Membangun Daya Tahan Pertanian dalam Rangka Pemberdayaan Petani dan Perlindungan Pertanian
273
KAJIAN KESEJAHTERAAN PETANI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN KELAPA SAWIT: STUDI KASUS DI KABUPATEN KAMPAR, RIAU Welfare Assesment on Farmers Converting Wetland into Oil Palm Plantation: A Case Study in Kampar Regency, Riau Anis Fahri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jln. Kaharuddin Nasution Km 10. No. 346, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210 E-mail:
[email protected] ABSTRACT Land conversion is closely linked to efforts to improve welfare. The level of welfare of rice farmers is lower than that of oil palm farmers, encouraging rice farmers to convert their wetland into oil palm plantation. This study aimed to analyze the level of welfare of the rice farmers who have converted their wetland into oil palm plantation. Research was conducted in Kampar Regency from June to December 2013. Data were collected through field survey on 30 rice farmers and 30 oil palm conversion farmers. The welfare of rice farmers was then compared with that of oil palm farmers, which was measured by a standardized approach according to the Statistics Indonesia (BPS), Family Planning Coordinating Board (BKKBN), and the World Bank criteria. The results showed that in the period 2003–2010 wetland areas in Kampar Regency decreased as much as 5,413 hectares (40.33%), from 13,419 hectares to 8,006 hectares. On average, the level of oil palm farmers’ welfare was 35.49% higher than that of rice farmers. Keywords: wetland conversion, household welfare, rice farmer, oil palm farmer ABSTRAK Konversi lahan terkait erat dengan upaya peningkatan kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan petani padi yang lebih rendah dibanding dengan petani kelapa sawit mendorong petani melakukan konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat kesejahteraan petani konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kampar dari bulan Juni hingga Desember 2013. Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapang terhadap 30 petani padi dan 30 petani konversi kelapa sawit. Tingkat kesejahteraan petani padi sawah selanjutnya dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan petani kelapa sawit, diukur dengan pendekatan yang baku menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN), dan kriteria Bank Dunia. Hasil penelitian menunjukkan dalam kurun waktu tahun 2003–2010 terjadi penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Kampar seluas seluas 5.413 ha (40,33%) dari 13.419 ha menjadi 8.006 ha. Rata-rata tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kelapa sawit lebih tinggi 35,49% dibanding rumah tangga petani padi. Kata Kunci: konversi lahan sawah, kesejahteraan petani, petani sawah, petani kelapa sawit
PENDAHULUAN Lahan pertanian memberikan manfaat baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Sektor pertanian memberi sumbangan terbesar terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Kampar, yakni sebesar Rp2.658.399,43 miliar atau 57,03% (BPS Kampar 2011). Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian akibat konversi akan memengaruhi segi ekonomi, sosial, dan lingkungan tersebut. Jika fenomena konversi lahan pertanian ke nonpertanian terus terjadi secara tak terkendali maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya bagi petani, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional. Konversi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi akan menyebabkan terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan 2005). Konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang memerlukan jumlah lahan yang luas. Sementara, pemanfaatan lahan berakibat pada meningkatnya nilai lahan (land rent) sehingga penggunaan lahan untuk pertanian pangan akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain yang lebih menguntungkan (Rustiadi et al. 2011).
