Bab 4 Kelembagaan Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia
4.1 L EM BAG A T AT A RUA NG PERT AM A DI I NDO NESI A Oleh Soefaat
LEMBAGA TATA RUANG PERTAM A Lembaga tata ruang pertama yang didirikan di Indonesia bernama “Balai Tata Ruangan Pembangunan” (BTRP). Lembaga ini merupakan gabungan dari BTRP yang didirikan Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta sekitar 1947 dan lembaga hasil serah terima dari Pemerintah Hindia Belanda (HB) kepada Pemerintah RI pada 1950. Setelah serah terima itu, terjadi eksodus tenaga ahli dari seluruh Indonesia. Nama BTRP sesuai fungsi yang diberikan pemerintah Hindia Belanda, kepada lembaga yang diserahterimakan ke Departemen PU, yaitu “Centraal Kantoor voor Ruimtelijke Wederopbouw”. Balai menunjuk pada statusnya sebagai kantor yang hanya ada di pusat, dalam hal ini di lingkungan Departemen PU.
LIMA TAHUN PERTAMA (1950 – 1955) Pada 1947 Pemerintah RI di Yogyakarta mendirikan BTRP. Situasi politik saat itu ditandai pertikaian bersenjata antara pemerintah Hindia Belanda dengan pemerintah dan rakyat RI, sehingga tidak banyak pembangunan fisik yang dapat dilakukan. Pembangunan Kebayoran Baru berhasil dilakukan Pemerintah HB, diperkirakan karena dekat Jakarta yang relatif aman dan dijaga ketat pada malam hari. Dalam situasi seperti itu, pekerjaan konstruksi sangat terbatas dilakukan. Keuangan Pemerintah RI pun lebih terbatas lagi untuk membangun prasana yang menjadi bidang garapan Departemen PU (BTRP waktu itu sudah menjadi unit Departemen PU). Selain itu terkesan, keadaan wilayah belakang kota belum terpikirkan. Waktu itu, tata ruang seolah hanya berlaku untuk kota saja. Kota-kota besar Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Soefaat -
IV.1-1
Bab 4 Kelembagaan Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia
pun banyak yang jatuh ke tangan Belanda, terutama siang hari (malam hari tidak aman karena serangan gerilyawan). Pembangunan BTRP terbentur dua masalah, yaitu (a) kecanggungan pimpinannya yang belum siap menghadapi tugas baru (sebelum pertikaian Hindia Belanda dengan Jepang belum ada unit BTRP di lingkungan Departemen PU atau Departement van Openbare Werken) dan (b) tidak ada minat para ahli teknik sipil memasuki dunia tata ruang. Di Sekolah Tinggi Teknik Bandung dahulu ada mata kuliah “seni pembangunan kota” (stedebouwkunst) yang berisi perencanaan lokasi bangunan gedung dalam kota, sehingga tidak menimbulkan masalah lalu lintas. Sebagaimana diketahui, pekerjaan ahli teknik sipil adalah konstruksi bangunan prasarana yang serba matematik. Dapat diduga, tidak akan banyak minat memasuki bidang ilmu tata ruang yang beraspek sosial. Apalagi Departemen PU saat itu masih membuka lowongan besar-besaran bagi ahli teknik sipil untuk mengisi kekosongan staf utamanya di bidang jalan/ jembatan dan pengairan. Setelah ada pengakuan dunia internasional terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia, maka tugas tata ruang mulai ditangani pejabat yang semula canggung. Maka, harus disusun “organisasi baru” yang awalnya dihadapkan pada kesulitan, karena belum ada pengetahuan dan pengalaman tentang masalah BTRP (ingat catatan tentang eksodus pada 1950 dengan segala akibatnya, antara lain menjadi sebab kecanggungan ini). Sepertinya tidak ada pola organisasi yang dapat dipedomani, antara lain untuk pembagian tugas staf. Keadaan ini berjalan selama hampir 15 tahun.
LIMA TAHUN KEDUA Kurun waktu ini belum menunjukkan perbaikan berarti, meski tenaga yang dikirim ke AS telah lulus dan segera menjabat kembali. Tenaga teknik sipil lainnya yang masuk BTRP sekitar 1957 segera pula dikirim belajar tata ruang ke Inggris. Seminar oleh ECAFE (badan pelaksana PBB) yang dihadiri kepala BTRP pada 1952-1954 memberi gambaran tentang ilmu tata ruang. Seminar 1958 di Tokyo khusus membahas regional planning.
Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Soefaat -
IV.1-2
Bab 4 Kelembagaan Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia
Dari seminar-seminar itu diketahui lingkup pekerjaan tata ruang kota yang memberikan gagasan kepada kepala BTRP mengenai konsep tata ruang kota. Sejak seminar 1954 tentang City Planning di New Delhi, tumbuh gagasan di Indonesia tentang pendidikan khusus yang diperlukan oleh ahli tata ruang. Segera setelah seminar Tokyo (1958), Departemen PU berusaha mendalami Tata Ruang Daerah dengan menghubungi Universitas Gadah Mada yang dianggap mudah mengadakan studi interdisipliner untuk tata ruang daerah dan dapat membentuk lembaga penelitian ilmu tata ruang daerah. Sayang, pemikiran ini tidak berlanjut. Dengan imajinasi yang ada, dapat disusun struktur organisasi yang memungkinkan pembagian tugas. Sementara BTRP belum sepenuhnya “bangun” dari kesulitan tersebut, datanglah tugas baru dari presiden lewat Departemen Dalam Negeri tentang pemindahan ibukota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Tugas baru yang bersifat nasional itu, perlu dipertimbangkan pelaksanaannya. Dalam keadaan staf yang sebetulnya serba canggung menghadapi tugas harian saja, tidak ada jalan lain kecuali menyerahkan tugas yang banyak berupa pekerjaan lapangan itu kepada tenaga muda. Tugas lapangan itu diserahkan kepada “Panitia Pemindahan Ibukota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru”. Pekerjaan fisik dimulai sesudah 1957 dengan survei kasar, apakah tempat yang dipilih itu cukup baik sebagai calon ibukota provinsi. Ternyata tidak ada pilihan lain yang lebih baik, sedangkan waktu sudah mendesak. Untunglah, di tengah tanah yang berawa itu terlihat ada lapangan datar dan cukup padat/keras untuk pondasi bangunan. Sementara itu, apa yang disebut “panitia” telah terbentuk dengan anggota Departemen Dalam Negeri merangkap ketua dan seorang anggota (staf) dari Departemen Keuangan, Angkatan Laut, Angkatan Darat dan Departemen PU. Setelah panitia siap, barulah BTRP secara efektif bekerja dengan menyiapkan “rencana struktur” dan mulai dibangun awal 1960. Rencana pemindahan itu mengandung empat unsur penting, yaitu daerah, pusat, politik dan keuangan. Namun, untuk selanjutnya (setidaknya kota pindah ke Pekanbaru), semua tampaknya lebih lancar, antara lain hubungan antara ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten lainnya. Demikian pula hubungan pusat dengan provinsi, karena tidak lagi perlu lewat Singapura (karena mata uang yang digunakan). Segala usaha telah diupayakan dan direncanakan agar operasi ini berjalan lancar. Soal keuangan biaya operasi termasuk Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Soefaat -
IV.1-3
Bab 4 Kelembagaan Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia
biaya pembangunan Pekanbaru, selama sedikitnya 2 (dua) tahun telah “dijamin”. Pembangunan fisik sebagian kota diusahakan selesai pada waktunya. Sasaran waktu 2 (dua) tahun ini, awalnya tidak diberitahukan kepada BTRP. Mungkin untuk menjaga jangan sampai timbul frustasi di pihak pelaksana setelah melihat ”beratnya” medan pembangunan, antara lain adanya kontraktor, buruh dan bahan atau bagian bangunan yang tersedia setempat. Pada waktu itu, semuanya ada di tengah hutan. Kayu pun tidak siap, sekali pun ada di tengah hutan. Paku dan gergaji awalnya patah di tengah pekerjaan, dan memerlukan beberapa kali pengalaman sebelum tahu bagaimana agar paku dan gergaji tidak patah di tengah jalan. Sekitar pertengahan 1962, perkantoran dan permukiman dalam bentuk dan kualitas seadanya siap pakai. Dengan demikian, tugas Departemen PU