PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Dampak dan Persepsi Petani terhadap Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah M.O. Adnyana1 dan Ketut Kariyasa2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jln. Merdeka 147 Bogor, 16111 2 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jln. Jend. A. Yani 70 Bogor, 16161 1
ABSTRACT. Impact and Farmer’s Perception Towards Integrated Crop Management (ICM) System for Irrigated Rice. Research had been conducted in four provinces (North Sumatra, East Java, Bali, and NTB) involving 480 farmer samples. Stratified random sampling technique was used to select farmer samples with ex-ante vs. ex-post and cooperator vs noncooperator approach pattern. The research was focused to: (1) determining impact of technology implementation to productivity and farmer’s income; (2) calculating adoption cost of ICM; and (3) assessing the extent of adoption and evaluating farmer’s perception towards ICM. Results pointed out that ICM was able to increase rice production and farmer’s income. Adoption cost of ICM was below the actual price of rice, so that farmers were interested to implement the technology. Most, farmers described that some of ICM components were rather new and simple, and they were suitable to their needs. ICM was sufficiently favorable even if it had not been completely applied due to technical problems and socio-economic condition of farmers. Improvement of rice production at national level through large-scale application of ICM could be considered be as a strategic program. Strong supports from local government units and good cooperation among related institutions are essential factors in determining the adoption of ICM by rice farmers on large scale. Keywords: Perception, integrated crops management, Irrigated rice ABSTRAK. Penelitian dampak dan persepsi petani terhadap penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah telah dilakukan di empat propinsi (Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat) pada 480 petani contoh. Penentuan petani contoh menggunakan teknik penarikan contoh berstrata dengan pola pendekatan ex-ante vs ex-post dan koperator vs nonkoperator. Penelitian difokuskan untuk: (1) mengukur dampak penerapan PTT terhadap produktivitas dan pendapatan petani, (2) mengukur biaya adopsi penerapan PTT, dan (3) mengukur tingkat adopsi dan mengevaluasi persepsi petani terhadap PTT. Penelitian menunjukkan PTT mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Biaya adopsi PTT masih di bawah harga gabah yang berlaku, sehingga petani tertarik menerapkannya. Petani umumnya mengatakan bahwa sebagian besar komponen PTT merupakan hal baru dan mudah diterapkan, karena sebagian besar sesuai kebutuhan. Tingkat adopsi PTT cukup baik walaupun belum sepenuhnya dilakukan akibat adanya beberapa permasalahan teknis dan kondisi sosial ekonomi petani. Peningkatan produksi padi nasional melalui penerapan PTT dalam skala luas dipandang sebagai langkah yang cukup strategis. Adanya dukungan yang kuat dari Pemda setempat dan kerja sama yang baik antarinstansi terkait sangat menentukan keberhasilan pengembangan PTT.
D
Kata kunci: Persepsi, pengelolaan tanaman terpadu, padi sawah
alam dua dekade terakhir laju peningkatan produksi padi nasional cenderung melandai. Pada Pelita III peningkatan produksi mencapai
6,6%/tahun kemudian menurun menjadi 3,4%; 2,9% dan 1,1% per tahun pada Pelita IV, Pelita V, dan Pelita VI (Rachman dan Kariyasa 2001). Sementara itu kebutuhan beras semakin meningkat, tercermin dari masih besarnya impor beras pada tahun 2002-2004. Kondisi ini terjadi akibat pertumbuhan produksi padi/beras dalam negeri relatif lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk. Penurunan laju pertumbuhan produksi padi disebabkan oleh banyak faktor, antara lain relatif mahalnya harga input produksi akibat penghapusan subsidi pupuk dan benih secara bertahap. Mulai tahun 2003 kebijakan subsidi pupuk kembali diterapkan, namun harga jual yang diterima petani lemah, dan adanya kecenderungan semakin berkurangnya ketersediaan tenaga kerja muda yang mau terlibat di sektor pertanian (Adnyana dan Kariyasa 2000). Kendala lain peningkatan produksi beras domestik adalah meningkatnya alih fungsi lahan sawah subur dan produktif, 20-35 ribu ha/tahun. Sekitar 92% alih fungsi lahan terjadi di Jawa, padahal produksi padi di Jawa 60% dari total produksi nasional. Air sebagai sumber daya alam yang vital bagi kehidupan cenderung masih boros penggunaannya, sehingga ketersediaannya semakin terbatas dan turut berkontribusi terhadap penurunan produksi padi (Rachman dan Kariyasa 2002). Perbaikan teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan untuk memecahkan masalah aktual di lapang diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Perbaikan teknologi juga diperlukan untuk membantu produsen merespon perubahan lingkungan, termasuk peningkatan produktivitas dan pendapatan. Teknologi baru yang efisien memberi peluang bagi petani produsen untuk memproduksi lebih banyak dengan korbanan lebih sedikit. Menurut Masters (2000), penelitian, pengkajian dan pengembangan pertanian yang baik harus dapat membantu mewujudkan tujuan dasar pembangunan pertanian yaitu: (1) meningkatkan standar hidup petani, (2) meningkatkan ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi, (3) mengurangi kemiskinan, menciptakan 21
ADNYANA DAN KARIYASA: DAMPAK DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP PENERAPAN PTT
lapangan kerja baru dan harga pangan lebih murah, dan (4) menjaga kelestarian sumber daya alam terutama air, tanah, dan vegetasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang merupakan ujung tombak Badan Litbang Pertanian di daerah telah banyak melakukan penelitian, pengkajian, dan diseminasi teknologi pertanian spesifik lokasi sejak didirikan pada tahun 1995. Sudah banyak teknologi yang direkomendasikan untuk dikembangkan di wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Pemda sebagai salah satu stakeholder pada umumnya menyambut positif kehadiran lembaga litbang di daerah dan banyak harapan yang ditujukan kepada unit kerja ini. Pada tahun 2000, Badan Litbang Pertanian melalui tujuh BPTP melaksanakan pengkajian dan penerapan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah di tujuh propinsi dan pada tahun 2002 diperluas di 14 propinsi (Zulkifli et al. 2002) dalam upaya meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengukur dampak penerapan PTT terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani, (2) mengukur biaya adopsi dan tingkat adopsi serta mengevaluasi persepsi petani terhadap penerapan PTT.
