TIPOLOGI KEBUN SAWIT SWADAYA DI PROVINSI RIAU
ADE INDAH MUKTAMARIANTI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tipologi Kebun Sawit Swadaya di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Ade Indah Muktamarianti NIM E34120050
ABSTRAK ADE INDAH MUKTAMARIANTI. Tipologi Kebun Sawit Swadaya di Provinsi Riau. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan YANTO SANTOSA. Keputusan spontan pembangunan kebun sawit swadaya cenderung lebih sulit untuk dikontrol dan diawasi, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk mengatur pengembangan kebun sawit swadaya. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tipologi kebun sawit swadaya di Provinsi Riau untuk dapat memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan. Penelitian dilaksanakan di tiga desa yaitu (1) Sukamaju, Kecamatan Singingi Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi; (2) Tambak, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan; dan (3) Jambai Makmur, Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada tanggal 15 Maret – 9 April 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara kepada 38 pemilik kebun dan observasi lapangan. Peubah yang diamati adalah karakteristik pemilik kebun, kebun, dan pengelolaan kebun sawit swadaya dan dianalisis menggunakan uji chi square yang menghasilkan empat peubah penciri dalam perumusan tipologi kebun sawit swadaya di Provinsi Riau, yaitu gender, pendapatan sampingan, frekuensi pruning dan rawat piringan. Tidak ada peubah penciri dari karakteristik kebun sawit swadaya. Kata kunci: kebun sawit swadaya, pemilik, pengelolaan kebun, tipologi
ABSTRACT ADE INDAH MUKTAMARIANTI. A Typology of Independent Oil Palm Plantation in Riau Province. Supervised by ARZYANA SUNKAR and YANTO SANTOSA. Spontaneous decisions by large number of independent oil palm smallholders are more difficult to monitor and control. Hence, formulating a typology of independent oil palm plantation in Riau province as a recommendation in designing appropriate policies is required. Data collected in three villages; (1) Sukamaju, Singingi Hilir Subdistrict, Kuantan Singingi District; (2) Tambak, Langgam Subdistrict, Pelalawan District; and (3) Jambai Makmur, Kandis Subdistrict, Siak District on March 15 – April 9, 2016. This study conducted In-depth interview toward 38 smallholders and field observation. Smallholder characteristic, independent oil palm plantation and plantation management variables were observed and analyzed using chi square test. Results showed that there are four determinant variables to formulate a typology of independent oil palm plantation in Riau Province, these are gender, additional income, pruning and circle weeding frequency. There is no determinant variable identified from independent oil palm plantation variables. Keywords: independent oil palm plantation, management, smallholder, typology
TIPOLOGI KEBUN SAWIT SWADAYA DI PROVINSI RIAU
ADE INDAH MUKTAMARIANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 sampai April 2016 ini yaitu Tipologi Kebun Sawit Swadaya di Provinsi Riau. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, M.Sc dan Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atas dukungan dana yang diberikan untuk penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pemilik kebun sawit swadaya yang telah bersedia memberikan informasi untuk mendukung penelitian ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh tim proyek sawit yang telah membantu selama pengumpulan data; Ibu Resti Meilani, S.Hut; M.Si, Gilang Nugraha Kusuma Ardhi, S.Hut; Airana Nafira Ramadhita, S.Hut; Projek Seni Sejenak; Wazabe; Dora-Diego serta KSHE 49 (Cantigi gunung 49) yang telah memberikan semangat selama pengambilan data hingga penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibunda Triagustijanti Hantoro, Ayahanda Syarif Hidayat, serta keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Ade Indah Muktamarianti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Lokasi dan Waktu Penelitian
2
Alat dan Instrumen
2
Jenis dan metode Pengumpulan Data
2
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
6
Karakteristik Pemilik Kebun Sawit Swadaya
10
Karakteristik Kebun Sawit Swadaya
11
Karakteristik Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya
12
Hubungan antar Peubah Kebun Sawit Swadaya
14
Hubungan antar Peubah Pemilik Kebun Sawit Swadaya
14
Hubungan Peubah Kebun dengan Peubah Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya
15
Hubungan antar peubah pemilik dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya Hubungan antar Peubah Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya
16 17
Hubungan Peubah Pemilik dengan Peubah Kebun Sawit Swadaya
18
Perumusan Tipologi Kebun Sawit Swadaya
19
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
21
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
21
DAFTAR TABEL 1
Jenis data dan metode pengambilan data
4
2
Kondisi fisik di kabupaten yang menjadi wilayah studi
6
3
Kondisi biotik kabupaten yang menjadi wilayah studi
8
4
Kondisi sosial dan ekonomi ketiga kabupaten yang menjadi wilayah studi
9
5
Karakteristik pemilik kebun sawit swadaya
10
6
Karakteristik kebun sawit swadaya
12
7
Karakteristik pengelolaan kebun sawit swadaya
13
8
Hasil uji korelasi antar peubah kebun sawit swadaya
14
9
Hasil uji korelasi antar peubah pemilik kebun sawit swadaya
15
10
Hasil uji korelasi peubah kebun dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya
16
11
Hasil uji korelasi peubah pemilik kebun dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya
16
12 Hasil uji korelasi antar peubah pengelolaan kebun sawit swadaya 13
Hasil uji korelasi peubah pemilik kebun dengan peubah kebun sawit swadaya
17 18
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekspansi perkebunan kelapa sawit seringkali dituding sebagai penyebab deforestasi di Indonesia (Tarigan et al. 2015; Gunarso et al. 2013; Carlson et al. 2012; Koh dan Wilcove 2008) yang saat ini masih didominasi oleh perusahaanperusahaan besar (Euler et al. 2015). Pada kenyataannya kebun sawit rakyat, baik melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) atau swadaya juga memiliki peran yang cukup signifikan (Euler et al. 2015). Lahan kebun sawit rakyat di Indonesia diprediksi oleh Direktorat Jenderal Perkebunan akan mencapai 41% pada tahun 2016, yang sebagian besar diantaranya merupakan kebun sawit swadaya (Idsert dan Schoneveld 2016; Euler 2015). Faktor-faktor yang mendorong tingginya animo masyarakat untuk membangun kebun sawit swadaya diantaranya: (1) tingginya permintaan akan minyak sawit dunia; (2) nilai ekonomi yang tinggi; (3) perawatan yang mudah; (4) keberadaan perusahaan minyak sawit sebagai pasar; (5) peluang kerja sama dengan bank dalam pengadaan modal; (6) membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal (Euler 2015; Feintrenie et al. 2010), dan (7) kebun sawit swadaya dianggap dapat mengurangi risiko-risiko sosial, ekonomi dan lingkungan (Baswir et al. 2009). Faktor-faktor tersebut menjadikan kebun sawit swadaya sangat mungkin mendominasi sektor minyak sawit Indonesia di masa mendatang (Euler 2015). Adanya wacana diberlakukannya moratorium bagi perkebunan sawit besar namun tidak untuk kebun sawit swadaya juga berpotensi meningkatkan kecenderungan ekspansi kebun sawit swadaya. Tidak seperti konsesi lahan menjadi perkebunan sawit yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, keputusan spontan pembangunan kebun sawit swadaya cenderung lebih sulit untuk dikontrol dan diawasi (Euler et al. 2015). Menurut Feintrenie et al. (2010), masyarakat yang membangun kebun sawit swadaya lebih memilih melakukan penanaman pada lahan hutan dibandingkan lahan mereka sebelumnya. Feintrenie et al. (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa masyarakat tidak peduli akan terjadinya deforestasi, selama mereka mendapatkan keuntungan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, sehingga ekspansi kebun sawit swadaya dengan membuka lahan hutan secara ilegal juga seringkali terjadi. Studi lain (Baswir et al. 2009) juga menyebutkan bahwa dorongan dari hasil kebun dengan luas yang terbatas membuat pemilik kebun sawit swadaya berusaha keras mendapatkan lahan dengan cara mengambil tanah ‘tak bertuan’. Dikhawatirkan pada masa mendatang, masyarakat melihat kemungkinan untuk melakukan pengambilah lahan pada kawasan-kawasan konservasi. Dengan demikian diperlukan suatu kebijakan untuk mengatur pengembangan kebun sawit swadaya. Penelitian yang dilakukan oleh Idsert dan Schoneveld (2016) menemukan adanya perbedaan karakteristik dalam kelompok-kelompok pemilik kebun sawit swadaya yang akan berimplikasi terhadap penerapan kebijakan, karena setiap tipe pemilik kebun sawit swadaya membutuhkan prioritas kebijakan yang berbedabeda. Untuk itu perlu dibuat kebijakan yang sesuai dengan tipologi kebun sawit swadaya. Beberapa penelitian telah mengelompokkan kebun sawit swadaya berdasarkan karakteristik pemilik kebun (Idsert dan Schoneveld 2015), kebun (Idsert dan Schoneveld 2015; Glenday dan Paoli 2015), dan pengelolaannya
2
(Glenday dan Paoli 2015; Molenaar et al. 2013), sehingga penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tipologi kebun sawit swadaya di Provinsi Riau berdasarkan ketiga karakteristik tersebut untuk dapat memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan yang sesuai dengan tipe-tipe kebun sawit swadaya. Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4.
