september - oktober 2008
buletin
Penataan Ruang sebagai Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya percaya, akan menghindari bias-bias para planner dan elit politik dalam proses perencanaan. Proses partisipatoris juga akan menciptakan kontrol publik, sehingga kota atau daerah bisa menjelma menjadi milik warga Kawasan Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans Jogja
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta Teknologi Wireles/Wifi
TRANS JAKARTA DAN PERANNYA BAGI PERBAIKAN ”URBAN GOVERNANCE”: Sebuah Kajian Kritis
Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di Jakarta SEGERA BANGUN JEMBATAN SELAT SUNDA Kerjasama antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur
BKTRN BADAN KOORDINASI TATA RUANG NASIONAL
Becak dan Kesahajaan Promosi Pariwisata Yogyakarta Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan Penataan Ruang untuk Mengatasi Masalah Pemukiman Liar di Sekitar Instalasi Militer Tanggung Jawab Perencanaan dalam Pembangunan Berbasis Penataan Ruang * buletin tata ruang
dari redaksi. Dalam edisi kelima penerbitan Buletin Tata Ruang, semangat kami tetap menyala untuk menyampaikan ide-ide atau tulisantulisan yang membahas penataan ruang dengan berbagai aspeknya. Kali ini yang ingin kami angkat adalah tema yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi wilayahwilayah dan kota-kota (baik metro, besar maupun sedang) di seantero Indonesia, yaitu permasahan transportasi. Kami ingin mengangkat isue yang kami nilai aktual menjadi tema penerbitan edisi ini, yaitu : “Penataan Ruang sebagai Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi”. Tentunya tema ini didasari pemikiran, bahwa penataan ruang dan manajemen transportasi adalah dua hal yang saling memiliki keterkaitan. Kaidah yang berlaku dalam penataan ruang adalah optimalisasi pemanfaatan ruang melalui antara lain penggunaan lahan yang optimal dan tertata sedemikian rupa. Pada sisi lain, tentunya manajemen transportasi tidaklah bisa dirumuskan dengan meminimalkan permasalahan yang mungkin timbul pada tataran implementasi di lapangan apabila tanpa memperhatikan rencana pemanfaatan ruang yang ada. Pembaca yang budiman, Kami menyadari tidaklah mudah merancang manajemen transportasi dengan memperhatikan sebesar-besarnya kaidah dan rencana tata ruang yang ada. Salah satu kendala tentunya adalah kekuatan pasar yang kadang-kadang menjadi pertimbangan utama, katakanlah misalnya dalam penentuan trayek atau jalur angkutan massal perkotaan. Oleh karena itu, harus ada pemahaman yang benar mengenai penataan ruang yang harus dibarengi dengan kerja keras, dan upayaupaya yang tiada henti, termasuk upaya menyebarluaskan tulisan-tulisan yang merupakan buah pemikiran para pakar dan praktisi bidang penataan ruang, dan bidang transportasi tentunya. Semua yang kami sampaikan dimaksudkan juga untuk membuka kesadaran kita semua mengenai betapa pentingnya penataan ruang di dalam mendukung manajemen transportasi. Tulisan-tulisan yang kami angkat untuk dipublikasikan dalam edisi ini adalah buah karya para akademisi, praktisi, dan pemerhati transportasi. Semuanya kita arahkan untuk mendukung tema yang kami pilih. Tokoh yang kami pilih adalah figur tokoh yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah sosial-ekonomi, termasuk pertanahan, yaitu DR.Ir. Hetifah, MPP. Profil wilayah, kami sengaja mengedepankan Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dan dukungan sistem transportasi masal perkotaan Trans Jogja. Di sana kita bisa melihat saling keterkaitan antara penataan ruang dengan manajemen transportasi yang saling mengisi dan saling terpadu. Untuk itulah, pada kesempatan yang baik ini, Dewan Redaksi Buletin Tata Ruang mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang memiliki kontribusi nyata dalam penyiapan Buletin Tata Ruang edisi ini. Pada akhirnya, kami berharap tulisan-tulisan yang kami sajikan dapat memperluas horison pemikiran kita semua. Terimakasih dan selamat membaca.
sekapur sirih. Rasa syukur yang mendalam mengiringi penerbitan Buletin Tata Ruang edisi September-Oktober 2008 ini, karena hanya atas izin-Nya, kami masih diberi kesempatan melanjutkan penerbitan Buletin Tata Ruang ini. Untuk itu, selayaknya kita panjatkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya. Dalam khasanah penataan ruang, kata kunci yang sangat penting dalam pengembangan sebuah pusat pertumbuhan, adalah aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas sebuah pusat pertumbuhan sangat menentukan efektivitas fungsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pada dasarnya, pusat pertumbuhan memainkan peranan penting karena adanya daya pengungkit (leverage) dalam mendorong kegiatan ekonomi di daerahdaerah yang berada didalam radius pengaruh dari pusat pertumbuhan tersebut. Pada sisi lainnya, tingkat aksesibilitas yang tinggi yang antara lain dicirikan adanya kelengkapan jaringan infrastruktur yang memadai dan handal, menjadi daya tarik untuk berinvestasi bagi investor domestik dan asing. Namun harus pula diperhatikan bahwa pembangunan jaringan infrastruktur seyogyanya memperhatikan rencana tata ruang di wilayah yang bersangkutan. Bahkan pada tataran yang lebih teknis, penataan ruang semestinya telah dijadikan sebagai dasar di dalam upaya pengembangan manajemen transportasi. Penentuan trayek, jenis alat transportasi dan prasarana idealnya didasarkan atas keberadaan pusatpusat pertumbuhan/pusat kegiatan ekonomi, pusat-pusat permukiman, kawasan penghasil bahan baku, pusat-pusat produksi/pemasaran, yang semuanya seharusnya tergambar dalam rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan, termasuk pula memperhatikan kecenderungan-kecenderungan perkembangan suatu kawasan. Oleh karena itu, pemilihan tema pada edisi kelima ini, yaitu “Penataan Ruang sebagai Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi” memiliki relevansi yang kuat dengan upaya pembenahan sistem transportasi dan upaya untuk mengembangkan wilayah yang tengah dilaksanakan. Beberapa contoh, antara lain : upaya pembenahan sistem transportasi DKI Jakarta melalui pembangunan jaringan busway, Yogyakarta, Depok, dan kota-kota lainnya, serta pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungan Surabaya dengan Pulau Madura, Jalur Jalan Lintas Selatan yang melintasi kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai upaya menyeimbangkan pertumbuhan utara-selatan. Dalam contoh-contoh tersebut, rencana tata ruang sekurang-kurangnya harus mampu memberikan gambaran kawasan yang akan dilewati jaringan transportasi menyangkut kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan fisik-lingkungan, serta kecenderungan pertumbuhannya berdasar potensi dan kendala yang dimiliki masing-masing kawasan, sehingga penyelenggaraan penataan ruang dan pesan-pesan yang akan disampaikan melalui rencana tata ruang dapat terwujud. Harapan kami, ketika rencana tata ruang telah menjadi dasar pengembangan manajemen transportasi, rencana tata ruang telah memenuhi standar untuk diacu sekaligus telah mampu memberikan gambaran kondisi-kondisi ke depan dengan dikembangkannya sistem transportasi di suatu wilayah. Direktur Jenderal Penataan Ruang-Departemen Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Teknis BKTRN
Imam S. Ernawi
buletin tata ruang *
profil tokoh.
Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD
02
Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya percaya, akan menghindari bias-bias para planner dan elit politik dalam proses perencanaan. Proses partisipatoris juga akan menciptakan kontrol publik, sehingga kota atau daerah bisa menjelma menjadi milik warga
profil wilayah. Kawasan Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans Jogja
06
Pelindung: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc., DR. Ir. Bambang Susantono, MCP, MSCE., Ir. Max A. Pohan., Ir. Hermian Roosita., Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM. l Penanggung Jawab: Ir. Iman Soedradjat, MPM., Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc., Ir. Bambang Setiabudi, MURP., Drs. Sofjan Bakar, M.Sc., Ir. Budi Santoso, Dipl. HE. l Penasehat Redaksi: DR. Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng., Ir. Iwan Taruna Isa, MURP., Ir. Ferryanto Djais, MMA., Ir. Harry Djauhari, CES. l Pemimpin Redaksi: Ir. Maman Djumantri, M. Si., l Wakil Pemimpin Redaksi: Ir. Soerono, MT l Redaktur Pelaksana: Agus Sutanto, ST, M.Sc l Sekretaris Redaksi: Rahma Julianti, ST, M.Sc l Staf Redaksi: Ir. Nana Apriatna, MT., Ir. Salusra Widya, MA., DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM., Ir. Gunawan, MA., Ir. Laksmi Wijayanti, MCP., Endra Saleh Atmawidjaya, ST, MSc, DEA., Hetty Debbie R., ST., Tessie Krisnaningtyas, SP., Dian Zuchraeni Ekasari H., ST l Koordinasi Produksi: Aron Nugraha, SH l Staf Produksi: Endang Artati, S.Sos l Koordinasi Sirkulasi: Supriyono, S.Sos l Staf Sirkulasi: Dhyan Purwati, S.Kom., Alwirdan, BE l Desainer Grafis: Achmad Fadillah, S.Sn l Penerbit: Sekretariat Tim Teknis BKTRN l Alamat Redaksi: Gedung G II, Jalan Pattimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta 12110 l Telp. (021) 7226577 l Fax: (021) 7226577 l website BKTRN: http://www.bktrn.org l Email:
[email protected] dan
[email protected]
pengembangan profesi.
Oleh: Agus Sutanto, ST., M.Sc. Anggota Bidang Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencanaan – IAP
September-Oktober 2008
34
topik utama.
13
TRANS JAKARTA DAN PERANNYA BAGI PERBAIKAN ”URBAN GOVERNANCE”: Sebuah Kajian Kritis
Oleh : Danang Parikesit Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada (dparikesit.staff.ugm.ac.id), Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dan Chairman The International Forum for Rural Transport and Development (www.ifrtd.org)
15 21
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta Oleh: DR. Bambang Susantono Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di Jakarta Oleh : Darmaningtyas (Tim Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia)
26
SEGERA BANGUN JEMBATAN SELAT SUNDA
oleh: Dr. Ir. I.F. Poernomosidhi Poerwo, M.Sc, MCIT, MIHT
Tenaga Ahli Fungsional Ditjen Penataan Ruang Departemen PU
topik lain.
32 41
Tanggung Jawab Perencanaan dalam Pembangunan Berbasis Penataan Ruang
agenda kerja BKTRN.
daftar isi.
35
Kerjasama antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur
oleh: Sekretaris Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek
Becak dan Kesahajaan Promosi Pariwisata Yogyakarta
Oleh : Ir. Bambang Suwarmintarta Ka. Bid. Pengembangan Kepariwisataan Baparda DIY
37 39
Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan
Laporan dari Mataram Nusa Tenggara Barat RAPAT KERJA BKPRD SE INDONESIA oleh: Sekretariat Tim Teknis BKTRN
* buletin tata ruang
prof il tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD Planner yang Aktifis Politik
Pengantar Redaksi: Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD, biasa dipanggil Hetifah saja, menyelesaikan pendidikan keahlian pada bidang Perencanaan Kota dan Wilayah di Institut Teknologi Bandung, kemudian melanjutkan studi Master in Public Policy pada National University of Singapore, dan meraih gelar PhD dari School of Politics and International Relations, Flinders University Adelaide Australia atas dukungan beasiswa dari Ford Foundation. Bersuamikan Ir. Siswanda Harso Sumarto, MPM dan telah dikaruniai empat orang Puteri, Amirah Kaca (Mahasiswa), Amanda Kistilensa (SMA), Asanilta Fahda (SMP), dan Nahla Tetrimulya (SD). Hetifah adalah seorang aktivis. Semasa kuliah, pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Planologi ITB (19851986). Sekarang Ketua Alumni Planologi ITB dan sehari-hari bergelut mengadvokasikan reformasi tata pemerintahan dalam jabatannya sebagai Direktur Eksekutif Bandung Trust Advisory Group (B-Trust). Hetifah menjalankan karirnya di LSM sejak tahun 1992, dengan mendirikan AKATIGA, Partnership on Local Governance Initiative (IPGI) atau saat ini disebut “Inisiatif”, kemudian jaringan organisasi masyarakat sipil Sarasehan Warga Bandung (Sawarung). Hetifah banyak terlibat dalam proses advokasi dan legal drafting berbagai peraturan daerah maupun peraturan di tingkat pusat seperti Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, maupun Undang-Undang, antara lain revisi UndangUndang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berbagai lembaga internasional, antara lain CIDA, GTZ, TAF, USAID, Ford, AusAID, dll., pernah mempercayakan Hetifah sebagai konsultan, peneliti dan fasilitator mereka untuk mendorong reformasi tata pemerintahan di daerah. Hetifah menulis beberapa buku, antara lain, “Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia” (Penerbit Obor). Tahun 2008 lalu mencoba mencalonkan diri sebagai Walikota Bandung dengan „100 Program“-nya (lihat: hetifah.com). Berikut wawancara eksklusif Bulletin Tata Ruang (BUTARU) dengan Hetifah Siswanda (HS). BUTARU: Sebagai seorang planner, Anda memfokuskan perhatian pada participatory planning, mengapa? HS:
Realitas saat ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang terkait dengan sumber daya publik umumnya tidak melibatkan komunitas secara langsung. Keputusan biasanya dibuat oleh sekelompok kecil orang yang tidak jarang memiliki kepentingan yang sempit. Tidak mengherankan jika pengambil keputusan tentang sumber daya publik seperti ruang kota seringkali justru adalah para pelaku bisnis. Saya berkeyakinan kewajiban planner-lah untuk memberi kesempatan kepada komunitas yang berbasis lokalitas maupun kelompok sektoral, untuk bisa membaca permasalahan yang mereka hadapi, memutuskan secara demokratis apa yang mereka perlukan, dan memberikan kepastian bahwa apa yang mereka putuskan bisa dilakukan. Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya percaya, akan menghindari bias-bias para planner dan elit politik dalam proses perencanaan. Proses partisipatoris juga akan menciptakan kontrol publik, sehingga kota atau daerah bisa menjelma menjadi milik warga.
BUTARU: Apa pengertian participatory planning menurut Anda? HS:
buletin tata ruang *
Pengertian yang saya pahami tentang participatory planning adalah suatu kesepakatan tentang masa depan yang diinginkan, yang dirumuskan melalui suatu proses deliberatif dan konsensus bersama, bukan semata atas pertimbangan teknokratis dan akademis. Karena kita semua memahami, inti dari perencanaan adalah mengelola perbedaan dan konflik tentang bagaimana sumber daya ruang maupun uang yang terbatas bisa dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Maka dari itu suara berbagai kelompok selayaknya diberi tempat.
prof il tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik
BUTARU: Ada pendapat, di era demokratis, planner yang sebenarnya adalah para pemangku kepentingan dan masyarakat menjadi pemeran utama, bukan sekedar pelengkap. Sementara profesional seperti Anda adalah fasilitator atau mediator. Apa pendapat Anda? HS:
Posisi sebagai fasilitator atau mediator justru adalah untuk membuka ruang bagi warga, khususnya mereka yang selama ini tidak bisa bersuara dan terpinggirkan, untuk bisa aktif dan menjadi pemeran utama dalam proses perencanaan. Sementara saya melihat profesi para planner saat ini cenderung menjadi fungsionaris pemerintah dan tidak jarang para planner terjebak ke dalam sistem birokrasi sehingga tidak mampu menjalankan perannya untuk menjembatani adanya partisipasi yang sehat.
BUTARU: Benarkah participatory planning belum menjadi perhatian di negara berkembang seperti Indonesia? Bagaimana kondisi participatory planning di Indonesia dan prospeknya di masa depan? HS:
Sesungguhnya participatory Planning sudah lama memperoleh perhatian di Indonesia, dan sudah cukup banyak kerangka hukum yang mengaturnya, utamanya pasca desentralisasi. Hanya saja, pada praktiknya participatory planning di Indonesia kurang efektif, dan cenderung tidak berkelanjutan. Namun dengan perkembangan politik yang lebih kondusif belakangan ini, saya yakin prospek participatory planning di Indonesia akan cerah, tentu dengan banyak upaya untuk mengawalnya.
BUTARU: Apakah lembaga pemerintah memberikan respon positif terhadap participatory planning process? Jika dipandang tidak memadai, di mana letak persoalannya? HS:
Partisipasi akan lebih berfungsi tidak semata ketika ada kebijakan yang mengaturnya, tapi manakala informasi maupun dukungan lain tersedia. Partisipasi juga akan lebih efektif ketika komunitas dan kelompok-kelompok warga mampu mengorganisir diri dan terus meningkatkan kompetensi maupun keterampilannya. Saat ini ketersediaan dan keterbukaan informasi masih menjadi masalah, demikian pula proses pembinaan dan peningkatan kapasitas warga masih sangat minimal. Yang diharapkan ke depan, partisipasi dalam perencanaan menjadi budaya yang terinternalisasi, lepas dari pendekatan proyek semata.
BUTARU: Participatory planning sangat fokus pada proses, tentu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sementara Anda menyebut birokrasi masih cenderung melihat perencanaan tata ruang sebagai proyek yang harus selesai sesuai tahun anggaran. Bagaimana “mempertemukan” dua cara pandang ini? HS:
Aspek manajemen dan administrasi program pemerintah yang berbasis proyek harus diakui menjadi salah satu hambatan besar dalam mendorong proses partisipatoris dalam perencanaan. Namun bukan tidak mungkin program-program partisipatoris dibuat menjadi program multi-years. Masalahnya, hambatan tidak hanya muncul dari sisi birokrasi, tetapi bisa juga dari anggota legislatif . Mereka perlu diyakinkan dan mendapatkan penjelasan yang cukup tentang pentingnya mendukung dan menyediakan anggaran yang memadai untuk program-program partisipatoris yang bersifat multi-years serupa ini.
Talkshow di salah satu stasiun Televisi
Dok: Suara Bumi Etam.Com * buletin tata ruang
prof il tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik
BUTARU: Sebagai profesional, menurut Anda apakah UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang sudah cukup mengakomodasi participatory planning approach? Apa yang menjadi tantangan dalam implementasinya? HS:
Sebetulnya Undang-undang Penataan Ruang yang baru ini cukup radikal dalam mengakomodir pendekatan partisipatif dalam perencanaan. Istilah “peran” masyarakat yang digunakan dalam Undangundang telah menggantikan istilan “peran serta” masyarakat dalam aturan yang lama. Ini mencerminkan adanya filosofi yang menekankan pentingnya keaktifan dan inisiatif masyarakat. Apalagi dalam Undangundang ini peran masyarakat terbuka di keseluruhan proses dari mulai pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, serta pengawasan penyelenggaraan penataan ruang. Tantangan terdekat adalah menyusun Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan bagi pelaksanaannya. Selain itu sosialisasi, deseminasi, dan penguatan kapasitas yang lebih intensif dan ekstensif kepada pemerintah daerah maupun organisasi civil society serta kelompok-kelompok peduli tata ruang sangat diperlukan, karena merekalah yang nantinya akan menjadi ujung tombak pelaksanaannya.
BUTARU: Umumnya masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, papan. Tentu tidak mudah untuk mengajak mereka “masuk ke dalam arus” participatory planning. Ada kiat khusus? HS:
Memang tidak mungkin mengajak semua orang masuk dalam arus participatory planning, yang penting adalah memberikan kesempatan kepada sebanyak mungkin orang untuk memiliki pengalaman terlibat, karena pengalaman adalah cara yang paling baik untuk meyakinkan masyarakat akan kegunaan berpartisipasi untuk menolong dan memperbaiki nasibnya sendiri. Kiat lain terletak pada aspek penguasaan metodologi dan teknik partisipasi. Berbagai teknik selayaknya dikembangkan sehingga partisipasi tetap bisa berlangsung tanpa harus mengorbankan terlalu banyak waktu dan tenaga.
BUTARU: Pernah merasa lelah atau bahkan putus asa dalam mendorong participatory planning di Indonesia? HS:
Mendorong participatory planning masih terus saya lakukan dengan perbaikan dan inovasi sehingga pendekatan ini menjadi lebih bisa diimplementasikan. Untuk menghindari kelelahan dan putus asa, hargai saja setiap small victory yang telah kita raih.
BUTARU: Untuk mendorong participatory planning di Indonesia, apa agenda besar Anda dalam waktu dekat ini? HS:
Agenda terdekat adalah mendorong Peraturan Pelaksanaan di tingkat nasional sebagai penjabaran proses partisipatoris dalam perencanaan di daerah, memberikan asistensi kepada beberapa daerah yang tertarik menerapkan dengan serius proses partisipatoris dalam perencanaan, menjadikannya best practice dan menyebarluaskan pengalaman tersebut ke daerah lainnya.
BUTARU: �������������������������������������������������������������������������� Siapa yang sangat diharapkan untuk mendukung agenda itu? Dalam bentuk apa? HS:
Dukungan utama yang diharapkan adalah adanya kemauan politik dari para pengambil keputusan di tingkat nasional, maupun di daerah (provinsi dan kabupaten kota). Beberapa organisasi civil society, asosiasi profesi bahkan para alumni dari jurusan planologi diharapkan dapat menginisiasi beberapa pilot program, dan pengalaman ini hendaknya didokumentasi dengan baik untuk menjadi bahan pembelajaran dalam rangka replikasi dan penyempurnaan aturan yang sudah ada.
