Konsep Politik Hijau dalam Penataan Ruang M. Bambang Susetyarto, Jurusan Arsitektur FTSP Usakti, Kampus A, Jl. Kyai Tapa No.1 Grogol, Jakarta 11440, Nomor Telpon/Fax: 021-5663232 ext 201-208/021-5684643
[email protected]
Abstract Expansion of the city /county which is done in Indonesia in the last ten years had an impact on the change in Regulation on Spatial Plan (RTWR) of the city/ ounty. All of the changes need to be managed wisely by the central government and local government which are the result of democratic choice of the people, so that the new spatial plan should be built to meet the space requirements for housing, infrastructure and facilities of the city/county, prospective economic area, nature reserve conservation, cultural and green open space in proportion, according to the carrying capacity of sustainable tropical environment. Regarding to these problem, the local goverments have to get the responsibility for carrying out basic tasks of regional development planning cities/counties, including conducting review, change, and/or the (re)development of developments planning. In practice, the (re)development planning should be done with the consultants or academics from lancape architecture/architecture/planning laboratories of university, which are technically regulated in accordance with applicable legislation. The presence of experts are expected to provide input about the knowledge (technological knowhow) of city/ ounty spatial plan, allocation of space, the intensity of the room, the basic building coefficient, coefficient floor building, green base coefficient. In addition, an ecologist can provide insight about the environment, conservation of natural heritage and cultural lanscape, tropical forest conservation, microclimate planning, government legislation which is concerning to environmental policies, and others. Meanwhile, the philosophical basis of green cities, green politics, have to be promoted by experties to ensure the sustainable urban development. This means that the orientation of the development of the city/county focused on a balanced and harmonious progress between the poles of economic, social and cultural poles, and ecology poles. This theoretical concept can only work if the different stakeholders, including local politicians, pay attention, spirit, and power of a large investment for green politics in the long run, without constrained by short-term interests. Such green political movements should be infiltrated into the regulation on spatial plan of city/county. Key words: green politics, green cities, sustainability development. 1.
Pendahuluan
Reformasi dalam bidang hukum dan ketatanegaraan yang telah berlangsung sejak 1998, memiliki konsekuensi pada perubahan sejumlah peraturan perundangan yang berlaku. Sebagai contoh adalah (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548). (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). Atas dasar peraturan perundangan dimaksud, masyarakat dari berbagai daerah dengan berbagai motivasi politiknya mengusulkan adanya pemekaran wilayah kota/kabupaten di daerahnya masing-masing. Kegiatan pemekaran kota/kabupaten itu tentu membawa akibat pada diperlukannya review penataan ruang di wilayah hasil pemekaran tersebut, dan selanjutnya membuat peraturan daerah yang baru tentang penataan ruang di kota/kabupaten hasil pemekaran. Oleh sebab itu, pemerintah kota/kabupaten hasil pemekaran perlu memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku tentang penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah, dan Rencana Penataan Ruang Terbuka Hijau, antara lain seperti: (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. yang merupakan pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup, (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, (4) Undang-Undang Reupblik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. (5) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, (6) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, dan berbagai peraturan dan perundangan lain yang terkait. Seluruh peraturan perundangan tersebut, sesungguhnya merupakan produk politik nasional/daerah yang berorientasi kepada kepentingan pembangunan yang berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat di masa kini dan masa yang akan