Buletin
Tata Ruang & Pertanahan edisi II tahun 2012
Belajar dari Jakarta Dinamika dan Tantangan Perencanaan Metropolitan Jakarta Wawancara dengan Ir. Sarwo Handayani, M.Si Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Provinsi DKI Jakarta
Meninjau Tata Ruang Jakarta: Aspek Transportasi dan Pengendalian Banjir Dr. Ir. Bianpoen Dosen Jurusan Teknik Arsitektur, FDTP-UPH Karawaci
Tantangan Pengadaan Permukiman Murah di Perkotaan Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkas, MURP Staf Kementerian PPN/Bappenas
Ringkas Buku Deddy K. Halim: Psikologi Lingkungan Perkotaan
pengantar redaksi
Belajar dari Jakarta Usai Pilkada 20 September 2012, belajar berdemokrasi dari Pilkada Jakarta menjadi highlight di banyak media. Meski sebelumnya melalui persaingan ketat perebutan suara, dan baru sebatas hasil hitung cepat, namun pada hari pemungutan suara Fauzi Bowo, gubernur petahana, mengucapkan selamat kepada pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang mengungguli perolehan suara. Dalam posisinya sebagai Ibukota, DKI Jakarta sering dijadikan barometer bagi pembangunan wilayah lainnya di Indonesia, terutama kotakota yang pesat perkembangannya. Tentu tidak hanya dari Pilkada lalu dapat dipetik pembelajaran, tetapi juga dari banyak aspek lainnya. “Belajar dari Jakarta”, diangkat sebagai tema Buletin Tata Ruang & Pertanahan edisi ke 2 tahun 2012. Sebagai barometer nasional, sekaligus etalase kehidupan bangsa dan negara RI pada aras internasional, Jakarta merupakan tempat belajar bagaimana sebuah kota dengan penduduk (siang hari) hampir 12 juta dan akumulasi 30 % dari sumber daya nasional direncanakan dan terus dibicarakan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Jakarta pada sisi lain diperhadapkan pada paling tidak 3 hal yaitu semakin parahnya kemacetan, banyaknya perumahan kumuh, serta terbatasnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ancaman banjir juga masih mengintai. Kesemua itu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Gubernur Terpilih DKI Jakarta . Untuk mendapatkan gambaran rinci tentang seluk-beluk pembangunan Jakarta, buletin kali ini menyajikan hasil wawancara langsung dengan Kepala Bappeda DKI Jakarta, Ir. Sarwo Handhayani, M.Si. Selanjutnya, konsep compact city dan kaitannya dengan aspek perumahan perkotaan, dikupas dalam tulisan Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP, yang tengah berkarya di Kementerian PPN/Bappenas dan pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat. Kita juga dapat mengetahui pandangan mengenai Jakarta di mata seorang Bianpoen, yang pernah lama berkiprah dalam perencanaan Jakarta. Sajian menarik lainnya adalah melihat dari dekat Jakarta City Planning Gallery, wujud konkrit keterbukaan perencanaan pembangunan kota, yang barangkali baru satu-satunya di Indonesia. Juga melihat kehadiran rumah singgah dalam merepons masalah sosial perkotaan, terutama fenomena anak jalanan. Untuk menyegarkan wawasan pembaca, turut ditampilkan ringkasan buku “Psikologi Lingkungan Perkotaan”, serta ringkasan kajian Land Market. Sebagai informasi perkembangan penataan ruang dan pertanahan, dapat disimak status terkini penyusunan perda Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), serta ringkasan peraturan diantaranya tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa dan Bali, dan Perpres No.71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Di era informasi dengan kemudahan akses internet dan intensitas pekerjaan yang padat, adalah tantangan tersendiri untuk mengelola sebuah buletin cetak agar tetap eksis. Untuk itu kami sampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada nara sumber dan berbagai pihak yang terkait dalam mempersiapkan buletin ini. Semoga buletin ini dapat memberi sumbangsih dan menjadi instrumen knowledge sharing dalam penataan ruang dan pertanahan. Redaksi Buletin Tata Ruang & Pertanahan
Pelindung
Penanggung Jawab
Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi
Editor
Redaksi
Desain & Tata Letak
Desain Sampul Distribusi & Administrasi Alamat Redaksi
Telp Email Website
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Mia Amalia Dwi Hariyawan S Uke M. Hussein Nana Apriyana Khairul Rizal Rinella Tambunan Hernydawati Santi Yulianti Zaenal Arifin Aswicaksana Agung Dorodjatoen Raffli Noor Idham Khalik Cindie Ranotra Riani Nurjanah Indra Ade Saputra Micania Camillang Yovi Dzulhijjah Dodi Rahadian Sylvia Krisnawati Redha Sofiya Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 021 - 392 66 01
[email protected] http://landspatial.bappenas.go.id
Buletin
Tata Ruang & Pertanahan daftar isi
2
8
10
2
Dinamika dan Tantangan Perencanaan Metropolitan Jakarta Wawancara Ir. Sarwo Handayani, M.Si Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta
10
Tantangan Pengadaan Permukiman Murah di Perkotaan Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP Staf Kementerian PPN/Bappenas
20 8
Meninjau Tata Ruang Jakarta: Aspek Transportasi dan Pengendalian Banjir Dr. Ir. Bianpoen Dosen Jurusan Teknik Arsitektur, FDTP- UPH Karawaci
24
Sosialisasi Peraturan Perundangan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan - PP No.26 Tahun 2012 - Perpres No. 28 Tahun 2012 - Perpres No. 71 Tahun 2012
- PP No 29 Tahun 2012 - PP No. 13 Tahun 2010
edisi II tahun 2012 1 daftar isi
9 dalam berita
16 melihat dari dekat
18 koordinasi TRP
22 kajian
28 galeri foto
15 agenda 20 ringkas buku
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
1
wawancara Ir. Sarwo Handhayani, M.Si
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Dinamika dan Tantangan Perencanaan Metropolitan Jakarta.
K
ota Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Sebagai Ibu Kota Negara, Kota Jakarta mengalami perkembangan pembangunan fisik maupun ekonomi yang pesat, sehingga Kota Jakarta sering dijadikan acuan bagi pembangunan kota-kota lain di Indonesia. Akan tetapi, disamping pesatnya pembangunan yang terjadi di Kota Jakarta, banyak pula masalah yang dihadapi dalam proses pembangunan tersebut. Dinamika isu dan perkembangan Kota Jakarta menjadi perhatian utama bagi Bappeda DKI Jakarta dalam merencanakan pembangunan Kota Jakarta secara terarah dan berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah utama. Sebagai Kepala Bappeda DKI Jakarta Ir. Sarwo Handhayani, M.Si tentunya fasih terhadap kondisi Jakarta dan segala perkembangannya. Berikut hasil wawancara redaksi buletin TRP dengan Ir. Sarwo Handhayani, M.Si (SH) mengenai pengalamannya dalam merencana kota sedinamis Jakarta yang tentu dapat menjadi insipirasi dan pembelajaran berharga bagi banyak kalangan.
TRP: Apa kelebihan Kota Jakarta jika dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lain di Dunia? SH: Dengan penduduk 9,7 juta jiwa (BPS 2012), Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan yang cukup diperhitungkan dalam tatanan kota-kota dunia khususnya di Asia. Bila dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lain di dunia, Jakarta mempunyai kelebihan dan kekurangan, yaitu: 1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan, tempat kedudukan Perwakilan Agung dan pusat perwakilan lembaga nasional. 2. Secara nasional ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam satu kesatuan kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) yang mengamanatkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang yang terpadu. Jakarta sebagai inti dan daerah disekitarnya sebagai satelit yang dapat diartikan dalam hal ini Pemerintah Pusat memberikan dukungan yang lebih besar untuk pembangunan kawasan Jakarta dan sekitarnya. 3. Sebagai kota yang telah berusia 485 tahun, Jakarta memiliki kekayaan lingkungan dan bangunan bersejarah terbesar di Asia tenggara. 4. Jakarta tumbuh semakin pesat dengan berbagai peran, yaitu sebagai pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, belanja, dan pariwisata, sehingga menjadi tujuan urbanisasi sekaligus menjadi barometer perkembangan kota-kota di Indonesia.
2
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
5. Pesatnya pembanguan di Jakarta saat ini masih belum dapat mengejar kebutuhan pelayanan infrastruktur yang lebih pesat lagi akibat tingginya pertumbuhan penduduk. Di sisi lain, posisi geografis yang kurang menguntungkan dan ketersediaan lahan yang terbatas, mengakibatkan permasalahan yang kompleks diantaranya kemacetan dan banjir.
TRP: Apa saja hal-hal yang menjadi lebih baik dan yang masih perlu diperbaiki/ dibenahi di Kota Jakarta dalam kurun waktu 10 tahun terakhir? SH: Dalam hal merencanakan pembangunan di Provinsi DKI Jakarta, sektor transportasi dan pengendalian banjir menjadi prioritas. Hal-hal yang menjadi lebih baik dalam 10 tahun terakhir: Secara konsisten Pemerintah Provinsi
Jakarta menjadi DKI Jakarta telah menerapkan Pola Transportasi Makro (PTM) yang tujuan urbanisasi mencakup pembangunan transportasi sekaligus menjadi publik yaitu Busway dan Mass Rapid Transportation (MRT), optimalisasi
barometer pelayanan kereta api, penambahan ratio jalan hingga mencapai 10% dari luas
perkembangan kota total Jakarta sebagaimana yang telah -kota di Indonesia. ditetapkan dalam Perda RTRW, serta
pengembangan pengelolaan lalu lintas. Saat ini pengembangan busway telah mencapai 12 koridor (207,3 km), 2 koridor ekstension (10,5 km) Tangerang dan Bekasi, 15 Feeder, 669 bus (472 single dan 197 double) dengan target penumpang 129,9 juta per tahun. Persiapan pengembangan MRT telah sampai di penghujung, diharapkan pada Bulan Oktober 2012 konstruksi koridor Selatan-Utara penggal Lebak Bulus – Bundaran Hotel Indonesia (HI) sudah bisa dimulai dan dapat digunakan pada Tahun 2016. Sementara itu koridor Timur-Barat dari Balaraja sampai dengan Cikarang saat ini dalam proses penyusunan studi kelayakan. Perubahan ratio jalan telah dilakukan dengan menyambungkan jalanjalan yang terputus (missing link), pembangunan Fly Over dan Under Pass serta pembangunan jalan layang non tol Antasari dan Casablanca. Pengembangan pengelolaan lalu lintas telah dilakukan dengan membangun Intellegent Transport System dan penataan parkir serta persiapan pola road pricing.
Dalam penataan parkir, pada dasarnya untuk traffic restraint, yang diinginkan adalah semua parkir bersifat off street daripada on street. Dengan off street kapasitas jalan diharapkan akan lebih meningkat, serta tidak akan ada lagi ketidakjelasan aliran dana dari sistem parkir on street seperti yang telah banyak terjadi selama ini. Namun, masalah utama dari penerapan sistem off ini adalah adanya keterbatasan lahan serta diperlukannya dana yang cukup besar untuk membangun gedung parkir. Dalam mengatasi masalah keterbatasan dana, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melibatkan peran pihak swasta. Harus diperhatikan juga pengelolaan sistem parkir yang telah ada,
sehingga sistem parkir off street tersebut dapat melayani kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Pola road pricing sebenarnya bukan merupakan hal baru. Disamping telah dimuat dalam UU lalu lintas, Pemerintah DKI Jakarta juga telah mempersiapkan Perda terkait. Sehingga nantinya tinggal menunggu terbitnya PP (Peraturan Pemerintah) mengenai road pricing. Salah satu hal yang mungkin perlu diperbaharui dalam rancangan mengenai road pricing ini adalah yang diatur hanya mengenai mobil. Padahal jumlah dan pengguna motor sudah sangat banyak di Jakarta. Sepatutnya ketentuan mengenai motor pun masuk sebagai salah satu obyek sistem road pricing. Rencananya, penerapan road pricing ini akan dilakukan pada daerah yang sebelumnya merupakan daerah 3 in 1. Dalam upaya pengendalian banjir, Kanal banjir timur sudah berfungsi mengamankan 2,7 juta penduduk dari banjir dan kanal banjir barat sudah ditingkatkan kapasitasnya. Sementara itu perluasan waduk dan situ serta perbaikan drainage telah menurunkan jumlah lokasi banjir. Selanjutnya untuk meningkatkan kualitas lingkungan kota telah dilakukan pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) secara konsisten melalui pembebasan lahan dengan luas rata -rata 20 ha per tahun. Dilakukan pula penambahan luas area hutan mangrove secara nasional maupun internasional, serta rehabilitasi mangrove dan juga peningkatan pengelolaan sampah di Bantar Gebang yang saat ini dapat menghasilkan 10,5 Mega Watt energy listrik dari gas metan. Untuk pengelolaan sampah, sekarang sedang disiapkan Intermediate Treatment Facility (ITF) berupa incinerator yang rencananya dapat memproses seperenam sampah Jakarta, sehingga kedepan pengelolaan masalah sampah Jakarta dapat diselesaikan oleh Kota Jakarta sendiri.
...untuk meningkatkan kualitas lingkungan kota telah dilakukan pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) secara konsisten melalui pembebasan lahan dengan luas rata-rata 20 ha per tahun.
RTRW yang lama telah menetapkan porsi RTH sebesar 23,94% atau kurang lebih 24% RTH (10% RTH privat dan 14% RTH publik) dari total luas DKI Jakarta. Porsi RTH ini mungkin masih belum sesuai dengan ketentuan 30% RTH (10% RTH privat dan 20% RTH publik) untuk suatu wilayah kota. Akan tetapi, dalam menyiasati kekurangan porsi RTH tersebut, Pemda DKI telah melakukan suatu upaya, yaitu dengan menetapkan 6% porsi RTH dari RTH privat (pihak swasta) yang dipergunakan untuk publik. Sehingga apabila dikalkulasi jumlah total RTH akan tetap 30% (10% RTH privat + 14% RTH publik + 6% RTH privat yang diperuntukan untuk publik). RTH memang menjadi salah satu perhatian utama di Jakarta. Upaya pembebasan lahan seluas 20 ha dengan total biaya 0,5 Trilyun dan jangka waktu lebih dari 30 tahun, ternyata hanya memberi porsi kurang lebih 0,005% dari luas total Jakarta. Meskipun begitu, rencana pengembangan tersebut akan tetap dipertahankan, karena memang DKI Jakarta sendiri menginginkan RTH yang banyak. DKI Jakarta sebenarnya telah mengeluarkan persyaratan minimal untuk green building, namun memang masih perlu upaya dan komitmen bersama dalam menerapkannya. Terlepas dari itu, apabila kembali pada konsep awal mengenai ketetapan RTH sebesar 30%, serta belajar dari kasus Jakarta, maka kedepan perlu ada analisis yang lebih matang dalam penetapan porsi 30% RTH tersebut, mengingat karakteristik kota yang berbeda-beda dan agar porsi yang diterapkan realistis untuk kota skala metropolitan. Di bidang pendidikan selain kesejahteraan guru juga ditingkatkan wajib belajar 12 tahun yang telah dimulai sejak tahun ajaran 2012, bersamaan dengan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Disamping itu, di
bidang kesehatan, telah tersedia fasilitas kesehatan di seluruh wilayah kota kecamatan dan kelurahan berupa Puskesmas Kelurahan, Puskesmas Kecamatan dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Fasilitas puskesmas tingkat kecamatan, juga telah dilengkapi dengan pelayanan rawat inap. Upah Minimum Regional (UMR) juga telah ditingkatkan dan jumlah keluarga miskin semakin berkurang. Dalam 10 tahun kedepan diperlukan upaya yang lebih keras lagi dalam melanjutkan perbaikan-perbaikan untuk masyarakat dan kota, diantaranya: • Pembangunan angkutan umum massal perlu terus dilakukan dengan menambah koridor busway dan MRT menjadi angkutan yang terintegrasi dengan kereta api dan angkutan lainnya. Sementara penggunaan kendaraan pribadi perlu diperketat dengan menerapkan berbagai skema traffic restraint. • Untuk mengamankan Kota Jakarta dari bahaya banjir dan rob perlu terus diupayakan penambahan waduk dan situ, penerapan zero run off bersama masyarakat dan membangun Giant Sea Wall yang dipadukan dengan pengembangan water front city. • Untuk meningkatkan kualitas Sumber daya manusia di Jakarta diupayakan peningkatan pendidikan sejalan dengan penyiapan tenaga terampil melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). • Kualitas pelayanan kesehatan terus ditingkatkan termasuk penanganan manusia lanjut usia (manula), serta pengembangan fasilitas olahraga termasuk membangun 2 (dua) stadion. • Jumlah penduduk miskin terus dikurangi dengan pengembangan program-program yang lebih terarah. • Peningkatan kualitas lingkungan hidup terus dilakukan diantaranya melalui pengembangan skema pembiayaan daerah yang melibatkan BUMD dan masyarakat serta dunia usaha.
TRP: Isu-isu prioritas apakah yang dapat menjadi masukan dalam perencanaan pembangunan? SH: Merencanakan tata ruang Jakarta yang telah berusia 485 tahun memerlukan kecermatan lebih dibandingkan dengan merencanakan kotakota baru yang masih kosong. Masukan hasil evaluasi yang kualitasnya ditentukan oleh monitoring, menjadi penting karena optimalisasi ruang didasarkan pada keseimbangan daya dukung dan daya tampung yang saat ini sudah terbatas. Diperlukan terobosan dalam menjawab permasalahanpermasalahan yang ada. Kelangkaan lahan untuk pembangunan dan ancaman banjir rob karena perubahan iklim mendasari pemikiran rencana pembangunan Jakarta sebagai Water Front City yang berkelanjutan dengan membangun Giant Sea Wall yang sekaligus terpadu dengan pengembangan potensi ekonomi seperti jalan tol , pelabuhan, air bersih, angkutan massal dan tambahan lahan baru. Dalam proses perencanaan pelibatan pemangku kepentingan sangat perlu dilaksanakan, tidak hanya di dalam Provinsi DKI Jakarta tetapi juga dengan
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
3
Daerah yang berbatasan. Selanjutnya untuk menjamin bahwa rencana yang telah disusun akan diterapkan dengan konsisten, perlu dirancang rencana pemanfaatan dan pengendaliannya yang merupakan bagian dari dokumen perencanaan itu sendiri. Kemampuan pembiayaan juga merupakan isu penting untuk dapat menghasilkan rencana yang realistis. Isu lain yang juga merupakan prioritas adalah keterpaduan program dalam upaya “Pemberdayaan Masyarakat”. Masyarakat yang berdaya diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah di lingkungannya masing-masing. Sehingga program-program pembangunan dalam skala besar dapat dilaksanakan lebih sukses. Peran lurah sebagai ujung tombak pembangunan yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan, termasuk dalam wawasan dan pandangan berkaitan dengan public services dan governance. Perencanaan pengentasan kemiskinan memerlukan kecermatan yang tinggi dan peran lurah menentukan keberhasilan upaya ini. Isu prioritas yang juga perlu diperhatikan adalah perencanaan perizinan yang terpadu antar unit-unit pemberi rekomendasi suatu izin dan transparansi mekanisme perizinan yang dapat dipahami oleh masyarakat. Pemanfaatan Information Technology (IT) menjadi mutlak untuk meningkatkan pelayanan masyarakat secara keseluruhan.
