MEI - JUNI 2011
tataruang buletin
BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
Penerapan Low Carbon Economy dalam Penataan Ruang
Kewajiban Kita
dibalik Keindahan Wilayah Pesisir Bali Pentingnya Pemaduserasian
Pola Pengelolaan Sumber Daya Air ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Penanganan DAS Bengawan Solo Di Masa Datang
Perubahan Iklim Dapat Dikendalikan Negosiasi Perubahan Iklim
Notes from Bangkok Climate Change Talks 2011
Ruang untuk Masyarakat Lokal
Tradisional (Masyarakat Adat) yang Semakin Terpinggirkan
Perubahan Iklim: Bencana Saat Ini
Green Buiding:
A Sustainable Concept for Construction Development Indonesia
Agenda Kerja BKPRN
Atau Masa Datang?
P RO F I L
BARCODE
BKPRN
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
P RO F I L
Ir. Rachmat Witoelar
buletin tata ruang PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja
Penasehat Redaksi
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
pemimpin redaksi
Aria Indra Purnama, ST, MUM.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
sekapur sirih
‘Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh, Selayaknya kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi penerbitan ketiga di tahun 2011. Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan oleh kenaikan emisi gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida dan metana, mengakibatkan dua hal utama yang terjadi yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan adanya kenaikan muka laut yang berdampak pada hilangnya sebagian daerah pantai dan pulau-pulau kecil.
Agus Sutanto, ST, M.Sc
redaktur pelaksana
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.
Sekretaris Redaksi
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc
staf redaksi
Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ir. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST
Koordinasi Produksi
Angger Hassanah, SH
Staf Produksi Alwirdan BE
Koordinasi Sirkulasi
Supriyono S.Sos
Staf Sirkulasi
Dhyan Purwaty, S.Kom
Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA, Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577 Website BKPRN:http://www.bkprn.org Email:
[email protected] dan redaksi
[email protected]
Melihat berbagai dampak akibat perubahan iklim di Indonesia dan kerugian ekonomi dan lingkungan yang disebabkannya, maka perlu dilakukan upaya dan tindakan konkrit baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat lokal. Penataan ruang memiliki peranan penting dalam antisipasi perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya Mitigasi dan Adaptasi. Mitigasi adalah intervensi antropogenik untuk mengurangi sumber gas rumah kaca sedangkan Adaptasi adalah penyesuaian secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam upaya untuk merespon stimuli iklim aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya, menjadi ancaman yang moderat atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan. Upaya Adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi prioritas utama oleh karena berbagai dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan. Sebagai satu alat dalam pengendalian pembangunan, penataan ruang dapat menekan produksi gas rumah kaca dengan menerapkan skenario Low Carbon Economy (LCE) ke dalam penataan ruang. Pada dasarnya, penataan ruang dapat dilihat sebagai upaya dalam pengoptimalisasi penggunaan ruang. Optimalisasi dalam hal ini berarti memberikan sektor untuk berkembang secara maksimal tanpa mengabaikan kualitas lingkungan hidup. Dengan ini, penataan ruang pada dasarnya memiliki konsep yang sama dengan LCE; mendukung pembangunan namun tetap menjaga kualitas lingkungan. Pengarusutamaan Perubahan Iklim dalam Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah strategi untuk memastikan penyelenggaraan penataan ruang telah mempertimbangkan potensi risiko perubahan iklim dan untuk menghindari dampak dari terjadinya perubahan iklim, dan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang tidak mengakibatkan peningkatan kerentanan wilayah terhadap berbagai jenis bahaya akibat dampak perubahan iklim di seluruh sektor. Harapan kami, penyelenggaraan penataan ruang berkontribusi terhadap tujuan pembangunan dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim di masa datang. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc
2
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
dari redaksi Salam hangat bagi pembaca setia Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-tiga. Pada edisi kali ini Butaru mengangkat kembali tema Perubahan Iklim, dimana tema ini akan menjadi isu hangat saat ini dan masa yang akan datang. Bencana saat ini yang sering terjadi seperti banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon erat kaitannya dengan perubahan iklim. Selain itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam. Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tidak sesuai mengakibatkan bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana tersebut membutuhkan tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi pengurangan risiko bencana. Dalam Topik Utama edisi kali ini, akan dibahas tentang Low Carbon Economy (LCE) dan kaitannya dengan Penataan Ruang. LCE atau green growth dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) yang dapat menekan polusi dan produksi gas rumah kaca. Dalam profil tokoh edisi kali ini, kami mengetengahkan Ir. Racmat Witoelar, yang saat ini menjabat sebagai President’s Special Envoy for Climate Change dan juga sebagai Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim. Dengan tugas yang sangat penting dan strategis tersebut, beliau mengajak semua pihak untuk turut berkontribusi dalam menekan tingkat laju dan kejadian perubahan iklim, dan pada saat yang bersamaan beradaptasi dengan dampak dan perubahan iklim yang terjadi. Pada profil wilayah, wilayah pesisir Pulau Bali, ditampilkan pada edisi kali ini. Pesona Bali sebagai aset wisata nasional harus dijaga dan diwaspadai dari dampak perubahan iklim, karena bencana akibat perubahan iklim dapat mengancam wilayah ini. Konsep Green Building menjadi topik Wacana pada edisi ini. Semoga dengan terbitnya Butaru edisi ke-tiga ini dapat memberikan manfaat yang dapat membuka wawasan dan meningkatkan pemahaman para pembaca. Akhir kata, redaksi mengucapkan selamat membaca.
daftar isi PROFIL TOKOH Ir. Rachmat Witoelar
04
Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim
PROFIL WILAYAH Kewajiban Kita
09
dibalik Keindahan Wilayah Pesisir Bali Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK UTAMA
14
Penerapan Low Carbon Economy dalam penataan ruang
Oleh: Ir. Imam S Ernawi, MCM, MSc,
TOPIK UTAMA
Pentingnya Pemaduserasian
17
Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Oleh : Purba Robert Sianipar
TOPIK UTAMA
Penanganan DAS Bengawan Solo Di Masa Datang
21
Oleh: Ir. Iman Sudradjat, MPM
TOPIK UTAMA
Perubahan Iklim dapat dikendalikan
28
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK UTAMA
Negosiasi Perubahan Iklim
Notes from Bangkok Climate Change Talks 2011
30
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN Redaksi
Ruang untuk Masyarakat Lokal Tradisional (Masyarakat Adat) yang semakin Terpinggirkan
33
Oleh: H. Maman Djumantri
WACANA
Green Buiding:
40
A Sustainable Concept for Construction Development Indonesia Oleh: Redaksi Butaru
AGENDA
43
Agenda Kerja BKPRN Mei - Juni 2011
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
3
profil tokoh
Ir. Rachmat Witoelar (Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim)
Perubahan Iklim: Bencana Saat ini atau Masa Datang?
Profil Tokoh pada edisi ini menampilkan Ir. Rachmat Witoelar. Beliau saat ini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden tentang Perubahan Iklim (President’s Special Envoy for Climate Change) dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yaitu Dewan yang diketuai langsung oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan melibatkan 17 kementerian dan 1 Badan yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Dewan Nasional ini disahkan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Juli 2008. Semangat dewan ini adalah mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang perubahan iklim yang ditetapkan pada November tahun 2007. Lebih jauh, DNPI bertugas merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim, mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan serta merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon. Ditemui di kantor DNPI, disela waktu beliau sebelum memimpin rapat koordinasi persiapan tim negosiasi Indonesia ke pertemuan di Bonn-Jerman. Berikut petikan wawancaranya. Apa saja kegiatan Bapak selepas menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup? Selepas menjadi Menteri Lingkungan Hidup, saya masih diberi tugas oleh Presiden (yang ditetapkan dengan dengan Perpres) menjadi Ketua Harian DNPI, dimana Ketua DNPI adalah Presiden. Saya sudah menjabat sebagai Ketua Harian DNPI dalam 2 tahun ini. Adapun fokus tugasnya terkait perubahan iklim. Itulah kegiatan saya sehari-hari saat ini yang mengharuskan saya untuk bekerja fulltime.Terkait tugas tersebut saya juga menjabat sebagai President’s Special Envoy yaitu utusan khusus Presiden (mewakili Presiden) terkait urusan Perubahan Iklim. Beberapa negara juga memiliki President’s Special Envoy terkait urusan tersebut. Menjadi President’s Envoy urusan climate change itu adalah kapasitas saya sebagai pribadi, sementara sebagai ketua Harian DNPI itu kapasitas organisasi yang fasilitasnya sama dengan setingkat Menteri. Akan tetapi di luar negeri President’s Envoy lebih di terima karena boleh bertemu dengan kepala negara. Tetapi kalau menteri hanya diterima oleh menterinya saja. Latar belakang Bapak terlibat dalam Dewan Nasional Perubahan Iklim? Serta tupoksi Bapak sendiri menjabat sebagai Ketua Harian DNPI? Saya terlibat di DNPI, awalnya karena saya menjadi Presiden COP (Conference of Parties) -13 di Bali. Setelah selesai acara tersebut ada sesuatu yang sangat besar yang harus ditindaklanjuti, karena COP-13 dianggap yang paling berhasil, karena
4
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
dapat mengangkat Indonesia ke panggung dunia dan Bapak Presiden menghargainya. Sehingga setelah selesai COP Bali, beliau memutuskan pembentukan DNPI dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 46 tahun 2008, dan saya menjadi Ketua Hariannya. Adapun Tugas DNPI yang pertama adalah mengadakan koordinasi diantara kementerian-kementerian dan Badan, dengan jumlah anggotanya 17 kementerian (PU, Kehutanan, Lingkungan Hidup, dan lain-lain) serta 1 badan yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika. Yang paling utama adalah mengadakan policy coordination yaitu merumuskan kebijakan nasional dengan mengambil bahan-bahan dari kementerian-kementerian yang relevan dan menyusun suatu kebijakan dan nantinya menjadi kebijakan nasional perubahan iklim. Kedua, mengadakan koordinasi pelaksanaan tugas dan ketiga adalah merumuskan kebijakankebijakan pengaturan dari sistemnya. Lebih spesifiknya ? Tugas yang lebih spesifik sebenarnya adalah mewakili Indonesia di luar negeri terkait negosiasi perubahan iklim, yang tidak bisa dilakukan lembaga lain. Internasional itu hanya mengenal satu national vocal point. Jadi kalau ada konferensi perubahan iklim di suatu negara, Ketua Harian DNPI menjadi ketua delegasi. Bukan berarti ini DNPI menjadi suatu superbody karena semua ilmu yang ada di dewan ini adalah diambil dari kementerian-kementerian yang menjadi anggotanya. Kelompokkelompok kerja yang dibentuk dalam Dewan ini masing-masing ketuanya
adalah dari kementerian-kementerian tersebut, misalnya Dirjen Penataan Ruang Kementerian PU adalah Ketua Kelompok Kerja Adaptasi, dan disini saya mengkoordinasikannya.
Misi DNPI adalah semua kementerian/ lembaga turut melawan perubahan iklim (climate change), sehingga akan memperkuat posisi Indonesia memperjuangkan perubahan iklim. Adapun kelompok-kelompok kerja (Pokja) mengadakan rapat koordinasi minimal setiap bulan di dalam kelompok itu sendiri dan antar kelompok, dimana nantinya mengkerucut kepada suatu kesimpulan yang akan menjadi kebijakan nasional. Selain itu sebagai Ketua harian, saya juga bertugas untuk membuat keputusan dan saya validasi. Kalau menyangkut skala nasional, baru saya tanyakan kepada Presiden, karena tentunya Beliau tidak bisa mengatasi hal ini secara detail. Apa yang menjadi visi dan misi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)? Visi DNPI adalah memperjuangkan agar supaya keputusan-keputusan yang ditetapkan di Bali pada COP-13 diterima secara utuh dan dilaksanakan dalam forum internasional. Sedangkan misinya adalah semua kementerian/ lembaga turut melawan perubahan iklim (climate change), sehingga
akan memperkuat posisi Indonesia memperjuangkan perubahan iklim. Kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh DNPI dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia? Sebenarnya hal ini merupakan salah satu perjuangan kita untuk mengadakan penugasan khusus antar negara. Seharusnya negara maju yang utama bertanggungjawab yaitu dengan mengeluarkan biaya dan menyediakan tenaga, dengan 2 (dua) alasan yaitu pertama negara maju itu penyebab utama dan yang kedua negara maju mempunyai kapasitas lebih. Sementara negara berkembang bisa juga melakukan tetapi tidak yang utama,. Sebagai contoh adalah Amerika selaku negara maju , dimana negara tersebut mempunyai anggaran 15 kali lebih besar daripada negara berkembang sehingga negara tersebut memiliki kapasitas dan tanggung jawab lebih untuk berbuat banyak hal. Amerika mesti mengeluarkan dana untuk menjaga atau melestarikan sarana-sarana yang akan terkena dampak perubahan iklim. Jadi ini yang diperjuangkan oleh DNPI di dalam forum-forum, sSebenarnya itu perjuangan bersama dengan negara-negara berkembang dan itu juga kaitannya dengan Bali Road Map yaitu bahwa negara-negara maju itu berkewajiban melakukan usaha-usaha yang utama dan memberikan fasilitasi kepada negara-negara berkembang. Cuma di sini ada perkembangan, hukumnya memang seperti itu tapi kita lihat, andaikata negara berkembang
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
5
profil tokoh
Kita mengupayakan apa yang bisa dilakukan, karena itu Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sendiri secara sukarela hingga 26 %. itu tidak melakukan dengan cukup, sementara negara maju melakukan semaksimal mungkin atau istilahnya tancap gasnya sekencang-kencang, perubahan iklim tetap saja mengancam. Jadi negara maju tidak bisa sendiri. Ini adalah sesuatu pemikiran nasional Indonesia yang sedikit kontroversial. Kenapa negara berkembang harus ikut terlibat untuk untuk mengatasi?. Karena begini, negara maju ada 47 negara, sisanya adalah 180 negara berkembang. Jadi kita sebagai salah satu negara berkembang harus ikut memikirkan kalau ingin selamat. Kita mengupayakan apa yang bisa kita lakukan, karena itu Indonesia menjanjikan/berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon secara sukarela hingga 26 %. Terkait dengan komitmen Presiden bahwa Indonesia akan menurunkan emisi karbon sebanyak 26% sampai tahun 2020, bagaimana upaya DNPI untuk membantu mengimplementasikan hal tersebut? Menurut Presiden Obama, menurunkan emisi karbon sebanyak 26 % adalah suatu inisiatif yang “heroic”. Hal
6
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
ini dikarenakan kita selaku negara berkembang, punya hak untuk tidak melakukan apa-apa, karena masih banyak penduduk miskin. Akan tetapi kita tetap ingin berkomitmen untuk menurunkan emisi karbonnya. Kalau orang yang tidak mengerti melihat ini pasti mengatakan ‘kebangetan’, karena di negara kita masih banyak orang miskin. Memang iya, tetapi orang miskin dan orang kaya juga akan mati juga kalau kita tidak melakukan apaapa terhadap perubahan iklim, jadi mari kita lakukan bersama-sama. Apa yang bisa kita lakukan? Banyak yang bisa kita lakukan, pertama, di lingkungan sekitar kita, di kantor DNPI misalnya telah dilakukan penghematan listrik yaitu lampu hanya dinyalakan bila diperlukan. Jadi kantor-kantor itu harus ramah lingkungan. Kedua, mengurangi emisi-emisi dari kendaraan dan rumah tangga. Bagaimana mengurangi emisi dari kendaraan? Idealnya adalah menggunakan kendaraan yang rendah emisi. Akan tetapi yang gampang kita lakukan adalah bersama-sama tetangga menggunakan mobil secara bergantian disaat pergi kekantor atau menggunakan transportasi umum Kereta Api atau Bus. Terkait penurunan emisi 26%, kementerian/lembaga banyak yang tidak keberatan, dimana pelaksanaannya disinkronkan oleh Bappenas, dan tentunya kementerian lainnya ikut dalam semangat itu.
Posisi Indonesia sebagai penengah dari kepentingan-kepentingan dan kemampuan-kemampuan yang ekstrim. Kepentingan-kepentingan yang paling keras itu datang dari negara-negara yang sangat miskin (misal : Tuvalu, Maladewa, Fiji, dll), mereka adalah wakil dari negara yang kecil dan tidak mampu. Sementara yang ekstrim disisi lainnya adalah Amerika, Eropa, Jepang, Korea itu mampu, jadi kita berada kan ditengah-tengahnya dan harus bisa bertindak selaku penyeimbang. Menurut Bapak, apakah perlu penyesuaian sistem penataan ruang dalam bidang perubahan iklim? contohnya seperti apa? Perlu dicatat bahwa kita itu menjadi anggota dan pendukung Cartagena Dialogue (kelompok Negara-negara menengah). Dari segi kebijakan, di lingkungan kita sendiri yang dapat dilakukan adalah berhemat didalam penggunaan kendaraan pribadi dan dilakukan mulai dari lingkungan rumah tangga. Dari segi kenegaraan/daerah adalah membereskan tata ruang kita. Tata ruangnya itu kalau tidak disiplin dan tidak benar pengaturannya akan menyebabkan polusi. Sebagai contoh di Kota Bandung dimana daerah Punclut Dago yang seharusnya menjadi daerah resapan air malah dijadikan daerah pemukiman, yang ditandai dengan maraknya pembangunan Villa didaerah tersebut. Demikian juga soal pengelolaan TPA yang tidak benar
Dari seminar yang sering saya hadiri, dapat disimpulkan bahwa kota di negara kita itu polutif baik dari segi lahannya, sistem transportasinya dan kegiatan pemerintahannya, misal dalam masalah pengelolaan sampah. Kita jangan main-main dengan masalah sampah (dua tahun lalu saya kan menjadi Menteri yang mengurus masalah ‘sampah’). Sampah itu apabila tidak diurus dengan baik akan dapat menjadi musibah (tertimbunnya pemukiman penduduk oleh longsoran sampah) akan tetapi bila dikelola dengan baik malah akan memberi berkah, yaitu dari sampah kita bisa menjual methan. Idealnya, tata ruang itu adalah tool untuk menertibkan ‘living space’ supaya tidak polusi. Jadi kalau mengembangkan daerah tidak dengan tertib dan lalulintasnya kacau, maka akan terjadi polusi seperti yang terjadi sekarang di kota-kota besar di Indonesia .
