KELEMBAGAAN INFORMAL DALAM PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Hadian Ananta Wardhana, CES1 Kasubdit Informasi dan Bina Masyarakat, Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Selama 15 tahun, peran serta masyarakat dalam ajang penataan ruang terformat dalam bentuk partisipasi yang relatif pasif. Dengan ditetapkannya Undang-Undang 26 Tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang yang menggantikan undang-undang yang ditetapkan tahun 1992, paradigma ini telah berubah. Dalam UU 26/2007, peluang masyarakat untuk berkiprah dalam penataan ruang telah terbuka lebar, tidak hanya terbatas “ikut berpartisipasi”, melainkan lebih mengarah ke “peran aktif” pada setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang, mulai dari pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Namun sayang, sudah setahun UU 26/2007 ini diberlakukan, kiprah dan gaungnya masih belum nyata. Hal ini wajar, karena penataan ruang masih belum dikenal dan dipahami oleh kebanyakan masyarakat secara utuh. Karena itu, sosialisasi dan apresiasi UU 26/2007 tidak boleh berhenti dan harus terus dilakukan secara kontinyu, serta tidak hanya terbatas kepada aparat pemerintah yang mengemban kewenangan untuk menata ruang, namun juga kepada masyarakat luas, paling tidak sosialisasi dan apresiasi tentang ketentuan mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang. Melalui sosialisasi dan apresiasi, diharapkan masyarakat dapat lebih mengenal dan memahami hak dan kewajibannya dalam penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pengenalan dan peningkatan pemahaman publik atas penataan ruang adalah suatu proses panjang yang diharapkan dapat mendorong terbentuknya “sikap peduli” pada mulanya, hingga “peran aktif” yang melembaga sampai pada unit masyarakat terkecil. Keseimbangan Antara Hak dan Kewajiban Pemerintah telah menetapkan enam hak setiap orang dalam penataan ruang disamping empat kewajiban dalam pemanfaatan ruang. Hak dan kewajiban masyarakat perlu diwujudkan secara seimbang. Masyarakat tidak selayaknya selalu menuntut haknya tanpa diimbangi dengan penunaian kewajibannya. Demikian juga sebaliknya, pemerintah kurang bijak bila selalu menuntut masyarakat untuk menunaikan kewajibannya tanpa memberi kemudahan agar masyarakat dapat memperoleh haknya. Keduanya harus seimbang. Dalam pemanfaatan ruang, masyarakat mempunyai kewajiban untuk menaati rencana tata ruang (RTR) yang telah ditetapkan (di-Perda-kan). Namun, bagaimana bisa masyarakat menunaikan kewajibannya tersebut bila masyarakat tidak mengetahui RTR yang harus ditaatinya tersebut. Karenanya, masyarakat perlu diberi akses terhadap RTR, dan idealnya masyarakat juga diberi peluang agar terlibat secara aktif (ikut berperan) dalam proses penyusunan RTR. Masyarakat yang sadar tata ruang dan kemudian memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfataan ruang (IPR) yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, serta mematuhi segala ketentuan dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam IPR tersebut, maka yang bersangkutan semestinya diberikan haknya untuk menikmati pertambahan nilai ruang dan memperoleh penggantian yang layak atas aktivitas pembangunan yang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam RTR. Demikian halnya, bila masyarakat yang sadar dan peduli terhadap tata ruang disekitarnya, menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap RTR, lantas mengkonfirmasi temuannya tersebut dan terbukti terjadi ketidak-sesuaian pemanfaatan ruang dengan RTR, maka wajar bila masyarakat menuntut pembatalan izin dan penghentian pembangunan, serta melakukan gugatan ganti kerugian atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR, termasuk bila ada masyakarat yang tidak memenuhi kewajiban untuk memberi akses terhadap ruang publik (public space). Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk memberikan akses seluas-luasnya agar masyarakat dapat memperoleh haknya. Pertanyaannya adalah bisakah perilaku ini melembaga, dan kapan?
