OPTIMALISASI PEMUNGUTAN RENTE EKONOMI KAYU DARI HUTAN ALAM Oleh Muhammad Zahrul Muttaqin, Hariyatno Dwiprabowo dan Nunung Parlinah1 Ringkasan Di negara berkembang seperti Indonesia, sistem pengusahaan hutan dengan menggunakan konsensi merupakan bagian yang penting dalam manajemen hutan. Karena sebagian besar hutan dikuasai oleh negara, maka kepastian tingkat penerimaan negara dari hutan yang optimal merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Beberapa sistem pungutan hutan telah diterapkan dalam pengelolaan hutan produksi alam di Indonesia, namun masih saja terjadi inefisiensi dan hilangnya rente ekonomi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan sebuah mekanisme pungutan rente ekonomi sumberdaya alam bernama Resource Rent Tax (RRT) dengan mekanisme pungutan hutan produksi alam di Indonesia saat ini. RRT telah berhasil diterapkan di pengusahaan pertambangan (mining), tapi sedikit informasi (untuk tidak mengatakan tidak ada) tentang penerapannya di pengusahaan hutan alam (logging). Secara khusus, tujuan penelitian adalah untuk: (1) mengevaluasi efisiensi dan efektivitas RRT dalam memaksimumkan penerimaan rente hutan dan keberlanjutan pengusahaan hutan; dan (2) menganalisis implikasi penerapan RRT di hutan produksi alam di Indonesia.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem penerimaan hutan di Indonesia saat ini telah gagal memungut rente ekonomi hutan secara optimal. Dalam rangka memperbaiki kinerja pungutan hutan tersebut, RRT dimungkinkan untuk diterapkan. Keuntungan menggunakan RRT adalah untuk menghindari manipulasi data produksi kayu bulat dan efek distorsi dalam investasi di bidang pengusahaan hutan. Dalam era desentralisasi saat ini, pemerintah daerah dapat ditujuk sebagai pihak yang memainkan peran utama dalam implementasi RRT. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih lengkap mengenai perbedaan biaya produksi di masing-masing daerah, disamping juga untuk memberikan insentif bagi daerah untuk mengelola sumberdaya hutan dengan baik dan benar. Kata kunci: rente ekonomi hutan, pungutan hutan, sistem penerimaan hutan, kebijakan kehutanan.
1
Peneliti Pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 137
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu isu penting dalam diskursus rente ekonomi dari sumberdaya hutan yang dikelola dengan sistem konsesi adalah apakah rente tersebut dapat dipungut atau didistribusikan secara optimal dalam kerangka sebuah sistem yang efisien dan adil. Sebagai contoh, Vincent (1990) memaparkan bahwa Pemerintah Malaysia mampu memungut 18,4% hingga 46,2% potensi rente dari kayu bulat yang dipanen dalam kurung waktu 1976 – 1985. Bahkan selama 1979 – 1982 Pemerintah Sabah mampu meungut 81% rente aktual dari kayu bulat yang dipanen (Gillis, 1988). Brown (1999) menyatakan bahwa para pemegang HPH telah diuntungkan dari rente ekonomi (profit) yang dihasilkan dari pengelolaan hutan produksi alam selama bertahun-tahun. Dia mengestimasi besarnya rente yang diambil oleh sebuah perusahaan HPH mencapai US$30/m3. Sebagai pembanding, rente yang tidak dapat dipungut oleh pemerintah mencapai US$40/m3. Karena hutan memainkan peranan yang penting dalam pembangunan nasional, isu tentang pemungutan rente ekonomi masih relevan dalam pengelolaan hutan modern, terutama di negara-negara sedang berkembang yang memiliki sumberdaya hutan yang melimpah seperti Indonesia. Pada Juli 1999, The Consultative Group on Indonesia (CGI), sebuah kelompok kreditor bagi Indonesia yang dipimpin oleh Bank Dunia merekomendasikan beberapa perbaikan di bidang kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (The World Bank, 1999). Salah satu rekomendasinya adalah yang berkaitan dengan distorsi harga domestik produk kehutanan, termasuk di dalamnya kayu bulat, dimana harga tersebut tidak mencerminkan kelangkaan sumberdaya kayu. Salah satu implikasi dari rekomendasi tersebut adalah bahwasanya Indonesia perlu melakukan rekalkulasi nilai tegakan dalam rangka memungut semaksimal mungkin potensi rente sumberdaya kayu yang dihasilkan dari pengelolaan hutan produksi alam. Sebuah mekanisme pungutan rente sumberdaya yang telah berhasil diterapkan di pertambangan, namun belum di pengelolaan hutan alam, adalah Resource Rent Tax (RRT). Mekanisme ini digagas oleh Garnaut dan Clunies-Ross di tahun 1975. Dengan mendasarkan pada pemikiran bahwa pengelolaan hutan alam analog terhadap pertambangan dalam hal konsesi dan eksploitasi sumberdaya alam, maka RRT memiliki potensi untuk mampu mengoptimalkan pendapatan dari konsesi hutan alam di Indonesia. Dalam era politik yang lebih demokratis di Indonesia seperti saat ini dimana transparansi didorong untuk lebih diaplikasikan di
138 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
pelbagai bidang, peerapan RRT akan dapat terbantu dengan lebih mudahnya akses ke data yang relevan dengan biaya produksi kayu bulat. Disamping itu, keinginan pemerintah untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan hutan juga memberikan peluang bagi RRT untuk dijadikan sebagai salah satu alat pengendalian pungutan rente ekonomi sumberdaya alam. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Membandingkan Resource Rent Tax (RRT) dengan sistem penerimaan hutan (forest revenue system) yang saat ini diterapkan di pengelolaan hutan produksi alam di Indonesia; 2. Menganalisis efisiensi dan efektivitas instrumen RRT dalam kerangka maksimisasi profit dan kelestarian hasil; 3. Menganalisis implikasi akibat penerapan RRT dan prakondisi yang diperlukan agar RRT mamputerap (practicable).