METODOLOGI Lokasi dan Petani Sampel
Penelitian dilakukan di Propinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, empat dari 14 propinsi yang telah melakukan pengkajian dan pengembangan PTT padi sawah. Penentuan petani contoh menggunakan teknik penarikan contoh berstrata (stratified random sampling). Strata yang digunakan adalah: pola pendekatan, ex-ante vs ex-post, dan koperator vs nonkoperator. Jumlah petani sampel di masing-masing propinsi adalah 60 petani koperator dan 60 petani nonkoperator, sehingga total petani contoh adalah 480 (Tabel 1). Petani koperator adalah petani yang menerapkan PTT, sementara petani nonkoperator adalah petani yang menerapkan teknologi yang sudah biasa berkembang (teknologi petani). Secara umum komponen teknologi yang diintroduksikan pada PTT adalah: (1) benih berlabel, (2) penanaman bibit muda, 1-2 bibit per lubang, (3) bagan warna daun (BWD), (4) pupuk organik, (5) sistem pengairan berselang, dan (6) penerapan teknik pengendalian hama secara terpadu (PHT).
22
Tabel 1. Sebaran petani contoh menurut lokasi kajian, 2003. Jumlah petani sampel Propinsi
Kabupaten
Sumatera Utara Jawa Timur Bali NTB
Koperator
Nonkoperator
Total
- Asahan - Madina - Blitar - Madiun - Tabanan - Lombok Barat
30 30 30 30 60 60
30 30 30 30 60 60
60 60 60 60 120 120
Total
240
240
480
Metode Analisis Kelayakan Finansial Usahatani
Tingkat kelayakan finansial usahatani padi dengan masing-masing teknologi yang diterapkan petani ditentukan berdasarkan indikator keuntungan usahatani, benefit cost ratio (BCR), cost price ratio (CPR). Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) digunakan untuk mengukur kelayakan teknologi baru dibandingkan dengan teknologi petani (FAO 1993). Biaya yang dikeluarkan petani sebagai konsekuensi mengadopsi teknologi baru dapat didefinisikan sebagai peningkatan biaya per unit yang diperlukan untuk peningkatan produksi. Penghitungannya menggunakan formula sebagai berikut: TC = TC1 – TC0 ................................................................ (1) Y = Y1 – Y0 ......................................................................
(2)
C = TC/Y .................................................................... (3) di mana: TC1 = total biaya produksi dengan menerapkan PTT (Rp/ha) TC0 = total biaya produksi dengan menerapkan teknologi petani (Rp/ha) Y1 = total produksi dengan menerapkan PTT (kg/ha) Y0 = total produksi dengan menerapkan teknologi petani (kg/ha) TC = tambahan biaya produksi penerapan PTT terhadap teknologi petani (Rp/ha) Y = tambahan produksi penerapan PTT terhadap teknologi petani (kg/ha) C = biaya adopsi PTT untuk tambahan 1 kg gabah yang dihasilkan (Rp/kg GKP)
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelayakan Finansial Usahatani Padi
Kelayakan usahatani padi yang menerapkan PTT maupun teknologi petani setempat selama dua musim di Sumatera Utara disajikan pada Tabel 2. Pada MH, produktivitas padi dengan PTT mencapai 7,0 t/ha, sedangkan dengan teknologi petani setempat hanya 6,1 t/ha. Produktivitas padi yang dihasilkan petani koperator dengan teknologi sebelum PTT hanya 6,3 t/ha. Artinya, PTT mampu memberikan hasil padi 11,5-14,2% lebih tinggi dari teknologi petani. Kinerja yang sama terjadi pada MK I, di mana produktivitas padi dengan penerapan PTT mencapai 7,0 t/ha, sedangkan dengan teknologi petani, baik yang diterapkan oleh petani koperator sebelum PTT maupun petani nonkoperator, masingmasing hanya 5,8 t dan 6,1 t/ha. Kondisi ini menunjukkan bahwa usahatani yang dikelola petani koperator pada MK I dengan menerapkan PTT meningkatkan produktivitas 14,5-21,2% lebih tinggi dibanding teknologi petani. Dikaitkan dengan biaya produksi (termasuk biaya tenaga kerja keluarga sebagai salah satu komponen biaya produksi) dan tingkat harga yang berlaku, ternyata PTT yang diterapkan petani koperator di Sumatera Utara pada MH maupun MK I mampu memberikan keuntungan lebih tinggi dari teknologi petani. Pada MH keuntungan usahatani padi dengan menerapkan PTT mencapai Rp 5,9 juta/ha. Dengan menerapkan teknologi petani keuntungan yang diperoleh petani koperator sebelum PTT dan petani nonkoperator masing-masing hanya Rp 4,7 juta dan Rp 5,1 juta/ha. Dengan kata lain, usahatani padi yang menerapkan PTT mampu meningkatkan keuntungan 15,2-25,1% dibanding teknologi petani setempat. Pada MK I PTT bahkan mampu memberikan keuntungan yang lebih menarik bagi petani karena tingkat harga yang lebih baik, meningkatnya produktivitas lahan, dan terjadi sedikit penurunan biaya
