NOVEMBER - DESEMBER 2011
tataruang buletin
BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
Nilai-Nilai Strategis Maros
dalam Pengembangan Ekonomi Metropolitan Mammisata
Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional 2011 Mencari Bentuk Kemitraan
Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
Kebijakan Percepatan Persetujuan Substansi Teknis
Rencana Tata Ruang Wilayah
Percepatan Penataan Kawasan Hutan dalam Perencanaan Tata Ruang
Menuju Ketahanan Pangan dengan Kebijakan Pertanahan
Dialog “Hijau” tentang Masa Depan Lain Jembatan Oresund, Lain Jembatan Selat Sunda
Kaleidoskop Buletin Tata Ruang 2011 Agenda Kerja BKPRN
Edisi khusus Rakernas BKPRN 2011 P RO F I L
BARCODE
BKPRN
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
Ir. M. Hatta Rajasa
buletin tata ruang PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja
Penasehat Redaksi
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
pemimpin redaksi
Aria Indra Purnama, ST, MUM.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Agus Sutanto, ST, M.Sc
redaktur pelaksana
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.
Sekretaris Redaksi
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc
staf redaksi
Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ir. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST
Koordinasi Produksi
Angger Hassanah, SH
Staf Produksi Alwirdan BE
Koordinasi Sirkulasi
Supriyono S.Sos
sekapur sirih
Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh, Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, sehingga Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi terakhir di tahun 2011. Berdasarkan hasil dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKPRN 2011 yang memiliki tema “Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan”, dapat disimpulkan bahwa semakin dirasakan perlunya dibangun dan dikembangkan keterkaitan yang seimbang dan sejajar serta kerja sama yang saling menguntungkan antara pelaku-pelaku yang terlibat didalam penyelenggaraan penataan ruang serta pembangunan sektoral dan kewilayahan untuk mencapai manfaat bersama. Pelaksanaan pembangunan nasional tentunya tidak akan hanya berjalan dengan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) beserta rencana rincinya pada tataran spasial yang makro. Masih diperlukan elemen yang lain untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional dan mendorong investasi di segala bidang, yaitu diperlukan adanya rencana tata ruang pada tataran yang lebih operasional pada tingkat dibawahnya. Untuk itu, penetapan RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/Kota beserta rencana rincinya perlu menjadi perhatian kita bersama. Dengan kondisi kemajuan penyelesaian RTRW saat ini, kiranya perlu dilakukan upayaupaya percepatan yang tepat agar hal tersebut dapat terlaksana. Upaya percepatan tersebut juga didorong dengan adanya kebijakan baru, yaitu penetapan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI), yang memuat rencana investasi pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan adanya rencana tata ruang yang operasional sebagai salah satu instrumen perizinan, maka MP3EI ini menjadi akan lebih cepat terwujud. Lebih lanjut, perubahan pola pikir yang dilandasi oleh semangat ‘not business as usual’ yang mengedepankan sasaran yang ingin dicapai dan bukan hanya berkutat pada permasalahan yang dihadapi, dan penguatan kolaborasi dan kemitraan merupakan upaya yang dibutuhkan dalam mendukung langkah-langkah percepatan penyelesaian Rencana Tata Ruang (RTR) dan RTRW, serta perluasan pembangunan Indonesia. Akhir kata, seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintah, pemerintah daerah, maupun pemangku kepentingan bidang penataan ruang lainnya diharapkan untuk membentuk komitmen bersama dalam melakukan percepatan penyelesaian perda tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota agar pelaksanaan pembangunan di Indonesia menjadi lebih terarah dan konsisten serta selaras dengan rencana tata ruang.
Staf Sirkulasi
Dhyan Purwaty, S.Kom
Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA, Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577 Website BKPRN:http://www.bkprn.org Email:
[email protected] dan redaksi
[email protected]
2
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc
buletin tata ruang | November - Desember 2011
dari redaksi
daftar isi
PROFIL TOKOH
04
Ir. M. Hatta Rajasa
PROFIL WILAYAH
Nilai-Nilai Strategi Maros
08
dalam Pengembangan Ekonomi Metropolitan Mammisata
Salam hangat bagi pembaca setia
Oleh: Redaksi Butaru
Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi terakhir tahun ini. Pada edisi kali ini Butaru mengangkat tema Rakernas BKPRN 2011 yaitu Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan. Persoalan penataan ruang semakin rumit dan mempunyai dampak luas pada berbagai segi kehidupan masyarakat, berbagai kepentingan dan tuntutan dalam penataan ruang dengan mudah dapat menyulut konflik-konflik yang lebih luas. Yang paling dituntut dalam penataan ruang adalah bagaimana cara yang efektif mempertemukan berbagai kepentingan tersebut sehingga tercapai tujuan bersama secara optimal. Mempertautkan penataan ruang dan kemitraan dapat dipandang sebagai upaya untuk mempertemukan berbagai kepentingan dan sekaligus mencegah potensi konflik antar kepentingan yang dapat mengarah menjadi masalah yang lebih kompleks. Pelaksanaan Rakernas Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang diselenggarakan di Kota Manado pada tanggal 30 November 2011 sampai dengan 1 Desember mewarnai artikel edisi terakhir tahun ini antara lain ; Hasil Kesepakatan 4 Sidang Komisi Rakernas, Kebijakan Percepatan Persetujuan Subtansi RTRW, Penyelesaian Penataan Kawasan Hutan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Penataan Ruang, Kebijakan Pertanahan dan lain-lain. Pada Profil Wilayah ditampilkan Nilai-nilai strategis Kabupaten Maros dalam mendukung pengembangan ekonomi Metropolitan Maminasata, dimana Kabupaten ini selaku penyangga dan pintu gerbang bagian utara kawasan Mamminasata memegang peranan penting terhadap pembangunan Kota Makassar yang sedang terus berkembang. Profil Tokoh kali ini menampilkan Ir. M Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian yang juga adalah Ketua BKPRN yang mengungkapkan berbagai pemahaman dan gagasan beliau dalam peningkatan penyelenggaraan penataan ruang untuk terwujudnya percepatanperluasan pembangunan ekonomi, dengan meningkatkan kemitraan antar pelaku pembangunan dan perbaikan berbagai regulasi yang selama ini masih menjadi hambatan dan sumber konflik antar sektor.
TOPIK UTAMA
Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional 2011
TOPIK UTAMA
Mencari Bentuk Kemitraan
Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
12
16
Oleh: Ir. Rido Matari Ichwan, MCP
TOPIK UTAMA
Kebijakan Percepatan Persetujuan Substansi Teknis
20
Rencana Tata Ruang Wilayah
TOPIK UTAMA
Percepatan Penataan Kawasan Hutan
25
Dalam Perencanaan Tata Ruang Oleh: Bambang Soepijanto
TOPIK UTAMA
Kajian Likungan Hidup Strategis
29
Untuk Penataan Ruang
Oleh: Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
TOPIK LAIN
Menuju Ketahanan Pangan
31
dengan Kebijakan Pertanahan Oleh: Redaksi Butaru
Butaru edisi akhir tahun ini juga memuat Kaleidoskop 2011 yang memberikan informasi perihal edisi-edisi Butaru yang telah diterbitkan sepanjang tahun 2011, diharapkan dengan adanya kaleidoskop ini para pembaca setia Butaru dapat terbantu untuk mengetahui topik-topik utama yang dimuat didalam Butaru sepanjang tahun 2011. Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca dapat memperkaya wawasan.
TOPIK LAIN
Dialog “Hijau” tentang Masa Depan
Hari Tata Ruang-World Town Planing Day 2011 Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Lain Jembatan Oresund, Selamat membaca
37
Lain Jembatan Selat Sunda Oleh: Melva E. Marpaung
KALEIDOSKOP Redaksi
35
41
Buletin Tata Ruang 2011 Oleh: Redaksi Butaru
AGENDA
Agenda Kerja BKPRN November - Desember 2011
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
43
3
profil tokoh
Ir. M. Hatta Rajasa
Menteri Koordinator Perekonomian & Ketua BKPRN
Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
Ir. M. Hatta Rajasa adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia sejak 22 Oktober 2009. Pria kelahiran Palembang 18 Desember 1953 ini sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan di kabinet yang sama, dan Menteri Riset dan Teknologi di dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004).
Menteri Koordinator Perekonomian menyatakan perluasan pembangunan ekonomi sangat bergantung pada rencana tata ruang di tingkat daerah (provinsi/kabupaten/ kota). Karena itulah kolaborasi dan kerjasama menjadi kunci suksesnya.
Sebelum menjabat posisi Menteri, ia aktif di lembaga legislatif sebagai Ketua Fraksi Partai Reformasi DPR-RI pada tahun 1999 sampai 2000, dan aktif berpolitik menjadi Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN) pada tahun 2000 sampai 2005. Sementara kariernya sebagai professional ia buktikan dengan menjabat Presiden Direktur Arthindo tahun 1982 sampai 2000. Hatta Rajasa menamatkan sarjananya sebagai Insinyur Teknik Perminyakan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1973. Pengalamannya aktif sebagai Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan Senator Mahasiswa ITB membuatnya terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan luwes bekerjasama sejak muda. Kini, saat berkonsentrasi menjadi politisi, ia menganut pluralisme dalam politik, dan berobsesi menjadi negarawan yang mendahulukan kepentingan bangsa. Pandangan dan pendapat beliau terkait kemitraan dan kerjasama dalam penyelenggaraan penataan ruang serta percepatan dan perluasan ekonomi nasional diuraikan di bawah ini. Pandangan Anda terhadap penyelenggaraan penataan ruang ? Efektivitas penyelenggaraan penataan ruang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan perangkat regulasi rencana tata ruang (RTR) serta konsistensi dalam pelaksanaan regulasi tata ruang tersebut. Kita ketahui bersama, bahwa dalam rangka pembenahan regulasi rencana tata ruang (RTR), sejak diterbitkannya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/ Kota) diminta untuk melakukan penyesuaian atau revisi terhadap substansi Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW), baik RTRW Provinsi ataupun RTRW Kabupaten/Kota. Dalam proses tersebut sebagian besar daerah merencanakan perubahan peruntukan kawasan. Rencana perubahan peruntukan yang memberi dampak cukup besar adalah permohonan terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan. Dari total 131,7 juta hektar kawasan hutan yang kita miliki, sebanyak 22 Provinsi
4
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Menko Perekonomian dan Menteri Dalam Negeri mendengar sambutan Gubernur Sulut selaku tuan rumah penyelenggara Rakernas BKPRN 2011
telah mengusulkan untuk merubah peruntukan kawasan hutannya, dengan total luas hutan mencapai 15,2 juta hektar. Penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup panjang karena peran kawasan hutan cukup tinggi dalam menjaga pembangunan yang berkelanjutan, sehingga perubahannya memerlukan persetujuan semua pemangku kepentingan. Hal ini memberi dampak pada upaya percepatan penyelesaian regulasiregulasi terkait RTR, terutama penyelesaian Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Berarti masih banyak tugas yang harus diselesaikan? Dari data dan informasi hingga saat ini (November 2011), hanya sembilan provinsi, 51 kabupaten dan 13 kota yang telah ditetapkan Perda RTRWnya. Sementara itu ada enam provinsi, 109 kabupaten dan 18 kota yang Perda RTRW-nya sudah habis masa berlakunya. Dapat dibayangkan bagaimana kabupaten/kota tersebut dapat dengan nyaman dan aman memberikan izin-izin pemanfaatan ruang yang diperlukan bagi peningkatan investasi di daerahnya. Langkah-langkah percepatan penyelesaian peraturan daerah
tersebut ini sangat perlu mendapat perhatian kita semua, termasuk juga yang menyangkut regulasi terkait peruntukan ruang di tingkat pusat (Perpres – Perpres Rencana Tata Ruang). Terkait berbagai isu dan kebijakan pemerintah akhir-akhir ini, saya menyambut baik pembahasan empat isu strategis di Rakernas BKPRN tahun 2011 di Manado, yaitu : (1) Pelaksanaan Penataan Ruang; (2) Kelembagaan penyelenggaraan penataan ruang; (3) Sinergi kebijakan, rencana, dan program pembangunan nasional dan daerah; dan (4) Pengelolaan permasalahan penataan ruang. Semoga hasil sidang komisi nanti dapat menjadi hasil kesepatan untuk ditindaklanjuti dalam upaya peningkatan kinerja percepatan persetujuan substansi RTRW dan RTR. Apa pentingnya Rencana Tata Ruang dalam percepatan pembangunan ekonomi nasional? Saat ini pembangunan perekonomian Indonesia sedang menunjukkan tren peningkatan seiring dengan bertumbuhnya kawasan Asia Pasifik sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia dimana Indonesia merupakan salah satu epicentrum utama di kawasan Asia Tenggara. Momentum ini memerlukan konsep pembangunan yang terarah dan terencana dengan baik. Di sinilah pentingnya penataan ruang agar pembangunan
kawasan-kawasan pengembangan ekonomi, pertanian, konservasi hutan dan kawasan permukiman dan lain-lain terancana dengan baik.
Patut saya kemukakan di sini, prospek perekonomian dunia dalam waktu dekat tidaklah terlalu cerah. Pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2012 mungkin tidak akan sekuat yang kita perkirakan semula. Saya ingin menegaskan bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini dalam keadaan yang sangat baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung semakin cepat. Pada triwulan ke-II tahun 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,5%. Dengan demikian pada tahun 2011 ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh 6,5%, lebih tinggi dari perkiraan semula, yaitu sebesar 6,4%. Diperkirakan pertumbuhan PDB tahun 2011 akan menjadi yang tertinggi sejak krisis tahun 1997/1998. Langkah-langkah percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menuntut hadirnya perubahan pola pikir (mindset) yang dilandasi oleh semangat “Not Business As Usual”. Kita harus mengembangkan pola pikir thinking out of the box, dengan lebih mengedepankan sasaran yang ingin kita capai, bukan hanya berkutat pada permasalahan yang kita hadapi. Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemerintah dan
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
5
profil tokoh
kabupaten/kota), memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga dan meningkatkan iklim investasi tersebut. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota dalam proses perijinan pemanfaatan ruang sebagai lokasi target investasi dari kegiatan-kegiatan ekonomi.
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia memerlukan evaluasi terhadap seluruh kerangka regulasi yang ada dan merubah regulasi. Ir. Hatta Radjasa, Menko Perekonomian memberi arahan pada Rakernas BKPRN 2011
pemerintah daerah berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator. Pemahaman tersebut harus direfleksikan dalam kebijakan pemerintah. Regulasi yang ada seharusnya dapat mendorong partisipasi dunia usaha secara maksimal untuk membangun berbagai macam industri dan infrastruktur yang diperlukan. Karena itu percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia memerlukan evaluasi terhadap seluruh kerangka regulasi yang ada, dan kemudian langkah-langkah strategis diambil untuk mempercepat penyelesaian regulasi yang diperlukan, termasuk merevisi dan merubah regulasi sehingga mendorong partisipasi maksimal yang sehat dari masyarakat dan dunia usaha. Dalam hal menjalankan fungsi sebagai regulator, pemerintah daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah
6
Apa harapan Anda untuk mewujudkan percepatan ekonomi? Laju pertumbuhan ekonomi yang kita nikmati saat ini belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita secara berkesinambungan. Indonesia harus dapat tumbuh lebih cepat lagi. Karena itu, pada 27 Mei 2011 lalu, presiden telah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dengan visi mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Perlu saya tekankan di sini bahwa dokumen MP3EI ini tidak menggantikan dokumen-dokumen perencanaan yang ada, melainkan menjadi dokumen kerja yang komplementer terhadap RPJPN 2005–2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan RPJMN 2010 – 2014 (Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010) serta RTRWN 2008 – 2028 (Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008). Sebagaimana kita ketahui, seluruh wilayah negara RI terbagi ke dalam
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Menko Hatta Rajasa mengunjungi stand Kementerian PU
wilayah-wilayah provinsi dan/atau daerah otonom kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Bapak/Ibu Kepala Daerah (gubernur, bupati dan walikota), mengingat sebagian besar perizinan untuk melakukan kegiatan ekonomi menjadi kewenangan mereka. Dalam penyusunan dokumen MP3EI, kita telah mengidentifikasi beberapa regulasi yang perlu mendapat perhatian, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota. Ketersediaan rencana tata ruang wilayah merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan investasi yang tertuang pada dokumen MP3EI. Efisiensi dan magnitude (ataupun skala) kegiatan ekonomi yang tercipta dari seluruh wilayah nasional kita akan sangat tergantung dari penguatan koordinasi di daerah yang mendukung pengembangan aktivitas ekonomi. Hal ini dimaksudkan agar para Gubernur dapat berkoordinasi dengan para bupati dan
Rakernas ini merupakan agenda nasional yang merupakan sinergi penataan ruang antar wilayah dan antar sektor dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional. walikota di wilayahnya untuk bersamasama mambantu percepatan penyelesaian dan perbaikan berbagai regulasi yang diperlukan, terutama percepatan penyelesaian rencana tata ruang, baik dalam bentuk Perda maupun Perpres.
Pandangan dan Harapan Penyelenggaraan Rapat Nasional BKPRN 2011 ini?
dalam Kerja
Saya menyambut baik Rapat Kerja Nasional BKPRN yang diselenggarakan dalam dua hari ini. Kegiatan ini saya pandang penting, karena merupakan forum pertemuan ke dua sejak
pemberlakuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan melibatkan pimpinan instansi daerah yang memiliki peran penting dalam penyelenggaraan penataan ruang. Rakernas ini merupakan agenda nasional yang merupakan sinergi penataan ruang antar wilayah dan antar sektor dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional. Saya mengharapkan dari hasil Raker ini dapat dirumuskan langkah konkrit yang mempercepat penyelesaian penyusunan Perda rencana tata ruang provinsi maupun kabupaten/kota.