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
274
Fenomena konversi lahan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh masuknya perusahaanperusahaan perkebunan yang mengakibatkan bergesernya sistem perekonomian masyarakat yang berorientasi dalam pemenuhan kebutuhan ke arah sistem komersial. Satu dasawarsa terakhir di Provinsi Riau terjadi konversi lahan sawah seluas 20.069 ha berubah menjadi lahan perkebunan sawit yang tersebar di Kabupaten Kampar, Indragiri Hulu, dan Rokan Hilir (Dipertahorti Riau 2010). Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kampar dari usaha pertanian/perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit di mana hasilnya dapat dikatakan cukup besar sehingga saat ini perekonomian masyarakatnya dapat dikatakan lebih baik. Luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Kampar saat ini mencapai 158.593 ha perkebunan rakyat dan 193.025 ha perkebunan besar (BPS Kampar 2011). Konversi lahan pertanian khususnya lahan persawahan tidak saja berdampak terhadap penurunan produksi pangan, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan rumah tangga petani. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Kampar menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun 2008 sebesar 72,94 menjadi 74,15 pada tahun 2011 (BPS Kampar 2011). Menurut Andriani (2009), pada hakekatnya kesejahteraan mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material dan spritual. Pengukuran kesejahteraan material relatif lebih mudah dan akan menyangkut pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan lainnya yang dapat diukur dengan materi. Dalam konteks negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 10 Tahun 1992 bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup material dan spritual yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki hubungan yang serasi, selaras, serta seimbang antaranggota dan antarkeluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Secara umum, perubahan orientasi usaha tani padi menjadi kelapa sawit dapat dimaklumi karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan agar dapat mengimbangi peningkatan biaya usaha tani dan biaya hidup rumah tangga petani itu sendiri. Angka garis kemiskinan Kabupaten Kampar pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp325.000/kapita/bulan, sedangkan Provinsi Riau sebesar Rp301.190/kapita/bulan. Tingkat kemiskinan Kabupaten Kampar (8,52%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan Provinsi Riau (8,17%) (BPS Riau 2012). Proses konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit yang diikuti dengan perubahan sumber pendapatan menyesuaikan dengan kondisi pertanian yang diusahakan. Perubahanperubahan tersebut terimbas dari berubahnya aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dengan perubahan sistem perekonomian dari sistem sawah menjadi sistem perkebunan kelapa sawit yang akhirnya berimbas pula pada kesejahteraan masyarakat tani di Kabupaten Kampar, khususnya pada Kecamatan Tambang dan Kecamatan Kampar sehingga menjadi fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Seluma Bengkulu, konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit memberi peningkatan pendapatan petani sebesar 24,40%. Hal ini secara langsung memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani (Hamdan 2012). Salah satu upaya pengendalian konversi lahan sawah adalah dengan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan mengkaji perubahan tingkat kesejahteraan petani konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tambang dan Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar pada bulan Juni−Desember 2013. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei lapang secara sengaja (purposive) terhadap 30 rumah tangga petani padi dan 30 rumah tangga petani konversi kelapa sawit, serta wawancara secara mendalam terhadap informan dan perangkat desa yang dianggap mengetahui proses terjadinya konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dilakukan pengambilan data sekunder, yaitu data yang berkaitan langsung dengan penelitian ini, diperoleh dari laporan-laporan atau dokumen-dokumen resmi instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, BPS, Kantor Camat, dan lain-lain.
Membangun Daya Tahan Pertanian dalam Rangka Pemberdayaan Petani dan Perlindungan Pertanian
275
