DAMPAK DAN TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH DI KECAMATAN SELUMA SELATAN PROVINSI BENGKULU Dedi Sugandi dan Alfayanti 1) Peneliti Madya, BPTP Bengkulu Calon Peneliti, BPTP Bengkulu Balai Pengakajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengklu Jl. Irian Km 6,5 Kota Bengkulu E-mail:
[email protected] 2)
ABSTRACT Since its introductionin 2008, has not been muchr esearch done to know the gap isthe result of the application of Integrated Crop Management (ICM) and ICM components adopted by farmers in the District of South Seluma. This study aims to: 1) evaluate the impact of ICM on farm productivity and farmers' income, 2) evaluate the level of adoption of PTT technology components. Data were analyzed descriptively by comparing the use of the means of production, productivity and farm income before and after the application of ICM. Adoption rate of the technology component sare evaluated with reference guide book ICM. The analysis shows that in general the application of ICM to increase productivity by14.44%, on the application of small fields increases productivity by 30.45% and wide application fields, increasing productivity by35.76%. In general, application of ICM increase farmers' incomeby 16.31%, application fields, narrow and broad increase productivity, respectively for 46.27% and 60.39%. ICM technology components have not be enfully adopted by farmers. Basic technology component sare widely adopted (>90%) by farmers, among others: 1) quality seeds and labeled, and 2) setting the optimum plant population. Component technologies are widely adopted choice by farmers include:1) The use of young seedlings (<21 days), 2) planting seeds 1-3 stems, and3) on-time and harvest grain soon. Development of ICM technology packageis expected tobe adapted to thecapabilities, supporting infrastructure and technologies needed by farmers as well as the implementation of government programs on increasing rice productivity is more synergy. Keywords:impact, technology adoption, Integrated Crop Management (ICM), rice
PENDAHULUAN Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi sawah di Provinsi Bengkulu. Kabupaten ini menyumbangkan produksi sebesar 80.331 ton dari 491.901 ton total produksi padi di Provinsi Bengkulu (Badan Pusat Statistik, 2011). Produktivitas yang dihasilkan sebesar 4,04 ton/ha masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas nasional yang telah mencapai 5,03 ton/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2011). Perbaikan teknologi perlu dilakukan untuk membantu petani meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka. Teknologi baru yang efisien memberi peluang bagi petani produsen untuk memproduksi lebih banyak dengan korbanan lebih sedikit (Adnyana dan Kariyasa, 2006). Salah satu teknologi yang diperkenalkan pada petani padi sawah di Kabupaten Seluma adalah teknologi spesifik lokasi dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi (Ditjen Tanaman Pangan, 2013). PTT diperkenalkan pada petani sejak tahun 2008 oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Komponen teknologi yang disusun dalam PTT bersifat spesifik lokasi dan mempertimbangkan keragaman sumberdaya, iklim, jenis tanah, ekonomi-budaya masyarakat, serta menjaga kelestarian lingkungan (Sembiring dan Abdulrahman, 2008). Komponen teknologi PTT menurut Pedoman Teknis SL-PTT tahun 2012 komponen teknologi PTT pado sawah dipilahkan menjadi dua komponen teknologi, yaitu komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar yaitu teknologi yang sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi padi sawah. Komponen teknologi ini terdiri dari atas: (1) Varietas unggul baru, inbrida atau hibrida (2) Benih bermutu dan berlabel (3) Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos. (4) Pengaturan populasi tanaman secara optimum (5) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