1
Perkembangan Kelembagaan di Masyarakat Kelembagaan di masyarakat ada yang memang sengaja dibentuk oleh pemerintah, namun ada juga yang dibentuk atas inisiatif sekelompok masyarakat yang kemudian ditetapkan dengan status hukum. Kelembagaan semacam ini dikategorikan sebaga lembaga formal. Sebut saja lembaga formal di masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah yang merepresentasikan suatu kelompok masyarakat, seperti Kelompok Dasa Wisma dan Rukun Tetangga (RT) sebagai unit terkecil, kemudian Rukun Warga (RW), atau lembaga formal setara lainnya yang pembentukannya didasari oleh hukum adat. Lembaga ini dibentuk untuk tujuan memberikan pelayanan administratif pemerintahan, dan mendukung program-program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah setempat. Peran lembaga ini dalam penyelenggaraan penataan ruang sangat bergantung pada seberapa besar anggota masyarakat mengenal dan memahami tata ruang. Kiprah lembaga ini dalam mewujudkan cita-cita penyelenggaraan penataan ruang masih terkendala oleh tingkat pemahaman masyarakat umum mengenai tata ruang yang relatif belum memadai, sehingga gerak-langkah lembaga formal ini masih belum seperti yang diharapkan dalam UU 26/2007. Umumnya, RT dan RW dalam aktualisasi keseharian masih jauh dari upaya perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kemudian, sekelompok masyarakat yang digerakkan oleh aktor-aktor yang peduli dan memang “memahami” tata ruang, mulai tumbuh bak jamur sejak tahun 2002, terutama di masyarakat perkotaan yang mulai merasakan dampak buruk dari kesemrawutan tata ruang di sekitarnya. Banjir di Jakarta misalnya, telah memikat semua pihak, termasuk Ditjen Penataan Ruang sebagai aktor penentu kebijakan tata ruang. Awalnya, kelompok masyarakat ini dibentuk oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Departemen Pekerjaan Umum sekarang) sebagai respon atas terjadinya berbagai bencana yang diakibatkan pelanggaran pemanfaatan ruang pada tahun 2002 yang merepresentasikan masyarakat Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang terkait dengan persoalan banjir di lokasi-lokasi itu. Forum PETAGOR (Peduli Tata Ruang Bogor) terbentuk pada tanggal 3 November 2002 sebagai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bersifat ‘nirlaba’ dan tidak terikat dengan kepentingan suatu golongan atau aliran politik tertentu. Forum ini juga merangkul tokoh masyarakat, pengusaha, aktifis penataan ruang dan unsur pemerintah daerah, dengan maksud mendorong peran serta masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/ pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Kemudian di Depok, Forum Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup menyatakan diri sebagai Forum Petarung (Peduli Tata Ruang) Kota Depok pada tanggal 2 November 2004 yang keanggotaannya tidak mewakili lembaga, tetapi bersifat individu. Keanggotan forum ini berasal dari berbagai unsur yaitu perwakilan masingmasing meliputi Dinas Tata Kota, Tim 10 Pancoran Mas, Legislatif, Yayasan Depok Hijau, pengusaha, Dewan Masjid Indonesia dan Forum Silaturahmi Muslimah (Fosmu). Selain itu, juga ada Forum Komunikasi Pokmas Bekasi dan Forum Lintas Pelaku Tangerang, serta Forum RW di Bandung. Lalu, pada tahun 2005 kelompok-kelompok masyarakat di keempat wilayah tersebut dengan difasilitasi Ditjen Penataan Ruang dalam suatu rangkaian kegiatan pembinaan, mencanangkan Gerakan Peningkatan Kepedulian Publik dalam Penataan Ruang, dengan harapan dapat lebih memantapkan kelembagaan forum kelompok masyarakat peduli tata ruang tersebut. Forum-forum ini merupakan perwujudan lembaga informal yang terbentuk dan tumbuh di masyarakat perkotaan sebagai wadah mencurahkan peran-sertanya dalam penyelenggaraan penataan ruang. Sayangnya, forum ini tidak dapat bergerak secara mandiri sehingga ketergantungan pada pemerintah masih sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan, kini forum-forum ini boleh dikata telah mati suri. Fakta ini adalah tonggak sejarah, dimana lembaga informal yang difasilitasi oleh pemerintah tidak mampu tumbuh dan berkembang dengan selayaknya, meskipun forum-forum ini telah memperlihatkan peran nyata dalam era bencana banjir Jakarta yang lalu. Kelembagaan informal di masyarakat relatif mudah tumbuh, namun jarang yang sampai pada kemandirian. Menginisiasi kelembagaan informal di masyarakat umumnya menghadapi kendala pada aspek legalisasi. Komitmen yang tinggi dari anggota terhadap bidang-bidang yang akan ditangani masih belum cukup untuk mencapai tahap pengakuan atas eksistensinya, bila kelembagaan informal ini tidak menjadi lembaga formal (legal). Pengakuan atas suatu lembaga adalah awal dari perkembangaan kelembagaan menuju jenjang selanjutnya, yakni tingkat dimana lembaga tersebut mulai diterima oleh berbagai pihak, kemudian tingkat dimana lembaga tersebut mulai berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, hingga pada tingkat kemandirian (lembaga swadaya).