Penelitian ini bertujuan untuk: Mengidentifikasi karakteristik pemilik kebun sawit swadaya Mengidentifikasi karakteristik kebun sawit swadaya Mengidentifikasi karakteristik pengelolaan kebun sawit swadaya. Merumuskan tipologi kebun sawit rakyat. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dengan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai masukan pembuatan kebijakan penanganan konflik di perkebunan sawit. 2. Sebagai masukan dalam perumusan optimalisasi peran kebun sawit swadaya dalam berkontribusi kepada negara
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di tiga wilayah yang berbeda yaitu (1) Desa Suka Maju, Kecamatan Singingi Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi; (2) Desa Tambak, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan; dan (3) Desa Jambai Makmur, Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada tanggal 15 Maret 2016 hingga 9 April 2016.
Alat dan Instrumen Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perekam suara, alat dokumentasi (kamera), serta komputer dan software SPSS 16.0 untuk pengolahan data. Instrumen yang digunakan yaitu panduan wawancara. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi lapang, sedangkan data sekunder berupa kondisi umum lokasi penelitian diperoleh melalui studi pustaka. Data primer yang diambil dalam penelitian ini ialah karakteristik pemilik kebun (Tabel 1).
3
Gambar 1 Lokasi penelitian Wawancara Wawancara dilakukan secara mendalam dan terstruktur (in depth-structured interview) menggunakan panduan wawancara terhadap 14 pemilik kebun sawit swadaya di Desa Sukamaju, 7 pemilik kebun sawit swadaya di Desa Tambak, dan 17 pemilik kebun sawit swadaya di Desa Jambai Makmur, yang ditentukan dengan menggunakan teknik convenience sampling. Observasi Lapangan Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data kondisi kebun sawit swadaya, kondisi sosial ekonomi pemilik kebun, budaya masyarakat, aktivitas pemilik kebun sawit swadaya, pengelolaan kebun sawit swadaya, serta data terkait lokasi penelitian. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan sebelum penelitian di lapangan dilaksanakan untuk mendapatkan informasi awal sebagai acuan dalam pemilihan lokasi kajian serta untuk melengkapi informasi yang didapatkan dari lapangan. Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian, karakteristik pemilik, kebun, dan pengelolaan kebun sawit swadaya secara umum di Indonesia. Jenis Data Karakteristik pemilik kebun sawit swadaya
Tabel 1 Jenis data dan metode pengambilan data Peubah Metode Pengumpulan Data Berperan sebagai tokoh lokal Wawancara (R1), gender (R2), umur (R3), status pernikahan, ukuran keluarga (R4),
4
Tabel 1 Jenis data dan metode pengambilan data (lanjutan) Jenis Data Peubah Metode Pengumpulan Data kategori penduduk (R6), asal daerah (R7), alasan bermukim (R8), jenjang pendidikan terakhir (R9), pekerjaan utama (R10), pendapatan utama (R11), pekerjaan sampingan (R12), pendapatan sampingan (R14), curahan waktu di kebun sawit (R13), lama bekerja di sawit (R15), sumber pengetahuan mengenai sawit (R16), kepemilikan kebun lainnya (R17), luasan kebun lainnya (R18), alasan pembangunan kebun sawit swadaya (R20). Status desa tempat tinggal Wawancara, studi pustaka (R5), Kontrak dengan perkebunan sawit besar (R19). Karakteristik Luasan kebun sawit sekarang Wawancara, studi pustaka kebun sawit (A1). swadaya Letak kebun sawit (A2), Wawancara, observasi lapang jarak kebun ke tempat tinggal (A6), infrastruktur di kebun sawit swadaya (A7). Asal lahan (A3), Asal wawancara penggunaan lahan (A4), Tahun tanam (A5). Karakteristik Modal awal (B1), sumber wawancara pengelolaan modal awal (B2), sumber kebun sawit modal perawatan (B3), peran swadaya pemilik dalam pengelolaan kebun sawit swadaya (B4), input pekerja (B5), rencana perluasan kebun sawit swadaya (B6), alasan perluasan (B7), rencana lokasi perluasan (B8). Banyak jenis pupuk (B10); Wawancara, studi pustaka frekuensi per tahun: pemupukuan (B9), pruning (B11), penyemprotan (B12), pembabatan (B13), pembuatan piringan (B14).
5
Analisis Data Identifikasi karakteristik pemilik, kebun, dan pengelolaan kebun sawit swadaya Analisis statistika deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik pemilik, kebun, dan pengelolaan kebun sawit swadaya. Berikut langkah-langkah yang dilakukan: 1. Pembuatan selang kelas untuk masing-masing peubah Pembuatan selang kelas dilakukan dengan rumus berikut: Selang kelas=
datum terbesar – datum terkecil 3 (banyaknya kelas)
2. Pembuatan tabel distribusi frekuensi Data penelitian kemudian dikelompokkan ke dalam selang kelas yang telah dibuat untuk masing-masing peubah. Data tersebut kemudian dibuat dalam bentuk persentase dan disajikan menggunakan tabel. Perumusan tipologi kebun sawit swadaya Untuk perumusan tipologi diperlukan seleksi terhadap peubah-peubah independen yang mencirikan kebun sawit swadaya di lokasi penelitian. Peubahpeubah tersebut didapatkan dengan terlebih dahulu menentukan korelasi antar peubah. Penentuan korelasi antar peubah karakteristik pemilik kebun, kebun, dan pengelolaan kebun sawit swadaya dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Pengujian dilakukan dengan bantuan software SPSS 16.0. Dari peubah-peubah yang saling berkorelasi kemudian hanya dipilih beberapa peubah saja untuk mewakili peubah lainnya sebagai peubah penciri dalam merumuskan tipologi. Selang kelas dengan frekuensi tertinggi dari peubah penciri merupakan tipologi dari kebun sawit swadaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Istilah kebun sawit swadaya merupakan perkebunan rakyat yang tidak terikat kontrak dengan perusahaan. Kebun sawit swadaya memiliki ciri khas yang jauh berbeda dengan pola perkebunan besar. Kebun sawit swadaya merupakan perkebunan sawit rakyat yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan, pada umumnya diusahakan oleh individu, keluarga, atau kelompok dalam luas yang relatif kecil, dengan pola penanaman dan manajemen kebun yang tidak monokultur, dengan modal kecil, dan tidak memiliki target produksi khusus (Baswir et al. 2009). Kebun sawit swadaya pada beberapa publikasi dikelompokkan berdasarkan karakteristik pemilik kebun (Idsert dan Schoneveld 2015), kebun (Idsert dan Schoneveld 2015; Glenday dan Paoli 2015), dan pengelolaannya (Glenday dan Paoli 2015; Molenaar et al. 2013). Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap karakteristik pemilik kebun, kebun, dan pengelolaan kebun untuk merumuskan tipologi kebun sawit swadaya di Provinsi Riau.
6
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi fisik Penelitian dilakukan di Provinsi Riau yang memiliki 10 kabupaten dan dua kotamadya, sedangkan lokasi desa yang menjadi wilayah studi termasuk ke dalam Kabupaten Kuantan Singingi, Pelalawan, dan Siak. Provinsi Riau memiliki luas sebesar 8 915 016 ha (BPS Riau 2016). Seluruh kabupaten termasuk ke dalam iklim tropis.
