Pengarusutamaan Gender dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Pengembangan Infrastruktur dan Permukiman Sebagaimana diketahui, Pengarusutamaan gender
(PUG) telah menjadi komitmen
Kementerian
dan
lembaga
pemerintah
lainnya sejak Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Pembangunan
Gender Nasional
dalam dikeluarkan.
Pengertian Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah
strategi
yang
mengintegrasikan dimensi
dibangun
gender
integral
untuk
menjadi
dari
satu
perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaliasi
atas
kebijakan
dan
program
pembangunan nasional. Strategi tersebut dapat dilaksanakan melalui sebuah proses yang memasukkan analisa gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi,
kebutuhan
dan
kepentingan
perempuan dan laki-laki kedalam proses pembangunan. Dalam upaya pencapaian pembangunan yang tepat sasaran dan pencapaian tujuan MDGs, konsep setara dan adil gender harus benar-benar menjadi pegangan dalam setiap tahapan kegiatan di Kementerian-kementerian terutama terkait Pembangunan. seimbang
relasi
Dimana antara
setara
berarti
laki-laki
dan
perempuan (dan orang lanjut usia, anakanak di bawah umur, orang-orang dengan kebisaan berbeda/difable, serta orangorang yang
tidak
mampu
secara
ekonomi).
Sementara adil dapat diartikan sebagai tidak adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan lain-lain.
Butaru : Menurut Ibu, apa yang mendasari pentingnya perspektif gender menjadi salah satu pendekatan dalam perencanan dan pembangunan di Indonesia? Yaah, pertama isu gender ini sudah mendunia, dan sudah banyak konvensi-konvensi internasional yang merespon tentang ketimpangan gender. Sudah banyak yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dan konvensi-konvensi internasional, dan hal tersebut juga dirasakan oleh pemerintah Indonesia. Ketimpangan gender ini ternyata dirasakan oleh pemerintah Indonesia, karena dengan demikian pemerintah Indonesia terus meratifikasi konvensi hukum internasional tentang diskriminasi yang di kenal dengan konvensi CEDAW yang sejalan dengan UU no.7/1984 tentang penghapusanKedua, dengan meratifikasi kebijakan global itu otomatis pemerintah Indonesia mengikatkan diri untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kemajuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan sebagai tindaklanjutnya antara lain dikeluarkannya Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Kemudian juga dibuat peraturan-peraturan pemerintah lainnya misalnya yang diprakarsai oleh Kementrian Keuangan, dan lain-lain, sampai kepada inpresnya, yang intinya mengarahkan kita untuk melakukan perspektif gender di dalam proses pembangunan. Jadi sudah menjadi kewajiban seluruh kementerian dan lembaga, yaah termasuk PU, untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan program pembangunannya, bila kita ingin menjadi bangsa yang lebih maju dan dapat berkiprah di dunia internasional. Negara lain sudah melakukan hal ini. Jadi kalau kita tidak menyesuaikan diri maka kita tidak akan maju. Butaru : Ketika pertama kali Ibu mengemukakan pengarusutamaan gender, apa sebenarnya yang menjadi visi dan misi Ibu? Ketika mendapat tugas dari Pak Menteri PU sebagai ketua Tim PUGPU, untuk memfasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender dilingkungan PU, saya mempunyai beban untuk melaksanakannya; karena saya harus bekerja bersama tim ini, bagaimana kami dapat memberikan fasilitasi dalam mewujudkan penyelenggaraan infrastruktur ke-PU-an yang responsive gender itu. Jadi visi kami adalah bagaimana dengan fasilitasi ini dapat terwujud penyelenggaraan infrastruktur PU dan permukiman yang