TRP: Upaya apa yang telah ditempuh dalam penanganan isu prioritas tersebut? • Telah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta yang telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah pada tanggal 12 Januari 2012. Sebagai acuan pembangunan jangka panjang yang bersifat arahan makro, Perda dimaksud lebih lanjut dirinci dalam Rencana Detail Tata Ruang yang diharapkan dapat segera di ‘Perda’ kan agar dapat menjadi pedoman pelaksanaan pembangunan kota. Sementara itu untuk sektor-sektor dan program-program strategis, sedang dipersiapkan rencana pelaksanaannya, misalnya pengembangan Transit Oriented Development (TOD) dan pembangunan Giant Sea wall. • Telah disusun mekanisme perencanaan yang menempatkan masyarakat lingkungan RT, RW dan Kelurahan sebagai subyek pembangunan agar masyarakat lebih berdaya dalam menyelesaikan permasalahan di lingkungannya. Pemberdayaan ekonomi masyarakat Kelurahan diupayakan dengan membentuk koperasi jasa keuangan sendiri. Demikian pula peran lurah telah ditingkatkan melalui pelimpahan wewenang dalam pelaksanaan pembangunan termasuk peningkatan jumlah anggaran untuk membiayai program-program yang dapat dikerjakan bersama dengan masyarakat.
Terkait dengan Giant Sea Wall, ide awal muncul karena Jakarta merupakan salah satu kota di Pantura (Pantai Utara Jawa) yang akan terkena dampak climate change, sehingga dijadikan salah satu pilot project untuk aplikasi mengatasi masalah dampak climate change, khususnya untuk wilayah Pantura. Berdasarkan hasil kajian bekerjasama dengan Belanda diperkirakan diperlukan waduk/danau seluas 50 km2 yang harus dibangun untuk mengantisipasi masalah banjir di Jakarta, khususnya yang disebabkan kenaikan permukaan air laut oleh karena adanya climate change. Kajian tersebut menyarankan 2 (dua) opsi, yaitu: (1) dibangun on land atau (2) dibangun off land. Apabila dibangun off land, biaya yang besar merupakan kendala utama. Namun pada sisi lain pembangunan off land memiliki dampak turunan yang positif karena bisa turut menopang pembangunan wilayah, seperti penggunaan sisi waduk off land sebagai jalan tol, area MRT, pemenuhan standar ...diperlukan waduk/ pelabuhan masa depan, sumber daya air tawar, lokasi wisata, danau seluas 50 km2 maupun pemenuhan reklamasi yang yang harus dibangun dapat menambah luas lahan. Terkait kebutuhan biaya yang besar untuk mengantisipasi tersebut, sebenarnya sudah ada masalah banjir di Jakarta, beberapa alternatif, diantaranya dengan memadukan Giant Sea Wall khususnya yang off land dengan water front city. disebabkan kenaikan Rencana Giant Sea Wall sebenarnya sudah masuk dalam RTRW, yaitu
permukaan air laut oleh karena adanya climate change.
Jakarta coastal development strategy. Meskipun merupakan
rencana yang sangat strategis dan telah diusulkan masuk ke dalam MP3EI, namun sampai sekarang tidak masuk dalam Metropolitan Priority Area (MPA).
TRP: Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam penanganan isu-isu prioritas tersebut? SH: FaktorFaktor-faktor pendukung: • Komitmen yang tinggi dari pimpinan daerah dan jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. • Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai modal bagi pembiayaan pembangunan Jakarta. • Sumber daya manusia yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta relatif cukup baik. • Dukungan dari Pemerintah Pusat baik dalam bentuk pembiayaan program-program pembangunan maupun bantuan berupa bimbingan teknis. • Tawaran kerjasama dari Pemerintah Negara lain cukup banyak sehingga membuka peluang untuk pembangunan Jakarta dengan mengadopsi keberhasilan pembangunan di kota-kota besar dunia. • Antusiasme berbagai komunitas cukup tinggi untuk terlibat dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam membangun Jakarta. Sementara itu, faktor faktoraktor-faktor penghambat: • Walaupun PAD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cukup tinggi, namun masih jauh dari kebutuhan yang diperlukan untuk membangun Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. • Peraturan Pemerintah yang ada belum sepenuhnya mendukung rencana pembangunan. • Secara geografis posisi Jakarta yang kurang menguntungkan, yakni sebagai kota delta yang dilalui 13 sungai. • Keterbatasan lahan sehingga biaya pembebasan lahan yang tinggi dan sulit dilakukan.
4
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
• Status kepemilikan lahan masyarakat seringkali tidak jelas (tidak bersertifikat) sehingga mempersulit proses pembebasan lahan untuk pembangunan. • Keberhasilan pembangunan di Jakarta di sisi lain menambah arus urbanisasi ke Jakarta. • Urbanisasi ke Bodetabek (Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) yang pesat menambah besarnya komuter ke Jakarta yang membutuhkan pelayanan fasilitas kota. • Sikap dan perilaku masyarakat Jakarta belum sepenuhnya mencerminkan masyarakat perkotaan.
Meskipun telah banyak contoh pelaksanaan kerjasama yang menunjukan hubungan baik, namun masih ada hal lain yang harus ditingkatkan dalam kerjasama tersebut, yakni ketahanan pangan. Sebagai kota inti yang memiliki banyak kegiatan ekonomi dan menjadi pusat penarik bagi wilayah sekitarnya, kedepan perlu dibangun terminal agribisnis di sekitar Jakarta. Dengan demikian, sebagai kota jasa, Jakarta dapat lebih fokus pada penerapan high tech dan padat modal. Namun hal itu tidak mudah karena mencakup banyak aspek serta kualitas SDM yang belum sepenuhnya mendukung.
TRP: Bagaimana dengan dinamika hubungan antarpemerintah (Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah yang berbatasan); serta dinamika hubungan antarpemangku kepentingan (Pemerintah – Masyarakat – Dunia Usaha – DPRD)? a.
Dinamika hubungan antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat: Pembangunan Jakarta tidak semata-mata dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan daerah, melainkan juga Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Dalam hal ini, Pemerintah DKI Jakarta senantiasa berusaha untuk dapat mengakomodasi kedua kepentingan tersebut dan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat. Beberapa hambatan yang seringkali muncul dalam mengakomodasi kepentingan pembangunan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara adalah kurangnya dukungan Pemerintah Pusat dalam hal pendanaan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pendanaan Pemerintah DKI Jakarta dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara dianggarkan dalam APBN berdasarkan usulan dari Pemerintah DKI Jakarta. Namun, saat ini pendanaan tersebut belum terlaksana, terutama karena belum adanya PP turunan dari UU No.29/2007. Diharapkan kedepan akan ada PP turunan tersebut.
b.
Dinamika hubungan antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemda yang berbatasan: Perencanaan DKI Jakarta tidak dapat terlepas dari perencanaan wilayah sekitarnya sehingga diperlukan sinkronisasi, khususnya rencana tata ruang yang prosesnya seringkali tidak mudah karena adanya perbedaan kepentingan antar daerah. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur diharapkan proses koordinasi dapat berjalan lebih baik karena memiliki kepastian dasar hukum. Sementara itu juga selalu diupayakan kerjasama yang saling menguntungkan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah yang berbatasan melalui Forum Badan Kerjasama Pembangunan Daerah Jabodetabekjur dalam rangka pemaduserasian kawasan Jabodetabekpunjur sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 54 tahun 2008. Pemda DKI juga telah mengupayakan adanya bantuan dana untuk daerah-daerah sekitarnya. Namun sejak berlakunya ketentuan Permendagri No.32/2011, dicari bentuk bantuan yang tidak menyalahi aturan, seperti bantuan dalam bentuk infrastruktur. Upaya kerjasama juga sudah dilakukan melalui kegiatan ‘road show’ kepada Pemda sekitar dalam penyusunan RTRW. Selain itu telah berjalan kerjasama untuk penanganan sampah di Bantar Gebang. Sejauh ini telah ada ‘take and give’ yang baik dalam pengelolaan sampah di Bantar Gebang.
c.
(Pemerintah-Dinamika hubungan antar pemangku kepentingan (Pemerintah MasyarakatMasyarakat-Dunia UsahaUsaha-DPRD):
Perencanaan pembangunan DKI Jakarta diupayakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik untuk perencanaan jangka panjang, menengah maupun jangka pendek atau tahunan. Perencanaan tahunan dilaksanakan melalui pendekatan perencanaan secara bottom up dan top-down. Proses perencanaan bottom-up dilalui dengan menjaring aspirasi Suatu kota dipandang masyarakat untuk berhasil maju dan pembangunan melalui Rembug berkembang jika memiliki Rukun Warga (RW) dan Musyawarah Perencanaan aktivitas perekonomian Pembangunan (Musrenbang) yang tinggi, yang didukung yang dilaksanakan bertahap mulai dari Kelurahan hingga dengan pembangunan Provinsi. Sementara itu, infrastruktur dan sarana proses perencanaan top-down ditempuh melalui penyusunan pendukung yang dapat kegiatan-kegiatan prioritas memfasilitasi mobilitas Pemerintah DKI Jakarta yang merupakan komitmen penduduknya. pembangunan jangka menengah untuk mencapai visi jangka panjang yang dicita-citakan. Mengingat peran APBD dalam pembangunan di DKI Jakarta hanya kurang dari 10 %, maka penciptaan iklim usaha yang kondusif menjadi prioritas untuk dapat mengoptimalkan peran dunia usaha dalam pembangunan termasuk penerapan skema Public Private Partnership. Namun demikian usaha ini masih menghadapi hambatan baik terkait perizinan maupun peraturan.
TRP: Bagaimana dengan kemungkinan kota-kota lain di Indonesia akan mengikuti jejak Kota Jakarta? SH: Selama ini Jakarta telah menjadi barometer pembangunan bagi perkembangan kotakota-kota di Indonesia. Suatu kota dipandang berhasil maju dan berkembang jika memiliki aktivitas perekonomian yang tinggi, yang didukung dengan pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung yang dapat memfasilitasi mobilitas penduduknya. Beranjak dari fakta tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Jakarta, pun dengan segala permasalahannya, masih dipandang sebagai salah satu kota paling maju di Indonesia, yang
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
5
menjanjikan masa depan yang cerah bagi banyak orang, dengan banyaknya inovasi dan penerapan teknologi terdepan. Karena itu sangat besar kemungkinan kota-kota lain di Indonesia mengikuti jejak kota Jakarta. Dalam mengikuti jejak kota Jakarta perlu secara cerdik mengambil pelajaran dari pembangunan di Jakarta agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Di sisi lain Jakarta sendiri sering belajar dari kota lain di Indonesia untuk dapat terus meningkatkan kinerjanya.
TRP: Apa saja pelajaran berharga yang kiranya dapat dipetik dari Jakarta bagi kota-kota lain, khususnya kota metropolitan? SH: Menilik permasalahan-permasalahan yang dihadapi Kota Jakarta, terdapat beberapa pelajaran berharga yang dapat dipetik, antara lain:
Pengembangan angkutan umum masal adalah suatu keharusan bagi sebuah kota yang berpenduduk diatas 1 (satu) juta jiwa. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah sedini mungkin untuk membangun angkutan massal yang terintegrasi.
1. Sangat penting bagi suatu kota untuk memiliki Masterplan yang disusun dengan komprehensif, visioner, berlandaskan data yang akurat, fleksibel terhadap perkembangan yang terjadi di lapangan, serta berkekuatan hukum. Masterplan yang dimaksud dapat berupa Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Pembangunan Jangka Panjang, dan masterplan sektoral lainnya yang dipandang strategis. Masterplan tersebut harus memuat secara cukup detail target pembangunan, tahapan pembangunan, sumber pendanaan dan instansi pelaksana sehingga rencana tersebut mudah untuk diimplementasikan secara konsisten dan disiplin.
2. Namun, perlu diingat pula bahwa RTRW yang ada saat ini penekanan perencanaannya hanya melingkupi 2 (dua) dimensi, yaitu darat dan wilayah perairan. Padahal di udara dan dalam bumi juga terdapat ruang publik yang perlu pengaturan jelas. Contohnya papan reklame yang menyangkut ruang udara masih memerlukan pengaturan yang jelas dalam RTRW. Saat ini tengah disusun rancangan Perda untuk pengaturan ruang di bawah tanah & di atas tanah, kerjasama dengan Prof. Arie Hutagalung dan Ibu Maharani (BPN). Akan tetapi, seharusnya perlu ada PP yang merinci UU 26/2007 sebagai dasar penyusunan Perda tersebut. 3. Pengaturan ruang di bawah tanah & di atas tanah akan sangat terkait dengan aspek pertanahan. Status kepemilikan lahan harus jelas, terutama dalam rangka menerapkan e-goverment. Harusnya sistem administrasi pertanahan yang baik dibangun oleh BPN. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan menyebabkan berlarut-larutnya pembangunan, salah satunya pada kanal banjir timur. Prosesnya yang sampai ke pengadilan, melalui mekanisme konsinyasi memakan waktu yang lama dan membuang energi. Terkait dengan UU Pengadaan Tanah yang baru, sebenarnya seluruh Provinsi pernah menyatakan tidak setuju dengan pengadaan tanah yang diserahkan ke BPN, karena akan semakin mempersulit daerah dalam pengadaan tanah. 4. Pembangunan kota hendaknya tidak semata-mata berpusat pada pesatnya pembangunan fisik dan infrastruktur kota,
6
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
karena hal tersebut ternyata tidak secara otomatis menjadikan kota nyaman untuk ditinggali antara lain karena kualitas lingkungan menjadi menurun. Seharusnya land use dan infrastruktur dapat ‘nge -blend’ atau membaur dengan dimulai dari pembangunan infrastruktur, hingga kemudian dapat diisi oleh penggunaan lain, sehingga kemudian dapat terbangun suatu kota yang compact, tidak seperti sekarang yang sudah terlanjur terpencar-pencar/scattered. Sekarang ini pola perkembangan pembangunan di Jakarta masih sangat bebas, sehingga menjadi tidak compact dan sulit untuk diatur dan dikontrol. Rencana Tata Ruang Wilayah seharusnya diimplementasikan secara bertahap dengan didahului/ dikonsentrasikan pada beberapa kawasan tertentu terlebih dahulu kemudian menyusul ke kawasan lainnya. 5. Terkait dengan masalah banyaknya mall, memang seharusnya mall harusnya diatur dalam distribusi/ penyebaran lokasinya. 6. Pengembangan angkutan umum masal adalah suatu keharusan bagi sebuah kota yang berpenduduk diatas 1 (satu) juta jiwa. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah sedini mungkin untuk membangun angkutan massal yang terintegrasi. Sebab apabila tidak cepat diantisipasi, akan lebih sulit untuk mengatasi masalah transportasi yang telah terjadi. Jakarta sebenarnya sudah terlambat dalam mengantisipasi masalah penyediaan angkutan umum massal ini, sehingga saat ini lebih sulit untuk melaksanakannya. Seperti juga halnya yang dialami Bali yang sudah terlanjur macet, akan lebih sulit untuk membangun angkutan umum massal. 7. Untuk membangun suatu kota dengan sistem transportasi yang baik tersebut, dibutuhkan dana yang luar biasa besar. Disamping itu, diperlukan Pemerintah Kota yang cerdas, sehingga infrastruktur bisa turut dibiayai oleh kalangan yang menikmati infrastruktur tersebut, misalnya developer. Terkait dengan pendanaan ini, sebenarnya daerah bisa melakukannya melalui BUMD. Saat ini DKI Jakarta sudah berencana membangun 6 ruas jalan tol tanpa dana pemerintah, melalui public private partnership, diantaranya dengan skema BOT (Built Operate Transfer). Dalam upaya mengatasi harga lahan yang mahal di Jakarta, dibuat jalan layang. Untuk itu Pemda membuat regulasi-regulasi untuk mendukung upaya tersebut. 8. Untuk rencana jangka panjang, Pemerintah DKI Jakarta memang ingin menciptakan water front city, karena selain diperoleh nilai tambah dari reklamasi untuk meningkatkan kualitas pantai, juga dapat diterapkan pemberlakuan kewajiban penyediaan segmen pantai tertentu yang dapat akses publik. Pengaturan mengenai reklamasi pantai ini telah dirumuskan dalam bentuk Peraturan Gubernur, yang rencananya akan diterbitkan dalam 1-2 hari ini. Pengaturan tersebut bisa menjadi contoh/pembelajaran penerapan reklamasi bagi daerah lain. 9. Mengenai gugatan terhadap akses publik terhadap pantai utara Jakarta, memang banyak stakeholders yang mengelola pantai utara Jakarta. Jakarta sebenarnya terlambat untuk mengatur, sehingga kondisinya sudah terkavling-kavling dan hanya tinggal sedikit yang tersisa di kawasan timur. Selain itu, disamping telah terkavling, kualitas lingkungannya juga tidak terjaga. Hal ini terjadi karena sikap egois dari tiap pengelola tersebut, sehingga tidak memperhatikan lingkungannya. Namun, 10 tahun terakhir ini kualitas lingkungannya yang tidak terjaga di pantai utara Jakarta tersebut memang sudah
direspon antara lain dengan pengerukan sungai, peningkatan jalan, dan rencana reklamasi di utara Jakarta. 10. Diperlukan komitmen politik bersama antara pihak eksekutif dan legislatif sehingga rencana-rencana yang telah disusun benarbenar dapat diimplementasikan. Pembangunan kota hendaknya berkeadilan karena bila masyarakat miskin sulit mengakses fasilitas kota, akan menimbulkan kesenjangan sosial yang tajam. Selain itu, sustainable development harus menjadi acuan penyelenggaraan pembangunan, sehingga keberlanjutan kota, baik dari segi lingkungan, ekonomi, dan sosial dapat terpelihara. 11. Jangan mengenyampingkan peran serta masyarakat, karena bagi kota metropolitan yang heterogen seperti Jakarta, peran serta masyarakat seyogyanya dapat dikelola dengan cermat dan baik. Selain untuk mendapatkan masukan bagi pemerintah dalam menjalankan program-pogram pembangunan, juga menumbuhkan sense of belonging dari masyarakat sehingga program-program pembangunan dapat senantiasa didukung dan dipelihara oleh masyarakat. 12. Pentingnya kerjasama dan komitmen antara Pemerintah Kota dan dan kota lain yang berbatasan serta dengan Pemerintah Pusat, karena sangat banyak kebijakan dan pengambilan keputusan yang hanya dapat terselenggara apabila telah tercapai kesepakatan antara pihak-pihak tersebut.
