PERKEMBANGAN PERENCANAAN TATA RUANG KOTA Dl INDONESIA Perkembangan Perencanaan Secara naluriah, maka kesadaran dan kebutuhan akan suatu perencanaan telah dimulai sejak jaman-jaman terdahulu. Rangkaian perkembangan perencanaan wilayah dan kota ternyata sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban, kebudayaan, dan kemampuan manusia hal ini juga termasuk perkembangan iimu dan teknologi. Proses dan produk dari proses perencanaan ini dalam setiap jaman dimanifestasikan ke dalam struktur, bentuk dan penampilan fisik yang berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya cara pendekatan dan penyelesaian yang dilandasi oleh faktor peradaban dan tekno logi serta tingkat kompleksitas permasalahan yang terjadi pada kurun jaman tertentu. Bertitik tolak dan batasan-batasan jaman yang lazim dipakal sebagai patokan masa di dalam ilmu sejarah maka perencanaan wilayah dan kota yang diusahakan oleh manusia di dalam usaha memenuhi kebutuhan kehidupannya juga dapat dtkaftkan dengan masa- masa tersebut. Masa-masa ini menurut batasan sejarah dapat dikelompokkan menjadi 6 jaman, yaitu jaman Purba; jaman Yunani; jaman Abad Pertengahan; jaman Peralihan; jaman Revolusi Industri dan jaman Pasca Industri. Perkembangan umum ini mempunyai kaitan dengan perkembangan perencanaan wilayah dan kota yang terjadi di Indonesia Dengan keterbatasan materi-materi penelitian tentang ini maka menurut perkembangan sejarahnya perencanaan wilayah dan kota di Indonesia berkembang dalam masa-masa sebelum VOC; masa VOC; awal abad 20; masa Perang Dunia II; masa Pasca Perang; dekade 50 dan 60-an; awal 70-an dan akhir 70-an sampai sekarang. Mengamati perkembangan perencanaan ini akan sangat esensial sebagai suatu pembanding di dalam usaha pemecahan masalah serta produknya dari masa ke
masa. Dengan demikian maka perkembangan pembangunan yang terjadi juga dapat diamati. Hal ini akan mempunyai manfaat bagi usaha pengembangan metoda-metoda perencanaan wilayah dsn kota untuk masa kini dan masa mendatang.
Perkembangan perencanaan umumnya dapat dikemukakan sebagai berikut ini : MASA Purba
PERBANDINGAN TEKNOLOGI Peradaban masih
KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN Sangat sederhana
sangat rendah dengan
PENDEKATAN PERENCANAAN - Didominasi oleh alam - Pemenuhan kebutuhan
kemampuan teknologi
sangat sederhana
yang sangat rendah
- Kebutuhan fisik diutamakan
Yunani
- Peningkatan peradaban - Teknologi lebih maju
- Sederhana - Sistim penguasa dan dikuasai
tetapi masih sangat
- Dengan sangat terbatas sudah dapat mengubah alam sesuai kebutuhan
terbatas
- Pendekatan fisik estetis
Abad
Peradaban sudah lebih
Pertengahan
maju
persaingan antar
kelompok kelompok
(Medieval Age)
Teeknologi lebih maju
kelompok
penguasa dan rakyat
- Meningkatnya
- Peningkatan budaya tukar menukar - Peperangan perebutan hegomoni
- Terbentuknyay
yang dikuasai - Dominasi agama dan kekuasaan - Produksi dan pertukaran - Pertahanan - Pendekatan fisik estetis
Masa
- Pradaban semakin
- Kompleksitas
- Prestise bangsa
Pereralihan
tinggi dan merupakan
permasalahan semakin
menjadi dasar
(Renaissance0
awal kepada
meluas
pembangunan
penemuan teknologi
- Pertukaran barang dan
dan perkembangan
produk antar bangsa
ilmu pengetahuan dan seni Revolusi Industri
- Peradaban semakin berkembang dan
- Sistim hubungan terbuka - Komleksitas semakin tinggi
mengawali
- Urbanisasi desa-kota
perkembangan
- Hubungan antar Negara
- Penonjolan diri/bangsa - Skala pemanfaatan ruang serba kolosal - Pendekatan fisik estetis - Efisiensi ekonomi - Politik antar bangsa - Perencanaan pembangunan yang
teknologi
- Peningkatan kegiatan
- Perkembangan
perdagangan intern –
Industrialisasi
ekstern
menyeluruh dan perwilayahan - Pendekatan sistim dan
- Perkembangan teknologi mobilitas
sibernetika - Pembangunan berlanjut dan berwawasan lingkungan
Pasca Revolusi
- Peradaban
Industri
ekoteknologi - Kemajuan teknologi
- Super kompleks - Urbanisasi tinggi - Negara maju versus
dan Ilmu Pengetahuan
negasa berkembang - Pergerakan yang