II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Teoritis Resource Rent Tax (RRT) Pada tahun 1975, Garnaut dan Clunies-Ross melemparkan ide mengenai RRT. Menurut mereka, RRT adalah konsep perpajakan proyek pengelolaan sumberdaya alam yang efisien, sederhana dan praktis, terutama dalam mengantisipasi ketidakpastian harga-harga dan biaya-biaya di masa mendatang (Garnaut and Clunies-Ross, 1975). Secara ringkas RRT dapat didefinisikan sebagai sebuah pajak atas laba yang mulai dikenakan pada pengusaha ketika ambang internal rate of return pada arus kas telah terealisasikan. Dalam konteks teori perpajakan, RRT bukanlah sistem pajak yang benar-benar netral, meskipun mendekati, dibandingkan dengan pungutan spesifik atau pajak ad valorem. Ketidaknetralan RRT terjadi karena RRT memajaki profit tetapi tidak memberikan kompensasi apapun pada investor jika mereka mengalami kerugian (Emerson, 1984). Negara yang telah lama mengimplementasikan RRT di pertambangan baik mineral ataupun minyak adalah Papua New Guinea (PNG). Pada tahun 1974 Pemerintah PNG mulai mengembangkan regulasi fiskal untuk produksi mineral dan minyak (Garnaut and Clunies-Ross, 1983). Regulasi ini kemudian menjadi pedoman perusahaan-perusahaan asing dalam melakukan bisnis di PNG.
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 139
B. Metode Analisis Data Estimasi rente kayu bulat dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan utama yaitu: (1) Comparative Value Pricing (CVP); dan (2) Market Pricing (MP) (Eismont et al., 2002). CVP adalah metode estimasi yang dilakukan dengan mengurangkan biaya produksi dari harga pasar kayu bulat. Metode MP adalah sebuah cara estimasi rente kayu bulat berdasarkan lelang hutan dengan menggunakan teknik-teknik ekonometrika. Penelitian ini menggunakan cara yang pertama yaitu metode CVP. Hasil olahan data kemudian dipakai untuk membangun sebuah kerangka penilaian kemungkinan pelaksanaan RRT di logging yang selama ini hanya digunakan di mining. Untuk menjamin kemamputerapan RRT di lapangan, maka dianalisis juga penyesuaian-penyesuaian kebijakan yang diperlukan agar distribusi rente sumberdaya hutan dapat mendorong manajemen hutan yang lestari. C. Metode Pengumpulan Data Karena beberapa keterbatasan sumberdaya terutama waktu dalam pelaksanaan penilitian, data yang digunakan adalah data sekunder, terutama data untuk mengestimasi rente kayu bulat dan untuk analisis kebijakan. Data tersebut diperoleh dari lembaga-lembaga resmi atau hasil penelitian sebelumnya. Namun demikian, mengingat sulitnya menemukan data harga dan biaya operasional pemanenan kayu dengan tingkat akurasi yang tinggi dan konsisten, maka untuk beberapa hal dilakukan estimasi dan pendekatan dengan metode tertentu.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Estimasi Rente Ekonomi Kayu Bulat Untuk melakukan estimasi potensi rente ekonomi kayu bulat, perlu diketahui biaya dan harga kayu bulat (per m3). Pada penelitian ini, harga kayu bulat dihitung dengan cara merata-ratakan harga intenasional kayu bulat jenis Meranti tahun 2004. Meranti dipilih karena mewakili jenis kayu yang tersebar luas di Indonesia dan merupakan produk utama pengelolaan hutan produksi alam. Karena data harga internasional kayu bulat Indonesia tidak ada akibat pemberlakukan larangan ekspor kayu bulat, maka harga kayu bulat didekati dari daftar harga di Sarawak (FOB) untuk akhir tahun 2004 (ITTO, 2004). Tabel 1 memaparkan rata-rata harga kayu bulat jenis Meranti di pasar internasional.