Di samping itu, kita juga perlu memberi perhatian terhadap berbagai permasalahan yang harus ditangani dalam penataan ruang, seperti: (1) masih kurang sinkronnya perencanaan pembangunan nasional dan daerah; (2) belum lengkap dan serasinya regulasi penataan ruang yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (3) masih terjadinya konflik pemanfaatan ruang di beberapa daerah; dan (4) belum optimalnya fungsi dan peran kelembagaan bidang penataan ruang.
Rapat Kerja Nasional (Rakernas BKPRN) menjadi agenda prioritas BKPRN dan kegiatan ini merupakan forum konsultasi untuk merumuskan berbagai kesepakatan strategis di bidang penataan ruang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka pada akhir penyelenggaraan Rekernas BKPRN, saya mengharapkan agar diperoleh kesepakatan terhadap beberapa hal berikut: (1) Agenda Kerja BKPRN tahun 2011-2012 yang akan dijabarkan lebih lanjut dalam rencana aksi BKPRN untuk percepatan penyelesaian berbagai isu strategis bidang penataan ruang; (2) Agenda tindak lanjut Rakernas BKPRN 2011 oleh para gubernur seluruh Indonesia melalui penyelenggaraan Raker BKPRD di provinsi masing-masing. (mem)
Kegiatan ini merupakan forum konsultasi untuk merumuskan berbagai kesepakatan strategis di bidang penataan ruang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Mempertimbangkan berbagai tantangan utama tersebut, maka November - Desember 2011 | buletin tata ruang
7
profil wilayah
Nilai-Nilai Strategi Maros
dalam Pengembangan Ekonomi Metropolitan Mamminasata
Dari suatu kerajaan, kini menjadi kota metropolitan. Maros dengan segala potensinya, merupakan kekayaan strategis Indonesia di wilayah timur. Bujur Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep sebelah utara, Kota Makassar dan Kabupaten Gowa sebelah selatan, Kabupaten Bone di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Maros 1.619,12 km2. Berdasarkan pencatatan kelurahan Badan Stasiun Meteorologi suhu udara minimum berkisar pada suhu 22,80°C (terjadi pada bulan Juli dan Agustus) dan suhu maksimum berkisar 33,70°C (terjadi pada Bulan Oktober). Kabupaten Maros memiliki daerah dengan kemiringan lereng dan ketinggian wilayah yang cukup variatif yang mempengaruhi suhu, curah hujan dan sebaran komoditasnya.
Peta Administrasi Kabupaten Maros
Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah sekitar 1.619,11 km2 dan terdiri dari 14 kecamatan (Turikale, Maros Baru, Lau, Bontoa, Mandai, Marusu, Tanralili, Moncongloe, Tompobulu, Bantimurung, Simbang, Cenrana, Camba, dan Mallawa) yang membawahi 80 Desa dan 23 Kelurahan. Kabupaten Maros adalah kabupaten dengan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar, ibukota propinsi Sulawesi Selatan, dengan jarak berkisar 30 km. Kabupaten Maros dikembangkan secara terintegrasi di dalam Kawasan Metropolitan Mamminasata. Kabupaten Maros terletak di bagian barat Sulawesi Selatan antara 40°45 ’- 50°07’ Lintang Selatan dan 109°205’ - 129°12’
8
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Kabupaten Maros memegang peranan penting terhadap pembangunan Kota Makassar karena berfungsi sebagai daerah penyangga dan perlintasan utama, juga pintu gerbang Kawasan Mamminasata bagian utara yang dengan sendirinya memberikan peluang yang sangat besar terhadap pembangunan di Maros. Gerbang utama Sulawesi Selatan dan penerbangan menuju wilayah timur Indonesia.
Penduduk Lokal
SEJARAH KABUPATEN MAROS
Pada masa lampau, Kabupaten Maros adalah suatu wilayah kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Marusu yang kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Maros sampai sekarang. Selain nama Maros, masih terdapat nama lain daerah ini, yakni Marusu dan/atau Buttasalewangan. Ketiga nama tersebut sangat melekat dan menjadi kebanggaan tersendiri oleh masyarakat setempat. Kabupaten Maros pada awalnya adalah sebuah wilayah kerajaan yang dipengaruhi oleh dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yakni Kerajaan Bone dan Kerjaan Gowa. Hal ini dikarenakan Maros memiliki nilai strategis yang sangat potensial. Kabupaten Maros dari dulu hingga saat ini dihuni oleh dua suku, yakni Suku Bugis dan Suku Makassar. Tujuh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dikeluarkan peraturan No. 34 1952 juncto PP. No. 2/1952 tentang pembentukan Afdelling Makassar yang di dalamnya tercakup Maros sebagai sebuah Onderafdelling dengan 16 buah distrik. Keenambelas distrik tersebut adalah pusatpusat pemerintahan pada masa lampau yang berkembang
baik secara lokal dan regional. Seiring berjalannya waktu, distrik-distrik tersebut mulai terintegrasi dengan wilayah di sekitarnya. Distrik di Kabupaten Maros yang terintegrasi di wilayah administrasi Kota Makassar adalah Distrik Bira, Suding dan Biringkanaya yang kemudian dilepaskan dari Kabupaten Maros pada tahun 70-an. Pada tahun 1963, Kabupaten Maros terbagi atas empat kecamatan, yakni Kecamatan Maros Baru, Bantimurung, Mandai, dan Camba. Pada awal tahun 1989, diadakan pemekaran wilayah kecamatan dengan dibentuknya tiga kecamatan perwakilan, yakni Kecamatan Perwakilan Tanralili, Maros Utara, dan Mallawa. Hingga saat ini terdapat 14 wilayah kecamatan dimana setiap wilayah kecamatan tersebut memiliki potensi masing-masing dalam menunjang pembangunan wilayah. Kabupaten Maros memiliki peranan yang sangat berarti dalam pembangunan Kota Makassar sebagai ibukota provinsi dan sekaligus sebagai pusat pengembangan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Peluang ini membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan wilayah Kabupaten Maros, terutama wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Kota Makassar. Sedangkan dalam rencana pembangunan wilayah secara eksternal, sebagian wilayah Kabupaten Maros masuk dalam pengembangan Kawasan Mamminasata sebagai kawasan kota metropolitan. Ibukota kabupaten, yaitu Kota Maros yang terletak di Kecamatan Turikale, berperan sebagai pusat pemerintahan dengan segala aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Jika dilihat secara geografis wilayah yang lebih mikro, Kota Maros terbagi atas tiga segmen kawasan yang merupakan bagian dari pusat-pusat pemerintahan Kabupaten Maros dan dihubungkan oleh jaringan jalan arteri. Sedangkan ditinjau dari perkembangan wilayah, terdapat jaringan jalan arteri sekunder yang menghubungkannya dengan wilayah Kabupaten Bone (khususnya Kecamatan Bantimurung, Simbang, Cenrana, Camba dan Mallawa).
WILAYAH, NILAI STRATEGIS KABUPATEN MAROS Visi Kawasan POTENSI Berbukit gamping terjal dengan cekungan yang dalam, banyaknya gua pada Metropolitan lerengnya, sementara di bawah tanah mengalir sungai yang memancarkan air yang Mamminasata: “Menjadi bening di beberapa tempat. Topografi seperti itu adalah gambaran dari topografi Kawasan Metropolitan yang mengangkat nama Maros (Sulawesi Selatan) sampai ke mancanegara. Terkemuka Dan Terdepan karst merupakan keajaiban alam yang harus dilindingi dari eksploitasi dan Di Kawasan Timur Bukit dilestarikan oleh pemerintah, masyarakat lokal, maupun masyarakat internasional. Indonesia Berwawasan Potensi ini harus dikelola dengan baik agar tetap lestari walaupun dijadikan salah Internasional Dan Global satu alat untuk memajukan pendapatan daerah di Kabupaten Maros tersebut. Bersendikan Kearifan Lokal” (gambar: booklet Perekonomian di Maros bergantung pada sektor pertanian, mengingat hampir Kawasan Metropolitan separuh luas Maros merupakan dataran rendah yang sangat cocok untuk dijadikan perkebunan, peternakan dan perikanan. Padi sebagai produk unggulan Mamminasata, Ditjen pertanian, memiliki peran yang cukup penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok bahan Penataan Ruang) makanan dengan jumlah di atas rata-rata Provinsi Sulawesi Selatan. November - Desember 2011 | buletin tata ruang
9
profil wilayah Sumber Daya Alam Kabupaten Maros yang harus dijaga Kelestariannya
Letak Kabupaten Maros dinilai sangat strategis karena merupakan jalur lintas utama ke wilayah Sulawesi Selatan bagian utara lewat darat, dan juga bersebelahan dengan Kota Makassar. Bandara Internasional Sultan Hasanuddin menjadi pintu gerbang tidak hanya untuk Kota Makassar, tapi juga Maros. Di sini produk unggulan daerah seperti mangga, jeruk, serta kacang mete laris dibeli pelancong. Selain kekayaan alam, Maros juga kaya akan keindahan alam. Potensi alam seperti karst dan daerah konservasi perlu dipromosikan. Dimulai dari objek wisata andalan Kota Maros yang berlokasi di Kelurahan Kalabbirang, yaitu Kawasan Objek Wisata Bantimurung.
Objek wisata alam ini terletak di lembah bukit kapur atau karst yang curam dengan vegetasi tropis yang subur sehingga selain memilki air terjun juga menjadi habitat yang ideal bagi berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga langka. Tak jauh dari Bantimurung, ada beberapa goa yang di dalamnya terdapat lukisan prasejarah pada dinding-dinding dalamnya berupa gambar binatang, puluhan gambar telapak tangan juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa goa tersebut pernah terendam dan dikelilingi laut. Goa itu disebut masyarakat setempat Goa Pettae dan merupakan bagian dari Taman Prasejarah Leang-Leang. Di kawasan karst dan konservasi ini bisa ditemukan jenis flora dan fauna yang langka. Di sana terdapat sekitar 280 spesies tanaman, lebih dari 100 spesies kupu-kupu serta ratusan goa yang dihiasai stalaktit dan stalakmit yang indah. Cocok untuk wisata alam dan wisata minat khusus yang banyak digandrungi wisatawan asing. Hingga kini baru Bantimurung dan Taman Prasejarah Leang-Leang yang sering dikunjungi wisatawan. Di samping potensi alamnya yang melimpah, Kabupaten Maros juga kaya akan unsurunsur budaya yang berupa perpaduan antara nilai-nilai luhur agama dan keasrian lingkungannya. Beragam kegiatan budaya, seperti Upacara Adat Appali, Katto Bokko, Mappa Dendang, Bias Muharram, lomba perahu hias, dan tari-tarian dalam upacara adat dan acara lainnya menjadi objek wisata seni selain sebagai warisan budaya yang tetap dipertahankan dan dijunjung tinggi masyarakat Maros. Kekayaan ekspresi budaya masyarakat yang dituangkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan unik ini menjadi bagian dari kegiatan pariwisata yang hanya dapat dijumpai di Kabupaten Maros.
PERAN MAROS DALAM BERBAGAI ASPEK PEMBANGUNAN Sebagian wilayah Kabupaten Maros masuk dalam rencana pengembangan Kawasan Mamminasata sebagai kawasan kota metropolitan. Mamminasata yang mencakup Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar menjadi proyek percontohan pengembangan tata ruang terpadu di Indonesia. Oleh karena itu, Kabupaten Maros memiliki peran yang sangat signifikan dalam pembangunan Kota Makassar sebagai ibukota provinsi dan sebagai pusat pengembangan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Wilayah Kabupaten Maros yang menjadi bagian kawasan pengembangan tersebut adalah 1.039 km2 atau 42,2% dari luas wilayah pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata sebesar 2.462 km2. Hal ini tentu saja memberikan manfaat yang sangat berarti bagi penyediaan dan pembangunan infrastruktur, jaringan irigasi, air bersih dan listrik, penyediaan lapangan kerja, hingga akhirnya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lain sebagainya. Peran Maros dalam berbagai aspek pembangunan regional dan nasional, antara lain:
10
buletin tata ruang | November - Desember 2011
a. Pusat pelayanan transportasi udara b. Pusat penelitian pertanian Balai Penelitian Tanaman Serealia yang berlokasi di Jl. Dr. Ratulangi No. 274 Kecamatan Turikale ini melakukan serangkaian penelitian terhadap tanaman jagung, sorgum, gandum dan serealia potensial lain untuk menghasilkan inovasi teknologi pertanian sekaligus mendiseminasikan secara terarah guna mendukung upaya peningkatan produksi pertanian sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Selatan. c. Pusat penelitian kelautan dan perikanan Maros sebagai daerah pesisir dengan kontribusi sektor perikanan yang cukup besar mengembangkan perikanan budidaya air payau yang mencapai luas tambak 9.461,53 Ha. d. Pusat pelatihan dan pendidikan militer Sambueja dan Kariango yang masing-masing berada di Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Tanralili dijadikan sebagai pusat pelatihan dan pendidikan Kostrad TNI AD. Di samping itu, Kecamatan Mandai juga dijadikan sebagai pangkalan udara TNI AU yang berlokasi di Bandara Sultan Hasanuddin.
Diperlukan kerjasama yang baik di antara Pemda terkait untuk menjadikan Mamminasata ini sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi bagi wilayah di sekitarnya, memberikan kesejahteraan serta pengelolaan wilayah yang berkelanjutan dengan upaya pemanfaatan ruang yang terkendali, pemanfaatan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan secara efisien dan berdaya guna melalui keseimbangan antar wilayah dan antar sektor serta pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan lingkungan hidup. Keterkaitan Kawasan Metropolitan Mamminasata harus diciptakan menjadi ikatan yang kuat dan saling menguntungkan.
Diperlukan kerjasama yang baik diantara Pemda terkait untuk menjadikan Mamminasata sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi bagi wilayah di sekitarnya. menimbulkan dampak yang cukup besar. Di Maros telah dilakukan eksploitasi terhadap tambang marmer, batu bara dan lain-lain. Di sisi lain, daerah tersebut memiliki keunggulan pertanian. Maros merupakan lumbung padi Sulawesi Selatan bahkan nasional. Perkembangan ekonomi Maros pun seiring dengan meningkatnya perekonomian di Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
KESIAPAN MAROS DALAM INTEGRASINYA DENGAN METROPOLITAN MAMMINASATA Arahan kebijakan tata ruang Mamminasata dibangun, disusun, dan disetujui bersama antara Pemerintah Kabupaten/Kota. Masing-masing Pemkab punya prioritas pembangunan. Kabupaten Maros memiliki kontribusi yang cukup besar dalam integrasinya dengan Kawasan Metropolitan Mamminasata melalui potensi sumber daya ataupun kemampuan daerahnya. Dalam implementasi tata ruang, Pemerintah Sulawesi Selatan terus mendorong Kabupaten Maros untuk memperkuat kelembagaannya sebagaimana yang ada di tingkat provinsi. Di tingkat kabupaten, Maros sudah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang bertugas melakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai arahan kebijakan rencana tata ruang wilayah yang telah ada.
Kapasitas daya tampung Kota Makassar yang semakin berkurang namun angka pertumbuhan penduduk terus bertambah, secara otomatis mendorong masyarakat untuk tinggal di daerah suburban. Selain itu, Makassar selama ini mendapat pasokan air dari Maros dan Gowa. Merupakan kesempatan Maros untuk mendapatkan manfaat dari pembangunan pesat Kota Makassar. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang baik dan komunikasi personal maupun komunal secara aktif antara Kota Makassar dengan wilayah hinterland-nya. “Maros memiliki kontribusi yang cukup besar besar dalam integrasinya dengan Kawasan Metropolitan Mamminasata melalui potensi sumber daya ataupun kemampuan daerahnya.” Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan. (eq/har) Pertanian menjadi salah satu sektor andalan Kabupaten Maros
Maros dikenal sebagai daerah multi dimensi, di sana ada ciri perkotaan dan pedesaan, terdapat pegunungan dan juga pesisir, serta kekayaan alam yang berlimpah, antara lain pertambangan yang jika salah dalam pengelolaannya akan November - Desember 2011 | buletin tata ruang
11
topik utama
RAPAT KERJA NASIONAL
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL 2011 Seluruh pemangku kepentingan dari tingkat nasional dan daerah berkumpul membicarakan masalah penataan ruang. Di dalamnya dibicarakan kinerja pelaksanaan penataan ruang, kelembagaan, sinergitas kebijakan, rencana, dan program pembangunan, serta pengelolaan permasalahan pemanfaatan ruang.
Kemudian Menko Perekonomian Hatta Radjasa menjelaskan pentingnya tata ruang baik nasional, provinsi dan kabupaten/ kota dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan ekonomi nasional. Dengan konsep pembangunan yang terarah dan terencana dengan baik, diharapkan pengembangan kawasan-kawasan pengembangan ekonomi, pertanian, konservasi hutan dan kawasan permukiman dapat terencana dengan baik. Ir. Hatta Radjasa membuka secara resmi Rakernas BKPRN 2011
Rakernas BKPRN 2011 yang dilaksanakan di Manado pada tanggal 30 November hingga 1 Desember 2011 memilih tema “Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan”. Rakernas BKPRN yang diselenggarakan di Grand Kawanua Convention Center, Hotel Novotel Kairagi Manado ini dibuka oleh Menko Perekonomian, Ir. Hatta Radjasa yang juga Ketua BKPRN. Pada awal Rakernas, Diah Anggraini (Sekjen Kementerian Dalam Negeri) selaku Ketua Panitia Pelaksana dalam kapasitasnya sebagai Plh. Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri menjelaskan, Rapat Kerja yang berlangsung selama dua hari ini diikuti oleh para Gubernur seluruh Indonesia, Ketua DPRD, Kepala Bappeda, Kepala Dinas PU/Tata Ruang, Kimpraswil, Dinas Kehutanan, Kepala BPLHD dan Kepala Biro Hukum Provinsi seluruh Indonesia. Hadir pula Kepala Dinas Kehutanan dan Perikanan dari tujuh Provinsi Kepulauan dan para bupati/walikota di wilayah Provinsi Sulawesi. Mengingat provinsi adalah salah satu pusat pengembangan ekonomi dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Sinyo Harry Sarundajang, selaku tuan rumah menjelaskan bahwa Sulawesi Utara dalam upaya mendukung percepatan perluasan ekonomi, sedang melakukan pembahasan Raperda RTRW Provinsi. Hal ini akan menjadikan Provinsi Sulawesi Utara sebagai provinsi pertama yang mememiliki Perda RTRW untuk mendukung implementasi MP3EI tersebut.
