PENGELOLAAN PELESTARIAN FUNGSI HUTAN DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TESIS Diajukan untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
Tumpak Banuarea NIM. 057005057
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat
Nama
:
Tumpak Banuarea
NIM
:
057005057
Program Studi :
Hukum Ekonomi
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH. Ketua
Prof. Syamsul Arifin, SH. MH. Pembimbing
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS. Pembimbing
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH.
Direktur,
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc.
Tanggal Lulus: 17 Desember 2007
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
"O IUX.- ( 'ONSI':IWATllIN MANAGF:MI':NT I N I' A KI' A K III1ARAT l>I ST R I Cl'
Tumpak Banurea I Bismar Nasution 2 Syamsul Arifin 2 AtviSyahrin 1 AIISTRA CT Fore st conservation management is closely related to the organizatio n of local government and the life of local co mmunity in the framework of loca l autonomy. Law No.3212004 on Local Government gives an authority to the local government to organize its policy on natural resources available in its territory includin g' forest resources while Law No. 41/ 1999 on Forestry contains many stipulations for the implementation of forestry decentralization. The purpose of this study carried out in Pakpak Bharat District is to find out and understand the regulation of forest conservation managem ent applied in a.district level according to the existing legislation as responsibility and authority of local gov ernment in the era of local autonomy and the implementation of forest conservation managem ent in Pakpak Bharat Distr ict. This analytical descriptive stud y with normative and sociological jur idical appro aches uses secondary data as itsmain data resources by analyzing the primary, seco ndary and tertiary legal materials which are supported by primary data obtained through interviews . The result of this study shows that, in this era of local autonomy, local government always has some constraints in implementing the policy of forest conservat ion managem ent and' law reinforcement in forestry sector because the regulation found in the legislation regulation has not yet prov ided a clear explanation about the distribution of authority in forest conservation management between cent ral and local governments and the central government does not fully transfer the responsibility and authority in forest co nservation management to the loca l government. Both central and local governments have their own interest in managing forest conversation in the district level because forest is a state-owned asset located in a district territory. In the implementation of forestry decentralization in general and to implement the forestn policy decided by the central government, local governm ent still works in the scope of operational activities and has no authorit y yet to autonom ously regulate and manage the forestry affairs in its territory. This practice causes the qualit y of forest conservation manageme nt appropriat ing the function of forest has not Yet successfully well-done. The failure of forest decentra lization implementation also results in the poor parncipation of co mmunity in managing forest conservation which essentially cannot he separated fro local autona t]1Y and fo rest decentralization Sludc ... M. gi>1 a- o r Leg . J Sc icno:" Study l'r 0Il1.n,. s.chool o f "...... Igrl duate Studl es . UnIversity nrs"molcr.o I It..... 2 Lcaurer,. "" gisla- o r Legal Science Study l'rOgJ lnl . School of POSlgn~'~ Studie< . l!ni'i'en;h of Srm\lltaa t ltara
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
PENGELOLAAN PELESTARIAN FUNGSI HUTAN DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT INTISARI Tumpak Banuarea ∗ Bismar Nasution ∗∗ Syamsul Arifin** Alvi Syahrin** Pengelolaan pelestarian fungsi hutan terkait erat dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kehidupan masyarakat daerah dalam rangka otonomi daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan kebijakan sumber daya alam yang terdapat di daerahnya, termasuk sumber daya hutan, sementara Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memuat banyak ketentuan untuk diimplementasikannya desentralisasi kehutanan. Dengan demikian, otonomi daerah diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengelolaan pelestarian hutan guna memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat daerah. Kerangka hukum ini perlu dikaji implementasinya di daerah, dan Kabupaten Pakpak Barat sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang masih berusia muda, memiliki sumber daya hutan yang perlu dikelola dan dilestarikan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian tesis yang berlokasi di Kabupaten Pakpak Bharat ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu untuk mengetahui dan memahami pengaturan pengelolaan pelestarian hutan di daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah dalam era otonomi daerah, dan untuk mengetahui dan memahami implementasi pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Barat. Penelitian ini tergolong pada jenis penelitian yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder sebagai sumber data utama dengan menganalisis bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier, dan kemudian dilengkapi dengan sumber data primer dalam bentuk wawancara sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat sering terkendala dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan dan penegakan hukum di sektor kehutanan karena perundang-undangan yang berlaku belum mengatur secara tegas pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pelestarian hutan. Pemerintah pusat juga tidak sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan pelestarian hutan kepada ∗ ∗∗
Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana USU, Program Studi Ilmu Hukum Dosen Pembimbing Pasca Sarjana USU
i
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah dalam praktek pelaksanaan desentralisasi kehutanan pada umumnya masih tetap berkutat pada ruang lingkup kegiatan administrasi untuk melaksanakan kebijakan kehutanan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat, belum berwenang mengatur dan mengurus urusan kehutanan di daerahnya secara otonom. Hal ini mengakibatkan kualitas pengelolaan pelestarian hutan sesuai fungsi hutan belum berhasil dilaksanakan dengan baik. Tidak terlaksananya desentralisasi kehutanan juga mengakibatkan lemahnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan, padahal partisipasi masyarakat dimaksud merupakan faktor determinan dalam pelestarian fungsi hutan. Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat telah melaksanakan pengelolaan pelestarian fungsi hutan dengan menyelenggarakan kebijakan revitalisasi kehutanan, sebagai berikut: a. reboisasi dan penghutanan kembali, b. meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, c. meningkatkan pengendalian konversi kawasan hutan dan lahan, d. pengawasan hutan dan lahan serta penegakan hukum yang konsisten, e. menata penyelenggaraan dan pengendalian peredaran hasil hutan lintas kabupaten, f. melaksanakan pemetaan areal rawan gangguan keamanan hutan (illegal logging), g. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam prakteknya, banyak kelemahan dalam penyelenggaraan pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. Eksploitasi hutan kurang memperhatikan asas lestari dan asas keberlanjutan sehingga tingkat keberhasilan reboisasi dan konservasi sumber daya hutan di Kabupaten Pakpak Bharat masih rendah. Peran serta masyarakat juga masih rendah karena tidak terlaksananya desentralisasi kehutanan berdasarkan kebijakan otonomi daerah dan kurangnya transparansi dan akses masyarakat atas informasi di bidang kehutanan. Pemantapan kawasan hutan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat, juga belum terlaksana di Kabupaten Pakpak Bharat dalam menentukan tapal batas kawasan hutan yang jelas sehingga implementasi kebijakan pengelolaan pelestarian hutan sulit dilaksanakan. Sehubungan dengan itu, disarankan agar Pemerintah Pusat segera melimpahkan kewenangan di bidang pengelolaan dan pelestarian fungsi hutan kepada Pemerintah Daerah. Porsi kewenangan yang dilimpahkan tersebut harus pada tingkatan yang memadai untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk merumuskan kebijakan dan tindakan yang strategis dalam upaya pelestarian fungsi hutan. Disamping itu, Pemerintah Pusat perlu segera memfasilitasi revisi kawasan hutan di Wilayah Propinsi Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Pakpak Bharat. Juga disarankan agar pengelolaan hutan di Kabupaten Pakpak Bharat senantiasa memperhatikan asas lestari dan asas berkelanjutan, serta melibatkan peran serta aktif masyarakat. Kata Kunci: – Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan – Otonomi Daerah – Desentralisasi Kehutanan ii Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN INTISARI …………………………………………………………………………….
i
ABSTRACT ………………………………………………………………………....
iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………
vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………..
x
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………
xi
BAB I.
PENDAHULUAN ………………………………………………….…...
1
A. Latar Belakang .………………………………………………….......
1
B. Rumusan Masalah .……………………………………………….....
8
C. Tujuan Penelitian ……………………………..…….………………
8
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………...
9
E. Keaslian Penelitian …………………………………………………..
9
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ……………………………..…..
10
G. Metode Penelitian …………………………………………..……….
19
1. Tipe atau Jenis Penelitian .…………………………………….... 19 2. Sumber Data Penelitian ………………………………………..… 19 3. Lokasi Penelitian dan Alasan Pemilihan Lokasi .…………..……
21
4. Teknik Pengumpulan Data ……………………………..……….. 21 5. Analisis Data ………………………………………..…………... 22
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
vii
BAB II.
PELESTARIAN SUMBER DAYA HUTAN ……………………..….. 23 A. Pengelolaan Lingkungan Hidup ……………………………….……. 23 B. Pengertian dan Fungsi Hutan ……………………………………..… 31 C. Tata Hutan ………………………………………………………….. 37 D. Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan ......…………………………. 40 E. Eksploitasi dan Kerusakan Hutan ………………………………….. 45 F. Fungsi Hukum dalam Pelestarian Hutan …………………………… 57
BAB III. PENGELOLAAN PELESTARIAN HUTAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH ……………………………......
70
A. Otonomi Daerah ……………………………………………………. 70 B. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Pelestarian Hutan ……………… 79 C. Refleksi Desentralisasi Kehutanan ………………………………… 87 D. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan …………………. 97 E. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan ………………………… 108 BAB IV. PENGELOLAAN PELESTARIAN FUNGSI HUTAN DI KABUPATEN PAKPAK BARAT ………………………………. 115 A. Deskripsi Kabupaten Pakpak Bharat ……………………………… 115 1. Keadaan Geografis ……………………………………………. 115 2. Topografi ……………………………………………………… 116 3. Wilayah Administrasi Pemerintahan …………………………. 116 4. Demografi …………………………………………………….
118
5. Pendidikan ……………………………………………………. 119
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
viii
6. Potensi Sumber Daya Alam …………………………………… 120 B. Penyelenggaraan Pelestarian Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat… 123 1. Data Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat …………………… 124 2. Kebijakan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat … 130 3. Pemberantasan Illegal Loging …………………………………. 144 C. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan di Kabupaten Pakpak
BAB V.
Bharat ……………………………………………………………...
149
KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
166
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
ix
DAFTAR TABEL
Tabel I
: Urusan Pemerintah Daerah di Bidang Pelestarian Fungsi Hutan......
93
Tabel II
: Jumlah Desa dan Luas Wilayah Menurut Kecamatan ……………..
117
Tabel III
: Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga di Kabupaten Pakpak Bharat
118
Tabel IV
: Jumlah Sekolah per Kecamatan …………………………………….
120
Tabel V
: Perkembangan Tanaman Padi Sawah dan Padi Gogo Tahun 2002 – 2004 ………………………………………………….
122
Tabel VI
: Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi ……………………………… 122
Tabel VII
: Kawasan Hutan Menurut Fungsinya ………………………………...
Tabel VIII
: Luas Kawasan Hutan Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan
124
Fungsinya Menurut RTRWP Provnsi Sumatera Utara Tahun 2003 – 2018………………………………………………….. Tabel IX
125
: Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)………………………………………………… 125
Tabel X
: Kawasan Hutan Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan Penunjukan Menteri Kehutanan (Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 Tanggal 16-02-2005)……………. 126
Tabel XI
Tabel XI
: Luas Kawasan Hutan per Kecamatan Di Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan RTRWP 2003 – 2018…………………..
127
: Hasil Kayu Hutan Menurut Kecamatan dan Jenisnya ………………
129
x
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maka Kuasa karena dengan rahmat dan karunia-Nya laporan penelitian berbentuk tesis yang berjudul “Pengelolaan Pelestarian Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas SumateraUtara. Tesis ini merupakan upaya akademis untuk mengkaji dan menganalisa persoalanpersoalan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di daerah, khususnya di Kabupaten Pakpak Bharat. Secara jujur dan rendah hati, peneliti mengakui betapa penyusunan tesis tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dan pengorbanan dari banyak pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan setulus hati diucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU dan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing dalam penelitian tesis ini, yang senantiasa meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan bimbingan dalam proses penyusunan tesis ini. Kepercayaan beliau bahwa peneliti dapat menyelesaikan tesis ini merupakan motivasi yang sangat mendalam dalam peneyelesaian tesis ini. 2. Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH. MH. selaku Anggota Pembimbing yang senantiasa bersedia setiap waktu memberikan bimbingan, menampung dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang peneliti hadapi dalam proses penyelesaian tesis ini.
xi Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS. selaku Anggota Pembimbing yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada peneliti mengenai penelitian tesis ini, dan dari beliau peneliti banyak mengetahui tentang ketelitian dan kecermatan dalam penelitian suatu tesis. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada peneliti dan mengubah wawasan peneliti dalam bidang ilmu pengetahuan hukum yang menjadi bekal dalam penyusunan tesis ini. 5. Seluruh Staf Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU yang selama ini senantiasa membantu peneliti dalam mengikuti studi dari segi administrasi dan informasi. 6. Bapak Bupati Kabupaten Pakpak Bharat yang telah memberikan izin, dukungan dan motivasi sehingga peneliti dapat mengikuti studi di Sekolah Pasca Sarjana USU dan menyelesaikan penulisan tesis ini. 7. Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat beserta staf yang telah memberikan banyak informasi, data dan meluangkan waktu berdiskusi sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 8. Isteri tercinta beserta anak-anak peneliti dan seluruh keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan dan doa pada peneliti dalam mengikuti studi dan menyelesaikan penyusunan tesis ini. 9. Teman-teman mahasiswa Kelas Eksekutif Angkatan 2007 Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU yang talah memberikan bantuan, perhatian dan kerjasama yang baik selama ini.
xii Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan sarandari semua pihak. Harapan peneliti, semua hasil penelitian tesis ini berguna baik secara teoritis maupun praktis.
Medan, 17 Desember 2007 Peneliti,
TUMPAK BANUAREA NIM.057005057
xiii Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengelolaan pelestarian hutan adalah entitas permasalahan yang belakangan ini seringkali diperdebatkan oleh para praktisi lingkungan baik pada tataran lokal, nasional maupun internasional.
Perhatian yang demikian intens terhadap
permasalahan ini terkait erat dengan kondisi lingkungan global yang oleh sebahagian pihak dinilai relatif semakin memprihatinkan sehingga menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Kerusakan hutan adalah salah satu faktor yang dinilai sebagai penyebab utama degradasi atau penurunan kualitas lingkungan hidup. Kerusakan hutan bahkan dinilai sebagai faktor pemicu terjadinya berbagai peristiwa bencana alam di berbagai belahan dunia yang menimbulkan dampak sosial, ekonomi maupun psikis yang sangat buruk bagi penduduk. Menyadari kondisi ini, komunitas pemerhati lingkungan dewasa ini mulai aktif menggalang dukungan dan menyerukan perlunya usaha yang intens dari pemerintah
pada semua tingkatan untuk
merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang efektif untuk mengendalikan pengelolaan lingkungan hidup khususnya melalui upaya peletarian hutan.
Pada
tataran lokal, Pemerintah Daerah adalah salah satu elemen yang diharapkan mampu memberikan kontribusi besar bagi upaya pelestarian hutan. Dengan kewenangan yang dimiliki sebagai daerah otonom,
daerah memiliki keleluasaan untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka pelestarian kawasan hutan yang berada dalam wilayah kewenangannya. Upaya pelestarian hutan oleh 1
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
2
Pemerintah Daerah dalam konteks ini tentunya harus selaras dengan kebijakan nasional karena pada dasarnya penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional. 1 Namun, walaupun secara normatif, daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan pelestarian hutan, pada tataran implementasinya daerah seringkali harus tunduk pada arah kebijakan yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat. Kondisi seperti ini muncul karena hutan selalu dinilai sebagai aset negara yang berada di daerah sehingga seluruh kebijakan mengenai pengelolaannya harus selaras dengan kebijakan pusat. Implikasinya, seringkali timbul tarik-menarik kepentingan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pelestarian hutan di daerah. 2 Permasalahan lain terkait dengan pengelolaan pelestarian hutan di daerah adalah mengenai kesenjangan perputaran keuangan dari hasil hutan sebagai salah satu hasil pembangunan. Perputaran dana demikian cepat dan besar pada pusat-pusat pengelolaan sumber bahan baku industri hasil hutan sementara di daerah penghasil
1
M. Solly Lubis, Pemerintahan Daerah, Bahan Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hal.13. 2 Media Indonesia, Kamis, 4 Mei 2000, hal.24, dalam berita berjudul “PP Kewenangan Disahkan 7 Mei, Menhutbun tak Hambat Otonomi Daerah”. Dikatakan bahwa Departemen Kehutanan dan Perkebunan masih bersemangat sentralistis yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah untuk memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
3
bahan baku hasil hutan yang letaknya jauh dari industri dan pusat-pusat kegiatan ekonomi, perputaran dana dan keuangan demikian kecil. 3 Pemerintah daerah sering terkendala dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan dan penegakan hukum di sektor kehutanan. Penyebab kondisi ini bukan saja benturan antara masyarakat yang melakukan penebangan liar dengan pengusaha pemegang hak pengelolaan hutan, atau antara aparat pemerintah dengan masyarakat atau dengan pengusaha, tetapi juga kendala yang diakibatkan pengaturan hukum positif yang tidak sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan pelestarian hutan kepada pemerintah daerah dalam era otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah, kebijakan pengelolaan pelestarian hutan perlu senantiasa memperhatikan kondisi sosial budaya daerah khususnya komunitas pemegang hak ulayat seperti halnya di Kabupaten Pakpak Barat. Hal ini tidak saja untuk lebih memberhasilkan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan tapi juga penting untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran hukum dan konflik-konflik horizontal akibat eksploitasi hutan sekaligus memberdayakan perekonomian masyarakat lokal. Eksploitasi hutan diharapkan dapat dilakukan dalam suasana yang kondusif sehingga pengelolaan hutan tidak merusak tatanan lingkungan di daerah. Kegiatan pengusahaan hutan, baik pengusahaan hutan alam maupun hutan tanaman industri, diharapkan dapat berjalan lancar dan berkembang baik dari segi kualitas maupun 3
Syaukani HR, Pelaksanaan Desentralisasi di Bidang Kehutanan Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Lestari di Kabupaten Kutai Kertanegara, Analisis CSIS, Jakarta, No.2 Tahun XX/2001, hal.146.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
4
keragaman produknya tanpa melepaskan asas keberlanjutan baik keberlanjutan fungsi produksi, fungsi lingkungan, maupun keberlanjutan fungsi sosial budayanya. 4 Tak lama setelah keluarnya undang-undang otonomi daerah, pada Tanggal 30 September 1999 diberlakukan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur prinsip-prinsip pengelolaan hutan berdasarkan Deklarasi Rio de Jeneiro 1992.
Undang-undang ini dimaksudkan sebagai acuan dalam
pelaksanaan reformasi kebijakan kehutanan sejalan dengan jiwa otonomi daerah. Reformasi kebijakan kehutanan dalam undang-undang ini dilatar belakangi oleh desakan dari CGI 5 dan pemerintah daerah menuju terciptanya kelestarian hutan sehingga banyak ketentuan dalam undang-undang ini yang membuka peluang untuk desentralisasi kehutanan. 6
Misalnya, adanya pengaturan dalam Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 bahwa pemerintah pusat harus memberikan sebagian besar wewenangnya kepada pemerintah daerah terutama dalam ruang lingkup kegiatan operasional. Pembangunan di bidang kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, oleh sebab itu hutan harus diurus dan dikelola dengan sebaikbaiknya, dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk kemakmuran rakyat baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Pasal 23 Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan 4
Nana Suprana, Pengusahaan Hutan di Era Otonomi Daerah, Analisis CSIS, Jakarta, No.2 Tahun XX/2001, hal.156. 5 CGI adalah singkatan dari Consultative Group on Indonesia. 6 Riant Nugroho D., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), hal.41, mengatakan sentralisasi merupakan sistem pengelolaan pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisasi merupakan pembagian dan pelimpahan kewenangan pengelolaan kepada pemerintah daerah.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
5
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kebijakan kehutanan yang bersifat eksploitatif dalam memanfaatkan potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengalami
perubahan
yang
sangat
mendasar.
Kebijakan
kehutanan
dan
implementasinya akan sangat bergantung pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang dibuat untuk pelaksanaannya. Oleh sebab itu, momentum otonomi daerah seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan melalui pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Masalah yang kemudian timbul adalah masih belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga terus terjadi tarik menarik kewenangan dalam pengelolaan pelestarian hutan. Berdasarkan hirarki perundang-undangan, produk perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi sehingga sulit bagi daerah membentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan konsep desentralisasi kehutanan jika peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Masalah ini kemudian ditambah dengan masih kurangnya kesiapan pemerintah daerah melaksanakan kewenangan dalam pengelolaan pelestarian hutan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga memasukkan hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
6
negara. Lingkup perubahan kebijakan ini juga terkait dengan keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya sepanjang masyarakat hukum adat dalam suatu daerah otonom7 menurut kenyataannya masih ada. 8 Lima tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, beberapa ketentuan di dalamnya kemudian diubah melalui Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Konsep desentralisasi kehutanan memang memberikan harapan bahwa pengelolaan pelestarian hutan akan terlaksana secara lebih baik dibandingkan pengelolaan hutan yang sebelumnya bersifat sentralistik 9 , tetapi harapan ini tidak serta merta dapat terwujud. Mengingat hutan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam menunjang pembangunan, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi bidang kehutanan akan mendorong terjadinya pengeksploitasian sumber daya alam apabila daerah hanya 7
Daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8 Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal.99. 9 Faisal Akbar, Dimensi Hukum dalam Pemerintahan Daerah, Kajian Kritis atas UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.6, mengatakan bahwa urusan daerah yang bersifat khas daerah, sudah tentu akan lebih efektif dan baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
7
memandang hutan sebagai sumber dana andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. 10 Jika hal ini terjadi, maka maksud desentralisasi kehutanan untuk meningkatkan pengelolaan pelestarian hutan justeru akan menambah kerusakan terhadap kelestarian hutan di daerah. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai implementasi penyelenggaraan pengelolaan pelestarian sumber daya hutan di daerah dalam era otonomi daerah pada saat ini. Hal ini tidak saja untuk melihat apakah pelaksanaan desentralisasi kehutanan di daerah berjalan sebagaimana mestinya, tetapi lebih dari itu adalah untuk melihat bagaimana dampaknya terhadap kelestarian hutan sebagai maksud dari diberikannya kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk mengelola pelestarian hutan di wilayahnya. Kabupaten Pakpak Barat adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang masih berusia muda. Kabupaten ini memiliki sumber daya hutan yang perlu dikelola pelestariannya demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diteliti bagaimana implementasi pengelolaan pelestarian hutan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Barat dalam kerangka otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan sekaligus dalam kerangka desentralisasi kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Pemilihan Kabupaten Pakpak Barat sebagai lokasi penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran dan analisis komprehensif mengenai implementasi pengelolaan pelestarian fungsi hutan di daerah pada saat ini. Hasil penelitian ini akan dituangkan ke dalam tesis yang 10
Salim HS, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hal.1-2.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
8
dirumuskan dengan judul “Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Barat”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan pengelolaan pelestarian fungsi hutan di daerah menurut perundang-undangan yang berlaku sebagai tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah dalam era otonomi daerah? 2. Bagaimanakah implementasi pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Barat?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan pengelolaan pelestarian fungsi hutan di daerah menurut perundang-undangan yang berlaku sebagai tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah dalam era otonomi daerah. 2. Untuk mengetahui dan memahami implementasi pengelolaan pelestarian fungsi hutan di Kabupaten Pakpak Barat.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
9
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini berupaya mencapai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berharga bagi pengayaan khazanah ilmu hukum mengenai pengelolaan pelestarian fungsi hutan dalam era otonomi daerah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, baik oleh pemerintah daerah pada umumnya di Indonesia maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Pakpak Barat khususnya. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau tawaran berharga bagi pembentuk hukum dalam rangka penyempurnaan kebijakan kehutanan demi upaya pengelolaan pelestarian fungsi hutan sekaligus juga diharapkan dapat menjadi pedoman akademis bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan pelestarian fungsi hutan berdasarkan prinsip otonomi daerah. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
dalam
lingkungan
Universitas
Sumatera Utara (USU), penelitian mengenai “Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Barat” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh sebab itu, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan
yang
jujur,
rasional,
objektif
dan
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
terbuka
sehingga
dapat
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsional Kondisi perekonomian negara yang sangat buruk pada masa Pemerintahan Soekarno (Rejim Orde Lama) yang selanjutnya digantikan oleh Pemerintahan Soeharto (Rejim Orde Baru) merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan di Indonesia. Hutan dibuka secara besar-besaran sebagai solusi untuk keluar dari krisis. 11 Hal ini diawali dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dengan masuknya modal asing dan modal dalam negeri, perkembangan pengusahaan hutan maju pesat. 12
Sejak saat itu, kegiatan
pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mulai menempati peranan yang sangat penting. Arah kebijakan saat itu ditujukan untuk memperoleh modal sebesar-besarnya sebagai penggerak pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan investor asing pun diundang mengembangkan sumber daya alam yang bersifat eksploitatif untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang siginifikan. Hasilnya, sektor kehutanan menduduki ranking kedua setelah migas sebagai penghasil devisa negara.
Selama
lebih dari 32 tahun kekuasaan rejim Orde Baru, hutan di wilayah Indonesia dikangkangi oleh pemerintah pusat untuk kepentingan nasional, yang nota bene 11
Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, op.cit., hal.196-197. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ke tujuh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hal.318. 12
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
11
secara sempit dapat diartikan dengan membagi hasil hutan kepada para pengusaha dan kroni. Fenomena ini belum lagi ditambah dengan kenyataan mengenai rendahnya penerimaan pemerintah daerah dibandingkan dengan pemerintah pusat di sektor kehutanan akibat kuatnya sentralisasi kebijakan dan kewenangan sektor kehutanan. Kebijakan pemerintah pusat dalam bidang kehutanan tidak mendorong pengelolaan hutan menjadi efisien. Sentralisasi kebijakan dan kewenangan di bidang kehutanan lebih meletakkan beban permasalahan di pundak pemerintah daerah sementara manfaat ekonomi dari sektor kehutanan sama sekali tidak dinikmati oleh masyarakat daerah, karena sangat sedikit yang mengalir kembali dari pemerintah pusat ke daerah. Banyak sumber daya hutan yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak diperhitungkan secara ekonomi. Hasil akhir dari kebijakan pemerintah Orde Baru adalah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan disertai divestasi yang rendah untuk usaha konservasi dan rehabilitasi yang berakibat terjadinya penurunan luas hutan. Dengan kata lain, kebijakan eksploitasi tersebut berdampak pada terjadinya kerusakan sumber daya hutan secara besar-besaran, secara pesat menurunkan tingkat cadangan hutan, dan sekaligus mengurangi kemampuan regenerasi hutan. Penebangan hutan (deforestation) secara besar-besaran itu mempunyai dampak penting atas lingkungan hidup. 13 Hutan mempunyai banyak fungsi ekologis, yakni sebagai penyimpan keanekaragaman hayati, pengatur kesuburan tanah dan pengatur iklim. 14 Hutan juga
13
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hal.314. Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hal.28. 14
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
12
berfungsi sebagai paru-paru dunia yang mampu mengubah karbon dioksida menjadi oksigen, mencegah terjadi bencana erosi dan banjir.15 Hutan juga mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan, baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Hal ini disebabkan hutan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.16 Pada sisi lain, hutan dengan berbagai hasilnya merupakan tumpuan hidup masyarakat di sekelilingnya disamping juga menarik minat para pengusaha (investor) untuk mengeksploitasi kekayaan hutan sebagai produk yang sangat menguntungkan secara ekonomis di pasaran domestik dan internasional. 17 Hutan memang mampu menghasilkan komoditi yang cukup tinggi nilainya. Tak heran apabila pemerintah pun menjadikan hasil produksi hutan dalam bentuk kayu sebagai sumber devisa negara dari sektor non migas. Belum lagi adanya kenyataan bahwa wilayah hutan sering menjadi korban jika ada masyarakat memerlukan wilayah baru untuk dijadikan pemukiman atau pertanian. 18 Kesemua manfaat hutan dari banyak aspek ini menjadikan hutan sebagai komunitas yang akan tetap menjadi perhatian saat ini maupun di masa mendatang. Akan tetapi permasalahan yang kemudian dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah kerusakan hutan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dampak negatif dari eksploitasi dan pemanfaatan hutan justeru membawa sebagian besar umat manusia terancam dengan
15
Info Sheet WUM, Pengelolaan Hutan Partisipatif, (Medan: WIM, Yayasan Sintesa dan Puskap USU, 1997), hal.49. 16 Salim HS, log.cit.. 17 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.1. 18 R.E. Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan, (Bandung: ITB, 1997), hal.57.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
13
kerusakan ekologi dan keprihatian sosial ekonomi. 19
Hutan akan semakin habis,
kecuali apabila ada usaha untuk menyelamatkannya. 20 Oleh karena itu dalam kerangka otonomi daerah, kebijakan pengelolaan pelestarian fungsi hutan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Melihat begitu pentingnya bidang kehutanan dalam melestarikan lingkungan, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan satu dengan lainnya dalam pengelolaan pelestarian fungsi hutan. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pemanfaatan sumber daya hutan tidak dapat dilakukan secara terpisah dan tersendiri, akan tetapi harus dilaksanakan secara integral dan terpadu sejajar dengan upaya pemanfaatan sumber daya lainnya dalam menyelenggarakan pembangunan. Keterpaduan
integritas
ini
diartikan
sebagai
adanya
19
saling
keterkaitan,
Alam Setia Zain, Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal.24. 20 R.E. Soeriaatmadja, log.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
14
ketergantungan, mendukung, yang tidak dapat dipisahkan dalam satu sistem. Sumber daya hutan juga harus dapat berperan dalam pengembangan sistem tata lingkungan maupun kepentingan lain yang menyangkut sumber daya hutan. 21 Otonomi daerah memberikan tanggung jawab bagi setiap pemerintah daerah otonom untuk melaksanakan pengelolaan pelestarian fungsi hutan. Banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangannya untuk mengatasi perusakan hutan yang terjadi tanpa memerhatikan ekosistem, antara lain berupa illegal logging, pencurian hasil hutan, perladangan berpindah, pembakaran berpindah, pembakaran hutan, penggalian bahan tambang liar, bencana alam atau perburuan, 22 serta rusaknya hutan akibat pemegang izin HPH (sekarang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku berupa kelalaian melaksanakan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dalam mengeksploitasi hutan. 23 Kerusakan hutan juga diperparah dengan menjustifikasi pertambangan terbuka yang dilakukan suatu perusahaan pada hutan lindung demi mendapatkan keuntungan investasi. Belum lagi sangat seringnya terjadi banjir dan longsor di banyak wilayah Indonesia akhir-akhir ini sebagai dampak langsung dari kerusakan hutan. Ternyata Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 memang telah menegaskan bahwa tanggung jawab pengelolaan pelestarian fungsi hutan di daerah bukan hanya dibebankan kepada pemerintah semata-mata, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah, 21
Bambang Pamulardi, op.cit., hal.4. ibid., hal.57. 23 Salim HS, log.cit. 22
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
15
karena masyarakat juga harus dilibatkan dan bertanggung jawab dalam upaya tersebut. Begitu pula halnya dengan perusahaan yang diberi kewenangan melakukan eksploitasi hutan, mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. 24 Hal ini juga diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menegaskan kewajiban setiap orang dan pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Salah satu permasalahan yang menarik dalam kebijakan bidang kehutanan adalah mengenai apakah era otonomi daerah saat ini telah mampu menciptakan kondisi pengelolaan pelestarian hutan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat daerah, atau justeru merugikan bagi masyarakat daerah. Hal ini tidak hanya menyangkut implementasi pengelolaan pelestarian hutan oleh pemerintah daerah, tetapi tentu juga terkait erat dengan pembentukan dan efektifitas Peraturan Daerah yang dibentuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bidang kehutanan. Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) jo. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat aturan bahwa penyelenggaraan urusan di bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya oleh pemerintah daerah dilakukan dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya. Ini berarti kewenangan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
24
Hadi Setia Tunggal, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (Jakarta: Harvarindo, 2002), hal.18.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
16
daya lainnya yang berada di wilayahnya dilakukan berdasarkan kordinasi dengan pemerintah pusat dan antarpemerintah daerah, jadi tidak mutlak menjadi kewenangan pemerintah daerah. Hukum sebagai salah satu perangkat yang mengatur norma-norma kehidupan bermasyarakat, merupakan faktor pendukung terciptanya pengelolaan pelestarian fungsi hutan yang baik, baik dari pihak pemerintah daerah, masyarakat dan pengusaha. Oleh karena itu, hukum berfungsi mengatur dan berfungsi memberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. 25 Potensi hukum terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum, yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk resiko dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan resiko tersebut. Fungsi respresif adalah fungsi penanggulangan, yang diterapkan terhadap kerusakan keadaan yang disebabkan oleh resiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu. 26 Dengan
demikian,
pengaturan
hukum
dalam
otonomi
daerah
dan
desentralisasi kehutanan, merupakan landasan dari pedoman tingkah laku pemerintah dan warga masyarakat serta menjadi dasar implementasi yang diperlukan untuk
25
Lili Rasyidi dan I.B. Wijasa Putra, dalam Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.10. 26 ibid.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
17
mencegah dan melakukan penegakan hukum dalam menanggulangi dampak negatif dari pemanfaatan hutan. Efektifnya pengaturan dan penegakan hukum dalam pengelolaan pelestarian hutan di daerah, akan menjadikan efektif dan berhasilnya pengelolaan pelestarian hutan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pada bagian ini perlu diuraikan definisi operasional untuk mempertegas penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Pertama, kebijakan, diartikan sebagai rangkaian konsep yang menentukan aturan hukum yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan, yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Kedua, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 27 Ketiga, daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 28
27
Rumusan dalam Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004. Rumusan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004.