No 1 2
3
4
Tabel 2 Kondisi fisik di kabupaten yang menjadi wilayah studi Kabupaten Kondisi Fisik Kuantan Pelalawan Siak Singingi Luas wilayah 7 656. 03 ha 13 924. 94 km2 8 556. 09 km2 (BPS Riau (BPS Riau 2016) (BPS Riau 2016) 2016) Letak 0000 - 1000 1,25' Lintang Kabupaten Siak astronomis Lintang Selatan Utara (LU) terletak pada (LS) dan 1010 sampai 0,20' LS posisi 02 – 101055 dan antara 1016’30”LU sd Bujur Timur 100,42' BT 0020’49”LU dan (BT) (BPS Kab. sampai 103,28' 1000 54’21”BT Kuansing 2016) BT (BPS Kab. sd Pelalawan 2016) 102014’59”BT (BPS Kab. Siak 2016) 4 Batas wilayah Utara : Utara : Kabupaten Kabupaten Siak Utara : Kampar dan dan Bengkalis Kabupaten Pelalawan Selatan : Bengkalis Selatan : Kabupaten Selatan : Provinsi Jambi Indragiri Hulu, Kabupaten Barat : Provinsi Indragiri Hilir Kampar dan Sumatera Barat dan Kuantan Pelalawan Singingi Barat : Kota Barat : Kabupaten Pekanbaru Kampar dan Kota Timur : Pekanbaru Timur Timur : Kabupaten : Provinsi Kabupaten Indragiri-Hulu Kepulauan Riau Kepulauan Meranti Ketinggian Dataran rendah Bervariasi antara Dataran rendah : antara 5-300 2-40 mdpl 0-50 mdpl, mdpl, dataran perbukitan : 50tinggi berbukit 150 m antara 400-800 mdpl
7
Tabel 2 Kondisi fisik di kabupaten yang menjadi wilayah studi (lanjutan) Kabupaten No Kondisi fisik Kuantan Singingi Pelalawan Siak 5 Iklim Beriklim tropis Beriklim tropis Beriklim tropis dengan suhu udara dengan dengan suhu maksimum berkisar temperatur rata- udara berkisar antara 32,60C – rata 220C-320C, antara 250-320 36,50C dan suhu dan kelembaban C. minimum berkisar nisbi 80-88% antara 19,20c – 22,00C. 6 Curah hujan 25.57-498.70 82.9 mm (bulan Jumlah curah mm/bulan dengan Januari) hingga hujan hujan 2 jumlah hari hujan 1- 457.5 mm 925. 67 18 hari per bulan (bulan mm/bulan dan (BPS Kab. November) jumlah hari Kuansing 2016) (BPS hujan 120,75 Kabupaten hari/bulan Pelalawan (BPS 2016) Kabupaten Siak 2014) 7 Jenis tanah Secara struktur Terdapat 2 sifat Tanah Pedzolik geologi terdiri dari tanah, tanah Merah Kuning patahan naik, bergambut serta dari batuan dan patahan mendatar tanah alluvial Alluvial serta dan lipatan, dan sedimen. tanah tersusun dari Tanah di Organosol dan kelompok batuan Kabupaten Gley Humus sedimen, Pelalawan dalam bentuk metamorfosis termasuk ke rawa-rawa atau (malihan), batuan dalam ordo tanah basah volkanik dan intrusi Histosol, (Pemprov Riau serta endapan Entisol, 2013) permukaan Inseptisol, dan (Pemkab Kuansing Ultisol 2016) (Pemkab Pelalawan 2009) 8 Hidrologi Sungai : Batang Sungai : Sungai : Siak Singingi, Batang Kampar (7413.5 Kecil, Siak, Kuantan km dengan Penyengat Luas : 8 778.5 km2 kedalaman 7.7 DAS sungai (BPS Riau 2016) m) utama : (BPS Riau Indragiri, 2016) Kampar, Siak dan Rokan (BPS Riau 2016)
8
Kondisi biotik Kelapa sawit, kelapa, dan karet merupakan komoditi yang mendominasi sektor perkebunan Provinsi Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau adalah sebesar 2 424 545 ha, kelapa 515 168 ha dan karet 374 901 ha. Kabupaten Pelalawan merupakan kabupaten dengan produksi kelapa sawit dan kelapa terbesar serta Kabupaten Kuantan Singingi merupakan penghasil karet terbesar pada tahun 2016 (Tabel 3). Tabel 3 Kondisi biotik kabupaten yang menjadi wilayah studi Kabupaten No Kondisi biotik Kuantan Pelalawan Siak Singingi 1 Luas perkebunan 129 320 ha 306 977 ha 288 362 ha kelapa sawit 2 Produksi kelapa 411 262 1 247 072 970 269 sawit ton/tahun ton/tahun ton /tahun 3 Luas perkebunan 2 761 ha 16 789 ha 1 628 ha kelapa 4 Produksi kelapa 1 925 17 430 1 193 ton/tahun ton/tahun ton/tahun 5 Luas perkebunan 145 364 ha 30 009 ha 15 477 ha karet 6 Produksi karet 85 100 40 609 11 380 ton/tahun ton/tahun ton /tahun
Sumber: BPS Riau 2016
Tutupan lahan di Provinsi Riau selain perkebunan yaitu hutan dengan luasan mencapai 9 020 232 ha dan 7% diantaranya adalah hutan suaka alam dan pelestarian alam (BPS 2016). Salah satu kawasan pelestarian alam adalah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang memiliki luas 38 576 ha. Taman Nasional Tesso Nilo dikelilingi oleh vegetasi hutan alam, hutan akasia dan perkebunan kelapa sawit. Flora di Taman Nasional Tesso Nilo merupakan perwakilan ekosistem transisi dataran rendah dan tinggi dengan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku dalam setiap hektarnya. Famili diptorecarpaceae memiliki jumlah jenis terbanyak di TNTN. Terdapat pula 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilian, dan 18 jenis amfibi Dephut (2004). Berbagai jenis flora dan fauna yang dilindungi dan terancam punah juga terdapat di taman nasional ini, seperti Kayu bata (Irvingia malayana), Kempas (Koompasia malaccensis), Jelutung (Dyera costulata), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Macan dahan (Neofelis nebulosa). Disamping itu, di taman nasional ini juga terdapat tidak kurang dari 82 jenis tumbuhan obat. Patalo/pasak bumi (Eurycoma longifolia) adalah salah satu tumbuhan obat yang populer. Sosial dan ekonomi Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian bekerja di sektor pertanian. Keadaan sosial ekonomi di ketiga kabupaten yang termasuk ke dalam wilayah studi dapat dilihat pada Tabel 4.
9
Tabel 4 Kondisi sosial dan ekonomi ketiga kabupaten yang menjadi wilayah studi Kabupaten Kondisi sosial, No ekonomi, budaya Kuantan Singingi Pelalawan Siak 1 Jumlah penduduk Laki-laki: 161 Laki-laki: Laki-laki: 226 377 203 683 jiwa 311 Perempuan: 152 Perempuan: Perempuan: 214 899 182.745 (BPS 530 (BPS Riau (BPS Riau 2016) Riau 2016) 2016) 2 Kepadatan 12.87-193.95 28 jiwa per 55.17 jiwa/km2 penduduk jiwa per km2 km² pada tahun 2013 (BPS Kabupaten (BPS (BPS Kabupaten Kuansing 2016) Kabupaten Siak 2014b) Pelalawan 2015) 4 Mata pencaharian Mayoritas Sebagian Mayoritas pekerja sektor besar petani bekerja di sector pertanian : 90 257 sawit pertanian orang (BPS (38.48%) (BPS Kabupaten Kabupaten (BPS Kabupaten Kuansing 2016) Pelalawan Siak 2014b) 2016) 5 Budaya Masyarakat Adat melayu Suku aslinya heterogen, pesisir dan adalah melayu diantaranya melayu siak. masyarakat petalangan Kebudayaannya Melayu Kuantan (Syahrul dipengaruhi oleh dan pendatang 2004) hokum syariat mayoritas adalah Islam. Adat Suku Jawa sopan santun (Pemkab Kuantan sangat Singingi 2016) diutamakan (Warta sejarah 2013) 6 Agama Mayoritas Mayoritas Mayoritas beragama Islam beragama beragama Islam (BPS Kabupaten Islam (BPS Kabupaten Kuansing 2015) (BPS SIak 2014) Kabupaten Pelalawan 2015) Karakteristik Pemilik Kebun Sawit Swadaya Pemilik kebun sawit swadaya umumnya tidak berperan sebagai tokoh lokal dengan kisaran usia yang paling umum antara 27 – 49 tahun (Tabel 5), hal ini dikarenakan usia tersebut masih tergolong usia produktif menurut Badan Pusat Statistik. Sedangkan 74 – 97 tahun memiliki komposisi yang paling kecil.