12
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Rakernas ini juga diisi dengan paparan materi-materi dari Menteri dan Kementerian terkait, antara lain Menteri PU memaparkan “Kebijakan Percepatan Persetujuan Substansi”, Menteri Dalam Negeri memaparkan “Optimalisasi Penyelenggaran Penataan Ruang di Daerah”, Kementerian Kehutanan memaparkan “Percepatan Penyelesaian Penataann Kawasan Hutan dalam Perencanaan Tata Ruang“, Kementerian Lingkungan Hidup memaparkan “Kajian Lingkungan Hidup untuk Penataan Ruang”, dan Ir. Max Pohan, Deputi Bappenas, memaparkan materi “Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dengan Rencana Pembangunan”. Tak hanya itu, pada raker ini diselenggarakan pula pameran yang diikuti oleh kementerian dan lembaga terkait penataan ruang. Selain panel paparan menteri, agenda Rakernas ini juga membahas empat isu pokok, yaitu: (1) Perumusan tatakelola penyelenggaraan penataan ruang; (2) Pengembangan kelembagaan dan perangkat peraturan pendukung, (3) Sinergisme kebijakan, rencana dan program pembangunan nasional dan daerah, dan (4) Pengelolaan permasalahan penataan ruang. Isu-isu pokok tersebut dibahas ke dalam empat komisi, dimana masing-masing sidang komisi yang dipimipin Dirjen/Deputi Kementerian terkait. Hasil sidang masing-masing komisi dan kesepakatan tercantum di bawah ini. Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Sinyo Harry Sarundajang, memberi sambutan selaku tuan rumah Rakernas
Hasil Sidang Komisi 1 Tema Pimpinan Sidang Sekretaris Hari/Tanggal Waktu Tempat No. 1
: : : : : :
PELAKSANAAN PENATAAN RUANG Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo Rabu, 30 November 2011 14.30 WITA Ruang Rapat Paris – Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado
Isu Strategis Proses penyusunan/revisi rencana umum dan rencana rinci tata ruang prov/kab/kota yang perlu diperbaiki dalam rangka peningkatan kualitas rencana tata ruang.
Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut a. b.
c.
d. e.
2
Konsistensi implementasi rencana tata ruang yang sudah diperdakan
a. b. c. d. e.
Penyederhanaan mekanisme pembahasan Timdu Kehutanan dan penggabungan pembahasan dengan Tim Teknis BKPRN. Penerapan status “enclave”/”holding zone”: bagi provinsi yang sudah mendapatkan persetujuan substansi teknis dari Kemen PU, maka bagian wilayah provinsi yang status kawasan hutannya belum dapat dipastikan waktu penyelesaiannya ditetapkan sebagai “holding zone”. Dengan demikian, wilayah di luar “holding zone” dapat segera diperdakan. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk memberikan persetujuan substansi Raperda Rencana Detail Kab/Kota dapat dilakukan dengan syarat antara lain: • Provinsi yang bersangkutan telah memiliki perda RTRW • Lebih dari limapuluh persen kab/kota dalam provinsi yang bersangkutan telah diperdakan • Memiliki SDM dan tata laksana yang memadai • BKPRD sudah berfungsi secara efektif Penyelesaian perda RTRW provinsi dan kab/kota disepakati diselesaikan tahun 2012. Kualitas RTRW tetap menjadi prioritas meskipun percepatan dilakukan. Mekanisme/ SOP persetujuan substansi diberlakukan penuh sesuai pedoman. Kehadiran Tim Teknis BKPRN sekurang-kurangnya lebih dari limapuluh persen. Mendorong perwujudan SPM Program perwujudan tata ruang dan RTH yang inklusif (diketahui publik) Menyusun RPI2JM sebagai penjabaran RTRW dalam bidang infrastruktur Menyiapkan langkah-langkah pengendalian dan mekanisme pengawasan serta meningkatkan kuantitas dan kualitas PPNS di daerah sesuai kebutuhan Sinkronisasi RPJPD dan RTRW daerah dalam acuan pelaksanaan program
Belum selesainya seluruh peraturan perundangan bidang penataan ruang
a.
4
Kualitas SDM dalam penyusunan rencana tata ruang
a. b.
Pengembangan kapasitas ahli penataan ruang Dibentuk Tim dari BKPRD untuk mengawal pasca penetapan perda RTRW
5
Penyediaan data peta dasar dalam penyusunan rencana tata ruang
a.
Peningkatan kapasitas dan Pembinaan SDM terkait dengan kemampuan di bidang peta dan GIS Penyediaan fasilitas Geoportal dalam rangka sosialisasi perda RTRW Pengoptimalan pengadaan citra satelit dalam konteks berbagi pakai Fasilitasi validasi peta di daerah terkait RTRW antara PU, Bakosurtanal dan BKPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota
3
b. c. d.
b. c. d.
Ketua Sidang,
Penyelesaian peraturan pemerintah tentang tata ruang kawasan pertahanan keamanan dan peraturan pemerintah tentang tingkat ketelitian peta Penyusunan pedoman Rencana Detail Tata Ruang selesai tahun 2011 Penyelesaian pedoman RPI2JM Penyelesaian pedoman rencana rinci kawasan strategis nasional, provinsi, dan kab/ kota
Manado, 1 Desember 2011 Sekretaris,
Imam S. Ernawi
Winarni Monoarfa
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
13
Hasil Sidang Komisi 2 Tema Pimpinan Sidang Sekretaris Hari/Tanggal Waktu Tempat No.
: : : : : :
KELEMBAGAAN PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan , BNPP Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PU, Provinsi Sulawesi Utara Rabu, 30 November 2011 14.30 WITA Ruang Rapat Sidney – Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado
Isu Strategis Isu strategis yang dibahas: • Masih perlu penguatan peran dan posisi BKPRN; • Perlunya penguatan hubungan kerja BKPRN dan BKPRD; • Belum adanya pedoman pelaksanaan peran masyarakat dalam penataan ruang; dan • Kualitas SDM bidang penataan ruang yang masih butuh ditingkatkan.
1
Pada perkembangan diskusi, isu yang menjadi fokus utama pembahasan adalah “perlunya penguatan kelembagaan BKPRN”.
Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut a. b. c.
d. e.
BKPRN tetap menjadi badan yang bersifat ad-hoc; Perlu dilakukan penguatan terhadap Sekretariat BKPRN untuk membantu proses perumusan pengambilan kebijakan; Perlu penegasan Sekretariat BKPRN sesuai dengan Keppres Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional dan Sekretariat Teknis Pelaksana yang menampung dan mengkoordinasikan masukan dari daerah/sektor dan menjelaskan tugas harian yang melekat pada Kementerian yang mengurusi penataan ruang; Perlu dilakukan review Keppres Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN, terkait dengan diusulkannya penambahan keanggotaan BKPRN dengan lembaga yang dipandang perlu dalam hal penataan ruang; dan Sekretariat baru BKPRN dapat merekrut tenaga ahli (bersifat temporer) dalam rangka mendukung kinerja kelembagaan.
Manado, 1 Desember 2011 Sekretaris,
a/n Ketua Sidang,
Herman Koessoy
Made Suwandi
Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Prov. Sulut
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Kemendagri
Hasil Sidang Komisi 3 Tema : Pimpinan Sidang : Sekretaris : Hari/Tanggal : Waktu : Tempat : No. 1
SINERGITAS KEBIJAKAN, RENCANA, DAN PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas Bappeda Provinsi Sulawesi Utara Rabu, 30 November 2011 14.30 WITA Ruang Rapat Bangkok – Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado
Isu Strategis Kurang serasinya kebijakan, rencana dan program, baik secara vertikal maupun horizontal di bidang penataan ruang serta antara kebijakan, rencana dan program nasional dan daerah.
Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut a.
b.
c.
Penyerasian Kebijakan - Rencana - Program secara vertikal • Identifikasi permasalahan antar KRP secara vertikal • Pengujian konsistensi kebijakan, rencana dan program • Penyampaian hasil pengujian di forum Pokja BKPRN Penyerasian Kebijakan – Rencana - Program secara horizontal • Identifikasi potensi konflik KRP antar sektor • Koordinasi penyerasian KRP antar sektor • Pemantauan pelaksanaan hasil koordinasi penyerasian KRP antar sektor Penyerasian Kebijakan – Rencana – Program antara nasional dan daerah • Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan penataan ruang di daerah • Konsultasi lintas sektor untuk mendapatkan masukan yang komprehensif • Pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil Rakernas/ Rakerda/Rakor lainnya
2
Banyaknya peraturan perundangan sektoral yang mengamanatkan penyusunan Perda terkait penataan ruang
Sinkronisasi peraturan daerah yang terkait tata ruang • Identifikasi substansi terkait tata ruang yang sama dan menjadi amanat dari beberapa peraturan perundangan. • Fasilitasi penyiapan pedoman sinkronisasi peraturan dalam bentuk Surat Edaran kepada Pemerintah Daerah
3
Masih banyaknya rencana pembangunan daerah yang belum terintegrasi dengan rencana tata ruang
a. b.
Percepatan penyusunan RTRW • Pendampingan • Klinik tata ruang (konsultasi) Integrasi RTR dengan Rencana Pembangunan • Penyusunan mekanisme integrasi RTR dengan Rencana Pembangunan
Ketua Sidang,
Max H. Pohan
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/BAPPENAS
Manado, 1 Desember 2011 Sekretaris,
Conny
Bappeda Provinsi Sulawesi Utara
Hasil Sidang Komisi 4 Tema Pimpinan Sidang Sekretaris Hari/Tanggal Waktu Tempat No. 1
: : : : : :
PENGELOLAAN PERMASALAHAN PEMANFAATAN RUANG Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, BPN Bappeda Provinsi Sumatera Selatan Rabu, 30 November 2011 14.30 WITA Ruang Rapat Singapore – Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado
Isu Strategis Mekanisme penyelesaian permasalahan pemanfaatan ruang di tingkat nasional (Kawasan Strategis Nasional) dan tingkat daerah (Kawasan Strategis Provinsi/Kab/Kota) a. Konflik pemanfaatan ruang antar sektor
Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut
a.1
a.2 b.
Konflik pemanfaatan ruang antar pemerintahan (pusat-provinsikab/kota)
b.1
b.2
c.
Konflik pemanfaatan ruang antar batas wilayah
2
Sinergitas penataan ruang a. Belum sinerginya pemanfaatan ruang antar wilayah hulu dan hilir. b. Belum efektifnya pengendalian alih fungsi lahan.
3
Kekosongan hukum untuk RTRW yang sudah berakhir masa berlakunya
c.1 c.2
Pemetaan konflik pemanfaatan ruang antar sektor, berupa; • Identifikasi konflik pemanfaatan ruang antar sektor • Pembuatan peta jenis konflik pemanfaatan ruang antar sektor • Perlunya penguatan peran gubernur dalam rangka penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar batas wilayah Identifikasi dokumen-dokumen perencanaan (RAN/D-GRK, moratorium perubhan kawasan hutan, RKP, RKPD, MDGs) yang ada (konflik), dengan melakukan Penyusunan daftar dokumen perencanaan terkait Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar Pemerintahan, berupa; • Penyusunan pedoman penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar pemerintahan • Penyusunan RDTR dan peraturan zonasi. Dekonsentrasi pengawasan terhadap ijin-ijin pertambangan yang dikeluarkan Kab/ Kota kepada Pemerintah Provinsi, dengan kegiatan; • penyusunan pedoman pelimpahan kewenangan kepada pemprov • penyusunan legalitas penetapan kewenangan Provinsi terhadap ijin-ijin pertambangan Peningkatan koordinasi dan mediasi antar wilayah, melalui Penyusunan pedoman penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar pemerintah daerah Percepatan penyelesaian batas wilayah
a. Peningkatan sinergitas pemanfaatan ruang yang mutualistik, dengan melakukan Penyusunan pola dan mekanisme insentif/disinsentif. b. Peningkatan efektivitas pengendalian alih fungsi lahan, dengan berupa; • Peningkatan efektifitas pengendalian alih fungsi LP2B • Pendataan LP2B
Pengaturan pemanfaatan ruang dalam rangka masa transisi, dengan kegiatan : a. Identifikasi daerah yang sudah dan akan berakhir masa berlaku RTRW b. Sosialisasi peraturan dan perundangan terkait RTRW
a/n Ketua Sidang,
Manado, 1 Desember 2011 Sekretaris,
Soetrisno
Regina Ariyanti
Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri
Plt. Kepala UPTB Penataan Ruang Bappeda Provinsi Sumatera Selatan
Dirjen Penataan Ruang memimpin sidang komisi 1 Rakernas
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
15
topik utama
Mencari Bentuk Kemitraan Oleh: Ir. Rido Matari Ichwan, MCP Direktur Bina Program dan Kemitraan, Ditjen Penataan Ruang , Kementerian PU
Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
Sesungguhnya apakah yang dimaksud dengan kemitraan, peran kemitraan dalam penataan ruang, dan bentuk kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang melalui Jakstra kemitraan? Kemitraan bukanlah hal baru dalam praktek perencanaan tata ruang. Konsep kemitraan sudah sering digunakan dalam pengadaan/pengelolaan infrastruktur perkotaan melalui istilah kemitraan pemerintah swasta (public private partnership). Dalam implementasinya, kemitraan sudah dilakukan antara pemerintah-masyarakat, maupun antara pemerintah-dunia usaha, misalnya dalam kegiatan pengadaan ruang publik pada lahan terlantar di kawasan perkotaan dan kegiatan kelompok kerja prakarsa masyarakat untuk kota lestari (DJPR Kementerian PU, 2010). Akan tetapi, apakah kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kemitraan atau hanya bentuk pelibatan/partisipasi masyarakat saja? Secara umum, pengertian kemitraan merupakan hubungan atau jalinan kerjasama antar mitra (pihak-pihak yang bekerjasama). Kemitraan dalam pembangunan bukan sekedar
16
buletin tata ruang | November - Desember 2011
aturan main yang tertulis dan formal atau suatu kontrak kerja, melainkan lebih menunjukkan perilaku hubungan yang akan saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Kemitraan merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari partisipasi. Melalui kemitraan, para pemangku kepentingan tidak sekadar dilibatkan dalam suatu kegiatan, namun juga menempatkan pihak-pihak tersebut dalam kesetaraan. Sehingga, masing-masing pihak akan mendapat manfaat yang seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya. Kemitraan dapat didefinisikan sebagai keterkaitan yang seimbang dan sejajar serta kerjasama yang saling menguntungkan antara pelaku-pelaku yang terlibat untuk mencapai manfaat bersama. Dalam konsep kemitraan tidak dikenal adanya yang dikalahkan atau yang dirugikan, karena semua pihak akan mendapat manfaat sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Mengapa diperlukan kemitraan?
Kemitraan dalam penataan ruang merupakan upaya bersama yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat serta dunia usaha untuk secara bersama-sama mengembangkan upaya yang saling terkait dan saling menguntungkan. Kemitraan dalam penataan ruang menjadi semakin penting karena aktivitas pemanfaatan ruang masih didominasi oleh masyarakat dan dunia usaha, namun sebagian besar masih belum sejalan dengan ketentuan-ketentuan dan kaidahkaidah penataan ruang. Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat mengenai tata ruang relatif belum memadai, namun beberapa di antara mereka sadar dan peduli terhadap tata ruang di sekitarnya. Berbagai upaya komunikasi pun telah dilakukan untuk menjaring aspirasi dan bekerja sama untuk mengimplementasikan rencana tata ruang di lapangan, namun hasilnya belum optimal. Salah satu kendalanya adalah belum adanya peraturan atau kebijakan yang mengatur mekanisme peran masyarakat, bila ada pun ketentuan-ketentuan tersebut masih belum sampai
pada tataran operasional di daerah. Disisi lain, terbatasnya dana pembangunan pemerintah menyebabkan pentingnya peran dunia usaha karena kebutuhan sarana dan prasarana yang terus meningkat dan kebutuhan dana investasi yang sangat besar. Sehingga, pemerintah perlu untuk melaksanakan kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha dalam hal penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan asas yag telah ditetapkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang merupakan suatu solusi untuk meningkatkan sinergi antar pelaku penyelenggaraan penataan ruang dan mencegah atau mengurangi potensi konflik yang mungkin terjadi pada saat implementasi suatu kebijakan. Dalam artian, dengan memitrakan masyarakat dan dunia usaha maka diharapkan akan memperluas akses terhadap informasi tata ruang, meningkatkan kepedulian dan kesadaran tentang pentingnya berperan serta dalam menata ruang, serta meningkatkan kepekaan dan pemahaman terhadap fenomena perkotaan.