28
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
18
Keempat, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 29 Kelima, pelestarian diartikan dengan proses, cara, perbuatan melestarikan, perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan, konservasi, 30 sementara pelestarian hutan diartikan sebagai upaya menjamin pemanfaatan hutan sebagai salah satu sumber daya alam secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Keenam, pengelolaan 31 hutan diartikan dengan upaya atau kegiatan berdasarkan kebijaksanaan untuk mencapai kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang, artinya apabila dalam proses pemanfaatan hutan timbul dampak negatif, maka harus diupayakan untuk mengurangi atau meniadakan dampak negatif tersebut sehingga keadaan lingkungan menjadi serasi dan seimbang kembali. 32 Ketujuh, pengelolaan pelestarian hutan dapat diartikan sebagai kebijakan untuk mencapai kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang guna menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta memelihara dan menjamin kesinambungan persediaannya
dengan
sekaligus
meningkatkan
kualitas
nilai
dan
keanekaragamannya. 29
Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. 30 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.665. 31 ibid., hal.534. Dalam kamus tersebut disebutkan beberapa arti dari pengelolaan, yakni: 1. proses, cara, perbuatan mengelola; 2.proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; 3.proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; 4. proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. 32 Bambang Pamulardi, op.cit., hal.200.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
19
G. Metode Penelitian Proses kegiatan ilmiah dalam penelitian tesis ini dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah metodologi penelitian hukum, mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data.
1. Tipe atau Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong pada jenis penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif berusaha melakukan pendekatan terhadap norma-norma hukum dalam menganalisa permasalahan yang ada. Penelitian ini merupakan penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di buku (law in written in book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process). 33 Penelitian ini dikatakan bersifat deskriptif analitis karena bertujuan mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum dalam pengelolaan pelestarian hutan oleh pemerintah daerah dalam otonomi daerah, khususnya di Kabupaten Pakpak Barat, serta sekaligus ditujukan pula untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut.
2. Sumber Data Penelitian Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder sebagai sumber data utama, yang dilengkapi dengan sumber data primer sebagai pendukung. Sebagai pendukung sumber data sekunder, sumber data primer diperoleh melalui wawancara terhadap 33
Ronald Dworlin, dalam Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, makalah pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003 hal.1.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
20
aparatur pemerintahan daerah Kabupaten Pakpak Barat yang berkompeten dalam bidang pengelolaan pelestarian hutan, seperti Bupati Pakpak Barat dan Kepala Dinas Kehutanan Pakpak Barat. Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan (library research), baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier sebagai data utama atau data pokok penelitian. 34 Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri dari: a. bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, serta peraturan perundang-undangan lainnya.
34
Bambang Sunggono, Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.194-195.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
21
b. bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku teks dari para ahli hukum, jurnaljurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar, situs internet dan lain-lain. c. bahan hukum tertier, terdiri dari kamus-kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia, ensiklopedi, dan lain-lain. Keseluruhan data sekunder yang diperoleh ditujukan untuk mendapatkan normanorma hukum, konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual sebagai kerangka teoritis dan bahan analisis penelitian ini.
3. Lokasi Penelitian dan Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian dilakukan di Daerah Kabupaten Pakpak Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa Kabupaten Pakpak Barat adalah daerah otonom yang masih muda dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara dan sedang bergiat melaksanakan pembangunan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat daerahnya.
4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara. Wawancara dilakukan kepada responden dan informan yang dianggap memiliki kompetensi untuk menjelaskan pengelolaan pelestraian fungsi hutan di Kabupaten Pakpak Bharat.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik studi
dokumentasi. Data digali dari literature dan peraturan perundang-undangan yang relevan guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan yang bersifat yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
22
permasalahan yang dibahas. Analisis terhadap data sekunder akan didukung dan dibandingkan dengan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihakpihak yang telah ditentukan.
5. Analisis Data Bahan hukum dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Penggunaan metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagai pertimbangan, yakni: pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan, kedua, data yang dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam (indepth information). 35 Hasil analisis kualitatif akan diuraikan secara sistematis dengan menjelaskan hubungan
antara
menggambarkan
berbagai dan
jenis
data
mengungkapkan
secara
deskriptif,
permasalahan
yang
sehingga terjadi
selain
sekaligus
diharapkan akan dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
35
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal.29.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
BAB II PELESTARIAN SUMBER DAYA HUTAN
A. Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia memiliki peranan yang amat penting dalam pemeliharaan lingkungan karena manusia dengan lingkungannya memiliki hubungan timbal balik dan senantiasa saling mempengaruhi.
Hubungan timbal balik antara manusia dan
lingkungannya membentuk suatu sistem yang lazim disebut ekosistem yang berarti tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. 36 Eksistensi manusia sangat ditentukan oleh keberadaan lingkungannya, sebaliknya eksistensi lingkungan itu sendiri sangat ditentukan oleh aktifitas manusia sebagai usernya.
Sifat saling mempengaruhi ini mengandung
makna bahwa manusia dan lingkungan harus selalu bersinergi untuk mempertahankan eksistensinya. Esploitasi yang berlebihan oleh manusia terhadap lingkungan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dengan implikasi kualitas kehidupan manusia juga akan terdegradasi, oleh sebab itu daya dukung lingkungan terhadap aktivitas kehidupan manusia adalah aspek krusial yang perlu dipertahankan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. dilakukan
secara
terencana
Pengelolaan lingkungan hidup juga mutlak
untuk
menjaga
kesinambungan
pelaksanaan
pembangunan.
36
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Mutiara, 1979), hal. 5.
23 Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
24
Lingkungan hidup 37 dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) bagian, yaitu : 1. Lingkungan Fisik (Physical Environment) adalah segala sesuatu di sekitar kita yang membentuk benda mati, seperti rumah, kenderaan, gunung, udara, air, sinar matahari dan lain lain. 2. Lingkungan Biologis (Biological Environment) adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia yang terbatas hanya organisme hidup lainnya selain dari manusia sendiri, binatang, tumbuh-tumbuhan, jasad renik (plankton) dan lain-lain. 3. Lingkungan Sosial (Social Environment) adalah manusia-manusia lain yang berada di sekitar tetangga, teman dan lain-lain. 38 Pengelolaan lingkungan hidup akan mencapai hasil maksimal dalam menjaga dan melestarikan keseimbangan ekosistem demi kesejahteraan umat manusia apabila ketiga kategori lingkungan hidup tersebut di atas dikelola dengan baik. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup
37
Secara yuridis pengertian lingkungan hidup termaktub di dalam Pasal 1 butir 1 UUPLH, yang redaksinya berbunyi sebagai berikut: “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.” Dengan demikian, secara umum lingkungan hidup dapat diartikan sebagai benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batasan ruang lingkup menurut pengertian ini bisa sangat luas. Namun untuk praktisnya ruang lingkup pengertian lingkungan hidup dibatasi dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia, seperti faktor alam, faktor politik dan lain-lain. Lihat, Ibid., hal. 34. Bandingkan dengan Munadjat Danusaputro, dikatakannya bahwa lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya; Munadjat Danusaputro (I), Hukum Lingkungan II Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1981), hal. 67. Bandingkan pula dengan pendapat Yusuf Al-Qaradhawi, dikatakannya lingkungan hidup adalah sebuah lingkup dimana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri meliputi lingkungan yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati). Lingkungan yang terdiri dari lingkungan alam (thabiah) yang diciptakan Allah dan industri (shina’aiyah) yang diciptakan manusia; Yusuf Al-Qaradhawi dalam Syamsul Arifin (I), Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pendidikan, disampaikan pada Stadium General (Pembukaan Kuliah) Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Ishlahiyah Binjai Tahun Akademi 2004-2005, Binjai, 22 September 2004. 38
Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Cetakan Pertama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hal. 11-12.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
25
merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, yang diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ini telah diimplementasikan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan Hidup (UULH) pada tahun 1982. 39 Konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan mengandung makna bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, serta mensyaratkan terpeliharanya pelestarian fungsi dan kemampuan lingkungan hidup sebagai tumpuan bagi keberlanjutan pembangunan. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan akan mampu mencegah pencemaran lingkungan hidup di daerah perkotaan, berfungsinya kawasan hutan dan kawasan lindung sebagai kawasan resapan/sumber air, pengendali tata air dan pencegah erosi, lestarinya hutan bakau dan terumbu karang di daerah pantai, terjaganya kondisi tanah dan lahan pertanian dari degradasi dan erosi. 40 Jadi, konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan merupakan suatu upaya 39
UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) merupakan tonggak kemajuan dari perkembangan peraturan perundang-undangan lingkungan di negeri ini. Dalam satu dasawarsa telah mendorong munculnya peraturan perlindungan lingkungan lainnya yang lebih spesifik. 40 Syamsul Arifin, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
26
sungguh-sungguh untuk mencegah dan mengatasi timbulnya dampak dari meningkatnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam akibat motif ekonomi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat. Pemanfaatan
alam
secara
fisik
untuk
kepentingan
manusia
dalam
mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan sehat dapat berubah menjadi kondisi lingkungan yang tidak baik dan tidak sehat bagi kehidupan manusia, jika pemanfaatan tersebut tidak disertai dengan analisis mengenai dampaknya terhadap lingkungan hidup. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur agar fungsi lingkungan hidup tetap lestari adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 41 UULH yang menyebutkan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengelolaan lingkungan hidup mengharuskan pemerintah membentuk peraturan guna menghindari terjadinya pencemaran 41 atau kerusakan 42 lingkungan hidup yang dilakukan oleh subjek hukum, baik manusia maupun badan hukum. 43 41
Pasal 1 butir 12 UUPLH menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup “pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu dan menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.” 42 Pasal 1 butir 14 UUPLH menyatakan bahwa “perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”. 43 Dari ketentuan Pasal 1 butir 12 dan butir 14 disimpulkan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup hanya meliputi perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dengan pembatasan ini, pencemaran hanya dapat terjadi oleh kegiatan manusia, sedangkan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
27
Penentuan telah terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup diukur berdasarkan “baku mutu lingkungan hidup”. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar mahkluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup, sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 1 butir 11 UUPLH. 44 Salah satu ketentuan yang sangat penting dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah pengaturan mengenai analisa terhadap dampak lingkungan bagi setiap kegiatan yang dapat mempengaruhi lingkungan. Pasal 15 ayat (1) UUPLH menyebutkan bahwa setiap rencana dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, sedangkan ayat (2) nya menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai rencana usaha serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Amanah UUPLH di atas kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai
pencemaran lingkungan akibat proses alam tidak termasuk ke dalam pengertian pencemaran secara yuridis. Munadjat Danusaputro (II), Hukum Lingkungan, Buku V, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hal. 77. Lihat pula, Otto Soemarwoto, dalam Syamsul Arifin (II), Tata Pengaturan Hukum Pencemaran Laut di Lingkungan ASEAN, (Medan: Fakultas Hukum USU, 1984), hal. 29. 44 Pasal 1 butir 11 UUPLH menyatakan “Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup”.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
28
Dampak Lingkungan selanjutnya disingkat PP Amdal. PP Amdal mengharuskan setiap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan harus dilengkapi dengan dokumen Amdal. 45 Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) merupakan badan pemerintah yang bertanggung jawab melakukan koordinasi proses Amdal. 46 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun atau dilakukan di dalam suatu kawasan tertentu juga memerlukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan guna kepentingan pelestarian lingkungan hidup. 47
Kawasan tersebut
harus dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungannya. Ada juga usaha dan/atau kegiatan yang tidak diwajibkan membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Usaha dan/atau kegiatan tersebut diwajibkan untuk melakukan pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan
45
Dokumen Amdal mempunyai 2 (dua) fungsi utama, yaitu: 1. Sebagai rujukan peting bagi pemrakarsa, instansi yang membidangi rencana usaha atau kegiatan, dan penyusunan studi AMDAL tentang lingkup dan kedalaman studi AMDAL yang akan dilakukan; 2. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilaian dokumen AMDAL untuk mengevaluasi hasil studi AMDAL. 46 Dalam PP No. 51 Tahun 1993, Amdal dirumuskan sebagai “hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan“. Bapedal sendiri menjabarkan Amdal sebagai “proses kajian yang terpadu untuk mengkoordinasi perencanaan dan kajian dari kegiatan pembangunan yang diusulkan, khususnya komponen ekologi, sosio-ekonomi dan budaya, sebagai pelengkap kelayakan teknis dan ekonomis”. Oleh karena itu, Otto Soemarwoto mengartikan Amdal sebagai “alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan“. Selanjutnya, lihat Otto Soemarwoto (I), Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal. 62. 47 Menurut Pasal 2 PP Nomor 27 Tahun 1999, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan digunakan oleh pengambil keputusan dan perencanaan. Dengan demikian, AMDAL lebih menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan tersebut terhadap lingkungan hidup.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
29
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kawasan. 48 Penentuan apakah suatu dampak terhadap lingkungan merupakan dampak besar dan penting memerlukan suatu pedoman untuk mengukurnya. Pasal 5 ayat (1) PP 27 Tahun 1999 tentang AMDAL mendelegasikan kepada Kepala Bappedal yang bertugas mengendalikan dampak lingkungan untuk menyusun dan menetapkan pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. Pedoman tersebut ditentukan di dalam Keputusan Kepala Bappedal Nomor 65 Tahun 1994 yang menentukan bahwa kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, antara lain : a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak; b. Luas wilayah persebaran dampak; c. Intersitas dan lamanya dampak berlangsung; d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; e. Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Disamping itu, ukuran mengenai dampak penting terhadap lingkungan perlu disertai dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: a.
48
Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan berkaitan secara relatif dengan besar kecilnya rencana usaha atau kegiatan, hasil guna dan dasar gunanya, bila rencana usaha dan kegiatan tersebut dilaksanakan.
Pasal 4 ayat (1) PP 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
30
b.
c.
Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan dapat pula didasarkan pada dampak usaha dan kegiatan tersebut terhadap salah satu aspek lingkungan saja atau dapat juga terhadap kesatuan dan tata kaitannya dengan aspek-aspek lingkungan lainnya dalam batas wilayah studi yang telah ditentukan. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan atas dasar kemungkinan timbulnya dampak positif atau dampak negatif tidak boleh dipandang sebagai faktor yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan harus diperhitungkn bobotnya guna dipertimbangkan hubungan timbal baliknya untuk mengambil keputusan. 49
Setiap pihak perlu memahami permasalahan lingkungan hidup dan berbuat untuk melestarikannya. Pemerintah memang memiliki kewenangan untuk menyusun regulasi mengenai lingkungan hidup dan mengawasi implementasinya di lapangan oleh para subjek hukum, akan tetapi tanpa dukungan dan peran serta subjek hukum, baik anggota masyarakat sebagai persoon maupun badan usaha, maka pengelolaan pelestarian lingkungan hidup akan sulit untuk diwujudkan. 50 Oleh karena itulah Pasal 6 jo. Pasal 7 ayat (1) UUPLH menegaskan bahwa pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup dan mencegahnya dari pencemaran dan kerusakan adalah kewajiban setiap subjek hukum, dimana masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
49
Otto Soemarwoto (I), op.cit, hal. 65. Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal.101. 50
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
31
B. Pengertian dan Fungsi Hutan Hutan dan kawasan hutan secara yuridis konsepsional di rumuskan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 51 , selanjutnya disebut Undang-undang Kehutanan sebagai berikut: “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Dengan demikian, hutan merupakan salah satu ekosistem yang penting dalam kehidupan manusia. Hutan sangat dibutuhkan untuk mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya. Sumber daya hutan sangat potensial karena memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Pada prinsipnya hutan berfungsi sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat sebagai karunia amanah Tuhan Yang Maha Esa. 52 Oleh karena itu, menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan berfungsi sebagai konservasi, lindung dan produksi.53 Berdasarkan fungsinya sebagai konservasi, kawasan hutan mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dikarenakan perlunya mempertahankan ciri khas tertentu dari hutan tersebut.
51
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diberlakukan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang dipandang sudah tidak sesaui dengan tuntutan era reformasi. 52 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. 53 Bandingkan dengan pendapat R.E. Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan, (Bandung: ITB, 1997), hal.57. Dikatakannya bahwa hutan mempunyai tiga fungsi pokok yang penting, yaitu fungsi ekonomis, ekologis dan sosial.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
32
Kawasan hutan ini berdasarkan keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam, bagi kepentingan dan pengawetan plasma muftah, ilmu pengetahuan, wisata dan pembangunan pada umumnya. 54 Berdasarkan fungsinya sebagai konservasi lindung, hutan memiliki fungsi ekologis yang harus dilindungi oleh manusia. Fungsi ekologis berarti bahwa hutan merupakan penyimpan keanekaragaman hayati, pengatur kesuburan tanah dan pengatur iklim. 55 Dengan fungsi ekologis ini pula, hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang mampu mengubah karbon dioksida menjadi oksigen, mencegah terjadinya bencana erosi dan banjir, serta penyangga sumber kehidupan bagi makhluk hidup yang berada dalam kawasannya. 56 Berdasarkan data yang diperoleh bahwa hutan di Indonesia tercatat sebagai hutan tropis terbesar dari total hutan di dunia, terutama hutan tropis di Kalimantan yang umumnya kini menjadi “milik” dunia internasional karena fungsinya sebagai “paru-paru” dunia. 57 Dengan demikian, dari sudut pandang ekologis hutan tidak hanya berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan di sekitarnya, melainkan juga menjaga keseimbangan ekosistem global. Di dalam hutan alam asli yang belum terganggu dan belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, akan dijumpai keanekaragaman flora, tumbuh-tumbuhan dan fauna, binatang dari yang berwujud mikroorganisme sampai kepada pohon yang 54
Alam S Zain, Hukum Lingkungan, Konservasi Hutan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 4. Otto Soemarwoto (II), Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hal.28. 56 Info Sheet WIM, Pengelolaan Hutan Partisipatif, (Medan: WIM, Yayasan Sintesa dan Puskap USU, 1997), hal.49. 57 Harian Analisa, 22 September, 2000 55
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
33
berukuran raksasa. Keberadaan hutan yang demikian dikenal sebagai hutan dengan vegetasi yang sudah mencapai suksesi klimaks. Pergantiannya secara alami berlangsung dengan keseimbangan ekosistem yang harmonis mulai dari tingkatan tajuk paling rendah (strata) sampai pada tingkat strata tajuk pepohonan yang paling atas. Di bawah tegakan pohon terisi dengan bunga tanah yang dikenal sebagai humus (seresah hutan). 58 Salah satu fungsi ekologis hutan yang lain adalah sebagai pengatur tata air. Bila hujan jatuh di hutan, maka akan terjadi urutan-urutan aliran air mulai dari dedaunan, ranting, sebagian jatuh pada tajuk pohon. Ada yang melewati batang pohon jatuh diatas timbunan humus sebagai lantai permadani hutan yang menutupi tanah. Kemudian secara perlahan berdasarkan gaya gravitasi bumi, air hujan tersebut akan masuk ke dalam tanah dan membentuk aliran air bawah tanah sesuai dengan struktur geologi tanah. Sementara itu, bila lantai hutan yang berupa humus bersifat menyerap dan menyimpan air, setelah jenuh maka air akan mengalir sebagai aliran permukaan (run off) mencari daerah yang lebih rendah sampai pada aliran sungai sesuai dengan cakupan daerah aliran sungai. Demikianlah secara alami siklus air berlangsung. Pada hutan hujan tropis yang masih belum dijamah oleh tangan manusia, terjadi pula proses suksesi atau proses patah tumbuh hilang berganti, yakni secara siklus berulang terjadi proses alami aliran air lewat media hutan, tanah dan air yang dikenal sebagai daur hidrologi. 58
Soekirman, Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan. (Makalah Pengantar Diskusi Panel Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan di Tapanuli Selatan. Medan : Garuda Plaza 11 APRIL 2003).
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
34
Proses pembentukan tanah serta suksesi vegetasi hutan terjadi secara seimbang dalam suatu ekosistem yang harmonis dimana unsur hutan, tanah dan air serta iklim saling berinteraksi. 59 Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung di dataran tinggi yang berfungsi sebagai kawasan resapan/sumber air, pengendali tata air dan pencegah erosi keberadaannya telah semakin terancam akibat kegiatan perambahan hutan ilegal, menimbulkan gangguan terhadap tata air atau neraca air serta berpotensi terhadap bahaya banjir yang semakin serius di musim hujan dan bahaya kekeringan atau krisis air di musim kemarau. 60 Betapa pentingnya manfaat hutan bagi umat manusia secara global, sehingga Agenda 21 Konferensi Tingkat Tinggi di Rio De Jeneiro yang diadakan pada Tahun 1992 menyebutkan bahwa manfaat hutan adalah sebagai “paru-paru” dunia. Statement Hutan Sebagai Paru-paru Dunia mengandung makna bahwa hutan merupakan produsen oksigen, penyerap karbon dioksida, sebagai tangkapan air, sebagai bahan baku obat-obatan serta tempat berkembang biaknya keanekaragaman hayati. Ekosistem hutan dengan demikian merupakan salah satu penopang strategis kehidupan di bumi. 61
Hutan di Indonesia tercatat sebagai hutan tropis terbesar dari
total hutan di dunia, terutama hutan tropis di Kalimantan yang kini telah menjadi “milik” dunia internasional karena fungsinya sebagai “paru-paru” dunia. 62
59
Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan, op.cit, hlm. 6. Syamsul Arifin, loc.cit. 61 Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hal. 1. 62 Harian Analisa, 22 September, 2000. 60
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
35
Ketentuan undang-undang memang tidak menyebutkan secara tegas apa manfaat hutan bagi kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lainnya berdasarkan fungsi produksinya. Secara harfiah dapat diartikan bahwa hutan merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hutan dapat memenuhi kebutuhan konsumtif manusia maupun memenuhi kepentingan perekonomian negara, juga dapat memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan dengan meneliti kehidupan hutan itu sendiri. Jadi, fungsi produksi hutan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengandung makna sebagai fungsi ekonomis. 63 Dari sudut pandang ekonomis, meningkatnya permintaan produksi kayu mengakibatkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap hutan. Tekanan terhadap habitat hutan juga bersumber dari kegiatan manusia yang melakukan penebangan dan mengkonversikan areal hutan menjadi areal hutan menjadi areal pengembangan pemukiman, eksploitasi ekonomi dan pertanian. 64 Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan, baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Hal ini disebabkan hutan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.65 Hutan dengan berbagai hasilnya juga merupakan tumpuan hidup masyarakat di sekelilingnya. Wilayah hutan dalam kenyataannya
63
Sugiarto dan Willy Ekariyono, Penghijauan Pantai, (Jakarta: Penebar Swadaya, 1996), hal.
1-39. 64
Mengenai pemaparan ketergantungan hidup masyarakat pada hutan, lihat Ibid. Salim HS, op.cit., hal. 7.
65
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
36
sering pula menjadi korban jika ada masyarakat memerlukan wilayah baru untuk dijadikan pemukiman atau pertanian. Pada sisi lain, hutan juga menarik minat para pengusaha (investor) untuk mengeksploitasi kekayaan hutan sebagai produk yang sangat menguntungkan secara ekonomis di pasaran domestik dan internasional.66 Hutan memang mampu menghasilkan komoditi yang cukup tinggi nilainya bagi banyak pihak. Tak heran apabila pemerintah menjadikan hasil produksi hutan dalam bentuk kayu sebagai sumber devisa negara dari sektor non migas. 67
Kesemua
manfaat hutan dari banyak aspek ini menjadikan hutan sebagai komunitas yang akan tetap menjadi perhatian saat ini maupun di masa mendatang. Ada satu fungsi hutan yang tidak dapat diabaikan dalam pemanfaatan dan pelestariannya, yaitu fungsi sosial hutan. 68
Dari sudut pandang sosial ekonomis,
hutan telah sejak lama dimanfaatkan kegunaannya secara tradisional oleh sebagian masyarakat di sekitarnya. Tidak sedikit manusia yang menggantungkan hidupnya dari hutan. 69 Pertanian sangat membutuhkan hutan yang lestari, sebagai wadah untuk menjaga dan meningkatkan hasil produksi. Jika kondisi hutan mencapai tahap kritis, maka hama akan memasuki wilayah pertanian dan pasokan air sebagai penyangga utama lahan pertanian akan mengalami kekeringan. Hutan yang lestari akan mampu memulihkan dan mempertahankan kondisi tanah secara berkelanjutan, sehingga secara optimal dapat melaksanakan fungsi 66
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.1. 67 R.E. Soeriaatmadja, loc.cit. 68 Ibid. 69 Mengenai pemaparan ketergantungan hidup masyarakat pada hutan, lihat Sugiarto dan Willy Ekariyono, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
37
produksinya sebagai media pengatur tata air dan alam lingkungan serta fungsi perlindungannya terhadap kehidupan ekosistem. Berfungsinya hutan secara optimal akan menjaga kesuburan tanah dan mengatur tata air sehingga mampu mengendalikan erosi dan mencegah banjir. 70 C. Tata Hutan Berdasarkan kepentingan pemanfaatannya, Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan bahwa hutan pada dasarnya memiliki 3 (tiga) fungsi pokok, yaitu: 1) fungsi konservasi, 2) fungsi lindung, dan, 3) fungsi produksi. 71 Berdasarkan pembagian fungsinya tersebut dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, dikenal beberapa jenis hutan hutan dalam tata hutan di Indonesia, yaitu: a. Hutan Konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan Konservasi ini merupakan kawasan hutan berdasarkan keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam, bagi kepentingan dan pengawetan plasma muftah, ilmu pengetahuan, wisata dan pembangunan pada umumnya. Hutan Konservasi dibagi atas tiga macam hutan sebagai berikut: 70
R.E. Soeriaatmadja, op.cit., hal.58. Lebih lanjut mengenai pembagian fungsi tersebut, lihat kembali sub bab Pengertian dan Fungsi Hutan pada bagian terdahulu. 71
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
38
a. Kawasan Hutan Alam, atau disebut pula sebagai Hutan Suaka Alam, adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan. b. Kawasan Hutan Pelestarian Alam, adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. c. Taman Buru, adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Hutan Wisata, yaitu kawasan hutan berdasarkan keadaan dan sifat wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan maksud untuk pengembangan pendidikan, rekreasi wisata dan berburu b. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyanggah kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan pemeliharaan kesuburan tanah. Jadi, Hutan Lindung merupakan kawasan hutan berdasarkan keadaan dan sifat fisik wilayahnya, perlu dibina dan dipertahankan sebagian dengan penutupan vegetasi secara tetap, guna kepentingan hidrologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan yang saling mempengaruhi di sekitarnya.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
39
c. Hutan Produksi, adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi ini merupakan area hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan secara permanen dengan tujuan memfungsikannya untuk memperoleh hasil hutan bagi kepentingan konsumsi masyarakat, industri dan ekspor. 72 Disamping jenis-jenis hutan tersebut di atas, dikenal pula jenis-jenis hutan lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu Hutan Negara, Hutan Hak dan Hutan Adat. Berdasarkan letak hamparan geografisnya, dikenal pula adanya Hutan Pantai (Hutan Bakau Mangrove), Hutan Dataran Rendah dan Hutan Pegunungan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memasukkan hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara. Lingkup perubahan kebijakan ini juga terkait dengan keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya sepanjang masyarakat hukum adat dalam suatu daerah otonom 73 menurut kenyataannya masih ada. 74
72
Alam Setia Zain, op.cit., hlm. 4. Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, beserta Penjelasannya. 73 Daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 74 Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, op.cit., hal.99.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
40
D. Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan, dan sangat menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hutan Indonesia yang merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang dinugerahkan kepada bangsa ini merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi :”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hutan memberikan manfaat serba guna bagi umat manusia. Manusia wajib mensyukuri dengan mengurus dan memanfaatkannya secara optimal serta menjaga kelestariannya, sehingga kelestariannya senantiasa bermanfaat bagi masyarakat dan generasi selanjutnya. Pengelolaan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, baik itu masyarakat perseorangan maupun masyarakat dalam lingkup Negara (Pemerintah). Menurut Rahardjo, pemerintah merupakan agen utama dalam segenap kegiatan masyarakat, termasuk pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini mengandung makna bahwa pemerintah bertanggungjawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu. Dalam konteks ini, sinyalemen diatas menjadi nyata, ketika pada akhirnya peran serta masyarakat hanyalah merupakan proses tarik-menarik antara pemerintah dan pihak masyarakat. Dimana
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
41
masyarakat hanya mampu mencari ruang gerak peran serta masyarakat yang telah ’diciptakan’ pemerintah. 75 Dalam rangka pelestarian hutan guna memberikan manfaat maksimal dan sekaligus meningkatkan taraf hidup rakyat, pelaksanaan pengelolaan hutan harus diatur oleh negara agar kelestarian hutan tetap terjaga. Pemanfaatan dan pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan dunia harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang didasarkan pada norma hukum nasional. Hutan yang menyuplai sumber daya alam dengan segala keanekaragaman kekayaan yang terdapat di dalamnya, senantiasa membutuhkan pengolahan dan pemanfaatan agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi, baik secara individu, kelompok maupun masyarakat. Karena demikian pentingnya kontribusi hutan dalam pelestarian lingkungan hingga saat ini telah diterbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan satu dengan lainnya dalam pengelolaan pelestarian hutan. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 75
Rahardjo M. Dawami, Escience Economic Politik. (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 40.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
42
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan dan terakhir Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan sumber daya hutan tidak dapat dilakukan tersendiri, akan tetapi harus dilaksanakan secara integral dan terpadu sejalan dengan upaya pemanfaatan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pembangunan. Keterpaduan
ini
merupakan
satu
sistem,
artinya
ada
saling
keterkaitan,
ketergantungan, mendukung, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sumber daya hutan juga harus dapat berperan dalam pengembangan sistem tata lingkungan maupun kepentingan lain yang menyangkut sumber daya hutan. 76 Pemanfaatan hutan telah menjadi bagian penting dari proses pembangunan. Pembangunan di bidang kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Hutan Indonesia harus diurus dan dikelola dengan sebaik-baiknya, dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, Pasal 23 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Akan tetapi, fokus pengelolaan hutan dan lingkungan hidup
76
Bambang Pamulardi, op.cit., hal.4.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
43
harus ditekankan tidak hanya pada manfaat ekonomi, melainkan lebih jauh harus menjadi harapan dan amanat untuk meningkatkan: a. Kesadaran akan pentingnya konservasi dan keanekaragaman alam hayati. b. Kepedulian sosial, peningkatan peran serta masyarakat dan pemerintahan daerah. c. Pemerataan kesejahteraan sosial keseluruh wilayah Indonesia. 77 Hutan merupakan sumber daya yang potensial untuk dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya
dalam
menunjang
pembangunan
dan
kehidupan
manusia.