TRP: Apa saja pengaruh signifikan dari penerapan desentralisasi sejak tahun 1999 terhadap pembangunan Jakarta, terutama dalam konteks eksternal (misal: berkurangnya laju urbanisasi ke Jakarta)? SH: Pengaruh desentralisasi baru mulai dirasakan dengan indikasi menurunnya urbanisasi ke Jakarta sejak 2004 karena perkembangan pembangunan daerah yang mulai meningkat, kota tujuan urbanisasi saat ini sudah semakin beragam, tidak hanya ke Jakarta. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 tercatat migrasi risen yang masuk ke DKI Jakarta sekitar 7,3%, sedangkan yang keluar dari DKI Jakarta sekitar 10,2% yang berarti migrasi netto -2,9%. Laju pertumbuhan penduduk pada periode 2000-2010 tercatat 1,42% untuk DKI Jakarta, 3,67% untuk kawasan Bodetabek dan tertinggi laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bekasi sebesar 4,69% yang diikuti oleh Kota Depok sebesar 4,3%. Relatif tingginya pertumbuhan penduduk di wilayah Bodetabek mendorong terjadinya peningkatan jumlah komuter yang melakukan perjalanan ke Jakarta karena aktivitas ekonomi mereka tetap berlangsung di Jakarta. Jika MP3EI berhasil, harusnya urbanisasi bisa ditekan. Desentralisasi memang ada dampaknya, namun yang terjadi adalah migran masuk tinggal di sekitar (Bodetabek), dan tetap saja bekerja di Jakarta. Seharusnya mereka bisa bekerja di Bodetabek juga, sehingga Jakarta tidak terlalu ‘crowded’.
TRP: Bagaimana dengan pandangan mengenai wacana pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jakarta? SH: Saat ini DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang meliputi : a. Fasilitas istana dan lembaga eksekutif b. Fasilitas legislatif, kantor dan perumahan c. Fasilitas yudikatif, kantor dan perumahan d. Fasilitas keamanan, kepolisian dan angkatan bersenjata e. Fasilitas Bank Sentral dan perbankan utama f. Fasilitas Information and Communication Technology (ICT) g. Fasilitas penelitian dan perpustakaan Isu pemindahan ibu kota pernah diwacanakan dengan tiga skenario. Pertama, Pertama ibu kota tetap di Jakarta, dengan mengoptimalkan infrastruktur untuk menata, membenahi, dan memperbaiki beberapa persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, dan tata ruang wilayah. Kedua, Kedua ibu kota Negara tetap diletakkan di Jakarta karena faktor historis, sedangkan pusat pemerintahan dipindahkan ke lokasi baru. Ketiga, ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan dari Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Wacana pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jakarta, dipandang sangat mahal dan menguras anggaran Negara, namun hasilnya belum tentu efektif dalam menyelesaikan masalah kesenjangan wilayah maupun perkembangan Kota Jakarta. Hal ini mendorong pemikiran bahwa isunya bukan memindahkan ibu kota, melainkan mendorong penyeimbangan aktifitas sosial ekonomi nasional yang saat ini terlalu menumpuk (over concentrated) di Jakarta dan di Kawasan Bodetabek, yang berdampak pada disparitas (kesenjangan) pembangunan wilayah dan pada gilirannya menjadi problem bagi pembangunan dan management Kota Jakarta itu sendiri. Untuk mendorong laju perekonomian secara berimbang di seluruh wilayah Indonesia telah dirumuskan MP3EI sebagai landasan percepatan pembangunan ekonomi menurut koridor masing-masing.
isunya bukan memindahkan ibu kota, melainkan mendorong penyeimbangan aktifitas sosial ekonomi nasional yang saat ini terlalu menumpuk (over concentrated) di Jakarta dan di Kawasan Bodetabek
Apapun pilihan skenarionya, sesungguhnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama-sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sekitar DKI Jakarta tetap harus menyelesaikan isu strategis seperti kemacetan, banjir, urbanisasi, kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Di akhir wawancara, dituturkan oleh Ibu Yani, begitu panggilan Ir. Sarwo Handhayani, M.Si, bahwa “Kerja adalah amanah. Tuntutan pekerjaan memang ada kalanya menyebabkan waktu untuk keluarga menjadi tersita. Namun, semuanya dijalani dengan ikhlas, sehingga lebih ringan menjalaninya.” [rt/kr/yd]
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
7
opini Meninjau Tata Ruang Kota Jakarta: Aspek Transportasi dan Pengendalian Banjir Dr. Ir. Bianpoen Dosen Jurusan Teknik Arsitektur, FDTP- UPH Karawaci; pernah bekerja sebagai Staf Ahli untuk Tata Kota, DKI Jakarta; dan Wakil Kepala, Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan, DKI Jakarta
U
ntuk mengetahui tata ruang Jakarta lebih tertata atau tidak, tergantung pada kriterianya, dan itu tidak ada. Sebagai indikator dapat dipakai; indikator fisik, yaitu sistem alam (air tawar, air laut, air tanah, air sungai, udara, tanah, rawa-rawa, dll.). Di samping itu juga ada indikator sosial-ekonomi, yang meliputi kesenjangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, interaksi antar masyarakat, kebersamaan, solidaritas, kerukunan , kesejahteraan, dan sebagainya. Akan tetapi, yang lebih penting adalah mengenai ada atau tidak adanya moral dari para penyusun tata ruang tersebut. Beberapa contoh nyata
... tantangan Jakarta dan mengenai kondisi penataan semua kota-kota lain ruang di Kota Jakarta adalah masalah penataan kawasan
Kelapa Gading seperti yang kita kenal sekarang. Hal yang lebih menyedihkan adalah para penegak hukum di negara ini juga seperti membiarkan di kondisi tersebut. Melihat kondisi demikian, maka istilah “Negara kita adalah negara hukum” tampaknya lebih tepat jika diganti dengan istilah “Negara kita adalah negara bebas hukum”. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang menjadi penting bukan mengenai ada atau tidak ada-nya tata ruang, melainkan mengenai ada atau tidak adanya moral. Dengan kondisi moral kita sekarang, maka tidak mengherankan jika terjadi perubahan dari rawa-rawa menjadi permukiman atau industri, dari daerah pesisir menjadi permukiman dan rekreasi, dan seterusnya. Maka, bisa dikatakan bahwa tantangan Jakarta dan semua kota-kota lain adalah moral dan pengetahuan tentang ekologi berkelanjutan.
adalah moral dan permukiman serta masalah ruang terbuka. Ruang kota
pengetahuan tentang seharusnya dapat dinikmati ekologi berkelanjutan oleh semua strata masyarakat,
dari yang terkaya sampai dengan yang termiskin. Hal ini berarti di dalam tata ruang kota harus sudah ditentukan lokasi-lokasi permukiman bagi yang miskin. Namun, hal tersebut sekarang diabaikan, bahkan mereka digusur dan diusir dari Kota Jakarta. Ini berarti Pemerintah Daerah/ Pemerintah Nasional tidak menjalankan 2 (dua) Undang-Undang, yaitu UUD 45, Ps. 34 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Berbicara mengenai kemacetan, kemacetan Jakarta seharusnya diatasi dengan membangun sistem transportasi masal (Mass Rapid Transportation). Pelebaran dan pembangunan jalan-jalan yang lebar dan melayang justru memicu peningkatan jumlah mobil dan kemacetan. Transportasi umum dengan sistem MRT yang semestinya dibangun. Urbanisasi tidak akan berpengaruh banyak jika sistem transportasi umumnya sudah baik.
Selanjutnya, salah satu contoh mengenai masalah ruang terbuka adalah mengenai Kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Kawasan TimurUtara dari Kawasan Kelapa Gading semula merupakan daerah rawa dan sawah. Kondisi tersebut dinyatakan dalam RUTR/RTRW DKI yang berlaku sampai dengan Tahun 2025. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa, menentukan bahwa rawa-rawa perlu dijaga kelestariannya. Akan tetapi, ironisnya sebuah keputusan Menteri di Tahun 1993 menyatakan bahwa rawa dapat dipakai untuk pembangunan fisik. Akibat hal tersebut, maka jadilah perumahan di 8
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
Masalah banjir Jakarta seharusnya diatasi dengan rehabilitasi hutan di Bogor-Puncak dengan membongkar semua vila-vila dan real-estate di tempat-tempat yang semula merupakan kawasan hutan. Mengenai Banjir Kanal Timur, memang dapat saja mengatasi banjir, tetapi terbatas hanya untuk kawasan di sekitar kanal tersebut saja. Selanjutnya, terkait wacana “Giant Sea Wall”, perlu dianalisis lebih mendalam, apa yang akan terjadi apabila semua air kotor dari 13 sungai masuk ke teluk Jakarta?. Secara singkat, pembelajaran yang saya rekomendasikan adalah untuk mengatasi masalah kemacetan perlu dibangun sistem MRT, dan untuk mengatasi masalah banjir perlu dilakukan dengan rehabilitasi kawasan hutan. Upaya-upaya tersebut hendaknya dilandaskan dengan moral rendah hati dan pemahaman ilmu ekologi serta memprioritaskan yang miskin, termasuk mereka yang ada di bantaran sungai. Rekomendasi ini, berlaku juga untuk semua kota di Indonesia.
dalam berita Pada Tahun 2012 , berita media cetak tentang tata ruang dan pertanahan banyak diwarnai dengan berita mengenai rencana tata ruang, diantaranya isu Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta dan jalan bebas hambatan di Surabaya. Sementar itu di sektor pertanahan banyak memberitakan tentang Undang-Undang (UU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, karena dengan UU ini dinilai nantinya pemerintah bisa mencabut hak atas tanah rakyat. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang dan pertanahan serta lingkungan. Juni 2012 Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menghentikan bantuan pendanaan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kamboja, karena Pemerintah Kota Banjarmasin tidak konsisten menjalankan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW). Demikian dikemukakan Pakar Tata Ruang Kota Banjarmasin Bachtiar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), Jumat (15/6). Bachtiar yang menjadi salah seorang penyusun RTRW Kota Banjarmasin juga mengaku kecewa dengan berubah-berubahnya program pembangunan dan tidak mengacu pada Perda Tata Ruang. (Media
Indonesia/15/062012) Konflik agraria terbesar berpotensi pecah di Provinsi Riau. Sebab, selama 12 tahun sejak 1998 hingga kini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tidak kunjung disahkan. Ditambah lagi kenyataan banyak kepala daerah dan pejabat dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Riau yang terjerat kasus hukum korupsi perizinan lahan. "Riau itu daerah sangat rentan terjadi konflik besar agraria. Di sini banyak izin perkebunan, kehutanan, dan pertambangan yang tidak pernah ditinjau ulang oleh pemerintah daerah. Tidak pernah jelas di mana batas lahan perusahaan. Kata Pengamat Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Riau Hasanuddin di Pekanbaru, Jumat.(Media Indonesia/15/062012) Agustus 2012 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dinilai tidak menguntungkan masyarakat. Karena, aturan tersebut telah membuat masyarakat kehilangan lahan penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Menurut Kurnia Warman, dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, harus ada keseimbangan antara hukum dan kepentingan masyarakat terkait tanah. "Hak rakyat harus dijamin kepastiannya agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan pemerintah dalam pembangunan," ujar Kurnia. (Tempo.co, 3/08/2012) Permasalahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta ternyata masih belum menemukan solusi pasti, meski kini tengah dibahas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi oleh eksekutif dan legislatif. Saat ini, luas RTH publik Jakarta baru mencapai 9,8 persen yang berarti masih kurang 10,2 persen mengingat untuk target RTH privat ditargetkan sebesar 10 persen dari jumlah total 30 persen RTH. Terhitung sejak 2000-2011, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya mampu menambah RTH publik sebesar 0,8 persen saja. (Kompas, 29/08/ 2012)
Pemerhati politik dan kebijakan publik Andrinof Chaniago mengungkapkan secara implisit UU No 2 Tahun 2012 tentang Pembebasan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) berpihak pada investor. Andrinof juga menyampaikan kelemahan mendasar pada UU Pengadaan tanah, hak warga negara untuk menentukan mana jenis pembangunan untuk kepentingan umum dihilangkan. "Proyek pembangunan itu harus untuk masyarakat, bukan dengan tujuan mencari keuntungan. Karena itu, UU ini harus direvisi," ucapnya. Sedangkan, pihak pemerintah yang diwakili Deputi II Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Gede Ariyuda mengatakan UU Pengadaan Tanah dilakukan pemerintah dan dananya berasal dari pemerintah. (Media Indonesia, 02/08/ 2012) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpres nomor 71 tahun tahun 2012. Perpres ini mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan hingga tahap penyerahan hasil. Seluruh tahapan ini harus diselesaikan dalam waktu maksimal 583 hari. Dalam perpres itu disebutkan, setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diharuskan untuk menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Dokumen tersebut antara lain memuat tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Dokumen tersebut lalu diserahkn kepada gubernur di wilayah tanah tersebut berlokasi. (Republika, 03/11/ 2011) September 2012 Pemerintah Kota Surakarta, Jawa Tengah, hendak membongkar sejumlah bangunan untuk penataan kawasan koridor Jalan Sudirman. "Pembongkaran itu terkait dengan rencana Pemkot Surakarta untuk menata kawasan koridor Sudirman," kata Kepala Dinas Tata Ruang Kota Surakarta Ahyani di Solo.(Media Indonesia, 04/09/2012) Jalur bebas hambatan yang selama menjadi polemik dalam pembahasan RTRW Kota Surabaya karena dinilai tidak sesuai dengan akselerasi pembangunan kota dan melewati kawasan kabupaten lain yakni Aloha (Sidoarjo)-Wonokromo-Tanjung Perak, diusulkan diubah jadi Menanggal-Wonokromo-Tanjung Perak. "Pertemuan antara Pemkot, DPRD Surabaya dengan BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) dan kementerian terkait di Jakarta sudah ada perkembangan yang baik," kata Ketua DPRD Surabaya Wishnu Wardhana. (Media Indonesia, 15/09/2012)
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
9
artikel Tantangan Pengadaan Permukiman Murah di Perkotaan Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP Staf Kementerian PPN/Bappenas, pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat 2010-2012
rumit. Kecepatan dan skala perubahan kota dari negara berkembang menghasilkan tantangan yang tak terbayangkan. Diantaranya resiko terhadap lingkungan dan sumber daya alam, kondisi kesehatan, kekerabatan sosial, dan hak individual.
S
ejak beberapa dekade terakhir, terjadi perkembangan penduduk dunia yang demikian pesat. Tercatat populasi penduduk dunia saat ini telah mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sehingga pada tahun 2050 diperkirakan mencapai angka 9 miliar. Hal yang menarik bahwa perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat sangat tajam. Pada tahun 2008, batas psikologis 50 persen proporsi penduduk perkotaan telah terlampaui (PBB, 2008).
Pertambahan penduduk perkotaan yang demikian cepat berdampak pada peningkatan kebutuhan ruang kota yang tidak dapat terpenuhi oleh karena keterbatasan tanah, yang berakibat pada meningkatnya harga tanah dan rumah sehingga tidak terjangkau oleh penduduk kota khususnya golongan menengah ke bawah. Selain itu, tingkat kenyamanan kota juga memburuk dengan terjadinya kemacetan, polusi, termasuk meningkatnya tingkat kejahatan. Kondisi ini mendorong terjadinya perpindahan penduduk ke arah pinggiran kota, yang dikenal dengan sebutan urban sprawl. Perubahan ini biasanya berlangsung cepat dan tidak terencana sehingga berdampak negatif pada proses perkembangan kota.
Tingkat urbanisasi dalam 10 tahun terakhir dan jumlah kota dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada masa awal abad XX, hanya 16 kota di dunia dengan jumlah penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa. Saat ini, hampir 400 kota dengan ukuran tersebut, dan sekitar 70 persen diantaranya di negara berkembang (Lihat Tabel 1). Pada tahun 2007, untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia, lebih banyak penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan dibanding perdesaan. Diperkirakan pada tahun 2017, karakter perkotaan akan dominan di negara berkembang (United Nations, 2004). Meskipun demikian, seiring pertumbuhan kota, mengelola kota menjadi berubah semakin
Compact city didefinisikan sebagai suatu pendekatan perencanaan kota yang didasarkan pada pengembangan secara intensif dalam kawasan perkotaan eksisting atau pada kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, dengan membatasi pertumbuhannya (Cowan, 2004 dalam Kustiwan, 2006)
Menyadari terjadinya fenomena urban sprawl dengan berbagai dampak negatifnya, para ahli perkotaan kemudian memperkenalkan model compact city. Compact city didefinisikan sebagai suatu pendekatan perencanaan kota yang didasarkan pada pengembangan secara intensif dalam kawasan perkotaan eksisting atau pada kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, dengan membatasi pertumbuhannya (Cowan, 2004 dalam Kustiwan, 2006). Sehingga singkatnya compact city adalah kepadatan tinggi, penggunaan campuran, dengan batas yang jelas (Jenk et al, 1996). Model compact city dinilai sebagai bentuk perkotaan yang paling berkelanjutan, karena paling sesuai dengan prinsip anti-sprawl (Kustiwan, 2006). Isu utama dari timbulnya fenomena urban sprawl dan penerapan model compact city adalah penyediaan rumah bagi penduduk perkotaan. Mencermati fenomena urban sprawl yang juga terjadi di
Tabel 1 Perbandingan Jumlah dan Proporsi Penduduk Perkotaan Negara Maju dan Negara Berkembang Tahun 1950, 2000 dan Perkiraan Tahun 2030 Absolut (juta jiwa) Wilayah
1950
2000
Proporsi (%) 2030
1950
2000
2030
Penduduk Total Dunia
2.519
6.071
8.130
100
100
100
Negara maju
813
1.194
1.242
32,3
19,7
15,3
Negara Berkembang
280
4.877
6.888
67,7
80,3
84,7
Dunia
733
2.857
4.945
100
100
100
Negara maju
427
882
1.015
58,3
30,9
20,5
Negara Berkembang
306
1.974
3.930
41,7
69,1
79,5
Perkotaan
Catatan: - Negara maju terdiri dari Eropa, Amerika Utara, Australia/Selandia Baru, dan Jepang - Negara berkembang terdiri dari Afrika, Asia (selain Jepang), Amerika Latin, dan Karibia Sumber: Diolah dari Cohen Barney, 2006.
