ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Heru Awal Ludin NIM: 105043201327
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ” ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Hukum. Ciputat, 15 Juni 2010 Mengesahkan Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP: 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A NIP: 195703121985031003
( .............................. )
2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP: 196511191998031002
( .............................. )
3. Pembimbing I
: Dr. A. Sudirman Abbas, M.A NIP: 150.294 051
( .............................. )
4. Pembimbing II : Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag. NIP: 197302151999031002
( .............................. )
5. Penguji I
( .............................. )
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. NIP: 195703121985031003
6. Penguji II
: Dr. Hasanudin, M.Ag NIP: 196103041955031001
( .............................. )
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 17 juni 2010
Heru Awal Ludin
KATA PENGANTAR ¯2lµo G¡+Ýo 2Ù{´ Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
Skripsi
dengan
judul
“ANALISA
TERHADAP
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi dan melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI). Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang sangat bermanfaat bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Bapak. Dr. A. Sudirman Abbas, M.A dan Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keihlasan mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa studi. 5. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka. 6. Nenek, Ayahanda dan Ibunda,
Ibu Hj. Rohmanih, Bapak Ahcmad dan Ibu
Marwiyah, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amin. 7. Kepada adik-adiku tersayang Nur Hayani, Ani Suryani, dan Siti Laila yang selalu memberikan senyuman, canda tawa serta doa yang tiada henti untuk penulis. Dan khusus untuk Ani dan Laila yang sudah berada dipangkuan Allah SWT. Tidak pernah sedikitpun rasa sayang dan cinta penulis berkurang untukmu adik-adikku, semoga Allah SWT selalu meninggikan derajat kalian. Amin Ya Allah SWT. 8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2005 / 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN
ii
Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Ciputat, 17 Juni 2010
Heru Awal Ludin Penulis
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................i DAFTAR ISI...............................................................................................................iii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................10 D. Tinjauan Kajian Terdahulu (Review Study)...................................11 E. Metode Penelitian..........................................................................14 F. Sistematika Penulisan....................................................................16
BAB II
RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 A. Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah...........................................................................................18 B. Perencanaan Tata Ruang...............................................................20 C. Pemanfaatan Tata Ruang..............................................................27 D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang.......................................35
BAB III
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah Perspektif Hukum Islam...............................................50 B. Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam.......................57
iii
C. Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam......................65 D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam..............................................................................................71 BAB IV
ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Analisis Perspektif Hukum Islam..................................................81 B. Analisis Komperatif.......................................................................90
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................100 B. Saran............................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................103 LAMPIRAN
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara sederhana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah sistem kehidupan di mana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem. Kemudian secara lebih rinci mengenai pengertian tentang lingkungan hidup disebutkan bahwa “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lain”. 1 Dari pengertian tadi dapat digambarkan bahwa manusia di bumi ini tidak hidup sendirian akan tetapi berkaitan erat secara bersama dengan mahluk lain seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme lain. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup, sekalipun memiliki kemampuan lebih dari pada mahluk yang lain, di dalam menjalani proses kehidupan di planet bumi ini tidak dapat menganggap dirinya lebih superior dan makhluk lain pada posisi inferior. Manusia dan mahluk lain, termasuk yang namanya jasad renik (micro organism), sama-sama pada posisi yang saling membutuhkan, tergantung pada derajat atau tingkat saling membutuhkannya. Misalnya, manusia membutuhkan oksigen dan makanan, dalam hal ini manusia tidak dapat memenuhinya melalui dirinya sendiri (heterotrfic). Oksigen diperoleh hanya melalui tumbuh-tumbuhan dan makanan diperoleh selain
1
Widjojo Nitisastro, “Senantiasa Memiliki Rakyat Kecil “, dalam : Revolusi Berhenti Hari Minggu, (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2000), h 49-50.
1
2
dari tumbuhan juga dari hewan. Untuk kebutuhan minuman hanya didapatkan dari air tanpa benda-benda dari manusia tidak dapat melangsungkan kehidupan dan juga keturunanya atau tidak akan terjadi proses survival of the fittest. 2 Meminjam istilah biologi (lingkungan) bahwa kota merupakan suatu ekosistem, karena di kota hidup berbagai masyarakat dengan struktur, kelas, dan status sosial yang berbeda-beda. Kota juga tidak bisa diklaim sebagai milik para arsitek yang menginginkan gedung-gedung indah dan berbagai real estate atau milik ekonom yang menginginkan berdirinya mall, plaza, dan supermarket atau milik para rumbawan yang menginginkan adanya green city yaitu kota yang memiliki banyak ruang terbuka, ruang bermain, dan taman kota yang melengkapi kota sebagai paru kota. 3 Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam ) tentunya mempunyai aturan mengenai masalah perkotaan. Dalam untaian gagasan qurani
sekaligus indikasi kealaman dan kesejahteraan serta fenomena tingkah laku manusia itu sendiri, pola dasar konseptual islami tetap memiliki sifat berbanding lurus dengan setiap bentuk penyimpangan terhadap jalan cara dan pesan Allah kepada umat manusia. Karena watak dasar islami adalah kesatuan diri dengan hukum-hukum Allah yang manifestasinya sangat dinamik dalam keseluruhan proses kehidupan. 4
2
Effendy Daud, “Manusia, Lingkungan dan Pembangunan Prorpektus Islami ”, (Jakarta ; lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008). hal 50. 3 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, h. 43. 4 Saefudin Ahmad, ‘’Ekonomi dan Masyarakat Dalam Persepektif islam’’(Jakarta Rajawali Pers1987). hal-181
3
Sesungguhnya tidak ditemukan konsep tata kota Islam, Fikih Perkotaan yang baku apalagi yang bersifat teknis-mekanistis tentang tata kota dalam ajaran Islam. Namun ajaran Islam mempunyai prinsip-prinsip dalam hal penataan kota yang menjadi guidance dalam membuat kebijakan penataan sebuah kota. Berbicara Fikih Perkotaan termasuk dalam ruang lingkup Fikih Siyasi. Yang dimaksud dengan Fikih Siyasi adalah fikih yang membicarakan seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, baik tentang peraturan kebijakan untuk mewujudkan kepentingan orang banyak. Oleh karenanya, ruang lingkup Fikih Siyasi sangatlah luas termasuk pengaturan Negara secara umum. Sedangkan Fikih Tata Kota juga mempunyai ruang lingkup sangat luas. Sebut saja kota sebagai sebuah ekosistem, kota sebagai media kesejahteraan umat, sistem pengelolaan tanah dan konsolidasi (tanah), sistem penataan ruang, penghijauan kota (Green City). 5 Tentunya kita tidak menginginkan terjadinya polusi di kota tempat kita tinggal yang akan berdampak pada multiefek. Mengenai tata kota yang “Green City” merupakan sebuah keniscayaan. Jauh-jauh hari Rasulullah Saw. menegaskan betapa pentingnya menjaga lingkungan perkotaan dengan melestarikan pepohonan sebagai salah satu sumber kehidupan.
5
MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, hal-118
4
Madinah
sebagai
kota
percontohan
yang
dikelola
Rasulullah
Saw.
mensyaratkan kesejukan dengan menjaga pepohonan. Kota Madinah belum memiliki transportasi yang dapat mengeluarkan polutan karbon monoksida yang dikeluarkan oleh mobil, sepeda motor, pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap dan sebagainya. Pepohonan tidak hanya merupakan lambang kesejukan, namun pepohonan merupakan bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Betapa tidak, pepohonan adalah media siklus udara yang dibutuhkan manusia. Pepohonanlah yang menjadi sumber adanya udara besih yang kita hirup. Kekurangan udara bersih berarti mengurangi hak hidup manusia itu sendiri. Bayangkan saja saat ini kita mulai merasakan betapa suhu udara yang menggerahkan, curah hujan dan musim yang tidak menentu. Karenanya, tidak salah jika dikatakan hutan adalah paru-paru dunia. Tanpa pohon-pohonan seolah dunia kehilangan paru-parunya untuk bernafas dan selanjutnya melenyapkan kehidupan ini. Lebih dari itu, pepohonan merupakan penangkal terjadinya malapetaka pada sebuah kota. Sebab pada pohonlah sistem keseimbangan ketersediaan dan penyimpanan air terjadi. Kebutuhan akan air atau kelebihan terhadap pasokan air yang datang melalui banjir akan diseimbangkan oleh pohon-pohonan. Karenanya, penataan kota secara teratur, tersistem rapi, green city merupakan keniscayaan dalam kehidupan perkotaan. Islam sebagai sistem nilai melalui Al-Quran dan contoh
5
tauladan Rasulullah Saw. Telah mengajarkan dan menuntun manusia untuk dapat menata tempat tingggalnya dalam rangka kemaslahatan manusia itu sendiri.6 Permasalahan Tata Ruang bukanlah permasalahan Departemen Pekerjaan Umum atau tanggung jawab Direktorat Penataan Ruang semata. Persoalan tata ruang sangat erat kaitannya dengan dinamika pembangunan di suatu tempat yang terkadang tingkat pertumbuhan dan arah pertumbuhannya tidak terkendali. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, baik alamiah maupun non-alamiah karena adanya kebijakan pemerintah, keterlibatan dan kepentingan swasta, maupun hal-hal lain seperti akibat dari implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang membuka ruangan terhadap persaingan antar daerah otonom untuk mendapatkan perolehan PAD sebanyak-banyaknya, yang kemudian terkadang memberikan tekanan yang berlebihan terhadap suatu kawasan. 7 Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia dilaksanakan berdasarkan UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, di mana pengertian penataan ruang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang (RTR), baik untuk wilayah administratif (provinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (misal kawasan perkotaan dan perdesaan). Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi RTR atau pelaksanaan pembangunan oleh
6
www.Waspada Online.com Diakes Pada Tanggal 20-des-2009 www.Waspada Online.com Diakes Pada Tanggal 20-des-2009
7
6
berbagai sektor yang mengisi fungsi-fungsi ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas proses pengawasan (pemantauan, pelaporan, dan evaluasi) serta penertiban (pengenaan sanksi dan perizinan) terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Dan Dalam Permendagri No 8 Tahun 1998 pasal (1) huruf a, Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai tempat manusia dan tempat mahluk lainya hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara kelangsungan hidupnya. Huruf b, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. huruf c, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya pengendalian pemanfaatan ruang akan memberikan feedback bagi proses perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang. Ketiga unsur penataan ruang saling terkait erat satu sama lain membentuk suatu siklus yang interaktif-dinamis. Melekat dalam setiap unsurnya (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang), karakteristik penataan ruang sangat terkait erat dengan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan bahkan, pertahanan-keamanan. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks yang dilandasi oleh 4 (empat) prinsip utama yakni : (a) holistik dan terpadu, (b) keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kota-desa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (d) pelibatan peran serta
7
masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. 8 Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) yang dapat diketahui masyarakat memungkinkan pendayagunaan dan pemeliharaan tata ruang secara terarah. Pemerintah hendaknya berkewajiban mengusahakan agar penataan ruang dilakukan secara terbuka. Setiap warga masyarakat perlu memperoleh keterangan mengenai produk perencenaan tata ruang kota dan proses yang ditempuh dalam penataan ruang kota tersebut. Dalam menyusun peraturan daerah tentang tata ruang yang diajukan, masyarakat harus diikut sertakan agar penataan ruang kota berorientasi kepada kepentingan warga/masyarakat kota. 9 Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip di atas, banyak kendala dan problem yang dialami. Salah satu contohnya adalah penggusuran sebuah pemukiman atau bagian dari lingkungan, dilakukan sebagai pemanfaatan ruang untuk fasilitas umum menurut pola baru. Tetapi selama ini masyarakat hampir tidak pernah tahu bahwa tanah atau ruang yang dimanfaatkannya secara turun temurun ternyata menjadi bagian Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) untuk keperluan lain. Persoalannya bukanlah masalah penggusuran tersebut. Pada mulanya adalah rencana tata ruang kota yang menjadi landasan. Penggusuran hanyalah tindak lanjut rencana tersebut. Namun persepsi masyarakat masih tetap sederhana, penggusuran
8
Ibid MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, h.111. 9
8
adalah tindakan awal untuk membangun, misalnya pelebaran jalan raya dan lain sebagainya. Secara keIndonesiaan, tampak negara kita sudah tidak lagi mampu menampung dan memelihara para dhuafa, padahal fakir miskin dan anak-anak terlantar harus dipelihara oleh negara. Kewajiban itu tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 31 ayat (1) disebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar diplihara oleh negara dan ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Namun karena keuangan negara terbatas itulah, mau tidak mau warga masyarakat seharusnya secara patungan membantu warga masyarakat lain untuk hidup secara layak. Allah mengajarkan solidaritas sosial (ukhuwah islamiyah) dengan cara saling membantu terhadap sesama umat islam. Masyarakat islam telah diajarkan sebuah solusi mencegah kecemburuan sosial, konflik dan mengurangi kemiskinan yang berdampak pada meningkatnya kriminalitas dalam masyarakat. Dikaitkan dalam hal ini Allah swt berfirman.
y S
A Ã{`dÜ" t´8 Ü>ÝÎ" y Ù2ÎKÊmÚ (١٨٣ ) اﻟﺴﻌﺮاء8Õµk«{ÞáÉ% ÀÜs)U Artinya : ‘’Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan’’(Q.S, Asy-Syura’aa : 183).
9
Secara fisisk, permasalahan lain yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah pemukiman kumuh, drainase yang buruk kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara, kepadatan permukiman, ketiadaan ruang terbuka dan sebagainya. 10 Kepincangan-kepincangan yang terjadi di perkotaan dianggap identik sebagai problema (masalah-masalah) sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem dan nilai-nilai sosial masyarakat itu tersebut. Akan tetapi ada persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat perkotaan pada umumnya. Dari uraian di atas timbulah ide untuk berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) guna mendukung upaya pembangunan
tata
ruang
kota
yang
berdasarkan
studi
aplikasi
pada
PERMENDAGRI No. 8 tahun 1998, agar kelak memperoleh kebijaksanaan tata ruang kota yang lebih layak. Untuk itu penulis membuat skripsi ini dengan judul : ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar pada tata ruang kota dalam menerapkan PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998. Adapun yang dimaksud dengan Rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang merupakan penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan 10
MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, hal-117
10
ruang wilayah kota, rencana struktur ruang wilayah kota, rencana pola ruang wilayah kota, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota. Sedangkan PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998 adalah peraturan menteri dalam negeri tentang prosedur penyelenggaraan penataan ruang dalam proses perencanaan tata ruang kota. Berdasarkan latar belakang sebagaimana uraian di atas, terdapat pokok masalah yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah penyelenggaraan penataan ruang menurut PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam ?
2.
Apakah penyelenggaraan penataan ruang terdapat persamaan dan perbedaan antara PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui
penyelenggaraan
penataan
ruang
menurut
PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penyelenggaraan penataan ruang
antara PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam. Penulis pun berharap, dengan adanya hasil penulisan ini, dapat berguna memperkaya wawasan dan wacana dalam penataan ruang kota Islam pada umumnya,
11
sekaligus sebagai sumbang saran dan masukan bagi para pratiksi dalam menetapkan penataan ruang kota yang layak. 1.
Manfaat Teoristis. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan dan pengetahuan khususnya bagi diri penulis maupun bagi masyarakat pada umumnya
2.
