CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT PETANI DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Akhir tahun 2011 masyarakat Indonesia di resahkan dengan situasi yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir. Di sana terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit PT. SWA (Sumber Wangi Alam) hingga menimbulkan korban dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tentunya kasus yang terjadi di Sungai Sodong merupakan salah satu potret kecil dari konflik di dalam perkebunan kelapa sawit selama ini. Karena itu penting bagi kami untuk membuat catatan akhir tahun ini terkait dengan kondisi petani kelapa sawit di Indonesia sehingga Negara mampu memecahkan persoalan yang di hadapi oleh petani kelapa sawit yang selalu di rundung dengan sekumpulan persoalan. Terdapat beberapa alasan penting kami menuntut Negara untuk merespon cepat persoalan petani kelapa sawit di Indonesia ; 1. Tahun 2011, perkebunan sawit Indonesia terus meluas. Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia 11, 5 juta ha. Seluas 36 % dari total luasan tersebut di kelola oleh petani kelapa sawit dengan pola kemitraan dan kebun petani swadaya. Secara tidak langsung, petani kelapa sawit telah menyumbang penerimaan Negara sebesar 9, 11 Miliar US Dolar dari produksi CPO nasional tahun 2010 yang di peroleh dari total produksi CPO sebesar 21, 3 juta ton. 2. Skema kemitraan perkebunan kelapa sawit dengan berbagai jenis pola kemitraannya di wujudkan dalam bentuk regulasi Negara. Seperti misalnya Ijin yang di keluarkan oleh pemerintah untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang kemudian berwujud pada hadirnya kebun plasma yang di bina oleh perkebunan inti atau perkebunan besar. 3. Terdapat alasan pemerintah untuk membuka perkebunan sawit sebagai bagian dari pengembangan wilayah tertutup dan mensejahterakan masyarakat yang terintegrasi dalam perkebunan. 4. Suka atau tidak suka, kami menyebutkan banyak petani kelapa sawit (plasma) yang di paksa oleh perusahaan untuk masuk dalam kemitraan karena desakan dan tekanan ekonomi. Banyak petani yang pasrah karena tanpa tanah lagi dan salah satu jalan adalah berintegrasi dengan perkebunan besar melalui kemitraan inti – plasma. Dengan beberapa alasan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa terlepas dengan derita yang di alami petani sawit (baca: Fase konflik) ataupun masyarakat yang akan bermitra dengan perkebunan besar dalam bentuk plasma wajib secara hukum di lindungi usahanya oleh Negara karena segala bentuk perwujutannya di produksi oleh Negara. Sehingga tidak ada alasan seluruh bentuk konflik yang di hadapi oleh petani maupun masalah-masalah kehidupannya harus di respon oleh Negara. Terdapat beberapa fase konflik untuk melihat konflik dalam perkebunan yang melibatkan petani sawit dan perusahaan perkebunan. Fase Konflik di Petani kelapa sawit dengan Perusahaan besar dan Prakteknya
Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT 1. Fase Normatif : Fase normatif identik dengan legalitas usaha yang di peroleh sebuah perusahaan perkebunan. Dalam fase ini, perusahaan akan memperoleh Ijin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha. Dalam konteks normative, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit akan dapat mengembangkan lahan usaha perkebunan apabila perusahaan telah memegang Hak Guna Usaha. Dalam konteks ini, pemerintah melegalkan perolehan lahan oleh satu perusahaan hingga 100.000 ha sebagaimana yang tercantum dalam kebijakan Perizinan Usaha Perkebunan