1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1.1 Krisis Energi Kebutuhan energi di segala aspek kehidupan manusia saat ini semakin meningkat dengan pesat, sedangkan persediaan sumber energi semakin berkurang. Meningkatnya kebutuhan energi tersebut di atas, salah satunya dipengaruhi oleh adanya peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan ekonomi yang pesat, maka dibutuhkan dukungan sumber energi yang memadai. Dalam kondisi ini, Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan menggunakan energi se-efektif dan se-efisien mungkin. Menurut analisis yang dilakukan oleh suatu lembaga konservasi energi di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia (EECCHI) pada tahun 2012, berdasarkan data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dari 5,7% pada tahun 2005 menjadi 5,9% pada tahun 2010, dan diproyeksikan mencapai 6,2% setiap tahunnya. Semua pertumbuhan ini tentunya disertai dengan meningkatnya kebutuhan energi akibat bertambahnya bangunan gedung, seperti : rumah tinggal, bangunan komersial serta industri. Jika diasumsikan rata-rata pertumbuhan energi listrik sebesar 7% pertahun, maka selama kurun waktu 30 tahun ke depan konsumsi listrik akan meningkat tajam. Seperti halnya pada sektor rumah tangga, konsumsi listrik akan meningkat dari 21,51 Gwh di tahun 2000 menjadi sekitar 444,53 Gwh 1
2
pada tahun 2030, dan besarnya energi tersebut adalah 11,4% dari total energi yang dikonsumsi. Hal serupa juga dilansir dalam Perencanaan Elastisitas dan Efesiensi Energi 2012 oleh B2TE BPPT. Konsumsi energi final Indonesia terus mengalami kenaikan seiring dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi di semua sektor; industri, transportasi, rumah tangga maupun komersial. Dengan kenaikan rata-rata per tahun 3,3% (4,5% tanpa biomasa). Konsumsi energi final Indonesia pada tahun 2010 mencapai 1.081,4 juta SBM.
Gambar 1.1 Diagram Tingkat Kebutuhan dan Persediaan Energi di Indonesia (Sumber : EECCHI, 2012)
Lebih lanjut lagi EECCHI pada tahun 2012 menyampaikan, bahwa terdapat empat sektor utama pengguna energi, yaitu sektor rumah tangga, komersial, industri dan transportasi. Saat ini pengguna energi terbesar adalah
3
sektor industri dengan pangsa 44,2%. Konsumsi terbesar berikutnya adalah sektor transportasi dengan pangsa 40,6%, diikuti dengan sektor rumah tangga sebesar 11,4% dan sektor komersial sebesar 3,7%. Hal ini menunjukkan bahwa perlu segera dilakukan adanya upaya pemanfaatan energi se-efesien dan se-efektif mungkin dalam berbagai sektor.
Gambar 1.2 Konsumsi Energi Sektor Rumah Tangga Tahun 1990-2008 (Sumber: Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2009, dalam Enilur 2010)
1.1.2 Energi dan Bangunan Daerah iklim tropis lembab seperti di Indonesia yang berada di antara 5o39’ LU hingga 10o22’LS dengan 95o10’BT hingga 141o20’BT, memiliki karakteristik sebagai berikut : temperatur udara antara 20oC hingga 30oC, kelembaban udara cukup tinggi lebih dari 60%, berkisar antara 90% sampai 100% pada keadaan maksimum, curah hujan tinggi dengan rata-rata 1000mm/tahun, kondisi langit rata-rata berawal sekitar 5%, serta radiasi matahari terpapar hampir sepanjang siang hari (Martin, 1980). Kondisi iklim tersebut mudah menimbulkan
4
