I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan komoditas ternak, khususnya daging. Fenomena ini berakibat pada perlunya sumber protein hewani untuk ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperbanyak populasi ternak, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Domba adalah salah satu ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari kelebihan yang dimiliki oleh domba, diantaranya mudah beradaptasi, mudah berkembang biak, dan mampu beranak lebih dari satu (prolifik). Permintaan akan daging domba sudah mulai meningkat akan tetapi belum dapat terpenuhi, khususnya di daerah Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi terhadap konsumsi daging domba hanya sebesar 5% (Dinas Peternakan 2010). Kebutuhan akan daging yang masih belum terpenuhi di daerah Jawa Barat dapat diatasi dengan meningkatkan populasi ternak khususnya Domba Priangan. Domba ini merupakan plasma nutfah asli Jawa Barat yang mempunyai ciri-ciri perpaduan antara telinga rubak dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong. Domba Priangan sangat potensial dikembangkan, karena merupakan salah satu ternak yang memberikan sumbangan daging di Jawa Barat, sehingga
1
dengan
meningkatkan populasi nantinya kebutuhan masyarakat Jawa Barat akan daging dapat terpenuhi. Domba di pasar internasional diperdagangkan menjadi tiga kelompok utama berdasarkan umur, yaitu lamb, yearling, dan mutton. Lamb adalah domba umur dibawah 12 bulan, sedangkan yearling adalah domba yang berumur 12-24 bulan, dan mutton adalah domba yang berumur diatas 24 bulan. Menurut Bapak Agus salah satu pemilik TPH menyatakan bahwa permintaan daging domba di Kabupaten Bogor, terutama di rumah–rumah makan umumnya adalah domba betina yang berumur 12-24 bulan (yearling) dengan bobot karkas 15 sampai 20 kg dan domba yang berumur dibawah 12 bulan (lamb) dengan bobot karkas kurang dari 10 kg. Pemotongan domba betina sebenarnya bertolak belakang dengan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Berdasarkan pasal 18 UU No. 6 ayat 2 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dinyatakan bahwa ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penangulangan penyakit. Berdasarkan undang-undang tersebut sudah jelas bahwa pemotongan domba betina merupakan suatu pelanggaran. Domba jantan pada umumnya dipelihara untuk dijual pada hari raya Idul Adha, dengan pertimbangan harga jual relatif tinggi sehingga dapat memberikan keuntungan yang besar. Disisi lain permintaan daging terus berlanjut, kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya pemotongan betina yang terus menerus.
2
Pemotongan ternak akan menghasilkan bagian karkas maupun non-karkas. Tidak hanya bagian karkas yang mempunyai nilai ekonomis akan tetapi bagian-bagian tubuh seperti kepala, kaki, kulit, dan jeroan (non karkas) juga memiliki nilai ekonomis. Bagian-bagian tersebut digunakan untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan makanan. Bagian nonkarkas inilah yang menjadi nilai tambah bagi pemilik ternak. Saat ini informasi mengenai persentase bagian–bagian tubuh
pada Domba
Priangan betina belum banyak dilakukan, maka penelitian mengenai bagian-bagian tubuh perlu dilakukan.
1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi masalah yang dapat diambil, yaitu bagaimana persentase kepala, kaki, kulit, dan jeroan Domba Priangan betina pada umur yang berbeda yaitu pada lamb dan yearling.
1.3. Maksud dan Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase bagian-bagian tubuh (kepala, kaki, kulit, dan jeroan) Domba Priangan betina pada umur yang berbeda yaitu lamb dan yearling.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi untuk ilmu pengetahuan dan acuan dasar bagi penelitian selanjutnya dan
3
juga melengkapi informasi komposisi bagian-bagian tubuh yaitu kepala, kaki, kulit, dan jeroan pada Domba Priangan betina lamb dan yearling.
1.5. Kerangka Pemikiran Ternak domba merupakan salah satu jenis ternak yang digemari masyarakat Indonesia terutama di Jawa Barat. Populasi domba di Jawa Barat merupakan yang terbesar dibandingkan wilayah lain, jumlahnya mencapai 5.977.367 ekor (Dinas Peternakan Jawa Barat 2010). Ternak ini sangat potensial untuk dikembangkan agar dapat mensuplai kebutuhan daging yang merupakan hasil utama dari suatu ternak. Selain karkas hasil yang didapat dari pemotongan ternak adalah bagian non-karkas. Pertumbuhan dan perkembangan karkas dan non-karkas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, bobot badan, umur, nutrisi, dan genetik. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan pada ternak. Domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda, hal ini disebabkan pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Herman, 2003), akan tetapi walaupun pertumbuhannya lebih cepat, domba jantan mengandung lebih banyak otot dan tulang, dan lebih sedikit lemak daripada domba betina. Hal ini disebabkan adanya pengaruh hormon testoteron yang mempunyai pengaruh metabolik sebagai steroid anabolik protein (menstimulasi sintesa protein) dan merangsang pertumbuhan otot dan tulang dan menurunkan deposisi lemak.
