukan dalam upaya antisipasi itu ialah didasarkan pada modifikasi ideang penerapannya menggunakan rujukan pendekatan berikut:
Pertanian
Hutan buatan (asal lokasi hanya untuk satu jenis dari berdaur panjang)
PENGEMBANGAN
Eco development (sistem daur berlapis dengan tanaman pertanian)
KONSERVASI
Hutan Buatan umur panjang
Sumber : Van Noordwijk, et al , 1995 (yang
Gambar 1. Antisipasi pengembangan usaha kehutanan model daur berlapis Dalam penerapannya, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan metode daur berlapis ini dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut : a) Sumber daya yang dikelola harus dapat memberikan usaha seluas-luasnya baik usaha yang bersifat jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. b) Sumber daya yang dikelola mampu memberikan manfaat nilai lingkungan. c) Pengeluaran biaya yang diperlukan untuk pengelolaan sumber usaha relatif kecil. d) Sumber daya yang dikelola mudah dan cepat diperbaharui. e) Sumber daya yang dikelola laku dijual dan tidak membahayakan. Atas dasar pertimbangan kelima aspek itu kemudian dibuat kerangka pemikiran dengan langkah-langkah dimana sistem yang akan diterapkan mampu memenuhi kriteria tersebut, dengan strategi seperti pada model Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat kawasan hutan produksi dikelola dengan memberdayakan kombinasi berbagai jenis komoditas tanaman antara komoditi berdaur panjang (> 60 tahun) hingga berdaur relatif pendek (< 10 tahun). Cara pemanfaatan lahan diletakan tidak pada suatu bidang tanam yang sama, dengan maksud untuk kemudahan dalam teknis pemanenannya. Dengan demikian, jenis komoditi A tidak dicampur dengan jenis komoditi B, C, D dan seterusnya. Namun di sisi lain pada setiap hamparan lahan jenis usaha (A s/d E) diadakan kegiatan tumpangsari sepanjang daur dengan cara mengatur jarak tanam yang cukup jarang. Dengan model ini tegakan yang berdaur pendek dapat berperan menjadi media buffer yang lebih efektif dalam mengantipasi terjadinya perambahan/penebangan liar, karena waktu yang melibatkan kegiatan mereka dari areal itu sudah cukup besar. Dengan cara pendekatan ini maka diharapkan berbagai lapisan masyarakat termasuk yang berada jauh di luar areal hutan, secara bersamaan dapat menikmati fungsi keberadaan hutan/tegakan yang berbeda daurnya, mulai dari masyarakat yang memiliki keterampilan memanfaatkan hasil hutan kayu yang berdaur pendek hingga berdaur panjang, termasuk kondisi lingkungannya. Dengan demikian akan terjadi keragaman usaha yang cukup besar dan itu menjadi dorongan bagi penghidupan masyarakat yang lebih dinamis. Lebih jauh, dorongan itu memungkinkan adanya Halaman
9
LOG
Nomor 04, Desember 2006
E D C B
PLAN
BULETIN
A
Gambar 2. Pola pengusahaan dengan model daur komoditi berlapis Keterangan : A = hutan/tegakan yang berdaur panjang (>60 tahun) B = Hutan/tegakan yang berdaur cukup panjang (40-60 tahun) C = Hutan/tegakan yang berdaur sedang (20-40 tahun) D = Hutan/tegakan yang berdaur agak pendek (10-20 tahun) E = Hutan/tegakan yang berdaur pendek (< 10 tahun ) = bidang pengelolaan hutan = bidang pengelolaan tanaman peraniat multiflier efek yang dapat berkembang terus lebih lanjut. Misal, dengan tersedianya lahan/kawasan yang dialokasikan untuk berbagai komoditi kayu berdaur pendek, berarti perputaran penanaman (tanaman pertanian dan tanaman pokok) dapat menjadi lebih sering. Dengan demikian, diharapkan akan dapat memperkecil terjadinya kerawanan pengadaan bahan pangan, karena kesempatan pemanfaatan lahan tanam lebih cepat dan luas dibanding pada lahan hutan yang hingga kini ditetapkan untuk suatu kelas perusahaan yang daur pemanenannya lebih panjang. Di bagian lain dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan lingkungan yang lebih baik dari pada mempertahankan suatu kelas perusahaan yang nota bene hanya menggunakan satu lapis daur saja. Menurut Malcolm dan Markham (1996) bahwa ekosistem yang berdaya tahan balik (ecosystem resilience) merupakan titik awal kondisi yang sangat bermanfaat sebagai tanggapan atas terjadinya kerusakan lingkungan. Ekosistem yang paling produktif di alam ialah didapat dalam bentuk komunitas tumbuhan (usaha penanaman) yang lebih beragam dan itu hanya ada di hutan campuran. Salah satunya juga adalah terdapat pada model hutan dengan daur berlapis.
(2) Pengaturan Jarak Tanam dan Pemangkasan Tajuk Pendekatan yang dimaksudkan ini secara teknis ialah mengatur agar ada jarak cukup lebar sehingga penanaman komoditi pertanian seperti padi, palawija dapat dilakukan bersamaan dengan tanaman pokok pada larikan khusus. Misal dengan pengaturan jarak tanam 5 x 2 m, 6 x 2 m, atau 5 x 1,5 m dan 6 x 1,5 m untuk tanaman pokok. Selanjutnya pada saat tanaman pokok masing-masing mulai tumbuh besar, tajuknya yang mengarah ke lebar jalur lalu dipangkas sehingga lebar tajuk maksimum hanya 2,5 meter. Itu berarti ruang lebar jalur masih ada celah cukup lebar untuk masuknya sinar matahari dan lahan di antaranya dapat digarap untuk usaha pertanian. Secara gambang pemikiran ini disajikan seperti gambar berikut.
Gambar 3. Teknis penanaman tcara tumpang sari sepanjang daur Keterangan:
Halaman
10
= tanaman pokok mengikuti atau searah garis kontur dengan jarak samping 2 m atau 1,5 m dan jarak ke depan atau belakang 5 m atau 6 m. Pada saat tanaman mulai tumbuh besar tajuknya secara terus menerus dipangkas sejauh hingga 2 atau 2,5 m tergantung jarak tanam, sehingga masih tersedia lahan dengan ruang atas terbuka untuk penanaman komoditi pertanian selebar minimal 2-3 m = jenis komoditi pertanian seperti padi dan palawija = sengkuap tajuk maksimum tanaman pokok setelah besar
Nomor 04, Desember 2006
Melalui pemberian peluang yang lebih besar atas kemungkinan dapat terlibatnya masyarakat baik dalam pemanfaatan lahan dan kegiatan pemanfaatan pengembangan hasil panen (kayu) atau bentuk-bentuk manfaat lainnya, seperti jasa lingkungan, maka pada pengelolaan tanaman daur berlapis diyakini dapat memberkan diperolehnya manfaat itu. Pada usaha tanaman pokok sejenis yang berumur panjang, peningkatan nilai tambah langsung bagi masyarakat melalui pemanfaatan lahan perlu waktu panjang. Sebaliknya, pada tanaman pokok yang daurnya lebih pendek maka peluang untuk usaha yang menggunakan lahan dan bahan juga akan semakin besar.
LOG
Di sisi lain dengan pengaturan jarak tanam juga akan memberikan dampak positip dengan lebih terbukanya kesempatan untuk memenuhi lapar lahan yang umumnya hampir terjadi pada desa berdekatan yang penduduknya padat. Oleh karena itu di era reformasi ini pemerintah c/q kehutanan perlu segera melakukan kajian ulang terutama pada lokasi-lokasi yang penduduk atau pemukimannya berdekatan dengan hutan cukup padat. Selain itu perlu digalakan pula kemauan usaha untuk bidang industri rumah tangga melalui arah dan target perubahan kebijakan yang intinya ada keberpihakan lebih kepada peningkatan kesempatan berusaha dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
BULETIN
Slogan forest for people kini harus betul-betul lebih dikembangkan bagi terbentuknya usaha-usaha baru yang semakin menunjang dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan cara pemanfaatan lahan hutan lebih intensif. Cara ini secara tidak langsung akan dapat menjaga ketahanan pangan dan sekaligus mengantipasi lapar lahan, dengan catatan masyarakat harus menerima kaedah persyaratannya secara konsekuen dan dengan penuh kesadaran.
PLAN
III. PEMBAHASAN
Menurut Pahpahan dalam Koran Agribisnis Vol 1 No 52 tanggal 7 Juni 2005 halaman 19 mengatakan bahwa pertanian kita saat ini terlahir dalam kondisi cacat, mengingat kita hanya melanjutkan nilai atau spirit yang ditanamkan sejak jaman penjajahan dan landasan spirit ini masih hidup hingga sekarang. Di bagian lain gagasan-gagasan pembangunan pertanian yang kita anut banyak bersumber dari hasil pemikir barat. Salah satunya Revolusi Hijau. Menurut Pakpahan (2005), secara empiris ini persis seperti disampaikan oleh Gollin et.al. (2001) bahwa negara-negara yang berhasil melakukan transformasi ekonomi dicirikan oleh pertumbuhan produktivitas pertaniannya yang lebih tinggi daripada pertumbuhan produktivutas non pertanian di negara yang bersangkutan. Indonesia tidak mengalami apa yang dikemukakan oleh Gollin, bahkan pertumbuhan total factor productivity dan pertumbuhan pangan per kapita (1993-2000) sudah mencapai tahap yang menghawatirkan masa depan kita yang sudah bertanda negatif (Fugile, 2004) dalam Pakpahan (2005). Karena itu dimajukan konsep revitalisasi, yang dimaknai berbeda dengan restrukturisasi. Dalam konsep ini revitalisasi (to give a new life) terkandung makna ruh atau jiwa dari suatu sistem sosial atau organisasi, sedang restrukturisasi hanya mengandung makna bagaimana mengubah struktur dan bagaimana mengorganisasikan sesuatu atau proses. Karena itu revitalisasi diperlukan, karena tidak mungkin pertanian akan berkembang jika para petaninya makin gurem, miskin dan tertinggal. Tidak mungkin pertanian akan maju dan berkembang bila nilai-nilai yang melandasi kebijaksanaan adalah nilai-nilai yang belum mampu mengangkat harkat dan martabat petani. Tidak mungkin pertanian berkembang jika kebijakan yang sama dalam bidang perbankan atau perdagangan diberlakukan sama antar sektor pertanian dengan sektor lainnya yang memiliki hakikat berbeda. Tidak mungkin pertanian akan maju dan berkembang apabila struktur ekonomi dualistic tidak mampu kita hilangkan. Lebih jauh pemikiran itu dapat dianalogkan dengan kehutanan bahwa tidak mungkin kehutanan akan maju dan berkembang kalau nilai-nilai di atas tidak berubah. Revitalisasi yang diperlukan itu antara lain ialah pada tumpangsari sepanjang daur dan atau melakukan pengelolaan hutan dengan model hutan berlapis yang di antara tanaman pokoknya diperkenankan melakukan usaha pertanian. Yang perlu disiapkan lebih lanjut ialah bagaimana aturan main, sosialisai, penerapan, dan sangsi secara konsekuen dapat ditegakkan.
IV. KESIMPULAN 1.
Revitalisasi dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu dimulai antara lain dengan pembaharuan cara pembangunan hutan yakni cara tumpangsari sepanjang daur bukan 2-3 tahun saja, atau penerapan daur berlapis bukan monokultur yang daurnya panjang. Peluang tumpangsari sepanjang daur merupakan salah satu antisipasi lapar lahan yang kalau dibiarkan berlarut dapat menjadi penyebab busung lapar.
2.
Tumpangsari sari sepanjang daur dapat dilakukan dengan memperlebar jarak antar tanam bisa 5 x 2 m , 6 x 2 m atau 5 x 1,5 m dan 6 x 1,5 m.
DAFTAR PUTAKA Malcolm, R and Adam Markham. 1996. Ecosystem Resilience, Biodiversity and Climate Change : Setting Limits. Parks, Vol 6 No 2. IUCN. Switterland Menko Kesra. 2005. Masih Perlu Rapat Teknis untuk Atasi Busung Lapar. Kompas tanggal 19 Juni halaman 2. PT Kompas Nusantara. Jakarta. Pakpahan. A. 2005. Langkah satu: revitalisasi Pertanian. Pertanian Organik memakmurkan rakyat. Agro industri . Vol 1.No 52 hal 19 tanggal 7 Juni 2005. PT. Pesona Ganini Artmar. Jakarta. Van Noordwijk, M at al . 1995. Segregate or Integrate Nature and Agriculture for Biodivesity Conservation. ICRAFT-SE ASIA, Duke University, ORSTOM.
===000===
# 1) Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 2) Perencana Pertama pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan
Halaman
11
LOG
Orientasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
PLAN
BULETIN
Nomor 04, Desember 2006
Pendahuluan
Oleh : Ir. Suwignya Utama, MBA. *)
Pengelolaan hutan setelah periode pemerintahan orde baru ditandai dengan pergeseran paradigma yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam membuat kebijakan kehutanan. Pada masa sebelumnya pengelolaan hutan lebih berdasarkan ”state based” dimana negara sangat dominan dalam menentukan kebijakan kehutanan, pusat sangat menentukan, dan birokrasi sangat kuat dalam pengaturan. Pengelollaan hutan sebelumnya juga sangat berorientasi pada ”economic-based” dimana hutan ditargetkan menjadi sumber devisa, pengelolaan diberikan pada korporasi, dan masyarakat sekitar hutan menjadi terpinggirkan. Pasca pemerintahan orde baru ditandai tampilnya pemerintahan orde reformasi, lalu muncul paradigma baru dalam pengelolaan hutan dimana pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (community based forest management) menjadi lebih populer. Paradigma CBFM ini kemudian mewujudkan dirinya dalam kebijakan social forestry yang menekankan peranan masyarakat yang lebih besar dalam pengelolaan hutan. Masyarakat lokal atau masyarakat di sekitar hutan, yang kehidupannya memiliki ketergantungan dengan sumberdaya hutan, dalam pembangunan kehutanan paradigma baru telah menjadi lebih berperan dan diikutkan dalam pengelolaan hutan. Namun demikian mestinya tidak hanya sampai kepada turut mengelola dan turut memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan. Menjadi pertanyaan adalah apakah pada masyarakat tersebut telah terjadi pemberdayaan yang sebenarnya ?. Pemberdayaan seperti apakah yang seharusnya bisa dicapai dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat ?. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dilakukan agar tercapai tingkat keberdayaan dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik ?. Beberapa pertanyaan tersebut akan dicoba dikupas melalui uraian dari tulisan ini, dengan pendekatan teoritis disertai ilustrasi kondisi praktis pengelolaan hutan di Indonesia. Uraian dalam tulisan ini akan dimulai dari alasan kenapa harus Social Forestry, seperti apa kebijakan kehutanan berbasis masyarakat saat ini, seperti apa konsep pemberdayaan masyarakat, elemen kunci keberhasilan social forestry, dan pengembangan kelompok menuju keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan diakhiri penutup sebagai simpulan dari tulisan ini.