produksi. Keuntungan dengan menerapkan PTT pada MK I mencapai Rp 6,4 juta/ha, sedangkan pendapatan petani koperator dengan teknologi sebelum PTT dan petani nonkoperator masing-masing Rp 4,8 juta dan Rp 5,2 juta/ha. Tampak bahwa PTT mampu meningkatkan keuntungan petani sebesar 23-33%. Dilihat dari efisiensi secara parsial, baik dari indikator BCR maupun CPR, usahatani padi yang menerapkan PTT pada MH dan MK lebih efisien daripada teknologi petani. Untuk setiap Rp 1,0 biaya produksi yang dikeluarkan dengan menerapkan PTT mampu memberikan penerimaan sebesar Rp 2,1 pada MH dan Rp 2,3 pada MK I, sedangkan dengan teknologi petani hanya berkisar antara Rp 1,8-2,0 pada MH dan Rp 2,0-2,1 pada MK I. Demikian juga nilai CPR, terlihat bahwa biaya produksi yang dibutuhkan PTT adalah 32,2% pada MH dan 30,0% pada MK I, sementara dengan teknologi petani setempat dibutuhkan biaya produksi sebesar 33,1-35,5% pada MH dan 31,8-32,3% pada MK I. Hubungan antara tambahan biaya yang harus dikeluarkan akibat penerapan PTT dengan tambahan manfaat yang mampu didatangkan dapat dilihat dari indikator MBCR. Nilai MBCR juga dapat dipakai sebagai indikator apakah PTT yang diintroduksi tersebut lebih unggul atau kurang bermanfaat dibanding teknologi yang sudah diterapkan petani setempat. Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap Rp 1,0 tambahan biaya yang diperlukan untuk menerapkan PTT mampu memberikan tambahan penerimaan pada MH masing-masing Rp 6,9 terhadap teknologi petani koperator sebelum PTT dan Rp 3,9 terhadap teknologi petani nonkoperator, sedangkan pada MK I adalah Rp 4,2 terhadap teknologi petani koperator sebelum PTT dan Rp 5,5 terhadap teknologi petani nonkoperator. Dari indikator MBCR terlihat bahwa tambahan biaya yang dikeluarkan petani untuk menerapkan PTT pada tingkat biaya produksi tertentu secara signifikan mampu memberikan tambahan penerimaan. Oleh karena itu, dengan tetap melakukan perbaikan pada komponen-komponen tertentu, PTT
Tabel 2. Analisis kelayakan usahatani padi dengan PTT dan teknologi petani di Sumatera Utara, 2003. MH Uraian
Total biaya (Rp/ha) Harga GKP (Rp/kg) Hasil GKP (kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Keuntungan (Rp/ha) BCR CPR MBCR
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.801.758 1.244 7.003 8.711.546 5.909.789 2,11 0,32
2.600.185 1.165 6.282 7.318.681 4.718.497 1,82 0,36 6,91
MK I Nonkoperator
2.525.584 1.243 6.134 7.623.703 5.098.119 2,02 0,33 3,94
Koperator
Nonkoperator
Ex-post
Ex-ante
2.730.826 1.294 7.039 9.110.318 6.379.492 2,34 0,30
2.228.763 1.205 5.810 6.998.664 4.769.902 2,14 0,312 4,21
2.459.453 1.239 6.148 7.619.514 5.160.061 2,10 0,32 5,494
23
ADNYANA DAN KARIYASA: DAMPAK DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP PENERAPAN PTT
diyakini mampu meningkatkan penerimaan dan keuntungan petani padi di Sumatera Utara. Di Jawa Timur penerapan PTT juga mampu meningkatkan produktivitas dibanding teknologi petani (Tabel 3). Pada MH, MK I, dan MK II, usahatani padi dengan penerapan PTT mampu memberikan hasil gabah berturut-turut 6,1 t, 6,2 t dan 5,6 t/ha, sedangkan usahatani padi dengan teknologi petani hanya dapat memberikan hasil 5,6-5,7 t pada MH, 5,6-5,7 t pada MK I, dan 4,8-4,9 t/ha pada MK II. Dengan kata lain, PTT yang diterapkan petani di Jawa Timur mampu meningkatkan produktivitas padi berturut-turut 7,0-8,9% pada MH, 8,89,5% pada MK I, dan 14,3-16,7% pada MK II. Demikian juga dari aspek keuntungan, pada tingkat harga yang berlaku tampaknya usahatani padi dengan PTT mampu memberikan keuntungan yang lebih menarik dibanding usahatani padi yang dikelola dengan teknologi petani. Usahatani padi dengan PTT mampu memberikan keuntungan Rp 4,8 juta pada MH, Rp 5,0 juta pada MK I, dan Rp 4,7 juta/ha pada MK II. Usahatani padi dengan teknologi petani hanya mampu memberi-