Hukum Kemitraan dalam Penataan Ruang Kontribusi pemerintah Landasan Salah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana tercantum pada dalam kemitraan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah tercapainya dunia usaha berupa kebersamaan dan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang dengan penyediaan lahan dan/atau melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dimana salah satunya adalah masyarakat. memberikan konsesi . Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Hal ini juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, dimana masyarakat diberikan tempat sebagai pelaku utama penataan ruang yang memungkinkan mereka untuk ikut serta mewujudkan ruang yang berkualitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, peluang masyarakat lebih mengarah kepada peran aktif pada setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu dimulai dari pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Makna masyarakat dalam hal ini bisa orang perseorangan, atau kelompok orang, dengan berbagai latar belakang dan kepentingan, bisa dari sisi ekonomi, perlindungan alam atau sosial budaya, dan lain sebagainya. Selain dengan unsur masyarakat, kemitraan juga dilakukan antara pemerintah dan dunia usaha. Pada umumnya, kontribusi pemerintah dalam kemitraan dengan dunia usaha berupa penyediaan lahan dan/atau memberikan konsesi yang dimilikinya. Sementara kontribusi dunia usaha berupa pendanaan. Kemitraan pemerintah dan dunia usaha, umumnya, merupakan alternatif usaha yang ditempuh karena keterbatasan instansi pemerintah terkait. Untuk meningkatkan keterlibatan seluruh unsur pembangunan tersebut, beberapa peraturan sudah menggariskan contoh kemitraan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan dunia usaha, diantaranya yaitu: Pengembangan kerjasama November - Desember 2011 | buletin tata ruang
17
topik utama kemitraan dengan masyarakat dalam meningkatkan penyediaan ruang terbuka hijau publik (PP no. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang); meningkatkan keterlibatan seluruh masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, meningkatkan pemanfaatan rencana tata ruang secara optimal dalam mitigasi dan penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah dan pengembangan kawasan, (renstra kementerian PU 2010-2014).
Kebijakan dan Strategi Kemitraan Mengacu pada prinsip pelaksanaan kemitraan menurut Kumorotomo (1999), disusunlah Jakstra (kebijakan dan strategi) Kemitraan yang berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan kebijakan teknis, perencanaan, pemrograman kegiatan yang berada dan atau terkait di dalam Kemitraan Penyelenggaraan Penataan Ruang dengan masyarakat dan dunia usaha, baik oleh pemerintah nasional maupun pemerintah daerah (Pemda). Tujuannya adalah untuk mendukung perwujudan tujuan penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Jakstra Kemitraan ini disusun dengan visi mewujudkan kemitraan yang sehat, kokoh dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan dan dunia usaha dalam penyelenggaraan penataan ruang. Untuk mencapai kondisi tersebut maka dibuatlah misi: (1) Melakukan kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan kawasan yang bersifat strategis nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; (2) Melakukan Kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha untuk mempertahankan fungsi lindung dan mendorong perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan di kawasan perkotaan dan pedesaan; (3) Melakukan kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan penataan ruang; dan (4) Melakukan kemitraan dengan dunia internasional dalam hal mengatasi isu-isu global dan kerjasama penataan ruang. Bila dijabarkan, kebijakan kemitraan ada tiga. Kebijakan yang pertama, adalah mengembangkan pelembagaan penyelenggaraan penataan ruang yang berbasis kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha. Kebijakan ini didukung dengan strategi-strategi, antara lain membangun kesepahaman & kesepakatan semua pihak tentang pentingnya penataan ruang, meningkatkan pelibatan seluruh stakeholder dalam perumusan dan pelaksanaan program kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang, meningkatkan kualitas SDM yang mampu
Jakstra Kemitraan ini disusun dengan visi mewujudkan kemitraan yang sehat, kokoh dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan tata ruang. menumbuhkembangkan kapasitas kelembagaan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan membangun komunikasi dengan lembaga-lembaga internasional yang berkiprah dalam isu-isu lingkungan dan penataan ruang. Kebijakan yang ke dua adalah mendorong perwujudan kawasan-kawasan strategis yang produktif di perkotaan dan pedesaan berbasis kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha. Seperti halnya kebijakan yang pertama, kebijakan yang ke dua ini juga didukung oleh strategi-strategi, yaitu menunjang pertumbuhan ekonomi pada kawasan perkotaan yang didorong pengembangannya (kawasan strategis), mendorong perluasan kawasan hijau perkotaan dan mengurangi degradasi lingkungan, mempertahankan kawasan-kawasan yang mempunyai nilai budaya tinggi, mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan berbasis agrobisnis (agropolitan), dan membantu mempertahankan fungsi pertanian di perdesaan. Sementara itu, kebijakan yang ke tiga atau yang terakhir adalah mewujudkan kemitraan internasional guna peningkatan kualitas penataan ruang nasional dan ikut serta menjawab isuisu global serta kerjasama penataan ruang dengan negara yang berbatasan. Sedangkan strategi yang mendukungkebijakan ini adalah berperan aktif dalam agenda-agenda global terkait penataan ruang, menjalin kerjasama internasional untuk meningkatkan alih pengetahuan dan teknologi di bidang penataan ruang, dan melakukan kerjasama dengan negaranegara tetangga yang berbatasan langsung dalam rangka mengoptimalkan fungsi-fungsi ruang di kawasan perbatasan.
Isu Strategis dan Tantangan Kemitraan Seperti yang sudah disebutkan di atas, kemitraan dalam penataan ruang bukannya belum pernah dilakukan sama sekali oleh pemerintah dengan masyarakat atau dunia usaha. Namun kenyataannya, konsep ini belum terlaksana dengan benar dan efektif. Hal tersebut bisa diatasi jika kita mengerti benar apa saja isu-isu strategis yang membuat lemahnya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, juga dengan dunia usaha. 18
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Sering kali kemitraan dalam hal penataan ruang yang dilakukan pemerintah kurang optimal karena kurangnya komunikasi dan lemahnya jejaring antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Hal ini menyebabkan pemanfaatan ruang yang tidak efektif dan efisien serta menurunkan kualitas lingkungan. Isu strategis yang ke dua dan perlu dipahami benar oleh pemerintah khususnya adalah masyarakat dan dunia usaha mendominasi pemanfaatan ruang, yaitu sekitar lebih dari 70%. Sementara itu isu yang ke tiga adalah – dan merupakan isu yang sering menjadi masalah di berbagai bidang – kurangnya koordinasi yang mengakibatkan tidak terbentuknya sinergitas sehingga pemanfaatan ruang menjadi tidak terpadu. Selanjutnya isu strategis yang ke empat yang juga penting adalah kurangnya pemanfataan teknologi dan pengalaman negara maju dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. Sementara isu strategis yang terakhir adalah terjadinya ketimpangan perkembangan kawasan di daerah perbatasan antar negara mengakibatkan ketidakharmonisan pembangunan di kawasan perbatasan.
Kemitraan dalam hal tata ruang sering kurang optimal karena lemahnya komunikasi dan jejaring antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Mengerti akan adanya isu-isu strategis yang harus dibenahi untuk menjali kemitraan yang kuat dan harmonis dalam penataan ruang, maka pemerintah ditantang untuk melakukan terobosan-terobosan untuk mencapai visi kemitraan yang tertera di atas. Beberapa tantangan kemitraan adalah: (1) Membangun komunikasi dan jejaring yang kuat dan luas antara Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha; (2) Mengoptimalkan peran dunia usaha dan masyarakat dalam proyek – proyek pembangunan dan pengembangan wilayah/kawasan; (3) Menguatkan fungsi kelembagaan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan (4) Menjalin kerjasama internasional dalam meningkatkan kualitas penataan ruang dan mensinergikan penataan ruang dengan negara tetangga.
Bagaimana mewujudkan kemitraan? Mengupayakan dan meningkatkan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang bukanlah hal yang sulit dilakukan. Asalkan masing-masing pihak dapat berkontribusi secara seimbang dan menanggung risiko bersama. Kerjasama tersebut harus dalam konteks saling menguntungkan, dimana kesepakatan antara pihak-pihak terkait diwujudkan dalam suatu kontrak. Kontrak tersebut merupakan ikatan persetujuan yang mengatur perihal legalitas kerangka kerja, dan kesetaraan hubungan sehingga terhindar dari kesalahpengertian antara pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan. Selanjutnya, kemitraan diharapkan tidak saja merupakan suatu jalan keluar bagi pemerintah dalam keterbatasan pendanaan dan sumber daya lainnya, tetapi juga mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab menjaga ruang. Untuk menambah pengetahuan dan menampung pengalaman dalam kemitraan, berikut ini upaya yang dilakukan: (1) Melaksanakan penjaringan aspirasi dalam rangka penyamaan persepsi tentang kemitraan penyelenggaraan penataan ruang dengan para stakeholders; (2) Menginventarisasi bentuk-bentuk kegiatan kemitraan
yang ada dan menyusun bentuk-bentuk kemitraan yang disepakati; (3) Menyusun program kemitraan di bidang penataan ruang sesuai kesepakatan bersama para stakeholders. Tulisan ini merupakan usulan yang disesuaikan dengan dinamika yang terjadi dalam praktek perencanaan. Oleh karena itu, masukan dan saran sangat diharapkan untuk mewujudkan kemitraan dalam penataan ruang. Sehingga kemitraan tidak sekedar menjadi jargon untuk melegitimasi keterlibatan dan kerjasama semua pihak, namun mewujud dalam ruang yang aman dan nyaman untuk ditempati bersama. November - Desember 2011 | buletin tata ruang
19
topik utama
Kebijakan Percepatan Persetujuan Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) perlu dipahami sebagai acuan spasial dalam pelaksanaan pembangunan nasional serta pentingnya implementasi RTRW tersebut secara konsisten Dalam rangka menghadapi kondisi keterbatasan ruang wilayah Nusantara, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ruang semakin meningkat, maka diperlukan pendekatan pengelolaan ruang wilayah nasional secara bijaksanauntuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam lingkungan yang berkelanjutan, yang kemudian kita kenal dengan pendekatan penataan ruang. Lahirnya UUPR pada tahun 2007 beserta peraturan pelaksanaannya merupakan era baru dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. Rencana tata ruang sebagai produk utama penataan ruang merupakan matra spasial dalam pengembangan wilayah dan kota yang dibentuk atas dasar kesepakatan semua pihak, baik sektor maupun daerah. Atas dasar kesepakatan tersebut, maka rencana tata ruang seyogyanya secara konsisten menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Pelaksanaan pembangunan nasional tentunya tidak akan hanya berjalan dengan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)beserta rencana rincinya pada tataran spasial yang makro. Oleh karena itu, untuk
20
buletin tata ruang | November - Desember 2011
mewujudkan tujuan pembangunan nasional danmendorong investasi di segala bidang, diperlukan rencana tata ruang pada tataran yang lebih operasional. Untuk itu, penetapan RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/Kota beserta rencana rincinya perlu menjadi perhatian kita bersama. Selain perlu upaya untuk menetapkan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota menjadi sebuah dokumen peraturan daerah (perda), hal yang tak kalah pentingnya adalah implementasi secara konsisten dari RTRW tersebut. Saat ini, kita diharapkan tidak lagi hanya berada dalam tahap perencanaan, namun secara simultan seyogyanya sudah masuk ke dalam tahap implementasipengembangan wilayah yang sesuai dengan rencana tata ruang. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan tertib tata ruang, diperlukan pengendalian pemanfaatan ruang secara efektif dan berkeadilan.
Persetujuan Substansi Teknis RTRW UUPR mengamanatkan adanya persetujuan substansi teknis oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan dalam bidang penataan ruang sebelum rancangan peraturan daerah (raperda) tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota ditetapkan. Khusus untuk RTRW Kabupaten/Kota, persetujuan substansi diberikan oleh Menteri, apabila sebelumnya telah mendapat rekomendasi dari Gubernur. Untuk menyamakan pemahaman bersama, persetujuan substansi teknis dilakukan oleh Menteri memiliki 4 (empat) prinsip. Pertama, persetujuan substansi teknis RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dilakukan untuk menjamin kesesuaian/konsistensi RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/ Kota dengan RTRWN dan kebijakan nasional bidang penataan ruang. Persetujuan ini juga dimaksudkan agar RTRWN, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota saling terintegrasi satu sama lain. Kedua, pendekatan ‘self assessment’ yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/Kota sangat diperlukan dalam proses persetujuan substansi. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah betul-betul bertanggung jawab atas kualitas RTRW yang dihasilkan, serta sudah melalui proses yang inklusif di daerah. Selanjutnya yang ketiga, perlu upaya untuk terus mendorong peran Pemerintah sebagai pembina dan pengawas teknis agar seluruh daerah mampu melakukan self assessment secara efektif, dan yang keempat, persetujuan substansi dilakukan apabila sudah melalui pembahasan dan konsensus dalam forum BKPRN. Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka persetujuan substansi teknis RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/ Kota merupakan fokus kita bersama sebagai anggota BKPRN, dan juga tentunya pemerintah daerah sebagai penyelenggara penataan ruang di daerah.
Persetujuan substansi teknis dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan dalam bidang penataan ruang sebelum raperda tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota (sebelumnya telah mendapat rekomendasi dari Gubernur) ditetapkan. Sebagaimana yang diamanatkan UUPR bahwa semua perda tentang RTRW Provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat 2 (dua) tahun, dan perda tentang RTRW Kabupaten/ Kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UUPR diberlakukan,serta mengingat pelaksanaan amanat tersebut sudah terlewati, maka upaya yang perlu dilakukan saat ini adalahupaya percepatan penetapan RTRW tersebut. Di samping itu, seiring dengan kebutuhan daerah akan RTRW yang lebih operasional sebagai dasar perizinan pelaksanaan pembangunan, maka percepatan penetapannya menjadi perda merupakan suatu keniscayaan yang harus diperjuangkan oleh setiap daerah, sehingga paling lambat pada tahun 2012 semua RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota sudah di-perda-kan. Walaupun tidak sesuai sepenuhnya dengan target waktu penyelesaian RTRW seperti yang diamanatkan UUPR, Gubernur, Bupati/Walikota yang pada Tahun 2010-2011 ini telah bekerja keras di dalam percepatan penyelesaian RTRW. Sebagai gambaran, dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi, hanya tinggal Provinsi Aceh yang masih dalam proses revisi RTRW Provinsinya, dan Provinsi Riau sedang dalam proses untuk persetujuan substansi. Sedangkan 31 (tiga puluh satu) provinsi lainnya telah mendapatkan persetujuan substansi teknis dari Menteri Pekerjaan Umum, namun diantaranya terdapat 16 (enam belas) provinsi yang secara paralel menjalani proses kehutanan, 4 (empat) provinsi yaitu Provinsi Bengkulu, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Gorontalo sedang dalam proses penetapan perda di DPRD Provinsi, dan 11 (sebelas) provinsi sudah menetapkan perda RTRW Provinsinya, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Bali, Provinsi D. I. Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Banten, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Sumatera Barat. Khusus untuk 2 (dua) provinsi terakhir ini yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Sumatera Barat, sudah ada penetapan perda oleh DPRD, dan saat ini sedang dalam proses evaluasi Kementerian Dalam Negeri.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
21
topik utama Status Keseluruhan
Status Keseluruhan
96
1 1 Proses Untuk Persetujuan substansi : Riau Proses Revisi : Aceh Telah Mendapat persetujuan Substansi
395
Sudah Pembahasan BKPRN : 80% Proses Revisi : 20%
31
Status Pembahasan BKPRN (395 Kab/Kota; 80%)
Status Persetujuan Substansi
16
Proses Kehutanan
Proses di DPRD Provinsi
Perda
129
4
266
11
Telah mendapatkan persetujuan substansi: 54% Perbaikan pasca sidang BKPRN : 26%
Grafik Status Progres Penyelesaian RTRW Provinsi
Lebih lanjut dari 491 kabupaten/kota, terdapat 96 (20%) kabupaten/kota yang masih dalam tahap proses revisi di daerahnya masing-masing, sedangkan 395 (80%) kabupaten/ kota sudah melakukan pembahasan BKPRN, diantaranya terdapat 129 (26%) kabupaten/kota sedang melakukan perbaikan pasca-sidang BKPRN, dan 266 (54%) kabupaten/ kota telah mendapatkan persetujuan substansi teknis dari Menteri Pekerjaan Umum. Dari 54% kabupaten/kota tersebut, terdapat 67 (14%) kabupaten/kota yang telah menetapkan Perda RTRW Kabupaten/Kota-nya, sedangkan sisanya sejumlah 40% Kabupaten/Kota masih harus kita dorong untuk dapat segera mempercepat proses perda RTRW-nya.
Telah Mendapat Persetujuan Substansi (266 Kab/Kota; 54%)
68
Perlu didorong mempercepat proses perda : 40%
198
Grafik Status Progres Penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota 22
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Perda : 14%
Percepatan Penyelesaian RTRW dalam mendukung Kebijakan MP3EI 2011-2025 Dengan kondisi progres penyelesaian RTRW saat ini, kiranya upaya percepatan merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan dan hal tersebut dapat terlaksana bersama-sama. Berbagai kebijakan terkait percepatan penetapan perda tentang RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/Kota tengah dilakukan. Upaya percepatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat antara lain adalah percepatan persetujuan substansi teknis RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, dengan tetap mengawal hingga RTRW tersebut dapat segera ditetapkan menjadi perda. Percepatan persetujuan substansi teknis dalam rangka penetapan RTRW telah dilaksanakanmelalui 4 (empat) upaya yang secara inklusif melibatkan berbagai pihak. Pertama, melakukan pembinaan teknis kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota, termasuk mendorong Gubernur untuk segera menetapkan perda tentang RTRW Provinsi, baik melalui surat-menyurat maupun melakukan kegiatan koordinasi secara langsung, serta dengan menguatkan peran Gubernur di dalam mengkoordinasikan upaya percepatan proses perda RTRW Kabupaten/Kota, khususnya bagi daerah yang telah mendapatkan persetujuan substansi teknis dari Menteri Pekerjaan Umum sehingga dapat segera di-perda-kan.