Pemanfaatan hutan yang tidak terkendali pada akhirnya akan merugikan masyarakat secara keseluruhan, sebab hutan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus ekosistem dalam kehidupan manusia. 78 Menurut standar hutan internasional, suatu wilayah harus mempunyai areal hutan minimal di atas 30% (tiga puluh persen) dari keseluruhan kawasan hutan. Standar ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya. 79 Pengelolaan hutan sangat ditentukan oleh bagaimana caranya agar status hutan dapat berfungsi optimal dan lestari. Pengelolaan hutan dilaksanakan dengan menerapkan teknologi kehutanan secara teratur dalam kegiatan pengusahaan suatu kawasan hutan. Dalam kegiatan pengelolaan hutan tercakup konsep kelestarian hasil (sustained yield), yaitu pengelolaan hutan untuk mendapatkan produksi secara terus menerus dalam waktu yang relatif singkat dengan tujuan untuk mencapai 77
Alam Setia Zain, loc.cit., Bandingkan dengan arah pembangunan di dalam GBHN Tahun 1993-1998. 78 Anwar J., S.J. Damanik, dkk., Ekologi Ekosistem Sumatera, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984), hal. 99-100. 79 Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000, hal. 50.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
44
suatu keadaan seimbang antara pertumbuhannya dengan hasil yang dipanen setiap tahun atau jangka waktu tertentu. 80 Pengelolaan hutan dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah sesuai dengan fungsinya dan diharapkan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan asas kelestarian. Pengelolaan hutan harus senantiasa menjaga keseimbangan antara kepentingan mencapai peningkatan pengembangan ekonomi di satu pihak dan usaha perlindungan ekosistem hutan di lain pihak. Cara-cara pemanfaatan hutan harus senantiasa mengindahkan asas-asas kelestariannya dan tidak bersifat destruktif 81 yakni jangan sampai terjadi penebangan hutan secara semena-mena melebihi kemampuan regenerasinya. Salah satu cara pengelolaan hutan adalah reboisasi (penghijauan kembali). Reboisasi harus dilaksanakan dalam rangka penyelamatan hutan dari kemusnahan sehingga permasalahan yang ditimbulkan akibat hutan gundul dapat dihindari. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka reboisasi ini, antara lain adalah: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Reboisasi pada kawasan hutan (hutan lindung). Rehabilitasi lahan basah. Pembuatan hutan rakyat. Pembuatan rancangan teknis. Pengadaan bibit penghijauan untuk masyarakat. Pembuatan persemaian. Pembuatan depot tanaman obat. Pembuatan sekat baker. Pembuatan embung air. Pembuatan arboretum. 82
80
Alam Setia Zain, op.cit., hal. 43. Bersifat merusak, memusnahkan atau menghancurkan
81
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
45
Dalam kenyataannya, pengelolaan hutan secara berkelanjutan menemui berbagai permasalahan. Departemen Kehutanan menyatakan masalah utama yang berhubungan dengan pengelolaan hutan di Indonesia dibagi menjadi empat komponen, yakni: (1)
Permasalahan ekologi,
(2)
Permasalahan sosial ekonomi,
(3)
Permasalahan kelembagaan, dan
(4)
Permasalahan hukum.
Keempat permasalahan ini erat hubungannya satu sama lain. Keberhasilan pengelolaan pelestarian hutan sangat tergantung pada keharmonisan berfungsinya keempat komponen tersebut. 83 Untuk konteks di Indonesia, permasalahan yang paling sulit untuk diatasi adalah justeru permasalahan kelembagaan dan permasalahan penegakan hukum, sehingga hutan-hutan di Indonesia semakin hari semakin berkurang jumlahnya. E. Eksploitasi dan Kerusakan Hutan Hutan sebagai salah satu komponen dari lingkungan hidup dihadapkan pada permasalahan yang demikian kompleks. Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk mengatasinya, seperti Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan dan juga peraturan
82
Bahan Rapat dengar pendapat Komisi II DPRD Propinsi Sumatera Utara dengan Gubernur Sumatera Utara, Kapolda Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Medan Maret 2002. 83 Absori, op.cit., hal. 14.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
46
tentang dampak lingkungan hidup, akan tetapi dampak lingkungan hidup tetap saja menjadi permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan. Eksploitasi hutan secara besar-besaran di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Orde Baru. Kondisi perekonomian negara sangat terpuruk pada masa tumbangnya pemerintahan Soekarno (rejim Orde Lama) dan digantikan oleh Pemerintahan Soeharto (rejim Orde Baru), sehingga eksploitasi sumber daya hutan dijadikan sebagai solusi pemerintahan Orde Baru untuk keluar dari krisis. 84 Hal ini diawali dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dengan masuknya modal asing dan modal dalam negeri ini, perkembangan pengusahaan hutan maju pesat. 85 Sejak saat itu, kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mulai menempati peranan yang sangat penting. Arah kebijakan saat itu ditujukan untuk memperoleh modal sebesar-besarnya sebagai penggerak pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan investasi asing pun diundang mengembangkan sumber daya alam yang bersifat eksploitatif untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang siginifikan. Hasilnya, sektor kehutanan
84
Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, op.cit., hal.196-197. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi ketujuh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hal.318. 85
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
47
menduduki ranking kedua setelah migas sebagai penghasil devisa negara. Selama lebih dari 32 tahun Rejim Orde Baru, pengelolaan hutan di wilayah Indonesia dimonopoli oleh Pemerintah Pusat dengan alasan untuk kepentingan nasional, namun dalam kenyataannya pengelolaan hutan dimaksud hanya menguntungkan kelompok tertentu yakni para pengusaha dan kroninya. Implikasi dari kebijakan pengelolaan hutan Pemerintah Orde Baru adalah terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan disertai divestasi yang rendah untuk usaha konservasi dan rehabilitasi yang berakibat terjadinya penurunan luas hutan di seluruh wilayah Indonesia. Eksploitasi tersebut berdampak pula pada terjadinya kerusakan sumber daya hutan secara besar-besaran, secara pesat menurunkan tingkat cadangan hutan, dan sekaligus mengurangi kemampuan regenerasi hutan. Penebangan hutan (deforestation) secara besar-besaran itu mempunyai dampak penting atas lingkungan hidup. 86 Dampak penting tersebut masih tetap dirasakan sampai dengan saat ini. Sumber daya hutan sangat rentan terhadap kerusakan bila penanganannya kurang bijaksana. Ketidakpedulian dan keserakahan manusia merupakan penyebab utama rusaknya hutan di Indonesia, yakni berupa aktivitas manusia yang terus menerus mengeksploitasi hutan demi kepentingan ekonomis. Tindakan ini mengakibatkan luas hutan di Indonesia semakin hari cenderung semakin berkurang, baik akibat eksploitasi hutan oleh pemodal secara resmi, illegal logging, maupun
86
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hal.314.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
48
akibat konversi hutan untuk diubah fungsinya menjadi perkebunan, ladang, persawahan dan pemukiman. Fungsi ekonomis hutan dalam kenyataannya lebih mendominasi pengelolaan hutan dibandingkan dengan fungsi konservasi dan fungsi sosialnya. Pada negaranegara sedang berkembang, hutan terus menerus mengalami kerusakan (deforestasi) akibat pembalakan (penebangan pohon-pohon hutan) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pembangunan. Kepentingan ekonomis ini tampaknya terkait dengan fakta bahwa negara sedang berkembang pada umumnya memiliki hutan yang luas namun tingkat perekonomiannya masih rendah. 87 Kecenderungan negara-negara sedang berkembang seperti ini diperparah dengan kurang pedulinya negara-negara maju dan kaya terhadap kepentingan ekonomi negara-negara sedang berkembang yang memiliki sumber daya hutan. Negara-negara maju kurang berpartisipasi untuk membantu perekonomian negara-negara yang sedang berkembang. Keinginan negaranegara sedang berkembang untuk menyetarakan eksistensinya dengan negara-negara maju, mengakibatkan mereka mengandalkan eksploitasi hutan sebagai sumber dana untuk pembangunannya. Sudah sepatutnya jika negara-negara maju segera memberikan kontribusinya kepada negara-negara pemilik hutan, sebagaimana dicontohkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dengan membantu pelestarian hutan di Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh dan Sumatera Utara
87
Gradwohl J, Menyelamatkan Hutan Tropika. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991),
hal. 32.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
49
serta Hutan Berau di Kalimantan Timur. 88 Sayangnya, masih terjadi kesalahankesalahan pengelolaan di dalam kerjasama antara negara-negara pemilik hutan dan negara-negara maju. Sumber daya manusia negara yang sedang berkembang dan tingkat kehidupan ekonominya yang masih rendah menyebabkannya belum siap secara moral untuk melakukan pengelolaan pelestarian hutan secara bersungguhsungguh. Hutan dapat menyuplai bahan baku industri yang memiliki prospek dan nilai jual yang menjanjikan. Sumber devisa negara akan semakin bertambah jika bahan baku dari hasil hutan dapat diproses terlebih dahulu sehingga dapat dijual sebagai barang jadi yang siap pakai. Dengan demikian, kepentingan ekonomi mendorong banyak produsen memanfaatkan hutan melebihi dari apa yang seharusnya mereka lakukan, karena ada keyakinan bahwa hutan dapat memberikan tambang emas yang setiap saat dapat dipanen. 89
Eksploitasi hutan di Indonesia umumnya dilakukan
tanpa adanya upaya-upaya untuk merehabilitasinya dengan memperhatikan asas manfaat lestari pada pengusahaan hutan. Eksploitasi hutan juga sering berlindung dibalik kepentingan penyerapan tenaga kerja dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep teoritis dari ilmu pengetahuan dan teknologi dipelajari pada lembaga-lembaga pendidikan. Tetapi
88
Ibid. Hal ini jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan: “Setiap rencana yang berkaitan dengan sesuatu hal yang menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan”. Pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang ini berpengaruh pada perubahan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan, termasuk dalam pengelolaan hutan. 89
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
50
sangat disayangkan, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini lebih terfokus untuk meningkatkan tujuan ekonomi, sementara tujuan sosial dan pelestarian lingkungan hidup sering terabaikan. Kerusakan hutan juga diperparah dengan justifikasi terhadap kegiatan pertambangan terbuka yang dilakukan oleh perusahaan tertentu pada hutan lindung demi mendapatkan keuntungan dari investasi. Permasalahan kehutanan yang paling sulit diatasi sampai saat ini adalah pembalakan liar, atau yang lebih dikenal dengan istilah illegal logging. 90 Bentuk tindakan illegal logging di dalam kawasan hutan dapat diidentifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut: 1. Penebangan pohon yang dilakukan orang perorangan di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan secara yuridis sebagai kawasan hutan. Perbuatan tersebut tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang/pejabat kehutanan. 2. Penebangan pohon dilakukan melebihi izin kuantitas yang diperbolehkan oleh pejabat kehutanan yang memberikan izin. Misalnya, didalam pemberian izin pemanfaatan kayu atau izin penebangan tercantum 200 meter kubik, ternyata penebangan dilakukan sebanyak 300 meter kubik. Kelebihan kayu tebangan sebanyak 100 meter kubik itu adalah tindakan penebangan liar yang patut dikenakan tuntutan hukum. 3. Izin penebangan pohon atau izin pemanfaatan kayu diperoleh subjek hukum di dalam kawasan hutan di mana pelaksanaannya tidak sesuai dengan lokasi yang
90
Tindakan penebangan pohon di dalam kawasan hutan yang dilakukan tanpa izin dari instansi/pejabat kehutanan disebut dengan tindakan ilegal (illegal loging).
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
51
telah ditunjuk. Misalnya, izin penebangan hutan diberikan seluas sebanyak 100 ha didalam wilayah unit pemangkuan hutan tertentu, akan tetapi ternyata penebangan hutan juga dilakukan terhadap hutan-hutan di luar wilayah yang diizinkan tersebut. Ketiga kategori illegal loging tersebut adalah penebangan hutan secara liar yang melanggar hukum, yang sekaligus merupakan penyebab yang paling umum dalam mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan tanpa melakukan reboisasi. Penebangan liar dan perusakan hutan yang tidak disertai penghijauan kembali menyebabkan banjir menjadi musibah tahunan yang tidak dapat dihindari, yang dampaknya mengenai masyarakat disekitarnya. Kasus illegal loging terjadi dimanamana di Indonesia. 91 Pada masa sekarang ini, permasalahan illegal logging sebagai fenomena umum yang berlangsung dimana-mana, secara prosedural aktivitasnya tidak lagi dilakukan secara sembunti-sembunyi, melainkan telah menjadi kegiatan keseharian banyak pihak. Situasi ini diperparah oleh krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada akhir masa Orde Baru, dan kemudian ditambah lagi dengan praktek KKN sebagai akselerasi dari kegiatan ilegal terhadap sumber daya hutan. Oleh karena itu, illegal
91
Dapat dicontohkan beberapa kasus illegal logging sebagai berikut: - Berdasarkan pengamatan dari Unit Manajemen Leuser (UML), terjadi kerusakan hutan seluas 42.000 hektare di Langkat Sikundur, Langkat, Sumatera Utara akibat illegal logging. Di dalam areal Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Serangan setidaknya telah terjadi kerusakan hutan yang mencapai 42 ribu hektare dari total luas 226 ribu hutan yang diakibatkan oleh penebangan hutan secara liar (illegal logging). - Pembalakan hutan secara liar dan tak terkendali juga terjadi di dalam kawasan hutan di kabupaten Simeule (Aceh), yang kini diperkirakan hanya tersisa 46 ribu hektare hutan dari total luas hutan 118.800 hektare.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
52
logging tidak lagi merupakan masalah kalangan kehutanan saja, melainkan sudah menjadi persoalan multi pihak, sehingga dalam penyelesaiannya memerlukan keseriusan banyak pihak. Perusakan hutan umumnya dilakukan oleh pengusaha kayu yang didukung oknum aparat keamanan. Menciutnya areal hutan yang diakibatkan tindakan perambahan liar terus berlangsung juga dikarenakan lemahnya pengawasan dari instansi terkait, sehingga masyarakat pun ikut terbius untuk berperilaku asal tebang demi kepentingan pribadi ataupun untuk memperoleh keuntungan besar. Kerusakan hutan akibat illegal loging terus meningkat dari waktu ke waktu, karena kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan hutan produksi, melainkan juga sudah merambah ke dalam jantung kawasan hutan lindung dan nasional. Hal ini menunjukkan betapa parahnya kejahatan illegal loging. Hutan-hutan produksi sudah tidak mampu lagi memasok bahan baku, sementara hutan lindung dan konservasi telah mengalami krisis dalam menjalankan fungsinya untuk kepentingan umat manusia. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini lebih terfokus untuk meningkatkan tujuan ekonomi, sementara tujuan sosial dan pelestarian lingkungan hidup sering terabaikan. Akibatnya kegiatan pembangunan semakin banyak yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup, ditandai dengan air yang semakin kotor, udara tercemar, tanah terkontaminasi, hilangnya kawasan hutan dan flora-fauna yang semakin terancam keberadaannya. Penebangan hutan yang tidak berorientasi pada pengelolaan hutan yang lestari menimbulkan dampak langsung dan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
53
dampak tidak langsung. Dampak langsung penebangan hutan adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu, sedangkan dampak tidak langsungnya adalah sangat berpengaruh besar terhadap kelangsungan/keberadaan hutan di masa depan, dimana kedua dampak ini berpengaruh kepada rusaknya ekosistem yang mengancam kepentingan hidup manusia. Dewasa ini banyak terjadi bencana yang diakibatkan oleh rusaknya hutan akibat perbuatan manusia. Terjadinya kerusakan tanah, kebakaran hutan dan lahan, erosi, kekeringan pada musim kemarau, gagalnya panen, lahan kritis, bencana banjir dan tanah longsor pada musim hujan, dan sederet bencana lain, merupakan akibat tidak berfungsinya hutan sebagaimana mestinya. Rusaknya ekosistem hutan senantiasa akan merugikan manusia. Bencana yang terjadi jelas tidak sedikit menelan kerugian, baik jiwa maupun materil, yang semuanya menurut Bismar Nasution dikarenakan fungsi lingkungan hidup dan hutan terabaikan. 92 Kerugian manusia juga ditambah lagi dengan dampak yang tidak langsung dialaminya, seperti kerusakan ekologi, kepunahan fauna dan flora langka, serta timbulnya kerugian ekonomi makro di daerah maupun secara nasional. Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung di dataran tinggi yang berfungsi sebagai kawasan resapan/sumber air, pengendali tata air dan pencegah erosi, keberadaannya telah semakin terancam akibat rusaknya hutan. Kurang berfungsinya 92
Bismar Nasution, “Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan”, Makalah, Seminar Pemberantasaan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Dilaksanakan Kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana USU dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Pada Tanggal 6 Mei 2004 di USU Medan, hal. xx.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
54
kawasan ini akibat penebangan liar dan perusakan hutan yang tidak disertai penghijauan kembali akan menimbulkan gangguan terhadap tata air atau neraca air serta berpotensi terhadap bahaya banjir yang semakin serius di musim hujan dan bahaya kekeringan atau krisis air di musim kemarau. 93 Tak heran apabila kemudian longsor terjadi di daerah kawasan hutan lindung. Kerusakan tanah akibat erosi merupakan bentuk kerusakan tanah yang paling menghawatirkan. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah bagian atas (top soil) yang subur dan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, serta menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk meresapkan dan menahan air. Tanah yang terangkut akan dialirkan ke tempat penampungan lain seperti sungai, waduk, danau, saluran irigasi dan areal lain yang lebih rendah. Keadaan ini mengakibatkan tanaman atau tumbuhan tidak dapat tumbuh secara baik hingga menjadi tidak produktif. 94 Di Indonesia terdapat banyak tanah kritis yang terdiri dari padang alang-alang, tanah kosong dan semak belukar, baik dalam kawasan hutan maupun diluarnya. Keadaan seperti ini dapat disebabkan oleh pemanfaatan lahan yang berlebihan atau kurang baik, penggunaan teknologi yang kurang tepat dan dilampauinya daya dukung lingkungan berupa tekanan penduduk terhadap lahan yang berlebihan. Kerusakan tanah ini juga dapat disebabkan oleh penebangan kayu maupun akibat kebakaran hutan. 95
93
Syamsul Arifin, loc.cit. RE Sorjatmaja, op.cit., hal. 60.. 95 Otto Soemarwoto (II), Opcit, hal. 56. 94
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
55
Dampak illegal logging akan mengenai masyarakat di sekitarnya. Penebangan liar dan perusakan hutan yang tidak disertai penghijauan kembali (reboisasi) akan membuat hutan menjadi gundul, sehingga menyebabkan erosi dan banjir menjadi musibah tahunan yang tidak dapat dihindari pada musim penghujan di Indonesia. Erosi dan banjir besar tentunya akan menelan korban, bukan hanya harta tetapi juga nyawa. Banjir kini tidak hanya terjadi di pedesaan, tetapi telah pula terjadi di daerah perkotaan seperti di Medan dan di Jakarta sebagai ibu kota negara. Banjir telah menjadi musibah tahunan pada sebagian wilayah di Indonesia. 96 Dampak lain yang terjadi akibat rusaknya ekosistem hutan adalah berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim dan suhu pada daerah dataran tinggi, serta pemanasan global di planet ini. 97 Hal ini juga terjadi akibat penebangan-penebangan hutan tanpa adanya upaya untuk merehabilitasinya dengan memperhatikan asas manfaat dan lestari pada pengusahaan hutan. Konsep pembangunan berkelanjutan memang telah diimplementasikan sejak diberlakukannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1982, namun dalam kenyataannya terjadi penurunan kualitas lingkungan secara berkelanjutan diberbagai tempat. Pengelolaan hutan di Indonesia secara berkelanjutan dan lestari tidak terlaksana sesuai dengan kaidah di dalam pengelolaan hutan yang berasaskan ekonomi dan asas lestari. Hutan dimanfaatkan tanpa lagi memandangnya sebagai 96
Fakta yang terjadi di lapangan diikuti dengan banjir bandang di akhir tahun 2001 dan di awal tahun 2002 di Kota Medan dan Jakarta sebagai salah satu indikator parahnya kerusakan hutan di tanah air. 97 Lingkungan hidup, termasuk dampak dari eksistensi hutan, tidak dapat dibatasi oleh batas administratif suatu pemerintahan, sehingga seluruh umat manusia berkepentingan terhadap kelestarian hutan dan lingkungan.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
56
salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Pengelolaan hutan cenderung dieksploitir secara rakus dan serampangan, dengan melupakan bahwa hutan dan kekayaan alam yang ada di dalamnya di ciptakan Tuhan dengan hukum alam yang melekat di dalamnya, adalah berupa jalinan ekosistem yang menyangga kehidupan umat manusia. Kondisi ini merupakan potret buram kemauan politik pemerintah Indonesia di dalam mengelola hutan sebagai sumber kekayaan alamnya. 98 Di sisi lain sumber daya manusia, baik aparatur pemerintahan maupun warga masyarakat, pada umumnya belum memiliki pandangan, persepsi dan moral yang sama tentang pentingnya hutan sebgai salah satu sistem penyangga kehidupan. Kondisi
lingkungan
pada
umumnya
dan
kondisi
hutan
khususnya
sebagaimana diuraikan di atas, merupakan dampak dari meningkatnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat sejalan dengan fertilasi (pertumbuhan) penduduk dan memenuhi motif ekonomi lainnya. Berkaitan dengan kondisi kehutanan pada saat ini, Syamsul Arifin menggambarkan sebagai berikut:
98
Lemahnya kemauan politik pemerintah ini tidak hanya terjadi di dalam permasalahan pengelolaan pelestarian hutan, tetapi juga dalam permasalahan pengelolaan pelestarian lingkungan hidup secara keseluruhan. Syamsul Arifin menggambarkan hal tersebut dengan menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup di daerah perkotaan akibat limbah cair dari kegiatan industri, rumah sakit, limbah domestik yang belum dikelola dengan baik serta pencemaran udara yang berasal dari sumber tidak bergerak seperti cerobong asap pabrik, sumber bergerak seperti kendaraan bermotor dan kebakaran hutan, mempunyai berbagai pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat dan kehidupan mahluk lainnya. Disamping itu, pengelolaan sampah perkotaan juga semakin memprihatinkan karena kurangnya sarana untuk pengelolaan kebersihan dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan; Syamsul Arifin, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
57
(1)
(2)
(3)
Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung di dataran tinggi yang berfungsi sebagai kawasan resapan/sumber air, pengendali tata air dan pencegah erosi, keberadaannya telah semakin terancam akibat kegiatan perambahan hutan ilegal, menimbulkan gangguan terhadap tata air atau neraca air serta berpotensi terhadap bahaya banjir yang semakin serius di musim hujan dan bahaya kekeringan atau krisis air di musim kemarau. Kerusakan Hutan Bakau (Mangrove) di Pantai Timur dan Terumbu Karang di Pantai Barat Propinsi Sumatera Utara semakin meningkat. Kerusakan mangroeve antara lain disebabkan oleh pengembangan tambak dan maraknya industri arang bakau. Sementara kerusakan terumbu karang disebabkan karena penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, serta pengambilan terumbu karang. Kerusakan hutan bakau dan terumbu karang mengakibatkan menurunnya potensi hasil laut, abrasi pantai dan instrusi air laut. Degradasi Tanah dan Lahan Pertanian, akibat hanyutnya lapisan tanah subur (humus) oleh erosi yang tinggi pada musim hujan dan rusaknya vegetasi penutup tanah serta rendahnya upaya konservasi lahan terutama di daerah miring. Hal ini berdampak terhadap menurunnya produktivitas pertanian, meningkatnya penggunaan pupuk dan sedimentasi. 99
F. Fungsi Hukum dalam Pelestarian Fungsi Hutan Hukum sebagai salah satu perangkat yang mengatur norma-norma kehidupan bermasyarakat, merupakan faktor pendukung terciptanya pengelolaan pelestarian hutan yang baik, baik dari pihak pemerintah daerah, masyarakat dan pengusaha. Oleh karena itu, hukum berfungsi mengatur dan berfungsi memberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang, yang sifatnya tidak dapat sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. 100 Potensi hukum terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum, yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang 99
Ibid. Lili Rasyidi dan I.B. Wijasa Putra, dalam Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.10. 100
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
58
dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk resiko dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan resiko tersebut. Fungsi respresif adalah fungsi penanggulangan, yang diterapkan terhadap kerusakan keadaan yang disebabkan oleh resiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu. 101 Dengan
demikian,
pengaturan
hukum
dalam
otonomi
daerah
dan
desentralisasi kehutanan, merupakan landasan dari pedoman tingkah laku bagi pemerintah dan warga masyarakat serta sekaligus menjadi dasar implementasi penegakan hukum yang diperlukan untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari pemanfaatan hutan. Efektifnya pengaturan dan penegakan hukum dalam bidang kehutanan di daerah, akan menjadikan efektif dan berhasilnya pengelolaan pelestarian hutan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan “diskresi” (discretion) yang pada hakikatnya berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Dengan demikian, penegakan hukum menyangkut pembuatan keputusan berdasarkan peraturan umum yang tidak secara ketat diatur di dalam kaidah hukum, sehingga mempunyai unsur penilaian pribadi. 102 Dalam kerangka ini, dapat dipahami jika kemudian Purnadi Purbacaraka mengartikan penegakan hukum sebagai berikut: 101
Ibid. Sujono, Kejahatan dan Penegakan hukum di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),
102
hal. 4.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
59
“kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidahkaidah/ pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir untuk menciptakan ketertiban (sebagai ”social engineering”), memelihara dan mempertahankan perdamaian pergaulan hidup (sebagai “social control”)”. 103 Penegakan hukum akan selalu berkaitan dengan sistem hukum. Sistem hukum itu menurut Lawrence M. Friedman memiliki tiga (3) unsur, yakni: (1) Struktur; (2) Substansi; dan (3) Legal Culture. 104 Penegakan Hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangan saja (law enforcement), dan bukan pula sekedar melaksanakan putusanputusan hakim. Penegakan hukum merupakan kegiatan penyerasian hubungan nilainilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tesebut. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain adalah: 1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri, (baik itu undang-undang maupun hukum yang hidup/living law);
103
Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (Bandung : Alumni, 1997), hal. 13. 104 Ibid.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
60
2. Faktor petugas menegakkan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan itu; 4. Faktor warga masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan atau legal culture, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan kepada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 105 Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum. 106 Dengan demikian, posisi dan peranan hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup hanyalah sebagai sarana penunjang belaka. Pengaturan secara hukum memang sangat diperlukan untuk menjamin kepastian dan ketertiban dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mewujudkan keadilan, termasuk dalam pelestarian hutan. Namun dalam posisi dan peranannya sebagai “sarana penunjang”,
keampuhan dan kedayagunaan hukum akan selalu
tergantung kepada siapa dan dengan cara bagaimana digunakannya hukum tersebut. Betapapun ampuh dan sempurnanya hukum sebagai suatu “sarana“ namun jika yang menggunakannya tidak memiliki keterampilan dan kemahiran, apalagi tidak memiliki integritas pribadi yang kuat, sudah pasti keampuhan dan kesempurnaan tersebut sulit terwujud. Oleh karena itu, untuk mencapai penegakan hukum berdasarkan tata pengaturan hukum lingkungan yang berlaku, perlu dipenuhi sekurang-kurangnya 3 syarat, yaitu:
105
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cet, ke-7, (Jakarta : Raja Grafindo, 1994), hal. 5. 106 Ibid., hal. 6.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
61
1. Bentuk dan peraturan hukumnya harus tepat dan jelas serta sesuai dengan syarat-syarat bagi hukum yang baik; 2. Para pelaksananya harus memiliki keterampilan dan kemahiran yang diperlukan untuk menjamin agar pelaksanaannya dapat terselenggara dengan tepat dan lancar, baik pelaksanaannya di bidang perumusan peraturan hukumnya maupun pelaksanaan penegakan hukum secara nyata dalam kehidupan; dan 3. Cara-cara serta prosedur pelaksanaannya hendaknya jelas dan tegas serta mudah dimengerti, agar para pelaksana tidak akan mengalami kesalahpahaman dan keragu-raguan, baik dalam tata organisasi maupun kewenangannya. 107 Penegakan hukum lingkungan 108 terhadap perusakan hutan berdasarkan pranata-pranata hukum yang telah diberlakukan haruslah diimplementasikan secara sungguh-sungguh guna melindungi pengelolaan hutan di Indonesia. Banyak pranatapranata hukum yang dapat diterapkan dalam penegakan hukum, antara lain misalnya Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hal ini merupakan pilihan yang tidak boleh tidak untuk dilakukan, apabila hutan ingin diselamatkan dan dilindungi demi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. 109 Kini telah pula diberlakukan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), yang dapat dipergunakan
107
S. Danusaputra, Hukum Lingkungan, Bina Cipta, Jakarta, 1980, hlm. 116. Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.207, menyatakan penegakan hukum lingkungan adalah merupakan suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan. Sementara itu, Siti Sundari Rangkuti , Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hal.190, menyatakan penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhdap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan atau ancaman sanksi administratif, kepidanaan dan keperdataan. 109 Soerjono Soekanto, loc.cit. 108
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
62
sebagai pranata hukum baru dalam melindungi hutan. UU Money Laundering memberikan peluang penegakan hukum terhadap aktor intelektual perusakan hutan atau illegal logging, yaitu dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang hasil illegal logging. Dengan demikian, UU Money Laundering memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal loging. Hukum lingkungan telah mengatur berbagai bentuk pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum. Penegakan hukum lingkunganbertujuan untuk mempertahankan dan menciptakan lingkungan yang diharapkan oleh masyarakat luas, yang dilaksanakan dengan upaya pencegahan (preventif) dan penindakan (represif). 110 Pengawasan administratif merupakan sarana penegakan hukum yang bersifat preventif, yakni guna memastikan bahwa peraturan perundang-undangan lingkungan ditaati. 111 Misalnya, Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 UUPLH mengatur mengenai pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup, disamping ketentuan Pasal 23 UUPLH yang merupakan landasan terbentuknya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) sebagai badan pengawas yang mewakili pemerintah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 196 Tahun 1998.