BUTARU: ��������������������������������� Di tengah keterbatasan kapasitas pemerintah, upaya peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat tentu memerlukan dukungan dari organisasi non pemerintah. Menurut Anda, apakah dukungan ornop sudah memadai? HS:
buletin tata ruang *
Selama ini ada kepercayaan yang kuat bahwa peran pembinaan hanya menjadi tugas pemerintah bagi warganya. Padahal organisasi non-pemerintah juga bisa menjalankan peran ini. Artinya ornop bisa membantu pemerintah untuk memperkuat kapasitas masyarakat
prof il tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik
dan bahkan dalam beberapa kasus memperkuat aparat pemerintah sendiri. Efektif tidaknya dukungan ornop sangat tergantung pula pada keterbukaan pemerintah. Banyak aparat pemerintah yang masih menyepelekan kemampuan ornop atau bahkan alergi terhadap mereka. BUTARU: ��������������������������������������������������������������� Bagaimana cara terbaik untuk mengembangkan jejaring ornop yang concern terhadap upaya peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya ruang? HS:
Ada beberapa jaringan civil society yang sudah eksis dan memiliki kepedulian dalam isu partisipasi seperti partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran, hanya belum banyak yang bekerja spesifik dalam isu pengelolaan sumber daya ruang. Mereka sudah memiliki pangalaman hanya perlu mendapatkan tambahan pengetahuan dan kapasitas dalam memahami seluk beluk pengelolaan sumber daya ruang.
BUTARU: ����������������������������������������������������������������������������������������� Kesadaran akan pengelolaan sumber daya ruang yang baik, seharusnya ditanamkan sejak anakanak usia dini. Menurut ������������� Anda? HS:
Saya sepakat, karena generasi muda adalah komponen warga yang penting, dan adalah satu tanggung jawab planner untuk memberi landasan pengetahuan, kesadaran, dan ketrampilan kepada anak-anak usia dini. Planner bisa berbicara pada mereka, tentang apa itu komunitas, apa peran mereka sebagai warga, bagaimana mereka bisa terlibat dalam mempengaruhi lingkungan dimana mereka tinggal. Anakanak pun perlu diberi kesempatan untuk ikut bertanggung jawab sebagai warga yang aktif dan perhatian terhadap lingkungan sekitarnya. Selain menerbitkan manual-manual sederhana (kids guide), kesadaran ini bisa dibangun dengan menyisipkan materi dalam kurikulum studi sosial, bahasa, kesenian, ilmu alam, dll.
BUTARU: Bagaimana Anda mengembangkan kesadaran tersebut di keluarga Anda? HS:
Sebagai ibu dari empat anak, saya sering mengajak mereka untuk menelusuri dan mengenal lingkungan sekitar, juga membuka saluran komunikasi seluas-luasnya dengan anak-anak tentang berbagai hal yang terkait dengan tema-tema perkotaan sehari-hari seperti masalah sampah, pedagang kaki lima, transportasi, dll. Selain itu beri mereka dorongan untuk suka membaca, dan membandingkan kondisi kota dimana mereka tinggal dengan kota-kota lainnya dan mendiskusikan bersama mengapa kota lain bisa lebih baik atau lebih buruk dari kota di mana kami tinggal.
BUTARU: Setiap orang pasti punya mimpi terkait profesinya. Apa mimpi Anda? HS:
Menghapus konsep tradisional perencanaan tata ruang dan peran planner. Saya bermimpi setiap planner memulai kerja mereka dengan bertanya terlebih dahulu kepada warga. Tentu konsekuensinya warga pun perlu meningkatkan sensitivitas dan perhatiannya pada apa yang dirasakan orang lain tidak hanya pada kepentingan dirinya sendiri. Saya mendambakan para planner ke depan bukan lagi kelompok eksklusif yang tugasnya membuat aturan-aturan dan konsensus terbatas di ruang tertutup. Planner perlu memiliki pengaruh politik yang lebih besar sehingga apa yang dicita-citakan masyarakat akan terealisasikan melalui kerja dan pemikiran mereka. Tidak saja mereka menjadi lebih aktif berbicara melalui media yang bisa menjadi saluran edukasi yang efektif bagi publik. Terlebih lagi, para planner bisa menjadi pembela masyarakat apabila ditemui adanya praktik pelanggaran tata ruang yang merugikan publik. Dengan demikian melalui tangan para planner diharapkan ruang kota akan memberikan kebahagiaan pada dan dinikmati oleh semua warga, dari berbagai kelompok sosial, dari generasi sekarang maupun generasi berikutnya.
BUTARU: ������������������������������������������������������ Anda juga terjun dalam dunia politik praktis, mengapa? HS:
Sesungguhnya dalam mimpi saya tadi, seorang planner adalah advokat dan “politisi” sekaligus. Saya bukan saja punya keinginan, tetapi merasa berkewajiban terjun dalam dunia politik.
BUTARU: �������������������������������������������������������������������������������������� Seandainya Anda terpilih menjadi seorang pengambil keputusan kunci dalam pengembangan wilayah atau kota, sebagai walikota misalnya, perubahan apa yang akan Anda buat dalam proses perencanaan dan pembangunan? HS:
Jika saja saya berkesempatan menjadi walikota, saya akan mengubah praktik-praktik pemerintahan yang rigid, birokratis dan tidak responsif, dan akan menciptakan atmosfir kreatif di daerah. Karena saya yakin warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi, dan kreativitas adalah sumberdaya utama yang menentukan masa depan dan kemampuan kota atau daerah untuk beradaptasi dan membangun
* buletin tata ruang
prof il wilayah. oleh: Redaksi Butaru
Kawasan Aglomerasi Perkotaan
YOGYAKARTA dan Trans Jogja
I. LATAR BELAKANG Kota Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang ke wilayah sekitar yang kemudian beraglomerasi membentuk apa yang disebut sebagai Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) ataupun Greater Yogya. Bersama dengan pembangunan infrastruktur berupa koridor yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan, Kawasan APY menjadi core dan point development dalam konsep tata ruang wilayah Provinsi DIY. Perkembangan fisik Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) ditandai dengan semakin luas wilayah terbangunnya. Salah satu indikatornya adalah populasi penduduk telah mendekati angka 1.000.000 jiwa. Selain itu, mobilitas manusia serta aktivitas ekonomi masuk dan keluar dari pusat Kota Yogyakarta telah bertambah dengan terjadinya perubahan struktur pemanfaatan ruang desa-desa di sebagian wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul menjadi wilayah yang berciri kekotaan. Perencanaan tata ruang Kota Yogyakarta telah dimulai sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda ketika Ir. Thomas Karsten (1941) membuat perencanaan perluasan kota. Namun, perencanaan tata ruang kota tahun 1941 tersebut tidak dapat digunakan sebagai arahan pembangunan kota Yogyakarta yang saat ini telah merkembang menjadi wilayah aglomerasi karena perencanaan kala itu belum menyertakan muatan kebutuhan skala metropolitan. II. Lingkup Spasial Kawasan APY meliputi tiga kawasan yang secara administratif berada di wilayah yang berbeda. Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DI Yogyakarta No. 10 Tahun 2005, pada Pasal 41c, Kawasan APY mempunyai fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang mencakup wilayah kota Yogyakarta dan sebagian wilayah kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan di wilayah Kabupaten Bantul serta Kecamatan Depok, Ngemplak, Ngaglik, Mlati dan Gamping di wilayah Kabupaten Sleman. Wilayah ini merupakan wilayah pengembangan sistem pelayanan Kota Yogyakarta yang melayani kotakota Berbah, Kalasan, Prambanan, Pakem, Cangkringan, Sedayu serta Sentolo.
buletin tata ruang *
III. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN APY Strategi pengembangan tata ruang Kawasan APY dilakukan dengan pengendalian pemanfaatan ruang dan pengendalian perkembangan permukiman. Dalam hal ini, strategi yang akan diterapkan adalah sebagai berikut: 1) mengembangkan pemanfaatan ruang secara terpadu dengan pola pemanfaatan campuran di mana tema kawasan ditetapkan dengan kesesuaian pemanfaatan ruang di bawahnya; 2) mengembangkan Pusat Pelayanan Primer yang Baru di sepanjang arteri primer terutama di bagian selatan Kawasan APY; 3) mengembangkan sistem angkutan umum massal sebagai moda angkutan utama antar pusat-pusat kegiatan dan antar bagian-bagian kota; 4) mempertahankan dan mengembangkan RTH di setiap wilayah baik sebagai sarana kota maupun untuk keseimbangan ekologi kota; 5) mengembangkan dan mengoptimalkan penataan ruang berdasarkan blok kawasan. Dalam perspektif ekonomi, pembangunan tidak lain berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat lokal (indigenous people). Oleh karena itu, pengembangan Kawasan APY ini dapat diorientasikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada kapasitas atau keunggulan ekonomi lokal. Meski demikian, yang penting dalam menentukan tema-tema program pengelolaan, tidak hanya kegiatan ekonomi, melainkan juga potensi kemampuan lahan, kegiatan budidaya serta kecenderungan perkembangan
prof il wilayah. Kawasan �������������������������������������������������� Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans ����� Jogja
permukiman dan perkotaan. Tema pengembangan kawasan dapat ditetapkan sebagai berikut: a) Kawasan Permukiman; b) Kawasan Lindung Budaya, meliputi Kawasan Njeron Beteng, Kawasan Kota Baru, Kawasan Pakualaman serta Kawasan Kota Gede; c) Kawasan Pendidikan Tinggi, meliputi Kawasan UGM, UNY dan Kawasan pendidikan tinggi di Kecamatan Depok serta di Kecamatan Gamping yang meliputi Kampus UMY; d) Zona Industri dan Pergudangan; e) Bandara, yaitu Bandara Adisucipto; f ) Kawasan Perdagangan g) Kawasan Lindung Alam IV. ARAHAN PENYEBARAN PENDUDUK Perkembangan wilayah di Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) sudah pada tahap memerlukan arahan dan pengendalian terkait dengan pertumbuhan fisik lahan terbangun yang terlihat pesat di lapangan. Penyebaran penduduk yang tertinggi diarahkan pada pusat kota dan secara gradatif makin menurun ke bagian pinggiran kota. Arahan penyebaran penduduk di wilayah perencanaan dipilahkan atas penduduk yang berada di kawasan yang sudah berkembang, yaitu pada kawasan di pusat kota dan daerah pinggiran kota. Dalam hal ini, strategi yang
akan diterapkan adalah sebagai berikut: 1) Arah penyebaran meliputi area pusat kota dan area perkembangan baru di tepi kota. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk akan dialokasikan pada daerah-daerah kantong yang masih kosong di kawasan kota dan daerah pinggiran kota. Distribusi ini menimbang pula konservasi sistem air serta lahan produktif pertanian. 2) Prioritas penyebaran diutamakan di pusat kota, artinya diusahakan untuk meningkatkan kepadatan penduduk sampai batas yang layak, serta pengisian daerah kantong. Kepadatan sedang diterapkan pada daerah yang akan dikembangkan sebagai daerah pinggiran kota sebagai areal penopang kehidupan kota. Sedangkan kepadatan rendah pada daerah yang akan dikembangkan sebagai lahan pertanian. Pola pemanfaatan ruang wilayah Kawasan APY tidak diarahkan pada pola guna tunggal, melainkan pola guna campur dengan dominasi fungsi. Fungsi ��������������� dominan ditentukan dari amatan terhadap kegiatan eksisting yang dominan dalam kerangka yang telah ditentukan di atas. Fungsi tersebut merupakan fungsi yang ingin dilindungi serta didorong dari unit lahan tersebut. Dalam pemahaman tersebut, pola ruang Kawasan APY dibagi-bagi menjadi blok-blok yang fungsional dengan memperhatikan: 1. Sejarah pembentukan suatu kawasan untuk tetap mempertahankan citra secara keseluruhan;
Suasana di jalur pejalan kaki sisi timur Malioboro. Sejuk dan santai
* buletin tata ruang
prof il wilayah. Kawasan �������������������������������������������������� Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans ����� Jogja
2. Pelayanan eksisting dengan memberikan arahan apakah akan didorong ataupun dikendalikan; 3. Ketetapan dalam kawasan lindung seperti resapan air atau rawan bencana. V. SISTEM JARINGAN TRANSPORTASI Perkembangan kegiatan dan permukiman baru di beberapa lokasi telah meningkatkan beban lalu lintas yang relatif tinggi, terutama di sekitar Kawasan APY seperti di penggal jalan Kaliurang, jalan Monjali, jalan Godean, hingga mendekati kelebihan kapasitas (overcapacity). Sementara itu, terjadi juga peningkatan potensial di jalur yang menghubungkan jalan Magelang (sekitar simpul Tempel) yang menembus Kota Sleman bagian barat hingga ke jalan Wates (Moyudan). Prasarana ���������� transportasi yang dikembangkan meliputi sistem transportasi jalan raya (darat), kereta api dan udara. a) Jaringan Transportasi Jalan Berdasarkan arahan pembangunan jaringan jalan di Pulau Jawa-Bali, wilayah DIY akan dilewati oleh jalan Gelang Jawa Lintas Selatan dan Koridor Utara Selatan Jawa. Sebagai konsekuensi, beberapa jaringan jalan yang direncanakan akan berperan sebagai jalan arteri primer di masa mendatang yaitu YogyakartaWonosari, Yogyakarta-Wates-Bandung, YogyakartaSecang-Semarang dan Yogyakarta-Klaten-Surakarta. Jalan Arteri Primer : meliputi ruas jalan yang menghubungkan kota-kota: - Yogyakarta dengan Semarang, melalui Mlati, Sleman dan Tempel. - Yogyakarta dengan Surabaya, melalui Kalasan dan Prambanan - Yogyakarta dengan Bandung/Jakarta, melalui Gamping - Ringroad Kawasan APY di Depok, Mlati dan Gamping. Jalan Kolektor Primer: meliputi ruas jalan yang menghubungkan kota-kota: - Yogyakarta dengan Wonosari, melewati wilayah Berbah - Yogyakarta dengan Wates melalui Godean - Yogyakarta dengan Kaliurang, melalui Ngaglik dan Pakem.
VI. ARAHAN STRUKTUR RUANG WILAYAH Struktur Ruang dimaksudkan untuk menentukan sistem jenjang pelayanan yang dikaitkan dengan pusat-pusat pelayanan yang ada. Rencana struktur ruang di Kawasan APY pada dasarnya disusun berdasarkan pertimbangan yaitu 1) Aktivitas, berarti kegiatan penduduk dalam melakukan proses kegiatan termasuk didalamnya kondisi kependudukan (heterogenitas kegiatan usaha dan etnis, laju pertumbuhan penduduk, dan sebagainya) 2) Tahapan Pengembangan, menyangkut seberapa kebutuhan dari penduduk dan para pelaku pembangunan lainnya dalam mengembangkan Kawasan APY) 3) Kondisi Lingkungan, guna mengetahui kendalakendala alami dan buatan (preservasi dan konservasi) yang harus diperhitungkan. 4) Sehingga rencana pengembangan yang dilakukan tetap memperhatikan keserasian dan keselarasan lingkungan.
4) Sehingga rencana pengembangan yang dilak
Beberapa prinsip dasar pertimbangan penyusunan keserasian danKawasan keselaran Rencana struktur ruang APY,lingkungan. diantaranya : 1) Membatasi daerah perkotaan untuk tidak meluas dan Beberapa prinsip dasar pertimbangan pe tidak beraturan 2) ���������������������������������� Menjaga keberadaan kawasan lindung : ruang Kawasan APY, di antaranya 3) �������������������������������������������� Mengintegrasikan fungsi dan sistem kota-kota 1) Membatasi daerah perkotaan untukditidak 4) ��������������������������������������������� Mengantisipasi perkembangan kegiatan masameluas mendatang 2) Menjaga keberadaan kawasan lindung 5) ��������������������������������������� Mengurangi kepesatan perkembangan Kota Yogyakarta 3) Mengintegrasikan fungsi dan sistem kota-kota Secara skematik, prosesperkembangan pembentukan Kawasan 4) Mengantisipasi kegiatanAPY di masa dapat digambarkan sebagai beriku:
5) Mengurangi kepesatan perkembangan Kota Yogy
Tahap I
Secara skematik, proses pembentukan Kawa
beriku: dibangun tidak jauh dari Pusat - sebagai Kraton Yogyakarta Kerajaan Mataram Kotagede Tahap I - Pola memusat dengan Kraton sebagai inti
Jalan Malioboro
T
b) Jaringan Transportasi Kereta Api Berdasarkan arahan pembangunan jaringan transportasi rel kereta api di Pulau Jawa, wilayah DIY dilewati oleh jaringan jalan rel Gelang Jawa Lintas Selatan. c) Jaringan Transportasi Udara Pelabuhan udara yang ada di wilayah DIY berdasarkan arahan hirarki pelabuhan udara di Pulau Jawa-Bali diarahkan sebagai pusat penyebaran primer pada tahun 2010.
Kraton Yogyakarta Kota Gede Tahap II
buletin tata ruang *
Adishakti (1995) telah melihat pertumb
prof il wilayah. Kawasan �������������������������������������������������� Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans ����� Jogja
Tugu Yogyakarta
Becak melaju dengan tenang di Malioboro
* buletin tata ruang
prof il wilayah. Kawasan �������������������������������������������������� Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans ����� Jogja
PETA TRAYEK BUS TRANS JOGJA
Sumber :Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta
10 buletin tata ruang *
prof il wilayah. Kawasan �������������������������������������������������� Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans ����� Jogja
Tahap II Adishakti (1995) telah melihat pertumbuhan Kota Yogyakarta secara fisik dengan menggunakan metode morfologi perkotaan. Dalam studinya, Kota Yogyakarta tumbuh dalam periode-periode yang berbeda-beda yaitu kasultanan, kolonial dan kemerdekaan. Periodeperiode yang berbeda tersebut menghasilkan bentukan fisik kota serta arsitektural yang sesuai dengan konteks masanya. - Pola masih memusat dengan Kraton sebagai inti - Struktur kawasan inti semakin kuat dengan keberadaan stasiun yang dibangun oleh Belanda - Berdirinya Pakualaman - Luas wilayah semakin luas dengan sebaran perumahan kolonial di Kotabaru dan Bintaran
Tahap -
UGM
-
St. Tugu Kota Baru St. Lempuyangan Pakualaman
Kota Gede
Tahap I: IV - Tahap Pola masih memusat dengan Kraton inti akhir-akhir dapat dilihat Pertumbuhan Kotasebagai Yogyakarta Tahap IV - sebagai Struktur kawasan inti akibat dari munculnya investasi-investasi yang semakin kuat dilakukan oleh dengan masyarakat. Sebagai contoh adalah akhir-a Pertumbuhan Kota Yogyakarta munculnya perumahan-perumahan yang diadakan keberadaan stasiun yang akibat munculnya investasi-investasi oleh pengembang serta pasar-pasar modern yang yang dibangun oleh dari Belanda kini tampak bersaing dengan pasar tradisional. Secara - Berdirinya Pakualaman Sebagai contoh adalah munculnya perumahanfisik, banyak perumahan tersebut berada di wilayah - Luas wilayah semakin luas Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, meski pengembang denganoleh sebaran perumahanserta pasar-pasar modern y demikian keterkaitan secara pelayanan dengan wilayah kolonial di Kotabaru dan dengan pasar tradisional. Secara banyak pe kota mengakibatkan terjadinya mobilitas yangfisik, tinggi Bintaran antara kedua wilayah. wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten
VII. TRANSketerkaitan JOGJA, ALTERNATIF ANGKUTAN MASSAL secara pelayanan dengan wilayah kot PERKOTAAN YANG NYAMAN
mobilitas yang tinggi antara kedua wilayah.