Menteri PU dalam Rakernas BKPRN 201 menjelaskan Kebijakan Percepatan Persetujuan Substansi RTRW
Upaya percepatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat antara lain adalah percepatan persetujuan substansi teknis RTRW Provinsi dan RTRW Kabupate/Kota, dengan tetap mengawal hingga RTRW tersebut dapat segera ditetapkan menjadi perda.
Kedua, melakukan fasilitasi pertemuan antara Sekretariat Daerah Provinsi dan seluruh Sekretariat DaerahKabupaten/Kota serta SKPD Kabupaten/Kota,dalam rangka mendorong percepatan penyelesaian RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/ Kota, terutama untuk mempercepat finalisasi raperda RTRW Kabupaten/Kota dan proses Rekomendasi Gubernur. Selanjutnya, ketiga, menyelenggarakan harmonisasi raperda tentang RTRW Provinsi dengan raperda tentang RTRW Kabupaten/Kota, antara lain untuk mempercepat proses perbaikan RTRW pasca-sidang BKPRN di daerahnya masing-masing, seperti terkait batasan wilayah dan sinkronisasi kebijakan sektoral dan kewilayahan, dan yang terakhir, keempat, melakukan pendampingan teknis percepatan penyelesaian seluruh RTRW Kabupaten/Kota yang masih belum pada tahapan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum.
Lebih lanjut, dalam rangka implementasi UUPR dan proses pengembangan wilayah yang berkelanjutan di tiap daerah, disadari akan pentingnya upaya percepatan persetujuan substansi teknis RTRW, sehingga dengan mekanisme dan efektifitas proses internal di Kementerian Pekerjaan Umum dan forum teknis BKPRN, yang selama ini telah berjalan dan terus diupayakan perbaikannya, maka proses di tingkat Pusat dijamin akan sangat efektif. Saat ini telah ditetapkan 4 (empat) rencana tata ruang kawasan strategis nasional (RTR KSN) sebagai rencana rinci dan operasionalisasi dari RTRWN, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur); Perpres No. 45 Tahun 2011 November - Desember 2011 | buletin tata ruang
23
topik utama tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita); Perpres No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar (Mamminasata); serta Perpres No. 62 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo (Mebidangro). RTR KSN tersebut berfungsi sebagai penjabaran RTRWN dan sebagai alat koordinasi pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, termasuk acuan dalam rangka koordinasi investasi pembangunan infrastruktur melalui Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM), serta dapat dijadikan acuan perizinan, terutama apabila RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota masih belum ditetapkan.
No
Sudut Kepentingan RTR KSN
RTR KSN merupakan dokumen yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang sedang melakukan penyusunan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota.
Jumlah Kawasan
No
RTR
Status
1
Ekonomi
24
1
Pulau Sulawesi
Penyampaian Ke Presiden
2
Lingkungan Hidup
22
2
Pulau Jawa-Bali
Finalisasi di Setkab
3
Sosial Budaya
4
3
Pulau Kalimantan
Finalisasi di Setkab
4
Pendayagunaan Sumber Daya Alam
16
4
Pulau Sumatera
Finalisasi di Setkab
dan Teknologi Tinggi 5
5
Kepulauan Maluku
Kesepakatan Gubernur
Pertahanan dan Keamanan
10
6
Kepulauan Nusa Tenggara
Kesepakatan Gubernur
Jumlah
76
7
Pulau papua
Kesepakatan Gubernur Tabel Status RT Pulau/Kepulauan
Tabel Status RTR KSN
Selain RTR KSN, saat ini juga sedang diupayakan penetapan 4 (empat) Perpres tentang rencana tata ruang (RTR) pulau/kepulauan sebagai perangkat operasional dari RTRWN dan sebagai alat koordinasi pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi di wilayah pulau tersebut. Keempat RTR Pulau tersebut meliputi RTR Pulau Sumatera, RTR Pulau Jawa-Bali, RTR Pulau Kalimantan, dan RTR Pulau Sulawesi. Dalam waktu dekat, RTR Pulau Sulawesi diharapkan sudah akan segera ditetapkan menjadi Perpres. Terkait dengan percepatan penyelesaian RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, RTR KSN tersebut merupakan dokumen yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang sedang melakukan penyusunan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, khususnya untuk daerah yang berada pada cakupan wilayah RTR KSN tersebut. Diharapkan seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, maupun pemangku kepentingan bidang penataan ruang lainnya, untuk membentuk komitmen bersama dalam melakukan percepatan penyelesaian perda tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota agar pelaksanaan pembangunan di Indonesia menjadi lebih terarah dan konsisten mengikuti rencana tata ruang.
Referensi: - Bahan Paparan Menteri PU pada Panel Paparan Menteri di Rakernas Badan BKPRN, Manado, 30 November 2011
24
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Percepatan Penataan Kawasan Hutan Dalam Perencanaan Tata Ruang Oleh: Bambang Soepijanto Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Tumpang tindih pola ruang hutan dengan pembangunan hanya salah satu masalah dalam perencanaan tata ruang. Masalah-masalah tersebut bisa diselesaikan jika penataan kawasan hutan dalam perencanaan tata ruang dipercepat. Visi Pembangunan Kehutanan adalah memantapkan kepastian status kawasan hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan, meningkatkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan rakyat sekitar hutan dan keadilan berusaha, memantapkan penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam, memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) sehingga dapat meningkatkan optimalisasi fungsi ekologi, ekonomi dan sosial DAS, serta meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar dan terapan serta kompetensi SDM dalam mendukung penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal. Untuk menunjang hal tersebut, ada beberapa program yang diprioritaskan oleh Kementerian Kehutanan, antara lain: pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS, pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan, konservasi keanekaragaman hayati, revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan, pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan, dan penguatan kelembagaan kehutanan.
Periode Kebijakan dan Perubahan Luas Hutan Sejarah kawasan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, sejalan dengan perubahan kebijakan yang mempengaruhi status dan fungsi kawasan hutan. Ada beberapa periode kebijakan kawasan yang berpengaruh terhadap kondisi kawasan hutan Indonesia. Yang pertama adalah periode berlakunya UU No. 5 tahun 1967 dimana hutan register dan penunjukan parsial kawasan hutan menjadi rujukan serta kawasan hutan yang dirujuk sesuai dengan peta TGHK. Kemudian periode selanjutnya adalah periode berlakunya UU No. 24/1992 dimana keberadaan kawasan hutan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, sehingga kawasan hutan sesuai TGHK perlu dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Periode ke tiga adalah periode berlakunya UU No. 41 tahun 1999, dimana hasil paduserasi antara TGHK dan RTRWP ditetapkan sebagai peta penunjukan kawasan hutan. Sementara periode terakhir adalah periode diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun 2007, dimana status dan fungsi kawasan hutan harus dikaji kembali eksistensinya sesuai usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRW Provinsi. November - Desember 2011 | buletin tata ruang
25
topik utama Data sampai dengan bulan Juni tahun 2011 menunjukkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia adalah 130,68 juta ha, terdiri dari hutan konservasi (26,8 juta ha), hutan lindung (28,8 juta ha), hutan produksi (32,6 juta ha), hutan produksi terbatas (24,4 juta ha), dan hutan produksi konversi (17,9 juta ha). Sedangkan dari data penutupan hutan, terdapat hutan primer seluas 41,3 juta ha, hutan sekunder seluas 45,5 juta ha, hutan tanaman seluas 2,8 juta ha, dan bukan berupa hutan seluas 41,0 juta ha.
Luas kawasan hutan ini cenderung terus berkurang seiring dengan penyelesaian kajian perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP oleh Tim Terpadu (Timdu). Dalam dinamika pembangunan saat ini, kondisi eksisting kawasan hutan di lapangan sudah banyak yang berubah menjadi permukiman permanen, fasum dan fasos yang tidak mungkin lagi dipertahankan sebagai kawasan hutan.
Hutan di dalam RTRWP
Posisi kawasan hutan dalam RTRWP akan mengisi pola ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada posisi kawasan lindung, kawasan hutan akan memberikan fungsi perlindungan dan konservasi. Dalam konteks kehutanan, maka pola ruang yang seperti itu dijadikan kawasan hutan Lindung, kawasan hutan gambut, dan kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam (KSA/KPA). Sedangkan pada kawasan budidaya, kawasan hutan dikelola untuk mendukung produksi hasil hutan (kayu, non-kayu dan jasa lingkungan) seperti yang dilakukan pada setiap kawasan hutan produksi (HPT, HP, dan HPK) dengan tujuan produksi komoditas kehutanan. Dalam hal pemanfaatan, pola ruang kehutanan sering tumpang tindih dengan pola ruang untuk pembangunan di luar kepentingan kehutanan pada kawasan hutan (misalnya pertambangan, pertanian, perikanan, permukiman, dan atau wilayah industri). Maka, peraturan di bidang kehutanan memungkinkan untuk mengakomodir sebagian kawasan hutan untuk pembangunan non-kehutanan tersebut melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.
Grafik Status Progres Penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota
Peraturan di bidang kehutanan memungkinkan untuk mengakomodir sebagian kawasan hutan untuk pembangunan nonkehutanan tersebut melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.
Sedangkan untuk pembangunan non-kehutanan yang permanen dan mengubah land use kawasan hutan (misalnya untuk transmigrasi atau pemukiman, perkebunan, dan pertanian), pemanfaatan hutan dapat ditempuh melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan, atau tukar menukar kawasan hutan. Jika terjadi tumpang tindih ruang untuk kepentingan pembangunan non-kehutanan pada kawasan konservasi, maka pemanfaatan hutan secara selektif dapat ditempuh melalui kolaborasi pengelolaan dengan pemangku kawasan konservasi. UU No. 26 Tahun 2007 antara lain mengamanatkan agar Pemerintah Daerah melakukan review RTRW-nya. Namun sejak diundangkan tahun 2007 hingga 2011, baru 18 provinsi yang telah mendapat persetujuan substansi kehutanan, yaitu pada tahun 2009 sebanyak lima provinsi, pada tahun 2010 sebanyak lima provinsi, dan di tahun 2011 sebanyak delapan provinsi. Sampai saat ini, persetujuan substansi kehutanan atas usulan perubahan kawasan hutan terus mengalami kemajuan, yaitu delapan belas provinsi telah mendapat persetujuan substansi kehutanan, enam provinsi diharapkan selesai pada tahun 2011 (Kalbar, Kaltim, Sulbar, Jambi, Babel, dan Riau), sedangkan sembilan provinsi dalam proses Tim Terpadu dan diharapkan selesai pada tahun 2012. Terkait dengan proses kajian Tim Terpadu atas usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam review RTRWP, maka percepatan perlu dilakukan dengan tetap mengedepankan sasaran kajian. Maksudnya adalah agar dapat menjamin kepastian hukum dan usaha, serta mendorong pembangunan wilayah.
26
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Mekanisme persetujuan substansi kehutanan dapat dipercepat penyelesaiannya dengan pelaksanaan kegiatan Timdu secara efektif dan efisien. Waktu kajian Timdu sebenarnya dapat dipangkas atau dipercepat apabila seluruh kegiatan Timdu yang terdiri dari kunjungan lapangan, pleno Timdu serta uji konsistensi dilakukan secara kontinu dan intensif. Tim Terpadu yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan sesungguhnya merupakan alat yang di BKO-kan kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu, kecepatan penyelesaian usulan perubahan kawasan hutan tersebut tak lepas dari upaya pemerintah provinsi dalam mendayagunakan Tim Terpadu. Untuk mendukung percepatan penyelesaian substansi kehutanan dalam kajian terpadu, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: a) perencanaan tahapan kegiatan yang mantap; b) penjadwalan yang ketat; c) penyediaan sarana dan SDM serta kelengkapan data yang valid; dan d) dukungan pendanaan yang memadai. Untuk itu diperlukan sinergi antara Kementerian Kehutanan dengan pemerintah provinsi untuk implementasinya. Di samping itu, perlu dilakukan standarisasi metodologi analisis Tim Terpadu dengan memilah tipologi usulan perubahan kawasan hutan ke dalam dua tipologi, yaitu: perubahan peruntukan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan untuk mengakomodir permukiman, lahan garapan masyarakat, fasum/fasos, fasilitas pemerintahan serta pengembangan wilayah dan perubahan fungsi antar kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi biofisik (reskoring kawasan hutan).
Proses Persetujuan Substansi Kehutanan Hasil Kajian Terpadu yang menjadi Kewenangan Menteri Kehutanan dan yang Membutuhkan Persetujuan DPR RI USULAN GUBERNUR
SK TIM TERPADU Perubahan Fungsi KAJIAN
Non DPCLS Perubahan Peruntukan DPCLS
Penetapan Perubahan KH oleh Menhut
Penetapan Perubahan KH setelah persetujuan DPR RI
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
27
topik utama
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa proses persetujuan substansi kehutanan bermula dari usulan gubernur yang merupakan kompilasi dari usulan-usulan kabupaten/kota. Jika terdapat usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, maka sesuai UU dibentuk Tim Terpadu oleh Menhut untuk mengkaji usulan perubahan tersebut. Selanjutnya, rekomendasi kajian Tim Terpadu dilaporkan kepada Menhut. Rekomendasi perubahan kawasan hutan yang ‘tidak bernilai strategis’ sesuai dengan kewenangan yang ada langsung ditetapkan oleh Menhut. Sedangkan yang bernilai strategis ditetapkan setelah mendapat persetujuan DPR. Setelah persetujuan DPR diberikan, Menhut menerbitkan keputusan peta kawasan hutan provinsi yang baru. Dalam proses kajian terpadu, apabila dijumpai perubahan peruntukan yang berdampak penting, cakupan luas, serta bernilai strategis, maka perlu dilakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi SDH, antara lain: pertumbuhan penduduk yang berdampak pada pertambahan permukiman, pemekaran wilayah yang memerlukan lahan hutan untuk pembangunan infrastruktur, fasum atau fasos. Di samping itu terdapat pula kebutuhan lahan untuk investasi seperti untuk perkebunan, real estate, dan adanya faktor kondisi riil kawasan hutan yang sudah berubah fungsi. Faktor-faktor tersebut mau tidak mau akan menentukan sampai sejauh mana kebutuhan pembangunan tersebut bisa dipenuhi dari kawasan hutan, yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan: “berapa luas sesungguhnya kawasan hutan yang harus dipertahankan?” Namun jika kita sepakat untuk memaknai fungsi dan peran hutan sebagai penyangga kehidupan, maka semua pihak akan sepakat pula tentang perlunya batas luas kawasan hutan yang rasional untuk mendukung pembangunan sektor non kehutanan, seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, dsb.
Semua pihak akan sepakat tentang perlunya batas luas kawasan hutan yang rasional untuk mendukung pembangunan sektor non kehutanan.
28
buletin tata ruang | November - Desember 2011
HPK Untuk mengakomodir pembangunan sektor non-kehutanan, Kementrian Kehutanan telah mengalokasikan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Seiring dengan penyelesaian kajian perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP oleh Tim Terpadu, HPK telah banyak mengalami perubahan. Terkait dengan hal itu, terdapat tiga skenario penyediaan areal HPK di seluruh Indonesia: areal HPK pada Provinsi yang tidak mengalami perubahan kawasan hutan (seluas ±133.842 ha), areal HPK pada provinsi yang mengusulkan perubahan kawasan hutan dan telah direkomendasi Timdu (seluas ±7.576.500 ha), dan areal HPK yang diusulkan pemerintah provinsi dan masih dalam kajian Timdu (seluas ±6.859.241 ha). Maka total areal HPK sampai saat ini yang dapat dialokasikan untuk pembangunan non-kehutanan adalah seluas ±14.569.583 ha. Mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, maka luas kawasan hutan minimal adalah 30% dari luas DAS, dan atau pulau dengan penyebaran yang proporsional. Data empiris dalam review RTRWP, menunjukkan kecenderungan pengurangan kawasan hutan diprediksi sekitar 18-20% dari luas kawasan saat ini. Dengan demikian, diskenariokan luas kawasan hutan tetap sekitar 80% dari luas kawasan hutan saat ini. Perkiraan pengurangan tersebut dialokasikan untuk mendukung kebutuhan pembangunan di luar sektor kehutanan, dan sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik. Namun, pengurangan kawasan hutan tidak dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap sejalan dengan program pembangunan yang direncanakan. Prosentase pengurangan kawasan hutan tidak sama untuk setiap wilayah, tapi disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, dan dilakukan dalam kerangka mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
UNTUK PENATAAN RUANG Oleh: Drs Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Deputi Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup
RTRW dan kebijakan penataan ruang terkadang malah berdampak negatif pada lingkungan hidup. Untuk itu dibutuhkan kajian khusus yang berasas pada lingkungan.
Lingkungan hidup harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, keberlanjutan, dan keadilan. Selanjutnya pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Amanat KLHS dalam Peraturan Perundangan Dalam UU 32/2009, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/program.