kan keuntungan Rp 4,2-4,4 juta pada MH, Rp 4,2-4,3 juta pada MK I, dan Rp 3,7-3,8 juta/ha pada MK II. Kalau dibandingkan lebih lanjut terlihat bahwa usahatani padi yang dikelola petani di Jawa Timur dengan menerapkan PTT mampu meningkatkan keuntungan 9,1-14,3% pada MH, 11,6-1,9% pada MK I, dan 23,7-27,0% pada MK II. PTT juga lebih efisien dari teknologi petani, terbukti dari nilai BCR yang lebih besar pada semua musim. Sebaliknya, PTT memiliki nilai CPR lebih rendah. Tingkat manfaat yang mampu diberikan PTT yang diterapkan petani di Jawa Timur juga terlihat dari nilai indikator MBCR. Di Bali usahatani padi dengan PTT juga mampu memberikan hasil dan keuntungan lebih tinggi dibanding teknologi petani. Usahatani dengan PTT memberikan hasil gabah 6,1-6,7 t/ha dengan keuntungan Rp 4,6-5,1 juta/ha. Teknologi petani hanya mampu memberikan hasil gabah 5,2-5,8 t/ha dengan keuntungan Rp 3,9-4,4 juta/ha. Selama tiga musim, usahatani padi dengan PTT mampu berproduksi dan memberikan keuntungan masing-masing 15,5-17,3% dan 13,7-18,0% lebih tinggi dibanding teknologi petani (Tabel 4).
Tabel 3. Analisis kelayakan usahatani padi dengan PTT dan teknologi petani di Jawa Timur, 2003. MH Uraian
Total biaya (Rp/ha) Harga GKP (Rp/kg) Hasil GKP (kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Keuntungan (Rp/ha) BCR CPR MBCR
Koperator
MK I Nonkoperator
Ex-post
Ex-ante
2.572.610 1.209 6.087 7.360.837 4.788.227 1,86 0,35
2.373.439 1.177 5.732 6.745.921 4.372.482 1,84 0,35 3,09
2.314.680 1.158 5.636 6.523.300 4.208.620 1,82 0,36 3,25
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.527.821 1.221 6.198 7.568.410 5.040.588 1,99 0,33
2.224.975 1.150 5.666 6.516.452 4.291.477 1,93 0,34 3,47
MK II Nonkoperator
2.229.296 1.124 5.737 6.448.608 4.219.312 1,90 0,35 3,75
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.541.620 1.299 5.586 7.254.056 4712436 1,85 0,35
2.189.038 1.223 4.908 6.004.778 3.815.740 1,74 0,37 3,54
Nonkoperator
2.169.565 1.226 4.810 5.896.380 3.726.815 1,72 0,37 3,65
Sumber: data primer, diolah
Tabel 4. Analisis kelayakan usahatani padi dengan PTT dan teknologi petani di Bali, 2003. MH Uraian
Total biaya (Rp/ha) Harga GKP (Rp/kg) Hasil GKP (kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Keuntungan (Rp/ha) BCR CPR MBCR
24
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.396.645 1.144 6.533 7.476.649 5.080.005 2,12 0,32
2.173.386 1.085 5.797 6.292.951 4.119.565 1,90 0,35 5,30
MK I Nonkoperator
2.270.333 1.175 5.673 6.664.251 4.393.918 1,94 0,34 6,43
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.418.867 1.119 6.786 7.594.673 5.175.806 2,14 0,32
2.178.256 1.053 5.780 6.086.320 3.908.063 1,79 0,36 6,27
MK II Nonkoperator
2.208.116 1.192 5.693 6.788.052 4.579.935 2,07 0,33 3,83
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.336.307 1.130 6.129 6.925.623 4.589.316 1,96 0,34
2.217.027 1.132 5.394 6.104.675 3.887.648 1,75 0,36 6,88
Nonkoperator
2.179.223 1.205 5.191 6.255.360 4.076.137 1,87 0,35 4,27
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Tabel 5. Analisis kelayakan usahatani padi dengan PTT dan teknologi petani di NTB, 2003. MH
Total biaya (Rp/ha) Harga GKP (Rp/kg) Hasil GKP (kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Keuntungan (Rp/ha) BCR CPR MBCR
Koperator Ex-post
Ex-ante
2.663.365 1.219 5.863 7.144.499 4.481.133 1,68 0,37
2.515.332 1.209 5.226 6.317.160 3.801.829 1,51 0,40 5,59