responsive gender. Kalau misinya sendiri tentunya paling tidak ini ada 2 (dua); pertama, bagaimana meningkatkan pengintegrasian perspektif gender ini ke dalam internal budaya kerja di lingkungan PU, dengan kata lain supaya perspektif gender ini membudaya. Yang kedua meningkatkan integrasi perspektif gender ini ke seluruh proses penyelenggaraan pembangunan infrastruktur PU dan permukiman sehingga menghasilkan infrastruktur PU dan permukiman yang responsive gender. Jadi intinya ada 2, yang pertama, di internal PU sendiri, yang kedua, kita yang punya tugas menyelenggarakan infrastruktur PU untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dalam setiap prosesnya sudah mengintegrasikan responsif gendernya. Butaru : Menurut Ibu, bagaimana konsep gender dan pengarusutamaan gender bagi lembaga pemerintah dan non pemerintah? Kalau konsep gender dan konsep pengarusutamaan gendernya sendiri sih untuk pemerintah dan non pemerintah sama, seharusnya sama. Hanya kalau untuk kementerian dan lembaga pemerintah itu kita punya Inpres, diatur oleh Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Jadi khususnya untuk pemerintah itu memang sudah diperintahkan. Tapi konsepnya sendiri sama saja, bahwa konsep gender itu sendiri intinya adalah perbedaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan akibat ada hubungan sosial di masyarakat. Jadi tolong dipahami, bukan karena aspek biologisnya yah, tapi karena ada relasi sosial yang menyebabkan lakilaki dan perempuan itu punya peran dan tanggungjawab yang berbeda.” Dan ingat yah, bahwa konsep gender ini bukan semata-mata antara laki-laki
Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. dengan perempuan saja, tetapi juga laki-laki dan perempuan menyangkut anak-anak di bawah umur, kemudian orang-orang lanjut usia atau kelompok orang-orang yang mempunyai kebiasaan yang berbeda yang difabel dan juga orang-orang yang mempunyai tingkat ekonomi yang kurang mampu.. Jadi gender ini banyak sekali, tidak hanya laki-laki dan perempuan, tapi juga laki-laki dan perempuan apa, yang bagaimana. Ternyata masuk dalam setiap strata (kelompok-kelompok) Butaru : Sebenarnya konsep dari pengarusutamaan gender sendiri itu apa sih, Bu? Pengarusutamaan gender konsepnya adalah strategi untuk memastikan bahwa apakah laki-laki dan perempuan ini diperlakukan secara adil dan setara di dalam memperoleh kesempatan atau akses dalam ikut berpartisipasi, dalam ikut mengawasi/mengontrol pembangunan atau di dalam menerima atau merasakan manfaat daripada pembangunan itu sendiri. Jadi kata kuncinya adalah setara dan adil, baik bagi laki-laki atau perempuan.” Butaru : Nampaknya tidak mudah ya Bu, untuk memahami pengarusutamaan gender itu adalah kesetaraan dan keadilan, ini gimana Bu? Betul sekali, adik-adik, karena yang sudahtertanam dalam mind-set masyarakat itu adalah pemberdayaan perempuan. Lihat saja, label kementriannyapun, kementerian pemberdayaan perempuan, padahal kita tidak bicara hanya perempuan; kalau bicara gender ya laki-laki dan perempuan yang adil dan setara. Seolah-olah kalau kita bicara pemberdayaan perempuan, perempuan ini selalu di bawah, selalu kurang diberdayakan, selalu tidak berdaya selalu diperdaya. Padahal sebetulnya engga, bukan itu. Konsepnya sebetulnya kesetaraan laki-laki dan perempuan yang notabene barangkali isu gender di Indonesia ini memang perempuan yang kurang selalu mendapat akomodasi yang lebih baik daripada laki-laki, barangkali itu masalahnya. Tapi konsepnya sendiri setara dan adil. Butaru : Bu Cici, dalam implementasi Inpres No. 9/2000 pengarusutamaan gender, apa saja yang telah dilakukan oleh pemer intah sejauh ini ?