Dalam PP no. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (pasal 25, 27, 33, 35), disebutkan jika prosedur penetapan RTRW nasional, propinsi, kabupaten, kota, dilakukan melalui KLHS. Selain itu ada pula peraturan lain terkait pembangunan hutan yang diatur dalam PP, antara lain PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Peran Tata Ruang bagi Lingkungan Hidup
Penataan ruang harus mengatur ruang sesuai fungsinya (kawasan yang rentan/rawan lingkungan, memiliki fungsi lingkungan yang tinggi, kaya keanekaragaman hayati, diperuntukan menjadi fungsi lindung). Daya dukung dan daya tampung harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan pemanfaatan ruang. Perlu ada keterpaduan antar sektor dan daerah yang meminimalisasi risiko atau dampak lingkungan dan mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Ketentuan KLHS untuk Tata Ruang diatur di dalam UU 32/2009 Pasal 19 pasal 1, yaitu menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat. Sementara setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS dan pasal 2 tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah, sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Urgensi KLHS
Degradasi lingkungan hidup bersifat kausalitas, lintas wilayah dan antar sektor. Ini artinya diperlukan instrumen pengelolaan lingkungan hidup lintas wilayah, antar sektor, dan antar lembaga. Sumber masalah degradasi lingkungan hidup berawal dari proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan degradasi lingkungan hidup harus dimulai dari proses pengambilan keputusan pula. KLHS adalah instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diimplementasikan pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan. KLHS merupakan upaya integrasi aspek lingkungan hidup yang telah berjalan selama ini adalah berada pada tataran November - Desember 2011 | buletin tata ruang
29
topik utama Muatan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH Perencanaan Rencana PPLH
Penetapan Ekoregion Inventarisasi LH
Pemanfaatan
Pengandalian
• Keberlanjutan Proses • Keberlanjutan Produktifitas • Keselamatan dan Kesejahteraan Masyarakat
• Pencegahan • Penanggulangan • Pemulihan
• RPPLH • Daya Dukung • Daya Tampung
• • • • • • • • • • •
KLHS Tata Ruang AMDAL UKL - UPL Instrumen Ekonomi
Baku Mutu LH Kriteria Kerusakan LH Perizinan Anggaran Berbasis LH Analisa Resiko LH Audit LH
Pemeliharaan • Konservasi SDA • Pencadangan SDA • Pelestarian Fungsi Atmosfer (mitigasi, adaptasi, lapisan ozon dan hujan asam
• Perubahan iklim • Rekayasa genetika • Sumber daya genetik
Pengawasan & Penegakan hukum
• Pembinaan • Sanksi Administrasi • Sanksi Perdata • Sanksi Pidanav
• PUU Berbasis LH • Ijin Lingkungan
KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP MENINGKAT Peningkatan Kapasitas
Tersedianya Sarana dan Prasarana
Data dan Informasi
KLHS adalah instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diimplementasikan Prinsip Dasar yang Dibangun KLHS pada proses pengambilan keputusan Terdapat tiga prinsip dasar dalam penyusunan KLHS. perencanaan pembangunan. Prinsip yang pertama adalah keterikatan, yaitu keterikatan kegiatan proyek (melalui AMDAL). Akan tetapi amdal memiliki keterbatasan untuk menjangkau masalah lingkungan yang berada di luar skala proyek. Berbagai pengalaman yang ada menunjukan bahwa banyak kebijakan justru berpotensi menimbulkan implikasi tehadap lingkungan hidup. Di beberapa negara, instrumen KLHS atau Strategic Environmental Assessment sudah banyak digunakan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Dampak negatif lingkungan pada tingkat proyek diharapkan dapat lebih efektif diatasi atau dicegah, karena hasil KLHS akan memberikan arahan implementasi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota, dan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan. Lebih lanjut, KRP berpotensi menimbulkan dampak kumulatif berupa: (1) Meningkatkan risiko perubahan iklim, (2) Mempercepat kerusakan Kehati, (3) Meningkatkan intensitas banjir dan/atau longsor, (4) Menurunkan kualitas air dan udara, (5) Mendorong konversi lahan, dan (6) Meningkatkan jumlah orang miskin.
30
buletin tata ruang | November - Desember 2011
antar lembaga. Misalnya antar lembaga pemerintah, antara pemerintah dengan masyarakat, dan antar lembaga masyarakat. Sektor Kegiatan dari prinsip keterikatan ini dilakukan antara hulu dengan hilir, antara skala besar dengan kecil atau menengah, antara sektor formal dengan informal. Sementara prinsip yang ke dua adalah keseimbangan, yang terjadi di antara produksi dengan kelestarian, antara fungsi ekonomi dengan sosial, dan antara Kepentingan Individu dengan bersama. Lalu prinsip yang terakhir adalah keadilan. Yang dimaksud dengan keadilan di sini adalah distribusi akses mengusahakan atau memanfaatkan dan distribusi hasil yang diperoleh.
Beberapa tolok ukur bahwa sebuah kebijakan yang berkaitan dengan tata ruang berdampak positif terhadap lingkungan hidup antara lain: (1) Telah mengarusutamakan Linngkungan Hidup dan keberlanjutan pembangunan dalam kebijakan, rencana, dan program [KRP]; (2) Terdapat peningkatan kualitas secara proses dan muatan KRP, sehingga dapat menurunkan laju kerusakan dan pencemaran lingkungan serta menjamin pembangunan berkelanjutan; (3) Ada keterlibatan seluas mungkin para stakeholders mengingat luasnya rentang KRP, pengambil keputusan, dan para pihak berkepentingan; dan (4) Menjadi acuan bagi berbagai kegiatan yang ada di bawahnya, karena ada arahan kebijakan yang jelas. Melalui KLHS diharapkan akan dapat menghasilkan produk kebijakan yang lebih baik dan benar.
topik lain
Menuju Ketahanan dengan Kebijakan Pangan Pertanahan Oleh: Redaksi Butaru
Alih fungsi Lahan pertanian dan lahan terlantar menjadi isu strategis yang perlu dibenahi menuju terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia Ketahanan pangan adalah masalah yang sangat serius bagi sebuah negara. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, pemerintah menargetkan surplus beras sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014. Akan tetapi, meski Indonesia selalu dikenal sebagai negara agraris, ternyata untuk mencapai target ini bukanlah hal mudah. Lahan pertanian yang semakin sempit akibat alih fungsi lahan hanya salah satu kendalanya. Di sisi lain, di banyak daerah di Indonesia, bahkan di daerah permukiman pun sering ditemukan lahan-lahan terlantar yang tak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Maka, demi terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah harus melakukan terobosan-terobosan untuk kembali memaksimalkan sektor pertanian. Salah satunya adalah dengan mengoptimalisasi lahan terlantar.
Selain itu faktor penyebab alih fungsi tanah pertanian adalah peningkatan jumlah penduduk dan taraf kehidupan, lokasi tanah pertanian banyak diminati untuk kegiatan nonpertanian, menurunnya nilai ekonomi sektor pertanian, fragmentasi tanah pertanian, kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian, dan lemahnya peraturan dan penegakan hukum. Lebih lanjut lagi, masalah pengelolaan pertanahan dalam pengendalian alih fungsi tanah pertanian adalah belum adanya peraturan perundangan yang secara khusus mencegah alih fungsi tanah pertanian. Untuk itu diperlukan penetapan tanah pertanian yang dilindungi. Saat ini, proses administrasi pertanahan untuk tanah pertanian mengacu pada arahan peruntukan dalam RTRW, dengan memberikan persyaratan penggunaan dan pemanfaatan tanah (PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah) Luas Penggunaan Tanah Sawah Tahun 2009 (HA)
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
Beberapa hal yang menjadi permasalahan sektor pertanian terkait dengan pertanahan adalah terbatasnya sumber daya tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian, sempitnya tanah pertanian per kapita (900 m2/kapita), makin banyaknya petani gurem (lebih dari 0,5 Ha per keluarga), tidak amannya status penguasaan tanah (land tenure), dan cepatnya konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian November - Desember 2011 | buletin tata ruang
31
topik lain Strategi Pengendalian dan Perlindungan Tanah Pertanian
Dalam upaya pengendalian dan perlindungan tanah pertanian, terdapat beberapa strategi yaitu: Pertama, memperkecil peluang terjadinya konversi, dengan (1) mengembangkan pajak tanah progresif, (2) meningkatkan efisiensi kebutuhan tanah non-pertanian sehingga mengurangi tanah terlantar, (3) mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan (misalnya rusun). Ke dua, mengendalikan kegiatan konversi dengan: (1)membatasi konversi tanah pertanian yang produktif, menyerap tenaga kerja dan memiliki fungsi lingkungan, (2) mengarahkan konversi pada tanah kurang produktif , (3) membatasi luas konversi dengan mengacu pada penyediaan pangan mandiri di kabupaten/kota, (4) menetapkan Kawasan Pangan Berkelanjutan dengan insentif bagi pemilik tanah dan Pemda setempat. Ke tiga, dengan instrumen pengendalian konversi yaitu: (1) Instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan sanksi yang sesuai , (2) Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik tanah dan Pemda setempat , (3) Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk merangsang Pemda melindungi tanah pertanian, terutama sawah, dan (4) Instrumen RTRW dan perizinan lokasi (Pertimbangan Teknis Pertanahan).
Kebijakan Prioritas Pengendalian Konversi
Berdasarkan strategi di atas, terdapat Kebijakan Pengendalian Konversi yaitu : (1) Menyusun peraturan perundangundangan perlindungan tanah pertanian produktif (PP, Perpres maupun UU), (2) Menetapkan zonasi tanah-tanah pertanian berkelanjutan, (3) Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif terhadap pemilik tanah dan pemerintah daerah setempat, (4) Mengintegrasikan ketiga ketentuan tersebut dalam RTRW Nasional, provinsi dan kabupaten/ kota, (5) Membentuk Komisi Pengendali Tanah Sawah tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, dengan keputusan pada kepala daerah yang bersangkutan. Pengendalian alih fungsi tanah pertanian secara sistematis, berjenjang dan berkelanjutan perlu menjadi perhatian semua pihak. Adapun strategi pengendalian alih fungsi tanah pertanian antara lain penetapan peraturan perundangundangan tentang pengendalian tanah pertanian produktif, penetapan zonasi perlindungan tanah pertanian abadi berikut kebijakan pengelolaannya dan implementasi peraturan dan zonasi perlindungan tanah pertanian dalam RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagai acuan pengarahan lokasi pembangunan, perizinan dan administrasi pertanahan.
Sinkronisasi Baku Sawah untuk Mendukung Surplus Beras 10 juta ton pada tahun 2014 Dalam upaya mendukung surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014 telah dilakukan langkah-langkah yaitu dengan Pembentukan Tim Koordinasi Pemantapan Luas Sawah (Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 354/KEP-100.18/IX/2011 tanggal 16 September 2011, dengan Tugas Pokok yaitu (1) Memastikan luas baku sawah, sebaran dan klasifikasinya
32
buletin tata ruang | November - Desember 2011
serta pembaruan (updating) datanya, (2) Mengkaji penyiapan langkah-langkah yang diperlukan dalam mendukung upaya pencapaian surplus produksi beras dan penugasan tim teknis dari BPN RI, Kementan dan BPS untuk mengkaji data spasial dan tekstual untuk ditetapkan menjadi luas baku sawah Pulau Jawa.
Dalam upaya pemantapan luas sawah baku nasional dibutuhkan dukungan data dan infromasi dari kementerian dan lembaga terkait, seperti BPN RI yang menyediakan data luas baku Sawah Nasional Sebelum tahun 1980, tahun 1980, tahun 1990, tahun 2000 dan tahun 2010) dengan input data 1 : 25.000 untuk Pulau Jawa dan 1 : 100.000 untuk luar Pulau Jawa dan disajikan pada skala 1 : 250.000, Bakosurtanal yang memiliki Peta Dasar dan Penutup Lahan/Rupa Bumi, juga Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, BPS dan Kementerian dan lembaga lain yang memiliki data citra, atau land cover. Langkah dalam mendukung pencapaian surplus produksi beras antara lain dilakukan oleh BPN-RI yang telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPN No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan, sebagai langkah pencegahan alih fungsi Sawah. Selain itu juga diperlukan Analisis Kesesuaian RTRW dengan persebaran sawah eksisting dan meninjau kembali peruntukkan ruang yang tidak sesuai, analisis pelepasan kawasan hutan dan rasionalisasi kawasan kehutanan hasil Timdu dalam persetujuan substansi Kemenhut untuk penetapan RTRW provinsi, dan analisis pencetakan sawah baru atas dasar syarat tumbuh padi dengan memperhatikan ketersediaan tanahnya.
Tanah terlantar produktif, berpeluang untuk diberikan hak atau dasar sesuai peraturan, sementara tanah terlantar tidak produktif berpotensi untuk dialokasikan ke tujuan lain. Karakter Lahan terlantar
Lahan-lahan seperti semak belukar dan alang-alang adalah contoh lahan terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang tidak sesuai dengan hak atau dasarnya, dan bisa bersifat produktif atau tidak produktif. Tanah terlantar produktif, berpeluang untuk diberikan hak atau dasar sesuai peraturan, sementara tanah terlantar tidak produktif berpotensi untuk dialokasikan ke tujuan lain.
Grafik Status Progres Penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota
No.
Pulau
Jenis Sawah
Total
Irigasi (Ha)
Non Irigasi (Ha)
Ha
%
1
Sumatera
1.850.142
548.574
2.398.716
29,31
2
Jawa*)
2.535.555
986.049
3.521.604
43,03
3
Bali
75.830
173
76.003
0,93
4
Nusa Tenggara
176.873
108.979
285.852
3,49
5
Kalimantan
230.470
707.137
937.607
11,46
6
Sulawesi
614.466
272.035
886.501
10,83
7
Maluku
15.666
6.097
21.763
0,27
8
Papua
29.751
26.089
55.840
0,68
5.528.753
2.655.133
8.183.886
100
Nasional
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN TERLANTAR Sering kita menjumpai semak belukar atau alang-alang di perjalanan atau mungkin tak jauh dari tempat tinggal kita. Semak belukar dan alang-alang memiliki ciri-ciri hampir sama, yaitu kesuburan tanah yang rendah. Lahan semacam ini menjadi lahan kritis akibat salah pengolahan. Tapi sering pula lahan-lahan seperti ini memang sengaja tidak diusahakan karena alasan tertentu. Salah satunya adalah untuk investasi jangka panjang, khususnya jika di pemilik tanah sedang berspekulasi dengan harga lahan tersebut di masa yang akan datang.
Menurut PP No. 11 tahun 2011, tanah terlantar terkait dengan tujuan yang dinyatakan dalam Hak atau Dasar yang diberikan sehingga dapat berupa semak belukar atau alangalang yang tidak produktif atau dapat produktif seperti karet, perumahan, dst. Hal ini dapat terjadi karena kesuburan tanah rendah, kesesuaian terbatas, atau disengaja karena tanah baik jika dipakai untuk tujuan lain. Keperluan ekonomis jangka pendek atau panjang, misalnya. Menurut informasi dari Badan Pertanahan Nasional (September 2011), terdapat tanah terlantar seluas 7,3 juta hektar yang dipastikan berupa tanah yang subur dan berada di luar tanah hutan. Tanah-tanah terlantar ini merupakan tanah negara yang mencakup lahan yang sudah ada haknya atau dasar penguasaannya. Lebih lanjut, dari sebanyak 7,3 juta hektar lahan terlantar itu, sebanyak 1,9 juta merupakan hak guna usaha (HGU) perkebunan. Sementara itu data BPN (2008) menunjukkan daerah tiga besar tanah terlantar terletak di Propinsi Sulsel 1.277.257 hektar, Propinsi Kalteng 1.140.048 hektar, dan Propinsi Riau 1.121.613 hektar. Adapun kebanyakan lahan terlantar merupakan lahan perkebunan.
Kebijakan Pemanfaatan Lahan Terlantar
Dalam PP No. 11 tahun 2011, diatur tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar pada pasal 2 yang menyatakan, “Tanah yang diberi hak oleh Negara (Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak pengeloaan atau dasar penguasaan): tidak usahakan, tidak digunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.” November - Desember 2011 | buletin tata ruang
33
topik lain
Sedangkan dalam pasal 8 diatur tentang peringatan untuk pemilik tanah terlantar. Peringatan pertama akan disampaikan dalam kurun waktu 1 bulan kepada si pemilik tanah agar tanahnya itu dimanfaatkan. Jika pada bulan pertama peringatan ini diacuhkan, maka tanah ini masuk pada tahap 1 yaitu diusulkan menjadi tanah terlantar.
Tanah terlantar di wilayah Kalimantan Tengah
Selanjutnya peringatan ke dua akan disampaikan pada satu bulan berikutnya. Pada tahap ini, setelah tanah dinyatakan status quo sesuai pasal 8 dan 12, tanah telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Peringatan terakhir atau ke tiga dilakukan pada satu bulan berikutnya lagi. Tahap ini dianggap tahap akhir. Maka jika pemilik tanah belum menghiraukan peringatan pemerintah, tanahnya akan dikuasai langsung oleh negara.