Manfaat Praktis. Diharapkan berguna untuk memberikan informasi dan wawasan kepada masyarakat dalam dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang kota.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu (Review Study) Dalam penelitian yang telah lalu yakni terdapat tiga hasil penelitian yang ditulis yang pembahasanya berhubungan dengan judul skripsi yang telah penulis pilih. 1.
Judul
Tesis
”Penataan
Ruang
Kota
Skala
Mikro
Dalam
Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas Di Kawasan Kota”.
Upaya Institute
Teknolgi Bandung (ITB). Tesis ini Ditulis Oleh Mulia Yuyus Pada Tahun 1992. Pada penulisan tesis ini, penulis menjelaskan tentang penataan ruang kota skala mikro dalam upaya penanggulangan kemacetan lalu lintas di kawasan kota. Tesis ini menitik beratkan pada persoalan kemacetan yang terjadi di kawasan kota. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan
12
Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang. 2.
Judul Tesis “Kajian tentang kota Islam: Kasus kawasan Mesjid Besar Kampung Kauman dan Sekitarnya pada kota-kota di Jawa”. Tesis ini Ditulis Oleh Ekomadyo Agus pada tahun1999. Pada penulisan tesis ini, penulis menjelaskan tentang Kajian tentang kota Islam: Kasus kawasan Mesjid Besar Kampung Kauman dan Sekitarnya pada kota-kota di Jawa, tesis ini menitik beratkan pada kajian kota islam yang terjadi pada sekitar masjid besar kampung kauman di jawa. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.
3.
Judul Skripsi “Pengendalian Penatagunaan Tanah dan Tata Ruang kota di Kota Kebumen”. Skripsi ini Ditulis Oleh Shinta Mayasari, Pada Tahun 2007 Pada penulisan skripsi ini, penulis menjelaskan tentang pengendalian penatagunaan tanah dan tata ruang kota di kota kebumen. Yang menitik beratkan pada penatagunaan tanah dan tata ruang kota dikhususnya di kota kebumen. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat
13
adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang. Pada ketiga tesis dan skripsi tersebut, berbeda dengan masalah yang akan diangkat oleh skripsi ini. Pada penelitian ini, penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah dengan perspektif hukum Islam, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang yang di buktikan dengan penempatan bangunan-bangunan penunjang kota. Pada masa Islam istana merupakan sentral atau pusat pemerintahan. Penempatan istana mengikuti konsep kosmologi, sebagai sentral atau pusat, maka istana atau kraton diletakkan di tengah. Pusat ibadah yang diwujudkan melalui masjid diletakkan di sebelah Timur, lalu diikuti dengan penempatan pasar di bagian Barat. Namun pola sepert ini bukan menjadi suatu keharusan baku yang diterapkan oleh kota-kota kuno Islam di Indonesia. Pada beberapa kasus, penempatan bangunan-bangunan penunjang tidak memperlihatkan adanya konsep kosmologis, namun unsur-unsur bangunan fisik kota tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang telah dikembangkan oleh penguasa pendahulu kota-kota Islam. Tata ruang yang dikembangkan oleh penguasa Islam tempo dulu selain memberi pemandangan kota
14
yang
proporsional,
juga
terciptanya
optimalisasi
penggunaan
ruang.
Pengoptimalisasian ruang tentunya akan berdampak pada luasnya penggunaan lahan. Dengan penggunaan lahan yang sedikit tentunya akan melestarikan dan menjaga keseimbangan alam. E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kulitatif,
perundang-undangan dan normatif yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data. Pada perinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka. 11 Sedangkan pembahasanya akan menggunakan deskriptif analitis komparatif. Menggambarkan secara garis besar, kemudian dilakukan secara analisis terhadap persoalan secara umum. Komparatif, artinya mencari titik temu dan titik beda dalam sudut pandang hukum konvensional dan hukum Islam. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa dan menguraikan mengenai penyelenggaraan penataan dalam mewujudkan proses perencanaan tata 11
Sudarman Danim, Menjadi peneliti kualitatif (Bandung : Pusaka Setia,2002), h.51
15
ruang dan masalah-masalah yang timbul dari pelaksanaan tata ruang tersebut. Dalam penelitian ini asas-asas hukum yang dipergunakan adalah Kitab UndangUndang
Pokok
Agraria,
PERMENDAGRI
No.
8
Tahun
1998
tentang
penyelenggaraan penataan dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang, dan juga peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tata ruang . 2.
Teknik Pengolahan Data Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikanbahan-bahan yang
diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut : a) Studi Pustaka (library research) Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah. b) Pengolahan Data Analisis dan pengolahan data, dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data atau literatur yang terdapat di dalam buku dan materi yang bersangkutan dengan hal yang akan dibahas , kemudian dilakukan analisis yang dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan diberikan saran-saran untuk perbaikan. 3.
Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum.
16
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
Merupakan PENDAHULUAN yang terdiri dari lima sub bab yang membahas tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika P.enulisan.
BAB II
RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 9 TAHUN 1998, Dalam
Bab
ini
terdiri
dari
Pengertian
dan
Tujuan
Penyelenggaraan Penataan Ruang, Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Tata Ruang, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang. BAB III
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Dalam Bab ini terdiri dari Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah Perspektif Hukum Islam, Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam.
17
BAB IV
ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Bab ini terdiri dari Analisis Perspektif Hukum Islam dan Analisis Komperatif.
BAB V
PENUTUP; Kesimpulan dan Saran
BAB II RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 A. Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang Berdasarkan PERMENDAGRI No 8/1998 Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai tempat manusia dan tempat mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan
ruang,
dan
pengendalian
pemanfaatan
ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah rangkain kegiatan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang berdasarkan UU No 24 Tahun 1992 terdiri atas, perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga dinyatakan ruang terbagi habis antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. 1
Hadi, MS. “Penataan Ruang Untuk Pemantapankawasan Hutan”,(Bogor : Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, 2006), h 2. 1Setia
18
19
Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan utama dalam penyelenggaraan penataan ruang berkelanjutan pada akhirnya akan bermuara kembali kepada kesejahteraan masyarakat sehingga dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development) peran serta masyarakat dengan kearifan lokalnya perlu diberikan tools dan mekanisme yang jelas agar bisa berinteraksi dalam penyelenggaraan penataan ruang. 2 Sesuai dengan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa peran serta masyarakat disebutkan pada bagian konsideran butir (d) yang menyatakan bahwa “keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.” Kebutuhan akan peran serta masyarakat muncul di Indonesia dan di berbagai negara disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah keterbatasan sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) yang kurang mampu mewakili keragaman kepentingan masyarakat, terutama kelompok-kelompok
minoritas,
miskin,
atau
kelompok
yang
memiliki
keterbatasan akses terhadap proses pengambilan keputusan politik. Kebijakan publik menjadi arena tertutup dan menjadi ajang kepentingan pribadi dan
2
Setia Hadi, MS. “Penataan Ruang Untuk Pemantapan kawasan Hutan”, h 2.
20
kelompok-kelompok yang memiliki akses terhadap proses pengambilan keputusan politik. Sehingga untuk memperbaiki hal tersebut, maka suara masyarakat perlu diperkuat dengan cara melibatkan secara langsung masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik. 3 Bila kita cermati perkembangan politik pada beberapa negara barat yang telah mengalami sejarah panjang demokrasi, akan terlihat kematangan sistem demokrasi perwakilan dengan partisipasi masyarakat. Semakin baik proses dan sistem demokrasi perwakilan maka akan semakin mengurangi kebutuhan peran serta masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik. 4 Maka berdasarkan PERMENDAGRI No 8/1998 tujuan penyelenggaraan penataan ruang terdapat pada Pasal 2 Tujuan penyelenggaraan penataan ruang di daerah yaitu; Terlaksananya perencanaan tata ruang secara terpadu dan menyeluruh, Terwujudnya tertib pemanfaatan tata ruang Terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang B.
Perencanaan Tata Ruang Berdasarkan permendagri No 8/1998 perencanaan tata ruang adalah kegiatan menyusun dan menetapkan rencana tata ruang yang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang.
3
Ibid , h 3.
4Sjofjan
Bakar, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Ruang”(Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009), h 1.
Penataan
21
Berdasarkan Permendagri No.8/1998 Pasal 6 perencanaan tata ruang itu berisi : (1) Pekerjaan peyusunan rencana tata ruang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Kepala daerah. (2) Peyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan cara : a. Bekerjasama dengan perguruan tinggi dan atau konsultan perencanaan yang berbentuk badan hukum. b. Swakelola. (3) Pemilihan pelaksana pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh instansi yang bertangung jawab menyusun rencana tata ruang Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat pemanfaatan yang
22
berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup. 5 Pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan fisik tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran pemanfaatan ruang ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor teknis operasional, administratif, dan perkembangan pasar. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang “tertib ruang”, diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang yang sungguh-sungguh. 6 Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana
tata
ruang
kurang
memperhatikan
aspek-aspek
pelaksanaan
(pemanfaatan ruang), atau sebaliknya pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan. Sejalan dengan perubahan dan pembaharuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan
Daerah,
maka
Pemerintah
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom telah diberikan kewenangan urusan pemerintahan dan sekaligus menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang di Daerah. Pemberian kewenangan dan kewajiban sesuai dengan strata dan fungsi pemerintahan tersebut, hendaknya dipandang sebagai 5Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”(Jakarta : Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006), h 1. 6 Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”, h 1.
23
momentum bagi Daerah untuk lebih menguatkan pengembangan kapasitas Daerah berbasis kinerja, kerjasama antar daerah, dan koordinasi secara terpadu dan sinergis. 7 Pada prinsipnya proses penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang daerah harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa sebelum Raperda tentang Rencana Tata Ruang Daerah baik Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan menjadi Perda harus dilakukan persetujuan substansi teknis dari Menteri dan khusus untuk Kabupaten/Kota perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur. Berdasarkan berbagai hal di atas dan sejalan dengan PP Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Kabupatan/Kota maka
disusunlah
pedoman
mekanisme Konsultasi dan
Evaluasi
dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah.Di dalam Permendagri tersebut perlu dipahami pentingnya peran BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Kepmendagri 7
Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”, h 1.
24
147 tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. BKPRD Provinsi mempunyai fungsi membantu Gubernur untuk mengkoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWP dan RTR Kawasan Strategis Provinsi dengan memperhatikan RTRWP yang berbatasan, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN (Pasal 5 ayat 1). BKPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi membantu Bupati/Walikota untuk mengkoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWKabupaten/Kota, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTR Kabupaten/Kota,dengan memperhatikan RTRWKabupaten/Kota yang berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN (Pasal 5 ayat 2). Dalam melakukan proses penyusunan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi terdapat dua tahap yaitu tahap “Konsultasi” dan tahap “Evaluasi” yang tergambar pada diagram berikut ini:
25
Pada
tahap “konsultasi” Bupati/Walikota
dibantu
BKPRD
(Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Kabupaten/Kota mengkonsultasikan rancangan perda tentang RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTRK/K kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh BKTRN guna mendapatkan persetujuan substansi teknis. Rancangan perda harus dilampiri dokumen RTR Kabupaten/Kota dan album peta. Pengajuan permintaan persetujuan substansi teknis ke pemerintah pusat dilakukan setelah rancangan perda dibahas di BKPRD Provinsi dan mendapatkan rekomendasi dari Gubernur. Setelah keluar Surat Persetujuan Substansi Teknis dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang, dilanjutkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPRD. Kedua bahan tersebut yaitu Surat Persetujuan Substansi Teknis dari Menteri yang membidangi urusan penataan ruang dan Surat Persetujuan Bersama dengan DPRD menjadi bahan Gubernur dalam melakukan “evaluasi” terhadap rancangan perda tentang RTRWK/K, rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan rancangan perda tentang RDTR Kabupaten/Kota serta klarifikasi terhadap Perda tentang RTRWK/K, Perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. 8
8
Ibid, h 2.
26
Indikator yang digunakan oleh Gubernur dalam mengevaluasi rancangan peraturan daerah tata ruang kabupaten/kota seperti tercantum di dalam tabel berikut ini
provinsi pemekaran yang belum memiliki DPRD sehingga belum dapat membentuk perda, pengaturan tata ruang daerah berdasarkan pada perda Provinsi induk (Pasal 28 ayat 1). Kabupaten/Kota pemekaran yang belum memiliki DPRD sehingga belum dapat membentuk perda, pengaturan tata ruang daerah berdasarkan pada perda Kabupaten/Kota induk (Pasal 28 ayat 2). Tata cara evaluasi terhadap perubahan Perda tentang RTRWP, Perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi, Perda tentang RTRWKabupaten/Kota,
27
Perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR Kabupaten/Kota mutatis mutandis berdasarkan pada Peraturan Menteri ini (Pasal 29). 9 C. Pemanfaatan Tata Ruang Berdasarkan Permendagri No 8/1998 pemanfaatan ruang adalah rangkaian program dan kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang untuk membentuk ruang. Berdasarkan Permendagri No 8/1998 yang terdapat pada Pasal 11 (1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, kepala daerah mempersiapkan kebijakan yang berisi pengaturan bagi wilayah atau kawasan yang akan dimanfaatkan sesuai dengan fungsi lindung dan budi daya yang ditetapkan dalan rencana tata ruang. (2) Pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), berupa penetapan Keputusan Kepala Daerah tentang ketentuan persyaratan teknis bagi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya.
9Gunawan,“Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah”(Jakarta : Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2008), h 1-8.
28
Dalam rangka efisiensi alokasi pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang. Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan oleh sektor sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. 10 Perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan melalui pembangunan dalam rangka mengembangkan kawasan lindung, kegiatan budidaya, serta sarana dan prasarana penunjang. Agar dapat berlangsung secara efektif dan efisien hal tersebut perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan. Beberapa aspek penting dalam pemanfaatan ruang beserta ketentuan peraturan perundangundangan yang mengaturnya dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Penetapan Lokasi Kegiatan/Investasi. Tujuan penataan ruang di samping terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, juga terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang 10
Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai
Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” (Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005), h 1.