10
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
kota besar Indonesia, khususnya Jakarta, menjadi menarik untuk mencoba memaparkan tantangan penyediaan perumahan yang dihadapi Jakarta melalui penerapan compact city dalam mengatasi fenomena urban sprawl. Tentu saja tulisan ini tidak berpretensi membahas secara paripurna, tetapi lebih fokus pada menyajikan pemikiran awal dan langkah strategis yang perlu dilakukan khususnya oleh pemerintah daerah. Fenomena Urban Sprawl Jika diterjemahkan secara harafiah, urban sprawl dapat diartikan sebagai perkembangan (secara acak) perkotaan ke arah suburban (pinggiran kota). Urban sprawl merupakan fenomena perkembangan kota yang terjadi tanpa terencana yang mengakibatkan pertambahan luas kota secara fisik ke arah suburban (pinggiran kota). Penyebab utama urban sprawl adalah pertambahan jumlah penduduk yang sedemikian besar baik dari proses alamiah maupun urbanisasi, yang disertai meningkatnya kebutuhan tanah, sementara ketersediaan tanah di dalam kota tetap dan terbatas. Akibatnya kebutuhan ruang tidak dapat tertampung lagi di tengah kota, yang berdampak pada harga tanah menjadi tidak terjangkau lagi. Sebagai akibatnya penduduk memilih berpindah dan berlokasi di daerah suburban.
Penyebab. Faktor yang mendorong terjadinya proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl) antara lain dipengaruhi oleh gerak sentrifugal. Gerak sentrifugal ini mendorong gerak keluar dari penduduk dan relokasi usahanya. Terdapat beberapa hal yang mendorong gerak sentrifugal (Yunus, 2006) yaitu (i) adanya gangguan yang berulang seperti macetnya lalu lintas, polusi dan gangguan bunyi menjadikan penduduk kota merasa tak nyaman bertempat tinggal dan bekerja di kota; (ii) kebutuhan ruang bagi kegiatan industri modern di kota tidak dapat lagi terpenuhi. Gedung-gedung bertingkat di tengah kota tak mungkin lagi diperluas, ini berlaku juga untuk perindustrian, kecuali dengan biaya yang sangat tinggi; (iii) meningkatnya sewa lahan dan biaya perawatan bangunan; (iv) tingkat kenyamanan bermukim yang semakin rendah. Perumahan di dalam kota pada umumnya serba sempit, kumuh dan tak sehat; (v) meningkatnya kesejahteraan sehingga memungkinkan setiap keluarga memiliki kendaraan bermotor dan ditunjang kemudahan sumber pembiayaan bagi pemilikan kendaraan bermotor. Meningkatnya kesejahteraan juga berdampak pada timbulnya keinginan secara naluri untuk menghuni wilayah di luar kota yang lebih alami. Ditengarai selain faktor pendorong, terdapat juga faktor penarik terjadinya urban sprawl berupa insentif dan kemudahan yang tersedia di suburban, yaitu (i) murahnya harga tanah dan biaya lainnya di daerah suburban; (ii) meningkatnya investasi infrastruktur dan fasilitas dasar di daerah suburban; (iii) kondisi kehidupan yang lebih tenang di suburban; (iv) tarif pajak yang lebih rendah di suburban.
Dampak. Awalnya urban sprawl dipertimbangkan sebagai hal yang baik, yang terjadi di seluruh dunia. Sebagai contoh di Amerika, kota yang mengalami gejala urban sprawl disepadankan dengan pencapaian mimpi besar bangsa Amerika berupa ketersediaan rumah tapak berhalaman luas dengan seluruh kelengkapan fasilitasnya. Namun kemudian kondisi ini berakibat (i) membesarnya dana yang dibutuhkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur dan fasilitas dasar, yang berdampak pada kecenderungan meningkatnya pajak. Beberapa pihak bahkan menengarai hal ini menjadikan investasi infrastruktur tidak efisien dan tidak efektif; (ii) meningkatnya ketergantungan pada moda kendaraan bermotor yang
berdampak pada meningkatnya polusi udara, efisiensi energi yang rendah dan menurunnya tingkat kesehatan; (iii) berkurangnya luasan lahan pertanian produktif yang berdampak pada menurunnya produksi produk pertanian; (iv) luasan daerah terbuka menjadi berkurang yang berdampak pada meningkatnya volume air limpasan dan menurunnya ketersediaan air tanah; (v) jarak antara rumah relatif jauh yang berdampak pada menurunnya kedekatan sosial diantara penduduk (Devira, 2008).
Tipe dan Karakteristik. Menurut Gillhan (2002), terdapat 4 (empat) karakteristik urban sprawl yaitu pembangunan yang menyebar/ melompat, pembangunan kawasan komersial yang memanjang, kepadatan rendah, dan penggunaan tunggal. Sementara dari sisi karakter penyebarannya, terdapat 3 (tiga) macam tipe urban sprawl (Hidajat, 2004), yaitu: a. Perembetan Konsentris (Centric Development) Pada tipe ini, perembetan terjadi mengikuti bagian luar daerah terbangun sehingga akhirnya terjadi secara merata di hampir seluruh bagian luar daerah terbangun. Akibatnya, penambahan daerah baru terlihat menyatu dengan daerah terbangun yang lama. Peranan infrastruktur transportasi terhadap tipe ini tidak signifikan, dan perembetannya pun berlangsung lambat. b. Perembetan Memanjang (Ribbon Development) Perembetan yang terjadi terlihat tidak merata, tetapi cenderung berkembang lebih cepat pada sepanjang koridor transportasi sehingga terlihat memanjang sepanjang koridor. Kecenderungan ini yang menjadikan perembetan ini juga disebut sebagai perkembangan pita (ribbon development). c. Perembetan Melompat (Leap Frog Development) Sebenarnya istilah perembetan kurang tepat dilekatkan pada tipe ini. Pertumbuhan daerah terbangunnya terjadi secara sporadis tanpa pola yang jelas, sehingga dianggap paling tidak efisien.
Compact City: Alternatif Model Pengembangan Kota Kontra Urban Sprawl Istilah compact city pertama kali diperkenalkan oleh ahli matematika George Dantzig dan Thomas L. Saaty pada tahun 1973, yang berkeinginan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya. Penerapan model compact city merupakan respons terhadap berkembangnya fenomena urban sprawl yang dianggap merugikan perkembangan sebuah kota secara keseluruhan.
Definisi. Terdapat beragam definisi compact city, diantaranya yang relatif lengkap dikemukakan oleh J. Arbury yaitu sebuah model pengembangan kota yang terfokus pada intensifikasi perkotaan, menetapkan batas pertumbuhan kota, mendorong pengembangan campuran (mixed use) dan mengedepankan peran angkutan umum dan kualitas desain
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
11
perkotaan. Sementara Burton (2000) menjelaskannya sebagai kota dengan dimensi ‘kepadatan yang tinggi’. Dapat disimpulkan bahwa compact city adalah suatu konsep perencanaan kota terfokus kepada kepadatan hunian yang relatif tinggi pada guna lahan campuran, lebih mengandalkan sistem transportasi umum yang efisien, termasuk aktivitas pejalan kaki dan bersepeda sehingga penggunaan kendaraan bermotor pribadi berkurang intensitasnya, penggunaan energi menurun rendah dan polusi berkurang.
Penerapan model compact city mempunyai potensi untuk mengurangi ecological foot print terutama yang disebabkan oleh kegiatan fungsional perkotaan seperti tingginya ketergantungan terhadap kendaraan bermotor yang berujung pada polusi.
Konsep compact city relatif menyerupai kondisi kota-kota kecil tradisional dengan intensitas penggunaan sepeda atau berjalan kaki masih tinggi. Perbedaan utamanya adalah pada tingkat kepadatan penduduknya.
Karakteristik. Pada dasarnya, model compact city bukan
sesuatu yang benar-benar baru, tetapi merupakan tipikal bentuk kota lama di Eropa yang mempunyai prinsip (i) menekankan kota dan lansekap; (ii) menambahkan pembangunan pada daerah eksisting; (iii) mengombinasikan fungsi yang ada; (iv) menyebarkan fasilitas untuk mengurangi bangkitan lalu-lintas; (v) kepadatan tinggi; (vi) menekankan transportasi publik. Bentuknya seringkali diindikasikan dalam 5 D yaitu dencity (kepadatan), divercity (keragaman), design (Cervero dan Kockelman, 1997) dan destination (tujuan), dan distance (jarak) (Lee, 2007). Sebagai sebuah tanggapan terhadap fenomena urban sprawl, secara umum dapat disarikan beberapa perbedaan antara urban sprawl dengan model compact city, (Tabel 2) setidaknya berdasarkan 12 aspek yaitu kepadatan, pola pertumbuhan, guna lahan, skala, layanan komunitas, tipe komunitas, transportasi, disain jalan, disain bangunan, ruang publik, biaya pembangunan, proses perencanaan (Roychansyah, 2006).
kekhawatiran menurunnya kualitas hidup karena tingginya kepadatan dalam kota; (ii) tergusurnya penduduk berpendapatan rendah; (iii) peningkatan pergerakan vertikal seperti lift, eskalator yang tidak hemat energi; (iv) peningkatan suhu yang ditimbulkan keberadaan gedung tinggi (Roychansyah, 2006).
Prinsip dan Pendekatan. Pendekatan Menurut Jenks (2000), pendekatan compact city adalah (i) meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk permukiman, (ii) mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial budaya perkotaan; (iii) memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial, dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi perkotaan. Sementara Roychansah (2005) menyebutkan 6 (enam) faktor penting sebagai atribut compact city yaitu pemadatan populasi, pengonsentrasian kegiatan, intensifikasi transportasi publik, ukuran optimal kota, kesejahteraan social-ekonomi dan proses menuju kota kompak. Di Amerika, model ini lebih dikenal sebagai Smart Growth dengan 10 prinsip dasarnya yaitu (i) guna lahan campuran; (ii) memanfaatkan Tabel 2 Perbandingan Fenomena Urban Sprawl dan Model Compact City Aspek
Kritik. Model compact city tidak terlepas dari kritikan, diantaranya (i) membatasi ketersediaan tanah untuk pembangunan, sehingga berpotensi menaikkan harga tanah; (ii) membatasi pilihan menjadi hanya rumah vertikal saja; (iii) menafikan pembangunan di daerah perdesaan dengan pertimbangan menjaga kualitas lingkungan; (iv) dapat menyebabkan pembangunan bersifat sporadik di perdesaan (leap frog development) (Arigoni, 2001). Selain itu juga (i) timbulnya
12
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
ModelCompact City Anti--Sprawl Development) (Anti
Kepadatan
Rendah
Pola pertumbuhan
Pembangunan pada periphery Pembangunan pada ruang-ruang dan ruang hijau kota, melebar sisa/antara, kompak (compact)
Guna lahan
Homogen, terpisah-pisah
Skala
Skala besar (bangunan yang Skala manusia, kaya dengan detil, lebih besar, blok, jalan lebar), artikulasi bagi pejalan kaki kurang detil, artikulasi bagi pengendara mobil
Layanan komunitas
Shopping mall, perjalanan mobil, jauh, sukar untuk ditemukan
Tinggi
Mixed, cenderung menyatu
Main street, jalan kaki, semua fasilitas mudah ditemukan
Tipe komunitas
Perbedaan rendah, hubungan Perbedaan tinggi dengan hubungan antaranggota lemah, yang erat, karakter komunitas tetap hilangnya ciri komunitas terpelihara
Transportasi
Transportasi yang berorientasi pada kendaraan pribadi, kurang penghargaan pada pejalan kaki, sepeda, dan transportasi publik
Transportasi multi-sarana, penghargaan pada pejalan kaki, sepeda, dan transportasi publik
Disain jalan
Jalan didisain untuk memaksimalkan volume kendaraan dan kecepatannya (collector roads, cul de sac)
Jalan didisain untuk mengakomodasi berbagai macam kegiatan (traffic calming, grid streets)
Disain bangunan
Bangunan jauh terletak/ditarik Bangunan sangat dekat dengan ke belakang (set back), jalan, tipe tempat tinggal beragam rumah tunggal yang terpencar
Ruang publik
Perujudan kepentingan pribadi (yards, shopping
Perujudan kepentingan publik (streetscapes, pedestrian
malls, gated communities, private clubs)
environment, public park and facilities)
Manfaat. Penerapan model compact city mempunyai potensi untuk mengurangi ecological foot print terutama yang disebabkan oleh kegiatan fungsional perkotaan seperti tingginya ketergantungan terhadap kendaraan bermotor yang berujung pada polusi. Menurut Burton (2001), manfaat lainnya adalah pengurangan konsumsi energi (fasilitas terjangkau dengan jalan kaki), pelayanan transportasi lebih baik, peningkatan aksesibilitas secara keseluruhan, regenerasi kawasan perkotaan dan vitalitas perkotaan, kualitas hidup yang lebih tinggi, preservasi ruang terbuka hijau. Oleh Jenks (2000), bentuk kota yang kompak mampu mengurangi jarak tempuh perjalanan sehingga menurunkan tingkat mobilitas penduduk. Tingkat kepadatan tinggi juga memberi keuntungan dalam penyediaan layanan dasar, transportasi umum, pengelolaan sampah, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Fenomena Urban Sprawl
Biaya pembangunan
Biaya yang tinggi bagi Biaya yang rendah bagi pembangunan baru dan biaya pembangunan baru dan biaya layanan publik rutin layanan publik rutin
Proses perencanaan
Kurang terencana, hubungan pelaku pembangunan dan aturan lemah
Dikutip dari Roychansyah (2006)
Terencana dan hubungan pelaku pembangunan dan aturan baik (community based)
kelebihan desain bangunan mampat (compact building); (iii) menciptakan beragam pilihan jenis rumah berdasar tipe rumah tangga, ukuran keluarga dan pendapatan; (iv) menciptakan lingkungan ‘terjangkau berjalan kaki’ (walkable); (v) mendorong dan memelihara komunitas khas dan menarik; (vi) menjaga ruang terbuka, lahan pertanian, bangunan bersejarah, daerah kritis; (vii) melakukan investasi kembali dan memperkuat komunitas eksisting dan mencapai pembangunan wilayah yang lebih seimbang; (viii) menyediakan beragam pilihan sarana transportasi; (ix) menyusun keputusan pembangunan yang dapat diperkirakan, adil, dan berhasil guna; (x) mendorong keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Belajar dari Mancanegara Gagasan model compact city mendapat banyak tanggapan dari perencana kota khusunya di negara Eropa, Amerika Serikat, Australia dan Jepang. Negara berkembang khususnya Asia baru memulai mengadopsidalam satu dekade terakhir, yaitu kota Dhaka, Delhi, Bangkok, Teheran, Kairo, Cape Town, Hongkong, Taiwan (Jenks dan Burges, 2000). Di Inggris, strategi ini dikenali Pada tahun 2010, dengan nama Urban Renaissance (pembangunan kembali kota), penduduk Indonesia yang didasari oleh fenomena yang tinggal di depopulasi kota-kota Inggris. perkotaan telah Dalam penerapannya, memanfaatkan pendekatan mencapai 118 juta atau komunitas (local community sebesar 49,8% dari based program), sehingga penduduk tertarik kembali ke seluruh penduduk kota. Sementara di Jepang, Indonesia program sejenis diberi label urban redevelopment, dengan fokus pada pembangunan kembali pusat kota. Pendekatan di Inggris yang bersifat skala nasional, berbeda dengan penerapan di kota Jepang yang beragam bentuknya. Keragamannya mulai dari konsentrasi pada pembangunan sekitar stasiun di pusat kota, atau lebih mengarahkan pada pembangunan di seputar jalur transportasi umum (Transit Oriented Development/TOD). Pada kota menengah dan besar, pembangunan rumah vertikal diprioritaskan di pusat kota dan kawasan lama yang direvitalisasi atau di bangun kembali. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan berbasis komunitas diaktifkan sebagai upaya memperoleh dukungan publik (Roychansyah, 2006). Perumahan: Komponen Utama Strategi Compact City
Pentingnya Perumahan. Perumahan merupakan hak dasar bahkan hak asasi manusia. Hal ini telah secara jelas tercantum dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28H Ayat (1) bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Konsep yang ada dalam UUD 1945 Pasal 28H tersebut sebenarnya telah tercantum dalam Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memang lebih dulu dibuat (satu tahun sebelum amandemen Pasal 28 dilakukan), yang menyatakan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Bahkan sejalan dengan perkembangan dunia internasional, pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan akan perumahan.
Indikator Pemenuhan Hak. Komite Hak Ekonomi Sosial Budaya memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 11 CESCR tentang apa yang dimaksud ”adequate housing”. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak atas rumah setidak-tidaknya dapat diukur menggunakan 6 (enam) indikator yaitu (1) sifat kepemilikan haknya (security of tenure), (2) ketersediaan pelayanannya (availability of services), (3) keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability), (4) kelayakan sebagai tempat tinggal (habitability), (5) adanya peluang bagi setiap orang (accessibility), serta (6) kesiapan lokasi dan daya dukung budaya (location and cultural adequacy).