Kenapa Harus Social Forestry ? Social forestry muncul dan menjadi relevan dikembangkan di Indonesia sebagai respon terhadap berbagai permasalahan yang urgen dan semakin tumbuh yaitu (Awang 2004:5, Thompson 1999:3): (1) Laju pertambahan penduduk di pedesaan yang terus naik dan pada saat yang sama luas lahan tidak pernah mengalami penambahan. Diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan. (2) Kemiskinan dan peluang kerja, desa-desa di sekitar kawasan hutan dihuni oleh penduduk yang miskin lahan karena sebagian besar sumber daya alamnya menjadi milik negara. Kegiatan kehutanan sosial akan membuka peluang kerja di pedesaan melalui ragam rekayasa penggunaan lahan. (3) Tuntutan demokrasi yang semakin membuka peluang kepada masyarakat untuk mengambil bagian aktif dalam pengelolaan hutan. (4) Kerusakan lingkungan yang salah satunya diakibatkan model kehutanan berbasis industri yang selama ini dikembangkan dan tidak menjadikan hutan semakin baik. (5) Munculnya berbagai konflik tentang kawasan hutan negara antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dan pengusaha, antar masyarakat, akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. (6) Kegagalan kebijakan pemerintah dalam panggunaan lahan. Argumen lainnya dikemukakan oleh David Korten (1986) yang mengemukakan tiga alasan kenapa pengelolaan sumberdaya alam harus berbasis masyarakat yaitu : (1) Adanya keragaman lokal, bahwa kehidupan masyarakat dicirikan keragaman yang substansial dalam hal kondisi alam, kondidi sosial dan pilihan individu; (2) Adanya sumberdaya lokal, bila masyarakat lokal telah berkomitmen terhadap sesuatu, maka mereka bisa memobilisasi berbagai sumberdaya untuk mewujudkannya; (3) Akuntabilitas lokal, salah satu prinsip masyarakat demokratis yaitu bahwa kontrol masyarakat (lokal) terhadap sesuatu (sumberdaya), maka konsekuensi akan ditanggung oleh masyarakat tersebut. Dengan argumen tersebut Korten mendukung perlunya format organisasi baru dan pendekatan program yang baru yang mendorong inisiatif lokal, akuntabilitas, dan pengaturan sendiri sehingga memperkuat proses belajar sosial dan meningkatkan kemandirian masyarakat lokal. Disamping beberapa alasan kondisi lokal yang ada, maka secara internasional isu tentang kehutanan yang harus berorientasi kepada masayrakat juga mendapatkan penekanan yang kuat. Pada Agenda 21 at the United Nations Conference on Environment and Development, telah disepakati model kehutanan yang lebih memberikan peran sosial pada masyarakat termasuk partisipasi yang lebih besar bagi penduduk miskin. Pada prinsip 22 dari Deklarasi Rio pada Lingkungan dan Pembangunan juga disebutkan bahwa masyarakat asli dan komunitas lokal memiliki peranan yang vital dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan karena pengetahuan dan pengalaman tradisional-nya. Negara harus memberikan penghargaan dan dukungan terhadap identitas, budaya dan kepentingannya serta mendorong partisipasi dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan Social Forestry di Indonesia Berbagai kebijakan yang mendasarkan kepada paradigma pembangunan kehutanan yang berbasis masyarakat telah diadopsi oleh pemerintah. Dalam tulisan ini akan diulas secara singkat dua kebijakan tentang social forestry dan sejauhmana arahnya terhadap pemberdayaan masyarakat, yaitu yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dan program yang diluncurkan oleh Perhutani. Permenhut No. P.01/MENHUT-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam Dan Atau Sekitar hutan Dalam Rangka Social Forestry secara tegas menyatakan maksud pemberdayaan masyarakat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry. Tujuan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Prinsip-prinsip yang sangat terkait dengan pemberdayaan masyarakat yaitu Halaman
12
Nomor 04, Desember 2006 BULETIN
LOG
Pemberdayaan Masyarakat Konsep ”pemberdayaan” atau empowerment mencakup pengertian yang sangat luas. Salah satu pandangan dari perspektif pembangunan masyarakat (community development) dikemukakan oleh Jim Ife (2003:53-61) yang memberikan definisi singkat ”empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan daya / kekuasaan dari kelompok yang kurang beruntung. Dalam konteks social forestry, secara lebih spesifik pemberdayaan merupakan peningkatan daya dari kelompok masyarakat sekitar hutan yang miskin, meliputi akses terhadap sumberdaya alam hutan melalui kebijakan dan perencanaan. Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan ini dicapai dengan pengembangan struktur atau institusi untuk memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan kesempatan berpartisipasi didalam pengelolaannya. Menurut studi dari Cornell Empowerment Group dalam Perkins & Zimmerman (1995), yang berorientasi psikologi sosial, maka pemberdayaan adalah suatu proses yang didesain secara terus menerus pada komunitas lokal yang melibatkan rasa saling menghargai, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, dimana orang-orang yang berada dalam kekurangan sumberdaya yang bernilai akan bisa memperolah akses yang lebih besar kepada dan kontrol yang lebih tinggi terhadap sumbersumberdaya tersebut. Singkatnya masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya, partisipasi yang demokratis dalam komunitasnya dan pengertian yang lebih kritis dari lingkungannya. Jadi pada level komunitas, pemberdayaan mengacu kepada tindakan kolektif untuk memperbaiki kuallitas kehidupan dalam masyarakat dan terhadap hubungan diantara organisasi-organisasi sosial. Ditekankan lebih lanjut bahwa masyarakat yang berdaya bukan hanya kumpulan dari individu yang berdaya. Dari perspektif penyuluhan pembangunan, Margono Slamet (2003) memberikan pengertian pemberdayaan masyarakat adalah sebagai masyarakat yang mampu membangun/memperbaiki kehidupannya sendiri, atau masyarakat yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, tidak tergantung dari ”belas kasih” pihak lain. Mampu dalam hal ini berarti berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memenfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mempu mencari dan menagkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi. Berdasarkan pengertian pemberdayaan tersebut diatas, maka bisa disimpulkan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya mencakup berdaya secara psikologis (individu), secara sosial, dan akhirnya secara ekonomi. Dalam konteks masyarakat sekitar hutan, atau masyarakat yang kehidupannya tergantung kepada sumberdaya hutan maka pemberdayaan berarti masyarakat memperoleh akses dan kontrol yang lebih besar dalam pengelolaan hutan. Dengan akses yang lebih besar, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan juga harus lebih tinggi. Kapasitas masyarakat harus meningkat sehingga mereka mampu meningkatkan kehidupannya secara mandiri. Pada akhirnya masyarakat tersebut akan mengalami peningkatan kesejahteraannya dan meningkat keberdayaannya. Agar aspek pemberdayaan masyarakat bisa dicapai dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka beberapa faktor kunci keberhasilan social forestry perlu diperhatikan.
PLAN
swadaya, kebersamaan dan kemitraan. Misalnya kemitraan berarti antara masyarakat dengan pihak pengelola hutan negara. Salah satu strategi pokok pengembangan social forestry melalui kelola kelembagaan, yaitu penguatan organisasi, penetapan aturan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia seperti apakah yang bisa menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya ?. Hal ini perlu perlu dilihat dari implementasi kebijakan tersebut selanjutnya. Kebijakan yang dilakukan oleh Perhutani dituangkan dalam Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor : 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama masyarakat atau yang dikenal dengan PHBM. Program PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan. Salah satu tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan secara simultan. Berdasarkan tujuan dari PHBM, maka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini lebih kepada aspek ekonomi yaitu dari segi peningkatan pendapatannya. Sejauhmana peningkatan pemberdayaan dalam arti luas perlu dilihat dari pelaksanaan program tersebut di lapangan. Dari dua kebijakan tersebut, secara tersirat disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai didalam pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Pemberdayaan masyarakat itu sendiri sebenarnya sebuah konsep yang cukup luas pengertiannya, sehingga perlu ditinjau dari beberapa perspektif untuk sampai kepada pengertian dalam konteks social forestry.
Elemen Kunci Keberhasilan Social Forestry Keberhasilan suatu program kehutanan sangat tergantung pada keterlibatan secara aktif dari masyarakat sekitar hutan dalam perlindungan, pengembangan dan pengelolaan dari sumberdaya hutan. Program tersebut juga harus bisa memberikan kemanfaatan terhadap masyarakat sehingga bisa mendorong partisipasi dari masyarakat. World Bank berpandangan bahwa social forestry sangat terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Oleh karena itu menurut World Bank (Thompson, 1999:6) elemen-elemen kunci dari program social forestry meliputi : (1) Pengumpulan data kondisi hutan saat ini, sistem produksi dan kebutuhan masyarakat lokal; (2) Pengembangan organisasi lokal untuk pengelolaan hutan yang partisipatif; (3) Pengenalan inovasi teknologi yang sesuai yang menyediakan keuntungan jangka pendek, jangka menegah dan jangka panjang (misalnya sistem agroforestry) dan; (4) Pengembangan dan legalisasi sistem kontrak jangka panjang untuk menyediakan keamanan dan insentif bagi masyarakat lokal. Dari elemen-elemen tersebut, salah satu elemen penting yang sangat menunjang pemberdayaan masyarakat lokal yaitu pengembangan organisasi lokal. Dalam hal ini salah satunya adalah pengembangan kelompok masyarakat lokal agar mampu ikut dalam pengelolaan hutan secara partisipatif. Hal ini menjadi penting karena kelompok lokal nantinya akan melakukan kemitraan dengan pengelola hutan yaitu negara (baik Dinas yang menangani kehutanan maupun Perhutani). Kemitraan yang diwujudkan dalam pengelolaan bersama menghendaki adanya kesetaraan antar dua pihak yang melakukan kerjasama. Oleh karena itu pengembangan kelompok masyarakat lokal menjadi penting agar mereka memiliki kemampuan dan kapasitas untuk turut mengelola sumberdaya hutan. Pengembangan kelompok juga penting karena pihak pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan masyarakat lokal, yang akan lebih efektif dengan menggunakan pendekatan kelompok. Oleh karena itu agar pemberdayaan masyarakat sekitar hutan bisa dicapai, sangat perlu diperhatikan aspek pengembangan terhadap kelompok masyarakat lokal.
Pengembangan Kelompok Menuju Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Pengembangan kelompok masyarakat sekitar hutan sangat penting agar kelompok tersebut dinamis. Kelompok yang dinamis ditunjukkan oleh banyaknya dan kualitas aktivitas yang dilakukan. Kelompok yang dinamis juga ditunjukkan oleh anggotanya yang bersemangat dan berperilaku sesuai yang diharapkan. Kelompok yang dinamis menjadi suatu lembaga yang kuat dan mampu melakukan kemitraan dalam rangka pengelolaan hutan. Kemampuan yang tinggi dari anggota maupun kelompok secara institusi akan meningkatkan pencapaian tujuan kelompok yang tentu salah satunya adalah peningkatan Halaman
13
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006 kesejahteraannya. Kesejahteraan merupakan salah satu indikator dari tingkat keberdayaan dari masyarakat sekitar hutan. Pengembangan kelompok bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori dinamika kelompok, yang memandang kelompok dari beberapa faktor yang bisa dijadikan bahan dalam melakukan pembinaan. Adapun faktor-faktor dinamika kelompok tersebut yaitu : (1) Tujuan kelompok. Tujuan kelompok yaitu apa yang ingin dicapai oleh kelompok. Tujuan harus jelas, dan diketahui anggota. Tujuan anggota juga harus kongruen dengan tujuan kelompok. Tujuan juga harus relatif dekat dalam pencapaiannya. (2) Struktur kelompok. Struktur kelompok yaitu bagaimana kelompok itu mengatur dirinya sendiri dalam mencapai tujuan yang diinginkan. (3) Fungsi tugas. Fungsi tugas yaitu tugas-tugas apa yang seharusnya dilakukan dalam / oleh kelompok agar tujuan kelompok dapat tercapai. (4) Pembinaan dan pengembangan kelompok. Yaitu usaha menjaga kelompok agar tetap hidup dan selalu mempunyai aktivitas. (5) Kekompakan kelompok. Kelompok harus dijaga kesatuan dan persatuannya agar bisa menggalang kekuatan bersama melalui komitmen yang kuat dari seluruh anggota. (6) Suasana kelompok. Suasana kelompok meliputi sikap mental dan perasaan yang secara umum ada daalm kelompok. (7) Ketegangan kelompok. Ketegangan kelompok yaitu ketegangan yang terasa ada dalam kelompok, yang bersumber dari dalam maupun dari luar kelompok. (8) Kefektifan kelompok. Keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan cenderung meningkatkan dinamika kelompok. (9) Maksud tersembunyi. Yaitu program, tugas atau tujuan yang tidak disadari / tidak diketahui oleh para anggota kelompok, dan berada di bawah permukaan. Maksud tersembunyi juga sam apentingnya dengan maksud dan tujuan yang terbuka / dinyatakan. Faktor-faktor dari dinamika kelompok tersebut perlu diperkuat dan diperjelas dalam melakukan pembinaan kelompok sehingga kelompok masyarakat lokal sekitar hutan menjadi lebih dinamis dan siap melakukan kolaborasi dengan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Terjadinya interaksi antar masyarakat sekitar hutan dalam wadah kelompok tersebut sangat penting karena kelompok bisa menjadi forum komunikasi yang demokratis antar individu pada tingkat akar rumput. Adanya kelompok yang dinamis juga sangat diperlukan sebagai wadah dalam melakukan komunikasi dan negosiasi dengan pihak pengelola hutan (Pemerintah/Perhutani). Adanya kelompok yang dinamis juga memudahkan pihak pemerintah melakukan penyuluhan dalam rangka pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kelompok yang dinamis juga sebagai wahana belajar dan forum pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan mereka dan perbaikan nasib kehidupannya. Melalui forum kelompok masyarakat sekitar hutan inilah maka pemberdayaan ditumbuhkan. Individu anggota kelompok menjadi lebih mampu karena pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam pengelolaan hutan meningkat. Secara sosial para anggota kelompok juga menjadi lebih berdaya karena terjadinya interaksi dan sinergi dengan sesama anggota yang positip. Secara ekonomi anggota kelompok juga akan lebih berdaya karena memperoleh tambahan pendapatan dan penghasilan dari pengelolaan hutan bersama. Tingkat keberdayaan masyarakat yang semakin meningkat akan meningkatkan kemandirian masyarakat sehingga menjadi tidak begitu tergantung lagi nasibnya kepada pihak lain. Masyarakat sekitar hutan yang mandiri dan sejahtera tentu akan bisa lebih menjaga kelestarian hutan dengan lebih baik. Sehingga tujuan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu masyarakat yang sejahtera dan hutan tetap lestari bisa benar-benar terwujud.
Penutup Pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat telah menjadi suatu paradigma baru yang mewarnai kebijakan pengelolaan hutan saat ini. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu pemberdayaan masyarakat (lokal) yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumberdaya hutan di sekitarnya. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan itu sendiri pada hakekatnya adalah akses dan kontrol yang lebih besar dari masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Akses yang lebih besar juga menuntut partisipasi masyarakat yang lebih tinggi dalam pengelolaan hutan. Masyarakat juga dituntut menjadi lebih mampu dan memiliki kapasitas untuk turut mengelola sumberdaya hutan. Oleh karena itu pengembangan organisasi lokal yang secara khusus yaitu pengembangan kelompok masyarakat sekitar hutan sangat perlu dilakukan oleh pemerintah. Pengembangan kelompok masyarakat lokal ini merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan Social Forestry. Pengembangan kelompok masyarakat sekitar hutan tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan dinamika kelompok. Kelompok masyarakat yang dinamis pada akhirnya akan lebih siap dan memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan kemitraan dengan pemerintah dalam mengelola sumberdaya hutan. Kapasitas kelompok yang baik dalam mengelola hutan akan meningkatkan tingkat keberdayaan para anggotanya baik secara psikologis, sosial, dan secara ekonomi yang ditandai dengan peningkatan tingkat kesejahteraannya. Semoga.
Daftar Pustaka Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : Bigraf Publishing. Ife, Jim. 2002. Community Development. 2nd ed. New South Wales : Pearson Education Australia. Korten, David C. 1986. Community Management : Asian Experience and Perspectives. New Haven, Connecticut : Kumarian Press. Perkins, Douglas D., dan Zimmerman, Marc A. 1995. Empowerment Theory, Research, and Application. American Journal of Community Psychology. Oct 1995 Vol. 23. Iss. 5; pg. 569 New York. http://www.proquest.umi.com/pqdweb? Thompson, Herb. 1999. Social Forestry : An Analysis of Indonesian Forestry Policy. Journal of Contemporary Asia. Vol. 29, Iss.2, pg 187. Manila. http://www.proquest.umi.com/pqdweb? Slamet, Margono. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam : Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. (Ed. Adjat Sudrajat & Ida Yustina). Bogor : IPB Press.
===========================
*) Staf Biro Kepegawaian Dephut & Karyasiswa Program S3 Penyuluhan Pembangunan IPB Bogor)
Halaman
14
Nomor 04, Desember 2006
Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia adalah organisasi profesi bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan fungsional perencana yang berbentuk asosiasi. Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia bersifat mandiri, bukan organisasi pemerintah, bukan organisasi politik dan atau tidak merupakan bagiannya, yang dalam melakukan kegiatannya menjunjung tinggi etika profesi. Melalui Musyawarah Nasional I (MUNAS ) yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 29 dan 30 agustus 2006 telah disahkan Anggaran Dasar AP2I dan Kode Etik Perencana Pemerintah Indonesia dan telah dibentuk Pengurus Nasional AP2I.
