PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah – Badan Pertanahan Nasional
PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, sehingga hubungan bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi dan azazi. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik dan seksama, akan lahir kemiskinan bagi sebagian besar rakyat Indonesia, ketidakadilan, peluruhan, serta sengketa dan konflik yang berkepanjangan dan bersifat struktural. Tanah merupakan matrik dasar sistim ruang. Tanah adalah ruang daratan yang memiliki wujud nyata, digunakan, dikuasai dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia. Dalam kenyataannya, di atas tanah telah ada berbagai bentuk penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh rakyat. Dalam kenyataannya pula bahwa yang dimaksudkan ruang dalam penyelenggaraan penataan ruang dewasa ini hampir dipastikan adalah daratan atau tanah. Oleh karena itu, setiap penataan ruang akan bermakna penataan atau pengaturan kembali penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh rakyat.
PERMASALAHAN PENATAAN RUANG Permasalahan yang harus dihadapi dalam penataan ruang adalah bagaimana mengimplementasikan berbagai kepentingan pembangunan yang bersifat publik di atas bidang-bidang tanah yang telah dilekati dengan berbagai hak-hak atas tanah yang lebih bersifat privat. Penataan penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang telah berlangsung ditengah masyarakat agar menjadi selaras dengan tujuan kepentingan umum, yang direpresentasikan dalam rencana tata ruang, akan senantiasa memberikan implikasi yang mendalam, terutama bagi rakyat yang tanahnya terkena secara langsung. Di masa lampau proses penyelarasan ini lebih banyak diselesaikan dengan “penggusuran”. Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA menyatakan bahwa kewenangan negara untuk mengatur/menata penggunaan dan pemanfaatan tanah, dibatasi pada tujuannya yakni untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA huruf b dan c mengandung suatu misi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkeadilan kepada rakyat dalam mengusahakan tanahnya. Ketentuan UUPA di atas, termasuk pasal 14, kemudian menjadi landasan filosofis bagi penyusunan Undang-undang Penataan Ruang, yakni bahwa penataan ruang tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pencapaian kehidupan berbangsa dan bernegara, menjamin perwujudan nyata dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak diundangkan tahun 1992, Penataan ruang belum dapat berfungsi dengan baik karena ketiadaan peraturan pelaksanaannnya. Baru 12 tahun kemudian, Undang-undang mengenai Penataan Ruang (24/1992) ini akhirnya memiliki peraturan pelaksanaan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 16 / 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Mengingat urgensinya, maka sejumlah ketentuan dalam PP 16 / 2004 kemudian diangkat menjadi pasal-pasal dalam Undang-undang Penataan Ruang yang baru (UU 26/2007).
1
Perlindungan hukum dan penguatan hak–hak rakyat atas tanah terakomodasi dengan baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 / 2004 tentang Penatagunaan Tanah yakni bahwa penetapan rencana tata ruang tidak mempengaruhi status hubungan hukum orang dengan tanah. Di sisi lain, ditetapkan pula bahwa setelah penetapan rencana tata ruang, pelayanan adminstrasi pertanahan diselenggarakan apabila memenuhi syarat dan ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang. Ketentuan ini memiliki fungsi yang sangat efektif untuk mewujudkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rancana tata ruang. Dari berbagai pengamatan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang, dirasakan bahwa kebijakan rencana tata ruang belum sepenuhnya berfungsi efektif. Sejumlah persoalan penting yang perlu diselesaikan melalui penyelenggaraan penataan ruang antara lain adalah : 1.
Ketimpangan
Wilayah
Intensitas pemanfaatan ruang antar wilayah sangat bervariasi. Berdasarkan kelompok pulau, intensitas penggunaan tanah di Pulau Jawa dan Bali terlihat sudah sangat tinggi. Dalam hal ini tanahtanah yang telah dibudidayakan di kedua wilayah tersebut –yaitu sawah, pertanian tanah kering, perkebunan, penggunaan lainnya dan budidaya nonpertanian– mencapai 88,65% atau seluas 11,82 juta hektar.