Perumahan dan Model Compact City. Dari berbagai elemen yang membentuk kota, termasuk suburban dan pusat kota, perumahan merupakan yang paling kompleks. Perumahan membentuk pola transportasi, merupakan barang konsumsi, pembentuk utama daerah terbangun, dan penentu interaksi sosial. Sementara model compact city memperlebar pilihan ketersediaan tipe dan lokasi perumahan. Kegiatan peningkatan kepadatan penduduk melalui revitalisasi, dan pembangunan kembali kawasan terabaikan akan berdampak pada peningkatan nilai perumahan yang menguntungkan bagi penghuni lama. Pengembangan kawasan perumahan terpadu, akan mendekatkan rumah dengan tempat kerja dan fasilitas umum. Kondisi Indonesia
Pertumbuhan kota dan Gejala Urban Sprawl. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang demikian pesat juga berlangsung di Indonesia. Pada tahun 2010, penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan telah mencapai 118 juta atau sebesar 49,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup fantastis, dengan membandingkan kondisi tahun 1950 yang hanya sekitar 12,4% penduduk yang tinggal di perkotaan. Hanya dalam waktu 60 tahun separuh penduduk Indonesia telah bertempat tinggal di wilayah perkotaan. Gejala pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut kemudian diikuti dengan pertumbuhan pesat kawasan pinggiran kota yang dikenal sebagai proses suburbanisasi. Proses ini teramati berujung pada perluasan fisik kawasan perkotaan secara acak/terpencar (urban sprawl). Beberapa hasil studi menunjukkan fenomena urban sprawl telah terjadi di seluruh kota besar Indonesia.
Fenomena Urban Sprawl Jakarta. Jakarta Ekspansi kota Jakarta melalui pemanfaatan dan penggunaan lahan menyebabkan densifikasi permukiman yang semakin besar serta populasi penduduk yang semakin tinggi di daerah peri-urban Jakarta. Hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode 1980-1990 dengan laju pertumbuhan 2,4 persen, sedangkan kota-kota besar sekitarnya sebesar 2,7 persen. Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu 1990-2000, terjadi penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen (Devira, 2008). Penurunan penduduk kota tersebut adalah konsekuensi dari bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya didukung dengan kemudahan aksesibilitas melalui pembangunan infrastruktur jalan. Hal ini semakin memperluas urbanisasi ke daerah peri-urban kota Jakarta (Zulkaidi dkk, 2007). Arah perkembangan lahan perkotaan terlihat sangat pesat di sepanjang jalan tol. Perkembangan paling pesat terlihat ke arah Timur pada sepanjang koridor Jakarta-Bekasi, kemudian ke arah Barat pada sepanjang koridor Jakarta-Tangerang, dan paling rendah ke arah Selatan pada sepanjang koridor Jakarta-Bogor (Hidajat, 2004).
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
13
Penerapan Compact City di Jakarta: Mungkinkah? Penerapan model compact city pada kota-kota Indonesia termasuk Jakarta masih memerlukan kajian yang lebih mendasar (Kurniawan, 2007). Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerapkan model compact city, khususnya bagi kota metropolitan. Selain itu, penerapan model compact city bersifat unik, sehingga konsep detailnya akan berbeda antara satu kota dengan kota yang lain. Secara teoritis, penerapan model compact city di Jakarta menghadapi tantangan yang tidak sedikit, diantaranya yaitu (i) penerapan tata guna lahan campuran (mixed use) sebagai salah satu karakteristik compact city dipandang hanya tepat dilaksanakan bagi kota kecil dan menengah yang berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa; (ii) tidak tersedia luasan tanah yang cukup memadai untuk meningkatkan kepadatan bangunan di dalam kota, selain dibutuhkan biaya yang juga cukup besar; (iii) sistem transportasi publik yang jauh dari memadai (kuantitas dan kualitas); (iv) pusat kegiatan yang cenderung terkonsentrasi, sehingga dibutuhkan upaya mengembangkan pusat kegiatan skala kecil (dapat dijangkau dengan berjalan kaki); (v) pengembangan perumahan vertikal secara masif; (vi) adanya ‘good will’ dari pemerintah daerah untuk menjadikan model compact city sebagai strategi pembangunan perkotaan yang dituangkan dalam regulasi dan rencana tata ruang.
Strategi Pembangunan Perumahan. Seandainya disepakati penerapan model compact city di Jakarta, diusulkan beberapa strategi terkait pembangunan perumahan yang perlu disiapkan, diantaranya: (i) Advokasi dan sosialisasi. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan advokasi ke pengambil keputusan (eksekutif maupun legislatif) dan sosialisasi ke masyarakat tentang konsep compact city. Keterlibatan masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Diharapkan dengan demikian perubahan ini mendapat dukungan dari pemangku kepentingan; (ii) Revisi terhadap Rencana Tata Ruang. Penerapan model compact city perlu dituangkan dalam rencana tata ruang yang ada. Untuk itu, dibutuhkan revisi terhadap Rencana Tata Ruang tersebut. Perubahan ini cukup rumit mengingat Rencana Tata Ruang telah ditetapkan melalui peraturan daerah. Perubahan rencana tata ruang menjadi krusial karena perubahan bersifat mendasar menyangkut perubahan guna lahan menjadi guna lahan campuran (mixed-use), penyebaran pusat-pusat kegiatan, peningkatan kepadatan penduduk yang diperbolehkan, perubahan sistem transportasi yang lebih mengutamakan transportasi publik, dan penambahan ruang terbuka. Perubahan rencana tata ruang sekaligus juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap penerapan model compact city.
14
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
(iii) pemetaan potensi dan kapasitas kawasan terbangun untuk perumahan. Perubahan konsep perumahan menjadi bersifat vertikal secara signifikan menambah daya tampung kawasan perumahan. Penambahan ini bisa berasal dari lahan kosong, kawasan terabaikan (abandoned area) yang berpotensi di revitalisasi atau di bangun kembali (renewal) maupun kawasan kumuh. Langkah ini menjadi pintu masuk penanganan kawasan kumuh, sekaligus memotret potensi konsolidasi lahan dan penyiapan skema penyediaan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah; (iv) penyiapan regulasi terkait sebagai langkah pendukung bagi pembangunan perumahan vertikal termasuk penyiapan insentif dan disinsentif bagi pengembang, dan masyarakat. Regulasi yang disiapkan dapat berupa kemudahan dalam proses perijinan, pemberian fasilitas bebas pajak, ataupun pengaturan bentuk kerjasama. Pembangunan perumahan vertikal dimungkinkan melalui kerjasama baik antara pemerintah dengan pihak swasta, pemerintah dengan masyarakat, maupun pihak swasta dan masyarakat. Kerjasama dengan swasta dapat berupa penyiapan perumahan bagi buruh pabrik, sementara itu dengan institusi pendidikan dapat berupa penyediaan asrama bagi mahasiswa. Hal penting yang juga perlu disepakati adalah proporsi kepemilikan perumahan vertikal antara milik sendiri, dan sewa. Pemerintah dapat menyiapkan insentif kepada pengembang yang membangun perumahan terpadu sesuai prinsip compact city.
Perubahan konsep perumahan menjadi bersifat vertikal secara signifikan menambah daya tampung kawasan perumahan. Penambahan ini bisa berasal dari lahan kosong, kawasan terabaikan (abandoned area) yang berpotensi di revitalisasi atau di bangun kembali (renewal)
(v) penyiapan skema pembiayaan perumahan khususnya terkait masyarakat berpendapatan rendah. Saat ini pemerintah telah menyediakan Kredit Pemilikan Rumah/KPR melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang memungkinkan masyarakat berpendapatan rendah dan menengah memperoleh KPR dengan bunga satu digit, jumlah cicilan tetap selama 15 tahun dan uang muka dibawah 10 persen. Skema ini perlu direvisi disesuaikan dengan model compact city. Sekaligus sebagai bagian dari upaya memenuhi ketetapan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang menetapkan sebesar 20 persen dari total unit diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Dengan demikian, tersedianya sumber pembiayaan seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) akan dapat melindungi masyarakat berpendapatan rendah agar tidak tergusur ke daerah pinggiran kota. Disamping juga, keberagaman komunitas perumahan dapat tetap terjaga. (OM)
agenda Juni 2012
Oktober 2012
• Konsinyering Penyiapan Substansi Rapat Triwulanan BKPRN dan
• Launching & Sosialisasi Permendagri No. 67/2012 • Rakor Pembahasan Konsep Perpres tentang Moratorium alih
Pemantapan Sekretariat BKPRN.
• Finalisasi Penyelesaian Status Tanah KEK Sei Mangkei dan RTRW Kab. Simalungun.
• Konsultasi Daerah dalam rangka Penyusunan Perencanaan Nasional lahan rawa berkelanjutan di Banjarmasin
• Menghadiri Rakor Pembahasan Mekanisme Holding Zone. • Kick Off Meeting Pembahasan Pedoman KLHS dalam PPN
Fungsi Lahan Sawah ke Non sawah.
• Kunjungan Kerja dg Director of Vietnam Land Administration Project. • Menghadiri Rapat Regional BKPRD yang diadakan Kemendagri di Makassar
• Menghadiri Rapat Kerja Daerah BKPRD di Provinsi Riau
Juli 2012
November 2012
• Abstract for oral presentation on the 11th IRSA International Cenference Organization Committee di Banjarmasin • Konsinyering Pembahasan Mekanisme dan Tata Kerja BKPRN di
• Turut serta acara karnaval dalam rangka memperingati HARITARU 2012 di TMII - Jakarta
Bali.
• Diskusi Upaya Penyelesaian Perda RTRW Untuk Kabupaten di Wilayah Sumatera Bagian Utara di Batam.
Tahukah Anda???
• Ekspose Hasil Penelitian Terpadu atas Usulan Perubahan Kawasan Hutan dalam Usulan Revisi RTRWP Kalimantan Barat
• Pembahasan Blue Print Kebijakan Pertanahan Nasional Agustus 2012
• Menghadiri Rapat Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTU Batang
• Menghadiri Rakor BKPRN Tingkat Eselon I • Menghadiri Workshop I Finalisasi Panduan KLHS • Diskusi Terfokus Kegiatan "Kajian Aspek SDA & Ekonomi dlm Rangka Peninjauan Kembali RTRWN.
• Menghadiri Diskusi Implementasi Perwujudan Perpres No.13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera
• Diskusi Developing National Strategy to Strengthen Human Resources Skill In Climate Change September 2012
• Menghadiri Rapat Kerja Kedeputian Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah di Cianjur.
• Tinjauan Lapangan Rencana Pembangunan BIP (Bali International Park) di Bali • Narasumber pada Lokakarya Peningkatan Kompetensi BKPRD Papua dan Kab/Kota se Provinsi Papua
• Menghadiri FGD Benchmarking Pembangunan Strategi Perkotaan Nasional
Jenis-jenis pelayanan pertanahan yang dilaksanakan oleh BPN meliputi: a. Pendaftaran Tanah Pertama Kali, yang meliputi: Konversi, Pengakuan dan Penegasan Hak; Pemberian Hak (Hak Milik, Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Pengelolaan Instansi Pemerintah/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD); Wakaf dari Tanah Belum Bersertipikat (Konversi, Pengakuan dan Penegasan Hak); Wakaf dari Tanah Negara (Pemberian Hak Tanah Wakaf); P3MB/Prk.5; Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun; Pemberian Hak Guna Usaha; b. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah, yang meliputi: Peralihan Hak Atas Tanah dan Satuan Rumah Susun; Ganti Nama Sertipikat Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Rumah Susun; Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna Usaha; Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai; Perpanjangan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun; Pembaruan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dan Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan c. Pencatatan dan Informasi Pertanahan; d. Pengukuran Bidang Tanah; e. Pengaturan dan Penataan Pertanahan; dan f. Pengelolaan Pengaduan.
• Temu Konsultasi Triwulanan III Tahun 2012 Bappenas - Bappeda se-Indonesia.
(sumber: PP No.13 tahun 2010)
• Narasumber: Desimenasi Peran Kelembagaan & Percepatan Penyelesaian Perda RTRW di Gorontalo.
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
15
melihat dari dekat Jakarta City Planning Gallery
J
akarta City Planning Gallery merupakan galeri yang berisi
informasi rencana kota, pada masa lalu, masa kini, dan masa datang yang disajikan dalam bentuk maket, panel-panel informasi, dan multimedia yang diprakarsai dan dikelola oleh Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta di bawah tanggung jawab Bidang Peran serta Masyarakat dan Evaluasi Rencana Kota, Seksi Penyuluhan. Pembangunan Jakarta City Planning Gallery terinspirasi dari galeri tata ruang kota di negara China, Vietnam, dan Singapura. Galeri ini diresmikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Januari 2010 dan dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan warga kota Jakarta pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya akan informasi mengenai rencana kota. Maket merupakan media utama untuk penyampaian informasi perencanaan tata ruang, baik secara makro maupun mikro dengan skala 1:750 berukuran 6m x 10.8m atau seluas 64.8 m². Dalam maket tersaji gambaran Maket merupakan kawasan bisnis utama (CBD) media utama untuk DKI Jakarta, yaitu kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jalan Sudirman, penyampaian informasi Jalan Gatot Subroto, dan perencanaan tata ruang kawasan di sekitar Monas, Tanah Abang, dan Senayan. …. Selain memperlihatkan bangunan yang telah ada dan rencana bangunan pada masa datang, juga ditampilkan jalur busway, rencana jalur Mass Rapid Transit (MRT), rencana jalur monorel, jalur kereta api (termasuk rencana jalur kereta api ke bandara), rencana jalan layang Kampung Melayu-Tanah Abang, Kanal Banjir Barat, dan rencana infrastruktur lainnya. Kawasan yang direpresentasikan melalui maket mencakup 20 % dari luas wilayah Provinsi DKI Jakarta. Rencananya Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta akan terus melengkapinya secara bertahap dan mengantisipasi keterbatasan tempat yang dimiliki, kemungkinan besar galeri ini akan dipindahkan ke Monas. Penyampaian informasi mengenai tata ruang juga dilakukan melalui panel informasi, multimedia, dan meja diskusi. Terdapat tujuh panel informasi di Jakarta City Planning Gallery yang terdiri (i) sejarah perencanaan kota Jakarta sejak Abad ke-5 hingga perencanaan Abad ke-21; (ii) Rencana Induk Kota (RIK) 1965-1985; (iii) sejarah Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005; (iv) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2010; (v) draf RTRW Jakarta 2030; (vi) rencana MRT; (vii) hasil sayembara desain stasiun Transit Oriented Development (TOD) Dukuh Atas.
Jakarta City Planning Gallery dilengkapi dengan multimedia dua projector pada layar utama di atas maket utama yang menyajikan penjelasan mengenai: Jakarta City Planning Gallery, kawasan-kawasan
16
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
pada maket utama, dan beberapa referensi dalam bentuk e-book, diantaranya Jakarta Today, Jejak Jakarta, Batavia, RIK (Rencana Induk Kota) 1965-1985, RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1985-2005, dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) 2010. Terdapat empat multimedia quad screen (4 TV LCD) yang memberi pelayanan mengenai Dinas Tata Ruang, perencanaan dan perancangan, pelayanan, dan peta rencana peruntukan, baik dalam bentuk peta Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah (RRTRW) Kecamatan skala 1:5000, maupun lembar Rencana Kota skala 1:1000. Galeri juga menayangkan film Perjalanan Jakarta Menuju Kota Dunia dan Kompilasi Animasi Panduan Rancang Kota (Urban Development Guided Land/ UDGL) beberapa kawasan strategis melalui dua multimedia single screen. Pengunjung terbanyak berasal dari kalangan mahasiswa/i dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Informasi yang diperoleh semakin lengkap, dengan keberadaan perpustakaan yang berisi bukubuku Perencanaan Kota dan Arsitektural, serta ruang diskusi yang bisa menampung hingga 100 orang. Pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Informasi mengenai tata ruang dapat dilihat langsung melalui 6 buah komputer yang memiliki akses langsung ke internet dan dapat digunakan secara bebas oleh pengunjung, terutama untuk mengakses website Dinas Tata Ruang (http://www.tatakota-jakartaku.net) serta mempelajari cara melihat rencana kota secara detil di internet.
Seluruh fasilitas ini dapat dinikmati di Gedung Dinas Teknis DKI Jakarta, di Jalan Abdul Muis 66 lantai 3, Tanah Abang-Jakarta Pusat, beroperasi pada hari Senin-Jumat pukul 08.00-16.00 WIB, terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya. Melalui wahana Jakarta City Planning Gallery diharapkan peran serta masyarakat akan semakin nyata dalam proses perencanaan tata ruang kota Jakarta secara keseluruhan. Selain juga dapat memberi pembelajaran dan inspirasi bagi stakeholders pembangunan kota, termasuk pemerintah kota-kota lain di Indonesia. [ri]
Rumah Singgah
J
akarta merupakan salah satu kota terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk hampir mencapai 10 juta jiwa. Wilayah metropolitan yang selanjutnya disebut Jabodetabek termasuk lima besar metropolitan di dunia yang berpenduduk lebih dari 27 juta jiwa. Perkembangan yang pesat juga berpengaruh ke wilayah sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya fenomena “Conurbation” antara Jakarta dengan Tangerang, Bekasi, Depok, dll. Menyatunya Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya melahirkan keuntungan ekonomi yang sangat besar dalam konteks pengembangan wilayah, akan tetapi di sisi lain diikuti oleh persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kawasan kumuh, kemacetan, degradasi lingkungan, dan juga maraknya anak jalanan.