10
Tabel 5 Karakteristik pemilik kebun sawit swadaya Peubah Persentase Tokoh lokal Tidak (74%); Ya (26%) Gender Laki-laki (92%); Perempuan (8%) Umur 27 – 49 (50%); 50 – 73 (47%); 74 – 97 (3%) Status pernikahan Menikah (100%); Tidak menikah (0%) Ukuran keluarga Kecil (55%); Sedang (42%); Besar (3%) Status desa Transmigrasi (37%); Masyarakat asli (18%); Campuran migran dan non-migran (45%) Kategori Asli (18%); Transmigran (24%); Migran spontan (58%) penduduk Asal daerah Riau (18%); Sumatera selain Riau (50%); Jawa (32%) Alasan bermukim Ekonomi (68%); Sosial (13%); penduduk asli (18%) Jenjang Tidak bersekolah (18%); Dasar (42%); Menengah (29%); pendidikan Tinggi (11%) terakhir Pekerjaan utama PNS (5%); Petani (84%); Nelayan (3%); Pegawai swasta (5%); Wirausaha (3%) Pendapatan utama Rp 381 000 – 6 320 699 (81.6%); Rp 6 320 700 – 12 260 (per bulan) 400 (10.5%); Rp 12 260 401 – 18 200 101 (7.9%) Pekerjaan Pertanian (29%); Non pertanian (32%); Tidak ada (39%) sampingan Pendapatan Rp 300 000 – 6 599 999 (55%); Rp 6 600 000 – 12 900 000 sampingan (3%); Rp 12 900 000 – 19 200 000 (5%); Tidak ada (37%) Curahan waktu Penuh waktu (39.5%); Paruh waktu utama (42.1%); Paruh bekerja di kebun waktu sampingan (18.4%) sawit Lama bekerja di 2 – 9 (13%); 10 – 18 (53%); 19 – 27 (34%) sawit Sumber Perusahaan (42%); Teman/tetangga/keluarga (58%); pengetahuan Belajar sendiri (0%) mengenai sawit Kepemilikan Ada (24%); Tidak ada (76%) kebun lainnya Luasan kebun 1 - 3.99 (18%); 4 - 7.99 (3%); 8 – 11 (3%); Tidak ada lainnya (76%) Kontrak dengan Ada (32%); Tidak ada (68%) perkebunan sawit besar Alasan Meningkatkan ekonomi keluarga (89%); Investasi (11%) pembangunan kebun sawit swadaya Pemilik kebun sawit swadaya umumnya merupakan laki-laki dan seluruhnya sudah menikah. Hal ini dikarenakan lelaki dan perempuan yang telah menikah memiliki peran yang berbeda, dengan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai istri dan ibu (Li 2015). Konsep gender tersebut muncul pada
11
periode Orde Baru (1965 – 1998) melalui salah satu program yaitu transmigrasi (Elmhirst 2011) dengan memberikan lahan kepada setiap rumah tangga yang berpartisipasi atas nama suami sebagai kepala keluarga (Julia dan White 2012). Selain itu Nkongho et al. (2014) menyatakan bahwa kurangnya keterlibatan perempuan sebagai pemilik kebun dikarenakan perempuan seringkali dibatasi oleh norma-norma adat dan kurangnya modal yang dimiliki perempuan untuk membangun kebun sawit swadaya. Pemilik kebun umumnya tergolong kedalam keluarga kecil (≤ 4 orang) menurut BPS, hal ini sejalan dengan rata-rata anggota keluarga masing-masing kabupaten sebanyak empat orang (BPS 2016a; BPS 2016b; BPS 2016c). Jenjang pendidikan akhir pemilik kebun sawit swadaya dibedakan berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang terbagi atas: pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, kategori tidak bersekolah ditambahkan untuk dapat mewakili beberapa pemilik kebun. Pemilik kebun umumnya mengenyam pendidikan dasar (SD- SMP), hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nkongho et al. (2015) yang mendapati bahwa pemilik kebun sawit swadaya umumnya berpendidikan dasar (Kemdikbud 2003). Pemilik kebun asal Jawa merupakan transmigran yang ditempatkan oleh pemerintah di Riau pertama kali pada tahun 1962. Pendatang selain transmigran baik yang berasal dari Jawa maupun Sumatera menetap di Riau dengan motif untuk mencari peruntungan ekonomi seiring munculnya kebun-kebun kelapa sawit skala besar yang menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan upah yang cukup tinggi (Budidarsono et al. 2013). Pemilik kebun sawit swadaya yang paling mendominasi merupakan migran spontan dari Sumatera Utara (50%). Hal ini dikarenakan Sumatera Utara telah lebih dahulu menanam sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilik umumnya datang untuk mendapatkan akses lahan yang lebih murah, sesuai dengan penelitian Cole et al. (2015) bahwa perpindahan penduduk dari desa ke desa didorong untuk mendapatkan akses lahan, sumber daya atau upah. Umumnya pemilik kebun memiliki pendapatan di atas UMP Riau sebesar Rp 2 095 000. Karakteristik Kebun Sawit Swadaya Rata-rata luasan kebun sawit swadaya yang dimiliki adalah 0.25 - 3.82 hektar (65%), hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sibarani et al. (2015) yang menyatakan bahwa luas lahan yang dimiliki petani kelapa sawit swadaya beragam, dengan rata-rata 2.57 ha. Letak kebun sawit swadaya yang dimiliki umumnya mengelompok pada suatu lokasi. Luasan lahan kebun sawit yang kecil akan membuat lokasi kebun berdekatan, karena penjualan lahan kebun biasanya menggunakan ukuran kavling (satu kavling sama dengan dua hektar). Secara umum asal lahan kebun sawit didapat dari membeli (71%) dan sebagian besar lahan kebun sawit swadya sebelumnya merupakan lahan hutan sekunder (50%). Li (2015) menyatakan bahwa pemilik kebun menggunakan lahan milik pribadi, lahan bersama milik adat, lahan pembelian dari masyarakat lain atau hutan yang diklaim oleh masyarakat adat untuk membangun kebun sawit swadaya. Seringkali kebun sawit swadaya ditanam pada lahan yang sebelumnya merupakan hutan sekunder, lahan bekas tebangan, atau semak belukar yang telah digunakan untuk kegiatan agroforestry dan mereka mengklaim areal tersebut sebagai milik pribadi (Li 2015).
12
Lebih lengkap data karakteristik kebun sawit swadaya di Desa Sukamaju, Desa Tambak, dan Desa Jambai Makmur dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik kebun sawit swadaya Peubah Persentase Luasan kebun sawit 0.25 – 3.82 ha (65.8%); 3.83 – 7.41 ha (23.7%); 7.42 – 11 swadaya saat ini ha (10.5%) Letak kebun sawit Mengelompok (55%); menyebar (45%) swadaya Asal lahan Tanah ulayat (13%); membeli (71%); pemberian pemerintah (16%) Asal penggunaan Hutan (50%); semak belukar/lahan kosong (26%); sawit lahan (11%); kebun karet/palawija (13%) Tahun tanam 1989 – 1996 (32%); 1997 – 2005 (55%); 2006 – 2014 (13%) Jarak kebun sawit 0 - 2.2 km (73.7%); 2.43- 4.6 km (15.8%); 4.7 – 7 (10.5%) swadaya ke tempat tinggal Infrastruktur di Gubuk/rumah (29%); tidak ada (71%) kebun sawit swadaya Jarak kebun sawit swadaya dengan tempat tinggal pemilik umumnya tidak terlalu jauh, antara 0 – 2.2 kilometer. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Idsert dan Schoneveld (2016) bahwa tipe small migrant farmers memiliki rata-rata luasan kebun sawit swadaya 2.1 hektar, small indigenous farmers memiliki rata-rata luasan 1.8 hektar, medium-sized indigenous farmers memiliki rata-rata luasan 6.9 hektar dan medium-sized migrant farmers memiliki rata-rata luasan 6.6 hektar dengan lokasi kebun yang berjarak tidak jauh dari tempat tinggal. Jarak yang dekat dapat memudahkan pengontrolan oleh pemilik. Pada umumnya jarak kebun sawit swadaya ke tempat tinggal tidak jauh sehingga sebagian besar pemilik tidak mendirikan gubuk peristirahatan di kebunnya. Karakteristik Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya Modal awal yang digunakan oleh pemilik rata-rata berkisar antara Rp 5 000 000 – Rp 36 600 000 dengan sumber modal awal dari tabungan pemilik hasil pekerjaan sebelum berkebun sawit. Sebagian besar pemilik mendapatkan sumber modal perawatan sawitnya dari hasil penjualan tandan buah segar sawit. Modal awal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah modal yang digunakan saat pertama kali membangun kebun sawit swadaya, seperti biaya yang dikeluarkan untuk membeli lahan dan perawatan kebun hingga panen pertama yang bukan merupakan buah pasir. Buah pasir adalah buah yang pertama keluar, belum dapat diolah dalam pabrik karena masih mengandung minyak yang rendah (Pardamean 2008). Data selengkapnya mengenai karakteristik pengelolaan kebun sawit swadaya di Desa Sukamaju, Desa Tambak, dan Desa Jambai Makmur dapat dilihat pada Tabel 7.