Metode yang digunakan untuk menganalisis kesejahteraan petani konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit secara deskriptif. Pengukuran kesejahteraan dilihat dengan pendekatan objektif, yakni melihat bahwa kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu, baik ukuran ekonomi, sosial, maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku, contohnya ukuran kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN), dan kriteria Bank Dunia (Suandi 2007). Pengukuran tingkat kesejahteraan rumah tangga petani berdasar kriteria Bank Dunia dengan standar pendapatan US$2/kapita/hari. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan kesejahteraan rumah tangga petani padi dan rumah tangga petani yang melakukan konversi ke perkebunan kelapa sawit.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting selain sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia. Sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi akan menjadi sumber daya yang sia-sia jika petani tidak menguasai sumber daya lahan untuk usaha tani. Petani secara umum memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan lahan tempatnya berusaha karena dari lahan tersebut diharapkan mampu menghidupkan keluarga petani. Petani akan menggantungkan semua harapannya kepada apa yang dihasilkan dari lahan tersebut, hubungan ini biasa terjadi kepada petani yang menjadikan usaha tani sebagai satu-satunya andalan untuk menghidupi keluarganya. Konversi lahan sawah ke penggunaan lainnya seperti ke tanaman perkebunan di Kabupaten Kampar dapat berdampak positif dan berdampak negatif. Dampak positif dari konversi lahan tersebut antara lain dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan rumah tangga reponden yang melakukan konversi ke tanaman kelapa sawit lebih tinggi dari rumah tangga petani padi. Karakteristik atau identitas responden dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting sebab akan menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari responden tersebut. Responden dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit di Kecamatan Tambang dan Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar. Dari Tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar (43,5%) umur responden berusia lanjut berada lebih dari 51−60 tahun, kemudian sebesar 33,5% antara 41−50 tahun dan sebagian kecil (10%) berumur 30–40 tahun dan sekitar 15% berada pada usia >61 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan Tambang sebagian besar (85%) berada pada usia produktif. Usia ini menunjukkan potensi tenaga kerja di Kecamatan Tambang baik sehingga berpeluang pada peningkatan pembangunan, khususnya bidang pertanian. Rumah tangga petani padi menempuh pendidikan Sekolah Dasar (47%), SLTP (37%), dan SLTA (13%), sedangkan pada petani kelapa sawit menempuh pendidikan Sekolah Dasar (40%), SLTP (30%), SLTA (27%), hingga perguruan tinggi (3%). Bila diperhatikan dari tingkat pendidikan formal tersebut maka dapat dikatakan bahwa petani di daerah penelitian ini masih mempunyai tingkat pendidikan formal yang relatif rendah, yaitu hanya tingkat dasar dan menengah. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan sulitnya mencari pekerjaan pada sektor formal sehingga sebagian besar (63%) rumah tangga petani padi dan petani kelapa sawit (88%) memiliki mata pencaharian sebagai petani. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan andalan bagi keluarga dalam mencari nafkah. Pekerjaan sampingan rumah tangga petani padi biasanya dilakukan di sela-sela waktu setelah mereka selesai menggarap lahannya dan menunggu masa panen atau di luar musim tanam di mana sebagian petani tidak dapat melakukan usaha tani. Sebagian besar suami memiliki pekerjaan lain yaitu menjadi buruh tani. Pekerjaan sampingan rumah tangga petani kelapa sawit biasanya dilakukan di sela-sela waktu setelah panen. Hampir separuh responden (39%) memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh tani di kebun karet dan kebun kelapa sawit milik orang lain dan sebanyak 11% bekerja sebagai tukang atau buruh bangunan di sekitar desa mereka, terkadang menjadi buruh bangunan di ibu kota, kabupaten, dan di Kota Pekanbaru. Selain itu, sekitar 11% memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang.
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
276
