JANUARI - FEBRUARI 2011
tataruang buletin
BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dalam Pengentasan Kemiskinan dan Perwujudan Hak Anak Gender : dari Definisi hingga Implementasi Smarth Growth dalam Pengembangan Perkotaan Indigenous Environmental Knowledge Membendung Jakarta Agenda BKPRN
Pengarusutamaan
Gender
dalam penyelenggaraan penataan ruang dan implementasinya dalam pengembangan infrastruktur dan permukiman BARCODE
BKPRN
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
P R OF I L
Ir. Sri Apriatini Soekardi, MM
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
1
buletin tata ruang PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Dr. Eko Lucky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Ir. Hermien Roosita Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
dari redaksi
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja
Penasehat Redaksi
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
pemimpin redaksi
Aria Indra Purnama, ST, MUM.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Agus Sutanto, ST, M.Sc
redaktur pelaksana
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.
Sekretaris Redaksi
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc
staf redaksi
Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ir. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono Endra ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Heri Khadarusno, ST
Koordinasi Produksi
Angger Hassanah, SH
Staf Produksi
Marissa Putri Barrynanda, ST
Salam damai untuk pembaca setia Butaru..
Di awal tahun 2011 ini Buletin Tata Ruang kembali pada edisi pertamanya. Jika sebelumnya buletin ini membahas tentang Ruang untuk ekonomi Masyarakat, maka pada edisi ini Butaru mengangkat topik Pengarusutamaan Gender dalam Penyelenggaran Penataan Ruang dan Pengembangan Infrastruktur dan Permukiman. Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) merupakan sebuah strategi untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (marginalisasi, stereotype, subordinasi, kekerasan dan beban ganda). Saat ini disadari, kebijakan pembangunan yang belum efektif dalam mengimplementasikan relasi gender dan mengarahkan kesenjangan gender akan mengakibatkan akan terbatas efektifitas dampak dari pelaksanaan pembangunan tersebut. Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mencoba untuk mengangkat tema seperti Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak di Indonesia, dimana pembangunan kota dan kawasan permukiman saat ini kurang maksimal memperhatikan keberadaan dan kenyamanan bagi pertumbuhan anak. Topik utama lainnya adalah Gender dari Definisi hingga Implementasi. Pada Profil Wilayah dengan judul Kota Pahlawan, Menuju Kota Meropolitan yang Produktif dan Berkelanjutan. Buletin ini juga mengangkat tulisan Prof. Budhy Tjahyati tentang Tata Kelola Pemerintah yang cerdas (Smart Growth). Tokoh kali ini menampilkan seorang pemerhati pengarusutamaan Gender Ir. Sri Apriatini S, MT yang akan mengungkapkan berbagai gagasannya, agar semua stakeholder dapat lebih memberi perhatian tentang pentingnya kesataraan gender dalam mencapai sasaran yang diinginkan dalam penyelenggaraan penataan ruang dan terwujudnya pembangunan infrastruktur dan permukiman yang tepat sasaran dan efisien. Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan terkait rencana pembangunan mega bendungan di Jakarta. Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca dapat memperkaya wawasan.
Koordinasi Sirkulasi
Supriyono S.Sos
Selamat membaca
Staf Sirkulasi
Dhyan Purwaty, S.Kom Alwirdan BE
Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA, Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577 Website BKPRN:http://www.bkprn.org Email:
[email protected] dan redaksi
[email protected]
2
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Redaksi
sekapur sirih
daftar isi PROFIL TOKOH
Staf ahli antar lembaga kementerian PU
Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh,
PROFIL WILAYAH
Selayaknya kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi penerbitan pertama di tahun 2011.
Menuju Kota metropolitan yang produktif dan berkelanjutan
Perkembangan tata ruang saat ini dan masa datang tentunya dipenuhi dengan berbagai kendala dan tantangan, tapi bagaimanapun penataan ruang harus mampu memberikan manfaat dan keberpihakan pada berbagai stakeholder dan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, Buletin Tata Ruang pada edisi kali ini mencoba menampilkan tema “Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang, dan Implementasinya dalam Pengembangan Infrastruktur dan Permukiman”. Mewujudkan kesetaraan gender sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN telah menjadi salah satu tujuan yang akan dicapai dalam RPJMN 2010-2014. Lebih operasional lagi, Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 telah memerintahkan kepada seluruh kementerian/lembaga serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan pengarusutamaan gender ke dalam siklus manajemen, yakni perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program yang berperspektif gender di seluruh aspek pembangunan. Pengarusutamaan gender ini telah menjadi komitmen semua Kementerian dan Lembaga Pemerintah untuk menerapkan strategi tersebut dalam setiap penyusunan kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta implementasinya melalui program dan kegiatan. Konsep setara dan adil gender harus benar-benar menjadi pegangan dalam setiap tahapan kegiatan. Penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaran pembangunan yang merata dalam suatu wilayah dan berpengaruh terhadap terwujudnya pembangunan infrastruktur dan permukiman yang tepat sasaran dan berkelanjutan. Strategi PUG diharapkan adalah menjadi salah satu strategi dalam penyusunan rencana tata ruang dan program pembangunan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan program pembangunan tepat sasaran dan dapat mewujudkan anggaran yang efisien. Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur dan permukiman serta upaya pengentasan kemiskinan, sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai.
04
Ir. Sri Apriatini Soekardi, MM
Kota Pahlawan
10
Oleh : Redaksi Butaru
TOPIK UTAMA
Kabupaten / Kota Layak Anak (KLA) (KLA) dalam Pengentasan Kemiskinan dan Perwujudan Hak Anak
16
Oleh : Oleh: Dra. Lenny N Rosalin, M.Sc
TOPIK UTAMA
19
Gender dari Definisi hingga Implementasi Oleh : Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Smart Growth dalam Pengembangan Perkotaan
22
Oleh: Prof. Budhy Tjahjati S. Soegijoko
TOPIK LAIN
Indigenous Environmental Knowledge for Use of and Managing Tropical Natural Resources: A Case Study on Baduy, Aru, and Balinese’s Subak Tribe Communities
26
Oleh: H. Maman Djumantri,
WACANA
33
Membendung Jakarta: Solusi atau Sensasi
AGENDA
37
Agenda Kerja BKPRN Januari - Februari 2011
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
3
profil tokoh
Ir. Sri Apriatini Soekardi, MM (Staf Ahli Antar Lembaga Kementerian PU)
Bagi kementerian dan lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang terlibat aktif dalam upaya mengimplementasikan strategi Pengarusutaman Gender (PUG), sosok Sri Apriatini Soekardi sudah tidak asing lagi. Beliau saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum bidang antar lembaga dengan latar belakang pendidikan bidang Perencanaan Wilayah Kota dan melanjutkan S2 di bidang manajemen. Sebagai Ketua Tim Pokja PUG di Kementerian PU, beliau aktif melakukan kegiatan-kegiatan dalam upaya percepatan perwujudan Strategi PUG di Kementerian PU dalam tiga tahun belakangan ini, agar dalam setiap penyusunan kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta impelementasinya melalui program dan kegiatan telah responsif gender. Lebih lanjut, beliau dan tim di Kementerian PU juga aktif bersama-sama dengan Kementerian lain dalam berbagai kegiatan PUG. Untuk lebih mengetahui kiprahnya dalam Pengarusutamaan Gender ini, redaksi BUTARU telah beranjang kesana, berdialog bersama beliau. Berikut ini kami sajikan hasil wawancara tersebut.
4
Pengarusutamaan Gender dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Pengembangan Infrastruktur dan Permukiman
Sebagaimana diketahui, Pengarusutamaan gender (PUG) telah menjadi komitmen Kementerian dan lembaga pemerintah lainnya sejak Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dikeluarkan. Pengertian Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaliasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Strategi tersebut dapat dilaksanakan melalui sebuah proses yang memasukkan analisa gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki kedalam proses pembangunan. Dalam upaya pencapaian pembangunan yang tepat sasaran dan pencapaian tujuan MDGs, konsep setara dan adil gender harus benar-benar menjadi pegangan dalam setiap tahapan kegiatan di Kementerian-kementerian terutama terkait Pembangunan. Dimana setara berarti seimbang relasi antara laki-laki dan perempuan (dan orang lanjut usia, anak-anak di bawah umur, orang-orang dengan kebisaan berbeda/difable, serta orangorang yang tidak mampu secara ekonomi). Sementara adil dapat diartikan sebagai tidak adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan lain-lain. Butaru : Menurut Ibu, apa yang mendasari pentingnya perspektif gender menjadi salah satu pendekatan dalam perencanan dan pembangunan di Indonesia? Yaah, pertama isu gender ini sudah mendunia, dan sudah banyak konvensi-konvensi internasional yang merespon tentang ketimpangan gender. Sudah banyak yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dan konvensi-konvensi internasional, dan hal tersebut juga dirasakan oleh pemerintah Indonesia. Ketimpangan gender ini ternyata dirasakan oleh pemerintah Indonesia, karena dengan demikian pemerintah Indonesia terus meratifikasi konvensi hukum internasional tentang diskriminasi yang di kenal dengan konvensi CEDAW yang sejalan dengan UU no.7/1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Kedua, dengan meratifikasi kebijakan global itu otomatis pemerintah Indonesia mengikatkan diri untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kemajuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan sebagai tindak-lanjutnya antara lain dikeluarkannya Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Kemudian juga dibuat peraturan-peraturan pemerintah lainnya misalnya yang diprakarsai oleh Kementrian Keuangan, dan lain-lain, sampai kepada inpresnya, yang intinya mengarahkan kita untuk melakukan perspektif gender di dalam proses pembangunan. Jadi sudah menjadi kewajiban seluruh kementerian dan lembaga, yaah termasuk PU, untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan program pembangunannya, bila kita ingin menjadi bangsa yang lebih maju dan dapat berkiprah di dunia internasional. Negara lain sudah melakukan hal ini. Jadi kalau kita tidak menyesuaikan diri maka kita tidak akan maju. Butaru : Ketika pertama kali Ibu mengemukakan pengarusutamaan gender, apa sebenarnya yang menjadi visi dan misi Ibu? Ketika mendapat tugas dari Pak Menteri PU sebagai ketua Tim PUGPU, untuk memfasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender dilingkungan PU, saya mempunyai beban untuk melaksanakannya; karena saya harus bekerja bersama tim ini, bagaimana kami dapat memberikan fasilitasi dalam mewujudkan penyelenggaraan infrastruktur ke-PU-an yang responsif gender itu. Jadi visi kami adalah bagaimana dengan fasilitasi ini dapat terwujud penyelenggaraan infrastruktur PU dan permukiman yang responsif gender. Kalau misinya sendiri tentunya paling tidak ini ada 2 (dua); pertama, bagaimana meningkatkan pengintegrasian perspektif gender ini ke dalam internal budaya kerja di lingkungan PU, dengan
kata lain supaya perspektif gender ini membudaya. Yang kedua meningkatkan integrasi perspektif gender ini ke seluruh proses penyelenggaraan pembangunan infrastruktur PU dan permukiman sehingga menghasilkan infrastruktur PU dan permukiman yang responsif gender. Jadi intinya ada 2, yang pertama, di internal PU sendiri, yang kedua, kita yang punya tugas menyelenggarakan infrastruktur PU untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dalam setiap prosesnya sudah mengintegrasikan responsif gendernya.
Butaru : Sebenarnya konsep dari pengarusutamaan gender sendiri itu apa sih, Bu?
Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Butaru : Menurut Ibu, bagaimana konsep gender dan pengarusutamaan gender bagi lembaga pemerintah dan non pemerintah? Kalau konsep gender dan konsep pengarusutamaan gendernya sendiri sih untuk pemerintah dan non pemerintah sama, seharusnya sama. Hanya kalau untuk kementerian dan lembaga pemerintah itu kita punya Inpres, diatur oleh Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Jadi khususnya untuk pemerintah itu memang sudah diperintahkan. Tapi konsepnya sendiri sama saja, bahwa konsep gender itu sendiri intinya adalah perbedaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan akibat ada hubungan sosial di masyarakat. Jadi tolong dipahami, bukan karena aspek biologisnya yah, tapi karena ada relasi sosial yang menyebabkan lakilaki dan perempuan itu punya peran dan tanggungjawab yang berbeda.” Dan ingat yah, bahwa konsep gender ini bukan semata-mata antara laki-laki
dengan perempuan saja, tetapi juga laki-laki dan perempuan menyangkut anak-anak di bawah umur, kemudian orang-orang lanjut usia atau kelompok orang-orang yang mempunyai kebiasaan yang berbeda yang difabel dan juga orang-orang yang mempunyai tingkat ekonomi yang kurang mampu.. Jadi gender ini banyak sekali, tidak hanya laki-laki dan perempuan, tapi juga laki-laki dan perempuan apa, yang bagaimana. Ternyata masuk dalam setiap strata (kelompok-kelompok)
Pengarusutamaan gender konsepnya adalah strategi untuk memastikan bahwa apakah laki-laki dan perempuan ini diperlakukan secara adil dan setara di dalam memperoleh kesempatan atau akses dalam ikut berpartisipasi, dalam ikut mengawasi/mengontrol pembangunan atau di dalam menerima atau merasakan manfaat daripada pembangunan itu sendiri. Jadi kata kuncinya adalah setara dan adil, baik bagi laki-laki atau perempuan.” Butaru : Nampaknya tidak mudah ya Bu, untuk memahami pengarusutamaan gender itu adalah kesetaraan dan keadilan, ini gimana Bu? Betul sekali, adik-adik, karena yang sudah tertanam dalam mind-set masyarakat itu adalah pemberdayaan perempuan. Lihat saja, label kementriannyapun, kementerian pemberdayaan perempuan, padahal kita tidak bicara hanya perempuan; kalau bicara gender ya laki-laki dan perempuan yang adil dan setara. Seolah-olah kalau kita bicara pemberdayaan perempuan, perempuan ini selalu di bawah, selalu kurang diberdayakan, selalu tidak berdaya selalu diperdaya. Padahal sebetulnya engga, bukan itu. Konsepnya sebetulnya kesetaraan laki-laki dan perempuan yang notabene barangkali isu gender di Indonesia ini memang perempuan yang kurang selalu mendapat akomodasi yang lebih baik daripada laki-laki, barangkali itu masalahnya. Tapi konsepnya sendiri setara dan adil.
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
5
profil tokoh
Pengarusutamaan gender itu kata kuncinya ada 2 (dua) yaitu setara dan adil, baik bagi laki-laki atau perempuan Butaru : Bu Cici, dalam implementasi Inpres No. 9/2000 pengarusutamaan gender, apa saja yang telah dilakukan oleh pemer intah sejauh ini ? Dalam melaksanakan PUG dimanapun, di kementerian dan lembaga itu memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, ada beberapa indikator yang menjadi prasyarat sehingga kita bisa melaksanakan pengarusutamaan gender yang baik. Syarat itu diantaranya adalah adanya komitmen politik dari pimpinan kementerian atau lembaga, yang dapat dilihat dari kebijakan-kebijakannya. Kemudian juga dari kelembagaan yang ada di kementerian itu, apakah sudah mendukung untuk dilaksanakannya pengarusutamaan gender dengan baik dan mudah. Kemudian tersediakah data yang bisa mendukung peelaksanaan PUG, yang biasa diistilahkan data terpilah. Kemudian bagaimana kita sudah melakukan pembinaan kemampuan/ capacity building di kementerian yang bersangkutan terkait pemahaman tentang PUG, pernahkah dilakukan sosialisasi, pernahkah ada advokasi. Kemudian bagaimana dukungan forum di kementerian dan lembaga ini dalam melaksanakan PUG. Apakah kita telah melakukan workshop atau mungkin di dalam kurikulumnya, apakah ada diklatdiklat, dan/atau forum-forum seperti itu. Di setiap kementerian dan lembaga ini tingkat implementasi ini berbedabeda, ada yang belum sama sekali, ada yang baru memulai, dan ada yang sudah kelihatan lebih maju daripada yang lain-, dan khususnya di Kementerian PU memang sudah cukup banyak yang dilakukan. Butaru : Kalau di Kementrian Pekerjaan Umum (PU) sendiri bagaimana, Bu? Alhamdulillah, cukup menggembirakan.