(6) Pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Komponen teknologi pilihanyaitu teknologi yang disesuaikan dengan kondisi, kemauan dan kemampuan petani setempat. Teknologi ini terdiri atas: (1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam (2) Penggunaan bibit muda (< 21 hari) (3) Tanam bibit 1 – 3 batang per rumpun (4) Pengairan secara efektif dan efisien (5) Penyiangan dengan landak atau gasrok (6) Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok Setelah diperkenalkan dengan suatu teknologi diharapkan petani dapat mengadopsi teknologi tersebut. Soekartawi (2005) menyatakan terdapat lima tahapan yang dilalui oleh petani dalam mengadopsi suatu inovasi, yakni: (i) tahap kesadaran dengan mengetahui informasi yang masih bersifat umum, (ii) tahap menaruh minat dengan mengumpulkan dan mencari informasi dari berbagai sumber, (iii) tahap evaluasi yaitu dengan mempetimbangkan lebih lanjut apakah minatnya diteruskan atau tidak, (iv) tahap mencoba menerapkan dalam skala kecil, dan (v) tahap adopsi dengan menerapkan di lahan skala yang lebih luas. Dampak PTT telah diteliti di beberapa daerah. Penelitian Nurbaeti el al., (2006) di Kabupaten Sumedang menunjukkan bahwa penerapan PTT dapat meningkatkan hasil panen (GKP) sebanyak 15% dan juga meningkatkan efisiensi masukan input terutama dalam penggunaan benih dan pupuk masing-masing 35-40% dan 30-66%. Fachrista(2012) mengemukakan bahwa penerapan PTT di Bangka Belitung meningkatkan produktivitas sebesar 0,5-1 ton/ha. Selanjutnya penelitian Adnyana dan Kariyasa (2006) di Propinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat menyatakan bahwa penerapan PTT meningkatkan kentungan petani pada MK I masing-masing sebesar 15,2-25,1%;11,61-1,9%;3,7-18,0% dan 7,1-10,9%. Penelitian Sumarno et al., (2009) di Propinsi Jawa Barat menyatakan bahwa ada lima komponen teknologi yang telah mantab diadopsi oleh petani antara lain: 1) varietas unggul baru adaptif, 2) tanam bibit umur muda, 3) penyiapan lahan secara optimal, dan 4) pengendalian gulma dengan landak atau gasrok. Tan dan Humaedah(2011) yang melakukan penelitian di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Bengkulu menyimpulkan bahwa komponen teknologi yang banyak diadopsi adalah penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB), benih bermutu, pengaturan populasi, pengolahan tanah sesuai musim dan penggunan bibit muda. Sejak diperkenalkan tahun 2008, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui senjang hasil dari penerapan PTT dan komponen PTT yang diadopsi oleh petani khususnya di Kabupaten Seluma. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak PTT terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan petani serta tingkat adopsi komponen teknologi PTT. Diharapkan dari penelitian ini dapat dirumuskan perbaikan kebijakan dalam rangka memperbaiki panduan paket teknologi PTT spesifik lokasi dan tingkat adopsinya oleh petani.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma pada bulan Juni 2012. Pemilihan lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan sentra produksi padi, kemudahan akses ke lokasi penelitian dan keterbatasan dana yang dimiliki. Responden berjumlah 45 orang yang merupakan anggota kelompok tani penerima bantuan SL-PTT spesifik lokasi tahun 2012 dan mulai menerima bantuan SL-PTT sejak tahun 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian dan Badan Penyuluhan Pertanian. Data primer yang dihimpun meliputi identitas responden, penerapan komponen teknologi sebelum dan setelah penerapan PTT, biaya, produksi dan pendapatan usahatani. Dampak penerapan PTT terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan penggunaan sarana produksi, produktivitas dan pendapatan usahatani sebelum dan setelah penerapan PTT. Usahatani padi sawah sebelum penerapan PTT adalah usahatani padi sawah yang dilaksanakan pada Musim Kemarau (MK) tahun 2008 sedangkan setelah penerapan komponen PTT adalah usahatani padi sawah yang dilaksanakan pada MK tahun