2
Kampoeng Bogor, lembaga informal? Berawal dari ketidaknyamanan akan kondisi perkembangan Kota Bogor saat ini, seperti menurunnya kualitas hubungan sosial masyarakat, berjuta angkot yang memenuhi setiap ruas jalan, kebijakan publik yang dirasakan kurang berpihak pada masyarakat, kondisi tata ruang yang buruk, dan daya dukung lingkungan yang semakin terkikis dengan kehadiran mall ataupun bangunan-bangunan lainnya yang dirasakan oleh hampir setiap orang yang tinggal dan beraktifitas di kota ini, P4W-IPB sebagai sebuah pusat kajian wilayah yang berdomisili di Bogor dan komunitas Peduli Kampoeng Halaman [KALAM] di wilayah Tegal Gundil saling berinteraksi mengungkapkan kegelisahannya akan perkembangan Kota Bogor. Akhirnya terbentuk harapan dan mimpi bersama untuk bersama-sama mengupayakan ruang kehidupan yang lebih baik.
!" " #
$
%
& '
'
"
' ' (
' ' (
' " # ( %
'
Kemudian, lahir sebuah identitas “KAMPOENG BOGOR” sebagai upaya awal mengobati kegelisahan sekaligus menjadi media perwujudan harapan dan mimpi bersama pada 24 Februari 2007. Sebagai awal gerakan independent, Kampoeng Bogor terbuka bagi siapapun yang mempunyai harapan, mimpi, dan visi yang sama, yakni Bogor yang lebih indah, nyaman, dan aman dalam sebuah ikatan masyarakat yang saling berbagi dan saling melindungi. Meskipun baru seumur jagung, berbagai aktivitas telah dilakukan oleh komunitas yang berlogokan pohon unik berwarna hijau ini. Sekurangnya ada tiga kegiatan utama, yakni (1) menggali fakta perubahan kota dari masa ke masa menggunakan pendekatan kesejarahan, budaya dan tata ruang, (2) membangun kesadaran kritis masyarakat untuk bersama-sama menjaga, melindungi dan mengolah semua potensi yang dimiliki demi terwujudnya kota yang lebih baik melalui media kampanye dan event; dan (3) membangun pusat informasi sebagai alat penyebarluasan informasi perubahan kota. Ketiga kegiatan ini boleh dikata kental dengan nuansa tata ruang.
Kiprah Kampoeng Bogor dalam bentuk kampanye publik yang telah dilakukan, sudah mulai mendapatkan pengakuan publik atas eksistensi lembaga informal ini dan bahkan berhasil menggaet beberapa anggota DPRD untuk bersama-sama mewujudkan kondisi kota yang lebih baik. Berbagai event yang telah dilaksanakan dalam kampanye publik adalah audiensi Kampoeng Bogor, roadshow to public space, seminar Warisan Bogor “antara amat peduli dan peduli amat”, pameran hari jadi Bogor, peringatan hari bumi, pameran kebun raya bogor, perayaan tahunan Kampoeng Rakjat, napak tilas data, sahur on the road, dan ikut serta menyelenggarakan Cap Go Meh. Jelas suatu prestasi yang luar biasa bagi lembaga informal dalam penyelenggaraan penataan ruang di wilayah Bogor. "
Pernyataan indah gerakan Kampoeng Bogor : “Kami tidak berharap Bogor dapat berubah layaknya Bogor masa lampau, kami hanya ingin, setiap entitas di Bogor turut serta peduli dan tetap menjaga apa yang masih tersisa dari kota yang pernah dijuluki surga, Bogor”, sungguh patut dicermati. Penyelenggaraan national workshop Botanical Garden For Society (bekerjasama dengan lembaga lainnya) yang dilakukan Kampoeng Bogor dalam rangka menggalang dukungan untuk program KRB 100 (suatu gerakan kepedulian publik untuk menyelamatkan eksistensi Kebun
3