140 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
Tabel 1.
Rataan harga Meranti berdasarkan pada Harga Kayu Bulat Sarawak
Harga Terendah 3 (US$/m ) Meranti SQ up 190 Meranti small 160 Meranti super small 130 Overall Meranti Tipe Kayu Bulat
Harga Tertinggi 3 (US$/m ) 195 165 135
Harga Rata-rata 3 (US$/m ) 192.5 162.5 132.5 162.5
Sumber: ITTO (2004)
Tabel 2 menyajikan estimasi biaya produksi satu meter kubik kayu bulat. Biaya-biaya yang digunakan diambil dari berbagai sumber terutama dua dokumen utama, Indonesia - Ministry of Forestry (2001) dan Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (2003). Untuk menyelaraskan biaya-biaya ke dalam satu titik waktu tertentu, maka digunakan Indeks Harga Konsumen/IHK (BPS, 2005) sebagai penyesuaian biaya-biaya dalam tahun yang bereda-beda. Kelompok komoditas IHK yang dipakai adalah pertanian. Data nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat didasarkan pada publikasi ADB (2004). Penghitungan selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. 3
Tabel 3. Estimasi biaya produksi kayu bulat (US$/m ) tahun 2004
Pos Biaya a) Investasi Pra-investasi AMDAL Pengolahan Citra Satelit Penyusunan Proposal
Nilai
c)
3
(US$/m ) 0.2 0.9 0.7 0.2
b)
Biaya Operasional: Penataan Areal Kerja dan Inventarisasi Sebelum Penebangan Pembukaan Wilayah Hutan dan Pemanenan Perapihan dan Pemeliharaan
4.7 22.0 1.6
b)
Biaya Tetap: Riset dan Pengembangan Tanggung Jawab Sosial Pemeiharaan Infrastruktur Depresiasi BIaya Umum dan Administrasi
0.2 1.1 4.4 3.1 7.9
Biaya Total
46.9
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 141
Notes: a) Sumber: Ministry of Forestry (2001); untuk memperoleh nilai per meter kubik, digunakan beberapa asumsi: (1) luas HPH 100,000 ha, lama konsesi 20 tahun 3 dan AAC per area tebangan adalah 0,65 m /ha/th. b) Sumber: Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (2003). c) Dibakukan ke tahun 2004.
Jika normal profit2 diasumsikan 20% dari total biaya produksi, maka rente ekonomi kayu bulat = harga jual – (biaya produksi + normal profit) = US$106.2/m3. Nilai ini adalah nilai potensial yang mungkin diperoleh/dipungut oleh pemerintah sebagai pemilik sumberdaya hutan. Namun demikian, karena pemerintah memberlakukan larangan akspor kayu bulat, harga kayu bulat aktual yang diterima oleh produsen adalah harga kayu bulat domestik. Berdasarkan data ITTO (2004), harga kayu bulat (Meranti) domestik untuk kayu lapis dan kayu gergajian pada akhir tahun 2004 berkisar antara US$60/m3 – US$115/m3. Rataan harganya mencapai US$90/m3. Dengan demikian, rente ekonomi kayu bulat aktual yang dapat dipungut oleh pemerintah hanya sebesar US$33.7 /m3. Dengan demikian, terdapat kerugian sebesar US$72.5/m3 dibandingkan dengan rente ekonomi potensial jika akses pada pasar internasional dibuka. Angka kerugian ini mencapai dua kali lipat lebih dibandingkan dengan nilai rente ekonomi dengan menggunakan harga domestik. Hal ini dapat dianggap sebagai biaya kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Lebih jauh, adanya perbedaan yang signifikan antara harga domestik dan internasional memicu meningkatnya kegiatan penyelundupan, pencurian kayu dan pembalakan liar. Ironisnya, kebijakan larangan ekspor tersebut justeru dimaksudkan untuk mengatasi masalah tersebut. Kondisi ini telah menyebabkan meluasnya kerusakan hutan dan lingkungan dimana dampak ini harus dimasukkan ke dalam biaya kebijakan. Adanya gap antara kapasitas terpasang industri pengolahan kayu dengan hasil lestari sumberdaya hutan selama ini merupakan hal yang sulit untuk diatasi; dan larangan ekspor kayu bulat juga berperan pada lambatnya proses restrukturisasi sektor industri. Namun demikian, beberapa manfaat dari diberlakukannya larangan ekspor juga perlu dipertimbangkan dalam menilai dampak dari larangan ekspor kayu bulat tersebut antara lain: (1) nilai tambah pengolahan kayu bulat; (2) penyerapan tenaga kerja; dan (3) efek pengganda pada perekonomian daerah.