Demikian pula penggunaan tanah untuk budidaya non-pertanian (perumahan, industri dan tambang) mencapai luasan 1,3 juta hektar atau 40,26% dari luas budidaya non-pertanian secara nasional. Padahal luas kedua pulau tersebut hanya 6,97% dari luas wilayah Indonesia. Di Pulau Sumatera, intensitas penggunaan tanah agak tinggi. Luasan tanah yang sudah dibudidayakan adalah 23,18 juta hektar (48,61%). Sedangkan intensitas penggunaan tanah paling rendah adalah di Papua. Luas tanah yang telah dibudidayakan baru mencapai 4,76 juta hektar atau 11,49% dari luas wilayah Papua.
2.
Konversi Tanah Sawah
Sebagai bangsa agraris yang sangat besar, Indonesia memiliki tanah sawah yang sangat kecil yakni hanya 4,5% dari luas wilayah daratan Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonsia beras merupakan bahan pangan pokok yang relatif kurang memiliki substitusi sehingga beras akan tetap dikonsumsi meskipun harganya mahal. Oleh karenanya, kelangkaan beras akan secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan, terutama bagi rakyat kecil .
2
Ke depan, berbagai prediksi menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat relatif tidak banyak mengalami diversifikasi, yakni masih tergantung pada nasi. Oleh karenanya peningkatan permintaan terhadap beras akan sejalan dengan pertambahan penduduk. Persoalan makanan adalah persoalan hakiki, sehingga impor beras - bahan pangan pokokmudah untuk dipolitisir bagi berbagai kepentingan. Fluktuasi di pasar beras internasional dapat setiap saat memunculkan berbagai masalah serius1. Lagipula, bagi suatu bangsa yang berdaulat, ketergantungan terhadap suplai makanan dari negara lain akan tetap sulit dibenarkan. Oleh karena itu kedaulatan pangan dalam negeri tidak dapat ditawar, dan hal ini sangat ditentukan oleh ketersedian tanah sawah. Luas sawah Indonesia adalah lebih kurang 8,6 juta ha dan terus menyusut dari waktu ke waktu. Sawah terdiri dari sawah Irigasi seluas 7.314.740 Ha dan sawah Non Irigasi seluas 1.265.304 Ha. Pulau Jawa masih menjadi sentra sawah nasional, yakni seluas lebih kurang 4,2 juta ha. Kemudian disusul Pulau Sumatera seluas 2,3 juta ha. Pada tahun 1994 – 2004 luas sawah mengalami peningkatan seluas 602 ribu ha yang terjadi di luar Pulau Jawa. Sebagian besar pertumbuhan luas sawah tersebut terdapat di Pulau Sumatera, yaitu seluas 460 ribu ha atau lebih kurang 76,42% dari keseluruhan pertumbuhan luas sawah. Namun dalam kurun yang sama terjadi penyusutan luas sawah kelas satu di wilayah Pulau Jawa dan Bali seluas 36.798 ha atau sekitar 3.679 ha/tahun
Tabel 1. Sawah dalam Perspektif Tata Ruang
Pulau
Luas Sawah
Peruntukan dalam RTRW Non lahan Lahan Basah Basah
Sumatera
2.267.449
710.230
1.557.219
Jawa Bali
4.269.014
1.669.600
2.599.414
Kalimantan
733.397
58.360
675.037
Sulawesi
903.952
414.290
489.662
NT & Maluku
406.232
180.060
226.172
Papua
131.520
66.460
65.060
Penyusutan luas sawah terutama di pulau Jawa, disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu diantaranya adalah faktor perencanaan. Berdasarkan analisa superimpose antara lokasi sawah dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi diketahui bahwa seluas 5,5 juta Ha atau sekitar 64 % dari total luas sawah nasional berada dalam fungsi kawasan lahan basah atau direncanakan akan tetap dipertahankan sebagai sawah.
Sementara sisanya, sekitar 3,1 juta Total 8.580.044 3.099.000 5.481.044 ha sawah, berada dalam fungsi % 100 36 64 kawasan bukan lahan basah. Dengan kata lain, lebih kurang 36 Sumber:DatabaseDirektorat Penatagunaan Tanah, BPN RI 2007 % dari keberadaan tanah sawah nasional berpotensi dialihfungsikan untuk kegiatan bukan sawah.
