BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan kayu meningkat setiap tahun, sedangkan pasokan yang dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu dunia diperkirakan sekitar 3,4 milyar m3/tahun dengan hampir setengahnya digunakan untuk bahan bakar dan industri kayu. Tahun 2040 diprediksi kebutuhan kayu dunia untuk industri akan meningkat dari yang saat ini 1,5 milyar m3/tahun menjadi sekitar 2,5 milyar m3/tahun (Lelu-Walter dkk., 2013). Kebutuhan kayu yang terus meningkat memang merupakan masalah yang serius dan salah satu solusinya adalah dengan membangun hutan tanaman. Lelu-Walter (2013) menjelaskan bahwa nantinya 50-75 % kebutuhan kayu untuk industri harus disuplai dari hutan tanaman. Selain menghasilkan kayu, hutan tanaman juga dapat menghasilkan hasil hutan non kayu, simpanan karbon, habitat satwa liar, dan area konservasi atau restorasi bagi keanekaragaman hayati (Tangmitcharoen dkk., 2006). Salah satu hutan tanaman yang sangat berkembang adalah hutan tanaman Tectona grandis L.f (jati). Sejak 1980-an, pasokan kayu jati dari hutan alam sudah mulai berkurang dan jati telah berkembang semakin luas menjadi hutan tanaman tropis di seluruh Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (Kollert dan Cherubini, 2012). Jati sebenarnya bukan tanaman asli Indonesia dan baru diperkenalkan pertama kali di Jawa antara 400-600 tahun yang lalu, tetapi saat ini hutan jati di Indonesia telah menjadi salah satu sumber utama jati di dunia dengan total areal
1
seluas 1.269.000 hektar (Sumarna, 2004; Kollert dan Cherubini, 2012). Wint (2010) juga menambahkan bahwa hutan jati yang ada di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Jawa dengan luas sekitar 1 juta hektar. Tanaman jati telah lama dikenal dan banyak dikembangkan di Indonesia karena nilai ekonomisnya yang tinggi dan penanamannya yang relatif mudah (Na’iem, 1999). Oleh karena itu, hutan tanaman jati masih tetap menjadi andalan bagi pengelola hutan tanaman dan hutan rakyat, khususnya di Jawa. Jati dikenal sebagai kayu mewah karena kekuatan dan keawetannya (kelas kuat II, kelas awet II) (Samingan, 1982; Sumarna, 2004). Menurut Cordes (1992) jati mempunyai nilai tinggi karena tanaman ini lebih tahan terhadap perubahan musim. Wardani (2008) menambahkan bahwa tanaman jati sangat berharga dan dapat digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan karena mempunyai kelas awet yang tinggi, dimensinya stabil, dekoratif, serta mudah dikerjakan. Pemakaiannya tidak hanya sebagai bahan bangunan, tetapi cenderung lebih banyak digunakan untuk mebel, vinir sayatan, dan panel-panel mozaik yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Jati bersama dengan mahoni (Swietenia macrophylla), red cedar (Cedrela odorata) dan Indian rosewood (Dalbergia sissoo) adalah jenis kayu keras tropis yang paling diminati di pasaran dunia dari segi kemewahan dan untuk aplikasi konstruksi skala berat (Kollert dan Cherubini, 2012). Namun permintaan pasar terhadap kayu jati belum dapat dipenuhi sepenuhnya, baik domestik maupun internasional. Kebutuhan kayu jati olahan di Indonesia untuk pasar domestik dan ekspor pada tahun 2003 sebesar 2,5 juta m3/tahun dan baru terpenuhi maksimal
2