2
Persentase normal profit diestimasi dengan mengkonsolidasikan persentase yang disarankan oleh Brown (1999), yaitu sebesar 25% dari biaya produksi, dan persentase yang disarankan oleh Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (2003), yaitu sebesar 16% berupa rasio profit, yaitu perbandingan antara profit sebelum dan sesudah ada pungutan.
142 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
B. Distribusi Rente Ekonomi Kayu Bulat Berdasarka data Statistik Kehutanan sebagaimana dikutip oleh Simangunson (2004), total penerimaan emerintah dari berbagai pungutan kehutanan dalam kurun waktu 1993-2003 mencapai US$4,606 million, sedangkan produksi kayu bulat mencapai 203 juta meter kubik. Dengan demikian, rata-rata rente ekonomi kayu bulat yang berhasil dipungut oleh pemerintah adalah US$23.9/m3. Pemerintah juga memperoleh tambahan dana dari pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan dari hutan yang jumlahnya mencapai rata-rata US$0.36/m3 (Faculty of Forestry, 2003). Para pemegang HPH juga dikenai beberapa pungutan oleh pemerintah daerah yang jumlahnya mencapai US$1.07/m3 (Faculty of Forestry, 2003). Dengan demikian, total rente yang dapat dipungut oleh pemerintah diperkirakan mencapai US$25.3/m3. Karena rente kayu bulat yang tersedia untuk dipungut sebesar US$33.7/m3, nilai rente yang tidak dapat dipungut mencapai US$8.4/m3. Ini merupakan kerugian sebesar 24% dari rente kayu bulat aktual (tanpa mempertimbangkan disparitas harga internasional) yang dapat dipungut oleh pemerintah. C. Perbaikan Pungutan Rente Ekonomi Hutan Disamping keridakakuratan dalan menetapkan besarnya pungutan, faktor lain yang mempengaruhi rendahnya penerimaan dari hutan adalah masih lemahnya mekanisme pengumpulan rente tersebut. Dalam hal ini, salah satu upaya yang dapat dicoba oleh pemerintah adalah dengan penerapan Resource Rent Tax (RRT). RRT tidak hanya terkait dengan akumulasi arus kas negtaif ke belakang dengan dibebani bunga sebesar tingkat ambang (threshold rate), tetapi juga berfungsi untuk menghindari pembayaran subsidi oleh pemerintah apabila sebuah perusahaan mengalami arus kas yang negatif. Secara teknis, implementasi RRT dalam pengusahaan hutan dengan sistem TPTI sangat dimungkinkan, karena pada awal-awal pelaksanaan kegiatan TPTI perusahaan mengalami arus kas negatif akibat aktivitas investasi dan persiapan pemanenan, yaitu di 4 tahun pertama. Arus kas negatif pada 4 tahun pertama dan juga kemungkinan arus kas negatif pada tahun-tahun berikutnya akan diakumulasikan dengan tingkat bunga tertentu (threshold rate), hingga mencapai arus kas positif dimana proses akumulasi kemudian dihentikan. Pada posisi ini kemudian arus kas dikenai pajak sebesar pajak yang berlaku, begitu selanjutnya. Jika ditengah-tengah daur atus kas kembali negatif, maka diperlakukan lagi akumulasi hingga mencapai arus kas positif. Tabel 3 memaparkan
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 143
pengenaan RRT di TPTI, data ini didasarkan pada penghitungan yang dilakukan pada Tabel 2. 3
Tabel 3. Contoh pengenaan RRT di TPTI (US$/m )
0
1
2
3
Tahun 4
5
Investasi 5.14 Biaya 2.34 4.67 15.67 26.68 27.04 Operasional Fixed cost 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 Arus Kas 5.14 18.98 21.32 32.32 43.32 43.68 Keluar Total Penerimaan 90.00 90.00 Arus Kas -5.14 -18.98 -21.32 -32.32 46.68 46.32 Bersih (AKB) Akumulasi Nilai AKB -5.14 -25.04 -50.87 -92.34 -62.29 -27.18 pada tingkat bunga 18% RRT (80%) NCF -5.14 -18.98 -21.32 -32.32 46.68 46.32 Setelah Pajak
6
7
27.39
27.57
16.64
16.64
44.04
44.22
90.00
90.00
45.96
45.78
13.89
11.11
36.63
34.85
9.16
Catatan: Data yang digunakan didasarkan pada Tabel 2.