Menyusul dioperasikannya Trans Jakarta (lebih populer disebut sebagai Bus Way), Kawasan seputar Kota Tahap III Yogyakarta pun kini telah memiliki Bus Trans Jogja, Adishakti (1995) melihat bahwa permukiman serta sebagai alternatif angkutan massal perkotaan yang Tahap III telah menjadi agen yang mendorong pendidikan nyaman. Kemunculan Bus Trans Jogja dilatarbelakangi perluasan Kota Yogyakarta sampai batas administrasinya. adanyapendidikan permasalahan Adishakti (1995) melihat bahwa permukiman serta telahangkutan umum di Provinsi Meskipun demikian, adanya arahan untuk melindungi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendesak untuk kawasan pertanian sebelah timur serta utara menahanKota Yogyakarta segera ditangani menjadi agendiyang mendorong perluasan sampai secara batassistemik, karena menyangkut perkembangan Kota Yogyakarta ke arah-arah tersebut. berbagai permasalahan, seperti : Kemacetan lalu lintas, administrasinya. Meskipun demikian, adanya arahan untuk angkutan melindungi Meskipun demikian, pada tahun 1970-an, pembangunan pelayanan umum yang buruk, perilaku buruk kawasan pemerintahan di bagian timur kota telah para pengemudi dalam berlalu-lintas, hingga tingginya kawasan pertanian di sebelah timur serta utara menahan perkembangan mendorong terjadi perubahan pada penggunaan lahan social cost yang harus ditanggung masyarakat akibat secara permasalahan transportasi. Kotadrastis. Yogyakarta ke arah-arah tersebut. Meskipun demikian, pada tahun Salah satu formulasi untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan Keterbatasan telah mendorong perguruan tinggi 1970-an, lahan pembangunan kawasan pemerintahan di bagian timur kota telah publik. cara optimalisasi angkutan untuk mendirikan kampusnya di luar kota. Bangunan kampus-kampus besar ataupun barupada telahpenggunaan berdiri di mendorong terjadi perubahan lahan secara drastis. Skema yang dikembangkan dalam rangka optimalisasi daerah Mrican dan Babarsari sebagai bagian dari strategi angkutan publik tersebut adalah sistem buy the service lahanPerlahan, telah wilayahmendorong perguruan tinggi untuk ekspansinya Keterbatasan di masa mendatang. yang merupakan wujud komitmen dari Pemerintah wilayah tersebut berubah menjadi kawasan perkotaan. Provinsi DIY dalambesar mereformasi, merefungsionalisasi, mendirikan kampusnya di luar kota. Bangunan kampus-kampus dan merestrukturisasi sistem angkutan publik - Berkembangnya inti baru yaitu kampus UGM di ataupun baru telah berdiri di daerah Mrican dan Babarsari sebagai bagian perkotaan. Sistem diharapkan dapat mengembalikan sebelah utara fungsi utama angkutan publik, yaitu memberikan - dari Pergerakan menjadi dua arah antara pusat mendatang. baru dan strategi ekspansinya di masa Perlahan, wilayah-wilayah pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. sekitarnya
berubah menjadi kawasan perkotaan. - tersebut Keberadaan UGM diikuti dengan kampus-kampus lain seperti UNY (dulu IKIP) - Jalan Solo mulai berkembang sebagai pusat perdagangan
Sistem buy the service adalah sistem pembelian pelayanan dari Pemerintah kepada Swasta (operator) untuk mengoperasikan angkutan umum dengan standar* buletin tata ruang
11
prof il wilayah. Kawasan �������������������������������������������������� Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans ����� Jogja
standar tertentu, khususnya untuk mengutamakan pelayanan kepada masyarakat pengguna. Sistem buy the service pada angkutan publik ini meskipun mereformasi sistem angkutan umum yang ada pada dasarnya tetap mempertahankan moda bus umum, tetapi memiliki kelebihan, antara lain : menghilangkan sistem setoran, kemudahan mengatur jumlah armada dan trayek, dan kemudahan dalam pemberian subsidi pemerintah kepada masyarakat pengguna angkutan publik melalui subsidi tarif. Di Yogyakarta dan sekitarnya dilayani (secara bertahap) oleh 54 unit Bus Trans Jogja, terbagi dalam pelayanan 3 (tiga) trayek, yaitu : 1. Trayek 1 : A. Trayek : Terminal Prambanan – Bandara Adisucipto – Stasiun Tugu – Malioboro- JEC B. Trayek : Terminal Prambanan – Bandara Adisucipto – JEC – Kantor Pos Besar – Pingit - UGM 2. Trayek 2 : A. Trayek : Terminal Jombor – Malioboro – Basen – Kridosono – UGM – Terminal Co0ndong Catur B. Trayek : Terminal Jombor – Terminal Condong Catur – UGM – Kridosono – Basen – Kantor Pos Besar – Wirobrajan - Pingit 3. Trayek 3 : A. Trayek : Terminal Giwangan – Kota Gede – Bandara Adisucipto – Ringroad Utara – MM UGM – Pingit – Malioboro – Jokteng Kulon B. Trayek : Terminal Giwangan – Jokteng Kulon- Pingit – MM UGM – Ringroad Utara – Bandara Adisucipto – Kota Gede
Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta
Gerbang masuk Terminal Giwangan, Yogyakarta
Halte Trans Jogja di Bandara Adisucipto
Halte Trans Jogja di Malioboro
12 buletin tata ruang *
topik utama. Oleh : Danang Parikesit Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada (dparikesit.staff.ugm.ac.id), Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dan Chairman The International Forum for Rural Transport and Development (www.ifrtd.org)
Busway TransJakarta mulai beroperasi 15 Januari 2004
dengan koridor I melayani ruas antara Blok M – Kota dengan panjang rute 12,9 km. Sistem yang diilhami oleh kesuksesan sistem BRT di Curitiba (Brazil) dan Bogota (Kolumbia) tersebut, seolah membuka era baru dalam penataan sistem angkutan umum perkotaan di ibukota DKI Jakarta. Setelah gagalnya sistem lajur khusus bis dan pilot project RMB (Rute Metode Baru) yang diperkenalkan akhir 1990-an, praktis tidak ada inisiatif yang berarti dalam pengembangan sistem angkutan umum di DKI Jakarta setelah itu. Sementara sistem 3-in-1 diberlakukan dan bahkan ditingkatkan lingkup waktunya, pada sisi lain, peningkatan harga BBM menyebabkan pertumbuhan sepeda motor dalam 3 – 5 tahun terakhir, menjadi yang tertinggi selama 30 tahun. Dari berbagai riset yang dilakukan Bank Dunia 1994, JICA 2001, Swisscontact 2001, JICA/SITRAMP 2001, ADB/IVERS 2003, ADB/UAQI 2006, terungkap, biaya kesehatan dan kemacetan meningkat signifikan. Meski bisa saja, pihak yang skeptis menyebut ini bukan karena lalulintas yang semakin padat, melainkan karena metode riset yang lebih baik dan kompleks, dibanding sebelumnya. Kesuksesan koridor I TransJakarta membawa era baru bagi sistem bis modern di Indonesia, dan menjadi inspirasi bagi kota-kota lain di Indonesia, seperti BPP Batam, TransPakuan Bogor dan TransJogja. Juga memberi keyakinan bagi Gubernur DKI Sutiyoso untuk membangun koridor-koridor busway selanjutnya hingga koridor X. Sementara koridor I berhasil baik dan mendapat dukungan publik, pelaksanaan koridor-koridor setelah itu mendapat tantangan yang besar berkaitan dengan tata kelola pemerintahan (di Dinas Perhubungan) dan tata kelola usaha (BP TransJakarta). Persiapan pengelolaan organisasi dan keuangan yang belum tuntas menyebabkan proses tender operator terkendala. Pelaksanaan pembangunan fisik busway juga mendapat hambatan, terutama pada saat konstruksi dilakukan melalui Pondok Indah dan jalan-jalan nasional. Di sisi lain, subsidi busway yang saat ini mencapai sekitar 1% dari APBD DKI Jakarta, dipastikan akan meningkat apabila seluruh koridor (sejumlah 14 koridor) selesai dibangun.
TRANSJAKARTA DAN PERANNYA BAGI PERBAIKAN ”URBAN GOVERNANCE”: Sebuah Kajian Kritis
umum menggunakan sumber daya yang lebih sedikit, baik sumber daya energi dan ruang, juga diharapkan lebih cepat sehingga waktu juga bisa dihemat. Efisien karena memberikan resiko kecelakaan yang lebih rendah dibandingkan kendaraan pribadi. Angkutan umum juga dipandang sebagai angkutan yang mampu menjangkau masyarakat miskin perkotaan. Dalam kasus Busway TransJakarta, apakah argumen ini benar? Meski kasus serupa terjadi di sistem bis lain yang melibatkan subsidi sebagai bentuk dukungan pemerintah. Teori ekonomi mikro menunjukkan bahwa dengan tingkat permintaan yang elastik, maka besarnya subsidi pemerintah selalu akan lebih besar daripada perubahan surplus konsumen yang dinikmati pengguna. Justifikasi subsidi hanyalah apabila terdapat perubahan surplus konsumen bagi pemakai kendaraan pribadi yang lebih besar dibanding “welfare loss” yang diterima sistem angkutan umum (Sirait dan Parikesit, 2003). Sayangnya konsep ini belum sepenuhnya terbukti di busway. Tidak saja karena terdapat pengurangan kapasitas jalan yang menyebabkan biaya pengguna kendaraan pribadi yang meningkat, melainkan juga belum terdapat perpindahan yang signifikan antar moda. Kajian yang dilakukan SITRAMP tahun 2005 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna busway koridor I adalah pengguna bus patas dan patas AC. Kondisi ini juga sama bagi lebih dari 200.000 penumpang busway Jakarta. Permintaan kendaraan pribadi yang in-elastik menyebabkan sedikitnya perpindahan antara kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Pertanyaan penting dalam program implementasi busway ini adalah, bagaimana pemerintah menggunakan busway ini, tidak hanya sebagai media untuk memenuhi kebutuhan angkutan bagi warga kota, tetapi juga dipakai sebagai instrumen perbaikan tata kelola pembangunan wilayah DKI Jakarta. Dari teori ke implementasi sistem angkutan umum: sesuaikah? Upaya mendorong angkutan umum selalu dimulai dengan argumen efisiensi dan keadilan. Efisien karena angkutan
Bus Trans Jakarta melintas di jalur khusus, tidak kenal macet * buletin tata ruang
13
topik utama . TRANSJAKARTA ����������������������������������������� DAN PERANNYA BAGI PERBAIKAN ”URBAN ��������������������������� GOVERNANCE”: Sebuah Kajian ������� Kritis ������
Argumen keadilan atau “equity” juga mungkin sulit diterima karena pengguna kendaraan umum ekonomi tidak sepenuhnya dapat menikmati busway karena interkoneksi yang belum penuh. Disamping itu, jaringan busway belum seluruhnya terintegrasi dengan sistem angkutan umum lain. Busway dan pembentukan “high density corridor” Di Negara-negara yang sistem transportasi umum massalnya maju, koridor angkutan umum merupakan komponen penting pembentuk ruang kota. Bogota ��������������������� dan Curitiba, keduanya dipimpin oleh walikota yang perencana (urban planner). Seoul dan Taipei, dikomandoi oleh walikota visioner yang melihat sistem angkutan kota tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan ruang kota yang efisien (STREAM Study, 2007). Tidak berhasilnya pengurangan penggunaan lahan kota untuk kendaraan pribadi, karena lambatnya pembentukan jaringan angkutan umum yang solid. Keterlambatan dan keraguan pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebabkan respon swasta dan para pengembang property menjadi sulit mengembangkan rencana usaha mereka. Patut diingat bahwa KA Tokyo sebagai salah satu di antara sangat sedikit sistem KA di dunia yang memperoleh surplus operasi, sekitar 50% pendapatannya diperoleh dari konsesi property (STREAM Study, 2007). Pengembang properti, sebenarnya melihat nilai tambah keberadaan busway TransJakarta, namun rencana pemerintah yang kurang terkendali dan jadual waktu yang tidak jelas, menyebabkan tingginya “risk premium” bagi investasi properti di sepanjang koridor busway. �������������������������������������������������� Suksesnya koridor I dalam meningkatkan daya tarik perkantoran sepanjang Jalan Sudirman – Thamrin tidak diikuti oleh koridor perkantoran lain. Terbatasnya akses busway terhadap permukiman menyebabkan dampak terhadap penyebaran kompleks perumahan, tidak cukup berarti. Kompetisi anggaran publik untuk subsidi Kalau tahun ini besarnya subsidi operasi busway adalah 1% dari besarnya APBD DKI Jakarta, berapakah nilainya untuk 5 tahun mendatang? Sebagai ��������������������������� sebuah sistem yang lengkap, barangkali angka 3-4% dari APBD merupakan estimasi yang realistis, mungkin bahkan cenderung konservatif. Tahun 2008 saja, DPRD DKI Jakarta menyetujui kenaikan subsidi operasi kepada BLU TransJakarta sebesar Rp.31 Milyar, dari nilai tahun 2007 yang mencapai Rp. 203 Milyar. Trans Batavia, Jakarta Trans Metropolitan and Jakarta Mega Trans sebagai operator busway Jakarta mendapat alokasi ini sesuai dengan produktifitas layanan. Semakin panjang kilometer yang dijalani, maka semakin besar pula pendapatan yang diperoleh operator. Sistem ini tentu saja masih belum sempurna karena mengandung beberapa “loophole” dan kemungkinan adanya “moral hazard” bagi tata kelola usaha busway, terutama pada penetapan harga jual layanan dari operator ke pemerintah. Saat ������������������� ini misalnya, Pemprov DKI Jakarta menilai tarif Rp 12.855 per kilometer yang diberikan kepada operator bus transjakarta koridor VIII-X terlalu besar. Pemprov ���������������������������������������� ingin tarif itu diturunkan agar subsidi yang diberikan tidak membengkak jika pemprov ingin menambah jumlah armada bus.
14 buletin tata ruang *
Tekanan subsidi ini akan semakin besar pada saat Monorail diimplementasikan entah kapan, dan MRT sepanjang 14,3 km yang direncanakan selesai 2014 selesai dibangun. Strategi subsidi angkutan umum ini perlu kiranya dirancang dari sekarang karena tentu saja akan mendesak kepentingan publik lain. Di antara kebutuhan anggaran yang mendesak adalah untuk penciptaan RTH (ruang terbuka hijau), yang barangkali dapat digunakan sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Pada tahun 2002 saja, RTH DKI Jakarta berada di bawah 10%, padahal Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta mensyaratkan tercapainya RTH 14% di tahun 2010, yang pasti tidak akan terpenuhi. Di samping itu persaingan anggaran dengan sektor lain seperti penanganan banjir, pendidikan dan kesehatan, akan menjadi komoditas politik, terutama menjelang Pilkada DKI Jakarta 4 tahun yang akan datang. Berebut ruang publik: polemik 6 ruas jalan tol Tidak bisa dipungkiri, bahwa DKI Jakarta dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, akumulasi penduduk dan kapital yang besar, merupakan ramuan yang tepat untuk minat investasi swasta membiayai berbagai proyek infrastruktur. Namun, inisiatif pembangunan 6 ruas jalan tol di DKI Jakarta menyulut kontroversi, tidak saja karena konsepsinya yang masih perlu diuji, melainkan juga prosesnya yang dipandang publik, “samar-samar”, termasuk oleh Kaukus Lingkungan Hidup. Sementara inisiatif 6 ruas jalan tol tersebut masuk ke ranah hukum dengan disiapkannya berbagai peraturan pendukungnya, isu penting mengenai pemanfaatan ruang publik menjadi masalah ”common sense” yang mengemuka. Selama 1 menit seorang pejalan kaki menggunakan hanya 30 m2 saja ruang untuk bergerak, sebuah sepeda motor menggunakan 990 m2, sedangkan dengan kecepatan yang setara dengan sepeda motor, sebuah bus akan membutuhkan ruang 2.000 – 3000 m2 dan sebuah mobil menggunakan ruang 5.400 m2 ruang untuk bergerak. Isu ini penting untuk dikemukakan dan menjadi wacana publik mengingat ruang kota menjadi sumber daya yang langka dan menjadi barang ekonomi yang diperebutkan. Busway dan Pemihakan Pada Rakyat Banyak Lima tahun sudah busway TransJakarta beroperasi, dengan banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan. Gagasan besar integrasi sistem angkutan umum masal dan sistem penataan ruang, belum sepenuhnya terjadi karena komitmen pemerintah yang melemah setelah suksesnya implementasi koridor I. Jaringan yang belum terbentuk sempurna, dukungan masyarakat dan media yang tidak terus digalang, sistem tender yang masih mengandalkan pada kuantitas produksi (km-jalan), permasalahan operasional dengan pihak kepolisian serta instansi pusat, kebijakan dan insentif usaha yang jelas mengenai koridor padat, serta kebijakan pemanfaatan ruang dan subsidi, merupakan PR besar yang perlu segera diselesaikan. Dengan demikian, busway Transjakarta tidak saja memberi inspirasi bagi kota-kota lain di Indonesia dan negara-negara berkembang lain, tetapi yang lebih penting adalah memberi pesan terbuka bagi masyarakat bahwa di negara kita tercinta ini, ada kebijakan pemihakan ke masyarakat luas yang benarbenar bisa berjalan
topik utama.
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Oleh: DR. Bambang Susantono Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
Dari berbagai
studi, dapat disimpulkan, kota Jakarta menghadapi permasalahan transportasi perkotaan yang sangat besar. Dalam keseharian, permasalahan yang dapat dilihat adalah kemacetan di hampir seluruh jaringan jalan di kota Jakarta dan sekitarnya. ��������������������� Tingkat kemacetan di kota Jakarta, apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, sudah termasuk dalam katagori yang membahayakan baik dari segi ekonomi dan sosial. Secara umum, permasalahan transportasi di kota Jakarta dapat dikelompokan dalam beberapa hal berikut: a. Sistem transportasi belum efisien sehingga menghambat aktifitas ekonomi. • Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. �������������������� Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007). • Kerugian ekonomi per tahun pada tahun 2002 akibat inefisensi sistem transportasi diperkirakan sebesar Rp.5.5 trilyun, di mana Rp.3 trilyun untuk biaya operasi kendaraan, dan Rp.2.5 trilyun untuk biaya waktu perjalanan (SITRAMP, 2004). b. Sistem transportasi belum menjamin pemerataan untuk seluruh anggota masyarakat • Lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi, jumlah angkutan umum (bus) hanya 4%, sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007). • Proporsi volume lalu lintas pada beberapa koridor utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%. Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007). • Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna ��������� angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP, 2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%) dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%) (SITRAMP, 2004) • Fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor sangat minim
c. Besarnya kontribusi sistem transportasi terhadap dampak lingkungan • 25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara menunjukkan kadar PM10 telah melebihi ambang batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang menunjukkan kadar PM10 mencapai lebih dari 2 kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan. Kerugian ekonomi akibat kualitas udara yang rendah diperkirakan mencapai Rp.2.8 trilyun pada tahun 2002 (SITRAMP, 2004). • Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum tidak diperbaiki, maka akan terjadi peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. �������������������� Dengan kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan greenhouse gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan 2020 sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004). d. Sistem transportasi belum memenuhi tingkat keselamatan dan keamanan • Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun Kereta Api masih tinggi. Untuk ����������������������������� Kereta Api, dari tahun 2000-2002 terjadi 174 kecelakaan. ��������������� Angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara berkembang lain (SITRAM, 2004). • Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota mangalami penurunan dari sekitar 380 pada tahun 1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan tetapi proporsi jumlah korban dengan luka berat dan meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http://www. cmnp.co.id/). Upaya Penanganan Belum Optimal Berbagai solusi telah dilakukan Pemerintah DKI untuk mengatasi permasalahan transportasi perkotaan di kota Jakarta. Akan tetapi upaya-upaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan. a. Area Traffic Control System (ATCS)
ATCS dimaksudkan untuk mengurangi waktu hambatan di persimpangan dengan mengoptimalkan sistem persimpangan dengan lampu lalu lintas, sehingga akan diperoleh gelombang hijau (green wave) antara satu persimpangan dengan persimpangan yang lain. Dengan green wave maka apabila pengguna jalan mendapatkan lampu hijau pada satu persimpangan dan pengguna jalan tersebut mengikuti batas kecepatan yang ditentukan, maka akan mendapat lampu hijau pada persimpangan berikutnya.
Solusi ini belum memberikan hasil yang diharapkan karena beban volume lalu lintas yang tinggi, banyaknya hambatan samping pada ruas jalan dan persimpangan, * buletin tata ruang
15
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
dan kondisi teknis infrastruktur ATCS yang kurang mamadai.
b. Aturan 3 in 1
Aturan ini mewajibkan semua kendaraan pribadi yang akan melewati jalan Sudirman dan Thamrin, berpenumpang 3 orang atau lebih termasuk pengemudi. Diterapkan hanya pada jam sibuk pagi dan sore.
Skema ini sedikit banyak telah mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi pada koridor utama tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di Jakarta. Terdapat beberapa kelemahan dari skema ini antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal (jalan tikus) yang ada untuk menghindari daerah 3 in 1. Ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang, untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi 3, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.
c. Pengembangan Bus Rapid Transit (BRT)
Bus Rapid Transit (BRT) dikembangkan di Jakarta dengan membangun Bus Only Lane (Busway) di beberapa koridor utama di Jakarta. Busway dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum dan mampu menarik pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan angkutan umum ini (Busway) sehingga akan mengurangi kemacetan.
Solusi ini juga belum memberikan hasil yang optimal, Busway belum bisa berbuat banyak untuk menarik minat pengguna kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena opportunity cost dan standard kebutuhan kenyamanan pengguna kendaraan pribadi relatif tinggi dimana hal ini belum mampu dipenuhi oleh Busway, serta daerah pelayanan yang terbatas dan belum menjangkau daerah pinggiran Jakarta.
d. Penertiban Parkir dan Pedagang Kaki Lima
Penggunaan ruas jalan untuk parkir (on-street parking) dan pedagang kaki lima (juga di trotoir) akan mengurangi kapasitas jalan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan upaya penertiban dengan melarang dan merazia pedagang kaki lima serta penggembokan terhadap kendaraan-kendaraan yang parkir pada ruas jalan yang tidak disediakan untuk parkir.
Upaya ini belum begitu efektif dan tidak terlihat dampaknya terhadap perbaikan lalu lintas. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya konsistensi kebijakan, penegakan aturan yang kurang maksimal, dan masih banyaknya area on-street parking yang diijinkan.
e. Pembangunan Ruas Jalan Tol Dalam Kota
Dalam beberapa tahun terakhir, telah dibangun beberapa ruas jalan tol di kota Jakarta sebagai upaya untuk menambah kapasitas jaringan jalan di Jakarta.
Pembangunan ruas jalan tol di Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan di Jakarta. Terdapat kecenderungan, peningkatan kapasitas jalan justru menjadi salah satu variabel yang mendorong penggunaan kendaraan pribadi.
Bus angkutan kota di halte yang nampak rapi dan bersih
16 buletin tata ruang *
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Electronic Road Pricing (ERP) Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relatif tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments), persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrument-instrument ekonomi (economic instruments). a. Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi standar-standar, laranganlarangan dan prosedur administrasi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu, batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.
Tabel 1 – Pengelompokan Road Pricing Nama
Deskripsi
Road toll (fixed rates)
Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu.
Untuk meningkatkan pendapatan dan investasi.
Congestion pricing (timevariable)
Pengenaan biaya didasarkan atas kepadatan lalu lintas, jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi, namun sebaliknya jika lalu tidak padat maka biaya yang dikenakan akan rendah
Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemacetan.
Cordon fees
Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu
Mengurangi kemacetan di pusat-pusat kota.
Bagi kendaraan yang tidak bisa banyak menampung jumlah penumpang, akan dikenakan pungutan
Untuk mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi kepada penggunaan kendaraan yang memilik daya tampung yang banyak, sehingga jumlah kendaraan di jalanraya dapat dikurangi.
Distancebased fees
Biaya yang dikenakan terhadap kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan
Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi berbagai masalah lalu lintas.
Pay-AsYou-Drive insurance
Membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap.
Mengurangi berbagi masalah lalu lintas khususnya kecelakaan lalu lintas.