datang. Produk politik tentang penataan ruang semestinya memuat tiga aspek pembangunan, yakni: (1) keberlanjutan, (2) kesetaraan, dan (3) lingkungan yang berkeadilan (el-Ojeili, C., and Hayden, P., 2006). Filosofi keberlanjutan yang dimaksud adalah pemenuhan kebutuhan sendiri tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri. (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, 1987). Sedangkan, kesetaraan (equality) dan lingkungan yang berkeadilan (environmental justice) merupakan hak azasi manusia yang adi kodrati. Lingkungan hidup di wilayah kota/kabupaten yang beriklim tropis memiliki ciri udara panas, lembab, dan curah hujan tinggi di bulan tertentu. Kondisi iklim mikronya dapat dimanfaatkan untuk kenyamanan ruang bangunan dan lingkungan di sekitarnya. Kondisi nyaman semacam itu perlu dijaga kelestariannya, antara lain dengan menyediakan dan memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) secara proporsional, khususnya untuk RTH di kawasan perkotaan. Menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, fungsi RTHKP adalah sebagai berikut: (a) pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; (b) pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara; (c) tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati; (d) pengendali tata air; dan (e) sarana estetika kota. Mengacu kepada pentingnya peran dan fungsi RTH pada ruang perkotaan, maka perlu menggencarkan gerakan politik hijau, yakni gerakan menghijaukan (kembali) lingkungan perkotaan, sehingga upaya menyediakan dan memanfaatkan RTH merupakan tanggungjawab seluruh warga kota, dan merasuk pada jantung hati para pembuat dan/atau para pelaksana kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Kabupaten. Gerakan hijau semacam ini di berbagai kota dunia disebut sebagai green cities movement, yang biasanya dipelopori oleh kaum muda perkotaan dengan berbagai aktifitas, seperti: klub bersepeda, klub kebersihan sampah plastik, dan lain-lain. Dalam hal menginfiltrasikan dan mengimplementasikan gerakan politik hijau pada RTRW Provinsi/Kota/Kabupaten, berbagai kendala biasanya muncul dari para pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa komersial, industri dan pergudangan, serta kegiatan komersial lainnya secara maksimal. Pengembang kawasan semacam itu pada umumnya menginginkan agar lahan perkotaan dapat dibangun semaksimal mungkin. Sementara, kelompok lingkungan hidup dan arsitektur lansekap berkehendak, bahwa lahan terbangun yang diijinkan di perkotaan maksimal adalah 70%, dan lahan RTH sebesar 30% dari luas wilayah perkotaan. Proporsi rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH semacam itu sesungguhnya sudah terakomodasi pada Pasal 29 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan pada Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Persoalannya adalah apakah semua pemerintah daerah dengan segala keunikan geografi wilayahnya dapat mengimplementasikannya?. Barangkali, wilayah kota/kabupaten yang memiliki lahan pembangunan bertopografi datar sangat terbatas akan terasa sukar untuk mengimplementasikannya, seperti: kota/kabupaten di wilayah pantai, atau wilayah dengan bukit-bukit yang cukup terjal. Demikian juga, bagi kota-kota besar yang sudah terlanjur menyelenggarakan pembangunan kota dengan proporsi penyediaan dan pemanfaatan RTH kurang dari 30%. Contoh: Provinsi DKI Jakarta, dengan target pencapaian RTH menurut RTRW DKI Jakarta 2010 adalah 13,94% dari luas wilayahnya, atau seluas 9.544,81 HA. Kepadatan bangunan dan kondisi tata permukiman seperti sekarang ini membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sulit memperoleh lahan pembangunan RTH baru. Meskipun demikian, gerakan politik hijau dalam perencanaan pembangunan DKI Jakarta terus digiatkan oleh berbagai dinas/instansi terkait baik negeri maupun swasta, serta partisipasi masyarakat luas. Gerakan itu semakin nyata dengan dipersiapkannya Raperda tentang RTH (20062007), yang dikemudian hari ditindaklajuti secara teknis dengan Rencana Induk RTH Provinsi DKI Jakarta (2003-2005). Semua gagasan pembangunan dan pengembangan RTH tersebut terkait Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang DKI Jakarta, sebagaimana disebut pada Perda Pemerintah Provinsi DKI Jakarta No.1/2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030. 2.