Tabel 3 menunjukkan sebuah contoh skema RRT dengan tingkat ambang sebesar 18% (sama dengan tingkat suku bunga komersial) dan tingkat RRT sebesar 80%. Tabel tersebut hanya menunjukkan periode 7 tahun dari siklus tebang TPTI selama 35 tahun (38 tahun finansial). Akumulasi arus kas bersih (AKB) pada tahun pertama adalah AKB di tahun 0 ditambah dengan 18% AKB di tahun 0 ditambah AKB pada tahun 1 (-US$5.14 + (18% x –US$5.14) + -US$25.04) atau sebesar US$18.98. Demikian pula untuk tahun kedua, akumulasi AKB adalah: US$18.98 + (18% x US$-25.04) + -US$50.87 = -US$21.32. Di tahun keenam dimana arus kas positif, akumulasi AKB kemudian dikenai pajak RRT sebesar 80%. Penghitungan lengkap untuk siklus tebang 35 tahun dipaparkan pada Lempiran 2. Rente ekonomi kayu bulat (sudah termasuk normal profit) yang dihitung menggunakan skema RRT adalah sebesar US$40.3/m3. Penerimaan
144 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
pemerintah dari pengenaan RRT ini adalah sebesar US$31.3/m3, lebih tinggi dibandingkan dengan skema saat ini yang mencapai US$25.3/m3. Gambar 1 mengilustrasikan perbandingan antara skema pungutan saat ini dan yang simulasi yang dihasilkan oleh RRT.
Current Scheme Uncaptured 19%
Normal profit 22%
Captured 59%
RRT Scheme Uncaptured 0%
Normal profit 22%
Captured 78% Gambar 1. Perbandingan Distribusi Rente Ekonomi Kayu Bulat dengan Skema Saat ini dan Dengan Menggunakan RRT
Keuntungan menggunakan sistem RRT adalah adanya stabilitas RRT sebagai sebuah sistem perpajakan yang mampu mengikuti perubahanperubahan makro ekonomi dan politik nasional. Disamping itu, dari sisi filosofi perpajakan, RRT adalah sebuah pajak yang hanpir netral dimana akan mengurangi distorsi dalam hal investasi. Disamping itu, RRT juga Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 145
dapat dikatakan relatif sederhana, mengingat hanya memainkan instrumen tingkat ambang (threshold rate) dan tingkat suku bunga. Namun demikian beberapa kelemahan dan hambatan dalam implementasi RRT, terutama di Indonesia perlu juga dipertimbangkan. Kendala-kendala tersebut meliputi: (1) kemungkinan diperlukannya biaya tambahan untuk mengimplementasikannya; (2) volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing mungkin membuat pemerintah mengenakan fixed rate untuk pajak yang tidak disukai investor; dan (3) perubahan daya beli akibat inflasi mungkin mempengaruhi pemilihan tingkat ambang (threshold rate). D. Membuat RRT Mamputerap dalam Sistem TPTI Kemungkinan dan keberhasilan implementasi RRT dalam pelaksanaan TPTI saat ini sangat tergantung pada situasi kehutanan Indonesia secara lebih luas. Jika skema saat ini diganti secara total dengan RRT, maka kemungkinan kegagalannya cukup tinggi karena akan membutuhkan biaya dan tenaga yang luar biasa besar untuk mengubah sistem. Dengan demikian, melakukan modifikasi mekanisme saat ini merupakan pilihan yang masih bisa dipertimbangkan. Tabel 4 memaparkan usulan skema baru dalam system pungutan rente ekonomi kayu bulat. Tabel 4.
Skema Pungutan Saat ini dan Usulan Modifikasi Menggunakan RRT.