Road space rationing
Penggunaan batasan tertentu di jam-jam padat lalu lintas (misalnya berdasarkan nomor kendaraan)
Untuk mengurangi kemacetan di Jalan-jalan utama atau di pusat-pusat kota.
b. Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai contoh carpooling. c. Economic instruments menggunakan insentif dan/ atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan adalah road pricing.
HOV lanes
Road Pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan Road Pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau Negara, atau suatu sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum masal. Ada beberapa pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan (lihat tabel 1). Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu economic instruments yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut.
Tujuan
* buletin tata ruang
17
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Oslo, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain. a. Singapore
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya disebut urban road user charging.������������������ Tujuannya ����������������� adalah untuk membatasi lalu lintas yang masuk CBD pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan.�������������� Sebelum ERP, Singapore ������������ menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP).� Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan.������������ Harga ����������� yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri.� Dampak diterapkannya congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing menurun sampai dengan 44%.
b. London
ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk m����������������������������������������������������� engurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara.
Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil positif antara lain: Penurunan volume lalu lintas 15 % Penurunan kemacetan 30% Penurunan polusi 12% (NOx, PM10) Perjalanan menjadi lebih reliable Reliabilitas bus schedule meningkat signifikan Kecelakaan lalu lintas menurun Peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum
c. Stockholm
Diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, setelah diujicobakan sejak tahun 2006. Tujuannya
18 buletin tata ruang *
mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, dan memperbaiki kualitas lingkungan.
Beberapa hasil positif yang bisa dicatat adalah: • Menurunnya prosentase lalu lintas ke/dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15% • Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50% • Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.
Mengapa ERP? Permasalahan transportasi perkotaan di Jakarta mempunyai kecenderungan semakin bertambah parah. Indikasi ini bisa dilihat dari berbagai studi yang dipaparkan di awal tulisan ini. Apabila �������������������������������������������������� terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Jakarta akan mengalami kemacetan yang sangat parah atau bahkan macet total pada jam-jam sibuk. ERP diharapkan mampu mengurangi perjalanan dengan kendaraan pribadi dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu, terutama pada jam-jam sibuk. Peningkatan kapasitas jalan tanpa dibarengi disinsentif terhadap pengguna kendaraan pribadi justru memungkinkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan lalu lintas, atau biasa dikenal dengan fenomena induced demand. Banyak studi telah mengungkapkan fenomena induced demand ini. Induced demand adalah sebuah fenomena dimana ketika supply ditambah maka konsumsi akan meningkat. Hal ini karena konsumsi tinggi yang tidak terlayani. Beberapa studi di negara maju menunjukkan bahwa elastisitas permintaan perjalanan (traffic demand) terhadap penambahan kapasitas jalan berkisar antara 0 sampai 1. Artinya, jika kapasitas jalan meningkat sebesar 1% maka permintaan perjalanan juga akan meningkat. Bahkan untuk jangka panjang bisa melebihi 1% (http://en.wikipedia.org/ wiki/induced_demand). Fenomena ”Induced Demand” ini sangat potesial untuk terjadi di Jakarta dengan indikasi bahwa jumlah pengguna jalan tol inelastis terhadap tarif tol. Volume lalu lintas jalan tol dalam kota terus meningkat dari 95 juta per tahun pada tahun 1995 menjadi 186 juta pertahun pada tahun 2005, atau meningkat hampir 2 kali lipat. Pada sisi lain, tarif tol untuk kelas kendaraan penumpang dan truk kecil meningkat 1.8 kali lipat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 (CMNP, http://www.cmnp.co.id/). Oleh sebab itu, pembangunan jalan baru hendaknya dilakukan setelah semua upaya manajemen permintaan (termasuk ERP) tidak berhasil meningkatkan kinerja lalu lintas secara signifikan. Pembangunan jalan baru hendaknya dilihat sebagai salah satu upaya dalam mendukung manajemen permintaan lalu lintas. Keuntungan ERP Meskipun tujuan utama congestion pricing (ERP) adalah untuk mengurangi kemacetan, akan tetapi uang hasil pungutan biaya kemacetan dapat menjadi sumber dana pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan transportasi seperti
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
a. Penghematan Konsumsi BBM
Dengan melakukan simulasi sederhana berdasarkan kurva hubungan antara kecepatan dan konsumsi BBM tiap jenis kendaraan bermotor, serta dengan menggunakan data jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, maka dapat dihitung konsumsi BBM untuk tiap skenario kecepatan dan proporsi penggunaan kendaraan pribadi. Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa secara rata-rata kecepatan dimana konsumsi BBM minimal adalah 50 km/jam. Apabila aplikasi Congestion Pricing mampu meningkatkan kecepatan rata-rata lalu lintas dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), dan menurunkan volume kendaraan pribadi sebesar 10%, dan dengan asumsi panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka aplikasi Congestion Pricing di Jakarta akan menghemat penggunaan BBM dan subsidi sebesar 6.65 trilyun rupiah/tahun.
Singapore
b. Penurunan Polusi Udara
Perhitungan penurunan polusi udara sebagai dampak menurunnya kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi dapat dilakukan dengan menggunakan formula laju emisi. Formula laju emisi yang dipergunakan adalah berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Marga No 60 Tahun 1999 tentang Pengesahan 13 pedoman teknik Dirjen Bina Marga. Laju emisi adalah besarnya massa polutan yang dilepaskan oleh satu kendaraan per kilometer jarak tempuh.�
Dengan menggunakan data yang sama seperti perhitungan penghematan BBM, maka dengan asumsi kecepatan rata-rata lalu lintas akan naik dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), volume kendaraan pribadi menurun 10%, dan panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka akan didapat penurunan CO sebesar 35% per hari dan penurunan NOx sebesar 23% per hari.
B
London
Prasyarat Keberhasilan ERP
C
Stockholm Gambar 2 – Aplikasi ERP di Beberapa Kota
meningkatkan pelayanan angkutan umum, peningkatan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, dan lainlain. Berdasarkan studi yang dilakukan PCI, PCKK, dan Sumitomo Corporation, aplikasi ERP di Jakarta layak secara ekonomi maupun finansial (periode evaluasi dari 2008 sampai dengan 2020).
Dukungan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya aplikasi road pricing (ERP). Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan dan harus mampu menjelaskan t��������������������� ujuan dan maksud ERP secara mudah dan jelas; bagaimana ERP akan mengatasi masalah-masalah kemacetan dan masalah transportasi lain; keuntungan dan kerugian ERP untuk masyarakat; bagaimana masalah equity dan privacy akan dilindungi; antisipasi terhadap pihak-pihak atau bisnis yang akan terpengaruh, terutama karena perubahan tata guna lahan; b��������� agaimana pendapatan dari ERP akan dikelola dan dipergunakan. Selain itu, karena ERP salah satu tujuannya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, maka harus disediakan angkutan umum yang nyaman, aman, reliable, dan tarif terjangkau sehingga utilitas angkutan umum ini tidak jauh berbeda dengan utilitas kendaraan pribadi. ERP dan perbaikan angkutan umum juga harus didukung dengan penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pengguna sepeda. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa menjadi feeder bagi angkutan umum dan sekaligus sebagai moda alternatif. ERP tidak akan berhasil apabila diterapkan secara parsial, * buletin tata ruang
19
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Gambar 3 Konsumsi Bahan Bakar Tiap Jenis Kendaraan Per Kilometer (SITRAMP, 2004)
tidak terintegrasi dengan strategi lain. ERP akan berhasil apabila merupakan salah satu bagian dari sebuah integrated transport policy. ������������������������������������� Beberapa teknik manajemen permintaan lalu lintas yang akan bersinergi baik dengan ERP seperti p��������������������������������������������������� ajak bahan bakar; kontrol penggunaan dan pemilikan kendaraan; pengawasan land-use development dan Transit Oriented Development (TOD); Intelligent transport systems (ITS); parking controls dan pricing, dll. Sebelum ERP diaplikasikan, hendaknya telah dipersiapkan landasan hukumnya, serta perangkat technology dan sumber daya manusia yang akan berfungsi dalam penegakan aturan (law enforcement). Landasan hukum yang akan digunakan juga harus memuat tentang lembaga yang akan mengoperasikan aspek teknis ERP, mengelola keuangan, dan melakukan law enforcement. Lembaga ���������������������� yang efisien, transparan, dan akuntable sangat menunjang keberhasilan aplikasi ERP. ERP harus diterapkan dalam kondisi seluruh ruas jalan di dalam satu kota telah mengikuti standar design jalan perkotaan yang telah ditetapkan dan perilaku pengemudi mengikuti peraturan tata cara berlalu lintas yang berlaku. Hal ini untuk menghindari tuduhan bahwa kemacetan
sebenarnya karena standar design jalan yang tidak tepat dan perilaku pengemudi yang tidak teratur. Peningkatan standar design termasuk menghilangkan penggunaan ruas jalan dan trotoar untuk hal-hal yang tidak semestinya (contoh pedagang kaki lima), membatasi onstreet parking, pembatasan akses untuk jalan-jalan tertentu, dan aplikasi manajemen lalu lintas yang tepat (seperti lampu lalu lintas, marka, median, rambu, dan lain-lain). Penegakkan peraturan lalu lintas meliputi larangan berhenti pada tempat yang tidak semestinya, parkir pada tempat yang tidak semestinya, pengawasan kecepatan, pengawasan menyalip (merging, diverging), dan lain-lain. Perilaku yang tidak benar dalam berlalu lintas merupakan salah satu sumber kemacetan. Elctronic Road Pricing (ERP) dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mengatasi kemacetan, hanya jika didukung kebijakan lain REFERENSI Pickford A.T.W, & Blythe P.T. 2006, “Road User Charging and Electronic Toll Collection.” Jaensirisak S. 2004, “Urban Road Pricing: From Theory To Practice.” FHWA. 2006, “Issues and Options for Increasing the Use of Tolling and Pricing to Finance Transportation Improvements.” Blythe, P.T. 2004, “Road User Charging in the UK. Where Will We Be 10 Years from Now?” Crane, P. 2005 “Congestion Charging in Central London: Key Factors in Successful Delivery.” Paparan PCI, PCKK, dan Sumitimo Corporation, 2008. “The Study on Jakarta Road Pricing in the Republic of Indonesia.” JICA and Bappenas (2004) “The Study on Integrated Transportation Master Plan for JabodetabekIndonesia (Phase II). Final Report Vol.2.” Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007, ”Survai Kecepatan dan Hambatan di Beberapa Ruas Jalan Utama Jakarta.”
Lalulintas yang teratur, rapi, tidak macet (di Singapura)
20 buletin tata ruang *
topik utama. Oleh : Darmaningtyas (Tim Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia)
Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di Jakarta
Ada fenomena menarik yang dapat disimak di
Jadi kebijakan pembangunan rumah susun sewa di Jakarta maupun pembangunan tempat-tempat komersial lainnya itu, bertolak belakang dengan kebijakan pembangunan moda transportasi massal. Sebab yang satu mencoba menawarkan alternatif untuk mengurangi kemacetan, yang lain menghadirkan kemacetan baru melalui pergerakan para penghuninya. Tidak ada argumen yang cukup untuk menjelaskan bahwa bangunan-bangunan baru tersebut tidak akan menimbulkan bangkitan baru pada lalu lintas Jakarta, karena faktanya, bangunan baru itu butuh penghuni, baik yang sifatnya menetap maupun ulang alih, keduanya akan sama-sama memerlukan ruang dan waktu untuk melakukan pergerakan. Rencananya, bangunan-bangunan baru tersebut berada di bibir jalan yang selama ini menjadi pusat kemacetan di Jakarta, seperti di Jl. MH Thamrin, Jl. Sudirman, Jl. Gatot Subroto, Jl. S.Parman, dan sebagainya.
Usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan kosong bukan hanya didorong oleh kepentingan akumulasi kapital saja, tapi juga tekanan politik dari Pusat. Kebijakan Pemerintah untuk membangun seribu rumah susun sewa misalnya, berdampak langsung terhadap kebijakan pembangunan fisik di Kota Jakarta. Sebagai ibu kota, Jakarta tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk ikut mewujudkan kebijakan Pemerintah tersebut. Dalam realitasnya di lapangan, beberapa lokasi di Jakarta sudah dipatok akan dibangun rumah susun sewa, hingga 25 tingkat, seperti misalnya di Kemayoran, Cengkareng, Daan Mogot (dua unit), Kota Modern, Kebun Jeruk, Ciledug, Bintaro, Kelapa Gading, Penggilingan, Cawang, Kalimalang, Kalibata, Pulo Gebang, Kebagusan, Cipayung, dan Cibubur.
Penulis mengambil patokan kurun waktu lima tahun terakhir (2004 – 2008) karena selama kurun waktu 1998 (puncak masa krisis) hingga tahun 2003 (masa pemulihan krisis) dapat dikatakan tidak ada pembangunan gedung-gedung baru. Tapi sejak tahun 2004 mulai bermunculan gedunggedung baru menjulang tinggi di pusat-pusat keramaian. Plaza Semanggi, Grand Indonesia, Sampoerna Square, Senayan City, CBIC, dan lain-lain, hanya di sepanjang jalur utama Sudirman – MH. Thamrin saja.
Jakarta saat ini, terutama lima tahun terakhir. Di satu pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang giat membangun transportasi massal seperti Busway Transjakarta guna mengurangi kemacetan kota, tapi pada pihak lain selama lima tahun terakhir tumbuh beberapa bangunan komersial yang menjulang tinggi di pusat kota atau di wilayah yang sudah padat dengan aktivitas komersial. Kehadiran bangunan-bangunan komersial baru itu secara otomatis menimbulkan bangkitan lalu lintas yang cukup signifikan, sehingga menjadi magnet terjadinya kemacetan baru di pusat kota. Fenomena itu akan terus muncul karena masih ada beberapa lahan kosong di Jakarta. Bagi pemilik kapital, tanah itu adalah modal utama untuk melakukan akumulasi kapital yang lebih banyak lagi. Maka di mana ada lahan kosong, di sana akan dibangun pusat komersial baru.
Penetepan kebijakan pembangunan rumah susun sewa yang akan dibangun di wilayah Kota Jakarta itu menunjukkan, pembangunan Kota Jakarta tidak semata-mata ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis tata kota saja, tapi yang lebih dominan adalah pertimbangan politik. Pertimbangan tersebut mampu memaksa terjadinya perubahan tata kota, meskipun secara teknis sebetulnya tidak rasional atau tidak layak. Fenomena seperti itu, selama ini cukup dominan mempengaruhi arah kebijakan pembangunan Kota Jakarta. Sama halnya dengan kehadiran bangunan-bangunan komersial yang menjamur selama lima tahun terakhir, kehadiran rumah susun sewa tersebut akan berkontribusi pada terjadinya bangkitan lalu lintas di Jakarta. Sebab para penghuni rumah susun sewa yang terdiri dari banyak orang itu pasti akan melakukan mobilitas geografis, entah sifatnya temporer atau rutin pagi-sore. Meskipun ada teori yang mengatakan bahwa bangkitan itu dapat diminimalisir dengan mengembangkan delivery system, sehingga tidak seluruh kebutuhan harus dicapai dengan harus pergi bersama-sama, tapi hadirnya ruang fisik yang diikuti dengan kehadiran fisik penghuninya, tetap akan melahirkan masalah baru dalam transportasi.
Di sepanjang Jl. ������������������������������������������� Gatot Subroto, Jl. S.Parman, Jl. ���������� Suprapto, Jl. Harsono RM, Jl. Ahmad Yani, Jl. Casablanca, Kawasan Kuningan, dan seterusnya, juga tumbuh bangunan baru pencakar langit, yang sudah pasti mengundang bangkitan lalu lintas cukup tinggi. Bahkan di tepi-tepi jalan di luar jalan protokol pun tumbuh bangunan baru yang berfungsi komersial, seperti usaha perdagangan, rumah sakit, perkantoran, atau sekolah. Kota-kota besar lain seperti Surabaya, Makasar, Bandung, Palembang, dan Medan pun mengikuti pola tersebut. Bahkan Yogyakarta, sebagai kota kecil, pun mengikuti arus yang berkembang di Jakarta. Munculnya tempat komersial seperti Ambarukmo Plaza (Amplaz) misalnya, belum genap lima tahun (dioperasikan awal 2006). Pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta atau tempat-tempat komersial di kota-kota lain itu, di satu sisi menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi, bukti bahwa sektor riil terus bergerak, tapi pada sisi lain dapat menimbulkan persoalan baru dalam transportasi, apalagi bila tidak disertai dengan percepatan pembangunan angkutan umum massal. Menggugat Konsep Kota Mandiri Newman dan Kenworthy (1989) menegaskan, ada kaitan yang kuat antara transportasi dan tata guna lahan. Menurut * buletin tata ruang
21
topik utama . Bangunan �������������������������� Baru dan Ancaman Kemacetan ������������� di ������� Jakarta
Newman dan Kenworthy, ada hubungan antara konsumsi gas dan tata kota fisik di beberapa negara. Hal itu tidak lain karena masalah transportasi kota sebagian disebabkan oleh pola penyebaran penduduk, seperti terjadi di Amerika Serikat. Ada dua kemungkinan kebijakan tata guna lahan yang berpengaruh terhadap masalah transportasi. Pertama adalah penyebaran penduduk dari kota-kota besar metropolitan tempat kebanyakan orang tinggal, ke kotakota berukuran kecil dan sedang. Cara ini akan mengurangi jarak perjalanan dan memperbaiki aksesibilitas. ���������� Kepadatan penduduk di kota-kota besar akan berkurang dan kemacetan juga teratasi. Orang mungkin akan bepergian lebih banyak tapi perjalanan akan lebih singkat karena hanya berkisar di kota-kota yang lebih kecil tersebut. Kedua, akan lebih baik pula jika kota-kota terisolasi atau terpisah dengan baik, seperti halnya kota mandiri sehingga orang tidak perlu bepergian ke kota lain untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, karena kota tempat tinggal mereka sudah mampu mencukupi kebutuhannya. Konsep membangun kota mandiri sebetulnya sudah dikembangkan oleh para developer di Indonesia sejak awal dekade 1990an dengan membangun misalnya, kawasan Kota BSD (Bumi Serpong Dama). Setelah itu disusul dengan kompleks Karawaci, Cikarang, Sentul, dan lainnya. Promosi yang ditawarkan kepada publik pada saat itu adalah sebagai kota mandiri yang memberikan iming-iming kemudahan untuk melakukan aktivitas tanpa terjebak kemacetan lalu lintas seperti yang terjadi di Jakarta. Dengan bertempat tinggal di kota-kota mandiri tersebut, asumsinya, warga dapat melakukan aktivitas rutin (bekerja) di sana, belanja di sana, bersekolah, periksa kesehatan, dan menonton hiburan di lokasi yang sama. Oleh sebab itu, selain tersedia bangunan komersial, kota-kota mandiri tersebut dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan hiburan yang memadai.
Tapi realitas empirisnya, ternyata kawasan baru yang diberi julukan kota mandiri tersebut tidak mampu menunjukkan kemandiriannya. Kawasan tersebut menjadi kawasan hunian yang nyaman, tapi ketergantungan terhadap Kota Jakarta tidak dapat dilepaskan. Pada pagi hari warga ”kota mandiri” itu berduyun-duyun menuju Jakarta, sedangkan pada sore hingga malam hari mereka kembali berduyunduyun meninggalkan Kota Jakarta. Akibatnya, keberadaan kawasan baru yang dimaksudkan sebagai ”Kota Mandiri” itu justru menambah deret kemacetan menuju Kota Jakarta. Mengapa beberapa kawasan itu gagal menjadi ”kota mandiri?”. Tidak lain karena perpindahan fisik itu tidak disertai dengan pembagian kekuasaan dan uang. Kekuasaan dan uang tetap berada di Jakarta, sehingga meskipun jarak Jakarta – BSD itu kurang dari 50 km, orang terpaksa harus ke Jakarta setiap harinya agar dapat turut memperebutkan kekuasaan dan uang tersebut. Dengan kata lain, perencanaan tata guna lahan (land use planning) tidak dapat hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomis semata, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan politik dan budaya. Beberapa kawasan yang disebut sebagai ”kota mandiri” tersebut secara fisik (infrastruktur fisik) dan ekonomis mungkin sudah mampu menjawab kebutuhan warga yang tinggal di dalamnya. Tapi secara politik dan budaya tidak cukup memadai, karena ternyata warga yang tinggal di dalamnya tidak mampu berperan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan, kecuali bila harus ke Jakarta. Sedangkan secara kultural, kawasan baru itu tidak mampu membentuk budaya metropolitan, seperti yang terjadi di Jakarta, tapi hanya melahirkan budaya suburban. Atau bahkan tidak lahir budaya baru sama sekali karena minimnya interaksi antara orang satu dan lainnya, masing-masing sibuk dengan diri sendiri, sehingga interaksi verbal maupun tulis antar warga itu tidak terjadi. Image
bangunan berjajar dan macet
22 buletin tata ruang *
topik utama . Bangunan �������������������������� Baru dan Ancaman Kemacetan ������������� di ������� Jakarta
yang muncul belakangan pun berubah, bahwa tinggal di kawasan ”kota mandiri” itu di satu sisi terkesan eksklusif, tapi di sisi lain elitis yang termarginalisasi. Sebab elit yang tidak termarginalisasi akan berada di Pluit, Pondok Indah, Kebayoran Baru, Menteng, dan sebagainya. Boleh jadi, pembangunan gedung-gedung baru pencakar langit di Kota Jakarta itu sebagai bentuk respon kegagalan pembangunan kota mandiri yang tidak betul-betul mandiri. Fenomena pembangunan gedung-gedung baru di Jakarta akan terus berlangsung seiring dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) 2004 – 2009. Rencana pemerintah yang tertuang dalam RPJM tersebut menargetkan pembangunan rumah mencapai 1,34 juta unit. Target ����������� ini mencakup pembangunan 60.000 unit rusunawa, 25.000 unit rusunami, dan 1,26 juta unit rumah tinggal. Pemda DKI Jakarta, termasuk salah satu Pemda yang harus menjalankan kebijakan Pemerintah, sehingga mau tidak mau harus membangun unit gedung baru yang bersifat vertikal, mengingat pembangunan horizontal tampaknya tidak memungkinkan lagi. Sedangkan para developer swasta juga melakukan investasi secara besar-besaran di tengah Kota Jakarta, seperti misalnya St.Moritz (Rp. 11 triliun), Kemang Village (Rp. 12 triliun), Ciputra Mall (Rp. 14 triliun), Kuningan City (Rp. 6 triliun), Kota Casablanca (Rp. 7 triliun), dan Gandaria City (Rp. 6,5 triliun).