Konsep Politik Hijau
Konsep politik hijau adalah gagasan politik yang berbasis perjuangan pada prinsip lingkungan dan hukum alam. Pada masa orde baru, pernah digelorakan semangat penanaman padi melalui revolusi hijau Bimas (bimbingan masyarakat) di dalam menanam padi, yang diikuti dengan strategi Panca Usaha Tani, hingga berujung pada terwujudnya swasembada beras di Indonesia pada tahun 1984-1989. Jadi, sesungguhnya politik hijau di Indonesia itu adalah padi dan kapas, lambang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip pengembangan lingkungan, baik di wilayah perdesaan maupun wilayah perkotaan, harus dibudidayakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan model pembangunan yang diharapkan untuk perdesaan dan perkotaan di Indonesia. Oleh sebab itu, politik hijau yang berkelanjutan juga harus melandasi perjuangan untuk mewujudkan penataan ruang, sejak proses perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, pengendalian, hingga dalam hal peran serta masyarakat, dan ketentuan-ketentuan teknis lainnya. Dengan demikian, kebijakan tentang penataan ruang menjadi dasar bagi pengelolaan masalah lingkungan hidup, khususnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada tataran kepentingan politik tata ruang Nasional/ Provinsi/ Kota/ Kabupaten. Politik Hijau merupakan politik pembangunan yang berkelanjutan yang didasarkan atas kebutuhan dasar rakyat untuk hidup di lingkungan binaan yang sehat dan berkualitas, sehingga mereka dapat menjalankan kegiatannya sehari-hari dengan aman dan nyaman. Jadi, pada hakekatnya gerakan politik hijau yang solid akan melintasi batas-batas wilayah politik kepartaian dan/atau politik perwakilan daerah. Apabila gerakan politik hijau tersebut dapat disinergikan secara optimal untuk mendukung proses perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, pengendalian, hingga peran serta masyarakat di dalam pengelolaan masalah lingkungan hidup, khususnya RTH, maka terwujudnya tata ruang kota/kabupaten yang dinamis dan berkelanjutan tidaklah sulit untuk menjadi kenyataan. Gerakan politik hijau yang kuat pada momentum yang tepat pada akhirnya dapat menyeimbangkan dan menyelaraskan kembali keterpaduan kaitan antara ketiga kutub pembangunan ekonomi, kutub pembangunan sosial budaya, dan kutub pembangunan lingkungan hidup.
Politik Hijau
ekologi
ekonomi
Sosial dan budaya
Gambar 1. Konsep Pembangunan yang Berkelanjutan dan Politik Hijau Sesungguhnya, gerakan politik hijau bukan hanya gerakan lokal yang dibangun atas dasar kebutuhan dasar rakyat yang hidup di kawasan kota/kabupaten saja. Tetapi, lebih dari itu gerakan politik hijau merupakan gerakan global yang perlu digaungkan bersama di seluruh dunia oleh penduduk dari negara-negara industri maju, negara-negara berkembang, dan negara-negara yang tertinggal pembangunannya. Kampanye green politics untuk perencanaan dan pembangunan kota baru pernah dilakukan oleh Hardy, D. (1991), sehingga menggeser paradigma pembangunan untuk tujuan kemajuan negara menjadi pembangunan untuk tujuan keberlanjutan kehidupan makluk di bumi ini. Dalam implementasinya, masih banyak kendala yang dihadapi, baik dari negara maju maupun dari para pengusaha yang memproduksi limbah dan polutan berbahaya. Meskipun, berbagai konverensi dan/atau perjanjian internasional tentang perubahan iklim, efek rumah kaca, pemanasan global, dan lain sebagainya sudah diselenggarakan secara intensif, namun masih saja ada keengganan dari negara-negara industri maju untuk mengurangi produksi gas buangnya. Lebih parah lagi, yang terjadi sekarang adalah pengekploitasian sumber daya alam dari negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang ke negara-negara industri maju. Sebaliknya, negara-negara industri maju bersedia untuk membayar ongkos kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Cara semacam ini telah menempatkan posisi negara-negara di belahan dunia beriklim tropis