Adapun yang menghitung emisi adalah lembaga internasional yang telah diakui, dan dilakukan secara intensif. Hal itu bisa di detailkan misalnya dengan menggunakan satelit, dan lain-lain. dan sebagainya. Tata ruang ini sangat penting untuk menentukan fungsifungsi kota. Masalah tata ruang yang agak krusial saat ini adalah alih fungsi lahan dan ini harus dimonitor dan diminimalkan oleh instansi-instansi yang berwenang. Tetapi yang perlu diperhatikan dan sangat saya harapkan, Ketua Kelompok Kerja Adaptasi untuk mengembangkan suatu konsep perkotaan yang baik. Walaupun kita tahu banyak yang sudah terlanjur sulit tertata tetapi masih banyak kota atau kota baru yang dapat ditata dengan baik. Lebih jauh, tata ruang untuk kota-kota satelit maupun pengembangan infrastruktur mesti disesuaikan dengan kebutuhan perubahan iklim.
Keterlibatan DNPI sendiri dalam mewujudkan komitmen tersebut seperti apa? Tadinya DNPI bukan terlibat di kegiatan operasional tetapi lebih ke kebijakan, tetapi kita membuat identifikasi, dan menyusun matriks bersama-sama dengan Bappenas yang operasional dan memberdayakannya ke kementeriankementerian, terutama Kementerian Kehutanan, Pertanian dan Dalam Negeri. Jadi kan kita sudah tahu bahwa polusi yang terbesar yang diekspor Indonesia itu adalah karena kehutanan dan tanah. Jadi kita memfasilitasi risetriset mengenai itu, memfasilitasi danadana dari luar negeri untuk masuk ke sana, memberikan pemberdayaan kepada bupati dan meminta KLH untuk
mengawasi yang ‘nakal-nakal’. Sampaisampai didalam UU no.32/2009, kalau ada pelanggaran dan terbukti salah berarti dipenjara. DNPI mengadakan kegiatan perdagangan karbon, bagaimana mekanismenya? Ini sebenarnya mengenai pengurangan emisi, dimana ada kewajiban negaranegara tertentu untuk menurunkan emisinya. Ada argumentasi yang menyatakan menurunkan emisi berarti akan memperoleh kerugian besar. Amerika contohnya, bila negara tersebut menurunkan emisinya akan menderita kerugian banyak. Amerika harus menurunkan emisinya maka dia harus menutup banyak pabrik, dan tentunya hal ini akan mendatangkan kerugian. Jadi ada fasilitasi karena dunia ini satu, penurunan emisi hitungannya satu dunia bukan satu negara. Karena kalau hanya satu negara yang menurunkan emisi maka sama saja dampaknya untuk dunia. Kalau Amerika tidak mau menutup pabrik untuk menurunkan emisinya, maka ada fasilitasi atau kompensasi atau insentif kepada negara berkembang untuk penghijauan/menanam pohon. Sehingga ada trade-nya, jadi kewajiban untuk menurunkan emisi diganti dengan menurunkan emisi di tempat lain tetapi ada kompensasi. Jadi kompensasi itu kalau ada nilai ekonominya dinamakan trade. Yang diambil itu emisi yaitu karbon maka disebut dengan istilah carbon trade. Yang dilakukan DNPI ....? DNPI mendaftarkan perusahaanperusahaan dari negara yang menurunkan emisi itu untuk diberikan pengetahuan dan cara menghitung. Jadi di salah satu deputi DNPI, tugasnya adalah mengatur dan memfasilitasi agar semua industri di Indonesia bisa menurunkan emisinya. Bila ada kelebihan emisi dan itu mempunyai nilai, maka nilai itu akan dibayar oleh pihak-pihak yang kelebihan emisi tersebut. Adapun yang menghitung
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
7
profil tokoh
emisi adalah lembaga internasional yang telah diakui, dan dilakukan secara intensif. Hal itu bisa di detailkan misalnya dengan menggunakan satelit, dan lain-lain. Sekarang ini carbon trade tersebut belum begitu sahih/formal, karena belum diikat oleh suatu kesepakatan (COP decision) baik kualitatif maupun kuantitatif. Hingga saat ini secara kuantitatif belum bisa ditetapkan, selalu mengalami kegagalan termasuk juga di pertemuan Frankfurt. Hal ini disebabkan karena begitu ditetapkan maka negara maju akan ‘kena’. Jadi ekstrimnya, negara Amerika akan terus menunda penerapannya. Tetapi menyadari hal tersebut maka perlu ada volunteering market. Carbon trade ini dalam dimensi kecil dapat dilakukan, yaitu bila orang dapat mengurangi polusi maka harus diberi kompensasi. Harus ada pengurangan emisi di suatu daerah, hal ini dikaitkan dengan hutan, di PU ada sampah. Kalau suatu daerah sampahnya menggunung dengan emisi sekian, sampah itu ditutup dengan plastik kemudian dikumpulkan, diukur methan yang keluar dan dibakar, dihitung berapa, maka akan ada nilai ekonominya, contohnya di Bantar Gebang. Demikian juga ada literatur yang telah menghitung nilai methan dari peternakan sapi. Jadi yang mikro-mikro seperti ini ada banyak di Indonesia. Contohnya dalam membangun jalan yang akan membangkitkan jumlah lalu lintas, menurut Bapak keterkaitannya dengan emisi karbon? Jalan raya yang disini adalah jalan tol, akan menghasilkan banyak sekali emisi. Menurut saya tarif tolnya harus disisihkan untuk biaya penghijauan, jadi akan lebih mahal tapi apa boleh buat. Misalkan tarif yang tadinya Rp 6.500 dinaikkan menjadi Rp 7.000, jadi yang Rp 500 akan disumbangkan untuk penghijauan. Jalan-jalan raya yang menghasilkan banyak polusi itu di offset dengan kegiatan yang lain. Ya ini
8
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
The idea behind carbon trading is quite similar to the trading of securities or commodities in a marketplace. Carbon would be given an economic value, allowing people, companies or nations to trade it. The value of the carbon would be beased on the ability of the country owning the carbon to store it or to prevent it from being released into the atmosphere. contoh trade volunteer, dan ini sangat konkrit. Isu lain terkait abrasi pantai yang merupakan dampak dari perubahan iklim, menurut pendapat Bapak apa upaya yang harus dilakukan? Secara kebijakan negara kita memang masih memperhatikan dan memperjuangkan perubahan iklim supaya dikontrol. Yang menjadi menjadi korban adalah pantaipantai, sementara beberapa masih bisa dipagari oleh tanggul tapi itu sementara sekali. Yang strategis itu kita perlu serius berjuang untuk climate change dunia. Kenaikan air muka laut (sea level rise) itu dampak dari semua negara yang mengeluarkan emisi (tidak hanya negara yang terkena dampak saja). Jadi penangannya secara strategis tidak bisa oleh hanya
satu negara saja. Jadi yag dilakukan adalah meminimalkan dampak dalam dalam hal ini adalah adaptasi, yaitu orang yang tinggal di pesisir dihimbau untuk pindah ke tempat yang aman dan diajarkan sesuatu yang baru. Seperti kita ketahui, terdapat 2 strategi dalam melawan Perubahan Iklim yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi yaitu halhal yang harus kita perjuangkan untuk dikurangi, dan kalau tidak bisa ya kita harus sesuaikan yaitu dengan Adaptasi. Jadi, perubahan iklim tidak dapat dipungkiri dan pasti akan terjadi. Semua pihak harus berkontribusi untuk menekan tingkat dan laju kejadiannya dan pada saat yang bersamaan beradaptasi dengan perubahan dan dampak yang terjadi. Akan tetapi yang harus diingat adalah upaya ini tidak boleh menghambat pembangunan.
profil wilayah
Berbagai tempat wisata di wilayah pesisir Bali memberikan pengaruh yang sangat positif terhadap PDRB provinsi Bali
KEWAJIBAN dibalik Keindahan KITA Wilayah Pesisir Bali Oleh: Redaksi Butaru
Seluruh dunia mengenal Bali, dan bahkan banyak yang mengatakan jangan mengaku ke Indonesia jika tidak menginjakan kaki ke Bali. Panorama keindahan pantai di Bali menjadikan “surga” para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata ini. Seluruh wilayah pesisir di Pulau Bali ini memiliki daya tarik masing- masing bagi wisatawan, keindahan alam ini ditambah dengan keunikan budaya lokal yang tidak dapat lepas di setiap tempat di Bali. Banyak tempat yang dijadikan sebagai tempat-tempat yang sakral bagi penduduk asli Bali untuk melakukan ibadah. Misalnya Tanah Lot, sebuah objek wisata di Bali yang terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan. Di Tanah Lot ini terdapat dua pura, pura pertama terletak di atas batu besar yang terletak di sebuah batu karang besar yang berada di tengah pantai dan pura ke dua di atas tebing yang menjorok ke laut ini dikenal sebagai pura laut, di mana ke dua pura tersebut diyakini sebagai tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut. Setiap 210 hari sekali para umat Hindu di Bali memperingati hari raya Pura Di Tanah Lot ini atau biasanya dikenal dengan sebutan Odalan. Pada peringatan Odalan ini para umat Hindu di Bali mengunjungi pura ini untuk melakukan ibadah bersembahyang, oleh karena itu tidak seluruh lokasi wisata di Tanah Lot ini dapat dikunjungi wisatawan karena dianggap sebagai tempat yang sakral atau suci.
Sektor Pariwisata Bali ini sudah terbukti menciptakan iklim positif pada pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali.
Dengan berbagai macam tempat wisata di Pulau Bali ini memberikan pengaruh yang sangat positif terhadap PDRB Provinsi Bali, hal ini dibuktikan dengan pemasukan terbesar PDRB Provinsi Bali terletak pada Sektor Pariwisata. Perkembangan PDRB pada Triwulan I 2011 menunjukan peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai 17,47 Triliyun, dimana sektor perdagangan, hotel, dan restoran mendominasi PDRB Bali dengan nilai tambah sebesar 5.32 Triliyun dan diikuti dengan peningkatan pada sektor lainnya. Sektor Pariwisata Bali ini sudah sangat terbukti menciptakan iklim positif pada pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi khususnya bagi penduduk Bali adalah tetap menjaga dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi calon wisatawan untuk meninkmati keindahan Bali dan tentunya menciptakan pariwisata yang berkelanjutan. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
9
profil wilayah Akankah Bali Bertahan? Mempertahan Bali untuk tetap menjadi tujuan utama wisata di Indonesia itu tidak semudah yang dikira, Mengapa Demikian?.. Banyak faktor yang mengancam Bali. Isu Perubahan iklim/ Climate Change merupakan isu dunia yang harus diwaspadai yang tidak menutup kemungkinan mengancam Bali. Secara singkat, Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim, kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut di seluruh dunia yang meningkat antara 10-25 cm selama abad ke-20. Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadinya erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai. Kondisi ini tentunya sangat mengancam berbagai wilayah di Indonesia, karena Indonesia terkenal dengan negara kepulauan termasuk Bali di dalamnya. Naiknya permukaan air laut ini telah terjadi dibeberapa bagian di Indonesia, dan pada tahun 2008 Bali mengalami naiknya permukaan air laut. Kenaikan air laut tertinggi pada tahun 2008 ditemukan di Pulau Ceningan yang terletak di sisi selatan Bali, kenaikan muka air laut mencapai 50 cm dan bahkan menggenangi beberapa daratan. Akan tetapi perlu untuk dicermati bahwa, tidak semata-mata naiknya permukaan air laut ini hanya disebabkan oleh Perubahan Iklim, akan tetapi juga merupakan gabungan dari berbagai macam penyebab, baik bersifat alami maupun yang disebabkan oleh manusia. Apapun itu bentuk ancaman alam, sudah sewajarnya kita mengambil langkah yang cepat dan tepat untuk dapat menyelamatkan bumi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh PEMDA Bali lewat Balai Sungai Penida Bali. Berbagai daya upaya telah dan akan dilakukan baik dalam bentuk teknis dan non teknis yang bersifat keberlanjutan telah dilakukan dalam rangka mengamankan pesisir Bali dari ancaman perubahan iklim dan siklus reguler alam.
Bagaimana Kondisi Pantai Bali Saat Ini? Melihat dari pengertiannya, pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah pesisir laut, sedangkan garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Garis pantai bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktu-waktu, banyak faktor yang dapat merubah garis pantai ini. Salah satunya adalah abrasi atau erosi pantai, yaitu pengikisan pantai oleh hantaman gelombang laut yang menyebabkan berkurangnya areal daratan. Bagaimana dengan kondisi pantai di Bali? masih amankah sebagai daerah wisata?
10
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Isu Perubahan iklim/ Climate Change merupakan isu dunia yang harus diwaspadai yang tidak menutup kemungkinan mengancam Bali
Perubahan garis pantai di Bali merupakan akumulasi dari berbagai faktor penyebab seperti perubahan iklim,siklus reguler dan masyarakat sekitar yang kurang peduli.
Panjang No. Kabupaten/Kota Pantai (M)
Hampir seluruh garis pantai di Bali mengalami perubahan. Perubahan garis pantai tersebut merupakan akumulasi dari berbagai faktor penyebab, selain Perubahan Iklim, siklus reguler berupa abrasi/ erosi pantai yang tidak bisa dihindari, dan kurangnya kepeduliaan penduduk sekitar pantai dalam menjaga wilayah pesisir merupakan faktor penyebab yang tidak bisa dipungkiri di dalam perubahan garis pantai ini. Bali memiliki panjang pantai +437.700 Km dengan pemanfaatan daerah pantai sebagai pelestarian biota laut, pariwisata, water sport, dan prasaran dan sarana keagamaan. Kenyamanan pemanfaatan daerah pantai yang sangat besar ini terganggu akibat abrasi/erosi pantai yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1987 panjang pantai yang tererosi 49.950M, meningkat menjadi 93.070M pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan kembali menjadi 181.700M. Tentunya PEMDA yang dibantu oleh Pemerintah Pusat dan JICA dalam hal ini, cepat mengambil tindakan dalam rangka pengamanan pesisir pantai. Pada tahun 2009, panjang pantai yang telah ditangani secara konstruksi 81.500M, kegiatan tersebut kembali dilanjutkan dilanjutkan pada tahun 2010 dengan total penangana garis pantai sepanjang 81.853M, dan tentunya akan berlanjut pada tahun 2011 yang akan mencapai garis penanganan pantai sepanjang 83.729M. Dari total penangana garis pantai tersebut, masih terdapat 97.974M garis pantai lagi yang perlu untuk ditangani secara konstruksi dalam rangka penanganan garis pantai di Bali. Berikut adalah tabel rinci panjang pantai yang mengalami erosi pada setiap kabupaten/kota beserta penanganannya:
Pantai Tererosi (M)
Panjang Pengaman (M)
s/d 1987
2008
2009
2009
2010
2011
Sudah Ditangani dengan Konstruksi (M) s/d s/d 2009 s/d 2010 2011*
Yang Belum Ditangani (M)
1
Buleleng
121.180
9.500
129.060
54.830
1.211
137
310
22.265
22.402
22.712
32.118
2
Jembrana
67.350
4.450
7.510
19.700
-
-
-
6.050
6.050
6.050
13.650 7.812
3
Tabanan
28.660
5.500
7.500
12.760
-
216
432
4.300
4.516
4.948
4
Badung
80.050
11.500
14.100
27.160
1.517
-
-
25.468
25.468
25.468
1.692
5
Denpasar
16.000
7.000
10.000
10.000
-
-
126
8.532
8.532
8.658
1.342
6
Gianyar
12.560
3.000
3.300
3.650
-
-
1.005
500
500
1.505
2.145
7
Klungkung
40.200
3.000
12.600
18.800
-
-
-
5600
5.600
5.600
13.200
8
Karangasem
71.700
6.000
9.000
34.800
-
-
-
8.785
8.785
8.785
26.015
TOTAL
437.700
49.950
93.950
181.700
2.728
353
1.873
81.500
81.853
83.726
97.974
Panjang Pantai Bali Yang Tererosi Beserta Penangannya
Tidak hanya Pemerintah Indonesia dan pemerintah lokal saja yang konsern terhadap perubahan garis pantai di Bali ini, akan tetapi pihak luar pun ikut konsern untuk tetap menjaga keutuhan pantai di Bali. Dalam proses penanganan teknis ini, Pemerintah Jepang melalui Japan Bank Of International Cooperation (JBIC) juga ikut berperan serta aktif melalui memberikan dana bantuan untuk pelaksanaan pekerjaan. Sering kita jumpai di Indonesia, terdapat beberapa pekerjaan di dalam penanganan bencana tidak sesuai dengan akar permasalahan yang ditanggulangi dan mengakibatkan terjadinya kerugian dan bencana baru. Oleh karena itu diperlukan pengenalan
lebih dalam dan lanjut dan mengenali karakteristik daerah atau wilayah yang akan ditangani. Seperti halnya yang telah dilakukan di dalam penanganan pantai di Bali seperti Pantai Kuta, Pantai Sanur, Pantai Nusa Dua, dan Tanah Lot. Penanganan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat, PEMDA, pinjaman luar negeri, dan dibantu oleh Jepang melalui Japan Bank of International Cooperation (JBIC) mengalami proses yang panjang, diawali dengan pengenalan akar permasalahan melalui penelitian yang panjang, sehingga memperoleh langkah penanganan yang tepat dan tentunya disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah. Pada tahap pertama pengenalan permasalahan adalah, dilakukannya identifikasi di
Proses Beachfill dan Tertapod
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
11
profil wilayah
beberapa titik pantai yang telah mengalami abrasi dan erosi akibat gelombang pasang yang sangat ganas (tsunami/ badai besar) dan melakukan beberapa penelitian di lokasi bencana. Dari hasil identifikasi dan beberapa penelitiaan keluarlah prioritas dan teknisk- teknis penanganan sesuai dengan yang permasalahan dan karakteristik wilayah penangan.
Space Walkway
Secara umum penanganan pantai di Bali menggunakan beberapa desain teknis dalam rangka mengembalikan profil pantai. Desain yang digunakan, antara lain adalah membangun dinding pantai (Revetment) yang dibangun pada garis pantai atau di daratan yang digunakan untuk melindungi pantai dari serangan langsung gelombang,
Beberapa pemukiman penduduk hancur akibat abrasi dan harus berpindah jauh dari garis pantai.