6
Pertama dari dari sisi kebijakan, kita sudah dapat komitmen dari Pak Mentri (maksudnya Menteri PU, Red), beliau sudah mencanangkan di depan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa PU berkomitmen untuk melakukan PUG di lingkungan PU, kemudian PUG sudah menjadi salah satu strategi di dalam pembangunan ke-PU-an untuk 5 (lima) tahun kr depan; kemudian ini dilanjutkan lagi dengan perencanaan dan pemrogramannya, misalnya di dalam Renstra PU 2010-2014. Di dalam dokumen anggaran kita, sudah masuk anggaran responsif gender, bahkan PU sudah membuat buku panduan tentang pengintergrasian gender dalam program dan anggaran. Jadi dari sisi perencanaan itu sudah banyak hal-hal yang sudah dilakukan.”
Menyamakan persepsi dan pemahaman tentang Pengarusutamaan Gender baik di internal Kementerian dan antar Kementerian merupakan tantangan bersama dalam perwujudan percepatan pembangunan yang responsif gender Butaru : Dari sisi kelembagaannya sendiri, bagaimana, Bu? Kalau dari sisi kelembagaan tentunya kita sudah tahu punya Tim PUG yang pengarahnya adalah langsung Bapak Sekjen langsung, jadi memang komitmen PU ini sudah sangat baik. Kemudian kita punya tim pelaksana dan ada tim pendukung pelaksana yang lebih operasional. Bahkan ada pokja-pokja yang bertugas mengakomodasikan pelaksanaan PUG di masing-masing subbidang PU; ada pokja tata ruang, ada pokja jalan dan jembatan, pokja cipta karya dan pokja sumber daya air. Pokoknya timnya itu sudah cukup lengkap, artinya seluruh tim PUG sudah masuk ke seluruh jajaran Kementerian PU. Demikian juga dari sisi
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
sarana dan prasarana pendukungnya, kita sudah punya nursery room meskipun masih terbatas, demikian juga taman bermain anak; ini merupakan stimulan bagi perkembangan ke depan, dan ini semua perlu lebih ditingkatkan lagi. Butaru : Kalau dari sisi pelaksanaannya bagaimana Bu? Kalau dari sisi pelaksanaan, saya rasa sudah cukup banyak. Bahkan kalau kita lihat kegiatan di keciptakaryaan itu jauh sebelum Inpres nomor 9/2000 sudah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang responsif gender, walaupun itu belum dinyatakan sebagai kegiatan yang responsif gender. Kegiatan Cipta Karya sebelum Inpres 9/2000, dari mulai perencanaannya sudah melibatkan sejumlah perempuan dan laki-laki, dan langsung berhubungan dengan masyarakat. Kegiatan-kegiatan PNPM mandiri perkotaan, Pembangunan Prasarana Infrastruktur Perdesaan, PISEW, Pamsimas dan lain-lain, bila dibaca ringkasan kegiatannya sebenarnya merupakan kegiatan yang sudah responsif gender, dimana dalam perencanan dan pelaksanaannya jumlah pelibatan perempuan yang lebih banyak sudah dijadikan tolok ukur. Butaru : Kira-kira berapa sih jumlah perempuan yang ikut? Kalo dari Bina Marga walaupun masih terbatas, tapi dalam setiap kegiatan Amdal pembangunan jalan, dapat dipastikan isu gender sudah dipertimbangkan. Kalau sumber daya air mungkin kaitannya dengan masyarakat petani pemakai air, itu juga sangat bagus komunikasinya dengan itu. Kalau tata ruang, harusnya tentang PUG ini sudah bisa diimplementasikan mulai dalam tahap perencanaan. Misalnya ketika menyusun rencana tata ruang, seharusnya konsep PUG sudah masuk. Pelibatan perempuan dan laki-laki dalam menyusun rencana tata ruang sangat mewarnai rencana tata ruang yang akan dihasilkan nantinya. Dari perdanya, itu juga akan berbeda warnanya kalau pelibatan yang seimbang antara perempuan dan yang laki-laki.
Mungkin akan terlihat jelas di dalam merencanakan detail tata ruang khususnya kalau kita merencanakan ruang terbuka hijau (RTH). Perempuan dan lakilaki bisa memanfaatkan secara bersamasama dalam ruang terbuka hijau itu. Dan dimana saja lokasinya, saya pikir kalau pelibatan perempuannya lebih seimbang hasilnya akan lebih bagus. Dan juga pelibatan pada saat penyusunan rencana tata ruang itu sangat penting; semakin banyak pelibatan perempuannya, saya rasa bagus sekali tata ruangnya itu di masa depan. Dan karena tata ruang ini selalu produk bersama, bukan produknya DJPR (Ditjen Penataan Ruang). Jadi memang resikonya semua yang terlibat itu harus mempunyai pemahaman yang sama. Jadi semua pihak terkait penyelenggaraan penataan ruang baik di puat dan daerah mempunyai pemahaman yang sama terkait penyusunan RTRW, RDTR, pengaturan zonasi yang responsif gender. Dengan Inpres PUG, pemahaman responsif gender disamping disosialisasikan ke daerah, juga dapat disosialisasikan kepada BKPRN, jadi sesama instansi BKPRN juga harusnya pemahamannya sama. Jadi tugas DJPR itu cukup berat karena selain substansinya harus responsif gender tapi komunikasinya ini yang juga harus ditingkatkan supaya semua yang ikut memberikan masukkan ke dalam rencana tata ruang itu mempunyai pemahaman yang sama. Institusi Bappenas pastinya sudah responsif, karena semua kebijakan dan strategi responsif gender sudah diatur dari Bappenas. Butaru : Terdapat kendala dan tantangan apa saja? Di internal PU sendiri memang masih banyak kendala atau tantangan. Contoh sederhana adalah dalam tiga tahun terakhir CPNS yang masuk ke PU menunjukkan jumlah perempuannya sudah seimbang dengan laki-laki. Tantangan kita adalah bagaimana kita membina staf perempuan tersebut supaya bisa berkiprah juga sama dengan laki-laki yang saat ini mendominasi di PU. Demikian juga sarana yang mendukung staf perempuan yang menikah dan punya
Dalam penyusunan RTRW, pelibatan perempuan dan laki-laki dalam menyusun rencana tata ruang akan sangat mewarnai kepada hasil rencana tata ruang yang jadinya nanti. Lebih jauh, Perda-nya yang dihasilkan nanti warnanya juga akan berbeda bila pelibatan yang seimbang antara perempuan yang sudah seimbang dengan laki-laki anak, jadi fasilitas tempat penitipan anak, parkir khusus wanita ke depannya harus lebih tersedia. Tantangannya ke pembangunan infrastruktur PU yang lebih luas ada dua, yaitu pertama mengenai data terpilah (secara normatifnya adalah data berapa jumlah laki-laki dan perempuan) itu, tapi itu yang kedepannya tidak lagi cocok karena hanya bila sekedar menerapkan jumlah laki-laki dan perempuan, karena kita membangun infrastruktur tidak berdasarkan jumlah laki-laki dan perempuan tapi didasarkan pada kebutuhan dan pada manfaat. Jadi kita harus mempertimbangkan penyediaan fasilitas untuk yang para difable seperti apa, karena itu juga tekait infrastruktur, dimana kita membangun untuk semua kelompok karena tugas kita adalah melayani masyarakat. Jadi yang pertama itu data terpilah yang harus di tindaklanjuti, seperti apa yang cocok untuk Kementerian PU dan Kementerian lainnya, karena pasti tidak sama untuk masing-masing kementerian. Tahun ini PU bersama-sama kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sedang melakukan kajian tentang itu. Jadi memang masih dalam kajian data terpilah yang pas untuk PU itu yang seperti apa. Yang kedua, tantangan pembangunan
di PU itu adalah penetapan indikator. Untuk menganalisa responsif gender kita perlu ada indikator, yaitu indikator responsif gender jalan dan jembatan seperti apa? Misalnya apakah Jalan dan jembatan disebut responsif kalau memenuhi indikator keamanan bagi perempuan yaitu jembatan di atas tanah akan lebih memberi aman bagi perempuan dari pada jembatan di bawah tanah (terowongan). Jadi supaya kegiatan responsif gender di PU lebih fokus dan tidak terkesan mengada-ada, memang memang dibutuhkan indikator dan nantinya ditindak lanjuti dengan pedoman yang lebih jelas. Jadi dapat disimpulkan, kita masih menghadapi tantangan, baik di internal PU maupun antar PU secara keseluruhan. Butaru : Dalam implementasi tersebut, apakah ada semacam pelaksanaan monitoring? Siapa yang melaksanakannya? Memang dalam Inpres nomor 9 tahun 2000 itu ditegaskan bahwa kementerian dan lembaga harus melakukan monitoring dan evaluasi. Yang kami lakukan di sini, monitoring dan evaluasi terhadap unitunit kerja di Kementerian PU, bagaimana mereka melaksanakan PUG-nya. Kemudian nantinya direkap semuanya dan itu menjadi hasil t dan evaluasi Kementerian PU yang harus dilaporkan ke Presiden melalui Kementerian PPPA. Butaru : Apa yang di monitor dan apa yang dievaluasi? Kembali lagi kepada beberapa aspek prasyarat PUG itu. Jadi yang di evaluasi anara lain yaitu : Apakah pokja-pokjanya sudah berjalan dengan baik? Apakah komitmen pimpinan di masing-masing satminkal ini juga sudah responsif. Kemudian program-program yang dihasilkan seperti apa? Jadi kembali lagi kita monitor sesuai prasyarat PU. Dan itu kita lakukan bertahap, pertama kami tim PUG melakukan kepada satminkal dan nanti kita monitoring secara keseluruhan oleh tim independen nasional. Nanti ada tim penilai secara nasional untuk menilai kegiatan PUG di kementerian PU secara
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
7
profil tokoh
keseluruhan yang sudah kita rekap, yang sudah tim kami rekap, itu yang nanti dinilai oleh tim penilai independen secara nasional. Kita di PU, PUGnya seperti apa… Butaru : Itu sebetulnya pendekatannya lebih ke top down, untuk ke depannya apakah akan lebih bottom up? Jadi memang sekarang sosialisasinya baru di kementerian PU, padahal itu harusnya sampai ke lingkungan PU yang ada di daerah. Oleh karena itu salah satu program kerja 2011-2014 adalah melakukan sosialisasi pemberdayaan masingmasing sampai ke daerah. Itu yang harus kita lakukan. Dan kedua, seperti yang dilakukan Ditjen CIpta Karya kegiatannya apa kan sesuai dengan kebutuhan daerah. Karena mereka kan programnya pemberdayaan masyarakat (terutama masyarakat berpenghasilan rendah)
PU. Walaupun terasa masih sulit, tetapi dengan adanya komitmen dari pimpinan, dimana ini sangat membantu pokja PUG di PU, saya optimis ke depan akan berjalan lebih baik. Saat ini dirasakan masih ada kesenjangan di antara pimpinan di satminkalnya masing-masing, walaupun responnya telah cukup baik dengan tetap mengirimkan wakil ke pertemuan yang diadakan. Akan tetapi kadang pertemuan tersebut membutuhkan masukan yang konkrit dan pemahaman yang sama untuk ditindaklanjuti, sehingga dibutuhkan pimpinan setingkat eselon II untuk duduk bersama, berdiskusi dan memahami serta menindaklanjutinya di masing-masing bagiannya. Tetapi tidak apa-apa, dengan tugas yang diberikan oleh Pak Menteri, tim pokja akan terus sedikit demi sedikit berkomunikasi dengan satminkal.
Dalam perwujudan capacity building, kegiatan sosialisasi, workshop, pelatihan dan forum diskusi terus dikembangkan di Kementerian PU dan juga melibatkan Kementerian/Lembaga lain dalam peningkatan pemahaman dan kemampuan terkait PUG misalnya kegiatan PPIP yang mencakup 2000 desa. Apa yang dilakukan Cipta Karya itu betul-betul keinginan masyarakat, dan direkap jadi keinginan kabupaten dan kota. Jadi saya pikir bottom-up-nya tuh sudah, hanya memang masih parsial.” Kalau di Bina Marga mungkin waktu di pelaksanan amdalnya telah melakukan, karena amdal juga langsung di lapangan. Kalau pembebasan tanah misalnya itu langsung ke masyarakat, jadi maunya masyarakat telah dipertimbangkan. Demikian juga terkait SDA, telah melibatkan masyarakat petani pengguna air juga. Jadi pendekatan bottom-up telah dilakukan, walaupun sekarang kelihatannya seperti tidak terstruktur. Butaru : Sejauh ini bagaimana respon dari berbagai pihak setelah pengarusutamaan gender mulai dilaksanakan? Saat ini yang menjadi tugas adalah menyamakan pemahaman mengenai responsif gender ini keseluruh lingkungan
8
Rencananya, saya bersama tim, tahun ini hanya melakukan monitoring dan evaluasi, yang diharapkan satminkal yang bertanggung jawab melakukannya. Jadi diharapkan masing-masing satminkal lebih respon dalam melakukan sosialisasi, forum dan penyusunan kegiatan PUG ini. Butaru : Oh ya Bu, baru-baru ini Ibu kan mendapatkan penghargaan terkait pengarusutamaan gender, dapat Ibu sedikit ceritakan? PU ini sudah 3 tahun berturut-turut mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Eka Praya. Pertama tahun 2008 mendapat Anugerah Parahita Eka Praya tingkat pratama. Kemudian tahun 2009 dan 2010 penghargaan Anugerah Parahita Eka Praya tingkat madya. Ada satu tingkat lagi yaitu utama, kita baru ditingkat madya. Kementerian PU mendapatkan penghargaan, karena dinilai oleh Tim Independen Nasional bahwa kita sudah bisa meletakkan dasar-dasar pelaksanaan PUG.
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Mungkin kita dilihat sudah punya lembaganya (wadahnya Tim PUG), sudah dilihat Pak Menteri, sudah ada pencanangan dan sebagainya, masih dalam yang dasar-dasar sekali. Nah 2009 dan 2010 dianggapnya kita sudah meningkat, dasar-dasar ini sudah mulai tersebar ke seluruh jajaran Kementerian PU. Yang menyebabkan kita ke tingkat madya. Jadi memang dari hal-hal seperti itu, dari sosialisasi yang sudah sering kita lakukan, walaupun data terpilah belum ada tapi kita sudah melakukan kajian. Hal ini kita sudah dianggap mampu mengembangkan pelaksanaan PUG yang sesuai dengan institusi kita. Diharapkan tahun ini kita bisa naik tingkat lagi. Yang menerima penghargaan adalah Bapak Menteri yang langsung dari Presiden. Adapun Tim PUG PU ini adalah dapurnya dengan bekerjasama satminkalsatminkal yang ada dilingkungan PU terkait data dan informasi, karena kita merekap hasil penilaian itu (dalam format laporan) dan disampaikan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Kementerian PPPA yang mengevaluasi, dan ada tim lagi yang mewawancarai Tim PUG PU kita, dan hasilnya menjadi kinerja Kementerian PU. Butaru : Ibu adalah salah satu yang berperan aktif dalam kegiatan pengarusutamaan gender, bagaimana dukungan lingkungan dan keluarga selama ini ? Yang pertama dukungan dari lingkungan sudah jelas dengan penugasan dari Bapak Menteri. Lingkungan seperti yang tadi saya katakan masih ada kesenjangan dimana masih ada yang belum mau terlibat penuh, tapi pada dasarnya sudah cukup baik. Terbukti dengan banyaknya kementerian lain yang memanggil kita untuk menjadi pembicara, untuk memberikan pengalamannya. Kita ini dijadikan best practice PUG di Indonesia. Jadi saya sering diundang oleh kementerian lain untuk berbagi pengalaman dalam implementasi PUG di PU, misalnya dengan pembentukan
Harapan saya adalah mari kita tingkatkan dukungan dan peran seluruh jajaran kementerian dalam mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang danpengembangan infrastruktur dan permukiman yang responsif gender. pokja dimana kegiatan ini dibagi ke dalam tim-tim pokja yang sebagian adalah merupakan wakil dari satminkal. Jadi pekerjaan dibagi ke semua unit, dan diharpkan mereka yang akan kerja. Tugas kita hanya memonitoring saja dan itu dijadikan contoh. Jadi dukungan dari internal sudah baik, walaupun masih ada tantangan. Keluarga inti saya adalah bertiga yaitu 2 perempuan dan , satu laki-laki. Kalau dari keluarga, terusterang keluarga saya ini termasuk golongan yang demokratis. Jadi saya dan suami bisa membagi tugas di keluarga secara bersama-sama. Buktinya saya bisa sampai sekarang, kalau tidak ada pengertian dari suami bahwa saya responsif terhadap peran perempuan,
mungkin saya akan mengalami hambatan untuk bisa sampai di posisi ini kalau tidak ada dukungan dari suami. Saya rasa salah satu hambatan perempuan kenapa engga bisa naik adalah karena system patria chart di Indonesia dimana laki-laki sebagai kepala keluarga itu sangat kuat. Itu yang mungkin menjadi salah satu yang ada hambatan sehingga perempuan itu tidak bisa dengan mudah mendapatkan apa yang seharusnya dia dapat dengan kemampuan dia. Masih ada yang seperti itu, terutama yang di daerah. Saya bisa mengatakan demikian karena saya sering mengikuti forum-forum diskusi tentang gender dengan kementerian PPPA dan dengan instansi lain, ternyata di daerah seperti itu.