13
Tabel 7 Karakteristik pengelolaan kebun sawit swadaya Peubah Persentase 5 - 36.6 (86.8%); 36.7 - 68.4 (2.6%); 68.5 Modal awal (juta rupiah) 100.2 (10.5%) Sumber modal awal Tabungan (92%); Pinjaman (8%) Hasil penjualan sawit (97%); Hasil Sumber modal perawatan penjualan sawit dan pinjaman (3%) Alasan pembangunan kebun sawit Meningkatkan ekonomi (89%); Investasi swadaya (11%) Peran pemilik dalam pengelolaan Mengerjakan lahannya (87%); Tidak kebun sawit swadaya mengerjakan lahannya (13%) Input pekerja Anggota keluarga inti (42%); Anggota keluarga lain (3%); bukan keluarga (55%) Rencana perluasan kebun sawit Ada (24%); Tidak ada (76%) swadaya Alasan perluasan Investasi (18.4%); Pengembangan ekonomi keluarga (2.6%); tidak melakukan perluasan (78.9%) Rencana lokasi perluasan Di desa tempat tinggal (10.5%); Kabupaten lain (5.3%); Provinsi lain (2.6%); tidak ada (81.6%) Frekuensi pemupukan (per tahun) 0 – 3 (39.5%); 4 – 8 (55.3%); 9 – 13 (5.2%) Banyak jenis pupuk (per tahun) 0 – 1 (5%); 2 – 4 (82%); 5 – 7 (13%) Frekuensi pruning (per tahun) 0 – 1 (44.7%); 2 – 4 (52.6%); 5 – 7 (2.6%) Frekuensi penyemprotan (per 0 – 1 (29%); 2 – 4 (68%); 5 – 7 (3%) tahun) Frekuensi pembabatan (per tahun) 0 – 1 (76%); 2 – 3 (16%); 4 – 5 (8%) Frekuensi pembuatan piringan 0 (95%); 1 (3%); 2 (3%) (per tahun) Pemilik kebun sawit swadaya dalam penelitian ini hampir seluruhnya mengerjakan lahannya secara langsung dan dibantu dengan buruh tani yang bukan merupakan anggota keluarga. Sebagian besar pemilik kebun sawit swadaya tidak memiliki rencana untuk melakukan perluasan kebun sawit swadaya dalam waktu dekat, dikarenakan modal yang dibutuhkan untuk membangun kebun sawit swadaya di masa sekarang terbilang sangat mahal karena semakin sedikitnya lahan yang tersedia. Pengelolaan yang dilakukan terhadap kebun sawit swadaya meliputi pemberian pupuk, pruning atau pemangkasan pelepah, pembabatan rumput atau tumbuhan bawah, penyemprotan pestisida, dan rawat piringan. Piringan adalah areal di sekeliling pohon sawit yang memberikan ruang untuk pertumbuhan tanaman sehingga harus dibersihkan untuk mempermudah pengumpulan brondolan sewaktu panen dan tempat untuk penaburan pupuk. Rawat piringan adalah membersihkan piringan dari gulma-gulma yang merugikan tanaman dalam hal persaingan unsur hara, pupuk, dan air (Saputra 2011). Pada penelitian ini rawat piringan yang dimaksud adalah cara manual dengan menggunakan cangkul atau arit. Pengelolaan dilakukan dengan frekuensi yang variatif per tahunnya. Pemilik umumnya melakukan pemupukan sebanyak empat hingga delapan kali dalam
14
setahun, dengan pupuk sebanyak dua hingga empat jenis. Pruning atau pemangkasan pelepah dilakukan dua hingga empat kali dalam setahun, begitu pula dengan penyemprotan pestisida. Pembabatan umumnya hanya dilakukan sekali dalam setahun, sedangkan rawat piringan tidak dilakukan setiap tahun melainkan hanya sekali saja ketika sawit pertama kali ditanam. Berdasarkan hasil wawancara didapati bahwa frekuensi dilakukannya pengelolaan pada kebun sawit swadaya sangat bergantung dengan ketersediaan modal perawatan, frekuensi akan menurun apabila ketersediaan modal rendah. Hubungan Antar Peubah Kebun Sawit Swadaya Hasil analisis korelasi antar peubah kebun sawit swadaya berdasarkan hasil uji chi-square disajikan pada Tabel 8. Peubah luasan kebun saat ini berkorelasi dengan letak dari kebun sawit swadaya tersebut. Tabel 8 Hasil uji korelasi antar peubah kebun sawit swadaya Peubah Peubah yang berkorelasi (nilai probabilitas) A1 A2 (0.009) A2 A1 (0.009) A3* A6 (0.034); A7 (0.025) A6 A3 (0.034) A7 A3 (0.025)
Keterangan: *A3: asal lahan, A6: jarak kebun sawit swadaya ke tempat tinggal, A7:infrastruktur di kebun sawit swadaya . Keterangan peubah lainnya dapat dilihat di Tabel 1.
Luasan kebun sawit swadaya yang kecil umumnya akan terletak mengelompok, sedangkan semakin besar luasan kebun sawit swadaya umumnya akan menyebar. Asal lahan berkorelasi dengan jarak kebun sawit swadaya ke tempat tinggal dan infrastruktur yang berada di kebun sawit swadaya. Lahan yang berasal dari tanah ulayat umumnya berjarak 2.43 – 4.6 km atau 4.7 – 7 km, sedangkan lahan yang dibeli baik dari masyarakat asli, transmigran, atau migran spontan serta yang didapat dari pemerintah melalui program transmigasi umumnya berjarak 0 – 2.2 km dari tempat tinggal. Lahan kebun sawit swadaya yang berjarak tidak jauh dari tempat tinggal atau bangunan rumah di lokasi kebun, tidak ditemukan adanya infrastruktur seperti gubuk atau pondokan untuk beristirahat. Hubungan Antar Peubah Pemilik Kebun Sawit Swadaya Hasil analisis korelasi antar peubah pemilik kebun sawit swadaya berdasarkan hasil uji chi-square disajikan pada Tabel 9. Pekerjaan utama merupakan peubah yang paling banyak berkorelasi, diantaranya dengan peubah ukuran keluarga, status desa tempat tinggal,kategori penduduk, asal daerah, alasan bermukim, jenjang pendidikan terakhir, pekerjaan sampingan, dan curahan waktu di kebun sawit swadaya. Pemilik kebun yang memilih kebun sawit swadaya sebagai pekerjaan paruh waktu cenderung menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Pilihan pemilik menjadikan kebun sawit swadaya sebagai pekerjaan utama dapat mengindikasikan bahwa pemilik menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Sedangkan pekerjaan sampingan yang dimiliki cenderung dari sektor non-farm. Non-farm yaitu sektor bukan pertanian (Ivani 2014), beberapa contoh pekerjaan
15
dari sektor non-farm yaitu PNS, buruh bangunan atau pegawai kantoran. Pemilik kebun sawit swadaya yang menjadikan sawit sebagai pekerjaan utama merupakan bagian dari keluarga kecil (≤ 4 orang). Pemilik kebun yang bermukim di desa campuran merupakan migran spontan yang datang dengan alasan ekonomi untuk mencari peluang usaha berkebun sawit dan umumnya berasal dari Sumatera Utara. Pemilik kebun tersebut menjadikan berkebun sawit swadaya sebagai pekerjaan utama. Pekerjaan sampingan berkorelasi dengan curahan waktu berkebun sawit dan pendapatan sampingan per bulan. Pemilik kebun yang mencurahkan banyak waktu di kebun sawitnya dan memiliki pekerjaan sampingan di sektor non- farm memiliki pendapatan sampingan Rp 300 000 – Rp 6 599 999. Tabel 9 Hasil uji korelasi antar peubah pemilik kebun sawit swadaya Peubah Peubah yang berkorelasi (nilai probabilitas) R1 R5 (0.04); R19 (0.02); R20 (0.02) R4 R10 (0.01); R11 (0.02); R14 (0) R5 R1 (0.04); R6 (0); R7 (0); R8 (0); R10 (0.05); R17 (0); R18 (0); R19 (0) R6 R5 (0); R6 (0); R7 (0); R8 (0); R9 (0.04); R10 (0.04); R17 (0); R18 (0); R19 (0) R7 R5 (0); R6 (0); R8 (0); R9 (0.03); R10 (0.03); R17 (0); R18 (0); R19 (0) R8 R5 (0); R6 (0); R7 (0); R10 (0.01); R17 (0); R18 (0) R9 R6 (0.04); R7 (0.03); R10 (0); R18 (0.02); R20 (0.01) R10* R4 (0.01); R5 (0.05); R6 (0.04); R7 (0.03); R8 (0.01); R9 (0); R12(0.03); R13 (0) R11 R4 (0.02); R12 (0); R14 (0) R12 R11 (0); R13 (0); R14 (0) R13 R10 (0); R12 (0) R14 R4 (0); R11 (0); R12 (0); R18 (0.01) R15 R16 (0) R16 R15 (0) R17 R5 (0); R6 (0); R7 (0); R8 (0); R18 (0) R18 R5 (0); R6 (0); R7 (0); R8 (0); R9 (0.02); R14 (0.01); R17 (0); R20 (0.03) R19 R1 (0.02); R5 (0); R6 (0); R7 (0) R20 R1 (0.02); R9 (0.01); R18 (0.03)
Keterangan: *R10: pekerjaan utama, R4: ukuran keluarga, R5: status desa tempat tinggal. R6: kategori penduduk, R7: asal daerah, R8: alasan bermukim, R9: jenjang pendidikan terakhir, R12: pekerjaan sampingan, R13: curahan waktu di kebun sawit. Keterangan peubah lainnya dapat dilihat di Tabel 1.
Hubungan Peubah Kebun dengan Peubah Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya Hasil analisis korelasi peubah kebun dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya berdasarkan hasil uji chi-square disajikan pada Tabel 13. Peubah yang paling banyak berkorelasi adalah sumber modal awal, dengan peubah luasan kebun sawit swadaya saat ini, asal penggunaan lahan, dan jarak kebun ke tempat tinggal. Sumber modal awal yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu dari tabungan hasil pekerjaan sebelum membangun sawit dan pinjaman.
16
Tabel 13 Hasil uji korelasi peubah kebun dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya Peubah Peubah yang berkorelasi (nilai probabilitas) B1 A4 (0.002) B2* A1 (0.004); A4 (0.008); A6 (0.004) B3 A3 (0.016) B4 A4 (0.033) B5 A1 (0.025) B9 A4 (0.047) B12 A5 (0.026)
Keterangan: *B2: sumber modal awal, A1: luasan kebun sawit swadaya sekarang, A4: asal penggunaan lahan; A6: jarak kebun sawit swadaya ke tempat tinggal. Keterangan peubah lainnya dapat dilihat di Tabel 1.