LOG
ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA (AP2I) yang didirikan pada tanggal 6 desember 2005 dan ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi profesi Perencana Pemerintah di Indonesia merupakan wadah bagi seluruh perencana pemerintah yang tidak hanya untuk perencana pemerintah saja namun juga untuk pejabat struktural perencana dan bagi mereka yang dipandang memiliki peran menentukan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
BULETIN
Oleh : Watty Karyati *)
PLAN
ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA Sebagai organisasi profesi yang diharapkan mampu menghantarkan para JFP-er menuju perencana permerintah yang profesional dan produktif
I. Anggaran Dasar AP2I Dalam Anggaran Dasar AP2I telah ditetapkan tujuan organisasi profesi ini yaitu : 1. Meningkatkan kemampuan profesionalitas dan produktifitas perencana 2. Meningkatkan kapasitas dan produktivitas instansi/unit perencana 3. Menerapkan kode etik perencana 4. Mengembangkan jejaring kerjasama antar anggota AP2I Tugas pokok organisasi profesi ini yaitu : 1. Menghimpun dan mempersatukan para Perencana menjadi anggota Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia. 2. Menjaga dan mengawasi setiap anggota agar menjunjung tinggi martabat kehormatan profesi sesuai dengan UndangUndang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Undang-Undang lain yang relevan dan Kode Etik. 3. Melakukan penerbitan dan publikasi serta melakukan riset dalam bidang perencanaan pembangunan. 4. Meningkatkan profesionalisme anggota. 5. Memelihara dan meningkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi/badan-badan/lembaga-lembaga/instansiinstansi pemerintah dan swasta, baik di dalam maupun di luar negeri. 6. Melakukan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan lain yang perlu dan bermanfaat bagi anggota dalam menjalankan tugas profesinya. Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia berfungsi sebagai wadah dan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi Perencana, antara Perencana dan pemerintah; Perencana dan pemangku jabatan struktural; dan diantara para Perencana, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas perencanaan dalam rangka membentuk Perencana yang profesional. Keanggotaan AP2I terdiri dari : 1. Anggota Biasa, yaitu pemangku jabatan fungsional perencana yang mendaftarkan diri dengan masa berlaku keanggotaan selama tiga (3) tahun. 2. Anggota Luar Biasa, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada dalam status dibebaskan sementara dari jabatan fungsional perencana dan mendaftarkan diri dengan masa berlaku keanggotaan selama tiga (3) tahun. 3. Anggota Kehormatan, yaitu tokoh Perencana Pemerintah, Perencana lain dan individu yang dipandang telah berjasa kepada Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia dalam lingkup nasional, propinsi ataupun kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pengurus Nasional Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia dengan masa berlaku keanggotaan selama tiga (3) tahun. Setiap anggota Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia berkewajiban: 1. Mentaati dan melaksanakan sepenuhnya semua ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan ketentuanketentuan Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia. 2. Menjaga dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia Hirarki tertinggi yang mengarah kebijakan umum Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia dan penetapan Pengurus Nasional melalui Musyawarah Nasional. Musyawarah Nasional mempunyai wewenang: 1. Menetapkan dan mensahkan penyempurnaan atau perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan atau mengamanatkan penyelenggaraan Musyawarah Nasional Khusus untuk menetapkan penyempurnaan atau perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 2. Memberikan penilaian dan keputusan terhadap pertanggung-jawaban atas pelaksanaan program umum organisasi, keuangan dan perbendaharaan dari Pengurus Nasional. 3. Menetapkan program umum Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia sebagai Garis Besar Program Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia. 4. Menetapkan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan organisasi dan masalah-masalah penting lainnya. 5. Memilih dan mengangkat Pengurus Nasional. 6. Musyawarah Nasional dinyatakan mencapai kuorum dan sah jika dihadiri dan diikuti oleh lebih dari satu per dua dari jumlah Halaman
15
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006 Anggota Biasa. 7. Keputusan Musyawarah Nasional dianggap sah dan mengikat jika disepakati oleh suara terbanyak dari Anggota Biasa yang hadir. 8. Jika kuorum tidak tercapai, maka keputusan Musyawarah Nasional akan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Keuangan untuk membiayai kegiatan organisasi diperoleh dari: 1. Iuran anggota. 2. Sumbangan anggota. 3. Bantuan pihak-pihak lain yang tidak mengikat. 4. Usaha-usaha lain yang sah. II.
Kode Etik Perencana Pemerintah Indonesia
Keberadaan etika kerja dalam organisasi, adalah salah satu elemen kultur kerja yang mempengaruhi perilaku etis (Adams, Tashchian & Shore, 2001). Institusionalisasi etika kerja menjadi sistem normatif atau kode etik, harus dilakukan agar organisasi menerapkan etika kerja secara lebih efektif (Victor & Cullen, 1988). Menurut Adam, dkk (1963) kode etik merupakan perangkat legal dan managerial organisasi. Salah satu alasan perlunya kode etik adalah memantapkan ciri suatu profesi. Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia memiliki Kode Etik Perencana sebagai tuntunan moral dan perilaku yang mengikat bagi para anggotanya yang ditetapkan dan disahkan dalam Musyawarah Nasional. Kode Etik Profesi Perencana Pemerintah (”Kode Etik Perencana”) adalah norma sikap dan perilaku yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh Perencana Pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, serta dalam nenggunakan hak dan kewenangannya baik sebagai individu profesional maupun sebagai bagian dan instansi pemerintah. Kode Etik Perencana berisi kewajiban, tanggungjawab, tingkah laku, dan perbuatan sesuai dengan nilai-nilai hakiki profesinya dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masnyarakat serta pandangan hidup bangsa dan negara. Kode Etik Profesi Perencana (Kode Etik Perencana) dimaksudkan untuk memberikan dasar, menegakkan dan memelihara standar perilaku professional sebagai pedoman atau acuan berperilaku bagi seluruh perencana pemerintah di setiap instansi/unit perencanaan di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Tujuan ditetapkannya kode etik ini adalah agar terpenuhi prinsip-prinsip kerja yang sehat, professional dan terpenuhinya pengendalian pekerjaan, sehingga mengarah kepada terwujudnya kinerja yang tinggi dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Untuk pengawasan terhadap perencana pemerintah dalam melaksanakan kode etiknya, maka dibentuk Komite Kode Etik Perencana. Komite Kode Etik Perencana adalah para anggota AP2I yang ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan Pimpinan Pengurus Nasional AP2I dengan tugas utama memberikan penjelasan dan interpretasi, memantau pelaksanaan, menetapkan adanya pelanggaran Kode Etik Perencana berikut penjatuhan sanksi profesi, dan merekomendasikan penjatuhan hukuman disiplin kepada pejabat yang berwenang menghukum. Kode Etik Perencana terdiri atas : 1. Nilai nilai Dasar Pribadi 2. Standar Perilaku 3. Standar Pelaksanaan A. Nilai-Nilai Dasar Pribadi Setiap Perencana Pemerintah harus menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar pribadi, yaitu : 1. Beriman : bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Jujur : memiliki kejujuran yang tinggi sehingga perkataan dan perbuatannya dapat dipercaya. 3. Sederhana : bersahaja dalam segala hal, bertutur kata, bersikap, dan berperilaku 4. Berani : bersikap tegas, tidak ragu-ragu, dan rasional dalam membuat dan menentujan pilihan-pilihan alternatif rencana demi kepentingan negara, pemerintah dan organisasi. 5. Terbuka : transparan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, serta dalam pergaulan internal maupun eksternal. 6. Independen : bersikap netral dalam melaksanakan tugas, tidak terpengaruh oleh kepentingan kelompok atau golongan tertentu. 7. Berintegritas : memiliki perilaku yang bermartabat dan bertanggungjawab. 8. Tangguh : tegar dalam menghadapi kesulitan, hambatan, tantangan, dan ancaman dalam bentuk apa pun dan dari pihak manapun. 9. Kompeten : memiliki kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki, serta selalu berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan kapasitas yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. 10. Profesional : menjaga dan menjalankan keahlian profesi dan mencegah benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugas. B. Standar Perilaku Standar perilaku berisikan batasan perilaku sebagai kewajiban yang harus dilakukan serta larangan yang harus dihindari oleh setiap Perencana. Perumusan standar perilaku memperhatikan asas-asas utama sebuah organisasi, yaitu : kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Kepastian Hukum, yaitu dalam melaksanakan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan jabatannya dalam organisasi selalu mengedepankan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keterbukaan, membuka diri dan memberi akses kepada masyarakat dalam melaksanakan hak-haknya untuk memperoleh informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan dalam melaksanakan tugas dan kedudukannya bagi organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Halaman
16
Nomor 04, Desember 2006
Seluruh Pemangku Jabatan Fungsional Perencana di Pusat dan Daerah diharuskan mematuhi dan melaksanakan Kode Etik Perencana. Perencana dapat dikenakan sanksi profesi atas pelanggaran atau penyimpangan ketentuan dalam Kode Etik Perencana. III. Pengurus Nasional AP2I Pengurus Nasional mewakili ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA keluar dan ke dalam, dengan masa kepengurusan tiga tahun, yang dipilih dan diangkat oleh Musyawarah Nasional; Pengurus Nasional bertugas menjabarkan Garis Besar Program ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA dan menyusun kegiatan-kegiatannya termasuk jadwal pelaksanaannya secara umum; Pengurus Nasional dalam melaksanakan tugasnya memiliki kewenangan untuk:
LOG
Standar Pelaksanaan Nilai-nilai pribadi dan standar perilaku seperti tersebut diatas, dilaksanakan dalam bentuk ucapan, sikap dan tindakan. Perencana wajib menjaga kewenangan yang dimiliki dengan berperilaku sesuai dengan kode etik Perencana. Perencana wajib menempatkan loyalitas kepada hukum, norma, etika, dan moral diatas kepentingan pribadi dan atau golongan dalam pelaksanaan tugas pokoknya. 4. Kode Etik diterapkan dengan tegas, dan mengandung sanksi profesi dan penjatuhan hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi yang melanggarnya.
BULETIN
C. 1. 2. 3.
PLAN
Kepentingan Umum, sebagai bagian dari aparatur negara, mengutamakan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaranaan negara, pemerintahan, dan pembangunan. Akuntabilitas, setiap pelaksanaan dan hasil akhir dari kegiatan dalam institusi (unit organisasi) harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pimpinan dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proporsionalitas, selalu mengutamakan kepentingan pelaksanaan tugas, dan tanggungjawab organisasi, dengan tetap memperhatikan adanya kepentingan lainnya secara seimbang.
1. Menetapkan kebijakan operasional dan rencana kerja. 2. Menilai dan mengukuhkan Komisariat Wilayah. 3. Membentuk panitia khusus yang bersifat ad hoc, mengangkat penasehat akhli yang diperlukan untuk mendukung ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA dalam berbagai kegiatan dan tugas-tugas tertentu. 4. Menetapkan sanksi organisasi terhadap anggota ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA yang melakukan pelanggaran atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. 5. Menetapkan sanksi organisasi terhadap Komisariat Wilayah ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA yang tidak melaksanakan dan atau melakukan pelanggaran atas ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan organisasi lainnya SUSUNAN PENGURUS ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA AP2I PERIODE 2006 - 2009 KETUA WAKIL KETUA SEKJEN BENDAHARA UMUM
: : : :
HERRY SUHERMANTO (BAPPENAS) NOKO SUDARISMAN (BPPT) GUSPIKA (BAPPENAS) WATTY KARYATI (DEP. KEHUTANAN)
KETUA BIDANG PENGEMBANGAN ORGANISASI KETUA BIDANG KERJASAMA ANTAR LEMBAGA KETUA BIDANG DIKLAT KETUA BIDANG INFORMASI& KEHUMASAN KETUA BIDANG HUKUM KETUA BIDANG LITBANG KETUA BIDANG PENGEMBANGAN PROFESI
: : : : : : :
DAROEDONO (BAPPENAS) HERMANI WAHAB (BAPPENAS INDRA TJAHAJA (BAPPENAS) MARUHUM BATUBARA (BAPPENAS) YUSNATIN (MAHKAMAH AGUNG) URBANUS (BPPT) ASIH ROHMANI (DEP. PERTANIAN)
PENUTUP Melalui AP2I diharapkan kualitas output perencanaan dapat ditingkatkan melalui komunikasi yang intens baik secara vertikal maupun horizontal, pusat dan daerah, lintas lembaga dan lintas disiplin keilmuan. Diharapkan keberadaan AP2I ini dapat menghasilkan sinergi antara BAPPENAS dengan lembaga/unit perencana lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas sebagai perencana diharapkan tetap memperhatikan kaidah dan norma kompetensi dan profesionalitas perencana yang ditetapkan oleh instansi masing-masing, baik dipusat maupun didaerah Diharapkan AP2I dapat bekerja sama dengan BAPPENAS, untuk turut serta dalam mendukung program peningkatan kompetensi dan profesionalitas perencana. Kerjasama antara lain dapat melalui pengembangan mekanisme sertifikasi dan akreditasi , penerbitan jurnal ilmiah, penyusunan kurikulum diklat , pelaksanaan diklat perencanaan , dan penyususnan mekanisme uji kompetensi perencana pemerintah Diharapkan agar AP2I dapat menjadi organisasi profesi yang demokratis, non partisan, transparan dan inovatif untuk menjadikan perencana menjadi profesional yang produktif, serta mampu menjadikan JFP sebagai jabatan yang menarik, prestisius dan memiliki kesetaraan dengan jabatan struktural .
#
>>>>>>>>>>>>>>>oo00oo<<<<<<<<<<<<<< *) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan
Halaman
17
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN DALAM PERENCANAAN RUANG KEHUTANAN 1
Oleh : Ali Djajono
Tulisan dibawah ini merupakan integrasi dari beberapa artikel penulis yang telah dimuat antara lain di Majalah Kehutanan Indonesia (MKI), Buletin Planolog dan tabloid AGROINDONESIA. Semoga dapat memberi gambaran sisi lain dari kompleksitas persoalan perencanaan ruang kehutanan
Pendahuluan Pengaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan ruang ini secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan UU ini. Disebutkan antara lain bahwa letak dan kedudukan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumberdaya alam (SDA) yang perlu dikelola dan dilindungi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, untuk itu pengelolaan SDA yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup. Kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah dalam bentuk sulitnya ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain: Interest ekonomi politik terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan, Konflik lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan, belum sinkronnya kewenangan pengelolaan ruang oleh berbagai sektor terhadap ruang yang sama. Makalah ini mencoba menelaah kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang khususnya ruang kehutanan (Kawasan Hutan) dalam perencanaan tata ruang dengan fokus pada persoalan tenurial dan konflik pengelolaan ruang dengan sektor non kehutanan, dengan urutan penyajian sbb: memahami sekilas penataan ruang, kawasan hutan sebagai bagian dari tata ruang nasional, tenurial dalam kawasan hutan, konflik ruang lintas sektor.
Sekilas Penataan Ruang Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terdapat pengertian yang berkaitan dengan ruang, antara lain: Ruang, Tata Ruang, Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang, Wilayah dan Kawasan. Ruang adalah wadah yag meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya Rencana Tata Ruang adalah adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan, Kawasan Tertentu. Penjabaran kawasan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, detailnya diuraikan dibawah ini : 1
2
Halaman
18
Kawasan Lindung a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya Kawasan hutan lindung (HL) Kawasan bergambut Kawasan resapan air b. Kawasan perlindungan setempat Sempadan pantai Sempadan sungai Kawasan sekitar danau/waduk Kawasan sekitar mata air Kawasan terbuka hijau kota termasuk didalmnya hutan kota C. Kawasan Suaka Alam - Cagar Alam (CA) - Suaka Margasatwa (SM) d. Kawasan Pelestarian Alam - Taman Nasional (TN) - Taman Hutan Raya (Tahura) - Taman Wisata Alam (TWA) e. Kawasan Cagar Budaya f. Kawasan Rawan Bencana Alam g. Kawasan Lindung lainnya Taman Buru (TB) Cagar biosfir Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah Kawasan Pengungsian Satwa Kawasan Pantai Berhutan Bakau Kawasan Budidaya a. Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kawasan Hutan Produksi Tetap Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi b. Kawasan Hutan Rakyat
Nomor 04, Desember 2006
3
BULETIN
Kawasan Pertanian - Kawasan Pertanian Lahan Basah - Kawasan Pertanian Lahan Kering - Kawasan Tanaman Tahunan/Perkebunan - Kawasan Peternakan - Kawasan Perikanan d. Kawasan Pertambangan e. Kawasan Peruntukkan Industri f. Kawasan Pariwisata g. Kawasan Permukiman
PLAN
c.