Butaru : Baik Bu Cicik. Barangkali ini pertanyaan terakhir dari kami Bu. Dapatkah Ibu menyampai sebuah harapan dalam melaksanakan tugas pengarusutamaan gender ini Bu? Harapan saya terakhir adalah semakin meningkatnya dukungan dan peran seluruh jajaran Kementerian Pekerjaan Umum ini di dalam mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang dan infrastruktur dan permukiman yang responsif gender. Saya mengajak semua pihak kementerian ini untuk lebih meningkatkan lagi peran untuk mewujudkan pengarusutamaan gender karena ini sudah menjadi kewajiban, dan sudah tercantum dalam undang-undang dan peraturan terkait lainnya. (mem/hd)
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
9
profil wilayah
Menuju Kota Metropolitan KOTA PAHLAWAN yang Produktif dan Berkelanjutan Oleh: Redaksi Butaru
Setelah mencapai kemerdekaan, Apa yang akan kita lakukan di dalam membangun Kota Pahlawan? Kota Surabaya merupakan Kota Metropolitan terbesar setelah Ibu Kota Jakarta, dengan luas wilayah ±33.048Ha atau 33,04 Km² yang dibagi dalam 31 (tiga puluh satu) kecamatan dan 163 (seratus enam puluh tiga) Kelurahan. Kota Surabaya merupakan ibukota Propinsi Jawa Timur, yang mempunyai kedudukan geografis pada 07021’ Lintang Selatan dan 112036’ sampai dengan 112054’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya sebelah Utara Selat Madura, sebelah Selatan Kabupaten Sidoarjo, sebelah Barat Kabupaten Gresik dan sebelah Timur Selat Madura.
Pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran paling berdarah antara Pasukan Inggris dan Bangsa Indonesia di Kota Surabaya, diawali dengan pemboman Kota Surabaya oleh Pasukan Inggris selama 10 (sepuluh) hari secara berturut. Tentara Indonesia terus melakukan perlawanan dengan pasukan Inggris, karena Bangsa Indonesia ingin mencapai kemerdekaan,sebanyak lebih dari 20.000 tentara Indonesia tewas demi mencapai kemerdekaan. Pertempuran sengit ini merupakan pertempuran paling berdarah yang dialami Pasukan Inggris pada dekade 1940an. Dengan pertempuran sengit yang terjadi di Surabaya ini, maka lahirlah julukan Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
10
Pembangunan di Kota Surabaya menunjukan perkembangan yang cukup dinamis dan memacu perkembangan Kota Surabaya sebagai kota metropolitan. Kota Surabaya memiliki kedudukan yang sangat strategis baik dalam skala regional maupun nasional, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam PP 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), bahwa Kota Surabaya berperan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang berfungsi sebagai pusat pelayanan produksi, distribusi barang dan jasa dan memiliki prospek perkembangan yang sangat pesat. Selain itu di dalam PP tersebut juga menetapkan Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila yang terdiri dari Kawasan Perkotaan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan termasuk di dalam Kawasan Strategis Nasional. Dengan melihat fungsi Kota Surabaya dan berlandaskan kebijakan dari Pemerintah Pusat, maka pada tahun 2009 PEMKOT kota Surabaya telah menetapkan Visi di dalam RTRW
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
pusat bisnis di Surabaya Timur seperti di kawasan Kertajaya, Mulyosari dan sekitar Sukolil begitu juga di Surabaya Barat dan Selatan seperti daerah HR Muhammad yang ditandai dengan berdirinya sentra bisnis baru, kawasan perkantoran, kawasan ruko, mall mewah, dan bahkan berdirinya Universitas Negeri Surabaya yang ikut meramaikan pembangunan Surabaya. Mengingat aktivitas pembangunan yang akan meningkat dari tahun ke tahun dan jumlah lahan yang tidak akan bertambah, maka PEMKOT sudah saatnya memikirkan bagaimana untuk mensiasati keterbatasan lahan ini ?
Kota Surabaya adalah “Menuju Surabaya sebagai Kota jasa yang nyaman, berdaya, berbudaya dan berkeadilan”. Kota Surabaya adalah “Menuju Surabaya sebagai Kota jasa yang nyaman, berdaya, berbudaya dan berkeadilan”. Berbagai usaha PEMKOT di dalam mewujudkan visi Kota Surabaya tersebut, langka pertama yang menjadi proiritas PEMKOT adalah dengan membangun infrastruktur, karena infrastruktur merupakan sektor utama yang dapat menunjang kegiatan ekonomi, pendistribusian barang dan jasa serta membuka daerah- daerah yang terisolir. Langkah berikutnya yaitu meningkatkan pelayanan publik, membuat kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, mewujudkan penegakan hukum, dan menjaga kearifan budaya lokal.
“Kebersamaan menjadi roh untuk mewujudkan Surabaya green and clean” Tri Rismaharini , Walikota Surabaya
Konsep Apa Yang Tepat Di Tengah Kota Pahlawan? Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan penduduk dan lahan akan terus bertambah di kota, khususnya Kota Metropolitan seperti di Surabaya. Untuk mengandalikan dan mengatasi permasalahan kepadatan bangunan, penduduk, dan kemacetan maka diperlukan langkah yang inovatif. Pengembangan dan pembangunan superblok secara vertikal di dalam satu kawasan yang terdiri dari dari peruntukan hunian, perhotelan, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, dan dilengkapi dengan sarana untuk pejalan kaki dapat mengakomodir permasalah perkotaan besar yang sering terjadi pada saat ini.
Aktivitas perdagangan tidak bisa lepas dari Surabaya, sejak dari jaman Majapahit dan hingga kini, Surabaya merupakan sentra bisnis yang juga dijadikan sebagai pusat investasi para investor asing maupun lokal. Setiap sisi Kota Surabaya tidak lepas dari aktivitas pembangunan, perdagangan barang dan jasa, serta kegiatan bisnis. Sentra bisnis mulai bermunculan di Kota Surabaya ditandai dengan perkembangan
Kota dengan konsep Superblok
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
11
profil wilayah
Surabaya juga terkenal dengan wisata belanja lokal maupun Nasional. Konsep Shopping Belt yang digunakan di beberapa negara dan kota metropolitan merupakan konsep ruang kota yang dirasakan tepat untuk dapat mengakomodir wisata belanja Kota Surabaya. Selain memberikan nilai estetika dari sebuah kota wisata belanja, Shopping Belt ini memberikan kesan keteraturan dari sebuah kota dan dapat memberikan daya tarik calon wisatawan yang akan berkunjung ke Kota Surabaya. Tingginya calon wisatawan yang akan berkunjung ini tentunya dapat memberikan dampak yang positif bagi aktivitas perekonomian dan sumber pendapatan daerah Kota Surabaya, seperti halnya Bali dimana wisatawan dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap PDRB Provinsi Denpasar
Infrastruktur merupakan suatu rangkaian yang terdiri atas beberapa bangunan fisik yang masing-masing saling mengkait dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Infrastruktur bagaikan nyawa bagi setiap wilayah, begitu pula di Kota Surabaya sehingga pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama bagi PEMKOT Surabaya.
Jaringan infraktuktur ini mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, distribusi aliran produksi barang dan jasa.
Jaringan struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa jalan, kereta api, air bersih, bandara, kanal, waduk, tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan, telekomunikasi, pelabuhan secara fungsional, infrastruktur selain fasilitasi merupakan nyawa bagi setiap wilayah, termasuk di wilayah Kota Surabaya, jaringan infraktuktur ini mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, distribusi aliran produksi barang dan jasa.
Menurut PP 26 Tahun 2008 Tentang (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) RTRWN, Pelabuhan Tanjung Perak ditetapkan sebagai Pelabuhan Internasional karena memegang peranan penting di lingkungan lokal, Nasional, dan Internasional. Di Pelabuhan Tanjung Perak ini terjadi aktifitas tempat bongkar muat barang antar Negara dan antar pulau, aktivitas ekspor-impor, pengangkutan barang, transaksi perdagangan agen perjalanan wisata. Karena letaknya yang strategis, didukung oleh daerah hinterland Jawa Timur yang potensial juga merupakan pusat pelayaran interinsulair Kawasan Timur Indonesia, Pelabuhan Tanjung Perak ini juga dikenal dengan sebutan Lokomotif Indonesia Timur. Pelabuhan Tanjung Perak telah memberikan suatu kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan ekonomi dan memiliki peranan yang penting tidak hanya bagi peningkatan lalu lintas perdagangan di Nasional, Jawa Timur dan di seluruh Kawasan Timur Indonesia, sebanyak 45% aktivitas bongkar muat barang yang akan menuju Indonesia Timur berasal dari Pelabuhan Tanjung Perak.
12
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Untuk menciptakan kawasan perkotaan yang nyaman, maka PEMKOT berusaha menghindari perencanaan dan pembangunan kawasan industri besar yang dapat mencemarkan udara, oleh karena itu arah pengembangan Kota Surabaya tetap kepada pusat perdagangan barang dan jasa.
Pelabuhan Tanjung Perak terletak di Jln. Tanjung Perak Timur No.620, Kelurahan Perak Timur, Kecamatan Pabean Cantian, Surabaya ini memiliki Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKR) dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKP) seluas 5.193,92 Ha yang terdiri dari beberapa dermaga, (tujuh) terminal (Terminal Jamrud, Terminal Berlian, Terminal Nilam, Terminal Mirah, Terminal Kalimas, Terminal Penumpang, dan Terminal RO-RO), gedung perkantoran, dan fasilitas lainnya. Dalam masa pembangunan ini, usaha-usaha pengembangan terus dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia III yang bertanggung jawab mengawasi Pelabuhan Tanjung Perak ini diarahkan pada perluasan dermaga khususnya dermaga kontainer, perluasan dan penyempurnaan berbagai fasilitas yang ada, pengembangan daerah industri di kawasan pelabuhan, pembangunan terminal penumpang dan fasililasfasilitas lainnya yang berkaitan dengan perkembangan pelabuhan-pelabuhan modern. Sebagaimana yang direncanakan oleh Pihak PT. Pelindo III merencanakan melakukan pembangunan dan pengadaan alat berat di Terminal Nilam
Timur, Mirah, dan Terminal Jamrud, untuk mengantisipasi perkembangan aktivitas pelabuhan yang akan semakin berkembang. Kegiatan industri juga mewarnai aktivitas perekonomian Kota Surabaya, dapat dilihat dengan lahirnya industri besar seperti industri logam dasar, kimia dasar, tekstil, industri makanan, minuman, argo based industri yaitu industri yang mengolah hasil-hasil pertanian dalam arti luas, seperti halnya dari subsektor perikanan, peternakan, sayur-mayur, buah-buahan dan lainnya. Selain itu, terdapat beberapa industri khas yang dikenal berasal dari Surabaya, diantaranya adalah Rokok Sampoerna, UBM Biskuit, Viva Cosmetics, Industri Emas UBS, dan Bogasari, hingga industri kecil seperti Sentra Sepatu & Sandal. Akan tetapi untuk menciptakan kawasan perkotaan yang nyaman, maka PEMKOT berusaha menghindari perencanaan dan pembangunan kawasan industri besar yang dapat mencemarkan udara, oleh karena itu arah pengembangan Kota Surabaya tetap kepada pusat perdagangan barang dan jasa.
Jembatan Suramadu
Apakah Sekedar Landmark Baru? Pada tanggal 12 Juni 2009, Surabaya memiliki landmark baru yaitu Jembatan Suramadu (Surabaya Madura). Jembatan Suramadu ini terdiri dari 2 (dua) sisi lokasi, yaitu dari sisi wilayah Surabaya lokasi ujung jembatan Suramadu berada di Kecamatan Kenjeran dan Kecamatan Bulak yang termasuk di dalam Surabaya Utara, sedangkan untuk wilayah Madura lokasi ujung jembatan SURAMADU berada di Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan. Ke dua Kecamatan yang berlokasi di wilayah Surabaya Utara ini merupakan pintu kawasan kaki Jembatan Suramadu. Kecamatan Kecamatan Kenjeran memiliki kepadatan penduduk yang relatif sangat tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Bulak. Selain itu Kecamatan Bulak memiliki banyak potensi sosial ekonom seperti, timbulnya sentra kerajinan, sentra penjualan hasil laut, dan potensi wisata lain yang belum dimanfaatkan dengan baik. Dalam konteks pengembangan wilayah, potensi sosial, ekonomi yang ada di Kecamatan Kenjeran dan Bulak sudah saatnya dimanfaatkan sebagai esensi pengembangan wilayah.
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
13
profil wilayah
Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Bappeda Propinsi Jawa Timur Tahun 2008, fungsi rencana wilayah Kota Surabaya adalah sebagai pusat pelayanan, perdagangan, jasa, industri, pemerintah, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan prasarana wisata. Saat ini sektor pariwisata belum menjadi prioritas pembangungan PEMKOT Surabaya, walaupun Kota Surabaya ini memiliki beberapa potensi pariwisata seperti Pantai Kenjeran yang berlokasi di Kecamatan Bulak dan potensi lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal. PEMKOT Surabaya akan menjadikan Jembatan Suramadu ini menjadi satu penunjang untuk memajukan potensi pariwisata di Kota Surabaya, khususnya di Kecamatan Bulak dan Kecamatan Kenjeran yang merupakan kawasan kaki Jembatan Suramadu dan merupakan pintu gerbang menuju Surabaya dari Pulau Madura. Pemanfaatan ruang sebagai Kawasan Pariwisata di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu ini dapat membangun tempat rekreasi seperti kawasan wisata kuliner di kawasan pesisir.
Dengan adanya Jembatan Suramadu ini diharapkan dapat merangsang naiknya permintaan barang dan jasa, sehingga memperlancar roda perekonomian
Pembangunan rekreasi ini juga akan optimal jika didukung dengan jaringan jalan dengan kondisi baik menuju kawasan wisata serta PEMKOT dapat mengeluarkan kebijakan untuk menaikan status jalan. Selain sektor pariwisata, untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang bersinggungan langsung dengan Jembatan suramadu sudah selayaknya memanfaatkan hasil laut sebagai usaha untuk pembangunan industri dengan pengelolaan yang ramah lingkungan. Dengan adanya Penataan Ruang yang teratur, aman, produktif, dan berkelanjutan di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu di sisi Surabaya maka akan memberikan citra positif bagi Kota Metropolitan Surabaya.
Jembatan ini bukan hanya sekedar landmark bagi Kota Surabaya saja, akan tetapi memiliki peranan penting bagi Pulau Jawa dan Madura, khusunya menjawab permasalahan yang ada di Kawasan Strategis Nasional Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), antara lain pendistribusian barang dan jasa, kurangnya koordinasi antar wilayah terkait karena hanya berorientasi pada kewenangan kota/kabupaten masing-masing, belum adanya sistem Informasi yang terintegrasi sehingga Perencanaan yang ada tidak terintegrasi dan masih bersifat parsial kabupaten serta belum adanya koordinasi dalam penanganan pembiayaan antar
14
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
beberapa daerah, mengingat permasalahan yang memerlukan biaya penanganan sering kali bersifat lintas wilayah. Jembatan Suramadu ini dapat dijadikan sebagai dinamisator pembangunan Nasional dalam konteks Jawa Timur pada umumnya dan Gerbangkertosulsilo-Madura pada khususnya, sehingga terjadi keterpaduan antar wilayah dan sektor serta terwujud pembangunan yang merata. Dengan adanya Jembatan Suramadu ini diharapkan dapat merangsang naiknya permintaan barang dan jasa, sehingga memperlancar roda perekonomian, mendorong masyarakat untuk lebih meningkatkan kegiatan produksi barang pada berbagai sektor ekonomi seperti sektor kelautan, pertanian, industri, maupun sektor jasa seperti, sektor pariwisata, dan sebagainya. Mengurangi tingkat pengangguran tenaga kerja, meningkatkan PDRB dan kesejahteraan masyarakat, dan mempercepat informasi dan memantapkan integritas nasional sehingga tercipta situasi yang kondusif dan membuat daya tarik para investor untuk menanamkan modal di Kota Surabaya dan Madura.