Raya Bogor 100 tahun kedepan dan gagasan untuk mengusulkan Kebun Raya Bogor sebagai world heritage) adalah bukti nyata peran lembaga informal ini dalam penyelenggaraan penataan ruang. Tata Ruang Layak Anak, suatu gagasan brilliant Tidak lengkap rasanya bila mengenali Kampoeng Bogor tanpa menengok aksi kongkrit yang telah dilakukan, yakni memotret tata ruang di RW 12 Kelurahan Bantarjati, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Gagasan mencetuskan Tata Ruang Layak Anak sebagai suatu konsep boleh dikata merupakan ide brilliant. Betapa tidak, konsep ini membawa kaidah penataan ruang pada tataran implementasi pada skala mikro. Tata Ruang Layak Anak (TRLA) didefinisikan sebagai “Wujud dari struktur ruang (meliputi sistem jaringan prasarana dan sarana) dan pola ruang (meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budi daya) yang mendukung pemenuhan keempat hak dasar anak yang dihasilkan melalui penyelenggaraan penataan ruang yang memperhatikan anak sebagai satu komponen sumber daya.” Pemotretan kondisi tata ruang ini didasari dengan indikator-indikator kuantitatif dan kualitatif. Indikator kuantitatif yang dimaksud adalah (i) sepanjang daerah sempadan sungai tertanami tanaman keras, dan (ii) paling sedikit 20% luas wilayah disediakan bagi ruang terbuka hijau publik. Sedangkan indikator kualitatif meliputi (i) adanya lahan yang diperuntukkan sebagai ruang bermain, berolahraga, dan pusat anak berkegiatan yang didukung oleh sarana dan prasarana yang mencukupi , (ii) adanya sarana dan prasarana pendidikan, keagamaan, kesehatan ibu dan anak, air bersih dan sanitasi yang bisa diakses anak secara setara, (iii) dikelolanya limbah rumah tangga dan industri melalui sarana prasarana yang memadai, dan (iv) adanya sarana dan prasarana transportasi yang aman bagi anak-anak. Indikator-indikator tersebut digunakan sebagai rujukan untuk menilai layak atau tidaknya tata ruang suatu wilayah bagi anak-anak. Pemilihan RW 12 Kelurahan Bantarjati sebagai obyek pengamatan, selain Kampoeng Bogor berencana mangkal di wilayah ini, juga didasari dua pertimbangan, yaitu (i) RW ini dilalui Sungai Ciliwung, yang punya nilai strategis dalam konstelasi wilayah metropolitan Jabodetabek, (ii) RW ini terletak di tengah kota dan merupakan salah satu titik hijau (green spot) bagi Kota Bogor. Luas wilayah RW 12 sebesar 82.844 m2, dengan penggunaan lahan eksisting berupa permukiman (15.815 m2), lahan pertanian (25.496 m2), lahan tidur atau kosong (31.101 m2), dan sisanya merupakan sarana dan prasarana umum, serta perkantoran. Wilayah ini diapit oleh dua sungai, yaitu Sungai Ciliwung di sebelah barat, dan Sungai Cibagolo (anak sungai Ciliwung) di sebelah timur, berpenduduk 1.075 jiwa (laki-laki 554 jiwa dan perempuan 521 jiwa), dan 100 dari 269 KK tercatat sebagai penerima raskin (beras miskin), serta dengan jumlah anak sebanyak 380 anak (35,4% dari jumlah penduduk). Ruang Terbuka Hijau. Sungai Ciliwung melewati wilayah ini sepanjang 470,2 meter dengan luas sempadan2 4.702 m2 yang telah tertanami tanaman keras dengan lebar antara 2,33 – 20,38 meter. Selain di sepanjang sungai, tanaman keras seperti kopi, bambu, kedondong, dan sengon juga dijumpai pada lahan tidur yang berstatus milik pribadi, yang selanjutnya dikategorikan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) privat seluas 38% dari total luas wilayah. Meskipun privat, masyarakat setempat masih dapat mengakses RTH tsb, diantaranya dipergunakan sebagai lapangan olahraga voli atau futsal yang pengguna utamanya adalah anak-anak. Sayangnya, tidak semua 2
! ! %
! (
% !
( &
!
% &
&
'
! !
!
& )
" # (! ! ( % *
$ ' !