Nilai BCR dan CPR juga menunjukkan bahwa PTT yang diterapkan petani koperator di Bali lebih efisien dibanding teknologi petani. Untuk setiap Rp 1,0 biaya yang dikeluarkan petani koperator dalam menerapkan PTT selama tiga musim berturut-turut mampu memberi tambahan penerimaan Rp 3,0-5,6, seperti terlihat dari nilai MBCR. Di Nusa Tenggara Barat, hasil padi dengan penerapan PTT sekitar 6 t/ha, produktivitas pada MK relatif lebih baik dibanding MH (Tabel 5). Hasil padi petani dengan menerapkan teknologi petani setempat berkisar antara 5,2-5,6 t/ha. Dengan demikian PTT meningkatkan produktivitas padi 7,3-13,5% pada MH dan 7,1-10,9% pada MK I. Dari aspek kelayakan finansial, usahatani padi dengan PTT memberikan keuntungan lebih tinggi dari teknologi petani. Pada MH dan MK I keuntungan yang diperoleh petani dari usahatani padi dengan PTT berturut-turut Rp 4,5 juta dan Rp 4,7 juta/ha, sedangkan keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan teknologi petani hanya Rp 3,8-3,9 juta/ha pada MH dan Rp 4,2-4,3 juta/ha pada MK I. Dengan kata lain, PTT meningkatkan keuntungan petani padi di NTB 15,4-18,4% pada MH dan 9,3-11,9% pada MK I. Indikator lainnya juga menunjukkan bahwa usahatani padi dengan PTT mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi, sebagaimana tercermin dari nilai BCR yang lebih besar dari teknologi petani, dan memberikan nilai CPR lebih kecil. Artinya usahatani padi dengan PTT lebih efisien dari teknologi petani. Walaupun PTT membutuhkan biaya yang lebih banyak, namun setiap tambahan biaya yang dikeluarkan mampu memberikan imbalan yang lebih besar, seperti ditunjukkan oleh nilai MBCR > 1.
Nonkoperator
Koperator
2.503.783 1.175 5.462 6.416.727 3.912.945 1,56 0,39 4,56
Nonkoperator
Ex-post
Ex-ante
2.609.581 1.229 5.984 7.352.279 4.742.697 1,82 0,36
2.469.896 1.223 5.519 6.747.684 4.277.788 1,73 0,37 4,33
2.354.022 1.168 5.643 6.588.459 4.234.438 1,80 0,36 2,99
600 Biaya adopsi (Rp/kg)
Uraian
MK I
500 400 300 200 100 0
MH
MK.I
Sumut
279.57
408.51
MK.II
Jatim
561.04
569.26
520.03
Bali
303.34
239.18
162.29
NTB
232.39
300.4
Gambar 1. Biaya adopsi teknologi PTT oleh petani koperator (exante vs ex-post), 2003.
Biaya Adopsi PTT
Biaya adopsi PTT merupakan tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani untuk memperoleh tambahan hasil padi. Secara umum biaya adopsi cukup rendah dibandingkan dengan harga gabah kering panen (GKP) (Gambar 1). Biaya adopsi PTT berkisar antara Rp 167,5-749,4/kg. Dengan demikian, baik secara teknis maupun ekonomis, biaya adopsi teknologi PTT di empat propinsi kajian cukup efisien. Bila dilihat dari harga gabah yang diterima petani, rata-rata biaya adopsi PTT hanya Rp 430/kg atau 36% dari harga GKP yang sedang berlaku (Rp 1.200/kg). Jika efisiensi adopsi PTT dikaitkan dengan harga GKP, maka akan terlihat tingkat kelayakan PTT secara ekonomis yang diukur dengan rasio antara harga GKP dan biaya adopsi (Gambar 2). Secara umum adopsi PTT sangat efisien dengan rasio antara harga GKP dan biaya adopsi lebih besar dari 2,0.
25
ADNYANA DAN KARIYASA: DAMPAK DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP PENERAPAN PTT
Respon Petani terhadap PTT
Rasio harga/biaya adopsi
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
MH
MK.I
Sumut
4.45
3.17
MK.II
Jatim
2.15
2.14
2.50
Bali
3.77
4.68
6.96
NTB
5.25
4.09
Gambar 2. Rasio harga gabah terhadap biaya adopsi PTT oleh petani koperator, 2003.
Respon petani di empat propinsi kajian terhadap penerapan PTT disajikan pada Tabel 6. Sebanyak 53,3% petani di Sumatera Utara mengatakan bahwa mereka menerapkan PTT karena inisiatif sendiri, 40,0% karena diminta oleh pengkaji. Kebanyakan (68,8%) petani di Jawa Timur terdorong ikut menerapkan PTT karena inisiatif sendiri, 18,8% karena diminta pengkaji, dan 12,5% karena alasan lainnya seperti toleransi terhadap kelompok tani lainnya. Pada umumnya petani di Bali (48,7%) dan NTB (70,6%) menerapkan PTT dengan alasan diminta pengkaji dan hanya 32,4% petani di Bali dan 23,5% di NTB atas inisiatif sendiri.