Pemilik yang menggunakan tabungan dari hasil pekerjaan sebelum membangun sawit sebagai sumber modal awal memiliki asal penggunaan lahan berupa hutan sekunder dan cenderung berlokasi dekat dengan tempat tinggal (0 – 2.2 km), selain itu memiliki luasan kebun sawit swadaya yang lebih kecil dibandingkan pemilik yang menggunakan pinjaman sebagai sumber modal awal yang memiliki kebun dengan jarak lebih jauh dari tempat tinggal dan asal penggunaan lahan berupa sawit. Hubungan Peubah Pemilik Dengan Peubah Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya Hasil analisis korelasi peubah pemilik dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya berdasarkan hasil uji chi-square disajikan pada Tabel 10. Peubah yang paling banyak berkorelasi yaitu frekuensi pemupukan per tahun yang berkorelasi dengan peubah tokoh lokal, status desa tempat tinggal, kategori penduduk, dan keterlibatan kontrak dengan perkebunan sawit besar. Tabel 10 Hasil uji korelasi peubah pemilik dengan peubah pengelolaan kebun sawit swadaya Peubah Peubah yang berkorelasi (nilai probabilitas) B2 R9 (0.008); R14 (0.009); R18 (0.006) B3 R9 (0.01); R18 (0.005); R20 (0.001) B4 R3 (0.02); R18 (0.027) B6 R14 (0.044) B7 R14 (0.042) B8 R4 (0.002); R14 (0.004) B9* R1 (0.01); R5 (0); R6 (0.016); R19 (0.001) B10 R13 (0.016) B12 R1 (0.022); R15 (0.023); R20 (0.013) B13 R4 (0.045); R13 (0.036); Keterangan: *B9: frekuensi pemupukan per tahun, R1: peran sebagai tokoh lokal, R5: status desa tempat tinggal, R6: kategori penduduk, R19: kontrak dengan perkebunan sawit besar. Keterangan peubah lainnya dapat dilihat di Tabel 1.
17
Pemilik yang paling sedikit melakukan pemupukan per tahunnya merupakan pendatang yang tinggal di desa campuran dan bukan tokoh lokal serta tidak memiliki kontrak dengan perkebunan sawit besar. Apabila pemilik merupakan tokoh lokal, transmigran, dan tinggal di desa transmigran serta memiliki kontrak dengan perkebunan sawit besar, pemupukan akan dilakukan lebih sering dengan frekuensi 4 – 8 kali setahun. Hal ini disebabkan umumnya pemilik yang merupakan transmigran memiliki kontrak dengan perkebunan sawit besar, sedangkan pemilik dengan frekuensi pemupukan tertinggi (9 – 13 kali setahun) merupakan tokoh lokal yang merupakan masyarakat asli dan pendatang di desa campuran. Hal tersebut dikarenakan tokoh lokal dalam penelitian ini umumnya merupakan perangkat desa atau koperasi yang mengurus lahan KKPA atau plasma sehingga akses terhadap pengetahuan dan input pengelolaan sawit lebih tinggi dibandingkan pemilik yang tidak berperan sebagai tokoh lokal. Pemilik yang memiliki kontrak dengan perkebunan sawit besar mendapatkan subsidi untuk pengelolaan baik berupa input atau bantuan teknis (Baswir et al. 2009). Hubungan Antar Peubah Pengelolaan Kebun Sawit Swadaya Hasil analisis korelasi antar peubah pengelolaan kebun sawit swadaya berdasarkan hasil uji chi-square disajikan pada Tabel 11. Peubah yang paling banyak berkorelasi yaitu rencana perluasan dengan alasan perluasan dan rencana lokasi perluasan, sedangkan peubah alasan perluasan juga berkorelasi dengan peran pemilik dalam pengelolaan kebun sawit swadaya. Pemilik yang memiliki rencana melakukan perluasan dalam waktu dekat umumnya didasari atas alasan untuk melakukan investasi masa depan, dan lokasi perluasan cenderung berada di dalam satu provinsi dengan tempat bermukim pemilik. Baswir et al. (2009) menyatakan bahwa yang menjadi masalah pemilik kebun adalah ketika mereka berfikir untuk masa depan mereka di tengah tekanan hidup yang semakin berat, sementara hasil kebun saat ini dengan luas yang terbatas membuat mereka berfikir untuk mencari lahan lain untuk meraih kehidupan di masa datang yang lebih baik. Tabel 11 Hasil uji korelasi antar peubah pengelolaan kebun sawit swadaya Peubah Peubah yang berkorelasi (nilai probabilitas) B1 B5 (0.029) B3 B12 (0.002) B4 B7 (0.032) B5 B1 (0.029) B6 B7 (0); B8 (0) B7 B4 (0.032); B6 (0) B8 B6 (0) B9 B10 (0.001) B10 B9 (0.001) B11 B3 (0.002)
Keterangan: *B6: rencana perluasan, B4: peran pemilik dalam pengelolaan, B7: alasan perluasan, B8: rencana lokasi perluasan. Keterangan peubah lainnya dapat dilihat di Tabel 1.
18
Peran pemilik dalam pengelolaan kebun sawit swadaya berkorelasi dengan alasan pemilik yang hendak melakukan perluasan. Pemilik yang mengerjakan lahannya secara langsung dan memiliki rencana melakukan perluasan dalam waktu dekat cenderung menjadikan perluasan kebun sebagai suatu upaya berinvestasi untuk kebutuhan masa depan, khususnya biaya sekolah anak. Frekuensi pemupukan berkorelasi dengan banyak jenis pupuk yang digunakan. Semakin tinggi frekuensi pemupukan dilakukan, semakin banyak pula jenis pupuk yang digunakan. Pemilik yang melakukan pemupukan dengan frekuensi 0 – 8 kali dalam setahun menggunakan pupuk sebanyak 0 – 4 jenis pupuk, sementara pemilik yang melakukan pemupukan 9 – 13 kali dalam setahun menggunakan pupuk sebanyak 5 – 7 jenis pupuk. Pemilik kebun sawit swadaya umumnya melakukan pemupukan dengan frekuensi 4 – 8 kali dalam setahun menggunakan sebanyak 2 – 4 jenis pupuk. Hubungan Peubah Pemilik Dengan Peubah Kebun Sawit Swadaya Hasil uji korelasi peubah pemilik kebun dengan peubah kebun sawit swadaya dapat dilihat pada tabel 12. Peubah yang paling banyak berkorelasi adalah asal lahan, yaitu dengan peubah umur, status desa tempat tinggal, kategori penduduk, asal daerah, alasan bermukim, luasan kebun lainnya, dan alasan pembangunan kebun sawit swadaya. Tabel 12 Hasil uji korelasi peubah pemilik kebun dengan peubah kebun sawit swadaya Peubah Peubah yang berkorelasi (nilai probabilitas) A1 R5 (0.033); R9 (0.049); R18 (0.026) A3* R3 (0.03); R5 (0); R6 (0); R7 (0); R8 (0); R17 (0); R18 (0.001); R20 (0.045) A4 R5 (0.013); R6 (0.013) A5 R15 (0); R16 (0.016) A6 R5 (0.01); R6 (0.018); R7 (0.015); R8 (0.018); R17 (0.005); R18 (0.001) A7 R5 (0.001); R6 (0.001); R7 (0.001); R8 (0.001); R17 (0.004); R18 (0.023)
Keterangan: *A3: asal lahan, R3: umur, R5: status desa tempat tinggal, R6:kategori penduduk, R7: asal daerah, R8: alasan bermukim, R18: luasan kebun lainnya, R20: alasan pembangunan kebun sawit swadaya. Keterangan peubah lainnya dapat dilihat di Tabel 1.