Boleh jadi di antara bangunan-bangunan komersial atau gedung-gedung baru pencakar langit tersebut tidak sesuai dengan master plan Kota Jakarta. Kontroversi lapangan sepakbola Persija di Menteng yang diubah menjadi lahan parkir dan taman misalnya, dapat menjadi contoh bagaimana master plan Kota Jakarta tidak selalu ditaati, termasuk oleh Pemda DKI Jakarta sendiri. ������������������������������ Untuk membenarkan tindakannya itu Pemda selalu melakukan revisi terhadap master plan yang ada, sehingga kalau melihat master plan yang ada dikaitkan dengan kondisi yang ada, seakan sesuai. Tapi bila kita lihat master plan sepuluh tahun yang lalu, maka kondisi yang ada sekarang banyak yang menyalahi master plan. Perubahan-perubahan itu tidak otomatis disertai dengan analisis dampak lalu lintas (Amdalalin), sehingga kemudian melahirkan problem baru berupa kemacetan, seperti yang tampak jelas terjadi di depan Plaza Semanggi. Arus lalu lintas dari arah Jl. Suparman ������������������������������������������� dan Jl. Sudirman yang mengarah ke Jl. Gatot Subroto terhambat oleh banyaknya kendaraan yang masuk ke Plaza Semanggi. Pada saat yang sama, karena plaza tersebut memiliki potensi penumpang yang cukup signifikan, angkutan umum banyak yang ngetem di sana. Beruntung, pihak managemen Plaza Semanggi telah melakukan perbaikan pintu masuk melalui belakang, sehingga tingkat kemacetan atau ketertundaan di depan plaza dapat berkurang.
Kehadiran bangunan-bangunan baru pencakar langit itu makin menambah padat Kota Jakarta, yang selama ini sudah dipenuhi oleh tempat-tempat perbelanjaan. Berdasarkan data Biro Perekonomian DKI Jakarta, di DKI Jakarta saat ini ada sekitar 364 pusat perbelanjaan, baik yang berupa mall, toserba, pertokoan, dan lainnya yang tersebar di lima wilayah: Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara. Pasokan Pusat Perbelanjaan di Jakarta berdasarkan wilayah dan jumlah mall di Jakarta, juga menurut wilayah lokasi dapat dilihat dalam dua tabel di bawah ini:
Kondisi yang sama akan terjadi di depan Grand Indonesia (dulu Hotel HI) bila seluruh bangunan di kawasan tersebut sudah dioperasikan. Banyaknya mobil pribadi yang keluar masuk kawasan tersebut (hotel dan perbelanjaan) secara otomatis akan melahirkan bangkitan baru. Apalagi di seberangnya juga terdapat bangunan komersial baru yang akan melahirkan bangkitan lalu lintas pula. Keberadaan kedua bangunan komersial tersebut akan membuat sesak lalu lintas di sekitar bundaran HI yang akan berdampak panjang. Dari selatan sampai Blok M, sedangkan dari arah utara dampaknya sampai Kota Tua.
Tabel 1 Pasokan Jumlah Berbelanjaan menurut Wilayah
Seharusnya, gedung-gedung baru itu dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lalulintas (Amdalalin), sebelum pengembang yang bersangkutan memperoleh IMB dari instansi pemerintah yang berwenang. Amdalalin ini mencakup kapasitas gedung, potensi bangkitan perjalanan yang ditimbulkan (baik jumlah dan klasifikasi kendaraan, maupun jumlah dan karakteristik pengunjungnya), serta solusi atas masalah yang timbul, misal, daya tampung tempat parkir gedung harus mencukupi, sehingga parkir tidak sampai luber ke tepi atau bahkan badan jalan. Selain itu juga harus dipikirkan bagaimana agar para pejalan kaki yang hendak mengakses ke dalam gedung bisa memperoleh haknya tanpa ada konflik (bersimpangan atau bahkan berlawanan arah) dengan arus kendaraan bermotor. Jika melihat kenyataan saat ini, penulis sangsi, jika seluruh bangunan itu disertai Amdalalin.
Wilayah CBD Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Selatan
Prosentase 23,8 % 14,7% 11,2% 13,3% 20,4% 16,6%
Sumber berita: Kompas, 23 Oktober 2008 Tabel 2 Jumlah Mall di Wilayah Jakarta
Wilayah Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Barat Jakarta Selatan
Jumlah 13 11 6 10 17
Sumber berita: Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas Halaman ini terakhir diubah pada 12:52, 14 Oktober 2008.
Wacana TOD Di dunia transportasi dikenal istilah yang namanya Transit Oriented Development (TOD), yaitu suatu konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan * buletin tata ruang
23
topik utama . Bangunan �������������������������� Baru dan Ancaman Kemacetan ������������� di ������� Jakarta
angkutan umum massal, seperti bus dan kereta api, sehingga mempermudah warga kota untuk mengakses sumber daya kota. Di sini ada banyak kepentingan yang dipertemukan: di satu pihak keinginan pemilik gedung untuk dikunjungi banyak orang terpenuhi, di pihak lain warga dapat mengakses fasilitas kota dengan mudah, pemerintah kota tidak terbebani resiko kemacetan baru, pengelola angkutan umum massal juga gembira karena load factor moda angkutannya meningkat. Tujuan dari TOD adalah untuk memperpendek perjalanan dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua pusat kegiatan diletakkan di sepanjang jalur angkutan massal sehingga aksesibilitas warga makin tinggi. Hal itu karena struktur bangunannya tidak terlalu lebar, penduduknya cukup (untuk tidak dibilang padat), dan kawasan itu mix use (tidak hanya satu zona): ada zona bisnis, perkantoran, fasilitas umum, dan fasilitas sosial sehingga orang dapat melakukan aktivitas dan mencukupi kebutuhannya dalam kawasan tersebut. Setelah turun dari kereta api atau bus mereka dapat berjalan dengan nyaman maksimal 10 menit untuk mengakses sumber daya kota. Atau bila mereka akan bepergian, cukup berjalan maksimal 10 menit dari rumah menuju stasiun. Hal itu terjadi karena dalam TOD ada ketersediaan aktivitas bisnis keseharian dalam jarak pejalan kaki di sekitar stasiun, ketersediaan fasilitas pejalan kaki sebagai fasilitas transfer dengan angkutan umum massal dan perekat antar bangunan, serta disain bangunan yang menyatu dengan fasilitas pejalan kaki dan angkutan umum. Jepang adalah salah satu negara yang berhasil mengembangkan konsep TOD sejak lebih dari tiga dekade lalu. Konsep tersebut juga dikembangkan di Amerika Serikat. Di Washington DC misalnya, pengetrapan TOD itu mampu meningkatkan pendapatan pemerintah kota. Hal itu terjadi karena warga kota dapat menghemat biaya transportasi mereka dan kemudian membelanjakannya untuk kebutuhan lain, sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan pajak pemerintah kota. Demikian pula Curitiba (Brasil) merupakan contoh yang baik sebagai kota yang memiliki TOD, karena di sepanjang jalur bus priority, terdapat bangunan-bangunan tinggi yang diikuti dengan bangunan yang lebih rendah untuk tempat tinggal, sehingga orang begitu turun dari bus priority cukup berjalan kaki menuju ke tempat perkantoran, kegiatan bisnis, atau tempat tinggal. ��� Di Jakarta, kawasan sepanjang Jl. Sudirman – Medan Merdeka Barat dilalui oleh Busway Transjakarta, tapi bangunan yang ada di sana hanya satu zona saja (perkantoran dan bisnis saja). Lokasi tempat tinggal penduduk berada jauh di belakang, yang seharusnya dapat diakses mengunakan transportasi pengumpan yang ternyata tidak tersedia. Beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan TOD adalah adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas yang terkait dengan angkutan umum, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga dapat membuat pergerakan dengan menggunakan angkutan umum dan mendukung angkutan dengan adanya perdagangan, dan adanya kampanye berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan transportasi supaya membuat angkutan umum lebih nyaman adalah adanya integrasi tata guna lahan, kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parkir. Di Distrik Colombia, TOD itu ditandai dengan tersedianya 24 buletin tata ruang *
halte pemberhentian angkutan umum pada setiap 800 m, selalu terintegrasi dengan akses pejalan kaki dan jalur sepeda, terdiri dari banyak zona (tempat tinggal, pedagang, dan tempat kerja), memiliki tempat parkir yang bagus, dan perumahannya sendiri terdiri dari berbagai tipe (bukan hanya menengah ke atas saja, tapi juga menengah ke bawah). Jalan menuju ke stasiun juga ada route bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki, tersedia informasi infrastruktur yang baik, terhubung dengan median dan traffic calming (pulau penghambat) seperti yang terlihat di Delft, Leiden, Den Hague, Hannover, Copenhagen, Malmo, Bogota, dan Curitiba. Di Jakarta, tidak ada satu pun kawasan yang memenuhi persyaratan untuk dikembangkan menjadi TOD. Akibatnya, kesemrawutan dan kemacetan tidak terhindarkan, karena pada pagi hari mayoritas orang melakukan perjalanan dari empat penjuru (utara, timur, selatan, dan barat) menuju ke Jakarta, sebaliknya pada sore hari mayoritas orang melakukan perjalanan menuju ke empat penjuru tersebut. Di lain pihak, lokasi-lokasi di sekitar stasiun kereta atau busway tidak ada aktivitas yang berarti. Seandainya di Jakarta dikembangkan kawasan TOD, mungkin dapat mengurangi kemacetan lalu lintas. Tapi karena gedung-gedung tersebut sebagai bangunan tunggal (perkantoran atau bisnis saja), bukan mix use, maka secara otomatis kehadirannya melahirkan bangkitan lalu lintas baru, apalagi letak bangunan tersebut bukan di jalur angkutan umum massal yang dapat memudahkan orang mengakses gedung itu dengan menggunakan angkutan umum massal, sebaliknya dipaksa menggunakan kendaraan pribadi. Akibatnya kehadiran gedung-gedung tersebut dapat memacu pertumbuhan kendaraan pribadi yang sudah amat tinggi. Jauh amat tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan angkutan umum yang dapat dikatakan justru stagnan, seperti terlihat dalam tabel 3 – 5 di bawah ini: Sedangkan tabel 6 di bawah ini memperlihatkan tingkat pertumbuhan mobil di beberapa kota di ASEAN. Indonesia ternyata mempunyai tingkat penjualan mobil cukup tinggi bila dibandingkan Malaysia, Filipina, maupun Singapura. Ini menunjukkan bahwa ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan dengan ketiga negara tersebut, terlebih bila dibandingkan dengan Singapura. Kerjasama Antar Instansi Perkembangan kota yang semakin kompleks memerlukan pendekatan yang multi disiplin dan strategi. Membiarkan pembangunan kota secara sendiri-sendiri akan melahirkan bencana di masa depan. Oleh sebab itu saatnya perlu ada kerjasama yang baik antar departemen/dinas terkait dalam pembangunan kota. Bukan hanya Departemen/ Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan Departemen/Dinas Perhubungan (Dep/Dishub) saja yang perlu bersinergi, tapi juga dengan Kementrian Perumahan Rakyat, Departemen Perdagangan, dan departemen/dinas lainnya. Tanpa ada sinergi antar departemen/dinas, terasa muskil dapat membenahi transportasi kota (Jakarta). Sebagai contoh, demi pertimbangan efisiensi angkutan, Departemen Perhubungan memilih mengembangkan kereta api. Tapi Departemen Pekerjaan Umum lebih suka memfasilitasi pembangunan jalan tol yang lebih banyak
topik utama . Bangunan �������������������������� Baru dan Ancaman Kemacetan ������������� di ������� Jakarta
memfasilitasi kendaraan pribadi. Di lain pihak, Kementrian Perumahan Rakyat mempunyai program membangun 1.000 rumah susun sewa yang kelak menimbulkan masalah besar dalam transportasi. Itu adalah contoh betapa kita selama ini telah samasama kerja, namun belum bekerja sama. Seharusnya dalam setiap proses perencanaan pembangunan kawasan, aspek transportasi selalu diikutsertakan. Kebijakan tata ruang tidak dapat mengabaikan aspek transportasi, dan pembenahan transportasi tidak terlepas dari kebijakan tata ruang. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Tapi orang sering melupakan hal ini, sehingga sampai saat ini Departemen Pekerjaan Umum terpisah dengan Departemen Perhubungan. Di tingkat daerah, Dinas PU selalu terpisah dengan Dishub. Ini jelas pola berpikir lama yang saatnya untuk dikoreksi Tabel 3 Data Kendaraan Bermotor di DKI Tahun 2007 (ribu unit) Tahun
Jenis Motor Penumpang Beban Bus
2002 2.816,44 1.434,80 441,09 315,14
2003 3.310,31 1,530,23 464,93 315,65
2004 3.940,70 1.645,31 488,52 316,39
2005 4,647,44 1.766,80 499,58 316,50
2006 5.310,07 1.835,65 504,73 317,05
2007 (Nov) 5.917,74 1.909,83 517,64 318,31
Sumber: Polda Metro Jaya Tabel 4
Tabel 5
Data Kendaraan Perwilayah
Perkembangan Pasar Otomotif Nasional
(Ribu Unit)
(2003-2009)
Wilayah Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Utara Depok Tangerang Bekasi
Jumlah
Tahun 773,16 1.602,37 1.652,39 1.112,75 625,45 402,44 1.421,02 1.076,19
Sumber: Polda Metro Jaya, 2008
Penjualan Mobil (unit)
2003
354.331
2004
483.170
2005
533.922
2006
318.904
2007
434.449
2008*
570.000
2009**
600.000
Sumber data: Gaikindo, Departemen Perindustrian, diolah Investordaily Keterangan: *angka proyeksi ** angka prediksi Sumber berita: Investor Daily, 6 Oktober 2008
Tabel 6 Penjualan Mobil di 6 negara Asean pada 2008 Negara
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Total
Thailand
45.715
49.565
66.456
54.721
54.910
50.108
321.475
Indonesia
41.112
47.117
46.293
51.039
50.373
53.989
290.253
Malaysia
45.811
38.527
46.436
50.279
47.391
48.990
277.974
Vietnam
12.084
8.920
13.091
13.271
11.494
9.749
68.609
Filipina
8.808
9.472
10.624
11.078
10.900
10.772
61.654
10.626
7.776
9.153
9.950
9.556
10.049
57.110
Singapura
Sumber data: AAF & Fourin Sumber berita: Bisnis Indonesia, 2 September 2008 * buletin tata ruang
25
topik utama. oleh: Dr. Ir. I.F. Poernomosidhi Poerwo, M.Sc, MCIT, MIHT Tenaga Ahli Fungsional Ditjen Penataan Ruang Departemen PU
Indonesia terletak di antara dua benua, dua samudra,
dan terdiri dari gugus pulau yang disebut Nusantara. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.508 pulau. Membentang 1.888 km dari 60080 Lintang Utara sampai 110150 Lintang Selatan dan 940450 Bujur Timur sampai 1410050 Bujur Barat. 81% wilayah Indonesia terdiri atas lautan/perairan, termasuk zona ekonomi ekslusif. Aglomerasi permukiman dan sebaran penduduk di Indonesia menciptakan fenomena anthropocentris dari ribuan suku dan ras di seluruh kepulauan Nusantara. Komposisi dan ratio antara jumlah penduduk dan luas wilayah pulau (besar) dan Gugus Kepulauan Laut menjadi ‘tidak seimbang’ dalam konteks daya dukung Pulau dan ‘threshold‘nya. Saat ini diperkirakan penduduk Indonesia mencapai 225.6 juta (2007, Bank Dunia). ������������������������������������ Ini berarti Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia. Namun kurang lebih 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya sekitar 6% dari seluruh Nusantara. Ditambah dengan P.Sumatera, maka dua pulau besar di bagian Barat Indonesia ini ‘membangkitkan’ tidak saja pergerakan barang dan manusia, tetapi juga kegiatan ekonomi. Perhubungan antar pulau, khususnya pulau-pulau besar dilakukan dengan kapal laut dan pesawat terbang. Namun kedua sarana angkutan tersebut tidak lepas dari pengaruh cuaca, angin, kabut, arus laut serta kondisi siang dan malam.
26 buletin tata ruang *
Segera Bangun Jembatan Selat Sunda
Pulau Jawa dan Sumatera, dihubungkan oleh Selat Sunda yang secara administratif masuk dalam wilayah dua propinsi. Pulau Sangiang ke timur masuk wilayah Propinsi Banten, sedangkan pulau-pulau sebelah barat Pulau Sangiang masuk wilayah propinsi Lampung. Jarak Bakauheni ke Teluk Betung adalah 90 km, sedangkan jarak Anyer ke Jakarta adalah 120 km. Dalam konstelasi ekonomi dunia������������������������� , posisi P.Sumatera (RA) dan P.Jawa (JA) berperan sangat penting dalam konteks regional. Berdasarkan laporan Bank Dunia 2007, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja 1.9% di atas pertumbuhan Asia Timur & Pasifik yang 1.2%, dengan proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan 17%. Gagasan Pembangunan Jembatan Selat Sunda Dengan adanya akses Jembatan Selat Sunda, pengaruh kedua pulau ini pada geoekonomi dunia akan sangat signifikan. Terutama terhadap sektor industri jasa pariwisata & transportasi lintas ASEAN bahkan ASIA–Australasia, termasuk akses ekonomi dengan Semenanjung Asia Tenggara (Thailand, Malaysia, Singapura). Peta geoekonomi industri pariwisata akan berubah dengan dihubungkannya Kawasan Telah Berkembang P.Sumatera dan Kawasan Sangat Berkembang P.Jawa-Bali. Gagasan untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dengan prasarana jembatan maupun terowongan melalui Selat Sunda telah sering disampaikan, dipublikasikan, didiskusikan dan dipelajari. Pada saat itu persoalan utama dalam mewujudkan gagasan tersebut adalah karena keterbatasan p e n g e t a h u a n mengenai kondisi selat dan kekuatan alam yang mengaturnya, ketersediaan teknologi dan biaya, dan keterbatasan sumber daya manusia, sehingga keraguan yang tak terpecahkan menyebabkan perkembangan gagasan tersebut tidak berlanjut.
topik utama . Segera �������������� Bangun Jembatan �������������������� Selat Sunda
Jawa dan pulau Sumatera terutama pada kawasan yang dipengaruhi (Propinsi Banten dan Lampung) Rencananya, jembatan di atas Selat Sunda itu memanjang 27,4 km, namun lokasi titik awal dan akhirnya belum ditetapkan (masih dalam tahap pre-FS). Pulau-pulau yang dilalui adalah pulau Kandang Lumuk, pulau Prajurit, pulau Sangiang dan pulau Ular dengan kedalaman dasar laut antara + 25 m s/d + 200 m dibawah permukaan air laut. Terdapat palung selebar 2 – 3 km dengan panjang lebih dari 14 km yang terletak antara pulau Sangiang dan pulau Jawa. Untuk menyeberangi Selat Sunda dibutuhkan jembatan dengan bentang yang panjang. Namun demikian, teknologi yang telah diterapkan pada beberapa negara dewasa ini telah menggugah kembali untuk melihat kemungkinan tersebut sebagai tantangan. Jembatan-jembatan dengan bentang panjang melalui selat-selat yang ada telah dimungkinkan dan telah diwujudkan dibeberapa negara seperti Jepang, Denmark, Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain. Tujuan pembangunan infrastruktur penghubung Selat Sunda dikaji dan rumuskan dari sisi: a. Keseimbangan sumberdaya dan pemerataan penduduk karena pada saat ini sumber daya manusia terkumpul di Pulau Jawa sedangkan Pulau Sumatera memiliki potensi sebagai sumberdaya alam. b. Komunikasi lebih intensif sehingga akan berdampak pada kestabilan politik, ekonomi dan sosial. c. Jaringan jalan arteri primer. Untuk menutup kesenjangan jaringan jalan arteri primer sepanjang 3.500 km di Sumatera (Banda Aceh-Bangkauheni) dan 1.000 km di Jawa (Anyer-Banyuwangi) d. Pengembangan Pariwisata domestik akan lebih mudah dipromosikan. Jembatan Selat Sunda��������������� perlu, karena: a. Transportasi barang dan jasa antara Jawa dan Sumatera melalui jalan darat dan penyeberangan kapal feri pada Selat Sunda sudah sangat padat. Waktu tempuh selama 2 - 3 jam untuk menyeberang Selat Sunda dengan menggunakan kapal feri dapat ditekan serta memberikan alternatif prasarana angkutan lain (jembatan) yang tidak tergantung pada pengaruh cuaca dan waktu. Jumlah penumpang yang naik dari Bakauheni adalah 450.523 orang per tahun dan dari Merak 364.329 orang per tahun dengan perkiraan pertumbuhan 6,29% per tahun. b. Pengembangan kegiatan industri yang terkonsentrasi di Pulau Jawa dapat didistribusikan ke Pulau Sumatera. c. Pembangunan jembatan Selat Sunda akan mempengaruhi pola pemanfaatan ruang dan struktur kegiatan di pulau
Sementara itu, meski aktifitas gunung Anak Krakatau semenjak tahun 1927 telah terjadi 24 kali letusan (erupsi) namun merupakan letusan yang normal dan tidak membahayakan jembatan yang akan dibangun. Berdasarkan penelitian kemungkinan letusan dasyat akan terjadi lagi pada tahun 2363. Payung Hukum Jembatan Selat Sunda Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN telah memberikan arahan: (1) pengembangan transportasi nasional ditujukan untuk menunjang kegiatan sosial, ekonomi, pertahanan keamanan negara, menggerakkan dinamika pembangunan, dan memantapkan kesatuan wilayah nasional dengan mendukung peruntukan ruang di kawasan budidaya dan penyebaran pusat-pusat permukiman serta sektor terkait lainnya; (2) pengembangan jaringan transportasi nasional menghubungkan antar pulau, pusat permukiman, kawasan produksi, pelabuhan laut dan udara, sehingga terbentuk satu kesatuan sistem transportasi darat, laut dan udara, dan (3) jaringan transportasi nasional dikembangkan saling terkait meliputi wilayah nasional dengan luar negeri, antar wilayah dan antar kota, dan dalam keterkaitan intra dan intermoda transportasi. Sedangkan jaringan transportasi jembatan dan terowongan antarpulau dititikberatkan untuk melayani arus lalu lintas antar pulau yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, antara Pulau Jawa dan Pulau Madura, antara Pulau Jawa dan Pulau Bali, serta di kawasan yang mendukung kelancaran kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain. Sementara visi pemanfaatan ruang yang terdapat dalam RTRWN adalah : a. perkembangan kegiatan ekonomi antar pulau yang semakin seimbang dan semakin terkait untuk mendorong terwujudnya pemerataan pembangunan dan kesatuan wilayah nasional. b. sektor industri yang semakin menyebar di luar P. Jawa dan P. Sumatera sesuai dengan potensinya untuk mempercepat perkembangan ekonomi wilayah. * buletin tata ruang
27
topik utama . Segera �������������� Bangun Jembatan �������������������� Selat Sunda
lain yang berdekatan, serta upaya mengurangi semaksimal mungkin dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan sosialbudaya masyarakat di sekitarnya. Kegiatan budi daya di darat, laut dan udara dikembangkan saling menguatkan, serasi dan selaras dengan pengembangan permukiman, dengan memperhatikan potensi sumber daya alam, sumber daya buatan, prasarana pendukung, kemampuan investasi nasional dan kondisi ekonomi global.