- Perkembangan system informasi dan
semakin cepat - Pertentangan
komunikasi
kapitalistik dan
- Teknologi autominasi
sosialistik - Hubungan antar Negara dan system blok - Eksploitasi sumber daya alam secara besar besaran
Di Indonesia perkembangan perencanaan dapat diuraikan sebagai berikut ini:
MASA Pra-Kolonial (Pra VOC)
KOMPOLEKSITAS MASALAH - Kelompok kelompok kekuasaan pemerintah kecil - Sistim penguasa dan yang
PENDEKATAN PERENCANAAN - Pendekatan tradisi spiritual antara lain Hasta Kosala kosali (Bali); Bental Jemur
dikuasai VOC
- Konflik colonial versus penguasa pribumi - Pertahanan dan perluasan kekuasaan kolonial
- Terbentuknya lingkungan colonial di wilayah wilayah pantai atau muara sungai dengan pola abad pertengahan Eropa (kota perbentengan –fortified towns)
Awal abad ke 20
- Dampak revolusi industry di Eropa terhadap tanah jajahan - Perkembangan pemanfaatan
- Introduksi perencanaan kota modern - Terbentuknya kota kota modern - Penataan kota dengan bangunan
sumber daya alam di tanah
bergaya Eropa untuk kepentingan
jajahan (pertambangan dan
colonial
perkebunan) - Perekonomian colonial yang makin meningkat - Kepadatan penduduk Jawa
- Perkembangan pusat pusat perekonomian - Desentralisasi Pemerintah Jajahan (1905)
dikurangi dengan transmigrasi ke Sumatera (1905) Perang Dunia II dan
- Perang Kolonial dengan
Perang Kemerdekaan
Jepang - Dampak perekonomian dari pendudukan Jepang - Perang kemerdekaan
Awal Kedaulatan (1950-1960)
- Pada tahun 1948 keluar SVO dan 1949 SVV untuk memecahkan pembangunan kota yang mengalami kerusakan karena perang
- Pembangunan perekonomian
- Pembangunan Semesta Berencana
- Peningkatan urbanisasi
- Peningkatan kesadaran esensi
- Bantuan ekonomi internasional - Konflik polotik danh regional
Decade 1970-an
- Stagnasi permbangunan
perencanaan pembangunan - Perlunya peningkatan sumber daya manusia di bidang perencanaan
- Pembangunan nasional
- Perencanaan wilayah dan kota baru
- Perkembangan kota kota
- Perkembangan perencanaan wilayah
besar - Urbanisasi
dan kota - Pengembangan model model
-
Pengembangan pertanian
-
Permbangunan berwawasan
- Introduksi model model perencanaan
pemerataan
- Pembangunan berwawasan
perencanaan wilayah dan kota
lingkungan (Habitat Stockholm 1971) Sejak 1980-an sampai sekarang
- Urbanisasi yang semakin meningkat
- Perencanaan berwawasan pembangunan yang berkelanjutan
- Keterbukaan investasi dalam
- Pengembangan perangkat
pembangunan perumahan
perencanaan tata ruang
dan prasarana - Dampak globalisasi
- Pengembangan kemitraan pemerintah swasta dan pemerintah
perekonomian pada
dalam pembangunan wilayah dan
pembangunan wilayah dan
kota
kota
- Perencanaan pengembangan regional antar negara
Permasalahan Perkembangan kota di Indonesia Sebelum perang, kota kota di Indonesia, khususnya kota kota yang dikategorikan sebagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Bandung, Ujungpandang (Makassar) telah mengaiami perkembangan dan pertumbuhan
yang pesatTetapi sejak awal awal dekade 50-an perkembangan penduduk khususnya telah memperlihalkan kadar yang lebih tajam. Berdasaxkan tinjauan statistik, Indonesia pernah melampau angka taksiran mengenai penduduk di daerah perkotaan yang dibuat tahun 1950. Jadi pada tahun 1950 Ku penduduk daerah perkotaan Indonesia yang diproyeksikan akan mencapai 9,1 % pada tahun 1960, kenyataannya berdasar kan sensus penduduk yang dilakukan tahun 1961, dengan memakai kriteria yang sama menunjukkan angka 15.6%. Berdasarkan sensus 1971 dengan memakai kriteria yang lebih Unggi make penduduk perkotaan mencapai angka 17,2% ; tahun 1980 sebesar 22,3% dan padatahun 1983 mencapai sekitar 23,7%. Pada akhir Repelita IV cfiperkirakan angka tersebut akan mencapai 28%. Dari pertumbuhannya, dalam kurun dekade 1950-1960 besarnya rata rata 3% per tahun ; antara 1961-1971 sebesar 3,6% per tahun dan antara 1971-1981 per tahunnya rata rata 5%. Dibandingkan dsngan negara negara yang sedang berkembang lainnya memang secara agregat'rf tingkat urbanisasi.di
Indonesia
ini
relatif
masih
rendah.