Skema Saat Ini
Skema Baru yang Diajukan
Dana Reboisasi
Dana Jaminan Reboisasi
Provisi Sumberdaya Hutan
Resource Rent Tax
Iuran IUPHHK
Iuran Lelang
Pajak Penghasilan
Pajak Perusahaan
Keterangan
Pajak Bumi dan Bangunan
Masuk dalam Pajak Perusahaan
Pajak Pertambahan Nilai
Masuk dalam Pajak Perusahaan
Pungutan Pemda
Masuk ke dalam RRT
146 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
Pengenaan kembali Dana Jaminan Reboisasi diharapkan mampu mendorong para pemegang ijin pemanfaatan kayu bulat untuk melakukan praktik-praktik pembalakan yang lebih baik. Pelaksanaan lelang akan memperbaiki sistem penguasaan lahan hutan dan meningkatkan tingkat persaingan bisnis yang sehat. Dengan skema baru yang dusulkan tersebut maka dapat diperoleh gambaran distribusi rente ekonomi kayu bulat sebagaimana dipaparkan pada Tabel 5. Tabel 5. Distibusi Rente Ekonomi Kayu Bulat
Sekama yang Diajukan Harga Kayu Domestik
Rente (US$/m3) 126.0
Biaya Eksploitasi + Normal Profit
58.8
Rente Ekonomi Total
67.2
Dana Jaminan Reboisasi
Iuran Lelang
Resource Rent Tax
Keterangan
16.0
Disarankan oleh Brown (1999)
5.0
Disarankan oleh Brown (1999)
46.2
Rente ekonomi setelah pungutan
0.0
+ Normal profit
9.1
Laba Total Sebelum Pajak
9.1
Pajak Perusahaan (30% of profit)
2.7
Harga kayu domestik diharapkan meningkat jika kebijakan larangan ekspor kayu bulat dihapus. Dengan adanya penghapusan kembali larangan ekspor kayu bulat maka harga kayu domestik akan menyesuaikan dengan harga kayu bulat internasional. Dengan berbagai pertimbangan ekonomi, maka dapat diharapkan harga kayu bulat akan berada di antara harga domestic dan harga internasional saat ini (Brown,
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 147
1999), atau sekitar US$126/m3. Total rente ekonomi yang dapat dipungut oleh pemerintah berdasarkan Tabel 5 mencapai US$67.2/m3. Nilai ini lebih tinggi daripada seluruh total rente ekonomi yang tersedia mengingat sudah termasuk juga pajak perusahaan yang diambil dari sebagian normal profit. Secara umum, implementasi RRT akan membutuhkan situasi kehutanan Indonesia yang lebih kondusif. Untuk lebih mengoptimalkan implementasinya, maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian kebijakan di tingkat makro antara lain: (1) distribusi pendapatan dari hutan antara pusat dan daerah; (2) penghapusan larangan ekspor kayu bulat; (3) revitalisasi sektor kehutanan; (4) penanganan pembalakan liar; dan (5) pemantapan kebijakan soft landing.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Skema sistem penerimaan hutan saat di Indonesia saat ini tidak mampu memungut rente ekonomi kayu bulat akibat kelemahan internal dan distorsi kebijakan di sektor kehutanan. Rente kayu bulat aktual yang tersedia untuk dipungut pada tahun 2004 mencapai US$33.7/m3, namun dengan sistem sekarang ini, hanya 75% yang diperoleh pemerintah. Penggunaan RRT dimungkinkan untuk memperbaiki kinerja pemungutan rente ekonomi hutan degan mengambil proporsi yang lebih besar dari rente yang tersedia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa rente aktual tersebut didasarkan pada kondisi diterapkannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang telah menghilangkan hampir 2/3 rente potensial. RRT dapat dikenakan untukmenggantikan pungutan berdasarkan volume untuk menghindari adanya under-reporting dalam produksi log. RRT juga dapat menghindari perubahan perilaku investasi di bidang pembalakan mengingat RRT merupakan pajak berbasis profit. Namun demikian, terdapat beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan RRT, antara lain, kemungkinan diperlukannya biaya tambahan untuk mengimplementasikannya, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing mungkin membuat pemerintah mengenakan fixed rate untuk pajak yang tidak disukai investor dan perubahan daya beli akibat inflasi mungkin mempengaruhi pemilihan tingkat ambang (threshold rate).
148 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
B. Saran Untuk memastikan kemamputerapan sebuah sistem, beberapa kegagalan perintah terkait dengan pengelolaan hutan harus segera diatasi. Penghapusan larangan ekspor kayu bulat akan meningkatkan rente ekonomi kayu bulat yang mendorong pada efisiensi industri. Pelelangan hak pengusahaan hutan dan perpanjangan periode konsesi akan menjamin sistem TPTI dilaksanakan secara layak. Jika hal ini dapat dilakukan maka implementasi RRT menjadi lebih berarti dalam meningkatkan nilai pungutan hutan dan memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya hutan.