no 26 tahun 2007. Konflik dalam fase normative seringkali ijin yang diperoleh Perusahaan perkebunan tumpang tindih dengan kawasan-kawasan kelola milik masyarakat local. Pemerintah daerah cendrung mengeluarkan ijin tanpa melihat terlebih dahulu pada obyek yang di ijinkan. Di beberapa tempat, wilayah-wilayah pemekaran kabupaten baru baik di Sumatra maupun Kalimantan sebagai proyek utama para bupati untuk mengembangkan wilayah nya dengan perkebunan besar. Namun ketika konflik muncul, pemerintah daerah hanya mampu memfasilitasi proses penyelesaian konflik yang bahkan tidak pernah tuntas dan enggan mencabut ijin yang di telah keluarkan. Dalam konteks ini kami melihat bahwa pemerintah masih belum memayungi masyarakat local sebagai pengelola dan penguasa wilayah. Regulasi Negara yang masih belum mengakui wilayah kelola adat juga berkontribusi pada terwujudnya konflik dan liberalisasi Ijin perkebunan. Selain itu pula tatakelola pemerintah yang korup dan tidak bertanggungjawab berdampak pada makin parahnya konflik yang terjadi di masyarakat sehingga pemerintah tidak lagi menghargai asas social, budaya dan lingkungan. Melihat konflik fase normative sangat mudah kita temui dalam perkebunan sawit di mana terdapat masyarakat yang menolak secara utuh perkebunan sawit atau tidak menerima apapun skema ekonomi yang di tawarkan perusahaan. Masyarakat lebih memiliki corak ekonominya sendiri bukan oleh industry perkebunan. Di sisi yang lain, perusahaan akan melakukan penggusuran tanah milik masyarakat atau wilayah adat yang di kelola masyarakat. 2. Fase Pembangunan Perkebunan Dalam fase ini bisanya di tandai dengan penyerahan lahan oleh masyarakat yang bersepakat untuk bermitra dalam bentuk inti dan plasma. Kesepakatan ini akan di buat dalam bentuk MOU (memorandum of understanding) dan sosialisasi pola kemitraan yang akan di lakukan oleh perusahaan perkebunan kepada calon-calon petani. Dalam proses sosialisasi akan menjelaskan tentang biaya pembangunan kebun plasma, pola apa yang akan diterapkan dan bagaimana model pengelolaan kebun . Dalam praktenya, perusahaan perkebunan tidak melakukan sosialisasi dalam konteks mengakomodasi aspirasi petani namun cendrung memaksakan pola perkebunan yang menguntungkan perusahaan. Selain itu pula, hal-hal yang substantif tidak di informasikan secara terbuka kepada petani. Misalnya biaya pembangunan perkebunan atau besaran kredit petani untuk pembangunan kebun plasma, jadwal di bangunnya kebun plasma dan kapan akan diberikan kebun kepada petani. Hal yang lain juga yang kami temui antara Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT lain, perusahaan perkebunan membuat MOU secara sepihak seperti misalnya kasus yang di alami oleh masyarakat di kuantan singing Provinsi Riau yang bermitra dengan PT. Tribakti Sarimas di kecamatan Kunatan Mudik. Kasus yang termasuk dalam fase ini juga terkait dengan berapa luasan kebun plasma yang akan di bangun dan apa sanksi bagi perusahaan jika tidak memenuhi kewajibannya. Selain itu, fase pembangunan perkebunan pula seringkali berada di luar luasan ijin yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, kawasan yang dibangun perusahaan sawit melebih kawasan yang di ijinkan oleh pemerintah. Hal ini kami temui pada PT. Inti Indosawit Subur di Kabupaten Tanjung Jabung Barat jambi yang melebihi ijin pemerintah seluas 1032 ha dan begitupun halnya PT. Kaswari Unggul di kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi yang berkonflik dengan masyarakat desa Pandan Lagan seluas 400 ha yang merupakan wilayah transmigrasi. 