akumulasi panas udara dalam bangunan, yang akhirnya berujung pada kenyamanan termal. Sedangkan menurut Lechner (2007) bahwa beban energi pada bangunan gedung bersumber dari: perolehan panas internal, yaitu beban energi yang berasal dari adanya aktivitas penghuni beserta peralatan yang digunakannya, dan beban eksternal, yaitu beban energi yang bersumber dari adanya kondisi lingkungan di sekitar bangunan maupun bangunan itu sendiri. Menurut Priatman (2003), berdasarkan data dari Department of Primary Industries and Energy Commonwealth of Australia tahun 1997, bahwa pola konsumsi energi untuk sektor rumah tinggal sebagai berikut: pendinginan sebesar 43%, pemanasan air 27%, penerangan 3,4%, peralatan rumah tangga 26,6%. Pengkondisian udara ini dilakukan secara mekanis dengan menggunakan alat pendinginan udara (Air Conditioner, AC). Melihat dari tingginya laju penggunaan energi listrik (7%) dengan asumsi 50% dari kebutuhan energi listrik terserap pada sektor bangunan. Hal ini harus segera disadari dan dipahami oleh semua pihak, bahwa energi seharus menjadi bagian
mendasar
dalam
melakukan
perencanaan,
perancangan
maupun
penggelolaan bangunan. Dari sektor bangunan, ternyata sektor rumah tinggal berperan besar dalam mengkonsumsi listrik, baik untuk keperluan penerangan, peralatan rumah tangga maupun pengkondisian udara dalam ruang. Sedangkan menurut Prianto, (2012), bahwa konsumsi energi di sektor rumah tinggal di daerah tropis mencapai 40% dari beban total energi yang digunakan untuk mendinginkan ruangan dari akumulasi panas dalam ruangan.
5
Adapun 80% beban energi dalam ruangan rumah tinggal dipengaruhi oleh desain selubung bangunan. Di satu sisi, pertumbuhan dan kebutuhan bangunan rumah tinggal masih menjadi primadona di beberapa kota, seperti halnya di Jakarta. Jakarta, menurut perhitungan hasil analisis Kelompok Pengamat Properti UrbanIndo pada akhir bulan Februari 2013, terdapat 772 properti yang terdaftar, jumlah tersebut naik 24% dari bulan Desember 2012. Dari total properti yang dipasarkan 43,65% merupakan rumah, 25,79% apartemen, ruko sebanyak 15,02%, properti komersial 8,81%, dan 6,73% tanah. Hal ini menunjukkan bahwa minat warga Jakarta untuk tinggal dan memiliki rumah tinggal berbentuk (landed house) masih tinggi dibandingkan yang berkeinginan tinggal di rumah tinggal berbentuk vertikal (rumah susun atau aparteman). Menurut Readitya(2013), bahwa upaya penghematan energi melalui pengembangan bangunan akan sangat tepat bila dilakukan di kota Jakarta, karena kota Jakarta merupakan salah satu kota pengkonsumsi energi listrik terbesar di Indonesia. Menurut data tahun 2008 (Readitya, 2013), kota Jakarta mengkonsumsi energi listrik sebesar 29.605 GWH atau sebesar 23% dari total konsumsi listrik Indonesia, dan sebesar 63% dari total konsumsi listrik kota Jakarta diserap oleh sektor bangunan. Rumah tinggal atau hunian adalah bangunan dengan tingkat pemakaian yang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis bangunan lainnya. Di samping itu, rumah tinggal merupakan produk karya arsitektur yang dekat dengan masyarakat. Saat ini banyak orang menginginkan rumah tinggalnya hanya sesuai dengan
6
keinginannya semata, cenderung tidak mempertimbangkan kondisi fisik dan iklim setempat, tropis lembab. Dengan kondisi tersebut di atas maka perencanaan dan perancangan rumah tinggal harus dilakukan secara cermat, terkait dengan persoalan perolehan energi serta upaya penghematan energi pada bangunan.
1.1.3 Selubung Bangunan Selubung bangunan adalah bagian terluar dari gedung yang melingkupi seluruh bangunan yang berfungsi untuk melindungi adanya aliran panas, hujan maupun angin kencang dari lingkungan luar. Komponen selubung bangunan ini adalah dinding beserta jendela, pintu dan selubung atap. Luasan dan jenis selubung bangunan (dinding dan atap) mempengaruhi perolehan kalor/panas, akibat konduksi dari radiasi matahari, selanjutnya akan berpengaruh pada beban pendinginan sistem AC. Adapun komponen selubung bangunan yang sangat potensial menerima paparan radiasi sinar matahari sebagai salah satu sumber beban eksternal yaitu atap. Selubung bangunan ini hampir sepanjang hari menerima radiasi panas matahari, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atap juga berfungsi sebagai pelindung bangunan beserta ruang-ruang di dalamnya terhadap hujan maupun angin kencang. Keadaan udara yang panas, hujan yang lebat dan kelembaban udara tinggi, seperti di Indonesia, menyebabkan fungsi atap menjadi sangat penting. Atap harus mampu mengendalikan kalor yang masuk ke dalam ruang bangunan sehingga dapat memberikan keadaan yang nyaman bagi penghuni dengan penghematan energi pada bangunan (Givoni,1998).
7
Lebih lanjut bahwa atap bangunan rumah tinggal merupakan salah satu selubung Bangunan (building envelope) yang secara langsung berhubungan dengan lingkungan fisik di luar sekitar bangunan, dan berperan sebagai sarana pelindung dari panas radiasi matahari. Dalam hal ini atap seharusnya mampu menangkis sebanyak mungkin radiasi matahari (Mangunwijaya, 1998). Atap limasan merupakan bentuk atap yang yang paling banyak dipilih oleh masyarakat dibandingkan bentuk atap yang lain di sekitar Jabodetabek (Aziz, 2009). Hal ini dapat juga diamati pada tipologi bangunan yang kebanyakan dirancang dan dibuat oleh pengembang maupun masyarakat sendiri secara individu. Dari pengamatan yang dilakukan ada kecenderungan rancangan bentuk atap bangunan yang hampir sama. Model atap bangunan berbentuk limasan. Selain itu menurut Purwanto (2006), ada keunggulan pemakaian atap bentuk limasan yaitu hampir semua dinding luar bangunan terlindung dari panas terik matahari, karena bentuknya yang miring pada semua sisi dan arah angin yang menerpa bangunan dibelokkan ke atas sehingga mengurangi resiko kerusakan struktur. Terkait dengan pengendalian kalor pada bangunan, saat ini sudah diterbitkan suatu kebijakan pemerintah berupa Standar Nasional Indonesia tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung, SNI 6389-2011. Di dalam standar tersebut terdapat panduan perencanaan selubung bangunan yang yang dinyatakan dalam OTTV (Overall Thermal Transfer Value) dan RTTV (Roof Thermal Transfer Value). Dengan berpegang pada nilai OTTV maupun RTTV yang terdapat dalam SNI 6389-2011, diharapkan suatu desain selubung bangunan
8
dapat mengurangi perolehan panas eksternal pada bangunan sehingga mampu menurunkan beban pendinginan yang berujung pada penghematan energi atau konservasi energi.
1.2 Perumusan Masalah Selubung bangunan baik dinding maupun atap, akan berpengaruh secara langsung terhadap kuantitas perolehan panas eksternal dan akan menjadi faktor utama yang berpengaruh pada beban pendinginan. Nilai atau besaran perolehan panas akibat sinar matahari pada selubung atap bangunan gedung disebut dengan Roof Thermal Transfer Value (RTTV). RTTV di Indonesia tercantum dalam SNI 6389-2011 yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). SNI 63892011 memberikan batasan maksimum nilai RTTV maupun OTTV (Overall Thermal Transfer Value) yaitu sebesar 35 W/m2. SNI 6389-2011 menyatakan bahwa perolehan nilai RTTV ditentukan oleh beberapa variabel, antara lain : luas bidang atap yang tidak tembus cahaya, nilai transmitansi panas, luas bidang atap yang tembus cahaya (skylight), faktor radiasi matahari dan faktor peneduh. Meskipun RTTV sudah ditetapkan dalam bentuk standar namun penerapannya belum memadai. Hal ini tidak sesuai dengan isu pemanasan global maupun konservasi energi yang seharusnya menjadi perhatian dan kesadaran bagi para perencana, perancang maupun pelaksana pembangunan lingkungan dan bangunan. Oleh karena itu penentuan nilai RTTV sebagai bagian dalam proses perancangan bangunan perlu dilakukan, agar upaya konservasi energi di Indonesia lebih optimal.
9
Di satu sisi, banyak masyarakat memilih dan menggunakan atap berbentuk limasan pada bangunan rumah tinggalnya. Bentuk atap ini cenderung digemari masyarakat karena memiliki unsur estetika dan sudut kemiringan atap yang beragam. Selain itu, dengan menggunakan atap berbentuk limasan maka hampir semua dinding luar bangunan terlindung dari panas terik matahari dan air hujan karena bentuknya yang miring pada semua sisinya (Mangunwijaya, 1998). Dari beberapa penelitian terdahulu, seperti yang dilakukan oleh : Purwanto (2006), Samodra (2008), Aziz (2009), Yuuwono (2009), menyatakan bahwa orientasi atap dan bangunan untuk di daerah beriklim tropis lembab sebaiknya menghadap ke arah utara – selatan terkait dengan lintasan dan radiasi sinar matahari. Hal ini bertujuan untuk mengurangi perolehan beban termal akibat radiasi matahari yang mengenai selubung bangunan, terutama selubung atap bangunan. Dan secara terpisah diperoleh hasil penelitian yang lain oleh Rosadi dkk (2011), menyatakan bahwa kemiringan sudut atap bangunan berpengaruh terhadap kinerja termal dalam ruang bangunan dengan besar sudut yang optimal adalah 35o. Namun pada kenyataannya tidak semua bangunan bisa memiliki orientasi ke arah utara - selatan. Ada beberapa hal yang menyebabkan bangunan tidak bisa dirancang dengan orientasi ke arah utara - selatan, hal ini dipengaruhi oleh antara lain : bentuk lahan, posisi lahan terhadap lingkungan sekitar maupun luasan lahan (Karyono,1997).
10
1.3 Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan permasalahan pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: •
Bagaimana pengaruh sudut kemiringan atap bangunan dan orientasinya terhadap nilai perolehan panas pada selubung atap bangunan (Roof Thermal Transfer Value) di daerah tropis lembab ?
•
Mengapa faktor-faktorntersebut berpengeruh pada perolehan nilai RTTV ?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan nilai RTTV total dari hubungan sudut kemiringan atap dan orientasi atap bangunan sehingga memberikan gambaran kinerja termal pada selubung atap bangunan.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Menambah khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan tema konservasi energi pada selubung atap bangunan. 2. Memberikan masukan terhadap desain selubung atap bangunan yang memperhatikan konservasi energi di daerah tropis lembab.
11
1.6 Keaslian Penelitian Penelitian sejenis yang terkait dengan kinerja perolehan panas dan selubung atap bangunan, pernah dilakukan oleh: Purwanto (2006), Samodra (2008), Aziz (2009), Yuuwono (2009), Rosadi (2011), dan Prianto (2012). Penelitian-penelitian tersebut sebagian besar mengkaji performansi atap sebagai selubung bangunan yang terkait dengan kinerja temperatur dan kenyamanan termal ruang di dalamnya. Purwanto (2005) melakukan penelitian pengaruh bentuk atap bangunan tradisional di Jawa Tengah terhadap kenyamanan termal bangunan. Penelitian ini dilakukan dengan pengukuran di lapangan pada bangunan studi kasus, berupa rumah beratap joglo, limasan, kampung dan doro gepak, dengan analisa terhadap kenyamanan termal berdasar pada rumus PMV menurut P.O.Fanger. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa atap joglo merupakan bentuk atap yang memberikan kenyamanan termal lebih baik daripada bentuk atap yang lain. Simulasi tentang radiasi matahari pada lima model atap bangunan rumah tinggal tradisional Jawa yang berlokasi di Lereng Gunung Kelud Jawa Timur : model Dara Gepak, Srotongan, Gotong Mayit, Cere Gancèt, dan Lambang Teplok telah dilakukan oleh Samodra (2008). Simulasi menggunakan perangkat lunak Archipak, dengan fokus kajian perolehan radiasi matahari pada permukaan bidang atap di lima model tersebut. Adapun hasil penelitian ini disampaikan bahwa model Srotongan adalah model atap yang paling rendah memperoleh radiasi permukaan, sedangkan perolehan radiasi permukaan terbesar dicapai oleh model Gotong Mayit. Dan disimpulkan juga bahwa luas permukaan atap adalah faktor utama
12
yang menentukan total energi radiasi matahari (Wh), serta orientasi adalah faktor utama yang menentukan jumlah permukaan radiasi matahari (Wh/m2). Penelitian mengenai pemenuhan nilai RTTV pada atap pelana bangunan rumah tinggal pernah dilakukan oleh Aziz (2009). Penelitian simulasi ini dilakukan untuk mengetahui nilai RTTV dari jenis bahan penutup atap metal dan keramik (tanpa isolator dan menggunakan isolator aluminium foil), dengan menggunakan data dari 3 objek bangunan nyata di Depok. Penelitian ini dilakukan dengan pengukuran langsung pada kasus bangunan terpilih dengan menggunakan alat HOBO H-8 untuk mengukur temperatur ruang bawah atap, dan menggunakan juga perangkat lunak Ecotech versi 5.6 sebagai sarana simulasi untuk mengetahui sudut dan posisi matahari. Adapun besarnya nilai iradiasi dilakukan melalui perhitungan
matematis
berdasar
diagram
solar
radiantion
overlay
Koeningsberger. Demikian pula dengan kuantitas nilai RTTV, dihitung melalui perhitungan matematis berdasar pada rumus persamaan perhitungan nilai RTTV SNI T-14-1993-03. Hasil penelitian menyatakan bahwa atap yang memenuhi nilai RTTV yang disyaratkan pad SNI T-14-1993-03 yaitu atap yang menggunakan genteng keramik, baik yang menggunakan isolator maupun tanpa isolator. Adapun saran yang disampaikannya adalah mekomendasikan perlu adanya pengujian lanjutan terkait dengan variabel oriantasi bangunan serta bentuk atau jenis atap yang lain. Pada penelitian ini digunakan model atap pelana. Adapun perbedaan utama pada penelitian ini yaitu mengkaji hubungan rumus RTTV terkait dengan sudut kemiringan atap pada orientasi bangunan yang berbeda.
13
Sedangkan Yuuwono (2009), melakukan penelitian serupa dengan tujuan mengetahui arah orientasi bangunan yang paling baik di dalam menahan panas pada suatu kawasan perumahan Wonorejo, Surakarta. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengukuran lapangan baik di ruang luar maupun ruang dalam bangunan. Selanjutnya memperbandingkan hasil pengukuran secara kuantitatif, antara masing-masing arah orientasi guna mengetahui seberapa jauh perbedaan kemampuan menahan panasnya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa bangunan dengan orientasi yang mengarah ke selatan dan yang mengarah selatan agak serong ke tenggara maupun yang mengarah selatan agak serong ke barat daya, mempunyai kemampuan menahan panas yang lebih baik dibanding arah orientasi yang lain. Sedangkan bangunan dengan orientasi yang mengarah ke utara agak serong ke barat laut dan yang mengarah ke utara agak serong ke timur laut adalah yang paling tidak baik dalam menahan panas karena menimbulkan terjadinya perangkapan panas. Rekomendasi yang disampaikan dari penelitian ini yaitu perlunya dilakukan penelitian lagi pada bulan-bulan kemarau karena penelitian ini dilaksanakan pada saat musim penghujan, guna mengetahui tingkat kemampuan bangunan dalam menahan panas secara lebih akurat. Rosadi dkk (2011) melakukan penelitian dengan menggunakan simulasi program Ecotech. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai suhu yang dihasilkan dari sudut kemiringan atap dan orientasi yang ditetapkan dalam kaitannya dengan kenyamanan termal dalam sebuah bangunan. Lokasi dan data iklim terpilih adalah kota Malang, Jawa Timur. Hasil dari penelitian ini adalah arah hadap timur barat menghasilkan suhu ruangan terbesar, sedangkan arah hadap utara selatan
14
menghasilkan suhu ruangan yang terendah, dan semakin besar sudut kemiringan atap maka semakin dingin suhu di dalam ruangan. Adapun rekomedasi yang disampaikan adalah perlunya dilakukan penelitian lanjutan dengan tipe atap serta metoda penelitian yang lainnya. Penelitian tentang peran berbagai jenis bahan penutup atap terhadap tingkat konsumsi energi di dalam rumah tinggal telah dilakukan oleh Prianto (2012). Penelitian ini dilakukan melalui pengukuran di lapangan dengan menggunakan model berskala 1 : 1 di Semarang. Hasilnya berupa rekomendasi bahwa bahan atap genteng beton sebagai bahan yang efektif digunakan di daerah panas dan mampu menurunkan suhu ruangan yang signifikan, dibandingkan dengan genteng tanah, asbes dan seng. Perbedaan penelitian ini terhadap penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.1 pada halaman berikut ini. Tabel 1.1 Beberapa Penelitian Terdahulu yang Sejenis No.
Peneliti
1.
L.M.F. Purwanto (2006)
2.
FX Teddy Badai Samodra (2008)
3.
Azwan Aziz (2009)
Judul Pengaruh Bentuk Atap Bangunan Tradisional di Jawa Tengah untuk Peningkatan Kenyamanan Termal Bangunan Roof Geometry Performance of Javanese Village House Pengaruh Jenis Material Penutup Atap terhadap
Obyek
Fokus
Metoda
Bangunan Rumah Tradisional Jawa
Kenyamanan termal
Pengukuran Lapangan
5 Tipe Atap Rumah Kampung di Lereng Gunung Kelud Jawa Timur Rumah Tinggal di Depok
Radiasi Matahari pada Geometri Atap
Simulasi Archipak
Nilai RTTV dan kenyamanan
Pengukuran Lapangan dan Simulasi
15
Nilai RTTV dan Kenyamanan Termal
4.
Abito B. Yuuwono (2009)
5.
Hicma E. Rosadi, dkk (2011)
6.
Eddy Prianto (2012)
Pengaruh Orientasi Bangunan terhadap Kemampuan Menahan Panas pada Rumah di Perumahan Wonorejo Surakarta Pengaruh Sudut Kemiringan Atap Bangunan dan Orientasinya terhadap Kualitas Termal Profil Penutup Atap Genteng Beton dalam Efesiensi Konsumsi Energi Listrik pada Skala Rumah Tinggal
termal ruang dalam Rumah Tinggal di Perumahan Wonorejo Surakarta
Temperatur efektif ruang dan temperatur efektif lingkungan
Pengukuran Lapangan (Studi Kasus)
Hipotetik
Temperatur dalam ruang
Simulasi
Pengukuran dan Pengamatan
Temperatur permukaan bahan atap
Eksperimen model rumah berskala 1:1
Sumber: Purwanto (2006), Samodra (2008), Aziz (2009), Yuuwono (2009), Rosadi (2011) dan Prianto (2012)
Pada penelitian kali ini akan mengkaji tentang orientasi dan sudut kemiringan selubung atap bangunan terhadap perolehan panas dalam ruang atap bangunan rumah tinggal di Jakarta. Terutama menyangkut hubungan antara orientasi dan sudut kemiringan bidang atap bangunan dengan RTTV menurut SNI 6389-2011 tentang Konservasi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung. Sementara itu lokasi penelitian dipilih Kota Jakarta, karena pertumbuhan bangunan rumah tinggal di kota Jakarta dilihat masih cukup pesat dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia, sehingga diharapkan hasil penelitian ini akan memberi peluang yang lebih besar untuk diaplikasikan.