Ini
bisa
difihat
daribeberapaanalisastatistik yang menunjukkan bahwa negara negara Amerika Latin dalam kurun waktu 20 tahun antara 1950-1970 .mengaiami peningkatan ssbesar 17%, Malaysia bagian Barat dalam 20 tahun tersebut mengaiami peningkatan sebesar 22% ; sedangkan beberapa negara di Afrika Barat antara tahun 1960-1970 mengaiami kenaikan sebesar 11,2%. Indonesia antara tahun 1961 sampai 1971 hanya megalami peningkatan dari kira kira 15% meniadi 17.2% saja. Pelonjakan ini pada kenyataannya hanya terjadi pada beberapa kota besarnya saja (Suroso Zadjuli.1976), sehingga secara spesifik untuk beberapa kota, khususnya di Jawa dan Sumatera keadaannya sudah memerlukan perhatian yang cukup serius. Pertambahan penduduk Ini secara statistik menunjukan adanya indikasi sebagai akibat meningkatnya pertambahan yang disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Beberapa faktor dikemukakan bahwa perpindahan in! terutama disebabkan oleh faktor ekonomi , yaitu berkembangnya kesempatan kerja di kota berhubung pembangunan yang berlangsung di kota kota; faktor politik terutama karena kurang amannya situasi di daerah pedesaan pada waktu itu yang menyebabkan berkurangnya produksi pertanian; faktor daya tank kota yang memberikan kemudahan yang lebih besar ketimbang di daerah
pedesaan; faktor psikologis yang berkaitan dengan suasana merdeka dimana masyarakat dari pedesaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menikmati kota dibandingkan jaman sebelumnya. Jadi pada hakekatnya faktor yang menyebabkan perkembangan kota kita umumnya, sama sebagaimanayang berpengaruh pada perkembangan kota kota di negara yang sedang berkembang lainnya yaitu pertambahan penduduk baik secara alami maupun karena migrasi desa-kota dan perkembangan atau perubahan kegiatan usaha dan kehidupan penduduk yang berkembang itu. Kedua ha! ini telah berakibat kepada semakin meningkatnya kebutuhan akan berbagai fasilitas
dan
sarana
pelayanan
seperti
perumahan,
pelayanan
sosial,
perangkutan, air bersih, dll. Dengan berbagai keterbatasan yang ada dari segi sumber daya, kemampuan sarana yang ada, ketersediaan lahan dan dari segi segi perangkat lunaknya seperti aspek manajemen, perangkat peraturan dan pelaksanaan koordinasi. keadaan ini kemudian menjadi permasalahan kota yang cukup pelik untuk dipecahkan. Masalah ini akan berakibat kepada perubahan dan perkernbangan yang bersifat fisik seperti perubahan penggunaan Iahan, kepadatan penduduk yang semakin tinggi, masalah lalu lintas di dalam kota serta tidak sesuainya ketersediaan fasilitas dan utilitas kota dengan penduduk kota. Dari segi non fisik masalah yang timbul antara lain semakin melemahnya pelaksanaan keteraturan dan ketertiban hukum, dampak sosial budaya dan sosial psikologis bagi masyarakal kota seperti kriminalitas, vandalisme, dan degradasi sosial lainnya. Segi non fisik lainnya yang sangat penting adalah masalah sosial ekonomi perkotaan Indonesia yang tipikal seperti adanya kegiatan perekonomian kota sektor formal dan informal. Dari keadaan demikian inilah kemudian dirasakan semakin esensialnya perencanaan kota yang terpadu dan menyeluruh dalam arti bukan hanya memikirkan upaya pemecahan masalah fisik tetapi juga yang sifatnya non fisik. Suatu hal yang cukup penting dan sering menimbulkan masalah di dalarn penanganan kota kota ini juga adanya keragaman pengertian tentang ‘kota’. Di negara kita masalah ini lebih terasa lag! mengingat bahwa penampHan baik
secara fungsional maupun secara fisik kota kota kita ini yang sangat tipikal. Namun demikian secara umum dapat dipegang suatu batasan mengenai kota ini dari berbagai macam segi tinjauan yaitu bahwa kota: 1. Secara demografis merupakan pemusatan penduduk yang tinggi dengan tingkat kepadatan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitamya. Dari segi statistis ketentuan kota ini beragam di berbagai negara-Demikian pula di Indonesia selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan s'rtuasi dan kondisi pada saat suatu sensus dilakukan. 2. Secara sosiologis selalu dikaitkan dengan batasan adanya sifat heterogen dari penduduknya serta budaya urban yang telah mengurangi budaya desa 3. Secara ekonomis suatu kota dicirikan dengan proporsi lapangan kerja yang dominan di sektor non pertanian seperti industri, pelayanandan jasa. transportasi dan perdagangan. 4. Secara fisik suatu kota dicirikan dengan adanya dominasi wilayah terbangun dan struktur fisik binaan 5. Secara geografis kota dtartikan dengan suatu pusat kegiatan yang dikaitkan dengan suatu lokasi strategis 6. Secara administratif pemerintahan suatu kota dapat diartikan sebagai suatu wilayah wewenang yang dibatasi oleh suatu wilayah yuridiksi yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku Jadi di dalam menghadapi dan menangani permasalahan kota kota maka lingkup wawasan kota parlu dilandasi oleh berbagai batasan pengertian tersebut, sehingga penanganan tersebut tidaklah hanya terbatas kepada satu dasar pengertian saja, " Permasalahan perkembangan kota serta konsekwensinya, secara skematis dapat dikemukakan pada diagram terlampir ini.
Perkembangan Perencanaan Kota di Indonesia Sekalipun masih terbatas kepada hal hal yang sangat bersifat teknis rekayasa saja, perencanaan fisik kota sudah dimulai sejak masa VOC di abad ke 17 yaitu dengan telah adanya De Statuten Van 1642 (De Haan,1920). Dalam statuten ini termuat mengenai ketentuan perencanaan jalan, jembatan, batas kapling,
pertamanan, garis sempadan, tanggu tanggul, air bersih dan sanitasi kota. Selanjutnya pada masa Pemerintahan Hindia Belanda Nederiands Indie terjadi dua masa perkembangan segi segi yang dapat dikatakan sebagai dasar perencanaan kota yaitu pertama dengan landasan Regenngsregelement 1554 (RR1854), maka pada saat berlakunya sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal di daerah resident/bupati yaitu pada abad 18 sampai abad 19 telah diundangkan Staatblad 1882 No.40 yang memberikan wewenang kepada residen/bupati untuk mengadakan pengaturan lingkungan dan mendirikan bangunan bagi gewent (wilayah) kewenangannya. Sejak tahun 1905 yaitu saat diundangkannya Decentralisatie Besluit Indische Staatblad 1905/137, maka perencanaan kota lebih eksplisit lagi yaitu sehubungan dengan pemberian kewenangan otonomi bagi stadsgemeente atau kotapraja untuk menyusun perencanaan kota dalam usaha wewenang pengendalian perkembangan kotanya. Usaha ini diikuti dengan munculnya kewenangan kewenangan yang juga diberikan kepada kabupaten (province regentschap) untuk mengatur penataan ruang kota dan pengawasan mendirikan bangunan. Yang terakhir ini dilandasi oleh Indische Staatsregeling yang diundangkan pada tahun 1922. Sejak itulah kota kota kabupaten dan kotapraja kotapraja harus dibangun berdasarkan rencana kota. Sebagai contoh misalnya di Batavia (Jakarta) yang dikenal
sebagai
Bataviasche
Planverordening
1941
dan
Bataviasche
Bestemmingsbekringen en Bouwtijpenverordening 1941 (KTV1941). Cukup menarik untuk mengemukakan bahwa kabupaten Malang atau Het Regentschap van Malang merupakan satu satunya kota di Hindia Belanda yang bouwverordening-nya mencantumkan bab bab tentang perencanaan tata ruang kota dan tipe tipe bangunan dalam Bouwverordening voor het Regentschap Malang 1941.