Dalam melaksanakan PUG dimanapun, di kementerian dan lembaga itu memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, ada beberapa indikator yang menjadi prasyarat sehingga kita bias melaksanakan pengarusutamaan gender yang baik. Syarat itu diantaranya adalah adanya komitmen politik dari pimpinan kementerian atau lembaga, yang dapat dilihat dari kebijakan-kebijakannya. Kemudian juga dari kelembagaan yang ada di kementerian itu, apakah sudah mendukung untuk dilaksanakannya pengarusutamaan gender dengan baik dan mudah. Kemudian tersediakah data yang bisa mendukung peelaksanaan PUG, yang biasa diistilahkan data terpilah. Kemudian bagaimana kita sudah melakukan pembinaan kemampuan/ capacity building di kementerian yang bersangkutan terkait pemahamann tentang PUG, pernahkah dilakukan sosialisasi, pernahkah ada advokasi. Kemudian bagaimana dukungan forum di kementerian dan lembaga ini dalam melaksanakan PUG. Apakah kita telah melakukan workshop atau mungkin di dalam kurikulumnya, apakah ada diklatdiklat, dan/atau forum-forum seperti itu. Di setiap kementerian dan lembaga ini tingkat implementasi ini berbedabeda, ada yang belum sama sekali, ada yang baru memulai, dan ada yang sudah kelihatan lebih maju daripada yang lain-, dan khususnya di Kementerian PU memang sudah cukup banyak yang dilakukan. Butaru : Kalau di Kementrian Pekerjaan Umum (PU) sendiri bagaimana, Bu? Alhamdulillah, cukup menggembirakan. Pertama dari dari sisi kebijakan, kita sudah dapat komitmen dari Pak Mentri (maksudnya Menteri PU, Red), beliau sudah mencanangkan di depan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa PU berkomitmen untuk melakukan PUG di lingkungan PU, kemudian PUG sudah menjadi salah satu strategi di dalam pembangunan ke-PU-an untuk 5 (lima) tahun kr depan; kemudian ini dilanjutkan lagi dengan perencanaan dan pemrogramannya, misalnya di dalam Renstra PU 2010-2014. Di dalam dokumen anggaran kita, sudah masuk anggaran responsif gender, bahkan PU sudah membuat buku panduan tentang pengintergrasian gender dalam program dan anggaran. Jadi dari sisi perencanaan itu sudah banyak hal-hal yang sudah dilakukan.” Butaru : Dari sisi kelembagaannya sendiri, bagaimana, Bu? Kalau dari sisi kelembagaan tentunya kita sudah tahu punya Tim PUG yang pengarahnya adalah langsung Bapak Sekjen langsung, jadi memang komitmen PU ini sudah sangat baik. Kemudian kita punya tim pelaksana dan ada tim pendukung pelaksana yang lebih operasional. Bahkan ada pokja-pokja yang bertugas mengakomodasikan pelaksanaan PUG di masing-masing subbidang PU; ada pokja tata ruang, ada pokja jalan dan jembatan, pokja cipta karya dan pokja sumber daya air. Pokoknya timnya itu sudah cukup lengkap, artinya seluruh tim PUG sudah masuk ke seluruh jajaran Kementerian PU. Demikian juga dari sisi
Pengarusutamaan gender itu kata kuncinya ada 2 (dua) yaitu setara dan adil, baik bagi laki-laki atau perempuan sarana dan prasarana pendukungnya, kita sudah punya nursery room meskipun masih terbatas, demikian juga taman bermain anak; ini merupakan stimulant bagi perkembangan ke depan, dan ini semua perlu lebih ditingkatkan lagi.