Rata-rata jumlah anggota keluarga petani padi sebanyak 5,53 jiwa dan rata-rata jumlah anggota keluarga petani kelapa sawit sebanyak 5,73 jiwa (6 orang/KK). Persentase terbesar jumlah anggota keluarga berjumlah 5−6 orang sebesar 71,5% sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah rata-rata anggota keluarga petani di daerah penelitian tergolong besar. Semakin banyak tanggungan keluarga petani maka semakin banyak beban ekonomi yang harus ditanggung oleh petani. Hal ini akan mendorong semangat petani untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 1. Sebaran responden berdasarkan karakteristik rumah tangga petani, 2013 (%) Karakteristik keluarga
Petani padi
Petani kelapa sawit
Umur (tahun) 30–40 41–50 51–60 >61 Rata–rata ± SD
17 30 33 20 51,20 ± 9,66
3 37 50 10 52,1 ± 7,41
47 37 13 3
40 30 27 3
63 23 7 7
88 0 0 12
13 60 24 3 0
17 39 11 11 22
Pendidikan formal SD SLTP SLTA Perguruan tinggi Pekerjaan utama Petani Buruh bangunan/tukang Buruh tani PNS/karyawan Pekerjaan sampingan Petani/tambak Buruh tani Buruh bangunan/tukang Pedagang Sopir Jumlah anggota keluarga ≤4 orang 5–6 7–8 Rata–rata ± SD Rerata pengalaman bertani (th) Min–maks Penguasaan lahan Rerata luas penguasaan lahan (ha) Min–maks
13 83 4 5,53 ± 1,04
17 60 23 5,73 ± 1,57
19,2 5–30
11,11 5–18
0,45 0,1–1,00
1,46 0,5–2,0
Rerata pendapatan rumah tangga (Rp/bln)
2.284.833
3.315.833
On farm Off farm
388.883 1.896.000
1.995.833 1.320.000
413.170
578.679
Rerata pendapatan/kapita/bln (Rp)
Dilihat berdasarkan pengalaman, rumah tangga petani padi sudah cukup berpengalaman, yakni antara 5−30 tahun atau rata-rata sekitar 19,20 tahun. Artinya, petani sudah cukup berpengalaman dan memahami tata cara bertanam padi. Pengalaman bertanam padi ini didapat secara turun temurun dari kedua orang tua. Bercocok tanam padi sudah sangat dipahami mulai dari masalah produksi, biaya usaha tani, dan pendapatan. Pengalaman hasil panen yang rendah, gagal panen akibat terserang
Membangun Daya Tahan Pertanian dalam Rangka Pemberdayaan Petani dan Perlindungan Pertanian
277
hama dan penyakit, serta risiko usaha tani yang tinggi tentunya sangat berpengaruh terhadap keputusan petani untuk memilih alternatif usaha tani yang lebih baik dan menguntungkan. Usaha tani kelapa sawit sebenarnya sudah cukup lama berkembang di Kabupaten Kampar, yakni sekitar tahun 2000. Hal ini dimulai dari tumbuhnya perusahaan perkebunan kelapa sawit baik oleh swasta maupun pemerintah. Petani kelapa sawit pada lokasi penelitian rata-rata pengalaman usaha taninya dikatakan sedang atau cukup berpengalaman. Rata-rata pengalaman berusaha tani adalah 11,11 tahun dengan kisaran 5−18 tahun. Pengalaman usaha tani dapat memengaruhi peningkatan produktivitas usaha tani kelapa sawit di mana petani dapat belajar dari pengalamannya untuk mengefisienkan penggunaan faktor produksi dan meningkatkan produksi usaha taninya. Semakin tinggi pengalaman usaha tani seseorang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengelola usaha taninya dan meningkatkan manfaat yang diinginkan dari usaha tani tersebut. Berdasarkan luas lahan yang dimiliki petani di daerah penelitian, petani padi memiliki rata-rata luas lahan 0,45 ha dengan kisaran 0,1–1,0 ha, sedangkan petani kelapa sawit memiliki rata-rata luas lahan 1,46 ha dengan kisaran 0,5−2 ha. Sebagian besar (60%) petani padi berstatus sebagai petani pemilik dan sebanyak 40% petani berstatus penyakap, sedangkan pada petani kelapa sawit hampir seluruh petani berstatus sebagai petani pemilik. Banyaknya keluarga petani padi yang berstatus sebagai penyakap disebabkan lahan usaha tani yang semakin sempit karena desakan ekonomi rumah tangga dan fragmentasi warisan keluarga. Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Kampar Awalnya mata pencaharian masyarakat petani di Kecamatan Tambang adalah petani subsisten dengan bertanam padi dan sebagian berkebun karet. Masuknya perusahaan Perkebunan Sawit Swasta Tasma Puja dan Perkebunan Negara PTPN V memberi dampak kepada penghidupan masyarakat. Areal persawahan tidak didukung dengan adanya aliran air irigasi yang memadai sehingga areal persawahan yang ada sering mengalami kekeringan dan gagal panen. Seiring itu, terjadi interaksi antarmasyarakat dengan buruh perkebunan yang ada serta melihat perkebunan swasta yang ada mulai menghasilkan. Timbul keinginan masyarakat untuk meniru perkebunan swasta yang mulai menghasilkan. Adanya kerja sama KKPA dan bantuan dari Bank Masyarakat semakin yakin untuk melakukan konversi lahan. Tabel 2. Perkembangan lahan sawah di Kabupaten Kampar, 2003–2010 Penggunan lahan