4
Domba betina memiliki beberapa keunggulan dibanding domba jantan diantaranya adalah tingkat keempukan daging yang lebih empuk, hal tersebut dikarenakan ternak jantan lebih aktif dibandingkan ternak betina. Domba betina juga menghasilkan daging yang mengandung lemak yang relatif tinggi dibandingkan domba jantan. Lemak berfungsi sebagai pembungkus daging dan memberikan keempukan pada daging (Berg dan Butterfield, 1976), sehingga tingginya kadar lemak akan mempengaruhi cita rasa. Bobot badan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan produksi daging. Semakin tinggi bobot badan suatu ternak maka produksi dagingnya akan semakin tinggi pula. Hal ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dan perkembangan, dimana komposisi tubuh akan berubah pada setiap pertumbuhan atau perkembangannya (Kosum dkk., 2003). Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh pertumbuhan bagian– bagian yang terdiri dari organ-organ tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan menyebabkan bagian-bagian tubuh mengalami perubahan. Perubahan yang dialami pada tiap bagian tubuh mempunyai kecepatan yang berbeda. Bagian tubuh akan mengalami pertambahan berat selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan. Pertumbuhan terjadi mulai dari periode prenatal atau sebelum lahir hingga
periode
pertumbuhan
postnatal
postnatal
atau
tulang,
sesudah otot,
dan
lahir.
Selama
periode
lemak
mempunyai
laju
pertumbuhan yang berbeda-beda, tulang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan pertumbuhan otot dan lemak (Soeparno, 2005)
5
Bertambahnya
umur
ternak
akan
menyebabkan
perubahan
proporsi dan bagian-bagian tubuh hewan berbeda pertumbuhannya, karena terdapat perbedaan tingkat pertumbuhan pada setiap organ dan jaringan tubuh ternak. Tulang akan tumbuh lebih awal dilanjutkan pertumbuhan
otot
sampai
pubertas,
kemudian
setelah
pubertas
pertumbuhan otot menurun (Soeparno, 2005). Bagian tubuh ternak dibedakan menjadi dua yaitu bagian karkas dan bagian non-karkas. Pertumbuhan komponen karkas berbeda kecepatannya. Sesuai dengan pola pertumbuhan komponen karkas diawali
dengan
pertumbuhan
pertumbuhan
otot,
dan
tulang
deposisi
sampai
lemak
akan
pubertas,
dilanjukan
meningkat
setelah
tercapainya dewasa tubuh (Soeparno, 2005). Bagian non-karkas terdiri dari bagian internal dan eksternal (Soeparno, 2005). dengan
Kedua bagian tersebut akan terus tumbuh sejalan
bertambahnya
umur.
Umur
yang
semakin
bertambah
menyebabkan bobot badan akan semakin berat sehingga persentase non karkas akan semakin tinggi. Pertumbuhan bagian-bagian tubuh ternak bergantung pada fungsi awal bagian tersebut. Kepala dan kaki merupakan bagian tubuh yang masak dini, (Tobing dkk, 2004). Bagian non karkas eksternal kepala, kaki, dan kulit terus berkembang sesuai dengan bobot potong. Makin tinggi bobot potong maka makin tinggi bobot kepala, kaki dan ekor dan makin luas kulit (Goliomyitis, 2005, disitasi oleh Hatta, 2009). Saluran pencernaan domba, mengalami tiga fase perubahan. Fase pertama adalah, pada waktu domba dilahirkan sampai dengan umur tiga
6
minggu yang disebut fase non ruminansia. Fase kedua mulai umur 3 sampai dengan 8 minggu disebut fase transisi yaitu perubahan dari tahap non ruminansia menjadi ruminansia yang ditandai dengan perkembangan rumen. Tahap ketiga adalah fase ruminansia dewasa yaitu setelah umur domba lebih dari 8 minggu ( Van Soest, dkk., 1983). Bagian non-karkas internal mempunyai persentase berat yang lebih tinggi dibandingkan bagian eksternal. Persentase jeroan pada Domba Ekor Tipis pada bobot potong 15-20 kg yaitu saluran pencernaan, jantung, dan hati secara berturut-turut yaitu 8,87%, 0,52%, dan 2,33% sedangkan persentase kepala, kaki, dan kulit secara berurutan dengan bobot potong yang sama yaitu 7,73%, 2,98%, dan 9,77%, sedangkan pada bobot domba 10-14,99 kg bagian saluran pencernaan, jantung, hati, kepala, kaki, dan kulit secara berurutan 10,10%, 0,54%, 2,63%, 8,61%, 3,43%, dan 10,33% (Wisnu, 2009) apabila dijumlahkan persentase karkas eksternal sebesar 19,48%. Persentase Domba Lokal betina pada bagian saluran pencernaan, jantung, hati, kepala, kaki, dan kulit secara berurutan yaitu sebesar 8,76%, 0,64%, 2,18%, 7,57%, 3,05%, dan 10,03% (Muyasaroh, 2007).
1.6. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 14 hari, mulai tanggal 2 – 16 Juni 2012 di Tempat Pemotongan Hewan Bapak Agus, Kampung Maleber, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.
7