Kawasan Tertentu
LOG
Dengan demikian pada dasarnya seluruh wilayah di Indonesia sesuai dengan manfaat dan fungsinya, penataan ruang telah diatur dalam peraturan perundangan ini. Didalamnya juga telah diatur kemungkinan untuk dilakukan peninjauan kembali secara berkala mengingat dinamika pembangunan dan pengembangan wilayah. Namun prosedur pelaksanaan peninjauan kembali tersebut yang berakibat pada perubahan fungsi dan pemanfaatannya (khususnya yang berskala besar dan berdampak penting) harus melalui persetujuan legeslatif. Kawasan hutan yang merupakan bagian dari wilayah negara RI, pengaturannya juga telah menjadi bagian dari Tata Ruang Nasional. Hanya dalam peraturan perundangan ini tidak diatur mengenai keberadaan hak penguasaan atau hak pengelolaan/pemanfataan terhadap ruang yang akan diatur. Penetapan ruangnya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Padahal permasalahan yang muncul terkait dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasan terhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut, apakah itu sebagai state property, common property, private property ataupun sebagai wilayah open acces.
Kawasan Hutan Sebagai Bagian Tata Ruang Nasional Seperti telah ditetapkan dalam PP. No. 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional, Kawasan Hutan merupakan bagian dari Tata Ruang Nasional. Dalam pembagian wilayah kawasan sesuai fungsinya yaitu Lindung dan Budidaya, maka kawasan hutan diatur sebagai berikut: 1.
Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung adalah : a. Hutan Lindung (HL). b. Kawasan Pelestarian Alam, yang meliputi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA), Taman Wisata Alam (TWA). c. Kawasan Suaka Alam, yang meliputi: Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM). d. Taman Buru 2. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan budidaya adalah: a. Hutan Produksi, yang meliputi: Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Sesuai dengan PP No. 47 tahun 1997 tentang RTRWN dan PP. No. 34 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, kriteria dari masing-masing kawasan hutan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kriteria Hutan Lindung (HL): a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka peningbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 atau lebih, dan/atau b. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan/atau c. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 m atau lebih. 2. Kriteria Cagar Alam (CA) : a. b. c. d. e.
Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, dan/atau Mewakili formasi biota tertentu adan/atau unit-unit penyusunnya, dan/atau Mempunyai kondisi alam, baikbiota mauoun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, dan/atau Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, dan/atau Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta kenberadaannya memerlukan konservasi.
3. Kriteria Suaka Margasatwa (SM): a. Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembang-biakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya dan atau b. Memiliki keanekaragamansatwa yang tinggi, dan atau c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan atau d. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat habitan jenis satwa yang bersangkutan. 4. Kriteria Taman Nasional (TN): a. Wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup unuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami b. Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan lestari c. Satu atau beberapa ekosistem yang terdapat didalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam e. Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati da ekosistemnya.
Halaman
19
LOG
Nomor 04, Desember 2006 5. a. b. c. d.
PLAN
BULETIN
6. a. b. c. d.
Kriteria Taman Hutan Raya (TAHURA) Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang sudah berubah Memiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa dan gejala alam Mudah dijangkau dan dekat dengan pusat-pusat emukiman penduduk Mempunyai luas yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan/atau satwa baik jenis asli dan/atau bukan asli Kriteria Taman Wisata Alam (TWA) : Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik dan nyaman Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam Kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam Mudah dijangkau dan dengan pusat-puast pemukiman penduduk.
7. a. b.
Kriteria Taman Buru : Areal yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan dan/atau Kawasan yang terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olahraga dan kelestarian satwa.
8. d
Kriteria Hutan Produksi Terbatas (HPT) : Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 125-175 diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam
9. a.
Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) : Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam
10. Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) : a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam b. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transprtasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut hanya berdasarkan kriteria teknis lapangan. Selanjutnya pengaturan terhadap pengelolaan ruang kawasan hutan diatur dan tunduk pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundangan turunannya, termasuk didalamnya pengaturan mengenai perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan untuk keperluan review atau peninjauan kembali tata ruang. Namun pengaturan ruang kawasan hutan dalam UU No. 41 tentang Kehutanan tidak mengatur secara rinci pengaturan yang terkait dengan tenurial. Hanya disana disebutkan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya penguasaan hutan oleh negara tersebut memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a) mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, b) Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, c) Mengatur dan menetapkan hubunganhubungan hukum antara orang dengan hutan, serta pengaturan perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan tersebut tetap harus memperhatikan hak masyarakat hukum adat dengan catatan sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kejelasan status penguasaannya menunjukkan bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara atau dalam istilah umum dikenal sebagai “state property”. Melalui penguasaan inilah, ruang kehutanan yang ada di Indonesia telah ditetapkan dalam apa yang namannya Penunjukan Kawasan hutan dan Perairan. Kawasan hutan sesuai fungsi telah diplotting dan dipetakan dalam penunjukan tersebut, berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Walaupun menjadi wewenang Pemerintah (cq. Departemen Kehutanan) pada dasarnya proses penunjukan kawasan hutan dan perairan telah dilaksanakan melalui proses koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah, oleh karena itu ruang kehutanan sekaligus juga telah memperhatikan penataan ruang di daerah. Berdasarkan data yang ada, kawasan hutan tersebut menempati sekitar 60 % luas daratan Indonesia dengan luasan sekitar 120,35 juta Ha. Sehingga ruang kehutanan sangat mendominasi ruang secara Nasional. Oleh karena potensi lahannya yang sangat besar itulah maka kawasan hutan selalu dijadikan alternatif pembangunan sektor lain manakala mereka kesulitan untuk ekstensifikasi wilayah pembangunannya. Dari besarnya pengusasaan oleh Departemen Kehutanan inilah biasanya permasalahan mulai muncul. Selain itu penguasaan oleh negara inilah yang kemudian menimbulkan konflik lahan terkait dengan pengakuan sebagian masyarakat di dalam kawasan hutan yang merasa dan mengakui bahwa mereka telah secara turun temurun memiliki hutan adat dalam kawasan hutan negara tersebut. Konflik ini timbul karena antara lain walaupun pada dasarnya keberadaan hutan adat diakui oleh UU, tetapi keleluasaan masyarakat hukum adat yang merasa memiliki hutan adat tersebut dalam mengelola hutannya masih dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan hutan secara nasional. Usaha dan upaya untuk menjembatani penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan sudah sering dilakukan, namun hingga saat ini masih belum ditemukan solusi konkret untuk mengatasinya. Masing-masing pihak masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang dipegangnya. Pemahaman terhadap prinsip tenurial oleh masyarakat kemudian menjadi sangat penting untuk mencoba memahami dimana letak kesenjangannya dengan peraturan perundangan nasional yang mengaturnya.
Tenurial Dalam Kawasan Hutan Tidak ada batasan yang baku mengenai definisi tenurial, namun secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hak pemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Ada juga beberapa pendapat yang Halaman
20
Nomor 04, Desember 2006 BULETIN
PLAN LOG
memaknai sebagai “land ownership” yang diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau kepentingan atas lahan. Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau negara. Pengakuan secara individu terhadap lahan yang bukan merupakan lahan yang dikuasai negara biasanya tidak menimbulkan banyak masalah karena sudah diatur secara tunggal dalam UU Agraria. Namun pengaturan hak penguasaan oleh kelompok atau negara masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Bagi pemerintah acuannya jelas pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Kawasan hutan” dikuasai oleh negara termasuk pengaturan-pengaturan terhadapnya, sedangkan hutan adat merupakan wilayah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat yang berada dalam hutan negara. Namun bagi sebagian besar masyarakat (khususnya masyarakat hukum adat) lahan “kawasan hutan” tersebut secara “de facto” adalah merupakan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat, bukan merupakan bagian dari hutan negara. Pengakuan hutan adat oleh masyarakat dalam UU memang telah disebutkan, namun pengaturannya belum jelas dan mendetail, sehingga muncul multi-interpretasi terhadap pengaturan “kawasan hutan” yang ada “hutan adat”nya.. Kesimpang-siuran pengaturan lahan kawasan hutan inilah yang selalu menimbulkan permasalahan tenurial yang sangat komplek dalam kawasan hutan. Dari sisi peraturan perundangan secara “de jure” pengakuan penguasaan terhadap kawasan hutan oleh pemerintah sudah jelas, namun secara “de facto” permasalahannya tidaklah sederhana. Apalagi model-model pengakuan penguasaan oleh masyarakat sangatlah lokal specifik, antara daerah satu dengan daerah lainnya sangatlah berbeda. Namun secara umum masyarakat hukum adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada di wilayahnya. Pemecahan permasalahan ini sebenarnya sedang diupayakan melalui Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hutan adat, namun sampai saat ini pembahasannya menemui jalan buntu. Multi-interpretasi dan belum diakomodasikannya secara penuh beberapa keiinginan masyarakat yang diperkirakan menghambat penyelesaian PP tersebut. Apabila diamati terdapat beberapa tipe keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya dalam keterkaitannya dengan kawasan hutan. Pertama, yang terdapat dalam kawasan hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HPH/IUPHHK Hutan alam dan Hutan tanaman. Kedua, yang terdapat dalam kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung (HL). Ketiga, yang terdapat di hutan produksi yang tidak dibebani hak pengelolaan/pemanfaatan. Pemberian hak kepada pihak swasta oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan dalam bentuk HPH/IUPHHK Hutan Alam maupun Hutan Tanaman biasanya selalu dipertentangkan dengan keberadaan hutan adat dalam kawasan hutan tersebut. Masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengaturan hak tersebut, mereka merasa dimarginalkan dari tanah yang mereka tinggali, mereka merasa tidak selalu mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Pada saat ini terdapat arus perjuangan yang sangat kuat dari masyarakat adat dengan dibantu oleh LSM/NGO untuk menggolkan keinginan pengakuan secara lebih jelas dan tegas terhadap keberadaan masyarakat adat dan lahan sebagai bagian dari gantungan kehidupan dan aktifitas kesehariannya. Arus tersebut mencoba menghilangkan pengakuan penguasaan lahan oleh negara khususnya terhadap lahan yang diakui sebagai bagian dari masyarakat adat. Melalui berbagai pertemuan atau forum atau aksi baik secara Nasional, Regional maupun Global, mereka mencoba meyakinkan dan memperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan melalui kejelasan dalam suatu peraturan perundangan Nasional. Kalau perlu dengan mengamandemen atau merubah UU yang terkait dengan pengaturan lahan yang berhubungan dengan keberadaannya. Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya merupakan salah satu “entry point” yang selalu dipegang untuk memperjuangkan kejelasan yang lebih konkret terhadap pengakuan tenurial dalam kawasan hutan. Banyak argumen yang melandasi keiinginan tersebut, antara lain: a. Negara dianggap gagal dalam mengelola hutan, diindikasikan dengan: hancurnya hutan akibat eksploitasi berlebihan, makin sering terjadinya banjir dan tanah longsor, semakin terdegradasinya hutan, gagalnya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam dan sekitar hutan. b. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sejak lama, menunjukkan kelestarian dalam pengelolaannya contoh: Repong damar di Lampung. c. Peraturan perundangan yang ada memarginalkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat cenderung hanya dianggap sebagai obyek dari suatu pengelolaan hutan. d. Makin terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan, program, kegiatan yang digagas oleh pemerintah. Melihat persoalan tenurial tersebut, tampaknya akan sangat sulit untuk mempertemukan dan mensinkronkan pengaturan hutan oleh Pemerintah yang didasari landasan formal dengan aspirasi masyarakat yang berpegangan pada kondisi “de facto” di lapangan. Permasalahan bertambah rumit dengan masuknya unsur yang tidak bertanggung jawab yang coba menunggangi kekisruhan yang terjadi, karena ditengarai bahwa masih banyak terdapat masyarakat yang murni merambah hutan namun mengaku sebagai masyarakat lokal atau masyarakat adat. Lebih parah lagi mereka biasanya didanai oleh oknum-oknum pemilik modal dari kota. Diperlukan keberanian, kejujuran dan keterbukaan semua pihak termasuk saling memahami pihak yang satu dengan pihak lainnya. Penyelesaian permasalahan harus didukung adanya keterbukaan dari semua pihak dan tiadanya unsur pemaksaan pihak satu ke pihak lainnya, tanpa hal tersebut penyelesaian masalah akan “dead lock” (menemui jalan buntu). Berlarut-larutnya penyelesaian RPP Hutan Adat mencerminkan persoalan tenurial dalam kawasan hutan yang menemui jalan buntu.
Konflik Ruang Kehutanan (Kawasan Hutan) Dengan Sektor Non Kehutanan Selain permasalahan tenurial, ruang kehutanan juga mendapat tekanan-tekanan dengan dalih untuk keperluan pembangunan sektor non kehutanan, yang memerlukan ekstensifikasi lahan antara lain: untuk pertanian/perkebunan, untuk pemukiman, untuk pertambangan. Dalam peraturan perundangan kehutanan keinginan sektor lain untuk memanfaatkan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, telah diatur sedemikian rupa, sesuai dengan asas-asas umum berkenaan dengan pengaturan ruang kehutanan. Namun diakui pengaturan ruang kehutanan bagi kepentingan lain diatur sangat ketat, banyak prosedur yang harus ditempuh. Hal ini wajar untuk diatur karena keberadaan sumberdaya hutan sangat vital yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan. Ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan dan perpaduan banyak faktor antara lain:euforia otonomi daerah, tingginya tuntutan pembangunan ekonomi, minimnya ruang gerak untuk ekstensifikasi lahan, telah memunculkan “hasrat” yang sangat
Halaman
21
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006 tinggi untuk melakukan review atau penyempurnaan terhadap tata ruang khususnya dengan merubah wilayah yang tadinya diperuntukkan bagi kawasan hutan, dengan menggunakan celah seperti yang telah diatur dalam UU Penataan Ruang, yaitu bahwa rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai jenis perencanaannya secara berkala dengan tetap menghormati hak dimiliki oleh setiap orang. Review inilah yang apabila tidak dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan hati-hati akan mengancam eksistensi dan keberadaan kawasan hutan. Faktor otonomi daerah merupakan pembuka peluang untuk melakukan review tata ruang yang tidak optimal. Otonomi daerah telah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan pembangunan di wilayahnya sesuai dengan karakteristik masing-masing, serta berlandaskan pada arah dan kebijakan daerah dengan tujuan untuk mencapai kemajuan di wilayahnya. Namun otonomi daerah ini dibanyak tempat disalah artikan sebagai semacam kebebasan mengekspresikan keinginan daerah untuk termasuk memaksakan penetapan atau perubahan tata ruang dengan tidak memperhatikan peraturan perundangan lainnya. Tingginya tuntutan ekonomi telah dijadikan salah satu dasar pertimbangan lainnya, sebagai alasan untuk pembenaran untuk ikut mendukung keiinginan merubah tata ruang. Mengingat bahwa ruang yang terbesar adalah kawasan hutan, maka yang banyak menjadi sasaran untuk dirubah tata ruangnya adalah kawasan hutan. Disinilah “konflik” itu terjadi, review/perubahan tata ruang dipergunakan oleh daerah untuk merubah atau mengkonversi ruang kehutanan menjadi non kehutanan tanpa melalui prosedur perubahan seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangan kehutanan. Review dipergunakan sebagi pembenaran untuk menghindari ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan. Apalagi bila review tersebut telah menjadi kesepakatan banyak pihak de daerah termasuk dengan lembaga legeslatif. Di sisi lain Departemen Kehutanan sebagai instansi pemerintah yang diberi tugas penguasaan dan tanggung jawab terhadap kawasan hutan tentu akan mengajukan argumen-argumen yuridis, ekologis, sosial dan ekonomi, bahwa walaupun perubahan itu diperlukan, namun tetap harus melalui prosedur pengaturan ruang kehutanan yang berlaku. Bisa dicontohkan antara lain bahwa merubah kawasan hutan produksi (HP) menjadi kawasan non kehutanan untuk perkebunan atau pertanian harus mengikuti ketentuan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan melalui pelepasan kawasan hutan yang prosedur dan persyararatannya sangat ketat. Sehingga tidak dapat dihindarikan “tarik ulur” akan terjadi, Kehutanan akan dianggap sebagi pengahambat pembangunan dan pengembangan wilayah. Apalagi akhir-akhir ini sudah tidak dapat lagi diandalkan sebagi sumber pendapatan ekonomi untuk pembangunan wilayah, termasuk makin terdegradasinya kawasan-kawasan hutan yang ada. Bahkan pembangunan kehutanan telah dianggap sebagai “cost center”.