Menghijaukan Kota Pahlawan PEMKOT Surabaya tidak hanya konsen terhadap aktivitas perekonomian, akan tetapi untuk mewujudkan perencanaan pembangunan Kota yang berkelanjutan. Saat ini, terdapat aktivitas tambak ikan dan udang para penduduk di Kawasan Pantai Timur Surabaya. Aktivitas tambak menjadi aktivitas perekomian penduduk setempat, akan tetapi tidak selamanya berdampak positif bagi lingkungan pesisir. Menanggapi masalah tersebut untuk kedepannya PEMKOT Surabaya akan merencanakan rehabilitasi kawasan Pantai Timur ini dengan menjadikan kawasan konservasi hutan mangrove dan penataan kembali kawasa pemukiman wilayah pesisir. Dirasakan berbagai macam manfaat Rehabilitasi Kawasan Hutan mangrove, antara lain dari segi ekologis, ekonomi, dan sosial. Dari segi ekologis, mangrove dapat menjadi Area pemijahan (spawning ground), pembesaran (nursery ground) dan ruang mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, udang, kekerangan, dan spesies perikanan lainnya, merupakan kawasan hijau yang berperan menyerap CO2, sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, angin topan, perembesan
air laut dan gaya-gaya kelautan yang ganas lainnya. Mangrove dapat diolahan buah mangrove merupakan alternatif kuliner yang bisa diupayakan sebagai alternatif pendapatan masyarakat dan memberikan perlindungan terhadap ruang budidaya ekonomi di kawasan pesisir atau pantai. Konsen perwujudan RTH PEMKOT ini tidak hanya terjadi pada saat ini saja, akan tetapi pada tahun 2007 perwujudan RTH juga telah dilakukan oleh PEMKOT Surabaya, melalui surat perjanjian kerjasama antara PEMKOT Surabaya dengan PT. Pertamina Unit Pemasaran V untuk melakukan pembenahan dan penataan taman eks. SPBU yang berlokasi di Jl. A. Yani Surabaya. Saat ini PEMKOT Surabaya juga telah merencanakan untuk membangun Walkable City di beberapa tempat. Walkable City merupakan langkah inovatif yang akan memberikan pengaruh positif untuk perkembangan Kota Surabaya, konsep ini mengutamakan kenyaman pejalan kaki, di mana lokasi yang bebas dari kendaraan bermotor guna meminimalisir tingkat polusi udara dan ditanami oleh berbagai macam pohon untuk memberikan rasa teduh dan untuk
Walkable City merupakan langkah inovatif yang akan memberikan pengaruh positif untuk perkembangan Kota Surabaya, memenuhi kebutuhan dan menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH)Kota Surabaya. Langkah yang direncanakan oleh PEMKOT Surabaya ini juga merupakan salah satu usaha di dalam menjalankan amanat UU 26 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang, bahwa RTRW Kota harus memiliki 30% RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan. (mpb)
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
15
topik utama
Kabupaten /Kota Layak Anak
(KLA) dalam Pengentasan
Kemiskinan dan Perwujudan Hak Anak
Oleh: Dra. Lenny N Rosalin, M.Sc, Asisten Deputi Pengembangan Kota Layak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai visi yaitu terwujudnya kesetaraan gender, dan misi adalah mewujudkan kebijakan yang responsif gender dan peduli anak untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, serta memenuhi hak tumbuh kembang dan melindungi anak dari tindak kekerasan. Sesuai dengan visi kementerian, tema perlindungan anak menjadi salah fokus kementerian saat ini dalam mewujudkan misi dalam pelaksanaan program dan kegiatannya. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan pemenuhan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi Salah satu kegiatan Kementerian PPPA dalam merespons isu gender terkait perempuan (ibu) dan anak adalah kegiatan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Kota Layak Anak (KLA) dan Tujuannya Kota Layak Anaka (KLA) adalah sistem pembangunan kabupaten/ kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Adapun Tujuan KLA adalah: Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan, dalam bentuk: kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, dalam upaya pemenuhan hak-hak anak, pada suatu dimensi wilayah kabupaten/kota. Prinsip, Strategi dan Landasan Hukum Adapun prinsip dalam pengembangan KLA ini, yaitu: • non diskriminasi • kepentingan yang terbaik untuk anak • hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan • penghargaan terhadap pendapat anak Sementara Strateginya adalah : PENGARUSUTAMAAN HAK ANAK (= PUHA), pengintegrasian hak-hak anak ke dalam: • setiap proses penyusunan, yaitu : kebijakan, program dan kegiatan pembangunan
16
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
• setiap tahapan pembangunan: perencanaan dan penganggaran; pelaksanaan; pemantauan; dan evaluasi • di setiap tingkatan wilayah, yaitu : nasional, provinsi dan kabupaten/kota Adapun Ruang Lingkup KLA adalah meliputi seluruh bidang pembangunan • Tumbuh Kembang Anak • Perlindungan Anak yang diimplementasikan di kabupaten/kota dalam perwujudan Pemenuhan Hak Anak Lebih lanjut, landasan Hukum kegiatan KLA ini adalah: Internasional • World Fit For Children • Konvensi Hak-hak Anak • Millennium Development Goals (MDGs) Nasional • Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28b dan 28c • UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak • UU 17/2007 ttg RPJPN 2005-2025 • Inpres 01/2010 ttg Program Prioritas Pembangunan Nasional • Peraturan Presiden 5/2010 ttg RPJMN 2010-2014 • Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 • Peraturan Menneg PP 2 /2009 ttg Kebijakan KLA
Mengapa dikembangkan KLA? KLA dikembangkan dengan pertimbangan, jumlah anak di Indonesia adalah 1/3 (spertiga) dari total penduduk Indonesia. Lebih jauh, anak merupakan investasi SDM yang harus tumbuh dan berkembang secara optimal dan terlindungi. Pembangunan selama ini masih parsial dan segmentatif, belum peduli/ramah anak, jadi kedepannya harus diwujudkan dengan pendekatan holistik, integratif dan berkelanjutan.
Bagaimana KLA dapat diwujudkan? Dimulai dari tingkatan paling bawah, atau dapat juga melalui fasilitasi dan dorongan dari pusat • Dari individu • Dari keluarga • Dari RT/RW • Dari desa/kelurahan • Dari kecamatan • Inisiatif kab/kota ybs ---> terealisasi di kabupaten/kota • Pemerintah nasional/pusat melakukan “sample” di beberapa prov atau di seluruh prov • Prov melakukan “sample” di beberapa kab/kota atau di seluruh kab/kota • Inisiatif kab/kota ybs ---> terealisasi di kab/kota
Siapa yang berperan mewujudkan KLA?
Bagaimana mengembangkan KLA?
• Lembaga Legislatif: nasional dan daerah • Lembaga Yudikatif: nasional dan daerah • Pemerintah : pusat/nasional, provinsi, kabupaten/kota batas terendah desentralisasi, kecamatan, dan desa/ kelurahan • Dunia usaha • Akademisi • Masyarakat: individu: anak dan orang dewasa serta keluarga
KLA dikembangkan dengan beberapa pendekatan, yaitu: • Top-down Nasional/pusat provinsikab/kota • Bottom-up Gerakan masyarakat - Individu&keluarga RT/RW - desa/kelurahan - kecamatan kab/kota • Kombinasi bottom-up dan top-down
Langkah Pengembangan KLA Pelaporan
Tahap 7
Pemantauan dan Evaluasi
Tahap 6 Tahap 5
Mobilisasi Sumber Daya
Tahap 4
Penyusunan Rencana Aksi Daerah
Tahap 3 Tahap 2 Tahap 1
Pengumpulan Data Basis Pembentukan Gugus Tugas Komitmen
Kapan KLA diwujudkan? Sejak tahun 2006, rancangan kebijakan KLA diinisiasi oleh KPP dengan menetapkan model KLA di 5 kab/kota dan pada tahun 2007 telah dilakukan perluasan model KLA di 10 kab/kota. Pada tahun 2009, Kebijakan KLA menjadi lebih formal dengan ditetapkan menjadi Peraturan Meneg PP No. 2/2009. Berdasarkan Peraturan tersebut pada tahun 2010 telah ditetapkan target 20 kab/ kota dengan didukung : - Pedoman Pengembangan KLA Tingkat Provinsi (Peraturan Meneg PP&PA No. 13/2010) – UKP4 -Petunjuk Teknis KLA di Desa/Kelurahan (Peraturan Meneg PP&PA No. 14/2010) – UKP4 Pada tahun 2014 ditargetkan KLA di 100 kab/kota.
Tahapan Pengembangan KLA
anak
K RT Desa/ L /RW Kel. Kec. G
Kab./ Kota
Prov.
IND
DUNIA
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
17
Sesuai dengan visi kementerian, tema perlindungan anak menjadi salah fokus kementerian saat ini dalam mewujudkan misi dalam pelaksanaan program dan kegiatannya. Menuju Kabupaten/Kota Layak Anak I. Aspek Manajemen • PERENCANAAN : output dalam bentuk RAD; terintegrasi ke dalam dokumen perencanaan daerah (RPJMD dan/atau RKPD); dalam prosesnya melibatkan partisipasi anak (misal: melalui musrenbang) koordinator: Bappeda • PENGANGGARAN: pastikan semua rencana dalam RAD memperoleh alokasi anggaran peran legislatif: koordinator: Bappeda • PELAKSANAAN: RAD tidak hanya dilaksanakan oleh SKPD, tetapi juga dunia usaha dan masyarakat • PEMANTAUAN: pelaksanaan RAD dipantau secara berkala • EVALUASI: pelaksanaan RAD dievaluasi setiap akhir tahun; oleh pihak independen • PELAPORAN: hasil pelaksanaan RAD dilaporkan ke pimpinan (dari GT Walikota/Bupati Gubernur Menteri PP dan PA dan Mendagri) koordinator: Badan/ Kantor/Unit PP dan PA II. Aspek Tahapan Pengembangan • Diawali dan dilandasi oleh KOMITMEN pimpinan daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Lembaga Legislatif, Dunia Usaha, Masyarakat SEMUA) • Bentuk GUGUS TUGAS: bisa memanfaatkan Tim/Pokja yang sudah ada; tahap awal: libatkan seluruh SKPD terkait (untuk pembagian tugas siapa mengerjakan apa); tahap berikutnya: libatkan Forum Anak (perwakilan anak), lembaga masyarakat, toga, toma, dunia usaha, dll; penetapan dengan SK Gubernur/Bupati/Walikota? • Kumpulkan, olah dan analisis semua DATA ANAK; sehingga diketahui secara jelas besaran masalah anak, di mana saja lokasinya, dll • Buat RENCANA AKSI DAERAH (RAD) yang ditujukan untuk mengatasi masalah anak tujuan akhir RAD: pemenuhan hak-hak anak; pembagian peran jelas; dalam proses penyusunan libatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk libatkan anak; penganggaran jelas, dll (Catatan: Upayakan agar RAD terintegrasi dengan dokumen perencanaan daerah: RPJMD atau Renstrada/RKPD; sehingga terjamin pembiayaannya) III. Aspek Substansi yaitu berkaitan dengan 31 (tiga puluh satu) hak anak, yaitu: • Hak Sipil dan Kebebasan • Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif • Kesehatan dasar dan Kesejahteraan • Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni Budaya • Perlindungan Khusus
Peran Perencana • Memastikan kebijakan, program dan kegiatan yang peduli anak disusun dan diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan – dalam bentuk: Renstra K/L dan/atau RKP – sesuai dengan tusi K/L (Biro Perencanaan merangkum dari seluruh unit yang ada di K/L). • terintegrasi pula dengan: indikator RPJMN, Renstra, RKP, SPM, MDGs, dll; hanya saja, dimensinya “kab/kota”. • Kebijakan, program dan kegiatan yang peduli anak tersebut adalah ditujukan untuk pemenuhan hak-hak anak 5 kluster; 31 hak anak. • Memastikan kebijakan, program dan kegiatan yang peduli anak tersebut memperoleh alokasi anggaran yang memadai, termasuk untuk penyediaan sarana dan prasarana. • Memantau pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan yang peduli anak, sampai dengan implementasi di tingkat kab/kota. • Mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan yang peduli anak, untuk memastikan apakah hak-hak anak terpenuhi saran: evaluasi oleh pihak independent. • Dimungkinkan pengintegrasian lokasi pelaksanaan KLA lintas K/L 2014: 100 kab/kota.
18
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Penutup
Dengan keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan, diharapkan perwujudan KLA dapat lebih dipercepat pencapaiannya, dan yang lebih penting kita ciptakan ownership bersama, sehingga KLA dapat terlembaga. Pada tahun 2014 ditargetkan akan terwujud 100 kabupaten/kota menuju KLA. Adapun beberapa tantangan yang masih dihadapi dan ditindaklanjuti, antara lain: • Di beberapa daerah belum memiliki kebijakan anak, sebagai penjabaran dari kebijakan nasional pembangunan anak; • Masih terbatasnya alokasi anggaran pembangunan anak dan kapasitas SDM yang menangani pembangunan anak, bahkan di beberapa daerah yang banyak masalah anaknya tetapi justru tidak memiliki lembaga yang secara khusus mengkoordinasikan dan menangani pembangunan anak; • Belum tersedianya sistem pengelolaan data dan informasi pemenuhan hak-hak anak, termasuk penyediaan data anak secara komprehensif dan up-to-date sehingga sulit mengetahui besaran masalah anak di suatu wilayah; • Belum terlembaganya pelaksanaan KLA di daerah, antara lain ditandai oleh melemahnya kinerja KLA seiring pergantian pimpinan daerah.
topik utama
Gender
dari Definisi hingga Implementasi
Oleh: Redaksi Butaru
“Gender responsiveness of capacity development initiatives is one critical element in improving overall development effectiveness” (UNDP:2009) Gender didefinisikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi dan status antara laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas. Pengarustamaan adalah upaya/strategi yang harus dilakukan untuk memberi peluang kepada seluruh komponen atau stakeholders agar dapat berperan secara optimal dalam pembangunan.
Beberapa istilah yang muncul terkait gender antara lain yaitu:
Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming) merupakan sebuah upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (marginalisiasi, stereotype, suborndinasi, kekerasan dan beban ganda).
- Studi Gender (Gender Studies) yaitu mengidentifikasi posisi perempuan dalam kelompok masyarakat terkait gender dalam mengembangkan program pemberdayaan dan emansipasi
Secara internasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kesepakatan global PBB pada Convention on the Elimination of all form of discrimination againts women, dimana berkewajiban untuk menghapus diskriminasi dan pemajuan kesetaraan dan keadilan gender baik yang bersifat sementara maupun berkesinambungan. Sesuai dengan Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, pengertian Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaliasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.
Konsep Pengarusutamaan Gender Pelaksanaan PUG diinstruksikan kepada seluruh kementerian maupun lembaga pemerintah dan non pemerintah di pemerintah nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program dan kegiatan. Strategi tersebut dapat dilaksanakan melalui sebuah proses yang memasukkan analisa gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki kedalam proses pembangunan. Secara umum tujuan PUG adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh Akses, Kontrol, Partisipasi dan memperoleh Manfaat (AKPM) yang sama atas pembangunan.
- Perempuan dalam Pembangunan (Woman in Development - WID) yaitu sebuah strategi yang mencoba untuk mengintegrasikan kepentingan perempuan ke dalam program pembangunan. Disini keterkaitan lakilaki dan perempuan tidak dijadikan isu penting. - Perempuan dan Pembangunan (Woman and Development - WAD) yang terfokus pada perempuan mempunyai hak bicara dalam menyusun program - Gender dan Pembangunan (Gender and Development - GAD) yang fokus pada wewenang terkait hubungan perempuan dan laki-laki dalam kelompok masyarakat - Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) yaitu semua isu terkait perempuan agar diintegrasikan dalam semua aspek kegiatan. - Netral Gender (Gender Neutrality) yaitu terkait tidak ada perbedaan pertimbangan perempuan dan laki-laki dalam melihat suatu masalah
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
19
topik utama
UNDP considers mainstreaming a gender perspective as a process of assessing the implication for women and men of any planned action – including legislation, policies or programmes – in all areas and at all levels. Consistent with this, gender-responsive programmes will consider women’s and men’s concerns as an integral dimension of the design, implementation, monitoring and evaluation (of policies and programmes) in all political, economic and social spheres.