selesai. Dalam prosesnya, pekerjaan ini didukung semboyan yang dipopulerkan presiden yaitu “vivere periciloso” (nyrempet-nyrempet bahaya). Bekerja di tengah hutan tanpa fasilitas memadai, misalnya tiada buruh atau kontraktor, tiada pegawai yang membantu, beruntung kemudian ada bantuan dari provinsi Sumatera Barat. Tidak hanya berupa sejumlah pegawai, tapi juga alat-alat berat untuk menggusur tanah, mengangkutnya dan sebagainya. Peta sederhana disiapkan, menggunakan peta dasar buatan angkatan darat sebagai peta dasar yang menggambarkan topografi lokasi dan luas bakal ibu kota itu. Kebetulan pimpinan pelaksananya selain orang tata ruang, juga orang teknik sipil yang tahu bagaimana membangun fisik (konstruksi) sejak awal, sehingga menghemat waktu (waktu sangat berharga dalam operasi ini) untuk estafet dari perencanaan ke pelaksanaan. Sementara sarjana yang ditugasi belajar tata ruang di AS telah lulus dan langsung kembali bertugas dapat diserahi memimpin proyek Pekanbaru. Sementara itu kepala BTRP mengundurkan diri dan sarjana yang bersangkutan ditugasi memimpin BTRP yang beberapa waktu kemudian ditingkatkan statusnya dari Balai menjadi Jawatan (1958). Ternyata pada 1958 berlangsung beberapa peristiwa penting bagi tata ruang daerah. Berbagai suara dalam seminar mengenai tata ruang kota di New Delhi tentang kebutuhan negara berkembang, yaitu konsep Tata Ruang Daerah tersebut. Seminar khusus Regional Planning yang antara lain dihadiri M. Meyerson (kemudian menjadi ketua penasihat pendirian pendidikan tata ruang di Bandung), disambut Departemen PU. Kemudian Universitas Gadjah Mada Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Soefaat -
IV.1-4
Bab 4 Kelembagaan Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia
didekati, tujuannya mengusulkan pembentukan lembaga penelitian tata ruang daerah, mengingat UGM diperkirakan menguasai berbagai disiplin secara terpadu yang diperlukan untuk penelitian dalam tata ruang daerah. Sementara itu, persiapan program pendidikan tata ruang di ITB minta perhatian pula dari kepala jawatan yang baru, karena kepala yang lama sudah mengundurkan diri (penggagas dan pemrakarsa pembangunan pendidikan). Jadi, resminya, tanggung jawab tersebut otomatis dilimpahkan kepada kepala yang menggantikannya karena gagasan dan prakarsa pembangunan lembaga itu resminya ada di BTRP. Maka, Kepala Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah (Jawatan Tata Kota dan Daerah) yang baru perlu dilibatkan dan bertanggung jawab atas kelangsungan pekerjaan. Apalagi Universitas Harvard masih terus bekerja menyelesaikan program operasi pendidikan tata ruang, maka perlu ada penanggung jawab dari pihak pemerintah.
LIMA TAHUN KETIGA (1960 – 1965) Pada periode ini keadaan lebih cerah, mengingat arsitek yang dapat pelajaran perencanaan kota makin banyak masuk BTRP. Pada 1965, pendidikan tata ruang mulai meluluskan alumninya yang sebagian besar masuk ke BTRP. Jawatan ini mulai berkembang menjadi Jawatan Tata Kota dan Daerah, kemudian Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah, akhirnya menjadi unit utama di Direktorat Jenderal Cipta Karya.
SEKEDAR REFLEKSI Pengembangan BTRP memerlukan waktu sekitar 35 tahun sebelum menjadi lembaga “penuh”. Kini, 50 tahun kemudian (2000) sejak gagasan kepala BTRP yang dicetuskan pertama kali pada 1954, pendidikan ahli khusus untuk tata ruang sekitar 36 tahun yang lalu, substansi dan status tata ruang telah berkembang di luar dugaan para penganut ilmu itu sendiri. Apakah penglihatan tajam ke depan seperti ini tidak perlu diperingati, meski sekedarnya?***
Sejarah Penataan Ruang Indonesia - Soefaat -
IV.1-5