2013. Harga input yang digunakan untuk menghitung pendapatan adalah harga yang berlaku saat penelitian dilaksanakan. Selain itu dilakukan uji t dua sampel terhadap produktivitas sebelum dan setelah penerapan PTT yang bertujuan untuk membandingkan apakah rata-rata produktivitas padi berbeda secara signifikan atau tidak (Martono, 2010). Pendapatan (Benefit) dihitung dengan mengurangi penerimaan (revenue) dengan biaya (cost). Selain itu dihitung juga dihitung kelayakan ekonomi usahatani dengan menggunakan Revenue/Cost ratio (R/C ratio) dengan kriteria: 1) R/C ratio > 1, maka usahatani tersebut layak untuk diusahakan, 2) R/C ratio = 1, maka usahatani berada pada titik impas, dan 3) R/C ratio < 1, maka usahatani tersebut tidak layak untuk diusahakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Responden Informasi deskripsi responden yang dihimpun dalam penelitian ini antara lain umur, pendidikan formal, pengalaman usahatani padi, kepemilikan lahan dan jumlah anggota keluarga. (Tabel 1). Umur petani rata-rata sebesar 42,53 tahun dan didominasi oleh petani yang berumur produktif dimana umur petani produktif berada pada kisaran usia 15-55 (Rosman, 2000). Pada umur produktif seorang petani biasanya memiliki kemampuan fisik yang masih prima dalam pelaksanaan kegiatan usahatani termasuk juga dalam keinginan untuk mencoba inovasi baru. Tingkat pendidikan formal petani yaitu rata-rata selama 9,13 tahun. Apabila disesuaikan dengan sistem pendidikan Indonesia, maka rata-rata responden telah menyelesaikan jenjang pendidikan dasar. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar. Semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional (Saridewi dan Siregar, 2010). Menurut Soekartawi (1988) mereka yang berpendidikan tinggi relatif cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Dengan tingkat pendidikan ini diasumsikan dapat menunjang keberhasilan petani dalam mengelola usahataninya apalagi didukung oleh pengalaman berusahatani kelapa sawit rata-rata selama 16,91 tahun. Rentang waktu yang cukup lama ini membuat petani memiliki banyak pengalaman yang diperoleh berkaitan dengan usahataninya (Suzana et al., 2011) karena proses pembelajaran tidak hanya dilakukan melalui proses formal semata (Rakhmat, 2001). Dengan pengalaman, petani akan memperoleh pengetahuan baru yang dapat digunakan sebagai bekal untuk menerapkan suatu teknologi. Kepemilikan lahan petani rata-rata seluas 0,61 ha dengan status sebagai pemilik penggarap. Dalam pengelolaan usahatani tersebut dibantu oleh anggota keluarga yang telah dewasa sebagai sumber tenaga kerja dalam keluarga. Dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sebanyak 5 orang, petani telah terbantu untuk pelaksanaan aktivitas pengelolaan usahatani yang tidak membutuhkan banyak tenaga kerja seperti membuat persemaian dan menjemur gabah. Tabel 1. Karakteristik Petani Pelaksana Program SL-PTT spesifik lokasi di Kecamatan Seluma Selatan pada tahun 2012*. No
Karakteristik
1.
Umur (tahun)
2.
Pendidikan formal (tahun)
3. 4. 5.
- Produktif - Tidak produktif
- Pendidikan dasar - Diatas pendidikan dasar Pengalaman UT Padi (tahun) - Baru - Lama Kepemilikan lahan (ha) - Sempit - Luas Jumlah anggota keluarga (jiwa)
*Sumber: data primer diolah 2013.