Namun, sejak diberlakukannnya Inpres tersebut, implementasi PUG belum berjalan optimal sesuai dengan yang diamanatkan di dalam Inpres tersebut. Dalam upaya pengoptimalan pelaksanaan strategi tersebut, Pemerintah mencamtumkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yaitu menjadi salah satu arah pembangunan di dalam Misi 2 untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, adalah pemberdayaan perempuan dan anak. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan kualitas hidup perempuan, kesejahteraan perlindungan anak, penurunan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi serta penguatan kelembagan dan jaringan PUG. Adapun tujuan pelaksanaan PUG adalah agar semua komponen masyarakat mendapatkan manfaat yang sama dari pembangunan, memperoleh akses, partisipasi dan kontrol yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta kelomppk-kelompi rentan dan termajinalisasi dalam pembangunan.
Implementasi Strategi PUG Penguatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( KPPPA), merupakan respon yang konkrit dalam mewujudkan PUG ini, dimana institusi ini menetapkan visi dan misinya, dan menyusun pengertian, isu dan masalah serta perencanaan terkait gender dan penganggaran responsif gender (Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender), dan telah disosialisasikan ke K/L dan pemerintah daerah dalam bentuk seminar dan forum diskusi, agar strategi PUG semaikin dapat dipahami dan semakin mendapat perhatian, agar semua pihak dapat lebih berpartisipasi dalam implementasinya. Pendokumentasian Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) yang dilaksanakan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dilakukan dengan memetakan kegiatan yang terkait dengan Pengarusutamaan Gender di 7 (tujuh) Kementerian/Lembaga yaitu Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Keuangan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Pertanian dan Pendidikan Nasional serta terfokus pada beberapa Pemerintah Daerah yaitu Propinsi Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Pontianak. Terkait implementasi, di Kementerian PU telah dibentuk Tim PUG-PU yang terdiri dari Pengarah, Tim Pelaksana, 5 (lima) Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat dalam upaya merespon isu gender tersebut. Demikian juga, strategi PUG telah tercamtum dalam Rencana Strategis Kementerian PU Tahun 2010-2014 yang mengisyaratkan bahwa kebijakan perencanaan dan penganggaran serta implementasi program dan kegiatan yang diselenggarakan telah berpegang pada asas setara dan dan adil gender dalam kerangka mendukung pembangunan ke-PU-an. Konsep setara dan adil gender harus benar-benar menjadi pegangan dalam setiap tahapan kegiatan di Kementerian PU. Dimana setara berarti seimbang relasi antara laki-laki dan perempuan (dan orang lanjut usia, anak-anak di bawah umur, orangorang dengan kebisaan berbeda/difable, serta orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi) dalam aspek egaliter, kemampuan memadai yang meliputi Knowledge Attitude Practise, pengakuan terhadap eksistensi, ruang partisipasi, pengambilan peran dan fungsi secara proporsional dalam proses pembangunan secara utuh menyeluruh baik dari pemanfaatan hasil, pelaksanaan, pemeliharaan, pengawasan, penyusunan, evaluasi maupun perencanaan pembangunan di bidang ke-PU-an dan permukiman.
20
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Sementara adil dapat diartikan sebagai tidak adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan (dan orang lanjut usia, anak-anak di bawah umur, orang-orang dengan kebisaan berbeda/difable, serta orangorang yang tidak mampu secara ekonomi) maupun laki-laki. Jika melihat definisi setara dan adil di atas dan dikaitkan dengan tolok ukur pengarusutamaan gender yang dapat diukur dari sisi akses, partisipasi, kontrol dan manfaat, maka “setara” berada pada ukuran akses, partisipasi dan kontrol sedangkan “adil” dilihat dari sisi pemanfaatannya. Lebih lanjut, PUG di lingkungan Kementerian PU diupayakan melalui implementasi tugas dan fungsinya, yaitu : penyediaan prasarana dan sarana dasar pekerjaan umum yang meliputi kebijakan dan strategi penataan ruang dan pembangunan kawasan, serta pembinaan bidang penataan ruang; pembinaan dan penyediaan jalan dan jembatan; pembinaan dan penyediaan air baku, air irigasi, serta pengembangan daerah rawa dan pengendalian banjir; pembinaan dan penyediaan perumahan dan permukiman; pembinaan dan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan dan perdesaan, seperti air bersih, persampahan, drainase dan sanitasi.
Tujuan PUG adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki kedalam proses pembangunan.
Adapun beberapa kegiatan yang telah dihasilkan oleh Tim PUG Kementerian PU, antara lain identifikasi isu gender terkait bidang penataan ruang, yaitu: • Kurang adanya keterlibatan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan sosialisasi peraturan perundangan terkait bidang penataan ruang • Belum dipertimbangkannya kebutuhan strategis dan praktis gender dalam melakukan perencanaan tata ruang khususnya RTRW Kota dan RDTR • Dalam NSPK (Norma, Standar, Pedoman, Kriteria) belum menggunakan informasi terpilah dari perempuan dan laki-laki. • Kurang tersampaikannya isu gender dalam materi panduan penataan ruang • Belum terindentifikasinya dengan baik, penyelenggaran penataan ruang yang responsif gender baik input, proses maupun output.
Penganggaran yang Responsif Gender Terkait implementasi lebih lanjut, sesuai dengan Permen Keuangan No. 119/PMK.02/2009, telah diamanatkan implementasi Anggaran Responsif Gender. Penganggaran yang responsif gender bukanlah tujuan, melainkan sebuah kerangka kerja atau alat analisis kebijakan anggaran untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui proses-proses penentuan alokasi yang proporsional atau berkeadilan. Penerapan Anggaran Responsif Gender (ARG) dalam struktur penganggaran pada penyusunan RKA ditempatkan pada tingkat program dan kegiatan, Hal ini berarti pada saat penyusunan program sudah ditentukan sasaran dan kegiatan yang mempertimbangkan perspektif gender dan menerapkan analisis gender. Dalam penganggaran ini, turut dilampirkan Gender Budget Statement (GBS) yang isinya merefleksikan kegiatan yang akan dilakukan Kementerian/ Lembaga (K/L) dalam menangani persoalan gender dalam konteks suatu program.
Penutup Kegiatan konkrit yang responsif gender salah satunya adalah Kegiatan Pengembangan Kota/Kabupaten Layak Anak yang diinisiasi oleh Kementerian PPPA, dengan melibatkan K/L an pemerintah daerah untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Terkait kegiatan tersebut Kementerian PU telah merespon, dengan telah menyusun program-program yaitu penyediaan air bersih, sarana air minum pada tingkat desa di wilayah rawan air, sarana taman bermain anak, jalan lingkungan dipelosok untuk mendukung akses anak menuju sekolah dan zona aman sekolah untuk dapat dikembangkan untuk kota-kota lainnya. Demikian juga kementerian lain dan pemerintah daerah telah merespon dengan menyusun kegiatan yang mengimplemetasikan PUG. Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
21
topik lain
Smart
Growth
dalam Pengembangan Perkotaan
Oleh: Prof. Budhy Tjahjati S. Soegijoko
Kalau pada tahun 2000 penduduk dunia yang tinggal di perkotaan sebesar 3,3 milyar (lebih dari 50%), maka, menjelang 2030 menjadi hampir 5 milyar; dan sebagian besar penduduk kota tergolong miskin (UNFPA 2007). Urbanisasi di Asia Tenggara pada tahun 2025 baru mencapai 49.7% dan tahun 2010 sekitar 41.8% penduduk (246.7 juta jiwa) tinggal di perkotaan. Di Indonesia pada tahun 2025, penduduk perkotaan diperkirakan akan mencapai 67.5% dari total penduduk. Melihat fenomena di atas, kawasan perkotaan menjadi semakin penting dalam meningkatkan perekonomian nasional. Sebagai contoh, kota-kota di Cina diperkirakan berkontribusi sekitar 75% dari PDB menjelang tahun 2025, di India kontribusi kotakota pada PDB sekitar 70%. Di Indonesia, khususnya kota-kota besar dan metropolitan, mempunyai peranan yang signifikan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai ”engine of growth” perekonomian nasional. Pada tahun 2007 misalnya, kontribusi kota metropolitan pada PDB mencapai sebesar 23.2%, kota-kota besar sebesar 8.8% dan kota-kota menengah sebesar 7.6% (Buku II Bab IX RPJMN 2010-2014).
Kota-kota besar dan metropolitan di Indonesia, mempunyai peranan yang signifikan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai ”engine of growth” perekonomian nasional.
Namun di lain pihak, pertumbuhan kota-kota yang pesat ini membawa konsekuensi atau dampak, di antaranya semakin meluasnya lahan-lahan yang digunakan untuk menampung pertumbuhan kota-kota ini. Di Indonesia mengakibatkan berkurangnya lahan-lahan pertanian yang subur. Dampak lainnya terkait dengan kemiskinan, tingginya pengangguran, semakin banyaknya kawasan kumuh, serta masalah sosial lainnya seperti keterjangkauan fasilitas dan pelayanan pendidikan, kesehatan dan air bersih. Lebih lanjut, dampak utama ketiga terkait dengan kondisi lingkungan, yaitu semakin terdegradasi akibat keterbatasan infrastruktur, keterbatasan ruang-ruang terbuka hijau, polusi udara, air dan pengelolaan lahan.
Pembangunan berkelanjutan Dalam beberapa tahun terakhir perencanaan pembangunan kota memberi banyak perhatian pada aspek lingkungan dan keberlanjutan. Bila sebelumnya lebih terfokus pada pembangunan fisik, kemudian dimensi ekonomi dan sosial, maka kini dimensi lingkungan dan keberlanjutan menjadi perhatian utama. Pembangunan kota berkelanjutan meliputi 3 agenda utama, yaitu agenda ekonomi, agenda sosial budaya dan agenda lingkungan. Ketiga agenda tersebut perlu diterpadukan agar memperoleh pendekatan holistik dengan ketiga agenda tersebut.
22
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Upaya menuju keberlanjutan pembangunan dihadapkan pada sejumlah permasalahan global, antara lain: · Keanekaragaman hayati yang kini telah banyak berkurang · Akibat kegiatan-kegiatan manusia, semakin banyak limbah berbahaya yang dihasilkan · Terjadinya perubahan iklim, pemanasan global akibat efek rumah kaca (green house effect) · Permasalahan-permasalahan lingkungan global akibat penggundulan hutan tropis (deforestasi) · punahnya masyarakat tradisional (indigenous people) · kepunahan (depletion) dari sumbersumber daya alam, · ledakan jumlah penduduk; dan · pembangunan yang tidak memperhatikan asas lingkungan dan sebagainya. Tiga prinsip dasar bagi pembangunan berkelanjutan sendiri mempunyai 3 (tiga) prinsip dasar yakni : (i) Prinsip kesetaraan antar generasi; (ii) Prinsip keadilan sosial; dan (iii) Prinsip tanggung jawab lintas batas (trans boundary responsibility). Ketiga prinsip ini lebih lanjut dijabarkan kedalam kategori-kategori pedoman dan pelaksanaan secara ekologi, sosial ekonomi dan manajemen (pengelolaan dan governance) Salah satu konsep saat ini yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan perkotaan di Indonesia adalah Smart growth atau compact city. Definisi dari smart growth adalah suatu perencanaan kota terkait dengan trasnportasi. Pertumbuhan dikonsentrasikan di pusat kota untuk menghindari urban sprawl. Istilah smart growth ini banyak dipakai di kawasan Amerika Utara. Di Eropa khususnya di Inggris, istilah yang dipakai adalah “compact city” untuk konsep yang sama.
Smart Growth adalah suatu perencanaan kota terkait dengan transportasi. Pertumbuhan dikonsentrasikan di pusat kota untuk menghindari urban sprawl.
Smart Growth Smart growth didefinisikan sebagai pembangunan yang “sehat” (sound) secara ekonomi, lingkungan dan social, bermanfaat dalam membantu komunitas untuk merencana dan merancang secara efektif pertumbuhan yang tak terhindarkan dan dibutuhkan, dengan tetap memelihara keseimbangan di antara ketiga aspek tersebut (ekonomi, lingkungan dan sosial).
Dalam perkembangannya telah terjadi peralihan dari suatu upaya yang reaksioner menjadi suatu upaya yang proaktif membahas bagaimana dan dimana pembangunan baru perlu diakomodasikan. Berdasarkan konsep Smart growth ini pembangunan dan implementasi dari rencana-rencana lokal yang komprehensif, akan mengikuti prinsip-prinsip smarth growth yang tentunya disesuaikan dengan kondisi-
kondisi lokal dan aspirasi lokalnya misalnya: (i) guna lahan campuran; (ii) desain gedung-gedung yang kompak (efisien dan efektif ); (iii) sejumlah peluang-peluang dan pilihan-pilihan dalam hal perumahan / permukiman; (iv) lingkungan yang dapat dicapai dengan berjalan; (v) komunitas yang jelas dan menarik, dan menciptakan rasa lingkungan yang kuat (sense of place); (vi) preservasi ruang-ruang terbuka lahan pertanian, keindahan alam dan pelestarian lingkungan yang kritis; (vii) pembangunan yang ditujukan pada kebutuhan masyarakat yang ada; (viii) memberikan sejumlah pilihan-pilihan transportasi; (ix) keputusan-keputusan pembangunan yang adil, efektif biaya, dan dapat diperkirakan; serta (xi) kerjasama antar masyarakat dan pemangku kepentingan lain dalam pembuatan keputusan-keputusan pembangunan (sumber : “smart growth” website)
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
23
topik lain
Prinsip-prinsip Smart Growth Prinsip-prinsip Smart Growth sendiri dapat dikelompokkan dalam lima kategori bentuk pembangunan utama yaitu : bentuk yang kompak; pembangunan sisipan (infill development); Perumahan permukiman yang terjangkau; rasa lingkungan (sense of place); dan ruang terbuka. Prinsip-prinsip ini seringkali tidak kompatibel dengan aturan-aturan zoning yang konvensional seperti luas-luas minimal, garis sempadan, jalan yang lebar-lebar, pemisahan yang tegas antara guna lahan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan modifikasi / penyesuaian-penyesuain.
“Lingkungan yang menciptakan ruang-ruang terbuka yang menarik (Vibrant Open Space) akan merangsang interaksi antara segenap anggota masyarakat, dan yang akan memperkuat keterkaitan antara manusia dan lingkungan alam”. Elemen dalam Penerapan Smarth Growth Dalam suatu contoh kasus penerpan smart growth ini, (Wisconsin, USA) dikembangkan 8 elemen dari suatu lingkungan (neighborhood) yang ideal, yaitu “lingkungan yang menciptakan ruang-ruang terbuka yang menarik (Vibrant Open Space) yang akan merangsang interaksi antara segenap anggota masyarakat, dan yang akan memperkuat keterkaitan antara manusia dan lingkungan alam”. Elemen-elemen tersebut adalah : Desain yang compact, yang mendorong kegiatan pejalan kaki tanpa mengesampingkan (exclude) kendaraan bermotor Campuran pelbagai kegiatan yang berdekatan – yaitu aktifitas kegiatan kehidupan sehari-hari yang dapat dicapai dengan berjalan kaki, sehingga memungkinkan kegiatan mereka yang tidak berkendaraan bermotor dan menambah vitalitas lingkungan Berbagai elemen permukiman dalam lingkungan (neighborhood) yang sama, baik untuk orang tua, orang muda, maupun keluarga, lajang (single) dan masyarakat dari pelbagai golongan pendapatan.
∙ ∙ ∙
24
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
a. Berbagai ragam pilihan transportasi, termasuk jalan-jalan yang dirancang bagi pejalan kaki, orang bersepeda, berkendaraan bermotor, maupun penumpang transit b. Sistem jalan-jalan sempit / gang-gang yang ramah bagi pejalan kaki – aman, nyaman, dan tujuan-tujuan yang dapat dicapai dengan berjalan kaki, sehingga merangsang orang untuk berjalan daripada berkendaraan. c. Beraneka ragam RTH dan taman-taman yang terpadu dalam desain pembangunanbagi kegunaan, keuntungan dan kenikmatan segenap masyarakat. d. Jaringan jalan yang saling menghubungkan dengan pelbagai ukuran dan fungsi, menyebarkan lalu lintas serta menyediakan berbagai pilihan rute perjalanan kaki dan kendaraan, keberbaga tujuan, menghubungkan lingkungan (neighborhood) dengan komunitas sekitarnya. e. Pusat lingkungan (community center) yang jelas, termasuk ruang-ruang publik, bangunan-bangunan umum, halte-halte dan pedagang eceran agar menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Kelima kelompok / kategori desain pembangunan lingkungan seperti disebutkan diatas dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : Pembangunan yang compact, meliputi bangunan-bangunan / gedung-gedung, ruang-ruang parkir, ruang-ruang publik, yang dirancang sedemikian rupa sehingga memperpendek jarak-jarak perjalanan, tersedia pilihan-pilihan transportasi (jalan, sepeda, kendaraan umum, transit)sebagai alternatif berkendaraan pribadi, mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi melalui suatu urban design
∙
∙ Pembangunan sisipan (infill development) terkait erat dengan pembangunan yang
compact, dan dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong atau yang tak dimanfaatkan secara optimal. Dengan cara ini , tetap mempertahankan pola lingkungan yang telah ada, mengoptimalkan infrastruktur yang ada serta mengurangi tekanan pada lahan-lahan hijau. Setiap kota atau bagian wilayah kota memiliki lahanlahan terlantar semacam ini dalam kawasan terbangun intinya, yang sesungguhnya merupakan kawasan-kawasan potensial untuk dibangun karena keuntungankeuntungan ketersediaan infrastruktur. Pembangunan sisipan ini mendukung pembangunan yang compact, karena membangun dikawasan pusat lingkungan.