c. penyebaran kegiatan ekonomi yang sesuai dengan potensi kawasan di wilayah nasional dan membentuk keterkaitan yang mewujudkan penguatan struktur ekonomi secara sektoral dan regional. d. industri di P. Jawa tetap berkembang akan tetapi perlu memberi perhatian khusus pada ketersediaan air dan kelestarian lingkungan. e. luas lahan pertanian secara nasional tetap dipertahankan untuk menjaga kemandirian dibidang produksi pangan. Dengan demikian perubahan fungsi lahan pertanian yang ada di P. Jawa yang menjadi permukiman dan kawasan industri harus diganti dengan pembukaan sawah baru di luar P. Jawa. f. penyebaran kegiatan ekonomi didorong ke KTI dengan memperhatikan potensi sumber daya alam, saling menguatkan dengan pengembangan pusat-pusat permukiman dan dapat menciptakan kesempatan kerja sehingga dapat menarik penduduk dari daerah padat. Jika kembali melihat ke dalam PP 26 tahun 2008, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu kawasankawasan lindung diupayakan agar dapat membentuk suatu kesatuan, dan di dalam kawasan lindung sejauh mungkin dihindari kegiatan budi daya dan permukiman. Apabila dalam kawasan lindung perlu dikembangkan kegiatan budi daya yang sangat menguntungkan untuk pembangunan nasional, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan syarat fungsi lindung tidak terganggu. Apabila dibutuhkan, jaringan prasarana dasar seperti jaringan transportasi, jaringan kelistrikan, jaringan telekomunikasi, prasarana dan sarana distribusi air bersih serta bangunan pengendali gempa dan bencana alam dapat dibangun melalui atau dalam kawasan lindung dengan tetap mempertahankan fungsi kawasan lindung dan tidak mengganggu kelestariannya. Sementara pemanfaatan ruang dan sumber daya untuk kegiatan produksi dalam kawasan budi daya di darat, laut dan udara diutamakan untuk kemakmuran masyarakat melalui upaya peningkatan keterkaitan dengan kegiatan 28 buletin tata ruang *
Pada saat yang sama perlu diupayakan untuk menyebarkan perkembangan kawasan-kawasan andalan dengan sektor unggulannya di wilayah nasional untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan perkembangan antar wilayah. Perkembangan tersebut dilakukan dengan memperhatikan potensi daerah, permukiman dan sumberdaya manusia, kemampuan investasi nasional, sumber daya buatan dan kondisi ekonomi global. Perlu juga diupayakan untuk meningkatkan keterkaitan yang saling menguatkan antar kawasan andalan dalam wilayah nasional untuk meningkatkan sinergi perkembangan sebesar-besarnya. Kawasan permukiman diupayakan dapat berfungsi sebagai pusat pelayanan ekonomi yang berkembang secara selaras, saling memperkuat dan serasi dalam ruang wilayah nasional. Pusat-pusat permukiman tersebut membentuk suatu sistem yang mencerminkan fungsi dan hirarki pusat sesuai dengan wilayah pelayanannya dan pola keterkaitan pusat-pusat permukiman serta antara permukiman perkotaan dan perdesaan. Pengembangan pusat-pusat kegiatan itu didukung perluasan jaringan transportasi nasional untuk melayani kegiatan sosial ekonomi masyarakat, termasuk permukiman transmigrasi, kawasan-kawasan terpencil, daerah terbelakang, dan daerah perbatasan. Jaringan transportasi itu ini juga berguna untuk menghubungkan pintu-pintu ekspor-impor. Pengembangan jaringan transportasi diselaraskan dan dipadukan dengan pengembangan sistem permukiman dengan menggunakan pertimbangan : 1. pusat-pusat permukiman sebagai simpul pelayanan transportasi; 2. kebutuhan pelayanan dan jenis moda pada masing-masing simpul didasarkan pada hirarki dan fungsi permukiman serta tingkat perkembangan kawasan. 3. untuk kota-kota metropolitan, diupayakan mengembangkan jaringan transportasi yang efisien melalui penggunaan moda angkutan umum masal dipadukan dengan moda angkutan umum lainnya dengan memperhatikan efisiensi penggunaan ruang dan mempertimbangkan
topik utama . Segera �������������� Bangun Jembatan �������������������� Selat Sunda
kemungkinan penggunaan terpadu (multi use) dari suatu ruang. Untuk kota yang memungkinkan pengembangannya diarahkan dengan pemanfaatan ruang di bawah kota.
Keterkaitan kedua kota ini justru ke Pantai Timur dengan kota Pekanbaru dan Palembang sebagai outlet utama. Juga lemahnya koordinasi pengelolaan kawasan lindung lintas propinsi dan Kabupaten/Kota.
Pengembangan lintas dilakukan melalui pembangunan salah satu atau kombinasi dari prasarana jalan darat (jalan raya, kereta api, sungai dan danau) dan angkutan penyeberangan yang dapat mendorong peningkatan perkembangan kawasan dan permukiman. Melalui ��������������� sistem transportasi yang �������������������������������������������� efisien ��������������������������������������� dan efektif dengan keterpaduan antar dan intramoda.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan juga terdapat sejumlah masalah, seperti p��������������������� endayagunaan potensi sumberdaya kelautan kurang optimal bahkan kurang terkontrol. ���������������������������������������������� Penguasaan teknologi prosesing perikanan laut masih lemah sehingga sumberdaya kelautan masih terbatas pada perikanan laut yang dalam kondisi “mentah”. Marineindustry belum berkembang dengan baik di Pulau Sumatera. Ini karena kurangnya perhatian dalam pengembangan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil terutama di bagian barat Pulau Sumatera menjadi kawasan yang relatif terisolir dan kurang dapat berkembang, karena infrastruktur pendukung kegiatan perikanan laut masih sangat terbatas.
Selanjutnya, berkaitan dengan arahan pengembangan kawasan andalan di dalam PP 26 tahun 2008 perlu dikenali beberapa kawasan andalan yang terpengaruh dengan adanya Jembatan Selat Sunda ini, yaitu Kawasan Andalan Bojonegara – Merak – Cilegon dsk. Propinsi Banten dengan sektor unggulan industri, tanaman pangan, pariwisata, perikanan dan pertambangan dan Kawasan Andalan Bandar Lampung – Metro dsk. di Propinsi Lampung dengan sektor unggulan perkebunan, pariwisata, tanaman pangan, industri, dan perikanan. Beberapa Isu Strategis Pulau Sumatera Ada beberapa pokok masalah yang ada di Pulau Sumatera, di antaranya, kesenjangan perkembangan wilayah antara Pantai Barat – Pantai Timur Sumatera. Wilayah ��������������������� Pantai Barat Pulau Sumatera lebih tertinggal dibandingkan dengan Pantai Timur Pulau Sumatera. Kemudian, pertumbuhan penduduk Sumatera rata-rata tahun 1995 – 1999 sebesar 1,90% per tahun relatif lebih tinggi dari laju tertumbuhan nasional pada periode waktu yang sama yang hanya sebesar 1,66%, namun pertumbuhan penduduk ini secara spasial tidak tersebar merata, hanya pada bagian Tengah dan Pantai Timur Sumatera saja. Selain itu, adanya gejala “primacy” kota dan lemahnya keterkaitan antar kota pada setiap propinsi di Pulau Sumatera, terutama yang berstatus sebagai ibukota propinsi. Kota-kota metropolitan Medan dan Palembang merupakan konsentrasi penduduk dan ekonomi di Sumatera, serta kotakota cepat bertumbuh berada di Pantai Timur dan Pantai Tengah. Di Pantai Barat hanya terdapat kota Padang dan Bengkulu yang minim keterkaitannya satu dengan yang lain.
Dalam pengembangan ekonomi kawasan dan kerjasama regional di Pulau Sumatera juga masih terjadi kompetisi antar propinsi untuk komoditi yang sama. Seharusnya, menyikapi kerjasama regional IMT-GT dan IMS-GT, masingmasing propinsi berupaya mengembangkan komoditi atau sektor unggulan agar daya saingnya lebih tinggi. Keterkaitan ekonomi antar propinsi se-Sumatera (inter-regional trade) juga belum tercipta karena masing-masing propinsi cenderung melakukan kebijakan berorientasi ekspor komoditi “mentah”, dibanding industri “processing” seperti agroindustri dan agrobisnis dengan nilai tambah tinggi. Dalam pengembangan prasarana wilayah di Pulau Sumatera, termasuk bidang transportasi masih lemah. Karena kurang terpadunya pengembangan prasarana yang mendukung sistem inter-moda transportasi, yang dapat dilihat dari dominasi transportasi di Sumatera oleh transportasi jalan raya sehingga akibat tingginya arus kendaraan, kerusakan jalan merupakan tantangan yang sangat serius. Sementara alternatif untuk mengatasi hal itu, yaitu pengembangan sistem jaringan kereta api (Trans Sumatera Railway) yang sinergis, masih terbatas pada pelayanan di daerah-daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Tengah dan Lampung. Sedangkan moda lainnya seperti sistem transportasi laut dan udara, kurang bisa optimal karena ada prasyarat teknis yang harus dipenuhi.
Perahu nelayan tengah berlabuh di salah satu sudut Selat Sunda
* buletin tata ruang
29
topik utama . Segera �������������� Bangun Jembatan �������������������� Selat Sunda
Keterisoliran pulau-pulau kecil di sekitar pantai barat Sumatera yang diakibatkan kecilnya skala ekonomi yang dihasilkan untuk langsung dijual ke kota besar. Orientasi langsung ke kota besar kurang menguntungkan bagi daerah ini. Saat sekarang wilayah ini hanya dilayani secara terbatas baik frekuensi penyeberangan maupun jumlah dan kualitas prasarana yang ada.
Berdasarkan Kriteria tersebut, maka Daya Dukung Pulau Jawa rata-rata sudah dilampaui.
Sistem jaringan telekomunikasi yang terbentuk di Sumatera telah melayani seluruh wilayah, hanya saja belum membentuk sistem yang kompak dan sama terutama pada pantai Barat dan Kepualuannya. �������������������������� Untuk itu perlu dilakukan integrasi sistem jaringan telekomunikasi dalam skala Pulau Sumatera.
Pulau Jawa sendiri memiliki banyak sumber daya alam yang dapat dikembangkan. Misal, Tropical terrestrial and marine resources yang khas untuk bahan baku obat, kosmetika, produk industri dan pangan. Namun Prinsip Eco Region atau Bio-Region yang dipakai sebagai landasan UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang perlu dijabarkan dalam konsep ‘One Island One Plan One Integrated Management’.
Beberapa Isu Strategis Pulau Jawa
Apalagi saat ini air tawar menjadi bahan langka, karena hutan dan Daerah Aliran Sungai dalam kondisi kritis. ����� Pada tahun 1800an, terdapat ± 11.5 juta ha lahan hutan. Tahun ������ 1989 tinggal ± 3 juta ha.
Sejumlah persoalan pada umumnya sama dengan Pulau Sumatera, bahkan di Jawa dengan tingkat intensitas persoalan yang dua kali lipat. Contoh, kesenjangan Pertumbuhan Kawasan Koridor Pantura dan Pansela Jawa maupun masalah kawasan rawan bencana gunung berapi, gempa bumi, gerakan tanah longsor dsb. Saat ini penduduk Pulau Jawa naik dari 128 juta (2005) ke 151 juta (2020) atau 58% dari 220 (2005) ke 55% dari 274 juta (2020) seluruh penduduk RI. 65% penduduk Jawa adalah kaum urban (2020). Lemahnya penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah terutama implementasi rencana tata-ruang dan pengendalian, mengakibatkan hutan-tanahsungai Jawa rusak dan mengakibatkan bencana banjir serta erosi yang memukul penduduk miskin. Padahal tingkat Kesuburan tanah Jawa 4 x Sumatera, 6 x Kalimantan untuk tanaman padi. Air tawar Jawa menciut langka. Daya dukung ekologi dan PDB hijau membuktikan ambang batas pulau dilampaui. Kebutuhan Lahan Per Orang Per Tahun Berdasarkan Kriteria Dunia: 1. untuk lahan energi = 2.34 ha/orang 2. lahan terdegradasi = 0.20 ha/orang 3. kebun = 0.02 ha/orang 4. lahan pertanian = 0.66 ha/orang 5. lahan peternakan = 0.46 ha/orang 6. hutan = 0.50 ha/orang Total Kebutuhan Lahan = 4.18 ha/orang
Lahan pertanian dalam periode 1880-1930an meningkat tajam seiring laju pertumbuhan penduduk. Sampai dengan Tahun 1990 lahan pertanian relatif konstan, sementara pertumbuhan penduduk terus meningkat tajam. (Kajian Daya Dukung P.Jawa, Tim Menko Perekonomian, 2007) Dampak Pembangunan Jembatan Selat Sunda a. Perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang pada kawasan pengaruh (outlet-inlet, kabupaten dan pulaupulau yang dilalui oleh jembatan Selat Sunda). b. Perubahan kegiatan ekonomi, sosial budaya regional yang lebih intensif yang berdampak pada adanya kecenderungan regionalisasi wilayah pengembangan tanpa dibatasi oleh batas administrasi. c. Kecenderungan perubahan fungsi kegiatan pelabuhan baik di Bakauheni, Panjang maupun Merak. d. Perubahan fungsi sistem jaringan jalan Sumatera – Jawa serta perubahan tata guna lahan sepanjang jaringan jalan tersebut. e. Lokasi pilar jembatan menyebabkan perubahan arus air laut yang mempengaruhi jalur pelayaran regional dan internasional dan berdampak pada ekosistem laut di sekitarnya, pola tangkapan ikan serta abrasi pantai.
Penduduk Luas Lahan Kebut Lahan Total Kebuthn (juta (Ha) (Ha/orng) Lahan (Ha) orang)
No
Provinsi
1
DKI
9.16
66,100
4.18
2
Jabar Banten
38.34
4,630,000
3
Jateng
29.69
4
DIY
5
30 buletin tata ruang *
Jadi, perlu dicermati lebih lanjut bagaimana perkiraan dampak pembangunan Jembatan Selat Sunda terhadap Daya Dukung dan Daya Tampung Pulau Jawa versus Pulau Sumatera.
Kondisi (Ha)
Daya Dukung
38,288,800
-38,222,700
dilampaui
4.18
160,261,200
-155,631,200
dilampaui
3,420,600
4.18
124,104,200
-120,683,600
dilampaui
2.90
318,800
4.18
12,122,000
-11,803,200
dilampaui
Jatim
33.80
4,792,200
4.18
141,284,000
-136,491,800
dilampaui
Total P.Jawa
113.89
13,227,700
476,060,200
-462,832,500
dilampaui
Tabel Jejak Ekologi ( Ecological Footprint ) untuk P. Jawa (Sumber Tim Studi Daya Dukung P.Jawa Ditjen Taru & Menko Perekonomian 2007)
topik utama . Segera �������������� Bangun Jembatan �������������������� Selat Sunda
f. Adanya perubahan fungsi kota (PKL, PKW) dan fungsi kegiatan kota (pariwisata, industri, permukiman, pertanian). g. Timbulnya kegiatan ekonomi (perubahan pemanfaatan ruang) di sepanjang akses yang dapat mengganggu tingkat aksesibilitas. h. Adanya kemungkinan terganggunya ekosistem laut antara lain terumbu karang. i. Adanya reklamasi pantai disebelah barat pulau Ular yang memerlukan pengelolaan ruang. j. Adanya peningkatan polusi (sampah, suara, estetika) pada daerah pantai dan pulau Sangiang karena peningkatan kegiatan. k. Adanya gangguan lingkungan akibat galian material yang membutuhkan pengelolaan terpadu antar wilayah. l. Potensi Kalianda–Way Kambas–Teluk Semangka–Waduk Batutegi, Anak Krakatau, Tj. Lesung, P. Sangiang, Anyer dsb. sebagai tempat pariwisata dapat lebih dikembangkan. m. “Lesson Learned” dari Jembatan yang menghubungkan P.Honshu dengan P. Shikoku di Jepang (Gambar : Jembatan Seto-Chuo 37 km) maka waktu kajian kelayakan, termasuk kajian pengembangan wilayahnya sampai dengan Disain Rinci diperlukan paling tidak 20 tahun (1955–1975), untuk konstruksi sampai selesai 15 tahun (1975-1990). (Sumber: ������������������������ Survey, R&D, Design and Construction for Seto Ohashi Bridges Presentation, 2008). CATATAN PENUTUP 1. Perlunya analisis Penataan Ruang yang mendalam terhadap dampak Infrastruktur (Jembatan) Selat Sunda, pada :
tata ruang akibat pembangunan Jembatan Selat Sunda 5. Perlunya kerjasama pihak perencana desain teknik Jembatan Selat Sunda dengan pihak perencana tata ruang untuk mengantisipasi dampak pemanfaatan ruang 6. Perlunya revisi RTR propinsi/kabupaten/kota dengan masukan dari analisis dampak pemanfaatan ruang pada studi Amdal dan desain teknik 7. Perlunya dibentuk forum kerjasama pengembangan wilayah melalui legalisasi untuk mendukung terjadinya regionalisasi kegiatan yang merumuskan kesepakatan serta jaminan kepastian hukum dalam pemanfaatan ruang 8. Perlunya kerjasama Pemerintah Propinsi Banten, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, serta Pemerintah Propinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan untuk menyiapkan sistem jaringan jalan lokal dan regional yang tidak hanya bertumpu pada / membebani jalan nasional 9. Perlunya revitalisasi kawasan pelabuhan Merak yang akan mengalami penurunan fungsi 10. Perlunya kajian terhadap integrasi moda transportasi dan utilitas. 11. Akhirnya dari berbagai pengalaman dunia Internasional Gagasan untuk mewujudkan Jembatan Selat Sunda harus segera dirintis sebagaimana Gagasan Terowongan Selat Inggris (Channel Tunnel/ Chunnel/Eurotunnel) sudah dimulai sejak 1802 dan dibuka pada 1993
Perubahan pola dan struktur pemanfaatan ruang Perubahan Orientasi Pelayanan Sebelum����������� – Sesudah (Before&After) (Lihat Gambar) Perubahan sistem transportasi Perubahan fungsi pelabuhan Kajian sosial ekonomi dan action plan untuk masyarakat terkena dampak Pengembangan kegiatan pariwisata meliputi : Kalianda – Way Kambas – Tl. Semangka – Waduk Batutegi, A. Krakatau, Tj. Lesung, P. Sangiang, Anyer dsb. 2. Perlunya Kajian yang mendalam terhadap Pilihan Tipe Infrastruktur Lintas Pulau yang dapat mengurangi dampak negatif dan menjadi pengungkit (leverage) untuk pengembangan wilayah di kedua Pulau dengan padanan dunia International terhadap Infrastruktur berbasis Jalan atau berbasis Jalan Rel atau Infrastruktur Bangunan Layang (spt Jembatan) atau Infrastruktur Bangunan Bawah Tanah / Bawah Laut (spt Terowongan). Demikian pula pengaruh gandanya (Multiplier Effect) terhadap perwujudan Ruang Nusantara. 3. Perlunya buffer zone di sepanjang jalan nasional untuk menghindari tumbuhnya kegiatan-kegiatan di sepanjang jalan tersebut 4. Perlunya sosialisasi rencana kegiatan pada stake holder pada saat FS untuk mendapatkan masukan perubahan * buletin tata ruang
31
Kerjasama antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur
topik lain. oleh: Sekretaris Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek
Wilayah
Jabodetabekjur merupakan kawasan perkotaan dengan dinamika dan muatan persoalan serta kegiatan tertinggi di Indonesia. Sehingga sudah seharusnya mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang belakangan ini nampak mengalami tekanan lingkungan (environmental stress) yang sangat tinggi. Terdiri dari 11 wilayah administrasi otonom, yang tediri dari 3 Provinsi serta 8 Kabupaten/Kota. Dengan rentang variabel fisik dari topografi rendah (pesisir) sampai dataran tinggi (perbukitan) yang terhampar dalam satu region. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di salah satu wilayah jelas berpengaruh dan dipengaruhi oleh wilayah lain, sebagai satu kesatuan ekosistem. Mengingat kondisi ini, maka diperlukan pengelolaan yang integratif antar wilayah tersebut. Sehingga, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpun-jur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Secara definisi, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, disebutkan, kawasan Jabodetabekjur merupakan suatu Kawasan Strategis Nasional, yang selanjutnya penataan ruangnya secara spesifik diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 (Perpres nomor 54/2008) tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Pola Kerjasama Antardaerah Kerjasama antardaerah menjadi salah satu pendekatan utama dalam Penataan Ruang Wilayah/Kawasan serta pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi lebih dari satu wilayah administrasi, dan merupakan salah satu alat untuk meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah dan sektor, serta berperan dalam mewujudkan efisiensi pemanfaatan ruang sebagai tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial budaya serta pelestarian lingkungan hidup. Kerjasama antardaerah juga merupakan perangkat untuk menjaga ekosistem antar wilayah guna kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Kerjasama antardaerah dapat dilakukan dalam upaya 32 buletin tata ruang *
menyelesaikan konflik yang bersifat lintas batas dan/atau persoalan yang sulit untuk ditanggulangi sendiri, misalnya dalam persoalan prasarana wilayah. Beberapa peraturan perundang-undangan sudah mengatur mengenai kerjasama antardaerah, yaitu : 1. UU NO 32/2004 tentang PEMERINTAHAN DAERAH, Kerjasama Antar Daerah diatur lebih jelas & tegas dalam BAB IX Pasal 195 – 197, 2. UU NO 26/2007 tentang PENATAAN RUANG, Kerjasama Antar Daerah diamanatkan dalam Pasal 47 (ayat 1) dan Pasal 54 (ayat 1) 3. PP 50/2007 tentang Tatacara Kerjasama daerah
Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerjasama dengan daerah lain yang dilaksanakan secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk badan kerjasama. • Badan kerjasama tersebut bukan perangkat daerah. • Dibentuk dengan keputusan bersama kepala daerah.