Perkembangan kota-kota besar yang identik dengan pembangunan pusat-pusat perekonomian kerap diiringi dengan munculnya sejumlah permasalahan sosial jalanan. Di Jakarta tercatat jumlah anak jalanan 1305 jiwa pada tahun 2008 yang terbagi atas kategori On the Street (anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya), Off the Street (anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga), dan Vulnerable (anakanak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan). Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 secara tegas menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, disamping itu juga telah ada Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Namun, implementasi peraturan perundangan tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan krusial ini. Hingga saat ini Rumah singgah pemerintah DKI Jakarta belum merupakan perantara memiliki kebijakan yang cukup eksplisit dalam menangani antara anak jalanan masalah anak jalanan. Pada dengan pihak-pihak tahun 2010 jumlah anak jalanan yang menjadi binaan Kementerian yang membantu mereka Sosial (Kemensos) sebanyak empat persen dari 160 ribu anak jalanan. Rencananya setiap tahunnya Kemensos akan membina 50 ribu anak jalanan hingga 2014 di Indonesia. Lembaga-lembaga non pemerintah juga bermunculan untuk menangani permasalahan anak jalanan, diantaranya dengan menyediakan rumah singgah. Rumah singgah merupakan perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang membantu mereka. Tujuan rumah singgah adalah membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam rumah singgah anak jalanan mendapatkan layanan pemahaman sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, dengan harapan dapat menata kembali sikap dan perilaku anak jalanan.
Rumah singgah akan mengupayakan anak-anak jalanan kembali ke rumahnya jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan. Pada tahun 2010 terdapat 27 rumah singgah di DKI Jakarta dengan persebaran seperti dalam tabel dibawah. Daftar Rumah Singgah di DKI Jakarta Tahun 2010 Wilayah 1. Jakarta Timur
2. Jakarta Utara
3. Jakarta Pusat
4. Jakarta Selatan
5. Jakarta Barat
Nama Rumah Singgah 1. RS Sahabat Kita 2. RS Sekam 3. RS Swara 4. RS Puspita 5. RS Kurnia 6. RS Putra Bangsa 7. RS Balarenik 1. RS Sekar 2. RS Kurnia 3. RS Yay.Darul Fikri 4. RS Tjoet Nyak Dhin 5. RS Dewi 1. RS Dian Mitra 2. RS Pelita 3. RS Kesuma Jaya 4. RS Gema Nusantara 5. RS YKPIM 1. RS Dilts 2. RS Annur Muhiyam 3. RS Tjiliwoeng 4. RS Bina Anak Pertiwi 1. RS Uswatun Hasanah 2. RS Al Muhlis 3. RS Nurul Iman 4. RS Bina Nusantara 5. RS Al Mujahidin 6. RS Al Abror
Sumber: Forum Komunikasi Pengelola Rumah Singgah Se-DKI Jakarta, 2010.
Sebagai salah satu gambaran, terdapat rumah singgah dengan luas bangunan 120m² yang menampung 55 anak. Kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan belajar mengajar yang dimulai pada pukul 14.0017.00 WIB (Senin-Minggu). Pekerja di rumah singgah terdiri atas 5 tenaga tetap dan 3 sukarelawan yang turut membantu dalam mengajar. Dana operasional rumah singgah berasal dari para donatur atau sukarelawan seperti pengusaha. Anakanak yang dibina rumah singgah tersebut berusia 8 sampai 14 tahun, yang terbanyak berusia 9 tahun.
Acara buka bersama setelah kegiatan belajar
Anak-anak tersebut pada umumnya masih memiki orang tua, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pemulung sampah jalanan dan orang tua anak rumah singgah tersebut umumnya berdomisili di Jakarta. Penanganan anak jalanan tidak semata merupakan kewajiban Dinas atau Kementerian Sosial, karena kait mengkait dengan ketersediaan kesempatan kerja, keterjangkauan biaya pendidikan, dan bahkan pengurangan disparitas pembangunan, terutama antara perkotaan dan pedesaan. [ri]
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
17
koordinasi trp Rakerda BKPRD Untuk memperkuat BKPRD, BKPRN menyelenggarakan forum BKPRD yang dilaksanakan pada tanggal 28-29 Juni 2012 di Solo, Jawa Tengah. Forum ini diselenggarakan sebagai persiapan Raker BKPRD pada awal bulan November 2012 di Pekanbaru, Riau dan mengundang seluruh Bappeda provinsi di Indonesia. Isu strategis dan rekomendasi yang dihasilkan dalam forum BKRPD di Solo adalah sebagai berikut: ISU STRATEGIS
REKOMENDASI
Fungsi koordinasi Bappeda dalam penataan ruang daerah
1. 2. 3. 4.
Penyesuaian eselonisasi Bappeda dalam struktur BKPRD Pembagian peran sesuai dengan tupoksi dinas Pelibatan SKPD dalam pengendalian pemanfaatan ruang Penguatan fungsi pokja-pokja BKPRD
Penguatan peran Bappeda sebagai sekretaris BKPRD
1. 2. 3. 4.
Peningkatan kapasitas aparatur penyelenggara penataan ruang Penyelenggaraan rapat BKPRD minimal 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan Permumusan Standard Operating Procedure (SOP)/Tata Kerja bagi pelaksanaan kegiatan BKPRD Perumusan Peraturan Kepala Daerah untuk memperkuat sekretaris BKPRD
Peningkatan sumber pendanaan untuk koordinasi BKPRD
1. 2.
Formulasi dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat untuk penguatan kelembagaan BKPRD Kemitraan yang bersumber dari APBD Provinsi dan Kab/Kota maupun APBN Pusat (dekonsentrasi)
Perumusan SOP bagi pelaksanaan kegiatan BKPRD (termasuk penyusunan agenda kerja BKPRD)
1. 2. 3. 4. 5.
Pelaksanaan rapat ketika ditemui permasalahan penataan ruang Perumusan sistem pelaporan dalam pelaksanaan tugas BKPRD Perumusan prosedur pemberian rekomendasi dan surat menyurat Evaluasi RTRW Kabupaten/Kota dan pemberian rekomendasi Gubernur yang disiapkan oleh BKPRD Provinsi Penyusunan mekanisme yang mengatur batasan waktu pembahasan raperda RTRW dengan DPRD
Belum semua kabupaten/kota membentuk BKPRD
Perlunya pengenaan sanksi bagi Kabupaten/Kota yang tidak membentuk BKPRD, karena sampai dengan saat ini memang belum ada pelaksanaan evaluasi/pemberian sanksi oleh Provinsi bagi Kabupaten/Kota yang belum membentuk BKPRD.
Penyediaan sistem informasi BKPRD perlu menyusun agenda untuk membangun sistem informasi yang lebih optimal dan mudah diakses oleh dan komunikasi penataan ruang masyarakat guna mendukung peran masyarakat dalam penataan ruang. oleh pemerintah daerah [as/cr]
Penataan Ruang Ekosistem Terpadu Rimba Sebagai sekretaris Kelompok Kerja 3 BKPRN, TRP bertugas mengawal pelaksanaan kegiatan Balancing Spatial Planning,
Sustainable Biomass Production and Conservation (Balancing Spatial Planning SBPC). Pendanaan kegiatan berasal dari dana hibah Pemerintah Jerman melalui skema dari masyarakat untuk masyarakat, bukan skema kerjasama bilateral antar negara. Pemerintah Jerman sudah menunjuk WWF Jerman sebagai pelaksana di tiga negara dengan keanekaragaman hayati tinggi: Brazil, Kolombia dan Indonesia. Di Indonesia, kegiatan dilaksanakan oleh WWF Indonesia. Pemerintah Jerman secara khusus meminta bantuan Pemerintah Indonesia melalui Bappenas untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan. Kegiatan ini sendiri dilatarbelakangi oleh Regulasi Uni Eropa yang mewajibkan Negara-negara Uni Eropa untuk menggunakan sumber energi terbarukan sekurang-kurangnya 20 persen dari total
18
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
penggunaan sumber energi. Sementara sektor perkebunan Eropa sendiri tidak mampu mencukupi kebutuhan tersebut. Dengan kondisi tersebut, ada kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan lahan untuk perkebunan seperti minyak sawit, yang terutama terjadi di negara kawasan tropis. Untuk mempromosikan konsep perkebunan lestari di dalam tata ruang, maka Uni Eropa dan Kementerian Lingkungan Pemerintah Jerman mendanai kegiatan ini dengan dukungan dari pemerintah setempat. Melalui kegiatan ini akan dilakukan kajian kesesuaian peraturan nasional dengan peraturan Uni Eropa, pemetaan detail high biodiversity dan high carbon, pengembangan kapasitas melalui pelatihan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Jasa Lingkungan, dan sertifikasi perkebunan lestari. Dalam rangka memantau kegiatan Balancing Spatial Planning SBPC, TRP telah melakukan koordinasi dengan beberapa institusi. Pertama,
Monitoring dan Evaluasi TRP Perencanaan Pembangunan terdiri dari empat tahapan yakni: (1) penyusunan rencana; (2) penetapan rencana; (3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan untuk membentuk siklus perencanaan. Sebagai bagian dari siklus perencanaan yang dimanatkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Direktorat TRP melaksanakan kegiatan pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Pengendalian atau pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk mengidentifikasi kegiatan yang perlu dikoreksi agar dapat mencapai sasaran pembangunan. Evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan merupakan penilaian kinerja yang diukur dengan efisiensi, efektifitas, dan kemanfaatan program serta keberlanjutan pembangunan. Sebagai bagian dari kegiatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan Bidang TRP telah dilaksanakan kunjungan lapangan ke Provinsi DI Yogyakarta dan Kabupaten/Kota di Provinsi DI Yogyakarta. Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh data dan informasi mengenai kondisi lapangan dan permasalahan spesifik TRP. Propinsi DI Yogyakarta dipilih sebagai lokasi kunjungan antara lain terkait dengan peningkatan anggaran pendidikan yang cukup signifikan di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Selain itu dilakukan pula kunjungan ke Kantor Wilayah BPN Provinsi DI Yogyakarta, Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Kantor Bappeda Yogyakarta dan Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Propinsi DI Yogyakarta. Kunjungan dilaksanakan pada tanggal 5-8 Juli 2012.
pengumpulan data, pengukuran, pengumuman, dan penerbitan sertifikat. Sampai dengan saat ini tahapan penyuluhan telah selesai dilaksanakan, namun tahapan penerbitan sertifikat belum dilakukan. Dari total alokasi untuk STPN sampai dengan bulan Juni 2012 sudah terserap 37,39%. Selanjutnya sebagian dosen STPN sudah tersertifikasi, hal ini berimplikasi pada perlunya penambahan alokasi untuk tunjangan sertifikasi. Pada kunjungan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul diperoleh informasi bahwa Kantah Kab Bantul sudah mengembangkan pengukuran bidang tanah dengan memanfaatkan teknologi CORS (Continuously Operating Reference Stations). Teknologi ini dapat mempercepat pengukuran bidang-bidang tanah dengan tingkat ketelitian yang cukup akurat. Terkait Bidang Tata Ruang di propinsi DI Yogyakarta, sebagian besar Raperda RTRW Kabupaten dan Kota di Propinsi DI Yogyakarta telah disahkan menjadi Perda. Hingga Juni 2012, dari total 4 Kabupaten dan 1 kota yang ada, baru 3 kabupaten yaitu Kabupaten Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo yang telah menetapkan Perda RTRW. Sedangkan Kabupaten Sleman telah mendapatkan surat persetujuan substansi oleh Menteri PU. Masalah yang ditemui di lapangan adalah rendahnya penyerapan realisasi keuangan yang disebabkan oleh terlambatnya proses pertanggung jawaban. Satker Kementerian PU DI Yogyakarta mengusulkan untuk meningkatkan keterlibatan Bappeda dalam penentuan dana dekon. Penentuan kriteria program dari Pusat diharapkan dapat lebih fleksibel, mengingat karakteristik daerah yang beragam. [sy]
Berdasarkan hasil pemantauan kegiatan yang termasuk dalam prioritas nasional RKP 2012 rata-rata sudah di atas target yang telah ditetapkan. Untuk bidang pertanahan, kegiatan percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah di DI Yogyakarta meliputi: Prona, sertifikasi tanah UKM (Usaha Kecil dan Menengah), sertifikasi tanah petani, sertifikasi tanah nelayan, sertifikasi tanah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Dalam pelaksanaannya kegiatan sertifikasi tanah tersebut meliputi beberapa tahapan yaitu: penyuluhan,
Direktorat TRP melakukan dialog dengan Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral Bappenas. Rekomendasinya adalah agar kegiatan ini diarahkan oleh Pemerintah RI mengingat bahwa kegiatan ini menunjang target penyelesaian RTRWP dan RTRWK, serta dapat memberikan input bagi perbaikan materi teknis RTRWP dan RTRWK Provinsi dan Kabupaten yang berada di Kawasan Konservasi RIMBA (Riau, Jambi, dan Sumatera Barat).
rencana aksi yang telah disusun dalam Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera sebagai acuan bagi proses pemantauan dan evaluasi kegiatan. Kegiatan SBPC ini akan mengisi lokasi dan skema yang tertera dalam Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera. Mengingat bahwa kegiatan tersebut terkait erat dengan fungsi Pokja 3 BKPRN, pemantauan kegiatan dapat dilakukan oleh Pokja 3 BKPRN dan dimasukkan ke dalam agenda Pokja tersebut.
Selanjutnya, Direktorat TRP melakukan koordinasi lintas-K/L tingkat Eselon II dengan Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup-Kementerian Dalam Negeri, Asdep Bidang Perencanaan Lingkungan-Kementerian Lingkungan Hidup, Direktur Penataan Ruang Nasional dan Direktur Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah 1-Kementerian Pekerjaan Umum, serta Asisten Deputi Urusan Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah-Kantor Menko Perekonomian. Rekomendasi yang dihasilkan adalah menggunakan
Sampai dengan saat ini, kegiatan yang telah selesai dilaksanakan adalah kajian kesesuaian peraturan antara peraturan nasional dengan Uni Eropa, pemetaan detail di tiga kabupaten (Kabupaten Kuantan Senggigi, Tebo, dan Dharmasraya) di Kawasan RIMBA yang menjadi fokus kegiatan, pelatihan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan Jasa Lingkungan. Adapun kegiatan sertifikasi perkebunan lestari akan diselesaikan pada akhir tahun ini. [kr]
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
19
ringkas buku: Ir. Deddy K. Halim, M.M., Ph.D Arsitek dan Ahli Psikologi
Psikologi Lingkungan Perkotaan
B
ab 1 Laboratorium Besar Bernama Kota mengibaratkan kota sebagai labirin besar. Untuk bisa merasakan bentuk labirin, kita harus tinggal didalamnya. Untuk dapat memahaminya, kita harus dapat menghayalkannya bentuknya dari atas. Di perkotaan,warga kota mengembara dari satu labirin ke labirin lainnya: dalam rumah mereka sendiri di mana mereka dipisahkan dalam ruang-ruang dan kamar-kamar; dalam perjalanan, terjebak dalam kemacetan dan jalinan jalan yang saling tumpang tindih; di tempat kerja dalam partisi-partisi ruang kerja; di tempat berbelanja dari ruang toko ke ruang toko lainnya. Berdasarkan ilustrasi tersebut, kota dapat membentuk perilaku manusia. Pembentukan perilaku sesuai dengan stimulus yang diterima dan kemudian direspon oleh manusia. Respons yang dihasilkan akan sesuai dengan makna yang didapatkan dari pengetahuan dan pengalaman. Peran perencana kota menjadi sangat penting, karena mereka harus mampu menciptakan atmosfer kota yang nyaman. Dengan demikian, warga akan mencintai labirin mereka dan tidak ingin pindah ke labirin lainnya (kota lain). Beberapa cara yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan Keterasingan kota bagi warga. Contohnya dengan warganya ini salah menciptakan moda transportasi satunya disebabkan yang nyaman dan merencanakan taman-taman hijau. Dengan pembangunan kota fasilitas tersebut warga dapat yang tak terkendali, menikmati labirin kota dengan penuh sukacita, membuat kota dan kecenderungan menjadi lebih rapih, bersih, urban sprawl menarik, dan menyenangkan untuk ditinggali. Bab 2 Lingkungan Hunian dan Komunitasnya. Komunitasnya. Keterikatan pada rumah dan lingkungan bisa sangat kuat. Karenanya dapat dipahami penggusuran hunian liar di Jakarta sering kali memperlihatkan bagaimana warganya sangat terkait pada rumah dan lingkungan yang telah mereka ciptakan. Keterikatan tersebut akan mendorong sikap militan untuk mempertahankannya mati-matian, serta dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental dan suasana hati. Gerakan pertahanan diri semakin tinggi saat semakin maraknya pembangunan hunian di tengah kota dengan konsep hunian vertikal yang banyak dibangun di kawasan murah – yang umumnya dibangun dengan menggusur perumahan kumuh. Dampaknya adalah: terciptanya jurang pemisah antara yang kaya dan miskin; timbulnya disintegrasi sosial yang akan menghilangkan ketahanan psikososial lingkungan. Selain itu juga memicu kecemburuan sosial dan lingkungan menjadi rawan kerusuhan. Bab 3 Paradoks Ruang Publik Kota menyoroti paradoks yang terjadi di masyarakat kota modern. Perlahan namun pasti, dengan revolusi atau secara evolusi kota menjadi asing untuk warganya.