semakin rentan terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak pemanasan global yang semakin nyata adalah terjadinya perubahan iklim di hampir semua kota di dunia, dan fenomena pencairan es di kutub utara yang dapat berakibat pada perubahan geografis wilayah daratan kota/kabupaten. Pertanyaan selanjutnya adalah mampukah gerakan politik hijau dapat menghentikan fenomena pemanasan global dan perubahan iklim? Gerakan politik hijau akan lebih efektif apabila dilakukan secara massif oleh seluruh penduduk dunia yang cinta terhadap keberlanjutan, kesetaraan, dan keadilan dalam hal memanfaatkan lingkungan hidup. Roh dari gerakan politik hijau itu sendiri adalah cinta pada kehidupan. Gerakan politik hijau tentu pada saatnya akan berbenturan dengan kepentingan politik imperialistik dan kapitalistik modern. Fenomena itu dapat dilihat sebagai perwujudan tata ruang kota/kabupaten. Citra kota/kabupaten yang didominasi oleh massa bangunan besar, fungsi industri, perdagangan dan jasa komersial, tanpa menyediakan dan memanfaatkan RTH secara proporsional dengan luas wilayah terbangunnya, merupakan suatu indikasi kuatnya politik imperialistic dan kapitalistik dibandingkan dengan politik hijau kota/kabupaten. Tetapi, sebaliknya penataan ruang kota/kabupaten yang mendasarkan pada kondisi topografis, geografis, dan demografis, serta membuat zonasi fungsi kota/kabupaten berdasarkan pada ketiga kondisi tersebut, kemudian menempatkan RTH sebagai salah satu zonasi fungsi kota/kabupaten, dan Pemerintah Kota/Kabupatennya memiliki komitmen tinggi untuk mengimplementasikannya, maka citra kota/kabupaten tersebut mengindikasikan sukses dalam politik hijaunya. Sebagai contoh adalah Kota Bitung, yang memiliki lahan terbangun 12%, sedangkan kawasan lindungnya diatas 50%. 3.
Penataan Ruang
Menurut Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka yang dimaksud dengan rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Sedangkan, perencanaan tata ruang didefinisikan sebagai suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah disebut dengan sistem wilayah, dan apabila mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan disebut sistem internal perkotaan. Dengan demikian, hal terpenting didalam perencanaan tata ruang adalah penentuan struktur ruang dan pola ruang. Pada masa lalu, gagasan tentang struktur ruang dan pola ruang muncul dari konsultan ahli/para pakar perkotaan yang dipekerjakan secara kontrak untuk menyelesaikan penyusunan RTRW Kota/Kabupaten hingga tahapan draft laporan akhir. Kemudian, draft laporan akhir itu dipresentasikan pada forum yang lebih luas di Pemerintahan Daerah dan dihadiri oleh
pejabat kota yang berkompeten. Selanjutnya, dinas/instansi yang berkompeten dan Biro Hukum membuat draft Peraturan Daerah tentang RTRW, disertai dengan naskah akademiknya. Draft Peraturan Daerah tentang RTRW tersebut diproses verbal dan diajukan pada sidang DPRD untuk disetujui menjadi Peraturan Daerah tentang RTRW. Sejak 1997-1998, seluruh Provinsi di Indonesia telah menyelesaikan Perda tentang RTRW Provinsi. Sementara, Kotamadya menetapkan RTRW-nya 80%, dan Kabupaten Dati II berhasil memiliki Perda RTRW sebesar 58%. Tetapi, dalam implementasi perda tentang penataan ruang, para penggagas kota/kabupaten tadi tidak lagi setia mengawal perwujudan gagasan mereka, sehingga struktur ruang yang terjadi dapat bergeser fungsi peruntukan, intensitas penggunaannya, atau malah tereliminasi untuk kepentingan ruang komersial lainnya. Mengenai struktur ruang pada hakekatnya adalah kerangka zonasi fungsi ruang kota/kabupaten, hasil konstruksi berpikir hubungan fungsi ruang terhadap kondisi topografi, geografi, dan demografi dalam sistem wilayah dan/atau sistem internal perkotaan. Sedangkan, pola ruang adalah konsep tatanan ruang yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi kota/kabupaten sebagaimana ragam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat kota/kabupaten. Oleh sebab itu, salah satu struktur ruang yang perlu ditentukan adalah struktur ruang peruntukan RTH, dimana sebaran dan luasannya proporsional dengan kondisi topografi, geografi, dan demografi kota/kabupaten tersebut. Apabila suatu kota/kabupaten sudah padat dengan bangunan dan mobilitas masyarakatnya tinggi, maka Penataan Ruang Wilayah Kota/Kabupaten perlu dilengkapi dengan berbagai peraturan perkotaan lainnya, seperti: (a) Intensitas Ruang adalah besaran ruang untuk fungsi tertentu yang ditentukan berdasarkan pengaturan Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Dasar Bangunan, dan Ketinggian Bangunan tiap kawasan bagian kota sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam pembangunan kota/kabupaten; (b) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yakni angka prosentase berdasarkan perbandingan luas lantai dasar bangunan terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota/kabupaten; (c) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yakni angka perbandingan jumlah luas lantai seluruh bangunan terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota/kabupaten, (d) Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan luas daerah hijau terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota/kabupaten; (e) Koefisien Tapak Basement (KTB) adalah angka prosentase luas tapak bangunan yang dihitung dari proyeksi dinding terluar bangunan dibawah permukaan tanah terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuaia dengan rencana kota/kabupaten; (f) Daerah Hijau (DH) adalah ruang terbuka hijau alami (bebas bangunan diatas maupun dibawah permukaan tanah sedalam 2 meter dari permukaaan tanah dan bebas dari perkerasan pada permukaan tanah) dari suatu tanah perpetkaan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuaia dengan rencana kota/kabupaten (daerah hijau privat), yang bebas bangunan dan perkerasan; (g) Bangunan Gedung Hijau (BGH) adalah bangunan gedung yang ramah lingkungan, hemat energi, dengan manajemen pengelolaan yang mementingkan terjaganya mutu lingkungan sekitar bangunan; (h) Infrastruktur Hijau (IH) adaalah bangunan prasarana dan sarana yang mengutamakan kesinambungan proses daur ulang air, pengolahan limbah, dan efisiensi menuju pola hidup sehat masyarakat kota/kabupaten. Dari pemahaman tentang struktur ruang dan pola ruang, serta mekanisme penyusunan Rencana Tata Ruang semacam itu, maka disimpulkan bahwa peran serta masyarakat di dalam menentukan struktur ruang dan pola ruang kota/kabupaten sendiri masih rendah, jika tidak ingin disebut nihil. Karakter struktur ruang dan pola kemanfaatan ruang di wilayah sendiri tentu lebih dipahami oleh masyarakat local yang terbiasa hidup di kota/kabupatennya. Konsultan ahli/pakar perencana semestinya menggali informasi dari masyarakat local yang benar-benar memahami struktur ruang dan pola ruang kota/kabupaten tersebut, dibandingkan dengan memakai metode survey terbatas dan wawancara singkat terhadap beberapa pejabat kota/kabupaten untuk mengerti struktur ruang dan pola ruang di wilayah tersebut. Apabila di dalam melakukan proses identifikasi data perencanaan tata ruang saja sudah banyak terjadi penyimpangan/kekeliruan, baik yang bersifat informasi data lapangan maupun data grafis pemetaan, maka dapat dibayangkan betapa banyak terjadinya distorsi analisis maupun sintesis pada rencana tata kota/kabupaten tersebut. Apalagi, konsultan ahli/pakar perencana dimaksud tidak melaksanakan kegiatan survey dan wawancara secara akurat. Tetapi, tentu di sisi lain ada kendala dan keterbatasan yang menyebabkan mengapa konsultan ahli/pakar perencana tidak melaksanakan hal semacam itu. Peran serta masyarakat yang terwakili sebagai wakil rakyat di DPRD Dati II juga kurang pro-aktif, terbukti dengan belum ditetapkannya RTRW Kotamadya sebesar 20%, dan RTRW Kabupaten sebesar 42%. Penyusunan rencana tata ruang kota/kabupaten, yang mengabaikan