Perumahan permukiman yang terjangkau, menggabungkan atau membaurkan permukiman kelompok berpenghasilan rendah – menengah dengan permukiman kelompok menengah keatas. Perumahan yang terjangkau ini berbaur dalam lingkungan untuk kelompok dengan berbagai tingkatan ekonomi, dengan akses yang baik pada pelayanan kota. Juga pola dan tipe perumahan yang dibangun, adalah beragam, baik untuk keluarga untuk kaum lajang, untuk kaum lansia maupun kaum muda, dengan tingkat pendapatan yang beragam.
Penerapan prinsip-prinsip smart growth ini tidak mudah, terutama bagi kota-kota yang sudah padat terbangun dan pertumbuhan penduduk yang pesat.
Kawasan yang menciptakan rasa lingkungan (sense of place), merupakan respons fisik dan emosional dari penghuni sebagai bagian dari masyarakat. Ini dibentuk oleh lingkungan alam dan binaan, pengaruh iklim, historis, dan budayanya. (contoh sebuah kawasan kota tua, kawasan berciri khas – misalnya kawasan Menteng di Jakarta, kawasan Dago di Bandung, kawasan Kota Baru di Yogyakarta, dsb). Sense of place ini timbul terkait dengan bangunan-bangunan historis, jalan-jalan yang berciri khas (contoh Jalan Dago di Bandung dengan pohon-pohon damarnya yang menjulang tinggi, Jalan Pasteur dulu dengan pohon-pohon palem raja sepanjang jalan, dan dibanyak kota di Jawa Tengah, jalan-jalan yang ditanami pohon asem jawa dipinggirnya, dan sebagainya). Ruang-ruang terbuka, merupakan kawasan yang sengaja atau tidak sengaja dibiarkan tak terbangun, atau minimal pembangunannya, karena memiliki nilai-nilai ekologis, rekreasi, budaya atau estetis lainnya. Oleh karena itu, patut untuk dikonservasi dan dilindungi. Kawasan ruang-ruang terbuka ini dapat meningkatkan kualitas air dan udara, habitat hewan dan tumbuhan, meningkatkan resapan air sehingga mengurangi aliran air hujan (run-off) serta menciptakan nilai-nilai estetis dan tempat berekreasi. Penerapan prinsip-prinsip smart growth ini tidak mudah, terutama bagi kota-kota yang sudah padat terbangun dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Mungkin dapat dilakukan terkait dengan kegiatan urban renewal / redevelopment. Lebih mudah dilakukan untuk kota atau kawasan yang belum berkepadatan dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Ini merupakan pendekatan untuk mengantisipasi pertumbuhan kota di masa yang akan datang, untuk mencegah urban sprawl. Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
25
topik lain
Indigenous Environmental Knowledge
for Use of and Managing Tropical Natural Resources: A Case Study on Baduy, Aru, and Balinese’s Subak Tribe Communities
Oleh: H. Maman Djumantri, Peserta Program S3 PSL-IPB
“Humanity has the ability to make sustainable development – to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet their own needs” (Our Common Future, 1987, World Commission on Environment and Development, WCED)
Pendahuluan Dalam tulisan ini ditunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam) serta kaitannya dengan sustainable exploitation of tropical natural resources (khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan) yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/ tradisional/masyarakat-adat (tribe communities) di Indonesia dengan mengambil kasus studi di Baduy Tribe (Banten), Aruese Tribe (South East Molucas), dan Balinese’s Subak Tribe (Bali). Pengetahuan asli-lokal tersebut merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan dan mengelola sumberdaya alam, sehingga dengan instrument/tool tersebut masyarakat yang bersangkutan terus dapat bertahan hidup di kawasan tersebut, karena mampu melakukan pengelolaan seperti menentukan berapa banyak dan kapan saat memanen (mengambil), berhenti memanen, dan membiarkan alam untuk meregenerasi natural resources tersebut. Di bagian lain ditunjukkan pula adanya “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang berpola-pikir (cara pandang) anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi masyarakat lokal, tradisional/masyarakat-adat untuk mengubah cara hidupnya dan pengetahuan lokalnya yang bersifat “ecocentrism” sehingga pada tataran kebijakan publik terjadi ulur-tarik antara pembangunan ekonomi dengan pengelolaan lingkungan. Hingga saat ini masih dirasakan bahwa program-program berbasis pembangunan berkelanjutan (sustainable development) baru merupakan program-program ceremonial, lips service, dan/ atau jargon-jargon politik. Agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency, maka Negara/Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi malpolicy. Dengan demikian konsep/pendekatan pembangunan berkelanjutan dapat dimplementasikan sesuai motto: economically viable, socially acceptable, dan environmentally sound.
26
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir dari pembangunan itu tiada lain kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan Pembangunan Cukup banyak pendapat, teori, pendekatan dan definisi tentang “Pembangunan” yang secara generic dapat dikatakan bahwa “pembangunan adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera lahir dan batin”. Mustahil ada pembangunan tanpa menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Proses pengelolaan sendiri menurut para ahli manajemen terdiri atas kegiatan planning, programing, organizing, directing, implementing, monitoring, evaluating, and controlling. Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir dari pembangunan itu tiada lain kesejahtraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogyanya menyertakan juga lapisan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar, terpencil dan marginal. Dalam konsepsi Wawasan Nusantara, di sana ditegaskan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan secara menyeluruh melalui beberapa bidang (ipoleksosbudhankamrata) yang dulu dikenal dengan 8 gatra pembangunan. Pada tataran implementasinya, terhadap masing-masing gatra tersebut, negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab pengelolaannya kepada kementrian/badan sebagai unsur Pemerintah (Le-Estate, LeExecutivie). Di sinilah muncul istilah pembangunan sektoral. Dalam perjalanan kehidupan bernegara terjadi penyelewengan tafsir dari “hak menguasai negara” yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral. Pembangunan berjalan sendiri-sendiri tidak terjadi keterpaduan perencanaan, sinkronisasi program, & koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping kegiatan & duplikasi pendanaan pembangunan. Ujung-ujungnya terjadi konflik kepentingan sektoral dalam pengelolaan (hususnya pemanfaatan) sumberdaya alam. Kini tinggal masyarakat yang menderita.
Mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu sektoral dan sentralistis pada akhirnya akan merugikan pembangunan itu sendiri. Selanjutnya masing-masing sektor merumuskan kebijakan sektornya sendiri-sendiri, kemudian dilegitimasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang seolah-olah menjadi “senjata miliknya”. Tidak heran kalau banyak pasal yang saling tabrakan dengan sektor lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari arti “kebijakan” itu sendiri yakni seperangkat ketetapan yang disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu urusan atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan (William Dun, 2003; Riant Nugroho D, 2007). Sejalan dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan, mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu sektoral dan sentralistis pada akhirnya akan merugikan pembangunan itu sendiri. Paradigma lama harus segera ditinggalkan. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral, kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) “pendekatan wilayah” yakni suatu pendekatan yang tidak sektoral, tidak partial, yang bersifat integrated and comprehensive/holistic; dan (ii) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi di masa mendatang. Kedua pendekatan ini di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidahkaidah penataan ruang. Nampaknya perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan & pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru tsb. Perlukah dilakukan redefinisi pembangunan dan kebijakannya.
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
27
topik lain PERKEMBANGAN MASYARAKAT LOKAL TRADISIONAL / MASYARAKAT ADAT BESERTA WILAYAH HUKUMNYA (DESA ADATNYA) Asal Muasal Tidak tahu pasti kapan mula-mula adanya Wilayah/Desa-Adat di Indonesia. Pada hakekatnya DEÇA atau Wilayah/Desa-Adat merupakan bentuk perwujudan persekutuan hukum seperti dikenal adanya: Desa di Jawa, Bali dan Lombok; Marga di Sumatera Selatan; Nagari di Minangkabau; Kuria di Tapanuli; Negeri di Minahasa & Ambon; Wanua di SulSel. Masyarakat hukum tersebut (sering disebut masyarakat lokal, tradisional, atau masyarakat adat) ditimbulkan dari beberapa alasan seperti: sifat manusia sebagai makhluk sosial; unsur kejiwaan (dorongan sosial, segregasi dan integrasi); alam sekeliling manusia; kepentingan yang sama; serta antisipasi menghadapi bencana alam dan menghadapi bahaya lain dari luar. Pada saat Pemerintah Hindia Belanda membentuk gemeente (wilayah), sudah diakui adanya masyarakat hukum seperti tersebut di atas. Umumnya batas DEÇA (Wilayah/Desa-Adat) ini secara fisik tidak tegas atau sangat dinamis. Untuk-masyarakat-tertentubatas-batas-tersebut ditetapkan dan diumumkan secara lisanoleh-Kepala-Adat/Kepala-Suku-kpd-masyarakatnya.-Dalamperumusan-perbatasan-ini disebutkan bermacam-macam tanda yang disediakan oleh alam dan dinyatakan bahwa apapun juga yang ada di dalam wilayahnya menjadi milik para warga masyarakat sebagai keseluruhan. Tahun 1854 IG diberi dasar dalam Regerings-Reglement (RR) pasal 71 yang menyatakan bahwa IG diatur tersendiri dan tidak bersumber pada azas desentralisasi. IG ini tidak termasuk Resort karena Resort hanya sampai pada tingkat Kabupaten (Stads Gemeente). IG tidak pula merupakan salah satu tingkat Binenlands Bestuur karena pemerintahan kolonial ini hanya sampai tingkat Kecamatan. Lambat laun IG lebih dikenal dengan sebutan Desa (desa formal, administratif ) seperti sekarang. Namun demikian, sesuai dengan pemerintahan kolonial, setiap Desa merupakan bagian dari satu kecamatan. Dengan bentuk yang beraneka ragam di Desa terdapat pula semacam dewan (Raad) tetapi bukan dan tidak termasuk “Locaale Raad”. Dewan ini terdiri dari penduduk yang berhak memilih Kepala Desa. Maka dari itu berkaitan dengan otonomi daerah diatur tersendiri di dalam Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) kira2 thn 1906. Mengenai--urusan--rumah-tangga-(otonomi)-Desa bersangkutan dengan Dewan Kabupaten (Regentschaps Raad); sedangkan mengenai urusan pemerintahan bersangkutan dengan Kecamatan. Karena urusan pemerintahan jauh lebih luas dan sistem pemerintahan kolonial lebih sentralistis, pada prakteknya Desa berada langsung di bawah Kecamatan. Hanya mengenai keputusan program-program Desa memerlukan persetujuan Dewan Kabupaten
28
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Pengaruh Terbentuknya Wilayah/Desa Administratif (Formal) Baik pada masa penjajahan maupun setelah Indonesia merdeka, untuk menciptakan sistem pemerintahan yang efisien, telah mengakibatkan penciptaan Desa-Desa baru (Desa formal) atau hilangnya satu Wilayah/Desa-Tradisional atau Desa-Adat dengan jalan mengurangi sebagian dari daerah kekuasaannya. Alasan dibentuknya batas administrasi adalah karena setiap negara harus membagi wilayah nasionalnya dalam bagian-bagian sampai unit terkecil agar terselenggara pemerintahan secara efisien. Di Republik Indonesia pada awal perkembangannya, dikenal adanya Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten dan Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya; sedangkan Desa merupakan wilayah pemerintahan yang paling rendah (yang paling kecil), itupun di bawah subordinasi Kabupaten. Pembentukan Desa administratif (formal) lebih ditekankan pada pertimbangan2 ekonomi, politik dan sistem pemerintahan negara, di samping fisik dan geografis. Sedangkan Wilayah/Desa Tradisional (Desa Adat) terbentuk dengan sendirinya atas dasar kesatuan kemasyarakatan, hukum adat, penguasa (non formal leader), lingkungan hidup, dan hak bersama atas tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya di wilayah hukumnya. Adanya penggabungan, pemisahan, atau peleburan wilayah/ desa adat ke dalam wilayah administrasi Desa formal ini sering menimbulkan banyak friksi sosial mengenai beberapa hak dan kewajiban yang nyata maupun yang abstrak. Pada dasarnya, kekuatan Wilayah/Desa Tradisional (Desa Adat) didasarkan atas hukum-hukum adat yang berazaskan bahwa: tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya pada hakekatnya merupakan kepunyaan bersama di antara para anggota masyarakat bagi kepentingan hidup mereka. Azas ini sangat menjunjung tinggi kelompok masyarakat sebagai suatu kesatuan di dalam wilayah hukumnya. Hal ini dapat dicerminkan oleh adanya aturan-aturan yang mengikat, contohnya terhadap kepemilikan tanah: a. Wilayah/Desa Tradisional atau Desa-Adat menentukan beban tetap, setiap pemegang hak komunal harus menjalankan tugastugas dan kewajiban yang berlaku di Desa-Adatnya; b. Pencabutan hak karena: tidak memenuhi kewajiban yang telah ditentukan, melakukan kejahatan atau melanggar norma adat, atau alasan; atau meninggalkan tanahnya hingga batas waktu tertentu tidak mengolah kembali; atau pindah tempat-tinggal ke luar persekutuan hukum; c. Melarang akumulasi tanah komunal dalam satu individu; d. Melarang memecah kesatuan tanah menjadi kesatuan-kesatuan kecil; e. Memberi batas dalam hal pewarisan.
Masyarakat Lokal Tradisional /Masyarakat Adat Baduy (Banten) Masyarakat (suku) Baduy hidup di sekitar Gunung Kendeng di bagian hulu DAS Ciujung pada kawasan seluas 5.101,85 ha di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Topografinya berupa pegunungan dengan kemiringan rata-rata 49%, curah hujan rata-rata 4000 mm/thn, berjenis tanah Clay-Latosol. Kawasan ini pada thn 1968 ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat sebagai cagar budaya untuk masyarakat Baduy dan sebagai kawasan cadangan untuk hutan.
Gmb. 1a. Kawasan Baduy, Banten
Indigenious (Environmental) Knowledge dari Masyarakat Tradisional/ Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pada awalnya (originally) seluruh bangsa Indonesia adalah masyarakat tradisional (masyarakat adat) yang kuat memegang hukum adatnya, yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya 2). Dengan semakin kuatnya faktor-faktor exogenous (perubahan lingkungan geografis, perkembangan knowledge, science, technology, dan faham/cara-pandang) secara signifikan mempengaruhi kehidupan the origin of bangsa Indonesia ini, maka terjadi lah pergeseran dari pola hidup (cara hidup) dari yang semula ecocentrism menuju anthropocentrism. Dalam perkembangannya hingga saat ini rakyat Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 3 typical: (i) masyarakat tradisional/ masyarakat adat yang ecocentrism, (ii) masyarakat (modern?elite?) hedonism yang anthropocentrism, dan (iii) masyarakat moderat, persilangan (hybrid) antara ecocentrism dengan anthropocentrism. Ketiga tokoh ini akan terus hidup dari zaman Nabi Adam a.s. hingga yaumil akhir nanti. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/ lingkungan, masyarakat adat/tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan kekuatan memegang hukum adatnya, dengan kemampuan spiritualnya, dengan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif jika dibandingkan dengan dua tipe masyarakat lainnya. Namun, bagaimana nasibnya dengan adanya kekuatan/faktor penekan yang mempengaruhinya untuk mengubah cara hidupnya dan pengetahuan lokalnya? Mari kita lihat contoh pada masyarakat adat/tradisional: Baduy (Banten), Aru (Maluku Tenggara), dan Bali-Subak (Pulau Bali).