Kalimantan tengah adalah daerah yang merupakan wilayah dengan tanah terlantar No. 2 terbesar di Indonesia (data BPN) --- sekitar 1,3 juta Ha. Grafik Status Progres Penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota
Optimalisasi pemanfaatan Kendala yang dihadapi berencana memanfaatkan tanah terlantar antara lain untuk masyarakat lahan dapat dilakukan Pemerintah dalam rangka reformasi agraria dan kepentingan strategi negara dan pemerintah, dengan penggunaan di antaranya untuk ketahanan pangan, ketahanan energi, dan pengembangan teknologi informasi perumahan rakyat. Sementara untuk cadangan umum negara, tujuannya antara spasial, yang diawali lain adalah untuk relokasi masyarakat jika terjadi bencana, relokasi masyarakat jika dengan pencarian lahan ada keperluan penting, kepentingan hankam dan pemerintah. yang tersedia dan dapat pemetaan ini masih kasar, tapi jika hal ini dilakukan, ada sekitar 2,8 juta hektar bersumber dari tanah Walau tanah terlantar yang bisa dimanfaatkan. “(Tanah-red) Ini akan diserahkan kepada terlantar yang tersedia petani,” kata Kepala BPN dalam jumpa pers pada Hari Agraria Nasional (24/9/2010). di dalam dan luar Akan tetapi penertiban tanah terlantar membutuhkan waktu. Apalagi karena data kawasan hutan. yang dimiliki kasar dan tidak memiliki standar. Yang cukup melegakan adalah sebagian data mudah diakses. Kegiatan penertiban tanah terlantar, baik di luar kawasan hutan maupun dalam kawasan hutan, perlu dipercepat. Dalam penentuan alokasi lahan untuk peruntukan spesifik, kondisi lokal, regional dan nasional harus diperhitungkan secara bersamaan (bukan parsial). Optimalisasi pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi informasi spasial, yang diawali dengan pencarian lahan yang tersedia dan dapat bersumber dari tanah terlantar yang tersedia di dalam dan luar kawasan hutan. Untuk memudahkan alokasi tanah yang spesifik, tentu saja diperlukan data yang baik dan akurat. Referensi: -Bahan Paparan “Kebijakan Pertahanan dalam Ketahanan Pangan”, Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional, Oktober 2011 -Bahan Paparan “Sinkronisasi Luas Baku Sawah untuk Mendukung Surplus Beras 10 Juta ton tahun 2014: , Tim Koordinasi Pemantapan Luas Sawah, Kementerian Kehutanan -Bahan Paparan “ Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Terlantar’, Dr Baba Barus, MSc, Direktur Riset dan Pelatihan P4W, LPPM IPB
34
buletin tata ruang | November - Desember 2011
HARI TATA RUANG-WORLD TOWN PLANING DAY 2011
Dialog “Hijau” tentang Masa Depan Terciptanya Kota Hijau di masa depan sangat bergantung pada kepedulian masyarakat. Dialog Interaktif-Future Green City yang diadakan sebagai puncak peringatan Hari Tata Ruang 2011 merupakan upaya untuk meningkatkan kepedulian semua pihak.
Salah satu rangkaian kegiatan Hari Tata Ruang 2011 adalah Dialog Interaktif “Future Green City”. Kegiatan yang diadakan pada tanggal 12 November 2011 dan berlokasi di Plasa Selatan Senayan ini adalah kegiatan tahunan Direktorat Jenderal Penataan Ruang (DJPR), Kementerian PU. Persiapan acara dari konsepsi hingga pelaksanaan dilakukan dalam kurun waktu kurang enam bulan dan mengusung tema “Future Green City” sebagai bentuk dukungan terhadap Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang sedang menjadi isu strategis Ditjen Penataan Ruang. Rangkaian acara ini diawali dengan kegiatan “Call For Act” yakni pengumpulan karya-karya generasi muda yang peduli lingkungan untuk dilombakan dan diberi kesempatan mempresentasikan hasil karyanya. Karya-karya tersebut dapat berupa Poster, Buku Saku, Video, Foto dan lainnya dengan syarat bertema green.
Logo Kegiatan Call For Act
Setelah melalui proses penjurian, terpilih lima karya peserta yang menurut para juri adalah karya yang menarik, kreatif dan inovatif. Antara lain adalah Tim dari Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada dengan judul Taman Edukasi, Krispitoyo dari Forum Arsitek Medan dengan judul Gang Ban. tong.seng, Annisa Wibi dan Kandi S. dari Komunitas Sahabat Kota Peta Hijau Bandung, Niken Prawestiti dari Peta Hijau Jakarta serta yang terakhir Bambang Sutrisna dkk, dari Teens Go Green. Beberapa contoh karya dari peserta
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
35
topik lain Dialog Interaktif Future Green City ini juga dihadiri dari beberapa wakil dari negara lain dan juga menghadirkan beberapa narasumber yang sangat peduli akan lingkungan sekitarnya. Narasumber tersebut adalah Sofian Sibarani, Nirwono Joga dan Dik Doank. Selain mereka ada pula NGO, komunitas pecinta lingkungan dan masyarakat peduli lingkungan. Acara ini diawali oleh penampilan musik kreatif dari Kandang Jurank Doank , yang kemudian dibuka oleh Dirjen Penataan Ruang Ir. Imam S. Ernawi MCM, M.Sc. Dialog sesi pertama dimulai dengan narasumber Direktur AECOM Sofian Sibarani dan Dik Doank sebagai artis peduli lingkungan. Secara garis besar paparan dari Sofian Sibarani bercerita tentang posisi kualitas kota besar di Indonesia dibandingkan dengan dunia serta solusi menghadapi kompleksnya permasalahan di perkotaan. Kemudian dilanjutkan dengan Dik Doank yang bercerita mengenai sebuah wadah bagi masyarakat untuk belajar banyak ilmu, menjadi manusia yang lebih baik dan cinta akan lingkungan sekitarnya.
Aksi Musikal dari Kandang Jurank Doank
Acara ini juga diisi oleh presentasi lima karya para pemenang “Call For Act”. Setiap sesi dialog ini diakhiri dengan diskusi tanya jawab seputar materi paparan dari masing-masing narasumber atau presentator. Ada beberapa hal yang cukup menarik pada acara ini, antara lain adalah bentuk komitmen bersama dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang dituangkan melalui kain batik berisi tulisan, kritik, masukan dan saran untuk kota hijau yang produktif dan berkelanjutan.
Acara ini merupakan bentuk dukungan terhadap Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang sedang menjadi isu strategis Ditjen Penataan Ruang.
Komitmen Generasi Muda tertuang dalam bentuk batik 36
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Pemberian Cinderamata kepada Narasumber oleh Dirjen Penataan Ruang
Acara Dialog Interaktif Future Green City ini ditutup oleh Setditjen Penataan Ruang, Dr.Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng. Kemudian peserta Dialog Interaktif baik presentator maupun peserta yang aktif dalam sesi dialog diberikan sebuah plakat sebagai bentuk apresiasi terhadap partisipasi mereka yang turut berkontribusi dan aktif mensukseskan acara ini. Sebagai puncak acara, dilakukan penandatanganan bersama pernyataan dukungan mewujudkan kota hijau bersama yang isinya antara lain: (1) Siap memberikan kontribusi dalam mewujudkan Kota Hijau masa depan yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang ramah lingkungan, peningkatan kualitas, kuantitas dan aksesibilitas ruang terbuka hijau, peningkatan kualitas udara dan air, pengurangan sampah dan limbah, pemanfaatan energi secara cerdas, inovatif dan ramah lingkungan, pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, pengembangan bangunan hijau, peningkatan peran komunitas hijau dan pengembangan jejaring kerjasama dengan para pemangku kepentingan; (2) Turut berperan aktif mewujudkan kota hijau sesuai dengan peran, potensi dan kemampuan masing-masing baik sebagai individu maupun bagian dari komunitas, melakukan kegiatan-kegiatan nyata yang cerdas, inovatif dan kreatif di lingkungan masing-masing; dan (3) Siap menjadi pelopor perubahan dengan mengajak dan mendorong kelompok atau komunitas generasi muda lainnya untuk turut memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan kota hijau masa depan yang berkelanjutan untuk Indonesia yang lebih baik.
LAIN JEMBATAN ORESUND, LAIN JEMBATAN SELAT SUNDA
Lesson Learned Penerapan KLHS
na Renca
Oleh: Melva E Marpaung Direktorat Penataan Ruang Wilayah Tarunas, Ditjen Penataan Ruang, Kemen PU
Bukan tidak mungkin kerusakan dan pencemaran lingkungan berasal dari kesalahan pada tahap perencanaan. Ini mengapa KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) menjadi instrumen jitu dalam suatu perencanaan atau pembangunan.
Dalam dua dekade terakhir, kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia boleh dikatakan terjadi begitu cepat, melampaui kemampuan kita untuk mencegah dan mengendalikan degradasi sumber daya alam dan lingkungan. Faktor kelembagaan melalui kebijakan dan rencana atau program (KRP) yang selama ini cenderung bias ekonomi ditengarai menjadi salah satu penyebab terjadinya hal tersebut. Lingkungan hidup cenderung diposisikan sebagai penyedia sumber daya alam tanpa dipikirkan mempunyai batas-batas daya dukung tertentu. Salah satu jalan keluar yang dipandang efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah suatu tindakan strategis yang dapat menuntun, mengarahkan dan menjamin lahirnya kebijakan, rencana dan program-program yang secara inheren mempertimbangkan efek negatif kebijakan tersebut terhadap lingkungan dan menjamin keberlanjutan suatu lingkungan. Tindakan strategis yang dimaksud adalah institusi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA). (KLH: 2009)
Analisa Lingkungan dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu produk penting modernisasi ekologi era tahun 1990an. KLHS merupakan insitutusi baru yang dibentuk untuk memperbaiki politik dan tata kelola lingkungan hidup, dengan fokus utama mengintegrasikan pertimbangan lingkungan pada aras (level) pengambilan keputusan yang bersifat strategis, yakni pada aras kebijakan, rencana dan program pembangunan. Berdasarkan buku atau laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian LH, telah banyak informasi terkait definisi, tujuan, manfaat dan sasaran dibutuhkannya KLHS dalam penyusunan kebijakan, rencana dan program terkait pembangunan.
Environmenal assessment assumens that It is possible to set up different ways (alternatives) how to reach the desired goal and then to asses these ways to see which is the best from an environmental point-of-view. Yang menjadi bahan diskusi hangat di kalangan para perencana terutama yang terkait dengan penyusunan rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan, serta rencana pembangunan kawasan belakangan ini adalah pendekatan (kelembagaan) dan prosedur yang mana yang digunakan, mengingat ada empat pendekatan dan tiga prosedur yang hingga saat ini telah disusun sebagai refleksi atas adanya perbedaan dalam menyikapi peraturan perundangan. November - Desember 2011 | buletin tata ruang
37
topik lain Empat pendekatan yang dimaksud adalah (Pedoman KLHS: 2009) : a. KLHS dalam Kerangka Dasar AMDAL (EIA Mainframe), yaitu pola KLHS secara formal ditetapkan sebagai bagian dari peraturan perundangan AMDAL. KLHS yang tumbuh dalam kerangka kelembagaan semacam ini disebut sebagai EIA Mainframe karena menggunakan pendekatan yang menyerupai AMDAL. b. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan (Environmental Appraisal Style). Pola kelembagaan semacam ini terbentuk karena terkait dengan proses pengambilan keputusan di tingkat atas yaitu di parlemen atau kabinet. Model ini juga disebut sebagai Environmental Appraisal, dengan tujuan memastikan keberlanjutan lingkungan (Environmental Sustainability Assurance). c. KLHS sebagai Kajian Terpadu atau Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment/Sustainability Appraisal). Dalam pendekatan ini KLHS ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu. d. KLHS sebagai pendekatan untuk pengelolaan berkelanjutan sumber daya alam (Sustainable Resource Management).
Dalam pendekatan ini KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan dilaksanakan sebagai bagian yang tak lepas dari hierarki sistem perencanaan penggunaaan lahan dan sumber daya alam atau sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan pendekatan tersebut, terdapat tiga prosedur KLHS yang disusun oleh institusi yang berbeda, yaitu: a. KLHS dengan Kerangka Dasar Amdal, yang meliputi penapisan, pelingkupan, dokumen KLHS, partisipasi masyarakat, konsultasi, pengambilan keputusan, pemantauan dan tindak lanjut. b. KLHS sebagai Penilaian Keberlanjutan Lingkungan, yang meliputi penapisan awal, analisa efek lingkungan, lingkup dan karakter efek potensial, kebutuhan penanggulangan efek, lingkup dan karakter efek residual, tindak lanjut, dan kepedulian masyarakat. c. Kajian Terpadu untuk Penilaian Keberlanjutan yang meliputi identifikasi masalah, penetapan tujuan yang hendak dicapai, pengembangan alternatif atau pilihan KRP untuk mencapai tujuan, analisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup dari KRP, bandingkan manfaat dan kerugian dari setiap alternatif KRP yang ada, pemaparan bagaimana pemantauan dan evaluasi diimplementasikan.
Penerapan KLHS pada Jembatan Oresund
Penerapan KLHS pada Rencana Pembangunan Jembatan The Oresund yang menghubungkan wilayah Laut Swedia dan Denmark dapat memberi wawasan lebih luas terkait penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Tata Ruang Kawasan, sektor dan mega proyek di Indonesia, seperti pembangunan Jembatan Selat Sunda dan yang lainnya, khususnya tentang peran penerapan KLHS dalam proses perencanaan dan pembangunannya. Jembatan Oresund adalah jembatan yang menghubungkan dua negara Skandinavia (Swedia dan Denmark) di selat Oresund (lebih jauh lagi antara Eropa Daratan dengan Skandinavia). Jembatan ini mulai dibangun pada 1995 sampai 14 Agustus 1999, dan diresmikan pada 2 Juli 2000. Jembatan ini menghubungkan dua area metropolitan, yaitu Malmo (Swedia) dan Copenhagen (Denmark). Jembatan ini mempunyai empat lajur jalan raya dan dua lajur rel kereta api dengan panjang kurang lebih 17 km, yang terdiri dari jembatan sepanjang 7.845 m, pulau buatan (aritificial peninsula) sepanjang 4.055 m dan terowongan (immersed tunnel) sepanjang 4.050 m. Hal ini yang membuatnya menjadi jembatan terpanjang di Eropa untuk kategori jembatan yang mengkombinasikan jalan raya dan rel kereta api. Di ujung jembatan yang berada di sisi Denmark, dibuat pulau buatan bernama Peberholm. Pulau ini mempunyai panjang dan lebar kurang lebih 4000 x 500 meter persegi. Pembangunan jembatan ini merupakan visi dan ide lama yang memakan waktu 100 tahun. Telah banyak laporan dan
38
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Lokasi Jembatan Oresund (Swedia dan Denmark)
One of the advantages of Strategic Environemntal Assesment is a more rational and structured decision-making or planning kajian dihasilkan sejak tahun 1950 hingga 1970-an. Kerjasama bilateral Swedia dan Denmark dalam rencana pembangunan jembatan ini bahkan telah ditandangatangani tahun 1973, akan tetapi tidak diratifikasi oleh Denmark. Banyak industri besar antara lain perusahaan Volvo pun turut melakukan lobi mengingat jembatan ini akan menyelesaikan missing link terkait pasar atau jaringan di Eropa. Akhirnya pada tahun 1991 kerjasama bilateral ini ditandatangani, dan pada Agustus 1993 mulai dilakukan pembangunan pada sisi Denmark. Satu tahun berikutnya (1994) kerjasama disetujui oleh pihak Denmark dan SEA atau KLHS dipublikasi. Pada tahun 2000, jalur tetap (fixed link) dibuka.
Berdasarkan pengalaman penyusunan Rencana Pembangunan Jembatan Oresund, disebutkan bahwa penerapan KLHS pada penyusunan rencana tersebut memiliki manfaat, yaitu: (1) diperoleh sebuah evaluasi yang sistematis dari konsekuensi/ dampak dari proyek, kebijakan, program atau rencana yang fokus pada lingkungan/berkelanjutan; (2) adanya evaluasi dari alternatif penting, apakah hal ini dapat dilakukan dengan cara terbaik, atau sebaliknya; (3) kita bisa melihat tradeoff pembangunan jembatan secara jelas, pihak mana yang mendapat keuntungan dan pihak mana yang harus berkorban, (4) KLHS menjadi instrumen pengambilan keputusan atau proses perencanaan yang rasional dan terstruktur.’
Akan tetapi penerapan KLHS pada rencana pembangunan jembatan ini bukannya tidak menemui masalah sama sekali. Beberapa masalah dalam penerapan KLHS pada kasus ini antara lain: ruang lingkup penilaian atau kajian yang sangat terbatas, tidak dipertimbangkannya alternatif dalam pelaksanaannya, lebih terfokus pada informasi yang tersedia tanpa menginginkan adanya perubahan dan perbaikan terhadap proposal yang diusulkan, sering telatnya penilaian pada proses perencanaan, dan kecilnya dampak rekomendasi KLHS pada pengambilan keputusan.
Prosedur KLHS yang diterapkan Identifikasi Isu dan Masalah
Langkah pertama yang diambil, sesuai dengan prosedur KLHS, adalah mengidentifikasi isu dan masalah. Adapun isu yang diidentifikasi dalam rencana pembangunan jembatan ini adalah saline water mengalir ke Laut Baltic dari Samudera Atlantic, peningkatan jumlah lalu-lintas yang menimbulkan polusi, akan adanya ketidaknyamanan selama pembangunan (konstrusi) jembatan, traffic kereta api dan mobil pada jembatan yang sama, dan adanya perdebatan lokasi, yaitu apakah jembatan diletakkan di Malmo – Copenhagen yang padat penduduk atau di Helsingborg – Helsingor yang merupakan titik terdekat. Pengambilan keputusan pembangunan Jembatan ini cukup kompleks. Keputusan merupakan bagian dari proses yang ditetapkan Pemerintah, Parlemen, dan the National Licensing Board for Environmental Protection, the Water Corut, lalu kembali ke Pemerintah. Kompleksitas ini mengakibatkan konflik dan kontradiksi dalam pengambilan keputusan.