Tabel 6. Respon petani koperator di empat propinsi kajian terhadap introduksi PTT, 2003. Respon petani (%) Uraian Sumatera Utara Atas dorongan siapa sebagai koperator: 1. Inisiatif sendiri 2. Diminta oleh pengkaji 3. Lainnya Keterlibatan dalam litkaji: 1. Dilibatkan sampai selesai 2. Hanya sebagai penyedia lahan 3. Lainnya Pendapat petani tentang PTT 1. Sangat bermanfaat 2. Bermanfaat 3. Kurang bermanfaat Teknologi yang diintroduksikan merupakan hal baru 1. 100% baru 2. 75% - < 100% baru 3. 50% - < 75% baru 4. 25% - < 50% baru 5. < 25% baru Apakah sesuai dengan kebutuhan 1. 100% memenuhi 2. 75% - < 100% memenuhi 3. 50% - < 75% memenuhi 4. 10% - < 50% memenuhi 6. Tidak tahu Tambahan produksi yang diperoleh 1. 25% - < 50% dari sebelumnya 2. 10% - < 25% dari sebelumnya 3. < 10% dari sebelumnya 4. Tidak tahu Tambahan keuntungan yang diperoleh: 1. 25% - < 50% dari sebelumnya 2. 10% - < 25% dari sebelumnya 3. < 10% dari sebelumnya 4. Tidak tahu Apakah teknologi bisa diterapkan: 1. 100% dapat diterapkan 2. 75% - < 100% dapat diterapkan 3. 50% - < 75% dapat diterapkan 4. 10% - < 50% dapat diterapkan 5. < 10% yang dapat diterapkan 6. Tidak tahu Penyebab teknologi diterapkan < 50%: 1. Ada kendala teknis 2. Unsur teknis tidak tersedia 3. Biaya tidak terjangkau 4. Lainnya 5. Tidak tahu
26
Jawa Timur
Bali
NTB
53,33 40,00 6,67
68,75 18,75 12,50
32,43 48,65 18,92
23,53 70,59 5,88
86,67 13,33 0,00
78,13 0,00 21,88
51,35 43,24 5,41
47,06 52,94 0,00
66,67 33,33 0,00 0,00 60,00 0,00 26,67 13,33 0,00
87,50 12,50 0,00 0,00 43,75 37,50 18,75 0,00 0,00
64,86 35,14 0,00 0,00 21,62 18,92 43,24 13,51 2,70
15,69 80,39 3,92 0,00 35,29 47,06 17,65 0,00 0,00
46,67 26,67 26,67 0,00 0,00
53,13 31,25 15,63 0,00 0,00
24,32 32,43 37,84 5,41 0,00
3,92 13,73 13,73 11,76 56,86
20,00 53,49 26,51 0,00
21,88 74,99 3,13 0,00
27,03 63,24 7,03 2,7
11,76 11,76 56,86 19,62
13,33 53,33 31,46 1,88
12,5 21,88 63,5 2,12
8,11 27,03 59,32 5,54
0,00 27,45 62,75 9,80
40,00 40,00 20,00 0,00 0,00 0,00
37,50 46,88 15,63 0,00 0,00 0,00
45,95 18,92 21,62 10,81 0,00 2,70
3,92 15,69 11,76 58,82 9,80 0,00
26,67 20,00 0,00 0,00 53,33
43,75 15,63 25,00 6,25 9,38
40,54 16,22 0,00 10,81 32,43
56,86 7,84 1,96 15,69 17,65
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Sebanyak 86,7% dan 78,1% petani masing-masing di Sumatera Utara dan Jawa Timur mengatakan mereka dilibatkan dari awal sampai selesai dalam pengkajian PTT dan sisanya mengatakan hanya berperan sebagai penyedia lahan. Di Bali dan NTB, petani yang merasa dilibatkan dari awal sampai selesai pengkajian dengan jumlah petani yang merasa hanya sebagai penyedia lahan hampir berimbang. Semua petani di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Bali mengatakan bahwa PTT bermanfaat baginya. Di NTB terdapat 3,9% petani yang mengatakan PTT kurang dirasakan manfaatnya. Sebanyak 60% petani di Sumatera Utara mengatakan bahwa komponen teknologi PTT sepenuhnya merupakan teknologi baru dan 40% petani mengatakan < 50% merupakan komponen baru. Sekitar 80% petani di Jawa Timur mengatakan bahwa komponen teknologi PTT > 50% merupakan hal yang baru. Respon yang berbeda diberikan petani Bali, di mana kebanyakan dari mereka (60%) mengatakan < 75% merupakan hal baru. Sebanyak 82% petani di NTB mengatakan bahwa75-100% komponen teknologi PTT merupakan hal baru. Kecuali di NTB, hampir semua petani mengatakan bahwa komponen teknologi PTT > 50% sesuai dengan kebutuhan, bahkan masing-masing 46,7% dan 53,1% petani di Sumatera Utara dan Jawa Timur mengatakan bahwa seluruh komponen teknologi PTT sesuai dengan kebutuhan. Namun di NTB, 56,9% petani mengatakan bahwa tidak tahu apakah teknologi sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Dilihat dari kemampuan dalam meningkatkan produksi, kebanyakan petani di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Bali mengatakan PTT mampu meningkatkan produksi padi 10-25% dibandingkan dengan teknologi petani. Di NTB, 56,7% petani mengatakan teknologi PTT hanya mampu meningkatkan produktivitas padi <10%.