Butaru : Kalau dari sisi pelaksanaannya bagaimana Bu? Kalau dari sisi pelaksanaan, saya rasa sudah cukup banyak. Bahkan kalau kita lihat kegiatan di keciptakaryaan itu jauh sebelum Inpres nomor 9/2000 sudah melaksanakan kegiatan-kegiatanyang responsif gender, walaupun itu belum dinyatakan sebagai kegiatan yang responsif gender. Kegiatan Cipta Karya sebelum Inpres 9/2000, dari mulai perencanaannya sudah melibatkan sejumlah perempuan dan lakilaki, dan langsung berhubungan dengan masyarakat. Kegiatan-kegiatan PNPM mandiri perkotaan, Pembangunan Prasarana Infrastruktur Perdesaan, PISEW, Pamsimas dan lain-lain, bila dibaca ringkasan kegiatannya sebenarnya merupakan kegiatan yang sudah responsive gender, dimana dalam perencanan dan pelaksanaannya jumlah pelibatan perempuan yang lebih banyak sudah dijadikan tolok ukur. Butaru : Kira-kira berapa sih jumlah perempuan yang ikut? Kalo dari Bina Marga walaupun masih terbatas, tapi dalam setiap kegiatan Amdal pembangunan jalan, dapat dipastikan isu gender sudah dipertimbangkan. Kalau sumber daya air mungkin kaitannya dengan masyarakat petani pemakai air, itu juga sangat bagus komunikasinya dengan itu. Kalau tata ruang, harusnya tentang PUG ini sudah bisa diimplementasikan mulai dalam tahap perencanaan. Misalnya ketika menyusun rencana tata ruang, seharusnya konsep PUG sudah masuk. Pelibatan perempuan dan laki-laki dalam menyusun rencana tata ruang sangat mewarnai rencana tata ruang yang akan dihasilkan nantinya. Dari perdanya, itu juga akan berbeda warnanya kalau pelibatan yang seimbang antara perempuan dan yang laki-laki. akan terlihat jelas di dalam merencanakan detail tata ruang khususnya kalau kita merencanakan ruang terbuka hijau (RTH). Perempuan dan lakilaki bisa memanfaatkan secara bersamasama dalam ruang terbuka hijau itu. Dan dimana saja lokasinya, saya pikir kalau pelibatan perempuannya lebih seimbang hasilnya akan lebih bagus. Dan juga pelibatan pada saat penyusunan rencana tata ruang itu sangat penting; semakin banyak pelibatan perempuannya, saya rasa bagus sekali tata ruangnya itu di masa depan. Dan karena tata ruang ini selalu produk bersama, bukan produknya DJPR (Ditjen Penataan Ruang). Jadi memang resikonya semua yang terlibat itu harus mempunyai pemahaman yang sama. Jadi semua pihak terkait penyelenggaraan penataan ruang baik di puat dan daerah mempunyai pemahaman yang sama terkait penyusunan RTRW, RDTR, pengaturan zonasi yang responsif gender. Dengan Inpres PUG, pemahaman responsive gender disamping disosialisasikan ke daerah, juga dapat disosialisasikan kepada BKPRN, jadi sesama instansi BKPRN juga harusnya pemahamannya sama. Jadi tugas DJPR itu cukup berat karena selain substansinya harus responsif gender tapi komunikasinya ini yang juga harus ditingkatkan supaya semua yang ikut memberikan masukkan ke dalam rencana tata ruang itu mempunyai pemahaman yang sama. Institusi Bappenas pastinya sudah responsif, karena semua kebijakan dan strategi responsif gender sudah diatur dari Bappenas. Butaru : Terdapat kendala dan tantangan apa saja? Di internal PU sendiri memang masih banyak kendala atau tantangan. Contoh sederhana adalah dalam tiga ahun terakhir CPNS yang masuk ke PU menunjukkan jumlah perempuannya sudah seimbang dengan lakilaki. Tantangan kita adalah bagaimana kita membina staf perempuan tersebut supaya bisa berkiprah juga sama dengan laki-laki yang saat ini mendominasi di PU. Demikian juga sarana yang mendukung staf