29
kawasan lindung dan kawasan budi daya, dan tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penataan ruang dilaksanakan melalui proses perencanaan tata ruang yang menghasilkan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dengan perkataan lain, kualitas pemanfaatan ruang ditentukan antara lain oleh rencana tata ruang yang digambarkan dalam peta rencana tata ruang wilayah yang disusun dalam suatu sistem perpetaan dan disajikan berdasarkan pada unsur-unsur serta simbol dan atau notasinya yang dibakukan secara nasional. 11 Penetapan lokasi pengembangan kawasan lindung, kegiatan budidaya, serta sarana dan prasarana penunjangnya perlu dengan kebutuhan dan kesesuaian lokasi. Alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu dalam rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan rencana tata ruang wilayah daerah kota, serta rencana tata ruang kawasan, digambarkan dengan unsur alam seperti garis pantai, sungai, danau, dan unsur buatan seperti jalan, pelabuhan, bandar udara, permukiman, serta unsur-unsur kawasan lindung dan 11
Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah
30
kawasan budi daya dengan batas wilayah administrasi dan nama kota, nama sungai, dan nama laut. Penggambaran unsur-unsur tersebut disesuaikan dengan keadaan di muka bumi dan pemanfaatan ruang yang direncanakan. 12 Ruang terbuka hijau dialokasikan sebagai bagian dari kehidupan perkotaan, Ruang terbuka hijau terdiri dari kawasan lindung/alami, hijau buatan dan hijau fungsional. Ruang Terbuka Hijau memiliki fungsi untuk perlindungan
ekosistem,
pengamanan
lingkungan
dari
pencemaran,
penciptaan iklim mikro, perlindungan tata air, meningkatkan citra estetika lingkungan, menciptakan kebersihan dan kesehatan, sarana rekreasi, dan sarana produksi. 13 pasal 13 UULH (undang-undang lingkungan hidup)
berbunyi :
ketentuan tentang sumber daya buatan ditetapkan dengan undang-undang. Perlindungan sumber daya buatan yang penting ditunujukan kepada konservasi fungsi sumber daya tersebut bagi kesinambungan pembangunan. Sumber daya buatan meliputi bendungan, waduk, instalasi energi, perumahan dan pemukiman, dan lain-lain. Yang perlu dilindungi oleh undang-undang adalah sumber daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga perlu diatur penggunaannya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
12
Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah. 13
RTRW Depok - Rencana Tata Ruang Kota
31
Yang dipentingkan disini adalah konservasi fungsi bagi kesinambungan penyambung untuk kesejahteraan manusia. 14 2. Penyelenggaraan Kegiatan Budidaya Dan Pengelolaan Kawasan Lindung. Penyelenggaraan kegiatan budidaya dan pengelolaan kawasan lindung yang ditetapkan dalam rencana tata ruang harus mengikuti kaidah-kaidah yang ditetapkan secara sektoral. Untuk itu berbagai peraturan perundang-undangan sektoral harus dijadikan referensi dalam mengatur kegiatan budidaya. Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam. Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan. 15 Pasal 12 UULH (undang-undang lingkungan hidup) berbunyi sebagai berikut : ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasan tertera :
14Koesnadi
Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan” (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), h 223 15Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang , h 22-23
32
pengertian konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengandung 3 aspek, yaitu : a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. b. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara. c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam pengertian konservasi tersebut di atas termasuk pula perlindungan jenis hewan yang tata cara hidupnya tidak diatur oleh manusia, tumbuh-tumbuhan yang telah menjadi langka atau terancam punah dan hutan lindung. 16 3. Peran Serta Masyarakat Dalam Pemanfaatan Ruang. Peran serta masyarakat yang sejalan dengan UU 26/2007 di dalamnya mencakup empat kegiatan utama yaitu : pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Keempat ruang lingkup tersebut lebih luas dari ruang lingkup yang disebutkan dalam PP 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang yang hanya mencakup empat hal yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang serta pembinaan masyarakat. Mekanisme peran serta masyarakat dilakukan sesuai dengan tahapan kegiatan
16Koesnadi
Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan” (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), hal-219.
33
penataan ruang. Secara umum mekanisme tersebut dapat berbentuk penyampaian informasi, usul dan saran lisan maupun tulisan melalui berbagai media informasi sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada (media cetak dan elektronik, seminar, workshop, konsultasi publik, brosur, kegiatan budaya, website, kegiatan pameran, public hearing dengan masyarakat) kepada lembaga-lembaga yang berwenang; dan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan penataan ruang, misalnya sebagai salah satu wakil masyarakat yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang. Selain upaya-upaya yang bersifat individual, mekanisme peran serta dapat dilakukan oleh kelompok dan organisasi masyarakat serta organisasi profesi yang melakukan advocacy planning kepada lembaga-lembaga yang berwenang. 17 Pelaksanaan peran serta masyarakat dilakukan bisa melalui lokakarya atau konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat yang dilakukan secara bertahap. Tahap pertama lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali untuk setiap daerah Kabupaten/Kota. Pada tahap ini setiap warga Kabupaten/Kota dapat menghadiri acara lokakarya/konsultasi tersebut yang diselenggarakan oleh Pemda. Output workshop pertama adalah serangkaian isu-isu yang terkait pengaturan penataan ruang. Pada tahap ini juga ditentukan wakil-wakil masyarakat yang dapat mengikuti tahap kedua. 18
17
Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”. hal- 223. Bakar, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang”(Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009), h 1. 18Sjofjan
34
Tahap kedua merupakan lokakarya atau konsultasi publik pada skala propinsi yang akan mendiskusikan lebih lanjut hasil-hasil diskusi pada tahap pertama. Bila pada tahap pertama, masyarakat mengemukakan masalah pengaturan penataan ruang pada skala yang lebih kecil, maka pada tahap kedua, isu yang akan dibicarakan akan meliputi masalah-masalah pada skala yang lebih luas (propinsi). Pada tahap kedua ini , peserta dapat dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan isu-isu spesifik yang telah dihasilkan pada tahap pertama untuk mempertajam isu dan memperoleh informasi dan tanggapan dari pihak eskekutif dan legislatif. Lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali tergantung kebutuhan. Bahan yang telah dihasilkan pada kedua tahap lokakarya ini menjadi masukan penting bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan perda pengaturan penataan ruang. Selain melalui workshop, aspirasi dapat dilakukan secara tertulis, lisan, dan perantara teknologi yang ada (short message service, email, website, dan lain-lain) kepada pihak eksekutif dan legislatif yang memiliki kewenangan dalam menyusun dan menetapkan keputusan. 19
Di samping itu pemerintah telah mempersiapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Dalam perundangan
19Sjofjan
1.
Bakar, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang”, hal
35
tersebut diamanatkan bahwa untuk penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat. Peran dan keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan dan mengamankan aturan tersebut amat sangat penting artinya karena hasilnya akan dinikmati kembali oleh masyarakat di wilayahnya. 20
Sebagaimana telah disampaikan, masyarakat mempunyai hak untuk berperan dalam setiap tahap penataan ruang termasuk dalam pemanfaatan ruang. Ketentuan ini diatur dalam UU 24/1992 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan. Berbagai ketentuan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur secara lebih terinci dalam PP 69/1996. 21 D.
Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Berdasarkan Permendagri No 8/1998 pengendalian pemanfaatan tata ruang adalah kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang
20
Handiman Rico, ”Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang” Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang (Bogor : Divisi Riset JKPP, ) h 1 21http://pertamanan.jakarta.go.id/download/kebijakan2/Tinjauan%20aspek%20Pemanfaatan%
20Pengendalian%20Penat.Ruang.pdf. Diakes pada tanggal 3 januari 2010.
36
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. (1) Pengendalian pemanfaatan ruang diselengarakan dengan cara : a. Melaporkan pelaksaan pemanfaatan ruang b. Memantau perubahan pemanfaatan ruang c. Mengevaluasi konsitensi pelaksanaan rencana tata ruang d. Pemberian sanksi hukum atas pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang (2) Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang. Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat pemanfaatan yang berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat
37
mendorong ke arah ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup. 22
Pengendalian pemanfaatan ruang menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 26/2007 adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pasal 35 UU No. 26/2007 menyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Dari ketentuan ini terlihat adanya dua cara pengendalian pemanfaatan ruang. Pertama, memprioritaskan terlebih dahulu cara-cara preventif dengan menetapkan ruang secara zonasi (membagi peruntukkan ruang dengan pendekatan kawasan) yang dapat menunjukkan kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dalam suatu kawasan, sistem dan proses perizinan yang sesuai dengan peruntukkan kawasan dan kaídah-kaidah lingkungan, pemberian insentif dan disinsentif seperti keringanan pajak dan pengenaan pajak yang tinggi. Kedua, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan secara represif melalui pengenaan sanksi. 23
Dalam UU 24/1992 tidak terdapat ketentuan yang secara spesifik mengatur kewenangan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang. Namun
22Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”(Jakarta : Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006), h 1.
23
Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta : direktur fasilitasi penataan ruang dan lingkungan hidup – depdagri, 2006),h 1
38
dengan
mempertimbangkan
merupakan
bagian
dari
bahwa
pengendalian
penyelenggaraan
pemanfaatan
penataan
ruang,
ruang maka
Kewenangannya disesuaikan dengan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang. Mengingat pengendalian pemanfaatan ruang senantiasa dikaitkan dengan rencana tata ruang, berdasarkan ketentuan UU 24/1992 kewenangan pengendalian pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagai berikut: •
Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWN, pemanfaatan ruang lintas propinsi, dan pemanfaatan ruang pada kawasan-kawasan
yang
memiliki
nilai
strategis
nasional
diselenggarakan di bawah koordinasi Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang. •
Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWP dan pemanfaatan ruang lintas Kabupaten/Kota diselenggarakan di bawah koordinasi Gubernur.
•
Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWK diselenggarakan oleh Bupati/Walikota.
•
Penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. Sebagai sebuah produk hukum yang mengikat, ketentuan-ketentuan
dalam rencana tata ruang harus diikuti oleh masyarakat. Mengingat rencana tata ruang adalah gambaran kondisi spasial yang hendak dicapai dalam jangka
39
waktu perencanaan, sudah tentu terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi eksisting, termasuk dalam pemanfaatan ruang. 24 Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan
yang
tertib
ruang
diperlukan
tindakan
pengendalian
pemanfaatan ruang. Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek pelaksanaan atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan tata ruang dilakukan agar pemanfaatan tata ruang dapat berjalan sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu perangkat pengendalian pemanfaatan ruang adalah perizinan. Izin yang berlaku pada sebagian besar daerah di Indonesia hanya sampai pada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak sampai pada izin memanfaatkan bangunan, di mana pelanggaran pemanfaatan ruang berawal. Di samping itu, izin yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi tidak mengacu kepada rujukan yang sama, yaitu rencana rinci tata ruang, sehingga sering terjadi kurang koordinasi. Untuk itu, masing-masing daerah harus memiliki rencana rinci dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. 25
24http://pertamanan.jakarta.go.id/download/kebijakan2/Tinjauan%20aspek%20Pemanfaatan%
20Pengendalian%20Penat.Ruang.pdf. Di akes pada tanggal 3 januari 2010. 25 Buletin Tata Ruang, “Penataan Ruang Dalam Meminimalisasi Dampak Bencana” (Jakarta : BKRTN, 2007), h 1.
40
Terkait pengendalian, terdapat 3 (tiga) perangkat utama yang harus disiapkan yakni: a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Sebagaimana kita ketahui bersama, permis penataan ruang adalah keseimbangan lingkungan hidup. Pemanfaatan suatu kawasan untuk berbagai kegiatan disesuaikan dengan kemampuan daya dukung lingkungannya. Pola pengembangan kegiatanya pun pada umumnya memiliki pertimbangan tidak hanya fisik melainkan juga sosial budaya. Kearifan lokal pun senantiasa menjadi salah satu referensi pokok dalam merumuskan langkah-langkah pembangunan untuk menjawab tantangan kemajuan. 26 Dalam konteks ini, terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang jelas perlu disambut secara positif. Dengan sejumlah perbaikan yang cukup signifikan dari UU terkait sebelumnya (UU No.24/1992), terbitnya payung hukum tersebut merupakan gambaran kuat dari komitmen seluruh elemen masyarakat yang menginginkan agar penataan ruang berjalan lebih baik lagi ke depan. Selama ini, dalam 15 tahun perjalanannya penataan ruang dinilai kurang begitu berhasil menjaga konsistensi perencanaannya sampai ke tahap pelaksanaan. 27 Fungsi utama dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah. Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan
26 27
Buletin Tata Ruang, “Penataan Ruang Dalam Meminimalisasi Dampak Bencana”, h 2. Ibid, 3.
41
skala peta yang besar, rencana detail dapat dijadikan dasar dalam pemberian izin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Penyiapan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, rencana detail tata ruang harus dapat langsung diterapkan, sehingga ke dalaman rencana dan skala petanya harus benar-benar memadai. Kedua, rencana detail tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat, untuk itu harus diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah. Ketiga, rencana detail tata ruang harus memiliki legitimasi yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, sehingga harus disusun dengan pendekatan partisipatif. b. Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) pembangunan kota memerlukan dua instrumen penting, yang pertama development plan dan kedua development regulation. Development plan adalah rencana tata ruang kota yang umumnya di semua negara terdiri dari 3 jenjang rencana yang baku, meliputi rencana umum, rencana intermediate dan rencana rinci. Rencana umum dikenal dengan berbagai istilah antara lain strategic plan, structure plan, master plan, schematic plan, general plan, concept plan. Rencana intermediate juga dikenal dengan berbagai istilah antara lain functional plan, zoning plan, district plan, local plan. Sedangkan
42
rencana rinci dikenal dengan istilah antara lain subdivision plan, land use plan. 28 . Development regulation dikenal dengan berbagai macam istilah, antara lain zoning regulation, zoning code, land management and development code, town planning act and zoning code, planning act dan planning rule dan lain sebagainya. Istilah yang paling populer digunakan adalah zoning regulation.zoning regulation adalah suatu perangkat peraturan yang dipakai sebagai landasan dalam menyusun rencana tata ruang mulai dari jenjang yang paling tinggi sampai kepada rencana yang sifatnya operasional dan juga sebagai alat kendali dalam pelaksanaan pembangunan kota. 29 Dalam penataan ruang, zoning regulation lebih penting kedudukannya dan harus ditetapkan sebagai prioritas dalam penyusunannya ketimbang perencanaan. Bahkan ada pendapat yang mengatakan better regulation without planning rather than planning without regulation. Konsepsi increamental planning yang diterapkan di Houston dan floating zone sebagaimana yang diberlakukan di Prancis, dapat dikatakan mencerminkan hal tersebut. Houston tidak memiliki zoning plan, sedangkan Prancis menyusun konsepsi zoning plan atas dasar kondisi existing. Tetapi mereka memiliki zoning regulation yang kuat sebagai alat untuk bernegosiasi.
28 29
Ibid, 3. Ibid, 3.
43
Langkah pertama dalam penentuan zoning adalah menetapkan zonazona dasar, selanjutnya pada setiap zona dasar ditentukan zona-zona utama dan pada setiap zona utama ditentukan paket penggunaan atau jenis-jenis perpetakan. Untuk menentukan seberapa jauh perpetakan tersebut dapat dikembangkan bagi kegiatan lain, maka perlu diinventarisasi seluruh jenisjenis penggunaan rinci yang dikenal. Untuk menghindari penafsiran yang keliru maka perlu dirumuskan tujuan pengembangan setiap zona dasar, zona utama dan paket penggunaannya. 30 Menurut undang-undang No 26/2007 pasal 35 dan 36 ayat (1), peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sepadan bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi sangat penting dalam proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi adalah peraturan yang menjadi rujukan perizinan, pengawasan dan penertiban dalam pengendalian pemanfaatan ruang, yang merujuk pada rencana tata ruang 30
Ibid, 3.
44
wilayah yang pada umumnya telah menetapkan fungsi, intensitas, ketentuan masa
bangunan,
sarana
dan
prasarana,
serta
indikasi
program
pembangunan. 31 Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari RDTR yang berisi ketentuan yang harus diterapkan pada setiap zona peruntukan. Dalam peraturan zonasi dimuat hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk pengaturan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaat ruang. 32 c. Mekanisme Insentif-Disinsentif Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan 31
Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang” (Jakarta : Buletin Tata Ruang, 2007), h 18 32 Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang” , h 7
45
kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana. Sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mekanisme insentif dan disinsentif merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang. Mekanisme insentif dan disinsentif dianggap mampu untuk mendorong perkembangan kota dan dapat menimbulkan dampak positif yang menunjang pembangunan kota atau upaya pengarahan pada perkembangan yang berdampak negatif untuk mengefektifkan pembangunan/rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 33 Mekanisme insentif dan disinsentif mengandung suatu pengaturan dan pengendalian pembangunan yang akomodatif terhadap setiap perubahan yang menunjang pembangunan/perkembangan kota. Insentif dan disinsentif diharapkan disusun oleh masing-masing daerah sebagai perangkat pengendaliannya. Pengendalian pemanfaatan ruang bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga merupakan hak dan kewajiban masyarakat. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69
33Sjofjan
Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta : direktur fasilitasi penataan ruang dan lingkungan hidup – depdagri, 2006),h 4-5
46
Tahun 1996. Hal ini dipertegas dalam rumusan naskah RUU Penataan Ruang yang disusun untuk menggantikan UU No.24 Tahun. 34 Kegiatan pengawasan pemanfaatan ruang adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dengan rencana tata ruang. Kegiatan pengawasan dimaksud untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sehingga apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan dapat diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya. Kegiatan
penertiban
pemanfaatan
ruang
adalah
usaha
untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. 35 Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, kegiatan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Selain 34
Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya
Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” (Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005), h 7-8 35Hermanto
Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan”. h 8.