20
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
Keterasingan kota bagi warganya ini salah satunya disebabkan pembangunan kota yang tak terkendali, dan kecenderungan urban sprawl. Fenomena lain yang ada di kota besar seperti Jakarta adalah ketidakpedulian pada sekitar, yang terjadi di lingkungan pribadi maupun publik. Fenomena ini menimbulkan paradoks warga kota: kesepian di tengah keramaian ruang publik. Paradoks kedua adalah kesumpekan karena interaksi sosial yang berlebihan dan tidak dikehendaki akibat tingginya kepadatan lingkungan. Paradoks lainnya adalah keterikatan pada orang asing yang tidak dikenal tapi kehilangan apabila orang tersebut menghilang dari sekitar kita. Untuk mengatasi berbagai masalah paradoks, diperlukan desain arsitektur dan unsur ruang publik untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dalam melakukan interaksi sosial. Bab 4 Kepadatan dan Agresivitas. Agresivitas. Kepadatan berkorelasi erat dengan perilaku agresif. Pemicu perilaku agresif adalah kepadatan yang berlebihan yang menyumbang tindakan anarkis yang merusak. Secara teoretis, kepadatan (dense) berbeda dengan kesesakan (crowd). Kepadatan mengacu pada jumlah orang dalam ruang sehingga sifatnya mutlak, sedangkan kesesakan adalah persepsi seseorang terhadap kepadatan sehingga sifatnya subyektif. Namun demikian, ada batas toleransi kepadatan maksimal yang dapat diterima. Tindakan agresif warga terjadi karena banyaknya jumlah kendaraan bermotor dan kurangnya ruang terbuka hijau. Kurangnya alun-alun dan taman kota sebagai tempat untuk menarik diri dari kesumpekan dan kesesakan juga menjadi penyebab timbulnya tindakan agresif karena stres tidak dapat tersalurkan. Apabila terprovokasi perilaku agresif ini akan menimbulkan tindakan anarkis, yaitu perilaku yang dilakukan dengan sadar sebagai perlawanan terhadap sistem/ keadaan akibat frustrasi yang berkepanjangan. Kebijakan yang harus diambil adalah mengurangi kepadatan penduduk, dengan mengendalikan laju urbanisasi, serta desain tempat tinggal yang nyaman. Bab 5 Kreativitas Warga Kota dalam mengeksplorasi ruang-ruang sisa di perkotaan dapat dilihat melalui mural atau lukisan dinding. Dari sudut pandang psikologi perkotaan, mural merupakan media revitalisasi budaya dan ekonomi warga kota yang mampu menghadirkan tema-tema kehidupan yang relevan. Mural juga berkontribusi kepada ketahanan ekonomi dan lingkungan melalui pendayagunaan dan penciptaan lapangan kerja bagi para seniman lokal yang sekaligus mampu meningkatkan persepsi warga terhadap keamanan wilayah. Pada hakikatnya mural mampu mendukung ketahanan psikososial lingkungan dengan setidaknya memenuhi 7 dari 9 kebutuhan komunitas warga, yaitu kebutuhan berkarya, berpartisipasi, memperoleh kesenangan, beraktualisasi, beridentitas, berpenghidupan dan mendapat perlindungan.
Grafiti juga merupakan ekspresi budaya kota yang menggunakan medan jalan sebagai kanvas. Wujudnya bisa muncul dalam bentuk budaya hip-hop, pernyataan politik, sekadar vandalisme dan coratcoret iseng sampai yang terkait dengan kebencian. Ahli psikologi lingkungan mengelompokkan grafiti ke dalam kategori budaya yang tidak diinginkan, dilihat sebagai aktivitas subversif dan sering merusak fasilitas publik dan properti pribadi. Akan tetapi, perlu dikenali bahwa grafiti merupakan bukti pengalaman hidup perkotaan yang tidak menyenangkan dan secara kultural penting bagi warga kota yang tertindas sebagai sarana ekspresi. Grafiti menjadi bukti visual sebuah subkultur dan praktik pemberontakan yang merefleksikan adanya ketidakadilan dan tekanan terhadap ruang publik atau kehadiran sebuah proyek yang dipaksakan. Bab 6 Gaya Hidup Warga Kota sebagian besar sangat terikat dengan kehidupan di dalam mal. Pertumbuhan mal di kota-kota besar di Indonesia tidak selalu identik dengan meningkatnya kesejahteraan, sebaliknya bisa menjadi indikator sakitnya kota-kota di Indonesia. Mal berkembang sebagai alat penjajahan baru kapitalisme global yang membuat warga kota cenderung asosial, menghilangkan interaksi sosial yang terjadi di ruang publik dan mendorong warganya menjadi konsumtif. Di samping itu, pembangunan mal yang mampu menggerakkan ekonomi kota Perbaikan lingkungan dan memberikan keuntungan besar sebenarnya semakin perkotaan dapat memperlebar jurang perbedaan meningkatkan dan memisahkan warga kaya dan kaum miskin kota. Kota yang kesehatan, mengurangi baik adalah kota yang dapat stressor dan menyediakan hal-hal yang kesehatan mentalmendukung perilaku mendukung spiritual warganya, bukan hanya optimal warga kota memberikan kesejahteraan secara materiil. Du gay (1997) dengan teori sirkuit budayanya menjelaskan bahwa dalam pembentukan sebuah budaya ada lima fungsi kultural yang biasa menyertai, yaitu representasi, identitas, produksi, konsumsi dan regulasi. Sebagai sebuah budaya baru, mal menyandang fungsi sebagai sarana ekonomi warga kota; fungsi konsumsi; fungsi representasi ketika mal mampu menjadi simbol; fungsi identitas ketika warga kota ingin mendapatkan pengakuan di mal; dan fungsi regulasi ketika mal mampu menciptakan aturan yang wajib dipatuhi oleh warga. Bab 7 Warga Senior Jakarta: Dibuang Sayang... menjelaskan kebutuhan utama yang diperlukan oleh para warga senior di kota besar. Fasilitas yang harus disediakan untuk warga senior adalah perumahan senior, asrama lansia (groups home) dan rumah perawatan (rehab medik). Perumahan senior terbagi menjadi wisma mandiri untuk lansia yang masih aktif, dan bangunan pangsa puri untuk kelompok yang kurang aktif. Bangunan pangsa puri biasanya dilengkapi dengan fasilitas penunjang dan pelayanan. Lokasi untuk perumahan para warga senior harus dekat dengan tempat olah raga dan pertokoan untuk mempermudah akses, serta harus diusahakan seperti rumah sendiri atau dapat dipersonalisasi. Bab 8 Stres Perkotaan: Kegilaan Warga Kota. Kota. Stres di perkotaan terkait erat dengan kesesakan dan kebisingan yang banyak terjadi di permukiman liar dan pemusatan kemiskinan perkotaan. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa warga kita di wilayah hunian padat mengalami depresi lebih berat serta emosi negatif lainnya,
seperti menurunnya rasa aman dan merasa tidak puas dengan lingkungan tempat tinggalnya. Permukiman liar terjadi karena kesenjangan pendapatan yang besar antara kaum pendatang dan warga asal, terbatasnya lapangan kerja, serta belum mampunya Pemerintah Jakarta memenuhi kebutuhan perumahan warga. Permukiman liar saat ini ditandai dengan menjamurnya kantong-kantong kumuh bercorak etnis. Padahal konsentrasi etnis berpotensi menimbulkan masalah psikososial perkotaan yang dapat menciptakan disintegrasi kota. Stresor ini mempengaruhi pola perencanaan perumahan di Jakarta. Banyak warga yang kemudian memilih rumah dengan desain cul de sac dan akibatnya warga tanpa sadar mengisolasi dan memenjarakan diri di kotanya sendiri. Bab 9 Arsitektur dan Psikologi Warga: Menuju Desain yang Menyejahterakan. Menyejahterakan. Desain hunian harus mempertimbangkan dan menciptakan kondisi sosial dan ketahanan lingkungan yang baik sehingga pemiliknya dapat lebih mampu memiliki pengaruh pada kondisi tersebut. Untuk ruang kerja, semakin tinggi personalisasi ruangan semakin baik korelasi antara karyawan dengan ruang kerjanya. Ruangan yang lebih terbuka meningkatkan komunikasi sehingga suasana kerja lebih menyenangkan dan bersahabat. Selain itu, ruang terbuka untuk bermain dapat menurunkan tingkat kebisingan dan membantu anak berkembang lebih baik. Ruang untuk belajar harus dipertahankan agar tetap memiliki proporsi yang baik antara ruang di dalam dan ruang kelas. Ruang untuk memperbaiki diri (correction facilities) perlu didesain agar tidak mengasingkan penghuninya dan dapat menurunkan tingkat agresivitas. Caranya adalah dengan menempatkannya di dalam kota, dengan struktur yang terbuka dan dominasi warna tenang. Bab 10 Kota dan Masalahnya: Psikologi Perkotaan Sebagai Solusi. Solusi. Perbaikan lingkungan perkotaan dapat meningkatkan kesehatan, mengurangi stressor dan mendukung perilaku optimal warga kota dengan penekanan pada pembangunan lingkungan fisik. Lingkungan dan warga saling mempengaruhi satu sama lain. Keduanya mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga menghasilkan pengalaman dan membentuk perilaku.
Urban sprawl menimbulkan ketergantungan penduduk pada kendaraan. Implikasinya terjadi pemborosan sumberdaya untuk transportasi serta penurunan kesehatan masyarakat. Fenomena yang juga marak di perkotaan adalah jentrifikasi, atau revitalisasi lingkungan fisik untuk meningkatkan nilai lingkungan. Proses ini dapat mereduksi kesenjangan aliran kapital dan proses pembangunan yang tidak seimbang antara pusat dan pinggir kota. Jentrifikasi melahirkan berbagai masalah psikologi dengan pindahnya kelompok menengah baru yang menguasai lingkungan baru. Kelompok menengah ini hadir dengan budaya baru yang tidak dikenal oleh masyarakat lokal. Selain itu, dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi, mereka akan perlahan menggeser masyarakat lokal yang kurang berkembang secara ekonomi. Sebagai runtutannya, konflik sosial terbatas dapat terjadi dengan mudah. [ma/rn/mc]
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
21
kajian Kajian Pasar Tanah (Prof.Dr. Ir. Tumari Jatileksono, MSc. MA; Dr. Rasidin K. Sitepu, SP, MSi; Akhmad Safik, SE, MH; Drs. Ary Wahyono, MSi) Latar belakang Pesatnya kemajuan pembangunan industri dan jasa dewasa ini berimplikasi pada kebutuhan tanah yang semakin meningkat. Akibatnya tidak hanya mempersempit luas areal tanah pertanian, tetapi juga mempersempit tanah yang tersedia untuk pemukiman, dan lebih serius lagi mendorong naiknya intensitas peralihan hak atas tanah, serta pemecahan persil tanah menjadi bagian yang kecil-kecil dan tidak teratur ukurannya. Dampak lain adalah banyaknya tanah yang telah berubah menjadi komoditas murni, sebagian lain menjadi barang yang langka dengan fungsi ekonomi yang semakin dominan dan sebaliknya, semakin mematikan fungsi sosial atas tanah. Sejalan dengan kenyataan itu Untuk mewujudkan persaingan untuk mendapatkan pasar tanah yang aset melalui penguasaan tanah pun semakin intensif yang nota transparan, diperlukan bene membuka peluang kebijakan dan kerangka terjadinya konflik pertanahan secara terbuka. Konflik tersebut hukum (legal) yang kuat pada gilirannya tidak hanya untuk mengimbangi menyangkut persoalan teknik yuridis pertanahan, tetapi berbagai macam melebar ke aspek-aspek sosial, kepentingan ekonomi, dan politik. Adanya pembebasan tanah untuk kepentingan umum, seperti jalan raya, jalan tol, dan kanal banjir; dan pengalihan fungsi tanah untuk pengembangan bisnis seperti apartemen, hotel, mal, hyper market, kompleks pertokoan, rumah sakit, kampus, dan perkantoran praktis mengurangi areal tanah untuk permukiman dan pertanian. Hal ini juga kerap memicu terjadinya konflik dan sengketa pertanahan. Selain itu, berdampak pula pada meningkatnya harga tanah secara tidak terkendali, menyebabkan ketidakstabilan harga tanah, dan menjamurnya spekulan tanah. Di wilayah perkotaan marak terjadi spekulasi tanah yang sering menyebabkan ketidakstabilan harga. Para investor (pemilik modal) dan lembaga-lembaga keuangan umumnya berkepentingan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang nilai-nilai kekayaan yang sebenar-benarnya dengan menetapkan nilai yang tepat atas aset tanah yang dikuasainya. Faktanya, banyak transaksi tanah yang tidak dicatat atau tidak didaftarkan. Pasar tanah yang diatur dengan baik
dan transparan akan membantu mengurangi spekulasi tanah dan transaksi tidak formal. Penetapan harga tanah yang tepat dan rasional secara ekonomis akan memudahkan penentuan berapa pajak tanah yang adil, dan sekaligus dapat mencegah terjadinya spekulasi dan penguasaan tanah yang melampaui batas serta mencegah tanah-tanah terlantar. Masalahnya manajemen pemantauan harga tanah belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sehingga selalu dijumpai tuntutan tidak puas mengenai besarnya ganti rugi yang diberikan maupun besarnya pajak tanah yang ditetapkan. Untuk mewujudkan pasar tanah yang transparan, diperlukan kebijakan dan kerangka hukum (legal) yang kuat untuk mengimbangi berbagai macam kepentingan, seperti perubahan kepemilikan dan prosedur transaksi, informasi yang jelas mengenai kepemilikan tanah, hak-hak dan kendala-kendala, kemampuan untuk melakukan transaksi dengan cepat dan murah, dan mekanisme untuk menyediakan pembiayaan atau pendanaan keuangan bagi semua pelaku pasar tanah. Kajian Pasar Tanah ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan pasar tanah, mengukur tingkat efisiensi pasar tanah, mendeteksi implikasi sosial ekonomi dan sosial budaya dari perkembangan pasar tanah, meninjau regulasi pasar tanah, dan merancang pengembangan sistem informasi pasar tanah di Indonesia. Lokasi kajian terdiri dari: DKI Jakarta, Kota Medan, Kota Balikpapan, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Maros. Analisis dalam kajian ini dilakukan berdasarkan data sekunder dan informasi yang terkandung dalam laporan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Sampel laporan PPAT dipilih dari 5-10 kantor PPAT yang melaporkan transaksi tanah paling banyak di masing-masing kota/kabupaten sampel. Kajian ini menggunakan analisis dilengkapi dengan analisis kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa pasar tanah di Indonesia, baik di perkotaan maupun di perdesaan berkembang sejalan dengan kondisi perekonomian secara nasional. Dalam kondisi perekonomian tumbuh cepat, jumlah transaksi jual beli tanah meningkat. Sebaliknya dalam kondisi tumbuh lambat jumlah transaksi tanah menurun. Mekanisme pasar tanah sudah berhasil dalam mempertemukan para penjual dan pembeli, tetapi belum berhasil menciptakan harga tanah yang efisien. Untuk lokasi sampel DKI Jakarta, semakin jauh dari pusat Jakarta
Tabel 1. Kisaran Harga Tanah Milik di Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan (ribu Rp/m2), 2007 Jumlah Harga Harga Kelurahan Transaksi Minimum Maximum 1. Cipedak
209
182
1416
528
2. Ciganjur
93
300
1575
534
3. Jagakarsa
83
278
1167
556
4. Srengseng Sawah
62
243
701
495
5. Tanjung Barat
22
394
1573
797
6. Lenteng Agung
19
313
1722
863
Sumber data: Laporan PPAT, 2012.
22
Harga Rerata
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
pasar tanah semakin kurang efisien dalam hal memberikan informasi harga tanah. Laju kenaikan harga tanah dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ternyata lebih tinggi daripada rata-rata tingkat inflasi dan berdampak langsung pada meningkatnya pendapatan pajak yang diterima oleh Pemerintah, terutama bagi Pemerintah Daerah. Di lain pihak, menjadi beban yang semakin berat bagi masyarakat karena harus membayar pajak dengan nilai riil yang semakin besar. Kenaikan harga tanah juga mempunyai konsekuensi kenaikan nilai kredit perbankan yang dapat diperoleh dengan menggunakan tanah sebagai jaminan, kenaikan nilai pembangunan rumah dan gedung lainnya, serta kenaikan nilai kredit properti.
Pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan akses tanah bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, dan mengatur alokasi penggunaan tanah untuk kepentingan umum....
Dinamika pasar tanah di perkotaan mempengaruhi mobilitas masyarakat untuk mencari tempat tinggal yang lebih nyaman dan sesuai dengan kemampuan ekonominya. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan juga terjadi eksklusivitas dan kolektivitas kepentingan kelompok menengah ke atas yang bertempat tinggal di kompleks perumahan elit atau apartemen.
Regulasi pasar tanah perlu diarahkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang semakin kuat melalui pendaftaran tanah yang semakin cepat dan mudah, sehingga mendorong perkembangan pasar tanah yang efisien. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan akses tanah bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, dan mengatur alokasi penggunaan tanah untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan komersial tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Hambatan yang terjadi di pasar tanah diantaranya kelangkaan informasi harga tanah yang akurat, keterbatasan akses informasi tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) di tingkat kota/ kabupaten, sertifikasi tanah yang masih di bawah 40% dari total jumlah bidang tanah, banyaknya transaksi tanah tidak terdaftar, dan administrasi transaksi pertanahan yang masih rumit dan lambat. Laporan bulanan PPAT sudah secara teratur mengalirkan informasi hasil transaksi setiap bidang tanah ke berbagai pihak. Namun informasi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik untuk pelayanan publik yang akurat, murah, dan mudah diakses oleh masyarakat. Laporan tersebut juga belum memuat informasi salah satu atribut tanah yang sangat penting, yaitu jenis penggunaan tanah pada saat ditransaksikan, apakah berupa tanah pekarangan, sawah, kebun, tegal, ladang, huma, padang rumput, rawa, atau tanah kosong. Pengembangan sistem informasi harga tanah dapat dilakukan mudah dengan memanfaatkan kemajuan IT (Information Technology). Informasi harga tanah dapat ditampilkan dengan menggunakan tabel, peta, dan/atau peta GIS (Geographic Information System). Sistem informasi harga tanah dapat dibangun dengan meningkatkan fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau fungsi Badan Pusat Statistik (BPS), atau dengan membangun kerja sama antara BPN dan BPS.