3. Fase Konversi kebun plasma Kasus di Sungai Sodong di Mesudji merupakan potret dari fase konversi. Di mana masyarakat di janjikan untuk memperoleh kebun plasma namun tidak di lakukan konversi oleh PT. SWA. Dalam proses konversi kebun plasma yang di lakukan perusahaan inti kepada petani terdapat beberapa hal yang perlu yang seringkali memicu konflik; Perusahaan melakukan konversi kepada petani pada saat tanaman berusia empat tahun (tanaman menghasilkan). Luasan kebun plasma secara umum sesuai dengan peraturan pemerintah seluas 2 ha/KK dan kemudian peraturan revitalisasi perkebunan mengatur 4 ha/kk. Perusahaan perkebunan sawit yang membangun plasma wajib membangun kebun plasma sesuai dengan standar fisik perkebunan atau satuan biaya perkebunan. Misalnya, infrastruktur jalan kebun yang baik, jumlah pohon sawit dalam satu hektar sebanyak 128 pohon sawit, sawit tidak kedil dan kondisi kebun harus bersih. Beberapa hal tersebut di atas dalam prakteknya perusahaan inti seringkali melakukan tindakan pelanggaran hak-hak petani. Beberapa kasus yang SPKS temui misalnya: 1. Perusahaan kebun melakukan konversi kebun plasma melebihi usia tanaman. Seperti misalnya pada usia tanaman enam tahun hingga belasan tahun. Hamper seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak melakukan konversi kebun plasma tepat waktu. Acapkali, perusahaan inti mengambil hasil produksi kebun plama selama beberapa tahun dan jika telah menguntungkan baru akan di lakukan proses konversi. Selain itu, perusahaan akan mencari modal dari keterlambatan proses konversi ini untuk memperluas kebunnya. Jika kita melihat kasus PT. SWA terkait dengan tidak dilakukan proses konversi tepat waktu (belasan tahun) sementara masyarakat tanahnya telah diambil untuk perkebunan. SPKS menduga, hasil kebun plasma (plasma pasif yang di namakan di PT. SWA) telah di ambil hasilnya oleh perusahaan selama belasan tahun dan masyarakat tidak menikmati samasekali.
Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT 2. Kebun plasma yang rata-rata keseluruhannya seluas 2 ha terkadang juga jarang dipenuhi oleh perusahaan inti. Terdapat beberapa kasus yang kami temui misalnya kasus yang di alami oleh petani kelapa sawit yang bermitra dengan PT. Mas II group Simedarby (perusahaan Malaysia) yang beroperasi di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang hamper 60 % petani kelapa sawitnya mendapatkan kebun di bawah 2 ha. Begitupun halnya, petani kelapa sawit yang bermitra dengan PT. tribakti sarimas di Kabupaten Kuantan Singingi Riau. Masyarakat telah menyerahkan lahan seluas 12.000 ha namun perusahaan hanya mampu membangun kebun sawit milik petani seluas 7.600 ha yang bisa di panen. Akibatnya di perusahaan ini, pada tahun 2010 terjadi penembakan oleh aparat kepolisian hingga menewaskan Ibu Yusniar (petani sawit) dalam aksi pendudukan kebun bulan Juni 2010. 3. Dalam konteks konversi kebun plasma yang acapkali terjadi adalah penggelapan kredit milik petani yang di lakukan perusahaan perkebunan. Hingga saat ini, kami sangat sulit mengakses bukti-bukti penggelapan kredit milik petani yang di lakukan perusahaan perkebunan akibat system penyaluran kredit dari BANK sangat ekslusif di lakukan dengan perusahaan. Namun bukti fisik bisa di jadikan bukti atas penggelapan kredit milik petani. Yang bisa di lihat di sini antara lain, Jumlah pohon sawit dalam satu haktar tidak sesuai dengan standar perkebunan yang baik (128 pohon sawit/ha) dan infrastruktur jalan dan kondisi kebun yang bersih dan jauh dari