47
PPNS, ada beberapa Instansi/lembaga yang dapat melaksanakan penertiban terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yaitu: •
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD);
•
Instansi penerbit izin;
•
Instansi/lembaga lain yang bertugas dalam penertiban.
Adapun instansi atau lembaga yang bertugas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran adalah lembaga peradilan yang membentuk berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya, guna mengefektifkan daya penertiban, Bupati/Walikota membentuk Tim Khusus yang bertugas menangani pembongkaran bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang. Tim ini terdiri dari unsur Bappeda, Bawasda, Penyidik PNS, kejaksaan, dinas teknis terkait, camat, dan sebagainya. 36 Pengawasan adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang berupa pengumpulan data dengan melalui proses visualisasi, pengawasan dan monitoring untuk keudian dievaluasi dari setiap pemanfaatan ruang/lahan yang terjadi. Tahapan proses pengawasan meliputi pelaporan, pemantauan dan evaluasi. a. Pelaporan 36Sjofjan
Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta : direktur fasilitasi penataan ruang dan lingkungan hidup – depdagri, 2006),h 6-7.
48
Berdasarkan tugas dan fungsinya, kelembagaan yang terlibat dalam proses ini adalah instansi-instansi teknis di tingkat Kabupaten / Kota dan Propinsi, aparat pemerintahan di tingkat yang lebih kecil (Kecamatan, Kelurahan/Desa). Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat dan lembaga swasta lain yang mempunyai kepentingan terhadap pemanfaatan ruang. Semua mempunyai wewenang yang yang sama dalam melaporkan setiap tindakan penyimpangan pemanfaatan ruang ruang, yang dilakukan secara berjenjang dari lingkup terkecil hingga lingkup terbesar. b. Pemantauan Pemantauan dilakukan untuk mendapatkan tambahan informasi dari dinas-dinas lain yang ada di TKPRD maupun masyarakat berkaitan dengan kegiatan yang ditenggarai ada penyimpangan dengan rencana tata ruang. Hasil pemantauan masing-masing kelembagaan tersebut dikoordinasikan dalam rapat koordinasi TKPRD Propinsi. Tugas penilaian atas informasi yang ada menjadi tanggung jawab instansi teknis (Diskimtaru). Berdasarkan penilaian tersebut, secara umum hasil penilaian akan menghasilkan pengelompokkan pemanfaatan ruang yaitu : ¾
Pemanfaatan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
¾
Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
c. Evaluasi
49
Dalam proses evaluasi, hasil penilain dari permasalahan dipilah menjadi 2 (dua) aspek yaitu pemanfaatan tidak bermasalah dan pemanfaatan bermasalah. Dari hasil evaluasi tersebut maka penyimpangan bermasalah dapat dibagi menjadi dua yaitu pemanfaatan yang sesuai dan pemanfaatan yang tidak sesuai. Pemanfaatan yang sesuai dengan rencana tata ruang dipilah menjadi 3 (tiga) yaitu yang tidak menimbulkan masalah, yang menimbulkan masalah kecil, dan yang menimbulkan masalah besar. Dari ketiga kriteria tersebut, akan dijadikan masukan sebagai peninjauan kembali RUTRK Kota. Kemudian dari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan RUTRK
dipilah
menjadi 2 (dua), berdampak kecil dan besar, dan nantinya akan ditarik kesimpulannya sebagai rekomendasi Gubernur dan Kabupaten untuk dilakukan penertiban dari penyimpangan yang ada. 37
37
Rencana umum tata ruang kabupaten pekalongan 2005-2014 h 3-4.
BAB III PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah Perspektif Hukum Islam Agama Islam sebagai agama yang mengklaim sebagai agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam), tentunya mempunyai aturan mengenai masalah perkotaan. Dalam hal-hal tersebut, tampak jelas hubungan kontekstual ilmu fiqih itu diolah dengan metode ijtihad yang mengembangkan ijma, qiyas, dan istiqara. Selanjutnya dalam periode tahzib disempurnakan sistematikanya dan mengalami beberapa reformulasi sampai pada pembakuan formatnya. Sejak periode taqlid yang cukup lama bertahan, hingga dapat diwariskan periode taqnim yang kini telah berkembang pesat. 1 Menurut K.H. Ali Yafie mengatakan bahwa fiqih itu pada dasarnya bukanlah suatu ilmu teoristis (ulum nazhariyah) tetapi garapannya berupa ketentuan-ketentuan positif (ahkam ahmaliyah). Oleh karena itu, menurutnya, definisi yang baku untuk fiqih ialah : “al-fiqih huwa al-ilmu bi al-ahkam asysyar’iyyah al-amaliyyah al-mutasabu min adillatiha at-tafshiliiyah.” Kalau definisi ini diuraikan, maka isinya dapat dipertajam yakni :
1
MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet.
Ke-1, h. 9
50
51
1. Fikih itu adalah garapan manusia (ilmu al-muktasab) karena fiqih itu merupakan ilmu muktasab, maka peran akal, (ra’yi) mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu. 2. Fikih itu objek garapannya adalah al-ahkam al-amaliyah. Dengan kata lain, ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan/ kegiatan manusia yang bersifat positif dan nyata seta tidak bersifat teoristis(nazha-riyyah) seperti halnya garapan ilmu kalam (aqaid). 3. Sumber pokok fikih itu adalah wahyu (syar’i) dalam bentuknya yang rinci (adillah tafsiliyyah) baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah. Sedangkan fikih perkotaan, termasuk dalam ruang lingkup fikih siyasi (al-fiqh as-siyasi). Dijelaskan yang dimaksud dengan fikih siyasi adalah ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijkasanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak. 2 Jelaslah dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa fikih perkotaan dapat didefinisikan : ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan bermukim di kota pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan (pemerintah 2
MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, h. 10.
52
kota) yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak yang bermukim diperkotaan. 3 Nabi, yang merupakan penunjuk pertama dan yang paling pasti dalam memahami Al-Quran, yang perkataannya (hadits) dan tindakan dan perbuatannya (sunnah) melengakapi ajaran Al-Qur’an mengenai alam, senantiasa melakukan perbuatan yang mencerminkan ajaran Al-Qur’an untuk menjaga, merawat, dan memelihara alam dalam kehidupannya sehari-hari. Dia menanam pepohonan, tidak merusak berbagai vegetasi meskipun saat perang, mencintai hewan dan menunjukan kebaikan kepada mereka, dan senantiasa mendorong kepada umat muslim untuk melakukan hal serupa. Dia bahkan mendirikan kawasan yang dilindungi untuk kehidupan alam, yang dianggap sebagai prototipe taman alam islam kontemporer dan konservasi alam. 4 Nabi Muhammad saw melaksanakan politik kenegaraan, mengirim dan menerima
duta,
memutuskan
perang
dan
membuat
perjanjian
serta
bermusyawarah. Akan tetapi dalam kekuasaan tertinggi menempatkan Allah sebagai raja, yang maha suci, yang maha sejahtera, yang maha mengaruniakan keamanan, yang memelihara, yang maha perkasa, yang maha kuasa, yang maha memiliki keagunggan atau seperti dikatakan oleh Dr. Rahan Zainudin M.A.
3
Ibid, h. 11. Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 57 4
53
bahwa dalam pandangan islam, 5 tuhan menempatkan posisi yang amat sentral dalam setiap bentuk dan manifestasi pemikiran. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi 6 atas kehendak-Nya sendiri. Demikian pula alam semesta 7 dan juga menciptakan manusia 8 . Dalam pemikran islam, Tuhan itu juga merupakan sumber dari kebenaran. 9 Sejak pertama kali Nabi Muhammad saw memulai dakwahnya sampai beliau wafat, disebut masa kenabian, yaitu masa keagungan islam. untuk melihat pemerintahan beliau adalah setelah hijrah dari mekah ke madinah, karena setelah terbentuknya pemerintahan islam di Madinah, jamaah islamiyah memperoleh kedaulatan yang sempurna, kemerdekaan yang penuh dan konsep islam mulai diterapkan. 10 Apabila kita berfikir untuk memulai pembuatan semacam islamic village, maka pertimbangan berikut perlu mendapatkan porsi perhatian yang cukup dalam menata perumahan yang islami, yaitu : 1. Lokasi masjid mudah dijangkau 5 Rahan Zainudin, pokok-pokok pemiiran islam dan masalah kekuasaan politik dalam Bertram Ravendan JRP dalam bukunya the basic and of socail power mengatakan bahwa dasar kekuasaan adalah coercive power (dengan kekerasan), legimate power (dengan pengangkatan), expert power (dengan keahlian), reward power (dengan pemberanian), rever ent power (dengan daya tarik). Sedangkan strauss menggerakan orang-orang adalah dengan paksaan (be strong approach), persaingan (competition), pemanjaan (be good approach), perjanjian (implicit bargaining), dan kesadaran kerja (internalized motivation.) 6 Surah Al-An’am (6) ayat I dan lain-lain banyak sekali yang mengatur tentang ini 7 Surah Al-Mu’min (40) ayat 62 8 Surah An-Nahl (16) ayat 4 dan surah Al-Furqan (25) ayat 54 9 Surah Al-Baqarah (02) ayat 147 dan surah Ali Imran (03) ayat 60 10 Inu Kencana Syafi’ie, “ Ilmu Pemerintahan Dan Al-Quran” (Jakarta ; PT Bumi Aksara, 2004), h, 129
54
Hendaknya masjid diletakan di tengah-tengah komplek perumahan tersebut sebagai sentral aktifitas masyarakat. Lokasi masjid seperti itu menjadikan jarak setiap warga menuju masjid dekat dari semua arah. Secara psikologis, masjid yang berada di tengah masyarakat mengisyaratkan simbol ruhaniyah. Warga masyarakat akan memiliki kedekatan dan keterikatan dengan nilai-nilai kebaikan karena terkondisi oleh masjid. Apabila kita melihat aktivitas Rasulullah sesaat beliau dan sahabat Muhajirin diterima sahabat Anshar di Madinah, yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai sebuah markas pergerakan dakwah islam waktu itu, masjid mempunyai pengaruh yang besar dalam mengikat persaudaraan dan menguatkan ikatan diantara mereka. 11 2. Lokasi Komplek Pendidikan dan Sarana Kesehatan Umum yang Dekat dengan Masjid Setelah masjid terbangun ditengah kompleks perumahan, bangunan berikutnya yang harus diperhatikan adalah sarana pendidikan dan pelayanan kesehatan umum. Kedua sarana ini amat vital bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian yang dituntut adalah sebuah lembaga pendidikan islami mulai dari kurikulum yang tidak terjadi pengungkungan atasnya, sistem interaksi belajar mengajar yang islami, guru yang memberikan keteladanan
11
MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet. Ke-1, h. 271- 272
55
dan kebaikan, serta akifitas tambahan yang menunjang terbentuknya pribadi anak didik yang beriman, berilmu, bertakwa dan mampu mengamalkan. 12 3. Ada Batas-Batas Kepemilikan yang Jelas Betapa sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar berita tentang sengketa mengenai tanah. Sejak dari masalah ketidakjelasan sertifikat hak milik tanah, masalah batas, sampai sengketa-sengketa lain dengan beraneka ragam dan bentuk motifnya. Perumahan yang islami sudah tentu harus terhindar dari permasalahan semacam itu, seluruh masalah yang berkenaan dengan kejelasan akad harus telah diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Hal ini untuk menjaga kebaikan bersama, dan juga menjaga ketenangan serta keamanan setiap warga penghuni perumahan tersebut. 13 4. Keamanan, Keindahan, dan Kesehatan Kompleks perumahan islami hendaknya ditata sedemikian rupa sehingga tampak indah dipandang sekaligus aman. Penataan jalan-jalan atau gang-gang yang rapi, teratur, penanaman pohon-pohonan yang rindang dan sejuk, pengaturan pembuangan limbah air ataupun limbah padat yang mengutamakan aspek kesehatan perlu diusahakan seoptimal mungkin.
12 13
MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam h. 272- 273 ibid, h. 277.
56
Penjagaan kebersihan senantiasa diperhatikan baik secara individu maupun secara kolektif dalam bentuk kerja bakti pembersihan fasilitas umum, kabel-kabel listrik ditata dengan mempertimbangkan aspek keindahan pandangan serta keamanan masyarakat. Penerangan jalan-jalan atau ganggang umum dimalam hari juga harus tertata rapi.14 5. Tersedia Bebagai Fasilitas Umum Banyak pihak membuat kompleks perumahan tanpa menyediakan berbagai fasilitas umum yang menunjang kenyamanan warganya. Taman mini untuk rekreasi, tanah untuk pemakaman, serat berbagai fasilitas lainnya yang diperlukan seperti telepon umum, sarana kesehatan, kompleks pertokoan, dan lain-lain. Dalam kondisi rumah tangga islami yang tidak mampu memiliki rumah cukup luas karena keterbatasn kemampuan ekonomi, berbagai fasilitas umum tersebut akan sangat bermanfaat. akan lebih baik apabila lokasi tempat olah raga dipisahkan khusus untuk laki-laki dan wanita. Tempat olah raga yang dilengkapi dengan bebagai fasilitas, sepeti kolam renang, ruang senam, peralatan kebugaran, dan sebagainya hanya bernilai islami apabila ada pemisahan antara laki-laki dengan perempuan. Diupayakan tidak ada ikhtilat dalam suasana olah raga yang lebih membutuhkan kebebasan bergerak tersebut. 14ibid,
h. 277- 278
57
Kompleks pemakaman sering luput dari perhatian pihak dari yang membuat perumahan , mereka tidak mau rugi barang sejengkal tanah pun untuk makam padahal pada akhirnya seluruh warga juga akan mati, untuk itu diperlukan sebidang tanah yang dikelola secara profesional untuk dijadikan makam. Agar makam tersebut tidak memerlukan tanah yang terlalu luas, maka setiap warga tidak berhak memiliki kavling sendiri-sendiri semua dikelola oleh petugas yang ditunjuk sehingga tanah makam bisa efektif tanpa ada pemborosan yang disebabkan oleh keinginan warga untuk mengabadikan setiap kavling makam keluarganya. 15 Allah swt berfirman, dalam surat Qaf: 11;
(١١ )ق
⌧ ⌧
Artinya : “ Untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.”(Qaf: 11). B. Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam Islam adalah agama rahmatan lil al-alamin telah memberikan isyarat dan pesan-pesan yang berhubungan dengan pembangunan dan lingkungan hidup serta kehidupan terutama melalui ayat-ayat kauniah dalam Al-Qur’an, yang menurut Thanthawi Jauhari sebagimana yang dikemukakan M. Quraish Shihab : “tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal (lingkungan hidup 15Ibid,
h. 278- 279
58
dan kehidupan)” 16 ayat-ayat tersebut tentunya dijadikan sebagai rujukan dasar atau sebagai prinsip karena merupakan petunjuk-petunjuk dasar atau prinsipprinsip yang pertama dan utama dalam berbagai hal termasuk mengenai pembangunan dan lingkungan hidup sebagai suatu ekosistem. Bahkan melalui ayat-ayat tersebut juga merupakan jalan keluar yang lebih tepat atas peristiwaperistiwa yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia ketika terjadi tragedi-tragedi akibat dari dampak pembangunan yang seperti masalah kerusakan alam sekalipun Allah mengingatkan kepada manusia untuk tidak merusaknya. 17 Allah swt berfirman, dalam surat Al-A’raf 56;
☺
(۵٦ )اﻷﻋﺮاف
☺
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS : Al-A’raf 56). Islam sebagai ajaran ilahiyah yang syarat dengan tata nilai kehidupan yang sempurna hanya akan menjadi ajaran yang melangit jika tidak diapliaksikan dalam kehidupan nyata. 18 Dalam perencanaan menata dan membangun kota Nabi Muhammad saw mengutamakan membangun masjid, masjid merupakan suatu
16
Quraish, Shihab, membunikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1997), h 131 Daud Effendy, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 70-71 18 Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 257 17
59
wadah atau institusi yang paling penting untuk membina masyarakat islam. Di masjid pulalah rasa kesatuan dan persatuan umat islam ditumbuh kembangkan. Sebagai rumah Allah (baitullah), masjid adalah tempat turunnya rahmat Allah SWT dan malaikat. Oleh karena itu, masjid dalam pandangan islam merupakan tempat yang paling baik dan mulia di muka bumi ini. Di masjid pula kaum muslimin menemukan ketenangan dan ketentraman hidup serta kesucian jiwa, karena di tempat ini dilaksanakan forum-forum terhormat. 19 Maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa masjid yang dibuat langsung oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu : 1. Membangun Masjid Quba. Ketika pertama kali mendengar Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Yastrib, orang-orang madinah yang sudah masuk islam dari suku Aus dah Khazraj telah menunggu dengan perasaan gembira dan harap-harap cemas, karena itulah ketika mendengar informasi bahwa Rasulullah saw bersama Abu Bakar sudah mendekati Quba (kurang lebih 5 Km dari arah Madinah), kedua kabilah itu menyongsong Rasulullah saw di Quba. Setibanya di Quba unta Rasulullah SAW berhenti dan duduk di tanah lapang milik Kultsum bin Hadm, biasanya tanah lapang itu oleh pemiliknya dipakai menambatkan unta dan menjemur kurma.
19
Ke-1, h 59
MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet.
60
Nabi Muhammad saw menghabiskan waktu empat hari untuk istirahat di Quba. Pada malam hari Nabi Muhammad SAW menginap di rumah Kultsum dan pada siang hari duduk-duduk di rumah Sa’ad bin Khaitsamah Al-Ausi sambil menerima orang-orang Anshar yang mengundangnya pindah ke Yastrib. Dalam waktu empat hari, selama menetap di Quba itulah Nabi Muhammad SAW mendirikan masjid Quba pada tahun 622 M (tahun ke 13 kenabian). Masjid ini dibangun langsung di tanah lapang milik Kultsum bin Hadm yang diwakafkan untuk masjid. Masjid Quba dibangun langsung oleh Rasulullah SAW dengan bantuan kaum muslimin. Bangunan masjid ini terbuat dari batu bata merah dan beratapkan daun kurma. 20 2. Membangun Masjid Nabawi. Ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali memasuki kota Yastrib unta yang ditunggangi Nabi Muahammad SAW berlutut pula ditempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail bin Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna membangun Masjid. Pembanguan Masjid yang kemudian dinamakan Masjid Nabawi ini dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama kaum muslimin di tengah kota Madinah pada tahun 622 M. Sementara tempat itu dibangun, beliau tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari. Dalam membangun Masjid itu Nabi Muhammad SAW juga turut bekerja dengan tanggannya sendiri. Kaum Muslimin 20
MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet. Ke-1, h60-61
61
dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai Masjid itu dibangun, disekitarnya dibangun pula tempat tinggal Rasulullah SAW. Masjid mempunyai peranan yang sangat besar dalam masyarakat Islam, dengan masjid selain dapat dipergunakan untuk shalat berjamaah, maka masjid juga dipakai untuk bermusyawarah, belajar ilmu agama, beri’tikaf, membaca dan mengkaji Al-Qur’an, dan sebagainya. Dengan demikian secara garis besarnya pada Zaman Rasuluallah SAW paling tidak fungsi masjid dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Sebagai pusat peribadatan, yaitu termasuk shalat, membaca AlQur’an, bertadarus, mengutip zakat, beritikaf, berzikir, dan aneka kegiatan ibadah lainnya. 2. Sebagai pusat pendidikan dan pengajaran serta perpustakaan, pengadilan, tempat prajurit latihan militer sebelum memulai perjuangan (tempat mengatur strategi perang), tempat membuat pengumuman. Masjid juga merupakan tempat kegitan ekonomi, baitul mal, menghimpun dana dari orang-orang kaya yang didistribusikan kepada fakir dan miskin. 21
21
MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam, h 64-65
62
Pembangunan Kota di Zaman Khalifah Umar bin Al-Khatab Pembanguanan kota merupakan sarana dan prasarana mendasar yang menjadi tuntutan dalam proses pengembangan ekonomi, karena di dalamnya dilakukan banyak kegiatan ekonomi, dan di atasnya didirikan berbagai fasilitas dan pelayanan umum. Sesungguhnya hal ini mendapat perhatian yang besar dari Khalifah Umar bin Al-Khatab, di antara contoh yang paling menonjol adalah pembangunan kawasan perumahan bagi kaum muslimin di daerah-daerah yang ditaklukan. Di antara kota terpenting yang dibangun pada masa Umar adalah Kufah, dan Basrah. Ketika membangun kota tersebut Umar memperhatikan beberapa hal, yakni : 1. Memilih tempat yang sesuai. Pemilihan tempat pembangunan kota mendapat perhatian yang besar dari Umar, beliau berupaya keras untuk memilih tempat yang sesuai bagi para penghuninya, seperti sesuai tabiat mereka dan tidak berdampak buruk kepada kesehatan mereka. Umar menetapkan beberapa kreteria tempat yang sesuai adalah dekat dengan fasilitas umum. Ketika Irak telah dikuasai umat muslim, maka perlu adanya pemukiman unuk orang-orang Arab, untuk itulah Umar lalu menulis surat
63
kepada Sa’ad seorang panglima perang irak. Maksud Umar dengan menulis surat itu adalah: 1. Daerah yang dipilih untuk pemukiman harus kering seperti pedalaman, tetapi ada sumber air yang bagus. 2. Tidak terhalang oleh lautan atau jembatan untuk pengiriman bala bantuan kepada pasukan yang tinggal di daerah itu jika sewaktuwaktu diperlukan. Kewaspadaan Umar bin Al-Khattab ini mengangap laut itu seperti kapal yang berbahaya, dan untuk itu ia berpendapat antara dia dengan angkatan bersenjata jangan sampai dipisahkan oleh apa pun yang akan membahayakan pengiriman bala bantuan kepada mereka. 22 2. Membangun Fasilitas Umum yang Lain a. Jalan. Jalan merupakan sarana yang urgen karena memudahkan mobilisasi dan penyebrangan barang, kendaraan, dan orang serta unsur-unsur produksi dan sebagai sarana yang menghubungkan antara pasar dan menjadi tempat peredaran hasil produksi. Umar sangat memperhatikan urgensi jalan, baik jalan darat maupun jalan sungai, di mana Umar menunjuk orang yang bertanggung jawab dalam
22ibid ,
h 88
64
urusan ini. Sebagaimana Umar juga mensyaratkan kepada Ahli Dzimah agar ikut andil dalam perbaikan jalan dan pembnagunan jembatan. Beberapa referensi tentang perhatian Umar dalam mempermudah transportasi laut antara Hizaz dan Mesir. Di antara ucapannya dalam hal terssebut, “sungguh jika masih hidup, niscaya aku akan membawakan kepada penduduk madinah makanan dari mesir hingga aku meletekannya di Al-jar”. 23 Untuk melaksanakan keinginan ini Umar memerintahkan kepada gubernur di Mesir, Amr bin Al-Ash untuk menggali terusan yang menghubungkan Laut Merah dan Sungai Nil, yang pelaksanaanya selesai dalam satu tahun, sehingga kapal dapat berlabuh di Al-Jar, dan Umar malakukan kunjungan kepelabuhan tersebut. Bahkan Umar memerintahkan membangun gudang di sana yang disebut Dar Ar-Rizqi untuk meyimpan makanan dan hal-hal lain yang datang dari mesir, dan menunjuk Sa’ad Al-Jari sebagai penangung jawab pelabuhan Al-Jar yang terdapat disana. b. Fasilitas Umum. Dalam buku fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab yang ditulis Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Harits (2006) dijelaskan bahwa fasilitas umum yang dibangun pada zaman Umar adalah:
23
Al-jar, sebuah pelabuhan , dan orang yang dipercaya oleh Umar adalah Sa’d Al-Jari sebagai penanggung jawab pelabuhan tersebut, dan dibuat gudang yang disebut Dar Ar-Rizqi untuk menyimpan makanan dan hal-hal lain yang datang dari mesir.
65
1. Rumah tamu atau (dar adh-dhiyafah) untuk para tamu dari berbagai daerah yang datang ke madinah, bahkan Umar memerintahkan para gubernurnya untuk membangun rumah seperti itu di kota mereka masing-masing. 2. Gudang logistik (dar ar-rizqi) yang dibangun diberbagai daerah yang di dalamnya disimpan bahan-bahan makanan dan dibagikan kepada kaum muslimin. 3. Pembangunan bendungan untuk mencegah bahaya banjir terhadap kemaslahatan umum seperti ini merupakan sumbangan terpenting terhadap modal sosial. 4. Di anatara pelayanan penting yang dilakukan Umar adalah memberikan penerangan (lampu) terhadap Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dan lampu-lampu tersebut merupakan sarana penerangan terbaik dari apa yang dicapai manusia pada masa itu. 5. Di antara fasilitas umum yang didirikan Umar adalah beranda yang dibangun di sisi Masji Nabawi, yang disebut Al-Buthaiha. 24 C. Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam 1. Pemafaatan Pada Darat. Hutan dan segala ekosistemnya yang berada di dalamnya merupakan bagian dari komponen penentu kestabilan alam. Keanekaragaman hayati menjadi luar biasa yang sanggup memberikan inspirasi bagi pencinta alam, tentunya bukan sebagai sarana hiburan namun demi memahami makna 24Ibid
, h 96-97
66
kekuasaan agung sang pencipta. Pepohonan di hutan menjadi tumpuan sekaligus penahan resapan air dalam tanah, sehingga air tidak mudah terlepas meluncur menjadi bencana banjir yang menyengsarakan manusia. Hewan-hewan melengkapi kekayaan hutan menjadi bermakna lebih. Suasana ini seolah mengatakan kepada kita, bahwa di dunia ini bukan hanya manusia saja yang menjadi mahluk Allah, tapi masih ada hewan dan tumnbuhan yang senantiasa hidup dan tumbuh serasi dengan sunnatullah yang telah digariskan. 25 Islam menempatkan ekosistem hutan sebagai wilayah bebas (almubahaat) dengan status bumi mati (al-mawaat) dalam hutan-hutan liar, secara berstatus bumi pinggiran (marafiq al-balad) dalam hutan yang secara geografis berada di sekitar wilayah pemukiman kedua jenis hutan ini memiliki nilai persamaan dalam prinsip-prinsip pengaturannya, di mana semuanya masih menjadi bidang garapan pemerintah. Dan pemerintah juga berhak memberikan izin penebangan hutan selama
tidak berdampak negatif pada lingkungan
sekitar. 26 Hanya saja dalam jenis hutan bebas (liar), secara prinsip asal, legal untuk dimanfaatakan oleh siapa pun, baik untuk dijadikan untuk kepemilikan (ihya’ li al-tamaluk) maupun untuk diambil kekayaan alam yang ada di dalamnya. Sehingga wajar sampai saat ini masih kita kenal model pembukaan lahan hutan
25
Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 18 26 Fiqh Al-islamy juz V hal. 542-543 dan hawasyi al-syarwani juz VIII hal. 43-44 dar elkutub el- alamiyah
67
sebagai pemukiman atau persawahan. Hal ini tidak bisa dimaknai sebagai perusakan lingkungan, karena secara alami pertambahan jiwa akan selalu menuntut pertambahan lokasi pemukiman. 27 Untuk jenis hutan yang termasuk marafiq al-balad, karena secara lazim penduduk sekitar selalu memanfaatkannya untuk keperluan pengembalaan binatang, sebagai sumber kayu bakar serta untuk keperluan lain, maka bagi pemerintah tidak diperkenankan mengalihkan pemanfaatan kawasan itu untuk kepentingan personal maupun kelompok tertentu. Dalam arti, hak dari rakyat yang berada di sekitar maupun yang berada jauh dari kawasan itu adalah sama. Dan mengenai intervensi pemerintah dalam melarang penebangan pohon dalam kawasan ini mutlak diperbolehkan, seperti dalam hutan liar. 28 Dari uraian di atas, terlihat bahwa pemerintah memegang peranan penting dalam setiap kebijakannya tentang pengaturan hutan. Sehingga syariat menganggap pencurian kayu di hutan merupakan tindakan yang ilegal dan harus ditindak tegas. Bahkan kayu-kayu tersebut haram untuk diperdagangkan. 29 Pada bagian lain islam juga sangat menganjurakan pelestarian sumber daya alam hewani. Dan hal ini dapat kita pahami dari beberapa konsep syariat sebagai berikut :
27
Fiqh Al-islamy juz V hal. 542-543 dan hawasyi al-syarwani juz VIII hal. 43-44 dar elkutub el-alamiyah 28 Fiqh Al-islamy juz V hal. 517-519 29 Is’ad Al-Rafiq Juz. II hlm 97 dan Qulyuby Juz. II hlm. 162 Dar Ihya’
68
1. Islam tidak memperkenankan pembunuhan hewan selain untuk kebutuhan konsumsi. Padahal hewan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi dalam islam rata-rata termasuk hewan yang mempunyai populasi cukup banyak, bukan termasuk hewan-hewan langka yang populasinya semakin sedikit. 30 2. Syariat juga tidak memperbolehkan penyiksaan hewan, baik dengan cara memperlakukan tidak semestinya maupun dalam bentuk penyiksaan lainya. 31 3. Islam menganjurkan untuk merawat binatang dengan memberikan kebebasan hidup atau memberikan kebutuhan hidup hewan, andai saja binatang itu ada pada milik kita. Bahkan hal itu merupakan perbuatan terpuji dan berpahala. 4. Dalam aturan pembunuhan hewan, islam hanya memprioritaskan atas hewan yang termasuk jenis hewan yang berbahaya (al-fawasiiq al-khams) serta hewan sejenis, yakni hewan-hewan yang menggangu ataupun menyerang manusia. Sehingga hewan-hewan lain tidak memenuhi ketentuan tersebut tetap wajib dilestarikan hidupnya, baik yang halal dikonsumsi maupun yang tidak. 32 Dari beberapa keterangan di atas dapat kita pahami bahwa ketika pemerintah
membuat
aturan
perlindungan
hewan-hewan
langka
karna
mempertimbangkan kestabilan ekosistem, maka bagi individu rakyat tidak
30
26
31
Al-Mughni Syarkh Al-Kabir Juz. IX hlm. 232 dan ahkam Al-Quran Ibn Araby Juz. II Hlm.
Al-Zawajir Juz. I hlm. 349 Al-Bahr Al-Zakhar Juz. VI hlm. 227
32
69
diperbolehkan untuk melanggarnya. Sehingga praktek perburuan ilegal secara syariat tidak di benarkan dengan alasan apapun. 33 2. Pemanfaatan Pada Air. Secara alamiah air bersih dapat diambil dari sumber-sumber ; air hujan, air permukaan yang mencangkup air mata air, air sungai, air salju, air danau, air rawa, dan air laut serta air tanah yang mencangkup air tanah dangkal (sumur dangkal) dan air tanah dalam (sumur dalam). Memang secara alamiah sumber-sumber air-air merupakan kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai daya regenerasi, yaitu yang selalu dalam sirkulasi dan lahir kembali mengikuti suatu daur yang disebut daur hidrologi, sehingga relatif jumlahnya tetap. Air dari sumber mengalir ke laut, dan menguap menjadi awan. Air hujan turun ke bumi, sebagian meresap ke tanah, ada yang diisap akar-akaran dan ada pula yang melaui tanah bergabung menjadi satu dengan air tanah. Dalam pada itu Rasulullah SAW melarang membuang kotoran ke tempat-tempat yang mengakibatkan tercemarnya air. Dipahami bahwa kotoran manusia baik yang berasl dari buang air kecil maupun buang air besar menjadi penyebab utama tercemarnya air. Oleh karena iu, betapa penting pengaturan pembuangan air, yang semestinya buang air di tempat yang tertutup, dalam arti
33
Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 20
70
tertutup tempat membuang air dan tertutup pula tempat penampungan kotorannya. 34 3. Pemanfaatan Pada Udara. Secara prinsip, pemanfaatan udara dalam syariat telah diatur dengan begitu longgar, selama tidak berhubungan dengan udara di sekitar wilayah kepemilikan pribadi. Membuat fasilitas melawati wilayah udara diatas rumahrumah penduduk, harus melalui izin mereka. Karena menurut syariat, wilayah udara yang berbeda di atas sebuah kepemilikan secara hukum mengikuti status kepemilikan tempat yang berada di bawahnya. 35 Bahkan pemanfaatan wilayah udara dari tempat-tempat umum juga diperkenankan selama tidak menimbulkan ekses negatif. 36 Asap kendaraan, asap pabrik maupun pencemar udara lain sebenarnya tidak secara langsung timbul dari pemanfaatan udara. Hanya saja, ketika gangguan itu dihasilkan melawati udara, secara tidak langsung hal itu merupakan penyalahgunaan wilayah udara yang seharusnya bersifat netral. Dalam hal ini syariat menggarisbawahi, bahwa pemanfaatan udara yang diperkenankan adalah penggunaan secara wajar dan tidak sampai menggangu atau bahkan menimbulkan ekses negatif pada orang lain. Selain menetapkan sanksi, syariat juga memperkenankan pemerintah menindak pelaku pencemaran 34
Majelis Ulama Indonesia “Air, Kebersihan Dan Kesehatan Lingkunan Menurut Ajaran Islam”(Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, 1992) h 31-33 35 Al-furuuq Juz. IV hlm. 15-16 36 Bujairimy ‘ ala Al-Khtatib Juz. III hlm. 100
71
ketika mengakibatkan dampak negatif pada tingkat tertentu, selama terbukti bahwa kesalahan itu memang diakibatkan prosedur yang tidak benar. 37 D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam Dalam proses penciptaan manusia Allah telah memberikan kelengkapan hidup berupa akal pikiran, hati dan perasaan serta kelengkapan fisik biologis dimaksudkan dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Fungsi dan tugas yang harus dijalankan manusia antara lain berupa menjalankan tugas pembangunan, memelihara dan mengelola lingkungan hidup dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup hal ini akan diuraikan sebagai berikut. 38 1. Manusia Dan Tugas Pembangunan. Dalam Al-Quran maupun Al-Hadits telah banyak disebut mengenai manusia menyangkut proses terjadinya, statusnya, hak dan kewajibannya, serta sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungannya. Di dalam Al-Quran dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaannya sehingga diberikan kemampuan yang lebih dibanding dengan mahluk lainnya, bahkan dengan malaikat sekalipun. Kesempurnaan manusia itu ditandai dari posisinya di hadapan Allah, yaitu pada satu sisi manusia adalah kecil dan sangat lemah karena ia sebagai hamba atau abdi, tetapi dalam posisi lain dalam hubunganya 37
Fatawi Al-Ramli Juz. III hlm 13 Effendy , “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 106-107 38Daud
72
dengan sesama ciptaan Allah manusia mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia yakni sebagai Khalifah-Nya. Untuk menunjukan bahwa manusia adalah hanya sebagai hamba atau abdiNya yang lemah tak berdaya serta diciptakannya manusia dan jin adalah hanya untuk menyembah kepada Allah. Maka manusia diberi peran besar sebagai khlifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi ; ☺ ⌧
⌧
☺
⌧
☺
(٣٠ )اﻟﺒﻘﺮة Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(QS:Al-Baqarah, 30). Sehubungan dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah Allah, dengan argumentasi sebagaimana oleh M. Quraish Shihab: “bahwa mahluk ini, memiliki keistimewaan
dibandingkan
dengan
para
pemrotes
yaitu
kemampuan
73
mengetahui fungsi benda-benda alam.” 39 Masih dalam hal keunggulan manusia dari pada mahluk lain, Murtadha Muthahhari juga mengatakan sebagai berikut : “manusia berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih tinggi keinginannya. Kekhasan ini yang dimiliki manusia membedakan manusia dan binatang, dan membuat manusia lebih unggul dari pada binatang lainnya. 40 Karena keunggulan itu, Allah memberi peran kepada manusia sebagai wakil-Nya di mana ia diberi tanggung jawab untuk atas nama Allah menegakkan hukum-hukumNya di muka bumi sebagai imbalannya seluruh alam dan isinya diserahkan pengelolaaannya dan pemanfaatanya serta pemeliharaannya kepada manusia. Namun demikian pengelolaan alam yang dimaksudkan bukanlah dalam arti sebagai penakluk (superiority) atas yang di taklukan (inferiority). Dalam persoalan demikian M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa: “hubungan manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena, kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan
39Quraish
Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, (Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993), h. 5 40 Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, (Jakarta:PT Lentera Basritama, 2002 ). H 1
74
yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Allah SWT.” 41 Manusia itu pada dasarnya lemah dan yang memiliki kekuatan bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya Allah sehingga disebutkan dalam Al-Quran “La Haula Wa La Quawwata Illa Bi Illah” tiada daya dan kekutan kecuali atas izin Allah. Manusia mengembangkan tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata) demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi tersebut. Di sini letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, environmentalism. 42 Oleh sebab itu menurut M. Qurasih Shihab : “Al-Quran tidak memandang manusia sebagai mahluk yang tercipta secara kebetulan, atau terciptanya dari kumpulan atom, tetapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas menjadikan seorang khalifah di bumi.” 43 Menurut Yusuf Al Qaradhawi tentang peranan manusia tadi dikategorikan sebagai tujuan-tujuan yang sangat mulia di tengah-tengah kehidupan manusia, hal itu merupakan hikmah Allah kepada para mukallafin yang akhirnya dibagi menjadi tiga tujuan yaitu : 41 Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, (Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993), h.295 42 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h 479 43 M. Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, (Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993), h. 70
75
1. Untuk mengabdi pada Allah (surat Al-Dzariat: 56). Ibadah ini meliputi segala sesuatu yang disenangi Allah dan diridhoinya, baik berupa perkataan dan perbuatan. Maka dalam konteks ini, sebenarnya bentuk ibadah itu mencakup semua aspek kehidupan. 2. Sebagai wakil (Khalifah Allah) di atas bumi (Al-Baqarah: 30). Supaya praktik kekhilafahan ini terwujud, mereka dituntut untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta meyiarkan kebaikan dan kemaslahatan (surat Shad:26). 3. Membangun peradaban di muka bumi (surat Hud:61). Dalam arti mengandung pesan pada manusia untuk membangun kehidupan. 44 Kemampuan manusia melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan untuk membangun kehidupan di muka bumi ini, merupakan pengejawantahan atau refleksi dari keberimanan seseorang sebagai hamba Allah. Dari sini lah tergambar dengan jelas tentang berlangsungnya hubungan dua dimensional yakni secara vertikal dan horizontal yang dijalankan oleh manusia. Hubungan vertikal yang dimaksud adalah kemampuan manusia dalam menjalankan perintah Allah, dan hubungan horizontal adalah kemampuan manusia melakukan hubungan dengan alam lingkungan termasuk sesama manusia.45
44
Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terj : Abdullah Hakam Shah, Dkk, (Jakarta : Pustaka Al-kauthsar, 2002)h 24-25 45Daud Effendy, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 111
76
Di dalam proses membangun ini, manusia tidak dapat berjalan sendiri atau melepas keterkaitanya dengan alam di luar dirinya baik yang bersifat biotic maupun abiotic atau benda hidup atau benda tak hidup. Faktor-faktor alam ini sebagai sesama mahluk ciptaannya ikut andil di dalam menentukan keberhasilan pembangunan dimana manusia sebagai yang ditugasi untuk mengelolanya. disinilah perlu terjadi interaksi positif antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Allah SWT. Bila kondisi demikian ini terwujud, maka tidak mustahil semua akan saling membantu serta bekerja sama dan tentunya Tuhan meridhainya. Perwujudan hubungan interaktif yang meliputi semua unsur kehidupan dalam melakukan pembangunan yang berlangsung secara utuh itulah, kemudian disebut pembangunan yang holistik. 2. Manusia Sebagai Pemelihara dan Pengelola Lingkungan. Suatu pandangan yang menyatakan bahwa : “segala wujud di dunia ini harmonis, dan evolusinya menuju ke pusat yang sama. Segala yang diciptakan tidak ada sia-sia, dan bukan tanpa tujuan. Dunia ini di kelola dengan serangkaian sistem yang pasti dikenal sebagai hukum (sunnah Allah). Di antara mahluk yang ada, manusia memiliki martabat yang khusus, dan misi khusus. 46 Dengan menyimak pernyataan tersebut diperoleh suatu pemahaman : pertama, kehidupan ini adalah suatu yang harmonis, artinya antara sesama
46
Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, (Jakarta:PT Lentera Basritama, 2002 ). H 57
77
mahluk terjadi hubungan yang berpadan dan berkeseimbangan (equilibrium). Kedua, keseluruhan proses kehidupan ini semuanya bergerak menuju dan bertemu ke pusat yang sama yaitu liqo illah (menuju Allah). Ketiga, kehidupan dan alam semesta ini sengaja diciptakan Allah dengan kesemuanya memiliki nilai guna dan manfaat serta bertujuan (teologis). Keempat, alam semesta ini merupakan suatu sistem bergerak sesuai dengan hukum-hukum Allah (sunnahtullah). Kelima, mengenai manusia sebagai mahluk yang paling bermanfaat (mewah). Pada dirinya diberikan tanggung jawab yakni berupa tugas dan misi khusus. Dari kelima hal yang disebutkan tadi, tergambar bahwa dengan mengingat fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi maka disitulah manusia memiliki peran sentral di dalam memelihara dan mengelola alam. Di dalam memelihara dan mengelola alam beserta seluruh isinya, manusia tidak dapat berbuat sekehendaknya sendiri, melaikan harus bersandar pada pesanpesan ilahi, atau di dalam bertindak memelihara dan mengelola lingkungan alam itu adalah atas nama Allah SWT. Fungsi kekhalifahan yang harus diperankan manusia terhadap lingkungan alam semestinya harus dipahami sebagai hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Petunjuk-petunjuk Allah itu dengan sengaja diberikan kepada manusia karena pada diri manusia terdapat sifat-sifat dan kecenderungan ganda yakni manusia memiliki sifat baik dan buruk atau shaleh dan dzalim ataupun terpuji dan tercela. Perbuatan shaleh memperoleh pahala
78
atau kenikmatan, dan perbuatan buruk berakibat pada penderitaan. Itulah sebabnya hubungan antara manusia dengan alam lingkungan adakalanya manusia sebagai perusak dan pada saat yang lain manusia sebagai pemelihara dan pengelola alam (pemakmur bumi). Walaupun mengelola dan membangun kehidupan di bumi tidak mungkin dihindari terjadinya dampak-dampak negatif yang merupakan suatu konsekuensi logis dalam pembangunan. Akan tetapi dengan keistimewaan dan keunggulan yang dimiliki manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan dan ketrampilan, diharapkan dapat mengurangi atau meminimalisir berbagai dampak negatif akbat pembangunan tersebut. 47 Sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan manusia sebagai perusak dan larangan-larangan Allah untuk tidak melakukan perusakan di muka bumi terdapat pada surat Ar-Rum ayat 41.
⌧ ⌧
☺
⌧
(٤١ )اﻟﺮوم Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS : Ar-Rum 41)
47
Daud Effendy, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h 114
79
Ayat tersebut menunjukan sifat buruk manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan alam, di mana sebenarnya perlakuan manusia berbuat kerusakan alam pada dasarnya adalah juga berakibat merusak diri sendiri. Itulah yang dikatakan oleh Seyyed Hosein Nasr dengan melansir pendapat Faust bahwa manusia : “setelah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadap lingkungan alam manusia, ia menciptakan situasi di mana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan terhadap lingkungan, tetapi juga perbuatan bunuh diri. 48 Keadaan dan kejadian ini disebut oleh Nasr karena manusia sudah tidak lagi memiliki horizon spiritual dan yang dimaksudkan di sini ialah bahwa manusia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudur pandang sendiri dan lupa dengan sumbu maupun pusat lingkaran eksistensinya. Namun demikian, manusia yang ditakdirkan Tuhan sebagai mahluk yang memiliki kelebihan dari yang lainya, akibat dari kekeliruan yang telah dirasakan tadi menjadi manusia sadar dan melakukan perbaikan, pemeliharaan terhadap lingkungan alam dan kembali pada jalan dan tujuan yang benar. Untuk mencapai kepada jalan yang benar kepada Allah, manusia harus berusaha secara bersungguh-sungguh dengan tetap mnejaga iman dan beramal shaleh. Dalam hubunga ini Nurkholis Madjid mengemukakan : “bahwa tujuan hidup manusia ialah bertemu (liqo) dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup manusi didapatkan dalam usaha penuh kesungguhan
48
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nistapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung :Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983), h 4
80
(mujahadah) untuk mencapai tujuan itu, melalui iman kepada Allah dan beramal kebajikan.” 49 Allah menyerukan kepada manusia untuk melakukan pemeliharaan dan pelestarian alam. Allah menyerukan kepada manusia untuk memanfaatkan alam bagi kepentingan umat dan memakmurkanya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat Hud ayat 61 yang berbunyi : ☯
☺ ⌧ ☺
(٦١ )هﻮد Artinya : “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."( QS : Hud, 61). Dalam konteks nikmat dari Allah atas segala sesuatu yang diberikan kepada manusia, maka menjaga dan memelihara kelestarian alam adalah merupakan upaya untuk mensyukuri limpahan nikmat dan karunia Allah tersebut. Mencermati tentang tumbuhnya kesadaran manusia untuk memelihara, 49
1992), h 18
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina,
81
mengelola dan memakmurkan bumi ini dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga hal yaitu : pertama, al-intifa ‘ (mengambil manfaat dan mendaya gunakan dengan sebaik-baiknya). Kedua, al-I’tibar (mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah). Ketiga, al-islah (memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan kehendak pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia serta tetap terjaganya hubungan yang harmonis kehidupan alam ciptaan Allah SWT).