Apa Yang Dapat Diupayakan ? Lalu langkah apa yang diperlukan oleh Pemerintah untuk mengatasi dua permaslahan pokok tersebut?. Menurut Penulis masing-masing permasalahan perlu memperoleh perhatian dan penanganan yang tersendiri. Uraian berikut mencoba memberikan saran alternatif solusi pemecahan maslahnya. Untuk permasalahan tenurial kiranya diperlukan beberapa upaya yang harus diambil, upaya tersebut antara lain: a. Mengidentifikasikan kembali semua peraturan perundangan bidang kehutanan yang terkait dengan penataan ruang kehutanan dan tenurial. Kemudian melakukan kajian dan penelaahan yang mendetail terhadap peraturan tersebut. b. Mengidentifikasi keragaman masyarakat adat yang ada di dalam dan sekitar hutan seluruh Indonesia, termasuk deskripsinya (sejarahnya, pola kehidupannya, kekerabatannya, peraturan adatnya dsb). Kemudian memetakannya dalam kawasankawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah. c. Melakukan dialog intensif dengan LSM/NGO dan Pakar/Pergurauan Tinggi yang concern dengan permasalahan tenurial. Termasuk merumuskan secara lebih konkret kriteria-kriteria umum maupun khusus apa itu masyarakat adat dan apa itu hutan adat, tentunya dalam konteks Indonesia. d. Mengkaji implikasi sosial, ekonomi dan politik adanya permasalahan tenurial dalam kawasan hutan terhadap hak atau ijin yang telah diterbitkan oleh Pemerintah. e. Melakukan evaluasi komprehensif terhadap skema-skema kebijakan atau kegiatan-kegiatan atau proyek Pemerintah yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. f. Menjadikan “permasalahan tenurial” sebagai suatu bagian dari fokus perhatian dalam pengambilan-pengambilan kebijakan pengelolaan dan pembangunan kehutanan. Karena “permasalahan tenurial” yang tidak terpecahkan akan menjadi salah satu hambatan bagi kemajuan pengelolaan dan pembangunan kehutanan. g. Melakukan kajian-kajian dan riset bidang hukum terkait tenurial dan mencoba merumuskan rancangan/konsep peraturan perundangan untuk perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan kehutanan di masa yang akan datang. Untuk permasalahan yang kedua, langkah yang disarankan antara lain: a. Menata “data base” kawasan hutan, sehingga kawasan hutan dapat teridentifikasi dengan jelas fungsi dan statusnya, permasalahan dan perkembangan penanganannya b. Aparat kehutanan Pusat dan Daerah (UPT maupun Dinas Kehutanan) harus berinisiatif untuk selalu terlibat dalam pengaturan ruang di daerah. c. mencari terobosan-terobosan dan inovasi hukum, untuk mencari solusi terbaik untuk semua pihak (“win-win solution”) d. Meningkatkan pengelolaan hutan di kawasan tersebut untuk memberikan bukti bahwa sektor kehutanan dengan kawasan hutannya bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan wilayah. e. Terus meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hutan sebagai penyangga kehidupan . ======================================================== *) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan
Halaman
22
Nomor 04, Desember 2006
1. Pendahuluan
Berbagai tahapan analisis tersebut merupakan kajian dari aspek-aspek kehutanan baik secara menyeluruh maupun yang bersifat spesifik, namun tidak terlepas dari 3 (tiga) fungsi dan manfaat sumberdaya hutan bagi hidup dan kehidupan, yaitu : fungsi manfaat sosial- ekologi dan ekonomi. Sejujurnya, walaupun dalam proses perencanaan. hampir selalu di awali dengan identifikasi yang didominasi isu isu yang cenderung negatif dan di akhiri dengan solusi berupa arahan programprogram, namun cakupan analisis diantaranya kerap belum mempertimbangkan besar peluang pencapaian tujuan. Belum lengkapnya pertimbangan tersebut antara lain dicerminkan oleh kemungkinan resiko keberhasilan/ kegagalan yang sebenarnya inherent dalam setiap proses program/kegiatan
LOG
Pada umumnya kegiatan perencanaan telah melembaga menjadi kegiatan rutin, dengan argumen bahwa upaya tersebut merupakan kelengkapan dari tahapan siklus manajemen. Dalam operasionalisasinya penyusunan rencana secara iteratif didasarkan dari hasil evaluasi pelaksanaan sebelumnya, identifikasi permasalahan, analisis dan arahan solusi upaya yang menjamin pelaksanaan tetap menuju tujuan yang telah ditetapkan secara efisien, efektif (di dalam proses Program Kehutanan Nasional/PKN proses ini dikenal sebagai a)Analisis Umum, b). Analisis Sektoral, c) Analisis Strategis dan d) Formulasi Program PKN)..
BULETIN
Syaiful Ramadhan *)
PLAN
APLIKASI MANAJEMEN RESIKO DALAM PROSES PERENCANAAN
Tulisan ini merupakan upaya memberikan suatu gambaran aplikasi (pertimbangan) resiko yang mungkin terjadi dan bagaimana upaya memenej resiko tersebut agar tidak menjadi kendala akut mulai dari tahap perencanaan. Dengan pemahaman berbagai resiko dan pola manajemen (minimalisasi peluang terjadinya) diharapkan fungsi perencanaan dalam mengarahkan, menjamin langkah upaya pencapaian tujuan menjadi lebih akurat, optimal dan mantap sesuai dengan tujuan penyusunannya..
2. Perencanaan Hutan Perencanaan hutan disusun dalam rangka memaksimalisasi fungsi dan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara proporsional dari setiap ekotipe sumberdaya hutan. Perencanaan hutan secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) klaster besar, yaitu : Perencanaan Kawasan/SDH yang juga dikenal sebagai perencanaan prakondisi pengelolaan karena rencana kelola baru absah bila rencana kawasan telah tersusun dan mantap dan Perencanaan Pengelolaan yang masing-masing terbagi lagi dalam Rencana Operasional Program/Kegiatan dan Rencana Keuangannya. Perencanaan Kawasan/Prakondisi kelola terdiri dari kegiatan : Inventarisasi, Pengukuhan kawasan, Penatagunaan Kawasan sampai dengan pembagian hutan ke dalam kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang kondisi rinci kawasannya diketahui, berukuran dan berskala manageable serta mendukung upaya pelestarian/keberlanjutan pengelolaannya dalam jangka panjang. Sedangkan Perencanaan Pengelolaan difokuskan pada penataan pola budidaya, pola usaha dan pola pembiayaan/permodalan yang memberikan kombinasi fungsi manfaat yang paling optimal dari unit KPH (baik KPHP atau KPHL maupun KPHK) yang akan dikelola Dari karakteristiknya sumberdaya hutan yang tidak terpisahkan dengan bentangan lahan kawasan hutan sebagai tapak tumbuh dan habitat berkembang biaknya multi ragam flora fauna serta terbentuknya daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari interaksi antar komponen yang ada di dalamnya, maka perencanaan pengelolaan hutan yang paling optimalpun tidak akan terlepas dari pemahaman mendasar dari kondisi sumberdaya hutan yang asalnya tersedia secara alami tersebut. Berbekal uraian singkat tentang perencanaan hutan di atas serta pemahanan filosofis berbagai tahapan analisis yang diperlukan untuk terjaminnya ketepatan suatu perencanaan yang berujung pada pemilihan alternatif-alternatif atau skenario skenario mulai dari yang pesimis hingga optimis. Setiap pilihan mempunyai resikonya masing-masing, walaupun pada prinsipnya misalnya ketika pendekatan cost benefit ratio dilakukan, upaya minimalisasi resiko dari pilihan telah dilakukan, namun hakiki resiko bukanlah sekedar persoalan untung rugi semata, melainkan multi komparasi pilihan perencanaan yang lebih kompleks.
3. Manajemen Resiko Resiko adalah kejadian yang mempunyai kemungkinan berakibat merugikan. Mengacu pada definisi tersebut, besarnya resiko berbanding lurus dengan semakin kompleks dan luasnya atau dengan kata lain semakin kompleks aktifitas semakin besar resiko (baca : kata kunci ; kejadian, kemungkinan dan akibat) yang dihadapi. Besar resiko ini umumnya sejalan dengan besar peluang profit dengan kata lain selama terkendali atau terukur resiko merupakan “pengorbanan” untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Unsur-unsur lain yang juga menjadi penentu besar kecilnya suatu resiko antara lain aspek keruangan, waktu dan kerentanan yang menjadi karakteristik suatu kegiatan/jenis barang dan jasa. Semakin luas keruangan yang dibutuhkan (banyaknya keterkaitan antar kejadian dan semakin besarnya luasan tenpat yang dibutuhkan), semakin panjang waktu proses kegiatan (produksi hulu, olah, simpan, jual), dan semakin mudah rusak/busuk jenis barang dan kadaluarsanya jasa berarti semakin rentan, maka semakin besar resiko kerugian yang akan ditanggung. Kunci pemahaman resiko merupakan matriks dari kata kunci definisi resiko di atas, sedangkan jenis resiko dapat dikelompokan dari : a) penyebabnya, b) akibat yang ditimbulkannya. Halaman
23
LOG
Nomor 04, Desember 2006 Berdasarkan penyebabnya resiko dapat dikelompokkan menjadi : 1.
Jenis resiko yang disebabkan oleh ukuran-ukuran aspek keuangan seperti adanya perubahan harga, perubahan tingkat bunga, perubahan kurs mata uang dan keberadaan non-tradeable goods serta intangible service yang tak termasuk dalam akuntansi kegiatan. Resiko keuangan ini sangat terkait dengan kebijakan yang menyangkut akurasi penetapan jumlah jenis dan kelengkapan nilai “produk barang dan jasa dalam proses kegiatan”
PLAN
2.
BULETIN
Resiko Keuangan
Resiko Operasional
Jenis resiko yang disebabkan oleh faktor operasional (kebijakan dan imlementasinya) seperti faktor manusia, teknologi dan alam. Kecurian, kebakaran, kecelakaan kerja, produk yang rusak, degradasi serta deplisi sumberdaya termasuk dalam resiko ini. Berdasarkan akibat yang ditimbulkannya, resiko dapat dikelompokkan menjadi : 1.
Resiko Murni
Resiko yang sama sekali tidak ada peluang memberikan keuntungan sama sekali, sehingga bila terjadi, maka yang ada hanya kerugian semata Kecelakaan kerja, kebakaran, kecurian dan bencana alam serta karateristik sumberdaya alami yang bersifat bawaan masuk dalam kelompok resiko murni. 2. Resiko Spekulatif Resiko yang berakibat kemungkinan menguntungkan selain merugikan. Peluang (opportunities) investasi di pasar uang ataupun modal bersama dalam suatu kegiatan, resiko memproduksi dan menjual barang dalam pasar yang kompetitif yang berpeluang untung dan rugi pun masuk dalam kelompok resiko spekulatif. 3.1. Identifikasi Resiko Pemahaman resiko untuk ketepatan penanganannya dimulai dengan mengidentifikasi resiko. Sementara ketepatan identifikasi resiko, sangat tergantung pada tingkat pemahaman terhadap kegiatan/sumberdaya yang dikelola. Semakin dalam dan lengkap pemahaman terhadap kegiatan dan sumberdaya yang dikelola, semakin tepat pula lokasi dan jenis simpul-simpul kerawanan/resiko pencapaian tujuan dapat teridentifikasi. Identifikasi mencakup lokasi resiko, jenis dan bentuk resiko dan seberapa kerap secara empiris resiko menjadi nyata serta apa factor-faktor penyebab yang mendorong terjadinya resiko tersebut (baca: Teknik Pendekatan Tempat, Kejadian dan Penyebab) Pendekatan identifikasi TKP wajib dilihat dari sisi top down (Kesesuaian dengan kebijakan yang ada) dan sisi bottom up (Kenyataan empiris yang terjadi), sehingga upaya identifikasi layak menjadi basis pengukuran dan penangan resiko. 3.2. Pengukuran Resiko Pengukuran resiko sebaiknya bersifat kuantitatif , yaitu mencakup seberapa sering “peristiwa resiko” terjadi dan seberapa besar ukuran penyimpangan rata-rata dari ukuran yang dikehendaki. Konsekuensi pendekatan tersebut adalah harus tersedianya data histories dalam selang waktu yang cukup. Kembali pada kata kunci dalam definisi resiko, yaitu kejadian, kemungkinan dan akibat, maka dapat digunakan metoda mengukur kemungkinan dan akibat dari suatu kejadian sebagaimana skema sebagai berikut :
Halaman
24
Nomor 04, Desember 2006
1. 2. 3. 4. 5.
Menurunnya penerimaan Meningkatnya kebutuhan penambahan biaya Menurunnya nilai modal/sumberdaya Menurunnya nilai aktiva, dan Bertambahnya hutang
Cakupan kerugian terdiri dari :
3.3. Penanganan Resiko Peta resiko yang skala pentingnya ditunjukkan dari status resiko hasil dari kombinasi 2 (dua) faktor ; a)kemungkinan terjadinya resiko dan b) besarnya akibat yang diderita., dimana hasil perkalian dari 2 (dua) faktor tersebut, yaitu kemungkinan dengan peluang terjadinya dalam satuan persen dengan nilai akibat dalam satuan tertentu menunjukkan besaran status resiko suatu kejadian. Dari besaran status resiko dapat dibuat komparasi peringkat resiko yang menjadi basis peta resiko..yang menggambarkan sebaran kejadian dengan berbagai tingkat resiko (tinggi, medium dan rendah).
LOG
1. Kerugian langsung (Direct loss) ketika terjadinya kejadian yang berdampak langsung pada neraca laba rugi. 2. Kerugian tidak langsung (Indirect loss) berdampak kerugian jangka panjang . 3. Kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan (Opportunity cost)
BULETIN
PLAN
Ukuran akibat dari resiko dilihat dan dihitung dari :
Tidak semua resiko bisa dihindari dan atau menghindar kadang-kadang bukan cara terbaik, sebagai contoh ; menghindar dari suatu resiko namun berkonsekuensi menghadapi resiko yang lebih besar atau resiko yang menawarkan peluang keuntungan yang sayang bila ditolak (dalam bisnis makin besar resiko umumnya makin besar pula pengembalian yang didapat) atau dengan kata lain kalau ingin mendapatkan return yang besar , mau tiidak mau harus menghadapi resiko yang besar pula. Jika sangat sulit atau tidak mungkin untuk menghindari resiko, maka ada beberapa strategi yang dapat disarankan, yaitu :
Strategi Preventif, berupa upaya mencegah timbulnya resiko/tidak mengambil resiko. Strategi Minimalisasi, berupa upaya mengurangi kerugian pada tingkat minimal. Strategi Pengalihan, berupa mengalihkan beban resiko ke fihak lain(leasing/insurance/hedging) Strategi Pendanaan dengan mendanai resiko 4.
Penerapan Manajemen Resiko dalam Perencanaan Kehutanan
Penerapan manajemen resiko dalam perencanaan kehutanan, pada hakikatnya adalah mengaplikasikan langkah-langkah manajemen resiko pada setiap tahapan perencanaan kehutanan secara efisien dan efektif. Sejalan dengan tujuan dari disusunnya suatu perencanaan hutan, yaitu memaksimalisasi fungsi manfaat ekonomi, social dan ekologi secara proporsional bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, maka cakupan resiko yang harus dihadapi merupakan kombinasi resiko ekonomi dan ekologi baik yang bersifat spekulatif maupun murni. 4.1. Identifikasi Resiko : Simpulsimpul tahapan perencanaan dengan berbagai tingkat resiko (nilai dampak kerugiannya ) dapat didekati dengan desain tabel.1. berikut ini : Tabel 1.Desain Identifikasi dan Pemetaan Resiko dalam Perencanaan Hutan No.
1 1.
Tahapan Perencanaan Hutan 2 Inventarisasi
2.
Hutan Produksi Ekonomi Sosial Ekologi
RESIKO Hutan Lindung Ekonomi Sosial Ekologi
Hutan Konservasi Ekonomi Sosial Ekologi
3 T
4 S
5 S
6 S
7 T
8 T
9 S
10 T
11 T
Pengukuhan
T
T
S
S
S
T
S
S
T
3.
Penatagunaa n (Zonasi)
S
T
S
T
T
T
T
T
T
4.
Pembentukan Wilayah
T
T
S
S
T
T
S
T
T
5.
Penyusunan Rencana Kebijakan
T
T
T
T
T
T
T
T
T
6.
Penyusunan Rencana Pengelolaan
T
T
T
T
T
T
T
T
T
Halaman
25
LOG
Nomor 04, Desember 2006 Hasil identifikasi resiko di atas di dominasi oleh tingginya (T) peluang kejadian yang mengakibatkan “kerugian” dan tanpa peluang resiko yang rendah (R). Hal tersebut sangat wajar, karena fungsi manfaat (ekonomi, sosial dan ekologi) yang sekaligus juga sebagai determinasi resiko, merupakan faktor inheren di dalam kawasan hutan baik HP, HL maupun HK walaupun bobot pertimbangannya berbeda-beda sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Secara keseluruhan pengelolaan sumberdaya hutan sangat lah beresiko tinggi (rentan) karena karakteristik yang dipunyainya, yaitu antara lain : 1. 2.