Sebanyak 53,3% petani di Sumatera Utara mengatakan PTT mampu meningkatkan keuntungan 10-25%, sedangkan di Jawa Timur, Bali, dan NTB masing-masing 63,5%; 59,3%; 62,6% petani mengatakan PTT mampu meningkatkan keuntungan < 10%. Kecuali di NTB, kebanyakan petani mengatakan >75% komponen teknologi PTT dapat diterapkan. Di NTB, kebanyakan petani mengatakan <50% komponen teknologi PTT yang dapat diterapkan. Sebenarnya, hal ini disebabkan oleh kendala teknis, seperti ketersediaan air dan tenaga kerja yang tidak memadai. Tingkat Adopsi PTT
Tingkat adopsi suatu teknologi dapat dipakai sebagai ukuran sampai sejauh mana teknologi yang diintroduksikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani setempat. Tingkat adopsi juga dapat digunakan sebagai indikasi komponen teknologi yang harus diperbaiki jika teknologi tersebut akan dikembangkan dalam skala yang lebih luas, sesuai dengan kebutuhan petani pengadopsi. Dalam kajian ini, tingkat adopsi komponen teknologi PTT dapat dilihat dari beberapa aspek seperti penggunaan benih (kg/ha, berlabel, umur bibit, jumlah bibit per lubang), penggunaan pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (urea), sistem pengairan dan pengendalian hama penyakit. Keragaan tingkat penerapan komponen teknologi PTT di empat propinsi kajian disajikan pada Tabel 7. Penggunaan benih pada penerapan PTT di semua propinsi kajian masih tinggi, bahkan di NTB >40 kg/ha. Penggunaan benih yang masih tinggi terkait dengan kebiasaan petani. Mereka khawatir jika terjadi pertumbuhan benih tidak bagus, sehingga diatasi dengan melakukan persemaian dengan jumlah benih yang relatif masih banyak. Fenomena ini sering dijumpai di
Tabel 7. Tingkat penerapan komponen teknologi PTT oleh petani koperator di empat propinsi kajian, 2003. Komponen teknologi PTT 1. Benih (kg/ha) a. Perubahan terhadap ex-ante (%) b. Perubahan terhadap nonkoperator (%) 2. Benih berlabel (%) a. Perubahan terhadap ex-ante (%) b. Perubahan terhadap nonkoperator (%) 3. Pengunaan BWD (%) 4. Pupuk urea (kg/ha) a. Perubahan terhadap ex-ante (%) b. Perubahan terhadap nonkoperator (%) 5. Pupuk kandang (%) 6. Umur bibit 15-20 hari (%) 7. Jumlah bibit per lubang 2-3 (%) 8. Pengairam berselang (%) 9. Penerapan HPT (%)
Sumatera Utara
Jawa Timur
Bali
NTB
32,50 -37,17 -47,30 92,31 121,52 200,00 76,92 158,05 -23,24 -27,00 12,50 76,92 89,23 84,62 100,00
37,18 -30,63 -24,72 96,25 13,19 18,41 44,59 338,44 -18,97 -13,42 33,53 77,50 83,75 86,84 81,58
35,64 -12,52 -5,16 96,23 7,69 1,40 78,85 223,97 -27,29 20,10 14,07 80,82 87,62 92,31 91,30
41,68 -32,46 -35,48 96,00 4,35 23,92 2,13 410,45 -11,21 10,92 27,45 72,00 86,96 91,24 95,65
27
ADNYANA DAN KARIYASA: DAMPAK DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP PENERAPAN PTT
lapang mengingat benih yang dibeli petani sekalipun sudah berlabel kadang-kadang kualitasnya tidak sesuai harapan. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kebiasaan petani menggunakan benih 50-70 kg/ha, terlihat jelas bahwa PTT mampu menghemat penggunaan benih 13-37% dibanding teknologi petani koperator sebelum introduksi PTT dan 5-47% dibanding teknologi petani nonkoperator. Jumlah petani yang menggunakan benih berlabel dalam penerapan PTT lebih dari 92%. Bahkan jika dibandingkan dengan teknologi petani, terutama di Sumatera Utara, terjadi peningkatan jumlah petani yang menggunakan benih berlabel sebesar 122200%. Sebelum menerapkan PTT, petani koperator sudah terbiasa melakukan cabut bibit pada waktu berumur 25 hari, demikian juga petani nonkoperator. Walaupun tidak dijumpai petani yang mencabut bibit berumur 1014 hari, tapi sebagian besar petani sudah mencabut bibit pada waktu berumur 15-20 hari. Artinya, dengan PTT telah terjadi penanaman bibit yang relatif muda. Adanya kekhawatiran petani jika bibit mati dan tidak ada penggantinya serta masih adanya serangan keong mas seperti yang sering terjadi di Sumatera Utara, maka tidak dijumpai petani yang berani menanam satu bibit per lubang. Kebanyakan petani menanam 2-3 bibit per lubang. Dibandingkan dengan kebiasaan petani setempat yang menanam 4-6 bibit per lubang, maka dapat dikatakan bahwa dengan PTT telah terjadi penurunan jumlah penanaman bibit per lubang, dan hal ini juga terlihat dari penggunaan benih (kg/ha) yang disebar pada persemaian. Belum adanya petani yang mau menanam satu bibit per lubang juga akibat terbatasnya tenaga tanam yang “terampil”. Walaupun ada tenaga kerja yang mau mengerjakannya, tapi dengan upah yang lebih tinggi, atau dengan tingkat upah yang sama dibutuhkan jumlah hari kerja yang lebih banyak. Terbatasnya jumlah Bagan Warna Daun (BWD) di lokasi pengkajian menyebabkan komponen teknologi ini tidak sepenuhnya diadopsi petani, bahkan di NTB baru 2,1% petani yang menggunakannya. Di tiga propinsi lainnya, jumlah petani yang menggunakan BWD pada waktu akan melakukan pemupukan urea berkisar antara 45-79%. Kebiasaan petani menggunakan dosis pemupukan tidak berimbang dan kurangnya fasilitas BWD menyebabkan penggunaan pupuk urea di Jawa Timur dan NTB relatif masih tinggi. Rata-rata penggunaan pupuk urea dalam penerapan PTT di dua propinsi ini masing-masing 338 kg dan 410 kg/ha. Namun demikian, dibandingkan dengan tingkat peng-gunaan pupuk pada teknologi petani, tampaknya dengan PTT telah terjadi penghematan penggunaan pupuk urea 11-27%.
28
Penggunaan pupuk kandang relatif masih rendah, hanya 14-34% petani yang menggunakannya. Alasan mereka karena kesulitan mendapatkannya. Pada dasarnya petani tahu bahwa penggunaan pupuk kandang selain mampu meningkatkan produktivitas dan memperbaiki struktur tanah, juga dapat menghemat penggunaan pupuk anorganik, terutama urea. Pada komponen pengairan, sebagian besar (85-92%) petani sudah melakukan pengairan berselang pada pertanaman padi. Faktor utama yang menyebabkan berjalannya sistem ini karena terbatasnya ketersediaan air. Petani yang tidak menerapkan pengairan berselang adalah yang sawahnya relatif dekat dengan saluran air (sekunder dan tersier). Penerapan komponen PHT juga sudah dilakukan oleh hampir sebagian besar petani di empat propinsi kajian.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
(1) Usahatani padi dengan menerapkan PTT mampu memberikan hasil gabah dan keuntungan lebih tinggi dibanding teknologi petani, baik menurut musim tanam maupun propinsi kajian. Indikator BCR, CPR, dan MBCR juga menunjukkan usahatani padi yang dikelola dengan PTT lebih efisien dibanding teknologi petani. (2) Biaya yang dikeluarkan petani koperator untuk mengadopsi PTT cukup beragam menurut propinsi kajian dan musim tanam, namun jauh di bawah harga gabah di pasar. (3) Respon petani di empat propinsi kajian terhadap PTT sangat beragam dan cukup baik. Hampir semua petani mengatakan PTT mampu meningkatkan produksi dan keuntungan walaupun tidak signifikan. Mereka umumnya mengatakan bahwa sebagian besar komponen teknologi PTT merupakan hal baru dan mudah diterapkan karena sesuai kebutuhan. (4) Tingkat adopsi PTT di empat propinsi sudah cukup baik namun belum dilakukan sepenuhnya akibat beberapa kendala teknis dan kondisi sosial ekonomi petani setempat. Penerapan PTT telah mendorong penghematan penggunaan benih, peningkatan penggunaan benih berlabel, penanaman bibit muda, pengurangan jumlah benih per lubang, penghematan penggunaan pupuk urea, adanya penggunaan pupuk kandang dan makin banyaknya petani yang menerapkan PHT dan sistem pengairan berselang.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Saran
(5) Upaya peningkatan produksi padi nasional melalui pengembangan PTT dalam skala luas dipandang sebagai langkah yang cukup strategis. Namun perbaikan dan penyesuaian komponen-komponen teknologi di daerah setempat perlu terus dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan petani dan mudah diterapkan. (6) Kebijakan yang mengurangi fluktuasi harga dan adanya subsidi kredit bagi petani yang membutuhkannya, serta adanya dukungan yang kuat dari instansi terkait, mulai dari tingkat pusat sampai pelaksana di daerah, sangat diperlukan untuk memperbaiki kinerja PTT. (7) Perencanaan yang baik melalui peningkatan koordinasi dan kerja sama antarinstansi terkait, baik secara vertikal maupun horizontal, diyakini mampu mengatasi permasalahan teknis dalam upaya meningkatkan kinerja PTT.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa. 2000. Perumusan kebijaksanaan harga gabah dan pupuk dalam era pasar bebas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. FAO. 1993. Farming system development: A general guideline. FAO Rome. Master, W.A. 2000. The economic impact of agricultural research: a practical guide. Department of Agricultural Economics, Purdue University, USA.
Rachman, B. dan K. K ariyasa. 2001. Pengkajian mengenai penerapan intensifikasi usahatani padi sawah di Propinsi Sumatera Utara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Rachman, B. dan K. Kariyasa. 2002. Sistem kelembagaan pengelolaan air irigasi dalam perspektif otonomi daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Zulkifli, Z., Irsal Las, Suwarno, B. Haryanto, Soentoro, dan E.E. Ananto. 2002. Kegiatan percontohan peningkatan produktivitas padi terpadu 2002. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
29