110
Alvi Syahrin, op.cit., hal.190. Ibid., hal. 211.
111
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
63
Penegakan hukum dengan tindakan represif dilaksanakan melalui beberapa jenis instrumen hukum. Jenis-jenis instrumen tersebut meliputi: a. Tindakan administratif. b. Tindakan perdata (proses perdata). c. Tindakan pidana (proses pidana). Ini berarti, penegakan hukum merupakan upaya untuk mencapai ketaatan subjek hukum terhadap peraturan dan persyaratan yang berlaku melalui pengawasan dan penerapan sanksi administratif, kepidanaan dan keperdataan. 112 Dengan demikian, cakupan penegakan hukum lingkungan, termasuk dalam bidang kehutanan, dilaksanakan melalui pengawasan dan penerapan sarana-sarana hukum dalam ketiga bidang hukum tersebut. Efektifitas pengawasan terhadap pengelolaan dan perlindungan hutan memerlukan strategi penghukuman yang tepat (sanctioning strategy) sejak dari pemberlakuan sanksi. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya pemberlakuan sanksi yang sewenang-wenang. 113 Tidak ada skala prioritas atau tata urutan dari ketiga bentuk instrumen tersebut di atas, misalnya harus dimulai dengan tindakan administratif, selanjutnya tindakan pidana dan diakhiri dengan tindakan perdata. Penerapan masing-masing instrumen ini tergantung dari keperluannya, antara lain dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya. Pandangan yang menyatakan tindakan pidana merupakan hukuman yang terakhir dalam penegakan hukum lingkungan karena tindakan yang lain 112
Ibid. Lihat juga Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.16. 113 Alvi Syahrin, loc.cit..
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
64
dianggap tidak menyelesaikan masalahnya, merupakan pandangan yang tidak seluruhnya benar. Hal ini disebabkan sanksi pidana hanya menyelesaikan secara sepihak dan belum menjangkau pada pihak penderitanya, yaitu sekelompok orang yang terkena dampak lingkungan, yang harus dipulihkan kepada keadaan semula. Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UUPLH menyatakan bahwa bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban. Jadi, pada dasarnya setiap instrumen mempunyai jangkauan masing-masing dengan tujuan yang berskala proporsional tergantung dari kepentingan yang ingin diselesaikan oleh penegakan hukum lingkungan. 114 Ketentuan sanksi administratif terkait erat dengan sistem perizinan115 yang mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang dan sanksinya ditujukan kepada perlindungan kepentingan. 116 Seseorang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin yang diberikan, dikenakan sanksi administrasi yang diberikan oleh instansi yang berwenang memberi izin tersebut. Sanksi administrasi dapat didayagunakan atau diterapkan oleh badan atau pejabat penerintah terhadap subyek hukum pelanggar ketentuan administrasi. Dalam UUPLH diatur ketentuan sanksi administratif di dalam Pasal 2, Pasal 25 dan
114
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hal.190. 115 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hal.341. 116 Alvi Syahrin, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
65
Pasal 27
UUPLH
meliputi paksaan pemerintah 117 , pembayaran sejumlah uang
tertentu 118 , dan pencabutan izin usaha dan atau kegiatan 119 . Adakalanya terjadi pelanggaran tertentu oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup 120 , tetapi tindakan ini jarang dilakukan mengingat dapat mengakibatkan tutupnya perusahaan yang justeru akan merugikan para karyawan yang terkena PHK. Tindakan administratif juga dapat dilakukan dalam bentuk gugatan administrasi. Gugatan administrasi diajukan oleh masyarakat yang hak dan kepentingannya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dirugikan oleh instansi pemerintah. Gugatan administrasi diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985. Berdasarkan UU PTUN dan Pasal 27 ayat (3) UUPLH tentang pelanggaran, maka bersumber dari kewenangan pemerintah untuk mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penyediaan, pengelolaan dan pengawasan sumber daya serta mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang atau subyek hukum dengan sumbernya, warga masyarakat dapat mengajukan gugatan kepada PTUN berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah tersebut yang merugikan hak dan kepentingan mereka yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
117
Pasal 25 ayat (1) UUPLH Pasal 25 ayat (5) UUPLH 119 pasal 27 ayat (1) UUPLH. 120 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hal.349. 118
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
66
Tindak pidana lingkungan diatur di dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 UUPLH dan Bab IX UUPLH. Pasal 41 dan Pasal 42 memuat ketentuan tindak pidana materil, Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH memuat ketentuan tindak pidana formil, sedangkan ketentuan tindak pidana yang diatur di dalam Bab IX UUPLH merupakan kejahatan. 121 Dengan demikian, tindak pidana lingkungan dapat berupa: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan: 1) pencemaran dan atau 2) perusakan lingkungan hidup (Pasal 31 UUPLH); b. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat (Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UUPLH); c. melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: 1) melepaskan atau membuat zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk ke atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan 2) impor,
ekspor,
memperdagangkan,
mengangkut,
menyimpan
bahan,
menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum (Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) UUPLH); d. melakukan perbuatan berupa: 121
Alvin Syahrin, op.cit., hal.235.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
67
1) memberikan informasi, atau 2) menghilangkan informasi, atau menyembunyikan informasi, atau merusak informasi yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas) yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain (Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 44 ayat (1) UUPLH). e. melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat (Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2) UUPLH). Hukum lingkungan keperdataan secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi korban kerusakan dan atau pencemaran lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar. 122 Pasal 34 UUPLH memungkinkan diajukannya gugatan lingkungan sebagai upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh ganti kerugian dan atau biaya pemulihan lingkungan. Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugatan yang diajukan oleh pihak yang dirugikan (korban) lazim dikenal dengan istilah “sengketa lingkungan”. Tindakan perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki empat fungsi, yaitu:
122
Ahmad Husni , op.cit., hal 509. lihat juga Suparto Wijaya, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hal 9. Hukum lingkungan keperdataan terutama mengatur perlindungan hukum bagi korban pencemar dan atau perusakan lingkungan, akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
68
a. Penegakan hukum perdata melalui gugatan perdata, yaitu sarana penegakan hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUH Perdata. Gugatan perdata dapat dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, namun gugatan perdata oleh pihak pemerintah hanya dilakukan apabila penegakan hukum administrasi tidak memadai. b. Penetapan norma tambahan melalui keputusan hakim perdata dengan menetapkan norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin oleh instansi tata usaha negara yang berwenang. c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian yang diajukan akibat dari pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 35 UUPLH mengenai “tanggung jawab mutlak”. d. Perlindungan hukum tambahan, yang terwujud melalui bantuan hakimhakim perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintah yang tidak dapat digugat melalui PTUN, misalnya menyangkut keputusan-keputusan yang berlaku untuk umum dan tindakan nyata penguasa. 123 Pengambilan keputusan untuk melakukan tuntutan hukum bagi pelanggaran ketentuan lingkungan hidup hendaknya dilakukan secara fleksibel. 124 Setiap kasus yang dihadapi hendaknya harus dilihat menurut kadar dan konteksnya masing-masing dengan pendekatan yang tidak bersifat kaku, namun harus tetap konsisten untuk melakukan perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan telah menetapkan jenis-jenis sanksi yang akan diterapkan terhadap perusakan hutan, yaitu sebagai berikut: a. Pidana penjara; b. Pidana denda; c. Tindakan tata tertib, terdiri atas: 123
Koeman, dalam Alvi Syahrin, op.cit., hal.227-228. Ibid., hal.210.
124
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
69
1). Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 2). Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaaan; 3). Perbaikan akibat tindak pidana; 4). Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; 5). Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; 6). Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun .
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
BAB III PENGELOLAAN PELESTARIAN FUNGSI HUTAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
A. Otonomi Daerah Kebijakan otonomi daerah diluncurkan untuk merespons semakin menguatnya tuntutan masyarakat mengenai reformasi pemerintahan. Harus diakui, bahwa rezim sebelumnya cenderung mensetting penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas sentralistik dimana daerah harus tunduk pada seluruh kebijakan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam daerah. UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 127
membuat kewenangan
pemerintah daerah menjadi lebih kuat karena undang-undang ini memuat reformasi kebijakan yang lebih menekankan prinsip-prinsip desentralisasi, demokrasi, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan kondisi, potensi dan keanekaragaman daerah. 128
127
Pada dasarnya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 sama dengan apa yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Hanya saja UU No.32 Tahun 2004 lebih memperjelas dan mempertegas hal-hal yang sudah diatur dalam UU No.22 Tahun 1999, guna menutupi kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam UU No.22 Tahun 1999, terutama mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara propinsi dan kabupaten/kota, serta antara sesama daerah kabupaten/kota. Hubungan ini berkaitan dengan masalah kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah, dimana dalam UU No.32 Tahun 2004 pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga propinsi terhadap kabupaten/kota. Lihat, Rozali Abdullah, (I), Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.4-6. 128 M. Solly Lubis (I), Pemerintahan Daerah, Bahan Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hal.13.
70 Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
71
Istilah otonomi sendiri mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. 129 Oleh karena itu berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah kemandirian daerah otonom berupa hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga pemerintahannya dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 130 Pelaksanaan otonomi daerah tentunya akan berkaitan erat dengan banyak persoalan, misalnya menyangkut peningkatan harkat, martabat, dan taraf hidup rakyat, kemampuan daerah mengelola urusannya sendiri serta sekaligus membina persatuan dan kesatuan bangsa, yang merupakan nilai-nilai strategis dalam melingkupi perspektif masa depan.
129
Bagir Manan, (I), Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal.21. 130 Otonomi daerah melahirkan konsekuensi bahwa pemerintah pusat harus membentuk pemerintah daerah dan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri oleh daerah. Ciri-ciri pemerintahan daerah sebagai akibat konsekuensi ini adalah sebagai berikut: 1. Unit pemerintah setempat bersifat otonom, mandiri (independent) dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan, dimana pemerintah pusat sedikit atau sama sekali tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya; 2. Unit pemerintahan tersebut mempunyai batas-batas wilayah yang jelas dan legal, dalam mana ia mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan; 3. Unit pemerintahan tersebut mempunyai status sebagai badan hukum, dan mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber-sumber daya guna mendukung pelaksanaan tugasnya; 4. Unit pemerintahan daerah tersebut diakui oleh warganya, sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka, dan karena itu pemerintah daerah mempunyai pengaruh dan kewibawaan terhadap warganya. Dalam hal ini terdapat hubungan timbal balik, hubungan yang saling menguntungkan dan hubungan kemitraan, melalui kordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.; Lihat, Achmad Syahbuddin, Pembangunan Administrasi di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2000), hal.153-154.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
72
Pemerintah Daerah adalah organ daerah otonom 131 yang mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi. 132 Eksistensi pemerintahan daerah tidak terlepas dari kerangka negara kesatuan RI, sehingga pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah melahirkan pemerintah daerah
sebagai organ pemerintahan di daerah. Penentuan hubungan
kekuasaan (kewenangan) ini bertalian erat dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan. 133 Pada hakekatnya hubungan kekuasaan pusat dan
131
Organ pemerintah daerah yang lahir dari kewenangan otonomi daerah berbeda dengan organ pemerintah wilayah yang merupakan organ pemerintah pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi yang terwujud dalam bentuk provinsi dan ibukota negara. Pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah melahirkan adanya 2 (dua) macam organ pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah wilayah. Pemerintah wilayah adalah organ pemerintah pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi yang terwujud dalam bentuk propinsi dan ibukota negara, kabupaten/kota, yang tentu saja tidak terkait dengan kewenangan yang muncul dari otonomi daerah. Lihat, P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Kumpulan Karangan Dr. Ateng Syafrudin SH., (Bandung: Tarsito, 2002), hal.22-23. Istilah daerah otonom berasal dari penganut paham liberalisme, guna menekankan terjadinya distribusi kekuasaan ke daerah-daerah dengan maksud menciptakan kontrol masyarakat daerah terhadap unit pemerintahan yang terdekat. Lihat Laode Ida, Otonomi Daerah,, Demokrasi Lokal dan Clean Government, (Jakarta: PSPK, 2000), hal. 33. 132 Ibid., Secara umum, ada tiga asas dalam hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas pembantuan. Di dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Pada asas dekonsentrasi, yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat dalam arti bahwa policy, perencanaan dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan, dalam arti organisasi pemerintah setempat (daerah) memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat. 133 Bagir Manan, (II), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, 2002), hal.37.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
73
daerah terkait dengan beberapa aspek, yaitu aspek kekuasaan, aspek keuangan dan aspek pengawasan. 134 Otonomi daerah diselenggarakan berdasarkan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Makna otonomi luas berarti bahwa daerah mempunyai tugas, wewenang, hak dan kewajiban secara leluasa untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah. Makna otonomi yang nyata berarti bahwa pemerintahan daerah menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. Makna otonomi yang bertanggung jawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 135 UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, yang praktis dalam segala urusan, perizinan dan sejenisnya yang sekarang bisa diselesaikan di daerah. 136
Otonomi daerah merujuk pada perspektif
134
Laode Ida, loc.cit. Rozali Abdullah, (I), loc.cit. 136 Otonomi daerah yang dianut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat dikatakan otonomi lebih sempurna, karena dana kekuasaan (reserve of power) terletak pada daerah. Hal ini terlihat dari 135
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
74
adininistrative desentralisation yang menekankan pada the delegation of authority. Otonomi bukanlah sekedar penyerahan begitu saja kekuasaan kepada daerah, melainkan daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk mengatur dirinya sendiri. Otoritas untuk mengatur dirinya sendiri sangat penting bagi kemajuan daerah. 137 Ryaas Rasyid menyebutkan bahwa pemberian kewenangan itu karena pemerintah daerah dipandang adalah yang terbaik memberikan pelayanan kepada masyarakatnya yang terdekat, karena lebih dekat lebih baik. 138 Konsekuensi lebih lanjut yang harus dipikul daerah adalah bahwa perubahan yang terdapat dalam undang-undang tersebut harus diikuti oleh pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah sehingga tidak terjadi pertentangan. 139 Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah menjadi lebih leluasa dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. 140 Prinsip otonomi daerah dalam pengaturan sumber daya nasional melandasi pembangunan daerah sebagai bagian
pembatasan kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat yang diatur di dalam UU No.32 tahun 2004. Lihat, Ibid.. 137 Ryaas Rasyid, (I), Desentralisasi Dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 1999, hal. 13. 138 Sebagai contoh berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah provinsi dimungkinkan ikut memikirkan soal kekurangan yang ada di daerah termasuk soal kekurangan aparat keamanan. Hal ini merupakan sebuah contoh yang baik dari perubahan itu, karena dapat dilihat dari keberadaan polisi di masa depan. Ryaas Rasyid, (II), Pemerintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.85, 2000, hal.7. 139 Andi Alfian Mallarangeng, Pemerintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.86, 2000, hal.5. 140 Muchan, Otonomi yang Seluas-luasnya dan Ketidakadilan Daerah, dalam M.Arif Nasution dkk., Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal.78.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
75
integral dari pembangunan nasional. 141
Relevansi otonomi daerah dengan
pembangunan daerah disebabkan karena beberapa alasan berikut ini, yaitu: 1. Indonesia belum cukup baik dalam mengelola sumber-sumber daya publik (common and public resources). Diantaranya seperti sektor kehutanan, perikanan atau pengelolaan wilayah perkotaan. Pengalaman selama ini memperlihatkan bahwa produktifitas sumber daya tersebut cenderung merosot dan insustainable, sehingga mengakibatkan kompleksitas pengelolaan yang salah karena tidak adanya pembinaan. 2. Prinsip keadilan ekonomi. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat memenuhi prinsip bahwa yang menghasilkan adalah yang menikmati, dan yang menikmati adalah yang menghasilkan. Selama ini muncul persepsi bahwa daerah tidak lebih sebagai hinterand dari wilayah pusat yang tumbuh tinggi menikmati keuntungan-keuntungan (benefit) ekonomi, sementara daerah yang menghasilkan seringkali kebagian kerugian (cost). Ini disebabkan mengalirnya manfaat ke pusat. 3. Menurunnya transaction cost. Ini disebabkan karena cakupan geografis Indonesia sangat luas, yaitu lebih luas dari benua Eropa sebagai wilayah kepulauan. 4. Meningkatnya domestic perchasing power. Sebab kewenangan lebih besar dalam pembiayaan, dipastikan membangkitkan insentif untuk meningkatkan alokasi sumber dana dan modal daerah setempat (resourches movement and spending effect). 142 Dari perspektif ekonomi politik, salah satu faktor penting yang mengganggu pencapaian tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah kemampuan elite lokal untuk melakukan apa yang disebut dengan autonomous choices. 143 Apabila kecenderungan ini terjadi, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan lebih
141
M. Solly Lubis menyatakan bahwa sistem otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, pada masa Orde Baru dalam prakteknya justeru mengakibatkan pemerintah pusat secara terus menerus mengekploitir semua sumber daya di daerah di bawah satu sistem kekuasaan yang oligarkhis dan cronys. M. Solly Lubis, (II), Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintahan Daerah, (Bandung: Alumni, 1978), hal.1. 142 Rozali Abdullah, (II), Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000., hal.85. 143 R Bates, Market and State in Tropical Africa, (California: University of California Press, Berkeley CA, 1981), hal.8.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
76
menciptakan “perluasan wewenang elite daerah” daripada perluasan wewenang pemerintah daerah. Ekses yang kerap terjadi adalah munculnya berbagai praktek pelaksanaan penarikan retribusi yang cenderung “berlebihan” pada setiap jenis usaha, sehingga sektor layanan publik tetap saja buruk. 144 Secara politis, pelaksanaan otonomi daerah merupakan upaya demokratisasi dalam pemerintahan. UU No.32 Tahun 2004 memberi kesempatan tumbuhnya iklim yang lebih demokratis di daerah. 145 Pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah harus memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. 146 Otonomi daerah dalam UU Nomor 32 tahun 2004 lebih berorientasi kepada masyarakat (lebih bersifat kerakyatan) daripada kepada pemerintah daerah, yaitu bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat haruslah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 147 Artinya kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat 144
Antara, 09 Januari 2003, hal.10. Hasil survei Regional Economic Development Institute terhadap 1.114 pelaku usaha di 23 kabupaten pada 12 provinsi yang menyimpulkan pelaksanaan otonomi daerah belum memberi pengaruh positif terhadap iklim usaha di Indonesia. Menurut Indra Nur Fauzi, mengutip hasil survei tersebut, pengutipan retribusi yang cenderung “berlebihan” pada setiap jenis usaha menunjukkan sektor layanan publik tetap saja buruk dalam era otonomi daerah. 145 Muchan, loc.cit. 146 Marsono, Himpunan Peraturan Tentang Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal.118. 147 Hal ini merupakan perubahan paradigma untuk tidak mengulangi kesalahan pemerintahan Orde Baru. Dikatakan M. Solly Lubis, sistem sentralisasi berdampak pada ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap pemerintah (pusat) pada era orde baru, sehingga terjadi ketidakberdayaan rakyat dalam mencoba mengekspresikan aspirasinya. Lihat, M. Solly Lubis, (II), loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
77
melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat 148 , sehingga otonomi daerah justeru menjadi pendorong terwujudnya proses demokratisasi pemerintahan di daerah. 149 Otonomi daerah juga harus melakukan penguatan “basis lokal” sebagai kekuatan yang harus diberdayakan, sehingga nilai-nilai lokal di setiap daerah diakui dan diakomodasikan dalam sistem pemerintahan. 150 Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah tidak hanya mempunyai landasan hukum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, tetapi jauh lebih kuat dari itu terdapat landasan konstitusionalnya di dalam Amandemen Pasal 18 UUD 1945. Ketentuan Amandemen terhadap Pasal 18 UUD 1945 mengharuskan penerapan asas desentralisasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketentuan konstitusional tersebut memuat berbagai paradigma baru dan arah politik Pemerintahan Daerah yang baru pula, baik secara konseptual maupun secara yuridis. Hal ini tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2) dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5), yang berarti daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai kewenangan pusat. 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat 1), yang bermakna bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam.
148
Rozali Abdullah, (I), op.cit., hal.76. M. Ryaas Rasyid, (I), op.cit., hal.196. 150 Ni’matul Huda, Ekonmi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2005). op.cit., hal.52. Ditambahkannya, otonomi daerah merupakan anti klimaks dari sistem yang sarat dengan nuansa sentralisasi dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, yang selama puluhan tahun dipraktekkan oleh rezim Orde Baru, dengan membawa akibat buruk berupa terhambatnya proses demokratisasi pemerintahan, termasuk di daerah. 149
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
78
4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat 2), artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti kabupaten dan kota. 5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat 1), baik pada tingkat propinsi, kabupaten dan kota, atau desa. 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat 3). 7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18A ayat 2) yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. 151 Permasalahan yang kemudian muncul adalah terkait dengan penerapan amandemen Pasal 18 UUD 1945 dan implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan efektifitas pembangunan di daerah, yang ternyata tidak selamanya menciptakan hubungan kausalitas yang memuaskan. 152 Ekses yang timbul dari pelaksanaan otonomi daerah sampai dengan saat ini ternyata belum menciptakan pelayanan publik seperti yang di harapkan. 153 Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan M. Solly Lubis, Amandemen UUD 1945 menuntut agar senantiasa ada penyesuaian/penyelarasan antara produk undang-undang dengan UUD (Pasal 18, 18A dan 18B). 154
151
MPR-RI, “Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, dalam Ni’matul Huda, op.cit., hal.20-23. 152 Pratikno, Dukungan Konstitusi terhadap Otonomi Daerah di Indonesia, makalah pada Konferensi Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: International Idea, 2001), hal.195. 153 Majalah Gatra, 18 Januari 2003, hal. 46. 154 M. Solly Lubis, (I), loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
79
B. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Pelestarian Hutan Indonesia akan segera menghadapi persoalan era globalisasi pada beberapa tahun yang akan datang yang membuat investasi dan industri asing serta perdagangan akan memasuki negara Indonesia seolah tanpa batas, bahkan sampai ke daerahdaerah. Hal ini memerlukan kesiapan setiap pemerintah daerah untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengelolaan hutan untuk menjaga kelestariannya. Rejim Orde Baru di bawah Pemerintahan Soeharto menerima warisan kondisi perekonomian negara yang sangat terpuruk pasca jatuhnya pemerintahan Soekarno (rejim Orde Lama). Rejim Orde Baru kemudian menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik 155 untuk kembali membangun perekonomian negara yang dilegitimasi di bawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Segenap sumber daya alam di daerah dieksploitir secara terus menerus di bawah satu sistem kekuasaan yang oligarkhis dan cronys. 156 Sumber daya hutan dibuka secara besar-besaran sebagai solusi pemerintahan Orde Baru untuk keluar dari krisis. 157
Hal ini diawali dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 155
Misalnya ketentuan Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1974 yang menyatakan pemerintah daerah adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRD, sehingga dengan ketentuan ini DPRD tidak mandiri dalam melaksanakan fungsi legislasi dan kontrolnya terhadap Kepala Daerah. Selanjutnya diatur pula bahwa Kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD, tetapi kepada Presiden bagi Daerah Tingkat I dan kepada Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Tingkat II, sehingga fungsi kontrol DPRD menjadi lemah dihadapan Kepala Daerah. 156 M. Solly Lubis, (II), loc.cit. 157 Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal.196-197.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
80
Kehutanan, yang didukung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dengan masuknya modal asing dan modal dalam negeri ini, perkembangan pengusahaan hutan maju pesat. 158 Sejak saat itu, kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mulai menempati peranan yang sangat penting. Arah kebijakan saat itu ditujukan untuk memperoleh modal sebesar-besarnya sebagai penggerak pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan investasi asing pun diundang mengembangkan sumber daya alam yang bersifat eksploitatif untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang siginifikan. Hasilnya, sektor kehutanan menduduki ranking kedua setelah migas sebagai penghasil devisa negara. Selama lebih dari 32 tahun rejim Orde Baru, hutan di wilayah Indonesia dikangkangi oleh pemerintah pusat untuk kepentingan nasional, yang nota bene secara sempit dapat diartikan dengan membagi hasil hutan kepada para pengusaha dan kroni. 159 Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam bidang kehutanan tidak mendorong pengelolaan hutan menjadi efisien. Sentralisasi kebijakan dan kewenangan di bidang kehutanan lebih meletakkan beban permasalahan di pundak pemerintah daerah, sementara manfaat ekonomi dari sektor kehutanan sama sekali tidak dinikmati oleh masyarakat daerah, karena sangat sedikit yang mengalir kembali dari pemerintah 158
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi ketujuh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hal.318. 159 Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
81
pusat ke daerah. Banyak sumber daya hutan yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak diperhitungkan secara ekonomi. Hasil akhir dari kebijakan pemerintah Orde Baru adalah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan disertai divestasi yang rendah untuk usaha konservasi dan rehabilitasi yang berakibat terjadinya penurunan luas hutan. 160 Dengan kata lain, kebijakan eksploitasi tersebut berdampak pada terjadinya kerusakan sumber daya hutan secara besar-besaran, secara pesat menurunkan tingkat cadangan hutan, dan sekaligus mengurangi kemampuan regenerasi hutan. Penebangan hutan (deforestation) secara besar-besaran itu mempunyai dampak penting atas lingkungan hidup. 161 Setelah terjadinya era Reformasi di Indonesia, otonomi daerah dan pengelolaan pelestarian hutan sebagai salah satu aspek dari pengelolaan lingkungan hidup, merupakan dua entitas yang kerapkali terkait erat dan menimbulkan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan kehidupan masyarakat daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya ditujukan bagi otonomi penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah, melainkan juga termasuk memberikan kewenangan dalam mewujudkan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional. 162 Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang terdapat di daerah,
160
Alam Setia Zain, Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal.40. 161 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hal.314. 162 M. Solly Lubis (I), loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
82
dan UU Nomor 32 tahun 2004 menegaskan pengelolaan lingkungan hidup sebagai salah satu kewenangan pemerintah daerah yang wajib dilaksanakannya. Otonomi
daerah
diharapkan
dapat
memperbaiki
dan
meningkatkan
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat daerah, termasuk di dalamnya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengelolaan pelestarian hutan. Pemerintah dan masyarakat daerah mempunyai tanggung jawab mengurus rumah tangganya sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di dalam wilayahnya. 163 Dalam era otonomi daerah, implementasi pengelolaan pelestarian sumber daya hutan di daerah telah menjadi bahagian tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga tidak lagi hanya tergantung kepada kebijakan pemerintah pusat semata. 164 Pelaksanaan desentralisasi kehutanan di daerah perlu senantiasa dikaji apakah berjalan sebagaimana mestinya, dan lebih dari itu juga harus dilihat dampaknya terhadap kelestarian hutan sebagai maksud dari diberikannya kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk mengelola pelestarian hutan di wilayahnya. Otonomi
daerah
diharapkan
dapat
memperbaiki
dan
meningkatkan
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat daerah, termasuk di dalamnya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengelolaan pelestarian hutan. Pemerintah dan masyarakat
163
Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001. 164 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.1.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
83
daerah mempunyai tanggung jawab mengurus rumah tangganya sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di dalam wilayahnya. 165 Hutan juga mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan, baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Hal ini disebabkan hutan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. 166
Pada sisi lain, hutan dengan berbagai hasilnya
merupakan tumpuan hidup masyarakat di sekelilingnya disamping juga menarik minat para pengusaha (investor) untuk mengeksploitasi kekayaan hutan sebagai produk yang sangat menguntungkan secara ekonomis di pasaran domestik dan internasional. 167 Hutan memang mampu menghasilkan komoditi yang cukup tinggi nilainya, sehingga pemanfaatannya akan selalu menarik perhatian pada saat ini maupun di masa mendatang. Hutan memang mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan, dan juga berperan penting dalam menunjang pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemanfaaatan hutan tentu saja dapat menimbulkan masalah, yaitu terjadinya kerusakan hutan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dampak negatif dari eksploitasi dan pemanfaatan hutan justeru membawa sebagian besar umat manusia terancam dengan kerusakan ekologi dan keprihatian sosial ekonomi. 168
165
Ibid., hal. 25. Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hal. 7 167 Bambang Pamulardi, loc.cit. 168 Alam Setia Zain, op.cit., hal.24. 166
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Otonomi
84
daerah memang memberikan tanggung jawab bagi setiap pemerintah daerah otonom untuk melaksanakan pengelolaan pelestarian hutan. Banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangannya untuk mengatasi perusakan hutan yang terjadi tanpa memerhatikan ekosistem, antara lain berupa illegal logging, pencurian hasil hutan, perladangan berpindah, pembakaran berpindah, pembakaran hutan, penggalian bahan tambang liar, bencana alam atau perburuan, 169 serta rusaknya hutan akibat pemegang izin HPH (sekarang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku berupa kelalaian melaksanakan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dalam mengeksploitasi hutan. 170 Hutan akan semakin habis, kecuali apabila ada usaha untuk menyelamatkannya. 171
Oleh karena itu dalam kerangka otonomi daerah, kebijakan
pengelolaan pelestarian hutan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam rangka pembangunan daerah. Permasalahannya yang kemudian menjadi menarik untuk dikaji adalah mengenai apakah kebijakan bidang kehutanan pada era otonomi daerah saat ini telah mampu menciptakan kondisi pengelolaan pelestarian hutan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat daerah, atau justeru merugikan bagi masyarakat daerah. Hal ini tidak hanya menyangkut implementasi pengelolaan pelestarian hutan oleh pemerintah daerah, tetapi tentu juga terkait erat dengan pembentukan dan efektifitas Peraturan
169
ibid., hal.57. Salim HS, loc.cit. 171 R.E. Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan, (Bandung: ITB, 1997), hal. 57. 170
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
85
Daerah yang dibentuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bidang kehutanan. Dalam era otonomi daerah, pengusahaan dan eksploitasi hutan diharapkan dapat memberikan kondisi yang lebih kondusif guna pengelolaan pelestarian hutan sehingga tidak merusak kehidupan lingkungan yang baik di daerah. Kegiatan pengusahaan hutan, baik pengusahaan hutan alam maupun hutan tanaman industri, diharapkan dapat berjalan lancar dan berkembang, baik dari segi kualitas maupun keragaman produknya tanpa melepaskan asas keberlanjutan, baik keberlanjutan fungsi
produksi,
fungsi
lingkungan,
maupun
keberlanjutan
fungsi
sosial
budayanya. 172 Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) jo. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat ketentuan bahwa penyelenggaraan urusan di bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya oleh pemerintah daerah dilakukan dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya. Ini berarti kewenangan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di wilayahnya dilakukan berdasarkan koordinasi dengan pemerintah pusat dan antar pemerintah daerah, jadi tidak mutlak menjadi kewenangan suatu pemerintah daerah. Pada dasarnya, otonomi Daerah memberikan harapan bahwa pengelolaan pelestarian hutan akan terlaksana secara lebih baik apabila dibandingkan pengelolaan
172
Nana Suprana, Pengusahaan Hutan di Era Otonomi Daerah, Analisis CSIS, Jakarta, No.2 Tahun XX/2001, hal.156.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
86
hutan yang sebelumnya bersifat sentralistik 173 . Hal ini disebabkan hutan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam menunjang pembangunan. Harapan ini memang tidak serta merta dapat terwujud, apalagi jika otonomi daerah justru akan mendorong terjadinya eksploitasi hutan di daerah dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah, guna mengatasi masalah kemiskinan dan kepentingan pembangunan daerah. 174 Pengelolaan pelestarian hutan di daerah ditujukan untuk menghasilkan dana pembangunan dan sekaligus perputaran keuangan dari hasil hutan sebagai salah satu hasil pembangunan. Perputaran dana memang terjadi demikian cepat dan besar pada pusat-pusat pengelolaan sumber bahan baku industri hasil hutan, sementara di daerah penghasil bahan baku hasil hutan yang letaknya jauh dari industri dan pusat-pusat kegiatan ekonomi tersebut, perputaran dana dan keuangan demikian kecil. 175 Penerimaan pemerintah daerah dari sektor kehutanan harus lebih baik apabila dibandingkan dengan pemerintah pusat, karena otonomi daerah berarti desentralisasi kebijakan dan kewenangan sektor kehutanan. Konsep desentralisasi kehutanan memang memberikan harapan bahwa pengelolaan pelestarian hutan akan terlaksana secara lebih baik dibandingkan
173
Faisal Akbar, Dimensi Hukum dalam Pemerintahan Daerah, Kajian Kritis atas UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.6, mengatakan bahwa urusan daerah yang bersifat khas daerah, sudah tentu akan lebih efektif dan baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya. 174 Salim HS, op.cit., hal.1-2. 175 Syaukani HR, Pelaksanaan Desentralisasi di Bidang Kehutanan Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Lestari di Kabupaten Kutai Kertanegara, Analisis CSIS, Jakarta, No.2 Tahun XX/2001, hal.146.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
87
pengelolaan hutan yang sebelumnya bersifat sentralistik. 176
Hutan mempunyai
kedudukan dan peranan penting dalam menunjang pembangunan. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi bidang kehutanan dimaksudkan mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya hutan secara lestari untuk dijadikan sumber dana pembangunan guna mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. 177 Desentralisasi kehutanan dilaksanakan dengan meningkatkan pengelolaan pelestarian hutan tanpa menambah kerusakan terhadap kelestarian hutan di daerah. Kebijakan desentralisasi kehutanan akan mendorong pengelolaan hutan menjadi efisien. Desentralisasi kebijakan dan kewenangan di bidang kehutanan lebih meletakkan beban permasalahan di pundak pemerintah daerah karena dipandang lebih memahami kondisi dan kepentingan daerah. Masyarakat daerah juga akan menikmati manfaat ekonomi dari sektor kehutanan karena perputaran uang dari hasil hutan tetap mengalir kembali ke daerah.