Tetapi sekafipun beberapa petunjuk sejarah telah memberikan indikasi bahwa pola kota berencana di Indonesia telah ada sejak masasebelum datangnya kaum kolonial, tetapi kota kota yang dilandasi pemikiran perencanaan kota modern baru muncul tidak lebih pada awal afaad ke 20. Beberapa peristiwa pada masa sebelum perang yang boleh dikatakan sangat penting peranannya sebagai tonggak perkembangan perencanaan kota modern di Indonesia adalah a.
Revolusi Industri di Eropah yang paling tidak memberikan dua pengaruh yang penting. Pertama, yartu bahwa meningkatnya kebutuhan akan bahan mentah bagi perindustrian di Eropah tersebut seperti produk perkebunan (karet, kina, teh dll),rempah rempah dan bahan mineral telah menyebabkan timbulnya kota kota administrate di Indonesia. Kedua bahwa konsep konsep perencanaan modern pada masa itu seperti sebagaimana yang dicetuskan sebagai reaksi terhadap akibat revolusi industri oleh seorang reformis lingkungan hidup Patrick Geddes atau 'konsep kota taman (garden city concept) yang dikembangkan oleh seorang reformis kemasyarakatan bangsa Inggris telah pula menjadi landasan beberapa kota modern Indonesia yang dikembangkan oleh perencana kota bangsa Belanda masa itu yaitu
Ir.Thomas Karsten kira
kira pada dekade pertama abad ke 20. b.
Politik Kulturstelsel pada masa Van Den Bosch yang menimbulkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan perencanaan wilayah dan kota yaitu yang berkaitan dengan munculnya Undang Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Dikembangkannya perkebunan tanaman keras dapat dianggap pula sebagai av/al perkembangan wilayah pertanian dan kota kota administratus perkebunan - 'dorp ruimtelijke vormgeving' (T.Nix.1949), khususnya di Jawa.
c.
Politik Etika (Etische Politiek), di mana berdasarkan reaksi dari para refonnis bangsa Belanda telah dikembangkan suatu politik ’balas budi’. Politik ini juga telah mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan perencanaan kota di Indonesia antara lain perbaikan kualitas lingkungan di kota kota salah satunya adalah dikembangaknya upaya perbaikan kampung kota tempat tinggal pribumi (kampongverbeeterings) pada tahuri 1934 ; program transmigrasi ke Lampung (1905) untuk mengurangi kepadaten penduduk Jawa disamping untuk membuka wilayah potensial baru.
d.
Pengembangan perangkat-institusi dan konstitusi baru, khususnya dengan
terbitnya Undang Undang Disentralisasi - Decentralisatie Besluit Indische Staatblad 1905/137 sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Berdasarkan
undang-undang
inilah
terbentuknya
sistem
kotapraja
(stadsgemeente) yang bersifat otonom. Sehubungan dengan ini pulalah berkembangnya konsepsi perencanaan kota kolonial modern, khususnya ‘garden city’- tuinstad’ (T.Nix.1949). Dalam hubungan Ini kemudian Ir.Thomas Karsten mulai memperkenalkan konsep konsep pembangunan kota di Jswa serta suatu draft undang undang pembangunan kota yang dikenal sebagai Toefichting op de stadsvormingsordonnantie stadsgemeenten Java (Erica Bogaers,1983). Selanjutnya pada tahun 1948 telah diterbitkan suatu Peraturan (Ordonansi) Perencanaan
Pembangunan
Kota
yang
terkenal
dengan
nama
Stadsvormingsordonnantie (SVO) Staatsblad 1948/168 sebagai peraturan pokok perencanaan
fisik
kota
khususnya
untuk
Batavia.Tegal,
Pekalongan,
Semarang.Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tangerang, Bekasi dan wilayah sekitar Kebayoran dan Pasar Minggu (Supangkat,1971). Sebagai peraturan pelaksanaannya pada tahun 1949 telah dtterb'rtkanStadsvormingsverordening (SW) Staatsblad 1949/40. Beberapa usaha nyata yang dapat dianggap sebagai tonggak di dalam rea'isasi perencanaan tata ruang kola dapat dikemukakan seperti: 1. Pembangunan
beberapa
kota
kolonial
modern,
khususnya
yang
dikembangkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan pusat pemerintahan atau kota kota administrator perkebunan. Tokoh Ir.Thomas Karsten sslalu dipaka sebagai perencana kota kota di Hindia Belanda. 2. Pelaksanaan program perbaikan kampung yang dikenal sebagai Kampung Verbeeterings kira kira mulai tahun 1934 yang dilandasi oleh suatu hasil penelitian tentang rendahnya kondisi dan kualitas kehidupan di kawasan kawasan kampung kota. Penelitian Van Gorkom di kampung kampung kota Semarang yaitu tentang tingkat kematian bay! di kawasan kumuh rupanya menjadi awal pertimbangan dari esensinya suatu usaha Kampong Verbeeterings ini. 3. Menjelang keruntuhan pemerintah kolonial telah muncul gagasan gagasan
