EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU
HAMDAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis
Ekonomi Konversi Lahan
Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Hamdan NRP H351090151
Abstract HAMDAN, 2012. The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu. Under Supervision of YUSMAN SYAUKAT (chair) and AHYAR ISMAIL (member). Food security is one of the biggest challenges confronted by Indonesia. High population growth and per capita food consumption increase resulted in increase in demand for national rice production. One of the greatest threats to rice production increase is conversion of irrigated lowland area into oil palm plantations as occurs in Seluma District, Province of Bengkulu. Objective of this study is to identify the factors determining land conversion from rice field into oil palm plantation and to determine the present value of benefit resulted from both land uses. The results of study showed a decrease of irrigated lowland areas in district of Seluma during 2005 to 2010 about 3.934 hectares, the largest decline in rice field area in 2005 to 2007 covering an area of 3.861 hectares in nonirrigated land, while in irrigated land the average increase of 997.20 hectare per year. One of the drivers of land conversion is the value of present of land rent in oil palm farm is greater than rice farming, each amount to Rp 118, 20 million per hectare and Rp 106,59 million per hectare. In addition to economic benefits, oil palm farmers also get easier access to sources of capital and production input markets. The results of logistic regression analysis shows that the push and pull factors of wetland conversion into oil palm plantations are irrigated constraints, The risk of rice paddies plantation, the amount of family labor and the level of price of oil palm. Key words: land conversion,rent, paddy, oil palm, push and pull
RINGKASAN HAMDAN, Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Dibimbing oleh Yusman Syaukat sebagai ketua dan Ahyar Ismail sebagai anggota komisi pembimbing. Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Bengkulu, secara keseluruhan daerah ini memiliki luas areal persawahan 23.748 ha atau 22,59% dari luas sawah Provinsi Bengkulu. Lahan sawah yang dapat ditanami dua kali dalam satu tahun seluas 4.851 ha (20%), dan yang ditanami satu kali dalam satu tahun seluas 13.290 ha (56%) Produktivitas padi didaerah ini mencapai 3,95 merupakan yang tertinggi ketiga setelah Kota Bengkulu dan Kabupaten Kepahiang. Berbagai kendala dalam usahatani padi, pelandaian produksi padi yang terus terjadi akibat degradasi lahan, sarana produksi yang tidak tersedia, hama dan penyakit, irigasi menyebabkan biaya usahatani semakin tinggi yang berarti land rent yang diperoleh semakin menurun. Kondisi ini mendorong petani untuk mencari solusi pengelolaan lahan sawah yang dimiliki untuk memperoleh manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraannya, salah satunya adalah konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. Meskipun fenomena konversi lahan ini belum menjadi ancaman yang serius terhadap keamanan pangan regional Bengkulu, perhatian terhadap perkembangan konversi lahan harus tetap dilakukan untuk mengantisipasi semakin maraknya konversi lahan. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan tiga tujuan penelitian mengenai keragaan konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma, yaitu: (1) Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma, (2) Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return land rent, dan (3) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. Untuk tujuan pertama dilakukan estimasi perkembangan konversi lahan sawah berdasarkan data luas lahan sawah tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, data yang digunakan adalah data sekunder dari BPS Provinsi Bengkulu, BPS Kabupaten Seluma dan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma. Perubahan luasan ini dihitung berdasarkan data luas lahan sawah tahun awal ditambah luas pencetakan sawah baru tahun berikutnya dan dikurangi luas lahan yang dikonversi. Tujuan kedua dilakukan analisis nilai land rent dimulai dengan mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi nilainya, seperti produktivitas lahan, harga output, biaya faktor produksi (variable cost), biaya peralatan, dan biaya pengelolaan. Nilai land rent yang diperoleh dari usahatani pada lahan sawah dan kebun kelapa sawit dihitung sebagai present value net return (PVNR) land rent dengan periode analisis selama 25 tahun dan discount rate sebesar 10%. Untuk tujuan ketiga dilakukan identifikasi terhadap variabel yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit melalui wawancara dengan responden petani, tokoh masyarakat dan petugas lapang. Hasil identifikasi ini kemudian dikelompokkan ke dalam push factor dan pull factor konversi lahan. Analisis yang digunakan adalah secara kualitatif dan kuantitatif dalam sistem tabulasi, kemudian dilakukan analisis regresi logistik biner.
Laju konversi lahan sawah terluas di Kabupaten Seluma yang terjadi pada tahun 2005 sampai 2010 mencapai 4.022 hektar, tertinggi tahun 2006 seluas seluas 2.934 hektar kemudian tahun 2007 seluas 927 hektar dan tahun 2009 seluas 161 hektar. Tahun 2005 luas lahan sawah mencapai 23.936 hektar, tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar dan tahun 2007 kembali mengalami penurunan menjadi 20.075 hektar. Pencetakan sawah baru tahun 2008 seluas 3.870 hektar yang dilakukan secara swadaya oleh petani setelah adanya kegiatan perbaikan drainase dan pengeringan pada lahan baku sawah oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, sehingga meningkatkan luas lahan sawah menjadi 23.784 hektar pada tahun 2008. Konversi lahan sawah yang terjadi belum menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan Kabupaten Seluma, namun kondisi ini perlu dicermati lebih jauh karena ada gejala penurunan produksi padi dan produktivitas dalam tiga tahun terakhir dimana pada tahun 2008 produksi padi mencapai 84.631 ton kemudian turun menjadi 62.629 pada tahun 2010. Produktivitas lahan juga mengalami penurunan, yaitu dari 4,15 ton/ha pada tahun 2007 menjadi 3,94 ton/ha pada tahun 2010. Hasil analisis ekonomi terhadap usahatani komoditas padi sawah diperoleh nilai land rent rata-rata sebesar Rp 11.742.521/hektar/tahun. Nilai land rent ratarata komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun. Nilai PVNRland rent dari usahatani padi sawah sebesar Rp 106,587,332/hektar, sedangkan dari usahatani kelapa sawit sebesar 118.195.250/hektar. PVNR-land rent dari kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dari sawah atau 1 berbanding 1,11. Artinya land rent yang lebih tinggi dari kelapa sawit merupakan salah satu pendorong konversi lahan, meskipun perubahan ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai Tukar Rumah Tangga Petani sebagai indikator kesejahteraan memberikan nilai 0,58 untuk padi sawah dan 0,78 untuk kelapa sawit, dapat dikatakan pengelolaan salah satu komoditas saja dengan luasan 1 hektar belum mampu mensejahterakan petani. Diversifikasi usahatani seperti padi dan kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi peningkatan kesejahteraan petani, tentunya dengan pengaturan dan pengelolaan yang lebih baik. Push factor konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah kendala irigasi (X1), Resiko usahatani padi sawah (X3), dan jumlah tenaga kerja keluarga (X5). Faktor kendala irigasi dan resiko usahatani padi berpengaruh positif terhadap kecenderungan konversi lahan dengan koefisen 3,790 dan 2,835 serta odds ratio 44,267 dan 17,029, artinya peluang untuk mengkonversi lahan lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan resiko usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga berpengaruh negatif dengan koefisien -2,000 dan odds ratio 0,135, artinya peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull factor konversi lahan adalah harga tandan buah segar kelapa sawit (X8), variabel ini berpengaruh positif pada selang kepercayaan 10% dengan koefisien 2,619 dan odds ratio 13,723, artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan peningkatan kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah 13,723 kali lebih besar dibanding tidak melakukan konversi. Kata kunci: konversi lahan, rente, padi, kelapa sawit, pendorong dan penarik
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB
EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU
HAMDAN
Tesis Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Eka Intan Kumala Putri, MS Ir. Ahyar Ismail, MS
Judul Tesis
Nama NRP
: Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu : Hamdan : H351090151
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec Ketua
Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr
Tanggal Ujian: 23 Desember 2011
Tanggal Lulus: 18 Januari 2012 Desember 2011
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi sumberdaya lahan, dengan judul Ekonomi Konversi Lahan Sawah menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada: 1.
Dr. Ir. Yusman Syaukat. M. Ec, ketua Komisi Pembimbing yang penulis hormati atas segala arahan, ilmu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.
2.
Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr, anggota komisi pembimbing atas segala ilmu dan arahan yang telah diberikan kepada penlis.
3.
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, Ketua
Program Studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana. 4.
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, dosen Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.
5.
Dosen dan staf Departemen ESL atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana.
6.
Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.
7.
Ayahanda tercinta Ariyus KH. Sampono Endah beserta Ibunda Baiyinah dan Papa Drs. Djamal Sasta beserta
Mama Koen Paryati atas segala doa,
nasehat, motivasi dan kasih sayangnya. 8.
Kakak M. Taufiq dan adik-adik tercinta Busyra, Ruhamak, Baihaqi, Raudhah serta Isyatirrhadiyah atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
9.
Istri tercinta Shannora Yuliasari yang setia mendampingi dan memberikan semangat serta membantu penulis selama pendidikan dan penyelesaian tulisan ini.
10. Anak-anakku tersayang Firaas Althaf dan Mahira Lutfiyah yang selalu memberikan semangat dan keceriaan. 11. Mamak Ir. Yardha beserta keluarga atas segala bantuan dan motivasinya sehingga penulis dapat menjalani masa pendidikan dan penyelesaiaan tulisan ini. 12. Rekan-rekan ESL dan ESK 2009, Pak Bambang ESL 2007, ESL 2008 atas segala bantuan dan kebersamaan yang dibangun selama ini. 13. Bapak M. Rais dan keluarga yang telah menyediakan akomodasi dan bantuan bagi penulis selama melaksanakan penelitian serta masyarakat Kecamatan Seluma Selatan yang terlibat dalam penelitian ini. 14. Teman-teman dan sahabat penulis Yadi, Said, Kadek, Asti, Ria, Novan, Ongen, Roghib, Eka, Rio, Fadli dan Ririn atas segala bantuan dan kebersamaan selama ini. 15. Bapak/Ibu petugas belajar Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian atas segala informasi dan bantuannya. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi stake holder terkait untuk pengelolaan sumberdaya lahan yang lebih baik guna manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan semoga tulisan ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.
Bogor, Januari 2012
Hamdan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Tiga Suku Padang Panjang pada tanggal 21 Juni 1977 dari ayah Ariyus KH. Sampono Endah dan ibu Baiyinah. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri Padang Panjang dan pada tahun 1997 diterima di Universitas Syiah Kuala pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2002. Tahun 2002 penulis bekerja sebagai staf peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian sampai sekarang. Tahun 2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xvii
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................
1 5 10 10
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekonomi Konversi Lahan ............................................................ 2.2. Rente Lahan (Land Rent)............................................................. 2.3. Biaya .......................................................................................... 2.4. Harga .......................................................................................... 2.5. Produktivitas ............................................................................... 2.6. Penerimaan ................................................................................ 2.7. Perubahan Penggunaan Lahan ..................................................
11 14 18 20 21 22 23
I.
II.
III.
KERANGKA PENELITIAN
IV.
METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 4.3. Metode Pengambilan Sampel ..................................................... 4.4. Metode Analisis Data .................................................................. 4.4.1. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah .............................. 4.4.2. Analisis Land Rent ......................................................... 4.4.3. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ..... 4.5. Batasan Penelitian .....................................................................
V.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6. 5.7.
VI.
31 31 32 33 33 34 37 40
Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma ............................. Kependudukan .......................................................................... Tingkat Pendidikan .................................................................... Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Seluma .......................... Penggunaan Lahan ................................................................... Sub-sektor Tanaman Pangan .................................................... Sub-sektor Perkebunan .............................................................
41 42 44 44 45 46 47
HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. 6.2. 6.3. 6.4.
Keragaan Petani Responden .................................................... Analisis Laju Konversi Lahan Sawah ......................................... Dampak Konversi Lahan terhadap Ketahanan Pangan ............. Analisis Land rent ...................................................................... 6.4.1. Usahatani Padi Sawah ................................................... 6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit ................................................. 6.4.3. Nilai land rent Usahatani Padi dan Kelapa Sawit ............ 6.4.4. Analisis Faktor Konversi Lahan ......................................
49 50 55 56 57 68 77 80
xii
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ................................................................................ 7.2. Saran .........................................................................................
91 92
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
93
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Luas maksimum kepemilikan lahan berdasarkan kepadatan penduduk ...............................................................................................
25
2.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian .....................
31
3.
Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Seluma tahun 2011 .................
40
4.
Data Monografi Kabupaten Seluma dirinci menurut kecamatan ............
42
5.
Tingkat Pendidikan penduduk Kabupaten Seluma ................................
43
6.
Distribusi PDRB Kabupaten Seluma atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha ......................................................................
44
7.
Luas lahan yang sudah diusahakan di Kabupaten Seluma tahun 2010 .
45
8.
Luas sawah Provinsi Bengkulu Dirinci Menurut Kabupaten ...................
45
9.
Luas lahan sawah di kabupaten seluma berdasarkan irigasi .................
46
10. luas tanam komoditi perkebunan rakyat Kabupaten Seluma .................
47
11. Luas areal perkebunan besar swasta/negara di Kabupaten Seluma ....
47
12. Keragaan karakteristik petani responden ..............................................
48
13. Perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Seluma ......................
50
14. Laju konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 – 2010 ...
51
15. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Seluma tahun 2005 2010 ......................................................................................................
52
16. Kondisi ketahanan pangan Kabupaten Seluma tahun 2005-2009 .........
55
17. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam I ......
58
18. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam I ................................
59
19. Penerimaan, biaya, dan land rent usahatani pada Pola Tanam I ..........
61
20. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam II .....
62
21. Penggunaan sarana produksi usahatani palawija pada Pola Tanam II ..
63
22. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam II ..............................
64
23. Analisis land rent tanaman palawija jagung, kacang tanah, dan ubi jalar .......................................................................................................
65
24. Rata-rata penerimaan, biaya, dan land rent usahatani per musim pada Pola Tanam II................................................................................
66
25. Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang konversi ...........
67
26. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama ................................................................................................
69
27. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama .....
70
28. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua ....................................................................................................
71
xiv
29. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua ........
71
30. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ketiga ....................................................................................................
72
31. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke tiga .......
73
32. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-4 sampai tahun ke-25 ..............................................................................
73
33. Penggunaan input usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit .........
74
34. Analisis usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit ........................
75
35. Analisis land rent usahatani kelapa sawit .............................................
76
36. Perbandingan nilai land rent usahatani padi dan kelapa sawit ..............
76
37. Hasil olah data faktor yang mempengaruhi konversi lahan ...................
80
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi ..........................
16
2.
Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent ..............................
18
3.
Diagram model operasional ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan ................................
28
4.
Peta wilayah Kabupaten Seluma ..........................................................
41
5.
Proses konversi lahan (A) Sporadis, (B) Progresif ................................
54
6.
Struktur biaya rata-rata usahatani pola tanam Padi-padi .......................
60
7.
Distribusi biaya usahatani kelapa sawit tahun pertama .........................
70
8.
Grafik land rent usahatani kelapa sawit tahun 1 – 25 ............................
76
9.
Kondisi saluran irigasi tersier dan bangunan penjaga pintu air ..............
82
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ....................................
102
Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ...................................
103
Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi - Palawija ( t = 25 tahun, r = 10%) ..........................
104
Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman pada kelas kesesuaian lahan S2 ...........................................................
105
Biaya rata-rata usahatani tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) kelapa sawit ............................................
106
Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r = 10% dan t = 25 tahun) ...........................................................................
107
Hasil olah data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit ...............................
108
xvii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005 mencanangkan strategi Revitalisasi Pertanian,
Perikanan,
dan
Kehutanan
(RPPK),
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan, dan melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Harapan dari kebijakan pemerintah ini adalah menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009), menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung (2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010). RPPK ini perlu mendapat perhatian semua pihak, mengingat sumbangan sektor pertanian yang cukup besar terhadap pendapatan nasional, menurut data BPS peranan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2009 sebesar 15,30%. Sektor pertanian berada pada ranking kedua yang memiliki kontribusi terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 26,40%. Di tingkat regional Provinsi Bengkulu kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih tinggi dibanding nasional, yaitu sebesar 19,44% (BPS 2009). Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah 88,83% kabupaten/kota berbasis pertanian dan 83% tenaga kerja sektor pertanian. Namun jumlah yang besar ini tidak diikuti tingkat kesejahteraan yang memadai karena angka kemiskinan di perdesaan masih sangat tinggi, jumlah penduduk miskin mencapai 24,6 juta (68,14%) (Pasaribu 2007). Ketahanan pangan merupakan tantangan utama yang akan dihadapi Bangsa Indonesia, selain itu juga inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi,
untuk
mengantisipasinya
pemerintah
menargetkan
peningkatan
cadangan beras. Hal ini disampaikan Presiden Republik Indonesia pada Rapat Kerja
tentang
Pelaksanaan
Program
Pembangunan
Tahun
2011.
Misi
pemerintah pada tahun 2011 yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4%, inflasi 5,3%, penurunan angka pengangguran menjadi 7%, dan penurunan angka kemiskinan menjadi 11,5-12,5%1. 1
Pangan, Tantangan Utama 2011. Harian Republika Edisi Selasa, 11 Januari 2011
Permasalahan utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah a) semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif terutama lahan sawah karena dikonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan non pertanian, b) penurunan kualitas sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan c) kompetisi penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetisi penggunaan lahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarana, serta bahan bakar sedangkan fragmentasi lahan terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani, kemiskinan akan memaksa petani melepas sebagian kepemilikan lahannya dan adanya sistem pewarisan yang berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah yang semakin kecil (Hidayat 2009). Perubahan kepemilikan dan fragmentasi lahan menyebabkan peningkatan rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Berdasarkan data statistik jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,6% tiap tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%. Rumah tangga petani gurem di Jawa tahun 1993 adalah 69,80%, tahu 2003 meningkat menjadi 74,90%. Di luar Jawa, persentase perani gurem meningkat dari 30,60% menjadi 33,9%. Banyaknya rumah tangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003, yang berarti meningkat sebesar 2,20%/tahun. Komposisi banyaknya rumah tangga pertanian di Jawa menurut Sensus Pertanian 1993 sebanyak 56,10% rumah tangga pertanian dan sisanya sebesar 43,90% berada di luar Jawa, tahun 2003 komposisinya menjadi 54,90% di Jawa dan 45,10% di luar Jawa2. Beban sektor pertanian makin bertambah, seiring dengan meningkatnya jumlah rumah tangga di Indonesia, banyaknya rumah tangga pertanian juga mengalami peningkatan dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada tahun 2003, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Demikian juga halnya dengan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, meningkat 1,7% pertahun, dari 20,5 juta pada tahun 1993 menjadi 24,4 juta rumah tangga pada tahun 20033. Peningkatan rumah tangga pertanian dan rumah tangga pengguna lahan berdampak pada peningkatan tenaga kerja peningkatan 2 3
2
Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian di Indonesia. Berita Resmi Statistik No.06/VII/2 Januari 2004 Sebaran Rumah Tangga Pertanian dan Rumah Tangga Petani Gurem menurut Propinsi di Indonesia. Berita Resmi Statistik No. 14/VII/16 Februari 2004
tenaga kerja pertanian, tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 25,65%, dari 66,52 juta orang pada tahun 1993 menjadi 83,58 juta orang pada tahun 2003. Akibatnya kesejahteraan rata-rata petani menjadi terkendala untuk ditingkatkan. Disamping itu, telah terjadi ketimpangan distribusi penguasaan lahan, yaitu 70% petani menguasai 13% lahan yang ada, sementara yang 30% petani lainnya justru menguasai 87% lahan yang ada. Ketimpangan dalam penguasaan lahan akan semakin memiskinkan petani, memarjinalisasikan petani dan pertanian, dan mengancaman ketahanan pangan yang memerlukan keseriusan berbagai pihak untuk menanganinya (Suhartanto 2008). Berkaitan dengan aspek ketersediaan bahan pangan, kelangsungan proses produksi pangan dengan pelaku utama petani, memerlukan ketersediaan lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Lahan pertanian selain sebagai faktor kunci dalam sistem produksi pangan, juga memiliki sifat yang unik karena fungsinya yang tidak dapat tergantikan oleh sumberdaya. Oleh karenanya ketersediaan lahan pertanian yang berkelanjutan merupakan hal yang sangat mendasar untuk menciptakan ketahanan pangan nasional yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Konversi lahan sawah yang terjadi pada periode tahun 1981-1999 seluas 90.417 hektar/tahun dan pencetakan sawah baru seluas 178.954 hektar/tahun sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 hektar/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada periode tahun 1999 - 2002 lahan sawah berkurang atau menyusut seluas 141.286 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai 187.720 hektar/tahun (alih fungsi ke non pertanian seluas 110.164 hektar/tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya seluas 77.556 hektar/tahun), sedangkan pencetakan sawah baru hanya 46.434 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Secara keseluruhan pada periode 19812002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta hektar, tetapi kemudian dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta hektar atau 65% (Irawan 2007). Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan karena: (a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat
3
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2007) Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah yang langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih rendah pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan, dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular. Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham et.al. (2005), lebih lanjut
Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006),
menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih
rendah dibanding nilai
land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan), b) kesejahteraan petani
yang
masih
tertinggal, c) kepentingan
pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya
terkait penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait. Konversi lahan pertanian harus dicegah karena sifatnya yang irreversible dan permanen, artinya ketika lahan pertanian telah berubah fungsi kapanpun sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi pertanian. Alih fungsi lahan pertanian, terutama lahan sawah berdampak sangat buruk bagi bangsa dan rakyat Indonesia, antara lain (1) berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional, (2) proses pemiskinan petani karena kehilangan aset pokok untuk sumber mata pencahariannya, (3) pengangguran karena lenyapnya lahan pertanian yang mampu menyerap angkatan kerja sampai 46%, (4) pemubaziran investasi yang telah ditanam pemerintah (terutama irigasi), (5) degradasi budaya masyarakat di perdesaan, dan (6) menurunnya fungsi lingkungan hidup. Proses konversi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi lahan (land rent) lebih tinggi. Sebaliknya akan berlangsung lambat jika motivasi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak
4
dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Teori ekonomi dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent ratio). Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian land rent lahan untuk sawah adalah 1/500 dibanding pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi 1990), 1/622 untuk perumahan (Riyani 1992), 1/14 untuk pariwisata (Kartika 1991), dan 1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991), 1/7 untuk bawang merah (Sitorus et.al. 2007). Selanjutnya, menurut Asni (2005) dalam penelitiannya tentang produksi, pendapatan dan alih fungsi lahan diperoleh pendapatan dari usahatani padi Rp 1.387.577/hektar dan kelapa sawir Rp 5.735.203/hektar, artinya pendapatan dari usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar daripada padi sawah. Berdasarkan kasus-kasus konversi lahan yang ada dapat dikatakan bahwa faktor penarik konversi lahan sawah adalah nilai manfaat yang lebih besar jika lahan diubah fungsinya menjadi penggunaan lain. Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang sudah
berkembang.
Ketersediaan
infrastruktur
ekonomi
yang
memadai
merupakan faktor positif dominan yang ikut mempengaruhi keputusan pemilik lahan untuk merubah fungsi lahannya, seperti perkebunan kelapa sawit yang sangat membutuhkan infrastruktur jalan untuk pengangkutan bibit, pupuk dan sarana produksi lainnya pada tanaman belum menghasilkan serta pengangkutan hasil panen dan sarana produksi pada tanaman menghasilkan. 1.2. Perumusan Masalah Pola pemanfaatan lahan petani sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal, tenaga kerja keluarga dan adanya kemudahan dalam perawatan dan pemasarannya. Misalnya, petani akan rela mengganti seluruh tanaman yang sudah lama diusahakan (padi) dengan tanaman lain asal menguntungkan (kelapa sawit). Dari keadaan tersebut ada kecenderungan pilihan komoditas yang diusahakan petani yaitu: (a) petani akan berusaha untuk memperoleh uang dan bahan pangan guna keperluan sehari-hari, (b) jika struktur tenaga kerja dalam keluarga tidak mendukung/mencukupi, petani akan berusaha untuk menanam komoditas yang tidak banyak menyita waktu, c) petani akan mengusahakan komoditas prospektif (harga tinggi dan pemasaran mudah) serta 5
perawatannya mudah dengan kecenderungan pilihan komoditas yaitu kelapa sawit. Keterbatasan sumberdaya lahan yang dimiliki dan produktivitas lahan sawah yang cenderung melandai (levelling off) mendorong petani untuk merubah fungsi lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Disamping faktor internal dari permintaan crude palm oil (CPO) dan karet dunia yang cenderung tinggi ditambah dengan melambungnya harga komoditas sawit dan karet sejak tahun 2007 membuat sektor perkebunan menjadi semakin menggiurkan4. Pasar hasil perkebunan rakyat yang melibatkan banyak petani dan terpencar berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri pengolahan. Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan perkebunan rakyat, seperti di daerah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan. Kondisi ini yang kemudian menjadi penghambat berkembangnya sektor perkebunan kelapa sawit rakyat, namun permintaan CPO yang tinggi mendorong perusahaan untuk menghasilkan produk lebih banyak. Untuk berproduksi lebih banyak, tentunya dibutuhkan bahan baku tandan buah segar kelapa sawit lebih banyak pula, kondisi ini yang kemudian menjadi peluang pasar bagi produksi TBS kelapa sawit dari perkebunan rakyat. Peluang pasar ini dioptimalkan oleh petani yang bekerja pada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kecamatan Seluma Selatan dengan membuka perkebunan sendiri. Pada awalnya lahan yang digunakan adalah lahan-lahan sawah yang dianggap kurang subur untuk tanaman padi karena kondisi drainase yang kurang baik. Dalam perkembangnya, melihat pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang cukup baik, pengelolaan tanaman yang lebih mudah, proses panen dan pemasaran yang mudah, serta periode produksi yang relatif cepat menjadi penarik bagi petani sekitar untuk ikut merubah fungsi lahan sawahnya dari tanaman padi menjadi tanaman kelapa sawit. Selain faktor harga komoditas dan peluang pasar yang cukup terbuka, akumulasi berbagai kendala terkait sarana dan prasarana untuk usahatani padi
4
6
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/1D905F41-E66E-4D39-850A-3A848B12F08B/16547/ Boks2HasilLiaisonSektorPertanian.pdf. Diakses tanggal 26 November 2011
seperti ketersediaan air irigasi, ketersediaan pupuk dan keuntungan usahatani yang sebanding dengan biaya dan tenaga yang dicurahkan ikut mendorong petani untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit dengan merubah fungsi lahan sawah yang dimiliki. Ketersediaan air irigasi merupakan kunci awal keberhasilan usahatani karena berhubungan dengan tahap persiapan lahan, pengolahan lahan, tanam dan pertanaman. Tanaman padi membutuhan kondisi lahan yang jenuh air (tergenang) dalam periode pertumbuhannya untuk memperoleh produksi yang tinggi, namun perubahan tata kelola irigasi yang terjadi menyebabkan distribusi air irigasi tidak merata sehingga banyak lahan sawah yang tidak bisa ditanami padi. Lahan-lahan ini kemudian diindikasikan sebagai lahan terlantar dan dijadikan kebun kelapa sawit. Faktor lain yang ikut berperan dalam konversi lahan adalah ketersediaan pupuk bersubsidi pemerintah. Dalam pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk secara tertutup sekarang ini, Pemerintah telah mengeluarkan Permentan, Permendag yang bertujuan untuk mengatur pendistribusian pupuk bersubsidi secara tertutup yang akan diberlakukan pada tahun 2009, yaitu: Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2008, tentang Penetapan Pupuk bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan; Permendag No. 21/M-DAG/Per 16/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian; Permentan No. 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 20095. Kenyataannya, pupuk bersubsidi sering tidak diterima petani karena kelompok tani tidak memiliki dana untuk menebus nilai pupuk yang diajukan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oknum pedagang pengecer untuk membantu menebus pengajuan pupuk kelompok tani tersebut, disini pupuk bersubsidi berubah menjadi barang publik sehingga bisa didapatkan oleh siapa saja yang membutuhkan. Akibatnya distribusi pupuk menjadi menjadi terganggu, terutama dari aspek jumlah, waktu dan jenis pupuk. Pemupukan secara berimbang utamanya keseimbangan antara unsur Nitrogen (Pupuk Urea) Phospor (SP-36) dan Kalium (KCI) yang harus diberikan tergantung pada keadaan tanah. Ketiga unsur ini mempunyai peran yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur ini saling berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan tanaman.
5
Pemberdayaan Gapoktan dalam Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Secara Tertutup http://www.sinartani.com/opini/agriwacana/704.html
7
Seperti halnya air irigasi, ketersediaan pupuk tidak hanya mempengaruhi produksi secara langsung tetapi juga berpengaruh pada musim tanam. Perubahan musim tanam akan memperbesar resiko usahatani yang dihadapi, terutama disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman. Kebutuhan yang tinggi dan kurang tersedianya pupuk ditingkat petani pada saat musim tanam menjadi salah satu pembenaran bagi petani untuk konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. Sektor pemerintahan juga ikut berperan dalam konversi lahan sawah ke penggunaan lain, terutama pada daerah-daerah pemekaran. Pemekaran wilayah akan membentuk sistem pemerintahan baru, seterusnya juga membutuhkan pembangunan infrastruktur baru, dalam beberapa kasus pembangunan dilakukan pada lahan-lahan pertanian yang produktif. Kondisi ini diperburuk oleh pola pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi untuk peningkatan pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Hal seperti ini tentunya sangat menghawatirkan, disaat pemerintah sedang mengkampanyekan pentingnya ketahanan pangan, namun proses konversi lahan pangan menjadi perkebunan terus terjadi. Peningkatan harga komoditas perkebunan, kemudahan dalam pengelolaan dan pemasaran produk perkebunan, masalah irigasi, pupuk, dan kebijakan pemerintah merupakan pemicu penyusutan luas lahan sawah di Provinsi Bengkulu sebesar 12,74 % dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan data statistik luas lahan sawah tahun 2006 sebesar 121.470 hektar turun menjadi 106 ribu hektar pada
tahun 2011. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan
Provinsi (BKPP) Bengkulu (H. Muslih) penyusutan tersebut disebabkan penciutan atau alih fungsi menjadi perkebunan sebesar 50% serta infrastruktur dan 50% lainnya disebabkan bencana alam seperti longsor dan abrasi untuk kawasan pesisir. penyusutan sawah juga diakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan skala besar beroperasi akibat pemberian izin yang mudah dilakukan. Lebih lanjut Kepala BKPP menegaskan, bahwa tidak mungkin ketahanan pangan tercapai bila lahan untuk pertanian tanaman pangan beralih fungsi menjadi kebun karet dan sawit atau pemukiman baru, seperti yang terjadi di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Seluma6.
6
8
http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/09/14/64766/Sawah-Bengkulu-Susut-20-Persen-Tiap-tahun-. diakses tanggal 6 desember 2011
Luas lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 mencapai 23.936 ha, selanjutnya pada tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar atau terjadi penurunan seluas 2.934 hektar. Pada tahun 2007 kembali terjadi penurunan seluas 927 hektar, perubahan luas lahan sawah ini sebagian besar akibat dikonversi menjadi lahan perkebunan karet dan kelapa sawit serta penggunaan non pertanian. Kondisi ini terlihat dari perkembangan luas tanam komoditas kelapa sawit, dalam kurun waktu lima tahun (2005 – 2010) luas tanam kelapa sawit meningkat sekitar 89,41%, tahun 2005 tercatat luas tanam mencapai 15.312 hektar dan tahun 2010 bertambah menjadi 29.002 hektar atau rata-rata meningkat sebesar 3.422,50 hektar/ tahun. Demikian juga dengan komoditas karet, luas tanam meningkat sebesar 5,42% dari luas tanam 25.199 hektar menjadi 26.482 hektar pada tahun 2010 (BPS 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010). Keputusan
menanam
kelapa
sawit
yang
ditempuh
dengan
jalan
mengkonversi lahan sawah merupakan suatu keputusan revolusioner yang ditempuh petani. Usahatani ini bukannya tanpa resiko, sebagai bidang usaha baru kesalahan dalam pengelolaan seperti pemilihan bibit, teknologi budidaya bukannya memberikan keuntungan lebih tinggi tapi tidak menghasilkan apa-apa karena tanaman kelapa sawit mereka produktivitasnya rendah bahkan tidak berproduksi sama sekali. Namun dengan pengalaman yang cukup lama dalam usahatani padi dengan berbagai kendala yang dihadapi, mungkin resiko yang dihadapi lebih rendah pada usahatani kelapa sawit. Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian menjadi permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, berkaitan dengan usaha-usaha untuk pengendalian konversi lahan sawah irigasi menjadi kebun kelapa sawit, yaitu: 1. Bagaimana perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma? 2. Benarkah land rent dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi dari usahatani padi sawah? 3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit?. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisa fenomena konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit yang terjadi di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma secara ekonomi, sehingga diperoleh nilai manfaat (land rent) 9
yang optimal dari pengelolaan komoditas pada lahan tersebut. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma. 2. Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return land rent. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. 1.4. Manfaat Penelitian Informasi dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah, sebagai tempat diproduksinya bahan pangan. Ketersediaan lahan pertanian yang memadai dan menjaga stabilitas ketahanan pangan Provinsi Bengkulu dalam rangka mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan sawah serta upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Seluma terutama yang bekerja disektor pertanian.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekonomi Konversi Lahan Sumberdaya lahan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan merupakan masukan yang diperlukan untuk setiap bentuk aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan dan juga tempat rekreasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumberdaya lahan berkontribusi besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (Suparmoko 1997). Sebagai salah satu komoditas ekonomi lahan mengalami peningkatan nilai sejalan dengan waktu karena sifat keterbatasannya, apalagi tanah mempunyai manfaat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lahan mempunyai nilai keindahan, nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, dan nilai spiritual. Nilai-nilai ini dimiliki sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan dimana jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada permintaannya serta ia mudah untuk ditransfer (Cahyono 1983). Lahan dapat diartikan sebagai suatu hamparan milik/dikuasai seseorang dan dibatasi oleh penguasaan lahan orang lain ataupun batas-batas alam lainnya seperti sungai, jalan umum, hutan, selokan dan semacamnya. Sedangkan lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya atau status tanah tersebut. Lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang bangunan penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai dinas pengairan Pekerjaan Umum (PU) maupun dikelola sendiri oleh masyarakat, terdiri dari 1) lahan sawah irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian air ke dalam lahan sawah tersebut dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah, 2) lahan sawah irigasi setengah teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari irigasi setengah teknis. Sama halnya dengan pengairan teknis, namun dalam hal ini PU hanya menguasai bangunan penyadap
untuk
dapat
mengatur
dan mengukur
pemasukan air, sedangkan pada jaringan selanjutnya tidak diukur dan tidak dikuasai oleh PU, 3) lahan sawah irigasi sederhana adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari irigasi sederhana yang sebagian jaringannya
(bendungan) dibangun oleh PU, 4) lahan sawah irigasi non PU adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem pengairan yang dikelola sendiri oleh masyarakat atau irigasi desa. Kondisi lahan sawah yang didukung infrastruktur yang baik dan topografi yang relatif datar menyebabkan lahan ini cenderung dikonversi. Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan penggunaan lahan yang dilakukan secara sengaja oleh manusia. Konversi lahan dapat bersifat permanen dan sementara, perubahan penggunaan menjadi kawasan pemukiman atau industri merupakan perubahan yang bersifat permanen, sedangkan perubahan menjadi perkebunan tebu bersifat sementara, karena pada tahun berikutnya dapat di jadikan sawah lagi. Konversi lahan yang permanen biasanya berdampak lebih besar daripada konversi lahan sementara. Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua, yaitu sistematis dan sporadis. Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis. Lahan sawah yang dikonversi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Konversi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan sawah bersifat progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam waktu yang relatif pendek cenderung berkonversi pula dengan luas yang cenderung meningkat. Secara empiris progresifitas konversi lahan dengan pola sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis (Direktorat Pangan dan Pertanian 2006). Konversi lahan sawah yang marak terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia sepertinya sudah menjadi bagian dari hukum demand dan supply, ketersediaan sumberdaya yang terbatas sedangkan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian terus terjadi sehingga kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus meningkat. Kondisi ini mengharuskan pemilik sumberdaya mengelolanya kearah yang lebih menguntungkan. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.
12
Secara empiris lahan pertanian merupakan lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh; Pertama pembangunan kegiatan non pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang relatif datar dibanding lahan kering, Kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai, dan Ketiga lahan persawahan lebih dekat kedaerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat penduduknya (Nasoetion 2003). Selanjutnya Irawan (2005), menyatakan alih fungsi lahan disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA 2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi kepenggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto 2005) menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain. Konversi lahan sawah menjadi pertanian lahan kering berpengaruh secara langsung terhadap produksi padi karena berkuranganya luas areal persawahan. Secara tidak langsung proses ini juga akan menurunkan produksi padi karena kondisi lingkungan yang tercipta dapat menjadi tempat tinggal hama tanaman padi seperti tikus, burung, dan belalang. Hasil penelitian Kiatpathomchai et al. (2008) menunjukkan penurunan produktivitas lahan sawah sebesar 467-515 kg/hektar di Thailand Selatan akibat konversi lahan sawah menjadi tambak udang. Lahan tambak udang menggunakan air laut sehingga menggangu kondisi
13
hidrologis air tawar yang digunakan untuk lahan sawah. Untuk mengetahui nilai manfaat dari pengelolaan komoditas padi sawah dan kelapa sawit terhadap rumah tangga petani dan masyarakat sekitar perlu dilakukan perhitungan land rent, sehingga dapat disimpulkan bagaimana sebaiknya pengelolaan lahan sawah yang ada. 2.2. Rente Lahan (land rent) Menurut Ricardo rente lahan (land rent), adalah surplus ekonomi suatu lahan yang dapat dibedakan atas (i) surplus yang selalu tetap (rent as an unearned increment), definisi ini memberikan kesan bahwa sewa lahan adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa berusaha (windfall return), yang diperoleh akibat pemilikan lahan, dan (ii) surplus sebagai hasil dari investasi (rent as return on investment), dalam pengertian ini lahan dipandang sebagai faktor produksi. Kebanyakan investor, pemilik dan penggarap menggunakan pengertian kedua ini. Selanjutnya dikatakan, land rent dapat dibedakan atas teori sewa Ricardian (Ricardian Rent), dan sewa ekonomi (Economic Rent atau Locational Rent). Teori sewa Ricardian, merupakan teori rente lahan yang mempertimbangkan faktor kesuburan lahan. Lahan yang subur akan memiliki nilai land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang kurang subur. Pendekatan ini terutama banyak digunakan pada wilayah pertanian yang umumnya berada di perdesaan, sedangkan sewa ekonomi mempertimbangkan lokasi atau jarak relatif dari suatu lahan pertanian dengan pusat pasar. Lahan dengan land rent yang tinggi akan berada di dekat pusat pasar. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan rendahnya biaya pengangkutan atau biaya perjalanan, yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari lokasi produksi ke lokasi pemasaran (Barlowe 1978). Rente lahan dapat dianggap sebagai kelebihan nilai penerimaan dari hasil pemanfaatan lahan yang terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk selain lahan, seperti tenaga kerja, capital, bahan baku, dan energi yang digunakan untuk mengubah sumberdaya alam menjadi barang. Menurut Suparmoko (1997), bahwa land rent merupakan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surplus ekonomi karena lokasi ekonomi. Selanjutnya Rustiadi et al. (2006) menyampaikan bahwa rente lahan (land rent) secara sederhana didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu pendapatan bersih atau benefit yang diterima suatu bidang lahan tiap meter 14
persegi tiap tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut. Pendapatan bersih atau benefit ini berasal dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya produksi yang dikeluarkan. Peninjauan biaya tergantung kepada yang melihatnya dan karena itu terbagai menjadi (1) analisis finansial, yaitu peninjauan biaya yang dilihat dari segi pengelola usaha; (2) analisis ekonomi, yaitu peninjauan biaya yang dilihat dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan (sosial). Krause and Brorsen (1995), dalam penelitiannya tentang dampak dari resiko nilai land rent pada lahan pertanian menyatakan bahwa, land rent adalah fungsi dari penerimaan, biaya produksi, dan resiko. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingginya resiko penggunaan lahan akan mengakibatkan menurunnya nilai land rent dan sebaliknya. Selanjutnya Renkow (1993), dalam penelitiannya tentang harga lahan (land prices), rente lahan (land rent), dan perubahan teknologi menyatakan, bahwa adopsi teknologi di bidang pertanian mempunyai pengaruh yang positif terhadap nilai land rent. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa harapan perolehan keuntungan secara nyata akan mempengaruhi peningkatan harga lahan. Konsep rente lahan dapat didekati dengan nilai rata-rata (average value) per hektar atau per meter persegi. Merupakan selisih antara harga produk yang dihasilkan dari pemanfaatan lahan tersebut dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan (tidak termasuk biaya untuk lahan) untuk membeli input dalam suatu proses produksi. Berikutnya dikatakan bahwa konsep rente lahan juga dapat didekati dengan pendekatan marginal value, yang merupakan selisih antara produk terakhir dan biaya per unit input terakhir (tidak termasuk lahan), yang digunakan untuk menghasilkan tambahan produk terakhir tersebut. Dalam kasus dimana harga produk konstan dan input tersedia dengan penawaran yang elastis sempurna, maka pendekatan average value menjadi sama dengan pendekatan marginal value (Sutara 1996). Berdasarkan Gambar 1, Barlowe (1978) menjelaskan penggunaan nilai produk dan kurva biaya untuk land rent
yang merupakan surplus ekonomi
setelah pembayaran biaya produksi, nilai produksi total yang dihasilkan ditunjukkan oleh segi empat LNSP dengan total biaya input segi empat MNSR dan menghasilkan land rent atau economic rent seluas LMRP Surplus ekonomi sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena faktor kesuburan tanah.
15
MC
Harga P
L M
N
AC
Land rent
MR=AR
R
S
Output
Gambar 1. Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi (Sumber: Barlowe 1978). Pada akhir abad kesembilan belas, Alfred Marshall memperkenalkan pemikiran tentang quasi-rent. Ketika keberadaan suatu
sumberdaya tidak
responsif terhadap perubahan harga dalam jangka pendek, hal ini dapat menyebabkan kelebihan pengembalian tetap dari sumber daya yang sama dengan rente berbeda. Misalnya, bangunan, mesin, dan peralatan yang dapat memperoleh quasi-rent dalam jangka pendek karena pasokan peralatan yang tahan lama tidak dapat diperluas dengan cepat atau diubah untuk penggunaan lain. Namun, dalam jangka panjang, peralatan yang ada dan mesin dapat dimanfaatkan untuk penggunaan baru atau dijual, dan mesin baru dapat diperoleh, sehingga dalam ekonomi yang kompetitif, quasi- rent dari peralatan tersebut tetap terjaga. Lebih lanjut Marshall menggunakan istilah composite quasi-rent, ketika kombinasi dari sumber daya menghasilkan laba melebihi opportunity cost dari input yang diperlukan untuk menghasilkan output. Sumber daya yang terpisah kemudian disatukan untuk membuat sumber daya khusus, sehingga nilai sumber daya menjadi lebih tinggi. Contoh adalah penggilingan (untuk mengubah gandum menjadi tepung) yang memanfaatkan aliran air (yang terdiri dari struktur pengalihan dan roda air) untuk memberi energi pada pabrik (Young 2005). Composite quasi-rents terdiri dari land rent dan non land rent, selanjutnya ditunjukkan bagaimana metode sisa dapat diturunkan sebuah konseptual kerangka kerja alternatif yang menekankan konsep biaya dan sewa, seperti pendekatan fungsi produksi. Gambar 2 menggambarkan aspek penting dari teori awal perusahaan. Versi sederhana dari model neoklasik mengasumsikan bahwa kurva suplai untuk input variabel yang diperlukan pada harga konstan, dimana 16
produsen adalah price taker di pasar output, sehingga harga produk (Py) dapat diasumsikan konstan untuk periode analisis. Total pendapatan (TR) adalah output (Y) kali harga produk (TR = Y. Py). Dalam konteks ini, konsep biaya yang signifikan adalah biaya marjinal (MC), yang mengacu pada penambahan biaya produksi pada masing-masing unit output. Produsen memaksimalkan keuntungan dengan memilih tingkat output dimana harga produk sama dengan biaya marjinal (Py = MC). Pada gambar, tingkat output yang optimal (di mana Py = MC) adalah Y0. Hal ini dapat digunakan untuk membedakan input tetap atau input variabel. Faktor tetap adalah faktor yang tidak dapat dihindari, bahkan jika perusahaan berhenti operasi. Biaya tetap adalah biaya yang awalnya diasumsikan berdasarkan harga pasar atau opportunity cost. Biaya variabel adalah biaya yang dapat dihindari jika perusahaan memproduksi output. Biaya variabel total diwakili oleh daerah dilambangkan huruf a. Biaya variabel rata-rata (AVC) dan biaya total rata-rata (ATC) didefinisikan, masing-masing sebagai biaya variabel total dan biaya total dibagi dengan Y. Berdasarkan definisi konvensional, jumlah rent ditambah quasi-rent adalah perbedaan antara penerimaan total dan biaya variabel total. Seperti dijelaskan sebelumnya, economic rents adalah setiap pembayaran yang dilakukan untuk input yang digunakan saat ini. Quasi-rent adalah pembayaran total untuk faktor tetap. Jumlah rents dan quasi-rents akan merubah pendapatan total
karena
pengaruh kelebihan dari biaya variabel total. Artinya, pendapatan total terdiri dari biaya variabel total ditambah yang normal quasi-rents, composite quasi-rent dan economic rent. Rente ekonomi muncul hanya jika satu atau lebih sumber daya dalam pasokan terbatas. Jika semua sumber daya dapat dibeli pada pasar kompetitif pada harga konstan, tidak ada rente ekonomi. Nilai land rent digambarkan sebagai daerah c dalam Gambar 2, nilai rent yang tersisa (daerah b pada Gambar 2) terdiri dari normal quasi-rent (QR) ditambah rente lainnya, yaitu hasil
dari faktor produksi tetap selain lahan
(seperti, hasil modal ekuitas, kewirausahaan, manajerial, dan input sumber daya alam lainnya selain lahan). Berdasarkan definisi di atas, dapat disusun representasi aljabar dari ukuran kesejahteraan produsen. Total penerimaan sama dengan jumlah dari biaya variabel total, quasi-rent, land rent dan rent lainnya selain lahan. Secara simbolis, kita bisa menulis:
17
TR = TVC + QR + RL + RNL Persamaan tersebut dapat disusun ulang untuk memperoleh solusi nilai RL,
menjadi; RL = TR - TVC - QR – RNL Jika kedua biaya variabel total dan semua quasi-rent dan rent nonl-and dapat diisolasi dan diukur, kita kemudian dapat memperoleh rente yang berhubungan dengan lahan (RL) sebagai suatu ukuran jangka panjang yang berhubungan dengan penggunaan lahan terhadap kesejahteraan produser. MC
price Py
c
Land rent ATC0
ATC AVC
b
Quasi-rent
AVC a
0
Total Variable Cost Y0
production
Gambar 2. Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent (Sumber: Y0 Young 2005) 2.3. Biaya Biaya
untuk
menghasilkan
suatu
produk,
akan
didasarkan
pada
pengeluaran yang dibebankan di dalam menghasilkan suatu jumlah hasil produksi tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Tanpa pengkhususan jumlah dan periode waktu tersebut, setiap petunjuk terhadap harga tidaklah berarti (Bishop and Toussaint 1979). Tohir (1982) menyatakan, bahwa biaya produksi perorangan adalah semua pengeluaran dalam hal jasa-jasa, dan barang-barang yang dibutuhkan guna melaksanakan usaha. Selanjutnya dikatakan, bahwa tingginya biaya produksi (biaya produksi marjinal) mempunyai kecenderungan (tendensi) terhadap peningkatan harga produk. Prijosoebroto (1991) menyatakan bahwa dalam usaha perikanan tambak diperlukan biaya produksi yang terdiri atas modal kerja, biaya benih, biaya pakan, dan biaya tenaga kerja. Selanjutnya Gohong (1993), menyatakan bahwa penggunaan input produksi akan banyak menentukan produksi total usahatani,
18
apabila input tersebut dapat dipergunakan secara efektif dan efisien. Beberapa jenis input produksi tersebut adalah tenaga kerja, pemakaian benih, pemakaian pupuk, dan pemakaian pestisida serta obat-obatan. Untuk mendapatkan keuntungan maksimal diperlukan penggunaan input produksi yang optimum. Biaya dalam proses produksi dapat dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah berhubungan dengan penggunaan sarana produksi tetap, seperti mesin. Biaya ini adalah dalam bentuk depresiasi, karena biaya yang diperhitungan dalam proses produksi tetapi tidak dibayarkan, melainkan masuk dalam cadangan perusahaan. Biaya variabel adalah merupakan pengeluaran untuk penggunaan input produksi dan tenaga. Berbeda dengan biaya tetap yang tidak dipengaruhi oleh volume produksi, besarnya biaya variabel dipengaruhi oleh volume produksi (Djojodipuro 1991). Biaya variabel adalah biaya karena pertambahan input variabel. Biaya tersebut akan dibebankan hanya apabila produksi itu berlangsung dan besarnya biaya ini akan tergantung macam input yang digunakan. Di dalam membuat keputusan-keputusan
produksi,
yang
digunakan
untuk
memaksimumkan
penerimaan bersih adalah jumlah input variabel. Biaya tetap ditambah dengan biaya variabel adalah biaya total. Biaya total penting dalam memperhitungkan penerimaan bersih, karena penerimaan bersih sama dengan penerimaan total dikurangi biaya total. Dalam jangka panjang, jika penerimaan total tidak lebih besar dari biaya total, produsen tidak akan berproduksi (Bishop and Toussaint 1979). Penjumlahan biaya tetap total (Total Fixed Cost) dengan biaya variabel total (Total Variable Cost) merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan output (Total Cost), dalam notasi matematika dituliskan (Sugiarto, et al. 2007): TC = TFC + TVC Keteragan: TC
= biaya total produksi
TFC = biaya tetap total TVC = biaya variabel total Biaya tetap adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan pada berbagai tingkat output yang dihasilkan. Pada penelitian ini yang termasuk biaya tetap dalam usahatani adalah nilai peralatan dan luas lahan yang digarap. Biaya
19
variabel adalah biaya yang berubah-ubah menurut tinggi rendahnya tingkat output yang dihasilkan. Yang termasuk dalam penelitian ini adalah upah tenaga kerja, pembelian bibit, pembelian pupuk, serta pembelian pestisida. Apabila biaya total (TC) untuk memproduksi sejumlah barang tertentu (Q) dibagi dengan jumlah output yang diproduksit, nilai yang diperoleh adalah biaya total rata-rata (Average Cost). Nilainya dihitung menggunakan rumus dibawah ini
Apabila biaya tetap total (TFC) untuk memproduksi sejumlah output tertentu (Y) dibagi dengan jumlah produksi tersebut. Nilai yang diperoleh adalah biaya tetap rata- rata. Dengan demikian rumus untuk menghitung biaya tetap rata rata atau AFC adalah sebagai berikut :
Apabila biaya berubah total (TVC) untuk memproduksi sejumlah barang (Y) dibagi dengan jumlah produksi tersebut, nilai yang diperoleh adalah biaya berubah rata-rata . Biaya berubah rata – rata dihitung dengan rumus :
Marginal Cost (MC) adalah kenaikan dari total cost yang diakibatkan oleh diproduksinya tambahan satu unit output, dengan demikian biaya marginal dapat dicari dengan menggunakan rumus :
2.4. Harga Casler (1988) menyatakan bahwa masalah perekonomian yang terpenting adalah masalah harga, yang dimaksud dengan harga adalah tinggi nilai barang dan jasa diukur dengan uang. Demikian juga dengan rente tanah (land rent), harga komoditas akan mempengaruhi penerimaan usahatani yang secara langsung mempengaruhi nilai land rent. Harga memberikan rangsangan pada para produsen untuk menghasilkan barang-barang yang permintaannya sangat besar dan menggunakan sumber-sumber yang paling banyak jumlahnya. Apabila harga beberapa barang meningkat para produsen didorong untuk menghasilkan barang tersebut. Para produsen barang-barang yang harganya meningkat juga
20
akan memperoleh tambahan sumber-sumber guna memperluas produksi. Sistem penentuan harga mengalokasikan sumber-sumber pada penggunaan yang paling banyak permintaannya (Bishop and Toussaint 1979). Fungsi harga terutama adalah untuk menghasilkan keseimbangan yang diperlukan antara permintaan dan penawaran. Jika kenaikan harga tidak berhasil meningkatkan output atau mengurangi permintaan maka kenaikan harga dianggap
berbahaya.
Kebijaksanaan
harga
hendaknya
ditujukan
pada
fleksibilitas mengendalikan permintaan, mengalokasikan kembali sumber-sumber produksi dan mengarahkan kembali output ke arah yang dikehendaki (Jhingan 1996). 2.5. Produktivitas Dalam penelitian dan literatur, produktivitas sering diartikan sebagai produksi yang dihasilkan persatuan luas dari suatu komoditas yang diusahakan petani. Untuk dapat menjelaskan produksi yang dihasilkan dari suatu usahatani, diperlukan hubungan antara faktor produksi (input) dan produk (output). Hubungan antara input dan output ini disebut “factor relationship” (Soekartawi 1990). Selanjutnya hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Dimana Y dapat dikatakan sebagai output produksi yang nilainya dipengaruhi oleh X, sementara X merupakan faktor produksi atau input yang nilainya mempengaruhi nilai output yang dihasilkan dalam proses produksi. Yue (2009)
menyatakan,
bahwa produksi merupakan fungsi dari
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan modal. Sumberdaya manusia tidak langsung
bertindak
sebagai
obyek
dalam
kegiatan
ekonomi,
namun
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan alokasi manfaat dari sumberdaya alam dan modal dan meningkatkan efisiensi biaya tenaga kerja. Oleh karena itu, kita sebut sumber daya manusia sebagai faktor sumber produksi. Bagi and Singh (1974) dalam penelitiannya di negara-negara sedang berkembang menyatakan, bahwa keputusan untuk berproduksi dalam suatu usahatani dipengaruhi oleh pendapatan dalam bantuk materi (in kind) dan dalam bentuk uang (cash), serta penggunaan dari input yang dimiliki maupun yang dibeli. Produksi merupakan fungsi dari luas areal, modal, tenaga kerja keluarga,
21
tenaga kerja sewa yang digunakan dalam proses produksi, dan pengeluaran tunai maupun bukan tunai input selain tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan Mahananto et al. (2009) menunjukan bahwa: dari penggunaan model secara simultan faktor-faktor luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah. Selain itu model yang digunakan menunjukkan bahwa: secara parsial luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida (obat-obatan), jarak lahan garapan dengan rumah petani, dan sistem irigasi berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah, sedangkan, pengalaman petani tidak berpengaruh (non significant) terhadap peningkatan produksi padi sawah. 2.6. Penerimaan Penerimaan pada dasarnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penerimaan kotor dan penerimaan bersih. Penerimaan kotor yaitu penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi usahatani. Penghitungan penerimaan kotor ini diperoleh dari perkalian hasil produksi dengan harga jualnya. Dalam notasi dapat ditulis sebagai berikut :
Keterangan: TR
= penerimaan kotor
Y
= hasil produksi
PY
= harga hasil produksi
Sedang penerimaan bersih adalah penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi usahatani setelah dikurangi biaya total yang dikeluarkan. Dalam bentuk notasi dapat dituliskan sebagai berikut :
Keterangan: = penerimaan bersih TR
= Penerimaan kotor
TC = biaya total yang dikeluarkan. Menurut Larsito dalam Boediono (1992), produsen dianggap akan memilih tingkat utput (Y) dimana ia bisa memperoleh keuntungan total yang maksimum. Billa ia telah mencapai posisi ini dikatakan ia telah berada pada posisi 22
equilibrium. Disebut posisi equilibrium karena pada posisi ini tidak ada kecendurungan baginya untuk mengubah output (dan harga output)-nya. Sebab bila ia mengurangi (atau menambah) volume output (penjualan)-nya, maka keuntungan totalnya justru menurun. Dengan demikian keuntungan maksimum dicapai ketika posisi Marginal Revenue (MR) sama dengan Marginal Cost (MC) atau dengan rumus :
2.7. Perubahan Penggunaan Lahan Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha, dan skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Seringkali dijumpai makin luas lahan yang dipakai sebagai usaha pertanian akan semakin tidak efisienlah lahan tersebut. Sebaliknya pada luasan lahan yang sempit, upaya pengusahaan terhadap penggunaan faktor produksi semakin baik, penggunaan tenaga kerja tercukupi dan tersedianya modal juga tidak terlalu besar, sehingga usaha pertanian seperti ini sering lebih efisien. Meskipun demikian, luasan yang terlalu kecil cenderung menghasilkan usaha yang tidak efisien pula. (Soekartawi 1993). Perubahan penggunaan lahan terjadi akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Kondisi ini akan mendorong pemilik lahan untuk mengalokasikan milikinya pada usaha yang lebih efisien dengan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Perubahan penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi (a) perubahan dari jenis pertanian yang satu ke jenis pertanian lainnya, (b) perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan bukan pertanian, (c) perubahan penggunaan non pertanian menjadi lahan pertanian, dan (d) perubahan penggunaan lahan non pertanian yang satu ke penggunaan non pertanin lainnya (Harini 2003). Perubahan fungsi lahan pertanian dapat dilihat dari faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull-factor). Faktor pendorong umumnya berkonotasi negatif, karena menunjukkan adanya kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan. Sedangkan faktor penarik (pull-factor) umumnya berkonotasi positif karena sektor perkebunan lebih menguntungkan bagi petani di perdesaan. Sektor perkebunan juga membuka peluang bai mereka yang memiliki tambahan keterampilan bekerja di luar sektor pertanian. Di sini terdapat dimensi peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor 23
perekonomian, sehingga pembangunan ekonomi akan membawa tambahan kesejahteraan baik bagi tenaga kerja sektor pertanian maupun bagi sektor industri dan jasa7. Dalam sebuah studi tentang perkembangan ekonomi transisi di Eropa Timur, Bright et al. (2000) menyatakan push and pull factors dalam mata pencaharian di kalangan rumah tangga pertanian. Push factors terdiri dari pertumbuhan penduduk, kelangkaan tanah garapan dan menurunnya akses terhadap lahan subur, produktivitas pertanian menurun, menurun keuntungan dari usaha pertanian, kurangnya akses ke pasar input pertanian, penurunan basis sumber daya alam, bencana dan ketidakstabilan, ketiadaan atau kurangnya akses ke lembaga keuangan. Pull factors adalah penghasilan yang lebih tinggi pada pekerja di sektor ekonomi non-pertanian di perdesaan, keuntungan yang lebih tinggi pada investasi di sektor ekonomi non-pertanian di perdesaan, risiko lebih rendah pada sektor ekonomi non-pertanian di perdesaan dibandingkan dengan sektor pertanian, uang tunai tersedia dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, kesempatan ekonomi, sering berhubungan dengan keunggulan sosial, yang ditawarkan di pusat-pusat perkotaan dan di luar daerah atau negara, kehidupan perkotaan yang lebih menarik untuk orang yang lebih muda. Dari sejumlah tipe perubahan penggunaan lahan, perubahan dari lahan sawah menjadi non sawah dipengaruhi oleh nilai tambah yang lebih besar dari usaha non sawah, misalnya dari tanaman pangan ke tanaman perkebunan. Sementara perubahan penggunaan lahan dari non budidaya ke lahan budidaya dan sebaliknya lebih disebabkan oleh pertumbuhan penduduk (Utomo dalam Pramono 2006). Faktor lain yang mempengaruhi perubahan penggunaan sumberdaya lahan adalah faktor kelembagaan yang terdiri dari, pertama sistem keluarga dan pendidikan yang berhubungan luas penggunaan sumberdaya lahan dan pengetahuan
atau
teori-teori
yang
berhubungan
dengan
pengelolaan
sumberdaya alam khususnya pengelolaan lahan, kedua pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mengatur kepemilikkan dan penggunaan sumberdaya lahan, misalnya Undang-undang landreform yaitu undang-undang No. 56 prp Tahun 1960 pasal 1 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa suatu keluarga hanya boleh menguasai tanah baik miliknya sendiri maupun kepunyaan orang 7
24
Bustanul Arifin. 2011. Transformasi Struktural Ekonomi Indonesia. Metrotvnews
lain dengan luas tidak melebihi batas maksimum (lihat Tabel 1), ketiga hukum, menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP), khususnya buku dua yang memuat tentang kebendaan yang diatur dalam pasal 570 bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan berbuat bebas terhadap benda itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang telah ditetapkan oleh sauatu kekuatan yang berhak menetapkannya dan tidak menganggu orang lain, semuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi”. Selanjutnya, keempat adat Istiadat yang proses terbentuknya adat adalah berawal dari keputusan-keputusan yang rasional berdasarkan eksperimen-eksperimen yang pada akhirnya didapat perbuatan yang dinilai benar sesuai dengan keadaan pada waktu itu. Tabel 1 Luas maksimum kepemilikan lahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kondisi Daerah Kepadatan penduduk per km2 0 51 251 401
Luas Maksimum (ha)
Golongan Daerah
Sawah
Tanah Kering
Tidak padat Kurang padat Cukup padat Sangat padat
15 10 7,5 5
20 12 9 6
- 50 - 250 - 400 - lebih
Sumber: Undang-undang No. 56 prp Tahun 1960 pasal 1 ayat 1 dan 2 (Cahyono 1983)
Lebih lanjut Jayadinata (1992) menyatakan bahwa faktor penentu dalam penggunaan lahan bersifat sosial, ekonomi, dan kepentingan umum. Perilaku masyarakat (social behavior) menjadi penentu dalam penggunan lahan, karena terdapat nilai-nilai sosial dalam hubungan dengan penggunaan lahan, yaitu yang berhubungan
dengan
kebiasaan,
sikap
moral,
pantangan,
pengaturan
pemerintah, peninggalan budaya, pola tradisional, dan sebagainya. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi. Dalam kehidupan, utilitas ekonomi dan biaya merupakan pertimbangan penting dalam penggunan lahan. Menurut dipengaruhi
Manuwoto oleh
(1992)
berbagai
bahwa,
faktor,
secara
diantaranya:
umum a)
konversi
faktor
sosial
lahan atau
kependudukan yang berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman, b) Kegiatan ekonomi dan pembangunan, c) perkembangan teknologi. Faktor ini
25
dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan lahan sehingga mempercepat proses konversi lahan, dan d) kebijakan pembangunan makro. Kebijakan yang diambil oleh suatu pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Selanjutnya Sihaloho (2004) menjelaskan dari faktor sosial dan kependudukan yang berpengaruh adalah pertambahan penduduk, faktor
ekonomi yang
identik
dengan masalah
kemiskinan, faktor luar, Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan produktif milik warga, proses pengalihan pemillik lahan, dan Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Harini (2003); Asni (2005), dalam penelitiannya menyatakan faktor yang mempengaruhi perubahan usahatani padi adalah tingkat pendidikan dan luas kepemilikan lahan, umur, dan kesempatan menabung. Selanjutnya, Munir (2008), faktor yang berhubungan dengan konversi lahan meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
26
III. KERANGKA PENELITIAN Keputusan petani dalam melaksanakan kegiatan usahataninya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta politik. Lahan sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting memiliki luasan yang tetap bahkan cenderung berkurang sebagai akibat pertambahan penduduk. Karenanya terjadi perubahan penggunaan lahan pada kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan keuntungan lebih besar secara ekonomi seperti perumahan, industri, dan perkebunan. Petani akan selalu berusaha untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari kegiatan usahataninya, salah satu usaha yang dilakukan dengan mengganti komoditas yang dikembangkan dari padi sawah menjadi kelapa sawit. Secara ekonomi kondisi ini dapat diterima, karena keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan padi sawah. Namun untuk status ketahanan pangan perlu pemahaman lebih jauh, ditambah lagi fungsi-fungsi manfaat yang lebih besar dari lahan sawah, seperti produksi padi, penyedia lapangan kerja, jasa lingkungan, dan lainnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian agar diketahui luasan lahan sawah yang dikonversi, nilai manfaat dari usahatani padi sawah dan kelapa sawit, serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah tersebut sehingga dapat dirumuskan kebijakan pengendalian konversi lahan sawah. Penelitian tentang Ekonomi Konversi Lahan Sawah menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu ini menggunakan
kerangka
analisis
ekonomi
sumberdaya
lahan,
untuk
mengestimasi perkembangan konversi lahan sawah, menghitung nilai manfaat dari lahan sawah yang ditanami padi dan palawija serta lahan sawah yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dengan menggunakan konsep land rent serta mengidentifikasi faktor-faktor mempengaruhi luas lahan sawah yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Pemikiran ini berawal dari semakin maraknya kasus konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma. Menurut beberapa sumber kasus ini terjadi karena kendala irigasi yang kurang mencukupi karena jaringan irigasi yang rusak akibat bencana alam gempa bumi yang terjadi tahun 2000 dan tahun 2007, namun perbaikan infrastruktur jalan dan peralihan kepemilikan lahan pada masyarakat diluar wilayah serta faktor pendapatan dari usahatani kelapa sawit yang dinilai lebih baik juga menjadi pemicu maraknya kasus ini.
Lahan sawah Kecamatan Seluma Selatan - Produksi padi cenderung melandai - Sarana produksi sulit diperoleh - Jaringan irigasi rusak - Pengawasan lemah
Pemanfaatan
- Keuntungan usahatani kelapa sawit lebih baik
lahan
WILAYAH STUDI Konversi lahan ke Kelapa Sawit
Faktor-faktor Berpengaruh Analisis tabulasi
Analisis Land Rent
Analisis regresi logistik
Laju konversi lahan sawah
Land rent padi sawah dan kelapa sawit
Push and pull factor konversi lahan sawah
Kebijakan pengelolaan lahan sawah Gambar 3. Diagram model operasional ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan Estimasi perkembangan konversi lahan sawah (Gambar 3) dilihat dari perubahan luasan lahan sawah tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, perubahan luasan ini dihitung berdasarkan data luas lahan sawah tahun awal ditambah luas pencetakan sawah baru tahun berikutnya dan dikurangi luas lahan yang dikonversi. Luas lahan sawah yang dikonversi meliputi penggunaan untuk pertanian lahan kering, perumahan, industri, sarana dan prasarana umum, serta untuk penggunaan lainnya. Perubahan penggunaan lahan sawah dipengaruhi beberapa faktor, seperti faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Secara ekonomi dilakukan perhitungan nilai manfaat lahan sawah (land rent) untuk usahatani padi sawah dan dibandingankan dengan nilai manfaat untuk usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang dikonversi. Analisis nilai land rent dimulai dengan 28
mengidentifikasi
variabel-variabel
yang
mempengaruhi
nilainya,
seperti
produktivitas lahan, harga output, biaya faktor produksi (variable cost), biaya peralatan, dan biaya pengelolaan. Nilai land rent yang diperoleh dari usahatani pada lahan sawah dan kebun kelapa sawit dihitung sebagai present value net return (PVNR) land rent dengan periode analisis selama 25 tahun dengan discount rate sebesar 10%. Perhitungan ini dilakukan untuk menyamakan nilai, karena terdapat beda waktu produksi pada kedua komoditas. Land rent usahatani padi diperoleh dari intensitas pengelolaan lahan dalam satu tahun, terdiri dari pola tanam Padi-Padi dan Padi-Padi-Palawija, sedangkan land rent kelapa sawit diperoleh dari pengelolaan lahan dari tahun pertama sampai ke-25, terdiri dari land rent tanaman tumpangsari dan dari produksi kelapa sawit. Dalam penelitian ini diasumsikan tanaman kelapa sawit masih berproduksi secara normal. Untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, dilakukan wawancara mendalam terhadap responden di lapangan. Hasil identifikasi ini kemudian diidentifikasikan dalam faktor pendorong (push) dan penarik (pull) konversi lahan. Analisis yang digunakan adalah secara kualitatif dan kuantitatif dalam sistem tabulasi, kemudian dilakukan analisis regresi logistik. Perbandingan nilai land rent dari komoditas padi sawah dan kelapa sawit serta faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah merupakan temuan dalam penelitian ini yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Penelitian ini menjadi penting mengingat peran Kabupaten Seluma sebagai salah satu sentra produksi padi di Provinsi Bengkulu. Dilain pihak, sub-sektor perkebunan merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi daerah yang terus dipacu pertumbuhannya. Belum maksimalnya kerja peraturan perundangundangan yang ada dan fungsi kontrol pemerintah dalam melindungi lahan pertanian
tanaman
pangan
menjadi
peluang
yang
coba
dimanfaatkan
masyarakat untuk angan-angan kesejahteraan dengan merubah fungsi lahan sawah produktif yang sudah lama diusahakan. Dalam jangka pendek tentunya dampak perubahan ini belum dapat dirasakan karena lahan sawah yang ada masih mencukupi untuk kondisi ketahanan pangan. Namun bagaimana ke depan, dengan tantangan penyusutan luas lahan, degradasi lahan, pelandaian produksi padi, pertumbuhan penduduk, dan sulitnya mengantikan padi sebagai sumber pangan.
29
IV. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Case study adalah penelitian yang berusaha memberikan gambaran yang rinci dengan tekanan pada situasi keseluruhan mengenai proses atau urut-urutan suatu kejadian yang dibatasi oleh kasus, lokasi, tempat dan waktu tertentu sehingga populasi yang akan diteliti lebih terarah pada sifat tertentu yang tidak berlaku umum (Daniel 2001). Menurut Sevilla et al. (1993), metode studi kasus adalah penelitian yang terinci tentang suatu unit analisis selama kurun waktu tertentu. Studi kasus menyelidiki secara lebih mendalam dan menyeluruh terhadap lingkungan dari waktu lampau dan keadaan sekarang dari lingkungan subjek. 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi sawah yang potensial di Provinsi Bengkulu. Produktivitas padi sawah di daerah ini sekitar 4,03 ton/ha, sedangkan produktivitas rata-rata provinsi hanya sekitar 4,00 ton/ha. Selanjutnya dipilih Kecamatan Seluma Selatan sebagai unit analisis, daerah ini memliliki areal persawahan yang luas dan memiliki sistem irigasi yang baik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir luas lahan sawah mengalami penurunan akibat beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Penelitian dilakukan selama empat bulan, dari bulan April 2011 sampai dengan Juli 2011. 4.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data time series dan cross section, data time series merupakan data yang secara kronologis disusun menurut waktu pada suatu variabel tertentu, dan cross section merupakan sekumpulan data suatu fenomena tertentu dalam satu kurun waktu saja. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, data primer diperoleh dari pengamatan lapang, wawancara dan diskusi kelompok dengan responden yang terdiri atas para petani padi sawah, petani kelapa sawit, aparat pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya dengan panduan kuesioner. Wawancara dilakukan berkaitan dengan penggalian informasi mengenai kegiatan usahatani padi sawah
31
dan kelapa sawit yang dilakukan. Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian, laporan, peta, dan data statistik dari dinas dan instansi terkait yaitu data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpulan data dan dipublikasikan kepada masyarakat sebagai pengguna data. Jenis-jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Tujuan penelitian Laju Konversi lahan sawah
Jenis data
Sumber data
Alat analisis
- Data luas lahan sawah tahun 2004 2010 - Data pencetakan sawah baru tahun 2004 – 2010 - Data penyusutan lahan sawah karena faktor alam
- BPS - Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten - Dinas Pekerjaan Umum - Bappeda
Analisis Tabulasi sederhana
Land rent padi sawah dan kelapa sawit
- Data usahatani padi sawah dan kelapa sawit
- Responden/petani Analisis land - Responden/petani rent
Faktor yang mempengaruhi konversi lahan
- Data usahatani, demografi, sosial - Intensitas penyuluhan - Peraturan daerah tentang pengelolaan lahan
- Lembaga penyuluhan
Analisis regresi logistik
- Dinas terkait, Bappeda
4.3. Metode Pengambilan Sampel Pemilihan responden dalam penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan ciri-ciri khusus yang dimiliki dan dipandang mempunyai keterkaitan yang erat dengan ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Responden dipilih berdasarkan pertimbangan keterlibatannya secara langsung pada mekanisme sistem dan pengetahuannya dalam kegiatan usahatani padi sawah dan kelapa sawit di Kabupaten Seluma. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh responden yang mengusahakan komoditas padi sawah dan komoditas kelapa sawit
pada lahan yang
sebelumnya merupakan lahan sawah.
Berdasarkan kriteria tersebut dilakukan pendataan di lapangan bersama tokoh masyarakat dan petugas lapangan, sehingga diperoleh total populasi sebanyak 43 orang ditambah responden petani padi sawah sebanyak 23 orang, selanjutnya
32
seluruh populasi menjadi sampel dalam penelitian ini. Responden yang digunakan berasal dari beberapa desa di Kecamatan Seluma Selatan, yaitu Desa Rimbo Kedui (27 orang), Desa Padang Genting (9 orang), Desa Padang Rambun (4 orang), Desa Sidomulyo (14 orang), Desa Padang Seluai (5 orang), dan Desa Padang Merbau (7 orang). 4.4. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara mengolah data yang didapat untuk mencapai tujuan yang dibangun dalam penelitian ini. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari nilai
land rent pemanfaatan lahan sawah sebagai
sarana produksi dalam budidaya padi sawah dan nilai land rent lahan yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit sebagai lahan konversi dari lahan sawah. Untuk tujuan tersebut dilakukan beberapa analisis, yaitu: 4.4.1. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah Perkembangan konversi lahan menurut jenis irigasi, dalam hal ini irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan. Data yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari publikasi BPS deret waktu tahun 2005-2010. Menurut Ilham, et al (2005 ), konversi lahan sawah didefinisikan sebagai konversi lahan neto. Artinya luas lahan tahun t adalah luas lahan tahun sebelumnya ditambah pencetakan sawah baru
dikurangi alih fungsi lahan
sawah. Secara matematika, diformulasikan sebagai berikut:
Keterangan: Lt
= Luas lahan sawah tahun t ( hektar)
Ct
= Pencetakan sawah baru (hektar)
At
= Lahan sawah yang dikonversi (hektar)
Lt-1
= Luas lahan sawah tahun sebelumnya ( hektar)
Dengan demikian luas lahan sawah tahun t akan mengalami peningkatan jika luas pencetakan sawah baru lebih besar dari luas lahan sawah yang dikonversi menjadi penggunaan selain sawah (Ct > At) atau hanya dilakukan pencetakan sawah baru. Sebaliknya jika konversi lahan sawah lebih besar dari pencetakan sawah baru (Ct < At) atau hanya terjadi konversi lahan sawah maka luas lahan sawah pada tahun t akan mengalami penurunan.
33
4.4.2. Analisis Land rent Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengestimasi nilai manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya lahan sawah yang digunakan untuk usahatani padi dan lahan sawah yang telah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan. Analisis yang dibangun untuk tujuan ini mengacu pada nilai land rent yang secara sederhana didefinisikan sebagai pengembalian ekonomi dari lahan yang dapat bertambah atau akan bertambah akibat penggunaannya dalam proses produksi Barlowe (1978). Nilai land rent tersebut menggambarkan harga atau nilai ekonomi lahan yang didapat sebagai hasil dari investasi, dimana lahan dipandang sebagai faktor produksi dalam kegiatan usahatani padi sawah dan kelapa sawit. Konsep land rent dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan yang bisa diperoleh berdasarkan manfaat dan biaya yang dikeluarkan. Misalkan pada suatu kegiatan usahatani yang ingin memaksimalkan keuntungan menggunakan sejumlah harga input variabel dan input tetap, untuk menghasilkan sejumlah output tunggal. Diasumsikan di sini bahwa kuantitas (atau kualitas) tanah (dilambangkan L) yang digunakan dalam proses produksi mempengaruhi output dengan penambahan faktor-faktor produksi lainnya. Output dilambangkan Y dan harganya Py, variabel input adalah X, dan Px merupakan harga dari input. Faktor tetap K juga berkontribusi terhadap proses produksi. Kegiatan usahatani ini diasumsikan bahwa supply (penawaran) bersifat elastis sempurna untuk faktor input dan permintaan bersifat elastis sempurna untuk output, adapun fungsi produksinya adalah sebagai berikut:
Fungsi keuntungan (kesejahteraan) dari kegiatan usahatani ini dapat ditulis sebagai:
Dimana Y = Y(X, L, K) adalah output dan PyY(X, L, K) adalah nilai total produk (TVP). Fungsi produksi Y = Y(X, L, K) diasumsikan dua kali didiferensialkan pada semua komponennya. Persamaan 3 menyatakan bahwa keuntungan itu sama dengan penerimaan dikurangi biaya input variabel (X dan L) dan biaya tetap. Solusi untuk maksimisasi profit adalah sebagai berikut:
34
Fungsi
adalah produk fisik marjinal
(MPP) dan fungsi
disebut nilai produk marjinal (VMP) dari input. Persamaan 4 menyatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika VMP untuk setiap input harus sama dengan harganya (VMPi = Pxi). Produsen akan menggunakan input X sampai jumlah tertentu sehingga VMPx sama dengan harga per unit input X. Ini adalah tingkat penggunaan input X yang optimal karena menghasilkan keuntungan maksimum. (Young 2005). Analisis kesejahteraan dari keputusan produsen dalam menanggapi intervensi kebijakan publik biasanya didasarkan pada model di mana satu atau lebih input yang diasumsikan tetap, dan lebih didasarkan pada konsep surplus produsen. Surplus produsen didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan dan biaya variabel produksi, dan dengan demikian ditentukan oleh input tetap. Surplus produsen kemudian adalah PyY - PxX (surplus produsen juga dapat disebut quasi-rent). Untuk mengilustrasikan penggunaan product exhaustion theorem dalam residual valuation yang didasarkan pada
proses produksi sederhana
dihubungkan dengan suatu nilai untuk input yang tidak dipasarkan seperti tanah. Asumsikan satu produk dinotasikan Y yang dihasilkan oleh beberapa faktor produksi: material yang dibeli dan peralatan (M); input manusia, misalnya tenaga kerja (H); modal ekuitas (K); sumber daya alam lainnya, seperti air (W), dan residual claimant
yaitu tanah (L). Fungsi produksi dapat dituliskan sebagai
berikut:
Input dan output diasumsikan sebagai variabel yang kontinyu (continuously variable) dan tingkat teknologi yang digunakan tetap. Postulat pertama, jika semua input dibayar sesuai dengan nilai produk marjinalnya, maka nilai total produk menjadi: (Y.PY) = (VMPM.XM) + (VMPH.XH) + (VMPK.XK) + (VMPW.XW) + (VMPL.XL) ……… 6 Dimana Y.Py merupakan nilai total produk Y (total revenue), VMPi mewakili nilai produk marjinal sumberdaya i, dan Xi adalah jumlah sumber daya i. Persamaan 6 menggambarkan jumlah input yang digunakan ditentukan oleh jumlah nilai produk marjinalnya dengan nilai total produk (atau pengembalian total). Pada pasar yang kompetitif untuk input yang dapat dibeli dan informasi sempurna, biasanya harga untuk input bersifat konstan. Postulat kedua 35
(menegaskan bahwa untuk setiap input i, produsen memilih tingkat input agar VMPi = Pi), maka Pi digunakan untuk mengganti masing-masing VMPi pada persamaan 6, sehingga diperoleh persamaan berikut:
Estimasi secara empiris dapat diperkirakan nilai untuk semua variabel di sisi kiri persamaan 7, sisi kanan dapat diturunkan untuk menentukan kontribusi lahan terhadap nilai total produk: (PL.XL). Untuk merubah fungsi produksi menjadi rente jangka panjang maka symbol R digunakan untuk rente, P adalah harga dan superscrip L adalah lahan. Formula net rent ini disesuaikan dengan luasan lahan yang ditunjukkan per unit lahannya, misalnya dalam hektar atau meter persegi. Dengan mengasumsikan biaya input yang tahan lama dapat ditunjukkan oleh biaya yang sama pertahunnya maka formula dasar untuk nilai land rent tahunan untuk satu komoditas dapat ditulis sebagai berikut: RLi= [Yi.PYi] – [(PMi.XMi) + (PHi.XHi) + (PKi.XKi) + (PWi. XWi) ] ……. 9 Keterangan: RLi
= Land rent komoditas i (Rp per hektar per tahun)
Yi
= Output usahatani komoditas i (ton per hektar per tahun)
PYi
= Harga output komoditas i (Rp)
PMi,Hi,Ki,Wi, = Harga input usahatani komoditas i (Rp) XMi
= Input sarana produksi usahatani komoditas i (Kg per hektar per tahun)
XHi
= Input tenaga kerja (HOK per hektar per tahun)
XKi
= Input modal ekuitas (unit per hektar per tahun)
XWi
= Input sumberdaya air (volume per hektar per tahun) Selanjutnya untuk memudahkan dalam opersional perhitungan land rent,
dihitung komponen-komponen penunjang lainnya, seperti produktivitas, biaya produksi, dan harga. Produktivitas diartikan sebagai produksi yang dihasilkan persatuan luas dari komoditas padi sawah dan kelapa sawit yang diusahakan oleh petani. Biaya produksi adalah penjumlahan dari biaya sarana produksi (input), biaya tenaga kerja, biaya peralatan, dan biaya pengelolaan pada kegiatan usahatani padi sawah dan kelapa sawit. Harga yang digunakan dalam persamaan nilai land rent merupakan harga yang ditetapkan oleh mekanisme pasar dan diasumsikan bahwa petani tidak bisa menentukan harga. 36
Analisis land rent untuk komoditas padi sawah dan kelapa sawit dilakukan dalam bentuk analisis pendapatan berdasarkan data hasil tabulasi masingmasing responden. Nilai dari data yang diperoleh dikelompokan dalam dua bagian, yaitu penerimaan (revenue) dan pengeluaran (inputted cost and cash cost). Selisih antara keduanya merupakan manfaat bersih (net benefit). Nilai penerimaan dan biaya tersebut kemudian diprediksi selama 25 tahun berdasarkan umur produktif tanaman kelapa sawit. Land rent merupakan Present Value of Net Returns (PVNR), merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskonto dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini, bentuk persamaan matematikanya adalah sebagai berikut:
Keterangan: PVNRi = Present Value Net Return komodi i (Rp per hektar) Ati
= Pendapatan usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar)
r
= Interest rate
t
= Jangka waktu analisis (tahun) Nilai land rent untuk lahan sawah dihitung berdasarkan selisih penerimaan
dan pengeluaran dari pengelolaan lahan sawah dalam satu tahun. Pengelolaan lahan sawah terdiri dari 2 – 3 periode tanam dengan pola tanam Padi-Padi atau Padi-Padi-Palawija. Nilai yang diperoleh selanjutnya dihitung sebagai PVNRland rent dengan waktu analisis selama 25 tahun dan discount factor sebesar 10%. Discount factor diperoleh dari penjumlahan tingkat suku bunga simpanan di bank ditambah resiko usaha. Untuk tanaman kelapa sawit, nilai land rent merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya pengelolaan usahatani selama 25 tahun. 4.4.3. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi logistik (logit) biner terhadap variabel bebas yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. Model logit diturunkan
37
berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat dispesifikkan sebagai berikut (Juanda 2009): 11 Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e = 2,718…), dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan 11 dituliskan:
Peubah Pi/(1-Pi) disebut odds yang juga diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan. Selanjutnya jika persamaan 12 dapat ditransformasi dengan logaritma natural, maka:
Keterangan: Pi
= Peluang pemilik lahan dalam memilih/mengelola lahan sawah (1= lahan dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dan 0 = lahan tidak dikonversi)
β0
= Intersep
β1… βi = Koefisien regresi X1 …Xi = Variabel bebas yang mempengaruhi luas lahan sawah yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit i
= 1, 2, 3, … Jumlah variabel bebas Regresi logistik adalah regresi di mana variabel terikatnya adalah dummy,
yaitu 1 dan 0, residualnya yang merupakan selisih antara nilai prediksi dengan nilai sebenarnya tidak perlu dilakukan pengujian normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Namun uji multikolinearitas yang berkaitan dengan variabel bebasnya masih perlu dilakukan. Setelah dugaan model diperoleh, tahapan berikutnya adalah pengujian model agar diperoleh model yang baik. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasikan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan kualitatif, dalam hal ini pilihan untuk melakukan konversi lahan sawah atau tidak melakukan. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
38
a. Likelihood Ratio Statistik uji Likelihood Ratio adalah rasio fungsi kemungkinan maksimum yang digunakan untuk menguji pengaruh variabel penjelas (X) secara bersamaan terhadap variabel respon (Z) (Hosmer dan Lemeshow 2002). Prinsip uji Likelihood ratio adalah membandingkan nilai observasi dari variabel respon (dependent) dengan nilai prediksi yang diperoleh dari model dengan variabel independent dan tanpa variabel independent (untuk kasus univariat) dan membandingkan persamaan (model) yang memasukkan variabel tertentu dengan yang tidak (untuk kasus multivariat). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio adalah Uji G, dengan persamaan sebagai berikut:
Dimana l0 adalah nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan l1 nilai likelihood model penuh. Statistik Uji G akan mengikuti sebaran Chi Square dengan derajat bebas α (k-1). Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > Chi Square table maka hipotesis H0 ditolak (model significant). b. Odds Ratio Odds ratio adalah kemungkinan hasil yang diperoleh antara individu dengan x = 1 didefinisikan π(1)/[1- π (1)]. Demikian pula, kemungkinan hasil yang hadir antara individu dengan x = 0 didefinisikan sebagai π(0)/[1- π (0)]. Odds Rasio yang dilambangkan dengan OR, didefinisikan sebagai rasio peluang untuk x = 1 dan peluang untuk x = 0 yang dapat dituliskan dalam persamaan berikut(Hosmer dan Lemeshow 2002):
Dengan demikian, Odds ratio dapat diartikan sebagai perbandingan antara peluang kejadian untuk x = 1 dan peluang untuk kejadian x = 0. Misalnya pada variabel respon yang berisi kejadian konversi lahan dan tidak mengkonversi lahan. apabila pengamatan x ke-i merupakan konversi lahan dan kita lambangkan dengan xi =1, maka peluang untuk x = 1 adalah πi, sedangkan peluang untuk xi = 0 adalah 1 - πi.
39
4.5. Batasan Penelitian 1. Laju konversi lahan sawah dihitung per tahun untuk memperoleh laju ratarata dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. 2. Land Rent dalam satuan Rp per ha, adalah nilai surplus lahan yang didapat dari pemanfaatannya sebagai sarana produksi dalam usahatani padi sawah dan kelapa sawit. 3. Nilai land rent lahan sawah merupakan Present Value Net Return (PVNR), yang dihitung selama 25 tahun berdasarkan umur produktif tanaman kelapa sawit. 4. Biaya tenaga kerja dalam satuan Rp per ha, adalah jumlah tenaga kerja dalam satuan HOK dikalikan dengan upah harian yang diterima. 5. Biaya sarana produksi dalam satuan Rp per ha, adalah jumlah seluruh sarana produksi yang dibutuhkan dikalikan dengan harganya. 6. Produksi padi sawah dan kelapa sawit merupakan kondisi saat ini, dengan asumsi tidak ada perubahan teknologi. 7. Harga gabah dan kelapa sawit adalah harga riil komoditas di tingkat petani pada saat penelitian. 8. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan konversi sebagian atau keseluruhan lahan sawah yang dimilikinya untuk dijadikan kebun kelapa sawit dan masih melakukan usahatani padi sawah. 9. Untuk mengkoreksi produksi kelapa sawit sampai dengan umur 25 tahun digunakan jumlah rata-rata produksi hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit yang disajikan pada Lampiran 4.
40
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma
merupakan salah satu daerah pemekaran dari
Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 dibentuk Kabupaten Seluma bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Muko-Muko dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu tanggal 25 Februari 2003. Luas wilayah Kabupaten Seluma adalah 240.044 Km2 yang secara administratif terbagi menjadi 14 kecamatan dengan 198 Desa dan tiga kelurahan. Nama dan luas wilayah masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Seluma tahun 2011 No.
Kecamatan
1. Semidang Alas Maras 2. Semidang Alas 3. Talo 4. Ilir Talo 5. Talo Kecil 6. Ulu Talo 7. Seluma Kota 8. Seluma Selatan 9. Seluma Barat 10. Seluma Timur 11. Seluma Utara 12. Sukaraja 13. Air Periukan 14. Lubuk Sandi Luas Wilayah
Luas Wilayah (Ha) 10.375 55.475 11.120 13.138 5.977 22.716 2.183 7.446 10.245 6.450 41.089 24.078 12.233 17.519 240.044
Persentase (%) 4.32 23.11 4.63 5.47 2.49 9.46 0.91 3.10 4.27 2.69 17.12 10.03 5.10 7.30 100
Sumber: BPS Kabupaten Seluma, 2010
Secara Geografis Kabupaten Seluma terletak di Pantai Barat Sumatera Bagian Selatan yang berada pada Koordinat garis lintang dan bujur, yaitu 03°49’55,66” LS - 04°21’40,22” LS dan 101°17’27,57” BT - 102°59’40,54” BT. Batas-batas Wilayah Kabupaten Seluma adalah, sebelah Utara dengan Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, sebelah Timur dengan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan, dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia (Gambar 4). Bentangan wilayah menurut panjang garis pantai adalah sekitar 70 km dan lebar dari pantai ke punggung pegunungan berkisar antara 31 sampai 44 km. berdasarkan bentangan ini sebagian besar wilayah Kabupaten Seluma merupakan dataran rendah seluas 157.529 Ha ( 65,63%) dengan ketinggian di
bawah 500 meter diatas permukaan laut. Berdasarkan kemiringan, 72% dari luas wilayah Kabupaten Seluma berada di bawah 40o yaitu seluas 171.712 hektar. Arahan alokasi pola ruang di Kabupaten Seluma berdasarkan pada RTRW Provinsi Bengkulu tahun 2004, terdiri dari Kawasan Lindung seluas 68.356,42 Ha (28,48%) dan Kawasan Budidaya 171.686,58 Ha (71,52%). Kecamatan Seluma Selatan
Gambar 4. Peta wilayah Kabupaten Seluma 5.2. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Seluma tahun 2010 sebanyak 165.564 jiwa, yang terdiri dari 83.635 jiwa laki-laki dan 81.929 jiwa perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten seluma tahun 2010 adalah 1,24%, lebih rendah darai laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu, yaitu 1,62%. Kecamatan Sukaraja memiliki jumlah penduduk terbesar sebanyak 29.723 jiwa atau 17,20%, diikuti oleh kecamatan Semidang Alas Maras sebanyak 20.738 jiwa atau 12,00%. Sedangkan Kecamatan Ulu Talo merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling kecil , yaitu 4.750 jiwa (2,74%). Data monografi Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 4.
42
Tabel 4 Data Monografi Kabupaten Seluma dirinci menurut kecamatan Kecamatan Semidang Alas Maras Semidang Alas Talo Ilir Talo Talo Kecil Ulu Talo Seluma Kota Seluma Selatan Seluma Barat Seluma Timur Seluma Utara Sukaraja Air Periukan Lubuk Sandi Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) 20.326 13.150 10.022 13.552 7.734 5.148 6.865 9.982 7.501 8.665 7.804 27.281 19.073 8.461
Kepadatan penduduk (Jiwa/Km2) 195,91 23,70 90,13 103,15 129,40 22,66 314,48 134,06 73,22 134,34 18,99 113,30 155,91 48,30
Persentase penduduk (%) 0,12 0,08 0,06 0,08 0,05 0,03 0,04 0,06 0,05 0,05 0,05 0,16 0,12 0,05
-
-
165.564
Sumber: BPS Kabupaten Seluma 2010
Kebupaten Seluma memiliki luas wilayah 240.044 ha dan jumlah penduduk sebanyak 165.564 jiwa, dengan demikian diperoleh kepadatan rata-rata penduduk sebanyak 68,97 jiwa/km2. Kecamatan Seluma Kota merupakan yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Seluma Kota yaitu dengan 314 jiwa/km2, hal ini tidak lepas dari status Kecamatan Seluma Kota sebagai ibukota kabupaten dan luas wilayah yang paling kecil dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Seluma Utara memiliki kepadatan penduduk terendah dengan 19 jiwa/km2, namun berdasarkan jumlah penduduk, kecamatan Sukaraja memiliki penduduk terbanyak. Hal ini berhubungan dengan faktor geografis Kecamatan Sukaraja yang berbatasan langsung dengan ibukota Provinsi Bengkulu, sehingga tingkat pertumbuhan penduduknya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain. Penduduk Kabupaten Seluma terdiri dari berbagai etnis seperti Serawai, Rejang, Jawa, Sunda, Padang, dan Batak. Etnis Serawai dan Rejang merupakan etnis asli Provinsi Bengkulu, etnis Jawa dan Sunda merupakan peserta transmigrasi yang ditempatkan di Kecamatan Seluma Selatan pada tahun 1970/1971 sebanyak 100 kepala keluarga atau 469 jiwa dan penempatan tahun 1975/1976 sebanyak 541 KK (2.716 jiwa). Etnis Jawa dan Sunda pada awal penempatanya
bekerja
disektor
pertanian,
terutama
tanaman
pangan.
Berdasarkan data profil Kecamatan Seluma Selatan komposisi penduduk
43
berdasarkan etnis, terbesar adalah Serawai (60%) kemudian Jawa (30%) dan Sunda (10%). 5.3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Seluma tergolong rendah, sekitar 63,84% atau 105.862 jiwa hanya tamat Sekolah Dasar (SD) dan belum pernah sekolah. Jumlah penduduk yang tingkat pendidikannya mencapai perguruan tinggi hanya 4.073 jiwa atau sekitar 2,46%, sisanya berpendidikan hingga tingkat menengah pertama (SLTP) dan menengah atas (SLTA). Data mengenai tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Seluma pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat Pendidikan penduduk Kabupaten Seluma Pendidikan
Jumlah (Jiwa)
Tidak/belum pernah sekolah Sekolah Dasar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Pendidikan Tinggi Jumlah
Persentase (%)
56.093 49.769 34.305 21.325 4.073
33,88 30,06 20,72 12,88 2,46
165.564
-
Sumber: BPS Kabupaten Seluma 2010
5.4. Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Seluma Perekonomian Kabupaten Seluma ditopang oleh sektor pertanian, hal ini terlihat dari relatif besarnya kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Kabupaten Seluma dibandingkan sektor lainnya. Tabel 6 menunjukkan sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Seluma tahun 2010 sebesar Rp 374,05 milyar, sedangkan kontribusinya dalam PDRB sebesar 53,57%. Penyumbang terbesar dalam sektor pertanian adalah sub sektor tanaman bahan makanan sebesar Rp 199,19 milyar (28,53%), diikuti sub sektor perkebunan sebesar Rp 99,08 milyar (14,19%). Sumbangan
sektor
pertanian
terhadap
PDRB
Kabupaten
Seluma
mengalami penurunan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Tahun 2005 share PDRB sebesar 54,57%, kemudian tahun 2006 turun sebesar 0,17% menjadi 54,40%, tahun 2007 turun menjadi 54,33%, dan tahun 2008 kembali mengalami penurunan menjadi 54,20%. Penurunan terutama terjadi pada sub-sektor tanaman bahan makanan dan sub-sektor perkebunan. Sedangkan sub-sektor
44
peternakan dan perikanan mengalami peningkatan masing-masing 0,08% dan 0,15% per tahun. Tabel. 6 Distribusi PDRB Kabupaten Seluma atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2010 Sektor Pertanian Pertambangan dan pengalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa
Harga Berlaku (Juta Rupiah) 374,05 33,83 12,68 1,33 28,36 98,13 50,97 15,03 83,87
Persentase (%) 53,57 4,85 1,82 0,19 4,06 14,05 7,30 2,15 12,01
Sumber: BPS Kabupaten Seluma 2010
Pendapatan perkapita Kabupaten Seluma tahun 2003 sebesar Rp 2.026.493 sampai dengan tahun 2009 pendapatan perkapita penduduk terus naik menjadi Rp 4.217.425. Semenjak pemekaran wilayah tahun 2003 terjadi pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar Rp 2.190.932 dengan rata-rata pertumbuhan Rp 365.155,30 (18,02%) per tahun. Berdasarkan pendapatan perkapita
dapat dikatakan proses pembangunan Kabupaten Seluma mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini tercermin dari berkurangnya jumlah pengangguran, bila dibandingkan dengan kondisi pada saat pemekaran tahun 2003 jumlah pengangguran mencapai 15,75% kemudian turun menjadi 11,75 % pada tahun 2009 dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 62,90 tahun 2004 naik menjadi 66,48 pada tahun 2009 (BPS 2010a). 5.5. Penggunaan Lahan Luas wilayah Kabupaten Seluma adalah 240.044 hektar, terdiri dari 82.566,63 hektar atau 34,40% kawasan konservasi dan hutan Negara dan 157,477.37 hektar atau 65,60% kawsan budidaya. Penggunaan lahan terbesar adalah untuk sub-sektor perkebunan dengan luas mencapai 79.714,86 hektar atau 33%, diikuti sub-sektor tanaman pangan seluas 23.711 hektar (10%) dari luas wilayah Kabupaten Seluma. Distribusi luas wilayah Kabupaten Seluma disajikan pada Tabel 7.
45
Tabel 7 Luas lahan yang sudah diusahakan di Kabupaten Seluma tahun 2010 Jenis Penggunaan Lahan Pekarangan Sawah Tegalan / Kebun Ladang / Huma Perkebunan Padang Rumput Tambak, Kolam Rawa-Rawa/ Lain-lain Kawasan Konservasi & Hutan Negara SementaraTidak Diusahakan
Luas Lahan (Ha) 9.972,00 23.784,00 4.933,00 2.858,00 79.714,86 2.405,00 303,00 5.129,00 82.566,63 28.378,51
Jumlah
Persentase (%)
240.044
0,04 0,10 0,02 0,01 0,33 0,01 0,00 0,02 0,34 0,12 -
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Seluma 2010
5.6. Sub-sektor Tanaman Pangan Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi dan memiliki luas areal persawahan paling luas di Provinsi Bengkulu, yaitu 23.784 hektar (22,59%). Produktivitas padi Kabupaten Seluma mencapai 3,95 ton/hektar, yang merupakan produktivitas rata-rata padi sawah dan padi ladang (lihat Tabel 8). Lahan sawah yang dapat ditanami dua kali dalam satu tahun seluas 4.851 ha (20%), dan yang ditanami satu kali dalam satu tahun seluas 13.290 ha (56%), sedangkan sisanya tidak diusahakan. Tabel 8 Luas sawah Provinsi Bengkulu Dirinci Menurut Kabupaten Kabupaten Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu Jumlah
Luas lahan Luas panen (Ha) (Ha) 10,996 15,028 9,286 16,418 15,382 21,620 8,219 12,207 23,784 19,722 14,166 12,934 10,368 13,294 4,099 9,300 6,447 10,190 2,524 2,262 105,271
132,975
Produksi Produktivitas (Ton) (Ton/ha) 58,843 3.92 63,730 3.88 83,064 3.84 43,834 3.59 77,805 3.95 49,559 3.83 52,537 3.95 36,805 3.96 34,884 3.42 9,099 4.02 510,160
-
Sumber: BPS Provinsi Bengkulu 2010
Berdasarkan sumber irigasi yang digunakan, luas lahan sawah irigasi Kabupaten Seluma mencapai 10.866 hektar (45,69%), dan 12.918 hektar
46
merupakan sawah non-irigasi. Kecamatan Seluma Selatan memiliki sawah irigasi terluas kedua setelah Kecamatan Ilir Talo (Tabel 9). kondisi ini didukung oleh topografi yang relatif landai. Selain itu juga daerah ini mendapat suplai air irigasi yang cukup dari Bendung Seluma, irigasi ini memanfaatkan air dari sungai Air Seluma. Bendung Seluma mulai digunakan tahun 1985, menurut perhitungan luas areal persawahan yang dapat diairi mencapai 8.000 hektar. Air irigasi ini di distribusikan melalui tiga jalur, yaitu Seluma Kanan, mengairi areal persawahan di Kecamatan Seluma Barat. Seluma Kiri, mengairi areal persawahan di Kecamatan Seluma Timur, dan jalur Rimbo Kedui yang mengairi persawahan di Kecamatan Seluma Selatan. Tabel 9 Luas lahan sawah di kabupaten seluma berdasarkan irigasi Kecamatan Semidang A Maras Semidang Alas Talo Ilir Talo Talo Kecil Ulu Talo Seluma Seluma Selatan Seluma Barat Seluma Timur Seluma Utara Sukaraja Air Periukan Lubuk Sandi Total
Irigasi (Ha) 126 831 300 2.200 338 1.155 451 1.780 493 605 783 1.074 225 505 10.866
Non Irigasi (Ha) 2.510 508 526 1.777 187 322 500 1.411 625 321 110 2.796 1120 205 12.918
Jumlah (Ha) 2.636 1,339 826 3.977 525 1.477 951 3.191 1.118 926 893 3.870 1.345 710 23.784
Sumber: BPS Provinsi Bengkulu 2010
5.7. Sub-sektor Perkebunan Usaha perkebunan di Kabupaten Seluma tahun 2010 sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga perkebunan rakyat sebesar 85,24 persen dan sisanya (14,76%) dikelola oleh perusahaan perkebunan. Tanaman perkebunan yang dominan adalah kelapa sawit dan karet, dengan luas tanam mencapai 55.483,50 hektar (73,50%). Komoditas perkebunan lainnya adalah cengkeh, lada, kakao, kayu manis, kemiri, aren, kapuk, pinang, dan nilam. Luas tanam masing-masing komoditas tahun 2005 mencapai 25.119 hektar, 19.110 hektar, dan 15.312 hektar (Tabel 10). 47
Tabel 10 Luas tanam komoditas perkebunan rakyat Kabupaten Seluma Luas tanam (Ha)
Jenis Komoditas Cengkeh Kopi Kelapa Lada Karet Kayu manis Aren Kapuk Kemiri Nilam Kelapa Sawit Kakao Pinang
2006 102 19.110 3.249 284 25.226 443 92 80 131 377 15.312 927 446
2007 102 15,770 1,297 284 26.182 460 106 88 140 377 18.726 936 447
2008 91 15,470 1,384 276 26,385 104 86 138 19.726 130 493
2009 66 10,553 1,383 129 26,482 251 85 83 73 29.002 615 453
2010 66 9,553 8,628 129 26,482 251 85 83 73 29.002 615 453
Jumlah
65.779
64.915
64.283
69.175
75.419
Sumber: BPS Provinsi Bengkulu 2010
Perkembangan komoditas kelapa sawit merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu lima tahun, pada tahun 2010 luas tanam mencapai 29.002 hektar atau meningkat sebesar 13.690 hektar dibanding tahun 2006, diikuti komoditas kelapa seluas 5.378,30 hektar, dan karet seluas 1.255,50 hektar. Sedangkan komoditas lainnya cenderung mengalami penurunan luas tanam. Penambahan luas tanaman komoditas kelapa sawit dan karet dipicu oleh kenaikan harga kedua komoditas. Secara keseluruhan, dalam lima tahun terakhir terjadi penambahan luas lahan perkebunan sebesar 9.640 hektar. Selain perkebunan rakyat di Kabupaten Seluma juga terdapat lima perusahaan perkebunan, yaitu PT. Perkebunan Nusantara VII Padang Pelawi, PT. Perkebunan Nusantara VII Talo Pino, PT. Agri Andalas, PT. Way Sebayur, dan PT Haramay. Luas lahan perkebunan dan jenis komoditas yang diusahakan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Luas areal perkebunan besar swasta/negara di Kabupaten Seluma Nama Perusahaan PTPN VII Talo – Pino PTPN VII Padang Pelawi PT. Agri Andalas PT. Wai Sebayur PT. Haramay
Komoditas Sawit Karet Sawit Sawit Sawit
Jumlah Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Seluma 2010
48
Luas Lahan Kebun Inti (Ha) 587,10 5.804,00 6.071,00 551,00 50,00 13.063,10
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Petani Responden Berdasarkan karakteristik rumah tangga petani diperoleh data bahwa usahatani padi sawah merupakan pekerjaan utama bagi 86,84% responden, dan 13,16% responden lainnya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pedagang. Tingkat pendidikan bervariasi dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan lama pendidikan rata-rata 7,68 tahun. Tingkat pendidikan responden tergolong rendah yaitu 7,68 tahun artinya hanya menamatkan sekolah dasar, faktor ini akan mempengaruhi adopsi teknologi dan kemampuan berinovasi serta managerial petani dalam berusahatani Dilihat dari umur petani sampel tergolong pada kelompok usia produktif, yaitu rata-rata sekitar 49,89 tahun dengan kisaran umur 27 – 83 tahun sehingga secara fisik cukup potensial untuk mendukung aktivitas kegiatan usahatani. Jumlah anggota keluarga rata-rata 3,79 jiwa (4 orang/KK). Anggota keluarga merupakan modal tenaga kerja dalam keluarga, namun ketersediaannya belum mencukupi sehingga pada kegiatan tertentu diperlukan tambahan tenaga kerja dari luar keluarga, karakteristik petani sampel disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Keragaan karakteristik petani responden Uraian
Kisaran
Rata-rata
Umur KK (tahun) Pendidikan KK (tahun) Pengalaman usahatani padi(tahun) Pengalaman usahatani sawit (tahun) Jumlah anggota keluarga (jiwa) Pekerjaan KK (persen) a. On farm b. Non farm Luas kepemilikan sawah Luas kepemilikan kebun
27 – 83 3 – 16 1 – 43 1 – 14 1–6
49,84 7,68 20,46 4,87 3,79
38 5 0,14 – 1,25 0,25 – 16
86,84 13,16 0,65 2,05
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Pengalaman rata-rata usahatani padi sekitar 20,46 tahun, artinya petani sudah sangat memahami seluk beluk usahatani padi sehingga dapat mengelolanya secara efektif dan efisien. Pengalaman berusahatani padi ini tentunya juga berpengaruh pada keputusan petani untuk memilih alternatif usahatani
yang
lebih
baik,
seandainya
usahatani
padi
dinilai
kurang
menguntungkan. Usahatani kelapa sawit relatif baru berkembang di Kecamatan
Seluma Selatan, terlihat dari rata-rata pengalaman petani sekitar 4,87 tahun artinya petani sudah memiliki tanaman berproduksi. Pengalaman ini akan mendorong petani untuk pengelolaan kebun secara lebih baik ataupun pengembangan usahatani. 6.2. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi tanaman perkebunan telah terjadi di beberapa provinsi di Pulau Sumatera, seperti di Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 2008 – 2009 sebanyak 24.970 hektar atau sekitar 12,3 persen dari seluruh lahan sawah non-irigasi telah berubah fungsi, kebanyakan lahan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit8. Jambi, selama kurun waktu tiga tahun terakhir (2008-2011) diperkirakan telah terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas kurang lebih 600 ribu hektar9. Riau, laju alih fungsi areal sawah dalam kurun 2002 hingga 2010 luas alih fungsi mencapai sekitar 20.069 ha. Kondisi tersebut terjadi di 12 kabupaten/kota yang ada di Riau. Alih fungsi sawah menjadi perkebunan sawit yang paling massif berada di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar, Pelalawan, dan Rokan Hilir10. Sumatera Selatan, Menurut Ghufron Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dalam 10 tahun terakhir terdapat 30.000 hektar lahan pertanian sawah irigasi dan tadah hujan yang berubah fungsi menjadi perkebunan sayur, kebun sawit, pemukiman dan untuk usaha lainnya di Kabupaten Musi Rawas
11
, sedangkan di Provinsi Bengkulu pada
tahun 2008 terdapat 5.871 hektar areal sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, areal persawahan yang banyak beralih fungsi menjadi perkebunan di antaranya berada di Kabupaten Bengkulu Utara, dan Mukomuko, Bengkulu Selatan dan Seluma12. Penurunan luas lahan sawah berdasarkan data statistik seperti ditunjukkan pada Tabel 13, terjadi antara tahun 2005 sampai 2007. Total penurunan yang terjadi mencapai 3.861 hektar atau penurunan sebesar 16,13%. Selanjutnya, pada tahun 2008 terjadi penambahan lahan sawah seluas 3.870 ha menjadi
8
9
10
11
12
50
http://nasional.kompas.com/read/2010/04/21/04164693/24.970.Ha.Sawah.Menjadi.Lahan.Sawit. Diakses tanggal 8 Agustus 2011 http://regional.kompas.com/read/2011/03/14/1627342/600.000.Ha.Lahan.Pertanian.Alih.Fungsi. Diakses tanggal 8 Agustus 2011 http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/13/195304/126/101/Tiap-Tahun-2.500-Hektare-Sawah-diRiau-Beralih-Fungsi. Diakses tanggal 8 Agustus 2011 http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/03/192550/126/101/30-Ribu-Hektare-Lahan-PertanianBeralih-Fungsi. Diakses tanggal 8 Agustus 2011 http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/02/01071718/5.871.hektar.\ sawah.jadi.kebun.sawit. Diakses tanggal 8 Agustus 2011
23.945 hektar dan kemudian kembali mengalami penurunan sebesar 161 hektar pada tahun 2009. Secara keseluruhan total penurunan luas lahan sawah tahun 2005 sampai 2010 sebesar 152 hektar. Tabel 13 Perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Seluma Penggunaan lahan
Luas lahan sawah (ha) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sawah irigasi Irigasi teknis irigasi 1/2 teknis Irigasi sederhana Irigasi desa
2.218 1.231 1.077 1.321
2.979 2.996 980 2.104
3.624 3.087 1.210 2.078
3.624 3.926 1.385 2.138
3.577 1.797 3.068 2.510
3.577 1.797 3.068 2.510
Jumlah
5.847
9.059
9.999
11.073
10.952
10.952
Sawah bukan irigasi Tadah hujan Pasang surut Lebak Polder dan lainnya
7.568 432 9.805 284
6.300 284 5.078 284
5.032 319 4.639 86
6.488 359 5.939 86
7.258 404 5.094 76
7.258 404 5.094 76
Jumlah
18.089
12.345
10.076
12.872
12.832
12.832
Total (A+B)
23.936
21.002
20.075
23.945
23.784
23.784
Sumber: BPS Provinsi Bengkulu 2005-2010 diolah
Penurunan luas lahan sawah yang terjadi tahun 2005 sampai 2008 adalah pada lahan non irigasi sebesar 8.013 hektar, terutama lahan lebak (5.166 ha) dan tadah hujan (2.436 hektar). Sebaliknya pada lahan sawah irigasi kategori irigasi teknis, semi teknis, sederhana dan irigasi desa mengalami peningkatan. Pada tabel di atas terlihat peningkatan luas lahan sawah irigasi, dari 5.847 hektar tahun 2005 menjadi 11.703 hektar pada tahun 2009 (peningkatan seluas 5.226 hektar), meskipun kembali turun pada tahun berikutnya. Penurunan luas lahan sawah yang terjadi tahun 2005 sampai tahun 2007 disebabkan maraknya konversi lahan sawah menjadi tanaman perkebunan. Hal ini terlihat dari penambahan luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat dari 15.312 hektar pada tahun 2005 menjadi 29.002 hektar pada tahun 2010. Penambahan luas tanaman ini berasal dari perubahan fungsi pada beberapa tipe penggunaan lahan, seperti lahan sawah (3.861 hektar), lahan pekarangan (2.535 hektar), tegalan/kebun (2.597 hektar), kawasan hutan (5.587 hektar), dan penggunaan lain-lain (4.582 hektar). Laju konversi lahan sawah dapat dilihat pada Tabel 14.
51
Tabel 14 Laju konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 – 2010.
Tahun
Laju perkembangan luas lahan sawah (Ha) Luas lahan Pencetakan Lahan sawah sawah awal (Lt) sawah baru (Ct) dikonversi (At)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
23.936 21.002 20.075 23.945 23.784 23.784
3.870 -
2.934 927 161 -
Jumlah 3.870 4.022 Sumber: BPS Provinsi Bengkulu dan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma Perubahan penggunaan lahan dari fungsi awalnya menjadi fungsi baru dapat dikatakan sebagai bentuk konversi lahan. Demikian juga halnya dengan lahan sawah, konversi berpengaruh negatif bagi lahan sawah jika terjadi penurunan
luas
lahan
dan
sebaliknya
berpengaruh
positif
jika terjadi
penambahan luas lahan sawah. Pencetakan sawah baru merupakan konversi yang berdampak positif terhadap luas lahan sawah dan konversi lahan sawah ke penggunaan selain sawah berdampak negatif terhadap luas lahan sawah dalam arti terjadi penurunan luas lahan. Berdasarkan Tabel 14, terjadi konversi negatif (∆At) pada lahan sawah berturut-turut seluas 2.934 hektar, 927 hektar, dan 161 hektar pada tahun 2006, 2007, dan 2009. Untuk mensubstitusi lahan-lahan sawah yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dan penggunaan non pertanian tersebut, Dinas Pertanian Kabupaten Seluma melaksanakan proyek pengeringan dan pembuatan drainase pada lahan baku sawah tersebut. Kegiatan ini menjadi faktor penarik bagi masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan sawah yang mereka miliki, sehingga terjadi penambahan luas lahan sawah (∆ Ct) sebesar 3.870 hektar pada tahun 2008. Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Seluma luas potensial lahan sawah didaerah ini mencapai 28.594 hektar dan sampai dengan tahun 2005 terdapat lahan yang belum digunakan secara optimal untuk sawah seluas 4.658 hektar. Perubahan luas penggunaan lahan dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 15.
52
Tabel 15 Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Seluma tahun 2005 2010. Jenis penggunaan lahan
Luas penggunaan lahan (ha) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
21.002* 20.075* 23.784 23.711* Sawah 23.936 23.784 10.987* 9.729* Pekarangan 12.264 9.754 9.972 9.972 17.298* 19.648 4.933* Tegal/kebun 22.245 29.400 29.400 7.153* Ladang/huma 4.963 4.963 9.458 10.582 10.582 Padang pengembalaan 663 663 1.405 1.859 1.859 2.405 16.603* 16.690 16.447* 15.168* 14.476* Tidak diusahakan 16.516 88.085* 82.566* 67.519* 63.483* 82.567 Kawasan hutan rakyat 88.153 64.915* 64.283* 69.174 Perkebunan 52.058 65.779 75.419 13.032* 13.032 Lainnya 17.614 13.920 13.976 13.976 Rawa 650 650 1.540 2.042 2.192 5.129 454* 303* Tambak/kolam 982 982 986 454 Jumlah 240.044 240.044 240.044 240.044 240.044 240.044 Sumber: BPS Provinsi Bengkulu Keterangan *) Penurunan luas lahan
Terkait dengan perubahan luas lahan sawah di Kabupaten Seluma, beberapa narasumber dalam penelitian ini menyatakan bahwa luas lahan yang telah dikonversi jauh lebih luas dibandingkan data yang dipublikasi BPS Provinsi Bengkulu. Menurut sumber dari Dinas Pertanian Kabupaten Seluma dari 28.594 ha lahan sawah dan lahan baku sawah hanya 23.517 hektar yang digunakan untuk sawah, sisanya 5.077 hektar telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dan pemukiman. Selanjutnya menurut Yahuddin Kemadi (64 tahun) mantan Kepala Desa Padang Genting dan mantan Ketua KTNA Kabupaten Seluma, menyebutkan sudah lebih 2 ribu hektar sawah dan potensi sawah telah dialih fungsikan menjadi kebun kelapa sawit. Hal yang sama juga di sampaikan oleh Hamzah Bani (73 tahun), bahwa pada awal penggunaan Irigasi Bendung Seluma tahun 1985 Kecamatan Seluma Selatan dan Seluma Timur memiliki 8 ribu hektar lahan sawah dan lahan baku sawah, akibat dikonversi menjadi lahan perkebunan saat ini kini hanya tersisa sekitar 2 ribu hektar lahan sawah. Proses konversi lahan sawah yang masih terjadi sampai dengan saat ini, telah mendorong pemerintah daerah mengeluarkan peringatan berupa Instruksi Gubernur No.1/2010 tentang Ketahanan Pangan. Terdapat enam poin pada Instruksi Gubernur ini, pertama, menginstruksikan kepala daerah menjaga kelestarian fungsi lahan sawah, kedua, melarang melakukan alih fungsi lahan sawah
menjadi
peruntukan
lain
seperti
perumahan,
industri,
terminal,
perkebunan dan fasilitas sosial lainnya, ketiga, membuat dan memperbaiki 53
irigasi, keempat memberi subsidi pupuk dan bibit unggul kepada petani, kelima, membuat kawasan sentra produksi padi pada lahan sawah, dan keenam, pengembangan area tanaman pangan melalui percetakan sawah baru. Ditingkat Pemerintahan Kabupaten Seluma untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah dikeluarkan Instruksi No. 01 Tahun 2011 tertanggal 31 Januari 2011 tentang pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Seluma. Terdapat empat poin penting terkait alih fungsi lahan sawah, pertama, menjaga kelestarian fungsi lahan sawah guna meningkatkan hasil produksi dan mempertahankan swasembada pangan daerah, kedua, melarang
melakukan
alih fungsi lahan sawah menjadi peruntukkan pemukiman, perumahan, industri, terminal, perkebunan, dan fasilitas sosial lainnya, ketiga, membuat dan memperbaiki irigasi sebagai faktor pendukung utama pertanian serta memberi subsidi pupuk dan bibit unggul kepada petani, keempat, membuat kawasan sentra produksi padi pada lahan sawah yang sudah ada dan pengembangan melalui pencetakan sawah baru. Konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma mulai terjadi tahun 1996 di areal persawahan Merbau di Seluma Timur. Pada awalnya penanaman kelapa sawit dilakukan pada lahan sawah rawa yang hanya dapat ditanami padi sekali dalam setahun. Setelah tanaman kelapa sawit berproduksi dan hasil yang diperoleh jauh lebih baik daripada ditanami padi, petani sekitar mulai mengikuti dan merubah fungsi lahan sawah yang ada menjadi kebun. Saat ini perubahan fungsi lahan sawah sudah diakukan pada lahan sawah irigasi teknis, karena debit air irigasi yang tidak mencukupi. Menurut Akraruddin (Ketua Gapoktan Rimbo Kedui) memang terjadi penurunan tinggi muka air dipintu air utama dari 90 cm menjadi 60 cm, penurunan ini terjadi karena pendangkalan akibat sedimentasi dan kebocoran pada jaringan irigasi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pengaraian pada lahan sawah. Pola perubahan fungsi lahan sawah yang umumnya dilakukan oleh petani pemilik adalah dengan membiarkan lahannya terlantar dan menjadi semak belukar. Selain itu, juga terdapat pola perubahan fungsi lahan sawah secara langsung.
Beberapa alasan dijadikan penyebab penelantaran lahan sawah ini,
seperti air irigasi yang kurang, produktivitas lahan yang rendah, tenaga kerja keluarga kurang. Kondisi ini memberikan pembenaran kepada pemilik lahan untuk melakukan konversi, menurut mereka lebih baik lahan yang ada ditanami kelapa sawit daripada tidak dimanfaatkan.
54
B A Gambar 5. Proses konversi lahan (A) Sporadis, (B) Progresif Konversi lahan pada Gambar 5 (A) dimulai pada lahan sawah yang menurut petani lebih sulit pengelolaannya dibanding lahan sawah lainnya dengan kondisi drainase yang kurang mendukung. Proses ini menghasilkan spot-spot kebun diantara areal persawahan. Keberadaan tanaman kelapa sawit ini lamakelamaan akan mengancam lahan sawah disekitarnya karena menganggu intensitas cahaya matahari yang sangat dibutuhkan tanaman padi dan menjadi tempat persembunyian dan bersarang hama tanaman padi seperti burung, tikus, babi, belalang dan lainnya. Akibat kondisi ini, mau tidak mau petani di sekitar yang terus dirugikan akibat keberadaan kebun juga akan ikut mengkonversi lahan sawah yang dimilikinya. 6.3. Dampak Konversi Lahan terhadap Ketahanan Pangan Ketahanan pangan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Kondisi ketahanan pangan suatu wilayah ditentukan oleh produksi padi per tahun terdiri dari padi sawah dan padi ladang, jumlah penduduk dan tingkat konsumsi perkapita. Produksi padi Kabupaten Seluma tahun 2005 sebesar 70.914 ton dan tahun 2010 sebesar 62.629 ton atau terjadi penurunan sebanyak 8.285 ton. Penurunan produksi padi terutama dipengaruhi oleh penurunan luas panen sebesar 4.699 hektar yang terjadi dalam rentang 2005-2010. Jumlah penduduk Kabupaten Seluma tahun 2005 sebanyak 151.258 jiwa, meningkat menjadi 165,564 jiwa pada tahun 2010 atau peningkatan rata-rata penduduk sebesar 1,83%/tahun. Berdasarkan data produksi dan pertumbuhan 55
penduduk tersebut dapat disusun neraca ketersediaan pangan Kabupaten Seluma seperti pada Tabel 16. Tabel 16 Kondisi ketahanan pangan Kabupaten Seluma tahun 2005-2009 Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah penduduk (jiwa) 151.258 158.524 160.325 162.104 163.859 165.564
Luas panen (ha) 18.586 18.586 17.096 21.756 18.604 13.887
Produksi Padi (ton) 70.914 70.914 70.931 84.631 73.225 62.629
Konversi Kebutuhan Beras Konsumsi (ton) (ton) 39.677 17.165 39.677 17.989 39.687 18.194 47.352 18.396 40.971 18.595 35.042 18.788
Surplus Beras (Ton) 22.513 21.688 21.493 28.957 22.376 16.254
Sumber: BPS Kabupaten Seluma 2005-2010 (diolah)
Konversi padi menjadi beras diperoleh setelah dikurangi susut panen padi sebesar 10,82%13 dan angka konversi GKG menjadi beras sebesar 62,74%14 dan konsumsi beras sebesar 113,48 kg perkapita pertahun15. Produksi padi Kebupaten Seluma tahun 2005 sampai 2009 memenuhi kriteria swasembada karena masih melebihi kebutuhan pangan penduduknya. Namun, terdapat tren penurunan produksi yang terjadi dalam tiga tahun terakhir dan sebaliknya terjadi penambahan jumlah penduduk yang berdampak pada semakin menurunnya surplus beras Kabupaten Seluma. Dapat disimpulkan bahwa penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Seluma menunjukkan gejala gangguan terhadap ketahanan pangan daerah karena terjadi penurunan produksi padi dan penurunan produktivitas lahan dari 4,15 ton/ha pada tahun 2007 menjadi 3,94 ton/ha pada tahun 2010. 6.4. Analisis Land rent Terbentuknya perkebunan kelapa sawit rakyat dari proses konversi lahan sawah merupakan keputusan yang revolusioner yang dipilih petani. Bagaimana tidak, dengan pengetahuan budidaya yang rendah dan lemahnya kondisi finansial keluarga mereka memilih untuk merubah sumber penghidupan yang sudah lama ditekuni. Kondisi ini didorong oleh pengelolaan usahatani padi yang cenderung semakin sulit dan keuntungan yang semakin rendah. Belajar dari
13 14
15
56
Tingkat Kehilangan Hasil Padi Menurun dari 20,5% Menjadi 10,8% http://www.sinartani.com/informasiterkini/nasional/1039.html http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/09/08/konversi-gabah-menjadi-beras-6274-persentahukah-anda-darimana-angka-itu-berasal/ http://www.sinartani.com/opini/editorial/4914-data-produksi-dan-konsumsi-beras-yang-benar-danterpercaya.html
pengelaman petani lainnya yang memiliki kebun kelapa sawit, dimana tanaman kelapa sawit pengelolaannya lebih mudah, proses produksi cepat, dan pemasarannya juga mudah menimbulkan keinginan petani sawah untuk ikut menanam kelapa sawit. Dikarenakan luas lahan yang dimiliki terbatas, maka sebagain lahan sawah yang dimiliki akhirnya dijadikan kebun kelapa sawit, karena kurangnya pengawasan dan tidak teguran dari pemerintah daerah fenomena ini kemudian diikuti petani lainnya. Diperkirakan motif dibalik keputusan petani ini adalah keuntungan dari usahatani kelapa sawit yang lebih tinggi dari padi sawah, sehingga untuk dapat mengendalikan terjadinya konversi lahan sawah secara lebih luas perlu dilihat lebih dalam tentang pengelolaan usahatani padi sawah dan kelapa sawit, terutama aspek ekonomis dari segi penerimaan, biaya dan nilai rente lahan dari pengelolaan kedua komoditas tersebut. Informasi ini penting untuk perbaikan pengelolaan usahatani, terutama padi sawah yang tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan pangan dan kesejahteraan si petani tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. 6.4.1. Usahatani Padi Sawah Musim tanam padi di Kecamatan Seluma Selatan dimulai bulan Oktober sampai Januari, musim tanam periode ini dinamakan “musim besar”. Musim tanam berikutnya dimulai bulan Februari sampai Mei dan Juni sampai September yang dikenal dengan “musim kecil”. Pola umum usahatani padi sawah dilakukan adalah Padi-Padi terdiri dari Musim Tanam I dan II (MT I dan MT II) dan PadiPadi-palawija, terdiri dari MT I dan MTII serta MT III untuk palawija. Pembahasan selanjutnya pola tanam Padi-Padi disebut “Pola Tanam I” dan pola tanam PadiPadi-Palawija disebut “Pola Tanam II”. Pada musim kecil tidak ada penetapan komoditas yang ditanam, sebagian petani memanfaatkannya untuk tanaman padi atau palawija dan sebagian lagi memberakan lahan sawah mereka. Pola Tanam I diterapkan oleh 69,77% petani responden dengan rata-rata luas lahan 0,69 hektar, sisanya 30,23% melakukan Pola Tanam II dengan luas pengelolaan sawah 0,57 hektar. Selanjutnya akan dibahas penggunaan sarana produksi dan biaya sarana produksi untuk kedua pola tanam tersebut di atas. a. Pola Tanam I: Padi-Padi Usahatani padi pada lahan irigasi di Kecamatan Seluma Selatan mulai diterapkan setelah program pencetakan sawah tahun 1985. Kegiatan budidaya
57
awalnya dilaksanakan pada lahan-lahan petani transmigrasi (Rimbo Kedui I dan II), Teknologi budidaya yang diterapkan masyarakat transmigrasi ini terus berkembang melalui bimbingan dan petunjuk dengan banyaknya kegiatan percontohan budidaya padi sawah oleh lembaga/instansi pemerintah maupun swasta. Teknologi budidaya ini kemudian diikuti oleh masyarakat lokal yang sebelumnya melakukan secara tradisional dan hanya berorientasi pada kebutuhan pangan keluarga. i. Penggunaan Sarana Produksi Penggunaan sarana produksi dipengaruhi oleh pemahaman dan kebiasaan petani serta ketersediaannya di lingkungan mereka, seperti benih, pupuk anorganik, dan pestisida. Rata-rata penggunaan benih sebanyak 67,19 kg/ha, jumlah ini tergolong tinggi, peyebabnya adalah benih yang digunakan umumnya hasil budidaya sendiri dengan proses seleksi sesuai kemampuan petani yang bersangkutan. Rendahnya mutu benih dan cara penyemaian yang kurang tepat menyebabkan pertumbuhan benih yang kurang baik. Pupuk yang digunakan petani umumnya pupuk bersubsidi pemerintah, jenis pupuk adalah Urea, SP-36 dan NPK. Kombinasi pupuk yang digunakan terdiri dari: Urea + SP-36 +NPK (58,14% responden), Urea + SP-36 (4,65% responden), Urea + NPK (30,23% responden), dan sisanya hanya menggunakan Urea dan NPK (4,65% responden). Dosis pupuk yang diterapkan petani umumnya berdasarkan pengalaman dan jenis pupuk yang ketersedia. Secara kuantitas jumlah pupuk yang digunakan petani lebih banyak dibandingkan dosis anjuran, namun rendahnya pemahaman terhadap kandungan hara pupuk dan tingkat ketersediaan pupuk menyebabkan penggunaan input pupuk menjadi tidak efisien. Dosis anjuran dari PT. Petrokimia sebanyak 300 kg Phonska dan 200 kg Urea, terdiri dari 150 kg Phonska ditambah 50 kg Urea yang diaplikasikan pada umur tanaman 7 sampai 21 hari setelah tanam (HST) dan 150 kg Phonska ditambah 50 kg Urea pada 35 HST. Sarana produksi lain yang biasa digunakan adalah pestisida terdiri dari herbisida, insektisida, dan fungisida. Herbisida digunakan pada saat tanaman berumur 2 – 3 minggu untuk pengendalian gulma pada tanaman padi, sedangkan untuk insektisida dan fungisida diaplikasikan jika ada gejala serangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi dihitung dalam satuan hari orang kerja atau HOK, artinya satu HOK sama dengan satu orang yang berkerja selama 7 jam. Penggunaan tenaga kerja pada 58
Musim Tanam I sebesar 66,50 HOK, terdiri dari 41,16 HOK tenaga kerja keluarga dan 25,34 HOK tenaga kerja luar keluarga. Pada Musim Tanam II penggunaan tenaga kerja sebesar 86,46 HOK, terdiri dari 61,61 HOK tenaga kerja keluarga dan 24,85 HOK luar keluarga. Perbedaan curahan tenaga kerja pada kedua musim tanam dipengaruhi oleh tingkat kesulitan dalam pengelolaan usahatani karena kendala distribusi air irigasi dan penanaman yang tidak serentak sehingga serangan hama dan penyakit yang lebih tinggi pada MT II. Rata-rata penggunaan sarana produksi disajikan pada tabel berikut: Tabel 17 Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam I Input usahatani 1. Benih (kg/ha) 2. Pupuk (kg/ha) - Urea - SP-36 - NPK - Pupuk kandang 3. Pestisida - Herbisida (ltr/ha) - Insektisida (ml/ha) - Fungisida (ml/ha) 4. Tenaga kerja (HOK/ha) a. Keluarga - Pria - Wanita b. Luar keluarga - Pria - Wanita
MT I 67,19
Pola tanam Padi -Padi Petani Petani MT II pengguna (%) pengguna (%) 100 67,19 100
275,35 100,40 161,57 444,44
97 63 90 27
275,35 100,40 161,57 -
97 63 90 -
1,85 604,03 40,22
73 87 27
1,88 779,03 80,60
73 87 27
23,09 14,62
93 90
36,65 31,28
93 90
6,64 17,48
57 93
6,79 18,17
57 93
Sumber : data primer (diolah) 2011
Penggunaan tenaga kerja pria terutama pada tahap persiapan tanam dan pengolahan lahan, sedangkan tenaga kerja wanita untuk kegiatan penanaman dan perawatan tanaman. Tingkat upah tenaga kerja harian yang berlaku sebesar Rp 40.000 per hari untuk tenaga kerja pria dan Rp 25.000 per hari untuk tenaga kerja wanita. Selain tenaga kerja harian, beberapa tahapan usahatani dikerjakan dalam bentuk borongan, seperti olah tanah, tanam dan panen. Pengolahan lahan umumnya dilakukan dengan menggunakan hand traktor, besarnya upah yang digunakan adalah Rp 125.000/babar (1 ha = 7 babar). Upah untuk penanaman sebesar Rp 80.000 – Rp 110.000 per babar, sedangkan untuk panen upah dibayarkan dalam bentuk natura dengan pembagian 8 : 1, artinya setiap delapan karung gabah bersih maka pemanen menerima upah 1 karung. Sistem 59
pengupahan panen ini dapat lebih tinggi menjadi 7 : 1 jika pemanen masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan pemilik lahan. ii. Biaya Sarana Produksi Penggunaan faktor produksi pada suatu usahatani akan menimbulkan beban biaya, baik biaya tetap maupun variabel. Biaya tetap berupa pembayaran biaya penyusutan alat, biaya irigasi dan biaya sewa lahan. Sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, karung dan biaya pengangkutan hasil panen. Biaya rata-rata usahatani padi sawah pada MT I sebesar Rp 7,571,203/hektar dan MT II sebesar Rp 8,008,648/hektar. Biaya usahatani pada MT II Rp 437,446 lebih besar dibandingkan MT I, peningkatan biaya disebabkan penambahan biaya pestisida dan biaya tenaga kerja. Rincian biaya usahatani disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam I Komponen Biaya Input usahatani
Pola tanam Padi-Padi
Benih (Rp/ha) Pupuk (Rp/ha) Pestisida (Rp/ha) Tenaga Kerja manusia (Rp/ha) Perlengkapan (Rp/ha) Pengangkutan (Rp/ha) Irigasi (Rp/ha)
250,958 1,245,784 315,919 5,019,385 275,176 265,330 198,652
250,958 1,155,229 392,185 5,499,956 260,676 250,994 198,652
250,958 1,200,506 354,052 5,259,670 267,926 258,162 198,652
Jumlah
7,571,203
8,008,648
7,789,926
MT I
MT II
Rata-rata
Sumber : data primer (diolah) 2011
Biaya rata-rata usahatani pola tanam Padi-Padi sebesar Rp 7,789,926/ hektar, terdiri dari Rp 5,259,670/hektar atau 67,52% biaya tenaga kerja. Biaya tenaga kerja berasal dari upah harian dan upah pekerjaan dalam bentuk borongan seperti olah tanah, tanam, dan sebesar Rp 1.200.506 (15,41%) dan
biaya
panen. Selanjutnya biaya pupuk lainnya sebesar Rp 1.329.749
(17,07%), terdiri dari biaya pembelian benih, pembelian pestisida, pembelian karung, iuran irigasi dan biaya pengangkutan hasil panen. Struktur biaya ratarata usahatani disajikan pada Gambar 6.
60
Angkut Irigasi 3%
Perlengkapan 3% 3%
Benih 3%
Pupuk 15% Pestisida 5% Tenaga Kerja 68%
Gambar 6. Struktur biaya rata-rata usahatani pola tanam Padi-Padi Biaya pembelian karung dilakukan per musim tanam, jumlahnya tergantung tingkat produksi padi dimana semakin tinggi produksi maka semakin banyak jumlah yang dibutuhkan. Kapasitas rata-rata karung yang digunakan sebanyak 50 kg gabah kering panen. Biaya irigasi biasanya dibayar dalam bentuk natura dan uang, besarnya ditetapkan berdasarkan luas kepemilikan lahan, untuk lahan dengan ukuran satu hektar biayanya sebanyak 1 karung (50 kg gabah kering panen). Total biaya dalam satu tahun merupakan akumulasi biaya pada dua musim tanam, selain itu terdapat biaya peralatan sebesar Rp 88.079/tahun. Biaya peralatan dihitung berdasarkan harga beli dibagi dengan umur ekonomis alat. Peralatan yang digunakan dalam pengelolaan usahatani adalah cangkul, arit, parang, gerobak, sprayer. iii. Penerimaan Usahatani Penerimaan dihitung sebagai hasil penjualan seluruh produksi dalam bentuk gabah kering panen (GKP) atas harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan. Pemasaran gabah biasanya dilakukan di pasar “Kalangan” yang ada setiap satu minggu sekali. Penjualan gabah tergantung pada harga saat panen dan kebutuhan biaya untuk usahatani kembali, jika harga tinggi (diatas Rp 3000/kg) petani menjual dalam bentuk GKP, sebaliknya jika harga murah biasanya dijual dalam bentuk beras (80.000/kaleng, 1 kaleng= 16 kg beras). Produksi gabah yang diperoleh pada MT I berkisar antara 2.000-6.000 kg/hektar dengan rata-rata 4.397 kg/hektar, sedangkan pada MT II produksi antara 2.250 – 5.600 kg/hektar dengan rata-rata 4.099 kg/hektar dan harga gabah berkisar antara Rp 2.800 – Rp 3.000/kg. Penerimaan usahatani padi pada MT I sebesar
61
Rp 13.152.810/hektar dan pada MT II sebesar Rp 12.253.643/hektar, sehingga diperoleh penerimaan total sebesar Rp 25.406.452/hektar/tahun dan Iand rent sebesar Rp 9.738.522/hektar/tahun, seperti yang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Penerimaan, biaya, dan land rent usahatani pada Pola Tanam I Komponen Biaya
Pola tanam Padi-Padi MT I MT II Jumlah
Produksi (Kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Biaya input selain lahan (Rp/ha) Biaya Peralatan
4,396.83 13,152,810 7,571,203 -
4,099 12,253,643 8,008,648 -
8,496 25,406,452 15,579,851 88,079
Land rent/musim tanam (Rp/ha)
5,581,607
4,244,994
9,738,522
Sumber : data primer (diolah) 2011
Jika dilihat per musim tanam, nilai land rent pada MT I lebih tinggi Rp 1,336,613/hektar. Perbedaan ini dipengaruhi oleh produktivitas usahatani yang lebih rendah pada MT II disebabkan kendala ketersediaan air irigasi serta serangan hama dan penyakit yang lebih tinggi. Dari sisi biaya, berarti terjadi penambahan biaya input untuk pembelian insektisida dan fungisida serta biaya tenaga kerja untuk pengaplikasiaan input produksi tersebut. b. Pola Tanam II: Padi-Padi-Palawija Pola tanam Padi-Padi-Palawija merupakan salah satu bentuk pengelolaan lahan untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih optimal dan mengurangi resiko kegagalan pada usahatani padi. Perbedaan pola ini dengan pola Padi-padi adalah penggunaan lahan untuk tanaman palawija, seperti jagung, kacang tanah dan ubi jalar diantara dua musim tanam padi. Selain manfaat secara ekonomi pola ini secara tidak langsung pola ini juga meningkatkan nilai manfaat dari penggunaan sumberdaya air. Manfaat lain yang diperoleh adalah penurunan populasi organisme pengganggu tanaman atau OPT (Widiarta et.al. 1999). i. Penggunaan Sarana Produksi Secara umum penggunaan sarana produksi pada Pola Tanam II hampir sama dengan Pola Tanam I (Tabel 20). Rata-rata penggunaan benih sebanyak 48.64 kg/hektar, jumlah ini lebih rendah 18,55 kg dibanding Pola Tanam I. Jenis pupuk yang banyak digunakan adalah Urea, NPK dan SP-36, secara kuantitas pemakaian pupuk pada pola ini lebih tinggi dibandingkan Pola Tanam I, terutama pupuk Urea. Dari kombinasi pupuk yang digunakan 53,85% responden 62
mengaplikasikan ketiga jenis pupuk secara bersamaan pada usahataninya, dapat diartikan bahwa pemahaman terhadap kandungan hara pupuk dan dosis yang dianjurkan belum dipahami oleh petani. Tabel 20 Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam II Pola tanam Padi –Padi-Palawija Petani Petani MT I pengguna MT II pengguna (%) (%) 48.64 100 48.64 100
Input usahatani 1. Benih (kg/ha) 2. Pupuk (kg/ha) - Urea - SP-36 - NPK - Pupuk kandang 3. Pestisida - Herbisida (ltr/ha) - Insektisida (ml/ha) - Fungisida (ml/ha) 4. Tenaga kerja (HOK/ha) a. Keluarga - Pria - Wanita b. Luar keluarga - Pria - Wanita
331.41 87.18 173.08 891.03
100 62 92 23
331.41 87.18 173.08 -
100 62 92 23
0.75 483.08 108.72
77 100 46
0.75 711,79 194.87
77 100 46
23,13 14,42
100 92
29,43 24,18
100 92
7,66 15.47
62 100
6,89 19,27
62 100
Sumber : data primer (diolah) 2011
Penggunaan insektisida pada MT I sebanyak 483,08 ml/hektar dan pada MT II sebanyak 711,79 ml/hektar. Berdasarkan rata-rata penggunaan insektisida pada pola tanam I sebanyak 691,53 ml/hektar dan pola taam II sebanyak 597,44 ml/hektar, terdapat indikasi tingkat serangan hama yang lebih rendah pada Pola Tanam II. Pengunaan tenaga kerja pada MT I sebanyak 60,68 HOK, terdiri dari 37,55 HOK tenaga kerja keluarga dan 23,13 HOK luar keluarga. Pada MT II ratarata penggunaan tenaga kerja sebanyak 79,77 HOK, terdiri dari 53,61 HOK tenaga kerja keluarga dan 26,16 HOK tenaga kerja luar keluarga. Berikutnya pada MT III digunakan untuk usahatani palawija, tanaman yang banyak diusahakan petani di lahan sawah adalah jagung, Penanaman dilakukan setelah musim besar pada Musim Tanam II atau Musim Tanam III. Penggunaan sarana produksi pada tanaman jagung hampir sama dengan tanaman padi, seperti benih, pupuk, dan pestisida. Rata-rata penggunaan bibit sebanyak 14,20 kg/hektar, penggunaan pupuk Urea, SP-36 dan NPK masing-masing 262,04 kg/hektar; 81,48 kg/hektar; dan 175,93 kg/hektar. Dosis yang digunakan hanya 63
berdasarkan pengalaman masing-masing petani. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimia dengan rata-rata penggunaan insektisida sebanyak 328,89 ml/hektar, penggunaan insektisida dipengaruhi oleh tingkat serangan hama dan penyakit tanaman. Untuk pengendalian gulma umumnya dilakukan secara kimia dengan menggunakan herbisida. Tanaman palawija lainnya yang diusahakan adalah kacang tanah dan ubi jalar, kedua komoditas ini dapat menjadi solusi terbaik pada saat ketersediaan pupuk dan air irgasi kurang. Rata-rata penggunaan pupuk kimia untuk kedua komoditas dosisnya rendah karena hanya diperuntukkan untuk pertumbuhan awal
tanaman.
Berdasarkan
pengalaman
mereka
pemupukan
hanya
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman namun tidak berpengaruh besar terhadap produksi. Varietas kacang tanah yang diusahakan petani adalah varietas lokal karena telah beradaptasi baik dengan kondisi lingkungan setempat. Untuk pengendalian hama dan penyakit digunakan insektisida dengan rata-rata 213,33 ml/hektar. penggunaan sarana produksi tanaman palawija disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Penggunaan sarana produksi usahatani palawija pada Pola Tanam II Input usahatani 1. Benih/Bibit (kg/ha) 2. Pupuk (kg/ha) - Urea - SP-36 - NPK 3. Pestisida - Herbisida (ltr/ha) - Insektisida (ml/ha) 4. Tenaga kerja (HOK/ha) a. Keluarga - Pria - Wanita b. Luar keluarga - Pria - Wanita
Jenis tanaman Palawija Kacang Jagung Ubi jalar Tanah 14,20 34,67 40.000* 262,04 81.48 175.93
-
150
1.18 328.89
213,33
-
11.63 4.28
6,67 12
6 12
14.76 12.22
8 63,33
60 6
Sumber : data primer (diolah) 201. Keterangan : *) Stek
Penggunaan input produksi untuk usahatani ubi jalar terdiri dari bibit sebanyak 40.000 stek/hektardan pupuk NPK sebanyak 150 kg. bibit berasal dari bahan tanaman (stek) dapat berasal dari tanaman produksi dan dari tunas-tunas ubi yang secara khusus disemai atau melalui proses penunasan. Pemupukan 64
pada tanaman penting dilakukan karena zat hara yang terbawa atau terangkut pada saat panen ubi jalar cukup tinggi, yaitu terdiri dari 70 kg N (± 156 kg Urea/hektar), 20 kg P2O5 (± 55 kg SP-36/hektar), dan 110 kg K2O (± 220 kg KCl/hektar) pada tingkat hasil 15 ton umbi basah. Pemupukan bertujuan menggantikan unsur hara yang terangkut saat panen, menambah kesuburan tanah, dan menyediakan unsur hara bagi tanaman16. ii. Biaya Sarana Produksi Biaya rata-rata usahatani pada pola tanam Padi-Padi-Palawija sebesar Rp 7.587.224/hektar (lihat Tabel 22), struktur biaya hampir sama dengan Pola Tanam I. Biaya tenaga kerja merupakan pengeluaran terbesar, yaitu Rp 5,395,214/hektar
atau
67,49%,
1,312,436/hektar (16,42%) dan
selanjutnya
biaya
pupuk
sebesar
Rp
biaya benih, pestisida, karung, irigasi dan
pengangkutan hasil panen sebesar Rp 1,286,744/hektar atau 16,10% dari total biaya usahatani. Nilai manfaat dari pengelolaan lahan Pola Tanam II merupakan akumulasi dari penerimaan dan biaya dari ketiga musim tanam ditambah biaya peralatan sebesar Rp 94.591/tahun. Tabel 22 Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam II Komponen Biaya Input usahatani
Pola tanam Padi-Padi-Palawija
Benih (Rp/ha) Pupuk (Rp/ha) Pestisida (Rp/ha) Tenaga Kerja manusia (Rp/ha) Perlengkapan (Rp/ha) Pengangkutan (Rp/ha) Irigasi (Rp/ha) Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2011
Musim I 184,667 1,367,244 256,744 5,227,848 281,731 282,679 232,372 7.833.284
Musim II 184,667 1,257,628 380,756 5,562,580 266,923 271,603 231,346 8.155.503
Rata-rata 184,667 1,312,436 318,750 5,395,214 274,327 277,141 231,859 7.994.394
Biaya tenaga kerja pada usahatani padi sawah selain dipengaruhi luas lahan juga oleh produksi usahatani, semakin tinggi produksi maka akan semakin tinggi biaya tenaga kerja yang dikeluarkan karena fungsi sosial yang bekerja pada sistem usahatani yang selama ini diterapkan masyarakat, seperti bawon atau upah panen yang dibayar dengan gabah. Selain itu, pada MT II biaya tenaga kerja dipengaruhi tingkat kesulitan pekerjaan karena persaingan 16
Ubi Jalar/Ketela Rambat. http://migroplus.com/brosur/Budidaya%20ubijalar.pdf. Diakses tanggal 27 November 2011
65
penggunaan air serta serangan hama dan penyakit yang lebih tinggi. Pada skala usahatani kecil penggunaan tenaga kerja keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar keluarga (buruh tani) karena (a) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian dari keuntungan usaha sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaan akan mempengaruhi tingkat produksi usahatani yang mendorong mereka untuk bekerja lebih baik, (b) dengan menggunakan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan biaya tenaga kerja (biaya lebih murah) , (c) tenaga keluarga secara bersama menanggung segala resiko dalam pengelolaan usahataninya, selain itu tenaga kerja keluarga selalu ada dan tersedia untuk usahataninya (Binswanger and Rozensweig, 1986). Seperti halnya usahatani padi, komponen biaya input terbesar pada usahatani palawija seperti pada Tabel 23 adalah biaya tenaga kerja, terutama untuk tanaman ubi jalar (88,88%) dan kacang tanah 77,04), sedangkan untuk tanaman jagung sebanyak 55,66% dari biaya produksi. Pada usahatani Penggunaan tenaga yang tinggi pada usahatani ubi jalar dan kacang tanah karenpada tanaman jagung, 77,04% tanaman kacang tanah , dan 88,88% tanaman ubi jalar. Selanjutnya biaya pupuk untuk tanaman jagung (21%) dan ubi jalar (7,97%). Tabel 23 Analisis land rent tanaman palawija jagung, kacang tanah, dan ubi jalar Komponen Biaya Input usahatani Benih/bibit Pupuk Pestisida Tenaga kerja Peralatan
Jagung
Kacang tanah
Ubi jalar
841.111 1.224.074 183.556 3.243.949 335.111
750,000 113,333 4,036,667 340,000
160.000 405.000 4.515.500 -
Jumlah
5,827,801
5,240,000
5,080,000
Sumber : data primer (diolah) 2011
iii. Penerimaan Usahatani Produksi gabah yang diperoleh pada MT I berkisar antara 3.000 -6.075 kg/hektar dengan rata-rata 4,590.38 kg/hektar dan MT II berkisar antara 3.000 – 5.625 kg/hektar dengan rata-rata 4.099 kg/hektar. Harga gabah kering panen berkisar antara Rp 2.800 – Rp 3.000/kg. Penerimaan usahatani padi pada MT I sebesar Rp 14.230.449/hektar dan MT II sebesar Rp 13.601.282/hektar dengan total penerimaan sebesar Rp 27.831.731/hektar/tahun dan biaya sebesar Rp
66
15.174.448/hektar sehingga diperoleh nilai Iand rent dari usahatani padi sebesar Rp 12.562.692/hektar/tahun, seperti yang disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Rata-rata penerimaan, biaya, dan land rent usahatani per musim pada Pola Tanam II Komponen Biaya
Produksi (Kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Biaya input selain lahan (Rp/ha) Biaya Peralatan Land rent/musim tanam (Rp/ha)
Pola tanam Padi-Padi-Palawija MT I
MT II
MT III
Jumlah
4.590 13.791.667 7.833.284
4.099 12.251.923 80.155.503
8.738.426 5.382.600
8.689 34.782.016 21.371.387
-
-
-
94.591
5.958.383
4.096.420
3.355.826
13.316.038
Sumber : data primer (diolah) 2011
Produksi rata-rata usahatani jagung, kacang tanah, dan ubi jalar adalah 3.725 kg/hektar. 2.360 kg/hektar, dan 4.000 kg/hektar. Harga jagung setelah dipipil berkisar antara Rp 2.200 – Rp 2.700/kg, kacang tanah Rp 4.000 - Rp 4.500/kg dalam bentuk polong kering panen, dan ubi jalar Rp 2.000/kg. Penerimaan dari ketiga komoditas seperti yang disajikan pada Tabel 25, masingmasing Rp 9,575,278 /hektar; Rp
8,640,000/hektar; dan Rp 8.000.000/hektar.
Biaya rata-rata usahatani jagung sebesar Rp 5.827.801/hektar, kacang tanah Rp 5,240,000 /hektar, dan ubi jalar Rp 5.080.000/hektar. iv. Land rent Lahan Sawah Nilai land rent dihitung berdasarkan penerimaan dan biaya dalam pengelolaan usahatani padi sawah dalam satu tahun. Nilai land rent pada lahan sawah yang dikelola dengan Pola Tanam I sebesar Rp 9.826.601/hektar/tahun, sedangkan pada Pola Tanam II nilai land rent lebih tinggi Rp 3.489.437/hektar/ tahun, terdiri dari land rent usahatani padi sebesar Rp 10.054.803/hektar/tahun dan dari tanaman palawija sebesar Rp 3.603.638/hektar/tahun. Nilai land rent rata-rata lahan sawah dari kedua pola tanam sebesar Rp 11.571.319/hektar/ tahun. Nilai land rent dari pengelolaan lahan sawah ini selanjutnya akan dibandingkan dengan land rent pada lahan sawah yang telah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Untuk menyelaraskan perhitungan nilai land rent dari kedua komoditas dilakukan dengan pendekatan nilai
PVNR dengan waktu analisis
selama 25 tahun (sesuai umur ekonomis tanaman kelapa sawit) dan discount 67
rate sebesar 10%. Hasil analisis ini menghasilkan nilai PVNR-land rent sawah sebesar Rp 89.196.453/hektar/tahun untuk Pola Tanam Padi-Padi dan
Rp
123,978,211/hektar/tahun untuk Pola Tanam Padi-Padi-Palawija, dengan ratarata Rp 106,587,332/hektar/tahun. 6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit Berdasarkan hasil survey dan informasi dari tokoh masyarakat, konversi lahan sawah banyak terjadi pada tahun 2006, hal ini terlihat dari hasil penelitian dimana rata-rata pengalaman usahatani sekitar 4,87 tahun. Menurut Widiono (2009), proses ini terjadi dalam tiga tahap. Pertama, periode 1990-1993 yakni pencarian alternatif solusi atas masalah keterbatasan faktor edafik (tanah bergambut dan pasang surut) bagi produksi sawah. Sebaliknya tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah podsolik, latosol, hidromorf kelabu, Regosol, Andosol dan tanah alluvial, bahkan pada tanah gambut pun dapat tumbuh dengan syarat ketebalan gambut tidak lebih dari 1 meter. Kedua periode 19931998 adalah penumbuhan kesadaran dan upaya meniru yang merupakan hasil pengamatan serta pertukaran pengalaman dengan para buruh salah satu perusahaan perkebunan swasta dan migran etnis dari Sumatera Utara. Ketiga periode 1998-sekarang, yaitu pemilihan alternatif dan penerapan solusi. Pilihan untuk menanam kelapa sawit secara meluas terjadi setelah petani merasa memiliki pengetahuan yang cukup, ketersediaan modal, dan jaminan pembelian oleh pabrik kelapa sawit. Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang konversi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Luas lahan (Ha) Jumlah batang/ha Umur tanaman (Tahun) Tanaman berproduksi (%) Pengalaman usahatani (Tahun)
Jumlah 1,02 144 3,78 53,49 4,87
Sumber : data primer (diolah) 2011
Tahapan pembangunan kelapa sawit secara garis besar terbagi dalam dua periode, yaitu berdasarkan fase pertumbuhan tanaman, yaitu fase vegetatif atau tanaman belum menghasilkan (TBM) dan fase generatif atau tanaman menghasilkan (TM). Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan ditujukan untuk menyiapkan tanaman agar mampu memberikan produksi yang tinggi, sedangkan 68
tanaman menghasilkan pengelolaan tanaman terutama
pada perawatan dan
pengaturan penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida. Fase vegetatif dilahan mulai setelah bibit ditanam sampai tanaman berumur 2,5 – 3 tahun. Berdasarkan Tabel 26, dari rata-rata umur tanaman kelapa sawit 3,78 tahun terdiri dari 23 petani (53,49%) yang memiliki tanaman menghasilkan dengan kisaran umur tanaman 3 – 9 tahun dan 20 petani (46,51%) memiliki tanaman belum menghasilkan dengan umur tanaman 1 tahun sebanyak 13,95% dan umur dua tahun 32,56%. a. Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Belum Menghasilkan i. Tanaman Berumur Satu Tahun Pada tahap pembangunan kebun kelapa sawit penggunaan sarana produksi yang utama adalah tenaga kerja dan bibit. Penggunaan tenaga kerja terutama untuk persiapan lahan, seperti pembersihan lahan dari gulma, pengaturan jarak tanam dengan memberi ajir sebagai penanda lubang tanam, pembuatan lubang tanam, dan penanaman. Dikarenakan skala usaha yang relatif kecil, penanaman biasanya dilakukan sendiri keluraga petani sesuai pemahaman dan kecukupan tenaga kerja yang dimiliki. Kondisi ini dapat dilihat dari jarak tanam yang kurang teratur dan pertanaman yang tidak rata. Penggunaan tenaga kerja untuk proses tanam ini sekitar 23,50 HOK, terdiri dari 19,25 HOK (81,92%) tenaga kerja keluarga dan 4,25 HOK (18,08%) tenaga kerja luar keluarga. Rata-rata penggunaan bibit sebanyak 144 batang/hektar, pola tanam kelapa sawit yang umum digunakan adalah pola segitiga sama sisi dengan jarak 9 x 9 meter antara barisan dan 7,79 dalam barisan. Pada sebagian petani karena kontur lahan dan pengaruh bekas petakan pada lahan sawah sebelumnya menyebabkan jarak tanam menjadi lebih rapat menjadi 8 x 9 meter bahkan sampai 8 x 8 meter sehingga kebutuhan bibit menjadi lebih banyak, seperti ditunjukkan pada Tabel 26. Secara umum budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani belum melaksanakan paket teknologi yang direkomendasikan, terutama bibit dan pupuk. Bibit tanaman yang umumnya digunakan petani merupakan hasil penangkaran sendiri, bibit biasanya diambil pohon induk yang berproduksi tinggi dan pertumbuhannya bagus. Kendala utama bagi perkebunan rakyat untuk memperoleh bibit unggul bersertifikat adalah harga yang cukup mahal dan prosedur pemesanan yang cukup rumit yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Saat ini harga kecambah kelapa sawit produksi Pusat Penelitian Kelapa 69
Sawit (PPKS) yang ada di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara sekitar Rp 6.000/kecambah. Tabel 26 Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama Input usahatani
Volume
Bibit (Batang/ha) Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha) Pupuk kandang (Kg/ha) Herbisida (liter/ha) Insektisida (ml/ha) Tenaga kerja (HKSP/ha)
144 55,95 4,65 4,07 125,58 5,84 3,72 23,50
Petani pengguna input (%) 100 30,23 2,33 4,65 9,30 95,35 2,33 100
Sumber : data primer (diolah) 2011
Seperti
ditunjukkan
pada
Tabel
26,
pemupukan
tanaman
belum
menghasilkan (TBM) hanya dilakukan oleh 34,88% responden, rendahnya penggunaan pupuk disebabkan oleh rendahnya pemahaman petani tentang budidaya kelapa sawit, selain rendahnya daya beli masyarakat dan ketersediaan pupuk serta ekspektasi petani terhadap keberhasilan usahatani yang masih rendah. Disamping itu, pemanfaatan lahan untuk tanaman palawija juga mempengaruhi penggunaan pupuk untuk tanaman kelapa sawit, dalam hal ini pupuk untuk tanaman kelapa sawit hanya memanfaatkan residu pupuk dari tanaman palawija. Pola tanam ini dilakukan pada tanaman sawit umur 1 sampai 3 tahun. Tanaman palawija yang diusahakan adalah jagung, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu. Konsekuensi dari penggunaan sarana produksi adalah timbulnya biaya usahatani, biaya rata-rata pada tahap pembangunan kebun serta perawatan sebesar Rp 2.464.894/hektar. Penggunaan biaya terbesar adalah untuk penggadaan bibit sebesar Rp 1.142.628/hektar (44,81%), kemudian biaya tenaga kerja Rp 888.368/ hektar (34,84%). Biaya lainnya adalah untuk pestisida dan pupuk sebesar Rp 411.280/ hektar atau 16,13% serta biaya peralatan sebesar Rp 107.885/tahun. Biaya peralatan diasumsikan sama selama 25 periode analisis, biaya dihitung berdasarkan harga beli dan masa pakai peralatan tersebut, rata-rata penggunaan biaya usahatani disajikan pada Tabel 27.
70
Tabel 27 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama
Bibit (Rp/ha/tahun) Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Peralatan (Rp/tahun)
1.142.628 140.005 271.275 888.368 107.885
Persentase (%) 44,81 5,49 10,64 34,54 4,23
Jumlah
2.464.894
100
Input usahatani
Biaya input
Sumber : data primer (diolah) 2011
Biaya pestisida pada Tabel di atas terutama untuk pembelian herbisida yang digunakan saat pembukaan lahan dan pengendalian gulma dalam tahap perawatan tanam. Biaya tenaga kerja sebesar Rp 888.368/hektar, terdiri dari biaya tanam Rp 539.1636/hektar (60,69%) dan biaya perawatan Rp 349.205/ tahun (39,31%), dengan tingkat upah Rp 40.000/hari. Peralatan usahatani yang digunakan pada kebun kelapa sawit umumnya juga digunakan pada lahan sawah, seperti cangkul, parang, arit, gerobak, garpu. Selain itu ada beberapa alat yang digunakan hanya pada kelapa sawit, seperti dodos dan egrek yang digunakan untuk pemanenan. Dodos digunakan pada tanaman umur 3 sampai 9 tahun, sedangkan egrek digunakan pada tanaman berumur lebih dari 9 tahun. Distribusi biaya disajikan pada Gambar 7.
Tenaga Kerja 35%
Peralatan 4%
Pestisida 11%
Bibit 45%
Pupuk 5%
Gambar 7. Distribusi biaya usahatani kelapa sawit tahun pertama ii. Tanaman Berumur Dua Tahun Pengelolaan tanaman pada tahun kedua terutama pada pengendalian gulma dan pemupukan. Pengedalian gulma dilakukan dengan penyemprotan herbisida dan penebasan gulma dibawah tajuk tanaman. Pemberian pupuk sudah banyak dilakukan, terutama pupuk Urea terdiri dari 55,81% responden, 71
pupuk NPK (11,63%), dan pupuk SP-36 (9,30%). Rata-rata penggunaan pupuk urea sebesar 107,69 kg/hektar, pemupukan dilakukan 3-4 kali dalam satu tahun. Pemupukan dilakukan dengan menyebarkan secara merata pada daerah bokoran, atau daerah di bawah pelepah daun kelapa sawit. Pengendalian gulma (Tabel 28) dilakukan dengan penyemprotan herbisida, dengan rata-rata penggunaan sebanyak 3,36 liter/hektar/tahun. Kebutuhan tenaga kerja sebanyak 10,98 HOK untuk pekerjaan pengendalian gulma, pemupukan, dan perawatan tanaman. Pekerjaan tersebut dilakukan sendiri oleh keluarga petani, terdiri dari 7,02 HOK pria dan 3,70 HOK wanita. Tabel 28 Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua Input usahatani Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha) Pukan (Kg/ha) Herbisida (Liter/ha) Tenaga kerja (HKSP/ha)
Petani pengguna input (%)
Volume 107,69 12,79 11,05 37,21 3,36 10,98
55,81 9,30 11,63 9,30 100 100
Sumber : data primer (diolah) 2011
Untuk tanaman berumur dua tahun biaya rata-rata yang dikeluarkan hanya 35,80% dari biaya tahun pertama, yaitu sebanyak Rp 912.956/hektar. Penggunaan biaya terbesar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 30 adalah untuk biaya tenaga kerja dan pembelian pupuk, masing-masing sebesar Rp 383.950/hektar (42,06%) dan Rp 266.109/hektar (29,15%). Selanjutnya biaya untuk pembelian pestisida, terutama herbisida (Rp 155.012/hektar) dan biaya peralatan Rp 107.885/tahun. Alokasi biaya tenaga kerja digunakan untuk pemiliharaan tanaman, terdiri dari kegiatan pemupukan, pengendalian gulma dan perawatan tanaman. Tabel 29 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua
Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Peralatan (Rp/tahun)
266.109 155.012 383.950 107.885
Persentase (%) 29,15 16,98 42,06 11,82
Jumlah
912.956
100
Input usahatani
Sumber : data primer (diolah) 2011
72
Biaya input
b. Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan Tanaman kelapa sawit mulai berbunga setelah berumur 2,5 tahun dan bisa panen setelah 5,5 bulan dari penyerbukan. Pada lahan dengan pertumbuhan tanaman serta pengelolaan tanaman yang baik, produksi sudah dapat diperoleh setelah tanaman berumur 31 bulan. Kondisi tanaman yang sudah mulai berbuah “buah pasir” inilah menjadi pendorong utama petani melakukan pemupukan dengan dosis yang lebih baik. Jenis pupuk yang banyak digunakan adalah Urea, NPK, dan SP-36 seperti yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ketiga Input usahatani
Volume
Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha) Pukan (Kg/ha) Herbisida (Liter/ha) Tenaga kerja (HOK/ha)
Petani pengguna input (%)
274,16 42,06 291,12 52,17 3,58 25,41
78,26 13,04 86,96 8,70 100 100
Sumber : data primer (diolah) 2011
Dosis pemupukan yang digunakan dalam analisa ini merupakan jumlah rata-rata yang digunakan petani yang memiliki tanaman berproduksi, terdiri dari 23 responden (53,49%). Jenis pupuk yang banyak digunakan adalah Urea dan NPK, masing-masing dengan dosis 1,95 kg/pohon/tahun dan 2,07 kg/pohon /tahun. Pemupukan kelapa sawit biasanya dilakukan 2 sampai 3 kali per tahun pada saat awal musim hujan dan akhir musim hujan. Faktor kemampuan untuk membeli dan jenis pupuk yang tersedia mempengaruhi dosis pupuk yang digunakan. Rekomendasi pemupukan tersebut akan sulit diterapkan ditingkat petani, mengingat kisaran biaya per pohon yang sangat tinggi. Berdasarkan jenis dan dosis pupuk yang dianjurkan kisaran biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 2.930 – Rp 4.330 untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) dan Rp 14.600 – Rp 18.400 untuk tanaman menghasilkan (TM). Sedangkan ditingkat petani biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk pupuk adalah Rp 10.785 per pohon pada tanaman
menghasilkan.
Selain
biaya
yang
tinggi,
jenis
pupuk
yang
direkomendasikan juga sulit diperoleh dilapangan, seperti KCl, Kiserit, dan Borax. Biaya rata-rata usahatani kelapa sawit pada tahun ke-3 sebesar Rp 2.229.705/hektar. Penggunaan biaya terbesar seperti ditunjukkan pada Tabel 31
73
adalah untuk pembelian sarana produksi pupuk, sebesar Rp 1,450,413/hektar /tahun atau 65,05% dari total biaya usahatani. Pengeluaran lainya untuk tenaga kerja sebesar Rp 512,667 /hektar /tahun (22,99%). Biaya tenaga kerja ini adalah pengeluaran untuk pekerjaan pemupukan, pengendalian gulma dan perawatan tanaman dengan penggunaan tenaga kerja sebanyak 25,41 HOK, terdiri dari 10,83 HOK tenaga keluarga dan 14,59 HOK tenaga luar keluarga. Tabel 31 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-3 Input usahatani
Biaya input
Pupuk (Rp/ha/tahun) - Urea - SP-36 - NPK - Pupuk kandang Herbisida(Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Peralatan (Rp/tahun)
Persentase (%)
547.835 98.000 787.187 17.931 166.826 512.667 99.799 2.229.705
Jumlah (Rp/ha)
24,57 4,40 35,30 0,78 7,48 22,99 4,48 100
Sumber : data primer (diolah) 2011
Penggunaan sarana produksi, seperti pupuk Urea, SP-36, NPK, dan herbisida pada tanaman berproduksi berumur 3 tahun sampai 25 tahun relatif sama, sehingga biaya usahatani diasumsikan sama seperti pada Tabel 32. Demikian juga halnya dengan curahan tenaga kerja untuk perawatan tanaman seperti
pemupukan
dan
pengendalian
gulma.
Penambahan
biaya
dari
pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah untuk pekerjaan panen dan pasca panen. Tabel 32 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-4 sampai tahun ke-25
Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/thn) Peralatan (Rp/tahun) Produksi (Kg) Biaya panen (Rp/ha/thn)*) Biaya angkut (Rp/ha/thn)**)
Biaya input/tahun 3 4 5 1,450,413 1,450,413 1,450,413 166.826 166.826 166.826 512.667 512.667 512.667 99,799 99,799 99,799 6.388,85 11.815 14.002,97 638.885 1.181.500 1.400.297 638.885 1.181.500 1.400.297
Jumlah (Rp/ha/tahun)
3.507.476 4.592.706
Input usahatani
5.030.298
25 1,450,413 166.826 512.667 99,799 Prod25 100xProd25 100xProd25 2.229.705+ 200xProd25
Sumber : data primer (diolah) 2011 ) ) Keterangan: * Biaya panen Rp 100/kg TBS, ** Biaya angkut Rp 100/kg TBS
74
Secara lebih sederhana perhitungan biaya produksi pada tanaman menghasilkan dapat diformulasikan sebagai berikut: Biaya Tahun t = 2.229.705+ Hct+ Tct, Dimana t adalah umur tanaman yang akan dihitung biaya usahataninya, biaya tetap sebesar 2.250.495 merupakan biaya penggunaan input produksi, Hct adalah biaya panen (harvest costs), dan Tct adalan biaya transportasi (transportation costs). Biaya panen dan transportasi hasil panen, masing-masing sebesar Rp 100/kg produksi (lampiran 4), dengan formula Hct=Tct=100 x Productiont. c. Tanaman Tumpangsari Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) umur 0-3 tahun, kondisi kanopi dan perakaran tanaman masih relatif belum berkembang. Sebagian besar lahan tersebut akan terbuka dan memperoleh cahaya matahari secara penuh sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman tumpangsari dalam tanaman kelapa sawit. Pola tanam ini dilakukan oleh 17 responden (39,53%) dan komoditas yang diusahakan adalah jagung, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu. Penggunaan sarana produksi dan analisis usahatani tanaman tumpangsari disajikan pada Tabel 33 dan Tabel 34. Tabel 33 Penggunaan input usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit Jenis tanaman palawija Input usahatani
Jagung
Ubi jalar
1. Benih/bibit (kg/ha) 12.90 40.000* 2. Pupuk (kg/ha) - Urea 269.49 - SP-36 86.54 - NPK 164.36 75.00 3. Pestisida - Herbisida 1.47 - Insektisida 291.28 4. Tenaga Kerja - Tenaga kerja keluarga Pria 11.15 3.00 Wanita 5.57 6.00 - Tenaga kerja luar keluarga Pria 17.67 30.00 Wanita 19.32 3.00 Sumber : data primer (diolah) 2011. Keterangan: *) Stek
Kacang tanah 18.50
Singkong 15.000*
-
-
240.00
1.33 -
3.00 8.00
5.33 5.33
5.00 32.50
-
75
Pola tanam tumpangsari memberikan keuntungan secara finansial yang hampir sama dengan pengelolaan lahan sawah. Rata-rata respoden melakukan penanaman dua kali dalam satu tahun sampai tanaman kelapa sawit berumur dua tahun. Manfaat lain yang diperoleh melalui pola ini adalah pengelolaan kebun menjadi lebih baik karena kebersihan kebun dari gulma menjadi lebih baik. Tanaman lain yang juga banyak ditanam adalah kacang tanah yang juga berperan sebagai tanaman penutup tanah (legume cover crop). Tabel 34 Analsis usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit Uraian Produktivitas (Kg/Ha) Penerimaan (Rp/ha) Biaya - Benih - Pupuk - Pestisida - Perlengkapan - Tenaga kerja Keuntungan (Rp/ha)
Tanaman Tumpangsari Kelapa Sawit Jagung Kacang tanah Singkong Ubi jalar 3,426.39 1.163 2.000 2.000 8,807,639 5.812.500 2.000.000 4.000.000 733.333 1.112.708 139.667 296.667 2.832.014
462.500 60.000 292.500 2.645.000
60.000 346.667
80.000 202.500 60.000 2.257.500
3,693,250
2.352.500
1.593.333
1.460.000
Sumber : data primer (diolah) 2011
d. Nilai Land rent Kelapa Sawit Pemasaran hasil kelapa sawit relatif mudah dan lancar, petani pekebun hanya menyiapkan TBS di tepi jalan kemudian pedagang pengumpul akan membawa ke gudang. Setelah penimbangan, petani langsung mendapat pembayaran dari penjualan TBS. Harga tandan buah segara ditentukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan umur tanaman, tingkat kematangan dan ukuran buah. Biasanya TBS dari kelapa sawit muda (umur 3-4 tahun) cendrung lebih murah karena ukuran buah relatif kecil dengan berat TBS sekitar 1,5 kg sampai 3 kg, sedangkan TBS dari tanaman berumur lebih dari enam tahun dikategorikan buah super dan dibeli dengan harga tertinggi. Produksi kelapa sawit dihitung dengan membandingkan produksi aktual pada tahun tertentu dengan tabel potensi produksi tanaman kelapa sawit berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) (Lampiran 4). Pemanenan dilakukan setiap tiga minggu sekali atau 16 kali panen dalam satu tahun dengan rata-rata produksi per panen sebanyak 1.218,37 kg/hektar dan rata-rata produksi per tahun sebanyak 19.494 kg/hektar (Tabel 35). Produksi yang tinggi diperoleh pada tanaman berumur 7-18 76
tahun dengan produksi 20.129,27- 20.566,86 kg/hektar dan puncak produksi diperoleh pada tanaman berumur 9 sampai 13 tahun sebanyak 24.505,19 kg/hektar/tahun. Perubahan penerimaan, biaya dan land rent usahatani kelapa sawit disajikan pada Gambar 8. Tabel 35 Analisis land rent usahatani kelapa sawit Uraian
Rata-rata
Produksi (Kg/ha) Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rupiah/Ha/Tahun) Biaya input selain lahan (Rupiah/Ha/Tahun) Biaya panen dan angkut
19.494 1.185 21.388.985 2.268.737 3.586.878
Land rent (Rupiah/Ha/Tahun)
15.533.369
Sumber : data primer (diolah) 2011
Nilai (Rp 000.000)
35 30 25 Penerimaan
20
Biaya Land rent
15 10 5 (5)
1
6
11
16
21
Tahun
Gambar 8 Grafik land rent usahatani kelapa sawit tahun 1 - 25 6.4.3. Nilai Land rent Usahatani Padi dan Kelapa Sawit Perubahan pengelolaan lahan umumnya dipengaruhi oleh faktor nilai manfaat yang akan diperoleh dari suatu usahatani. Seperti terlihat pada Tabel 36, usahatani kelapa sawit memberikan nilai land rent yang lebih besar dibandingkan usahatani padi (Rp 15.533.369 : 11.742.521/hektar/tahun). Nilai PVNR-land rent komoditas padi sawah sebesar Rp 106,587,332/hektar/tahun dan dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi Rp 11.607.918/hektar (10,89%) sebesar Rp 118.195.250/hektar. Artinya
nilai manfaat yang diperoleh dari
usahatani kelapa sawit 1,11 kali lebih besar dibandingkan pada lahan sawah
77
yang ditanam padi. Nilai penerimaan dan land rent dari usahatani dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 36 Perbandingan nilai land rent usahatani padi dan kelapa sawit Uraian Penerimaan (Rupiah/Ha/Tahun) Biaya input selain lahan (Rupiah/Ha/Tahun) Land rent (Rupiah/Ha/Tahun) PVNR land rent*
Padi
Kelapa sawit
30.344.156 18,692.970 11.651.186 106,587,332
21.388.985 5.855.616 15.533.369 118.195.250
Sumber : Data primer (diolah) 2011, *) Nilai PVNR land rent dihitung selama 25 tahun dan suku bunga 10 per tahun.
Periode pengusahaan kebun kelapa sawit yang relatif lama (25 tahun), sangat memungkinkan terjadinya perubahan dari harga jual TBS. Sebagai gambaran, tahun 2007 harga TBS sekitar Rp 1.270/kg; tahun 2008 harga TBS tertinggi mencapai Rp 1.800/kg; tahun 2009 Rp 900/kg; tahun 2010 Rp 1.100/kg; dan tahun 2011 sebesar Rp 1.100-1.200/kg. Fluktuasi harga TBS tentunya sangat mempengaruhi petani dalam mengelola kebun dan juga dalam melakukan investasi untuk kebun kelapa sawit. Untuk itu perlu dianalisis sensitivitas pengaruh perubahan harga terhadap nilai land rent kebun kelapa sawit. Kenaikkan harga TBS hingga 10% menjadi Rp 1.300/kg dan cateris paribus mendorong kenaikkan land rent sebesar Rp 2.278.880/hektar/tahun (14%) menjadi Rp 18.820.744/hektar/tahun atau nilai PVNR-land rent sebesar Rp 134.298.530/hektar. Nilai PVNR-land rent kalapa sawit 1,26 kali lebih besar dari padi sawah. Berdasarkan nilai PVNR-land rent tersebut dapat disimpulkan bahwa secara ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah keputusan yang logis yang diambil petani karena keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan usahatani padi sawah meskipun perbedaan nilai land rent yang diperoleh tidak jauh berbeda. Hasil analisis di atas menunjukkan nilai manfaat yang lebih besar dari usahatani kelapa sawit, lalu bagaimana pengaruh nilai land rent kelapa sawit tersebut dengan tingkat kesejahteraan?. Secara umum perubahan orientasi usahatani padi menjadi kelapa sawit dapat dimaklumi karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan agar dapat mengimbangi peningkatan biaya usahatani dan biaya hidup keluarga petani itu sendiri. Harga hasil pertanian terutama beras yang selalu dikatrol murah menyebabkan nilai tukar beras menjadi sangat rendah dibandingkan sarana
78
produksi dan kebutuhan barang dan jasa sektor industri. Posisi petani sektor tanaman pangan merupakan pihak yang kurang beruntung, disebabkan produktivitas usahatani padi yang mengalami pelandaian (levelling off), rendahnya efisiensi dalam tahapan produksi pertanian dan rendahnya harga jual beras. Dengan kondisi demikian, pekerjaan sebagai petani, terutama untuk tanaman pangan, akan menjadi pilihan terakhir. Konsekuensi dari semua ini adalah semakin lajunya proses alih fungsi lahan pertanian menjadi areal pemukiman, perkotaan, daerah industri atau sektor tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Kekhawatirkan terbesar dari alih fungsi lahan ini adalah semakin sulitnya mempertahankan tingkat self sufficiency untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional yang senantiasa meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk. Untuk dapat menjelaskan hubungan antara land rent dan kesejahteraan dilakukan dengan pendekatan konsep Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan rasio indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar petani. Penanda tingkat kesejahteraan petani dengan NTP dapat didekati dengan konsep Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani (NTPRP). Penanda tersebut merupakan ukuran rumah tangga petani dalam memenuhi kebutuhan subsistemnya yang terdiri dari biaya usahatani dan biaya konsumsi per tahun. Menurut Sugiarto ( 2008) dalam Basuki et. al. 2001 bahwa konsep NTPRP didefinisikan sebagai nisbah antara pendapatan total rumah tangga dengan pengeluaran total rumah tangga. Pendapatan total merupakan hasil dari seluruh kegiatan on-farm dan off-farm, sedangkan pengeluaran total merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan biaya usahatani. Pengeluaran perkapita Provinsi Bengkulu sebesar Rp 438.569/bulan (BPS 2010b), jumlah rata-rata anggota keluarga petani sebanyak 3.78 jiwa maka total pengeluaran keluarga sebesar Rp 19.917.780/tahun. Berdasarkan nilai land rent komoditas padi sawah dan kelapa sawit serta nilai total pengeluaran keluarga petani diperoleh NTPRP usahatani padi sawah 0,58 dan dari usahatani kelapa sawit 0,78. Dapat dikatakan jika rumah tangga petani hanya mengelola satu jenis usahatani saja maka tingkat kesejahteraan mereka akan sulit dicapai. Untuk memperoleh NTPRP sama dengan satu saja, petani harus mengelola lahan sawah seluas 1,71 hektar atau kelapa sawit seluas 1,28 hektar. Penambahan luas pengelolaan lahan tentunya membutuhkan biaya
79
besar, baik dari proses pembelian lahan ataupun pencetakan sawah sehingga salah satu solusi yang mudah adalah diversifikasi usahatani. Menurut Darwanto (2005), nilai tukar petani yang menggambarkan surplus yang dijual petani sekaligus juga sebagai indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga petani mempunyai hubungan yang saling berkebalikan. Jadi, jika tujuannya peningkatan produksi beras maka akan mengorbankan kesejahteraan petani dan jika sebaliknya untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan menurunkan
produksi beras. Kondisi tersebut dapat dijelaskan karena tingkat
harga beras yang relatif lebih rendah dari harga barang/jasa lain maka untuk dapat membeli barang/jasa lain tersebut rumah tangga petani harus menjual beras atau komoditas pangan yang dihasilkannya lebih banyak sehingga ketersediaan beras/pangan di pasar menjadi meningkat. Bagi petani yang memiliki tanaman kelapa sawit yang telah berproduksi, kontribusi komoditas tersebut sangat besar dalam struktur pendapatan keluarga. Hasil yang diperoleh dari usahatani kelapa sawit merupakan sumber penghasilan bulanan, hal ini tentunya sangat membantu dalam kebutuhan financial rumah tangga petani. Selain itu, dengan kebun kelapa sawit petani memilki kekuatan lebih yang memudahkan akses mereka terhadap sumber modal, baik formal maupun informal. Kemudahan lain yang diperoleh adalah akses terhadap sarana produksi pupuk, dimana bagi petani yang tidak memiliki kebun kelapa sawit cukup sulit untuk mendapatkannya. Dari luas pengelolaan lahan saat ini (0,65 hektar lahan sawah dan 1,02 hektar lahan kelapa sawit) kondisi kesejahteraan keluarga petani sudah dapat dicapai karena NTPRP sudah lebih dari satu. Komposisi penggunaan lahan ini mungkin dapat dijadikan salah satu solusi untuk pengendalian konversi lahan sawah, bahwa untuk meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga petani pengelolaan usahatani padi dan kelapa sawit harus dikelola secara berimbang dengan pengaturan lokasi serta luasan. 6.4.4. Analisis Faktor Konversi Lahan Faktor yang mempengaruhi konversi lahan yang dibahas dalam sub-bab ini dikategorikan menjadi faktor pendorong (push factor)dan faktor penarik (pull factor), terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi keluarga dan usahatani padi sawah, meliputi luas kepemilikan lahan sawah, pengalaman usahatani padi dan tingkat ketersediaan tenaga kerja keluarga. Faktor eksternal adalah kondisi diluar yang ikut mempengaruhi 80
pengelolaan lahan sawah, seperti masalah irigasi, sarana produksi pupuk, tingkat resiko usahatani padi, pengetahuan responden terhadap peraturan pemerintah tentang alih fungsi lahan pengelolaan lahan sawah dan harga tandan buah segar kelapa sawit. Hasil identifikasi terhadap faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit diperoleh beberapa variabel penduga sebagai push factor, yaitu kendala ketersediaan air irgasi (X1; 1= Tidak ada kendala, 0 = ada), kendala ketersediaan sarana produksi pupuk (X1; = ada kendala, 0= tidak ada), resiko kegagalan usahatani padi (X3; 1= Tinggi, 0= rendah), pengetahuan tentang peraturan pemerintah tentang tata guna dan tata kelola lahan (X4; 1= tahu, 0= tidak tahu), jumlah tenaga kerja keluarga dalam jiwa/KK (X5), dan pengalaman usahatani padi (X6). Pull factor adalah luas kepemilikan lahan sawah (X7) dan harga tandan buah segara kelapa sawit (X8). Pada Tabel 37 berikut disajikan hasil olah data regresi logistik variabel yang mempengaruhi keputusan petani mengkonversi lahannya. Tabel 37 Hasil olah data faktor yang mempengaruhi luas konversi lahan Variabel Constant Irigasi (X1) Input (X2) Resiko (X3) Peraturan (X4) Tenaga kerja keluarga (X5) Pengalaman usahatani padi (X6) Luas kepemilikan lahan sawah (X7) HargaTBS (X8)
Koefisien .775 3.790 -1.669 2.835 -.473 -2.000 -.006 .723 2.619
Sig. .784 .016** .142 .016** .692 .027** .916 .426 .056**
Exp(B) 2.172 44.267 .189 17.029 .623 .135 .994 2.061 13.723
Sumber : data primer (diolah) 2011 ** ) = Significant pada α = 90%.
Berdasarkan output SPSS pada Tabel 37, maka secara matematis dapat ditulis model logistik antara konversi lahan sawah serta variabel yang berpengaruh dalam persamaan berikut: Z = 0,775+ 3,790x1 - 1,669x2 + 2,835x3 -0,473x4 - 2,00x5 - 0,006x6 +0,723x7 + 2,619X8 Nilai kelayakkan model regresi (goodness of fit) dilihat dari -2 Log Likelihood variabel bebas sebesar 63,770 dan Chi Square tabel pada taraf signifikansi 0,05 81
sebesar 61,66. Berarti -2 Log Likelihood > Chi Square tabel yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara model dengan konstanta dengan data saja (model dengan konstanta saja belum fit). Penggujian fit dengan 8 variabel memilki nilai Chi Square tabel sebesar 52,19 pada signifikansi 0,05 dan nilai -2 Log Likelihood sebesar 31,403. Nilai -2 Log Likelihood < Chi Square tabel, menunjukkan bahwa penambahan variabel bebas memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan fit. Untuk melihat kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan varians konversi lahan, digunakan nilai Cox and Snell R Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,674 yang lebih besar dari pada Cox dan Snell R Square (0,505) yang menunjukkan bahwa kemampuan kedelapan variabel bebas dalam menjelaskan varians konversi lahan sebesar 67,40% dan terdapat 32,60% faktor lain diluar model. Nilai Hosmer and Lemeshow Test sebesar 7,509 dengan signifikansi 0,378 (>0,05) serta nilai overall percentage sebesar 80,40% menunjukkan model dapat diterima. Untuk mengetahui pengaruh faktor konversi lahan secara parsial dilakukan dengan Wald-Test. Hasil analisis secara parsial variabel yang berpengaruh secara significant adalah variabel Kendala irigasi (X1) dengan nilai significant 0,016 dan nilai odds ratio sebesar 44,267 berarti bahwa variabel X1 berpengaruh nyata terhadap konversi lahan pada α = 0,05. Nilai koefisien bertanda positif (3,790), dapat dikatakan jika terjadi kendala irigasi maka kecenderungan konversi lahan sawah akan semakin meningkat. Kurangnya ketersediaan air irigasi disebabkan oleh kondisi saluran irigasi yang rusak akibat berkurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian khususnya penanganan sarana irigasi, selain itu juga disebabkan partisipasi masyarakat dalam menjaga saluran irigasi yang telah ada sudah berkurang. Masalah ketersediaan air irigasi dari Bendung Seluma menurut Balai Wilayah Sungai Sumatera VII Provinsi Bengkulu (BWSS VII) cukup tersedia
sesuai
kapasitas intake, kehilangan air terjadi ditingkat jaringan primer dan sekunder. Masalah lain terkait irigasi adalah tidak berfungsinya bagunan debit sehingga pembagian air tidak sesuai dengan luas areal yang ada, selain itu juga disebabkan tidak berjalannya tugas penjaga pintu air (PPA)/juru pengairan sehingga petani dengan semaunya mengambil air/membuka pintu air di bangunan sadap, kondisi irigasi dapat dilihat pada gambar 8.
82
A
B
C
A dan bangunan penjaga pintu air Gambar 9. Kondisi saluran irigasi tersier Dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa ketersedian air irigasi pada dasarnya tidak menjadi kedala dalam usahatani padi sawah. Pada Gambar 9 (A) terlihat, konversi pada lahan sawah irigasi teknis meskipun pada kondisi air cukup tersedia bahkan sampai pada jaringan tersier, (B) kondisi bangunan pintu air yang rusak akibat tidak adanya perawatan dan petugas yang mengelolanya, serta (C) kondisi jaringan tersier yang tidak terawat. Masalah utama pada irigasi di daerah Seluma Selatan adalah managemen pengelolaan, dalam hal ini tidak ada garis koordinasi untuk pengelolaan antara BWSS VII sebagai pemegang wewenang dengan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma sebagai pemilik wilayah. Berdasarkan PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi pengelolaan irigasi Bendung Seluma dilakukan oleh BWSS VII karena luas daerah lebih dari 3.000 ha. Karena dikelola ditingkat provinsi Dinas PU tingkat kabupaten yang memilki wewenang mengelolan irigasi kurang dari 3.000 ha berpendapat bukan urusan mereka. Dampak dari perubahan wewenang pengaturan ini adalah tidak adanya PPA yang selama ini fasilitasi kebupaten serta kurangnya perhatian terhadap saluran irigasi. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan mendorong petani untuk menjaga dan merawat saluran irigasi secara swadaya seperti yang sebelumnya mereka lakukan.
Tingkat kegagalan usahatani padi sawah (X3) dengan nilai significant 0,016, berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap konversi lahan pada α = 0,05. Nilai koefisien bertanda positif (2,835), dapat dikatakan jika pengelolaan usahatani padi sawah semakin sulit sehingga resiko kegagalannya semakin tinggi maka kecenderungan konversi lahan sawah juga akan semakin meningkat. Resiko usaha tani, 83
tanaman padi sangat rentan terhadap kegagalan panen atau puso hal ini dapat disebabkan oleh serangan hama dan penyakit juga faktor alam. Hama dan penyakit utama pada tanaman padi diantaranya keong mas, tikus, burung, babi, wereng dan penyakit tunggro. Serangan hama dan penyakit ini dalam skala berat kadangkala tidak bisa dikendalikan sehingga bukan mendapat keuntungan malah kerugian yang diterima. Pengendalian hama dan penyakit juga memerlukan tambahan input usahatani dan waktu sehingga meningkatkan biaya usahatani. Jumlah tenaga kerja keluarga(X5) dengan nilai significant 0,027 dan nilai Exp(β) atau odds ratio sebesar 0,135, berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap konversi lahan pada α = 0,05. Nilai koefisien bertanda negatif (-2,000), dapat dikatakan jika tenaga kerja keluarga tersedia maka peluang untuk tidak mengkonversi lahan sawah 0,135 lebih besar dari kecenderungan untuk mengkonversi. Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan petani dalam pengelolaan usahataninya. Tenaga kerja adalah suatu faktor produksi yang utama, sebab faktor tersebut menentukan kedudukan petani dalam usahataninya, dengan artian bahwa petani dalam usahataninya tidak hanya menyumbangkan tenaga kerja saja, tetapi adalah pemimpin usahatani yang mengatur organisasi produksi secara keseluruhan. Intensistas pekerjaan yang tinggi pada usahatani padi sawah memerlukan curahan tenaga kerja yang banyak, rata-rata penggunaan tenaga kerja pada MT I sebanyak 80,90 HOK dan pada MT II 84,44 HOK. Selain itu, juga terdapat tahapan pekerjaan yang dilakukan secara borongan sehingga kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak. Sekitar 59,82% dari penggunaan tenaga kerja, berasal dari tenaga kerja keluarga. Rata-rata jumlah tenaga kerja keluarga adalah 2,33 jiwa, jumlah ini tentunya terlalu kecil untuk mengelola lahan sawah seluas 1,51 ha. Meskipun kekurangan tenaga kerja dapat dipenuhi oleh tenaga kerja luar keluarga, namun itu berarti penambahan biaya dan artinya keuntungan usahatani yang terbatas akan semakin kecil. Dilema inilah yang kemudian mendorong petani untuk memperkecil luas skala usahatani padi sawahnya menjadi rata-rata 0,65 hektar dan yang lainnya dijadikan kebun kelapa sawit. Harga tandan buah segar kelapa sawit (X8) dengan nilai significant 0,056, berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap konversi lahan pada α = 0,10. Nilai koefisien bertanda positif (2,619), dapat dikatakan jika harga TBS semakin tinggi maka kecenderungan konversi lahan sawah juga akan semakin meningkat. Menurut Shahza (2004a), bahwa perkembangan luas areal kelapa
84
sawit yang cepat disebabkan oleh harga TBS yang tinggi. Lebih lanjut Shahza (2004b), menyatakan bahwa kenaikan harga TBS memberikan pendapatan
yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya, hal ini dapat dilihat dari indek pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit di Riau pada tahun 1995 hanya sebesar 0,49 persen, pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,74. Kendala sarana produksi pupuk (X2), dengan nilai significant 0,142 dan nilai odds ratio sebesar 0,189
berarti bahwa variabel X2 berpengaruh nyata
terhadap konversi lahan pada α = 0,15. Nilai koefisien bertanda negatif (-1,669), dapat dikatakan jika terjadi kendala irigasi maka kecenderungan konversi lahan sawah akan semakin menurun dengan peluang 0,189 kali lebih besar dibanding mengkonversi lahan. Pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian, dimana 20 persen peningkatan produksi pertanian terutama padi tahun 1965 -1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Kekurangan pupuk dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak normal sehingga menurunkan hasil panen petani atau bahkan terjadi gagal panen. Gagal panen inilah yang selanjutnya menjadi ancaman dalam menurunkan tingkat kesejahteraan petani, mengganggu ketahanan pangan dan keberlangsungan
produksi
pertanian
nasional,
serta
dapat
menekan
17
pertumbuhan ekonomi nasional . Masalah utama menyangkut pupuk adalah pendistribusian yang tidak tepat dalam jumlah dan waktu, terutama pupuk bersubsidi pemerintah. Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang langsung kepada kelompok tani tidak sepenuhnya berhasil menjamin ketersediaan pupuk. Kelompok tani harus memiliki kekuatan financial untuk dapat menebus nilai pupuk yang diusulkan, jika tidak pupuk ini akan ditebus dengan memanfaatkan jasa pihak kedua. Pupuk pada pihak kedua menjadi barang public yang dapat dimanfaatkan semua petani yang memilki kemampuan untuk membayar sehingga banyak pupuk bersubsidi ini menjadi tidak tepat sasaran. Luas kepemilikan lahan sawah” (X7) dengan nilai significant 0,426 dan odds ratio 2,061, berarti bahwa variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan pada α = 0,05. Pengelolaan lahan sawah berhubungan dengan kebutuhan sarana produksi, semakin luas lahan yang dikelola maka kebutuhan sarana
17
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3369&Itemid=29
85
produksi akan semakin besar dan berarti biaya usahatani juga menjadi lebih banyak. Jika petani memiliki kemampuan keuangan yang baik dan tenaga kerja yang cukup, luas lahan tidak akan menjadi masalah. Namun pada kondisi modal usahatani dan tenaga kerja terbatas solusi terbaik adalah memperkecil skala usahataninya atau mengganti jenis usahatani pada aktivitas yang mampu memberikan manfaat lebih tinggi dengan modal lebih rendah dan juga kebutuhan tenaga kerja rendah. Variabel lain yang juga mempengaruhi konversi lahan adalah pengalaman berusahatani padi (X6). Rata-rata responden sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam usahatani padi sawah, sehingga segala seluk-beluk usahatani sudah sangat dipahami termasuk masalah produksi, biaya, dan pendapatan. Pengalaman hasil panen yang rendah, harga yang murah serta pekerjaannya yang berat akan merubah pola pikir petani untuk mencari usahatani alternatif yang lebih baik seperti kelapa sawit. Komoditas ini tidak hanya efisien dalam biaya usahatani, namun juga mudah dalam pengelolaan dan periode panen yang pendek. Penelitian yang dilakukan Mahananto et al. (2009) menyatakan hal yang senada, bahwa berdasarkan nilai elastisitas produksi menunjukkan hubungan yang negatif yang berarti bahwa semakin tinggi pengalaman akan mengakibatkan penurunan tingkat produksi padi sawah. Pengetahuan tentang peraturan konversi lahan (X4), salah satu pendorong konversi lahan adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan peruntukan dan pengelolaan lahan sawah. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Setidaknya ada 9 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah ini, antara lain adalah: 1.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 yang menyatakan bahwa penyediaan tanah untuk kegiatan pembangunan sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan tanah pertanian ke non-pertanian, sehingga tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan yang telah ada selama ini.
2.
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dimana antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam
86
pelaksanaannya, larangan ini telah diberlakukan untuk semua penggunaan tanah non-pertanian lainnya seperti untuk perumahan, jasa, dan lain sebagainya. 3.
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang penggunaan tanah kawasan industri yang antara lain berisi bahwa pemberian ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah untuk perusahaan kawasan industri tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
4.
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
5.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 tentang tata cara memperoleh ijin lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan
dalam
rangka
Penanaman
Modal,
dengan
petunjuk
pelaksanaannya untuk Ijin Lokasi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 22 Tahun 1993. 6.
Surat
Menteri
BAPPENAS
Negara
kepada
5334/MK/9/1994
Perencanaan
Menteri
tanggal
29
Negara
Pembangunan
Nasional/Ketua
Agraria/Kepala
September
1994
BPN
tentang
Nomor
perubahan
penggunaan sawah irigasi teknis untuk penggunaan tanah non-pertanian 7.
Surat
Menteri
Negara
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Ketua
BAPPENAS selaku Ketua BKTRN kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang efisiensi pemanfaatan tanah bagi pembangunan perumahan yang secara umum menggariskan bahwa pembangunan kawasan perumahan tidak dilakukan di tanah sawah beririgasi teknis. 8.
Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994; dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis
9.
Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 kepada seluruh Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kantor Pertanahan se-Indonesia. Diinstruksikan untuk tetap mempertahankan tanah sawah beririgasi teknis, apabila rencana perubahan penggunaan tanah
87
sawah tersebut telah tertuang dalam RTRW maka diinstruksikan agar membantu pemda setempat untuk merubah peruntukan tersebut. Secara
umum
peraturan/perundangan
tentang
perlindungan
lahan
pertanian yang ada saat ini hanya bersifat himbauan tanpa disertai sanksi dan pengawasan dari pemerintah. Menurut Irawan (2008), aspek penting yang mempengaruhi lemahnya implementsi kebijakan konversi lahan adalah sistem pemerintahan dan kebijakan ekonomi serta sistem hukum yang ada. Undangundang otonomi daerah memberikan kemandirian yang luas kepada daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, pada kondisi ini implementasi kebijakan konversi lahan tergantung pada keinginan politik penguasa. Karena sub-sektor perkebunan dapat menghasilkan PAD yang lebih besar guna mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dibanding sub-sektor tanaman pangan, maka pemerintah daerah terkesan kurang mempertimbangkan peraturan tentang konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi tidak seluruhnya dilakukan secara langsung oleh petani, namun juga terjadi melalui jual beli lahan. Pemilik kebun yang telah berhasil cenderung menjadi “debitur” bagi petani yang membutuhkan dana cepat dengan membeli lahan sawah mereka. Proses seperti ini yang berpengaruh lebih besar pada konversi lahan karena mereka menggunakan seluruh lahan yang dimiliki untuk kelapa sawit, saat ini banyak petani/pengusaha lokal yang memilki lahan kelapa sawit diatas 20 hektar bahkan sampai 40 hektar. Padahal sesuai Undang-undang No.56 prp Tahun 1960 pasal 1 ayat 1 dan 2 tentang batasan kepemilikan lahan, dengan kepadatan penduduk Kecamatan Seluma Selatan sebesar 134,06 jiwa/km2 kepemilikan lahan yang diizinkan adalah 10 hektar untuk lahan basah dan 12 hektar lahan kering. Untuk memperbaiki kinerja peraturan yang ada dalam menekan laju konversi lahan sawah pemerintah kemudian mengeluarkan aturan baru melalui Undang-undang (UU) 41 tahun 2009, dimana setiap pelaku baik petani, pejabat maupun badan usaha melakukan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini dibuat untuk mempertahankan kelangsungan produksi pertanian di Indonesia, terlebih lagi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan sudah tidak terkendali. Walaupun belum adanya data berapa luas lahan produktif beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan. Laju alih fungsi ini harus segera dihentikan, jika tidak ancaman rawan pangan bakal terjadi. 88
Dalam UU 41 tahun 2009 dikatakan, bagi perseorangan yang melakukan tindakan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar. Bagi perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan lahan pertanian pangan bekelanjutan ke keadaan semula dikenakan hukuman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 3 milyar. Dan apabila perbuatan tersebut diatas pelakunya pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan. Selain rendahnya pemahaman masyarakat pada peraturan perundangundangan tentang konversi lahan sawah, kebijakan pemerintah daerah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga menjadi pemicu konversi lahan, seperti pembentukan wilayah pengembangan di Kabupaten Seluma. Tujuannya adalah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga dibentuk WP Seluma A, B, C, dan D. Kegiatan perekonomian yang menonjol pada masing-masing wilayah adalah perkebunan, pertanian lahan basah dan pertanian. Sama halnya dengan arah pengembangan komoditas yang disusun oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, dimana untuk tanaman pangan komoditas utamanya adalah padi dan jagung sedangkan perkebunan komoditas karet dan kelapa sawit. Tidak adanya penetapan kawasan pengembangan menurut komoditas akan membuka peluang yang lebih besar untuk pengembangan sektor perkebunan karena memberi nilai manfaat yang lebih tinggi secara ekonomi bagi petani dan daerah.
89
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan pengamatan di lapangan dan anasisa data yang diperoleh, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan beberapa poin penting, yaitu: 1.
Laju konversi lahan sawah terluas di Kabupaten Seluma berlangsung pada tahun 2005 sampai 2010 mencapai 3.934 hektar, dari luas lahan sawah 23.936 hektar tahun 2005 menjadi 20.075 hektar tahun 2007. Laju terbesar terjadi tahun 2006 seluas 2.535 hektar kemudian tahun 2007 seluas 1.326 hektar dan tahun 2010 seluas 73 hektar. Pencetakan sawah baru tahun 2008 seluas 3.709 hektar melalui kegiatan pengeringan pada lahan baku sawah oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, sehingga luas lahan meningkat menjadi 23.784 hektar.
2.
Hasil analisis diperoleh nilai land rent dari usahatani padi sawah dengan pola tanam Padi-Padi sebesar Rp 9.826.601/hektar/tahun dan untuk pola Padi-Padi-Palawija sebesar Rp 13.316.038/hektar/tahun. Nilai land rent rata-rata lahan sawah dari kedua pola tanam sebesar Rp 11.571.319/hektar/ tahun.
Dengan
demikian
diperoleh
PVNR
land
rent
sebesar
Rp
106.587.332/hektar/tahun untuk padi sawah. Nilai land rent komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun, sehingga diperoleh nilah PVNR land rent sebesar Rp 118.195.250/hektar untuk kelapa sawit. Nilai PNVR land rent kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dibandingkan padi sawah. Bardasarkan nilai land rent dari dari aktivitas usahatani kedua komoditas diperoleh indeks tingkat kesejahteraan petani sebesar 0,58 untuk usahatani padi dan 0,78 untuk kelapa sawit, artinya pengelolaan masing-masing komoditas pada luasan 1 hektar belum mampu mensejahterakan petani. Solusi untuk tujuan kesejahteraan petani adalah petani harus melakukan diversifikasi usahatani, termasuk salah satunya padi dan kelapa sawit. 3.
Faktor pendorong (push factor) konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah kendala irigasi (X1), Resiko usahatani padi sawah (X3), dan jumlah tenaga kerja keluarga (X5). Faktor kendala irigasi dan resiko usahatani padi berpengaruh positif terhadap kecenderungan konversi lahan, artinya peluang untuk mengkonversi lahan lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan resiko usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga berpengaruh negatif, artinya 91
peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull factor konversi lahan adalah tingkat harga tandan buah segar kelapa sawit (X8), variabel ini berpengaruh positif pada selang kepercayaan 10% artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan meningkatnya kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah. 7.1. Saran 1. Salah satu faktor pendorong terjadinya konversi lahan sawah adalah masalah pengelolaan irigasi, hal ini terlihat kondisi infrastrutur yang kurang terawat dan tidak adanya petugas pengelola dan pengatur pada pintu-pintu air. Untuk itu disarankan kepada instansi terkait sebagai pengelola irigasi tingkat kabupaten dan provinsi, supaya tidak hanya bekerja berdasarkan wewenang yang diterima tapi agar lebih mengedepankan petani sebagai pengguna air irigasi. 2. Berdasarkan perhitungan nilai manfaat dari pengelolaan lahan sawah untuk usahatani padi dan nilai manfaat dari lahan sawah yang dikonversi jadi kebun kelapa sawit diperoleh nilai yang tidak jauh berbeda, artinya masih ada peluang pengendalian konversi lahan dengan mendorong peningkatan intensitas tanam pada lahan sawah. Untuk itu diharapkan peran pemangku kebijakan dalam pengelolaan distribusi sarana produksi terutama pupuk supaya dapat menyesuaikan kebutuhan pupuk dengan tepat dalam jenis dan kebutuhan, tepat dalam harga, tepat sasaran, tepat waktu dan mutu yang terjamin. 3. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani tanaman pangan, pemerintah daerah dan dinas serta instansi terkait dapat menyusun konsep usahatani yang mengedepankan diversifikasi usahatani. Pengelolaan satu jenis usahatani saja tidak akan dapat mensejahterakan masyarakat dengan kepemilikan lahan yang terbatas. 4. Pemerintah daerah perlu meningkatkan sosialisasi peraturan-peraturan yang melarang alih fungsi lahan sawah ke panggunaan lain serta menindak tegas pelaku konversi seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang (UU) 41 tahun 2009 demi menjaga stabilitas ketahanan pangan Kabupaten Seluma.
92
DAFTAR PUSTAKA Asni. 2005. Analisis Produksi, Pendapatan, dan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Labuhan Batu. Tesis Pascasarjana Program Magister Ekonomi Pembangunan. Universitas Sumatera Utara. Medan Bagi, F.S and I.J. Singh. 1974. A Microeconomic Model of Farm Decisions in an LDC: A Simultaneoous Equation Approach. Department of Agricultural Economics and Rural Sociology. The Ohio State University. Ohio. Barlowe, R. 1978. Land and Resource Economy. 3rd Edition. Prentice Hall Inc. New Jersey. Basuki, R., Hadi, P.U., Tri, P., Nyak, I., Sugiarto, Hendiarto, Winarso, B., Daeng, H., Iwan, S. 2001. Pedoman Teknis Nilai Tukar Nelayan. Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Binswanger, H.P. and M.R. Rosenzweig. 1986. Behavioral and Material Determinants of Production Relations in Agriculture. The Journal of Development Studies. Journal of Development Studies (1986) Volume: 22, Issue: 3, Pages: 503-539. Bishop, C.E dan W.D. Toussaint. 1979. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Mutiara. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Luas Lahan Menurut penggunaannya di Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Luas Lahan Menurut penggunaannya di Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Luas Lahan Menurut penggunaannya di Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Luas Lahan Menurut penggunaannya di Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Lahan Menurut penggunaannya di Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009a. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Kabupaten Seluma dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010b. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Boediono.1992. Ekonomi Mikro : Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.1. Yogyakarta , BPFE.
93
Bright, H., Davis, J., Janowski, M., Low, A., Pearce, D. 2000. Rural Non-Farm Livelihoods in Central and Eastern Europe and Central Asia and the Reform Process: A Literature Review. Natural Resources Institute Report No. 2633. Research Project V0135. Department for International Development (DFID)/World Bank Collaborative Program for Rural Development CEE/CIS Rural Non-Farm Economy and Livelihoods Enhancement: Policy Research Initiative. United Kingdom. Cahyono. B.T. 1983. Ekonomi Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Casler, D.S. 1988. A Theoritical Contex for Shift and Share Analysis. Departement of Economics, Allegheny College. Meadville, PA 16335. USA. Daniel, M. 2001. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Bumi Aksara. Jakarta. Darwanto, D.H. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani. . Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 152 - 164 Dicken, P. and Lloyd, P.E. 1990. Location in Space Theoritical Perspectives in Economyc Geography. Third Edition. Harper Collin Publisher. New York. Direktorat Pangan dan Pertanian. 2006. Strategi Pengendalian Konversi Lahan Pertanian. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Jakarta. Dirjen PLA. 2005. Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Jakarta. Djojodipuro, M. 1991. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Gohong, G. 1993. Tingkat Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Petani serta Faktor-faktor yang Mempengaruhinya pada Daerah Opsus Simpei Karuhei di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. [Tesis] Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayat, A. 2009. Sumberdaya Lahan Indonesia: Potensi, Permasalahan, dan Strategi Pemanfaatan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 3 No. 2: 107-117. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Bogor. Harini, R. 2003. Tingkat Efisiensi Perubahan Usahtani Padi di Kecamatan Seyegan. Majalah Geografi Indonesia Vol. 17 No. 2 September 2003; 81-94 Ilham, N., Syaukat, Y., dan S. Friyatno.2005. Perkembangan Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. http://ejournal.unud.ac.id/. SOCA (Socio-Economic of Agriculturre and Agribusiness). Volume 5 No. 2 July 2005. Universitas Udayana. Bali. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Irawan, B. 2007. Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian. Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus Di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Disertasi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan. forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 26 No. 2 Desember 2008; 116-131.
94
Iriadi, M. 1990. Analisis Konversi Lahan Sawah ke Indutri dengan Metode Sewa Ekonomi Lahan (Land Rent): Studi Kasus Di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. [Skripsi]. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jayadinata, J.T. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan Perkotaan dan Wilayah. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Jhingan. M.L. 1996. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Press. Jakarta. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kartika, I.P. 1990. Analisis Konversi Lahan dari Penggunaan Pertanian ke Penggunaan Non pertanian dengan Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan (Land Rent): Studi Kasus Di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. [Skripsi]. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [KKBP] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) Indonesia. Jakarta. 56 hal. Kiatpathomchai, S., Schmitz, P.M., Babu, T.S.A., Thongrak, S. 2008. Investigating external effects of shrimp farming on rice farming in southern Thailand: a technical efficiency approach. Paddy Water Environ (2008) 6:319– 326. DOI 10.1007/s10333-008-0130-1. P. 319-326. Kiswanto.,Jamhari, H.P., Bambang, W. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor Krause, J.H and W.B. Brorsen. 1995. The Effect of Risk an The Rental Value of Agricultural Land. Review of Agricultural Economics 17 (1995): 71-76. North Central Administrative Committee. Lubis, A.M. 1991. Analisis Konversi Lahan Hutan Hutan ke Lahan Pertanian dan Konversi Lahan Pertanian ke Industri dan Perumahan dengan Metode Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan: Studi Kasus di Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Jatiuwung, Kabupaten Tangerang. [Skripsi]. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mahananto., S. Sutrisno dan C.F. Ananda. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Jurnal Wacana Vol. 12 No.1 Januari 2009. Manuwoto. 1992. Sinkronisasi Kebijakan dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan, Suatu Upaya Pencegahan Alih Fungsi Lahan. Di dalam Utomo, M., Rifai, E., Thahar, A. Editor. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung. Lampung. Munir, Misbahul. 2008. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nasoetion, L.B. 2003. Konversi Lahan Pertanian Aspek Hukum dan Implementasinya. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian: 41-55. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
95
Pasaribu, B. 2007. Implikasi Undang-undang Lahan Pertanian Pangan Abadi terhadap Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian : 1-23. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Bogor. Pramono, A. A. 2006. Konversi Hutan Rakyat di DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor (Analisis Land rent dan Jasa Lingkungan). [Tesis] Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prijosoebroto, S. 1991. Efisiensi Ekonomis dan Pendapatan Pengusaha Peserta Intensifikasi Tambak: Studi Kasus di Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Renkow, M. 1993. Land Price, Land Rents, and Technological Change: Evidence from Pakistan. World Development Volume 21. Pergamn Press Ltd. Great Britain. Riyani, W. 1992. Analisis Konversi Lahan Sawah dari Lahan Pertanian ke Lahan Perumahan dengan Metode Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan (land rent): Studi Kasus di Wilayah daerah Tingkat II Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rustiadi, E., S. Saefulhakim dan D.R. Panuju. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor. Sevilla, C.G., J.A. Ochave., T.G. Punsalan., B.P. Regala dan G.C. Uriate. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penterjemah: Tuwu A. dan A. Syah. Universitas Indonesia. Jakarta. Syahza. 2004a. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan melalui Pengembangan Industri Hilir Berbasis Kelapa Sawit Di Daerah Riau. Sosiohumaniora, Vol 6 No 3, November 2004. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung. Syahza. 2004b. Kelapa Sawit Dan Kesejahteraan Petani Di Pedesaan Daerah Riau. Perspektif, Vol 9 No 2, Desember 2004. Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Shimizu, K., Masumoto, K., Pham, T.H. 2006. [Technical Report] Factors impacting yields in rain-fed paddies of the lower Mekong River Basin. Paddy Water Environ (2006) 4: 145-151 DOI 10.1007/s10333-006-0041-y. Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agaria: Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Simatupang, P., Irawan, B. 2002. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian: Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Sitorus, S.R.P. , A.E. Pravitasari, dan D.R. Panuju. 2007. Prosiding HITI IX Analisis Hirarki Wilayah dan Land Rent Pola Usahatani Padi dan Bawang Merah serta Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihannya di Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. HITI. Yogyakarta. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian, Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Jakarta : Rajawali.
Soekartawi, A. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta. 96
Sugiarto., Herlambang, T., Brastoro., Sudjana, R., Kelana, S. 2007. Ekonomi Mikro. Sebuah Kajian Komprehensif. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suhartanto. 2008. Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Secara Berkelanjutan Untuk Menjaga Ketahanan Pangan. Direktur Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian. Suparmoko, M. 2007. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta. Susilowati, S.H. Prajogo, U.H. Sugiarto. Supriyati. Wahyuning, K.S. Supadi. Amar, K.Z. Tri, B.P. Deri, H. Mohamad, M. 2009. Laporan Akhir Penelitian TA. 2009. Panen Petani Nasional (PATANAS): Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor Sutara. 1996. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tohir. K.A. 1982. Ekonomi Selayang Pandang. Sumur. Bandung. Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widiarta, I.N., Kusdiaman, D., Hasanuddin, A. 1999. Dinamika Populasi Nephotettix Virescens pada Dua Pola Tanam Padi Sawah. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Volume 5, No. 1, 42-49 Widiono, S., 2008. Konversi Lahan dan Struktur Produksi Kebun: Studi Kasus Terbentuknya Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat pada Dua Desa Sawah Etnis Serawai dan Jawa Di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Jurnal AGRISEP Vol. 7 No. 2 Maret 2008: 54-71 55. Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Makalah Seminar “Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi”, 13 Desember 2005. Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan (Institut Pertanian Bogor). Jakarta. Witjaksono, R. 1996. Konversi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 - 120. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor. Young, R.A. 2005. Determining the Economic Value of Water; Concepts and Methods. Resources For The Future. Washington. Yue, Z. 2009. Study on the Attributes and Correlations of Production Factors. International Journal of Economics and Finance. Vol. 1 No. 1. P. 98-102.
97
Lampiran 1 Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam Pola Tanam Padi-Padi Sarana Produksi
MT I
MT II
Pola Tanam Padi-Padi-Palawija Rata-rata
MT I
MT II
Rata-rata
Biaya sarana produksi (Rp/hektar) Benih Pupuk - Urea - SP-36 - NPK - Pupuk kandang Pestisida - Herbisida - Insektisida - Fungisida Tenaga kerja - Harian lepas - Mesin - Borongan tanam - Borongan panen Lainnya - Karung - Angkut - Irigasi - Peralatan Jumlah Sumber: Data primer (diolah) 2011
250,958
250,958
250,958
184,667
184,667
184,667
488,962 232,579 433,687 45,278
488,962 232,579 433,687 -
488,962 232,579 433,687 22,639
587,885 200,513 469,231 54,808
587,885 200,513 469,231 -
587,885 200,513 469,231 27,404
101,093 222,026 30,933
102,593 249,723 39,869
101,843 235,874 35,401
44,090 189,096 85,564
44,090 226,179 110,487
44,090 207,638 98,026
2,433,133 787,728 510,650 1,528,159 267,926 258,162 198,652 -
2,739,566 787,728 510,087 1,462,574 260,676 250,994 198,652 -
2,586,349 787,728 510,369 1,495,367 264,301 254,578 198,652 88,079
2,258,878 870,192 544,103 1,722,041 274,327 277,141 231,859 -
2,538,910 870,192 544,103 1,609,375 266,923 271,603 231,346 -
2,398,894 870,192 544,103 1,665,708 270,625 274,372 231,603 94,591
7,789,926
8,008,648
7,987,366
7,994,394
8,155,503
8,074,948
Lampiran 2 Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah pola tanam Padi-Padi ( t = 25 tahun, r = 10%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Rata-rata
Produksi (Kg/ha) 5,000 4,200 5,400 5,500 4,667 5,300 5,000 2,000 4,000 3,000 3,600 2,000 6,000 3,500 6,300 6,000 5,400 4,800 3,000 4,500 3,800 3,500 4,000 5,200 3,571 3,500 6,000 3,000 4,667 5,500 4,397
Musim Tanam I Penerimaan Biaya (Rp/ha) (Rp/ha) 15,000,000 7,928,000 12,600,000 7,616,000 16,200,000 9,068,333 16,500,000 8,731,143 14,000,000 6,970,000 15,370,000 8,541,250 15,000,000 8,730,857 6,000,000 3,987,143 12,000,000 7,259,000 9,000,000 6,096,714 10,800,000 5,400,000 6,000,000 3,183,000 18,000,000 9,289,429 10,500,000 6,631,000 18,900,000 11,334,000 18,000,000 10,943,429 16,200,000 8,853,000 14,400,000 6,153,543 8,400,000 5,770,000 13,500,000 7,503,000 11,400,000 7,159,238 10,500,000 6,165,000 12,000,000 7,289,333 15,600,000 9,666,000 10,714,286 9,017,857 10,500,000 5,913,500 18,000,000 10,778,000 9,000,000 6,156,500 14,000,000 7,004,667 16,500,000 7,997,143 13,152,810 7,571,203
Sumber: Data primer (diolah) 2011
Land-rent (Rp/ha) 7,072,000 4,984,000 7,131,667 7,768,857 7,030,000 6,828,750 6,269,143 2,012,857 4,741,000 2,903,286 5,400,000 2,817,000 8,710,571 3,869,000 7,566,000 7,056,571 7,347,000 8,246,457 2,630,000 5,997,000 4,240,762 4,335,000 4,710,667 5,934,000 1,696,429 4,586,500 7,222,000 2,843,500 6,995,333 8,502,857 5,581,607
Produksi (Kg/ha) 4,500 3,700 5,100 4,700 4,133 5,000 4,200 2,500 3,800 3,250 3,240 2,250 5,000 3,750 5,400 5,600 4,500 4,600 4,000 4,250 4,000 3,000 4,000 4,400 3,571 3,750 5,000 2,875 4,000 4,900 4,099
Musim Tanam II Penerimaan Biaya (Rp/ha) (Rp/ha) 13,500,000 8,871,500 11,100,000 8,451,714 15,300,000 9,171,833 14,100,000 9,672,286 12,400,000 7,600,667 14,500,000 9,454,500 12,600,000 9,576,000 7,500,000 4,761,429 11,400,000 7,081,000 9,750,000 6,527,857 9,720,000 7,100,000 6,750,000 3,668,000 15,000,000 9,106,857 11,250,000 7,425,250 16,200,000 11,208,286 16,800,000 10,708,000 13,500,000 9,291,500 13,800,000 6,571,829 11,200,000 6,450,000 12,750,000 7,600,250 12,000,000 7,848,952 9,000,000 6,615,714 12,000,000 7,660,000 13,200,000 9,762,000 10,714,286 10,253,571 11,250,000 6,316,250 15,000,000 9,519,000 8,625,000 6,075,875 12,000,000 7,381,333 14,700,000 8,528,000 12,253,643 8,008,648
Land-rent (Rp/ha) 4,628,500 2,648,286 6,128,167 4,427,714 4,799,333 5,045,500 3,024,000 2,738,571 4,319,000 3,222,143 2,620,000 3,082,000 5,893,143 3,824,750 4,991,714 6,092,000 4,208,500 7,228,171 4,750,000 5,149,750 4,151,048 2,384,286 4,340,000 3,438,000 460,714 4,933,750 5,481,000 2,549,125 4,618,667 6,172,000 4,244,994
Peralatan (Rp/thn) 82,500 43,250 160,000 233,500 92,500 131,250 35,000 25,000 20,000 135,000 31,250 55,500 37,500 111,250 100,000 191,250 148,750 80,000 10,000 100,000 97,500 68,750 63,125 27,500 24,375 108,500 130,000 142,500 81,625 75,000 88,079
Land-rand Total (Rp/ha/thn) 11,700,500 7,632,286 13,259,833 12,196,571 11,829,333 11,874,250 9,293,143 4,751,429 9,060,000 6,125,429 8,020,000 5,899,000 14,603,714 7,693,750 12,557,714 13,148,571 11,555,500 15,474,629 7,380,000 11,146,750 8,391,810 6,719,286 9,050,667 9,372,000 2,157,143 9,520,250 12,703,000 5,392,625 11,614,000 14,674,857 9,826,601
PVNR (Rp/ha) 106,205,907 69,278,563 120,360,038 110,708,767 107,375,332 107,783,042 84,354,230 43,128,907 82,237,983 55,600,760 72,797,861 53,545,459 132,558,499 69,836,477 113,986,875 119,350,109 104,889,736 140,463,823 66,988,555 101,179,496 76,172,791 60,991,225 82,153,264 85,070,019 19,580,472 86,415,690 115,305,639 48,949,073 105,420,743 133,204,266 89,196,453
Lampiran 3 Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi - Palawija ( t = 25 tahun, r = 10%) No.
Produksi (Kg/ha)
Musim Tanam I Penerimaan Biaya (Rp/ha) (Rp/ha)
Land-rent (Rp/ha)
Produksi (Kg/ha)
Musim Tanam II Penerimaan Biaya (Rp/ha) (Rp/ha)
Land-rent (Rp/ha)
Produksi (Kg/ha)
Musim Tanam III (Palawija) Penerimaan Biaya (Rp/ha) (Rp/ha)
Land-rent (Rp/ha)
Peralatan (Rp/thn)
Land-rand Total (Rp/ha/thn)
PVNR (Rp/ha)
1.
4,500
13,500,000
8,008,500
5,491,500
4,000
12,000,000
8,295,000
3,705,000
3,000
8,100,000
5,310,000
2,790,000
48,500
11,986,500
108,801,940
2.
4,500
13,500,000
6,888,571
6,611,429
4,000
12,000,000
7,766,286
4,233,714
3,400
8,840,000
5,408,000
3,432,000
159,000
14,277,143
129,594,197
3.
4,700
14,100,000
6,741,500
7,358,500
4,000
12,000,000
7,339,000
4,661,000
4,000
8,000,000
5,080,000
2,920,000
103,000
14,939,500
135,606,439
4.
4,000
12,000,000
6,893,286
5,106,714
3,500
10,500,000
7,031,000
3,469,000
3,000
7,800,000
4,915,000
2,885,000
133,000
11,460,714
104,029,362
5.
4,667
14,000,000
8,380,000
5,620,000
4,333
13,000,000
8,003,000
4,997,000
4,000
10,400,000
6,950,667
3,449,333
50,125
14,066,333
127,680,671
6.
5,000
15,000,000
8,505,857
6,494,143
4,500
13,500,000
9,051,571
4,448,429
4,000
8,800,000
7,200,000
1,600,000
122,750
12,542,571
113,849,423
7.
3,000
8,400,000
6,193,500
2,206,500
3,000
8,400,000
7,070,500
1,329,500
4,000
10,400,000
4,970,000
5,430,000
57,313
8,966,000
81,384,741
8.
4,000
12,000,000
8,574,000
3,426,000
3,400
10,200,000
8,609,000
1,591,000
1,920
8,640,000
5,670,000
2,970,000
63,000
7,987,000
72,498,319
9.
4,500
13,500,000
6,696,571
6,803,429
4,100
12,300,000
7,313,143
4,986,857
2,160
8,640,000
5,050,000
3,590,000
110,000
15,380,286
139,607,469
10.
6,075
18,225,000
11,268,571
6,956,429
5,625
16,875,000
11,106,875
5,768,125
3,125
8,437,500
5,306,875
3,130,625
142,500
15,855,179
143,918,090
11.
5,000
15,000,000
8,636,000
6,364,000
4,300
12,900,000
9,541,500
3,358,500
2,160
8,640,000
5,000,000
3,640,000
107,500
13,362,500
121,291,947
12.
5,400
16,200,000
7,741,000
8,459,000
4,800
14,400,000
8,096,000
6,304,000
4,333
11,266,667
5,821,000
5,445,667
62,500
20,208,667
183,434,876
13.
4,333
13,866,667
7,305,333
6,561,333
3,733
11,200,000
6,798,667
4,401,333
4,667
12,133,333
6,568,667
5,564,667
70,500
16,527,333
150,019,266
4,590.38
13,791,667
7,833,284
5,958,383
4,099.36
12,251,923
8,155,503
4,096,420
3,367
9,238,269
5,634,631
3,603,638
94,591
13,658,440
123,978,211
Ratarata
Sumber: Data primer (diolah) 2011
Lampiran 4 Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman pada kelas kesesuaian lahan S2. No.
Umur Tanaman Produksi TBS (tahun) (ton/ha/) 0. 1. 2. 3. 3 7,30 4. 4 13,50 5. 5 16,00 6. 6 18,50 7. 7 23,00 8. 8 25,50 9. 9 28,00 10. 10 28,00 11. 11 28,00 12. 12 28,00 13. 13 28,00 14. 14 27,00 15. 15 26,00 16. 16 25,50 17. 17 24,50 18. 18 23,50 19. 19 22,50 20. 20 21,50 21. 21 21,00 22. 22 19,00 23. 23 18,00 24. 24 17,00 25. 25 16,00 Sumber: Pusat Penelitian Kelapa Sawit [PPKS] 2005
-
Lampiran 5 Biaya rata-rata usahatani tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) kelapa sawit Komponen biaya 1. Bibit 2. Tenaga kerja Pembukaan (Rp/ha) Persiapan (Rp/ha) Tanam (Rp/ha) Perawatan (Rp/ha) Pemupukan (Rp/ha) 3. Bahan Pestisida - Herbisida (Rp/ha) - Insektisida Pupuk - Urea (Rp/ha) - SP-36 (Rp/ha) - NPK (Rp/ha) - Pupuk kandang (Rp/ha) 4. Peralatan (Rp/tahun) 5. Biaya panen*
Biaya input TBM Tahun 1 1,142,628
Biaya Input TM
Tahun 2
Tahun 3 -25 -
-
152,372 129,984 256,806 304,337 44,868
306,089 77,860
302,463.77 210,202.90
270,019 1,256
155,012 -
166,826.09 -
98,667 10,698 11,047 19,593 107,885 -
191,633 29,419 29,942 15,116 107,885 -
547,834.78 98,000.00 787,186.96 17,391.30 99,798.91 Rp 200/kg TBS
Jumlah (Rp/ha/tahun) 2,550,161 912,956 Keterangan: *) @ Rp 100/kg TBS panen dan Rp 100/kg TBS angkut dimulai tahun ke-3- ke-25
2,229,705
Lampiran 6 Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r = 10% dan t = 25 tahun) Umur (tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Jumlah Rata-rata
Produksi (kg/ha)
Penerimaan (Rp/ha)
Biaya usahatani (Rp/ha) Input Panen
Land rent (Rp/ha/tahun)
DF
PVNR-land rent (Rp/ha)
6,477 11,979 14,197 16,415 20,408 22,627 24,845 24,845 24,845 24,845 24,845 23,957 23,070 22,627 21,739 20,852 19,965 19,077 18,634 16,859 15,972 15,084 14,197
2,338,762 2,338,762 7,657,518 14,161,163 16,783,601 19,406,039 24,126,426 26,748,864 29,371,302 29,371,302 29,371,302 29,371,302 29,371,302 28,322,327 27,273,352 26,748,864 25,699,889 24,650,914 23,601,939 22,552,964 22,028,476 19,930,526 18,881,551 17,832,576 16,783,601
2,390,127 997,854 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737 2,268,737
1,295,478 2,395,748 2,839,405 3,283,062 4,081,645 4,525,302 4,968,959 4,968,959 4,968,959 4,968,959 4,968,959 4,791,496 4,614,033 4,525,302 4,347,839 4,170,376 3,992,913 3,815,450 3,726,719 3,371,793 3,194,331 3,016,868 2,839,405
(51,365) 1,340,908 4,093,302 9,496,678 11,675,459 13,854,239 17,776,044 19,954,825 22,133,606 22,133,606 22,133,606 22,133,606 22,133,606 21,262,093 20,390,581 19,954,825 19,083,313 18,211,801 17,340,288 16,468,776 16,033,020 14,289,995 13,418,483 12,546,971 11,675,459
0.91 0.83 0.75 0.68 0.62 0.56 0.51 0.47 0.42 0.39 0.35 0.32 0.29 0.26 0.24 0.22 0.20 0.18 0.16 0.15 0.14 0.12 0.11 0.10 0.09
(46,696) 1,108,189 3,075,358 6,486,359 7,249,541 7,820,357 9,121,922 9,309,073 9,386,809 8,533,463 7,757,694 7,052,449 6,411,317 5,598,974 4,881,343 4,342,751 3,775,532 3,275,552 2,835,276 2,447,979 2,166,551 1,755,468 1,498,551 1,273,839 1,077,598
448,360 19,494
534,724,623 21,388,985
55,568,942 2,222,758
89,671,957 3,898,781
389,483,724 15,579,349
-
118,195,250 -
Lampiran 7 Profil usahatani kelapa sawit tanaman yang telah berproduksi No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Ratrata
Luas lahan (ha) 0,50 0,75 0,75 0,75 0,50 0,50 1 0,75 0,50 1 0,50 0,75 1,25 0,75 0,75 0,75 0,75 0,50 1 1 1 1 1
Jumlah batang
0,78
108,26
120 100 125 125 80 60 120 70 70 125 60 110 170 120 100 115 100 70 135 135 120 140 120
PengaUmur Produksi laman tanaman (kg) (tahun) (Tahun) 5 5 460 4 4 540 5 5 635 3 3 316 5 5 385 4 4 350 9 9 1.700 5 5 615 5 5 400 7 7 1.350 8 6 580 6 6 760 6 3 458 8 8 1.120 6 6 692 10 6 750 5 5 587 3 3 190 9 9 1.420 5 5 1.000 7 7 1.360 5 5 930 7 5 870 5,96
5,48
Harga (Rp)
Persentase Produksi
1.200 1.175 1.200 1.175 1.200 1.175 1.200 1.200 1.200 1.200 1.200 1.200 1.150 1.150 1.175 1.200 1.150 1.100 1.250 1.200 1.200 1.200 1.150
0,92 0,85 0,85 0,92 0,77 0,83 0,97 0,82 0,80 0,94 1,00 0,88 0,80 0,94 0,80 0,86 0,78 0,83 0,81 1,00 0,95 0,93 0,87
759,48 1.184,78
0,88
Lampiran 8 Hasil olah data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit 1. Iteration Historya,b,c Iteration
Coefficients
-2 Log likelihood
Step 0
1
Constant
63.770
.000
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 63.770 c. Estimation terminated at iteration number 1 because parameter estimates changed by less than .001. 2. Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
32.367
8
.000
Block
32.367
8
.000
Model
32.367
8
.000
3. Iteration Historya,b,c,d Iteration
Step 1
a. b. c. d.
-2 Log Likeli hood
Coefficients Constant Irigasi
Input
Tenaga PengaLuas Harga Resiko Peratur Kerja laman lahan TBS -an keluarga padi
1
37.647
-.043
1.386
-.366
1.245
-.221
-.783
.000
.386
.958
2
32.944
.182
2.349
-.920
1.890
-.413
-1.279
.000
.583
1.660
3
31.597
.507
3.209
-1.394
2.451
-.488
-1.707
-.002
.681
2.254
4
31.408
.725
3.688
-1.624
2.767
-.479
-1.948
-.005
.716
2.558
5
31.403
.774
3.787
-1.667
2.833
-.473
-1.998
-.006
.723
2.617
6
31.403
.775
3.790
-1.669
2.835
-.473
-2.000
-.006
.723
2.619
7 31.403 .775 3.790 -1.669 2.835 -.473 -2.000 -.006 .723 2.619 Method: Enter Constant is included in the model. Initial -2 Log Likelihood: 63.770 Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.
4. Model Summary Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square a
Nagelkerke R Square
1 31.403 .505 a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.
.674
5. Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
7.509
df
Sig. 7
.378
6. Classification Tablea Observed
Predicted Konversi 0
1
Percentage Correct
Step 1 Konversi 0
18
5
78.3
1
4
19
82.6
Overall Percentage
80.4
a. The cut value is .500 7. Variables in the Equation B Wald df Step Variabel a 1 Irigasi1 3.790 5.800 1 Input -1.669 2.157 1 Resiko 2.835 5.768 1 Peraturan -.473 .157 1 Tenaga kerja keluarga -2.000 4.898 1 Pengalaman usahatani padi -.006 .011 1 Luas kepemilikan lahan sawah .723 .634 1 HargaTBS 2.619 3.658 1 Constant .775 .075 1 a. Variable(s) entered on step 1: Irigasi1, Input, Resiko, Peraturan, Tenagakerjakeluarga, Pengalamanpadi, Luaslahan, HargaTBS.
Sig.
Exp(B)
.016 44.267 .142 .189 .016 17.029 .692 .623 .027 .135 .916 .994 .426 2.061 .056 13.723 .784 2.172