1
Indonesia yang pada tahun 1990 tidak masuk dalam daftar 10 negara importir terbesar beras, pada tahun 2000 menjadi importir terbesar walaupun tetap dapat mempertahankan urutan produsen terbesar ke tiga di dunia (FAO 2001). Laporan (OECD) dan (FAO), Juli 2007, menyebutkan, stok akhir beras dunia terus menurun. Tahun 2007, stok akhir beras 87 juta ton, tahun 2008 diperkirakan 85 juta ton, dan pada 2009 86 juta ton. 3
3.
Ketidaksamaan Fungsi
Kawasan
Berdasarkan fungsi kawasan dalam RTRW seluruh Provinsi, seluas 138,44 juta hektar atau 72,37%, wilayah daratan diperuntukkan sebagai Kawasan Budidaya, sisanya seluas 52,84 juta hektar atau sekitar 27,63% diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung.
Apabila Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung tersebut dikelompokkan atas dasar kenyataan penggunaan tanah dalam fungsi kawasan dimaksud, maka dapat diketahui bahwa dalam Kawasan Budidaya masih didominasi oleh hutan (hutan lebat, hutan sejenis, dan hutan belukar) yaitu seluas 80,13 juta hektar atau sekitar 57,88%. Dengan kata lain, Kawasan Budidaya yang telah dimanfaatkan adalah seluas 42,12%. Sebaliknya, dalam Kawasan Lindung telah terdapat banyak penggunaan tanah oleh rakyat seperti permukiman, perkebunan, tegalan dan penggunaan tanah lainnya, yakni seluas 8,75 juta hektar. Selanjutnya, kalau luasan - luasan di atas dipilah lagi berdasarkan Penetapan Kawasan Hutan, didapatkan gambaran bahwa dalam Kawasan Budidaya yang kenyataan penggunaan tanahnya masih berupa hutan, yaitu seluas 80,13 juta hektar, maka sekitar 78,81% memang ditetapkan sebagai kawasan hutan, dan sisanya 21,19 % penetapannya adalah sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Ratio ketepatan penetapan fungsi kawasan yang relatif tinggi adalah pada kawasan lindung. Dari 82,84 juta ha Kawasan Lindung yang ditetapkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah, 83,4% kenyataan penggunaan tanahnya masih berupa hutan, dan 92,02% dari hutan itu penetapannya memang sebagai Kawasan hutan.
4. Kesesuaian Penggunaan Tanah Secara nasional penggunaan tanah yang sesuai dengan RTRW Provinsi adalah seluas 130,66 juta hektar atau 68,31%. Kategori sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Contoh: penggunaan tanahnya adalah sawah dan rencana fungsi kawasannya adalah pengembangan lahan basah Seluas 59,03 juta hektar (31,30%) penggunaan tanah saat ini tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan rencana tata ruang provinsi. Kategori tidak sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya memang tidak sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW. Contoh: penggunaan tanah sebagai perkampungan sementara fungsi kawasan dan RTR adalah hutan lindung. Pulau Jawa dan Bali memiliki tingkat ketidaksesuaian penggunaan tanah terhadap rencana tata ruang yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok pulau lainnya, yakni 48%. Kemudian di susul oleh pulau Nusa Tenggara dan Maluku, yakni 47%, dan Pulau Sumatera sebesar 38%. Tingkat kesesuaian tertinggi adalah pulau Papua yakni 87%.
4
Apabila dikaitkan dengan tingkat intensitas penggunaan tanah, terdapat kecenderungan bahwa ketidaksesuaian penggunaan tanah terhadap fungsi kawasan rencana tata ruang akan lebih tinggi pada wilayah-wilayah yang intensitas penggunaan tanahnya sudah tinggi.
LANGKAH
KEDEPAN
Banyak pandangan menyatakan bahwa rencana tata ruang telah menjadi landasan legal dalam mengkonversi tanah-tanah pertanian subur dan hutan. Inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan praktek pembangunan yang kerap terjadi 2. Di pulau Jawa misalnya, luasan kawasan hutan lindung telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS, 2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan (2001) menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan saat ini lebih kecil dari 23% dari luas daratan Pulau Jawa. Dibidang pertanahan, permasalahan yang harus dihadapi dalam penataan ruang adalah bagaimana menyelaraskan berbagai kepentingan pertumbuhan ekonomi dan investasi pembangunan dengan penguatan hak-hak rakyat atas tanah dan lingkungan hidup. Berbagai permasalahan tersebut semakin kompleks, sehingga meningkatkan kesulitan pengaturan dan pengelolaan sumberdaya terutama tanah. Permasalahan alokasi sumberdaya tanah baik dalam alokasi penguasaan maupun alokasi penggunaan sumberdaya tanah akan senantiasa menjadi hal yang strategis untuk diselesaikan secara adil. Dari berbagai pengalaman terhadap implementasi rencana tata ruang, penyelenggaraan penataan ruang memerlukan langkah-langkah korektif penyempurnaannya di bidang pertanahan yaitu: 1.
Kurang terkoordinasinya penggunaan dan pemanfaatan ruang menyebabkan konflik penggunaan dan pemanfaatan tanah baik antar sektor, antar wilayah, maupun antar pulau. Saat ini, konflik antar sektor yang sering terjadi antara lain antara sektor kehutanan dan pertambangan, pertanian dengan perkotaan, perekonomian dengan lingkungan hidup, dan lain-lain. Sementara itu, tindakan penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran tata ruang masih belum efektif. Pelanggaranpelanggaran penggunaan dan pemanfaatan ruang belum dikenakan sanksi. Kalaupun ada hanya sekedar konsumsi berita. Pada akhirnya, kesemuanya berdampak pada inefisiensi sosial dan ekonomi dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah serta degradasi kualitas lingkungan hidup.
2.
Penyusunan dan implementasi RTRW di masa lalu belum cukup memberikan porsi yang seharusnya terhadap aspek pertanahan, sehingga sulit mengimplementasikan RTRW. Pada dasarnya implementasi penataan ruang merupakan penerapan kepentingan publik terhadap tanah yang telah dilekati hak, sehingga diperlukan penyelenggaraan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Demikian pula, upaya mewujudkan rencana tata ruang akan lebih efektif apabila ditempuh dengan memberikan atau tidak memberikan suatu hak atas tanah.
2
Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam rengka Pengembangan Wilayah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah, Jakarta Februari 2003
5
3.
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang perlu mendapat porsi yang besar. Hal ini merupakan juga salah satu esensi kebijakan pertanahan yakni perlindungan hak atas tanah, fungsi sosial tanah, keadilan, serta partisipasi masyarakat, sehingga dapat tercipta penggunaan dan penguasaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4.
Dalam implementasi rencana tata ruang sering terjadi benturan peraturan perundangan yang menyangkut bidang atau sektor tertentu, misalnya pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Rencana Tata Ruang Wilayah yang ketetapannya dituangkan dalam Peraturan Daerah dalam kenyataannya sulit diimplementasikan apabila berada dalam suatu kawasan yang pengelolaannya memiliki berbagai peraturan tersendiri.
PENUTUP Penatagunaan Tanah merupakan sub sistem dari sistem Penataan Ruang. Namun didalam prakteknya, alokasi penggunaan tanah dan alokasi penguasan tanah tetap saja menjadi unsur-unsur utama yang di atur oleh penataan ruang. Implikasinya adalah bahwa dalam rangka implementasi RTRW, pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterpaduan pembangunan melalui pendekatan penataan ruang perlu diselenggarakan berdasarkan prinsip penghormatan kepada hak keperdataan rakyat atas ruang / tanah, serta prinsip-prinsip sinergi dan kemanfaatan bersama (complementary benefit) dengan mengedepankan kepentingan bersama dan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas – melebihi batas-batas administrasi. Oleh karena itu pendekatan penataan ruang perlu dilaksanakan secara koordinatif dalam rangka mewujudkan tujuan pengembangan wilayah – sebagai kesatuan ekosistem – dapat dimaksimalkan, sekaligus meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang yang mungkin terjadi di masyarakat.
6