Penahan Ombak
Pelaksanaan konstruksi kegiatan pengamanan garis pantai ini telah dilakukan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008, dimulai dengan dengan pengerjaan di Pantai Kuta yang menghabiskan waktu panjang, yaitu 2,6 tahun dimulai dari Juni 1996 sampai dengan Desember 2008. Pengamanan Pantai Kuta di awali dengan pembongkaran bangunan lama, pengisian pasir, revetment, offshore breakwater, submarged breakwater, pembangunan drainase, jalan setapak (walkway), pembangunan fasilitas umum, landscaping, dan pembangunan tempat parkir. Pada tahun 2000 dilanjutkan dengan pelaksanaan konstruksi di Tanah Lot berupa pembangunan submarged breakwater, perlindungan kekuatan tebing atau batuan Pura dengan menggunakan metode penahan dinding atau batu karang, penempatan tentrapod, penyimpanan pasir, dan landscaping. Dan pada
pengisian pasir. Dilanjutkan dengan pengisian pasir (Beach Fill) yang dapat mengembalikan garis pantai seperti semula, Breakwater dan Submarged Breakwater yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, pembuatan tetrapod yang berfungsi untuk mengusir kekuatan dari ombak yang datang dengan membiarkan air mengalir ke sekitarnya, dengan kata lain tetrapod ini juga berfungsi sebagai pemecah ombak akan tetapi yang membedakannya dengan breakwater adalah bentuk dan penempatannya. Tetrapod berupa blok beton yang berkaki tiga dan ditempatkan di dasar laut. Konstruksi selanjutnya adalah walkway ini biasanya juga disebut ‘ruang bebas’ bagi publik yang dapat dimanfaatkan sebagai jogging track dan bisa juga gunakan sebagai jalur sepeda. Selain itu bagi PEMDA, daerah ini berfungsi sebagai tempat untuk melakukan inspeksi, pemeliharaan, pengawasan dan monitoring daerah sekitar pantai.
tahun 2001 pengerjaan konstruksi dilanjutkan di Pantai Sanur dan Nusa Dua, dimana pengerjaan konstruksi ke dua pantai ini tidak jauh berbeda dengan pengerjaan konstruksi di Pantai Kuta. Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, bahwa hampir seluruh wilayah pesisir di Bali perlu penanganan segera, masih banyak titik rawan lainnya yang dirasakan perlu penangan khusus. Misalnya Pantai Lebeh yang berlokasi di Kabupaten Gianyar yang kondisinya sangat memprihatinkan, tercatat sejak tahun 2004-2010 garis Pantai Lebeh telah mengalami pergesar sebesar menuju ke darat 24M. Beberapa pemukiman penduduk hancur akibat abrasi dan harus berpindah jauh dari garis pantai. Sebagai mana terlihat pada gambar berikut ini.
Bangunan yang rentan terhadap abrasi di tepi pantai Lebeh
12
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Setelah berakhirnya kegiatan konstruksi, bukan berarti penanganan pengaman pantai berhenti sampai di sini saja, akan tetapi ada tahap perawatan dan pemantauan yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk mewujudkan kelestarian dan keindahan Pantai Bali agar tetap selalu terjaga dengan melibatkan aktif serta masyarakat dan stakeholder. Pada awalnya sebelum melakukan kegiatan konstruksi dan setelah pekerjaan
selesai, PEMDA Bali telah melakukan pendekatan kepada masyarakat bali melalui kegiatan sosialisasi, berbagai respon dan tanggapan yang diterima PEMDA pada saat sosialisasi tersebut. Ada beberapa masyarakat Bali yang bermukim dan beraktifitas di sekitar pesisir bali dengan sukarela membantu PEMDA melakukan penanganan pengamanan garis pantai dengan merelakan sebagian tanah mereka yang berlokasi persis di garis pantai untuk dapat digunakan sebagai walkway.
Walkway di Panti Padang Galak
Diperlukan kesadaran yang tinggi bagi masyarakat sekitar pantai untuk melakukan pemindahan pasir ke tempat yang mengalami pengikisan pasir.
Pantai Nusa Dua sebelum Konstruksi
Pantai Nusa Dua sesudah Konstruksi
Akan tetapi ada pula beberapa masyarakat yang sulit untuk mengerti dan masih ingin mempertahankan keinginannya untuk dapat bermukim dan melakukan aktivitas disekitar pantai karena merasa memiliki yang besar, misalnya pada sebelum proses pengerjaan breakwater, beberapa masyarakat menilai bahwa peletakan breakwater dapat mengganggu aktivitas wisatawan yang akan melakukan surfing dan olah raga lainnya. Selain itu pada proses pengerjaan beach fill, dimana pasir yang berada di pesisir pantai ini bersifat dinamis. Sering terjadi proses penumpukan pasir di suatu bagaian pantai dan terdapat pula penipisan pasir dibeberapa pantai akibat dari deburan ombak. Untuk menghindari penumpukan pasir pada suatu bagian garis pantai, maka diperlukan kesadaran yang tinggi bagi masyarakat disekitar pantai untuk melakukan pemindahan pasir ke tempat yang mengalami pengikisan pasir. Pengerjaan ini awalnya dilakukan oleh PEMDA, akan tetapi tidak secara terus menerus PEMDA dapat melakukannya, oleh karena itu diperlukan kesadaran yang tinggi oleh para masyarakat sekitar dengan sukarela melakukannya. (mpb) Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
13
topik utama
Penerapan
Low Carbon dalam Economy Penataan Ruang Oleh: Ir. Imam S Ernawi, MCM, MSc, Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian PU (Ketua Tim Pokja Adaptasi, DNPI)
Spatial planning can be seen as an effort to optimize space utilization. To optimize mean allowing sectoral developments grow optimally in one hand and protecting environmental sustainability in the other hand. In this light, spatial planning spirit is very similar to that of low carbon economy, fostering growth while maintaining environmental sustainability.
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi “Gas Rumah Kaca” di atmosfer adalah penjelasan singkat dari apa yang selama ini kita sebut dengan “Pemanasan Global”. Pemanasan ini akan diikuti dengan Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia yang menyebabkan menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan akibat kenaikan suhu. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama yangberhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) sertakegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan. Aktivitas manusia di kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer, yaitu peningkatan kuantitas Gas Rumah Kaca secara global.
Pemanasan Global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menyebabkan banjir dan erosi.
Indonesia merupakan negara yang RENTAN terhadap dampak perubahan iklim
Pemanasan Global
ADAPTASI
Dampak FENOMENA PERUBAHAN IKLIM - Kenaikan Temperatur - Peningkatan Muka Air Laut
Sumber
- Kejadian Iklim Ekstrim - Perubahan Jumlah dan Pola Presipitasi
Vulnerable Assesment KONTRIBUTOR MITIGASI
Indonesia merupakan penyumbang emisi GRK terbesak di dunia (WB, 2007)
14
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penataan Ruang - Temperatur - Peningkatan Muka Laut - Perubahan Pola Hujan
Berdampak pada..
Kesehatan
Pertanian
Kehutanan
Sumber Daya Air
Kawasan Pesisir
Habitat Alami
Peningkatan Penyebaran Penyakit Menular
Penurunan luas lahan dan Produktivitas
Alih Fungsi Lahan
Penurunan Kualitas dan Kuantitas Air Baku
Tenggelamnya kawasan pesisir
Punahnya Spesies Langka
Ancaman terhadap pulau- pulau kecil terluar
Ancaman terhadap keberlangsungan kawasan konservasi
Dampak terhadap Penataan Ruang Ancaman terhadap sanitasi di kawasan perkotaan
Ancaman terhadap ketahanan pangan
Alih Fungsi lahan kawasan lindung akibat deforestasi
Kerusakan kawasan di sekitar DAS/WS kritis
Penerapan Low Carbon Economy Pembangunan yang berdasar pada keuntungan ekonomi, tanpa menghiraukan dampak ekologis terbukti menyebabkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab deviasi iklim. Maka dari itu, konsep LowCarbon Economy (LCE) menjadi fokus penting dalam kerangka kerja pengendalian deviasi iklim. Menurut Youngshung Cho (Korean University) LCE atau green growth dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) yang dapat menekan polusi dan produksi gas rumah kaca. Sebagai salah satu alat untuk pengendalian pembangunan, penataan ruang dapat menekan produksi gas rumah kaca dengan menerapkan skenario LCE ke dalam proses penataan ruang. Pada dasarnya, penataan ruang dapat dilihat sepagai upaya dalam pengoptimalisasi penggunaan ruang. Optimalisasi dalam hal ini berarti memberikan kesempatan pada sektor untuk berkembang secara maksimal tanpa mengabaikan kualitas lingkungan hidup. Maka penataan ruang pada dasarnya memiliki konsep yang sama dengan LCE yaitu mendukung pembangunan dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Green Growth dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang berkelanjutan yang dapat menekan polusi dan produksi gas rumah kaca.
Sejak ditetapkan pada tahun 2007 Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang konsep LCE sudah menjadi pertimbangan. Tertulis di dalamnya, bahwa penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam undang-undang ini, dijelaskan bahwa perencanaan penataan ruang dapat dilakukan berdasarkan sistem, fungsi utama, wilayah administratif, kegiatan utama pada wilayah tersebut, dan nilai strategis wilayah. Kriteria ini selebihnya diatur dalam peraturan dan kebijakan pendamping. Konsep LCE dapat digunakan sebagai salah satu skenario alternatif dalam Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
15
topik utama
mewujudkan tujuan penataan ruang. Namun konsep ini harus dapat diadaptasi dalam strategi penataan ruang, termasuk struktur dan pola penataan ruang. Untuk rencana yang lebih detail, penerapan konsep LCE harus diatur dalam kebijakan yang lebih detail dan lebih mendalam untuk penggunaan ruang dan pola pemanfaatan ruang. Penerapan konsep LCE dalam penataan ruang merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan, salah satunya adalah perwujudan target nasional dalam pengurangan emisi gas buang sebanyak 26%. Konsep ini juga dapat mendatangkan investor, terutama investor yang bergerak dalam bidang yang berbasis lingkungan hidup. Jika konsep ini diterapkan secara tepat,
Indonesia akan mendapat pengakuan internasional dalam penerapan konsep LCE. Lebih lanjut, upaya pengarusutamakan konsep LCE ke dalam penataan ruang dilakukan dengan mengintroduksi konsep tersebut ke proses penataan ruang secara keseluruhan. Sebagai contoh, dalam perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi hendaknya telah memasukan aspek keberlanjutan, kebijakan green economy, dan kebijakan pengurangan emisi karbon. Rencana struktur tata ruang hendaknya sudah mengakomodasi konsep sustainability urban living dan low-carbon mobility. Konsep smart growth, compact cities, dan green cities hendaknya dapat diaplikasikan dalam rencana pola ruang.
Kerangka Pemikiran Skenario Pengarusutamaan Low Carbon Economy dalam Penataan Ruang: Peluang dan Kendala
Low-carbon Economy (LCE)
Penataan Ruang
Berkelanjutan
Penghapusan Kemiskinan Mitigasi dan Adaptasi Deviasi Iklim
- UUPR - RTRWN, RPR, Provinsi, Kota, dan Kabupaten
Peluang dan Kendala
Rekomendasi
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
1. Pengertian tentang konsep LCE harus diperhatikan, dan harus dipahami oleh seluruh lapisan pemerintahan; 2. Harus adanya definisi standar, parameter, variabel dan indikator yang jelas dan terukur berhubungan dengan konsep LCE, agar setiap perencanaan yang dibuat dapat teranalisis; 3. Tersedianya pedoman dan sumber daya manusia yang berkompeten dalam penerapan LCE. Pedoman penerapannya sudah dalam tahap penyusunan, dan termasuk dalam Rencana Tata Ruang. Namun setiap institusi memiliki pedoman masing -masing, pedoman tersebut harus diharmonisasikan untuk menghindari tumpang-tindih kebijakan. Sumber daya manusia harus difokuskan dalam pemerintah daerah di mana tingkat kompetensi SDM masih lemah. 4. Sampai saat ini, baru 20 provinsi (61%), 42 kabupaten (11%) dan 16 kota (17%) yang telah mendapatkan persetujuan substansi. Kendala yang terdapat dalam persetujuan substansi adalah proses persetujuan yang panjang, mulai dari persetujuan substansi dalam tingkat lokal, nasional (BKPRN) dan persetujuan pelepasan kawasan hutan. 5. Pelaksanaan dari implementasi yang masih ambigu, dan perlu diingat tidak semua langkah dapat diterapkan dalam Rencana Tata Ruang.
Ketahanan Pangan
16
Namun terdapat beberapa kendala dalam penerapan konsep LCE ini, yaitu:
Walaupun masih banyak kendala dalam penerapan ini, namun dengan cara yang tepat, penerapan konsep ini akan mengangkat nama Indonesia di mata dunia dalam penerapan konsep ramah lingkungan.
Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Oleh: Purba Robert Sianipar Asisten Deputi Urusan Sumber Daya Air, Kemenko Perekonomian
ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Pengelolaan sumber daya air yang tidak mengantisipasi dinamika pembangunan, perkembangan penduduk, dan siklus air musiman yang semakin tidak menentu sebagai dampak perubahan iklim global, akan dapat menimbulkan krisis sumber daya air.
Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang sering diperbincangkan banyak pihak. Peningkatan alih fungsi lahan tidak hanya mengancam ketahanan pangan nasional, tetapi juga berdampak pada hilangnya investasi pemerintah dalam pembangunan jaringan irigasi, peningkatan risiko banjir, dan mengurangi ketersediaan air. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa terjadi pengurangan lahan sawah periode 1981-2002 sebesar 1,17 juta Ha. Walaupun ada pencetakan sawah baru sebesar 536,25 ribu Ha di beberapa lokasi, tetapi tidak sebanding dibandingkan alih fungsi yang terjadi.
Penysutan lahan pertanian
Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota- kota besar tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan itu, berbagai permasalahan muncul dan semakin kompleks. Tidak terkecuali dalam pengelolaan sumber daya air.
Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum, erosi, dan sedimentasi. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali akan menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya banjir dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin meningkat. Dengan kata lain, ada sensitive landuse pada suatu DAS, dan apabila kemampuan daya resap air pada sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan.
Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya air juga dihadapkan pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur sumber daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal. Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser ke ranah hukum. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga membawa tantangan tersendiri dalam memahami prinsip pengelolaan sumber daya air. Perbedaan pemahaman dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya diberbagai daerah, memicu terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat dan daerah, serta sesama pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai merupakan tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk saling melengkapi dan menyesuaikan.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
17
topik utama Arah Pengelolaan Sumber Daya Air Ke Depan Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya air (SDA) merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pengelolaan sumber daya air didasarkan asas-asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air. Permasalahan krisis ekologi di catchment area perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemecahan masalah hanya akan berhasil apabila melibatkan semua pemangku kepentingan, dengan satu indikator keberhasilan yang disepakati bersama. Penanganan konservasi tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan struktur, tetapi juga mengutamakan pendekatan non-struktur Dalam pendayagunaan SDA, pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan baik. Dalam hal ini pengambilan air tanah harus dilakukan secara seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali. Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air hujan. Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan limpasan air permukaan sebagai akibat dari pengurangan tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan. Karenanya, penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah (RTRW) perlu dilakukan secara konsisten. Kehandalan layanan jasa pengelolaan SDA harus ditingkatkan agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar daya rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar kualitas air baku meningkat, dan agar sistem penyediaan air minum dapat mencapai target MDG’s (Millenium Development Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya disusun pola pengelolaan sumber daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA ditetapkan secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan provinsi atau kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata ruang wilayah.
18
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Keterkaitan Pola PSDA dengan RTRW Pola PSDA dan RTRW memiliki hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pasal 39 dari PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan merupakan dasar penyusunan program dan rencana kegiatan setiap sektor yang terkait dengan sumber daya air, dan sebagai masukan dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang – secara tidak langsung – menyebutkan bahwa penataan ruang harus memperhatikan kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai sumber daya (termasuk sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa rencana tata ruang meliputi sistem jaringan prasarana sumber daya air, kawasan lindung (termasuk kawasan konservasi), dan kawasan budi daya (termasuk daerah layanan irigasi). Karena itu, RTRW diharapkan menjadi pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor (termasuk pengelolaan SDA). Salah satu contoh kasus yang menarik untuk melihat keterkaitan pengelolaan sumber daya air dengan rencana tata ruang wilayah adalah pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). Terlepas dari persoalan bagaimana sebaiknya menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak tahun 1973. Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (dikenal sebagai Master Plan 1973) disusun sebagai rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota Jakarta. Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973
lahan untuk trase BKT telah tersedia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya apabila sepanjang trase BKT telah berdiri pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus diputuskan yaitu membiarkan Jakarta terus “bersahabat” dengan banjir atau menguras anggaran untuk ganti rugi lahan.
Pemerintah menyadari tidak mudah untuk mewujudkan pelaksaan master plan tersebut. Terbatasnya alokasi anggaran merupakan masalah klasik yang dihadapi setiap tahun. Namun Pemerintah tetap bertekad untuk menjadikan ibukota negara, kawasan bebas banjir. Sejalan dengan upaya menemukan skenario pembiayaan yang tepat, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memasukkan rencana pembangunan tersebut ke dalam rencana tata ruang wilayahnya.
Jadi secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi atau Kabupaten/Kota diharapkan mampu memberikan jaminan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air ke depan. Mengapa demikian? Karena, RTRW selain merupakan instrumen perencanaan, juga merupakan instrumen pengendalian pembangunan. RTRW memiliki “alat paksa” yaitu berupa ketentuan sanksi bagi setiap orang/pihak yang melanggarnya.
Adanya rencana pembangunan BKT dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah 2010,” membuat penyediaan lahan seluas 405,28 Ha yang terdiri dari 147,9 Ha di Jakarta Utara dan 257,3 Ha di Jakarta Timur, memungkinkan untuk dilakukan. Walau pembebasan lahan berjalan lambat, tetapi setidaknya
Integrasi Pola PSDA dengan RTRW Walaupun secara umum pengintegrasian rencana pembangunan nasional ke dalam RTRW telah dilakukan, namun integrasi di bidang sumber daya air belum dilaksanakan secara utuh. Saat ini fokus integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak pada sistem jaringan prasarana SDA, yang meliputi jaringan SDA lintas negara dan lintas propinsi untuk mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk kebutuhan air baku industri, jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, dan sistem pengendalian banjir. Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air, seharusnya integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga komponen tersebut ke dalam struktur ruang dan pola ruang di RTRW. Secara substansi, masukan Pola Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurangkurangnya memuat hal-hal berikut di bawah ini.