C. Refleksi Desentralisasi Kehutanan Tak lama setelah keluarnya undang-undang otonomi daerah, pada tanggal 30 September 1999 diberlakukan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan hutan berdasarkan Deklarasi Rio de Jenerio Tahun 1992. Undang-undang ini dimaksudkan melakukan reformasi 176
Faisal Akbar, loc.cit., mengatakan bahwa urusan daerah yang bersifat khas daerah, sudah tentu akan lebih efektif dan baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya. 177 Salim HS, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
88
kebijakan kehutanan sejalan dengan jiwa otonomi daerah. Salah satu hakikat otonomi daerah adalah mendemokratisasikan pemerintahan dalam penyelenggaraan urusanurusan publik, termasuk dalam bidang kehutanan. Reformasi kebijakan kehutanan dalam undang-undang ini dilatar belakangi oleh desakan dari CGI 178 dan pemerintah daerah menuju terciptanya kelestarian hutan, sehingga banyak pasal-pasal dalam undang-undang ini yang membuka peluang untuk desentralisasi kehutanan. 179 Lima tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, beberapa ketentuan di dalamnya kemudian diubah melalui Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan ini disahkan oleh DPR menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kebijakan kehutanan yang bersifat eksploitatif dalam memanfaatkan potensi modal, teknologi dan skil yang tersedia berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengalami perubahan secara mendasar. Kebijakan kehutanan dan implementasinya
178
CGI adalah singkatan dari Consultative Group on Indonesia. Riant Nugroho D., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), hal.41. 179
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
89
akan sangat bergantung kepada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang dibuat untuk pelaksanaannya. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 memuat pembaharuan kebijakan kehutanan dengan melakukan desentralisasi kehutanan kepada pemerintah daerah menuju terciptanya kelestarian hutan. 180 Momentum otonomi daerah ini semestinya dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan melalui pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 181 Banyak pengaturan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengharuskan pemerintah pusat memberikan sebagian besar wewenangnya di bidang kehutanan kepada pemerintah daerah, terutama dalam ruang lingkup kegiatan operasional. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi kehutanan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yang secara legal formal berarti penyerahan sebagian wewenang bidang kehutanan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan kehutanan sebagai lingkup kewenangan pemerintahannya dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 182 Desentralisasi kehutanan ini secara implisit menunjukkan pelaksanaan konsep dasar yang merujuk pada perspektif adininistrative desentralisation dengan penekanan pada the delegation of authority. 183
180
Riant Nugroho mengatakan sentralisasi merupakan sistem pengelolaan pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisasi merupakan pembagian dan pelimpahan kewenangan pengelolaan kepada pemerintah daerah. Lihat Ibid. 181 Alam Setia Zain, loc.cit. 182 Hadi Setia Tunggal, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (Jakarta: Harvarindo, 2002), hal.24. 183 Syaukani HR, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
90
Desentralisasi kehutanan haruslah mendorong pengelolaan hutan menjadi efisien. Desentralisasi kebijakan dan kewenangan di bidang kehutanan dimaksudkan memberikan manfaat ekonomi dari sektor kehutanan untuk dinikmati oleh masyarakat daerah karena beban permasalahan diletakkan di pundak pemerintah daerah. Manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan diharpakan tetap mengalir kembali kepada masyarakat daerah. 184 Ternyata, urusan pengelolaan pelestarian hutan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah dalam kerangka otonomi daerah. Peraturan perundangundangan yang berlaku menunjukkan adanya tarik menarik tanggung jawab dan kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pelestarian hutan di daerah. Hal ini disebabkan hutan sebagai salah satu sumber daya alam merupakan aset negara yang berada di daerah. Daerah mempunyai kewenangan mengurus urusan rumah tangganya sendiri dalam pengelolaan pelestarian hutan, jika kewenangan itu tidak ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. 185 Pemerintah daerah sering terkendala dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan dan penegakan hukum di sektor kehutanan. Penyebab kondisi ini bukan saja benturan antara masyarakat yang melakukan penebangan liar dengan pengusaha pemegang hak pengelolaan hutan, atau antara aparat pemerintah
184
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.35. 185 Media Indonesia, Kamis, 4 Mei 2000, hal.24, dalam berita berjudul “PP Kewenangan Disahkan 7 Mei, Menhutbun tak Hambat Otonomi Daerah”. Dikatakan bahwa Departemen Kehutanan dan Perkebunan masih bersemangat sentralistis yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah untuk memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
91
dengan masyarakat atau dengan pengusaha, tetapi juga kendala yang diakibatkan pengaturan hukum positif yang tidak sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan pelestarian hutan kepada pemerintah daerah dalam era otonomi daerah. Masalah yang kemudian timbul adalah masih belum jelasnya rumusan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah -yang terus tarik menarik kewenangan dalam pengelolaan pelestarian hutan. Berdasarkan hirarki perundang-undangan, setiap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, sehingga sulit bagi daerah membentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan konsep desentralisasi kehutanan jika Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Masalah ini kemudian ditambah dengan masih kurangnya persiapan pemerintah daerah melaksanakan kewenangan dalam pengelolaan pelestarian hutan. Konsep desentralisasi kehutanan memang memberikan harapan bahwa pengelolaan pelestarian hutan akan terlaksana secara lebih baik dibandingkan pengelolaan hutan yang sebelumnya bersifat sentralistik 186 , tetapi harapan ini tidak serta merta dapat terwujud. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam menunjang pembangunan, sehingga banyak pihak mengkhawatirkan bahwa kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi bidang kehutanan akan mendorong terjadinya 186
Faisal Akbar, mengatakan bahwa urusan daerah yang bersifat khas daerah, sudah tentu akan lebih efektif dan baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya. Lihat, Faisal Akbar, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
92
pengeksploitasian sumber daya alam apabila daerah hanya memandang hutan sebagai sumber dana andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. 187 Jika hal ini terjadi, maka maksud desentralisasi kehutanan untuk meningkatkan pengelolaan pelestarian hutan justeru akan menambah kerusakan terhadap kelestarian hutan di daerah. Berlakunya Nomor 32 Tahun 2004 ternyata tidak pula memberikan jalan keluar mengenai terhambatnya perwujudan desentralisasi kehutanan, melainkan justeru menambah ketidakpastian desentralisasi kehutanan yang diamanahkan oleh UU Nomor 41 Tahun 1999. 188
Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) jo. Pasal 17 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat aturan bahwa penyelenggaraan urusan di bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya oleh pemerintah daerah dilakukan dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya. Ini berarti kewenangan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di wilayahnya dilakukan berdasarkan koordinasi dengan pemerintah pusat dan antar pemerintah daerah jadi tidak mutlak menjadi kewenangan pemerintah daerah. Banyaknya pasal-pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang masih perlu diperjelas oleh peraturan lanjutan merupakan kelemahan dalam implementasi otonomi daerah saat ini, termasuk dalam desentralisasi kehutanan. Kondisi ini potensial menunda desentralisasi dan akan melanjutkan dominasi pusat terhadap
187
Salim HS, loc.cit. Nana Suprana, op.cit., hal.158.
188
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
93
persoalan-persoalan di daerah akibat kurangnya political will dan political action pemerintah pusat menerbitkan peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan dalam menjalankan Undang-undang. 189 Menurut Bagir Manan, seyogyanya pemerintah pusat harus berbesar hati untuk memposisikan dirinya sebagai fasilitator, dan secara bijaksana mau mendengarkan keinginan daerah. Sementara dari pihak pemerintah daerah hendaknya tidak bersikap pasif dengan menunggu petunjuk dari pusat. Pemerintah daerah dituntut harus lebih bersikap aktif, dan memiliki keberanian untuk menentukan sendiri baik jenis maupun ruang lingkup wewenang yang akan dimiliki. 190 Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada dasarnya telah membuka peluang bagi peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam pelestarian hutan di wilayah kewenangannya. Merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, beberapa urusan strategis Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pelestarian fungsi hutan adalah sebagai berikut: Tabel I Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bidang Pelestarian Fungsi Hutan Sub Bidang 1. Penatausahaan Kawasan Hutan
2. Pembentukan Pengelolaan Hutan
Jenis Urusan Pengusulan Perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan dan penggunaan serta tukar menukar kawsan hutan Wilayah Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung, hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan
189
Bagir Manan, (II), op.cit., hal.40. Ibid.
190
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
94
Sub Bidang Jenis Urusan 3. Penataan Batas Luar Areal Pertimbangan teknis untuk pengesahan dan Kerja Unit Usaha Pemanfaatan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar Hutan Produksi areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam Kabupaten/Kota 4. Penataan areal kerja unit usaha Pertimbangan teknis pemgesahan penataan pemanfaatan hutan lindung areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada propinsi 5.Pengelolaan Taman Hutan Raya Pengelolaan Taman Hutan Raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala Kabupaten/Kota 6.Rencana Kehutanan Penyusunan rencana-rencana kehutanan Tingkat Kabupaten/Kota 7.Pemanfaatan hasil hutan pada Pertimbangan teknis kepada Gubernur untuk hutan produksi pemberian dan perpanjangan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani 8. Pemungutan hasil hutan pada Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan hutan produksi kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala Kabupaten/Kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani 9. Pemanfaatan Kawasan Hutan Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan dan Jasa Lingkungan pada hutan dan jasa lingkungan skala Hutan Produksi Kabupten/Kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani 10. Industri Pengolahan Hasil Pertimbangan teknis pemberian izin industri Hutan primer hasil hutan kayu 11. Penatausahaan Hasil Hutan Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala Kabupaten/Kota 12. Penerimaan Negara Bukan Pelaksanaan pemungutan penerimaan Negara Pajak Bidang Kehutanan bukan pajak skala Kabupaten/Kota
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
95
Sub Bidang Jenis Urusan 13. Pelaksanaan Rehabilitasi 1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan Hutan dan Lahan Termasuk pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada Hutan Mangrove taman hutan raya skala kabupaten/kota 2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan diluar kawasan hutan skala kabupaten/kota 14. Pengelolaan Daerah Aliran Pertimbangan teknis penyusunan rencana Sungai pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota 15. Reklamasi Hutan pada Areal Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan yang Dibebani Izin pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan Penggunaan Kawasan Hutan 16. Reklamasi Hutan Areal Penyusunan rencana dan pelaksanaan Bencana Alam reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota. 17. Pemberdayaan Masyarakat Bimbingan masyarakat, pengembangan Setempat di Dalam dan di kelembagaan dan usaha serta kemitraan Sekitar Hutan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. 18. Pengembangan Hutan Hak dan Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan Aneka Usaha Kehutanan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. 19. Hutan Kota Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota. 20. Pengusahaan Pariwisata Alam Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata pada Kawasan Pelestarian alam dan taman buru serta pemberian Alam dan Pengusahaan perizinan pengusahaan kebun buru skala Tanaman Buru kabupaten/kota 21. Pemanfaatan Tumbuhan dan Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan Satwa Liar dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES 22. Lembaga Konservasi Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
96
Sub Bidang 23. Perlindungan Hutan
Jenis Urusan 1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota. 24. Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan penelitian dan Kehutanan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota. 25. Penyuluhan Kehutanan Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota 26. Pembinaan dan Pengendalian Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan Bidang Kehutanan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota 27. Pengawasan Bidang Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan Kehutanan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan.
Apabila ditelaah urusan yang dilimpahkan tersebut dapat dipahami bahwa Pemerintah Pusat berupaya melibatkan Pemerintah Daerah dalam upaya pelestarian hutan walaupun belum dalam tingkatan yang memadai. Pelaksanaan pelestarian fungsi hutan dalam hal ini dinilai akan efektif apabila sumber daya lokal (Pemerintah Daerah dan Masyarakat) dapat dimobilisasi secara maksimal dalam setiap tahapan program pelestarian hutan. Pelibatan stake holder lokal harus dinilai sebagai bentuk kepercayaan Pusat kepada Daerah hal mana secara tidak langsung akan mendorong
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
97
munculnya rasa memiliki dan tanggung jawab semua pihak dalam upaya pelestarian hutan. Namun, pelimpahan urusan tersebut seyogyanya juga perlu diikuti dengan pengalokasian anggaran dalam jumlah memadai kepada Pemerintah Daerah karena sebagaimana diketahui sebagian besar Daerah memiliki anggaran yang terbatas. Oleh sebab itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu duduk bersama untuk merumuskan komitmen pembiayaan dalam rangka pelestarian hutan dimaksud. Target-target
pelestarian
yang
direncanakan
oleh
Pemerintah
Pusat
perlu
dikomunikasikan secara transparan dengan Pemerintah Daerah yang diikuti dengan pembagian tanggung jawab pelestarian antara Pusat dan Daerah. Permasalahan lain dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara. Perubahan kebijakan ini tentu saja mengakibatkan keseluruhan hutan menjadi hutan negara, karena kebijakan ini terkait dengan keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya sepanjang masyarakat hukum adat dalam suatu daerah otonom “menurut kenyataannya” masih ada. 191 D. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Kebijakan pemerintah dalam pelestarian hutan sebagai salah satu unsur dari lingkungan hidup, tidak lagi hanya mengacu pada tindakan represif karena ternyata kurang didukung oleh sumber daya, sarana dan prasarana yang tidak memadai.
191
Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, op.cit., hal.99.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
98
Kebijakan pemerintah juga tidak lagi berorientasi pada upaya-upaya penyadaran masyarakat dengan memotivasi agar berperan aktif dalam pelestarian hutan. Perubahan kebijakan ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 192 yang menegaskan kewajiban setiap orang untuk berperan serta memelihara kelestarian lingkungan hidup, termasuk hutan, serta keharusan berupaya mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Ini berarti kebijakan pemerintah telah mengarah pada upaya meletakkan beban pada masyararakat untuk turut bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup, dalam hal ini hutan, di wilayah sekitarnya. Implementasi maksimal upaya pelestarian hutan tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemeliharaan hutan sebagai bagian dari pelestarian lingkungan hidup turut memberi andil perusakan hutan. Kecenderungan masyarakat memanfaatkan sumber daya hutan tanpa memperhatikan kelestariannya telah disadari ikut berperan dalam merusak ekosistem hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya-upaya pelestarian hutan, baik secara individual maupun secara kelompok dalam suatu organisasi masyarakat. Canter mengartikan peran serta 193 masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan 192
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, secara lengkap berbunyi: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. 193 Peran serta sering disinonimkan dengan partisipasi dan keikutsertaan. Orang yang berperan serta disebut dengan partisipan. Lihat, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.855.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
99
kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Secara sederhana peran serta dirumuskannya sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat kepada pemerintah atas kebijakan). Peran serta masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), dimana tujuan tersebut dilandasi oleh keputusan atau tindakan yang lebih baik dalam menentukan kesejahteraan masyarakat. 194 Peran serta atau partisipasi merupakan keikutsertaan mengambil peran tertentu dalam suatu kegiatan atau program pemerintah, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. 195 Keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai satu kesatuan dalam suatu pembangunan dapat disebut peran serta aktif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok dapat disebut peran serta individual. 196
Peran serta masyarakat harus dilibatkan dalam setiap tahap kebijakan, mulai dari taraf perencanaan, pelaksanaan, sampai pada taraf pemanfaatan. 197 Program pembangunan akan terlaksana secara maksimal jika peranan pemerintah dalam merumuskan kebijaksanaan didukung sepenuhnya oleh peran serta masyarakat.
194
Hant. L, Sosiologi Sistematis : Suatu Pengantar Studi tentang Masyarakat Bina Aksara (Jakarta : 1990), hal. 24. 195 Dahama, Pendidikan Komunikasi. (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hal. 184. 196 Ibid. 197 Mubyarto, Strategi Pembangunan Pedesaan, (Yogyakarta : Pusan Penelitian Pembangunan Masyarakat Pedesan dan Kawasan, Universitas Gajah Mada, 1990), hal. 45
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
100
Misalnya, penyusunan program pembangunan desa harus melibatkan masyarakat agar mereka merasa memiliki pelaksanaan program tersebut. Peran serta masyarakat tidak hanya terkait dengan sumbangan tenaga, tetapi harus diartikan secara luas yakni keterlibatan secara fisik dan non fisik. Keterlibatan fisik berarti ikut melaksanakan atau mengerjakan program pembangunan, sementara keterlibatan non fisik berarti keikutsertaan dalam memberi sumbangan berupa uang, bahan-bahan bangunan atau makanan untuk kelancaran program. Peran serta akan memanfaatkan sumber daya diri manusia yang bersangkutan untuk terlibat dalam suatu kegiatan. 198 Peran serta akan melibatkan mental, pikiran, emosi, perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. 199 Dengan pemisahan ini peran serta dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Partisipasi dengan pikiran. Partisipasi tenaga. Partisipasi pikiran dan tenaga/partisipasi aktif. Partisipasi dengan keahlian. Partisipasi dengan uang. Partisipasi dengan jasa-jasa. 200
Jadi, peran serta berarti kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Faktorfaktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat terdiri dari 3 (tiga) hal, yakni : 198
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 35.. Sastropoetro, Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembagunan Nasional, (Bandung : Alumni 1988), hal. 401. 200 Ibid., hal. 396. 199
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
101
(1) keadaan sosial masyarakat, meliputi pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial, (2) kegiatan program pembangunan, meliputi kegiataan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan, dan (3) keadaan alam sekitar, meliputi faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat. 201 Keadaan sosial masyarakat dapat berupa pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, kebiasaan, kepemimpinan, keadaan keluarga, kemiskinan, kedudukan sosial dalam sistem sosial, luas kepemilikan lahan, dan sebagainya. Kegiatan program pembangunan dapat diwujudkan dalam bentuk teknologi RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) yang dikembangkan oleh pemerintah melalui pengelolaan lahan dalam pelaksanaan reboisasi dan penghijauan. 202
Sementara itu, keadaan alam
sekitar merupakan kondisi yang senyata ada dalam lingkungan tempat suatu kelompok masyarakat hidup, baik faktor fisik maupun keadaan geografis di daerah yang bersangkutan. Pengetahuan masyarakat tentang suatu persoalan juga merupakan faktor yang banyak mempengaruhi keterlibatan masyarakat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang sesuatu hal dapat menentukan niat dan keterlibatannya dalam suatu kegiatan, sebab pengetahuan akan mempengaruhi sikap, niat dan perilaku seseorang. Hubungan ketiga konsep tersebut diatas dengan pengetahuan dalam kaitannya dengan peran serta masyarakat, dapat dirumuskan sebagai berikut:
201
Ibid.,. hal. 411. Direktorat Jenderal kehutanan, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan. (Jakarta : Pemegang HPH, 1995), hal. 6. 202
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
102
“Adanya pengetahuan terhadap manfaat suatu hal akan menyebabkan orang mempunyai sikap yang positif terhadap hal tersebut. Sikap yang positif akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan sangat tergantung pada apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan tersebut. Adanya niat untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya sangat menentukan apakah kegiatan tersebut betul-betul dilakukan. Kegiatan yang sudah dilakukan inilah yang disebut perilaku.” 203 Ketiga faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat tersebut di atas lebih lanjut dapat dikelompokkan dalam dua sumber yakni: (1) faktor internal, merupakan faktor yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, dan (2) faktor eksternal, merupakan faktor di luar karakteristik individu.204 Peran serta yang berdasarkan pada faktor internal munculnya bersumber dari dalam diri individu atau masyarakat yang bersangkutan berupa dorongan (motivasi) untuk melibatkan diri, sedangkan peran serta yang berasal dari faktor eksternal bersumber dari luar individu atau masyarakat yang bersangkutan. Kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar dapat berupa paksaan atau rangsangan untuk terlibat dalam pembangunan, sedangkan partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia itu berasal dari kesadaran sendiri untuk terlibat melaksanakan pembangunan, tanpa ada paksaan dan rangsangan dari luar. Pembangunan justru sangat mengharapkan peran serta dengan kesadaran sendiri tersebut.
203
Azwar, Sikap manusia Teori dalam Penyuluhannya. (Jakarta : Liberty, 1988), hal. 3. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet Pembangunan, (Jakarta : Gramedia, 1980). hal. 23.
204
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
103
Peran serta berfungsi sebagai masukan (input) dan keluaran (output) dalam peroses pembangunan. Sebagai masukan, peran serta masyarakat dapat berfungsi dalam enam fase proses pembangunan, yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan terhadap informasi, fase perencanaan pembangunan, fase pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan, dan fase penilaian pembangunan. Sementara sebagai keluaran peran serta berfungsi menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. 205 Berhasilnya program-program di bidang pengelolaan dan pelestarian hutan tergantung kepada peran serta masyarakat itu sendiri. Adanya peran serta masyarakat merupakan bentuk strategi pembangunan nasional untuk dapat mengelola hutan sesuai dengan fungsinya.206 Peran serta masyarakat bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya kelompok penduduk melakukan kegiatan dalam suatu proses atau program tertentu, baik secara fisik maupun nonfisik. 207 Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang mengatur hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam bidang pelestarian hutan. Penjelasan undang-undang tersebut lebih lanjut menjelaskan peran serta masyarakat mencakup tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap penilaian. Dengan adanya peran serta tersebut, masyarakat termotivasi untuk
205
Dahama, Pendidikan Komunikasi, op.cit., hal. 31. Salim, E, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : LP3S, 1986), hal. 80. 207 Soeradisastra Djojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Kurnia UT, 1986), hal. 67. 206
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
104
senantiasa bersama-sama mengatasi masalah lingkungan hidup dan mengusahakan berhasilnya kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Peran
serta
masyarakat
sangat
dibutuhkan
untuk
memelihara
dan
meningkatkan fungsi dan mutu lahan serta lingkungan hidup, memelihara hutan dengan sebaik-baiknya. Program pemerintah mengenai pelestarian hutan bermanfaat bagi perlindungan masyarakat secara keseluruhan sehingga masyarakat patut membantu proses pelaksanaannya. Keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya pelestarian hutan merupakan salah satu strategi dan sekaligus tujuan pembangunan, yakni dalam bentuk menentukan arah melalui perencanaan, melibatkan untuk memikul beban dan tanggung jawab melalui pelaksanaan dan melibatkan masyarakat untuk memetik hasil serta memberi penilaian. Banyak kegiatan pembangunan, termasuk pelestarian hutan yang gagal disebabkan apa yang dilakukan tidak mampu membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Pendampingan masyarakat yaitu menggali dan menumbuhkan energi sosial dianggap dapat lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan. Pendampingan yang benar akan menghasilkan partisipasi masyarakat secara berkelanjutan Pendampingan juga diharapkan dapat menurunkan kuantitas dan kualitas gangguan kerusakan hutan sehingga kelestarian kawasan hutan dan lingkungannya dapat dicapai secara optimal dan lestari. Selain itu pendampingan diharapkan juga memberikan gaung kepada masyarakat sehingga memberikan dampak untuk berpikir dan bertindak untuk tidak melakukan pelanggaran perusakan hutan dan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
105
pengangkutan/pemilikan hasil hutan secara tidak sah. Kemudian pendampingan ini juga dapat menurunkan resiko kerugian akibat penebangan/pencurian kayu secara liar dengan tidak membayar kewajiban pungutan berupa penerimaan untuk Negara (PSDH dan DR). Selain masyarakat, peran serta dari Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mendukung keberhasilan penanganan kerusakan hutan yang diakibatkan “illegal loging” antara lain dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Melakukan koreksi dan mendorong aparatur pemerintah melalui sumbang saran yang positif terhadap palaksanaan penanganan illegal loging b. Memberikan informasi terjadinya kegiatan illegal loging yang mungkin terjadi kepada instansi yang berwenang c. Mengembangkan atau membentuk kelompok-kelompok sukarelawan dan forum
pengamanan
hutan
lintas
yang
dalam
pelaksanaannya
dikordinasikan atau bersama-sama dengan instansi yang berwenang d. Membantu melaksanakan kampanye dan penyebarluasan informasi kebijaksanaan pencegahan illegal loging dan kebakaran hutan. Peraturan perundang-undangan yang ada memang memasukkan peran serta masyarakat dalam kalkulasinya, tapi sederetan masalah seperti didiskusikan diatas menyebabkan jejak keikutsertaan masyarakat masih terlampau buram untuk
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
106
diwujudkan. 208 Peluang bagi pengabaian keterlibatan masyarakat nampak sama kuatnya dengan peluang untuk menyertakan masyarakat. Ketika peraturan lingkungan memberi tempat yang seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, terdapat banyak rumusan peran serta masyarakat yang masih mengambang atau dipasrahkan kepada peraturan pelaksana yang sering kali tidak kunjung datang. Tak dapat dihindari kesan terlalu legalitas dan 'kosmetik' dari peraturan-peraturan itu, yang hanya ada di permukaan tanpa menyentuh makna peran serta itu sendiri. Seperti syarat-syarat demi efektifnya suatu peran serta masyarakat yang diuraikan Hardjasoemantri 209 tentang bagaimana mekanisme informasi itu agar tepat waktu, lengkap dan menyeluruh, serta mudah dipahami, dan yang lebih hakiki mekanisme sampai sejauh mana hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan itu diakui. Nampaknya apa yang disinyalir Arnstein (1969) bahwa makna partisipasi akan mudah tergelincir menjadi empty ritual (upacara semu) menggejala dalam peraturan-peraturan kita. Diikuti oleh "budaya diam" menyebabkan keinginan tulus untuk menyertakan masyarakat guna menyelamatkan alam bagi anak-cucu merosot ke tingkat retorik. Seharusnya jika memang secara konsisten diakui bahwa UUPLH merupakan ketentuan payung yang mengayomi peraturan perudang-undangan lingkungan lainnya, maka makna peran serta yang termuat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi haruslah lebih dipertegas dalam peraturan-peraturan lingkungan yang terjabar diatas. 208
Ibid., hal. 205. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hal. 67. 209
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
107
Akses atas informasi merupakan sisi lain dari mata uang peran serta, juga tidak tergambar dengan jelas. Hanya Pasal 22 PP Nomor 51 Tahun 1993 (dahulu Pasal 31 PP Nomor 29 Tahun 1986) tentang AMDAL yang tegas menyatakan keterbukaan informasi bagi seluruh dokumen AMDAL. Sayangnya ketentuan ini tidak diperkuat oleh peraturan lingkungan lainnya. Penjabaran diatas mengungkapkan banyak hal, bahwa mekanisme peran serta masyarakat masih sedemikian kaburnya terutama dalam prosedur hukum. Ini semakin diperburuk oleh belum terformulasinya peran serta masyarakat yang termuat dalam pasal 6 UUPLH. Betapapun, keselamatan lingkungan kini dan nantinya akan menjadi masalah bersama. Ternyata Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 memang telah menegaskan bahwa tanggung jawab pengelolaan pelestarian hutan di daerah bukan hanya dibebankan kepada pemerintah semata-mata, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah, karena masyarakat juga harus dilibatkan dan bertanggung jawab dalam upaya tersebut. Begitu pula halnya dengan perusahaan yang diberi kewenangan melakukan eksploitasi hutan, mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. 210 Hal ini juga diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menegaskan kewajiban setiap orang dan pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk memelihara kelestarian fungsi
210
Hadi Setia Tunggal, op.cit., hal.18.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
108
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Luasnya pengetahuan dan informasi yang diterima masyarakat tentang lingkungan hidup dan pelestarian hutan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menerima dan mengimplementasikan program pelestarian hutan, baik dalam rangka mensukseskan program pemerintah maupun berdasarkan program mandiri masyarakat. Dengan demikian, peran serta masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan merupakan unsur yang esensial dalam otonomi daerah. Setiap orang dapat berpartisipasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
dengan
intensitas
dan
kapasitasnya sesuai perbedaan kemampuan, perbedaan kepentingan dan perbedaan keahlian antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. E. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Otonomi daerah merupakan solusi dari ketidakadilan pertumbuhan ekonomi di daerah, yang kemudian mengembang menjadi tuntutan demokrasi lokal. Kebijaksanaan pembangunan pada masa Orde Baru menampik faktor-faktor etnis di daerah,
karena
menempuh
kebijaksanaan
penyeragaman.