- Keluarga kecil - Keluarga besar
Kisaran
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
15-55 >55
38 7
84,44 15,56
42,53
0-9 >9
25 20
55,55 44,45
9,13
0-10 >10 0,10-0,75 0,75-1,50
18 27 33 12
40,00 60,00 73,33 26,67
16,91
0-4
13
28,89
5,00
>4
32
71,11
Rata-rata
0,61
Dampak PTTTerhadap Produktifitasdan Pendapatan Usahatani Secara umum penerapan PTT mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan secara berturut sebesar 14,44 % dan 16,31%. Hasil uji-t test terhadap produktivitas menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,934 dengan signifikansi 0,000. Hal ini berarti terjadi hubungan yang sangat kuat antara produktivitas sebelum dan setelah penerapan PTT karena nilai yang mendekati 1. Nilait-hitung < t-tabel (-9,861 < -2,016 dan signifikansi < 0,05 (0,000 < 0,05), maka disimpulkan bahwa ada perbedaan rata-rata produktivitas antara sebelum dan setelah penerapan PTT dimana rata-rata produktivitas setelah penerapan PTT lebih tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa adanya penerapan PTT secara umum memberikan andil dalam peningkatan produktivitas padi sawah di Kecamatan Seluma Selatan. Secara parsial apabila diterapkan pada luasan lahan yang berbeda, penerapan PTT juga meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Penerapan PTT di lahan sempit (0,1-0,75 ha) menunjukkan peningkatkan produktivitas sebesar 30,45% dan pendapatan sebesar 46,27%. Sedangkan penerapan PTT di lahan luas (0,75-1,5 ha) meningkatkan produktivitas dan pendapatan masing-masing sebesar 35,76% dan 60,39%. Penerapan PTT juga berdampak pada jumlah sarana produksi yang dikelola dalam usahatani. Perbedaan yang paling mencolok adalah jumlah penggunaan benih dan pupuk.Setelah menerapkan PTT dalam usahataninya, jumlah benih yang digunakan petani turun mendekati dua kali lipat. Hal ini disebabkan karena sebelum mengenal PTT, petani menanam bibit > 10 batang per rumpun yang mengakibatkan petani membutuhkan benih yang banyak pada saat persemaian. Teknologi PTT yang menganjurkan petani untuk menanam benih sebanyak 1-3 batang per rumpun tentu saja mengurangi jumlah benih yang dibutuhkan pada luasan lahan yang sama. Jumlah benih yang digunakan memang belum sesuai dengan anjuran yaitu 25 Kg/Ha, namun penerapan PTT telah mampu menurunkan penggunaan benih dengan jumlah yang cukup signifikan. Jumlah sarana produksi pupuk yang digunakan petani mengalami peningkatan setelah menerapkan PTT. Hal ini dikarenakan petani menyadari bahwa pupuk merupakan sarana produksi yang memiliki peranan penting dalam proses produksi. Menurut penelitian Hamdan(2012) di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu utara, penggunaan pupuk urea dan penggunaan pupuk NPK berpengaruh nyata dan signifikan terhadap produksi pupuk. Sedangkan penggunaan pupuk SP36 tidak berpengaruh secara signifikan. Rekomendasi pemupukan di Kecamatan Seluma Selatan berdasarkan Permentan No 40/Permentan/OT.140/04/2007 adalah 250 kg urea, 75 kg SP 36 dan 100 kg KCl. Jumlah penggunaan sarana produksi pupuk petani setelah menerapkan PTT memang belum sesuai dengan rekomendasi anjuran namun hampir mendekati jumlah rekomendasi tersebut. Jumlah ini jauh lebih baik dari jumlah pupuk yang digunakan sebelum menerapkan PTT. Selain pupuk kimia, setelah menerapkan PTT petani juga mulai menggunakan pupuk kompos dalam usahataninya. Alasannya adalah untuk menjaga kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Namun belum seluruh petani menggunakan kompos dengan alasan kurangnya ketersediaan kompos dan tidak ingin menambah biaya pupuk. Sarana produksi yang juga berperan dalam peningatan produktivitas padi selain benih dan pupuk adalah jumlah tenaga kerja. Penggunaan sarana produksi tenaga kerja sebelum dan setelah menerapkan PTT relatif sama. Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi. Tenaga kerja lebih penting dari faktor produksi lain seperti bibit, tanah dan air, sebab manusialah yang menggerakkan faktor-faktor tersebut untuk menghasilkan sesuatu jenis barang (Mariyah, 2004). Dalam usahatani padi sawah curahan tenaga kerja yang tepat akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi padi sawah (Mahananto et al.,2009). Nilai R/C ratio usahatani setelah penerapan PTT menunjukkan nilai yang lebih baik bila dibandingkan dengan usahatani sebelum pelaksanaan PTT. Nilai R/C ratio sebesar 2,13 berarti bahwa setiap penambahan biaya sebesar Rp.1.000,- akan menambah penerimaan petani sebesar Rp.2.130,-
Tabel 2.
Penggunaan sarana produksi, produktivitas dan pendapatan usahatani padi sawah sebelum dan setelah penerapan PTT dirinci menurut luas lahan di Kecamatan Seluma Selatan pada 2013*.