Pola/Rencana PSDA - Merencanakan - Melaksanakan - Memantau, dan - Mengevaluasi Upaya/Kegiatan
pada/untuk
Struktur
Struktur
Pola Ruang
Sumber Air - Sungai - Danau / Situ - Waduk / Embung - Mata Air
Pengendalian Daya Rusak Air pada/untuk
Pendayagunaan SDA pada/untuk
Konservasi SDA
Prasarana SDA - Jaringan Irigasi/Air Baku - Jaringan Rawa - Jaringan Pengendalian Banjir
Substansi Masukan Pola Pengelolaan SDA ke Dalam RTRW
Pola Ruang
Kawasan Budidaya - Daerah Irigasi (D.I) - Daerah Irigasi Rawa - Daerah Resapan air dan daerah tangkapan air - Kawasan Rawan Banjir
Struktur
Pola Ruang
Kawasan Lindung SDA - Wilayah Sungai - Kawasan Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air : - Daerah resapan air dan daerah tangkapan air - Sempadan Sumber Air (Sungai, Danau/Waduk, Mata Air) - Kawasan Rawan Banjir - CAT
Catatan: - Kawasan rawan banjir di terminologi Tata Ruang merupakan kawasan lindung sekaligus budidaya, contohnya Jakarta - Kawasan resapan air itu di terminology SDA adalah daerah resapan air dan dan daerah tangkapan air (PP 42 Tahun 2008: Pasal 50 1 a)
Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air perlu disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan Pola PSDA wilayah sungai ke dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut. No 1
Prasarana SDA dlm pola PSDA
A. STRUKTUR RUANG
1. Sungai 2. Bendungan Besar
3. Jaringan Prasarana SDA
II
4. Banjir Kanal 5. Saluran Drainase 6. Tanggul Banjir
B. POLA RUANG
1. Wilayah Sungai 2. Sumber Air (Danau, Waduk) 3. Sabuk Hijau 4. Kawasan Lindung SDA 5. Daerah Irigasi 6. Daerah Irigasi Rawa 7. Daerah Rawan Banjir 8. Sepadan Sungai 9. Cekungan Air Tanang
Nasional
Propinsi
Pj > 100 km Luas Genangan > 50.000 Ha Saluran (irigasi) Pj > 25km Pj >25 km Pj >25 km Pj >25 km
Pj > 10 km Luas Genangan > 5.000 ha Saliran (irigasi) Pj > 2,5 km Pj > 2,5 km Pj > 2,5 km Pj > 2,5 km
Semua Semua
WS Tanggung Jawab Pusat Luas Genangan >50.000 Ha Luas > 50 km2 > 50.000 Ha > 50.000 Ha Luas Genangan > 50.000 Ha
WS Pusat dan Propinsi Luas genangan >5.000 Ha Luas > 10km2 > 5.000 Ha > 5.000 Ha Luas Genangan > 5.000 Ha Di kota Besar Lb > 50 m Luas CAT > 5.000 Ha
Semua
Luas CAT > 50.000 Ha
Kab/Kota
Semua
Keterangan Bila tidak mungkin masuk dalam Peta, minimum ada dalam teks atau narasi
Semua Semua Semua
Semua Semua Semua Semua Semua Semua Semua
Contoh Masukan Pola PSDA ke dalam RTRW
Bila tidak mungkin masuk dalam Peta, minimum ada dalam teks atau narasi
Pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
19
topik utama
Pengintegrasian juga perlu mempertimbangkan hirarki yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam pengelolaan SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi pemerintahan, yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan Wilayah Sungai (WS)
RUANG WILAYAH
Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS Strategis Nasional, WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota. Apabila digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat terjadi antara RTRW dengan Pola PSDA Wilayah Sungai adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.
RTRW NASIONAL
RTRW PROVINSI
RTRW KAB/KOTA
Sinkronisasi Tingkat Nasional
Sinkronisasi Tingkat Provinsi
Sinkronisasi Tingkat Kab/Kota
SUMBER DAYA AIR
POLA DAN RENCANA PSDA WS: 1. WS Satu Kab/Kota 2. WS Lintas Kab/Kota 3. WS Lintas Provinsi 4. WS Lintas Negara 5. WS Strategi Nasional
Keterkaitan Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Lebih jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber dana, instansi pelaksana, dan target waktu pelaksanaan. Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa dimanfaatkan, saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan Pola PSDA pada tingkat wilayah sungainya. Jumlah RTRW yang telah disahkan (Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai 8 propinsi dan 25 kabupaten/kota. Sementara itu, pembuatan Pola PSDA di wilayah sungai yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total 68 rancangan pola. Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW berupa peta, teks/narasi, dan program yang disiapkan sekaligus ketika melakukan penyusunan Pola Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan RTRW
20
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
dan Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian ini diharapkan dapat meminimalisir dampak perubahan pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini. Pada tatanan kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk memastikan tersedianya lahan bagi pembangunan prasarana sumber daya air. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan sumber daya air sebagai bagian dari pembangunan nasional dapat mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Akhir kata dapat disampaikan bahwa antara Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam penyusunan dan perbaikan RTRW, dan sebaliknya pengembangan sumber daya air harus didasarkan pada RTRW yang telah disusun.
Penanganan
DAS Bengawan Solo Di Masa Datang Oleh: Ir. Iman Soedradjat, MPM Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian PU
DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi perkotaan dan perdesaan yang ada di sekitarnya, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan ekonomi. Pentingnya peranan DAS dinyatakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan DAS Bengawan Solo sebagai salah satu prioritas utama dalam penataan ruang sehubungan dengan fungsi hidrologi untuk mendukung pengembangan wilayah. Selain itu, DAS Bengawan Solo juga merupakan satu sistem ekologi besar yang dalam perkembangannya saat ini mengalami banyak kerusakan dan mengarah pada kondisi degradasi lingkungan. Ada dua indikator degradasi, pertama, konversi lahan hutan di daerah hulu ke penggunaan pertanian, perkebunan, dan permukiman yang menyebabkan terjadinya peningkatan laju erosi dan peningkatan laju sedimentasi. Kedua, terjadinya fluktuasi debit sungai yang mencolok di musim hujan dan kemarau. Berdasarkan pertimbangan ekologis dan sosial ekonomi, DAS Bengawan Solo merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak mengenal batas wilayah administrasi. Potensi dan persoalan yang ada ini tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja tetapi perlu disikapi bersama-sama secara bijak. Selain pertimbangan ekologis, sosial ekonomi, maupun sejarah, juga karena keberadaan sumber daya alam DAS Bengawan Solo sebagai sumber daya alam bersama (common pool resources) yang menuntut adanya kepemilikan bersama (collective ownership). Sebagai sumberdaya alam milik bersama, maka sumber daya alam yang terdapat di DAS Bengawan Solo membutuhkan penanganan secara bersama di antara semua pemangku kepentingan atau yang dikenal dengan collective management yang mengarah pada suatu bentuk collaborative management. Hal ini juga menjadi penting karena hingga saat ini belum tercipta kerjasama penataan ruang di antara semua pemerintah daerah di dalam kawasan DAS yang bertujuan untuk penyelamatan DAS.
PENINGKATAN PENATAAN KAWASAN DAS
Posisi yangSOLO penting dan keunikan karakteristik dari DAS BENGAWAN Bengawan Solo ini perlu diwadahi dan diantisipasi dalam suatu arahan penataan ruang yang menyeluruh dan jelas. Rencana tata ruang DAS Bengawan Solo yang menjadi panduan bagi semua RTRW provinsi, kabupaten maupun kota yang berada di Kawasan DAS Bengawan Solo sebagai dasar kegiatan pengembangan wilayah di provinsi, kabupaten maupun kota tersebut, sampai saat ini belum tersusun. Padahal, rencana tata ruang ini nantinya diharapkan dapat menjadi dasar pemanfaatan dan pengendalian lahan sehingga secara langsung dapat mengurangi kontribusi debit puncak dan volume banjir yang terjadi dan sekaligus menjadi pengikat dalam kerjasama penataan DAS. Jelas bahwa RTR DAS Bengawan Solo memiliki peran penting. Untuk itu telah dilakukan penyusunan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang serta pengelolaan wilayah sungai yang terakomodasi antar sektor dan antar wilayah sehingga dapat tercapai pola pemanfaatan ruang yang mendukung kelestarian dan keserasian pemanfaatan wilayah Sungai Bengawan Solo. Selanjutnya kebijakan dan strategi tersebut akan menjadi dasar dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta mampu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
21
20
topik utama Dari beberapa pertemuan telah dilakukan kesepakatan untuk ditindak lanjuti yaitu: a. Guna Lahan Optimal (GLO), yang diharapkan menjadi dasar pemanfaatan ruang DAS dan menjadi basis untuk penyusunan rencana tata ruang DAS Bengawan Solo. Adapun GLO ini sudah mempertimbangkan aspek kontribusi debit puncak dan volume banjir berdasarkan pemanfaatan penggunaan lahan; b. Arahan kebijakan, strategi, dan arahan program, yang dapat menjadi panduan untuk menata DAS Bengawan Solo
dengan memperhatikan aspek bencana banjir, longsor, dan pengembangan wilayah kawasan; c. Mekanisme kelembagaan dan arahan pengendalian untuk mendukung tercapainya penyesuaian RTRW masing-masing pemerintah daerah dengan Guna Lahan Optimal, terciptanya rencana tata ruang DAS Bengawan Solo, tercapainya sinkronisasi semua RTRW dengan rencana tata ruang DAS, dan tercapainya penataan DAS dengan memperhatikan aspek sosial-ekonomi kawasan.
MEMBUTUHKAN PRASYARAT : KOORDINASI ANTAR SEKTOR melalui forum diskusi terfokus antar semua pemangku kepentingan terkait PENGELOLAAN BERBASIS EKOLOGI PADA KAWASAN DAS
- Adanya integrasi ekosistem dengan sistem sosial ekonomi - Aliran Sungai DAS Bengawan Solo melintasi beberapa wilayah administrasi (2 provinsi dan 17 kab/kota)
KEBUTUHAN PENINGKATAN DAS BENGAWAN SOLO
PERAN DAN POSISI DAS BENGAWAN SOLO - RTRWN : Prioritas utama penataan ruang untuk fungsi hidrologi - Merupakan daerah rawan bencana - Sungai terpanjang di Pulau Jawa (600 km dari Wonogiiri sampai Gresik, melintasi 2 Provinsi)
Prinsip Keseimbangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan
TEKANAN EKOSISTEM DAS KARENA DINAMIKA PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI - Pertumbuhan sosial ekonomi - Konversi lahan konservasi menyebabkan penurunan daerah resapan air - Sedimentasi daerah hilir menyebabkan fluktuasi debit air yang mencolok
Diakomodasi dalam kebijakan, strategi dan arahan program penataan DAS bengawan solo
Latar belakang perlunya kordinasi antar sektor
Optimalisasi Penggunaan Lahan di Kawasan DAS Bengawan Solo Guna Lahan Optimal adalah guna lahan yang memberikan kondisi: debit puncak banjir berkurang, run off menurun, volume banjir berkurang, kegiatan ekonomi tetap berkembang, kondisi sosial dan budaya masyarakat tidak terganggu
Penggunaan Lahan optimal DAS Bengawan Solo
Optimalisasi penggunaan lahan di Kawasan DAS Bengawan Solo merupakan hasil simulasi guna lahan dengan menggunakan pemodelan hidrologi dan geologi lingkungan. Beberapa kondisi di DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan tersebut adalah sebagai berikut: • Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman yang terjadi di DAS Bengawan Solo 22
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
menimbulkan puncak dan volume banjir yang semakin besar; • Besarnya banjir dari anak-anak sungai tergantung juga dari jenis tanah selain dari perubahan fungsi lahan dan karakteristik hidrologi seperti kemiringan dan panjang sungai; • Daerah yang rentan terhadap pertambahan banjir adalah sub-sub DAS yang mengandung jenis tanah berkemampuan meresapkan air ke dalam tanah cukup tinggi (daerah resapan); • Sub-sub DAS dengan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman terjadi pada sebagian besar kawasan sehingga menimbulkan pertambahan puncak dan volume banjir lebih dari 100%; • Sub-sub DAS dengan dominasi jenis tanah kurang mampu meresapkan air (kemampuan melewatkan air di permukaan tanah cukup tinggi) biasanya rentan terhadap perubahan fungsi lahan seperti diketemukan pada bagian hulu sub-DAS Kali Madiun dan sebagian besar sub DAS Bengawan Solo Hilir; • Perubahan guna lahan mempengaruhi tinggi rendahnya debit puncak dan volume banjir. • Komposisi guna lahan seperti sekarang menimbulkan puncak dan volume banjir makin besar dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya di tahun 1964 untuk sub DAS Bengawan Solo Hilir; • Pengembalian fungsi konservasi hutan pada beberapa kawasan akan memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap pengurangan debit puncak dan volume banjir apabila dikombinasikan dengan penerapan Low Impact Development (LID);
Peta Penggunaan lahan optimal
Rencana tata ruang ini diharapkan dapat menjadi landasan bagaimana mengatasi implikasi dari pengembangan yang ada terhadap kebutuhan ait di masa yang akan datang.
Kondisi di atas juga dipicu oleh kondisi alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan yang ada. Berdasarkan pada hasil analisis geologi lingkungan terkait kemampuan lahan tersebut, terdapat beberapa kondisi penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo sebagai berikut: • Terdapat penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya; • Terdapat penggunaan lahan pada kawasan rawan dengan kemampuan lahan sedang, seperti di sekitar puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Gunung Jeding-Patujbanteng, Cawas, Wonogiri-Eromoko, Giriwoyo, Tirtomoyo, Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Jetis, Sarangan, Kendal, Ngrampe, PulungWungu, Caruban, Talangkembar, dan Ngadirejo-Juwok; • Terdapat kawasan yang tidak boleh dikembangkan karena kemampuan lahan yang rendah, seperti di sekitar daerah Cawas, Wonogiri-Eromoko, Tirtomoyo, Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Sarangan, Kendal, Ngrampe, dan PulungWungu; dan • Terdapat beberapa kawasan yang harus dihutankan kembali atau dikembalikan fungsinya sebagai kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Boyolali, Klaten, Wonogiri, Gresik, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Tuban.
Terumuskannya Implikasi Perubahan Iklim dan Perubahan Guna Lahan terhadap Puncak dan Volume Banjir di Kawasan DAS Bengawan Solo Beberapa kondisi di Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan perubahan iklim tersebut yaitu: • Hujan di kawasan DAS Bengawan Solo mengakibatkan banjir cenderung bertambah besar; • Hujan tahunan yang cenderung berkurang disertai dengan alih fungsi lahan mengakibatkan aliran air di musim kemarau berkurang sehingga intensitas kekeringan bertambah besar; • Untuk 30 tahun mendatang, perubahan iklim akan mengakibatkan banjir bertambah 50% dan perubahan guna lahan akan mengakibatkan banjir bertambah 53%; • Jika proses perubahan iklim terjadi saat perubahan guna lahan, maka puncak dan volume banjir akan bertambah sebesar 135%.
Terumuskannya Pengembangan Ekonomi Alternatif dan Ramah Lingkungan untuk Pengembangan Wilayah Adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya merupakan akibat dari tekanan kebutuhan lahan yang pada akhirnya menyebabkan adanya degradasi lingkungan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi untuk Kawasan DAS Bengawan Solo, faktor lahan merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa temuan studi sebagai berikut: • Peningkatan luasan lahan budidaya di Kawasan DAS Bengawan Solo akan meningkatkan PDRB DAS Bengawan Solo, dan sebaliknya pengurangan luasan lahan budidaya akan dapat mengurangi PDRB DAS Bengawan Solo; • Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di DAS Bengawan Solo sebesar 1% akan meningkatkan PDRB DAS sebesar 0,144% dan sebaliknya; • Peningkatan luasan lahan budidaya akan meningkatkan PDRB sub-DAS Bengawan Solo Hulu dan sebaliknya pengurangan luasan lahan budidaya akan mengurangi PDRB;
• Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di sub DAS Bengawan Solo Hulu sebesar 1% akan meningkatkan PDRB sebesar 0,168% dan sebaliknya; • Terdapat beberapa sektor yang memiliki kecenderungan dominan unggul, dominan menurun, dan potensial berkembang yang berbeda-beda di setiap kabupaten/kota; • Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang dominan unggul di hampir setiap kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo, dimana kontribusi sektor terhadap PDRB kabupaten/kota besar dan memiliki pertumbuhan yang positif; • Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan di hampir semua kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo, namun dengan pertumbuhan yang cenderung negatif/ menurun; dan • Sektor-sektor tersier (non-ekstraktif ) merupakan sektor potensial berkembang dengan pertumbuhan yang tinggi namun kontribusinya kecil di hampir setiap kabupaten/ kota di DAS Bengawan Solo. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
23
topik utama
DAS Bengawan Solo merupakan bagian dari Wilayah Sungai Bengawan Solo, yang berdasarkan RTRWN ditetapkan masuk ke dalam kategori ‘Wilayah Sungai LINTAS PROVINSI’. Namun pada perkembangannya, berdasarkan persyaratan yang ada, DAS Bengawan Solo sudah memenuhi kriteria sebagai kawasan strategis nasional. Hal ini berimplikasi pada mekanisme penyelenggaraan penataan ruang untuk DAS Bengawan Solo. Oleh karena itu, kedudukan dan status rencana tata ruang DAS Bengawan Solo adalah sebagai berikut: Perencanaan Sektor - Pola SDA - Rencana Pengelolaan DAS Terpadu - Rencana Induk Sektor lainnya
Perencanaan Sektor
• Perlu ada rencana tata ruang DAS Bengawan Solo yang berfungsi untuk mengikat seluruh pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah agar kegiatan peningkatan penataan Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan optimalisasi penggunaan lahan dapat dilaksanakan; • Perlu ada kejelasan mengenai kedudukan rencana tata ruang DAS Bengawan Solo terhadap dokumen perencanaan lainnya; • Dibutuhkan dasar hukum yang kuat bagi rencana tata ruang DAS Bengawan Solo agar dapat menjadi acuan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah. RPJPN
RTRWN RTR P. JAWA
RPJMN
asaacacaca
RPJPD Prov.