PLAN
BULETIN
3. 4. 5. 6.
Sumberdaya mencakup bentangan lahan yang sangat luas (meliputi Daerah Aliran Sungai dari Hulu ke Hilir) . Unik, khas dan langka, karena keragaman flora dan fauna pada setiap ekotipe hutan sangat tinggi mengikuti keragaman faktor edafis, klimatis serta faktor geografis dimana sumberdaya berada. Rentan terhadap kerusakan (ketika pohonnya dimanfaatkan tanpa rencana yang tepat, maka seluruh sistem sumberdaya hutan terganggu dan fungsi manfaat barang dan jasa yang ada menjadi hilang) Fungsi dan Manfaat terutama berupa jasa (lindung, keragaman plasma nutfah) tak tergantikan Kerusakannya mempunyai efek ganda yang luas mencakup lintas sektor kehidupan. Sekali rusak, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pemulihannya.
Rincian identifikasi resiko di setiap tahapan perencanaan tersusun sebagai berikut : 1. Inventarisasi hutan (Resiko Sedang sampai Tinggi) Masih banyak perencanaan hutan yang belum terdukung “hasil inventarisasi hutan yang lengkap dan utuh”. Pemutakhiran data informasi (stock dan flow) kondisi hutan (Neraca Sumberdaya Hutan/NSDH) secara de facto terkendala oleh kelembagaan dan dana yang tersedia. Tidak efektifnya hasil inventarisasi yang sudah ada (kerugian biaya dan waktu) 2. Pengukuhan hutan (Resiko Sedang sampai Tinggi) Pengakuan (status hukum kawasan hutan)terhadap hasil penunjukkan, penatabatasan dan penetapan kawasan hutan masih rendah. Dinamika perubahan letak dan luas kawasan hutan (pengembalian HPH/BUMN, kelebihan pelepasan, kebun dan transmigrasi dan tukar menukar) tidak terikuti oleh kegiatan pengukuhan bahkan secara parsial, sehingga kepastian data informasi letak dan sebaran hutan.menjadi bias. Tidak efektifnya hasil pengukuhan yang sudah ada ditambah dengan kebutuhan biaya dan waktu untuk penyelesaian konflik tenurial (kerugian biaya dan waktu) 3. Penata gunaan hutan (Resiko Sedang sampai Tinggi) Pembagian kawasan hutan ke dalam fungsi-fungsi pokoknya, secara de facto tata batas fungsipun belum mendapat pengakuan sepenuhnya, sementara pelanggaran hasil sinkronisasi Tata Ruang Wilayah belum ada. Tidak efektifnya penetapan hasil tata batas fungsi yang sudah ada ditambah dengan kebutuhan biaya dan waktu untuk penyelesaian konflik tenurial (kerugian biaya dan waktu) 4. Pembentukan wilayah (KPH) (Resiko Sedang sampai Tinggi) Belum terbentuknya KPH dan belum jelasnya otoritas serta kelembagaan yang menanganinya mengakibatkan kawasan hutan secara ekonomi, sosial dan ekologi belum dapat terkelola secara efektif dan efisien sesuai peruntukkannya. Tidak efektifnya hasil perencanaan hutan yang sudah ada (kerugian biaya dan waktu) 5. Penyusunan rencana-rencana (Resiko Sedang sampai Tinggi) Tidak akurat dan tidak validnya data dasar penyusunan rencana Tidak jelasnya status kawasan hutan dan derivasinya yang menjadi obyek perencanaan Tidak bertemunya kebutuhan empiris (lintas sektor, masyarakat) di lapangan dengan “konsep perencanaan hutan” (yang digagas dengan data yang lemah). Tidak efektifnya hasil rencana-rencana hutan yang sudah ada (kerugian biaya dan waktu) Dari hasil identifikasi resiko dalam perencanaan hutan di atas, selanjutnya dapat dibuat pemetaan resiko dalam grafik (kuadran) sebagai berikut :
Halaman
26
Nomor 04, Desember 2006
Resiko Murni a. Resiko terjadi murni karena kondisi alam seperti kebakaran dan sebab kriminal akibat kecurian. Dalam hal perencanaan hutan, hal ini dijadikan besaran rata-rata resiko awal yang menjadi starting point penghitungan keuntungan dan kerugian.
LOG
Resiko Operasional dan Keuangan a. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak didasari NSDH hasil Inventarisasi Hutan serta data empiris bencana yang ada dan sebaliknya. b. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak didasari data informasi spasial hasil Pengukuhan Hutan dan sebaliknya. c. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak didasari data informasi spasial hasil Penatagunan Hutan (terkait Tata Ruang dan kepentingan lintas Sektor) dan sebaliknya. d. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak berbasis satuan unit manajemen yang layak kelola hasil Pembentukan Wilayah Hutan. e. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak sesuai dengan kondisi defacto kawasan hutan dan kebutuhan nyata pembangunan sektor lain dan masyarakat di lapangan.
BULETIN
Pengukuran resiko dilakukan melalui evaluasi terhadap sistematika perencanaan hutan yang berjalan selama ini dengan dasar tahapan perencanaan sesuai runtut ketentuan yang berlaku, yaitu :
PLAN
4.2. Pengukuran Resiko
Besaran resiko ditetapkan dalam satuan-satuan : Tabel 2. Satuan besaran resiko dalam perencanaan hutan No.
Kondisi Perencanaan
Jenis Resiko Operasional & Keuangan
1.
Inventarisasi Hutan tidak lengkap
Operasional & Keuangan 2.
Pengukuhan & Penatagunaan Hutan tidak diakui
Operasional & Keuangan 3.
Pembentukan Wilayah Hutan belum menjadi dasar
Operasional & Keuangan 4.
Penyusunan Rencana rencana hutan tidak akurat
Satuan Resiko Kerugian Ekonomi Sosial Ekologi Nilai Hutan Valuasi Valuasi tidak diketahui Jumlah Nilai Indeks Nilai (Rp/satuan interaksi Penting luas) SDH-Masy Flora-Fauna (local dan wisdom) Kenyamanan (Rp/social (ammenities) cost) (Rp/satuan ekosistem) Nilai biaya Nilai biaya Nilai pemulihan penanganan Besaran luas, kondisi konflik lahan letak dan lingkungan sebaran hutan (Rp/Sosial akibat cost) (Rp/Satuan degradasi Luas) hutan (Rp/satuan ekosistem) Nilai biaya Nilai Nilai biaya kesempatan under/over pemulihan dari akibat ketidak kondisi eeconomic jelasan akses lingkungan scale masy. akibat (Rp/Satuan (Rp/Sossial degradasi Luas) Cost) hutan (Rp/satuan ekosistem) Nilai Biaya Nilai biaya Nilai biaya perencanaan pemulihan kesempatan dan Dampak akibat ketidak kondisi ketidak jelasan akses lingkungan akibat masy. efektifan dan degradasi (Rp/Sossial ketidak hutan Cost) efisienan (Rp) (Rp/satuan ekosistem)
Operasional & Keuangan Nilai Biaya perencanaan dan Dampak ketidak efektifan dan ketidak efisienan (Rp) N i l a i b i a y a kesempatan akibat ketidak jelasan akses masy. (Rp/Sossial Cost) Nilai biaya pemulihan kondisi lingkungan akibat degradasi hutan (Rp/satuan ekosistem) 4.3. Penanganan Resiko Mengacu pada uraian pembahasan di atas, maka resiko dalam perencanaan hutan sangat dipengaruhi oleh hal-hal : 1.
Akurasi data dasar yang meliputi : Data numerik hasil inventarisasi hutan (jenis, jumlah, sebaran sumberdaya hutan)berupa Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH), data spasial (letak, luas kawasan hutan) serta data penunjang kepastian status kawasan yang merupakan hasil pengukuhan hutan. Halaman
27
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006 2. 3.
Kejelasan pendefinisian system (batas-batas system) kelola, kejelasan fihak-fihak yang terkait dan peran masing-masing dalam perencanaan hutan (stakeholder), mekanisme dan prosedur kerja tetap inter dan antar subsistem kelola. Nilai besaran resiko, nilai biaya perencanaan dan biaya penanganan resiko.
Beberapa strategi manajemen resiko terkait perencanaan hutan yang dapat disarankan, yaitu : 1.
Strategi Preventif, berupa upaya mencegah timbulnya resiko/tidak mengambil resiko. ¡ Tidak melakukan perencanaan hutan pada kawasan hutan yang berisiko, karena belum sama sekali diinvetarisasi, belum dikukuhkan dan belum dibentuk KPH. ¡ Kebijakan yang diambil adalah percepatan penyelesaian data dasar dan kepastian kawasan hutan.
2.
Strategi Minimalisasi, berupa upaya mengurangi kerugian pada tingkat minimal. Melakukan perencanaan hutan pada kawasan hutan yang berisiko,rendah atau yang telah diinvetarisasi seluruh atau a sebagaiannya , sudah seluruh atau sebagaiannya telah dikukuhkan dan dalam satuan perencanaan yang tidak terlampau luas. Kebijakan yang diambil adalah penetapan prioritas perencanaan sesuai kriteria di atas. a
3.
Strategi Pengalihan, berupa mengalihkan beban resiko ke fihak lain(leasing/insurance/hedging) ® Strategi Privatisasi, Outsourcing kegiatan inventarisasi hutan telah dilakukan selama ini, yang masih layak dicoba adalah pengukuhan hutan partisipatif atau pensertifikatan kawasan hutan sehingga mempunyai status kepastian hukum yang kuat. ® Strategi asuransi/hedging sampai dengan saat ini belum populer, karena belum akuratnya nilai nilai ukuran valuasi ekonomis sumberdaya hutan, sehingga strategi ini baru bisa berjalan apabila NSDH dan valuasi ekonomi untuk setiap manfaat (ekonomi, ekologi dan sosial) didapatkan.
4.
Strategi Pendanaan dengan mendanai resiko, konsep ini yang sebenarnya dilakukan selama ini, namun tanpa didasari terlebih dahulu dengan analisa dugaan besaran resiko, sehingga penadanaan resiko menjadi rasionil, karena biaya penanganan resiko masih lebih kecil dari biaya return/pengembalian yang dihasilkan.
===============@@@@@@============= *)
Halaman
28
Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan dan Pemimpin Redaksi Buletin Planolog
Nomor 04, Desember 2006
I. PENDAHULUAN
LOG
Adanya perubahan politik yang lebih terbuka dan demokratis sejak tahun 1998, telah merubah paradigma birokrat dalam menjalankan birokrasinya, dari berorientasikan kekuasaan menjadi berorientasikan pada pengabdian dan pelayanan masyarakat/rakyat. Tatanan pemerintahan di Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan, perubahan menuju tata kepemerintahan yang akuntabel dengan mengedepankan efektivitas dan efisiensi. Namun dalam proses perjalanannya hingga saat ini tata pemerintahan dengan birokrasinya belum optimal memenuhi amanah rakyat/masyarakat, berbagai permasalahan yang cukup kompleks sedang dihadapi pemerintah sebagai sektor publik. Permasalahan tersebut diantaranya berkenaan dengan kualitas manajemen birokrasi masih rendah, belum berjalan secara efektivitas dan efisiensi serta perlunya penerapan asas akuntabilitas. Permasalahan kualitas moralitas yang rendah (moral hazard) aparat pemerintah diantaranya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), yang menyebabkan kondisi semakin berkurangnya tingkat kepercayaan dan simpati masyarakat. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Lembaga Transparency International pada tahun 2006, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat korupsi cukup tinggi dan menduduki peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,4. Sebagai negara termiskinpun Indonesia menempati peringkat cukup tinggi pula. Kondisi yang sangat memprihatinkan dan bercermin pada negera-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, Canada dan sebagian negara negara di Eropa, nampaknya pemerintah mulai berkomitmen untuk menata kembali serta membenahi diri dalam ketataprajaan melalui langkah berbagai kebijakan yang diarahkan pada usaha peningkatkan citra pemerintahan yang lebih baik dan bersih (good and clean goverment). Upaya-upaya terus dilakukan melalui penerapan sistem pertanggungjawaban (accountability) yang tepat, jelas, dan nyata dalam menjamin berlangsungnya tugas-tugas pemerintahan melalui penerapan prinsip 5 E yaitu : ekonomis, efisien, efektif, ekuiti ( berkeadilan), dan ekselen (prima ). Dalam rangka penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, terukur dan legitimate, MPR telah menetapkan kebijakan yaitu TAP MPR RI Nomor: XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU Nomor : 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. Asas akuntabilitas merupakan asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertangungjawabkan kepada masyarakat/rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Berkaitan dengan hal tersebut, presiden telah mengeluarkan Instruksi Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Berdasarkan instruksi tersebut setiap instansi dan lembaga pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintah negara untuk mempertangungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan pengelolaan sumberdaya dengan didasarkan suatu perencanaan stratejik yang ditetapkan oleh masing-masing instansi, dimulai dari penyusunan Rencana Stratejik (Renstra) yang kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Kinerja (Renja) dan dipertanggungjawabkan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Pada setiap LAKIP dilakukan evaluasi. Dalam Sistem Akuntabiltas Kinerja Pemerintah (SAKIP) terdapat 4 fase penting yaitu : penyusunan rencana stratejik, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja dan evaluasi kinerja. Untuk mengenal salah satu fase dalam SAKIP yaitu fase evaluasi kinerja berbasis program, dalam uraian berikut saya mencoba untuk menguraikannya secara singkat dimulai dari istilah, pengertian dan proses seputar evaluasi kinerja program.
BULETIN
Oleh : Tedi Setiadi
PLAN
MENGENAL EVALUASI KINERJA PROGRAM
II. Evaluasi (Evaluation) Seringkali istilah pengertian evaluasi disamakan dengan pengukuran (measurement), penilaian (assessment), pengujian (examination), penelaahan (review). Padahal pengertian tersebut satu sama lain berbeda, tergantung pada tujuan, orientasi, pendekatan, metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dan fakta, kedalaman pengujian dan pengungkapan bukti-bukti. Evaluasi memiliki berbagai karakeristik tertentu, karakteristik inilah yang membedakan evaluasi dengan analisis. Karakteristik dimaksud adalah : Fokus nilai (masukan/input, proses, keluaran/output, manfaat/outcomes dan dampak/impact) Interdependensi fakta nilai Orientasi masa kini dan masa lampau Dualitas nilai Berbagai pengertian dan karakteristik yang dimiliki tersebut di atas, evaluasi dapat didefinisikan sebagai proses berkala untuk mengetahui seberapa jauh kita sudah mencapai target, sejauhmana perubahan sudah terjadi dengan membandingkan capaian dengan target yang sudah ditetapkan sebelumnya, secara objektif dan sistematis. Jadi dalam kegiatan evaluasi terdapat unsur penaksiran (Appraisal), penilaian (assesment) dan pemberian angka (rating). Dalam melakukan kegiatan evaluasi disamping untuk melihat pencapaian target juga untuk mengetahui adanya dampak (impact) perubahan dan manfaat (benefit) yang dirasakan oleh suatu kegiatan, program atau kebijakan. Tujuan dilakukan kegiatan Evaluasi adalah untuk mengetahui secara pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program/kegiatan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa datang. Secara khusus tujuan evaluasi dapat ditentukan pada saat mendesain evaluasi yang dikehendaki. Berdasarkan jenisnya evaluasi terbagi kedalam dua jenis yaitu : a. Formatif yaitu evaluasi yang dilakukan ketika organisasi/program/kegiatan masih berjalan, untuk memperbaiki strategi; B. Sumatif, evaluasi yang dilakukan ketika organisasi/program/kegiatan berakhir untuk mendapatkan pembelajaran.