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 149
DAFTAR PUSTAKA ADB, 2004. Key Indicators 2004: Poverty in Asia: Measurement, estimates, and prospect, Asian Development Bank, Manila, Phillipines. Bosquet, B., 2002. The Role of Natural resources in fundamental tax Reform in the Russian Federation, World Bank Policy Research Working Paper No. 2807. BPS (Badan Pusat Statistik/Statistics Indonesia), 2005. Wholesale Price Indices (1993=100) Indonesia, 1998 – March 2005, available online from http://www.bps.go.id/sector/wpi/table1.shtml (10/05/2005). Brown, D. W., 1999. Addicted to Rent: Corporate and spatial distribution in Indonesia; Implication for forest sustainability and government policy, Report No: PFM/EC/99/06, Indonesia-UK Tropical Forestry Management Programme, Jakarta. Eismont, O., Petrov, A., Logvin, A., and Bosquet, B., 2002. Estimation of Timber Rent and the Efficiency of Increasing Rental Payments in Russia, Working Paper No. 01/13, EERC, Moscow. Emerson, C., 1984. Mining Taxation in ASEAN, Australia and Papua New Guinea, ASEAN-Australia Joint Research Project, Kuala Lumpur and Canberra. Fane, G. and Smith, B., 1986. Resource Rent Tax, in Australian Energy Policies in the 80’s, ed C.D. Trengove, Allen and Unwin Australia, Sydney. Fraser, R.W., 1993. On the Neutrality of the Resource Rent Tax, Economic Record, 69(204):56-60. _________, 1998. Lease Allocation Systems, Risk Aversion and the Resource Rent Tax, The Australian Journal of Agriculture and Resource Economics, 42(2):115-130. FWI/GFW. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch. Garnaut, R. and Clunies-Ross, A., 1975. Uncertainty, Risk Aversion and the Taxing of Natural Resource Projects, The Economic Journal, 85(338):272-287. ___________________________, 1983. Taxation of Mineral Rents, Oxford, New York.
150 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
Gillis, M., 1988. Indonesia: Public policies, resource management and the tropical forest, In Public Policy and the Misuse of Forest Resources, eds. Repetto, R. and Gillis, M., Cambridge University Press, New York. Ginoga, K.L., Lugina, M., and Erwidodo, 2001. Kajian Kebijakan Potensi Dana Reboisasi dan Provisi Sumberdaya Hutan (Policy evaluation: potential of Reforestation Fund and Forest Resource Provision), Jurnal Sosek, 2(2):151-171. Gray, J. A., 1992. Forest Concession Policies and Revenue Systems: Country experience and policy changes for sustainable tropical forestry, World Bank Technical Paper No. 522, Forests Series, The World Bank, Washington, D.C. Hartwick, J.M., and Olewiler, N.D., 1998. The Economics of Natural Resource Use, 2nd edn, Addison-Wesley, Reading. Hunt, C., 2002. Efficient and Equitable Forest Rent Capture in Three Pacific Island Nations: Opportunities and impediments in forest policy reform, Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1):39-53. Hyde, W.F. and Sedjo, R.A., 1992. Managing Tropical Forests: Reflections on the rent distribution discussion, Land Economics, 68(3):343-350. Indonesia, Directorate General of Forest Utilisation, 1989. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (A Guide for Indonesian Selective Cutting and Replanting), Ministry of Forestry. Jakarta. Indonesia, Directorate General of Forestry Production, 2004. Daftar Rendemen Kayu Olahan (Lists of Processed Wood Recovery Rate), available online from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/HUMAS/2004/Rendemen.ht m (24/10/05). Indonesia, Forest Planning Agency, 2004. Indonesia Forestry Statistics 2003, Ministry of Forestry, Republic of Indonesia, Jakarta. Ricardo, D., 1927. Principles of Political Economy and Taxation, ed E.C.K. Goner, G. Bell & Sons, London. Smith, B., 1999. The Impossibility of a Neutral Resource Rent Tax, Working Papers in Economics and Econometrics No. 380, Faculty of Economics and Commerce and Economic Program, Research School of Social Sciences, Australian National University.
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 151
Swan, P.L., 1976. Income Taxes, Profit Taxes and the Neutrality of Optimizing Decisions, Economic Record, 52(138):166-181. Titienberg, T. 2004. Environmental Economics and Policy, 4th Edition, Pearson Addison Wesley, Boston. van Kooten, G.C. and Folmer, H., 2004. Land and Forest Economics, Edward Elgar, Centelham, UK. Vincent, J.R., 1990. Rent Capture and the Feasibility of Tropical Forest Management, Land Economics, 66(2):212-223. ___________, 1993. Managing Tropical Forests: Comment, Land Economics, 69(3):313-318. Whiteman, A., 1996. Economic Rent and the Appropriate Level of Forest Product Royalties in 1996, Report number: SMAT/EC/96/1, Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme, available online from http://www.fao.org/WAIRDOCS/AC841E/ AC841E00.htm (07/04/2005).