peran serta masyarakat merupakan model yang kurang kondusif untuk dilakukannya infiltrasi politik hijau ke dalam rencana tata ruang. Politik hijau memerlukan suasana kelayakan yang tepat, dimana rakyat atau responden yang sedang diteliti dan/atau diajak diskusi dapat mengemukakan pendapatnya tentang struktur ruang dan pola ruang tanpa tekanan dari pihak manapun. Oleh sebab itu, suasana kelayakan (enabling) masyarakat perlu diciptakan oleh konsultan ahli sebagai langkah awal pemberdayaan (empowering) masyarakat. Apabila ditemukan fakta bahwa ketidakberdayaan masyarakat untuk berpolitik hijau cukup signifikan, maka Pemerintah Kota/Kabupaten seharusnya memproteksinya (protection) terhadap tekanan informasi dan teknologi yang melingkupinya. Konsep pemberdayaan masyarakat agar selanjutnya dapat berperan serta di dalam pembangunan semacam itu merupakan pengetahuan teoritis yang pernah diajarkan oleh Prof. Ginanjar Kartasasmita (Kartasasmita, 1995). Secara diagramatis diilustrasikan seperti Gambar 2 berikut ini.
Empowering
Enabling
Protection
Gambar 2. Konsep Pemberdyaan Masyarakat – Kartasasmita, G. (1995) 4.
Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan
Konsep politik hijau adalah gagasan politik yang berbasis perjuangan pada prinsip lingkungan dan hukum alam. Sesungguhnya, konsep politik hijau di Indonesia pernah dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini, yakni adalah terwujudnya padi dan kapas, lambang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip pengembangan wilayah perdesaan maupun wilayah perkotaan di Indonesia dengan demikian harus direncanakan, dibudidayakan, dan dimanfaatkan demi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Gerakan politik hijau saat ini kembali digelorakan bukan karena tekanan politik luar negeri dari negara-negara maju, tetapi lebih disebabkan oleh kesadaran diri untuk mewariskan lingkungan yang berkeadilan bagi generasi mendatang. Oleh sebab itu, muatan politik hijau harus merasuk ke dalam kebijakan nasional dan/atau daerah tentang penataan ruang, sejak dari perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, pengendalian, hingga peran serta masyarakat, dan ketentuan-ketentuan teknis lainnya. Politik hijau mensyaratkan suasana kondusif bagi berlangsungnya model partisipatori rakyat yang berdaulat, sehingga terwujud penataan ruang yang dinamis dan dikelola dengan mutu lingkungan hidup yang tinggi. Politik hijau menjamin berlakunya azas pembangunan yang berkelanjutan, kesetaraan, dan terciptanya lingkungan yang berkeadilan. B. Saran Gagasan politik hijau perlu dikaji lebih lanjut, dan perlu disosialisasikan (campaigned), sehingga merasuk pada seluruh kegiatan penataan ruang, kegiatan pembuatan rencana tata ruang, termasuk pada detail proses perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, pengendalian dan peran serta masyarakat, dalam rangka pengelolaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Kabupaten yang dinamis, berkelanjutan, dan berkeadilan. 5. Daftar Bacaan El-Ojeli, Chamsy and Hayden, Patrick, (2006) Critical Theories of Globalization, PALGRAVE MACMILLAN, New York 10010. Hardy, Dennis (1991), From New Towns to Green politics, Campaigning for Town and Country Planning, 1946-1990, E & FN SPON, London. ----------------, (2007) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Ruang, Departemen Pekerjaan Umum
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan
----------------, (2007) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Jakarta: Departemen Dalam Negeri ----------------, (2007) Membangun Tiada Henti, Jakarta: Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah, Departemen Pekerjaan Umum, Jaakarta. ----------------, (1996) Peraturan Daerah Nomor 1/2013 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, Pemerintah DKI Jakarta, Jakarta Kartasasmita, G. (1995) Pemberdayaan Masyarakat, Studi Pembangunan Pascasarjana ITB, Bandung.