Saat ini komunitas Baduy dapat dibagi dua kelompok: masyarakat Baduy-Dalam (Baduy Jero, Urang Tangtu, Urang Girang) dan masyarakat Baduy-Luar (Baduy Luar, Urang Panamping, Urang Dangka). Secara simbolik orang Baduy-Dalam berpakaian serba putih sedangkan Baduy-Luar serba hitam atau abu-abu tua. Masyarakat Baduy-Dalam hidup di 3 kampung: Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik yang merupakan pusat budaya dan penganut kepercayaan paling kuat. Baduy-Luar berasal dari Baduy-Dalam yang keluar karena melanggar hukum adat, atau sengaja berpaling dari hukum adat yang dirasa membebaninya. Orang Baduy Luar dilarang menetap atau masuk ke kawasan Baduy-Dalam karena tanah dikawasan Baduy-Dalam dianggap sakral (kramat, suci).
Norma, Kepercayaan, dan Budaya Masyarakat (suku) Baduy mempercayai bahwa dunia ini mulanya mengambil bentuk bagaikan sebuah pilar suci yang terdiri dari dunia atas tempat bersemayamnya para dewa dan para “karuhun” (leluhur) dan dunia bagian bawah merupakan bumi di mana anak-cucu hidup dan berkehidupan. Kepercayaan kosmologis ini diadopsi lebih lanjut menjadi satu bagian yang inspirable dari religinya dan bagian-bagian lain dari budayanya. Mereka mempunyai falsafah hidup yang diartikulasikan dalam pepatah: “ngadek kudu beware, ngali cikur kudu ngatur, ulah goroh ulah linyok, ngadek kudu sacekna, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun, ulah sirik ulah pidik, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, ulah ngarusak bangsa jeung nagara (Gama, 1987 Orang Baduy Dari Inti Jagat)“ ≈ ”.the mountains may not be destroyed, the valleys may not be damaged..., what is a long may not be cut short, what is a short may not be lengthened, the ancestral injunctions may not be canged..” (Iin Ichwandi and Takeo Shinohara, March, 31 2007). Mereka percaya bahwa kawasannya sakral sehingga tidak berani (teu wasa) dan/atau tidak mengizinkan untuk mengganggu ekosistem. Apabila tidak mengindahkannya maka mereka akan mendapat malapetaka dalam kehidupannya. Norma dan kepercayaan ini diartikulasikan dalam bentuk kode etik yg ditekankan sebagai larangan/pantangan (taboo) dalam kesehariannya. Pantangan/ larangan ini diterapkan di dalam komunitas kampung yang dipimpin oleh kepala adat (Puun).
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
29
topik lain Norma dan kepercayaan diartikulasika dalam bentuk kode etik yang ditekankan sebagai larangan/pantangan (taboo) dalam kesehariannya. Pantangan (taboo) yang paling utama adalah memasuki hutan yang disakralkan (mengitari Gunung Kendeng) dan memungut hasil hutan tersebut. Suku Baduy sangat ketat menjaga hutan tersebut berdasarkan kepercayaannya bahwa para karuhun-nya bersemayam di makam tua yang dinamakan Arca Domas atau Sasaka Domas di mana pemuka agama (Puun) bersembahyang setiap tahun. Dalam sembahyangnya Puun memohon agar masyarakat Baduy berumur panjang, hidup makmur, sehat dan sejahtera. Juga memohon agar terhindar dari penyakit, kekeringan, bencana, mala-petaka, angin topan, dan dosa. Hutan yang disakralkan itu terletak di bagian hulu DAS Ciujung yang fungsi hidrologisnya memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya baik kawasan Baduy-Dalam maupun kawasan BaduyLuar. Juga memelihara keanekaragaman hayati yang sangat penting untuk generasi mendatang. Masyarakat Baduy dilarang mengubah lansekap dan ekosistem seperti perataan tanah untuk membangun rumah, irigasi/dam, ponds, dan sumur. Mereka mengakui bahwa kehidupannya sangat tergantung dari tanah
dan sumberdaya alam dan untuk itu mereka berupaya terhindar dari kerusakan alam yang disebabkan oleh bencana alam dan malapetaka; dan juga menyadari adanya faktor-faktor pembatas pada lahan di kawasan tersebut seperti ketersediaannya yang terbatas, topografi yang curam, dan struktur tanah yang rapuh. Dapat dimengerti bila masyarakat Baduy mengimplementasikan aturan-aturan yang ketat dalam kegiatan pertaniannya di mana sistem tsb dibatasi hanya untuk ber-huma dg menggunakan tugal. Masa kekeringan diimplementasikan untuk memberi kesempatan bagi lahan untuk me-recovery setelah satu musim tanam. Seluruh pantangan itu ditekankan agar ekosistem terlindungi dari bahaya kerusakan, pencemaran, dan bencana yang tidak dapat diprediksi.
Di samping hutan, pertanian padi huma juga disakralkan karena mereka percaya adanya dewi-padi Nyi-Pohaci atau Sanghyang Sri yang tinggal di kahyangan tempat di mana padi berasal, tempat mereka akan kembali setelah kematiannya kelak. Untuk menjaga hubungan dengan karuhun-nya, setiap tahun diadakan upacara ritual dengan hasil panen (pare-anyar) sbg persembahan; karena itu ngahuma dipertimbangkan sbg bagian dari kewajiban orang Baduy dan pantang untuk menjual berasnya ke pasar; hanya untuk upacara ritual dan self-consumption. Alasan praktis di balik strategi ini adalah untuk melindungi suku Baduy dari bahaya kelaparan (ketahan pangan). Lebih lanjut masyarakat Baduy percaya bahwa kelangsungan hidup komunitasnya tidak hanya bergantung pada keberlanjutan lahan/tanah dan sumberdaya alam lainnya, tetapi juga dari integritas terhadap budayanya. Untuk menegakkan hukum adatnya terdapat mekanisme pengendalian yang disebut “kawalat” (sin). Orang Baduy percaya bahwa ia akan mengalami hal-hal yang buruk atau malapetaka apabila melanggar pantangan atau larangan, karena dewa telah marah (murka). Mekanisme pengendalian lainnya adalah kontrol sosial berupa eksekusi hukuman (punishment) yang dilakukan oleh kepala kampung (Jaro). Setiap tahun upacara Kawalu dilakukan untuk membersihkan dan menghukum warganya yang telah melakukan pelanggaran.
Pengaturan Land Use Berdasarkan dominasi fungsinya kawasan Baduy terbagi atas: kawasan permukiman (0,48%), kawasan pertanian pangan (50,67%), dan kawasan hutan (48,85%). Namun umumnya suku Baduy mengklasifikasikan land-used ke dalam 5(lima) kategori: huma, jami jeung reuma, kebon, leuweung kolot, dan leuweung titipan. Huma: merupakan pertanian pangan lahan kering (padi huma atau padi gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya). Berdasrkan fungsinya terdapat 3 tipe huma: huma individual, huma serang, dan huma puun. Huma individual adalah huma milik satu keluarga; huma serang dan huma puun milik bersama, yakni huma yang disakralkan yang produksi padinya berfungsi sosial seperti untuk upacara ritual, membantu para manula, orang tak mampu, yatim piatu, dan sebagai lumbung bersama in case terjadi paceklik, kelaparan. 30
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Jami jeung Reuma: Jami adalah huma-tua (lahan kering satu tahun setelah penanaman terakhir) di mana masih tersisa jeramijerami kering. Reuma adalah hutan sekunder yang masih muda, tumbuh 3 – 5 tahun setelah selesai kegiatan huma. Reuma umumnya ditumbuhi tanaman tahunan seperti pohon buahbuahan dan pohon lainnya yang dapat dimanfaatkan; juga ditumbuhi regenerasi alami dari jenis perdu dan semak.
Kebon: lahan yang ditumbuhi secara rapat oleh pohon-pohon yang bermanfaat terutama pohon buah-buahan yang sengaja ditanam (domestic plants) dan yang secara alami berregenerasi. Kebon terletak dekat permukiman. Di Baduy Luar pada keluarga yang memiliki lahan pertanian yang semit, pada kebonnya ditanami juga huma. Leuwung Kolot:
hutan sekunder yang bermur tua di mana
pohon2 besar dan kecil tumbuh bersama secara rapat. Di sini dihasilkan juga hasil hutan non-kayu seperti bahan obat-obatan, madu lebah hutan, dsb. Leuweung Kolot dijumpai secara tersebar misalnya di tepi sungai, di pinggiran Reuma, di kaki bukit, dsb. Leuweung Titipan: Hutan yang telah diakui oleh seluruh anggota masyarakat Baduy sebagai hutan yang disakralkan atau disucikan meliputi seluruh sumberdaya yang ada di dalamnya termasuk tumbuhan, khewan, beserta habitatnya. Hutan ini secara ketat dijaga dan dilindungi. Di dalam hutan ini dilarang melakukan kegiatan2 seperti memungut hasil hutan, berburu, dan menanam tanaman. Kegiatan menanam hanya boleh dilakukan bila permohonan izin diterima oleh Karuhun melalui Puun sebagai mediator/komunikator.
Land Tenure Land tenure Baduy lebih kuat diatur secara tradisional dari pada menurut sistem pemerintah terkait hak atas tanah. Namun antara Baduy-Dalam dan Baduy-Luar terdapat perbedaan. Pengalokasian lahan untuk huma bagi anggota masyarakat Baduy-Dalam dipertimbangkan dan ditetapkan oleh pimpinan komunitas seperti Puun dan Jaro. Lahan ini diberikan kepada suatu keluarga dalam bentuk hak guna selama satu musim tanam; setelah itu dikembalikan kepada penggunaan komunal. Jami, Reuma, dan Leuweung dianggap sebagai pemilikan bersama (communal property) di mana semua anggota masyarakat mempunyai akses yang equal pada area yang bersangkutan. Kepemilikan individual yang tetap/permanen hanya berlaku untuk pohon yang ditanam atau yg dipelihara secara intensif pada area tersebut. Apabila huma secara intensif ditanami tanaman tahunan atau pohon, kemudian area tersebut menjadi kebon, hak menanam (hak guna) menjadi permanen. Lahan untuk perumahan juga bersifat komunal; dengan demikian ketika seseorang merencanakan untuk membangun sebuah rumah, ia harus meminta izin terlebih Pelaporan
dahulu kepada kepala kampung, dan rumah baru selalu berlokasi di pinggir permukiman existing. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa dari dulu hingga sekarang hanya ada tiga kampung. Di kawasan Baduy- Luar lahan sangat terbatas sementara jumlah populasinya besar sehingga Land-Man Ratio-nya lebih keci jika dibandingkan dengan LMR di Baduy-Dalam. Konsekuensinya, lahan di Baduy-Luar telah dilengkapi untuk kegiatan pertanian dan permukiman Kenyataannya hampir semua kawasan huma telah siap menjadi kebon. Karena itu kepemilikan lahan di Baduy-Luar menjadi permanen. Meskipun lahannya tidak dapat dijual ke luar komunitas, tetapi dapat diwariskan kepada anaknya, atau dijual kepada anggota masyarakat Baduy lainnya.
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dengan indigenous environmental knowledge yang turun-temurun mereka dapat mengorganisasikan kekuatan-nya berdasarkan cosmological spiritual dan religinya melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam kegiatan pertanian padi huma misalnya, telah disusun SPMK (standar, prosedur, manual, kriteria). Tabel 2 berikut adalah contoh dari ketentuan yang harus ditaati berdasarkan pengetahuan lokalnya dan kearifannya. Kegiatan
Nama Lokal
Nama Umum
Kapat
April - Mei
• Memilih lahan untuk bertani lahan kering ./ huma (narawas) • Land Clearing untuk huma serang ( nyacar, nukuh)
Kalima
Mei - Juni
Kanem
Juni - Juli
Kapitu
Juli - Agustus
• Upacara ritual bagi Sasakala Domas dipimpin oleh Puun • Membakar ranting-ranting kering di huma serang • Land clearing (nyacar, nukuh) untuk huma puun • Land clearing (nyacar, nukuh) untuk huma individual • Land clearing (nyacar, nukuh) untuk huma individual • Menanam padi huma di huma serang • Membakar cabang- cabang kering di huma puun & huma individual • Menyiang (mencabut) gulma di huma serang • Menanam padi huma di huma puun dan huma individual
Kadalapan
Agustus - September
Kasalapan
September - Oktober
Kasapuluh
Oktober - November
Hapit Lemah Hapit Kayu
November - Desember Desember - Januari
Kasa
Januari - Februari
Karo Katiga
Maret - April
• Menyiang (mencabut) gulma di huma puun dan huma individual • Menjaga padi huma, tidak ada kegiatan pertanian • Menjaga padi huma, tidak ada kegiatan pertanian • Memanen padi huma di huma serang • Upacara panen Kawalu Mitembey • Memanen padi huma di huma puun • Upacara panen Kawalu tengah • Memanen padi huma di huma individual • Memanen padi huma di huma individual • Upacara Kawalu tutug, ngalaksa, dan upacara-upacara Seba
Catatan: Satu bulan berumur 29-30 hari, kecuali pada tahun-tahun tertentu, terdapat bulan yang berumur 31 hari.
Berdasarkan dominasi fungsinya kawasan Baduy terbagi atas: kawasan permukiman (0,48%), kawasan pertanian pangan (50,67%), dan kawasan hutan (48,85%). Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
31
topik lain
DISKUSI 1. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorban-kan hak pemenuhan kebutuhan generasi yad. (WCED). Tiga tujuan pembangunan berkelanjutan: ekonomi: efisiensi; sosial: pemerataan; ekologi: pelestarian lingkungan hidup. Ketiga komponen ini harus setara di dalam suatu sistem yang: simultaneously, saling mendukung, complementary, interdependency, serasi, selaras, dan seimbang. Pada kenyataannya pilar ekonomi masih mendominasi, masih superior. Pilar2 lainnya inferior.. 2. Dari uraian kronologis perkembangan kebijakan pembangunan, dapat disimak bahwa kebijakan pemerintah sejak masa kemerdekaan hingga kini masih berat (heavy) pada pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumberdaya alam dan kurang mempertimbangkan aspek lingkungan/ekologi. Terjadinya perubahan dari otonomi desa ke otonomi kabupaten/kota serta terjadinya tumpang tindih antara desa formal dengan desatradisional/desa-adat, maka nilai2 luhur budaya masyarakat lokal/ tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. 3. Dengan masuknya kekuatan/faktor-faktor penekan yang dapat menggiring ke cara pandang anthropocentrism, maka aturan2 pada hukum adat (adat code) sering lentur dan sering menjadi luntur. Masyarakat lokal, tradisional, adat, tidak lagi merupakan kominitasan yang berada dalam kondisi social vacuum tetapi berubah setiap saat sesuai dengan kekuatan faktor-faktor exogenous yang mempengaruhinya, yang seringkali menimbulkan friksi di dalam anggota masyarakat lokal, tradisional, adat itu sendiri. Makin luas kelonggaran yang diberikan persekutuan hukum kepada perseorangan, maka semakin berkuranglah kekuasaan persekutuan hukum dan kekuasaan hukum atas tanah, air, mineral, hutan, dan sumberdaya alam lainnya menjadi berkurang. Hal ini akan memberi kelonggaran ke arah hak perseorangan sehingga memberikan banyak kesempatan terjadinya proses2 pemindahan hak milik, terutama jual-lepas. Akibat dari proses2 ini wilayah adat semakin sempit, di lain pihak wilayah lain semakin luas. Di samping karena adanya pergeseran dari pemilikan bersama ke pemilikan individual, serta adanya sengketa diantara anggota masyarakatnya sendiri, atau antar kelompok masyarakat hukum adat yang sama2 meng-claim atas tanah dan sumberdaya alam lainnya, terjadi pula pergeseran cara pandang terhadap tanah dan sumberdaya alam lainnya dari yang semula bersifat sakral, cosmologis spiritual, dan religius ke aspek ekonomi, juga dapat memperkuat proses alamiah melemahnya dan/atau menghilangnya hak ulayat. 4. Bila kita kaji lebih dalam, semua unsur/komponen pembentuk indigenous knowledge yang manapun ber-orientasi pada aspek ekologi sehingga dapat dikatakan bahwa indigenous knowledge dibentuk berdasarkan cara pandang ecocentrism, sehingga ia akan tumbuh dan berkembang di dalam habitat budaya ecocentrism
32
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
seperti halnya pada 3 contoh kasus di atas. Yang menjadi kekhawatiran sekarang yaitu terjadinya pergeseran nilai-nilai ideal dari budaya lokal/tradisional/adat itu sendiri. Nilai-nilai ideal harus merupakan intrinsic interest dalam pengertian yang bersifat obyektif dan diukur berdasarkan pertimbangan: kebutuhan (yang dianggap penting), etika atau moral (yang dianggap baik) dan logika atau fakta (yang dianggap benar). 5. Pengetahuan lokal (Indigenous knowledge) tidak akan tumbuh dan berkembang di dalam budaya materialist hedonist anthropocentrism, ia akan menjadi barang tontonan atau komoditas ekonomi. 6. Pengetahuan lokal (Indigenenous knowledge) yang dimiliki masyarakat lokal/tradisional/adat Baduy, Aru, dan Subak dapat dipandang sebagai tools dalam pengelolaan sumberdaya alam (tanah, air, laut, hutan, dan sumberdaya alam lainnya) secara berkelanjutan. Namun sulit dibuktikan dan/atau dijabarkan secara ilmiah karena pengetahuan lokal lebih didasarkan pada mitos, kepercayaan (believe), kemampuan cosmological spiritual, religi, norma, etika lingkungan, sensitifitas dan resposifitas terhadap bahasa alam, serta integritas budaya tradisionalnya. Ketidakilmiahan ini sering dijadikan senjata interst group/pressure group yang berpandangan anthropocentrism untuk mempengaruhi masyarakat lokal/tradisional/adat untuk mengubah cara hidupnya dan pengetahuan lokalnya (Indigenous knowledge-nya).