Gambar 1. Peta Harga Tanah Milik di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan N = 22 Min = 394 Avg = 797 Max = 1.573
N = 22 Min = 394 Max = 1.573 Avg = 797
N = 19 Min = 313 Avg = 863 Max = 1.722
N =197 Min = 313 Max = 1.722 Avg = 863
N = 15 Min = 400 Avg = 1.530 Max = 1.862
N = 62 Min = 243 Max = 701 Avg = 495
Sumber: Laporan kajian Land Market
menangani Sistem Informasi Harga Tanah dan memberikan pelayanan informasi harga tanah yang akurat, murah, dan mudah diakses oleh masyarakat. Pembentukan institusi ini dapat dilakukan melalui pengembangan tugas dan fungsi BPN atau BPS, atau dengan menciptakan kerjasama antara keduanya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informatika; (2) Akta jual beli (AJB) oleh PPAT perlu ditambah informasi tentang jenis penggunaan tanah pada waktu ditransaksikan. Jenis penggunaan tanah ini kemudian dimasukkan ke dalam Laporan Bulanan Pembuatan Akta oleh PPAT. Informasi jenis penggunaan tanah ini tidak hanya untuk mewujudkan penggunaan tanah yang optimal, tetapi juga mencegah alih peruntukan yang tidak terkendali; (3) Pemerintah Pusat perlu mempercepat dan menyederhanakan proses administrasi pendaftaran peralihan hak atas tanah. Selain itu, Pemerintah Daerah perlu secara intensif melakukan sosialisasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) tingkat kota/kabupaten; (4) Perlu dikaji lebih dalam kebutuhan amandemen PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah untuk kemudian ditingkatkan menjadi UU Pendaftaran Tanah dalam upaya percepatan pendaftaran tanah pertama kali oleh Pemerintah dengan pembebanan biaya yang terjangkau oleh masyarakat; (5) Evaluasi dan revisi ketentuan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan ketentuan Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak (NPOTKP) perlu dilakukan karena BPHTB merupakan beban tambahan yang menghambat. Pemerintah perlu memberikan dispensasi BPHTB atas pendaftaran tanah pertama kali. NPOTKP yang diterapkan hanya menggunakan batas atas tanpa adanya batas bawah menyebabkan masyarakat dirugikan karena ada pemerintah daerah yang menentukan NPOTKP sangat rendah sehingga membebani masyarakat terutama kalangan ekonomi lemah; (6) Perlu metode penentuan standar harga tanah yang pantas sebagai alternatif dari standar NJOP agar masyarakat tidak menjadi lebih terbebani dalam pembayaran pajak. Penerapan NJOP dalam berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanahan telah menuai berbagai keluhan dari masyarakat. (7) Perlu mengkaji lebih lanjut penyusunan Indeks Harga Tanah (IHT) seperti halnya pada Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Produsen (IHP), dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah sendiri atau oleh masyarakat untuk memonitor perkembangan harga dan pasar tanah di Indonesia. [ik]
Dalam rangka mewujudkan pasar tanah yang efisien dan transparan, kajian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut: (1) mengembangkan institusi yang diberi mandat secara khusus untuk
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
23
sosialisasi peraturan PP No.26 Tahun 2012 tentang KEK Tanjung Lesung dan PP No.29 Tahun 2012 tentang KEK Sei Mangkei
B
erdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Kriteria lokasi untuk dapat diusulkan menjadi KEK adalah (i) Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, (ii) Pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan mendukung KEK, (iii) Terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan, dan (iv) Mempunyai batas yang jelas. RPJMN 2010-2014 mengamanatkan agar hingga tahun 2012 ditetapkan 2 (dua) lokasi KEK dan hingga tahun 2014 ditetapkan total 5 (lima) lokasi KEK. Pada tahun 2012, telah ditetapkan 2 (dua) lokasi yang memenuhi kriteria KEK yaitu KEK Tanjung Lesung melalui PP Nomor 26 Tahun 2012 dan KEK Sei Mangke melalui PP 29 Tahun 2012. Berikut ini dua peraturan pemerintah yang menjabarkan secara singkat kedua KEK tersebut, yaitu KEK Tanjung Lesung dan KEK Sei Mangke. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2012 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung KEK Tanjung Lesung memiliki luas 1.500 Ha yang terletak dalam wilayah Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pengembangan KEK Tanjung Lesung diajukan oleh P.T. Banten West Java Tourism Development Corporation sebagai badan usaha pengusul, dan telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Pandeglang dan selanjutnya diajukan oleh Pemerintah Provinsi Banten kepada Dewan Nasional KEK. Dewan Nasional KEK diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan beranggotakan Menteri/Pimpinan Lembaga nonkementerian. Setelah melakukan pengkajian, Dewan Nasional KEK menyetujui pembentukan KEK Tanjung Lesung dan mengajukan rekomendasi penetapannya kepada Presiden. KEK Tanjung Lesung mempunyai batas-batas sebagai berikut: a. Sebelah utara : Selat Sunda b. Sebelah selatan : Selat Sunda c. Sebelah timur : Selat Sunda d. Sebelah barat : Desa Tanjung Jaya KEK Tanjung Lesung terdiri atas 1 zona yaitu Zona Pariwisata.
24
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
Setelah keluarnya PP 26 Tahun 2012 ini, Pemerintah Kabupaten Pandeglang menetapkan badan usaha yang akan melakukan pembangunan dan pengelolaan KEK Tanjung Lesung sesuai dengan ketentuan PP Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan KEK. Badan Usaha ini melaksanakan pembangunan KEK Tanjung Lesung sampai siap operasi dalam jangka waktu paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan sejak berlakunya PP PP 26 Tahun 2012 ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2012 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei KEK Sei Mangkei memiliki luas 2.000,77 Ha yang terletak dalam wilayah Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Pengembangan KEK Sei Mangkei diajukan oleh P.T. Perkebunan Nusantara III sebagai badan usaha pengusul, dan telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Simalungun dan diajukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kepada Dewan Nasional KEK. Dewan Nasional KEK setelah melakukan pengkajian, menyetujui usulan pembentukan KEK Sei Mangkei dan mengajukan rekomendasi penetapannya kepada Presiden. KEK Sei Mangkei mempunyai batas sebagai berikut: a. Sebelah utara : Desa Keramat Kuba b. Sebelah selatan : PTPN IV (Persero) Kebun Mayan c. Sebelah timur : PTPN IV (Persero) Kebun Gunung Bayu d. Sebelah barat : Sungai Bah Bolon KEK Sei Mangkei terdiri atas 3 zona yaitu Zona Industri, Zona Logistik dan Zona Pariwisata. Setelah keluarnya PP 29 Tahun 2012 ini, Pemerintah Kabupaten Simalungun menetapkan badan usaha yang akan melakukan pembangunan dan pengelolaan KEK Sei Mangkei sesuai dengan ketentuan PP Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan KEK. Badan Usaha ini melaksanakan pembangunan KEK Sei Mangkei sampai siap operasi dalam jangka waktu paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan sejak berlakunya PP PP 29 Tahun 2012. [cr/as]
Perpres No.28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa dan Bali
Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Jawa dan Bali adalah rencana rinci wilayah Pulau Jawa dan Bali sebagai satu kesatuan fungsional wilayah geografis yang disusun untuk operasionalisasi RTRWN. RTR Pulau Jawa dan Bali juga berperan sebagai instrumen koordinasi dan sinkronisasi program pembangunan wilayah Pulau Jawa dan Bali. Tujuan RTR Pulau Jawa dan Bali antara lain (1) mewujudkan Pulau Jawa dan Bali sebagai pusat lumbung pangan utama nasional; (2) mewujudkan kawasan perkotaan nasional yang kompak berbasis mitigasi & adaptasi bencana; (3) memanfaatkan potensi sumber daya mineral, minyak & gas bumi, serta panas bumi secara berkelanjutan; (4) memanfaatkan potensi perikanan, perkebunan, & kehutanan secara berkelanjutan; (5) mengembangkan Pulau Jawa bagian selatan & Pulau Bali bagian utara dengan memperhatikan keberadaan kawasan lindung & kawasan rawan bencana, dan jaringan transportasi antarmoda yang dapat meningkatkan daya saing.
…lumbung pangan utama nasional …kawasan perkotaan nasional yang kompak berbasis mitigasi & adaptasi bencana …Pengembangan Pulau Jawa bagian selatan & Pulau Bali bagian utara yang meningkatkan daya saing…
Fungsi dari RTR wilayah Pulau Jawa dan Bali ini adalah untuk: (1) penyusunan Rencana Pembangunan Pulau Jawa dan Bali; (2) perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta keserasian antar sektor di Pulau Jawa dan Bali; (3) pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Pulau Jawa dan Bali; (4) penentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Pulau Jawa dan Bali; dan (5) penataan ruang wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali. Untuk mewujudkan rencana struktur ruang Pulau Jawa dan Bali, strategi operasionalisasi yang dilakukan dalam mengembangkan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) ialah sebagai berikut: (1) meningkatkan fungsi industri pengolahan dan industri jasa hasil pertanian tanaman pangan juga perikanan, perkebunan yang bernilai tambah tinggi dan ramah lingkungan; (2) mengembangkan pusat penelitian dan pengembangan pertanian tanaman pangan, pariwisata dan budaya, ilmu pengetahuan, dan bahari; (3) menerapkan konsep kota hijau yang hemat energi, air, lahan, dan minim limbah; (4) mengembangkan kegiatan industri kreatif yang berdaya saing dan ramah lingkungan.
Dalam mewujudkan rencana struktur ruang untuk mengendalikan perkembangan PKN dan PKW, strategi yang dilakukan antara lain: (1) secara fisik menjaga keutuhan lahan pertanian tanaman pangan; (2) optimalisasi pemanfaatan ruang secara kompak dan vertikal sesuai dengan daya dukung dan tampung lingkungan hidup; (3) mengendalikan perkembangan yang berdekatan dengan kawasan lindung; (4) mengendalikan perkembangan di kawasan rawan bencana. Sedangkan strategi operasionalisasi untuk rencana pola ruang antara lain dengan: (1) mengembangkan kawasan yang didukung oleh peningkatan fungsi industri pengolahan; (2) mengendalikan kawasan yang berpotensi merusak potensi kawasan lindung; (3) mengendalikan kawasan permukiman; (4) meningkatkan fungsi ekologis; (5) merehabilitasi kawasan yang mengalami deforestasi dan degradasi; (6) mengembangkan pengelolaan dengan menggunakan teknologi lingkungan; (7) mengendalikan perubahan peruntukan; (8) kawasan permukiman dikembangkan di kawasan metropolitan dan perkotaan besar; (9) kawasan permukiman dikembangkan di kawasan perkotaan yang didukung sarana prasaran yang memadai; (10) mengembangkan kawasan berbasis adaptasi dan mitigasi bencana; (11) mengendalikan perkembangan di daerah penyangga dan daerah yang terindikasi urban sprawl; dan (12) mengendalikan perkembangan wilayah secara horizontal dan mengelompok. RTR Pulau Jawa dan Bali juga memuat indikasi program utama yang menjadi bagian dari arahan pemanfaatan ruang dan merupakan acuan untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sebagai operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.[ri]
Tahukah Anda??? Waktu pelayanan pertanahan untuk Pemberian Hak berupa Hak Milik Perorangan: • 38 (tiga puluh delapan) hari untuk: Tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha; Tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2. • 57 (lima puluh tujuh) hari untuk: Tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 Ha; Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2 s.d. 5.000 m2. • 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk:Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 5.000 m2. (sumber: PP No.13 tahun 2010)
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
25
Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRWP
PP No.13 Tahun 2010 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPN PP 13/2010 merupakan revisi atas PP 46/ 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Revisi PP tersebut dilatarbelakangi adanya jenis PNBP yang baru dan perubahan tariff, serta penyederhanaan dalam penetapan tarif PNBP dalam upaya mengoptimalkan PNBP guna menunjang Pelayanan Pembangunan Nasional. Melalui Pendaftaran Tanah pemberlakuan PP 13/2010 ini untuk Pertama Kali diharapkan ada peningkatan pelayanan bidang pertanahan kepada masyarakat.
pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah)
Dalam PP 13/2010 dirinci 10 jenis PNBP yang berlaku pada BPN, yang berasal dari: (1) Pelayanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan; (2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah; (3) Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya; (4) Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan; (5) Pelayanan Pendaftaran Tanah; (6) Pelayanan Informasi Pertanahan; (7) Pelayanan Lisensi; (8) Pelayanan Pendidikan; (9) Pelayanan Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)/ Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/ Prk/1965; dan (10) Pelayanan di Bidang Pertanahan yang Berasal dari Kerja Sama dengan Pihak Lain. Berdasarkan ketentuan PP 13/2010 Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah). Pihak tertentu tersebut adalah: (a) Masyarakat tidak mampu, yakni perorangan yang besar penghasilannya per bulan dibawah Upah Minimum (yang berlaku pada masing-masing Kab/Kota yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Ketua RT/RW setempat diketahui oleh Lurah, Kepala Desa, atau nama lainnya); (b) Instansi Pemerintah; dan (c) Badan hukum yang bergerak di bidang keagamaan dan sosial yang penggunaan tanahnya untuk peribadatan, panti asuhan, dan panti jompo. [rn/ik]
Tahukah Anda??? Persyaratan pelayanan pertanahan untuk Pemberian Hak berupa Hak Milik Perorangan: 1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Asli Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Asli Surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah (Rumah Gol III) atau rumah yang dibeli dari pemerintah 6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) 7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan (sumber: PP No.13 tahun 2010)
26
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Provinsi
A
B C D E B1 B2 C1 C2
F
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Kep. Riau Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua JUMLAH 33 33 33 33 19 18 14 13 Sekretariat BKPRN, 15 Oktober 2012 [mc]
A B
Proses Revisi Proses Persetujuan Substansi B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan
C
Memperoleh Persetujuan Substansi C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan
D Pembahasan DPRD E F
Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri Penetapan Perda RTRW
Pokok-Pokok Perpres Nomor 71/2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
U
ndang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah disahkan pada tanggal 14 Januari 2012. UU tersebut mengamanatkan penyusunan peraturan pelaksana berupa Peraturan Presiden (Perpres). Dalam penyusunan Perpres tersebut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ditunjuk sebagai koordinator dengan melibatkan beberapa Kementerian/Lembaga antara lain: Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Sekretaris Kabinet, Badan Pertanahan Nasional. Setelah melalui serangkaian pembahasan yang melibatkan Tim Teknis hingga Menteri/Kepala Lembaga pada tanggal 7 Agustus 2012 disahkan Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum terdiri dari 12 bab dengan 126 Pasal. Kedua belas Bab tersebut meliputi: ketentuan umum, perencanaan pengadaan tanah, persiapan pengadaan tanah, pelaksanaan pengadaan tanah, penyerahan hasil pengadaan tanah, pemantauan dan evaluasi, sumber dana pengadaan tanah, pengadaan tanah skala kecil, insentif perpajakan, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Berdasarkan jangka waktu proses pengadaan tanah dilakukan dalam kurun waktu terhitung, sejak dokumen perencanaan resmi diterima oleh gubernur, paling cepat 319 Hari Kerja dan paling lama 583 Hari Kerja. Adanya pengaturan kerangka waktu inilah salah satu yang membedakan Perpres ini dengan peraturan perundangan sebelumnya. Ketentuan kerangka waktu ini diharapkan dapat menjamin kepastian waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang selama ini sering berlarut-larut. Berikut dijelaskan pokok-pokok substansi dari Perpres tersebut. Pada tahap perencanaan, perencanaan pengadaan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan. Selanjutnya pada tahap persiapan pengadaan tanah, Gubernur membentuk Tim Persiapan Pengadaan Tanah yang beranggotakan Bupati/Walikota, SKPD provinsi terkait, instansi yang memerlukan tanah dan instansi lain yang terkait setelah menerima dokumen rencana pengadaan tanah dari Instansi yang memerlukan tanah. Tim Persiapan Pengadaan Tanah berkedudukan di Sekretariat Daerah Provinsi. Tim tersebut bertugas: a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pengadaan tanah; b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan; c. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan; d. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan; e. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum; dan f. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh gubernur. Tim Persiapan melaksanakan konsultasi publik kepada Pihak yang Berhak untuk menjelaskan rencana pelaksanaan pengadaan tanah. Apabila dalam konsultasi publik terdapat Pihak yang Berhak tidak sepakat atau keberatan atas lokasi rencana pembangunan, maka dilaksanakan konsultasi publik ulang. Apabila masih tetap ada pihak
yang keberatan atas lokasi rencana pembangunan maka Instansi yang memerlukan tanah melaporkan adanya keberatan tersebut kepada Gubernur melalui Tim Persiapan. Gubernur membentuk Tim Kajian Keberatan untuk melakukan kajian atas keberatan lokasi rencana pembangunan. Tim kajian keberatan tersebut terdiri atas: Sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota, Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota, Instansi yang menangani urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota, kepala kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM sebagai anggota, bupati/ walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota, dan akademisi sebagai anggota. Tim Kajian Keberatan bertugas: menginventarisasi masalah yang menjadi alasaan keberatan, melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan, dan membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan. Berdasarkan Pasal 17 Perpres ini, Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki obyek pengadaan tanah meliputi: pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, nadzir untuk tanah wakaf, pemilik tanah bekas milik adat, masyarakat hukum adat, pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik, pemegang dasar penguasaan atas tanah, dan/atau pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Perpres 71/2012 juga mengatur ketentuan pengadaan tanah skala kecil dan insentif perpajakan dengan pertimbangan efisien dan efektivitas. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah melalui cara jual beli atau tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Sementara itu, insentif perpajakan diberikan kepada Pihak yang Berhak apabila mendukung penyelenggaraan Pengadaan Tanah dan tidak melakukan gugatan atas putusan Penetapan Lokasi dan atas putusan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian. Berikut bagan, tahapan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Catatan : - Waktu dalam tahapan terhitung sejak dokumen perencanaan resmi diterima oleh Gubernur. - Waktu dihitung dengan satuan hari kerja. - Lembaga pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. - Penilai independen adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin dari praktik penilai dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/ harga objek pengadaan tanah.
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
27
galeri foto RAKERNAS DEPUTI Menyongsong 2013, Kedeputian Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas melaksanakan Raker untuk membahas agenda kerja kedeputian tahun depan. Banyak hal yang diskusikan dalam Raker yang diselenggarakan di salah satu hotel di wilayah Cipanas Bogor. Isu yang dibahas antara lain terkait reviu terhadap apa yang telah dicapai dan apa yang tengah dilakukan hingga saat ini. Implementasi RPJMN dan pengawalannya harus tetap menjadi prioritas. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA menyampaikan penekanannya bahwa bahwa implementasi RPJMN dan pengawalannya harus tetap menjadi prioritas dalam rencana kegiatan 2013 . Selain itu, dalam menjalankan peran think tank, perlu juga forum-forum untuk ‘mind exercise’ Berbeda dengan sebelumnya, raker yang berlangsung selama dua hari (1-2 Oktober 2012) dibuat dalam suasana yang penuh kekeluargaan namun tetap produktif. Oleh karenanya, di samping menghasilkan agenda kerja kedeputian, raker ini juga berhasil mempererat hubungan silaturahim antarstaf dan antara staf dan pimpinan di lingkungan Kedeputian Regional. Selama pelaksanaan raker, banyak momen yang sempat terekam dan bisa membuat kita tersenyum ketika melihatnya kembali. Check it out!
28
Buletin Tata Ruang & Pertanahan
EDISI 01/TAHUN I/2010
Buletin Tata Ruang dan Pertanahan
29
Runa
Tarna