perempuan yang menikah dan punya anak, jadi fasilitas tempat penitipan anak, parkir khusus wanita ke depannya harus lebih tersedia. Tantangannya ke pembangunan infrastruktur PU yang lebih luas ada dua, yaitu pertama mengenai data terpilah (secara normatifnya adalah databerapa jumlah laki-laki dan perempuan) itu, tapi itu yang kedepannya tidak lagi cocok karena hanya bila sekedar menerapkan jumlah laki-laki dan perempuan, karena kita membangun infrastruktur tidak berdasarkan jumlah laki-laki dan perempuan tapi didasarkan pada kebutuhan dan pada manfaat. Jadi kita harus mempertimbangkan penyediaan fasilitas untuk yang para difable seperti apa, karena itu juga tekait infrastruktur, dimana kita membangun untuk semua kelompok karena tugas kita adalah melayani masyarakat. Jadi yang pertama itu data terpilah yang harus di tindaklanjuti, seperti apa yang cocok untuk Kementerian PU dan Kementerian lainnya, karena pasti tidak sama untuk masing-masing kementerian. Tahun ini PU bersama-sama kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sedang melakukan kajian tentang itu. Jadi memang masih dalam kajian data terpilah yang pas untuk PU itu yang seperti apa. Yang kedua, tantangan pembangunan di PU itu adalah penetapan indikator. Untuk menganalisa responsif gender kita perlu ada indikator, yaitu indicator responsif gender jalan dan jembatan seperti apa? Misalnya apakah Jalan dan jembatan disebut responsif kalau memenuhi indikator keamanan bagi perempuan yaitu jembatan di atas tanah akan lebih memberi aman bagi perempuan dari pada jembatan di bawah tanah (terowongan). Jadi supaya kegiatan responsif gender di PU lebih fokus dan tidak terkesan mengada-ada, memang memang dibutuhkan indikator dan nantinya ditindak lanjuti dengan pedoman yang lebih jelas. Jadi dapat disimpulkan, kita masih menghadapi tantangan, baik di internal PU maupun antar PU secara keseluruhan. Butaru : Dalam implementasi tersebut, apakah ada semacam pelaksanaan monitoring? Siapa yang melaksanakannya? Memang dalam Inpres nomor 9 tahun 2000 itu ditegaskan bahwa kementerian dan lembaga harus melakukan monitoring dan evaluasi. Yang kami lakukan di sini, monitoring dan evaluasi terhadap unitunit kerja di Kementerian PU, bagaimana mereka melaksanakan PUG-nya. Kemudian nantinya direkap semuanya dan itu menjadi hasil t dan evaluasi Kementerian PU yang harus dilaporkan ke Presiden melalui Kementerian PPPA. Butaru : Apa yang di monitor dan apa yang dievaluasi? Kembali lagi kepada beberapa aspek prasyarat PUG itu. Jadi
Dalam perwujudan capacity
yang di evaluasi anara lain yaitu : Apakah pokja-pokjanya sudah berjalan dengan baik? Apakah komitmen pimpinan di masing-
building, kegiatan sosialisasi,
masing satminkal ini juga sudah responsif. Kemudian program-
workshop,
program yang dihasilkan seperti apa? Jadi kembali lagi kita
forum
monitor sesuai prasyarat PU. Dan itu kita lakukan bertahap,
dikembangkan
pertama kami timPUG melakukan kepada satminkal dan nanti kita monitoring secara keseluruhan oleh tim independen nasional.