sebesar 0,7 juta m3/tahun oleh Perum Perhutani (Siswamartana dan Wibowo, 2005). Ini berarti masih ada kekurangan pemenuhan kayu jati olahan sebesar 1,8 juta m3/tahun. Hal ini tentu saja menjadi peluang dan tantangan besar bagi pengelola hutan untuk terus mengembangkan hutan tanaman jati di Indonesia. Sekarang ini sebagian besar kebutuhan kayu jati tidak dipenuhi dari hutan negara (Perum Perhutani), tetapi dari hutan rakyat. Penanaman pohon jati telah menjadi pilihan investasi yang menarik dan menguntungkan bagi masyarakat. Salah satu daerah dengan hutan rakyat jati yang mempunyai potensi besar adalah kabupaten Gunung Kidul. Priyanto (2004); Arupa (2010) menjelaskan bahwa produksi kayu jati dari hutan rakyat di Gunung Kidul berkisar antara 65.000 - 81.000 m3/tahun. Pohon-pohon jati telah berperan sebagai tabungan jangka panjang untuk keperluan rumah tangga yang membutuhkan biaya besar (Pramono dkk., 2010). Namun demikian, produktivitas dan kualitas kayu yang rendah menjadi kendala untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari hutan jati rakyat. Sebagai contoh, Antara (2012) menyebutkan bahwa secara umum harga kayu jati rakyat hanya berkisar 3-3,5 juta/m3, jauh di bawah harga kayu jati Perhutani yang bisa mencapai 4-5 juta/ m3. Nilai jual kayu jati memang sangat ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan dengan: ukuran dan kelurusan batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat kayu, serta ada tidaknya cacat kayu. Selain itu riap yang cepat akan sangat meningkatkan produktivitas tegakan per satuan luas dan efisiensi waktu. Perlakuan silvikultur yang tepat akan mampu meningkatkan produktivitas dan mutu pohon jati, salah satunya adalah dengan menggunakan bibit unggul yang
3
mampu menghasilkan pohon dengan pertumbuhan cepat dan berbatang lurus. Penggunaan bibit bergenetik unggul mampu memperbesar jaminan keberhasilan pembangunan hutan, sehingga masalah-masalah yang timbul seperti kebutuhan kayu yang tidak tercukupi dapat terpenuhi dan manfaat-manfaat lain dari hutan baik secara ekonomi maupun ekologi dapat tercapai. Bibit bergenetik unggul yang sangat dibutuhkan ini dapat dihasilkan melalui program pemuliaan pohon dan diperbanyak dengan perbanyakan vegetatif (klon). Pengembangan tanaman jati untuk pertanaman massal yang produktif diawali dengan kegiatan pemuliaan pohon. Di Indonesia, program pemuliaan pohon jati secara intensif diawali sejak tahun 1997. Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan pencarian dan seleksi pohon plus, pembuatan bank klon serta kebun pangkas. Seperti yang dijelaskan oleh Siswamartana dan Sutrisno (2005), dari hasil eksplorasi tersebut sampai tahun 1999 telah diperoleh 300 pohon plus yang berasal dari Jawa dan 380 pohon plus dari luar Jawa, yang merupakan sumber genetik populasi dasar untuk program pemuliaan pohon. Dalam rangka mendorong berkembangnya perhutanan klon, sangat diperlukan tersedianya klon-klon yang telah terbukti unggul melalui uji klon. Uji klon adalah suatu kegiatan untuk mengevaluasi, menyeleksi dan mendapatkan klon-klon unggul sesuai karakteristik atau sifat yang diinginkan serta memperkirakan
genotipe
yang
diharapkan
tanpa
mengetahui
perilaku
perkawinannya (Wright, 1976; Iriantono dkk., 2004). Pada dasarnya uji klon sama dengan uji keturunan, yang membedakan adalah materi yang digunakan. Uji klon
4
menggunakan materi berasal dari hasil perbanyakan vegetatif, misalnya stek pucuk atau kultur jaringan, sedangkan uji keturunan menggunakan materi dari perbanyakan secara generatif (Hardiyanto, 2010). Oleh karena itu uji klon perlu dilakukan karena memiliki nilai yang sangat strategis. Dalam penelitian ini yang diuji adalah klon-klon jati JUN (Jati Unggul Nusantara). Klon-klon jati dari KPWN sebenarnya adalah klon bergenetik unggul, karena merupakan hasil dari program pemuliaan yang sudah dilakukan sebelumnya serta telah digunakan sebagai materi perbanyakan untuk populasi produksi. Tetapi belum tentu semua klon-klon yang ada akan tumbuh baik di Wanagama. Fenotipe pohon (kuantitas dan kualitas pertumbuhan tanaman) dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kondisi lingkungan di lokasi penelitian, yaitu Wanagama Gunung Kidul bisa jadi sangat berbeda dengan lokasi yang dijadikan lokasi program pemuliaan sebelumnya. Ketinggian lokasi penelitian adalah ± 700 m dpl dengan suhu rata-rata 26,13 oC serta menurut