Peningkatan Kualitas Rencana
Terkait penerapan KLHS dalam rencana ini, terdapat hal-hal yang perlu ditingkatkan yaitu: kepedulian (awareness), kejelasan (clarity), peningkatan proses praktikal dan spesifik lokai peraturan dan kebutuhan kelembagaan, dan partisipasi publik atau masyarakat. Hal-hal inilah yang dapat menjawab pertanyaan sulit dalam perbaikan sistem. Selanjutnya, hasil kajian juga harus dapat menjawab pertanyaan strategis, antara lain: masalah agenda dan otonomi yang membatasi alternatif-alternatif; fokus November - Desember 2011 | buletin tata ruang
39
Topik Lain pada gejala sumber pada lokasi awal yang ditetapkan (contoh: daripada memikirkan bagaimana menghambat polusi, tapi lebih fokus pada bagaimana membersihkan polusi, seperti emisi, dll); alternatif nonstruktural yang sering diabaikan (contoh: organisasi dan otoritas sering tidak mempertimbangkan alternatif yang tidak melibatkan solusi konstruksi dan infrastruktur); alternatif solusi nonstruktur yang seringnya tidak lebih ekonomis dan ramah lingkungan, dan sebaliknya; dan solusi nonstruktural seperti harga, solusi keuangan, pajak, subsidi dan dukungan, pendidikan, dll. Hasil kajian hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan adanya: (1) kepedulian dan kejelasan (lebih eksplisit). Sebagai contoh, alternatif sering dinilai tetapi tujuannya tidak dievaluasi atau dipertanyakan, (2) Partisipasi publik. Keterlibatan publik/masyarakat dapat memperjelas situasi. Hal ini akan mendorong redefenisi tujuan dan masalah. Hal-hal di atas tentu merupakan peningkatan kualitas perencanaan, mengingat selama ini banyak kesalahan yang biasa dilakukan oleh perencana. Yang pertama adalah berpikir bahwa solusi yang tersedia adalah “one size fits all”, dengan kata lain “Inilah cara yang biasa kita lakukan”. Banyak perencana takut, jika mereka melakukannya dengan cara lain, orang-orang akan berfikir mereka telah melakukan kesalahan pada masa lalu. Kemudian yang ke dua adalah memastikan bahwa “common problem “membutuhkan “common solution” dalam mendefinisikan “common sense”. Kesalahan yang ke tiga perencana adalah saat menyusun dummy alternatif, secara sengaja membuat kurang menarik, dan menyisakan sedikit ruang untuk merealisasikan alternatif. Lalu yang ke empat adalah perencana sering melakukan pertimbangan kriteria dengan kriteria seleksi yang tidak jelas. Seperti misalnya saat memutuskan mengapa beberapa alternatif kriteria dipertimbangkan sementara yang lainnya tidak.
Alternatif-alternatif Pembangunan jembatan ini tetap menimbulkan kontroversi antara lain dalam hal lokasi bandara, masalah kepentingan nasional dan regional, dan perdebatan penetapan lokasi di kedua negara. Karena itu alternatif-alternatif solusi menjadi sangat penting. Inti dari KLHS dalam rencana pembangunan pada suatu wilayah atau dua wilayah adalah dapat disusunnya alternatif-alternatif pada tahap kebijakan dan proses penyusunan rencana atau rancangan.
40
buletin tata ruang | November - Desember 2011
Jembatan Selat Sunda Jembatan Selat Sunda adalah bagian dari cita-cita besar bangsa Indonesia untuk menyatukan pulau-pulau besar di Indonesia, gagasan yang mulai muncul sejak tahun 1960 perlu diwujudkan karena akan membawa manfaat luar biasa bagi bangsa Indonesia. Banyak negara di dunia sudah lama memulai dan berhasil membangun proyek-proyek raksasa berupa jembatan yang menghubungkan wilayah-wilayahnya yang semula terpisah, guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Jembatan Selat Sunda yang direncanakan akan dibangun akan berlokasi di kawasan Selat Sunda, dimana kawasan ini merupakan Kawasan Strategis Nasional yang ditetapkan dalam dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yaitu PP No.26/2008 Lampiran X No. 17 dimana kebijakannya adalah Rehabilitasi dan Pengembangan KSN dengan Sudut Kepentingan Ekonomi (Pengembangan/Peningkatan kualitas kawasan) pada tahapan pengembangan III. Demikian juga dalam Kebijakan MP3EI, kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan prioritas dan bagian dari koridor pengembangan ekonomi nasional. Pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) yang berlokasi di KSN Selat Sunda tersebut bertujuan untuk meningkatkan pergerakan lintas batas serta kelancaran pergerakan angkutan barang dan penumpang di pulau Jawa dan Sumatera. Rencana Tata Ruang KSN Selat Sunda yang saat ini sedang disusun akan menjadi acuan dan dasar hukum bagi stakeholder penataan ruang dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan Selat Sunda dan pembangunan Jembatan Selat Sunda serta kawasan di sekitarnya. Proyek ini dicetuskan pada tahun 1960 dan sekarang akan merupakan bagian dari proyek Asian Highway Network (Trans Asia Highway dan Trans Asia Railway). Dana proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) direncanakan berasal dari pembiayaan Konsorsium diperkirakan menelan biaya sekitar 10 miliar Dollar Amerika atau 100 triliun rupiah. (bersambung di Edisi Januari-Febuary 2012) Konsep Jembatan Selat Sunda
Kaleidoskop
Buletin Tata Ruang 2011
Buletin Tata Ruang edisi I, Januari - Februari 2011
“Pengarusutamaan Gender dalam penyelenggaraan penataan ruang dan implementasinya dalam pengembangan infrastruktur dan permukiman” merupakan Tema Edisi 1 Butaru 2011. Isu-isu dan pemahaman terkait gender dielaborasi dari profil tokoh yang dtampilkan pada edisi ini yaitu Ir. Sri Apriatini Sukardi, yang saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum bidangAntar lembaga. Masalah, pengertian dan tantangan lebih jauh tentang Gender diuraikan dalam artikel-artikel utama di edisi ini yang antara lain : Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dalam Pengentasan Kemiskinan dan Perwujudan Hak Anak; Gender : dari Definisi hingga Implementasi; Smarth Growth dalam Pengembangan Perkotaan, Indigenous Environmental Knowledge, Membendung Jakarta.
Buletin Tata Ruang edisi II, Maret - April 2011 Edisi 2 Butaru mengangkat tema “ Mengintegrasikan dan Memperkuat Wilayah di Sepanjang Koridor.” Konsep Pengembangan Wilayah Koridor dan MP3EI diangkat dari Profil tokoh yang ditampilkan pada edisi ini yaitu Dr. Ir. Luky Eko Wuryanto, yang saat ini menjabat sebagai Deputi bidang infrastruktur dan pengembangan wilayah, Kemenko Perekonomian. Adapun artikel-artikel yang memuat pemahaman tentang kebijakan MP3EI dan pembangunan ekonomi yang lebih konkrit ditampilkan dalam edisi ini, yaitu : Kekayaan Alam Pekanbaru dan Dumai untuk Indonesia; Pembangunan Koridor Ekonomi dalam Pengembangan Wilayah; Tinjau Ulang Peran Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu dalam ikut Mendorong Pengembangan Wilayah Nasional ; Kawasan Lumbung Ikan Nasional Maluku Akan Dikembangkan; Koridor Ekonomi Indonesia dalam Penataan Ruang: Suatu Perspektif; Hitam Putih TransJakarta.
Buletin Tata Ruang edisi III, Mei - Juni 2011 Tema edisi ini adalah “Perubahan Iklim: Bencana Saat ini atau Masa datang?” Profil tokoh pada edisi ini adalah Ir. Rachmat Witoelar, mantan menteri Lingkungan hidup yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim. Artikel-artikel terkait perubahan iklim yang dimuat pada edisi ini yaitu antara lain: Penerapan Low Carbon Economy dalam Penataan Ruang; Kewajiban Kita dibalik Keindahan Wilayah Pesisir Bali; Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah; Penanganan DAS Bengawan Solo Di Masa Datang; Perubahan Iklim Dapat Dikendalikan: Negosiasi Perubahan Iklim, Notes from Bangkok Clim ate Change Talks 2011. Adapun artikel lainnya adalah Ruang untuk Masyarakat Lokal Tradisional (Masyarakat Adat) yang Semakin Terpinggirkan; Green Building: A Sustainable Concept for Construction Development.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
41
Kaleidoskop
Buletin Tata Ruang edisi IV, Juli - Agustus 2011 “Pembangunan Berkelanjutan: Penerapan Masa Lalu, Saat ini dan ke masa datang”, merupakan tema edisi ini. Isu, tantangan dan konsep Pembangunan berkelanjutan didapat dari profil tokoh edisi ini yaitu Prof. Dorodjatun Kuncoro. Wacana, defiinisi dan best practice pembangunan berkelanjutan diuraikan dalam artikel-artikel di edisi ini yaitu: Kota Blitar: Mewujudkan Harmoni Kota; Mewujudkan Kota Pesisir Indonesia yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastrukur Berbasis Penataan Ruang; From Integrated Coastal Management to Sustainable Coastal Planning; Kebijakan Transportasi Berkelanjutan Suatu Penerapan Metodologi yang Komprehensif; Most Liveable City Index Pendekatan Baru dalam Mengukur Tingkat Kenyamanan Kota; Karlskrona: Konsisten, Kunci Keberhasilan Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan; Percepatan Penyelesaian RTRW; Tantangan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Perkotaan.
Buletin Tata Ruang edisi V, September - Oktober 2011 Tema edisi Buletin ke V adalah “Hidup Harmoni dengan Resiko Bencana“. Masalah, Isu dan Strategi terkait Penanganan Bencana diuraikan dari hasil wawancara dengan Dr. Syamsul Maarif yang adalah Ketua Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB). Artikel-artikel pada edisi ini memuat kebijakan dan rencana tindak penanganan bencana yaitu: Menata Aceh dengan Harapan Baru; Mitigasi Bencana Tsunami Mempertimbangkan Faktor-faktor Geologi dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah; Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur dan Danau Toba; Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana; Respon Hijau Terhadap Perubahan Iklim; Ketika Ijin Usaha Perkebunan- Pertambangan (IUP) Bersinggungan Kawasan Hutan; Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Jelang Deadline Raperpres Pulau/ Kepulauan dan KSN; Penentuan Pusat-pusat Pengembangan di Wilayah Pesisir dan Laut.
Buletin Tata Ruang edisi VI, November - Desember 2011 “Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan”, yang juga merupakan tema Rakernas BKPRN 2011 yang diselenggarakan di Manado 30 Nov sd 1 Desember 2011 Merupakan topik utama edisi ini. Edisi kali ini yang sarat dengan substansi Rakernas menghadirkan profil tokoh Ketua BKPRN yang juga adalah Menko Perekonomian, Ir. M Hatta Rajasa. Artikel-artikel pada edisi ini merupakan isu, kebijakan dan program serta rencana kerja dan kesepakatan terkait Optimalisai penyelenggaraan penataan ruang untuk perwujudan pembangunan berkelanjutan, yaitu: Nilai-Nilai Strategis Maros dalam Penguatan Kemitraan di KSN Metropolitan Mamminasata; Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional 2011; Mencari Bentuk Kemitraan Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang; Kebijakan Percepatan Persetujuan Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah; Kebijakan Percepatan Penataan Kawasan Hutan dalam Perencanaan Tata Ruang; Kajian Lingkungan Hidup Strategis Untuk Penataan Ruang; Menuju Ketahanan Pangan dengan Kebijakan Pertanahan; Dialog “Hijau” tentang Masa Depan; Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Lain Jembatan Oresund, Lain Jembatan Selat Sunda ;
42
buletin tata ruang | November - Desember 2011
agenda
Agenda Kerja
BKPRN
NOVEMBER - DESEMBER 2011
Agenda Kerja Forum BKPRN selama Bulan November dan Desember masih didominasi oleh kegiatan rapat pembahasan persetujuan substansi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten dan Kota. Mendekati akhir tahun, kegiatan pembahasan raperda RTRW cukup padat dilakukan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang (DJPR) sebagai sekretariat BKPRN memang telah memprediksi akan datangnya kondisi seperti ini, mengingat program percepatan penyusunan rencana tata ruang memang menargetkan seluruh Perda RTRW akan selesai pada akhir tahun 2011 ini. Tidak hanya Perda RTRW, forum BKPRN juga disibukkan dengan kegiatan pembahasan Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Pulau/Kepulauan yang juga mengejar target pada akhir tahun 2011 ini. Untuk lebih lengkapnya, jadwal kegiatan pembahasan tersebut akan ditampilkan pada tabel di bawah ini : Tanggal Pelaksanaan
Prov/Kab/Kota
1 Nov 2011
Kab. Hulu Sungai Utara, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kab. Balangan, Kab. Barito Kuala
2 Nov 2011
Kota Bima, Kota Tomohon, Kota Palembang
3 Nov2011
Kab. Tanah Datar, Kab. Dharmas Raya, Kab. Bangka Selatan, Rtr Taman Nasional Gunung Merapi
7 Nov 2011
Kab. Paniai, Kab. Asmat, Kab. Lanny Jaya, Kab. Hulu Sungai Tengah, Kab. Tanah Laut, Kab. Kotabaru
9 Nov 2011
Kota Padang Panjang, Kota Bengkulu
10 Nov 2011
Kab. Madina, Kab. Tapanuli Selatan, RAPERPRES RTR KSN Perbatasan NTT, RAPERPRES RTR KSN Perbatasan Sulut
11 Nov 2011
RAPERPRES RTR KSN Perbatasan Papua, RAPERPRES RTR KSN Perbatasan Nad-Sumut, Kab. Kuantan Sengingi
14 Nov 2011
Pada bulan Akhir tahun 2011 terdapat beberapa RTR KSN Pulau, Perkotaan dan Perbatasan yang telah selesai dibahas dan telah menjadi Peraturan Presiden. Untuk RTR Kawasan Perkotaan yang telah menjadi Peraturan Presiden antara lain adalah Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan (SARBAGITA), Perpres No. 55 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar (MAMMINASATA), Perpres No. 62 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo (MEBIDANGRO). Adapun RTR KSN dan Pulau yang telah menjadi Perpres adalah RTR Pulau Sulawesi No. 88 Tahun 2011 dan Perpres No. 87 Tahun 2011 tentang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Tidak hanya berhasil menjadi Perpres, keempat RTR Kawasan Perkotaan tersebut telah mulai disosialisasikan kepada masing-masing daerah terkait materi dan implikasinya. Untuk RTR KSN Pulau Kepulauan dan Perbatasan, beberapa telah selesai dibahas sampai pada tahap Eselon 1, yaitu RTR KSN Borobudur, RTR KSN Danau Toba, RTR KSN Merapi, RTR Pulau Papua, RTR Kepulauan Maluku, RTR Kepulauan Nusa Tenggara yang dibahas pada tanggal 27 Desember 2011. Tanggal Pelaksanaan
Prov/Kab/Kota
2 Des 2011
Kab. Musi Banyu Asin, Kab. Mentawai
5 Des 2011
Kab. Murung Raya, Kab. Barito, Kab. Kapuas
6 Des 2011
Kab. Mamberamo Raya, Kab. Buton
Kab. Kutai Timur, Kab. Penajam Paser Utara, Kab. Alor, Kab. Barito Utara
7 Des 2011
Kota Padang Sidempuan, Kota Sibolga, Kota Tebing Tinggi, Kota Banjar Baru
15 Nov 2011
Kab. Paser, Kab. Berau, Kab. Kapuas Hulu, Kab. Mamberamo Tengah
8 Des 2011
Kab. Melawi, Kab. Ketapang, Kab. Landak, Kab. Sanggau
16 Nov2011
Kota Solok, Kota Bitung, Kota Cimahi Kota Lubuk Linggau
9 Des 2011
Kab Musi Banyuasin
12 Des 2011
Kab. Seruyan, Kab. Pulang Pisau, Kab. Gunung Mas, Kab. Rote Ndao
17 Nov 2011
Kab. Merangin, Kab. Kerinci, Kab. Sarolangaun, Kab. Tanjung Jabung Barat, Kab. Tanjung Jabung Timur
14 Des 2011
Kota Balikpapan, Kota Manado, Kota Palopo
15 Des 2011
Ksn Selat Sunda
18 Nov 2011
Kab. Bungo, Kab. Tebo, Kab. Muaro Jambi, Kab. Batanghari
16 Des 2011
Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Nduga, Kab. Puncak, Kab Kutai Kertanegara, Kab Berau
21 Nov 2011
Kab. Mamuju, Kab. Mamuju Utara, Kab. Bolaang Mongondow Timur
19 Des 2011
Kab. Mamberamo Tengah, Kab. Puncak , Kab. Muna
20 Des 2011
Kab. Kupang, Kab. Alor, Kab. Kepulauan Sangihe, Kab. Paser
22 Nov 2011
Kab .Tabalon, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Banjar, Kab. Tapin
21 Des 2011
23 Nov 2011
Kota Pontianak, Kota Lhokseumawe, Kota Jambi, Kota Sungai Penuh, Kab Karo
Kota Ternate, Kota Samarinda, Kota Banjar, Kota Gunung Sitoli, Kab. Karo
22 Des 2011
Provinsi Aceh, Kab. Kepulauan Mentawai
24 Nov 2011
Kab. Rokan Hilir, Kab. Indragiri Hilir, Kab. Subang, Kab. Solok Selatan
23 Des 2011
Kab. Bone, Kab. Sinjai, Kab. Keerom, Kota Padang Sidimpuan Kota Sibolga
25 Nov 2011
Kab. Anambas, Kab. Labuhan Batu, Kab. Lampung Utara
27 Des 2011
28 Nov 2011
Kab. Bolaang Mongondow Timur, Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Murung Raya, Kab Barito Utara, Kab. Kapuas
Kab. Sarmi, Kab. Supiori, Kab. Nduga, Kab. Tolikara, Kab. Puncak Jaya
28 Des 2011
Kota Palangkaraya, Kota Tidore Kepulauan
29 Nov 2011
Kab. Melawi, Kab. Ketapang, Kab. Landak
29 Des 2011
Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Sintang, Kab. Kutai Timur
November - Desember 2011 | buletin tata ruang
43
“Growth is never by mere chance; it is the result of forces working together.”