tentang pembangunan kota kota baru, baik kota baru satelit seperti Wilayah Candi di Semarang atau Kebayoran Baru di Jakarta (yang baru direalisir psda tahun 1949 -1950) ; kota kota baru mandiri seperti Palangkaraya di Kafimantan Tengah dan Banjar Baru di Kalimantan Selatan. Selanjutnya pada masa setelah perang kemerdekaan beberapa hal yang menunjang perkembangan perencanaan kota di Indonesia antara lain: a. Pembangunan nasional yang pada saat itu mendapat bantuan ekonomi dari negara maju. Pelajaran yang diperoleh negara negara Eropah yang pernah melaksanakan pembangunan kembali kota kotanya dibawah bantuan Marshall Plan telah diterapkan di negara negara sedang berkembang termasuk Indonesia. b. Perkembangan penduduk kota kota, khususnya kota kota besar di Jawa dan Sumatera yang berjalan sejak tahun 50-an yang berdampak kepada berbagai aspek perkotaan dari segi sosial budaya, sosial ekonomi, politik dan fisik Berdasarkan peristiwa peristiwa tersebut serta berbagai faktor perkembangan lainnya yang terjadi kemudian maka perencanaan kota mengamalami perkembangan yang diupayakan untuk dapat sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan perkembangan kota Indonesia.
Perencanaan Kota di Indonesia saat ini Sebelum tahun 1980, prosedur maupun teknik perencanaan kota di Indonesia dapat dikatakan sangat beragam. Paling tidak kita mengenai perencanaan kota yang didasari oleh Proses Perencanaan Tata Guna Tanah dari Direktorat Tata Guna Tanah, Ditjen-Agraria, Departemen Dalam Negeri dan perencanaan kota yang berdasarkan Prosedur Standard Perencanaan Tata Ruang Kota dari Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Disamping itu ada produk produk perencanaan kota yang dikembangkan berdasarkan teknik tertentu, mungkin karena dilaksanakan oleh suatu badan konsultan asing. Keadaan ini dengan sendirinya menimbulkan masalah terutama bagi pengelola kota di daerah atau Pemda yang berkewajiban melaksanakan pembangunan berdasarkan rencana kota tersebut. Produk Rencana kota yang manayang harus dipakai sebagai pedoman pembangunan kotanya selalu menjadi hambatan
lambatnya pelaksanaan pembangunan kota, atau pembangunan terpaksa dilaksanakan tanpa adanya arahan yang berdasarkan rencana. Pada tahun 1980 dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4/1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, maka perencanaan kota yang dilaksanakan harus berdasarkan kepada Permendagri tersebut, termasuk penyesuaian rencana rencana kota yang dibuat sebelum keluarnya peraturan menteri tersebut. Beberapa kota telah menyusun rencana kotanya berdasarkan pedoman yang diberikan melalui prosedur 'perencanaan Tata Guna Tanah dari Djrektorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. Pada tahun 1985 telah diterbitkan suatu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum yaitu SKB Nomor : 650-1591; Nomor 503/KPTS/1985 tentang Tugas Tugas dan Tanggung Jawab perencanaan Kota yang kemudian disusul dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota serta Peraturan Menteri Dalam negeri No.2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Dengan keluarnya keputusan keputusan dan peraturan tersebut maka perencanaan kota harus berdasarkan kepada hal tersebut. Sampai saat ini hampir semua kotamadya di Indonesia sudah memiliki Rencana Induk Kota (RIK) atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)-nya yang disusun sejak tahun 1980. Bahkan beberapa kota telah menjabarkan kedalam rencana kota yang lebih rinci yaitu menjadi Rencana Bagian Wiiayah Kota (RBWK) yang kemudian menjadi Rencana Detail tata Ruang Kota (RDTRK) atau yang lebih rind lagiya'rtu Rencana Terperinci Kota (RTK) yang sekarang menjadi Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK). Bagi kota kota yang telah menyusun rencana kotanya berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1980 pada umumnya secara otomatis menyetarakan jenis jenis rencana kotanya dengan ketentuan ketentuan yang ada pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1987 atau SK Menteri PU N0.640/KPTS/1986 ya'rtu RIK disetarakan dengan RUTRK; RBWK disetarakan
dengan RDTRK dan RTK disetarakan dengan RTRK. Hal yang menarik untuk dikaji dalam hubungan ini adalah DKI Jakarta dl mana sekalipun perencanaan kotanya mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4 tahun 1980 dan kemudian pada saat diadakan Evaluasi atas RBWK-nya tejah merujuk kepada Peraturan Menteri Dalam negeri No.2 Tahun 1987, peristilahan yang dipakai dalam jenis jenis rencana kotanya yang ditetapkan di daiam Peraturan Daerah DKI Jakarta No.5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2005 meliputi RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI Jakarta untuk rencana kota menyeluruh ; RBWK (Rencana bagian Wiiayah Kota) untuk rencana bagian wilayah kota yang dalam hal ini mencakup suatu wflayah Kecamatan ; RTK (Rencana Terperinci Kota) untuk rencana detail dan RUK (Rencana Unsur Kota) untuk rincian unsur unsur perencanaan detafl kawasan kota. Dengan perangkat rencana rencana yang akan menjadi alat pedoman di dalam mengarahkan pembangunan kota tersebut diharapkan pengembangan kota dapat selaras
dan
sesuai
dengan
pola
kebijaksanaan
dan
konsepsi
dasar
pengembangan kota Indonesia sebagaimana diuraikan diatas.
Permasalahan rencana kota. Pada uraian terdahulu sudah dilihat bahwa sampai saat ini Indonesia teiah cukup didukung oleh perangkat yang meliputi dasar pola kebijaksanaan pengembangan kota baik dalam tingkat nasional, regional maupun lokal.telah adanya perangkat institusi yang dapat dtfungsikan di dalam menangani teknis perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan dan teiah pula ditunjang oleh adanya prosedur teknik penyusunan rencana kota. Yang belum ada hanyalah Undang Undang Perencanaan dan Pembangunan Kota, tetapi sementara ini kita masih mempunyai undang undang lamayang masih diberlakukan yaitu SVO1946 dan SW 1949. Permasalahan yang masih selalu timbul adalah sejauh rnanakah suatu rencana kota baik itu Rencana Umum Tata Ruang Kota atau Rencana Induk Kota; Rencana Detail tata Ruang Kota atau Rencana Bagian Wilayah Kota; dan Rencana Teknik Ruang Kota atau RencanaTerperinci Kota itu bisa secara efeklif dileksanakan sesuai dengan cita cita dan keinginan yang dirumuskan di dalam
masing masing tingkatan rencana kota tersebut. Masalah lain yang masih sering terjadi adalah jug a kurang jelasnya basi daerah Tngkat II, yaitu pihak yang mempunyai kewenangan untuk menyusun rencana kota dan melaksanakan pembangunan kota mengenai pedoman dan petunjuk teknis perencanaan kota yang mana yang harus dipakai sebagai prosedur baku. Dengan adanya masalah ini tidakjarang bahwa pembangunan kota berjalan terus tanpa adanya kepastian pengarahan rencana kota yang dapat dipegang secara konsisten dan konsekwen. Jadi secara garis besar hal hal yang menjadi faktor utama dari timbuInya masalah ini adalah sbagai berikut ini: 1. Bahwa karena dinamika masyarakat yang menyebabkan peruboian yang cepat di dalam sistem nilai dan kebutuhan masyarakat sering proses penyusunan rencana terdahului oleh perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat Hal ini dapat menyebabkan tidak sesuainya rencana dengan keadaan nyata manakala suatu rencana selesai disusun. Hal ini akan menuntut adanya keluwesan (flexibility) dari rencana kota tersebut. Dalam hubungan ini makatelah ada inisiatif untuk mengembangkanpolapokir baru di dalam perencanaan kota yaitu suatu pola pikir Tata Ruang Kota Dinamis atau Perencanaan Tata Ruang Kota yang Tanggap Terhsdap Dinamika Pembangunan Kota. 2. Suatu rencana kota yang menyeluruh dan terpadu hanya dapat dfaeijang oleh keadaan dimana terdapat kemantapan sistem koordinasi. Pada kenyataannya justru koordinasi inilah hal yang paling rawan di dafem sistem yang ada di negara yang sedang berkembang umumnya dan di Indonesia khususnya. Bahkan di beberapa negara majupun koordinas ini masih dianggap sebagai salah satu masalah yang pelik. 3. Kelanggengan suatu rencana kola dalam arti konsekwen dan konsistennya pembangunan kota dengan rencana kota sangat ditentukan juga oleh kekonsekwenan dan kekonsistenan pengelola kota dan masyarakat daJam memegang arahan pembangunan yang ditetapkan. Keadan sosial budaya, sosial ekonomi, faktor eksternal seperti penanaman modal (investasi) dan politik masih sangat besar terhadap keefektifan rencana kota.
Dalam hubungan ini maka upaya untuk memasyarakatkan rencana kota bak kepada unsur unsur pengelola kota.kepada sektor swasta .khususnya yang bergerak dalam bidang bidang yang berkaitan dengan pembangunan kota seperti para pembangun perumahan, industri .transportasi dan perdagangan serta masyarakat ramai merupakan salah hal yang sangat esensial. 4. Faktor faktor teknis yang juga dapat menjadi salah satu penyebab dari masalah kekurang efektifan rencana kota ini adalah karena masalah sistem informasi yaitu bahwa kualitas dan kuantitas data penunjang yang relatif masih lemah di Indonesia ; kurang lancarnya masukan dari bawah (dari masyarakat) ;kurang tanggapnya perencana kota terhadap masalah masalah yang sifatnya non fisik dan permasalahan yang aktual yang menyangkut perkembangan masyarakat, kelembagaan dan peraturan perundangan ; masih kurangnya tenaga perencana kota terlatih terutama di daerah daerah yang jauh dari pusat. Untuk ini maka hal yang sangat esensial untuk diupayakan adalah peningkatan Sistem Informasi Perkotaan (Urban Information System), peningkatan memasyarakatkan rencana kota dengan cara yang mudah dimengerti oleh berbagai kalangan dan meningkatkan program latihan dan pendidikan tenaga menengah disamping tenaga universiter untuk dapat menjabarkan secara teknis rencana kota tersebut; masih banyaknya perencanaan kota yang semata mata mendasarkan kepada pendekatan perencanaan dan metoda perencanaan kota yang kurang menyesuaikan dengan pola nilai tipikal seperti tata nilai, keadaan ekonomi masyarakat serta berbagai kondisi perkotaan kita sebagai warisan dari kota kota yang dikembangkan pada jaman kolonial yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.
STUDI KASUS KEGIATAN PERENCANAAN WILAYAH DARI KONTEKS ASIA
1.
INTRODUKSI Di dalam bab yang baru saja kita bahas, kita telah dihadapkan secara luas pada berbagai jenis wilayah yang diperuntukkan bagi perkembangan ilmu perencanaan,
dan dihadapkan pula pada berbagai prosedur perencanaan
wilayah atas dasar buku teks seperti yang disunting oleh Van Staveren dan Van Duselldorp (1980). Oleh karena perencanaan pembangunan wilayah merupakan suatu bidang/disiplin yang sangat dinamis, maka pembahasan seperti yang telah kita laksanakan, berlarut-larut.
Akhir-akhir ini,
tidak dimaksudkan agar menjadi
pembahasan mengenai masalah-masalah
perencanaan wilayah benar-benar banyak sekali,
baik masalah-masalah
yang timbul di pihak donor mau pun di pihak pemerintah dan lingkungan akademis di negara-negara sedang berkembang. Dan yang paling banyak diserang di dalam pembahasan tersebut adalah perencanaan wilayah yang bersifat "blue-print"
dan
pendekatan klasik
(classical approach)
yang
sifatnya agak mendalam. Argumen yang sering diutarakan biasanya lebih berhubungan dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak kegiatan yang dilakukan tidak mendudukan massa rakyat banyak pada posisi yang lebih baik, dan sernentara itu diperdebatkan pula bahwa posisi penduduk miskin
justeru
dilemahkan
dengan
adanya
program-program
dan
kegiatan-kegiatan,keluhan lain yang sering ditemukan adalah adanya kenyataan bahwa banyak kegiatan yang dilakukan sebenar-nya tidak menghasilkan perubahan sama sekali.
Dengan kata lain setelah
dihentikannya kegiatan-kegiatan tersebut,
semua institusi wilayah dan
organisasi wilayah seringkali kembali lagi kepada bentuk yang lama seolah-olah tidak
terjadi
apa-apa yang bersifat substantial.
seringkali membuat banyak ahli perencanaan yang terlibat di
Hal
ini
dalamnya
menjadi frustrasi. Dengan latar belakang demikian itu,
kiranya perlu dipertimbangkan
pendekatan-pendekatan baru dan tentunya bersifat eksperimental di dalam menyelesaikan masalah-masalah perencanaan wilayah.
Dalam kasus kita yang pertama (yang mengkonsentrasikan kita pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di sebuah kabupaten di Sri Langka), kita telah berusaha mengkaji suatu pendekatan eksperiraental baru ter-hadap masalah-masalah wilayah dalam hubungannya dengan masalah nasio-nal yang lebih luas (yaitu:
lingkungan perencanaan). Akan tetapi sebe-lum
kita kembali pada kasus tersebut,
kiranya perlu kita sejenak siemba-has
dan menyimpulkan secara ringkas:
pemikiran-pemikiran yang mendasari
pendekatan-pendekatan yang digunakan; dipenuhi di dalam tahap implementasi;
prasyarat-prasyarat yang harus
dan berbagai sarana & prasarana
yang tersedia. 2.
Pendekatan Proses Pengerabangan Wilayah Mengapa memakai strategi yang seperti ini? •
karena
pengalaman
mengha-silkan
menunjukkan
pengurangan
bahwa
suatu
proyek
akan
kemiskinan
yang
efektif
jika
produsen-produsen kecil dan setengah-setengah dilibatkan daiam perrbuatar. keputusan. •
karena pengalaman menunjukkan bahwa suatu proyek akan sukses jika si miskin dimotivasi secukupnya.
•
karena pengalaman menunjukkan bahwa pengetahuan tentang apa yang sedang terjadi pada masyarakat terbawah sangat terbatas untuk dapat merencanakan berbagai fase dari permulaan proyek/ program.
Apa yang dituju? Pendekatan proses merupakan sebuah strategi untuk pengembangar; wilayah yang mengarah pada "self-sustainability" yang optimal dan pengurangan kemiskinan secara langsung melalui sebuah usaha pemberian pertolongan kepada organisasi dan penduduk untuk menetapkan dan memecahkan masalah-masalah mereka sendiri secara aktif. Dengan kata lain,
hal itu merupakan "typical open—ended flexible participatory planning"
untuk sekelompok sasaran yang berjumlah besar yang ditujukan untuk "self-reliance".
Apakah prasyarat-prasyaratnya? •
Sebuah konsensus yang benar memerlukan adanya sistem alokasi dana yang tak terbatas yang mudah disesuaikan atas dasar tujuan-tujuan umum dan beberapa aktivitas permulaan.
•
Tanggung
jawab jangka panjang (10-15 tahun)
sebaiknya ada
diantara pihak-pihak yang bersangkutan. •
Staf proyek yang mempunyai motivasi dan kualitas yang sangat baik sebaiknya ada baik pada negara penerima maupun negara pemberi dana.
•
Produsen-produsen
kecil
dan
kelompok-kelompok
yang
setengan-setengah sebaiknya diberi kesempatan oleh pemerintah untuk memperbaiki posisi mereka melalui penyediaan beberapa pelayanan dasar dan berkenaan dengan sistem harga yang layak untuk hasil-hasil pertanian.
Apakah alat-alatnya? •
Analisis kemiskinan Perencanaan yang diarahkan pada pengurangan kemiskinan secara langsung tidak dapat berjalan tanpa pengertian yang seksama tentang seluruh alasan di belakang kemiskinan regional/wilayah, baik alasan struktural mau pun non-struktural dan baik alasan ekonomi mau pun alasan sosial-politik.
Oleh karena itu, analisis kemiskinan merupakan
sebuah alat yang penting dari pendekatan proses. Hal ini menyangkut semacam "base-line survey" tentang ketidak-leluasaan pembangunan yang berkenaan dengan si miskin. Mengapa si miskin betul-betul miskin pada keadaan tertentu suatu wilayah? Mengapa mereka tetap miskin. Kekuatan-kekuatan apa yang menjadi penyebabnya? Bagaimana caranya agar mereka tetap hidup? Analisis ini sebaiknya mengandung sebuah kerangka ide yang luas tentang bagaimana caranya menemukan ketidak-leluasaan itu.
Pandangan terhadap masalah-masalah dan
pemecahan yang memungkinkan dalam jangka panjang daiam mana aktivitas-aktivitas jangka pendek dapat dilakukan.
•
Sistern perencanaan Informasi dari bawah sebaiknya dikumpulkan secara sistematis. Dan lagi, suatu sistem hendaknya dipolakan untuk partisipasi dari bawah di dalam memenuhi penilaian dan untuk identifikasi kegiatan yang akan dilaksanakan.
Sistem perencanaan ini sebaiknya disusun selama
periode implementasi. Oleh
karena itu, sebuah proyek perencanaan
wilayah yang bekerja menurut pendekatan permulaan yang lama.
proses memerlukan fase
Selama periode permulaan ini,
aktivitas
permulaan yang sederhana harus menunjukkan tujuan kepada penduduk dan memberikan garis-garis besar tindakan selanjutnya. •
Tekanan terhadap alih teknologi atau peningkatan perubahan perilaku Di dalam program-program yang mengarah pada kapasitas pemecahan masalah yang meningkat dari penduduk,
institusi wilayah dan organisasi
alih teknologi dan peningkatan perubahan perilaku lebih
penting dibandingkan dengan pencapaian sasaran pembangunan fisik. Tekanan pada alih
teknologi
terutaraa dalam manajenen dan
organisasi. Dalam pendekatan proses alat-alat alih
teknologi dan
peningkatan perubahan perilaku dilakukan dengan cara yang sangat pragmatis,
seperti melalui "learning-by-doing''. Jadi dengan "trial and
error on the job". •
Peningkatan partisipasi dan desentralisasi Aspek-aspek ini penting untuk kegiatan-kegiatar. yang berhasil. Suatu perubahan yang mendasar perlu memperhatikan pemikiran dari bawah ke atas
("bottom-up thinking") .
Jelasnya,
hal ini akhirnya harus
dilembagakan. Kesimpulannya. Orang dapat mengatakan bahwa pendekatan proses merupakan cara perencanaan untuk pengerabangan wilayah yang panjang dan sukar.
TUGAS 1. Difinisikan dengan perkataan anda sendiri apa yang dimaksud dengan pendekatan proses. 2. Apakah
prasyarat-prasyaratnya
agar
penerapan
cersebur
dapa:
berhasil? 3. Apa yang sesungguhnya rnenyebabkan pendekatan ini menjadi dr mikian tidak populer di kalangan para teknokrat baik di ne-gara-negara donor mau pun negara-negara dunia ke tiga?
CASE STUDY 1 SRI LANKA'S NUWARA ELIYA INTEGRATED RURAL DEVELOPMENT PROJECT Below you will find a text which describes and analyses IRDP activities in a district in Sri Lanka. It has been written by J. Sterkenburg, one of the projects consultants. Carefully study the chapters 1 - 6 and make the assignments as included behind
each of the chapters.
The assignmentswill provide the framework for further discussion and analysis of activities Contents: I.
INTRODUCTION I.1. General Characteristics of Sri Lanka I.2. Present-day. General Development Policy
II.
EVOLUTION AND CHARACTERISTICS OF SRI LANKA'S p.117 REGIONAL
III.
p.114
DEVELOPMENT
ORGANISATIONAL
ASPECTS
POLICY OF
THE
PLANNING p.121
MACHINERY IV.
MAIN CHARACTERISTICS OF THE PROJECT AREA
V.
MAIN DEVELOPMENT PROBLEMS NUWARA ELIYA p.129
p.125
DISTRICT VI.
CHARACTERISTICS OF THE PLANNING. APPROACH
p.133
VI.
RESULTS OF IRDP ACTIVITIES IN NUWARA ELIYA
p.143
CASE STUDY 2 REGIONAL PLANNING EXPERIENCES FROM THE INDONESIAN CONTEXT Our second case study deals with Regional Planning Activities in Indonesia. After a short general introduction on aspects pertaining to general characteristics of planning policy in this country and en the structure of planning apparatus, a number of examples are presented to illustrate the present day situation. Each example is concluded with a number of assignments which are meant to further stimulate systematic analysis and discussion of relevant aspects from planning practice. Contents: I. EVOLUTION AND CHARACTERISTICS OF REGIONAL PLANNING AT THE NATIONAL LEVEL AND SOME ORGANIZATIONAL ASPECTS OF THE PLANNING'MACHINERY OF INDONESIA
p.154
II. EXAMPLE: 1 Analysis of a Regional Planning Project: IDAP/Aceh
p.158
II. 1. Introduction II. 2. Regional Characteristics II. 3. Characteristics of Planning Activities II. 4. Concluding Remarks Annex III. EXAMPLE: 2 Introduction of a Framework for Strategical Development into Indonesian Planning Procedures Experiences from Riau, IV. EXAMPLE:
1979 - 1981.
p.177
3
Experiences in Planning and Implementing a Convergent Delivery of Social Services, by: E.A. Astillero (1984)
p.196