Luas (ha) 2005
Irigasi teknis
2006
2007
2008
2009
2010
0
0
496
523
964
728
4.197
3.952
2.494
2.491
2.276
2.637
883
915
2.411
2.209
1.461
720
Irigasi desa
7.337
6.047
5.256
5.311
3.121
3.599
Tadah hujan
7.337
6.047
5.256
5.311
3.121
3.599
12.608
11.542
10.853
10.780
7.932
8.006
Irigasi 1/2 teknis Irigasi sederhana
Jumlah
Sumber: Dipertahorti Riau (2011)
Tanaman kelapa sawit awalnya ditanam pada lahan kering kemudian merambah ke lahan sawah yang kurang produktif atau mengalami kekeringan. Setelah tanaman kelapa sawit berproduksi dan hasil yang diperoleh jauh lebih baik daripada ditanami padi, petani sekitar mulai mengikuti dan merubah fungsi lahan sawah yang ada menjadi kebun sawit. Saat ini konversi lahan sawah sudah terjadi hampir pada seluruh lahan yang ketersediaan airnya sudah tidak mencukupi untuk ditanami padi. Luas lahan sawah terjadi penurunan dalam kurun waktu tahun 2005–2010 seluas 5.413 ha (40,33%) dari 12.608 ha menjadi 8.006 ha (Tabel 2). Persentase terbesar terjadi konversi pada lahan sawah tadah hujan yakni sebesar 59,89%. Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu tanaman yang banyak diusahakan masyarakat Kampar dan merupakan primadona komoditas perdagangan. Perkembangan komoditas kelapa sawit di Kabupaten Kampar dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi. Pada tahun
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
278
2006 luas tanam kelapa sawit rakyat seluas 54.274 ha dengan produksi sebanyak 114.117 ton, bertambah seluas 104.319 ha (65,77%) pada tahun 2010 dengan produksi sebanyak 1.842.821 ton (Tabel 3). Tabel 3. Luas dan produksi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kampar, 2006–2010 Tahun
Jumlah petani
Luas (ha) TBM
TM
Jumlah
Produksi (ton)
2006
24.689
17.397
36.866
54.274
114.117
2007
71.847
26.428
102.089
128.925
387.992
2008
78.321
41.838
119.033
160.982
467.747
2009
77.040
31.825
132.697
164.551
1.788.218
2010
82.453
25.074
133.465
158.593
1.842.821
Sumber: BPS Kampar (2011)
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga tersebut. Jika mengingat data yang akurat sulit diperoleh maka pendekatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumah tangga. Peningkatan kesejahteraan keluarga petani padi dan keluarga yang melakukan konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit pada lokasi penelitian dilihat dari indikator kesejahteraan BKKBN hampir seluruh rumah tangga petani padi dan rumah tangga petani kelapa sawit makan minimal dua kali sehari dengan mengonsumsi daging ayam, telur, atau ikan minimal satu minggu sekali. Dilihat dari kondisi tempat tinggal, seluruh rumah tangga petani dan petani kelapa sawit sudah menempati rumah yang lantainya bukan terbuat dari tanah. Seluruh rumah tangga petani padi menempati rumah dengan luas >8 m2 untuk setiap anggota keluarga. Seluruh anggota rumah tangga petani padi dan kelapa sawit berusia 10−60 tahun dapat membaca dan menulis huruf latin, juga seluruh anak usia 5−15 tahun sedang bersekolah (Tabel 4). Tabel 4. Sebaran responden berdasar indikator kesejahteraan BKKBN, 2013 Pernyataan
Petani padi
Petani kelapa sawit
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
0
100
0
100
100
0
100
0
c. Bagian terluas dari rumah bukan dari tanah
0
100
0
100
d. Bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan
100
0
100
0
e. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur
100
0
100
0
f. Makan daging/telur/ikan minimal satu minggu sekali
100
10
100
0
0
100
0
100
100
0
100
0
43,33
70
30
a. Makan <2 kali per hari b. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian berbeda
2
g. Luas lantai rumah rata-rata <8 m per anggota keluarga h. Membeli baju baru minimal sekali setahun i. Minimal satu anggota keluarga usia >15 tahun berpenghasilan tetap
56,67
Tidak (%)
j. Seluruh anggota berumur 10–60 bisa baca tulis
100
0
100
0
k. Seluruh anak berusia 5–15 bersekolah
100
0
100
0
Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebanyak 56,67% rumah tangga petani padi dan sebagian besar (70%) rumah tangga petani kelapa sawit temasuk kategori rumah tangga sejahtera. Hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kelapa sawit lebih tinggi sebesar 19,04% dibandingkan rumah tangga petani padi.