BAB IV ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A.
Analisis Perspektif Hukum Islam Ajaran Islam adalah merupakan wahyu terakhir dari Allah SWT yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diteruskan kepada seluruh umat manusia untuk dijadikan pedoman hidup dalam mencapai keselamatan dunia akhirat. Disebut sebagai pedoman hidup karena agama Islam mengandung ketentuanketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan mahkluk hidup, manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Islam sebagai agama yang rahmatal li al-alamin telah memberikan isyarat dan pesan-pesan yang berhubungan pembangunan dan lingkunan hidup serta tata ruang melalui ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an. 1 Bertauhid sebagai epistimologi merupakan tolak ukur di dalam menilai berbagai aktifitas manusia, termasuk dalam hal hubungan manusia dengan lingkungan dalam menata ruang kota, apakah sebagai pemelihara, penjaga, penata, atau perusak lingkungan. 2 Berbicara tentang bagaimana menciptakan hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam menata ruang kota terjadi relasi yang positif, manusia tidak 1
Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan, (Jakarta Lembaga Penelitian UIN SYAHID 2008) h. 70 2 Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan . h 72
81
82
bertauhidpun bisa saja melalui rasionya yang terbatas dengan pendekatan hitungan matematikanya, apabila hasilnya tidak sesuai dengan wahyu Allah (al-Qur’an) maka hal itu harus ditolak, akan tetapi jika hasil pemikirannya tidak bertentangan dengan wahyu Allah maka tidak haram untuk diadopsi. Masalah penataan ruang di lingkungan manusia yang sesuai dengan ajaran Islam memang perlu diatur dengan cermat agar negara yang makmur dan kaya akan sumber daya alam ini bisa menjadi lingkungan yang indah, nyaman, damai, dan religius. Karena penataan ruang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi manusia tanpa mempertimbangkan kelestarian alam dan kesejahteraan mahkluk hidup lainnya maka hal itu akan mendatangkan kerugian saja bagi semua pihak. Masalah penataan lingkungan atau tata ruang telah diatur dalam PERMENDAGRI no 8 tahun 1998, isi dari peraturan ini cukup sempurna jika disesuaikaan dengan kondisi lingkunan dan masyarakat Indonesia,
tetapi dalam
pandangan agama Islam tentu ada perbedaan. Menurut Islam tata ruang dalam suatu lingkungan seharusnya meningkatkan kesejahteraan umat, menjaga kelestarian serta keserasian lingkungan, dan bernuansa nilai-nilai keislaman yang sangat terasa. Penataan ruang harus berupa pendayagunaan dan penigkatan kualitas hidup, karena tugas manusia adalah memakmurkan bumi (tanah) Allah SWT, bukan merusaknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam kitab al-Qur’an :
⌧
83
Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. (QS : Ar-Rum 41)”. 3 Selama ini masalah tata ruang seringkali, menjadi teka-teki masyarakat. Jika dikaitkan dengan PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998, penataan ruang bukan bagian dari hak masyarakat untuk mengetahuinya. Sehingga akibat ketidaktahuan itu masyarakat menjadi ragu-ragu memanfaatkan ruang kota. Terlebih masyarakat hanya menjadi korban kegiatan pembangunan, akibat ruang yang semula mereka anggap aman ternyata dimanfaatkan untuk proyek pemerintah kota. 4 Rencana tata ruang kota yang dapat diketahui masyarakat luas akan memungkinkan pendayagunaan pemeliharaan kualitas tata ruang kota secara terarah. Pemerintah hendaknya berkewajiban mengusahakan agar penataan ruang dilakukan secara terbuka. Setiap
masyarakat
perlu
memperoleh
keterangan
mengenai
produk
perencanaan tata ruang kota dan proses yang ditempuh dalam perencanaan tata ruang kota tersebut. Dalam menyusun peraturan daerah tentang tata ruang kota yang
3
Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan (Jakarta Lembaga Penelitian UIN SYAHID 2008) h, 115 4 Dyayadi , Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1 h, 109
84
diajukan, masyarakat harus diikut sertakan agar penataan ruang kota berorientasi kepada kepentingan warga atau masyarakat kota. Penataan ruang yang dibuat seharusnya memperhatikan penataan ruang bersumber dari rencana induk (master plan) kota, di mana masih belum ada kelengkapan. Banyak kota besar yang rencana induknya dibuat puluhan tahun lalu, tetapi tanpa ada perubahan sama sekali. Selain itu pembangunan yang berkaitan dengan penataan ruang kota terkesan tanpa rencana yang baik. Pemanfaatan ruang kota sering mengejutkan. Dengan kenyataan seperti itu, terdapat hubungan timbal balik antara tuntutan kepada masyarakat dan kemauan pemerintah kota secara positif. Pemerintah kota seharusnya teliti menyusun rencana penataan ruang kota secara konkret dan berkesinambungan, tidak berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Sementara masyarakat juga menyadari bahwa rencana tata ruang kota tersebut adalah program pembangunan kota yang harus ditaati bersama karena masyarakat sendiri tahu atau dilibatkan dalam rencana tersebut. Dengan dimengertinya rencana penataan ruang kota, maka hak-hak masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya bisa diakomodasi secara optimal tanpa ganjalan. Hal yang terakhir ini menjadi demikian penting, mengingat masih banyaknya kesan betapa pembangunan kota “mengorbankan masyarakat.” Alangkah bagusnya bila rencana tata ruang itu dibuat dengan mendengar kehendak masyarakat dan hasil akhirnya juga diberitahukan kepada masyarakat.
85
Penataan
ruang
berasaskan
keterbukaan,
persamaan,
keadilan,
dan
perlindungan hukum yang bertujuan: 1.
Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan dengan dilandasi wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
2.
Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan budi daya.
3.
Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. 5 Untuk memenuhi harapan tersebut diperlukan kebijakan dan kearifan
pemerintah, karena sebuah rencana tata ruang wilayah kabupaten / kota sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan ini haruslah berdasarkan pada pertimbangan dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan, fungsi pertahanan dan keamanan, serta aspek keagamaan. Pemerintah juga perlu melakukan pembinaan masyarakat, karena pemahaman masyarakat perencanaan, pemanfaatan dan perlindungan atas tata ruang tidaklah sama dan beragam. Ketidaksamaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan maupun latar belakang ekonomi yang berbeda. Ibarat menata rumah, bukan isi atau perabotnya yang dikeluarkan, akan tetapi bagaimana perabot ini kelihatan rapi, bersih, dan yang terpenting adalah bagaimana
5
Dyayadi , Tata Kota Menurut Islam h, 113
86
perabot ini berada pada tempat yang sesuai dengan peran dan fungsinya masingmasing. 6 Penataan ruang kota seharusnya dapat menciptakan kota yang ramah lingkungan. Kita tentu tidak menginginkan polusi melanda kota kita, walaupun telah dibuat perencanaan penataan ruang yang begitu sempurna tetap saja kota kita penuh dengan polusi, kemiskinan, dan penyakit sekaligus. Semua bersumber dari perilaku yang tidak ramah lingkungan. Kota yang ramah lingkungan memang masih menjadi harapan kita, namun hal itu bukan berarti tidak dapat terwujud dengan cepat, apabila seluruh nasyarakat, pelaku usaha, dan terutama sekali pemerintah memberi dukungan penuh. Dalam PERMENDAGRI NO. 8 tahun 1998, tidak begitu terasa perencanaan penataan ruang kota yang dapat menciptakan kota yang ramah lingkungan, maka itulah masyarakat harus memiliki kesadaran diri untuk menjaga lingkungan menciptakan kota yang ramah lingkungan, penuh keasrian, dan terasa nyaman. Dalam sunah Rasulullah SAW jauh-jauh hari sudah menegaskan pentingnya menjaga lingkungan perkotaan. Rasulullah memberikan contoh kota madinah, dimana beliau mempertahankan pepohonan dan melarang penebangan atau merusak / mengganggu lingkungan kota tersebut. Dengan indahnya Islam telah memberikan pengajaran bahwa menebang pohon yang terdapat dalam kota (kota Madinah) dalam kasus di atas adalah perbuatan dosa / terlarang. Artinya Rasulullah yang merupakan manusia pilihan Allah telah 6
Ibid, h 115
87
mengajarkan kaum muslimin agar tidak menebang pohon yang ada di dalam kota. Justru sebaliknya kita harus gemar menanam pepohonan yang dampaknya akan menciptakan lingkungan kota yang hijau, sejuk, asri, dan mengurangi polusi udara. Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan penataan ruang yang dapat menciptakan kota yang hijau serta ramah lingkungan, karena lingkungan harus dilihat sebagai sebuah ekosistem. Semua aspek, baik ekonomi, sosial, dan ekologi terkait satu sama lain, sehingga perubahan disatu aspek mempengaruhi aspek yang lain. Kita sebagai umat islam hendaknya menjadi pelopor dalam menjaga kelestarian dan keserasian lingkungan, sebab dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah telah melarang umat manusia merusak ekosistemnya atau lingkungan hidupnya. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-A’raf 56 ;
☺
(۵٦ )اﻷﻋﺮاف
☺
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS : Al-A’raf 56)”. 7 Agama Islam dalam mengatur tata ruang mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman agama Islam dalam menentukan berbagai syariat amaliah. 7
Daud Efendy, Manusia Lingkungan dan Pembangunan (Jakarta Lembaga Penelitian UIN SYAHID 2008) h, 123
88
Jika dianalisis menurut perspektif hukum Islam PERMENDAGRI NO. 8 Tahun 1998 tentang tata ruang cukup , tetapi dalam PERMENDAGRI NO. 8 Tahun 1998 ini tidak diatur sama sekali tentang penataan atau perencanaan sarana ibadah, hal ini bertentangan dengan hukum Islam. Seharusnya PERMENDAGRI lebih mengutamakan penataan sarana ibadah, karena sarana ibadah seperti masjid merupakan hal yang urgen dalam kegiatan sehari-hari. Menurut hukum Islam penataan kota harus mengutamakan hal-hal sebagai berikut : 1.
Lokasi masjid mudah dijangkau Hendaknya masjid diletakan di tengah-tengah komplek perumahan tersebut
sebagai sentral aktifitas masyarakat. Lokasi masjid seperti itu menjadikan jarak setiap warga menuju masjid dekat dari semua arah. Secara psikologis, masjid yang berada di tengah masyarakat mengisyaratkan simbol ruhaniyah. Warga masyarakat akan memiliki kedekatan dan keterikatan dengan nilai-nilai kebaikan karena terkondisi oleh masjid. Sebaliknya, bila masjid terletak dipinggiran. Terisolir dari penduduk, dan sulit dijangkau akan menimbulkan kesan ruhaniyah yang berbeda pula. Apabila kita melihat aktivitas Rasulullah sesaat beliau dan sahabat Muhajirin diterima sahabat Anshar di Madinah, yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai sebuah markas pergerakan dakwah islam waktu itu, masjid mempunyai pengaruh yang besar dalam mengikat persaudaraan dan menguatkan ikatan diantara mereka.
89
2.
Kota ramah lingkungan Cobalah sekali-kali kita membayangkan sebuah kota, dengan gedung-gedung
yang menggunakan sel surya (sollar cel) sebagai pembangkit energi memakai lampu hemat listrik, dan adanya skema daur ulang limbah. Sebuah kota dengan sarana transportasi massa yang efisien dan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang digerakkan dengan listrik atau hidrogen sehingga tidak memuntahkan polusi udara. Kota ramah lingkungan seperti diilustrasikan di atas memang masih sulit menjadi mimpi, tetapi hal tersebut bisa dicapai dengan adanya kerjasama dari semua pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara lingkungan. 3.
Memperbaiki lingkungan Menurut Prof. Emil Salim bahwa mengurus lingkungan bersifa jangka
panjang. “Kita menanam pohon, apa hasilnya untuk sekarang?” tanya dia. Tak heran, lingkungan menjadi sektor yang rentan terhadap konflik jangka pendek dan cenderung dikalahkan oleh kepentingan lain (terutama ekonomi). Lingkungan merupakan sebuah ekosistem, semua aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, ekologi terkait satu sama lain, sehingga perubahan disatu aspek mempengaruhi perubahan pada aspek yang lain. Maka dari itu perlu saling mendukung dan kerjasama dari berbagai aspek. Sebab tujuan semua aspek pada hakikatnya sama yaitu menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Sebagai umat Islam sudah seharusnya menjadi pelopor dalam menjaga kelestarian dan keserasian lingkungan hidup, serta menata ruang dengan sebaikbaiknya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an dan hadits
90
Rasulullah. Sebab dalam al-Qur’an Allah telah melarang umat manusia merusak ekosistemnya atau lingkungan hidupnya. Jika ini kita langgar kita tidak hanya melakukan dosa besar, tetapi juga akan menyengsarakan masyarakat banyak. B.
Analisa komparatif Berkenaan dengan permasalahan penyelenggaraan penataan ruang secara jelas
tertuang pada Undang-undang No. 24 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1996 dan peraturan penyelenggaraan penataan ruang Permendagri No. 8 Tahun 1998 yang bertujuan untuk penyelenggaraan penataan ruang. Dari peraturan di atas penulis tertarik untuk mewancarain staf dinas tata ruang dan pemukiman, yang bernama, Ari panujo, S.T, M.Si dengan Nip : 19790232003121006. Bahwa beliau mengatakan dalam menyelenggarakan penataan ruang, pengurusan sarana ibadah disesuaikan kepada kondisi ke agamaan pada masyarakat disuatu daerahnya. Artinya peraturan serana ibadah mengikuti kondisi mayoritas agama masyarakat yang tinggal didaerahnya. Dengan contoh Kota Depok yang mayoritas masyarakatnya beragama muslim dan ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : No 1 2 3 4 5
Sarana Ibadah Musholla Masjid Gereja Pure Bihara Jumlah
Jumlah 7.551 686 76 3 2 8318
Suber laporan dinas pemukiman dan tata ruang kota Depok tahun 2009
91
Dari data di atas menunjukkan bahwa masyarakat di kota Depok sangat peduli terhadap sarana ibadah. 8 Adapun persamaan dan perbedaan terkait masalah penyelenggraan penataan ruang, sebagai berikut penuturannya: Persamaan Terdapat persamaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang menurut hukum Islam dalam beberapa pokok, sebagai berikut : Pertama, penyelenggaraan penataan ruang dalam arti luas, mengatur seluk beluk umat manusia pada umumnya, dan yang bermukim pada khususnya, berupa hukum peraturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan (pemerintah) untuk mewujudkan kepentingan orang banyak yang bermukim guna memelihara kelangsungan hidupnya. Kedua, penyelenggaraan penataan ruang dalam arti sempit, untuk mengatur, memelihara dan menjaga penyelenggaraan penataan ruangyang efektif dengan tanpa melanggar hak-hak seorangpun. Dalam penyelenggaraan penataan ruang terdapat tiga hal untuk mewujudkan penataan ruang yang ideal, yaitu : perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan tata ruang. Sebagaimana yang akan diuraikan dibawah ini : 1.
Perencanaan tata ruang.
8
Ari, Panujo, staf dinas tata ruang dan pemukiman, wawancara pribadi, depok 17 Juni 2010.
