HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF Sebuah Analisa Terhadap penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia Oleh Muhammad Tahmid Nur, M.Ag.
Editor: 1. Adilah Junaid 2.
KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya, rahmat, taufiq, dan hidayat-Nya, sehingga buku berjudul “Hukum Pidana Islam dalam Perspektif Hukum Pidana positif, Sebuah Analisa Terhadap Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia” ini dapat diselesaikan dan diterbitkan sesuai dengan rencana. Salawat dan taslim senantiasa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai nabi pembawa risalah terakhir, pelengkap dan penyempurna ajaran agama sebelumnya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Tulisan ini berkenaan dengan hukum pidana Islam sebagai salah satu bagian tidak terpisahkan dari hukum Islam yang disyariatkan oleh Tuhan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dalam pengertian luas, mewujudkan keadilan, ketentraman, kedamaian, dan keamanan bagi manusia dalam kehidupannya sebagai individu, maupun kolektif. Pemikiran tentang hukum pidana Islam merupakan teori pengejawantahan syariat Islam dan fiqhi jinayat yang sifatnya klasik menuju hukum pidana yang sifatnya modern dan positif, karena pada dasarnya hukum pidana Islam pernah dan dapat kembali menjadi hukum positif yang diberlakukan secara resmi dalam undang-ndang negara, sebagaimana di Indonesia. Dengan meneliti berbagai kelebihan yang dimiliki dan dengan menggunakan analisa perbandingan dengan hukum pidana positif yang ada, serta menelusuri sejarah dan proses positifisasi sebuah undang-undang pidana, maka hukum pidana Islam sangat presfektif menjadi hukum positif, bahkan hukum pidana Islam positif kelak dapat menghilangkan segala bentuk kelemahan aturan hukum pidana positif saat ini.
Dalam proses penerbitan buku ini, penulis juga sedang menggarap penelitian yang lebih mendalam untuk menjawab secara komprehensif permasalah baru yang mungkin muncul ketika membaca buku ini yaitu “mengapa harus memilih hukum pidana Islam sebagai satu-satunya pilihan tepat dalam memperbarui hukum pidana positif?”. Pembaca akan mendapatkan jawabannya dalam tulisan penulis berikutnya tentang “Konsep Maslahat dalam Hukum Pidana Islam, Kontribusi Terhadap Pembaruan Hukum Positif”. Penulis dalam hal ini mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah dan Prof. Dr. Syahruddin Nawi, SH., MH. yang telah memberi banyak masukan positif dalam proses penelitian dan penulisan buku ini. Juga kepada pihak STAIN Palopo yang banyak membantu dalam penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, istri dan ketiga putera penulis yang dengan tulus memberi dukungan moril dan materil, serta kepada semua pihak yang terkait. Akhir kata, penulis membuka seluas-luasnya untuk kritik dan saran semua pembaca demi kesempurnaan buku ini. Atas segala masukan yang sifatnya konstruktif tersebut, penulis ucapkan banyak terima kasih. Palopo, 27 Desember 2011 Penulis,
DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN BAB II. KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA ISLAM A. Asas-asas Hukum Pidana Islam B. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam C. Sejarah Penerapan Hukum Pidana Islam BAB. III. KAPITA SELEKA HUKUM PIDANA POSITIF A. Asas-Asas Hukum Pidana Positif B. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Positif C. Sejarah Penerapan Hukum Pidana Positif BAB IV. ANALISA PERBANDINGAN DAN PROSPEK PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Persamaan Hukum Pidana Islam dengan Hukum Pidana Positif B. Perbedaan Hukum Pidana Islam dengan Hukum Pidana Positif C. Beberapa keunggulan dalam Hukum Pidana Islam D. Prospek Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia E. Hukum Pidana Islam menjadi Hukum Pidana Positif BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan B. Penutup DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Hukum dapat dipahami oleh setiap orang, tetapi pemahaman orang tentang hukum itu pada umumnya masih kurang. Ada di antaranya memahami hukum itu adalah polisi (petugs) yang harus ditakuti, ada juga yang memahami bahwa hal-hal yang dilarang dan tidak boleh itu adalah hukum1, sehingga di antara mereka selalu takut kepada hukum dan setiap melanggar saja, baru mereka sadar akan bertemu dengan hukum. Seolah-olah hukum lebih identik dengan pelanggaran Tetapi apabila pengertian hukum tersebut digabungkan dengan nilai-nilai keadilan atau dengan cita-cita mulia dari hukum yang lain, seperti rasa tentram, aman, teratur, dan lainnya, maka orang tidak akan mempersamakan hukum dengan sejumlah larangan dan hal-hal yang menakutkan lagi, tetapi sebagai bagian dari cita-cita hidup bersama. Dalam sebuah masyarakat atau negara, hak-hak (dan kewajiban) setiap individu terjamin.2 Demikianlah sejak manusia mengenal peradaban dan hidup manusia sebagai makhluk social, mereka senantiasa membutuhkan “hukum” untuk mengatur hidup mereka, walaupun pada awalnya mungkin sangat sederhana dan tidak tertulis, tetapi ia disepakati dan dihormati oleh setiap anggota masyarakatnya Indonesia sebagai sebuah bangsa dari sekian banyak bangsa di muka bumi ini yang menganut asas negara hukum sesuai dengan konstitusinya.3 Hanya saja setelah dijajah berabad-abad
1
Lihat Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Renungan tentang Filsafat Hukum (cet. 5; Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 11-14. 2
Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum (cet. 1; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), h. 11. 3
Setidaknya ada beberapa indikasi bahwa bangsa Indonesia menganut asas sebagai negara hukum, di antanya tercermin dalam: a. Pembukaan UUD 1945 terdapat kata “peri keadilan”,
lamanya (fisik maupun intelektual) oleh bangsa-bangsa Eropa, sehingga Indonesia dengan keadaannya mulai mengadakan pembentukan hukum dengan mewarisi hukum-hukum dari Eropa (Barat) terutama dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan terjemahan dari kitab Wetboek van Strafrecht (WvS) yang sumber awalnya dari Code Penal prancis (1801) lewat penjajahan Napoleon.4 Namun jauh sebelum penjajah dating, sejarah Indonesia banyak diwarnai oleh ajaran Islam sejak berabad-abad lamanya, ini terbukti dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim sejak dahulu dan di antara adat istiadat mereka banyak yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Sedang aturan dalam Islam berawal ketika al-Qur’an turun secara bertahap pada abad VII Masehi (dari sekitar tahun 611 M. sampai tahun 623 M.) jauh sebelum orang mengenal konstitusi modern. Akan tetapi aturan-aturan hukum Islam tersebut baru efektif diterapakan pasca hijrah ke Madinah (sekitar tahun 623 M), dan atura-aturan/hukum tersebut secara bertahap disempurnakan,5
b. Pada alinea keempat pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa”………maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia” c. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan, bahwa “semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah, dan wajib menjunjung tinggi hukum dengan dengan tidak ada pengecualian” d. Penjelasan UUD 1945 yang ditulis dengan huruf besar disebutkan; “NEGARA INDONESIA BERDASARKAN ATAS HUKUM (Resentstaat) DAN BUKAN BERDASARKAN ATAS KEKUASAAN………….” Lengkapnya lihat Moh. Kusnardi dan Harmali Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia ( cet. v; Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1983), h. 163-164. 4
Code Penal Prancis tersebut dianggap sebagai pencetus lahirnya konstitusi modern dalam undang-undang tertulis yang umumnya dianut oleh negara-negara modern saat ini, lengkapnya lihat Andi Hamzah, Asa-asas Hukum Pidana (cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 41 5
Lihat Abu A’la al-Maudhudi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (terjemahan) (cet. IV; Bandung: Mizan, 1995), h. 115.
termasuk di dalamnya aturan-aturan pidana yang baru rampung diundangkan pada tahun kedelapan Hijriyah. Ayat ketiga surah al-Maidah (
)ورضيت لكم اإلسالم دينا
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي
setidaknya memberi isyarat bahwa secara
umum Allah telah menjelaskan semua aturan-aturan penting dan prinsip-prinsip universal bagi manusia di dalam al-Qur’an dan hal itu berarti pula aturan-aturan pidana di dalamnya. Bahkan seorang hakim harus senantiasa berpegang teguh pada aturan-aturan tersebut, dan di anggap suatu “kejahatan” (penyelewengan amanah) ketika sang hakim berpaling dari ketentuan-ketentua Allah tersebut.6 Hukum pidana dalam Islam dianggap sebagai tulang punggung terwujudnya ketertiban public (umum) dan tegaknya hak-hak asasi manusia. Hukum pidana Islam bertujuan menjaga tercapainya maqashid al-syar’iyah.7 Meskipun terdapat persamaan prinsip yang terkandung dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, tetapi di antara pakar Islam, misalnya Abdul Qadir Audah dengan tegas menolak apabila hukum pidana Islam dipersamakan dengan undang-undang murni buatan manusia tersebut.8 Menurut keyakinan seorang muslim, bahwa tingkat kebenaran hukum Islam jauh lebih tinggi dan lebih menjamin rasa keadilan. Aspek-aspek moral sering terabaikan oleh hukum pidana positif, hal ini terbukti dengan suasana kehidupan di negaranegara modern yang kurang memperhatian nilai-nilai moral dan menganggap nilai-nilai moral tersebut berada di luar hukum (sekulerisme), sehingga pelanggaran-pelanggaran terhadap moral 6
Q.S. al-Maidah (5): 46-50, lihat Abdurrahman I Doi, Inilah Syari’ah Islam (cet. I; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), hal. 317. 7
Lihat Dede Rosdaya, Hukum Isalam dan Pranata Sosisal (cet. IV; Jakarta; Rajawali Press, 1996), hal. 86. 8
Lihat Abdu al-Qadir Auda, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamy, Muqaran bi alQanun al-Wadh’iy (cet. V; Bairut; Dar al-Turats, 1968), h. 14 dan dijelaskan pula pada halaman 70.
(agama) tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum, kecuali apabila ada orang yang merasa dirugikan secara langsung dan meresahkan masyarakat. Itupun dituntut bukan karena pelanggaran moralnya, tetapi karena dianggap “pemerkosaan” (perampasan hak) atau dianggap mengganggu ketertiban umum. Dari segi materi hukumnya, hukum pidana Islam begitu maksimal, pas dengan dosis hukuman yang seharusnya dan sesuai dengan tujuan dikenakannya hukuman. Berbeda dengan aturanaturan pidana positif yang di antaranya sangat minimal, menyebabkan kemungkinan akan terulang kembali dan menjadi upaya prepentif terhadap munculnya tindak pidana baru yang selalu berkembang seiring perkembangan zaman.9 sedang teori-teori hukum pidana positif modern, pada umumnya berasal dari teori-teori filsafat hukum. Mulai dari aliran hukum alam yang umumnya bersifat metafisik idealis sebagaimana halnya Plato dari zaman Yunani kuno, kemudian muncul aliran kontrak social pada abad pertengahan, sehingga akhirnya lahir pada era modern aliran positivism yang dikemukakan oleh John Austin (1790 – 1859) dan kawan-kawan yang lebih bersifat empiris realistis. Positivisme kemudian banyak mempengaruhi pemikiranpemikiran hukum di era modern, misalnya negara Prancis dengan kitab perundang-undangannya dari Napoleon sejak permulaan abad XIX M. yang telah memulai mengkodifikasi undang-undang negaranya, kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Italia, Jerman, juga negara-negara bekas jajahan Prancis lainnya.10 John Chipmann Gray (salah seorang positivis hukum) sangat setuju dengan gagasan dan pernyataan Austin (salah seorang pencetus positivism), bahwa hukum suatu negara atau suatu 9
Lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 14. 10
Lihat W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan oleh Muh. Arifin dalam Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, susunan I (ed. I, cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 152.
organisasi bukanlah sesuatu yang ideal tetapi sesuatu yang nyata, hukum bukan pula agama, alam, atau moralitas, bukan suatu yang seharusnya ada tetapi ia adalah sesuatu yang ada (diadakan).11 Hukum atau aturan-aturan senantiasa mengalami perubahan seirama dengan perkembangan pemikiran manusia, apalagi bila dilihat dari sisi, bahwa hukum berhubungan erat dengan disiplin ilmu yang lain.12 Hukum pernah mengalami masa kegelapan, ketika hukum berada pada ujung lidah penguasa, bahkan masih berlangsung sampai abad pertengahan. Saat itu hukum belum terkodifikasi secara mapan, sehingga aturan-aturan khususnya dalam bidang hukum pidana menjadi sangat rawan digunakan oleh penguasa untuk menghukum secara sewenang-wenang sesuai dengan kebutuhan dan kehendaknya. Klimaksnya, bermunculan negaranegara dengan kekuasaan mutlak (absolutism), akhirnya masa itu dikenal dengan zaman ancient regim.13 Pada akhirnya muncul para pemikir hukum mencetuskan perlunya hukum pidana dikodifikasi secara lengkap dalam suatu kitab undang-undang atau aturan-aturan tertulis. Lewat penjajahan Napoleon pada tahun 1801, Code Penal Prancis banyak ditransfer oleh bangsa Belanda ke dalam WvS Nederland (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda), yang akhirnya diberlakukan di seluruh Hindia Belanda ( termasuk Indonesia) pada tahun 1881, namun baru dapat disosialisasikan di Indonesia secara univikasi pada tanggal 1 Januari 1918.14 11
Lihat Ibid, hal. 157, dalam Legal Theory (ed. V; London, 1967), hal. 257.
12
Purnadi Purbacaraka, Prihal Kaedah Hukum (cet. II; Bandung; Alumni, 1982), hal. 10-11, sehingga tidak heran apabila lahir berbagai ilmu yang berhubungan erat dengan perkemabangan ilmu hukum di antaranya; Sosiologi Hukum, Fsikologi Hukum, Ilmu Perbandingan Hukum, Antropologi Hukum, Ilmu Phorensik, Medis, dan sebagainya. 13
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (cet. IV; Jakarta; Bima Aksara, 1987), hal. 24. 14
Lihat J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia diindonesiakan) (cet. I; Jakarta; Bina Aksara, 1987), hal. 3
Belanda
(telah
Pada tanggal 26 Pebruari 1946 (setelah kemerdekaan), undang-undang yang berasal dari kitab Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch tersebut disesuaikan isinya dengan keadaan dan suasana bangsa Indonesia yang telah merdeka dan disahkan pemberlakuannya menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) oleh UU no. 73 tahun 1958 sebagai pengganti aturan-aturan pidana Belanda sebelumnya.15 Dengan demikian, hukum pidana di Indonesia khususnya pada awal-awal pemberlakuannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan undang-undang dari Eropa (Barat) dan pengaruh tersebut masih sangat terasa sampai sekarang dalam perundangundangan Indonesia, meskipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh putra putrid Indonesia untuk meminimalkan pengaruhpengaruh tersebut dalam undang-undang. Rasa optimis selalu membayangi pemberlakuan hukum Islam (khususnya dalam hal kepidanaan) di negara-negara Islam (penduduk mayoritas atau dominan muslim) walaupun hingga saat ini masih sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum Barat, dan perubahan untuk kembali kepada aturan-aturan Islam agak lambat dan berangsur-angsur seperti di Indonesia. Di Indonesia misalnya, keinginan masyarakat untuk memberlakukan hukuman mati atas beberapa kejahatan akhirakhir ini, bisa menjadi sebuah sinyal bahwa bangsa Indonesia tidak lagi memandang hukuman mati sebagai hukuman yang sadis dan melanggar HAM. Sedang asumsi bahwa hukuman mati adalah hukuman yang kejam menjadi salah satu kendala pokok mengapa hukum qishas dan had dalam Islam tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Sebagai contoh eksekusi hukuman rajam yang dilakukan oleh Laskar Jihad pada tanggal 27 Maret 2001 lalu terhadap salah seorang anggotanya yang telah melakukan zina di
15
ihat Juhaya S. Praja, Ahmad Syihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia (cet. I; Bandung; Aksara, 1982), hal.37
desa Ahuru, Ambon.16 Dan pemberlakuan otonomi khusus untuk propinsi Aceh dalam menerapkan hukum Islam di daerahnya. Setidaknya, hal ini bisa menjadi “angin segar” bagi terwujudnya hukum pidana Islam di Indonesia. Menurut Ahmad Sukarja, bahwa status Indonesia yang nota benenya bukan negara Islam tidak bisa menjadi halangan bagi pemerintah untuk tidak melegalkan hukum Allah tersebut.17 Apalagi peristiwa tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak. Beberapa tindak pidana seperti pengedaran narkoba dan pemerkosaan juga telah diajukan oleh masyarakat Indonesia untuk dihukum mati atau dihukum seberat-beratnya, padahal sebelumnya hal itu dianggap sebagai hukuman sadis dan melanggar Hak-hak Asasi Manusia.18 Banyak persamaan-persamaan yang dapat dilihat secara obyektif dari perbandingan kedua hukum tersebut, baik pada asasasas yang dianut oleh keduanya, juga materi-materi hukum yang dikandungnya, menyebabkan hukum pidana Islam mampu diserap ke dalam aturan-aturan positif. Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya beberapa perbedaan yang mendasar, baik dalam hal prinsip maupun dalam hal pemberlakuan hukum. Persamaan-persamaan serta keunggulan hukum pidana Islam tersebut atas hukum pidana positif (modern/Barat), 16
“Menghukum Pezina, Menghalau Bencana”, Sabili No. 24, tahun 2001,
hal. 26. 17 18
Lihat Ibid hal. 27.
Peristiwa tentang penjatuhan hukuman mati yang dilakukan oleh hakim di Indonesia menjadi marak akhir-akhir ini, antara lain pada bulan Agustus tahun 2000 M lalu, hakim pengadilan di Propinsi Sumatera Selatan telah memvonis hukuman mati atas tiga orang pengedar obat-obatan terlarang (narkoba). Juga beberapa tahun lalu, Menteri Peranan Wanita telah mengusulkan kepada dewan untuk memberlakukan hukuman mati atas pelaku pemerkosaan dan identitasnya dipublikasikan lewat media-media massa apabila orang tersebut buron. Hal ini kemudian mendapat sambutan baik dan terus diperjuangkan oleh beberapa organisasi wanita di Indonesia, undang-undang tentang perzinaan dalam KUHP rencananya juga akan diamandemen (diperbaharui), dan sebagainya.
menyebabkan hukum pidana Islam lebih tepat diberlakukan untuk suasana masyarakat Indonesia dan dapat diformat menjadi hukum pidana Islam positif, dengan menyusun dan mengkodifikasinya ke dalam suatu kitab undang-undang. Sebagai perbandingan, kalau bangsa Indonesia dapat menyusun suatu aturan yang belum ada dan aturan-aturan perdata yang islami dengan melewati tahapantahapan sosialisasi (kontroversi), mengapa aturan-aturan pidana Islam yang kemaslahatannya lebih umum dan telah jelas bahannya (nash dan ijtihad) tidak dapat dirumuskan dalam suatu aturan tertulis?, tinggal melengkapinya dengan perangkat-perangkat hukum serta sarana dan prasana yang diperlukan untuk mewujudkannya menjadi aturan-aturan pidana Islam positif. Apalagi suasana Indonesia saat ini, dirasakan perlu untuk segera memperbaharui aturan-aturan pidana yang ada. Pada tahun 1982, telah dibentuk tim penyusun rancanga KUHP Indonesia yang baru, telah rampung dan telah disampaikan kepada menteri kehakiman Ismail Saleh pada tanggal 17 Maret 1993 ketika itu dan rencananya akan disampaikan ke DPR secepatnya. Tetapi hingga 1997 (dari data yang ada), rancangan KUHP tersebut belum juga diajukan ke DPR dengan alasan kondisi yang tidak memungkinkan saat itu, padahal menurut pakar hukum Prof. DR. Mardjono Reksodiputra, MA, bahwa DPR paling cepat mengodok rancangan undang-undang tersebut selama dua tahun setelah diajukannya.19 Hanya disayangkan, karena dalam penyusunan tersebut tidak melibatkan para pakar hukum Islam, sehingga masih ada beberapa aturan yang dirasa masih kurang dalam rancangan KUHP baru tersebut, misalnya masih enggannya memberlakukan hukuman mati sebagai hukuman pidana maksimal.20 19
Beberapa aturan dalam rancanga KUHP tersebut adalah baru (modernisasi), misalnya, aturan tentang genosida, teroris, pencurian pulsa telepon, kejahatan computer, pencemaran limbah pabrik, pembajakan pesawat udara, delik penyelenggaraan peradilan (contempt of court), dan lainnya. Lengkapnya lihat Mardjono Reksodiputra “Tahun Hukum Pidana Baru”, Detektif & Romantika, Jakarta 18 Januari 1997, h. 26. 20
Ibid
Adi Andojo Soetjipto (seorang hakim senior dan pernah menjabat Ketua Muda Bidang Pidan Umum di Mahkamah Agung) juga berpendapat, bahwa tidak optimalnya hukum pidana di Indonesia antara lain karena hukum pidana Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh peralihan tatanan hukum kolonial, sehingga masyarakat Indonesia masih seolah-olah sebagai pribumi yang terjajah di negerinya sendiri. Di antara tanda dari pengaruh tersebut, para aparat hukum belum bisa “mawas diri”, masyarakat belum mampu menjadi “control” supremasi hukum, dan masih bercampuraduknya urusan hukum dengan urusan-urusan yang lain, misalnya dengan urusan politik, yang pada akhirnya, hukum selalu memihak kepada yang kuat.21 Keadaan tersebut sangat dipengaruhi oleh berlakunya sekitar 40022 aturan hukum asing di Indonesia dan bisa pula berarti, bahwa masih banyak aturan perundang-undangan di Indonesia yang belum murni hasil karya “anak-anak bangsa” Indonesia sendiri. Pendapat pakar tersebut menuntut perlunya diadakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Dalam sejarah hukum di Indonesia, telah dicoba berbagai konsep hukum (dari konsep hukum komunis hingga konsep kaum liberalis), tetapi pada kenyataannya belum mampu “tampil” sebagai hukum yang didambakan oleh masyarakat Indonesia. Sehingga konsep hukum Islam dinantikan untuk mengisi setiap lapangan kehidupan, khususnya dalam bidang hukum public. Hal tersebut didasari, bahwa rakyat Indonesia mayoritas muslim dan ajaran Islam telah banyak mengadat istiadat bangsa Indonesia. Ali Yafie (ketua MUI) juga berpendapat, bahwa dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh hukum Islam secara umum dank arena perundang-undangan Islam begitu kaya dengan teori dan
21 22
Lihat Adi Andojo Soetjipto, “Hukum Memihak yang Kuat”, ibid, h. 24-25.
Menurut data yang diperoleh dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.
teknik hukum yang menarik, tentu lebih menjamin kehidupan bangsa di era modern.23 Dengan mempertimbangkan pokok-pokok pikiran tersebut,adalah menarik apabila diteliti, sehingga membawa kepada pembahasan hukum pidana Islam, apalagi bila ditinjau dari sudut pemikiran dan matei hukum pidana, dan sebagai sebuah langkah perbandingan yang akan mengajak kepada pemahaman yang lebih baik tentang eksistensi hukum pidana Islam dan positif yang sesungguhnya. Dengan memperhatikan tema yang diangkat, maka sumber data yang diperlukan berkenaan dengan buku-buku atau literature yang memuat masalah-masalah hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif. Mengenai hukum pidana Islam, secara umum telah banyak disusun oleh para fuqaha, di antaranya empat mazhab yang terkenal di kalangan sunni. Mereka menyusunnya dalam kitabkitab fiqh mereka. Hanya saja pembahasan pembahasan mereka masih tergolong klasik dan lebih berfokus pada materi hukum (kurang dalam hal hukum acaranya). Kemudian lahir tokoh-tokoh setelahnya menyususn kitab hukum pidana Islam dengan lebih merinci hal-hal yang berkenaan dengan hukum pidana Islam dan hukum acara pidana Islam yang telah disesuaikan dengan zaman mereka. Kita sebut di antaranya; Abdu al-Qadir Auda menyusun kitab al-Tasyri’ al-Islami Muqaranah bi al-Qnun al-Wadh’iy dalam dua jilid,24 bahkan dalam kitab ini, beliau memperbandingkannya dengan hukum pidana positif.
23
Lihat Ali Yafie dalam “Implementasi Hukum Islam dalam Kehidupan”, Mimbar Hukum (no. 15; Jakarta: Ditbinpera Islam dan al-Hikmah, 1994), h. 8. 24
Jilid pertama kitab al-Tasyri’ al-Islami tersebut berisi penjelasan tentang materi hukum pidana Islam dan jilid kedua berisi penjelasan tentang hukum formil (hukum acara) dan hal-hal yang berkenaan dengan hukum materi (penjelasan umumnya)
Abu Zahra juga menulis kitab al-Jaraim wa al-Uqubah fi alFiqh al-Islam, yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan (aktif dan pasif) yang termasuk kategori pidana (kejahatan maupun pelanggaran) serta jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan atas tindak pidana yang ada, dan beberapa kitab fiqh yang lain. Sedang tentang hukum pidana positif, telah banyak disusun dalam buku maupun literature yang lain, baik dalam karya-karya berbahasa asing (Belanda, Inggris) maupun oleh para pakar hukum di Indonesia. Para pakar hukum Indonesia juga banyak menulis tentang hukum pidana, antara lain: Andi Hamzah, Moeljatno, Soerjono Soekanto, Budiarti, dan masih banyak lagi. Mereka banyak menulis tentang hukum pidana positif. Dan di antaranya juga menulis tentang hukum (pidana) Islam, seperti: Abdurrahman I Doi, Dede Rosdaya, H. Moh. Daud Ali, Ahmad Hanafi, dan lainnya. Para penulis tersebut pada umumnya membahas hukum pidana, ada yang garis-garis besarnya saja, secara umum, dan tersendiri, sehingga ada keinginan untuk “mempersandingkan” kedua bahasan tentang hukum pidana tersebut dan itulah salah satu isi pokok dari penelitian dan pembahasan ini. Dengan meneliti kedua macam pembahasan para pakar tersebut, lalu dipadukan dengan fakta yang akhir-akhir ini terjadi, membuat kita dapat memahami dan menganalisa permasalahan ini.
BAB II KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tinjauan Umum Kepidanaan dalam Islam Hukum pidana di dalam syariat Islam merupakan hal prinsip, sebab telah diatur dengan tegas dan jelas di dalam alQuran dan as-Sunnah di samping aturan-aturan hukum lainnya. Allah Swt. dan rasul-Nya dengan jelas menegaskan aturan-aturan tentang had zina, pencurian, perampokan, qadzf (tuduhan zina) dan lainnya, juga tentang hukuman qishas dan beberapa ketentuan umum tentang ta’zir. Hal tersebut dapat pula berarti betapa urgensnya hukum pidana tersebut dalam hukum Islam dan dapay dipastikan bahwa dengan tidak menjalankan ketentuan-ketentuan Allah tersebut, maka tujuan dari penerapan hukum tidak akan efektif. Apalagi bila ditinjau, bahw Allah memerintahkan pelaksanaan aturan-aturan tersebut tanpa suatu tendensi kepentingan-Nya atas manusia, selain agar manusia dapat menikmati hasil dari beberapa hukum itu.25 Adanya anggapan bahwa asas-asas yang ada di dalam hukum pidana modern saat ini bersumber dari hukum pidana positif seharusnya diteliti kembali dan tidak ditelan begitu saja oleh para 25
Lihat Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas (Bandung: Asy Syaamil Press, 2000), h. 134135.
ahli hukum, sebab jauh sebelum hukum pidana positif lahir, telah ada aturan-aturan pidana yang bersumber dari wahyu, yaitu aturan-aturan pidana yang bersumber dari Tuhan kepada Nabi Muhammad saw..26 Bukan suatu hal yang mustahil apabila asasasas hukum pidana positif (Barat) digali dari hukum Islam yang lahir jauh sebelum orang mengenal hukum pidana positif yang dikenal di banyak negara modern saat ini. Hal ini juga menepis anggapan bahwa hukum Islam tidak mengenal aturan-aturan pidana dan sudah tidak relevan lagi dengan jaman modern. Gagasan dan upaya untuk menegakkan syariat Islam marak terjadi di berbagai tempat termasuk di Indonesia, dan gerakan tersebut bertujuan untuk mengembalikan masyarakat kepada pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh, termasuk aturanaturan pidana di dalamnya. Hal ini juga menegaskan bahwa sebagian
masyarakat
Islam
masih
menyadari
pentingnya
penegakan hukum Islam di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asumsi yang biasa muncul di dalam masyarakat Islam lainnya, misalnya dalam bentuk pertanyaan bernada pesimis: “apakah hukum pidana Islam mampu tampil seperti hukum-hukum modern saat ini?, masih pantaskah hukum-hukum “primitif” diberlakukan di masa modern saat ini yang begitu menghargai “HAM?, bisakan hukum pidana Islam tampil di tengah-tengah
26
Lihat Ibid., h. 111.
masyarakat majemuk dengan pemeluk agama selain Islam? Dan masih banyak asumsi masyarakat meragukan penerapan hukum pidana Islam, dan uniknya ada pada benak orang Islam sendiri. Sikap
seperti
itu
tidak
sepenuhnya
merupakan
sikap
antagonis dan ragu terhadap ajaran Islam, tetapi bisa karena ketidakpahaman mereka terhadap hukum agama sendiri. Keraguan tersebut diperparah oleh pandangan umum bahwa hukum Islam yang dianut oleh bangsa Indonesia sama sekali bertentangan dan lebih rendah dari hukum modern yang diberlakukan oleh bangsa Belanda dan bangsa-bangsa maju lainnya, dengan barometer pada kemajuan IPTEK yang dicapai oleh bangsa tersebut. Hal ini tidak terlepas jasa para orientalisme dengan berbagai metode yang menakjubkan umat Islam untuk tidak peduli aturan tekstual agamanya dan lebih cenderung dengan pemikiran dan aturan Barat yang dianggapnya lebih maju. Sehingga pada kenyataannya, semakin sedikit umat Islam yang memahami dan memfokuskan perhatiannya pada hukum pidana Islam, termasuk di Indonesia.27 Padahal, hukum pidana Islam sebagai bagian integral dari hukum Islam sangat menarik untuk dikaji sedalam-dalamnya sehingga memberi pengertian yang komprehensif terhadap apa yang dimaksudkan Tuhan membuat aturan pidana untuk umat manusia, menggerakkan rasa antusias bangsa Indonesia untuk
27
Lihat Ibid., h. 14.
mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam setiap aturan hukum Islam tersebut ke dalam konteks modernitas. syariat yang Allah turunkan kepada manusia di dalamnya terdapat aturan pidana Islam yang mengandung kemaslahatan bagi manusia. Aturan-aturan yang sifatnya qat’³ (defenitif) tersebut tidak mungkin bertentangan dengan kemaslahatan manusia,28 sebab semua aturan-aturan yang diturunkan oleh Allah pasti mengandung kemaslahatan hidup di dalamnya. Apalagi di dalam menurunkan aturan-aturan-Nya, Allah tidak mempunyai tendensi kepentingan
kepada
manusia
selain
agar
manusia
dapat
merasakan kemaslahatan hidup. B. Asas-asas Hukum Pidana Islam Asas-asas atau aturan pokok yang dikenal di dalam hukum pidana positif pada umumnya terdapat pula di dalam aturanaturan hukum Islam, antara lain: 1. Asas Legalitas (Principle of Legality), 2. Asas tidak berlaku surut (the Principal of non Retro-aktivity), 3. Asas Praduga tak Bersalah (the Presumption of Innocence), 4. Asas Tidah sahnya hukuman karena keraguan (doubt), 5. Asas Kesamaan didepan hukum,
28
Lihat Yusuf al-Qardawi, al-Siyasah al-syar³’ah diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar: 1999), h. 151.
6. Asas Larangan Memindahkan kesalahan kepada orang lain, dan sebagainya.29 Asas-asas tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan di antaranya merupakan sebuah konsekuensi dari asas yang lain. Asas-asas tersebut dianut oleh hukum pidana Islam materiil (materi hukumnya) dan formil (hukum acaranya) seperti yang terdapat di dalam hukum pidana positif secara berkurang dan berlebih. Kebanyakan para ahli hukum, termasuk di antara pakar hukum
Islam
berpendapat
bahwa
asas-asas
tersebut
hanya
didapati di dalam hukum pidana positif saja. Padahal dengan meneliti hukum pidana Islam lebih mendalam, maka akan didapati ketentuan-ketentuan tersebut di dalamnya. Asas-asas tersebut merupakan prinsip-prinsip dasar di dalam penerapan aturanaturan pidana seperti yang tertuang didalam al-Quran dan hadis Nabi saw yang shahih (mempunyai kekuatan yuridis). 1. Asas Legalitas Asas ini mengandung pengertian bahwa tidak satupun perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada satupun hukuman yang boleh dijatuhkan atas suatu perbuatan sebelum ada ketentuannya di dalam suatu aturan hukum.30
29
Lihat Moh. Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h.
30
Lihat Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.
62 39.
Asas legalitas memberi suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan batasan-batasan aktifitas yang jelas dan tepat. Kemudian
melindungi
hak-hak
asasi
manusia
tersebut
dari
penyalahgunaan kekuasaaan dan wewenang hakim dan orangorang yang berkuasa. Dengan aturan yang jelas dan tegas, maka setiap orang sudah mengetahui lebih dahulu setiap perbuatanperbuatan illegal dan hukumannya. Sehingga apabila seseorang berbuat pelanggaran, dianggap terjadi atas pilihannya sendiri. Asas legalitas dalam Islam bukan hanya berdasarkan pada akal manusia, tetapi bersumber dari ketentuan-ketentuan Allah di dalam al-Quran. Misalnya firman Allah di dalam Q.S. al-Isra’ (17): 15: “Dan tidaklah Kami akan menyiksa (suatu kaum) sebelum Kami mengutus (kepada mereka) seorang rasul”.31 Ayat ini senada dengan beberapa firman Allah lainnya di dalam alQur’an. Ketetapan Allah berupa hukuman hanya berlaku bagi kaum yang telah didatangi oleh rasul dan telah sampai kepada mereka peringatan (al-Quran), seperti dalam firman-Nya: … … “..... Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan orang yang sampai (al-Qur’an kepadanya)”….32 31
lihat Depertemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Syaamil Cipta Media, 2005), h. 283.
ketentuan dalam ayat “legalitas” tersebut membuktikan keadilan Tuhan untuk tidak berbuat semena-mena, meskipun kepada
makhluk
ciptaan-Nya
termasuk
manusia.
Walaupun
sekiranya Tuhan berkehendak, hal itu dapat saja terlaksana, tetapi tertahan oleh Maha Keadilan-Nya agar menjadi contoh bagi manusia untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Ayat-ayat tersebut juga menunjukkan bahwa di dalam syariat Islam telah dikenal penerapan asas legalitas di dalam pemberlakuan hukumnya, terutama di dalam menerapkan aturanaturan pidana yang berhubungan langsung dengan kemaslahatan hidup manusia secara keseluruhannya (public). Dan hal itu berarti, bahwa asas legalitas telah dikenal oleh syariat Islam sejak alQuran diturunkan (sekitar abad VII Masehi).33 Dapat dikatakan bahwa asas ini pada prakteknya telah diterapkan sejak Nabi Saw. Masih hidup. Pembahasan tentang asas legalitas kemudian berkembang pada masa perkembangan hukum Islam (fiqhi) yaitu pada saat bermunculan berbagai kasus dari mereka yang tersebar di muka bumi. Perkembangan bahasan asas tersebut dapat dilihat dari berbagai kaedah hukum pidana ketika itu, misalnya kaedah: “
”إال بنص
ال حد
(tidak ada hukuman had kecuali setelah adanya
(ketentuan) nas). Menurut Abu Zahrah, para fuqaha sepakat
32
QS. Al-An’am (6): 19, lihat Ibid., h. 130
33
Lihat Moh. Daud Ali, op. cit., h. 117.
(dalam ijma’), bahwa hukuman had harus dijatuhkan berdasarkan ketetapan-ketetapan yang telah ada di dalam al-Quran dan sunnah.34 Prinsip-prinsip legalitas tersebut diterapkan berdasarkan atas jenis-jenis jarimah (tindak pidana) yang diatur di dalam syariat Islam. Yang paling tegas penerapannya adalah di dalam pelaksanaan hukuman had, sebab jarimah had telah diatur dengan sanksi-sanksi yang tegas dan pada umunya merupakan hak Allah yang
absolut,
kecuali
sebahagian
kecil
jenisnya
yang
dipertentangkan oleh para fuqaha. Prinsip legalitas juga diterapkan secara tegas dalam bidang qi¡±¡ dan diyat, karena menyangkut keselamatan jiwa manusia secara keseluruhan, sehingga terdapat hak absolut Allah untuk diterapkan. Hanya saja di dlam kasus jarimah ini terdapat hak-hak manusia (misalnya ahli waris korban) di dalamnya, sehingga terdapat kewenangan orang-orang yang berhak di dalamnya untuk mengampuni pelaku.35 Sedang di dalam penerapan jarimah ta’zir menurut Nagaty Sanad (Professor hukum pidana dari Mesir), asas
34
Lihat Abu Zahra, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islamy (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.) h. 95. 35
Lihat Taymor Kamel, “The Principal of Legality and Its Aplication in Islamic Criminal Justice” dalam M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice Sistem (London-Newyork: Oceana Publications, 1982), h. 161.
legalitas berlaku lebih fleksibel di dalam penerapan hukuman ta’zir dibandingkan dua ketentuan jarimah sebelumnya.36 Pada dasarnya, ada dua macam kandungan asas lagalitas hukum pidana Islam, yaitu: pertama, dari segi ketentuan jenisjenis tindak pidana; di dalam jarimah ¥ud-d dan qi¡±¡-diyat, syariat telah menentukan dengan jelas jenis-jenis perbuatan apa saja yang harus dijatuhi hukuman. Sedang di dalam jarimah ta’zir, syariat hanya menyebutkan ketentuan-ketentuan umum sebagai suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman karena dianggap kejahatan. Kedua, dari segi ketentuan hukuman; di dalam jarimah ¥ud-d dan qi¡±¡-diyat, syariat telah menentukan secara rinci meskipun dengan persyaratan yang ketat pula, karena kelompok jarimah
ini
sangat
sensitif
terhadap
sendi-sendi
kehidupan
manusia. Sedang di dalam jarimah ta’zir, ketentuan hukumannya lebih bersifat alternatif (tergantung dari keyakinan hakim), dan syarat-syarat penjatuhan hukumannya lebih longgar (tidak seketat syarat ¥ud-d dan qi¡±¡), selama hakim berkeyakinan adanya pelanggaran
yang
harus
dijatuhi
hukum
demi
kepentingan
masyarakat umum, atau di dalam menangani kasus-kasus ¥ud-d dan qi¡±¡ yang kurang bukti-buktinya, kecuali ditentukan khusus oleh nas. 36
Lihat Nagaty Sanad, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic law; Shariah (Chicago: Office of International Criminal justice, 1991), h. 41
2. Asas Tidak Berlaku Surut (Non Retro-aktivity) Asas ini berarti bahwa suatu undang-undang atau aturan harus berlaku hanya atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan setelah
aturan-aturan
tersebut
diundangkan.
Asas
ini
pada
hakikatnya, merupakan konsekuensi logis dari asas legalitas yang bertujuan untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dari pihak pemegang otoritas.37 Asas ini juga diatur didalam al-Quran dan hadis. Di antaranya tercermin pada beberapa kasus di dalam al-Quran, seperti pada beberapa ayat berikut: … “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau......”.38 … “Diharamkan atas kamu.............., dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi di masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha penyayang”.39 dan ayat lainnya. Ayat-ayat tersebut menggambarkan kebiasaan orang-orang Arab sebelum Islam datang. Kebiasaan-kebiasaan tersebut di antaranya masih dipertahankan ketika para sahabat memeluk 37
Lihat Ibid., h. 4.
38
QS. An-Nisa (4): 22.Lihat Departemen Agama, op. cit., h. 81
39
QS. An-Nisa (4): 23, lihat Departemen Agama, Ibid.
agama Islam, termasuk di antaranya model perkawinan yang di singgung
pada
menghukum
ayat-ayat
para
tersebut. Tetapi
sahabat
karena
Allah tidak
akan
perbuatan-perbuatan
yang
mereka belum ketahui ketentuannya. Adat-adat jahiliyah juga tergambar di dalam ketentuan ayat yang lain, misalnya kebiasaan mereka meminum khamar, berjudi, berzina,
merampok,
menyembah
berhala,
mencuri, dan
praktek
sebagainya.
riba,
membunuh,
Kebiasaan-kebiasaan
tersebut ada yang sangat sulit untuk dihilangkan sehingga wahyu secara bijaksana melarangnya secara bertahap, dan ada kesiapan moril untuk meninggalkannya. Sedang
lainnya ada yang secara
tegas dan langsung dilarang oleh wahyu, melihat perbuatan tersebut membahayakan masyarakat. Secara
berangsur-angsur
aturan-aturan
pidana
dirampungkan pada masa nabi setelah melewati berbagai jenjang “penyadaran”, sehingga di dalam catatan sejarah, penerapan syariat Islam pada masa Nabi Saw. Membawa hasil maksimal:40 -
Hukum waris baru rampung diundangkan pada tahun ketiga Hijriyah.
-
Aturan-aturan tentang perkawinan baru tuntas pada tahun ketujuh Hijriyah.
-
Pelarangan minum minuman keras, judi dan lainnya baru tuntas pada tahun kedelapan hijriyah. 40
Lihat Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 115
-
Aturan ¥ud-d dan qishas baru tuntas pada tahun kedelapan hijriyah.
Dapat dibayangkan sebelum aturan itu, di antara sahabat masih ada minum minuman keras sambil mereka juga shalat, berjudi sambil mereka juga bersedekah, dan sebagainya. Hanya saja, sesuai dengan asas tidak berlaku surut (nonretroaktivity) yang terkandung di dalam al-Quran, aturan pidana terhadap zina, pencurian, minum khamar dan lainnya yang dilakukan sebelum turun ketentuan-ketentuan
dari wahyu (al-
Quran), tidak diberlakukan.41 Riba yang terlanjur dikumpulkan dan terpakai pada masa jahiliyah tidak harus dikembalikan, tetapi bila ada yang tersisa setelah
turunnya
ketetapan
wahyu,
harus
dibayar
dan
dikembalikan.42 Pengecualian asas ini di dalam sejarah hukum Islam didapati antar lain dalam peristiwa al-zihar (seorang suami berkata pada isterinya (untuk menyakitinya), “Kamu bagiku tidak tersentuh seperti punggung ibuku”) dan al-li’an (pernyataan seorang suami di bawah sumpah dengan menuduh isterinya melakukan zina, tanpa menghadirkan empat orang saksi). Pada masa-masa awal Islam, hukuman bagi kejahatan al-zihar adalah “perceraian abadi”, harus dan tidak
boleh rujuk lagi. Kemudian wahyu turun
41
Lihat Abd al-Qadir Auda, al-Tasyri al-Jina’I al-Islami, Muqaranan bi alQanun al-Wad’I (Bairut: Dar al-Turas, 1968), h. 314-316. 42
Lihat Taimor Kamel, op.cit., h. 159.
meringankan hukuman menjadi hanya membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin, sedang hukuman al-li’an pada masa awal-awal Islam adalah sama dengan jarimah qadzaf (tuduhan zina) dan dicambuk sebanyak
80
kali
cambukan,
kemudian
al-Quran
turun
meringankannya menjadi hukuman dengan “perceraian abadi”.43 Hal
tersebut
retroaktivity
berarti
dengan
bahwa
datangnya
pengecualian
suatu
aturan
asas
baru,
non dapat
dilaksanakan dengan menerapkan hukuman yang lebih ringan atau lebih
menguntungkan
bagi
terdakwah.44
Abdul
Qadir
Auda
menyebutkan dua pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut tersebut, yaitu: 1. Terhadap
kejahatan-kejahatan
berbahaya
yang
dapat
membahayakan keamanan dan ketertiban umum. 2. Dalam keadaan yang sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang penerapan berlaku-surutnya adalah untuk kepentingan masyarakat luas.45 3. Asas Praduga Tidak Bersalah (The Presumption of Innocence) Asas ini merupakan suatu konsekuensi lain dari asas legalitas yang mengandung pengertian, bahwa pada dasarnya
43
Lihat Osman Abd al-Malik al-Saleh, “The Right of the Individual to Personal Security in Islam” dalam M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice Sistem (London-Newyork: Oceana Publications, 1982), h. 63-64. 44
Lihat Ibid., lihat juga Nagaty Sanad, op. cit., h. 42-43.
45
Lihat Abd al-Qadir Auda, op. cit., h. 314.
setiap orang berhak berbuat dan tidak dianggap bersalah, sampai pasa saat ia dipanggil untuk diperiksa oleh hakim, sehingga benarbenar terbukti kesalahannya dan divonis oleh hakim sebagai orang yang telah melanggar (bersalah) dengan tanpa keraguan.46 Apabila terdapat keraguan di dalam pembuktian, maka seorang tertuduh berhak untuk dibebaskan. Dari
asas
bahwa,”seorang
ini imam
muncul lebih
kaedah baik
salah
yang
menyebutkan
dalam
memaafkan
(membebaskan) daripada salah dalam menghukum”. Dengan demikian, asas ini sangat relevan dengan kaidah “
”بالشبهات
تدار الحدود
(hukuman had harus dihindari dengan adanya hal-hal
yang meragukan).47 Pengertian al-syubh±t (keragu-raguan) di situ ialah seluruh keadaan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana, khususnya dalam aturan had dan qisas, baik berkenan dengan maksud dilakukannya tindak pidana (الجانى
)قصد,
maupun karena syarat-syarat (pembuktian)
yang ditentukan tidak terpenuhi.48
46
Lihat Nagati Sanad, op.cit., h. 72.
47
Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazair (Mesir: Maktabah Nur Asiyah, t.th.), h. 246. Hal ini bersumber dari hadis melalui periwayatan Ibn Abbas dengan kalimat: “Idrau al-hud-d bi alSyubh±t”, lihat juga Abu Yusuf, al-Rad ‘ala Syiar al-Ahza’i (Mesir: Lajnah Ihya alMu’arif al-Nu’maniyah, 1357 H), h. 50. 48
Lihat Fathurrahman Djamil, “Asas Praduga Tak Bersalah dalam Hukum Acara Pidana Islam” dalam Mimbar Hukum no. 20 Tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 89.
Para imam mazhab mengklasifikasikan keraguan ke dalam tiga kategori: a. Keraguan yang berkaitan dengan tempat b. Keraguan yang berkaitan dengan perbuatan pelaku, dan c. Keraguan yang berkaitan dengan perjanjian (aturan).49 Misalnya saja jarimah pencurian yang dilakukan pada musim paceklik, atau seorang ayah mencuri harta anaknya untuk keperluannya, karena di dalamnya terdapat hak bagi pencuri dari harta yang diambilnya; hak untuk hidup, dan hak seorang ayah terhadap apa yang dimiliki oleh anaknya. Hal ini dicontoh dari peristiwa ditangkapnya seorang laki-laki yang mencuri di baitul mal oleh Saad bin Abi Waqqas, tetapi ketika diperhadapkan pada khalifah Umar bin Khattab, beliau tidak memerintahkan memotong tangannya, tetapi berkata, “Tangannya tidak perlu dipotong, karena dia mempunyai bagian (hak) di dalamnya”.50 Demikian juga pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, sewaktu diperhadapkan kepada beliau seorang laki-laki yang mencuri seperlima dari harta rampasan perang yang beliau sembunyikan di bawah topi baja. Tetapi khalifah Ali tidak memotong
tangan
pencuri
tersebut,
karena
menganggapnya
mempunyai hak di dalam harta rampasan perang tersebut.51
49
Lihat Abd al-Qadir Auda, op.cit., h. 258-261.
50
Lihat Yusuf al-Qardawi, op. cit., h. 184.
51
Lihat Ibid., h. 185
Rupanya pencuri tersebut adalah pasukan perang Islam yang sedang mengalami kekurangan. Adanya hak (bagian) di dalam harta yang dicuri dan desakan kebutuhan hidup (darurat) yang mendorong seseorang untuk mencuri bisa menjadi syuhbat yang kuat untuk menolak hukuman potong tangan bagi pencuri. Selain dari alasan adanya hak dan masa paceklik, mak syuhbat tidak mampu menolak hukuman potong tangan bagi seorang pencuri.52 Syuhbat bisa juga terdapat dalam kasus jarimah zina yang tidak mendatangkan empat orang saksi, jarimah minum khamar yang tidak mendatangkan saksi atau terdakwa mencabut kembali pengakuannya, serta dalam kasuskasus jarimah lain yang kurang mendapat bukti-bukti otentik.53 d. Asas-asas
Pemberlakuan
Hukum
menurut
Ruang
dan
Subyeknya, serta Asas-asas Umum lainnya Hukum pidana Islam pada prinsipnya mengandung semua asas-asas penting yang menjadi pedoman di dalam penerapan hukum pidana seperti yang telah digambarkan terdahulu. Masih ada beberapa asas lain yang terkandung di dalam hukum pidana Islam (baik materi maupun formil), misalnya: asas kesamaan di depan hukum, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas keadilan dan kesamaan di depan hukum, asas kepastian hukum, dan asas kemanpaatan.54 52
Lihat Ibid., h. 184, 186.
53
Lihat Topo Santoso, op. cit., h. 124.
54
Lihat Moh. Daud ali, op. cit., h. 114.
Hukum pidana Islam pada perkembangannya juga menganut asas
pemberlakuan
hukum
menurut
batas-batas
ruang
dan
subyeknya (pelaku) tindak pidana, kurang lebih sebagaimana yang dianut di dalam hukum pidana positif. Memang secara teoritis, syariat (hukum, ajaran) Islam diwahyukan untuk seluruh alam (ra¥matan li al-‘±lam³n). Tetapi pada kenyataannya pemberlakuan syariat Islam di dunia ini dibatasi oleh beberapa hal, di antaranya oleh batasan-batasan wilayah (negara).
yang
terpisah-pisah
Sedang
tidak
dengan
semua
adanya
bangsa
suatu
otoritas
menginginkan
pemberlakuan hukum Islam atas mereka, dan syariat Islam tidak mungkin dipaksakan kepada mereka semuanya. Apalagi karena mereka punya batas-batas wilayah yang harus dihormati dan karena mereka mempunyai kekuatan dalam mempertahankannya. Olehnya itu para ulama membagi wilayah-wilayah yang ada kepada tiga kriteria wilayah, yaitu:55 a. Negara-negara Islam (Dar al-Islam) b. Negara-negara yang berperang dan berseteru dengan Islam (Dar al-harb) c. Negara-negara yang mengadakan perjanjian damai dengan Islam (Dar al-salam) Yang disepakati oleh para ulama, bahwa hukum Islam hanya bisa berlaku sepenuhnya di negara-negara Islam (Dar al-Islam) sendiri. 55
Lihat H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 9.
Sedang untuk di luar wilayah Islam tersebut para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa hukum Islam hanya berlaku penuh di wilayah-wilayah kekuasaan Islam sedang di luar wilayah kekuasaan Islam, hukum Islam tidak dapat diberlakukan lagi, kecuali hak-hak perorangan (private/ haq al-adamy) yang diakui oleh wilayah tersebut. Hal disebabkan karena untuk mengadili
suatu
perkara,
terlebih
dahulu
harus
memiliki
kompetensi atas tempat terjadinya jarimah tersebut. Sedang pada wilayah di luar kekuasaan Islam khususnya di dalam Dar al-Harb, umat Islam tidak mempunyai kewenangan hukum di dalamnya. Menurut pendapat ini, bahwa orang Islam yang tinggal di luar wilayah kekuasaan Islam dan berbuat jarimah, tidak dapat dikenai ketentuan hukum pidana Islam, bahkan orang-orang yang telah berbuat jarimah di wilayah Islam kemudian menyeberang ke wilayah bukan Islam, maka negara Islam tidak dapat memaksakan pelaksanaan hukum pidana tersebut kepada mereka, sampai orang-orang tersebut berada di wilayah kekuasaan Islam. Sebagai konsekuensinya, orang-orang Islam yang berada di wilayah nonIslam tidak mempunyai hak perlindungan dari negara Islam terhadap jiwa dan harta mereka. Teori yang dikemukakan oleh Imam
Abu
teritorialitas.
Hanifah
tersebut
sangat
mirip
dengan
asas
Imam
Abu
Yusuf
juga
berpendapat
demikian
dengan
tambahan, bahwa walaupun orang Islam yang berbuat jarimah di luar wilayah Islam tidak dapat dikenai hukuman had ataupun qi¡±¡-diyat, tetapi orang tersebut tetap dianggap melakukan dosa besar. Karena di manapun juga perbuatan pidana tersebut tetap haram
dilakukan
oleh
orang-orang
Islam,
dan
apabila
memungkinkan maka hukum pidana harus ditegakkan atasnya.56 Pendapat jumhur (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sebaliknya, bahwa aturan-aturan pidana Islam tidak terikat pada batas-batas wilayah, melainkan terikat dengan siapa (subyek hukum) yang berbuat. Seandainya ada seorang muslim yang berbuat jarimah di luar wilayah Islam, maka hukuman had tetap wajib diberlakukan, dan bila memungkinkan untuk dieksekusi oleh orang-orang
Islam,
maka
hukuman
tersebut
harus
tetap
diberlakukan atasnya.57 Sebagai jalan keluarnya, berkembang pembicaraan di kalangan Fuqaha ini tentang kemungkinan adanya ekstradisi (penyerahan penjahat antar negara-negara yang terlibat perjanjian) atau pun pengusiran penjahat yang memasuki wilayah kekuasaan nagara lain. Pendapat jumhur ini mempunyai kesamaan dengan asas personalitas dan asas universalitas. Orang-orang non-Islam yang berada di wilayah kekuasaan Islam karena terikat perjanjian (perlindungan ataupun kerja
56
Lihat H. A. Djazuli, op.cit., h. 10
57
Lihat Ibid.
sama) harus tunduk kepada aturan-aturan Islam (termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, dengan beberapa pengecualian menurut fuqaha). Sebagai imbalannya, mereka mempunyai hak yang sama dengan orang-orang Islam, termasuk perlindungan terhadap harta dan jiwa mereka. Dalam hal ini, Islam tetap harus menghormati ketentuanketentuan yang digariskan oleh agama lain terhadap penganutnya di antara masyarakat Islam, meskipun perbuatan tersebut dilarang oleh syariat Islam.58 Perbuatan-perbuatan tersebut harus dengan terang dibenarkan oleh kitab-kitab suci mereka, barulah dianggap sebagai pengecualiaan dari hukum yang belaku. Para fuqaha tetap sepakat, bahwa ketentuan di dalam hukum pidana Islam harus berlaku atas setiap perbuatan jarimah yang terjadi, khususnya atas orang-orang Islam. Mereka hanya berbeda pendapat di dalam menerapkan masalah kompetensi terhadap jarimah
tersebut,
karena
bagaimana
pun
juga,
di
dalam
mengeksekusi suatu kasus jarimah dibutuhkan suatu kewenangan dan kekuatan untuk melaksanakannya, dan itu hanya berlaku penuh di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Wilayah yang dapat dikategorikan sebagai wilayah Islam di sini ialah negara yang yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, atau negara yang di dalamnya berbaur antara orang Islam dengan non
Islam 58
tetapi
pengaruh
umat
Islam
dominan
atau
Lihat Yusuf al-Qardawi, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam (Bandung: Penerbit Kharisma, 1994), h. 21.
diperhitungkan, wilayah yang dihuni oleh minoritas umat Islam tetapi tidak ada yang menghalangi diterapkannya hukum Islam. C. Jarimah dalam Hukum Pidana Islam Hukum
pidana
dianggap
sebagai
tulang
punggung
terwujudnya ketertiban public (umum) dan tegaknya hak asasi manusia. Di dalam syariat Islam, tujuan penerapan hukum pidana adalah untuk menjaga terpeliharanya maqashid al-syar’iyah, yaitu terwujudnya
kemaslahatan
kehormatan,
dan
harta
agama,
manusia.
jiwa, Dengan
akal,
keturunan,
demikian,
suatu
perbuatan dikatakan jarimah (tindak pidana) dapat dikategorikan kepada: 1. Kejahatan terhadap agama, 2. Kejahatan terhadap jiwa, 3. Kejahatan terhadap akal, 4. Kejahatan terhadap kehormatan/keturunan, 5. Kejahatan terhadap harta.59 Hal-hal pokok tersebut diwaspadai keselamatannya dengan sungguh-sungguh oleh hukum pidana Islam, sebagai bagian paling urgen
di
dalam
kehidupan
manusia
dan
masyarakat
yang
berkemanusian, sehingga menjadi tujuan pokok diadakannya syariat bagi manusia. 1. Definisi Tindak Pidana dalam Hukum Islam
59
Lihat Satria Effendi M. Zein, “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan Penerapannya Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum, op. cit., h. 32.
Di dalam hukum pidana Islam, kejahatan/ tindak pidana biasanya didefinisikan dari istilah-istilah seperti; al-jar³mah , aljin±yah , al-janhah, atau al-mukhalafah. Keempat istilah tersebut memiliki kesamaan, yaitu sebagi tindakan melawan hukum. Dan yang membedakan adalah klasifikasi para ahli hukum terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Para fuqaha biasanya lebih sering menggunakan istilah aljin±yah
di dalam mengistilahkan tindak pidana atau semua
perbuatan yang dilarang oleh syara’, aktif maupun tidak aktif (komision dan omision). Fuqaha ada yang memandang bahwa istilah al-jar³mah merupakan sinonim dari istilah al-jin±yah .60 Di antara fuqaha ada yang membatasi pengertian al-jin±yah hanya kepada kejahatan mengenai jiwa dan anggota badan manusia
saja,
seperti;
pembunuhan,
pelukaan,
pemukulan,
pengguguran kandungan, dan lainnya. Di antara fuqaha juga ada yang membatasi pengertian al-jar³mah hanya berkenaan dengan tindak pidana had dan qi¡±¡ saja. Istilah yang banyak dipakai oleh para fuqaha klasik adalah istilah jinayah, sehingga hukum yang membahas tentang pidana biasa diistilahkan fiqh al-jin±yah . Sedang beberapa fuqaha kontemporer saat ini lebih memilih istilah jarimah di dalam tulisan mereka tentang hukum pidana Islam. Rupanya di dalam
60
Lihat Abd al-Qadir Auda, op. cit., h. 66
memakai peristilahan biasanya tergantung kepada kecenderungan dan pemahaman para fuqaha tentang istilah tersebut. Istilah al-janhah dan al-mukhalafah juga ditemukan sebagai istilah tindak pidana di dalam KUHP RPA Mesir di samping istilah al-jin±yah , dengan susunan ketentuan pidana sesuai berat hkumannya, sebagai berikut; -
Al-jin±yah ialah suatu tindak pidana yang diancam hukuman mati (I’dam), kerja berat seumur hidup, kerja berat sementara, atau hukuman penjara (pasal 10 KUHP RPA).
-
Al-janhah ialah suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman kurungan lebih dari satu minggu atau denda lebih dari seratus piaster (qirsy RPA) (pasal 11 KUHP RPA).
-
Al-mukhalafah ialah suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman kurungan tidak lebih dari satu minggu atau dengan hukuman denda tidak lebih dari seratus piaster (pasal 12 KUHP RPA).61 Sayid Sabiq mendefinisikan al-jin±yah dengan:
كل فعل محرم
62
setiap perbuatan yang dilarang. maksud definisi tersebut adalah
setiap bentuk perbuatan atau
pengabaian yang dilarang oleh Allah, dan dipantangkan karena
h. 427.
61
Lihat Ahmad Hanafi, op.cit., h. 2.
62
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Bairut: Dar al-Fikr, 1983),
memberi
dampak
yang
buruk
terhadap
agama,
diri,
akal,
kehormatan, dan harta. Abdul Qadir Auda mendefinisikan al-jar³mah
sebagaimana
yang disepakati oleh para fuqaha, sebagai :
محظورات شرعية زجر هللا عنها بحد أو تعزير
63
larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Maksud larangan-larangan syara’ tersebut ialah melakukan suatu perbuatan yang melanggar syariat atau mengabaikan suatu perbuatan yang diperintahkan, sedang larangan tersebut telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam nas. Yang dimaksud dengan kata syara’ di atas ialah ketentuanketentuan yang bersumber dari al-Quran, as-sunnah dan ijma’. Berbuat
atau
tidak
berbuat
(pengabaian)
suatu
perbuatan
dianggap sebagai jarimah, apabila perbuatan melanggar tersebut telah ditentukan dan diancam suatu hukuman. Karena ketentuan tersebut datang dari syara’, maka khitabnya hanya berlaku bagi orang-orang yang berakal sehat dan memahami khitab tersebut. Dari penjelasan tersebut, dapat difahami bahwa unsur-unsur umum daripada jarimah (tindak pidana) dalam hukum pidana Islam, ialah: 1. Unsur formil; yaitu dengan adanya nas yang melarang suatu perbuatan dan mengancam suatu hukuman atas perbuatan tersebut. 63
Lihat Abd. Qadir Audah, loc. cit.
2. Unsur Materiil; yaitu dengan adanya suatu tindakan yang membentuk
jarimah,
baik
berupa
perbuatan
yang
nyata
maupun sikap tidak berbuat dari suatu perintah yang harus dikerjakan. 3. Unsur Moril; yaitu dengan adanya pelaku jarimah yang dapat dimintai pertanggungjawaban (Mukallaf) atas apa yang telah ia perbuat.64 Secara singkat dapat dirumuskan unsur-unsur terjadinya suatu jarimah adalah: (1) adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum,
(2)
adanya
pelaku
yang
dapat
dipersalahkan
perbuatannya, dan (3) adanya ketentuan-ketentuan nas yang jelas tentang perbuatan melanggar tersebut.65 Selain
unsur-unsur
umum
tersebut,
setiap
jarimah
mempunyai unsur-unsur khusus yang membedakan satu perbuatan jarimah dengan jarimah lain. Misalnya unsur pengambilan secara diam-diam di dalam jarimah pencurian, unsur menghilangkan nyawa dalam jarimah pembunuhan, dan unsur-unsur khusus lainnya. Hanya saja tidak selamanya unsur-unsur jarimah tersebut dapat terlihat dengan jelas dalam setiap pemeriksaan kasus. Perbedaan mendasar antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus pada setiap jarimah ialah; bahwa unsur-unsur umum terdapat pada setiap jarimah yang terjadi, sedang unsur64 65
Lihat Ibid., h. 111.
Lihat Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ahlussunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 66
unsur khusus hanya berlaku pada setiap jarimah yang memiliki unsur tersebut secara khusus, sehingga unsur-unsur khusus tersebut jumlahnya lebih banyak dan beraneka ragam, serta membedakan antara jarimah yang satu dengan yang lainnya. 2. Tindak Pidana yang Ditentukan oleh Nas Tindak pidana/ jarimah di dalam hukum pidana terbagi kepada jarimah had, jarimah qi¡±¡-diyat, dan jarimah ta’zir, hal ini ditinjau dari segi jenis dan ketentuan uqubah (berat dan ringannya hukuman). Di antara fuqaha ada yang membaginya hanya kepada dua bagian dengan meninjaunya dari segi penetapan nas terhadap jarimah tersebut, yaitu; kepada jarimah ¥ud-d (kata jamak dari kata had) dan jarimah ta’zir, sedang jarimah qishas-diyat mereka memasukkan ke dalam bagian jarimah had.66 Di antara tindak pidana tersebut, yang ditentukan lebih terinci oleh nas adalah ketentuan jarimah had dan jarimah qishasdiyat. Sedang jarimah ta’zir hanya disebutkan oleh nas secara garis besar dan siat-siatnya secara umum saja. Di dalam al-Quran dan as-sunnah, jarimah had (¥ud-d) terbagi kepada tujuh jenis tindak pidana, yaitu: jarimah zina, qadzf (fitnah atau tuduhan palsu bahwa seoarang yang baik-baik telah berzina), minum khamar, al-sariq (mencuri), al-¥ir±bah (merampok), ar-riddah (murtad) dan al-baghy (perampokan). 66
Lihat Ibrahim Hosen, “ Jenis-Jenis Hukum dalam Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam Penerapannya”, dalam Mimbar Hukum, op.cit., h. 8.
Jarimah qi¡±¡-diyat juga dibagi kepada lima jenis tindak pidana , yaitu: jarimah pembunuhan disengaja, pembunuhan semi-sengaja, pembunuhan
tidak
sengaja
(tersalah),
penganiayaan
dengan
sengaja, penganiayaan tidak sengaja. Ketentuan-ketentuan nas dalam jarimah ¥ud-d sebagai berikut: a. Jarimah perzinaan (al-zina) Zina menurut al-mawardi ialah tindakan orang laki-laki yang berakal memasukkan pucuk kemaluannyaan disalah satu tempat; vagina atau dubur wanita yang tidak ada hubungan apapun yang halal
di
antara
keduanya.67
sedang
menurut
Abu
Hanifah,
perzinaan hanya terjadi khusus pada vagina dan bukan di dubur seorang wanita. Zina
di
dalam
hukum
Islam
menyeluruh
pada
setiap
hubungan kelamin yang tidak sah. Tidak terkecuali, salah satu pasangan zina tersebut belum kawin, ataukah kedua-duanya belum kawin, di dasari atas rela atau tidak, apabila perbuatan zina terbukti maka akan dijatuhi had zina. Al-Quran dan hadits membicarakan masalah jarimah zina secara jelas, misalnya: 1. Tentang larangan (mendekati) zina, seperti firman Allah:
67
Lihat al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 365.
Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.68 2. Ketentuan hukuman bagi orang yang berbuat zina, seperti firman Allah: … Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masingmasing dari keduanya seratus kali…69 Dan hadits nabi Saw:
البكر بالبكر جلد مائة, فقد جعل هللا لهن سبيال, خذوا عني,خذوا عني 70. والثيب بالثيب جلد مائة والرجم,ونفى سنة “Ambilah olehmu dariku, terimalah ketentuanku, sesungguh Allah telah menetapkan keputusan-Nya bagi mereka (para pezina).Bagi orang-orang yang belum menikah (dan berzina) hukumannya adalah seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun. Sedang bagi pezina yang telah menikah, dicambuk seratus kali dan dirajam (sampai mati)” H.S.R alBukhary dan Muslim. Hadits ini adalah penjelasan lebih lanjut dari ketentuan Allah sebelumnya di dalam surah an-Nur (24) ayat 2. 3. Syarat dituntutnya jarimah perzinahan, seperti di dalam firman Allah: Dan para perempuan yang melakukan pebuatan keji di antara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya).71 68
QS. Al-Isra(17): 32, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 285
69
QS.An-Nur(24): 2, lihat Ibid., h. 350
70
Lihat Yahya bin Syarf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Jilid IV (Kairo: Dar al-Sya’b), h. 260
Islam sangat mengecam perzinaan sehingga mendekatinya pun dilarang. Ajaran islam bukan saja menganggapnya sebangai dosa besar yang akan menghancurkan semua kebajikan, tetapi lebih jauh dari itu karena perzinaan berdampak kepada moral dan kehidupan; dapat menghancurkan sakralnya ikatan perkawinan, menimbulkan perselisihan dan pembunuhan, merusak nama baik dan keturunan, serta menyebabkan timbulnya sejumlah penyakit jasmani dan rohani.72 Begitu beratnya kebiasan zina ditinggal pada masa-masa awal turunnya wahyu, sehingga melarang perbuatan jarimah tersebut secara bertahap. Ada tiga ayat yang turun secara bertahap tentang larangan perzinaan, yaitu dengan turunnya ayat di dalam QS.An-Nisa (4): 15, kemudian QS. An-Nisa (4): 16, dan penekanan larangannya terdapat di dalam QS.an-Nur (24):2.73 Para
fuqaha
kemudian
berbeda
pendapat
di
dalam
menetapkan, apakah hubungan kelamin yang dimaksud adalah khusus pada kelamin saja (penis dan vagina), atau termasuk dubur, mulut, atau anggota badan yang lain. Fuqaha juga berbeda pendapat di dalam menetapkan “apakah hanya hubungan antara laki-laki dan perempuan saja yang dianggap zina, ataukah termasuk juga perbuatan homoseksual, lesbi, dengan mayat, atau 71
QS.An-Nisa(4):15, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 80.
72
Lihat Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 31. Lihat juga Sayyid Sabiq, op. cit., h. 340-341. 73
Lihat Abdurrahman I. Doi, Ibid., h. 33.
dengan hewan?, apakah berbeda status antara perzinaan yang dilakukan oleh orang merdeka dengan budak?”, juga tentang perzinaan dalam status perkawinan yang sah dan tidak sah bagi muhsan.74 Walaupun mereka berbeda di dlam menentukan kriteriakriteria yang dipermasalahkan oleh mereka tersebut, tetapi mereka tetap sepakat bahwa perzinaan adalah hubungan kelamin yang tidak sah dan apabila jarimah tersebut terbukti, maka wajib ditegakkan atasnya hukuman had. Perbedaan pendapat terjadi di kalangan mereka terjadi karena perbedaan dalam memandang suatu kasus dan cara memahami kasus-kasus baru di luar ketentuan sumber, seperti di dalam contoh. Fuqaha kemudian membagi pelaku jarimah zina kepada dua kelompok, yaitu: (1) bikr dan (2) muhshan. Bikr atau gair muhsan ialah orang yang belum pernah “menggauli” seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah, sedang muhshan adalah orang yang sudah kawin dengan sah.75 Pada setiap kelompok ini mendapat ketentuan hukuman yang berbeda sesuai dengan ketentuan nas yang ada, yaitu; bagi pezina bikr dikenai hukuman seratus kali dera dan dapat ditambah dengan hukuman “pengasingan” selama setahun. Sedang bagi pezina muhshan dikenai ketentuan rajam sampai mati.
74
Lihat al-Mawardi, op. cit., h. 365-370.
75
Lihat Ibid., h. 365.
Perbedaan pendapat yang terjadi di antara fuqaha adalah mengenai
hukuman
tambahan
selain
hukuman
pokok
yang
ditentukan oleh al-Quran, seperti tambahan hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina gair muhsan, serta posisi hukuman rajam bagi pezina muhsan.76 Perbedaan pendapat seperti ini pada hakikatnya tidak merubah subtansi aturan-aturan nas yang ada, dan hal ini berlaku kepada semua orang yang tunduk dalam wilayah kekuasaan Islam, baik orang Islam maupun selainnya. b. Jarimah Qadzf (Tuduhan zina) Qadzf adalah tindak pidana atau kejahatan terhadap nama baik seseorang, berupa tuduhan zina terhadap orang muslim yang taat pada agamanya.77 Hal mana seorang muslim taat tiba-tiba dituduh berzina tanpa mendatangkan empat orang saksi atau bukti
76
Di antara fuqaha ada yang berbeda pendapat dalam ketentuan sanksi tambahan dalam jarimah zina. Imam Abu Hanifah berpendapat hukuman pezina bikr (gair muhsan) hanya seratus kali dera sebagaimana ketentuan ayat, sedang imam Syafi’i mengharuskan ditambah hukuman tersebut dengan pengasingan selama satu tahun, sesuai ketentuan hadis Nabi, dan pendapat kedua banyak diikuti oleh Jumhur ulama. Sedang hukuman zina bagi muhsan bagi umumnya fuqaha terdahulu sepakat dengan hukuman rajam sampai mati sesuai dengan hadis amaliyah yang dipraktekkan oleh Nabi saw., namun berkembang pemikiran di antara fuqaha, bahwa hukuman bagi pezina muhsan sama dengan hukuman bagi pezina gair muhsah yaitu seratus kali dera, sesuai dengan keumuman lafaz “pezina” dalam QS. Al-Nur (24):4 tersebut. Abu A’la al-Maududi dalam hal ini berpendapat bahwa posisi Nabi adalah sebagai penyampai dan penjelas wahyu, sedang hukuman rajam tidak dapat diragukan lagi berdasarkan sunnah qauliyah dan fi’liyah sekaligus. Lihat Abu A’la al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 49-50. Lihat juga Ibrahim Hosen, op.cit., h. 11 77
Lihat Ibrahim Hosen, Ibid.
otentik lainnya, maka orang yang menuduh tersebut telah melakukan qadzf. Ketentuan jarimah qadzf antara lain ditetapkan oleh Allah di dalam al-Quran: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina), dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya, mereka itulah orang-orang yang fasik”.78 Dengan
demikian, perbuatan
qadzf di
dalam syariat
Islam
dianggap sebagai kejahatan berat dan diancam hukuman berat pula, yaitu dengan dua jenis hukuman: 1. Hukuman pokok (ashliyah) berupa hukuman dera (cambukan) sebanyak delapan puluh kali, 2. Hukuman tambahan (taba’iyah) berupa tertolaknya kesaksian mereka seumur hidupnya. Fuqaha berpendapat bahwa hukuman kedua (tambahan) dapat diampuni oleh hakim dan kembali menerima kesaksiannya, apabila orang tersebut telah menerima hukuman pokok, menyesal dengan
perbuatannya,
dan
terbukti
tidak
mengulangi
lagi
perbuatannya tersebut. Pendapat ini berpegang pada sambungan ayat di atas:79 78
QS. An-Nur (24): 4, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 350
79
Lihat Abdurrahman I. Doi, op. cit., h. 52
“Kecuali orang-orang yang bertobat dari perbuatannya tersebut dan memperbaiki kembali hubungannya (dengan orang-orang yang pernah disakiti), karena sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.80 Permasalahan ini dikecualikan oleh Allah dalam hal tuduh menuduh di antara seorang suami dan istrinya, yang diistilahkan di dalam fiqhi sebagai masalah li’an seperti yang disinggung pada surah yang sama. Konsekuensi hukumannya pun berbeda, yaitu dengan perceraian abadi. Syarat-ayarat yang harus terpenuhi untuk melaksanakan eksekusi qadzf, yaitu: lima syarat yang harus ada pada orang yang dituduh dan tiga syarat bagi orang yang menuduh. Kalau syarat tersebut kurang, menurut al-Mawardi, eksekusi qadzf dapat dibatalkan.81 Lima syarat yang harus ada pada korban qadzf, ialah: (1) baligh, (2) berakal, (3) muslim, (4) orang merdeka, dan (5) “bersih” dari hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan zina. Kelima
syarat
tersebut
harus
ada
untuk
menyempurnakan
pelaksanaan hukuman. Tetapi apabila korban adalah budak, anak kecil, orang gila, bukan muslim, dan tidak terjaga dari hal-hal yang berkenaan dengan zina, maka had qadzf dapat dibatalkan, atau diganti dengan ta’zir bila dipandang perlu oleh hakim karena
80
QS. An-Nur (24): 5, lihat Departemen Agama, loc. cit.
81
Lihat al-Mawardi, op. cit., h. 378
tindakannya
menyakiti
orang
lain,
atau
atas
kelancangan
mulutnya dalam menuduh. Sedang tiga syarat yang ada pada diri penuduh (subyek) dalam hal ini ialah; bahwa ia (1) telah baligh, (2) berakal, dan (3) orang merdeka. Jika pelaku adalah anak kecil, atau orang gila, maka ia tidak dikenai hukuman dan tidak pula ketentuan ta’zir. Hanya apabila ia seorang budak menurut beberapa fuqaha, dapat dijatuhi separuh dari hukuman qadzf atau empat puluh kali cambuk.82 Dalam menerima hukuman ini, tidak dibedakan antara muslim dengan non muslim, perempuan ataupun laki-laki, selama berada didalam wilayah kekuasaan Islam (asas teritorialitas). Syarat dari tuduhan yang menjadi bukti kuat di dalam pelaksanaan hukuman qadzf ialah harus dengan kata-kata yang transparan dan dapat dipahami secara umum sebagai suatu tuduhan zina, seperti kata “Engkau telah berzina”, “aku telah melihatmu berzina”, dan yang senada dengan itu. Dan bukan dengan
kata-kata
yang
berkonotasi
banyak,
seperti
kata
“perkosaan”, “mengawini secara paksa dan tidak sah”, “meniduri”, “menggauli”, dan sebagainya. Para fuqaha juga berbeda dalam hal menuduh orang melakukan homoseksual, lesbi, dan menyetubui binatang. Hal ini disebabkan
82
oleh
Lihat Ibid.
perbedaan
pandangan
mereka
sebelumnya
terhadap perbuatan-perbuatan tersebut, apakah termasuk kategori zina ataukah bukan?. c. Jarimah Syurb (minum khamar) Jarimah
syurb
atau
minum
khamar
adalah
perbuatan
jarimah karena meminun minuman yang memabukkan, sesuai dengan ketentuan Nabi Saw.: “Apa saja yang memabukkan, baik sedikit maupun banyak adalah haram”.83 Jumhur
berpendapat,
apapun
merk
minumannya
asal
memabukkan (khamar, anggur, bir dan lainnya) adalah haram, dan harus
dijatuhi
had
syurb
(minum
khamar).
Abu
Hanifah
berpendapat, bahwa orang minum khamar kendati tidak mabuk harus dihukum, sedang orang yang minum anggur dan lainnya tidak dijatuhi hukuman had kecuali apabila ia mabuk.84 Tentang larangan keras (keharaman) khamar ditetapkan oleh Allah di dalam al-Quran (QS. Al-Maidah (5): 90): Wahai orang-orang yang beriman! sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.85 Nabi Saw. Juga pernah bersabda: 83
Lihat Ibid., h. 375. Lihat juga Ibrahim Hosen, loc. cit.
84
Lihat Ibrahim Hosen, Ibid.
85
QS. Al-Maidah (5): 90, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 123.
86
كل مشكر حرام
Semua (minuman) yang memabukkan itu adalah haram. Kedua nas tersebut dan masih ada beberapa nas yang lain merupakan suatu penegasan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa perbuatan meminum minuman keras (khamar) adalah dilarang dan dihukum haram (tidak dibolehkan sedikitpun dilakukan dan akan mendapat sanksi orang yang melakukannya, paling ringan dengan sanksi dosa di dunia ini). Di dalam hukum pidana Islam, meminum khamar termasuk dalam tindak pidana yang akan dikenakan sanksi berat, seperti yang dicontohkan oleh nabi dan para khulafa al-rasyidah serta sahabat-sahabatnya yang lain:
أن النبى صلى هللا عليه وسلم أوتى برجل قد شرب الخمر فجلده بجريدتين فقال عبد, فلما عمر استشار الناس, قال وفعله أبو بكر,نحو أربعين 87. فأمر به عمر, أخف الحدود ثمانين:الرحمن Bahwasanya Nabi Saw. Pernah dibawakan seseorang yang telah meminum khamar, maka beliau mendera orang tersebut dengan pelepah korma sebanyak empat puluh kali deraan, ketentuan ini berlanjut sampai masa pemerintahan Abu Bakar r.a.. Ketika masa pemerintahan Umar, beliau meminta pendapat pada orang banyak (tentang hukuman tersebut), Abdurrahman berkata bahwa seringan-ringan had adalah delapan puluh kali deraan, maka Umar memerintahkannya. HR. Muslim.88
86
Lihat al-Nawawi, op.cit., h.
87
Lihat Ibid., h. 289.
88
Lihat Yahya bin Syarf al-Nawawi, op. cit., h. 289
Dari hadits yang ada, fuqaha ada yang berpendapat dalam menentukan jumlah cambukan seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Saw dan Abu Bakar, sedang yang lainnya berpendapat 80 kali cambukan, karena hal itu sudah disepakati oleh para sahabat pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab.89 Pendapat terakhir merupakan pendapat sebahagian besar ulama
(jumhur).
Para
fuqaha
juga
beragam
dalam
mengkategorikan orang yang mabuk setelah minum-minuman keras, hanya saja semua pendapat mengisyaratkan kepada tandatanda orang yang sedang mabuk oleh minuman keras.90 Dari sudut pandang lain, syariat Islam memandang khamar sebagai faktor utama pemicu munculnya kejahatan-kejahatan yang lain, seperti permusuhan, kebencian, dan pembunuhan di antara sesama
manusia,
menghalangi
orang
menegakkan
shalat,
melalaikan hati dari dzikir dan sinar hikmah.91 Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi Ali bin Abi Thalib ketika beliau ditanya oleh khalifah Umar bin Khattab tentang hukuman yang paling relevan bagi peminum khamar. Ali Ra. Menjawab “Jika seseorang meminum minuman keras maka ia akan mabuk. Jika ia telah mabuk, ia akan bicara tidak karuan, kalau ia telah bicara tidak karuan, maka ia akan berdusta dan memfitnah. Jadi 89
Lihat al-Mawardi, op. cit., h. 376, lihat juga Ibrahim Hosen, op. cit., h.
90
Lihat Ibid., h. 377.
91
Lihat Topo Santoso, op. cit., h. 206
12
hukuman yang layak bagi orang yang minum minuman keras sama dengan hukuman qadzf, yaitu dicambuk delapan puluh kali cambukan. Dengan salah satu pendapat inilah yang mendorong Umar menerapkan hukuman cambuk 80 kali bagi peminum khamar.92 Dari
keterangan
tersebut
dipahami
bahwa
keharaman
minuman khamar ditetapkan di dlam al-Quran dan as-sunnah, jenis
hukumannya
ditetapkan
oleh
sunnah,
dan
jumlah
hukumannya didasarkan pada fatwa sahabat. d. Jarimah Pencurian Tindak pidana pencurian ditegaskan oleh Allah di dalam alQuran: adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.93 Dengan demikian, tindak pidana pencurian juga dianggap sebagai tindak pidana berat karena telah merugikan (harta) orang lain. Di dalam kitab-kitab fiqh, terjadi perbedaan pendapat di antara fuqaha dalam menetapkan syarat jumlah harta yang dicuri, tempat penyimpanan harta yang dicuri dan hukuman bagi pencuri yang beberapa kali mencuri, serta tentang harta yang tersisa dari pencurian, dan syarat-syarat pencurian. Hal ini karena mereka 92
Lihat al-Mawardi, loc. cit.
93
QS.Al-Maidah (5): 38, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 114.
sepakat bahwa definisi pencurian adalah “mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan hartanya tanpa diketahui oleh pemilik harta tersebut”.94 perbuatan yang dapat disebut pencurian menurut para fuqaha, bahwa pengambilan harta tersebut harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: 1. Diambil secara diam-diam, tanpa sepengetahuan pemiliknya dan pemilik barang tersebut tidak rela barang-barangnya diambil oleh orang lain. Dalam hal ini fuqaha berbeda pendapat dalam mengkategorikan tindakan pencopetan dan pencurian kain kafan, karena keduanya menyalahi salah satu dari syaratsyarat pencurian yang dikemukakan oleh fuqaha di atas. 2. Pencurian tersebut dilakukan dengan
sengaja (bermaksud
jahat dan tanpa paksaan siapapun). 3. Barang yang dicuri tersebut benar-benar merupakan harta korban, atau telah dipindahtangankan kepada korban, dan tidak ada hak bagi pencuri di dalamnya. 4. Barang yang dicuri berada di dalam penguasaan pencuri 5. Barang yang dicuri tersebut mancapai nilai nisab pencurian dan bernilai harta menurut syara’. Para fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan nilai nisab bagi pencurian; standar terendah ialah tiga dirham (pendapat imam Malik), standar umum harus mencapai nisab zakat. Hanya Daud az94
Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam, Vol. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven, 1996), h. 1389
zahiry dan pengikutnya yang tidak menetapkan jumlah nisab, karena menurutnya pencurian terhadap harta yang banyak dengan harta yang sedikit tetap dinamakan mencuri, apalagi al-Quran tidak menentukan kadarnya. 95 Apabila kriteria tersebut terpenuhi, maka pencuri dieksekusi dengan mulai memotong tangan kanannya sampai pergelangan tangan. Apabila ternyata ia mencuri lagi, maka dipotong salah satu kakinya hingga pergelangan, demikianlah seterusnya.96 Pada kenyataannya, fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan, mulai dari bagian tangan yang mana lebih dahulu dipotong dalam eksekusi pencurian dan sampai batas tangan yang mana yang boleh dipotong. Tetapi apabila syarat-syarat tersebut tidak terdapat di dalam kasus pencurian, misalnya karena pencuri merasa mempunyai hak di dalam harta tersebut, kasus bapak yang mencuri harta anaknya, kasus pencurian pada masa paceklik, dan sebagainya, maka had pencurian bisa gugur karena syubh±t (keraguan), seperti yang pernah terjadi pada masa kekhalifaan Umar bin Khattab.97 Dengan demikian, walaupun hukum pidana Islam terlihat begitu tegas,98 tetapi tetap memperhatikan nilai-nilai manusiawi 95
Lihat al-Mawardi, op. cit., h. 371-372
96
Lihat Ibid., h. 371
97
Lihat Yusuf al-Qardawi, al-Siyasah al-syar³’ah, op.cit., h. 184
98
“tegas” dalam pengertian mudah dipahami dan tidak kompromi atas segala bentuk tindak pidana yang benar-benar terbukti, meskipun hal itu sering bertentangan dengan perasaan, bandingkan dengan Fauzan al-Anshari dan
yang terkadang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kehendak dirinya
sendiri,
misalnya:
karena
keadaan
alam
untuk
mempertahankan diri atau karena adanya pemaksaan dari orang lain yang lebih “kuat” dari dirinya. e. Jarimah al-¥ir±bah (perampokan atau pengganggu keamanan) Yang dimaksud dengan al-¥ir±bah ialah suatu tindak pidana atau aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam wilayah kekuasaan Islam, dengan melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, dan pemerkosaan yang dilakukan secara terang-terangan,
yang
bertujuan
untuk
mengganggu
dan
menentang ketertiban yang berlaku, peri kemanusian, dan agama. Ibrahim Hosen mendefinisikan lebih singkat, yaitu kejahatan terhadap stabilitas keamanan umum. Sebutan lain dari tindak pidana ini adalah qath’u al-thariq (penyamun atau perampok) dan al-sariqah al-kubra (pencurian besar). Kelompok seperti ini biasanya terorganisir, dilakukan oleh beberapa orang, dan merasa memiliki kekuatan untuk melaksanakan aksinya.99 Perbedaan mendasar antara tindak pidana pencurian dengan tindak pidana al-¥ir±bah pidana
pencurian
terletak
ialah unsur utama di dalam tindak pada
pengambilan
harta
secara
tersembunyi supaya korban yang punya harta tidak mengetahui pengambilan
tersebut,
sedang
di
dalam
jarimah
al-¥ir±bah
Abdurrahman Madjrie, Hukuman Bagi Pencuri (Jakarta: Khairul Bayan, 2002), h. 27. 99
Lihat Ibrahim Hosen, op. cit., h. 13
pengambilan harta tersebut dilakukan dengan aksi kekerasan dan paksaan, bahkan terkadang diiringi dengan aksi pembunuhan. Jarimah al-¥ir±bah lebih identik dengan aksi kekerasan, apabila dibandingkan dengan jarimah pencurian. Ada beberapa kriteria jarimah al-¥ir±bah
bila dipandang
dari sudut aksi yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya: 1. Sebagai suatu aksi kekerasan untuk merampas harta kekayaan masyarakat dan melakukan gangguan keamanan, sekalipun tidak jadi mengambil harta dan tidak sampai membunuh penduduk, 2. Suatu aksi kekerasan yang disertai perampasan harta orang lain, meskipun mereka tidak sampai melakukan pembunuhan, 3. Suatu
aksi
kekerasan
yang
mengakibatkan
pembunuhan,
meskipun mereka tidak sampai merampas harta masyarakat, 4. Suatu aksi kekerasan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta.100 Aksi-aksi tersebut menurut para fuqaha dapat terjadi di mana saja, dengan senjata atau pun tidak, termasuk di dalamnya; aksi penculikan anak kecil, penguasa, wanita, pengrusakan saranasarana umum, penyanderaan, aksi sabotase sarana umum, dan sebagainya. Fuqaha dari mazhab Syafi’i lebih menekankan bahwa jarimah ini harus lebih bertujuan kepada perampasan harta dan
100
Lihat Auda, op. cit., II, h. 647.
pembunuhan dengan dukungan kekuatan, sehingga orang yang terkena aksi tersebut tidak dapat langsung tertolong.101 Syarat-syarat lain dari aksi tindak pidana ini di kalangan fuqaha, yaitu: (1) orang yang menjadi korban orang muslim atau penduduk zimmi, (2) harta yang dirampas dari penduduk adalah sepenuh berada dalam kewenangan dan hak penduduk tersebut, baik hak milik, titipan orang, atau pun harta yang ia sewa, harta tersebut merupakan harta halal, (3) harta tersebut sama atau lebih dari satu nisab (1 dinar menurut jumhur, atau 10 dirham menurut mazhab Hanafi), (4) berada di dalam wilayah kekuasaan Islam (pendapat ini umum di kalangan mazhab Hanafi).102 Karena tindak pidana ini tergolong dalam tindak pidana had dan
akibatnya
sangat
serius,
maka
al-Quran
sendiri
yang
menunjukkan hukuman yang paling pantas dijatuhkan atas pelakupelaku jarimah ini, seperti firman Allah:
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu 101
Lihat Rahmat Djatmika, “Beberapa Aspek Fundamental di Sekitar Penjatuhan Hukuman Mati dalam Perspektif Islam” dalam Mimbar Hukum, no. 20 Tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 58 102
Lihat Auda, op.cit., h. 644-645
kehinaan bagi mereka di bumi, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar”.103 Ayat tersebut mengandung empat macam hukuman bagi pelaku al-¥ir±bah : (1) Hukuman mati, (2) disalib, (3) dipotong tangan dan kakinya secara timbal balik (contoh: tangan kanan dengan kaki kiri), dan (4) dibuang dari tempat kediamannya (diasingkan). Para fuqaha kemudian berbeda pandangan di dalam penerapan jenis-jenis hukuman tersebut. Mazhab Hanafi, Syafi’i dan hanbali berpendapat, bahwa jenis hukuman tersebut harus berurut sesuai dengan bentuk tindak pidana dalam al-¥ir±bah , misalnya; jika pelaku hanya merampas harta saja, maka hukumannya adalah potong tangan dengan kaki secara bersilang, apabila pelaku membunuh, maka iapun harus dibunuh, tetapi apabila ia hanya mengganggu keamanan, maka ia harus dibuang dari tempat kediamannya.104 Sedang mazhab Dzahiri berpendapat, bahwa penerapan hukumannya diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim setelah dimusyawarakan dengan para ahli fiqhi dan pihak-pihak terkait lainnya dalam memilih hukuman mana yang terbaik di antara empat jenis hukuman yang ditemukan oleh al-Quran tersebut untuk pelaku tindak pidana al-¥ir±bah .105 f. Jarimah al-Riddah (pelakunya dinamakan murtad)
103
QS. Al-Maidah (5): 33, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 113
104
Lihat Auda, op. cit., h. 647
105
Lihat Ibid.
Sepintas lalu, keluar dan masuk dari satu agama ke agama yang lain merupakan hak asasi bagi setiap orang. Tetapi dari sudut pandang yang lain, hal itu dapat pula berarti pelecehan terhadap agama-agama yang ditinggalkan. Di dalam Islam, al-riddah dianggap suatu tindak pidana berat yang dapat dihukum mati. Olehnya itu Allah melarang keras perbuatan tersebut dengan ancaman di dunia dan akhirat: … “... Dan barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.106 Al-riddah atau murtad di dalam ayat ini, sama saja bagi seseorang keluar dari Islam dengan memeluk agama samawi lainnya (Nasrani dan Yahudi) atau kepada agama-agama bukan samawi (Hindu, Budha, penyembahan berhala, dan lainnya).107 Hukuman terhadap tindak pidana murtad ini dijelaskan di dalam beberapa hadis, di antaranya Nabi Saw. Bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
108
Barang siapa yang mengganti agamanya (keluar dari Islam), maka bunuhlah ia. (HR. Al-Bukhary). Dalam hadis lain dijelaskan: 106
QS. Al-Baqarah (2): 217, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 34
107
Lihat al-Mawardi, op. cit., h. 101.
108
Lihat Abu abdillah bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid IX (Bairut: “Alam al-Kutub, t.th.), h. 35.
ال يحل دام امرء مسلم يشهد أن ال إله إال هللا وأني رسول هللا إال بإحدى 109 الثيب الزانى والنفس بالنفس والتارك لدينه,ثالث Tidak halal (ditumpahkan) darah orang-orang Islam yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku (muhammad) sebagai rasul-Nya kecuali pada tiga hal; janda atau duda atau orang-orang yang sudah menikah berzina, orang yang membunuh sesamanya muslim (dengan sengaja), dan orang-orang (Islam) yang keluar dari agamanya. (hadis diriwayatkan dari Abdullah bin Umar). Pada masa khalifah Abu Bakar Ra., orang-orang murtad diperangi dan dianggap sebagai salah satu jihad fi sabilillah, selain memerangi
orang
musyrik
membayar
zakat.110
Apabila
dan
orang-orang
orang-orang
yang
murtad
enggan tersebut
tertangkap atau berada di dalam wilayah kekuasaan Islam, maka ia dapat dihukum bunuh, perkawinan mereka dengan sendirinya terputus dari istri-istri mereka yang masih Islam, harta mereka yang tertinggal dianggap sebagai harta fay (rampasan), dan bila mereka melarikan diri, akan terus dikejar walaupun sampai ke negeri bukan Islam (bila masih memungkinkan). Jika orang murtad
tersebut
telah
dihukum
bunuh,
mayatnya
tidak
dimandikan, tidak dishalati, bahkan kuburnya pun dirahasiakan agar orang tidak mengenalnya dan mengenangnya.111 Di dalam eksekusi, biasanya orang-orang murtad diikat kedua tangannya lalu dipancung dengan pedang. Ibnu Jurair 109
Lihat Ibid., h. 36, lihat juga Yahya bin Syarf al-Nawawi, op. cit., h.
243. 110
Lihat al-Mawardi, loc. cit.
111
Lihat Ibid., h. 103
bahkan berpendapat, bahwa “ia harus dipukul dengan kayu balok hingga mati, agar ia merasakan hukuman tersebut lebih lama, dan masih memungkinkan bagi dirinya untuk bertaubat”.112 Namun sebelum orang-orang murtad tersebut dieksekusi, ia harus ditanyai perihal kemurtadannya, diberi penjelasan atas kekeliruan perbuatannya dengan dalil-dalil yang kuat, dan diberi kesempatan untuk bertaubat. Khalifah Ali bin Abi Thalib bahkan memberi kesempatan kepada orang yang murtad untuk bertaubat dari kekeliruannya dengan menunda hukuman selama tiga hari lamanya, dan ini beliau lakukan atas al-Mustawid al-Ajli. Setelah tiga hari, barulah beliau menghukum mati atasnya karena ia ternyata tetap di dalam kemurtadannya.113 Di antara ulama berpendapat, bahwa hukuman mati tersebut sangat wajar dijatuhkan atas orang-orang yang murtad, karena tindak pidana tersebut terkait langsung dengan penghormatannya kepada syariat yang diturunkan Tuhan, sehingga sama dengan melakukan kesaksian palsu kepada Tuhan.114 Perasaan “tidak malu” kepada Tuhan inilah yang biasanya membuat orang bisa berbuat apa saja (baik atau jahat) sesuai dengan kehendak dirinya sendiri, tanpa merasa terikat dalam satu aturan apapun juga. Mungkin saja di antara sarjana muslim ada yang memandang hukuman terhadap orang-orang murtad tersebut terlalu berat dan 112
Lihat Ibid.
113
Lihat Ibid.
114
Lihat Ibrahim Hosen, loc. cit.
berlebihan, apalagi dengan syarat-syarat yang terlalu longgar apabila dibandingkan dengan syarat-ayarat jarimah yang lain (misalnya zina), sedang hukuman tersebut juga menyangkut jiwa manusia, makanya tidak relevan lagi dengan peradaban modern saat ini. Dari satu segi mungkin saja hal ini dapat dibenarkan, tetapi bila berpikir secara berimbang bahwa kalau hal itu dibiarkan tanpa suatu ketentuan apapun, maka akan muncul orang-orang yang dengan mudah gonta-ganti agama dan dengan mudahnya memperalat agama untuk ambisi-ambisi tertentu. Hal tersebut nyata ketika orang tidak lagi menaruh hormat pada agama dan dianggap sikapnya itu sebagai bagian dari hak asasi (kebebasan mutlak), toh urusan dengan agama hanyalah urusan Tuhan dengan individu. Kalau hal ini terjadi pada agama Islam, berarti agama Islam tidak berarti lagi menjadi ra¥matan li al-‘±lam³n, hudan li al-n±s, dan tujuan-tujuan mulia syariat Islam lainnya di dunia dan akhirat. Puncak dari pernyataan ini ialah “agama Islam sama saja dengan agama-agama yang lain”, jadi apa untungnya menegakkan syariat Islam?, dan opini seperti inilah yang
ditunggu-tunggu
oleh
orang-orang
yang
ingin
menghancurkan umat Islam dari keyakinannya kepada syariat Islam. Dari segi kaedah-kaedah usul, maka di antara maqashid alsyar’iyah yang terpenting adalah pemeliharaan agama ( الدين
)حفظ,
sehingga jiwa orang Islam pun diperintahkan untuk dikorbankan
ketika agama terancam dalam seruan jihad, meskipun memelihara jiwa juga termasuk yang terpenting lainnya. Hal ini disebabkan karena “agama” menurut Yusuf al-Qardawi, merupakan puncak tertinggi dari alam, roh kehidupan, subtansi, eksistensi, dan rahasia diri manusia.115 Tindak pidana al-riddah selain menjadi pelecehan kepada Allah dan agama Islam, juga berdampak lebih luas kepada stabilitas masyarakat; (1) Karena
pemeluk
tersinggung,
agama
sehingga
yang
mudah
ditinggalkan menimbulkan
akan
merasa
disintegrasi.
Apalagi saat ini umat beragama sangat sensitif, tinggal menunggu sebuah “alasan” untuk saling bermusuhan, sedang untuk mempersatukan mereka secara hakiki tidak mungkin, karena pada dasarnya mereka akan selalu merasa berbeda. Dengan
sebuah aturan tegas, dapat menjadikan mereka
berusaha untuk hidup saling toleransi, mencari kesamaan di antara mereka yang berbeda agama dalam satu suku-bangsa. (2)
Dengan kemudahan gonta-ganti agama, menjadikan orang
tidak miliki rasa hormat pada agama, dan bahkan terkadang menjadi tameng atau alat untuk maksud tertentu yang jauh dari tujuan diwahyukannya agama, misalnya hanya untuk mengawini wanita tertentu, menjabat satu jabatan tertentu, melariskan dagangan, dan lainnya. Sepintas lalu hal ini adalah
115
Lihat Yusuf al-Qardawi, al-Siyasah al-syar³’ah, op.cit., h. 272
hak
asasi
setiap
orang,
tetapi
masalah
tersebut
dapat
menyebabkan pemeluk agama ikut merasa dilecehkan, akan mudah
menimbulkan
disintegrasi
di
tengah-tengah
masyarakat. (3)
Akan merusak nilai-nilai dan menghilangkan kemuliaan
agama yang ditinggalkan, dan hal ini akan memunculkan berbagai opini negatif di kalangan umat beragama. Dengan dijadikannya jarimah al-riddah sebagai salah satu tindak
pidana
terhadap
serius,
urgensi
akan
Islam,
dan
mengubah
pandangan
mengurangi
manusia
terjadinya
kasus
pelecehan agama Islam, sehingga bagian yang terpenting dari tujuan syariat; yaitu pemeliharaan agama Islam dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya. g. Jarimah al-bagy (pemberontakan) Secara istilah al-bagy berarti menginginkan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan masyarakat tanpa
alasan
yang
benar.
Para
fuqaha
kemudian
lebih
menfokuskan tindakan al-bagy (pemberontakan) kepada tindakan pembangkangan/ penolakan keras untuk patuh kepada imam atau pemerintah yang sah, dan puncaknya diiringi dengan kudeta berdarah.116 Ancaman terhadap pelaku al-bagy, telah dijelaskan oleh Allah di dalam al-Quran:
116
Lihat Rahmat Djatnika, op. cit., h. 59
“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golonganitu kembali (kepada perintah Allah). Apabila golongan tersebut kembali bertaubat, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, berlakulah adil. Sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang berlaku adil.117 Dengan demikian yang dimaksud “pemberontak” dalam ayat tersebut adalah orang-orang beriman yang berbeda faham, dengan keras membangkang terhadap imam yang sah dan memisahkan diri
dari
jamaah
kaum
muslimin,
karena
faham
yang
diciptakannya sendiri (mengada-ada).118 Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan istilah al-bagy adalah: 1. Keluar dan ingkar (menentang) pemerintah yang sah, 2. Membelot dan memusuhi pemerintahan tersebut, 3. Ada maksud-maksud kriminal (memberontak atau kudeta).119 Namun demikian, tidak mengikuti/ taat pada pemerintah dalam kemaksiatan tidak dikategorikan bughat oleh para fuqaha pada umumnya. 117
QS. Al-Hujurat (49): 9, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 516.
118
Lihat al-Mawardi, op.cit., h. 108
119
Lihat Rachmat Djatnika, loc.cit.
Hukuman atas pelaku al-bagy menurut ayat tersebut adalah diperangi yang memungkinkan pembunuhan atas mereka, sampai mereka kembali menyadari kekeliruan dan minta maaf pada jamaah kaum muslimin. Ketika kelompok orang dinyatakan sebagai pemberontak dengan kriteria-kriteria yang ada dan lewat suatu musyawarah, maka imam/ pemerintah menugaskan sekelompok pasukan untuk memerangi kaum pemberontak tersebut. Sebelum menghancurkan mereka,
harus
(pemberontak)
diberi minta
peringatan
maaf
atas
dan
supaya
kekeliruan
mereka
mereka.
Para
pemberontak harus diberi waktu untuk meluruskan faham mereka yang salah. Jika mereka tetap memberontak, maka pasukan kaum muslimin boleh memerangi mereka. Hanya saja, etika peperangan terhadap pemberontak, sangat berbeda dengan perang pada saat menghadapi orang yang murtad dan
orang
musyrik.
Al-Mawardi
menyebutkan
delapan
perbedaannya yang mendasar, beberapa di antaranya: 1. Penyerbuan atas kaum pemberontak pada daasrnya bertujuan untuk menghentikan pemberontakan mereka, dan bukan tujuan utama untuk membunuh
dan mengalahkan mereka, seperti
yang dilakukan pada penyerbuan atas orang musyrik dan orang murtad. 2. Para pemberontak baru boleh diserang, jika mereka menyerang lebih dahulu.
3. Orang-orang yang tertawan dari kaum pemberontak tidak boleh
dibunuh
(hanya
boleh
membunuh
mereka
dalam
peperangan), sedang tawanan orang murtad dan orang musyrik boleh dibunuh. 4. Dalam menghadapi kaum pemberontak, pasukan Islam tidak boleh bersekutu dengan orang kafir muwahid (orang kafir yang berdamai dengan orang muslim) ataupun dengan kafir dzimmi. 5. Harta kaum pemberontak tidak boleh diambil dan anak istri mereka tidak boleh disandera. 6. Kaum
pemberontak
yang
tewas
dalam
pertempuran
diperbolehkan dishalati dan dimandikan, meskipun dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat.120 Etika perang tersebut tetap dipertahankan ketika memerangi kaum pemberontak, karena pada hakikatnya mereka juga masih muslim (simak QS. Al-Hujurat (39): 9), hanya mereka melanggar karena memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin atau melawan terhadap pemerintahan kaum muslimin yang sah. Khalifah Ali r.a. adalah salah satu contoh, dalam masa pemerintahanya tetap menjaga hubungan baik dengan para khawarij sampai mereka membangkang dan memberontak, beliau juga tetap menjaga hubungan dengan lawan politiknya di perang jamal, dan sebagainya. h. Jarimah Qi¡±¡-diyat
120
Lihat al-Mawardi, op. cit., h. 114.
Secara bahasa, qi¡±¡ adalah al-musawa wa al-ta’adul, artinya sama dengan seimbang, atau qatha’a artinya memangkas atau memotong.121 Istilah qi¡±¡ dipahami sebagai hukuman yang sama dan seimbang dengan kejahatan yang diperbuat oleh pelaku tindak pidana. Jarimah qi¡±¡-diyat menyangkut tindak pidana terhadap jiwa atau anggota badan. Dengan demikian, jarimah qi¡±¡-diyat menyangkut tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan atau berkenaan dengan nyawa dan luka. Jenis jarimah qi¡±¡-diyat ini dibagi oleh para fuqaha kepada lima kriteria tindak pidana: 1. Tindak pidana pembunuhan yang dibagi kepada tiga kriteria: a) Pembunuhan dengan sengaja, b) Pembunuhan semi-sengaja, c) Pembunuhan tidak disengaja (tersalah)122 2. Tindak pidana penganiayaan dibagi kepada: a) Penganiayaan dengan sengaja, b) Penganiayaan tidak disengaja (tersalah) Permasalahan qi¡±¡-diyat ini diterangkan Allah dan rasulNya di dalam nas (al-Quran dan hadits), seperti firman Allah: … Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qi¡±¡ berkenaan dengan orang yang dibunuh: 121
Lihat Ibrahim Hosen, op.cit., h. 8
122
Lihat Auda, op. cit., h. 7.
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh ma’af dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik pula....123 Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.124 …
Dan Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya nyawa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qi¡±¡nya (balasan yang sama)....125 …
123
QS. Al-Baqarah (2): 178, lihat Departemen Agama, op. cit., h. 27.
124
QS. Al-Isra (17): 33, lihat Ibid., h. 285
125
QS. Al-Maidah (5): 45, lihat Ibid., h. 115.
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seseorang yang beriman karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal dia orang mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka hendaklah si pembunuh membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman, .....”.126 … … ...., Maka barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu, ....127 Dengan
memperhatikan
ayat
tersebut
di
atas,
maka
tergambar makna jelas tentang qi¡±¡ yaitu sebagai hukum balas (yang
adil);
misalnya
nyawa
“pembunuh”
harus
direnggut,
sebagaimana dia telah merenggut nyawa orang lain sebagai suatu balasan yang adil. Atau di dalam kasus penganiayaan, seseorang yang memukul orang lain sampai giginya patah, maka ia pun harus dipukul hingga giginya patah sebagai balasan yang setimpal atas perbuatannya sendiri.128 a). Pembunuhan Sengaja
126
QS. An-Nisa (4): 92, lihat Ibid., h. 93.
127
(QS. Al-Baqarah (2): 194), lihat Ibid., h. 30.
128
Lihat Abdurrahman I. Doi, I, Inilah Syariat Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h. 334
Tindak pidana ini adalah tindak pidana yang menghilangkan nyawa seseorang (yang haram dihilangkan) dengan adanya faktor kesengajaan.
Unsur-unsur
yang
harus
dipenuhi
oleh
suatu
pembunuhan sengaja: a) perbuatan tersebut membawa kematian, b) yang dibunuh adalah manusia yang diharamkan Allah untuk membunuhnya,
c)
perbuatan
tersebut
bermaksud
untuk
menghilangkan nyawa seseorang.129 Apabila unsur-unsur tindak pidana tersebut terbukti, maka diadakanlah qi¡±¡ yaitu dengan hukum bunuh. Menurut
para
fuqaha,
hukuman
atas
tindak
pidana
pembunuhan sengaja dapat dibagi kepada beberapa jenis hukuman (qi¡±¡): - Hukuman asli, yaitu hukum qi¡±¡ (bunuh) bagi pelaku. Sesuai dengan ketentuan Allah di dalam QS. Al-Baqarah (2): 178: “Hai orang-orang
yang
beriman
diwajibkan
atas
kamu
qi¡±¡
berkenaan dengan pembunuhan”, di dalam QS. Al-Maidah (5): 45 “Bahwasanya jiwa harus dibayar dengan jiwa”. Hanya saja ketentuan hukuman qi¡±¡ ditentukan oleh sikap ahli waris korban (misalnya difahami dalam QS. Al-Isra’ (17): 33), kalau ternyata pembunuh dimaafkan oleh semua atau salah satu (diantara para fuqaha) dari ahli waris korban, maka hukuman qi¡±¡ dapat diganti dengan hukuman pengganti.
129
Lihat Sayyid Sabiq, op.cit., Juz II, h. 435
- Hukuman pengganti, apabila hukuman qi¡±¡ karena adanya maaf, maka hakim dapat memberi hukuman pengganti berupa diyat (penuh) yang dibebankan atas pembunuh. Bila dipandang perlu oleh hakim, ia dapat menambah hukuman tersebut dengan ta’zir (sanksi disiplin). Hukuman pengganti ini dapat kita pahami dari maksud ayat di dalam QS. Al-Baqarah (2): 178 terdahulu: “..... Maka barang siapa yang mendapat pema’afan dari saudara (orang Islam), hendaklah yang memberi maaf tersebut dengan cara yang baik, dan orang yang diberi maaf harus membayar (diyat) kepada orang yang memberi maaf tersebut dengan cara yang baik pula,....”. - Hukuman pelengkap, seperti yang telah ditetapkan oleh nas bahwa seorang pembunuh akan terhalang dari kewarisan orang yang dibunuh, apabila di antara pembunuh dan korban terdapat hubungan kewarisan. Di antara fuqaha ada yang berpendapat, bahwa pembunuhan disengaja dengan menggunakan senjata tajam, maka hukuman yang harus diprioritaskan adalah dengan qi¡±¡. Abu Hanifah di antaranya berpendapat, bahwa keluarga korban hanya berhak meminta diadakan hukum qi¡±¡ dan tidak berhak menuntut ganti rugi, kecuali ada kesepakatan bahwa pembunuh ada kerelaan terhadap tuntutan tersebut.130 b. Pembunuhan semi-sengaja (tersalah)
130
Lihat al-Mawardi, op.cit., h. 381
Pembunuhan semi-sengaja ialah pembunuhan yang terjadi dengan suatu alat yang biasanya tidak dipakai untuk membunuh, misalnya kayu, rotan, sapu, dan lainnya dengan tidak ada maksud membunuh di dalamnya. Misalnya, seseorang memukul orang lain dengan kayu atau rotan (tidak ada tujuan untuk membunuh dan alat yang dipakai bukan untuk membunuh), lalu orang yang dipukul tersebut tiba-tiba meninggal karenanya.131 Pembunuhan semi sengaja atau menyerupai sengaja terjadi apabila perbuatan tersebut sengaja dilakukan pelaku tetapi tidak ada niat untuk membunuh korban,132 sehingga alat yang digunakan tidak lazim dipakai untk membunuh sebagaimana contoh alat sebelumnya. Hukuman atas tindak pidana ini menurut ketentuan Allah di dalam QS. Al-Nisa (4): 92, yaitu hukuman diyat dan kaffarat. Hanya mazhab Maliki yang mengkategorikan tindak pidana ini ke dalam tindak pidana pembunuhan disengaja dan hukuman yang berlaku atasnya adalah qi¡±¡-diyat, sesuai dengan beberapa dalil sebelumnya.133 Sedang fuqaha yang lain berpendapat, bahwa tindak pidana ini tidak termasuk dalam jarimah pembunuhan disengaja, tetapi di 131
Lihat Ibid., h. 384.
132
Lihat Abd al-Qadir Auda, op.cit., h. 94.
133 Dalam hal ini, mazhab Maliki membagi dua bentuk jarimah pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan tersalah. Menurut mereka pembunuhan jenis semi sengaja tersebut masuk kategori pembunuhan sengaja dengan melihat pada “kesengajaan pelaku berbuat”. Lihat Ibid, h. 7.
dalam tindak pidana tersendiri. Alasan mereka, bahwa yang membedakan antara jarimah yang pertama dengan jarimah yang kedua
terletak
pada
unsur
kesengajaannya
dan
alat
yang
digunakan. Ketentuan diyat (ganti rugi) menurut fuqaha, bersumber dari as-sunnah, dan hukuman bagi tindak pidana pembunuhan semi-sengaja di sini adalah diyat penuh ditambah sepertiga lagi dari hukuman asli. Padahal diyat penuh saja adalah sebesar seribu dinar (uang emas) atau seharga dua belas ribu dirham (uang perak). Atau bila ditebus dalam bentuk unta, yaitu seratus ekor unta dengan rincian: 20 ekor hiqqah (anak unta berumur satu tahun lebih), 20 ekor al-jadz’ah (unta betina dengan umur lebih dari dua tahun), 20 ekor binti labun (anak unta jantan yang akan masuk tahun ketiga), 20 ekor binti makhad (anak unta betina yang masuk umur empat tahun), dan 20 ibnu makhad (anak unta jantan yang masuk tahun kelima).134 Jumlah hukuman atau diyat dalam
pembunuhan semi
sengaja tersebut seluruhnya sebesar 1300 dinar atau 15600 dirham. Apabila ditebus dengan unta, sesuai dengan sabda Nabi Saw.:
134 Lihat al-Mawardi, loc.cit., ketentuan tersebut berdasarkan hadis Nabi saw. yang bersumber dari Ibnu Mas’ud dan diriwayatkan oleh al-Arba’ah, lengkapnya lihat Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 248.
أال إن دية الخطأ وشبه العمد ما كان بالسوط و العصاء مائة من اإلبل منها 135أربعون فى بطونها أوالدها “ketahuilah bahwa hukuman bagi pembunuhan tidak sengaja atau semi-disengaja yang dilakukan dengan tongkat atau kayu adalah seratus ekor unta, diantaranya empat puluh ekor yang sedang mengandung anaknya”.(HR.Abu Daud, an-Nasa’I dan Ibnu majah, dari Abdullah bin Amr bin Ash). ketentuan hukumannya adalah 30 ekor unta berusia empat tahun, 30 ekor unta berusia lebih dari empat tahun, dan 40 ekor unta betina yang sedang mengandung anak.136 Sedang ketentuan kaffaratnya, ialah memerdekakan budak mukmin dan membayar diyat pada keluarga korban. Dan sebagai hukuman tambahan, ialah berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai pembuktian taubat kepada Allah. c. Pembunuhan tersalah (tidak sengaja) Tindak
pidana
pembunuhan
ini
adalah
tindak
pidana
pembunuhan yang teringan karena sangat berbeda dengan tindak pidana
pembunuhan
sebelumnya;
baik
dilihat
dari
maksud
tindakan, alat yang dipakai, serta tidak adanya hubungan langsung antara tindakan pembunuh dan
yang
terbunuh (boleh
jadi
pembunuh sama sekali tidak mengenal orang yang terbunuh karenanya). Misalnya, seseorang yang melempar satu sasaran, tetapi lemparan tersebut mengenai orang yang sama sekali tidak 135
lihat Abd al-Rahman Muhammad Usman, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi daud, Juz XII (al-Maktabah al-Salafiyah, 1979), h. 292. 136
lihat al-Mawardi, op. cit., h. 385.
diperhitungkan, lalu akibat lemparan tersebut, orang yang kena meninggal. Juga seorang yang menggali lubang untuk sumur, suatu ketika orang yang lewat di situ dan jatuh sehingga meninggal, dan lainnya.Tindakan
dan
peristiwa
seperti
itu
dikategorikan
pembunuhan dengan tidak disertai kesengajaan (tersalah). Ketentuan hukumannya sebagaimana ketetapan Allah di dalam QS.An-Nisa ‘(4): 92 di atas; yaitu diyat dan kaffarat. Kaffaratnya ialah membebaskan budak mukmin kecuali apa bila tidak ditemukan, maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Adapun ketentuan diyatnya telah dijelaskan, yaitu diyat penuh sebelum ditambah sepertiga dari hukuman diyat untuk tindak pidana pembunuhan semi-sengaja. d. Jarimah penganiayaan dengan sengaja Jarimah
penganiayaan
adalah
tindak
pidana
terhadap
anggota badan manusia, baik dalam bentuk pemukulan maupun dalam bentuk pelukaan. jarimah ini merupakan kejahatan yang bermaksud menyakiti badan orang lain, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya.137 Jarimah ini bisa berasal dari jarimah pembunuhan yang tidak sempurna, dan bisa pula murni jarimah penganiyaan (bukan dimaksudkan untuk membunuh). Syariat dalam hal ini terlihat tidak membedakan dua kriteria terjadinya kasus penganiayaan tersebut, sebab yang penting adalah seberapa parah akibat dari tindak pidana tersebut, dan
137
lihat Abd al-Qadir Auda, op. cit., h. 204.
apakah tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataukah bukan kesengajaan?. Ketentuan tentan jarimah penganiayaan ini telah dijelaskan oleh Allah secara umum didalam QS.Al-Maidah(5): 45, bahwa setiap pelukaan terdapat balasan yang sama; jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, bahkan di setiap luka ada qi¡±¡. Kalau qi¡±¡ dimaafkan, barulah berlaku diyat pada setiap anggota tubuh yang rusak tersebut.138 Jarimah penganiayaan dapat dikelompokkan pada beberapa macam bentuknya, yaitu bisa berupa: 1) Pemotongan anggota badan, hukumannya bisa dengan qi¡±¡, diyat, dan dapat ditambah dengan ta’zir. 2) Menghilangkan salah satu anggota tubuh, maka hukumannya adalah diyat (ganti rugi) pada setiap anggota tubuh tersebut. Tetapi apabila yang dirusak adalah anggota tubuh yang mempunyai mamfaat paling urgen (panca indra) menurut sebahagian fuqaha, bahwa pelakunya dikenai dua diyat, yaitu diyat karena merusaknya dan diyat karena menghilangkan fungsinya. 3) Melukai anggota tubuh di kepala dan wajah. Di sini para fuqaha membahasnya tersendiri dan membaginya kepada beberapa tingkatan:
138
lihat al-Mawardi, op. cit., h. 386-387.
(a)
Al-Damiyah atau pelukaan yang hanya menyebabkan
keluarnya darah di wajah atau kepala. (b)
Al-Mutalahimah atau pelukaan yang menyebabkan
rusaknya daging. (c) Al-Badzi’ah atau pelukaan yang menyebabkan rusaknya daging dan kulit. (d)
Al-Simhaq atau pelukaan yang menyebabkan habisnya
semua daging sehingga yang tersisa tinggal tengkoraknya. (e)Al-Muwadzdzihah atau pelukaan yang menyebabkan semua komponen-komponen wajah dan kepala menjadi rusak, sehingga tengkoraknya pun retak dan terlihat. Fuqaha dalam hal ini sepakat, bahwa yang bisa dikenai qi¡±¡ di situ hanya dalam masalah al-muwadzdzihah saja, sedang yang lainnya hanya dikenai diyat sesuai dengan keparahan yang diakibatkan penganiayaan tersebut. 4) Melukai anggota tubuh selain kepala dan wajah. Dalam hal ini fuqaha sepakat bahwa pada setiap pelukaan tersebut terdapat hukuman atau diyat sesuai dengan luka yang diakibatkan oleh penganiayaan itu. Hanya di dalam menetapkan berapa besar diyat pada macam-macam pelukaan tersebut, para fuqaha berbeda pendapat di dalamnya.139 Apabila kembali pada ayat terdahulu, maka selain ketentuan diyat di dalam setiap penganiayaan tersebut terdapat juga
139
lihat Ibid., h. 387-388
kaffarat, dan maaf dari korban atau keluarganya merupakan kaffarat atas jarimah ini. Hukuman
qi¡±¡
terlihat
sangat
adil,
bahkan
menurut
perasaan dan pertimbangan obyektif pun akan berpendapat demikian. Merupakan perbuatan adil ketika seseorang dihukum sama persis dengan kejahatan yang dilakukannya dengan sengaja (hal ini dianggap sebagai bagian dari persetujuan dan kemauan pelaku), apalagi dengan mempertimbangkan perasaan keluarga korban, dan perasaan masyarakat banyak atas kasus pembunuhan dan
penganiayaan
sengaja
tersebut.
Hukum
pidana
Islam
senantiasa memandangnya dari semua sisi masalah. e. Jarimah Penganiayaan Tidak Sengaja (tersalah) Perbedaan
tindak
pidana
ini
dengan
tindak
pidana
sebelumnya (bagian d.) terletak pada unsur ketidaksengajaan; apakah karena dalam keadaan lupa, tidak sadar karena penyakit, tidur, dan lainnya, atau dalam kasus tindakan tertentu yang bukan bertujuan kepada penganiayaan, misalnya seorang guru yang menghukum muridnya dan tanpa sengaja, murid tersebut luka, padahal tidak ada maksud bagi guru tersebut untuk menganiaya muridnya. Meskipun demikian, para fuqaha tetap menggolongkan tindakan tersebut ke dalam suatu tindak pidana tertentu, karena adanya pelukaan dan adanya subyek yang berperan di dalamnya.
Hanya saja menurut fuqaha, hukuman jarimah ini bukanlah qi¡±¡, tetapi diyat yang tentunya lebih ringan dari jarimah-jarimah sebelumnya, dan ini sangat tergantung kepada seberapa parah akibat yang ditimbulkannya, apakah dengan diyat penuh ataukah hanya al-‘arsy (kurang dari diyat penuh). Ketentuan
ini
bersumber
pada
dalil-dalil
yang
telah
dikemukakan, juga kepada beberapa ketetapan dari Nabi Saw., bahwa “Pada setiap anggota tubuh ada diyatnya”, misalnya apabila sampai merusak hidung, mata, kelamin, atau anngota badan yang lain, semuanya tetap dikenakan diyat, walaupun tindak pidananya dilakukan secara tidak sengaja.140 Demikianlah Allah dan Rasul-Nya menetapkan aturan-aturan pidana yang bertujuan untuk memelihara semua sendi-sendi kehidupan manusia yang paling urgen, baik aturan-aturan di dalam
jarimah
¥ud-d
dan
qi¡±¡-diyat,
maupun
ketentuan-
ketentuan umum di dalam jarimah ta’zir yang akan dibahas berikutnya. Dalam penerapan hukum pidana ini, para uqaha membagi kewenangan atau hak yang memberi pengaruh besar di dalam pelaksanaannya, yaitu: 1) Hak-hak atau kewenangan Allah yang terdapat di dalam jarimah ¥ud-d pada umumnya, seperti di dalam jarimah zina, pencurian, murtad, pemberontakan, perampokan, dan lainnya. Sehingga
140
lihat Muhammad bin Ismail, op. cit., h. 244-248
hukuman tersebut tidak dapat diubah-ubah ketentuannya, karena berhubungan dengan hak Allah. Hal ini juga disebabkan tindak pidana ini begitu serius dan menyangkut kepentingan masyarakat luas. 2) Hak-hak atau kewenangan manusia yang umumnya terdapat di dalam jarimah qi¡±¡-diyat dan ta’zir. Di dalam jarimah qi¡±¡diyat sebenarnya terdapat dua kewenangan yang bersatu di dalamnya, yaitu; kewenangan Allah di satu sisi yang harus ditegakkan karena menyangkut jiwa manusia dan ketentraman masyarakat banyak, tetapi terdapat pula kewenangan manusia sebagai pihak yang merasa dirugikan secara langsung atau keluarga korban, sehingga diberi hak untuk memilih hukuman yang menurutnya dapat mengobati rasa sakit hati mereka, diberi kewenangan untuk menentukan; pelaku tindak pidana dibalas dengan balasan yang sama dengan perbuatannya, atau dengan ganti rugi (yang tidak sedikit), atau bila mereka rela untuk memaafkannya.141 dalam
aturan
qi¡±¡-diyat,
hukum
pidana
Islam
sangat
memperhatikan hak manusia, khususnya pihak korban yang langsung merasakan akibat dari tindak pidana tersebut, sehingga maaf dari mereka dapat membatalkan hukuman mati. hal ini menjadi bukti lain bahwa hukum pidana Islam bukan hukum sadis
141
lihat al-Mawardi, op.cit., h.362.
seperti yang sebagian masyrakat Indonesia dan umat Islam asumsikan. 4.Ta’zir Sebagai Alternatif dalam Hukum Pidana Islam Berbeda
dengan
dua
jarimah
sebelumnya,
di
dalam
penerapan asas legalitas hukum pidana Islam terdapat pula bentuk jarimah yang tidak ditentukan secara rinci dalam nas, yaitu jarimah
ta’zir.
Melihat
banyaknya
pelanggaran-pelanggaran
(delik) di luar ketentuan jarimah had dan qi¡±¡-diyat sehingga tidak mungkin ditentukan seluruhnya oleh nas. Pengertian ta’zir ialah: 142
التأديب على ذنب ال حد فيه وال كفارة
Pengajaran (yang diberikan) atas pelanggaran yang tidak ditentukan hukuman had dan kaffaratnya oleh nas”. Dengan kata lain, ta’zir adalah
jenis hukuman yang
diberikan oleh hakim sebagai pengajaran atas delik yang tidak dijelaskan dengan rinci oleh syara’, misalnya dalam kasus pencurian premature (tidak cukup nisab atau karena ada syubh±t), penganiayaan yang tidak merusak anggota badan secara fatal, lesbian (suatu pendapat), tuduhan selain dalam kasus zina, dan lainnya.143 Berbeda dengan jarimah qi¡±¡-diyat sebelumnya, kekuasaan hakim dalam jarimah ta’zir lebih luas untuk mempertimbangkan, baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya.144 142
lihat Ibid., h. 497.
143
lihat Ibid., lhat juga Abd Al-Qadir Auda, op. cit., h. 127.
144
lihat Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana…, op.cit., h. 325.
Olehnya itu, kredibilitas seorang hakim sangat diperhatikan dalam hukum Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada dengan perubahan-perubahan yang sosial tanpa mengabaikan kepastian hukum dengan berpedoman pada prinsip-prinsip syari’ah.145 Ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas hukuman ta’zir. Dengan berpedoman pada hadis yang ditakhrij oleh al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud : 146
ال تجلدوا فوق عشرة أسواط إال فى حدود هللا تعالى
“Janganlah kamu mendera di atas sepuluh kali deraan kecuali dalam hukuman had yang telah ditentukan oleh Allah”. Pendapaat ini diperpegangi secara harfiyah oleh Imam Ahmad bin Hanbal, al-Laits, Ishaq dan segolongan dari Syafi’iyah. Sedang Imam Malik, Syafi’i dan Zaid bin Ali membolehkan hukuman ta’zir lebih dari sepuluh kali cambukan, asal saja tidak sampai pada ketentuan hukuman had dan qi¡±¡. Dan ada pula yang berpendapat, sesuai dengan pertimbangan hakim dan penguasa untuk terwujudnya kemaslahatan sesuai dengan kadar jarimah yang dilakukan.147 Sifat-sifat hukuman ta’zir ada berupa : 1. Ucapan, misalnya; dengan peringatan-peringatan, nasehat, atau larangan-larangan.
145
lihat Abd al-Qadir Auda, loc. cit.
146
Lihat al-Bukhari, op.cit., h….., lihat juga al-Nawawi, op.cit., h…..
147
lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 499.
2. Dengan hukuman; yaitu seperti: cambukan (deraan), penjara, penahanan, buang, pengucilan atau pengasingan.148 Abdul Qadir Auda membagi jenis-jenis ta’zir kepada tiga bagian : 1. Ta’zir atas perbuatan-perbuatan maksiat. Yang membedakan jarimah ini dari ta’zir yang lainnya ialah bahwa jarimah ta’zir ini ditetapkan kejarimahannya oleh nas sehingga sampai kapanpun merupakan maksiat yang dilarang oleh syara’, hanya saja tidak ditetapkan hukuman hadnya. Misalnya : memakan bangkai dan daging babi bukan dalam keadaan darurat, merusak puasa Ramadhan di siang hari tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’, riba, dan lainnya.149 2. Ta’zir demi kemaslahatan umum. Jarimah ini pada prinsipnya tidak
dilarang
oleh
syara’,
akan
tetapi
karena
sifatnya
mengganggu kemaslahatan umum. Misalnya; untuk sementara waktu menahan seseorang yang dituduh sebagai pencuri sebagaimana
yang
dilakukan
oleh
Rasulullah
Saw.
Atau
menahan orang gila karena dapat mengganggu ketertiban umum.150 3. Ta’zir atas keberpalingan (dari hal-hal yang makruh dan sunnah). Para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini; yang menolak berpendapat bahwa hal yang makruh bukanlah yang 148
Lihat Ibid., h. 498.
149
lihat Abd al-Qadir Auda, op. cit., h. 128
150
lihat Ibid., h. 150, 157.
haram (maksiat), dan masalah sunnah tidaklah berdosa bila ditinggalkan. Sedang fuqaha membolehkan ta’zir padanya, memandang bahwa hal yang makruh sebagai hal yang dibenci dan harus ditinggalkan, adapun yang sunnah adalah perintah atau contoh yang harus ditiru dan dilaksanakan. Fuqaha yang membolehkan ta’zir atas “keberpalingan” tersebut perpedoman pada riwayat Umar yang menta’zir seseorang yang merebahkan binatang sembelihannya sebelum mengasah pisau pemotong lebih dahulu. Yang lain menambahkan bahwa perbuatanperbuatan “keberpalingan” yang dita’zir tersebut apabila dilakukan secara berulang-ulang.151 Walaupun hakim dalam jarimah ta’zir ini diberi keleluasaan untuk memilih jenis hukuman sesuai dengan jarimah ta’zir yang terjadi, namun hukum pidana Islam tetap mempertahankan kepastian hukumnya dengan menentukan bahwa hakim tidak boleh keluar dari ketentuan-ketentuan umum dan jiwa (prinsip-prinsip) hukum Islam itu sendiri.152 Sebab tugas hakim hanya memilih dan menggali hukum (lewat ijtihad) tetapi bukan pembuat hukum (Sy±ri’), sehingga harus tetap taat pada ketentuan-ketentuan umum syara’. Abu Hanifah membolehkan menambah hukuman had dengan ta’zir sesuai dengan ijma’, sedang Syafi’i membolehkan menambah
151
lihat Ibid., h. 156.
152
lihat Ibid., h. 127.
ta’zir atas jarimah qi¡±¡-diyat yang dimaafkan. Meskipun nas secara tekstual tidak melegalisasi (langsung) jarimah ta’zir, tetapi dengan adanya pelanggaran nas (delik atau jarimah), maka hakim diberi kekuasaan menangani kasus tersebut dengan alternatif hukum yang telah ditentukan oleh nas.153 Adanya ketentuan-ketentuan (nas) syara’ akan bentukbentuk jarimah dan bentuk-bentuk hukuman yang diancamkankan, telah memberi syarat nyata agar nas-nas tersebut ditegakkan demi terlaksana dan tercapainya tujuan legalitas hukum. 5. Tujuan pemidanaan Dalam Hukum Islam Allah Swt. mensyari’atkan hukum pidana Islam mempunyai tujuan-tujuan untuk kepentingan hidup manusia sendiri. Menurut penelitian para ulama, ada dua macam tujuan pemidanaan dalam hukum Islam: a) Tujuan yang sifatnya relatif (al-gard al-qar³b), yakni untuk menghukum (menimpakan rasa sakit yang adil) kepada pelaku tindak pidana, yang hanya mendorong pelaku menjadi jera dan bertaubat. Sehingga tidak dapat lagi mengulangi tindak pidana yang dilakukan, atau mencegah agar orang lain tidak berani mengikuti jejaknya. b) Tujuan absolut (al-gard al-ba’³d), yakni untuk melindungi kemaslahatan umum. Sebab dengan terwujudnya tujuan yang
153
lihat Ibid.
pertama maka otomatis akan terwujud pula tujuan jangka panjangnya (absolut).154 Para ulama juga mengemukakan fungsi adanya pemidanaan tersebut, yaitu secara umum ada dua fungsinya: pertama, sifatnya zawarij yang berkonotasi kepada keduniawian, kedua, sifatnya jawabir, yang berkonotasi kepada hal-hal ukhrawi.155 Fungsi pertama adalah untuk menyadarkan pelaku jarimah agar
tidak
mengulangi
lagi
tindak
pidana
yang
pernah
dilakukannya, dan agar pemidanaan itu menjadi pelajaran bagi orang lain, sehingga mereka tidak berani melakukan tindak pidana, serta orang-orang yang pernah melakukan tindak pidana tersebut dan belum tertangkap, menjadi berfikir seribu kali untuk mengulangi
perbuatannya.
Dengan
demikian,
akan
tercipta
kedamaian hidup di dunia ini. Sedaang fungsi kedua, bermaksud untuk menyelamatkan terpidana dari siksa di akhirat kelak (karena kesalahannya telah ditebus di dunia) sehingga dosa-dosa jarimahnya terhapus, dan bahkan
menjadi
kebajikan
baginya
karena
telah
membantu
penegakan syariat Tuhan. Dari penjelasan tersebut dapat difahami, bahwa hukum pidana Islam mengandung semua tujuan yang biasa dikenal dalam
154
lihat Ibrahim Hosen, op. cit., h. 16.
155
lihat Ibid.
dunia hukum pidana, yaitu untuk retribution (pembalasan), deterence (pencegahan), dan reformation (perbaikan).156 Tidak dapat dipungkiri apabila banyak di antara pengamat dan penulis hukum menjadi gentar dengan melihat formulasi hukum pidana Islam, sehingga mereka berpendapat bahwa satusatunya tujuan pemidanaan dalam hukum Islam adalah untuk pembalasan semata. Anggapan tersebut kita anggap keliru dan prematur, karena hanya didasari oleh penelitian yang tidak mendalam dan obyektif terhadap pemidanaan dalam hukum Islam. Ada dua hal yang menjadi fokus perhatian para pengamat tersebut sehingga
hukum
(pembalasan)
Islam
yaitu:
dikaitkan
kerasnya
dengan
hukuman,
sifat dan
retributif keharusan
menjatuhkan hukuman jika tindak pidana terbukti. Hukuman di dalam hukum pidana Islam didasarkan atas pertimbangan
fsikologis,
dengan
maksud
memerangi
kecenderungan para penjahat untuk melanggar hukum kembali, dengan pertimbangan-pertimbangan terhadap semua akibat-akibat dari tindak pidana tersebut. Sehingga selain bertujuan sebagai pembalasan (retributif), juga tidak dapat dipisahkan dari aspek deterence dan reformatif. Hukum pidana Islam malah mengenal aspek pencegahan lebih dalam dan tegas dibandingkan hukum pidana yang lain, sebab aspek pencegahan merupakan justifikasi utama di dalam
156
lihat Topo santoso, op. cit., h. 140
penghukumannya dan tidak semata-mata sebagai pembalasan. AlMawardhi malah mendefinisikan ¥ud-d (jamak dari kata had), sebagai kumpulan hukuman pencegahan yang ditetapkan oleh Allah untuk mencegah manusia dari melakukan yang dilarang dan melalaikan apa yang menjadi kewajiban.157 Teori-teori
pemidanaan
yang
ada
(seperti
reformatif,
retributif, deterence) saling terkait di dalam hukum pidana Islam, tidak boleh ditinjau dari satu sisi saja, karena semua tujuan dari hukum pidana tersebut telah berpadu di dalam penerapan hukum pidana Islam. Dengan demikian hukum pidana Islam tidak bisa hanya dilihat dari segi pembalasannya saja, karena juga mengandung aspek-aspek
pencegahan
dan
perbaikan
yang
sesungguhnya.
Dengan penerapan hukum pidana Islam, misalnya seorang pencuri akan terhalangi untuk mengulang kejahatannya, dan jalan terbaik bagi dirinya adalah bertaubat dari segala perbuatannya selama ini, dan bila taubat dalam dirinya telah membekas, maka dia tidak akan segan meminta maaf kepada orang yang pernah hartanya ia ambil,
bahkan
bila
harta
itu
masih
ada,
tentu
ia
akan
mengembalikannya dengan penuh keikhlasan. Tentang tangannya yang terpotong tentu bukanlah aib baginya ketika ia telah bertaubat, dan bisa menjadi peringatan bagi yang lain untuk tidak mencobanya, sebab menjadi bekas penjahat lebih baik dari pada
157
lihat al-Mawardi, op. cit., h. 358
menjadi bekas orang yang bertaubat. Mungkin hal ini terlalu ideal, tetapi demikianlah cara syariat memperbaiki dan mencegah halhal yang sangat berbahaya bagi manusia. Selain ketiga teori tersebut, hukum pidana Islam lebih luas mengenal teori “afwan”, yaitu kewenangan korban dan keluarga korban untuk memaafkan pelaku.158 Yang menjadikan hukum pidana Islam menghargai hak individu dan kelompok, bahkan hukum
mati
dapat
terhapus
oleh
kewenangan
manusia
di
dalamnya seperti dalam kasus tindak pidana qi¡±¡-diyat, yang berarti bahwa hukum pidana Islam bukan merupakan hukum yang sadisme. D. Sejarah Penerapan Hukum Pidana Islam Keadaan masyarakat Arab sebelum Islam datang, diwarnai dengan budaya diskriminasi, misalnya; kaum wanita dianggap manusia “kelas dua” yang tidak memiliki hak apa pun dan tidak ada bedanya dengan harta yang boleh diperjual belikan dan diwariskan kepada ahli waris berikutnya, terjadi kesenjangan yang terlampau jauh antara yang kaya dan miskin, antara tokoh masyarakat dengan masyarakatnya, antara tuan dengan budaknya, dan sebagainya. Adat ini sudah sangat mendalam karena sudah terbentuk selama berabad-abad lamanya, sehingga sangat sulit disembuhkan. Bahkan
158
penganut
agama
sebelumnya
lihat Topo Santoso, op. cit., h. 191.
(Yahudi
dan
Nasrani)
terpaksa menetap dipinggiran kota karena suasana istiadat masyarakat ketika itu. Sedang orang Arab pada umumnya tidak bisa baca dan tulis, serta agama mereka Paganisme (penyembah berhala).159 Agama Islam kemudian datang memperbaiki berbagai adat yang rusak sesuai dengan tingkat keparahannya, mengajak kepada kebaikan dan tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang baik, mulailah harkat wanita diangkat dengan memerinya fungsi-fungsi tertentu
dalam
rtumah
tangga
dan
masyarakatnya,
serta
membatasi “kekuasaan tanpa batas” pada laki-laki (misalnya; membatasi poligami, mempersulit perceraian serta wewenang penuh laki-laki dalam keluarga dan masyarakat). Perbudakan dikikis sedikit demi sedikit lewat ketentuan membebaskan budak, (sebagai
kaffarat
pelanggaran-pelanggaran
tertentu),
secara
bertahap melarang minum khamar, riba dan perzinaan, serta kejahatan-kejahatan yang lain.160 Pada priode awal turunnya wahyu, misi Islam lebih berfokus pada pemurnian aqidah, yang berintikan kepada penyembahan dan ketaatan semata-mata kepada Allah Swt., setelah itu barulah wahyu turun secara bertahap memperkenalkan aturan-aturan yang lurus tanpa meninggalkan misi utamanya yaitu penyembahan dan
159
lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945 (Jakarta: UI Press, 1998), h. 21 160
lihat Ibrahim Hosen, op. cit., h. 18. lihat juga Mahmoud Saltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 57
ketaatan semata-mata kepada Allah (pemurnian aqidah). Hal ini dapat dilihat dalam susunan ayat, terhadap perbauran antara ayat tentang hukum perang pada bulan haram dengan pengharaman minuman
keras,
judi,
persoalan
anak
yatim,
dan
hukum
perkawinan dengan orang-orang musyrik.161 Hal ini bisa berarti bahwa hukum Islam tidak melepaskan diri dari hal-hal di luar hukum, dan hukum Islam dapat masuk pada setiap dimensi kehidupan manusia. Sebab pada hakikatnya, semua yang ada di dalam syariat merupakan hal yang padu dan saling terkait antara yang satu dengan yang lain. Bahkan yang menjadi problem utama bagi negara-negara hukum sekuler ketika ingin mensekulerkan hukum semurni-murninya, sebab pasti akan berbenturan dengan kaidah dan bidang yang lain. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tujuan pokok al-Quran dalam membina kehidupan manusia, dan ketiga hal tersebut tidak boleh
dipisahkan
dari
hukum
Islam
agar
manusia
hidup
berbahagia di dunia maupun di akhirat, yaitu masalah aqidah, akhlak, dan hukum, Sedang al-Quran diturunkan untuk semua tempat dan zaman.162 Setelah rampung, al-Quran memuat 368 ayat-ayat hukum dan 30 ayat diantaranya mengatur masalah hukum pidana. 161
ketentuan tersebut menjadi penjelasan QS. al-Baqarah (2): 216-223, selengkapnya lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1995), h. 34. 162
lihat Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986), h. 7-8.
Meskipun ketentuan ayat tentang hukum pidana hanya sedikit, aturan tersebut amat penting ditegakkan demi kemaslahatan masyarakat.163 Pada masa Nabi Saw, hukum pidana ditegakkan dengan tegas, dengan tetap memperhitungkan aspek-aspek moral dan pendidikan. Sehingga pada beberapa kasus pidana Beliau bersikap tegas, namun pada sisi yang lain
tetap bersikap hati-hati,
misalnya dengan dikeluarkannya aturan untuk membatalkan ¥ud-d kalau ada syubh±t, juga Beliau pernah bersabda: “seorang hakim lebih baik salah dalam memaafkan daripada salah dalam menjatuh sanksi”.164 Pada masa Nabi saw., hukum Islam pada umumnya belum berkembang seperti sekarang ini, ijtihad dari setiap orang belum dibutuhkan
karena
Nabi
Saw
masih
ada
di
tengah-tengah
masyarakat, dan setiap permasalahan baru selalu merujuk kepada apa yang diputuskan oleh Beliau. Pelaksanaan hukum pidana ketika itu masih menyatu antara teori dengan praktek, dengan kedudukan hakim yang langsung dipimpin oleh Nabi, sehingga apa yang diputuskan dalam setiap peradilan sekaligus menjadi dasar (nas atau yurisprudensi) bagi kasus-kasus setelahnya. Hukum Islam ketika itu, pada umumnya
163
lihat T.M. Hasbi ash-Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 66. 164
lihat Fath Ridwan, Min Falsafah al-Tasyri’ al-Islami (Cet. II; Dar alKitab al-Libnan, 1975), h. 177.
masih cukup dengan sifat “tekstualnya”, sebagai masa awal pembentukan perundang-undangan dengan wilayah Islam yang belum begitu luas. berbagai kasus dalam kepidanaan telah diselesaikan pada masa Nabi Saw, baik oleh beliau secara langsung, maupun oleh sahabat yang dipercayakan untuk menanganinya. Peran Nabi dalam hal ini, selain sebagai rasul yang menyampaikan risalah, juga sebagai sebagai hakim dalam memutuskan perkara. 136 Putusan-putusan Nabi tersebut kemudian dikodifikasi
dalam
berbagai kitab hadis, dan yang berkaitan dengan hukum secara keseluruhannya terdapat sekitar 4500 hadis.165 Setelah Nabi wafat, kepemimpinan dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiqy selama kurang dari 3 tahun. Hukum pidana Islam belum mengalami perkembangan yang berarti, karena khalifah Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti, penerus) rasul secara umum melestarikan pelaksanaan kepidanaan pada masa Nabi, hal ini bisa saja terjadi dikarenakan dalam pelaksanaan kepidanaan bersifat ¥ud-d atau sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah. Tetapi
secara
umum,
hukum
Islam
mulai
memperlihatkan
perkembangannya karena ijtihad mulai digalakkan, walaupun sifatnya kolektif dalam bentuk ijma’ (konsensus) para sahabat.
165
166
lihat Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid IV (Jakarta: INIS, 1996), h. 52, 56-57. 166
lihat Daud Ali, op. cit., h. 155
Sumber hukum Islam pada masa khalifah Abu Bakar, selain dari al-Qur’an dan hadis, juga dari ijma para sahabat Nabi. Ijma pada masa itu masih mudah diperoleh karena para sahabat terkemuka ketika itu masih berada dalam wilayah yang belum begitu luas dan mudah bagi mereka untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat, apalagi jumlah mereka ketika itu masih terbilang sedikit apabila dibandingkan dengan para pakar hukum Islam di berbagai benua saat ini. Kasus hukum yang ditangani oleh khalifah Abu Bakar secara umum dikenal dalam sejarah, di antaranya; permasalahan orang Islam yang enggan membayar zakat, memerangi orang murtad dan para nabi palsu, disamping masalah pentadwinan al-Qur’an yang cukup mengundang perhatian dan polemik di antara sahabat Nabi. Permasalahan
hukum
mulai
berkembangan
seiring
dengan
semakin berkembangnya wilayah kekuasaan Islam.167 Kekhalifahan
Umar
bin
Khattab
lebih
lama
masanya
daripada pemerintahan Abu Bakar sebelumnya, yaitu sekitar 11 tahun pemerintahan. Dalam masa ini wilayah kekuasaan Islam telah
meluas
hingga
ke
Teluk
Persia,
Palestina,
bahkan
menyeberang hingga benua Afrika. Pemeluk agama Islam semakin bertambah banyak, dengan latar belakang masyarakat, suku, dan adat yang beraneka ragam, harta rampasan perang dan sumber
167
lihat Ibid., lihat juga al-Mawardi, op.cit., h. 107-108.
kekayan negara melimpah menjadikan pemerintahan Islam hidup dalam kecukupan. Meluasnya wilayah Islam dan semakin beraneka ragamnya masyarakat, budaya, dan adat penduduk muslim ketika itu melahirkan permasalahan baru dalam hukum Islam, termasuk di dalamnya permasalahan dalam hukum pidana. Keadaan tersebut menuntut berbagai upaya ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, khususnya oleh khalifah Umar bin Khattab, bahkan di dalam pemerintahan, lahir berbagai kebijakan baru, seperti penetapan gaji bagi tentara, penetapan tahun hijriyah sebagai penaggalan hari, bulan, dan tahun bagi umat Islam, pembiasaan salat tarawikh pada awal malam di bulan Ramadhan, dan lainnya.168 Upaya Umar bin Khattab dalam berijtihad dan menafsirkan nas secara kontekstual sangat diperlukan ketika itu. Hal itu disebabkan karena keadaan masyarakat pada masanya jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya, serta posisi beliau ketika itu sebagai “penentu kebijakan” yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakatnya. Hal tersebut juga menjadi bukti dengan adanya dukungan penuh dari para sahabat ketika itu, dan menjadi pelajaran berharga bagi para mujtahid setelahnya hingga saat kini. Meskipun upaya umar tersebut dapat pula menjadi bumerang bagi
168
lihat Daud Ali, Ibid., h. 156
pakar Islam yang menjadikannya legitimasi untuk keluar dari nas sepenuh-penuhnya. Ijtihad Umar yang kelihatannya baru ketika itu dan terkesan sangat berani karena sepintas lalu bertentangan dengan teks nas, tetapi pada akhirnya mendapat restu dari jumhur sahabat, antara lain: 1. Menggugurkan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian pada masa paceklik, meskipun hal itu diperintahkan dalan nas seperti QS. al-Maidah (5): 38 2. Menghentikan pemberian zakat bagi muallaf, sekalipun hal tersebut tercantum dalam QS. al-Taubah (9): 60, 3. Melarang keras bagi laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab, padahal ketentuannya diperbolehkan oleh QS. alMaidah (5): 5. 4. Tentara
tidak
memperoleh
pembagian
ganimah,
padahal
ketentuannya diatur dalam QS. Al-Anfal (8): 41, dan contoh ijtihad Umar lainnya.169 Berbagai masalah tersebut pada awalnya cukup menuai berbagai kontroversi di kalangan sahabat, karena hal tersebut dilaksanakan secara tekstual pada masa sebelumnya (Nabi dan Abu
Bakar).
Khalifah
Umar
memahami
hal
tersebut
lalu
memusyawarakannya denga para sahabat. Setelah para sahabat memahami maksud Umar yang semata-mata ingin melaksanakan
169
lihat Daud Ali, op. cit., h. 157-158.
maksud syariat (maslahat), pada akhirnya semua sahabat sepakat dan mendukung hasil ijtihad Umar tersebut. Umar bin Khattab banyak mereinterpretasi ayat sesuai dengan perkembangan masyarakat pada zamannya, sehingga tujuan syariat dirasakan oleh masyarakat. Setiap kebijakan Umar yang bersifat public tidak ia jalankan secara otoriter, tetapi melalui hasil mufakat bersama para ulama ketika itu, sehingga tidak didapati dalam sejarah, masyarkat atau sahabat terkemuka memberontak atas kebijakan yang diambil oleh khalifah Umar, bahkan para ulama jauh setelah masanya sepakat dengan hasil ijtihadnya.170 Periode ini
dalam sejarah dikenal sebagai masa
kedua pertumbuhan hukum Islam. Keadaan masyarakat pada dua khalifah setelah Umar, yaitu masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib lebih banyak diwarnai dengan konflik vertikal dan horisontal, sehingga energi kedua khalifah ini banyak tersita untuk konsolidasi. Perluasan wilayah yang tetap mereka teruskan dari kebijakan khalifah sebelum mereka dengan semakin memperbaiki administrasi dan tatanan pemerintahan. Meskipun pelaksanaan hukum Islam secara umum mulai berkembang pada masa khal³fah al-rasy³dah, tetapi belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang memuat teori-teori putusan yang dapat dpakai pada masa-masa selanjutnya.
170
Pelaksanaan hukum Islam
lihat Yusuf al-Qardawi, Siyasah al-syar³’ah, op. cit., h. 158
tersebut baru merupakan berbagai keputusan hukum untuk menangani berbagai kasus yang terjadi saat itu (kasuistik), sehingga
sangat
memungkinkan
terjadi
perbedaan
dalam
menangani setiap kasus yang berbeda dan berkembang pada masa setelahnya. dengan dasar itulah sehingga para ulama tidak menamai tokoh pada masa itu sebagai fuqaha, walaupun dalam penerapannya sahabat melakukan ijtihad.171 Masa pemerintahan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah yang berlangsung sekitar 6 abad (662 M. – 1258 M.) dikenal sebagai masa pembinaan, kodifikasi, dan pengembangan hukum Islam. Hal ini biasa diunkapkan oleh para ahli sejarah hukum Islam, bahwa hukum Islam mulai tumbuh dan bekembang pada masa Umayyah dan berbuah pada masa Abbasiyah.172 Pada masa ini, muncul banyak fuqaha dengan berbagai karya fiqhinya termasuk di dalamnya membahas tentang hukum pidana Islam, walaupun belum merupakan bahasan tersendiri dan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ia menjadi bagian dari bahasan hukum Islam secara umum. Sumber istinbat hukum pada masa perkembangan ini tetap berpedoman pada dua sumber utama yaitu al-Qur’an dan hadis. Di samping itu para fuqaha dan usuli kemudian mengembangkan bentuk-bentuk metode ijtihad yang mereka pakai, seperti qiyas, 171
lihat Abd al-Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1991), 8 172
lihat Daud Ali, op. cit., h. 163
istihsan, istislah (maslahah al-mursalah), al-urf, istidzhab, dan lainnya. Hukum Islam berkembang pesat pada masa ini dengan tokoh-tokohnya yang sangat aktif dan kreatif. Pada masa ini pula bermunculan berbagai mujtahid mutlaq yang dipanuti menjadi berbagai mazhab yang berbeda-beda. Dalam berbagai kitab fiqhi klasik (yang lahir dalam abat pengembangan
tersebut)
dapat
ditelusuri
berbagai
bahasan
tentang materi hukum pidana Islam, bahkan menjadi salah satu bab bahasan dalam kitab fiqhi dan hadis, yaitu tentang al-jin±’³ (masalah kepidanaan). Hal ini di antaranya dapat ditemukan dalam kitab Fiqhi lima mazhab (al-Ma©±hib al-Arba’ah ditambah mazhab Syiah), serta dalam kitab fiqhi pengikut mazhab tersebut, seperti dalam kitab Sub-l al-Sal±m, Bid±yah al-Mujta¥³d, Nail alAut±r, dan lainnya, juga dalam berbagai kitab hadis seperti dalam kitab al-¢ah³hain, beberapa kitab Sunan dan Musnad, beserta dengan kitab syarahnya masing-masing. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada pertengahan abad 13 Masehi turut meruntuhkan kreatifitas umat Islam dalam berijtihad dan berkarya. Masa ini diwarnai dengan munculnya berbagai sikap fanatik buta (taklid), sehingga masa ini dikenal juga dengan masa kemunduran
dan
masa
kelesuan
berfikir.173
Meskipun
ada
beberapa tokoh dengan karyanya, tetapi kondisi umum umat Islam seolah menutupi kehadiran mereka, dan karya yang muncul pada
173
lihat Ibid., h. 174
masa kemunduran tersebut banyak bersentuhan dengan filsafat dan tasauf. Dalam biang hukum Islam lahir beberapa tokoh pembaru seperti al-Tufi, ibnu Taymiyah, dan al-Syatibi, meskipun dalam
masa
lingkungan
hidupnya
mereka
mereka
sendiri,
dan
hanya
berpengaruh
pengaruhnya
secara
dalam luas
dirasakan beberapa abad setelah mereka. Ibnu Taimiyah misalnya menjadi salah satu rujukan bagi gerakan Wahabiyah di Jazirah Arab (khususnya Arab Saudi), karya al-Tufi dalam hal ini tentang teori maslahatnya menjadi kajian yang memberi pengaruh kepada banyak pakar hukum Islam setelah disyarah dan dikaji dalam karya para murid dan ilmuan setelahnya. Masa kemunduran tersebut terjadi hingga akhir abad kedelapan belas Masehi. Dalam catatan Abu A’la al-Maududi, bahwa negara yang dulunya wilayah Islam yang paling pertama mencabut hukum Islam secara bertahap dari undang-undang negaranya, setidaknya ketentuan pidana mati dan hukum potong tangan bertahan hingga tahun 1971 Masehi. Bahkan sekitar pertengahan abad kesembilan belas, pemberlakuan hukum pidana Islam telah dihapuskan di seluruh negara yang pernah menjadi wilayah Islam, dan yang tertinggal masalah yang berhubungan dengan hukum perdata (ahwal al-Syakhsiyah).174 atauran tersebut juga sangat dibatasi hanya dalam masalah pernikahan dan perceraian.
174
lihat Abu A’la al-Maududi, op. cit., h. 62
Hal tersebut dapat dimaklumi, karena ketentuan hukum Barat yang bersumber dari Code penal Prancis berperinsip menegakkan HAM yang sifatnya sangat individualsistik yaitu penegakan hak-hak individu secara berlebihan, sedangkan hukum Islam pada umumnya dan hukum pidana Islam pada khususnya lebih mengedepankan HAM yang bersifat kolektif dan KAM (kewajiban asasi manusia) bagi setiap individu. Hal itulah yang menyebabkan aturan yang berbau hukuman mati dan “penyiksaan” terhadap pelaku kriminal dalam hukum Barat, secara bertahap digantikan dengan hukuman yang lebih manusiawi lewat hukuman penjara. Belum lagi politik hukum dan ekonomi Barat ketika itu ingin menghilangkan semua aturan berbau agama yang berhubungan dengan finansial, sehingga masalah waris dan wakaf Islam juga dicabut dari aturan-aturan yang berkaitan ahwal al-syakhsiyah dari setiap negara jajahan mereka, dan hal itu berjalan sangat efektif hanya dalam beberapa abad. Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat dalam kurun waktu lima abad memberi dampak yang sangat besar terhadap negara jajahannya (termasuk di dalamnya negara Islam atau penduduk mayoritas muslim), masyarakat yang terjajah bukan saja dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dibidang hukum. Bangsa Barat telah berhasil menjahah hingga pada ideologi masyarakat
jajahannya
dan
menggantinya
dengan
ideologi
mereka. Terbukti pada puncak masa penjajahan Barat tersebut, tersisa
satu
atau
dua
negara
Islam
yang
tetap
mencoba
mempertahankan hukum negaranya, itupun lebih bersifat simbol dan formalitas, karena aturan tersebut tertulis tetapi di samping itu aturan Barat tetap mereka laksanakan, seperti dalam aturan pidana mereka ketika itu.175 Penjajahan Barat di samping memberi dampak negatif, juga diakui oleh kalangan sejarahwan memberi pengaruh positif terhadap negara jajahan mereka termasih negara-negara Islam. Setidaknya dengan penjajahan tersebut pada akhirnya membuka mata dunia Islam untuk mengoreksi berbagai kelemahan mereka sebelumnya, dan mencari cara untuk lepas dari penjajahan tersebut,
sehingga pada akhirnya muncul berbagai gerakan
pembaruan dalam Islam.176 Gerakan pembaruan tersebut terbagi ke dalam tiga aliran besar; pertama, aliran yang menginginkan umat Islam berkiblat kepada peradaban Barat, bahkan melahirkan sebuah semboyan “Kalau ingin maju, maka ikut Barat”, kedua, aliran fundamentalis Islam yang menginginkan bentuk negara dikembalikan kepada kemajuan di zaman Nabi dan para Khulafa al-Rasyidin, ketiga, aliran yang menginginkan kemajuan bangsa disesuaikan dengan
175
lihat Ibid.
176
lihat Harun Nasution, loc. cit.
corak bangsa itu itu sendiri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.177 Ketiga upayanya
kelompok
gerakan
mengembalikan
pembaruan
kejayaan
umat
tersebut Islam
dalam
mengalami
berbagai problema yang menyebabkan pergerakan mereka tidak berjalan mulus seperti yang mereka harapkan. Hal tersebut pada umumnya disebabkan karena negara-negara Islam pada umumnya telah
memproklamirkan
diri
mengganti
perundang-undangan
mereka dengan perundangan dari Barat, dan masalah yang terpenting mereka hadapi adalah ketiga kelompok pergerakan tersebut sering tidak sepakat dengan ide pembahruan Islam yang mereka perjuangkan, sehingga menjadilah ketiganya kawan yang selalu berseteru dalam sejarah kebangkitan Islam kembali. Dalam masa kebangkitan Islam atau masa modern (abad kesembilan belas dan seterusnya) juga ditandai dengan munculnya berbagai karya Islam yang dikembangkan secara sistematis dan modern, dengan kekhususan-kekhususan dalam berbagai disipilin Ilmu, termasuk dalam bidang hukum piana Islam. Berbagai karya tentang hukum pidana secara khusus membahas masalah hukum pidana Islam, bahkan dengan bahasan hukum pidana secara materil dan formil, misalnya karya Abdul Kadir Auda (w. 1953) dalam al-Tasyr³’ al-Jin±’³ al-Isl±m³, Abu Zahrah dalam al-Jar±im wa al-Uq-bah f³ Fiqh al-Isl±m, dan lainnya.
177
lihat Ibid., h. 12.
Dapat dikatakan bahwa dalam sejarah awal perkembangan Islam, hukum pidana Islam dilaksanakan lebih tekstual dengan teori yang masih sangat minim, sedangkan pada masa kebangkitan kembali dan modern ini, hukum pidana Islam masih berupa teoriteori yang terus dikembangkan dan melimpah, tetapi masih mencari cara untuk menerapkannya secara maksimal. Berbagai
negara
dengan
notabene
Islam
kemudian
mengganti undang-undang mereka dan ideologi negara mereka dengan undang-undang dan ideologi Barat turut menyurutkan para pembaru hukum dalam menerapkan hukum Islam, khususnya hukum pidana Islam. bahkan kemudian terkesan, bahwa hukum pidana Islam tidak wajib lagi diberlakukan pada era modern saat ini.
BAB III KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA POSITIF Hukum pidana positif atau hukum pidana yang diberlakukan pada umumnya oleh negara-negara saat ini (lebih khusus bagi negara yang mengikuti sistem hukum Eropa konstinental), pada dasarnya bertujuan ke arah kestabilan suatu masyarakat dan lebih ditujukan lagi kepada pembinaan individu yang sehat dalam segala
aspek.178 Hal inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya perdebatan di antara ahli hukum pidana positif tentang pemberlakuan hukuman pidana mati. Dengan demikian, hukum pidana menjadi hukum yang urgens, tetapi harus diberlakukan dengan penuh “kehati-hatian”, sehingga pada negara yang menerapkannya, misalnya negara Indonesia menjadikan hukum pidananya sebagai hukum public, yang mana negara sendiri yang harus menegakkannya demi terjaminnya kepentingan masyarakat banyak. Untuk mengenal hukum pidana positif, maka setidaknya kita harus mengetahui setiap unsur penting yang terkandung di dalam hukum pidana tersebut, minimal mengetahui tentang latar belakang sejarahnya, materi kandungannya, dan asas-asas dan prinsip-prinsip pokok yang menjadi landasan berpijak bagi penerapan hukum pidana positif. Kalau masyarakat modern dan pakar-pakar hukum saat ini lebih mengenal hukum pidana positif bila dibandingkan dengan pengetahuan mereka tentang hukum pidana Islam, maka hal tersebut wajar karena selain hukum pidana positif inilah yang sekarang banyak diterapkan oleh negara-negara di muka bumi ini, juga karena hukum pidana positif ini berasal dari Eropa yang dianggap lebih maju dan modern dari negara-negara dari belahan benua yang lain, termasuk negara-negara di Benua Asia, termasuk negara-negara di Timur Tengah. Sebagaimana hukum pidana Islam sebelumnya, hukum pidana di ere modern ini berisi berbagai aturan-aturan tentang kepidanaan, seperti tentang pencurian, pembunuhan, perampokan, penganiayaan, dan berbagai kejahatan dan pelanggaran lainnya. Hukum pidana positif sebagaimana hukum pidana lainnya, senantiasa dibicarakan oleh para pakar hukum. Pro dan kontra adalah hal biasa yang lahir dari semakin banyaknya “isi kepala” yang berbicara, walaupun pada hakikatnya mereka sama-sama 178
Lihat Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (cet. I; Jakarta: Rineka Cipta,1993), h.28-29
menginginkan satu hal, yaitu terciptanya hukum pidana yang ideal dan efektif. Rupanya hingga saat ini, perdebatan tersebut terulang lagi seperti sebelumnya, bahkan para pakarpun tidak tahu sampai kapan “ide-ide” yang ada dalam setiap kepala para ahli dapat disatukan. Hanya yang realita, bahwa sederhana dan “kurang” bagaimanapun hukum pidana yang telah diterapkan lewat undangundang, maka itu pulalah yang banyak “disyukuri” oleh masyarakat umumnya, tanpa merasa berdaya untuk memperbaikinya. Keadaan seperti ini tentu tidak akan berlangsung lama ketika masyarakat sudah mulai menyadarinya dan merasa punya hak untuk memperbaharuinya dengan aturan-aturan yang sesuai dengan aspirasi yang hidup di tengah-tengah kehidupan mereka. A. Asas-asas Hukum Pidana Positif Hukum pidana positif juga mengandung berbagai asas penting yang menjadi landasan berpijak di dalam penerapannya, misalnya Asas Legalitas, asas tidak berlaku surut, asas kesamaan di depan hukum, juga mengandung asas-asas penerapan hukum pidana menurut wilayah dan subyrknya, seperti: asas territorial, asas nasionalitas, dan asas universalitas. Dari semua asas-asas penting tersebut, terdapat di antaranya asas-asas yang berkaitan langsung dengan penerapan materi hukum pidana positif, yaitu: asas legalitas, asas tidak berlaku surut (non-retroaktivity) sebagai konsekuensi dari asas sebelumnya, asas teritorialitas, nasionalitas atau personalitas, dan asas universalitas. 1. Asas Legalitas (Principle of Legality) Asas Legalitas (Principle of Legality) pada prinsipnya dianut oleh hukum pidana tertulis dan terkodifikasi.179 Pada umumnya, jenis hukum tersebut terdapat di negara-negara yang menganut hukum positif, yaitu negara yang undang-undangnya dibuat oleh 179
Lihat Budiarti, paper Pengayoman, 1988 – 1989), h. 4.
“Asas-asas
Hukum
Pidana”,
(Jakarta:
penguasa yang sah untuk ditaati dan dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakatnya. Asas ini biasa juga dikenal dalam bahasa latin dengan istilah Nullum delictum nulla poena sine praevia lege.180 Andi Hamzah menulisnya dengan tambahan di belakang kata praevia dengan kata “…………legi poenali” yang kurang lebih sama pengertiannya, yaitu “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa adanya ketentuanketentuan yang mendahuluinya”.181 Asas legalitas ini juga ditulis dalam bahasa latin dengan kalimat yang berbeda tetapi bermakna sama dari defenisi sebelumnya, dengan tulisan “nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan kata demi kata sebagai “tidak ada delik tanpa (adanya) ketentuan yang tegas”.182 Maksud dari kedua istilah tersebut ialah bahwa sutu tindakan atau perbuatan baru dikatakan sebagai delik (kejahatan atau pelanggaran) dan dapat dihukum apabila telah ada peraturan atau hukum yang terang (tegas) tentang tindakan tersebut. Walaupun istilah tersebut berbahasa latin, tetapi ketentuan tersebut pada hakikatnya bukan berasal dari hukum Romawi, sebab hukum Romawi dahulu belum mengenal pengertian tentang asas legalitas.183 Asas ini baru muncul di awal abad XIX Masehi, ditulis oleh salah seorang pakar hukum pidana berkebangsaan Jerman bernama Paul Johann Anselm Von Peuerbach (1775-1833 M) di dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuchdes Penlichen Rechts” pada tahun 1801 Masehi.184 Sebenarnya ide tersebut banyak diilhami oleh pemikiran dua pakar politik di Eropa abad XVIII Masehi, yaitu: Montesquieu 180
Lihat Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 161. 181
Lihat Moeljatno, asas-asas Hukum Pidana (cet. IV; Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 23. 182
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit, h. 39.
183
Lihat Ibid, h. 40
184
Lihat Moeljatno, Loc. Cit., lihat juga Andi Hamzah, Ibid.
(1689-1755) dengan bukunya yang terkenal “L ‘Esprit des Lois” (1748), dan J.J. Rousseau (1712-1778) dengan bukunya “Du Contrat Social” (1762). Juga tidak sedikit pengaruh pemikiran dari pakar hukum pidana Italia bernama Cesare Beccaria (1738-1794) dengan bukunya “Dei Delitti e Delle Pene” (1764). Hanya saja ide-ide yang tertuangdi dalam ketiga buku para pakar tersebut masih bersifat umum dan tercampur dengan ide-ide yang lain. D. Hazewinkel-Suringa kemudian mengungkapkan asas legalitas tersebut di dalam Bahasa Belanda, dengan rumusan “Geen delict, geen straf zonder een voorafgaand straft bepaling” untuk yang pertama, dan “Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan yan kedua.185 Andi Hamzah menarik kesimpulan dari kedua runusan asas legalitas yang dikemukakan oleh Hawwewinkel-Suringa di atas, yaitu bahwa suatu peristiwa dikatakan sebagai delik dan dapat dipidana apabila : 186 1. Suatu perbuatan yang dilarang atau mengabaikan suatu yang diharuskan dan di ancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus telah tercantum dalam undangundang pidana. 2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut. Dengan suatu kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Indonesia). Moeljatno berpendapat bahwa atas legalitas mengandung tiga pengertian (khususnya terdapat dalam KUHP Negara kita), yaitu : 187
185
Lihat D. Hazewinkeel, Inleiding tot de stude van het Nederlanse Strafrecht, (Suringa, 1983, bewerk door j. Remmelink, groningen : H.D. Tjeenk Willink B. V). h. 709. 186
Andi Hamzah, Loc. Cit.
187
Lihat Muljatno, Op. Cit, h. 25.
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan analogi (qiyas). 3. Aturan-aturan hokum pidana tidak boleh berlaku surut. Abdul Jamali kurang lebih menambahkan, bahwa pasal 1 ayat (1) KUHP yang memiliki asas legalitas itu mengandung beberapa pokok pemikiran :188 1. Hukum pidana hanya berlaku terhadap perbuatan setelah adanya aturan yang jelas. 2. Dengan adanya sanksi pidana yang jelas, maka hukum pidada bermanfaat bagi masyarakat yang bertujuan agar tidak aka ada tindakan pidana, karena setiap orang telah mengetahui lebih dahulu peraturan dan ancaman pidananya. 3. Menganut adanya kesamaan kepentingan, yaitu selain memuat ketentuan tentang perbuatan pidana juga mengatur tentang ancaman hukumannya. Sehingga seseorang tidak hnaya dipertakuti dengan suatu ancaman yang tegas, tetapi juga memuat ketentuan tegas tentang perbuatan yang diancam tersebut. Ketika ia melakukan delik, dianggap sebagai pilihannya sendiri. 4. Kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan pribadi. Sebab dengan ketentuan yang jelas tersebut, maka siapapun yang melanggarnya akan mendapat sanksi. Asas legalitas dikemukakan di dalam ketentuan pokok hukum sebagai landasan penerapan materi terutama di dalam hukum pidana. Hal ini berhubungan dengan sebuah teori bernama “von psychologischen zwang”, yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan macam-
188
Lihat Abdoel Jamali, Pengantar Hukum Indonesia (Cet. I Jakarta : Rajawali Press, 1987), h. 26.
macam hukum pidana yang diancam supaya ditulis dengan jelas. 189
Dengan demikian, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut lebih dahulu telah mengetahui tindak pidana (melanggar) yang ia lakukan dan hukuman apa saja yang akan dijatuhkan kepadanya. Sehingga apabila ia tetap melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam tersebut, dipandang bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah dengan persetujuannya sendiri. Hakikatnya, asas legalitas menghendaki adanya suatu peraturan pidana di dalam suatu perundang-undangan yang jelas dan telah ada sebelum perbuatan-perbuatan melanggar di dalamnya dilakukan oleh masyarakat, sehingga masyarakat pun merasa tidak teraniaya dengan sanksi yang dijatuhkan ketika mereka melanggar ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang. 190 Namun di dalam pelaksanaan asas ini tetap disesuaikan dengan pranata sosial dan kebiasaan masyarakat hukum setiap Negara yang bersangkutan. Misalnya di Negara Indonesia, yang mengandung beraneka kaedah dan norma yang hidup di tengahtengah masyarakatnya. Tentang perumusan asas legalitas, menurut Moeljatno adalah berhubungan dengan teori “van psychogischen zwang”nya von feurbach. Sedang menurut Hazewinkel-Suringa yang dikutip oleh Andi Hamzah, bahwa asas tersebut ditemukan dalam ajaran Montesquieu dalam “trias-politica”nya yang terkenal. Ajaran Montesquieu tersebut juga di anut dan dikembangkan oleh Rousseau, yang mengandung ajaran pemisahan kekuasaan Negara (kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Di dalam ajaran tersebut dikemukakan bahwa hakim tidak boleh
189 190
Lihat Moeljatno, Loc. Cit.
Lihat Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan (Cet. I; Jakarta: Erlangga, 1985), h. 61.
menghukum tanpa ada peraturan hukumnya, sebab hakim bukanlah pencipta hukum.191 Dalam menengahi masalah ini Abdoel Jamali berpendapat, boleh jadi ada yang menyangka bahwa ide-ide di dalam asas legalitas biasa saja berasal dari ajaran Montesquieu yang tercantum dalam bukunya “L’ esprit de Lois (1748) dengan ajaran trias-politicanya yang terkenal itu, serta ajaran yang dikembangkan oleh Roesseau, yang kemudian diterima oleh pemerintah Prancis dan dimasukka dalam pasal 8 declaration des droits de I’homme et du citoyen (1789), lalu dicantumkan di dalam pasal 4 Code Panal dan seterusnya. AKan tetapi rumusan “nullum delictum…” tersebut ditulis oleh von Feurbach dalam bukunya.192 Agaknya sangkaan tersebut wajar, melihat masa kedua pakar politik Eropa tersebut lebih awal dari masa Von Feubrach. Pemberlakuan asas legalitas di dalam hukum pidana, berlebih berkurang antara satu Negara dengan Negara yang lainnya. Hal ini terjadi karena perbedaan latar belakang masyarakat dan kebudayaan Negara-negara tersebut, serta pola pikir para pakar dan pencetus hukum di Negara-negara yang ada. Menurut Oemar Seno Adji, bahwa aturan adat setempat turut mempengaruhi pemberlakuan asas legalitas secara keseluruhan di dalam suatu Negara. Akan tetapi asas tersebut hanya boleh dikesampingkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan eksepsional saja, misalnya di dalam delik-delik serius yang mengancam keamanan Negara.193 Di antara negara negara common law (di mana keputusan hukumnya ditentukan oleh pengembangan hukum lewat putusan pengadilan (yurisprudensi) secara prinsip tetap menerapkan asas legalitas, misalnya aturan-aturan pidana Negara Inggris yang
191
Lihat Andi Hamzah, Loc. Cit.
192
Abdoel Jamali, Pengantar Hukum Indonesia (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 161. 193
Lihat Oemar Seno Adji, Op. Cit., h. 24.
hakikatnya menganut asas ini. Tetapi walaupun secara formal tidak tertulis di dalam perundang-undangan karena Negara ini memanh hanya memiliki aturan-aturan Negara dalam bentuk piagam dan hasil dari perjanjian-perjanjian bersama, tetapi dari keputusan yang di ambil dalam House of Lords tahun 1972, dinyatakan menolak secara bulat adanya keputusan pengadilan yang begitu bebas menciptakan delik-delik baru atau terlalu memperluas keputusan delik yang sudah ada.194 “Ketidakadaan” atas legalitas (secara tertulis) di Inggris, menurut A.Z. Abidin dapat diimbangi dengan hakim yang berintegrasi tinggi, mampu, dan jujur. Menurutnya, para juri, penuntut umum, dan semua yang terkait dalam penegakan hukum sangat menjunjung tinggi kehormatan, semangat jiwa kerakyatan dan kesadaran hukum rakyatnya, sehingga mereka lebih mementingkan pelaksanaan hukum yang berintegritas dan bermoral tinggi (efektif) dari pada rumusan-rumusan muluk di atas kertas.195 Akan tetapi bagi Negara-negara yang merumuskan dan mencantumkan asas legalitas hukumnya ke dalam undang-undang tertulis, tentu juga untuk menjadikan kodifikasi hukum dan perundang-undangan tersebut sebagai “panjagaan hukum”, karena bagaimanapun juga hakim dan perangkat-perangkat penegak hukum adalah manusia biasa yang sewaktu-waktu lebih menonjolkan sisi “subyektivitasnya”. Di dalam KUHP Indonesia, asas legalitas di atur dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) pada bab I, buku I tentang Aturan Hukum, bahwa : (1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan-aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan tersebut dilakukan. 194
Lihat Barda Nawawi Arif, Perbandingan Hkum Pidana (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 25. 195
A.Z. Abidin, op. Cit, h. 53.
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan terdapat perubahan dalam perundang-undangan. Maka dipakai aturan yang paling ringan dan menguntungkan bagi terdakwa. Aturan-aturan ini mengandung ketentusan legalitas yang menjadi prinsip dasar di dalam penerapan hukum pidana di Indonesia. Dengan demikian, perundang-undangan yang menganut asas legalitas memiliki perumusan di dalam penerapan asas tersebut dalam perundang-undangan pidana tersebut, yaitu: a. Pada prinsipnya, rumusan-rumusan asas legalitas yang ada mengandung prinsip asas lex temporis delicti (undang-undang yang berlaku adalah undang-undang pada saat suatu tindka pidana terjadi. Jadi perumusan undang-undang setelah delik terjadi, tidak mesti diberlakukan atas tindak pidana tersebut. b. Aturan-aturan tentang asas legalutas tersebut tetap mengenal retro-aktifity (pengecualian-pengecualian dari prinsip-prinsip semula) apabila dipandang penting adanya perubahan undang-undang. 2. Asas Tidak Berlaku Surut (non retro-aktifity) Asas ini pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari asas sebelumnya, yaitu larangan menciptakan dan menerapkan hukum secara retro-aktifity (berlaku surut), hal mana suatu perundang-undangan mempunyai kekuatan hukum berlaku surut atas tindakan-tindakan pidana yang telah terjadi sebelum aturan tersebut dibuat.196 Asas ini juga berhubungan erat dengan asas lex temporis delicti, bahwa undang-undang yang berlaku adalah undang-udang yang telah ada sewaktu suatu tindak pidana terjadi, seperti yang telah kita kemukakan di atas.197
196
Lihat Oemar Seno Adji, Op. Cit., h. 65.
197
Lihat Barda Nawawi Arif, Op. Cit., h. 83, 85.
Memang manjadi suatu permasalahan ketika suatu undangundang baru terbentuk; pada satu sisi aturan tersebut merupakan cirri sautu bangsa yang inovatif dalam membentuk undang-undang yang lebih kondusif, tetapi pada sisi yang lain menjadi permasalahan baru, apabila telah terdapt undang-undang yang mengatur masalah tersebut sebelumnya, maka undang-undang tersebut akan berhadapan pada konsekuensi non-retroaktifity di atas. Hampir semua ahli hukum pidana berpendapat, bahwa kalaupun permasalahan itu terjadi, maka aturan yang harus diberlakukan adalah aturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pendapat ini berpedoman kepada pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia yang berbunyi, “ Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan di dalam perundang-undangan, maka dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.198 Menurut Andi Hamzah , bahwa pasal 1 ayat (2) di atas bertujuan agar peraturan yang datng belakangan tidak lebih berat, sehingga aturan-aturan tersebut bisa berlaku sebagai undangundang yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Sebaliknya apabila aturan baru tersebut lebih berat dan tidak menguntungkan bagi terdakwa, sesuai dengan aturan tersebut, peraturan baru tersebut secara umum tidak dapat diterapkan bagi terdakwa.199 Moeljatno berpendapat, bahwa asas-asas yang berlaku demi tegaknya kepastian hukum di Indonesia pada prinsipnya sangat wajar. Walaupun demikian, pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah masyarakat yang telah mengenal perbuatan-perbuatan pidana (secara praktis) sebagai perbuatan ynag pantang atau pamali, sehingga asas-asas tersebut harus tetap ada di dalam prinsip-prinsip penegakan hukum di Idonesia, dengan tetap tidak menutup mata dari kaedah-kaedah yang hidup di tengah-tengah 198
Lihat Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Cet. VIII; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 3. 199
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 54.
masyarakat dan tetap membuka peluang untuk mendapat penyempurnaan-penyempurnaan dari norma-norma hidup 200 tersebut: Olehnya itu, di dalam undang-undang juga terdapat aturanaturan yang tetap member tempat yang layak bagi hukum yang tidak tertulis, dengan syarat, bahwa hukum yang tidak tertulis terzebut: 1. Hukum tersebut tetap hidup di kalangan masyarakat Indonesia, 2. Tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, asas tidak berlaku surut (nonretroaktifity) dan asas-asas kepastian hukum yang lain bukanlah asas hukum yang kaku, tetapi tetap memandang bahwa ada aturan-aturan lain yang tetap hidup di tengah-tengah masyarakat walaupun sifatnya tidak tertulis, terutama di kalangan bangsa Indonesia yang telah mengenal secara praktis perbuatanperbuatan yang harus dijauhi, karena pasti akan merusak. Olehnya itu, undang-undang pidana Indonesia mengenal penerapan legalitas hukum yang tidak berlaku surut demi menjaga kepastian hukum yang harus diterapkan dan menjaga hukum dari penyelewengan dan kesewenangan pihak-pihak tertentu. Apalagi dengan melihat bahwa asas tentang nonretroaktifity tersebut juga terdapat pada KUHP Negara-negara yang lain bertujuan demikian; seperti di dalam pasal 2 KUHP Swiss, juga terdapat di dalam KUHP Thailand, Korea dan Jepang.201 Yang jelas bahwa berlakunya undang-undang baru yangbaru yang lebih menguntungkan bagi terdakwa akan menyebabkan
200
Lihat Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia (Cet. III; Jakarta: Bina Angkasa, 1985), h..22-23. 201
Lihat Moeljatno, “Asas-asas……..”, Op. Cit., h. 36-37, lihat juga Andi Hamzah, Op. Cit., h. 62.
suatu undang-undang pidana berjalan secara retroaktifity (berlaku surut) dari ketentuan semula.202 Di antara ahli hukum ada yang berpendapat, bahwa aturan berlaku surut pada pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut seharusnya dihapuskan, sehingga konsekuensi dari asas legalitas akan tetap terjaga. Sebab akan terasa sulit untuk membatasi kapan aturan tersebut dianggap lebih menguntungkan bagi terdakwah. Hal ini juga terasa sulit diterapkan ketika berhadapan dengan kasus tindak pidana yang melibatkan beberapa orang sedang tertangkap sebahagiannya saja, sehingga memungkinkan sebahagiannya di hukum lebih berat dari sebagian yang lain karena aturan baru lebih ringan menyebabkan hukum menjadi terasa tidak adil atas tindak pidana yang sama.203 Kecuali kalau kita “terdakwa” di situ tidak dibatasi kepada orang-orang yang diperiksa saja, termasuk di dalamnya orang-orang yang telah dieksekusi dan orang-orang yang masih dalam penyidikan. Tetapi hal ini pun akan merusak kewibawaan keputusan peradilan. Pada hakekatnya, untuk membentuk kekuatan hukum yang mengarah kepada keadilan dalam setiap undang-undang yang sedang diberlakukan, maka harus berdiri pada suatu asas yang kokoh, yaitu asas tidak berlaku surut dan asas lex temporis delicti sebagai konsekuensi logis dari asas legalitas. Meskipun untuk suasana masyarakat Indonesia, tujuan pemberlakuan hukum tersebut baru tercapai apabila asas-asas “kepastian hukum” tersebut diterapkan secara fleksibel searah dengan “kaedahkaedah lurus” yang telah mendarah daging di dalam masyarakat. 3. Asas Pemberlakuan Hukum Menurut Wilayah dan Subyek Hukum. Kalau asas-asas sebelumnya berkenaan dengan pemberlakuan hukum menurut waktu terjadinya tindak pidana dan ketentuan hukum atasnya, maka asasm ini mengandung 202 203
Lihat Oemar Seno Adji, Op. Cit., h. 69.
Lihat Rusli Effendi, Poppy Andi Lolo, Asas-asas Hukum Pidana (Cet. IV; Ujung Pandang: LEPPEN UMI, 1989), H. 32.
pengertian tentan pemberlakuan hukum menurut batas-batas wilayah kekuasaan hukum, ditinjau dari kepentingan suatu Negara dan subyek hukumnya (orang).204 Masalah ini berpegang kepada empat macam asas yang saling tarik manarik antar satu dengan lainnya. Asas-asas tersebut ialah: 1) Asas Teritorialitas (wilayah) 2) Asas Nasionalitas Aktif (personalitas) 3) Asas Nasionalitas Pasif (asas perlindungan) 4) Asas Universalitas. Asas Teriorialitas mengandung prinsip wilayah; yaitu: bahwa di wilayah Negara manapun suatu tindak pidana terjadi atau orang berbuat tindak pidana, maka perkara pidana tersebut harus tunduk pada hukum yang berlaku dalam wilayah Negara tempat terjadinya tindak pidana.205 Jadi patokan pemberlakuan hukumnya adalah tempat atau wilayah tempat terjadinya tindak pidana/pelanggaran hukum, bukan pada siapa (warga Negara atau orang asing) pelakunya. Pada kenyataannya, asas inilah yang banyak dianut oleh Negara-negara di dunia, termasuk Negara Indonesia. Hal ini wajar menurut Moeljatno, bahwa setiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara yang berdaulat, harus tunduk pada peraturan-peraturan di Negara tersebut.206 Ini juga merupakan suatu bukti penghormatan atas kedaulatan Negara tersebut. Asas ini tercantum dalam KUHP Indonesia pada pasal 2, yang berbunyi: “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukanperbuatan pidana di dalam wilayah Indonesia”. Khusus untuk Indonesia, menganut Wawasan Nusantara di dalam mempertahankan wilayahnya.
204
Lihat Rusli Effendi, Op. Cit., h. 36.
205
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit, h. 64.
206
Lihat Moeljatno,Op. Cit, h. 38-39
Di dalam Wawasan Nusantara, dipahami bahwa wilayah Indonesia adalah semua wilayah laut dan di antara pulau-pulau nusantara; yang diukur sampai 12 mil dari pulau-pulau Indonesia terluar. Hal ini dikecualikan apabila laut antara Negara bertetangga tidak sampai 24 mil luasnya, maka batas antara keduanya ialah di tengah-tengah. Batas wilayah ini juga meliputi wilayah udaranya ke atas.207 Yang berarti, bahwa kedaulatan Negara terletak di dalam wilayah kekuasaannya. Kemudian pengertian wilayah Indonesia diperluas di dalam pasal 3 KUHP, yang menyatakan angkutan air (vartuic: kapal air dan angkutan air lainnya) Indonesia merupakan bagian dari wilayah pemberlakuan hukum pidana Indonesia, meskipun sedang berada di luar wilayah Negara Indonesia. Tetapi di sini tidak berarti memperluas wilayah kekuasaan Negara Indonesia, hanya wilayah “pemberlakuan” hukum dalam suatu ruang milik bangsa Indonesia yang diperluas. Vartuig atau “kendaraan air”208 oleh beberapa pakar hukum dimasukkan juga pengertiannya kepada “kendaraan udara” (pesawat), meskipun tetap mengunddang berbagai perbedaan pendapat di kalangan mereka. Sehingga sejak tahun 1976, di dalam pasal 3 KUHP Indoesia telah ditambahkan dengan kata “pesawat udara” milik Negara Indonesia.209 Sedang asas Nasionalisme Aktif atau asas Personalitas sebaliknya, lebih menekankan kepada siapa (subyek) warga Negara yang melalakukan tindak pidana walaupun terjadi di luar wilayah hukum atau Negara asalnya. Titik berat pertimbangan asas ini terletak kepada subyek tindak pidana tersebut. Sehingga di manapun tindak pidana dilakukan, maka hukum yang
207
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 64-65.
208
Lihat Arieeff. S., Kamus Hukum, edisi lengkap (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, t.th.), h. 420. 209
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 66-67.
diterapkan adalah hukum dari Negara asal pelaku. 210 Asas ini juga terdapat di dalam pasal5 KUHP. Asas ini tidak mungkin berlaku secara mutlak, apalagi bilawarga Negara pelaku tindak pidana tersebut berada di dalam wilayah lain yang kedudukannya gecoordineerd (sama-sama berdaulat), karena akan terjadi pertentangan dan melanggar kedaulatan Negara asing tempat terjadinya tindak pidana tersebut.211 Termasuk di dalam arti “kedaulatan” tersebut ialah kewenangan (hak) untuk mengadili sendiri perkara hukum yang terjadi di wilayah kekuasaan hukumnya. Asas ini baru bisa berlaku ketika pelaku atau warga Negara berada di wilayah Negara yang gesubordineerd (tidak berdaulat, jajahan) dari negeri pelaku tindak pidana. Asas ini banyak berlaku pada saman penjajahan, mislanya: ketika Jepang atau Belanda berada dan menjajah Indonesia, orang Inggris atau orang Prancis menjajah Mesir, Inggris menjajah wilayah Hongkong (sebelum kembali ke dalam wilayah Cina), maka hukum yang berlaku adalah hukum pidana yang berlaku di Negara penjajah tersebut, ketika warganya berbuat pidana di wilayah Negara jajahannya. Meskipun asas tersebut kurang berlaku pada masa-masa kini, tetapi setidaknya asas ini member petunjuk bahwa hukum pidana suatu Negara memungkinkan untuk berlaku di luar wilayah Negara tersebut, selama hal itu memungkinkan.212 Di dalam KUHP Indonesia, asas ini juga mendapat pengecualian-pengecualian menyangkut kedaulatan Negara lain dan hukum Internasional, misalnya di dalam pasal 5 ayat (1) bagian ke 2 sampai degan pasal ke 9 KUHP. Asas Nasional Pasif (asas perlindungan) di atu di dalampasal 4 KUHP, yang menyatakan bahwa peraturan pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di 210
Lihat Moeljatno, “Asas-asas Hukum…….”, Op. Cit., h. 38.
211
Lihat Ibid., h. 39.
212
Lihat Ibid., h. 40
wilayah mana pun termasuk di luar wilayah Indonesia yang merugikan kepentingan setiap Negara, yaitu kejahatan mengaenai: mata uang, merek, surat-surat utang, sertifikat utang atas tanggungan Negara, dan lainnya.213 Asas ini bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dari gangguan warga Negara mana pun, sebab di dalam asas ini tidak mempersoalkan kewarganegaraan pelaku atau tempat tindak pidana tersebut dilakukan, sebab yang utama adalahjenis tindak pidan tersebut merugikan suatu Negara di manapun tindak pidana terjadi dan dilakukan oleh warga Negara manapun juga. Meskipun tidak semua kepentingan nasional memerlukan perlindungan demikian, sehingga pasal 4 KUHP di atas mengkhususkan ketentuannya pada beberapa jenis tindak pidana saja yang dapat merusak kepentingan nasional.214 Beberapa ketentuan dari undang-undang tersebut masuk juga di dalam bahasan asas universal atau unutk kepentingan semua Negara (internasional), karena pada hakikatnya Indonesia merupakan bagian dari dunia Internasional, sehingga juga memiliki kewajiban untuk ikut berpartisipasi dalam menegakkan tata hukum dunia.215 Pakar hukum Jerman menamakan asas ini dengan nama weltrechtsprinzip (asas Hukum Dunia). Contoh dari penerapan asas universalitas ini sesuai dengan aturan yang ada seperti di dalam kasus pemalsuan mata uang asing, maka di manapun pelakunya ditangkap, di situlah ia di adili. Termasuk juga ketika pelaku tindak pidana tersebut tertangkap di wilayah Indonesia, maka ia dapat dipidana di Indonesia menurut aturan tentang pemalsuan mata uang yang terdapat di dalam KUHP Indonesia (pasal 244 KUHP). Demikian halnya dalam kasus pembajakan kapal-kapal asing di laur teritorial Indonesia, apabila
213
Lihat Rusli Effendi, Op. Cit., h. 41.
214
Lihat Moeljatno, Op. Cit., h. 44.
215
Lihat Ibid, Lihat juga Andi Hamzah, Op. Cit., h. 73.
tertangkap oleh patroli Indonesia, dapat diadili di Indonesia sesuai dengan aturan KUHP Indonesia.216 B. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Positif Tindak pidana di dalam hukum pidana positif biasanya diatur secara terperinci di dalam suatu perundang-undangan pidana, seperti aturan-aturan yang terdapat di dalam KUHP dan perundang-undangan pidana lainnya di Indonesia. Pandanganpandangan tersebut berisi ketentuan umum tentang pelaksanaan aturan-aturan pidana yang ada di dalamnya dan aturan-aturan tentang perbuatan yang dilarang dan yang dapat dipidana. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana di dalam KUHP tersebut diistilahkan oleh kitab aslinya (WvS Belanda) sebagai Strafbaar Feit.217 Selanjutnya para pakar hukum pidana berbeda-bedadi dalam menerjemahkan istilah tersebut dengan istilah lain yang mereka anggap paling dekat itilah strafbaar Feit tersebut. Beraneka ragam istilah muncul di kalangan ahli hukum dalam menerjemahkan istilah tersebut, dan setiap ahli hukum tersebut memakai istilah-istilah tertentu dari istilah-istilah tersebut yang mereka paling anggap benar dan sering mereka pergunakan di dalam tulisan mereka. Istilah-istilah yang biasa di pakai di dalam menerjemahkan strafbaar Feit, misalnya dengan istilah: “peristiwa Pidana”, “perbuatan pidana”, “perbuatan criminal”, dan “tindak pidana”. Di antara mereka ada yang lebih senang menggunakan istilah asing di dalam menerjemahkan istilah strafbaar Feit tersebut, misalnya dengan delict dari bahasa Inggris, delictum dalam bahasa Latin, dan ada yang menggunakan istilah criminal act dan offence. Dua istilah terakhir biasanya dgunakan dalam aturan-aturan pidana Anglo-saxon.218 216
Lihat Ibid.
217
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 86.
218
Lihat Ibid.
Utrecht misalnya, lebih sering menggunakan istilah “peristiwa pidana” di dalam menyalin istilah strafbaar feit tersebut. Menurut Andi Hamzah, Utrecht dalam hal ini lebih menerjemahkan kata feit secara bahasa. Meskipun demikian, istilah “peristiwa pidana” tetap dipakai di dalam pasal 14 ayat (1) UUDS tahun 1950.219 Moeljatno lebih setuju dengan penggunaan istilah “perbuatan pidana” dalam menyalin istilah di atas, bahkan di dalam menyusun bahasa undang-undang. Selain itu ia biasa menggunakan istilah delik dalam merumuskan sifat melanggar tersebut di dalam undang-undang pidana.220 Moeljatno dalam hal ini kurang menyetujui penggunaan istilah “peristiwa pidana”, sebab kata “peristiwa” menurutnya tidak mewakili kandungan strafbaar feit yang diinginkan oleh undang-undang. Menurutnya istilah peristiwa pidana tersebut hanya menunjukkan pada hal-hal yang kongkrit saja, yaitu pada suatu kejadian tertentu, misalnya kematian, cacat, luka dan sebagainya. Sedang peristiwa seperti itu menurutnya tidak mungkin dilarang, karena yang dilarang hanyalah jika peristiwa kematian, cacat, luka, dan lainnya tersebut terjadi berhubungan dengan perbuatan orang lain. Sekalipun istilah tersebut pernah dipakai di dalam undang-undang.221 Istilah tindak pidana banyak digunakan di dalam menamai suatu undang-undang pidana saat ini, misalnya undang-undang tentang tindak pidana ekonomi, undang-undang tentang tindak pidana suap, tentang tindak pidana subversi, tentang tindak pidana penyalahgunaan obat, tentang disetujui oleh Moeljatno dan Andi Hamzah.222 219
Lihat Ibid.
220
Lihat Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia (Cet. III; Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 21, juga di dalam “Asas-asas……..”, Ibid., h. 56. 221 222
Lihat Moeljatno, “Asas-asas…….”, Ibid., h. 54.
Menurut Moeljatno, istilah “tindak pidana” berasal dari para praktisi hukum, sehingga kurang dikenal di dalam bahasa undang-undang. Walaupun
A.Z. Abidin lebih setuju dengan pemakaian istilah “perbuatan criminal” atau criminal act dan menganggap istilah “ perbuatan pidana” yang digunakan oleh Moeljatno kurang tepat, sebab secara pendekatan bahasa kedua kata dalam istilah tersebut adalah dua kata benda yang tidak mempunyai hubungan logis.223 Istilah delict atau delik kelihatannya lebih umum dipakai oleh para ahli hukum, misalnya Roeslan Saleh, selain menggunakan istilah “perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”. Oemar Seno Adji di samping menggunakan istilah “tindak pidana” juga menggunakan istilah “delik”. Demikian pula para pakar yang lain, selain menggunakan istilah yang dianggapnya lebih tepat juga menggunakan istilah strafbaar feit yang dikehendaki oleh undag-undang. Istilah delik juga merupakan istilah yang lebih umum dan kurang dipersengketakan. Dan hal ini juga merupakan pendapat Hazewinkel-Suringa.224 Istilah strafbaar feit sendiri tidaak lepas dari kritikan para ahli hukum, misalnya kritikan Van der Hoeven seorang ahli hukum Belanda, yang mengatakan bahwa istilah feit di dalam strafbaar feit tersebut tidak meliputi perbuatan (handelen), dan pengabaian (naletan) yang diinginkan undang-undang.225 Perbedaan pendapat di kalangan pakar hukum tersebut, tidak lebih dari perbedaan dalam memandang suatu istilaj yang undang-undang kadang menggunakan istilah ini, tetapi di dalamnya juga menggunakan istilah “perbuatan”, misalnya di dalam UU no. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. Sedang Andi Hamzah menganggap istilah “tindak pidana” tersebut tidak mewakili apa yang diinginkan oleh undang-undang pidana, karena secara bahasa istilah “tindak pidana” hanya meliputi perbuatanperbuatan akif saja dan idak masuk di dalamnya arti pengabaian sebagaimana yang dikehendaki undng-undang, padahal pengabaian (omissions) dari kewajiban atau perbuatan yang akhirnya menyebabkan terjadinya peristiwa pidana termasuk juga di dalam kejahatan yang dapat dipidana. Lihat Ibid., h. 55, lihat juga Andi Hamzah, Op. Cit., h. 92. 223
Lihat A.Z. Abidin, Asas-asas Hukum Pidana (bagian pertama) (Cet. I; Bandung: Alumni, 1987), h. 82. 224
Lihat Ibid, lihat juga Andi Hamzah, Loc. Cit.
225
Lihat Hazewinkel-Suringa, Op. Cit., h. 89.
mereka anggap paling dekat dengan istilah sumber yang berasal dari bahasa Belanda yang sebenarnya juga masih diperdebatkan oleh pakar hukum mereka tentang keabsahan istilah sumber tersebut. Kemudian pakar-pakar hukum dibelakangnya ikut-ikut berdebat, karena tidak dapat mengelak dari sumber utama hukum pidana negaranya yang bersumber dari perundang-undangan Belanda, dan sejak dari duli sampai sekarang masih dipertahankan. Pada kesempatan ini penulis tidak mau terlibat langsung dalam “perdebatan” seru tersebut dan menyalahkan pendapat seseorang di antara mereka, sebab suatu peristilahan akan selalu terasa kurang, ketika kita hanya mencari sisi kekurangannya tanpa mau tahu kelebihan istilah yang dipakai oleh pakar yang lain. Penulis pada kesempatan ini akan menggunakan beberapa istilah (sebab tidak mugkin menggunakan semuanya), misalnya dengan istilah: “tindak pidana”, delik, jarimah (istilah dalam hukum pidana Islam), kejahatan dan pelanggaran. 1. Rumusan Tindak Pidana (delik) Andi Hamzah mengutip sebuah rumusan dari Simon dalam menerangkan tentang strafbaar feit tersebut, yaitu sebagai: “Suatu kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang dapat mempertanggungjawabkannya”.226 Van Hammel (sebagaimana yang juga dikutip oleh Andi Hamzah) merumuskannya sebagai “Eene wettelijke gedraging, onrechtmating, straafwarding English aan schuld teaching witjen” (Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan).227 Lebih singkat Vos merumuskannya sebagai “suatu kelakuan manusia yang menurut undang-undang dapat dikenakan pidana”. 226
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 88.
227
Lihat Ibid.,
Vos dalam hal ini lebih memusatkan perhatiannya kepada kelakuan manusia secara umum menurut undang-undang pidana, yaitu setiap perbuatan “yang dilarang dan diancam pidana”, tanpa merincinya lebih detail. Rumusan yang dikemukakan Vos dan Hammel tersebut dianggap model perumusan monistis tentang delik, yaitu dengan merumuskan delik secara bulat tanpa memisah di antara factorfaktor penting yang berhubungan dengan delik, misalnya dengan tanpa memisahkan antara unsur perbuatan dan unsur akibatnya. Aliran lain dalam perumusan ini adalh aliran dualistis, yang lebih teliti dalam merumuskan delik dengan memisahkan factorfaktor penting yang dapat dimasukkan ke dalam rumusan delik. Aliran dualistis misalnya memisahkan antara perbuatan yang dilarang atau diancam pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban (mens reus) sebagai factor yang dapat dituntut sebagai tindak pidana (delik).228 Dalam rumusan tersebut terdapat unsur obyektif (actus reus atau deliktum) dan unsur subyektifitasnya (mens rea), sehingga apabila salah satu dari dua unsure delik itu terjadi, menurut aliran Dualistis sudah dapat dituntut dengan pidana, sebab yang dilarang ialah; adanya perbuatan (termasuk pengabaian) dan adanya orang yang diancam pidana (pelaku perbuatan dan pengabaian) tersebut.229 Utrecht memandang bahwa rumusan yang dikemukakan oleh Simon tentang delik di atas merupakan rumusan lengkap, bahwa yang dimaksud dengan delik (tindak pidana) meliputi:230 1. Perbuatan yang diancam pidana oleh hukum, 2. Bertentangan dengan aturan-aturan hukum, 3. Dilakukan oleh seseorang yang bersalah,
h. 225.
228
Lihat A.Z. Abidin, Op. Ciy, h. 260
229
Lihat Andi Hamzah, Loc. Cit.
230
Lihat E. Utrecht, Hukum Pidana I (Cet. I; Djakarta: Universitas, 1956),
4. Orang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. Abdoel Djamali kemudian menjelaskan rumusan-rumusan tersebut lebih mendetail, dengan bahasa yang sedikit berbeda, bahwa suatu perbuatab dapat dikatakan sebagai tindak pidana ketika mempunyai beberapa unsure penting, yaitu:231 1. Harus ada suatu perbuatan atau adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, 2. Perbuatan tersebut harus sesuai yang digambarkan oleh ketentuan hukum yang telah ada, 3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak yang berbuat, 4. Perbuatan tersebut harus benar-benar berlawanan dengan hukum, 5. Harus telah tersedia ancaman hukumannya di dalam undangundang. Moeljatno malah membagi unsur melawan hukum tersebut kepada unsure melawan hukum yang sifatnya subyektif dan unsur melawan hukum yang sifatnya obyektif, serta keadaan-keadaan tambahan yang dapat memperberat hukumannya.232 Rumusan delik yang dikemukakan oleh para ahli di atas merupakan rumusan tindak pidana secara umum, yang berarti bahwa semua jenis tindak pidana atau delik yang terjadi harus memiliki unsur-unsur tersebut, mulai dari tindak pidana ringan berupa pelanggaran-pelanggaran, sampai kepada tindak pidana serius yang diancam dengan hukuman yang berat. Sebenarnya pada setiap tindak pidana tersebut memiliki unsur tersendiri yang khas dan akan membuatnya berbeda dengan tindak pidana atau delik yang lain. Unsur-unsur khas ini bisa juga diistilahkan dengan cirri khusus bagi suatu tindak pidana. Setidaknya ada tiga macam rumusan khusus pada setiap tindak 231
Lihat Abdoel Djamali, Op. Cit., h. 157
232
Lihat Moeljatno, “Asas-asas………”, Op. Cit., h. 62.
pidana dan hal ini biasanya dirumuskan langsung di dalam materi undang-undang pidana, yaitu:233 1. Di dalam rumusan delik ersebut, undang-undang menyebutnya “bagian inti” (bestandelen) suatu tindak pidana, misalnya dalam ketentuan tindak pidana pencurian di pasal 326 KUHP. Bestandelennya dirumuskan dengan: - Mangambil barang, - Barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain, - Dengan maksud memiliki, - Dengan melawan hukum. Apabila satu atau lebih bagian inti tersebut tidak memuat di dalam surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan dalam siding pengadilan, maka terdakwa dapat dibebaskan. Dalam rumusan tersebut tidak didapati rumusan “dengan sengaja”, karena sebenarnya unsur tersebut telah tersirat di dalam kata “mengambil”. Hal ini tentu akan berbeda dengan rumusan delik pe,nunuhan (pasal 338 KUHP), di sana hanya terdapat dua bestanddelennya, yaitu: - Dengan sengaja, - Menghilangkan atau merampas nyawa orang lain. Adanya rumusan unsur “dengan sengaja” (tidak sebagaimana dalam rumusan delik pencurian), karena adanya aturan delik pembunuhan yang lain dan dilakukan dengan kealpaan (culpa), di dalam pasal 359 dan 361 KUHP. Hal ini juga dapat dilihat di dalam perumusan delik pembakaran dengan sengaja (pasal 187 KUHP), atau dengan culpa (pasal 188 KUHP). Juga di dalam rumusan delik “membahayakan” re kereta api dengan sengaja (pasal 194 KUHP) dan dengan culpa (pasal 195 KUHP). 2. Sebahagiaan aturan yang lain merumuskan beberapa delik dengan tidak menyebutkan unsur-unsur bestendelennya 233
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 93.
(bagian intinya), hal ini dilakukan oleh pembuat undangundang, karena dikhawatirkan apabila aturan delik tersebut dirumuskan bestendelennya, malah mempersempit pengertian dan mempersulit para praktisi hukum menjalankan ketentuan pidana tersebut sebagai mana mestinya. Misalnya di dalam aturan delik penganiyaan (pasal 351 KUHP), perdagangan wanita (pasal 297), perkelahian tanding (pasal 187 KUHP), dan lainnya. Biasanya di dalam menentukan atau merealisasikan rumusan delik jenis ke dua ini, diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan hakim atau dengan ilmu hukum pidana. 3. Perumusan terakhir adalah perumusan yang paling umum di dalam undang-undang pidana, yaitu dengan perumusan yang hanya mencantumkan unsur-unsur lainnya (bestendelennya) saja tanpa ada unsur kwalifikasinya (yang membedakan dari rumusan pertama). Hal ini dapat dilihat contohnya di dalam pasal 106-107 tentang delik maker, pasal 167-168 tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, pasal 209 KUHP tentang kejahatan terhadap penguasa umum, pasal 279, 259, 479a, dan banyak lagi. Di dalam perumusan ini sifatnya sangat detail sehingga tidak membutuhkan banyak penafsiran dan kwalifikasi. Van Bumellen berpendapat, bahwa meskipun unsur “melawan hukum” tersebut tidak dikwalifiksikan, tetap tidak akan mencacatkan tuntutan, sebab hal itu akan menjadi unsur mutlak di dalam suatu tindak pidana.234 2. Tindak pidana (delik) di dalam Undang-undang Pidana. Perubahan tipe, derajat dan sifat kejahatan di dalam pertumbuhan masyarakat di masa sekarang dan yang akan datang tidak dapat dihindari, khususnya di Negara-negara berkembang, sebagaimana halnya di Negara Indonesia.
234
Lihat Ibid., h. 96.
Perubahan dan pertumbuhan (model) kejahatan baru itulah yang mendorong terjadinya perubahan pandangan terhadap aturan-aturan hukum pidana yang merupakan perluasann dan penyimpangan dari asas-asas umum dan aturan umum di dalam kitab undang-undang, demi untuk memenuhi kebutuhan hukum pidana di luar kodifikasi.235 Pembagian tentang aturan-aturan pidana di Indonesia, populer debagi kepada:236 1. Hukum pidana umum, yaitu aturan-aturan pidana yang tercantu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2. Hukum pidana khusus, yaitu aturan pidana yang terdapat di dalam perundang-undangan di luar KUHP. Bambang Purnomo mengelompokkan aturan-aturan pidana di luar kodifikasi dan dituangkan di dalam unang-undang kepada hukum pidana khusus atau hukum pidana eksepsional (pengecualian).237 Kemudian ia membagi pembagian hukum pidana umum dan khusus yaitu kepada aturan-aturan pidana yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Sebenarnya ada beberapa pendapat lagi yang serupa, akan tetapi penulis ingin memfokuskan perhatian pada sistematika aturan-aturan pidana yang dikodifikasikan di dalam KUHP dan juga aturan-aturan hukum pidana yang ada di luar KUHP. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia terdiri dari 569 pasal yang tersebar di dalam 3 buku aturan yang seluruhnya berbagi kepada 49 bab aturan. Sistematika susunannya sebagai berikut:238
235
Lihat Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana (t.tp., t. th.) h. 10. 236
Lihat Andi Hamzah, op. Cit. h. 11
237
Lihat Bambang Poernomo, Op. Cit., h. 11
238
Lihat Moeljatno, Kitab undang-undang Hukum Pidana (Cet. XVIII; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Lihat juga Abdoel Djamali, Op. Cit., h. 160.
Buku I: Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leerstrukken) yang terdiri atas 9 bab aturan dari pasal 1-103. Memuat aturan tentang: Batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan (pasal 1-9), tentang hukum pidana (10-43), hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pengenaan pidana (44-52), tentang percobaa (53-54), penyertaan dalam kelakuan perbuatan pidana (55-62), perbarengan (concursus) (63-71), mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya di tuntut atas pengaduan (72-75), hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana (76-85), dan tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang (86-103). Buku II: Mengatur tentang tindak pidana kejahatan (misdrijven) yang terdiri dari 31 bab aturan, dari pasal 104-448 yang memuat aturan tentang kejahatan terhadap keamanan Negara (pasal 104-129), kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139), kejahatan terhadap Negara sahabat dan terhadap kepala Negara sahabat dan wakilnya (139a145), kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak Negara (146-152), kejahatan terhadap ketertiban umum (153-181), perkelahian tandin (182-186), kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang dan barang (187-206), kejahatan terhadap penguasaan umum (207-241), sumpah palsu dan keterangan palsu (242-243), pemalsuan uang dan uang kertas (244-252), pemalsuan materai dan merek (253-262), pemalsuan surat (263-276), kejahatan terhadap asal-usul perkawian (277280), kejahatan terhadap kesusilaan (281-303), meninggalkan orang yang perlu ditolong (304-309), kejahatan penghinaan (310-321), membuka rahasia (322-323), kejahatan terhadap kemerdekaan orang (324-337), kejahatan terhadap nyawa orang (338-350), tentang penganiayaan (351-358), menyebabkan kematian dan luka-luka karena kealpaan(351-361), kejahatan pencurian (362-367), tentang pemerasan dan pengancaman (368-
371), tentang penggelapan (372-377), tentang perbuatan curang (bedrog)(378-395), tentang perbuatan yang merugikan pihak yang member hutang (schuldeischer) atau orang yang mempunyai hak (rechthebbende) (396-405), tentang penghancuran dan pengrusakan barang (406-412), kejahatan jabatan (413-437), kejahatan pelayaran (438-479), tentang penadahan, penerbitan, dan pencetakan (480-485), dan aturan pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai bab (486-488). Buku III: mengatur tentang tindak pidana pelanggaran (overstredingen) yang memuat 9 bab aturan, dari pasal 489-569 yang mengatur tentang: pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan (dari pasal 489-502), pelanggaran ketertiban umum (503-520), pelanggaran terhadap penguasa umum (521-528), pelanggaran mengenai asal usul dan perkawinan (529-530), pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531), pelanggaran kesusilaan (532-547), pelanggaran mengenai tanah, tanaman, dan pekerangan (548-551), pelanggaran jabatan (552-559), dan pelanggaran pelayaran (560-569). Hanya saja isi dari aturan-aturan di dalam KUHP tersebut sudah diperbaharui lewat tim pengkaji hukum pidana yang telah dibentuk sejak tahun 1977 dan sudah rampung belakangan ini, tinggal menunggu pengesahan dari badan legislative (DPR). Aturan di dalam rancangan KUHP baru tersebut disusun dalam dua buku bahasan saja, yaitu buku I berisi tentang ketentuan umum (tentang asas-asas penting penerapan hukum pidana, gambaran umum sanksi yang akan diberikan, dan wilayah pemberlakuannya) dan buku ke dua berisi tentang sturan-aturan tindak pidana (tentang perbuatan yang dilarang, ancaman pembuatannya, macam-macam sanksi). Isi dari rancangan undang-undang pidana baru tersebut pada umumnya berisi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHP terdahulu (masih berlaku sampai sekarang sebelum
rancangan undang-undang pidana baru disahkan untuk menggantikan KUHP lama), bahkan 95%nya masih dipertahankan, dan ditambah dengan aturan-aturan tentang tindak pidana yang baru muncul belakangan ini, misalnya tentang kejahatan computer, kejahatan perbankan, dan kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan dunia modern saat ini. Ketentuan pidana mati pun di dalam rancangan KUHP baru ini semakin diperkecil jumlahnya. Rupanya aturan umum hukum pidana dalam KUHP lama tersebut masih dianggap kurang dalam menanggulangi tipe, derajat, dan sifat kejahatan baru yang tumbuh karena akibat perubahan masyarakat, sehingga dibutuhkan perundangperundangan khusus yang memuat materi-materi tentang hukum pidana.239 Olehnya itu, selain aturan pidana umum yang dikodifikasikan di dalam KUHP, juga terdapat aturan-aturan pidana tersendiri yang biasa juga diistilahkan hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang-orang khusus yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus dan penanganannya pun membutuhkan cara-cara khusus.240 Ketentuan-ketentuan perundang-undangan hukum pidana khusus yang memuat materi hukum pidana khusus sebagaimana yang kita maksudkan di atas, antara lain terdapat di dalam undang-undang pidan khusus di bawah ini: 241 a. Undang-undang (DRT) no. 7 tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
239
Lihat Bambang Purnomo, Op. Cit, h. 13.
240
Lihat Sudarto, Kapita Selecta hukum Pidana (Cet. II; Bandung: Alumni), h. 61. 241
Lihat Bambang Poernomo, Op. Cit, h. 14, lihat juga Andi Hamzah, Detik-detik Tersebar di Luar KUHP (Cet, VI; Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), H. 10.
b. Undang-undang (PNS) no.11 1936, tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. c. UUndang-undang no. 3 tahun 1971, tentang Pemberantasan Tindak pidana Subversi. d. Undang-undang no. 9 tahun 1976, tentang Narkotika. e. Undang-undang no. 11 tahun 1980, tentang Tindak Pidana Suap, dan seterusnya. Undang-undang pidana khusus yang telah kita sebutkan di antaranya mempunyai kedudukan penting di dalam tata hukum Indonesia dewasa ini.242 Prof. Sudarto, SH. Membagi kualifikasi undang-undang pidana khusus kepada tiga kriteria, yaitu:243 1. Undang-undang yang tidak dikodifikasikan, misalnya undangundang tentang narkotika, undang-undang tentang lalu lintas jalan raya dan sebagainya. 2. Peraturan-peraturan hukum administrasi yang memuat sanksi pidana, misalnya undang-undang (DRT) no. 26 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undangundang Pokok Agraria no.5 tahun 1960. 3. Undang-undang memuat hukum pidana khusus yang memuat delik untuk kelompok orang tertentu fengan aturan perbuatan tertentu, misalnya Wetboek Van Strafecht (Kitab Undangundang Hukum pidana untuk tentara), undang-undang tentang pajak, undang-undang tentang ekonomi dan sejenisnya. Akan tetapi hukum pidana hukum tetap mempunyai peranan penting disamping hukum pidana khusus (bijzonder straf recht) yang telah ada, sebab hukum pidana umum (ius commune) akan tetap berlaku sebagai kitab hukum utama sekaligus bisa menjadi aturan yang dapat menambah (aan vallend recht) ketentuan khusus yang ada. Jadi tidak berarti dengan lahirnya aturan-aturan
242
Lihat Sudarto, Op. Cit, h. 66.
243
Lihat Ibid, h. 61.
khusus tersebut, maka aturan-aturan umum dihilangkan (dihapus).244 C. Sejarah Penerapan Hukum Pidana Positif “Ubi sociates, ibi ius” menggambarkan bahwa antara hukum dan masyarakat tidak bisa terpisahkan.245 yang berarti bahwadi mana pun dan kapan pun ada masyarakat manusia, maka hukum atau aturan juga ada di tempat itu. Dapat dibayangkan ketika hukum tidak ada di dalam suatu masyarakat manusia, maka “kesembrautan” lah yang akan tampak, kesengajaan dan disintegrasi sudah jelas akan muncul, dan bila hal ini berlanjut, umur hukum masyarakat tersebut mungkin tidak akan berjalan lama. Demikianlah, hukum tidak boleh terpisah dari suatu masyarakat yang bercita-cita maju, sebab pada hakikatnya hukum atau aturan ada dengan keberadaan masyarakat dan masyarakat memang membutuhkan keberadaan hukum dari sejak manusia mengenalnya. Hal ini memberi gambaran logis bahwa aturanaturan atau huku telah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi, sejak manusia mengenal peradaban. Peradaba awal manusia tentu sangat sederhana, karena pengetahuan dan kebutuhan hidup mereka ketika itu masih terbatas dan sederhana, sehingga aturan-aturanyang mereka buat pun sesuai dengan kebutuhan mereka ketika itu. Semakin banyak pengetahuan dan kebutuhan mereka ketika itu. Semakin banyak pengetahuan dan kebutuhan hidup di antara manusia maka semakin bertambah pula aturan yang mereka butuhkan. Aturan aturan yang dibuat oleh mereka pada masa masa awal berupa perjanjian-perjanjian untuk melindungi jiwa dan keluarga mereka dari orang dan kelompok yang lain, melindungi daerah perburuan mereka, lahan tempat bercocok tanam mereka, dan lainnya.
244 245
Lihat Ibid.
Lihat Rien G. Karta Sapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap (Cet. I; Jakarta: Bina Angkasa, 1988), h. 21.
Kemudian manusia mengenal peradaban yang lebih tinggi dan maju, dengan masyarakat yang lebih besar jumlahnya, sehingga terbentuk suatu negara. Hal ini telah terjadi sejak dua ribu lima ratusan tahun sebelum Masehi. Peradaban demi oeradaban bergulir dengan hukum atau dari masa Mesopotania, masa Laut Tengah, masa Mesir Kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno dan seterusnya. Hanya saja hukum yang dibentuk ketika itu belum banyak ditulis secara rinci dan lengkap, bahkan masih bercampur aduk antara satu dengan yang lainnya. Sampai kepada beberapa abat sebelum Masehi, hukum pidata mulai dipisahkan dari ketentuan hukum yang lain. Hanya pada waktu itu, penguasa dan orang orang yang dipercayakan menangani kasus-kasus hukum masih memiliki kewenangan luar biasa dalam menyelesaikan setiap kasus, bahkan lama dan singkatnya suatu pemeriksaan perkara pidana sangat tergantung pada kehendak hakim dan penguasa ketika itu.246 Pada abad terakhir sebelum Masehi, undang-undang tindak pidana mulai diciptakan beserta peradilan yang akan menyelesaikan perkaranya. Namun kewenangan luar biasa para hakim dan penguasa tersebut tetap dipertahankan, dan hal ini bertahan sampai pada abad pertengahan (abad VI Masehi) ketika Romawi Barat jatuh ke tangan bangsa Germania. Masyarakat Romawi pada abad pertengahan, ketika itu mereka masih berpandangan bahwa hukum pidana bukanlah bidang bahasan para ahli hukum, tetapi merupakan kewenangan penuh bagi Negara (polotik). Walaupun hukum pidana ketika itu telah dikodifikasikan undang-undang tersendiri, tetapi penyelesaiannya masih bersifat hukum privat (pengaduan, keberatan, gugatan, dan lainnya), bergantung pada orang-orang yang merasa dirugikan dengan tindak pidana yang terjadi.247
246
Lihat Frans Maramis, Perbandingan Hukum Pidana (cet 1; Jakarta: Pustaka sinar 247
Lihat Ibid., h. 18.
Walaupun kerajaan Romawi di dalam undang-undangnya telah mengenal pemisahan antara hukum privat dan hukum public, namun aturan-aturan tersebut masihdianggap kurang. Bahkan di dalam aturan-aturan pidana masih terdapat aturan yang dikenal dengan nama criminal extra ordinaria, yaitu kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang secara rinci dan hanya menyebutkanadanya suatu aturan yang bersifat criminal stellionatur (perbuatan jahat dan durjana), tanpa merinci jenisjenis perbuatan apa saja yang dimaksud, sehingga pengertiannya sangat tergantung pada penafsiran penguasa ketika itu. Hal ini membuat undang-undang pidana menjadi rawan rawan dari penguasa yang ingin menggunakannya secara sewenangwenang.248 Aturan-aturan tersebut banyak diresipeer oleh Negaranegara di Eropa dan raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Pada klimaksnya, pernah terbentuk banyak kekuasaan mutlak (absolutism), dan masa itu banyak diistilahkan orang sebagai Aucien Regim (kekuasaan regin, absolutisme).249 Di bawah kekuasaan Germania yang notabene hukumnya privat dan tidak tertulis, banyak perbuatan yang sekarang dipandang sebagai kejahatan dan pidana oleh Negara, pada masa itu dianggap sebagai kesalahan privat, masih berlaku penbalasan pribadi pada masa itu. Misalnya: apabila terjadi pembunuhan, akan menimbulkan permusuhan darah (blood fend) yang menghendaki pembalasan darah (blood tevenge) oleh keluarga atau kelompok korban terhadap pelaku pembunuhan. Dalam kasus blood fend ini, dapat juga diadakan perdamaian dengan member ganti rugi (compensation).250 pada masa bangsa Germania (mulai abad VI), kekuasaan gereja mulai menancapkan pengaruhnya di dalam pemerintahan, 248
Lihat Moeljatno, Op. Cir, h. 24. Lihat juga Andi Hamzah, Op.Cit, h. 40.
249
Lihat Ibid.
250
Lihat Fran Maramis, Op.Cit, h.19.
yang menyebabkan kekuasaan di negeri Romawi tersebut terpecah dua, antara pengaruh para paus yang semakin besar pada abad ke Sembilan dan ke sepuluh dengan kekuasaan raja pada saa itu, bahaka paus sempat menggulungkan kekaisaran. Dmikianlah yang terjadi hingga berabad-abad lamanya. Dalam bidang hukum juga demikian, pihak gereja menuntut agar canon law (hukum gereja) mempunyai kakuatan sama dengan Negara, lengkap dengan pengadilan yang dilakukan oleh para pendeta, sedang dipihak lain para kaisar kekaisaran Romawi menolak keras campur tangan gereja dalam masalah duniawi.251 Dalam abad dua belas dan tiga belas pihak gereja berada di pihak yang menang dan hukum yang berlaku adalah hukum gereja lengkap dengan pengadilan-pengadilannya, yang menangani baik dalam perkara perdata maupun pidana, antara pendeta atau orang biasa dalam perkara perdata maupun pidana.252 Namun karena semasa campur-tangan gereja dalam pemerintahan, terjadi banyak perpecahan dan perang saudara, akhirnya pada abad ke enem belas (1589-1610) Masehi di bawah pemerintahan Henry IV, absolutism berakar kuat di Prancis saat itu. Pengaruh yang berasal dari gereja dan selain Negara dihapuskan, karena yang ada adalah kekuasaan remaja semata. Wewenang hukum sepenuhnya dikembalikan kepada hakim, sehingga hakim kembali berwenang penuh dalam memutuskan perkara menurut pendapatnya sendiri (arbitrium judicis). Abad ke tujuh belas diwarnai dengan lahirnya rasionalisme dengan tokohnya yang terkenal, misalnya Rene Deskartes (15961650) dengan pikiran rasionalnya.rasionalisme inilah yang kemudian memicu lahirnya pemikir-pemikir polotik dan hukum di penghujung abad-abad selanjutnya, misalnya dua tokoh politik terkenal yaitu: Mountesquien (1689-1755) dengan bukunya L’Esprit des Lois (1748) dan J.J Rousseau (1712-1778) dengan 251
Lihat Ibid, h. 21
252
Lihat Ibid, h. 22
bukunya Du Contrat Social (1762) dengan salah satu ide mereka yaitu trias politica (pembagian kekuasaan).253 Dalam bidang hukum, muncul Casera Beccaria (1738-1794) dengan bukunya Dei Delifti e delle (1764) yang mengkritik habis-habisan hukum pidana yang berlaku saat itu dan melahirkan doktrin-doktrin tegas di dalam pembentukan hukum positif selanjutnya. Doktrin-doktrin yang diajarkan ketiga tokoh tersebut, yang kemudian disusun secara hkusus dan sistematis oleh Fon Peurbach (tokos pencetus asa legalitas di dalam hukum pidana) antara lain:254 a) Hukum pidana harus tertulis dengan rumusan yang tepat dan tegas (Lexcerta) tentang perbuatan apa saja yang merupakan delik, dan aturan tersebut harus dipublikasikan. b) Hukum pidana harus pasti, sederhana dan dalam proporsi kerugian yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. c) Pidana mati dihapuskan dan diganti dengan hukum penjara. d) Tertuduh harus diberi kesempatan membela diri dan pemeriksaannya dilakukan secara terbuka. Ide –ide dalam buku itulah yag memic lahirnya ilmu hukum pidana yang tinggi pada saat itu, yang sekarang dinamakan aliran kelasik. Dari ide-ide rasionalisme yang muncul ketika itulah menjadi salah satu pemicu lahirnya revolusi Prancis (1789) yang akhirnya menumbangkan pemerintahan absolute dan mengumandangkan penegakan HAM di dalam declaration des droits des L’Homme et du Citoyen dan code penal yang dipublikasikan pada tahun 1791. Awal abad ke Sembilan belas merupakan sejarah paling berarti dalam kodifikasi hukum pidana positif. Di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte disusun undang-undang secara sistematis dan tersendiri, yaitu dengan bkunya Code d’ Instruktion Criminalle (1808) mengenai hukum acara pidana dan code penal
253
Lihat Ibid, h. 24, lihat juga Abdoel Djamali, Penghantar Indonesia (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 161. 254
Lihat Frans Maramis, Ibid.
Hukum
(1810) mengenai hukum pidana materill menggantikan code penal 1791 sebelumnya. Lewat penjajahan Napoleon, aturan-aturan dalam code penal dan code d’instruktion Criminalle serta code-code yang lain pada akhirnya dikenal oleh banyak Negara yang pernah dijajah oleh Prancis, diantaranya kerajaan Belanda yang mengadobsi aturanaturan pidana tersebutdan mewujudkannya di dalam Wetboek van Strafrecht (1886).255 Lewat penjajahan Belanda, aturan-aturan pidan yang tadinya bersumber dari code penal Napoleon tersebut masuk ke Hindia Belanda dan secara univikasi milai diterapkan di Indonesia oleh pemerintah Belandanpada tanggal 1 Januari 1918.256 Kemudian aturan-aturan tersebut secara substansi tetap diberlakukan pada masa penjajaha Jepang (1942-1945) dengan hanya menyesuaikannya dengan istilah-istilah yang dianggap penting oleh bangsa Jepang ketika itu. Aturan-aturan Belanda itulah yang tetap dipertahankan oleh bangsa Indonesia sampai masa kemerdekaannya (1945). Pada tanggal 26 Februari 1946 (setelah kemerdekaan) dikeluarkan undang-undang no. 1 tahun 1946 yang berisi:257 1. Penghapusan berlakunya undang-undang pidana dari (zaman Belanda dan Jepang) tersebut karena bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. 2. Secara resmi mengubah nama Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandch Indie menjadi KItab Undang-undang Hukum Pidana. 3. Menmbuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal ari aturan sebelumnya sebanyak 68 ketentuan.
255
Lihat Rien G. Kartasaputra, Op. Cit, h. 79, lihat juga Moeljatno, Op.
Cit, h. 24. 256
Lihat J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda (diIndonesiakan), (Cet. I; Jakarta : Bina Aksara, 1987), h. 3. 257
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit, h. 21-22.
4. Menciptakan delik-delik baru. Tetapi aturan delik-delik baru tersebut sepuluh tahun kemudian akhirnya dicabut kembali oleh undang-undang no. 78 tahun 1958.258 Perundanganundangan hukum pidana atau KUHP tahun 1946 atau tahun 1958 tarsebut tetap dipakai oleh bangsa Indonesia sampai sekarang. Hanya dalam prakteknya saja disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Sebenarnya sejak tahun 1977 telah dibentuk Tim pengkajian Hukum Pidana Indonesia yang bertugas menyusun KUHP baru atas perintah pemerintah (dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional) menteri Kehakiman saat itu.259 Hal ini didasari oleh keinginan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kodifikasi KUHP nasional sendiri yang disusun oleh putra-putri Indonesia sendiri dengan bersumber pada keadaan masyarakat Indonesia sendiri, tetapi hingga kini kitab KUHP baru tersebut belum resmi diundangkan mengganti KUHP lama, meskipun telah digodok selama kurang lebih 25 tahun.260 Menurut data yang ada, bahwa materi inti yaitu pada buku II (karena hanya disusun dalam dua buku), 95%-nya sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.261 Hal ini berarti, walaupun telah digodok kurang lebih 25 tahun, aturan-aturan pidan Indonesia belum mampu melepaskan diri dari pengaruh besar hukum pidana Eropa dan dapat dikatakan masih menjadi keluarga besar hukum pidana kontinen Eropa tersebut. Karakteristik dari keluarga hukum pidana kontinen Eropa, antara lain:262
258
Lihat Juhana S. Praja, Ahmad Syihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia (Cet. I; Bandung: Angkasa, 1982), h. 37. 259
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit, h. 26.
260
Lihat Ibid, h. 25
261
Lihat Ibid.
262
Lihat Frans Maramis, Op. Cit, h. 27-30.
1) Adanya system kodifikasi hukum, bahwa hukum pidana harus jelas tertulis di dalam suatu kitab unang-undang. 2) Hukum pidana harus merupakan hukum yang diundangkan dengan prinsip-prinsip asas legalitas. 3) Kebebasan hakim tetap dibatasi sesuai dengan alternatif undang-unang pidana yang ada (klasifikasi ataupun beratringannya hukuman). 4) Ukuran agama (religion standar) dan moral (moral standar) seseorang tidak bisa menjadi ukuran di dalam pemberlakuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena agama dan moral menurut orang-orang Eropa adalah urusan pribadi yang tidak boleh dibebankan kepada orang lain atau dicampur aduk dengan aturan-aturan public. Hal inilah yang menyebabkan perbuatan cabul, perzinaan, atau perbuatan incest dalam bentuk apapun, selama tidak dalam bentuk pemaksaan yang mengakibatkan orang lain kehilangan atau terganggu hakhaknya, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Karakteristik hukum pidana semacam itu masih sangat akrab dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam undang-undang pidana positif saat ini, termasuk aturan-aturan pidana yang terdapat di dalam KUHP Indonesia. Sehingga perundang-undangan pidan di Indonesia masih dapat tergolong ke dalam keluarga hukum pidana Kontinen Eropa tersebut, dengan melihat kepada sumber sejarah dan karakteristiknya. Apalagi bila mendalami ide-ide dan isi hukum pidana Indonesia, terlihat “sama” dengan ide-ide yang terkandung dan diperjuangkan di dalam aturan-aturan pidana kontinen Eropa tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya orangorang yang menyusun KUHP Indonesia baru yang tidak jauh berbeda tersebut adalah orang-orang yang berpikiran sesuai dengan pikiran para pakar hukum Eropa. Hal ini dapat juga dilihat dari ide-ide para pakar hukum positif yang sama-sama ingin menghapuskan dan meminimalisasikan hukuman mati, serta memisahkan hubungan
antara hukum pidana dengan nilai-nilai moral dan agama dari perundang-undangan pidana di Negara mereka tempati termasuk para pakar hukum pidana kita (sekuralisasi di bidang hukum pidana). Setelah tahun 1946, aturan-aturan pidan di Indonesia mulai berkembang dengan dikeluarkannya sebagai aturan-aturan pidana pelengkap atau aturan-aturan pidana khusus di luar KUHP, yang bertujuan untuk melengkapi dan menjelaskan aturan-aturan umum yang telah ad atau dirasakan perlu untuk dikecualikan. Aturanaturan tersebut dibuat oleh instansi-instansi yang diberi kewenangan dalam hal ini, baik dari instansi legislative, eksekutif, maupun yudikatif apabila dipandang perlu, kemudian lahir aturanaturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan lainnya. Semua aturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan hukum secara hirarki pemerintahan yang ada, sehingga aturan yang dibuat oleh suatu instansi yang berwenag tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang dibuat oleh instansi yang lebih tinggi. Kalau hal itu terjadi, maka aturan yang dibuat oleh instansi yang lebih rendah akan gugur dengan sendirinya.263 Pembuatan aturan-aturan tersebut merupakan upaya untuk melahirkan aturan-aturan yang terus actual. Ternyata dengan maraknya pakar-pakar hukum Islam, termasuk di dalamnya pakar hukum pidana Islam di Indonesia tidak mampu menggerakkan hati para penyusun rancangan undang-undang pidana baru tersebut untuk melibatkan para pakar hukum Islam tersebut di dalamnya. Padahal masing-masing dari pakar hukum Islam tersebut pada umum mewakili suatu massa yang tidak sedikit jumlahnya di antara masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Ini terbukti dari data yang menyebutkan bahwa rancangan KUHP baru yang sudah hampir rampung, 95%nya masih 263
Lihat C.S. T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, jilid II (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h..
merupakan aturan-aturan KUHP lama yang tetap dipertahankan. Padahal semua pihak telah sadar bahwa undang-undang tersebut merupakan “copian” dari perundang-undangan pidana Eropa yang selama ini terbukti tidak cocok lagi dengan budaya bangsa Indonesia yang sudah merdeka lebih dari stengah abad lamanya. Demikian lamanya rancangan sebuah KUHP dibuat untuk menjadi sebuah kitab undang-undang baru, berarti pula undangundang pidana baru yang 95%nya masih merupakan warisan penjajah tersebut masih akan bertahan hingga puluhan tahun ke depan dan berarti pula bahwa kita membutuhkan puluhan tahun lamanya untuk merubah persepsi tersebut dan merancang undangundang pidana baru yang lebih sesuai dengan nilai-nilai budaya yang hidup di tangah-tengah masyarakat Indonesia dengan penduduk mayoritas umat Islam, secara demokratis dan konstitusional.
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN HUKUM PIDANA POSITIF Dari bahasan-bahasan terdahulu dapat dipahami secara singkat tentang dua bentuk hukum pidana yang dapat dikatakan “serupa tapi tidak sama”. Hukum pidana positif yang banyak dikenal masyarakat dunia pada satu sisi terus mecari bentuk kesempurnaannya, sedang hukum pidanaIslam pada sisi yang lain juga sedang mencari jalan untuk “membumi” (merealisasi dan
mengaktualisasikan diri) kembali seperti pada masa-masa kejayaan Islam. Dua bentuk hukum yang berbeda namun tidak dapat kita katakan “bertentangan”, dan tidak pula dapat dikatakan sebagai hukum yang persis sama, keduanya berusaha diangkat ke permukaan untuk dikenal sebagai hukum masa depan yang ideal dan dicita-citakan. Bagaimanapun juga, hukum merupakan gambaran manusia yang benar-benar hidup, karena hukum pada hakekatnya merupakan perwujudan dari raga, rasa, rasio, dan rukun, yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.264 Sehingga di antara sosiolog berpendapat bahwa hukum terlahir dengan adanya manusia dan masyarakatnya untuk menjamin setiap kepentingan di dalam masyarakat tersebut. Hukum yang tidak mampu menjawab tantangan jaman dan perkembangan dan peradaban manusia, lambat laun pasti akan ditinggalkan. Bagaimana pun juga, hukum pidana diadakan dengan maksud yang mulia, yaitu agar tercipta ketertiban umum, terjaganya hak-hak asasi manusia, dan hak-hak individu lainnya dari gangguan pihak lain. Yang terpenting adalah bahwa hukum dapat membedakan masyarakat manusia daripada sekelompok hewan yang hanya mampu pasrah kepada hukum alam dan hukum rimba, yaitu ketika pihak kuat yang selalu menang, tanpa mengenal hak-hak diri sendiri dan kesempatan untuk hidup layak seperti yang lainnya. Mapannya suatu aturan atau materi hukum pidana menjadi salah satu sarana penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Tetapi apalah artinya suatu materi hukum pidana yang mapan, sedang para praktisinya dan semua saran dan prasarananya tidak mendukung penegaknya?. Kalau hal itu terjadi, maka rumusan perundang-undangan pidana yang mapan tersebut tidak lebih dari suatu dokumentasi hukum di dalam kitab undang-undang yang 264
Lihat Sudjono Dirjosiswono, Sosiologi Hukum Studi tenteng perubahan hukum dan social, edisi I (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. XV.
kemudian menjadi pajangan di lemari para jaksa, hakim, para praktisi, dan pelaksana hukum lainnya. Tetapi sebaliknya, para praktisi dan penegak hukum (aparat) tersebut akan kebingungan dalam mewujudkan cita-cita hukum tanpa adanya suatu materi hukum yang mapan dan “sempurna”, serta terwujud di dalam perundang-undangan pidana yang resmi. Dengan memperhatikan ke dua jenis hukum pidana tersebut secara komprehensif, maka aka terlihat kepada keduanya terdapat persamaan, perbedaan, serta keunggulan pada masing-masing system hukum, khususnya di dalam hukum pidana Islam yang telah lama terkubur dan dilupakan oleh masyarakat dunia pada umumnya, bahwa ada aturan pidana yang akan menjadi hukum pidana positif masa depan, menjadi hukum yang ideal dan dicitacitakan oleh masyarakat di dunia ini. Adapun formulasi hukum yang mapan tetapi akan tetap relevan di setiap tempat dan waktu, mengisyaratkan pada terwujudnya cita-cita masyarakat hukum yang selama ini dilecehkan. Optimalisasi hukum pidana Islam tereujud ketika masyarakat menerapkannya dengan sungguh-sungguh. Apalagi hukum Isla memiliki nilai-nilai yangdapat masukke dalam aturan mana pn juga, selama aturan tersebut bertujuan menegakkan kemaslahatan umum. A. Persamaan antara Hukum Pidana Islam dan Hukum pidana Positif Apabila ditinjau secara umum, maka akan diketahui bahwa hukum pidan Islam dan hukum pidan positif mempunyai banyak kesamaan, dan hal ini diakui oleh berbagai pihak dari pakar kedua hukum pidana tersebut. Di antara persamaan dari kedua hukum pidana tersebut ialah: Pertama, pada prinsipnya hukum pidana Islam dan hukum pidana positif diundangkan dengan tujuan yang sama, yaitu ke arah ketertiban bersama, kebaikan bersama, sehingga terwujud stabilitas masyarakat pada semua sisi kehidupan.265 Tujuan ini 265
Lihat Abdul Qadir Auda, Op. Cit., h. 70.
akan tercapai dengan: (a) mencegah orang untuk melakukan kejahatan dalam bentuk apapun juga, (b) membuat orang yang biasa melakukan tindak pidana menjadi jera melakukannya kembali, bakhan mendidiknya menjadi orang yang betul-betul bertaubat dari semua kesalahannya, dan (3) memisahkan atau membuat pelaku tindak pidana serius tidak dapat lagi mengganggu ketenangan masyarakat (dengan mengasingkannya, memasukkan ke dalam penjara, menjatuhi hukuman mati, memotong tangan bagi pencuri, dan sebagainya).266 Kedua, asas-asas yang dianut oleh hukum pidana Islam pada umumnya terdapat di dalam hukum pidana positif seperti yang telah kita paparkan, seperti: asas legalitas, asas non retroactivity, asas territorial, asas nasianalitas, asas universalitas, dan asasasas penting lainnya. Hal ini membuktikan bahwa asas-asas tersebut adalah mutlak atas semua aturan pidana standar, untuk menjadikannya sebagai hukum yang berwibawa dan kokoh untuk ditaati sepenuhnya oleh masyarakat. Prinsip-prinsip legalitas dan asas-asas lainnya yang ditemukan oleh pemikir-pemikir hukum Eropa pada sekitar abad ke delapan belas, misalnya; oleh Cecare Beccaria, Von Fenerbach, Montesquieu, dan lainnya bertujuan untuk memperkokoh kedudukan aturan pidana yang diadakan. Tetapi apakah betul bahwa prinsip-prinsip tersebut pertama kali ditemukan di Eropa?, sedang hukum pidana Islam juga telah menganut prinsip hukum tersebut sejak abad ke enam Masehi. Ketiga, tindak pidana yang diatur di dalam hukum pidana positif pada umumnya juga diatur di dalam hukum pidana Islam. Yaitu berkenaan dengan pelanggaran dan kejahatan terhadap jiwa, harta, kehormatan, agama, Negara dan sebagainya. Kesemuanya tercermin di dalam aturan-aturan tentang tindak pidana di dalam materi kedua hukum pidana tersebut. Unsur-unsur yang dijaga oleh materi kedua hukum pidana tersebut. Unsur-unsur yang
266
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit., h. 28-29.
dijaga oleh materi kedua hukum pidana tersebut, merupakan unsur-unsur terpenting di dalam kehidupan manusia, sebab manusia tidak mungkin hidup atau sangat sengsara hidupnya tanpa unsur-unsur penting tersebut. Unsur-unsur penting tersebut di dalam hukum pidana Islam menjadi maqashid al-syar’iyah (tujuan diterapkannya hukum syari’ah). Karena adanya kesamaan dalam mengatur tindak pidana, maka tentu di dalam perumusan masing-masing tindak pidana terdapat pula banyak kemiripan, misalnya di dalam merumuskan tindak pidana pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lainnya. Keempat, di dalam pengoperasian aturan-aturan pidana dan asas-asasnya, para pakar hukum dari dua hukum pidana tersebut kerapkali berbeda pendapat. Mereka hanya tetap sepakat bahwa suatu tindak pidana harus dihukum sesuai aturan-aturan yang telah ada. Di antara pendapat para pakar hukum Islam yang berkembang, bahwa aturan-aturan yang ada di dalam hukum pidana positif cukup islami dan perlu dipertahankan, hanya perlu beberapa penyempurnaan dan perbaikan, agar tidak terjajah lagi oleh doktrin-doktrin hukum pidana Eropa yang kelihatan terlalu rasional (merasionalisasikan sesuatu) dan individualistic, di satu sisi ingin “mengobati luka” yang terjadi, tetapi sekaligus melahirkan “luka-luka” baru yang tidak diperhitungkan, misalnya: keinginan menghapuskan hukuman mati atau aturan-aturan hukuman mati tersebut dibuat sekedar formalitas, pengabaian aspek-aspek moral dengan alasan tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain secara mendalam, Agama harus dijauhkan dari hukum sehingga hukum berkembang sebesar-besarnya sesuai dengan kemampuan akal manusia. Hal ini kita bahas lebih mendalam pada bahasan berikut. B. Perbedaan Hukum Pidana Islam dengan Hukum Pidana Positif Pembahasan ini pada hakikatnya merupakan kekhususankekhususan yang dimiliki oleh masing-masing teori hukum
daripada sifat-sifat umum yang telah kita sebutkan sebelumnya. Hal mana di antara persamaan-persamaan tersebut terdapat juga perbedaan-perbedaan prinsip sehingga setiap ahli hukum tetap dapat membedakan criteria masing-masing dari kedua materi hukum pidana tersebut. Mencari perbedaan yang terdapat pada kedua hukum tersebut bukan berarti bahwa di antara keduanya terdapat “jarak” pemisah yang begitu jauh. Sejarah telah membuktikan bahwa hukum pidana Islam pun pernah dijadikan “hukum positif” selama berabad-abad lamanya, dan toh kedua teori dan materi hukum pidana tersebut pada hakikatnya nerupakan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk menertibkan masyarakat. Yang menjadi perbandingan dalam bahasan ini adalah perbedaan yang mendasar antara hukum pidana Islam dan hukum pidana Eropa yang banyak “ditelan bulat-bulat” oleh Negaranegara di dunia ini termasuk Negara-negara Islam pada umumnya, sehingga tidak ada lagi kemauan umat Islam pada umumnya untuk meneliti kembali aturan-aturan pidana yang ada di dalam hukum Islam itu sendiri, hanya karena anggapan keliru terhadap hukum “modern”, yang akhirnya berkembang pada tuduhan, bahwa hukum pidana Islam sebagai hukum yang “ketinggalan jaman”, “kejam”, dan tidak “manusiawi”.267 Sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai sumber kajian dan masukan bagi perundang-undangan di Negara kita. Di antara perbedaan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif yang dapat kita fahami dari bahan-bahan sebelumnya, antara lain; Pertama, dari segi sumbernya, hukum pidana Islam bersumber dari Al-Quran, hadist, ijma, dan sumber-sumber hukum Islam lain seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan sebagainya. Sumber hukum Islam tersebut beritikan wahyu Allah
267
Lihat Topo Mustopo, Op. Cit, h. 25.
(Al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad pada sekitar abad VII Masehi.268 Bagi orang Islam, Al-Quran merupakan pedoman utama yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya (QS. Al- Baqarah (2): 2), dan hal ini juga dirasakan oleh para orientalis dan orang-orang di luar Islam lainnya ketika mereka mempelajari dengan sungguhsungguh dan obyektif apa saja yang terkandung di dalamnya AlQuran. Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan secara rinci aturanaturan pidana hudud dan qisas-diyat dengan segala yang terkait dengannya. Di samping itu terdapat aturan pidana yang lebih fleksibel dari dua jenis tindak pidana sebelumnya yaitu aturan dalam tindak pidana ta’zir, hanya terdapat ketentuan-ketentuan umum tentang tindak pidana tersebut, sehingga sangat memungkinkan berkembang metode ijtihad di dalamnya. Pada akhirnya, hukum pidana Islam tetap mampu relefan di segala tempat dan waktu. Sedang hukum pidana positif di Indonesia bersumber dari pemikiran para pakar hukum dan polotik setelah rasionalisme memuncak di Eropa. Lewat penjajahan, hukum pidana tersebut disebarkan oleh Negara-negara Eropa, termasuk Negara Prancis yang dikepalai oleh Napoleon ketika itu.269 Lewat penjajahan Napoleon, hukum pidana tersebut masuk ke negeri Belanda yang kemudian ditransper kepada aturan di Indonesia yang ketika itu menjadi Negara jajahan Belanda. Masih akibat penjajahan tersebut selama berabad-abad lamanya, bangsa Indonesia menjadi lemah di segala bidang, sehingga sampai saat ini masih terkagum-kagum pada system hukum pidana yang ditinggalkan oleh orang-orang Eropa tersebut. Kedua, dari segi sejarah, jelas latar belakang kelahiran dan tempat kelahiran hukum pidana positif seperti yang telah kita 268
Lihat Ibid., h. 54.
269
Lihat Frans Maramis, Op. Cit., h. 24.
singgung sebelumnya. Apabila suatu hukum atau aturan dianggap modern karena prinsip-prinsip yang dikandungnya, atau karena adanya ketentuan hukuman yang jelas, maka anggapan bahwa hukum pidana Islam ketinggalan jaman perlu ditelaah kembali, karena aturan-aturan di dalam hukum pidana Islam telah menganut criteria tersebut sejak puluhan abad yang silam. Yang membedakan kedua hanyalah; bahwa hukum pidana Islam mulai muncul dan berkembang di Timur (benua Asia bagian Tenggara), sedang hukum pidana positif berasal dari benua Eropa yang kebetulan kehidupannya lebih maju dari Negara-negara Islam beberapa abad belakangan ini. Hukum (pidana) Islam juga pernah menjadi hukum (pidana) Islam “positif” selama berabad-abad lamanya, sebelum Eropa (Barat) menjajah hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam; fisik, mental, maupun intelektual. Ketiga, perbedaan dari segi penerapan asas-asas hukumnya. Hal ini disebabkan karena penerapan asas-asas hukum pidana tersebut tidak terpisahkan dari materi hukum pidana. Sehingga penerapan asas legalitas misalnya, sangat dipengaruhi oleh komposisi materi hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif. Kalau komposisi materi suatu hukum pidana tidak lengkap atau “rancu”, maka penerapan asas legalitasnya pun menjadi sebuah dilema. Tetapi apabila materi hukum pidananya kokoh, akan menjadikan penerapan asas legalitasnya pun akan menjadi optimal, termasuk di dalam penerapan asas-asas hukum pidana yang lain. Penggunaan analogi (qiyas) di dalam penerapan kedua hukum pidana tersebut berbeda. Di dalam hukum pidana Islam, penggunaan qiyas pada umumnya diperbolehkan secara mutlak di dalam jenis tindak pidana ta’zir, tetapi sangat dibatasi atau bahkan dicegah oleh para fuqaha menggunakannya di dalam bidang tindak pidana hudud dan qiyas, sebab hal ini akan memunculkan suatu keputusan hukum yang “meragukan”, sedang sedikit pun “keraguan” dapat menggugurkan hukuman hudud.
Penggunaan analogi (qiyas) di dalam suatu kasus pidana (had dan qisas) masih diperbolehkan dengan syarat-syarat yang cukup ketat oleh sebagian ulama, selama kasus tersebut benarbenar konprehensif dengan aturan sumber.270 Berdasarkan pada beberapa contoh riwayat tentang kebolehan berijtihad dalam menyelesaikan suatu perkara, termasuk di dalamnya, menentukan suatu kejahatan baru dan hukumannya lewat metode qiyas karena kesamaannya dengan aturan dan kasus sumber. Metode qiyas ini menurut mereka, tidak bermaksud menciptakan kejahatan dan hukuman baru (dalam bidang had dan qisas) di luar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Misalnya; perbuatan sodomi dan menyetubuhi binatang diqiyaskan dengan jarimah perzinaan.271 Sedang di dalam aturan pidana ta’zir, pemakaian qiyas/analogi tidak dipermasalahkan, selama hakim berpegang teguh pada aturan-aturan pokok yang telah ada. Di dalam hukum pidana positif, qiyas/analogi pada umumnya dilarang karena dianggap dapat menciptakan aturan baru di luar undang-undang dan hakim akan terlalu mudah memvonis suatu kasus baru mendahului undang-undang.272 Yang diperbolehkan dalam menangani suatu kasus baru yang terdapat kemiripan dengan aturan-aturan yang ada ialah dengan membagi jenis penafsiran, misalnya lewat penafsiran gramatikal. Penafsiran historis, penafsiran autentik, dan lainnya. Tetapi di dalam penggunaan penafsiran yang ada tidak luput dari perbedaan pendapat para ahli hukum. Hal ini karena perbedaan pemahaman antar pakar dan Negara dalam menerapkan metode-metode penafsiran pidananya.273 Asas tidak berlaku surut di dalam hukum pidana Islam, tidak hanya dapat dikecualikan dengan ketentuan member hukuman 270
Lihat Abdul Qadir Auda, Op. Cit, h. 218.
271
Lihat Ibid, h. 221.
272
Lihat Topo Santoso, Op. Cit, h. 63.
273
Lihat Andi Hamzah, Op. Cit, h. 45.
yang paling menguntungkan bagi terdakwa seperti dalam aturan hukum pidana positif, tetapi asas tersebut juga dapat dikecualikan di dalam hukum pidana Islam, apabila terhadap kejahatankejahatan yang sangat membahayakan masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat luas.274 Keempat, dari segi aturan tindak pidananya, hukum pidana Islam telah mengklasifikasikannya menjadi tiga bentuk pidana, yaitu; jarimah had, jarimah qiyas-diyat, dan jarimah ta’zir. Dalam bentuk pidana had dan qisas-diyat, aturan-aturan telah ada dan dapat dikatakan “instan”, karena jenis hukumannya telah ditentukan dan pengembangannya pun ekstra ketat, sehingga hanya berkisar pada jenis-jenis kejahatan yang ditentukan oleh nash saja dan yang betul-betul sejenis dengan itu. Sedang dalam jarimah ta’zir sebaliknya, sifatnya sangat fleksible, sebab aturan-aturannya sangat umum hanya menyangkut beberapa sifat umum pembentuk jarimah di luar jarimah had dan qisas-diyat. Hukuman-hukumannya pun tersedia penuh dengan alternative hukum dari yang teringan sampai yang terberat, sehingga penyelesaian kasus ta’zir sangat tergantung pada keyakinan hakim dan sangat memungkinkan berbedanya putusan pada kasus serupa dalam jarimah ini sesuai dengan pertimbangan hakim. Aturan-aturan dalam hukum pidana Islam tersebut ditetapkan supaya hukum pidana mempunyai kepastian hukum khususnya dalam tindak pidana yang berat, tetapi tetap mampu berada pada setiap perubahan jaman dan perubahan jenis kejahatan. Misalnya ketika suatu tindak pidana tidak dapat dikenai ketentuan hukuman had atau qisas karena syarat-syaratnya yang kurang, atau perbuatan tersebut adalah perbuatan baru yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jarimah had atau qiyas, maka pasti dapat dijerat dengan ketentuan hukum ta’zir, karenaa memenuhi syarat umum sebagi tindak pidana. Berat dan ringannya
274
Lihat Auda, Op. Cit, h. 314.
ketentuan ta’zir diserahkan kepada ijtihad hakim (yang mutunya juga harus tetap dijaga). Di dalam hukum pidana positif, klasifikasi aturan tindak pidana seperti itu tidak nyata sehingga akan membuat kesulitan di dalam penegakan hukum tersebut ketika dihadapkan kepada tindak pidana yang telah berkembang atau yang benar-benar baru. Pada akhirnya, hukum akan selalu tertinggal dari tindak pidana yang selalu berkembang, tanpa mampu ditangani dengan aturanaturan pidana yang telah ada, sehingga korban pun berjatuhan begitu saja. Kelima, dalam hal penghukuman, hukum pidana Islam terlihat ekstra hati-hati khususnya di dalam menangani kasuskasus had dan qisas-diyat, sehingga orang yang divonis dengan hukuman had dan qisas didasari oleh keyakinan penuh. Hal ini disebabkan syarat-syarat yang harus dipenuhi pelaku jarimah tersebut sangat ketat, sehingga tidak muncul keraguan yang dapat menggugurkan hukuman had dan qisas tersebut. Tetapi meskipun syarat-syaratnya ketat dan tegas, bukan berarti mustahil akan terjadi. Dalam hal inilah para hukum pidana Islam berpendapat bahwa hukum had dan qisas tidak mengenal adanya hukuman minimal dan maksimal, sebab ketika pelaku tindak pidana tidak memenuhi criteria jarimah had dan ta’zir, maka ia tidak dikatakan lagi pelaku jarimah had dan qisas-diyat walaupun pada akhirnya ia dikenai ketentuan ta’zir.275 Di dalam hukum pidana positif, klasifikasi hukuman seperti itu tidak ada sehingga undang-undang pidana yang ada dipenuhi oleh banyaknya aturan yang akan terus membengkak jumlahnya seiring dengan pertumbuhan jenis-jenis tindak pidana baru. Hal ini akan membuat perundang-undangan pidana positif menjadi tidak efisien, apalagi untuk masa-masa yang akan datang sudah semakin sulit diterapkan. Hal ini disebabkan karena ketentuan pidana disusun secara berbelit-belit, lengkap dengan
275
Lihat Abdul Qadir Auda, Op. Cit., h. 80.
maksimal dan minimlalnya hukuman masin-masing dengan bahasa yang tidak pasti, akhirnya hakim dapt memilih alternative ketentuan-ketentuan yang ada. Terlihat sangat mirip dengan ketentuan ta’zir di dalam hukum pidana Islam, padahal ketentuan ta’zir di dalam hukum pidana Islam hanyalah ketentuan alternative terakhir yang tidak dapat memecahkan masalahmasalah pidana pokok di dalam hukum pidana Islam. Keenam, ketentuan hukuman di dalam hukum pidana Islam tidak terbatas kepada tujuannya kea rah retribution, deterrence, dan reformation saja. Tetapi jauh dari pada itu, melahirkan manusia-manusia yang bertaubat (tidak hanya takut dan jera), sebagai penghapus dosa dan kesalahan fatal yang sengaja dilakukan, dan bertujuan untuk kebahagiaan hidup sampai di akhirat nanti bagi orang-orang muslim. Di dalam ketentuan qisasdiyat, bukan hanya ditegakkan dan dilaksanakan oleh kekuasaan Negara, tetapi tetap terdapat campur tangan pihak-pihak yang merasa dirugikan secara langsung. Ketika aturan qisas-diyat tersebut dilaksanakan, maka semua pihak yang merasa bersangkutan langsung dengan jarimah tersebut merasa dilibatkan dan ikhlas dengan peristiwa yang telah terjadi, sehingga betulbetul menyelesaikan setiap aspek perkara dengan tuntas. Hal ini juga menandakan bahwa hukum pidana Islam bukanlah hukum yang sadis dan tidak berprikemanusiaan. Ketujuh, hukum pidana Islam sangat menjunjung tinggi nilainilai moral dan agama, dan tidak hanya melihat kepada hak-hak individu tertentu yang mesti dihormati, juga menjaga agar masyarakat tersebut tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tidak menjadi rusak akibat kerusakan moral yang biasanya diabaikan oleh hukum pidana lainnya dengan pertimbangan demi “kepentingan pribadi”. Hukum pidana Islam pada hakikatnya sangat menghargai setiap kepentingan pribadi, tetapi kepentingan pribadi tersebut boleh dikorbankan demi kepentingan bersama, apalagi menyangkut moralitas bangsa. Sehingga perbuatan zina dan
minum khamar dimasukkan sebagai tindak pidana berat yang harus dijatuhi hukuman had, karena berdampak pada kerusakan moral manusia, yang membuata manusia tidak lebih dari sekumpulan komunitas hewan. Kedua tindak pidana tersebut umumnya tidak terlalu mendapat perhatian dari hukum pidana positif karena sulitnya menangani perkaranya dank arena terlalu menghormati hak asasi setiap individu, apalagi keduanya tidak berdampak langsung kepada stabilitas umum. Sedang di dalam hukum pidana Islam, keduanya sangat diperhatikan dan diwaspadai, karena minuman keras dapat merusak akal manusia, sedang perzinaan dapat merusak kemuliaan nasab manusia yang membuatnya saling mengenal satu dengan yang lainnya. Kedua tindak pidana tersebut walaupun kelihatan “sepele”, tetapi dapat menimbulkan tindak pidana lain yang lebih hebat dan berantai. Di dalam hukum pidana positif, masalah moral, agama, dengan hukum tidak bisa bercampur aduk, sehingga pelanggaran terhadap moral dan agama tidak dapat dikenai sanksi pidana selama tidak merugikan kepentingan orang lain, dan untuk membuktikan kerugian tersebut adalah lewat pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Kalau tidak mengadu, dianggap tindakan tersebut adalah hak pribadi yang tidak dapat dipidana. Hal inilah yang membuat tindak pidana perzinaan sangat dibatasi pada criteria-kriteria tertentu saja yang sangat jauh dari arti perzinaan yang sesungguhnya, serta di dalam tindak pidana minuman keras dan sejenisnya. Selama tidak merugikan pihak lain, di “perboleh”kan walaupun bisa merusak diri pelakunya sendiri,karena hukum positif kurang menghiraukan hal tersebut. Pernyataan terakhir tersebut sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan hukum pidana yang diperjuangkan mati-matian oleh hukum pidana positif sehingga ingin menghapus ketentuan hukuman mati, yaitu ingin membina setiap pribadi menjadi pribadi yang baik dan sehat dari segala segi. Dan di sini
pula terlihat betapa unggul dan sistematisnya penerapan hukum pidana Islam. C. Keunggulan Hukum Pidana Islam Berbicara masalah keunggulan, berarti bebicara masalah kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh hukum pidana Islam di atas dengan tidak bermaksud mengabaikan kekhususan dan keunggulan yang dimiliki oleh hukum pidana positif. Karena tanpa diunggulkan pun hukum pidana positif saat ini telah “unggul”, sebab telahmenjadi perundang-undangan resmi yang dipakai oleh banyak Negara di muka bumi ini, termasuk Negara-negara yang dapat dikategorikan sebagai “Negara Islam” atau Negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, seperti di Indonesia. Dengan membahas kekhususan hukum pidana Islam tersebut secara mendalam, maka akan jelas posisi keunggulan dari hukum pidana Islam bila dibandingkan dengan aturan-aturan di dalam hukum pidana lainnya. Sudah menjadi suatu doktrin Allah kepada umat Islam, bahwa wahyu (Al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, merupakan rahmat bagi alam sekalian (ramatan li al-‘alamin).276, yang berarti bahwa kemashlahatan yang dibawa oleh wahyu Allah tersebut bukan dikhususkan untuk orang-orang Islam atau orang-orang Arab saja, tetapi misi yang diemban oleh Nabi Muhammad tersebut bertujuan untuk kelestarian manusia seluruhnya. Dan janji seperti itu adalah janji pasti ketika ajaran Ilahi tersebut diterapkan di muka bumi ini. Tetapi sebaliknya, ketika ajaran “kemashlahatan” tersebut tidak dilaksanakan, maka kelestarian hidup yang dicita-citakan tersebut akan sulit diwujudkan. Demikian halnya ketika hukum Islam hanya diterapkan dengan setengah-setengah sesuai dengan selera manusia, perbuatan tersebut malah mendapat ancaman keras dari Allah, seperti dalam firmannya “Apakah kamu hanya beriman pada sebahagian wahyu yang Allah turunkan dan 276
Lihat QS. Al-Anbiya’ (21): 107.
mendurhakai sebahagian yang lain, sungguh tidak ada balasan atas perbuatan seperti itu kecuali kehinaan hidup di dunia, dan di akhirat nanti pasti menjadi orang-orang yang merugi”.277 Kalau berbicara urusan akhirat, maka hal itu tentu berkaitan dengan keimanan seseorang, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa dilibatkan. Tetapi ketika berbicara tentang kemaslahatan atau kelestarian hidup, serta cara mendapatkannya, berarti setiap orang harus turut merealisasikannya, agar tercapai kelestarian hidup tersebut. Usaha penegakan tersebut sudah merupakan kosekuensi logis (sunnatullah) dari hasil yang dicitacitakan bersama, dengan tidak memilih aturan-aturan yang menguntungkan diri sendiri atau orang tertentu saja. Apalagi ketika aturan kemashlahat tersebut diperhadapkan kepada orang-orang Islam yang sepantasnya lebih dahulu meyakini dan melaksanakannya, sehingga Allah member ancaman khusus bagi orang-orang Islam, “… Maka barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka akan menjadi orang kafir,…..orang munafiq,…… orang fasiq”.278 Dengan demikian dapat dipahami bahwa di antara aturanaturan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, tersebut ada yang berkenaan dengan keyakinan, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang boleh melaksanakan aturan tersebut. Di samping itu ada aturan-aturan yang tidak hanya berkenaan dengan keimanan seseorang karena menyangkut kemaslahatan hidup bersama, berarti aturan-aturan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman saja, tetapi bagi semua orang yang menginginkan kemashlahatan hidup tersebut, dan selama hal itu memungkinkan dalam suatu wilayah kekuasaan Islam. Aturan-aturan untuk kemashlahatan hidup bersama tersebut diantaranya adalah aturan-aturan tentang hukum pidana yang menyangkut kepentingan Public. 277
Lihat QS. al-Baqarah (2): 85
278
Lihat QS. Al-Maidah (5): 33, 34, dan 36.
Setiap orang tentu menginginkan hak-haknya tidak diganggu, hartanya tidak dicuri atau dirampok, kehormatannya terjaga, akalnya tidak rusak, jiwanya aman dari ancaman, dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, aturan-aturan untuk hal itu harus ditegakkan oleh siapapun dari anggota masyarakat tersebut, atau orang lain yang datang dan bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat, selama hal tersebut memungkinkan. Akal sehat pun akan menerima, bahwa tidak mungkin orangorang Islam tetap membolehkan pada kafir zimmi (orang kafir yang tunduk di bawah wilayah kekuasaan Islam) untuk mencuri, atau melakukan hal-hal yang merusak stabilitas umum di dalam wilayah kekuasaan Islam, hanya karena agama mereka tidak melarang tindakan tersebut. Terasa jauh dari nilai-nilai keadilan, ketika hak-hak hidup merupakan keinginan bersama, sedang aturan-aturannya hanya ditujukan secara maksimal atas orangorang tertentu saja. Hal ini sama saja dengan “memelihara pencuri atau penjahat di dalam rumah sendiri”, dan hal ini adalah perbuatan konyol yang jauh dari orang-orang beriman. Walaupun di antara fuqaha ada yang tetap mengecualikan satu atau dua tindak pidana yang tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan kepada orang-orang zimmi, karena agama mereka betul-betul membolehkannya, maka hal itu harus dibarengi dengan aturan yang lain, misalnya; tidak boleh secara demonstrative dilakukan di tengah-tengah orang Islam, dan harus ada jaminan tegas untuk tidak merusak stabilitas masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung, harus di kalangan sendiri, dan tidak sampai menyinggung perasaan rakyat banyak. Kalau hal ini dilanggar, maka aturan semula harus diterapkan atas mereka (orang-orang zalim) dengan pertimbangan unutk kepentingan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi sorotan atas kelemahan aturan hukum pidana positif yang serba dilematis, di satu sisi ingin menciptakan stabilitas keamanan yang kokoh, tetapi pada sisi yang lain tidak mampu mencegah dan melarang perbuatan-
perbuatan yang dapat merusak stabilitas keamanan tersebut. Misalnya tentang perzinaan dan minum-minuman keras yang tidak mampu untuk dilarang secara tegas, bahkan seolah dibiarkan berkembang karena menyangkut penghasilan Negara. Semakin banyak PERDA, dikeluarkan untuk mencegah beredarnya minuman keras secara bebas, maka semakin marak pula minuman tersebut dipajang di pusat-pusat perbelanjaan, apalagi di dalam penanganan kejahatan lainnya. Keadaan yang seperti inilah yang membuat wibawa hukum menjadi hilang dari pandangan masyarakat, sehingga yang muncul adalah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap undangundang yang ada. Di sinilah letak ketidak tegasan dan ketidak mampuan hukum dalam menciptakan stabilitas masyarakat yang sesungguhnya. Tindakan yang harus diambil oleh Negara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan hukum pidana, adalah dengan, mencantumkan secara tegas aturan-aturannya, sehingga hal-hal yang ingin dicegah tersebut sangat kecil kemungkinannya akan dilanggar oleh masyarakat. Kalau pemerintah betul-betul ingin menanggulangi minuman keras dan kejahatan lainnya, maka aturan-aturan tentang pelarangan minuman keras dan kejahatan lainnya tersebut dinyatakan secara tegas oleh undang-undang, serta ditegakkan oleh aparat yang berwenang dengan sungguh-sungguh. Masyarakat dengan ketentuan yang tegas tersebut akan merasa “berdosa” untuk melakukannya. Sebagai perbandingan undang-undang tentang penyalahgunaan narkoba sebagai zat yang sangat berbahaya. Dengan adanya undang-undang tersebut, petugas tidak segansegan bertindak untuk mencegahnya. Padahal kalau dipikirkan, antara narkoba dan minuman keras adalah dua zat yang samasama merusak akal dan moral bangsa. Sedang rusaknya akal, akan menjadi penyebab rusaknya hal yang lain di dalam maqashid alsyar’iyah, termasuk rusaknya agama. Karenanya hanya orang-
orang berakal yang dapat menerima agama. Orang yang kehilangan akal dapat berbuat apa saja sesuai dengan keinginan diirnya, sehingga dampak dari minuman keras dapat meluas kepada jarimah lain, seperti; pembunuhan, perzinaan, mencuri karena ketagihan, memfitnah dan lainnya. Nabi Saw. Dan para Khulafa’ al-Rasyidah dengan tegas menindak setiap kejahatan atau jarimah yang terjadi, termasuk di dalamnya jarimah meminum khamar yang merupakan jarimah yang paling ringan hukumnya di antara jarimah hudud. Bahkan pada masa khalifah Umar bin Khattab Ra., hukuman pelaku jarimah meminum khamar “haus” dinaikkan jumlah menjadi 80 kali dera dari hukuman sebelumnya (40 kali dera). Langkah ini diambil oleh khalifah Umar ketika beliau melihat tindak pidana tersebut semakin menjadi-jadi. Menurut ijtihad beliau dan juga merupakan usulan dari beberapa sahabat lainnya, minuman keras akan menyebabkan orang yang meminumnya menjadi mabuk dan kehilangan akal sehat, saat itulah yang dapat berbuat apa saja termasuk berbicara tidak karuan dan memfitnah orang lain, sehingga hukuman 80 kali dera adalah setimpal bagi peminum khamar. Fatwa dari para sahabat ini mendapat sambutan dari para sahabat yang lain, sehingga manjadi keputusan ijma para sahabat dan menjadi dalil kuat bagi para fuqaha di kemudian hari. Tindak pidana zina juga termasuk perbuatan yang “dicueki” oleh undang-undang pidana positif dengan berbagai alasan khas aturan hukum pidana Eropa. Di antaranya karena masalah ini menyangkut kehidupan pribadi seseorang dan juga terlalu sulit pengusutnya kecuali dengan adanya pengaduan pihak yang meras dirugikan oleh perbuatan tersebut. Karena tidak dapat ditanggulangi lagi, akhirnya muncul ide untuk “melokalisasi” perbuatan tidak bermoral tersebut sebagai upaya agar perzinaan yang ada dapat ditertibkan. Rupanya usaha tersebut hanya membuat perzinaan bertambah subur, apalagi merasa dilegalkan oleh pemerintah akhirnya semua kalangan tidak
lagi merasa malu untuk mendatangi tempat-tempat maksiat yang semakin banyak jumlahnya, apalagi tempatnya sudah tertentu sehingga gampang mencarinya, dan tidak perlu takut akan dikejarkejar petugas. Pada akhirnya, tidak cukup satu lokalisasi dengan berbagai alasan, maka diciptakan lokalisasi-lokalisasi perzinaan yang lain. Dengan demikian, bukannya perzinaan berkurang, tetapi malah semakin menjamur. Menertibkan (melegalkan) perzinaan rupanya tidak efektif untuk mengurangi perzinaan, karena dengan adanya wadah perzinaan berarti semakin karena semakin banyak orang yang ingin mencobanya, akhirnya dampak langsung atau tidak langsung dari perzinaan tersebut merajalela, hanya karena alasan kuno “menguntungkan semua pihak”. Dan orang yang pernah mencobanya pun semakin ketagihan untuk mengulanginya. Perzinaan adalah suatu tndak pidana yang tidak berdiri sendiri, tetapi tidak terjadi karena suatu penyebab dan juga dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana yang lain secara berantai. Penyebab terjadinya zina, bisa dipicu dari pornografi (lewat majalah, Koran, buku-buku, tanyangan-tanyangan televise, dan dampak dari kemajuan teknologi lainnya yang sengaja dipublikasikan secara terbuka) dan pergaulan bebas dalam segala macam bentuk dan tempatnya. Perzinaan juga dapat memicu lahirnya tinak pidana dan ketidakstabilan lainnya, misalnya memicu maraknya aborsi, menyebabkan retaknya rumah tangga, memicu kecemburuan yang dapat mengarah kepada pembunuhan, saling membenci, saling mendendam, dan sebagainya, membuat orang tidak lagi menghormati sakralnya kehidupan rumah tangga, dan semakin berkurangnya keinginan orang untuk menikah secara sah. Jika hal tersebut dibiarkan, dampaknya kepada ketidakstabilan social dan kehidupan yang tidak ubahnya seperti hewan. Untuk kasus aborsi saja, dari penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 dinyatakan bahwa, bahwa jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia telah mendekati rekor aborsi yang terjadi di Amerika
Serikat, yaitu satu juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, sedang di Amerika Serikat yang merupakan Negara paling liberal, hanya tercatat 1,5 juta saja kasus aborsi setiap tahunnya.279 Aborsi yang terjadi itu pada umumnya berasal dari “kehamilan haram” yang terjadi akibat zina. Dapat dibayangkan, bahwa perzinaan terjadi di Indonesia pada setiap harinya ribuan kasus, hal itu yang sempat terdata, bgaimana lagi perzinaan yang tidak sempat terdata karena belum sampai pada tindakan aborsi?. Suatu penelitian yang pernah dilakukan pada beberapa SLTA di daerah Bali, kota pelajar Yogyakarta dan Jakarta menunjukkan; untuk daerah Bali saja, dari 663 pelajar pada dua SLTA di daerah tersebut, 27,2% responden wanita dan 18,4% responden pria mengaku pernah melakukan seks di luar nikah, dan setiap harinya, 50 dari 100 orang dokter didatangi oleh dua orang remaja yang minta “dilancarkan” kembali haidnya. Ini berarti bahwa, setiap harinya tidak kurang dari 100 “kehamilan haram” yang terjadi di sana.280 Di Jakarta padatahun 1989, juga ditemukan data bahwa 4,1% responden usia 15-21 tahun pernah melakukan senggama (di luar nikah) dan di kota pelajar Yogyakarta ditemukan data dari bulan januari sampai oktober 1993, dari 461 pelajarnya; 8,53% di antaranya pernah melakukan zina dan tercatat tidak kurang dari 328 pelajar dan mahasiswa dalam 10 bulan itu telah melakukan aborsi. Jumlah tersebut belum termasuk aborsi yang dilakukan sendiri (dengan obat-obatan atau dengan dukun kampong).281 Data tersebut dilakukan pada 3 kota besar di pulau Jawa-Bali saja, apalagi bila digabung denagn semua data yang terkumpul dari seluruh daerah di Indonesia maka jumlahnya tentu lebih fantastis. Data-data tersebut sempat diperoleh di berbagai macam
279
Lihat “Seks Bebas dan Aborsipun MEngepung”, dalam Aksi, Jakarta, Desember 1997. 280
Lihat “Sek-esek di Mana-mana, dalam Aksi, Jakarta, 1997.
281
Lihat Ibid.
penelitian yang dilakukan, bagaiman lagi dengan semua peristiwa perzinaan yang tidak sempat terdata (karena perbuatannya dirahasiakan, di dasar rasa suka sama suka,hubungan kerja atau kontrak, dan sebagainya). Dari perbuatan zina itulah yang member dampak bukan hanya menyebabkan terjadinya aborsi, tetapi juga bisa menimbulkan; kecemburuan, keretakan rumah tangga, bunuh diri, membunuh orang lain, lari kepada narkoba dan minum minuman keras, dan sebagainya. Kasus yang ramai dibicarakan orang berkenaan langsung dengan perbuatan zina (walaupun tidak semua aborsi dilakukan karena perzinaan) yang sebagian kecil telah kita kemukakan sampelnya, sehingga salah seorang teman kuliah dulu mengungkapkan, “kalau pada jaman jahiliyah dulu orang hanya membunuh anak-anak mereka yang perempuan, tetapi sekarang orang membunuh anak-anaknya tanpa mau perduli anak mereka tersebut laki-laki atau perempuan. Di dalam hukum pidana Islam, perzinaan dianggap sebagai tindak pidana serius yang harus mendapatkan penanganan sedini mungkin, sehingga “mendekatinya” pun dilarang dan dianggap sebagai perbuatan keji dan sangat buruk.282 Kalau perbuatan zina tersebut benar-benar terjadi, maka pelakunya harus dijatuhi hukuman; seratus kali cambukan bagi orang yang belum nikah dan dilempar (rajam) sampai mati bagi mereka yang telah menikah, dan pelaksanaan hukumannya dilakukan di depan umum, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hukum pidana Islam tidak akan pernah melepaskan nilainilai moral dan agama di dalam aturannya, hal ini terbukti dengan penangan masalah pelanggaran moral dan agama sampai ke akarakarnya, tanpa membedakan apakah perbuatan tersebut merugikan orang lain atau tidak, dilakukan dengan dasar suka sama suka, didasari dengan pemaksaan atau kerelaan, ataupun yang lainnya. Kalau hal tersebut terbukti, maka harus dijatuhi
282
Lihat QS. Al-Isra (17): 33.
hukuman yang telah ditentukan, sebab lambat laun perbuatan tersebut pasti akan berdampak kepada masyarakat banyak; merusak sendi-sendi kehidupan dan derajat kemanusiaan manusia. Kalaupun sempat lolos dari kasus had karena bukti-bukti yang kurang, maka hakim dengan keyakinannya bisa menjerat pelaku dengan hukuman ta’zir yang “tidak kalah” beratnya, demi ketertiban umum. Hukum Islam tidak hanya tegas di dalam menghukum pelaku tindak pidana zina tersebut, tetapi lebih dahulu menegaskan pencegahan dari tindak pidana tersebut, di antaranya; dengan memerintahkan menjaga kehormatan (kemaluan) dan tidak berbuat eksibisionis (suka memamerkan aurat kepada orang lain).283 Di dalam berbagai sabda Nabi Saw, juga didapati ancaman keras kepada siapa yang mendekati, apalagi berbuat zina, dan ancaman dosa besar kepada orang yang melakukannya. Hukum pidana Islam tidak hanya jeli di dalam menyelesaikan setiap perkara tindak pidana, tetapi dibarengi dengan upya-upaya pencegahan maksimal, sehingga kasus perzinaan tidak mudah terjadi dan mencegah calon pelaku dan obyek zina dari tindak pidana tersebut. Wanita yang umumnya menjadi obyek zina (pelacuran, pemerkosaan, dan lainnya) dapat tercegah, dan mencegah kaum Adam dari dorongan untuk berbuat zina. Hak-hak pribadi juga dihormati oleh hukum Islam, tetapi hak-hak tersebut harus diatur sedemikian rupa supaya dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal tanpa merugikan kepentingan orang lain yang juga mempunyai hak-hak seperti diri sendiri. Malah kalau tidak diatur dengan baik, hak-hak yang ada bisa saling merusak karena masing-masing pihak merasa berhak atasnya dengan tidak mau diganggu oleh pihak lain. Hukum Islam kenudian datang mengarahkan hak-hak pribadi tersebut dan memberinya dukungan selama hak-hak tersebut tidak
283
Lihat QS. Al-Nur (24): 30-33.
bertentangan dengan hak orang lain, masyarakat, moral, dan agama, sebab terkait dengan kepentingan public. Pada kenyataan, bagaimanapun Negara-nagara liberal Barat begitu menghormati hak-hak pribadi dari “sentuhan” hukum, sehingga menjadi kendala besar ketika dilakukan suatu penyidikan tentang suatu kasus tindak pidana. Penyidikan tersebut mau atau tidak mau harus berbenturan dengan hak-hak pribadi orang, terutama ketika ia menjadi tersangka, saksi utama, atau di dalam posisi yang dibutuhkan di dalam penyidikan. Demikian tidak kekalnya penghargaan terhadap hak-hak pribadi yang dijanjikan oleh hukum pidana positif, dengan menghalalkan segala-galanya untuk hal pribadi tersebut. Karena bagaimanapun juga tidak ada kebebasan mutlak di muka bumi ini, sedikit banyaknya akan berbenturan dengan kepentingan yang lain. Dalam hal ini, hukum Islam memandang manusia sebagai makhluk social yang tetap memiliki hak-hak pribadi. Tetapi ketika hak-hak pribadi tersebut bertentangan dengan hak masyarakat banyak, maka kepentingan pribadi tersebt boleh dikorbankan demi kepentingan bersama yang lebih besar. Hukum pidana Islam di dalam menetapkan aturan-aturan tindak pidana selain perzinaan dan minuman keras juga demikian hainya. Tegas di dalam aturan-aturannya, tetapi tetap berhati-hati di dalam membuktikan perbuatan tersebut. Ketika perbuatan tersebut terbukti sebagai suatu tindak pidana, maka ketentuan hukum harus ditegakkan atasnya, selama tidak ada kewenangan khusus bagi pihak korban, itupun dikenai oleh aturan-aturan yang lain, misalnya dengan diyat atau kifarat. Yang intinya menuju kepada kelestarian maqashid al-syar’iyah, sebab bagaimanapun juga hukum pidana Islam tidak dapat dilepaskan dari maqashid alsyar’iyah, sebab hal itulah yang menjadi tujuan utamanya. Kalau diamati dari segi tindak pidana yang diaturoleh hukum Islam, maka tindak pidana tersebut apabila tidak ditangani secara baik, pasti akan merusak maqashid al-syar’iyah, atau ditangani secara setengah-setengah, maka ibarat obat yang kurang atau
lebih dosisnya, maka mungkin seorang pasien saat itu terlihat sehat sepintas lalu, tetapi tidak lama lagi pasti inpeksi. Demikian halnya terjadi di dalam penanganan terhadap tindak pidana/jarimah yang ada. Efek tindak pidana terhadap hancurnya maqashid alsyar’iyah dapat dilihat dari akibat-akibat yang ditimbulkannya: 1. Jarimah syurb al-khamar (minuman keras) akan merusak akal manusia, sehingga manusia tidak mampi lagi berpikiran jernih dan mudah labil/ tidak stabil dalam hidupnya, sehingga rawan berbuat apa saja tanpa pertimbangan yang baik dari akal. 2. Jarimah zina akan termasuk kehormatan dan keturunan manusia, sehingga manusia sangat sulit lagi dikenali nasabnya. Dengan demikian akan terjadi anak akan mengawini orang tuanya, saudara dapat kawin dengan saudara kandungnya, antara muhrim saling menikah, sehingga rusak tatanan kehidupan manusia menjadi kehidupan binatang yang tidak mempunyai aturan dan moral. Hukum waris akan menjadi kacau, dan banyak lagi aturan yang lain menyangkut dengan nasab seseorang. 3. Jarimah pencurian akan merusak hak-hak orang terhadap harta, sehingga tidak ada lagi aturan dalam soal harta benda. Menjadikan ekonomi menajdi sembraut sebab tidak ada lagi yang ingin mengurusnya. Kalau perekonomian hancur, maka pembangunan pun tidak jalan, dan yang pasti pihak kuatlah yang akan berkuasa. Manusia tidak mau lagi bertanggung jawabdan ingin enak sendiri, sebab milik tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat akibat bebasnya pencurian dan pengambilan harta orang lain dengan cara yang bathil. 4. Jarimah qadzf akan merusak kehormatan dan harga diri seseorang, orang yang terkena qadzf (tuduhan dusta berbuat zina) akan merasa sangat malu apalagi kalau tuduhan tersebut tidak benar, harga dirinya meras diinjak-injak, kehormatannya tercoreng, dan di mataa masyarakat ia dapat dikucilkan. Akibat dari tuduhan palsu tersebut, si korban bisa
“gelap mata” dan balas dendam, atau menjadi frustasi da bunuh diri. Tuduhan palsu tersebut akan berbekas di hati korban dan untuk memulihkannya dibutuhkan “permintaan maaf” dari si pelaku dan pembersihan nama dari peradilan. 5. Jarimah al-hirabah (perampokan) juga akan merusak harta dan jiwa manusia, padahal keduanya merupakan sarana utama di dalam kehidupan manusia. Jelas perbuatan ini jauh dari norma-norma kemanusiaan, sebab bukan hanya merampas secara paksa harta orang lain yang bukan meruapakan hak pelaku, tetapi tidak segan-segan membunuh di dalam aksinya. Biasanya tindak pidana ini dilakukan beberapa orang atau karena adanya kekuatan yang dibanggakan, sehingga masyarakat menjadi gelisah dan resah, dan aktivitas mereka pun menjadi terganggu. 6. Jarimah al-bagy (pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah) juga sangat mengganggu stabilitas keamanan masyarakat dan keutuhan suatu kekuasaan Islam yang sah, sehingga akan mengganggu jalannya suatu pemerintahan dan aturan-aturan yang dibuatnya. Kalau tidak ditangani secara dini, dapat aturan-aturan yang dibuatnya. Kalau tidak ditangani secara dini, dapat memprovokasi rakyat banyak untuk ikut memberontak, jadilah Negara itu selalu kacau dan semua aktivitas pembangunan menjadi terhenti. Sampai-sampai di dalam kitab ushul fiqh, ada yang memasukkan hai ke enam yang harus dijaga dari maqashid al-syar’iyah ialah hifdz aljamaah (memelihara jamaah, masyarakat atau pemerintahan muslim). Tidak kalah pentingnya dari penjagaan lima hal pokok umum lainnya (pemeliharaan agama, nyawa, akal, nasab, dan harta). 284 7. Jarimah al-riddah (murtad) akan menghancurkan nilai-nilai luhur agama Islam, sebab dengan murtadnya seseorang dari agama Islam berarti ia di anggap mengingkari kembali nilai284
Lihat Hamka Haq, Falsafat ushul Fiqh (Cet. I; Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h. 73-74.
nilai keberatan yang selama ini ia telah yakini kebenaran, dan berarti ia telah menganggap bahwa agama Islam yang dianut sebelumnya adalah agama yang keliru. Dengan demikian ia dianggap telah mempermainkan sumpah atau kesaksian (syahadatain) yang ia telah ucapkan ketika ia masih Islam dan dianggap telah melecehkan syariat Islam dengan member sumpah palsu kepada Allah dan Rasul-Nya. Berarti pula melukai perasaan orang-orang satu-satunya yang diakui oleh Allah (QS. Ali Imran (3): 108). Di wilayah kekuasaan Islam perbuatan ini menjadi masalah besar, sebab akan mengundang kemarahan umat Islam secara menyeluruh, sehingga sangat memungkinkan munculnya disintegrasi di antara masyarakat di wilayah kekuasaan Islam dan akan membuat orang yang murtad tersebut tidak akan temtran di wilayah tersebut. Mungkin dengan pertimbambanganpertimbangan eperti itulah sehingga Nabi Saw. memerintahkan untuk menghukum mati orang-orang yang murtad,285 dan supaya orang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hatinya. 8. Jarimah pembunuhan dan penganiayaan menyebabkan hilangnya hidup (nyawa) seseorang, yang berarti hilangnya kebutuhan yang paling urgens, sebab hanya dengan “nyawa” manusia masih dapat berhubungan dengan urusan-urusan dunianya. Dalam syariat Islam, yang berhak mematikan manusia adalah Tuhan yang telah memberinya hidup, sehingga apabila ada yang melakukan pembunuhan di anggap telah merampas hak-hak Tuhan dan hak orang tersebut untuk hidup.286 Tindak pidana ini juga berdampak kepada stabilitas
285
Nabi memerintahkan hukum mati terhadap orang murtad lewat sabda beliau: (فاقتلواه من ير تد منكم عن د ينهBarang siapa yang murtad dari amanya (Islam), maka bunuhlah dia!. Di dalam hadist yang lain, orang-orang murtad adalah orang-orang yang halal darahnya ditumpahkan (dibunuh), dan hadist-hadist yang membicarakan tentang ancaman bagi orang-orang yang murtad.. 286
Lihat Ibid, h. 22.
keamanan masyarakat, sebab orang lain akan dihantui oleh perasaan takut di manapun ia berada selama si pembunuh masih hidup dan berkeliaran. Jenis-jenis jarimah tersebut benar-benar mendapat perhatian yang besar dari syariat di samping jarimah-jarimah ta’zir lainnya. Karena apabila tidak ditangani secara benar dan sungguh-sungguh, maka pasti sendi kehidupan masyarakat tidak akan tegak, cita-cita stabilitas keamanan masyarakat tinggal menjadi semboyan-semboyan, sebab paasti tidak akan terwujud apa yang dicita-citakannya itu. Di sinilah letak keunggulan dari system hukum pidana yang diterapkan oleh syariat Islam. Dan keunggulan-keunggulan itu kita dapatkan dari karakteristik (cirri khas) hukum pidana Islam seperti yang telah kita langsung sebelumnya. Bersumber dari Wahyu Al-Quran merupakan rujukan pokok dari hukum pidana Islam dan hukum Islam pada umumnya, yang kedua adalah sunnah Nabi Saw., sumber ketiga adalah ijma, dn sumber setelahnya ialah berbagai macam ijtihad, baik berupa qiyas, atau pun yang lainnya. Tetapi yang merupakan sumber utama dari semua sumber yang ada adalah Al-Quran dan Sunnah.287 Tiga sumber pertama dari hukum Islam (Al-Quran, sunnah, dan ijma) merupakan sumber hukum yang disepakati oleh semua fuqaha sebagai sumber hukum, sedang sumber lainnya yaitu berbagai jenis ijtihad dianggap sebagai sumber pelengkap yang masih diperselisihkan pemakaiannya di antara fuqaha; baik di dalam memakainya sebagai sumber hukum, jenis-jenis ijtihad mana saja yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum Islam, serta kebolehan jenis-jenis ijtihad tersebut dipakai di dalam menetapkan suatu kejahatan.olehnya itu barometer keabsahan produk hukum yang bersumber dari ijma dan ijtihad terletak pada “apakah produk hukum tersebut sesuai dengan Al-Quran dan As-
287
Lihat Topo Santoso, Op. Cit., h. 54.
sunnah, ataukah tidak sesuai dengan keduanya?”. Kalau bertentangan dengan keduanya, maka produk yang dihasilkan oleh ijma dan ijtihad tersebut menjadi gugur dengan sendirinya.288 Al-Quran adalah kitab suci umat Islam dan kitab suci yang paling autentik, ditulis dengan bahasa Arab dan akan terjaga kemurniannya dari percampuran selain wahyu, karena diwariskan dari generasi ke generasi lewat jalan yang paling terpercaya (mutawatir) dan asli sesuai awal diturunkannya, tanpa satu huruf pun yang berbeda antara isi Al-Quran di satu daerah dengan AlQuran yang ada di daerah lain. Hal ini juga disebabkan karena semakin banyak orang yang membahasnya, membaca dan menghafalnya, sehingga mustahil Al-Quran akan berubah-ubah. Hal itu merupakan janji Tuhan dalam menjaga kemurnian AlQuran,289 dan karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk membuat Al-Quran tandingan bahkan satu surah sekalipun.290 Kata nahnu dan huruf haa di dalam surah Al-Hijr itu sebagai “janji” Allah menjaga kemurnian Al-Quran dengan keterlibatan makhluk-makhluk-Nya di dalam pemeliharaan tersebut, termasuk di dalamnya orang-orang yang tekun mendalami (baca, hafal, hayati, dan amalkan) Al-Quran. Sedang tantangan Allah di dalam QS. Al-Baqarah (2) : 23 dengan kalimat fa’tuu (maka datangkanlah….!) bersifat umum kepada siapa saja yang mengingkari kebenaran wahyu Allah tersebut dan merasa mampu untuk menciptakan karya-karya seperti Al-Quran. Al-Quran kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir tersebut menyangkut semua aturan-aturan atau prinsipprinsip pokok untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Firman Allah; “( ما فرطنا في الكتا ب شئtidaklah kami meninggalkan suatu hal (penting) pun di dalam Al-Quran”). AlQuran sebagai kitab suci yang mengandung wahyu Allah yang 288
Lihat Abdul Qadir Auda, Op. Cit., h. 193.
289
Lihat QS. Al-Hijr (15) : 9.
290
Lihat QS. Al-Baqarah (2) : 23-24.
diturnkan kepada Nabi-Nya mengandung aturan-aturan, nilai-nilai penting bagi kabahagiaan hidup manusia dalam arti yang sesungguhnya. Di antara aturan tersebut merupakan aturan “instan” yang langsung dapat direalisasikan, seperti dalam urusan ibadah. Tetapi adapula di antara aturan tersebut yang mengandung nilai-nilai umum yang membutuhkan usaha keras (ijtihad dan semua sarana pendukung) unutk “membumikan”nya ke dalam kehidupan yang nyata, dengan pikiran dan tenaga orangorang beriman.291 Hadist atau sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Hadist merupakan ucapan, perbuatan, serta “pembenaran” yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.292 hadist atau sunnah Nabi Saw. tidak dapat dipisahkan dari Al-Quran sebagai wahyu dan risalah Tuhan, sedang Muhammad Saw. di utus sebagai pengembnag risalah tersebut kepada manusia. Sunnah tersebut mempunyai peran penting berdampingan Al-Quran, di antara peran sunnah tersebut:293 1. Mendukung dan menegaskan ketentuan yang ada di dalam AlQuran, misalnya di dalam hal pelarangan zina, larangan membunuh tanpa suatu alasan yang dibenarkan, larangan member bukti palsu, larangan mencuri, dan lainnya. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat di dalam Al-Quran yang ditegaskan kembali oleh hadist Nabi Saw. 2. Menjelaskan ketentuan-ketentuan di dalam Al-Quran yang bersifat umum, menjelaskan hal-hal yang bersifat mutlaq, misalnya ketentuan-ketentuan tentang perintahshalat, zakat, haji, yang kemudian dirinci penjelasannya oleh Nabi dalam sunnahnya.
291
Lihat Topo Santoso, Op. Cit., h. 58.
292
Lihat
293
Lihat Abdul Qadir Auda. Op. Cit., h. 206-207.
3. Member pengecualian-pengecualian tentang ketentuan Allah yang bersifat umum, misalnya ketentuan tentang haramnya memakan darah yang dikecualikan oleh hadist pada hati dan limpa, juga tentang pengharaman bangkai yang dikecualikan oleh hadist Nabi kepada bangkai ikan dan belalang. 4. Menetapkan suatu ketentuan hukum yang belum dijelaskan sepenuhnya oleh Al-Quran. Misalnya larangan di dalam hadiast untuk memadukan antara kemanakan dengan bibinya (saudara perempuan ibu atau bapaknya), dan lainnya. Memang terdapat polemik di antara di antara para fuqaha mengenai kedudukan sunnah, apakah hanya sebagai penjelasan dari Al-Quran ataukah juga menetapkan suatu hukum tersendiri.294 Yang disepakati bahwa hadist berfungsi sebagai bayan (penjelasan) ketentuan yang ada di dalam Al-Quran, sebab Nabi Saw. di utus untuk tugas tersebut dan tetap mendapat control dari Allah di dalam menjalankan tugas risalahnya.295 Para fuqaha berbeda di dalam mengambil hadist sebagai salah satu sumber hukum Islam. Di antara mereka ada yang sangat ketat di dalam menyeleksi sunnah yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum, dan hadist yang mereka perpegangi hanyalah hadist-hadist yang berderajat metawatir, sebab menurut mereka hanya hadist yang berderajat mutawatir yang paling terpercaya dan kuat kehujjaannya. Ada juga di antara mereka yang menyeleksinya pada hadisthadist yang berderajat shahih karena menurut mereka hadist yang berderajat shahih pun dapat dipercaya kehujjaannya, apalagi menyulitkan bila hanya berpedoman kepada hadist mutawatir, 294
Lihat Syafi’I dalam hal ini berpendapat bahwa hadist memang menetapkan beberapa ketetapan hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-Quran. Pembelaan imam syafi’I terhadap hadist menyebabkan beliau digelar nashir alsunnah (pahlawan sunnah/hadist), sedang Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hadist bertujuan untuk menjelaskan apa yang telah ada di dalam Al-Quran, sebab tidak satupun hukum yang tidak disinggung oleh AlQuran. Lihat Quraish Shihab, Op. Cit., h. 123. 295
Lihat Ibid..
karena jumlahnya terlalu sedikit, itupun tidak banyak yang menjelaskan tentang hukum. Perbedaan antara hadist shahih walaupun hanya berderajat ahad atau aziz dengan hadist mutawatir terletak pada jumlah periwayatan, meskipun belum tentu perawi pada hadist-hadist mutawatir selalu lebih kuat kredibilitasnya bila dibandingkan dengan perawi pada hadist shahih yang lain. Hadist yang tidak shahih menurut kedua kelompok ini dapat digugurkan ketika bertentangan dengan nilainilai kemaslahatan, atau tidak dipakai sama sekali sebagai sumber hukum sebab akan melahirkan produk-produk hukum yang “cacat”. Dengan demikian, kelompok ini pada umumnya lebih mengutamakan metode ijtihad daripada menggunakan sumber hadist yang lemah. Selain kelompok ini, ada di antara fuqaha yang lebih mementingkan penggunaan hadist (walaupun di bawah derajat sahih) dari pada menggunakan akal. Sebab menurut mereka, hadist walaupun sedikit lemah lebih baik dari penggunaan akal yang belum tentu kebenaran dan derajatnya di dalam hirarki sumber hukum Islam. Fuqaha yang berpendapat seperti ini umumnya berada dekat dengan pusat-pusat kebudayaan Islam seperti Mekkah dan Madinah, misalnya Imam Ahmad, yang biasa juga digelari oleh para ahli hadist sebagai al-imam (derajat tertinggi bagi orang-orang “menguasai” hadist). Di antara empat mazhab sunni yang dimasukkan oleh beberapa penulis ke dalam golongan ahlu ar-ra’y atau ashab ala’ray adalah Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya dalam mahab Hanafiyah.296 Hal ini di antaranya disebabkan karena tempat mazhab ini muncul (Basra) jauh dari pusat hadist (Mekkah dan Madinah) sehingga sangat memungkinkan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka decurigai sudah “tercemar” oleh ucapan orang lain atau perawinya sendiri.
296
Lihat Topo Santoso, Op. Cit., h. 66
Fuqaha yang lain ada yang lebih mengutamakan penggunaan hadist walaupun derajatnya sedikit di bawah derajat shahih (derajatnya hasan atau dalam beberapa criteria hadist dha’if) daripada menggunakan ra’y (ijtihad) di dalam menyelesaikan perkara, selama masalahnya masih terdapat di dalam hadist walaupun derajatnya sedikit dha’if. Hadist-hadist dha’if yang mereka perpegangi adalah hadist-hadist yang masih dapat dimaafkan kedha’ifannya, yaitu bukan hadist yang sangat lemah, bukan pula hadist yang maudhu’ (palsu), atau hadist-hadist yang mudtharib (goncang), hadist mungkar, dan hadist-hadist yang tidak dapat dimaafkan kedha’ifannya karena bertentangan dengan isi Al-Quran, hadist-hadist shahih, dan kaedah-kaedah pokok agama. Kelompok fuqaha ini biasa dinamakan Ahlu al-Hadist. Sumber hukum ke tiga yang disepakati oleh para fuqaha di dalam mengistinbath hukum ialah dengan ijma (konsekuensi) ulama. Sumber hukum ini merupakan persetujuan semua ulama atas suatu ketentuan syari’ah setiap saat yang terjadi setelah Nabi Saw wafat. Ijma harus tetap berpedoman kepada ketentuanketentuan yang ada di dalam Al-Quran dan hadist. Apabila terjadi ijma, maka wajib diberlakukan sebagai sumber hukum atas perkara yang sedang ditangani, dan mengikat bagi seluruh masyarakat Islam, kecuali bila keputusan tersebut tidak disepakati oleh sebagian ulama atau fuqaha. Walaupun demikian, apabila keputusan tersebut disahkan oleh kepala Negara atau pemegang otoritas perundang-undangan, maka keputusan tersebut akan mengikat semua masyarakatnya. Hal inilah yang termaktub di dalam QS. Al-Nisa (4): 59 untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) di kalangan kaum muslimin.297 Sumber hukum Islam yang keempat menurut Abdul Qadir Auda ialah penggunaan qiyas (analogi), ketika suatu perkara tidak didapati ketentuannya di dalam Al-Quran, hadist, dan belum tercapainya suatu consensus fuqaha, maka langkah yang diambil 297
Lihat Abdul Qadir Auda, Op. Cit., h. 214.
adalah dengan menggunakan qiyas atau analogi. Hal ini pun tidak boleh terlepas dari prinsip-prinsip umum Al-Quran dan hadist, bahkan keduanya harus menjadi instrument terhadap pelaksanaan qiyas tersebut secara konsisten dan tidak menyimpang dari keduanya.298 Metode qiyas hanya dapat dilakukan apabila terdapat satu kesamaan illat (sebab) dari aturan sumber dengan kasus baru. Dari ketentuan tersebut, unsur-unsur penggunaan qiyas ialah:299 1. Adanya suatu ketentuan sumber yang jelas dalam menentukan suatu kasus sumber (the original problem) 2. Adanya ketentuan baru yang belum ditetapkan secara detail oleh ketentuan sebelumnya, 3. Adanya “kesamaan” umum antara kasus yang baru dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dengan kasus sumber. 4. Ketentuan-ketentuan dasar tersebut tidak dapat dipakai langsung untuk menetapkan suatu ketentuan atas kasus yang baru tersebut. Metode ini biasa diterapkan, misalnya dalam bentuk pengharaman minuman bir, wisky, tuak, dan lainnya yang mempunyai kesamaan illat dengan khamar, yaitu pada masalah memabukkan, atau sengaja dibuat unutk mabuk-mabukan. Metode ini bisa juga diterapkan untuk kasus-kasus baru yang lain. Baik metode qiyas maupun metode-metode ijtihad lainnya seperti al-istihsan, al-istishlah, mashlahah, urf, dan lainnya merupakan sumber hukum Islam yang dipakai oleh para fuqaha. Hanya para fuqaha berbeda pendapat di dalam menggunakan metode ini; di antara mereka ada yang menggunakan suatu metode tertentu dan fuqaha yang lain mengutamakan metode ijtihad yang lain. Di antara fuqaha ada yang memakainya sebagai sumber
298
Lihat Ibid., h. 193.
299
Lihat Ibid., h. 218.
hukum pidana dan adapula yang tidak memakainya, terutama di dalam masalah jarimah hudud.300 Hampir semua fuqaha membolehkan berijtihad sebagai satu metode, hanya cara, tempat, dan waktu pemakainya saja yang berbeda-beda. Ijtihad yang mereka lakukan pun tidak terlepas begitu saja dari prinsip-brinsip utama wahyu (Al-Quran dan hadist). Apa kelebihan aturan-aturan yang bersumber dari “wahyu” dengan aturan-aturan yang bersumber dari akal?. Karena masalah ini adalah inti dari pembahasan yang ada dan terjawab pada bahasan-bahasan berikutnya, maka pertanyaan itu cukup kita jawab dengan singkat saja, bahwa; 1. Akal manusia terbatas, karena akal manusia masih dipenuhi oleh hal-hal yang “mungkin”, sehingga mustahil bagi akal manusia untuk selalu mampu menemukan suatu komposisi yang pasti benarnya. Apapun yang ditemukannya sendiri akan bersifat relatif.301 2. Akal hanya mampu menyusun, merakit dan mengkomposisikan faktor-faktor yang telah diciptakan oleh Allah dalam upaya memecahkan masalah, karena akal tidak pernah mampu menciptakan faktor-faktor baru di luar faktorfaktor yang Allah telah ciptakan tersebut (qiven faeturs). 3. Pada sisi yang lain, kehidupan manusia terlalu rumit, sehingga yang mungkin dapat dirangkum oleh akal manusia hanya sebahagiaannya saja. 4. Manusia tidak pernah terlepas dari suatu kepentingan, sehingga bila akal sajayang ingin mengatur kehidupan manusia, maka pasti akan muncul ketidak adilan, karena yang kuat dalam meraih kepentingan tersebut dan kuat dalam segala makna pasti akan menindas pihak yang lemah. Toh 300 301
Lihat Nagaty Samad, Op. Cit., h. 40.
Lihat Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, (Ce. I; Bandung: Mizan, 1997), h. 118.
hanya dibuat oleh manusia, mengapa hukum itu tidak mampu di “manfaat” kan oleh manusia sendiri sesuai dengan kepentingannya....? Masalah Hukuman Mati dan Pemidanaan Lainnya Masalah hukuman mati telah menjadi polemik yang berkepanjangan di antara pakr hukum positif. Sikap pro dan kontra adalah hal yang biasa kita dapati di dalam hal ini, dan kemungkinan perdebatan tentang masalah tersebut tidak akan pernah berakhir di kalangan mereka.302 Pihak yang kontra berpendapat bahwa hukuman mati tidak manusiawi dan bertentangan dengan tujuan diadakannya hukum pidana untuk memperbaiki seseorang, dan hukuman mati menyebabkan seseorang tidak mungkin lagi diperbaiki. Bagi yang setuju dengan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman tersebut dijatuhkan atas seseorang sesuai dengan beratnya kejahatan yang ia telah lakukan, sebab ada saja kejahatan sadis yang baru setimpal apabila dijatuhi hukuman mati. Apalagi bila upaya perbaikan sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan terhadap orang tersebut, malah membuat kejahatannya semakin menjadi-jadi. Selama perdebatan seperti ini murni bersandar kepada benak masing-masing maka tidak akan habis-habisnya. Kalau dikatakan bahwa akal manusia mampu mengetahui suatu “kebenaran” (kebaikan), maka hal itu bisa saja dibenarkan. Tetapi ketika ingin membahas tentang kebenaran tersebut secara detail, maka akal manusia akan saling berbeda, bahkan mungkin saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, sebab bagaimana pun juga produk akal hanya selalu sampai pada tahap “mungkin” (relatif) dan tidak ada yang dapat menjamin kepastiannya.
302
Lihat Ibid., h.112.
Hal ini juga terbukti di negara-negara yang memberlakukan hukum positif. Di dalam hal penerapan hukuman mati, di antara negara tersebut terjadi perbedaan di dalam penerapannya dan pembentukan lembaga hukuman mati. Di negeri Belanda misalnya, sejak tahun 1870 telah menghapus ketentuan pidana mati dari KUHPnya,303 juga di negara Portugal pada tahun 1866, di Australia pada tahun 1919, di negara Swedia pada tahun 1921, dan lainnya. Negara-negara yang lain ada tetap bertahan dengan ketentuan hukuman mati di dalam KUHPnya, misalnya di dalam KUHP negara Prancis, Jepang, Korea, bahkan negara paling Liberal seperti Amerika Serikat dengan negara-negara bagiannya.304 Untuk negara Indonesia, aturan tentang hukuman mati masih tetap bertahan di dalam KUHPnya. Hanya di dalam rancangan KUHP Indonesia yang baru, aturan-aturan yang diancam dengan hukuman mati semakin dikurangi. Bahkan di dalam kesimpulan yang di ambil oleh panitia ahli tim pengkaji hukum pidana positif pada tahun 1979/1981dalam beberapa asas yang diambil, secara tegas dinyatakan bahwa pidana mati tidak sesuai lagi dengan prinsip hukum pidana di Indonesia yang menganut asas pembinaan, karena tujuan pemidanaan di Indonesia ialah: a) mencegah dilakukannya tindak pidana (pengayoman), b) membimbing agar terpidana menjadi insaf, dan c) untuk mendatangkan rasa tentram dan damai di dalam masyarakat.305 Yang disayangkan di dalam tim pengkajian untuk rancangan KUHP baru di Indonesia tersebut tidak sedikit pun melibatkan para pakar dari hukum pidana Islam, sehingga nilai-nilai hukum pidana Eropa saja yang mewarnai KUHP kita kini dan yang akan datang, apalagi ketika sikap bangsa Indonesia sama sekali tidak mau memandang nilai-nilai Islam yang penganutnya mayoritas di 303
Lihat Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 61. 304
Lihat Rachmat Djatnika, op. cit., h. 45.
305
Lihat Ibid.
Indonesia. Selama bangsa Indonesia tidak mau meruba pola pikirnya, maka selama itu hukum di Indonesia tetap mandul dan inpoten seperti saat ini. Seperti yang telah kita singgung, bahwa KUHP yang akan muncul dari rancangan tahun 1977 tersebut tidak lain adalah KUHP lama yang ditambah 5% aturan tentang delik baru, yang dirancang ke dalam dua buku bahasan (yang selama ini di dalam KUHP lama di susun ke dalam tiga buku bahasan). Dan berarti pula bahwa cita-cita ke arah pembaharuan hukum pidana telah gagal dari segi materi hukum, dan masih mengkhawatirkan kita, bahwa hasil dari penerapan hukum untuk masa yang akan datang tidak akan jauh berbeda dengan keadaan penerapan hukum pidana saat ini. Melihat keadaan sekarang, jumlah dan kualitas tindak pidana semakin bertambah banyak. Meningkatnya jumlah hakim tidak berpengaruh sama sekali dengan jumlah kasus yang semakin meningkat, bahkan kejaksaan Agung sebagai peradilan tertinggi dan terakhir dalam hirarki peradilan semakin bingung dengan berkas-berkas kasus yang semakin bertambah banyak melebihi kemampuan mereka menanganinya. Apalagi perkara-perkara yang ada di pengadilan tingkat pertama dan kedua tentunya mereka akan lebih repot lagi. Manalagi dengan tindak pidana yang terjadi setiap harinya dengan jumlah yang semakin bertambah, sedang kasus-kasus lama saja belum dapat diselesaikan, benar-benar suatu pemandangan tragis. Orang sudah tidak takut lagi berbuat pidana di depan hukum pidana kita saat ini, sebagai bukti bahwa hukum pidana kita sudah tidak berwibawa sama sekali. Penjara sudah semakin penuh, dan kerusakan akibat penuhnya penjara sudah seringkali terjadi di Indonesia, apalagi di luar negeri. Bahkan beberapa tahun terakhir ini kerusuhan akibat telah penuhnya penjara memakan korban luka-luka dan meninggal dunia, padahal tujuan mereka dipenjara adalah untuk dididik dengan baik, bahkan beberapa lembaga pemasyarakatan (penjara)
tidak mampu lagi memberi makan para napinya dalam bulan-bulan terakhir ini.306 Dengan demikian efektifitas materi hukum positif masih menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi pakar-pakarnya, sehingga muncul satu asumsi, “apakah hukum-hukum pidana dari Eropa yang murni dari rasio jauh lebih modern, lebih manusiawi, serta lebih sesuai dengan masyarakat kita? Sebab tanpa menyelami dan berusaha mengenal hukum pidana Islam, maka untuk selamanya orang akan tetap beranggapan bahwa hukum pidana Islam itu kejam, tidak manusiawi dan ketinggalan jaman, sehingga tidak layak untuk dijadikan sumber kajian dan sumber masukan bagi perundangang kita. Di dalam hukum pidana Islam dengan jelas dan tegas diundangkan tentang hukuman mati atas beberapa kejahatan yang dianggap serius seperti yang dikemukakan, yaitu hukuman mati terhadap:307 1. Pelaku zina muhsan (orang yang telah menikah), 2. Pelaku hirabah (pengacau keamanan, perampok, dan lain-lain) yang membunuh di dalam aksinya (menurut fuqaha), 3. Pemberontak terhadap pemerintahan yang sah, 4. Murtad dari agama Islam, 5. Pelaku pembunuhan dengan sengaja, apabila tidak dimaafkan oleh ahli waris korban, 6. Pelanggaran paling berat dalam jarimah ta’zir (pendapat ini disetujui oleh sebagian fuqaha, sedang sebagiannya menolak). Di dalam menerapkan hukuman, hukum pidana Islam tidak mengenal istilah hukuman maksimal dan minimal, sebab di dalam penerapannya, hukum pidana Islam sangat berhati-hati dalam menangani kasus, sehingga sedikit pun keraguan akan membuat hukuman (termasuk hukuman mati) dibatalkan. Tetapi apabila 306
Data dari pemberitaan MetroTV siaran Swasta Indonesia hari Rabu, tanggal 10-10-2001, jam 12.30 Wita. 307
Lihat Topo Santoso, Op. Cit., h. 192.
benar-benar terbukti, maka hukuman tersebut harus dilakukan sebagaimana mestinya sebagai ketentuan (hak) Allah. Kecuali pada poin kelima, karena terdapat hak manusia di dalamnya yaitu maaf dari ahli waris korban dengan atau tanpa alternatif hukuman yang tidak kalah beratnya yaitu dengan membayar diyat (denda ganti rugi) seperti yang telah kita bahas pada bab terdahulu. Selain hukuman mati, terdapat juga ketentuan hukuman tertentu atas jarimah-jarimah tertentu, misalnya hukuman potong tangan atas pencuri, cambuk 100 kali terhadap orang bikr yang berzina dan 80 kali pelaku qadzf dan peminum minuman keras. Pelaksanaan hukuman tersebut dilakukan di lapangan terbuka dan dengan disengaja “diundang” masyarakat umum untuk menyaksikannya. Sepintas lalu pelaksanaan hukuman mati dan hukumanhukuman lainnya terlihat kejam, tidak berperi kemanusiaan, “barbar”, sadis, melanggar HAM, dengan seluruh padanan katanya, serta sangat “bertentangan” dengan tujuan hukum untuk membina manusia. Padahal menurut ajaran Islam hukuman dan pelaksanaan hukuman tersebut sangat wajar dilakukan terhaadap tindak pidana yang terbukti, karena orang yang dengan sengaja melakukannya telah melanggar hak-hak Allah (nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kedamaian hidup,.......) dan dengan melanggar hak Allah tersebut berarti pula melanggar hak-hak masyarakat, karena dengan tindakan/perbuatan tersebut membuat masyarakat tidak tentram dan otomatis tugas kekhalifaan yang diemban oleh masyarakat (untuk memakmurkan bumi) menjadi terhalangi. Mereka selalu dihantui perasaan was-was dan ketekutan yang memberi efek negatif yang lebih besar dan sebagainya, sehingga wajar apabila pelaku tindak pidana tersebut dihukum secara terbuka di depan masyarakat dan tidak ada seorang pun, baik korban maupun hakim yang boleh menggugurkan hukuman tersebut, kecuali dalam jarimah tertentu yang ditentukan oleh Allah Swt.,308 308
Lihat Ibrahim Hosen, Op. Cit, h. 15.
Orang-orang yang setuju dengan pelaksanaanhukuman mati pada umumnya berpendapat bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan tujuan pemidanaan dan tidak hanya bersifat retribution (pembalasan setimpal), karena; pertama, hukuman mati merupakan puncak dari hukuman dan di antara manusia ada yang hanya merasa takut untuk melakukan tindak pidana (dengan sengaja) kalau ia tahu bahwa hukumannya adalah hukuman mati, sehingga menjadi deterence (pencegahan), kedua, orang yang “menyaksikan” langsung pelaksanaan hukuman mati, membuat mereka “terbina” dengan adanya pelaksanaan hukum tersebut. Jadi hukuman di dalam hukum pidana Islam tidak hanya bertujuan untuk membina orang yang terpidana saja, tetapi sekaligus memberi pembinaan hukum kepada masyarakat banyak. Ketiga, kalau dikatakan membunuh oran yang terpidana adalah melanggar HAM dan perbuatan sadis, maka yang lebih melanggar HAM dan sadis dengan memelihara pembunuh (yang telah melanggar HAM) dan membuat masyarakat selalu dihantui perasaan takut. Hukuman penjara bukanlah solusi yang paling tepat, apalagi sampai tidak dapat mengurus mereka dengan baik, dengan dampak-dampak psikologis yang membuat mereka menganggap perbuatan yang pernah mereka lakukan adalah perbuatan biasa.309 Apalagi tidak semua orang “pantas” untuk dibina dan “dipelihara” oleh Negara, kalau orang tersebut telah melakukan hal yang melewati batas dan tidak ada jaminan perubahnya orang tersebut untuk tidak mengulangi kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat. Di antaranya bahkan merasa senang (terbiasa) dengan kehidupan penjara yang memberinya fasilitas 309
Tentang hukuman penjara tersebut, Barda Nawawi Arif menegaskan, bahwa hukuman penjara saat ini mengalami “masa krisis” dan perlu dipertanyakan kembali efektifitasnya, karena pada hakekatnya hukuman tersebut kurang disukai, dan banyak mendapat lirikan tajam dari berbagai kalangan terhadap jenis pemidanaan dalam bentuk “perampasan hak” ini, baik dilihat dari sudut efektifitasnya maupun dari akibat-akibat lain (misalnya fsikologis dan lainnya) yang menyertai dan berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. Lihat M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Cet. I, Jakarta, rajawali Press, 1977), h. 139.
gratis dan semakin matang di dalam kejahatannya. Apalagi penjara saat ini sudah tidak kondusif sebagai tempat pembinaan dan di berbagai Negara terpaksa kerepotan untuk menambah terus bangunan-bangunan penjara, karena pelaku kejahatan terus meningkat tajam. Hukum pidana Islam telah membagi jenis-jenis tindak pidana dan penghukumannya, sehingga penggunaannya menjadi jelas dan efektif, yaitu kepada tindak pidan had, qisas, dan ta’zir. Dengan adanya klasifikasi tersebut menyebabkannya mudah diterapkan. Tindak pidana had dan qisas yang secara tegas harus dilaksanakan, termasuk dalam hal ini hukuman mati dan ketentuan-ketentuan hukuman yang telah ditegaskan lainnya. Hal ini karena hukum Islam memandang semua tindak pidana had dan qisas merupakan tindak pidana yang sangat serius karena akan berdampak luas kepada masyarakat banyak, yaitu akan merusak semua sendi-sendi kehidupan dan moral masyarakat., sehingga hukum pidana Islam begitu menentang “tindakan naïf” yang terdapat dalam aturan pidana positif untuk memelihara kehidupan beberapa penjahat “kelas kakap”, berarti tidak memelihara “kehidupan” dan kepentingan masyarakat banyak. Selain itu hukum Islam juga mengatur tindak pidana di luar ketentuan had dan qisas yang lebih fleksibel dan sangat terbuka pada setiap perkembangan tindak pidana baru yang mungkin akan muncul, yaitu dalam tindak pidana ta’zir. Dengan demikian, hukum pidana Islam tidak akan mungkin kecolongan dengan munculnya jenis kejahatan baru tanpa mampu dideteksi oleh aturan-aturan di dalam hukum pidana Islam, sebab selain aturan-aturan yang tegas dalam jarimah had dan ta’zir, hukum pidana Islam juga mengatur sifat umum ari tindak pidana di luar dari ketentuan sebelumnya, dan sifat-sifat umum tindak pidana ta’zir tersebut mampu mendeteksi setiap tindak pidana sekarang maupun yang akan datang, apalagi aturan tindak pidana ta’zir tersebut kaya dengan alternatif hukuman.
Sifat-sifat umum yang dimaksudkan mampu mendeteksi setiap kejahatan yang akan muncul adalah sifat umum dari suatu tindak pidana, seperti hal-hal yang merugikan orang lain, meresahkan masyarakat, melanggar norma-norma yang telah disepakati bersama, merusak atau menghalangi tercapainya maqashid al syar’iyah, dan lainnya. Sifat-sifat umum itu dapat dipakai menjerat kejahatan yang terus berkembang, misalnya kejahatan saat ini; kejahatan perbankan, kejahatan komputer, pencurian arus listrik, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Kejahatan-kejahatan baru yang terjadi tersebut; kalau tidak dapat diklasifikasikan menurut ketentuan had dan qisas, makapelaku dapat dijerat dengan ketentuan ta’zir sesuai dengan ijtihad hakim atas sifat-sifat umum yang dimiliki kejahatan baru tersebut. Keputusan (ijtihad) hakim tersebut disesuaikan ketika undang-undang sudah menetapkan-nya, dengan konsekuensi apabila hal tersebut merugikan terdakwah maka pemerintah harus “membayar” kerugian tersebut dan hakim tidak dapat disalahkan dengan ijtihadnya yang keliru, malah sang hakim dihargai di dalam Islam karena telah menjalankan tugasnya secara maksimal, sehingga ia akan tetap bersungguh-sungguh dengan tugasnya. Dan sebaliknya, ketika hukuman yang diberikan kurang, maka disesuaikan beratnya dengan ketentuan yang sesungguhnya, kecuali kalau hakim memandangnya dapat dimaafkan dari sanksi disiplin tersebut. Demikianlah hukum pidana Islam tidak mungkin melewatkan setiap perkembangan tindak pidana, hanya karena alasan belum ada ketentuannya di dalam undang-undang. Dan betul-betul menjunjung tinggi prinsip “bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya”, bukan hanya menerima perkara, tetapi juga memutuskan perkara tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, yang tidak akan mengatakan “perkara ini belum ada ketentuan undang-
undangnya”, sehingga prinsip-prinsip peradilan yang lain pun terlaksana dengan sukses.310 Di sini pulalah kelebihan hukum pidana Islam yang tidak akan membiarkan suatu kejahatan baru tanpa status hukum yang jelas, sebab akan sangat merugikan masyarakat. Hukum pidana Islam yang kaya dengan aturan tersebut akan semakin efektif ketika didukung oleh para praktisi hukum yang kredibel dan punya loyalitas tinggi terhadap tugasnya, serta sarana dan pra sarana yang mendukung, akan mengantar bangsa kita kepada masyarakat madani dan tegaknya supremasi hukum dengan sebenar-benarnya. Penerapan asas legalitas pun demikian di dalam hukum pidana Islam, yaitu tegas di dalam pelaksanaan hukuman had dan qisas-diyat, tetapi sangat fleksibel di dalam penerapan hukuman ta’zir, demikian juga dengan penggunaan metode ijtihad dan qiyas di dalam memproduk hukum yang ideal. Di dalam pemidanaan, hukum pidana Islam tetap menyalurkan hak-hak setiap orang yang merasa dirugikan secara langsung oleh jarimah yang terjadi, misalnya di dalam jarimah qisas yang dapat digugurkan dengan maaf para ahli waris kepad hukuman alternatif yang ada. Di dalam jarimah pencurian dan perampokan, dengan mengembalikan harta orang-orang yang pernah diambil dalam kasus tersebut selama harta itu masih ada,311 di dalam jarimah qadzf, maaf dari orang yang sakit hatinya karena tuduhan zina tersebut dapat menghapuskan hukuman dera atasnya (menurut sebagian fuqaha), dan dalam kasus lainnya. 312 Apabila terdapat syubhat (keraguan) penanganan kasus had dan qisas, maka secara otomatis, hukuman tersebut harus 310
Prinsip-prinsip peradilan antara lain; cepat, singkat, dan dengan biaya ringan. 311
Bahkan Abu Hanifah berpendapat, bahwa sekiranya harta yang dicuri dikembalikan dengan yang punya harta mau memaafkannya, maka hukuman potong tangan atasnya bisa dibatalkan dengan maaf tersebut. Meskipun fuqaha yang lain menolak pendapat ini. 312
Lihat Ibid., lihat juga Satria Effendi, Op. Cit., h. 33
dibatalkan. Ketika hakim tetap berkeyakinan ada kejanggalan di dalamnya, maka hakim dengan wewenangnya dapat menjatuhkan sanksi disiplin (ta’zir) kepada terdakwa demi kepentingan masyarakat.313 Dengan demikian, di balik ketegasan hukum pidana Islam dibarengi oleh kehati-hatian yang luar biasa, yaitu dengan syarat yang sangat ketat. Di sini terbukti bahwa hukum pidana Islam diadakan bukan karena sangat ingin menghukum manusia, apalagi untuk membumi hanguskannya, sebab kalau hanya itu yang diinginkan, cukup dengan melonggarkan sedikit dari syarat-syarat yang telah ada. Tetapi tidak dapat dikatakan pula bahwa pembuktian dengan cara ketat seperti itu mustahil akan terbukti dengan belajar kepada sejarah hukum pidana Islam. Aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh nash menjadi argumen kuat di dalam menjatuhkan suatu vonis kepada pelaku tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana had dan qisas. Demikian ketatnya syarat tersebut, sehingga hilangnya atau kurangnya satu syarat saja di dalam sidang pemeriksaan perkara had dan qisas, maka kasus dianggap cacat secara keseluruhan dan hukuman harus batal demi hukum. Tetapi ketika pembuktian sempurna, maka ketentuan hukuman harus ditegakkan dengan penuh keyakinan tanpa “rasa kasihan” yang mengganggu pelaksanaan eksekusi tersebut. Kehati-hatian yang juga diterapkan di dalam hukum pidana Islam pada hakikatnya bertujuan agar tidak terjadi kesalahan di dalam menghukum, karena ada kaedah yang menjelaskan “lebih baik salah di dalam memaafkan dari pada salah di dalam menghukum”. Sebab kalau nyawa telah lepas dari badan, tangan dan kaki telah dipotong, tentu tidak mungkin dikembalikan lagi. Tetapi kalau dimaafkan karena kurangnya bukti (ketika itu), dapat memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk bertaubat,
313
Lihat Satria Effendi, Ibid.
sebab kalau ia mengulangi perbuatannya lambat laun akan terbukti. Meskipun demikian, tidak berarti dengan kurangnya bukti ia pasti akan bebas, sebab pada akhirnya tergantung kepada keyakinan hakim dan kepentingan masyarakat atas penghukumannya. Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Moral dan Agama Sebenarnya di dalam membahas tentang hukum pidana Islam, pembahasan tentang moral dan agama tidak layak dipisahkan, karena pada keduanya terdapat hal-hal prinsip yang tidak terpisahkan. Menurut Anderson, sumber dan isi dari kewajiban-kewajiban moral ditemukan di dalam agama.314 Olehnya itu di dalam membahas hukum pidana Islam, bahasan tentang moral oleh agama dijadikan satu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa moral menaruh perhatian yang besar kepada kebaikan dan keburukan dari suatu sifat atau watak, dan dengan perbedaan benar dan salah yang berkaitan dengan tingkah laku. Sedang agama didefinisikan dengan suatu aturan moral yang berhubungan dengan perbuatan pribadi dan sosial, suatu term of reference (aturan dasar) yang menghubungkan antara individu dan kelompoknya, yang dapat melahirkan suatu sistem pemikiran, perasaan, dan perbuatan yang sama di dalam hubungan sosial tersebut.315 Sebahagian penulis yang lain menedefinisikan agama (religion) dengan suatu pengetahuan yang luar biasa, misterius, supranatural, berhubungan dengan hal-hal yang suci (keramat), dan kepercayaan yang sifatnya spritual. Juga dikatakan sebagai perangkat doktrin yang memberi jawaban sepenuhnya terhadap pertanyaan-pertanyaan pokok dan eksistensial, yang
314
Lihat Anderson, “Morality and Law in Islam: the Past and the Present”, studies in Islam, Vol. IX no. 1-2 (New Delhi: Indian Institute of Islamic Studies, 1974), h. 21-23. 315
Lihat Ibid, Lihat juga Topo Santoso, Op. Cit., h. 31.
menjadikannya sebagai sistem yang memadukan anatara kepercayaan dan perbuatan. Rupanya agama Islam lebih dari pada definisi tersebut, karena Islam disebut sebagai al-dien yang mengandung pengertian lebih dari sekedar hal-hal ritual dan ghaib, tetapi Islam merupakan way of life, yaitu sebagai sistem hidup yang memadukan antara hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya manusia, merupakan aturan bagi kehidupan manusia untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kalau di dalam hukum positif aspek-aspek moral dan agama tidak terlalu diperhatikan, dan dianggap tidak ada hubungannya sama sekali di dalam penerapan hukum. Anggapan semacam itu lahir dari pemikiran para orang terkemuka di Barat yang memandang agama dengan pandangan yang negatif. Kita sebut di antara mereka: Cemte, Kal Marx, dan Prof. Cassier. Comte dalam hal ini memandang agama tidakm memiliki relevasi sama sekali dengan kehidupan manusia di jaman modern ini dan tidak ada relevansinya dengan ilmu pengetahuan modern. Karena menurutnya, agama tidak boleh dari peninggalan masa lalu yang tidak relevan lagi dengan kehidupan sekarang. Agama tidak lebih sebagai jalan kemunduran dan jalan yang paling tidak rasional di dalam memecahkan permasalahan manusia.316 Para marksisme memandang agama sebagai candu yang akan membuat masyarakat terlena dan tidak sadar akan penderitaan yang dialaminya, dan membuat mereka tetap yakin bertahan di dalam kesengsaraan hidup. Agama menurut pengalaman para maksisme, merupakan alat penipuan kaum borjuis untuk melindungi kepentingannya dari kaum buruh ketika itu. Prof. Cassier juga menanggapi agama dengan pernyataannya:317 “Agama adalah suatu kepura-puraan belaka, bukan hanya dalam arti teori tetapi juga dalam arti moral. Ia 316
Lihat Ibid., h. 33.
317
Lihat Ibid., h. 34-35.
dipenuhi dengan teori-teori yang saling berlawanan dan kontradiksi dalam bidang moral. Ia menjanjikan kepada kita hubungan baik yang erat dengan alam, manusia, dengan kekuatan supranatural, dan dengan Tuhan sendiri, tetapi hasilnya malah bertolak belakang. Di dalam kehidupan kongkrit, agama malah menjadi sumber komplik yang dalam peperangan antar manusia. Agama juga mengklaim kebenaran absolut, tetapi sejarahnya adalah sejarah dari kesalahan-kesalahan dan klenik. Ia memberi janji dan harapan, dari suatu dunia yang trancendent, yang jauh di luar batas pengalaman manusia, tetapi agama tetaplah manusiawi, dan semuanya untuk manusia.” Rupanya Cassier mendefinisikan agama berdasarkan gejalagejala yang timbul di antara penganut atau umat beragama. Dan dari pendapat-pendapat seperti itulah yang membuat pakar-pakar hukum pidana positif mengeluarkan unsur-unsur moral dan keagamaan dari hukum pidana yang berlaku, selain karena sifatnya terlalu pribadi dan sulit dalam menyelesaikannya. Akhirnya muncullah pemisahan antara hukum dengan kekuasaannya yaitu kekuasaan hukum yang bersifat temporal (positif) dan kekuasaan hukum yang bersifat spiritual (Agama). Hukum pidana positif kemudian tidak lagi menghiraukan hal-hal yang berkenaan dengan moral dan agama, karena dianggap sebagai bidang yang lain, sehingga jadilah hukum pidana positif benar-benar ingin dibebaskan dari unsur-unsur moral dan agama. Misalnya dalam masalah seksualitas di luar nikah (perzinaan), meskipun melanggar susila, bukan merupakan uraian hukum pidana, begitu juga dengan perbuatan homoseksual dan sejenisnya. Kalau pada beberapa aturan pidana terdapat aturan tentang kejahatan seksualitas terhadap anak di bawah umur, pemerkosaan, atau kepada wanita yang telah bersuami. Bila kasus tersebut dipidana, bukan karena melanggar susila atau agama, tetapi semata-mata karena adanya unsur pemaksaan, kekerasan, atau kerugian pada pihak lain (misalnya suami sang korban).
Demikian halnya dengan pelacuran, meskipu ada beberapa aturan yang melarang, tetepi terutama ditujukan kepada germonya saja atau yang memberi sarana, tetapi tidak kena pada pelaku pelacuran dan pelanggannya, kecuali ada orang yang nerasa dirugikan oleh perbuatan mereka tersebut. Secara tidak langsung hukum pidana positif telah memberi peluang kepada terjadinya perbuatan-perbuatan asusila tersebut. Dalam hal minuman keras juga demikian, perbuatan tersebut tidak dilarang selama tidak membahayakan orang lain atau ketertiban umum. Secara tidak langsung melegalkan minuman keras dan mabuk-mabukan yang akan menghancurkan generasi muda kita. Bahkan di negeri Belanda saat ini, pembicaraan tentang kebolehan seseorang meminta mati (lewat eutunasia) belakangan ini sudah hampir sampai pada pembicaraan tahap akhir. Semuanya berpusat pada-pada hak-hak individu yang terlalu dibesar-besarkan selama hak tersebut tidak merugikan orang lain, maka hukum tidak boleh merintanginya, sehingga seseorang tidak boleh dirintangi untuk bergaul secara bebas, affair, dan seterusnya, selama dilakukan dengan kerelaan masing-masing pihak. Tidak boleh dilarang kesenangan orang untuk minumminuman keras selama itu tidak mengganggu orang lain, bahkan orang berhak untuk meminta mati karena tidak melanggar hak orang lain. Hak-hak pribadi tersebut dianggap sebagai batas hukum yang tidak boleh dilewatinya, sehingga muncul suatu ungkapan, “Biarlah hukum berhenti di depan kamar tidur” toh, tidak ada yang dirugikan, sedang urusan senang, suka, bahagia, susah, dan lainnya adalah urusan masing-masing pribadi. Prinsip-prinsip seperti itu sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip penegakan hukum pidana Islam, seperti perbedaan siang dengan malam, sebab hukum pidana Islam begitu menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, dan lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi,
setelah itu barulah hak-hak pribadi secara bebas boleh disalurkan, karena sudah berada pada jalurnya yang tepat. Bagaimanapun juga sebebas-bebasnya hak pribadi akan berbenturan juga dengan hak-hak pribadi yang lain dan bila dibiarkan akan menimbulkan disintegrasi dalam arti luas. Kemudian timbul permaslahatan yang lain, “bukankah dengan diabaikannya moral (susila) dan agama akan menyebabkan masyarakat manusia tidak berbeda dengan sekumpulan hewan?, adalah realita menjamurnya aborsi, keretakan rumah tangga, hilangnya nilai-nilai sakral sebuah rumah tangga, menjamurnya pelacuran, maraknya minuman keras, dan semakin meningkatnya jumlah kejahatan adalah akibat dari pengabaian nilai-nilai moral dan agama. Apabila direnungi dan kita ingin menjawabnya secara obyektif, maka jawabannya adalah pasti, bahkan terjadinya ketimpangan sosial di mana-mana adalah akibat dari lahirnya sosok-sosok manusai individualisme, yang bisa saja terbina dari penerapan hukum yang keliru. Dengan pertimbangan tersebut, maka di dalam hukum pidana Islam dengan tegas melarang perzinaan dalam bentuk apapun juga, melarang meminum minuman keras berapa pun kadarnya, serta semua kejahatan yang lain. Karena jarimahjarimah tersebut adalah sangat keji dan menggerogoti nilai-nilai moral suatu bangsa.318 Hukum Islam begitu sayang kepada setiap individu, olehnya itu hukum Islam tidak akan membiarkan setiap orang “merusak” dirinya sendiri, walaupun hal tersebut tidak mengganggu dan membahayakan orang lain secara langsung. Menyayangi kehidupan manusia dan ingin betul-betul memanusiakan manusia agar tergelincir pada suatu kehidupan hewani yang tidak punya aturan dan jauh dari nilai-nilai moral. Dengan demikian, hukum pidana Islam pada hakekatnya bukanlah hukum yang kejam dan tidak berprikemanusiaan. Hal ini
318
Lihat Abdul Qadir Auda, Op. Cit., h. 24.
terbukti jauh dari sifat membabi buta dan tanpa dasar kuat. Sikap tegas di dalam hukum pidana Islam dan hukum Islam pada umumnya, bertujuan agar setiap orang saling menghargai dan tidak mencoba mempermainkan dan bermain-main dengan hakhak orang lain, apalagi hak-hak yang paling urgens (menyangkut hidup dan kehidupan manusia). Yang diperjuangkan oleh hukum pidana Islam bukan saja hak-hak asasi pribadi, tetapi juga supaya menghormati hak-hak asasi orang lain, akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang jauh dari sifat individualistik (mementingkan diri sendiri) dan selalu lebih mementingkan kemaslahatan umum, walaupun kalau terpaksa harus mengorbankan kepentingan pribadi yang biasanya di sanjungsanjung hukum pidana lainnya. D. Prospek Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia J.E. Sahetapy di dalam salah satu tulisannya diakui, bahwa secara inheren hukum pidana positif Indonesia belum sempurna, sebab semakin banyak perubahan-perubahan dan dinamika masyarakat yang terus berkembang, sedang KUHP kita telah lama haus dimakan jaman. Sangat disayangkan karena bangsa Indonesia seolah-olah menutup mata dengan keadaan seperti itu. Bahkan menurut sepengetahuannya, di Indonesia belum pernah dilakukan suatu study yang mendalam dan konprehensip tentang pengembangan hukum pidana, sehingga hukum pidana Indonesia akan tetap ketinggalan terus-menerus dari dinamika masyarakat yang akan terus membawa dampak pada hukum pidana kita yang sejak semula sudah tidak sempurna.319 Pembaharuan hukum belum benar-benar kita lakukan walaupun sudah lebih setengah abad kita merdeka, baru segelincir undang-undang yang sempat kita buat sendiri, sedang yang mayoritas dari hukum dan perundang-undangan kita masih berada di bawah cengkraman kolonial. Padahal bangsa Indonesia sudah 319
Lihat J.E. Sahetapy “Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” dalam laporan pengkajian bidang hukum pidana, Departemen Kehakiman (Jakarta; Pengayoman, 1987/1988), h. 79.
lama mengetahui bahwa hukum yang dibuat oleh kolonial tersebut dibuat dan direkaraya sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan kelestarian colonial, yaitu dalam rangka memecah belah bangsa kita dengan penggolongan dan diskriminasi golongan-golongan tertentu, atau diskriminasi antara golongangolongan tertentu, atau diskriminasi antara golongan-golongan agama sehingga jauh dari kerukunan hidup di antara mereka.320 Hukum di Indonesia malah dikenal dengan “hukum hibrida”, karena dikatakan hukum Barat bukan, dikatakan hukum Islam yang sudah jauh hari di “buang” oleh para colonial dari perundangundangan pidana, sehingga hukum Indonesia saat ini tidak memiliki “jati diri” yang sejati, malah hukum pidanya masih dipertahankan dari sejak masa penjajahan Belanda. Dari gambaran-gambaran yang ada, betapa bangsa Indonesia belum mampu menyuarakan aspirasinya sendiri, malah terkesan para pakar-pakar hukumnya masih sangat dalam “terinfeksi” virus hukum Barat, termasuk hukum pidanya, sehingga diperlukan “general ckeck-up” (istilah kedokteran yang mengharuskan pemeriksaan secara seksama dan menyeluruh atas kondisi pasien), supaya kita kembali menyadari betapa di dalam bangsa Indonesia penuh dengan nilai-nilai mulia yang jelas-jelas pernah menindas bangsa Indonesai selama berabad-abad lamanya. Apabila kita kembali mengamati hukum-hukum yang ada di Indonesia, maka kita akan mendapati ada tiga system hukum yang mewarnainya, yaitu hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam. Ketiga system hukum tersebut telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Oleh politik hukum colonial, ketiga system hukum tersebut tidak pernah dibiarkan mencapai titik-titik persamaan, malah justru dipertajam perbedaannya, dan kalau perlu diadaadakan pertentangan di antara ketiga system itu, sehingga terjadi diskriminasi terhadap system-sistem yang dianggap “sensitive” 320
Lihat Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan, dan prospeknya (Cet. Jakarta: Gema Insani Press,1996), h. 68.
akan meronrong wibawa hukum colonial.321 Dan tidak salah bila dikatakan bahwa yang paling didiskriminatifkanpada saat itu oleh penjajah adalah hukum Islam, karena merupakan panutan mayoritas penduduk Indonesia. Trauma pertentangan itu masih sangat mendalam bagi bangssa Indonesai, misalnya pada saat pembuatan RUU perkawinan, RUU tentang peradilan agama, atau akan didirikannya “Negara Islam” yang sangat ditakuti oleh pakar-pakar hukum pada umumnya, walaupun di dalam aturan itu terdapat banyak titik temu dengan system hukum yang lain dan dibuat untuk kepentingan rakyat banyak. Trauma itu memang sangat dalam, sehingga “merek” suatu hukum dinomorsatukan, membuat bangsa Indonesia mudah tertipu dengan aturan-aturan “palsu” warisan penjajah yang kelihatannya tidak mempunyai masalah di dalam penerapannya. Padahal yang seharusnya diperhatikan dari suatu hukum ada pada “manfaat” atau efektifitas hukum itu sendiri. Belum lagi ketika hukum pidanaIslam ditampilkan dan diperjuangkan menjadi hukum nasional, meskipun hanya bertujuan mengisi kekosongan aturan (menyempurnakan aturan) yang telah ada dan mengganti aturan-aturan pidana yang tidak efektif (ditinjau dari semua sudut pandang). Penulis curiga, bahwa doktrin-doktrin colonial Barat itulah yang kemudian sangat berpengaruh pada masyarakat Islam, sehingga muncul tuduhan-tuduhan bahwa hukum Islam itu kejam, bengis, dan tidak berperikemanusiaan, ketinggalan jaman, dan lainnya, membuat umat Islam merasa malas untuk mendalami ajaran-ajaran agamanya sendiri walaupun dalam keyakinan mereka labih terjamin kebenarannya. Ada beberapa alasan yang mendasari dan member peluang kepada hukum Islam atau hukum pidana Islam akan menjadi
321
Lihat Ibid,h. 70.
hukum pidana masa depan bagi bangsa Indonesia dan bangsabangsa lain di dunia ini khususnya di Negara-negara Islam; Pertama, Islam adalah agama yang berisi aturan-aturan hidup (way of lafe) yang secara lambat-laun akan mewarnai kehidupan masyarakat Islam dalam segala bidang, sehingga menjadi sumbangan besar bagi timbulnya pandangan hidup bangsa, yang akan membangun aturan-aturan yang kental dengan nilai-nilai Islam. Kedua, akan adanya koreksi, ketika huku pidana positif yang ada begitu jauh dari nilai-nilai moral dan akan membuatnya sebagai hukum yang hambar dari cita rasa kebangsaan, atau membuatnya seperti hukum yang di “kebiri” dengan aturan-aturan yang tidak efektif, sehingga masyarakat Islam akan terus memperjuangkan nilai-nilai moral yang sekian lama terbuang dari hukum pidana yang ada, betapapun di dalam penerapannya lebih berat dan membutuhkan upaya yang lebih besar. Ketiga, semakin banyaknya nilai-nilai keislaman yang diserap ke dalam hukum nasional yang bersumber dari suatu kebutuhan masyarakat Islam untuk mencapai kemaslahatan bersama. Hanya saja untuk sementara waktu, konsep-konsep dasar tersebut tertutupi oleh trauma yang mendalam dari politik hukum colonial Barat yang pernah menjajah umat Islam selama beberapa generasi dan abad, sehingga arah ke hukum pidana Islam butuh waktu yang lebih panjang dan perjuangan putra-putri Islam Indonesia yang tidak ringan. Keempat, di dalam Undang-undang Dasar 1945 dan falsafah bangsa Indonesia tersirat aspirasi bolehnya memberlakukan hukum Islam, selama hal ini bertujuan kepada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejarah perjalanan panjang hukum nasional memberi suatu fenomena bahwa perjalanan hukum nasional tersebut sarat dengan nilai-nilai religious. Adanya aturan-aturan seperti pasal II aturan peralihan UUD 1945 dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 telah mengisyaratkan, bahwa seluruh
produk-produk legislasi nasional harus memuat dan 322 memperdulikan hal-hal yang mengandung dimensi keIslaman. Eratnya nilai-nilai keIslaman yang ada di dalam dasar Negara dan Undang-undang Dasar Negara kita bisa menjadi sinyal akan diterapkannya hukum-hukum dengan nilai-nilai Islami di Indonesia, dan semua itu tergantung pada sekeras apa upaya yang telah dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. E. Hukum Pidana Islam Menjadi Hukum Pidana Positif Untuk memaksimalkan penerapan hukum Islam secara menyeluruh, ia perlu pad suatu Negara (kekuatan politik), khususnya di bidang hukum pidana yang bertujuan untuk kepentingan public masyarakat banyak. Hal ini disebabkan adanya suatu ketentuan untuk dapat menjalankan hukuman atas beberapa kejahatan tertentu, yang terkait dengan prinsip-prinsip kebijaksanaan fiscal dan moneter, dan hanya kekuatan Negara yang dapat menegakkannya. Sehingga hukum Islam atau khususnya hukum pidana Islam membutuhkan suatu Negara yang dapat menegakkannya.323 Mengamati nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum pidan Islam, maka di situ akan didapati nilai-nilai fleksibelitas yang akan membuatnya mampu memasuki semua system hukum yang digaris bawahi pada nilai-nilai kemaslahatan dan keadilan. Kalau nilai-nilai tersebut terkandung di dalam aturan-aturan positif selama ini, maka otomatis aturan-aturan tersebut dapat dikatakan Islami. Namun terkadang aturan-aturan positif yang ada, ada yang kurang menyentuh subtansi nilai-nilai islami yang ada atau diterapkan secarra setengah-setengah, menyebabkannya menjadi aturan yang tidak efektif, sehingga perlu diadakan
322
Lihat Abdul Gani Abdullah, “Eksistensi Hukum Pidana Islam Reformasi Sistem Hukum Nasional” dalam mimbar hukum no. 45 (Jakarta; Al-Hikmah, 1999), h. 6. 323
Abu A’la al-Maududhi. ‘Sistem Politik Islam…….”, Op. Cit, h. 186-1787
penyempurnaan-penyempurnaan yang akan menjadikannya suatu system yang kokoh. Efektifitas suatu hukum haruslah mempunyai ukuran dan tidak sekedar melihat pada efek-efek seadanya, kalau tidak sampai pada ukuran atau standar yang ditetapkan oleh aturan umum undang-undang, berarti aturan atau undang-undang tersebut tidak efektif dan harus secepatnya diganti dengan aturan-aturan yang lebih efektif sebelum korban-korban dari aturan tersebut semakin bayak berjatuhan. Aturan memang terkadang diperhadapkan kepada adanya korban yang harus jatuh, maka aturan yang bijaksana berkesimpulan “ bahwa mengorbankan beberapa gelintir orang banyak”, apalagi bila tidak memungkinkan adanya tindakan alternatif lain yang lebih menjamin nilai-nilai dan tujuan hukum yang sebenarnya bisa tercapai, yaitu ke arah jaminan kebahagiaan hidup (tentram, damai, aman, …..) di dunia dan bagi orang-orang Islam juga kebahagiaan hidup setelah matinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penegakkan hukum pidana Islam menjadi hukum pidana positif memerlukan kesiapan yang tidak sedikit, setidaknya kesiapan umat Islam sendiri menerima hukum Islam menjadi suatu undang-undang yang dapat diterima secara univikasi (diterima semua kalangan), memformulasikan hukum Islam (fiqhi) menjadi suatu aturan yang instan dan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia, sehingga akan diterima oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk disahkan sebagai sebuah undang-undang pidana saat kini. Kesatuan langkah umat Islam dalam mewujudkan hukum pidana positif yang islami (sesuai dengan hukum pidana Islam) saat ini sangat diperlukan, sebab untuk mewujudkan hukum pidana (Islam) positif yang ideal, dibutuhkan berbagai pihak untuk mewujudkannya. Di antara pihak yang diperlukan tersebut, antara lain; 1) para pakar hukum pidana Islam untuk mengkaji kembali syariat Islam dan mengkaji produk-produk hukum Islam yang telah ada secara konprehensif untuk mewujudkan suatu rancangan undang-undang yang siap pakai, 2) orang-orang Islam yang berada
pada instansi-instansi terkait untuk meneruskan hasil ynag dicapai oleh pakar tersebut ke “atas” dan mempublikasikannya sebagai hukum yang dicita-citakan selama ini, 3) kepala Negara yang adil dan terbuka pada setiap aspirasi masyarakatnya yang berkembang, khususnya mengenai penerapan hukum pidana ideal yang dicitacitakan bersama, 4) badan Legislatif yang siap menyambut aturanaturan yang diajukan tersebut menjadi undang-undang Negara. Setidaknya, komponen-komponen tersebut harus bekerja keras secara berkesinambungan untuk mewujudkan hukum pidana positif yang penuh dengan nilai-nilai hukum pidanayang islami. Usaha ini merupakan tanggung jawab semuaorang Islam dan merupakan fardhu kifayah yang akan membuatsemua orang akan berdosa ketika tidak satu pun orang Islam memperjuangkannya menjadi aturan yang dipedomani menuju cita-cita hukum yang dicita-citakan masyarakat di Indonesia. Komponen tersebut harus ada mendahului terbentuknya hukum pidana (Islam) positif, karena akan terasa berat hukum pidana Islam tersebut menjadi hukum pidana positif apabila tidak ada komponen-komponen pendahulu yang mendorongnya untuk muncul. Komponen-komponen tersebut antara lain;324 1. Karena hukum pidana merupakan bagian dari hukum public, juga merupakan produk politik, maka harus ada kesamaan politik dalam mekanisme program legislasi nasional tersebut. Para pelaku politik yang beragama Islam di angkat birokrasi pemerintah dan lembaga legislatif di didorong agar memiliki kemauan dalam hal ini. 2. Umat Islam pada umumnya harus member jaminan konseptual bahwa implementasi had dan qisas, berupa hukuman mati, rajam, potong tangan, potong kaki, diasingkan, dan lainnya, tidak melanggar hak-hak kemanusiaan, sehingga tidak ada lagi opini umum bahwa hukum pidana Islam wujud refleksi kekejaman Islam.
324
Bandingkan dengan Abdul Gani Abdullah, Op. Cit, h. 6-7.
3. Perlu ada rumusan operasional mengenai perbedaan dan persamaan jenis-jenis perbuatan pidana di dalam KUHP pidana dengan KUHP pidana Islam, seperti yang telah kita bahas. Agar di dalam penyusunan rancangan KUHP pidana Nasional menjadi bahan matang, dan untuk menjawab di antara permasalahan yang muncul selama ini bahwa rumusanrumusan di dalam hukum pidana Islam memadai/cukup mencakup apa yang ada di dalam KUHP pidana yang ada. Olehnya itu perlu dibentuk suatu tim atau kelompok kerja yang membuat rumusan operasional aturan hukum pidana hasil sumbangan dari hukum pidana Islam dalam bahasa dan struktur perundang-undangan. 4. Aturan-aturan di dalam KUHP pidana banyak yang telah memuat ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum pidana Islam. Dalam hal ini perlu ditunjukkan dengan jelas dan tegas, apa saja kekurangan yang ada di dalam hukum pidana nasional tersebut agar disempurnakan dan ditambah dengan aturan-aturan yang seharusnya, atau diklasifikasikan pada tempat-tempat yang seharusnya. 5. Untuk memantau keberhasilan umat Islam meyakinkan masyarakat luas, diperlukan suatu jajak pendapat yang dilakukan secara obyektif, jujur, dan adil. Juga untuk memantau kesiapan mereka lahir maupun batin demi mendukung penegakan undang-undang pidana (Islam) baru yang akan diundangkan untuk kemaslahatan hidup bersama. 6. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam (seperti IAIN dan lainnya) harus selalu memantau jajak pendapat tersebut dan bila perlu menindaklanjutinya dengan membuat rumusanrumusan, berupa pasal-pasal pidana Islam dalam bahasa dan konstruksi parundang-undangan KUHP pidana Islami yang dicita-citakan di atas. 7. Umat Islam yang mayoritas perlu mengeksplorasikan langkah starategis melalui kalangan akademis dan intelektualnya dalam upaya transpormasi hukum pidana Islam ke dalam
system hukum nasional. Apalagi di era demokratisasi ini, sidang-sidang umum MPR bisa menjadi peluang strategis dalam mengawali langkah panjang, agar setidaknya memasukkan konstalasi umum ke dalam TAP MPR yang digulir setiap lima tahun sekali. Hasil dari jajak pendapat yang telah dilakukan bisa menjadi masukan berharga di dalam TAP-TAP MPR tersebut. Bila hal ini menjadi masukan, maka menjelang sidang MPR lihat tahun mendatang, hasil jajak pendapat dan naskah-naskah akademik tersebut terkonsepsi secara matang dan dapat diharapkan menjadi materi muatan dalam TAP-TAP tersebut. Dengan demikian, ia telah mendapat “tempat” yang mempunyai kekuatan hukum, dapat menjadi perintah untuk menindaklanjutinya ke dalam program legislasi nasional. Keluwesan hukum pidana islam sebagaimana hukum islam pada umumnya terletak pada nilai-nilai atau substansi yang dimilikinya walaupun sekiranya nilai-nilai islami tersebut tanpa label islam yang paling banyak “ditakuti” oleh masyarakat., khusunya orang-orang diluar islam. Seolah-olah kalau hukum pidana islam diterapkan, maka kepala mereka rasanya telah terpenggal lebih dahulu. Padahal, mengapa mesti takut kepada hukuman, sedang hukuman tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang dengan sengaja malanggar undang-undang. Dan undang-undang baru dapat diberlakukan melalui proses sosialisasi (supaya semua orang tahu aturan-aturan mana saja yang tidak boleh dilanggar). Dari substansi hukum pidana islam tersebut dapat masuk ke dalam hukum pidana positif baik sebagai pelengkap bagi aturanaturan yang belum sempurna. Atau berupa tambahan pada aturan yang belum ada, sehingga hukum pidana positif kita akan berlaku secara maksimal dan hasilnya pun dapat terasa secara maksimal, karena hukum pidana islam tidak mungkin akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja seperti yang banyak terjadi dalam penerapan hukum pidana kita selama ini.
Aturan-aturan pidana islam, menurut Hartono Mudjono bisa dimasukkan ke dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana manapun, ketika bangsa kita sedang berusaha mengganti KUHP warisan kilonial yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun disinilah tugas berat umat islam Indonesia untuk memperlihatkan kemampuaanya menghidangkan ajaran-ajaran islam kepada semua pihak secara tepat dan benar.325 Bagaimana menampilkan hukum pidana islam dalam bahasa undang-undang yang dapat diterima oleh semua pihak, termasuk orang yang berkecimpung di bidang hukum dan badan-badan pemerintah yang bertugas untuk melegalisir rancangan tersebut menjadi undang-undang Negara. Melihat langkah-langkah yang harus dicapai tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa usaha penegakan hukum pidana lewat aturan-aturan hukum pidana islam positif berlangsung paling cepat untuk sepuluh tahun mendatang, tetapi bukanlah usaha yang mustahil dilakukan selama umat islam menghendakinya dan semakin cepat langkah-langkah sistematis tersebut dimulai dan berkesinambungan, maka semakin cepat pula impian penegakan hukum yang ideal di Indonesia akan tercapai. Allahu a’lam.
325
Lihat Hartono Martono, Op. Cit, h. 126-127, lihat juga Satria Efendi, Op. Cit, h. 31.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan, maka banyak hal baru dan menarik yang di dapati di dalamnya. Hukum pidana positif dan hukum pidana Islam pada dasarnya membutuhkan kajian lebih mendalam dan detail unutk mendapatkan mutiara-mutiara ilmu dan pengetahuan di dalamnya. Tetapi hal itu bukanlah pekerjaan mudah, sebab membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga dari para calon ilmuan, khususnya para ilmuan muslim yang ingin mendalami masalah hukum pidana secara menyeluruh. Dari permasalahan dan pembahasan yang penulis angkat, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan dari permasalahanpermasalahan yang ada; 1. Secara umum hal-hal penting yang dikandung di dalam hukum pidana positif, pada hakikatnya juga terdapat di dalam hukum
pidana Islam; baik dari segi keberadaan asas-asas atau prinsip-pronsip pokok yang harus ada di dalam suatu ketentuan atau aturan pidana, juga aturan-aturan pidana yang mestia ada di dalam suatu undang-undang hukum pidana demi ketertiban masyarakat banyak (public), misalnya aturan tentang pencurian, perampokan ,pemberontakan, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya. Semua itu harus di atur di dalam suatu perundang-undangan yang kokoh, demi tercapainya kekuatan hukum menuju stabilitas nasional yang lebih terjamin. 2. Meskipun demikian, kedau hukum pidana tersebut mempunyai perbedaan dari latar belakang sejarahnya dan sumber-sumber pokok hukumnya, sehingga akan berbeda pula dari segi penerapan materi hukum yang dikandung oleh kedua hukum pidana tersebut: a) Hukum pidana Islam bersumber dari wahyu Tuhan yaitu AlQuran dan hadist sebagai sumber utama, kemudian dikembangkan melalui berbagai macam metode ijtihad yang dipakai para ahli hukum Islam dengan tetap merujuk kepada sumber utama. Sedang hukum pidana positif umumnya bersumber dari filsafat hukum yang bersandar murni kepada rasio manusia. Hukum pidana positif terlahir dari pemikiran para pakar politik dan hukum ketika rasionalisme menjadi “tuhan” di Eropa pada sekitar abad XVII Masehi, hal mana ditandai dengan munculnya kodifikasi hukum pidana pertama dengan nama Code Penal Prancis tahun 1791 di kerajaan Prancis ketika itu. b) Hukum pidana Islam lahir di Timur Tengah (Jazirah Arab) pada sekitar abad VI di benua Eropa sekitar tiga atau empat abad yang silam. c) Hukum pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam yang dibawa oleh seorang Rasul dan diteruskan oleh para pengikut-pengikutnya yang setia, kemudian dikembangkan secara metodologi oleh para ilmuan-ilmuan Islam (fuqaha),
dan diberlakukan sebagai undang-undang di wilayah kekuasaan Islam sampai awal abad kebangkitan Islam (awal abad XX Masehi). Sedang hukum pidana positif lahir dari pemikiran para pakar hukum pidana dan politik pada jaman Renaisance dan rasionalisme sedang memuncak, kemudian disebarkan dan dikembangkan ke berbagai Negara lewat kekuasaan (penjajahan), tetapi sampai pada saat ini masih terus mencari bentuknya yang ideal. 3. Keunggulan hukum pidana positif sebenarnya tidak perlu dibicarakan secara mendalam karena sudah terlibat dengan diterapkannya di dalam undang-undang pada banyak Negara di muka bumi ini termasuk mayoritas negara-negara “Islam”, yang berarti hukum pidana Eropa tersebut sedang di atas angin dan menjadi idola di hamper semua Negara maju dan berkembang saat ini. Hampir-hampir tidak mungkin lagi diubah, karena telah mendarah daging dan setiap Negara yang menerapkannya. Kalau diibaratkan penyakit, maka ia diibaratkan penyakit kangker pada stadium tertinggi sehingga hampir-hampir tidak mungkin lagi diobati. Hukum pidana positif begitu memperjuangkan “HAM”, sehingga menuntut penghapusan hukuman mati dari undang-undang pidana demi HAM tersebut dan lari kepada “ hukum pendidikan” menurut hukum pidana positif. Sayangnya simpati masyarakat yang diinginkan oleh hukum pidana positif dengan mengunggulkan hukuman penjara sebagai “hukuman pendidikan”nya hanya berlangsung sesaat, sebab kritikan kemudian bermunculan mengarah kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap keunggulan metode “hukuman pendidikan” penjara yang diperjuangkan oleh undang-undang pidana dan hukum positif pada umumnya, apalagi dengan dampak negatifnya yang lebih besar. Hukum pidana Islam memiliki karakteristik tersendiri dengan latar belakang tersendiri pula. Dengan
karakteristik tersebut, hukum pidana Islam telah memposisikan diri sebagai hukum yang lebih unggul daripada hukum pidana lainnya. Keunggulan hukum pidana Islam tersebut dapat dilihat dalam hal-hal berikut: a) Hukum pidana Islam memposisikan dirinya dengan berdiri diatas prinsip-prinsip yang kokoh, sehingga ketika terjadi perbedaan pendapat yang memuncak di kalangan ahli hukum Islam, setidaknya ada pengembalian masalah mereka yaitu wahyu (Al-Quran dan Hadist). Para ahli hukum Islam meyakini bahwa kedua sumber utama tersebut merupakan barometer setiap pendapat (ijtihad) yang mereka kemukakan, sehingga “setinggi” apapun teori yang mereka kemukakan, tempat pengembaliannya jelas dan pasti. Sehingga perbendaharaan ide yang muncul dari perbedaan yang terjadi tidak mengambang pada perasaan benar sendiri. b) Hukum pidana Islam begitu memperhatikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama; sehingga tindak pidana besar yang tidak berdampak langsung kepada masyarakat pun mampu dicegah, sedang tindak pidana yang melanggar nilai-nilai moral dan agama tersebut telah membuat hukum pidana positif selama ini “kecolongan” dengan semakin banyaknya kasus tindak pidana yang muncul akibat disepelekannya nilai-nilai moral dan agama yang ada. Padahal aturan-aturan pidana semakin banyak dan penanganan dari pada praktisi hukum pidana positif telah dilakukan, tetapi hasilnya tetap minim. Perhatian hukum pidana Islam yang begitu besar kepada nilai-nilai agama dan moral, membuat cita-cita hukum pidana Islam kepada masyarakat lebih terjamin, yaitu kearah masyarakat yang stabil dan bermoral (berakhlak karimah). c) Hukuman yang diterapkan oleh hukum pidana Islam begitu maksimal dan hati-hati. Sehingga tujuan pemidanaan akan
tercapai secara maksimal dan menyeluruh, ketika hukum pidana Islam diterapkan dengan sungguh-sungguh. Hukuman mati yang selama ini dinilai kejam, rupanya merupakan hukuman yang harus tetap diterapkan di dalam aturan perundang-undangan pidana. Hal ini terbukti bahwa hukuman tersebut masih tetap dipertahankan di negaranegara yang memberlakukan hukum pidana positif, termasuk di negara yang paling liberal seperti di Amerika Serikat. Hal ini tidak dapat dielakkan, karena semakain dihapusnya hukuman yang dianggap melanggar HAM tersebut, maka semakin banyak pula orang yang tidak takut lagi melanggar ketentuan hukum dan HAM tersebut. 4. Dalam sejarah Indonesia juga tidak luput dari penerapan hukum Islam khususnya hukum pidana Islam yang telah diterapkan oleh beberapa kerajaan-kerajaan Islam di tanah air. Bahkan oleh pahlawan-pahlawan kemerdekaan di berbagai pelosok tanah air, baik di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Lainnya. 5. Mengingat hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam bersifat begitu fleksibel, sebab bukan hanya merupakan aturan beku, tetapi memiliki nilai-nilai (substansi) yang dapat masuk ke dalam aturan-aturan manapun juga, selama aturanaturan tersebut bertujuan kepada cita-cita hukum yang seharusnya, yaitu kepada kemaslahatan hidup (stabil dan bermoral). Hal ini selaras dengan tujuan negara hukum “pancasila” di Indonesia. Hukum pidana Islam juga pernah diterapkan sebagai hukum positif oleh negara-negara Islam selama nerabad-abad lamanya. Sehingga istilah “masyarakat madani” yang punya perbedaan prinsip dengan istilah padanannya civil sociaty, adalah gambaran masyarakat Madinah yang pernah dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw dan para khalifahnya yang lurus dengan hukum Islam yang terdapat di dalamnya hukum pidana Islam. Model masyarakat seperti itu juga masih terlihat pada masyarakat dinasti-dinasti
setelah masa Madinah tersebut. Ketika hukum pidana Islam benarbenar ditegakkan, maka pada saat itu masyarakat menjadi tentram terjamin, misalnya pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, beberapa khalifah pada awal dinasti Abbasiyah sampai sebelum masa kemundurannya, dan beberapa contoh lagi dinasti-dinasti setelahnya. Hukum pidana Islam memiliki prospek yang cerah untuk diterapkan di negara manapun di dunia ini, khususnya pada negara-negara yang mempunyai potensi “Islam” di dalamnya, misalnya negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas umat Islam, selama negarap-negara tersebut memperjuangkan hukum yang ideal. Di Indonesia, hukum pidana Islam memiliki pelauang besar, dengan beberapa pertimbangan antara lain: a. Hukum pidana adalah aturan-aturan hidup yang lambat laun akan mewarnai pemeluknya. b. Bangsa Indonesia adalah bnagsa yang beragama dan bermoral tinggi tentu lebih cenderung kepada tatanan hukum pidana yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan akan meninggalkan tatanan hukum yang kering dari nilai-nilai moral dan agama. c. Hukum nasional semakin banyak menyerap nilia-nilai islami sehingga di antara aturannya bernilai cukup islami. d. Falsafah dan sumber dari segala sumber hukum bangsa Indonesia memberi aspirasi dan peluang kepada tatanan hukum yang bernilai ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (islami) selama bertujuan kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa hukum pidana Islam mampu diterapkan dengan baik pada zaman yang berbeda, tergantung kepada kemauan pemerintahan dan masyarakatnya ketika itu. Kriteria-kriteria seperti itulah yang dimilikioleh hukum pidana Islam, menyebabkannya mempunyai proespek yang besar untuk diterapkan di negara manapun juga yang termasuk di negara Indonesia dengan latar belakang masyarakatnya yang
mayoritas Islam. Memang sulit mengubah pola pikir yang sudah terlalu membekas, tetapi hal itu harus dilakukan demi tujuan mulia bangsa Indonesia ke arah supremasi hukum yang menjadi syarat mutlak terwujudnya masyarakat madani yang dicita-citakan bersama. B. Implikasi Penelitian Berdasarkan kesimpulan di atas, hukum pidana Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnay, dapat diterapkan ke dalam penerapan hukum pidana positif di Indonesia. Tetapi hal tersebut memerlukan kerja keras yang berkesinambungan dari semua pihak (masyarakat Indonesia), sebab kita tidak dapat menargetkan kapan cita-cita mulia tersebut dapat terwujud. Yang jelas bahwa setiap usaha akan selalu membawa hasil jika dengan sungguh-sungsuh. Di dalam mewujudkan cita-cita tersebut, dibutuhkan kerjasama di antara pakar hukum yang memahami hukum Islam untuk menyatukan ide demi terwujudnya suatu rancangan undangundang yang siap diajukan ke lembaga-lembaga legislatif. Para mahasiswa dan generasi muda Islam juga dibuuthkan untuk memunculkan ide-ide cemerlang sebagai input dan menjadi penggebrak penegakan hukum pidana Islam dan supremasi hukum di Indonesia. Di samping itu juga dibutuhkan para praktisi politik muslim untuk mengusulkan ide-ide tersebut di dalam rapat-rapat komisi dewan, dan semua pihak yang akan memberi kekuatan gebrakan setiap ide yang sedang diperjuangkan. Dalam usaha ini diperlukan hal-hal sebagai berikut: 1. Suatu susunan undang-undang “instan” dan modern. Tentunya dimulai dari pembentukan tim-tim pengkaji hukum. 2. Aparat yang terbuka dan demokratis untuk setiap ide-ide yang disuarakan oleh masyarakat. 3. Sarana dan prasarana yang mendukung tercapainya hukum yang kondusif sarananya berupa badan-badan peradilan yang diisi oleh para praktisi hukum yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap tugas-tugas yang diambannya.
4. Juga prasarana berupa administrasi yang baik, ekonomi mendukung. Dengan tegaknya hukum islam tersebut secara timbale balik akan menciptakan stabilitas umum yang akan memicu kemajuan disegala bidang termasuk bidang ekonomi yang dibutuhkan di semua lapangan kehidupan. Dan hal-hal pendukung lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdul Gani. “ Eksistensi hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional “ dalam mimbar hukum, no. 45. Jakarta ; al-hikmah, 1999 Abiding, A.Z. Asas- asas Hukum Pidana ( bagian Pertama). Cet. I; Bandung Alumni, 1985 Adji, Oemar Seno . Hukum Pidana Pengembangan, Cet. I; Jakarta : Erlangga, 1985
Ali, Moh. Daud. Hukum Islam, Ed. V. Cet. V; Jakarta: Rajawali Press, 1996 Anderson, “Morality and Law In Islam : the past and yhe present “ studies in Islam. Vol. XI no. 1-2. New Delhi :Indian Institute Of Islamic Studies, 1974 Arieef. S.. Kamus Hukum, Edisi Lengkap. Surabaya : Pustaka Tinta Mas, tth. Arif, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Cet. I; Jakarta : Rajawali press, 1990 Arifin, Bstanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, hambatan dan prospeknya. Cet. I; Gema Insani Press, 1996 Arrasyid, Chairu. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika. 2000 Auda, Abdu al-Qadir. Al-tasry’ al-Jina’iy al-Islami, Muqaran bi alQanun al-Wadhy’iy. Cet. V; Bairut: Dar al-Turats. 1987 Budiarti, paper “ Asas-asas Hukum Pidana”. Jakarta: Pengayoman, 1988-1989 Al-Bukhari, Abu Abdillah bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Jilid ke-9. Bairut: ‘alam al-Kutub Coulson, Noel J.. hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Cet. I; Midas Surya Grafindo Departemen P dan K. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. II. Cet.IV; Jakarta: Balai Pustaka. 1995 Dirjosiswono, Sudjono. Sosiologi Hukum Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial. Edisi I. Jakarta: rajawali Press, 1983 Djamli, Abdel. Pengantar Hukum Indonesia. Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1987 Djamil, Faturrahman. “Asas Parduga tak Bersalah dalam Hukum Acara Pidana Islam” dalam mimbar Hukum no. 20 Hm VI. Jakarta : Al-Hikmah, 1992 Djazuli, H.A.. fiqh Jinayah. Cet. I; Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada, 1996
Doi, Abdurrahman I.. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997 . Inilah syari’at Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Panjimas. 1991 Effendi, Rusli. Lolo, Poppy Andi. Asas-asas Hukum Pidana . Cet. IV; Ujung Pandang LEPPEN UMI, 1989 Elshon, John M. dan Shadily, Ahmad. Kamus Inggeris-Indonesia. Cet. XXVI; Jakarta: Gramedia 1997 Friedmann, W.. legal theory diterjemahkan Oleh Muh. Arifin dalam teori dan Filsafat hukum telaah kritis atas teori-teori hukum. Susunan I. Ed. I, Cet. II; Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada. 1993 Haliman. Hukum pidana syari’at Islam menurut Ahlussunnah. Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang. 1971 Hamdan, M.. Politik Hukum Pidana. Cet. I, Jakarta:Rajawali Press. 1997 Hamzah, Andi. Asas-asas Hukum Pidana. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta. 1994 . Detik-detik Tersebar di Luar KUHP. Cet. II; Jakarta: Pradnya Paramita, 1988 . Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Cet, II; Jakarta: Sinar Grafika. 1995 Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang. 1993 Haq, Hamka. Falsafah ushul Fiqh. Cet. I; Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998 Hazewinkeel, D.. Inleiding tot de stude van het NEderlanse Strafrecht, Suriga, beker door j. Remmelink, Groningen: H.D. Tjeenk Willink B.V, 1983 Hosen, Ibrahim. “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam Penerapannya, dalam Mimbar Hukum. no. 20 thn.VI. Jakarta: Al-Hikmah, 1995 Huijbers, Theo. Filsafah Hukum. Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1990.
Hurgruye, C. Cnouck. Kumpulan karangan Snouck Hurgrouye, jilid IV Jakarta: INIS, 1996 Jonkers, J.E Hukum Pidana Hindia Belanda (diindonesiakan). Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1987 Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam. Jilid III. Bandung: Dahlan, Kamel, Taymor. “The Principal of Legality and its Application in Islamic Criminal Justice” dalam Bassioiuni, M. Cherif. The Islamic Criuminal Justice Syistem. London-Newyork: Oceana Publications, 1982 Kansil, C.S.T.. Pengantar Hukum Indonesia. Jilid II. Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1993 Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Cet. II; Jakarta: Rajawali Perss, 1991 Kusnadir, Moh.. Ibrahim, Harmali. Hukum Tata Negara Indonesia. Cet. V; Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUL. 1983 Maramis, Frans. Perbandingan Hukum Pidana. Cet. I; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994 Mardjono, Hartono. Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan. Cet. I; Bandung: Mizan, 1997 Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik). Cet I; Jakarta: Sinar Grafika, 1991 Almaudhudi, Abu A’la. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (terjemah). Cet. IV; Bandung: Mizan. 1995 . Kejamkah Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Perss, 1992 . Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1995 Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyah Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam. Jakarta; Darul Falah, 2000 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Cet. IV; Jakarta: Bina Aksara. 1987. . Fungsi dan tujuan Hukum Pidana Indonesia. Cet. VIII; Jakarta: Bina Aksara, 1985
. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Cet. VIII; Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Munawwir, A.W.. Kamus Al-Munawwir. Ed. Lux; Jakarta: Pustaka Progressif. t.th. Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Cet. II; Jakarta: UI Perss, 1986 . pembaharuan Dalam Islam. Cet. XII; Jakarta: Bulan Bintang. 1996 Al-Nawawi, Yahaya bin Syarf. Sahih Mislim bi Syarh al-Nawawi. Jilid IV. Kairo: Dar al-Sya’b, tth. Poernomo, Bambang. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana. ttp., tth. Praja, Juhana S.. Syihabuddin, Ahmad. Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia I. cet. I; Bandung: Angkasa, 1982 Purbacaraka, Purnadi. Perihal Kaedah hukum. cet. II; Bandung: Alumni.1982 Purbacaraka, Purnadi. Soetomo, Soerjono. Renungan Tentang Filsafat Hukum. Cet. V; Jakarta: Rajawali Perss, 1994. Al-Qardhawy, Yusuf. Al-Siyasah al-Syar’iyah diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dalam Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1999 . Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam. Cet. III; Bandung : Penerbit Kharisma, 1994 Reksodiputra, Mardjono. “Tahun Hukum Pidana Baru”. Detektif & Romantika. Jakarta, 18 Januari 1997. Rosdaya, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosia. Cet. IV; Jakarta: Rajawali Perss. 1996. Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunnah. Jilid II: Dar al-Fikr,1983 Sahetapy, J.E.. “Pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana” dalam Laporan Pengkajian Bidang Hukum Pidana, departemen Kehakiman. Jakarta; Pengayoman, 1987/1988 Saleh, Osman abdul Malik. “The Right Of The Individual to Personal Security in Islam” dalam Bassiouni, M. Cherif. The
Islamic Criminal Justice System. London-Newyork: Oceana Publications, 1982 Sanad, Nagati. The Teory of Crime and criminal Responsibility in Islamic Law; Shariah. Chicago: Office of International Criminal Justice. 1991 Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Cet. I; Asy Syaamil Perss, 2000 Sapoetra, Rien G. Karta.. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1988 Seks Bebas dan Aborsi pun Mengepung”. Dalam Aksi. Jakarta, Desember 1997 Ash-Shiddiqy, T.M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam I. Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1980 Shihab, Quraish. “Menbumikan Al-Qur’an, Fingsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. IX; Bandung: Mizan, 1995 Soetjipto, Adi Andojo. “Hukum Memihak yang Kuat”. Detektif & Romantika. Jakarta, 18 Januari 1997. Sudarto. Kapita Selecta Hukum Pidana. Cet. II; Bandung: Alumni, tth. Sukardja, Ahmad. Piagam Madina dan UUD 1945. Cet. I; Jakarta: UI Perss. 1998 Al-Suyuthi, Jlaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. Al-Asybah Wa al-Nazhair. Mesir: Maktabah Nur Asiya, tth Syaltout, Mahmoud. Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah. Buku III. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang. 1980 Tim Penyusun. Ensiklopedia Hukum Islam. Vol. 4. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeven, 1996 Usman, Abdurrahman Muhammad. ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Juz XII. Al- Muktabah al-Salafiyah, 1979 Utrech, E.. Hukum Pidana I. Cet I; Djakarta: Universitas, 1956 Yafie, Ali. “Implementasi Hukum Islam dalam Kehidupan”. Mimbar Hukum. no. 15, tahun V; Jakarta: Ditbinpera Islam dan alHikmah. 1994.
Yusuf, Abu. Al-Radd ‘ala Siyar al-‘Ahza’I. mesir: Lajnah Ihka alMu’arif al-Nu’maniyah, 1357 H. Zahra, Abu. Al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamy. Kairo; Dar al-Fikr al-Araby, tth. Zein, Satria Effendi M.. “ Prinsip-prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan Penerapannya Masa Kini” dalam Mimbar Hukum. no. 20, tahun VI. Jakarta: al-Hikmah, 1995
BIOGRAFI PENULIS Muhammad Tahmid Nur, lahir di Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan pada tanggal 30
Juni 1974. Pendidikan tinggi; dimulai S1 pada Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997, S2 pada Konsentrasi Syari’ah/ Hukum Islam Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar pada tahun 2001, dan sedang dalam proses penyelesaian Doktor (S3) dalam bidang Syari’ah/ Hukum Islam pada UIN Alauddin Makassar. Pekerjaan penulis saat ini sebagai Dosen Tetap pada STAIN Palopo (dari tahun 2005). Sebelumnya penulis pernah penjadi Dosen Luar Biasa pada beberapa perguruan Tinggi seperti UMI, UNISMUH Makassar, dan PERGIS Takalar. Di samping itu aktif di berbagai organisasi profesi dan kemasyarakatan; menjadi wakil ketua MUI Luwu Timur, Ketua Majelis Tarjih PD Muhammadiyah Luwu Timur dan Palopo. Aktif sebagai nara sumber tentang hukum Islam dalam berbagai forum ilmiah, dan menulis berbagai karya ilmiyah dalam bentuk jurnal dan makalah.