Komponen Benih Urea SP 36 KCl NPK Phonska Pupuk kompos Tenaga kerja Total biaya (C) Hasil Penerimaan (R) Pendapatan (B) R/C
Satuan Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha Kg/Ha HOK/Ha RP/Ha) Kg/Ha Rp/Ha Rp/Ha
Lahan sempit (0,10,75 ha)
Lahan Luas (0,75-1,5 ha)
Rata-rata
Teknologi lama
Teknologi PTT
Teknologi lama
Teknologi PTT
Teknologi lama
Teknologi PTT
64,20 173,90 59,92 6,89 73,00 0,00 141,28 7.800.371 4.235,19 14.267.889 6.467.519 1,83
36,86 211,77 72,31 17,21 225,72 257,58 141,28 8.475.850 6.089,46 20.514.721 12.038.871 2,42
76,60 59,02 45,21 4,16 16,04 0,00 110,00 6.324.913 2.624,36 8.841.180 2.516.267 1,40
38,64 194,36 90,43 12,50 209,41 375,00 110,00 7.411.603 4085,55 13.763.802 6.352.119 1,86
70,40 116,46 52,56 5,52 44,52 0,00 125,64 7.062.642 3.429,78 11.554.552 4.491.910 1,64
37,75 203,07 81,37 14,856 217,57 316,29 125,64 8.050.761 5.087,51 17.139.262 9.088.500 2,13
*Sumber: data primer diolah 2013.
Adopsi Komponen Teknologi PTT Adopsi komponen teknologi dapat diartikan sebagai komponen yang paling banyak diterapkan oleh petani dalam skala yang lebih luas. Komponen teknologi PTT belum sepenuhnya diadopsi oleh petani dengan berbagai alasan dan kendala. Komponen teknologi dasar yang banyak diadopsi (> 90%) oleh petani antara lain: 1) benih bermutu dan berlabel, dan 2) pengaturan populasi tanaman secara optimum sedangkan komponen teknologi pilihan yang banyak diadopsi antara lain: 1) Penggunaan bibit muda (<21 hari), 2) tanam bibit 1-3 batang per rumpun, dan 3) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Tabel 3. Persentase jumlah petani yang menerapkan teknologi PTT berdasarkan luas lahan penerapan di Kecamatan Seluma Selatan tahun 2013*. No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4. 5 6.
Komponen teknologi Dasar Varietas unggul baru, inhibrida atau hibrida Benih bermutu dan berlabel Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos Pengaturan populasi tanaman secara optimum Pempukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pilihan Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam Penggunaan bibit muda (< 21 hari) Tanam bibit 1-3 batang per rumpun Pengairan secara efektif dan efisien Penyiangan dengan landak atau gasrok Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok
*Sumber: data primer diolah 2013.
Lahan Sempit
Lahan Luas
Keseluruhan
Teknologi lama
Teknologi PTT
Teknologi lama
Teknologi PTT
Teknologi Teknologi lama PTT
3,03 9,09 9,09
87,88 87,88 60,60
0,00 8,33 0,00
91,67 100,00 33,33
2,22 8,89 6,67
88,89 91,11 53,33
0,00
100,00
0,00
91,67
0,00
97,78
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
18,18
30,30
16,67
25,00
8,89
28,89
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
0,00 6,06 12,12 0,00 81,81
93,93 93,93 84,84 0,00 100,00
16,67 0,00 0,00 0,00 50,00
100,00 91,67 100,00 0,00 91,67
4,44 4,44 8,89 0,00 73,33
100,0 0 95,55 93,33 86,67 0,00 97,78
Sebelum diperkenalkan pada sistem PTT petani melakukan budidaya padi sawah mereka sesuai dengan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun. Jenis varietas yang digunakan oleh petani merupakan varietas lokal atau varietas non hibrida. Varietas lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai Negara (Satoto, 20). Varietas lokal yang dibudidayakan antara lain puso dan seginim sedangkan varietas non hibrida yang dibudidayakan adalah IR64. Varietas Ciherang, Cieugelis, Inpari 6, 10 dan 13 sekarang telah menjadi pilihan petani. Walaupun demikian masih ada petani yang membudidayakan varietas lokal terutama petani dengan kepemilikan lahan sempit. Alasan mereka masih menggunakan varietas lokal dikarenakan keterbatasan modal yang dimiliki. Bila menggunakan benih varietas lokal mereka hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp.4,000,-/kg sedangkan untuk mendapatkan benih varietas unggul baru, petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.7.500,- - Rp.10.000,- per kilogramnya. Karena itulah varietas lokal masih menjadi pilihan mereka. Komponen teknologi dasar yang paling banyak diterapkan oleh petani adalah pengaturan populasi tanam secara optimum atau yang biasa disebut legowo. Sistem jajar legowo diartikan sebagai cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan dan diselingi satu barisan kosong. Sistem tanam jajar legowo yang dilaksanakan oleh petani adalah legowo 4:1. Sebelum mengenal legowo, petani menggunakan sistem tanam tegel dengan jarak tanam 25x25 cm. Dengan sistem tanam ini pada setiap hektarnya berjumlah 160.000 tanaman. Pemilihan komponen ini oleh petani karena sistem tanam legowo mempunyai beberapa keuntungan yaitu sirkulasi udara dan pemanfaatan sinar matahari lebih baik untuk pertanaman, pengendalian gulma dan pemupukan dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, tanam jajar legowo juga memberikan ruang tumbuh yang lebih longgar sekaligus populasi yang lebih tinggi yaitu 256.000 rumpun/ha Teknologi pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos masih belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. Kurangnya ketersediaan kompos dan tidak ingin menambah biaya menjadi alasan mengapa teknologi ini tidak diadopsi oleh petani. Di Kecamatan Seluma Selatan terdapat tiga rumah kompos yang dua diantaranya berada di Desa Rimbo Kedui. Namun rumah kompos ini hanya beroperasi apabila ada kelompok tani yang memanfaatkannya untuk pembuatan kompos. Namun dikarenakan biaya operasional yang cukup tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh, banyak kelompok tani yang enggan memanfaatkannya. Teknologi pengendalian OPT dengan pendekatan PHT juga masih sedikit diadopsi oleh petani. Kebanyakan petani masih kurang yakin bila hanya mengendalikan OPT sesuai dengan serangan yang terjadi. Karena penyemprotan tanaman dengan menggunakan insektisida merupakan bagian pemeliharaan yang wajib dilakukan untuk melindungi tanaman. Pengendalian secara nabati pun kurang diminati karena membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengendalikan OPT bila dibandingkan dengan pengendalian OPT secara kimia. Ketidakyakinan petani ini diasumsikan juga disebabkan karena kurangnya kehadiran dan konsentrasi saat mengikuti pertemuan Sekolah Lapang dikarenakan banyaknya kegiatan pertemuan sejenis yang cenderung menjemukan petani. Komponen teknologi dasar yang tidak diadopsi oleh petani adalah pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Penghitungan kebutuhan pupuk tanaman dan status hara tanah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain menggunakan Bagan Warna Daun (BWD), Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) atau diuji langsung di Laboratorium Tanah. Keterbatasan alat yang dimiliki oleh petani dan jauhnya akses ke Laboratorium membuat petani melakukan pemupukan sesuai dengan inisiatifnya sendiri dan sesuai dengan dana yang dimilikinya. Komponen teknologi pilihan yang paling banyak diadopsi oleh petani adalah panen tepat waktu dan gabah segera dirontok sedangkan yang tidak dipilih oleh petani untuk diadopsi adalah penyiangan dengan landak atau gasrok. Menurut petani dengan panen tepat waktu dan segera dirontok bisa mengurangi kemungkinan kehilangan hasil panen dan lebih efisien dalam menggunaan tenaga kerja. Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida lebih disenangi petani karena dianggap lebih mudah dalam pelaksanaannya dan murah dalam segi pembiayaannya. Penyiangan dengan menggunakan landak atau gasrok dianggap petani memakan waktu yang lebih lama dan mambutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida. Sehingga mungkin komponen teknologi ini bisa diganti dengan teknologi dengan maksud serupa yang lebih sesuai dengan keinginan petani yakni efisien dalam waktu dan biaya.
KESIMPULAN 1.
2.
Secara umum penerapan PTT mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan masingmasing sebesar 14,44 % dan 16,31., penerapan di lahan sempit meningkatkan produktivitas dan pendapatan masing-masing sebesar 30,45% dan 46,27%. penerapan di lahan luas meningkatkan produktivitas dan pendapatan masing-masing sebesar 35,76% dan 60,39% Komponen teknologi dasar yang diadopsi oleh petani antara lain: 1) benih bermutu dan berlabel, dan 2) pengaturan populasi tanaman secara optimum. Sedangkan komponen dasar yang tidak diadopsi adalah: 1) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan, 2) status hara tanah. Komponen teknologi pilihan yang diadopsi oleh petani antara lain: 1) Penggunaan bibit muda (<21 hari), 2) tanam bibit 1-3 batang per rumpun, 3) dan panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Sedangkan komponen pilihan yang tidak diadopsi petani adalah penyiangan dengan landak atau gasrok.
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Pantjar Simatupang dan Tim Pengkajian Analisis Kebijakan BPTP Bengkulu Tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana,M.O. dan Kariyasa. 2006. Dampak dan Persepsi Petani Terhadap Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25 (1):21-29. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka Tahun 2011.Badan Pusat Statistik.526 hlm. Ditjen Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan SL-PTT tahun 2011. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. Ditjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Sekolah Lapang Pengeloaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Tahun 2013. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. Fachrista,I.A. dan Risfaheri. 2012. Efektifitas Pendampingan SL PTT di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi, Medan 5-7 Juni 2013. Hamdan. 2012. Analisis Efisiensi Faktor Produksi Pada Usahatani Padi Sawah Di Bengkulu.Dalam Sugandi,D dkk (Ed). Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Empat Sukses Program Strategis Kementerian Pertanian Di Provinsi Bengkulu. Prodising: 273-281. Bengkulu: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Mahananto, S.Sutrisno dan C.F. Ananda. 2009.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi Studi Kasus Di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Jurnal Wacana 12 (1) : 179-191 Mariyah. 2004. Analisis Kebutuhan Modal dan Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Di PT.REA Kaltim Plantations. Jurnal EPP 1 (2): 41:50. Martono, N. 2010. Statistik Sosial.Yogyakarta:Penerbit Gava Media.304 hlm. Nurbaeti,B.,S.L.Mulijanti dan T.Fahmi. 2006. Penerapan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi di Kabupaten Sumedang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 11 (3): 268-279. Rakhmat,J. 2001. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rosman.2000.Tingkat Produktfitas Kerja Terhadap Umur Petani di Indonesia. Jurnal Pertanian 87(2):12-19. Saridewi, T.R. dan A.N. Siregar. 2010. Hubungan Antara Peran Penyuluh Dan Adopsi Teknologi Oleh Petani Terhadap Peningkatan Produksi Di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian 5 (1): Satoto, A.A.Daradjat, dan S.Wahyuni. 2008.Varietas Unggul Padi Sawah: Pengertian dan Aspek Terkait. Informasi ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia. Sembiring, H. dan Abdulrahman, H. 2008. Filosofi dan Dinamika Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. BB Penelitian Padi sawah. Sukamandi. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sumarno,U dkk. 2009. Senjang Adopsi Teknologi dan Senjang Hasil Padi Sawah. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 4(2): 116-131 Suzana B.O.L, Dumais,JNK dan Sudarti. 2011. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Padi Sawah di Desa Mopuya Utara Kecamatan Domuga Utara Kabupaten Bolaang Mangondow. Jurnal Agro Sosial Ekonomi 7 (1): 38-47. Tan,S.dan U.Humaedah.2011. Kajian Efektifitas Metode Diseminasi dalam Upaya Mempercepat Adopsi Inovasi Teknologi. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknoogi Pertanian 14 (2): 13