Gulma. Contoh kasus dalam proses ini kami temui banyak ganjalan dan kerugian di tingkat petani sawit. Contoh kasus ini ada di PT. tribakti sarimas, di mana petani menanggung biaya kredit kebun seluas 9600 ha sementara kebun yang dapat di panen hanya seluas 7600 ha. Begitu juga kasus-kasus lain, di mana perusahaan melakukan konversi kebun namun dalam kebun tersebut hanya terdapat semak belukar. Hal ini kami temui tahun 2008 di PTPN 13 di desa Pias Kecamatan Longkali Kabupaten Paser, dan terjadi di PT. Agrowiyana yang beroperasi di kecamatan Tebing Tanjung Jabung Barat jambi, di mana terdapat 120 ha kebun plasma milik petani ada dalam kawasan gambut yang menyulitkan bagi petani untuk melakukan pemanenan. 4. Fase Produksi Dalam fase ini terkait dengan beberapa hal yang menyangkut masalah produksi kebun milik petani dan factor-faktor yang mempengaruhi seperti misalnya
Sortasi buah dengan model pemotongan hasil produksi buah yang di lakukan oleh pihak pabrik kelapa sawit. Hal ini sangat merugikan petani kelapa sawit dan sebaliknya menguntungkan perusahaan. Besaran sortasi yang sering di gunakan sebesar 4 %. Jika dengan asumsi sortasi 4 % dan hasil produksi petani sebesar 4 ton Tandan buah sawit makan akan besarnya sortasi adalah 160 kg. Tahun 2006, pemerintah mencanangkan pola baru dengan Satu Manajemen yang tercantum dalam program revitalisasi perkebunan. Di mana kebun petani akan di kelola oleh perusahaan dan petani akan menerima hasil. Kecendrungan konflik dalam konteks ini terkait dengan tidak adanya transparansi biaya pengelolaan dan
Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT
hasil produksi kebun petani dan juga biaya perawatan tinggi namun hasil produksi sangat rendah. Kapasitas Pabrik yang tidak cukup menampung buah petani. Sering terjadi antrian di pabrik, dan mengakibatkan buah sawit tidak dapat di angkut dan busuk di tempat. Indek K yang tercantum dalam sistem penetapan harga TBS yang melegalkan perampokan hasil produksi milik petani sawit. Indek K tersebut adalah biaya pengelolaan pabrik dan pengangkutan CPO yang di bebankan kepada petani seperti misalnya pengelolaan limbah pabrik, penerangan pabrik, rehabilitasi pabrik, gaji staff pabrik). Perampokan melalui indek K ini besarannya sekitar Rp. 350/ kg. Sayangnya, pemerintah melegalkan perampokan hasil produksi petani ini melalui kebijakan penetapan harga permentan No 17 tahun 2010.
Dari ke-empat fase tersebut di atas seluruhnya telah menimbulkan konflik yang besar dalam perkebunan. Perusahaan sawit berkonflik dengan masyarakat adat (fase pertama) dan petani kelapa sawit (fase ke 2 - 3 dan 4). Bulan Desember 2011 ini saja kita dapat melihat penangkapan petani sawit sebanyak 21 orang di PT. Borneo Ketapang Permai di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dan PT. Sintang Raya di kabupaten kubu raya di Kalimantan barat yang mengkriminalisasi petani sebanyak 12 orang. Pada tahun 2010, SPKS mencatat terdapat 112 petani kelapa sawit di kriminalisasi yang tersebar di 7 provinsi dan di lakukan oleh 13 perusahaan besar. Grafik Konflik yang di golongkan dalam 4 Fase di 28 perusahaan sawit tahun 2011
Jumlah Perusahaan besar
10 8 6 4 2 0 Fase I Fase II Fase III Fase IV Fase Konflik antara petani dan perusahaan perkebunan
Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT Tentunya konflik di dalam perkebunan kelapa sawit akan terus terjadi selagi masih terwujudnya ketimpangan struktur perkebunan kelapa sawit yang masih menjadikan petani kelapa sawit sebagai obyek perusahaan perkebunan besar.