4. Permendagri No 69/2007 tentang Kerjasama Wilayah Perkotaan
Sesuai dengan Permendagri Nomor 69Tahun 2007 tentang Kerjasama Pembangunan Perkotaan, pelaksanaan kerjasama pembangunan perkotaan bertetangga dapat dibentuk dengan badan kerjasama sesuai kebutuhan. Badan kerjasama dipimpin oleh Kepala Daerah secara bergiliran dari masing-masing daerah yang melakukan kerjasama dan ditetapkan dengan keputusan bersama kepala daerah.
Bentuk dan mekanisme kerjasama antar Daerah, antara lain: • Kerjasama Antar Daerah yang berdekatan, sifatnya wajib dilaksanakan dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat; • Kerjasama Antar Daerah yang tidak berdekatan, dapat dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan bersifat situsional dilakukan dalam rangka pengembangan potensi dan komoditi unggulan dari masing-masing daerah yang bekerjasama; • Kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga,
5. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur.
topik lain . Kerjasama �������������������������������������������� antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan �������� Jabodetabekpunjur �����������������
1. Bab I Bagian kedua pasal 1 ayat (1) huruf a 2. Bab I Bagian kedua pasal 2 ayat (2) huruf a dan b 3. Bab II Bagian kedua pasal 8 huruf a 4. Bab VII Bagian pertama pasal 64 5. Bab VII Bagian ketiga pasal 66 ayat (4) Implementasi Kerjasama Antardaerah di Jabodetabekjur Derasnya pembangunan Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara, menyebabkan terjadinya peluapan (spillover) perkembangan kota ke wilayah di sekitarnya, sehingga terjadilah berbagai alih fungsi peruntukan di kota-kota sekitar Jakarta. Sementara itu, belum ada perencanaan terpadu di kawasan sekitar Jakarta, yang didasarkan kepada satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi. Sehingga, diperlukan pemahaman untuk mengelola bersama dalam kerangka kerjasama antardaerah yang telah ditetapkan mekanisme dan sistemnya oleh peraturan yang berlaku. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta Kabupaten dan Kota di Bodetabekjur harus duduk bersama dan menyamakan persepsi serta tujuan bersama mengenai pentingnya Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional ini. Ego dan kepentingan-kepentingan kedaerahan yang berbenturan dengan Peraturan ini, harus dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar. Perpres nomor 54/2008 bukan untuk kepentingan satu wilayah saja, melainkan kepentingan bersama daerah di Wilayah Jabodetabekjur dan kepentingan nasional pada umumnya. Perpres nomor 54/2008, secara jelas mengatur dan mendorong keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan.
Selanjutnya untuk mengkoordinasikan kebijakan kerjasama antardaerah serta melaksanakan pembinaan yang terkait dengan kepentingan lintas Provinsi/Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan dan/atau difasilitasi oleh badan kerjasama antardaerah. Untuk menterpadukan pemanfaatan ruang yang optimal di kawasan Jabodetabekjur yang terdiri dari 3 Pemerintah Provinsi dan 8 Kabupaten/Kota, Pemerintah daerah perlu melakukan kerjasama dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan serta pemanfaatan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Ini perlu, agar para pelaku pembangunan memiliki sudut pandang yang sama terhadap permasalahan yang ada dan menetapkan skala prioritas pembangunan yang setara. Peran Badan Kerjasama Pembangunan Manajemen tata ruang Jabodetabekjur yang terpadu harus dapat diwujudkan, agar masalah-masalah pelik Kawasan Jabodetabekpunjur, seperti banjir, penyediaan air bersih, permukiman, penanganan sampah, penataan transportasi, perekonomian, sosial budaya dan lain-lain, dapat diatasi bersama. Apalagi kerjasama antardaerah di wilayah Jabotabek sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1976. Namun dengan semakin berkembangnya pembangunan, kelembagaan kerjasama antardaerah yang ada, dirasakan kurang optimal. Pada saat ini kelembagaan yang sudah terbentuk adalah Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur, yang dibentuk berdasarkan Keputusan bersama Gubernur Jawa Barat dan Gubernur DKI Jakarta nomor D.IV-3201/ d/11/1976/Pem-121/SK/1976) tanggal 14 mei 1976, berpedoman Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
Terbatasnya Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta menjadi permasalahan lingkungan yang serius
* buletin tata ruang
33
topik lain . Kerjasama �������������������������������������������� antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan �������� Jabodetabekpunjur �����������������
Pem.10/34/16-282 tanggal 26 Agustus 1976, yang ditempatkan pada kedudukan ganda. Pada Pemerintah daeeah yang bekerjasama, badan ini melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) masalah seluruh aspek Jabotabek. Pada hubungan dengan Pemerintah Pusat, badan ini menjadi representasi daerah yang bekerjasama dalam melakukan konsultasi kepada Pemerintah Pusat mengenai seluruh aspek pembangunan Jabodetabekjur. Masalah yang dihadapi BKSP Jabodetabekjur sebagai lembaga kerjasama selama ini, adalah sebagai berikut : 1. Belum siapnya pemerintah dalam merencanakan dan membiayai program yang integral antar wilayah, 2. Belum terciptanya interkoneksitas yang kuat antar daerah dalam hal pengelolaan kota, 3. Belum adanya kesamaan persepsi, kepentingan dan prioritas bersama mengenai pentingnya penanganan Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Strategis Nasional, 4. Kurangnya koordinasi yang terbina antara institusi pemerintah, masyarakat loKal dan swasta di wilayah Jabodetabekjur, 5. Belum siapnya kapasitas SDM dalam kelembagaan pemerintah untuk koordinasi dan kerjasama antar wilayah, 6. Belum tercapainya kesetaraan perangkat daerah dalam kerjasama antar wilayah, 7. Perlunya optimalisasi peran BKSP Jabddetabekpunjur dalam kerjasama antar wilayah, 8. Perlunya instrumen Jabodetabekpunjur,
RTRW
&
RPJM
Solusi Yang DIharapkan Lembaga yang menangani kawasan Jabodetabekpunjur diharapkan dapat menjalankan fungsi Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan simplifikasi secara optimal, dan menjadi representasi daerah dalam melakukan konsultasi dengan Pemerintah Pusat, mencakup seluruh aspek pembangunan yang dikerjasamakan di Wilayah Jabodetabekpunjur. Pada kedudukan yang horizontal, lembaga ini harus memiliki otoritas yang mengikat pihak-pihak yang bekerjasama untuk mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Para pemangku kepentingan di Wilayah Jabodetabekpunjur harus dapat menyatukan persepsi, kepentingan dan prioritas pembangunan bersama di Wilayah Jabodetabekpunjur, dengan memberikan dukungan pikiran, dana dan sumber daya manusia yang memadai demi kepentingan bersama. Sebagai lembaga kerjasama antar daerah yang sudah ada, BKSP Jabodetabekpunjur diharapkan dapat difungsikan sebagaimana mestinya, agar dapat mengawal Implementasi Perpres no.54/ 2008 sehingga maksud, tujuan dan sasarannya tercapai. SUMBER : 1. Ringkasan eksekutif penyusunan Road Map for capacity building BKSP Jabodetabekjur 2. Prerentasi Direktorat Fasilitasi Dirjen Bina Pembangunan Daerah Depdagri pada acara Rapat Teknis Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekjur, di Bogor tanggal 4 Desember 2008 3. Naskah akademis revitalisasi kelembagaan BKSP Jabodetabekjur.
Kawasan
9. Perlunya dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari APBN untuk menopang kerjasama pembangunan wilayah BODETABEKPUNJUR,
agenda kerja BKTRN.
SEPTEMBER - OKTOBER 2008
Agenda kerja BKTRN bulan September-Oktober: 1. Sosialisasi Perpres No.54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur di Jakarta, Bandung, dan Tangerang. 2. Revisi 7 (tujuh) Raperpres RTR Pulau; Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. 3. Pembahasan Raperpres RTR Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. 4. Inventarisasi informasi daerah mengenai konflik pemanfaatan ruang, khususnya mengenai alih fungsi lahan hutan. 5. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang daerah, khususnya mengenai alih fungsi kawasan hutan. 6. Sinkronisasi Rencana Strategis dan Rencana Aksi Heart of Borneo (HoB) tingkat trilateral, nasional, dan daerah. 7. Konsultasi substansi teknis Rancangan Perda RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota. 8. Rapat Kerja BKPRD di Mataram 34 buletin tata ruang *
topik lain. Oleh: Ir. Bambang Suwarmintarta Ka. Bid. Pengembangan Kepariwisataan Baparda DIY
Saya mau tamasya Berk’liling k’liling kota Hendak melihat-lihat Keramaian yang ada Saya panggilkan becak Kereta tak berkuda Becak! Becak! Coba bawa saya! (Hai Becak, karya Ibu Sud)
Tidak ada
dearah lain yang menggunakan Becak sebagai ikon pariwisata selain Yogayakarta. Tapi justru itulah daya tarik bagi para wisatawan. Becak sebagai alat transportasi tradisional, masih eksis sebagai alat transportasi masyarakat, di tengah perkembangan kota Yogyakarta menuju kota metropolitan. Becak bahkan ikut mempengaruhi perkembangan peradaban masyarakat Metopolitan Yogyakarta. Keterkaitan antara becak dengan perkembangan peradaban masyarakat metropolitan dapat dilihat dari berbagai dimensi, yaitu becak sebagai alat transportasi, pengemudi becak sebagai makhluk sosial (baik sebagai komunitas maupun individu) dan becak sebagai penggerak kegiatan perekonomian. Becak sebagai alat transportasi Saat ini, becak sebagai alat transportasi tradisional melayani masyarakat khususnya wisatawan, di seluruh Kota Yogyakarta yang luasnya 30,5 km persegi. Terutama karena 60% wilayah Kota merupakan obyek wisata budaya heritage unggulan (Kraton, Kotagede, Pakualaman, Kota baru dan “Njeron Beteng”). Becak sebagai alat transportasi tradisional mampu melayani para pengguna (masyarakat dan wisatawan) dengan jangkauan 2 – 4 Km.
Becak dan Kesahajaan Promosi Pariwisata Yogyakarta
Yogyakarta mulai tahun 2006 telah dikembangkan, untuk meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan, dengan moda transportasi terpadu antara pesawat udara, kereta api, bus Jogja Trans (busway a’la Yogyakarta) dengan rute bandara-stasiun kereta. Wisatawan kemudian dapat masuk ke kawasan kota dengan kereta, dan selanjutnya untuk perjalanan pendek di kota, dilayani becak atau delman pada shelter tertentu (di obyek-objek wisata) dengan jarak tempuh 2 – 4 Km. Pengemudi becak sebagai makhluk sosial dan penggerak perekonomian Sebagai makhluk sosial, komunitas pengemudi becak mampu berinteraksi dengan komunitas profesional lain untuk menjalankan fungsinya mendukung kegiatan kepariwisataan. Saat ini telah ada saling ketergantungan antara komunitas pengemudi becak dengan hotel, travel agent, toko-toko kerajinan dan makanan khas Jogja, restoran dan pengelola obyek wisata. Sebagai contoh, di kawasan Malioboro yang mempunyai panjang 2 Km, terdapat 20 kelompok pengemudi becak, dengan anggota masing-masing 30 orang, yang dibentuk oleh komunitas hotel, restoran, toko-toko dan travel agent dengan aturan main yang disepakati bersama. Hubungan antara pengemudi becak dengan pegiat pariwisata ini, menunjukkan peran becak sebagai pendukung kegiatan perekonomian di Yogyakarta. ���������������������� Meski becak merupakan
Kota Yogyakarta sendiri telah tumbuh dan berkembang ke arah “metropolitan area” yang menggabungkan wilayah Yogyakarta, Sleman dan Bantul (KARTAMANTUL) dengan wilayah 400 Km persegi. Dalam kota metropolitan ini, pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan (sampah, air minum, sanitasi dan transportasi) dilakukan secara terpadu. Sebagai contoh, sistem transportasi di wilayah perkotaan * buletin tata ruang
35
topik lain . Becak ���������� dan Kesahajaan ���������������������������������������� Promosi Pariwisata Yogyakarta
alat transportasi dengan jangkauan yang sangat terbatas, namun sangat dibutuhkan industri pariwisata.
memberikan pelatihan sopan-santun, komunikasi bahasa asing dan pemandu wisata.
Dukungan pemerintah daerah, baik propinsi dan kabupaten kota, terhadap keberadaan becak sebagai alat transportasi tradisional untuk menunjang pariwisata, sangat tinggi. Bahkan pembinaan becak dimasukan dalam kegiatan strategis pemerintah yang meliputi penataan ruang untuk memberikan keleluasaan pergerakan becak, pemberdayaan pengemudi becak untuk meningkatkan kualitas pelayanan, serta peningkatan kegiatan ekonomi dan kelembagaan untuk menjaga konsistensi hubungan antar komunitas becak dan kalangan pariwisata.
Di sisi lain, melalui pendekatan aspek peningkatan kegiatan ekonomi, pemerintah daerah berupaya agar arus urbanisasi dapat ditekan sehingga jumlah pengemudi becak tetap terjaga. Jika jumlah pengemudi becak tidak terkendali, maka persaingan tidak sehat di antara pengemudi becak, akan muncul. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan pengalihan kegiatan usaha (alih profesi), bekerjasama dengan pemerintah Kota dan Kabupaten daerah asal pengemudi becak.
Melalui aspek penataan ruang, pemerintah Kota Yogyakarta memberi jalur khusus sepanjang 2 Km di Malioboro untuk becak dan andong. Begitu pula pemerintah Kabupaten Bantul dan Sleman, memberikan ruang khusus di pasar, hotel, shelter bus dan obyek wisata, melalui Peraturan Bupati. Sedang Pemerintah Propinsi DIY melalui Dinas Perhubungan tidak melarang becak beroperasi di daerah manapun (tidak ada jalan bebas becak). Kondisi demikian menjadikan transportasi di Yogyakarta isimewa, sesuai filosofi jawa “alon-alon waton kelakon”, maka bila melakukan perjalanan di Yogyakarta harus sabar karena bercampur antara kendaraan bermotor dan tidak bermotor. Tapi kondisi inilah yang membedakan Yogyakarta dengan daerah lainnya. Melalui aspek pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah berupaya meningkatkan kualitas pelayanan pengemudi becak terhadap masyarakat luas, khususnya wisatawan. Seperti diketahui, pengemudi becak adalah hasil dari proses urbanisasi, sehingga perbedaan budaya kota dan desa sangat berpengaruh saat berinteraksi, baik antar komunitas maupun indivdu, yang akhirnya berdampak pada tingkat pelayanan. Pemerintah dengan melibatkan swasta, masyarakat dan perguruan tinggi melakukan langkahlangkah pendataan komunitas, memberikan identititas,
Becak Jogja, mangkal di sisi barat Malioboro
36 buletin tata ruang *
Dari aspek kelembagaan, pemerintah daerah lebih menekankan pada pendampingan pengemudi becak secara berkelanjutan dengan didukung oleh swasta yang bergerak di bidang industri pariwisata dan masyarakat (termasuk di dalamnya pengemudi becak sendiri). Melalui pendekatan ini, pengemudi becak didampingi dalam membuat perjanjianperjajian kerjasama serta menyusun rencana kegiatan bersama pegiat pariwisata lain, sehingga para pengemudi akan merasa aspirasinya didengar, sekaligus menyadari pelayanannya juga berpengaruh pada Kota Yogyakarta secara keseluruhan. Bagi Yogyakarta, becak masih dibutuhkan masyarakat dan wisatawan. Masyarakat masih membutuhkan becak untuk perjalanan jarak pendek dan memasuki jalan-jalan sempit. Bagi wisatawan, becak menjadi alat transportasi yang sensasional dan unik. Untuk mempertahankan eksistensi becak ini, peranan Pemerintah dalam memberikan pembinaan bagi para pengemudi becak amat besar. Sejauh ini, masih ada pengemudi becak yang belum memiliki kesadaran untuk menaati peraturan lalu lintas, tidak jujur dalam menerapkan tarif pada wisatawan, tidak jujur dalam mengantar ke tujuan, dan bahkan berbuat kriminal pada penumpangnya. Hanya dengan meningkatkan kualitas pelayanan, keberadaan becak sebagai ciri khas Kota Yogyakarta, Metropolitan yang bersahaja, dapat dipertahankan.
topik lain.
Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan
Secara umum
Pulau Jawa dianggap sebagai kawasan yang telah berkembang, di banding kawasan lain di Indonesia. Perkembangan perekonomian sangat pesat, dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang besar. Namun kenyataannya, tidak seluruh daerah di Pulau Jawa menunjukkan perkembangan yang sama. Secara fisik kawasan utara Pulau Jawa lebih berkembang dibanding kawasan selatan. Kondisi infrastruktur jalan di kawasan Utara Jawa seperti Jalur Pantura telah mampu mengangkat roda perekonomian, aktivitas sosial, dan mobilitas warga. Sementara keterbatasan infrastruktur jalan di kawasan selatan Jawa, mengakibatkan perkembangan wilayah dan tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah bahkan banyak ditemui daerahdaerah terisolir. Persentase nilai PDRB per kapita wilayah Jawa bagian utara jauh lebih tinggi dibandingkan bagian selatan. Rata-rata semua sektor ekonomi di wilayah Jawa bagian selatan mempunyai kontribusi yang sangat kecil, dengan prosentase antara 0-13%. Sebenarnya, wilayah Jawa bagian selatan mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar, selain memiliki tanah yang subur, sumber-sumber tambang, pariwisata, juga kaya akan sumberdaya laut. Berbagai potensi tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan pengembangan yang lebih optimal. Potensi utama ini juga dapat dilihat secara nyata pada persentase nilai PDRB perkapita wilayah Jawa bagian selatan. Sektor pertanian memberikan kontibusi cukup besar pada nilai PDRB per kapita provinsi yang mencapai 35-50%. Selain itu, terdapat potensi di bidang pariwisata terutama wisata alam, dengan kontribusi terhadap nilai PDRB per kapita provinsi sebesar 18-22%. Kekayaan dan potensi tersebut tentu merupakan suatu faktor strategis yang mampu mendorong kemajuan wilayah Jawa bagian selatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah tersebut jika dikembangkan secara optimal dengan dukungan infrastruktur ekonomi dan sosial yang memadai. Sebagai upaya menyeimbangkan pertumbuhan kawasan pantai utara Pulau Jawa dan pantai selatan Pulau Jawa serta untuk menghadapi tantangan kepadatan jalur pantura Jawa salah satunya adalah dengan pembangunan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang harus dibangun adalah berupa jalan dan jembatan. Mengapa? Karena jalan dan jembatan adalah prasarana yang dapat menjadi urat nadi dalam mengembangkan suatu wilayah sekaligus sebagai pembentuk struktur ruang wilayah. Terkait dengan
hal ini, upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan pembangunan dan peningkatan prasarana jalan lintas di selatan Pulau Jawa. Sesuai dengan kebijakan pengembangan infrastruktur, salah satu fungsi pembangunan jaringan jalan lintas selatan Pulau Jawa adalah untuk menjamin kelancaran pergerakan barang dari kawasan produksi menuju tujuan pemasaran maupun pergerakan orang antar pusat-pusat permukiman. Rencana Jalan Lintas Pantai Selatan Jalan lintas selatan Pulau Jawa direncanakan untuk mengubungkan 5 provinsi di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, yang dimulai dari Labuan (Banten) hingga Banyuwangi (Jawa Timur) sepanjang 1.556 km, dengan panjang pada masing-masing provinsi adalah Banten 128 km, Jawa Barat 419 km, Jawa Tengah 190 km, Daerah Istimewa Yogyakarta 157 km, dan Jawa Timur sepanjang 662 km. Pada tahun 1997-1998 telah dilakukan pra-feasibility study yang dilanjutkan dengan feasibility study pada tahun 2000-2001, kemudian studi AMDAL tahun 2002, desain dan pelaksanaan konstruksi tahun 2002-2007. Penetapan rute berawal dari hasil Detail Engineering Design dari perencana yang selanjutnya dilakukan peninjauan lokasi bersama-sama antara pemerintah provinsi dengan masing-masing pemerintah kabupaten dan dibahas dalam beberapa kali pertemuan. Hasil pertemuan tersebut diintegrasikan dengan studi jaringan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yaitu studi Java Arterial Road Network (JARN). Selanjutnya dari hasil tersebut ditetapkan rute jalan lintas selatan Pulau Jawa yang dari segi pendanaan melalui sharing pemerintah pusat yang lebih proporsional. Sebenarnya selama ini di wilayah selatan Jawa telah dibangun jalan kabupaten dan propinsi, dengan investasi masing* buletin tata ruang
37
topik lain . Menunggu ��������� Jalur ��������������������������� Lintas Selatan Pulau Jawa ������������� Menjadi Kenyataan ���������
masing daerah cukup besar, namun tetap belum cukup memadai untuk membuka isolasi potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh penduduknya. Dengan jaringan jalan lintas selatan yang berkelas jalan nasional dan berfungsi arteri primer selebar 24 meter, tidak hanya masalah aksesibilitas yang terpecahkan, tetapi yang terpenting adalah kesejahteraan jutaan penduduk di kawasan Pulau Jawa bagian selatan meningkat. Saat ini kondisi jalan lintas selatan Pulau Jawa belum sepenuhnya berfungsi. Selain karena kondisi permukaan jalan yang buruk, juga karena adanya beberapa jembatan penghubung yang belum selesai dibuat di beberapa ruas jalan. Contoh kasus di Provinsi Jawa Barat, jalan lintas selatan di Provinsi Jawa Barat melewati 5 Kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Kondisi eksisting jalan walau sebagian besar telah diaspal, namun terdapat ruas jalan dalam keadaan masih dalam tahap pengerasan maupun rusak di beberapa bagian. Di wilayah Kabupaten Cianjur, masih terdapat jembatan yang belum selesai dibangun sehingga menyebabkan jalan lintas selatan terputus. Selain itu, kondisi wilayah selatan Jawa yang relatif berbukit-bukit cukup menyulitkan untuk pembangunan jalan dengan kontur datar. Kendala Rencana Jalur lintas selatan Pulau Jawa yang nantinya diharapkan menjadi bagian dari jaringan jalan lintas Jawa dan menjadi akses utama selain jalur lintas utara, tidak terlepas dari kendala-kendala yang ada, antara lain kondisi fisik atau kontur selatan Pulau Jawa yang berat, keterbatasan dana, pengadaan lahan, dan juga masalah kontrak tahunan. Kondisi fisik atau kontur daerah pantai selatan yg berat, melalui gunung, tebing, maupun jurang membutuhkan konstruksi yang kuat terhadap ancaman longsoran dan landslide. Contoh kasus di Provinsi Jawa Barat, masih banyaknya jalan yang berbatu atau tidak layak untuk dilewati yakni di sepanjang jalur lintas selatan. Jalur penghubung (link junction) yang menghubungkan jalur utara dengan selatan juga belum memadai, dengan kondisi wilayahnya sebagian besar pegunungan yang berbukit-bukit. Kualitas jalannya hanya setingkat jalan kabupaten dan desa, dengan lebar kurang lebih 5 meter. Sementara kondisi di samping-sampingnya bukit dan jurang. Kendala lain yang berhubungan dengan kondisi fisik adalah contoh kasus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada link 7 di Yogyakarta, pembangunan jembatan merupakan hal yang penting dalam kesinambungan jaringan jalan atau koridor. Link 7 membutuhkan jembatan penghubung yang dekat dengan laut dengan panjang 600 meter
Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kebumen Selatan
38 buletin tata ruang *
Kendala kedua setelah kondisi fisik wilayah, adalah kendala anggaran yang dapat dibagi ke dalam dua masalah. Pertama adalah masalah desain. Keterbatasan dana mengakibatkan pembangunan jalan lintas selatan ini lebih memprioritaskan kajian teknik dari aspek geologis, drainase, dan lain-lain. Padahal kedua hal ini tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Masalah kedua adalah konstruksi. Dana konstruksi untuk total jalan sepanjang 1.556 km yang melibatkan banyak kabupaten dengan jumlah yang terbatas harus dialokasikan ke semua kabupaten, sehingga dana menjadi kecil diterima setiap kabupaten. Kendala ketiga adalah pengadaan lahan. Pembebasan lahan adalah salah satu masalah terumit dalam pembangunan jalan, termasuk pembangunan jalan lintas selatan Pulau Jawa ini, karena harus melalui negosiasi ganti rugi yang cukup pelik antara pemerintah dengan masyarakat, serta membangun pamahaman masyarakat bahwa pembangunan jalan lintas selatan ini juga akan berpengaruh positif bagi kesejahteraan warga sekitar. Selain milik perseorangan, sebagian lahan yang akan digunakan sebagai jalan lintas selatan adalah lahan hutan. Tidak kalah rumitnya, untuk penggunaan lahan perhutani, terlebih dahulu harus melewati mekanisme pinjam-pakai dengan kompensasi 1:1 sesuai Permen Kehutanan No: P.14/Menhut-II/2006, serta memenuhi beberapa persyaratan antara lain desain, studi AMDAL, kesanggupan kompensasi lahan, dan lain-lain. Kendala terakhir adalah kontrak tahunan. Kontrak tahunan memberikan dampak negatif dalam hal kehilangan waktu dan ketidakefisienan akibat proses pengadaan, sehingga perlu pemeliharaan jalan yang belum selesai. Dengan demikian jelas, pembangunan jalan lintas selatan Pulau Jawa, memerlukan proses yang panjang serta upaya yang keras. Satu hal yang terpenting adalah pembangunan jalan lintas selatan ini harus tetap berkiblat pada peraturan tata ruang sehingga diharapkan akan menjadi jaringan jalan yang benar-benar memperhatikan kaidah teknis dan pembangunan berkelanjutan, sehingga benar-benar dapat meningkatkan perekonomian wilayah selatan Pulau Jawa. Seyogyanya, pembangunan jalan lintas selatan Pulau Jawa difokuskan pada percepatan agar dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat, walaupun untuk lalu lintas ringan. Selama ini kita telah sabar menunggu jalur lintas selatan Pulau Jawa menjadi kenyataan. Catatan Redaksi: Redaksi menerima artikel ini melalui e-mail tanpa disertai nama penulisnya. Sesaat sebelum naik cetak, redaksi telah melakukan konfirmasi ulang untuk mendapatkan nama penulis tetapi tidak diperoleh informasi. Oleh karena redaksi menilai isi artikel ini penting, terutama sebagai informasi kepada khalayak tentang progres dan kendala pembangunan Jalur jalan Lintas Selatan Pulau Jawa, maka dengan disertai permohonan maaf redaksi memutuskan tetap menyajikan artikel ini untuk pembaca yang budiman. Terimakasih dan semoga bermanfaat
topik lain. oleh: Sekretariat Tim Teknis BKTRN
Rapat Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia dilaksanakan di Mataram – NTB, pada tanggal 29 – 30 Oktober 2008. Tema yang diangkat dalam rapat kerja tersebut adalah : ”Melalui Raker Kita Tingkatkan Peran dan Fungsi serta Kinerja BKPRD dalam Penataan Ruang”. Sidang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, masing-masing adalah : 1.
Kelompok I Bidang Perencanaan Tata Ruang
2.
Kelompok II Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
3.
Kelompok III Bidang Kelembagaan Penataan Ruang
Hasil sidang masing-masing kelompok adalah : 1. Kelompok I Bidang Perencanaan Tata Ruang A. Isu-isu Strategis 1. Mekanisme penyelarasan rencana tata ruang wilayah dengan rencana pembangunan berkelanjutan 2. Rencana dan Program Kerja BKPRD dalam perencanaan tata ruang 3. Pelibatan stakeholders dalam penyusunan rencana tata ruang dengan memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem wilayah B. Rekomendasi 1. Perlunya mencermati beberapa aturan perundangan yang masih kurang sinkron dan mengenali kelemahan hukum/peraturan perundangan yang berlaku, tidak hanya terbatas pada Undang-undang Penataan Ruang saja melainkan dengan peraturan perundangan lainnya yang terkait, baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal 2. Penyusunan rencana tata ruang perlu dilakukan secara realistis (mudah dilaksanakan dan dikendalikan) dan aspiratif (tidak sekedar top down tetapi juga bottom up ) sesuai potensi dan kemampuan daerah 3. Perlunya memperjelas kembali mekanisme koordinasi antara BKPRD Provinsi dan BKPRD Kabupaten/Kota dalam penyusunan rencana tata ruang 4. Dalam perencanaan tata ruang perlu dipertimbangkan upaya mendukung ketahanan pangan nasional dengan penetapan kawasan budidaya pertanian yang berkelanjutan 5. Dalam penyusunan rencana tata ruang perlu diperhatikan aspek pengendalian alih fungsi kawasan peruntukan pertanian berkelanjutan dan
Laporan dari Mataram Nusa Tenggara Barat
RAPAT KERJA BKPRD SE INDONESIA peningkatan peran dan fungsi dinas pertanian provinsi dan kabupaten/kota selaku anggota BKPRD serta stakeholders lainnya 6. Perlunya penyamaan nomenklatur/istilah-istilah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan dengan peraturan perundangan yang berlaku 7. Perlunya perencanaan tata ruang yang komprehensif yang meliputi matra darat (dari hulu sampai hilir), pesisir, laut dan pulau-pulau kecil 8. Untuk meningkatkan kualitas perencanaan tata ruang, diperlukan peningkatan intensitas koordinasi BKPRD secara vertikal maupun horizontal 9. Perlunya meningkatkan koordinasi antar stakeholders yang terkait dalam penyusunan rencana tata ruang 10. Untuk mengatasi konflik kepentingan antar sektor yang didasari oleh landasan hukum yang berbeda dalam perencanaan tata ruang, diperlukan terobosan instrumen peraturan perundangan yang dapat mengakomodasi perbedaan kepentingan tersebut 11. Perlunya terobosan dan inovasi baru dari BKPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengatasi ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang 12. Masing-masing BKPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota perlu segera menyusun Program Kerja dalam bidang Perencanaan Tata Ruang Tahun 2009 – 2010. 2. Kelompok II Bidang pengendalian Pemanfaatan Ruang A. Isu-isu Strategis 1. Kewenangan BKPRD dalam pengendalian pemanfaatan ruang untuk memperkuat peraturan zonasi dalam rangka pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dan peningkatan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); 2. Prosedur penegakan hukum di dalam penyimpangan pemanfaatan ruang dan penguatan hak-hak masyarakat; 3. Keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang; 4. Peran sistem informasi dan sosialisasi dalam pengendalian penataan ruang oleh masyarakat; 5. Rencana dan Program Kerja BKPRD dalam pengendalian dan pemanfaatan ruang. * buletin tata ruang
39
topik lain . Laporan ����������������������������������������������� dari Mataram Nusa Tenggara Barat RAPAT ������������������������ KERJA BKPRD SE INDONESIA
B. Rekomendasi 1. Dalam penyelesaian konflik tata ruang antar sektor dan wilayah perlu mengefektifkan tugas dan fungsi BKPRD. 2. Pejabat pengawas tata ruang dan PPNS berperan dalam pengawalan pengendalian pemanfaatan ruang yang diatur dalam peraturan perundangundangan, yang kedudukannya dibawah instansi anggota BKPRD. 3. BKPRD mendorong penegakan hukum dilakukan secara konsisten dan konsekuen. 4. Perlu adanya mekanisme pelibatan masyarakat dalam rangka pengawasan pelanggaran penataan ruang, yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 5. Untuk menjamin sinkronisasi pemanfaatan ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota, perlu kesiapan perangkat hukum. 6. Dalam rangka penegakan hukum, masyarakat perlu mendapatkan informasi tentang peraturan perundang-undangan terkait penataan ruang melalui sosialisasi secara intensif dan berjenjang dengan memanfaatkan media cetak lokal, media elektronik lokal, teknologi informasi dan kearifan lokal. 7. Untuk optimalisasi pengendalian pemanfaatan ruang lintas wilayah diperlukan keterpaduan dan kerjasama antar daerah melalui penguatan badanbadan kerjasama yang sudah ada, dan masingmasing daerah perlu menjabarkan kesepakatan tersebut dalam RPJMD, Renstra, RKPD dan Renja masing-masing instansi anggota BKPRD.
5. Belum jelasnya peran dan fungsi BKPRD dalam penyusunan rencana tata ruang; 6. Belum optimalnya pembentukan BKPRD Provinsi dan BKPRD Kabupaten/Kota di masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota; 7. Belum tersedianya petunjuk teknis dan pedoman kerja tugas-tugas pokja dalam BKPRD; 8. Kurang berperannya unsur-unsur independen dalam kelembagaan BKPRD; 9. Belum adanya program dan agenda kerja yang jelas dari BKPRD, dan belum sinerginya program kerja antara BKPRD dengan BKTRN. B. Rekomendasi 1. Perlunya mengaktifkan peran BKPRD/TKPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagai clearing house dalam penetapan kebijakan Gubernur di bidang penataan ruang dan sebagai wadah pembahasan bidang penataan ruang termasuk sinkronisasi dan sinergitas pembangunan nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, dengan cara: - Menyusun agenda tahunan bersama - Koordinasi dan sinkronisasi secara berkala - Mewajibkan BKPRD/TKPRD Kabupaten/Kota untuk memberikan laporan berkala 2. Perlunya membentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang penataan ruang. 3. Perlunya pengoptimalan kader (masyarakat) dalam pemantauan pelaksanaan penataan ruang.
8. Masing-masing daerah perlu membangun Sistem Informasi dan Basis Data Tata Ruang dengan menggunakan Standar Georeferensi Nasional yang terkait dalam sistem Infrastruktur Data Spasial Nasional/IDSN (Perpres Nomor 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional).
4. Masing-masing BKPRD perlu segera menyusun program kerja 2009-2010.
9. BKPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu segera menyusun program pengendalian pemanfaatan ruang dalam 2 tahun ke depan, disesuaikan dengan tupoksi masing-masing anggota BKPRD.
6. Diperlukan fasilitasi pendanaan untuk menunjang peran dan fungsi BKPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
3. Kelompok III Bidang Kelembagaan Penataan Ruang (BKTRN dan BKPRD) A. Isu-isu strategis 1. Belum jelasnya mekanisme kerja antara BKPRD Provinsi dengan Kabupaten/Kota, dan BKPRD provinsi dengan BKTRN; 2. Struktur organisasi BKPRD sudah tidak sesuai lagi dengan nomenklatur penamaan organisasi perangkat di daerah; 3. Belum sinkronnya peran dan fungsi antara pokja perencanaan tata ruang dan pokja pengendalian pemanfaatan ruang; 4. Belum jelasnya aparatur yang berperan dalam pengendalian dan pengawasan penataan ruang di daerah;
40 buletin tata ruang *
5. Diperlukan penyelesaian konflik pemanfaatan ruang di daerah secara hirarki tingkat pemerintahan yang difasilitasi oleh BKPRD.
7. Diperlukan penyempurnaan/peninjauan kembali terhadap Kepmendari Nomor 147/2004 tentang pedoman koordinasi penataan ruang daerah dikaitkan dengan karakteristik dan kondisi daerah masing-masing. 8. Diperlukan peningkatan peran BKPRD dalam penyusunan dan penetapan perda tentang rencana tata ruang serta pemberian informasi kepada masyarakat. 9. Diperlukan kejelasan mekanisme kerja antara BKPRD Provinsi dengan Kabupaten/Kota, dan BKPRD Provinsi dengan BKTRN. 10. Diperlukan peningkatan kapasitas SDM dari BKPRD sehingga dapat menjangkau aspek perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang
pengembangan profesi.
Tanggung Jawab Perencanaan dalam Pembangunan Berbasis Penataan Ruang Oleh: Agus Sutanto, ST., M.Sc. Anggota Bidang Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencanaan – IAP
Bencana
yang datang silih berganti di Indonesia merupakan cerminan dari adanya kekacauan manajemen ruang saat ini. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan kaidah keberlanjutan, bisa menjadi sebab semua bencana itu. Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU TARU) terdapat ketentuan “setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang diancam pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan denda sebanyak-banyaknya limaratus juta rupiah”. Sementara dalam pasal yang lain juga diatur bahwa “setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang diancam pidana selama-lamanya lima tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya limaratus juta rupiah”. Hukuman untuk pemberi izin yang “nakal” masih ditambah embel-embel “dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya”. Adanya sanksi dalam UU TARU tesebut dapat dipandang sebagai “pintu gerbang” baru bagi profesi perencanaan dalam menunjukkan eksistensinya. Bayangkan, produk profesional para perencana kini dapat menyebabkan seseorang dipenjara sekian tahun atau didenda sekian ratus juta rupiah. Selain itu, dapat juga menyebabkan seorang amtenaar kehilangan jabatan, bahkan dipecat dengan tidak hormat. Ini menunjukkan betapa besar peran para perencana ruang dalam pembangunan. ��������������������������������� Namun perlu disadari bahwa peran besar juga berarti tanggung jawab besar. Di sini, tanggung jawab seorang perencana bisa dilihat dari dua dimensi yang berbeda. Dimensi pertama, para perencana ruang harus bertanggung jawab atas kualitas rencana tata ruang yang dihasilkannya. Rencana yang kemudian ditetapkan sebagai dasar pelaksanaan pembangunan harus merupakan produk yang akan memberikan kemaslahatan bagi seluruh pemangku kepentingan. Untuk itu, para perencana dituntut selalu meningkatkan kompetensinya. ������������������������������������ Tidak terbatas pada aspek akademis, tetapi juga dalam memahami karakteristik masyarakat yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam penataan ruang. Agar produk rencana betul-betul dapat menyejahterakan masyarakat sesuai dengan karakteristik
sosial budayanya. Ini ���������������������������������� memang mudah diucapkan, namun membutuhkan standar kompetensi yang sangat tinggi. Untuk urusan standar kompetensi, IAP, sebagai asosiasi profesi perencana, perlu mengaktualisasikannya dalam program sertifikasi keahlian, dengan hanya memberikan sertifikat keahlian kepada para perencana yang memenuhi standar tinggi tersebut. Bisa dibayangkan, penerapan standar kompetensi yang tinggi selanjutnya akan berimbas pada perguruan tinggi di mana para calon perencana disiapkan. Perguruan tinggi harus melengkapi dirinya dengan kurikulum pendidikan yang memberikan jaminan bahwa alumninya tidak akan mengalami kesulitan dalam memenuhi standar kompetensi tersebut. Bila tidak, alumni perguruan tinggi tersebut akan gagal memperoleh sertifikat keahlian sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Kalau sudah begini, perguruan tinggi tersebut tidak ubahnya sebuah lembaga yang hanya mampu menyiapkan barisan sarjana pengangguran. Selanjutnya dimensi kedua, para perencana harus secara cermat berhitung dengan hati nuraninya, berapa orang yang potensial terpenjara atau terampas hartanya untuk membayar denda. Juga berapa besar dana yang harus disiapkan untuk mengimplementasikan rencana yang dibuat. Untuk lebih mudah, berikut salah satu contoh praktisnya. Dalam sebuah kawasan yang memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung, telah dikuasai oleh sekelompok masyarakat golongan ekonomi lemah yang tidak punya pilihan selain tinggal dan berusaha di sana. Bila perencana hanya berpatokan pada kriteria fisik kawasan, kawasan itu akan ditetapkan sebagai kawasan lindung dan selanjutnya orang-orang itu harus dipindahkan ke lokasi lain. Keputusan ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi keputusan ini merupakan vonis bagi pemerintah untuk menyediakan biaya relokasi dan ganti kerugian. Di sisi lain merupakan tekanan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah yang kemungkinan akan tetap “nekat” untuk tinggal di situ karena di lokasi yang baru tidak bisa memperoleh pendapatan yang layak. Gambaran di atas menunjukkan bahwa rencana tata ruang dapat berubah fungsi menjadi alat tirani untuk memarjinalkan sekelompok pemangku kepentingan. Di sini dituntut tanggung jawab moral seorang perencana sebelum “menggoreskan spidolnya” di atas peta rencana. Dari sini pula dapat kita pahami bahwa kompetensi perencana harus mencakup pemahaman terhadap karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di (atau yang terpengaruh oleh) wilayah perencanaan. UU TARU hendaknya tidak dipandang sebagai sebuah “kemenangan” profesi perencana. Undang-undang tersebut justru harus dipandang sebagai amanat maha berat yang harus dijawab para perencana ruang. Bila para perencana tidak bisa membuktikan mampu mengemban amanat tersebut, bisa dipastikan, pencabutan amanat hanya merupakan persoalan waktu. Setelah itu, profesi perencanaan akan kembali pada situasi marjinal, dianggap asing, tidak perlu diperhitungkan, dan tidak perlu dilibatkan dalam proses pembangunan * buletin tata ruang
41
“We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.“ - Aristotle -
42 buletin tata ruang *