pelatihan diskusi
dan terus di
Kementerian PU dan juga
Nanti ada tim penilai secara nasional untuk menilai kegiatan
melibatkan
PUG di kementerian PU secara
Kementerian/Lembaga dalam
lain
peningkatan
pemahaman dan kemampuan terkait PUG
keseluruhan yang sudah kita rekap, yang sudah tim kami rekap, itu yang nanti dinilai oleh tim penilai independen secara nasional. Kita di PU, PUGnya seperti apa… Butaru : Itu sebetulnya pendekatannya lebih ke top down, untuk ke depannya apakah akan lebih bottom up? Jadi memang sekarang sosialisasinya baru di kementerian PU, padahal itu harusnya sampai ke lingkungan PU yang ada di daerah. Oleh karena itu salah satu program kerja 2011-2014 adalah melakukan sosialisasi pemberdayaan masingmasing sampai ke daerah. Itu yang harus kita lakukan. Dan kedua, seperti yang dilakukan Ditjen CIpta Karya kegiatannya apa kan sesuai dengan kebutuhan daerah. Karena mereka kan programnya pemberdayaan masyarakat (terutama masyarakat berpenghasilan rendah) misalnya kegiatan PPIP yang mencakup 2000 desa. Apa yang dilakukan Cipta Karya itu betul-betul keinginan masyarakat, dan direkap jadi keinginan kabupaten dan kota. Jadi saya pikir bottom-up-nya tuh sudah, hanya memang masih parsial.” Kalau di Bina Marga mungkin waktu di pelaksanan amdalnya telah melakukan, karena amdal juga langsung di lapangan. Kalau pembebasan tanah misalnya itu langsung ke masyarakat, jadi maunya masyarakat telah dipertimbangkan. Demikian juga terkait SDA, telah melibatkan masyarakat petani pengguna air juga. Jadi pendekatan bottom-up telah dilakukan, walaupun sekarang kelihatannya seperti tidak terstruktur. Butaru : Sejauh ini bagaimana respon dari berbagai pihak setelah pengarusutamaan gender mulai dilaksanakan? Saat ini yang menjadi tugas adalah menyamakan pemahaman mengenai responsif gender ini keseluruh lingkungan PU. Walaupun terasa masih sulit, tetapi dengan adanya komitmen dari pimpinan, dimana ini sangat membantu pokja PUG di PU, saya optimis ke depan akan berjalan lebih baik. Saat ini dirasakan masih ada kesenjangan di antara pimpinan di satminkalnya masing-masing, walaupun responnya telah cukup baik dengan tetap mengirimkan wakil ke pertemuan yang diadakan. Akan tetapi kadang pertemuan tersebut membutuhkan masukan yang konkrit dan pemahaman yang sama untuk ditindaklanjuti, sehingga dibutuhkan pimpinan setingkat eselon II untuk duduk bersama, berdiskusi dan memahami serta menindaklanjutinya di masing-masing bagiannya. Tetapi tidak apa-apa, dengan tugas yang diberikan oleh Pak Menteri, tim pokja akan terus sedikit demi sedikit berkomunikasi dengan satminkal. Rencananya, saya bersama tim, tahun ini hanya melakukan monitoring dan evaluasi, yang diharapkan satminkal yang bertanggung jawab melakukannya. Jadi diharapkan masing-masing satminkal lebih respon dalam melakukan sosialisasi, forum dan penyusunan kegiatan PUG ini. Butaru : Oh ya Bu, baru-baru ini Ibu kan mendapatkan penghargaan terkait pengarusutamaan gender, dapat Ibu sedikit ceritakan? PU ini sudah 3 tahun berturut-turut mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Eka Praya. Pertama tahun 2008 mendapat Anugerah Parahita Eka Praya tingkat pratama. Kemudian tahun 2009 dan 2010 penghargaan Anugerah Parahita Eka Praya tingkat madya. Ada satu tingkat lagi yaitu utama, kita baru ditingkat madya. Kementerian PU mendapatkan penghargaan, karena dinilai oleh Tim Independen Nasional bahwa kita sudah bisa meletakkan dasar-dasar pelaksanaan PUG. Mungkin kita dilihat sudah punya