Kebijaksanaan
penyeragaman berarti mengabaikan kekhususan yang dimiliki oleh masyarakat di suatu daerah. 211
211
Ni”matul Huda, op.cit., hal. 130.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
109
Pemerintahan Orde Baru telah mengabaikan peran serta masyarakat dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah Orde Baru pada intinya adalah memusatkan perhatian pada normalisasi, pemulihan situasi yang aman, dan penumbuhan suatu pemerintahan yang kuat, bersatu dan efisien. 212 Untuk memprioritaskannya pemerintah pusat berusaha dengan keras membirokrasikan pemerintahan dan mempersiapkan program-program pembangunan nasional dengan berpegang teguh pada kebijaksanaan yang menampik faktor-faktor etnis. Pemerintah pusat lebih menyukai “pendekatan nasional” untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. 213 Pemerintah pusat senantiasa berusaha menempuh kebijaksanaan yang bersifat menyeragamkan bentuk penyelesaian masalah, tanpa mau mempertimbangkan kekhususan yang dimiliki oleh masyarakat di suatu daerah. Otonomi daerah yang dilegitimasi sejak era Reformasi pada dasarnya berupaya mengakui, memberdayakan dan menguatkan komunitas daerah dan nilainilai lokal di setiap daerah. Penguatan masyarakat lokal diperlukan dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi khususnya di tingkat daerah. 214 Partisipasi masyarakat merupakan unsur yang esensial dalam otonomi daerah, karena pemberian otonomi kepada daerah ditujukan agar bisa menangkap secara lebih tepat dan cepat
212
Herbeth Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1968), hal. 303. 213 Nazaruddin Syamsuddin, “Otonomi Daerah: Mengapa Diperlukan?”, dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.55. 214 Alam Setia Zain, op.cit., hal.26.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
110
aspirasi masyarakat, sebagai prasyarat untuk dapat melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. 215 Keberhasilan pembangunan daerah pada era otonomi lebih tergantung pada kemampuan daerah dalam mengatasi masalah-masalah lokalnya sendiri. 216 Otonomi daerah juga harus melakukan penguatan “basis lokal” sebagai kekuatan yang harus diberdayakan, sehingga nilai-nilai lokal di setiap daerah diakui dan diakomodasikan dalam sistem pemerintahan. 217 Sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004, beberapa daerah dan juga banyak pihak telah mengambil prakarsa untuk kembali menyandarkan diri pada tradisi dan kearifan lokal dalam merefleksikan kepentingan masyarakat daerah. Upaya ini selain memberikan respon pada skema otonomi daerah, juga memiliki maksud untuk bisa memberdayakan masyarakat lokal. 218 Oleh karena itu, otonomi daerah pada dasarnya berupaya memberdayakan atau memerankan komunitas daerah. Artinya penguatan masyarakat lokal diperlukan dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi khususnya di tingkat daerah. 219 Kebijakan pengelolaan pelestarian hutan dalam era otonomi daerah perlu senantiasa memperhatikan kondisi sosial budaya di daerah-daerah yang mengenal masyarakat adat. Hal ini tidak saja untuk lebih memberhasilkan kebijakan 215
M. Ryaas Rasyid, (I), op.cit., hal.196. Riant Nugroho D, op.cit., hal. xxiii. 217 Ni’matul Huda, op.cit., hal.52. 218 I. Widarta, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), hal. 24. 219 Syaukani HR., et.al., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.viii. 216
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
111
pengelolaan pelestarian hutan, juga penting untuk menghindari pelanggaranpelanggaran hukum dan konflik-konflik horizontal akibat eksploitasi hutan. Kebijakan ini juga sekaligus penting untuk memberdayakan kemampuan ekonomi masyarakat lokal. Untuk mendekatkan diri pada manusia yang bersikap dewasa dan bertanggung jawab sebagai pengelola dan pembina lingkungan hidup serta upaya melestarikan alam, maka perlu memperhatikan norma lama/hukum adat yang dapat menunjang pembinaan dan pelestarian lingkungan hidup. Kebiasaan-kebiasaan lama berfungsi sebagai mekanisme pengawasan bagi kelakuan dan tindakan manusia, dan pembinaan, kesadaran masyarakat melalui norma lama terhadap kelestarian. 220 Meskipun sering dikatakan bahwa masyarakat merusak lingkungan, akan tetapi kesuburan sawah-sawah dan kelestarian hutan-hutan di Nusantara selama ribuan tahun pengolahan membuktikan bahwa nenek moyang kita menguasai seni menggunakan sambil memelihara. 221 Yang juga sangat penting dalam kebiasaan lama, adanya pengaruh pemimpin informal berupa tokoh masyarakat dan agama yang masih berkembang dengan baik dilingkungan masyarakat pedesaan. Dalam rangka pelaksanaan reboisasi dan penghijauan ini pemerintah tetap membenahi organisasi dan manajemen dari tahun ketahun dengan maksud agar realisasi pelaksanaannya dapat dikoordinasikan dari tingkat pusat sampai ke desa. Secara singkat petugas pada tingkat desa adalah Kepala 220
Wijoyo, Delik Lingkungan Dalam UULH. (Jakarta : PT Media Interaksi Utama, 1997), hal. 3. Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. (Yogyakarta : BPEF, 1995), hal.
221
24.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
112
Desa, Petugas Lapangan Penghijauan (PLP), Ketua Lembaga Kehutanan serta melibatkan masyarakat dalam Kelompok Tani dengan maksud agar dalam pelaksanaan reboisasi dan penghijauan rnasyarakat desa dapat memberikan partisipasinya. Melalui organisasi formal ini juga pemerintah memberikan penyuluhan tentang perbaikan sumberdaya hutan, tanah dan air. 222 Kearifan lokal sebagai bagian dari peran serta masyarakat merupakan hak warga masyarakat dalam turut memelihara kelestarian hutan. Makna peran serta masyarakat banyak bermunculan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Pasal 6 misalnya, memberikan ruang lingkup yang luas bagi penduduk untuk berperan serta, baik selaku anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan dan mengembangkan perilaku kehidupan budayanya. Hak penduduk sebagai warga negara meliputi pengakuan atas harkat dan martabat yang sama, hak memeperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya, dan hak penduduk sebagai himpunan kuantitas yang meliputi hak untuk diperhitungkan dalam kebijaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera dalam pembangunan nasional. Pengakuan hak-hak penduduk diatas demikian luasnya mencakup hak atas adat dan kebudayaan serta hak untuk diperlakukan
sebagai
subyek
dalam
pembangunan,
222
Syaukani HR, op.cit., hal.150.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
bukan
sebagai
objek
113
pembangunan. Hak penduduk ini kemudian terjabar dalam Pasal 24 ayat (1) UndangUndang Nomor 10 Tahun 1992 dengan memberikan hak yang seluas-luasnya pada setiap penduduk untuk berperan serta dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Media peran serta pun termuat dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 melalui Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat, pihak swasta dan perorangan. Yang berarti pengakuan bahwa urusan kesejahteraan penduduk bukan semata-mata urusan pemerintah tetapi tanggung jawab penduduk sendiri Pengakuan
mengenai
kearifan
lokal
dalam
pelestarian
hutan
dan
pembangunan pada umumnya juga mempunyai landasan konstitusional di dalam Amandemen UUD 1945. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen mengatur bahwa kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hakhak tradisional di daerah harus diakui oleh pemerintah untuk dapat difungsikan kembali melalui undang-undang. 223 Salah satu permasalahan berkaitan dengan kearifan lokal adalah hilangnya hak-hak masyarakat adat terhadap hutan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah memasukkan hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara. Lingkup perubahan kebijakan berarti penguasaan masyarakat adat terhadap suatu kawasan hutan harus didasarkan pada keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya sepanjang masyarakat hukum adat
223
Salah satu kesepakatan dan konsultasi antara Pemerintah dengan DPR-RI, Jakarta 29 Januari 2003; Harian Kompas, 30-01-2003.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
114
dalam suatu daerah otonom menurut kenyataannya masih ada. 224
Implikasinya,
bahwa sepanjang masyarakat adat itu masih eksis hidup berdampingan dengan hutan ulayatnya, maka negara tidak boleh mengesampingkan kepentingan komunitas tersebut dan harus mengakomodasinya secara nyata dalam proses pengelolaan hutan.
224
Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, loc.cit.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
BAB IV PENGELOLAAN PELESTARIAN FUNGSI HUTAN DI KABUPATEN PAKPAK BARAT
A. Deskripsi Kabupaten Pakpak Bharat Kabupaten Pakpak Bharat adalah Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi. Kabupaten Pakpak Bharat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat dan Nias Selatan dan diresmikan pada Tanggal 28 Juli 2003 oleh Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno di Medan. 1. Keadaan Geografis Kabupaten Pakpak Bharat terletak di Wilayah Pantai Barat Sumatera pada posisi 2.000 – 3.000 Lintang Utara dan 96.000 – 98.000 Bujur Timur. Ketinggian daerah ini berkisar antara 250 – 1.400 m dari atas permukaan laut yang terdiri dari dataran tinggi dengan kemiringan lereng yang bervariasi, baik berupa pegunungan maupun perbukitan. Ketinggian wilayah mempengaruhi keadaan iklim di Kabupaten Pakpak Bharat. Keadaan iklim Kabupaten Pakpak Bharat pada umumnya beriklim tropis basah. Suhu udara berkisar antara 180 C – 280 C dengan udara sejuk yang dipengaruhi oleh iklim pegunungan. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar 2.270 mm/tahun dengan 159 hari hujan. 115 Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
116
2. Topografi Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat sebagian besar terdiri dari dataran tinggi berupa pegunungan maupun perbukitan. Kemiringan tanah atau keadaan lereng di wilayah ini sangat variatif. Luas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat adalah 121.830 Ha (1.218,30 km2) dengan topografi sebagai berikut : - Datar
(00 – 150)
=
6.396 ha
- Berombak
(80 – 150)
=
3.348 ha
- Bergelombang
(150 – 250)
=
21.619 ha
- Curam
(250 – 400)
=
6.397 ha
- Terjal Keatas
( > 400)
=
84.070 ha
3. Wilayah Administrasi Pemerintahan Batas-batas wilayah administratif Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: berbatasan dengan Kecamatan Silimapungga-pungga, Lae Parira, Sidikalang Kabupaten Dairi;
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Tara Bintang Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Maduamas Kabupaten Tapanuli Tengah; Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi dan Kecamatan Harian Kabupaten Toba Samosir;
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
117
Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada awal pembentukannya, Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Namun dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan pembangunan, pada Tanggal 28 Desember 2005 diadakan pemekaran kecamatan di dalam Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat menjadi 8 (delapan) Kecamatan dan 47 (empat puluh tujuh) Desa yaitu sebagai berikut: Tabel II Jumlah Desa dan Luas Wilayah Menurut Kecamatan No
Kecamatan
Jumlah Desa
Luas (km2)
1
Salak
6
117,92
2
Sitellu Tali Urang Jehe
7
473,62
3
Pagindar
4
41,30
4
Sitellu Tali Urang Julu
5
53,02
5
Pergetteng-getteng Sengkut
4
125,88
6
Kerajaan
10
194,81
7
Tinada
6
109,19
8
Siempat Rube
5
102,56
Jumlah
47
1.218,30
(Sumber : Pakpak Bharat Dalam Angka Tahun 2006).
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
118
4. Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2003 berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) adalah sebanyak 36.271 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 7.240 KK. Pada tahun 2004 jumlah penduduk bertambah menjadi sebanyak 36.972 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 7.396 KK. Pada tahun 2005 jumlah penduduk bertambah menjadi sebanyak 37.851 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 8.320 KK. Fertilasi (laju pertumbuhan penduduk) di Kabupaten Pakpak Bharat berdasarkan proyeksi BPS pada tahun 2003 untuk tahun 2000 sampai dengan 2003 adalah sebesar 0,47% pertahun. Menurut hasil perhitungan BPS tahun 2003, sex ratio tidak mengalami perubahan sejak tahun 2000 yaitu sebesar 97,14%. Komposisi penduduk dan Rumah Tangga menurut Kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel III Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga di Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2005
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Salak Kerajaan Sitellu Tali Urang Jehe Setellu Tali Urang Julu Pargetteng-getteng Sengkut Pagindar Tinada Siempat Rube Jumlah
Jumlah penduduk 5.424 8.426 8.062 3.009 3.017 1.091 5.291 3.713 37.851
Sumber : Pakpak Bharat dalam Angka Tahun 2006 (diolah).
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Rumah tangga 1.848 1.609 1.865 601 683 218 766 730 8.320
119
Data di atas menggabarkan sebaran penduduk antar wilayah kecamatan, sebagian besar penduduk yakni 21.912 jiwa (57 %) ternyata terkonsentrasi di 3 Kecamatan induk sebelum pemekaran yakni Kecamatan Salak, Kerajaan dan Sitellu Tali Urang Jehe.
Kepadatan penduduk Kabupaten Pakpak Bharat dikategorikan
rendah atau jarang karena perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk relatif sangat kecil yaitu 30 jiwa / km2 sehingga masih memungkinkan menerima perpindahan penduduk dari daerah lain. Berdasarkan jenis kelamin, secara kumulatif persentase jumlah penduduk pria adalah sebanyak 49,98 % sedangkan perempuan sebanyak 50,02 %. Sebagian besar penduduk termasuk dalam kelompok usia muda karena 42,41% penduduk berusia kurang dari 15 tahun atau sebanyak 15.382 jiwa. Penduduk usia muda ini tentunya menjadi beban tanggungan yang sangat berarti bagi penduduk usia produktif yang hanya mencapai 54,42%. Angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk Kabupaten Pakpak Bharat mencapai 83,91%,
dimana setiap 100 penduduk usia
produktif harus menanggung 84 penduduk usia non produktif.
5. Pendidikan Komposisi pendidikan penduduk di kabupaten Pakpak Bharat bervarasi mulai dari Tingkat Sekolah Dasar sampai SMA. Hanya sebagian kecil penduduk yang mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi. Fasilitas pendidikan di Kabupaten Pakpak Bharat meliputi 47 buah SD, 8 buah MI, 10 buah SMP/MTs dan 1 buah SMA Negeri Salak, seperti terinci pada tabel berikut ini.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
120
Tabel IV Jumlah Sekolah per Kecamatan Kecamatan
SD/MI
SMP/MTs SMA/MA
PT
Salak Kerajaan
22 21
4 5
2 1
-
Sitellu Tali Urang Jehe
15
4
1
-
58
13
4
-
Jumlah
(Sumber : Pakpak Bharat Dalam Angka Tahun 2006)
Sekolah Dasar mempunyai rata - rata murid persekolah sebesar 121 orang. Dengan jumlah murid sebanyak 6.050 orang dan jumlah guru SD sebanyak 432 orang, maka rasio murid per guru sebesar 14 orang. Ratio murid dengan guru terbesar adalah di kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan yang terkecil di kecamatan Salak. Rata-rata murid per Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 191 orang dengan rata-rata terbesar ada di Kecamatan Salak 269 orang per sekolah dan rata-rata terkecil di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe sebesar 137 orang. Terdapat 4 (empat) Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Pakpak Bharat dengan jumlah murid 959 orang dan 104 orang guru, sehingga rasio murid per guru adalah 9.
6. Potensi Sumber Daya Alam Potensi sumber daya alam di Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari lahan pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan dan semak belukar. Kondisi kesuburan tanah berbeda pada setiap bagian daerahnya dengan tanah pada umumnya berjenis padsolik dan padsolik merah kuning.
Pertanian menjadi sektor utama yang
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
121
mendukung perekonomian masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat karena sebagian besar penduduknya berusaha pada sektor ini.
Kabupaten Pakpak Bharat sangat
potensial dalam sektor usaha pertanian dalam arti luas (dari sudut pandang ekonomi), berupa pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Usaha pertanian tanaman pangan berupa padi, palawija, hortikulura (buah-buahan, sayur-sayuran). Usaha perkebunan di daerah ini terdiri dari beberapa komoditi antara lain kelapa sawit, kakao, kopi, gambir, nilam dan kemenyan. Usaha-usaha pada sektor peternakan meliputi peternakan sapi, kerbau, kambing dan babi, sementara pada sektor perikanan usaha yang dikembangkan adalah perikanan air tawar. Lahanlahan kosong yang belum dikelola di Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat kurang lebih 58.156 ha atau
47,37 % dari lahan yang ada. Hamparan lahan tersebut
merupakan kekayaan yang potensial untuk dijadikan Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan. Pertumbuhan sub sektor tanaman pangan dan hortikultura pada 3 (tiga) tahun terakhir selalu mengalami peningkatan dari 14,59% pada tahun tahun 2003 menjadi 13,75% pada tahun 2004 dan terakhir naik menjadi 14,81 % pada tahun 2005. Pertumbuhan sektor tanaman pangan dan holtikultura yang cukup signifikan pada periode 2003-2005 antara lain merupakan dampak dari program-program pembangunan
yang diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat.
Pertumbuhan sub sektor tanaman pangan dan hortikultura pada dasarnya banyak bergantung pada kondisi cuaca dan permintaan pasar. Kondisi cuaca yang baik akan meningkatkan hasil produksi, sementara tingginya permintaan pasar terhadap suatu
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
122
komoditi akan cenderung meningkatkan produksi karena perluasan areal tanaman. Berikut ini disajikan pertumbuhan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Pakpak Bharat.
Tabel V Perkembangan Tanaman Padi Sawah dan Padi Gogo Tahun 2002 – 2004
No
Komoditi
Luas Tanaman (Ha) 2002
1
Padi
2
Padi Gogo
2003
2004
Produksi (Ton) 2002
2003
2004
2.041,92 2.060.95 2.256,60 7.194,20 7.811,90 8.191,40 897,00 3.750,00 3.070.00 2.072.10 7.740.00 8.120,00
Pada sisi lain, kawasan hutan di Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat yang sangat luas dengan varietas tanaman yang kaya juga merupakan potensi sumber daya yang sangat prospektif untuk dikelola. Luas kawasan hutan di Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebagai berikut: Tabel VI Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi No
Fungsi
Luas (Ha)
1
Hutan Lindung
43.936,61
2
Hutan Produksi
7.916,71
3
Hutan Suaka Alam
5.657,00
4
Hutan Produksi Terbatas Jumlah
Sumber : Dinas PSDA Kabupaten Pakpak Bharat
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
48.894,00 106.894,32
123
Disamping itu, Daerah ini juga diprediksi memiliki potensi sumber daya alam lainnya seperti bahan tambang emas, timah, tembaga, dolomite, batu padas dan lainlain yang tersebar di berbagai tempat. Demikian juga halnya potensi sungai dan air terjun yang dapat dimanfaatkan untuk irigasi maupun pembangkit listrik (PLTA). Hingga saat ini, potensi-potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih terbuka peluang untuk investasi.
B. Penyelenggaraan Pelestarian Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat mengelompokkan urusan kehutanan sebagai bagian dari sektor pertanian. 226
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki
pemerintah daerah, arah pembangunan bidang kehutanan di Kabupaten Pakpak Bharat adalah melestarikan hutan dan memanfaatkan hutan melalui cara pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan lestari. Pembangunan kehutanan di Kabupaten Pakpak Bharat disusun secara integral di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Pakpak Bharat. 227 Program-program diarahkan untuk menjaga dan memelihara fungsi hutan 226
Ibid., hal. II-11, pada bagian 2.7.5. dengan sub judul Kehutanan dalam bagian 2.7. dengan judul Pertanian. 227 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) disusun dengan maksud menyediakan sebuah dokumen perencanaan komprehensif lima tahunan (2006-2010), yang akan digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) sesuai dengan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. RPJM Daerah disusun sesuai kebutuhan daerah dengan tetap mengacu kepada dokumen perencanaan nasional dan Provinsi Sumatera Utara dan berbagai kebijakan dan prioritas program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin terciptanya sinergi kebijakan dan sinkronisasi program secara vertikal antartingkat pemerintahan yang berbeda.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
124
sebagai ekosistem 228 yang kondusif bagi kelangsungan hidup masyarakat dan pembangunan sehingga diharapkan sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat dalam hutan di wilayah ini dapat berperan meningkatkan fungsi tanah, air, iklim, udara dan lingkungan hidup agar dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat.
1. Data Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan fungsinya, kawasan hutan di Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari
4 (empat) jenis sebagai berikut: Tabel VII Kawasan Hutan Menurut Fungsinya No Fungsi 1 Hutan Lindung
Luas (Ha) 43.936,61
2
Hutan Produksi
7.916,71
3
Hutan Suaka Alam
5.657,00
4
Hutan Produksi Terbatas Jumlah
48.894,00 106.894,32
Sumber : Dinas PSDA Kabupaten Pakpak Bharat
Luas kawasan hutan menurut fungsinya dalam tabel di atas berbeda dengan luas kawasan hutan menurut RTRWP Provinsi Sumatera Utara yakni sebagai berikut:
228
Obyek lingkungan hidup, termasuk lingkungan hutan, meliputi 3 (tiga) kategori, yaitu: a. Lingkungan Fisik (Physical Environment). b. Lingkungan Biologi (Biological Environment). c. Lingkungan Sosial (Social Environment).
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
125
Tabel VIII Luas Kawasan Hutan Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan Fungsinya Menurut RTRWP Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003-2018
No.
Berdasarkan fungsi
Luas (Ha)
1. Hutan Konservasi
5.657
2. Hutan L.indung
43.936,61
3. Hutan Produksi
7.916,71
4. Hutan Produksi Terbatas
48.894_
Jumlah
106.404,32
Sumber : Dinas PSDA Kabupaten Pakpak Bharat
Sementara itu luas kawasan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel IX Luas kawasan Hutan Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
No. Berdasarkan Fungsi 1 Hutan Konservasi 2 Hutan Lindung 3 Hutan Produksi 4 Hutan Produksi Terbatas Jumlah
Luas (Ha) 8.585 52.838 19.896 39.026 120.345
Sumber : Dinas PSDA Kabupaten Pakpak Bharat
Menteri Kehutanan telah mengeluarkan penetapan kawasan hutan dan fungsinya di Kabupaten Pakpak Bharat sebagaimana terlihat pada tabel di bawah :
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
126
Tabel X Kawasan Hutan Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan Penunjukan Menteri Kehutanan (Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 44/ Menhut-II/2005 Tanggal 16-02-2005)
No Berdasarkan fungsi 1 Hutan Konservasi 2 Hutan Lindung 3 Hutan Produksi 4 Hutan Produksi Terbatas Jumlah
Luas (Ha) 5.657 45.163,61 7.916,71 71.303,81 132.865,08
Dari tabel VI s.d IX, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan penetapan luas kawasan hutan di Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat, hal mana akan mempengaruhi implementasi
kewenangan
Pemerintahan
Kabupaten
Pakpak
Bharat
dalam
melaksanakan penegakan hukum dan pengelolaan pelestarian hutan di lapangan. Penetapan luas kawasan hutan Kabupaten Pakpak Bharat, tentunya merupakan dilema tersendiri bagi pelaksanaan pembangunan Kabupaten Pakpak Bharat. Rencana-rencana pembangunan di Kabupaten Pakpak Bharat baik dalam hal pengembangan
permukiman
penduduk,
pengembangan
kawasan
pertanian,
pembangunan infrastruktur sosial, ekonomi dan pemerintahan akan terbentur pada penetapan kawasan hutan dalam SK Menteri tersebut. Untuk mengakomodasi hal tersebut, menjadi suatu keharusan untuk melaksanakan pengalihan fungsi hutan agar pemerintah dapat mengembangkan luas wilayah dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
127
Jenis hutan menurut fungsinya dan luas kawasannya pada Wilayah Kecamatan adalah sebagai berikut: Tabel XI Luas kawasan Hutan Per Kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan RTRWP 2003 – 2018
Kawasan Hutan Bcrdasarkan Fungsi (Ha) Hutan No. Kecamatan Lindung
Hutan Hutan Konservasi Produksi
Hutan Produksi Terbatas
Jumlah
1. Salak
19.708,31
491,00
162,23
35.577,00 55.938,54
2. Kerajaan
9.512,20
1.032,00
7.754,48
2.356,00 20.654,68
3. STUJ
14.716,10
4.134,00
-
10.961,00 29.811,00
43.936,61
5.657,00
7.916,71
Jumlah
48.894
106.404,3
(Sumber : Pakpak Bharat Dalam Agka Tahun 2003)
Produksi hasil hutan Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2003 menurut jenis produksinya didominasi oleh kelompok kayu meranti sebanyak 8.439,72 ton dan kelompok rimba campuran sebanyak 4.460,09 ton. Jenis lain kayu hasil hutan yang terdapat di Daerah Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebagai berikut: 1. Meranti 2. Kapur 3. Keruing 4. Lesi-lesi
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
128
5. Resak 6. Jelutung 7. Rengas 8. Sampin 9. Medang 10. Kempas 11. Trap 12. Damar 13. Bogol 14. Lagan 15. Pulai 16. Kemenyan 17. dan kayu rimba campuran yang lain. 229 Produksi kayu hutan di Kabupaten Pakpak Bharat pada Tahun 2003 dapat dilihat pada tabel berikut :
229
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010, dirumuskan dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2005, hal. II-12.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
129
Tabel XII Hasil Kayu Hutan Menurut Kecamatan dan Jenisnya
Ranting Dinas Kehutanan (Kecamatan) Salak
Meranti (M3) 6.738,65
Kerajaan Sitellu Tali Urang Jehe Jumlah
Kelompok rimba campuran (M3) 3.556,49
Lain-lain /rotan (M3) -
-
-
-
1.701,07
903,60
-
8.439,72
4.460,09
-
(Sumber. Pakpak Bharat Dalam Angka Tahun 2003)
Sementara itu hasil hutan non kayu di Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari : 1. Rotan 2. Bambu 3. Kemenyan 4. Anggrek Hutan 5. Kulit Medang 6. Tanaman Hias 7. Tanaman Obat. 230 Sesuai kondisi alam dan topografi Pakpak Bharat yang berbukit - bukit maka sektor pertanian merupakan sektor potensial yang diharapkan mampu menyangga perekonomian masyarakat. Hasil sensus pertanian Tahun 2003 (angka sementara)
230
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010, dirumuskan dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2005, hal. II-12.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
130
terdapat 6.576 rumah tangga yang mata pencahariannya bertani, berkebun dan beternak. Dari jumlah rumah tangga pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat, 99.99% adalah merupakan petani pengguna lahan dengan produksi tanaman jenis padi dan palawija, tanaman perkebunan rakyat dan hortikultura. Luas lahan pertanian pada tahun 2003 adalah sebesar 2.060,95 hektar atau meningkat sebesar 0.91% dibandingkan dengan luas lahan pada tahun 2002 seluas 2.041,92 hektar. Luas lahan tanaman palawija dan tanaman hortikultura semusim pada umumnya juga mengalami peningkatan. Ditinjau dari luas dan produksi tanaman perkebunan rakyat pada tahun 2003, kemenyan memiliki luas terbesar dengan luas 1.393 hektar dan produksi 745,5 ton. Tanaman kopi menempati urutan kedua dengan total luas 1.249 hektar dan produksi 1.130 ton. Hasil tanaman lainnya adalah gambir dengan luas 922 hektar, karet 371 hektar, kayu manis 232 ha, kelapa sawit 151 ha dan kemiri 30 hektar. 231
2. Kebijakan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, setiap pemerintahan daerah harus menyusun kebijakan kehutanan daerah.
Kebijakan ini mencakup proses
pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan di daerah dalam kaitannya dengan pengelolaan pelestarian hutan. Kebijakan di bidang kehutanan ini dimaksudkan sebagai landasan dalam menyelenggarakan pengelolaan pelestarian hutan di daerah. Kebijakan ini 231
Sumber: Pakpak Bharat Dalam Angka Tahun 2006.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
131
merupakan politik hukum pemerintahan daerah yang bertujuan untuk menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan di daerah. 232 Kebijakan kehutanan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat disusun berdasarkan Analisis Lingkungan Strategis. Analisis ini digunakan sebagai landasan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di dalam segenap aspek pembangunan. Cakupan analisis yang digunakan dalam menentukan strategi pengembangan Kabupaten Pakpak Bharat meliputi unsur potensi, masalah, peluang dan tantangan yang dihadapi. Analisis ini sering disingkat dengan istilah Analisis SWOT, yang terdiri dari Strength (Potensi), Weakness (Masalah), Opportunity (Peluang) dan Threatment (Ancaman). Analisis terhadap seluruh unsur di atas akan menentukan strategi apa yang paling cocok untuk pengembangan Wilayah Kabupaten Pakpak Bharat khususnya di bidang pelestarian hutan. Secara ringkas Kabupaten Pakpak Bharat memiliki potensi sebagai berikut: -
Ketersediaan lahan untuk pengembangan masih luas.
-
Potensi sumber daya alam melimpah ruah.
-
Potensi agribisnis dan bisnis kehutanan.
-
Potensi pengembangan perkebunan.
-
Potensi pengembangan pertambangan.
232
M. Solly Lubis, (IV), Serba-serbi Politik dan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal.100. Beliau menyatakan politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
132
Perkembangan Kabupaten Pakpak Bharat juga dihadapkan pada berbagai permasalahan yang menyangkut aspek fisik, demografis, maupun kebutuhan sarana dan prasarana wilayah. Kesemuanya ini seyogyanya dapat diantisipasi lebih dini sehingga dapat dicarikan pemecahannya. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: -
Kondisi topografi yang sebagian besar merupakan daerah terjal (rawan longsor).
-
Lahan yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal.
-
Sumber daya hutan yang dieksploitasi kurang memperhatikan asas berkelanjutan.