Lahan yang dibeli dari tanah ulayat dimiliki oleh masyarakat asli berumur 50 – 73 tahun dan bermukim di desa masyarakat asli, hal ini dikarenakan masyarakat asli memiliki hak atas tanah adat di daerah asal mereka (Nkongho et al. 2015). Lahan yang berasal dari pemberian pemerintah dimiliki oleh transmigran dari Jawa yang datang dengan alasan untuk perbaikan ekonomi, dengan rentang usia yang sama dan tinggal di desa transmigran. Hal tersebut sesuai dengan mulai dicanangkannya program transmigrasi pada tahun 1970 – 1980an. Lahan yang dibeli dari masyarakat asli atau transmigran umumnya dimiliki oleh migran spontan asal Sumatera Utara dengan rentang usia 27 – 49 tahun yang yang bermukim di desa campuran atau di desa transmigran. Migran spontan tersebut datang untuk
19
mencari peluang untuk berkebun. Hal ini sesuai dengan mulai berkembang pesatnya kebun sawit swadaya di Sumatera Utara pada pasca tahun 1980an (Baswir et al. 2009), sehingga banyak penduduk Sumatera Utara yang merantau ke wilayah yang belum banyak terdapat sawit swadaya dengan harapan mendapatkan lahan yang lebih murah. Migran spontan tersebut biasanya membeli dari transmigran yang tidak betah tinggal di perantauan, sehingga luasan lahan yang didapat yaitu 2 hektar, dan pemilik kebun kemudian menanami lahan tersebut dengan kebun sawit swadaya. Perumusan Tipologi Kebun Sawit Swadaya Perumusan tipologi kebun sawit swadaya menghasilkan empat peubah penciri, dua diantaranya didapatkan dari peubah pemilik kebun, dan dua lainnya didapatkan dari peubah pengelolaan kebun sawit swadaya, sedangkan peubah kebun sawit tidak ada yang menjadi peubah penciri dalam perumusan tipologi kebun sawit swadaya. Keempat peubah penciri tersebut adalah gender dan pendapatan sampingan (karakteristik pemilik kebun), frekuensi pruning serta frekuensi rawat piringan (karakteristik kebun). Tidak adanya peubah penciri dari karakteristik kebun dalam penentuan tipologi menunjukkan bahwa kebun sawit swadaya dapat dibangun dengan luasan, lokasi, dan letak kebun yang beragam. Kebun sawit swadaya bisa jadi dibangun pada lahan hutan melalui pembelian tanah ulayat masyarakat adat atau membangun kebun secara ilegal di kawasan konservasi seperti yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo (WWF-Indonesia 2013), menebang kebun karet milik pribadi, serta bisa jadi dengan mengakuisisi lahan ‘tak bertuan’ (Baswir et al. 2009). Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan bahwa membeli lahan yang telah ditanami sawit akan jauh lebih mahal dibandingkan membeli lahan yang masih berupa hutan atau kebun karet. Hal tersebut dapat mengakibatkan pemilik kebun untuk mencari lahan yang dapat dibuka untuk membangun kebun sawit swadaya, bahkan di lokasi yang jauh dari tempat tinggal. Adanya kemungkinan pembangunan kebun sawit swadaya dengan luasan yang kecil dan letak yang menyebar serta membuka lahan hutan dapat berimplikasi pada terbentuknya fragmen-fragmen hutan berukuran kecil dan terdegradasi (Bernard et al. 2014). Studi yang dilakukan oleh Bernard et al. (2014) mendapati bahwa 39% dari seluruh mammalia yang ditemukan di continuous forest tidak dapat ditemukan di fragmen hutan, termasuk di dalamnya empat jenis yang tergolong terancam punah berdasarkan kategori IUCN (2013). Hasil studi Bernard et al. (2014) mengindikasikan bahwa fragmen hutan dengan luasan yang lebih besar dan dengan jarak yang lebih dekat ke hutan yang terintegrasi memiliki jumlah jenis mammalia dua kali lebih banyak dibandingkan fragmen hutan dengan luasan yang lebih kecil dan jarak ke hutan yang terintegrasi lebih jauh. Hal serupa terjadi pada keanekaragaman jenis kupu-kupu (Fitzherbert et al. 2008; Benedick et al. 2006). Hal tersebut sejalan dengan teori biogeografi pulau yang menyebutkan bahwa biota yang berada di lokasi terisolasi cenderung kurang beragam dibandingkan pada daratan utama (lokasi yang tidak terisolasi) (Losos & Ricklefs 2010). Tipologi kebun sawit swadaya di lokasi penelitian menunjukan bahwa pemilik adalah laki-laki, karena laki-laki yang bertanggung jawab mencari nafkah dan perempuan bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan anak. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa meskipun seringkali ditemukan
20
lahan kebun sawit yang merupakan warisan dari orang tua kepada pihak perempuan atau istri dalam konteks rumah tangga, namun kemudian setelah menikah kepemilikan atas kebun sawit tersebut berada pada pihak laki-laki atau suami. Surambo et al. (2010) menyatakan bahwa dalam pembagian lahan dalam sistem perkebunan kelapa sawit model perusahaan inti rakyat (PIR), perempuan hanya sebagai pelengkap bagi suaminya, dimana kepemilikan lahan sering dinamakan milik suami bukan kepemilikan berdua, walaupun dalam mekanisme pembagian berdasarkan satu keluarga. Pada beberapa kasus, perempuan seringkali dilibatkan dalam mengurus kebun sawit swadaya namun hanya membantu suami, perempuan tetap melakukan pekerjaan domestik sebagai tugas utamnya. Sementara itu, lakilaki pada umunya hanya mempunyai tugas di kebun dan menganggap pekerjaan rumah itu tugas istri (Surambo et al. 2010). Pemilik kebun sawit swadaya selain mendapatkan penghasilan utama dari sawit namun juga memiliki penghasilan sampingan dengan jumlah berkisar antara Rp 300 000 – Rp 6 599 999. Sumardi dan Evers (1982) menggolongkan pendapatan sampingan sebagai pendapatan informal, yaitu pendapatan yang diperoleh melalui pekerjaan tambahan atau sampingan. Pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh pemilik kebun menunjukkan bahwa bisa jadi pendapatan dari kebun sawit swadaya belum dapat mencukupi kebutuhan hidup dan atau masih terdapat alokasi waktu untuk melakukan pekerjaan lain. Sistem pengelolaan kebun sawit swadaya yang tidak pekerjakan orang lain dan umumnya lahannya dikerjakan sendiri secara langsung menjadikan kepemilikan atas kebun sawit swadaya sebagai pekerjaan yang tergolong selfemployee. Pada tipe ini orang bekerja dengan menjadi bos bagi mereka sendiri, bekerja untuk dirinya sendiri yang dibantu oleh orang lain (Ekawati 2007). Kelemahan self-employee adalah dibatasi oleh sumber daya yang dibutuhkan untuk produksi, dibatasi oleh sedikitnya orang yang dapat dipekerjakan, dan dibatasi oleh hukum karena bekerja tanpa organisasi formal (Ekawati 2007). Tipe self-employee memiliki semangat bisnis dan kerja yang tinggi, bersemangat untuk menciptakan kemajuan. Keterbatasan sumber daya bisa jadi berkaitan dengan pembahasan sebelumnya mengenai kebun sawit swadaya yang belum dapat memenuhi kebutuhan hidup sehingga untuk dapat melakukan produksi seringkali masih menemui hambatan. Semangat yang tinggi namun terbatasnya sumber daya dapat menjadi faktor untuk melakukan perambahan di kawasan hutan (WWF-Indonesia 2013). Pemangkasan pelepah atau pruning merupakan kegiatan budidaya yang bertujuan untuk membuang daun tanaman untuk mendapatkan jumlah pelepah yang optimal dalam proses fotosintesis (Sibarani et al. 2015). Pemilik kebun sawit swadaya melakukan pruning atau pemangkasan pelepah dengan frekuensi 2 – 4 kali dalam setahun. Hasil penelitian Sibarani et al. (2015) juga mendapati bahwa pemilik kebun sawit swadaya melakukan pruning dengan frekuensi 2.09 kali dalam setahun. Frekuensi pruning tanaman kelapa sawit berumur 5–8 tahun yang dianjurkan adalah sebanyak 2 kali setahun atau 6 bulan sekali untuk membuang pelepah yang tidak produktif serta menghindari terjadinya kelebihan penunasan (over pruning) yang akan berdampak pada penurunan produksi (PPKS 2008). Pemilik kebun sawit swadaya dalam menjalankan usaha taninya belum sepenuhnya mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat ataupun pengalaman yang mereka dapatkan ketika bekerja sebagai tenaga perkebunan. Sebagian besar masih
21
melakukan pengelolaan sesuai dengan tingkat kemampuan (Tety et al. 2012). Berdasarkan hasil wawancara didapatkan bahwa frekuensi kegiatan pengelolaan seperti misalnya pemupukan, pruning, dan penyemprotan sangat bergantung dengan ketersediaan modal. Pemilik kebun sawit swadaya di lokasi penelitian tidak membuat piringan setiap tahunnya, hal ini dikarenakan pemilik sudah melakukan penyemprotan dengan herbisida dengan frekuensi rata-rata 2 – 4 kali dalam setahun. Penyemprotan biasanya hanya dilakukan pada bagian piringan untuk menghemat jumlah herbisida yang digunakan sehingga lahan kebun sawit masih tertutupi oleh rumput dan tumbuhan bawah selain pada piringannya. Kondisi tersebut memungkinkan kebun sawit swadaya mendukung kehidupan beberapa jenis kupukupu dan burung (Artrakorn et al. 2006). Beberapa studi (Fitzherbert 2008; Koh 2008) mendapati bahwa kekayaan jenis burung dan kupu-kupu sedikit lebih tinggi pada kebun sawit yang memiliki tumbuhan bawah dan epifit.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hanya terdapat empat peubah penciri (dua peubah dari karakteristik pemilik kebun dan dua peubah dari karakteristik pengelolaan kebun) untuk merumuskan tipologi kebun sawit swadaya. Pemilik kebun sawit swadaya adalah laki-laki dengan pendapatan sampingan per bulan sebesar Rp 300 000 – Rp 6 599 999. Pemilik kebun sawit swadaya melakukan pruning sebanyak 2 – 4 kali dalam setahun dan tidak melakukan rawat piringan setiap tahun, melainkan hanya saat penanaman saja dikarenakan pembersihan gulma pada piringan sudah dilakukan dengan penyemprotan. Tidak ditemukan peubah penciri dari peubah kebun sawit swadaya mengindikasikan bahwa pemilik dapat membangun kebun sawit swadaya dengan luasan, lokasi, dan letak yang beragam. Saran Langkah yang dapat dilakukan selanjutnya yaitu melakukan penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama pada beberapa lokasi yang berbeda di Provinsi Riau atau di Indonesia agar didapatkan tipologi kebun sawit swadaya yang mewakili seluruh Provinsi Riau dan Indonesia serta dapat dibandingkan dengan hasil penelitian yang ada untuk menyusun kebijakan yang tepat sasaran sesuai dengan tipologi pemilik kebun sawit swadaya di masing-masing lokasi.