Kebijakan Kontra Petani Sawit Kami juga memandang konflik yang hadir dalam perkebunan sawit selama ini di akibatkan sekumpulan kebijakan yang mengatur tentang perkebunan sawit mayoritas berpihak pada perusahaan besar. Perlu kita ketahui bahwa usia perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah satu abad dan sepanjang waktu tersebut di kuasai oleh perusahaan besar. Baru terjadi pada tahun 1980 an, petani menjadi bagian dari perkebunan sawit tersebut dengan system kemitraan yang ada hingga saat ini. Tentunya perusahaan besar telah mewarisi dan menciptakan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat selama satu abad dan sudah seharusnya diwujudkan tatakelola perkebunan yang memandirikan petani. Kami sangat yakin dengan memandirikan petani sawit adalah salah satu upaya untuk mencegah berbagai persoalan di dalam perkebunan. Namun saat ini, belum ada tanda-tanda menuju terwujudnya hal tersebut di akibatkan oleh makin terus menerusnya Negara memunculkan kebijakan yang kontra dengan misi petani sawit. Beberapa kebijakan tersebut yang tidak berpihak pada petani sawit antara lain; 1. Permentan No 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang mencantumkan pengelolaan kebun sawit milik petani hanya 20 % dan penguasaan perusahaan 80 % (fase konflik 2). 2. Permentan No 17 tahun 2010 tentang sistem penetapan harga sawit yang mengatur soal sortasi buah dan indek k (fase konflik 4). 3. Kebijakan tentang HGU (Hak Guna Usaha) yang memberikan waktu panjang bagi perusahaan perkebunan untuk mengelola perkebunan hingga 4 siklus tanaman. Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT 4. Permentan No 33 tahun 2006 tentang revitalisasi perkebunan yang mengatur tentang pola manajemen satu atap sebagai manifestasi dari kebijakan yang tidak memberdayakan petani kelapa sawit. 5. UU Perkebunan No 18 tahun 2004 6. Permentan tentang pengalihan kebun plasma dari kebun inti Kami melihat potensial konflik pada tahun 2012 akan semakin menanjak. Hal ini di picu oleh target pemerintah untuk pengembangan perkebunan hingga tahun 2015 seluas 15 juta ha seiring dengan permintaan pasar dunia. Hal ini dipermulus dengan kebijakan revitalisasi perkebunan dengan memperluas perkebunan kelapa sawit dan dalam kebijakan tersebut menerapkan pola satu manajemen. Kami menilai, pola satu manajemen yang diterapkan dalam skema kemitraan saat ini sangat berpotensial menimbulkan banyak konflik. kami memiliki catatan misalnya di PT. KGP (Kebun Ganda Prima) di kalbar, kebun Krena Duta Agro Indo di jambi, PT. TBS (tribakti Sari Mas di Riau dan PT. Borneo Ketapang Permai di Sanggau Kalimantan barat. Ke-empat perusahaan ini menjadikan petani kelapa sawit sebagai pihak yang diletakkan hanya menerima hasil produksi kebun dan tidak berperan sebagai budidaya tanaman. Hal ini juga sebenarnya yang terjadi di PT. SWA di mana petani yang akan menunggu hasil dan perusahaan yang akan mengelola kebun plasma. Pola ini terbukti di beberapa tempat menimbulkan konflik yang maha dasyat. Pola ini di kenal dengan pola satu manajemen yang dibentuk melalui program revitalisasi perkebunan. Tuntutan Minimum Petani Kelapa sawit 1. Lakukan evaluasi skema kemitraan perkebunan kelapa sawit antara inti dan plasma. Untuk menemukan situasi perbaikan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berpihak pada petani sawit. 2. Perlindungan dan pemberdayaan petani kelapa sawit perlu di lakukan untuk mewujudkan petani kelapa sawit sebagai subyek penting dalam perkebunan kelapa sawit. 3. Hentikan pendekatan pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar untuk menjawab tuntutan pasar global dan lakukan pendekatan baru dengan optimalkan hasil produksi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit baik milik petani maupun milik perusahaan inti hingga 30 ton/ha/tahun. 4. Negara perlu mengawasi praktek penggunaan kredit petani yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit. 5. Perbaiki regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada petani kelapa sawit dan menguntung perusahaan perkebunan skala besar. 6. Kembalikan pajak export kepada petani untuk pelatihan, pengadaan pupuk dan biaya peremajaan perkebunan rakyat.
Tuntutan maksimum : Transformasi Struktur Perkebunan dari struktur kapitalistik dan berorientasi struktur kerakyatan Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171
CATATAN AKHIR TAHUN 2011
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT
Bogor, 28 Desember 2011 Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto Kordinator Forum Nasional SPKS Kontak Person : 082-110-2777-00
Perumahan Bogor Baru Blok C 1 No 10 bogor jawa barat, TLP : 0251-8352171