Halaman
29
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 04, Desember 2006 Mengapa perlu dilakukan evaluasi ? Berbagai alasan mengapa evaluasi perlu dilakukan, alasan tersebut adalah : 1. Perlunya memastikan apakah strategi yang dipilih dan kegiatan yang dilakukan sudah benar 2. Perlunya menilai efektivitas dan dampak organisasi/program/kegiatan 3. Perlunya mengidentifikasi persoalan dalam perencanaan dan/atau implementasi dan penyebabnya. Manfaat Evaluasi Manfaat kegiatan evaluasi yang dilakukan, diantaranya untuk : perbaikan perencanaan, strategi dan kebijakan ; pengambilan keputusan ; pengendalian program/kegiatan ; perbaikan input, proses dan output, perbaikan tatanan atau sistem dan prosedur. Apa yang dievaluasi ? Adapun aspek-aspek yang menjadi sasaran untuk dievaluasi adalah : dampak (impact) : perubahan/efek positif/negatif, diduga/tidak; efektivitas : sejauh mana tujuan tercapai efisiensi : output dalam kaitannya dengan input relevansi : kaitan dengan prioritas keberlanjutan (sustainability) : manfaat pasca program/kegiatan Peran Evaluasi Tentunya evaluasi sebagai salah satu aspek dari manajemen suatu organisasi memiliki peran yang sangat penting dan strategis, peran tersebut antara lain : memberikan informasi yang valid mengenai kinerja organisasi, kebijakan, program, dan kegiatan yaitu mengenai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah tercapai. Dapat diungkapkan mengenai pencapaian suatu tujuan, sasaran dan target tertentu.; memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik yaitu terhadap nilai yang mendasari tujuan dan target, nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target; memberikan sumbangan pada aplikasi metode analisis kebijakan termasuk perumusan masalah dan rekomendasinya. Informasi mengenai tidak memadainya suatu kinerja Bagaimana cara mengevaluasi dan siapa yang mengevaluasi (evaluator) Melalui berbagai cara evaluasi dapat dilakukan yaitu : melakukan sendiri (self evaluation); melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan (participatory); dilakukan oleh orang lain. (outsiders) II. Kinerja, Akuntabilitas dan Evaluasi Kinerja Instansi Para ahli manajemen organisasi telah mendefinisikan istilah kinerja, akuntabilitas dan evaluasi kinerja instansi. Dari sekian definisi yang dirumuskan tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah kinerja instansi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi/lembaga sebagai penjabaran dari visi, misi dan tujuan stratejik instansi/lembaga pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertangungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi//instansi/lembaga kepada pihak yang memiliki hak atau berkenaan untuk meminta keterangan atau petangungjawaban. Sedangkan Evaluasi Kinerja adalah suatu kegiatan untuk menilai atau meneliti keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi atau unit kerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Evaluasi kinerja merupakan kegiatan meneliti fakta, mengumpulkan data, analisis dan iterpretasi keberhasilan dan kegagalan pencapaian kinerja. Evaluasi kinerja merupakan salah satu perwujudan dari akuntabilitas instansi pemerintah. Evaluasi kinerja merupakan satu bagian penting dalam siklus akuntabilitas instansi, yang terintegrasi kedalam sebuah sistem akuntabilitas yang disebut Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP terdiri dari berbagai komponen yang merupakan satu kesatuan yaitu perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, dan pelaporan kinerja. Evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dilakukan secara luas meliputi evaluasi berbagai fokus yaitu : masukan/input, proses, keluaran/output, manfaat/outcomes dan dampak/impact. Untuk mengukur dan menentukan tingkat akuntabilitas kinerja instansi haruslah diarahkan pada fokus evaluasi outcomes (manfaat). Evaluasi kinerja instansi pemerintah dapat dilakukan terhadap sistem AKIP, program/kegiatan, keterkaitan dan keterpaduan kebijakan organisasi, evaluasi unit-unit kerja instansi, evaluasi terhadap outcomes dan penelaahan terhadap faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pencapaiannya, evaluasi atas akuntabilitas keuangan dan ketaaan pada peraturan-peraturan perundang-undangan. Perlu diketahui bahwa ukuran keberhasilan suatu organisasi dapat dilihat dari ukuran kinerja yaitu praktis/sederhana untuk dimengerti, sederhana untuk diukur, sederhana untuk dilaksanakan, relevan. A.
Program Program adalah kumpulan kegiatan yang sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi pemerintah ataupun dalam rangka kerjasama dengan masyarakat, guna mencapai sasaran tertentu. Kebijakan dan program dilakukan setiap tahun dalam kurun waktu 5 tahun dan direncanakan pelaksanaan dan pembiayaannya baik melalui APBN/APBD maupun dalam rangka kerjasama dengan masyarakat. Keberhasilan program yang dilakukan sangat erat kaitannya dengan kebijakan instansi pemerintah. Dalam rangka itu perlu diidentifikasi pula keterkaitan antara kebijakan yang telah ditetapkan dengan program dan kegiatan sebelum diimplementasikan. Kebijakan tersebut perlu dikaji terlebih dahulu untuk meyakinkan apakah kebijakan yang telah ditetapkan benar-benar dapat dilaksanakan. Setiap instansi pemerintah memiliki berbagai kebijakan, program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam rangka menjalankan visi maupun tugas pokok dan fungsi, sehingga kinerjanya dapat dievaluasi melalui evaluasi sebagian maupun keseluruhan kebijakan, program maupun kegiatan. Hasil evaluasi yang diperoleh, kita mengharapkan dapat mengetahui kinerja organisasi instansi secara keseluruhan. Halaman
30
Nomor 04, Desember 2006
C. Langkah-langkah dalam Melaksanakan Kegiatan Evaluasi Sebelum melaksanakan kegiatan Evaluasi, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuat rancangan atau design pelaksanaan Evaluasi sebagai pedoman tentunya harus mempertimbangkan jenis-jenis program yang akan dievaluasi. Komponen-komponen utama yang perlu dalam rancangan adalah : 1. penentuan fokus dan tujuan 2. penentuan komponen dan indikator 3. rancangan pengumpulan data dan pengembangan instrumen 4. penyusunan rencana kerja
LOG
Perencanaan Administratif menyangkut perencanaan yang berfokus pada pengelolaan pekerjaan evaluasi, seperti; penyusunan TOR, pembuatan jadwal pelaksanaan, dsb. Sedangkan perencanaan teknis menyangkut teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan analisis serta pelaporan. Para pelaksana dan perancang kegiatan evaluasi harus memahami berbagai konsep, yaitu : TOR, analisis logika program (Programm logic), hipotesis, desain evaluasi, sampling design dan prosedur, penyusunan kuesioner (instrumen) dan pelaksanaan survei dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur.
BULETIN
Perencanaan evaluasi dapat dikategorikan menjadi dua bagian pokok yaitu : 1. Perencanaan Administratif 2. Perencanaan teknis
PLAN
B. Proses Evaluasi Program Dalam proses evaluasi secara sederhana terdiri dari beberapa proses yaitu: 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan dan 3. Pelaporan
Sebelum melakukan evaluasi dilakukan pengumpulan data dan menganalisisnya, perlu dilakukan pengumpulan hasil-hasil evaluasi sebelumnya dengan topik yang sama, Rangkuman hasil riset, riviu, kajian, penelaahan, tinjauan dan hasil studi terhadap topik yang sama (sintesa evaluasi). Jika perlu dilakukan meta analisis yaitu suatu cara riviu dan pengikhtisaran yang sistematis terhadap hasil studi sebelumnya. D.
Evaluasi Program Komprehensif Evaluasi program dapat dilakukan secara menyeluruh (komprehensif) maupun secara praktis, tergantung tujuan dan kendala yang dihadapi seperti : biaya, waktu, kemampuan SDM dan koordinasi. Evaluasi program yang dilakukan secara menyeluruh mencakup : monitoring program; evaluasi proses; evaluasi dampak; dan cost Benefit atau cost effectiveness. a.) Monitoring Program yaitu penilaian apakah statu program dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan. Monitoring program ini akan memberikan umpan balik yang terus mennerus pada program yang akan dilaksanakan dan mengidentifikasikan masalah begitu muncul. b) Evaluasi proses, merupakan penilaian bagaimana program dioperasikan; berfokus pada pelaksanaan program kepada peserta (service delivery). c) Evaluasi dampak, adalah penilaian apakah statu program telah mewujudkan pengaruh terhadap individu-individu, rumah tangga, lembaga atau lingkungan hidup, dan apakah dampak tersebut dapat secara ilmiah diatribusikan kepada pelaksanaan intervenís program tersebut. d) Cost Benefit atau cost effectiveness, penilaian dari biaya program dan manfaat yang dihasilkan oleh biaya tersebut, untuk menentukan apakah manfaatnya cukup bernilai dibandingkan biaya yang digunakan. Tahapan Evaluasi Program Komprehensif Apabila dalam kegiatan evaluasi tidak terkendala oleh faktor-faktor kendala, maka Evaluasi program dapat dilakukan secara lebih konprehensif melalui kegiatan studi/riset terapan, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Definisi atau perumusan masalah evaluasi; 2. Tujuan dan fokus studi evaluasi; 3. Keseluruhan pendekatan dan metodologi studi (hypotesis, lingkup dan coverage, desain evaluasi); 4. Metode pengumpulan data : a. Dokumen-dokumen yang sudah ada dan data sekunder b. Pengumpulan data primer (desain survei, metode sampling, kuesioner dan pre-test, interviu) 5. Analisis data a. Metode kualitatif - Perangkuman dan konversi catatan-catatan lapangan - Analisis isi (content analysis) - Studi kasus dari target group program atau masyarakat/keluarga yang terpengaruh program. b. Metode kuantitatif - analisis statistik(central tendencies, level of confidence, dll.) - analisis korelasi dan regresi - benefit cost analysis 6. Pengumpulan hasil evaluasi dan penyimpulan 7. Pelaporan dan presentasi hasil evaluasi Secara skematis seluruh tahapan proses evaluasi yang dilakukan secara menyeluruh seperti yang diuraikan di atas dapat dilihat pada Gambar 1, berikut :
Halaman
31
LOG
Nomor 04, Desember 2006
Analisa Program
Penyusunan TOR
PLAN
BULETIN
Merumuskan data requirements untuk model (analisis tersebut : dari data yang ada dan primary data survey
Merumuskan masalah evaluasi dengan berbagai isu dan p pertanyaan evaluasi
Mengumpulkan data : dari sumber data atau survey
Memformulasikan null dan alternatif hypotesis untuk masalah evaluasi dan rincian desain evaluasi
Menganalisis dengan menggunakan model/formula
Merumuskan model atau tools untuk analisis, seperti : formula statistik, regresi-korelasi, tau cost benefit formula, dlsb.
Pelaporan Hasil Evaluasi Gambar 1 : Skema Proses Evaluasi Program secara Komprehensif Evaluasi program yang komprehensif, apabila didesain dengan baik dan tepat, maka akan mengetahui efektivitas dan efisiensi dan ketepatan pelaksanaan (appropriate) dan pencapaian tujuan/sasaran program, pengamatan yang tepat pada hasil program yang dijalankan dan bukan confounding factors atau karena program lain. E. Evaluasi Program Praktis Berikut diuraikan berbagai tahapan evaluasi program yang dilakukan secara praktis dan pragmatis mengingat berbagai kendala yang dihadapi dalam kegiatan evaluasi diantaranya : keterbatasan biaya, waktu, kemampuan SDM, kesulitan koordinasi. Untuk melakukan kegiatan evaluasi terdapat berbagai tahapan proses yaitu : a. Penelitian sistem b. Analisis logika program (Program Logic) c. Pembuatan term of referente (TOR) d. Desaín evaluasi, pelaksanaan pengumpulan dan analisis data e. Pelaporan.
Gambar 2. Tahapan Evaluasi Program bersifat
EVALUASI SISTEM
ANALISIS LOGIKA PROGRAM
Riviu Pencapaian Sasaran dan Riviu Indikator Kinerja
Pengumpulan dan analisis data : pengecekan hasil secara uji petik
Sumber : Evaluasi Kinerja Instansi Berbasis Program, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2005
Halaman
32
PELAPORAN
Nomor 04, Desember 2006
1) Riviu Pencapaian Sasaran Reviu pencapaian sasaran organisasi instansi deserta indikator kinerjanya, Riviu ini dilakukan dengan mebandingkan antara target-target dengan realisasinya dan kemudian jika program dan atau kegiatan ini dilakukan beberapa tahun atau bahkan sepanjang tahun (multi years) perla dibandingkan dengan realisasi tahun lalu. Riviu pencapaian sasaran ini juga digunakan untuk secara lebih mendalam menguji keselarasan penetapan sasaran dengan tujuan maupun visi misi organisasi intsnasi. Di camping itu riviu ini dilakukan denganmeneliti usuran kinerja atau indikatir kinerja yang dipakai dalam mengukur keberhasilan pencapaian sasaran ini. Pada riviu ini tidak terlepas dari riviu dan studi terhadap indikator sasaran yang menyertai rumusan sasaran yang ditetapkan. Karenanya riviu ini hanya dapat dilakukan bila didasarkan riviu dan studi yang dilakukan, indikator kinerja yang terkait dianggap telah memenuhi kriteria sebagai indikator sasaran yang baik yang dapat menggambarkan hasil (berupa outcomes atau output). Riviu ini meliputi analisis informasi/data kinerja yang meliputi penilaian tingkat pencapaian sasaran secara keseluruhan, menilai kelayakan sasaran, menilai efisiensi biaya, menilai efektivitas biaya, dan mencari dan menemukan peluang perbaikan penetapan sasaran. Riviu sebaiknya juga dilengkapi dengan pembandingan data, antara lain : - rencana dan realisasi realisasi periode ini dan realisasi periode sebelumnya rencana periode ini dengan rencana periode lalu realisasi tahun ini dengan realisasi akumulasi sampai akhir tahun ini realisasi tahun ini dan capaian organisasi lain sejenis (jika ada). -
LOG
3. Desain Evaluasi : Pendekatan atau cara-cara yang diambil dalam dalam memverifikasi apakah program logic atau program theory terjadi atau direalisasikan dalam kenyataaan di lapangan. Wujud dan nuansa dari control stage evaluation dari program secara analitikal berbeda dari statu planning-stage evaluation untuk kelayakannya. Perbedaan penting adalah bahwa control evaluation adalah secara empiris dan lebih independen dari pada instansi pelasana, sedangkan pada planning-stage evaluation lebih banyak berhubungan dengan kelayakan dan masalah potensial dari implementasi program. Desain program melalui pendekatan yang lebih praktis dapat dilakukan melalui pengoperasian teknik-teknik diantaranya : 1). Penggunaan teknik riviu pencapaian sasaran; 2). Penggunaan teknik riviu indikator kinerja; 3). Pengecekan hasil uji petik.
BULETIN
2. Analisis logika program Bahwa setiap kebijakan Publik dirumuskan dan diimplementasikan untuk menjawab kebutuhan sosial atau permasalahan sosial. Ini akan mencerminkan tujuan dan sasaran program yang dirancang. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, program itu menggunakan input dan proses untuk mengkonversi input tersebut menjadi immediate outputs dan sampai ke longterm outcomes.
PLAN
1. Penelitian Sistem Penelaahan sistem AKIP, bagaimana istansi pemerintah mengelola kinerjanya berdasarkan sistem AKIP diriviu dan diamati bagian-bagian yang rawan dan kurang baik. Penelitian ini akan memperlancar pelaksanaan progam
Pembandingan dilakukan dengan tujuan untuk melihat efektivitas pencapaian berdasarkan tahunan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan diperoleh informasi yang komprehensif mengenai pencapaian sasaran (accomplishment) dalam rangka untuk mencapai visi dan misi organisasi. Analisis trend juga dapat dilajutkan yang akan ditujukan untuk melihat kesesuaian antara tahun tertentu dengan capaian tahun-tahun lainnya secara keseluruhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Sedangkan bencmarking dengan organisasi sejenis ditujukan untuk mengetahui kinerja organisasi dalam core businessnya, bila dibandingkan dengan organisasi yang menjadi panutan untuk bidang tersebut. 1.1. Mengukur Pencapaian Sasaran Dalam mengukur pencapaian sasaran dapat dilakuakn dengan membandingkan antara sasaran yang sudsah dieteapkan dengan realisasi atau kenyataan yang dapat diwujudkan selama dan setelah program dilaksanakan. Jika sasaran belumdirumuskan secara spesifik dan terukur, maka harus dilakukan pengukuran dengan merumuskan indikator tercapainya sasaran tersebut. Jadi mengukur pencapaian sasaran dapat dilakukan sebagai berikut :
Uraian sasaran
Indikator
Target
Realisasi
Pencapaian
1.2. Penyimpulan Penyimpulan hasil pengukuran pencapaian sasaran dapat dilakukan dengan melihat capaian setiap butir sasaran dan menjelaskan angka capaian rata-rata secara umum, kemudian men-disagregasi dengan merinci kembali simpulan umum tersebut. Contoh : Misalkan dari hasil pengukuran sasaran diperoleh angka sebagai berikut :
No. 1 2 3 4 5
Uraian sasaran Sasaran pertama Sasaran Kedua Sasaran A Sasaran B Sasaran C
Capaian 85 % 100 % 90% 70 % 60 % Halaman
33
LOG
Simpulan : Berdarkan hasil pengukuran yang diperlihatkan oleh presentase pencapaian sasaran dapat disimpulkan baik, sedang, kurang tergantung skala yang ditetapkan. Jadi contoh di atas dapat disimpulkan bahwa sasaran dinas/instansi tersebut dapat dicapai dengan baik, kecuali dua sasaran B dan sasaran C yang masing-masing hanya bisa 70 % dan 60 %.