DAFTAR PUSTAKA Aratrakorn S, Thunhikorn S, Donald PF. 2006. Changes in bird communities following conversion of lowland forest to oil palm and rubber plantations in southern Thailand. Bird Conserv. Int. 16:71–82.
22
Baswir R, Achmad N, Santosa A, Indroyono P, Hudiyanto, Wibowo IA, Winarni RR, Susanti E, Hasibuan F, Hanu MA. 2009. Pekebun mandiri dalam industry perkebunan sawit di Indonesia.Yogyakarta (ID): Sawit Watch. Benedick S, Hill JK, Mustaffa N, Chey VK, Maryati M, Searle JB, Schilthuizen M, Hamer KC. (2006) Impacts of rain forest fragmentation on butterflies in northern Borneo: species richness, turnover and the value of small fragments. J. Appl. Ecol. 43:967–977. Bernard H, Baking EL, Giordano AJ, Wearn OR, Ahmad AH. Terrestrial mammal species richness and composition in three small forest patches within an oil palm landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Mammal study. 39: 141–154. doi:10.3106/041.039.0303. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. [BPSa] Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Kandis dalam Angka. Siak Sri Indrapura (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak. [BPSb] Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Langgam dalam Angka. Pangkalan Kerinci (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan. [BPSc] Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Singingi Hilir dalam Angka. Teluk Kuantan (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi. Budidarsono S, Susanti A, Zoomers A. 2013. Biofuels-Economy, Environment and Sustainability [Internet]. waktu unduh [2016 Januari 10]. http://dx.doi.org/10.5772/53586 Carlson KM, Curran LM, Ratnasari D, Pittman AM, Soares-Filho BS, Asner GP, Trigg S, Gaveau DA, Lawrence D, Rodrigues HO. Committed carbon emissions, deforestation, and community land conversion from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the National Academy of Sciences 2012; 109 (19):7559–64. Cole R, Wong G, Brockhaus M. 2015. Reworking the land: A review of literature on the role of migration and remittances in the rural livelihoods of Southeast Asia. Working Paper 187. Bogor, Indonesia: CIFOR. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan. Ekawati. 2007. Pengambilan keputusan berwirausaha sebagai usaha sampingan pada orang yang memiliki pekerjaan tetap [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif Hidayatullah. Elmhirst R. 2011. Migrant pathways to resource access in Lampung’s political forest: Gender, citizenship and creative conjugality. Geoforum. 42:173–183. Euler MA. 2015. Oil palm expansion among Indonesian smallholders – adoption, welfare implications and agronomic challenges [disertasi]. Gottingen (DE): Georg-August-Universitat Gottingen. Euler MA, Schwarze S, Siregar H, Qaim M. 2015. Oil palm expansion among smallholder farmers in Sumatra, Indonesia[project report].Goettingen(DE): EFForTS. Feintrenie L, Chong WK, Levang P. 2010. Why do farmers prefer oil palm? Lessons learnt from Bungo District, Indonesia. Small-scale Forestry. 9(3): 379-396. doi:10.1007/s11842-010-9122-2.
23
Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Bruhl CA, Donald PF, Phalan B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity?. Trends in Ecology and Evolution. 23(10):538-545. Doi:10.1016/j.tree.2008.06.012. Glenday S, Paoli G. 2015. Indonesian Oil Palm Smallholder Farmers: A Typology of Organizational Models, Needs, and Investment Opportunities. Bogor (ID): Daemeter Consulting. Gunarso P, Hartoyo ME, Fahmuddin A, Killeen TJ. Oil palm and land use change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Reports Idsert J, Schoneveld GC. 2016. Towards more sustainable and productive independent oil palm smallholders in Indonesia: Insights from the development of a smallholder typology. Working Paper 210. Bogor, Indonesia: CIFOR Ivani AN. 2014. Analisis ekonomi rumah tangga tani sayuran di Desa Pandansari Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebes [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Julia, White B. 2012. Gendered experience of dispossession: Oil palm expansion in a Dayak Hibun community in West Kalimantan. Journal of Peasant Studies 39(3– 4):995–1016. [Kemdikbud] Kementerian Pendidikan dan Budaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): Kemdikbud. Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity?. Conservation Letters. 1 (2008) 60–64. Doi:10.1111/j.1755263X.2008.00011.x. Li TM. 2015. Social impacts of oil palm in Indonesia: A gendered perspective from West Kalimantan. Occasional Paper 124. Bogor, Indonesia: CIFOR. Losos JB, Ricklefs RE. 2010. The Theory of Island Biogeography Revisited. New Jersey (US): Princeton University Press. Molenaar JW, Persch-Orth M, Lord S, Taylor C, Harms J. 2013. Diagnostic Study on Indonesian Oil Palm Smallholders: Developing a Better Understanding of Their Performance and Potential. Jakarta (ID): International Finance Corporation. Nkongho RN, Feintrenie L, Levang P. 2014. The non-industrial palm oil sector in Cameroon. Working Paper 139. Bogor, Indonesia: CIFOR. Pardamean M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka. [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Aplikasi Kompos TKS Pada Kelapa Sawit TM. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Saputra RA. 2011. Evaluasi pemupukan pada kelapa sawit (elaeis guineensis jacq.) di kebun radang seko banjar balam, PT Tunggal Perkasa Plantations, Indragiri Hulu, Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sibarani DYT, Hutabarat S, Dewi N.2013. Prospek dan tantangan petani kelapa sawit swadaya di desa air hitam kecamatan ukui kabupaten pelalawan dalam menghadapi sertifikasi ispo. Jom Faperta 2(1): 1 – 11. Sumardi M, Evers HD. 1998. Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Perilaku Menyimpang Edisi Revisi. Jakarta: CV Rajawali Citra Press.
24
Surambo A, Susanti E, Herdianti E, Hasibuan F, Fatinaware I, Safira M, Dewy P, Winarni RR, Sastra T.2010. Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan.Bogor(ID): Sawit Watch & Solidaritas Perempuan. Tarigan DS, Sunarti, Widyaliza. 2015. Expansion of oil palm plantations and forest cover changes in Bungo and Merangin Districts, Jambi Province, Indonesia. Procedia Environmental Sciences. 24(2015):199 – 205. Doi: 10.1016/j.proenv.2015.03.026 Tety E. 2012. Analisis transmisi harga tandan buah segar (tbs) dari pabrik kelapa sawit (pks) ke petani swadaya di kelurahan sorek satu kecamatan pangkalan kuras kabupaten pelalawan [tesis].Pekanbaru(ID): Universitas Riau. [WWF] World Wildlife Fun-Indonesia. 2013. Menelusuri Sawit Ilegal dari Kompleks Hutan Tesso Nilo. Riau (ID): WWF-Indonesia.
25
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada hari Kamis, 1 Desember 1994. Penulis adalah putri tunggal pasangan Syarif Hidayat dan Triagustijanti Hantoro. Penulis mengenyam pendidikan dasar di empat sekolah dasar berbeda yakni; SDN Pamulang Permai, SD Bhakti, SDN Pondok Pinang 01 Pagi, dan lulus dari SDN Sukamanah di tahun 2006. Penulis lulus dari SMPN 1 Subang pada tahun 2009 dan mendapatkan ijazah SMA tahun 2012 setelah mengenyam pendidikan menengah selama tiga tahun di SMAN 1 Subang. Penulis bercita-cita menjadi pramugari dan berniat untuk melanjutkan pendidikan di bidang pariwisata namun Ibunda tidak merestui puterinya menuntut ilmu terlalu jauh, dan kecintaan penulis terhadap alam serta makhluk hidup akhirnya menghantarkan penulis ke Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama di bangku perkuliahan, penulis telah melaksanakan beberapa praktek lapangan yaitu; Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2013 dan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) pada tahun 2014. Penulis juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) kepengurusan tahun 2014/2015 sebagai anggota Biro Informasi dan Komunikasi dan anggota kelompok pemerhati ekowisata “Tapak”. Penulis juga tergabung dengan organisasi International Forestry Students’ Association (IFSA) sejak tahun 2014 hingga saat ini. Pada tahun 2014 penulis menjadi bagian dari delegasi IFSA dalam acara CIFOR Forests Asia Summit di Hotel Shangri-La, Jakarta. Selain keikutsertaan penulis di organisasi bidang lingkungan, penulis juga menyalurkan ketertarikannya di bidang seni dengan mendirikan komunitas Projek Seni Sejenak yang berdiri sejak tahun 2013 dan masih berjalan hingga tulisan ini diterbitkan. Penulis gemar melukis, membaca, dan mendengarkan musik, selain itu penulis juga penikmat kopi. Pada awal tahun 2016 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) bersama rekan dari satu Departemen. Pada akhir tahun 2016, penulis mendapatkan kesempatan magang di Center for International Forestry Research (CIFOR) dan ikut serta dalam pengambilan data Value Chain, Finance,and Investment di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.