92
Dalam hal perencanaan tata ruang baik ajaran hukum islam maupun hukum konvensional sama-sama menitik beratkan kepada pembangunan kawasan yang strategis, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Al-Khatab, di antara contoh yang paling menonjol adalah pembangunan kawasan startegis bagi kaum muslimin di daerah-daerah yang ditaklukan. Misalnya ; Umar membangun sebuah pelabuhan yang bernama Al-Jar, dan membangun gudang yang disebut Dar Ar-Rizqi untuk meyimpan makanan dan hal-hal lain yang datang dari mesir. 2.
Pemanfaatan tata ruang. Mengenai pemanfaatan tata ruang akan terdapat beberapa persamaan antara
hukum islam dan hukum konvensional yang bersamaan menyoroti kepada konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menyangkut hajat hidup orang banyak dan penggunaannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang dipentingkan disini
adalah
konservasi
fungsi
bagi
kesinambungan
penyambung
untuk
kesejahteraan manusia. Yang mengandung beberapa aspek, di antaranya : perlindungan sistem penyangga kehidupan, pemeliharaan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. 3.
Pengendalian pemanfaatan tata ruang. Sehubungan dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah Allah, manusia
berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih tinggi keinginannya. Maka dalam pengendalian pemanfaatan ruang terdapat beberapa kesamaan antara hukum islam dan hukum konvesional seperti dalam hal : Membagun kehidupan di muka bumi yang dilakukan oleh manusia
93
adalah suatu pesan ekstologis yang merupakan konsekuensi dari peran pentingnya manusia sebagai khalifah Allah. Dalam memaknai pembangunan adalah juga dalam arti mengelola lingkungan hidup secara baik dan benar bukan justru berakibat pada kerusakan alam dan ekosistem. Kemampuan
manusia
melaksanakan
tugas-tugas
kekhalifahan
untuk
membangun kehidupan di muka bumi ini, merupakan pengejawantahan atau refleksi dari keberimanan seseorang sebagai hamba Allah. Dari sini lah tergambar dengan jelas tentang berlangsungnya hubungan dua dimensional yakni secara vertikal dan horizontal yang dijalankan oleh manusia. Hubungan vertikal yang dimaksud adalah kemampuan manusia dalam menjalankan perintah Allah, dan hubungan horizontal adalah kemampuan manusia melakukan hubungan dengan alam lingkungan termasuk sesama manusia, hal ini sesuai dengan Mekanisme Insentif-Disinsentif Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana Perbedaan
94
Di mana ada persamaan tentu ada perbedaan kendati pada hakekatnya makna penyelenggaraan pentaan ruang yang didefiniskan menurut hukum konvensional dan hukum Islam adalah sama, yaitu untuk menyangkut hajat hidup orang banyak dan penggunaannya
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, serta perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pemeliharaan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. Dalam penyelenggaraan penataan ruang terdapat tiga hal untuk mewujudkan penataan ruang yang ideal dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang perbedaannya, yaitu : perencanaan tata ruang,
pemanfaatan tata ruang dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang. Sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini; 1.
perencanaan tata ruang. Dalam hal perencanaan tata ruang,
ajaran hukum islam dan hukum
konvensional terdapat perbedaan, yakni perbedaannya adalah : Islam adalah agama rahmatan lil al-alamin telah memberikan isyarat dan pesan-pesan yang berhubungan dengan pembangunan dan lingkungan hidup serta kehidupan terutama melalui ayat-ayat kauniah, dalam perencanaan, menata dan membangun kota Nabi Muhammad saw mengutamakan membangun masjid, masjid merupakan suatu wadah atau institusi yang paling penting untuk membina masyarakat islam. Di masjid pulalah rasa kesatuan dan persatuan umat islam ditumbuh kembangkan.
95
Sebagai rumah Allah (baitullah), masjid adalah tempat turunya rahmat Allah SWT dan malaikat. Oleh karena itu, masjid dalam pandangan islam merupakan tempat yang paling baik dan mulia di muka bumi ini. Dimasjid pula kaum muslimin menemukan ketenangan dan ketentraman hidup serta kesucian jiwa, karena ditempat ini dilaksanakan forum-forum terhormat. Sedangkan
hukum
konvensional
memakai
tahap
“Konsultasi” dan
tahap “Evaluasi”. Pada tahap “konsultasi” Bupati/Walikota dibantu BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Kabupaten/Kota mengkonsultasikan rancangan perda tentang RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTRK/K kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh BKTRN guna mendapatkan persetujuan substansi teknis. Rancangan perda harus dilampiri dokumen RTR Kabupaten/Kota dan album peta. Pengajuan permintaan persetujuan substansi teknis ke pemerintah pusat dilakukan setelah rancangan perda dibahas di BKPRD Provinsi dan mendapatkan rekomendasi dari Gubernur. Setelah keluar Surat Persetujuan Substansi Teknis dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang, dilanjutkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPRD. Kedua bahan tersebut yaitu Surat Persetujuan Substansi Teknis dari Menteri yang membidangi urusan penataan ruang dan Surat Persetujuan Bersama
dengan
DPRD
menjadi
bahan
Gubernur
dalam
melakukan “evaluasi” terhadap rancangan perda tentang RTRWK/K, rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan rancangan perda tentang RDTR Kabupaten/Kota serta klarifikasi terhadap Perda tentang RTRWK/K, Perda
96
tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perencanaan penataan ruang hukum islam tidak melalui birokrasi yang terlalu rumit, seperti yang dilakukan oleh hukum konvensional bahkan dalam Permendagri No 8 tahun 1998 tidak terdapat satu pasal pun yang menyinggung tentang tempat untuk sarana ibadah, hukum Islam hanya mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada saat baru tiba Di Madinah yaitu langsung membuat sarana tempat ibadah yaitu masjid. 2.
Pemanfaatan tata ruang Dalam hal pemanfaatan tata ruang,
ajaran hukum islam dan hukum
konvensional terdapat perbedaan, yakni perbedaannya adalah : Islam menempatkan ekosistem hutan sebagai wilayah bebas (al-mubahaat) dengan status bumi mati (al-mawaat) dalam hutan-hutan liar, secara berstatus bumi pinggiran (marafiq al-balad) dalam hutan yang secara geografis berada di sekitar wilayah pemukiman kedua jenis hutan ini memiliki nilai persamaan dalam prinsipprinsip pengaturannya, di mana semuanya masih menjadi bidang garapan pemerintah. Dan pemerintah juga berhak memberikan ijin penebangan hutan selama tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitar. Hanya saja dalam jenis hutan bebas (liar), secara prinsip asal, legal untuk dimanfaatakan oleh siapa pun, baik untuk dijadikan untuk kepemilikan (ihya’ li altamaluk) maupun untuk diambil kekayaan alam yang ada di dalamnya. Sehingga wajar sampai saat ini masih kita kenal model pembukaan lahan hutan sebagai
97
pemukiman atau persawahan. Hal ini tidak bisa dimaknai sebagai perusakan lingkungan, karena secara alami pertambahan jiwa akan selalu menuntut pertambahan lokasi pemukiman. Ulama berbeda pendapat dalam mendefiniskan tanah mawat ini. Sebagaian ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah tanah ynga tidak ada pemiliknya. Karna itu, tanah yang sudah lama tinggal oleh pemiliknya, masih digolongkan tanah mawat. Sebagaian ulama juga mengatakan dengan tanah yang tidak pernah dikelola oleh seorangpun. Tanah yang sudah pernah dimanfaatkan, lalu ditinggalkan oleh pemiliknya tidak disebut tanah mawat. Ibn Rif’ah membagi dua bentuk tanah mawat. Pertama, tanah yang tidak pernah dikelola oleh seseorang. Ini adalah bentuk asal dan tanah mawat. Kedua, tanah yang pernah dimanfaatkan oleh oarang kafir, kemudian ditinggalkan Al-Zarkasyi membagi lahan itu menjadi empat macam. Pertama, tanah yang dimiliki dengan cara pembelian, hibah, dan semacamnya. Kedua, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum. Seperti lahan ynag diwakafkan untuk masjid, madrasah; dan juga lahan yang digunakan untuk kepentingan umum seperti pasar, jalan, dan semacamnya. Ketiga, tanah milik orang atau kelompok tertentu. Misalnya waqaf khaissah (waqaf untuk komunitas tertentu), tanah desa dan semacamnya. Keempat, tanah ynag tidak dimiliki baik oleh perorangan, kelompok, ataupun umum. Inilah yang disebut tanah mawat. Beberapa definisi ini sebenarnya memiliki maksud yang hampir sama, bahwa ynag dimaksud adalah tanah yang tidak dikelola seseorang.
98
Sedangkan hukum konvensional tidak mengenal istilah ihya’ li altamaluk, karena hutan bebas (liar) memang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun, tetapi tidak bisa dijadikan untuk kepemilikikan, hanya dapat dimanfaatkan saja tanpa bisa dimiliki secara pribadi sesuai dengan UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal II yaitu, bumi, air dan luar angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 3.
Pengendalian pemanfaatan tata ruang Dalam hal pengendalian pemanfaatan tata ruang, ajaran hukum Islam dan
hukum konvensional terdapat perbedaan, yakni perbedaannya adalah : Islam menyerukan kepada manusia untuk melakukan pemeliharaan dan pelestarian alam. Allah menyerukan kepada manusia untuk memanfaatkan alam bagi kepentingan umat dan memakmurkanya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat Hud ayat 61 yang berbunyi :
☺ ☯ ⌧ ☺
(٦١ )هﻮد Artinya: “ Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena
99
itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."( QS : Hud, 61) Dalam konteks nikmat dari Allah atas segala sesuatu yang diberikan kepada mausia, maka menjaga dan memelihara kelestarian alam adalah merupakan upaya untuk menysukuri limpahan nikmat dan karunia Allah tersebut. Mencermati tentang tumbuhnya kesadaran manusia untuk memelihara, mengelola dan memakmurkan bumi ini dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga hal yaitu : pertama, alintifa ‘ (mengambil manfaat dan mendaya gunakan dengan sebaik-baiknya). Kedua, al-I’tibar (mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri seraya menggali rahasiarahasia di balik alam ciptaan Allah). Ketiga, al-islah (memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan kehendaki pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia serta tetap terjaganya hubungan yang harmonis kehidupan alam ciptaan Allah SWT). Sedangkan hukum konvensional hanya mementingkan memelihara dan menjaga kelestarian alam tanpa ada unsur keTuhanan sedikit pun, serta adanya birokrasi yang cukup panjang yang telah diceritakan pada bab-bab sebelumnya. Serta adanya Tahapan proses pengawasan meliputi pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dengan bertawakal kepada Allah SWT penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut. 1. Berdasarkan Permendagri No 8/1998 Tujuan penyelenggaraan penataan ruang di daerah yaitu; Terlaksananya perencanaan tata ruang secara terpadu dan menyeluruh, Terwujudnya tertib pemanfaatan tata ruang Terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang, Berdasarkan Permendagri No.8/1998 Pasal 6 perencanaan tata ruang itu berisi; Pekerjaan peyusunan rencana tata ruang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Kepala daerah, Peyusunan rencana tata ruang dapat dilakukan dengan cara; Bekerjasama dengan perguruan tinggi dan atau konsultan perencanaan yang berbentuk badan hukum dan swakelola. Dan Penyelenggaraan Penataan Ruang menurut hukum Islam Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum hukum Islam. Agama Islam memberikan tuntunan dan petunjuk yang jelas dengan tata cara hidup tanpa merusak ekosistem, tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal (lingkungan hidup dan kehidupan) ayat-ayat tersebut tentunya dijadikan sebagai rujukan dasar atau sebagai prinsip karena merupakan petunjuk-petunjuk dasar atau prinsip-prinsip yang pertama dan utama dalam
100
101
berbagai hal termasuk mengenai pembangunan dan lingkungan hidup sebagai suatu ekosistem. 2. Terdapat
persamaan
antara
penyelenggaran
penataan
ruang
menurut
Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang menurut hukum islam, yakni; untuk mengatur, memelihara dan menjaga penyelenggaraan penataan ruangyang efektif dengan tanpa melanggar hak-hak seorangpun.Terdapat perbedaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang menurut hukum islam, yakni; perencanaan penataan ruang hukum islam tidak melalui birokrasi yang terlalu rumit, seperti yang dilakukan oleh hukum konvensional bahkan dalam Permendagri No 8 Tahun 1998 tidak terdapat satu pasal pun yang menyinggung tentang tempat untuk sarana ibadah, hukum Islam hanya mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada saat baru tiba Di Madinah yaitu langsung membuat sarana tempat ibadah yaitu masjid. B.
Saran 1. Mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang dengan memprioritaskan daerah-daerah yang tertinggal. 2. Menghimbau kepada pemerintah untuk membuat peraturan tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang tidak hanya mengatur tentang pembangunan lingkungan tetapi juga memperhatikan sarana tempat ibadah
102
karena negara kita adalah negara ketuhanan yang maha esa, sesuai dengan sila pertama. 3. Mengharapkan kepada segenap masyarakat serta tokoh masyarkat untuk ikut berperan serta dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang, agar tidak terjadi lagi kesimpangan dalam penataan ruang. 4. Mengharapkan kepada para akademisi untuk bersifat aktif pada setiap kebijakan baru tentang penataan ruang, yang di buat oleh pemerintah agar dapat meminimalisir kesalahan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.
103
Daftar Pustaka Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M,A Bergaul Bersama Alam Di Bawah Naungan Syari’at, Depok : Intisab, 2007. Dr. Daud Effendy AM, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Yogyakarta: Alumni, 2007. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam; Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik & Berbasis Sosial, Jakarta: Khalifa, 2008. Facruddin MM, Ahmad Sudirman Abbas, khazanah Alam Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009. Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007. Ir. H. Gunawan, MA, “Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah”, Jakarta : Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2008 Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Handiman Rico, ”Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang” Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang, Bogor : Divisi Riset JKPP, Dr. Ir. H. Hermanto Dardak, M.Sc. “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005. Drs. H. Inu Kencana Syafi’ie, “ Ilmu Pemerintahan Dan Al-Quran”, Jakarta ; PT Bumi Aksara, 2004. Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang”, Jakarta : Buletin Tata Ruang, 2007
104
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Majelis Ulama Indonesia “Air, Kebersihan Dan Kesehatan Lingkunan Menurut Ajaran Islam”, Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, 1992. Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001. Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, Jakarta:PT Lentera Basritama, 2002. M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah; Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem, Malang: Bayumedia Publishing, 2007. M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-2. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. Dr. Rahan Zainudin, pokok-pokok pemiiran islam dan masalah kekuasaan politik dalam Bertram Ravendan JRP Dr. Ir Setia Hadi, MS. “Penataan Ruang Untuk Pemantapankawasan Hutan”, Bogor : Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan, 2006. Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nistapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, Bandung :Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983 Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang” Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009 Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”, Jakarta : Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006 Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006
105
Widjojo Nitisastro, “Senantiasa Memiliki Rakyat Kecil “, dalam : Revolusi Berhenti Hari Minggu, Jakarta : PT. Kompas media nusantara, 2000. Quraish, Shihab, membunikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1997. Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993. Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terj : Abdullah Hakam Shah, Dkk, Jakarta : Pustaka Al-kauthsar, 2002 Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No 26/2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 Tentang Peran Masyarakat Dalam Rencana Tata Ruang. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1998 Tentang penyelenggaraan penataan ruang Di Daerah. Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah. Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.