pembagian iklim Schmidt dan Ferguson termasuk dalam tipe iklim C. Curah hujan rata-rata sebesar 1.900 mm/tahun. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober hingga bulan April. Solum tanah sangat dangkal/tipis (<10 cm atau berkisar antara 10-20 cm) dan berbatu (Supriyo, 2004). Dengan kondisi tapak Wanagama yang seperti itu, boleh dikatakan bahwa daerah Wanagama merupakan daerah dengan tapak yang ekstrim dan tidak optimum untuk pertumbuhan jati. Oleh karena itu penelitian “Evaluasi Uji Klon Jati (Tectona grandis L.f) Umur 3,5 Tahun di Hutan Pendidikan Wanagama Gunung Kidul” sangat diperlukan untuk menguji konsistensi dari masing-masing klon di Hutan
5
Pendidikan Wanagama Gunung Kidul. Uji klon ini juga untuk mengetahui dan merekomendasikan klon-klon mana saja yang cocok dikembangkan di Wanagama dan daerah di sekitarnya dengan kondisi tapak mirip dengan Wanagama. Hasil evaluasi sampai umur 3,5 tahun diharapkan dapat dipergunakan dalam program seleksi tanaman uji dan/atau mendorong pengembangan perhutanan klon untuk mendukung keberhasilan pembangunan hutan tanaman maupun hutan rakyat. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian uji klon ini adalah: 1. Apakah diantara klon-klon yang diuji terdapat klon-klon yang dapat dipilih untuk bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas perhutanan klon? 2. Seberapa besar faktor genetik mempengaruhi pertumbuhan populasi pertanaman uji klon dan apakah penggunaan klon-klon terbaik dari uji klon ini mampu meningkatkan produktivitas hutan tanaman jati? 3. Bagaimana faktor lingkungan abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan klon-klon yang diujikan? Sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan pertama diperlukan informasi antara lain: 1) variasi genetik diantara klon-klon yang diujikan pada karakter tinggi pohon dan diameter batang, serta 2) identifikasi klon-klon terbaik pada lokasi penelitian. Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan kedua dibutuhkan informasi: 1) nilai taksiran heritabilitas klon jati untuk karakter tinggi dan diameter batang, 2) taksiran perolehan genetik dan 3) korelasi genetik antara karakter tinggi pohon dan diameter batang. Untuk menjawab pertanyaan ketiga diperlukan data/informasi tentang: 1) tebal solum pada lokasi penelitian, 2) fluktuasi perubahan diameter dalam skala μm, 3) kelembaban tanah, serta 4) data
6
cuaca (curah hujan, kelembaban udara, dan suhu udara). Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan
informasi
dalam
kegiatan
pemuliaan
pohon
dan
pembangunan perhutanan klon jati untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman maupun hutan rakyat jati yang selama ini masih rendah. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian uji klon jati (Tectona grandis L.f) ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi klon terbaik pada lokasi penelitian; 2. Mengetahui porsi peran genetik dalam pertumbuhan dan taksiran perolehan genetik pada karakter tinggi pohon dan diameter batang; 3. Mengetahui peran faktor lingkungan abiotik dalam pertumbuhan pertanaman uji klon. 1.3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Terdapat variasi pertumbuhan tinggi dan diameter batang antar klon sehingga dapat dipilih klon terbaik pada pertanaman uji klon jati di Hutan Pendidikan Wanagama Gunung Kidul. 2. Penggunaan klon terbaik untuk membangun perhutanan klon dapat meningkatkan produktivitas hasil yang ditunjukkan dengan fenotipe tanaman pada karakter tinggi dan diameter batang tanaman lebih dikendalikan faktor genetik daripada lingkungan dan perolehan genetiknya besar. 3. Faktor lingkungan abiotik berpengaruh pada pertumbuhan tanaman uji klon jati.
7