-
Eksploitasi sumber daya alam seperti konversi lahan. 233 Penjarahan hutan (illegal loging) yang masih terus berlangsung di kawasan
Kabupaten Pakpak Bharat potensial menimbulkan gangguan lingkungan dan kepastian hukum, yang dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kinerja ekonomi Kabupaten Pakpak Bharat. Konversi lahan di dalam kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan milik masyarakat dan pengusaha juga masih terus berlanjut. Tidak diperhatikannya asas keberlanjutan dalam eksploitasi hutan tampak dari tingkat keberhasilan reboisasi dan konservasi sumber daya hutan yang masih sangat rendah dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat. Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat perlu mengevaluasi dan membenahi organisasi dan manajemen dalam rangka pelaksanaan reboisasi dan penghijauan, dengan maksud agar realisasi pelaksanaannya dapat dilaksanakan dan dikoordinasikan secara efektif dan masyarakat lokasi dapat memberikan partisipasinya. Permasalahan lain yang tidak tertampung di dalam
233
Disarikan secara singkat dari “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010”, op.cit., hal. III-1 – III.4.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
133
Analisa SWOT Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat adalah mengenai keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan di sekitar kawasan hutan yang masih rendah. Kesemua permasalahan kehutanan ini masih terus berlanjut pasca berlakunya SK Menhut Nomor 44 Tahun 2005 dan SK Menteri Kehutanan Nomor 201 Tahun 2006 234 , padahal sebagian besar wilayah Kabupaten Pakpak Bharat adalah kawasan hutan. Permasalahan lain pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat yang terlewatkan dari Analisis SWOT di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010, adalah mengenai pemantapan kawasan. Pengelolaan pelestarian hutan sangat membutuhkan pemantapan kawasan untuk kejelasan dan efektifitas kewenangan yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah. Pemantapan kawasan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 jelas merupakan kewenangan Pemerintah Pusat c.q. Menteri Kehutanan yang tidak didelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Pemantapan kawasan yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah dengan beberapa cara yakni: a. Penunjukan kawasan hutan oleh Departemen dan intansi di luar Departemen Kehutanan harus berpedoman kepada SK Menhut SK.44/Menhut-II/2005 dan SK Menhut Nomor 201 Tahun 2006. b. Penetapan tapal batas hutan secara jelas antar Kabupaten/Kota di sekitar Kabupaten Pakpak Bharat dan sekaligus melakukan pematokan secara bersama234
Kedua SK ini menyangkut pemetaan kawasan hutan di wilayah Sumatera Utara.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
134
sama oleh segenap pemerintah antar Kabupaten/Kota yang wilayahnya bersebelahan. Ini diperlukan untuk memperoleh kepastian hukum kawasan sehingga pengelolaan pelestarian hutan dapat dilaksanakan secara mantap dan terkoordinasi, sekaligus untuk memperoleh kepastian kewenangan di wilayah tapal batas dalam pemberantasan illegal logging. c. Sangat mendesak untuk segera dilakukan penataan batas hutan antara Kabupaten Pakpak Bharat dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan sekaligus segera menurunkan tim pengkajian untuk mengkaji pemanfaatan kawasan hutan di wilayah tersebut. d. Pengaturan kembali terhadap tanah ulayat/adat. Agar jangan sampai timbul permasalahan dikemudian hari, pengaturan kembali ini harus dilaksanakan secara hati-hati dengan melakukan inventarisasi secara akurat di lapangan dan berkoordinasi dengan pihak Departemen/Dinas Kehutanan. e. Merealisasikan peta kawasan hutan sebagai peta kerja resmi yang menjadi pedoman berbagai pihak mulai dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan kawasan hutan, sehingga ada keseragaman peta kawasan hutan. Realisasi ini merupakan kewenangan Pemerintah pusat c.q. Menteri Kehutanan. f. Mempertahankan fungsi hutan lindung di Kabupaten Pakpak Bharat secara benar sebagai kawasan hutan lindung. Hal ini dikarenakan fakta di lapangan menunjukkan sebagian areal hutan lindung tersebut sudah menjadi areal perkebunan atau konversi lain di dalam kawasan hutan. Permasalahan ini sampai
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
135
saat ini belum dapat diselesaikan, karena adanya izin pengelolaan di dalam kawasan hutan lindung dari Departemen Kehutanan yang berada di luar kewenangan pemerintah daerah. g. Pembatalan semua sertifikat yang diterbitkan di dalam kawasan hutan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, yang juga kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat. h. Pembatalan izin atau tidak memperpanjang izin atau tidak mengeluarkan izin baru terhadap perusahaan pertambangan yang melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang ada di Kabupaten Pakpak Bharat. Kewenangan dalam perizinan ini berada pada Menteri Kehutanan berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Penambangan terbuka ini jelas akan mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin parah di kemudian hari. Permasalahan lain dalam ruang lingkup pemantapan kawasan adalah menyangkut ketidakjelasan kawasan hutan antar pemerintah daerah. Sebagaimana daerah-daerah otonom lainnya, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat juga menghadapi dilema tumpang tindihnya kawasan hutan antar Kabupaten/Kota yang wilayahnya bersebelahan. Kenyataan ini jelas merupakan penghambat bagi Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat melakukan pengelolaan pelestarian hutan di daerahnya secara menyeluruh. Ada 2 (dua) masalah utama mengenai hal ini, yakni: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, telah mengatur secara integral kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
136
kabupaten/ kota di bidang kehutanan. Tetapi kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SK Mendagri Nomor 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota Khususnya di Bidang Kehutanan, yang materi peraturannya ternyata malah mengurangi dan mengaburkan materi pengaturan di dalam PP Nomor 34 Tahun 2002. Sudah sepatutnya Menteri Kehutanan mengusulkan pencabutan SK tersebut. 2. Penjabaran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyangkut kewenangan daerah dalam bidang kehutanan, belum jelas. Akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki landasan yang kuat dan jelas dalam mengimplementasikan kehendak dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut.
Ketidakjelasan ini
membutuhkan disusunya peraturan perundang-undangan untuk memperjelas kewenangan pemerintah daerah di bidang kehutanan demi terwujudnya pengelolaan pelestarian hutan.
Keseluruhan pemaparan di atas menunjukkan kondisi hutan dan kehutanan di Kabupaten Pakpak Bharat pada saat ini sangat memprihatinkan dengan masalah yang sangat kompleks dan saling terkait dengar sektor lain, ditambah lagi dengan keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di sektor kehutanan dalam era otonomi daerah. 235 Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat terutama mempunyai kewenangan 235
Seyogyanya pemerintah pusat harus berbesar hati untuk memposisikan dirinya sebagai fasilitator, dan secara bijaksana mau mendengarkan keinginan daerah dan mendelegasikan kewenangan yang cukup kepada daerah untuk mampu menyelenggarakan pengelolaan pelestarian hutan secara maksimal. Sementara dari pihak pemerintah daerah hendaknya tidak bersikap pasif dengan menunggu petunjuk dari pusat. Pemerintah daerah dituntut harus lebih bersikap aktif, dan memiliki keberanian untuk menentukan sendiri baik jenis maupun ruang lingkup wewenang yang akan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
137
dalam ruang lingkup operasional dalam pengelolaan pelestarian hutan, sementara kewenangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan kehutanan masih merupakan pelaksanaan operasional terhadap kebijakan pemerintah pusat di sektor kehutanan. 236 Untuk itu harus ada komitmen kerja sama dan persepsi yang sama dari semua pihak untuk menjaga dan memperbaiki ekosistem hutan sehingga kesinambungan fungsi hutan dapat terjamin secara lestari. 237 Berdasarkan Analisis SWOT yang mencakup potensi, masalah, peluang dan tantangan yang diuraikan tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat menyusun beberapa strategi umum pengembangan Kabupaten Pakpak Bharat, antara lain adalah sebagai berikut : a. Melakukan berbagai kerjasama antar daerah dan dengan pihak lain terutama dalam pengembangan kegiatan pertanian, perkebunan, industri dan perdagangan untuk menghadapi perdagangan bebas. b. Melakukan reboisasi dan penghutanan kembali pada areal hutan yang rusak c. Mencegah kerusakan terhadap hutan. d. Mengembangkan kegiatan agribisnis, agroindustri dan kehutanan untuk memasok kebutuhan Kota Medan, pasarregional, nasional maupun internasional
dimiliki. Lihat, Bagir Manan, (II), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, 2002), hal.37. 236 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Soejarwo, 15 Juni 2007. 237 Dalam bidang kehutanan, pendekatan yang digunakan pada era otonomi daerah ini lebih memposisikan pemerintah pusat sebagai pemegang peran utama (mendominasi) dalam menentukan jumlah maupun ruang lingkup wewenang yang harus dimiliki daerah, yang diimplementasikan dengan memposisikan daerah hanya sebagai pelaksana operasional dalam pengelolaan pelestarian hutan di daerahnya. Demi kepentingan pelestarian hutan, hendaknya pemerintah pusat memberikan mendesentralisasikan kewenangan yang cukup dan sungguh-sungguh kepada pemerintah daerah, baik dalam regulasi maupun operasional. Lihat, Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal.102.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
138
e. Melakukan pengelolaan SDA yang ada secara berkelanjutan. f. Memanfaatkan lahan yang ada seoptimal mungkin. 238
Kebijakan umum Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam sektor kehutanan berdasarkan strategi umum pengembangan tersebut di atas adalah melaksanakan Revitalisasi Kehutanan dengan arah kebijakan sebagai berikut: 1) Meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan 2) Meningkatkan pengendalian konversi kawasan hutan dan lahan untuk kegiatan non kehutanan 3) Pengembangan sistem pengawasan hutan dan lahan serta penegakan hukum yang konsisten. 4) Menata penyelenggaraan dan pengendalian peredaran hasil hutan lintas kabupaten dan distribusi dokumen Tata Usaha Karya (TUK) serta Tata Usaha Iuran Kehutanan. 239 Kebijakan pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat ini sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat dalam bidang kehutanan. 240 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 04/MenhutII/2005 Tanggal 14 Februari 2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (RENSTRA-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, 238
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010”, op.cit., hal. VII-14. 239 Ibid. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat telah berupaya semaksimal mungkin untuk merealisasikan seluruh kebijakan tersebut untuk mewujudkan pelestarian hutan dan menyahuti kepentingan masyarakat didaerahnya. Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Soejarwo, 15 Juni 2007. 240 Kebijakan kehutanan pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini disebabkan prinsip negara kesatuan yang melingkupi kewenangan pemerintahan daerah.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
139
Menteri
Kehutanan
mengeluarkan
SK.
Nomor
456/Menhut-VII/2004
yang
mengamanatkan 5 (lima) kebijakan prioritas di bidang kehutanan Periode 2005-2009 yaitu : 1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal; 2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan; 3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; 5. Pemantapan kawasan hutan. 241 Sasaran pembangunan kehutanan pada periode 2006 – 2010 adalah: 1) Bertambahnya hutan tanaman sebagai basis pengembangan ekonomi hutan. 2) Meningkatnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu. 3) Meningkatnya hasil hutan non kayu. 4) Berkurangnya kasus-kasus perambahan hutan dan illegal loging. 5) Pemantapan status kawasan hutan. 6) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan. 242 Untuk mencapai sasaran tersebut Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat telah merumuskan program pengembangan hutan dan lahan. Program ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan mutu dan produktivitas hutan melalui pengelolaan hutan secara optimal; 2) meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya lahan melalui keterpaduan pengelolaan antar berbagai pemanfaatan secara adil, berimbang dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. 243 Sasaran program pengembangan hutan dan lahan ini adalah sebagai berikut:
241
Diambil dari Instruksi Kerja Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Sumatera Utara tentang Pemetaan Areal Rawan Gangguan Keamanan Hutan (Illegal Logging) di Provinsi Sumatera Utara, tertanggal 3 Oktober 2005. 242 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010”, loc.cit. 243 Ibid.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
140
1. Meningkatkan pengelolaan kawasan hutan kurang produktif serta berkembangnya hutan rakyat dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat; 2. meningkatnya nilai riil hasil hutan serta meningkatnya peranan produk dan jasa hutan; 3. meningkatnya peran hutan lindung dan hutan konservasi untuk meningkatkan perekonomian rakyat; 4. tertanganinya masalah pencurian, perambahan hutan, serta kebakaran hutan; 5. meningkatnya kemantapan status kawasan hutan berbasis pengakuan masarakat; 6. terselenggaranya restrukturisasi sistem pengelolaan hutan; 7. meningkatnya investasi dan peluang usaha bidang kehutanan; 8. meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat; 9. meningkatnya keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi dalam pemanfaatan lahan dan hutan; 10. terpeliharanya fungsi kawasan konservasi, lindung, keanekaragaman hayati dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan; 11. berkurangnya lahan-lahan kritis di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan; 12. peningkatan kepastian hak atas lahan; 13. berkurangnya konflik atas lahan. 244 Berdasarkan sasaran-sasaran ini, program pengembangan hutan dan lahan di Kabupaten Pakpak Bharat memuat kegiatan-kegiatan pokok sebagai berikut: 1. Pemantapan kawasan hutan dari 87 % kawasan hutan. 2. Pengendalian konservasi kawasan hutan dan lahan. 3. Pembinaan dan pelaksanaan inventarisasi sumber daya hutan dan hasilhasil hutan dan jasa lingkungannya. 4. Pengembangan penataan kelembagaan kehutanan dan pembinaan dalam rangka penguatan kelembagaan masyarakat lokal. 5. Pembinaan pelaksanaan reboisasi, penghijauan, serta rehabilitasi hutan dan lahan kritis baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. 6. Pengembangan sistem pengamanan analisis pengawasan hutan dan lahan serta penegakan hukum yang konsisten. 7. Pengendalian dan pengawasan peredaran hasil hutan. 8. Pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. 245
244
Ibid. Ibid.
245
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
141
Program dan sasaran pembangunan kehutanan yang dirumuskan di atas wajar dan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah. Oleh sebab itu, tindakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam pengelolaan pelestarian fungsi hutan adalah melindungi hutan dari gangguan aktivitas masyarakat yang tidak sah dan tidak bertanggung jawab dan melaksanakan tertib pengelolaan hutan yang memenuhi asas lestari sesuai ketentuan dan peraturan di bidang kehutanan. Perwujudan upaya-upaya tersebut merupakan landasan yang kuat bagi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perhutanan dan pengembangan ekonomi daerah. Untuk mencapai hal itu, ukuran keberhasilan pelestarian fungsi hutan di Kabupaten Pakpak Bharat harus disusun berdasarkan indikator konservasi dan rehabilitasi hutan, yaitu persentase hutan yang telah ditanami dan difungsikan kembali lebih maksimal apabila dibandingkan luas yang harus ditanami kembali dan dijaga kelestarian fungsinya. Indikator ini harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh demi terwujudnya keberhasilan pengelolaan pelestarian fungsi hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. Terbitnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga memberikan peluang pada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan pelestarian fungsi hutan secara optimal. Dengan undang-undang ini, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup untuk merumuskan regulasi mengenai penentuan zonasi pemanfaatan ruang termasuk di dalamnya kawasan hutan. Ketentuan Undang-undang juga mengatur bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk memberikan izin dan melaksanakan pengawasan pemanfaatan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
142
ruang di wilayah kewenangannya. Dengan demikian Pemerintah Daerah pada prinsipnya memiliki kewenangan yang sangat luas untuk melaksanakan pelestarian fungsi hutan. Kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah daerah haruslah merupakan eksploitasi sumber daya alam yang disertai divestasi yang cukup untuk usaha konservasi dan rehabilitasinya, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan. 246 Kebijakan eksploitasi hutan oleh pemerintah daerah tidak boleh berdampak pada terjadinya kerusakan sumber daya hutan, melainkan dengan tetap menjaga tingkat cadangan hutan dan sekaligus mempertahankan kemampuan regenerasi hutan. Pengelolaan pelestarian hutan seperti ini akan mencegah terjadinya dampak penting atas lingkungan hidup. 247 Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian dari kebijakan pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat sebagaimana telah diuraikan di atas, adalah kurangnya perhatian terhadap kondisi sosial budaya masyarakat lokal dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya norma lama/hukum adat yang bersifat menunjang, dan pengaruh pemimpin informal berupa tokoh masyarakat dan agama. Kebijakan pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat harus senantiasa memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat di daerahnya. Hal ini tidak saja untuk lebih memberhasilkan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan, tetapi juga ditujukan untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran hukum dan 246
Alam Setia Zain, Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal.40. 247 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hal.314.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
143
konflik-konflik horizontal akibat eksploitasi hutan dan sekaligus memberdayakan kemampuan ekonomi masyarakat lokal. 248 Pengelolaan pelestarian hutan dalam kaitannya dengan otonomi daerah pada dasarnya adalah berupaya mengakui, memberdayakan dan menguatkan komunitas daerah dan nilai-nilai lokal di setiap daerah, karena partisipasi masyarakat merupakan unsur yang esensial dalam otonomi daerah. Berdasarkan keseluruhan potensi, permasalahan, peluang, tantangan, dan solusi yang diidentifikasikan dalam bentuk program pembangunan kehutanan tersebut di atas, Kabupaten Pakpak Barat memiliki peluang untuk berperan serta aktif dalam kancah liberalisasi perdagangan global untuk mensejahterakan masyarakatnya. Era globalisasi akan membuat investasi dan industri asing serta perdagangan akan memasuki negara Indonesia seolah tanpa batas, bahkan sampai ke daerah-daerah seperti halnya Kabupaten Pakpak Bharat. Liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade Organization (WTO) dan Asean Free Trade Arranggement (AFTA) merupakan peluang bagi Kabupaten Pakpak Bharat untuk mengembangkan industri dengan pasar internasional. Kemudahan transfer barang dan jasa memungkinkan wilayah ini untuk menangkap kesempatan relokasi industri, terutama dari wilayah sekitarnya. Keterkaitan dengan pasar internasional maupun liberalisasi perdagangan menimbulkan tantangan bagi Kabupaten Pakpak Bharat dalam hal pemenuhan standar mutu, buruh dan lingkungan. Berbagai standar tersebut bukan merupakan kriteria 248
Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, op.cit., hal.99.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
144
yang sederhana untuk diimplementasikan di Kabupaten Pakpak Bharat karena pasar internasional sangat kompetitif dan fluktuatif, sehingga gejolak pasar dapat mengganggu kontinuitas produksi yang berimplikasi pada ekonomi wilayah. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Pakpak Barat sejak dini harus mempersiapkan diri menghadapi dampak liberalisasi perdagangan dan investasi terhadap lingkungan hidup di wilayahnya, dengan cara menata efektifitas pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengelolaan hutan untuk menjaga kelestariannya. Peranan pemerintah daerah yang dimotori oleh kalangan aparatnya, jelas akan sangat menentukan. Aparat pemerintah daerah perlu meningkatkan kemampuannya yang strategis untuk mempercepat pembangunan di daerahnya. Pertama, daerah harus mampu memancing minat para investor di daerah, dengan meyakinkan adanya potensi yang bisa dieksploitasi, disamping adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum. Kedua, aparat pemerintah daerah harus mampu melakukan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal. Ketiga, pemerintah daerah harus mau menciptakan iklim yang transparan dalam proses pengambilan kebijakan politik lokal, termasuk dalam kaitan dengan pengelolaan pelestarian lingkungan hidup.
3. Pemberantasan Illegal Logging Illegal logging (penebangan liar secara tidak sah) memang masih merupakan permasalahan utama dalam sektor kehutanan di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan. Illegal logging di
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
145
Kabupaten Pakpak Bharat sering terjadi akibat kurangnya sarana, prasarana dan personil Polisi Hutan (Polhut) dalam menjaga areal hutan. Illegal logging merupakan perbuatan yang paling dominan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai kawasan hutan di kawasan Kabupaten Pakpak Bharat. 249 Guna mengatasi maraknya kegiatan illegal logging 250 , Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2005 telah melakukan kegiatan pemetaan areal rawan gangguan keamanan hutan (illegal logging) untuk mendapatkan data dan informasi keberadaan areal yang dirambah. 251
Pemetaan terhadap areal-areal yang telah
dirambah atau rawan terhadap pencurian kayu harus dilakukan dalam rangka proses pengukuhan kawasan hutan. Upaya ini ditempuh guna mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum kawasan hutan di lapangan, menghindari permasalahan di lapangan dan memantapkan perencanaan kegiatan. Kebijakan ini sesuai dengan PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Keputusan Menteri Kehutanan No.SK. 44/Menhut II/2005 tanggal 16 Februari 2005 mengenai Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara. Tujuan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat melakukan kegiatan Pemetaan Areal Rawan Gangguan Keamanan Hutan (Illegal Logging) ini adalah sebagai berikut: 249
Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Soejarwo, 15 Juni 2007. 250 Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal merupakan kebijakan prioritas pemerintah pusat yang memperoleh perhatian khusus. Kebijakan ini diambil mengingat pada dekade terakhir ini makin marak terjadinya illegal logging di seluruh wilayah Indonesia. 251 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Soejarwo, 15 Juni 2007.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
146
1. Untuk menentukan titik-titik pasti di lapangan terhadap areal yang dirambah dan yang rawan perambahan. 2. Memetakan areal-areal yang telah dirambah atau rawan perambahan hutan sebagai indikasi awal bagi perencanaan pengukuhan hutan terhadap penunjukan kawasan hutan di Propinsi Sumatera Utara. Untuk mencapai tujuan ini, sasaran kegiatan Pemetaan adalah areal kawasan hutan sesuai dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara. Indikasi awal berdasarkan hasil penafsiran citra landsat menunjukkan telah terjadi gangguan terhadap kawasan dimaksud. Indikasi ini didukung dengan informasi yang diperoleh dari pihak kabupaten mengenai areal hutan yang dirambah. Kedua data ini digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat sebagai masukan dalam menentukan sasaran pelaksanaan kegiatan ini. Berdasarkan penentuan sasaran pelaksanaan kegiatan pemetaan ini, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat kemudian melakukan penentuan areal rawan gangguan keamanan hutan dan dilanjutkan dengan melakukan sinkronisasi areal di lapangan dengan peta lokasi. Dari hasil Pemetaan Areal Rawan Gangguan Keamanan Hutan (Illegal Logging) ditemukan fakta bahwa illegal logging di Kabupaten Pakpak Bharat terjadi hampir di seluruh kecamatan, baik dilakukan oleh penduduk maupun oleh bukan penduduk Kabupaten Pakpak Bharat. Illegal logging yang dilakukan oleh penduduk merupakan wujud dari ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang sangat tinggi. Contoh-contoh illegal logging di beberapa kecamatan akan dikemukakan berikut ini: 1. Illegal logging di Desa Kecupak 2, Kecamatan Salak. Kayu yang ditebang
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
147
umumnya digunakan untuk keharusan membangun tempat tinggal, sedangkan areal bekas tebangan digunakan untuk menanam padi tadah hujan, jagung dan lain-lain. Areal yang mengalami perambahan seluas + 25 ha. 2. Illegal logging di Kuta Saga, Kecamatan Kerajaan. Kebutuhan masyrakat akan bahan baku kayu untuk kebutuhan hidup dan perumahan mendorong masyarakat Desa Kuta Saga di daerah Sikolong-koling melakukan illegal logging. Areal bekas tebangan digunakan untuk lahan pertanian. Luas yang mengalami perambahan seluas + 25 ha. 3. Illegal logging di Desa Kaban Tengah, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Kerusakan kawasan hutan ini relatif parah dan meliputi areal yang luas. Hampir sepanjang jalan dari Sibande menuju perbatasan Aceh Singkil, hutan telah rusak. Di daerah tersebut terdapat jalan truck angkutan kayu illegal. Sebagian kayu disinyalir diangkut menuju Aceh Singkil. Luasan areal tersebut berkisar + 143 ha. 4. Illegal logging di Desa Tanjung Mulia, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Desa Tanjung Mulia berbatasan dengan Desa Kaban Tengah, dan juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kawasan hutan yang letaknya berbatasan dengan Provinsi NAD tersebut sangat rawan, mengingat tapal batas provinsi banyak yang hilang. Ketidakjelasan batas riil di wilayah perbatasan ini menyebabkan pelaku illegal logging sering berdalih bahwa mereka menebang di wilayahnya, dan pada gilirannya penegakan hukum sulit untuk dilakukan. Areal yang mengalami perambahan hutan seluas ± 127 ha.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
148
Pemerintah memang telah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2004 menyangkut pemberantasan illegal logging. Peraturan ini hendaknya didukung oleh peraturan yang lebih tinggi. Seyogianya Pemerintah Pusat segera menerbitkan Perpu tentang pemberantasan illegal loging yang lebih detail mengatur pemberantasan illegal loging serta sanksi-sanksinya, sehingga penegakan hukum terhadap pelaku ilegal logging dapat memberikan efek jera. 252
Upaya ini harus diikuti pula dengan
peluncuran berbagai kebijakan stratehis dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat yang bermukim di sekitar areal hutan agar mereka terkondisikan untuk turut bertanggungjawab mengamankan, menjaga dan memelihara kelestarian fungsi hutan sehingga kerusakan hutan yang selama ini sering terjadi dapat dihindarkan. Disamping itu, penerapan pola hutan kemasyarakatan yang tepat dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pada akhirnya dapat menggurangi terjadinya illegal logging. Mengingat pembangunan kehutanan merupakan proses multidimensi, penanggulangan permasalahan illegal loging juga harus dilakukanlah secara terpadu, menyeluruh dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh potensi sumber daya yang ada baik pemerintah, aparat keamanan, masyarakat dan swasta. Penanggulangan seperti ini merupakan wujud keterpaduan tanggungjawab antara semua pihak. Namun demikian, tindakan represif yang dilakukan pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat
252
Penegakan hukum terhadap pelaku ilegal logging yang terjadi selama ini sangat lemah. Kepolisian kurang efektif melaksanakan fungsi pengamanan yang dimilikinya dalam menindak pelaku illegal logging secara tegas dan memberikan efek jera. Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Soejarwo, 15 Juni 2007.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
149
ternyata kurang didukung oleh sumber daya, sarana dan prasarana yang tidak memadai. Hal ini jelas merupakan hambatan yang penting dalam penyelenggaraan pengelolaan pelestarian hutan.
C. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 253 , kebijakan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam pengelolaan pelestarian hutan di wilayahnya seharusnya mengarah kepada perwujudan kewajiban segenap warga masyarakat untuk berperan serta aktif dalam memelihara kelestarian hutan. Kewajiban peran serta ini semestinya juga dilengkapi dengan keharusan warga masyarakat untuk turut berupaya mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan sebagai tindakan preventif. 254 Dalam kenyataannya, kebijakan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat mengenai keterlibatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan di wilayahnya masih mengacu pada kegiatan penyadaran masyarakat. 255 Upaya-upaya penyadaran masyarakat dilakukan dengan memotivasi warga masyarakat agar berperan aktif dalam pelestarian hutan. Terhambatnya perubahan kebijakan pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam rangka mengikuti perubahan kebijakan 253
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, secara lengkap berbunyi: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. 254 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir.Soejarwo, 15 Juni 2007. 255 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Soejarwo, 15 Juni 2007.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
150
dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, disebabkan masyarakat belum memahami dan menyadari hak dan kewajibannya dalam pengelolaan pelestarian hutan. 256
Hal ini tampak dari “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010” yang menyatakan: “Masalah utama dalam pembangunan kehutanan di Kabupaten Pakpak Bharat antara lain adalah illegal loging yang masih terus berlangsung, tingkat keberhasilan reboisasi dan konservasi sumber daya hutan masih rendah dan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan di sekitar kawasan hutan masih rendah.” 257 Sementara itu, Loka Karya Kehutanan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Mei 2005 yang diikuti oleh Pejabat Dinas Kehutanan di wilayah Provinsi Sumatera Utara, menyimpulkan bahwa pengelolaan pelestarian hutan di Sumatera Utara secara keseluruhan sangat memerlukan dilakukannya sosialisasi yang memadai untuk mewujudkan persamaan persepsi antara berbagai stakekholder dalam memandang permasalahan hutan dan kehutanan. 258
256
Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban di dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 5 UUPLH memuat ketentuan mengenai hak, sebagai berikut: (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Sementara itu, Pasal 6 UUPLH memuat kewajiban-kewajiban setiap orang di dalam pengelolaan lingkungan, sebagai berikut: (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. 257 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat, Salak, 2005. 258 Rumusan hasil Loka Karya Kehutanan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Mei 2005.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
151
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 259 , pengelolaan pelestarian hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga merupakan tanggungjawab setiap orang yang dibebani hak dan kewajiban untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jadi, beban kelestarian lingkungan hidup, khususnya hutan, telah diletakkan ke pundak segenap warga masyarakat untuk turut bertanggung jawab Peran serta masyarakat memang tidak dapat dilepaskan dari implementasi maksimal upaya pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemeliharaan hutan sebagai bagian dari pelestarian lingkungan hidup dipercaya turut andil dalam perusakan hutan. Peran serta masyarakat yang hanya memanfaatkan sumber daya hutan tanpa memperhatikan kelestariannya telah disadari ikut berperan dalam merusak ekosistem hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya-upaya pelestarian hutan, baik secara individual maupun secara kelompok dalam suatu organisasi masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan merupakan jalinan proses feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari
259
Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat kewajiban peran serta masyarakat, dapat disebutkan misalnya Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
152
masyarakat kepada pemerintah atas kebijakan). 260
Untuk mencapai peran serta
masyarakat harus lebih dahulu tercipta proses saling interaksi antara pemerintah dengan warga masyarakat sebagai basis sosialnya. Dengan interaksi ini, masalahmasalah dan kebutuhan lingkungan hutan dapat diidentifikasi dan dianalisis solusinya. Proses interaksi antara pemerintah dengan warga masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat akan terlaksana secara efektif, jika masyarakat dilibatkan dalam setiap tahap kebijakan, mulai dari taraf perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai pada taraf pemanfaatan. 261 Setiap program pembangunan akan terlaksana secara maksimal jika peranan pemerintah dalam merumuskan kebijaksanaan didukung sepenuhnya oleh peran serta masyarakat. Misalnya, penyusunan program reboisasi dan penghijauan harus melibatkan masyarakat desa agar mereka merasa memiliki pelaksanaan program tersebut. Masyarakat desa yang dimaksud disini adalah misalnya Kepala Desa, Petugas Lapangan Penghijauan (PLP), Ketua Lembaga Kehutanan serta melibatkan masyarakat dalam Kelompok Tani. Masyarakat desa sebagai tenaga yang paling dekat dengan lokasi reboisasi dan penghijauan, sangat tepat dituntut keikutsertaannya dalam implementasi program, baik saat perencanaan, pelaksanaan serta
260
Canter, dalam Ida Ayu Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, op.cit., hal.210. Pentingnya partisipasi pada tingkat perencanaan, agar perumusan langkah-langkah pelaksanaan dan sasaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Demikian pula menyangkut pelaksanaan dan pemantauan menunjukkan adanya tanggungjawab yang besar dalam mendukung program serta proyek yang dijalankan, karena masyarakat mempunyai harapan yang nyata untuk rnemperoleh hasil dari pengelolaan pelestarian hutan yang telah direncanakan tersebut. Lihat, Mubyarto, Strategi Pembangunan. Pedesaan, (Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Masyarakat Pedesan dan Kawasan, Universitas Gajah Mada, 1990), . hal. 45. 261
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
153
penilaian. Kebijakan seperti ini akan menciptakan tanggung jawab masyarakat desa untuk berperan serta dalam pelaksanaan reboisasi dan penghijauan. Dengan demikian, peran serta atau partisipasi warga Kabupaten Pakpak Bharat merupakan keikutsertaan warga mengambil peran tertentu dalam suatu kegiatan atau program pemerintah, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. 262 Pengelolaan pelestarian hutan sangat membutuhkan peran serta 263 masyarakat yang bersumber dari kesadaran diri segenap warga masyarakat untuk senantiasa melibatkan diri. Peran serta masyarakat tidak hanya terkait dengan sumbangan tenaga, tetapi harus diartikan secara luas, yakni keterlibatan secara fisik dan non fisik. Keterlibatan fisik berarti ikut melaksanakan atau mengerjakan program pembangunan, sementara keterlibatan non fisik berarti keikutsertaan dalam memberi sumbangan berupa uang, bahan-bahan bangunan atau makanan untuk kelancaran program. Dengan pemisahan ini, peran serta dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut: a. b. c. d.
Partisipasi dengan pikiran. Partisipasi tenaga. Partisipasi pikiran dan tenaga/partisipasi aktif. Partisipasi dengan keahlian.