Membangun Daya Tahan Pertanian dalam Rangka Pemberdayaan Petani dan Perlindungan Pertanian
279
Berdasarkan garis kemiskinan BPS, kesejahteraan rumah tangga dilihat dari besarnya pendapatan per kapita yang dimiliki rumah tangga tersebut. Sebagian besar rumah tangga petani padi (63,37%) dan rumah tangga petani kelapa sawit (80%) berada di atas angka garis kemiskinan BPS sebesar Rp325.000/kapita/bulan dan termasuk ke dalam kategori rumah tangga sejahtera. Hasil uji beda menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p >0,05) menurut kriteria garis kemiskinan BPS antara rumah tangga petani padi dan rumah tangga petani kelapa sawit. Dapat dikatakan persentase kesejahteraan rumah tangga petani kelapa sawit lebih tinggi 26,24% dari petani padi (Tabel 5). Tabel 5. Sebaran responden berdasarkan tingkat kesejahteraan kriteria garis kemiskinan BPS dan Bank Dunia, 2013 (%) Uraian
Petani padi Kriteria BPS
Petani kelapa sawit
Kriteria Bank Dunia
Kriteria BPS
Kriteria Bank Dunia
Tidak sejahtera
36,67
83,37
20
50
Sejahtera
63,37
16,67
80
50
Rata-rata pendapatan/kap/bln Uji beda t
Rp413.170
Rp578.679 -3,708
Keterangan: Asumsi nilai tukar rupiah terhadap US$1 = Rp10.000 Angka garis kemiskinan Kabupaten Kampar tahun 2012: Rp325.000/kapita/bulan
Akan tetapi, bila kita mengacu pada kriteria garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia (World Bank) yang menetapkan garis kemiskinan senilai US$2/kapita/hari (US$60/kapita/bulan) maka rumah tangga petani padi pada lokasi penelitian sebanyak 83,37% berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan rumah tangga petani kelapa sawit sebanyak 50% berada di bawah garis kemiskinan dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp10.000. Persentase tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kelapa sawit 40,05% lebih tinggi dibanding rumah tangga petani padi. Jika dilihat dari rata-rata pendapatan per kapita per bulan, petani padi memiliki pendapatan lebih rendah dibanding petani kelapa sawit. Pendapatan pertanian lahan sawah sangat ditentukan keadaan iklim, serangan penyakit, dan harga produk. Berkaitan dengan faktor petani mengkonversi lahan, Lestari (2010) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan, yaitu 1) faktor eksternal, faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi, maupun ekonomi; 2) faktor internal, faktor yang disebabkan oleh kondisi sosialekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan; dan 3) faktor kebijakan, aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
KESIMPULAN DAN SARAN Selama kurun waktu 2003−2010 terjadi penurunan luas lahan sawah seluas 5.413 ha (40,33%) dari 13.419 ha menjadi 8.006 ha. Berdasarkan beberapa indikator kesejahteraan BKKBN, BPS, dan Bank Dunia dapat dikatakan rata-rata persentase tingkat kesejahteraan rumah tangga petani konversi kelapa sawit lebih tinggi 35,49% dibanding rumah tangga petani padi. Tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang mendorong petani melakukan konversi lahan. Berdasarkan perhitungan nilai manfaat dari pengelolaan lahan sawah, diperlukan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani agar mereka tetap mempertahankan lahan sawah mereka melalui intensifikasi dan diversifikasi usaha tani pada lahan sawah. Pemberian fasilitas pembiayaan, kompensasi kegagalan panen, pemasaran hasil gabah, jaminan harga gabah yang menguntungkan, serta pemberian insentif berupa pengembangan infrastruktur pertanian antara lain jaringan irigasi dan sarana produksi, kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi, serta keringanan pajak.
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
280
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. dan Bapak Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku pembimbing dalam penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Andriani RBK. 2009. Peran gender dalam strategi koping dan pengambailan keputusan serta hubungannya dengan kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura di daerah pinggiran perkotaan [tesis]. [Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogor. [BPS Kampar] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar. 2011. Kampar dalam angka tahun 2010. Kampar (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kampar. [BPS Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2012. Riau dalam angka tahun 2011. Pekanbaru (ID): Badan Pusat Statistik Provinsi Riau bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau. [Dipertahorti Riau] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. 2010. Laporan akhir. Studi konversi lahan dalam rangka memacu lahirnya perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan di Provinsi Riau. Pekanbaru (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. [Dipertahorti Riau] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. 2011. Statistik pertanian Provinsi Riau. Pekanbaru (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. Hamdan. 2012. Ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu [tesis]. [Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogor. Irawan, B. 2005. Konversi lahan sawah: potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. FAE. 23(1):1−18. Lestari T. 2010. Konversi lahan pertanian dan perubahan taraf hidup rumah tangga petani (Kasus pembangunan X di Kampung Cibeurem Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. [Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Jakarta (ID): Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Suandi. 2007. Modal sosial dan kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi [disertasi]. [Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogor.