Bab 4 Kelembagaan Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup
4.3 KEL EM B AG AAN PEN A T AAN RUA NG DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Oleh Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa Ardiputra
KEBERADAAN Kelembagaan tata ruang di bidang lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dan peranan Rachmat Wiradisuria (almarhum) di Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (KMN PPLH) sejak tahun 1978 yang menandai awal keberadaan institusi lingkungan hidup di dalam kabinet Pemerintah Republik Indonesia. Menteri Negara PPLH, Emil Salim mengangkat Rachmat Wiradisuria, mantan Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, sebagai Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Permukiman (kelak diubah jadi Bidang Lingkungan Hidup Binaan). Perhatian, gagasan serta pemikiran tentang konsep dan pendekatan tata ruang dalam pengembangan wilayah yang dikembangkan di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, dibawa oleh Rachmat Wiradisuria ke dalam lingkungan KMN PPLH. Dalam susunan struktur organisasi di bawah Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Hidup Binaan, ada tiga pembantu asisten. Satu di antaranya, menangani urusan tata ruang, yang lainnya menangani urusan pengembangan lingkungan permukiman serta urusan pengendalian pencemaran. Pada awalnya, introduksi perlunya pendekatan tata ruang digunakan dalam kiprah KMN PPLH melakukan pengelolaan lingkungan hidup bukan merupakan sesuatu hal yang dapat diterima dengan begitu saja (taken for granted). Tidaklah mudah bagi Rachmat Wiradisuria untuk meyakinkan Emil Salim, bahwa penataan ruang wilayah yang benar akan memudahkan upaya pengelolaan lingkungan hidup. Konsep tata ruang dipandang sebagai sesuatu
Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa Ardiputra -
IV.3-1
Bab 4 Kelembagaan Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup
yang abstrak, padahal permasalahan lingkungan hidup merupakan persoalan yang dirasakan di lapangan. Penanganan masalah lingkungan sejak tahun 1978 dimulai dengan upaya pengendalian pencemaran dan pengendalian kerusakan lingkungan, bersifat kuratif sehingga tidak efisien. Untuk itu, mulai tahun 1985 dikembangkan tools “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan” (AMDAL) yang sifatnya lebih preventif. Namun, untuk beberapa kasus, penerapan AMDAL ternyata kurang berdayaguna karena lokasi kegiatan sudah ditentukan (given), padahal lokasinya tidak tepat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan lingkungan hidup tools yang paling tepat dan preventif adalah penataan ruang yang di dalam proses pelaksanaannya telah melalui serangkaian analisis dampak lingkungan terhadap setiap perubahan peruntukan lahan. Untuk membumikan konsep tata ruang dalam penanganan permasalahan lingkungan hidup, Rachmat Wiradisuria menggunakan pendekatan tata ruang sebagai exercise dalam menangani persoalan kegiatan pembangunan (misalnya, pembangunan permukiman transmigrasi) yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Sementara itu, Menteri Negara PPLH melakukan exercise di kabinet untuk mengkaji konflik kepentingan atas kebutuhan lahan akibat kegiatan pembangunan secara sektoral. Exercise ini memperlihatkan, apabila semua kepentingan sektoral pengguna lahan itu ingin dipenuhi, maka luas daratan Indonesia tidak mencukupi. Hasil exercise menunjukkan perlunya penerapan tata ruang dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional. Dari exercises inilah, tata ruang mendapatkan “titik nadir” dalam strategi pengelolaan lingkungan hidup. Penanganan kasus Kawasan Puncak merupakan salah satu milestone dalam pelembagaan tata ruang di bidang lingkungan hidup. Upaya penanganan masalah Kawasan Puncak yang kualitas lingkungan alamnya semakin menurun akibat pesatnya kegiatan pembangunan yang tidak terkendali, membuktikan bahwa pendekatan penataan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu wujud kelembagaan dalam rangka penanganan masalah Kawasan Puncak ini adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) nomor 48 tahun 1983 tentang “Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa Ardiputra -
IV.3-2
Bab 4 Kelembagaan Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup
Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di luar Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong”. Keppres ini menggantikan Peraturan Presiden nomor 13 tahun 1963 yang mengatur pemanfaatan ruang 200 meter kanan-kiri jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur. Dalam Keppres tersebut diatur, koordinasi penataan ruang kawasan dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum, sedangkan koordinasi pengawasan terhadap kegiatan pembangunan dilakukan oleh Menteri Negara PPLH.
PERKEMBANGAN Dalam perjalanannya, kelembagaan tata ruang di bidang lingkungan hidup semakin menguat dengan duduknya Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) dalam Tim Tata Ruang Nasional sebagai wakil ketua II, mendampingi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai ketua dan Menteri/Sekretaris Negara sebagai wakil ketua I. Tim ini dibentuk berdasarkan Keppres nomor 57 tahun 1989 tentang “Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional”, beranggotakan tiga menteri tersebut serta enam eselon I, yaitu:
Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah (Sekretaris I merangkap anggota),
Staf Ahli Menteri Negara PPN Bidang Pertanahan (Sekretaris II merangkap anggota),
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri (anggota),
Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (anggota),
Kepala Badan Pertanahan Nasional (anggota),
Asisten Menteri Negara KLH Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam (anggota).
Kelembagaan tata ruang di bidang lingkungan hidup pun berkembang seiring dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup. Bertolak dari pemikiran strategis, bahwa pembangunan selain memerlukan ruang tempat berlangsungnya berbagai kegiatan yang Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa Ardiputra -
IV.3-3
Bab 4 Kelembagaan Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup
mengubah bentang alam (kawasan budi daya), juga memerlukan ruang untuk berlangsungnya fungsi pelestarian lingkungan bagi kelangsungan kehidupan manusia (kawasan lindung), maka pada tahun 1990 dirumuskan strategi konservasi yang diintegrasikan dengan upaya penataan ruang. Melalui Tim Tata Ruang Nasional, strategi tersebut dikukuhkan dengan Keppres nomor 32 tahun 1990 tentang “Pengelolaan Kawasan Lindung”. Kelembagaan tata ruang di bidang lingkungan hidup semakin mengemuka melalui peran KMN KLH dalam proses penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang “Penataan Ruang”. Keterlibatan KMN KLH secara aktif dalam proses penyusunan RUU tersebu berawal dari suatu rapat yang dipimpin Wakil Sekretaris Kabinet, Hamid Attamimi (almarhum) di Sekretariat Kabinet pada pertengahan tahun 1980-an. Masalah yang dibahas menyangkut keberadaan dua RUU yang mengatur pemanfaatan ruang yang disampaikan ke Sekretariat Kabinet. Kedua RUU itu adalah RUU tentang “Tata Guna Tanah” yang disusun Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, dan RUU tentang “Bina Kota” yang disusun Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Dalam rapat itu akhirnya disepakati, substansi materi kedua RUU disatukan dalam RUU (baru) tentang “Tata Ruang” (judulnya kemudian disempurnakan menjadi “Penataan Ruang”). Perubahan dari “Tata Ruang” menjadi “Penataan Ruang” ini penting, karena selama ini upaya penataan ruang lebih berorientasi pada perencanaan tata ruang. Penataan ruang mencakup pula pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, sehingga terwujudnya peningkatan kualitas dan optimalisasi penggunaan ruang akan lebih konkrit walaupun sampai saat ini upaya pemanfaatan ruang dan pengendaliannya belum seperti yang diharapkan. Lebih lanjut, KMN KLH diminta Wakil Sekretaris Kabinet untuk mengkoordinasikan pengintegrasian muatan substantif dari kedua RUU tersebut dan pembahasan anterdepartemen muatan RUU tentang “Penataan Ruang”. Dalam pembahasan RUU tentang “Penataan Ruang” di Dewan Perwakilan Rakyat, Tim Tata Ruang Nasional menunjuk Menteri Negara KLH untuk mewakili pemerintah. Pada tanggal 13 Oktober 1992, RUU tentang “Penataan Ruang” disahkan dan diundangkan sebagai UU No. 24 tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, masuk ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa Ardiputra -
IV.3-4
Bab 4 Kelembagaan Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup
nomor 115 tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3501. Meski koordinasi pelaksanaan Undang-undang tentang “Penataan Ruang” dijalankan melalui wadah Tim Tata Ruang Nasional, dan terakhir Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang dibentuk sebelumnya dan terakhir disesuaikan dengan era reformasi ditetapkan kembali dalam Keppres nomor 62 tahun 2000. KMN KLH yang sekarang disebut Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) masih tetap berkiprah dalam pemantapan kelembagaan tata ruang. Salah satu tugas substansial yang dibebankan kepada KLH adalah menyelenggarakan koordinasi penyusunan peraturan pelaksanaan UU No. 24 tahun 1992. Sampai saat ini, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 69 tahun 1996 tentang “Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang”, PP nomor 47 tahun 1997 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional” dan PP nomor 10 tahun 2000 tentang “Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah”.
Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa Ardiputra -
IV.3-5