262
Lihat, Dahama, Pendidikan Komunikasi. (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hal. 184. 263 Subyek hukum juga diberi kesempatan berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 7 UUPLH yang berbunyi sebagai berikut : (1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. (2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara: a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; d. memberikan saran pendapat; e. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
154
e. Partisipasi dengan uang. f. Partisipasi dengan jasa-jasa. 264 Jadi, peran serta berarti kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Orang yang berperan serta akan memanfaatkan sumber daya dirinya untuk terlibat dalam suatu kegiatan yang dicanangkan pemerintah. 265 Warga yang berperan serta akan melibatkan dirinya ke dalam situasi kelompok yang mendorongnya memberikan sumbangan dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. 266 Dalam hal ini, peran serta berfungsi
sebagai
masukan
(input)
dan
keluaran
(output)
dalam
proses
pembangunan. 267 Keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai satu kesatuan dalam pengelolaan pelestarian hutan dapat disebut peran serta aktif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok atau demi kepentingan masyarakat dapat disebut peran serta individual. 268 Pembedaan ini sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, yakni: (1) Peran serta dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam implementasi pengelolaan pelestarian hutan. Masyarakat diajak, dipersuasi, diperintahkan atau dipaksa oleh pemerintah misalnya dalam program penghijauan. 264
Sastropoetro, Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembagunan Nasional. (Alumni Bandung, 1988), hal. 396. 265 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 54. 266 Sastropoetro, Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembagunan Nasional, (Bandung : Alumni 1988), hal. 401. 267 Dahama, Pendidikan Komunikasi, op.cit., hal. 31. 268 Sastropoetro, op.cit. hal. 401.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
155
(2) Peran serta sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pengelolaan pelestarian hutan. Penekanan peran serta ini adalah kemauan pribadi berdasarkan kesadaran pentingnya manfaat yang akan diperoleh masyarakat dengan keterlibatannya dalam pengelolaan pelestarian hutan. Peran serta tidak timbul dan terwujud begitu saja, tetapi banyak faktor yang mempengaruhi terlibatnya peran serta individu dan masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. Faktor-faktor tersebut masing-masing mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi, yang dengan meminjam pendapat Koentjaraningrat 269 dapat diidentifikasikan ke dalam 2 (dua) kategori sebagai berikut: 1. Faktor internal, merupakan faktor yang dipengaruhi oleh karakteristik individu. Peran serta ini muncul akibat dorongan (motivasi) untuk melibatkan diri, tanpa adanya paksaan dan rangsangan dari luar. Dalam hal ini, pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dan dampak pengelolaan pelestarian hutan terhadap masyarakat dan ekosistem di daerah juga merupakan faktor yang banyak mempengaruhi keterlibatan masyarakat. Tingkat pengetahuan individu dapat menentukan niat dan keterlibatannya dalam kegiatan pengelolaan pelestarian hutan, sebab pengetahuan akan mempengaruhi sikap, niat dan perilaku seseorang. 2. Faktor eksternal, merupakan faktor di luar karakteristik individu, baik berasal dari masyarakat maupun dari pemerintah. Faktor ini dapat berupa rangsangan atau
269
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet Pembangunan, (Jakarta : Gramedia, 1980), hal. 23.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
156
paksaan untuk terlibat dalam pengelolaan pelestarian hutan. Faktor eksternal ini terdiri dari 3 (tiga) kategori 270 yang bersifat mempengaruhi, yakni: b. Keadaan sosial masyarakat, meliputi pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, kepemimpinan, keadaan keluarga, kemiskinan kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial, luas kepemilikan lahan, dan sebagainya. c. Kegiatan program pembangunan, meliputi kegiataan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan. Sebagai contoh dapat dikemukakan Kegiatan program pembangunan dapat diwujudkan dalam bentuk teknologi RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) yang dikembangkan oleh pemerintah melalui pengelolaan lahan dalam pelaksanaan reboisasi dan penghijauan. 271 d. Keadaan alam sekitar, merupakan kondisi yang senyata ada dalam lingkungan tempat suatu kelompok masyarakat hidup, yang meliputi faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan, ada beberapa hal yang harus dibina, ditumbuhkembangkan dan digalakkan oleh Pemerintah Daerah yakni: 270
Mengenai 3 (tiga) kategori ini secara teoritis, lihat Sastropoetro, Partisipasi Komunikasi, op.cit.
hal. 411. 271
Direktorat Jenderal kehutanan, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan. (Jakarta : Pemegang HPH, 1995), hal. 6.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
157
a. Kesadaran Kesadaran mempunyai tingkatan, mulai dari sadar penyesuaian, sadar perubahan dan sadar pembaharuan. Pada tingkat sadar pembaharuan orang telah mampu menyatakan pandangan kritis, mengapa hutan ditebangi sembarangan dan harus di lawan. b. Kebersamaan Kebersamaan yang mampu untuk menyelamatkan kerusakan hutan di Kabupaten Pakpak Bharat harus ditumbuhkan. Analogi metode “bika ambon” panas yang merata atas bawah akan menghasilkan masak yang sama dan sempurna. Siapa yang punya pengaruh di tingkat atas untuk menyelamatkan hutan dan siapa yang punya pengaruh di tingkat bawah harus dipadukan. Satu hal yang perlu dicatat bahwa kelompok bawah sangat rentan dengan imingiming material. Tidak mengherankan kalau kemudian yang mempunyai materi banyak yang akan dibela mati-matian oleh kelompok marginal yang sekarang cenderung lebih konsumtif dan terperangkap dalam kebutuhan jangka pendek. c. Kelembagaan Kelembagaan sangat mutlak dibutuhkan dalam rangka pelestarian hutan ini. Bekerja tanpa lembaga bagaikan pemburu tanpa senapan. Untuk memperoleh lembaga yang demokratis, transparan, akuntabel, partisipatoris, bukanlah pekerjaan yang mudah. Biasanya akan terjadi friksi pada tingkat distribusi logistik yang lemah dan tidak transparan.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
158
Ketiga faktor diatas, walau terlihat sangat sederhana dan mungkit bersifat “klise”, akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan tidak banyak contoh yang sukses yang dapat direplika dalam hal membuat sebuah strategi kemajuan tanpa adanya campur tangan lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, sangat diharapkan dengan ketiga hal diatas, maka peran serta yang dilakukan masyarakat dalam pelestarian hutan dapat lebih terarah serta tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Peran serta masyarakat juga terwujud dalam bentuk pendampingan masyarakat oleh organisasi non pemerintah (Ornop), atau yang juga dikenal dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pendampingan masyarakat merupakan kegiatan menggali dan menumbuhkan energi sosial, yang dianggap dapat lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan. Pendampingan masyarakat secara benar oleh ornop akan menghasilkan banyak keuntungan bagi pemerintah dan masyarakat daerah dalam memberhasilkan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan, disebabkan oleh dampak-dampak pendampingan sebagai berikut: 1. Menghasilkan partisipasi masyarakat secara berkelanjutan; 2. Menurunkan kuantitas dan kualitas gangguan kerusakan hutan sehingga kelestarian kawasan hutan dan lingkungannya dapat dicapai secara optimal dan lestari; 3. Memberikan gaung kepada masyarakat sehingga memberikan dampak untuk berpikir dan bertindak untuk tidak melakukan pelanggaran perusakan hutan dan pengangkutan/pemilikan hasil hutan secara tidak sah;
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
159
4. Dapat menurunkan resiko kerugian akibat penebangan/pencurian kayu secara liar dengan tidak membayar kewajiban pungutan berupa penerimaan untuk Negara (PSDH dan DR). Selain partisipasi masyarakat dalam pemberantasan illegal logging, peran serta dari organisasi non pemerintah (ornop), atau yang juga dikenal dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dapat mendukung keberhasilan penanganan kerusakan hutan yang diakibatkan “illegal loging” di Kabupaten Pakpak Bharat, antara lain dengan melakukan kegiatan sebagai berikut : a. Melakukan koreksi dan mendorong aparatur pemerintah melalui sumbang saran yang positif terhadap palaksanaan penanganan illegal loging b. Memberikan informasi terjadinya kegiatan illegal loging yang mungkin terjadi kepada instansi yang berwenang c. Mengembangkan atau membentuk kelompok-kelompok sukarelawan dan forum pengamanan hutan lintas yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan atau bersama-sama dengan instansi yang berwenang d. Membantu melaksanakan kampanye dan penyebarluasan informasi kebijaksanaan pencegahan illegal loging dan kebakaran hutan. Selain berpartisipasi dengan cara bekerjasama dengan pemerintah, peran serta juga dapat diwujudkan dengan mengajukan tuntutan atas perusakan hutan terhadap pelakunya dan juga terhadap pemerintah daerah jika dipandang lalai menyelamatkan kelestarian hutan. Tuntutan ini merupakan bagian kontrol (pengawasan) masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan pelestarian hutan yang dilakukan oleh pemerintahan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
160
daerah. Setiap warga masyarakat memiliki hak-hak subyektif (subjective rights) sebagai bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Hak ini memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah, guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat hukum lainnya. Tuntutan tersebut mempunyai dua fungsi yang berbeda, yakni pertama, hak untuk membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya, dan kedua, hak menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UULH dan Pasal 34 UUPLH. 272 Keseluruhan uraian di atas menunjukkan betapa peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memelihara dan meningkatkan fungsi dan mutu lahan serta lingkungan hidup, memelihara hutan dengan sebaik-baiknya. Program pemerintah mengenai pelestarian hutan bermanfaat bagi perlindungan masyarakat secara keseluruhan
sehingga
masyarakat
patut
membantu
proses
pelaksanaannya.
Keberhasilan program-program di bidang pengelolaan dan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat tergantung kepada peran serta masyarakat daerah yang bersangkutan. Peran serta masyarakat bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya kelompok penduduk melakukan kegiatan dalam suatu proses atau program
272
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Cetakan Keempat Belas, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hal. 94.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
161
tertentu, baik secara fisik maupun non fisik. 273 Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam bidang pelestarian hutan. Peran serta masyarakat merupakan bentuk strategi dan sekaligus tujuan pembangunan daerah untuk dapat mengelola hutan sesuai dengan fungsinya274 , yang mencakup tahap perencanaan sebagai penentuan arah, tahap pelaksanaan dengan melibatkan warga untuk memikul beban dan tanggung jawab dan melibatkan masyarakat untuk memetik hasil serta memberi penilaian pada tahap evaluasi. Dengan adanya peran serta tersebut, masyarakat termotivasi untuk senantiasa bersama-sama mengidentifikasi dan mengatasi masalah lingkungan hidup dan mengusahakan berhasilnya kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, peran serta masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai perwujudan pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat sebagai tujuan tertentu (a means to an end). Banyak kegiatan pembangunan, termasuk pengelolaan pelestarian hutan yang gagal disebabkan apa yang dilakukan tidak mampu membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Mengutip pendapat Hant, peran serta masyarakat diyakini sebagai penentu keberhasilan pengelolaan pelestarian
273
Soeradisastra Djojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Kurnia UT, 1986), hal.
67. 274
Salim, E, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : LP3S, 1986), hal. 80.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
162
hutan di Kabupaten Pakpak Bharat dan sekaligus tercapainya kesejahteraan masyarakat. 275 Pengelolaan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, baik itu masyarakat dalam arti perseorangan maupun masyarakat dalam lingkup Negara (Pemerintah). Menurut Rahardjo pemerintah merupakan agen utama dalam segenap kegiatan masyarakat, termasuk pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berarti pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu,
276
sementara peran serta
masyarakat yang terlaksana secara efektif adalah pengawasan sosial yang dapat saja menciptakan suatu perubahan atas tatanan sosial yang ada. 277 Peran serta masyarakat merupakan terobosan yang menarik karena menciptakan kesadaran berpolitik dari masyarakat serta akan membentuk masyarakat yang lebih bertanggung jawab dan peka akan kepentingan publik. Dalam konteks ini, lahir sebuah sinyalemen yang kemudian menjadi nyata, bahwa pada akhirnya peran serta masyarakat hanyalah merupakan proses tarik-menarik antara pemerintah dan pihak masyarakat. Masyarakat hanya mempunyai kemampuan untuk mencari ruang gerak peran serta 275
Hant. L, Sosiologi Sistematis : Suatu Pengantar Studi tentang Masyarakat Bina Aksara (Jakarta : 1990), hal. 24. Hant mengatakan peran serta masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), dimana tujuan tersebut dilandasi oleh keputusan atau tindakan yang lebih baik dalam menentukan kesejahteraan masyarakat. Bandingkan dengan Marsono, log.cit., yang mengemukakan pentingnya peran serta dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu bahwa secara nasional keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional ditentukan oleh ada atau tidaknya partisipasi warganya, disamping Partisipasi masyarakat merupakan salah satu tolok ukur mendasar yang paling logis dalam menilai keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 276 Rahardjo M. Dawami, Escience Economic Politik. (Jakarta : LP3S, 1983), hal. 40. 277 Sanit, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan. (Yogyakarta : Aditya Media, 1990), hal. 193.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
163
masyarakat yang telah 'diciptakan' pemerintah. Jika peran serta masyarakat bersinggungan dengan kekuasaan, persoalannya akan menjadi apa yang oleh beberapa pakar disinyalir sebagai “jika nilai peran serta masyarakat adalah sebagai alat perubahan sosial dan menciptakan kesejajaran dalam politik, maka bisa saja partisipasi akan banyak mendapat tantangan dan kecurigaan dari pemegang kekuasaan”. 278 Dengan demikian, upaya pemberdayaan peran serta masyarakat yang tidak didukung oleh kemauan politik yang sungguh-sungguh dan nyata dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat, akan mengakibatkan upaya pelibatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan akan menjadi sia-sia. Permasalahan lain menyangkut peran serta masyarakat adalah mengenai aspek transparansi dan aspek akses atas informasi yang ternyata menjadi permasalahan dalam memberdayakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. Kekurangan mendasar dari segenap peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
di
Indonesia
menyangkut
pemberdayaan peran serta masyarakat adalah adalah tidak disebutkannya bagaimana masyarakat mempunyai akses atas informasi-informasi mengenai pengelolaan hutan yang seyogyanya patut diketahui umum, yang juga diimbangi kurangnya transparansi
278
Ibid..
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
164
dari pemerintah daerah mengenai kebijakan dan implementasi pengelolaan hutan yang dilakukannya. 279 Berdasarkan refleksi terhadap sejumlah pasal dalam peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, ternyata peluang bagi pengabaian keterlibatan masyarakat nampak sama kuatnya dengan peluang untuk menyertakan masyarakat. 280 Terdapat banyak rumusan peran serta masyarakat yang masih mengambang atau dipasrahi pada peraturan pelaksana yang sering kali tidak kunjung datang. Tak dapat dihindari kesan terlalu legalitas dan “kosmetik” dari peraturanperaturan itu, yang hanya ada di permukaan tanpa menyentuh makna peran serta itu sendiri. Seperti syarat-syarat demi efektifnya suatu peran serta masyarakat yang diuraikan Hardjasoemantri tentang bagaimana mekanisme informasi itu agar tepat waktu, lengkap dan menyeluruh, serta mudah dipahami, dan yang lebih hakiki mekanisme sampai sejauh mana hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan itu diakui. 281
Nampaknya apa yang disinyalir Arnstein bahwa makna partisipasi akan
mudah tergelincir menjadi empty ritual (upacara semu) telah menggejala dalam peraturan-peraturan kita. Seharusnya ketentuan UUPLH mengenai makna peran serta yang termuat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, haruslah lebih dipertegas dalam peraturan-peraturan lingkungan, khususnya dalam peraturan
279
Misalnya, laporan Bapedal kepada Presiden mengenai Amdal sepatutnya wajib hukumnya untuk disebarkan kepada masyarakat dengan mekanisme yang jelas, seperti lewat jurnal khusus untuk itu atau lewat media masa. Pasal 22 PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dengan tegas menyatakan keterbukaan informasi bagi seluruh dokumen AMDAL. Lihat, Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.27. 280 Sanit, op.cit., hal. 205. 281 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hal. 67.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
165
perundang-undangan mengenai kehutanan, karena makna dan prosedur peran serta masyarakat yang termuat dalam pasal 6 UUPLH 282 belum terformulasi secara jelas dan tegas.
282
Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menegaskan kewajiban setiap orang dan pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat dirumuskan kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Pengelolaan pelestarian fungsi hutan di Daerah belum diatur sesuai dengan kaidah dan kebutuhan otonomi daerah. Kewenangan dan urusan pelestarian fungsi hutan yang didelegasikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah cenderung hanya bersifat support-administratif bukan teknis-operasional dan tidak disertai pengalokasian anggaran dalam jumlah memadai sehingga Pemerintah Daerah hingga saat ini belum mampu melaksanakan pelestarian fungsi fungsi hutan secara efektif. 2. Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat telah berupaya melaksanakan pengelolaan pelestarian hutan walaupun dengan kewenangan yang sangat terbatas meliputi : a. Reboisasi dan penghutanan kembali areal hutan yang rusak guna mengembalikan fungsinya. b. Pencegahan dan pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. c. Pengendalian konversi kawasan hutan dan lahan untuk kegiatan non kehutanan. d. Pengembangan sistem pengawasan hutan dan lahan serta penegakan hukum yang konsisten. 166 Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
167
e. Penyelenggaraan dan pengendalian peredaran hasil hutan lintas kabupaten dan distribusi dokumen Tata Usaha Karya (TUK) serta Tata Usaha Iuran Kehutanan. f. Pemetaan areal rawan gangguan keamanan hutan (illegal logging) pada tahun 2005 untuk mendapatkan data dan informasi keberadaan areal hutan yang dirambah atau rawan terhadap pencurian kayu dalam rangka proses pengukuhan kawasan hutan dan guna mengatasi maraknya kegiatan illegal logging. g. Penyadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap pembangunan kehutanan. Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka diajukan saran dalam rangka optimalisasi pelestarian fungsi hutan khususnya di Kabupaten Pakpak Bharat sebagai berikut : 1. Pemerintah pusat perlu segera melaksanakan deregulasi atau pengaturan kembali sistim pengelolaan pelestarian fungsi hutan di daerah dan berupaya melimpahkan lebih banyak kewenangan serta mengalokasikan anggaran kepada daerah untuk mengoptimalkan pelaksanaan pelestarian fungsi hutan; 2. Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat yang perlu segera mengadakan pembenahan manajemen pengelolaan pelestarian fungsi hutan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
168
a. Merencanakan dan melaksanakan program pelestarian fungsi hutan daerah dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan titik berat pada upaya reboisasi dan konservasi sumber daya hutan; b. Melaksanakan penggalangan partisipasi masyarakat agar ikut serta mendukung program pelestarian fungsi hutan; c. Membuka akses informasi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan pelestarian fungsi hutan seluas-luasnya kepada publik d. Melakukan koordinasi pemantapan tapal batas kawasan hutan dengan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat; 3. Pemerintah
Pusat
perlu
segera
merevisi
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutananan Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penetapan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Sumatera Utara; 4. Pemerintah pusat perlu mengkaji kemungkinan pengalihan fungsi sebahagian kawasan hutan di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat untuk dimanfaatkan sebagai lahan produktif dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: Abdullah, Rozali (I). Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Abdullah, Rozali (II). Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Absori. Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000. Akbar, Faisal. Dimensi Hukum dalam Pemerintahan Daerah, Kajian Kritis atas UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003. Ali, Chaidir, Badan Hukum. Bandung: Alumni, 1987. Amsyari, Fuad. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Arifin, Syamsul (II). Tata Pengaturan Hukum Pencemaran Laut di Lingkungan ASEAN. Medan: Fakultas Hukum USU, 1984. Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Azwar. Sikap Manusia Teori dalam Penyuluhannya. Jakarta : Liberty, 1988. Bates, R. Market and State in Tropical Africa. California: University of California Press, Berkeley CA, 1981. Bawengan, Gerson W., 1973, Pengantar Psikologi Kriminil, Jakarta, Pradnya Paramita. Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Claude, Ake, A Theory of Political Integration, Illionis: The Dorsey Press Homewood, 1976. Dahama, Pendidikan Komunikasi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980. Damanik, Anwar J., S.J. dkk., Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984. Danusaputro, Munadjat (I). Hukum Lingkungan II Nasional. Bandung: Bina Cipta, 1981. Danusaputro, Munadjat (II). Hukum Lingkungan, Buku V. Bandung: Bina Cipta, 1986. Dawam, Rahardjo M. Escience Economic Politik. Jakarta: LP3ES, 1983. Direktorat Jenderal kehutanan, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan. Jakarta: Pemegang HPH, 1995. Djojo, Soeradisastra. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kurnia UT, 1986. Feith, Herbeth. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1968. Gradwohl J. Menyelamatkan Hutan Tropika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991. Hamdan. Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup. Bandung: Mandar Maju, 2000. Hant. L., Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi tentang Masyarakat. Jakarta: Bina Aksara,1990. Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, edisi ketujuh. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001. Hidayat, Syarif, Refleksi Realitas Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Pustaka Quantum, 2004. HS, Salim. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Huda, Ni’matul. Ekonmi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Ida, Laode. Otonomi Daerah,, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Jakarta: PSPK, 2000. Kaloh, J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jilid I, Edisi Kedua, Cet. Ke-8, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet Pembangunan. Jakarta : Gramedia, 1980. Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Pidana Lingkungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Kusumaatmaja, Mochtar, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta, 1976. Lotulung, Paulus Effendi, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Lubis, M. Solly (I), Pemerintahan Daerah, Bahan Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002. Lubis, M. Solly (II). Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintahan Daerah. Bandung: Alumni, 1978. Lubis, M. Solly (III). Politik Hukum di Era Reformasi. Bandung: Mandar Maju, 2000. Lubis, M. Solly (IV). Serba-serbi Politik dan Hukum. Bandung: Mandar Maju, 1989 Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam, Peranan dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997. Manan, Bagir (I). Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Manan, Bagir (II). Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, 2002.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Marsono. Himpunan Peraturan Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Djambatan, 2005. Mubyarto. Strategi Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Masyarakat Pedesan dan Kawasan, Universitas Gajah Mada, 1990. Muladi dan Dwidja Prijatna, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1987. Nasution, M.Arif dkk. Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju, 2005. Nugroho D, Riant. Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002. Pamulardi, Bambang. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Pide, Andi Mustari, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Purbacaraka, Purnadi. Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1997. Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni, 1983. Rangkuti, Siti Sundari. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press, 1996. Rasyid, Ryaas (I). Desentralisasi Dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 1999. Rebsohadiprojo, Soekanto, (et.al). Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: BPFE, 1990. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010”, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat, Salak, 2005.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Resosudarmo, Ida Ayu Pradnya dan Colfer, Carol J. Pierce. Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Salim, Emil. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara, 1979. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Sastropoetro. Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembagunan Nasional. Bandung: Alumni 1988. Simanjuntak, B., Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Bandung: Tarsito, 1981,. Siregar, Mahmul. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005. Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cet, ke-7. Jakarta: Grafindo, 1994.
Raja
Soemarwoto, Otto (I). Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990. Soemarwoto, Otto (II). Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001. Soeriaatmadja, R.E. Ilmu Lingkungan. Bandung: ITB, 1997. Subagyo, Joko, 2002, Hukum Lingkungan Masalah dan Penggulangannya, Jakarta, Renika Cipta. Sugiarto dan Ekariyono, Willy. Penghijauan Pantai. Jakarta: Penebar Swadaya, 1996. Sujono. Kejahatan dan Penegakan hukum di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 1996. Sumarni, Murti dan Jhon Suprihanto, Pengantar Bisnis, Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: Liberty, 1987. Sunggono, Bambang, Penelitian Hukum: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta : BPEF, 1995. Suparni, Niniek, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika, 1992. Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995. Suwarsono, Analisis Lingkungan Bisnis Negara Berkembang. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993. Syahbuddin, Achmad. Pembangunan Administrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2000. Syahrin, Alvi. Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Tjager, I Nyoman, Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan bagi Komisaris Bisnis Indonesia. Jakarta: PT Prehallindo, 2003. Tunggal, Hadi Setia, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Harvarindo, 2002. Wibawa, Samodra, Negara-negara Nusantara. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001. Widarta, I. Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. Widjaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia, 2003. Wijaya, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press, 1999. Wijoyo, Delik Lingkungan Dalam UULH. Jakarta : PT Media Interaksi Utama, 1997. WIM, Info Sheet. Pengelolaan Hutan Partisipatif. Medan: WIM, Yayasan Sintesa dan Puskap USU, 1997.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Zain, Alam Setia. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Artikel, Jurnal dan Karya Ilmiah: Arifin, Syamsul (I). Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pendidikan, disampaikan pada Stadium General (Pembukaan Kuliah) Sekolah Tinggi Agama Islam AlIshlahiyah Binjai Tahun Akademi 2004-2005, Binjai, 22 September 2004. Arifin, Syamsul, (III), Penegakan Hukum Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan. Diucapkan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum USU, Medan, 5 Pebruari 2000. Arifin, Syamsul, (IV) Penegakan Hukum Lingkungan. Materi Penataran Hukum Lingkungan Pada Tanggal 22-23 Desember 1997, Pusat Penelitian USU, Medan. Bahan Rapat dengar pendapat Komisi II DPRD Propinsi Sumatera Utara dengan Gubernur Sumatera Utara, Kapolda Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Medan Maret 2002. HR, Syaukani. Pelaksanaan Desentralisasi di Bidang Kehutanan Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Lestari di Kabupaten Kutai Kertanegara, Analisis CSIS. Jakarta, No.2 Tahun XX/2001. Mallarangeng, Andi Alfian. Pemerintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.86, 2000. Nasution, Bismar. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, makalah pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003. Nasution, Bismar, “Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan”, Makalah, Seminar Pemberantasaan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Dilaksanakan Kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana USU dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Pada Tanggal 6 Mei 2004 di USU Medan.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Pratikno, Dukungan Konstitusi terhadap Otonomi Daerah di Indonesia, makalah pada Konferensi Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia. Jakarta: International Idea, 2001. Soekirman, Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Makalah Pengantar Diskusi Panel Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan di Tapanuli Selatan. Medan : Garuda Plaza 11 APRIL 2003. Suprana, Nana, Pengusahaan Hutan di Era Otonomi Daerah, Analisis CSIS. Jakarta, No.2 Tahun XX/2001. Rasyid, Ryaas (II). Pemerintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.85, 2000.
Peraturan Perundang-undangan: UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UndangUndang
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2004 mengenai Pemberantasan Illegal Logging Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Februari 2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (RENSTRAKL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009 Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota Khususnya di Bidang Kehutanan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 44/Menhut II/2005 tanggal 16 Februari 2005 mengenai Peta Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 201 Tahun 2006 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Instruksi Kerja Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Sumatera Utara tentang Pemetaan Areal Rawan Gangguan Keamanan Hutan (Illegal Logging) di Provinsi Sumatera Utara, tertanggal 3 Oktober 2005.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
Lampiran : HASIL WAWANCARA A. Dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Bapak Ir. Sujarwo di Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Pakpak Bharat, Tanggal 15 Juni 2007 1. Bagaimana kewenangan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam pengelolaan pelestarian hutan dalam kerangka otonomi daerah di bidang kehutanan? Jawab: Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat terutama mempunyai kewenangan dalam ruang lingkup operasional dalam pengelolaan pelestarian hutan, sementara kewenangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan kehutanan masih merupakan pelaksanaan operasional terhadap kebijakan pemerintah pusat di sektor kehutanan. Hal ini disebabkan desentralisasi kehutanan secara otonom kepada pemerintah daerah belum terlaksana sebagaimana diamanhkan oleh UU Pemerintahan Daerah dan UU Kehutanan. Begitu pun, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat senantiasa berupaya semaksimal mungkin menyelenggarakan pengelolaan pelestarian hutan secara berhasil dan berkesinambungan. 2. Bagaimana kebijakan kehutanan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam pengelolaan pelestarian hutan di daerahnya? Jawab: Arah pembangunan bidang kehutanan di Kabupaten Pakpak Bharat telah tersusun secara integral di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2006-2010. Pembangunan sektor kehutanan diarahkan untuk menjaga dan memelihara fungsi hutan sebagai ekosistem yang kondusif bagi kelangsungan hidup masyarakat dan pembangunan. Sumber daya alam hayati dan non hayati berperan untuk meningkatkan fungsi tanah, air, iklim, udara dan lingkungan hidup agar dapat memberi manfaat sebesarbesarnya bagi masyarakat, serta sekaligus untuk mentertibkan dan
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
2
meningkatkan kelancaran tataniaga kayu dan hasil hutan lainnya. Kebijakan kehutanan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah berdasarkan RPJM tersebut adalah sebagai berikut: a. Melakukan reboisasi dan penghutanan kembali areal hutan yang rusak guna mengembalikan fungsinya. b. Meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. c. Meningkatkan pengendalian konversi kawasan hutan dan lahan untuk kegiatan non kehutanan. d. Pengembangan sistem pengawasan hutan dan lahan serta penegakan hukum yang konsisten. e. Menata penyelenggaraan dan pengendalian peredaran hasil hutan lintas kabupaten dan distribusi dokumen Tata Usaha Karya (TUK) serta Tata Usaha Iuran Kehutanan. f. Melaksanakan pemetaan areal rawan gangguan keamanan hutan (illegal logging) pada tahun 2005 untuk mendapatkan data dan informasi keberadaan areal hutan yang dirambah atau rawan terhadap pencurian kayu dalam rangka proses pengukuhan kawasan hutan dan guna mengatasi maraknya kegiatan illegal logging. g. Melakukan kegiatan penyadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap pembangunan kehutanan. Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat telah berupaya semaksimal mungkin untuk merealisasikan seluruh kebijakan tersebut untuk mewujudkan pelestarian hutan dan menyahuti kepentingan masyarakat. 3. Apa yang menjadi permasalahan utama penyelenggaraan pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat? Jawab: Illegal logging merupakan permasalahan utama dalam penyelenggaraan pengelolaan pelestarian hutan di Kabupaten Pakpak Bharat yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan. Illegal logging di Kabupaten Pakpak Bharat sering terjadi akibat kurangnya sarana, prasarana dan personil polisi hutan (polhut) dalam menjaga areal hutan.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
3
Illegal logging merupakan perbuatan yang paling dominan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai kawasan hutan di kawasan Kabupaten Pakpak Bharat. Disamping itu, konversi kawasan hutan menjadi lahan non kehutanan juga masih sulit diselesaikan, karena banyak perusahaan yang memperoleh izin dari pemerintah pusat yang nota bene bukan merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk mencabutnya. 4. Apa upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dalam pemberantasan illegal logging? Jawab: Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat telah banyak melaksanakan upaya untuk memberantas illegal logging, misalnya dengan meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penebangan liar dan menata penyelenggaraan dan pengendalian peredaran hasil hutan lintas kabupaten dan distribusi dokumen Tata Usaha Karya (TUK) serta Tata Usaha Iuran Kehutanan. Terakhir, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2005 telah melakukan kegiatan pemetaan areal rawan gangguan keamanan hutan (illegal logging) untuk mendapatkan data dan informasi keberadaan areal hutan yang dirambah. Dengan pelaksanaan upaya-upaya tersebut, diharapkan terwujud tindakan melindungi hutan dari gangguan aktivitas masyarakat yang tidak sah dan tidak bertanggung jawab dan melaksanakan tertib pengelolaan hutan yang memenuhi asas lestari sesuai ketentuan dan peraturan di bidang kehutanan. 5. Bagaimana tindakan hukum yang telah dilakukan terhadap pelaku illegal logging di Kabupaten Pakpak Bharat? Jawab: Pihak Dinas Kehutanan memang senantiasa mengawasi dan menindak pelaku illegal logging dan kemudian meneruskannya kepada pihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Akan tetapi, penegakan hukum terhadap pelaku ilegal logging yang terjadi selama ini sangat lemah. Pihak kepolisian kurang efektif melaksanakan fungsi
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.
4
pengamanan yang dimilikinya dalam menindak pelaku illegal logging secara tegas dan memberikan efek jera. 6. Apakah masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat berperan serta dalam pelestarian hutan di lingkungannya? Jawab: Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan di sekitar kawasan hutan masih sangat rendah. Hal ini disebabkan masyarakat belum memahami dan menyadari hak dan kewajibannya dalam pengelolaan pelestarian hutan, dan masih menganggap pengelolaan pelestarian hutan merupakan kewiban pemerintah semata. Padahal masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan sepatutnya bertanggungjawab mengamankan, menjaga dan memelihara kelestarian hutan, sehingga kerusakan hutan yang selama ini sering terjadi dapat dihindarkan, sekaligus mengurangi terjadinya illegal logging. 7. Kebijakan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat untuk meningkatkan peran serta masyarakat guna memberhasilkan kebijakan pengelolaan pelestarian hutan? Jawab: Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat senantiasa berupaya memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk berperan serta aktif dalam memelihara kelestarian hutan, misalnya turut berupaya mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan sebagai tindakan preventif.
Tumpak Banuarea : Pengelolaan Pelestarian Fungsi Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat. USU e-Repository © 2008.