152 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
Lampiran 1. Estimasi Biaya Produksi Satu Meter Kubik Log Item Investment
Value in Rp
Unit
2,000,000,000
-
Year
Value in 2004 (US$/m3)d)
Conversion WPI
b)
Rp/m
3
a)
Pre-investment
2001 2,236,331,570.0
34,278.4 c)
0.2
AMDAL (EIA)
5,200
1/ha
2001
5,814.5
8,912.4c)
0.9
Landsat Image Acquisition
4,200
1/ha
2001
4,696.3
7,198.5c)
0.7
c)
Project Proposal Operating costs: e) Working area design + prelogging inventory Road construction + Harvesting Treatments after harvesting Fixed costs: e) R&D Social Responsibility Infrastructure maintenance Depreciation General Expenses and Administration Cost Total Cost
1,350
1/ha
2001
1,509.5
2,313.8
0.2
38,114.5
1/m3
2003
39,356.0
39,356.0
4.7
179,464.0
1/m3
2003
185,309.7
185,309.7
22.0
13,183.0
1/m
3
2003
13,612.4
13,612.4
1.6
1,310.0
1/m3
2003
1,352.6
1,352.6
0.2
8,594.3
1/m
3
2003
8,874.2
8,874.3
1.1
36,143.1
1/m3
2003
37,320.4
37,320.4
4.4
25,155.2
1/m
3
2003
25,974.6
25,974.6
3.1
64,557.2
1/m3
2003
66,660.0
66,660.0
7.9 46.9
Notes: a) Ministry of Forestry (2001) b) BPS (2005); WPI = Wholesale Price Indices c) AAC per Logging Area in 2001 = 0.65 m3/ha/year (Concession area = 100,000 ha, Cutting cycle = 35 years) d) Asian Development Bank (2004) e) Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (2003)
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 153
Lampiran 2. Estimasi Rente yang Dapat Dipungut dengan RRT Year
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Item Investment Operating Cost Fixed cost Total cash outflows
5.14 2.34 4.67 15.67 26.68 27.04 27.39 27.57 27.75 27.75 27.75 27.75 27.75
16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 5.14 18.98 21.32 32.32 43.32 43.68 44.04 44.22 44.40 44.40 44.40 44.40 44.40
Revenue Net Cash Flow (NCF)
90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 5.14 18.98 21.32 32.32 46.68 46.32 45.96 45.78 45.60 45.60 45.60 45.60 45.60
Accumulated value of NCF 5.14 25.04 50.87 92.34 62.29 27.18 13.89 at 18% RRT (80%) NCF After Tax Operating cost Fixed cost Total cash outflows Revenue Net Cash Flow (NCF) Accumulated value of NCF at 18% RRT (80%) NCF After Tax
11.11 36.63 36.48 36.48 36.48 36.48 36.48 46.68 46.32 34.85 9.16 9.12 9.12 9.12 9.12 9.12 5.14 18.98 21.32 32.32 27.93
27.93 27.93 27.93 27.93 28.11 28.11 28.11 28.11 28.11 28.29 28.29
16.64
16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64
44.58
44.58 44.58 44.58 44.58 44.76 44.76 44.76 44.76 44.76 44.94 44.94
90.00
90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00
45.42
45.42 45.42 45.42 45.42 45.24 45.24 45.24 45.24 45.24 45.06 45.06
36.34
36.34 36.34 36.34 36.34 36.19 36.19 36.19 36.19 36.19 36.05 36.05
9.08
9.08 9.08 9.08 9.08 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.01 9.01
154 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari
Lampiran 3. Year Item Investment Operating cost
25
26
27
28
29
30
32
33
34
35
36
37
38
28.29 28.2928.2928.29 28.29 28.29 28.29 28.29 28.29 28.29 28.29 25.96 23.62 12.62
Fixed cost
16.64 16.6416.6416.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64
Total cash outflows
44.94 44.9444.9444.94 44.94 44.94 44.94 44.94 44.94 44.94 44.94 42.60 40.26 29.26
Revenue
90.00 90.0090.0090.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00 90.00
Net Cash Flow (NCF) 45.06 45.0645.0645.06 45.06 45.06 45.06 45.06 45.06 45.06 45.06 47.40 49.74 60.74 Accumulated value of NCF at 18% RRT (80%)
36.05 36.0536.0536.05 36.05 36.05 36.05 36.05 36.05 36.05 36.05 37.92 39.79 48.59
NCF After Tax
9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.01 9.48 9.95 12.15
Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 155