PLAN
BULETIN
Nomor 04, Desember 2006
2)
1.3. Metode Analisis Metode analisis untuk pengukuran dan kualifikasi output program dan outcomesnya biasanya mengoperasikan analisis dengan statistika, ekonometrika, sosiometrika, dan sebagainya. Teknik statistik biasanya mencakup analisis korelasi dan regresi dari dua cara yang berbeda (target group vs kelompok lain yang tidak menjadi peserta program), dan uji signifikasi dari perbedaanperbedaan tersebut. Riviu Indikator Kinerja Terdapat dua bagian dalam melakukan riviu indikator kinerja yaitu a. Riviu terhadap indikator sendiri; dan b. Riviu terhadap capaian indikator kinerja.
Indikator kinerja ditetapkan memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik : - spesifik, sesuai dengan program dan atau kegiatan sehingga mudah dipahami dalam memberikan informasi yang tepat tentang hasil atau capaian kinerja dari kegiatan dan atau sasaran - menggambarkan hasil atau suatu yang diinginkan - relevan dan langsung berkaitan dengan yang diukur merupakan faktor yang penting dalam memberikan informasi yang objektif sesuai dengan kelaziman sehingga mudah untuk diperbandingkan. - Dapat dikuantifikasi, dapat dihitung, atau dapat diobservasi sesuai karakteristik hal yang diinformasikan - Objektif, tidak bias, yaitu tidak memberikan informasi yang keliru jika diinterpretasikan oleh berbagai pengguna. 3)
Riviu terhadap Se-set Indikator Kinerja Penetapan indikator kinerja oleh suatu organisasi hendaknya melihat konteks penggunaannya. Set-set indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur keberhasilan program tentulah berbeda dengan set-set indikator kinerja yang digunakan dalam mengukur keberhasilan organisasi. Pertimbangan dalam menentukan indikator kinerja juga didasarkan atas suatu kumpulan alat ukur/indikator yang diyakini dapat digunakan untuk memantau dan mengukur kinerja suatu program ataupun organisasi secara keseluruhan. Jumlah indikator cukup memadai dibandingkan kebutuhan akan pengukuran kinerja. Jumlah indikator yang lebih dari satu bukan masalah sepanjang bisa memenuhi fungsinya dalam memberikan informasi untuk perbaikan kinerja. Jadi banyak sedikitnya indikator kinerja memang tergantung kebutuhan manajemen 4) Riviu Terhadap Capaian Indikator Kinerja Dilakukan dengan pembandingan antara realisasi suatu capaian dengan rencananya, standar, benchmark atau dengan periode tahun lalu. Cara yang dilakukan hampir sama dengan riviu pencapaian sasaran yang pada prinsipnya menggunakan performance gap analysis yaitu membandingkan dan kemudian mencari informasi mengapa terjadi perbedaan antara realisasi capaian dengan data pembandingnya. Hal tersulit dalam riviu ini adalah menentukan simpulan terhadap hasil pengukuran pencapaian indikator kinerja secara keseluruhan. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk simpulan secara keseluruhan yaitu: 1. menghitung rata-rata semua indikator kinerja yang ada, dengan perhitungan rata-rata sederhana; 2. menghitung rata-rata capaian indikator kinerja dengan weighting (pembobotan) yang hati-hati; 3. menentukan milestone-milestone kegiatan atau program-nya terlebih dahulu, kemudian melihat beberapa indikator penting didalamnya, baru kemudian secara kuantitatif menentukan tingkat capaian (accomplishment) atau keberhasilan organisasi 4. menentukan beberapa indikator penting saja, kemudian membuat daftar dan menyimpulkan secara umum berdasarkan nilai (angka) capaian individual, dengan mempertimbangkan frekuensi (modus) dan tingginya nilai. 5) Pengecekan hasil secara uji petik Pengecekan hasil-hasil program secara uji petik diperlukan untuk mengecek kredibilitas data. Pada proses pengecekan hasil yang terpenting adalah mendapatkan data dari hasil monitoring atau catatan kinerja instansi. Verifikasi data secara terbatas sangat diperlukan agar dapat dinilai kredibilitas data tersebut. Riviu terhadap sistem pencatatan/pengumpulan data kinerja penting untuk dilakukan F. Desain Evaluasi Program Tedapat 3 kategori jenis desain evaluasi yaitu Experimental design, quasi-experimental design dan non experimental. Dalam menentukan pilihan desain evaluasi program, biasanya kita dihadapkan pada berbagai faktor kendala atau pembatas. Faktor-faktor pembatas tersebut adalah : § sumberdaya § waktu § tahapan program § kemungkinan faktor-faktor yang menutupi, mengurangi atau mementahkan hasil program (comfounding factors) § politik dan keadaan. 1. Experimental design Desain ini menggunakan eksperimen yang didasarkan pada pembagian target group experimental (kelompok penerima program) dan control group (kelompok bukan menerima program). Pemilihan lokasi, produk/jasa pada target kelompok eksperimental dan kelompok kontrol dilakukan secara acak (random). Kondisi saat sebelum ada program dibandingkan dengan sesudah program selesai dilaksanakan dilihat responnya pada kedua group tersebut apakah menunjukkan signifikasi yang nyata atau tidak.
Halaman
34
2. Quasi experimental design Desain ini dilakukan untuk mengganti eksperimen yang sesungguhnya dalam situasi dimana pengambilan contoh (sampel) secara random tidak praktis dilakukan. Dalam desain ini terdapat fungsi memperkirakan hubungan sebab akibat antara program dan dampaknya. Tentunya dalam mendesain memerlukan kejelasan programnya, kelompok pembanding, ukuran outcomes, penilaian hubungan antara program dan outcome.
Nomor 04, Desember 2006
Non experimental design (expost facto design) Design ini meliputi outcome monitoring, ex post facto evaluation, studi kasus, survei kepuasan pelanggan atau metode kualitatif. Dalam desain evaluasi jenis program direkontruksi kemudian diikuti oleh observasi pasif terhadap subjek yang menerima lebih banyak program dan yang menerima lebih sedikit program, yang tidak menerima program, kemudian diteliti outcome yang ada.
H. Evaluasi Kelayakan dan Ketepatan Program (feasibility and Appropriateness Programm) Evaluasi ketepatan suatu program sama dengan menganalisis kelayakan program. Evaluasi ini dapat dilakukan sebelum proposal program disetujui dan ditetapkan. Tetapi dapat pula dilakukan setelah program berjalan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah program masih dibutuhkan oleh masyarakat di lokasi yang berbeda?, apakah program masih selaras dengan prioritas nasional atau daerah, seberapa perubahan besaran, target, penyeleksian kelayakan peserta program atau target group program yang harus dilaksanakan. Standar dan patokan pembanding yang digunakan dalam evaluasi kelayakan dan ketepatan program adalah : a. sasaran program dan target-target dibandingkan dengan kebutuhan dari target group program; b. rencana kerja dibandingkan dengan ; c. kapasitas implementasi : logistik, pembiayaan, anggaran, lokasi kantor di area pelaksanaaan program; d. best practice baik di dalam maupun di luar negeri. e. keselarasan dan konsistensi tujuan/sasaran program dengan prioritas kebijakan pemerintah.
LOG
G. Sintesa Evaluasi Sebelum mengumpulkan data dan menganalisisnya, perlu dilakukan perangkuman hasil-hasil evaluasi sebelumnya terhadap topik yang sama berupa hasil riset, riviu, kajian, penelaahan, tinjauan dan hasil studi. Proses tersebut disebut sintesa evaluasi. Lebih lanjut apabila diperlukan setelah dilakukan proses sintesa dapat dilanjutkan dengan proses meta analysis yaitu cara riviu dan pengikhtisaran yang sistematis terhadap hasil studi sebelumnya. Proses meta analisis ini perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat menyeluruh atas pelaksanaan studi sebelumnya, sehingga lebih berfokus pada menjawab pertanyaan evaluasi yang sedang dilakukan (saat ini). Untuk mendukung meta analisis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan media elektronik yang tersedia saat ini misalnya internet.
BULETIN
3.
PLAN
Perbandingan antar outcome yang diharapkan pada klien yang menjadi kelompok penerima program dengan kelompok bukan penerima program. Beberapa metode desain yang termasuk dalam desain ini adalah : matched group design, interupted time series design, Pre and post program design, cross-sectional design, longitudinal design, program out come dengan program delivery design
Masalah ketepatan program dapat diklasifikasikan kedalam dua bagian yaitu : a.. ketepatan tujuan/sasaran program; b. ketepatan strategi program, rencana kerja dan alokasi sumberdaya : meriviu hasil studi, literatur, praktik terbaik, analisis logika program, cost benefit analysis, analisis resiko (apa yang mungkin menjadi keliru dalam implementasi program, scenario analysis, kemungkinan efek samping yang negatif dan sebagainya). Dalam menilai ketepatan tujuan/sasaran kita dapat mengacu pada apa yang disebut sebagai konsep “kebutuhan publik” yaitu kebutuhan normatif, kebutuhan yang diekspresikan dan kebutuhan komparatif. I. Evaluasi Efisiensi Evaluasi ini dapat dilakukan jika pencatatan data keuangan dan data kinerja sudah cukup baik, sehingga rincian akuntansi biaya dan analisis biaya dapat dilakukan. Evaluasi ini sering dilakukan saat program sedang berjalan, dengan tujuan untuk melakukan perbaikan (formative evaluation). Data dan informasi yang digunakan untuk analisis efisiensi diperoleh dari desain: a. monitoring program; input, proses/aktivitas, outputs; b. Gap analysis : output vs sasaran; c. Benchmarking dengan program yang sejenis; d. Pilot studies dan studi kasus tertentu; e. Mid-programm review. J. Evaluasi Efektivitas Tujuan evaluasi efektivitas program adalah untuk mengidentifikasi dan mengukur outcomes dan dampak program, serta menentukan hubungan antara program dan outcome/impact apakah hubungan itu sebab akibat langsung atau hanya korelasi dengan banyak faktor lain sebagai pendorong. Desain evaluasi efektivitas diperlukan untuk membandingkan antara apa yang dapat diobservasi setelah implementasi program dengan kondisi sebelum program. Untuk melakukan pengukuran efektivitas kita dapat menggunakan formulasi sebagai berikut : Efektivitas = R/P atau efektivitas = (R-C)/(P-C) R = hasil sesungguhnya (actual results) atau actual outcomes P = planned outcomes atau outcomes yang diharapkan (direncanakan) C = counter factual, tingkat kuantitatif suatu variabel outcomes jika program tidak dilaksanakan. Data variable outcomes tersebut dapat diambil dari target group program sebelum program dilaksanakan atau group yang serupa yang tidak menerima perlakuan (treatment) program tersebut. K. Sumber Data dan Informasi Untuk mendukung kegiatan evaluasi program tentunya kita memerlukan data dan informasi. Data dan informasi tersebut dapat dicari dari berbagai sumber yang tersedia di berbagai tempat dan pihak, antar lain : instansi terkait, perpustakaan, pusat data, lembaga/institusi penelitian, penerangan dan informasi. Sumber informasi dapat berupa dokumen program, pendapat para ahli atau pakar, hasil riset, survei, angket, jajak pendapat yang telah dilakukan terlebih dahulu. ==========OOOO======== Halaman
35
LOG
Nomor 04, Desember 2006
PERAN BAPLAN UNTUK MENDUKUNG KEBIJAKAN PRIORITAS DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2007
PLAN
Pelindung : Kepala Badan Planologi Kehutanan
A. PEMBERANTASAN PENCURIAN KAYU (ILLEGAL LOGGING) DAN PERDAGANGAN KAYU ILLEGAL 1.
BULETIN
DEWAN REDAKSI
2. 3.
Melaksanakan interpretasi citra satelit untuk meberikan kondisi dan potensi SDM Menyusun data tabular dan peta indikasi kerusakan hutan Menyajikan data/informasi pencurian kayu
gambaran
Pengarah : Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan Sekretaris Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan Kepala Bidang StatistikKehutanan
B. REVITALISASI KEHUTANAN KHUSUSNYA INDUSTRI KEHUTANAN 1. 2. 3. 4.
Pemimpin Redaksi : Ketua : Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr. Sekretaris : Tedi Setiadi, S.Hut.
Menyusun rencana makro Pemanfaatan Hutan Nasional Memfasilitasi Rencana Makro Pemanfaatan Hutan Provinsi Menyediakan Informasi arahan investasi industri kehutanan Menyediakan informasi trend penyerapan industri kehutanan
C. REHABILITASI DAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Redaksi Pelaksana : Ir. Ali Djajono, M.Sc. Ir. Watty Karyati Ir. Euis Fatimah Ir. Joko Kuncoro Ir. Lilit Siswanty Yuliarsyah, SP.,BSc.F.
Menyiapkan informasi lahan yang perlu direhabilitasi Menyusun rencana Makro Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional Memfasilitasi Penyusunan Rencana Makro RHL Provinsi Menyajikan informasi perkembangan pelaksanaan RHL Menyelenggarakan Inventarisasi SDAH Menyediakan Informasi sebaran, populasi dan status SDAH Menyusun Rencana Makro Konservasi SDAH Nasional Memfasilitasi penyusunan rencana Makro Konservasi SDAH Provinsi Menyiapkan penunjukan dan penetapan kawasan konservasi Menyiapkan arahan pencadangan dan penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
Editor : Ketua : Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM. Anggota : Ir. Herman Kustaryo,MM. Ir. Endang Mahfud Drs. Sunuprapto,MSc.
D. PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN 1. Penyediaan informasi tentang kondisi ekonomi, sosbud masyarakat di sekitar hutan 2. Menyusun Rencana Makro Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan sekitar hutan nasional. 3. Memfasilitasi penyusunan Rencana Makro Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan Provinsi 4. Memfasilitasi sinergitas antar sektor untuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan
Desain Grafis : Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism Ade Wahyu, S.Hut. Efsa Caesariantika, A.Md. John Piter G. Lubis, S.Hut Popi Susan ,S.Hut Kontributor : Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan dan Mitra Badan Planologi Kehutanan
E. PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN 1. 2. 3. 4. 5.
Menyelenggarakan Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Konservasi Perairan Menyiapkan arahan pencadangan dan penetapan unit pengelolaan hutan serta Memfasilitasi penyusunan dan pembentukan unit pengelolaan hutan (termasuk kelembagaan unit pengelolaannya) Menyusun rencana, kebijakan dan mengevaluasi pelaksanaan rencana dan kebijakan kehutanan Menyiapkan data dan informasi spasial dan non spasial Sinkronisasi perencaaan tata ruang ~
MENU BULETIN Kebun Kayu dan Hutan Karet, Sawit, Kelapa Optimalisasi Pendekatan Fungsi Manfaat Untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ~
Hutan Rakyat Sebagai Penghasil Kayu Bakar ~
Klasifikasi Lahan Untuk Perencanaan Tata Ruang ~
Tumpang Sari Sepanjang Daur Dalam Upaya Menjaga Ketahanan Pangan ~
Orientasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ~
Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia : Sebagai Organisasi Profesi yang Diharapkan Mampu Menghantarkan Para JFP-er Menuju Perencana Pemerintah yang
DEWAN BULETIN PLANOLOG Mengucapkan Selamat Tahun Baru 2007, Hadapilah Tahun 2007 dengan penuh semangat, harapan dan kerja keras. Jadikalah pengalaman masa lalu dengan kegagalannya untuk selalu memperbaiki diri terus menerus. Mari kita tingkatkan Komitmen, Integritas, Profesioanalisme, dilandasi kejujuran. Ucapan dan Tindakan agar sejalan menuju Harmonisasi Kehidupan yang hakiki.
Profesional dan Produktif ~
Permasalahan-permasalahan Dalam Perencanaan Ruang Kehutanan ~
Aplikasi Manajemen Resiko Dalam Penyusunan Rencana Kehutanan ~
Mengenal Evaluasi Kinerja Program
ALAMAT REDAKSI Gd. Manggala Wanabakti, Blok VII Lantai 5 Jl. Jenderal Gatot Subroto, P.O.BOX 6506 JAKARTA - 10065 Telp. (021) 5720216 - Fax (021) 5730319 E-mail :
[email protected]
Halaman
36