lembaganya (wadahnya Tim PUG), sudah dilihat Pak Menteri, sudah ada pencanangan dan sebagainya, masih dalam yang dasar-dasar sekali. Nah 2009 dan 2010 dianggapnya kita sudah meningkat, dasar-dasar ini sudah mulai tersebar ke seluruh jajaran Kementerian PU. Yang menyebabkan kita ke tingkat madya. Jadi memang dari hal-hal seperti itu, dari sosialisasi yang sudah sering kita lakukan, walaupun data terpilah belum ada tapi kita sudah melakukan kajian. Hal ini kita sudah dianggap mampu mengembangkan pelaksanaan PUG yang sesuai dengan institusi kita. Diharapkan tahun ini kita bias naik tingkat lagi. Yang menerima penghargaan adalah Bapak Menteri yang langsung dari Presiden. Adapun Tim PUG PU ini adalah dapurnya dengan bekerjasama satminkalsatminkal yang ada dilingkungan PU terkait data dan informasi, karena kita merekap hasil penilaian itu (dalam format laporan) dan disampaikan ke KementerianPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Kementerian PPPA yang mengevaluasi, dan ada tim lagi yang mewawancarai Tim PUG PU kita, dan hasilnya menjadi kinerja Kementerian PU. Butaru : Ibu adalah salah satu yang berperan aktif dalam kegiatan pengarusutamaan gender, bagaimana dukungan lingkungan dan keluarga selama ini ? Yang pertama dukungan dari lingkungan sudah jelas dengan penugasan dari Bapak Menteri. Lingkungan seperti yang tadi saya katakan masih ada kesenjangan dimana masih ada yang belum mau terlibat penuh,
Harapan saya adalah mari kita tingkatkan dukungan dan peran seluruh jajaran kementerian dalam mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang danpengembanga n infrastruktur dan permukiman yang responsif gender
tapi pada dasarnya sudah cukup baik. Terbukti dengan banyaknya kementerian lain yang memanggil kita untuk menjadi pembicara, untuk memberikan pengalamannya. Kita ini dijadikan best practice PUG di Indonesia. Jadi saya sering diundang oleh kementerian lain untuk berbagi pengalaman
dalam
implementasi
PUG
di
PU,
misalnya
dengan
pembentukanpokja dimana kegiatan ini dibagi ke dalam tim-tim pokja yang sebagian adalah merupakan wakil dari satminkal. Jadi pekerjaan dibagi ke semua unit, dan diharpkan mereka yang akan kerja. Tugas kita hanya memonitoring saja dan itu dijadikan contoh. Jadi dukungan dari internal sudah baik, walaupun masih ada tantangan. Keluarga inti saya adalah bertiga yaitu 2 perempuan dan , satu laki-laki. Kalau dari keluarga, terusterang keluarga saya ini termasuk golongan yang demokratis. Jadi saya dan suami bisa membagi tugas di keluarga secara bersama-sama. Buktinya saya bisa sampai sekarang, kalau tidak ada pengertian dari suami bahwa saya responsif terhadap peran perempuan, mungkin saya akan mengalami hambatan untuk bisa sampai di posisi ini kalau tidak ada
dukungan dari suami. Saya rasa salah satu hambatan perempuan kenapa engga bisa naik adalah karena system patria chart di Indonesia dimana laki-laki sebagai kepala keluarga itu sangat kuat. Itu yang mungkin menjadi salah satu yang ada hambatan sehingga perempuan itu tidak bisa dengan mudah mendapatkan apa yang seharusnya dia dapat dengan kemampuan dia. Masih ada yang sepertib itu, terutama yang di daerah. Saya bias mengatakan demikian karena saya sering mengikuti forum-forum diskusi tentang gender dengan kementerian PPPA dan dengan instansi lain, ternyata di daerah seperti itu.
Butaru : Baik Bu Cicik. Barangkali ini pertanyaan terakhir dari kami Bu. Dapatkah Ibu menyampai sebuah harapan dalam melaksanakan tugas pengarusutamaan gender ini Bu? Harapan sayaterakhir adalah semakin meningkatnya dukungan dan peran seluruh jajaran Kementerian Pekerjaan Umum ini di dalam mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang dan infrastruktur dan permukiman yang responsif gender. Saya mengajak semua pihak kementerian ini untuk lebih meningkatkan lagi peran untuk mewujudkan pengarusutamaan gender karena ini sudah menjadi kewajiban, dan sudah tercantum dalam undang-undang dan peraturan terkait lainnya. (mem/hd)