RTRW Prov.
RPJMD Prov. Perencanaan Sektor
RTRW Kab/Kota
RPJPD Kab/Kota RPJMD Kab/Kota
Kedudukan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo terhadap Perencanaan Dokumen Lain
Faktor lahan merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat.
Hasil kajian Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo menunjukkan adanya beberapa kebutuhan untuk penanganan lebih lanjut dari sisi penataan ruang, yang meliputi: • Penanganan yang sifatnya lintas sektor dan seluruh pemangku kepentingan terkait, • Perlunya pengaturan penataan ruang dan pengarahan pemanfaatan ruang yang mempertimbangkan optimalisasi pengembalian fungsi hidrologi sungai dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat; dan • Perlunya penanganan bersama untuk pengelolaan DAS dalam suatu mekanisme kelembagaan kolaboratif (collaborative management).
PERAN DAN KEDUDUKAN HASIL GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO) Dengan penerapan GLO, maka debit puncak dan volume banjir dapat dikurangi, dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya dapat terus meningkat. Dalam rangkaian studi Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo, GLO merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan yang diharapkan dapat diwujudkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah baik provinsi, kota, maupun kabupaten. Di samping adanya beberapa manfaat yang dapat diperoleh, penerapan GLO di tengah banyaknya kebijakan dan strategi 24
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang dihasilkan oleh para pemangku kepentingan yang terkait tetap berpotensi untuk menimbulkan beberapa persoalan sebagai implikasinya, antara lain: • Kemungkinan alokasi ruang dalam GLO berbeda dengan alokasi pola ruang dalam RTRW, sehingga; • Kemungkinan kebijakan, strategi, dan arahan program untuk perwujudan GLO berbeda dengan kebijakan dan strategi dalam RTRW.
PERAN DAN KEDUDUKAN USULAN KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN ARAHAN PROGRAM Kebijakan, strategi, dan arahan program peningkatan penataan kawasan DAS Bengawan Solo ini, dalam kaitannya dengan kebijakan dan strategi penataan DAS Bengawan Solo lainnya yang telah ada, dapat menjadi masukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) DAS Bengawan Solo dan penyempurnaan Pola Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo dari sisi pengembangan wilayah.
DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR KEMENTRIAN PEKERJAAN UMUM
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SATUAN WILAYAH SUNGAI BENGAWAN SOLO (CDMP)
Selain itu kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan ini akan menjadi pelengkap bagi Rencana Induk Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Satuan Wilayah Sungai Bengawan Solo atau yang lebih dikenal sebagai CDMP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum.
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI DAN KOTA/KABUPATEN
DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM
RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) PROVINSI/KOTA/ KABUPATEN
KAJIAN PENINGKATAN PENATAAN RUANG KEDUANG
Masukan dari sisi Pengelolaan SDA
POLA SUMBER DAYA AIR WILAYAH SUNGAI BENGAWAN SOLO
STUDI PENINGKATAN PENATAAN KAWASAN DAS BENGAWAN SOLO Masukan dari sisi Pengembangan Wilayah *)
(menghasilkan kebijakan, strategi, dan arahan program untuk peningkatan penataan DAS Bengawan Solo)
*untuk lingkup DAS Bengawan Solo Masukan dari sisi Pengembangan Wilayah
Kedudukan Kebijakan, Strategi, dan Arahan Program yang Dihasilkan dari Studi Peningkatan Penataan DAS Bengawan Solo dalam Kerangka Penanganan DAS Bengawan Solo
Kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan dipahami sebagai kebijakan untuk peningkatan DAS Bengawan Solo dengan melakukan intervensi terhadap penggunaan lahan yang ada beserta aktivitas yang ada di atasnya.
Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penataan kawasan DAS Bengawan Solo, kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan ini merupakan suatu bentuk upaya perwujudan dan pengantisipasian implikasi kebutuhan peningkatan dan penataan DAS Bengawan Solo. Dalam hal ini, kebijakan, strategi, dan arahan program yang dihasilkan dipahami sebagai kebijakan untuk peningkatan DAS Bengawan Solo dengan melakukan intervensi terhadap penggunaan lahan yang ada beserta aktivitas yang ada di atasnya, serta sistem yang mempengaruhinya. Kebijakan peningkatan DAS Bengawan Solo dalam konteks ini didudukan sebagai suatu penguatan dan tindak lanjut dari
kebutuhan untuk mewujudkan penataan lahan yang optimal (GLO) yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan DAS Bengawan Solo itu sendiri. Maka kebijakan, strategi, dan arahan peningkatan penataan DAS Bengawan Solo secara garis besar terbagi dalam 6 (enam) arahan kebijakan besar, yaitu: • PENINGKATAN KUALITAS RTRW PROV/KAB/KOTA • PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN BERSAMA • PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH • PENDEKATAN SOSIAL DAN EKOSISTEM DALAM PENANGANAN DAS • OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN • PENERAPAN LID (LOW IMPACT DEVELOPMENT) Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
25
topik utama Secara garis besar, keterkaitan keenam kebijakan tersebut dalam perwujudan penataan lahan yang optimal dapat dilihat pada Gambar berikut. Keenam arahan kebijakan tersebut, pada dasarnya saling terkait satu sama lain dan dapat dirangkum dalam 4 (empat) kelompok kebijakan, yaitu: • PENATAAN RUANG, yang meliputi peningkatan kualitas dari RTRW di provinsi/kota/kabupaten yang berada di dalam lingkup DAS Bengawan Solo beserta peningkatan kualitas RTR DAS Bengawan Solo; • PENATAAN KAWASAN BUDIDAYA, yang meliputi pengendalian pemanfaatan pada kawasan budidaya eksisting dengan
memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat, fisik lingkungan, penerapan LID, dan pengembangan ekonomi wilayah; • FUNGSI LINDUNG KAWASAN, yang meliputi pengembalian fungsi lindung kawasan resapan dengan juga memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat, fisik lingkungan, penerapan LID, dan pengembangan ekonomi wilayah; serta • KELEMBAGAAN, yang mengarah pada perwujudan suatu “lembaga” kolaborasi yang didalamnya mencakup semua pemangku kepentingan.
6 GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO) Berbasis Konservasi DAS = Arahan Guna5 Lahan untuk Konservasi GUNA LAHAN YANG TIDAK DAPAT 5 UNTUK KONSERVASI = Penataan LID ( LOW IMPACT DEVELOPMENT) Untuk Konsevasi
TARGET Studi Peningkatan Kawasan DAS Bengawan Solo
Kawasan Budidaya
4
Memberi Pengaruh kepada Masyarakat
LID ( LOW IMPACT DEVELOPMENT) Sebagai Substitusi Aspek Konservasi
1
Peningkatan KUALITAS RTRW PROV/KAB/KOTA SINKRONISASI RTRW ANTAR DAERAH
6
Memberi Pengaruh pada Daerah (Prov/Kab/Kota)
Pemecahan Melalui PENDEKATAN SOSIAL Pengembangan EKONOMI WILAYAH (Makro dan Mikro)
Pemecahan Melalui PENDEKATAN EKOSISTEM
2
3
HULU - HILIR
Pengembangan SISTEM KELEMBAGAAN BERSAMA
KELEMBAGAAN PENATAAN KAWASAN DAS BENGAWAN SOLO Memperhatikan karakterisik DAS Bengawan Solo sebagai Common Pool Resources (CPR) yang melibatkan banyak pemangku kepentingan yang terkait, maka perumusan kelembagaan yang baik menjadi salah satu syarat mutlak dalam upaya penanganan dan pengelolaannya. Aspek kelembagaan ini diharapkan dapat: • mengawal pelaksanaan kebijakan, strategi, dan arahan program. • mengawal terlaksananya penyesuaian RTRW kabupaten, kota, dan provinsi dengan hasil guna lahan optimal; • menguatkan hasil studi GLO ini untuk menjadi basis usulan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo; dan • mengawal terlaksananya sinkronisasi RTRW antar kabupatenkota-dan-provinsi. Aspek kelembagaan diharapkan tidak hanya fokus pada pengelolaan sumber daya air, melainkan juga pada aspek
dll
Pemerintah Provinsi Pemerintah Pusat
BBWS
POSISI GEOGRAFIS
Penyumbang Manfaat
Penerima Manfaat
Penyumbang Persoalan
Penerima Persoalan
penataan ruang dan pengembangan wilayah. Implementasi dari aspek kelembagaan ini sendiri tidak harus berupa lembaga baru, melainkan dapat memanfaatkan lembaga koordinasi yang sudah ada. Kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan bersama yang bersifat lintas sektor dengan pembagian peran dan fungsi yang jelas, yang disepakati secara bersama oleh stakeholders (kabupaten/kota) terkait untuk menangani DAS. Kelembagaan ini akan dikoordinasi oleh suatu sekretariat lembaga kolaborasi yang bertugas untuk membentuk aturan dan tata cara pengelolaan dan penanganan bersama DAS Bengawan Solo, serta mengkoordinasikan semua pemangku kepentingan yang terkait dalam upaya pengelolaan dan penanganan bersama DAS Bengawan Solo tersebut. Secara diagramatis konsepsi mekanisme kelembagaan bersama dapat dilihat pada Gambar berikut. Pemerintah Kota/Kab
Lembaga non Pemerintah (LSM, dll) Akademisi dll
PEMANGKU KEPENTINGAN
PJT SEKRETARIAT LEMBAGA KOLABORASI
INTEREST LAINNYA
PENANGANAN FISIK SUNGAI
PEMANFAATAN AIR
Konsepsi Mekanisme Kelembagaan Bersama Penanganan dan Pengelolaan DAS Bengawan Solo 26
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Fokus pada hal-hal yang menjadi Perhatian Publik (COMMON INTEREST)
KUALITAS AIR
KUANTITAS AIR
KONSERVASI LINGKUNGAN
dll
PELAKSANA (COMMON INTEREST)
Pengelolaan Limbah oleh dinas Lingkungan Hidup
Pengelolaan air oleh PDAM
Pengelolaan Hutan oleh Dinas Kehutanan
dll
Terdapat beberapa alternatif bentuk kelembagaan yang mungkin dikembangkan untuk penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo.
FORUM
Kelemahan
Kekuatan
KOLABORASI
Bentuk Lembaga Kolaboratif Berdasarkan hasil analisis dan diskusi teridentifikasi berbagai bentuk kelembagaan untuk penataan DAS Bengawan Solo secara kolaboratif, baik dalam bentuk lembaga baru maupun mengembangkan lembaga yang sudah ada. Adapun saat ini sudah cukup banyak organisasi pengelolaan DAS (River Basin Organization – RBO) yang menangani Bengawan Solo, seperti PJT, BBWS, Forum DAS, dan sebagainya. Terkait dengan hal ini terdapat beberapa alternatif bentuk kelembagaan yang mungkin dikembangkan untuk penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut. BMengacu pada tabel tersebut, terdapat dua kemungkinan untuk pengembangan lembaga kolaborasi penataan DAS Bengawan Solo, yaitu mengoptimalkan lembaga yang telah ada dan membentuk lembaga baru, yang masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. OPTIMALISASI LEMBAGA YANG ADA TKPSDA
BKPRN/BAPPENAS/MENKO
- Terbuka - Tidak ada hirarki - Semua Anggota memiliki suara yang sama - Lembaga-lembaga yang sudah ada (TKPSDA, BPDAS, dll) dapat menjadi anggota forum kolaborasi
- Bentuk badan sudah jelas dengan dasar hukum pembentukan yang kuat - Sudah beroperasi dan memiliki anggaran - Beranggotakan sektor-sektor terkait yang sesuai dengan kebutuhan penataan DAS Bengawan Solo - Fokus pada penataan tuang dan pengembangan wilayah - Memiliki badan yang sejenis di daerah (BKPRD)
Membutuhkan: - Komitmen yang kuat dari setiap anggota - Landasan hukum pembentukan - Mekanisme kerja yang jelas - Sumber pembiayaan dan proses penganggaran yang jelas - Leader yang dihormati - Dukungan sekretariat yang kuat Adanya ego sektoral dan ego wilayah dapat menjadi kendala utama
- Tidak terbuka (anggota tertentu) - Ada hirarki pusat-daerah - Membutuhkan dukungan sekretariat yang kuat - Kurang fokus karena TOPUKSInya mencakup seluruh isu penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia - Perlu kejelasan keterkaitan dengan lembaga-lembaga yang sudah ada terkait DAS Bengawan Solo
- Lembaga sudah terbentuk dengan dasar hukum yang jelas - Sudah beroperasi dengan mekanisme kerja dan anggaran yang jelas - Fokus pada penataan DAS Bengawan Solo - Anggota mencakup berbagai perwakilan stakeholders terkait
- Penataan lebih spesifik pada aspek “SDAir”, tidak mencakup aspek yang lebih luas seperti pengembangan wilayah dan penataan tuang - Anggotanya umumnya terbatas pada lembaga-lembaga yang mempunyai TUPOKSI yang terkait dengan SD Air - Mengingat kedudukannya yang bertanggung jawab pada Menteri PU, apakah K/L terkait dapat juga menjadi anggota dengan kedudukan yang setasa dengan yang lain? - Dibutuhkan perluasan lingkup substansi dan keanggotaan - Dibutuhkan penguatan kewenangan
LEMBAGA BARU
- Lebih Fokis - Anggota dapat mencakup semua perwakilan stakeholders terkait baik dari pusat maupun daerah - Semua Anggota memiliki tugas yang sama - Tidak ada Hirarki
Membutuhkan: - Proses untuk pembentukannya - Landasan hukum pembentukan - Kejelasan kedudukan dengan lembaga-lembaga terkait baik di pusat maupun di daerah - Kejelasan wewenang - Sumber pembiayaan dan proses penganggaran yang jelas
Alternatif Bentuk Kelembagaan Penanganan dan Pengelolaan DAS Bengawan Solo
TINDAK LANJUT PENANGANAN DAS BENGAWAN SOLO Adapun untuk proses implementasi tersebut diperlukan beberapa kesepakatan awal oleh semua pemangku kepentingan terkait. Setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang disepakati, yaitu: 1. kesepakatan mengenai usulan kebijakan, strategi, dan arahan program dalam penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo; 2. kesepakatan mengenai penanganan DAS Bengawan Solo secara kolaboratif; 3. kesepakatan mengenai mekanisme pengendalian penanganan DAS Bengawan Solo; 4. kesepakatan mengenai mekanisme kelembagaan untuk menjamin tercapainya penyesuaian dan sinkronisasi
RTRW dengan GLO, dan pada akhirnya dengan RTR DAS, serta antar RTRW kabupaten-kota-provinsi lain di dalam kawasan DAS. Untuk memperkuat kesempatan tersebut, maka legitimasinya perlu ditandatangani oleh pimpinan daerah sebagai sebuah kesepakatan bersama (kolaborasi) di mana semua pemerintah daerah di dalam DAS Bengawan Solo secara bersama-sama menyepakati untuk berkontribusi dalam penataan ruang DAS. Selain itu, kesepakatan tersebut perlu ditindaklanjuti dalam suatu rencana aksi penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang juga dirumuskan dan disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
27
topik utama
Perubahan Iklim
dapat dikendalikan Oleh: Redaksi BUTARU
Kesepakatan global untuk menciptakan kondisi bumi yang lebih baik, mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kebijakan pembangunan nasional.
Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, Indonesia menjadi salah satu negara yang menyepakati Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change). Sebagai tindak lanjut, Indonesia menerbitkan UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim yang berisikan 3 (tiga) hal utama, yakni: (1) tercapainya stabilitas konsensi emisi Gas Rumah Kaca pada tingkat yang aman; (2) adanya tanggung jawab bersama sesuai kemampuan (common but differentiated responsibilities); dan (3) negara maju akan membantu negara berkembang (pendanaan, asuransi dan alih teknologi). Lahirnya Bali Roadmap atau Bali Action Plan 2007, Copenhagen Accord 2009, dan Cancun Commitments 2010, yang merupakan kesepakatan global untuk menciptakan kondisi bumi yang lebih baik dari kecenderungan yang ada dalam jangka waktu panjang (bahkan setelah masa Protocol Kyoto, yaitu sampai 2012). Kesepakatan-kesepakatan ini, walaupun belum secara tegas menetapkan target kuantitatif dan jadual pelaksanaannya, mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kebijakan pembangunan nasional, salah satunya adalah arahan kebijakan pembangunan infrastruktur bidang ke-PU-an. Komitmen pemerintah Republik Indonesia seperti yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G-20 di Pittsburgh adalah upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dari business as usual dengan kemampuan sendiri, dan penurunan hingga 41% dengan bantuan donor dari negara luar. Hal ini memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap kebijakan pembangunan nasional pada berbagai sektor yang terkait dengan emisi GRK ini.
Fenomena Perubahan Iklim di Indonesia Laporan ke-4 Working Group II – International Panel on Climate Change (IPCC), yang diterbitkan pada Bulan April 2007 lalu, membuktikan adanya beberapa climate proof dengan tingkat keyakinan yang tinggi mengenai perubahan temperatur regional yang telah berdampak nyata secara fisik dan biologis. Kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850-1899 hingga 20012005 adalah 0.760C dan muka air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu 40 tahun terakhir (1961-2003). Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada awal abad 20 diperkirakan sebesar 17 cm. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan sosial-ekonomi manusia (antropogenik) memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan temperatur tersebut, sehingga tanpa upaya yang terstruktur dan berkesinambungan, dampak yang akan terjadi pada masa mendatang akan menjadi sangat serius.
28
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Perubahan Iklim dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) fenomena berikut: 1. Meningkatnya temperatur udara; 2. Meningkatnya curah hujan; 3. Kenaikan muka air laut; 4. Meningkatnya intensitas kejadian ekstrim yang diantaranya adalah: ‐ Meningkatnya intensitas curah hujan pada musim basah, ‐ Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir secara ekstrim, ‐ Berkurangnya curah hujan dan debit sungai pada musim kemarau serta bertambah panjangnya periode musim kering, - Menurunnya kualitas air pada musim kemarau, ‐ Meningkatnya intensitas dan frekuensi badai tropis, ‐ Meningkatnya tinggi gelombang dan abrasi pantai, dan ‐ Meningkatnya intrusi air laut.