Pengetahuan lokal (Indigenenous knowledge) yang dimiliki masyarakat lokal/tradisional/adat Baduy, Aru, dan Subak dapat dipandang sebagai tools dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. 7. Masyarakat lokal/tradisional/adat yang memiliki pengetahuan lokal (Indigenous knowledge) seperti pada butir 6, tidak terhitung banyaknya tersebar di seluruh archipelagic wilayah Indonesia dan sampai saat ini tidak tahu bagaimana nasibnya. Pemerintah lebih memperhatikan kawasan-kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi seperti kawasan minapolitan, kawasan agropolitan, kawasan metropolitan, KEKI, KAPET, KADAL, KAKUS, dsb. Mengapa terhadap masyarakat lokal/tradisional/adat tidak diberi kesempatan mengelola sumberdaya alam setempat berdasarkan Indigenous knowledge-nya, mengapa terhadap mereka tidak diberikan ruang untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan di wilayahnya, padahal wilayahnya dimungkinkan untuk ditetapkan sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan ekologi dan lingkungan. Jawabannya sederhana saja, karena ekologi dan lingkungan tidak cantik dan menarik, berbeda dengan proyekproyek pembangunan fisik.
wacana
Membendung Jakarta Solusi atau Sensasi? Oleh: Redaksi Butaru
“Kalau hujan, pasti Jakarta banjir..”
“Kalau hujan, pasti Jakarta banjir..” itulah ungkapan yang selalu terlontar oleh penduduk Jakarta ketika hujan mulai turun di wilayah Jakarta. Sampai kapan banjir akan melanda Jakarta, jika hujan turun??? Bisakah Jakarta bebas dari banjir??? Itu merupakan keinginan dari setiap penduduk Jakarta. Berbagai macam kerugian yang mengancam jika banjir melanda, bahkan nyawa pun terancam melayang. Bahkan pada tahun 1996, 2002, dan 2007 Jakarta lumpuh total, kondisi ini sangat menyedihkan. Penurunan muka tanah (land subsidence) di Ibu Kota terus terjadi dan mencapai 3,98 cm per tahun. Data terbaru 2010 menyebutkan sebanyak 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Data ini keluar berdasarkan hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS). Hal ini menjadikan Jakarta selalu mengalami banjir rob dikala musim penghujan .
Banjir yang terjadi di Jakarta bukan semata- mata merupakan kesalahan pada wilayah Jakarta saja, melainkan daerah sekitarnya.
Banjir yang terjadi di Jakarta bukan semata- mata merupakan kesalahan pada wilayah Jakarta saja, melainkan daerah sekitarnya. Sering kita dengar, jika banjir terjadi penduduk selalu berkata “banjir kiriman dari Bogor datang lagi....” ungkapan penduduk tersebut tidak salah, karena bagian hulu salah satu sungai besar di Jakarta yaitu Sungai Ciliwung yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Peningkatan aktivitas pariwisata di kawasan hulu Sungai Ciliwung tersebut sangat mengganggu daerah resapan bagian hulu sungai dan menyebabkan semakin kecilnya daerah aliran sungai yang menyebabkan derasnya aliran air Sungai Ciliwung yang bermuara di bagian hilir sungai, yaitu bagian utara Jakarta. “ Indonesia berada di garis equator bumi ”, beresiko jadi yang pertama kali mendapat dampak dari pemanasan gobal (global warming). Efek pemanasan global sekarang semakin terlihat, misalnya intensitas curah hujan yang semakin tinggi, perubahan jumlah dan pola presipitasi, suhu global cenderung meningkat serta naiknya permukaan air laut. Berbagai macam upaya penanggulangan pun mulai dipikirkan untuk menghindari isu akan tenggelamnya Jakarta dimasa yang akan dating seperti Banjir Kanal Barat dan Timur yang sampai sekarang dinilai belum berhasil memberi dampak yang signifikan. Upaya yang lain yang juga sempat dilakukan adalah penggunaan teknologi sumur injeksi yang berfungsi mendaur ulang air yang telah difungsikan untuk kembali diserap oleh tanah. Meskipun mampu mengisi ulang air tanah, namun sumur injeksi tidak dapat mengembalikan ketinggian muka tanah. Hal ini menjadi tugas pokok tersendiri bagi pemerintah untuk segera mengatasi permasalahan-permasalahan ini. Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
33
wacana
Tanggapan Pemerintah
“Jakarta tidak akan Tenggelam!” - Fauzi Bowo,
“ Jakarta Tidak akan Tenggelam ! “ begitulah seruan dari Gubernur Jakarta, Fauzi bowo saat ditemui usai melaksanakan salah satu kegiatannya di Balai Kota , Jakarta. “Kondisi lingkungan laut Jawa impact-nya terhadap coastal area 10 tahun ke depan dan seterusnya. Itu menggambarkan land subsidence-nya. Jadi nggak benar tuh kalau ada yang bilang Jakarta mau tenggelam,” ungkap Foke,
Gubernur Jakarta
Menurutnya, penurunan tanah yang terjadi di Jakarta tidak secara menyeluruh. “Kontur tanah kan nggak lempeng begitu, mutermuter, jadi terjadinya fluktuasi, ada di tempat-tempat tertentu,” ujarnya. Fauzi Bowo mencontohkan salah satu lokasi penurunan tanah terparah terjadi di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat. Di tempat itu, terdapat sebuah pabrik bir yang memanfaatkan air tanah dalam sehingga terjadi kerusakan cukup signifikan. Belajar dari kasus tersebut, lanjutnya, dikeluarkan perda terkait penggunaan air tanah. “Opsi jangka panjang adalah menyediakan kuantitas air cukup, bikin penjernihan air Jatiluhur, kemudian itu dimasukkan pipa, kirim ke Jakarta lalu didistribusikan di sini,” ungkap Foke. Selain itu, alternatif yang dilakukan Pemprov DKI apabila penurunan tanah (land subsidence) serta peningkatan permukaan air laut maka di Pantai Utara Jakarta terus terjadi, yakni dengan pembangunan tanggul raksasa. “Akan dilakukan seperti di negeri Belanda, jadi dibuat dengan sistem tanggul raksasa, sistem polder, dan pompa saluran. Dan, itu diperpanjang ke arah laut,” ujarnya.
Jakarta 2050
Saat ini Pemprov DKI tengah bekerja sama dengan pemerintah kota Rotterdam, Belanda, dalam merampungkan konsep tanggul raksasa.
Giant Sea Wall (GSW) Menanggapi issue “Jakarta Tenggelam” , Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Kota Rotterdam mulai menyusun program Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS) yang sebenarnya pernah digagas pada tahun 1995 namun terhenti dikarenakan krisis moneter dan berbenturan dengan ketentuan hukum yang baru. Proyek berbentuk tanggul raksasa (Giant Sea Wall) yang membentang sejauh 50-60 km sepanjang pantai utara Jakarta ini digagas oleh seorang pakar tanggul laut Jakarta yang bernama Sawarendro. Proyek ini adalah bentuk antisipasi dan strategi pemerintah terhadap penanggulangan masalah banjir yang kerap melanda ketika musim penghujan datang serta penurunan muka tanah di Jakarta yang sudah terjadi sejak 1974. MoU Proyek ini sendiri telah ditandatangai Fauzi Bowo pada High Level Meeting JCDS antara Pemda DKI, Kementerian PU dan Pemerintah Kota Rotterdam di Hotel Borobudur, Jakarta.
34
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
Rencana Lokasi GSW Terkait pembuatan tanggul raksasa itu, ada empat pilihan yang akan dijadikan lokasinya. 1. Tanggul laut diintegrasikan dengan reklamasi pantai utara Jakarta. 2. Tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi 3. Tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi kecuali Tanjungpriok 4. Tanggul laut menghubungkan antarpulau di Kepulauan Seribu. Proyek tanggul raksasa ini mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54, Tahun 2008, tentang Tata Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur)
Kerja sama ini juga memiliki kegunaan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat. Biaya yang Luar Biasa Proyek tanggul raksasa di Teluk Jakarta akan membutuhkan biaya hingga ratusan triliun rupiah. Dana yang tidak sedikit ini dianggap sebanding, demi mencegah Jakarta tenggelam. Menurut peneliti bernama Heri Andreas dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dimana ITB merupakan salah satu anggota konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), sumber dana akan diperoleh melalui pendekatan proyek kerja sama antara pemerintah dan badan usaha swasta. Kerja sama ini akan dijalin melalui penyediaan infrastruktur dengan menggunakan perjanjian kerja sama (PKS) atau izin pengusahaan yang ditetapkan melalui pelelangan umum. Swasta akan dilibatkan juga dalam penyediaan infrastruktur yang tujuannya meliputi penyediaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan infrastruktur serta pengelolaan. Dalam konsepnya, kerja sama ini juga memiliki kegunaan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat. Dalam melaksanakan pendekatan proyek kerja sama dengan badan usaha swasta ini, ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Di antaranya adalah setiap proyek harus disertai dengan pra studi kelayakan, rencana bentuk kerja sama, rencana pembiayaan proyek, dan sumber dananya. Selain itu, dilengkapi juga dengan rencana penawaran kerja sama yang mencakup jadwal, proses dan cara penilaian. Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
35
wacana
Giant Sea Wall VS PENATAAN RUANG Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, membantah rencana pembangunan tanggul laut tidak diperhitungkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta periode 2010-2030 sehingga mengacaukan tata ruang ibu kota. Ia mengakui memang dalam masterplan 2010-2030, tidak disebutkan secara eksplisit bangunan apa saja yang akan dibangun Dalam rancangan RTRW ada statemen khusus mengenai penanganan rob, karena itu ia membantah Pemerintah Provinsi tidak konsisten. Kebutuhan penanganan rob sudah ada dari dulu dan baru di formulasikan oleh Pemda DKI Jakarta sekarang ini. Menurut Fauzi, selain tanggul laut, ada opsi lain dalam menangani rob untuk jangka panjang, yaitu membebaskan tanah seluas 50 kilometer persegi di darat untuk membangun waduk yang dilengkapi dengan pompa berkapasitas terbesar. Menurut Bapak Fauzi Bowo, Membebaskan tanah 50 kilometer persegi on land (di darat) kan tidak mungkin, jadi opsinya mendorong tanggul ke laut.
Perhitungan yang tidak hati-hati bisa menyebabkan ketimpangan dalam aspek-aspek lain dalam tata ruangnya. Selain itu juga besarnya volume air yang akan tertahan berkemungkinan menimbulkan tsunami kecil jika terjadi kebocoran.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan masih banyak yang mengambang dalam Raperda RTRW, salah satunya adalah pembangunan dam raksasa di Teluk raksasa yang tidak termuat dalam peraturan ini. Hal ini dituding menyebabkan kacaunya tata ruang Jakarta.
Pulau - pulau Baru Proyek yang akan memakan biaya sekitar ratusan triliun rupiah ini juga akan menciptakan enam pulau baru di laut Jawa. Pulau itu akan difungsikan sebagai bendungan penahan gelombang air laut yang menyebabkan abrasi atau pengikisan pantai, dengan menggunakan sistem polder. Pulau buatan pertama akan dibuat menjadi pelabuhan untuk mendukung Pelabuhan Tanjung Priok. Pulau buatan lainnya akan dibangun pergudangan, terminal peti kemas, hotel, pusat perniagaan modern, permukiman, dan apartemen.
Penutup Rencana pembuatan mega bendungan ini merupakan salah satu program infrastruktur di Jakarta yang diharapkan akan berjalan dengan baik ke depannya. Program kerja sama Indonesia-Belanda ini ditargetkan akan selesai dalam 2 tahun ini dan diharapkan akan efektif selama puluhan tahun kedepan. Namun dibalik itu semua, rencana pembuatan mega bendungan ini sekarang sudah mulai menuai protes karena ditakutkan akan mengganggu tata ruang kota Jakarta. Perhitungan yang tidak hati-hati bisa menyebabkan ketimpangan dalam aspek-aspek lain dalam tata ruangnya. Selain itu juga besarnya volume air yang akan tertahan berkemungkinan menimbulkan tsunami kecil jika terjadi kebocoran. Bukan hal yang mustahil tragedi sejenis situ gintung akan kembali terulang. Maka dari itu diharapkan bagi perencana, serta para stakeholders agar mengkaji setiap aspek permasalahan yang akan timbul serta menyiapkan solusi berkelanjutannya. Apakah program ini akan berjalan lancar? Mampukah menahan Banjir yang terus menerus terjadi di Jakarta? ,mengingat anggaran yang dikeluarkan adalah sangat besar, maka semua pihak didalamnya harus melakukan perannya dengan serius. (mr/hk)
36
buletin tata ruang | Januari - Februari 2011
agenda
Agenda Kerja
BKPRN
JANUARI – FEBRUARI 2011
Sidang Pleno BKPRN yang dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 2011, dengan hasil sidang sebagai berikut : •
• • • •
Melakukan Review Raperpres RTR Pulau dan RTR KSN, dan sinkronisasi dengan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang sudah ada. Melakukan Sinkronisasi dengan program pengembangan koridor ekonomi. Terkait dengan UUPR, terutama untuk istilah pemutihan, ditetapkan tidak boleh ada yang diputihkan bagi yang tidak memiliki izin. Jembatan Selat Sunda, yang tidak hanya merupakan jembatan tapi juga terkait dengan kawasan di Lampung dan Banten yang sudah ditetapkan di dalam RTRWP; Daerah yang sudah dilepaskan jangan lagi ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Beberapa pertemuan informal di tingkat eselon II BKPRN telah dilaksanakan untuk menindaklanjuti hasil Sidang Pleno BKPRN (25 Januari 2011), beberapa hal yang perlu disepakati adalah : • •
Kesepakatan atas tanggapan Sidang Pleno BKPRN 25 Januari 2011; Kesepakatan waktu penandatanganan 9 (sembilan) Raperpres RTR Pulau dan RTR KSN oleh Menteri Anggota BKPRN dan penyampaian kepada Sekretariat Kabinet
Dalam rangka penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional BKPRN (Rakernas BKPRN 2011) telah dilaksanakan serangkaian pembahasan terkait dengan persiapan Rakernas BKPRN yang difasilitasi oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah-Kementerian Dalam Negeri, adapun beberapa hal yang telah dihasilkan pada pertemuan-pertemuan tersebut adalah : • • •
Rakernas BKPRN direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 5 s/d 7 Juli 2011, bertempat di Manado – Sulawesi Utara; Peserta Rakernas Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (Rakernas BKPRN) akan diikuti sebanyak + 400 peserta dari Pusat dan Daerah; Usulan Tema Rakernas BKPRN 2011 adalah: • Alternatif pertama : “Mewujudkan Rencana Tata Ruang yang mengarusutamakan Lingkungan dan Berbasis Keunggulan Strategis Wilayah melalui Penguatan Kelembagaan Penataan Ruang” • Alternatif kedua : “Penguatan Kelembagaan Penataan Ruang untuk Mewujudkan Rencana Tata Ruang yang mengarusutamakan Lingkungan dan Berbasis Keunggulan Strategis Wilayah” • Pembagian tugas antara instansi anggota BKPRN dan penyusunan kerangka acuan kerja.
Januari - Februari 2011 | buletin tata ruang
37
“I believe we will have better government when men and women discuss public issues together and make their decisions on the basis of their differing areas of concern for the welfare of their families and their world.“ Eleanor Roosevelt : 1952)
38
buletin buletin tata tata ruang ruang || Januari Januari -- Februari Februari 2011 2011