" # % ! 4
anak dapat mengakses tempat bermain ini, sehingga sebagian anak masih ada yang menggunakan jalan gang dan daerah sempadan Sungai Cibagolo untuk tempat bermainnya. Selain RTH privat, tidak dijumpai adanya RTH publik seperti misalnya taman, kecuali jalur hijau sepanjang sungai dan taman pemakaman umum (TPU). Sarana pendidikan. Terdapat satu buah Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Quran (menampung 25 siswa) dan satu buah SD Islam Terpadu setingkat SD (menampung 83 siswa). Daya tampung memang terbatas bila dikaitkan dengan jumlah anak usia SD di RW 12 yang mencapai 101 anak. Tetapi masyarakat masih dapat mengakses SD di luar wilayah sehingga tidak ada warga yang tidak pernah bersekolah. Selain ruang terbuka hijau dan sarana pendidikan, akses terhadap prasarana kesehatan (puskesmas), aktivitas posyandu, akses kebutuhan air bersih, dan pengelolaan sampah, juga tidak luput dipotret dan dikaji. Hasil pemotretan tata ruang yang dilakukan berujung pada suatu kesimpulan bahwa tata ruang RW 12 masih belum layak anak. Kesimpulan ini didasari beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. Ruang terbuka hijau (RTH) yang ada masih berupa RTH privat, bukan publik, sehingga ketersediaannya tidak terjamin. Suatu waktu lahan yang saat ini dimanfaatkan sebagai RTH bisa berubah fungsi, tidak seterusnya menjadi ruang terbuka hijau. 2. Seyogyanya tersedia sedikitnya 20% dari luas wilayah berupa RTH publik yang dapat diakses oleh anak-anak, diantaranya dapat digunakan sebagai tempat bermain, sedangkan RTH yang ada di RW 12 saat ini hanya berupa jalur hijau sepanjang sungai dan TPU. 3. Keterbatasan ruang untuk tempat bermain anak-anak, terbukti dari masih banyak anak-anak yang bermain di jalan dan gang yang semestinya bukan tempat bermain, bahkan telah terjadi beberapa kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban anak-anak yang sedang bermain. Hanya ada dua ruang yang dapat dipergunakan sebagai fasilitas olahraga atau tempat bermain, yaitu di RTH privat (lahan kosong milik pribadi) dan di lingkungan sekolah yang aksesnya terbatas. 4. Aksesibilitas sangat terbatas karena jalan utama hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, dan banyak persimpangan berupa gang-gang sempit menuju rumah-rumah warga, yang sekaligus juga sering dipergunakan sebagai tempat bermain anak-anak. Keamanan pada jalan ini sangat terbatas, apalagi motor yang berlalu lalang seringkali tidak memperhitungkan keselamatan anak-anak, sehingga sering terjadi kecelakaan,. 5. Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini (PAUD), dimana yang tersedia hanya untuk kapasitas 20 anak saja, bila dibandingkan dengan jumlah anak usia dini yang lebih dari 40 anak. Prasarana yang ada pun masih menumpang di salah satu rumah warga. Penutup Fakta yang dipaparkan dalam tulisan ini, menjadi catatan yang menarik bila bicara tentang kelembagaan informal yang diharapkan dapat berperan dalam mendukung penyelenggaraan penataan ruang. Karena bersifat informal, kiprah lembaga menjadi terbatas pada tataran yang bukan penentu, lebih bersifat situasional, dan bisa jadi tidak konsisten. Ke depan, perlu kiranya dipertimbangkan kontribusi lembaga informal yang berkembang di masyarakat yang secara positif mendukung penyelenggaraan penataan ruang dapat secara bertahap diformalkan, kemudian diatur mekanismenya secara jelas agar peran yang telah diperlihatkan dapat lebih langgeng dan melembaga. Di Bogor ada “Kampoeng Bogor”, mungkin di kota lain juga ada “kampoeng-kampoeng” lainnya. Legalisasi lembaga informal bukan berarti merubah “Kampoeng Bogor” menjadi lembaga formal, melainkan menginisiasi suatu mekanisme yang mampu menampung “kiprah” lembaga informal menjadi suatu “kinerja” yang diakui secara formal. Pengakuan ini akan menjadi motor penggerak tumbuh-kembangnya lembaga informal untuk berlomba menciptakan “kinerja” tata ruang di wilayah sekitarnya. Ini adalah awal penguatan modal sosial (social capital) di bidang penataan ruang.
5