Secara garis besar, fenomena diatas telah dan akan berdampak pada masyarakat (termasuk kesehatan) dan permukiman (termasuk infrastruktur), kegiatan sosial ekonomi (termasuk pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata) dan ekosistem (termasuk lingkungan, yakni tanah dan air). Berkaitan dengan Perubahan Iklim, upaya-upaya pembangunan yang dilakukan dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yakni upaya mitigasi dan upaya adaptasi yang dijabarkan sebagai berikut: Upaya mitigasi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke atmosfir yang berpotensi menipiskan lapisan ozon. Untuk itu, upaya mitigasi terutama difokuskan untuk 5 (lima) sektor yakni: (i) Sektor Kehutanan sebagai sumber mekanisme penyerapan karbon (carbon sink), diarahkan pada upaya pemeliharaan hutan berkelanjutan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, pencegahan illegal logging, pencegahan kebakaran hutan serta rehabilitasi hutan dan lahan; (ii) Sektor Energi, diarahkan pada upaya pengurangan emisi GRK yang berasal dari pembangkit energi, transportasi, industri, dan perkotaan; (iii) Sektor Lahan Gambut, diarahkan pada upaya pemertahanan permukaan air kawasan lahan gambut; (iv)Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan, diarahkan pada upaya pengelolaan lahan dan rawa serta optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi; serta (v) Sektor Limbah dan Persampahan, diarahkan khususnya dengan mekanisme pengurangan pelepasan emisi karbon (khusus gas metan).
Upaya adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari Perubahan Iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberikan manfaat secara efektif apabila laju Perubahan Iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini bertujuan untuk: (1) mengurangi resiko bencana atau kerentanan sosialekonomi dan lingkungan yang diakibatkan dari Perubahan Iklim, (2) meningkatkan daya tahan (resilience) masyarakat dan ekosistem, sekaligus (3) meningkatkan keberlanjutan pembangunan nasional dan daerah. Indonesia dalam adaptasi Perubahan Iklim ini memiliki tantangan yang sangat besar, terutama karena wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan, berada di daerah tropis, dan memiliki posisi strategis di antara dua benua besar dan dua samudera yang sangat besar. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap Perubahan Iklim. Beberapa fakta yang sangat mungkin dipengaruhi oleh Perubahan Iklim, antara lain adalah ancaman ketahanan pangan akibat kekeringan dan banjir, ancaman wabah penyakit, ancaman kerusakan infrastruktur dan prasarana perkotaan di pesisir, serta ancaman kerusakan permukiman dan perumahan akibat bencana yang semakin tinggi rekuensinya.
Letak geografis Indonesia merupakan kondisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi Bidang Penataan Ruang Strategi Mitigasi • Mendorong perwujudan minimal 30% dari luas DAS untuk kawasan hutan provinsi dan kabupaten/ kota dalam meningkatkan carbon sink • Mengarusutamakan konsep ekonomi rendah karbon dalam penyelenggaraan penataan ruang • Pengembangan konsep ecological footprint dalam penataan ruang • Mengembangkan metodologi MRV pengurangan emisi karbon (GRK) dalam penyelenggraan Penataan Ruang provinsi dan kab/kota
Strategi Adaptasi • Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi terkait perubahan iklim terhadap tata ruang • Identifikasi wilayah (kabupaten/kota) yang mengalami dampak perubahan iklim • Peningkatan kapasitas kelembangaan • Pengarusutamaan konsep kota dan peran masyarakat yang memiliki dayatahan terhadap dampak perubahan iklim (Climate Change resilience) • Membangun citra peran aktif Kementerian Pekerjaan Umum dalam antisipatif perubahan iklim Referensi: Konsep Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi bidang Penataan Ruang yang disusun oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kemen. PU Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
29
topik utama
NEGOSIASI
PERUBAHAN Notes from Bangkok IKLIM Climate Change Talks 2011 Oleh: Redaksi Butaru
Pertemuan Bangkok ini diharapkan dapat memberikan fondasi yang kuat dalam mengarahkan perundingan perubahan iklim tahun 2011. Menjelang pelaksanaan Conference of the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menyelenggarakan Bangkok Climate Change Talks di United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) Bangkok, Kerajaan Thailand, pada tanggal 3-8 April 2011. Pertemuan ini merupakan pertemuan UNFCCC pertama tahun 2011 setelah COP-16/MOP-6 di Cancun, Mexico.
Bangkok Climate Change Talks meliputi 3 (tiga) pertemuan/ kegiatan yaitu: - Pre-sessional Workshops pada tanggal 3-5 April 2011 ; - Fourteenth Session of the Ad-hoc Working Group on Long Term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA 14) pada tanggal 5-8 April 2011 ; - Sixteenth Session of the Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP 16). Pertemuan Bangkok ini diharapkan dapat memberikan fondasi yang kuat dalam mengarahkan perundingan perubahan iklim tahun 2011 guna mencapai kesepakatan sebagaimana dimandatkan oleh Bali Action Plan dan Bali Roadmap serta implementasi Keputusan Cancun. Indonesia menjadi salah satu negara peserta Pertemuan Bangkok yang dihadiri oleh lebih dari 180 utusan negara, baik 30
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
dari unsur Pemerintah, LSM, pengamat, maupun kalangan pers. Delegasi RI terdiri dari perwakilan DNPI, Kemenlu, Kemenko Perekonomian, KLH, Kemenkeu, Kemenhut, Kementan, KemenPU, Kemenperind, KBRI Bangkok, KBRI Berlin, PTRI New York, KBRI Nairobi, serta beberapa organisasi masyarakat madani Indonesia. Delegasi ini dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim/Ketua Harian ONPI, dan didampingi oleh Staf Khusus Presiden RI Bidang Perubahan Iklim/Kepala Sekretariat DNPI selaku Alternate, Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman selaku Penasehat Senior Delri, serta Duta Besar RI untuk Thailand selaku Penasehat Delri. Sebelum ketiga pertemuan di atas dilaksanakan, terlebih dahulu telah dilangsungkan Pertemuan Koordinasi Kelompok 77 (G-77) dan China pada tanggal -2 April 2011. Pertemuan ini dipimpin oleh Dubes Argentina untuk PBB selaku Ketua G-77 dan China. Topik yang dibahas adalah pandangan kelompok terhadap agenda AWG-LCA serta pandangan terhadap keseluruhan Bangkok Climate Change Talks. Beberapa negara G-77 dan China menilai bahwa agenda AWG-LCA yang diajukan oleh Chair AWG-LCA tidak konsisten dengan Bali Action Plan (BAP). Oleh karena itu, G-77 dan China telah mengajukan counter-proposal kepada Chair AWG-LCA yang mengikuti building blocks BAP ditambah set of decisions of meeting in Cancun, sebagai sub-items untuk menegaskan kesepakatan apa yang harus diimplementasikan serta apa yang belum disepakati di Cancun untuk diselesaikan. Indonesia juga telah menyatakan pentingnya keseimbangan dalam proses negosiasi di bawah AWG-LCA dan AWG-KP. Perundingan di Durban harus didorong untuk menegakkan periode komitmen kedua Kyoto Protocol. Hal ini disampaikan menanggapi pandangan beberapa negara yang memprediksi mandat AWG-KP dan AWG-LCA belum akan selesai di Durban.
Pre-sessional Workshop
Pre-sessional workshop diselenggarakan oleh Sekretariat UNFCCC untuk membantu berbagai pihak dalam memahami beberapa isu terkait agenda perundingan dalam kerangka konvensi perubahan iklim. Workshop ini dibagi ke dalam tiga topik pembahasan yaitu: - Workshop on assumptions and conditions related to the attainment of quantified economy-wide emission reduction targets by developed country Parties, as requested by decision 1/CP.16, paragraph 38 (3 April 2011); - Workshop on nationally appropriate mitigation actions submitted by developing country Parties, underlying assumptions, and any support needed for implementation of these actions, as requested by decision 1/CP.16, paragraph 51 ( 4 April 2011); - Expert workshop on the Technology Mechanism, as requested by decision 1/CP.16, paragraph 129 (4-5 April 2011 ). Workshop yang pertama bertujuan untuk memberikan informasi lebih lanjut mengenai target penurunan emisi (pledges) di negara-negara Annex I (antara lain Rusia, Perancis, Polandia, AS, dan Australia), baik asumsi maupun metode penghitungan yang digunakan.
Workshop ini diselenggarakan untuk membantu berbagai pihak dalam memahami berbagai isu terkait agenda perundingan dalam kerangka koncensi perubahan iklim. Hingga saat ini tercatat masih ada gap target untuk periode komitmen kedua Protokol Kyoto, di mana level of ambition (baik aggregate maupun individual) dari negara-negara Annex I belum memenuhi target dalam pencapaian global goal for emission reductions dan tidak merefleksikan Pasal 3 ayat 1 Konvensi. Workshop yang kedua ditujukan untuk memahami keragaman berbagai submisi aksi mitigasi negara nonAnnex 1, asumsi yang mendasarinya, serta dukungan yang diperlukan untuk melaksanakannya. Beberapa hal yang mengemuka dalam workshop ini antara lain adalah beragamnya aksi mitigasi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang yang didasarkan kepada kemampuan dan kondisi dari masing-masing negara serta
berbagai sasaran yang berbeda, misalnya forest cover, absolute reduction, intensity targets. Instrumen yang dapat dikembangkan dalam aksi mitigasi juga cukup beragam, antara lain di sektor konstruksi, transportasi, pengembangan standar, insentif, pajak, dan lain-lain. Pentingnya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas dalam perencanaan maupun pengembangan skenario jangka panjang aksi mitigasi juga diungkapkan dalam workshop ini, di samping tentu saja ada hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan mitigasi, antara lain aspek perhitungan reduksi emisi (MRV), finansial, penetapan baseline, serta metodologi kuantifikasi dampak sosial-ekonomi. Sebagai tindak lanjut, Sekretariat UNFCCC akan menyelenggarakan rangkaian workshop yang lebih tematik dan rinci sesuai masukan dari berbagai pihak, antara lain mengenai MRV of support, Registry, Defining NAMAs dan penentuan Business as Usual (BAU). Selanjutnya, tujuan dari workshop yang ketiga adalah untuk mendiskusikan bagaimana Mekanisme Teknologi dapat beroperasi secara penuh pada tahun 2012. Ada beberapa hal yang masih perlu didiskusikan sehubungan dengan Mekanisme Teknologi, mengingat belum berhasil disepakati pada COP 16 di Cancun, antara lain hubungan antara Technology Executive Committee (TEC) dan Climate Technology Centre and Network (CTC&N) termasuk jalur pelaporannya; struktur governance dan terms of reference (TOR) dari CTC&N; hubungan antara Climate Technology Centre (CTC) dengan Network (N); prosedur pengajuan proposal dan kriteria untuk memilih host dari CTC&N; serta potensi hubungan antara mekanisme teknologi dengan mekanisme pendanaan. Secara umum, semua negara berpendapat bahwa CTC&N harus melakukan aktivitasnya berdasarkan permintaan negara berkembang, dimana aktivitasnya akan dilakukan oleh network. Beberapa negara berkembang mengusulkan adanya funding window tersendiri untuk pengembangan dan transfer teknologi, serta perJunya mengangkat kembali isu IPR dalam negosiasi. Untuk mencari jalan keluar tentang isu pendanaan dan potensi hubungan antara mekanisme teknologi dan mekanisme pendanaan, telah dilakukan koordinasi internal dalam kelompok G77 & China untuk isu transfer teknologi. Koordinasi dimaksud serta kelanjutan perundingan untuk isu teknologi belum dapat dilaksanakan karena agenda AWG-LCA baru dapat disepakati pada hari terakhir Bangkok Climate Change Talks. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
31
topik utama
AWG-LCA ke-14
Pertemuan ke-14 Ad-Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) ke-14 dilangsungkan pada tanggal 5-8 April 2011, dipimpin oleh Ketua AWG-LCA, Daniel Reifsnyder dari Amerika Serikat. Seluruh waktu persidangan AWG-LCA ke-14 bagian I di Bangkok ini diisi dengan pembahasan mengenai Provisional Agenda AWG-LCA 14. Pembahasan ini menjadi sangat strategis mengingat bahwa penetapan agenda ini akan banyak menentukan arah perundingan perubahan iklim tahun 2011 menuju COP-17/CMP-7 di Durban, Afrika Selatan. Setelah melalui perdebatan dan diskusi yang cukup panjang antara Sekretariat UNFCCC dan kelompok G-77 dan China, maka akhirnya dicapai kesepakatan. Setelah dilakukan konsultasi-konsultasi informal dan modifikasi bahasa dari chapeau mata agenda 3 dan isu Legal Options, seluruh pihak menyepakati draft agenda, yang selanjutnya akan dijadikan Provisional Agenda pada Pertemuan AWG-LCA 14 Bagian II di Bonn, bulan Juni 2011
. AWG·KP ke-16
Sixteenth Session of the Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP 16) berlangsung pada tanggal 5-8 April 2011 dan dipimpin Ketua AWG-KP, Adrian Macey (New Zealand). Pembahasan di AWG-KP berkutat pada bagaimana upaya berbagai pihak dalam mencari terobosan agar perundingan di bawah AWG-KP dapat mencapai kesepakatan hukum yang mengikat dalam melanjutkan Protokol Kyoto setelah tahun 2012. Ketua AWG-KP menyimpulkan terdapat 16 butir pemikiran dari berbagai pihak dalam menqupayakan tercapainya kesepakatan hukum yang mengikat bagi kelanjutan Kyoto Protocol (KP) setelah tahun 2012. Pembahasan butir pemikiran tersebut masih akan dilanjutkan dan diharapkan dapat diselesaikan pada pertemuan kedua AWG-KP 16 di Bonn, bulan Juni 2011.
Penetapan agenda berlangsung cukup alot, karena tiap negara memiliki persepsi berbeda terkait dengan negosiasi perubahan iklim. Selain pertemuan di atas, masih ada beberapa pertemuan lainnya yang dilaksanakan selama kegiatan Pertemuan Bangkok ini berlangsung. Pertemuan tersebut antara lain Pemilihan Wakil Asia untuk Transitional Committee, Pertemuan Bilateral dan Side Events, serta Pertemuan Cartagena Dialogue. Dari berbagai pertemuan yang diikuti oleh Delri, secara umum dapat disimpulkan bahwa penetapan Agenda berlangsung cukup alot mengingat negara-negara memiliki persepsi berbeda terkait dengan road map negosiasi perubahan iklim menuju Konferensi Para Pihak UNFCCC ke17 di Durban, Afrika Selatan. Oleh karena itu untuk kelanjutan negosiasi dan antisipasi terkait dengan agreed outcome dari negosiasi perubahan iklim, Pemerintah perlu mengkaji secara khusus berbagai isu unfinished business (berdasarkan building blocks SAP) yang terkait dengan kepentingan Indonesia untuk dapat didiskusikan pula dalam perundingan tahun 2011, termasuk isu legal options, bersama-sama dengan isu-isu yang terkait dengan implementasi Keputusan Cancun, dalam rangka mendukung penanganan perubahan iklim secara global serta upaya nasional dalam penanganan perubahan iklim. (mem) Referensi: -Laporan Ketua Delegasi Indonesia (Ir. Rachmat Witoelar) pada Pertemuan Bangkok Climate Change Talks, 1-8 April 2011 -Laporan Perjalanan Dinas Ir. Budi Situmorang dan Ir. Melva Eryani dari Kemen PU dalam mengikuti Pertemuan Bangkok Climate Change Talks 2011
32
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
topik lain
Ruang untuk Masyarakat Lokal Tradisional (Masyarakat Adat) yang Semakin Terpinggirkan
Oleh: H. Maman Djumantri, Peserta Program S3 PSL-IPB
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari “Indigenous Environmental Knowlwdge for Use of and Managing Natural Resources: A Case Study on Baduy, Aru, and Balinese’s Subak Tribe Communities”, (BUTARU edisi Januari-Febuari 2011). Kedua tulisan tersebut menunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem serta kaitannya dengan sustainable exploitation of tropical natural resources (khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan) yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/tradsional/masyarakatadat (tribe communities) di Indonesia dengan mengambil contoh pada Baduy Tribe (Banten), Aruese Tribe (Maluku Tenggara), dan Balinese’s Subak Tribe (Bali). Pengetahuan asli-lokal ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan dan mengelola sumberdaya alam, sehingga dengan instrument tersebut masyarakat yang bersangkutan dapat bertahan hidup di kawasan tersebut.
PERGESERAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Secara generic dapat dikatakan bahwa “pembangunan adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera lahir dan batin”. Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogya-nya menyertakan juga lapisan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar, terpencil dan marjinal. Pembangunan nasional dilaksanakan secara menyeluruh melalui beberapa bidang yang pada tataran implementasinya negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab pengelolaannya kepada kementrian/badan sebagai unsur Pemerintahan. Dalam perjalanan kehidupan bernegara terjadi penyelewengan tafsir dari “hak menguasai negara” yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral. Pembangunan berjalan sendiri-sendiri, tidak terjadi keterpaduan perencanaan, sinkronisasi program, dan koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping kegiatan dan duplikasi pendanaan pembangunan. Ujungujungnya terjadi konflik kepentingan sektoral dalam pengelolaan (khususnya pemanfaatan) sumberdaya alam. Kini tinggal masyarakat yang menderita. Selanjutnya masingmasing sektor menyusun kebijakan sekoral hanya untuk kepentingan sektornya sendiri. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari arti “kebijakan” itu sendiri yakni seperangkat ketetapan yang disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu urusan atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan (William Dun, 2003; Riant Nugroho D, 2007).
wilayah” yakni suatu pendekatan yang tidak sektoral, tidak partial, yang bersifat integrated and comprehensive/holistic; dan (ii) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi di masa mendatang. Kedua pendekatan ini di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidah-kaidah penataan ruang dan lingkungan.
Dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan, mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu sektoral dan sentralistis pada akhirnya akan merugikan pembangunan itu sendiri. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral, kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) “pendekatan
Nampaknya perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru tersebut. Perlukah dilakukan redefinisi pembangunan dan kebijakannya.
Perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
33
topik lain INDIGENOUS (ENVIRONMENTAL) KNOWLEDGE DARI MASYARAKAT TRADISIONAL/ MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/lingkungan, masyarakat adat/ tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya. Namun, bagaimana nasibnya dengan adanya kekuatan-kekuatan/faktor penekan yang mempengaruhinya untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya? Mari kita simak masyarakat-masyarakat adat/ tradisional: Baduy, Banten (BUTARU 1st edisi Jan-Feb 2011, p. 28-30), Aru (Maluku Tenggara), dan Subak (Bali).
Masyarakat adat dengan pengetahuan lokalnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Aru (Maluku Tenggara)
untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Masyarakat lokal tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) berperadaban ecocentrism, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu, berburu rusa dan babi hutan di savanna atau di hutan, dan mengumpulkan beberapa jenis moluska, kepiting dan Sea-cucumber (Tripang). Pada Musim Barat (NovemberApril) lebih terfokus pada sumberdaya laut seperti mengumpulkan Tripang di pantai berpasir yang sedang pasang, kadang memancing Hiu. Tripang sejenis binatang laut yang lezat, kaya protein dan kalori, jelly-nya dapat menjadi kosmetik, obat penyakit dalam, supplemen drink, sehingga banyak saudagar/pedagang dari dalam dan luar negeri yang datang berkulak Tripang untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia, Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea. Melalui para pedagang/saudagar inilah diintroduksikan unsurunsur budaya modern materialistis kepada masyarakat lokal Aru sehingga budaya mereka bergeser ke luxury goods consumptive..
Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru.
Tripang 34
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Kepulauan Aru, Sulawesi Tenggara
Dalam kegiatan mengumpulkan Tripang mereka tidak meng-gunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) mengenai kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya alam yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada bulan April. Apabila suhu perairan menurun dan permukaan air terang Tripang menampakkan diri sehingga para pemungut Tripang lebih suka menyelam di malam hari apalagi saat bulan purnama; memang Tripang ini binatang yang romantic. omunitas lokal Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan mitologi. Hal ini menjadi instrument tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan. Berikut ilustrasinya: - Alam dan seisinya merupakan milik leluhurnya (ancestors), yang senantiasa memantau agar penggunaan sumberdaya alam sehemat mungkin, sekedar untuk hidup (self-sufficient), dan memikirkan mereka yg akan hidup. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan kebijakan demikian maka tidak akan terjadi over exploitation. - Di kalangan masyarakat Aru terdapat “Kepala Adat” sebagai mediator dalam melakukan dialog antara Sang Leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu setiap akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog.
- Hasil dialog berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati; misalnya untuk jenis (species) tertentu hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu, hanya boleh mengambil Tripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan (restriction) untuk mengambil Tripang (dikenal dengan Sasi Tripang), selama ± 3 (tiga) tahun, dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi kesempatan alam melakukan regenerasi. - Sang Leluhur akan murka bila kesepakatan dilanggar, yang dimanifestasikan dalam bentuk bencana alam. Mengandung makna bahwa apabila alam terganggu keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan baru. Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara warga masyarakat dengan lingkugan hidup, dijumpai adanya sistem pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional. Dapat dilihat antara lain: - Ada pembagian tugas di antara warga, misalnya: lakilaki dewasa melakukan kegiatan hunting, menyelam, dan berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan rumahtangga, membuat kanji dari sagu, memungut Tripang di pantai berpasir, dan pengolahan Tripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya sebagai proses belajar. Transfer of knowledge dilakukan secara learning by doing. - Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan penyatuan dengan alam, misalnya: (i) Bayi laki-laki yang baru dilahirlkan dilempar ke dalam laut, setelah beberapa menit sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan dibawanya pulang; (ii) Anak laki-laki yang memasuki usia akil-balig dibuang ke dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat pulang dengan selamat maka ia disambut dan diakui sebagai laki-laki dewasa. - Apabila hasil perolehan Tripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga, maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan (tanpa zat pengawet). Tripang hasil pengawetan dapat ditukar (barter) dengan kebutuhan rumah tangga yang lain.
- Ada upaya untuk membudidayakan Tripang dengan cara membangun tambak-tambak. Sayang sekali, peradaban ecocentrism ini telah bergeser dengan masuknya faktor2 exogenous. Terutama sekali dibawa oleh saudagar2/pedagang2 dari Taiwan, Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya sudah berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diimimgimingi produk-produk teknologi yang harus “dibayar” dengan Tripang. Akhirnya Tripang menjadi sebuah komoditas ekonomi. Harga dipermainkan terus, namun transaksi berjalan terus, dan Tripang dikuras terus. Kapan stopnya? Apakah harus menunggu sampai masyarakat tradisional Aru jatuh miskin dan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan (misalnya pencurian sumberdaya laut dengan kapal selam asing). Kalau sudah sampai situasi-kondisi seperti ini, seyogyanya segera ada campur tangan (intervensi) Pemerintah, misalnya ditetapkan Kepulauan Aru sebagai cagar alam, cagar budaya, kawasan perlindungan, kawasan konservasi, menetapkan Tripang sebagai binatang yang dilindungi, dan sebagainya. Yang terjadi sekarang malah Pemerintah menetapkan Kepulauan Aru sebagai kawasan cadangan (?) Ini berarti kebijakan keberpihakan Pemerintah kepada kapitalis.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Subak-Bali (Pulau Bali)
Sawah Terasering dengan sistem Subak
Masyarakat tradisional Bali sangat mempercayai adanya kekuatan magis dan kekuatan spiritual yang dijadikan basis pada religinya.
Alam telah memanjakan Bali dengan kondisi idealnya untuk pengembangan pertanian. Gunung berapi yang masih sering aktif menjadikan tanah berkesuburan tinggi. Curahan air hujan dan sejumlah mata air dari pegunungan menyuplai air ke beberapa kawasan pertanian di Pulau Bali. Dan sepanjang musim kemarau, disebabkan oleh angin musim tenggara, matahari menyinari dalam beberapa bulan dalam setahun. Di pulau ini kawasan produktif pertanian tradisional cukup tersebar dan luas. Penanaman padi sawah merupakan kunci dari kegiatan pertanian di Bali dengan konsentrasi sawah beririgasi dijumpai di bagian selatan Bali. Pada daerah yang terairi dengan baik penanaman padi dirotasikan dengan tanaman palawija penghasil uang (cash crop) seperti kacang tanah, kedelai, bawang, cabe, dan sayuran; di daerah kering ditanami jagung, ketela, dan ubi. Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Bali mempunyai suatu sistem indigenious irigasi yang dikendalikan oleh suatu organisasi dari kelompok masyarakat perdesaan yang disebut Subak yang mempertahankan agar padi tetap terairi dengan baik dan kaya akan nutrisi dari abu vulkanik yang juga dapat meningkatkan kesuburan. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
35
topik lain
Siap Upacara Ritual di Pura Subak
Religi, Kepercayaan, Norma, dan Budaya
Masyarakat tradisional/adat Bali menyembah Dewa Brahmana (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Shiwa (perusak, penghancur), sebagai manifestasi dari sifat Tuhan yang maha kuasa (Sanghyang Widhi Wasa). Konsep tiga aspek ini dikenal dengan Trimurti. Dimungkinkan juga menyembah Dewa-Dewa lainnya seperti Ganeça, Saraswati, Bhatari Sri, dan umumnya terlihat satu tempat ibadah digunakan untuk pemujaan kepada banyak dewa dan kekuatan spiritual, itulah uniknya masyarakat ini. Pada dasarnya aktivitas manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga interaksi yakni antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Hal ini diartikulasikan dalam pengaturan pola pemanfaatan ruang (space-used, zoning?) yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat mempercayai adanya kekuatan magis dan kekuatan spiritual dan hal-hal tersebut banyak dijadikan basis pada religinya. Mereka percaya bahwa kekuatan spiritual kebaikan bersemayam di pegunungan, sedangkan lautan merupakan habitat dedemit, roh-jahat, dsb. Hampir di semua desa sedikitnya mempunyai tiga pura: (i) Pura Puseh (temple of origin) yang menghadap ke pegunungan, dan didedikasikan bagi para pendiri desa; (ii) Pura Desa, normalnya terletak di tengah-tengah permukiman, dan didedikasikan bagi kesejahteraan di dalam desanya; (iii) Pura Dalem, searah dengan laut, dan didedikasikan bagi the spirits
of the dead. Dalam kehidupannya masyarakat tradisional/ adat Bali banyak melakukan upacara ritual keagamaan yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis upacara (panca yadnya): (i) manusa yadnya (upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dari kelahiran hingga kematian); (ii) putra yadnya (upacara2 yang berkaitan dengan upaya menjaga hubungan anata para leluhur dengan yang masih hidup); (iii) dewa yadnya (upacara penyembahan kepada para dewa yang menjaga/melindungi dunia); (iv) resi yadnya (upacara-upacara yang berkaitan dengan priest ordination); dan (v) buta yadnya (upacara untuk melindungi diri dari nafsu buruk atau nafsu jahat). Meskipun berasal dari India, agama masyarakat tradisional/ adat Bali ini sangat unik, merupakan blending dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan indigenous Jawakuno, dengan adat-istiadat yang sangat berbeda dari bentukbentuk tradisional Hinduism yang dipraktekan di India saat ini. Dalam menjalankan norma dan etika kehidupannya masyarakat Hindu Bali mengenal sistem strata yang dikenal dengan “kasta” (Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra); namun yang kita lihat sekarang sistem itu semakin longgar dan tidak tertutup hubungan satu sama lain, dan pekerjaan atau jabatan tidak diatur oleh sistem kasta. Dalam kenyataannya, hanya sesuatu yang merefleksikan sistem kasta, yakni bahasa yang mempunyai tiga tingkatan: (i) bahasa halus (kromo-inggil), bahasa sedang (moderat), dan (iii) bahasa pasaran (bahasa gaul). 95% masyarakat Bali menganut Hindu Darma dan setiap hari berbicara lemah-lembut satu sama lain. Masyarakat kelas menengah berbicara tegas, lugas, terkadang kasar; kadang kepada yang lebih tinggi kelasnyapun demikian. Bahasa kasta Ksatriya digunakan ketika berbicara dengan kelas yang lebih tinggi seperti brahmana atau pendeta/pemuka agama; tetapi hampir semua kata-kata yang digunakan oleh kelas bawah dan menengah adalah sama, sedangkan kelas atas menggunakan bahasa campuran antara bahasa kelas menengah, bahasa Jawa-Kuno, dan bahasa Kawi (berasal dari bahasa Sansekerta).
Kelompok Masyarakat Tradisional / Masyarakat Adat di Pulau Bali
Dalam komunitas masyarakat Bali banyak terbentuk organisasi atau kelompokkelompok masyarakat pada berbagai aspek seperti perdesaan, pertanian, kesenian, dsb. Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pelayanan fasilitas seperti sekolah, klinik, rumah sakit, jalan, dan sebagainya; sedangkan aspek-asepek lainnya dalam kehidupan berada di tangan 2 (dua) traditional committee yang berkiprah mengembalikannya ke akar budaya masyarakat Bali. Organisasi kelompok masyarakat jenis pertama adalah Banjar yang menata selururuh aktivitas desa termasuk upacara perkawinan, dan upacara kematian (ngaben), sesuai dengan sifat-sifat yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Hampir seluruh desa sedikitnya memiliki satu Banjar dan semua laki-laki yang telah menikah diharuskan bergabung. Satu Banjar rata-rata beranggotakan 50–100 keluarga dan setiap Banjar mempunyai Bale-Banjar yakni tempat pertemuan regular. Di tempat inilah kelompok drama dan orchestra gamelan tradisional Bali berlatih.
36
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
Masyarakat tradisional Subak secara lebih arif mengorganisasikan seluruh kekuatannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya pertanian padi sawah.
Organisasi kelompok masyarakat jenis kedua adalah Subak, yang memusatkan perhatiannya pada produksi padi sawah dan mengorganisasikan sistem irigasi yang kompleks. Kelompok kerjasama Subak berada di luar lembaga-lembaga formal di desa, di bawah juridiksi kelompok yang lebih besar, lebih dari satu Subak, tergantung dari pola-pola drainase setempat. Tugas-tugas teknik yang lebih penting di bawah penanganan Subak yakni pembangunan dan pemeliharaan kanal, terowongan, saluran air, dam, dan pintu air. Padi merupakan makanan pokok masyarakat Bali yang dipersonifikasikan sebagai Dewi Bhatari Sri. Padi juga merupakan kekuatan sosial utama. Tahap-tahap dalam kegiatan pertanian padi sawah menentukan ritme dari pekrjaan musiman sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok pekerja antara laki-laki dengan wanita di dalam satu komunitas. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat menghargai varietas padi lokal dan tidak menyukai pemupukan secara kimiawi (Urea, NPK, TSP), demikian juga penyemprotan hama-penyakit tanamannya (Endrin, Dieldrin, DDT, Malathion), yang diekspresikan dalam mitologi dan bebagai upacara ritual yang melukiskan siklus hidup Dewi Bhatari Sri – dari mulai menanam benih hingga memanen bulir padi. Maka padi merepresentasikan budaya masyarakat tradisional/adat Bali dalam dual sense yakni budaya dan kultus, lebih khusus lagi, dalam pekerjaan (bertani) dan ibadah.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/ lingkungan, masyarakat adat/tradisional Subak ini dengan indigenous environmental knowledge yang dimilikinya secara turun-temurun, dengan kekuatan memegang hukum adatnya, dengan kemampuan cosmological spiritualnya, dengan kuatnya religi yang dianutnya, mereka secara lebih arif mengorganisasikan seluruh kekuatannya itu melakukan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya pertanian padi sawah. Bukti sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad ke-11, semua petani yang lahannya terairi dari saluran irigasi yang sama menjadi satu kelompok kerjasama irigasi atau termasuk di dalam satu Subak. Ini merupakan sebuah lembaga adat (lembaga tradisional) yang mengatur pembangunan dan pemeliharaan bangunan pengairan, dan suplai air irigasi yang didistribusikan secara adil. Peraturan demikian sangat esensial untuk mengefisienkan penanaman padi-sawah di Bali, di mana air mengalir melalui jurang yang sangat dalam dan menyebrangi teras-teras dalam perjalanannya dari gunung ke laut. Setiap orang yang memiliki lahan pertanian padi atau sawah bergabung pada Subak setempat, yang selanjutnya menjamin setiap anggotanya mendapatkan air irigasi yang didistribusikan secara adil. Secara tradisi kepala Subak memiliki sawah pada bagian yang paling bawah dari bukit/pegunungan, sehingga air harus mengalir melalui sawah-sawah yang lain sebelum mencapai sawah miliknya. Subak bertanggung-jawab terhadap koordinasi kegiatan penanaman benih dan pemindahan bibit untuk mencapai kondisi di mana tanaman tumbuh secara optimal; demikian juga bertanggung jawab dalam upacara persembahan dan perayaan di pura subak. Seluruh anggota diundang untuk
Masyarakat tradisional Bali percaya bahwa kelangsungan hidup komunitasnya juga bergantung dari integritas terhadap budayanya. berpartisipasi pada kegiatan2 tersebut khususnya pada upacara persembahan kepada Dewi Bhatari Sri. Pertanian padi sawah dengan sistem Subak disakralkan karena mereka percaya pada eksistensi dewi-padi (Dewi Bhatari Sri; Sanghyang Sri) yang senantiasa memberi kemakmuran selama manusia masih loyal kepadanya. Untuk menjaga hubungan dengannya, setiap tahap kegiatan pertanian, sebelumnya diadakan upacara ritual untuk memohon izin dengan menyampaikan persembahan; karena itu melaksanakan pekerjaan di sawah dipertimbangkan sebagai bagian dari kewajiban masyarakat tradisional/adat Bali dan diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan (hukum adat). Untuk melindungi norma, kepercayaan, dan budayanya dari kekuatan exogenous, beberapa aturan dan larangan pada aspek sosial dan budaya ditekankan dan dilegalkan dalam ketetapan hukum adat. Untuk menegakkan hukum adatnya terdapat mekanisme pengendalian yang disebut “Karma” (consequences). Mereka percaya bahwa ia akan mengalami hal-hal yang buruk apabila melakukan perbuatan buruk, dan sebaliknya. Mekanisme pengendalian lainnya yakni kontrol sosial berupa eksekusi hukuman (punishment) bagi yang melakukan pelanggaran; eksekusi dilakukan oleh Ketua Subak dan/atau Kelian Banjar. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
37
topik lain No. Ketentuan dan Tradisi Dalam Sistem Subak 1 2 3
4 5 6 7
Interpretasi/Jastifikasi
Petak-petak sawah dibuat dalam bentuk terasering Untuk kelancaran air. Menghindari terjadinya erosi mengikuti kontur dan longsor Resisten terhadap hama Nilaparphata ligens. Menggunakan benih padi pada varietas lokal Memelihara plasma nutfah jenis tumbuhan lokal. Dewi Bhatari Sri tidak menyukai (alergi) bahan Menjamin sumberdaya alam tidak terkontaminasi kimia sehingga pupuk kimiawi (Urea, NPK, TSP) dan menjamin tidak terjadi pencemaran lingkungan dan pestisida kimia (DDT, Dieldrin, Endrin) tidak karena limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) digunakan. kegiatan pertanian disesuaikan dengan Setiap tahapan kegiatan pertanian terlebih dahulu Calendar iklim. Keseragaman dalam tahapan kegiatan dilakukan upacara ritual untuk memohon izin pertanian dapat memutuskan siklus hidup hama kepada Dewi Bhatari Sri padi tertentu Dewi Bhatari Sri menyukai keindahan, sehingga efisien dalam penggunaan sumberdaya alam. jarak tanam padi harus teratur, rapi. Memudahkan dalam pekerjaan penyiangan Mengistirahatkan padi dengan rotasi jenis Memutuskan siklus hidup hama padi tertentu. tanaman palawija Memperbaiki struktur tanah dan kesuburan tanah. Upacara ritual di Pura Subak menyambut panen Integritas budaya tradisional. berhasil
Pergeseran budaya tradisional/adat dari ecocentrism ke anthropocentrism
Beraneka ragam budaya asing yang anthropocentrism telah hidup berdampingan bersama budaya tradisional /adat Bali at least sejak 100 tahun yang silam. Hal ini dapat mengancam tererosinya nilai-nilai luhur budaya tradisional (adat) Bali. Secara kasat mata (tangible) semua pihak mengetahui bahwa cara hidup masyarakat tradisional/adat Bali telah bergeser sebagai dampak dari penggunaan produkproduk budaya materialistist anthropocentrism. Berdasarkan alasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa budaya masyarakat tradisional/ adat Bali sedang mengalami pergeseran dari budaya ecocentrism ke budaya anthropocentrism.
PEMBAHASAN
Success story tentang pengelolaan sumberdaya air dengan sistem Subak sudah tidak diragukan lagi sehingga Pemerintah pernah mengangkatnya menjadi sebuah model yang diaplikasikan ke seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata tidak berhasil. Hal ini dapat dimengerti bila diingat bahwa terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam) merupakan hasil penggabungan dan akumulasi dari: transfer of knowledge yang turun-temurun, pengalaman empiris, pengenalan dan pemahaman ekosistem setempat, kemampuan cosmological spiritual, kekuatan religious, kemampuan menginterpretasikan mitologi yang dipercayainya, kemampuan mengimplementasikan falsafah hidupnya, sensitifitas bahasa alam/lingkungan, penghargaan pada etika lingkungan, kepatuhan memegang hukum adat, dan integritas budaya tradisional setempat, dan faktor-faktor indigenous lainnya yang prosesnya berjalan sangat lama. Di samping pengetahuan lokal (indigenenous knowledge), faktor lain yang menyebabkan keberhasilan sistem Subak ini adalah karena kebijakan Pemerintah Daerah pada bidang administrasi publik. Pemda berhasil mengintegrasikan sistem pemerintahan tradisional (non-formal) ke dalam sistem pemerintahan fomal. Adanya pengakuan Pemda
38
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
terhadap eksistensi non-formal leader sangat penting di dalam sistem kemasyarakatan tradsional (masyarakat adat). Kepatuhan kepada non-formal leader lebih bersifat kepatuhan yang tulus (genuine compliance) yang dibangun atas kesadaran, sedangkan kepada pemimpin formal biasanya hanya kepatuhan formal, atau kepatuhan dengan enggan (grudding compliance), tidak mematuhi, atau mungkin apatis. (apathy). Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara budaya ecocentrism dengan budaya anthro-pocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan pembangunan di mana terjadi ulurtarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Sejalan dengan konsep/ pendekatan pembangunan berkelanjutan (economically viable, socially acceptable, dan environmentally sound), hendaknya Pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar dualisme antara budaya anthropocentrisme dengan budaya ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency.
KESIMPULAN
Salah satu kelebihan dari masyarakat lokal/tradisional/ adat yaitu mempunyai pengetahuan lokal atau indigenous (environmental) knowledge: suatu pengetahuan bagaimana melestarikan alam/lingkungan dan mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan berdasarkan: pengenalan, pemamahan, dan transfer pengetahuan ekologi setempat secara turun-temurun; kemampuan cosmological spiritual; kekuatan religious; kemampuan menginterpretasikan mitologi yang dipercayainya; kemampuan mengimplementasikan falsafah hidup; sensitifitas bahasa alam; penghargaan pada etika lingkungan; kepatuhan memegang hukum adat; integritas budaya tradisional setempat; dan faktor2 indigenous lainnya; yang proses internalisasinya berjalan sangat lama. Indigenous environmental knowledge mempunyai karakteristik dan ciri-ciri sebagai berikut: a. Terbentuk, tumbuh, dan berkembang pada ekosistem setempat, dan pada masyarakat tradisional/adat dengan budaya ecocentrism, dan adat-istiadat setempat. b. Tidak dapat diterapkan pada ekosistem lain dan tidak dapat diterapakan secara umum (general), hanya berlaku spesifik pada masyarakat dan ekosistem yang bersangkutan. c. Sebagai instrument/tools yang ampuh dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian alam/lingukngan. d. Memanfaatkan sifat-sifat alam (hukum alam), tidak memerlukan peralatan yang canggih. e. Sulit dibuktikan atau dijabarkan dengan metoda ilmiah. Masyarakat lokal/tradisional/adat menghadapi ancaman dari “kekuatan-kekuatan/faktor-faktor penekan” yang berpolapikir (cara pandang) anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge-nya). Nilai2 luhur budaya masyarakat lokal/tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. Proses ini dimungkinkan terjadi melalui introduksi pengetahuan dan teknologi penciptaan luxury good consumption sebagai salah satu unsur budaya matrialist hedonist anthropocentrism. Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara faham ecocentrism dengan faham anthropocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan
sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan pembangunan sehingga terjadi ulur-tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Lebih jauh, agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency, maka Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi malpolicy. Apabila Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah akan memanfaatkan indigenous environmental knowledge sebagai instrument/tools dalam pelestarian alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka disarankan untuk: (i) Mengidentifikasi masyarakat lokal/tradisional/adat serta mendeliniasi ekosistem sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan/ ekologi; (ii) Memberikan ruang gerak dan kesempatan untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pelestarian alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (iii) Mengintegrasikan pemerintahan non-formal ke dalam pemerintahan formal; (iv) Tidak mengintervensi tetapi memfasilitasi; (v) Menjamin tidak ada “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang berpola-pikir anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan indigenous knowledge-nya; dan (vi) Menjamin tidak terkontaminasinya budaya adat/tradisional ecocentrism dari unsur-unsur budaya anthropocentrism.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
39
wacana
green
building A Sustainable Concept for Construction Development in Indonesia
Oleh: Redaksi Butaru
Tingkat kesadaran global mengenai lingkungan hidup dan perubahan iklim, khususnya dalam bidang arsitektur dan lingkungan, pada beberapa tahun belakangan ini meningkat dengan tajam. Gerakan hijau yang tengah berkembang pesat saat ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi sumber daya alam, tetapi juga diimplementasikan sebagai upaya efisiensi penggunaan energi serta meminimalisir kerusakan lingkungan sekitar. Hal ini tentu sangat bermanfaat apabila dilakukan secara merata dan berkelanjutan, khususnya di Indonesia yang notabene adalah negara yang sedang berkembang. Sosialisasi terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim terus dilakukan Pemerintah Indonesia, tetapi tidak semua elemen masyarakat sudah mengetahui dan paham mengenai kedua hal tersebut. Terbukti dari merebaknya SBS (sick building syndrome) pada bangunan-bangunan Indonesia. Bentuk solusi yang menjadi pilihan adalah dengan menerapkan konsep Green Architecture, atau Green Building yang kini sudah dijalankan oleh pemerintah, Apa sebenarnya makna dari kedua konsep tersebut? Bagaimana Kriterianya? serta seperti apa bentuk kepedulian serta peran dari masyarakat dan pemerintah?.
SICK BUILDING SYNDROME
Sick Building Syndrome adalah situasi dimana para penghuni gedung atau bangunan mengalami permasalahan kesehatan dan ketidaknyamanan karena waktu yang dihabiskan dalam bangunan. Faktor utama terjadinya SBS terdapat pada permasalahan kualitas udara atau polusi udara yang biasanya disebabkan oleh buruknya ventilasi udara atau cahaya, emisi ozon dari mesin foto kopi, polusi dari perabot dan panel kayu, asap rokok, dan lain sebagainya. SBS secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas seluruh penghuni gedung atau bangunan apabila dibiarkan terus menerus. Sudah banyak gedung yang terjangkit SBS di Indonesia. Antara lain terdapat pada kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, Medan, Bandung,dan Makassar. Maka dari itu, konsep bangunan yang green sudah selayaknya digalakkan. Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 30 persen seluruh bangunan atau gedung yang ada di dunia memiliki permasalahan terkait kualitas udara dalam ruangan.
40
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
KONSEP ARSITEKTUR HIJAU (GREEN ARCHITECTURE)
Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Sebagai pemahaman dasar dari arsitektur hijau yang berkelanjutan, elemen-elemen yang terdapat didalamnya adalah lansekap, interior, yang menjadi satu kesatuan dalam segi arsitekturnya. Dalam contoh kecil, arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar lingkungan kita. Yang paling ideal adalah menerapkan komposisi 60 : 40 antara bangunan rumah dan lahan hijau, membuat atap dan dinding dengan konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Tujuan utama dari green architecture adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan. Arsitektur hijau juga dapat diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan. Perancangan Arsitektur hijau meliputi tata letak, konstruksi, operasi dan pemeliharaan bangunan. Konsep ini sekarang mulai dikembangkan oleh berbagai pihak menjadi Bangunan Hijau (green building).
KONSEP BANGUNAN HIJAU (GREEN BUILDING)
Green Building mungkin ketika kita mengartikan dalam bahasa indonesia yang berupa bangunan hijau. Arti yang sebenarnya green building tersebut yaitu sebuah konsep tentang merencanakan suatu bangunan yang ramah terhadap lingkungan. Konsep serupa adalah natural building, yang biasanya pada skala yang lebih kecil dan cenderung untuk berfokus pada penggunaan material-material yang digunakan yaitu material-material yang tersedia secara lokal. Konsep green building ini berupa pemaksimalan fungsi bangunan dalam beberapa aspek, yaitu: • Life Cycle Assessment (Uji AMDAL) Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya melakukan kajian AMDAL apakah dalam pengadaan bangunan tersebut dapat mempengaruhi lingkungan sekitar baik itu segi sosial, ekonomi ataupun alam sekitar. Karena jika itu memberikan pengaruh yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah menyalahi konsep dasar dari green building.
Struktur yang Ramah
Green Wall
Life Cycle Assesment
•Efisiensi Desain Struktur Dasar dalam setiap proyek konstruksi bermula padatahap konsep dan desain. Tahap konsep, pada kenyataannya merupakan salah satu langkah utama dalam proyek yang memiliki dampak terbesar pada biaya dan kinerja proyek. Tujuan utama merencanakan bangungan yang memiliki konsep green building adalah untuk meminimalkan dampak yang akan disebabkan bangunan tersebut baik itu selama pelaksanaan dan selama penggunaan. Perencanaan bangunan gedung yang tidak efisien dalam struktur juga memberikan efek buruk terhadap lingkungan, yaitu pemakaian bahan bangunan yang sangat banyak sehingga terjadi pemborosan.
• Efisiensi Energi Green Building sering mencakup langkah-langkah untuk mengurangi konsumsi energi - baik energi yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti kondisi bangunan yang segi mudahnya angin dan sinar matahari yang mudah masuk kedalam bangunan.. Selain itu selain segi operasional, segi pelaksanaan juga harus diperhatikan. Studi LCI US Database Proyek bangunan yang menunjukkan dibangun dengan kayu akan menghasilkan energi pempuangan yang lebih rendah daripada bangunan gedung yang bahan bangunannya menggunakan dengan batu bata, beton atau baja. Untuk mengurangi penggunaan energi operasi, penggunaan jendela yang se-efisiensi mungkin dan insulasi pada dinding, plafon atau tempat masuknya aliran udara ke dalam bangunan gedung. Strategi lain, desain bangunan surya pasif, sering dilaksanakan di rumah-rumah rendah energi. Penempatan jendela yang efektif (pencahayaan) dapat memberikan cahaya lebih alami dan mengurangi kebutuhan penerangan listrik di siang hari. Adapun manfaat apabila kita menerapkan konsep Green Building adalah : • Bangunan lebih awet dan tahan lama, dengan perawatan minimal
•Efisiensi energi menyebabkan pengeluaran uang lebih efektif • Bangunan lebih nyaman untuk ditinggali • Mendapatkan kehidupan yang sehat • Ikut berperan serta dalam kepedulian terhadap lingkungan
Efisiensi energy pada bangunan
Green Building merupakan salah satu bentuk respon masyarakat dunia akan perubahan iklim. Praktek ‘Bangunan Hijau’ ini mempromosikan bahwa perbaikan perilaku (dan teknologi) terhadap bangunan tempat aktivitas hidupnya dapat menyumbang banyak untuk mengatasi pemanasan global. Bangunan/gedung adalah penghasil terbesar (lebih dari 30%) emisi global karbon dioksida, salah satu penyebab utama pemanasan global. Saat ini Amerika, Eropa, Kanada dan Jepang mengkontribusi sebagian besar emisi gas rumah kaca, namun situasi akan berubah secara dramatis di masa depan. Pertumbuhan penduduk di Cina, India, Asia Tenggara, Brazil dan Rusia menyebabkan emisi CO2 bertambah dengan cepat. Pembangunan di Indonesia meningkatkan kontribusi CO2 secara signifikan. Hal ini akan memperburuk kondisi lingkungan Indonesia pun kondisi lingkungan global. Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
41
wacana GBC Indonesia menyelenggarakan kegiatan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut GREENSHIP GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA
GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA adalah lembaga mandiri (non government) dan nirlaba (non-for profit) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan.
GBC INDONESIA didirikan pada tahun 2009 dan diselenggarakan oleh sinergi di antara para pemangku kepentingannya, meliputi : • Pemerintah • Kalangan industri sektor bangunan dan properti, • Profesional bidang jasa konstruksi • Institusi pendidikan dan penelitian Lembaga ini merupakan Emerging Member dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada Salah satu program lembaga ini adalah menyelenggarakan kegiatan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut GREENSHIP. Melalui lembaga ini pemerintah menyatakan dukungannya untuk menyehatkan kembali kondisi gedung-gedung di perkotaan dari penyakit SBS (sick building syndrome).
Sistem Rating GREENSHIP
Dalam pembuatannya, GREENSHIP sebagai perangkat penilaian membutuhkan suatu acuan dan dukungan dari pemerintah. Dalam pembuatannya pun, GREESHIP menggunakan kriteria penilaian sedapat mungkin berdasarkan standard lokal baku seperti Undang-Undang (UU), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Beberapa peraturan yang menjadi acuan dalam pembuatan GREENSHIP adalah : • Peraturan Menteri PU 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksessibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. • Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) • B/277/Dep.III/LH/01/2009 • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung • UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup • Keputusan DNA (Designated National Authority ) dalam B-277/Dep.III/LH/01/2009 • Keputusan Menteri No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Kotor Domestik • Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung • Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 • UU No. 18 Tahun 2008
GREENSHIP menggunakan kriteria penilaian sedapat mungkin berdasarkan standar lokal baku seperti UU, Keppres, Inpes, Permen, Kepmen dan SNI.
Green High Rise Building
HARAPAN KE DEPAN
Harapan kedepan dari sistem GREENSHIP ini adalah, seluruh bangunan-bangunan di kota besar di Indonesia sudah bebas dari SBS dengan bukti kepemilikan sertifikat Greenship. Bangunan-bangunan pemerintah khususnya pada daerah DKI Jakarta, sudah mulai menggalakkan “Memenuhi Persyaraatan GreenShip” sertifikat ini dengan harapan ditiru oleh seluruh provinsi di Indonesia. Gedung baru Kementerian PU dan Kantor DPRD DKI Jakarta adalah sebagian dari gedung-gedung negara yang telah mendapatkan sertifikat greenship. Tidak hanya pemerintah, GBCI juga menargetkan penyelesaian sertifikasi lima gedung dari 27 gedung non pemerintah yang telah mendaftar. Dari 27 gedung ini, 10 diantaranya merupakan pilot proyek gedung baru (new building) dan 17 proyek sedang dalam tahap pembatasan. Harapan ke depan adalah menjadikan kota-kota di Indonesia menjadi Kota Terhijau di Dunia, seperti Vancouver di Kanada, Malmo di Swedia, Curitiba di Brazil,Portland di Amerika Serikat dan reykjavik di Islandia. (eq)
42
buletin tata ruang | Mei - Juni 2011
agenda
Agenda Kerja
BKPRN
MEI - JUNI 2011
Pada bulan Mei - Juni terdapat 20 Kabupaten dan 3 (tiga) kota yang telah melakukan pembahasan RTRW di rapat kerja BKPRN. Berikut rekapitulasi jadwal pelaksanaan BKPRN pada Bulan MeiJuni 2011 Provinsi/Kab/Kota Tanggal Pelaksanaan BKPRN Kab. Pasuruan 3 Mei 2011 Kab. Sukabumi 3 Mei 2011 Kab. Wonogiri 10 Mei 2011 Kab. Halmahera Selatan 13 Mei 2011 Kab. Sumba Barat 19 Mei 2011 Kab. Lombok Tengah 19 Mei 2011 Kab. Serang 23 Mei 2011 Kab. Halmahera Utara 30 Mei 2011 Kab. Sumbawa 7 Juni 2011 Kab. Serdang Bedagul 9 Juni 2011 Kab. Bengkulu Utara 9 Juni 2011 Kab. Empat Lawang 9 Juni 2011 Kab. Pringsewu 10 Juni 2011 Kab. Mesuji 10 Juni 2011 Kota Lampung 10 Juni 2011 Kota Mojekerto 15 Juni 2011 Kota. Metro 15 Juni 2011 Kab. Lingga 16 Juni 2011 Kab. Rejang Lebong 16 Juni 2011 Kab. Belitung Timur 16 Juni 2011 Kab. Garut 20 Juni 2011 Kab Tasik 20 Juni 2011 Kab. Kulonprogo 30 Juni 2011
Pada tanggal 21 Juni 2011 telah dilakukan breakfast meeting BKPRN yang dihadiri oleh perwakilan Pejabat Eselon II dari beberapa Kementerian yang menjadi anggota BKPRN. Adapun agenda dan hasil dari breakfast meeting, antara lain : Pada tahun 2011, terdapat 9 Raperpres yang sangat diprioritaskan antara lain RTR Pulau Jawa-Bali, RTR Pulau Sumatra, RTR Pulau Kalimantan, RTR Pulau Sulawesi, RTR Kawasan Mebidangro, RTR Kawasan Batam Bintan Karimun, RTR Kawasan Sarbagita, RTR Kawasan Sarbagita, RTR Kawasan Mamminasata, RTR Kawasan Perbatasan Negara Kalimantan. Dalam rangka percepatan persetujuan substansi Raperda RTRW, dengan menjadwalkan pembahasan RTRW lewat forum BKPRN maksimal 2 (dua) RTRW Prov, Kab, Kota pada setiap 1 (satu) hari pelaksanaan. Untuk menyingkat waktu pembahasan sebaiknya masukan oleh setiap sector tertulis sehingga dapat menyingkat waktu pembahasan RTRW di forum BKRN.
Terkait Persiapan RAKERNAS BKPRN 2011: Rencana pelaksanaan Rakernas BKPRN di Manado tanggal 26-28 Juli 2010 Tema Rakernas BKPRN 2011 “Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan” Pada awal Bulan Juli 2011 direncanakan dilaksanakan rapat persiapan II dengan Pemda Sulawesi Utara di Manado. Tindak lanjut terkait masalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) akan diadakan pembahasan lanjutan dari hasil rapat PPATK di Kementerian Sekretariat Negara pada tanggal 20 Juni 2011.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
43
“Today’s winner could be tomorrow’s big time loser“ For countries still delay reduction of greenhouse gas emissions